Panji Tengkorak Darah Ko Lo Hiat Ki Karya S D Liong Bagian 5
Kini barulah Bu-song tersenyum puas, ujarnya, "Mulutmu yang mengatakan sendiri, kelak janganlah menyesal!"
"Apakah aku ini orang yang tak pegang janji" Nona......"
"Aku percaya padamu. Tak usah berkata lagi....." tukas Bu-song. "Coba terka, apa yang hendak kuminta darimu?"
Kembali Thian-leng tertegun, "Bagaimana aku tahu hati nona" Tetapi pokoknya apapun yang nona katakan, pasti kulakukan dengan sepenuh tenaga. Tentu takkan mengecewakan!"
Tiba-tiba mata Bu-song berkilat-kilat penuh sinar harapan hidup dan mulutnya tersekat-sekat berkata, "Aku .......
menghendaki kau seumur hidup............."
Sekonyong-konyong terdengar pintu batu berderak-derak terbuka sehingga Bu-song tak dapat melanjutkan kata-katanya. Kedua anak muda itu cepat berpaling. Ternyata pintu penjara air itu terbuka lebar. Penjaga gemuk dan kurus yang disebut Co sucia dan Yu sucia itu tegak berdiri di ambang pintu.
"Bawa anak perempuan itu!" serunya dengan bengis. Dua penjaga berpakaian hitam muncul menghampiri Bu-song.
Mereka membuka ikatan si nona lalu menyeretnya pergi.
"Kalian hendak membawa aku kemana?" karena jalan darahnya tertutuk, Bu-song tak dapat berbuat apa-apa kecuali menjerit-jerit.
"Jangan ribut!" bentak kedua pengawal gemuk dan kurus, "sebentar kau tentu tahu sendiri!"
"Aku tak mau pergi!" Bu-song menjerit-jerit, "kalau mau membawa aku, bawalah pemuda itu juga...."
Si gemuk dan si kurus tertawa tergelak-gelak, "Aneh, apakah enaknya dibenam dalam air busuk dengan tangan di kat" Sebentar kau akan ke tempat bahagia........"
"Awas jangan sampai melukainya..........," kedua sucia memberi perintah bengis. Kedua anak buah baju hitam mengiyakan. Mereka menggusur Bu-song keluar. Lenyapnya suara tertawa dari kedua su-cia gemuk kurus dibarengi dengan tertutupnya pintu baru.
Masih terdengar suara Bu-song yang penghabisan kalinya, "Kang Thian-leng, jika aku tak mati, aku tentu datang menolongmu, kau......." Hanya itu suara yang dapat diteriakkan si dara karena sekejap kemudian suaranya telah lenyap ditelan tertutupnya pintu batu.
Hati Thian-leng pun ikut tenggelam. Kemanakah mereka hendak membawa si dara" Akan dibunuh atau dilepaskan"
BetapaThian-leng berusaha untuk menganalisa, namun tak dapat ia membuat kesimpulan.
Penjara airpun kembali dalam kegelapan. Kini hanya berisi Thian-leng seorang. Badannya yang terikat dan rasa sakit pada luka-lukanya, tak dihiraukan sama sekali. Ia masih dapat bertahan. Tetapi derita batin memikirkan keselamatan Bu-song jauh lebih menyiksa hatinya. Dalam kemarahan yang tak berdaya itu, hampir putuslah segala harapan.
Betapa inginnya saat itu ia segera mati saja! Ya, hanya kematianlah yang kiranya dapat membebaskannya dari penderitaan semacam itu.
Sekilas kemudian, terlintas suatu percikan sinar terang dalam otaknya. Mati, ya, kematian memang enak, memang satu-satunya cara untuk membebaskan penderitaan.
Tetapi hal itu hanyalah suatu penghindaran diri dari kenyataan. Suatu pengelakan dari tanggung jawab.
Suatu perbuatan pengecut dari manusia yang tak berani menghadapi kenyataan hidup. Bukankah ia seorang jantan "
Mengapa ia takut menanggung segala akibat perjalanan hidupnya "
Sesaat tenanglah pikirannya. tetapi ketenangan itu hanya berlangsung beberapa detik saja. Karena segera pikirannya terlintas pula oleh bayangan Lu Bu-song. Adalah karena hendak menolong dirinya, maka dara itu sampai menyelundup masuk ke dalam istana Sin-bu-kiong. Jika dara itu tak muncul, mungkin saat ini ia sudah menjadi budak pengikut Sin-bu Te-kun atau mungkin sudah menjadi mayat!
Memang perangai dara itu agak kemanja-manjaan dan congkak. Tetapi betapapun ia telah menolong jiwanya. Telah mempertaruhkan jiwanya sendiri untuk melepaskannya dari belenggu perbudakan Sin-bu Te-kun. Adalah sudah menjadi kewajibannya untuk balas budi menolong si dara dari cengkeraman iblis-iblis Sin-bu-kiong.
Mengapa dara itu dibawa pergi kalau tidak akan dibunuh" Memikirkan hal itu kembali hati thian-leng tegang sekali.
tetapi pada lain saat ia teringat bahwa Bu-song adalah cucu kesayangan dari ketua partai Thiat-hiat-bun. Kakek berjenggot perak ketua partai Thiat-hiat-bun adalah seorang tokoh sakti. Mungkin tentu dapat menolong cucunya.
Sesaat cemas, sesaat terhibur. Pikiran Thian-leng teraduk-aduk oleh berbagai lamunan. Entah berapa lama ia berada dalam gelombang kecemasan yang pasang surut tak henti-henti melanda batinnya. Sekonyong-konyong ia dikejutkan oleh suatu suara yang mencurigakan. Suara itu terdengar lemah sekali hingga hampir tak tertangkap oleh telinga andaikata tak secara kebetulan Thian-leng dapat mendengarnya. Suara itu lemah dan sebentar-sebentar lenyap.
Cepat-cepat Thian-leng pusatkan seluruh perhatiannya. Ia memandang ke sekeliling penjara dengan seksama. Ah, dinding tembok itu terbuat dari batu yang kokoh dan licin. Tak tampak barang sedikitpun retakan ataupun liang. Tak mungkin suara orang dapat menembus ke dalam. ia mendongak memandang pada langit-langit ruangan, tak memungkinkan juga ditembus suara.
Thian-leng pejamkan mata. Diam-diam ia menertawakan dirinya yang sudah kacau. Paling-paling suara itu tentu berombaknya air busuk dalam kubangan. Teringat akan air, iapun menunduk memandang ke permukaan air.
Permukaan air tenang sekali, sedikitpun tidak beralun. Apalagi di dalam air yang sedemikian busuknya, tak mungkin terdapat mahluk hidup.
Tiba-tiba ia tersentak kaget lagi. Mau tak mau ia harus mempercayai pendengaran telinganya. Ya, terdengar pula suara lemah itu. Malah kini lebih dari yang tadi. Ia yakin tentu tak salah dengar. Jelas bahwa suara itu merupakan suara erang seruan seseorang. Ah, tak salah lagi !
Satu-satunya jalan yang dapat ditembusi ialah dari lubang-lubang kecil pada langit-langit ruang penjara. Maka kali ini ia hentikan pernapasan dan mendongak ke atas mendengarkan dengan penuh perhatian. Ah, benarlah. Suara lemah itu terdengar jelas"..
Sayup-sayup terdengar suara seorang tua yang parau, "Nak, apakah kau mendengar suaraku".?"
Girang Thian-leng tak terkira, segera ia menyahut. "Ya, mendengar. Siapa kau?" karena meluapnya rasa girang, Thian-lengpun menghamburkan suaranya dengan keras sehingga ruang penjara air itu seolah-olah terselubung oleh suara kumandangnya yang bergema lama.
Ketika suara Thian-leng sudah lenyap, terdengar pula suara parau itu, "Nak, jangan keras-keras, aku tak dapat mendengar dan lagi akan menarik perhatian penjaga!"
"Cianpwe, di manakah kau?" Thian-leng segera merobah suaranya seperlahan mungkin.
Orang tak dikenal itu menghela napas, "Aku berada di ruang penjara Si-lo ( Penjara maut), di sebelah penjara air?""
Penjara Si-lo?" ! Thian-leng berseru kaget, ?" Bilakah cianpwe dijebloskan mereka?"
Orang itu mengerang sejenak, ujarnya, "Tujuh belas tahun yang lalu?"?""
"Tujuh belas tahun yang lalu?" kembali Thian-leng terkejut, ?"siapakah nama locianpwe.. ?"
Kata-kata tujuh belas tahun itu memberi getaran keras pada perasaan Thian-leng. Ia mendapat firasat bahwa pada masa itu telah terjadi suatu peristiwa yang tak wajar dan peristiwa itu mempunyai sangkut-paut dengan dirinya.
Orang itu berhenti sejenak, kemudian katanya pula, "Nak, jangan banyak tanya dulu. Bagaimana keadaanmu sekarang?"
Thian-leng tertawa getir, "Jalan darahku tertutuk, kedua tanganku di kat dan aku dijebloskan dalam penjara air yang berdinding kokoh. Locianpwe, kiranya engkau tentu dapat membayangkan keadaanku itu!"
"Yang kutanyakan ialah lukamu!" cepat orang itu menyeletuk.
"Sekalipun menderita luka, tetapi aku telah mendapat peruntungan yang luar biasa dari seorang sakti. Tenaga dalamku telah digembleng sehingga luka yang kuderita ini tak menjadi soal."
"Dapatkah kau menguasai ilmu mengerahkan lwekang untuk membuka jalan darah yang tertutuk?" tanya orang itu pula.
Thian-leng tertegun, ujarnya, "Ini". ini aku belum pernah mencoba!"
"Sekarang kau boleh mencobanya!"
Masih Thian-leng meragu, serunya, "Locianpwe, sukakah kau memberitahukan namamu yang mulia?"
"Jangan banyak mulut!" orang itu membentak marah, " lekas cobalah!"
Thian-leng tak berani banyak bicara lagi. Ia anggap perkataan orang tak dikenal itu memang benar. Siapa tahu jika memang dengan pengerahan tenaga lwekang dapat membuka jalan darahnya yang tertutuk, bukankah itu suatu pertolongan yang besar" Segera ia mengerahkan semangat dan pusatkan seluruh perhatiannya. Setelah tenaga itu terpusat, segera ia salurkan ke arah jalan darahnya yang tertutuk. Tetapi secepat itu ia merasakan suatu penderitaan yang hebat. Tulang-tulangnya serasa ditusuk senjata tajam. Sakitnya bukan kepalang sehingga ia mengerang.
"Ah, aku tak dapat melakukan," rintihnya.
"Karena takut sakit?" orang itu mengejek.
Thian-leng tak dapat menyahut. Diam-diam ia malu dalam hati.
Tiba-tiba terdengar keluh orang itu, "Ah, mungkin aku salah menilai orang. Hm, kita sudahi saja pembicaraan sampai di sini!"
Bukan kepalang terkejutnya Thian-leng, serunya tersipu-sipu. "Locianpwe". Locianpwe. ?", tetapi betapapun ia meneriaki, tak terdengar suara sahutan. Rupanya orang itu benar-benar marah, tak mau lagi bicara padanya.
Terdorong oleh rasa malu dan gugup, ia segera menggertak gigi dan mengerahkan seluruh lwekangnya untuk membuka jalan darahnya yang tertutuk itu. Sekali". dua kali" tiga kali". ia tahan segala kesakitan, terus menggempurkan lwekangnya.
Sampai pada putaran yang ke sembilan kali, terdengarlah tulang-tulangnya berkerotokan dan jalan darahnya yang tertutuk itupun "terbuka!
Girang Thian-leng bukan kepalang! Tetapi saat itu ia merasa letih sekali. Tulang-tulangnya serasa lunglai, kepalanya mandi keringat, napas terengah-engah.
Sekonyong-konyong terdengar pula orang tak dikenal itu tertawa perlahan. "Bagaimana nak?"
"Aku berhasil melakukan?"" sahut Thian-leng terengah-engah.
"Ah, nyata kau tak mengecewakan harapanku!"
"Tetapi"."
"Tetapi bagaimana?"
"Karena terikat oleh kulit ular , sekalipun jalan darahku sudah terbuka, tetapi belum dapat memutuskan tali pengikat itu!"
Orang di dalam penjara air itu tertawa, "Tak perlu kuatir! Cobalah kau ulangi lagi jurus-jurus yang kau pelajari dari Sin-bu Te-kun itu!"
Kembali Thian-leng terkejut. Memang selama bertanding dengan Sin-bu Te-kun, karena Sin-bu Te-kun bergerak perlahan, maka dapatlah ia mempelajari jurus gerakannya yang luar biasa. Tetapi yang membuat pemuda itu tak habis heran, orang yang telah dijebloskan ke dalam penjara maut selama tujuh belas tahun, mengapa tahu kalau ia habis bertempur dengan Sin-bu Te-kun"
"Cianpwe, rupanya kau mengetahui segala apa, mengapa?""."
"Jangan banyak bicara ?" tiba-tiba orang itu menukas, "lekas turut perintahku ini!"
Thian-leng yang sudah mengenal akan perangai orang, terpaksa tak berani membantah. Segera ia ulangi menjalankan jurus-jurus dari permainan Sin-bu Te-kun. Makin lama makin terlelap ia dalam ilmu permainan yang luar biasa itu.
Entah berapa lama ia terbenam dalam permainan itu. Satu demi satu, dari jurus ke jurus, telah dimainkan sampai selesai. Setelah inti pelajaran itu dicamkan benar-benar, barulah ia berkata, " Locianpwe, telah kupelajari pelajaran itu dengan paham !"
Dengan suara menghibur, orang aneh itu berseru, " Bagus, sekarang kau boleh bertanya!"
Buru-buru Thian-leng menanyakan nama orang aneh itu.
"Nyo Sam-koan!" sahut orang itu serentak.
"Ha"." Mohon locianpwe mengatakan sekali lagi!"
Dengan tegas orang itu mengulangi lagi ,"Nyo" Sam".. Koan?""
Thian-leng merasakan jantungnya hampir melompat ke luar. Darahnya serasa membeku dan dengan suara lemah-lunglai ia berseru, "Kalau begitu, locianpwe ini adalah Sin-bu-kiong Te-it Ong-hui punya?""
"Benar, Ma Hong-ing memang semula adalah istriku!"
Makin terengah napas Thian-leng seketika. Serunya , "Pada tujuh belas tahun berselang, bukankah kau pernah mempunyai seorang putera" Mengapa kau sekarang dijebloskan dalam penjara maut ini?"
Nyo Sam-koan tertawa getir, "Nak, akan kuceritakan padamu dengan perlahan-lahan. Tetapi yang jelas, aku bukanlah ayahmu?"! Siapa ayahmu aku sendiri tak jelas".! Mungkin kau anaka pungut Ma Hong-ing atau mungkin anak orang lain yang dicuri" ?"
Dada Thian-leng berombak keras menahan gelombang perasaannya yang bergolak-golak. Namun ia tahankn diri tak mau menyambung bicara.
Kata Nyo Sam-koan pula, "Sekarang aku sudah berumur tujuh puluh lima tahun. Dahulu sejak kecil aku menjadi bujang dari keluarga Pok di Lulam. Keluarga Pok termasyhur sebagai tokoh silat yang dihormati orang. Aku disuruh melayani puteranya yang bernama Pendekar pedang bebas Pok Thiat-beng".."
"Pok Thiat-beng?"!" menjeritlah Thian-leng dengan terkejut. Bukankah Pok Thiat-beng itu orang yang hendak dicari wanita sakti Toan-jong-jin" Apakah hubungan mereka berdua" Dan apa sangkut pautnya dengan dirinya"
"Jangan keburu memutuskan omonganku dulu, nak. Dengarlah ceritaku lebih lanjut"." kata Nyo Sam-koan dengan suara lemah, "Pok kongcu itu seorang pemuda yang gagah perwira. Ia bercita-cita hendak menjelajahi dunia, maka diajaknyalah aku mengembara, mengunjungi tempat-tempat termasyhur"..
Peristiw itu terjadi pada delapan belas tahun yang lalu. Pada waktu itu, aku baru berumur enam puluh tahunan.
Karena selama menjadi bujang keluarga Pok aku juga diajari ilmu silat, mak tubuhku masih tampak segar kuat. Dan kala itu Pok kongcu baru berumur duapuluh tahunan. Karena tertarik dengan kemasyhuran alam daerah selatan, maka kami segera menuju ke selatan. Sebulan kemudian tibalah kami di daerah Ling-lam"." Nyo Sam-koan berhenti sejenak untuk mengatur napasnya.
"Lalu?" desak Thian-leng.
"Mungkin seharusnya Pok kongcu jangan pesiar ke Ling-lam. Karena hal itulah maka sampai menimbulkan bermacam kejadian yang berbelit-belit!"
"Memang Pok kongcu memiliki kepandaian silat yang hebat, sehingga dalam usia kurang dari dua puluh tahun saja dia sudah merupakan tokoh silat yang termasyhur di dunia persilatan Tiong-goan. Sebagai anak muda, tak lepas Pok kongcu dari rasa bangga. Julukan Siau-yau kiam-khek (Pendekar pedang bebas) itu dia sendirilah yang mengumumkan. Selama dalam pengembaraan itu, tak sedikit sahabat-sahabat persilatan yang coba-coba hendak menjajal kepandaian Pok kongcu. Tetapi rata-rata mereka hanya mampu melayani Pok kongcu sampai sepuluh jurus saja. Tak seorangpun dari tokoh persilatan yang tak mengagumi ilmu pedang Pok kongcu! Tetapi setiba di Liang-lam, terjadilah suatu peristiwa yang luar biasa. Pok kongcu telah ketemu batunya". ?
?"Apakah dia dikalahkan orang ?" Thian-leng tak dapat menahan diri lagi.
"Benar!" sahut Nyo Sam-koan. "Bahkan menderita kekalahan yang mengenaskan. Baru bertempur tiga jurus saja, pedangnya telah dimentalkan jauh, lengan kanannya terluka. Sekalipun lawan tak bermaksud melukainya sungguh-sungguh, namun hal itu dianggapnya suatu penghinaa yang hebat!"
Thian-leng dapat memahami. Memang seorang tokoh persilatan, menganggap nama itu jauh lebih berharga dari jiwa.
Apalagi seorang pemuda yang tinggi hati macam Pok Thian-beng. Tidak sampai tiga jurus sudah dikalahkan orang,benar-benar lebih baik mati saja.
"Siapa lawannya yang begitu lihai itu?" tanya Thian-leng.
"Thiat-hiat-bun!" sahut Nyo Sam-koan.
"Thiat-hiat-bun?" untuk kesekian kalinya Thian-leng berjingkrak kaget.
"Lawannya itu hanya seorang dara yang baru kira-kira berumur enam belas tahun. Puteri kesayangan dari Lu Liang-ong, ketua partai Thiat-hiat-bun sendiri!" kata Nyo Sam-koan lebih lanjut.
Hati Thian-leng bergelombang keras. Seketika teringatlah dia akan si dara Bu-song. Bu-song ialah cucu si Jenggot Perak Lu Liang-ong, ketua Thiat-hiat-bun. Kalau begitu bukankah yang mengalahkan Pok Thiat-beng itu ibu dari Bu-song"
Sesaat kemudian Nyo Sam-koan berkata pula, "Seteloah menderita kekalahan itu, Pok kongcu segera hendak membunuh diri. tetapi ah?"". rupanya masih panjang lelakonnya. Ternyata dara yang mengalahkan Pok kongcu itu malah jatuh cinta padanya".!"
"Apakah mereka lalu menikah?" seru Thian-leng.
"Ya," jawab Nyo Sam-koan, "tiga hari kemudian disaksikan oleh ketua Thiat-hiat-bun Lu Liang-ong, mereka terangkap menjadi suami isteri, bersumpah sehidup semati"..!"
Kembali pikiran Thian-leng melayang-layang. Wanita sakti Toan-jong-jin minta padanya supaya mencarikan jejak Pedang bebas Pok Thiat-beng. Dalam ucapan wanita itu seperti tersimpan urusan cinta. Tetapi si Patah hati itu kini sudah merupakan seorang nenek berumur tujuh-delapan puluh tahun. Rasanya tentu bukan puteri dari ketua Thiat-hiat-bun. Memikir sampai di situ, peninglah kepala Thian-leng"..
"Siapa nama gadis yang menikah dengan Pok Thian-beng itu?" tanyanya.
"Lu Giok-bun !" jawab Nyo Sam-koan.
Thian-leng hanya mendesis. Ia tetap merasa terbungkus dalam halimun kegelapan"
Dua gembong bertemu.
"Meskipun Pok kongcu sudah menikah dengan nona Lu, tetapi ia tak mau menetap di daerah Ling-lam. Setelah beberapa bulan kemudian ia pamit pada ayah mertuanya dan membawa isterinya pulang ke utara.
Nona Lu mempunyai seorang pelayan perempuan yang semestinya ditinggal di rumah untuk melayani Lu Liang-ong.
Tetapi bujang perempuan itu dengan sangat meminta pada nona Lu supaya diperbolehkan mengikutinya. Katanya ia ingin melayani nona majikannya selama-lamanya. Sekalipun terharu atas kesetiaan bujang itu, namun nona Lu tak meluluskan, karena mengingat kepentingan ayahnya nanti.
Di luar dugaan bujang itu menyatakn bahwa ia jatuh cinta padaku dan ingin menjadi isteriku".."
"Sungguh baik sekali!" seru Thian-leng.
"Baik sih baik, tetapi akhirnya menjadi buruk".."
"Apakah budak perempuan itu".."
"Ialah Ma Hong-ing yang menjadi Teit Ong-hui dari Sin-bu Te-kun sekarang!" ia menutup kata-katanya dengan helaan napas.
"Lo-cianpwe, lekas lanjutkan ceritamu!" Thian-leng tak sabar lagi.
"Baik, " kata Nyo Sam-koan, "atas permintaan yang sangat dari Ma Hong-ing, akhirnya nona Lu meluluskan Ma Hong-ing jadi dinikahkan dengan aku lalu diajak pulang ke rumah Pok kongcu. Tetapi sebelum sempat pulang ke Lu-lam, di tengah jalan telah timbul peristiwa"."
"Karena tujuan semula Pok kongcu hendak pesiar, maka iapun mengajak isterinya berbulan madu dahulu, pesiar ke berbagai tempat yang indah alamnya. Maka kurang lebih delapan bulan lamanya, barulah kami tiba di daerah Suchuan. Waktu itu nona Lu dan Ma Hong-ing masing-masing sudah mengancdung. Karena kuatir tak keburu mencapai rumah , maka Pok kongcu segera mengutus aku untuk memberi kabar dulu ke lu-lam. Pok kongcu dan isteri terpaksa tinggal di Su-chuan menunggu kelahiran"."
"Pergi pulang ke Lu-lam itu memakan waktu delapan bulan lebih. Ketika aku kembali ke Su-chuan, nona Lu dan Ma Hong-ing pun telah melahirkan anak. Nona Lu melahirkan seorang puteri dan Ma Hong-ing seorang lelaki"."
Nyo Sam-koan berhenti sejenak untuk mengatur napas. Tiba-tiba ia berseru, "Anak lelaki itu ialah Kau!"
Jantung Thian-leng berdebar keras, serunya, "Kalau begitu apakah kesemuanya ini benar" Ma Hong-ing adalah ibu kandungku dan kau..... adalah ayahku...."
Nyo Sam-koan tertawa getir, "Tidak, yang jelas aku bukanlah ayahmu!"
"Hai, bagaimana kau begitu yakin?" seru Thian-leng.
"Karena ". karena aku tak pernah meniduri Ma Hong-ing!"
"Hai.....! Bagaimana ia bisa hamil?"
"Ini........ ada dua kemungkinan. Pertama, dia pura-pura hamil. Pada saatnya melahirkan, dia diam-diam menculik bayi dari salah seorang penduduk yang tinggal di dekat desa situ....."
"Ah, jadi ........ aku ini anak curian...........?" Thian-leng mengeluh.
Nyo Sam-koan menghela napas, ujarnya pula, "Dan kemungkina kedua, Ma Hong-ing hamil sungguhan!"
"Dengan siapa?" seru Thian-leng.
"Dia berjinah dengan orang lain!"
Darah Thian-leng serasa membeku. Kalau benar begitu, ia seorang anak haram. Hai". tiba-tiba ia teringat akan tingkah laku Ma Hong-ing. Apakah ...... apakah dia berjinah dengan Ni Jin-hiong" Ah.... kalau begitu, Ni Jin-hiong itukah ayahnya..." Sungguh ngeri....!
Kesimpulan ini lebih banyak mendapat tempat dalam pikiran Thian-leng. Karena kalau tidak, perlu apa Ma Hong-ing pura-pura hamil lalu mencuri bayi orang" Kemungkinan pertama itu, rasanya lebih tidak masuk akal. Mungkin Ma Hong-ing takkan berbuat begitu!
Jika benar ia itu putera Ni Jin-hiong, ah.....! Tak tahu bagaimana perasaan Thian-leng saat itu. Yang nyata ia kepingin segera mati saat itu juga!
Kembali suara parau dari Nyo Sam-koan terdengar pula, "Nak, tak usah kau resah. Macan betina yang buas, tetap takkan memakan anaknya. Tetapi melihat tindakan Ma Hong-ing yang dengan berbagai tipu muslihat hendak membunuhmu, membuktikan bahwa kau bukanlah anak kandungnya.....!"
Thian-leng menghela napas, "Namun andaikata benar mereka itu ayah bundaku, akupun ...."
"Justru hal itulah yang harus kau selidiki sampai jelas!" tukas Nyo Sam-koan.
Thian-leng tertawa getir, "Lo-cianpwe, silakan melanjutkan lagi!"
Nyo Sam-koan menarik napas, ujarnya, "Pada saat aku kembali ke Su-chuan, terjadilah suatu peristiwa yang tak terduga-duga".." ia berhenti sejenak untuk menggali ingatan. Kemudian melanjutkan, " Saat itu tengah malam buta.
Tiba-tiba kudengar percekcokan mulut antara Pok kongcu dengan nona Lu. Baru pertama kali itu sejak menikah mereka cekcok. Yang pertama, tetapi juga yang terakhir!
Semula hanya dengan suara perlahan, tetapi makin lama makin keras dan nyolot. Ketika aku menyadari bahwa keduanya sudah sama-sama naik darah, segera aku bergegas keluar hendak meramaikan. Tetapi sudah terlambat.
Kedua suami isteri itu sudah bertempur!
Mereka sama-sama memiliki kepandaian sakti. Betapapun usahaku hendak melerai, namun tak berdaya juga. Pok kongcu dapat melukai lengan kiri nona Lu, tetapi nona Lu pun dapat menusuk dadanya. Sepasang suami isteri yang saling mencintai satu sama lain, pada saat itu telah berobah menjadi dua musuh yang mendendam. Akibatnya telah menimbulkan peristiwa-peristiwa yang menyedihkan sekali"..
Akhirnya Pok kongcu marah dan tinggalkan isterinya. Dan nona Lu pun membawa puterinya itu pergi. Sepasang burung merpati, kini saling terbang tercerai-berai...."
"Urusan apakah yang menyebabkan mereka sampai terpecah-belah begitu macam?" tanya Thian-leng.
Kali ini Nyo Sam-koan menghela napas panjang, ujarnya, " Semula aku sendiripun tak tahu persoalannya. Tetapi akhirnya ku ketahui juga. Kiranya wanita busuk Ma Hong-ing itulah yang menjadi gara-garanya. Dia telah mengatur siasat mengadu domba?"."
"Bagaimana caranya mengadu domba?"
"Di hadapan Pok kongcu ia merangkai cerita bahwa sewaktu masih gadis di Liong-lam, nona Lu sudah mempunyai kekasih. Juga sebaliknya di depan nona Lu, Ma hOng-ing menggosok-gosok bahwa Pok kongcu itu sebenarnya sudah mempunyai isteri di rumah!"
"Masakan kedua suami isteri itu begitu mudah saja memercayai cerita itu?" seru Thian-leng.
"Ah, Pok kongcu dan nona Lu sama-sama masih muda. Darah mereka mudah meluap. Apalagi karena rasa cintanya, mereka mudah dihinggapi rasa cemburu. Pada saat masing-masing menganggap bahwa orang yang dicintainya itu ternyata sudah mempunyai kekasih, meletuslah perang mulut yang berakhir dengan pecahnya istana kasih yang mereka bentuk selama itu. Perempuan busuk Ma Hong-ing memang lihay. Selain cerita, iapun dapat menunjukkan beberapa bukti untuk memperkuat ceritanya itu. Demikianlah akhirnya kedua suami isteri itu berpisah?""
Thian-leng termenung mendengar kisah-kasih yang tragis itu. Tiba-tiba ia teringat pada si wanita Patah Hati.
Mengapa wanita aneh itu memakai nama Toan-jong-jin" Bukan tidak ada sebabnya ia menggunakan nama itu! Dan kalau menilik gerak-geriknya, kecuali hanya umurnya yang berbeda, wanita itu menyerupai benar dengan Lu Giok-bun. Hal ini........
"Begitu mengetahui persoalannya, " tiba-tiba lamunan Thian-leng terbuyar oleh kata-kata Nyo Sam-koan pula,
"segera kususul Pok kongcu. Kepadanya kujelaskan bahwa sebenarnya nona Lu tak bersalah, tetapi......" Nyo Sam-koan tertawa rawan dan tak melanjutkan kata-katanya.
Thian-leng dapat meraba apa yang telah terjadi. Namun dicobanya berkata juga, "Bukankah akhirnya kau kena diringkus Ma Hong-ing dan dijebloskan ke dalam Sin-bu-kiong sini?""
"Benar!" sahut Nyo Sam-koan, "ternyata orang-orang Sin-bu-kiong sudah memasang pengaruh sampai di Suchuan.
Mereka diam-diam sudah mengepung tempat tinggal Pok kongcu?"." ia berhenti sejenak, katanya pula, "tetapi sampai sekarang ini aku belum jelas kapankah Ma Hong-ing itu mulai mengadakan hubungan rahasia dengan Sin-bu Te-kun dan akhirnya menjadi Te-it Ong-hui?"
Cerita itu telah memberi banyak pengetahuan pada Thian-leng. Tetapi juga lebih mempertebal kabut rahasia yang menyelimuti asal-usul dirinya.
"Lo cianpwe, apakah selama tujuh belas tahun ini kau dijebloskan dalam penjara air ini?" tanyanya.
"Ya," Nyo Sam-koan mengiyakan, "mereka telah melumpuhkan kepandaianku. Kedua kakiku dirantai sehingga setapakpun aku tak dapat keluar dari penjara air ini. Selama tujuh belas tahun aku tak pernah melihat sinar matahari lagi!"
"Tetapi mengapa lo-cianpwe tahu semua kejadian dalam istana Sin-bu-kiong ini?" Mengapa lo-cianpwe tahu aku...."
Nyo Sam-koan menukas tertawa, "Memang sudah selayaknya kau heran! Dahulu aku pernah menerima ajaran ilmu gaib dari nona Lu yang disebut ilmu Melihat-langit-mendengarkan-bumi?"
"Melihat langit mendengarkan bumi?" Thian-leng menegas.
"Apabila ilmu itu diyakinkan sampai sempurna, maka apa yang terjadi di daerah seluas sepuluh li, apakah itu angin meniup atau rumput bergoyang, kita dapat mendengarkan dengan jelas!"
"Tetapi bukankah kepandaian lo-cianpwe sudah dilumpuhkan" Mengapa bisa meyakinkan ilmu itu?"
"Ilmi itu tak memerlukan suatu tenaga dalam, melainkan hanya konsentrasi hati, pikiran dan indra. Selama tujuh belas tahun disekap di sini, tak henti-hentinya kulatih ilmu itu.
Baru setahun yang lalu aku berhasil mencapai kesempurnaan. Tetapi penangkapan pendengarankupun hanya mencapai seluas satu li saja. Maka apa yang terjadi dalam istana ini tentu tak terluput dari pendengaranku. Di luar istana, aku masih belum mampu menangkapnya!"
Kata Thian-leng dengan tegas, "Apabila aku berhasil lolos dari penjara air sini, aku tentu berdaya menolong lo cianpwe. Tetapi bagaimana cara memecahkan penjara Si-lo itu" Apakah di situ tak dipasangi alat rahasia?"
"Jangan!" sahut Nyo Sam-koan, "jika kau berhasil lolos, harus segera tinggalkan Sin-bu-kiong untuk menyiapkan rencana menghancurkan Sin-bu Te-kun. Yang perlu kau ketahui, penjara Si-lo ini adalah pos terpenting dalam istana Sin-bu-kiong. Bukan hanya penuh dengan alat rahasia, tapi juga dijaga keras oleh sejumlah besar jago-jago tangguh.
Jangan sekali-kali gegabah ke tempat berbahaya ini....!"
Nyo Sam-koan berhenti untuk menghela napas, ujarnya pula, "Apalagi selama disiksa tujuh belas tahun ini, kini diriku hanya tinggal serangka tulang. Sekali melihat sinar matahari, mungkin aku tak tahan. Bisa buta atau mati seketika!"
Thian-leng hendak menyambung, tetapi Nyo Sam-koan meneruskan kata-katanya, "Eh, ada orang datang! Mungkin ada bintang penolong datang. Ingat-kata-kataku tadi. Segera tinggalkan tempat ini dan teruskan usahamu untuk menumpas Sin-bu Te-kun. Setelah itu barulah kau perlahan-lahan menyelidiki asal-usulmu..!"
Serentak Thian-leng meminta agar Nyo Sam-koan menceritakan bagaimana ia dapat dijebloskan ke dalam penjara Si-lo, tetapi Nyo Sam-koan sudah menukasnya.
"Orang yang datang itu sudah tiba di luar penjara air, sudahlah, jangan banyak cakap lagi!" serunya.
Kata-kata Nyo Sam-koan terputus oleh bunyi berderak-derak dari pintu batu yang terpentang.
Jilid 9 . Thian-leng pura-pura meramkan mata, napas terengah-engah macam orang yang sudah lemas-lunglai. tetapi diam-diam ia siap sedia untuk menghadapi segala kemungkinan!
Begitu pintu batu terbuka, maka empat orang penjaga berpakaian ungu segera menerobos masuk. Dua diantaranya segera terjun ke dalam air dan melepaskan tali pengikat kedua tangan Thian-leng. Kemudian tanpa berkata apa-apa, kedua penjaga itu segera memapah Thian-leng keluar.
Thian-leng masih pura-pura seperti orang yang tertutuk jalan darahnya. Ia menggelendot pada kedua penjaga itu.
Tetapi begitu tiba di depan kedua penjaga yang lain, tiba-tiba ia melepaskan dua buah pukulan. Karena jaraknya teramat dekat, apalagi tak mengira sama sekali, maka kedua penjaga itupun tak sempat menghindar lagi. Kedua penjaga itupun bagaikan layang-layang yang putus talinya mencelat keluar. Sebelum kedua penjaga itu sempat mengerang, kepala mereka terbentur pada tembok. Benak mereka berhamburan keluar karena dinding kepalanya hancur...... Dan yang lebih menyeramkan lagi, pukulan Lui-hwe-ciang yang yang dilepaskan Thain-leng itu telah membakar hangus tubuh kedua korbannya. Serentak terhamburlah bau daging terbakar yang menusuk hidung!
Kedua pengawal yang menyeret Thian-leng tadi terperanjat sekali. Tetapi cepat sekali Thian-leng sudah mencabut pedangnya. Sebelum kedua penjaga itu sempat menyerang, tahu-tahu tubuh mereka sudah tertebas. Dalam sekejap mata saja, keempat penjaga itupun sudah menjadi setan penghuni penjara air!
Setelah membereskan keempat penjaga, Thian-leng segera hendak loncat keluar. Tetapi sekonyong-konyong terdengar bentakan keras. Dari sebelah kanan dan kiri pintu batu, muncul ah dua penjaga lagi yang serentak menerkamnya. Tetapi pada saat itu Thian-leng sudah mendapat hati. Ia tak mau menghindar, sebaliknya malah membolang-balingkan pedangnya ke kanan dan ke kiri. Kedua penjaga itu menggembor keras, namun mereka terpaksa loncat mundur seraya merogoh ke dalam bajunya. Rupanya mereka mengambil senjata rahasia.
Thian-leng tak gentar. Ia serang kedua lawannya itu.
"Tahan!" tiba-tiba sebelum Thian-leng menerjang, terdengar sebuah bentakan dahsyat. Nadanya berat penuh dengan hamburan tenaga dalam yang hebat.
Kedua penjaga itupun mundur. Juga Thian-leng tertegun dan membatalkan serangannya. Ketika mengawasi siapa pendatang baru itu, kejutnya bukan kepalang.
Ternyata di sebelah luar dari penjara air, tampak muncul serombongan orang yang dikepalai oleh Sin-bu Te-kun sendiri!
Yang membuat Thian-leng terkejut bukanlah kepala dari Sin-bu-kiong itu, melainkan munculnya seorang tua berjenggot putih yang berada di samping Sin-bu Te-kun. Itulah Lu Ling-ong , ketua Thiat-hiat-bun yang bergelar si Jenggot Perak.
Tersipu-sipu Thian-leng memberi horamat kepada jago tua itu, " Locianpwe?"."
Jenggot Perak Lu Liang-ong tertawa gelak-gelak, "Ah, tak usah banyak peradatan! Mana cucu perempuanku?"
"Ia bersama diriku telah dijebloskan ke dalam penjara air, tetapi diambil pergi oleh dua penjaga lagi, entah di mana?"".." sahut Thian-leng.
"Bagaimana, apakah kau tetap menyangkal?" segera Jenggot Perak Lu Liang-ong menegur Sin-bu Te-kun.
Sin-bu Te-kun tertawa sinis, "Sejak semula memang tak kusangkal hal itu. Cucumu telah mendapat pelayanan istimewa dari istana kami. Makan dan oakaian tak kekurangan, harap Lu lo-hiapsu jangan kuatir!"
Lu Liang-ong mendengus, "Hm, jika tak salah anak itu tentu sudah dimasukkan ke dalam penjara Si-lo, kaki tangannya dirantai. Apakah itu yang kausebut sebagai pelayanan istimewa?"
Sin-bu Te-kun tampak agak terkejut, namun segera menghamburkan tawa sinis. "Memang begitu. Tetapi bagaimana lo-hiapsu tahu?"
Lu Liang-ong tertawa dingin, "Salahmu sendiri, mengapa kurang luas pengalaman. Apakah kau tak pernah mendengar tentang ilmu "melihat ke langit-mendengar bumi" dari Thiat-hiat-bun.....?"
Jago tua itu sejenak keliarkan matanya, lalu berkata pula, "Terus terang, segala sesuatu yang terjadi dalam istana sekecil ini, tentu tak terlepas dari pengetahuanku!"
Sin-bu Te-kun tertawa lepas, "Di dalam kitab Im-hu-po-coan juga terdapat semacam ilmu begitu, hanya namanya yang berlainan, ialah Liok-ji-thong-leng ( enam telinga menembus alam ). Rasanya tak lebih rendah dari ilmu Lu lohiapsu...."
Ketua Thia-hiat-bun tertawa misterius, "Berapa jauhnya ilmu Liok-ji-thong-leng itu dapat menangkap suara?"
"Seluas tiga li dapat membedakan langkah kaki orang!" jawab Sin-bu Te-kun dengan bangga.
Lu Liang-ong tertawa tergelak-gelak. Lama sekali belum berhenti, Sin-bu Te-kun memgerutkan alis.
"Mengapa" Apakah lo-hiapsu terserang penyakit?"
Ketua Thiat-hiat-bun terpaksa berhenti tertawa, ujarnya, "Aku tak sakit melainkan menertawakan pengalamanmu yang sedemikian dangkal itu. Hanya dapat menangkap suara sejauh tiga li saja mengapa sudah dibanggakan?"
Merah padam muka Sin-bu Te-kun atas hinaan itu. Rasa malu merobah menjadi gusar, "Coba katakan sampai di mana kelihayan ilmu "Melihat langit mendengar bumi" mu itu?"
"Seluas lima belas li aku dapat mendengarkan angin berhembus, rumput bergoyang dan serangga beringsut!" sahut ketua Thiat-hiat-bun.
Seketika berobahlah wajah Sin-bu Te-kun, namun ia masih bersikap tenang. Serunya dengan tertawa dingin, "Kata-kata besar itu biasanya hanya untuk menggertak orang saja!"
Tiba-tiba Jenggot Perak Lu Liang-ong picingkan matanya sehingga menjadi selarik garis kecil. Ia memandang dinding penjara air lalu berkata dengan perlahan, "Saat ini aku dapat melihat apa yang terjadi di sekeliling delapan li?"
"Apa yang kau lihat?" tanya Sin-bu Te-kun dengan nada mengejek.
"Ada dua anak buahmu yang saat ini tengah bertempur dengan orang sakti. Yang seorang terbunuh dan yang seorang lari?""
"Omong kosong!" teriak Sin-bu Te-kun.
Jenggot Perak Lu Liang-ong tertawa, "Omong kosong atau benar, nanti dapat dibuktikan! Untung masih ada seorang yang hidup. Asal kakinya panjang (bisa lari cepat), tentu dia bisa selamat kembali ke istana Sin-bu-kiong!"
Muka Sin-bu Te-kun sebentar pucat sebentar merah. Mulutnya tak dapat berkata apa-apa. Thian-leng pun hanya tercengang-cengang saja mendengarkan percakapan itu.
Ketua Thiat-hiat-bun hanya ganda tertawa. Sebentar-bentar mengedipkan mata ke arah Thian-leng. Sikapnya lucu sekali. Karena sampai sekian lama Sin-bu Te-kun tak bersuara, akhirnya ketua thiat-hiat-bun itu tertawa, "Dari ribuan li jauhnya aku sengaja perlukan datang mengunjungi Sin-bu-kiong. Entah apakah saudara bermaksud hendak bersahabat atau bermusuhan dengan pihakku?"
Sin-bu Te-kun menjawab dengan nada dingin, "Bersahabat bagaimana" Bermusuhan bagaimana?"
"Jika menghendaki permusuhan, partai Thiat-hiat-bun pun tak takut kepada istana Sin-bu-kiong! Anggota-anggota Thiat-hiat-bun saat ini sedang berbondong-bondong kemari. Sekali kau sudah memaklumkan permusuhan, segera orang-orangku siap bertempur sampai ludas"."
"Kalau Sin-bu-kiong sudah berani memikul tanggung jawab mempersatukan dunia persilatan, sudah tentu tak gentar terhadap sebuah gerombolan di daerah perbatasan yang menyebut dirinya sebagai partai Thiat-hiat-bun"." Sin-bu Te-kun berhenti sejenak, katanya pula, "Hanya saja, telah kuperhitungkan bahwa Lu lo-hiapsu tak nanti berbuat demikian. Karena cucu kesayanganmu itu saat ini berada dalam tanganku. Jika kau sungguh mengandung masksud bermusuhan, lebih dahulu cucumu yang tersayang itu"."
Sin-bu Te-kun tertawa meloroh. Ia tak menyelesaikan perkataannya, karena sudah cukup jelas. Si dara Bu-song akan dijadikan barang tanggungan untuk menggertak Jenggot Perak Lu Liang-ong.
Di luar dugaan, ketua Thiat-hiat-bun yang berjenggot putih mengilap itu tertawa lebar, serunya, "Aku tak ambil pusing dengan cucuku itu. Anak itu memang besar kepala dan manja, biarlah ada orang yang memebrinya hajaran.
Andaikata sampai dibunuh orangpun malah meringankan bebanku dari rongrongannya. Bunuhlah, aku malah berterima kasih padamu ! "
Sin-bu Te-kun terkejut mendengar ucapan jago tua itu. Serunya sesaat kemudian, " Kalau bersahabat lalu bagaimana
?" Sambil mengusap-usap jenggotnya yang putih mengilat, Lu Liang-ong tertawa, " Kalau bersahabat, baiklah kau adakan perjamuan untukku dan anak ini. Aku telah memutuskan untuk mengadakan sebuah Eng-hiong-tay-hwe (
pertemuan besar orang gagah ) di gunung Tiam-jong-san. Akan kuundang seluruh sahabat persilatan untuk hadir.
Kemudian pada saat itu tentu kubantu usahamu untuk merebut kedudukan sebagai Bu-lim-beng-cu ( pemimpin kaum persilatan ). Setelah selesai barulah aku pulang ke King-lam. Bukankah hal itu sesuai dengan kehendakmu " "
"Tiam-jong-san?" Sin-bu Te-kun menegas.
"Ketua partai Tiam-jong-pay adalah sahabat lamaku. Karena aku tak punya banyak kenalan di tionggoan, maka terpaksa aku hendak pinjam tempatnya di gunung Tiam-jong-san ".ini?"mengapa tak leluasa?"
Sin-bu Te-kun tertawa sinis, "Sekalipun kurang leluasa, tetapi mengapa aku takut" Jika Lo-hiapsu bermaksud sungguh-sungguh hendak mengadakan pertemuan besar itu, sudah tentu aku akan hadir. Entah kapankah kiranya pertemuan itu akan diadakan?"
"Tahun depan tanggal lima belas bulan satu."
"Pertengahan bulan satu?" gumam Sin-bu Te-kun, "mengapa harus pada tanggal itu?"
"Mengapa tak boleh pada tanggal itu " ?balas Lu Liang-ong tertawa.
Rupanya Sin-bu Te-kun merasa kelepasan omong. Buru-buru ia batuk-batuk dan berkata. "Bulan satu tanggal lima belas adalah hari dari sembilan partai besar mengundang Hun-tiong Sin-mo untuk mengadu kepandaian di puncak Sin-li-hong gunung Busan. Pada saat itu semua tokoh persilatan sama berkumpul di Jwan-tang. Kemungkinan besar tentu tak ada yang memenuhi undangan ke Tiam-jong-san!"
Ketua Thiat-hiat-bun tertawa lebar. "Tak usah saudara meresahkan hal itu. Ke sembilan partai besar itu pasti akan merobah tanggal undangannya kepada Hun-tiong Sin-mo!"
"Kenapa?" Sin-bu Te-kun tertegun.
Jenggot Perak Lu Liang-ong tertawa, "Karena Hun-tiong Sin-mo sudah menerima undanganku!"
Kembali Sin-bu Te-kun tersentak kaget, serunya, "Bagaimana dengan ke sembilan partai besar?"
"Bagaimana kalau kuserahkan kepada saudara untuk mengundang mereka?" Lu Liang-ong tertawa.
Lagi-lagi wajah Sin-bu Te-kun berobah, ujarnya, "Selama ini Sin-bu-kiong tak mempunyai hubungan dengan ke sembilan partai besar. Msing-masing menuntut jalannya sendiri-sendiri. Permintaan lo-hiapsu ini, aku?""
"Ah janganlah menolak, "Lu Liang-ong tertawa, "tentang hubungan Sin-bu-kiong dengan ke sembilan partai besar....
tak perlu disinggung-singgung......"
Dan belum lagi Sin-bu Te-kun menyahut, ketua Thia-hiat-bun itu sudah menyeletuk pula, " Eh, bagaimana sikap kita ini" Bermusuhan atau bersahabat?"
Sin-bu Te-kun mendengus dengan geram. Tiba-tiba ia berputar tubuh dan memberi perintah kepada anak buahnya supaya menyiapkan perjamuan. Kemudian tanpa menghiraukan Lu Liang-ong dan Thian-leng serta keempat penjaga yang terbunuh mati dalam penjara air, ia segera melangkah pergi......
"Buyung, kau tentu lapar, mari kita suruh dia menjamu dulu!" Jenggot Perak Lu Liang-ong menarik tangan Thianleng.
oooo0000ooooo Mengadu Kesaktian
Ketika menghadapi meja perjamuan yang tumpah ruah penuh dengan segala macam hidangan lezat, Jenggot perak Lu Liang-ong segera gunakan ilmu menyusup suara membisiki Thian-leng, "Buyung, tak usah sungkan. Hidangan tak ada racunnya, makanlah sepuasnya. Habis makan baru kita pergi".."
Kala itu mereka berada dalam sebuah ruangan yang indah hiasannya, menghadapi meja yang penuh hidangan dan dilayani oleh berpuluh bujang wanita. Lu Liang-ong bersikap sebebas-bebasnya. Tanpa dipersilakan oleh Sin-bu Tekun lagi, segera ia menyambar cawan arak, terus diteguk habis.
Melihat sikap jago tua itu, diam-diam Thian-leng gelisah. Iapun gunakan ilmu menyusup suara, "Locianpwe, cucumu nona Lu?"."
"Hai, apakah kalian berdua"..?" Lu Liang-ong tertawa mengikik lalu meneguk cawannya lagi.
Melihat kedua tamunya saling menggunakan ilmu menyusup suara untuk bercakap-cakap, timbul ah kecurigaan Sinbu Te-kun. Namun ia pura-pura tak melihatnya. Seolah-olah tak terjadi suatu apapun, ia tetap perintahkan pelayan-pelayan untuk menuangkan arak dan menghidangkan makanan yang lezat-lezat.
"Nona Lu masih berada dalam penjara Si-lo, bagaimana kita bisa tinggalkan tempat ini?" kembali Thian-leng bertanya dengan ilmu menyusup suara.
"Budak itu memang kelewat liar, biarlah ia rasakan sedikit penderitaan!" Lu Liang-ong tetap acuh tak acuh.
Panji Tengkorak Darah Ko Lo Hiat Ki Karya S D Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Jawaban itu membuat Thian-leng heran sekali. Sikap manja dari dara itu tenttulah karena jago tua itu kelewat menyayangnya. Mengapa tiba-tiba sekarang tak dipedulikan"
Tatkala ia hendak membuka mulutnya lagi, tiba-tiba seorang penjaga istana masuk menghadap Sin-bu te-kun.
Dengan tergagap-gagap orang itu memberi hormat kepada pemimpinnya.
"Ada urusan apa?" bentak Sin-bu Te-kun.
Penjaga tua waju ungu itu memandang sejenak kepada Thian-leng dan Lu Liang-ong, tampaknya ia kurang leluasa bicara.
Melihat itu Lu Ling-ong mengulum tawa. Ia meneruskan makan dan minum seenaknya.
"Tak apa-apa, katakanlah!" kembali Sin-bu Te-kun berseru.
Mendengar perintah barulah si baju ungu berani berkata dengan suara perlahan, "Dua orang murid dari paseban Hian-tian telah bertempur dengan musuh di luar istana, satu meninggal satu terluka?"."
Serentak bangkitlah Sin-bu Te-kun dari tempat duduknya, "Di mana terjadinya peristiwa itu?" serunya dengan gusar.
"kira-kira tiga belas li jauhnya?""
Tiba-tiba Lu Liang-ong menyeletuk, "Berita yang kau bawa itu bukan hal yang baru! Tadi akupun sudah mengatakan kepada Te-kun kalian!"
Wajah Sin-bu Te-kun seperti direbus, serunya nyaring," Siapakah orang yang berani mencabut kumis harimau itu?"
?"?"?""..Tiam-jong-pay?"." sahut pengawal baju ungu dengan tergagap.
"Tiam-jong-pay"!" Sin-bu te-kun berseru tertahan. Kemudian ia berpaling kepada Lu Liang-ong, "Bukankah tadi Lu lohiapsu mengatakan bahwa nanti bulan satu tanggal lima belas akan mengadakan rapat besar kaum gagah di gunung Tiam-jong-san" Mengapa sekarang mendadak orang Tiam-jong-pay berani mengganggu istanaku ini".?"
Lu Liang-ong tertawa, "Apakah kau menuduh aku hendak mengadu domba?"
"Memang sukar untuk dikata." sahut Sin-bu Te-kun, "namun sekali Sin-bu-kiong sudah berani mencita-citakan menguasai dunia persilatan, sudah tentu tak takut pada siapa saja"."
Lu Liang-ong hanya tertawa hambar. Dia tak mau menyahut tetapi gunakan ilmu menyusup suara kepada Thian-leng,
"Buyung, sudahlah, jangan pikirkan apa-apa. Makanlah sekenyangmu, habis itu kita pergi!"
Memang Thian-leng merasa lapar. Iapun segera menurut perintah jago tua itu.
Masih penjaga baju ungu itu berkata dengan terbata-bata, "Karena hal ini.... menyangkut ke sembilan partai, maka hamba mohon Te-kun sudi memberi petunjuk..."
Sin-bu Te-kun mendengus, ujarnya sambil mengerutkan dahi, "Segera lepaskan burung merpati supaya membawa surat kepada ketua Tiam-jong-pay Poh-ih-siau-su Li Cu-liong agar dalam waktu tiga hari mengantarkan anak buahnya yang bersalah itu kemari menerima hukuman. Kalau tidak, akan kukerahkan anak buah Sin-bu-kiong untuk meratakan markas Tiam-jong-pay!"
Serta merta pengawal baju ungu itu mengiyakan dan minta diri. Pada saat itu Jenggot Perak Lu Liang-ong pun sudah kenyang melalap hidangan. Sambil mengusap-usap mulut, ia berkata, "Jangan lupa bahwa aku sudah meminjam tempat Tiam-jong-san untuk mengadakan pertemuan besar. Takkan kubiarkan tempat itu dirusak orang. Jika saudara sungguh-sungguh...."
"Kalau begitu Lu lo-hiapsu hendak mewakili pihak Tiam-jong-pay untuk mempertanggung jawabkan peristiwa itu?"
tukas Sin-bu Te-kun.
"Maksudku," kata Lu Liang-ong, "kalau hendak membikin perhitungan, baiklah ditangguhkan sampai pertemuan besar itu selesai diadakan."
"Jika aku tak setuju?"
"Sekali partai Thia-hiat-bun masuk ke daerah iong-goan, tentu takkan membiarkan namanya jatuh! Dimulai dari aku si orang tua, seluruh anggota Thiat-hiat-bun menyatakan berdiri di belakang Tiam-jong-pay!"
Mata Sin-bu Te-kun meliar buas, serunya, "Jangan lupa bahwa hidup matinya cucumu itu masih berada dalam tanganku!"
Jenggot perak Lu Liang-ong tertawa meloroh, "Telah kukatakan tadi, membunuh budak perempuan itu berarti mengurangi bebanku. Silakan bunuh saja....................." ketua Thai-hiat-bun itu berpaling kepada Thian-leng, ujarnya, "Buyung, apa sudah kenyang" Mari kita kita pergi!"
Mimik Sin-bu Te-kun berobah gelap, serunya, "Kuhormati pribadi Lu lo-hiapsu, tetapi hal itu bukan berarti aku takut padamu atau gentar terhadap partai Thiat-hiat-bun....."
"Ah, kau keliwat merendah!" Lu Liang-ong tertawa sambil mengurut jenggot peraknya yang putih mengkilap. Ia bangkit hendak angkat kaki. Thian-leng pun mengikuti tindakan jago tua itu. Ia berdiri tetapi diam-diam salurkan tenaga dalam untuk berjaga-jaga.
Wajah Sin-bu Te-kun makin merah, bentaknya dengan bengis, "Tua bangka Lu, jika dalam waktu tiga hari Tiam-jong-pay tak menyerahkan orangnya, bukan saja cucu perempuanmu akan kubunuh, gunung Tiam-jong-san pun akan kubumi-hanguskan!"
Enak saja ketua Thiat-hiat-bun itu menyahut, "Akan kusampaikan ucapanmu itu kepada Tiam-jong-pay. Mau bersikap musuh atau sahabat, terserah saja padamu. Atau menyelesaikan dulu pertentangan antara Sin-bu-kiong dengan Tiam-jong-pay, kemudian baru mengadakan pertemuan besar tokoh-tokoh persilatan pun baik saja...... Atas kerepotanmu menjamu hidangan tadi, nanti Tiam-jong-san tetntu akan membalasnya, nah, selamat tinggal!"
Habis berkata jago tua itupun segera melangkah pergi.
"Nanti dulu!" tiba-tiba Sin-bu Te-kun menghadang.
"Apa " Apakah sekarang mau menantang berkelahi ?" tegur Lu Liang-ong dengan nada berat.
Sin-bu Te-kun tertawa sinis, "Aku bukanlah orang yang tak menghormati peraturan, tetapi?"
Ia menunjuk pada Thian-leng, "Anak muda itu telah mengucap sumpah, akan bertempur melawan aku sampai seratus jurus. Sekarang masih kurang sepuluh jurus yang belum diselesaikan. Tambahan pula, tindakannya membunuh ke empat anak buahku tadipun memerlukan ia harus tinggal di sini dulu ! "
Mata Jenggot perak Lu Liang-ong berputar sebentar, lalu katanya, "Selain paham dalam ilmu "melihat-langit-mendengar-bumi", aku si orang tua ini juga mempunyai semacam kesaktian. Apakah kau ingin mengenalnya " "
Sin-bu Te-kun terbeliak mendengar jawaban orang yang menyimpang dari pertanyaan tadi, serunya , "Masakah kau hendak mengunjuk kepandaian di hadapanku " "
Jenggot perak Lu Liang-ong tertawa gelak-gelak, "Benar, aku si orang tua memang bermaksud demikian?" " ia mengedipkan mata, "Hanya pertunjukan itu memerlukan lapangan yang luas ! "
Sampai berapa jauh kesaktian jago Thiat-hiat-bun itu, ingin juga Sin-bu Te-kun untuk menjajakinya. Setelah merenung sejenak, berkatalah ia, "Halaman di ruang muka luasnya duapuluhan tombak, bagaimana kalau kau berikan pelajaran padaku di situ saja " "
Lu Liang-ong melirik ke arah ruang dalam, ujarnya, " Dua puluh tombak cukuplah". " ia tarik tangan Thian-leng,
"Untuk mempertunjukkan ilmu gaib itu, harus ada seorang pembantu. Tolong kau bantu!"
Terpaksa Thian-leng mengiyakan. Sin-bu Te-kun makin heran. Segera ia ayunkan langkah menuju keluar halaman.
Sekeliling halaman penuh dengan anak buah Sin-bu-kiong yang siap sedia dengan senjatanya. Jelas bahwa sebelumnya memang Sin-bu Te-kun sudah mempersiapkan penjagaan yang kuat.
Setelah tiba di tengah halaman, dengan masih memimpin tangan Thian-leng, berserulah Jenggot perak Lu Liang-ong dengan nyaring, "Aku si orang tua hendak mempertunjukkan sebuah ilmu permainan yang cukup memesonakan.
Nanti semua serangga yang berada seluas sepuluh tombak tentu mati. Maka kuharap kalian menyingkir agak jauh sedikit!"
Sin-bu Tekun ganda tersenyum, tetapi diam-diam hatinya kebat-kebit. Segera ia memberi perintah supaya anak buahnya mundur sedikit. Merekapun menyingkir sampai batas sepuluh tombak. Dengan penuh perhatian ia mengikuti apa yang akan terjadi.
Ketua Thiat-hiat-bun tertawa riang, serunya, "Apa yang kupertunjukkan disebut Sin-liong-sam-sian ( naga sakti tiga kali muncul ), suatu ilmu meringankan tubuh yang istimewa?" Tiba-tiba ia menggunakan ilmu menyusup suara kepada Thian-leng, "Perhatikanlah pohon besar yang berada di sebelah selatan tiga puluh tombak dari sini itu! Itulah tempat pertama munculnya Sin-liong sam-sian?"
Thian-leng sudah mempunyai rabaan, ia menyahut dengan ilmu menyusup suara juga, "Tetapi kepandaianku masih rendah, dikuatirkan tak dapat mengikuti lo-cianpwe?"
Tiba-tiba Sin-bu Te-kun berseru dengan agak marah, "Bagaimanakah kehebatannya ilmu meringankan tubuh itu! Lu lo-hiapsu, apakah kau hendak menggunakan kesempatan?"
Jenggot perak Lu Liang-ong tidak memperdulikan kata-kata Sin-bu Te-kun. Segera ia menarik Thian-leng seraya membentaknya, "Naiklah!"
Thian-leng sudah dapat menagkap maksud Lu Liang-ong. Maka diam-diam ia sudah kerahkan seluruh tenaganya.
Begitu ditarik segera ia enjot tubuhnya ke udara. Ditambah dengan tarikan Lu Liang-ong tadi, maka meluncurlah tubuh keduanya bagai meteor yang melesat di udara. Tepat mereka hinggap di puncak pohon yang berada tiga puluh tombak jauhnya seperti yang ditunjuk si Jenggot perak tadi.
Bukan kepalang marahnya Sin-bu te-kun mengetahui dirinya ditipu mentah-menatah. Segera ia menggerung keras dan hendak enjot tubuhnya mengejar. Tetapi secepat itu terdengarlah Lu Liang-ong membentaknya, "Awas, panah Hong-thau-kiong ku akan mengambil kedua matamu!"
Ketua Thiat-hiat-bun itupun mengayunkan tangan kanannya. Walapun kemarahannya menyala-nyala, tetapi Sin-bu Te-kun cukup mengetahui kelihayan panah Hong-thau-kiong dari Thiat-hiat-bun yang tak pernah luput. Segera ia mendorong dengan kedua tangannya dan dengan meminjam tenaga dorongan itu ia apungkan tubuhnya sampai beberapa meter ke udara.
Di luar dugaan, taburan Lu Liang-ong itu hanya gertakan kosong. Kembali Sin-bu te-kun termakan tipu. Ia harus berjumpalitan di udara untuk menghindari angin kosong !
Dalam pada itu Lu Liang-ong pun tertawa geli. Katanya kepada Thian-leng, "Buyung, tempat munculnya Sin-liong-sam-sian yang kedua ialah pada puncak lereng yang tinggi itu. Kali ini kita harus loncat sampai empat puluhan tombak. Slain tenagaku, kau sendiripun harus gunakan tenaga!"
Thian-leng kerahkan seluruh tenaga ke arah kedua kakinya. Begitu ditarik Lu Liang-ong segera ia loncat mengikutinya. Pada saat itu Sin-bu Te-kun menyadari dirinya tertipu, segera ia enjot tubuhnya mengejar ke puncak pohon, tetapi saat itu Lu Liang-ong dan Thian-leng sudah berada di puncak tingkat ( loteng ) yang tinggi. Loteng itu merupakan tingkat yang tertinggi dari gedung Sin-bu-kiong. Dari situ dapat melihat seluruh bangunan istana Sin-bu-kiong. Di sebelah selatan kira-kira lima puluh tombak, terdapat dinding tembok. Apabila melintasi dinding tembok itu, maka sudah dapat keluar dari Sin-bu-kiong.
Diam-diam Thian-leng gelisah. Lima puluh tombak bukan jarak yang mudah dilompati. Apalagi seluruh anak buah Sinbu-kiong pun sudah beramai-ramai mengepung dengan membawa obor. Bahkan saat itu Sin-bu te-kun sendiri juga sudah mengejar.
"Buyung, tempat ketiga dari munculnya Sin-liong-sam-sian ialah dinding tembok sebelah selatan itu. Kali ini kita harus loncat lima puluh tombak jauhnya?"
"Lo-cianpwe, ini tak mungkin?".."
"Di dunia tiada hal yang tak mungkin! Apakah kau hendak suruh aku si orang tua begini menggendongmu!" bentak ketua Thiat-hiat-bun dengan murka. Berabreng dengan itu terdengar gemboran keras dari Sin-bu Te-kun yang melayang mengejar.
Jenggot perak Lu Liang-ong tertawa mengejek, "Tolol, lihatlah Hong-thau-kiong makan kedua matamu!" ia ayunkan tangan kanannya.
Sin-bu Te-kun tak percaya kalau orang benar-benar hendak menimpuknya. Dan kedua kalinya ia sedang dirangsang kemarahan, maka tanpa menghiraukan suatu apapun, ia terus melayang. Dan memang selama itu tak terjadi apa-apa. Bahkan ketika hampir dekat ia seilangkan kedua tangannya untuk melindungi mata. Begitu tiba segera ia hendak menghantam remuk lawan!
Tiba-tiba terdengar Lu linag-ong tertawa gelak-gelak. Ternyata ancamannya kali ini bukan gertakan kosong tetapi sungguh-sungguh. Hanya saja yang diarah bukan mata melainkan kedua bahu orang.
Panah rahasia yang berkepala burung Hong dari partai Thiat-hiat-bun itu sudah bertahun-tahun menggetarkan dunia persilatan. Tak pernah panah itu gagal memenuhi tugasnya. Cikal bakal pendiri Thiat-hiat-bun yang dulu merendam panah itu dalam racun. Setiap korban tentu binasa. Tetapi untunglah ketua Thiat-hiat-bun yang sekarang tak mau melanjutkan warisan itu. Ia melarang panah diberi racun dan tak boleh sembarangan digunakan. Maka sekalipun panah Hong-thau-kiong termasuk salah satu dari tiga-senjata-rahasia ampuh dalam dunia persilatan, tetapi yang binasa karena panah itu boleh dikata tak ada!
Setelah menghisap ilmu kepandaian dalam kitab pusaka Im-hu-po-kip, Sin-bu Te-kun bercita-cita hendak menguasai dunia persilatan. Memang telah didengarnya juga tentang panah sakti dari Thiat-hiat-bun itu, tetapi dalam hati ia tak tunduk. Adalah karena hendak menggunakan tenaga partai Thiat-hiat-bun, maka ia tetap bersabar terhadap tingkah laku ketua Thiat-hiat-bun.
Tetapi kini setelah dirinya dipermainkan begitu rupa oleh Lu Liang-ong, tak dapat lagi ia menahan kemarahannya.
Persetan dengan panah hong-thau-kiong!
Alangkah terkejutnya ketika menghadapai tipu orang yang licin. Ia tak menyangka bahwa yang di arah lawan bukan kedua matanya, melainkan bahu. Dalam keadaan di dirinya melayang di udar, betapapun lincahnya namun Sin-bu te-kun tak berdaya menghindari timpukan jago thiat-hiat-bun. Juga ternyata cara Lu Liang-ong menimpukkan panahnya itu luar biasa anehnya. Aum suaranya berada di sebelah barat, tetapi yang diserang di sebelah timur. Terpaksa Sin-bu Te-kun hanya kerutkan gigi untuk menerimanya! Seketika ketua Sin-bu-kiong itu merasakan bahunya sakit sekali.
Dua batang Hong-thau-kiong tepat menyusup ke jalan darah bahu kanan kirinya!
Saat itu Sin-bu Te-kun hanya terpisah dua tombak dari puncak loteng tertinggi. Walaupun panah Hong-thau-kiong itu tak sampai membuatnya tak dapat berkutik, namun karena jalan daranya terkena, maka mau tak mau sekujur tubuhnya terasa kesemutan, tangannyapun tak leluasa digerakkan lagi. Tak ampun lagi ia meluncur turun bagaikan seekor burung alap-alap yang terkena anak panah".
Jilid 10 . Jenggot perak Lu Liang-ong mengantar kejatuhan lawan dengan gelak tertawa. Segera ia menarik Thian-leng untuk diajak loncat lagi. Diam-diam Thian-leng putus asa.
Dua kali mengadakan gerak loncatan yang demikian tinggi, telah membuat tenaganya hampir habis. Kalau harus loncat lagi sejauh lima pukuh tombak, rasanya ia tentu tak kuat.
Tetapi aneh bin ajaib. Ketika ditarik Lu Liang-ong ia rasakan tubuhnya sudah melambung sampai sepuluh tombak.
"Buyung, ayo gunakan tenagamu!" tiba-tiba Jenggot perak membentaknya.
Thian-leng gelagapan. Buru-buru ia kerahkan sisa tenaganya dan ah?" ternyata berhasil ah ia mencapai jarak lima puluh tombak itu. Saat itu ternyata ia sudah hinggap di atas tembok istana Sin-bu-kiong sebelah luar. Hampir Thianleng tak percaya apa yang telah dialami saat itu.
"Sejak berdiri, belum pernah ada orang yang mampu keluar dari istana Sin-bu-kiong. Tetapi hari ini, kita dapat memecahkan hal itu!" Lu Liang-ong tertawa.
"Rasanya hanya locianpwe seorang yang mampu!" Thian-leng menyatakan kekagumannya.
"Tidak begitu," sahut ketua Thiat-hiat-bun. "Di dunia terdapat banyak orang-orang sakti. Misalnya malam ini, yang bebas keluar masuk ke istana Sin-bu-kiong bukan hanya aku seorang saja!"
"Siapa?" Thian-leng terkejut.
"Hun-tiong Sin-mo!"
"Ha?" Thian-leng tercengang, "Hun-tiong Sin-mo juga masuk ke istana Sin-bu-kiong?"
Sebagai jawaban Lu Liang-ong menarik tangan pemuda itu untuk diajak loncat keluar dari lingkungan Sin-bu-kiong.
Dalam laut dapat diukur
Hati dara sukar diduga
Kala itu sudah menjelang fajar. Di dalam istana Sin-bui-kiong masih terdengar suara hiruk pikuk, tetapi tak lama kemudian sunyi kembali. Tiada seorang pun anak buah Sin-bu-kiong yang mengejar keluar. Rupanya Sin-bu Te-kun sudah menerima kekalahannya.
Setelah berjalan dua li, Lu Liang-ong berhenti di sebuah lereng gunung yang landai. Di bawah lereng tampak sebuah biara yang masih memancarkan lampu. Agaknya para imam dalam biara itu sedang melakukan sembahyang subuh.
Teringat akan diri si dara Bu-song, serentak Thian-leng berseru terbata-bata, ?"Lo-cianpwe".," ia tak dapat melanjutkan kata-katanya karena tak tahu bagaimana harus menyatakan. Kiranya ia hendak menyatakan isi hatinya kepada jago Thiat-hiat-bun itu. Sedangkan ia yang baru dikenal saja toh ditolong, mengapa Lu Bu-song dibiarkan saja menderita dalam penjara Sin-bu-kiong. Bukankah Bu-song itu cucu ketua Thiat-hiat-bun itu sendiri "
?"Buyung, apa katamu ?" Lu Liang-ong tertawa.
"Walaupun lo-cianpwe telah menolong diriku, tetapi Sin-bu Te-kun itu seorang momok yang ganas sekali. Kalau dia menurunkan tangan jahat kepada nona Lu, bukankah ?"."
"Eh, bukankah telah kukatakan tadi bahwa budak perempuan itu telah rusak karena kumanjakan" Biarlah dia merasakan sedikit rasa pahit agar dapat menjinakkan keliarannya, besok mungkin"."
Tetapi kata-katanya itu terputus oleh sosok bayangan yang melesat datang. Thian-leng cepat-cepat berpaling, ah"..
si dara Bu-song.!
Wajah dara itu tampak merengut. Sejenak melirik pada Thian-leng, tangannya menyambar jenggot kakeknya, lengkingnya, "Kek, kau bilang apa?"
Lu Liang-ong membiarkan jenggotnya ditarik-tarik si dara, "Aku bilang apa?"
"Kali ini aku tak dapat memberi ampun. Kek, kau hendak menyuruh aku mati!" Bu-song merajuk.
Lu Liang-ong tertawa gelak-gelak, "Ho, ho, masakah kau masih mempunyai lain kakek yang lebih buruk dari aku"..eh, kakek menyakiti kau apa?"
Bu song lepaskan cekalannya, tetapi tiba-tiba tangannya merogoh dan mencubit dada kakeknya. Thian-leng hanya terlongong-longong saja mengawasi. Saat itu pikirannya tengah melayang-layang, Mengapa Lu Bu-song bisa keluar dari penjara Sin-bu-kiong. Tetapi dari nada ucapan Lu Liang-ong jelas bahwa ketua Thiat-hiat-bun atau seorang tokoh partai itu yang menolong si dara. Namun ketua Thiat-hiat-bun itu masih berlagak tidak tahu untuk menggoda cucunya.
"Kek, apakah kau tak menghajar iblis tua itu?" seru si dara dengan aleman.
Wajah ketua Thia-hiat-bun berobah serius, "Lumayan saja, tetapi karena hal itu bakal menimbulkan kesukaran besar?"
"Kesukaran besar apa?" Bu-song cibirkan bibirnya.
Lu Liang-ong merenung sejenak, katanya, "Eh, budak, coba katakan dulu apa rencanamu?"
"Rencanaku?".?" dara itu melongo. Sesaat kemudian ia berseru dengan nada sungguh-sungguh, "Bukankah kakek meluluskan aku berkelana di dunia persilatan untuk mencari pengalaman?"
Lu Liang-ong tertegun. Buru-buru ia gelengkan kepalanya, "Bukan, bukan. Kakek maksudkan, kau suka menemani aku atau......." ketua Thiat-hiat-bun itu tiba-tiba melirik kepada Thian-leng, sambungnya , " atau bersama dia!"
Merah padam seketika selebar wajah dara itu. Ia tundukkan kepala memandang ujung baju. Sepatahpun tak berkata.
Thian-leng terbeliak! Tak tahu ia mengapa ketua Thiat-hiat-bun itu mengajukan pertanyaan seaneh itu pada cucunya.
Bukankah tak layak kalau seorang gadis mengadakan perjalanan bersama seorang pemuda" Tetapi Thian-leng menghibur hatinya sendiri. Ah,, Bu-song tentu menolak bersama dia. Dara itu tentu lebih suka bersama dengan kakeknya.
Tetapi ternyata dugaannya meleset.
"Eh, budak, lekas katakan, turut kakek atau anak muda itu" Kakek tak punya tempo menunggu lama-lama lagi!" tiba-tiba Lu Liang-ong mendesak pula.
Setelah berdiam diri sejenak, dengan tersipu-sipu malu dara itu menyahut, "Kek, hendak kemana kau?"
"Tiam-jong-san!" sahut Lu Liang-ong.
"Uh, siap sudi ke gunung setan itu?" gumam Bu-song.
Lu Laing-ong tertawa gelak-gelak, "Kalau begitu, berarti kau ingin".." ia menutup kata-katanya dengan tertawa keras.
Wajah Bu-song semakin merah. Ia mencubit dada kakeknya pula, "Aku tak mau bersama siapa-siapa! Masakah aku takut berjalan seorang diri?" Habis berkata dara itupun sudah melesat beberapa tombak jauhnya.
"Hai, budak"..!" bukannya mengejar cucunya, sebaliknya Lu Liang-ong berputar tubuh membentak Thian-leng.
"Lo-cianpwe?" " tersipu-sipu Thian-leng menyahut terbata-bata, sesaat kemudian berganti nada bersungguh-sungguh, "Jika lo-cianpwe hendak menyuruh, sekalipun masuk lautan api menerjang hutan golok, aku tentu akan mengerjakan!"
Lu Liang-ong tertawa puas, "Sekarang aku hendak menyuruhmu melakukan sebuah hal!"
"Silakan lo-cianpwe mengatakan, tentu kulaksanakan!"
"Jagalah cucu perempuanku itu....!"
"Ini....ini......."
"Bukan hanya untuk sekarang, tetapi selama-lamanya. Ya, ambil ah dia sebagi isterimu!"
"Ini......"
"Ini , ini apa" Apakah kau menolak?"
"Aku....," karena tak menyangka-nyangka orang akan mengatkan begitu, maka untuk sesaat tak dapatlah Thian-leng berkata-kata.
"Eh, rupanya kau hendak berbalik haluan?" tiba-tiba Lu Liang-ong menegur dengan nada tajam.
"Bukan begitu!" buru-buru Thian-leng menerangkan.
dengan nada sungguh-sungguh, "Bukankah Habis mengapa kau tak lekas menyusul" Jagalah dia baik-baik, kelak apabila urusanku sudah selesai segera akan kulangsungkan pernikahan kalian".."
"Tetapi".. "
"Tetapi bagaimana " "
"Nona Lu telah pergi dengan marah, aku kuatir tak dapat menyusulnya!"
Lu Liang-ong tertawa gelak-gelak, "Kau sungguh tolol! Dia kan tentu menunggumu, kalau tak percaya silakan membuktikan sendiri"." ia berhenti sejenak, lalu katanya pula, "Aku masih mempunyai urusan penting, nah, aku hendak pergi dulu!"
Berbareng dengan kata-kata terakhirnya, jago Thiat-hiat-bun itupun sudah melayang ke udara dan turun tujuh delapan tombak jauhnya. Thian-leng tertawa meringis. Dia tak dapat melanggar sumpahnya. Tak mau ia memikirkan bagaiman akibatnya di belakang hari. Pokoknya sekarang ia harus melakukan perintah ketua Thiat-hiat-bun. terpaksa ia menyusul si dara.
Ditilik dari sikapnya tadi. Bu-song tentu pergi dengan marah-marah. Saat itu tentulah dara itu sudah jauh berpuluh-puluh li. Tetapi di luar dgaan, ketika Thian-leng melintasi tikungan di lereng gunung, ia terkejut.
Tak jauh di sebelah muka tampak si dara berjalan dengan lenggangnya. Dengan berdebar-debar segera Thian-leng menyusulnya. "Nona Lu..."
Bu-song berpaling. Dengan nada acuh tak acuh ia menjawab, "Ada apa?"
Jawaban itu membuat Thian-leng tertegun. Sahutnya gugup, "Tidak a"..apa-apa". hanya kakek nona menyuruh aku".." ia tak dapat melanjutkan kata-katanya lagi.
Bu-song kerutkan sepasang alis, "Kakekku menyuruhmu apa?"
Thian-leng paksakan tertawa meringis, "Beliau suruh aku menjaga nona!"
Tiba-tiba Bu-song mendengus, "Hm, masakan kau mampu?" ia memutar tubuh terus melesat pergi.
"Hai, nona Lu! Nona Lu".!" Thian-leng kaget dan buru-buru mengejar.
Kira-kira satu li jauhnya barulah Bu-song berhenti. Serunya dingin, "Eh, kau ini bagaimana" Mengapa mengikuti aku saja?"
"Aku sungguh menerima perintah dari kakek nona suapaya menjaga nona....."
"Uh, telah kukatakan tadi, kau tak mampu!" dengus si dara.
Betapapun juga Thian-leng itu seorang pemuda yang masih berdarah panas. Walaupun karena sumpah ia harus mengikat diri tunduk pada perintah, tetapi sebagai seporang pemuda sudah tentu ia tak mandah dihina oleh seorang anak perempuan.
"Kalau begitu baiklah. Akan kucari kakekmu dan minta beliau supaya menarik kembali perintahnya!" kali ini Thianleng benar-benar unjuk gigi. Pikirnya kalau mempunyai istri macam dara yang tinggi hati itu, kelak tentu ia menerima cemoohan saja. Maka habis berkata segera ia memutar tubuh dan melesat pergi.
Dan sebaliknya sekarang Bu-songlah yang mendapat giliran terkejut. Ia tak menyangka bahwa Thian-leng akan bersikap tegas juga.
"Berhenti!" Cepat ia berseru kepada si anak muda yang sudah enam tujuh tombak jauhnya.
Thian-leng terpaksa hentikan langkah. Tetapi tanpa berpaling ke belakang ia berseru, "Nona hendak memesan apa?"
Beberapa saat Bu-song tak berkata apa-apa. Tiba-tiba terdengar suara terisak-isak. Thian-leng tercengang. Bukankah tadi dara itu bersikap sedemikian garang. Beberapa kali menghinanya tak akan mampu menjaga" Mengapa ketika ditinggal pergi malah menangis"
Terpaksa Thian-leng berganti dengan nada sabar, "Bagaimana nona" Apakah aku...."
"Mengapa kau memperlakukan aku begitu?" Bu-song deliki mata.
Thian-leng tertawa masam, "Karena nona mengatakan aku tak mampu menjaga nona, maka akupun terpaksa pergi!"
"Kakekku telah memberi perintah padamu, masakah menerima sedikit cemoohan saja kau sudah marah?" Bu-song mengomel.
"Bukankah nona muak kepadaku" Sekalipun aku sanggup menerima cemoohan, tetapi kalau nona memang tak suka, bukankah sia-sia saja aku menemani nona?"
"Tolol, kau membuat aku mati penasaran!" Bu-song membanting-banting kaki.
Thian-leng kerutkan alis. Tak tahu ia bagaimana harus menghadapi dara semacam itu. Ah, hati wanita sungguh aneh!
gerutunya".
Meliaht si anak muda meringis, tertawalah Bu-song, " Kau gagu?"
Thian-leng yang sedang merenung, gelagapan mendengar pertanyaan itu. Tanpa disadari ia segera menurutkan apa yang ditanyakan, "Tidak, tidak gagu!"
Tetapi pada lain saat ia segera menyadari bahwa kata-katanya itu seperti anak kecil saja. Warna merah segera menebar di seluruh mukanya.
Si dara tertawa mengikik sampai lama. Serunya kemudian, "Cobalah katakan apakah perintah kakek kepadamu itu?"
Merah padam wajah Thian-leng seketika. Namun terpaksa ia menjawab juga, "beliau mengatakan aku harus menjaga nona".."
"Hanya begitu saja..?" tegas si dara.
"Masih ada lagi...ada....."
"Ada lagi apa!" bentak Bu-song.
"Beliau suruh aku menjaga nona selama-lamanya, mengambil nona sebagi isteri!".. Thian-leng terpaksa mengulang apa yang dikatakan Lu Liang-ong tadi. Tetapi karena likat, habis berkata ia lalu tundukkan kepala.
Wajah Bu-song pun kemerah-merahan seperti buah jambu. Ia tundukkan kepala memainkan ujung baju. Dengan suara tak lampias ia berseru, "Lalu kau mau atau tidak?"
Thian-leng terhenyak, "Demi mentaati sumpah, aku tak dapat menolak lagi!"
"Artinya kau tak mau" Mau karena terpaksa" "
"Kurasa diriku..... tak pantas menjadi pasangan nona....."
"Memang sebenarnya kau tak pantas!" Bu-song menertawakan.
"Dan lagi asal-usul diriku masih belum terang. Aku masih mempunyai tugas berat. Sebagai seorang pemuda persilatan, jiwaku setiap saat belum ketentuan nasibnya. Mungkin akan mengecewakan hati nona, maka....."
Bu-song tertawa. Kali ini tertawanya merdu meresap, "Mungkin kata-katamu itu benar, tetapi aku ingin tahu....bagaimana anggapanmu terhadap diriku" Apakah kau mempunyai sedikit .... rasa suka kepadaku?"
Thian-leng membatin, "Kau seorang dara manja. Jika mengambilmu sebagai isteri tentu runyam. Untung kakekmu melepas budi besar kepadaku. Apalagi aku telah mengucapkan sumpah. Apa boleh buat, untung celaka terpaksa kuterima!"
"Nona mempunyai ilmu sakti dan rupa yang cantik. Pula menjadi cucu kesayangan dari ketua partai Thiat-hiat-bun yang termasyhur. Jika aku beruntung mendapat isteri sebagai nona, sungguh......"
"Kalau begitu kau suka kepadaku?" si dara tertawa riang.
"Su.....dah.....tentu.....tetapi....."
"Tetapi apa?"
"Perangai nona itu .....agak kelewat manja, sehingga orang tak berani mendekati!"
"Baik, baik, kalau begitu aku akan berlaku ramah kepadamu ya!" si dara tetap tertawa.
Thian-leng mengeluh dalam hati. Ah, rupanya seumur hidup ia akan ditakdirkan untuk menerima kocokan dari si dara manja itu. Ia kerutkan alis tak dapat berkata apa-apa lagi.
"Eh, sekarang kemana kita hendak pergi" " tiba-tiba Bu-song menegur. Tetapi belum dijawab, ia sudah berkata lagi,
"Kukira begini saja. Lebih baik kita pesiar menikmati alam pemandangan indah dari gunung Thay-san!"
"Pesiar".?" Thian-leng melongo.
"Ya, apakah kau tak suka?"
Thian-leng gelengkan kepala tertawa rawan, "Tidak! Aku tak mempunyai selera dan tak punya waktu luang untuk pesiar. Maaf, aku tak dapat menemani nona".."
"Kalau tak mau, tak apalah! Perlu apa harus minta maaf " " tukas Bu-song. Ia kerutkan kening, sesaat kemudian berseru pula, " Eh, kau tadi memanggil aku dengan sebutan apa " "
"No"..na".. "
"Bagaimanakah ikatan hubungan kita sekarang " "
Thian-leng terpaksa menyahut, namun tak dapat ia melanjutkan kata-kata kecuali dua patah kata, "Adik Song". "
Namun jawaban itu telah membuat hati Bu-song bahagia.
"Kalau tak mau pesiar terserah. Kemanapun kau pergi, aku tentu ikut padamu! " katanya dengan nada lemah lembut.
Thian-leng masih terpukau. Sesaat tak tahulah ia kemana tujuannya. Banyak nian hal yang hendak dilakukan, namun tak tahu ia bagaimana harus memulai.
Thian-leng masih terpukau. Sesaat tak tahulah ia kemana tujuannya. Banyak nian hal yang hendak dilakukan, namun tak tahu ia bagaimana harus memulai. Dan kekalahannya di istana Sin-bu-kiong telah memukul batinnya. Ia merasa kepandaiannya masih jauh dari memadai.
Ia menghela napas, "ketika Oh-se Gong-mo lo cianpwe menutup mata, beliau telah meninggalkan pesan kepadaku supaya melakukan pembalasan kepada Sonh-bun Kui-mo. Tetapi karena kepandaianku masih dangkal maka tak dapatlah kulaksanakan pesannya itu. Kini antara partai Tiam-jong-pay dan Sin-bu-kiong telah timbul permusuhan.
Sin-bu Te-kun mengatakan, apabila dalam tiga hari Tiam-jong-pay tak menyerahkan anak buahnya yang membunuh penjaga Sin-bu-kiong, maka dia hendak menyerang Tiam-jong-san. Lu Lo-cianpwe juga ke sana. Kurasa lebih baik kita ke gunung itu. Sedikit banyak dapat menyumbangkan tenaganya untuk menghancurkan Sin-bu Te-kun. Dengan begitu dapatlah sekurang-kurangnya kupenuhi pesan Oh-se Gong-mo lo-cianpwe.
"Baik," acuh tak acuh Bu-song mengiyakan, "kita ke Tiam-jong-san. Tetapi jika dugaanku tak salah, untuk sementara ini Sin-bu Te-kun tentu tak berani ke sana. Dia tak mau mengurus soal kecil yang dapat merugikan cita-citanya menguasai dunia persilatan!"
"Maksud adik Song?""
"Sin-bu Te-kun tentu tak berani bermusuhan dengan partai Thiat-hiat-bun karena akibatnya keduanya tentu sama remuk. Ia berani buka mulut besar di hadapan kakekku karena aku menjadi orang tawanannya. Tetapi siap tahu".."
"Ya, ya , bagaimana adik bisa keluar dari penjara itu?" tanya Thian-leng.
Bu-song tertawa,"Ingatkah kau, aku pernah mengatakan tentang keempat Su-liat (orang gagah) dari Thiat-hiat-bun?"
"Ya, ya, aku ingat. Tetapi bukankah kemudian kau mengatakan bahwa hal itu hanya obrolan kosong dari Sin-bu Tekun saja?"
Bu-song tertawa riang, "Memang apa yang kukatakan kala itu sungguh-sungguh, karena kepergianku ke Sin-bu-kiong itu di luar tahu kakekku. Saat itu kakek sedang sibuk mengobati budak perempuan dari Sin-bu-kiong"." sejenak Bu-song melirik tajam kepada Thian-leng, ujarnya pula, "tetapi ilmu "Melihat-langit-mendengar-bumi" dari kakek dapat melingkupi seluas sepuluh li. Maka gerak-gerikku tak luput dari pengetahuannya. Selain mengirim keempat Su-kiat, ia sendiripun segera menyusul ke istana Sin-bu-kiong"!"
"Bagaimana dengan luka nona itu?" tiba-tiba Thian-leng teringat akan kedua taci beradik Ki Seng-wan dan Ki Gwat-wan.
"Mati!" sahut Bu-song dingin-dingin.
Thian-leng tersentak kaget. Ia tak yakin tetapi ketika hendak menanyakan lebih lanjut, Bu-song mendengus, memutar tubuh terus pergi?"
Thian-leng tercengang. Ia berseru seraya mengejar. Sepuluh tombak jauhnya, Bu-song berhenti. Sesosok tubuh tiba-tiba melesat menghadangnya seraya menegur dengan tertawa dingin, "Adik Lu, perlu apa memaki-maki orang?"
Bu-song kerutkan alis:" Siapa yang suruh kau mengurus lain orang, siapa yang kau sebut adikmu itu?" Ia mendengus lalu melesat pergi.
Thiang leng terkejut girang. Orang yang mengenakan baju merah itu bukan lain Cu Siao-Bun. Buru-buru ia memberi hormat, "Nona Cu, sungguh beruntung bisa berjumpa?"
Mendengar ini, bukan main marahnya Bu-song, lengkingnya, "Apa-apaan kau!" Jalan!"
Thian-leng serba salah. Kecongkakan Bu-song sungguh membuat orang muak. Cu Siao-bun pernah melepas budi kepadanya, bagaimana ia dapat bersikap sedingin itu" Akhirnya tanpa memperdulikan kata-kata keras dari Bu-song, Thian-leng tetap menyapa kepada Cu Siao-bun, "Bilakah nona terlepas dari bahaya" Sekarang hendak kemanakah?"
Melihat dirinya tak dipedulikan, amarah Bu-song meluap. Tiba-tiba ia ayunkan tangannya menampar muka Thianleng. Plak" karena tak menyangka-nyangka, pipi kiri Thian-leng kena. Pipi melepuh, darah mengucur dari ujung mulut.
Cu Siao-bun mengawasi kedua muda-mudi itu dengan senyum ewa. Sedang Thian-leng sendiri masih terlongong-longong karena kepalanya pusing, mata berkunang-kunang.
Tamparan itu tak menyebabkannya menderita luka , tidak pula membuatnya sakit. Tetapi yang terluka adalah perasaan hatinya. Kepribadiannya sebagai seorang lelaki. Diam-diam ia menyesal dalam hati.
Tetapi si dara yang sudah biasa dimanja, malah membentak-bentak lagi, "Kau hendak kasak-kusuk apa dengannya"
Ayo, jalan tidak?"
Sekalipun tidak ada orang lain, kata-kata itu juga tak pantas diucapkan. Apalagi Cu Siao-bun ada di situ. Darah panas Thian-leng menggelora dan lupalah ia seketika.
Plak".. ia balas menampar pipi Bu-song sekeras-kerasnya. Bu-song mengerang. Pipinya membenjul besar, darah dari mulutnya mengucur membasahi dadanya. rupanya ia lebih menderita dari Thian-leng.
"Kau ".. kau berani memukul".." Bu-song melengking, ia memutar tubuh terus lari terhuyung-huyung.
Thian-leng melongo. Sesaat kemudian ia hendak mengejar. Tetapi tiba-tiba Cu Siao-bun menertawainya.
"Mau minta ampun ya.....?"
Thian-leng tertegun. Ia berhenti, mukanya merah padam. Sahutnya, "Aku belum serendah itu, hanya".." Ia tak dapat melanjutkan kata-katanya karena merasa sukar untuk menjelaskan hubungannya dengan Bu-song. Dan ia anggap tak perlu menerangkan hal itu kepada Cu Siao-bun.
"Tentunya kau masih ada lain urusan lagi?" tegur Cu Siao-bun dengan tetap tertawa.
Terpaksa Thian-leng menjelaskan, "Karena aku telah menyanggupi kakeknya untuk menjaga dara itu, maka hendak kuserahkan kembali ia kepada kakeknya saja agar jangan menimbulkan perkara di perjalanan!"
Cu Siao-bun tertawa mengikik, "Jangankan sudah mendapat perintah dari kakeknya, sekalipun tidak, bukankah kau juga senang untuk menjaganya" Eh, tetapi bagaimana caramu menjaganya?"
Thian-leng tak biasa berbohong. Maka merahlah mukanya. Kembali rasa gelisah mencengkam hatinya. Betapapun kesalahan si dara Bu-song, tetapi karena kakeknya telah melepas budi besar, seharusnya ia tak boleh mengimbangi sikap dara itu. Bukankah ia sudah mengangkat sumpah" Bagaimana nanti pertanggung jawabannya kepada Jenggot perak Lu Liang-ong"
"Jika nona tiada pesan lain lagi, maaf, aku hendak berangkat dulu!" akhirnya ia paksakan berkata.
"Ah, mana berani aku memberi perintah" Tetapi aku hanya hendak menyerahkan sepucuk surat dari seorang sahabat....."
"Siapa?" Thian-leng terbeliak.
"Cu Siau-bun.....!"
(bersambung ke jilid 11)
Jilid 11 . Pengemis Bulu besi.
"Dia?" Thian-leng berseru kaget, "bukankah dia mendapat kecelakaan di gunung Thay-heng-san....."
"Tidak, dia masih hidup...." sahut Cu Siao-bun dengan nada rawan.
( Catatan: Cu Siao-bun adalah gadis baju merah yang bercakap-cakap dengan Thian-leng saat itu. Sedang Cu Siaubun adalah pemuda berwajah pucat yang dijumpai Thian-leng ketika keluar dari gunung Hun-tiong-san. Agar tidak membingungkan, maka digunakan ejaan Siao untuk si gadis dan Siau untuk si pemuda " Pen).
Tiba-tiba terlintaslah sesuatu dalam benak Thian-leng, Cu Siao-bun dan Cu Siau-bun. Namanya hampir sama dan wajahnya serupa. Mengapa gadis Siao-bun membawakan surat pemuda Siau-bun" Aneh....
"Mungkin kau merasa heran, bukan " " tegur Cu Siao-bun.
"Ya,...... apakah nona......."
Siao-bun tertawa, "Sebenarnya tiada hal yang perlu diherankan. Cu Siau-bun adalah engkoh. jadi wajar kalau sama wajahnya". "
"O, kiranya nona adik dari saudara Cu, maaf!" Thian-leng seperti tersadar.
Selanjutnya Thian-leng segera menanyakan berita pemuda Cu Siau-bun.
"Dia masih hidup di dunia, tetapi....." Siao-bun tak melanjutkan kata-katanya. Dengan pandangan rawan ia menatap Thian-leng.
"Dia... dia bagaimana?" Thian-leng gelisah.
"Segera akan mati!"
"Hai....!" thian-leng menjerit, " Di mana sekarang ia?"
Panji Tengkorak Darah Ko Lo Hiat Ki Karya S D Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Apakah kau ingin menemuinya?" tanya Siao-bun.
"Ya, engkoh nona itu telah banyak melepas budi padaku. Sudah tentu aku harus menjenguknya!"
"Rupanya engkohku juga selalu teringat padamu. Kini ia berada dalam rumah penginapan Ih-hian di kota Ceng-liong-tin. Kira-kira dua ratus li dari sini...."
"Jangankan hanya dua ratus li, sekalipun ribuan li aku tetap akan menjumpainya," sahut Thian-leng.
Tampak wajah Siao-bun tertawa girang, ujarnya dengan tertawa, "Jika kau memang bermaksud begitu, silakan lekas ke sana. Kalau tidak dikuatirkan kau tak dapat bertemu dengan engkohku lagi selama-lamanya!"
"Maaf, aku segera hendak ke sana!" Thian-leng terus memutar tubuh melesat pergi.
Siao-bun memandang bayangan pemuda itu dengan terlongong-longong. Tiba-tiba wajahnya mengerut keras, ujarnya seorang diri, "Lu Bu-song, sekalipun kau ini adik misanku, tetapi dalam hal ini aku tak dapat mengalah padamu!"
ooooo00000ooooo
Thian-leng menggunakan ilmu lari cepat. Ia ingin segera dapat menyusul si dara Bu-song, kemudian baru menuju ke kota Ceng-liong-tin menjenguk Cu Siau-bun yang sakit keras. Kepada pemuda wajah pucat itu, Thian-leng juga berhutang budi. Adalah pemuda itu yang membebaskan dirinya dari kepungan delapan anak buah Sin-bu-kiong ketika Thian-leng baru keluar dari markas Hun-tiong Sin-mo. Adalah pemuda itu juga yang menunjukkan tentang tipu muslihat Ma Hong-ing yang mengaku jadi ibunya itu"..
Masih banyaklah kebaikan-kebaikan yang diunjukkan pemuda Cu Siau-bun itu kepadanya. Kini pemuda itu menderita sakit berat, entah besok entah sore akan meninggal dunia. Ia ingin sekali menemui pemuda itu. Tetapi "ah, ia mendongkol benar kepada Bu-song. Ia segera perkencang larinya seraya berteriak-teriak, "Adik Song".. Lu".
Bu"..song"..!"
Namun bayangan dara itu tak tampak sama sekali. Seluas puluhan li telah dijelajahi, tetapi ia tak berhasil mencari dara itu.
"Celaka, dia tentu marah dan pulang melapor pada kakeknya!" diam-diam ia mengeluh.
Ketika ia sedang gelisah, tiba-tiba ia dikejutkan oleh sebuah suara helaan napas panjang. Dan matanya segera melihat sesosok tubuh manusia tengah berlutut di bawah sebuah pohon besar. Ketika dihampiri, ternyata hanya seorang pengemis tua yang sudah putih rambutnya. Wajahnya kumal penuh debu. Pengemis itu duduk bersandar pada batang pohon, sebatang tongkat bambu terletak di sampingnya.
Sekalipun lelah, namun terpaksa ditegurnya juga pengemis itu. "Mengapa lo-cianpwe seorang diri berada di hutan sunyi ini, apakah...."
Thian-leng bersedia memberi pertolongan apabila pengemis tua itu memerlukan bantuan. Tetapi kata-katanya itu terputus oleh rasa kaget. Pengemis tua itu tiba-tiba membuka matanya. Dua larik sinar berkilat-kilat tajam memancar. Itulah pancaran sinar mata dari seorang ahli tenaga dalam yang hebat.
"Maaf, kalau aku mengganggu lo-cianpwe!" buru-buru Thian-leng berseru seraya memberi hormat lalu pergi.
"Tunggu!" sekonyong-konyong pengemis itu berseru. Thian-leng terpaksa hentikan langkahnya.
"Berjam-jam kudengar kau menjerit-jerit seperti anak ayam mencari induknya. Sekarang baru kau minta maaf, apakah tidak terlambat?" dengus pengemis tua itu.
Thian-leng mengerutkan kening. Pikirnya, pengemis ini benar-beanr liar sekali. Ia bermaksud baik, mengapa malah disemprot"
"Aku tak tahu kalau lo-cianpwe sedang beristirahat di sini, maaf! " terpaksa Thian-leng meminta maaf lagi, lalu melangkah pergi.
Tetapi baru beberapa langkah, kembali pengemis tua itu membentaknya, "Kembali!"
Kali ini Thian-leng tak mau. Ia hanya menyahut tawar, "Aku toh sudah minta maaf padamu!"
Pengemis tua itu tertawa gelak-gelak, "Dalam satu perahu sama-sama mendayung, adalah sudah menjadi suatu keharusan. Kita bertemu di sini, boleh dikata mempunyai jodoh. Paling tidak harus saling memberitahukan nama, baru kau pergi?"" pengemis tua itu berhenti sejenak dari ocehannya. Sebelum Thian-leng menyahut, ia sudah lanjutkan kata-katanya lagi, "Aku si pengemis tua ini orang she Auyong, bernama tunggal Beng. Atas kecintaan dari sahabat-sahabat persilatan, aku diberi gelar Thiat-ik Sin-kay ( Pengemis sakti berbulu besi ). Dan kau?"
Thian-leng tertegun, serunya, "Aku yang rendah sampai sekarang belum mempunyai nama. Untuk sementara aku memakai nama Bu-beng-jin!"
Bu-beng-jin artinya "Orang yang tak punya nama".
Auyong Beng tertawa gelak-gelak, "Bu-beng-jin, ah, bagus juga nama itu?""
Thian-leng hanya tertawa masam. Sambil berputar ia terus hendak berlalu lagi".
"Sebenarnya aku hendak tidur, tetapi terganggu dengan jerat-jeritmu tadi. Karena sudah terlanjur terjaga, mari kita omong-omong!"
Thian-leng menolak, "Tidak-tidak! Karena masih mempunyai urusan penting, maaf, aku tak dapat menemanimu!"
Pengemis sakti tertawa meloroh, "Meskipun kau tetap hendak pergi, tetapi juga tak perlu terburu-buru begitu. Kalau kita omong-omong barang dua tiga patah kata lagi, toh takkan membuatmu rugi bukan?"
Thian-leng kerutkan dahi, serunya, "Lo-cianpwe hendak memberi pesan apa, silakan lekas mengatakan saja!"
"Tadi kau jerat-jerit tak keruan itu hendak mencari siapa saja?"
"Ini ". seorang adik perempuan ?" adik angkatku!"
"Adik angkat..." Berpuluh-puluh tahun si pengemis tua ini berkelana di dunia persilatan, tak pernah aku bicara bohong, tak pernah aku menyombongkan diri. Dengan begitu barulah aku dapat memenangkan ...."
Merah padam seketika wajah Thian-leng, "Itu urusanku pribadi, harap lo-canpwe jangan mendesak!"
Kembali pengemis tua itu tertawa keras, "Baik, aku takkan menanyakan urusan pribadi. Bu-beng-jin, rupanya jodoh kita hanya sampai di sini saja. Karena kau mempunyai urusan lain, silakan pergi!"
Thian-leng tak mau banyak cakap. Setelah memberi hormat, segera ia memutar diri dan melangkah pergi. Tetapi baru beberapa langkah, kembali ia harus berhenti lagi. Kiranya ia mendengar pengemis tua itu berkata seorang diri,
"Ah, Sip Uh-jong, Sip Uh-jong, kematianmu sungguh mengenaskan sekali."
Buru-buru Thian-leng balik dan bertanya, "Apakah lo-cianpwe kenal pada Sip lo-cianpwe" Apakah dia...."
"Mengapa kau tanyakan dia?" wajah Pengemis sakti mengerut gelap.
"Terus terang beliau telah banyak melepas budi padaku!"
"O, kiranya kau masih ingat budi" Sayang sahabatku itu sudah mati!"
"Benarkah" " Thian-leng menegas.
"Aku pengemis tua tak pernah bohong!" sahut si pengemis. Namun Thian-leng masih tetap meminta keterangan yang jelas.
"Sahabatku itu dan Tui-hun Hui-mo telah ditutuk jalan darahnya oleh isteri Sin-bu Te-kun. Setelah mereka tak berdaya lalu dibakar!"
Thian-leng pening kepalanya mendengar cerita itu. Samar-samar ia masih ingat akan peristiwa yang telah lalu. Ia anggap keterangan si pengemis itu tentu benar.
"Agaknya lo-cianpwe tahu banyak perihal beliau, apakah lo-cianpwe?"?""
"Aku tak punya keistimewaan apa-apa. Tetapi segala peristiwa di dunia persilatan, baik kecil maupun besar, tak nanti luput dari pendengaranku. Maukah kau mendengar peristiwa-peritiwa itu semua?"
"Tak usah, aku percaya penuh pada lo-cianpwe. Aku hanya mengutuk diriku sendiri yang tak punya kepandaian tinggi hingga tak mampu membalaskan sakit hati Sip lo-cianpwe...."
Pengemis sakti menghela napas, "Benar, meskipun kau sudah meyakinkan ilmu pukulan Lui-hwe-sin-ciang dengan hebat, tetapi hawa dalammu masih kalah jauh dari Sin-bu Te-kun, si Jenggot perak Lu Liang-ong, Hun-tiong Sin-mo dan lain-lain, kecuali....."
"Kecuali bagaimana" Mengapa Lo-cianpwe tak melanjutkan kata-kata?"
Pengemis sakti perdengarkan tawa yang dalam, ujarnya, "Sip U-jong paham ilmu meramal. Tak nanti ia biarkan peta telaga Zamrut itu terbakar bersamanya. Jika sudah memberimu pil Kong-yang-sin-tan, masakah tidak peta itu sekalian?"
"Apa kata lo-cianpwe?" ulang Thian-leng.
"Aku tahu segala apa, tetapi soal peta itu benar-benar aku masih gelap. Sip U-jong memiliki selembar peta Telaga Zamrut. Sebelum ia menutup mata apakah tak diserahkan padamu?"
Thian-leng pun kerutkan dahi. "Sesaat setelah meminum pil Kong-yang-sin-tan, karena tak kuat menahan rasa panas, akupun pingsan sampai lama. Bagaimana dengan nasib Sip lo-cianpwe saat itu aku tak tahu. Begitu pula dengan peta itu!"
"Aneh, masakah peta itu turut terbakar?"?" gumam pengemis sakti. Beberapa saat kemudian baru ia berkata pula,
"Beberapa tahun yang lalu di dunia persilatan telah muncul seorang tokoh baru yang mengejutkan. Kepandaiannya luar biasa. Tokoh-tokoh kelas satu yang berhadapan dengan orang itu hanya seperti anai-anai yang menerjang api.
Belum pernah ada seorangpun jago persilatan yang mampu melayani lebih dari tiga jurus"."
"Siapakah tokoh itu?" seru Thian-leng serentak.
"It Bi siangjin!" sahut si pengemis.
"It Bi siangjin".. ?" Thian-leng mengulang heran. Ia tak tahu siapa tokoh itu.
"It Bi siangjin adalah seorang pertapa aneh. Tak suka bergaul dengan orang. Sudah berpuluh tahun ia berkelana untuk mencari seorang yang dipandang dapat menjadi murid penggantinya. Tetapi tak ada yang dicocoki, sehingga karena putus asa, ia menguburkan kitab dan pedang pusaka Liong-coan-po-kiam ?"."
"O, jadi Telaga Zamrut itu tempat kuburan pusaka!" seru Thian-leng.
"Benar, asal mendapat petanya, tentu dapat mencari pusaka-pusaka terpendam itu." Pengemis sakti mengatakan, "
kitab pusaka itu ditulis sendiri oleh It Bi siangjin, berisi seluruh ilmu kepandaiannya. Kalau berhasil meyakinkan , Sinbu te-kun, Hun-tiong Sin-mo, Lu Liang-ong, ya" pendek kata siapapun tentu tak menang?", sayang sekali kalau sampai turut terbakar !"
"Bagaimana lo-cianpwe tahu peta itu berada pada Sip lo-cianpwe " Dan mengapa Sip lo-cianpwe tak berusaha mencari pusaka itu?"
"Berita itu sudah lama tersiar di dunia persilatan, jadi tak mungkin bohong. Sip U-jong sudah dipunahkan kepandaiannya oleh musuh, maka percuma ia mendapat kitab itu, toh tak dapat meyakinkan lagi. Ia hendak menyerahkan kitab itu kepada orang yang dianggapnya berbakat bagus, agar dapat membalaskan sakit hatinya. Sip U-jong seorang yang pandai meramal, licin dan pandai tentang obat-obatan beracun. Sekalipun ilmu silatnya sudah punah, tetapi bertahun-tahun ia dapat mempertahankan peta itu dari sergapan orang. Ditilik dari akal muslihatnya, tak mungkin peta itu sampai jatuh di tangan Te-it Ong-hui. Maka kusangka kaulah yang diberi peta itu !"
"Tetapi aku tak tahu menahu tentang peta itu dan Sip lo-cianpwe pun tak pernah mengatakannya !" sahut Thian-leng.
Pengemis sakti tercengang. Menilik kesungguhan wajah si anak muda, ia percaya Thian-leng tentu tak bohong.
Sampai beberapa lama ia berdiam diri.
"Hai, apakah kau pernah memeriksa tubuhmu ?" tiba-tiba ia tersadar.
"Memeriksa tubuh " Perlu apa ?" Thian-leng melongo.
"Setelah minum pil, bukankah kau lantas pingsan" Pun pada saat Te-it Ong-hui tiba, ia tak sempat menggeledah badanmu. Siapa tahu Sip U-jong diam-diam menyelinapkan peta itu dalam tubuhmu!"
Walaupun kurang percaya, tetapi Thian-leng anggap tiada jeleknya ia memeriksa tubuhnya. Dan memang sejak meninggalkan lembah Hong-lim-koh, tak pernah ia memeriksa pakaiannya. Pun ketika Ki Seng-wan melakukan pengobatan Hiam-im-kiu-coan, meskipun pakaian Thian-leng itu dibuka tetapi nona itupun tak sempat memeriksa.
"Hai,?""!" tiba-tiba Thian-leng berseru tertahan.
Ketika tangannya merogoh kantong, ia menyentuh sebuah bungkusan kertas. Buru-buru ditariknya keluar?".
"Oho, tepat sekali dugaanku!" Pengemis sakti berteriak kaget.
Thian-leng tegang sekali. Ia tak tahu bahwa kantongnya berisi sebuah bungkusan kain yang sudah kumal. Dengan berdebar-debar ia membuka lipatan kain itu. Ah?". hampir ia menjerit kegirangan. Sebuah peta yang penuh dengan jalur-jalur goresan. Di sebelahnya tertulis tiga buah huruf Giok-ti-tho ( peta telaga zamrut)!
Tetapi yang membuat Thian-leng terkejut ialah sebaris tulisan di balik peta itu. Tulisan itu ditulis dengan darah, berbunyi :
"Hun-tiong dan Song-bun kedua durjana, adalah musuh bebuyutanku. Aku mati dibunuh Ma Hong-ing, supaya membalaskan sakit hatiku. Jangan lupa?""
Thian-leng menggigit gigi kencang-kencang.
"Bu-beng-jin, kuhaturkan selamat padamu!" tiba-tiba pengemis sakti berseru ?""asal kau memperoleh pusaka itu, kelak kau tentu menjadi tokoh utama di dunia persilatan. Untuk menuntut balas sakit hati Sip U-jong adalah semudah orang membalikkan telapak tangan!"
Thian-leng tak berkata-kata. Hatinya penuh dengan rasa haru dan dendam. Sip U-jong bukan saja memberinya minum pil Kong-yang-sin-tan, tetapi juga menyerahkan peta. Ia harus menunaikan pesan tokoh yang bernasib malang itu, menuntut balas pada Hun-tiong Sin-mo, Song-bun Kui-mo dan Ma Hong-ing. Dan memang Song-bun Kui-mo yang kini menjelma menjadi Sin-bu Te-kun itu adalah manusia yang harus dilenyapkan demi keselamatan dunia persilatan! Tetapi yang dua orang itu".. ya, Hun-tiong Sin-mo telah menyembuhkan lukanya, Ma Hong-ing kemungkinan adalah ibunya sendiri! Hendak dibunuhkah kedua orang itu"
Tidak"..! Ia tak dapat membunuh orang yang telah melepas budi padanya. Dan sebelum asal-usul dirinya diketahui, ia tak dapat membunuh Ma Hong-ing dulu. Karena kalau-kalau wanita itu benar ibu kandungnya".
Benak Thian-leng penuh dengan berbagai persoalan yang rumit, sehingga untuk beberapa saat lamanya ia hanya tegak terlongong-longong saja.
"Lekas simpan peta itu! Kalau aku seorang temaha, mungkin peta itu tentu sudah pindah ke tanganku!"tiba-tiba Pengemis sakti memperingatkan.
Tetapi di luar dugaan Thian-leng malah mengangsurkan peta itu kepada si pengemis, "Aku tak tertarik dengan peta ini. Kalau lo-cianpwe menghendaki, ambil ah!"
Kalau tak mengambil peta itu berarti bebas dari kewajiban melaksanakan pesan Sip U-jong. Dmeikianlah jalan pikiran Thian-leng.
"Kau gila"..?" teriak si pengemis.
"Jika memperoleh pusaka kau bakal menjadi tokoh silat nomor satu! Tak seorang persilatan pun yang tak mengiler dengan peta itu, tetapi mengapa kau....."
Thian-leng hanya menghela napas, "Aku masih muda dan kurang pengalaman, mungkin tak layak mendapat kitab pusaka itu. Lo-cianpwe lebih ternama dan lebih berpengalaman, bukankah....."
"Tidak! Tidak!" Pengemis sakti menolak tegas. "Aku si pengemis tua tak mau melanggar kemauan alam! Apalagi pilihan Sip U-jong tentu tak salah. Dia tentu sudah memperhitungkan bahwa bukan saja kau dapat melaksanakan pesannya, juga dapat pula memikul beban kewajiban menjaga keselamatan dunia persilatan. Aku si pengmis tua ini tak punya rejeki sedemikian besar !"
Thian-leng terpaksa menyimpan lagi peta itu, kemudian ia minta diri.
"Apakah kau hendak mencari adik angkatmu itu lagi?" tanya si pengemis.
Thian-leng mengiyakan.
"Aku si pengemis tua bersedia mewakili pekerjaanmu itu tetapi .... kau .....harus segera menjenguk sahabatmu yang sakit keras itu. Sudah, jangan membuang waktu lagi...."
Thian-leng tersirap kaget. Mengapa pengemis itu tahu urusan itu pula"
"Apakah lo-cianpwe yakin berhasil mencari nona Lu itu?"
"Jangankan dia, sekalipun kau suruh cari seekor semut di ujung langit, aku tentu sanggup mengerjakannya!"
"Aku seorang yang tahu membalas budi dan dendam. Atas budi lo-cianpwe kelak aku tentu membalasnya. Sekalipun lo-cianpwe suruh aku menyebur ke dalam lautan api, tentu aku tak menolak !"
"Bagus, bagus. " si pengemis tua tertawa, "aku memang tak mau bekerja percuma. Setiap bantuan yang kuberikan, tentu kuminta balas. Sekarangpun aku hendak minta balas padamu!"
"Lo-cianpwe hendak suruh apa?" Thian-leng tercengang.
"Tidak menyuruh melainkan hanya meminta kau meluluskan dua buah hal!"
"Silakan mengatakan."
Seketika wajah Pengemis sakti berobah serius, ujarnya dengan nada sungguh-sungguh, "Pertama, mulai saat ini jangan kau berbahasa "lo-cianpwe" lagi kepadaku. Aku akan memanggilmu "laote" (adik) dan kau panggil aku
"laoko"(kakak)!"
"Aku terpaksa menurut, laoko, "segera Thian-leng mengganti panggilannya, "dan apakah permintaan laoko yang kedua itu ?"
Pengemis sakti tertawa aneh, "Yang kedua, kuminta kau menyimpan sebuah barangku. Harus kau pakai selama-lamanya dan jangan sampai hilang !"
Diam-diam Thian-leng geli-geli heran. Mengapa memberi barang saja harus pakai perjanjian" Dan mengapa harus suruh memakai seumur hidup"
"Baiklah , laoko!" sahut Thian-leng.
Pengemis sakti tersenyum. Segera ia mengeluarkan sebuah benda. Dengan hati-hati benda itu dikalungkan pada leher Thian-leng.
"Lencana ini, meskipun tak berharga, tetapi merupakan barang pusakaku. Harap jangan dibuang!" pesannya.
Benda itu ternyata sebuah lencana berukirkan beberapa batang bambu yang malang-melintang. Lencana itu di kat dengan sebuah kalung kecil.
Thian-leng tak tahu apa guna dan arti lencana bergambar bambu itu. Namun karena sudah berjanji ia biarkan saja lencana itu dipasangkan si pengemis pada lehernya.
Sebelum pamit pergi, Thian-leng sekali lagi menyampaikan permintaan supaya si Pengemis Sakti bulu-besi suka mengusahakan mencari Lu Bu-song.
Si Pengemis sakti menyanggupi.
ooo000ooo Ah, kau.......!
Dengan menggunakan ilmu lari cepat, dalam setengah hari saja dapatlah Thian-leng mencapai seratus li. Pikirannya masih penuh dengan bermacam perasaan.
Ia tak mengira Sip U-jong dan Tui-hun Hui-mo mati begitu mengenaskan. Lebih-lebih tak menyangka kalau Sip U-jong diam-diam menyerahkan peta pusaka kepadanya. Jika berhasil mendapatkan kitab pusaka dan meyakinkannya, kelak ia bakal menjadi tokoh nomor satu di dunia persilatan. Dengan begitu dapatlah ia melakukan segala rencananya.
Hari kedua tibalah ia di kota Ceng-liong-tin, sebuah kota yang terletak di tepi sungai Hong-ho. Kota itu merupakan lalu lintas perdagangan yang ramai. Pertama-tama Thian-leng mencari keterangan tentang rumah penginapan Ih-hian. Ternyata rumah penginapan itu terletak di sebuah jalan kecil yang sepi. Rumah itu sepi tetamu. Diam-diam ia heran mengapa Cu Siau-bun memilih rumah penginapan yang sedemikian jorok dan kecil Apakah sahabatnya itu kehabisan uang"
Ketika ia masuk, ruangan suram penerangannya. Setelah bertanya pada pelayan, ia segera menghampiri sebuah kamar. Di dalam kamar itu hanya terdapat meja dengan sebuah kursi dan sebuah ranjang bambu. Di antara lampu yang redup tampak sesosok tubuh pemuda membujur di atas ranjang. Wajah pemuda itu pucat. Begitu melihat kedatangan Thian-leng, pemuda itu berusaha menggeliat bangun. Tetapi ia mengerutkan dahi dan rebah lagi, rupanya ia tak kuat bangun.
Melihat itu Thian-leng terharu sampai menitikkan dua tetes air mata, serunya teriba-iba, " Cu-heng, Cu-heng ?""kau masih ingat padaku!"
Pemuda itu yang bukan lain memang Cu Siau-bun, memaksakan diri memandang Thian-leng, "Kau". Kang-heng"..
aku menunggumu setengah mati!"
Thian-leng menghela napas, "Aku bukan she Kang, Cu-heng tentunya tahu. Sampai saat inipun aku belum tahu asal-usulku, ?" tetapi bagaimana dengan penyakit Cu-heng?"
"Ah, mungkin tiada pengharapan lagi"..!" Cu Siau-bun tersenyum hambar, "dalam saat-saat terakhir dapat melihat kau". dapatlah aku mati dengan puas!"
"Tidak, akan kuusahakan sekuat tenaga untuk menyembuhkan Cu-heng".." Thian mendekap kedua bahu sahabatnya.
Tiba-tiba ia teringat, "Apakah Cu-heng tahu tentang tabib Thay-gak Sian-ong di gunung Thay-san" Kabarnya ia seorang tabib yang pandai. Mari kuantar Cu-heng ke sana!"
Tetapi Cu Siau-bun menolak, "Percuma, penyakitku ini sudah bertahun-tahun. Obat dari tabib itu takkan menolong jiwaku!"
"Lu lo-hiapsu ketua Thiat-hiat-bun juga pandai ilmu pengobatan. Aku kenal baik padanya, kalau dia mau tentu dapat menyembuhkan Cu-heng!"
Sekalipun mulut mengatakan begitu, tapi dalam hati Thian-leng gelisah. Ia belum yakin si Pengemis sakti dapat mencari Lu Bu-song. Kalau dara itu belum diketemukan, ketua Thiat-hiat-bun tentu marah.
Selain itu iapun memikirkan tentang pernyataan Sin-bu Te-kun yang hendak menggempur Tiam-jong-san. Belum tentu dugaan Lu Bu-song bahwa Sin-bu Te-kun tentu tak berani menyerang Tiam-jong-san itu yang benar. Kalau Sinbu Te-kun benar-benar membuktikan ancamannya, bukankah berabe membawa orang sakit kepada ketua Thiat-hiat-bun yang sedang bertempur dengan Sin-bu-kiong itu "
"Itupun sia-sia saja," tiba-tiba kedengaran Cu Siau-bun menolak. "Telah kukatakan bahwa penyakit ini telah kuidap lama sekali. Tiada seorangpun yang dapat mengobati, kecuali...."
"Kecuali bagaimana harap Cu-heng katakan. Asalkan dapat menyembuhkan penyakit Cuheng, apapun aku sanggup melakukan!"
Wajah Cu Siau-bun menebar warna merah, serunya, "Apakah".. kau". sungguh"."
"Seorang lelaki rela berkorban untuk sahabatnya!" seru Thian-leng dengan tegas. "Asal Cu-heng bisa sembuh aku rela mengorbankan apa saja".!Eh, apakah Cu-heng masih ingat perjanjian kita di lembah Sing-sim-kiap dahulu?"
"Tiada sedetikpun aku melupakan perjanjian itu. Hanya " mungkin bisa terlaksana besok pada penitisan kita lagi!"
Kembali Thian-leng menghiburnya dan memberi pernyataan lagi. Kemudian dengan suara berbisik-bisik ia menerangkan bahwa ia telah mendapat peta Telaga zamrut. Apabila ia berhasil menemukan kitab pusaka itu, tentulah cita-cita mereka berdua bakal tercapai!
"Benarkah ucapanmu itu?" Cu Siau-bun menegaskan girang-girang kaget.
Segera Thian-leng mengeluarkan peta, serunya, "Lihatlah peta ini, Cu-heng"..!" serunya. Cu Siau-bun memperingatkan supaya sahabatnya itu jangan bicara keras-keras, karena dinding itu bertelinga. Kemudian ia menyuruh Thian-leng menyimpannya lagi.
"Tadi Cu-heng mengatakan ada cara yang dapat menyembuhkan penyakitmu, entah apakah".."
Wajah Cu Siau-bun berobah merah, ujarnya tersipu-sipu, "Sekalipun ada, tetapi tentu membuat kau menderita".."
Thian-leng menyatakan bahwa ia bersedia melakukan apa saja asal penyakit sahabatnya itu sembuh.
Akhirnya Cu Siau-bun terpaksa berkata dengan nada jengah, "Sejak kecil tubuhku telah terkena semacam racun.
Racun itu kecuali dengan cara pengobatan Goan-yang-sam-hwe ialah menggunakan sari perjakamu untukmu mengenyahkan racun, tiada lain jalan lagi!"
Thian-leng pun merah mukanya. Ia tahu bahwa Goan-yang-sam-hwe itu memang suatu cara pengobatan yang mujarab. Ibarat dapat merebut jiwa manusia dari cengkeraman iblis maut. Tetapi cara itu berarti suatu pengorbanan kehilangan perjakanya. Namun dalam menghadapi saat-saat seperti itu, pikirannya hanya ditujukan untuk menolong sang sahabat saja, maka iapun terpaksa meluluskan juga.
Demikian kedua pemuda itu hendak melakukan pengobatan istimewa. Pada detik-detik
di mana keduanya sudah siap melaksanakan, terdengar Cu Siau-bun menghela napas, "Apakah kau bersungguh hati hendak menolong jiwaku?"
"Eh, mengapa Cu-heng masih berkata begitu?"
"Apakah kau takkan menyesal?"
"Menyesal" Mengapa harus menyesal?"
"Jika kau mengetahui bahwa aku"." Cu Siau-bun berhenti sejenak, "andaikata kau mendapatkan ada sesuatu yang mengejutkan pada diriku, apakah kau tetap?""
"Ah, mengapa Cu-heng masih tak percaya!" Thian-leng heran.
"Bukan tak percaya, tetapi kuatir kau".." tiba-tiba suara dan tubuh Cu Siau-bun gemetar, ujarnya,
"Aku"..aku".sebenarnya?""
"Kau seorang ".. gadis!" Thian-leng menjerit kaget, "kau ini Cu Siao-bun, kau ternyata tak sakit!"
"Ya, benar, aku?"..," Cu Siau-bun menangis sedih. Sementara Thian-leng tak tahu apa yang harus dilakukan. Ia kehilangan kata-kata. Seharusnya ia pagi-pagi tahu bahwa Cu Siau-bun itu ialah Cu Siao-bun juga. Mengapa ia begitu naif sampai kena dikelabui"
Tetapi haruskah ia mendamprat gadis itu"
Tidak! Walaupun bagaimana yang telah terjadi, ia tak dapat menyalahkan nona itu. Adalah karena dirundung oleh badai asmara, maka nona itu sampai nekat melakukan hal-hal yang sebenarnya kurang senonoh. Ya, tak sangsi lagi.
Adalah karena pengaruh asmara terpendam yang meledak di sanubari nona itu. Jelas sudah bahwa nona itu memang sangat mencintainya......
Baik rupa maupun kepandaian, memang Cu Siau-bun merupakan gadis idaman yang sukar dicari keduanya. Ia tentu bahagia mempunyai seorang isteri yang begitu menyayang. tetapi dapatkah ia memperisterikannya" Tidak! Ia telah meluluskan pada si Jenggot Perak Lu Liang-ong untuk mengambil Lu Bu-song sebagai isteri. Ia tak dapat melanggar sumpahnya. Tetapi, tetapi.... ah, ia telah melanggar kesucian Cu Siau-bun.... dapatkah hal itu dipertanggung-jawabkan?""
"Kau ...... benci padaku?" karena melihat Thian-leng membisu, Cu Siau-bun memberanikan diri menegur.
Thian-leng gelagapan menyahut, "Tidak! Aku "merasa mengecewakan kau". " ia menghela napas panjang, "Karena aku tak dapat memperisteri kau!"
Cu Siau-bun tertawa rawan, "Kutahu, tak dapat kusesalimu!"
Tetapi dalam hati nona itu telah memutuskan. Ia hendak berjuang mengalahkan Lu Bu-song untuk merebut Thianleng. Dan kini dalam babak pertama, ia sudah menang"..
Sekonyong-konyong sebuah benda berkelap-kelip macam seekor kunang-kunang menghampiri tempat lilin dan tiba-tiba membentur sumbu lilin. Seketika lilinpun menyala dan serentak dengan itu terdengar suara berbisik,
"Menghadapi seorang nona cantik, mengapa kasak-kusuk dalam kegelapan!"
Thian-leng dan Siau-bun tersentak kaget!
(bersambung ke jilid 12)
Jilid 12 . Utusan Neraka Siau-bun menjulurkan sebuah jarinya dan lilin itupun padam. Keduanya segera mengemasi pakaiannya.
"Awas, jaga baik-baik petamu, mungkin orang ini hendak mengarah petamu itu!" bisiknya kepada Thian-leng.
Pukulan Naga Sakti 14 Balada Pendekar Kelana Karya Tabib Gila Pukulan Naga Sakti 21
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama