Ceritasilat Novel Online

Pedang Kayu Cendana 1

Pedang Kayu Cendana Karya Gan K H Bagian 1


" Pedang Kayu Cendana
Diceritakan oleh : Gan KH
1 MUSIM rontok daun-daun kuning berguguran, mega sering mendung meski jarang hujan, pada malam hari tanggal 6 bulan
delapan, bulan sabit bercokol di tengah angkasa, Cahayanya yang redup menerangi jagat raya. Kentong kedua sudah jelang.
Dua puluh li dari kota Soa-tay yang terletak diperbatasan propinsi Kam-siok terdapat sebuah ceng-hun-kok, lembah mega hijau, panjang lembah kira-kira setengah li, lebarnya hanya tiga tombak. dinding gunung yang Curam menjulang tinggi dikedua samping, jalannya yang lika-liku amat berbahaya, tapi lembah sempit ini merupakan jalan raya satu-satunya yang tembus antar utara dan selatanEnam li dari ceng - hun - kok. terdengar derap kaki kuda yang berderap kencang, dalam remang-remang nan sunyi ini, diatas pegunungan yang terpencil lagi, maka derap kuda terdengar begitu nyata dan kumandang.
Debu tampak menjulang keangkasa, dua ekor kuda tampak menerobos pesat dari ke pulan debu kuning yang bergulung-gulung itu, seekor kuda serba putih yang ditunggangi seorang laki-laki empat puluhan berwajah kereng, berwibawa dan berperawakan tegap. pedang tampak dipanggul dipunggungnya, seorang gagah yang namanya telah menggetarkan Kangouw, pemilik dari Gi-teng-Piaukiok di Pak khia, yaitu Yu-Liong-kiam Tio Kin-ping.
Kawannya adalah Piausu Gi-teng-piaukiok bernama Hou Pui, setelah tugas usai di kota Kay- hong mereka menempuh perjalanan ditengah malam untuk memburu waktu pulang ke Pak-khia, supaya dimalam hari raya Tiongciu nanti mereka bisa merayakan bersama dengan segenap keluarga.
Saking bernafsu Tio Kin ping jepit perut kudanya, maka kuda putihnya melaju seperti anak panah yang dikejar ke pulan debu kuning, dalam sekejap mata Hou Pui telah ditinggal seratusan tombak dibelakang.
Senyum simpul tampak menghias wajah Tio Kin- ping yang gagah dan tampan, agaknya dia bangga danpuas akan lari kuda putihnya yang dibelinya dengan harga mahal sejak masih kecil dulu.
Maka dia melecut kudanya supaya berlari lebih pesat lagi, lekas sekali ceng-hun kok sudah di depan mata.
Tanpa ragu dan tidak banyak pikir Yu-Liong-kiam Tio Kin-ping terus bedal kudanya memasuki lembah sempit itu.
Cuaca di ceng-hun-kok agak lembab dan lebih gelap. Cahaya rembulan yang sabit dan redup hanya samar-samar melampaui celah-celah mulut dinding Curam disebelah atasnya yang tinggi, serta merta Tin Kin ping sedikit menarik kendali sehingga kudanya berlari agak lamban.
"Tik, tak tik tak" tapal kuda seperti bunyi ketipung didalam lembah yang sunyi dan berdentam sampai jauh dan menimbulkan gema yang mendengung pula diujung lembah sebelah depan, sehingga merupakan paduan suara yang amat nyata bedanya dengan derap langkah kuda Tio Kin Ping.
Mau tak mau Tio Kin-ping ketarik perhatiannya, habis bersuara heran dia membatin: Kecuali aku dengan Hou Pui, mungkinkah ada orang lain yang menempuh perjalanan ditengah malam ini, insan persilatan yang biasa berkecimpung di Kangouw perasaannya amat sensitip sangat peka, terutama mereka yang hidupnya bergelimang dalam kalangan Piaukiok atau expedisi, setiap saat mereka selalu meningkatkan kewaspadaan.
Oleh karena itu, Yu-Liong-Kiam Tio Kinpin juga berpikir "Tidak benar, bunyi tapal kuda ini begitu lamban dan aneh suaranya, tidak mirip seorang yang sedang buru-buru menempuh perjalanan ditengah malam didalam lembah yang lembab dan remang-remang ini, mungkinkah dia menikmati panorama ceng-hun-kok". jelas tidak mungkin, kalau tidak, maka pasti ada sesuatu yang janggal dan tidak beres."
Maka dia lebih memperlambat lari kudanya, serta merta dia menoleh kebelakang, tapi hanya kegelapan yang melingkupi punggungnya,jangan kata bayangan orang, suara derap kuda Hou Pui yang ditinggalkan jauh di belakangpun tidak terdengar.
Hampir dua puluh tahun Yu Liong kiam Tio Kin-ping terjun dalam percaturan dunia persilatan, sudah betapa kali dia mengalami mara bahaya dalam setiap pertempuran besar kecil, berapa kali pula jiwanya tertolong dari renggutan elmaut, dia cukup setimpal diagulkan sebagai Enghlong, laki-laki gagah perkasa berjiwa ksatria, apapun berani dihadapinya dan dilawannya, belum pernah sekalipun dia mengerutkan kening.
Kungfunya tinggi, tapi dia tidak sombong, belum genap dua puluh tahun dia berkecimpung di Kangouw, nama besarnya sudah mengungkuli para pendekar besar yang lain, bahwa Gi-teng Piaukiok mampu tegak sampai sekarang adalah berkat usahanya yang gigih tak kenal putus asa. sifatnya supel terbuka tangan, tapi keras hati dan jujur, kaum persilatan sama memuji dan mengaguminya, siapa yang tidak kenal Gi-teng Piaukiok dari Pakkhia, dalam setiap pembicaraan di hotel atau restoran siapapun unjuk jempol bila menyinggung pemilik Piaukiok yang masih muda usia dan berhasil memimpin usahanya dengan sukses.
Belum pernah dia merasa gentar atau takut. Tapi sekarang berbeda, dia seperti mendapat firasat jelek, "tik tak tik tak" bunyi tapal kuda yang lamban dan berat, seperti menusuk Sanubarinya, sehingga dia merasa risi dan kurang enak, hatinya menjadi tegang dan merinding pula, seakan-akan ada segulung hawa dingin yang merembes kedalam tubuhnya lewat tengkuknya, sehingga dia bergidik, terutama kaki tangan menjadi berkeringat dingin-..
Diam-Diam dia menyesal, kenapa membedal kudanya yang mampu lari seribu li sehari tadi, sehingga Hou Pui jauh ketinggal dibelakang, kalau dua orang bersama, Sedikit banyak bisa saling bantu dan menambah keberanian, Secara reflek pelan-pelan Sebelah tangannya terangkat menggenggam gagang pedang dipunggungnya.
Bulan Sabit seperti melonjak diangkasa raya sehingga lebih tinggi, maka cahaya dalam lembah seperti agak terang. Diam-Diam Yu-Liong-kiam Tio Kin-ping tertawa geli sendiri dan mentertawakan dirinya: "Tio Kin-ping, Tio Kin ping, kau terhitung Piauthau yang
sudah terkenal di kangouw, laki-laki perkasa yang berani berbuat berani bertanggung jawab di-utara sungai besar. Kenapa sih aku hari ini, kenapa begini penakut."
Belum habis benaknya bekerja, bunyi tapal kuda didepannya mendadak berhenti, tak urung Tio Kin-ping bersuara heran, sungguh dia merasa amat heran, dia tak habis mengerti apa sebetulnya yang bakal terjadi.
Dalam pada itu Tio Kin-ping sudah berada dipengkolan lembah, dipunggung kuda-nya Tio Kin-ping membusungkan dada serta membetulkan letak duduknya, kuda putihnya segera membelok mengikuti arah lekukan, tubuh Tio Kin-ping yang tegak bercokol itu seketika seperti kaku dan tidak mampu bergerak lagi.
Kira-Kira dua puluhan tombak. dibawah penerangan cahaya rembulan yang remang-remang, didepan sana berdiri seekor kuda putih pula yang tinggi tegap dan perkasa, kuda putih miliknya yang amat disayang, paling dibanggakan dan pilihan Satu diantara Seribu ternyata juga tidak lebih unggul dibanding kuda putih didepan itu.
Perbandingan antara dua kuda putih tidak perlu dirisaukan, yang mengherankan adalah orang yang duduk dipunggung kuda putih itu, pengalaman luas dan pengetahuanpun cukup banyak. tapi Yu-Liong-kiam Tio Kin-ping menarik napaS dingin dan bergidik Seram mengawaSi orang ini.
Dipunggung kuda putih didepan itu duduk bayangan putih yang kaku, dari kepala, badan Sampai kaki tangannyapun Serba putih. Kuda putih orangnyapun putih, keduanya berdiri diam tak bergeming lebih menggiriSkan adalah penunggang kuda putih itu tak ubahnya seperti mumi yang telah kaku dan mati sejak ribuan tahun lalu, kepalanya tampak agak miring, kedua kakinya semampai dan kaku dikedua samping, meski keadaan agak gelap. tapi warna serba putih ini tetap cukup menyolok dan menarik perhatian juga .
Yu-Liong-kiam Tio Kin-ping mengawasi dengan mendelong, sementara kuda putihnya tetap melangkah dengan lambat, maju dan maju terus. Dari belasan tombak tinggal lima tombak, akhirnya
jarak tinggal tiga tombak lagi, dalam jarak yang sudah dekat ini. pandangan Tio Kin-ping lebih jelas lagi, ternyata orang dipunggung kuda putih itu dari kepala sampai dtujung kaki dibalut oleh perban sutra berwarna putih, sehingga perawakannya tampak kaku, tak ubahnya seperti mumi, tapi kedua bola matanya yang seperti "keluar" dari balutan perban itu justeru terasa dingin yang menyedot sukma orang, rona matanya jelas menunjukkan bahwa dia manusia dan bukan mayat hidup, tanpa berkesip bola mata mencorong itu menatap tajam pada Tio Kin-ping yang maju semakin dekat, dipinggir pelana tampak bergantung sebatang gendewa besar warna merah darah, sehingga perpaduan warna yang kontras ini kelihatan nyata.
Tio Kin-ping tak berani beradu pandang dengan sorot mata orang yang dingin seperti memancarkan daya magic itu, entah kenapa badannya ternyata bergidik dan merinding.
Mayat gentayangan" Atau mungkinkah manusia yang dibalut perban sutra ini belum mati, dalam sekejap ini, otak Tio Kin-ping seperti beku dan tak sempat pikirkan segala keanehan yang dihadapinya, kuda tungga ngannya masih terus beranjak kedepan, namun jarak tiga tombak ini rasanya seperti tiga puluh li amat panjang, sangat jauh.
Tio Kin-Pin sampai tidak berani menarik napas besar, jantungnya seperti sembunyi dibawah kulit dan siap mencotot keluar tanpa terasa keringat dingin sebesar kacang telah berjatuhan didahinya.
Sekonyong-konyong segulung hawa panas seperti merangsang sanubarinya, tiba-tiba perasaannya seperti berhenti, ingin dia menyaksikan dari dekat, manusia kaku yarg dibalut perban sekujur badannya ini masih hidup atau sudah mati " Diam-Diam ia membatin: "Biasanya aku agulkan diri sebagai kaumpendekar, menghadapi kejadian aneh ini, mana boleh aku berpeluk tangan, jikalau dia tidak mati dan memerlukan bantuan orang lain, adalah jamak kalau aku menolongnya."
Waktu dia angkat pandangannya, ternyata tatapan tajam kedua bola mata orang yang menyala dingin tengah melotot kepadanya,
kontan dia bergidik merinding pula, rasa takut seketika membayangi sanubarinya .
Selama ini belum pernah dia mengalami kejadian seganjil yang dihadapinya sekarang, namun lubuk hatinya serta merta berkeputusan bahwa hari ini, sekarang bagaimanapun dia tidak boleh mencampuri urusan orang lain, tak boleh menyentuh manusia kaku yang dibalut perban putih ini, mungkin dia akan sempat keluar dari ceng-hun kok, terhindar dari perkara malam ini, karena bukan mustahil kematian telah mengintai jiwanya.
Karena giris ditatap sorot mata mayat hidup yang kaku itu, lekas Tio Kin ping menarik pandangannya dan menunduk kepala, lalu keprak kudanya supaya jalan lebih Cepat, seolah-olah dia juga merasa dirinya jadi besi dan kaku, seperti tidak mampu bergerak. namun dia memang tidak berani bergerak.
Sang waktu seperti merambat, langkah kudanya dirasakan seperti semut berjalan, selambat keong merambat. Akhirnya dia lewat disamping kuda putih itu, terhindar dari tatapan sorot mata yang dingin berwibawa dari mayat hidup terbalut perban sutra ini, dia tidak berani menoleh, setelah menarik napas panjang, terasa lega hatinya, rasa takut yang menghantui hatinya sedikit mengendor sementara kudanya terus maju kedepan semakin cepat.
Tapal kuda putih kembali berdentam memecah kesunyian dilembah mega hijau menimbulkan gema suara nyaring dan mencekam. Secara reftek Tio Kin ping menarik kekang entah rasa kejut yang bukan main, entah karena ketarik " Atau tidak kuasa menahan rasa kaget dan ingin tahunya, karena dentam tapal kuda yang perlahan itu seperti menggetar sanubarinya, waktu dia menoleh kebelakang, dilihatnya kuda putih itu seperti melayang seenteng mega ditiup angin lalu, sekali melompat satu tombak lebih jauhnya. Tak heran derap langkahnya terdengar lamban, berat dan nyata.
Manusia dibungkus perban putih itu jelas masih hidup, akhirnya Tio Kin ping yakin bahwa dugaannya benar, karena dia lihat mayat
kaku dibalut perban itu telah merenggut gendewa besar dan memasang panah serta mulai membidik.
Dengan kaget lekas Tio Kin-ping membalikkan kudanya, serta merta diapun genggam gagang pedangnya, hatinya takut, karena dia tidak tahu musuh yang dihadapinya ini betul-betul manusia atau setan penasaran yang berkuasa di lembah ini dan menuntut balas kepada manusia yang lewat disini.
Kini sudah jelas bahwa mayat hidup semacam mumi ini mengandung maksud jahat terhadap dirinya, karena dilihatnya mayat hidup itu sudah meraih gendewa dan membidikkan panahnya yang berwarna merah itu kearahnya.
Begitu melihat gaya dan gerakan lompatan kuda putih lawan, Tio Kun ping seperti mendapat firasat bahwa hari ini dirinya pasti tak luput dari renggutan elmaut, meski dia tahu kuda tunggangannya sendiri adalah kuda jempol yang dapat lari seribu li sehari, karena gerakan kuda lawan adalah sedemikian cepatnya, padahal kelihatan kuda itu hanya melompat ala kadarnya, tanpa banyak membuang tenaga, lompatan santai tapi jangkauannya ternyata cukup jauh dan meyakinkanSerta merta Tio Kin-ping menghentikan kudanya dan siap tempur mengadu jiwa, walau rasa takut yang belum pernah dirasakan menghantui sanubarinya tapi dari pada menunggu ajal secara pcrcuma, dia siap mencoba dan berjuang dengan kepandaian pedangnya mungkin situasi tidak seburuk yang diduganya semula.
Tik tak tapak kuda, kaki depan kuda putih itu anjlok begitu ringan menyentuh bumi, seringan daon seperti kuda inipun memiliki ilmu Ginkang yang tinggi, sekali lompat jarak lebih diperpendek tinggal beberapa tombak saja, hanya suara tik tak dua kali itulah yang bergema dalam lembah, ternyata kuda putih tidak melanjutkan gerakannya samar-samar To Kin-ping melihat bayangan putih tidak jauh didepannya tanpa bergerak dan tidak bersuara pula.
Dalam suasana sunyi yang mencekam, di lembah sunyi nan lembab ini, berhadapan dengan mayat hidup yang nyata dan
mengerikan ini, meski Tio Kin-ping banyak pengalaman dan luas pergaulannya mau tidak mau mengkirik bulu kuduknya.
Ditengah ketegangan itu, jantungnya berdegup semakin kencang, terasa ujung panah yang merah darah itu seperti ditujukan kearah ulu hatinya, dengan kencang dia genggam gagang pedangnya, siap siaga dan menatap penuh kewaspadaan namun dia tidak berani melolos pedang, tapi juga tidak berani melepas pegangan gagang pedangnya pula.
Dia merasa pandangannya seperti makin kabur, dengus napasnyapun makin memburu, keringat sudah membasahi ujung hidung dan jidatnya.
Sekonyong-konyong bayangan putih yang sembunyi ditempat gelap itu mengeluarkan ringkik tawa yang aneh, seperti lolong serigala, juga mirip pekik setan penasaran, semakin kuncup nyali Tio Kin-ping, bulu romanya pada berdiri semua.
"Sret" pada saat itulah selarik sinar menyala tampak meluncur di bawah penerangan sinar rembulan, kelihatannya pelan-pelan melesat kearah Tio Kin-ping.
Kelih atan lambat, tapi kenyataan panah itu melesat cepat sekali, dalam jarak dekat pula, daya luncurnyapun ternyata amat keras, kecuali bunyi busur yang sedikit menjepret waktu anak panah dilepas, luncuran anak panah itu sendiri sedikitpun tidak mengeluarkan suara, tahu-tahu sudah membidik ulu hati.
"Sreng" sigap sekali Tio Kin-ping telah melolos pedang, dimana sinar pedangnya berkelebat dia menekan tubuh serta menurunkan tangan sembari membalik pergelangan tangan menepis sekaligus menyampok anak panah yang menyambar tiba.
"Trang" benturan keras yang di sertai lelatu api memecah kesunyian di ceng-hun kok ini, kontan Yu-Liong-kiam Tio Kin-ping rasakan seluruh lengannya tergetar kaku dan linu, telapak tangannya panas dan pecah berdarah, pedang mestikanya tak kuasa dipegang lagi, terpental terbang dan jatuh berkerontang diatas tanah, anak panah merah darah itu hanya sedikit tertahan
dan merandek tapi daya luncur dan arahnya tidak berubah tetap mengincar ulu hati.
Bahwa pedangnya terpental lepas sementara panah musuh tetap mengincar ulu hati-nya, karuan Yu-Liong-kiam Tio Kin-ping kaget dan pucat mukanya, sorot matanya terbeliak memancarkan rona yang sukar diraba, seperti bayangan elmaut yang menakutkan telah merenggut jiwanya .
Itulah refteksi dari sikap seseorang bila menghadapi rasa kaget dan ketakutan disaat kematian sudah diambang mata.
Dalam sekejap itu terbayang olehnya akan rumah dan keluarganya yang hangat dan sentosa, keluarganya tengah menunggu kedatangannya untuk merayakan malam Tiongciu, dia ingin meronta, bayangan isteri dan putrinya seperti menjerit dan memekik ngeri, namun dimana darah muncrat, panah merah itu sudah menembusi ulu hatinya, "Blam" tubuhnya jungkir balik berdentam dibawah kaki kudanya, sekujur badannya mengejang dan berkelejeran sekali, akhirnya lemas lunglai, napasnya putus jiwanya melayang.
Mayat hidup yang diperban serba putih itu tetap bercokol dipunggung kudanya tanpa bergerak. sorot matanya yang kemilau itu tampak memancarkan rasa kecewa.
Kematian Yu-Liong-kiam Tio Kin-ping amat mengerikan, kedua bola matanya melotot besar, darah tampak mengucur deras dari dadanya, sebuah boneka kain menggeletak tak jauh disamping tubuhnya, berlepotan darah pula, boneka kain yang pernah dia janjikan sebagai hadiah kepada putrinya yang masih kecil se pulangnya dari perjalanan ini.
Tio Kin-ping mati secara penasaran dan tidak tahu siapa pembunuhnya, sudah tentu kalau dia mati tidak meram.
Derap kaki kuda yang berlari kencang berkumandang tak jauh dimulut lembah, mayat hidup dibungkus kain perban itu masih tetap tidak bergeming dari tempatnya. Lekas sekali 1ari kuda itu sudah
dekat, suara deru senjata tajam tahu-tahu sudah mendera tiba membacok keatas kepala mayat hidup itu.
Tapi di mana bayangan merah bergerak tahu-tahu mayat hidup itu sudah angkat gendewanya menangkis, "Trak" Hou Pui seperti dilanda oleh gempuran tenaga dahsyat goloknya terbang ketengah udara, "Bluk" diapun jungkir balik diatas tanah.
Kembali terpancar rasa kecewa pada lirikan mata mayat hidup kearah Hou Pui yang disampoknya jungkir balik, tiba-tiba kuda putih melompat jauh pula, suara tik tak dari lambat semakin cepat, sekejap saja sudah jauh dan tidak kelihatan lagi.
Cepat Hou Pui merangkak bangun dan memburu kedekat Tio Kin-ping, melihat betapa mengerikan kematian sang majikan, tak tertahan Hoa Pui menangis gerung-gerung.
Putri malam sudah merambat lebih tinggi sehingga sebagian besar lembah menjadi terang oleh Cahayanya, hembusan angin dingin di musim rontok menderu kencang, membawa isak tangis yang memilukan.
Kematian Yu-Liong-kiam Tio Kin-ping, Piauthau Gi-Teng Piaukiok amat mengejutkan dan menggemparkan seluruh kota Pakkhia, dunia persilatanpun ikut geger.
Ternyata pembunuhan kejam itu tidak berhenti demikian saja, berita duka kekejaman di ceng-hun-kok terus berlangsung, sejak tanggal enam bulan delapan itu, dalam jangka satu bulan, mayat hidup berselubung perban putih itu beruntun telak membunuh empat puluh delapan jiwa dengan Cara yang sama, perduli orang yang lewat atau mereka yang meluruk kesana mau menuntut balas, semuanya jadi korban dengan jantung ditembusi anak panah.
Dari manakah asal datangnya dan kemana pulaarah perginya mayat hidup yang seperti mumi itu " Apa tujuannya main bunuh secara kejam " Manusia jadi-jadian atau mayat hidup sungguh-sungguh " Sejauh ini belum pernah ada orang yang bisa mengungkapkan rahasia ini.
Yangj adi korban anak panah merah itu ada pendekar besar yang kenamaan di Kang-ouw, ada pula gembong penjahat atau begal besar yang merajai dunia persilatan, tapi betapapun tinggi orang-orang yang meluruk ke ceng-hun-kok, tiada satupun yang mampu mengusik seujung rambut mayat hidup itu, maka dapatlah dibayangkan betapa tinggi ilmu-silat mumi itu.
Kalau kekejaman itu terus berlangsung dilembah mega hijau, tapi dalam jangka waktu yang sama, tidak sedikit pula orang-orang persilatan yang selamat lewat di ceng-hun-kok. meski mereka sudah berhadapan langsung dengan mumi itu.
Berita buruk itu masih terus tersiar, mereka yang jadi korban adalah muda- mudi dari keluarga sikorban yang ingin menuntut balas kematian saudara atau orang tuanya, ada pula yang menuntut balas kematian kawan karibnya.
Dari sekian banyak korban itu, akhirnya orang banyak menyadari bahwa semua orang yang mati dibawah panah murni itu semuanya bersenjata pedang.
Tapi siapa berani bertaruh pada jiwa raga sendiri untuk membuktikan kebenaran kenyataan ini, maka ceng-hun-kok akhirnya diganti namanya menjadi Bong-hun-kok (lembah pelenyap nyawa), sementara mumi atau- mayat hidup yang terbalut perban itu dijuluki Toh-bing-sip-mo (mayat iblis pencabut sukma)
Lama kelamaan orang jarang yang berani lewat ceng-hun-kok. jalan raya satu-satunya yang menghubungkan utara dan selatan yang biasanya ramai menjadi sepi, memang sering terdengar suara tik tak tik tak dari derap kaki kuda yang berat dan lamban, serta gelak tawa yang mengerikan seperti jeritan pekiksetan, keCuali itu keheningan seperti mencekam seluruh lembah itu.
Lembah yang sudah bertabur darah mengering, diliputi suasana magic yang sangat menakutkan.
MALAM nan sunyi, alam semesta seperti pulas dalam tidurnya, hanya deru angin di musim rontok yang tidak berhenti menghembus lalu, menjadikan suasana terasa sepi dan serba menyedihkan
Hanya cahaya rembulan tampak hangat dan lembut, cahayanya yang redup secara merata menyinari jagat raya, hingga malam yang sepi menyedihkan ini diliputi kehangatan, jagat yang gelap gulita ini, diberi secercah cahaya.
Pada tegalan liar diluar kota Sia-tay, semak belukar tumbuh diantara batu-batu yang bertaburan, turun naik tidak merata.
Seekor kuda perkasa tampak berlari berlompatan memecah kesunyian malam diantara tegalan yang berbatu-batu itu, dibawah cahaya yang remang-remang tampak penung gangnya bertubuh tinggi kurus. Usianya belum genap empat puluh, memelihara kumis, kedua matanya memancar terang, sebatang pedang panjang tampak digendong dibelakang punggungnya, orang ini adalah ahli pedang nomor satu didaerah utara sungai yang terkenal di Kangouw, yaitu Bok kiam-ciong-siau Pak kiong Bing.
Sejak berkecimpung dikalangan Kangouw Bok- kiam-ciong-siau Pakkiong Bing dengan sebilah pedang kayu cendana telah malang melintang di utara sungai besar, selama ini belum pernah ketemu tandingan, maka dia di anugerahi gelarahli pedang nomor satu di utara sungai besar dengan julukan Bok-kiam ciong-siau artinya pedang kayu menjulang ke awang-awang.
Pakkiong Bing memperoleh kepandaiannya dari seorang aneh yang tidak dikenal namanya, pedang kayu cendana ditangannya ini pun merupakan pedang mestika bagi kaum persilatan umumnya, kecuali digunakan sebagai senjata, apakah pedang kayu cendana ini masih ada manfaat lainnya, tiada seorangpun yang tahu, sampai pun Pakkiong Bing sendiri juga belum berhasil menyelami kesaktian pedang kayunya itu.
Watak Pakkiong Bing memang angkuh, namun sikapnya terhadap sesama kaum persilatan cukup supel dan tuIus, pengalaman luas pengetahuan mendalam, pergaulannya luas, adalah jamak kalau temannya banyak.
Tetapi dia paling benci kejahatan, tidak sedikit kaum Liok-lim (begal) dari kalangan hitam yang kecundang olehnya, maka dirinya
dipandang sebagai duri didepan mata mereka, tidaklah sedikit yang berusaha melenyapkan jiwanya.
Hari ini dia buru-buru menempuh perjalanan, seorang diri menunggang kuda peliharaannya menuju tegalan diluar kota Sia-tay ini, agaknya akan ada peristiwa penting yang bakal terjadi.
Bok- kiam-ciong-siau Pakkiong Bing menarik tali kekang kudanya, sinar matanya seperti kunang-kunang ditegalan yang remang-remang itu, kepalanya celingukan dan matanyapun jelilatan memeriksa sekelilingnya, akhirnya keningnya berkerut, dia membatin:
"Tempat yang ditunjuk dalam undangan itu jelas adalah disini. Kenapa bayangan setanpun tidak kelihatan, memangnya mereka ingkar janji " Yakin tidak, lalu mengapa mereka mengundangku kemari ?"
Dia menengadah melihat cuaca, perut kuda dikempitnya serta mengepraknya maju lebih jauh, tapal kudanya berdentam cukup keras diantara batu-batu gunung, langkahnya pelan tapi penuh kesiap siagaan.
Tak lama kemudian Pakkiong Bing sudah melewati sebidang tanah tegalan yang turun-naik, kini berada didepan sebidang hutan bambu, hembusan angin lalu menarikan pohon bambu sehingga terdengarlah paduan suara gesekan daon-daonnya yang rimbun.
Kembali Pakkiong Bing menarik tali kekang kudanya, sorot matanya menatap dengan rasa curiga dan waspada, hatinya jadi kurang tentram, pikirnya:
"Grmbeng iblis tua itu amat licin dan keji, banyak muslihatnya lagi agaknya..."
"Awas " Sebuah hardikan rend ah bergema dari sana, dua titik sinar dingin tampak melesat dari hutan bambu, deru luncurannya amat kencang, itulah dua biji Bok cu-gin-so. Pakkiong Bing tersentak kaget, pikirnya:
"Kiranya Bok- cu-gin-so Tan Toa-pin juga datang, jelas saudara angkatnya yang mestika itu Hwe-bu-siang Lao Hin-bupasti juga tidak absen."
"Keparat kau Tou Pit lip. pandai juga kau mengatur muslihatmu, Tiang-pek-ji-gui musuhku dahulu itu juga kau pancing kemari."
begitu melihat daya luncuran Bok-ci-gici-so (rajutperak ibu beranak) itu, Pakkiong Bing lantas mendapat firasat bahwa permusuhannya dengan Hoat-cing (telapak berdarah) Tou Pit- lip malam ini pasti sukar dibereskan secara damai, menurut situasi yang dihadapinya sekarang, pihak lawan pasti sudah mengatur rencana dengan segala daya upaya hendak menuntut balas sakit hatinya terhadap dirinya.
Maka tanpa banyak pikir, sekali tangan terayun Pakkiong Bing pukul balik kedua rajut perak itu, serunya dengan gelak tawa temberang: "Gui-lotoa, beginikah caramu menyambut kedatangan tamu ?"
Terdengar orang menggeram didalam hutan, menyusul empat titik sinar perak menyamber keluar pula. Karuan Pakkiong Bing naikpitam, entah bagaimana dia bergerak tahu-tahu tubuhnya sudah meninggalkan pelana, tubuhnya melambung tinggi terus menubruk kearah datangnya senjata rahasia, gerak-geriknya lincah dan tangkas luar biasa.
Keempat titik sinar perak itu menyambar lewat dibawah kakinya dan berkerincing jatuh diatas batu menimbulkan percikan kembang api.
Di tengah udara Pakkiong Bing sudah menghimpun tenaga, kedua tangan didorong dari depan dada, segulung angin dahsyat menerpa kedepan, pohon bambu seperti didera badai yang mengamuk sama tersapu roboh.
Namun cuaca tetap remang-remang, angin lalu tetap menghembus sepoi-sepoi, pohon bambu masih menari gemulai, tapi tak tampak bayangan manusia. Mau tak mau Pakkiong Bing bersuara heran, pikirnya:
"Mungkinkah pandanganku pada malam ini kabur?"
Begitu berdiri tegak pula kedua tangannya diluruskan, langkahnya lambat dan mantap maju kedepan, beberapa tombak telah di capainya, tapi pandangan Pakkiong Bing setajam kilat itu tidak menemukan bayangan seorangpun, suara sentuhan perlahanpun tak terdengar.
Sekonyong-konyong tidak jauh dibelakangnya, ditempat pohon-pohon bambu yang tersapu roboh oleh pukulannya tadi, terdengar jengek tawa dingin, lalu berkata seseorang dengan nada sinis.
"Jangan jual lagak disini Pakkiong Bing, kalau berani silahkan masuk lebih lanjut."
Lenyap suaranya maka tampak sesosok bayangan orang seperti burung raksasa telah melesat terbang dari atas kepala Pakkiong Bing menutul dipucuk bambu sebelah depan terus meluncur kearah depanPakkiong Bing menggeram dingin, tiba-tiba tubuhnya melejit ke atas terus mengudak kemana orang tadi pergi, Tapi bayangan orang itu telah melambung pula begitu kakinya menutul pucuk bambu, jadi tidak menunggu Pakkiong Bing sempat menginjak pucuk bambu, tiba-tiba pergelangan tangannya bergerak seraya membentak: "Turun."
Empat bintang perak terbagi atas, tengah dan bawah menderu kencang menyambar tiba.
Hebat memang kepandaian Pakkiong Bing, menghadapi bahaya tapi tidak gugup, sebelum rajut perak lawan menyerang tiba, dia sudah menarik napas, begitu ujung kaki menginjak pucuk bambu, berbareng dia menekuk tubuhnya kebelakang dengan gaya Liu-si-sui-Liong pohon meliuk mengikuti arah angin, tubuhnya jadi bergelantung kebelakang dan bergontai dua kali, tiba-tiba dia menghembuskan napas pula sambil membalik tubuh, ujung kaki menutul secepat angin lesus tubuhnya sudah melambung kedepan dengan kecepatan kilat mengudak kearah bayangan tadi.
Tiba-Tiba dilihatnya bayangan orang didepan anjIok kebawah terus lenyap dan tak keruan parannya diantara pohon-pohon bambu, Pak-kiong Bing sudah kebacut naik pitam, masa dia sudi membiarkan lawan ngacir tanpa diberi hajaran setimpal, sambil menghardik murka dia percepat daya luncuran lubuhnya, beruntun dua kali selulup timbul, dia sudah mengudak ke tempat dimana bayangan tadi lenyap.
Disini Pakkiong Bing bersuara heran pula. Selepas mata memandang, ternyata pohon-pohon bambu disini telah terpapas roboh dengan tebasan pedang tajam, seluas tiga tombak. jadi merupakan barisan bambu, tinggi bambu yang tegak kira-kira tujuh kaki, semuanya berbentuk runcing yang tajam. Ditengah barisan bambu sana berdiri seorang laki-laki bertampang beringas, bibirnya yang tebal merah darah, pipinya yang besar justru pesek, kedua kupingnya panjang lencir, tampangnya yang buruk memang luar biasa, laki-laki ini bukan lain adalah salah satu dari Tiang-pek-ji-gi, Bok cu-gin-so Tan Toa pinTanpa pikir Pakkiong Bing segera melejit kedepan dengan gerakan ringan hinggap dipucuk sebatang bambu runcing lima kaki di depan Tan Toa-pin, wajahnya tampak kereng dan berwibawa, belum lagi dia sempat bersuara, ujung matanya segera menangkap gerakan empat bayangan orang yang memencar diri.
Laki-Laki terdepan bertubuh kurus pendek. bermata tunggal beralis putih, wajahnya seperti mayat hidup, dia bukan lain adalah adik angkat Tan Toa-pin, salah satu dari Tiangpek-ji-gui pula, yaitu Hwe-busiang hao Hiu-bu. Dua orang yang lain satu putih yang lain hitam. tampangnya mirip satu sama lain, berperawakan sedang tapi berotot keras, mereka bukan lain adalah Im-yang-boan-koan Ti Bui dan Ti Bu, tokoh kalangan hitam yang terkenal paling sukar diajak kompromi.
Seorang lagi berwajah culas kaku, memelihara jenggot kambing, dia inilah kakek yang mengirim surat undangan untuk pertemuan dimalam ini, gembong iblis yang paling ditakuti dari kalangan hitam Hiat- ciang Tou Pit lip.
Begitu berdiri tegak Hiat-ciang To Pit- lip segera bertolak pinggang seraya terloroh panjang seperti bunyi kokok beluk yang kesusahan, suaranya brengsek dan memekak telinga mulut tertawa tapi kulit daging mukanya tetap kaku dingin, katanya kemudian.
"Pakkiong Bing ternyata kau dapat dipercaya, hari ini tibalah saatnya kita melunasi hutang piutang lama, hutan bambu ini bakal menjadi tempat pekuburanmu," Habis berkata kembali dia terloroh-loroh.
Menghadapi situasi yang cukup gawat ini Pakkiong Bing tahu bahwa hari ini terpaksa dia harus berjuang mati-matian menghadapi gembong-gembong iblis yang terkenal culas dan jahat ini. Meski tahu situasi tidak menguntungkan dirinya, tapi Pakkiong Bing yang tak pernah gentar ini tetap berpikir dengan kepala dingin. Baru saja Tou Pit-lip rampung bicara, segera dia balas mengejek.
"Lakon yang pernah kalah buat apa jual lagak temberang lagi, berapa kali aku Pakkiong Bing menaruh kebajikan kepadamu, sungguh tak nyana kalian masih tidak kapok dan bertobat, agaknya Pakkiong Bing harus merenggut jiwa kalian dengan kedua tanganku ini, baiklah kalaujalan itu yang kalian tempuh, akupun tidak perlu sungkan lagi, kalian ingin mati satu persatu " Atau.."
Mengingat mata adiknya yang picak karena perbuatan Pak-kiong Bing, Tan Toa-pin segera naik pitam mendengar olok-olok-nya. Bila Hiat ciang Tam Pit lip Sebelumnya sudah berpesan padanya, sejak diluar hutan tadi dia sudah akan melabrak musuhnya yang temberang ini. Maka sebelum Pakkiong Bing bicara habis, dia sudah berjingkrak gusar, bentaknya:
"Pakkiong Bing, jangan kau menangnya sendiri dalam adu lidah, mar., kau layani aku Tan Toa-pin, akan kutunjukkan kelihayanku sekarang tni, supaya kau tidak begini temberang "
Melihat seorang lawan telah terpancing kemarahannya, diam-diam girang hati Pakkiong Bing, tidak memapak tantangan lawan, dia malah menyingkir lima kaki jauhnya, lalu mengejek pula memancing suasana.
"Bagus, Gui-lotoa, kau ingin menyerahkanjiwa lebih dulu, Pakkiong Bing justru tidak sudi terima, yang terang kalian lima gentong nasi ini maju bersama juga sama saja."
Begitu tubrukannya tidak mengenai sasarannya, Tan Toa-pin mencelat tinggi sambil membelokarah terus menubruk pula.
Diam-Diam Pakkiong Bing sudah ambil ketetapan untuk merobohkan lawan satu persatu, begitu Tan Toa-pin menubruk pula, dia tidak mau sungkan pula, segera pasang kuda-kuda merendahkan tubuh kedua tangan terus didorong dengan jurus Joh-cui- tam-hoa (menyibak air merogoh kembang), deru angin yang dahsyat kontan menerjang kearah Tan Toa-pin, serangannya ini ternyata telah menggunakan Jiong-jiu-hoat.
Tan Toa-pin masih terapung di udara, tahu-tahu tubrukannya disambut dengan pukulan dua tangan, karuan bukan kepalang kaget hatinya, sambil kertak gigi diapun lintangkan kedua tangan dengan jurus Ui-Liong- jut-hay (naga hitam keluar laut), secara kekerasan dia lawan gempuran lawanKarena tubuhnya terapung dalam hal pengerahan tenaga jelas Tan Toa-pin tidak sekokoh lawannya yang telah pasang kuda-kuda, apalagi lwekang Pakkiong Bing memang setingkat lebih tinggi dari dirinya.
"Blaaar" Setelah ledakan dahsyat, tampak tubuh Pakkiong Bing menggeliat dengan sebelah kakinya mundur kepucuk bambu dibelakang baru dia kuasa kendalikan tubuhnya. Tapi Tan Toa-pin tertolak mumbul ketengak udara, seperti bola membal sejauh beberapa tombak, kedua lengannya terasa amat linu lunglai, darah bergolak dirongga dadanya, diam-diam dia mengakui kelihayan lawanPakkiong Bing sudah berkeputusan untuk menyikat lawannya satu persatu, maka serangannya tidak menaruh belas kasihan pula, dia insyaf bila hari ini dia tidak bertindak tegas, bukan mustahil jiwa raganya sendiri yang menjadi bulan-bulanan kelima musuhnya.
Maka begitu menguasai diri pula, segera dia melejit maju kearah Tan Toa-pin yang belum sempat pernah kan diri, dimana kedua tangannya terbuka, tangan kanan dengan jurus Hong-cian jan-hun (angin menggulung sisa mega) tangan kiri dengan tipu clok-poh-thian-kang (batupeCah langit kaget), deru angin pukulannya setajam pisau, dua jurus dilancarkan sekaligus seCara berganda.
Baru saja kaki berdiri dan tubuh belum tegak, angin pukulan lawan telah mendera tiba pula, setelah merasakan kelihayan lawannya, kali ini dia sudah kapok tak berani melawan seCara kekerasan pula, tersipu-sipu dia melompat mundur sejauh mnngkin.
Tapi Pakkiong Bing tidak memberi kesempatan langkahnya setangkas kera menari dipucuk pohon, tangannyapun serabutan melancarkan pukulannya, kali ini tangan kanan bergerak dengan jurus Kuigak-kip-cau (gagak pulang ribut bersama), bayangan telapak tangannya seperti bersusun semuanya menepuk ke arah Tan Toa-pin, sementara telapak kiri tahu-tahu menyelonong kesamping mengintai kearah bambu tempat berpijak Tan Toa-pin dengan tipu Me-ja-tam hay.
Setelah terpukul mabur oleh gempuran Pakkiong Bing tadi, Tan Toa-pin sudah terdesak dibawah angin, kini dicecar pula dengan gencar, kesempatan untuk ganti napaspUn tiada, karuan dia semakin keripuhan.
Kini belum lagi berdiri tegak, sebelum dia sempat mengumpulkan hawa murninya yang tercerai berai, bayangan telapak tangan lawan dengan deru anginnya yang hebat telah mengepruk batok kepalanya pula.
Saking kagetnya Tan Toa-pin membuang tubuhnya kebelakang, pikirnya hendak berkelit dari samberan angin pukulan Pakkiong Bing yang dahsyat, tetapi pada saat yang sama itu,
"Pletak." Tahu tahu kakinya seperti menginjak tempat kosong, dan "Blang" dengan telak pula dadanya kena digenjot secara telak oleh pukulan lawan, ditengah jeritannya yang ngeri tubuhnya yang
terpental roboh itu cecel dowel tertembus bambu-bambu runcing, matinya amat mengenaskanTan Toa-pin terlalu memandang enteng lawannya, maka Pakkiong Bing yang memperoleh kesempatan menggasaknya sampai ajal hanya dalam empat jurus belaka, sang kakak dari Tiang pekji-gui yang terkenal didunia persilatan akhirnya terpukul mampus ditangannya inipun diluar dugaan Pakkiong Bing sendiri.
Waktu Bok- cu-gin-so menyergap musuh sejak diluar hutan bambu tadi, Hiat ciang Tou Pit- lip merasa kurang senang, namun setelah dipikir, mending juga, sedikit banyaknya untuk menguras tenaga dan hawa murninya Bok- kiam-ciong-siau Pakkiong Bing maka waktu Hwe-bu siang Lao Hin-bu hendak tampil membantu saudaranyapun telah dia cegah, sunggUh siapapUn tidak mendUga bahwa Tan Toa-pin bakal ajal begitu cepat dan gampang ditangan Pakkiong Bing, mati dengan tubuh tertusuk bambu runcing secara mengenaskan.
Belum lenyap jeritan Tan Toa pin yang mengerikan itu, sebuah pekik keras seperti amukan banteng gila berkumandang pula diluar arena, belum lenyap pekik keras itu bayangan orangpun telah menubruk tiba.
Pakkiong Bing merasa adanya deru angin tajam yang mengancam punggung dan tengkuknya, tanpa menoleh kakinya sebat sekali telah melangkah maju serta beralih kedudukan kesebelah samping sejauh satu tombak lebih.
Kaki kanan menginjak pucuk bambu runcing sementara kaki kiri Pakkiong Bing menyapu kebelakang satu lingkar, sebat sekali tubuhnya telah berputar, bukan saja secepat kilat pula indah gemulai. Waktu dia angkat kepala, penyergap ternyata adalah Hwe-bu-siao Lao Hin-bu.
Begitu sergapannya mengenai tempat kosong, sekilas ujung kaki menutul ujung bambu, badannya lantas melejit maju pula menubruk kearah Pakkiong Bing, matanya yang sudah picak satu tampak melotot gusar dan buas, tangannya memegang sebuah lempengan
tembaga yang kemilau, sehingga tampangnya yang memang jelek dibawah reflek sinar tembaga kuning ditangannya itu kelihatan lebih suram menakutkan.
Dua kaki depan Pakkiong Bing, Lao Hin-bu menurunkan tubuh, sebelah kaki berpijak di pucuk bambu, sementara tubuhnya setengah jongkok, tangan kanan terbalik keatas, lempengan tembaga kuning itu seperti disodorkan kedepan, menutuk Koan-goan-hiat dibawah pusar Pakkiong Bing.
Pakkiong Bing tertawa ejek. tidak berkeIit atau menyingkir kelihatannya perutnya itu sudah pasti kena tertutuk^ tapi mendadak Pak kiong Bing mengerutkan perut, berbareng tangan kanan membelah turun menebas pergelangan tangan kanan Lao Hin-bu, sementara jari-jari tangan kiri mencengkram kemuka Lao Hin-bu pula, dua jurus serangan yang berbeda sekaligus dilancarkan secara berantai.
Terpaksa Lao Hin-bu menarik tubuh sambil mendongak meluputkan diri dari serangan Pakkiong Bing, lengan kirinya yang menjuntai turun dibawah bambu tiba-tiba membalik ke samping terus merogoh kebawah tubuh Pakkiong Bing merogoh kemaluannya, berbareng kaki yang sebelah menendang pula lambungnya, dua gerak serangan boleh dikata dilancarkan dalam waktu yang sama, bukan saja cepat gerak-geriknyapun aneh.
Bahwa serangannya luput, kaki Lao HinBun tahu-tahu sudah menendang tiba, karuan bukan kepalang kaget Pakkiong Bing, padahal tubuhnya sedang doyong kedepan hampir tengkurap. kaki jelas tidak sempat mengerahkan tenaga untuk melejitkan tubuh keatas, jelas dalam keadaan yang kepepet begini, kalau dia tidak mengalami kerugian besar, cidera sedikit jelas tidak terhindar pula, dalam detik-detik yang kritis itulah otaknya yang encer mendadak mendapat akal, pikirnya:
"Kenapa aku tidak tela'ah perbuatannya, menerima serangannya sejurus ini dengan kekerasan ?" Maka ditengah ejek tawanya, tubuhnya tiba-tiba mengkeret turun seperti orang duduk, kaki kiri
melintang, dengan gaya setengah berlutut dia sambut serangan lawan
Gerakan kedua pihak sama2 tangkas dan Cepat sekali. "Plak" Dua kaki mereka beradu terus berpencar "Pletak." Bambu dibawah kaki Lao Hin-bu ternyata peCah tak kuat menahan berat tubuhnya. Karuan tersirap kaget hati Lao Hin-bu, lekas dia tarik napas mengapungkan tubuh, kaki kanan menutul kesamping dengan gerakan Kiau-yan-hoan-sin (burung seriti membalik tubuh), dia membalik jumpalitan keluar setombak jauhnya, tubuhnya tampak limbung, setelah berganti dua kali posisi baru dia dapat menguasai dirinya pula.
Keringat dingin merembes di-jidat Lao Hin-bu, terasa kaki sampai kepaha kirinya linu dan pegal, panas dan perih iagi. Sementara Pakkiong Bing yang lebih unggul seurat telah menubruk tiba pula, jelas dalam keadaan yang sudah kepepet dengan sedikit Cidera ini dirinya bakal terjungkal pula ditangan musuh besar.
Untung Hiat-ciang Tao Pit-Iip tidak hiraukan gengsi atau nama baik sendiri, bahwa cu-bok-gin-so Tan Toa-pin telah ajal lantaran kekeliruannya, sehingga kekuatan pihak sendiri telah berkurang, ini berarti memperlemah posisinya pula.
Kini dilihatnya Pakkiong Bing hendak menggasak Lao Hin-bu pula, meski dia yakin Lao Hin-bu tidak semudah itu dikalahkan, tapi gerak-geriknya kelihatan sudah lamban dan terganggu oleh pahanya yang sedikit cidera itu.
Maka diam2 Hiat-ciang Tou Pit- lip memberi tanda kepada Im- yang- boan-koan Ti Bun dan Ti Bu, teriakan panjang yang melengking tinggi seperti menembus angkasa luar dari mulutnya yang telah ompong giginya, begitu dia pentang kedua tangannya, tubuhnya segera melejit mabur melampaui kepala Lao Hin-bu terus menyambut tubrukan Pakkiong Bing.
"Blang." Akibatnya dua bayangan orang tampak mencelat keduaarah, masing2 jatuh setombak lebih. Tampak ujung mulut Tou Pit-lip mengulum senyum sinis, namun tak tertahan dia batuk2 dua
kali, agaknya dia mendapat sedikit kerugian, tapi Pakkiong Bing dapat berdiri tegak dengan bertolak pinggang wajahnya biasa saja tidak memperlihatkan perobahan apa2, tapi kedua bola matanya memancarkan dua larik cahaya terang bergantian menatap keempat lawannya.
Ti Bun dan Ti Bu beruntun telah melompat memasuki gelanggang, sementara itu Lao Hin-bu telah memperoleh kesempatan untuk mengatur napas dan mengerahkan hawa murninya pula, rasa sakit linu dipahanya telah lenyap sehingga kakinya dapat bergerak leluasa kembali.
Dalam detik2 yang gawat ini suasana sedikit tegang dan sunyi, delapan biji mata memancarkan tujuh jalur sinar kebuasan menatap liar kearah Bok-kiam-ciong siau Pakkiong Bing. Tapi Pakkiong Bing tetap berdiri tegak gagah laksana gunung, bola matanya dipicing kan, ujung mulutnya seperti mengulum senyum ejek dan mencemooh lawannya.
Mendakak Tou Pit-lip membalik ke belakang. "Sret" dari punggungnya dia cabut sepasang telapak tangan yang gemerlap memancarkan cahaya kemilau. Telapak tangan itu panjangnya satu kaki, sebelah kanan kelima jarinya tergenggam mengepal, sebelah tangan yang lain jari2nya bagai cakar garuda, dibawahnya adalah gagang sepanjang empat kaki sebesar lengan bayi dengan ukiran indah, batang gagang inipun mengkilap gelap. terang terbuat dari baja murni yang berat bobotnya.
Im- yang boan-koan Ti Bun dan Ti Bu juga telah mengeluarkan senjata masing2.
Im-boan-koan Ti Bun mengeluarkan sebatang Boan-koan-pit sepanjang dua kaki warna hitam mengkilap. sebaliknya Yang- boan-koan mengeluarkan Boan koan-pit pula, tapi berwarna putih mengkilap panjangnya lima kaki lebih,jadi yang satu hitam pendek. yang lain putih panjang.
Akhirnya Pakkiong Bing seperti tidak acuh menghadapi keempat lawannya, namun dalam hati dia sudah mengeluh, sedikitpun dia
tidak berani lena, pelan2 tangan kanan bergerak kebelakang, lambat2 saja dia melolos pedang cendana yang terselip dipunggungnya.
Panjang keseluruhan dari pedang cendana ini ada tiga kaki, seluruh batangnya berwarna hitam gelap. sedikitpun tidak memancarkan sinar, jadi guram dan gelap. dari batang pedang itulah tercium bau cendana yang harum menyegarkanKecuali hembusan angin kencang di musim rontok yang serba kerontang ini, hanya dengus napas tegang kelima orang yang siap tempur mati2an mengadu jiwa.
Se-konyong2 Hiat-ciang Tou Pit-lip menggentak sebelah telapak tangannya yang gede dan berat itu, tidak menubruk atau melompati serempak keempat orang itu mulai menggeser kaki berpindah posisi tanpa mengikuti langkah tetap atau teratur, namun setiap langkah mereka menduduki bambu runcing yang mempunyai kedudukan penting, yang jelas Pakkiong Bing yang ditengah dikepung semakin ketat.
Bok-kiam ciong-siau Pakkiong Bing mengonsentrasikan pikiran dan tenaga, pedang seperti dipeluknya, hawa murni dihimpun dipusar, lahir dan bathin bersatu padu, persiapannya sudah cukup matang untuk menghadapi rangsakan musuh, akhirnya kelihatan sikapnya adem ayem, namun hatinya insyap bahwa keempat gembong iblis yang dihadapinya ini semua bukan lawan kroco yang gampang diroboh kan, sedikit lena pasti dirinya mengundang elmaut, salah2 hutan bambu inilah tempat dirinya dikubur.
Kira2 lima kaki disekeliling Pakkiong Bing, keempat orang itu berhenti, Pakkiong Bing tetap memicing mata perhatiannya seperti hanya tertuju diujung hidungnya, pedang masih dipeluknya disebelah kanan, kakinya bergaya seperti ayam jago mengangkat sebelah kakinya.
Mendadak Tou Pit-lip menggembor sekeras orang edan, dimana tangannya membalik, dia mendahului turun tangan, kaki kiri
melangkah miring menginjak posisi lintang, tangan kiri seperti cakar itu menderu kencang merogoh ulu hati Pakkiong Bing.
Sebat sekali Pakkiong Bing menurunkan tubuh, angin kencang menyerempet batok kepalanya menyambar lewat, berbareng pergelangan Pakkiong Bing ditarik turun, ujung pedangnya mendongak keatas menusuk keurat nadi dipergelangan tangan kiri Tou Pit-lip.
Tout Pit-lip angkat tangan menghindar tusukan pedang, berbareng tangan kanan membalik, dimana sinar gemerdep menyambar, jari-jari tangan senjatanya yang terkepal itu tiba-tiba menggenjot muka Pakkiong Bing.
Dalam waktu bersamaan tiga orang temannya merangsak bersama, sehingga Pakkiong Bing tetap terkepung ditengah.
Sudah tentu Pakkiong Bing cukup menginsyafi situasi yang dihadapi amat kritis, begitu tusukan luput, kepalan senjata Tou Pit-lip telah menggenjot mukanya pula, maka tanpa ayal dia miringkan tubuh ke kanan, kaki menutul pula dengan gerakan Yau-ing-hing-kang, sebat sekali dia menerobos kesamping satu tombak jauhnya, sehingga dia bebas dari kepungan keempat lawannya.
Baru saja Pakkiong Bing meluruskan tubuhnya, didengarnya angin kencang telah menderu tiba pula, dari kiri kanan belakangnya, sinar putih dan bayangan hitam merabu bersama. Pakkiong Bing seperti sudah menduga akan serangan ini, sambil mengerutkan alis dia menghardik keras, tubuhnya tiba2 mendak ke bawah sambil berputar, pedang dan telapak tangan terpencar, memapas dan menyampuk ke belakang mematahkan dan memunahkan serangan dari belakang.
Telapak tangan menyampuk dan pedang membabat sembari tubuh berputar itu dilaksanakan sekaligus, sungguh bukan kepalang kecepatan dan ketangkasannya.
Yang membokong dari belakang ini bukan lain adalah im-yang-boan-koan Ti Bun dan Ti Bu, sepasang potlot mereka menyerang tempat kosong, ternyata gerakan Pakkiong Bing lebih tangkas.
Sembari berputar pedang dan tangan terpencar balas menyerang mereka, lekas im-boan koan Ti Bun menarik potlotnya yang hitam gelap itu seraya merendahkan tubuh, telapak tangan kiri terbalik, dengan jurus Kong-gi-sin-bu (sinar timbul tumbuh kabut), ujung potlotnya balas mengincar urat nadi tangan kiri Pakkiong Bing yang menyampuk ke belakang, sementara tangan kanan ditarik terus didorong, lalu dengan jurus Hwi-sing-kangwat (bintang kejora mengejar rembulan), potlot hitam gelap ditangan kanannya tahu2 menyelonong dari bawah menutuk Thiam-toh-hiat dibawah bahu.
Gerak tipu dan serangan balasan yang dilakukan ternyata tidak kalah tangkas dan gesitnya. celaka adalah Yang-boan-koan Ti Bu yang terpaksa harus melompat dua kali berganti posisi pindah dua ujung bambu oleh desakan pedang kayu cendana Pakkiong Bing yang lihay itu.
Bahwa pedang cendana ditangannya mendesak mundur Yang-boan-koan, ternyata Pak kiong Bing seperti tidak hiraukan serangan Ti Hun dengan potlot hitamnya, tangkas sekali dia berkelebat kesamping meluputkan tutukan potlot Ti Bun, mendesak kearah Ti Bu.
pedang cendana merabu dengan jurus Jay hong-jip ce (pelangi masuk sumur), bayangan pedang hitam yang melingkar dengan samberan angin berhati wangi tiba2 telah membelah kearah Ti Bu.
Padahal Ti Bu baru saja menguasai diri melihat pedang Pakkiong Bing membelah tiba, kontan dia menghardik gusar, pikirnya:
"Bedebah, sejurus kau memperoleh angin lantas aku dicecarnya, memangnya aku ini kaum kroco yang gampang kecundang, biar aku beri hajaran setimpal padanya supaya dia tahu kelihayanku."
Karena itu mendadak tubuhnya menubruk kebawah seperti mau rebah tengkurap. tapi tangan kanan terangkat, potlot putihnya tiba2 menusuk lengan kanan Pakkiong Bing, berbareng tangan kiri menutuk Hun-cui-hiat dilambung Pakkiong Bing.
Sejurus serangannya luput Ti Bun sekaligus memutar kekiri, gerakan semula tidak berubah, kaki kiri menginjak sebatang bambu
untuk ancang2 tenaganya, potlot ditangan berbareng menutuk ke cong-hiat-hiat dibelakang kepaIa Pakkiong Bing.
Beberapa gebrak adu kegesitan dlsini telah mengundang kesempatan Lao Hin-bu untuk mengudak tiba, lempengan tembaga kemilau kuning ditangannya itu lantas mengepruk ke Thay-yang-hiat dipelipis Pakkiong Bing, serangannya ternyata tidak kalah keji dan telengas.
Bahwa serangan pedangnya tidak berhasil merobohkan lawan, kini dirinya malah dirangsak dari tiga jurus an- Karuan amarahnya memuncak. ditengah gerengan keras dari mulutnya, pedang cendana segera diputar sekencang kitiran, dengan jurus Hun-yau-sian-san (naga mengelilingi gunung dewa), berbareng kakinya menutul, sehingga tubuhnya melambung ke atas dan meluncur keluar dari samberan angin kencang serangan lawan dan turun diluar arena.
Tapi baru saja kakinya menyentuh ujung bambu runcing. didengarnya tawa ejek telah berada disampingnya, waktu dia menoleh, cahaya perak dari sebuah telapak tangan gede disertai damparan angin dahsyat tahu-tahu telah menggulung kearah dirinya.
Bahwa dengan gabungan tigaorang mengeroyoknya, ternyata masih tidak mampu merobohkan Pakkiong Bing, sehingga lawan lolos dari kepungan malah, karuan ketiga orang itu malu dan gusar bukan kepalang, serempak mereka menggerung dan berpekik seraya menubruk kemari seperti serigala yang haus darah, secara membabi buta saking gemas dan bencinya mereka merangsak dengan segala kemampuan yang mereka miliki.
-ooo0dw0ooo- 2 PAKKIONG BING terkepung pula, keempat lawannya terus berlompatan dan berkisar disekelilingnya, setiap jurus serangan mereka merupakan elmaut yang mengundang kematian bagi
Pakkiong Bing, dalam sekejap. mereka sudah berhantam dua puluhan jurus.
Meskipun seorang ahli pedang kenamaan yang belum pernah ketemu tandingan diutara sungai besar, ilmu pedangnya lihay dan aneh, perobahan2nya sukar dijajagi. Lwekangnya lebih unggul pula dari orang lain, tapi menghadapi keroyokan pentolanpen jahat yang rata-tata memiliki taraf kepandaian kelas satu ini, dalam waktu pendek jelas dia tidak akan mampu mengatasi keroyokan mereka, celaka malah bila dia lena atau kurang hati2, kalau tidak mati pasti juga terluka parah, oleh karena itu Pakkiong Bing bertindak penuh perhitungan, dia tidak ke-buru2 mengejar kemenangan, terlebih penting dia memantapkan pertahanan dia memperkokoh diri, maka dalam dua puluhan gebrak ini, dia lebih banyak bertahan danpada menyerang, dengan ketenangan menguasai aksi, namun demikian keringatnyapun telah gemerobyos, lama kelamaan dia malah kerepotan melayani serangan yang menggebu tiada hentinya.
Lama- kelamaan Pakkiong Bing yang sudah mandi keringat ini semakin gelisah, dan batinnya berkata:
"Menghadapi keroyokan mereka dengan kepungan seketat ini, menyergap secara gerilya begini, lama kelamaan tenagaku bisa terkuras habis, kesempatan untuk ganti napas pun tiada, kalau ber-larut2 cepat atau lambat salah2 jiwaku bisa tamat secara percuma Daripada mati konyol, lebih baik aku menyerempet bahaya, dengan gerakan kilat aku labrak mereka secara nekat, mungkin aku bisa menjebol kepungan serta merobohkan dua jiwa diantara mereka."
Maka diam2 dia mulai kendalikan napas menghimpun tenaga, setelah yakin persiapannya memadai, sebuah gemboran keras sekeras guntur yang menggoncangkan bumi keluar dari mulut Pakkiong Bing, perawakan tubuhnya yang tinggi itu, mendadak kelihatan seperti mengkeret, ditempat tubuhnya berputar, dengan jurus Wi-Liong-patcoan (naga melingkar berputar delapan) pedang cendana menaburkan bayangan gelap yang ceplok2 menggulung dengan kekuatan luar biasa keempat penjuru.
Karuan keempat pengeroyoknya sama2 menjerit kaget, karena terbawa sejurus gerakan pedang cendana yang dilancarkan Pakkiong Bing ini sekaligus telah mendesak mundur mereka, sehingga dipaksa beralih tiga-empat batang bambu.
Tangkas sekali gerakan Pakkiong Bing se jurus memperoleh peluang, segera dia mendesak lebih gencar, pedang cendana ditangannya berubah laksana damparan2 badai, jurui Tam sing-poat-te (merogoh rembulan mengeduk bumi) ini memang merupakan tipu terlihai dari permainan pedang cendana, celaka adalah Im-boankoan yang berada tepat didepannya, tanpi ampun dia tergulung oleh damparan dahsyat itu sehingga tertolak sempoyongan.
Untung ketangkasannya masih menolong jiwanya, dalam seribu kerepotan, kakinya masih sempat menutul ujung bambu, tapi sebelum dia sempat berbuat lebih banyak. bayangan gelap laksana segumpal mega mendung tahu-tahu sudah menungkrup kepalanya.
Ti Bun tahu, inilah jurus Nge-coat-sek dari ilmu pedang cendana Pakkiong Bing yang lihay sehingga dia dianugerahi jago nomor satu diutara sungai besar.
Padahal kakinya belum kokoh menginjak bambu, bayangan pedang tinggal satu kaki di atas kepala, tahu bahwa elmaut sudah hampir merenggut jiwanya, mukanya yaag memang hitam gelap seperti pantat kuali itu menunjukkan mimik yang aneh dan sukar dilukiskan, sorot matanya memancarkan bayangan kematian yang sangat mengerikanDalam sekejap ini, se-olah2 dari mimik wajah yang aneh serta sorot matanya yang mengandung ketakutan dan kejut itu, se-olah2 membayangkan perasaan ruwet yang sukar dijelaskan, mungkin malah secercah sinar penyesalan akan kejahatan yang pernah dilakukannya selama hidup,
Dalam waktu yang sama lolongan kalap yang keras disertai selarik sinar putih menyambar tiba, itulah Boan-koan-pit putih
mengkilap datangan Ti Bu yang menutuk ke Ling-tay hiat dipunggung Pakkiong Bing.
Mati hidup seseorang, seringkali ditentukan pada daya pikirannya yang sekejap itu. tetapi ada kalanya juga ditentukan oleh sekali pikiran orang lain- Demikianlah akan jiwa Ti Bun. kalau Pakkiong Bing sekarang sedang bertempur dalam keadaan biasa, kemungkinan dia akan menarik diri menyelamatkan jiwa sendiri lebih dulu, maka jiwa Ti Bun yang sudah berada dijurang kematian, akan ditarik balik oleh sergapan Ti Bu yang kalap itu.
Akan tetapi Pakkiong Bing sudah nekat dan memperteguh keyakinan bahwa pertempuran harus cepat diselesaikan, dan ini mempercepat proses kematian Ti Bun pula ditempat ini.
Sudah tentu, meski Pakkiong Bing sudah nekad untuk adu jiwa, betapapun dia tidak akan meremehkan jiwa raga sendiri untuk bertaruh satu lawan satu jiwa raganya, maka sambil kertak gigi, pedang ditangannya tetap bergerak tidak berobah, tubuhnya mendadak mendekam kedepan, miring meluputkan diri dari tusukan dari belakang.Jadi di dalam usahanya merobohkan musuh, diapun berusaha menyelamatkan diri sendiri secara untung2anJeritan mengerikan lebih keras dari suara robekan baju, badan Ti Bun telah terbelah jadi dua oleh pedang cendana Pakkiong Bing, tubuhnya terpental ke-dua arah dan tertusuk bambu runcing, sementara punggung Pakkiong Bing juga tergores luka sepanjang empat dim dari pundak kiri menurun kebawah, darah segar segera meleleh keluar membasahi badannya.
Tubuhnya agak limbung dan tersuruk dua langkah kedepan baru menguasai diri pula, wajahnya tetap kereng dan membeku dingin, secercah senyuman menghias bibirnya, didamping mengejek tercampur puas dan bangga.
Dia tahu, bila orang lain bertempur dalam cara seperti yang dialaminya tadi, pasti dua jiwa akan berkorban dalam waktu yang sama.
Sisa tiga orang yang masih hidup terbeliak kaget menyaksikan kenekatan Pakkiong Bing, namun lekas sekali dendam membara menghantui sanubari mereka, mereka disentak sadar akan tekad bersama untuk mencincang musuh yang satu ini, terutama Lao Hin-bu dan Ti Bu yang masing2 telah kematian seorang saudaranya, bola mata mereka sudah merah membara sebuas serigala yang haus darah.
Kalau ketiga lawan itu sudah dirasuk setan gila, mereka menyerang dan melabrak dengan ganas, diantara gegap gumpitanya hardik dan caci maki mereka bertiga, diseling tawa dingin yang mengejek. deru angin pukulan dan samberan senjata tajam simpang slur, sehingga berpadu menjadikan kisaran angin lesus yang mendampar kencang, sehingga pohon-pobon bambu diluar arena terkuak seperti keterjang badai, dalam arena tiga tombak, pohon dan rumput menjadi gundul, empat bayangan tetap berlompatan selincah kecapung dipucuk bambu2 runcing, adu otot, bertanding senjata berlaga dengan sengit.
Walau Pakkiong Bing berhasil mengurangi kekuatan pihak lawan, tetapi luka dibelakang pundaknya juga tidak enteng meski tidak terlalu fatal baginya, namun situasi tidak lebih baik baginya, apa lagi dia harus menahan rasa sakit luka dipunggung dantak mampu mencegah merembesnya darah, maka dia tetap nekat melabrak ketiga musuhnya.
Dua ekor serigala yang menggila dan seekor rase yang licin dan buas, mengeroyok seekor harimau yang sudah terluka, lalu siapa bakal gugur di medan laga "
Hiat-ciang Tou Pit-lip tertawa dingin, tangan kanan yang terbalik disampuk keluar, dengan jurus Poh- cui- tam-hoa, kelima jari yang terkepal terbuat dari baja murni itu, tahu2 sudah menggenjor ke Tam- Tiong- hiat didada Pakkiong Bing.
Kaki pasang kuda2 tubuh bagian atas doyong kebelakang menghindar jotosan senjata lawan, berbareng kaki kanan melayang menendang pergelangan tangan Tou Pit-lip.
Tak nyana serangan Tou Pit-lip ini ternyata hanya gertakan belaka, begitu tubuh Pakkiong Bing doyong dan menendang, sigap se kali Tou Pit-lip sudah merendahkan tubuh sambil menurunkan Sikut, dimana sinar dingin berkelebat, membawa deru kencang, senjata tinjunya itu tertarik turun terus menghantam ke muka Pakkong Bing, sementara Boan-koan-pit Ti bu ternyata sudah menukik pula dari atas kepalanya menusuk ke-ubun2 kepalanya.
Bahwa berpijak hanya dengan sebelah kaki sementara tubuh doyong kebelakang, kala berusaha menerjang keluar, jelas usaha yang sukar dicapai, padahal didepan dirinya dihadang oleh potlot Ti Bu, untuk menerjang ke depan jelas tidak mungkin.
Bila menyingkir kekiri atau kekanan juga jelas tidak bisa karena tenaga untuk dikerahkan kearah itu tidak mungkin dicapai, apa lagi umpama usahanya berhasil, letak bambu yang tumbuh secara alamiah tak teratur ini tidak bisa dibuat patokan untuk gerak langkah kakinya, disaat tubuh terjengkang kebelakang menghadap keatas, bagaimana matanya dapat melihat keadaan bambu dibawah kakinya "
Sekali salah langkah, tubuhnya pasti ambruk dan akibatnya pasti fatal. Tapi dua macam senjata mengancam bersama, maju tidak bisa menyingkir tidak mungkin, bila menangkis dengan pedang mestika secara kekerasan, senjata lawan berbobot berat, padahal kakinya berpijak diujung bambu dengan tubuh doyong pula, dirinya pasti bisa tertindih roboh kebawah, itu berarti jiwanya bakal tamat lebih cepat dengan tubuh tertusuk belong oleh bambu runcing.
Menyingkir tidak bisa, menangkis juga celaka, mau nekat dan adu jiwa juga tidak mungkin lagi, setelah dipikir, menyingkir kesamping adalah pilihan satu2nya yang paling menguntungkan dari sekian cara untuk menyelamatkan diri, perduli apakah kakinya nanti dapat menemukan tempat berpijak dipucuk bambu runcing, paling tidak dia harus mencari kesempatan hidup.
Sudah tentu jalan pikirannya itu hanya berlangsung seperseribu detik cepatnya, begitu putusan tetap. sigap sekali Pakkiong Bing berputar mendadak kesamping, lima kaki menyingkir kekanan.
"Pletak" ditengah pecahnya bambu yang nyaring, bambu dimana barusan dia berpijak telah hancur terpukul oleh senjata Tou Pit-lip dan Ti Bu.
Tubuh Pakkiong Bing yang melintang ke samping dengan berputar setengah lingkar itu mana bisa membedakan arah bambu, kenyataan kedua kakinya menginjak tempat kosong, keruan bukan kepalang kagetnya, serasa arwah sudah terbang kesorga, dalam seribu kerepotannya, secara mentah2 dia memutar tubuhnya pula Seningga punggung keataS, jadi tubuhnya tengkurap kebawah. Dilihatnya bambu2 yang runcing Siap menusuk tubuhnya Semakin dekat, semakin besar, pandangan menjadi ber-kunang2. dikala kepala pusing tujuh keliling itulah didengarnya seorang terkekeh seram di sertai gelak tawa puas, mau tak mau Pakkiong Bing mengeluh, "Tamatlah riwayatku kali ini."
Tiba2 rasa sakit merangsang pahanya, syukur karena rasa sakit ini telah menyentak kesadarannya dan menggugah syarafnya, sebuah pikiran berkelebat dalam benaknya, secepat kilat tangan kiri Pakkiong Bing diulur menekan ke bawah berpegang pada sebatang bambu runcing, sementara perutnya sudah menempel pada ujung bambu yang lain, dadapun hanya dua dim diatas bambu runcing, syukurlah karena pegangan tangan kiri itu, dengan kekuatan lengannya dia menahan tubuh sehingga mengerem tubuhnya yang jatuh kebawah, pada detik-detik yang gawat itu, jiwanya telah ditarik balik dari renggutan elmaut.
Pakkiong Bing menggerung sekali, begitu tangan kirinya menekan dan menggentak, tubuhnya tiba2 jungkir balik terus mencelat keatas serta bersalto sekali, secara enteng kakinya berhasil berpijak pula diujung dua bambu runcing, tapi tak urungpaha kirinya kembali tergores luka oleh tajamnya bambu runcing, sepanjang satu setengah dim.
Baru saja Pakkiong Bing berdiri belum tegak. ditengah raungan gusar, tiga orang lawannya kembali mera bukan senjata seperti mau berlomba untuk merobohkan lawannya yang satu ini.
Baru saja lolos dari lobang jarum, dan belum sempat Pakkiong Bing ganti napas, sudah tentu dia tidak berani ayal, lekas dia menyelinap kepinggir dua langkah, menghindari samberan dua macam senjata, pedang dan telapak tangan segera bergerak kedua arah, dengan jurus San ing-hun-sing (bayangan gunung membedakan bentuk), tangan kiri sedikit membalik, merogoh urat nadi pergelangan tangan kanan Lao Hin-bu, sedang pedang cendana menusuk dadanya.
Lao Hin-bu berkelit sambil menusukkan tangan, lempengan tembaga di tangannya serta merta mengemplang dengan deru angin kencang kearah dada Pakkiong Bing.
Dasar kepandaian tinggi Pakkiong Bing cukup tabah menghadapi resiko, tidak berkelit tanpa menghindar, dikala senjata lawan hampir menyentuh tubuhnya, tiba2 badannya berputar mengikuti arah lempengan tembaga lawan, berbareng tangan kanan menjojoh keluar balas menghantam dada Lao Hin-bu.
Bergerak memutar sambil melancarkan pukulan itu ternyata dilancarkan dengan gerakan yang masih tangkas dan kuat luar biasa.
Begiru serangan luput, kepalan Pakkiong Bing mengancam dada sendiri malah, padahal Lao Hin-bu terlampau bernafsu merobohkan lawan, sehingga serangan kali ini tidak di perhitungkan, gerakan yang sudah kebacut itu jelas tidak mungkin ditarik balik, padahal sisa tenaga untuk penjagaan pun sudah ludes, apa boleh buat sebisanya lekas dia berkelit kekanan sambil melompat, "Blang" pukulan telak mengenai dada, ditengah erangan Lao Hin-bu tubuhnya terpental mumbul dengan tulang pundak pecah kena pukulan, tubuhnya yang memang melompat berkelit itu jadi seperti didorong mencelat lebih hebat, darah menyembur dari mulutnya disaat tubuhnya terapung jungkir balik, jeritan mengerikan keluar dari mulutnya menjelang jiwanya ajal tertembus bambu runcing yang telah menyambut tubuhnya, bukan saja dada belong, perurnyapun modal-madil sampai ususnya berserakan, setelah
meregang jiwa, akhirnya bola matanya terbalik, kaki menjulur lemas, jiwa pun melayang.
Tapi untuk meluputkan diri dari telapak tangan Tou Pit lip, Pakkiong Bing tidak sempat perhatikan potlot Ti Bu sehingga tambur kepalanya terkelupas oleh ujung senjata lawan, lukanya memanjang dua dim.
Rambut Pakkiong Bing yang semula di-ikal diatas kepala dengan tusukan sebatang jepitan batu-jade kini sudah awut2an, badan berlepotan darah pula, sehingga keadaannya seperti manusia darah yang mengerikanTiga orang masih terus berhantam diatas bambu runcing, Hiat-ciang Tou Pic- lip memang manusia culas yang licin, sudah tentu dia tidak akan mempertaruhkan jiwanya untuk nekat secara membabi buta, maka dibawah tekanan rangsakan balasan pedang Pakkiong Bing dia mendapat rintangan yang tidak mungkin dapat diabaikan begitu saja, sehingga Pakkiong Bing beberapa kali lolos dari renggutan elmaut, malah dalam keadaan terdesak dua kawan sendiri kembali telah dibunuhnya.
Tou Pit-lip juga tahu bahwa luka2 yang diderita Pakkiong Bing hanyalah luka luar saja jikalau hari ini mengabaikan kesempatan baik ini untuk mengganyang jiwanya, untuk menuntut balas di kemudian hari tentu lebih sukar lagi, maka dia tidak berani mengendorkan tekanan serangannya, bersama Yang- bean koan mereka menggencet Pakkiong Bing dari dua arah.
Lekas sekali tiga puluh jurus telah berselang pula, tampak tiga larik sinar putih menggubat bayangan gelap. begitu seru saling berkutat secara ketat dan memagut dengan gencar sekali.
Pakkiong Bing sudah mandi keringat yang bercampur darah, tenaganya beleh dikata sudah terkuras habis, hakikatnya dia sudah tak mampu menyerang lagi, wajahnya kelihatan pucat pias, keringat dtmukanya membuat rambutnya yang awut2an lengket dengan muka dan kepalanya, bercampur darah yang masih terus mengalir
keluar, sekuat tenaga dia lompat sana kelit sini, tangkis sin Hindar sana.
Tenaga murni Pakkiong Bing terkuras terlampau besar, rasanya kaki tangan bukan saja lunglai, juga terasa linu pegal. Pakkiong Bing insyaf dirinya tidak akan kuat bertahan lama, mendadak dia tertawa gelak2, tawa gelak dengan suara serak sambil menyeringai seram.
Kebetulan kepalan baja senjata Tou Pit-lip yang berat itu tengah terayun balik menggenjot musuhnya dengan jurus Siang- Ilong-toh-cu (sepasang naga berebut mutiara).


Pedang Kayu Cendana Karya Gan K H di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sementara potlot Ti Bu juga menjojoh lian-kin-hiat di pundak Pakkiong Bing. Lekas Pakkiong Bing menggeser miring sambil berputar, kaki kanan melangkah keluar sambil menginjak pucuk sebuah bambu, dengan mudah masih kuasa dia meluputkan diri dari rangsakan musuh yang gencar ini. Tetapi potlot Ti Bu yang lebih ring an ternyata lebih lincah bergerak. karena jojohannya mengenai tempat kosong, sekalian dia ayun potlotnya itu seperti pentung dengan jurus Hing- sau- jian- kun ( menyapu ribuan bala tentara ), dengan deru kencang potlot itu menyambar tiba.
Pakkiong Bing dipaksa menarik kaki kiri sehingga tubuhnya turun terduduk. kembali sapuan potlot Ti Bu telah dihindari, tapi senjata cakar baja ditangan Tou Pit-lip ternyata telah mencengkeram datang dari kiri, kesempatan untuk ganti napas atau balas menyerang pun tiada lagi bagi Pakkiong Bing, terpaksa dia kerahkan tenaga diujung tumit, sedikit menutul tubuhnya mencelat pergi satu tombak jauhnya.
Tubuh Pakkiong Bing tampak bergontai dua kali, napaspun sempat ditariknya dalam2 Ti Bu sudah menubruk maju pula, belum kakinya menginjak pucuk bambu, sambil mendengus hina, potlot ditangannya diputar kencang, menciptakan beberapa buah lingkaran sinar gemerdep. seluruhnya merabu kedadanya Pakkiong Bing.
Mendadak terpancar Secercah senyum penuh arti yang sukar dilukiskan pada wajah Pakkiong Bing, bola matanya yang separoh tertutup rambutnya yang basah oleh keringat, memancarkan sinar
buas dan beringas, mendadak dia menarik napas dalam, serangan Ti Bu ternyata hanya ditatapnya saja.
Dikala potlot lawan hampir saja menyentuh dadanya, mendadak tubuhnya mengkeret, disertai gemberan yang mengguntur, pedang cendana ditangannya mendadak terayun dengan jurus cun-ko-mo-hun, sesuai namanya bayangan pedang nan gelap. seketika bertebaran diempat penjuru menimbulkan damparan angin badai, terus mengulung Ti Bu yang masih terapung di tengah udara.
Ti Bu terlampau bernafsu dengan jurus serangannya yang menggunakan sepenuh tenaga, sehingga tubuhnya yang terapung itu tak kuaSa menghindar dari serangan jurus cun-ko mo-hun salah satu jurus Ngo soat-sek kebanggaan Pakkiong Bing, walau serangan itu dilancarkan setelah Pakkiong Bing dalam keadaan kehabisan tenaga, namun ilmu Ngo-coat-sek itu sendiri betapapun tak akan mungkin bisa dilawan oleh Ti Bu dengan tubuh yang masih terapung, apa lagi potlotnya sudah terlanjur di lontarkan, bukan saja tidak mampu menyingkir, juga tidak bisa menangkis pula, jelas Ti Bu bakal ajal pula dibawah pedang cendana Pakkiong Bing.
Kalau Ti Bu gugup dan ngeri, Tou Pit-lip pun tak kalah gelisahnya, bukan kerja gampang untuk mengumpulkan kawanan iblis yang dua pasang itu, ditambah dirinya, lima orang dia yakin pasti dapat melenyapkan duri didepan mata ini, Bok-kim-ciong-siau Pakkiong Bing yang pernah dua kali mengalahkan dirinya, yakin pasti akan terkubur dihutan bambu ini.
Akan tetapi datang2 Bok-cu-gin-so Tan Toa-pin telah mengumbar nafsu dan membekong musuh sehingga seluruh rencananya menjadi gagal total, dan akibatnya bukan saja tak mampu merobohkan lawan, Pakkiong Bing malah beruntun menamatkan jiwa dua orang pihaknya, bila sekarang Ti Bu juga ajal dibawah pedang Pakkiong Bing, seorang diri mana dia mampu menghadapinya .
Semakin dipikir semakin ciut nyali Tou Pit-lip. demi kepentingan dan mengejar kemenangan, sembari meraung gusar, kedua
senjatanya segera dikerjakan dengan sengit mengepruk batok kepala Pakkiong Bing, pikirnya:
"Bila kau melukai Ti Bu, biar jiwanyapun kuhabisi sebagai penuntut keadilan-"
Jelas pedang cendana Pakkiong Bing pasti akan membunuh Ti Bu, tetapi deru angin kencang tahu2 juga sudah menindih tiba di atas kepalanya, dia insyaf bila dirinya berhasil merobohkan Ti Bu, pasti dia tak akan sempat meloloskan diri dari ancaman senjata Tou Pit-lip. tapi dia berpikir.
"cepat atau lambat sama2 mati, dengan wibawa dan ketenaran nama besar Bok-kiam-ciong-siau, memangnya aku harus hengkang sebelum pertempuran ini mencapai penyelesaian, lebih baik satu persatu aku habisi jiwa merekanya, kenapa aku tidak bertindak demikian."
Pikiran ini hanya sekilas bekerja dibenak Pakkiong Bing, maka tanpa ayal gerak pedangnya tetap pada sasaran semula, sisahawa murninya dia kerahkan dilengan kiri terus diangkat mendadak untuk menyambut telapak tangan gede serangan Tou Pit-lip.
Terdengar jeritan yang mengerikan, kedua kaki Ti Bu sebatas paha telah ambil berpisah dengan raganya. "Bles" tubuhnya terlontar ke-tengah2 bambu runcing, tertusuk tembus dan jiwanyapun melayang seketika, darah muncrat. Bambu runcing hijau seluas tiga tombak itu kini ditaburi beberapa mayat dalam keadaan serba mengerikan, semuanya mampus dengan mata terbeliak dan tubuh ditembus bambu, sehingga kelihatan seram dan menakutkan dibawah penerangan cahaya rembulan yang remang2.
Tapi Pakkiong Bing sendiri juga mendehem cukup keras menahan sakit, "Krak" sebelah lengannya terkepruk remuk menjadi beberapa potong. Saking sakit, pandangan Pak kiong Bing sampai ber-kunang2, keringat dingin bercucuran sederas sumber air, sekuatnya dia menegakkan rubuh, setelah sempoyongan baru berhasil menegakkan diri. Tou Pit-lip ternyata kesima, dan gentar oleh kenekatan lawannya yang keras kepala dan tabah itu.
Mendadak, Pakkiong Bing mendongak sambil tertawa kial2, Ton Pit-lip bergidik seram dan merinding mendengar tawa buas dan beringas ini. cuaca remang2 menjadikan keadaan Pakkiong Bing yang berlepotan darah itu kelihatan lebih mengerikan, sebelah lengannya terlampir lunglai, rambut awut2an, mulut terpentang dengan rawa yang menggiriskan pula, makin besar rasa ngeri dan takut Tou Pit-lip. timbul keinginannya untuk melarikan diri, lekas hengkang dari arena yang sudah kotor dengan bau darah direngah hutan bambu ini, akan tetapi kedua kakinya seperti lengket dan kaku tidak mampu bergerak. maka dia hanya berdiri melongo dengan pandangan terbeliak
Tiba2 sirna tawa Pakkiong Bing, dua jalur sinar matanya yang berkilat menembus rambut awut2an yang menutupi mukanya menatap tajam kemuka Tou Pit-lip yang sudah pucat ketakutan, pelan2 tapi pasti dia mulai mendesak kearah Tou Pit-lip.
Tou Pit-lip tersentak kaget seperti sadardari lamunannya, secara reftek, telapak tangan gede terbuat dari baja ditangan kirinya tiba2 terayun mengepruk kearah bayangan pedang yang menerjang datang itu.
Tou Pit-lip memang jadi pikun sekejap oleh bayangan sendiri, bukan dia tidak tahu kelihayan Ngo-coat-sek yang dimiliki Pakkiong Bing, tahu2 dia merasa pergelangan tangannya mendadak perih dan sakit, ternyata tangan kirinya sebatas pergelangan tangan sudah tertabas kutung.
Tou Pit-lip meraung gusar, sinar matanya menjadi liar dan penasaran, kepelan baja di-tangan kanannya mendadak terayun keatas terus ditimpukkan dengan setaker kekuatannya kearah dada Pakkiong Bing.
Bahwa serangannya behasil sudah tentu membuat Pakkiong Bing kegirangan, belum lagi pedang dia tarik balik, sinar perak berkelebat, kepalan gede senjata lawan tahu2 sudah menggempur dada, jarak sedemikian dekat, untuk berkelit terang tidak mungkin, karuan bukan main kaget Pakkiong Bing, "Blang" dengan telak kepalan gede terbuat dari baja itu menggodam dadanya.
Setelah melontarkan senjatanya, Tou Pit-lip tidak berdiri diam lagi, sembari bersuit panjang, dengan langkah sempoyongan dia kabur dari tempat situ terus menerobes hutan bambu, hanya beberapa kali lompatan berjangkit dia sudah lenyap diantara rimbunnya dedaonan bambu.
Pakkiong Bing tersodok mundur beberapa langkah oleh gempuran kepalan senjata baja Tou Pit- lip yang berat itu, beberapa kali dia sempoyongan hampir jatuh, terasa darah Seperti mendidih dirongga dadanya, paru2nya seperti tergetar pindah dari tempatnya semula. "Huuuuaaaaaahh" tidak tertahan dia menyemburkan darah segar se-banyaK2nya.
Pakkiong Bing tahu lukanya amat parah, untung dia memiliki Lwekang tangguh, lekas dia menarik napas menyalurkan hawa murni dari pusar, darah yang menindih dan hampir menerjang keluar mulutnya berhasil ditekannya pula.
Pelan2 Pakkiong Bing menyarungkan pedangnya yang berlepotan darah, lalu dari kantong bajunya dia keluarkan sebuah botol obat tanpa dihitung sekenanya dia tuang beberapa butir terus dilempar kedalam mulut, setelah dikunyah terus ditelannya mentah2.
Wajahnya basah oleh keringat dan darah, bela matanya merah memancarkan sinar beringas, dengan langkah sempoyongan dia berusaha meninggalkan tempat itu.
Beruntung meski dengan langkah limbung Pakkiong Bing bisa keluar dari hutan bambu, namun napasnya sudah sengal2 hampir putus, meski hawa murni berhasil menekan darah yang hampir menyembur keluar, namun isi perut dan dadanya memang tergoncang teramat keras sehingga Sakitnya bukan kepalang, dia tahu paru2nya mungkin pecah nan tergetar miring dari tempatnya Semula, dia tidak tahu apakah dirinya masih bisa bertahan hidup, dan berapa lamanya " Mungkin dua hari, atau besok juga telah ajal.
Kuda hitam miliknya itu memang sudah terlatih baik, langkahnya pelan dan tidak menimbulkan goncangan sehingga sang majikan yang mendekam diatas punggungnya merasa lega, kuda itu
beranjak ditegalan berbatu, rasa sakit dadanya tidak berkurang, malah semakin hebat, maka dia diamkan saja kudanya menuju kearah yang ditujunya.
Pandangannya kaku lurus kedepan, rambutnya yang terurai menutupi mimik wajahnya yang penuh dengan siksaan dan derita, hembusan angin di musim rontok yang setajam pisau tak dirasakan lagi, maklum separoh bagian kiri tubuhnya beleh dikata sudah pati rasa... lapat2 Pakkiong Bing masih bisa berpikir:
"Sudah saatnya kau pulang... Pakkiong. Bing, mungkin kau akan segera mati, maka lekaslah kau pulang saja." ternyata nalurinya masih bisa bekerja secara normal, tali kekang di tariknya sehingga kuda mulai berlari berputar arah, melampaui Sia tay terus dibedal menuju kearah ciok-muy.
Sementara itu, rembulan sudah hampii tenggelam diufuk barat, ditengah ke pulan debu yang membumbung tinggi, tampak seekor kuda hitam ditunggangi seorang yang berlumuran darah, terus membedal kearah utara.
Tik tak tik tak, dentam tapal kuda yang berat dan perlahan terdengar bercampur baur dengan suaranya didalam ceng-hun-kok Mendadak Pakkiong Bing angkat kepalanya, sorot matanya menunjukkan rasa kaget dan heran, diam2 dia membatin- " ceng hun eh, bukan, inilah Bong-hun-kok dimana Toh-bingi sip-mo yang berbentuk mumi masih mengganas..... se-olah2 dia sudah melihat mayat hidup yang dibalut perban putih bercokol dipunggung seekor kuda, hanya dua bola matanya yang masih kelihatan dibalik perban tebal dengan memancarkan cahaya dingin tengah menatapnya lekat2.
Tanpa sadar Pakkiong Bing bergidik merinding, dia kucek mata serta mengedipkannya beberapa kali, dari balik rambut kepalanya yang awut2an menutupi muka dia memandang kedepan, cuaca dalam lembah tetap guram, namun bayangan seorangpun tidak tampak didalam lembah. Tapi derap tapal kuda yang berat dan perlahan itu masih berdentam didalam lembah meski suaranya terdengar sayup2.
Serta merta Pakkiong Bing menarik tali kekang kudanya sehingga tunggangannya memperlahan larinya. "Apakah aku tetap melanjutkan kedepan" Atau memutar balik kuda kemkali kekota Sia-tay " Lalu berkisar satu lingkaran besar pulang dari jurusan lain " Demikian Pakkiong Bing membatin dalam hati. .
Mendadak sorotan mata Pakkiong Bing yang teraling rambut kepalanya itu memancarkan cahaya keteguhan dan ketegasan keputusanya, diam2 dia berolok pada diri sendiri.
"Pakkiong Bing, jangan gentar, kau harus melanjutkan perjalanan kedepan, kau harus berani mencobanya, kau harus lekas pulang berkumpul dengan anak binimu.."
Pada saat itulah diujung pengkolan jalan dalam lembah sana muncul seekor kuda putih- dipunggung kuda bercokol sebentuk tubuh kekar yang seluruh tubuhnya dari kepala sampai keujung kaki dibalut perban, gerak geriknya kaku dan lamban, setelah tapal kuda berdentam pula dua kali, kuda putih itu mendadak berlari sedikit kencang, kalau tak mendengar derap tapal kudanya yang menyentuh batu, orang akan menyangka bahwa kuda putih itu melesat terbang dari permukaan bumi.
Tak urung Pakkiong Bing bersuara heran dalam batinnya:
"Itukan Liong-ma (kuda naga), kuda naga yang jarang ditemukan selama ribuan tahun mendatang ini..."
Dalam lembah kini ada dua ekor kuda, seekor kuda putih ditunggangi oleh Toh bing-sik-mo yang sekujur badannya dibalut perban dan ditakuti oleh kaum persilatan.
Sementara kuda hitam ditunggangi Pak-kiong Bing yang berlepotan darah, dengan muka beringas pucat dan rambut awut2an, jarak kedua orang semakin dekat, cuaca dalam lembah tetap guram, tapi keduanya terus saling mendekat. Akhirnya kuda putih berhenti kira2 puluhan tombak jauhnya, tetapi kuda hitam Pakkiong Bing tetap beranjak kedepanTerunjuk rasa heran pada sorot mata Toh bing-sik-mo yang dingin kaku itu, keadaan Pakkiong Bing yang serba mengenaskan agaknya menarik perhatiannya, keadaannya tak ubahnya seperti mayat gentayangan pula, sehingga mayat hidup yang dibuntal perban ini menampilkan cahaya simpatik yang belum pernah diperlihatkan kepada setiap korban yang dibunuhnya.
Perlahan tapi pasti kuda hitam terus maju, perlahan dan perlahan semakin dekat. Perlahan tapi meyakinkan Toh-bing-sik mo mulai ulur tangan merogoh gendewa memasang anak panah merah.
Napas Pakkiong Bing terasa sesak dan tersengal, namun dia tidak mandah terima nasib, dia berusaha menghimpun hawa murni sembari menggerakkan tangan kanan yang tadi memega tali kekang kepunggung, pelan2 dia melolos pedang cendana yang amat disayanginya dan masih berlepotan darah itu dari punggungnya.
Hembusan angin lalu membawa bau anyirnya darah, namun juga meniup seperti harumnya cendana. Dikala Pakkiong Bing pelan2 melolos pedang cendana itulah, dua bola mata simayat hidup perban putih itu tiba2 seperti mencorong menyala, rona matanya menampilkan rasa kejut dan girang tidak terkendali, seperti seorang yang tiba2 mendapatkan sesuatu yang telah sekian lamanya didambakanLoroh tawa aneh semacam pekik setan yang berkepanjangan menelan deraptapal kuda hitam yang ditunggangi Pakkiong Bing, lembah sunyi ini seakan tergetar oleh loroh tawanya yang dilandasi Lwekang tangguh, sehingga genderang telinga Pakkiong Bing serasa hampir meledak. suaranya mengalun tinggi bergema diangkasa raya.
Agaknya Toh-bing-sik- mo tidak sabar lagi memanah mati Pakkiong Bing seperti traktat yang pernah dia lakukan setiap kali membunuh korbannya, di tengah loroh tawanya itu kuda putih tunggangannya itu mendadak melompat jauh kedepan, hanya sekejap tahu2 sudah berada disamping Pakkiong Bing.
Loroh tawa yang mengandung ftekwensi tinggi itu seperti menyentak kesadaran Pakki ong Bing, tahu2 Toh-bing-sik- mo telah berada disampingnya, secara reftek Pakkiong Bing menggeram, pikirnya: "Turun tangan dulu lebih menguntungkan-" tahu2 tangannya bergerak. dengan menderu kencang pedang cendana membelah langsung kepinggang Toh-bing-sik- mo.
Toh-bing-sik-mo pegang gendewa merahnya dengan ibu jari,jari kelingking dan jari manis, sementara jari tengah dan jari telunjuk yang juga dibalut perban menyambut sambaran pedang cendana Pakkiong Bing serta menjepitnya bagai tanggem.
Hanya sedikit menggentak kedua jarinya, terasa oleh Pakkiong-Bing telapak tangannya panas dan pecah berdarah, pedang cendana tak kuasa dipegangnya lagi, secara mudah telah terebut oleh Toh-bing sik mo. Berbareng Toh-bing-sik mo ayun tangan kiri, dimana bayangan merah berkelebat, anak panah yang dipegangnya terus ditimpuknya, anak panah itu meluncur dengan deru pesat yang tidak terlawankan langsung menusuk kejantung Pakkiong Bing,
Bahwa pedang terampas, tahu2 anak panah musuh telah melesat tiba pula, karuan kejut Pakkiong Bing yang sudah dalam keadaan payah ini bukan kepalang, secara reftek dia masih berusaha menyampuk dengan tangan kanan sekuat sisa tenaganya, sementara tinju tangan kirinya menggenjot kebatok kepala Toh-bing-sik- mo.
Tapi sebelum tangannya berhasil menyampok panah serta tinjunya mendarat dikepala orang tahu2 dadanya terasa sakit seperti ditusuk. diwaktu matanya terbeliak itulah dilihatnya perban diatas kepala Toh-bing-sik- mo tersapuk jatuh oleh angin pukulan tinjunya, sehingga tampak rambut orang yang panjang dan berwarna merah, rambut merah. "Bluk..." tak kuasa Pakkiong Bing bertahan pula, dia tersungkur roboh dari punggung kuda dan tidak ingat diri.
Fajar telah menyingsing, sinar pagi telah menerangi lembah yang gelap. Hembusan angin pagi nan semilir amat menyegarkan, di-tengah erangan perlahan sehabis berkelejetan karena tubuh
mengejang, per-lahan2 Pakkiong Bing siuman dalam penderitaan. Toh-bing-sik mo sudah tidak kelihatan, demikian pula pedang cendana telah lenyap entah kemana.
Huuuuaaaaahh sekumur darah segar tumpah dari mulut Pakkiong Bing, lekas dia kerahkan tenaga murni supaya darah tidak tumpah pula, sekilas dia awasi batang panah yang menancap didadanya, lama kelamaan pandanganannya menjadi terbeliak heran dan tak habis mengerti, pikirnya:
"Kenapa aku belum mati " Mungkinkah jantungku telah tergeser pindah " Ya , betul, kiranya jantungku tergetar oleh timpukan tinju baja Hiat-ciang Tou Pit-lip yang keras itu sehingga pindah tempat."
Loroh tawa dingin dan pekiksetan yang menggiriskan masih terkiang dalam telinganya. Aku harus menuntut balas, aku harus beritahu kepada puteraku, supaya dia merebut kembali pedang cendana, biarlah puteraku menuntut pukulan dan tusukan pedang serta tujukan panah ini.
Rasa dendam kesumat inilah yang mempertahankan semangatnya sehingga dia kuat meronta, sambil menahan segala kesakitan, pelan2 dia berdiri serta merayap naik punggung kudanya namun baru satu tombak "Gedebuk" Pakkiong Bing terjungkal jatuh pula, kuda hitamnya mendongak sambil meringkik terus putar balik dan berdiri disamping majikannya.
Setelah mengatur napas dan menghimpun tenaga pula. Pakkiong Bing meronta pula, sekali gagal dua kali gagal, tiga kali tidak berhasil akhirnya dia bertopang pada kedua kakinya dengan tangan berpegang pada pelana, lama tapi akhirnya dia berhasil merayap ke punggung kuda pula. Kuda hitam yang gagah ini akhirnya membawa lari Pakkiong Bing yang berlepotan darah dengan sebatang panah menancap didada, keadaannya boleh di kata sudah Sekarat, namun mendekam dipunggung kudanya, mulutnya masih menggumam : "Hiat-ciang Tou Pit- lip. Tou Pit- lip. Toh-bing-sik- mo, tubuh di bungkus perban, gendewa dan panah merah dan kepalanya berambut merah..."
Sejak peristiwa itu, lembah mega hijau ini menjadi tentram dan aman- sejak saat itu pula Toh-bing-sik- mo lenyap tak karuan paran iblis pelenyap sukma yang membawa tragedi mengenaskan lama kelamaan telah dilupakan orang, entah dari keluarga yang pernah jadi korban atau kaum persilatan umumnya, waktu telah membawa lalu peristiwa besar-yang mengerikan itu dan tak pernah terngiang lagi untuk masa2 mendatang.
Nama Bong-hun-kok atau lembah pelenyap sukma lama kelamaan telah dilupakan orang, ceng-hun-kok kembali ramai dibicarakan-orang, jalan raya yang menghubungkan utara dan selatan, kembali ramai dilalui Lalu lintas. Akan tetapi kenangan pahit, dendam kesumat tetap menjalari sanubari sanak kadang para korban
---oodwoo-- Sang waktu berselang tanpa terasa, hanya sekejap sepuluh tahun telah menjelang sejak peristiwa yang mengerikan itu.
Waktu yang tidak terhitung pendek itu telah berselang ditengah percakapan orang banyak.
Kembali pada suatu malam di musim rontok, bulan sabit bercokol juga diangkasa seperti bergantung diatas ceng-hun-kok^ sehingga lembah yang lembab dan gelap itu mendapat sedikit penerangan.
Tik tak tik tak, derap tapal kuda yang berirama tetap. tidak Cepat juga tidak lambat, bergema dalam lembah memeCah kesunyian ceng hun kok, di mulut ceng-hun-kok tampak seorang laki2 tua berambut uban membelokkan kuda tunggangannya memasuki lembah.
Tampang kakek ini pucat sadis, sorot matanya berkilat,jenggot kambingnya memutih saiju, senyuman sinis dilembari hawa nafsu yang melandasi keCulasan hatinya tampak menghias diwajahnya. Tangan kirinya buntung tepat dipergelangan, gundul dan kelimis berwarna kemerahan, kakek tua ini bukan lain adalah tokoh
golongan hitam yang terkenal dan paling jahat, yaitu bukan lain adalah Hiat ciang Tou Pit-lip.
Tou Pit- lip mendongak melihat cuaca, wajahnya mengulum senyum senang danpuas, seakan dia tengah dibuai kemenangan masa lalu yang menyenangkan hatinya. Setelah mendengus hidung, seorang diri ia menggumam:
"Siang-to ceng Kek-pin, berani ia mencabut kumis harimau, melukai muridku serta membuat buntung lengan kanannya. IHm,jikalau malam ini jiwamu tak berhasil kurenggut, paling tidak kau harus membayar rente dengan membuat buntung kedua tangannya."
Ditengah renungan itu kembali dia tersenyum sinis, kepalanya mendongak pula melihat cuaca, tiba2 alisnya berkerut, kembali dia membatin.
"Aneh, Ngo-tok-sin-ciam Ni Sau-liang kenapa belum datang, kusuruh dia sembunyi di suatu tempat serta membokong dengan jarum beracunnya itu, supaya...."
Dikala IHiat-ciang Tou Pit iip melayang lamunannya itulah, dari mulut lembah sebelah depan berkumandang langkah kuda yang dilarikan pelan2. Senyum lebar seketika menghias wajah Tou Pit- lip. namun hanya sekejap saja senyumannya sirna, mukanya kaku, tali kekangpun ditariknya, kuda dihentikan, sejenak dia memasang kuping, batinnya. "Kawan atau lawan ?"
Tiba2 langkah kuda berhenti, entah kenapa derap lari kuda yang cukup kencang itu mendadak seperti putus, suasana lembah kembali dicekam keheningan, karena bagi orang yang mendengar dan menyaksikan terasa bahwa keheningan yang mendadak ini terlalu aneh dan menarik perhatian, sukar diduga apa yang terjadi dan apa penyebabnya.
Tou Pit- lip menjublek di punggung kudanya, dia tidak tahu orang dipengkolan lembah sebelah depan entah kawan atau lawan, sebelum memperoleh kepastian dia tidak akan bergerak. dia tidak ingin jejaknya diketahui pihak sana, walau hal ini sebetulnya tidak
perlu dibuat heran atau sampai mengharuskan dia bersitegang leher.
Tiba2 derap langkah kuda yang mencongklang kencang berkumandang di mulut lembah sebelah sana, semula sayup2 tapi lama kelamaan terdengar makin jelas dan dekat. Tiba2 dentam tapal kuda itu berhenti pula. ceng-bun-kok diliputi keheningan yang mencekam sanubari.
Keanehan menimbulkan rasa kejut dan waspada dibenak Tou Pit lip^ hatinya mulai tegang, dia yakin kalau bukan kawan yang datang kali inipasti lawan, namun kenapa kudanya mendadak dihentikan, serta tak terdengar pula suara apa2 " Suasana kembali diliputi kesunyian- Ditengah kesunyian itulah terdengar sebuah benda berat jatuh gedebukan diatas tanah, disusul suara kuda yang berjingkrak kaget dan meringkik pendek. Kenapa dan apakah yang telah terjadi"
Tanpa sadar Tou Pit-lip segera keprak kudanya dicongklang kedepan menembus pengkolan, namun belum lagi dia melihat sesuatu di depannya, kupingnya telah mendengar gelak tawa aneh yang mengerikan, gelak tawa yang bergelombang dengan getaran yang cukup membuat telinga orang tuli, ceng hun- kok serasa seperti digoncang oleh gelak tawa yang bernada tinggi ini.
Tou Pit- lip yang membekal Lwekang tinggi pun tak urung bergidik seram dan berdiri bulu kuduknya, Firasat buruk seketika menghantui sanubarinya, namun dalam waktu singkat dan mendesak ini, tiada tempo buat dia menggUnakan otaknya Untuk menerawang api yang terjadi didepan matanya, sementara kuda tunggangannya telah keluar dari pengkolan lembah.
Seketika Tou Pit-lip gemetar dan mengetik dipunggung kudanya, keringat dingin tidak terbendung lagi, secara reftek dia menarik tali kekang kudanya serta berdiri melongo seperti orang linglung, se-akan2 bingung apa jang harus dilakukannya.
Darah tampak berceceran diatas tanah, di mana rebah miring kawan yang diundang untuk membantu dirinya dalam menghadapi
musuhnya, yaitu Ngo-tok-ciam Ni Sau liang. Dadanya ditembus sebatang panah merah yang telah mengenai jantungnya, jiwanya melayang seketika.
Tak jauh disebelah belakang lagi, berdiri seekor kuda putih dan yang bercokol dipunggung kuda ternyata bukan musuh bebuyutannya yang dia tantang berduel dilembah mega hijau ini yaitu Siang-to cong Kok-ping tapi adalah mayat hidup yang tubuhnya dibalut perban kaki sampai atas kepala, hanya sorot bola matanya yang kelihatan, ternyata mumi yang pernah menggetarkan Kangouw sepuluh tahun yang lalu dan pernah mengganas dilembah hijau ini kembali menampakkan diri dan mulai mengadakan teror pula, itulah Toh-bing sik-mo yang menyebabkan lembah mega hijau akhirnya diganti namanya lembah pelenyap sukma.
Toh-bing-sik- mo (mayat iblis merenggut nyawa) nama julukan yang membuat manusia giris dan merinding ini dicerna sekian lamanya dalam otak Tou Pit-lip yang masih kebingungan, tak tahu apa yang harus dilakukan untuk bertindak " Atau melihat gelagat " Kali ini dii seperti kehilangan akal sehatnya yang penuh diliputi muslihat jahat, se-olah2 jiwa raganya sudah tergenggam ditangan lawan, keCuali matanya memancarkan sinar rasa ketakutan dan minta pengampunan, boleh dikata manusia durjana ini sudah tidak mampu menguasai dirinya lagi.
Dua bola mata Toh- bing-sik-mo yang mencorong keluar dari balik sela2 perban di mukanya menatap tajam kemuka Tou Pit-lip. pelan2 dia melolos sebatang panah merah, lalu mengangkat gendewa serta memasang anak tanah itu diatas gendewa serta pelan2 menarik serta membidik.
Bola mata Tou Pit- lip melotot bundar, memancarkan rasa ngeri dan ketakutan, sorot mata mohon pengampunan, sekujur badannya gemeroblos oleh keringar dingin, ingin dia rasanya turun dari punggung kudanya menyembah dan berlutut minta ampun, dia ingin meratap supaya kakek moyangnya mengampuni segala dosa yang pernah dia lakukan selama ini, namun sekujur badannya
seperti lunglai, tak bertenaga, mulut sudah terpentang tetapi lidahnya kelu, suaranya tidak berbunyi.
Sungguh siksa derita yang dialami Tou Pit lip sekarang amat mengenaskan, se-akan2 dunia sudah beku dan waktu berhenti, namun kenyataan dia menyaksikan Toh bing-sik-mo sudah mulai angkat panahnya serta mulai membidik, tapi gerakan kaku itu akhirnya terhenti bola matanya yang mencorong hijau mendelik kearah Tou Pit-lip. gelak tawa seperti ringkik setan bergema lagi didalam lembah, seakan 2 dia merasa senang dan bangga menyaksikan rasa ketakutan Tou Pit-lip yang mengawasinya dengan tatapan yang harus dikasihani.
Sang waktu seperti berhenti di tengah gelombang tawa Toh- bing-sik-mo yang menggiriskan itu, dan gelak tawa itu jelas berlalu sedemikian lambat dan kaku. Tou Pit-lip tidak mampu membuka tabir kebekuan ini, sungguh dia memang sudah tiada kemampuan lagi untuk memulihkan suasana kebiasaannya bila dia berhadapan dengan musuh yang akhirnya menjadi bulan2an dirinya seperti kucing mempermainkan tikus pada korbannya.
Kini keadaan justeru terbalik, gelak tawa Toh- bing-sik-mo serta tatapan matanya yang dingin mencorong seperti menembus pori2 kulitnya, menyelinap masuk keseluruh tubuh Tou Pit-lip. sehingga otaknya sudah berhenti bekerja.
Suasana dalam lembah semakin seram dan menggiriskan, cuaca semakin guram dan hawapun basah oleh kabut yang dingin. Sekonyong-konyong suara tik tak tik tak kembali berdentam menimbulkan gema yang nyata dalam lembah.
Tou Pit lip seperti disentak oleh suara tik tak tik tak tapal kuda yang berdentam di tanah pegunungan, sehingga otaknya yang kaku dan hampir beku itu seketika berputar balik mulai sadar dan cerdik serta culas pula, kelopak matanya memicing, bola mata berputar, lekas sekali dia sudah kempit perut kudanya sambil menarik tali kekang kuda, hatinya dirasuk angan2nya untuk mengejar kehidupan yang lebih fantastik dikelak kemudian hari daripada menunggu ajal secara konyol disini, meski harapan hidup hanya seperseratus
prosen belaka, betapapun dia harus merebutnya sekuat tenaga dengan segala kemampuannya pula.
Dibawah keremangan sinar rembulan, tampak selarik bayangan merah berkelebat, luncuran yang begitu cepat, tahu2 Tou Pit-lip merasakan dadanya menjadi panas dan sakit seperti ditusuk jarum, segulung tenaga besar kontan menerjang datang pula sehingga tanpa kuasa tubuhnya diterjangnya mumbul dan jatuh terguling dari punggung kudanya, darah pun muncrat dari dadanya membasahi seluruh tubuh menyirami tanah gersang didalam lembah nagahijau ini.
Sebatang panah merah telah menembus jantung, boleh dikata Tou Pit-lip sudah kehilangan kesadaran, namun dia masih tetap meronta dan meregang jiwa, biji matanya terbalik dan melotot besar, tangannya yang tinggal satu, jari2nya tampak mencakar amblas kedalam bumi, beberapa kali kedua kakinya me-nendang2, berkelejetan lalu mengejang pula, akhirnya napasnya putus dan tubuhnyapun lunglai tidak bergerak lagi.
Pelan2 Toh- bing-sik-mo menurunkan kedua tangannya, dia tetap bercokol dipunggung kudanya tanpa bergeming.
Suara derap kaki kuda yang dilarikan kencang kembali bergema didalam ceng-hun-kok, lari kuda yang gugup danpesat itu semakin jelas dan dekat. Derap kuda itu terhenti setelah diakhiri dengan ringkik panjang dan suasana kembali dicekam kesunyianTidak jauh di pengkolan sana, seorang laki2 menunggang kuda sedang tampak melongo dipunggung kudanya sepasang golok tampak terselip di kanan kiri punggungnya, pakaiannya ketat, wajahnya tampak kaget takut dan ngeri.
Pendatang baru ini bukan lain adalah Siang-to ceng Kok-ping yang diundang Hiat Ciang Tou Pit lip untuk duel-menentukan mati hidup,
Ternyata munculnya kembali Toh- bing-sik-mo telah mengakibatkan dua gembong penjahat dari aliran sesat ajal didalam lembah, teror yang pernah dilakukan Toh- bing-sik-mo sepuluh
tahun lalu sekarang seperti baru terjadi kemaren sore, kini dengan mata kepala dia saksikan tragedi itu terulang, logis kalau sepasang golok ceng Kok-ping melongo dan menjublek ditempatnya.
Dia jadi lupa dimana sekarang dirinya berada, lupa untuk apa kedatangannya kemari sampaipun tindakan apa yang harus dia lakukan sekarang juga sudah tak sempat dipikir. LuCunya lagi, otaknya serasa kosong dan hampa.
Pelan2 Toh- bing-sik-mo gerakkan kepalanya menoleh, sepasang matanya menatap ke arah ceng Kok-ping dengan pandangan tajam, Cukup lama dia mengamati laki2 bergaman sepasang golok ini.
Sesaat kemudian dia menarik sorot matanya serta melirik kearah mayat yang menggeletak dtatas tanah, gelak tawa akhirnya terlontar pula dari mulutnya, nada tawanya yang tinggi seperti menembus langit, mengalun di angkasa dan menimbulkan gema suara yang memilukan didalam lembah, genderang telinga serasa hampir pecah.
Ceng Kok-ping merinding dan bergidik seram, kini dia teringat akanjiwa raganya sendiri, dia saksikan dua mayat yang mati secara mengerikan ditanah, nyalinya semakin ciut, rasa takut semakin menghantui sanubarinya, tanpa disadarinya pelana kudanya telah basah kuyup, Se-olah2 dia telah dibayangi oleh elmaut yang sebentar bakal merenggut sukmanya.
Akan tetapi kejadian didunia ini kadangkala memang sukar bisa dijangkau oleh pikiran sehat manusia.
Pelan2 dilihatnya Toh-bing-sik-mo menaruh gendewanya disamping pelana, tali kekang ditariknya sehingga kuda putih itu membelok arah dan lekas sekali suara tik tak tik tak seperti bunyi musik yang merdu bergema didalam lembah, ternyata tanpa menoleh Toh-bing-sik-mo tinggal pergi tanpa hiraukan kehadiran ceng Kok-ping.
Sudah tentu ceng Kok-ping menarik napas lega dan diam2 bersyukur kepada Thian yang maha kuasa bahwa dirinya selamat. Pelan-pelan dia angkat kepalanya serta menyeka keringat
dimukanya. Hatinya agak heran, karena suara tik tak tik tak dari derap kuda putih tunggangannya Toh- bing-sik-mo sekarang, agaknya berbeda dengan suara tik tak tik tak yang kedengaran berat, pelan dan rendah, namun lekas sekali ceng Kok-ping sudah menimbulkan rasa curiganya ini, pikirnya:
"Betapapun kejadian sudah berselang sepuluh tahun, bagi seekor kuda sepuluh tahun merupakan waktu yang sudah Cukup lanjut bagi usianya."
Setelah melirik pula kearah dua mayat yang menggeletak diatas tanah, ceng Kok-ping menarik napas dengan sedotan yang bergidik, lekas dia putar haluan kudanya terus dibedal-nya sekencang angin lesus, lekas sekali bayangannya telah lenyap dari lembah mega hijau.
Ceng Kek-ping telah pergi, pergi dengan jiwa raga utuh, namun kemunculan Toh- bing-sik-mo yang kedua kalinya ini secara langsung telah tersiar luas dari mulutnya, lekas sekali dunia persilatan kembali gempar. Sepuluh tahun yang lalu, dalam jangka satu bulan sejak Toh bing-sik-mo muncul, dengan gendewa dan panah merahnya, secara mudah dia telah menghabisi lima puluh jiwa orang, akhirnya dia menghilang secara aneh dan misterius.
Tapi sepuluh tahun kemudian, dikala insan persilatan mulai melupakan kenangan buruk masa lalu, tahu2 Toh-bing-sik-mo menampakkan dirinya pula, dengan dua jiwa manusia sebagai gala premire dari munculnya yang kedua, kali ini entah berapa lama dia akan mengganas, entah berapa jiwa pula yang akan menjadi korban terornya itu.
Entah untuk apa sepuluh tahun yang lalu dia muncul " Lalu untuk apa pula kali ini Toh- bing-sik-mo muncul " Manusia yang sengaja ingin bertindak secara misteriuskah dia " Ataukah mayat hidup tulen yang gentayangan dan penasaran serta ingin menuntut balas kepada para musuhnya " Semua itu merupakan tanda tanya besar yang tidak terjawab sejauh ini, karena itu peristiwa dan lika likunya menjadikan bahan pembicaraan ramai orang banyak.
Pembantaian di ceng hun kok masih terus berlangsung, namun tidak sedikit pula manusia yang lewat secara baik2 dan selamat dari lembah ini. Akhirnya khalayak ramai sadar bahwa para korban dibawah panah merah Toh bing-sik-mo, semua adalah penjahat2 yang keliwat besat kejahatannya. Perduli mereka bersenjata pedang atau golok dan gaman lainnya.
Kenapa " Kaum pendekar sama heran dan takjub, namun jago2 golongan hitam sama kaget dan geram. Ternyata jejak Toh-bing sik-mo sukar dijajagi, untuk mencegah teror yang berkepanjangan ini, kaum pendekar sama berikrar untuk mencegah dan menghentikan pembantaian besar2an ini, namun usaha mereka sia2 meski sudah menunggu dan menunggu belasan hari tanpa berhasil memergoki atau menemukan jejaknya.
Demikian pula dengan jago2 golongan hitam yang sepakat untuk mengganyangnya, mereka mengatur tipu daya, membuat jebakan dan memendam jago2 kosen mereka di ceng- hun kok, tetapi akhirnya mereka semua tertumpai habis malah.
Dan kini ceng-hun-kok kembali disebut Bong-hun-kok. keCuali bau anyir darah, hanya suasana sunyi dan kesepian melulu yang mencekam lembah sempit ini seperti diliputi kekuatan magis melulu. Setengah tahun sudah berselang dalam suasana yang tegang dan mencekam ini. Bau anyir darah semakin tebal dan memuakkan didalam lembah, derap kaki kuda yang tik tak tik tak itu masih sering berkumandang disana, suara gelak tawa seperti ringkik setan gentayanganpun masih sering bergema didalam lembah.
---ooo0dw0ooo--3 SECERCAH cahaya mulai mengintip di ufuk timur, tabir kegelapan mulai sirna oleh datangnya sinar mata hari. Hembusan angin pagi di musim rontok terasa dingin membuat orang merinding dan berdiri bulu romanya. Hujan rintik2 membasahi jagat raya, berjatuhan
merata dari angkasa tanpa bersuara, nampak angin menghembus semakin kencang.
Toh- bing-sik-mo yang tetap membalut perban diseluruh anggota badannya tampak bercokol dipunggung kuda putihnya, mumi yang serba aneh dan misterius ini berada di Bong-hun-kok. agaknya dia tidak merasakan hembusan angin dingin dimusim rontok yang mengiris kulit ini, seakan dia tidak merasakan hujan rintik2 yang telah membasahi kuyup sekujur tubuhnya.
Kuda putih berdiri menunduk. tidak meringkik juga tidak menendang kakinya, Toh-bing-sik-mo juga tidak bergelak tawa, kecuali hujan rintik dan angin lalu tiada kedengaran suara apapun didalam lembah, hanya terasa bau darah yang amis itu terbawa hembusan angin lalu, keheningan yang menggelitik sanubari, suasana sepi yang menakutkan.
Toh- bing sik-mo yang membalut seluruh tubuhnya itu tampak menunduk. agaknya dia merasa tawar pula, karena terdengar suara helaan napasnya yang merisaukan.
Dikala seorang diri, ternyata Toh- bing-sik-mo menghela napas dan mereras diri sendiri, kenapa dan apa sebabnya " Entah keputus-asa-an yang menggambar perasaannya, ataukah keluhan yang keluar dari sanubarinya... " Helaan napas yang bernada ruwet ini kecuali diri sendiri, orang lain jelas takkan tahu dan dapat menyelami perasaannya. Sayup2 seperti kedengaran dia menggumam seorang diri. "sudah setengah tahun ya, sudah setengah tahun, mungkinkah..."
Lambat2 dia angkat kepalanya, bola matanya yang kelihatan dibalik perban itu, kini tidak lagi memancarkan cahaya terang menyala, tapi sorot mata yang menampilkan kerisauan, kehampaan dan kemasgulan.
Se-konyong2 bola matanya terbelalak. serta jelilatan. Mungkin bakal terjadi sesuatu "
Betul juga , ditengah hujan rintik2 serta hembusan angin kencang itu, sayup2 terdengar derap lari kuda yang mendatangi.
Terpancar cahaya yang penuh harapan, agaknya derap kaki kuda dimulut lembah sana memberikan setitik harapan bagi Toh-bing sik-mo. maka dia menghimpun tenaga memusatkan pikiran menunggu dengan tenang dan sabar.
Memang dari luar mulut Bong-hun-kok tampak dicongklang seekor kuda, setelah berada didalam lembah, lari kuda diperlambat, Eh, kiranya seorang gadis jelita penunggang kuda yang gigih berwarna, coklat itu, tubuhnya ramping, wajahnya bulat telur, sebatang pedang tampak terselip dipunggungnya, napasnya sedikit menderu karena menempuh perjalanan jauh dan menahan hawa yang dingin ini.
Cuaca buruk tidak mengurangi ketajaman pandangan matanya yang penuh tekad dantegas, sebelah tangannya terangkat kebelakang memegang gagang pedang, diam 2 dia berdoa.
Kemelut Di Cakrabuana 1 Bentrok Rimba Persilatan Karya Khu Lung Dendam Iblis Seribu Wajah 9

Cari Blog Ini