Panji Tengkorak Darah Ko Lo Hiat Ki Karya S D Liong Bagian 7
Thian-leng malu dan marah sekali. Tahulah ia di mana jatuhnya perkataan orang. Seketika merah padamlah air mukanya.....
oooo00000oooo Empat Serangkai
Siau-bun tertawa hina, "Baiklah aku mewakilinya berbicara. Yang paling dihormati kaum persilatan ialah kepercayaan dan kebajikan. Benar tidak?"
Sin-bu Te-kun tertegun. Matanya berkilat-kilat menyapu si nona. Pada lain kilas ia tertawa membatu, "Nona seorang yang tangkas bicara, tak kecewa menjadi ratu kembang, pendekar wanita."
"Ah, jangan kelewat memuji" "
Tiba-tiba Sin-bu Te-kun alihkan pandangan ke arah Thian-leng, "Buyung, eh, Bu-beng-tay-hiap, setujukah kau dengan kata-kata nona tadi?"
Wajah Thian-leng membesi. Rasa malu bercampur marah membuatnya tak dapat bicara.
"Bu-beng-tay-hiap tak suka menerima budi orang, anggaplah aku yang mewakilinya bicara!" Siau-bun tertawa tawar.
"Akan kudengarkan dengan khidmat!" ejek Sin-bu Te-kun.
Sejenak Siau-bun melirik Thian-leng lalu berkata dengan tenang, "Bukan saja menjunjung kepercayaan dan kebajikan, Bu-beng-tay-hiap pun paling konsekwen melaksanakan kedua hal itu!"
Sin-bu Te-kun mendelikkan mata kepada Thian-leng. Tiba-tiba ia tertawa nyaring. Seketika berhamburan dering ringkik bagai petir menyambar anak telinga. Kumandangnya menggelegar ke seluruh lembah"..
"Setan tua, pertandingan seratus jurus itu hanya tipu muslihatmu belaka".!" tiba-tiba Thian-leng membentaknya.
"Taruh kata benar suatu tipu muslihat, mengapa kau sampai kena tertipu" Apakah kau seorang anak kecil atau kau menyesal sekarang?" Sin-bu Te-kun tertawa hina.
"Apakah aku menyatakan menyesal" Seorang lelaki sekali berkata tentu tak mau menjilatnya lagi. Apalagi aku sudah bersumpah kepada langit"."
"Kalau begitu, sepuluh jurus yang terakhir?".?"
"Kau sudah sedia melanjutkan ?" Thian-leng menjamah pedangnya.
Sin-bu Te-kun tertawa sinis. Ia lingkarkan jari telunjuknya ke arah tanah dan terbentuklah sebuah lingkaran di tanah.
Tubuhnya yang kecil kurus berada di tengah lingkaran.
"Aku sudah siap!"
Diam-diam Thian-leng telah mengambil keputusan. Jika dalam sembilan jurus ia tak berhasil merebut kemenangan, maka satu jurus terakhir akan digunakan untuk membunuh diri. Betapapun halnya, ia tak sudi jatuh ke tangan Sin-bu Te-kun.
Tiba-tiba terdengar suara Sin-bu Te-kun dalam ilmu menyusup suara, melengking di telinga Thian-leng, "Buyung, hendak kugunakan sepuluh jurus ilmu silat yang paling sakti untuk menghindari seranganmu. Harap kau perhatikan dengan seksama. Mungkin di kemudian hari akan banyak berguna padamu!"
Thian-leng tergerak hatinya. Teringat ia ketika melakukan pertempuran sembilan puluh jurus dengan Sin-bu Te-kun tempo hari. Banyak sekali ilmu pelajaran silat yang aneh dan sakti telah didapatnya dari raja Sin-bu-kiong itu. Dan ketika berada dalam penjara Cui-lo, Nyo Sam-kui berpesan dengan wanti-wanti agar ia suka melatih ilmu pelajaran dari Sin-bu Te-kun itu.
Dan kini kembali Sin-bu Te-kun menyuruh ia memperhatikan jurus-jurusnya. Jelas bahwa momok itu sengaja hendak menurunkan pelajaran padanya. Ah, sungguh aneh!
Tiba-tiba ia teringat bagaimana Lu Bu-song memutuskan perundingannya dengan Sin-bu Te-kun untuk menetapkan perjanjian seratus jurus pertempuran itu. Apakah Sin-bu Te-kun benar-benar bermaksud hendak mengambilnya sebagai ahli waris"
Ah, tidak, tidak?"
"Ayo, mulailah buyung!" tiba-tiba Sin-bu Te-kun membentaknya.
Thian-leng tersentak kaget dari lamunan. Ternyata walapun tangan sudah menjamah pedang, tetapi tak segera dicabut. Cepat ia mencabut pedang dan segera hendak menyerang. Tetapi secepat itu juga Siau-bun membentaknya perlahan.
"Hai, perlu apa kau turut campur?" bentak Sin-bu Te-kun dengan murka.
Siau-bun tersenyum, " Memang tak ada hubungan apa-apa. Aku tak mau merintangi kalian melanjutkan
pertempuran, tetapi aku perlu memperingatkan dulu pada Bu-beng-tay-hiap!"
Thian-leng tertegun, serunya kemudian, "Seorang lelaki tak serakah hidup, tak gentar mati. Karena aku sudah terlanjur berjanji, maka tak ada jalan lain kecuali harus menempurnya. Jika gagal kematianlah yang menjadi bagianku. Tak nanti aku sudi jatuh ke tangan setan tua itu!"
Siau-bun gelengkan kepala, "Justru hal itu yang hendak kuingatkan kepadamu. Sekalipun kau sudah bertekad begitu, tetap kau tak kenal siapa lawanmu itu. Sekali sudah menghendaki mengambil kau sebagai murid, maukah ia membiarkan kau bunuh diri?"
Nona itu berpaling kepada Sin-bu Te-kun, "Maaf karena menelanjangi rencanamu. Kau tentu tahu ia tak sudi menjadi muridmu dan akan bunuh diri. Tetapi dengan kepandaianmu kau pasti dapat mencegahnya. Dengan selesainya pertandingan seratus jurus itu, tentu kau yakin dia akan menurut perintahmu."
Thian-leng tersentuh hatinya. Diam-diam ia mengakui ucapan si nona itu memang benar. Memang mudah sekali bagi Sin-bu te-kun hendak mencegah ia bunuh diri.
Dalam pada itu tampak Sin-bu Te-kun marah sekali, serunya mengekeh, "Anggaplah ucapanmu itu benar, lalu bagaimana?"" ia melirik tajam kepada Thian-leng, serunya, "Apakah kau hendak membatalkan pertandinagn ini?"
Thian-leng terpaku tak dapat bicara.
Siau-bun tertawa mengejek, "Kau mau menghabiskan urusan ini atau tidak, Bu-beng-tay-hiap kelak tetap akan mencarimu untuk membikin perhitungan "."
Tergerak sekali semangat Thian-leng mendengar ucapan itu. Dia telah menyanggupi Oh-se Gong-mo untuk menuntut balas pada Song-bun-kui-mo atau Sin-bu Te-kun sekarang". Tetapi ia kalah sakti dengan musuh itu dan kini masuk ke dalam perangkapnya. Tidak hidup juga tidak mati".
"He, he?" Sin-bu te-kun mengekeh tertawa, "Ucapan nona memang tepat sekali, lalu"."
"Sisa pertandingan ini diundur lagi sampai lain waktu!" Siau-bun cepat menanggapi.
Thian-leng terkesiap. Tempo hari Lu Bu-song pun mencegah diteruskannya sisa sepuluh jurus itu. Sekarang Siau-bun pun demikian.
Sin-bu te-kun marah sekali, "Seharusnya pertandingan seratus jurus itu diselesaikan pada saat itu juga. Toh sudah diundur sekali, rasanya sukar untuk menundanya lagi....." cepat ia berpaling kepada Thian-leng dan berseru menantang, "Hai, Bu-beng-tay-hiap, mengapa tak segera menyerang?"
Merah padam muka Thian-leng tetapi segera ia menyahut lantang, "Saat ini aku tak mempunyai selera bertempur, maka harus...."
"Toh baru diundur satu kali masakah tak boleh sekali lagi...." Siau-bun tertawa.
"Salahmu mengapa kau lalai pada waktu permulaannnya!" kata Sin-bu Te-kun kepada
Siau-bun. "Dalam sumpah, tak diterangkan bahwa pertandingan harus diselesaikan dalam satu saat. Tak disebutkan pula kalau hanya boleh diundur satu kali!" sahut Siau-bun.
Marah Sin-bu Te-kun bukan kepalang. Ia tertawa meringkik, "Kalau begitu, jangan salahkan aku seorang yang ganas?"
"Mau apa kau?" tegur Siau-bun.
Sin-bu Te-kun mendesah. "Akan kucincang tubuhmu lebih dahulu, baru nanti kulanjutkan pertempuran dengan budak itu!"
Siau-bun tertawa nyaring. "Oh, jadi kau hendak bertempur melawan aku!"
"Terhadap seorang budak perempuan seperti kau, tak perlu menggunakan kata-kata bertempur. Jika mau membunuhmu adalah semudah membalikkan telapak tanganku ini!" seru Sin-bu Te-kun dan tanpa tampak bergerak, tiba-tiba ia sudah melesat ke hadapan Siau-bun. Kelima jari tangannya segera dicakarkan".
Bukan main terkejutnya Thian-leng. Sekalipun ia tahu kepandaiannya kalah jauh dengan Sin-bu Te-kun, namun untuk menolong Siau-bun ia tak segan mengadu jiwa. Dengan sepenuh tenaga ia siapkan Lui-hwe-sin-ciang dengan tangan kiri, sedang tangan kanan siap mencabut pedang.
Tetapi anehnya Siau-bun tampak tenang-tenang saja. Bahkan sama sekali tak mengacuhkan Sin-bu Te-kun.
Nona itu tertawa hambar, "Sayang saat ini aku tak gembira bertempur dengan engkau. Apalagi kuperhitungkan kau tentu tak berani membunuhku!"
Kata-kata gagah itu membuat Sin-bu Te-kun tertegun, serunya geram,"Kau sudah yakin" Bagaimana kau tahu aku akan memberi ampun kepadamu?"
"Siapa sudi menerima pengampunanmu?" Aku hanya mengatakan bahwa pada saat ini kau tentu tak berani membunuhku!" kata Siau-bun.
Ucapan nona itu ditutup dengan menaburkan tangannya ke udara. Seutas sinar merah segera menghambur. Cepat sekali Sin-bu Te-kun sudah menyambut benda yang dilontarkan si nona itu. Hanya yang jelas benda itu bukanlah sejenis senjata rahasia. Tetapi untuk keheranannya begitu memeriksa benda itu terbeliak mata Sin-bu Te-kun..
"Kau ternyata......" mulutnya terbuka.
Thian-leng tak dapat mendengar apa yang dikatakan Sin-bu Te-kun lebih jauh, karena pada saat itu juga Siau-bun segera mengajaknya pergi," Jangan lupa tujuan kita, ayo kita berangkat!"
Sekalipun menurut ajakan si nona, namun Thian-leng tak mau tinggalkan kewaspadaan. Ia terus memandang lekat-lekat kepada Sin-bu Te-kun sembari melangkah mundur. Aneh sekali Sin-bu Te-kun sama sekali tak merintanginya.
Tiba-tiba raja Sin-bu-kiong itu berseru sinis, "Kasih tahu pada ibumu, keputusanku untuk menguasai dunia persilatan sudah lenyap! Jika dia mau bekerja sama, tentu kubagi rata kedudukan itu, tetapi kalau tidak....."
Thian-leng hanya samar-samar menangkap arti kata-kata itu, tapi ia tak sempat merenungkan lebih jauh karena ia sudah diseret sampai tujuh delapan tombak jauhnya oleh Siau-bun.
"Apakah yang kau lemparkan tadi sehingga membuat ia......" ia hendak minta keterangan.
"Saat ini kita berada dalam kepungan orang Sin-bu-kiong," Siau-bun memutus, "iblis tua itu setiap saat dapat berobah haluan. Lebih baik kita lekas pergi dari sini!"
Thian-leng terpaksa menurut. Dalam beberapa kejap saja, mereka sudah tiba di dalam sebuah hutan di kaki gunung.
Suasana malam sunyi sekali.
Siau-bun menggunakan ilmu menyusup suara,"Tempat ini tampaknya sunyi senyap, tetapi sebenarnya penuh dengan naga dan harimau!"
Diajaknya Thian-leng bersembunyi di sebuah gerumbulan pohon. Diam-diam Thian-leng heran mengapa ia tak melihat barang seorangpun manusia. "Apakah tempat ini benar Co-gan-hong?" tanyanya.
Siau-bun mengiyakan.
"Katanya ketua Tiam-jong-pay dikepung di sini, tetapi mengapa sepi-sepi saja, apakah"."
"Memang seperti orang Sin-bu-kiong yang mengepung, tetapi kurasa pertempuran ini tidak terbatas hanya antara Tiam-jong-pay dengan Sin-bu-kiong saja".."
"Oo, masih ada lain partay?"
"Tunggu saja sebentar lagi"!"
Thian-leng tak habis herannya. Banyak nian keanehan yang dijumpainya. Tiba-tiba dari dalam hutan muncul lima sosok bayangan hitam. Gerakan mereka gesit sekali, tentulah jago-jago silat yang sakti.
Karena mencurahkan pandangannya kepada Sin-bu Te-kun, maka Thian-leng tak dapat melihat jelas kelima bayangan itu. Ia menanyakannya kepada Siau-bun.
"Akupun tak tahu golongan mana mereka itu," jawab Siau-bun, "tetapi yang jelas di hutan ini penuh tokoh-tokoh persilatan dari segala penjuru dunia...."
"Mengapa aku tak dengar apa-apa" Apakah karena kau menggunakan ilmu Melihat-langit-mendengar bumi".. "
"Tetapi sampai saat inipun aku tak mendengar apa-apa," sahut Siau-bun, "ini membuktikan mereka itu memiliki kepandaian sakti. Dan lagi karena terhalang lamping gunung, sehingga tak mudah tertangkap suaranya". "
"Bagaimana, apa sudah kedengaran apa-apa?" tanya Thian-leng sesaat kemudian.
"Sekeliling penjuru ini penuh dengan orang. Entah apakah yang mereka tunggu," kata Siau-bun, "Celaka, kedatangan kita mungkin sudah diketahui, lebih baik".."
(bersambung jilid 16 )
Jilid 16 . Belum selesai ucapannya, tiba-tiba kelima sosok bayangan tadi melesat keluar dari hutan. rupanya mereka bertemu rintangan.
"Sahabat manakah yang di depan itu?" salah seorang berseru dengan nada berat.
Terdengar suara sahutan disertai tawa dingin, "Mengapa bukan kau yang melapor dirimu terlebih dahulu?"
Kelima orang itu terbeliak. Orang yang berseru tadi kembali berseru pula, "Kami adalah orang Sin-bu-kiong, mohon tanya siapa saudara?"
"Thiat-hiat-bun!" sahut suara itu.
Kelima orang itu mengeluh kaget dan menyurut langkah, "Thiat-hiat-bun sudah datang?"
Sebagai jawaban, sebuah pukulan dilayangkan. Kelima orang itu sama sekali tak menyangka. Mereka menangkis kalang kabut, namun tetap harus terhuyung-huyung beberapa langkah. Pukulan orang Thiat-hiat-bun itu keras sekali.
"Ha,ha, ha,, murid-murid Sin-bu-kiong hanya gentong kosong semua. Masakah dengan kepandaian begitu berani unjuk muka di sini?" orang Thiat-hiat-bun itu tertawa mengejek.
Thian-leng dan Siau-bun terkejut girang. Buru-buru mereka mencuri lihat. Di sebelah sana tampak kelima orang Sinbu-kiong itu tengah berhadapan dengan seorang lawan yang menyebut dirinya Thiat-hiat-bun. Dia seorang tua dalam jubah pertapaan. Sikapnya berwibawa.
Tiba-tiba dari dalam hutan melesat keluar lagi tiga orang yang menggabung di sebelah orang tua itu. Salah seorang segera menegur rombongan orang Sin-bu-kiong." Di mana Poh-ih-siu Li ciangbun sekarang?"
Setelah menenangkan diri, kelima orang Sin-bu-kiong itu segera menyahut. "Sayang kalian datang terlambat. Dia sudah menyerah!"
Marah sekali keempat orang Thiat-hiat-bun itu. Serempak mereka membentak seraya menghantam, "Kalau begitu kamu harus mengganti jiwa!"
Seorang Thiat-hiat-bun saja sudah cukup ngeri, apalagi empat orang. Kelima orang Sin-bu-kiong mundur seraya memberi isyarat tangan, "Tahan dulu!"
Keempat orang Thiat-hiat-bun itu hentikan pukulannya, "Lekas bilang!"
"Mohon tanya nama saudara-saudara?"
Orang Thiat-hiat-bun tertawa, "Pernahkah kamu dengar tentang Thiat-hiat Su-kiat?"
"Thiat-hiat Su-kiat?" kelima orang Sin-bu-kiong menjerit kaget dan buru-buru hendak melarikan diri. Thiat-hiat Su-kiat artinya Empat pahlawan partai Thiat-hiat-bun.
Tetapi Thiat-hiat Su-kiat bergerak secepat kilat. Terdengar deru angin bagai gunung roboh menyambar kelima orang itu. Orang Sin-bu-kiong pun terpaksa mengadakan perlawan. Mereka sebenarnya juga jago kelas satu dalam istana Sin-bu-kiong. Tetapi terhadap keempat Su-kiat, jauhlah kepandaiannya. Dalam waktu singkat, kelima orang Sin-bu-kiong itupun tercancam maut.
Tiba-tiba sesosok bayangan merah melesat. Seorang tua bertubuh kecil kurus melayang dari udara dan menangkis serangan keempat Su-kiat. Bum".terdengarlah letusan dahsyat dan debu berhamburan".
Keempat Su-kiat itu tersentak kaget. Mereka dapatkan selain luar biasa kuatnya, tenaga pukulan orang tua pendek itupun mengandung tenaga Imhan ( dingin ), yang menusuk sampai ke tulang, sehingga menyurutkan tenaga keempat Su-kiat sampai beberapa bagian. Penyurutan tenaga itu membuat kuda-kuda kaki mereka tergempur mundur beberapa langkah.
Pendatang baru itu bukan lain Sin-bu Te-kun sendiri. Tetapi dia juga tak terlepas dari rasa kaget. Sejak mempelajari ilmu kesaktian dari kitab Im-hu-po-tian, ia anggap dirinya tiada yang menandingi lagi. Tetapi diam-diam ia masih kuatir terhadap partai Thiat-hiat-bun.
Peristiwa si jenggot Perak Lu Liang-ong mengacau istana Sin-bu-kiong belum cukup meyakinkan Sin-bu Te-kun tentang kepandaian orang Thiat-hiat-bun. Dia belum bertempur resmi dengan ketua Thiat-hiat-bun. Bahwa ternyata keempat Thiat-hiat Su-kiat yang tentunya lebih rendah kepandaiannya dari ketua Thiat-hiat-bun, mampu menahan pukulannya dan bahkan adu pukulan itu membuat darahnya bergolak-golak, benar-benar membuat Sin-bu Te-kun terkejut bukan kepalang.
Seketika berkobarlah nafsu membunuh dalam hatinya. Diam-diam ia mengerahkan tenaga dalam dan berdiri tegak.
Begitu keempat Su-kiat maju menyerang, hendak ia sambut dengan pukulan Hiam-im-ciang yang ganas sekali.
Thiat-hiat Su-kiat pun termangu heran. Mereka diperintahkan oleh ketua Thiat-hiat-bun untuk menolong Lu Bu-song yang ditawan dalam penjara istana Sin-bu-kiong. Memang telah diketahui bahwa istana Sin-bu-kiong itu penuh dengan naga dan harimau, juga ketua Sin-bu-kiong itu memiliki kepandaian yang tiada taranya. Tetapi mereka tak sampai membayangkan kalau raja Sin-bu-kiong itu ternyata sedemikian saktinya. Tenaga pukulan mereka berempat dapat ditolak mundur olehnya.
Namun keempat Su-kiat itu juga tokoh-tokoh kenamaan. Setelah saling memberi isyarat, mereka serempak maju memukul.
"Tahan!" sekonyong-konyong terdengar suara bentakan dari udara.
oo000oo Bahasa Singa dan Naga
Bentakan itu bagaikan petir menyambar pecah anak telinga. Sin-bu Te-kun terkejut juga. Sedang keempat Su-kiat mundur beberapa langkah.
Seorang tua bertubuh kokoh kekar dengan jenggot berkelap-kelip seperti perak melayang turun dari udara. Dia tegak di tengah-tengah kedua pihak yang hendak bertempur.
Girang Thian-leng bukan kepalang. Itulah si Jenggot Perak Lu Liang-ong , ketua Thiat-hiat-bun.
"Adu tenaga yang tadi sudah cukup!" jago Thiat-hiat-bun itu tertawa meloroh. Ia mengurut-urut jenggot dan menatap Sin-bu Te-kun. "Cukuplah kiranya kau menikmati rasanya orang Thiat-hiat-bun!"
Wajah Sin-bu Te-kun berobah gelap, serunya dengan geram. "Lu tua, jangan terlalu menghina orang!"
Ia menengadah sambil bersuit panjang. Nadanya aneh dan seram. Begitu berhenti bersuit, tiba-tiba muncul ah serombongan orang Sin-bu-kiong, antara lain Co sucia dan Yu sucia. Kepala Cong houhwat yang baru dan berpuluh-puluh pengawal baju ungu. Mereka berdiri di belakang Sin-bu Te-kun.
"Aha, apakah semua kochiu Sin-bu-kiong sudah lengkap?" Jenggot perak tertawa.
Sahut Sin-bu Te-kun sinis, "Lengkap atau tidak, tetapi rasanya cukup sudah untuk menghadapi Thiat-hiat-bun!"
Jenggot perak Lu Liang-ong tertawa meloroh, "Kukuatir kau salah hitung?"" tiba-tiba ia bertepuk tangan.
Seketika dari dalam hutan samping berbondong-bondong muncul puluhan orang Thiat-hiat-bun. Di antaranya terdapat juga ke tiga puluh enam Thian-kong dan ke tujuh puluh dua Te-sat dari Thiat-hiat-bun.
Thian-kong dan Te-sat merupakan kedudukan yang tinggi dalam partai Thiat-hiat-bun. Ke tiga puluh enam Thian-kong itu mengenakan pakaian ringkas warna biru dan ke tujuh puluh dua tokoh Te-sat berpakaian kuning. Masing-masing bersabuk kong-pian atau ruyung emas seperti cemeti.
Sin-bu Te-kun terbelalak, serunya, "Lu tua, kiranya kau merencanakan hendak menancapkan kaki di Tiong-goan !"
Jenggot perak tertawa datar. "Daerah di Lam-hong sudah cukup luas, perlu apa aku menginginkan daerah Tiong-goan lagi?"
"Kalau tidak bermaksud begitu, mengapa jauh-jauh datang kemari dengan membawa seluruh anak buahmu"
Bukankah hendak memusuhi pihak Sin-bu-kiong?" tukas Sin-bu Te-kun.
Jenggot perak tertawa nyaring, "Telah kukatakan bahwa aku ingin pesiar menikmati pemandangan alam di sini. Kalau kau katakan memusuhi pihak Sin-bu-kiong, mungkin itu hanya kebetulan saja"."
"Bagaimana kau katakan kebetulan saja?"
"Kebetulan karena mengetahui perbuatan-perbuatan Sin-bu-kiong yang melampaui batas hendak menguasai dunia persilatan. Aku si orang tua merasa gatal. Inilah yang kumaksud dengan secara kebetulan itu!"
Rambut Sin-bu Te-kun menjinggrak. Mulutnya memekik makian, "Lu tua yang licik! Terang kau hendak menancapkan kaki di Tiong-goan, sebaliknya malah menuduh pihakku yang salah!" Ia berhenti sejenak, serunya pula, "Bukankah kau hendak ke Tiam-jong-san" Mengapa datang ke Thay-heng-san sini?"
Jenggot perak tertawa keras, "Pertanyaan itu seharusnya kuajukan kepadamu. Bukankah kau hendak membalas sakit hati ke Tiam-jong-san" Mengapa kau datang kemari?"
"Aku mengejar jejak ketua Tiam-jong-pay Li Cu-liong. Kini dia sudah kutawan dan hendak kutuntut dosanya mengapa berani membunuh orang Sin-bu-kiong!"
Jenggot perak Lu Liang-ong tertawa tenang. "Akupun kemari karena hendak membebaskan ketua Tiam-jong-pay itu.
Jika tak kau bebaskan, jangan harap ada seorangpun Sin-bu-kiong yang dapat meninggalkan tempat ini!"
Tiba-tiba Sin-bu Te-kun tertawa sekeras-kerasnya. "Lu tua, terlebih dahulu aku hendak minta penjelasan padamu!"
"Silakan!"
"Ketua Tiam-jong-pay Li Cu-liong itu pernah apa dengan engkau" Mengapa kau begitu ngotot hendak
melindunginya?"
Jenggot perak tertegun. Sampai beberapa saat barulah ia menjawab. "Telah kukatakan tadi bahwa aku bertindak semata-mata demi keadilan. Apalagi aku hendak meminjam markas Tiam-jong-san untuk menjamu sekalian orang gagah di Tiong-goan. Sudah tentu tak dapat kubiarkan tuan rumah dicelakai orang lain!"
"Huh, belangmu telah kuketahui sejak semula. Perlukah kukatakan sejelas-jelasnya?" ejek Sin-bu Te-kun tajam.
Lu Liang-ong tertegun. Ditatapnya Sin-bu Te-kun tajam-tajam.
Sin-bu Te-kun melanjutkan ucapannya dengan riang, "Siapakah ketua Tiam-jong-pay itu" Oh, tak lain tak bukan anak asuh Thiat-hiat-bun, putera angkat Lu Liang-ong ketua Thiat-hiat-bun! Tiga tahun yang lalu ia diselundupkan ke Tiong-goan, masuk ke dalam partai Tiam-jong-pay. Setahun lalu berhasil ah dia diangkat sebagai ketua Tiam-jong-pay. Benar tidak?"
Jenggot perak mengangguk, "Apa yang benar takkan kusangkal. Kau memiliki sumber berita yang hebat!"
Sin-bu Te-kun tertawa gembira,"Pengakuanmu merupakan bukti yang tak dapat dibantah lagi. Lebih dahulu kau suruh muridmu merebut kedudukan salah sebuah partai besar Tiong-goan, kemudian menjadikan Tiam-jong-san sebagai markas untuk menguasai dunia persilatan Tiong-goan. Jelas bukan?"
Di luar dugaan Jenggot Perak tertawa dan menghela napas longgar. Diam-diam ia girang karena yang diketahui Sinbu Te-kun hanyalah sampai di situ saja.
"Apakah tuduhanmu itu benar atau tidak, aku takkan mewajibkan diriku untuk membantahnya"." ia berhenti sejenak lalu berkata pula. "Sekarang kita selesaikan dulu persoalan ini. Jika kau mau percaya padaku, hapuslah permusuhan dengan persahabatan. Kelak dalam perjamuan para orang gagah di Tiam-jong-pay, akan kubantu engkau untuk mencapai kedudukan ketua dunia persilatan Tionggoan!"
"Ooo, Lu tua, betapapun lincah lidahmu, tak nanti aku jatuh ke dalam perrangkapmu lagi!" dengus Sin-bu Te-kun.
"Jadi kau menghendaki kekerasan?"
"Sebenarnya tidak!" sahut Sin-bu Te-kun, "asal kau segera ajak anak buahmu pulang ke Lam-hong, akupun takkan memusuhi Thiat-hiat-bun lagi!"
"Jika aku keberatan?"
"Terpaksa kita selesaikan dengan pedang!"
Jenggot perak tertegun. Tiba-tiba ia tertawa, "Oho, makanya kau begitu bernyali besar. Kiranya sahabatmu datang juga!"
Berbareng dengan ucapan itu muncul ah serombongan orang. Pemimpinnya seorang bungkuk, kakinya pincang dan lengan buntung, tetapi gerakannya lincah sekali. Ia tertawa mengekeh tak jauh dari tempat Sin-bu Te-kun.
Pemilik Hek Gak, Kongsun Bu-wi! Dia datang bersama puluhan su-cia Hek Gak. tetapi yang paling mengejutkan orang ialah ikut sertanya Ang-tim-gong-khek Bok Sam-pi!
Di tempat persembunyiannya, Thian-leng tegang sekali. Ia tahu sampai di mana kesaktian Bok Sam-pi. Ngeri ia membayangkan bagaimana akibatnya kalau Jenggot Perak Lu Liang-ong sampai kena diadu dengan Bok Sam-pi"
Ketua Hek Gak tertawa tajam, "Maaf, maaf, aku datang terlambat!"
"Kalau mataku si orang tua ini tak salah lihat, kaulah yang datang paling pagi di sini. Hanya saja kau tak mau unjuk diri, melainkan bersembunyi dulu." Jenggot perak tertawa.
Merah padam wajah ketua Hek Gak, serunya, "Jangan jual ketuaanmu di sini! Setiap berkata tentu tak lupa menyebut
"aku si orang tua"! Kau hendak menakut-nakuti atau menjual lagak?"
Jenggot perak tetap tertawa, "Dalam hal umur sebenarnya kau lebih tua dari aku. Tetapi dalam sejarah hidupku, aku tak pernah jatuh di tangan orang. Tak seperti kau seorang tua yang sudah hidup tujuh puluhan tahun masih tak berani unjuk muka!"
Marah ketua Hek Gak bukan kepalang. Sampai rambutnya jigrak, mata mendelik. "Seoarng lelaki tak mau bergerak sembarangan. Akan menunggu sampai saatnya baru bertindak. Asal dapat mencuci bersih hinaan yang lampau, tetap berharga sebagai insan persilatan sejati".!"
"Sayang dalam kehidupanmu sekarang kau tak sempat mencuci hinaan itu!" dengus jenggot Perak.
"Cong houhwat!" teriak ketua Hek Gak serentak.
"Ya, aku di sini!" Bok Sam-pi tampil menyahut.
Jenggot perak terkejut melihat perawakan orang yang gendut perutnya tapi tangkas sekali.
"Hajar orang tua yang tak tahu adat itu!" teriak ketua Hek Gak.
"Hamba menuruuut?".," Bok Sam-pi mengucapkan kata"menurut" itu dengan panjang karena matanya memandang wajah Jenggot Perak tajam-tajam. Sebelum ia menyelesaikan kata-katanya, tiba-tiba sudah berganti nada.
"Murid!" serunya.
Ketua Hek Gak tercengang, tegurnya, "Hai, mengapa kau memanggilku begitu?"
Bok Sam-pi mendengus, "Mengapa tak boleh?"
"Panggilan murid dan guru hanya apabila kita berdua saja. Atau di kala sedang mengajar kepandaian. Saat ini aku sebagai ketua hek Gak yang sedang ngeluruk keluar. Yang ada hanyalah antara pemimpin dan anak buah. Kaupun harus berbahasa begitu!" sahut ketua Hek Gak.
Bok Sam-pi kurang senang, "Persetan, di dalam dan di luar Hek Gak apa bedanya?"
Ketua Hek Gak Kongsun Bu-wi menghela napas. "Kejayaan Hek Gak memang tergantung tenaga suhu, tetapi".."
"Murid!" Bok Sam-pi berteriak menukas.
