Ceritasilat Novel Online

Panji Tengkorak Darah 9

Panji Tengkorak Darah Ko Lo Hiat Ki Karya S D Liong Bagian 9


membayangkan, sekali peristiwa itu meletus, maka dunia persilatan akan dilanda oleh gempa hebat yang mungkin akan merobah wajah dunia persilatan seluruhnya.
Ah, benarlah. Bayang-bayang itu akhirnya menjadi kenyataan?"
Rencana dari ke sembilan partai persilatan, untuk menantang Hun-tiong Sin-mo bertempur di puncak gunung Bu-san telah dibatalkan. Tetapi sebagai gantinya, mereka telah menerima undangan dari ketua partai Thiat-hiat-bun untuk menghadiri rapat-besar kaum gagah di gunung Tiam-jong-san. Undangan itu tersebar luas. Bukan hanya terbatas pada ke sembilan partai persialtan saja, bahkan kelompok perguruan yang ternama dan berpengaruh di setiap daerah sama mendapat undangan.
Rapat pertemuan orang gagah itu akan diselenggarakan di markas partai Tiam-jong-pay pada bulan satu tanggal lima belas. Disebut perjamuan, tetapi tak ada acara hidangannya. Baru pertama kali itu dalam sejarah dunia persilatan menerima undangan yang seaneh itu. Dan perhatian kaum persilatan segera tertumpah pada markas Hun-tiong-hu!
Apakah tokoh Hun-tiong Sin-mo yang menjagoi dunia persilatan selama enam puluh tahun itu juga menerima undangan" Dan kalau menerima apakah dia akan menghadiri"
Pecah berita yang menambah keseraman suasana. Yakni ada orang yang menyaksikan sendiri pihak Hun-tiong-hu telah menyebar anak buahnya berbondong-bondong menuju ke gunung Tiam-jong-san. Rombongan anak buah Hun-tiong-hu itu mengenakan pakaian aneh dari berbagai corak.
Inilah yang menimbulkan berbagai tafsiran. Kalau Hun-tiong Sin-mo benar-benar mau menghadiri pertemuan di Tiam-jong-san itu, mengapa tak datang saja dengan terang-terangan, tetapi mengirim anak buahnya secara rahasia".
Berita yang lebih mengejutkan lagi telah tersiar, bahwa rombongan Hun-tiong-hu itu telah disambut dengan penuh penghormatan oleh pihak Tiam-jong-pay.
Memang telah diduga semula bahwa antara Hun-tiong-hu, Thiat-hiat-bun dan Tiam-jong-pay mempunyai hubungan yang erat.
Dunia persilatan hiruk-pikuk dalam topan desas-desus. Tetapi anehnya ke sembilan partai persilatan tampaknya tenang-tenang saja dan tak mengadakan reaksi apapun.
Setelah Hun-tiong-hu, sasaran kedua yang diperhatikan kaum persilatan ialah Sin-bu-kiong.
Peristiwa Sin-bu Te-kun dihajar oleh Bu-beng-jin di gunung Thay-heng-san telah menjadi buah pembicaraan luas di kalangan persilatan. Bahwa Bu-beng-jin telah menerima ilmu pelajaran dalam kitab peninggalan It Bi siangjin pun telah diketahui oleh kaum persilatan.
Dengan adanya peristiwa itu, kaum persilatan menganggap bahwa undangan Thiat-hiat-bun untuk mengadakan pertemuan orang gagah di gunung Tiam-jong-san itu, bagi Sin-bu-kiong benar-benar suatu tamparan yang hebat!
Apakah Sin-bu-kiong akan menghadiri rapat itu" Ah, kali ini Sin-bu-kiong benar-benar dihadapkan pada persoalan yang pahit. Kalau tak hadir, tentu dianggap menyerah kalah. Namun kalau hadir, tentu akan menghadapi bahaya kekalahan yang fatal.
Pihak pengundang ialah Thiat-hiat-bun, sebuah partai persilatan yang kuat dan berpengaruh. Apa lagi dibantu oleh Hun-tiong Sin-mo, ah, benar-benar ngeri.
Seluruh perhatian dunia persilatan tercurah pada pertemuan besar di Tiam-jong-san.
Walaupun lambat, tetapi akhirnya haripun merayap terus. Akhirnya?"?".
Bulan satu tanggal lima belas telah tiba.
Hari itu adalah malam widadari ( malam sehari sebelumnya ) dari rapat besar orang gagah di gunung Tiam-jong-san".
Heboh! Tanggal satu bulan satu.
Gunung Tiam-jong-san ramai sekali. Orang datang berbondong-bondong dari seluruh penjuru. Kesibukan tampak nyata. Mulai dari markas besar Tiam-jong-pay yang terletak di muka puncak Lok-he-hong sampai turun ke kaki gunung, telah dihias dengan lampu warna-warni yang gilang-gemilang.
Di muka markas Tiam-jong-pay, juga didirikan bangsal penginapan untuk para tetamu. Tiam-jong-san saat itu benar-benar tenggelam dalam lautan kesibukan yang luar biasa.
Perjamuan atau pertemuan orang gagah yang diselenggarakan saat itu, bukan saja merupakan lembaran baru dari sejarah partai Tiam-jong-pay, tapi juga merupakan peristiwa besar yang terjadi di dunia persilatan!
Para tokoh-tokoh gagah dari empat penjuru gunung dan delapan pelosok daerah di seluruh negeri, sama datang hadir.
Anak buah Tiam-jong-pay bekerja keras dan teratur, sehingga banjir tamu itu dapat diatur rapi.
Yang datang termasuk ke sembilan partai persilatan, kelompok-kelompok perguruan dari tiap-tiap daerah, pemimpin-pemimpin piau-kiok (pengantar barang), jago-jago ternama sampai pada pendekar-pendekar yang tak begitu terkenal. Mereka terdiri dari segala lapisan. Kaum paderi, biarawati (nikoh), imam, pengemis, lelaki, perempuan, tua dan muda.
Telah dituturkan bahwa sekalipun tempat pertemuan diadakan di gunung Tiam-jong-san, tetapi yang menjadi tuan rumah ialah partai Thiat-hiat-bun yang dipimpin oleh Jenggot perak Lu Liang-ong. Ketua Tiam-jong-pay, yakni Poh-ih siu-su Li Cu-liong hanya merupakan salah seorang anak buah dari Jenggot perak.
Banyak tafsiran dan dugaan telah dilontarkan. Tetapi sedikit orang yang tahu bagaimana sesungguhnya hubungan antara ketua Thiat-hiat-bun dengan ketua Tiam-jong-pay itu. Mengapa Li Cu-liong begitu menghormat sekali terhadap Jenggot perak Lu Liang-ong".
Yang tahu akan rahasia mereka hanyalah sedikit sekali, bahwa Li Cu-liong itu sebenarnya adalah anak angkat dari Lu Liang-ong.
Partai Thiat-hiat-bun ternyata mengerahkan seluruh anak buahnya. Selain ke empat Su-kiat, ke tiga puluh enam Thian-kong dan ke tujuh puluh dua Te-sat, masih ada juga ratusan jago-jagonya yang berada di Tiam-jong-san.
Mereka ikut dalam mendirikan perkemahan, menjaga keamanan dan menyambut tamu.
Sekilas pandang, pertemuan itu merupakan suatu perjamuan besar. Suatu pesta ria antara kaum persilatan. Tetapi sebenarnya pertemuan itu membawa arti yang besar. Merupakan suatu pertemuan yang memastikan. Barangsiapa yang berhasil merajai pertemuan itu, dialah yang akan dinobatkan sebagai yang dipertuan dalam dunia persilatan!
Untuk menjaga keamanan , selain petugas-petugas yang mengadakan perondaan, dibentuk pula sebuah regu rahasia.
Regu ini mengenakan pakaian serba putih, rambut terurai dan serba menyeramkan.
Gerak-gerik merekapun serba misterius. Sebentar tampak, sebentar lenyap. Mereka tak ditempatkan di suatu tempat tertentu dan tak diketahui jumlahnya. Tetapi setiap orang merasa bahwa setiap sudut dari daerah Tiam-jong-san, selalu terdapat bayangan mereka.
Siapakah regu rahasia itu"
Bagi setiap orang persilatan yang hadir dalam pertemuan itu segera mencium bau. Regu rahasia itu bukan lain adalah jago-jago dari Hun-tiong-hu yang berilmu tinggi.
Apakah Hun-tiong Sin-mo juga hadir"
Adanya regu rahasia dari Hun-tiong-hu itu menyebabkan setiap tamu tak berani sembarangan bergerak kemana-mana. Mereka takut menghadapi hal-hal yang tak di nginkan.
Perhatian para tamu beraalih pada lain sasarn.
Mengapa sampai detik itu pihak Sin-bu-kiong dan Hek Gak tak tampak muncul"
Soal Sin-bu Te-kun dan Hek Gak telah menjadi bahan pembicaraan para tamu.
Hjek Gak muncul kembali setelah memendam diri selama enam puluh - tujuh puluh tahun.
Kembalinya Hek Gak di dunia persilatan itu tentu dengan tujuan besar, dan tujuan besar itu jelas ditunjukkan pada hiasan pagar tembok markasnya.
Di sekeliling pagar tembok markas Hek Gak, penuh digantung patung-patung tokoh persilatan yang ternama. Tokoh-tokoh itulah yang hendak dilenyapkan. Dan sekali muncul, ketua Hek Gak tentu sudah mempersenjatai diri dengan ilmu kepandaian yang sakti.
Antara lain misalnya, cukup dengan mengandalkan tenaga dari Ang-tim-gong-khek Bok Sam-pi yang menjabat sebagai Cong-hou-hwat Hek Gak saja, cukuplah sudah menundukkan jago-jago persilatan yang manapun juga.
Munculnya Hek Gak benar-benar merupakan ancaman besar di dunia persilatan.!
Sementara mengenai diri Sin-bu Te-kun, dia sebenarnya adalah Song-bun Kui-mo, salah seorang dari kui-mo yang pernah menggetarkan dunia persilatan. Di samping Hek Gak, Sin-bu-kiong pun merupakan momok yang menyita perhatian besar.
Membicarakan Hek Gak dan Sin-bu Te-kun, orang tak dapat lepas dari membicarakan Hun-tiong Sin-mo. Selama lebih dari enam puluh tahun lamanya, setiap bulan sembilan tanggal lima belas, markas Hun-tiong-hu selalu menerima kedatangan jago-jago yang hendak menantang bertempur. Selama enam puluh tahun, entah sudah berapa banyak jago-jago yang harus menderita kekalahan pahit. Mereka yang berani datang, tentu tak pernah pulang lagi!
Selama enam puluh tahun, Hun-tiong Sin-mo telah menjagoi dunia persilatan. Beberapa bulan yang lalu, di dunia persilatan telah timbul kehebohan. Di sana-sini timbul pembunuhan dan pembunuhnya meninggalkan Panji tengkorak darah.
Rakyat dan dunia persilatan gentar. Mereka membenci Hun-tiong Sin-mo yang diduga tentu melakukan keganasan itu.
Adalah karena pernah dikalahkan Hun-tiong Sin-mo, maka Hek Gak segera bertapa selama enam puluh tahun. Dia hendak menuntut balas atas kekalahannya dari Hun-tiong Sin-mo yang telah membuat cacat tubuhnya.
Pihak Sin-bu-kiong selalu menjaga perdamaian dengan kaum persilatan. Beberapa bulan yang lalu, mereka telah menerima undangan dari pihak Siu-lim-pay untuk bersama-sama mengeroyok Hun-tiong Sin-mo.
Sekalipun akhirnya rencana itu batal karena adanya undangan rapat orang gagah oleh Thiat-hiat-bun ini, namun takkan berobah sifatnya. Dalam pertemuan maut kali ini, tentu akan terjadi pertempuran maut yang menentukan.
Ditinjau dari perkembangan selama ini, posisi Hun-tiong Sin-mo tidak menguntungkan. Ke sembilan partai besar, Sinbu-kiong dan Hek Gak memusuhinya.
(bersambung ke jilid 23)
Jilid 23 . Tetapi di luar dugaan, kini muncul Thiat-hiat-bun. Partai dari luar Tiong-goan ini muncul di wilayah Tiong-goan dan rupanya bersekutu dengan Hun-tiong Sin-mo. Orang sama menduga, bahwa pihak Hun-tiong-hu tentu sudah berada lebih dulu di Tiam-jong-san. Tidak menampilkan muka kepada para tamu, mungkin telah direncanakan oleh hun-tiong Sin-mo dan thiat-hiat-bun. Sekaligus mereka hendak menjaring seluruh tokoh-tokoh silat untuk dilenyapkan.
Apabila sampai pada kesimpulan itu, mau tak mau bergidiklah bulu roma sekalian tamau. Dan yang lebih mencemaskan hati mereka, mengapa sampai detik ini Sin-bu Te-kun dan ketua Hek Gak tak muncul! Takutkah kedua tokoh itu"
Menurut perhitungan, tanpa hadirnya ketua Sin-bu-kiong dan Hek Gak, pasti akan merupakan kehilangan yang besar.
Sekalipun seluruh tokoh-tokoh silat yang hadir di tiam-jong-san itu bersatu padu menghadapi tantangan tuan rumah dan Hun-tiong Sin-mo, namun mereka tetap seperti telor beradu dengan tanduk. Pasti mereka akan dihancur leburkan oleh momok Hun-tiong Sin-mo. Bayang-bayang dunia persilatan bakal dikuasai oleh momok Hun-tiong Sin-mo makin jelas.
Ada lagi sebuah hal yang lebih merontokkan nyali sekalian tamu. Ialah tentang pemuda Bu-beng-jin yang konon telah mendapat ajaran kitab pusaka It Bi siang-jin. Pemuda itu memang sakti sekali. Pernah bertempur belum selesai dengan Sin-bu Te-kun dan bertempur seri dengan sama-sama terluka melawan Bok Sam-pi. Kemanakah beradanya pemuda itu sekarang" Apakah ia sudah mati atau masih hidup"
Demikianlah hal-hal yang menjadi pokok pembicaraan penting di kalangan para tamu. Kebanyakan mereka itu tak tahu jelas bagaimana keadaan pertempuran di gunung Thay-heng-san yang lalu. Karena mereka membenci Hun-tiong Sin-mo, maka simpati merekapun tertuju pada Hek Gak dan Sin-bu-kiong. Karena Bu-beng-jin dianggap bermusuhan dengan Sin-bu Te-kun dan Hek Gak, maka sekalian tamu mengharap agar pemuda itu sudah mati dan jangan muncul lagi di dunia persilatan.
Pemuda itu pernah membunuh orang-orang dari ke sembilan partai persilatan dan ke sembilan partai persilatan menganggap pemuda itu sebagai anak buah Hun-tiong Sin-mo, sehingga dipukul dan dilempar ke dalam sungai. Jelas pemuda itu tentu mendendam. Jika ia muncul lagi di Tiam-jong-san, hebatlah akibatnya bagi kesembilan partai persilatan.
Ramai dan sibuk sekali para tamu memperbincangkan kemungkinan-kemungkina yang bakal mereka hadapi besok pagi. Tetapi pada keseluruhannya, mereka lebih banyak bergelisah dari pada besar hati.
Sampai jauh malam masih terdengar orang bercakap-cakap memperbincangkan hal itu.....
ooo000ooo Pembukaan Di bawah naungan kabut rahasia yang penuh teka-teki, tibalah hari pembukaan rapat orang gagah di gunung Tiam-jong-san. Rapat yang sangat dinanti-nantikan dengan penuh perhatian oleh seluruh kaum persilatan.
Jelas sudah bahwa maksud ketua Thiat-hiat-bun menyelenggarakan rapat itu bukan untuk menjamu dalam rangka perkenalannya dengan kaum persilatan daerah Tiong-goan. Apakah maksud ketua Thiat-hiat-bun di balik undangannya itu, belum diketahui jelas!
Di muka halaman markas Tiam-jong-pay, telah dibuat sebuah lapangan seluas berpuluh-puluh bau. Tanahnya dibuat rata sekali dan licin hingga tepat dijadikan gelanggang adu kepandaian.
Gunung Tiam-jong-san seolah-olah bermandikan cahaya lampu warna-warni. Beberapa pos penjagaan didirikan, petugas-petugas yang melakukan ronda keamananpun dilipat-gandakan jumlahnya.
Di balik kesibukan dan ketegangan suasana yang meliputi medan perjamuan, di dalam sebuah kamar rahasia dalam markas Tiam-jong-pay, sedang berlangsung perundingan rahasia juga.
Limapuluh jago-jago Hun-tiong-hu golongan Pek-ih-tiang-hwat ( orang tua jenggot putih berbaju putih). Jangan harap orang dapat mendekati kamar rahasia itu.
Siapakah yang sedang mengadakan perundingan rahasia di situ" Di dalam kamar rahasia terdapat beberapa kursi.
Yang duduk di kursi kehormatan ialah si Jenggot Perak Lu Liang-ong, kemudian Li Cu-liong ketua Tiam-jong-pay.
Duduk di sebelah Jenggot perak, seorang wanita pertengahan umur, yakni puteri semata wayang dari Jenggot Perak atau isteri yang ditelantarkan oleh pedang bebas pok Thiat-beng, ialah Cu Giok-bun...
Momok hun-tiong Sin-mo yang menggetarkan dunia persilatan itu tak lain tak bukan ialah Cu Giok-bun sendiri.
Mengapa Giok-bun memakai she Cu dan mengapa ia menjadi Hun-tiong Sin-mo, memang tak diketahui jelas.
Duduk di samping Cu Giok-bun adalah puterinya, yakni Cu Siau-bun. Selain keempat orang itu tampak juga seorang pengemis tua. Bahwa seorang pengemis tua mendapat kehormatan diajak berunding oleh tokoh-tokoh seperti Hun-tiong Sin-mo dan Jenggot perak, tentulah bukan sembarangan pengemis. Dan memang demikianlah halnya. Pengemis tua itu ialah Thiat-ik Sin-kay atau Pengemis sakti sayap besi, cousu (guru besar) angkatan yang terdahulu dari partai pengemis.
Kiranya sewaktu Thian-leng memerintahkan Lau Gik-siu supaya menjaga di luar lembah Pak-bong-kiap dahulu, Thiat-ik Sin-kay tiba-tiba muncul. Dalam kedudukannya sebagai seorang cousu, ia menyuruh Lau Gik-siu mengajak rombongannya pulang ke markas Kay-pang. Sementara ia sendiri menuju ke Tiam-jong-san.
Perundingan dalam kamar rahasia itu berlangsung dalam suasana yang sepi. Rupanya mereka tengah menghadapi masalah berat. Beberapa saat kemudian tiba-tiba Li Cu-liong membuka mulut, "Dari regu penyelidik yang pulang melapor, pihak Sin-bu-kiong dan Hek Gak tak memperlihatkan gerakan apa-apa. Kemungkinan besar mereka tak menghadiri rapat ini!"
Jenggot perak menghela napas perlahan, " Pintar juga tindakan mereka itu, tetapi..... ia tertawa datar, "mungkin perhitunganmu itu meleset!"
Merahlah wajah Li Cu-liong.
"Menurut pendapatku, bukan saja mereka akan datang, juga kedatangan mereka itu tentu dengan tujuan jahat.
Mungkin........" tiba-tiba Cu Siau-bun menyeletuk, tetapi belum sempat ia menyelesaikan ucapannya, ibunya sudah memutuskan , "Eh, apakah kau berhak bicara di sini?"
Siau-bun bungkam.
"Giok-bun, mengapa kau begitu keras terhadap anak!" Jenggot perak tertawa. kemudian dengan pandangan ramah ia menatap Siau-bun, ujarnya, "Sebenarnya dugaanmu itu tadi benar. Mereka pasti datang dengan berbekal rencana jahat. Tetapi, ..eh, mengapa kau
dapat menduga begitu?"
Siau-bun hendak menyahut, tetapi didahului Lu Bu-song, "Itu mudah saja! Kalau tidak masakah kakek tegang sekali sehingga memerintahkan supaya Tiam-jong-san dijaga seketat ini?"
Kembali Jenggot perak tertawa keras, "Benar, benar jugalah. kalian memang anak perempuan keranjingan......."
ketika memandang Cu Siau-bun, tiba-tiba Jenggot perak berhenti bicara. Teringatlah ia akan kata-kata Siau-bun ketika berada di gunung Thay-heng-san tempo hari. Ia telah meluluskan untuk menjodohkan Bu-song dengan Bubeng-jin. Siapa tahu ternyata sebelumnya Bu-beng-jin telah mengadakan hubungan luar biasa dengan Siau-bun.
Jenggot perak pedih hatinya atas tindakan Bu-beng-jin yang beriman tipis itu. Bagaimana nanti dengan Lu Bu-song.
Sebaliknya karena dipuji sang kakek, Bu-song girang hatinya. Dengan membusungkan dada ia memandang Siau-bun beberapa saat. Siau-bun pun balas memandang adik misannya itu.
Karena tak tahu apa yang sedang dipikirkan Jenggot perak saat itu, begitu tampak wajah orang tua itu muram, diam-diam Li Cu-liong terkejut. Sejak kecil ia dipungut anak oleh jenggot perak, maka tahulah ia bagaimana perangai ayah angkatnya itu.
Menghadapi persoalan yang bagaimanapun beratnya, selalu Jenggot perak itu tak acuh. Tetapi kalau saat itu tampak begitu gelisah, terang masalahnya genting sekali.
"Sin-bu-kiong dan Hek Gak sudah menderita kekalahan di gunung Thay-heng-san. Kegarangan mereka pun tentu sudah merosot. Maksud gi-hu menyelenggarakan rapat orang gagah ini, selain untuk berkenalan dengan kaum persilatan Tiong-goan, juga hendak membantu mereka melenyapkan kedua momok jahat itu.
Dalam hal ini mungkin pihak Sin-bu-kiong dan Hek Gak sudah mencium itu, maka kemungkinan besar mereka tentu tak datang....."
"Mereka datang atau tidak, aku tak peduli. begitu perjamuan ini selesai, aku segera mengajak Bu-song pulang ke Ling-lam lagi...." ia menghela napas, "Dunia persilatan Tiong-goan bakal menjadi bagaimana, aku tak sudi mengurus lagi!" Kata-kata terakhir itu diucapkan dengan nada rawan.
Li Cu-liong melongo. Ia tak tahu apa yang dimaksud dalam ucapan ayah angkatnya itu. Suasana kamar rahasia itu diliputi oleh kerawanan.
"Kek,....... apa katamu?" teriak Bu-song.
Beberapa bulan yang lalu karena marah-marah, ia berpisah dengan Thian-leng. Tetapi hatinya selalu terkenang pada anak muda itu. Diam-diam ia menyesal atas tingkah lakunya sendiri. Karena tak tahu kemana perginya Thian-leng, terpaksa ia menggabungkan diri dengan kakeknya lagi. Jenggot perak menghibur cucunya dan memeberi jaminan, bahwa Thian-leng pasti akan berkumpul lagi dengan dara itu. Karena mendapat jaminan, barulah dara itu mau ikut ke Tiam-jong-san. Tetapi dalam perjalanan, Jenggot perak telah mengetahui hubungan antara Thian-leng dengan Cu Siau-bun. Sikap Jenggot perak serentak berobah seratus delapan puluh derajat. Hanya saja ia mendapat kesulitan untuk menceritakan hal itu kepada Bu-song.
"Apakah kata-kataku tadi belum jelas?" Jenggot perak menyeringai kepada Bu-song.
Bu-song terkejut. Selama ini belum pernah kakeknya bersikap begitu kepadanya.
"Kek, kuminta kau mengatakan lagi!" serunya.
"Besok lusa, kita pulang ke Ling-lam dan takkan datang ke Tiong-goan lagi selama-lamanya!" kata Jenggot perak dengan suara berat.
"Mengapa ..?" wajah Bu-song berobah seketika.
"Tidak apa-apa," kata Jenggot perak dengan suara tetap, "kudapatkan dunia ini kotor palsu, hati manusia banyak yang culas. Aku tak mau keluar ke dunia ramai lagi selama-lamanya!"
"Eh, kek, mengapa hari ini" " serentak Bu-song bangkit dengan kaget, "apakah yang terjadi" Apakah ... " cepat sekali dara itu mereka dugaan, jangan-jangan Bu-beng-jin mendapat bahaya. Bukankah tempo hari kakeknya itu pernah mengatakan bahwa pemuda itu lenyap di gunung Thay-heng-san"
Jenggot perak menghela napas pula, ujarnya, "Nak, jangan mendesak pertanyaan. Aku mau pulang ke Ling-lam adalah demi kebaikanmu!"
Bu-song makin bingung. Segera ia menubruk kapada kakeknya dan merajuk,"Kek, kau harus mengatakan yang sebenarnya. Apakah dia....., bagaimana?"
Siau-bun mengulum lidah dan tertawa dingin, "Eh, Adik Song, siapakah yang kaumaksudkan "dia" itu?"
Tetapi Bu-song tak menghiraukan, ia tetap menggelendoti bahu kakeknya. "Bilanglah kek, bagaimana dia?"
Sejenak Jenggot perak melirik kepada Siau-bun, ingin berkata tetapi tak jadi.
"Kek, aku bukannya anak kecil yang tak tahan menderita siksaan batin. Bilanglah, apakah dia mati?" kembali Bu-song mendesak dengan garang.
Dengan gerakan yang perlahan, Jenggot perak menganggukkan kepala, "Benar, dia....mati!"
Air mata yang sudah mengembang di pelupuk mata Bu-song segera melanda keluar laksana banjir meluap.
Melihat itu hati Siau-bun pilu. Ia menundukkan kepala. Kedukaan kakek dan cucunya itu benar-benar menyayat sanubari.
Tiba-tiba Bu-song mengusap air matanya dan berkata dengan suara gagah. "Lebih baik mati, dia".. memang seharusnya dulu-dulu sudah mati!"
Kata-kata dara itu mengejutkan sekalian orang. Jenggot perak mengelus-elus bahu Bu-song dan berkata dengan lemah, "Nak, kau".."
"Aku benci padanya. Sebenarnya akan kubunuh , syukur kalau dia sudah mati!" Bu-song tertawa.
"Benarkah itu?" Jenggot perak terbelalak.
"Mengapa tidak " Setelah rapat besok pagi selesai, kita segera pulang saja!"
"Bagus, besok lusa kita tentu pulang!"
"Tetapi" siapakah yang membunuhnya?" tiba-tiba Bu-song bertanya.
"Kau toh sudah benci, buat apa menanyakan?" sahut Jenggot perak yang sebenarnya tak tahu bagaimana keadaan Bu-beng-jin .
"Ah, aku hanya ingin tahu saja. Siapa tahu aku akan berterima kasih padanya."
Terpaksa Jenggot perak memberitahukan, "Bok Sam-pi, tetapi dia sendiripun terluka parah!"
"Apakah besok pagi dia datang," Bu-song tertawa.
Jenggot perak terkejut melihat sikap cucunya yang tak wajar. Ia tertawa getir. "Bok Sam-pi menjabat Cong-hou-hwat dari Hek Gak. Jika pihak Hek Gak berani datang, sudah tentu diapun ikut serta!"
Bu-song mengangguk, "Baik, akupun hanya ingin tahu begitu saja. Sekarang silakan membicarakan hal-hal lain yang penting." Ia kembali duduk di tempatnya semula. Wajahnya menyungging senyum yang aneh.
Beberapa kali sebenarnya Cu Siau-bun hendak membuka mulut, tapi tak jadi. Sedangkan Thian-ik Sin-kay pun hanya terlongong-longong saja mengawasi Jenggot Perak.
Tiba-tiba terdengar pintu kamar diketuk perlahan tiga kali"..
"Masuk!" seru Jenggot perak.
Li Cu-liong segera bangkit dan membukakan pintu. Seorang anggota rombongan Pek-ih-tiang-hwat (jago-jago Hun-tiong-hu yang berjenggot dan berbaju putih) memberi hormat di ambang pintu.
"Seorang murid Kay-pang mohon menghadap!" serunya. Jenggot perakpun menyuruhnya membawa masuk.
Seorang pengemis melangkah masuk dan setelah memberi hormat kepadanya serta Jenggot perak, lalu berlutut di hadapan Thiat-ik Sin-kay. "Murid Nyo Bu-hiong kepala cabang Liang-ci, mohon menghadap cousu!"
"Lekas katakan berita yang kau bawa kepada Lu lo-cianpwe!" perintah Thia-ik Sin-kay.
Nyo Bu-hiong mengiyakan, lalu menghadapi Jenggot perak, ujarnya, "Kami mendapat berita dari anggota kami yang sedang bertugas" "
"Katakanlah terus!" seru Jenggot perak
"Pihak Sin-bu-kiong dan Hek Gak telah mulai mengunjukkan tanda-tanda bergerak. Tetapi yang keluar hanya beberapa orang saja".."
"Ah, dugaanku tak meleset!" Jenggot perak menepuk perlahan-lahan, "mereka akan bergerak secara bergelombang.
Apakah mereka itu terdiri dari orang-orang Sin-bu-kiong atau Hek gak semua?"
"Benar, Sin-bu-kiong dan Hek Gak mengeluarkan beberapa jago-jago desa yang sudah lama tak muncul," sahut Nyo Bu-hiong.
"Apakah mengetahui siapa mereka itu?"
Nyo Bu-hiong menyahut agak gugup, " Ini".maaf, tecu kurang cermat, sehingga tak menyelidiki asal-usul mereka.
Hanya salah satu dikenal sebagai Cian-bin cuncia"."
"Cukup!" tiba-tiba Jenggot perak bangkit lalu mondar-mandir di dalam kamar rahasia. Rupanya persoalan memang genting sekali.
Kecuali Thiat-ik Sin-kay, sekalian orang yang berada dalam kamar rahasia itu sama tercengang. Cian-bin cun-cia atau paderi seribu wajah, memang asing bagi mereka. Namun dari reaksi Jenggot perak, jelas bahwa Cian-bin cuncia itu tentu bukan tokoh sembarangan.
Sampai beberapa lama kemudian barulah jenggot perak menyuruh Nyo Bu-hiong keluar.
"Anak tak kenal siapa Cian-bin cuncia itu Gihu" " baru Li Cu-liong bertanya begitu Jenggot perak sudah menukas.
"Gelar Cian-bin cuncia itu diperoleh karena orang itu benar-benar dapat berobah dalam seribu macam wajah.
Sebentar menyaru jadi pengemis, sebentar imam tua. Jadi pendek kata menyaru jadi orang apa saja dia bisa. Ilmu kepandaian itu benar-benar menyesatkan orang..... "
"Ah, kalau begitu pertempuran besok pagi sudah tentu akan membuat Lu lohiap sibuk sekali," seru Thiat-ik Sin-kay.
"Tetapi telah kukatakan tadi, begitu rapat besok pagi itu selesai, aku segera kembali ke Ling-lam. Tetapi menilik gelagatnya, Sin-bu-kiong telah berhasil menarik manusia belut itu dalam pihaknya. Siapa tahu rencanaku pulang akan mengalami kegagalan, karen atulang-tulangku yang bangkotan ini bakal terkubur di sini!"
Thiat-ik Sin-kay tertawa, "Ah, ucapan Lu lohiap itu terlalu meremehkan diri sendiri. Jangankan Cian-bin cuncia belum tentu berani menghadapi engkau secara terang-terangan, sekalipun berani tetap takkan menang. Kekuatiran Lu lohiap tak beralasan....," ia berhenti sejenak lalu melanjutkan pula, "Sekalipun aku si pengemis tak berguna ini, juga belum tentu begitu mudah menyerah!"
"Tetapi yang aku kuatirkan bukan Cian-bin cuncia itu melainkan mengenai hidup matinya seseorang. Ketahuilah, kalau Sin-bu-kiong berhasil menarik Cian-bin cuncia, mungkin Lam-yau (siluman selatan), Pak-koay (orang aneh utara) Bu Te suseng dan lainnya telah dapat dikuasai Sin-bu-kiong. Jika kawanan pentolan itu bersatu, tentu sukar ditundukkan. Dalam pertempuran besok pagi, tentu akan timbul pertumpahan darah yang hebat...."
Thiat-ik Sin-kay pun tegang wajahnya. Apa yang menjadi kekuatiran Jengot perak , memang bukan mustahil.
Kawanan Cian-bin cuncia itu merupakan momok-momok termashyur di dunia persilatan. Munculnya mereka tentu akan mempergenting suasana rapat besok pagi.!
Siau-bun diam saja. Wajahnya mengerut, hatinya bergolak. Demikian juga Bu-song. Kedua gadis ini sama gelisah memikirkan Bu-beng-jin.
Tiba-tiba kesunyian dipecahkan oleh suara jenggot perak yang bertanya kepada Li Cu-liong, "Apakah tamu-tamu yang hadir itu telah diketahui asal-usulnya?"
Li Cu-liong tersentak kaget. Serentak ia bangkit, "Setiap tamu tentu membawa undangan. Kebanyakan pemimpin-pemimpin partai persilatan yang terkenal. Sampai sebegitu jauh belum terdapat orang yang mencurigakan...."
"Apakah kau sudah memeriksa sendiri?"
"Ah, ini....."
"Bagaimana?" desak Jenggot perak.
"Karena banyak pekerjaan, anak sampai tak melakukan hal itu," wajah Li Cu-liong berobah pucat.
Jenggot perak menghela napas. "Kelalaian sedetik dapat menyebabkan mala petaka seumur hidup.... tetapi tak dapat kusalahkan engkau. Akulah yang lalai.."
"Anak segera akan melakukan pemeriksaan, entah....."
"Kini para tamu sudah hadir, masakah engkau hendak memeriksanya satu persatu?" tukas Jenggot perak.
"Tidak!" Thiat-ik Sin-kay menyeletuk, "hal ini dapat dianggap menghina kaum persilatan...."
Li Cu-liong bungkam. Memang memreiksa tamu satu persatu, tidak dapat dibenarkan.
Akhirnya Cu Giok-bun menghela napas. Katanya kepada Jengot perak, "Kalau begitu biarlah li-ji (anak perempuan) saja yang melakukan tugas itu!"
Jenggot perak tertawa mengangguk. "Kalau kau yang bertindak itulah bagus. Tetapi ayahmu mempunyai rencana yang lebih bagus!"
"Apakah itu, kek?"Cu Siau-bun menyeletuk.
"Sebaiknya kita pergi beramai-ramai agar mudah menghadapi sesuatu!" sahut Jenggot perak.
Cu Giok-bun mngerutkan kening, "Apakah memang berat sekali?"
Jenggot perak mengelengkan kepala, "Mungkin kecurigaanku berlebihan. tetapi tiada jeleknya kita berhati-hati!" Ia bangkit dan menyuruh Li Cu-liong segera membukakan pintu.
Demi melihat pemimpin mereka keluar, rombongan Thiat-ik Sin-kay serentak mengundurkan diri bersembunyi dalam kegelapan malam.
Li Cu-liong menjadi penunjuk jalan. Mereka menuju ke lapangan di luar markas. Walaupun malam gelap tiada bintang, tetapi karena empat penjuru dihias lentera warna-warni, lapangan terang-benderang seperti siang hari.
Dengan ilmu Memandang langit mendengar bumi, dapatlah Jenggot perak mengetahui persiapan-persiapan yang telah dilakukan oleh anak buahnya. Anak buah Thiat-hiat-bun, Tiam-jong-pay dan jago-jago Hun-tiong-hu mengadakan penjagaan dengan ketat. Bangsal penginapan untuk para tamu telah dijaga rapat. Diam-diam jago tua itu mengangguk puas. Dia mengikuti Li Cu-liong menuju ke bangsal penginapan para tamu.
Bangsal penginapan para tamu didirikan tepat di muka markas tiam-jong-pay. Meskipun terbuat dari bambu, tetapi dibuat indah sekali. Dari pintu bangsal, terbentang sebuah jalan panjang yang masuk ke dalam. Di dalam penuh dengan ruangan-ruang untuk para tamu. Meskipun belum larut malam, tetapi pintu-pintu kamar sudah tertutup semua. Keadaan sunyi senyap.
Kiranya para tamu mempunyai perhitungan sama. Dalam tempat dan suasana yang sedemikian gawat, lebih baik mereka jangan gegabah keluar kemana-mana. Kalau tidak tidur, mereka lebih suka menyekap diri bersemedhi memelihara tenaga.
Kurang lebih setengah jam, rombongan Jenggot perak sudah menjelajahi seluruh kamar-kamar para tamu. Li Cu-liong berhenti di ujung bangsal dan dengan suara berbisik-bisik menanyakan pada Jenggot perak apakah melihat sesuatu yang mencurigakan.
"Selain bangsal ini, apakah tak ada tempat untuk menampung para tamu lagi?" Jenggot perak mengerutkan kening.
"Anak hanya menurut semua petunjuk gi-hu. Selain di sini, memang tak ada lain tempat penampungan lagi."
Jenggot perak tersenyum, lalu berpaling kepada Cu Giok-bun, "Mungkin ayahmu sekarang sudah tua, sehingga tadi tak mendengar dan melihat sesuatu yang menimbulkan kecurigaan. Tetapi entah bagaimana kesanmu?"
Sahut hun-tiong Sin-mo Cu Giok-bun, "Li-ji pun tak mendapatkan sesuatu hal yang mencurigakan, hanya......" ia berhenti sejenak, lalu berkata pula, "li-ji telah menemukan sesuatu hal yang agak aneh!"
"Coba katakanlah!"
"Sekarang baru kurang lebih jam sepuluh malam, mengapa tak seorangpun yang keluar" Apakah mereka sudah tidur semua?"
"Mungkin mereka tak mau terlibat hal-hal yang tak di nginkan, maka lebih baik mengeram diri dalam kamar saja....."
"Akupun semula mempunyai kesimpulan begitu. Memang kalau lain-lain partai berbuat begitu, dapatlah dimaklumi.
Tetapi lain halnya dengan Siau-lim-pay...." tukas Cu Giok-bun. Tetapi belum ia menyelesaikan pendapatnya, Jenggot perak sudah balas menukas, "Benar! Siau-lim-pay adalah pemimpin dari ke sembilan parta persilatan. Ketiga cuncia Siau-lim-pay pernah mengajak sembilan partai dan mengundang Sin-bu-kiong untuk menempurmu di puncak Giok-li-hong. Seharusnya sekarang ia tak bertindak begini aneh...."
Jenggot perak merenung sejenak, serunya kemudian, "Apakah kecurigaanmu tertumpah pada kamar Siau-lim-pay?"
Belum Cu Giok-bun menyahut, tiba-tiba Cu Siau-bun menyeletuk, "Mungkin tidak!"
Cu Giok-bun memberi isyarat mata kepada puterinya itu, tetapi tak mengatakan apa-apa.
"Cobalah terangkan mengapa tidak?" seru Jenggot perak.
Sambil tersenyum kecil, Cu Siau-bun berkata, "Aku tak mengatakan kamar Siau-lim-pay tak boleh dicurigai, melainkan mengatakan bahwa kecurigaan itu dapat ditujukan pada semua kamar tamu!" ia berhenti sejenak, lalu mengedipkan mata. "Kakek seorang cerdik, tentu mengetahui apa sebabnya!"
Senang juga hati Jenggot perak mendapat pujian itu. Dan berbareng itu diapun menyadari. Sambil mengelus-elus jenggotnya, ia tertawa, "Benar, memang Siau-lim-pay patut dicurigai, tetapi lain-lain partai yang tak keluar dari kamar itupun juga harus mendapat perhatian kita. Karena kalau tidak, masakah mereka tak mau keluar semua!"
Meliha tSiu-bun mendapat angin, Bu-song resah hatinya. Segera iapun berseru, "Kek, bolehkah aku buka suara?"
Bu-song mencibirkan bibir, serunya, "Dari segala jenis racun yang beredar di dunia persilatan, kabarnya racun Peh-tok-jong ( kutu beracun) yang paling ganas sendiri. Benarkah itu?"
Jenggot perak terkesiap, tanyanya, "Bukan saja Peh-tok-jong itu merupakan rajanya racun, juga merupakan raja kutu beracun. Tetapi mengapa kau menanyakan hal itu?"
"Bagaiana keganasan kutu itu?"
"Korbannya segera meleleh menjadi cairan darah. Tak ada obatnya lagi!"
"Siapa yang pertama mendapatkan kutu itu?"
"Raja kutu beracun Coh Sing!"
Bu-song menghela napas, "Agaknya kita telah mendapat ancaman hebat!"
Bukan hanya Jenggot perak, juga Cu Siau-bun terheran-heran memandang Bu-song.
"Nak, mengapa kau main goda dengan kakek" Katakanlah lekas!" Akhirnya Jenggot perak berseru.
"Masakah kakek belum tahu?" tanya Bu-song.
Dara itu segera melirikkan matanya ke ujung kamar yang terakhir.
Sekalian orangpun ikut memandang ke sana. Di belakang kamar tamu itu, tampak berserakan selongsong kulit ular, kaki laba-laba, betis tonggeret dan lain-lain. Sayup-sayup seperti terbaur hawa anyir.
"Kamar tamu itu ditempati oleh partai Ji-tok-kau," Jenggot perak tertawa hambar, "karena kuatir lain tamu tak puas dengan adat kebiasaan Ji-tok-kau, maka kuperintahkan supaya rombongan Ji-tok-kau ditempatkan di kamar yang paling belakang sendiri... apakah hubungannya dengan Peh-tok-jong?"
Bu-song tertawa, "Coh Sing si raja kutu beracun itu mungkin berada di sini!"
"Mustahil!" teriak Jenggot perak, "apakah kau tahu sendiri?"
"Sekalipun Peh-tok-jong itu memerlukan ramuan macam-macam binatang beracun, tetapi yang paling penting adalah sejenis Lok-bi-ciat ( kalajengking hijau) dan ular Ang-sian-nio ( ular merah). Bukankah kakek pernah menceritakan hal itu?" kata Bu-song.
"Ya, kakek memang pernah bercerita begitu.... " Jenggot perak mengerang perlahan.
Sekalian orangpun segera menyadari tentang hal yang mencurigakan itu. Kosongan kulit kutu yang berhamburan di tanah itu memang layak dicurigai. Yang paling menarik perhatian ialah selongsongan kulit ular berwarna merah dan seekor kalajengking warna hijau.
Kedua binatang beracun itu merupakan unsur utama dari racun Peh-tok-jong. Partai Ji-tok-kau termashyur dalam ilmu racun, sudah tentu takkan membawanya kemana-mana!
Jenggot perak merenung, ujarnya, "Nak, kau memang teliti sekali. Kalau tidak, perjamuan besok pagi tentu gagal berantakan!"
"Bersihkan kotoran ini!" Jenggot perak memberi perintah kepada Li Cu-liong. Ketua Tiam-jong-pay itu mengiyakan dan segera hendak keluar.
"Nanti dulu, kek!" tiba-tiba Cu Siau-bun berseru.
"Eh, kau mau apa lagi?"
Siau-bun cebikan bibir tertawa, "Aku hendak unjuk ketololan di hadapanmu, tidak secerdik adik Song. Tetapi cobalah kakek pikirkan. Di dalam perumahan para tamu ini penuh dengan jago-jago ulung yang membawa rombongan anak buahnya. Bagaimana juga gerak-gerik Coh Seng tentu akan ketahuan. Tetapi ada dua hal yang patut menjadi perhatian.... "
"Apakah itu?"tanya Jenggot perak dengan segan.
Siau-bun tertawa, "Pertama, agar kawanan penjaga dapat mempertinggi kewaspadaan. Siapa tahu bakal menghadapi hal-hal yang genting. Kedua, menjaga jangan samapai menimbulkan kesalah-pahaman partai-partai persilatan..."
"Lalu bagaimnana menurut pendapatmu?" Jenggot perak bertanya.
Siau-bun tertawa pula, "Hanya beberapa anak buah partai Ji-tok-kau dan ditambah seorang Raja kutu beracun Coh Seng, dapat berbuat apa" Asal kita dapat menjaga jangan sampai mereka sempat menggunakan racun, tentulah pertemuan besok dapat diselamatkan. Masakah kakek tak mampu menindak mereka?"
"Baik, biarlah aku sendiri yang turun tangan!" kata Jenggot perak seraya loncat ke udara, melayang ke dalam ruang tamu.
Thiat-ik Sin-kay, Li Cu-liong , Cu Giok-bun, Cu Siau-bun dan Bu-song segera mengikuti. Mereka melesat ke tengah ruang tamu.
Tempat mereka omong-omong tadi tak berapa jauh dari ruang tamu. Bagi tamu yang tinggi ilmu lwekangnya, tentulah dapat menangkap pembicaraan Jenggot perak tadi. Tetapi ternyata keadaan sepi-sepi saja.
Bahkan setibanya di dalam ruanga tamu, Jenggot perak sudah disambut oleh bau anyir darah. Dan segera jago tua itu menyaksikan pemandangan yang mengerikan. Di ruang tamu kamar tengah, tampak empat sosok tubuh manusia tergeletak di lantai.
Ketika dihampiri, kiranya mereka adalah anak buahTiam-jong-pay yang bertugas melayani keperluan para tamu.
Wajah mereka menjadi hitam, jelas terkena racun.
"Biadab sekali......." Li Cu-liong menggertak gigi, lalu menggunakan ilmu menyusup suara kepada Jenggot perak.
"Anak hendak menuntut balas atas kematian merek!"
Sebelum Jenggot perak membuka mulut, Li Cu-liong sudah menggeliat melesat ke ruangan tengah.
Jenggot perak terkejut sekali. Buru-buru ia memanggil. "Tahan dulu!"
Tetapi seruannya agak terlambat. Li Cu-liong menghantam daun pintu kamar dan menerobos masuk.
Karena kamar-kamar itu terbuat dari bambu, maka sekali hantam dapatlah Li Cu-liong menjebolnya.
Karena dia sendiri yang mengawasi pembuatan bangsal penginapan para tamu, maka pahamlah ia akan keadaan di situ. Setiap ruang terdiri dari empat buah kamar yang di jajar empat jurusan. Di tengah-tengahnya sebuah ruang tamu dan dua buah kamar tidur.
Di luar dugaan, kamar-kamar di situ sunyi senyap saja. Dan ketika ia mendorong pintu sebuah kamar, serangkum asap hitam membaur ke luar. Buru-buru ia menutup pernapasan dan melepaskan sebuah pukulan. Brak.... terdengar suara benda berhamburan jatuh, tetapi anehnya tak seorangpun manusia yang muncul. Pukulan itu menghembus asap hitam ke samping.
Li Cu-liong terkejut. Secepat kilat ia mengayunkan tubuhnya mencelat kembali ke tengah ruangan. Ia tahu bahwa asap itu tentulah asap beracun. Asal menghentikan pernapasan, tentulah takkan kemasukan racun. Tetapi perhitungannya meleset. Asap beracun itu luar biasa cara kerjanya. Begitu menyentuh tubuh manusia, terus merembes masuk melalui lubang pori-pori.
Terjangannya melalui taburan asap, cukup membuatnya celaka. Begitu berada di luar, seketika ia merasakan sendi-sendi tulangnya sakit sekali, dada sesak dan kepala serasa berputar. Bluk.... jatuhlah ia terkapar di lantai.....
Kagt dan marah sekali Jenggot perak, serunya, "Memang racun Peh-tok-jong! Kau.... "
"Pil Tay-hoan-tan masih tinggal dua butir, untung kubawa!" seru Hun-tiong Sin-mo Cu Giok-bun. Segera Li Cu-liong diberinya minum sebutir. Ketua Tiam-jong-pay itu muntah-muntah dan tersadar.
Suasana di bangsal penginapan para tamu itu sunyi saja. Seolah-olah tak ada orang yang mendengar apapun yang terjadi di luar ruangan.
Jenggot perak tertawa datar, "Kalau samapai jatuh di tangan tikus kecil itu, kami ayah dan anak tentu mendapat malu besar. Bagaimana dengan pertemuan besok pagi?"


Panji Tengkorak Darah Ko Lo Hiat Ki Karya S D Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mengapa ayah masih bersikap seperti dulu, begitu mengindahkan kepada mereka?" kata Cu Giok-bun.
Jenggot perak mengepal-ngepal tinju seraya menggeram, "Kalau sudah ganas biarlah ganas habis-habisan. Coba saja lihat nanti apakah mereka mampu menerima tinjuku ini!"
Begitu marahnya Jenggot perak saat itu sehingga dari tubuhnya menghambur semacam hawa panas yang mendesis-desis.
"Nanti dulu kek!" tiba-tiba Cu Siau-bun mencegah kakeknya yang bersiap hendak menghantam.
Jenggot perak mengakui kecerdikan kedua anak perempuan itu. Mendengar Siau-bun mencegahnya, iapun berhenti.
"Apa lagi?"
Sahut Siau-bun dengan perlahan. "Gerombolan Ji-tok-kau mahir sekali dalam ilmu racun. Tadi Li ciang-bun telah terkena racun Peh-tok-jong. Ini menandakan bahwa si raja racun Coh Seng tentu berada di sini. Pukulan kakek luar biasa hebatnya. Seluruh isi ruang gerombolan Ji-tok-kau tentu hancur binasa. Tetapi tidakkah dengan begitu racun mereka akan berhamburan kemana-mana. Mereka dapat dibinasakan, tetapi kitapun tentu celaka......"
"Ah, benar! Tetapi...apakah membiarkan saja mereka berbuat sesuka hatinya" Apakah kita rela mengundurkan diri?"
Jenggot perak membantah.
"Tidak, perbuatan merekapun harus mendapat hukuman yang setimpal!" Siau-bun tertawa, "segala jenis racun tak ada yang dapat melawan api. Pukulan Cek-ih-ciang dari mamahku, mungkin ada gunanya!"
Cu giok-bun mendengus, "Hm, budak, kau berani mempamerkan ibumu!" walaupun mulutnya mengatakan begitu tetapi ia segera bertindak.
Tangannya diangkat, seketika menghamburlah serangan sinar merah. Tenaga tamparan segera menghambur ke dalam jendela. Seketika sekeliling tiga tombak terasa panas. Menyusul terdengar bunyi berkeretekan bambu yang termakan api. Susul menyusul jeritan ngeri dari beberapa orang di dalam kamarpun berhamburan mengaduh.
Ruang yang terbuat dari bambu itu terbakar oleh pukulan Cu Giok-bun. Asap mengepul membawa bau daging gosong.
Selain bau bangkai manusia, juga tercampur dengan bau anyir dari binatang-binatang beracun yang mati terbakar.
Jenggot perak mengerutkan alis, "Meskipun cara ini baik, tetapi bagaimana pertanggungan jawab kita terhadap sekalian tamu" Bukankah tindakan kita ini akan menjadi buah ejekan dari para tamu besok pagi" Tidakkah mereka akan mengatakan kita sebagai tuan rumah telah menindas tamu?"
Cu Siau-bun mengerutkan kening, "Kakek terlalu baik. Tetapi bukankah setiap kejahatan harus diberantas habis" Jika bangsa manusia ganas semacam ini dibiarkan hidup, dunia akan terancam bahaya! Cara kita tadi, rasanya tepat!"
"Kek, aku mempunyai cara untuk menundukkan sekalian tamu besok pagi!" tiba-tiba Bu-song menyeletuk. Ia melirik Siau-bun.
"Mengapa tak lekas bilang?" dengus Jenggot perak.
Bu-song tertawa mengikik, "Keempat orang Tiam-jong-pay yang menjadi korban itu cukup menjadi bukti. Apabila besok pagi keempat mayat mereka ditunjukkan dalam pertemuan, tentulah mereka akan mengerti dan memaklumi tindakan kita!"
Jenggot perak bertepuk tangan, "Benar, tepat sekali....ayo, lekas pindahkan mayat anggota Tiam-jong-pay itu!"
Li Cu-liong yang sudah sembuh segera memerintahkan anggotanya mengangkut keempat mayat itu keluar.
Bangsal penginapan para tamu tetap sunyi-sunyi saja.
Hanya sebuah kamar, yakni tempoat menginap gerombolan partai Ji-tok-kau yang terbakar. Dan sekalian tamu tetap berdiam diri dalam kamar tak berani menjenguk keluar.
Memang dari dalam kamar Ji-tok-kau telah menghambur keluar bau manusia terbakar, tetapi apakah si Raja racun Coh Seng juga turut terbakar, masih belum diketahui.
Api makin menjalar besar. Jika tak dipadamkan tentu akan memakan seluruh abngsal.
"Api ini seharusnya ....." baru Siau-bun berseru begitu, Jenggot perak sudah menukasnya, "Api yang menyulut ibumu, bagaimana kau hendak suruh kakek yang memadamkan?" Sekalipun mulutnya mengatakan begitu, tetapi jago tua itu segera menampar beberapa kali. Serangkum hawa dingin segera menghambur keluar. Api makin lama makin menyurut kecil.
Di dalam kejadian itu, sukar diketahui berapa jumlah korban yang terbakar. Tetapi dengan ilmu Melihat langit mendengar bumi, dapatlah Jenggot perak mengetahui bahwa tak seorangpun yang ada dalam kamar Ji-tok-kau dapat meloloskan diri.
"Bagaimana sekarang?" tanya Li cu-liong kepada Jenggot perak.
" Terpaksa kita harus minta ibu melepas pukulan lagi, biar seluruh orang ji-tok-kau mati semua!" Cu Siau-bun menyeletuk.
"Ah, tetapi tindakan itu agak terlalu ganas," Jenggot perak mengerutkan dahi.
Bu-song menyeletuk, "Ganas atau tidak ganas, tak usah dibicarakan dulu. Tetapi dalam hal ini memang masih ada hal-hal yang mencurigakan...." ia berhenti sejenak lalu berkata pula, "Tiga buah kamar yang dihuni rombongan Ji-tok-kau tentulah bukan terdiri dari orang-orang tuli semua. Apakah mereka begitu saja mau menerima kematian tanpa memberi perlawanan apa-apa" Apakah tak ada seorangpun yang mempunyai pikiran untuk lolos?"
"Benar-benar, akupun mempunyai pikiran begitu.... " sambung Jenggot perak, "ruangan penuh orang, tetapi sedikitpun tak tampak suatu gerakan apa-apa!"
"Kek, bolehkah aku masuk memeriksa salah sebuah kamar mereka?"akhirnya Siau-bun berseru.
Jenggot perak tergopoh-gopoh menolak.
Siau-bun tertawa gelak-gelak, "Kek, kecurigaanmu berlebihan. Meskipun aku nanti terkena racun Peh-tok-jong, tetapi ibu masih mempunyai pil Tay-hoan-tan yang mukjijat!" Tanpa menunggu ijin kakeknya, gadis itu sudah mencelat masuk ke dalam sebuah kamar.
"Gadis liar!" bentak Cu Giok-bun yang menyusul puterinya. Jenggot perak sedianya hendak menyusul, tetapi setelah melihat Cu Giok-bun sudah bertindak, ia membatalkan maksudnya.
"Kek, kemarilah lekas!" tiba-tiba terdengar Siau-bun berseru dari dalam kamar. Ketua Thiat-hiat-bun itu terkejut bukan kepalang. Sekali loncat ia menerjang ke dalam. Thiat-ik Sin-kay, Bu-song dan Li Cu-liong pun mengikuti.
Apa yang mereka lihat di dalam kamar benar-benar membuat mereka tercengang. Di dalam kamar itu tampak tujuh-delapan orang Ji-tok-kau. Sekilas pandang mereka seperti orang yang duduk bersemedhi dengan mata merem melek.
tetapi setelah diperhatikan lagi kiranya mereka sudah tak bernyawa lagi.
Seperti telah dikatakan di atas, ketiga ruangan itu khusus ditinggali oleh rombongan Ji-tok-kau. Di luar bangsal dijaga keras oleh para penjaga, baik yang terang maupun yang meronda secara gelap. Ketatnya penjagaan begitu rupa, sehingga umpama lalat terbang masukpun tentu diketahui.
Jenggot perak mengerutkan alis. Selama hidup baru sekali itu menyaksikan perbuatan yang sedemikian kejamnya.
"Kek, mereka mati keracunan semua!" kata Bu-song sehabis memeriksa orang-orang itu.
"Kali ini mungkin kau salah raba!" Jenggot perak menggelengkan kepala.
Ternyata korban-korban itu wajahnya seperti biasa, seperti orang yang hanya ditutuk jalan darahnya saja. Baik alis maupun bibir mereka sedikitpun tak tampak tanda-tanda keracunan.
Thiat-ik Sin-kay dan lain-lain yang banyak pengalamanpun, tak dapat memberi komentar apa-apa. Segala sesuatu yang mereka hadapi memang sukar diduga....
"Budak, mengapa kau diam saja?" tegur Jenggot perak kepada Siau-bun.
Nona itu menggelengkan kepala, "Adik Song sudah mengatakan tepat. Mereka memang mati keracunan, apa yang masih harus kukatakan lagi?"
Jenggot perak tercengang, "Mengapa kau juga berpendapat begitu" Kalau memang mati keracunan, mengapa tak ada tanda-tandanya?"
Siau-bun tertawa, "Kek, apakah kau memang berpura-pura hendak menguji kami! Pertama, mereka telah terlatih dan kebal terhadap racun. Begitu kena racun, sudah tentu tubuhnya biasa saja. Kedua, jika tidak mati keracunan, mengapa mereka duduk begitu rapi" Dan ketiga, karena raja racun Coh Seng berada di sini, siapa lagi yang berbuat begitu kalau bukan dia........ kakek kaya pengalaman, dalam hal-hal sekecil ini, bagaimana aku dapat mengelabuimu"
Benar atau salahkah kata-kataku ini?"
"Kalau dapat menganalisa sedemikian rinci, mungkin ibumu belum tentu menang...." Jenggot perak memuji. Siapa tahu Bu-song mendengus karena Siau-bun mendapat pujian.
"Ayo, kaupun juga ikut menyatakan pendapat!" seru Jenggot perak kepada Cu Giok-bun, "Si Raja racun Coh Seng diundang partai Ji-tok-kau untuk membantu meracuni jago-jago yang kita undang. Tetapi mengapa mendadak sontak ia malah meracuni orang-orang Ji-tok-kau sendiri?"
Bu-song tertawa dingin, "Tak usah kakek memuji aku, aku tak secerdas cici Bun..." dara itu agak merajuk, tetapi pada lain kejap ia menyusuli pula, "Itupun sebenarnya sederhana saja. Tentulah kakek mengetahui bahwa sekalipun kutu dengan racun itu berbeda, tetapi pada hakekatnya mempunyai kegunaan yang sama. Raja racun Coh Seng memang hebat dalam menggunakan kutu, tetapi ia tak mampu melawan kepandaian orang Ji-tok-kau dalam menggunakan racun. Kalau tidak, tentulah dulu-dulu kedua orang itu sudah bersatu. Mengapa Ji-tok-kau tak mau berdaya menyelidiki penggunaan kutu itu.
Akibatnya undangan Ji-tok-kau kepada Coh Seng itu suatu kesalahan besar. Coh Seng mendapat kesempatan untuk menghancurkan saingannya.
Rombongan partai Ji-tok-kau yang datang kesini antara lain termasuk ketuanya, yakni Ti Bo dan jago-jago pilihan mereka. Apabila dapat melenyapkan mereka, mudahlah bagi Coh Seng untuk menguasai Ji-tok-kau dan mengambil alih partai itu!
Nah, cukup dengan hal-hal yang kusebutkan ini, jelas menunjukkan bahwa kebinasaan orang-orang Ji-tok-kau itu adalah dilakukan oleh Coh Seng."
(bersambung ke jilid 24)
Jilid 24 . Si Wajah Seribu!
Jenggot perak tercengang. Apa yang dikatakan Bu-song memang mungkin. Meskipun ada Thiat-hiat-bun, Hun-tiong Sin-mo, Tiam-jong-pay dan jago-jago sakti, tetapi tiada pimpinan yang cakap. Jika menderita serangan dari luar, tentu markas akan kacau balau. Jika sampai terjadi hal itu, bagaimana nanti pertanggungan jawab mereka dalam pertemuan besok pagi" Bukankah mereka akan kehilangan muka"
Karena gugup, tanpa menunggu perintah Jenggot perak lagi, sekalian orang segera lari serabutan menuju ke markas.
Jenggot perak hendak menyusul, tetapi tiba-tiba terdengar suara mengiang di telinganya, "Ah, sudah terlambat Lu tua! Kalian kali ini tentu akan hancur lebur! "
Menyusul kata-kata itu, terdengar ledakan keras di ringi dengan muncratnya nyala api ke udara.
"Celaka, kekalahan kali ini benar-benar hebat....." Jenggot perak menghela napas. Ia segera mencelat keluar sambil menamparkan kedua tangannya. Serangkum hawa dingin berhamburan keluar dan apipun mulai reda.
Tetapi ledakan itu rupanya berasal dari bahan peledak. Sekalipun api dapat dipadamkan, tetapi sebagian besar dari markas telah hancur berantakan.
Jenggot perak menghela napas dalam-dalam dan membanting-banting kaki, "Ah, tak kira aku bakal mengalami kekalahan di Tiong-goan. Kemana hendak kutaruh mukaku besok di hadapan sekalian orang gagah?"
Sekonyong-konyong terdengar suara tertawa nyaring memecah angkasa. Seorang wanita tua bertubuh pendek gemuk loncat keluar dari lautan api. Bukan kepalang terkejutnya sekalian orang. Perempuan tua itu dapat berjalan di tengah api tanpa merasa apa-apa.
"Kek, siapakah dia" Manusia atau setan?" Bu-song berseru kaget.
Jenggot perak sendiripun tertegun. Cepat-cepat ia berpandangan sejenak dengan Thiat-ik Sin-kay, lalu ia balas tertawa nyaring, serunya, "Ah, saudara lincah benar. Belum sempat aku keluar menyambut, saudara sudah tiba!"
Perempuan tua itu tertawa mengekeh, "Oh, kau kenal juga diriku?"
Jenggot perakpun tertawa, "Sekalipun kenalanku tidak banyak, tetapi terhadap tokoh ternama seperti saudara, mungkin aku akan kenal.... Kalau tak salah saudara ini tentu Cian-bin Cuncia Auyang teng.... "
Perempuan tua bertubuh gemuk pendek itu memang Cian-bin cuncia atau rahib wajah seribu Auyang Teng.!
"Ah, matamu ternyata masih awas Lu tua," Rahib wajah seribu tertawa.
Bu-song dan Siau-bun terkejut mendengar nama rahib tua itu. Juga Li Cu-liong dan Cu Giok-bun pun tak terkecuali.
Baru saja tadi mereka mendapat berita dari para pengintai dan dalam beberapa kejap saja
Rahib seribu wajah sudah muncul. Juga ilmu berjalan di tengah api yang diperagakan tadi benar-benar menakjubkan.
"Maaf, karena satu dan lain hal, aku tak dapat menyambutmu dengan penuh kehormatan," Jenggot perak tertawa.
"Disambut atau tidak, aku tak pusing. Tetapi apakah satu dan lain hal yang kau katakan itu" Katakanlah!" seru si wajah seribu.
"Kesatu, seorang lelaki jantan mengapa mengenakan pakaian wanita" Orang begitu aku paling muak. Kedua, kalau toh datang, datanglah dengan terang-terangan, tak perlu main sembunyi-sembunyian macam bangsa perampok yang membakari rumah rakyat! Terhadap orang begitupun aku paling benci sekali. Ketiga, kabarnya kau sudah menggabung pada Sin-bu-kiong, rela menjadi anak buah Song-bun Kui-mo. Ah, dalam hal ini aku tak berani campur tangan".."
"Cukup! Terhadap orang semacam aku, mengapa kau berani berkata begitu keterlaluan!" marahlah Si wajah seribu seketika.
Jenggot perak tertawa mengejek, "Sebenarnya gerak-gerikmu banyak sekali yang memalukan, tetapi enggan kukatakan. Cukup dengan beberapa hal yang kukatakan tadi, cukuplah sudah untuk meremehkanmu. Maka selain tak memberi penyambutan yang pantas, juga malam ini aku hendak mengadu kekuatan dengan kau, siapa yang nanti lebih kuat!"
Wajah-seribu tertawa mengekeh, "Baiklah, memang aku selalu bertindak menurut kemauanku sendiri, tak peduli orang senang atau tidak senang. Jika kau mengehendaki begitu, akupun tak keberatan.!"
Habis berkata begitu ia mencelat sampai tujuh-delapan tombak dan pada lain saat lenyap dari pemandangan.
"Kek, iblis itu memuakkan sekali. Mengapa kau biarkan dia pergi?" teriak Bu-song.
Jenggot perak tertawa, "Mungkin tak semudah itu kita menundukkan dia!"
Baru ia mengucapkan begitu, tiba-tiba terdengar suara orang mengucap salam. Suaranya
lantang nyaring, berasal dari arah sebelah kiri. Dan pada lain saat muncul ah seorang imam tua bertubuh kurus kering.
Kembali Bu-song dan Siau-bun menjerit kaget.
"Hai, imam hidung kerbau, dari mana kau?" serentak Bu-song berseru.
"Eh, budak perempuan, apa kau lupa?" imam tua itu tertawa meloroh.
Jenggot perak tertawa dingin, "Cian-bin cuncia, betapapun kau hendak unjuk kepandaianmu menyaru, jangan harap kau dapat mengelabui mataku!"
"Hai, apakah dia si Wajah seribu?" Bu-song menjerit kaget.
"Benar," kata Jenggot perak, "dia memang mahir dalam hal itu. Sebentar menjadi lelaki sebentar jadi perempuan atau sesaat seorang paderi, pada lain saat seorang rahib. Tubuhnyapun dapat berobah menjadi gemuk-pendek, kurus-kering, tinggi-besar menurut kemauannya! Tetapi kakekmu tak nanti dapat dikelabuinya!"
Memang imam tua itu adalah si Wajah seribu, ia tertawa terkial-kial, "Lu tua, kau memang hebat, dapat mengenali diriku!"
Bu-song, Siau-bun dan Li Cu-liong terkesiap. Jika bukan Jenggot perak yang mengatakan, tentu mereka takkan percaya. Apa yang dilihat memang berbeda sama sekali. Yang tadi seorang perempuan gemuk pendek, kini seorang imam tua bertubuh tinggi kurus. Kalau tadi seorang rahib, kini seorang imam....
Kebakaran dari bahan peledak itu telah menimbulkan kerusakan besar. Beberapa bagian dari gedung markas Tiam-jong-pay telah ambruk. Kamar rahasia yang dibuat berunding oleh Jenggot perak tadipun hancur. Beberapa penjaga regu Pik-ih-tiang-hoat dari Hun-tiong-hu menjadi korban. Kesemuanya itu adalah perbuatan si Wajah seribu...
Dengan gusar berserulah Jenggot perak, "Ayo suruh kawan-kawanmu keluar. Kita putuskan dulu siapa di antara kita yang lebih unggul.... "
Wajah seribu tertawa keras, "Kawan" Hm, masakah kau tak pernah mendengar bahwa aku selalu bergerak seorang diri?"
"Baik, katakan apa tujuanmu kemari!"
"Aku senang melihat keramaian yang bakal diadakan di sini. Sekalipun kau lupa mengundang aku, aku tetap akan datang sendiri..... Kenbakaran markasmu itu adalah selaku hukuman kecil untuk kelalaianmu mengundang aku!"
Ketua Tiam-jong-pay tak dapat menahan amarahnya lagi. Sambil loncat ke muka, ia mendamprat, "Iblis tua, jangan ngaco belo di sini, serahkan jiwamu!" kata-katanya ditutup dengan sebuah pukulan.
Bukannya menghindar atau menangkis atau balas memukul, sebaliknya Wajah seribu itu hanya tertawa gelak-gelak.
Tetapi pada saat tinju Li Cu-liong tiba, entah bagaimana tiba-tiba Wajah seribu hilang lenyap. Ketua Tiam-jong-pay itu terkejut hingga membuatnya terlongong-longong seperti melihat hantu.
Dan alangkah kagetnya ketika sesaat kemudian ia melihat dua orang Wajah seribu berdiri di kanan kirinya".
Ketua Tiam-jong-pay tak mau dibuat permainan. Dia ayunkan kedua tinjunya memukul ke kanan dan ke kiri.
Terdengar kedua Wajah seribu itu tertawa gelak-gelak dan sekonyong-konyong lenyap!
Li Cu-liong tertegun. Hai?" tiba-tiba ia terbeliak kaget sekali. Kini bukan hanya dua, tetapi empat orang Wajah seribu yang berdiri mengepungnya dari empat jurusan".!
Li Cu-liong menyadari bahwa di antara keempat Wajah seribu, hanya satulah yang tulen. Yang tiga hanya bayangan kosong. Tetapi pengertian itupun tak banyak membantunya, karena ia tak tahu yang manakah yang tulen dan yang palsu.
Selagi ia bingung, tiba-tiba keempat Wajah seribu itupun sudah menyerangnya. Li Cu-liong kaget. Serentak iapun menghantam mereka. Ia menggunakan seluruh tenaganya untuk menyambut serangan mereka. Pikirnya, asal dihantam serempak saja, tentu beres. Yang tulen kena, yang palsu ambyar.
Tetapi perhitungannya meleset. Adalah karena ia menyerang dengan tenaga penuh, kerugian yang dideritanyapun makin besar. Tampaknya ia sedang menghadapi serangan empat orang musuh, tetapi ketika saling bentur pukulan, ternyata hanya tiga musuh yang menyerang.
Ketua Tiam-jong-pay itu tak sempat memikirkan apa-apa lagi. Kemarahannya makin meluap-luap. Dengan kalapnya dihantamnya pula sang musuh dengan tenaga berlipat ganda. Ah.... segera ia menyadari kalau termakan tipu Wajah seribu. Ketiga musuh yang dihantamnya itu hanya bayangan belaka. Dengan begitu tenaga pukulannya tadi hanya penghamburan yang sia-sia. Dan karena memukul sasaran kosong, mau tak mau keseimbangan tubuhnyapun goyah.
Ia terperosok ke muka. Dan sebelum ia sempat memperbaiki posisinya, sesosok tubuh sudah melesat sambil menghantamnya.
Itulah Wajah seribu yang asli!
Pada saat Li Cu-liong terancam maut, bertindaklah Hun-tiong Sin-mo Cu Giok-bun. Sambil menunjukkan jarinya ke muka, ia membentak, "Siluman, jangan terlalu liar!"
Mengira orang sudah tak berdaya, Wajah seribu segera hendak memberi pukulan maut kepada Li Cu-liong.
Pukulannya dilancarkan cepat dan ganas.
Tetapi tutukan jari maut Hun-tiong Sin-mo pun sakti sekali. Walaupun dari jauh, tetapi angin tenaganya bagaikan kilat menyambarnya. Wajah seribu kaget. Untuk menyelamatkan jiwanya, terpaksa ia loncat menghindar.
Li Cu-liong diam-diam mengeluh. Dengan keringat bercucuran, ia loncat mundur. Wajahnya tersipu-sipu merah.
Sampai beberapa saat ia terlongong-longong. Seumur hidup belum pernah ia mengalami peristiwa aneh sedemikian rupa.
Di sana Hun-tiong Sin-mo pun agak terkesiap. Meskipun tutukan jari maut itu bukan merupakan ilmu simpanannya, tetapi Wajah seribu dapat menghindar dengan begitu mudah, mau tak mau membuat Hun-tiong Sin-mo tercengang juga. Karena sejak belasan tahun, belum pernah terdapat orang yang mampu lolos dari tutukan jarinya. Dan belum pernah ada yang selamat. Kalau tidak mati, tentu menderita luka parah.........
Tetapi kekagetan Wajah seribu pun tak kalah besarnya. Di dalam dunia persilatan, tak ada orang yang sekali gebrak dapat mengundurkannya. Sebelumnya ia tak percaya, tetapi apa yang dialaminya saat itu, benar-benar membuatnya seperti orang bermimpi!
Hun-tiong Sin-mo bersikap seperti tak minat bertempur. Sehabis berhasil menolong Li Cu-liong iapun segera loncat mundur pula.
Tetapi sikap itu bahkan membangkitkan kemarahan Wajah seribu. Dengan murka ia membentak, "Perempuan hina, jika malam ini tak kuhancurkan tubuhmu, aku tak mau meningalkan Tiam-jong-san ini!"
"Oh, mungkin tak mudah bagimu untuk meninggalkan gunung ini!" Hun-tiong Sin-mo membalas.
Wajah seribu pun segera merangsek. Tubuhnya pecah berkembang menjadi tujuh-delapan sosok bayangan. Hun-tiong Sin-mo tak gentar. Ia hendak menyambut, tetapi dicegah Jenggot perak, "Giok-bun, belum saatnya kau turun tangan, ayah masih dapat melayaninya!"
Ia menutup kata-katanya dengan sebuah pukulan. Terdengar suara ledakan keras. Pasir dan batu berhamburan. Ke tujuh-delapan sosok bayangan itupun lenyap. Yang tampak hanya seorang Wajah seribu terhuyung-huyung melangkah ke belakang.
Kiranya Jenggot perak telah berhasil menghantam dadanya. Tetapi dia sendiripun menderita juga. Tenaga tolakan yang dilancarkan Wajah seribu membuat Jenggot perak juga terhuyung-huyung sampai tiga langkah. Jago Thiat-hiat-bun itu tertegun. Ia merasa sekali ini benar-benar mendapat tanding.
Dengan penasaran Jenggot perak maju pula mengirim sebuah pukulan ke punggung lawan!
Wajah seribu mengeluh kaget. Cepat ia menggoyangkan tubuhnya, seketika pecahlah tubuhnya menjadi belasan sosok bayangan yang bagaikan pinang dibelah dua semuanya. Mereka bergerak-gerak mengepung Jenggot perak.
Jenggot perak mendengus. Ia menarik pukulannya untuk melindungi tubuh. Ia tegak berdiri tak mau bergerak lagi, tetapi diam-diam mengerahkan seluruh tenaga dalamnya untuk melapis diri.
Dalam beberapa saat, belasan sosok bayangan Wajah seribu itupun lenyap. Kini tampaklah ia tegak berdiri beberapa langkah di hadapan Jenggot perak.
Dengan mata berkilat-kilat Wajah seribu menatapnya, "Lu tua, mengapa kau diam saja" Takutkah kau kepadaku?"
Jenggot perak tertawa keras, "Pernahkah kau mendengar cerita orang, kepada siapa aku pernah merasa gentar?"
Wajah si Wajah seribu berobah gelap, "Kalau begitu, mengapa kau tak bergerak" Lebih baik kau menyerah sajalah!"
"Memang aku sengaja mengalah supaya kau menyerang dulu!" sahut Jenggot perak.
"Binatang tua yang sombong, kau berani menghina aku!" Wajah seribu berteriak seraya menggerakkan kedua tangannya. Gayanya mirip hendak menampar, tetapi juga seperti hendak menutuk. Tampaknya hendak
mencengkeram, tetapi juga menyerupai orang hendak meremas. Secepat kilat tangannya sudah menjulur ke muka Jenggot perak. Berbareng itu sekonyong-konyong tubuhnya pecah menjadi tiga-empat sosok bayangan.
Seketika itu Jenggot perak seperti diserang oleh banyak Wajah seribu. Sukar dibedakan mana yang palsu dan mana yang sungguhan.
Jago Thiat-hiat-bun itu tegak laksana sebuah gunung. Pada saat serangan itu tiba, barulah ia bergerak dengan tak terduga-duga. Sekonyong-konyong ia menamparkan tangannya ke kanan dan ke kiri. Tar... tar.., terdengar letupan keras dan bayangan yang menyerupai Wajah seribu itupun lenyap seketika, berganti dengan Wajah seribu asli yang terhuyung-huyung sampai empat-lima langkah.
Jenggot perak sendiripun terhuyung tiga langkah ke belakang. Ia merasakan darah dalam tubuhnya agak bergolak.
Sekilas pandang memang tampaknya Jenggot perak yang lebih unggul!
Wajah seribu mengerutkan dahi dan termangu sampai beberapa saat, serunya kemudian, "Setan tua, bagaimana kau dapat membedakan diriku dengan bayanganku?"
"Hm, masakah permainan anak kecil semacam itu dapat mengelabui aku......" Jenggot perak tertawa gelak-gelak,
"tetapi memang ilmu ginkangmu patut dipuji!"
"Ilmu Pek-pian-mo-ing ( bayangan setan seratus macam) ku tiada duanya di dunia persilatan. Mana hanya mengandalkan ilmu ginkang saja?"
Jenggot perak tertawa pula, serunya "Mungkin kau belum tahu bahwa aku si tua ini memiliki ilmu Melihat langit mendengar bumi" Betapapun kau hendak merobah dirimu menjadi apa saja, memang pada detik permulaan mungkin dapat mengelabui mataku, tetapi beberapa saat kemudian, tentu kuketahui juga...."
"Melihat langit mendengar bumi?" Wajah seribu berseru kaget.
"Ho, kau belum pernah mendengar ilmu itu?"
"Tetapi ilmu itu kan kekuatannya hanya tertuju pada jarak luas dan jauh, bagaimana kau dapat meneropong ilmu sakti Pek-pian-mo-ing ku?"
Jenggot perak tertawa nyaring.
"Sebenarnya ilmu Pek-pian-mo-ing itu hanya suatu ilmu ginkang yang tinggi. Bayang-bayangmu itu hanya kosong.
Dengan ilmu Melihat langit mendengar bumi, sudah tentu dapat kuteropong mana dirimu yang asli, mana yang palsu.
Mengapa kau heran....."
Wajah seribu meringkikkan tawa hantu.
"Silakan kau kerahkan seluruh kepandaianmu. Tetapi malam ini adalah malam kejatuhanmu. Besok pagi, jangan harap kau dapat membuka rapat para orang gagah.....!"
Tambur Mukjijat.
"Oh, mungkin kau tak mempunyai kemampuan begitu!" sahut Jenggot perak.
Pengemis sakti Thiat-ik Sin-kay dan Hun-tiong Sin-mo tak ikut bicara. Mereka berdiri di samping mendengarkan percakapan Jenggot perak dan si Wajah seribu dengan penuh perhatian.
Kebakaran di markas besar Tiam-jong-pay pun sudah reda. Tetapi asap masih bergulung-gulung memekatkan udara.
Banyak anak buah Thiat-hiat-bun, Hun-tiong-hu dan Tiam-jong-pay yang menjadi korban. Tetapi sebagian yang dapat lolos keluar. segera tenang kembali.
Saat itu sudah terang tanah. Pertemuan besar para orang gagah, segera akan tiba waktunya. Menilik letak pesanggrahan tempat menginap para tamu itu tak jauh di muka markas Tiam-jong-pay, maka kebakaran di markas itu tentu diketahui oleh para tamu. Tetapi anehnya, pesanggrahan para tamu itu tampak sunyi-sunyi saja.
Ketua Tiam-jong-pay Li Cu-liong mulai gelisah. Ia mencuri kesempatan untuk bertanya pada Jenggot perak dengan ilmu menyusup suara, "Hari sudah terang tanah, pertemuan akan segera dimulai. Rupanya durjana ini hendak mengulur waktu supaya pertemuan tak dapat berlangsung tepat pada waktunya"." Ia melirik memandang ke empat penjuru, lalu berkata pula, "Menurut pendapat anak, lebih baik kita lekas bertindak menyingkirkan durjana ini. Tak perlu kita menghiraukan tata kehormatan kaum persilatan lagi!"
"Pertemuan tetap akan dibuka tepat pada waktunya! Serahkan momok ini padaku, kau lekas atur prsiapan pertemuan itu. Apakah meja kursi sudah diatur menurut rencana!" sahut Jenggot perak dengan ilmu menyusup suara juga.
Li Cu-liong mengerutkan alis, ujarnya, "Tetapi durjana ini licin sekali, apakah ayah".."
"Jangan banyak bertanya lagi, aku dapat mengatasinya!" tukas Jenggot perak dengan ilmu menyusup suara.
Kemudian ia berganti nada dengan bentakan biasa, "Lekas kerjakan persiapan yang perlu!"
Li Cu-liong mengiyakan lalu pergi. Wajah seribu berpaling memandang markas Tiam-jong-pay yang menderita kerusakan. Ia tertawa mengejek.
Sejenak melirik pada pengemis Thiat-ik Sin-kay dan Hun-tiong Sin-mo, tiba-tiba Jenggot perak membentak lawannya,
"Hai, iblis tua, kalau membawa kawan, suruh mereka unjukkan diri!"
Wajah seribu terbeliak, teriaknya, "Aku selalu bekerja seorang diri, tak pernah kubersekongkol dengan orang. Jangan banyak curiga!"
"Kek, bolehkah aku bicara?" mendadak Bu-song maju selangkah.
Jenggot perak berpaling, "Eh, kau melihat hantu apa lagi?"
Dara itu tertawa melengking, "Durjana ini seolah-olah membanggakan keagungan dirinya, tetapi sebenarnya dia seorang hina! Percvuma kau tanya ini itu padanya, bunuh sajalah!"
Bukan kepalang marahnya Wajah seribu, teriaknya, "Kau berani menghina aku, budak" Kaupun takkan menjadi mayat utuh...." tiba-tiba ia menampar.
"Iblis hina, kau tak malu mengganas pada seorang anak perempuan!" iapun menyongsongkan pukulannya.
Karena ilmu Pek-pian-mo-ing ( seratus bayangan iblis) tak mempan, Wajah seribu menggunakan pukulan biasa.
Plak.... terdengar letupan keras dari dua pukulan yang beradu. Debu dan tanah berhamburan. Kedua tokoh itu mundur beberapa langkah. Sekalipun tampaknya Jenggot perak menang angin, tetapi kekuatan mereka berimbang.
Sesaat berdiri tegak, Wajah seribu tertawa nyaring."Setan tua, kecuali kalian maju berbareng, jangan harap dapat menangkan aku!"
"Aku paling benci main keroyok. Mari kita bertanding satu lawan satu!" Jenggot perak marah sekali.
Wajah seribu tertawa, "Aku tak suka menggunakan kekerasan. Membunuh engkaupun tak ada gunanya. Cukup asal jiwamu tak tenteram, aku sudah puas!"
"Kau benar, iblis!" tiba-tiba Bu-song menyeletuk, "hanya sayang tipu muslihatmu itu tak berguna. Pertemuan orang gagah takkan terpengaruh oleh pengacauanmu!"
Wajah seribu tertawa sinis, "Orangnya kecil tetapi mulutmu besar! Coba katakan, siasatku apa yang gagal?"
Bu-song tertawa dingin, "Menghadapi seorang manusia rendah semacam engkau, perlu apa memakai akal!" Tiba-tiba ia menantang, "Apakah kau berani bertempur sejurus saja denganku?"
"Kau berani menantang aku?" Wajah seribu tertawa menghina.
"Kau sudah mendapat kehormatan!" Bu-song mengejek.
Wajah seribu melangkah maju, bentaknya ,"Aku mengalah tiga jurus untukmu...." dari tubuhnya mengepul asap tipis.
Ia bersiap menerima serangan.
Bu-songpun dengan tenang segera mencabut pedang dari belakang bahunya.
"Budak, kakekmu di sini, jangan lancang!" serentak Jenggot perak membentak si dara.
"Iblis tua ini kelewat sombong. Aku hendak mewakili kakek menghajar adat padanya!"
"Jangan ngaco, lekas enyah!" bentak Jenggot perak. Kemudian ia menyusuli dengan ilmu menyusup suara, "Dia seorang tak perlu dikuatirkan, tetapi Lam-yau (siluman selatan), Pak-koay (manusia aneh dari utara) dan Bu-cui-suseng (pelajar tak berdosa) tentu juga berada di sekitar tempat ini?"."
"Dan si Raja kutu Coh Seng , eh, mengapa kakek melupakannya?" tukas Bu-song dengan ilmu menyusup suara.
"Benar," sahut Jenggot perak, "orang itu dapat meluputkan diri dari ilmu Melihat langit mendengar bumi, tentulah sakti sekali. Jauh beberapa kali saktinya dari berpuluh tahun yang lalu. Kakek harus hati-hati menghadapi mereka.
Mengapa kau hendak sembrono, ayo lekas menyingkir!"
"Bagaimana kakek hendak menghadapi meeka!" tanya Bu-song.
Jenggot perak tertegun. Memang pertanyaan sang cucu itu tepat sekali. Baru ilmu Pek-pian-mo-ing atau Seratus wajah tanpa bayangan dari si Wajah seribu saja sudah cukup memusingkan, apalagi ditambah dengan beberapa tokoh lagi. Tetapi bagaimanapun ia harus bertindak.
Pertandingan tadi menunjukkan bahwa kekuatannya berimbang dengan si Wajah seribu. Untuk menundukkan tokoh ini, ia harus menggunakan waktu sedikitnya sejam. Ah, terlalu lama.
"Jangan kuatir, kakek mempunyai rencana." akhirnya ia menghibur si dara.
Bu-song cebikan bibirnya, "Tindakanku ini justru hendak membantu kakek. Hendak kupancing mereka keluar baru kita hancurkan!"
Ia tahu jelas suasana saat itu. Pengemis sakti Thiat-ik Sin-kay, Hun-tiong Sin-mo, Cu Siau-bun dan tokoh-tokoh lainnya, terpancang oleh Jenggot perak. Tanpa perintah jago tua itu, mereka tak berani bertindak.
Tetapi tampaknya Jenggot perak tak punya rencana apa-apa. Kalau terus-menerus hanya tantang-tantangan begitu saja, tentulah pertemuan para orang gagah tak dapat berlangsung!
"Bagaimana akalmu hendak memancing mereka?" tanya Jenggot perak.
Bu-song tertawa, "Ini"..sekarang tak dapat kukatakan dulu! Tetapi paling tidak hendak kuberi hajaran dulu pada momok ini, syukur kalau dapat membunuhnya! Dengan begitu gerombolan mereka tentu keluar semua!"
Jenggot perak mengelus-elus jenggotnya. Beberapa saat ia tak dapat bicara. Ia percaya akan kecerdasan bocah perempuan itu. Sekalipun tindakannya kali ini sangat berbahaya, tetapi ia berada di sana. Setiap saat tentu dapat memberikan pertolongan apabila perlu.
Melihat Jenggot perak dan Bu-song bicara dengan ilmu menyusup suara, Wajah seribu hanya tersenyum ewa saja.
Setelah beberapa saat, baru ia melengking , "Eh, sudah berunding beres atau belum?"
Jenggot perak menyahut dingin, "Karena cucuku ingin sekali mendapat pelajaran dari engkau, maka kali ini aku memberikan kelonggaran padanya!"
Wajah seribu tertawa gelak-gelak, "Aku seorang yang ganas, sekali turun tangan kalau sampai cucumu mati, harap jangan salahkan aku!"
"Iblis tua, mungkin kau tak mempunyai kemampuan berbuat begitu!" Bu-song melengking marah.
"Silakan kau mulai!" Wajah seribu tertawa mengejek.
Bu-song tertawa gemerincing. Ia memutar pedangnya, tetapi ia berpaling melirik pada Siau-bun.
Siau-bun tegak berdiri di tempat. Hanya mulutnya menyungging senyuman. Diam-diam ia menggunakan ilmu menyusup suara kepada si dara, "Bertindaklah, jangan kuatir! Aku tahu maksudmu!"
"Kau pintar juga!" sahut Bu-song juga dengan ilmu menyusup suara. Dan mulailah ia melancarkan serangannya".
Wajah seribu tertawa mengekeh. Sekali kedua bahunya bergoyang, terpecahlah dirinya menjadi tiga-empat sosok bayangan yang menyerangnya dari empat penjuru.
Bu-song seorang dara yang cerdik. Serangannya ini hanya serangan kosong. Ia tahu bahwa menghadapi si Wajah Seribu, tak boleh menggunakan kekerasan melulu, tetapi harus pakai tipuan. Maka ia menggunakan ilmu Suara di timur serangan dari barat.
Begitu perhatian lawan tercurah pada serangan pedang, secepat kilat tangan kiri Bu-song menaburkan senjata rahasia Hong-thau-kiong ( passer kepala burung Hong).
Sekalipun Bu-song tak dapat membedakan mana bayangan lawan yang tulen dan mana yang palsu, tetapi empat batang passer yang ditaburkan itu kiranya cukup untuk menghancurkan keempat sosok bayangan itu.
Untuk memperoleh hasil yang mengesankan, ia menggunakan ilmu timpuk yang paling ganas. Tiap-tiap passer itu sengaja diarahkan untuk mencari mata si bayangan.
Seketika terdengar raung kemarahan yang hebat dan lenyaplah ke empat sosok bayangan itu.
Sama sekali Wajah seribu tak menduga bahwa Bu-song akan menggunakan senjata rahasia, karena itu ia agak lengah. Dan juga ia tak tahu bahwa ilmu menimpuk Hong-thau-kiong dari partai Thiat-hiat-bun hebat sekali. Seratus kali timpuk, tentu seratus kali kena. Dan masih ada kelemahan bagi Wajah seribu, ialah bahwa telinga, mata, hidung dan lubang-lubang tubuh manusia itu paling sukar untuk disaluri tenaga dalam. Betapapun lihainya si Wajah seribu, namun tak dapat ia mengerahkan tenaga dalamnya ke bagian-bagian itu. Untung dia banyak pengalaman. Pada detik-detik maut henak merenggut nyawa, masih dapat memiringkan kepalanya sedikit ke samping, sehingga matanya terhindar dari kehancuran. Namun tak urung, sudut matanya tetap termakan passer si dara...
Wajah seribu menggerung laksana harimau terluka. Sebelum ia sempat mencabut passer yang menancap di ujung matanya, sekonyong-konyong angin berkesiur dan serangkum benda mengkilap menyambar mukanya!
Tetapi yang menaburkan senjata rahasia kali ini bukan Bu-song, melainkan Siau-bun. Nona itupun tak ketinggalan. Ia menaburkan tiga batang passer Tui-hong-kiong ( passer pemburu angin). Sebelum si Wajah seribu berdiri tegak, Siau-bun sudah membarengi. Dalam hal menimpuk, Siau-bun tak kalah sebatnya dengan Bu-song. Betapapun lihaynya Wajah seribu, namun sukar untuknya menyingkir.
Dalam usahanya yang terakhir, ia masih dapat menyelamatkan bagian berbahaya dari tubuhnya. Bahunya sebelah kanan menjadi mangsa Tui-hong-kiong. Sakitnya bukan kepalang, sehingga hampir saja ia terjungkal roboh. Ia terhuyung-huyung empat lima langkah ke belakang. Bahu kanannya tak dapat digerakkan lagi......
Tui-hong-kiong merupakan senjata pusaka Hun-tiong-san. Sekalipun tak dilumuri racun, tetapi senjata rahasia itu dibuat sehalus rambut. Begitu menyusup ke dalam jalan darah, sang korban pasti mati seketika!
Setitikpun Wajah seribu tak pernah bermimpi, bahwa hari ini ia bakal jatuh di tangan dua orang anak perempuan.
Saking marahnya tubuhnya sampai menggigil dan mulut meraung-raung. Tetapi sudut matanya yang kiri sakit sekali , begitu pula bahu kanannya seperti putus rasanya......
"Sasaran tepat, sayang tak dapat menembus ulu hatinya!" Bu-song berpaling dan berseru kepada Siau-bun.
"Apa perlu ditambahi lagi?" sahut Siau-bun dengan tertawa.
Buru-buru Bu-song menggunakan ilmu menyusup suara, "Tadi saja sudah menyalahi peraturan kakek. Kalau tak percaya, boleh coba lagi, lihat saja kakek akan menghajarmu atau tidak!"
Siau-bun terkejut. tetapi secepat itu ia insyaf. Mungkin yang dikatakan si dara itu benar. Jenggot perak, kakek mereka memang seorang tua yang aneh perangainya.
Siau-bun tertawa tawar, serunya dengan ilmu menyusup suara, "Tadi aku hanya bermaksud membantumu saja. Jika aku tak turun tangan, iblis tua itu tentu dingin saja menghadapi passer Hong-thau-kiong mu. Mungkin............."
"Tak usah kau bicara semerdu itu, aku tak menerima bantuanmu!" sahut Bu-song dengan dingin.
"He, kuterangkan sedikit," sahut Siau-bun, "sebelum kau turun tangan, tentulah kau sudah mengetahui bahwa aku tentu akan membantumu. Dengan begitu barulah kau berani berkata besar di depan kakek!"
"Benar," Bu-song tertawa, "hal itu didasarkan pada watakmu. Kutahu kau tentu takkan melepaskan kesempatan untuk mendirikan pahala!"
"Salah!" Siau-bun tertawa.
"Ha?" Bu-song terkesiap.
"Kau melupakan Lam-yau, Pak-koay, Bu-cui-su-seng dan raja kutu Coh Seng?" seru Siau-bun.
Bu-song tertegun. Diam-diam ia mengakui kelalaiannya.
Kalau tokoh-tokoh itu memang datang dan bersembunyi, setelah tahu kawannya terluka, tentulah segera akan muncul. Tetapi mengapa mereka tak menampakkan diri"
Sekilas merosotlah ambisi Bu-song. Tadi ia berani membuka mulut besar di hadapan Jenggot perak, bahwa ia tentu dapat memikat gerombolan Wajah seribu keluar.
Tetapi buktinya, tak seorangpun dari gerombolan lawan yang muncul...
Di sana tampak Wajah seribu berkeliaran memandang ke empat penjuru. Begitu dilihatnya Jenggot perak dan tokoh-tokoh lainnya tak bergerak, barulah ia agak tenteram dan segera meramkan matanya untuk menyalurkan tenaga dalam. Ia hendak memulihkan bahunya yang mati rasa itu.
Bu-song memandang lawannya dengan tajam. Tiba-tiba ia melengking dan menerjangnya.
"Eh, bocah perempuan, partai Thiat-hiat-bun tak pernah menyerang orang yang sedang terluka. Tak boleh mencari kemenangan secara curang....!" tiba-tiba Jenggot perak berseru.
"Kek, sekarang aku tak sempat memberi penjelasan padamu!" teriak si dara yang terus melanjutkan serangannya.
Dara baju merah
Jenggot perak berteriak mencegah, tapi tak berbuat apa-apa. Sementara si Wajah seribu masih meram sambil menyalurkan tenaga dalam. Tampaknya ia tak melawan...
Pada saat pedang akan menusuk tubuh Wajah seribu, tiba-tiba sesosok bayangan melayang dari udara. Seorang yang bertubuh pendek seperti semangka, tetapi luar biasa cepatnya sekali ulurkan tangan, telah mencengkeram pedang si dara.
Bu-song seorang dara yang cekatan dan cedas. Meskipun tengah menusuk, tetapi diam-diam ia sudah
memperhitungkan tentu bakal ada orang yang akan menolong Wajah seribu. Secepat kilat ia menggeliatkan mata pedang dan membabat pergelangan tangan orang itu. Berbareng itu tangan kirinya menimpukkan tiga batang passer....


Panji Tengkorak Darah Ko Lo Hiat Ki Karya S D Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Orang itu tertawa meloroh seraya turun ke bumi. Sepasang tangannya mengibas. Terdengar dering pedang tertampar dan gemerincing tiga batang passer jatuh berhamburan!
Bu-song terkejut bukan kepalang. Ia mundur tiga langkah.
Terhindar dari maut, Wajah seribu marah bukan kepalang. Pada saat Bu-song menyurut mundur, sekonyong-konyong Wajah seribu mengayunkan tubuhnya mencengkeram si dara dengan sepuluh jarinya yang dipentangkan.
Kali ini dia tidak menggunakan ilmu Pek-pian-mo-ing, melainkan menggunakan ilmu nyata. Sekali gerak ingin menghancurkan tulang-belulang si dara.
Memang bukan olah-olah kepandaian Wajah seribu. Jika orang lain, bahunya tentu sudah lumpuh. Paling tidak harus istirahat beberapa hari baru sembuh. Tetapi dalam waktu singkat ia sudah dapat menyembuhkannya seperti sediakala. Bahkan dapat digunakan untuk menyerang.
Sebenarnya ketika Bu-song menyerang tadi, ia bukan sekali-kali meramkan mata menunggu nasib. Ia sudah tahu bahwa dalam saat-saat genting, kawannya tentu akan muncul. Dan dugaannya ternyata benar. Begitu si pendek muncul dan mengundurkan Bu-song, terus disusuli lagi dengan taburan asap hitam.
Kini keadaan berbalik seratus delapan puluh derajat. Kalau tadi Wajah seribu yang terancam, sekarang Bu-songlah yang terancam. Dua tokoh sakti berbareng menyerangnya.
Melihat itu tak dapat Hun-tiong Sin-mo tinggal diam lagi. Serentak ia melepaskan pukulan Cek-koay-ciang kepada si orang pendek. Demikian pun Jenggot perak. Ia menghantam Wajah seribu.
Terdengar suara mendesis macam api meranggas.
Itulah suara dari pukulan Cek-koay-ciang. Asap yang dihamburkan si orang pendek itu adalah asap beracun. Tetapi ketika terhantam pukulan panas Cek-koay-ciang, seketika asap itu menjadi menjadi hangus dan membumbung ke udara.
Tidak cukup hanya membuyarkan asap saja, tenaga pukulan Cek-koay-ciang juga masih dapat membuat si orang pendek terpental sampai tujuh-delapan langkah jauhnya.
Jenggot perak pun berhasil. Sekalipun luka Wajah seribu sudah sembuh, tetapi menghadapi pukulan maut dari ketua Thiat-hiat-bun, ia harus menelan pil pahit. Memang kepandaiannya kalah setingkat dari Jenggot perak, apalagi ia baru saja sembuh dari luka di bahunya. Wajah seribu terhuyung sampai lima langkah. Wajahnya pucat lesi, darah dalam tubuhnya bergolak-golak......
Jenggot perak hanya tersurut mundur selangkah. Sikapnya biasa seperti tak mengalami apa-apa.
Kini jelaslah sudah kekuatan mereka.
Wajah seribu dan orang pendek itu saling berpandangan.
"Coh Seng, sungguh beruntung dapat berjumpa!" tiba-tiba Jenggot perak berseru tertawa.
Ah, kiranya orang pendek itu si Raja kutu Coh Seng. Selain mahir dalam ilmu pengetahuan jenis kutu-kutu beracun, Coh Seng pun memiliki sebuah ilmu yang dapat membuat tulang-belulangnya sekeras baja.
Itulah sebabnya maka passer Hong-thau-kiong yang dilepaskan Bu-song tak mempan.
Pada saat Coh Seng hendak bicara, tiba-tiba terdengar suara seruling melengking di udara. Jenggot perak terkesiap.
Buru-buru ia berpaling dan menyuruh rombongannya menyalurkan tenaga dalam melawan lengkingan seruling.
Sepintas lalu, suara seruling itu seperti alunan suling biasa. Tetapi lagu yang ditiupnya sangat memikat hati.
"Tentulah Bu-cui Su-seng yang meniup seruling itu. Lekas, jangan sampai terpikat oleh suara seruling...." pengemis Thiat-ik Sin-kay pun memberi peringatan kepada rombongannya.
Sekalian orang menurut. Jenggot perak memang hebat. Selain dapat membentengi diri dari lengkingan seruling, ia masih dapat membagi perhatiannya untuk menjaga gerak-gerik Coh Seng dan Wajah seribu.
Suara seruling tetap melengking-lengking. Tiba-tiba suaranya berobah menjadi menyeramkan, seperti burung hantu berbunyi di tengah malam. Rupanya si peniup menggunakan ilmu Cian-li-yang-seng ( dari ribuan li meniup seruling).
Betapapun lihaynya ilmu Melihat langit mendengar bumi dari Jenggot perak, namun tak berhasil mengetahui di mana beradanya si peniup seruling itu.
Jenggot perak, Thiat-ik Sin-kay dan Hun-tiong Sin-mo masih dapat bertahan. Tapi Bu-song dan Siau-bun harus menderita. Beberapa saat kemudian, kedua nona itu hampir tak tahan lagi.
Kedua anak perempuan itu mulai berkunang-kunang matanya, semangatnya mulai limbung. Suara seruling itu serasa menembus ke dalam ulu hati, meremas-remas jantung. Menangis tak dapat mengeluarkan air mata, tertawa tak dapat bersuara.
Jenggot perak tahu keadaan kedua anak perempuan itu, tetapi ia tak dapat menolong. Ia sendiri sedang berjuang mempertahankan diri.
Hari makin terang. Pertemuan makin mendesak waktunya. Tuan rumah terancam kemusnahan!
Sekonyong-konyong terdengar tambur bertalu-talu nyaring.
Jenggot perak mengerang. Ia kaget-kaget gembira. Suara tambur itu tak asing baginya. Teringatlah ia ketika melihat Bu-beng-jin bertempur dengan Bok Sam-pi di gunung Thay-heng-san, tambur itupun terdengar. Hanya bedanya bunyi tambur itu keras sekali, jauh lebih nyaring dari ketika di Thay-heng-san.
Aneh! Begitu tambur menderu, serulingpun sirap seketika.
(bersambung ke jilid 25)
Jilid 25 . Raja kutu Coh Seng dan Wajah seribu pucat pasi. Setelah saling berpandangan, mereka terhuyung mundur.
Genderang itu mempunyai pengaruh besar terhadap mereka. Dengan terhuyung-huyung kedua durjana itu lari menyembunyikan diri dalam kegelapan.
Setelah seruling sirap dan kedua durjana itu mundur, tamburpun perlahan-lahan lenyap. Suasana pun hening...........
Jenggot perak mengerutkan kening. Serunya tergagap, "Siapa.......?"
"Siapakah yang membunyikan tambur itu?" tanya Bu-song. Jenggot perak hanya menggeleng.
"Masakah kakek yang banyak pengalamannya sedikitpun tak dapat meraba?" desak Bu-song.
Setelah merenung sejenak, berkatalah Jenggot perak, "Beberapa tahun yang lalu, kudengar di daerah Se-hek (Tibet) terdapat seorang tokoh wanita bergelar Sin-ku-sian-lo ( dewi tambur). Mungkin tambur itu mempunyai hubungan dengan wanita sakti itu. Tetapi kakek belum pernah mendengarnya!"
Diam-diam Jenggot perak teringat akan Bu-beng-jin. Nasib pemuda itu terletak di tangan si pemilik tambur. Karena jelas ketika di gunung Thay-heng-san, pembawa tambur itu tak lain tak bukan hanyalah seorang dara baju merah yang baru berumur belasan tahun. Tetapi, ah, mengapa dara itu tak muncul"
Juga Hun-tiong Sin-mo dan pengemis sakti Thiat-ik Sin-kay bingung. Suara tambur itu terdengar jelas dan lenyap secara misterius. Tetapi yang jelas, suaranya hebat sekali, menggetarkan urat-urat jantung orang.
"Kek, di mana orang itu?" seru Bu-song pula.
"Mungkin ia tak mau menemui kita....... atau mungkin ia mendapat perintah jangan menemui kita," kata Jenggot perak.
"Kakek kenal padanya?" Bu-song terkesiap.
Jenggot perak tertegun, "Baru kali ini kakek mendengar tambur, bagaimana aku tahu?"
"Kalau tak kenal, mengapa kakek bisa mengatakan dia mendapat perintah orang?" tanya Bu-song lagi.
"Ah,.......kakek hanya menduga saja," Jenggot perak kewalahan.
"Lalu di mana dia" Mengapa tak menjumpainya?"
"Bagaimana kakek bisa tahu?"
"Toh kakek mempunyai ilmu Melihat langit mendengar bumi?" desak si dara.
"Dia menggunakan ilmu Cian-li-yang-seng, ilmu Melihat langit mendengar bumi percuma saja!"
Bu-song tertawa dingin, "Ah, tak kira malam ini kita bertemu dengan tokoh-tokoh sakti. Tetapi sayang mereka tak mau unjuk diri!" Dengan kata-kata itu, ia hendak memancing supaya si pemukul tambur unjuk diri. Ia yakin kata-katanya tentu terdengar sampai beberapa puluh tombak.
Tetapi tetap tiada reaksi apa-apa.
"Sudahlah, budak, jangan ribut-ribut saja!" akhirnya Jenggot perak membentak.
Sebaliknya Bu-song malah penasaran, Dengan sekeras-kerasnya ia berteriak, "Huh, apa-apaan itu. Hanya ilmu memukul tambur saja masa hendak dibanggakan!"
Pemilik tambur sebenarnya masih bersembunyi di sekitar tempat itu. Waktu mendengar hinaan Bu-song, ia tak dapat menahan lagi. Serentak ia loncat melayang keluar dan muncul di hadapan Bu-song.
Bu-song terkejut bukan kepalang. Ternyata yang muncul di hadapannya itu hanya seorang dara belasan tahun yang memakai pakaian serba merah. Rambutnya dikepang dua, sepasang matanya yang bundar melotot marah kepada Bu-song.
Sambil menepuk-nepuk tambur kecil yang digendong di belakang punggungnya, dara itu melengking congkak,
"Memang tamburku yang butut ini tak berguna, tetapi..... " ia mengerutkan keningnya menyengir, dan tiba-tiba membentak, "Kau mempunyai berapa muka!"
Walaupun bernada marah, tetapi sikap dara itu wajar kekanak-kanakan sekali. Memang usianya baru sekitar dua belas-tiga belas tahun.
"Oh, aku tak menyangka kalau yang memukul tambur engkau." seru Bu-song setelah hilang kejutnya.
"Kau sangka siapa?"lengking si dara.
"Kukira tentu seorang yang tua, seorang kakek yang berwajah bengis. Ah, tak kira ternyata seorang adik yang manis dan lincah!"
"Eh, benarkah aku ini manis?" seru si dara.
Bu-song tertawa, "Benar, aku tak pernah memuji orang. Kalau kau mau, aku suka mengakumu sebagai adik!"
Dara itu memandang Bu-song dari ujung kaki sampai ke ujung kepala, kemudian tertawa, "Bagus, sekarang aku mempunyai tiga orang taci, seorang engkoh....." setelah memainkan matanya yang bundar, dara itu berseru pula,
"Cici, aku bernama Pok Lian-ci. Siapakah namamu?"
Bu-song mengerutkan keningnya, "Hai, apakah ibumu,"
"Sudah meninggal"!" sahut Pok Lian-ci dengan rawan.
"Meninggal?" Bu-song terharu juga. Maskah seorang dara yang masih begitu kecil sudah tak beribu lagi. Dan teringatlah ia akan nasibnya sendiri. Ayah bundanya sudah meninggal. Bu-beng-jin yang sudah berjanji pada kakeknya untuk dijodohkan padanya, ternyata hilang di gunung Thay-heng-san. Bu-song berlinang-linang?"
"Eh, mengapa kau" Bagaimana aku harus memanggilmu?" seru si dara.
Bu-song tertawa rawan, "Tak apa-apa! Aku bernama Lu Bu-song. Kita senasib. Sejak kecil akupun sudah kehilangan ayah bunda dan ikut pada kakek......." ia menunjuk pada Jenggot perak, "Kenalkanlah pada kakekku!"
Pok Lain-ci maju ke hadapan Jenggot perak, serunya, "Kek....eh, bagaimana aku memanggilmu?"
Jenggot perak tertawa meloroh, "Ya, ya....dengan siapa kau datang ke Tiong-goan?"
"Dengan ayah!" sahut si dara.
"Apakah ayahmu orang Mongol?"
"Tidak, nenekku!"
"Nenekmu?" Jenggot perak terkesiap, "Kalau begitu, nenekmu tentulah Dewi Tambur!"
Pok Lain-ci bertepuk tangan, "Tepat sekali dugaanmu, kek! Selain tambur, nenek juga pandai meniup seruling, memainkan harpa dan lain-lain". eh, apakah kakek kenal padanya?"
Jenggot perak menggelengkan kepalanya, "Telah lama kudengar namanya, tetapi tak pernah berjumpa muka. Apakah dia sehat-sehat saja?"
"Nenek sudah meninggal!" kembali wajah Pok Lian-ci mengerut rawan.
Jenggot perak menghela napas. Tiba-tiba ia berseru, "Ayahmu?"
"Dia ". dia datang bersama aku".." katanya tergagap. Dara itu tak dapat berbohong. Walupun sebenarnya ia tak mau mengatakan hal itu, namun tak dapat juga ia menyimpan rahasia.
"Dimana ayahmu" Mengapa tak ajak ia menjumpai aku!" Jenggot perak berseru tegang.
"Tidak!" seru Pok Lian-ci, "Ayah mengatakan, jika tak perlu tak mau menemui kakek. Sebenarnya aku tak boleh mengatakan tentang dirinya, karena kuatir kakek mendampratnya.....!"
"Kalau begitu ayahmu itu...."
"Juga tak boleh mengatakan namanya!" tukas Pok Lian-ci.
Mendengar itu Cu Giok-bun segera menghampiri. Dengan lemah-lembut dibelainya rambut Pok Lian-ci. Katanya halus, Nah, jika kau mengaku mempunyai taci, mempunyai kakak, akulah bibimu!"
Bibi!" seru Lian-ci tertawa riang.
Cu Giok-bun sejenak bertukar pandang dengan Jenggot Perak, lalu berkata kepada Lian-ci, "Nak, katakanlah siapa nama ayahmu. Kita sekarang orang sendiri!"
Pok Lian-ci mengedip-ngedipkan matanya beberapa kali. Ia hendak mengatakan sesuatu, tetapi ragu-ragu. Akhirnya ia menggelengkan kepalanya, "Tidak, aku tak boleh melanggar pesan ayah!"
Cu Giok-bun kewalahan. Katanya pula, "Bukankah ayahmu itu tokoh yang gemar memakai pedang besi, yang batangnya digantungi kantong kecil berbentuk hati....."
"Benar!" teriak Pok Lain-ci serentak, "apakah bibi kenal padanya?"
Seketika berobahlah muka Cu Giok-bun, "Tidak, aku tak kenal......mungkin dulu pernah kenal, tetapi sekarang tidak!"
Pok Lain-ci memandang bibi itu dengan heran. Namun ia tak berani mengatakan apa-apa.
Siau-bun telah melihat perobahan airmuka ibunya. Begitupun pengemis sakti Thiat-ik Sin-kay dan Lu Bu-song, tetapi mereka tak berani bertanya.
Adalah Jenggot perak yang memecah kebuntuan dengan berbatuk-batuk, ujarnya, "Eh, kau mempunyai seorang engkoh dan dua orang taci?"
Lian-ci tertawa, "Sekarang tambah dengan seorang taci lagi..... tetapi ibuku hanya melahirkan seorang anak saja.
Yang lain adalah setelah aku datang ke Tiong-goan, aku mendapat engkoh dan taci angkat...."
"Apakah engkoh angkatmu itu kau dapatkan di gunung Thay-heng-san?" tanya Jenggot perak.
Lian-ci mengangguk.
Jenggot perak menghela napas. Tiba-tiba ia berpaling kepada Cu Giok-bun, "Urusan ini masih penuh tabir kegelapan, kau....."
"Tujuh belas tahun telah lampau, masakah aku masih mndendam hal itu?" Cu Giok-bun tertawa.
Jenggot perak tertawa juga, "Itulah baik. Apabila dia benar Thiat-beng, tentulah dia juga menderita. Jika bertemu muka, kau harus mengalah...." kata-kata itu ia ucapkan dengan ilmu Menyusup suara, sehingga orang lain tak mndengarnya.
Cu Giok-bun tertawa rawan, "Memang , kini aku tahu bahwa dia bukan orang yang tak setia. Adalah karena perbuatan Ma Hong-ing yang mengadu domba sehingga kami suami isteri menjadi retak........" ia tak dapat melanjutkan kata-katanya karena tersekat rasa haru.
Po Lian-ci bergantian memandang pada Jenggot perak dan Cu Giok-bun, serunya terbata-bata, "Bibi, ..... kau kenapa"
Apakah kau juga mempunyai kesedihan?"
Cu Giok-bun menghela napas, "Nak, bibi hendak bertanya padamu, maukah engkau menjawab dengan terus terang?"
Lian-ci mengangguk, "Asal jangan menanyakan nama ayahku, tentulah akan kuberi keterangan sejujurnya!"
"Tak usah kau katakan hal itu. Cukup asal kau jawab apakah yang kukatakan itu benar atau tidak!" Cu Giok-bun berhenti sejenak, lalu berkata pula, "Bukankah ayahmu bernama Pedang bebas Pok Thiat-beng?"
Gemetar tubuh si dara mendengar pertanyaan itu. Serunya terkejut, "Bibi,...kau.....?"
"Apa yang kukatakan itu benar atau tidak?" Hun-tiong Sin-mo Cu Giok-bun mendesak.
Lian-ci terengah-engah napasnya seperti orang menghadapi soal sulit.
"Benar sih benar, tetapi ayah melarang aku mengatakan!" sahutnya.
Cu giok-bun menghela napas, "Kalau kata-kataku itu benar, janganlah kau memanggilku bibi lagi, nak..."
"Eh, habis bagaimana aku harus memanggil?" kata si dara gugup.
"Panggil aku mamah!" seru Cu Giok-bun dengan nada mantap.
Bukan saja Lian-ci, tetapi Siau-bun dan Bu-song pun terbeliak kaget.
Siau-bun menarik ujung baju ibunya dan bertanya dengan tegang, "Mah, apakah ayah....."
"Mungkin tak salah ....." Cu Giok-bun menghela napas, "Kalau datang mengapa tak lekas menemui aku!"
"Mengapa aku harus menyebutmu mamah" Mamahku.... sudah meninggal!" teriak Lian-ci.
Cu Giok-bun tertegun, "Apakah ayahmu tak pernah menceritakan?"
Eng-hiong tay-hwe.
"Tidak!" Lian-ci menggelengkan kepala. Ia merenung sejenak lalu berkata pula, "Memang ibuku dulu pernah bercerita bahwa ketika tiba di daerah Se-hek, ayah sakit berat. Tubuhnya kurus kering seperti tulang terbungkus kulit. Sudah tiga hari menggeletak di tepi telaga. Jika tak ditemui ibu, ayah tentu sudah mati!"
Cu Giok-bun menghela napas. Ia membayangkan keadaan Pok Thiat-beng kala itu. Karena salah paham, Thiat-beng merantau ke Se-hek (Tibet). Bukan mustahil keadaannya menderita, jatuh sakit tiada yang merawat. Tentulah ia merasa berhutang budi pada puteri Dewi tambur yang menolongnya. Kemudian mereka tentu menikah. Hal itu mungkin juga karena Thiat-beng tentu masih mendendam kepadanya. Kemungkinan Thiat-beng tak mau mengatakan bahwa sebenarnya ia sudah menikah dengan Cu Giok-bun.
Beberapa saat Cu Giok-bun , Lian-ci, Jenggot perak dan yang lain-lain berdiam diri. Tiba-tiba terdengar bunyi lonceng dan tambur. Itulah tanda pembukaan rapat Eng-hiong-tay-hwe ( rapat besar orang gagah), akan dimulai.
Jenggot perak gelagapan, "Bun-ji, dalam beberapa hal Thiat-beng memang harus dikasihani. Dalam Eng-hiong-tay-hwe nanti, mungkin kau bisa berjumpa".." ia berhenti sejenak, katanya pula, "Dahulu ayah yang menjodohkan.
Sekarang ayahpun tetap hendak berusaha supaya kalian suami isteri bisa berkumpul kembali."
Tiba-tiba seorang lelaki berlari-lari mendatangi dan memberi hormat di hadapan Jenggot perak, "Subuh sudah lewat, apakah rapat akan dibuka menurut waktu yang telah ditetapkan?"
Orang itu ternyata Li Cu-liong, ketua partai Tiam-jong-pay yang menjadi anak angkat Jenggot perak. Dahi dan kepala ketua Tiam-jong-pay itu mandi keringat, sikapnya gugup dan gelisah. Tetapi ketika pandangannya tertumbuk pada si dara Pok Lian-ci, ia tertegun.
"Seorang ksatria harus memegang janji. Apalagi mengenai urusan yang sedemikian pentingnya. Rapat tetap dibuka tepat pada waktu yang telah ditetapkan!"
Li Cu-liong tersipu-sippu mengiyakan. Ia menerangkan bahwa saat itulah rapat sudah harus dimulai.
"Apakah persiapan sudah lengkap semua?"
Li Cu-liong mengiyakan.
"Apakah para tamu sudah hadir semua?"
"Sudah tujuh-delapan bagian yang hadir, tapi?"" ketua Tiam-jong-pay itu sejenak mengedipkan mata,
katanya,"Rombongan Sin-bu-kiong dan Hek Gak belum tampak!"
Jenggot perak tertawa meloroh, "Jika mereka sungguh tak datang. Setelah mendapat persetujuan rapat, aku hendak mengajak sekalian tamu untuk ngeluruk ke Sin-bu-kiong dan Hek Gak?"?"
Jenggot perak segera mengajak rombongannya menuju ke lapangan, "Ayo kita bertemu dengan para ksatria dari delapan penjuru.!"
Bangsal pertemuan penuh dengan orang. Meja berhias hidangan-hidangan minuman arak dan makanan yang lezat.
Perjamuan itu benar-benar meupakan pertemuan yang jarang terjadi selama beberapa puluh tahun. Sekalian orang gagah dari seluruh penjuru berkumpul menjadi satu, sama-sama menikmati hidangan dan menguji kesaktian.
Tetapi suasana perjamuan bukan diliputi oleh kegembiraan, melainkan kecemasan. Sekaligus ada beberapa ratus orang yang hadir, tetapi suasanya masih sunyi-sunyi saja.
Pol Lian-ci m emang masih kekanak-kanakan. Kalau orang-orang gelisah, sebaliknya dia malah gembira sekali. Sambil melonjak-lonjak seperti anak kecil, ia bertanya kepada Jenggot perak, "Kek, apakah hari kau mengadakan ulang tahun?"
Ia teringat dulu ketika neneknya merayakan ulang tahun, juga menyelenggarakan pesta besar.
"Bukan ulang-tahunku, tetapi kakek sedang mengundang tamu!" Jenggot perak tertawa.
"Mengundang tamu?" Lian-ci heran.
Jenggot perak menyahut dengan nada mantap. "Adalah karena telah mengundang para tamu ini, maka kakek sampai perlu datang dari tempat yang jauh".."
Walupun kata-kata itu ditujukan pada Lian-ci tetapi sebenarnya Jenggot perak hendak menumpahkan keresahan hatinya. Yang paling menjadi pikirannya ialah diri Bu-beng-jin. Jika pemuda itu muncul dalam perjamuan nanti, bagaimana reaksi Bu-song dan Siau-bun" Bagaimana ia akan menyelesaikan urusan mereka"
Dari keterangan Lian-ci tadi, jelas bahwa Bu-beng-jin telah ditolongnya. Kemungkinan pemuda itu akan datang bersama dengan Pok Thiat-beng.
Saat itu Jenggot perak sudah memasuki ruang pertemuan dan diantar oleh Li Cu-liong ke tempat duduk yang disediakan untuknya. Tempat duduk itu merupakan kursi pimpinan rapat. Letaknya di tengah. Di sebelah kanan dan kiri, terdapat dua buah kursi kosong. Itulah kursi yang diperuntukkan bagi Sin-bu Te-kun dan ketua Hek Gak. Tetapi saat itu kedua tokoh tersebut belum juga muncul.
Sambil mengambil tempat duduk, jago tua itu bertanya kepada Li Cu-liong, "Karena gara-gara partai Ji-tok-kau, Wajah seribu sampai muncul. Selain itu apakah masih terdapat orang-orang yang patut dicurigai lagi?"
Li Cu-liong buru-buru menyahut, "Dalam rombongan partai Go-bi-pay terdapat dua orang paderi yang tak diketahui asal-usulnya. Lain-lain rombongan tak sempat menyelidiki"."
"Rapat boleh segera dimulai!" seru Jenggot perak.
Serentak Li Cu-liong loncat ke atas sebuah meja kosong dan mengumumkan bahwa rapat Eng-hiong-tay-hwe dibuka.
Atas nama tuan rumah ia menghaturkan selamat datang kepada sekalian orang gagah. Ketua Tiam-jong-pay itu memeiliki tenaga dalam yang kuat. Suaranya terdengar nyaring dan jelas. Pidatonya mendapat sambutan hangat dari hadirin.
Tetapi tidak semua orang gagah yang hadir di situ, suka kepada Tiam-jong-pay. Mereka sudah mempunyai prasangka yang jelek terhadap Hun-tiong Sin-mo yang ganas. Hubungan yang rapat antara Hun-tiong Sin-mo dengan Thiat-hiat-bun dan Tiam-jong-pay, menimbulkan kecurigaan dalam hati mereka.
Di bawah meja tempat Li Cu-liong berdiri, tampak empat sosok mayat terbujur. Ketika itu Li Cu-liong menerangkan bahwa korban-korban itu adalah anak buah partai Tiam-jong-pay yang diracuni oleh partai Ji-tok-kau. Hadirin terdiam semua. Ada yang tak percaya, ada juga yang takut memberi pernyataan , karena kuatir membuat marah salah satu pihak.
Setelah Li Cu-liong turun, Jenggot perak bangkit dan mengangkat cawan arak mengajak sekalian hadirin minum,
"Inilah yang pertama kali aku mengunjungi Tiong-goan. Pertama karena ingin menyaksikan keindahan tanah Tionggoan yang termashyur dan kedua karena hendak mengikat persahabatan dengan para ksatria Tiong-goan. Maka dengan meminjam tempat di markas Tiam-jong-pay ini, aku menyelenggarakan perjamuan besar guna menghormati sekalian sahabat. Atas kesudian dan penghargaan saudara-saudara untuk memenuhi undanganku, kuhaturkan banyak terima kasih dan marilah kita minum untuk keselamatan kita bersama!"
Jenggot perak segera hendak mengantar cawan ke mulutnya, tetapi sekonyong-konyong terdengar suara orang membentak, "Tunggu!"
Suaranya lantang nyaring bagai genta bertalu. Sekalian hadirin tersentak kaget.
Jenggot perak melirik. Seorang paderi gemuk bangkit di tengah-tengah hadirin dan berjalan ke muka.
"Toa-suhu hendak memberi pelajaran apa?" tegur Jenggot perak.
Paderi itu tertawa dingin, "Ada beberapa hal yang lo-ni (paderi membahasakan dirinya) tak jelas, dan mohon saudara menjelaskan."
"Dalam hal apa, silakan toa-suhu mengatakan," kata Jenggot perak.
"Saudara adalah partai dari luar daerah. Tetapi saudara berani memaksa mengundang ksatria Tiong-goan berkumpul di sini. Ini sudah tak menghormat. Dan pula, pada malam sebelum pembukaan rapat, saudara telah membunuh empat puluh orang rombongan patai Ji-tok-kau. Tindakan itu jelas hendak saudara tunjukkan sebagai pameran kekuatan. Untuk mematahkan nyali sekalian ksatria. Untuk cara-cara yang serendah itu, apakah alasan yang saudara hendak kemukakan?"
Jemggot perak tertawa nyaring, "Akupun hendak bertanya sepatah kata padamu. Apakah kau bukan si Wajah seribu?"
Memang paderi gemuk itu bukan lain adalah si Wajah seribu yang telah menyamar. Setelah dipukul mundur oleh ilmu Tambur dara Pok Lian-ci, dia terus menyusup ke dalam rombongan partai Go-bi-pay.
Wajah seribu tertawa congkak, "Benar, matamu memang tajam benar. Kalau sudah mengenal aku, mengapa kau masih berlagak... " Ia memandang ke empat penjuru lalu berseru keras, "Ho, apakah kau hendak mengelak dari pertanyaanku tadi?"
"Kalau kau sudah mengakui sebagai Wajah seribu, aku hendak bertanya sebuah hal lagi!" sahut Jenggot perak.
"Silakan!"
"Dimanakah Sin-bu Te-kun sekarang?"
"Mana aku tahu!" jawab Wajah seribu.
"Ada orang menyaksikan sendiri bahwa kau bersama Lam-yau, Pak-koay dan Bu-kiu su-seng telah menggabungkan diri pada Sin-bu-kiong!"
"Fitnah yang keji! Siapakah yang berani menghina aku begitu?" teriak Wajah seribu.
Kisah Pedang Di Sungai Es 10 Pedang Ular Merah Karya Kho Ping Hoo Pedang Pembunuh Naga 1

Cari Blog Ini