Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo Bagian 11
Kini melihat Lam-hai Sin-ni mengamuk, melihat betapa Biauw Eng telah roboh, ia berseru, "Twako, bantulah aku merobohkan monyet tua ini!"
Siauw Lek yang sedang memandang tubuh Biauw Eng dengan hati puas, tertawa dan cepat mencabut pedang hitamnya lalu menerjang maju pembantu Cui Im, mungkin ilmu pedang Siauw Lek tidak sehebat gadis itu, akan tetapi karena diapun sudah mewarisi ilmu kepandaian Go-bi Chit-kwi dan pengalamannya sudah banyak, tentu saja ia merupakan tenaga bantuan yang hebat pula. Hal ini terasa terdesak hebat setelah murid musuh besarnya itu maju membantu bekas muridnya.
Lam-hai Sin-ni sudah tua dan akhir-akhir ini ia menderita tekanan batin karena keadaan puterinya. Hal ini membuat tubuhnya menjadi lemah dan sering kali ia merasa jemu akan penghidupannya dan bertahun-tahun ia tidak pernah berlatih ilmu silat lagi. Kini ia harus menghadapi penggeroyokan dua orang muda yang memiliki kepandaian hebat. Tentu saja ia menjadi repot sekali dan biarpun ia telah mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua ilmu pedangnya, namun tetap saja ia makin terdesak dan terhimpit, napasnya mulai memburu dan tubuhnya basah oleh keringat.
"Hi-hi-hik, Lam-hai Sin-ni, belum juga kau keluarkan Thi-khi-I-beng?" Cui Im mengejek dan pedangnya meluncur seperti kilat menusuk ke arah leher bekas gurunya.
"Cringgggg...!" Lam-hai Sin-ni berhasil menangkis akan tetapi ia terhuyung ke belakang dan tangan yang memegang pedang gemetar.
"Nenek tua, mampuslah!" Siauw Lek membacokkan pedang hitamnya dari samping mengarah lambung.
"Trangggggg....!" Kembali Lam-hai Sin-ni yang terhuyung-huyung itu berhasil menangkis, akan tetapi karena keadaan tubuhnya sedang terhuyung, tangkisan ini hampir membuat ia roboh terguling kalau saja ia tidak cepat meloncat dan berjungkir balik.
Ia maklum apa yang ia mengeluarkan Thi-khi-I-beng. Akan tetapi ia tidak sudi memperlihatkan ilmu itu, apalagi karena ia tahu bahwa ilu itu tidak akan ada gunanya kalau ia pergunakan terhadap dua orang muda lihai yang tentu saja sudah mengadakan persiapan lebih dulu ini. Biar sampai mati, dia tidak akan memberikan ilmu Thi-khi-I-beng, kalau hal ini yang diinginkan Cui Im!
Episode 173 Ia melawan terus, akan tetapi napasnya makin memburu dan pandang matanya mulai berkunang, kepalanya terasa pening. Adapun dua orang muda itu yang melihat keadaan lawan makin lemah, terus mendesaknya. Cui Im mengenal akan kekerasan hati Lam-hai Sin-ni, maka ia tidak dapat mengharapkan akan berhasil membujuk bekas gurunya, akan berhasil membujuk bekas gurunya, dan pedangnya makin ganas saja menyambar-nyambar.
"Cui Im, biar aku mengadu nyawa denganmu!" Tiba-tiba Lam-hai Sin-ni yang sudah pening dan sudah gelap pandang atanya itu mengeluarkan suara melengking keras dan tubuhnya melayang naik terus meluncur seperti burung garuda menyambar ke arah Cui Im dengan pedang di depan. Pedang ini menusuk ke arah tubuh bekas muridnya. Inilah jurusnya yang terakhir, jurus terlihai akan tetapi juga merupakan jurus bunuh diri atau mengajak lawan mati bersama. Julukan ini bernama Hui-seng-coan-in (Bintang Terbang Menembus Awan). Serangan yang dilakukan dengan tubuh melayang dengan luncuran kilat ini takkan dapt ditangkis atau dielakkan lagi oleh lawan, karena tangkisan lawan tentu akan dibarengi dengan pukulan tangan kiri, sedangkan elakan tak mungkin dilakukan karena pedang dapat digerakkan mengejar tubuh lawan. Kalau lawan berkepandaian tinggi, jalan satu-satunya bagi lawan hanya membarengi dengan serangan balasan terhadap tubuh melayang yang tidak memperdulikan akan penjagaan diri melainkan sepenuhnya dicurahkan untuk menyerang itu.
Karena sifat jurus ini maka selama hidupnya Lam-hai Sin-ni tidak pernah mempergunakannya, maka kini ia benar-benar mengkehendaki mati bersama dengan bekas muridnya yang amat dibencinya itu.
Cui Im terkejut bukan main. Ia mengenal jurus ini dan tahu pula akan kehebatannya, maka cepat ia berkata kepada Siauw Lek, "Twako, tangkis pedangnya!"
Siauw Lek tidak mengenal jurus nenek itu, akan tetapi dia tahu bahwa tentu serangan ini hebat sekali, maka dia cepat mentaati perintah Cui Im dan menggerakkan Hek-liong-kiam menangkis sambil mengerahkan tenaganya. Adapun Cui Im yang percaya penuh akan kesetiaan dan bantuan Siauw Lek, cepat menyusup ke bawah dan menggerakkan pedangnya yang berubah menjadi sinar merah menyambar ke arah kedua kaki bekas gurunya.
"Tranggg....!" Dess...! Crokkkk!!"
Amat cepat dan hebatnya benturan antara tiga orang itu, disusul teriakan kaget dan sakit dari mulut Siauw Lek yang roboh bergulingan dan rintihan perlahan Lam-hai Sin-ni yang roboh terlentang dengan kedua kaki buntung kena disambar pedang merah Cui Im! Siauw Lek bergulingan dan cepat duduk bersila sambil memejamkan atanya untuk mengatur pernapasan agar luka di dalam tubuhnya tidak terlalu hebat akibat pukulan tangan Lam-hai Sin-ni yang mengenai dadanya itu. Ketika ia tadi menangkis pedang Lam-hai Sin-ni , tangan kiri nenek itu otomatis menghantam dan mengenai dadanya membuat ia terpekik dan roboh bergulingan. Adapun Cui Im yang cerdik sudah menyerang kedua kaki Lam-hai Sin-ni tepat pada saat nenek itu memukul Siauw Lek sehingga ia berhasil membabat kedua kaki bekas gurunya itu sampai buntung sebatas lutut!
"Twako, kau tidak apa-apa...?" Cui Im menghampiri Siauw Lek, meraba punggung sahabatnya itu dan membantu Siauw Lek dengan pengerahan sinkang melalui telapak tangannya. Tak lama kemudian Siauw Lek membuka matanya dan mukanya yang tadi amat pucat menjadi merah kembali, tanda bahwa bahaya telah lewat dan dia tidak terluka hebat.
Mereka lalu bangkit berdiri menghampiri Lam-hai Sin-ni yang masih rebah terlentang dengan mata mendelik dan tangan kanan tetap memegang pedang. Darah mengucur keluar seperi pancuran dari kedua kakinya yang buntung.
"Lam-hai Sin-ni, aku telah merobohkan engkau. Sekarang berikan Thi-khi-I-beng kepadaku dan aku akan mengingat akan hubungan antara kita dan tidak akan membunuhmu," Cui Im berkata dengan suara dingin.
Dengan mata mendelik nenek itu memandang Cui Im. "Cui Im murid durhaka, manusia berhati iblis! Biar kau bunuh aku, jangan harap engkau akan dapat mempelajari Thi-khi-I-beng dari ku!"
"Hemmm, nenek keras kepala!" Cui Im berkata gemas.
"Moi-moi, mengapa bingung" Biar dia melihat aku permainkan puterinya, apakah dia masih akan keras kepala atau tidak!" Sambil berkata demikian Siauw Lek menghampiri Biauw Eng yang masih rebah tak bergerak, lemas karena ditotok jalan oleh Siauw Lek.
Lam-hai Sin-ni memandang dengan muka pucat dan mata terbelalak ke arah puterinya. Ia maklum apa yang akan dilakukan murid Go-bi Chitkwi itu. Hampir saja ia menyerah, akan tetapi hatinya sendiri yang penuh kekejaman dan kelicikan segera membuat ia berpikir dan berpendapat lain. Kalau dia membuka rahasia Thi-khi-I-beng, apakah murid Go-bi Chit-kwi itu akan melepaskan Biauw Eng" Tak mungkin! Masa dia begitu bodoh. Dan apakah Cui Im benar-benar akan mengampuni nyawanya" Hal ini pun meragukan sekali. Lebih baik dia mati dan biarkan Biauw Eng dihina dan dicemarkan. Hal itu akan baik sekali malah bagi Biauw Eng! Akan mengguncang batin puterinya itu sehingga hatinya dipenuhi dendam, akan menimbulkan kembali semangatnya yang membeku karena cintanya kepada Keng Hong yang terputus. Biarlah! Kelak tentu Biauw Eng akan dapat membalaskan kematiannya.
"Cui Im perempuan rendah dan engkau murid Go-bi Chit-kwi yang hina! Lakukanlah apa yang kalian kehendaki akan tetapi jangan harap aku akan menyerahkan ilmu Thi-khi-I-beng kepada kalian!"
Cui Im menjadi marah sekali."Begitukah" Lam-hai Sin-ni, engkau tahu cara apa yang paling baik untuk menyiksa puterimu" Hi-hi-hik, ingatkah engkau betapa engkau sendiri yang mengajarkanku untuk menyiksa orang?"
"Perempuan keparat, apa pun yang kau lakukan, tidak akan menakutkan hatiku, tak usah banyak cerewet lagi!"
Episode 174 Cui Im menghampiri bekas gurunya itu dan Lam-hai Sin-ni yang kelihatannya sudah lelah sekali itu menggerakkan tangannya dan .... pedang di tangannya meluncur seperti anak panah ke arah dada Cui Im yang berdiri dala jarak amat dekat.
"Iiiiihhhhh..!" Cui Im menjerit dan cepat membuang diri ke belakang. Ia dapat menyelamatkan nyawanya, akan tetapi pedang itu tetap saja menyerempet pinggul kirinya ketika ia bergerak mengelak tadi sehingga bajunya robek dan juga kulit pinggulnya robek berdarah.
"Heh-heh-heh, apa bedanya hidup dan mati" Selisihnya sedikit sekali....!" Lam-hai Sin-ni tertawa mengejek sambil memandang wajah Cui Im yang pucat sekali. Memang harus diakui bahwa nyaris ia tewas di tangan bekas gurunya ia menerjang ke depan, pedangnya mengeluarkan sinar merah dan kedua lengan Lam-hai Sin-ni terlempar, buntung sebatas siku dan darah mengucur keluar. Lam-hai sin-ni sudah buntung kedua kakinya itu secara mengagumkan sekali telah dapat mmenggerakkan tubuhnya sehingga ia duduk tegak dan meramkan kedua matanya. Darah masih mengucur keluar dengan deras melalui kedua lengannya yang buntung dan hanya menetes-netes saja dari kedua kakinya yang buntung. Tiada keluhan keluar dari mulutnya dan wanita tua ini memejamkan mata dan mukanya tidak membayangkan penderitaan.
"Ibu....!" Biauw Eng menjerit. Baru sekarang ia berhasil mengeluarkan suara setelah sejak tadi ia hanya menjerit-jerit di dalam hatinya saja menyaksikan keadaan ibunya. Namun, biar sekarang ia sudah mampu mengeluarkan suara, ia masih belum dapat bergerak dan ia sudah merasa ngeri menghadapi Siauw Lek yang berlutut di dekatnya dan tak dapat di ragukan lagi apa yang hendak diperbuat orang itu terhadap dirinya. Namun, menyaksikan keadaan ibunya, Biauw Eng lupa akan bahaya mengerikan yang mengancam dirinya sendiri dan ketika ia berhasil membuka kembali totokan yang membuatnya gagu, pertama kali ia berteriak adalah menyebut ibunya. Cui Im berdiri memandang bekas gurunya. Ia maklum bahwa Lam-hai Sin-ni takkan hidup lebih lama lagi dan agaknya nenek itu pun tidak ingin hidup maka membiarkan darahnya mengucur keluar terus. Jeritan Biauw Eng menyebut ibunya membuat Cui Im menoleh dan sepasang alisnya berkerut ketika ia melihat Siauw Lek dengan pandang mata penuh berahi mulai meraba-raba pakaian Biauw Eng dan hendak menanggalkan pakaian gadis itu.
"Twako....!"
Jari-jari tangan yang penuh gairah itu terhenti dan Siauw Lek menoleh. Melihat pandang mata wanita itu, Siauw Lek melompat bangun dan tersenyum memandang Cui Im, "Eh, bukankah kau menghendaki supaya aku..."
"Tidak, Twako, wanita ini harus di bunuh!" Cui Im maju menghapiri Biauw Eng yang kini memandang kepadanya penuh kebencian yang meluap-luap.
"Setelah aku selesai, masih belum terlambat untuk membunuhnya, Moi-moi," Siauw Lek berkata dengan suara penuh harap.
Namun Cui Im mengelengkan kepalanya. "Tidak, dia semenjak dahulu mencela aku yang dikatakannya menjadi hamba nafsu berahi. Dia jijik terhadap pemuas nafsu berahi dan menganggap dirinya suci. Kalau sekarang sebelu mati dia diberi kesempatan merasakan, apalagi mendapat seorang laki-laki sehebat engkau, benar-benar terlalu enak buat dia!"
Siauw Lek menarik napas panjang penuh kekecewaan, akan tetapi dia hanya menggerakkan pundak, tidak berani membantah. Melihat kekecewaan pemuda itu, Cui Im menghampirinya, merangkul lehernya dan memberi ciuman mesra sehingga mau tidak mau Siauw Lek tersenyum kembali dan membalas ciumannya. Mereka berciuman di depan Biauw Eng yang memandang penuh kebencian.
"Twako, kekasihku yang baik, jangan murung dan kecewa. Aku hanya ingin melihat dia yang kubenci ini mampus tanpa merasai kenikmatan hidup. Jangan khawatir, setelah selesai urusanku di sini kita pesta, aku akan mmencarikan perawan-perawan jelita untukmu." Siauw Lek tertawa girang. Dia tahu apa artinya pesta yang dimaksudkan Cui Im. Sudah beberapa kali mereka mengadakan pesta seperti itu dan selama dalam petualngannya belum pernah ia merasai kesenangan seperti pada saat-saat itu. Cui Im lalu menghampiri Biauw Eng dan berlutut di dekat tubuh bekas sumoinya itu, wajahnya yang ayu tampak menyerakan penuh kekejian.
"Engkau perempuan tak berjantung! Bunuh saja aku!" Biauw Eng marah sehingga hanya dapat mendesis ucapan singkat itu.
"Hi-hi-hik, tentu saja, akan tetapi tidak begitu enak bagimu. Ibumu masih terlalu enak, tidak terlalu lama menderita, akan tetapi engkau lain lagi. Aku harus membuatmu menderita sampai lama sebelum mati. Cukup dengan sebatang jarum saja, Biauw Eng. Engkau mengenal jarum-jarum merahku, tahu bahwa sekali ku tusukkan Ang-tok-ciam (Jarum Racun Merah) ke jalan darah tiong-cu-hiat ditengkukmu, racunnya akan perlahan-lahan menyiksamu dan baru setelah dua belas jam racun itu akan merusak jantungmu dan membunuhmu." Setelah berkata demikian, Cui Im mengeluarkan sebatang jarum merah dan dengan muka penuh kegemasan ia menancapkan jarum itu pada tengkuk Biauw Eng, tepat pada jalan darah yang dikehendakinya.