"Eh, suhu hendak memberi pesan apa?" terpaksa ketua Hek Gak mengalah.
Bok Sam-pi menuding pada Jenggot Perak, serunya, "Orang tua itu berwajah terang. Kita harus bersahabat dengannya, mengapa kau hendak memusuhi?"
Kongsun Bu-wi mengerutkan dahi, "Tetapi hati orang siapa tahu, suhu...."
"Masakah suhu bisa salah lihat" Kau berani membantah perintahku?" Bok Sam-pi memekik.
"Ya, ya, murid menurut." ketua Hek gak tak berdaya lagi. Ia memberi isyarat kepada Tokko Sing yang berdiri di belakang, serunya, "Sudah saatnya suhu minum arak. Apakah minumannya dibawa?"
Tokko Sing segera mengatakan bahwa hidangan untuk guru besar Bok Sam-pi sudah disiapkan.
"Bagus, aku hendak minum tiga cawan dulu, baru istirahat sebentar. Urusan di sini kuserahkan padamu!" mendengar arak, selera Bok Sam-pi pun berontak.
Dengan khidmat ketua Hek Gak mengiyakan. Tokko Sing pun segera mengiring Bok Sam-pi untuk minum arak. Begitu jago tua itu angkat kaki, ketua Hek Gak segera mengambil sebutir pil hitam dan menyerahkan pada salah seorang pengawal. Ia membisiki beberapa patah kata. Pengawal itu mengangguk dan segera pergi.
Selama itu Jenggot perak hanya diam saja mengawasi gerak-gerik kedua suhu dan murid itu.
Setelah Bok Sam-pi pergi, barulah ia tertawa gelak-gelak, "Apakah artinya pertunjukan ini?"
Wajah ketua Hek Gak memerah, "Jangan banyak bicara, sebentar kau tentu merasakan sendiri!"
"Bagaimana andaikata pil hitammu itu tak manjur?" Jenggot perak tertawa mengolok.
Berobahlah seketika wajah ketua Hek Gak , "Pil itu adalah penguat tubuh. Setiap minum arak tentu dicampurkan.
Jangan mengoceh tak keruan!" bentaknya murka.
"Aneh, aneh," Jenggot perak tertawa sinis, "aku toh tidak mengatakan pil itu obat bius atau obat kuat. Mengapa kau kalang kabut memberikan penjelasan". " ia tertawa meloroh, "siapa berbuat tentu merasa. Kira-kira tentu begitulah keadaanmu!"
Menyala mata ketua Hek Gak. rupanya ia hendak menyerang. Namun si Jenggot Perak tetap acuh tak acuh.
Sebaliknya para anggota rombongannya, keempat Thiat-hiat Su-kiat dan ke tiga puluh enam Thian-kong serta ke tujuh puluh dua Te-sat sudah mengepal-ngepal tinju siap hendak menyerang.
Suasana menjadi tegang!
Tiba-tiba ketua Hek Gak mendapat pikiran. Ia berpaling ke arah Sin-bu Te-kun dan memberi anggukan kepala. "Ah, sahabatku, sudah lama kita tak berjumpa!"
Sin-bu Te-kun yang sejak tadi hanya mengawasi ramai-rami itu balas tertawa, "Berpuluh tahun tak bertemu, tentulah kepandaian saudara makin sakti."
"Ah, mana dapat menyamai Te-kun"." ketua Hek Gak merendah.
"Aha, tak usah main sandiwara, "Jenggot perak menyeletuk tertawa, "rasanya memang sudah ada sekongkolan di antara kalian berdua."
"Lu tua, jangan memfitnah orang!" bentak Sin-bu Te-kun.
Lu Liang-ong mengurut-urut jenggotnya yang putih mengkilap. Ia tertawa riang, "Sin-bu-kiong dan Hek Gak masing-masing mempunyai cita-cita hendak mencaplok dunia persilatan. Kalau dua ekor srigala saling berebut tulang, akhirnya tentu cakar-cakaran sendiri!"
"Tua bangka Lu, jangan mengadu domba!" bentak ketua Hek Gak, "Jangan bermimpi kau dapat menipu kami". " ia berpaling ke arah Sin-bu Te-kun. "Thiat-hiat-bun berani masuk ke wilayah Tiong-goan, ini suatu penghinaan bagi kita.
Tidakkah kita bersatu mengusirnya?"
Sin-bu Te-kun mengangguk, "Baik, silakan Kongsun-heng menghajarnya, aku bersumpah membantu sepenuh tenaga.
Malam ini jangan sampai ada seorang Thiat-hiat-bun yang lolos" !"
"Bagus, bagus!" Jenggot perak tertawa gelak-gelak, " maju keroyokan atau satu lawan satu, Thiat-hiat-bun siap melayani. Tetapi sayang tidak semudah itu kawan".. !"
ooo000ooo Barisan darah besi.
Sin-bu Te-kun mengekeh tertawa, "Apa " Pihakku tak mampu melawan?"
Jenggot perak tertawa, "Mampu atau tidak soal kedua. Hanya dikuatirkan tak ada orang yang berani bertempur!"
Kembali kepala Hek Gak memperdengarkan tertawa sinis, "Aku tak percaya Thiat-hiat-bun sedemikian menyeramkan.
Toh kau juga tak memiliki tiga buah kepala dan enam lengan ! Percaya bahwa orang-orangku tentu dapat melenyapkan partai Thiat-hiat-bun! "
Jenggot perak maju selangkah, tertawa mengejek, "Mengapa kau tak turun tangan?" iapun bersiap menunggu serangan.
Dengan sebelah tangan yang tinggal satu, ketua Hek Gak segera hendak menyerang. tetapi secepat itu pula segera menurunkan tangannya lagi. Tertawa sinis dan mundur selangkah!
Jenggot perak menyambutnya dengan tertawa panjang.
"Telah kuperhitungkan dengan masak. Kalau Hek Gak berani bertempur dengan Thiat-hiat-bun, keduanya pasti hancur. Dengan begitu cita-citamu hendak merajai dunia persilatan tentu berantakan"."
Jenggot perak menatap wajah kepala Hek Gak dengan tajam, serunya pula, "Tetapi aku si orang tua mengerti tentang ilmu melihat tampang orang. Telah kuketahui isi hatimu. Tak nanti kau mau menguntungkan orang lain dan merugikan diri sendiri. Tak nanti kau sudi menyerahkan kekuasaan dunia persilatan kepada Sin-bu-kiong. Itulah sebabnya maka kutahu kau pasti tak berani menempur aku!"
"Ngaco!" serentak ketua Hek Gak membentak dengan wajah pucat.
Tetapi Jenggot perak tak menghiraukan. Kembali ia beralih memandang Sin-bu Te-kun, serunya, "Sekalipun siasatmu mengadu domba berhasil dijalankan. Thiat-hiat-bun dan Hek Gak hancur kedua-duanya, tetapi Sin-bu-kiong pun masih tak dapat menguasai dunia persilatan, karena kau masih mempunyai seorang musuh besar!"
Sekarang giliran Sin-bu Te-kun yang mendelik. Memekiklah ia, "Sin-bu-kiong bersumpah tak mau hidup sekolong langit dengan Thiat-hiat-bun! Andaikata saudara Kongsun ketua Hek Gak mau melepaskan engkau, tetapi aku Sin-bu Te-kun tetap akan menghancurkanmu!"
Jenggot perak tertawa, "Inginkah kau mendengar siapakah musuhmu itu?"
"Sebutkan!" teriak Sin-bu Te-kun gusar.
"Hun-tiong Sin-mo!"
"Huh, Hun-tiong Sin-mo sudah ibarat ikan dalam jaring. Pasti segera mampus!" Sin-bu Te-kun menggeram.
Jenggot Perak tertawa nyaring, "Ah, kata-katamu ini agak sombong"." ia berhenti sejenak, serunya pula, "Kau telah membuat Panji Tengkorak Darah palsu untuk melakukan pembunuhan besar-besaran. Fitnah itu telah menimbulkan kemarahan besar pada sembilan partai, sehingga mereka menantang Hun-tiong Sin-mo untuk bertempur di puncak Sin-li-hong. Hal ini membuktikan bahwa kau jeri terhadap Hun-tiong Sin-mo!"
"Ngaco! Seumur hidup aku tak pernah takut kepada siapapun juga!" teriak Sin-bu Te-kun.
Jenggot Perak geleng-geleng kepala, "Jika kau tak takut, sejak dulu-dulu kau tentu sudah ke Hun-tiong-san menantangnya! Perlu apa kau gunakan siasat memfitnah sehingga menimbulkan kemarahan sembilan partai.?"
Tiba-tiba Sin-bu Te-kun tertawa seram, serunya sengit, "Apakah hubunganmu dengan Hun-tiong Sin-mo?""
Sekonyong-konyong Sin-bu Te-kun tak mau melanjutkan kata-katanya, tetapi diam-diam ia gunakan ilmu menyusup suara kepada Jenggot Perak, "Ho, tua bangka, jangan kira aku tak tahu bahwa Hun-tiong Sin-mo sudah mati karena diracun anak perempuanmu. Mungkin aku tahu lebih banyak dari kau".."
Jenggot perak berobah wajahnya. Tetapi pada lain saat ia sudah tertawa lagi. "Kau tahu atau tidak, itu tak ada kepentingannya. Sekarang aku hendak minta kepadamu menyerahkan dua orang budak Thiat-hiat-bun yang melarikan diri, yaitu Nyo Sam-koan dan Ma Hong-ing. Jika bukan karena mereka berdua, tak nanti kau tahu tentang urusan ini!"
Kata-kata Jenggot Perak itu tidak diucapkan dengan ilmu menyusup suara, melainkan dengan suara biasa. Sudah tentu hal itu terdengar jelas oleh Kongsun Bu-wi ketua Hek Gak. Tetapi ketua Hek Gak ini tak mengerti apa yang terjadi sebenarnya. Maka iapun hanya terlongong-longong saja!
Wajah Sin-bu Te-kun membesi, segera ia berseru kepada ketua Hek Gak, "Selama Thiat-hiat-bun masih ada, kita tak dapat hidup tenang. Marilah kita bersatu padu untuk membasminya!"
Diam-diam ketua Hek gak sudah mempunyai rencana sendiri. Segera ia menyahuti, "Memang akupun sudah mempunyai pikiran begitu, maka silakan Te-kun segera memberi perintah!"
Tetapi Sin-bu Te-kun tak segera bertindak, ia hanya memandang ke sekeliling penjuru dengan sikap meragu.
Sebaliknya ketua Hek Gak juga hanya mulutnya saja yang setuju akan ajakan Sin-bu Te-kun, tetapi iapun tak mau memerintahkan kepada anak buahnya menyerang. Dengan begitu kedua-duanya saling tunggu menunggu.....
Setelah menunggu sekian lama tiada yang menyerang, Jenggot Perak tertawa nyaring, "Aha, ramalanku selalu manjur! Sudah kuketahui bahwa baik Sin-bu-kiong maupun Hek Gak tentu tak ada yang berani membentur perutku......." sejenak ia kedipkan mata, katanya pula, "Aku masih memepunyai sebuah pertanyaan lagi pada kalian."
Karena kelemahannya diketahui, Sin-bu Te-kun dan Hek Gak hanya meringis saja. Maju gentar, mundurpun sukar.
"Katakanlah!" seru mereka serempak.
"Tanpa bersepakat, kalian datang ke gunung Thay-heng-san sini," Jenggot perak tertawa, "Apakah maksudnya?"
Pertanyaan ini membuat Sin-bu Te-kun dan ketua Hek Gak melongo.
"Tak lain tak bukan adalah karena peta Telaga Zamrut dan kitab pusaka It Bi Siangjin!" seru Jenggot Perak dengan suara datar.
Sin-bu Te-kun dan ketua Hek Gak seperti disengat kalajengking kagetnya. Baru mereka hendak membuka mulut, tiba-tiba dari kejauhan terdengar berisik suara orang.
Jenggot perak masih tetap tertawa, "Dewasa ini di dunia persilatan timbul beberapa panji kekuatan yang hebat.
Masing-masing belum diketahui siapakah yang paling unggul ! Hun-tiong- san, Sin-bu-kiong, Hek Gak dan pihakku Thiat-hiat-bun serta partai-partai besar di dunia Tiong-goan. Masing-masing mempunyai sumber kepandaian sakti yang berlain-lainan. Boleh dikata mutu kepandaian mereka hampir berimbang, maka tak ada pihak manapun yang dapat merajai dunia persilatan. Hanya ada satu jalan yang dapat mengatasi. Barang siapa yang berhasil mendapatkan kitab pelajaran dari It Bi siangjin barulah dia akan menjadi jago yang tiada tandingannya di dunia persilatan?"
Jenggot Perak tertawa mengekeh, serunya pula, "Kita saling bertempur, sebenarnya termasuk urusan kecil. Yang penting ialah mencari kitab pusaka itu. Peta Telaga zamrud telah muncul kembali di dunia dan tempat persembunyian kitab pusaka itu ialah di gunung ini. Kalian tentu mendengar suara orang berisik tadi bukan " Nah, itulah rombongan orang yang mencari kitab pusaka. Apabila kitab sampai jatuh di tangan mereka, dikuatirkan Sin-bu-kiong maupun Hek Gak akan lenyap dari dunia persilatan selama-lamanya!"
Mendengar uraian itu, pucatlah seketika wajah Sin-bu Te-kun dan ketua Hek Gak.
Sin-bu Te-kun berusaha untuk menenangkan kegelisahannya.
"Lu loji, " ia tertawa sinis, "Apakah kedatanganmu juga bukan karena hendak mencari kitab pusaka itu?"
"Aku?" sahut Jenggot Perak dengan dingin, "jika aku memang bermaksud hendak mengambil kitab itu, mungkin kalian tak mempunyai kesempatan untuk mendapatkannya lagi!"
"Heh, heh," ketua Hek Gak tertawa mengekeh, "Lu tua, kau terlalu memandang tinggi dirimu!"
Panji Tengkorak Darah Ko Lo Hiat Ki Karya S D Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sambil berkata itu diam-diam lengan tunggal ketua Hek Gak itu dilambaikan ke belakang. Empat orang sucia (jago) Hek gak yang berada di belakang ketuanya mengerti isyarat itu. Segera mereka menyelinap pergi.
Tetapi perbuatan itu tak lepas dari mata Sin-bu Te-kun. "Eh, apa maksud saudara Kongsun menyuruh anak buahmu pergi?" tegurnya.
Wajah Kongsun Bu-wi ketua Hek Gak memerah, serunya, "Suruh mereka lihat apakah suhuku sudah minum arak atau belum?"
Namun jawaban itu disambut dengan tertawa sinis oleh Sin-bu Te-kun. Kepala istana Sin-bu-kiong itupun segera lambaikan tangannya. Dua orang sucia yang berada di kanan kirinya segera mengundurkan diri. Mereka mengajak belasan anak buah baju ungu pergi menyusul keempat sucia Hek Gak.
Jenggot Perak tertawa berderai-derai sampai lama, serunya, "Hanya mengirim sekian orang untuk menjaga pihak yang mencari kitab, mungkin takkan berhasil. Kecuali kalian mengerahkan anak buah secara besar-besaran, mungkin ada harapan. Hanya saja....."
Tiba-tiba jago Thiat-hiat-bun itu melambaikan tangannya dan berseru, "Hanya saja, ah, kalian saat ini sukar untuk meloloskan diri"."
ooo00000ooo Barisan Thiat-hiat-tin
Sin-bu Te-kun dan ketua Hek Gak tercengang!
Tiba-tiba Jenggot perak lambaikan tangan. Dari empat penjuru segera muncul Empat Su-kiat, tiga puluh enam Thian-kong dan tujuh puluh dua Te-sat. Mereka memecah diri membentuk sebuah lingkaran seluas berpuluh tombak.
Rombongan Sin-bu-kiong dan Hek Gak terkepung di tengah-tengah.
Sin-bu Te-kun tertawa nyaring, "Aha, Lu tua, kau hendak main apa ini ?"
Jenggot perak balas tertawa, "Cuma akan meminta kalian merasakan kenikmatan barisan Thiat-hiat-tin!"
"Oh, hanya sebuah barisan sekecil ini mana dapat mengepung rombongan Hek Gak dan Sin-bu-kiong!" ketua Hek Gak berseru mengejek.
Jenggot perak ganda tertawa, "Sekurang-kurangnya dalam waktu dua puluh empat jam, kalian tak dapat lolos dari tempat ini!"
Semula Sin-bu Te-kun dan ketua Hek Gak tak mengacuhkan. Pikir mereka tentu dapat menerobos dari barisan Thiat-hiat-tin. Tetapi apa yang tampak di hadapannya, membuat mereka terkejut".
Memang tampaknya barisan itu tiada yang aneh. Tetapi setelah persiapan selesai, semua orang Thiat-hiat-bun itu sama mengeluarkan asap kuning. Asap itu keluar dari lengan baju, celana dan leher baju mereka. Rupanya obat telah disimpan dalam dadanya lebih dahulu, kemudian ditekan keluar dengan tenaga dalam.
Asap kuning makin lama makin tebal. Di bawah teriakan-teriakan Jenggot perak, anggota-anggota Thiat-hiat-bun itu segera berputar-putar membuat lingkaran. Asap bergulung-gulung menghambur ke tengah.
Sin-bu Te-kun gugup dan segera memerintahkan anak buahnya, "Terobos keluar!" dan ia sendiri mendahului menerobos keluar barisan.
Tetapi serempak dengan gerakan Sin-bu Te-kun, terdengarlah lengking tertawa panjang. Serangkum tenaga kuat segera menghambur. Kiranya tenaga kuat itu berasal dari Jenggot Perak yang segera mendorong dengan kedua tangannya.
Marahlah Sin-bu Te-kun. Sewaktu masih melayang di udara, ia geliatkan kedua tangannya memukul dengan pukulan Hiam-im-ciang. Hiam-im-ciang yang telah diyakinkannya dengan sempurna. Jauh sekali bedanya dengan Hiam-im-ciang yang digunakan oleh Ni Jin-hiong dan Ma Hong-ing.
Tetapi sebelum kedua tenaga pukulan itu beradu, sekonyong-konyong Jenggot Perak melambung ke udara sampai beberapa tombak. Dengan tertawa meloroh, ia membentak, "Awas, kedua matamu!" Dengan kecepatan seperti kilat menyambar, ia timpukkan dua buah benda mengkilap ke arah Sin-bu Te-kun.
Sin-bu Te-kun hendak menjajalkan tenaga Hiam-im-ciangnya dengan tenaga lawan. Tetapi di luar dugaan, lawan telah menarik balik pukulannya. Ia terkejut dan buru-buru menukik ke bawah, tetapi teriakan Jenggot Perak itu, telah membuatnya kaget sekali.
Ia tahu bahwa ilmu kepandaian orang Thiat-hiat-bun menimpuk senjata rahasia, hebat sekali. Seratus kali menimpuk, seratus kali tentu kena. Apalagi saat itu ia tengah menukik di udara. Sukar sekali untuk menghindari ancaman musuh.
Serentak teringat ia akan peristiwa di istana Sin-bu-kiong yang lalu. Jenggot perak pernah melepaskan dua buah panah yang menembus kedua bahunya!
Dalam keadaan yang tak berdaya itu Sin-bu Te-kun hanya dapat menutupkan kedua tangannya untuk melindungi mukanya. Untung Jenggot Perak tak menggunakan ilmu Penyesat suara, yakni suaranya terdengar di sebelah timur, tetapi orangnya berada di barat. Dan timpukannya itu memang hanya ditujukan ke arah muka orang. Maka terhindarlah muka Sin-bu Te-kun dari dua buah panah Hong-thau-kiong.
Sin-bu Te-kun rasakan tangannya seperti digigit ular. Begitu menginjak tanah segera ia kibaskan panah itu.
"Lu tua, aku bersumpah tak mau hidup bersama engkau! Hari ini kau atau aku yang mati!" teriaknya dengan marah.
Seluruh tenaga dalamnya segera dikerahkan, ia bertekad hendak adu jiwa dengan ketua Thiat-hiat-bun. Tetapi apa yang dilihatnya saat itu benar-benar membuatnya kaget seperti patung!
Bukan saja Jenggot Perak lenyap dari pandangan, juga seluruh anggota Sin-bu kiong dan ketua Hek Gak serta rombongannya pun tak kelihatan lagi bayangannya!
Sin-bu Te-kun dapatkan dirinya seolah-olah hanya seorang diri dalam lautan asap warna kuning. Sedemikian tebal asap itu mengembang sehingga tak dapat lagi ia melihat jari-jari tangannya. Dan yang lebih mengerikan lagi ialah saat itu hidungnya mencium bau wangi. Karena curiga kalau-kalau bau itu mengandung racun, buru-buru ia menutup jalan darah penting pada tubuhnya. Kemudian ia menyalurkan tenaga dalamnya untuk mengetahui apakah tubuhnya sudah kemasukan racun atau belum.
Tengah ia meramkan mata menyalurkan tenaga dalam, tiba-tiba terdengar suara tertawa memanjang. Digoda begitu, meluaplah amarah Sin-bu Te-kun. Ia meloncat ke udara sampai tiga tombak tingginya dan menggerung seperti harimau kelaparan, "Lu tua, keluarlah, mari kita bertanding selaksa jurus!"
Jenggot perak tertawa nyaring, "Aku sudah tua tak punya selera lagi untuk berkelahi. Yang kusuka ialah melihat orang kelabakan seperti ikan dalam jaring..." ia berhenti sejenak lalu berseru pula, "Ki Pek-lam, bukankah kau sudah mempelajari kitab Im-hu-po-kip sampai paham" Dalam dunia persilatan jarang terdapat orang yang dapat menandingimu! Barisan sekecil ini masakah mampu mengepungmu" Ayo, mengapa kau tak gunakan kesaktianmu membobolkan barisan ini?"
Sin-bu Te-kun berkeliaran memandang empat penjuru. Tetapi asap yang demikian tebal tak dapat ditembus dengan matanya. Ia tak tahu di mana Jenggot Perak berada! Dan yang menjengkelkan, suara Jenggot Perak itu sebentar terdengar dekat sebentar jauh. Sukar diduga tempatnya yang pasti.
Tetapi Sin-bu Te-kun sudah terlanjur mengumbar kemarahan. Dengan meraung keras ia berseru, " Lu tua, kau kira aku benar-benar tak dapat lolos dari barisanmu ini?" Sin-bu Te-kun menumpahkan kemarahannya dengan sepuluh kali pukulan yang dilontarkan berturut-turut! Pukulan itu ditujukan ke empat penjuru. Cepat dan dahsyatnya bukan kepalang!
(bersambung jilid 17 )
Jilid 17 . Angin menderu-deru laksana badai meniup, tetapi yang mengejutkan, ke sepuluh pukulan dahsyat itu malah membuat asap bergulung-gulung deras. Kecuali itu tak ada lain-lain hasil lagi.
"Hi, hi, hi." Terdengar Jenggot Perak tertawa mengikik.
Semenjak mengangkat panji di dunia persilatan jauh sebelum ia mendapatkan kitab pusaka Im-hu-po-kip, belum pernah ia menelan hinaan sedemikian rupa. Dadanya serasa hangus dibakar api kemarahan. Ia bersiap-siap hendak menerjang ke muka.
Sin-bu Te-kun memiliki apa yang disebut Liok-ji-thong-leng ( enam telinga ajaib), yakni ilmu pendengaran yang sakti.
Tetapi pada saat itu ilmu tersebut tak dapat digunakan lagi. Asap yang makin tebal itu seakan mempunyai kekuatan untuk menyumbat telinga, Bukan saja yang terjadi di luar barisan tak dapat didengarnya, bahkan orang-orang yang terkepung dalam barisan itu sedikitpun tak kedengaran suaranya.
Ilmunya melihat di tempat gelappun mengalami nasib serupa. Asap kuning telah menyerang mata sedemikian pedas, sehingga tak dapat dibuka. Dan yang mengejutkan lagi bahwa ilmu menyusup suara yang dicobanya untuk menghubungi ketua Hek Gak dan anak buahnya sendiri, pun tak ada hasilnya alias melempem.
Ia benar-benar merasa sebatang kara dalam barisan asap.
Selain ilmu silat sakti, iapun mengerti segala macam ilmu barisan. Tetapi terhadap barisan asap ini, benar-benar ia asing sama sekali.
"Asal arahkan langkah ke muka, tentu akan dapat menerobos keluar," katanya dalam hati. Ia percaya dengan ilmunya Hian-im-ciang-ci yang sakti, segala rintangan tentu dapat dihancurkan.
Diam-diam ia menghitung. Sudah tiga puluh tombak jauhnya ia melangkah ke muka. tetapi ah....... terpaksa ia hentikan langkah. Ia merasa bahwa ia sedang berjalan berkeliling sebuah lingkaran. Apabila diteruskan, sehari semalam kakinya pasti letih tanpa hasil apa-apa.
Gigi Sin-bu Te-kun bercatrukan keras. Ingin ia memakan daging Jenggot perak dan minum darahnya, tetapi aah, apa daya.....
Setelah ia dalam keadaan seperti semut dipanggang di atas kuali panas, tiba-tiba terdengar si Jenggot Perak berseru pula , "Ki Pek-lam, mengapa kau sibuk. Aku toh hendak memberimu istirahat! Setelah duapuluhempat jam, barisan ini akan buyar sendiri. Sekarang menyerah sajalah!"
"Lu tua, aku tak peduli dengan segala macam peta Telaga zamrud atau nafsu menguasai dunia persilatan lagi. Asal barisan ini buyar, segera kau akan mengetahui apa yang hendak kulakukan!"
"Heh, heh, tentu akan mengadu jiwa denganku ?" Jenggot perak tertawa mengejek.
"Asal kau tahu saja, cukuplah!" Sin-bu Te-kun meraung.
"Ki Pek-lam, jagalah kedua biji matamu, aku hendak membidiknya!" seru Jenggot perak.
Kejut dan marah Sin-bu Te-kun bukan kepalang. Tetapi ia tak berani berayal. Segera ia menutupi matanya dengan tangan. Begitu pula ia menyalurkan tenaga dalamnya untuk melindungi kelima indranya.....
Bagaimana dengan ketua Hek Gak" Diapun serupa nasibnya dengan Sin-bu Te-kun. Hanya bedanya yang menjaga ialah keempat Su-kiat. Ketika ketua Hek Gak hendak berusaha menerobos keluar barisan, keempat Su-kiat dari partai Thiat-hiat-bun serempak menghantamnya. Berbareng itu timpukan empat batang panah Hong-thau-kiong ke dada dan punggung ketua Hek gak. Panah-panah itu dak dapat membinasakan, tetapi cukup untuk menggagalkan rencana Kongsun Bu-wi. Keadaannya senasib dengan Sin-bu te-kun. Bagaikan harimau yang terkurung dalam perangkap meraung-raung di tengah lautan asap kuning.
Sekalipun belum larut, tetapi malam terasa sepi sekali. Tabir asap seluas berpuluh-puluh tombak itu tampak seperti gulungan awan yang menyelubungi puncak gunung....
oo000ooo Kini kita jenguk keadaan Siau-bun dan Thian-leng yang bersembunyi di dalam hutan. Mereka tak berani bergerak.
Apa yang terjadi di luar hutan di kuti dengan seksama. Adalah ketika barisan Thiat-hiat-tin menghamburkan asap tebal, begitulah mereka kehilangan pandangan. Untunglah kedua anak muda itu berada di luar lingkungan asap.
"Hai, kemanakah gerangan Lu Bu-song" Meangapa ia belum menggabungkan diri dengan kakeknya" Celaka, kalau dara yang suka ngambek itu sampai mengalami apa-apa, bagaimana ia nanti hendak memberi jawaban kepada Jenggot Perak?" demikian pertanyaan dalam hati Thian-leng yang menimbulkan kegelisahan.
Dan apa yang paling menggelisahkan hatinya ialah tentang peta Telaga zamrud. Bukankah tokoh-tokoh yang berkumpul di gunung situ datang untuk mencari kitab pusaka itu " Jelas didengarnya dari percakapan mereka, bahwa siapa yang dapat memiliki kitab itu akan menjadi jago nomor satu di dunia persilatan. Dan bukankah peta yang sudah di tangannya itu hilang "
Thian-leng melanjutkan lamunannya. "Mengapa Jenggot perak mengepung Sin-bu Te-kun dan Hek Gak " Apakah bukan karena jago Thiat-hiat-bun itu mengetahui bahwa malam itu ia tentu datang ke gunung Thay-heng untuk mencari pusaka, maka sengaja jago Thiat-hiat-bun itu merintangi orang Sin-bu-kiong dan Hek Gak, agar ia aman mencari pusaka " Ah, betapalah kecewanya Jenggot Perak nanti apabila mengetahui bahwa peta pusaka itu ia hilangkan "
Lu Bu-song tak bersamanya, sudah cukup membuat Jenggot perak marah, apalagi ditambah pula dengan
menghilangkan peta Telaga zamrud".. Seketika berhamburan airmata Thian-leng karena dilanda gelombang kemengkalan!
Sementara Siau-bun yang sejak tadi menumpahkan perhatiannya pada ketegangan ketiga gembong, ketika barisan Thiat-hiat-bun menghamburkan asap, ia menghela napas, "Hebat barisan Thiat-hiat-tin ! Sin-bu Te-kun dan ketua Hek Gak sukar meloloskan diri, kita tak perlu kuatir!"
Thian-leng gelagapan dari lamunannya, "Adik Bun, kita..." belum sampai ia melanjutkan kata-katanya, sekonyong-konyong sesosok bayangan hitam melesat dan tahu-tahu di sebelah mereka muncul seorang wanita berambut putih!
"Mah! " serentak Siau-bun brseru girang seraya menubruknya.
Thian-lengpun terkejut girang. Wanita tua itu bukan lain ialah Toan-jong-jin, wanita sakti yang pernah memberinya pedang pusaka. Tetapi yang membuatnya heran, mengapa Siau-bun memanggil "mamah". Thian-leng terlongong-longong heran.
Tiba-tiba terlintaslah sesuatu pada pikirannya dan cepat ia membuat kesimpulan. Nada suara wanita itu bening dan terang, tak menyerupai nada perempuan tua. Dan kerut wajahnya pun tidak wajar. Jelas dia menggunakan topeng kuit. Dan dari panggilan Siau-bun tadi makin menguatkan dugaannya bahwa wanita itu bukan seorang wanita tua!
Usia Siau-bun baru tujuh-delapan belas tahun, tak nanti ia mempunyai seorang ibu yang sudah tua sekali.
Pun ketika wanita itu menolongnya di tepi sungai Huang-ho, sehabis menurunkan ilmu pedang, dia memesan padanya untuk mencari seorang yang bernama Pok Thiat-beng yang bergelar Si Pedang bebas.
Toan-jong-jin atau Si Patah hati, nama samaran yang dipakai wanita itu serta nada ucapannya yang penuh kepedihan, membuktikan adanya suatu rngkaian hubungan antara wanita itu dengan pendekar Pok Thiat-beng.
Sekurang-kurangnya mereka itu tentulah sejoli kekasih.
Dan teringatlah juga Thian-beng akan keterangan Nyo Sam-koan di dalam penjara Cui-lo tempo hari. Ya, jelas", jelas.!
Toan-jong-jin tentulah isteri tercinta dari Pok Thiat-beng. Dan toan-jong-jin bukan lain ialah puteri kesayangan Jenggot Perak Lu Liang-ong ketua Thiat-hiat-bun. toan-jong-jin sebenarnya ialah Cu Giok-bun ibu dari si dara Cu Siau-bun!
Otak Thian-leng bernanaran diamuk badai lamunan.....
Toan-jong-jin pernah dengan tandas mengatakan bahwa Thian-leng benar putera dari Ma Hong-ing dan Nyo Sam-koan. Tetapi anehnya, Nyo Sam-koan menyangkal keras. Thian-lengpun bukan putera Nyo Sam-koan dan bukan anak Ma Hong-ing!
Teringat akan semuanya ini, Thian-leng benar-benar seperti terkungkup dalam awan gelap. Siapakah ayah bundanya"
Apakah memang ia manusia tanpa ayah ibu" Mengapa orang-orang yang diduganya menjadi orang tuanya, sama menyangkal dan saling melontarkan tanggung jawab. Apakah ia anak haram" Sekalipun anak haram, juga sang orang tua tentu mau mengakuinya.
Tiba-tiba pikiran Thian-leng tertuju pada Pok Thiat-beng dan Cu Giok-bun. Benarkah kedua orang itu mempunyai hubungan suami ister" Dan apakah hubungannya dengan mereka berdua"
Jenggot Perak telah menyerahkan Lu Bu-song menjadi isterinya. Sedangkan Cu Siau-bun an pun tampaknya menaruh hati padanya. Tempo di hotel Hian-gek-can di kota Ceng-liong tempo hari, ia dengan dara itu telah melakukan hubungan....... Ah, otak Thian-leng benar-benar nanar mengingat peristiwa yang dihadapinya saat itu, begitu berbelit-belit sampai-sampai ia lupa apa yang dihadapinya saat ini.
"Bu-beng-jin, apa kabar?" tiba-tiba Toan-jong-jin menegur.
Thian-leng gelagapan. Tersipu-sipu ia memberi hormat, "Ah, locianpwe, tak kira berjumpa di sini! Lebih tak kusangka lagi bahwa lo-cianpwe ternyata?" nona Cu.. punya....."
"O, tak menduga kalau ibu dan anak?" Toan-jong-jin tersenyum.
"Be.?" nar, sungguh tak kuduga sama sekali," Thian-leng terbata-bata. Ia memandang Siau-bun lalu menunduk dengan muka merah.
"Tahukah kau sekarang siapa aku?" beberapa jenak kemudian toan-jong-jin bertanya. Dipandangnya anak muda itu dengan seksama.
"Jika cianpwe tak menyalahkan, kini aku sudah dapat menduga," sahut Thian-leng.
"Coba katakanlah!"
Sejenak Thian-leng merenung, katanya, "Tempo itu dalam penjara Cui-lo di Sin-bu-kiong, aku telah bertemu dengan seseorang."
"Siapa?"
"Nyo Sam-koan!"
Toan-jong-jin menghela napas, serunya, "Itulah ayahmu!"
"Bukan!" jawab Thian-leng tegas. Jawaban itu membuat Toan-jong-jin terbeliak.
"Bagaimana kau begitu yakin?" Toan-jong-jin memandangnya heran.
"Karena Nyo Sam-koan menyangkal keras. Dia bilang".." sampai di sini Thian-leng berhenti dalam kesangsian. Baik ia lanjutkan keterangannya atau tidak.
Toan-jong-jin mengerutkan kening, ujarnya,"Apapun alasannya, silakan kau bilang saja!"
Dengan nada berat berkatalah Thian-leng, "Nyo Sam-koan menerangkan bahwa selama mengawini Ma Hong-ing itu, ia belum pernah tidur bersamanya!"
"Ih!" tiba-tiba Toan-jong-jin mendesis ngeri. Tubuhnya terhuyung-huyung hampir pingsan.
"Mah!" teriak Siau-bun, "Telah kukatakan bahwa dia bukan anak Ma Hong-ing!"
Toan-jong-jin tenangkan kegoncangan hatinya.
Beberapa saat kemudian baru ia membuka mulut, "Habis, anak siapakah dia itu?"
Tiba-tiba mata Toan-jong-jin memandang lekat-lekat ke tengkuk Thian-leng. Ia terbeliak. Jelas tampak pada tengkuk anak muda itu terdapat sebuah tahi lalat merah.
Amboi, mengapa begitu" Toan-jong-jin benar-benar kehilangan akal".
Siau-bun pun berdiam diri tenggelam dalam renungan. Jelas masih segar dalam ingatannya. Ketika berada dalam istana Sin-bu-kiong tempo hari, Ma Hong-ing memanggilnya dengan kata-kata "nak". Mengapa" Mengapa....."
Thian-leng juga lelap dalam lautan kegelisahan. Siapakah ayah bundanya" Mengapa tiada orang yang sudi mengakuinya sebagai anak...." Apakah ia lahir tanpa ibu bapak.."
Sam-chiu Sin-kun
"Bu-beng-jin, kau belum mengatakan siapa diriku!" sesaat kemudian Toan-jong-jin berseru.
Thian-leng tersipu-sipu dan segera menghaturkan hormat, "Kalau tak salah, cianpwe mungkin".memakai kedok kulit!"
Toan-jong-jin tersenyum. Tiba-tiba ia merenggut kulit mukanya sendiri. Ah..... sebuah kedok kulit tersingkap dan sebagai ganti dari rambut putih dan kulit muka keriput dari seorang wanita tua, kini muncul ah sebuah wajah cantik berseri dari seorang wanita yang baru berumur 35 an tahun.
"Ijinkanlah wanpwe berkata sepatah lagi," kata Thian-leng pula, "Cianpwe tentulah wanita yang dikatakan Nyo Sam-koan, ialah Pedang bebas Pok.... cianpwe..." sampai di sini Thian-leng tergagap tak dapat melanjutkan kata-katanya.
Toan-jong-jin memakai kedok lagi, sahutnya tertawa, "Benar, memang aku adalah isteri dari Pok Thiat-beng. Hanya sayang kami suami isteri......" Toan-jong-jin tak melanjutkan keterangannya lebih jauh.
Thian-leng buru-buru memberi hormat lagi, ujarnya "Atas pemberian cianpwe sebatang pedang pusaka itu, sampai matipun aku takkan melupakan. Tetapi....." ia berhenti meragu sejenak, lalu menyambung lagi dengan nada menyesal, "Tetapi sampai saat ini wanpwe belum dapat menemukan setitikpun jejak Pok lo-cianpwe!"
Toan-jong-jin tertawa rawan, ujarnya, "Hal itu tak dapat menyalahkanmu. Memang dia sukar dicari jejaknya. Mungkin sudah melenyapkan diri jauh ke luar perbatasan. Mungkin dalam kehidupan sekarang takkan dapat berjumpa lagi...."
Tiba-tiba Toan-jong-jin alihkan ucapannya pada sebuah pertanyaan, "Apakah yang kau ketahui lagi tentang diriku?"
Thian-leng tertegun, sahutnya tergagap, "Hanya itulah yang kuketahui"."
Kembali Toan-jong-jin tersenyum. Dengan penuh misterius ia memandang Siau-bun. Si darapun balas
memandangnya dengan tersenyum.
Thian-leng seperti terbungkus dalam kabut rahasia.Tak tahu ia apa yang telah terjadi sebenarnya. Namun ia tak mau banyak tanya. Memang yang diketahui hanya hal-hal yang telah dikatakan tadi. Tak tahu ia apa lagi yang tersembunyi di balik diri wanita Toan-jong-jin yang serba misterius itu.
Sebenarnya Thian-leng telah lengah. Lengah tentang diri Toan-jong-jin. Karena sampai saat itu, ia belum menyadari bahwa wanita Toan-jong-jin yang dihadapinya itu bukan lain ialah momok ganas yang merajai dunia persilatan yakni Hun-tiong Sin-mo!
Tiba-tiba Toan-jong-jin bangkit, "Karena terlibat percakapan , hampir membikin terlantar urusan kalian yang penting!" Memandang ke langit, ia berkata pula, "Sudah saatnya orang itu harus datang!"
"Mah, siapa yang kaumaksudkan?" tukas Siau-bun.
Pun karena ingin mengetahui, Thian-leng diam untuk mendengarkan. Tetapi Toan-jong-jin hanya tersenyum misterius. "Nanti kalian tentu tahu sendiri, tunggu saja sebentar!"
Habis bicara, tiba-tiba ia melesat lima - enam tombak jauhnya. Saat itu asap kuning dari barisan Thiat-hiat-tin masih menghambur tebal. Rombongan Sin-bu-kiong dan Hek Gak tetapa tenggelam di dalamnya.
Siau-bun menarik lengan Thian-leng diajak memburu Toan-jong-jin. Tegurnya, "Eh, mah, mengapa kau menyimpan rahasia terhadap aku?"
Tetapi Toan-jong-jin hanya mengerut sebuah senyum kecil, lalu melesat sepuluh tombak lagi. Siau-bun dan Thianleng tetap mengejar. Dalam beberapa kejap saja mereka sudah mencapai satu li jauhnya.
Sekonyong-konyong terdengar jeritan ngeri. Jeritan orang yang bunuh membunuh!
Thian-leng terkejut sekali. Sebaliknya Toan-jong-jin masih tetap berjalan tenang. Tampaknya perlahan, tetapi cepatnya bukan main. Malah pada lain saat, ia percepat jalannya sampai seperti angin meniup.
Ilmu ginkang dari Siau-bun dan Thian-leng sebenarnya sudah tergolong tingkat kelas satu. Tetapi ketika mengejar Toan-jong-jin tampak jelas sekali bedanya. Hanya dalam beberapa saat saja mereka sudah tertinggal setengah li di belakang. Dan ketika kedua anak muda itu tiba di tempat yang dituju, di situ sudah terjadi peristiwa yang mengerikan!
Belasan jago-jago baju ungu tampak bergelimpangan tersebar di tanah. Tubuh mereka hancur dan gosong seperti terbakar. Jelas mereka telah dibunuh orang dengan ilmu Ciong-chin-hoat atau tenaga dalam keras. Di samping mereka terdepat tiga sosok mayat pengemis. Belasan pengmis tengah tegak terlongong-longong seperti patung....
Thian-leng cepat mengerti apa yang telah terjadi. Belasan pengemis itu telah dianiaya oleh orang Sin-bu-kiong dan ketika Toan-jong-jin tiba ia hanya berhasil membunuh tiga orang Sin-bu-kiong. Yang lain-lain tentu sudah melarikan diri.
Beberapa saat kemudian rombongan pengemis itu gelagapan seperti orang tersadar dari mimpi. Tersipu-sipu mereka memberi hormat kepada Toan-jong-jin serta menghaturkan terima kasih. Setelah itu mereka juga memberi hormat kepada Thian-leng, seru mereka, "Murid menghaturkan hormat kepada pangcu!"
Thian-leng tersipu-sipu dan buru-buru menyuruh mereka bangun.
"Eh, aku sampai lupa menghaturkan selamat padamu yang dalam usia begitu muda sudah menjadi ketua Kay-pang.."
tiba-tiba Toan-jong-jin berseru tertawa, " hanya.....ah, pengemis-pengemis itu baunya sungguh tak tahan......" ia berpaling kepada Siau-bun, "Nak, apakah kau juga bersedia menemaninya seumur hidup makan nasi sisa dan sayur sisa?"
Siau-bun bersungut, "Mah, mengapa kau menggoda aku?"
Tetapi Toan-jong-jin tak menghiraukan urusan itu lagi dan berkata cepat, "Ah, aku masih mempunyai urusan lain. Aku hendak pergi dulu, kalian boleh bersama melanjutkan perjalanan."
Siau-bun terkejut dan menyambar ujung baju ibunya, "Mah, kami ikut bersamamu!"
Toan-jong-jin mengerutkan kening, "Tetapi aku masih mempunyai urusan penting. Kalian tak perlu ikut!"
"Coba katakan dulu urusan apa?" bantah Siau-bun.
Toan-jong-jin mendengus perlahan, "Li Cu-liong ketua Tiam-jong-pay, sudah jatuh di tangan orang Sin-bu-kiong, mamah harus menolongnya!"
"Lalu kemana kita mencarimu?"
"Tak usah kalian cari. Begitu urusan selesai aku tentu dapat mencarimu!" sahut Toan-jong-jin.
Akhirnya terpaksa Siau-bun melepaskan mamahnya. Bagaikan burung garuda melayang, dalam beberapa kejap saja bayangan Toan-jong-jin pun lenyap dalam kegelapan malam.
Sebenarnya Thian-leng masih ingin menanyakan beberapa hal kepada Toan-jong-jin. Tetapi karena cepat sekali wanita itu bergerak, pada saat Thian-leng hendak mengajukan pertanyaannya, Toan-jong-jin pun sudah lenyap.
Siau-bun menghela napas, ujarnya, "Bu-beng pangcu, mamahku sudah pergi. Marilah kita selesaikan urusan di depan mata ini."
Thian-leng seperti disadarkan. Di hadapannya tampak belasan pengemis masih tetap dalam sikap menghormat kepadanya. Mereka dipimpin oleh Lau Gik-siu, ketua cabang partai Kay-pang.
"Mengapa saudara-saudara datang kemari" Apakah ada urusan penting?"
Lau Gik-siu segera menyahut dengan hormat, "Sejak pangcu pergi, muridpun mengirim berita dengan burung. Ada sebuah berita yang kami terima, bahwa ada seorang misterius yang masuk secara mencurigakan di wilayah gunung Thay-heng-san...."
Diam-diam Thian-leng membatin,"Sin-bu-kiong, Hek Gak, Tiam-jong-pay dan orang Thiat-hiat-bun semuanya telah masuk ke daerah Thay-heng-san. Jumlah mereka sedemikian besarnya, mengapa hanya seorang saja yang dicurigai?"
"Dewasa ini di gunung Thay-heng-san penuh dengan jago-jago persilatan, baik dari golongan hitam maupun golongan putih. Mengapa kalian hanya mementingkan seorang pendatang saja?"
"Tetapi orang itu adalah seorang tokoh golongan hitam yang termashyur, " buru-buru Lau Gik-siu menjelaskan, "dan jejaknya memang sangat mencurigakan. Karena itu kami segera mengikutinya!"
"Mengapa mencurigakan?" tanya Thian-leng.
"Kemungkinan dialah yang mencui peta Telaga zamrut milik pangcu," sahut Lau Gik-siu dengan perlahan.
Seketika teganglah Thian-leng, serunya, "Siapakah orang itu?"
"Cia Bu-sin bergelar Sam-chiu sin-kun ( Malaikat bertangan tiga)!"
"Di mana ia sekarang?"
"Menuju ke arah selat Pak-bong-kiap. Tetapi ketika kami sampai di tempat ini, telah bertemu dengan anak buah Sinbu-kiong. Dalam pertempuran , kami kehilangan tiga orang anggota!"
"Tinggalkan dua orang anggota untuk mengurus mayat-mayat itu. Dan harap Lau-tongcu memimpin rombongan untuk mengejar Sam-chiu sin-kun!" Thian-leng memberi perintah.
Lau Gik-siu segera melakukan perintah ketuanya. Setelah menyuruh dua orang pengmis tinggal di situ untuk mengubur mayat, ia segera ajak rombongannya meneruskan pengejaran.
Thian-leng ajak Siau-bun mengikuti rombongan Kay-pang. Setelah meintasi dua buah jalanan, tibalah mereka di sebuah lembah.
Lembah itu aneh dan seram. Kedua belah dindingnya menjulang ke langit, penuh hutan cemara yang lebat dan batu-batu besar yang berserakan. Sepintas pandang mirip dengan kuburan.
Lau Gik-siu dan rombongannya berhenti, katanya, "Inilah Pak-bong-kiap, tetpai mengapa Sam-chiu Sin-kun tak berada di dalam lembah?"
Thian-lengpun tak melihat barang seorangpun juga. Sesaat kemudian tiba-tiba Siau-bun menggapai anak muda itu, bisiknya, "Lekas kejar, dia memang memasuki lembah ini!"
Girang Thian-leng tak pelang, katanya, "Apakah ilmumu Melihat-langit-mendengar "bumi ". "
Siau-bun menjawab dengan menarik lengan baju anak muda itu terus diajak loncat ke atas batu karang yang tinggi.
Karang itu tepat di samping lembah, sehingga dari situ dapat melihat jelas ke dalam lembah. Tetapi hutan cemara yang lebat tetap menutupi pandangan mata.
"Apakah adik Bun tak salah dengar?" tanya Thian-leng dengan menggunakan ilmu menyusup suara
"Meskipun ilmu mendengar bumi ada kalanya menerima rintangan dari hutan, hujan dan angin, tetapi tetap takkan salah dengar!" sahut Siau-bun.
"Kalau begitu tentulah Sam-chiu Sin-kun berada di sini!"
Siau-bun tak menghiraukan anak muda itu. Dia menumpahkan seluruh perhatiannya untuk mendengar dan
memandang ke seluruh lembah.
Rombongan pengemis tua yang mengikuti di belakang mereka, tak dapat mendengar apa yang dipercakapkan kedua anak muda itu. Lau Gik-siu yang melihat ketuanya tegak beradu bahu dengan seorang gadis tanpa bicara apa-apa , segera memberanikan diri untuk berseru perlahan,"Pangcu"."
"Apa?" sahut Thian-leng.
"Kami telah menemukan jejak Sam-chiu Sin-kun. Dia memang benar telah memasuki lembah. Harap pangcu lekas mengejar".." Lau Gik-siu berhenti sejenak, lalu berkata pula, "Sam-chiu Sin-kun memang mempunyai kepandaian istimewa dalam mencuri dan banyak tipu muslihatnya pula!"
Thian-leng sejenak melirik Siau-bun. Nona itu tampak mengerutkan kening seperti tengah memikirkan persoalan yang rumit, sepertinya tak mengacuhkan anak muda itu.
"Ya, aku tahu".." terpaksa Thian-leng menjawab Lau Gik-siu. Tetapi walaupun begitu, ia tetap tak bergerak melainkan hanya memandang Siau-bun saja.
Beberapa saat kemudian baru kelihatan Siau-bun mengangguk dan loncat turun.
"Apakah adik sudah mengetahui tempat orang itu?" tanya Thian-leng.
"Tanyakan Lau tongcu, apakah di belakang lembah ini terdapat jalan tembus?" kata Siau-bun.
Mendengar itu Lau Gik-siu segera memberi keterangan, " Lembah Pak-bong-kiap ini terkenal berbahaya sekali. Belum pernah aku menyuruh orang menjelajahinya. Maka apakah di belakang lembah ada jalan tembus atau tidak"
aku..kurang tahu?" kemudian ia menanyakan Siau-bun perlukah menyuruh orang menyelidiki.
"Terlambat, kita terjang saja!" Siau-bun terus hendak menyerbu ke dalam lembah. tetapi dicegah Thian-leng, "Nanti dulu, apa sajakah yang kau dengar ?"
"Aku sendiri belum dapat memastikannya, "kata Siau-bun, "di dalam lembah memang ada seorang yang tengah berjalan dengan langkah aneh. Dia seorang sakti, umurnya di antara tujuhpuluhan tahun, jenggot melambai sampai dada. Dia berjalan perlahan sekali seakan mencari jalan. Dan saat ini sudah memasuki lembah sejauh seratus tombak, menuju ke belakang lembah". "
"Itulah Sam-chiu Sin-kun!" Lau Gik-siu menyeletuk. Kemudian ia mendesak Thian-leng supaya lekas mengejar. Tetapi segera ia menutup mulut demi melihat wajah kedua anak muda itu tampak serius sekali. Tentulah sedang menghadapi persoalan yang genting.
"Kalau pendengaranku tak salah, Sam-chiu Sin-kun diam-diam sedang di kuti oleh lima orang!"
"Tetapi bukankah kau tadi mengatakan belum dapat memastikan?" tanya Thian-leng.
"Itulah yang membingungkan aku," kata Siau-bun, "kelima pengejarnya itu tidak mengambil jalan dari tengah lembah, tetapi muncul dari empat penjuru lembah. Padahal jalan di situ sukarnya bukan main. Dan yang lebih hebat, langkah mereka hampir tak tertangkap ilmu Melihat-langit-mendengar-bumi?"
"Oh, mereka tentu orang-orang yang berilmu sakti," Thian-leng berseru kaget, "Kecuali Sin-bu Te-kun dan ketua Hek Gak, tentu tak ada lainnya lagi. Kita beresi dulu kedua durjana itu baru kemudian membekuk Sam-chiu Sin-kun"."
"Tidak," tukas Siau-bun, "Menurut dugaanku, kalau orang itu memang bangsa manusia, tentu bukanlah Sin-bu Te-kun ataupun ketua Hek Gak!"
"Bagaimana kau dapat memastikan?"
"Sin-bu Te-kun dan rombongan Hek Gak masih dikepung oleh Thiat-hiat-tin. Lain orang tentu tak ada yang memiliki ilmu sehebat itu!"
Thian-leng terbeliak. Habis siapakah kelima orang pengejar yang sakti itu" Jelas tujuan mereka ialah hendak merebut peta Telaga zamrud.
"Dengan munculnya secara terpencar itu, jelaslah bahwa mereka bukan segolongan. Jika kita dapat mencegat di belakang lembah, kita dapat merebut dulu peta itu dari tangan Sam-chiu Sin-kun. Tetapi apa boleh buat, sekarang kita terpaksa aharus menerjang dari sini!"
"Baik, aku yang menjadi pembuka jalan!" kata Thian-leng seraya terus melangkah ke dalam lembah.
"Hai, tahukan kau di mana beradanya Sam-chiu Sin-kun?" Siau-bun berseru seraya mengejar.
Thian-leng tertegun, Serunya. "Dia toh berada dlam lembah, masakah kita tak dapat menemukannya?"
"Uh, lebih baik kau ikut aku saja!" Siau-bun tertawa hambar.
Thian-leng menurut. Dengan pedang terhunus ia mengikuti di belakang si nona. Begitu pula Lau Gik-siu beserta anak buahnya. Mereka siap dengan senjata masing-masing.
Lembah itu tiada jalannya. Hanya sebuah lembah mati yang penuh batu-batu besar dan hutan lebat. Baru berjalan sepuluhan tombak, Thian-leng merasa kehilangan arah. Coba tak ada Siau-bun yang menjadi penunjuk jalan, tentu ia sedah tersesat.
Siau-bun berjalan dengan hati-hati sekali. Setiap kali ia berhenti untuk memasang telinga. Belum tujuh puluh tombak jauhnya, tiba-tiba nona itu berhenti. Ia gunakan ilmu menyusup suara membisiki Thian-leng, "Sam-chiu Sin-kun berada pada jarak tiga puluh tombak. Para pengejarnyapun sudah muncul mengepungnya. Mereka berilmu tinggi semua. Kita harus menjaga jangan sampai ketahuan mereka.!"
Thian-leng mengiyakan dan segera menyuruh rombongan Lau Gik-siu menunggu di situ.
"Tidak, bagaimana kami disuruh tinggal diam saja melhat pangcu terancam bahaya...." bantah Lau Gik-siu.
"Tetapi ini harus dilakukan secara bersembunyi. Kalau kalian ikut, lebih besar bahayanya!"
Lau Gik-siu tetap menolak, "Pesan mendiang cikal bakal kaum Kay-pang, murid-murid Kay-pang harus perintah ketuanya dan melindumginya"."
Thian-leng gugup. Tiba-tiba ia mendapat akal. Diambilnya lencana Kiu-pang-tong-pay dari lehernya, "Lau tongcu, dengarlah perintahku!"
"Hamba siap!" tergesa-gesa Lau Gik-siu menyahut dengan hermat.
"Untuk sementara ini kuserahkan kekuasaan partai kepadamu. Kau jaga di sini. Jika terjadi sesuatu, bertindaklah menurut gelagat!"
Walaupun ragu, tapi Lau Gik-siu terpaksa menerima perintah itu. Thian-leng segera gunakan ilmu menyusup suara untuk mengajak Siau-bun melanjutkan perjalanan lagi.
Jalan semakin sukar. Hampir sejam mereka baru mencapai lima puluh tombak. Tiba-tiba Siau-bun berkata, "Kalau pendengaranku tak salah, sudah sepenanakan nasi lamanya Sam-chiu Sin-kun berhenti di sebelah muka....."
"Di mana?"
"Apakah kau melihat tiga batang pohon jati di sebelah muka itu?" tanya Siau-bun.
Memang benar. Thian-leng melihat tiga batang pohon jati tumbuh menggerumbul. Setiap batang besarnya sepelukan tangan orang. Karena berjajar rapat pohon itu seperti tembok tinggi.
"Ya, memang kelihatan." sahutnya.
"Nah, di situlah ia bersembunyi!"
"Lalu pengejar-pengejarnya itu?" tanya Thian-leng.
"Berada di sekeliling tempat ini sekitar sepuluhan tombak jauhnya. Sebenarnya kita sudah masuk dalam kepungan mereka!"
Thian-leng terkejut, "Apakah mereka sudah mengetahui jejak mereka?"
"Entahlah, " Siau-bun mengerutkan dahi, "aku tak tahu apakah mereka juga mempunyai ilmu gaib seperti Melihat langit mendengar bumi. Tetapi yang jelas mereka tak dapat bertahan menyembunyikan diri lagi!"
"Apakah Sam-chiu Sin-kun benar-benar bersembunyi di belakang ketiga pohon itu?" Thian-leng menegas, rupanya ia mempunyai rencana.
"Masakah aku hendak membohongimu?"
"Bagus, kalau begitu kita harus membekuknya lebih dahulu!"
"Tetapi tahukah kau bahwa di belakang pohon itu penuh dengan batu-batu besar?"
"Tahu!" sahut Thian-leng, "mengapa kau tanyakan hal itu?"
Sahut Siau-bun dengan nada bersungguh-sungguh, "Berapa jumlahnya dan dari golongan mana kawanan pengejar itu, kita belum tahu. Tetapi yang jelas mereka itu bukanlah tokoh-tokoh sembarangan dan tujuannya sudah jelas hendak merebut peta pusaka. Maka barang siapa berani turun tangan lebih dahulu, dia bakal menjadi korban bulan-bulan orang yang lain!"
"Tetapi bagaimana dapat menghindari pertempuran?" bantah Thian-leng, "kalah memang toh kita belum tahu! Tanpa berani mengambil resiko mana mungkin kita dapat merebut peta itu kembali" Apakah kau mempunyai cara lain kecuali gunakan kekerasan?"
Siau-bun mengerutkan dahi, ujarnya "Segala apa dapat dipecahkan. Soalnya bukan masalahnya yang tak dapat dipecahkan, tapi kita yang tak mampu memecahkan!"
Jilid 18 . Thian-leng meringis. Ia tahu sampai di mana kelihayan otak si nona itu. Cara-cara meloloskan diri dan mengocok Kongsun Bu-wi ketua Hek Gak dengan gurunya si Ang-tim-gong-khek Bok Sam-pi, cukup membuktikan betapa cerdas nona itu.
Setelah kedua anak muda itu merenung lama, barulah tiba-tiba Siau-bun berkata pula, "Sam-chiu-Sin-kun pasti bersembunyi di balik pohon, kuyakin pendengaranku tak salah. Menurut pendapatku, kepandaiannya tak ungkul dari kau. Dapatkah kau dalam tiga jurus serangan mendadak, membuatnya tak berdaya?"
Dian-diam Thian-leng memperhitungkan. Jaraknya dengan pohon itu hanya sepuluhan tombak. Dua kali lompatan ia dapat mencapai. Dengan ilmu pukulan Lui-hwe-ciang dan ilmu pedang Toh-beng-sam-kiam, rasanya ia tentu mampu mengatasi Sam-chiu Sin-kun.
Kalau perlu bunuh saja orang itu, karena ia benci dengan perbuatannya!
"Baik, aku sanggup! Tetapi ".." ia meragu, "tetapi bagaimana kalau orang-orang itu menyerang aku?"
"Sudah tentu mereka akan menyerangmu. Tetapi janganlah kau hiraukan mereka." jawab Siau-bun, "yang penting kau harus segera melukai Sam-chiu Sin-kun dan menyeretnya ke tengah tumpukan batu dan mengambil peta lalu memasukkan ke dalam sepatu?"
"Ya, ya, hal itu mudah. tetapi".."
"Ilmuku menimpuk panah Tui-hong-kiong dan ilmu pedang, mungkin masih dapat menghalangi mereka. Begitu kau berhasil mendapat peta itu, berhasil ah kita!"
Masih Thian-leng bersangsi, ujarnya, "Pengejar-pengejar itu tentu bertekat mati-matian merebut peta. Apabila kita berdua tak sanggup melawan mereka, apakah akhirnya?""
"Kekuatiranmu memang beralasan. Menurut peneropongan yang kulakukan dengan ilmu Melihat langit mendengar bumi, mereka masing-masing memiliki ilmu yang tinggi dan mungkin kita tak mampu menandingi".."
"Kalau begitu apa gunanya!?"
Siau-bun tertawa, "Tetap ada gunanya. Segala sesuatu bukanlah tergantung kenyataan semata-mata, tetapi pada kecerdikan!" Ia berhenti sejenak, melepaskan pandangan mata, kemudian berkata pula, "Kita akan membentuk barisan, menjebak mereka agar saling bunuh sendiri!"
"Oh," Thian-leng melongo, "tetapi bagaimana caranya?"
Siau-bun tersenyum simpul, "Biarkan mereka saling merebut peta itu sendiri seperti anjing merebut tulang....." ia segera mengeluarkan sehelai kain. Setelah dilipat lalu diberikan kepada Thian-leng.
"Begitu kau berhasil mengambil peta dan menyusupkan ke dalam sepatu, segera kau lemparkan kain itu kepadaku?"
"Bagus!" Teriak Thian-leng girang, "bukankah maksudmu supaya mereka mengira buntalan kain itu berisi peta, sehingga mereka lalu rebutan sendiri?"
Siau-bun mengangguk, "Begitulah! Setelah mereka saling merebut, kita angkat kaki dengan lenggang kangkung, tapi kau"." dipandangnya anak muda itu dengan cemas.
"Jangan kuatir," kata Thian-leng dengan tenang, "asal Sam-chiu Sin-kun benar-benar berada di balik pohon, tentu aku akan dapat melakukan rencana kita itu dengan berhasil!"
Siau-bun menyuruh anak muda itu segera bersiap-siap. Thian-leng menyisipkan kain ke lengan baju, menyiapkan pedang dan mengerahkan seluruh semangatnya. Begitu Siau-bun memberi perintah, segera anak muda itu mengenjot kakinya, bagaikan seekor burung alap-alap, ia melayang ke arah pohon!
Berebut peta! Memang tepat sekali dugaan Siau-bun. Di belakang ketiga pohon besar tampak sesosok bayangan putih. Punggung orang itu menempel pada batang pohon.
Walaupun belum jelas apakah orang itu benar Sam-chiu Sin-kun yang mencuri petanya, Thian-leng segera melancarkan pukulan dahsyat dan serangan pedang secepat-cepatnya dan sedahsyat-dahsyatnya.
Sungguh aneh sekali. Orang itu tak menghindar maupun menangkis. Sebuah pukulan dan tiga tebasan pedang Thianleng tepat jatuh di tubuhnya. Dan tanpa mengerang serta menggeliat, rubuhlah orang itu.
Panji Tengkorak Darah Ko Lo Hiat Ki Karya S D Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Walaupun heran, tetapi Thian-leng tiada tempo untuk memeriksa, Cepat-cepat ia mengangkat tubuh orang itu terus dibawa loncat ke tengah gundukan batu. Thian-leng telah menunaikan tugas sesuai rencana!
Tetapi pada saat Thian-leng menginjak batu dan hendak menggeledah, kejutnya bukan kepalang. Tiga sosok tubuh serempak bersuit dan mencelat keluar dari tiga penjuru. Siau-bun sudah memperhitungkan hal itu. Maka berbareng dengan tibanya orang-orang itu, iapun sudah menyerang dengan pukulan dan timpukan panah Tui-hong-kiong.
Ketiga orang itu rupanya tahu jelas dengan kelihayan Tui-hong-kiong. Mereka menyurut mundur dan mengebut dengan lengan bajunya. Adalah karena sedetik rintangan itu, cukuplah sudah bagi Thian-leng untuk menyelinap ke tengah gundukan karang.
Dalam pada itu Siau-bun sudah melolos pedang dan menyerang dua orang musuh. Pedang nona itu merupakan pasangan dari pedang Thian-leng. Walaupun pendek, tetapi sinarnya dapat memancar sampai beberapa meter. Juga ilmu pedang yang dimainkan adalah Toh-beng-sam-kiam. Hanya bedanya Siau-bun lebih unggul setingkat dalam peryakinan.
Dua orang yang menyerang dari samping kiri terdiri dari seorang lelaki dan seorang wanita. Umurnya di antara empat puluh tahun. Wajahnya buruk. Yang lelaki beralis tebal, mata besar mulut lebar. Yang perempuan daging mukanya menonjol macam setan malam.
Kedua orang itu mengebutkan lengan bajunya menampar pedang Siau-bun. Seketika Siau-bun merasa seperti ditiup angin dingin. Terpaksa ia menarik pulang pedangnya dan berputar menyerang lawan yang dari samping kanan. Orang itu seorang tua berjenggot kuning.
Orang tua itu sebenarnya hendak memburu Thian-leng , tetapi karena dihalangi Siau-bun terpaksa berhenti. Marahlah orang tua itu.
"Budak perempuan, apa kau bosan hidup?" serunya seraya menusukkan sebuah jari ke pedang si nona.
Siau-bun terkejut. Tusukan jari itu hebatnya bukan kepalang, sampai mengeluarkan suara mendesing yang tajam sekali. Siau-bun hendak menarik pulang pedangnya, tetapi
tusukan jari orang tua berjenggot cepatnya bukan main. Tring".. ujung pedang mendering keras dan seketika itu Siau-bun rasakan lengan kanannya kesemutan. Pedangnya hampir mencelat ke udara. Kuda-kuda kakinya tergempur dan terhuyunglah ia sampai 3-4 langkah ke belakang.
Di sebelah belakang ia disambut oleh seorang paderi dan seorang imam. Si paderi membawa pedang dan si imam mencekal senjata sekop.
Siau-bun tak berdaya merintangi lagi. Lelaki dan wanita jelek tadipun sudah memburu Thian-leng. Thian-leng terancam bahaya!
Adegan itu berlangsung hanya dalam sekejap saja. Pada saat Thian-leng melemparkan tubuh tawanannya ke tengah gundukan batu, penyerang-penyerangnyapun sudah tiba. Thian-leng tercengang.
"Tolol, mana peta itu!" serentak Siau-bun meneriaki si anak muda.
Thianleng gelagapan. Tanpa berpikir panjang lagi, segera ia melemparkan bungkusan kain, "Adik Bun, lekas sambutlah!"
Si paderi dan si imam yang sudah tiba di muka Siau-bun tertegun. Adalah si imam yang lebih dulu tertawa gelak-gelak, terus mengenjot tubuhnya melayang di udara dan segera menyambar bungkusan kain. Begitu menyambuti bungkusan, ia melambung terus sampai setinggi-tingginya, bergeliatan dan meluncur sampai beberapa tombak jauhnya. Dia yakin peta Telaga zamrud sudah dikuasainya!
"Hai, to-heng, tunggulah!" si paderipun mengenjot tubuhnya ke udara mengejar si imam.
Si orang tua berjenggot kuning dan sepasang lelaki perempuan berwajah buruk tadi, sebenarnya sudah tiba di muka Thian-leng dan hendak menyambarnya. tetapi timbulnya perobahan yang mendadak itu membuat mereka kaget bukan kepalang.
Si orang tua jenggot kuning secepat kilat menarik pulang tangannya terus mencelat ke udara, "Coba saja kalau kau mampu lepas dari tangan Thian-san Siu-sin ( Dewa hewan dari gunung Thian-san)!"
Juga sepasang lelaki perempuan berwajah buruk yang agaknya seperti sepasang suami istri itu bergerak aneh sekali.
Mereka tak menghiraukan Thian-leng lagi. Tiba-tiba si lelaki menyambar paha kiri si perempuan, terus dilemparkan ke udara seraya berseru, "Di hadapan Im-yang Song-sat, kalian berani main gila!"
Tubuh wanita itu meluncur laksana anak panah. Dalam sekejap saja sudah melampaui si orang tua berjenggot kuning, terus mengejar si paderi dan si imam.
Setelah melemparkan tubuh si perempuan, lelaki itupun melambung ke udara. Demikian timbul ah kejar mengejar di antara lima orang. Dalam sekejap saja mereka sudah meluncur enam puluhan tombak jauhnya.
Sesaat kemudian terdengarlah suara letupan dari pukulan beradu, disusul dengan gemuruh pohon tumbang dan batu meledak pecah. Jelas bahwa mereka telah saling memukul.
Siau-bun cepat meloncat ke hadapan Thian-leng, "Lekas lari, mereka".."
Tetapi Thian-leng tetap tegak seperti patung.
"Hai bagaimana" Apakah peta itu........ belum kau dapatkan?"
Thian-leng menghela napas panjang, "Silakan lihat sendiri!" Ia menunjuk pada tubuh tawanannya yang sudah terkapar tak bernyawa di antara gundukan batu.
Cepat Siau-bun memeriksa dan secepat itu pula ia termangu terkesima. Ternyata yang dibunuh Thian-leng itu bukan Sam-chiu Sin-kun, bukan pula manusia, melainkan orang-orangan dari batu dan dahan pohon, tetapi dibuat sedemikian rupa sehingga menyerupai seorang manusia, lengkap dengan panca indra dan jenggot panjang. Di tempat segelap itu, apalagi pada malam hari, orang tentu keliru menyangkanya sebagai manusia!
Dan yang istimewa lagi, orang-orangan itu dibalut dengan tali sutera yang ulet sekali. Maka tiga buah tusukan pedang Thian-leng dan sebuah pukulannya tadi tak berhasil menghancurkan orang-orangan itu!
"Rase tua yang licin sekali. Dia-benar-benar lihay mengatur siasat!" Siau-bun membanting-banting kaki.
"Tetapi dari mana ia membuat orang-orangan ini" Apakah sebelumnya kau tak mengetahui?"
Siau-bun hanya menghela napas, "Setan tua itu memang licin sekali. Bodoh sekali kalau ia membuat orang-orangan itu dari lain tempat...... eh, apakah kau tak memperhatikan kaki pohon itu" Di situlah ia mempersiapkan orang-orangannya!"
Memang di bawah ketiga pohon tua tadi tampak ranting dan dahan pohon berhamburan.
"Dia sudah tahu kalau dikejar orang, maka sengaja ia berhenti di sini. Diapun sudah memperhitungkan bahwa pengejar-pengejarnya itu tentu saling menunggu siapa yang berani bergerak dulu. Hal itu tentu memakan waktu cukup lama. Maka enak saja ia membuat orang-orangan itu. Karena kesemuanya itu sudah diperhitungkan lebih dahulu, maka sebelumnya iapun sudah membawa pakaian, rambut dan jenggot palsu!"
"Pengejar-pengejarnya itu hanya terpisah sepuluhan tombak jauhnya. Apakah ia tak takut dipergoki?"
"Sudah tentu ia menyembunyikan diri sedemikian rupa agar jangan sampai ketahuan kalau sedang membuat orang-orangan. Ilmu sakti apapun juga hanya terbatas mengetahui bahwa ia bersembunyi di balik pohon. Tetapi apa yang tengah dikerjakan tentu tak dapat diketahui. Setelah selesai, orang-orangan itu disandarkan ke batang pohon dan ia sendiri diam-diam sudah menyelinap pergi. Benar-benar hebat rase tua itu!"
Thian-leng heran dan menanyakan apakah ilmu Melihat-langit mendengar-bumi si nona tak dapat mengetahui kalau pencuri itu lolos.
"Ah, akupun kena dikelabui. Kukira orang-orangan itu adalah dia, maka yang kuperhatikan hanya itu saja," Siau-bun menghela napas lagi.
Thian-leng meringis. Sekarang soal yang harus dipecahkan ialah ke manakah gerangan larinya penjahat itu" Menilik kelihayan Sam-chiu Sin-kun mencopet peta dan meloloskan diri dari kepungan , jelas bahwa orang itu memiliki otak luar biasa. Kalau ia berhasil mendapatkan kitab pusaka, tentulah dalam waktu singkat ia sudah berhasil mempelajari isinya. Apabila hal itu sampai terjadi, betapa besar bencana yang bakal menimpa dunia persilatan!
Pikiran Thian-leng melayang-layang dilanda badai kegelisahan. Sementara itu Siau-bun mondar-mandir memeriksa bekas-bekas di bawah pohon. Yang dapat diketemukan hanyalah hamburan ranting-ranting dan daun pohon, tetapi bekas telapak kaki orang sama sekali tak tampak.
Beberapa saat kemudian Thian-leng bertanya apakah Siau-bun mendengar sesuatu. Nona itu termenung sebentar lalu menggelengkan kepala, "Ah, mungkin bangsat tua itu sukar diketemukan lagi!"
"Ah, kitab pusaka It Bi siangjain tentu akan dimilikinya!" Thian-leng berteriak kaget.
"Habis?" Siau-bun mengangkat bahu, "dengan kecerdikannya bangsat tua itu tentu berhasil menemukan tempat kitab itu!"
Thian-leng membanting-banting kaki, "Celaka, kalau kitab pusaka itu didapat manusia semacam itu, berarti malapetaka bagi dunia persilatan!"
"Apa mau dikata, mungkin sudah suratan takdir," sahut Siau-bun lesu, "mungkin dunia persilatan memang harus mengalami banjir darah!"
Thian-leng merasakan bumi yang dipijaknya seperti bergoyang. Ingin ia mati saja saat itu. Bayang-bayang Oh-se Gong-mo, Tui-hun Hui-mo dan tabib Sip U-jong bermunculan di kalbunya. Mereka menuding-nuding kepada Thianleng, seolah hendak menuntut janji pemuda itu.
Pada lain saat terbayang pula budi kebaikan Hun-tiong Sin-mo memberinya obat dahulu, Toan-jong-jin memberi pedang dan ilmu pedang, pengangkatannya sebagai ketua partai Pengemis, serta budi kebaikan yang dilimpahkan si Jenggot perak dan cucu perempuannya Lu Bu-song".
Untuk membalas budi dan melaksanakan harapan mereka yang telah memberi kepercayaan kepadanya hanyalah disandarkan pada kitab pusaka. Tetapi.. ah
peta itu telah hilang. Dia adalah manusia yang berdosa. Berdosa karena menghancurkan harapan mereka. Ia harus mati untuk menebus dosa itu"..
"Ayo, kita pergi!" tiba-tiba Siau-bun menarik lengannya.
"Apakah kau sudah mendapatkan ssesuatu jejak?"
"Tidak?".. tetapi kalau tidak pergi kita tentu terancam bahaya!"
"Kenapa?" Thian-leng masih bertanya.
"Suara pertempuran sudah berhenti, jelas bahwa mereka tentu sudah mengetahui bahwa buntalan kain itu bukan peta. Sebentar lagi mereka tentu kembali mencari kita?""
"Tetapi kita sendiri juga tertipu. Asal kita terus terang menceritakan.........."
"Mereka jago-jago sakti dan belum ketahuan dari golongan mana. Paling tidak mereka tetap akan menuntut karena kau telah menipunya. Jika bertempur, kita tentu menderita. Lebih baik kita lari dulu baru nanti kita mengatur rencana lagi!"
"Baik, marilah......," baru Thian-leng mengucapkan itu, tiba-tiba terdengar suara bentakan bengis, "Huh, kalian mau lari?"
Kejut Thian-leng dan Siau-bun bukan kepalang. Di empat penjuru telah mengepung kelima orang yang merebut kain tadi.
"Budak bernyali besar!" bentak si imam sembari menimpukkan kain kepada Thian-leng, "Kau berani menipu aku berarti bosan hidup! Kau belum mendengar siapa Tiang Pek cinjin?"
Thian-leng menyahut dengan angkuh, "Sekali-kali aku tak bermaksud menipumu. Apalagi aku sendiri juga kena ditipu orang!"
Ia menunjuk pada orang-orangan yang terkapar di tanah, serunya, "Silakan lihat!"
Tiang Pek cinjin melemparkan pandangan ke benda itu. Di luar dugaan ia berpaling kepada si paderi, "Bagaimana ini?"
Paderi Ko Bok juga seorang paderi ganas yang berpuluh tahun memendam diri. Ia menggaruk-garuk telinga, "Aneh, memang aneh. Kemana si tua Sam chiu Sin kun itu?"
Rupanya ia mempunyai hubungan baik dengan Tiang Pek cinjin.
Siau-bun tertawa getir, "Cuwi tentulah para cianpwe dari dunia persilatan. Sebaiknya segera melakukan pengejaran pada Sam chiu Sin-kun, jangan buang waktu!"
Thian-san Siu sin si tua jenggot kuning mendengus, "Hm, jangan kira kau dapat mengelabui kami lagi! Dengan tipu muslihatmu yang licik, kau telah menipu kita, kemudian di sini kau lakukan sulapan. Aku sudah tua, masakah kena di ngusi seperti anak kecil!"
Sepasang suami isteri berwajah buruk segera ikut membentak, "Memang benar! Lekas serahkan peta itu, nanti kalian boleh bebas pergi!"
Turut campurnya kedua suami isteri yang bergelar Im Yang song-sat itu membuat si paderi dan si imam gusar sekali.
"Jika peta telaga zamrut sampai jatuh ke tangan kalian, aku paderi Ko Bok dan imam Tiang Pek segera akan bunuh diri saja!" bentak paderi Ko Bok.
"Mau bunuh diri atau tidak, itu urusanmu sendiri. Tetapi peta itu harus menjadi milik kami suami isteri!" sahut Im Yang song-sat.
"Mungkin keinginanmu itu sukar terlaksana!"
"Silakan saja kalau mau mencoba!" sahut Im Yang song-sat.
Ketegangan merebak. Kedua pihak saling bersiap.
"Nanti dulu!" tiba-tiba si jenggot kuning Thian-san Siu-sin mencegah.
"Jenggot kuning, tak usah kau campur mulut, kau tak berhak ikut menginginkan peta!" bentak Im Yang song-sat.
Juga paderi Ko Bok mengenyahkan jenggot kuning, "Menyingkir sajalah kau ini. Atau akan kuremukkan dulu tulang-belulangmu yang bangkotan itu!"
Didamprat kedua belah pihak, Thian-san Siu-sin tertawa sinis, "Kalian begitu congkak terlalu tak memandang mata padaku Thian-san Siu-sin. Aku bukan seorang pengecut, tetapi?"" sejenak ia memandang Thian-leng, lalu berseru pula, "Coba jawab, di mana peta itu sekarang?"
"Tentu pada budak itu!" sahut Im Yang song-sat.
Thian-san Siu-sin tertawa, "Kalau begitu mengapa tak tunggu setelah peta ketemu baru kalian bertempur lagi?"
Paderi Ko Bok dan imam Tiang Pek saling tukar isyarat mata. Ko Bok berseru, "Baik, kami setuju dengan usulmu itu!"
"Begitu peta diketemukan, segera kita rundingkan cara pertempuran. Siapa yang menang paling akhir, dialah yang berhak memiliki peta itu!" imam Tiang Pek menambah.
