Ceritasilat Novel Online

Pedang Bengis Sutra Merah 1

Pedang Bengis Sutra Merah ( Tan Ceng In) Karya See Yan Tjin Djin Bagian 1


PEDANG BENGIS SUTRA MERAH
(Tan Ceng In) Karya : See Yan Tjin Djin
Terjemahan : Wang. L. C
Editor: ADHI. H
PEDANG TUNGGAL BAB 1 Sastrawan Pengecut
Menurut pandangan orang, hidup sebagai seorang pesilat penuh dengan aneka
ragam variasi, siapa yang tahu bahwa di bawah gemerlapannya baju ada
tersimpan banyak kisah kesedihan dan kesusahan.
Di sebuah jalanan, kendaraan berlalu lalang terus menerus, tapi ada juga yang
tidak menggunakan kendaraan, mereka adalah pejalan-jalan kaki yang tidak
mengunakan kendaraan.
Sastrawan Berbaju Putih Pui Cie adalah salah satu diantara pejalan kaki yang
banyak berlalu lalang, wajahnya muram dan kelihatan seperti sedang kesepian,
seakan-akan di dunia ini dia hanya hidup seorang diri saja, dia sekarang sudah di
lupakan orang, dia merasa hidup ini begitu sunyi dn sepi, meskipun sekarang dia
berada di jalanan yang cukup ramai.
Lie Se Kian yang seharusnya menjadi istrinya ternyata tidak berjodoh dengannya,
Hie Ki Hong yang tidak terpikir sedikitpun didalam impiannya malah sekarang
menjadi istrinya, semua ini terasa seperti mimpi yang sudah berlalu.
Saudara kembarnya yang entah karena apa telah membuat rumah tangga dan
perkawinannya berantakan, dia merasa sakit hati seumur hidupnya, kesedihan
dan kekecewaannya serasa tidak bisa ditanggung, semua terasa menjdi hampa.
Pui Cie berjalan tidak tahu arah tujuannya, didepannya sudah tidak ada lagi
tempat persinggahan, malam ini dia tidak tahu akan berteduh dimana, pepatah
mengatakan manusia punya rumah, burung punya sarang, tapi dia 'merasa tidak
mempunyai tempat untuk singgah, dalam ingatannya dia merasa dia sebatang
kara. Sudah dua bulan dia dalam keadaan sangat sedih dan kecewa, sehingga
akhirnya dia meninggalkan keluarga Lie, sekarang dia merasa bingung, semua
kegagahan dan kepintarannya hilang tidak berbekas.
Dalam perjalanan yang dia lakukan tiba-tiba dari arah belakang terdengar suatu
suara yang terasa nyaring yang menyapa, "Maaf, bisakah twako berhenti
sebentar".
Pui Cie pura-pura tidak mendengar, dia berjalan terus, suara itu menyapa lagi,
"Twako Pui, berhentilah sebentar".
Karena yang di panggil marganya mau tidak mau dia terpaksa berhenti, tapi dia
tidak menoleh kebelakang dengan nada dingin dan ketus dia membalas, "Siapa
itu". Satu bayangan bergerak mendatangi dari belakang, sesudah berada didepannya
terlihat seorang anak muda yang masih belia dan berbaju biru berwajah tampan
dan gagah, terlihat seperti memiliki ilmu silat yang tinggi tapi sangat asing, dia
merasa belum pernah berjumpa dengan anak muda ini.
Anak muda yang berbaju biru ini mengepalkan kedua tangannya lalu bersoja dan
berkata, "Nama besar twako Pui sangat tersohor sekali, menyesal sekali siaute
selama ini tidak ada kesempatan berkenalan, hari ini siaute bahagia sekali
kebetulan bisa bertemu twako."
Pui Cie yang hatinya dalam keadaan sedih dan kecewa, dia tidak mau banyak
bergaul dengan siapapun, dengan angkuh dan dingin membalas menjawab,
"Cayhe bukan bermarga Pui".Setelah berkata begitu dia berjalan lagi, kenyataan
yang sebenarnya dia memang tidak bermarga Pui tapi bermarga Nan Kong, nama
Pui Cie adalah pemberian satu tetua di dunia persilatan Ko Li Lang, dulu sewaktu
memungutnya karena tidak tahu asal usulnya, hanya berdasarkan sebuah pek
giok persegi yang dia pakai maka diberilah dia nama Pui Cie, demi membalas
budi guru yang telah membesarkannya maka nama itu di pakainya terus, dia tidak
mau lagi memakai marga aslinya
Sekarang dia karena sedang kesal maka dipakailah nama aslinya, tapi bukan
ingin menghapus nama pemberian sang tetuanya.
Orang yang berbaju biru itu tidak marah dengan mencoba berjalan sejajar dia
berkata, "Twako Pui janganlah menolak orang demikian rupa."
Pui Cie bersuara cuek menjawab, "Kita kan tidak saling kenal."
Pria berbaju biru tertawa, "Maaf. siaute salah, siaute lupa belum memperkenalkan
diri. siaute marga Hu, bernama Seng Yi julukan 'Sastrawan Pengecut (Bo Tah Su
Seng), siaute sudah lama mengagumi twako, baru sekarang bisa berkenalan
dengan twako. "
Julukan 'Sastrawan Pengecut' yang aneh ini membuat Pui Cie tergerak juga
hatinya, dilihat wajahnya tidak seperti penjahat, kalau bukan karena amanat
gurunya, dia jauh jauh hari sudah meninggalkan dunia persilatan. Sekarang
kondisinya sedang tidak ada semangat untuk berkenalan, masih dengan wajah
dingin dia berujar, "Maaf, cayhe hanya orang kecil di dunia persilatan, tidak
pantas dikagumi." Sambil berkata begitu dia menambah cepat langkahnya.
Kesabaran 'Sastrawan Pengecut' ini ternyata amatlah besar, dia mengejar
dengan langkah cepat agar sejajar, "Apakah Twako merasa Siaute tidak pantas
untuk berkenalan?"
Pui Cie menatap lurus ke depan, berkata, "Cayhe memang tidak suka bergaul."
'Sastrawan Pengecut' tertawa terbahak-bahak dan berkata, "Twako berbeda
denganku, kalau aku, aku ingin mengenal habis semua orang di dunia ini."
Pui Cie sebal juga dilibat terus oleh pria yang cerewet ini, kebetulan didepannya
ada jalan bercabang, dia melirik lawan bicaranya dan langsung berbelok ke jalan
kecil gerakannya seperti melayang, pergi secepat kilat.
Setelah agak lama berlari dan merasa yakin sudah jauh meninggalkan orang
tersebut, baru dia memperlambat langkahnya
Tidak disangka, dugaannya ternyata meleset, Sastrawan Pengecut itu ternyata
masih tetap bisa menguntil di belakangnya dia berkata, " Ilmu silat Twako benar
hebat, tidak ada duanya di dunia ini".
Pui Cie terkejut bukan kepalang dalam hatinya berpikir, "Tidak di sangka dia
seperti roh yang bisa terus membuntutiku, ilmu silatnya tentu luar biasa, entah
mempunyai maksud apa dia terus membuntutiku".hatinya terkejut tapi dia tetap
menenangkan diri seolah-olah tidak terjadi apa-apa, dia menghentikan langkah
kakinya dan membalikan badan kepada Sastrwan Pengecut yang sedang
tersenyum-senyum, dengan ketus Pui Cie berkata, "Apa keinginanmu yang
sebenarnya".
Sastrawan Pengecut bersoja seraya berkata, "Siaute hanya ingin berkenalan
dengan Twako saja".
"Sepertinya bukan itu saja."
"Siaute bersungguh-sungguh."
"Cayhe sudah berkata cayhe tidak suka berkenalan dengan sembarang orang."
"Apakah Siaute tidak pantas?"
Pui Cie marah dan dengan suara keras berkata, "Sobat, apa maksudmu yang
sebenarnya, tolong jelaskan, aku paling tidak suka dibuntuti terus!"
Sastrwan Pengecut dengan muka serius berkata, "Kalau Twako berkata begitu
Siaute jadi malu, sebenarnya Siaute ada sesuatu keperluan ingin minta tolong
kapada Twako karena tidak kenal jadi sulit diutarakan, maka siaute mencari
kesempatan mendekati Twako."
Hati Pui Cie agak tertegun, sudah terlalu banyak dia mengalami masalah, dan
tahu kotornya dunia persilatan dia tidak lantas percaya dengan perkataan orang
tersebut, dengan seksama dia memperhatikannya lagi sambil berkata, "Minta
pertolonganku?"
Dengan muka bersungguh-sungguh Sastrwan Pengecut berkata, "Betul,"
"Coba utarakan, aku ingin tahu."
"Siaute minta bantuan Twako untuk menolong seseorang."
"Menolong orang?"
"Ya."
"Ini kata bualan." "Maksud Twako....."
"Melihat kemampuan ilmu silatmu, sudah begitu luar biasa, rasanya tidak perlu
bantuanku lagi!"
Sastrawan Pengecut tersenyum dan berkata, "Karena Siaute pengecut maka
dengan rendah hati siaute minta bantuan Twako."
Tidak masuk akal, Pui Cie dengan nada dingin berkata, "Maaf sobat aku tidak
punya keahlian, carilah orang yang lebih mampu!"
Sastrawan Pengecut dengan gelisah berkata, "Twako, tapi Siaute mengatakan
yang sebenarnya, sama sekali tidak mengada-ada"
Tiba-tiba wajahnya menjadi muram, "Siaute mau minta tolong Twako menolong
ayah Siaute." "Apa..., ayahmu." "Ya."
"Ayahmu sudah terkena musibah apa?"
"Ah, kalau diceritakan malu juga, ayah Siaute sepuluh tahun terakhir demi sebuah
cita-cita yang belum tercapai, hidup tanpa merasa gembira, Siaute tidak bisa
berbuat banyak kecuali meminta bantuan Twako untuk menolongnya.
"Cita-cita yang bagaimana?"
"Ayah Siaute sudah sepuluh tahun menunggui sebuah lembah, maksudnya ingin
bertemu dengan orang yang berada di dalamnya, tapi dia tidak bisa masuk
kedalam lembah itu, juga tidak mau meninggalkan begitu saja."
"Siapa yang berada didalam lembah itu?"
"Tidak tahu, ayah Siaute tidak mau memberitahu." "Kenapa dia tidak bisa masuk
kedalam lembah itu," "Karena ilmu silatnya terbatas."
"Apakah kau mau menjadikan cayhe sebagai pembantu."
"Tidak... hal ini bagi Twako hanya urusan sepele saja."
"Melihat taraf ilmu silatmu ayahmu pasti bukan orang sembarangan, kan dirimu
bisa bekerja sama dengan ayahmu..."
"Siaute sudah bilang, Siaute seorang pengecut!"
Pui Cie jadi terpancing juga rasa ingin tahunya, ini adalah urusan yang tidak
pernah terbayangkan dan tidak masuk akal, apa maksud sebenarnya" Dimana
bisa ada urusan seaneh ini, dimana ada orang yang sudah belajar ilmu silat bisa
menjadi seorang yang pengecut, sampai gelar yang disandangnya juga
Sastrawan Pengecut.
Sastrawan Pengecut berkata pula, "Bagaimana, apa Twako sudah
menyanggupinya?"
Pui Cie menggelengkan kepalanya berkata, "Sulit di percaya."
"Sesudah berada di tempatnya Twako akan tahu bahwa perkataan Siaute
semuanya benar."
Pui Cie berpikir dalam hati dengan cepat, kalau ini semua adalah suatu siasat aku
pasti akan terjebak, kalau sekarang tidak mengikuti kemauannya, mereka akan
menyediakan perangkap lainnya, semua harus dibuktikan. Sekarang musuh
nomor satunya adalah paman gurunya sendiri Phei Cen berikutnya adalah Shin
Kiam Pangcu, Ke Co Ing, Ma Gwe Kiau, semua harus diselidiki keberadaannya,
daripada mencari-cari tidak tahu arahnya lebih baik mencoba kesempatan ini,
siapa tahu, ini adalah salah satu siasat dari musuhnya.
Begitu hatinya sudah tetap dengan suara rendah dia berkata, "Baiklah, cayhe
ingin melihat-lihat dulu."
Sastrwan Pengecut merasa gembira seraya bersoja memberi hormat, "Terima
kasih Twako, kalau berhasil Siaute tidak akan lupa jasa Twako seumur hidup."
Sesudah merasa yakin Pui Cie berkata, "Ayo jalan."
Satu berpakaian putih satu biru, kedua oarang satrawan ini mulai berangkat,
hubungan mereka terasa aneh, memang hubungan manusia dalam dunia
persilatan tidak bisa dipelajari dan diperkirakan dengan akal sehat.
Setelah berjalan beberapa hari lamanya, suatu hari mereka memasuki daerah
hutan pohon pinus, setelah bergaul beberapa hari Pui Cie merasa Sastrawan
Pengecut adalah seorang yang pintar dan lurus tidak kelihatan watak curang
sedikitpun, tapi dia merasa ada sedikit ngeri, sebab di dunia persilatan banyak
orang yang lihai tapi tak mencurigakan sedikitpun, orang yang beginilah yang
paling susah diatasi.
Memandang gunung yang berlapis-lapis Pui Cie teringat akan orang yang dikasihi
gurunya yaitu 'Bo Yu Sien Ce'fDewi Tidak Pernah Risau) yang telah membawa
putra satu-satunya dari gurunya yaitu Khu Tian Can, ketika gurunya sedang
bertapa di hutan pinus, tidak tahu kemana perginya mereka, seperti awan tebal
entah dimana mereka berada sekarang.
Melewati bukit yang berkelok, berputar, terjal dan datar sama sekali tidak
kelihatan seorang pun, sampailah mereka di sebuah gunung yang sempit dan
terjal. 'Sastrawan Pengecut' berhenti dan menunjuk ke depan, "Twako, di lembah
depan itulah ayahku berada, ayahku keras kepala, tak mau dibantu oleh
siapapun, jadi aku tak boleh menampakan diri, Twako jangan berkata diminta
olehku untuk membantu kesini, hanya boleh berkata ingin bertemu orang dalam
lembah ini, di tengah lembah ada sebuah batu penutup, dengan ilmu silat Twako
yang hebat tentu dapat mematahkan batu yang seperti rebung itu, setelah patah
aku akan datang."
Dia bersoja lagi setelah habis berkata itu. Aneh sekali, minta bantuan hanya
karena satu batu rebung saja, kenapa tidak dipahat saja" Pui Cie terus berfikir
kalau ini suatu siasat busuk, benar-benar tidak mudah dihindari.
'Sastrawan Pengecut' berkata lagi, "Twako pasti curiga karena seperti tak masuk
diakal, nantilah akan Siaute ceritakan semuanya. Siaute juga hanya tahu sedikit,
tak tahu apa sebenarnya, nanti kita minta penjelasan ayahku."
Pui Cie memandang dalam-dalam 'Sastrawan Pengecut' seraya berkata, "Benarbenar tak masuk diakal, tapi ada sepatah kata aku ingin bicara sebelumnya..."
"Katakanlah!"
"Kalau ternyata tdak sesuai dengan kenyataan, aku tak akan segan-segan
membunuh orang!"
"Tentu, Siaute maklum hal itu."
Terlihat air mukanya tak ada yang mencurigakan.
Dengan hati yang penuh dengan pertanyaan dan tak tenang dia melangkah
menuju tempat yang ditunjuk, dia sudah memutuskan kalau keadaan tidak cocok
dia tidak akan bertindak apa-apa tapi dia akan. berbalik membikin perhitungan
dengan si 'Sastrawan Pengecut'. Dia merasa bodoh menerima pekerjaan yang
seperti lelucon dan permainan anak-anak ini, tapi apa boleh buat, karena dia
sudah datang, baik iatau buruk tentu harus dicoba.
Sebuah celah sempit antara bukit telah berada di depan mata. Dari kejauhan
memang terlihat sebuah batu besar seperti bambu muda baru keluar tanah
menghadang di tengah-tengah celah itu. Di kiri kanan batu itu ada celah yang
lebih kecil, kenapa harus membelah batu rebung itu baru bisa masuk ke dalam
lembah" Sungguh tak masuk diakal, gunung batu begini tidak akan dapat
menghalangi orang berilmu silat apalagi hanya batu seperti rebung ini"
Sesudah jarak bertambah dekat, terlihat di belakang batu rebung terdapat banyak
batu yang aneh-aneh dan beragam berserakan disana. Pui Cie merasa tempat ini
sangat strategis, antik dan alami, seperti sudah ditata oleh manusia dan batu
rebung ini jadi pusat strategisnya.
Tiba di mulut lembah, Pui Cie melihat sekelilingnya, tiba-tiba dia menemukan
sesuatu, di bawah batu menjorok keluar dekat sisi lembah yang terjal ada duduk
seorang yang tua, rambut dan jenggotnyapun sudah memutih, panjang, menyatu,
dan acak-acakan, umurnya terlihat sudah cukup tua.
Orang aneh inikah ayah 'Sastrawan Pengecut"
Mungkinkah dia memiliki anak semuda itu"
Orang aneh ini duduk bersila, tidak bergerak sedikitpun tidak bicara seperti
seorang hweshio yang sedang bertapa.
Dengan sendirinya Pui Cie menjadi tegang, dia mendekat sambil berdehem, aneh
sekali, dia tidak bereaksi sama sekali, seperti tidak tahu ada orang mendekat,
kedua matanya ditutup rapat-rapat. Pui Cie diam beberapa saat disitu, dia tidak
berani menyentuh batu rebung itu sampai jelas semua keadaan ditempat itu.
Matanya menatap semua rerumputan dengan seksama, dia mundur 2 langkah
lalu dengan suara lantang dia berkata, "Tuan orang pandai dari manakah?"
Tidak ada reaksi apa-apa, dia bingung dan bengong sejenak.
'Sastrawan Pengecut yang setelah menunggu sekian lama karena tidak
mendapat reaksi apa-apa segera menyelinap masuk.
Pui Cie yang sejak awal sangat hati-hati, begitu 'Sastrawan Pengecut' menyelinap
masuk dia langsung tahu tetapi dibiarkan saja dengan tidak mengurangi
kesiagaannya, sebab dia merasa urusan ini agak aneh sejak semula.
"Ssstt!"
Pui Cie membalikan badanya perlahan-lahan. 'Sastrawan Pengecut" sedang
memberi isyarat menanyakan keadaan. Pui Cie mendekatinya dan berkata, "Aku
sudah menyapa, tapi tidak ada reaksi apa-apa. Itukah... Ayahmu?"
'Sastrawan Pengecut' mengangguk, keningnya berkerut, "Kenapa tidak ada
reaksi?" "Katanya ayahmu sudah menunggui tempat ini sudah sepuluh tahun?" "Ya!"
"Siapakah orang yang berada di dalam lembah itu?"
"Ayah Siaute tak pernah mau memberitahu."
"Mengapa harus memecahkan batu rebung itu dulu?"
"Samar-samar ayah pernah membocorkan, itu adalah perjanjian kedua belah
pihak, kalau bisa memecahkan batu rebung itu baru boleh bertemu, sebab
lembah ini tertutup oleh sebuah pintu ajaib mata kuncinya ialah batu rebung ini..."


Pedang Bengis Sutra Merah ( Tan Ceng In) Karya See Yan Tjin Djin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mata kunci seharusnya berada di tengah-tengah baru betul."
"Disinilah keanehannya, bertolak belakang dengan kebiasaan yang ada!" Dia
berpaling lagi kepada orang aneh yang sedang bertapa itu dan menghela nafas,
"Berdasarkan pengalaman dan usia ayah, ilmu silatnya sudah tidak mungkin bisa
maju banyak lagi, kalau begini terus ayah akan meninggal dalam lembah ini.
siaute sebagai anak tidak mau hal ini terjadi maka aku dengan sangat minta
bantuan twako. Apa yang diucapkan oleh 'Sastrawan Pengecut' ini sangat menyentuh hati Pui
Cie, Pui Cie memalingkan kepalanya menatap batu rebung itu, "Rasanya aku tak
akan mampu untuk menolong."
Dengan sedih 'Sastrawan Pengecut' berkata, "Kalau dengan kehebatan Twako
saja tidak sanggup menghancurkan batu itu, siaute hanya bisa menerima nasib
saja!" "Aku akan mencobanya, tetapi kenapa ayahmu tidak bereaksi sama sekali?"
"Sastrawan Pengecut' berfikir sejenak, "Siaute periksa dulu, Twako tolong
berjaga-jaga, takut terjadi apa-apa, dia menghampiri orang aneh itu dan
memanggil "Ayah, ayah, ayah!"
Orang aneh itu tetap tidak bergerak, matanya tertutup rapat duduk seperti semula.
'Sastrawan Pengecut' memanggil-manggil lagi, dia langsung merasakan ada
sesuatu yang tidak beres, begitu disentuh, dia langsung menjerit dan menangis
tersedu-sedu dan berlutut di hadapan ayahnya.
Pui Cie kaget dan memburunya, ternyata orang aneh itu telah meninggal dunia.
'Sastrawan Pengecut' setelah agak reda kesedihannya berdiri sambil menghapus
air mata dengan suara gemetar berkata, "Siaute mau membuka semua tabir
rahasia itu, Twako bantu Siaute ya."
Dengan menganggukan kepala, Pui Cie busungkan dada menuju batu
rebung, mengira-ngira kondisi batunya, kemudian mengambil ancang-ancang
2 telapak tangan diangkat..
"Berhenti!" terdengar suara bentakan keluar dari balik batu rebung.
Pui Cie kaget bukan kepalang seraya mundur. 'Sastrawan Pengecut' juga
menghampirinya.
Suara itu datang lagi, "Kalian mau berbuat apa?" terdengar suara seorang
perempuan. 'Sastrawan Pengecut' dengan suara keras berkata, "Untuk memenuhi janji
memecahkan strategi ini dan masuk ke lembah, ayahku telah menunggu 10 tahun
disini, sekarang beliau telah wafat, boleh tahu kau siapa" Apakah kau orang yang
mengikat janji dengan ayahku"
Wanita misterius itu malah balik bertanya, "Apakah Leng Oen sudah meninggal
dunia?" "Iya!"
"Dia pantas memdapat ganjaran ini!" "Apa katamu?"
"Aku bilang, Leng Oen pantas mati! Matinya juga sesuai."
Pui Cie terhenyak, dia seperti kenal benar suara ini, sedikitpun merasa tidak
asing. Siapakah dia"
Serasa mau pecah pembuluh darahnya, 'Sastrawan Pengecut' berkata dengan
suara keras, " Apa... pantas mati?"
"Kau anaknya?"
"Betul!"
"Kau tidak boleh ribut di tempat ini, cepat pergilah mengurus pemakamannya!"
"Ayahku tidak boleh mati konyol. Siapa Tuan?"
"Ayahmu tak pernah cerita?"
"Tidak!"
"Bagus! Seumur hidup dia sudah penuh dengan dosa, hanya kali ini dia berbuat
benar." 'Sastrawan Pengecut' mengeluarkan suara keras, langsung menyerbu batu
rebung itu, tapi tiba-tiba keluar angin keras yang menggulung-gulung.
'Sastrawan Pengecut' terdorong mundur kembali.
Pui Cie dengan cepat berpikir, Aku telah menyanggupi Sastrawan Pengecut untuk
membantu masalahnya, kini ayahnya sudah meninggal, aku harus berbuat
sesuatu, berpikir sampai begitu dia berteriak dengan keras, "Mundurlah biar aku
yang menghancurkan batu itu."
Sastrawan Pengecut itu menurut dan mundur, Pui Cie mengangkat tangannya
dan memasang kuda-kuda.
"Pui Cie, kau berani kurang ajar?"
Pui Cie kaget bukan kepalang, orang yang bersembunyi itu ternyata dapat
langsung menyebut namanya, siapakah dia"suaranya terasa hafal dan sering
mendengarnya entah di nama....
Suara itu terdengar lagi, "Pui Cie kau harus tahu nama yang benar dan mana
yang salah, apa yang boleh dilakukan juga apa yang tidak boleh dilakukan,
jangan melanggar pantangan dunia persilatan, jangan memalukan nama baik
perguruan, hayo cepat mundur!"
Pui Cie terhentak, dia seperti sudah tahu lawan bicaranya tapi belum yakin benarbenar, dengan membungkukkan badannya dia berkata, "Apa boleh aku bertemu
muka dengan Cianpwe?"
Sastrawan Pengecut terbelalak matanya, tidak menyangka Pui Cie bisa kenal
dengan orang yang di dalam lembah ini.
Orang dalam lembah ini ternyata adalah 'Bo Yu Sien Ce' dan seseorang yang
hanya bisa mengeluarkan suara Vu wu, ya ya'. Ciri orang yang berhidung pesek
dan bibir sumbing karena cacat alami, segera teringat oleh Pui Cie, dia adalah
darah daging gurunya yang bernama Khu Tian Can, karena melahirkan anak
yang memalukan *Bo Yu Sien Ce' kesal dan membawa anaknya pergi , tak
disangka ibu dan anak ternyata mengasingkan diri disini.
0-0-0 BAB 2 Gadis manis bersutra merah
*Bo Yu Sien Ce' berkata, "Tak perlu bertemu, aku ibu dan anak bukan milik dunia
ini." Suaranya penuh perasaan sedih dan tidak berdaya.
Sastrawan Pengecut tercengang dan terharu dalam hati berpikir, "Siapakah yang
didalam lembah ini."
Karena persoalan ini menyangkut rahasia pribadi gurunya, Pui Cie tidak dapat
mengutarakanmya.
Sekarang, apa hubungan "Bo Yu Sien Ce' dengan Hu leng Oen dia juga belum
jelas dengan susah dia berkata, "Maaf karena Cianpwe telah mengasingkan diri
dilembah ini cayhe tidak akan membicarakannya lagi."
Sastrawan Pengecut memandangi Pui Cie dengan suara gemetar berkata, "Kalau
twako tidak bisa membuka tabir ini siaute juga tidak akan memaksa, tapi ayahku
tidak boleh mati sia-sia, Siaute pasti akan cari tahu semua ini, kalau Siaute masuk
ke dalam dan tidak keluar lagi harap twako bisa bantu menguburkan ayah Siaute,
mati atau hidup Siaute pasti akan berterima kasih pada twako," selesai berbicara
dengan mata memerah dia bersoya lagi.
Pui Cie terpaku disana, dia tidak tega juga tidak enak ikut campur.
Sastrawan Pengecut pernah mengatakan bahwa dia tidak punya nyali alias
pengecut, sekarang sepertinya telah menjadi seorang yang pemberani, tidak takut
soal hidup dan mati, yang dia kuatirkan adalah bagaimana nanti dia melabrak
lembah itu, apa Bo Yu Sien Ce akan membunuhnya, apa hubungannya mereka
ini?" Terdengar Bo Yu Sien Ce bersuara lagi, "Pui Cie apakah kau sudah
menyelesaikan tugas yang dibebankan perguruan?"
Yang dimaksud tugas perguruan adalah membersihkan perguruan dan
menangkap Phei Cen.
Pui Cie tergopoh-gopoh menjawab, "Belum, Wanpwe sedang berusaha."
T3o Yu Sien Ce' berkata lagi, "Apa hubunganmu dengan anaknya Hu Leng Oen'.
Pui Cie melirik Sastrawan Pengecut dan berkata, "Kami kebetulan bertemu, baru
berkenalan, dia mengajak Wanpwe untuk membantu menolong ayahnya."
"Menolong ayahnya" Ha...ha...ha...."
"Apakah Cianpwe tahu almarhum menunggu disini sudah sepuluh tahun?"
"Jangan ikut campur, ini tidak ada urusan denganmu." "Ini...ya...tetapi...."
"Dia telah mati sama dengan sudah menebus dosa, pergilah!"
Suaranya langsung menghilang, entah sudah pergi, entah masih ada disitu.
Sastrawan Pengecut bergerak merobah posisinya, bersiap-siap ingin menyerbu
ke dalam lembah.
Pui Cie menghalangi dengan badannya seraya berkata, "Saudara Hu pikirkan
dulu masak-masak sebelum bertindak, jangan tergesa-gesa!"
Sastrawan Pengecut dengan suara gemetar berkata, "Apakah twako merasa
siaute jangan mencari tahu penyebab kematian ayah siaute."
"Itu harus, tapi jangan ceroboh."
"Ceroboh."
"Memang, kalau saudara Hu memaksa menerobos masuk, seperti laron
menyerbu api, tidak ada gunanya." "Siaute sudah tidak pikir lagi hidup atau mati."
"Saudara Hu kan tidak punya nyali." " ini...."
"Pikirkan lagi saudara Hu."
"Masa ayah Siaute mati tak jelas, Siaute harus pikir-pikir dulu."
Karena sudah yakin orang yang berada di dalam lembah itu adalah Bo Yu Sien
Ce, Pui Cie sudah tentu tidak bisa membantu lagi memecahkan batu, untuk
masuk kedalam lembah.
Masalah yang mengganjal adalah kenapa ayah Sastrawan Pengecut menunggu
di mulut lembah sampai sepuluh tahun, Bo Yu Sien Ce mengatakan dia pantas
mati dan pantas dapat ganjaran, pantas mendapat ganjaran seperti ini" Apa
hubungan mereka"
Setelah berpikir begitu dia membalikan badannya memandangi jenasah Hu Leng
Oen, pandangan nya yang tajam juga menyapu batu gunung di samping jenasah,
di batu gunung itu ternyata ada tulisan, dengan spontan dia berteriak.
Sastrawan Pengecut terhenyak, dibatu itu tertulis 'meningalkan pesan' dia segera
memburu kesana, Pui Cie pun mengikutinya.
Sewaktu datang tadi mereka hanya memperhatikan baru rebung saja jadi tidak
kelihatan semua pesan yang di tulis dengan jari tangan ini, dibatu itu tertulis,
"seumur hidup ini dosaku sudah terlalu banyak dan berat, sudah terlambat untuk
disesali, setelah mati kuburlah aku disini, untuk memenuhi hasrat yang belum
tercapai" tertulis Hu Leng Oen.
Perkataannya tidak jelas, apa penyebabnya pun tidak diceritakan. Pui Cie dengan
penuh rasa curiga berpikir, "Hasrat apa yang belum tercapai"
Dengan penuh air mata Sastrawan Pengecut terus memandangi tulisan ayahnya,
"Siaute tidak tahu, ayah siaute tidak pernah menyinggung soal ini."
Pui Cie berkata, "Dilihat dari pesannya sedikitpun tidak ada rasa dendam....kapan
saudara Hu terakhir bertemu dengan ayahmu?"
"Sebulan yang lalu."
"Saudara Hu bersamanya....menunggu disini?" "Tidak, selama sepuluh tahun
siaute belajar silat, hanya setahun sekali kesini menjenguknya." "O o..."
"Kalau Twako kenal dengan orang yang berada didalam lembah ini
bolehkah....tolong cari tahu penyebabnya?" "Ini.....ini harus menunggu
kesempatan lain, kalau
sekarang pasti ditolak." Pui Cie berhenti sejenak, "Sekarang kita harus menuruti
keinginan ayahmu untuk menguburnya disini, supaya almarhum menjadi tenang.
Sastrawan Pengecut mengangguk.
Pui Cie dengan pedangnya membelah batu membuat peti mati, didepan mulut
lembah itu membuat kuburan dan ditegakkanlah sebuah sebuah batu nisan,
setelah semuanya selesai Sastrawan Pengecut memberi hormat pada Pui Cie
berkata,' "Kita hanya berkenalan sebentar saja, Siaute sangat berterima kasih
pada Twako atas bantuannya yang besar, siaute berencana menunggui kuburan
ini untuk beberapa saat, sebagai seorang anak memberi penghormatan terakhir
kepada ayahnya, silahkan Twako berangkat dulu, semoga kita nanti bisa bertemu
kembali. Pui Cie tidak ada alasan lagi untuk berlama-lama disitu, setelah bersoja lalu
mereka berpisah.
Setelah Pui Cie pergi datanglah seorang tua yang kurus kecil berambut putih,
sepasang matanya terlihat berapi-api, mesti siang hari masih bisa di rasakan
sorot matanya yang tajam, sudah tentu ilmu silatnya telah mencapai tahapan
yang luar biasa.
Sastrawan Pengecut segera berlutut sampai ketanah dengan hormat berkatakata, "Suhu, bagaimana suhu bisa berada disini?"
Orang tua yang berambut putih itu melirik ke batu nisan berkata, "Kau menunggui
kuburan disini?"
Dengan suara sedih Sastrawan Pengecut mengangguk, "Ya, suhu."
Orang tua berambut putih berkata, "Sebagai anak kau pantas berbakti pada orang
tua, tapi jangan lupa masih ada tugas yang lebih berat menunggumu untuk
diselesaikan."
"Murid tidak berani melupakan!"
"Sesudah tiga hari kau harus meninggalkan tempat ini." "Tiga hari?"
"Ehm, kau hanya boleh menjaga kuburan saja, tidak boleh ceroboh masuk ke
lembah itu!" <
"Apa suhu tahu jati diri orang dalam lembah itu?"
"Bo Yu Sien Ce pernah dekat dengan Bu lim Ce Cun."
"O, pantas Pui Cie mengenalnya , tapi ayahku...."
"Jawaban teka teki ini akan terbuka oleh diri Pui Cie."
"Kenapa suhu tidak mengijinkan murid mencari tahu sendiri kedalam lembah itu?"
"Tidak boleh, didalam lembah itu telah ditata penuh dengan segala macam
barisan yang aneh dan sukar, akupun tidak sanggup memecahkannya."
"Suhu, bolehkah aku memecahkan batu rebung itu?"
"Kau sudah lupa aturan yang digariskan kakek guru."
"Masih ingat."
"Kalau ingat itu bagus, sesudah tiga hari kau harus pergi, dan dengan cara
apapun kau harus mendekati Pui Cie, perhatikan gerak geriknya, berhubungan
dengan siapa saja dan jangan sampai dia tahu jati dirimu yang sebenarnya."
"Ya, suhu."
"Suhu masih banyak urusan yang harus diselesaikan, ingat kata-kataku!" setelah
berkata begitu sekelebat saja dia sudah menghilang.
0-0-0 Pui Cie langsung berjalan keluar gunung, sambil berjalan dia memikirkan ibu dan
anak' Bo Yu Sien Ce* dengan kematian ayah Sastrawan Pengecut 'Hu Leng Oen',
Ada hubungan apakah mereka sebenarnya"
Hu Leng Oen sudah menunggui lembah itu selama 10* dan akhirnya meninggal,
dalam pesannya meninggalkan penyesalan yang besar, "Bo Yu Sien Ce'
sedikitpun tidak ada rasa kasihan, malah mengatakan dia pantas mati, dan harus
mati, bagaimana ini semua" Hu Leng Oen juga menutup mulut rapat- rapat
terhadap anaknya, benar-benar tidak habis pikir.
Tang...Teng...Ting...Tung, tiba-tiba terdengar bunyi alat musik Pipha mengalun
bersama hembuskan angin, begitu merdu terdengar dan sayu.
Pui Cie tertegun, lalu berhenti, ditengah hutan belukar dari nama bisa terdengar
suara Pipha. Suara alat musik itu masih terdengar, bersama angin gunung cepat dan lambat
mengalun tinggi dan rendah, suaranya begitu merdu, orang yang tidak mengerti
musik pun akan tahu suara ini keluar dari tangan tangan yang sangat mahir.
Selidik punya selidik asal suara sepertinya datang dari puncak gunung yang tidak
begitu jauh. "Biarkan saja!" Dia bergumam lalu pergi.
Tapi suara pipha itu tak dapat ditahan, amat memikat, tidak mau didengar juga
tetap terdengar, Pui Cie terpaksa berhenti lagi.
Suara pipha tak putus-putus, suaranya jernih berdentingan diantara celah-celah
gunung, mengambang di atas awan, begitu menyentuh perasaan hati.
Segala sesuatu yang indah pasti disuka orang apalagi di alam seperti ini, selain
memikat juga ditambah keingintahuan dan kemisteriusannya.
Dengan tidak terasa, Pui Cie berjalan pergi menelusuri asal suara itu.
Di atas puncak agak pojok di atas sebuah batu besar terlihat sebuah bayangan
punggung yang memakai baju merah mencolok memeluk sebuah Pipha,
menghadap ke jurang terjal, badannya dibalut selendang sutra merah yang
melayang layang beterbangan ditiup angin, dibarengi suara Pipha seperti mau
terbang ke angkasa dan naik ke surga.
Dilembah sunyi dengan dentingan suara pipha, seorang gadis cantik dibalut sutra
merah, keadaan yang sangat menggoda.
Pui Cie berdiri dari kejauhan, dia seperti sudah lupa diri, tempat yang aneh,
takjub, ajaib dan indah, bisa ada seorang wanita bermain Pipha sungguh kejadian
yang luar biasa, apakah bukan karena susah mencari orang yang mengerti musik
ataukah mau mencurahkan perasaan hati pada gunung dan air"
Seorang wanita, seorang diri di tengah hutan puncak gunung, tak usah
disangsikan lagi pasti dia orang dunia persilatan dan orang yang sangat mahir
ilmu silatnya. Ting ting tung tung... Suara itu berbunyi terus seperti air mengalir dari atas
gunung membuat orang lupa segala urusan, juga seperti salju putih di musim
semi, membuat orang sangat nyaman dan lupa diri.
Wanita bersutra merah masih terus bermain pipha, seperti tidak merasa ada tamu


Pedang Bengis Sutra Merah ( Tan Ceng In) Karya See Yan Tjin Djin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang tak diundang sudah mendekat.
Pui Cie sudah terbenam dalam alunan suara yang indah itu, sudah lupa dirinya
berada dimana, dengan tanpa sadar dia berjalan mendekati wanita itu.
Tiba-tiba suara pipha berhenti mendadak, Pui Cie seperti terbangun dari alam
mimpi yang begitu indah didalam telinganya masih terasa suara merdu tadi.
Terdengarlah suara gadis berbaju merah berkata, "Kau juga suka alunan musik
ya" " Suaranya terdengar renyah seperti mutiara jatuh di atas piring giok.
"Teng...".tergetarlah hati Pui Cie, ternyata dia sudah mengetahui kedatangan Pui
Cie, mukanya terasa panas, dengan tersendat-sendat dia bertanya, "Musik ajaib
nona, biarpun cayhe tidak paham betul, sedikit banyak bisa menikmati juga."
Gadis berbaju merah tertawa renyah lagi, "Bukankah kau adalah Pui Cie yang
bergelar 'Sastrawan Putih' sudah tersohor di seluruh dunia persilatan?"
Pui Cie terkejut sekali, "Nona tahu darimana?" kata-kata ini meluncur begitu saja
dari mulutnya. Gadis berbaju merah menjawab, "Dengan melihat penampilanmu, di dalam dunia
persilatan tiada orang kedua lagi, ini hanya dugaanku saja."
Pui Cie menghela nafas dalam-dalam, "Boleh tahu nama panggilan nona siapa?"
Gadis berbaju merah terdiam sejenak lalu berkata, "Kau pasti bisa menebaknya.."
Muka Pui Cie memerah, dengan tersendat dia berkata, "Maafkan, cayhe betulbetul tidak tahu."
Gadis berbaju merah dengan sangat memukau tertawa lagi, "Yipha Yauci
pernahkah mendengar?"
Yipha Yauci', empat kata ini begitu terdengar, terkejutlah hati Pui Cie, semasa
hidup gurunya pernah menyinggung nama Yipha Yauci ini, dengan sebuah lagu
dia bisa mencabut nyawa, tapi dia seharusnya sudah lanjut usia mengapa
didepannya malah berupa seorang gadis usia belia" Apakah dia memiliki ilmu
merawat wajah" Atau...
"Yipha Yauci", berkata lagi gadis itu, "Tidak pernah mendengar?"
"Pernah. Tetapi..."
"Masalah umur yang tidak cocok?"
"Ya!"
"Tidak apa-apa, wajah cantik dan rambut yang memutih itu hanya masalah waktu
saja." Bingunglah Pui Cie, dia tidak tahu harus bagaimana menjawabnya, memanggil
sebagai nona, dia sesepuh, memanggil Cianpwe umurnya sepantaran dengan
dirinya. Yipha Yauci perlahan membalikkan badannya.
Segera didepan matanya terlihat jelas, nafas Pui Cie menjadi sesak dan
jantungnya seolah berhenti berdetak, matanya yang bening, giginya yang putih,
betul-betul merupakan sebuah bibit unggul. Umurnya terlihat 20 lebih sedikit,
dengan gelar Ratu Gaib terasa serasi sekali, dari pandangannya kelihatan ada
sinar kegenitan, lekuk badannya yang tertutup sutra merah begitu indah, kulitnya
putih seperti salju, disebut cantik memang ini adalah orang tercantik yang pernah
dia lihat, karena sudah cukup dewasa rasanya lebih memikat lagi.
Dibawah sinar matahari senja, sutra merah seperti segumpal api yang bisa
melelehkan siapa saja.
Sebagai manusia yang bukan terbuat dari kayu atau batu, timbulan pikiran aneh
pada diri Pui Cie.
Kalau dia memang telah berusia lanjut, dengan keadaan seperti ini betul-betul
telah merubah karunia alam semesta.
Yipha Yauci alisnya indah memikat, lirikan matanya sayu seperti riak
bergelombang, sekujur tubuhnya penuh daya tarik yang tak dapat ditolak, Pipha
Yauci betul-betul beda dari orang kebanyakan.
Nafas Pui Cie menjadi lebih kencang...
Yipha Yauci' juga menatap Pui Cie terus, wajahnya juga berubah-ubah, tidak tahu
apa yang sedang dipikirkan.
Dengan suara halus Yipha Yauci berujar, "Apakah kau mau mendengar aku
mainkan sebuah lagu?"
Tak kuasa menolak, Pui Cie menganggukan kepala.
Yipha Yauci dengan muka penuh senyum menggerakan jemarinya yang halus
memainkan senar seolah membereskan rambutnya.
Pui Cie seolah dibawa memasuki sebuah alam yang menakjubkan.
Suara musik ini terdengar seperti hanya ada di langit.
Di dunia ini tak mungkin bisa terdengar suara ini.
Dua kata ini paling pas menyatakan suasananya.
Pada saat itulah tampak tiga sosok bayangan seperti hantu muncul di belakang
Pui Cue. Orang yang ditengah berjubah indah dan bertopeng, yang dikiri seorang
terpelajar umur setengah baya bermuka sadis, yang dikanan seorang padri tua
berjenggot panjang.
Pui Cie yang sudah terbius oleh suara musik itu tidak menyadari, kecerdikannya
yang biasa hebat seolah hilang sama sekali.
Yipha Yauci berubah mukanya tetapi Pui Cie tetap tidak merasakan.
Orang bertopeng berbaju indah itu mengangkat tangan, lalu didorongkan, sebuah
tenaga dorongan yang luar biasa langsung menggulung dibelakang badan Pui
Cie. Pui Cie yang sedang terbius oleh suara musik tidak keburu lagi bereaksi,
badannya tersentak oleh tenaga bokongan, secara reflek badannya mencoba
bergeser menghindar sambil mengangkat telapak tangan berbalik menyerang,
tapi sudah terlambat setengah langkah, tenaga dahsyat itu sudah melanda
dirinya, dia terdorong kedepan empat sampai lima langkah.
Bersamaan waktunya sesosok bayangan merah pun bergerak,"Yipha Yauci"
sudah berada di samping belakang ketiga orang itu, di wajahnya sudah tidak ada
senyum yang menawan, yang tampak hanya ada kegelisahan.
Pui Cie berusaha menenangkan dirinya, terlihat jelas pembuluh darah di sekujur
tubuhnya seolah-olah mau pecah, mukanya yang cakap menampilkan nafsu
membunuh. Orang bertopeng yang berbaju indah ternyata adalah Shin Kiam Pangcu, ketua
perkumpulan Pedang Iblis sedang di kiri kanannya berdiri seorang yang terpelajar
setengah baya dan padri tua jengot panjang yang dia tidak kenal.
Tipu daya! Tidak di sangka "Yipha Yauci bermain Phipa diatas puncak gunung
merupakan siasat Shin Kiam Pangcu, kebencian baru dan dendam lama semua
mendesak keulu hatinya "Berdebah" suaranya keluar dari celah celah giginya.
Shin Kiam Pangcu tertawa berbahak-bahak sambil berkata, "Pui Cie, hari ini
tibalah ajalmu".
"Trang" terdengar suara Pa Kiam ( Pedang Bengis) di cabut Pui Cie dari
sarungnya. Senja meninggalkan sedikit warna merah di ufuk sana, tirai malam mulai di
turunkan, sorotan mata Pui Cie yang begitu gemas menyapu "Yipha Yauci" dia
tidak bicara apa-apa tapi sudah tersirat jelas maksudnya.
"Yipha Yauci "membalasnya dengan sebuah senyum aneh seperti tertawa tapi
bukan tertawa. "Pedang Bengis tidak berampun," bersamaan dengan teriakan keras Pui Cie
mengerakan Pedang Bengisnya, dengan suara menggelegar dia menyerang Shin
Kiam Pangcu. Secepat kilat Shin Kiam Pangcu juga mencabut pedangnya untuk menahan
serangan Pui Cie, terdengar suara bentrokan logam beradu yang memekakan
telinga, kedua belah pihak masing-masing terdorong mundur selangkah.
Begitu Pui Cie mundur padri tua berjengot putih segera menggerakan tangannya
melepaskan satu angin pukulan yang amat dahsyat dan menakutkan, Pui Cie
mencoba memberi perlawanan tapi agak terlambat, tubuhnya terdorong jauh.
Melihat ada kesempatan orang terpelajar setengah baya menggunakan
kesempatan itu melepaskan satu pukulan pula, sehingga Pui Cie tak ada
kesempatan berpikir dab menganti nafas lebih lanjut sudah terdorong lagi, ketika
tubuhnya sempoyongan Shin Kiam Pangcu sudah menyerang lagi dan
mengurungnya dengan menggerakan pedangnya..
Pui Cie dengan penuh amarah tergesa-desa mengangkat pedangnya menahan
semua serangan, tapi karena tenaganya belum bisa terkumpul, kembali dia
terdorong mundur tiga langkah besar sekarang tempat berdirinya berada di
pinggir jurang yang dalam.
Padri tua dan orang terpelajar setengah baya juga sudah mencabut pedangnya,
tiga pedang berkilauan berbareng menyerang Pui Cie.
"Yipha Yauci" hanya mengerutkan kening nya, dia tidak bergerak dia masih tetap
berdiri ditempatnya semula.
Pembuluh darah Pui Cie seolah-olah mau pecah menahan amarah akibat
keroyokan ketiga lawannya, dengan mengatur nafasnya mengumpulkan tenaga
Pui Cie bersiap-siap menyerang mempertaruhkan nyawa, bayangan orang
berkelebatan, hawa pembunuhan terasa kental sekali.
"Yeah" terdengar suara yang bergetar, tiga pedang menyerang bersamaan dari
tiga penjuru. Untuk menghadapi seorang Shin Kiam Pangcu saja Pui Cie sudah kewalahan
apalagi di tambah dua orang yang berilmu cukup hebat, dia menyadari
keadaannya sangat gawat, segera dia memompa semua tenaganya yang
tersimpan, dia mengeluarkan jurus-jurus Pedang Bengis yang pernah
menggetarkan dunia persilatan, terdengar suara beradu pedang yang bertubi-tubi
hingga memekakan telinga, mereka kadang terlihat bergerak rapat kadang
berjauhan. Muka Pui Cie mulai memerah, urat hijau di kening bermunculan.
"Serang!" Shin Kiam Pangcu berteriak keras, tiga buah pedang menyerang
bersamaan lagi, lebih ganas lagi, seperti angin puting beliung, bergulung-gulung
memanjang ke langit.
Keadaan menakjubkan ini hanya sebentar, Pui Cie sudah terdesak mundur jauh.
Shin Kam Pangcu tertawa penuh kemenangan lalu berkata, "Pui Cie, mulai hari
ini lenyaplah audah namamu di kalangan dunia persilatan!"
Padri tua dengan suara seperti genta menggelegar juga menyahut, "Hong Shui
disini juga baik sekali, tempat ideal untuk beristirahat selamanya."
Orang terpelajar setengah baya dengan sinis berkata, "Pui Cie, kalau kau terjun
sendiri ke jurang, mayatmu akan tetap lengkap."
Pui Cie melototkan matanya seperti mau ^pecah, dalam keadaan hidup dan mati
dia sedapat mungkin menahan diri, saat ini bila ada sedikit rasa gusar, maut akan
langsung datang menghampirinya.
Dalam kemilau sinar pedang, tiga mata pedang panjang sudah kembali
menyerang laksana tiga gelombang laut.
Tenaga tekanannya seperti gunung runtuh, Pui Cie terdesak mundur lagi tiga
empat langkah. Sekarang tinggal sedikit lagi ke bibir jurang.
Kemudian dalam teriakan yang gemuruh, gelombang, serangan keempat yang
lebih dahsyat sudah dilancarkan.
Pui Cie melawan sekuat tenaga tapi apa boleh buat menahan tiga pedang terlalu
berat baginya, biar bagaimanapun hebat pedangnya, yang dulu bisa merajalela di
dunia persilatan menghadapi tiga mata pedang yang telah bersatu, tekanannya
sudah melebihi kemampuan yang dimiliki Pui Cie, dia tak kuasa menahan dan
mundur terus. Yipha Yauci ikut menjerit sekuat tenaga.
Langkah Pui Cie terakhir sudah tidak menginjak tanah, belum sempat menjerit
badannya dengan cepat tergelincir jatuh ke dalam jurang.
Shi Kiam Pangcu menengadahkan wajahnya ke langit sambil ketawa terus
berkata, "Biang dendam telah dimusnahkan, aku sekarang bisa bernafas lega, tak
disangka kali ini datang bertepatan dengan waktu yang baik bisa menyelesaikan
masalah besar ini, atas bantuan anda bertiga aku mengucapkan banyak
terimakasih!" selesai berkata itu dia tertawa lagi.
Padri jenggot putih dan orang terpelajar setengah baya bersama-sama berkata,
"Pangcu jangan berkata begitu."
Yipha Yauci diam tidak bersuara, dia termenung memandang kearah jurang yang
tidak kelihatan dasarnya, seperti banyak persoalan yang dipikirkannya.
Shin Kiam Pangcu dengan mata berbinar berkata, "Tetapi untuk urusan ini mohon
anda bertiga merahasiakan dulu, sebab di belakang orang ini banyak kawannya
yang sulit dihadapi."
Waktu itu tiba-tiba muncul sebuah suara yang keras, "Kalau tidak mau orang lain
tahu, janganlah melakukannya!"
Empat orang ini kaget sekali, mereka saling berpandangan, kemudian memencar
diri ke empat penjuru, tak lama kemudian setelah balik lagi ke tempat asal,
dengan berat, Shin Kiam Pangcu berkata, "Aneh! Bayangannyapun tak terlihat.!"
Padri tua dengan tersendat-sendat berkata, "Dengan keahlian kita berempat
masih tak bisa menemukan bayangannya, berarti orang ini amat tangguh ilmu
silatnya."
Orang terpelajar setengah baya itu ikut menyambung, "Menurut pendapat
Pangcu, siapakah kira-kira orang ini?"
0-0-0 Lolos dari tempat maut
Shin Kiam Pangcu berkata, "Kalau mendengar suaranya umurnya tidaklah muda
lagi, tapi sekarang belum bisa terpikirkan siapa dia..."
"Creng!" tiba-tiba "Yipha Yauci" memetik senar sambil berkata, "Apakah perlu
memeriksa mati hidupnya 'Pui Cie' dulu"
Padri tua itu menyambung, "Di bawah patahan gunung ini adalah jurang terjal, tak
ada jalan keluar, si keparat itu jatuh ke jurang pasti sudah hancur lebur, ada umur
pun tak akan hidup lama, apalagi jurang ini dalamnya tak bisa diukur, bagaimana
cara memeriksanya?"
Orang terpelajar setengah baya dengan risau menyahut, "Sekarang yang perlu
dikhawatirkan adalah si tua yang terdengar suaranya namun tidak terlihat
bayangannya, masalah ini kalau sampai tersiar ke dunia persilatan akan
mendatangkan banyak musuh bagi perkumpulan kita..."
Tiba-tiba suara tua tapi kuat itu datang lagi, "Tidak itu saja, perkumpulan Shin
Kiam Pang tidak akan luput dari nasib hancur lebur!" Suara ini seperti dekat tetapi
jauh, seperti gema dari lembah gunung, sulit untuk menentukan orang itu
darimana asalnya.
Empat tokoh yang merasa wah ini saling berpandangan.
Shin Kiam Pangcu dengan lantang, "Tuan jago darimana" silahkan keluarlah
untuk bertemu!"
Suara tua itu berkata, "Tidak perlu, aku orang tua tidak suka bertemu dengan
orang asing, kita lihat saja permainan bagus ini di kemudian hari."
Padri tua jenggot putih dengan suara keras berkata, "Berkata dengan sembunyisembunyi orang macam apa itu?"
Tapi tidak ada reaksi atas omongannya, entah sudah pergi atau tidak mau
menjawab. Shin Kiam Pangcu dengan tangan memanggil ketiganya untuk mendekat dengan
suara yang amat rendah berkata, "Kita berpencar mencari, bagaimanapun juga
harus ketemu, begitu bertemu langsung memberi tanda."
Keempat orang itu melompat berpencar, perbukitan itu kembali sunyi senyap
seperti tidak pernah terjadi apa-apa.
Dalam kegelapan malam, seseorang yang kurus kecil muncul di bibir jurang,
melompat kebawah, menghela nafas sebentar kemudian menghilang.
0-0-0 Pui Cie yang terjatuh ke jurang setelah diserang tiga orang musuhnya, badannya
meluncur lebih cepat seperti bintang yang jatuh, bagi seorang yang mahir ilmu
silatnya, dia merasa ada semacam cara untuk menahan luncurannya, dengan
menyepakan kaki bersalto beberapa kali untuk mengurangi kecepatan, tentu ini
hanya gerakan reflek saja, hidup atau matinya tidak bisa ditentukan olehnya
sendiri. "Plang!" Badannya terhempas di atas sebuah benda empuk, kemudian
menggelinding ke bawah.
Selanjutnya terdengar suara merintih yang rendah dan pendek.
Ajaib! Tidak mati terjatuh sungguh ajaib, Pui Cie setelah menenangkan diri dan
perlahan barulah dia duduk, begitu dilihat disisi badannya ada orang yang
telungkup, sadarlah dia, ternyata dia jatuh menghantam badan orang ini sehingga
terhindarlah dia dari maut, ini adalah suatu keajaiban, anugrah Tuhan.
Seputar tempat ini penuh batu runcing, bergeser sedikit saja pastilah kepalanya
hancur dan tulangnya remuk, tak mungkin lagi bisa hidup.
Karena masih merasa ngeri, sekujur tubuhnya basah oleh keringat.
Siapakah dia" Kenapa bisa berada di dalam jurang ini"
Setelah tenang, dia memeriksa sekelilingnya dengan mata dan menjipit, ternyata
orang ini adalah Ke Co Ing yang membantu Shin Kiam Pangcu menjadi
pembunuh bayaran, juga sebagai kekasih gelap Ma Gwe Kiau, bagaimana dia
bisa jatuh juga kesini"
Kaki dan tangan Ke Co Ing bergoyang beberapa kali lalu dia membuka mulut dan
berkata,"siapa yang mengejar kesini menemaniku?" Suaranya sangat lemah.
Pui Cie berdiri, mengigit bibirnya kencang-kencang dengan suara menggigil
berkata, "Ke Co Ing, di dunia ini jalanan lebar, tapi buat kau dan aku, jalanan itu
terasa sempit sekali."
Dengan membuka mata yang sayu dan berputar-putar Ke Co Ing tertawa, "Hebat!
Pui Cie sungguh hebat!"


Pedang Bengis Sutra Merah ( Tan Ceng In) Karya See Yan Tjin Djin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Benar hebat, menghemat tenagaku mencari dirimu!"
"Kau., mau membunuh orang?"
"Betul, kalau tidak membunuhmu, apa jadinya nanti?"
"Bagus! Ini bisa., bisa mengurangi penderitaanku, tetapi kau juga tidak akan bisa
hidup lama, ini adalah sumur raksasa alami.. Kecuali ketiakmu bisa tumbuh
sepasang sayap, kalau tidak, kau takkan bisa terbang keluar."
"Itu masalah lain, Ke Co Ing, kenapa Ma Gwe Kiau orang yang sadis itu tidak
bersamamu" Kalian biasa bersama-sama sehidup semati."
"Pui Cie, ada kau menemaniku disini, menyenangkan sekali."
"Dengar, orang yang bermarga Ke, kenapa kau menyuruh orang mengembalikan
buku pusaka?" "Aku., tidak membutuhkan!" "Setengah bukupun tidak mau?"
"Kau., juga sudah tahu?" "Setengah buku lagi ada dimana?"
"Tidak., tahu!" Dua matanya menutup lagi nafasnya seperti mau putus.
Pui Cie memandang lagi ke atas, benar-benar seperti duduk di dasar sumur,
hanya terlihat sekerat langit, diatas langit bintang berkelap kelip, empat sisi
dindingnya licin seperti dipapas pisau, kaki dinding menyusut ke samping, benarbenar tempat yang strategis, ilmu setinggi langitpun takkan bisa keluar, hatinya
jadi menciut, samar-samar dia seperti sudah bisa melihat nasibnya sendiri.
Saat ini dia kalau mau membunuh Ke Co Ing adalah mudah sekali tetapi dia tidak
tega, mereka sekarang senasib, menanti kematian.
Ke Co Ing membuka lagi matanya, dengan susah dia berkata, "Pui Cie, kau
masih., menunggu apa" Cepat lakukan..!"
Pui Cie dengan gemas mengadukan giginya, bertanya, "Ke Co Ing, kenapa kau
bisa jatuh kesini?"
Ke Co Ing dengan nafas tersengal-sengal berkata, "Ini...adalah perbuatan... Shin
Kiam Pangcu..."
Pui Cie jadi gergetum, dia juga terkena siasat Shin Kiam Pangcu. Karena Ke Co
Ing merebut istri Shin Kiam Pangcu yaitu Ma Gwe Kiau. Kemarahannya tentu saja
membuat Shin Kiam Pangcu mesti membunuhnya, baru puas hatinya, kalau
begitu, Ke Co Ing juga yang menjadi target Shin Kiam Pangcu, dirinya juga hanya
kebetulan saja menjadi sasaran, berfikir sampai begitu dengan suara gemetar
bertanya la^i, "Siapa Shin Kiam Pangcu yang sebenarnya" bagaimana asal
usulnya?" "Kau., ingin tahu?"
"Tentui"
"Aku... tentu., akan beritahu padamu... supaya kau., mati bisa., dengan mata
meram...!"
Pui Cie gemetaran, dengan nada keras menyentak berkata, "Siapa dia?"
Ke Co Ing berkata dengan terpatah-patah berkata, "Pedang Nomor Satu Phei
Chen." Pui Cie seperti tersambar petir, badan sempoyongan dan menjerit, " jadi dia
adalah Phei Cen!"
Ke Co Ing dengan sinis berkata, "Kau... sekarang bisa...menutup matakah?"
Pui Cie seperti sudah gila, dia menjerit mengangkat tangan langsung dipukulkan,
terbang melayanglah badan Ke Co Ing, terhempas jauh seperti seekor anjing mati
tidak bersuara lagi dia tadinya sudah sekarat, mana bisa tahan terkena pukulan
Pui Cie yang seperti lagi kerasukan setan.
"Duk" Pui Cie terduduk, sekujur tubuhnya terasa lelah sekali.
Nama baik perguruannya masih belum pulih, tak disangka malah bertambah
hancur di tangan si berdebah itu! Betul-betul matipun takkan menutup mata.
Entah sudah berapa lama, Pui Cie menjerit sejadi-jadinya, "Phei Cen, aku akan
membunuhmu!"
Bergemalah suaranya di empat dinding itu, bunuh kau..bunuh kau...
Sesudah agak tenang, dia berdiri lagi, memekik dengan gigi gemertakan, "Aku tak
boleh mati aku harus keluar aku mau membersihkan nama baik perguruan dan
menghukum Phei Cen sesuai dengan tata tertib perguruan!" Suara gemanya
muncul lagi, tata tertib...tata tertib... seperti mempermalukan nasib, dia sedikit
menyesal dia seharusnya lebih banyak menanyai Ke Co Ing, tetapi setelah
dipikirkan kembali sepertinya berlebihan, sudah pasti diapun akan menemui ajal
disitu, tahu banyak atau tahu sedikit pun tidak ada gunanya.
Pelan-pelan dia tenang kembali, tapi bayangan maut masih menyelimuti hatinya
terus, dia berpikir bolak balik masalah yang terjadi beberapa tahun terakhir ini,
mengingat setiap orang yang dia kenal, tidak ada sarupun yang dia rindukan saat
menjelang kematianya, dia merasa sendirian dan kesepian, didunia ini siapa yang
akan meratapi kehilangan nyawanya"Lie Se Kian hanya nama saja sebagai istri,
hubungannya terputus setelah ibunya meninggal, istrinya yang sebenarnya ialah
Hie Ki Hong. Mereka dinikahkan secara tidak wajar dipaksa oleh ayah angkatnya,
San Chai Men Cu. Tapi hubungan mereka sebenarnya tidak dilandasi oleh kasih
sayang. Kalau mau dibilang yang nanti betul-betul sedih akan kematianya adalah
bibinya Nam Kong Phang Teng, tapi diapun seorang wanita yang bernasib tragis
juga. Mempertahankan hidup adalah kemampuan yang dimiliki setiap manusia, biar
bagaimanapun sebelum harapan itu benar-benar putus, orang tetap akan
mencarinya. Pui Cie mulai berkeliling mencari harapan.
Bersamaan waktunya di atas bukit jurang muncul sebuah bayangan aneh, seperti
sebuah bola sedang menggelinding, pas berhenti di bibir jurang, bayangan aneh
itu berobah menjadi seorang tua yang kurus, karena tubuhnya memanggul
segulung besar rotan hutan maka kelihatan bayangannya agak aneh.
Sekarang bila dilihat dari dekat ternyata dia adalah seorang tua berambut putih,
dia muncul waktu Pui Cie terjatuh ke dalam jurang.
Orang tua rambut putih itu berguman sendiri, "Dia tidak boleh mati begitu saja,
terlalu kejam kalau dia harus mati dengan cara ini, tapi siapa yang tahu dia
sekarang hidup atau mati" Biarkanlah saja kuda yang sudah mati, cobakah
selamatkan kuda yang masih hidup.
Setelah itu dia mengulurkan rotan hutan itu ke dasar jurang, segulung demi
segulung sampai habis. Dia berguman lagi, "Entah cukup panjang tidak" Kalau
orangnya masih hidup dia akan menemukan rotan yang menjuntai ini"
Di dasar jurang saat itu Pui Cie sedang bimbang dan putus harapan, mendadak
dia melihatkan sebuah benda seperti tali menjulur dari atas jurang ke bawah.tak
terasa dia menjerit, "Wah!"
Di tempat begini, selain ular, ada apa lagi"
Benda yang seperti tali itu berhenti di tengah-tengah, jarak ke dasar jurang masih
cukup jauh. Pui Cie tangannya sudah memegang pedang, dia melihat ke atas, benda itu
terjuntai begitu saja tak bergoyang lagi.
"Bruk" sebuah suara keras terdengar di kuti segumpal bola api, Pui Cie sangat
kaget dia mencari tahu, ternyata sebuah batu besar jatuh dari atas.
Batu itu tergelincir jatuh sendiri atau ada orang sengaja menjatuhkannya ke
jurang ini"Atau terbawa jatuh oleh ular yang merayap itu"
Pui Cie memutar otak terus, akhirnya dapatlah dia sebuah akal, benda panjang itu
dilemparnya dengan, sebuah batu karena terkena lemparan barang itu goyanggoyang sebentar lalu diam lagi, kalau itu barang hidup tak mungkin tak bereaksi,
tapi benda apakah itu"
Berada di tempat yang tragis dengan harapan hidup tipis apalagi yang perlu
ditakuti" Pui Cie sudah tak pikir banyak lagi dia mau lihat benda apa itu setelah, dia
mengumpulkan semua tenaga, melompat ke atas kira-kira 10 meteran dia
memutarkan badan, kakinya menerjang dinding jurang, memutar lagi dan
seterusnya sampai dia dapat meraih benda panjang itu, sekujur tubuhnya
sekarang menggelantung di udara, yang dia raih ternyata adalah rotan gunung,
senangnya bukan main harapan mencari kehidupan membara lagi, kedua
tangannya bergantian mengikuti rotan itu naik ke atas.
Sebuah keajaiban lagi, dia bisa keluar dari jurang dan menghirup udara bebas
lagi. Tidak ada seorangpun di atas jurang, rotan itu di kat di sebuah batu yang
menjorok ke luar.
Karena kaget bercampur gembira gemetarlah seluruh badan Pui Cie, matanya
menyapu empat penjuru. Dia berpikir, "Siapakah yang mengulurkan rotan untuk
menolong dirinya" Kenapa orangnya tak ada disini?" selagi berfikir begitu dia tak
terasa bertanya, "Siapakah yang menolongku?" Berturut-turut tiga kali dia
bertanya, tapi tidak ada sahutan.
Dia tidak habis pikir, orang ini menolong tapi tak mau menampakkan diri, orang ini
bisa menolong dengan rotan pasti dia melihat kejadian dirinya jatuh ke dalam
jurang, mengumpulkan rotan lima puluh meteran bukan satu usaha yang mudah,
apakah setelah mengulurkan rotan ke bawah karena tidak ada reaksi apa-apa,
dikiranya usahanya sia-sia lalu di tinggal pergi, ini menurut perkiraannya yang
masuk diakal. "Siapa ya" Siapa ya"...", Pui Cie bertanya dalam hati, tidak terpikirkan sedikitpun
siapa orang yang menolongnya.
Di ufuk timur langit mulai memutih, subuh segera tiba.
Karena tak terpikir siapa yang menolong, teka teki ini sementara disimpan di
lubuk hati. Teringat lagi kata-kata Ke Co Ing sebelum mati, darah dalam dadanya
mulai bergejolak lagi, dengan tidak sengaja terbukalah tabir rahasia Shin Kiam
Pangcu yang sebenarnya, sebuah hasil yang luar biasa.
Banyak sekali kecurigaan yang dulu mengganjal sekarang sudah mendapatkan
jawaban, pantas Shin Kiam Pangcu selalu memakai topeng untuk mengelabui
orang, ternyata dia adalah pengkhianat perguruannya, selama duapuluh tahun ini
tidak tercium jejaknya, begitu rapi dia menyimpan rahasia, sepertinya dari dulu tak
ada orang seperti dia, dikemudian haripun takan ada orang yang dapat
menyamainya. Pui Cie menggigit rapat-rapat mulutnya, dia berpikir lagi, "Phei Chen begitu
melihatku, langsung tahu jati diriku dan memcoba membunuhku, aku yang tertipu
dari awal sampai akhir tidak tahu bahwa Shin Kiam Pangcu adalah jelmaan Phei
Chen. Demi mendapatkan sebuah buku ilmu silat yang tiada taranya, dia menyerang
markas Khang-Khang Mui ketika anak buahnya sedang beristirahat, mereka
diserang dan semuabta terbunuh, dia berhasil merebut setengah buku pusaka
ilmu silat pada bagian belakang, kalau dia berhasil menguasainya dia akan
seperti macan tumbuh sayap, nantinya untuk melawan dia amatlah sulit.
Apakah sekarang dia masih berada di gunung ini...?"
Berikir sampai disitu, dia menunda dulu penyelidikan bagaimana dia bisa
tertolong, cepat-cepat dia meninggalkan bukit, berjalan tanpa tujuan dengan
harapan bisa menemukan jejak Phei Chen dan kawan-kawannya.
Bayangan Yipha Yauci menghantuinya, dengan gemas dia berpikir,"Kalau bukan
wanita siluman ini, aku takkan terjerumus ke dalam jurang dan hampir kehilangan
nyawa, kalau ketemu dengannya lagi aku akan bunuhnya, dua orang lagi yang
mencoba membunuh yaitu padri tua jenggot putih dan orang terpelajar setengah
baya, mereka berilmu silat cukup hebat, tapi tidak tahu bagaimana asal usulnya,
bagaimana mereka bisa diperalat oleh Phei Chen?"
Sampai siang, dia sudah memeriksa beberapa puluh mil hutan pegunungan,
sedikitpun tidak menemukan apa-apa, terpaksa dia putar haluan menuju keluar
gunung. Sesudah keluar, yang pertama tama dia lakukan adalah mencari makanan dulu,
masuklah dia ke kampung terdekat.
Sambil makan dia berencana, apa langsung ke Cao Yang yang menjadi Pusat
Perkumpulan Shin Kiam Pang nya Phei Chen" Sekarang langkahku sulit
mengelabui intaiannya, harus menggunakan akal apa untuk mengelabui semua
ini" Hatinya menjadi kesal dan kacau, sampai terasa ada seseorang yang begitu
dikenal tiba didepan matanya, dengan perasaan senang dia menemuinya, "Tu
Sing Sien" seorang cianpwe yang seangkatan dengan ayahnya.
Pui Cie seperti menemukan kerabat di kampung orang, dia berdiri menyambut
kedatangannya dan berkata, "Cianpwe, apa kabar" Senang berjumpa anda
disini!" "Tu Sing Sien" mengangguk-anggukan kepalanya, langsung menuju meja dan
duduk disebelah Pui Cie. "Kebetulan sekali bisa ketemu denganmu disini."
Setelah pelayan mengantarkan sayur dan arak, orang muda dan orang tua itu
mulai minum bersama. Tu Sing Sien minum terus tidak berkata-kata.
Pui Cie tiba-tiba teringat belum lama ini telah ada orang yang menyamar sebagai
dirinya, membunuh anak buah Ying Ce Jin, Saudara seperguruannya Tu Sing
Sien , 5 orang tua dan 3 orang anak muda terbunuh, orang itu juga berhasil
mencuri setengah buku pusaka yang tiada taranya, karena salah paham ini
hampir terjadi pertumpahan darah dengan dirinya, diduga semua perbuatan ini
adalah perbuatan Phei Cen dan anak buahnya.
Pui Cie menjadi tidak enak berdiam diri terus, setelah berturut-turut minum tiga
cawan, dia mulai berkata, "Wanpwe sudah mengetahui dimana keberadaan Phei
Cen?" Mata Tu Sing Sien berbinar ."Benar?"
"Benar, sedikitpun tidak meleset!"
"Bagaimana bisa mendapatkan beritanya?"
"Yang mengatakannya ialah Ke Co Ing, dia menjabat sebagai pembunuh bayaran
di Shin Kiam Pang dia bercerita semua sebelum ajalnya tiba.
"Ow.. Coba ceritakan."
Pui Cie mulai cerita dari ketika dia memenuhi permintaan Sastrawan Pengecut
masuk gunung Pinus sampai terbujuk suara piphanya Yipha Yauci, terkena
perangkap kemudian jatuh kejurang semuanya tidak ada yang terlewat.
Setelah mendengar semuanya Tu Sing Sien dengan keras memukul meja dan
berkata, "Tak disangka! Sungguh tak disangka! Phei Chen selama dua puluh
tahun menyamar dan mengelabui semua orang, kalau bukan kebetulan kita tidak
mungkin bisa membuka kedok dia, kalau begitu, kita harus... merubah semua
strategi."
Saat ini masuklah dua orang tamu yang penanpilannya seperti ayah dan anak,
penanpilannya seperti orang kampung, orang yang lebih tua begitu melihat Pui
Cie merasa kaget sekali, cepat-cepat dia menarik pemuda di sisinya, memberi
isyarat dengan mata lalu berkata, "Nak, aku mendadak teringat sesuatu urusan,
harus segera diselesaikan lain kali saja kita makan disini."
Pemuda itu juga melihat Pui Cie, wajahnya ikut berubah, menjawab, "Ayah, ayo
kita jalan lagi."
Pui Cie sama sekali tidak melihat perubahan wajah sepasang ayah dan anak itu,
dia berkata, "Cianpwe, anda barusan bilang..."
Tu Sing Sien mengangkat tangannya berkata, "Tutup mulut dulu, ada apa-apa
nanti kita bicarakan lagi."
Pui Cie tercengang. Ayah dan anak itu melihat lagi kepada Pui Cie, kemudian
pergi dengan tergesa-gesa.
Tu Sing Sien memanggil pelayan dan membayar makanan, sambil berdiri dia
berkata, "Ayo kita jalan!"
Pui Cie dibuat bingung ikut-ikutan berdiri keluar warung, tapi dia tidak tahan
bertanya," Cianpwe, ada apa ini?"
"Ikuti sepasang ayah anak itu jangan sampai lepas."
"Ini..."
"Cepat!"
Dua orang itu dari jauh membuntuti, tidak lama sampailah di sebuah tempat sepi
di pinggir gunung, Tu Sing Sien berkata, "Cepat sedikit habisi kedua ayah dan
anak itu!"
Pui Cie berdebar hatinya, dengan suara gemetar, "Membunuh mereka?"
0-0-0 Menyamar Thu Sing Sien mengedipkan matanya, "Kenapa"
Kau tidak berani membunuh" Hayo cepat! Jangan memberi mereka kesempatan
untuk menyampaikan berita ini."
Hati Pui Cie terguncang, "Menyampaikan berita"... Jangan-jangan.."
Thu Sing Sien mendesak, "Mereka adalah mata-mata Shin Kiam Pangcu,
mengerti?"
Pui Cie begitu mendengar tidak banyak berfikir lagi, secepat angin dia mengejar
dan menghadang di depan mereka.
Si tua dan anak muda itu sama-sama menjerit kaget, muka mereka kelihatan
ngeri dan takut, dengan suara gemetar si tua berkata, "Anak muda, mengapa
menghalangi jalan kami ayah dan anak?"
Pui Cie dengan dingin menjawab, "Bukankah kalian mau pergi melaporkan bahwa
Pui Cie masih hidup?"
Dua orang tua muda ini dengan muka pucat pasi mundur terus, yang muda
berkata, "Orang muda, kami ayah dan anak., orang baik-baik... dalam gunung ini,
kau... bilang apa... kami tidak mengerti.."
Thu Sing Sien mendekat dan memotong perkataan, "Menjadi mata-mata Shin
Kiam Pang yang sudah banyak melakukan kejahatan, sekarang mati juga tidak
berlebihan."
Habis bicara, dia menatap Pui Cie, "Apa yang masih kau tunggu?"
Dua orang mata-mata tua dan muda melejit kesamping mencoba meloloskan diri..
Pui Cie merobah posisinya, jari jarinya bergerak seperti mengeluarkan aliran
listrik, terdengar dua kali suara mengaduh, jatuhlah kedua orang itu ke tanah.
Kata Thu Sing Sien, "Cepat seret ke pinggir hutan dan kuburkan!"


Pedang Bengis Sutra Merah ( Tan Ceng In) Karya See Yan Tjin Djin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pui Cie menurut, ditariknya kedua mayat mata-mata itu ke pinggir hutan, lalu
menggali lubang dan menguburnya, tanah di atasnya dirapikan lalu ditutupi
dengan ranting-ranting kering dan dedaunan dengan cepat.
Thu Sing Sien berdiri dipinggir dan mengacungkan jempol, "Nah, ini baru
namanya bekerja!"
Pui Cie dengan pelan bertanya, "Cianpwe, kenapa., mereka tidak di nterogasi
dulu?" Thu Sing Sien melongok keluar hutan berkata, "Di daerah ini sekarang banyak
mata-mata, gerak gerik kita tidak boleh ketahuan mereka, apalagi tentang dirimu
yang masih hidup."
Pui Cie mengangguk-angguk dengan terharu, dia bertanya lagi, "Apakah
rombongan Shin Kiam Pang masih berada disekitar sini?"
"Ya, itu sudah pasti!"
"Apa maksud tujuan operasi mereka ini?"
"Mereka sedang mencari jejak Tuan Chang Hua Ma Gwe Kiau."
"Ma Gwe Kiau bersembunyi di hutan pohon pinus ini?" "Sudah tentu, kalau tidak
mana mungkin Ke Co Ing bisa mati didalam jurang?"
"Cianpwe sudah., tahu semua?"
"Tahu operasi mereka tapi tidak tahu ketua Shin Kiam Pang yang sakti adalah
Phei Cen."
"Tadi di warung Cianpwe bilang semua rencana harus diubah.."
"Ya, kalau tidak bertemu dirimu, aku dapat sedikit kabar saja sudah puas, tapi
sekarang setelah tahu Shin Kiam Pangcu adalah Phei Cen, urusan jadi lain
persoalannya."
Sesudah pikir bolak balik Pui Cie. berkata, "Maksud Cianpwe.. kita harus
melakukan apa dulu?"
Thu Sing Sien menggoyang-goyang tangan, "Jangan bilang kita berdua, yang
bertindak adalah dirimu, aku hanya mendukung saja, tidak ikut-ikutan."
Dengan ketawa kikuk Pui Cie berkata, "Wanpwe tahu peraturan Cianpwe tak
boleh dilanggar, tapi Wanpwe ingin tahu siapa mereka yang menjadi pengikut
Shin Kiam.."
Tu Sing Sien mengangkat bahu, "Masalah kedua orang ini, orang terpelajar itu
adalah Ti Kuang Beng dengan panggilan Kui Siu Chai (Sastrawan Iblis), di dunia
persilatan selatan, tak ada orang yang mau berurusan dengan bajingan ini, dia
bengis luar biasa, cerdik banyak akal, sedangkan Padri tua itu adalah Guan Cen
Ce dari aliran Kong Tong yang sudah kesohor namanya sebagai Padri cabul, dia
penjahat dari luar daerah, anak kecil kalau malam hari tak berani menangis bila
mendengar namanya.."
Pui Cie menghela nafas,"yang wanita itu.."
"Yipha Yauci?"
"Ya, menurut Wanpwe seharusnya umur dia sudah uzur.."
"Kau salah, dia bukan Yipha Yauci yang sebenarnya, tapi penerusnya namanya
Liu Siang E, tapi dia tetap memakai panggilan siluman tua itu."
"O, begitu.."
"Binatang sejenis selalu bersatu, serigala dan rubah sama saja."
Terdiam sekian lama, Pui Cie bicara lagi, "Wanpwe tidak habis pikir, siapakah
yang mengulurkan rotan untuk menolongku?"
Thu Sing Sien dengan tenang berkata, "Kalau tidak terpikirkan biarkan saja nanti
juga akan ketahuan, pokoknya tentu bukan musuh, kalau musuh tak mungkin
mau menolong, sekarang kita bicarakan yang serius saja, asal usul Shin Kiam
Pangcu yang tahu hanya kau dan aku, kau bisa lolos dari maut tidak ada orang
ketiga yang tahu, makanya..."
Pui Cie sudah tidak sabar, "Makanya bagaimana?"
Thu Sing Sien bilang, "Sementara menyamar!"
"Menyamar?"
"Ya, kalau tidak percuma kau mati satu kali, juga jangan berharap bertemu
dengan Phei Cen, asal dia tahu kau masih hidup, sulit dibayangkan dia akan
bertindak seperti apa padamu."
"Ya, ini., sudah bisa ditebak, tapi bagaimana caranya merobah penampilan?"
"Hei.. Hei.. ini kan keahlianku!" sambil merogoh baju depan mengeluarkan sebuah
botol poselen kecil ditumpahkan keluar 2 butir pil sebesar biji lengkeng hitam dan
putih, dia berkata, "Pil merobah warna ini tidak mudah didapat, seumur hidupku
baru satu kali memakai 2 butir, sekarang sisa empat butir, untukmu dua butir, sisa
2 butir terakhir..."
"Pil merubah warna?"
"Eh! di dunia persilatan tidak banyak orang yang pernah mendengar barang ini,
yang hitam begitu diminum, kulit langsung berobah, yang putih untuk kembali ke
bentuk semula, setelah berubah tidak takut kena sinar matahari dan air,
kehidupan sehari-hari tidak terganggu, ini teknik terbaik di bidang merobah
wajah." "Sekarang kau minum yang hitam, yang putih disimpan baik-baik, kalau tidak
seumur hidupmu jangan harap bisa kembali lagi kewajahmu seperti semula."
Setelah diterima, Pui Cie ragu juga, tapi akhirnya dikunyah dan ditelan juga pil itu
dengan air liur, yang putih dia simpan baik-baik dalam bajunya.
Thu Sing Sien mengeluarkan sebuah baju sutra ungu, diberikannya kepada Pui
Cie, "Coba pakai dulu baju ini, mungkin cocok dengan tubuhmu."
Dengan kagum Pui Cie berujar, "Cianpwe... Sudah mempersiapkan semuanya?"
Thu Sing Sien menjawabnya, "Cobalah dulu, ini tidak khusus untukmu."
Pui Cie menerimanya dengan mencoba, ternyata pas sekali seperti dibuat
menurut ukuran badannya, tiba-tiba dia melihat warna kulit kedua buah
tangannya menjadi coklat, dan kulit wajahnya juga ikut berubah, dengan kaget dia
berkata, "Benar-benar ajaib.." belum selesai dia berkata, suaranya menjadi serakserak seperti suara orang lain, asing sekali rasanya, pil itu bukan saja telah
merobah warna kulit dan mukanya, ternyata suaranya pun ikut berobah, luar
biasa. Thu Sing Sien berseri-seri, "Berhasil!" katanya.
Pui Cie dengan semangat tinggi berkata, "Kita bisa bergerak leluasa sekarang."
Thu Sing Sien dengan tegas berkata, "Dengar! kau sekarang sudah jadi orang
yang lain, baik-baiklah dengan jati dirimu ini, jangan bertindak sembarangan
sebelum yakin benar, kalau gagal tidak ada kesempatan kedua kali, semua
menjadi sulit, kalau mereka bertiga melawan dirimu lagi, jangan harap mendapat
keberuntungan lagi."
Pui Cie dengan cepat menjawab, "Terima kasih Cianpwe, atas nasihatnya."
Thu Sing Sien mengangguk, "Sekarang kita berpisah, ingat, jangan bergaul
dengan orang yang tidak kau kenal karena musuh masih berada dalam gunung
pinus ini pergilah mengadu nasibl'dia berhenti sejenak lalu berkata lagi, "Jangan
terlalu mengandalkan ilmu silat, jalan yang terbaik, gunakanlah kecerdasanmu
dengan akal dan sedapat mungkin menguasai diri emosi sendiri, menggunakan
kesempatan dengan sebaik-baiknya, tidak ceroboh, tidak serampangan, bisa
menahan diri, kalau kau bisa melaksanakan semuanya kau akan mendapatkan
hasil yang memuaskan, pergilah!"
Pui Cie bersoja, "Kata-kata Cianpwe akan Wanpwe ingat selalu, dan Wanpwe
juga sudah banyak mengerti sekarang, terimakasih Cianpwe, sampai jumpa!"
"Tunggu!"
"Cianpwe, masih mau pesan apa lagi?"
"Masalah orang-orang perguruanku yang terbunuh, semuanya masih belum jelas,
jangan lupa menyelidiki juga, harus ingat itu!"
Pui Cie menarik nafas panjang, "Wanpwe takkan lupa semua!"
Thu Sing Sien mengibas-ngibaskan lengannya, "Pergilah!"
Pui Cie memberi lagi hormat, dia segera keluar hutan menuju jalan keluar
gunung, petuah Thu Sing Sien banyak memberi inspirasi baginya, sekarang dia
merasa lebih dewasa, perbuatannya yang sudah-sudah terasa sangat ceroboh,
hanya mengandalkan tenaga dan keberanian saja mau jadi seorang pesilat sejati,
masih terlalu jauh rasanya, dengan sedikit petuah tadi, dia merasa telah merobah
semua emosi dirinya.
Setelah memasuki daerah pegunungan tidak ada lagi tujuannya, karena dia tidak
mendapatkan jejak lawan, dia hanya mengadu nasib saja.
Menurut pendapat Thu Sing Sien, Phei Cen membawa banyak jagoan ke gunung
ini tujuan utamanya untuk menangkap Ke Co Ing dan Ma Gwe Kiau. Sekarang Ke
Co Ing sudah mati di jurang, sasarannya hanya tinggal Ma Gwe Kiau, yang aneh
kenapa Ke Co Ing dan Ma Gwe Kiau bisa berpisah dan jalan sendiri-sendiri" Apa
kedua belah pihak sudah berselisih, Ma Gwe Kiau karena tidak tahan terus
ditinggal pergi" Tapi dia adalah seorang ahli racun, apa yang diandalkan Phei
Cen dan kawan-kawannya?"
Pui Cie melamun sendiri, "Aku bersumpah Ma Gwe Kiau juga merupakan sasaran
diriku untuk dibunuh, sekarang bisa berhasil atau tidak susah ditentukan."
Pui Cie jalan dan berjalan lagi, tiba-tiba ada suara dentingan phipa terdengar.
Suara phipa pernah menarik dia masuk kejalan kematian, rasa kesal masih
membara di dadanya, sekelilingnya di selidiki, dengan tidak sengaja dia berada
lagi di depan puncak gunung tunggal, alamat yang sama tempat Yipha Yauci
berphipa, untuk apa" Bersiasat lagi" Sasarannya siapa" Masih berfikir begitu dia
sudah meluncur naik ke puncak gunung.
Di atas puncak, dipinggir batu terjal, di atas batu yang sama, sesosok bayangan
merah menyala sedang main phipa, suaranya begitu sedih dan menyayat, dalam
terpaan matahari senja suasana begitu mengharukan. Pui Cie mengadukan gigigiginya, dia berfikir di dalam hati. "aku akan membunuhmu!" tapi sekilas pikiran
yang lain menghampirinya, Yipha Yauci bukan sasaran utamanya, kalau dibunuh
bisa jadi masalah, sekarang wajahnya sendiri juga sudah berubah, untuk
sementara lebih baik bersabar dulu, jika dirinya bisa memancing Phei Cen keluar,
itu baru sukses.
Sesudah pikir kesana baru berkurang rasa kesal dan dendamnya.
Dia meneliti, memandang sekeliling, rotan yang melilit di batu itu sudah tidak ada.
Suara phipa mendadak berubah menjadi keras, seperti hujan angin tiba, petir dan
guntur bersahutan.
Perasaan Pui Cie pun mulai gelisah, bergulung-gulung bersama alunan suara itu,
seperti mau mendidih, darah seolah-olah mau menyembur, masih ada sedikit
ingatan dia merasa ada yang tidak beres cepat-cepat dia menggunakan tenaga
dalam untuk menenangkan pikiran dan hatinya, mengusir perasaan buruk,
melawan suara phipa dengan kekuatan tenaga dalamnya.
Kira-kira waktu seperminuman teh, suara phipa mendadak berhenti, sekujur tubuh
Pui Cie sudah basah kuyup oleh keringat dingin, dia bergumam, "Alunan musik
maut yang lihai sekali, kalau tenagaku kurang mantap pastilah akan mati karena
darahnya bisa mengalir terbalik arah."
Yipha Yauci pelan-pelan berdiri dan menoleh.
Wajah yang penuh pesona, tubuh yang begitu indah, tergentarlah hati Pui Cie.
Suaranya seperti anak burung sangat memikat, sepasang alis Yipha dikerutkan
dan berkata, "Tenaga dalammu cukup mantap kau berasal darimana?"
Pui Cie hampir lupa dirinya sudah berubah rupa, mulut sudah terbuka tapi segera
sadar kembali, dengan dingin dia berkata, "Murid dan guru satu aliran, nona
penerus Yipha Yauci kan?"
Yipha Yauci dengan kaget berkata, "Luas juga pandanganmu!" dia berkata begitu
berarti mengakui jati dirinya, sejenak kemudian dia berkata, "Tuan pasti bukan
orang sembarangan."
Pui Cie asal tertawa, "Nona keliru, aku orang kecil di dunia persilatan, belum
punya nama apalagi gelar."
Yipha Yauci pelan-pelan bergeser ke dekat Pui Cie, dia memandang sejenak,
keningnya dikerutkan lagi. orang berbaju ungu dengan wajah gelap ini sungguh
tak sedap dipandang, dengan wajah asam dia berkata, "Siapakah tuan
sebenarnya?"
Pui Cie berfikir sejenak berkata, "Si Baju Ungu."
Yipha Yauci menyunggingkan mulutnya, "Belum pernah kudengar nama ini."
Pui Cie seraya bilang, "Aku kan tadi sudah bilang, aku orang kecil yang tidak
dikenal orang di dunia persilatan."
"Tapi tenaga dalammu cukup bagus."
"Terlalu memuji!" ,
"Mau apa kau kesini?"
"Cari orang!"
"Cari siapa?"
Pui Cie sengaja mengangkat alis, "Pui Cie!"
Yipha Yauci kaget sekali, "Tuan mau mencari Pui Cie?"
"Betul!"
"Ada apa?"
"Mau menantangnya!" "Menantang?" "En!"
"Kenapa begitu?"
Pui Cie langsung membual, "Pui Cie selalu bilang Pa Kiam (pedang bengis) tidak
ada lawannya, aku mau buktikannya sendiri."
Yipha Yauci mula-mula tercengang lalu tertawa, "Bagus, ide yang bagus, jika bisa
mengalahkan Pui Cie maka dalam semalam saja kau akan langsung kesohor,
Tuan ingin cepat punya nama besar di dunia persilatan, sayang hasrat Tuan
takkan tercapai selamanya!"
Pui Cie pura-pura terkejut, "Apa artinya nona berkata begitu?"
Wajah Yipha Yauci muram, "Sayang dia sudah meninggal." "Apa" Dia.. Dia
meninggal?" "Ya! Jenazahnya ada di bawah jurang ini." "Siapa., yang bisa
mendesak Pui Cie jatuh ke dalam jurang?"
"Tuan tak perlu tahu."
"Sayang, em! Ini pasti siasat, mungkin nona yang.."
Yipha Yauci membelalakan kedua bola matanya, ada keinginan membunuh tapi
tak lama wajahnya muram lagi dan dengan lesu berkata, "Aku memang salah,
seharusnya jangan menghiraukan yang lain tapi menolongnya, sekarang
terlambat sudah..."
Tiba-tiba dia merasa ada sesuatu yang tidak pantas dikatakan dengan suara
keras memekik, "Kenapa aku jadi berkata begini padamu.. Apa maksudmu
sebenarnya?"
Melihat wajahnya hati Pui Cie bergetar, dengan suara rendah dia berkata, "Aku
tadi sudah berkata mau bertarung pedang dengannya."
"Kenapa kau bisa datang ke gunung ini mencari dia?"
"Aku dengar dia ada di gunung ini maka aku mencarinya?"
"Begitukah?"
"Aneh benar pertanyaan nona masa ada sebab yang lain" Orangnya juga sudah
mati, apa yang mau dikatakan lagi" Tapi kenapa nona bermain phipa disini?"
Yipha Yauci memalingkan badan menghadap kejurang, dengan sedih berkata,
"Memainkan sebuah lagu untuknya, menyatakan hatiku yang berduka padanya."
Hati Pui Cie tersentak lagi, pikirannya melayang, "Mungkin dia yang mengulurkan
rotan hutan ke jurang untuk menolong diriku" Mungkin setelah menurunkan rotan
dia tidak melihat ada orang naik jadi dia lalu pergi, tapi diakan yang membikin
perangkap sehingga aku terjebak, mengapa dia harus berbuat begitu?" setelah
dia berfikir begitu lalu dia memancingnya, "Mendengar perkataan nona,
sepertinya melihat sendiri dia jatuh ke jurang tetapi tidak keburu memberikan
pertolongan, jatuh ke jurang tidak selalu mati, kenapa sesudah itu tetap tidak
mengusahakan pertolongan?"
Yipha Yauci mengeluh, "Jatuh ke jurang maut tentu hancur lebur mana bisa
menolongnya?"
Pui Cie tercengang lagi dalam hati berpikir, "Kalau begitu yang mengulurkan tali
rotan menolong dirinya bukanlah dirinya, lalu siapa yang melakukannya?"
Di tempat berdirinya dia memandang sekelilingnya, tiba-tiba dia melihat satu
bayangan orang yang berlari ke atas bukit, begitu di teliti lagi muncul nafsu untuk
membunuh. Yipha Yauci juga mengetahui kedatangannya, dengan membalikkan badan
bertanya dengan keras, "Sudah mendapatkan keterangannya?"
0-0-0 BAB 5 Menggunakan taktik
Yang datang ternyata adalah sastrawan setengah baya yang telengas yang waktu
itu bersama-sama mendesak Pui Cie jatuh ke dalam jurang.
Sastrawan setengah baya ini begitu melihat Pui Cie dengan wajah menyeramkan
lalu bertanya, "Siapa dia?"
Yipha Yauci menjawab, "Si Baju Ungu."
Sastrawan setengah baya meneliti sekali lagi kepada Pui Cie, "Si Baju Ungu"...
Mau apa kesini?"
Yipha Yauci berkata, "Katanya, datang ke gunung ini untuk bertarung pedang
dengan Pui Cie."
Sastrawan setengah baya matanya menyorong, dengan kaget dia berkata,
"Bertarung dengan Pui Cie" Sombong benar!"
Pui Cie berfikir terus, Phei Cen masih belum muncul, sebaiknya sekarang jangan
bertindak apa-apa dulu, perkataan Thu Sing Sien masih mengiang di telinganya.
Kalau urusan kecil tidak bisa dikendalikan, akan merusak semua urusan yang
besar, maka ditahanlah semua amarah yang timbul.
Dia berkata, "Aku pikir Tuan tentu jagoan dunia persilatan bagian Selatan, Ti
Kuang Beng dengan julukan "Sastrawan Iblis" yang begitu kesohor itukan?"
Semua adalah keterangan dari Thu Sing Sien.


Pedang Bengis Sutra Merah ( Tan Ceng In) Karya See Yan Tjin Djin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Air muka Ti Kuang Beng berubah, "Sobat, apakah kita pernah bertemu?"
Seperti tidak ada sesuatu ganjalan, dengan suara serak Pui Cie berkata lagi,
"Belum pernah, tapi waktu aku pergi ke selatan ada temanku diam-diam
mengenalkan tuan padaku."
Ti Kuang Beng percaya juga, berputar bola mata dia berkata, "Jadi aku harus
bagaimana memanggilmu?"
"Si Baju Ungu!"
"Aku tidak pernah dengar."
"Ini dikarenakan aku jarang kemana-mana."
"Boleh tahu asal-usulmu?"
"Tidak perlu!"
"Apa gara-garanya kau sampai mau bertarung pedang dengan Pui Cie?"
"Aku ingin mengukur kemampuanku sendiri."
"Kenapa yang dicari harus Pui Cie?"
"Sebab dia adalah ahli pedang yang hebat saat ini."
Dengan sinis dan tidak senang Ti Kuan Beng menutup mulut, "Tidak juga!"
Pui Cie menggunakan kesempatan ini memancing nya, "Mendengar semua ini,
sepertinya... tuan lebih hebat?"
Air muka Ti Kuang Beng beberapa kali berubah, dengan suara tertawa dia
berkata, "Boleh coba sekarang."
Pui Cie mengangkat alis, "Maksud tuan... mau bertarung pedang denganku?"
Dengan bangga dia berkata, "Benar, Aku ingin mencobamu."
"Sudahlah."
"Apa maksudmu?"
"Aku tidak berminat."
"Kenapa tidak katakan takut saja?"
"Ha.. Ha.. Ha.. Takut" Yang mau kucari ialah Pui Cie..."
"Menurut pendapatmu Pui Cie lebih hebat dariku?"
"Dibanding ahli pedang yang lain memang begitu."
"Dibandingmu bagaimana?"
"Sesudah bergebrak nanti baru tahu."
Ti Kuang Beng dengan kesal berkata, "Si Baju Ungu, kau terlalu sombong, jangan
kau kira seluruh Tionggoan selain Pui Cie tidak ada ahli ahli pedang yang lain, nih
kalau kau bisa lolos dari 10 jurus pedangku, kau akan terkenal di dunia
persilatan."
Pui Cie dengan dingin berkata, "Kau pernah bertanding dengan Pui Cie?" "Tentu!"
"Ou! Kalah atau siapa yang lebih hebat?"
"Dia hanya sanggup bertahan sepuluh jurus."
Pui Cie tidak tahan ingin tertawa, "Sastrawan Iblis, kematian sudah di depan mata
masih berani berlaga."
Dengan gemas dia berkata, "Kalau begitu... kau pantas menjadi ahli pedang no 1
di dunia persilatan."
Ti Kuang Beng dengan bangga mengangkat kepala, "Aku tidak berani
menyandang gelar ini, pelajaran ilmu silat sangat dalam seperti lautan masingmasing memiliki keahlian yang berbeda tidak berani disebut no 1."
Pui Cie memuji dan mencibir, "Kalau begitu menduduki nomor dua saja!"
Terdiam beberapa lama, Yipha Yauci pelan-pelan berkata, "Si Baju Ungu, tadi
kau berkata kau mau bertanding melawan Pui Cie, aneh sekali bisa datang
gunung ini!" lalu dia mengedip-ngedipkan mata.
Pui Cie tadinya tercengang, akhirnya mengerti maksudnya, tadi Yipha Yauci
secara tidak sengaja membuka rahasia mengatakan Pui Cie mati didalam jurang,
sekarang dia berkata begitu untuk menutupi perkataan. Apa maksud sebenarnya"
Dia mengambil bagian mendesak Pui Cie masuk ke dalam jurang, utang piutang
ini hanya tinggal masalah waktu saja untuk membereskannya, dia terus berpurapura tidak ingat, dia mau menunggu sampai nanti Phei Cen telah tertangkap baru
dia akan membuat perhitungan, dengan tegas dia melirik lagi.
Pui Cie tersenyum sedikit menahan keinginannya dan berkata, "Ini hanya
menghemat waktu, cepat atau lambat akan dia akan kutemui juga."
Yipha Yauci tersenyum, seolah-olah berterimakasih pada Pui Cie yang membantu
dia menyembunyikan kebohongannya.
Ti Kuang Beng memandang dari kejauhan sepertinya sedang mengatur siasat,
setelah lama baru berkata, "Si Baju Ungu, kau berani menerima tantangan 10
jurus pedangku?"
Pui Cie dengan cepat berfikir, "Ini adalah kesempatan baik umtuk membunuhnya,
sesudah itu baru aku akan membunuh yang wanita, tapi... kalau kulakukan begitu
sudah pasti aku akan langsung berhadapan dengan Phei Cen" bisa saja dia
membikin perangkap secara diam-diam untuk tidak merusak rencananya. Ah..
Sebelum menemukan Phei Cen, lebih baik berhati-hati, jangan bertindak
ceroboh." Pesan-pesan Thu Sing Sien dan kegagalan-kegagalan yang dia alami selama ini
sudah membuatnya tambah dewasa, coba kalau dulu, dia langsung bertindak
tanpa pertimbangan lagi.
Ti Kuang Beng mendesak, "Bagaimana?"
Karena sudah memastikan tak akan melukai orang, hanya akan membuat satu
kesempatan menunjukkan kemanpuan dirinya, lalu dia berkata, "Sepuluh jurus
terlalu banyak, satu jurus saja sudah cukup!"
Ti Kuang beng membelalakan matanya, "Apa katamu?"
"Aku bilang satu jurus saja sudah cukup!"
"Apa artinya?"
Diantara kita tidak ada dendam kita bertanding hanya ingin mencoba saja, tuan
merasa ahli dihidang senjata pedang, tentu tahu sekali, dengan satu jurus saja
sudah bisa mengukur tingkat keahlian seseorang."
Ti Kuan Beng berfikir-fikir, "Bagus!" ayo cabut pedangmu!" Sekarang dalam
hatinya sudah ada perhitungan yang lain. Dia tidak tahu seberapa lihay Si Baju
Ungu ini, karena dia berpandangan jauh, maka harus hati-hati.
Pui Cie pelan-pelan mencabut Pa Kiamnya, diangkat miring-miring.
Ti Kuang Beng mengambil posisi, pedangnya dia cabut dan diacungkan kedepan.
Dua belah pihak berhadapan, saling menatap, sebagai seorang yang ahli, sekali
mengulurkan tangan sudah terasa ada tidaknya getaran pedang lawan, Ti Kuang
Beng sekarang merasa si Baju Ungu merupakan lawan tangguh yang jarang ada
dalam hidupnya.
Rencana semula Pui Cie juga berubah, dia pikir ini adalah kesempatan yang baik,
membunuh lawan yang barada dihadapannya, membunuhnya sama dengan
memotong sayap Phei Cen...
Segera dia mengerahkan tenaganya menyabetkan pedang, dia yakin Sastarwan
Iblis pasti mati di tempat ini.
Tiba-tiba Ti Kuang Beng mundur dan menyimpan pedang, dengan nada rendah
dia berkata, "Sudahlah, tak perlu bertanding lagi!"
Pui Cie merasa aneh dan langsung bertanya, "Kenapa?"
Ti Kuang Beng dengan santai dan berlagak yakin berkata, "Mengukur
kepandaian, kita masing-masing tahu, satu jurus tak mungkin bisa tahu siapa
yang menang dan siapa yang kalah, kenapa hanya demi sebuah nama harus
bertarung mati-matian" Tidak ada kegunaannya, ini sebuah kenyataan yang tak
bisa dipungkiri, satu jurus gerakan pedang, akan menjadi jurus pedang yang tidak
terhitung dan berakhir sampai ada kalah dan menang, atau sampai berubah jadi
pertarungan hidup dan mati, untuk apa semua dilakukan?"
Kalau baru pertama kali bertemu Pui Cie pasti tertarik oleh prilakunya yang palsu
itu, sayang, sekarang dia sudah waspada dia memaki dalam hati, Sastrawan
Iblis, kwalitet orangnya seperti gelarnya cara membualnya juga lebih hebat dari
siapapun, dia bisa melihat angin bisa menghindar demi menjaga kebaikan diri
sendiri. Berfikir sampai begitu dia berkata, "Bagiku, tak masalah!"
"Kenapa?"
"Satu jurus pedang pasti bisa tahu siapa menang siapa kalah."
"Kau ingin cepat-cepat terkenal?"
"Tuan yang tadi berkata ingin mencobaku."
Ti Kuang Beng tertawa, "Itu hanya gurauan saja, aku malang melintang di dunia
persilatan sudah dua puluh tahun selalu memandang enteng persoalan nama.
Apa hebatnya suatu kemenangan" Kalah kenapa harus malu" kalah bisa
membuktikan apa" Sekarang kita ada jodoh bisa bertemu, bukan lebih baik kita
berkenalan dan berteman saja?"
Bahasanya cukup gagah dan mantap, seseorang yang tidak tahu sifatnya pasti
akan menggangap dia sebagai orang hebat, padahal sebenarnya orang ini harus
dibunuh 100 kali.
Berteman adalah ide yang lumayan inilah jalan terbaik untuk mendekati Phei Cen.
Waktu itu juga dia memasukkan pedangnya ke dalam sarung sambil menekan
semua kekesalannya, dia tersenyum berkata, "Pendapat yang bagus, tuan benarbenar sosok orang yang mengagumkan."
Ti Kuang Beng tertawa lagi, "Adik berasal di perkumpulan atau dari aliran mana?"
Tergerak hati Pui Cie, "Aku tidak ikut perkumpulan manapun juga tidak
mempunyai aliran, aku biasa jalan sendiri."
"Ow! Kalau begitu pesilat mengembara, hebat! Tapi aku ada sebuah anjuran..."
"Apa itu?"
"Melihat kepiawaian adik, kalau bisa bekerja di sebuah tempat akan lebih cepat
dikenal orang, itu juga sebuah usaha yang bagus." ,
"O! aku ingin tahu juga!"
"Kalau adik berminat, nanti aku akan perkenalkan dengan seseorang."
Perkataannya sudah sangat jelas, cocok dengan keinginan Pui Cie, tetapi demi
gengsi dengan asal asalan dia berkata, "Aku sudah biasa bebas, mendadak
terikat rasanya kurang leluasa."
Ti Kuang Beng mengangkat alis, "Jadi adik menolak?"
Pui cie berujar, "Beri aku waktu untuk berfikir, apa boleh tahu tuan disana
berkedudukan sebagai apa?"
Dengan bangga Ti Kuang Beng berkata, "Pengurus Utama Shin Kiam Pang,"
tidak meleset dari dugaannya, bahwa kedudukan Sastrawan Iblis di perkumpulan
ini amatlah tinggi sebagai Pengurus Utama.
Pui Cie menoleh Yipha Yauci, lantas berkata, "Nona ini sepertinya juga orang
penting di perkumpulan.."
"Sebagai Penasihat Utama."
"Pui Cie dengan suara parau berkata, "Tidak terduga kalian berdua adalah orang
terpenting di perkumpulan paling besar saat ini, senang sekali bisa berjumpa!"
Perkataan ini entah memuji entah menejek susah ditebak.
Ti Kuang Beng dan Yipha Yauci air mukanya berubah.
Ti Kuang Beng berkata, "Tidak usah sungkan!"
Saat ini, hari mulai gelap dimana tempat mereka berada cuaca mulai remangremang. Tiba-tiba dikejauhan muncul sebuah sinar merah meroket ke langit.
Ti Kuang Beng memberi isyarat kepada Yipha Yauci lalu berkata pada Pui Cie,
"Lauwte, sampai jumpa lagi di lain kesempatan, yang dibicarakan tadi harap
dipertimbangkan lagi." Habis berkata begitu dengan tergesa-gesa dia sudah
melejit pergi. Setelah bayangan Ti Kuang Beng lenyap, Yipha Yauci dengan suara rendah
berkata, "Si Baju Ungu, yang tadi aku bicarakan soal Pui Cie anggap saja aku tak
pernah ngomong, lupakanlah saja! Kalau tidak kau akan menyesal." Setelah
berkata begitu dia juga pergi secepatnya.
Pui Cie tahu, sinar merah adalah tanda ada urusan penting, sekarang dia sedapat
mungkin belajar menahan diri, kalau terburu-buru tentu akan mencurigakan,
sepintas seperti tidak ada apa-apa, dia tahu Phei Cen memanggil anak buah
untuk berkumpul, tidak berapa lama dia segera mengejar.
Malam itu di dalam gunung lebih kelam daripada di dataran, Pui Cie dengan kulit
berwarna coklat dan baju ungu, badannya bergerak ringan seperti hantu, orang
yang melihat juga susah melihatnya.
Pui Cie seperti asap melayang menuju tempat yang mengeluarkan sinar merah.
Diantara bebatuan diatas punggung gunung, tiga bayangan orang berkumpul,
Yipha Yauci Liu Siang E, Sastrawan Iblis Ti Kuang Beng, yang satu lagi si Tua
Jenggot Putih Guan Cen Ce.
Pui Cie menyembunyikan diri di belakang bebatuan, dengan tidak bersuara dia
sudah mendekat ke tempat tiga orang itu berada, kira-kira 10 meter jauhnya, Pui
Cie kecewa berat sebab tidak kelihatan Phei Cen muncul.
Hanya terdengar suara Guan Cen Ce dengan nada rendah berkata, "Pesan
ketua, besok seputar 30 km carilah dengan teliti, bagaimanapun juga, harus
menemukan siluman perempuan Ma Gwe Kiau supaya tidak menjadi masalah
dikemudian hari."
Ti Kuang Beng bertanya, "Mana ketua?"
Guan Cen Ce menyahut, "Sudah berangkat, sekarang kira-kira sudah lebih 10 km
jauhnya." Yipha Yauci dengan suara manja berkata, "Pegunungan sebesar ini mau mencari
orang yang bersembunyi, seperti mencari jarum didalam lautan."
Guan Cen Ce bilang, "40 orang pengawal tangguh besok akan menysul kesini
dalam operasi penyisiran ini."
Diam-diam dalam hati Pui Cie timbul nafsu membunuhnya, kalau ketiga orang laki
laki dan perempuan ini bisa dihabisi sekarang, yang tertinggal hanya Phei Cen
seorang, tapi setelah dipikir lagi, terasa kurang bagus, tiga orang yang berada di
depan mata ini bukan orang sembarangan kalau sampai lolos saja satu, sama
dengan menggoyang rumput mengagetkan ular.
Sekali bergerak membunuh tiga orang ini, rasanya juga tidak mungkin, dengan
menyisakan mereka bertiga pasti Phei Cen akan terpancing keluar, karena
mereka sering berhubungan, berfikir sampai kesitu, terpaksa ditekan lagi nafsu
untuk membunuhnya.
Yipha Yauci mendadak memuutar topik pembicaraan, "Pengurus utama, apakah
anda benar akan memperkenalkan Si Baju Ungu?"
Guan Cen Ce merasa aneh lalu bertanya, "Siapa itu Si Baju Ungu?"
Yipha yauci menjawab, "Seorang ahli pedang yang tidak jelas asal usulnya,
dengan tegas berkata mau bertarung dengan Pui Cie."
"O, begitu!" Guan Cen Ce menyahut.
Ti Kuang Beng, "Menurut pandanganku, Si Baju Ungu adalah seorang ahli
pedang yang jarang ada, kalau bisa diajak bergabung akan sangat membantu
kita." Guan Cen Ce menyambung, "Orang yang hebat silatnya, pandangannya juga
pasti sangat tinggi. Mungkinkah?"
"Kita berusaha sedapat mungkin, kalau dia sampai diambil musuh, maka akan
menjadi lawan kita yang menakutkan."
"Si Baju Ungu, belum pernah kudengar nama ini, kalau dia masih berada dalam
hutan ini, pasti kita bisa bertemu!"
"Apakah dia tahu masalah Pui Cie?"
"Kelihatannya sih belum tahu, kalau tidak kenapa mau bertanding dengannya"
Kalau kita bisa menjaga mulut, didunia persilatan takkan ada yang tahu."
Pui Cie ketawa sendiri dengan kesal.
Yipha Yauci bicara dengan nada dingin, "Menurutku, Si Baju Ungu asal usulnya
mencurigakan, mungkin dia mencari Pui Cie bertarung pedang hanya alasan,
mungkin dia orangnya Ma Gwe Kiau.
Kesatu, kalau dia jago kenapa belum pernah mendengar namanya, di seluruh
Tionggoan tidak pernah ada orang yang menyinggung namanya"
Kedua, dia datang ke hutan gunung ini hanya demi bertarung pedang dengan Pui
Cie sepertinya tidak masuk diakal."
Guan Cen Ce berujar, "Betul! Mungkin dia musuh kita, harus diselidiki dulu."
Berhenti sejenak, dia berkata lagi, "Apa pendapat Pengurus Utama?"
Ti Kuang Beng dengan nada seram berkata, "Cocok kita pakai, tidak cocok kita
bunuh saja!"
Menurut Yipha Yauci, "Menurut pendapatku... Kita tak boleh menyerempet
bahaya ini!"
"Maksud Penasihat Liu ialah..." Kata Guan Cen Ce.
Yipha Yauci, "Hapus pendapat itu!"
Ti Kuang Beng berkata, "Perkumpulan kita sekarang sedang membutuhkan
orang-orang yang ahli, kalau dibunuh juga sayang, biar aku mencari tahu asalnya
dulu." Masih tetap menggunakan istilah itu, "Cocok kita pakai, tidak cocok bunuh
saja!" Yipha Yauci merobah posisi badan memandang empat penjuru, "Sekarang kita
harus mencari tempat bermalam, aku tetap disini, kalian berdua mencari tempat
yang cocok, pantau terus daerah ini."
Guan Cen Ce menggangguk, lalu pergi bersama dengan Ti Kuang Beng.
Pui Cie berfikir, "Aku harus ikuti terus Yipha Yauci, lambat atau cepat pasti
ketemu Phei Cen."
Yipha Yauci duduk di atas batu besar, sambil memeluk phipa miring-miring,
sesudah duduk sejenak, lalu memetik dengan jarinya, keluarlah suara
berdentingan. Gunung begitu kosong dan sunyi, alunan phipha begitu syahdu.
Pui Cie duduk tenang sambil mendengarkan tidak terasa sampai terlena, dalam
keadaan bimbang, tiba-tiba pundak ditotok orang, ternyata ketika ingatan belum
pulih kembali dia


Pedang Bengis Sutra Merah ( Tan Ceng In) Karya See Yan Tjin Djin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

See Yan Tjin Djin
44 sudah terkena lagi dua totokan, dengan mengeluarkan sedikit suara dia langsung
terjatuh. Yang berdiri di sampingnya ternyata Yipha Yauci, entah sejak kapan sudah tahu
tempat persembunyiannya, karena ceroboh dia telah terpikat oleh suara phipha,
sekarang menyesal juga sudah terlambat. Pui Cie yang tertotok tapi masih bisa
bicara, "Nona, apa maksudnya ini?"
Yipha Yauci dengan wajah sadis berkata, "Si Baju Ungu, aku harus
membunuhmu!"
Pui Cie marah dan menyesal bercampur aduk, coba kalau tidak banyak
pertimbangan banyak kesempatan untuk membunuhnya. Sekarang malah dia
yang terjatuh kedalam tangannya, tapi dengan tenang dia berkata, "Kau mau
membunuhku, kenapa"
Yipha Yauci menjawab, "Sebab kau sudah tahu bahwa Pui Cie mati didalam
jurang, aku mau tak mau harus membungkam mulutmu!"
Sambil mengigit-gigit bibirnya, Pui Cie berkata, "Itu kan kau yang membocorkan,
Bukan..." Yipha Yauci, "Memang! Karena aku ceroboh aku jadi kelepasan bicara, sekarang
aku terpaksa harus memunuhmu untuk menutup mulut!"
Dengan keras Pui Cie berkata, "Begitu pentingkah rahasia itu sehingga nona
harus membunuh orang untuk menutup mulut?"
Kata Yipha Yauci, "Tentu penting, sekarang aku terus terang kepadamu supaya
tidak mati penasaran, Pui Cie sangat erat hubungannya dalam dunia persilatan,
dibelakangnya ada banyak orang tak boleh terganggu, kalau berita ini sampai
bocor, akan mendatangkan banyak keruwetan bagi Shin Kiam Pang, karena
dengan tidak sengaja aku telah membocorkannya, kalau ketahuan oleh ketua
perkumpulan akibatnya akan fatal, maka dengan terpaksa aku harus
membunuhmu."
Pui Cie merasa geli, lalu berfikir, "Apakah aku harus membuka jati diriku yang
sebenarnya" Menurutnya, main phipa di pinggir jurang untuk mengenang
korbannya, mungkin dia sudah jatuh hati pada dirinya, kalau dia memperlihatkan
jati dirinya, semuanya akan berubah tapi apa jadinya kalau seorang penerus Bu
Lim Ce Cun mengemis pada seorang siluman wanita?"
Belum selesai berfikir, Yipha Yauci sudah mengangkat tangan dan dengan
lantang dia berkata, "Hai Si Baju ungu, terimalah nasibmu!"
See Yan Tjin Djin
45 Pui Cie tidak berdaya seperti sudah mau mati, tidak bisa melawan sedikitpun,
dengan suara gemetar dia berteriak, "Tunggu dulu!"
Tangan halus Yipha Yauci yang sudah terangkat berhenti di tengah jalan, dengan
suara nyaring berkata, "Masih mau berkata apa lagi?"
Pui Cie tidak rela dirinya dibunuh dengan tidak jelas, saat dia mau berkata...
Mendadak terdengar suara tertawa yang datang dari jauh, kemudian ada suara
yang berkata, "Liu Siang E, mana boleh tidak ada sebab musabab membunuh
orang?" Pui Cie tercengang, suara itu tidak asing.
Yipha Yauci cepat-cepat menyembunyikan tangannya dan mundur dengan suara
gemetar berkata, "Siapa kau?"
Suara itu berkata, "Liu Siang E, suaraku saja kau tidak bisa membedakan, ai!
begitu sungguh-sungguh burung mencari pasangan, sayang semua minat
menjadi sia-sia, mimpi yang bagus dari dulu selalu cepat terbangun."
Dengan suara yang keras, Yipha Yauci berteriak, "Siapa sebenarnya dirimu?"
Suara itu berucap lagi, "Senar sudah putus apa bisa disambung lagi?"
Yipha Yauci gemas sekali secepat kilat dia memburu ke tempat asalnya suara.
Siapakah yang berkata itu" Pui Cie bingung juga, apa pacar lama dari siluman
perempuan ini" Belum habis pikir sebuah bayangan sudah menghampiri dari
samping, tidak berkata-kata dengan cepat Pui Cie dikempitnya dandibawanya dia
lari masuk kedalam hutan, gerakannya begitu cepat dalam menembus hutan Pui
Cie sampai tidak sempat mengenalinya.
Sesudah sekian lama, naiklah dia ke sebuah puncak, kemudian Pui Cie
diletakkan dengan pelan-pelan.
Dengan teliti Pui Cie memandang kemudian berseru, "Saudara Hu!" Dia menjerit
kegirangan. Sastrawan Pengecut tersenyum-senyum berkata, "Sudah membuat Twako kaget
ya!" Pui Cie dengan lirih bertanya, "Saudara Hu kenal dengan Yipha Yauci?"
Sastrawan pengecut dengan santai menjawab, "Tentara jangan bosan dibohongi,
Siaute memang pengecut, tapi masih mampu menggunakan sedikit taktik. "
Pui Cie tiba-tiba merasa aneh, dirinya telah berrobah rupa, robah penampilan,
suaranya juga berobah, kenapa dia bisa mengenali dirinya begitu saja sedikitpun
tidak merasa janggal.
Sastrawan Pengecut seperti bisa membaca isi hati orang, dengan santai
menjawab, "Twako merasa aneh kan, kenapa Siaute bisa mengenali wajah
Twako yang sebenarnya?"
Pui Cie tercengang, "Betul! aku sedang bingung."
Sastrawan Pengecut berkata, "Tak perlu dirahasiakan lagi, hanya Siaute dan
tidak yang lain yang bisa-memahami teknik merebah rupa, perubahan wajah
secara alamiah atau perubahan dengan alat-alat dan obat-obatan, biarpun Twako
telah robah rupa, warna dan suara, tapi potongan kondisi tubuh dan kebiasaan
sehari-hari tak bisa berubah, sekali lihat saja Siaute sudah bisa menebaknya."
Pui Cie dengan nada sedih, "Kalau begitu... Apa yang aku lakukan percuma
saja?" Sastrawan Pengecut dengan cepat menggoyangkan tangan, "Tidak juga, Twako
tidak perlu banyak pikiran, teknik merobah warna dan merobah dengan alat dan
obat-obatan aku jauh lebih baik, bukan sombong.
Sekarang ini selain Siaute dan guru Siaute tak ada satu orangpun yang bisa
mengenali Twako yang telah berobah wajah, tenang saja!"
Pui Cie dengan tidak terasa berucap, "Siapakah gurumu?"
Sastrawan Pengecut dengan nada tidak enak berkata, "Maaf, Siaute tidak bisa
beritahu siapa dan apa sebutan guruku."
Dalam hati Pui Cie penuh pertanyaan, tapi juga tidak enak mendesak karena dia
telah menolong dirinya, dengan tersendat-sendat berkata, "Terimakasih atas
pertolongannya!"
Dengan tertawa renyah Sastrawan Pengecut berkata, "tidak usah disebut lagi, ini
hanya kebetulan saja." Berhenti sebentar dia berkata lagi, "Mendengar kata-kata
siluman wanita itu, ada rahasia tentang diri Pui Cie, rahasia apa sebenarnya?"
Terpaksa Pui Cie menceritakan semuanya.
Sastrawan Pengecut menganggukan kepala, "Bagus! Twako akan lebih leluasa
tampil dengan muka baru Si Baju Ungu, Twako dimana tempat yang terkena
totokan" Biar Siaute..."
Pui Cie memang bawaannya angkuh, cepat-cpat berkata, "Biar aku yang
mencoba melepaskan sendiri s*aja!" Sambil membangunkan badan merobah
menjadi posisi duduk, dengan percaya diri mau mencoba membuka totokan, tapi
apa boleh dikata pernafasannya ternyata tak bisa naik, beberapa kali dia
mencoba tetapi gagal, akhirnya dia mengeluh.
0-0-0 Bayangan mencurigakan
Sastrawan Pengecut sekali melihat sudah mengerti Pui Cie tidak mampu
membuka sendiri totokannya, dia duduk di dekatnya dan berkata, "Biar Siaute
mencoba!" Pui Cie tak bisa berkata apa-apa, dibiarkan Sastrawan Pengecut meraba semua
nadi yang terkena totokan.
Sesudah sekian lama Sastrawan Pengecut baru berhenti dan berkata, "Aneh
sekali cara totokan ini?" sepertinya dia juga tidak sanggup membukanya.
Hati Pui Cie menciut, dalam keadaan begini tidak ada tempat untuk dimintai
tolong lagi, untuk bergerak saja menjadi masalah, dan lagi aliran darah jika ditotok
terlalu lama akan mengakibatkan kerusakan urat nadi dan bisa menjadi cacat
seumur hidup. Masalah yang terjadi sangat diluar dugaan, untuk membuat perhitungan dengan
Phei Cen sekarang hanya menjadi sebuah khayalan saja.
Sastrawan Pengecut berdiri, menggosok tangan menggaruk pipi. Tiba-tiba
memekik, "Hanya jalan ini yang bisa ditempuh!"
Pui Cie kelihatan bermuram durja, dia berkata, "Jalan apa?"
Sastrawan Pengecut berkata, "Kalau keluar gunung minta pertolongan tak
mungkin dan terlalu jauh, Siaute tahu ada seorang ajaib di dunia persilatan yang
sedang mencari obat-obatan dalam gunung ini, kalau nasib baik, Twakobisa
bertemu dengannya masalah totokan akan segera teratasi, Siaute segera akan
mencarinya besok tengah hari pasti kembali, kalau tidak menemukan, kita cari
jalan lain."
Pui Cie sempat terharu akan kebaikan Sastrawan Pengecut, menurut adatnya, dia
tidak mau menerima kebaikan orang lain, tapi sekarang mau tidak mau mendapat
pelajaran pahit bagi orang angkuh, sangat menyakitkan, dia menarik nafas,
dengan terputus-putus dia berkata, "Kalau begitu... sangat merepotkan saudara
Hu!" Dengan sungguh-sungguh Sastrawan Pengecut berkata, "Jangan begitu, bisa
berteman dengan Twako sungguh suatu kebanggaan Siaute seumur hidup, ini
hanya sedikit bantuan belum bisa diharapkan, supaya tidak terlambat Siaute
segera berangkat, disini tempat agak tersembunyi, sepertinya tidak akan terjadi
apa-apa, harap Twako sabarlah menunggu." Habis berkata, dia bersoja lalu
menghilang. Memandang ke langit, Pui Cie menjadi bertambah membenci Yipha Yauci sampai
masuk ke tulang sumsum, dia bersumpah akan memenggal kepalanya kalau
bertemu lagi. Malam panjang sekali, semenit demi semenit dia lalui, sedikitpun dia tidak bisa
memejamkan mata.
Dengan tidak mudah malampun berlalu, langit mulai terang, perasaan Pui Cie
seperti sudah berdiam 10 tahun saja, apakah Sastrawan Pengecut akan
menemukan orang ajaib yang sedang mencari obat-obatan" Harapannya sangat
tipis. Matahari mulai terbit, memancarkan sinar yang menyilaukan mata, tapi dalam hati
Pui Cie terasa gelap semua.
Tiba-tiba, satu pemikiran aneh muncul di kepalanya, dia teringat kepada setengah
buku ilmu campuran Buku Pusaka yang tidak ada taranya pemberian almarhun
Pao Sen Cong, pembantu tua Raja Lima Pegunungan, buku itu berisi bermacammacam ilmu campuran, siapa tahu di dalamnya ada ilmu mengurai mengenai
totokan" Dia merasa sedikit bersemangat, cepat-cepat mengeluarkan setengah
buku pusaka itu dari balik bajunya, tiap halaman dia baca dengan teliti, mencari
bagian mengenai ilmu totokan, dia girang luar biasa, ternyata di dalamnya
terdapat catatan pelajaran menolong diri sendiri sewaktu pernafasan tak bisa
berkumpul, huruf per huruf dia baca terus menerus, segera diapun merasakan
munculnya keanehan.
Dia menghafal dengan seksama semua huruf, kata-katanya dia renungkan dan
dia coba praktekan.
Setengah jam kemudian pernafasannya mulai teratur, dia terus mengikuti
rumusan ringkas mendobrak semua sumbatan-sumbatan di nadi-nadinya...
0-0-0 Sesosok bayangan biru bergerak naik ke puncak, ternyata Sastrawan Pengecut
yang sedang mencari tabib.
Mengikutinya muncul lagi sebuah bayangan, dia adalah seorang terpelajar
setengah baya. ,
Sastrawan Pengecut yang merasakannya dia membalikan badan, begitu melihat
mukanya berubah karena kaget, lalu dia bertanya, "Apa maksudmu mengikutiku?"
Orang terpelajar setengah baya yang ternyata adalah Sastrawan Iblis dengan
muka kecut menjawab, "Gerak gerikmu mencurigakan, terpaksa aku mengikutimu
untuk mencari tahu."
Pui Cie yang menempatkan diri di celah-celah bebatuan, sudah mendengar suara
Sastrawan Pengecut dan Sastrawan Iblis, hatinya kaget sekali, menurut
pembicaraan Sastrawan Pengecut, dia telah dibuntuti oleh Sastrawan Iblis,
sekarang totokannya belum terbuka, dia sedang dalam keadaan yang
menentukan, maka dia terpaksa tidak mempedulikan semua itu.
Sastrawan Pengecut dengan pelan bertanya, "Coba anda jelaskan, gerak gerik
mana yang mencurigakanmu?"
Ti Kuang Beng dengan lagak memojokkan orang berkata, 'Sebutkan dulu asal
usulmu.' "Aku Sastrwan Pengecut!"
"Apa" Sastrawan... Pengecut?"
"Ya. Boleh tahu anda...?"
"Jangan urus dulu urusan orang lain kau hanya boleh menjawab pertanyaanku,
untuk apa kau datang ke gunung ini?"
"Ini... aku suka gunung dan air juga pemandangan indah, bisa menenangkan
pikiran membuat dingin hati."
"Didepan Budha tidak perlu membakar dupa palsu tidak perlu membuat
kebohongan, katakan! Apa maksudmu kesini?"
"Aku... kan sudah katakan tadi!"
"Heh! Dikasih arak kehormatan tidak mau, Malah mau arak hukuman, ingat,
kesabaran ku terbatas!"
"Apakah dalam gunung terdapat larangan-larangan?" "Betul, ada larangan!"
"Ini., aku., tidak menemukan tanda-tanda larangan, juga tidak..."
Sekarang kau tahu juga tidak terlambat, cepat terangkan semuanya, tidak boleh
ada yang ketinggalan, kalau tidak., kau menyesalpun sudah terlambat."
Pui Cie sekuat tenaga menyelesaikan pengobatannya, sekarang tinggal satu nadi
lagi yang terakhir yang belum terpecahkan.
Sastrawan Pengecut dengan kaget memandang Ti Kuang Beng, agak gentar dia
berkata, "Karena sedang bernafsu, tidak sadar masuk ke gunung ini untuk
bermain, apakah salah?"
Ti Kuang Beng dengan ketus berkata, "Pegunungan ini jauh dan sepi, tidak ada
pemandangan yang indah juga tidak ada peninggalan purbakala, tak usah
berpura-pura, cepat jelaskan kalau tidak, siap-siaplah mempertahankan
nyawamu, aku tidak banyak waktu!"
"Pertahankan nyawaku, apa kau mau...?"
?"Iya, aku menginginkan nyawamu."
"Tapi aku., tidak mau bertarung dengan siapapun." "Kalau begitu kau tutup mata
dan tunggu mati saja!" "Kau.."
"Lihat pukulan!" Dalam pikirannya sebuah pukulan sudah dia lepaskan.
Sastrawan Pengecut terhempas jauh, dengan menggoyangkan tangan berkata,
"Anda tanpa alasan yang jelas bertindak begini jauh padaku, apa tidak ada yang
bisa dibicarakan lagi?" cepat sekali ilmu menghindarkan dirinya.
Ti Kuang Beng tertawa kecut, "Gerakan tubuhmu bagus, tapi kau takkan bisa
lolos!" Sekali terdengar suara "Chiang!" Pedang sudah dicabut, melingkar,
memanjang, secara ganas terus menggulung Sastrawan Pengecut.
Sastrawan Pengecut tubuhnya seperti bayangan hantu, seperti kilat sudah
meluncur menjauh, wajahnya seperti yang sangat takut, sudah tentu dia berpurapura. Pui Cie sudah bisa berdiri setelah dia berhasil menembus totokan urat nadinya
yang terakhir. Ti Kuang Beng marah sekali, lawannya bergerak aneh, tidak mau melawan,
seperti takut, dia merasa dipermainkan, dia merubah posisi pedang dan tubuhnya,
menyerang lagi sekejap saja dia sudah menusuk sebanyak 18 jurus, tapi
Sastrawan Pengecut dengan santai saja menghindar dari kurungan pedang yang
bertubi-tubi, baju birunya melambai-lambai gayanya pelan dan luwes benar-benar
jarang bandingannya di dunia persilatan.
Pui Cie melihatnya sampai silau, melihat gayanya, dia merasa kalah, hebat benar
orang ini, sesuai dengan gelarnya yang Pengecut terdesak juga tidak melawan,
benar-benar orang langka di dunia persilatan.
Ti Kuang Beng setelah menyerang satu babak tiba-tiba melihat Pui Cie, "Eh! Si
Baju Ungu!" Segera dia menyimpan pedang sambil berseru.
Sastrawan Pengecut kaget sekali melihat Pui Cie sudah bisa berdiri dengan
Pendekar Jembel 11 Pendekar Laknat Pendekar 3 Jaman Karya S D Liong Golok Halilintar 8

Cari Blog Ini