Biauw Eng yang tak dapat bergerak itu tentu saja hanya dapat memejakan mata menahan nyeri, dan begitu jarum ditusukkan, ia merasa betapa tengkuknya mulai gatal-gatal. Maklumlah ia bahwa nyawanya tidak akan tertolong lagi. Biauw Eng mengerti akan hal ini akan tetapi dia tidak takut, hanya penasaran.
"Cui Im , mengapa engkau begini membenci aku?"
"Mengapa" Karena engkau sudah lancang berani mencinta Keng Hong!" kata Cui Im sambil bangkit berdiri.
"Keng Hong.... ah apakah dia masih hidup" Di manakah dia..?"
Cui Im membanting kakinya. "Huh, ternyata sampai detik ini engkau masih mencintanya! Hi-hi-hik, dengarlah, aku tidak hanya akan menyiksa batinmu sehingga sampai mati engkau akan menjadi setan penasaran! Dengar baik-baik. Sampai detik ini Keng Hong masih hidup, akan tetapi aku telah menjebaknya di sebuah tempat yang takkan dapat dikunjungi manusia lain dan dia sendiri selama hidupnya takkan dapat keluar! Dia akan mati kering di tempat itu, hi-hi-hik, dia akan mati merindukanmu!"
Episode 175 "Ooohhhhhh...!" Biauw Eng yang tak mampu bergerak itu menangis. Dia sendiri menghadapi kematian dan menghadapi siksaan yang ia tahu akan amat sengsara sebelum ia mati, akan tetapi semua itu tidak ada artinya dibandingkan dengan penderitaan yang dialami Keng Hong.
"Dan engkau tentu belum sadar, ya" Mengapa Keng Hong membencimu" Mengapa dia melontarkan segala tuduhan kepadamu di Kun-lun-san, di dalam sidang pengadilan Kun-lun-pai" Engkau dituduh membunuh murid-murid perempuan Hoa-san-pai, murid-murid partai lain" Hi-hi-hik, bekas sumoiku yang cerdik pandai, yang lihai ilmu silatnya, mengapa?" Biauw Eng sudah mulai merasakan akibat tusukan jarum merah pada tengkuknya.
Mulai terasa berdenyut-denyut pada tengkuknya yang menjalar ke dalam kepala, seolah-olah ada semut-semut menggigit tengkuk dan terus menggali ke dalam kepala! Akan tetapi ucapan bekas sucinya amat membangkitkan perhatian, maka dia bertanya lemah.
"Mengapa" Apakah engkau tahu mengapa?"
"Hi-hi-hik, tentu saja aku tahu. Aku telah mencuri beberapa buah senjata rahasiamu, aku mengenakan pakaian putih dan aku mengikuti Keng Hong secara diam-diam."
"Setan....! Kau... Kaukah yang melakukannnya menyamar seperti aku?" Biauw Eng membelalakkan matanya."Mengapa" Mengapa kau lakukan itu?"
Karena kau lancang berani mencinta Keng Hong. Biar dia marah kepadamu, biar kau dimusuhi dunia kang-ouw dan.. Dan aku membunuh setiap wanita yang diterima cinta kasihnya oleh Keng Hong si laknat! Berani dia menolak cinta kasihku dan berani pula dia menerima cinta kasih wanita lain! Hi-hi-hik, aku membunuh murid Hoa-san-pai itu yang masih dalam pelukannya! Dan aku bunuh dua orang murid wanita Kong-thong-pai yang masih merasai kehangatan cintanya. Dan sekarang kubunuh pula engkau...."
"Moi-moi, demikian besarkah cintamu terhadap Keng Hong itu?" Tiba-tiba Siauw Lek yang sejak tadi menonton dan mendengarkan saja bertanya.
Cui Im menggeleng kepala. "Sekarang aku benci padanya. Kalau aku mencintainya, masa aku menjebaknya sehingga dia terkubur hidup-hidup?"
"Cui Im, engkau.... engkau.... manusia berhati iblis...."
"Hi-hi-hik, lupakah engkau golongan apa kita ini, Biauw Eng" Ibumu adalah orang pertama dari Bu-tek Su-kwi, golongan datuk-datuk hitam, manusia-manusia sesat dari dunia hitam! Aku kini menjadi ratu golongan hitam, habis kalau tidak kejam, bukankah akan ditertawai oleh tokoh-tokoh lain" Sekarang engkau rasakanlah penderitaanmu. Engkau akan tersiksa oleh rasa nyeri yang hebat, nyawamu takkan tertolong lagi, dan engkau akan mati membawa kebencian Keng Hong yang menganggap engkau wanita kejam.
*** Yang menganggap engaku sama saja dengan aku yang malam-malam datang merayu dan mengemis cintanya! Engkau akan mati dan menjadi setan penasaran!"
"Biarpun sampai mati, aku akan tetap mengejarmu untuk membalas dendam!" Tiba-tiba Biauw Eng berteriak dan wajah Cui Im menjadi berubah agak pucat dan kakinya melangkah mundur. Ada sesuatu dalam suara bekas sumoinya ini yang membuat ia merasa ngeri sekali. Akan tetapi ia menutupi rasa ngerinya itu dengan suara ketawa terkekeh, kemudian menggandeng tangan Siauw Lek dan di ajaknya laki-laki itu pergi dari pantai selatan, meninggalkan Lam-hai Sin-ni yang mulai kehabisan darah dan Biauw Eng yang mulai tersiksa rasa nyeri yang tak terbayangkan hebatnya.
Biarpun sudah jauh meninggalkan bekas guru dan sumoinya, dan sudah berada di sebuah kamar besar bersama Siauw Lek dan enam orang culikan mereka, namun Cui Im masih saja gelisah dan telinganya masih mendengar ancaman bekas sumoinya. Ia membayangkan betapa sumoinya itu telah tewas, menjadi setan penasaran dan selalu mengejar hendak mencekiknya! Dia tidak gentar menghadapi lawan manusia yang bagaimana sakti pun juga, akan tetapi melawan setan penasaran" Cui Im menggigil lalu memeluk seorang di antara tiga orang muda yang diculiknya dan dibawanya ke dalam kamar di sebuah gedung ini. Dengan kekejaman luar biasa Cui Im yang hendak memenuhi janjinya kepada Siauw Lek, malam ini mengadakan "pesta". Pesta antara mereka berdua yang gila, yang tak mungkin terpikirkan manusia lain. Mereka berdua menculik tiga orang pemuda remaja yang tampan-tampan dan tiga ornag perawan remaja yang cantik-cantik, kemudian membawa mereka berenam ke dalam sebuah kamar dari gedung yang kini kosong karena semua penghuni gedung telah mereka bunuh! Di dalam kamar yang besar ini, Cui Im dan Siauw Lek melakukan praktek-praktek kecabulan yang tiada taranya.
Mereka memaksa dengan ancaman tiga orang pemuda dan tiga orang gadis itu untuk melayani nafsu-nafsu mereka, yang mereka jadikan semacam pembangkit gairah berahi dan pada akhir pesta mereka berdua sendiri bermain cinta di depan tiga orang muda yang memandang dengan mata terbelalak dan wajah pucat, seperti enam ekor kelinci yang hampir mati ketakutan. Dan pada keesokkan harinya, dengan tubuh lemas dan semangat segar penuh kepuasan san kegembiraan, Cui Im dan Siauw Lek meninggalkan kamar itu yang kini dihias enam sosok mayat tiga pasang orang muda yang telanjang bulat dan mandi darah!
Biauw Eng masih rebah miring, tak mampu bergerak. Dia tadi hanya memandang saja penuh kebencian betapa sebelum pergi Cui Im telah mengangkat sebuah batu besar dan dengan pedang merahnya wanita itu membuat huruf-huruf di atas batu yang berbunyi: DI TEMPAT INI LAM-HAI SIN-NI DAN SONG-BUN SIU-LI DIBUNUH OLEH ANG-KIAM BU-TEK.
Kemudian Biauw Eng melirik ke arah ibunya dan air matanya mengalir turun ketika ia melihat ibunya yang sudah buntung kedua kaki tangannya itu duduk tegak dan kaku. Ia dapat menduga bahwa ibunya tentu telah tewas dan hanya kekerasan hati ibunya mati dalam keadaan duduk tegak seperti itu. Dan dia sama sekali tidak berdaya dan akan mati pula! Dan Keng Hong masih hidup, akan tetapi juga menanti kematian yang diawali siksaan dan derita lebih panjang lagi. Dan dia mati sebagai seorang yang jahat dan dibenci oleh Keng Hong.
Episode 176 Biauw Eng mengeluh, terisak-isak. Tubuhnya mulai terasa amat sakit-sakit terutama sekali di bagian belakang kepalanya yang seperti digerogoti semut-semut api. Rasa nyeri yang hebat sekali, akan tetapi tidak terlalu hebat sehingga tidak sampai membuatnya pingsan. Ia maklum akan kehebatan racun jarum merah bekas sucinya itu. Memang ini yang dikehendaki oleh Cui Im.
Agar dia tidak pingsan dan terus sadar, terus merasai siksaan sedikit demi sedikit sampai racun merusak jantungnya dan dia mati dalam keadaan yang amat menderita.
Akan tetapi bukan rasa nyeri yang membuatnya mengeluh. Rasa nyeri di tubuhnya bukan apa-apa kalau dibandingkan dengan rasa nyeri dihatinya. Melihat ibunya mati demikian mengenaskan, menghadapi kematiaannya sendiri yang amat terhina, dan memikirkan Keng Hong, benar-benar merupakan siksaan batin yang membuat dia hampir menjerit-jerit, tepat seperti yang dikehendaki Cui Im!
Dia belum mati. Baru tiga empat jam berlalu, masih ada delapan jam lagi. Sebelum mati, mengapa putus asa" Kalau dia dapat hidup, dia dapat mencari Keng Hong, menolongnya dari bahaya maut, kemudian mencari Cui Im dan Siauw Lek untuk membalas dendam berikut bunga-bunganya! Akan tetapi, betapa mungkin ia dapat tertolong" Andaikata ia dapat membebaskan totokan dan mampu bergerakpun ia tidak akan dapat menolong nyawanya. Untuk mengobati racun jarum merah, dia tidak mempunyai obat penawarnya, juga ibunya tidak menyimpan obat ini. Obat ini tentu saja hanya dibawa oleh Cui Im yang mempergunakan racun itu pada senjata rahasianya. Untuk menyedot dan mengeluarkan racun tak mungkin. Mana bisa ia menyedot luka di tengkuknya" Pula, ia mengerti sifat racun merah itu. Tidak berbahaya bagi mulut yang menyedotnya, akan tetapi berbahaya bagi mata! Orang yang menyedot racun itu, tidak akan mati, akan tetapi akan rusak matanya, akan menjadi buta!
Biauw Eng memejamkan mata memutar otak mencari akal yang agaknya sudah buntu. Tiba-tiba telinganya mendengar suara langkah kaki menghampiri. Cepat ia membuka mata dan melihat bagian tubuh seorang laki-laki melangkah maju. Ah, masih ditambah ini lagi penderitaannya" Apakah dalam saat terakhirnya ini ia masih akan mengalami penghinaan, perkosaan dari seorang pria"
Tentu Siauw Lek yang datang kembali ini, pikirnya dan ia memejamkan matanya kembali, terlalu ngeri untuk mengalami penderitaan hebat yang akan menimpanya dengan mata terbuka. "Aiiiihhh, terlalu keji iblis betina itu..." Terdengar suara seorang laki-laki yang berlutut di dekat tubuh Biauw Eng. Agaknya dia memeriksa keadaan Biauw Eng yang disangkanya pingsan. Mendengar bahwa suara ini bukan suara Siauw Lek, Biauw Eng membuka matanya dan melirik keatas. Wajah yang tampan seorang pemuda yang usianya amat muda, paling banyak dua puluh dua tahun atau sebaya dengan dia. Wajah tampan dan sikap yang gagah dan sopan.
"Ah, syukurlah engkau tidak pingsan, Nona. Biar aku menolongmu, Nona."
"Dapatkah engkau membebaskan totokan pada punggung dan pundakku?" Biauw Eng bertanya, sikapnya tenang.
"Aku mengerti sedikit ilmu silat, akan tetapi bukan ahli tiam-hiat-hoat, Nona. Jalan darah mana yang harus ditotok?"
"Jalan darah kian-keng-hiat di pundak dan hong-hu-hiat di punggung belakang pundak. Bukan ditotok, melainkan dibebaskan.."
"Wah, sayang, aku tidak bisa, Nona. Katakanlah di mana adanya obat penawar racun jarum ini, dan aku akan..."
"Hemmm, tidak ada obat penawarnya!" Biauw Eng putus asa. Dia tadi inta dibebaskan hanya agar dia dapat memeriksa ibunya, bukan untuk dapat menolong diri sendiri. Kini pemuda ini terlalu rendah ilmu silatnya sehingga membebaskannya pun tidak mampu! Ia menghela napas dan berkat lagi,
"Engkau siapakah" Mengapa kesini?"
"Aku she Sim, bersama Lai Sek. Aku sengaja datang mencari Lam-hai Sin-ni dan engkau puterinya, untuk.... untuk membalas dendam atas kematian ciciku!"
"Uhhhh, dengan kepandaianmu seperti itu, engkau hendak melawan aku dan ibuku?" Biauw Eng bertanya penuh keheranan.
"Membalas dendam adalah satu hal, menang atau kalah adalah hal lain lagi. Akan tetapi, ketika aku datang tadi... aku melihat iblis-iblis itu, aku bersembunyi, merangkak-rangkak dekat dan mendengar semua.
Kemudian aku mengerti engkau telah terkena fitnah iblis betina itu, selama ini aku mengutuk namamu, menganggap engkau pembunuh ciciku, dan aku melihat betapa ibumu disiksa, dibunuh, kemudian betapa ibumu dihina dan dilukai. Aku harus menolongmu, harus! Benar-benarkah tidak ada obat penawarnya, Nona?"
"Sudah kukatakan tidak ada, engkau tidak dapat menolongku, sedangkan aku pun sendiri tidak bisa menolong diriku sendiri. Aku amat berterima kasih kepadamu, Sim-enghiong. Engkau seorang pemuda yang baik budi. Kalau engkau sudi untuk merawat ibuku... Mengubur jenazahnya.... biar sampai mati pun aku akan amat berterima kasih kepadamu...." Suara Biauw Eng mengandung isak karena teringat akan ibunya. Betapa sedih hatinya melihat ibunya disiksa dan dibunuh orang tanpa ia dapat menolongnya, bahkan jenazahnya pun tak mampu ia merawat dan menguburnya!
"Ah, tentu... Tentu ah, kasihan sekali engkau dan ibumu... hemmm, sungguh iblis betina itu kejam sekali...!" Sim Lai Sek menjadi bingung karena dia tidak tega melihat nona itu menderita tanpa dapat menolongnya. Melihat betapa wajah yang amat cantik jelita itu pucat dan bibir itu menyeringai sakit, dahi yang halus itu penuh peluh, ia merasa hatinya tersiksa sekali. Cepat dia bangkit dan menghampiri tubuh Lam-hai Sin-ni dengan hati ngeri, juga dengan penuh iba. Kaki tangannya buntung dan potongan kedua kaki dan lengan itu masih berserakan disitu. Mengerikan! Ternyata bahwa tubuh nenek itu sudah kaku, tak bernyawa lagi seperti yang diduga Biauw Eng.
Episode 177 Ketika tidak mendengar gerakan pemuda itu, Biauw Eng bertanya, "Sim- enghiong, apakah ibuku.. sudah meninggal ?"
"Be.... benar, Nona.."
*** Biauw Eng menarik napas panjang dan tiba-tiba ia merintih karena rasa nyeri yang luar biasa menusuk tengkuknya.
"Harap.... harap kau begitu baik hati... Menolongku, menguburkan jenazahnya..."
"Baiklah, Nona. Tenangkan hatimu, aku akan mengubur jenazah locianpwe."
Seperti pernah diceritakan di bagian depan cerita ini, Sim Lai Sek adalah Sim Ciang Bi, murid Hoa-san-pai yang terbunuh oleh senjata rahasia yang dilepas oleh Cui Im, yang tewas dalam pelukan Keng Hong setelah gadis itu bersama Keng Hong melampiaskan perasaan mereka saling mencinta. Sim Lai Sek merasa sakit hati sekali dan pemuda ini mengikuti semua persoalan mengenai Keng Hong, menyaksikan pula Keng Hong diadili dan meyaksikan betapa Biauw Eng yang kemudian dilarikan ibunya, Lam-hai Sin-ni. Karena merasa sakit hati kehilangan cicinya, satu- satunya saudaranya dan yang amat dicintainya, Sim Lai Sek melatih diri dengan ilmu silat, kemudian mencari Lam-hai Sin-ni untuk membalas dendam kematian cicinya yang menurut pengakuan Biauw Eng sendiri dibunuh oleh gadis puteri Lam-hai Sin-ni itu. Ketika tadi ia tiba di situ, ia menyaksikan sepak terjang Cui Im dan Siauw Lek. Ia bersembunyi dan mengintai. Karena dua orang manusia iblis itu sibuk dengan kekejaman mereka, mereka tidak melihat atau mendengar kedatangan pemuda ini yang dapat mendengar dan menyaksikan semua. Terbukalah matanya bahwa Biauw Eng terkena fitnah, bahwa yang membunuh cicinya adalah wanita iblis itu! Akan tetapi menyaksikan kehebatan ilmu kepandaian kedua orang manusia iblis itu, Lai Sek maklum bahwa kalau dia menyerang takkan ada gunanya. Ia menanti sampai berjam-jam barulah dia merasa yakin bahwa mereka tidak akan datang kembali maka dia lalu muncul menolong ibu dan anak itu
Dengan penuh semangat Lai Sek menggali lubang kuburan. Ia bertenaga besar dan tak lama kemudian dia sudah menggali sebuah lubang, kemudian dia mengeraskan hatinya mengangkat tubuh Lam-hai Sin-ni yang kaku, menaruhnya hati-hati ke dalam lubang berikut potongan-potongan kedua kaki tangannya, kemudian dia menguruk lubang itu dengan tanah galian. Biauw Eng meandang semua pekarjaan pemuda itu dan ketika Lai Sek menguruk tanah kuburan ia tak dapat melihat lagi karena kedua matanya penuh air mata yang tak dapat ia hapus karena kedua tangannya tak dapat ia gerakkan.
"Sudah selesai, Nona." Lai Sek berlutut di dekat Biauw Eng setelah dia membersihkan kedua tangannya. Melihat betapa gadis itu menggigit bibir menahan nyeri dan melihat air mata memenuhi bulu mata karena tak dapat dihapus, pemuda itu menjadi iba sekali hatinya dan seperti tak disadarinya dia menggerakkan tangan dan mengusap air mata dari kedua mata nona itu dengan ujung bajunya.
Sepasang mata yang merah itu memandang penuh keharuan dan rasa terima kasih menusuk perasaan Lai Sek. "Sim-enghiong.... kau .... kau manusia paling mulia yang pernah kujumpai... Dapatkah engkau mengangkat batu di sana itu dan meletakkannya di depan kuburan ibuku?" Lai Sek menengok memandang batu besar itu dan menganguk. "Ilmu silatku tidak seberapa tinggi, Nona , akan tetapi tenagaku besar. Agaknya batu itu akan terangkat olehku." Ia menghampiri batu itu, ketika membaca huruf-huruf terukir di atas batu, dia mengerutkan kening dan berkata,
"Perlukah batu buatan iblis betina ini dipasang di depan kuburan ibuu, Nona" Dia sombong sekali. Engkau belum... mati dia sudah menulisnya begini pasti...."
"Dia benar, aku tentu akan mati. Biarlah kau pasang batu itu agar kelak.... kalau Tuhan menghendaki , Keng Hong melihat batu itu dan mungkin dia masih.... ingat akan .... ah, terserahlah... Harap kau pindahkan batu itu.."
Lai Sek tidak membantah lagi, lalu menghampiri batu besar itu, menyingsingkan lengan baju lalu memeluk dan mengerahkan tenaga. Dengan susah payah dapatlah dia mengangkat batu itu dan meletakkannya di depan kuburan Lam-hai Sin-ni. Kemudian dia menghampiri Biauw Eng dan berlutut lagi. Nona itu memandangnya dengan sepasang mata bersinar-sinar penuh rasa syukur dan terima kasih, bahkan bibir yang mengerut karena menahan sakit itu tersenyum.
"Aihhh... Apa saja yang takkan kulakukan untuk membalas budimu, Sim-enghiong... Sayang... Aku hanya dapat membawa namamu ke alam baka...." Mata itu masih memandang terbelalak dan air matanya mengalir dari pelupuk mata membasahi kedua pipinya yang pucat. "Selamat berpisah, sahabat terbaik Sim Lai Sek... Namamu terukir di sanubariku, kubawa mati... Pergilah sekarang dan biarkan aku dengan tenang menghadapi siksaan yang akan membawaku pergi menyusul ibu...."
Sim Lai Sek merasa betapa hatinya seperti ditusuk-tusuk. "Tidak ....! Tidak....! Tidak....! Engkau tidak boleh mati begini saja, Nona! Seorang semuda engkau, secantik engkau..ah, tidak mungkin aku dapat membiarkan kau mati begini saja....!"
Gadis yang tadinya sudah memejamkan mata itu kini membuka matanya dan memandang heran. Saking herannya ia sampai lupa untuk sementara rasa nyeri yang makin menghebat. "Sim-enghiong... Kau...., kenapakah" Mengapa kau bersikap seperti ini... Mengapa... Mengapa engkau sebaik ini kepadaku...?"
"Lima tahun lamanya setiap hari aku menyumpahimu, mengutukmu, menganggap engkau sejahat-jahatnya orang berhati keji telah membunuh ciciku yang tak berdosa. Agaknya... Siapa tahu... Karena kutukan dan sumpahku itu engkau mengalami malapetaka sehebat ini, dan ternyata engkau...., tidak berdosa!
Episode 178 Dengan begini maka akulah yang berdosa kepadamu, Nona, aku harus menebus dosaku kepadamu ini. Akan tetapi bagaimana" Engkau terluka, hampir mati.... terluka jarum beracun?"" Mungkin tidak ada obat penawarnya, akan tetapi kalau racunnya dikeluarkan...."
"Jangan...!!!" Biauw Eng menjerit.
"Mengapa jangan" Engkau akan selamat! Kalau racun itu kusedot keluar...ya, begitulah cara pengobatannya!" Sim Lai Sek mengulur tangannya hendak mencabut jarum merah yang menancap di tengkuk Biauw Eng itu.
"Sim-enghiong, jangan lakukan itu!" Biauw Eng menjerit, suaranya melengking penuh kengerian. "Engkau akan celaka....!!"
Sim Lai Sek tersenyum dan tidak menghentikan usahanya, kini jari tangannya menjepit jarum merah itu dan dicabutnya dengan tiba-tiba. Darah menghitam keluar dari luka di tengkuk itu.
"Nona, jangan menakut-nakuti aku. Biar celaka sekalipun, untuk menolongmu dan untuk menebus dosa, aku rela!" Setelah berkata demikian Sim Lai Sek membungkuk dan mendekatkan mulutnya pada tengkuk yang berkulit putih halus, akan tetapi di sekitar luka kecil itu membengkak merah.
"Tunggu dulu..., Sim-enghiong, ini tidak boleh... tunggu sebentar dan dengarkan kata-kataku." Biauw Eng di dalam hatinya meronta-ronta dan suaranya terdengar penuh permohonan sehingga Lai Sek mengangkat lagi mukanya.
"Ada apa lagi, Nona?"
"Dengar, Sim-enghiong. Aku tahu betul kedashyatan racun Ang-tok-cia ini. Dia itu bekas suciku sendiri, aku tahu bahwa luka jarum ini sama sekali tidak boleh disedot."
"Apakah takkan sembuh" Boleh coba-coba daripada tidak ditolong sama sekali."
"Bukan begitu!" Biauw Eng gugup. Mungkin sembuh, akan tetapi penyedotnya.... dia akan celaka, akan menjadi buta matanya! Jangan kau lakukan itu...."
Lai Sek kelihatan terkejut, kemudian dia menatap wajah Biauw Eng dan tersenyum. "Biar celaka, atau buta, bahkan mati sekalipun aku rela melakukannya untukmu, Nona." Ia menunduk kembali, akan tetapi Biauw Eng menjerit.
"Nanti dulu! Sim Lai Sek... Katakanlah terus terang, mengapa.... kau melakukan ini untukku" Kalau hanya untuk menebus rasa penyesalanmu telah salah menuduh saja, tidak mungkin. Katakanlah, mengapa...." Mengapa....?"" .
Sim Lai Sek memandang wajah gadis itu dan sejenak pandang mata mereka bertemu dan bertaut. Kemudian pemuda itu berkata, suaranya seret dan sukar keluar, namun dipaksa juga.
"Baiklah, Nona. Mengingat bahwa keadaan kita ini gawat sekali, kalau kau tidak kutolong engkau mati, kalau kutolong mungkin aku yang mati, biarlah kau mendengar sejelasnya, mendengar apa yang selama ini berada di dalam hatiku sebagai rahasia pribadiku yang tak diketahui siapapun juga. Kau mau tahu mengapa aku hendak nekat menolongmu dengan taruhan nyawaku" Biaklah, karena .... karena aku cinta kepadamu, Nona!"
Terbelalak mata Biauw Eng. Dugaan yang tepat namun ia tetap tidak tahu mengapa pemuda itu mencintainya. "Akan tetapi.... ah, mana mungkin" Engkau selamanya mendendam, menyumpah dan mengutuk aku yang tadinya kau anggap membunuh cicimu!"
Sim Lai Sek menundukkan kepalanya. "Itulah yang merusak hatiku selama bertahun-tahun ini. Semenjak aku melihatmu di Kun-lun-san, aku .... ah, si lemah ini, aku jatuh cinta kepadamu, Nona. Kemudian ketika mendengar engkau adalah pembunuh ciciku, hatiku sakit dan rusak, cintaku berubah kebencian dan penyesalan, kusumpahi dan kukutuk engkau. Kini, ternyata engkau tak berdosa, maka anehkah kalau cintaku tumbuh kembali, bahkan makin mendalam" Aku telah berdosa kepada orang yang kucinta sepenuh hatiku, dan kini untuk menebus dosa terhadapmu, Nona, jangankan hanya berkorban mata yang masih belum kupercaya, biar berkorban nyawa aku rela!"
Sinar mata Biauw Eng menjadi sayu, air matanya turun membanjir. Ia tidak kuasa berkata apa-apa lagi, maklum bahwa apa pun juga yang ia katakan, ia tidak akan berhasil mencegah pria yang begini cinta kasihnya. Bibirnya hanya bergerak dan terdengarlah bisikannya lirih, "Ouhhhhh.... biarkan aku mati.... biarkan aku mati..." Ia memejamkan mata dan menggigit bibir ketika merasa betapa mulut yang basah hangat dari pemuda itu mengecup tengkuknya lalu menyedot, betapa napas yang panas dari hidung pemuda itu menghembus-hembus anak rambut ditengkuknya. Ia tersedu dan merasa semangatnya terbang, hampir pingsan saking gelisah dan cemas hatinya terhadap pemuda itu.
Episode 179 Tanpa sedikit pun mengingat akan dirinya sendiri, Lai Sek sudah mengecup, menyedot, dan meludahkan darah hitam yang berbau amis. Hampir dia tidak kuat menahan akan tetapi dia menggeraskan hati dan menahan kepalanya yang menjadi pening. Ia menyedot lagi, meludah, menyedot, meludah, sampai akhirnya setelah hampir kehabisan napas dan hampir tidak dapat menahan rasa pening kepalanya, Lai Sek menyedot darah merah! Ia menjadi girang sekali, akan tetapi masih terus menyedot dan meludah sehingga darah merah secawan keluar yang berarti bahwa kini racun telah dikeluarkan semua. Lai Sek tertawa-tawa kemudian roboh terguling.
"Lai Sek....!" Biauw Eng menjerit lemah. Dia sudah terhindar bahaya racun, akan tetapi tubuhnya lemas dan totokannya belum punah, maka ia hanya dapat memanggil-manggil Lai Sek sambil menangis.
Totokan jari tangan Cui Im memang hebat sekali. Seperti juga jalannya racun jarum merahnya, totokannnya itu setelah lewat dua belas jam barulah dapat punah dengan sendirinya. Hari telah lewat senja dan hujan turun rintik-rintik di pantai laut selatan itu. Selama itu, Biauw Eng menanti tubuhnya terbebas totokan, rebah miring di samping tubuh Lai Sek yang pingsan di situ pula. Setelah ia dapat bergerak, pertama-tama yang ia lakukan adalah menubruk tubuh Lai Sek dan menangis tersedu-sedu, mengangkat muka pemuda itu untuk diperiksa, dan di dalam cuaca suram hampir gelap itu ia melihat betapa kedua mata pemuda itu membengkak merah! Ia menjerit dan mendekap muka itu ke dadanya, menempelkankan mukanya pada dahi pemuda itu sehingga air matanya membasahi muka Lai Sek sambil merintih, "Lai Sek.. ohhh, Lai Sek....!"
Hujan sudah berhenti, malam pun tibalah .Biauw Eng tidak bergerak pindah dari tempat dia duduk, kepala Lai Sek berada di atas pangkuannya. Jari-jari tangan gadis itu sejak tadi mengelus-elus rambut kepala Lai Sek, hatinya penuh keharuan dan ada rasa aman di hatinya. Kini hidupnya yang tadinya kosong karena Keng Hong kemudian karena kematian ibunya, terisi lagi oleh kewajiban baru. Ia hidup untuk pemuda ini! Untik membalas budi pemuda ini yang tiada taranya.
Sim Lai Sek bergerak perlahan. "Uuuhhh, gelapnya....!" Ia mengeluh, kepalanya bergerak-gerak di atas pangkuan Biauw Eng.
Ucapan itu memancing keluar air mata yang bercucuran dari mata gadis itu.
"Malam telah tiba, Lai Sek," katanya lirih menahan isak.
"Heh, apa" Siapa" Malam.." Eh, engkaukah ini, Nona" Mengapa..., mengapa engkau memangku aku...." Eh, mataku.... tak dapat melihat apa-apa...."
Biauw Eng menangis, menunduk dan merangkul leher Lai Sek, tak kuasa mengeluarkan kata-kata. Lai Sek terheran-heran, lalu meraba kedua matanya, jari-jari tangannya meraba sepasang mata yang bengkak dan tertutup, tak dapat dibuka dan teringatlah dia.
"Ah, aku.... aku telah menjadi buta..."
"Lai Sek.... mengapa engkau nekat...." Sudah kukatakan..." Biauw Eng tak dapat berkata lagi, terus menangis.
"Mataku buta" Biarlah! Akan tetapi engkau, sudah sembuh,benarkah, Nona" Engkau sudah dapat bergerak, sudah duduk. Bagus engkau sudah sembuh!" Lai Sek meraba-raba pundak dan tengkuk gadis itu, suaranya mengandung kelegaan hati dan kegirangan besar yang tak dibuat-buat, kegirangan yang membuat dia lupa akan keadaan matanya yang buta. Kegirangan yang terkandung dalam suara pemuda ini membikin Biauw Eng menjerit dan tangisnya makin menjadi.
"Kau kenapa, Nona?" Lai Sek meraba-raba dan jari-jarinya bertemu dengan air mata di pipi Biauw Eng.
"Kau menangis, Mengapa" Engkau menangisi aku, benarkah, Nona?"
"Lai Sek.., Lai Sek... Betapa aku tidak akan menangisi engkau" Hatiku hancur melihat penderitaanmu karena aku..."
Cinta memang perasaan yang aneh, mengatasi segala macam penderitaan hidup. Biarpun kedua matanya menjadi buta, kini merasa betapa gadis itu memeluknya, bahkan menciumi mukanya, menangis untuknya, Lai Sek menjadi girang dan merasa bahagia sekali!
"Ohhh, terima kasih, Nona. Terima kasih....! Engkau menangis karena mataku buta" Ah, aku mau seribu kali buta kalau engkau menaruh perhatian seperti ini, Nona! Engkau sudah sembuh, sungguh besar hatiku dan masih murah kesembuhanmu kalau hanya ditebus dengan kedua mataku! Aku girang, aku bersyukur kepada Thian Yang Maha Kuasa bahwa aku dapat menebus dosaku kepadamu, bahwa aku masih ada gunanya, terutama sekali untukmu. Nona, kau tolonglah bawa aku ke kota Liok-kun dan antarkan aku ke rumah pamanku di kota itu, kemudian boleh kau tingggalkan aku, Nona. Akan tetapi berhati-hatilah jangan sampai engkau bertemu dengan dua manusia iblis itu lagi, mereka amat berbahaya dan lihai."
"Lai Sek, kau kira aku ini orang macam apa" Tidak, aku merawatmu, mendampingimu dan takkan pernah meninggalkanmu. Kita akan selalu bersama sampai...., sampai kematian memisahkan kita," kata Biauw Eng penuh keharuan sambil memegang kedua tangan pemuda itu. Lai Sek mencengkeram kedua tangan yang kecil itu dan suaranya tergetar.
"Apa kau bilang, Nona" Engkau seorang gadis cantik jelita seperti bidadari, berilu tinggi, engkau hendak menyia-nyiakan hidupmu di samping seorang seperti aku, yang sekarang telah menjadi seorang buta tiada guna" Tidak! Engkau tidak perlu mengorbankan dirimu hanya karena perbuatanku tadi, Nona. Sudah kukatakan bahwa aku hendak menebus dosa, dengan kedua mataku masih murah!"
"Sim Lai sek, aku sudah mengambil keputusan hidupku. Kecuali kalau engkau tidak sudi bersamaku, aku takkan pernah meninggalkanmu. Ataukah.... engkau tidak cinta lagi kepadaku?"
Episode 180 Genggaman tangan Lai Sek makin kencang. "Engkau tahu bahwa aku mencintamu, Nona. Aku mencintamu melebihi jiwa ragaku! Akan tetapi, karena cintaku, itulah maka aku tidak ingin engkau menyia-nyiakan hidupmu, menderita dan mengorbankan hidup untukku. Cintaku tidaklah sedangkal itu, Nona. Aku mencintamu, akan tetapi engkau tentu tidak mencin...."
"Hushhh, aku pun cinta kepadamu, Lai Sek.."
"Kau...." Kau.." Betapa mungkin ini" Biauw Eng, jangan mempermainkan aku, jangan.. sekejam itu....."
Akan tetapi Biauw Eng sudah menutup ucapan Lai Sek dengan mencium mesra pada mulut pemuda itu sehingga membuat Lai Sek gelalapan. Setelah melepaskan ciumannya, Biauw Eng berbisik, "Nah, masih ragukah engkau" Adakah seorang gadis suci mencium mulut seorang pria kalau dia tidak mencinta pria itu?"
"Kau mencintaku" Ya Tuhan, sukar untuk dipercaya! Mengapa kau mencintaiku" Karena aku telah menyelamatkan nyawamu?"
"Bukan, Lai Sek, karena kemuliaan hatimu. Kalau orang seluruh dunia ini semulia engkau, aku pun akan mencinta seluruh manusia di dunia ini."
"Biauw Eng....!" Lai Sek memeluk, merangkul, mendekap dan menangis tersedu-sedu. "Biauw Eng.... terima kasih.... terima kasih...." Dan keduanya berpelukan dan bertangisan.
*** Keng Hong menuruni puncak Kun-lun-san dengan wajah berseri gembira. Betapa hatinya tidak akan gembira oleh hasil yang dicapainya di Kun-lun-pai" Dia telah berhasil membersihkan namanya di Kun-lun-pai, telah berhasil mengubah rasa benci para tokoh Kun-lun-pai, terutama Kiang Tojin, menjadi rasa kagum berterima kasih dan bersahabat. Tentu saja ada yang berbalik membencinya karena sepak terjangnya di Kun-lun-pai, terutama sekali Lian Ci Tojin dan Sian Ti Tojin akan tetapi hal ini sudah wajar. Setiap perbuatan yang mendatangkan senang kepada sefihak, tentu mendatangkan rasa tidak senang kepada fihak yang bertentangan. Pokoknya, ia harus mendatangkan rasa senang kepada di pihak yang benar dan baik, adapun rasa tidak senang di fihak yang salah dan jahat, bukanlah merupakan hal yang aneh.
Ia maklum bahwa tugas yang dihadapinya amat berat. Ia akan menghadapi banyak rintangan, akan menghadapi permusuhan dari orang-orang yang masih mendendam kepada gurunya, bahkan yang akhir-akhir ini mendendam kepada dirinya sendiri. Bagaimana caranya mengubah permusuhan menjadi persahabatan seperti yang dia hasilkan di Kun-lun-pai" Tugas menebus semua permusuhan dari hati tokoh-tokoh kang-ouw terhadap gurunya dan dia sendiri sudah amat berat, masih ditambah lagi dengan tugasnya mencari Cui Im dan menundukkan wanita itu, minta secara halus maupun kasar agar wanita itu mengembalikan kitab-kitab yang dicurinya, karena sesungguhnya kitab-kitab itu merupakan syarat penting baginya untuk melenyapkan permusuhan yang ditimbulkan gurunya ketika gurunya mencuri atau merampas kitab-kitab itu dari partai-partai besar. Tanpa mengembalikan kitab-kitab itu kepada pemiliknya yang berhak, bagaimana mungkin dia dapat mengubah permusuhan menjadi persahabatan "
Ketika melewati sebuah puncak dan melihat puncak Bayangkara di depan Keng Hong berhenti dan memandang puncak Bayangkara dengan kening berkerut. Seperti puncak Bayangkara itulah tugasnya, menjulang tinggi dan puncaknya itu sendiri merupakan tugas pertama baginya.
*** Yaitu dia harus mengunjungi puncak itu dan berusaha melenyapkan permusuhan yang timbul dengan mereka yang berkuasa di puncak itu, ialah perkumpulan Tiat-ciang-pang. Memandang puncak Bayangkara, teringatlah dia akan semua pengalamannya ketika dia bentrok dengan perkumpulan Tiat-ciang-pang. Dan teringatlah dia akan Sim Ciang Bi, gadis Hoa-san-pai yang menjadi sebab pertama bentrokannya itu. Ia membantu Ciang Bi dan adiknya, Sim Lai Sek, ketika mereka berdua itu dikeroyok anak buah Tiat-ciang-pang sehingga bentrokan menjadi berlarut larut, ditambah pula oleh perbuatan Cui Im yang menyamar sebagai Biauw Eng dan diam-diam membantunya, bahkan telah membunuh Ciang Bi. Keng Hong menghela napas panjang. Harus dia kujungi perkumpulan itu agar dia dapat bicara dengan Ouw Beng Kok dan Lai Ban, ketua dan wakil ketua dari Tiat-ciang-pang. Dengan hati mantap Keng Hong melanjutkan perjalanannya, menuju ke puncak Bayangkara. Ketika dia tiba di wilayah pegunungan ini dan berada di sebuah lereng yang agak tinggi, dia melihat dari jauh beberapa bayangan orang mendaki puncak, ada yang naik kuda, ada yang berjalan kaki . Ia berhenti memperhatikan. Dari gerakan mereka yang berjalan kaki dia dapat melihat bahwa mereka itu adalah orang-orang yang berkepandaian dan agaknya mereka hendak bertamu ke Tiat-ciang-pang. Ada apakah di Tiat-ciang-pang"
Selagi dia termangu-mangu, tiba-tiba telinganya mendengar suara orang bernyanyi, suaranya halus terbawa angin lalu. "Kun-cu Song Ki Wi Ji Heng, Put Goan Houw Ki Gwee (Seorang budiman bersikap sesuai dengan kedudukannya, tidak menginginkan sesuatu yang bukan menjadi bagiannya)"
Berseri wajah mendengar syair itu. Ia segera mengenal syair itu sebagai ujar-ujar Nabi Khong-cu dalam pelajaran Kitab Tiong-yong, dan dia mengenal atau dapat menduga pula siapa orangnya yang bernyanyi itu. Keng Hong tersenyum dan melangkah ke depan menuju ke arah datangnya suara nyanyian yang terbawa angin lalu.
Tepat seperti yang diduganya, dia melihat kakek bongkok berpunuk yang berpakaian selalu bersih berkaki telanjang, rambutnya panjang akan tetapi bagian atas kepalanya botak, duduk ongkang-ongkang di atas sebatang dahan pohon sambil bernyanyi dan diseling menengak arak dari guci araknya. Siauw-bin Kuncu, tokoh aneh yang dulu dia akali untuk memecahkan rahasia kalimat yang terukir di pedang Siang-bhok-kiam! Tanpa disengaja kakek aneh inilah orangnya yang telah berjasa sehingga dia dapat menemukan tempat rahasia penyimpanan pusaka gurunya. Kakek itu melanjutkan syair ujar-ujar di dalam kitab Tiong-yong, akan tetapi kini tidak dinyanyikan, melainkan diucapkan nyaring dengan gaya sedang memberi kuliah atau sedang berceramah di depan banyak murid, kedua lengannya dikembangkan, kepalanya bergerak-gerak mengikuti irama kata-kata yang seperti sajak dideklamasikan:
Episode 181 "Dalam keadaan kaya dan mulia dia berlaku sesuai dengan keadaannya, dalam keadaan miskin papa dia berlaku sesuai dengan keadaannya, berada di antara bangsa asing dia menyesuailan diri dengan sekelilingnya, dalam keadaan duka dan sengasara, dia menyesuaikan diri dengan keadaannya, maka seorang budiman selalu merasa cukup dan terteram, biarpun berada dalam keadaan yang bagaimanapun juga."
Keng Hong yang sudah sering kali membaca kitab Tiong-yong dan kini mendengar ayat ini dideklamasi dengan sungguh-sungguh, seolah-olah menjadi makian jelas maknanya bagi pemuda ini. Ujar -ujar itu mengandung inti sari pelajaran "MENYESUAIKAN DIRI DENGAN KEADAAN." Memang, seorang yang pandai menyesuaikan diri tanpa memaksa hati dan perasaan sendiri akan selalu merasa puas, tak pernah kekurangan dan tenang tenteram. Menginginkan sesuatu yang takkan dapat dijangkauannya bukanlah menyesuaikan diri namanya.
Bersikap tidak cocok dengan sekelingnya, ingin membawa kehendak sendiri, bukanlah menyesuaikan diri namanya! Ia mendengarkan terus terang karena biarpun sudah sering kali membaca ayat-ayat itu, kini mendengar diucapkan kakek itu dia merasa amat tertarik.
"Dalam kedudukan tinggi dia tidak menghina bawahannya, dalam kedudukan rendah dia tidak menjilat atasannya Dia memperbaiki kekurangaan sendiri tidak mengharapkan orang lain, maka ia tidak membenci atau mengutuk orang lain. Ke atas dia tidak mengutuk Tuhan, Kebawah tidak menyalahkan manusia."
Ujar-ujar itu adalah kelanjutan daripada ujar-ujar tadi dan inti sari pelajarannya adalah "MENERIMA KEADAAN PENUH KESADARAN." Jika seseorang dapat menerima keadaan yang menimpa dirinya dengan kesadaran, maka dia akan selalu dapat menyesuaikan diri dengan keadaan itu dan sama sekali dia tidak akan menyalahkan Tuhan maupun manusia lain. Setiap kegagalan yang lajim disebut kesialan diterima dengan kesadaran penuh bahwa hal ini merupakan akibat daripada sebab, dan untuk mencari sebabnya tidak semetinya kalau melontarkan kesalahan kepada Malaikat maupun Setan. Orang bijaksana atau kuncu (budiman) akan menghadapi setiap kegagalan atau malapetaka yang menimpa diri dengan melakukan instropeksi (memeriksa diri sendiri) kemudian melakukan self-koreksi tanpa membenci atau menyalahkan siapapun juga. Keng Hong sudah mengerti akan semua ini dan dia mendengarkan terus.
"Seorang budiman selalu tenang dan tenteram menanti kurnia sewajarnya dari Tuhan. Adapun seorang yang rendah budi melakukan kejahatan Untuk mendapatkan sesuatu yang bukan menjadi haknya."
Memanglah, tanpa adanya kesadaran tadi, seseorang yang sedang mengalai kegagalan akan udah menjadi mata gelap, menipiskan kepercayaan kepada Tuhan yang dianggapnya tidak adil sehingga dia melakukan perbuatan-perbuatan yang merugikan orang lain dan jahat. Keng Hong maklum bahwa yang sedang diucapkan kakek ini adalah pelajaran fasal ke empat belas dari kitab Tiong-yong dan bahwa masih ada satu ayat lagi sebagai penutup dan yang paling penting dalam fasal hal ini, maka dia masih belum mau menegur dan mendengarkan terus. Kini kakek itu kembali menyanyikan ayat terakhir yang pendek dengan gaya seorang penyanyi wayang, lagaknya lucu sekali:
"Nabi Khong Cu bersabda : Prilaku seorang budiman seperti ilmu memanah, Apabila memanah tidak mengenai sasaran Dia mencari sebab-sebab kegagalan Kepada diri sendiri!"
Karena ayat-ayat itu sudah habis diucapkan si kakek bongkok, Keng Hong hendak memperkenalkan diri, akan tetapi tidak sempat karena kini kakek itu berkata-kata keras penuh celaan seperti orang arah,
"Anak panah luput dari sasaran adalah karena tidak becus, mengapa mencak-mencak mencari kesalahan dengan mencela anak panahnya bengkok, gendewanya kaku, sasarannya tidak nyata, angin besar, cuaca terlalu buruk dan lain omong kosong lagi" Ha-ha-ha, benar-benar manusia ini badut-badut dunia yang tidak lucu dan menjemukan. Guru besar, semua pelajaranmu baik dan tepat belaka, hamba kagum dan tunduknya, betapi sukar melaksanakannya! Aduhai ...., makin baik pelajarannya, mengapa makin bobrok budi pekertinya manusia?"
Keng Hong terkejut mendengar ucapan terakhir ini dan lalu dia muncul keluar sambil menegur, "Locinpwe, maafkan kalau saya mengganggu, Bukankah Locianpwe ini Siauw Kuncu?" Kakek itu yang masih duduk ongkang-ongkang di atas dahan pohon, menoleh dan memandang Keng Hong, kemudian menenggak araknya dan berkata seperti orang mabuk, "Memang benar, aku seorang di antara kuncu-kuncu yang memenuhi dunia ini! Betapa banyaknya kuncu macam aku sehingga sukar dihitung, seperti daun-daun kuning berserakan di musim rontok! Betapa sukarnya menerima setangkai bunga di musim rontok!"
"Apa pula artinya ucapan Locianpwe ini?"
"Artinya" Lihat saja, betapa kini banyak terdapat kuncu-kuncu berserakan! Setiap orang pelajar hafal akan seluruh kitab-kitab pelajaran Nabi Khong Cu, dan mereka itu menganggap diri mereka sebagai kuncu-kuncu! Apakah kalau sudah hafal akan semua ujar-ujar kitab suci lalu menjadi budiman" Betapa mudahnya menghafal dan bicara ditambah lagak seorang kuncu, betapa mudahnya bicara tentang kebenaran, akan tetapi adakah yang dapat melaksanakannya dalam perbuatan" Mereka itu kuncu-kuncu dalam lagak dan kata-kata, dan karena itu aku menjadi seorang di antara mereka, berjuluk kuncu, aku pun seorang kuncu lagak dan kata, kuncu palsu!"
"Akan tetapi, Locianpwe, bukankah seseorang yang telah mengenal diri sendiri dan tahu akan kekurangan-kekurangannya, mempunyai harapan besar untuk memperbaiki dirinya dan hal ini sudah merupakan langkah seorang kuncu?"
"Engkau benar, akan tetapi betapa sukarnya mengalahkan diri sendiri! Betapa sukarnya menjadi kuncu bukan karena ingin disebut kuncu, betapa sukarnya melakukan perbuatan baik bukan karena ingin disebut baik! Betapa mungkin memisahkan malaikat dan setan kalau malaikat itu kita lekatkan di dada sedangkan setan melekat di punggung"
Episode 182 Heeeiiiii...! Engkau ini seorang muda sudah pandai bicara tentang ayat-ayat suci. Engkau hendak menjadi kuncu, pula" Eh, aku pernah melihat mukamu! Oho, benar engkau ini!" Kakek itu menepuk kepalanya yang botak lalu tubuhnya melayang turun ke depan Keng Hong. Semenjak dahulu Keng Hong kagum menyaksikan ginkang kakek itu, akan tetapi tentu saja kini dia melihat betapa ginkang kakek itu sebenarnya belum berapa tinggi. Hal ini adalah karena tingkat kepandaiannya sendiri telah melonjak secara luar biasa.
"Betapa senangnya bertemu dengan sahabat lama?" Kakek itu berkata seperti orang bernyanyi.
"Bukankah engkau orang muda yang memiliki pukulan mujijat dan mengerikan itu" Engkau.... ah, murid Sin-jiu Kiam-ong yang menimbulkan geger di seluruh dunia kang-ouw dan di kabarkan lenyap di puncak Kiam-kok-san" Kabarnya engkau sudah mati!"
Keng Hong tersenyum. "Thian masih melindungiku dan masih menganugerahi umur panjang padaku, Locianpwe. Berkat pertolongan Locinpwe, aku masih hidup sampai detik ini."
Siauw bin kuncu membelalakkan kedua matanya dan mengaruk-garuk kepalanya. "Au" Pertolonganku yang mana" Eh, orang muda, jangan engkau ketularan watak Sin-jiu Kiam-ong yang suka menggoda dan mempermainkan orang. Aku sudah tua, tak baik mempermainkan orang tua."
"Saya tidak mempermainkan Locianpwe, dan hanya menyatakan hal yang sesungguhnya. Ingatkah Locianpwe akan bantuan Locianpwe memecahkan rahasia tiga macam ujar-ujar dahulu itu" Kebijaksanaan tertinggi seperti air! Tulus dan sungguh mengabdi kebajikan! Tukang saluran mengalirkan airnya ke mana dia suka! Nah, Locianpwe yang membantu saya memecahkan rahasianya!"
"Oh... Oh... Itukah" Dengan ukuran-ukuran itu..." Hemmm, kau hendak katakan bahwa rahasia itu adalah rahasia tempat penyimpanan peninggalan pusaka Sin-jiu Kiam-ong yang diperebutkan semua orang" Jadi engkau selama ini lenyap ke dalam tempat rahasia itu" Aihhh!"
Kakek itu menampar kepalanya." Kalau aku tahu.. tentu..." Kakek itu terhenti dan kini menampar mulutnya.
"Nah-nah, inilah yang paling berbahaya, musuh manusia nomor satu, yaitu diri sendiri, nafsunya sendiri yang mendorongnya melakukan hal apa saja demi untuk kepentingan diri sendiri sehingga lenyaplah segala norma kebajikan, lenyap dan terlupakan semua ayat-ayat suci agama. Ah, orang muda, jadi rahasia penyimpanan pusaka gurumu itu tersembunyi di dalam tiga baris ujar-ujar itu" Sunggah mengagumkan!"
"Benar demikian, Locianpwe. Karena itu, saya menghaturkan terima kasih kepada Locianpwe yang menyelamatkan saya ketika dikejar oleh tokoh-tokoh kang-ouw lima enam tahun yang lalu."
Kakek itu mengangkat tangan dan menggoyang-goyangnya seperti hendak mencegah pemuda itu melanjutkan ucapan terima kasihnya. "Seorang kuncu tidak mengangap bantuan sebagai pelepas budi, tidak menganggap kebajikan sebagai sesuatu yang dibanggakan melainkan sebagai suatu keharusan dan kewajiban. Orang muda, siapakah namamu" Aku sudah lupa lagi."
"Saya Cia Keng Hong, Locianpwe."
"Keng Hong, setelah engkau menemukan peninggalan pusaka gurumu, tentu engkau telah mewarisi seluruh ilmu kepandaian Sin-jiu Kiam-ong, bukan?"
"Ilmu, kepandaian tak dapat diwarisi, Locinpwe, hanya dapat dipelajari. Saya telah mempelajarinya sedikit-sedikit akan tetapi tentu saja masih jauh daripada sempurna."
"Wah, engkau pandai merendah, Keng Hong. Dahulu pun kepandaianmu sudah mengerikan, apalagi sekarang. Dan sekarang, kemana engkau hendak pergi, apa yang hendak kaulakukan setelah engkau memiliki ilmu kepandaian gurumu?"
"Locianpwe, saya mohon petunjuk, Locianpwe mengenai cita-cita yang menjadi tugas saya ini. Saya akan berusaha untuk menemui semua tokoh kang-ouw yang dahulu memusuhi suhu, dan akan saya usahakan sedapat mungkin untuk menebus kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh suhu terhadap para tokoh kang-ouw.
Bagaimana menurut pendapat Locianpwe" Apakah usaha saya ini tidak berlawanan dengan kebaktian seorang murid terhadap gurunya?"
"Di dalam kitab Tiong-yong, guru besar Khong Cu berkata! Hu-hauw-cia, Sian-kee-jin-ci-ci, Sian -sut-jit-ci-su-cia-ya (Berbakti ialah melanjutkan cita-cita mulia dan pekerjaan benar daripada leluhurnya). Kalau seorang murid melakukan perbuatan-perbuatan mulia dan benar, berarti bahwa dia mengangkat tinggi nama gurunya. Kalau muridnya menjadi seorang baik, tentu gurunya dipuji orang. Sebaliknya kalau si murid menjadi seorang jahat tentu gurunya dimaki orang. Gurumu Sin-jiu Kiam-ong, di waktu hidupnya menjadi seorang petualang, ugal-ugalan dan karenanya menyusahkan banyak orang sehingga dimusuhi. Dia meninggalkan nama buruk. Kalau engkau sebagai muridnya dapat melakukan kebaikan-kebaikan, hal itu berarti engkau telah berbakti, karena dengan kebaikan muridnya, setidaknya nama buruk si guru akan tercuci sebagian. Akan tetapi, tujuan dan cita-cita baik saja belum ada gunanya kalau belum dilaksanakan, Keng Hong. Sekarang, engkau hendak kemana?"
"Terima kasih atas wejangan Locianpwe yang ternyata cocok dengan isi hati saya. Saya akan pergi ke puncak sana menemui para pimpinan Tiat-ciang-pang yang paling dekat dari sini. Tugas ini tidak ada sangkut pautnya dengan suhu. Seperti Locianpwe telah mengetahui, dahulu enam tahun yang saya pernah bentrok dengan Tiat-ciang-pang karena salah faham maka sekarang saya hendak menghapus pertentangan itu dengan mohon maaf kepada para pemimpinnya."
Kakek itu tertawa dan mengelus jenggotnya. "Ha-ha-ha, kebetulan sekali. Di sana sedang ada keramaian, dan mungkin setibamu di sana akan terjadi perkara besar di sana. Tidakkah kau melihat rombongan tamu yang menuju ke sana itu" Aku sendiri pun kalau ada minat, akan menonton keramaian."
Episode 183 "Saya tadi melihat rombongan itu, Locianpwe. Ada keramaian apakah?" "Pesta keramaian dari mereka yang menang! Mereka merayakan ulang tahun Tiat-ciang pang, juga merayakan kemenangan bala tentara Raja Muda Yung Lo yang berhasil merebut kekuasaan. Sebagai fihak yang pro tentara, tentu saja Tiat-ciang-pang mendapat pahala dan karena itu mereka merayakan kemenangan. Nah, kalau kau hendak menemui para pimpinannya, sekaranglah saatnya. Pergilah, Keng Hong, dan jangan lupa dasar tujuanmu, yaitu menjunjung nama guru yang hanya dapat kau capai dengan perbuatan benar. Selamat berpisah!" Kakek itu meloncat jauh lalu berloncatan dengan kedua lengan dikembangkan dan digerak-gerakkan seperti burung terbang!
Keng Hong menarik napas lega. Bercakap-cakap dengan kakek itu menambah keyakinannya akan benarnya usaha yang ditempuhnya. Ia maklum betapa berat tugasnya, namun keyakinan bahwa yang dia lakukan adalah benar memperingan tugas itu dalam hatinya. Ia lalu melanjutkan perjalannya menuju ke puncak Pegunungan Bayangkara di mana sudah tampak tembok besar yang menjadi bangunan pusat perkumpulan Tiat-ciang-pang.
Tiat-ciang-pang adalah sebuah perkumpulan yang besar dan terkenal, apalagi setelah timbul perang ketika Raja Muda Yung Lo memimpin bala tentaranya dari utara menyerbu ke selatan dan perkumpulan ini membantu dengan penuh semangat. Setelah perang dimenangkan tentara utara, nama Tiat-ciang-pang meningkat dan makin banyaklah orang yang memuji-muji perkumpulan ini. Maka ketika perkumpulan itu merayakan ulang tahun sekalian merayakan kemenangan bala tentara utara, juga untuk mengadakan pemilihan ketua baru karena Ouw Beng Kok, ketua pertama itu hendak mengundurkan diri kan karena merasa sudah terlalu tua. Banyak sekali tamu berdatangan dari segenap penjuru, tokoh-tokoh kang-ouw dan bekas-bekas teman seperjuangan.
Keng Hong menyelinap di antara para tamu dan tidak ada seorang pun memperhatikan pemuda ini karena memang Keng Hong tidak kelihatan menyolok dengan pakaiannya yang sederhana dan kelihatannya tidak membawa sepotong pun senjata, sama sekali tidak kelihatan seperti seorang tokoh kang-ouw yang pandai ilmu silat. Apalagi karena pada saat itu warna kulit muka Keng Hong sudah berubah hitam, karena dia sengaja menggunakan semacam getah pohon untuk menghitamkan muka. Kepandaian menyamar ini dia dapatkan dari sebuah di antara kitab-kitab suhunya, dan dia tahu bagaimana harus mengubah warna kulit mukanya menjadi hitam, putih, kuning, merah atau bahkan kehijauan, hanya mempergunakan getah-getah kulit pohon atau daun-daun. Karena kedatangannya dengan itikad baik, dia tidak ingin menimbulkan kekacauan dan tidak ingin dikenal anak buah Tiat-ciang-pang yang tentu akan mengacaukan urusan sebelum dia sempat bicara dengan Ouw Beng Kok dan Lai Ban.
Dari tempat duduknya di antara banyak tamu muda, Keng Hong memandang ke depan dimana para pipinan Tiat-ciang-pang dan par tau yang dianggap terhormat berkumpul. Bagian itu agak tinggi dan luas sehingga tampak jelas dari semua bagian dimana tamu-tamu yang dianggap "biasa" atau hanya para anggota-anggota rendahan dari Tiat-ciang-pang. Karena di situ berkumpul pula tamu-tamu dari pelbagai golongan sehingga sebagian besar tidak dikenal oleh para anggota Tiat-ciang-pang, maka kehadiran Keng Hong tidak menyolok.
Keng Hong dapat melihat bahwa Ouw Beng Kok ketua Tiat-ciang-pang atau Ouw-pangcu itu, kelihatan tua dan mukanya penuh keriput, namun tubuhnya yang agak kurus itu masih membayangkan tenaga yang kuat, dan Keng Hong merasa bulu tengkuknya berdiri ketika melihat tangan kiri Ouw Beng Kok yang palsau, tangan besi yang amat hebat itu, karena tangan besi itulah yang menciptakan Tiat-ciang-pang.
*** Perkumpulan Tangan besi, sungguhpun para anggautanya tidak mempunyai tangan palsu dari besi, namun para tokohnya telah mempelajari ilu Tiat-ciang-pang (Tangan Besi) yang amat ampuh sehingga tangan mereka dari tulang daging dan kulit itu seolah-olah keras seperti besi. Di sebelah kirinya duduk seorang laki-laki berusia kurang lebih tiga puluh tahun yang bermuka brewok dan bertubuh tinggi besar dan gagah. Sedangkan di sebelah kanannya duduk Lai Ban, wakil ketua Tiat-ciang-pang yang berjuluk Kim-to Si Golok Emas. Senjata itu tergantung dengan megahnya di punggung, dan berbeda dengan ketua Tiat-ciang-pang itu, wakilnya itu masih kelihatan gagah bersemangat biarpun usianya sudah lima puluh tahun lebih. Di belakang kedua orang ketua ini duduk para pembantu-pembantu pemimpin Tiat-ciang-pang dengan sikap keren. Dan di depan mereka, mengelilingi meja-meja besar yang ditaruh berjajar, duduk para tokoh yang terhormat, yaitu tokoh-tokoh kang-ouw dan tokoh-tokoh pejuang pembantu barisan dari utara.
Setelah semua tamu menghaturkan selamat dan saling memuji dalam merayakan kemenangan tentara utara, yang mereka lakukan sambil tertawa-tawa, menceritakan pengalaman pertandingan dalam perang saudara yang lalu, dan makan minum gembira, ketua Tiat-ciang-pang lalu mengumumkan kesempatan itu untuk mengadakan pemilihan ketua baru.
"Saya sudah tua dan lelah, perlu mengundurkan diri beristirahat dan memberi kesempatan kepada yang muda." Demikian Ouw Beng Kok menutup kata-katanya. "Sekarang, kebetulan sekali para sahabat dari berbagai golongan hadir sehingga dapat menjadi saksi peilihan ketua baru Tiat-ciang-pang. Menurut pendapat dan rencana saya, tentu saja kalau seluruh anggauta Tiat-ciang-pang menyetujui, dan saya harap demikian, saya akan menyerahkan jabatan ketua kepada putera saya ini. Mungkin banyak di antara para sahabat yang belum mengenal puteraku.
Puteraku ini bernama Ouw Kian, dan karena semenjak kecil dia membantu Raja Muda Yung Lo di utara yang kini menjadi kaisar kita, maka dia tidak mendapatkan kesempatan untuk bekerja bagi Tiat-ciang-pang. Akan tetapi, mengingat bahwa ilmu Tiat-ciang-kang telah di warisinya, dan karena diapun ingin sekali menyumbangkan tenaganya, dan sudah disetujui pula meninggalkan kerajaan, maka saya sendiri mengusulkan untuk mengangkatnya menjadi ketua Tiat-ciang-pang."
"Ha-ha-ha, Ouw-pangcu mengapa begini sungkan" Kalau yang pangcu usulkan untuk menggantikan adalah putera Pangcu sendiri, hal itu sudah sewajarnya. Ouw -pangcu selain menjadi ketua dari Tiat-ciang-pang, juga menjadi pendiri Tiat-ciang-pang, dan kalau kini Pangcu hendak mengundurkan diri lalu menunjuk putera Pangcu sebagai ketua baru, siapa yang akan menyatakan tidak setuju." Ucapan ini keluar dari mulut seorang di antara para tokoh yang hadir di situ. Para tamu lainnya sebagian besar menganggukkan kepala tanda setuju dengan pendapat ini. Akan tetapi Ouw Beng Kok mengerutkan alisnya yang tebal lalu berkata,
Episode 184 "Cu-wi sekalian (Tuan sekalian) tidak tahu akan keadaan Tiat-ciang-pang kami. Perkumpulan kami selama beberapa tahun ini telah mengalami kemajuan pesat sekali dan kini telah mempunyai belasan buah cabang perkumpulan di kota-kota dan jumlah anggauta kami seluruhnya tidak kurang dari seribu orang! Pada hari baik ini, seluruh pimpinan cabang yang sebagian adalah murid-murid saya, sebagian pula sahabat-sahabat seperjuangan yang jumlahnya tiga puluh orang lebih hadir pula. Saya tidak mau mengandalkan kedudukan sebagai pendiri dan ketua pertama untuk membawa kehendak sendiri dan kalau saya mengusulkan agar putera saya diangkat semata-mata adalah karena saya mengenal kecakapan putera saya dan tahu bahwa pada ssat ini, dia merupakan ahli Tiat-ciang-kang yang paling kuat. Namun, saya menyerahkan keputusannya dalam pemilihan umum yang diadakan para pimpinan pusat dan cabang.
Dan tentu saja mereka itu behak untuk memilih calon dan mengemukakan pendapat mereka demi kebaikan Tiat-ciang-pang."
Semua tamu menjadi kagum mendengar ucapan Ouw-pangcu ini dan diam-diam Keng Hong juga merasa kagum. Orang tua itu ternyata mempunyai watak yang adil dan tidak seperti pemimpin-pemimpin yang lain yang hanya ingin melaksanakan kehendaknya sendiri saja. Setelah mendengarkan ucapan ketua Tiat-ciang-pang yang disaksikan oleh banyak tokoh kang-ouw yang hadir di tempat itu, mulailah para dewan pimpinan cabang dan pusat ramai saling bicara sendiri. Memang di antara mereka telah terjadi perpecahan yang menjadi dua golongan, yaitu segolongan yang sejutu dengan pilihan ketua mereka untuk mengangkat Ouw Kian menjadi ketua baru. Akan tetapi segolongan lain tidak setuju dan lebih suka melihat Lai Ban wakil ketua Tiat-ciang-pang menjadi ketua baru.
Seorang di antara mereka, yang bertubuh tinggi kurus dan berduka seperti tikus bangkit berdiri dan setelah menjura kepada Ouw Beng Kok berkata, suarnya lantang,
"Hati kai lega setelah mendengar uraian Pangcu yang amat adil dan yang memberi kesempatan kepada kami untuk ikut mengajukan calon ketua baru. Oleh karena itu perkenankan saya mengajukan usul kepada Pangcu mengenai pencalonan ketua baru, sesuai dengan pendapat kawan-kawan yang mengambil keputusan demi kebaikan Tiat-ciang-pang yang kita cinta."
"Saudara Lu Tong adalah ketua cabang Bi-na-seng, bukan" Tidak perlu merasa sungkan, memang pemilihan ketua ini dei kebaikan perkumpulan kita. Boleh saja engkau mengajukan usul itu," jawab Ouw Beng Kok dengan sabar dan tenang.
"Terima kasih, Pangcu. Kami mengajukan calon kami yang sudah kami pilih dengan suara bulat, yaitu Ji-pangcu Lai Ban !" Sejenak pembicara yang bernama Lu Tong ini berhenti bicara karena segera bangkit berdiri dua puluh orang lebih teman-temannya yang bersorak menyebut nama Lai Ban sebagai wakil atau calon mereka.
Lai Ban bangkit berdiri dan mengangkat kedua lengan ke atas, suaranya nyaring berpengaruh, "Harap saudara-saudara tidak berisik dan suka duduk kembali, biar seorang saja mewakili saudara-saudara bicara!" Dan ternyata mereka yang bersorak itu segera terdiam, lalu duduk kembali. Lai Ban dengan sikap tenang juga duduk kembali, wajahnya tenang dan sungguh-sungguh.
"Kalau Saudara Lu Tong masih ada kata-kata harap lanjutkan."
"Kami memilih Ji-pangcu Lai Ban dengan alasan yang kuat. Pertama, kami rasa bahwa selain Pangcu sendiri, Ji-pangcu Lai Ban adalah orang ke-dua yang selama ini memimpin Tiat-ciang-pang. Ke-dua, dalam hal ilmu kepandaian, kami semua telah mengerti akan kelihaiannya yang hanya berada di bawah tingkat Pangcu sendiri atau mungkin juga setingkat. Kami menolak pengangkatan atau pencalonan Saudara Ouw Kian bukan sekali-kali karena tidak suka kepadanya, melainkan kami meragukan kepandaiannya. Sudah sering kali Tiat-ciang-pang dimusuhi orang-orang jahat yang berilmu tinggi, maka kalau dipimpin oleh seorang pemuda yang belum berpengalaman dan kepandaiannya tidak boleh diandalkan, bukankah hal itu melemahkan Tiat-ciang-pang?"
"Betul! Betul! Pilih Lai-pangcu sebagai ketua baru!" Kembali terdengar teriakan-teriakan riuh.
"Tidak! Kami memilih Ouw-siauw-pangcu!" teriak mereka yang berpihak Ouw Kian dan bahkan telah menyebutnya siauw-pangcu (ketua muda)!
Melihat keadaan menjadi ribut, Ouw Beng Kok bangkit berdiri, dan seperti yang dilakukan Lai Ban tadi, dia mengangkat kedua lengan ke atas dan seketika semua orang yang ribut-ribut itu diam. Ouw Beng Kok tersenyum dan berkata sabar, "Memang sudah menjadi hak Saudara Lai Ban untuk dipilih. Tadinya akupun mempunyai pendapat seperti saudara-saudara yang memilih Lai Ban.
Akan tetapi setelah yakin akan kepandaian puteraku, aku mempunyai pikiran bahwa lebih baik puteraku menjadi ketua dan Saudara Lai Ban menjadi wakilnya."
"Buktikan kepandaiannya! Kami ingin mengujinya!" Terdengar teriakn-teriakan. Ouw-pangcu tertawa lebar. "Memang tadinya untuk memperkenalkan, aku ingin agar Saudara Lai Ban sendiri yang menguji puteraku. Akan tetapi kalau di antara saudara ada yang penasaran dan ingin menguji dalam hal Ilmu Tiat-ciang-kang, silakan. Kian-ji (anak Kian ), kau layanilah mereka baik-baik."
Ouw Kian yang bertubuh tinggi besar dan bermuka brewok itu lalu meloncat ke tengah ruangan seperti panggung itu, mengangkat kedua tangan ke sekeliling dan berkata, suaranya ramah dan nyaring.
"Cu-wi sekalian hendaknya suka maafkan kalau kami orang-orang Tiat-ciang-pang terpaksa memperlihatkan kebodohan kami karena hal ini dilakukan demi memperlancar pemilihan ketua. Karena urusan ini adalah urusan dalam, maka cu-wi kami harap tidak mencampurinya dan menjadi saksi saja." Setelah memberi hormat kepada para tamu, Ouw Kian menghadapi golongan atau rombongan yang mencalonkan Lai Ban, lalu berkata, "Sudah sepatutnya kalau saudara mengenal baik tingkat kepandaian calon ketua perkumpulan kita. Aku menerima pencalonan bukan hanya untuk berbakti kepada ayah, juga untuk berbakti kepada perkumpulan. Kalau ada saudara yang meragukan tingkat Tiat-ciang-kang saya, silakan mencoba."
Episode 185 Dari golongan tadi, dipipin oleh Lu Tong meloncat keluar lia orang dan Lu Tong berkata mewakili mereka berlima, "Seorang ketua kita harus dapat menandingi lima orang pimpinan cabang, seperti juga dapat dilakukan oleh Ji-pangcu."
Ouw Kian tersenyum lebar. "Kalau memang demikian yang kalian kehendaki, silakan. Kalau memang kepandaianku masih jauh daripada mencukupi, tentu saja aku tidak pantas memimpin Tiat-ciang-pang." Setelah berkata demikian Ouw Kian lalu memasang kuda-kuda persiapan menghadapi penggeroyokan.
*** Dengan kedua lutut di tekuk rendah, tubuh atas tegak dan kedua tangan dengan jari-jari terbuka di depan pusar. Lima orang ketua cabang yang tentu saja adalah ahli-ahli Tiat-ciang-kang dan sudah berlatih di bawah pimpinan Lai Ban sendiri, tentu saja mengenal kuda-kuda Tiat-ciang-kun-hoat ini dan mereka pun cepat mengurung dan memasang kuda-kuda.
"Kalian semua ingat! Hanya boleh menggunakan Tiat-ciang-kun-hoat!" terdengar Ouw Beng Kok berseru kepada enam orang yang sudah siap itu. Para tau menonton dengan hati berdebar. Mereka semua sudah mengenal kelihaian ilmu silat dari pada tokoh Tiat-ciang-pang. Ilmu Tiat-ciang-kun-hoat (Ilmu Silat Tangan Besi) ini kabarnya terbagi tiga bagian. Pertama tentu saja hanya dimiliki Ouw Beng Kok sendiri yaitu dimainkan dengan sebelah tangan palsu dari besi. Tingkat ke dua adalah mereka yang mainkan ilmu silat ini dengan kedua tangan biasa yang sudah digembleng dengan latihan-latihan sehingga memiliki Tiat-ciang-kang (Tenaga Tangan Besi), sedangkan ke tiga adalah anak buah yang hanya mengerti ilmu silatnya, akan tetapi tangan mereka belum memiliki tenaga Tiat-ciang-kang sepenuhnya. Bahkan di antara mereka ini, untuk menambah keampuhan ilmu silat mereka, ada yang menggunakan senjata sebuah tangan besi yang digengam di tangan kanan, menjadi penyambung tangan! Yang memiliki Tiat-ciang-kang secara mahir hanya ada beberapa orang saja dan diantaranya tentu saja Kim-to Lai Ban berada di tingkat teratas. Adapun kepandaian putera Ouw-pangcu ini memang belum ada yang mengetahuinya.
Di antaranya lima orang pengeroyok itu, yang memiliki Tiat-ciang-kang lumayan hanya Lu-Tong seorang. Empat orang kawannya hanya pandai ilmu silatnya, bahkan yang dua orang sudah mengeluarkan dua buah senjata tangan basi dan memekai di tangan kanan, sedangkan yang dua orang lagi hanya mengandalkan ilmu silat dan kekuatan yang besar, sungguhpun mereka belum memiliki Tiat-ciang-kang yang diciptakan dari tenaga sinkang.
Para tamu banyak yang bergerak mendekat panggung, termasuk Keng Hong yang menjadi tertarik hatinya. Sudah lama yang menjadi tertarik hatinya. Sudah lama mereka mendengar akan nama besar Tiat-ciang-pang dan sekali ini mereka akan menonton pertandingan yang khusus dilakukan dengan Ilmu Silat Tangan Besi yang hebat dan terkenal itu.
Tiba-tiba Lu Tong mengeluarkan seruan keras dan dia sudah mulai menyerang dengan pukulan tangan miring menuju lambung Ouw Kian. Serangannya ini disusul oleh empat orang kawannya yang juga sudah menerjang dengan pukulan tangan terbuka, atau cengkeraman, atau pukulan dengan tangan besi yang menjadi senjata mereka. Gerakan mereka itu cepat, kuat dan mantap sekali. Lebih-lebih Lu Tong, sehingga ketika mereka bergerak menyerang, tangan mereka mengeluarkan suara berkerotok dan angin pukulan menyambar dahsyat.
Namun Ouw Kian bergerak dengan tenang dan tepat. Ternyata dia telah menguasai Ilmu Silat Tiat-ciang-kun-hoat dengan amat baiknya. Hal ini terbukti betapa dengan tenang dia menghadapi semua serangan itu dan jelas bahwa dia telah lebih dulu tahu kemana lima orang lawannya itu akan menyerang. Dengan lincah namun tenang tanpa membuang banyak gerakan sia-sia, Ouw Kian mengelak dan menangkis. Ia tidak mau mengerahkan banyak tenaga karena memang dia hendak memperlihatkan mereka bahwa dia telah mahir mainkan ilmu silat perkumpulan ayahnya. Kalau dia menggunakan Tiat-ciang-kun, apalagi kalau dengan pengerahan tenaga sepenuhnya tentu dalam segebrak saja dia mampu lima orang pengeroyoknya jungkir-balik
Mula-mula pertandingan itu berjalan dengan gerakan-gerakan mantap dan lambat, namun makin lama makin cepat gerakan lima orang pengeroyok itu. Mereka mulai menjadi penasaran karena sampai tiga puluh jurus lebih Ouw Kian hanya mengelak dan menangkis tanpa balas menyerang.
Tangkisan putera ketua itu hanya membuat tangan mereka terpental dan mereka tidak merasakan tenaga sakti yang hebat pada kedua tangan Ouw Kian, maka mereka berlima menjadi makin bersemangat karena menganggap bahwa dalam hal ilmu silat, Ouw Kian kalah cepat oleh Lai Ban, juga dalam hal tenaga sakti, pemuda ini kalah jauh!
Setelah menghadapi serangan-serangan para pengeroyoknya selama lima puluh jurus, Ouw Kian menganggap sudah cukup. Ia mengerahkan tenaga dan membentak keras, "Harap saudara berlima mundur!!"
Ucapan ini dibarengi dengan tangkisan kedua tangannya secara bertubi dan tepat sekali mengenai tangan kelima orang penggeroyoknya. Terdengar pekik kaget dan lima orang itu sudah terlempar ke belakang semua, menyeringai dan melongo ketika melihat betapa dua buah senjata tangan besi menjadi hancur, sedangkan tangan mereka merah sekali akan tetapi tidak terluka, hanya panas dan perih! Itulah akibat tersentuh ilmu sakti Tiat-ciang-kang! Terdengar tepuk tangan oleh mereka yang menyetujui pengangkatan putera ketua ini, bahakn para tamu yang menyaksikan kelihaian Ouw Kian ikut pula memuji dan bertepuk tangan. Keng Hong diam-diam juga kagum, terutama sekali cara Ouw Kian mengalahkan lima orang ketua cabang itu amat menyenangkan hatinya dan dari cara ini saja dapat diharapkan putera Ouw-pangcu itu akan menjadi seorang ketua yang baik. Dia tidak membikin malu ketua-ketua cabang itu, bahkan bersikap mengalah sekali.
Lu Tong bangkit berdiri, mukanya merah ketika dia meandang ke arah Lai Ban. Ia lalu menjura kepada Ouw Kian dan berkata, "Harus kami akui bahwa Ilmu Tiat-ciang-kun-hoat dari Saudara Ouw Kian cukup baik, akan tetapi kami kira tidak sebaik kepandaian Lai-pangcu, dan kami tetap memilih Lai-pangcu karena betapapun juga, tentu Lai-pangcu lebih berpengalaman dalam memimpin Tiat-ciang-pang!"
Episode 186 Ouw Beng Kok segara berdiri dan berkata, "Saudara-saudara sekalian, hendaknya maklum bahwa keputusanku utnuk mengangkat Ouw Kian sebagai penggantiku menjabat ketua baru dari perkumpulan kita telah kupikirkan dan kuperhitungkan masak-masak. Tiat-ciang-pang didirikan tadinya dengan maksud untuk menegakkan kebenaran dan keadilan serta berdasarkan mengembangkan Ilmu Silat Tiat-ciang-kun-hoat diantara para murid dan anggautanya. Oleh karena itu, sudahlah sepatutnya kalau yang enjadi ketuanya adalah orang yang paling mahir dalam ilmu itu. Pada saat ini, aku melihat bahwa yang paling mahir dalam ilmu kita itu adalah Ouw Kian, maka aku memilih dia. Kemudian barulah Lai-ji-pangcu sebagai wakilnya. Mungkian dalam kepandaian umumnya, puteraku masih kalah, akan tetapi aku mengkehendaki agat Tiat-ciang-kun-hoat dikembangkan tanpa pencampuran ilmu silat lain sehingga ilmu silat kita akan tetap dipertahankan keaseliannya. Hendaknya saudara sekalian dapat memaklumi akan hal ini,"
Ucapan itu berwibawa dan mempunyai dasar yang kuat sehingga mereka yang menentang pengangkatan Ouw Kian tidak dapat membantah lagi. Lu Tong mengerutkan keningnya, kemudian berkata,
"Ucapan Pangcu tak dapat dibantah kebenarannya. Akan tetapi kami ingin menyaksikan lebih dulu apakah benar ilmu silat yang dimiliki Lai-pangcu kalah tinggi tingkatnya dengan putera Pangcu."
"Benar, harap diuji dulu!" Terdengar teriakan-terikan dari mereka yang mendukung pencalonan Lai Ban.
Kim-to Lai Ban kini bangkit dari tempat duduknya dan berkata, "Terima kasih atas kepercayaan saudara sekalian. Biarlah aku akan mnguji kepandaian Ouw-hiante dan memang aku pun ingin sekali menyaksikan sampai dimana kepandaian orang muda yang dicalonkan menjadi pemimpin kita ini. Aku hanya menyatakan tidak setuju akan pendapat pangcu bahwa Ilmu silat Tiat-ciang-kun-hoat tidak boleh dicampur dengan ilmu silat lain. Ilmu silat amat banyaknya di dunia ini dan kalau tidak memasukkan bagian-bagian yang baik dari ilmu silat lain, bagaimana Tiat-ciang-kun-hoat akan memperoleh kemajuan"
"Nah, Ouw-hiante, mari kita main-main sebentar!" Ia lalu meloncat dan menghadapi Ouw Kian yang masih berdiri di tengah ruangan.
Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Semua orang yang hadir di situ menjadi tegang hatinya. Kini mereka maklum bahwa mereka akan menghadapi sebuah pertandingan yang hebat dan jauh lebih seru daripda tadi. Dua jago Tiat-ciang-pang tua dan muda itu sudah saling berhadapan dan mereka memasang kuda-kuda yang sama.
"Ouw Kian, majulah!" Lai Ban membentak nyaring.
Namun Ouw Kian bersikap tenang dan berkata hormat, "Lai-susiok, engkau yang hendak mengujiku, silakan mulai." Ouw Kian menyebut susiok (paman guru) kepada Lai Ban karena memang wakil ketua itu dianggap adik seperguruan sendiri oleh Ouw Beng Kok sungguhpun ilmu Tiat-ciang-kang dia pelajari dari ketua Tiat-ciang-pang itu. Dahulu dia hanya sahabat orang she Ouw itu, dan memang Lai Ban telah memiliki ilmu kepandaian tingi, tetutama ilmu golok sehingga dia dijuluki Kim-to. Setelah dia mempelajari Tiat-ciang-kang, maka dia dianggap saudara dan ditarik sebagai wakil ketua ketika Ouw Beng Kok mendirikan perkumpulan itu. "Jagalah seranganku!' Lai Ban membentak dan dia sudah menerjang dengan gerakan kuat dan dahsyat. Ouw Kian maklum akan kelihaian wakil ketua ini, maka cepat dia menggeser kaki mengelak dan balas menyerang.
Terjadilah serang-menyerang dalam ilmu silat yang sama, makin lama makin seru dan cepat. Pandang mata mereka yang menonton sampai menjadi pening karena gerakan kedua orang itu sama-sama cepat sehingga tubuh mereka berkelebatan dan kadang-kadang sukar dibedakan mana yang tua mana yang muda. Akan tetapi dalam pandang mata Ouw BengKok dan juga para tokoh yang tinggi ilmunya termasuk Keng Hong, jelas tampak bahwa biarpun Lai Ban lebih matang gerakan-gerakannya karena menang pengalaman, namun dia kalah mahir dan juga agaknya kalah latihan.
*** Gerakan Lai Ban matang dalam pengalaman pertempuran, sebaliknya Ouw Kian adalah aseli dan orang muda ini lebih tekun berlatih Tiat-ciang-kun-hoat, apalagi di bawah bimbingan ayahnya sendiri, pencipta ilmu silat ini. Dia belum dapat mengalahkan Lai Ban akan tetapi sedikit demi sedikit setiap jurus serangannya makin mendesak Lai Ban sehingga wakil ketua ini mulai kelihatan sibuk dan mundur.
Lai Ban sebetulnya diam-diam amat mengharpkan menjadi ketua Tiat-ciang-pang. Ketika putera Ouw-pangcu yang sejak lama di utara itu tiba dan kemudian memperdalam Ilmu Silat Tiat-ciang-kun-hoat, diam-diam dia merasa tidak senang, apalagi ketika dia mendengar pernyataan Ouw-pangcu untuk mengangkat putera itu sebagai pengganti, hatinya makin iri dan tidak puas. Akan tetapi di depan Ouw-pangcu, dia tidak berani membantah dan hanya dia menghubungi para ketua cabang yang sebagian besar adalah murid-muridnya dan lebih setia kepadanya untuk mengajukan pencalonan dirinya di dalam pesta itu. Apalagi karena dia merasa yakin akan dapat mengalahkan keponakannya itu. Betapapun juga, karena khawatir menghadapi kegagalan , diam-diam jauh hari sebelumnya Lai Ban telah menemui sebuah perguruan lain di kota Liong-eng, yaitu perguruan Kim-to Bu-koan (Perguruan Silat Golok Emas). Lai Ban memang seorang murid pandai dari perguruan ini sebelum dia menjadi wakil ketua Tiat-ciang-pang. Akan tetapi guru Lai Ban yaitu tosu yang memimpin perguruan itu telah meninggal dunia dan kini perguruan dilanjutkan oleh Thian It Tosu, seorang suheng dari Lai Ban. Semenjak dipimpin Thian It Tosu, perguruan Kim-to Bu-koan menjadi mundur. Maka ketika Lai Ban yang terhitung sute dari Thian It Tosu datang dan mohon bantuan suhengnya agar niatnya menjadi ketua Tiat-ciang-pang tercapai, yaitu dukungan moril dan kalau keadaan memerlukan juga bantuan tenaga, tosu ini cepat berkata girang,
Episode 187 "Bagus sekali, Sute! Jangan khawatir, tentu pinto akan membantumu dan kalau si tua tangan palsu itu merintangimu, biarlah pinto yang menghadapinya. Akan tetapi tentu saja pinto tidak mau bekerja sia-sia dan engkau pun tentu sudah tahu akan kemunduran bu-koan kita dimana engkau pun menjadi anak muridnya. Demi nama besar bu-koan kita, pinto harap kelak Tiat-ciang-pang dapat digabungkan dengan Kim-to Bu-koan, dengan demikian bukankah kedua perkumpulan akan menjadi makin pesat dan besar?"
Demikianlah, ketika Tiat-ciang-pang mengadakan pesta, Thian It Tosu menerima undangan pula dan menjadi seorang di antara tamu-tamu terhormat yang hadir disitu. Sebagai suheng dari Lai Ban, tentu saja Ouw-pangcu menerimanya dengan kehormatan. Ketika terjadi pertandingan antara Lai Ban dan Ouw Kian, tosu ini memandang penuh perhatian dan diam-diam dia sudah siap sedia untuk membantu sutenya. Kalau saja Kim-to Bu-koan tidak hampir bangkrut kiranya tosu ini segan untuk mencampuri urusan pemilihan ketua perkumpulan lain yang menjadi urusan dalam perkumpulan itu sendiri. Akan tetapi dia mempunyai tujuan lain untuk menggabungkan kedua perkumpulan dan menghidupkan kembali Kim-to Bu-koan.
Pertandingan berlangsung makin seru dan Lai Ban sudah amat terdesak. Beberapa kali dia hampir terpukul, bahkan satu kali pundaknya kena diserempet pukulan tangan kiri Ouw Kian sehingga terasa ngilu. Hal ini membuatnya marah sekali. Ia tahu bahwa Ouw -pangcu tidak berlebih-lebihan ketika mengatakan bahwa tingkat kepandaian puteranya itu lebih tinggi daripadanya sendiri. Ia maklum pula bahwa dalam Ilmu Silat Tiat-ciang-kun-hoat dia kalah mahir. Akan tetapi dia tidak percaya kalau tenaganya Tiat-ciang-kang kalah kuat, apalagi kalau diingat bahwa sebelum mempelajari Tiat-ciang-kang, dia telah mempelajari sinkang yang kuat, hasil pelajarannya sebagai murid Kim-to Bu-koan. Maka dia lalu mengeluarkan pekik nyaring, mengerahkan tenaga Tiat-ciang-kang sehingga tangannya berkerotokan bunyinya kemudian memukul dengan tenaga dahsyat ini.
Ouw Beng Kok terkejut. Pertandingan itu dimaksudkan untuk menguji Ilmu Silat Tiat-ciang-kun-hoat, dan kalau hendak menguji Tiat-ciang-kang, tentu saja bukan dengan cara menyerang sehebat itu. Tenaga Tiat-ciang-kang dapat diuji tanpa bertanding yang amat membahayakan keselamatan lawan. Namun pukulan sudah dilakukan dan ketua ini hanya dapat enahan napas. Tidak hanya Ouw Beng Kok yang kaget sekali, juga para pipinan cabang-cabang Tiat-ciang-pang dan terutama sekali Ouw Kian sendiri yang tiba-tiba diserang demikian hebatnya. Ia amat menghormati Lai Ban, dan selain menganggap orang tua ini sebagai paman gurunya, juga menganggapnya sebagai tokoh tua Tiat-ciang-pang yang amat diharapkan bantuannya kelak kalau dia menjabat ketua dan Lai Ban menjadi wakilnya. Kini menyaksikan serangan paman gurunya, Ouw Kian tidak dapat mengelak lagi dan demi untuk kemenangannya dalam pemilihan ketua, juga untuk memperlihatkan kepada Lai Ban yang tidak mengandung niat baik itu bahwa dalam hal tenaga Tiat-ciang-kang dia pun tidak kalah, Ouw Kian lalu mengerahkan pula tenaga sinkang pada kedua tangannya dan dia menyambut pukulan Lai Ban.
"Dessssss...!!"
Hebat sekali pertempuran dua tenaga sinkang itu, seperti bertemunya dua toya baja yang keras! Ouw Kian terhuyung ke belakang sampai lima langkah, akan tetapi Lai Ban terjengkang dan roboh bergulingan. Biarpun dia cepat melompat bangun dengan muka merah, namun jelaslah bagi semua orang bahwa dala pertempuran tenaga ini Lai Ban kalah setingkat oleh Ouw Kian! Ouw Kian cepat menjura dan berkata, "Maafkan aku dan terima kasih bahwa Susiok tadi mengalah."
Akan tetapi ucapan ini seperti minyak menambah api yang berkobar di dada Lai Ban. Secepat kilat tangannya bergerak dan sebatang golok telah berada di tangannya, berkilauan saking tajamnya.
"Ouw Kian, aku belum kalah! Dia yang terkuatlah yang patut menjadi ketua sebuah perkumpulan!" Cepat sekali Lai Ban sudah menerjang dengan goloknya. Golok bergagang emas itu menyambar ganas di dahului pukulan Tiat-siang-kang jarak jauh sehingga tentu saja hebat luar biasa!
"Ahhh...!" Ouw Beng Kok mendengus marah dan Ouw Kian juga kaget, cepat dia mengelak ke samping. Akan tetapi Lai Ban yang memang ahli bermain golok, tidak memberi kesempatan kepada lawannya, goloknya berkelebatan dan menjadi segulung sinar keemasan yang menyambar-nyambar. Kepandaian Ouw Kian dalam hal Ilmu Silat Tiat-ciang-kun-hoat dan tenaga sakti Tiat-ciang-kang memang lebih tingi setingkat dibandingkan dengan Lai Ban, akan tetapi kalau Lai Ban mempergunakan goloknya tentu saja Ouw Kian bukan tandingannya. Biarpun sudah mengelak cepat, masih saja ujung golok menyerempet paha kiri Ouw Kian sehingga dia roboh terguling dengan paha mandi darah.
"Lai Ban, manusia curang!" Tiba-tiba Ouw Beng Kok membentak dan tubuuhnya meloncat ke depan. Ia menudingkan telunjuknya dengan marah sekali ke arah muka wakilnya itu lalu berseru keras, "Sungguh perbuatanmu amat mencemarkan dan memalukan Tiat-ciang-pang! Sudah jelas bahwa ujian ini hanya terbatas pada ilmu kita, mengapa engkau menggunakan golok melukai Ouw Kian?"
Beberapa orang pengurus cabang yang setia kepada Ouw Beng Kok segera menolong Ouw Kian memberi obat dan membalut luka di pahanya yang ternyata tidak hebat itu sehingga Ouw Kian sudah dapat berdiri kembali dan kini memandang kepada Lai Ban dan ayahnya penuh kekhawatiran. Ia tidak menghendaki bentrokan terjadi antara para pimpinan Tiat-ciang-pang sendiri.
Lai Ban berdiri menghadapi Ouw Beng Kok dengan golok di tangan, sikapnya menantang ketika dia berkata, "Ouw-twako, sudah kukatakan bahwa aku tidak cocok dengan pendapatmu bahwa ilmu Tiat-ciang-kun-hoat tidak boleh dicampur dengan ilmu silat lain.
Buktinya, setelah kucampur dengan Kim-to-hoat (Ilmu Golok Emas) memiliki kemampuan mengatasi Tiat-ciang-kun-hoat. Untuk menjadi ketua harus memiliki kepandaian yang paling tinggi, kalau tidak, bagaimana mungkin mampu memimpin perkumpulan" Kalau aku menjadi ketua, akan kupimpin perkumpulan kita menjadi maju dan besar, dan akan kuajar ilmu golok kepada para anggauta."
Episode 188 "Lai Ban! Engkau hendak berkhianat" Apa sih hebatnya ilmu golokmu" Biarlah aku mencobanya dengan menggunakan Tiat-ciang-kang tanpa senjata!" Setelah berkata demikian, Ouw Beng Kok menerjang maju dengan kedua tangannya, mempergunakan jurus Tiat-ciang-kun-hoat menyerang wakil ketua perkumpulannya sendiri!
Para penonton mulai menjadi gelisah. Peristiwa ini manjadi makin menegangkan dan hebat dan mereka dipaksa menjadi saksi pertikaian dalam perkumpulan itu. Mereka tidak berani ikut bicara karena maklum bahwa urusan itu tak berhak mereka mencampurinya. Mereka menjadi bingung dan hanya saling pandang, bahkan para anak buah Tiat-ciang-pang juga bingung, akan tetapi segera mereka terpecah menjadi dua golongan ,ada yang mendukung Ouw Beng Kok, ada yang mendukung Lai Ban.
Melihat serangan Ouw Beng Kok, Lai Ban melirik ke arah Thian- It Tosu sebagai isyarat agar suhengnya itu suka membantu karena dia maklum akan kelihaian si tangan besi ini, namun dia pun cepat menyambut dengan bacokan goloknya sambil melompat ke kiri. Terjadilah pertandingan yang lebih seru dan mati-matian. Akan tetapi, belasan jurus kemudian, ketika golok itu menyabar ke arah leher Ouw Beng Kok, ketua Tiat-ciang-pang ini tidak mengelak, bahkan secepat kilat dia menangkap golok itu dengan tangan kirinya yang palsu. Terdengar suara nyaring dan golok itu dapat dicengkeram, tak dapat terlepas lagi.
*** "Begini sajakah ilmu golokmu?" Ouw Beng Kok berseru kemudian memukul dengan dengan kanannya, menggunakan Tiat-ciang-kang. Terpaksa Lai Ban juga menggerahkan tenaga pada tangan kirinya, menangis.
"Plakkk!" Tubuh Ouw Beng Kok tergetar, akan tetapi dia masih tetap berdiri dan sekali dia mendorong, tubuh Lai Ban terlempar dan wakil ketua ini roboh sambil memegang goloknya, darah segar mengucur keluar dari mulutnya. Ia terluka, sungguhpun tidak hebat karena memang Ouw Beng Kok tidak hendak membunuhnya.
"Nah, Lai Ban. Masahkah hendak kau katakan bahwa Tiat-ciang-kang perlu dicampur dengan segala macam ilmu golok?" Ouw Beng Kok membentak.
"Siancai.... siancai.... ucapanmu sungguh-sungguh terkebur sekali, Ouw-pangcu!" tampak tubuh berkelebat dan Thian It Tosu yang berjubah kuning dan membawa golok di punggungnya telah berdiri di depan ketua Tiat-ciang-pang. Tosu tinggi kurus itu tersenyum mengejek dan berkata, "Ouw-pangcu, mengapa engkau mencela ilmu golok kami" Benar-benarkah engkau tidak memandang mata kepada Kim-to-hoat kami" Kalau begitu, pinto menantang Pangcu menghadapi ilmu golok perguruan kami, hendak pinto lihat sampai dimana sih hebatnya Tiat-ciang-kang yang tersohor!"
Ouw Beng Kok menoleh dan cepat menjura, kemudian berkata, "Maaf, Totiang. Urusan ini adalah urusan dalam perkumpulan kami sendiri dan sama sekali saya tidak memandang rendah ilmu golok Totiang. Saya hanya mencela Lai Ban karena dia adalah wakil ketua perkumpulan kami. Saya tuan rumah dan Totiang seorang tamu terhormat, bagaimana saya berani bersikap tidak hormat " Harap Totiang sudi duduk kembali ." Setelah berkata demikian, Ouw Beng Kok kembali ke tempat duduknya dan meninggalkan Thian It Tosu karena dia tidak mau memancing keributan dalam pesta itu, sungguhpun hal ini bukan berarti bahwa dia takut terhadap ketua Kim-to Bu-koan itu.
Episode 189 "Ha-ha-ha-ha-ha, Ouw-pangcu benar cerdik! Tentu saja ilmu golok Lai-sute tidak mewakili ilmu golok kami yang sejati karena ilmu golok Sute sudah bercampur dengan segala macam ilmu silat cakar setan! Betapapun juga, apa yang diusulkan Sute tadi amatlah tepat. Mengapa di antara kita harus bertentangan" Alangkah akan baiknya kalau perkumpulan Tiat-ciang-pang dan Kim-to Bu-koan disatukan, kedua ilmu kita dipersatukan pula sehingga menjadi ilmu yang tinggi, sedangkan nama perkumpulan kalau diubah menjadi Kim-to-tiat-ciang-pang (Perkumpulan Golok Emas Tangan Besi) bukanlah lebih gagah dan mentereng" Bukan sekali-kali karena pinto terlalu kepingin mempelajari Tiat-ciang-kang, karena sampai detik ini pun pinto tidak pernah merasai kelihaian Tiat-ciang-kang, seperti juga para tokoh Tiat-ciang-pang belum merasai kelihaian kim-to sebenarnya. Tiat-ciang-kang mengandalkan tangan yang keras melebihi baja, dapat mencengkeram golok dan menghancurkan batu. Wah, tentu hebat sekali apakah di antara tokoh Tiat-ciang-pang ada yang begitu baik hati untuk mencengkeram tangan pinto agar pinto dapat merasai kehebatannya" Hayo, siapa sudi berjabat tangan dengan pinto dan menggunakan Tiat-ciang-kang?" Tosu itu mengulurkan tangan kanannya yang kurus, menantang untuk berjabat tangan!
Karena kini yang mencampuri urusan adalah orang luar, melihat sikap tosu itu yang amat memandang rendah Tiat-ciang-kang, semua anggota Tiat-ciang-pang menjadi penasaran dan marah. Akan tetapi karena makluk betapa lihainya tosu yang sombong ini apalagi ketika mendengar bahwa tosu itu adalah ketua Kim-to Bu-koan, suheng dari Lai Ban, mereka menjadi gentar. Hanya ada dua orang ketua cabang ynag merasa amat marah sudah melompat ke depan tosu itu dan mereka ini sambil menahan kemarahan, menjura dan berkata, "Kami memiliki sedikit tenaga Tiat-ciang-kang, biarpun belum sempurna biarlah kami mewakili Tiat-ciang-pang untuk menjabat tangan dengan Totiang."
Ouw beng Kok mengerutkan keningnya. Ia maklum bahwa kedua orang muridnya itu baru menguasai seperempat bagian saja dari Tiat-ciang-kang, akan tetapi karena ingin pula dia mengetahui sampai di mana kekuatan tosu itu dan apa kehendaknya, maka dia tidak melarang karena melarang pun hanya berarti jerih. Sebaliknya, Thian It Tosu memandang rendah, lalu mengulurkan kedua tangannya yang kurus dan berkata,
"Baik sekali ji-wi Sicu suka memberi pelajaran agar membuka mata pinto. Inilah kedua tanganku, kalau sampai hancur oleh remasan Tiat-ciang-kang ji-wi, pinto takkan menyesal." Dua orang ketua cabang itu lalu menyambut uluran tangan si tosu, yang kanan disambut dengan tangan kanan sedangkan yang kiri disambut pula dengan tangan kiri. Setelah mereka saling menggenggam tangan, dua orang ketua cabang itu mengerahkan tenaga Tia-ciang-kang mereka, mencengkeram dan meremas tangan yang kecil dan kelihatan lemah itu.
"Krek! Krek!" Tosu itu tertawa dan melepaskan tangannya sedangkan dua orang ketua cabang Tiat-ciang-pang itu meringis kesakitan, memegangi tangan mereka yang patah tulangnya!
"Siancai.... kiranya tangan ji-wi tidak seperti besi, melainkan seperti kerupuk!"
Mendengar ejekan ini, Ouw Kian tak dapat menahan kemarahannya lagi dan dia melamgkah maju ke depan tosu itu sambil membentak, "Tosu sombong, biarlah aku mencoba tanganmu dengan tiat-ciang-kang!" Ia lalu mengulur tangan kanannya yang tampak kuat. Tanpa ragu-ragu tosu itu menerima uluran tangan Ouw Kian dan mereka saling cengkeram.
Berbeda dengan adu tangan tadi, kini mereka saling mengerahkan tenaga dan kedua tangan mereka sampai menggigil.
Diam-diam tosu itu kaget dan kagum karena memang Tiat-ciang-kang orang muda itu hebat. Akan tetapi karena tingkat kepandaiannya lebih tinggi dan sinkangnya lebih kuat, maka perlahan-lahan Ouw-Kian merasa betapa tangannya dihimpit dan dicengkeram hebat. Ia mengerahkan tenaga, mempertahankan diri, namun sampai peluhnya memenuhi dahi, dia tidak mampu mendesak bahkan makin dihimpit sehingga tangannya terasa sakit sekali.
"Krekkk...!" Tulang tangan Ouw Kian ada yang patah, mukanya menjadi pucat saking nyerinya, akan tetapi tosu itu sambil tertawa-tawa tidak mau melepaskan cengkeramannya karena dia hendak mencengkeram hancur tangan Ouw Kian yang menjadi saingan sutenya ini. Hebat penderitaan Ouw Kian. Ia masih mengerahkan tenaga, namun rasa sakit membuat dia kurang kuat dan kembali terdengar suara "krek"! ketika tulang jari ke dua patah! Masih juga tosu itu belu mau melepaskan tangannya!
Melihat ini, semua orang menjadi pucat, dan Ouw Beng Kok cepat bangkit berdiri dan membentak, "Tosu jahanam, akulah lawanmu!" Ia menerjang maju.
Thian It Tosu tertawa, melepaskan tangannya dan mengirim tendangan kepada Ouw Kian yang sudah lemas itu sehingga tubuh Ouw Kian terlempar. Dengan ringan sekali tosu itu mengelak, mancabut goloknya dan balas menyerang dengan kelebatan goloknya dari samping dapat dielakkan pula oleh Ouw Beng Kok.
"Ha-ha-ha, kiranya pimpinan Tiat-ciang-pang hanya tukang mengeroyok belaka." Tosu itu mengejek. "Marilah Ouw-pangcu. Mari kita uji mana yang lebih lihai antara Tiat-ciang-kang ilmumu itu dengan ilmu pinto Kim-to-hoat!" Ia menggerak-gerakkan goloknya di depam dada dan tampak sinar berkeredepan. Ternyata ilmu golok tosu ini jauh melampaui ilmu golok Lai Ban. Hal ini dapat dilihat pula oleh Ouw Beng Kok yang diam-diam maklum bahwa sekali ini, untuk menjaga nama baiknya, dia harus bertempur mati-matian mengadu nyawa dengan tosu ini.
Ia sudah siap untuk mati kalau perlu, maka dia lalu memasang kuda-kuda dan membentak, "Tosu jahanam, aku mengerti maksudmu! Karena Kim-to Bu-koan bangkrut, engkau hendak membonceng sutemu Lai Ban dan menguasai perkumpulan perkumpulan kami! Engkau hanya akan dapat berhasil setelah melampaui mayatku, Thian It Tosu!"
"Ha-ha-ha, pinto memang akan melampaui mayatmu, bukan untuk menguasai perkumpulanmu, melainkan untuk membantu Sute agar perkumpulan kita menjadi besar, dipimpin secara benar, tidak seperti engkau yang hanya pandai menyombongkan Tiat-ciang-kun-hoat yang kosong melompong!"
Episode 190 "Tunggu dulu.....!" Tiba-tiba terdengar teriakan nyaring dan semua orang memandang seorang pemuda muka hitam yang datang berlari dari ruangan tamu rendahan, kemudian menghampiri tengah ruangan di mana dua orang tua itu sudah siap akan bertanding. Tak seorang pun mengenal pemuda ini yang bukan lain adalah Keng Hong.
"Ouw-pangcu, harap jangan merendahkan diri melawan tosu tengik ini!" Keng Hong sengaja menghina tosu ini dengan makian keras. Semua orang terkejut dan Ouw Beng Kok juga memperhatikan. Akan tetapi karena dia tidak mengenal pemuda muka hitam itu adalah sederhana biasa saja yang mungkin hanya seorang di antara anggauta-anggauta rendahan Tiat-ciang-pang, dia lalu membentak,
"Engkau siapa" Mau apa mengganggu?"
Keng Hong maklum akan sifat kegagahan ketua Tiat-ciang-oang ini. Kalau dia mengaku dan memperkenalkan diri, tentu ketua itu tidak sudi dibantu orang yang dianggapnya musuh. Bahkan kalau dia mengaku orang luar sekalipun sudah tentu ketua itupun tidak mau merendahkan diri minta bantuan tenaga luar. Maka dia lalu menggunakan akal dan berkata,
"Ah, apakah Pangcu lupa kepada saya" Saya adalah seorang anggauta dari luar kota. Akan tetapi .... siang malam saya melatih diri dengan Ilmu Silat Tiat-ciang-kun-hoat dan tenaga Tiat-ciang-kang, saya melatih diri dengan tekun dan mendapat kenyataan bahwa kedua ilmu itu adalah ilmu-ilmu yang sukar dicari bandingnya di dunia ini. Sekarang ada tosu bau ini yang mengejek dan menghina ilmu kita, mana bisa teecu (murid) mendiamkan saja" Kalau masih ada muridnya, perlukah gurunya turun tangan" Apalagi hanya menghadapi seorang tosu yang begini tengik dan sombong, cukup teecu yang menanggulangi dan teecu yang mohon Pangcu tidak merendahkan diri melayaninya. Kalau teecu gagal, barulah tokoh-tokoh Tiat-ciang-pang lainnya yang maju!"
Ouw Beng Kok tertegun. Bukan main pemuda ini, begitu besar semangatnya. Ia kagum akan kesetiaan pemuda ini, akan tetapi dia mengingat-ingat belu juga mengenal siapakah pemuda ini dan kapan pemuda sederhana ini. Ia ragu-ragu. Tidak baik menyuruh seorang murid rendahan Tiat-ciang-pang maju dan sekali gebrak saja tewas. Selain tidak perlu mengorbankan nyawa murid yang masih rendah kepandaiannya, juga hal itu akan menjadikan buah tertawaan saja.
"Hemmm, Totiang ini lihai, mengapa kau begini sembrono?"
"Pangcu, tosu ini hanya lihai lagak dan suaranya saja. Orang macam ini adalah makanan teecu. Percayalah, teecu akan sanggup merobohkannya!"
Mendengar ucapan dan melihat lagak Keng Hong, terdengar suara ketawa di sana-sini. Mereka yang tertawa ini sebagian adalah anggauta-anggauta Tiat-ciang-pang, ada pula para tamu yang menganggap pemuda ini terlalu sebrono dan sombong. Kalau Ouw Kian yang menjadi putera Ouw-pangcu sendiri tidak mapu mengalahkan tosu lihai ini, apa lagi seorang bu-beng-siauw-cut (kerucuk) seperti pemuda muka buruk hitam itu!
Ouw-pangcu juga berpikir demikian dan karena tidak mau menjadi buah tertawaan, dia membentak, "Bocah lancang! Kalau kau sudah pandai Tiat-ciang-kun-hoat coba perlihatkan kepadaku!"
Sejak tadi Keng Hong menonton pertandingan adu silat yang menggunakan Ilmu Silat Tiat-ciang-kun-hoat. Dia memiliki iangatan yang selain tajam juga kuat, sekali melihat dia sudah dapat menangkap beberapa jurus terpenting. Maka dia lalu meloncat ke depan, kedua kaki ditekuk rendah, tubuh tegak dan kedua tangan di miring di depan pusar.
Sebilah Pedang Mustika 3 Pendekar Laknat Pendekar 3 Jaman Karya S D Liong Romantika Sebilah Pedang 3
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama