Ceritasilat Novel Online

Pedang 3 Dimensi 8

Pedang 3 Dimensi Lanjutan Pendekar Rambut Emas Karya Batara Bagian 8


Lalu sementara lawan terbelalak kepadanya pemuda ini melompat ke depan, kelima jari di tangan kiri berkerotok mencengkeram dan membuka. "Majulah!" lantangnya. "Mari main-main dan biar ku rasakan sendiri kelihaianmu!"
Bu-hiong terbelalak. Sebenarnya dia harus mengakui dalam pertandingannya melawan Swat Lian tadi bahwa gadia itu memiliki ilmu yang hebat. Kalau tak ada Sam-kong kiam di tangan barangkali dia roboh. Kini sang kakak maju dan lawannya ini tampak lebih tenang, berarti lebih dapat menguasai diri dan orang begini berarti lebih terbahaya.
Beng An sendiri sebenarnya jarang bertempur, kini bertempur dengan lawan yang dianggap berat, lawan memegang Sam kong kiam. Tapi karena dia telah menantang dan pemuda itu ingin merasakan sendiri kehebatan lawan, maka Beng An bersiap siap dan sudah meluruskan senjatanya itu, senjata yang aneh, karena Beng An memang tidak membawa senjata lain kecuali itu, begitu juga adiknya.
Mereka dapat mempergunakan apa saja sebagai pedang. Jarang bertempur membuat mereka jarang membawa senjata, padahal kalau pedang ada di tangan tentu kakak beradik ini akan lebih hebat lagi. Mereka tak perlu mengeraskan senjata lemas menjadi keras, yang berani pengeluaran tenaga ekstra. Dan ketika lawan sudah maju menantang dan Bu-hiong tertawa aneh tiba tiba laki-laki ini pun berkelebat ke depan dan berseru mengejek,
"Tidak, kau dulu yang maju, anak muda. Kalau kau dapat merobohkan aku tentu kau berhak membawa pedang ini!"
"Aku akan coba-coba," Beng An berkata tenang, melirik dan berhati-hati menghadapi pedang di tangan lawan. Lalu begitu lawan bersiap dengan senyum mengejek tiba tiba Beng An membentak dan sudah menyerang dengan satu serangan miring. "Awas....!"
Bu-hiong siap. Beng An menggerakkan senjatanya yang aneh. ikat pinggang meluncur lurus menuju dadanya, tentu saja disambut Sam-kong-kiam dan Bu-hiong tertawa mengejek. Pemuda itu tak mungkin mengadu senjata, hal ini benar karena Beng An tiba-tiba menarik serangannya. ikat pinggang membalik dan tiba-tiba menjadi benda lemas lagi. Dan begitu Beng An berseru melompat ke kiri tahu-tahu ikat pinggang yang lemas ini meledak nyaring di sisi kepala lawan.
"Tarr!"
Bu-hiong terkejut. Dia tak menduga kalau Beng An mampu merobah robah sinkangnya, dari keras menjadi lemas atau sebaliknya. Ini tentu saja membuat dia terkejut karena ikat pinggang sudah menyambar telinganya, ledakannya membuat terkesiap karena mirip petir di siang bolong
Dan karena dia tak sempat menangkis dan satu-satunya jalan hanya melompat mengelak maka Bu-hiong melakukan ini dan sudah dikejar dengan serangan serangan berikut, ikat pnggang mendadak berobah lagi menjadi kaku dan keras, menutuk dan mendesing menuju kaki. Lalu ketika Sam kong kiam ikut bicara dan menangkis serangan ini maka senjata di tangan Beng An sudah berobah lemas lapi dan meledak menyambar tempat lain, bertubi-tubi dan cepat Beng An menyerang lawannya. Bu-hiong sibuk dan terpaksa bergerak cepat pula. Serangan lawan berubah-ubah. Dan ketika ikat pinggang itu menusuk dan meledak membingungkan lawan mendadak untuk pertama kalinya Bu-hiong dibuat bingung!
"Keparat, lihai sekali. Hebat!"
Beng An tak lekas menjadi gembira. Seruan lawan yang memuji berkali-kali tetap membuat pemuda ini bersikap biasa. serangan-serangannya mulai menuju pada titik-titik pusat yang berbahaya, kening, mata dan bagian bawah. Sering berganti namun memiliki tenaga dan kecepatan yang semakin bertambah. Sam-kong-kiam tak banyak berdaya menghadapi serangan Beng An yang tak gampang diikuti, aneh tapi berbahaya. Dan ketika Beng An mempercepat gerakannya dan selalu menghindar bila Sam kong kiam menyambut maka satu kali ujung ikat pinggang meledak mengenai pundak lawan.
Bu-hiong tak apa apa. Laki laki ini hanya terhuyung, ikat pinggang kembali bergerak dan kali ini berobah kaku. Bagai sebatang pedang senjata di tangan Beng An menusuk, tepat mengenai leher laki laki itu. Tapi ketika pedang mental bertemu tubuh lawan yang dilindungi kekebalan sinkang maka Beng An ganti terkejut mengerutkan kening.
"Ha-ha, kau tak dapat melukai aku, anak muda. Boleh pilih sasaranmu tapi berhati hatilah, aku pun akan membalas!"
Beng An merjadi penasaran. Dia saat itu di atas angin, lawan dibuat bingung oleh perobahan pukulannya yang bervariasi, inilah kelebihan Beng An dibanding adiknya. Tapi melihat dua tusukannya gagal menghadapi lawan yang kuat Beng An menjadi gemas dan marah juga. "Ayo, kau pun boleh menyerangku, Kim-mou-eng. Jangan hanya menangkis saja!" Beng An membentak, diam-diam mempelajari kelemahan lawan dan coba mencari kelemahan ini.
Seruannya disambut tawa oleh Bu-hiong. Hal itu dianggap sebagai penyerahan, Beng An tak dapat merobohkannya dan laki laki ini gembira. Maka begitu lawan menyuruhnya menyerang dan Beng An memperlambat serangannya tiba-tiba Sam-kong kiam menusuk dan membabat leher pemuda ini.
"Singg!"
Beng An merendahkan kepala. Dengan berani dia membiarkan pedang lewat beberapa senti saja di atas kepalanya, terkejut ketika sebagian rambutnya terpapas oleh angin sambaran pedang, baru oleh anginnya saja. Tapi karena dia telah mengatur strategi dan melihat kesempatan baik dengan ketiak lawan yang terbuka di atas kepalanya tiba-tiba Beng An menggerakkan jari menusuk menotok bawah ketiak tawan.
"Tuk!"
Jari Beng An membal. Sama seperti adiknya Beng An merasa menusuk segumpal daging yang kosong, tempat ini tak memiliki jalan darah dan Beng An tertegun. Tapi karena dia tak boleh lengah dan lawan memutar tubuh tertawa mengejek tiba-tiba ikat pinggang Beng An meledak menyambar selangkangan.
"Tarr!" ikat pinggang ini pun mental Beng An jadi terkejut ketika lagi-lagi untuk kedua kali dia merasa bagian itu kosong, agaknya lawan "menarik" anggota bagian tubuh ini ke dalam. Beng An tercekat. Dan ketika dia terbelalak dan tertegun kalah cepat tahu tahu Sam kong-kiam menyambar dan untuk pertama kali membabat senjatanya
"Tass!" senjata Beng An putus, ikat pinggang itu tinggal separoh, kini Beng An berseru keras menghindari sambaran berikut, Sam kong kiam memburu dan lawan terbahak gembira. Rupanya sedikit hasil tadi membuat dia di atas angin. Beng An dikejar dan kini berlompatan menghindari Sam-kong-kiam, pemuda itu pucat. Dan ketika Bu-hiong tertawa bergelak dan Beng An berputaran mengelak dan menangkis tiba-tiba Beng An yang tadi di atas angin berobah menjadi di bawah dan terdesak.
"An-ko. Pergunakan Bianglala Menari. Jangan beri kesempatan lawan mendekatimu!"
Beng An sadar. Tiba tiba dalam saat begitu dia mengeluarkan seruan panjang, tubuh yang berputaran mendadak meloncat tinggi. Beng An berjungkir balik dan melewati kepala lawan. Dan ketika Bu-hiong menggeram dan memutar tubuhnya tiba-tiba Beng An berpusing mengelilingi lawan dengan senjata yang tinggal separoh menikam dan menotok.
"Aih, siluman. Ilmu yang aneh!" Bu-hiong berseru, menjadi marah dan mendongkol karena kini tangan lawan menjulur masuk keluar mengiringi gerakan senjata, ikat pinggang di tangan Beng An itu melakukan serangan bertubi yang amat cepat. tingkahnya bagai lidah ular yang keluar masuk. Sam-kong kiam kembali bingung menyambut sana-sini.
Beng An sekarang waspada untuk tidak terbacok lagi. Senjatanya yang tinggal separoh itu harus disayang sayang. Dan ketika pemuda ini lenyap mengelilingi lawan dan tangan kiri juga mulai mendesing-desing dengan kiam-ciang atau Tangan Pedang maka Beng An tiba-tiba seolah memiliki dua senjata di kedua tangannya.
"Keparat, benar benar hebat...!" Bu-hiong terbelalak, mata menjadi kabur dan tak dapat mengikuti gerakan Beng An, terpaksa memutar cepat Sam kong-kiam di tangan hingga pedang itu membentuk gulungan cahaya yang membungkus dirinya. Sekarang Beng An repot dan mengumpat, lagi lagi dia tak dapat menyerang, tentu saja tak berani menembus bungkusan cahaya yang angin sambarannya saja sudah merontokkan daun-daun di atas kepala mereka. Dan ketika pemuda itu berputaran cepat dan Bianglala Menari yang dimainkan Beng An terus bergerak dan mengelilingi lawan maka Bu-hiong membentak dari dalam gulungan sinar pedangnya melontarkan pukulan aneh dengan tangan kirinya.
"Bocah, jangan berputaran dengan licik. Ayo sambut pukulanku kalau berani!"
Beng An marah. Ditantang dan dikira licik begini membuat pemuda itu naik darah, pukulan tangan kiri lawan mencuat dari gulungan sinar pedang. Tentu saja dia tak takut dan merasa kebetulan, inilah saatnya dia menemukan titik kelemahan, lawan bisa ditarik dan menghentikan gerakan pedangnya. Maka begitu pukulan menyambar tiba dan saat itu Beng An ada di depan, mendadak pemuda ini menyambut dan berseru keras. "Dukk!"
Dua lengan mereka bertemu. Beng An yang mau menarik tiba2 melihat tangan lawan dibuka, kiranya lawan pun mau melakukan hai yang sama, yakni menarik dirinya dan membawa dirinya ke dalam gulungan sinar pedang, tentu saja Beng An tak mau dan mendahului. Tapi ketika lawan tertawa aneh dan cengkeraman Beng An bertemu cengkeraman lawan sekonyong konyong Bu-hiong membentak dan Beng An terkejut melihat lengan lawan yang sudah berobah kehijauan seperti kulit ular.
"Aihh!" Beng An terlambat, terkejut dan segera mencium bau amis dari lengan lawan yang terjulur Kedua tangan mereka sudah saling cengkeram dan Bu-hiong membetot, saat itu mereka berkutat dan Beng An kaget bukan main karena baru sekarang dia sadar bahwa pukulan lawan mengandung racun, entah apa itu namun Beng An cepat menahan napas, tak mau menyedot dan tentu saja gugup. Beng An kurang pengalaman dalam pertempuran di dunia kang-ouw. Dan ketika dia membentak dan coba melepaskan diri dengan menarik dan mendorong mendadak Sam-kong kiam berkelebat dari samping menyambar leher pemuda ini.
"Ha-ha. mampus kau....!"
Beng An dan Swat Lian terkejut. Beng An sampai putih mukanya melihat sambaran pedang itu, dia seharusnya menggerakkan ikat pinggang mendahului lawan setidak tidaknya dengan ikat pinggang itu dia dapat mengacau konsentrasi lawan, Bu-hiong tentu harus berpikir seribu kali bila Beng An menimpuk sisa senjatanya itu, seperti Swat Lian tadi misalnya. Tapi karena Beng An dalam keadaan gugup dan juga rasa gatal yang menyerang tangannya akibat cengkeram-mencengkeram itu membuat dia terbelalak dan lupa akan semuanya maka pedang membabat dan Swat Lian terpekik.
"Awas....!"
Swat Lian sudah berkelebat cepat. Kaki gadis ini bergerak menendang sebuah batu, lumayan besarnya, menyambar dan menangkis Sam-long-kiam. pecah dan tiba-tiba menjadi dua ketika bertemu ketajaman pedang itu. Kebetulan mencelat ke kiri dan ke kanan menghantam pelipis Bu-hiong. Lawan terkejut dan berseru tertahan. Namun karena pedang tetap menyambar dan Bu-hiong juga tak dapat mengelak sambaran dua batu kecil itu maka Bu-hiong terpekik sementara Beng An juga mengaduh ketika pedang menyerempet pundaknya, untung keserempet.
"Tak-tak-bret!"
Dua laki laki itu sama sama terpelanting bergulingan. Beng An terlepas dari maut berkat pertolongan adiknya. Swat Lian berkelebat mengangkat bangun kakaknya ini, terkesiap melihat lengan kakaknya berobah kehijauan. Kena racun! Dan ketika Beng An mengeluh dan memandang pundaknya yang luka pula mendadak pemuda ini roboh dan jatuh kembali.
"Aduh, Kim-mou-eng! curang, Lian-moi. Dia menggunakan racun dan licik!"
Swat Lian marah, terkejut sekali, cepat mengambil obat penawar dan menyuruh kakaknya minum. Tapi begitu Beng An menelan obat ini dan mengeluh dua kali tiba tiba pemuda ini terguling dan pingsan.
"Keparat!" Swat Lian melompat bangun. "Kau jahanam tak tahu malu, Kim-mou-eng. Kau licik dan curang. Kau melukai kakakku!"
Dan Swat Lian yang marah membentak nyaring tiba-tiba berkelebat dan menyerang Bu-hiong bertubi-tubi, nekat dan mempergunakan kaki tangannya untuk merobohkan lawan. Bu-hiong terkejut dan mundur-mundur, pedang bergerak dua kali dan lengan baju si nona putus. Swat Lian tidak perduli dan terus menyerang. Laki-laki ini terbelalak dan kaget. Kemarahan Swat Lian persis kemarahan Salima. Tak takut atau gentar menghadapi kematian. Dan ketika gadis itu terus memaki makinya dan Tangan Pedang menyambar-nyambar akhirnya dalam satu kelengahan yang tidak disengaja leher laki laki ini terpukul.
"Plak!"
Bu-hiong terjengkang. Dii bergulingan menjauh, Swat Lian mengejar dan berseru keras lagi. Tangan Pedang bergerak dan kembali mengenai lawan. Bu-hiong batuk-batuk dan ragu mempergunakan Sam kong-kiam, entah kenapa mengamuknya gadis ini mengingatkan dia akan Salima, wajah Swat Lian seolah menjadi wajah Salima. Dan ketika Bu-hiong mengeluh dan terhuyung mengelak sana-sini mendadak laki-laki ini muntah darah.
"Aduh, tobat, Salima. Tobat....!"
Swat Lian terkejut orang tiba-tiba menyebutnya sebagai Salima, lebih terkejut lagi melihat lawan melontakkan darah, padahal sebenarnya berkali-kali lawannya itu mampu menahan pukulannya dengan sinkang. Jadi aneh kalau Kim-mou-eng ini terluka, Swat Lian tentu saja tidak mengerti dan bingung, sejenak merandek namun kembali meneruskan serangan-serangannya. Dia marah melihat lawannya ini melukai kakaknya, dengan pukulan beracun. Dan ketika lawan didesak dan terus mundur-mundur dengan sikap yang aneh mendadak lawannya itu memutar tubuh dan lari meninggalkan pertempuran.
"Nona, urusi kakakmu. Kita hentikan perkelahian ini!"
Swat Lian kembali terkejut. Orang muntahkan darah untuk kesekian kalinya, kini darah itu berwarna kehijauan. Kim-mou-eng rupanya keracunan. Tapi Swat Lian yang tak membiarkan orang lari dan meninggalkan pertempuran tiba-tiba mengejar dan membentak, "Tidak, kau mampus dulu, Kim-mou-eng. Bayar dulu hutang kesalahanmu pada kakakku!" dan Swat Lian yang melakukan pukulan dari belakang tiba tiba menyambar dan tepat menghantam punggung orang.
"Dess!"
Bu-hiong terguling-guling. Untuk kesekian kalinya dia mengeluh, terhuyung dan melompat bangun dengan bingung. Geraman pendek terdengar dari mulutnya, mata liar ke kiri kanan. Dan ketika Swat Lian kembali menyerangnya dan nekat tak mau membiarkan dia pergi sekonyong-konyong tangannya meraup dan..... segenggam pasir dihamburkan ke muka gadis ini. "Pergilah....!"
Swat Lian terkejut. Dia terpekik tak mengira perbuatan itu, mengelak namun masih kemasukan juga, pasir-pasir yang lembut memasuki matanya, tentu saja dia mencak mencak dan memaki kalang kabut. Mata tak dapat dipakai melihat dan Swat Lian marah bukan main, cepat membersihkan dan membuka kembali matanya. Namun ketika dia memandang dan mencari-cari lawannya tlu dengan mata yang masih pedih ternyata lawannya itu telah lenyap.
"Keparat, kau licik, Kim-mou-eng. Kau curang!" Swat Lian membanting kaki, gusar dan marah dan hampir dia menangis. Swat Lian coba mencari lagi tetapi gagal. Dan karena lawan benar-benar rneninggalkannya Swat Lian tak tahu lagi ke mana lawannya itu pergi akhirnya gadis ini menghampiri kakaknya dan cemas melihat kakaknya belum siuman juga. Wajah kakaknya itu kehijauan pula, Swat Lian akhirnya benar-benar menangis, tak mampu dia menolong kakaknya itu lebih jauh. Dan karena kakaknya keracunan dan hanya ayahnyalah yang dapat mengobati kakaknya itu akhirnya Swat Lian menyambar dan memanggul kakaknya ini pulang ke Ce-bu.
===dwkz0smhn00abu===
"Hm, Cheng-tok-jiu yang ganas. Pukulan beracun yang benar-benar berbahaya!" begitu ayahnya berkata ketika terkejut melihat kedatangannya.
Swat Lian telah tiba di rumah, tiga hari tiga malam melakukan perjalanan cepat tanpa berhenti. Kini sambil menangis dia meletakkan kakaknya ini di lantai. Si Pedang Maut Hu Beng Kui cepat memeriksa Dan ketika Swat Lian bercerita bahwa dia telah bertemu Kim-mou-eng dan Kim-mou-eng melukai kakaknya maka alis jago tua ini berkerut kerut.
"Suruh kelima suhengmu mengurusi semua pekerjaan hari ini. Aku tak mau diganggu!" begitu Hu Beng Kui memerintah puterinya. menaruh telapak tangan dan segera menyalurkan sinkang-nya di punggung sang anak.
Tiga hari tiga malam ini Beng An hanya diberi obat penawar, muka pemuda itu semakin pucat kehijauan, Hu Beng Kui marah. Sebagai orang berpengalaman tentu saja dia tahu pukulan apa yang diterima puteranya itu. pukulan beracun yang dikenal sebagai Cheng-tok-jiu (Racun Hijau).
Swat Lian dan kakaknya kurang pengalaman dalam menghadapi pukulan-pukulan macam begini, dia memang tak memperbolehkan putera-putrinya turun ke dunia kang Ouw, baru kali ini. Maka ketika anak anaknya kembali dan Beng An mengalami luka pukulan berat akhirnya pendekar ini agak menyesal dan cepat menolong puteranya itu, menyuruh Swat Lian menyeduh ramuan-ramuan tertentu dan kini dengan telapak di punggung dia menyalurkan sinkangnya.
Dengan sinkang itu pendekar pedang ini hendak melenyapkan racun yang mengeram, membakarnya. Dan ketika dua jam kemudian pendekar ini mengeluarkan peluh dan racun dibakar dari dalam tiba-tiba tak lama kemudian uap hijau menguar dari tubuh Beng An, naik dan keluar dari tubuh pemuda itu, baunya menyengat, amis dan busuk. Swat Lian menutupi hidung mencium bau tak sedap itu, seperti kentut bercampur bau bangkai! Dan ketika sejam kemudian pendekar pedang ini menambah tenaganya dan bekerja keras mendadak Beng An membuka mata dan mengeluarkan keluhan lirih.
"Dia sadar, minumkan ramuan itu dan bawa ke sini segayung air dingin!" Hu Beng Kui melepaskan tangannya, tubuh basah kuyup oleh keringat dan Swat Lian cepat maju, ramuan diberikan dan pendekar pedang ini mengguyur muka puteranya dengan air dingin itu. Tak ayal Beng An gelagapan dan bangkit duduk, kaget dan membelalakkan mata. Tapi melihat ayah dan adiknya ada di situ dan sang ayah bersimbah peluh tiba-tiba pemuda ini menjadi girang.
"Ayah....!" Beng An mau melompat turun, berseru dan lupa bahwa dia baru saja terkena pukulan beracun, sang ayah cepat mengibas dan Swat Lian menahan kakaknya ini Beng An hampir saja terjelungup. Dan ketika pemuda itu terkejut dan sadar mendapat isyarat maka adiknya berkata,
"Sst, kau baru sembuh, An-ko. Jangan banyak bergerak dan cepat minum ini!"
Beng An tertegun. Adiknya telah mendekatkan semangkok besar minuman panas, obat yang pahit dan hitam. Sang ayah mengangguk dan Beng An teringat, sekarang dia teringat bahwa dia terkena pukulan beracun, tentu saja girang ayahnya menolong, kontan menerima mangkok obat itu dan langsung menenggaknya. Sekali cegukan obat itu amblas di perutnya. Dan ketika Beng An merasa perutnya hangat dan lengan yang kehijauan juga sudah pulih seperti sedia kala tiba tiba pemuda ini berseru, "Mana Kim-mou-eng, Lian-moi". Mana manusia curang yang tidak tahu malu itu"
"Hm," Swat Lian mengepal tinju. "Kim-mou-eng lari, An-ko. Aku tak dapat mengejar dan menolongmu."
"Dia kalah olehmu?"
"Tidak," Swat Lian merah mukanya, "Dia melarikan diri tanpa sebab yang kumengerti."
"Melarikan diri" Kenapa?"
"Aku tak tahu," Swat Lian menggeleng "Aku juga heran dan tak mengerti perbuatannya itu, An ko. Tapi kalau dia tetap melayaniku barang-kali kita berdua sudah tak dapat bertemu ayah lagi. Sam-kong-kiam di tangannya terlalu hebat!"
Beng An melompat turun, mengangguk. "Ya, pedangnya itu terlampau luar biasa, Lian-moi. Kau sudah menceritakannya kepada ayah?" Beng An bergidik, harus mengakui ketajaman Sam-kong-kiam dan kini ayahnya mengangguk.
Swat Lian memang telah menceritakannya kepadanya. Dan ketika dua putera-putrimya menarik kursi masing masing pendekar pedang ini berkata, "Kalian sudah melaksanakan tugas dengan baik, dan untung kalian dapat pulang dengan selamat, meskipun Beng An terluka. Dan karena kalian tahu di mana kalian bertemu dengan Kim-mou-eng maka besok tunjukkan padaku dan kita bertiga berangkat lagi"
"Ah, ayah mau turun tangan?"
"Agaknya begitu, An-ji. Keampuhan Pedang Tiga Dimensi menarik perhatianku. Kalian rupanya benar-benar tak sanggup menandingi pedang itu. Biar aku yang maju dan dua hari lagi kita berangkat?"
"Tapi aku sudah sehat, ayah," Beng An berseru, rupanya penasaran tapi juga girang. "Dan aku sanggup berangkat hari ini atau besok!"
"Tidak," sang ayah tetap menggeleng. "Racun di tubuhmu memang telah sirna, An-ji. Tapi kekuatan tubuhmu belum putih benar. Kau masih lemah. biar kau beristirahat dua hari ini sementara aku akan mengatur kelima suhengmu meneruskan pekerjaan."
Beng An terdiam. Kalau ayahnya sudah bicara seperti itu tak mungkin dia membantah lagi. Swat Lian tersenyum dan menowel kakaknya ini, memberi pandangan penuh arti dan Beng An menarik napas panjang, senyum kecut muncul di sudut bibirnya. Dia maklum akan perintah sekaligus nasihat ayahnya ini. Dan karena sang ayah sudah memutuskan begitu dan mereka terpaksa menurut maka Beng An disuruh ayahnya untuk memulihkan tenaga sendiri.
"Kau harus mengumpulkan tenagamu, ber-samadhilah dan pulihkan tenaga sendiri agar sisa sisa racun benar-benar lenyap."
Beng An lagi-lagi tak dapat membantah. Hari itu dan hari kedua dia diharuskan mengumpulkan tenaga, memulihkan sinkangnya dan duduk bersila. Swat Lian telah keluar untuk menyiapkan yang lain-lain, gadis itu pun tak dapat mambantah ayahnya. Dan ketika dua hari lewat, jago pedang itu memanggil semua muridnya maka berkatalah pendekar ini sebelum berangkat.
"Kalian berlima teruskan pekerjaanku sebagaimana biasa. Aku dan Beng An serta Swat Lian akan pergi, kami mencari Kim-mou-eng. Kalau ada urusan-urusan yang tak dapat kalian selesaikan biar ditunda dulu sampai kami kembali."
"Apakah tak dapat diwakili kami. suhu?" Kao Sin, murid termuda bertanya, sudah mendengar perihal sumoinya dan kecurangan Kim-mou-eng "Atau dua di antara kami mewakili suhu menghadapi Pendekar Rambat Emas itu!"
"Tidak. Sam-kong kiam di tangannya terlalu berbahaya, Kao Sin. Kalau toh kalian semua pergi maka pekerjaan di sini tak ada yang mengurus."
"Tapi dan atau tiga di antara teecu sanggup, tidak perlu berlima!"
"Tidak, aku menginginkan kalian di sini, Kao Sin. Pedang itu benar benar terlampau berbahaya dan kalian mungkin kurang pengalaman. Sudahlah, kalian tunggu kami kembali dan urus pekerjaan sehari hari sebagaimana biasa" jago pedang itu tak mau berpanjang lebar lagi, memutus bantahan muridnya dan Kao Sin serta empat suhengnya tak berani lagi bicara.
Mereka pun tahu watak suhu mereka ini, keras dan tegas. Dan ketika hari itu suhu mereka berangkat dan Beng An serta adiknya menyimpan pedang di belakang punggung dan tampak begitu gagah dengan pakaian baru yang ringkas maka mereka kagum memandang dua sumoi dan sute itu, terutama Swat Lian, tampak semakin cantik dan gagah!
"Selamat jalan, sumoi. Hati-hati!"
"Ya, selamat jalan, sute. Hati-hati!"
Beng An dan adiknya mengangguk. Mereka sudah naik ke kereta bersama ayah mereka, Hu Beng Kui tak mau menunjukkan kepandaian di dalam kota, menyuruh kusir berangkat dan mereka seolah keluarga hartawan yang ingin pesiar. Kusir pun menurut. Tapi begitu mereka tiba di perbatasan kota yang sepi dan jago pedang ini menyuruh kereta berhenti maka dia sudah meloncat keluar diikuti dua anaknya.
"Cukup, pulanglah. Sekarang kau kembali dan kami akan berjalan kaki" Hu Beng Kui berkelebat, untuk pertama kali dia menunjukkan kepandaiannya pada bawahan, tiba-tiba lenyap dan hilang seperti iblis.
Swat Lian dan Beng An tertawa melihat kusir mereka itu melongo, memang pembantu mereka itu hanya mendengar-dengar saja tentang kepandaian pendekar ini, tak berani bicara dan juga tak berani bertanya. Tentu saja kaget melihat majikannya lenyap sebelum kata katanya selesai. Dan ketika Beng An serta adiknya juga mengikuti jejak sang ayah dan mereka lenyap dari depan kusir ini maka dari kejauhan.
Swat Lian berseru tertawa, "Ai lopek, jangan ndomblong saja. Ayah menyuruhmu pulang dan pulanglah Jangan ceritakan peristiwa ini pada siapa pun!"
Sang kusir baru sadar. Sekarang dia terkejut, menjatuhkan diri berlutut dan beiulang-ulang mengucap janji. Keluarga itu memang dianggap sebagai dewa atau orang-orarg aneh saja, dia adalah pelayan biasa yang tidak memiliki kepandaian seperti Kao Sin dan empat suhengnya itu. Maka begitu mendapat peringatan dan disuruh pergi buru-buru kusir ini mengangguk dan meloncat ke atas keretanya kembali, memutar kereta dan pulang ke Ce-bu. Entah kenapa mukanya tiba-tiba penuh keringat. Kalau tidak mengenal majikannya bertahun-tahun tentu dia akan menganggap ketiganya hantu-hantu yang pandai menghilang. Begitu hebat dan luar biasa. Dan ketika kereta berderap kembali memasuki kota Ce-bu maka di sana Swat Lian tertawa-tawa mengejar ayahnya.
"Ayah, Ai-lopek seperti melihat setan. Kau membuatnya terkejut dan kaget!"
Hu Beng Kui tak tersenyum. Dia sedang memusatkan perhatian pada Kim-mou-eng, diam diam meraba sebatang pedang hitam di pinggangnya, pedang lentur tapi yang tajam luar biasa. Itu pun pedang pusaka dan entah bagaimana kalau nanti berhadapan dengan Sam-kong-kiam. Pedangnya itu terbuat dari baja pilihan bercampur batu bintang, kerasnya sudah diuji dan batu sebesar apa pun terbacok mudah bila bertemu pedangnya ini. Dia menamakan pedangnya itu Hek-seng-kiam (Pedang Bintang Hitam). Maka ketika puterinya menegur dan berseru tentang perbuatannya jago pedang ini seolah-olah tak mendengar.
"Hm, tak perlu banyak bicara di saat ini, Lian ji. Aku ingin kalian semua serius dan cepat menemui Kim-mou-eng."
Swat Lian cemberut. "Memangnya sehari bisa sampai" Aku harus berlari tanpa henti tiga hari tiga malam, ayah. Sebaiknya tak perlu serius dan dua hari ini kauajak kami menikmati perjalanan."
"Benar, kami hampir tak pernah keluar bersamamu, ayah. Ini kesempatan bagus bagi kami untuk menikmati perjalanan keluarga, sebelum bertemu Kim-mou-eng!" Beng An menyambung
"Huh, memangnya kalian mau bersenang-senang" Bukankah di Ce bu kalian dapat melakukan itu tanpa halangan?"
"Tapi ini lain, ayah. Kami ingin mendapatkan perhatianmu sebelum kita bertemu Kim-mou-eng!" Swat Lian berkata lagi, membuat ayahnya menoleh dan si jago pedang bertanya apa maksud putrinya itu, kenapa putrinya bicara tentang "perhatian". Dan ketika dengan mulut sedikit cemberut Swat Lian berkata bahwa dia ingin dimanja ayahnya dengan makan minum bersama atau tinggal di penginapan yang baik karena jarang mereka dapat melakukan itu tiba-tiba pendekar ini tersenyum "Kau seperti anak kecil, tingkahmu lucu!"
"Hm, ayah tak mau menyenangkan kami?"
"Menyenangkan apa lagi" Bukankah di Ce bu hampir semua permintaan kalian kuturuti" Sudahlah, ini bukan perjalanan santai, Lian ji. Aku ingin cepat ketemu dan berhadapan dengan Kim-mou-eng itu!" Hu Beng Kui tak menggubris lagi, dua anaknya disuruh diam dan Swat Lian serta kakaknya kecewa. Swat Lian mendongkol. Maka ketika malam tiba dan mereka terhambat di tengah hutan tiba-tiba gadis ini mogok dan tak mau meneruskan perjalanan!
"Sudah, di sini saja. Kita boleh berteman nyamuk dan ular!" Swat Lian berhenti, sang ayah terkejut karena sebenarnya pendekar pedang itu menghendaki perjalanan diteruskan, putrinya mogok dan untuk pertama kali protes. Dan ketika Swat Lian membanting pantat terisak di rerumputan akhirnya Beng An mengikuti adiknya dan duduk memandang ayah mereka.
"Benar, kita berhenti di sini saja, ayah. Aku capai dan Lian-moi pun rupanya letih. Kalau kau mau melanjutkan perjalanan biar ayah di depan dulu besok kami menyusul."
Pendekar ini tertegun. "Kalian sinting" Dua puluh li lagi ada dusun Lim-chung, Beng An. Kita beristirahat di sana dan minta sekedar makanan pada penduduk!"
"Tidak, aku tak lapar, yah. Aku juga tak haus dan ingin tidur di hutan ini. Sudah lama aku tak berteman nyamuk maupun ular, biar malam ini aku berkawan mereka dan kau tidur di dusun Lim-chun itu," Swat Lian ngambek, bilang tidak lapar tapi perut tiba tiba berkeruyuk.
Hu Beng Kui tersenyum dan tiba-tiba tertawa tergelak. Kalau sudah begini dia dilulu (disanjung kebohongan) oleh putrinya itu, tentu saja mengerti dan teringat percakapan pagi tadi. Maka berkelebat menepuk pundak puterinya ini dia berkata, "Baik, aku menyerah pada kalian, anak-anak. Ayo bangun dan kita ke Se-yang. Di sana kita menginap dan cari losmen yang bagus, boleh makan yang enak-enak dan kalian puaskan diri. Tapi ingat. kita harus lari cepat satu jam lagi sebelum tiba di kota itu!"
Hu Beng Kui menarik bangun puterinya, kata-kata ini membuat mata puterinya bersinar dan bibir yang cemberut itu mendadak tersenyum. Swat Lian merasa permintaannya dikabulkan. Tapi karena dia gadis manja dan tentu saja pura-pura menolak dia berkata, "Aku tak ingin ke mana-mana. Aku ingin di sini saja. Kalau ayah mau ke Se yang silahkan pergi"
"Eh!" Hu Beng Kui mengenai watak anaknya. "Kau mendongkol" Baik, aku minta maaf padamu, Swat Lian. Dan biar kutebus kesalahanku itu.... wut!" dan si jago pedang yang tiba-tiba menyambar puterinya memanggulnya di pundak mendadak tertawa berseru pada puteranya, "Beng An, ayo jalan. Adikmu yang manja ini memang ingin menghukum ayahnya, ha-ha!" dan Hu Beng Kui yang berkelebat sambil memondong anaknya seperti anak kecil tiba tiba sudah meluncur dan keluar dari hutan.
Swat Lian terkekeh dan Beng An tersenyum. Kalau sudah begitu tampaklah betapa kasih ayah mereka itu, Beng An tersipu melihat adiknya dipondong. Tapi karena ayahnya berkelebat dan mau tak mau dia harus angkat kaki akhirnya Beng An menyusul dan berkelebat mengejar ayahnya itu.
"Yah, lempar saja si bengal itu. Kenapa di pondong seperti anak kecil?"
"Ha ha, adikmu pingin disayang, Beng An. Biar kulaksanakan permintaannya itu dan jangan kau marah. Sekali tempo ayah memang harus tunduk kepada kemauan anaknya!"
Beng An tertawa. Tiba-tiba saja kemesraan di antara mereka tumbuh, Hu Beng Kui menyambar lengan puteranya pula dan Beng An merasakan kasih yang hangat dan jari-jari ayahnya itu. Inilah yang mereka inginkan. Dan ketika pendekar itu memanggul puterinya menuju Se-yang dan lengan Beng An dicengkeram ayahnya dengan lembut maka Swat Lian tertawa-tawa di pundak ayahnya itu.
"Yah, beginikah ketika aku kecil kau memondongku" Berapa kali sehari kau memondongku?"
"Ha-ha, kau cerewet seperti masa kecilmu, Swat Lian. Aku ratusan kali menggendongmu setiap kau merengek. Ada apa" Minta ditampar pinggulmu pula seperti masa kanak-kanak?" dan ketika Swat Lian terkekeh dan sang ayah bercanda dengan mereka akhirnya sejam kemudian Hu Beng Kui dan anak-anaknya tiba di Se-yang, tentu saja di pintu gerbang kota Swat Lian meloncat duluan, gadis ini berseri-seri dan bahagia memandang ayahnya. Dan begitu mereka masuk kota dan swat Lian hilang cemberutnya langsung gadis ini mencari penginapan yang paling baik.
"Kita ke jantung kota, cari penginapan bertingkat dan pilih yang di atas"
"Ya.... ya, aku tahu," ayahnya tertawa, "Kau selamanya minta yang serba baik, anak nakal. Kita cari losmen bertingkat dan tidur di atas!" Hu Beng Kui menuruti puterinya, mendapatkan losmen yang dimaksud dan malam itu mereka meminta tiga kamar.
Beng An mengerutkan kening dan minta dua saja, biar dia dan ayahnya itu tidur bersama, katanya demi pengiritan. Hu Beng Kui mau menolak tapi melihat sinar aneh di mata puteranya itu, rupanya Beng An pun ingin tidur bersama sang ayah menikmati kasih sayang, seperti adiknya tadi. Pendekar ini tersenyum, tentu saja tak menolak dan kali ini dia memenuhi keinginan puteranya.
Malam itu ayah dan anak tidur bersama, Beng An merasakan kenikmatan sendiri dalam tidur bersama ini. Memang tak pernah dia tidur bersama ayahnya sejak dia berangkat dewasa, tentu saja itu merupakan kenangan manis bagi pemuda ini. Dan ketika keesokan harinya mereka bangun tidur dan sang ayah membuka jendela maka Swat Lian mengetuk pintu ribut ribut, rupanya sudah bangun duluan.
"Yah. bangun. Sudah siang. Ayo sarapan dan nikmati hidanganku ini!"
Si jago pedang keluar. "Hm, kenapa ribut-ribut" Hidangan apa?"
"Lihat, aku mendapatkan bubur ayam. yah, dan kecap asin. Ayo kita sarapan mumpung masih panas!"
Hu Beng Kui tersenyum. Di depan pintu kamar Swat Lian telah membawa tiga mangkok bubur yang mengepul harum, bubur ayam kesukaannya, juga kecap asin. Putrinya begitu gembira menawarkan semuanya itu. cepat pendekar ini menyambut dan seorang pelayan membawa meja kursi. Bubur dan lain-lainnya itu ditaruh. Dan ketika Beng An muncul dan keluar dengan muka segar maka pemuda ini pun tersenyum memandang adiknya, wajah berseri-seri.
"Yah, kebiasaan anakmu ini tak hilang juga. Selalu menggedor dan suka membuat ribut di pintu kamar"
"Hi-hik, aku tak sabar menanti kalian, koko. Aku terbangun karena dengkur yang terlalu kerasi"
"Siapa mendengkur?"
"Tentu kaul"
"Tidak, aku tak pernah mendengkur dan tentu ayah. Ayah semalam pulas dan mendengkur. Aku tahu dan...."
"Ha-ha. sudahlah, anak-anak. Kalau bertengkar begini saja kapan kita menikmati bubur" Ayo makan, jangan ribut!" Hu Beng Kui tertawa tergelak, pagi itu dia gembira karena perjalanan ini memang menggembirakan benar. Melihat dua anaknya ribut menimbulkan satu kegembiraan sendiri di hatinya, Swat Lian dan kakaknya tersenyum. Dan ketika sang ayah menyambar mangkok bubur dan mengeduk isinya maka dua kakak beradik itu tertawa mengikuti, menyambar mangkok masing-masing dan tak lama kemudian isinya pun habis disikat. Bubur ayam dengan kecap asin sungguh nikmat.
Dan ketika Swat Lian mengusap bibirnya yang berminyak maka seorang gadis muncul di tangga loteng, diantar pelayan. "Ini, nona. Silahkan beristirahat!"
Swat Lian tertegun. Dia melihat seorang gadis berkulit hitam manis mendapatkan kamar sebelah, cantik dan gagah dengan topi burung rajawali di atas kepalanya. Semuanya menoleh dan kagum memandang gadis itu. Yang diperhatikan bersikap acuh dan dingin. Ada kesan angkuh pada tamu baru itu, rupanya gadis itu mencari kamar dan kebetulan berada dekat dengan kamar Swat Lian. bersebelahan. Dan ketika pelayan menyerahkan kunci dan gadis itu masuk, maka Hu Beng Kui berkata perlahan, "Seorang gadis kang ouw, rupanya bangsa Tar-tar!"
Swat Lian tertarik. "Kau tahu, yah" Dia gadis asing?"
"Ya, kulit dan mukanya itu jelas menunjukkan dia bangsa Tar-tar. Tapi mukanya murung, sebaiknya tak usah kita mengganggu dan biar dia sendirian."
"Tapi aku ingin berkenalan!" Beng An tiba-tiba berkata tanpa sadar, terkejut sendiri. "Aku, eh.... apa yang kukatakan ini?" dan ketika pemuda itu tersipu merah mendengar suara hatinya yang terloncat keluar maka Swat Lian terkekeh berseru menggoda, "An-ko, kau rupanya kasmaran. Baru sekali ketemu sudah jatuh cinta!"
"Hush!" Beng An merah mukanya. "Aku maksudkan berkenalan dengan kepandaiannya, Lian-moi Kalau dia gadis kang-ouw tentu kepandaiannya tinggi!"
"Hi-hik, bukankah sama saja" Berkenalan dengan kepandaiannya atau orangnya tiada beda. Kau tak perlu berpura-pura dan aku tahu kau kagum memandang sejak tadi, kau melotot!"
"Sudahlah!" Hu Beng Kui melerai tersenyum, melirik puteranya. "Jangan keras-keras. Lian-ji. Tamu itu dapat mendengar dan kita disangka kurang ajar. Kalian tak perlu ribut dan hari ini kita meneruskan perjalanan. Kakakmu tak serius."
"Tak serius apa" Lihat, An-ko kecewa. ayah. Begitu kau bilang mau melanjutkan perjalanan tiba-tiba kakakku yang baik ini terkejut. Lihat, tuh..... matanya!" Swat Lian berolok-olok menggoda sang kakak dan Beng An terkesiap.
Memang dia terkejut mendengar perjalanan mau diteruskan, hati tiba-tiba kecewa, sang adik melihat dan langsung saja Swat Lian yang nakal itu mencoblosnya, tentu saja dia kaget. Dan ketika ayahnya memandang dan Beng An gugup tiba-tiba pemuda ini bangkit berdiri berseru geram,
"Siapa kecewa" Siapa terkejut" Kalau mau berangkat tentu saja aku mau. Hayo....!" dan Beng An yang gemas melotot pada adiknya tiba tiba disambut ketawa ayahnya yang geli melihat tingkah dua anaknya itu.
"Sudahlah, kalian lagi-lagi bertengkar. Kenapa ribut melulu" Kau jangan menggoda kakakmu, Swat Lian. Kakakmu tak apa-apa dan mari kita turun, perjalanan tertunda semalaman setelah kita menginap"
Dan Hu Beng Kui yang berkemas untuk melanjutkan perjalanan lalu membayar sewa kamar dan diam-diam memperhatikan puteranya itu. Tampak jelas bahwa mukanya memang kecewa, Beng An rupanya berat meninggalkan tempat itu setelah melihat kedatangan si gadis Tar-tar, jago pedang ini ingin menguji dan mengajak puteranya berangkat.
Kekecewaan Beng An disembunnyikan dan jago pedang ini pun diam-diam tertarik pada gadis di tempat penginapan itu. Sebenarnya juga ingin tahu tapi terhadang perjalanan mereka mencari Kim-mou-eng. dia ingin secepatnya menemui lawannya itu dan merampas Sam kong-kiam. Beng An agak murung dalam perjalanan kali ini, sering melamun. Swat Lian sering memberi isyarat padanya dan menyuruh ia melirik puteranya itu, jago pedang ini tersenyum. Dan ketika perjalanan dilanjutkan dan hari kedua mereka menginap di kota Lu-sin mendadak tanpa disangka mereka bertemu kembali dengan gadis Tar-tar itu, di penginapan yang kebetulan dituju pendekar itu, gadis itu sudah lebih dulu di situ, sama-sama di loteng!
"Eh, ketemu lagi, nona?" Hu Beng Kui terpaksa menegur, terkejut dan heran.
"Kau sendiri....?"
"Perkenalkan, kami keluarga Hu. ini putera putriku Hu Beng An dan Hu Swat Lian" jago pedang itu terpaksa menyapa, mereka berada di penginapan yang sama dan kebetulan mendapat kamar yang bersebelahan pula.
Entah bagaimana semua kebetulan ini terjadi lagi. Si jago pedang terkejut dan heran, kini dia melihat mata yang tajam dan penuh tenaga sinkang dari gadis yang ditegur ini. Lawan rupanya terkejut dan heran juga. Gadis itu tertegun. Tapi ketika Hu Beng Kui memperkenalkan diri dan dia terpaksa membalas muka dengan sedikit anggukan gadis itu berkata.
"Maaf, aku Malisa. Aku telah mengenal kalian ketika di Se-yang, silahkan kalian beristirahat" dan tidak mau menanggapi jauh jauh gadis ini sudah meninggalkan Hu Beng Kui dan dua anaknya memasuki kamar.
"Sombong!" Swat Lian berseru "Kenapa begitu angkuh budak betina itu, yah" Apakah perlu dia kuhajar?"
"Sst!" sang ayah mencengkeram puterinya. "Jangan membuat ribut, Lian-ji. Gadis itu rupanya tinggi hati tapi biarlah Mudah-mudahan kita tak ketemu lagi dan tak usah bercakap-cakap!" pendekar ini mendongkol, betapapun dia tersinggung tapi sebagai orang yang telah cukup umur dia dapat menahan diri.
Beng An terkejut dan kecewa juga, bukan kecewa karena ayahnya tak di hargai melainkan kecewa kenapa gadis itu masuk ke kamarnya lagi, berarti kesempatan emas yang hanya sejenak itu lenyap. Beng An memaki ketidakberuntungannya. Dan ketika mereka memasuki kamar dan duduk beristirahat, maka pendekar pedang ini memesan arak.
"Bawa ke mari yang terbaik, kami ingin minum."
Pelayan mengangguk. Tak lama kemudian arak sudah diantar, baunya harum dan Hu Beng Kui menenggak araknya Beng An termangu melihat kebiasaan ayahnya yang jarang dilakukan ini, agaknya sang ayah mendongkol dan ingin melepas kemendongkolan dengan menenggak arak. Rupanya sikap gadis Tar-tar itu masih menyinggung ayahnya, Swat Lian mengerutkan kening dan menegur ayahnya itu Dan Beng An yang termangu menyandarkan diri tiba tiba bangkit berdiri.
"Yeh, aku ingin jalan-jalan sebentar. Aku ingin keluar."
Si jago pedang mengerutkan kening "Mau ke mana?"
"Melihat-lihat kota, yah. Sekedar membuang waktu karena aku belum ingin tidur"
"Tapi ini sudah malam...."
"Aku hanya sebentar saja, sekitar losmen."
"Baik, tapi jangan buang tenaga cuma-cuma. Beng An. Besok kita sudah di tempat tujuan dan kau harus menjaga kondisimu!"
"Aku tahu, yah, sebentar saja" Beng An yang keluar kamar menutup pintu, akhirnya dipandang curiga adiknya yang melalui gerak gerik aneh sang kakak.
"An ko rupanya mau bertemu si budak betina itu. Dia nampaknya terpikat!"
"Hm, gadis ini memang aneh, Lian-ji. Aku curiga dan yakin dia memiliki kepandaan tinggi"
"Dari mana ayah tahu?"
"Eh, apakah kau tidak berpikir" Lihat, seharian kita berlari cepat tapi gadis ini sudah lebih dulu di sini mendahului kita. Ini menunjukkan dia memiliki ginkang yang luar biasa kalau tidak tak mungkin lebih dulu tiba. Aku kepingin tahu"
"Tapi jalan ke Lu-sin ada banyak, Dia tentu memotong jalan hingga mendahului kita?"
"benar, tapi betapapun sinar matanya yang tajam dan penuh tenaga sinkang itu menyatakan dia bukan gadis sembarangan, Lian-ji. Aku berani bertaruh gadis ini merupakan gadis luar biasa yang termasuk pendekar kelas satu!"
"Tapi dia sombong, angkuh"
"Itulah kebiasaan orang-orang berkepandaian tinggi. Orang yang sudah memiliki tingkat kepandaian tinggi memang biasanya angkuh, memiliki kepercayaan diri berlebih lebihan dan membuat mereka sombong. Tapi betapapun kita harus berhati hati dengannya!"
Swat Lian tak puas. "Ayah terlalu memuji," katanya. "Aku jadi gatal untuk membuktikan omonganmu!" dan sementara ayahnya terkejut tiba-tiba gadis ini melompat keluar. "Yah, aku ingin mengikuti An-ko Coba kulihat apa yang dia lakukan!"
"Eh!" pendekar ini menyambar puterinya. "Kau jangan mencari ribut, Swat Lian. Kau di sini saja tak perlu keluar!"
"Tapi ayah mengijinkan An-ko kenapa aku tidak" Aku juga sebentar, yah, lepaskan dan aku segera kembali!"
Dua mata beradu, si jago pedang tersenyum dan melepas tangannya. Swat Lian memakai alasan kakaknya sebagai ijin, dia memang harus bersikap adil. Dan karena Swat Lian sudah dewasa dan tak perlu dia khawatir melepas puterinya akhirnya pendekar ini mengangguk "Baik, tapi jangan kau mencari permusuhan, Lian ji. Sekali kau melanggar aku tak bakal melepasmu lagi sampai kau tobat!"
Swat Lian tertawa. "Ayah terlalu khawatir, baik aku berjanji" dan Swat Lian yang berkelebat keluar menghilang di luar kamar akhirnya membuat Hu-Beng Kui duduk tertegun menenggak araknya kembali, tersenyum dan bernyanyi-nyanyi kecil. Saat itu dia pun menyadari kebebasan putera putrinya, mereka sudah dewasa dan bukan anak kecil lagi. Tak apa kalau hanya sebentar saja. Dan begitu pendekar ini menikmati araknya di dalam kamar maka Swat Lian dan Beng An yang katanya berjalan jalan sebentar sudah menemui kejadiannya sendiri-sendiri.
Beng An sebenarnya beralasan saja. Sebenarnya dia ingin mengintai gadis Tar-iar itu. Entah kenapa keinginannya begitu kuat untuk mengenal si nona, ketika keluar kamar sudah melirik pintu si gadis, tutup dan berdebar dan diam diam ingin tahu apa yang dikerjakan gadis itu di dalam kamar. Maka begitu dia memutar dan mendekati losmen dari belakang tiba-tiba pemuda ini sudah melayang dan menggantol kakinya di atas jendela orang. Dan Beng An tertegun. Kamar itu kosong, penghuninya tak ada dan Beng An terkejut. Bukan main, pikirnya. Kapan gadis itu pergi dan kenapa dia tak tahu" Kenapa dia tak mendengar gerakannya padahal kamar mereka bersebelahan" Apakah di saat adiknya ribut-ribut tadi"
Beng An melayang turun. Dia mencari sana sini, tiba-tiba mendengar dengusan entah dari mana dan pemuda itu terperanjat. Suara itu dari sebelah kiri dan cepat pemuda ini menoleh. Dan ketika dia memandang dan kaget membelalakkan mata tiba-tiba gadis itu ada di belakangnya menatap dengan mata bersinar-sinar! "Kau pencuri?"
Beng An kaget sekali. "Eh. tidak.... eh. maaf, nona! Aku mengintaimu karena....."
"Karena kau kurang ajar!" gadis itu berkelebat ke depan, menampar pipi Beng An dan dua kali pemuda itu kena gaplok suara plak-plak yang nyaring membuat Beng An terpelanting. Dan ketika pemuda itu melompat bangun dengan pipi merah si nona sudah bertolak pinggang dengan suara dingin.
"Orang she Hu, jangan kau main main denganku. Kulihat kau pemuda baik-baik, kenapa mengintai kamar orang" Kau mau kurang ajar dan menjadi pemuda hidung belang?"
"Eh, tidak... eh, maaf, nona. Aku.... aku sebenarnya ingin berkenalan denganmu. Aku mengintai karena melihat pintumu tutup. Aku mau masuk tapi takut!" Beng An gugup.
"Kau laki-laki mau memasuki kamar seorang wanita" Kaukira gadis macam apa diriku ini"
"Tidak... tidak, nanti dulu!" Beng An mena goyang goyang tangan, menyetop karena melihat gadis itu mau menggerakkan tangannya lagi. "Aku tak bermaksud mau kurang ajar, nona. Kalau aku salah biarlah aku minta maaf padamu. Aku bukan pemuda pemogoran. Aku...."
"Aku tahu. Karena itu aku tak membunuhmu!" gadis itu memotong, suaranya dingin dan bengis, Beng An meremang tengkuknya. Dan ketika pemuda itu terbelalak karena melihat betapa gampangnya gadis ini mau membunuh orang maka gadis itu membentak, "Sekarang kau pergi dan jangan ganggu aku lagi!"
Beng An menelan ludah. "Aku ingin berkenalan, nona..."
"Kita sudah berkenalan, di atas tadi ayahmu sudah menyebut-nyebut kalian!"
"Tapi itu lain, aku ingin berkenalan dalam arti yang lebih dalam lagi. Aku...."
"Cerewet!" gadis itu berkelebat pergi. "Kau menyebalkan, orang she Hu. Kalau kau tidak mau pergi biar aku yang pergi!"
Dan Beng An yang bengong ditinggal lawan tiba-tiba berseru, "Eh, tunggu, nona. Tunggu!" Dan Beng An yang mengejar di belakang orang tiba tiba melihat orang mengerahkan ginkang melayang ke wuwungan penginapan. Beng An terbelalak melihat ilmu meringankan tubuh yang begitu enteng, bagai seekor walet saja, gadis itu melayang naik.
Tapi karena Beng An tak mau melepaskan gadis itu dan ingin banyak bicara lagi akhirnya mengerahkan ginkangnya pula dan tetap mengejar, melihat lawan menoleh dan kembali mendengar dengusannya, gadis itu melompat turun dan kini berlarian di tanah, dikejar dan naik lagi ke atas, berlarian di wuwungan rumah rumah penduduk dan Beng An tetap mengejar. Dan ketika pemuda itu tak mau melepaskan dan tetap membayangi di belakang tiba-tiba gadis ini tancap gas wuuut.... terbang menuju luar kota.
"Heei...!" Beng An berteriak keras, kaget. "Tunggu, nona.... tunggu...!" namun si gadis yang bergerak cepat di depan terpaksa dikejar dengan sepenuh tenaga.
Beng An kini mengerahkan semua ilmu lari cepatnya dan terkejut melihat kepandaian gadis itu. Bayangannya bergerak seperti iblis dan nyaris dia kehilangan jejak karena terhalang kegelapan malam, Beng An susah payah mengejar gadis ini. Sekarang teringatlah dia akan kata-kata ayahnya, bahwa gadis itu berkepandaian tinggi dan bukan orang sembarangan. Dan ketika dia mengejar dan berteriak-teriak di belakang tiba-tiba gadis itu membalik dan.... kembali ke dalam kota.
"Ah" Beng An sadar. "Kau mau menguji kepandaianku, nona" Kau mau melihat ilmu lari cepatku" Baik, aku akan mengejarmu sampai ke manapun kau lari!" Beng An sekarang mendusin. tiba-tiba berseri karena orang rupanya mau mengadu kepandaian dengannya, kepandaian berlari cepat. Ini berarti dia telah menarik simpati gadis itu. Dia rupanya berhasil!
Dan Beng An yang tertawa mengerahkan ginkangnya tiba-tiba melesat dan mengejar lawannya. Kini mereka masuk kembali ke kota namun si gadis itu menambah kecepatannya, jarak di antara mereka sekarang terjaga ketat dan si gadis rupanya kagum, dia menoleh dan berseri-seri memandang Beng An, pemuda ini serasa mendapat durian runtuh dengan pandangan lawan, mata yang berseri-seri itu, mata yang girang dan kagum. Dan ketika mereka memasuki kembali kota Lu-sin dan keduanya terbang seperti iblis di malam hari maka gadis itu berkelebat memasuki sebuah restoran dan berhenti di situ, masuk dan langsung duduk mengusap keringatnya. Beng An menyusul dan menyeka keringatnya pula. Pemuda ini tertawa kecut. Dan ketika Beng An menarik kursi berhadapan dengan gadis itu, maka pemuda ini serasa disiram air sejuk ketika si gadis berkata, "Kepandaianmu hebat, ilmu lari cepatmu mengagumkan. Siapa gurumu, orang she Hu?"
"Ah," Beng An menyeringai malu-malu "Guruku adalah ayahku sendiri, nona. Ilmu lari cepatmu pun hebat dan nyaris aku ketinggalan. Kau rupanya benar-benar gadis kang-ouw yang mengagumkan!"
"Hm. dan kenapa kau mengikutiku selalu?"
"Aku, eh.... aku ingin berkenalan!"
Gadis itu tiba tiba tersenyum. "Kau pemuda tak waras. Bukankah kau sudah tahu namaku" Apalagi yang kau minta" Kalau tidak melihat dirimu sebagai pemuda baik-baik tentu sudah kutendang kau, orang she Hu. Kau tidak tahu malu namun lurus!"
Beng An dapat tertawa. Sekarang dia merasa gadis ini tak marah lagi, mata yang tersinar-sinar itu sudah kehilangan galaknya dan Beng An maju mendekat, kursi yang sudah dekat itu didekatkan lagi menyentuh pinggir meja, Beng An kini berani karena meskipun orang memakinya tak tahui malu namun bibir itu tersenyum.
Kekaguman gadis ini rupanya membangkitkan keramahan, seorang pelayan mendekati mereka dan Beng An mendahului si gadis, memesan makanan dan minuman. Dan ketika pelayan pergi menyiapkan permintaan mereka maka Beng An tertawa lebar berkata menjawab, "Nona, maafkan aku kalau tidak tahu malu. Aku tidak bermaksud kurang ajar, aku ingin mengenalmu lebih jauh dan mengikat persahabatan. Kan tentu tak keberatan menerima keinginanku, bukan?"
"Kalau aku keberatan tentu kau sudah ku lempar pergi, mungkin kubunuh! Nah, sekarang apa yang ingin kaupercakapkan dan cepat saja, aku tak lama di kota ini dan buru-buru."
"Tentu, aku dan ayahku juga buru buru. nona. Aku juga tak lama di kota ini dan besok harus pergi. Siapakah nona sebenarnya dan tinggal dimana" Aku orang she Hu tinggal di Ce-bu, kami sekeluarga sedang bepergian untuk mencari seseorang."
"Hm, aku juga mencari seseorang. Kau mencari siapa" Bagaimana perjalanan kita bisa sama?"
"Aku dan ayah juga heran, nona. Kita rupanya searah. Aku, hm.... kami mencari Pendekar Rambut Emas?"
"Kim-mou-eng?" alis yang menjelirit itu tiba-tiba terangkat naik. "Ada apa" Kenapa kalian mencarinya?"
"Ha, agaknya kau mengenal penjahat itu, nona. Kami mencarinya karena hendak merampas Sam-kong-kiam"
Mendadak muka yang cantik itu berobah. Beng An terkejut ketika mata si nona berkilat, memandangnya seperti api dan bola mata itu menyambarnya seperti mau menelannya bulat-bulat. Beng An terperanjat dan tanpa terasa meremang bulu tengkuknya, kembali dia melihat sikap yang ganas dari lawan bicaranya ini. Tapi ketika pelayan datang membawa hidangan den meletakkannya di meja tiba-tiba gadis itu terkekeh, kekeh yang dingin.
"Hi-hik, kau lucu. Rupanya keluarga Hu sudah mabok dan tergila-gila pula seperti orang kang-ouw, ingin merampas dan memiliki Sam-kong-kiam Apakah kau ingin menikmati kemuliaan seperti kaisar?"
Beng An mengerutkan kening. Masalah Pedang Tiga Sinar itu memiliki pengaruh gaib yang dapat membuat orang memiliki "3 K." dia tak tahu, pemuda ini semata mencari karena mendapat perintah ayahnya. Beng An tak mengerti dan merah mukanya dikata ingin hidup seperti kaisar. Tentu saja dia tak senang. Tapi karena perkenalan ini baru berjalan dan dia tak mau hubungan itu rusak untuk hal-hal yang dianggapnya sepele maka Beng An tersenyum dan menggelengkan kepala.
"Tidak, aku sesungguhnya kurang mengerti maksud kata-katamu, nona. Tapi kalau dikata ingin merampas dan memiliki Sam-kong-kiam sesungguhnya juga kurang tepat.".
"Lalu untuk apa" Bukankah pedang itu yang kalian cari?"
"Ah, mari nikmati hidangan dulu, nona. Pembicaraan itu kita bicarakan sambil menikmati makan minum ini," Beng An menawarkan, mengambil sumpit dan sudah mulai menikmati pesanannya dan menuangkan minuman di cawan si gadis, menyodorkannya dan menyuruh gadis itu mencicipi hidangan. Beng An sebenamya. hendak menghilangkan debaran hatinya melihat kilatan sinar mata tadi, mata yang marah dan entah kenapa begitu dingin menusuk. Pemuda ini tak enak. Dan ketika Malisa mengambil sumpitnya dan menerima cawan meneguk isinya segera Beng An melanjutkan. "Kami sekeluarga bukan hendak mengangkangi pedang itu, tetapi kami mencari karena diminta tolong kaisar, lewat Sun-taijin."
"Siapa Sun-taijin?"
"Walikota Ce-bu. pembesar di mana kami tinggal."
"Hmm, bagus sekali, kalau memang betul"
"Nona tak percaya?" Beng An penasaran.
"Aku tidak mengatakan percaya atau tidak percaya, tapi pengalamanku selama ini menunjukkan bahwa orang mencari Kim-mou-eng karena ingin memiliki pedang itu untuk diri sendiri"
"Tapi kami semata membantu, kaisar...."
"Itulah. maka kukata bagus kalau kata kata mu betul, orang she Hu. Tapi kukira semuanya itu harus dibuktikan"
"Tentu kami akan membuktikan, Sam kong kiam memang milik kaisar!"
Malisa tertawa dingin. Tiba-tiba dia tak ingin berbicara tentang itu, tentang Sam kong-kiam dan Kim-mou-eng. Menghentikan Beng An dengan menyuruh pemuda itu tak usah menyebut nyebut lagi masalah itu. Katanya dia akan marah kalau pemuda itu melanjutkan bicaranya. Dan ketika hidangan disapu bersih dan Beng An terbelalak memandang gadis ini maka si gadis memanggil pelayan dan melempar sekeping uang emas untuk pembayaran di atas meja.
"Ah, aku yang memesan, biar aku yang bayar" Beng An terkejut, bangkit berdiri dan pelayan berseri seri mencabut uang emas yang menancap di atas meja itu. Pembayaran itu cukup untuk sepuluh orang, terlalu banyak. Tapi ketika pelayan ini berkutat dan tak berhasil mancabut uang emaa itu tiba-tiba dia mengeluh dan mengusap keringatnya yang bercucuran di atas dahi.
"Aduh, siocia terlampau kuat menancapkan uang ini. Biar kuambil alat penyungkil!"
Beng An tertegun. Dia melihat si nona meliriknya dengan senyum mengejek, mulai melihat sinar permusuhan pada pandang mata itu. berdebar dan menjepit uang emas itu. Dan ketika pelayan mau mengambil alat penyungkil untuk mencabut uang itu tiba-tiba Beng An mengerahkan tenaganya dan.... uang itupun dicabutnya mudah dengan jari telunjuk dan ibu jari.
"Nona, ini uangmu, terimalah. Biar aku yang bayar dan jangan membuat aku sungkan!" dan Beng An yang ganti mengeluarkan uangnya dari balik baju tiba-tiba melemparkannya pada si pelayan. "Bung pelayan, tak usah repot. Terimalah ini....!"
(Oo-dwkz-smhn-abu-oO)
Jilid : XII SANG pelayan terkejut Dia melihat uang yang menancap di atas meja tadi sudah dicabut, kini ganti uang Beng An menyambarnya, dia mau menangkap tapi uang itu tiba-tiba melejit, aneh sekali. Dan ketika dia terkesiap dan berseru tertahan tiba-tiba uang itu telah memasuki kantung bajunya dan amblas di situ!
"Aih, terima kasih, kongcu.... terima kasih...." Beng An tak memperdulikan. Dia sudah meloncat melihat Malisa berkelebat keluar, membuntuti gadis itu dan agaknya siap "mengawal" kemanapun si nona pergi. Malisa berhenti dan tiba tiba membalikkan tubuh, mereka sudah berada di luar restoran.
Dan ketika Beng An terkejut melihat si nona memandangnya marah maka dia mendapat teguran tajam. "Kau mau apa mengikutiku terus" Mau kurang ajar?"
"Ah, tidak! Eh, bukankah nona mau kembali" Kita sama-sama ke losmen, kita..."
"Aku tidak ke sana, siapa bilang begitu?" gadis ini menyemprot, memotong. "Kuharap kau tidak mengikutiku lagi, orang she Hu. Perkenalan kita cukup dan kau pergilah!"
Beng An kecewa. "Nona mau ke mana?"
"Perlukah kau tahu?"
"Maaf," Beng An terkejut. "Aku.... sudahlah. Aku menunggumu di losmen, nona. Disana kita bercakap-cakap lagi dan baik aku kembali dulu!" Beng An menjura, si gadis mendengus dan tidak menghiraukan lagi, memutar tubuh din berkelebat lenyap. Dan karena mengikuti terus gadis itu memang dirasa tidak sopan akhirnya Beng An kembali dan menunggu Malisa di losmen, sebenarnya kecewa namun berharap ketemu lagi dengan gadis yang memikat hatinya itu. Beng An berdebar dan ingin bertatap muka, entah kenapa perasaannya begitu gundah ketika harus sendiri kembali ke losmen. Tapi ketika semalam dia menunggu gadis itu seperti yang diharap ternyata si nona tak kunjung muncul!
"Eh, mana adikmu?" begitu malah ayahnya menegur.
Beng An jadi serba salah dan tak enak berjalan ke sana ke mari. Adiknya ternyata ke luar juga, baru dia tahu. Dan ketika dia jengkel menunggu dengan perasaan tak sabar maka kentongan di luar mulai dipukul orang.
Ke mana Swat Lian" Ternyata gadis ini bertemu sahabat yang menyenangkan. Waktu itu dia berjalan putar di sekitar losmen, tak melihat kakaknya dan berjalan sedikit jauh. Tiba-tiba seorang siucai (pelajar) muncul di tikungan, berhenti dan dihadang tiga laki laki kasar yang membentak dan kebetulan didengar Swat Lian. Siucai itu tertegun, bukunya dirampas dan tiga laki laki kasar ini yang ternyata orang-orang jahat menggeledah sakunya. Siucai itu tak melawan Swat Lian marah melihat kejadian di depan mata. Dan ketika siucai itu hendak dipukuli dan swat Lian tak tahan tiba-tiba gadis ini berkelebat menendang tiga laki-laki kasar itu.
"Kalian manusia-manusia busuk. Di tempat begini berani merampok orang" Enyahlah.... des-des-dess!"
Swat Lian yang menghajar tiga penjahat tadi dengan kaki tangannya tiba-tiba membuat lawan terpelanting mengaduh-aduh Gadis itu tak memberi mereka kesempatan melihat dirinya, tangan kembali bergerak menampar tiga kali berturut-turut. Dan ketika tiga orang itu mencelat bagai disambar petir maka buku dan barang-barang lain yang dirampas jatuh berhamburan sementara mereka menjerit-jerit bagai ketemu setan.
"Aduh, tobat.... ampun" Tiga penjahat itu tunggang-langgang.
Swat Lian telah berdiri di depan siucai itu, kini mereka berhadapan. Dan ketika Swat Lian tertegun melihat wajah tampan dan mata yang hidup berseri seri mendadak gadis ini tertegun dengan muka merah.
"Kau siapa?"
"Ah, terima kasih. Aku Kim San, nona. Pelajar lemah yang nyaris tak berdaya dirampok orang jahat!" siucai itu membungkukkan tubuh, memberi hormat dan sudah mengambili buku bukunya yang berceceran. Gerakannya begitu cepat dan sebentar kemudian buku-buku itu sudah dirapikannya kembali. Sekali pandang orang mengetahui bahwa pemuda ini laki laki lemah, gerak-geriknya lembut namun memiliki jari-jari yang trampil yang mampu merapikan sesuatu dengan cepat, agaknya jari jari itu sudah terbiasa bergerak setiap hari. Dan ketika Swat Lian tertegun memandang siucai ini dari atas ke bawah maka dia tersenyum memperhatikan kopiah di atas kepala yang lucu, miring ketika mengelak tamparan seorang penjahat tadi.
"Kau jangan jalan jalan di tempat sepi begini. Mau ke mana dan kenapa malam-malam keluyuran seorang diri" Bukankah enak diam di rumah dan duduk membaca buku?"
"Aku tak mempunyai rumah....."
"Eh, kau bukan penduduk kota sini?"
"Bukan, aku pengembara, siucai pengembara....."
"Lalu tadi kau mau ke mana?"
"Aku dari rumah Siok-wangwe, mau melukis....."
"Melukis" Kau pandai melukis?"
"Ya, aku bisa melukis sedikit-sedikit, nona. Tadi ke rumah Siok-wangwe tetapi gagal. Hartawan itu pergi. Sial!" dan Kim-siucai ini yang menggerutu dengan senyum pahit tiba-tiba mengeluarkan pit-nya (alat tulis), mencorat-coret "Nona mau ke mana" Kenapa keluyuran juga malam malam" Bukankah kita sama?" dan ketika dia tertawa menghentikan corat-coretnya maka Swat Lian terbelalak melihat wajahnya sudah digambar di situ, persis dan indah!
"Aih, hebat. Kau pandai sekali!"
Siucai itu tertawa. "Untukmu, nona. Sekedar rasa terima kasihku atas pertolonganmu tadi."
Swat Lian menerima. Dia kagum melihat kecepatan siucai ini melukis, padahal tangan melukis sambil bicara. Kembali untuk kedua kali Swat Lian melihat kelincahan jari-jari Kim siucai ini. Wajahnya terpampang di situ, cantik dengan mata bersinar sinar. Swat Lian tertawa. Dan ketika dia memuji lukisan itu dan lawan tersenyum maka Swat Lian tiba-tiba teringat kakaknya. "Kau mau melukis seorang lagi?"


Pedang 3 Dimensi Lanjutan Pendekar Rambut Emas Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Siapa?"
"Kakakku!"
Siucai ini mengerutkan kening. "Nona penduduk kota sini?"
"Bukan, aku menginap di losmen Kwi hoa Aku dan kakakku ada di sana "
"Hm, nona juga pengembara?"
Swat Lian tersenyum. "Kim-twako, apakah setiap orang yang kebetulan tidak berada di rumah sendiri kauanggap pengembara" Tidak, aku kebetulan bepergian saja dengan kakakku, juga ayahku. Kami mencari seseorang."
"Penjahat?"
"Ya, penjahat, namanya Kim-mou-eng!"
Siucai ini terkejut. Mukanya tiba tiba berubah, tapi tertawa menutupi rasa kagetnya tiba-tiba dia berseru, "Aih, nona juga bermusuhan dengan Pendekar Rambut Emas itu" Ada hubungan dengan Sam kong-kiam?"
"Wut!" Swat Lian tiba-tiba mencengkeram leher orang. "Kau tahu dari mana, Kim-siucai" Kau pelajar gadungan?"
"Aduh... aduh, lepaskan aku, nona. Lepaskan dulu! Aku bukan siucai gadungan, aku benar-benar siucai tulen. Siucai yang tidak lulus ujian!"
"Tapi kau tahu tentang Sam-kong kiam. kau pasti orang kang-ouw!"
"Ah, apakah hanya orang kang-ouw saja yang tahu tentang itu, nona" Bukankah hilangnya Sam-kong kiam sudah diketahui orang banyak" Orang sekota raja sudah tahu tertang itu, dan aku juga tahu karena aku seorang pengembara yang berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain!"
Swat Lian terkejut. Dia melepaskan cengkeramannya, memang alasan itu tepat dan dapat diterima akal. Siucai ini adalah pengelana, jadi tak heran kalau dia mengetahui kejadian-kejadian di luar. Dan karena hilangnya Sam-kong kiam memang sudah bukan rahasia lagi maka Swat Lian percaya dan minta maaf. melihat orang menyeringai dan merasa kesakitan. Tengkuknya ber ulang-ulang dipijit. Swat Lian merasa bersalah. Dan ketika dia membantu melantarkan kembali jalan darah di tengkuk siucai itu maka siucai ini ngambek.
"Aku tak berani melukis kakakmu. Salah-salah aku pun dihajar!"
"Maaf," Swat Lian menyesal. "Aku tak sengaja, Kim-twako. Jangan marah dan biar aku membawakan buku-bukumu. Aku tak sengaja dan tadi kelupaan. Kukira kau pura-pura. sudahlah, jangan ngambek dan lupakan perbuatanku tadi. Mari ke losmen dan penuhi permintaanku"
Siucai ini ragu-ragu. "Kakakmu juga selihai dirimu?"
Swat Lian tertawa. "Lebih lihai lagi, tapi tidak sekasar aku!"
"Ah," pelukis ini tersenyum lebar. "Kau tidak kasar, nona, hanya barangkali terkejut saja. Aku rupanya mengejutkanmu Eh, omong-omong siapa nama nona" Kau belum memberi tahu."
"Aku Swat Lian, she Hu," Swat Lian teringat.
"Hm, nama yang bagus. Cantik dan indah seperti orangnya!" Kim-siucui memuji Tapi melihat Swat Lian merah mukanya tiba tiba dia sadar. "Ah, maaf. nona. Aku tak sadar"
"Sudahlah, kita masih mau omong-omong saja di sini?" Swat Lian gembira, merasa siucai ini seorang pemuda yang baik. "Kau tidak segera menyatakan kesanggupanmu untuk melukis engkoh ku (kakak laki-laki)?"
"Tentu," Kim siucai pun tertawa "Aku menurut, nona. Tapi kalau kakakmu nanti marah-marah tolong kaubantu aku agar tidak kena gaplok!"
"Kakakku orangnya baik, tak perlu kau khawatir,"
Swat Lian yang mengajak Kim siucai ke losmen akhirnya tiba dan disambut kakak dan ayahnya dengan muka terheran. "Siapa dia?"
"Hi-hik, Kim-siucai, ayah. Datang karena kuundang!"
"Kau membawa laki-laki?" Hu Beng Kui langsung bangkit berdiri, terbelalak marah tapi sebelum jago pedang itu mengeluarkan kata-kata keras Kim siucai buru buru memberi hormat, tubuhnya dilipat dalam-dalam hingga Swat Lian geli.
"Hu taihiap (pendekar besar Hu), maafkan aku. Aku datang karena diminta melukis oleh putrimu. Hu siocia minta agar Hu-kongcu (tuan muda Hu) digambar!"
"Benar," Swat Lian tertawa. "Siucai ini ku undang karena kumintai tolong melukis An-ko, ayah. Lukisannya hebat dan indah sekali, juga cepat. Lihat ini!" Swat Lian mengeluarkan lukisan dirinya, gambar yang tadi dibuat Kim-siucai.
Dan ketika sang ayah tertegun dan terbelalak melihat lukisan itu maka Kim-siucai sendiri sudah mengeluarkan alat alatnya dan mencorat coret wajah Beng An, yang berdiri mengerutkan kening dan melongo melihat adiknya membawa laki-laki.
Sekejap saja. Dan ketika Hu Beng Kui mendengus mengembalikan gambar anaknya maka Kim-siucai pun selesai dan menyodorkan lukisan itu pada swat Lian, agaknya masih takut-takut kepada Beng An.
"Selesai, silahkan nona lihat!"
Swat Lian tiba-tiba terkekeh. Dia telah menerima dan mengamati gambar itu. lukisan kakaknya memang telah jadi dan lagi lagi ia kagum. Apa yang diperbuat Kim siucai ini luar biasa cepatnya. Tapi melihat kakaknya dilukis dalam keadaan melongo tiba-tiba Swat Lian tak dapat menahan kekehnya dan meledak dalam tawa yang keras.
"Hi-hik, kaya monyet mendapat buah!"
Beng An terkejut. Dia cepat menyambar lukisan dirinya itu, melihat gambar dirinya terlukis disitu dengan amat sempurna, persis dan mirip. Tapi melihat gambarnya dibuat melongo dan Swat Lian memakinya seperti monyet mendapat buah tiba tiba Beng An tersenyum tertawa geli.
"Hebat, Kim-siucai ini memang pandai membuat gambar!"
"Tapi kau melongo. Seperti bocah melihat kembang gula!"
"Hmm, barangkali Kim-siucai dapat merobahnya, Lian moi. Kau selalu meledek dan menggoda kakakmu" dan Beng An yang tersipu memandang Kim siucai tiba tiba sudah mendapat anggukan pemuda itu yang cepat mengambil gambarnya.
"Bisa... bisa, asal kongcu tersenyum!" dan Kim siucai yang kembali mencorat-coret merobah gambarnya lalu melihat Beng An tersenyum, menghapus bentuk yang lama dalam bentuk yang baru, bagian mulut itu. Dan ketika sekejap kemudian lukisan itu selesai dan kembali disodorkan pada Beng An maka pemuda ini kagum mendecah perlahan. "Cocok sekali, hebat!"
Swat Lian juga kagum. Dalam waktu yang begitu singkat Kim-siucai ini telah merobah gambar. Lukisan itu bagus dan bersih sekali. Beng An tampak tersenyum dan gagah, Lukisan ini memang mengagumkan. Dan ketika Beng An tertawa dan ayahnya juga kagum memandang lukisan hitam putih itu maka Kim siucai menghadapinya.
"Taihiap juga minta dilukis?"
"Ah. tidak!" Hu Beng Kui terkejut. "Aku tak minta dilukis dan tak senang dilukis!" lalu teringat sesuatu memandang putrinya pendekar ini menegur, "Lian ji, dari mana kautemukan Kim siucai ini" Bagaimana dia menyebutku taihiap?" Jago pedang ini memang curiga.
Dia sebenarnya menyembunyikan diri, sedikit sekali orang yang memanggilnya taihiap (pendekar besar), kebanyakan menyebutnya wangwe dan dia agak terkejut datang datang pelukis ini menyebutnya taihiap. Tentu saja dia mengerutkan kening, itu tentu ulah putrinya. Dan ketika dia memandang putrinya dengan tajam dan Swat Lian tersenyum tiba-tiba Kim siucai mendahului.
"Kami berkenalan secara kebetulan, taihiap. Puterimu menolongku dari terkaman tiga orang jahat. Aku hampir dibegal!"
"Benar," Swat Lian menyambung "Aku menolongnya ketika dia dihadang tiga laki laki kasar, ayah Buku dan uangnya mau dirampas!"
"Hm. begitu?"
"Ya, begitu, taihiap. Karena itu aku lalu melukisnya dan biar lukisan itu sebagai tanda terima kasihku, tapi aku sebenarnya lebih suka melukis benda benda mati, pedang misalnya!"
Hu Beng Kui terkejut. "Pedang?"
"Ya, pedang, taihiap. Terutama pedang-pedang pusaka. Lihat, aku pernah mengenal beberapa pedang pusaka!" dan ketika tanpa diminta kembali sastrawan itu mencorat-coret kertasnya tiba-tiba dia telah melukis sebatang pedang yang berkeredep dalam tiga warna, hijau kuning dan merah. Hu Beng Kui tertegun dan Beng An serta adiknya terbelalak. Seketika mereka teringat itulah Sam-kong-kiam, demikian hidup dan indah dilukis Kim siucai ini.
Dan ketika mereka bengong membelalakkan mata tiba tiba Beng An berseru, "Sam kong-kiam!"
Hu Beng Kui dan dua anaknya terkejut. Si jago pedang sendiri belum melihat Sam-kong-kiam. Hanya Beng An dan adiknya yang pernah melihat pedang itu, ketika bertempur dengan Kim-mou-eng alias Bu-hiong. Dan ketika Hu Beng Kui terkejut mendengar seruan anaknya, tiba tiba dia melihat sesuatu yang aneh di balik kopiah Kim siucai, rambut yang sedikit menyungai dan berwarna keemasan.
"Kau Kim-mou-eng...!" tiba tiba pendekar itu membentak, langsung melejit dan melakukan cengkeraman kuat. Swat Lian dari kakaknya terkejut melihat gerakan ayahnya itu, Kim siucai juga terkejut. Kiranya Hu Beng Kui yang curiga ini bermata tajam. Sebenarnya dia melihat gerak gerik yang aneh pada laki laki yang mengaku sastrawan itu, matanya yang tajam melihat kilatan bercahaya pada mata lawan, itulah bukti hebatnya sinkang seseorang yang dirasa pendekar ini. Swat Lian dan kakaknya memang belum berpengalaman seperti ayah mereka, hanya Hu Beng Kui lah yang tahu.
Maka ketika pendekar itu membentak dan sekilas ujung rambut keemasan tampak di balik kopiah lawan tiba tiba pendekar ini telah mencelat dari duduknya dan langsung menyerang. Kelima jarinya menegang bagai jari baja, mencengkeram dan siap mencekik lawan. Kim-siucai berseru keras Tapi ketika jari jago pedang itu hampir mengenai lehernya dan Kim siucai berteriak gugup tiba-tiba seolah tak sengaja tubuhnya dilempar ke belakang menendang kursi.
"Aduh, tolong siocia... Brukk" Sastrawan itu jatuh ke belakang, kursi menimpa dirinya tapi cengkeraman Hu Beng Kui luput. Pendekar ini kaget karena tak pernah serangannya gagal, apalagi kalau hanya menghadapi seorang siucai lemah. Dan ketika dia tertegun dan heran membelalakkan mata tahu tahu siucai ini telah kabur meloncat ke pintu melarikan diri. "Hu-siocia, tolong, ayahmu mengamuk....!"
Swat Lian bengong. Dia tak securiga ayahnya, tak melihat sembulan rambut di balik kopiah itu, tentu saja terkejut melihat ayahnya menyerang siucai ini. Tapi melihat siucai itu melarikan diri dan berteriak padanya agar menolongnya dari serangan ayahnya tiba-tiba Swat Lian berseru menyuruh ayahnya berhenti "Yah, jangan. Tak patut kau menyerangnya!"
"Benar," Beng An juga kaget. "Kau tak pantas menyerangnya, yah. Siucai itu manusia lemah yang tak bersalah apa-apa. Jangan merendahkan dirimu sendiri dengan menyerang orang biasa!"
"Kalian bodoh, dia itu Kim-mou-eng!" Hu Beng Kui membentak. mengibas dua anaknya dan meloncat keluar. Sekarang dia marah dan tidak tertegun lagi, Swat Lian dan kakaknya terhuyung. Dan ketika Hu Beng Kui berkelebat keluar mencari sana-sini ternyata Kim-siucai lenyap entah ke mana, jago pedang ini menggeram dan tubuh pun melayang turun, dari atas loteng yang tinggi dia berputaran di sekitar losmen. Sebenarnya lawan baru saja pergi dan tak mungkin hilang, kalau benar benar Kim-siucai itu orang biasa. Jago pedang ini terbelalak dan membanting kaki, tentu saja geram. Dan ketika dia tak mendapatkan buruannya dan pendekar ini terkejut maka dua anaknya memburu dan Swat Lian pucat, masih tak percaya. "Yah, bagaimana kau tahu dia Kim-mou-eng?"
"Kalian tak melihat sembulan rambutnya di balik kopiah?"
"Tidak"
"Itulah kebodohan kalian. Kau tertipu, siucai itu sastrawan gadungan dan aku yakin bahwa dia Kim-mou-eng"
"Tapi dia sastrawan lemah, dia dihadang tiga orang kasar dan tidak berdaya apa-apa!"
"Huh kau memang hijau, Swat Lian. Untuk orang macam Kim-mou-eng itu bisa saja dia berpura pura mengelabuhi orang lain. Dia bukan sastrawan lemah, kutegaskan sekali lagi pada kalian bahwa dia bukan siucai biasa!" jago pedang ini marah, kembali berkelebat dan mencari sana sini namun tidak berhasil. Swat Lian juga mulai heran bagaimana Kim siucai yang dianggapnya lemah itu bisa menghilang begitu cepat, padahal ayahnya adalah seorang pendekar pedang yang berkepandaian tinggi. Dan ketika ayahnya uring uringan dan mengajak mereka masuk kembali ke kamar maka untuk pertama kalinya Swat Lian melihat muka ayahnya merah.
"Swat Lian, kau lancang sekali. Bagaimana kau memasukkan orang macam begitu ke sini" Seharusnya kau sedikit jeli, buka mata dan telingamu agar mengenal siapa lawan siapa kawan. Lihat, masuk akalkah kalau siucai itu benar orang biasa dan kita bertiga tak dapat menangkapnya" Masuk akalkah bahwa aku tak dapat mencengkeram siucai itu ketika di dalam kamar" Renungkan dan lihat semuanya ini, anak-anak. Kuberi tahu kalian bahwa dia bukan sastrawan biasa!"
"Maaf" Swat Lian mengangguk "Aku tak menyangka semuanya itu, ayah. Aku benar benar tak mengira talau dia Kim-mou-eng."
"Tentu saja bagaimana bukan Kim-mou-eng kalau dia mampu melukis Pedang Tiga Dimensi" Bagaimana seorang sastrawan bisa mengenal bentuk pedang itu kalau tidak pernah melihat atau memeganginya" Nah, jangan sembrono berkenalan dengan seseorang, Swat Lian. Dan juga kakakmu kuberi tahu agar tidak mendekati pula gadis Tar-tar itu!"
Beng An semburat. Ayah mereka marah-marah. Bukan apa-apa. melainkan tersinggung karena sebagai orang yang telah diakui memiliki kepandaian tinggi ayahnya tak dapat menangkap Kim-mou-eng Bahkan ketika musuh di dalam kamar dan ayahnya menyerang ternyata seranganannya luput. Beng An tiba-tiba terkejut. Benar, mana mungkin seorang siucai biasa mampu mengundurkan serangan ayahnya yang cepat" Bukankah ini aneh" Maka ketika malam itu ayah mereka marah marah dan mendongkol anak-anaknya bersikap lamban maka Beng An menunduk melihat adiknya terisak.
"Sudahlah, jangan marahi Lian-moi lagi. yah. Lian moi tak sengaja dan biar kaumarahi aku saja. Akulah yang menjadi gara-gara. Kalau aku tak keluar tentu Lian moi juga tak bermaksud menyusulku disana. Aku yang bertanggung jawab tentang semuanya ini."
Hu Beng Kui masih bersungut sungut. Dia marah dan benar-benar terpukul. Kejadian ini seolah ejekan baginya. Musuh yang ada di depan mata lolos begitu mudah, bagaimana dia tak marah marah" Tapi Beng An yang teringat sesuatu tiba-tiba mengangkat mukanya.
"Yah, kukira siucai itu bukan Kim-mou-eng. Kami melihat siucai itu lain dengan Kim-mou-eng yang pernah kami temukan. Wajahnya tak mirip!"
Lian terkejut, tiba-tiba menyambung. "Benar. aku sekarang teringat, yah. Siucai ini memang tidak mirip dengan Kim-mou-eng yang melukai An-ko itu!"
Hu Beng Kui terbelalak. "Kalian yakin?"
"Tentu, yah!" dua anak itu hampir berbareng sama-sama berseru "Kami tahu bahwa Kim-mou-eng yang kami temukan wajahnya tidak seperti Kim-siucai ini, Kim-mou-eng itu jelek, wajahnya kaku dan sama sekali tidak menarik"
"Hmm, kau hendak mengatakan bahwa wajah Kim-siucai ini lebih tampan dan lebih menarik?"
"Benar," Beng An yang menjawab, adiknya merah dan tidak berani menjawab. "Kim siucai ini jauh lebih tampan dan menarik dibanding Kim-mou-eng yang kami temui itu, yah. Jadi sekarang, kami ragu bahwa Kim-siucai adalah Kim-mou-eng!"
"Tapi rambutnya keemasan dan hanya Kim-mou-eng yang memiliki rambut seperti itu"
"Ini yang tidak kami lihat, tapi kami berdua berani menyatakan bahwa Kim-siucai bukanlah Kim-mou-eng yang dulu kami temukan!"
"Hm, kalau begitu siapa?" Hu Beng Kui bingung "Kalian yang salah atau aku yang tidak, benar?"
"Kukira kau pun benar, yah. Tapi kalau hendak dinyatakan Kim siucai ini adalah Kim-mou-eng yang kami temukan maka itu tidak mungkin. Kami berdua hapal benar wajah Kim-mou-eng yang menyerang kami itu, dan Kim-siucai yang kauanggap Kim-mou-eng itu tampaknya tidak membawa pedang kecuali pit dan alat lukisnya itu!"
Hu Beng Kui tertegun. Tiba-tiba dia sadar bahwa Kim-siucai tidak bersenjata. Siucai itu hanya membawa pit dan buku-buku. Memang benar. Dan ketika dia mengerutkan alis dan semakin bingung untuk urusan ini maka pendekar itu diam berlama lama, heran dan mulai menduga-duga siapakah sastrawan gadungan itu. Jika yakin Kim siucai adalah sastrawan gadungan, jelas siucai itu seorang berkepandaian tinggi yang berpura pura. Dia yakin betul. Tapi karena anaknya berhasil membantah bahwa siucai itu bukanlah Kim-mou-eng akhirnya jago pedang ini mendengus dan jengkel terhadap semua teka-teki itu, duduk bersila dan akhirnya menghilangkan kejengkelan dengan membuang semua pikiran. Beng An dan adiknya disuruh tidur. Dan ketika malam itu mereka sama-sama bingung memikirkan siapa siucai yang aneh ini maka Beng An tak dapat memejamkan mata karena teringat si gadis Tar-tar.
==dwkz0smhn0abu0==
"Di sini tempatnya?"
Tiga orang itu telah berdiri di atas Jurang Malaikat. Hu Beng Kui bertanya pada anaknya, Swat Lian dan kakaknya mengangguk. Dan ketika pendekar itu melihat kiri kanan maka Beng An menunjuk ke bawah.
"Kim-mou-eng dikabarkan tewas di sini, ayah. Namun ternyata masih hidup dan menyerang kami. Lihat, bekas bekas pertempuran pun masih ida. Di sinilah dia melukaiku!"
"Hm. kalian tunggu di sini. Aku mau melihat ke bawah!" Hu Beng Kui berkelebat, langsung terjun dan memasuki jurang, berjungkir balik dan tiba tiba sudah berada di sisi jurang sebelah sana. Lalu begitu dia melekatkan telapaknya di dinding jurang maka pendekar ini sudah merayap turun dengan ringan dan cepat seperti cecak
"Ck-ck, ayah memang hebat!" Beng An memandang kagum, melihat ayahnya menghilang dan sudah turun ke bawah dengan caranya yang luar biasa. Kedua telapak baik kaki maupun tangan menempel dan melekat di dinding jurang, dengan caranya itu pendekar ini merayap ke bawah, tentu saja Beng An kagum. Dan sementara ayahnya menyelidiki bawah jurang dengan cara seperti cecak merayap maka Beng An dan adiknya duduk lenggut-lenggut menanti.
"Kau merasakan apa, Lian-moi" Kau masih melamun Kim siucai itu?"
Swat Lian terkejut. "Tidak...."
"Tapi wajahmu murung, rupanya bayangan Kim siucai itu mengganggu hatimu"
"Hmmm!" Swat Lian semburat merah. "Kau agaknya memperhatikan aku sejak tadi. An-ko. Ada apa berolok-olok" Aku memang teringat bayangan siucai itu. tapi bukan apa apa melainkan keanehannya yang bisa pergi secepat itu. Kaukira apa?"
"Ah, jangan marah," Beng An tersenyum. "Aku tidak menuduhmu yang bukan-bukan, Lian moi, melainkan sama seperti apa yang kaupikir"
"Kupikir tentang apa" Mana kau tahu?"
"Hm....!" Beng An menyeringai. "Aku tahu apa yang kaupikir, Lian-moi, karena itu aku tahu pula apa yang kupikir! Aku tahu bahwa kau heran oleh cepatnya siucai itu menghilang, dan aku juga heran bagaimana dia bisa menghilang secepat itu. He-he, bukankah sama?"
Swat Lian mengerutkan kening, mendengar tawa kakaknya yang main-main. "Kau serius?"
"Eh. tentu saja. Siapa bilang tidak serius?"
"Tapi tawamu mengejek, kau seolah mengejek aku bahwa hatiku tergoda oleh wajah Kim-siucai itu!"
"Ha ha, untuk ini aku tak tahu, Lian-moi. Aku tak bilang begitu, itu urusan hatimu. Aku hanya bilang bahwa aku pun heran bagaimana siucai itu bisa menghilang begitu cepat. Dugaan ayah benar, siucai ini pemuda misterius yang lain kali harus dicari. Aah.... aku ingin menangkapnya lagi dan bertanya siapa dia itu sebenarnya!"
Swat Lian mengangguk "Aku juga penasaran...."
"Tentang apa" Bahwa dia tak tertangkap dan kau tak dapat mengetahui siapa sebenarnya dia itu?"
"Tentu saja, kaukira apa" Kau. Eeh...!" Swat Lian mencubit kakaknya ini keras keras, melihat kakaknya tertawa lebar. "Kau jangan mengejek aku, koko. Kita bicara serius dan hayo mengaku tobat kalau tak ingin kucubit!" Swat Lian gemas. Kakaknya ini ternyata menggodanya saja dan mata serta mulut kakaknya itu tertawa.
Tentu saja Swat Lian mendongkol dan ketika kakaknya mengaduh aduh dan minta dia melepaskan cubitannya baru Swat Lian melepaskan kakaknya itu dengan muka semakin merah. "Koko. kau jangan menggoda aku. Kalau aku marah jangan kau tanya do...."
"Ya ampun.... tobat...." Beng An bisa melucu, "Aku tak ingin main lagi, Lian moi. Hayo kita serius dan coba kauterangkan padaku kenapa semalaman ini kau tak dapat tidur?"
"Kau tahu aku tak tidur?"
"Tentu saja, matamu masih merah"
"Ah!" Swat Lian terkejut. "Kau terlalu. An ko. Orang tidak tidur pun kau selidiki. kurang ajar" dan Swat Lian yang mau mencubit kakaknya lagi dengan gemas tiba-tiba sudah dihindari karena Beng An meloncat bangun melarikan diri.
"Hei. jangan, Lian-moi. Nanti matang biru semua kulitku!"
"Kau meledek, kau suka mengoda orang"
"Sudahlah, sekarang aku tak menggoda lagi mari bicara baik baik." dan Beng An yang duduk lagi dengan muka serius akhirnya membuka percakapan kembali pada Kim-siuciaitu "Pikirmu bagaimana" Apakah Kim-siucai ini orang berbahaya atau tidak" Maksudku, apakah dia orang baik baik atau orang jahat?"
"Aku tak tahu, tapi melihat sinar matanya kulihat dia bukan orang jahat!"
"Kau yakin hanya dengan melihat sinar matanya saja" Wah...!" Beng An tersenyum lebar, "Kalau begini kau hebat. Lian-moi. Barangkali aku pun kelak ingin minta pendapatmu tentang jahat tidaknya seseorang dengan melihat sinar matanya!"
Swat Lian merah mukanya. "An-ko, aku tidak main main. Kalau sinar matanya itu bohong maka perasaan hatiku tentunya tidak. Aku merasa Kim-siucai ini orang baik-baik tapi entah siapa dia itu!"
"Eh, bukankah dia Kim-siucai" Kau sudah tahu namanya, tak perlu bertanya lagi!"
"Bukan itu, yang kumaksud adalah siapa sebenarnya dia ini, kenapa menyamar sebagai seorang siucai dan seberapa pula kepandaiannya Aku jadi penasaran dan ingin bertemu lagi untuk menjajal kepandaiannya!"
"Kepandaiannya melukis, kau tak mungkin menang!"
"Ya. aku tahu, tapi bukan itu."
"Ilmu silatnya?"
"Tentu saja."
"Tapi kau bilang dia dihadang tiga laki-laki kasar!"
"Itulah. aku gemas setelah tahu terkecoh, An-ko Rupanya Kim-siucai itu suka main main dan kelak ingin kuhajar dia itu!"
"Wah wah. menghajar setelah menolong?" kakaknya tertawa. "Mana mungkin ini. Lian-moi" Kalau ingin menghajar sebaiknya aku. aku belum pernah menolong dan tidak janggal kalau menghajar siucai gadungan itu!"
"Sudahlah" Swat Lian mengerutkan kening. "Bagaimana sekarang tentang Kim mou-eng, An ko" Dan bagaimana pula dengan, hmm.... gadis Tar-tar itu" Kemana kau semalam keluyuran?"
"Aaah! jalan jalan," Beng An tiba-tiba semburat "Mencari angin dan pergi ke tengah kota."
"Huh, jalan jalan apanya" Aku tak percaya, An-ko. berani bertaruh semalam tentu kau menjumpai gadis Tar-tar itu!"
"Tidak!"
"Tak perlu bohong, kau dan aku bukan orang laini" Swat Lian ganti tertawa "Matamu telah mengakui itu, An-ko. Dan semalam aku juga tak melihat gadis itu di kamarnya. Tentu kalian bertemu!"
"Hmm" Beng An akhirnya mengaku. "Benar, Lian moi. Dan ternyata dugaan ayah betul...."
"Dugaan apa?"
"Ilmu silat gadis itu hebat sekali"
"Kau bertempur?"
"Tidak, hanya menguji coba... Dan aku harus mengakui bahwa dia luar biasa. Semalam kami kejar-kejaran dan nyaris aku tak menemukan jejaknya!"
Beng An lalu bercerita matanya menjadi hidup dan tiba-tiba pemuda ini gembira. Swat Lian tersenyum. Dan ketika cerita diakhiri dengan kepergian gadis itu yang tak mau kembali ke losmen. Beng An tampak murung. "Aku Kecewa, dia tak mau bersamaku ke penginapan"
"Kau jatuh hati?"
Beng An terkejut....
"Hmmm, kalau begitu kau jatuh hati, An-ko. Memang sudah kuduga sejak semula bahwa kau terpikat pada gadis Tar-tar ini. Dia memang menarik tapi sayang sombong!"
"Hmm, kukira tidak, Lian moi. Melainkan angkuh karena itu rupanya pembawaannya" Beng An membela.
"Apa bedanya?" sang adik berseru "Angkuh atau sombong sama saja, An-ko. Kedua duanya berarti merendahkan orang lain. Dan orang yang suka merendahkan orang lain bisa disebut sombong atau angkuh!"
"Sudahlah, kita kembali pada Kim-mou-eng," sang kakak tak mau berdebat, kemurungannya datang begitu membicarakan gadis Tar-tar itu. "Kita tak perlu membicarakan Kim siucai atau dia lagi, Lian-moi. Sebaiknya kita pikir apakah kiranya Kim-mou-eng dapat kita temukan di sini."
"Aku pikir begitu," adiknya mengangguk, merasa pasti. "Dulu dia datang ke sini menemui kita. An-ko. Dan sekarang pun tentu akan bertemu lagi karena rupanya dia memiliki kepentingan di sini."
"Kepentingan apa?"
"Siapa tahu" Aku menduga begitu karena aku teringat ketika dia muncul dia pun mau turun ke jurang dan keburu kepergok kita, barangkali ada hubungannya dengan guha di bawah jurang itu. Kau ingat?"
Beng An tertegun. "Ya, benar, aku lupa. Kalau begitu guha di bawah itu tempat tinggalnya" Jangan-jangan ayah....."
"Sst....!" Swat Lian menggerakkan telunjuknya, Beng An tiba tiba menghentikan kata katanya karena dari dalam jurang mendadak terdengar bentakan dan lengkingan.
Kejadian berlangsung cepat dan tahu-tahu doa sosok tubuh berjungkir balik keluar dari jurang. Hu Beng Kui muncul bersama Kim-mou-eng. Dan ketika Swat Lian dan kakaknya terkejut melompat bangun tahu tahu Kim-mou eng menyerang ayah mereka itu sambil memaki maki. "Hu Beng Kui, kau manusia jahanam. Ada apa mengejar-ngejar aku dan mengintai orang di dalam guha" Memangnya kau kurang kerjaan, keparat, kubunuh kau. Kucincang tubuhmu.... sing-singg!"
Dan Pedang Tiga Sinar yang sudah dicabut Kim-mou-eng membacok dan menyambar Hu Beng Kui tiba-tiba berkelebatan membuat Swat Lian dan kakaknya terbelalak. Mereka tak tahu bahwa ayah mereka ternyata mendapat lawan di dalam jurang, tadi Hu Beng Kui memasukii guha di bawah sana menjumpai lawannya ini. Kini lawan menerjang marah dan Hu Beng Kui mengelak ke sana-sini. Pendekar itu terkejut tapi girang bukan main. Girang karena lawan yang dicari cari ternyata ketemu. Maka begitu diserang dan dimaki dengan pedang menyambar-nyambar tiba tiba pendekar ini berseru keras berlompatan sambil mengibas lengan.
"Kim-mou-eng, kau tak dapat lolos. Aku datang memang untuk meminta pertunggungjawab mu yang telah melukai puteraku"
"Aku tak perduli. kau akan kubunuh dan tak dapat banyak cakap lagi.... sing-singg....!" dan pedang ynng menyambar lagi mengejar pendekar ini akhirnya membuat Swat Lian berteriak mencabut pedangnya.
"Yah, biar aku yang maju. Kau mundurlah!"
"Tidak!" Beng An tak kalah lantang. "Aku saja yang maju. yah. Biar kubalas kecurangannya dulu dan kau minggir"
"Hm, sebentar...!" Hu Beng Kui mengelak gembira. "Aku ingin tahu ilmunya dulu, Beng An. Kalau sudah cukup boleh kupertimbangkan nanti!"
"Tapi pedangnya itu berbahaya, ayah sebaiknya berpedang pula agar tidak celaka!"
"Ha-ha, tak gampang orang mencelakai ayahmu. Beng An. Lihat dan tunggu saja kelihaian ayahmu....wut-sing!"
Dan Hu Beng Kui yang hampir lambat mengelak berseru pada puteranya tiba-tiba berteriak tertahan ketika harus membanting tubuh bergulingan, angin sambaran pedang membuat pendekar ini terkejut dan harus menjauhkan diri. Nyaris dia terbabat. Dan ketika lawan mengejar dan berseru marah menggerakkan pedangnya maka pendekar ini sudah digulung dan dikelilingi bayangan pedang yang naik turun bagai naga menari
"Yah. pakai saja pedangku. Hati-hati" Swat Lian khawatir, betapapun dia cemas. Karena Swat Lian tahu betul keampuhan pedang pusaka itu. Angin sambarannya saja cukup membabat putus benda-benda dalam jarak setombak. Ayahnya menolak dan coba menghindar dengan mengikuti gerakan pedang. Lawan menyerang kian cepat dan Hu Beng Kui berkali-kali berseru keras, dua kali nyaris dia tertusuk. Dan ketika tawan mempergencar serangannya dan jago pedang ini masih bertangan koong menghadapi lawan tiba-tiba Sam-kong kiam menyambar dan kali ini merobek baju pundaknya diseling pekik kaget puterinya. "Bret-aih!"
Hu Beng Kui terkejut. Dia sebenarnya menyampok. lengan bajunya itu telah menegang dan penuh terisi sinkang, tapi tetap juga terbabat. Tahulah dia bahwa ketajaman pedang memang luar biasa sekali, jarang ada senjata mampu membacok benda-benda yang dia pegang. Dan ketika lawan tertawa bergelak dan mulai mengejek melihat mukanya yang berobah segera pendekar ini menyambar pedang anaknya yang dilontar puterinya ini.
"Kim-mou-eng jangan sombong. Kau masih belum menang"
"Ha-ha. tapi mukamu pucat, Hu Beng Kui. Dan sebentar lagi kau roboh bersama pedang tumpulmu itu... trang!"
Hu Beng Kui menangkis, mengerahkan sinkangnya lapi pedang putus juga, berkerutlah alis pendekar ini karena Sam-kong-kiam betul-betul tajam. Dia belum mengeluarkan Hek-seng kiamnya yang melilit di pinggang, sengaja coba coba untuk membuktikan seberapa jauh ketajaman pedang di tangan lawannya itu. Dan ketika lawan berkelebat dan dia terpaksa mengerahkan ginkang untuk beradu cepat tiba tiba jago tua ini melengking tinggi mainkan ilmu pedangnya, Giam-lo Kiam sut (lima Pedang Maut). Bergerak dan bergeser serta melompat lompat menghadapi pedang lawan sementara pedang sendiri bergerak naik turun tak kalah cepat.
Hebat pertandingan ini, Hu Beng Kui memegang pedang buntung yang sudah terpapas, berhati hati namun membalas dan menyerang lawan tak kalah ganas. Pedang di tangannya itu mendesing berputaran mengikuti gerak tubuhnya. Dan ketika Hu Beng Kui berhasil menghindari pedang lawan dan Sam-kong kiam selalu luput menyerang pendekar ini maka Kim-mou eng, yang sebenarnya Bu hiong itu terkejut melihat bayangan lebar yang mengelilingi dirinya dari segala penjuru.
"Bagus, kau kiranya lihai. Pantas kalau sombong!"
"Ha ha. yang sombong bukan aku, Kim-mou-eng, melainkan kau. Kaulah, yang sombong dan berani melukai anakku untuk menantang keluarga Hu.... Wuuut sinnggg....!"
Pedang di tangan jago tua itu berkelebat, dari arah tak terduga menusuk tenggorokan lawan namun Sam-kong-kiam menangkis, tentu saja pendekar ini mengelak dan angin sambaran pedang yang luput terdengar mengiris telinga. Lawan terbelalak dan memaki. Dan ketika Hu Beng Kui menyerang lagi dan perlahan tetapi pasti sinar pedangnya bergulung-gulung membungkus lawan maka Bu-hiong yang dikira Kim-mou-eng itu pucat.
Nyatalah olehnya bahwa lawan yang satu ini benar benar lihai. Hu Beng Kui memang jago pedang jempolan, dengan pedang buntung saja dia mampu mengelilingi lawan, tusukan dan tikamannya yang berantai serta bertubi-tubi membuat Bu-hiong sibuk. Kalau dia tak membawa pedang pusaka tentu sinar pedang di tangan Hu Beng Kui memasuki putaran pedangnya, berangkali dua tiga tusukan telah mengenai tubuhnya. Tapi karena Bu-hiong membawa Sam-kong kiam dan desing pedang itu sendiri amat tajam dan mampu merobek baju Hu Beng Kui maka perundingan berjalan seru dan lama.
"Ayah, keluarkan saja pedangmu. Cabut Hek seng-kiam (Pedang Bintang Hitam) dan coba diadu dengan Sam kong kiam!"
Hu Beng Kui mengangguk. Setelah duaputuh lima jurus dia serang-menyerang dengan lawan tahulah dia kelebihan dan kekurangan lawannya ini. Sebagai jago pedang kelas satu segera dia melihat kelemahan lawan, yakni lawan tak memiliki ilmu pedang yang baik kecuali Sam-kong-kiam itu. Pedang ini hebat, berkali kali dia nyaris teriris oleh angin sambarannya yang dingin, padahal dia sudah mengerahkan sinkang nya namun tetap saja hawa dingin itu menembus. Dari sini dapat diketahui betapa berbahayanya Pedang Tiga Sinar itu, tajam dan ampuh sehingga dapat memotong benda-benda keras seperti memotong agar agar. Timbullah keinginannya untuk mengadu Hek seng-kiam dengan Sam kong-kiam. Hek seng kiam yang dipunyainya itu pun bukan semberang pedang dan selama ini menjadi temannya dan mengangkat namanya sebagai pendekar pedang. Sam kong-kiam itulah yang berbahaya, bukan ilmu silat lawan. Maka begitu puterinya berteriak dan Hu Beng Kui tertawa mendadak pendekar pedang ini melakukan jurus yang disebut Payung Berputar Mengikuti Awan.
"Awas....!" bentakan itu sudah mengiringi gerakan pendekar ini.
Pedang di tangan Hu Beng Kui lenyap, yang ada ialah putaran pedang yang bergulung lebar bagai payung terkembang, berputar cepat menyilaukan mata. Lawan terkurung dan bingung karena tak dapat menduga kemana kira kira gerakan selanjutnya. Gulungan pedang itu masih naik turun membentuk payung, indah dan hebat sekali karena bagian tengahnya adalah tubuh Hu Beng Kui sendiri yang memutar pedangnya. Tapi begitu jago pedang ini melengking menggetarkan jantung sekonyong konyong bagian atas yang ber gulung gulung itu pecah tujuh bagian menukik ke bawah menusuk bertubi-tubi ke tubuh lawan yang sedang terbelalak.
"Siut-siut-singgg....!"
Cepat bukan main gerakan itu. Bu-hiong berteriak kaget melihat tujuh titik berkeredep menyambar tubuhnya, meluncur bagai patukan tujuh rajawali haus darah. Inilah serangan ganas yang bukan main berbahayanya. Tapi Bu-hiong yang marah memekik tinggi tiba-tiba merendahkan tubuh dan menangkis dengan Sam-kong-kiam.
"Trang trang taangg...!"
Hu Beng Kui tertawa. Pedangnya putus menjadi tujuh, dibabat Sam-kong-kiam bagai agar-agar. Tapi begitu potongan pedang mencelat kemana mana mendadak semua kutungan pedang itu menyambar Bu-hiong, cepat dan mengejutkan karena menyambar dalam jarak begitu dekat. Bu-hiong berteriak dan lagi lagi menangkis dengan pedangnya. Tapi ketika dia memperhatikan kutungan kutungan pedang ini dan tidak waspada terhadap serangan lain mendadak Hu Beng Kui telah mencabut Hek-seng kiamnya yang lentur dan menjatuhkan diri bergulingan menyerang perut lawan.
"Crett!"
Gerakan itu luar biasa cepatnya. Hu Beng Kui si jago pedang ternyata lihai, juga cerdik. Dengan cara bergulingan itu dia menyerang sekaligus menghindarkan sambaran Sam-kong-kiam, dari bawah dia menggerakkan pedang hitamnya dan lawan tak menyangka dia mempunyai cadangan senjata. Bu hiong menganggap lawan tak bersenjata lagi setelah pedangnya tadi dikutungi menjadi tujuh bagian. Maka begitu Hek-seng kiam berkelebat dan dari bawah pendekar mi menyerang lawan menuju perutnya tiba-tiba perut Bu hiong robek dan laki-laki ini mengaduh.
"Augh....!" darah bercucuran keluar. Cepat dan luar biasa Hu Beng Kui telah melompat bangun pula, lawan di sana terhuyung dan terbelalak memandang perutnya yang terkuak. Swat Lian ngeri melihat pedang ayahnya mendapat korban, usus Bu-hiong nyaris terburai. Dan ketika Bu hiong sadar dan marah melihat lawan melukainya, mendadak laki-laki ini melolong memanggil seseorang.
"Sian-su, tolong...." Bu-hiong menyerang lagi. perut didekap dan pedang di tangannya bergerak lagi. Kini bagai manusia kesetanan dia menusuk Hu Bang Kui, si jago pedang mengelak dan menangkis. Dan begitu dua pedang bertemu tiba-tiba Hek-seng-kiam rompal dan rusak ujungnya.
"Trang!"
Hu Beng Kui terkejut. Kiranya pedangnya masih kalah kuat, meskipun jauh lebih ampuh dari pada pedang anaknya, pedang biasa. Hek seng-kiam di tangannya rompal meskipun tidak putus, ini bukti bahwa pedangnya pedang yang baik tapi kalah diadu dengan Sam kong-kiam. Dan ketika lawan berteriak menerjang dan marah menyerang membabi buta maka Hu Beng Kui berlompatan mendengar lawan memanggil-manggil Sian-su.
"Sian-su, tolong. Orang she Hu mencelakaiku!"
Hu Beng Kui mengerutkan kening. Dia tak mengerti siapa yang dipanggil itu, tak tahu bahwa yang dimaksud Bu hiong adulah Bu beng Sian su, manusia dewa yang amat sakti itu. Tak tahu bahwa keberadaan Bu hiong di bawah jurang tadi adalah berkenaan dengan maksudnya mencari manusia dewa ini, dulu sudah mencoba tapi ketemu Beng An dan adiknya, kini mencoba lagi tapi sial bertemu Hu Beng Kui. Dan karena Hu Beng Kui berlompatan menghindar dan melihat lawan semikin parah lukanya, dengan membabi buta menyerangnya seperti itn maka pendekar ini menjengek menasihati lawan.
"Kim-mou eng, sebaiknya kau menyerah. Serahkan pedang itu dan kau boleh mengobati luka mu."
"Jahanam, aku tak akan menyerah, orang she Hu. Kau boleh mengambil pedang ini setelah melangkahi mayatku!"
"Kalau begitu kau mencari mati, baiklah aku penuhi permintaanmu dan robohlah.... sing plak!"
Hu Beng Kui menangkis, melihat lawan mengendor gerakannya dan Sam kong kiam kembali membuat pedangnya rusak, Hu Beng Kui tertawa mengejek dan tidak perduli. Kehebatan pedang itu sekarang tak ditunjang tenaga yang memadai. Luka lawan yang nyaris membuat usus terburai dibiarkan saja demi melampiaskan kemarahan, inilah kemenangan jago pedang itu dan Hu Beng Kui mulai sering mengadu tenaga. Benturan-benturan di antara mereka, membuat lawan pucat, kian lama kian pucat clan akhirnya Bu-hiong mengeluh. Dan ketika perut itu semakin terkuak lebar dan Bu-hiong meringis mendadak satu tangkisan kuat dari pendekar itu membuat Sam-kong kiam terlepas.
"Trangg!"
Bu hiong menjerit. Dia melempar tubuh bergulingan bukan menjauhi pedang melainkan sebaliknya, mendekati pedang dan menyambarnya. Lalu begitu memaki melompat bangun laki-laki ini memutar tubuh dan.... melarikan diri.
"Hu Beng Kui, kau jahanam keparat. Kau manusia terkutuk!"
Si jago pedang terbelalak. Dia heran melihat lawan yang terluka masih mampu melarikan diri. darah mengucur berceceran dari perut lawan yang robek. Seharusnya lawannya itu roboh dan menyerah. Dia pribadi tak akan kejam membunuh lawan, kalau lawan menyerah dan memberikan Sam-kong-kiam baik-baik. Maka ketika lawan justeru bersikap sebaliknya dan bandel melarikan diri tiba-tiba pendekar ini mengejar berseru mengejek. "Kim-mou-eng, kau tak dapat lari jauh. Serahkan Sam-kong-kiam dan menyerahlah baik-baik!"
"Menyerah hidungmu!" Bu-hiong memaki. "Kau boleh bunuh aku dan rampas pedang ini kalau bisa. orang she Hu. atuu kaubiarkan aku pergi dan jangan menggangguku"
"Kalau begitu serahkan pedang, kau boleh mengobati lukamu dan pergi."
"Keparat, aku tak akan menyerahkan pedang, Hu Beng Kui. Kau boleh mengambilnya setelah melangkahi mayatku.... aduh!" Bu-hiong tiba tiba terguling, lukanya itu membuat dia tak dapat lari jauh, benar kata Hu Beng Kui. Dan ketika Hu Berg Kui tertawa mengejek dan berkelebat menyerangnya maka Bu-hiong menyeringai den menangikis lagi.
"Trangg!" pedang kali ini dicekal erat. Bu-hiong bertahan tapi mengeluh. Hek seng kiam di tangan Hu Beng Kui nyaris putus tapi Bu-hiong terhuyung, tangan kirinya yang mendekap perut penuh darah. Dan ketika lawan tertawa mengejek dan menyerang lagi maka Bu-hiong menangkis sebelum terjungkal.
"Trang-trangg!"
Hek-seng-kiam sekarang putus. Hu Beng Kui terkejut meihat pedangnya tinggal separuh. benar-benar luar biasa pedang di tangan lawannya itu. Tapi melihat lawan terjungkal dan dia marah menyaksikan kekerasan lawannya ini tiba tiba Hu Beng Kui menimpukkan sisa pedangnya sambil membentak, "Kim-mou-eng, robohlah!"
Bu-hiong berusaha mengelak. Dia terbelalak melihat sambaran Hek-seng-kiam yang menuju dadanya itu, mau menangkis tapi tangan tiba tiba lumpuh. Kehilangan darah dan tenaga kiranya membuat laki-laki ini kehabisan daya untuk menyelamatkan diri. Maka begitu pedang menyambar dan dia tak dapat mengelak lagi maka buntungan Hek-seng-kiam tepat menembus dadanya dan Bu hiong roboh.
"Trang!"
Swat Lian dan kakaknya terbelalak. Mereka melihat laki-laki yang disangka Kim mou-eng itu mengeluh, menuding nuding tapi akhirnya terguling. Dan ketika mereka melompat mendekat untuk melihat laki laki ini maka lawan ternyata tewas dengan Sam-kong kiam masih di tangan!
"Hm, luar biasa pedang ini. Benar benar hebat dan tajam!" Hu Beng Kui mengusap keringatnya, menyesal tapi terpaksa melakukan pembunuhan. Lawan tak mau menyerahkannya baik baik. Dan ketika dia melompat dan mau mengambil pedang itu ternyata pedang bersatu dengan jari jari lawan tak dapat ditarik.
"Ah, keparat. Setelah ajal pun tak mau dia menyerahkan pedang ini!" Hu Beng Kui terkejut, menarik nariknya tapi tetap saja Sam-kong-kiam tak berhasil dicabut. Rupanya pedang itu sudah bersatu dengan kulit lawan, pendekar ini marah. Dan sementara dua anaknya mendelong memandang kejadian itu tahu-tahu Hu Beng Kui menyambar pedang di punggung Beng An dan membabatkannya ke pergelangan mayat Bu hiong.
"Krak!" putuslah pergelangan itu.
Memang di antara mereka yang tinggal membawa pedang adalah Beng An seorang. Pedang Swat Lian sudah dipakai ayahnya dan hancur bertemu Sam-kong-kiam, begitu pula pedang Hu Beng Kui sendiri, Hek-seng-kian yang ternyata kalah ampuh dengan Sam-kong-kiam. Dan ketika dua anaknya berseru tertahan melihat ayah mereka melakukan kekejaman dengan membacok putus pergelangan lawan yang sudah menjadi mayat maka Swat Lian terisak menutupi mukanya.
"Yah, kau terlalu....!"
"Hm," pendekar ini mendengus. "Aku tak akan terlalu kalau lawan juga tak terlalu, Lian-ji. Kim-mou-eng yang terlalu dan membuatku marah. sudahlah. pedang sudah di tangan dan kita pergi!" Hu Beng Kui berkelebat. Swat Lian dan kakaknya masih terbelalak. Tapi ketika ayah mereka membentak dan menegur mereka maka dua muda-mudi ini mengikuti ayah mereka dan pulang ke Ce-bu.
Hari itu Hu Beng Kui memiliki Sam-kong-kiam. Tapi tidak seperti yang dijanjikan pada Sun tajin ternyata pedang ini disimpan Hu Beng Kui sendiri. Ada rasa eman (sayang) setelah mendapatkan pedang. Swat Lian dan kakaknya dilarang pendekar ini membicarakan keberhasilan mereka. Dan ketika seminggu kemudian Swat Lian dan Beng An bertanya tentang ini mereka mendapatkan jawaban yang mengejutkan.
"Pedang ini terpaksa kusimpan dulu. Untuk sementara tak akan kuserahkan pala Sun-taijin."
"Tapi ayah berjanji pada Sun-taijin. bukankah ini pelanggaran janji, yah?" putrinya menegur.
"Aku memang berjanji pada pembesar itu, tapi aku tidak berjanji untuk menyerahkannya kapan."
"Apa maksud ayah?" Sang puteri terbelalak, "bukankah pedang itu bukan milikmu?"
"Benar, tapi sementara ini aku ingin berteman dengan Sam-kong-kiam, Lian-ji. Aku ingin mengobati kecewaku kehilangan Hek-seng-kiam. Sudahlah, kau tak perlu khawatir kepada ayahmu dan jangan bicarakan ini pada orang lain."
Swat Lian termangu. Hari itu dia diam. berbisik-bisik dengan kakaknya dan mereka merasa khawatir. Dan ketika dua minggu kemudian mereka melihat ayah mereka sering mengusap-usap Sam-kong-kiam dan betapa setiap harinya pendekar ini berseri-seri memandang pedang itu maka Swat Lian cemas melihat sorot tamak memancar di wajah ayahnya.
"Yah, kau sekarang mulai melupakan pekerjaan. Apakah setiap hari kau hendak menggosok-gosok pedang keramat ini?"
"Hm, aku kagum kepadanya, Lian-ji. Aku ternyata jatuh cinta kepada pedang ini. Sam-kong kiam betul-betul hebat, bersama pedang ini tiba tiba aku ingin menaklukkan dunia"
Swat Lian terkejut. "Ayah gila"
"Eh!" sang ayah menoleh. "Kau memaki ayahmu, Lian-ji" Kau bilang ayahmu gila?"
Swat Lian terisak. "Yah. aku gelisah akhir akhir ini. Kau melupakan segalanya pada tiga minggu terakhir ini. Semuanya gara-gara Sam kong-kiam! Apakah ayah hendak mengangkangi pedang itu?"
"Ha-ha!" sang ayah tertawa bergelak. "Aku tak bermaksud mengangkangi pedang ini, Swat Lian melainkan meminjamnya sebentar untuk memuaskan nafsuku"
"Tapi berapa lama ayah pinjam" Kapan dikembalikan?"
"Tentu tak lama, aku ingin memuaskan diri dulu."
Dan ketika pendekar itu tersenyum menggosok Sam-kong-kiam tiba-tiba seorang pelayan masuk memberi tahu kedatangan Sun taijin, walikota Ce-bu itu.
"Suruh dia masuk!" si jago pedang tertegun. "Dan tunggu aku di ruang tengah!"
"Nah," Swat Lian khawatir. "Bagaimana jawabmu sekarang, yah" Sun-taijin ternyata datang, dan dia mungkin tahu bahwa pedang itu sudah kaudapatkan!"
"Itu bisa diatur, kau keluarlah dan jangan ganggu aku."
Hu Beng Kui tiba-tiba tak senang, untuk pertama kalinya dia merasa tak senang dan marah pada puterinya ini. Berkali-kali Swat Lian bertanya tentang Sam-kong-kiam. menyuruh dia mengembalikan pedang itu padahal dia mulai tertarik pada pedang yang luar biasa ini. Ketajamannya dan sinar gaibnya yang berwarna warni. Ada perasaan menyedot pada tubuh pedang ini. daya tarik luar biasa yang membuat orang kagum dan ingin memiliki. Dan ketika pagi ini jago pedang ini menemui tamunya dan Sun-taijin berseri memberi hormat maka pertanyaan langsung ditujukan pada persoalan pedang keramat itu.
Pendekar Sakti 11 Pedang Tanpa Perasaan Karya Khu Lung Anak Harimau 19

Cari Blog Ini