"Baik, kami suami isteri yang menggeledah budak itu!" tiba-tiba Im Yang song-sat mencelat ke arah Thian-leng.
Siau-bun yang tengah memutar otak mencari akal terkejut sekali. Cepat ia menimpukkan dua buah tui-hong-kiong.
Tetapi Im Yang song-sat sudah melindungi tubuhnya dengan tenaga dalam. Mereka tak mengacuhkan tui-hong-kiong si nona dan tetap hendak mencengkeram Thian-leng.
Tring.... tring.... tui-hong-kiong berdenting mencelat ke udara. Kejut Thian-leng bukan kepalang. Segera ia memukul dengan tangan kiri dan menyabet dengan pedang di tangan kanan. Seluruh tenaga ditumpahkan pada serangan itu.
Terdengar letupan dahsyat dan tiba-tiba terjadilah peristiwa yang mengejutkan".
Pemilik Peta Thian-leng sudah nekad. Bahwa timpukan panah Siau-bun dapat dipentalkan begitu mudah, sadarlah ia bahwa kedua suami isteri itu jago-jago sakti yang luar biasa. Iapun menyadari bahwa serangannya itu mungkin akan mengalami nasib serupa. Tetapi biarlah" Daripada mati konyol, lebih baik ia hancur lebur melawan".
Tetapi di luar dugaan, timbul suatu hal yang menggemparkan. Terdengar letupan keras, disusul dengan mencelatnya kedua suami isteri jahat itu sampai beberapa meter jauhnya.
Thian-leng terkejut. Jelas ia merasa bahwa ujung pedangnya belum menyentuh tubuh lawan. Dan jelas bahwa tadi ada serangkum tenaga dahsyat meniup sepasang suami isteri itu. Tetapi ia tak tahu siapa dan tenaga apa yang sedemikian luar biasa itu.
Bahkan karena terjadi begitu mendadak serta secepat kilat, Thian-san Siu sin, Ko Bok dan Tiang Pek pun tak tahu apa yang telah terjadi. Momok-momok itu terlongong-longong terkesima.
Dan kejut mereka makin menjadi, ketika tahu-tahu di belakang Thian-leng muncul seorang tua dengan dandanan seperti pertapa.
Rambut dan jenggotnya yang menjulai panjang berwarna putih seperti salju. Jubahnya berwarna kuning menyentuh sampai ke tanah. Kemunculan pertapa itu benar-benar seperti dewa turun ke bumi.
Terjungkalnya kedua suami isteri Im Yang song-sat tadi hanyalah karena dikebut dengan lengan jubahnya. Dan kedatangannya yang sama sekali tak diketahui oleh jago-jago yang berada di situ benar-benar menggemparkan sekali.
Im Yang song-sat babak belur. Untung mereka tinggi kepandaiannya. Secepat itupun sudah loncat berdiri lagi. Tetapi mereka masih terlongong-longong terkesima. Mereka tak mengerti mengapa tahu-tahu bisa mencelat jatuh bangun".
Pertapa jubah kuning itu tertawa meloroh, "Siapa lagi yang tidak terima?"
Sekalian orang terbeliak. Sesaat kemudian paderi Ko Bok mengucapkan salam keagamaan, "Omitohud! Siapakah kau"
Apakah hendak ikut campur dalam urusan ini?"
"Aku hanya perlu meminta keterangan, kalian terima atau tidak?" pertapa jubah kuning itu menyahut lain.
Merahlah mata paderi Ko Bok mendapat hinaan semacam itu, bentaknya, "Selama keluar dari pertapaan, belum pernah aku menyerah pada orang lain."
Kata-kata itu ditutup dengan tusukan ujung tongkatnya kepada si pertapa jubah kuning. Ia insyaf bahwa pertapa itu bukan tokoh sembarangan, maka serangannyapun harus yang istimewa. Tusukan ujung tongkat disaluri dengan tenaga dalam penuh!
Tetapi ia hanya memperhitungkan kekuatan sendiri. Tadi kekalahan Im Yang song-sat adalah karena mereka belum bersiap dan tak menduga atas serangan gelap tersebut. Tetapi serangannya dengan jurus Ting-hong-koan-jit (
bianglala menutup mentari) ini, telah dilampiri dengan tenaga dalam dahsyat dan dilancarkan dengan keras. Sekali ia dapat menjatuhkan pertapa itu, dapatlah ia menguasai semua tokoh-tokoh di situ dan peta itupun tentu menjadi miliknya!
Ujung tongkat sudah meluncur ke arah dada si pertapa. tetapi anehnya pertapa itu tetap diam saja, seolah-olah membiarkan ujung tongkat menusuk dadanya. Melihat itu diam-diam paderi Ko Bok girang sekali. Ia melipat gandakan saluran tenaga dalamnya.
"Hidung kerbau, serahkanlah jiwamu!" serunya dengan garang. Tetapi belum habis kata-katanya ia sudah mendelik kaget.
Ujung tongkat yang tepat mengenai dada si pertapa, tiba-tiba menemui tempat kosong. Padahal jelas dilihatnya pertapa itu tadi tetap tegak berdiri di hadapannya. Dan karena menusuk angin, paderi Ko Bok terdorong ke muka.
Buru-buru ia hendak membalik tubuh. Tetapi bukan main kagetnya ketika dilihatnya pertapa itu tegak lagi di hadapannya dan mendorongkan tangannya.
"Ilmu siluman".!" Ko Bok memekik kaget. Tetapi ia tak dapat melanjutkan kata-katanya karena tubuhnya mencelat ke udara. Dan serupa dengan Im Yang song-sat, iapun terbanting sampai dua tombak jauhnya!
Bantingan itu jauh lebih hebat dari Im Yang song-sat. Kalau suami isteri Im Yang song-sat hanya babak belur, paderi Ko Bok harus meringis seperti monyet makan terasi. Mata berkunang-kunang, kepala pusing tujuh keliling dan tulang-tulang seperti remuk-redam.
Masih untung pertapa jubah kuning itu tak mau menggunakan tenaga besar, sehingga Ko Bok terhindar dari luka dalam. Ia terpaksa bangun perlahan-lahan.
Pertapa tua itu tertawa tergelak-gelak. Tiba-tiba ia melesat ke tempat Thian-san Siu-sin, tegurnya, "Mungkin kau agak penasara?"
Thian-san Siu-sin melongo dan menyahut tergagap, "Aku..." belum sempat ia melanjutkan jawaban, tiba-tiba pertapa itu mengebutkan lengan jubahnya, bret".. Thian-san Siu-sin terkejut, cepat-cepat ia menangkis dengan tangan kanan. Uh"..kebutan lengan jubah pertapa itu menerbitkan tenaga luar biasa. Bukan saja tangkisan Thian-san Siu-sin lenyap tenaganya, pun tubuh jago Thian-san itu mencelat terbanting ke tanah!
Thian-leng dan Siau-bun tercengang terkesima. hampir mereka tak percaya apa yang disaksikannya.
Im Yang song-sat, paderi Ko Bok dan Thian-san Siu-sin adalah tokoh-tokoh persilatan yang sakti. Kesaktian mereka hampir menyamai Sin-bu Te-kun dan ketua Hek Gak. Tetapi berhadapan dengan pertapa jubah kuning, mereka diperlakukan seperti anak-anak kecil saja. Sungguh ajaib sekali!
Setelah memberi hajaran kepada ke empat orang itu, pertapa baju kuning itu segera menghampiri Tiang-Pek cinjin.
Paderi itu tegak berdiri seperti patung. Nyalinya sudah hancur berantakan ketika pertapa itu mendatanginya.
Pertapa itu tertawa tergelak-gelak, " Kau dan aku sama-sama murid Sam Ceng. Perlukah kita mengukur kepandaian?"
Tiang Pek cinjin gelagapan. Serunya tergugu, " Tidak?" tidak usahlah. Pe"..ta
Telaga zamrud silakan kau ambil?"."
"Kau pandai melihat gelagat!" pertapa itu tertawa. Tiba-tiba ia ajukan langkah seraya berseru kepada Thian-leng,
"Ikut aku!"
Thian-leng tak kenal siapa pertapa ajaib itu dan apakah maksud kedatangannya. Jika pertapa itu juga bertujuan merebut peta telaga zamrud, habislah segala harapannya. Ia tegak termangu-mangu.
"Mari kita pergi!" tiba-tiba Siau-bun menggunakan ilmu menyusup suara. Dan sekali melesat nona itu sudah mendahului.
Thian-leng tertegun. Buru-buru ia menyahut dengan ilmu menyusup suara, "Jika pertapa itu bermaksud buruk, jangan harap kita dapat lolos!"
"Tetapi bagaimanapun tetap lebih baik daripada kita menunggu kematian di sini!"
Thian-leng anggap kata-kata si nona itu tepat, peristiwa saat itu tentu akan menambah kebencian Im Yang song-sat dan lain-lain kepadanya. Begitu pertapa itu pergi, mereka tentu akan menumpahkan kemarahan kepadanya. Apalagi tadi jelas didengarnya pertapa itu mengajaknya pergi. Tanpa bersangsi lagi, iapun segera mengikuti Siau-bun.
Im Yang song-sat, Thian-san Siu-sin, Ko Bok dan Tiang Pek cinjin tak berani berkutik merintangi Thian-leng. Begitu pertapa itu sudah lenyap dari pandangan mata, barulah kelima tokoh itu saling berpandangan. Kemudian merekapun melangkah ke dalam lembah.
Lembah itu penuh dengan jalan berliku-liku yang panjang. Diselimuti dengan kabut malam yang tebal, sukar mengetahui arah yang harus dituju. Kelima tokoh itu tak mengerti di mana mereka berada.
Pertapa jubah kuning itu berjalan dengan melenggang, tetapi cepatnya bukan main. Thian-leng dan Siau-bun mengerahkan seluruh kepandaiannya berjalan cepat barulah mereka dapat mengejar pertapa itu. Kejut kedua anak muda itu tak terperikan.
Kira-kira dua li jauhnya, tiba-tiba dari kejauhan tampak selarik sinar lampu dan pertapa itupun berseru, "Sudah sampai!"
Sekonyong-konyong ia enjot tubuhnya melambung dan melayang seperti seekor burung garuda. Hanya dalam dua tiga lompatan, pertapa itu sudah berada pada jarak tiga empat tombak jauhnya.
"Apakah kita berjumpa dengan dewa?" tanya Thian-leng dengan heran.
"Jangan melantur," sahut Siau-bun, "cepatkan langkah mengejarnya, tentu tahu jelas tentang dirinya!"
Thian-leng dan Siau-bun segera percepat larinya.
Dalam sekejap saja mereka sudah mencapai tempat yang berlampu itu. Semula Thian-leng kira tempat itu tentu sebuah biara. Kemungkinan tentulah tempat tinggal pertapa jubah kuning. Tetapi ternyata tempat itu merupakan sebuah gubuk kecil. Pintunya terbuka lebar. Di tengah ruangan terdapat sebuah lampu, selembar permadani dan pertapa itu sudah tampak duduk bersila di atasnya.
Begitu masuk, Thian-leng dan Siau-bun segera menghaturkan terima kasih kepadanya. "Terima kasih atas budi pertolongan to-tiang. Aku".."
Pertapa itu tertawa tergelak-gelak. Sepasang matanya dipentang lebar-lebar. Dua larik sinar tajam segera tertuju pada kedua anak muda itu. Akhirnya pertapa itu melekatkan pandangannya pada Thian-leng, "Apakah peta itu kau terima dari Sip U jong?" tegurnya.
Thian-leng tertegun, ujarnya, "Benar, tetapi peta itu dicopet orang, tak berada padaku lagi!"
Pertapa itu memandang tajam. Sekujur tubuh Thian-leng dijelajahinya. Beberapa saat kemudian terdengar ia berbicara seorang diri, "Ah, Sip tua itu benar-benar jeli matanya!"
Thian-leng tidak mengerti apa yang dikatakan si pertapa. Saking tak tahan ia memberanikan diri bertanya, "Mohon to-tiang suka memberitahukan nama gelaran to-tiang. Terhadap peta itu?"." Ia tak melanjutkan kata-katanya.
Kedatangan pertapa itu terang dapat menyelamatkan jiwanya dari ancaman kelima pengejarnya. Mengapa ia harus menanyakan lagi"
Perta itu hanya ganda tertawa dan menyahut seenaknya, "Aku It Bi".."
Thian-leng dan Siau-bun seperti mendengar petir menyambar di tengah hari, serunya, "Jadi to-tiang ini It Bi siangjin"..!"
(bersambung ke jilid 19 )
Jilid 19 . Tetapi ah, tak mungkin. It Bi siangjin tentu sudah tidak ada di dunia lagi. Kedua anak muda itu tak melanjutkan lagi kata-katanya. Mereka malu sendiri.
Pertapa itu tetap ganda tertawa, "It Bi siangjin sudah beratus tahun wafat. Mana orang mati bisa hidup kembali"
Aku........"
Siau-bun pun tertawa, serunya, "Kiranya karena mengagumi kepribadian It Bi siangjin maka to-tiang pun memakai nama itu....."
Pertapa itu melirik sejenak kepada Siau-bun, ujarnya, "Benar, kau pandai sekali. Memang karena aku adalah pemuja yang mengagumi sekali riwayat It Bi siangjin. Untuk mengabadikan, kupakai nama It Bi....."
"Tetapi kepandaian dan perbawa to-tiang rasanya tak kalah dengan It Bi siangjin....."
Pertapa itu menghela napas, "Ah, tetapi ada beberapa hal yang kalian tak tahu...."
Cepat Siau-bun pun menukas, "Kalau tak salah, di sekitar tempat ini tentulah merupakan telaga zamrud seperti yang dimaksud dalam peta. Usaha Sam-chiu Sin-kun Ki Bu-sin mencuri peta dan menyelundup kemari, juga telah kau ringkus!"
Thian-leng terbeliak kaget. Juga It Bi berobah wajahnya, "Kau mengetahui banyak hal, darimana kau tahu?"
Siau-bun tersenyum, "Terus terang saja , aku hanya menebak."
"Menebak?"
"Ya," sahut Siau-bun, "toh soal itu sudah jelas. Menilik keadaan lembah Pak-bong-kiap yang begini seram, tak mungkin dijadikan tempat tinggal. To-tiang menyebut diri sebagai It Bi, tetapi di sini tak ada pusaranya. To-tiang membuat rumah di sini tentulah ada maksudnya. Sesudah mencuri peta, Samchiu Sin-kun terus menuju kemari.
Kesemuanya itu cukup membuktikan bahwa tempat ini merupakan tempat penyimpanan kitab pusaka It Bi siangjin.
Totiang tepat pada waktunya datang menolong kami berdua, tentulah telah dapat meringkus Sam chiu Sin-kun....."
Thian-leng terkesiap dan berpaling. Tampak di balik tirai penutup pintu kamar, dua buah paha orang menjulur di tanah. Tentu orangnya sudah ditutuk jalan darahnya, dan jelas orang itu tentu Sam-chiu Sin-kun.
Siau-bun tertawa tawar, "Benar, karena Sam-chiu Sin-kun kena kau tutuk, barulah aku dapat menduga tempat ini.
Tetapi ada beberapa hal yang tak kumengerti."
"Dalam hal apa, silakan bertanya!"
"Yang kuherankan, mengapa kau sebarkan peta itu ke dunia sehingga menimbulkan perebutan....... Kitab itu mungkin sejak dulu sudah berada di tanganmu....eh, ilmu sakti yang kau pertunjukkan tadi, mungkin termasuk salah satu ilmu dalam kitab itu?"
It Bi kerutkan kening menghela napas, "Hm, sekalipun otakmu cerdas, tetapi kau tetap tak dapat menerka hal itu!"
Kisah Pengelana Di Kota Perbatasan 4 Pedang Ular Merah Karya Kho Ping Hoo Istana Kumala Putih 4
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama