Ceritasilat Novel Online

Pedang Kayu Harum 24

Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo Bagian 24


"Ah, mana bisa" Mana bisa aku berpisah darimu" Aku akan ikut, Niocu!" Biarpun berada di depan banyak orang, bahkan di depan ayahnya sendiri, namun pemuda yang sudah tergila-gila ini tidak malu-malu lagi menyatakan perasaannya yang tidak mau berpisah dari wanita yang membuatnya mabuk itu.
Cui Im tersenyum dan mengangguk. "Baiklah, akan tetapi engkau tidak boleh ikut menyertai penyerbuan. Kalau engkau terluka atau tewas, aku yang kehilangan!
Keng Hong adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian hebat, aku sendiri tidak kuat menandinginya."
"Hi-hi-hik, jangan takut muridku. Aku pernah membuat dia dan bekas muridku Sie Baiuw Eng, dibantu dua orang temannya, jungkir-balik dan kalau tidak muncul isteri sin-jiu Kiam-ong, mereka sudah mati di tanganku!" kata Go-bi Thai-houw.
Diam-diam Cui Im terkejut. Dia mengenal siapa kedua orang teman itu, tentulah Yap Song Can urid ketua Siauw-lim-pai yang lihai dan Gui Yan Cu. Kedua orang muda itu lihai bukan main, ditambah lagi dengan Sie Biauw Eng yang kini memiliki ilmu kepandaian hebat di samping Keng Hong. Benarkah nenek ini dapat emperainkan mereka" Diam-diam ia pun girang karena orang seperti nenek ini tentu tidak perlu membohong dan menyombongklan diri.
"Dan aku dapat mencari bantuan orang-orang pandai di lembah Fen-ho," kata [ula Mo-kiam Siauw-ong yang sudah bertekad bulat, mempergunakan kesempatan baik itu, selagi dia dibantu dua orang sakti seperti Go-bi Thai-houw dan Ang-kiam Bu-tek, untuk membalas kematian ketiga orang gurunya di tangan Cia Keng Hong.
Sampai jauh malam mereka melakukan perundingan dan mengatur siasat, perundingan yang diseling dengan makan minum yang serba mahal dan mewah. Mo-kiam Siauw-ong, atas petunjuk Cui Im, pada hari itu juga mengirim kaki tangannya untuk melakukan penyelidikan ke siauw-lim-pai dan ke tempat tinggal Tung Sun Nio atau isteri sin-jiu Kiam-ong, yaitu di lereng Pegunungan Cin-ling-san sebelah timur.
Mereka mengadakan persiapan dan tinggal menanti berita dari para penyelidik yang melakukan perjalanan cepat dengan berkuda. Sambil menanti, Cui Im tidak membuang waktu dengan sia-sia, melainkan dia mempererat hubungan cintanya dengan coa Kun sehingga semua penduduk kota itu kini tahu bahwa wanita cantik yang sakti seperti dewi itu adalah kekasih atau selir baru putera kepala daerah, bahkan didesas-desuskan menjadi calon isteri Coa-kongcu.
Episode 383 Di lereng Pegunungan Cin-lin-san yang sunyi, tempat pertapaan nenek Tung Sun Nio, kini menjadi amat ramai dan meriah karena akan dirayakan pernikahan dua pasang pengantin. Dua pasang orang muda yang saling mencinta, yang sudah bersama-sama mengalami suka duka penuh bahaya. Perayaan pernikahan dua pasang mempelai diadakan di tempat itu, memenuhi permintaan nenek Tung Sun Nio.
Dan memang nenek itu berhak menentukan tempat perayaan, karena orang-orang muda yang menjadi pengantin, sebagian besar adalah keluarganya. Cia Keng Hong yang akan menikah dengan Sie Biauw Eng, adalah muridnya, juga murid utama mendiang suaminya, Sin-jiu Kiam-ong, Sie Biauw Eng adalah puteri mendiang suaminya yang dilahirkan oleh Lam-hai Sin-ni, jadi adalah anak tirinya sendiri. Adapun Gui Yan Cu yang akan menikah dengan Yap Song Can, adalah muridnya yang disayang seperti anak sendiri. Hanya Yap Cong San seorang yang tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan nenek ini. Akan tetapi Yap Cong San adalah murid ketua Siauw-lim-pai yaitu Tiong Pek Hosing dan ketua Siauw-lim-pai ini dahulu adalah kekasih Tung Sun Nio. Karena itu, bukan sama sekali tidak ada hubungan dengannya! Maka, pernikahan dua pasang mempelai itu benar-benar merupakan peristiwa yang besar dan menggembirakan bagi Tung Sun Nio.
Sudah puluhan tahun lamanya Tung Sun Nio mengasingkan diri sehingga dia tidak dikenal orang di dunia kang-ouw. Adapun Cia Keng Hong sendiri, biarpun akhirnya dapat membersihkan nama gurunya dan telah menyadarkan nama gurunya dan telah menyadarkan para tokoh kang-ouw akan niatnya mengakhiri permusuhan yang ditimbulkan mendiang gurunya dengan hampir semua tokoh kang-ouw masih merasa segan untuk mendekat pemuda itu.
*** Karena inilah maka perayaan itu hanya dihadiri oleh beberapa orang tokoh kang-ouw yang memiliki hubungan baik dengan Cia Keng Hong dan Yap Cong San. Adapun Gui Yan Cu yang sejak kecil ikut gurunya tidak mempunyai kenalan pula, sedangkan Sie Biauw Eng sebagai puteri Lam-hai Sin-ni, tentu saja hanya dikenal oleh para tokoh golongan hita yang sekarang bahkan menjadi musuh-musuhnya karena wanita cantik jelita yang lihai ini telah mengubah cara hidupnya semenjak dia bertemu dan jatuh cinta kepada Cia Keng Hong.
Di antara para tokoh kang-ouw yang hadir tampak dua orang wakil dari Hoa-san-pai, lima orang wakil Kun-lun-pai yang diutus sendiri oleh ketua Kun-lun-pai yaitu Kiang Tojin yang menjadi sahabat baik Cia Keng Hong. Ouw Kian yang menjadi ketua tiat-ciang-pang bersama dua orang pembantunya, dan belasan orang tokoh kang-ouw lain yang merasa kagum kepada Cia Keng Hong. Biarpun tidak banyak tokoh kang-ouw yang hadir, namun suasana pesta meriah karena dipenuhi oleh penduduk dusun-dusun di kaki Pegunungan Cin-lin-san yang banyak mengenal Gui Yan Cu.
Yap Cong San sebagai pengantin pria dari Siauw-lim-pai, diantar oleh lima orang hwesio tokoh Siauw-lim-pai ini tidak datang sendiri karena dia adalah sebagai orang yang punya kerja" di fihak pengantin pria dan dikuil Siauw-lim-si sudah diadakan upacara tersendiri sebelum Yap Cong San berangkat.
Semua tamu sudah berkumpul, meja sembahyang sudah diatur dan dua pasang empelai sudah diarak keluar untuk melakukan upacara sembahyang pengantin. Mengagumkan dan menyenangkan sekali kalau melihat dua pasang pengantin ini karena memang merupakan pasangan yang amat setimpal. Sie Biauw Eng berwajah cantik manis dan agung, seperti puteri istana, bayangan dingin yang dahulu kini telah berubah penuh kehangatan dan gairah. Gui Yan Cu berwajah cantik jelita seperti bidadari, cerah dan memandang wajah dara ini seperti memandang matahari pagi.
Adapaun dua orang pengantin prianya juga tapan dan gagah. Cia Keng Hong berwajah tampan dengan sinar mata tajam seperti berkilat, sikap tenang dan biarpun usianya baru dua puluh empat tahu, namun wajahnya sudah membayangkan kematangan batin, sinar matanya penuh pengertian dan sikapnya seperti sebuah telaga yang amat dalam. Yap Cong San juga tampan sekali, gerak-geriknya halus sesuai dengan kedudukannya sebagai seorang ahli sastra, karena di samping ilmu silatnya yang tinggi juga pemuda ini merupakan seorang sastrawan yang pandai.
Dua pasang pengantin itu bersembahyang, dipimpin oleh seorang hwesio Siauw-lim-pai yang masih terhitung suheng dari Yap Cong San sendiri. Memang sebagai seorang hwesio, tentu saja suhengnya itu ahli dala urusan upacara sembahyang maka dialah yang ditunjuk untuk memimpin upacara sembahyang pengantin. Tung Sun Nio menyaksikan dengan air mata membasahi pipinya saking terharu.Terkenanglah nenek ini akan masa dahulu, sebagai isteri Sin-jiu Kiam-ong Sie Cun Hong. Menyesallah hatinya kalau mengenang masa mudanya, di mana ia mengalami penderitaan dalam rumah tangganya. Teringat ia betapa ketika ia menikah dengan Sie Cun Hong, mereka berdua pun bersembahyang seperti yang dilakukan dua pasang mempelai ini, akan tetapi kenyataannya kemudian amat menyakitkan hati. Dia sudah menjatuhkan cinta hatinya kepada Ouwyang tiong, akan tetapi orang tuanya dia diharuskan menikah dengan Sie Cun Hong. Karena Sie Cun Hong adalah seorang yang tampan dan gagah perkasa, ia masih mengharapkan dapat hidup bahagia di samping suaminya itu. Akan tetapi, ternyata Sie Cun Hong yang sudah terkenal sebagai seorang laki-laki yang gila wanita itu, tidak berubah dan bermain cinta dengan wanita mana saja yang mau melayaninya! Bahkan pelayannya sendiri, Oh Hian Wi, pelayan yang setia, dilayani pula oleh suaminya itu dan mereka melakukan hubungan gelap ketika gadis pelayan itu ikut bersamanya untuk melayaninya.
Padahal, dia baru saja menikah belum sebulan lamanya, masih dalam suasana pengantin baru! Dia menangkap basah suaminya dan Oh Hian Wi dan mengerti bahwa hubungan mereka itu telah dilakukan semenjak dia dan pelayannya tinggal di rumah suaminya, bahkan mungkin di malam pengantin setelah dia tidur, suaminya itu mendatangi Oh Hian Wi yang tergila-gila kepadanya. Sekali menikah, suaminya mendapatkan dua orang wanita! Semenjak itu, hambarlah perkawinannya sehingga menciptakan serangkaian kejadian yang merupakan malapetaka!
Nenek Tung Sun Nio menghela napas dan diam-diam ia berdoa untuk kebahagiaan dua pasang pengantin itu. Pernikahannya yang gagal, batinnya yang leah sehingga sebagai isteri Sie Cun Hong dia berlaku serong, bermain cinta dengan bekas kekasihnya, Ouwyang Tiong ketika orang ini mengunjunginya, telah menagakibatkan kehancuran hidupnya. Dia menderita puluhan tahun lamanya, menderita batin. Juga Ouwyang Tiong menderita batin sehingga pemuda itu lari kepada agama sehingga dia memperoleh kemajuan dan kedudukan tinggi, akhirnya menjadi ketua Siauw-li-pai. Biarpun biang keladinya adalah suaminya sendiri yang masih mengobral cinta, namun dia sendiri pun bersalah. Pernikahan yang hanya berlandaskan cinta bergelimang nafsu berahi, akan gagal! Yang menjadi pengikat erat, yang mengekalkan pernikahan bukan hanya berahi semata, sungguhpun hal ini merupakan syarat penting sekali. Tanpa kemesraan hubungan badani antara suami isteri, pernikahan pun akan gagal! Baru sekarang ia menyadarinya betapa agung cinta kasih antara suami isteri yang hanya akan dapat menjadi kekal sampai kematian memisahkan mereka kalau kedua fihak bersama-sama memupuknya dengan kebijaksanaan, dengan kesetiaan dan dengan kesadaran akan kewajiban masing-masing, sebagai isteri dan sebagai suami, kemudian sebagai ibu dan sebagai ayah anak-anak mereka!
Episode 384 Tung Sun Nio tenggelam dalam lamunannya dan baru sadar setelah upacara sembahyang selesai dan kedua mempelai itu berlutut memberi hormat di depan kakinya.
Tung Sun Nio membalas penghormatan mereka, kemudian dengan terharu ia menggunakan jari-jari tangannya menjamah dan mengelus kepala empat orang muda, bibirnya berbisik hampir tidak kedengaran, "Semoga Tuhan memberkahi kelian dengan kehidupan yang rukun dan bahagia." Ia mengusap air matanya dan dua pasang pengantin itu sudah bangun berdiri dan memberi hormat kepada para tamu yang sudah bangun dari tempat duduk dan membalas penghormatan mereka.
"Ha-ha-hi-hi-hik! Hanya tiga kali dalam hidup manusia disambut orang-orang lain. Lahir, menikah dan mati. Kalian berempat sudah menjalani yang dua, tinggal terakhir! Bersiaplah kalian berempat untuk mati, hi-hik-hik!"
Semua orang terkejut dan menengok keluar di mana tahu-tahu telah berdiri seorang nenek yang bukan lain adalah go-bi thai-houw, bersama Cui Im dan Mo-kiam Siauw-ong!
Tung Sun Nio yang juga terkejut kini mengerutkan alisnya dan membentak. "Hian Wi manusia rendah budi ! engkau mau apa?""
Biasanya, bekas pelayan ini amat takut kepadanya, bahkan dalam pertemuan terakhir di puncak Tai-hang-san, kedatangannya membuat nenek iblis itu lari ketakutan. Akan tetapi sekali ini, Go-bi Thai-houw sama sekali tidak kelihatan takut, bahkan tertawa mengejek, "Tung Sun Nio, engkau bukan majikanku lagi, dan mestinya sudah dulu-dulu kau kubunuh. Hi-hi-hik, engkau mengusirku untuk menjauhkan aku dari suamimu, siapa tahu,kiranya engkau sendiri malah berhubungan gelap dengan Ouwyang tiong dan.."
"Tutup mulutmu, Iblis tua!" Keng Hong membentak marah sekali sehingga suaranya menggeledek, mengejutkan semua orang.
"Wah, Keng Hong, engkau bersikap seolah-olah engkau seorang yang bersih dan suci. Heh-heh-heh, siapa yang tidak mengenal Cia Keng Hong" Guru kencing berdiri murid kencing berlari! Sin-jiu Kiam-ong seorang yang gila perempuan, muridnya tidak kalah hebat! Eh, Keng Hong, sudah berapa banyak perempuan yang mabuk dalam pelukanmu dan rayuanmu" Hi-hi-hik! Masih teringat aku betapa pandai engkau merayu...!"
"Bhe Cui Im perepuan hina!" Biauw Eng kini sudah melepas kerudung pengantin dari mukanya. Mukanya pucat dan sepasang matanya mengeluarkan sinar kilat saking marahnya.
"Hi-hi-hik, sumoiku yang manis. Engkaulah yang hina dan bodoh, mau dijadikan isteri seorang laki-laki cabul yang wataknya sama saja dengan mendiang Sin-jiu Kiam-ong. Aku berani bertaruh bahwa dalam waktu beberapa hari saja dia akan melakukan penyelewengan dengan wanita yang mana saja asal cantik dan suka melayaninya. Dia tampan Biauw Eng, tentu banyak wanita yang suka kepadanya!"
"Go-bi Thai-houw! Kalau bukan Keng Hong yang melarang, engkau sudah mampus di tangan kami berempat ketika bertanding di puncak Tai-hang-san! Mengapa engkau sekarang malah datang untuk mengacau" Mengapa kalian berdua yang telah diberi kesempatan hidup tidak mengubah kelakuan, tidak bertobat alah kini melanjutkan kesesatan kalian?" Yap Cong San tak dapat menahan hatinya mendengar ucapan dua orang wanita itu yang amat menghina dan hendak membongkar rahasia mendiang guru dan ibu guru Keng Hong bahkan menghina Keng Hong secara keterlaluan.
Go-bi Thai-houw hanya terkekeh, akan tetapi Cui Im memandang pemuda itu dengan mata mengejek. Ia pernah tergila-gila kepada pemuda Siauw-lim-pai yang tampan itu dan terang-terangan di tolak oleh Cong San sehingga kini timbul pula kebenciannya kepada pemuda itu.
*** "Yap Cong San, engkau berlagak bicara seperti orang bijaksana, padahal engkau pun tolol dan bodoh seperti Biauw Eng! Siapa yang kaujadikan isteri itu" Apakah engkau tidak mengenal siapa isteri itu" Apakah engkau tidak mengenal siapa Gui Yan Cu ini" Memang dia cantik jelita, akan tetapi siapa tahu isi hatinya" Dia murid Tung Sun Nio, seorang isteri yang serong! Dan lama dia merantau berdua saja dengan Keng Hong, mana dia mau melepaskan seekor domba berdaging lunak seperti Yan Cu" Hi-hi-hik, aku berani bertaruh potong leher kalau di antara Yan Cu dan Keng Hong tidak ada hubungan cinta, ha-ha-ha!"
"Bhe Cui Im, kau perempuan rendah dan keji!" Yan Cu jaga sudah merenggut kerudungnya dengan muka merah saking marahnya. Namun diam-diam ia merasa khawatir sekali karena tak dapat disangka pula bahwa memang dahulu ia amat tetarik kepada Cia Keng Hong. Agaknya, kalau tidak ada Biauw Eng dan Cong San, laki-laki pertama yang akan dicintanya lahir batin adalah Cia Keng Hong!
"Go-bi Thai-houw dan Cui Im! Tidak perlu banyak cakap lagi. Katakanlah, apa maksud kedatangan kalian ini?" Keng Hong melangkah maju dan bertanya, sikapnya tenang namun sepasang matanya mengeluarkan sinar kilat yang membuat Cui Im di luar kesadarannya melangkah mundur setindak. Di dalam hatinya, dia amat gentar kalau harus menghadapi Keng Hong yang ia tahu memiliki ilu kepandaian yang amat hebat.
Mo-kiam Siauw-ong yang sejak tadi hanya mendengarkan saja, kini berkata,
"Cia Keng Hong, perlukah pertanyaan itu kau ajukan" Mereka berdua ini telah kau musuhi dan tentu kedatangan mereka untuk membalas dendam, seperti juga aku."
"Engkau siapakah?"
"Aku Mo-kiam Siauw-ong datang untuk menuntut balas jasa atas kematian tiga orang suhuku, Thian-te Sam-lo-mo!"
"Hemmm... bagus! Kalian bersekutu untuk mengacaukan upacara pernikahan. Benar-benar perbuatan hina dan curang, di dalam dunia kaum sesat sekalipun orang akan menghormati upacara pernikahan mengadakan perhitungan atas urusan pribadi. Akan tetapi karena kalian sudah datang, kami pun sudah siap! Akan tetapi, ingatlah, Cui Im, sekali ini aku tidak mau mengampunkan engkau."
"Srattt!"
Tampak sinar hijau berkelebat dan tahu-tahu tangan kanan Keng Hong telah emagang sebatang pedang kayu. Itulah Siang-bhok-kiam, pedang terbuat dari kayu harum yang pernah menjadi perebutan seluruh tokoh dunia kang-ouw. Melihat pedang ini, kembali ati Cui Im menjadi gentar sekali dan ia melirik ke arah Go-bi Thai-houw sambil berbisik, "Harap subo hadapi keparat ini, biar teeecu menghadapi yang lain."
Episode 385 "H-hi-hik, Cia Keng Hong, kepandaianmu tidak seberapa hebat akan tetapi lagakmu seperti jagoan. Kau akan bisa berbuat apa terhadap Go-bi Thai-houw?" Nenek ini melangkah maju menghadapi Keng Hong dengan kedua tangan kosong!
Keng Hong maklum akan kelihaian nenek itu. Di puncak Tai-hang-san dia bantu oleh Biauw Eng, Yan Cu dan Cong San, dan mereka berempat masih terdesak. Akan tetapi pada waktu itu, dia memang tidak menyerang atau melawan dengan sungguh-sungguh karena memang dia masih menghormati nenek yang pernah menjadi guru Biauw Eng selama setahun lamanya itu dan tidak berniat untuk merobohkannya. Biarpun dia maklum bahwa dengan tangan kosong akan sukar baginya untuk mengalahkan nenek sakti ini, namun Keng Hong yang berjiwa pendekar besar merasa segan menghadapi lawan bertangan kosong dengan senjata di tangannya. Akan tetapi, ketika dia hendak menyimpan kembali pedangnya untuk melawan Go-bi Thai-houw dengan tangan kosong pula, terdengar suara riuh rendah dan tampak kurang lebih seratus orang datang menyerbu atas perintah Cui Im yang dikeluarkan melalui lengkingan panjang yang amat nyaring.
Itulah pasukan bantuan Mo-kiam Siauw-ong yang terdiri dari bajak sungai, dikepalai oleh tokoh-tokoh kaum sesat Melihat serbuan ini, Keng Hong tidak menyimpan pedangnya kembali. Bahkan Biauw Eng sudah melolos sabuk sutera putih, senjatanya yang amat lihai. Cong San sudah mencabut sepasang senjatanya, yaitu Im-yang pit, pensil yang berwarna hitam putih sedangkan Gui Yan Cu pun sudah mencabut pedangnya. Para tamu yang memiliki ilmu kepandaian, sudah mencabut senjata masing-masing dan tanpa diminta mereka sudah menyambut datangnya para penyerbu yang ganas itu, sedangkan para tau yang tidak memiliki kepandaian silat, sudah bubar dan berusaha menyelamatkan diri, akan tetapi beberapa orang di antara tamu ini sudah roboh oleh senjata para bajak yang menyerbu dengan perintah untuk mengacau dan membunuh siapa saja tanapa pandang bulu! Kasihan para tamu yang terdiri dari para petani Pegunungan Cin-ling-san. Biarpun mereka berusaha menghindar, percuma saja mereka melawan keganasan para bajak sungai.
Melihat ini, para tamu yang terdiri dari wakil-wakil partai dan tokoh-tokoh kang-ouw menjadi marah dan menyerbu para bajak. Terjadilah perang di tempat pesta pernikahan itu, perang kecil-kecilan yang hiruk-pikuk dan kacau- balau. Dan apalagi ketika para bajak yang banyak jumlahnya itu mulai membakar rumah Tung Sun Nio. Tempat yang disediakan untuk pesta perayaan pernikahan terbuat daripada bahan yang mudah terbakar karena memang dibangun secara darurat sehingga sebentar saja tempat itu menjadi lautan api, memaksa mereka yang bertanding memindahkan arena pertandingan di luar, menjauhi api.
Keng Hong yang biasanya tenang dan sabar, menjadi marah sekali. Dia meninggalkan Go-bi Thai-houw, tubuhnya berkelebat ke arah para bajak lalu mengamuklah pendekar ini bagaikan seekor naga yang marah.
Sinar hijau pedang Siang-bhok-kiam menjadi bergulung-gulung dan setiap orang anggauta bajak yang terkena sambaran sinar ini roboh dan tewas seketika! Karena kemarahannya menyaksikan bajak-bajak membakar dan membunuh tamunya yang sama sekali tidak berdosa dan tidak memiliki kepandaian untuk membela diri, Keng Hong mengamuk dan meninggalkan Go-bi Thai-houw, lupa bahwa nenek itu dan Cui Im-lah yang sesungguhnya merupakan dua orang yang paling berbahaya!
Nenek Tung Sun Nio sudah menyambar pedang dan menerjang Go-bi Thai-houw, dibantu muridnya, Yan Cu yang juga memegang pedang. Namun Go-bi Thai-houw menyambut pengeroyokan guru dan murid ini sambil tertawa-tawa, tubuhnya membuat gerakan-gerakan aneh, meliuk ke sana-sini, kedua tangannya bergerak cepat, kadang-kadang mencakar, mendorong dan menangkis pedang dengan tangan kosong! Menyaksikan kehebatan Go-bi Thai-houw, Tung Sun Nio menjadi terkejut bukan main. Dahulu di waktu mudanya, bekas pelayan ini pernah menerima latihan ilmu silat, akan tetapi tentu saja masih jauh sekali di bawah tingkatnya. Siapa tahu, mereka setelah menjadi seorang nenek, setelah diusir pergi, Oh Hian Wi telah menjadi seorang nenek iblis yang memiliki ilmu kesaktian sedemikian hebatnya!
Baiuw Eng yang amat benci kepada bekas sucinya, Cui Im yang sudah banyak mendatangkan kesengsaraan kepadanya dan kepada Keng Hong, sudah menyerang dengan ganas, mempergunakan sabuk suteranya yang bergerak seperti ular putih menotok jalan-jalan darah yang berbahaya secara cepat sekali. Namun Cui Im telah mengeluarkan pedangnya, sebatang pedang merah pula. Sebelum menyerbu, wanita ini telah berhasil menyuruh bikin sebatang pedang merah, terbuat dari baja merah yang biarpun keampuhannya tidak seperti pedang merahnya yang telah patah oleh Keng Hong di puncak Tai-hang-san, namun masih amat lihai dan berbahaya karena selain ilu pedangnya memang hebat semenjak dia mempelajari kitab-kitab warisan Sin-jiu Kiam-ong, juga dia telah menaruh racun di mata pedangnya.
Mengetahui kelihaian Cui Im, Cong San membantu Biauw Eng, menggerakkan kedua pit-nya untuk menyerang lawan tangguh itu sehingga terjadilah pertandingan mati-matian yang amat hebat. Cui Im tertawa-tawa seperti Go-bi Thai-houw, memandang ringan dan ia malah masih dapat mengejek sambil menghalau senjata kedua orang lawannya dengan sinar pedang merahnya,
"Kalian orang-orang tolol! Biauw-Eng, engkau menyerahkan diri pada seorang laki-laki yang cintanya palsu, seorang laki-laki mata keranjang yang tidak akan malu-malu melakukan hubungan kotor dengan ibunya sendiri! Dan kau, Cong San... hi-hi-hik, apakah kaukira isterimu itu belum ditiduri Keng Hong?"
"Perempuan hina, tutup mulutmu!" Cong San marah sekali dan menubruk maju, kedua pit-nya menyerang tenggorokan dan pusar secara berbareng dengan gerakan yang amat cepat dan kuat.
"Tring-cringgg..!" Cong San terhuyung ke belakang oleh tangkisan Cui Im.
"Yap Cong San, kau pemuda tolol yang tak mau melihat kenyataan! Engkau mengenal siapa Keng Hong! Aku berani bertaruh bahwa isterimu itu bukan gadis lagi! Karena hanya Biauw Eng ini satu-satunya gadis yang belum bisa dia dapatkan, maka dia memilih Biauw Eng. Isterimu adalah bekasnya, hi-hi-hik!"
"Cui Im, aku harus membunuhmu!" Biauw Eng membentak marah sekali.
Cui Im cepat meloncat ke kiri menghindarkan serangan sabuk sutera putih yang amat berbahaya itu. "Sumoi, kau marah karena omonganku emang merupakan kenyataan" Ha-ha-ha, engkau tentu tahu siapa Keng Hong, akan tetapi karena cintamu engkau menjadi buta! Da karena gobloknya maka Cong San ini pun menjadi buta!"
"Wuuuttttt!" Sabuk sutera putih menerjang ganas.
Sepasang Im-yang-pit di tangan Cong San juga menerjang.
Episode 386 "Aihhhhh... brettt...!" Biarpun Cui Im sudah menggerakkan pedang dan mengelak, tetap saja bajunya dekat lambung terobek oleh pit hitam di tangan kanan Cong San.
*** "Baiklah, kalau kalian lebih suka mampus!" bentak Cui Im yang maklum bahwa ia menghadapi dua lawan yang tangguh. Kalau mereka maju satu-satu, tentu akan mudah ia akan merobohkan mereka. Akan tetapi, kalau dua orang itu maju bersama mengeroyoknya, ia harus benar-benar mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan seluruh kepandaiannya untuk melawan. Kini Cui Im tidak bicara lagi karena harus memusatkan perhatiannya kepada kedua orang pengeroyok yang lihai itu. Namun, diam-diam omongan-omongannya tadi yang merupakan serangan-serangan lebih dahsyat daripada pedang merahnya, telah menggores hati Biauw Eng, terutama sekali Cong San. Biauw Eng sudah mengenal betul suaminya, tahu bahwa Keng Hong mempunyai kelemahan terhadap kecantikan wanita dan melihat bahwa Yan Cu amat cantik jelita, tuduhan yang dilontarkan Cui Im tadi bukanlah kosong belaka, mengandung banyak kemungkinan. Sebetulnya, perasaan cemburu sudah lenyap dari hatinya terhadap Keng Hong. Hal yang sudah lewat tidak akan diingatnya kembali karena pernikahan merupakan lembaran baru dalam hidupnya. Apa yang telah dilakukan Keng Hong di masa lampau, tidak akan dipedulikan, karena yang pentingnya baginya adalah masa depan. Kalau saja Keng Hong menghentikan sifatnya yang suka kepada wanita cantik di masa mendatang, dia sudah memaafkan dan akan melupakan segala peristiwa yang pernah terjadi antara suaminya dengan wanita-wanita lain. Akan tetapi, ucapan-ucapan Go-bi Thai-houw dan Cui Im erupakan racun yang sedikit banyak mengusik hatinya. Kalau benar Keng Hong mewarisi watak Sin-jiu Kiam-ong, ayahnya... ia bergidik dan kedua pipinya menjadi panas. Ayahnya pun sudah menikah dengan nenek Tung Sun Nio di waktu mudanya, namun masih saja melanjutkan petualangannya dengan wanita, bahkan bermain cinta gelap dengan Oh Hian Wi, pelayannya sendiri! Bagaimana kalau benar-benar Keng Hong mewarisi watak guru suaminya dan juga ayahnya sendiri itu"
Dan Yan Cu... kini ia ragu-ragu apakah di dalam hubungan antara mereka tidak ada cinta! Semua ini membuatnya marah sekali, marah kepada Cui Im dan dia menyerang dengan mati-matian.
Omongan beracun itu pun mempengaruhi hati Cong San. Memang tadinya dia pun menduga bahwa Yan Cu mencinta keng Hong, dan baginya merupakan hal yang amat tidak diduga-duganya bahwa Yan Cu suka menjadi isterinya. Benarkah Yan Cu telah ditiduri Keng Hong seperti yang diucapkan Cui Im" Dan hanya mau menerima dia karena tidak mempunyai harapan mempersuamikan Keng Hong yang memilih Biauw Eng" Benarkah... benarkah Yan Cu bukan gadis lagi" Biarpun dia sudah mengerahkan tenaga batinnya untuk menolak bisikan-bisikan yang mengganggu hatinya ini, namun tetap saja dia merasa tidak enak dan marah. Seperti juga Biauw Eng, dia menimpakan kemarahannya kepada Cui Im dan menyerang dengan sengit.
Pertandingan antara Cui Im yang dikeroyok oleh Biauw Eng dan Cong San ramai dan seimbang, tidak seperti pertandingan antara Go-bi Thai-houw yang dikeroyok oleh Tung Sun Nio dan Yan Cu. Go-bi Thai-houw terlampau sakti bagi guru dan murid ini, terutama sekali bagi Yan Cu. Gadis ini menjadi bingung menyaksikan gerakan nenek itu yang amat aneh sehingga beberapa kali hampir saja ia terkena cakaran tangan si nenek yang melakukan pertandingan sambil tertawa-tawa mengejek. Ia dan gurunya terdesak hebat dan hanya dengan kerja sama yang erat dan saling melindungi saja mereka masih sanggup mempertahankan diri. Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring, "Go-bi Thai-houw, pinceng hendak bicara!" ternyata lima orang hwesio Siauw-lim-pai telah berada di situ menghadapi Go-bi Thai-houw yang meloncat mundur sambil terkekeh memandang rendah.
Ketika para tokoh kang-ouw yang menjadi tamu tadi semua maju menyambut para bajak yang datang menyerbu, lima orang hwesio Siauw-lim-pai ini tidak bergerak, bahkan meraka saling berbisik dengan wajah sungguh-sungguh sehabis endengar omongan Go-bi Thai-houw. Setelah bersepakat, kini mereka menghampiri nenek itu dan menghentikan pertandingan yang sedang ramai-ramainya. Mereka adalah murid-murid ketua Siauw-lim-pai, dan biarpun dalam hal ilmu silat, tingkat mereka masih lebih rendah dari Yap Cong San, akan tetapi Cong San masih terhitung sute mereka. Usia mereka rata-rata sudah lima puluh tahun lebih dan mereka memiliki kedudukan yang cukup tinggi di Siauw-lim-pai.
"Heh-heh-heh, hwesio-hwesio Siauw-lim-pai menghentikan pertempuran! Kalian mau bicara apakah" Kalau mau mengeroyok, mengapa pakai banyak cakap" Majulah!" Go-bi Thai-houw menantang.
Thian Lee Hwesio, yang tertua di antara mereka, menggeleng kepalanya, "Omitohud, kami adalah orang-orang beragama yang pantang berkelahi, apalagi membunuh. Akan tetapi, kami pun hamba-hamba yang mengabdi kebenaran yang siap mempertaruhkan nyawa demi kebenaran. Go-bi Thai-houw, engkau telah mengucapkan kata-kata yang amat menghina suhu kami, Tiong Pek Ho-siang ketua Siauw-lim-pai. Pinceng hanya minta agar engkau suka menarik kembali kebohongan yang menghina itu, kalau tidak, terpaksa pinceng berlima mengorbankan nyawa demi membela kebersihan nama suhu dan Siauw-lim-pai!"
"Heh-heh-hi-hi-hik! Kalian ini gundul-gundul yang tolol, tidak mengenal guru dan ketua sendiri! Siapa membohong" Gurumu itu, si tua bangka gundul Tiong Pek Hosiang yang sekarang kelihatannya seperti orang suci bersih, dahulu di waktu mudanya bernama Ouwyang tiong dan dialah orangnya yang berjina dengan isteri Sin-jiu Kiam-ong!"
"Omitohud... tak mungkin!" Thian Lee Hwesio membentak, menahan kemarahannya.
"Heh-heh-heh, tidak mungkin" Kau tanyakan saja kepada isteri Sin-jiu Kiam-ong ini. Eh, Tung Dun Nio, bukankah engkau telah berjina dengan Ouwyang Tiong sehingga tertangkap basah oleh suamimu" Hayo, menyangkallah!"
Lima orang hwesio itu dengan mata terbelalak menoleh dan memandang kepada Tung Sun Nio.
"Maaf, Toanio... benarkah itu...?" Thian Lee Hwesio memberanikan hatinya bertanya.
Yang ditanya tidak dapat menjawab, tidak mengangguk atau menggeleng, hanya berdiri dengan muka pucat sekali dan dua titik air mata turun di sepasang pipi yang keriput. Tak disangkanya bahwa sampai sekarang pun bekas kekasihnya itu, Ouwyang Tiong yang kini telah menjadi ketua Siauw-lim-pai yang terhormat, masih akan menderita karena perbuatan mereka dahulu yang disesatkan oleh pengaruh iblis, rahasia mereka dibuka secara menghinakan sekali oleh Go-bi Thai-houw!
Menyaksikan keadaan gurunya, Yan Cu tak dapat menahan kemarahannya lagi. Ia meloncat maju dengan serangan kilat sambil membentak, "Nenek iblis! Aku akan mengadu nyawa denganmu!"
Episode 387 "Toanio.. bagaimana..?" Thian Lee Hwesio mendesak. Urusan itu amat penting baginya, bagi para saudaranya, bagi seluruh anggauta Siauw-lim-pai, karena menyangkut nama baik ketuanya yang berarti menyangkut kehormatan Siauw-lim-pai sendiri.
Tung Sun Nio seperti orang termenung, melihat muridnya menerjang nenek iblis itu. Kemudian seperti orang kehilangan semangat, ia mengangguk dan berkata, "Harap kalian jangan menyalahkan dia. Kasihan dia yang sudah banyak menderita..."
"Omitohud...!" Pengakuan itu membuat lima orang hwesio Siauw-lim-pai terbelalak pucat da merangkap sepuluh jari tangan ke depan dada.
Go-bi Thai-houw yang diserang oleh Yan Cu, cepat membuat gerakan meliuk ke belakang, kedua tangan bergerak dan tahu-tahu sepasang pergelangan tangan Yan Cu telah ditangkapnya!
Lepaskan muridku!" Tung sun Nio yang melihat bahaya mengancam muridnya, segera menyerang dengan tusukan pedang ke arah kepala Go-bi Thai-houw mengerahkan tenaga, memaksa tangan Yan Cu yang memegang pedang itu bergerak membalik sehingga pedangnya menangkis pedang gurunya sendiri.
"Krakkk!" Kedua pedang itu patah.
"Aku atau kau yang harus mampus!' Tung Sun Nio memekik dan menubruk maju dengan kedua tangan, mencengkeram ke arah dada dan ubun-ubun Go-bi Thai-houw yang masih memegang kedua pergelangan tangannya membiru dan nyeri sekali. Akan tetapi, ia cepat bangkit berdiri dan terbelalak, memandang betapa gurunya kini sudah saling mengadu telapak tangan dengan Go-bi Thai-houw. Tubuh gurunya menggigil seperti orang kedinginan, sedangkan Go-bi Thai-houw masih terkekeh-kekeh.
"Subo...!" Yan Cu maklum bahwa gurunya terancam nyawanya. Ia tidak mempedulikan kedua lengannya yang nyeri, tidak peduli akan kesaktian nenek iblis itu dan menerjang maju. Akan tetapi sebuah tendangan kaki kiri Go-bi Thai-houw yang melayang dengan cepat tak tersangka-sangka membuat dia terlempar dan terguling-guling lagi.
"Keng Hong suheng...!!" Tolong Subo...!!" Yan Cu yang menjadi panik dan khawatir akan keselamatan subonya, menjerit dengan teriakan melengking nyaring.
Pada saat itu, Keng Hong masih mengamuk. Memang benar bahwa para tamu yang berkepandaian, seperti dua orang wakil Hoa-san-pai, lima orang wakil Kun-lun-pai, tiga orang tokoh Tiat-ciang-pang dan belasan orang kang-ouw lain membantu fihaknya menghadapi para bajak sungai, akan tetapi jumlah mereka amat banyak dan mereka dipimpin oleh oran-orang yang pandai pula, terutama sekali Mo-kian siauw-ong yang lihai. Maka dia sendiri mengamuk dan robohlah puluhan orang anggauta bajak sungai di tangan pendekar sakti ini. Ketika mendengar jerit Yan Cu, barulah dia teringat akan dua orang musuh yang amat sakti.
*** Setelah sadar akan hal ini, dia terkejut sekali, tubuhnya mencelat ke belakang dan dengan gerakan kilat dia meloncat ke arah suara Yan Cu. Kaget dia melihat Yan Cu yang untuk ke sekian kalinya sudah terguling-guling lagi dan melihat pula nenek Tung Sun Nio terhuyung-huyung dan roboh terdorong oleh kedua tangan Go-bi Thai-houw dan juga dia terheran-heran melihat lima orang suheng Cong San hanya berdiri memandang, sama sekali tidak membantu subonya itu.
Sekilas pandang maklumlah dia bahwa subonya telah terluka hebat, maka dengan kemarahan meluap dia lalu menerjang Go-bi Thai-houw denan serangan dahsyat, memukul dengan dorongan telapak tangan kanan, sedangkan tangan kirinya mencengkeram ke arah ubun-ubun nenek iblis itu. Serangan ini dahsyat bukan main karena Keng Hong mempergunakan jurus ilmu silat Thai-kek Sin-kun dan keduia tangannya dijalari tenaga sinkang yang amat kuat. Karena kekhawatirannya menyaksikan keadaan subonya dan sumoinya, Keng Hong sekali ini mengerahkan seluruh tenaganya.
"Plak! Bresssss!!!" Hebat bukan main pertempuran antara tenaga sinkang yang dahsyat itu ketika si nenek iblis menangkis kedua pukulan Keng Hong. Keduanya terdorong mundur sampai lima langkah dan kembali diam-diam Keng Hong harus mengakui dalam hatinya bahwa selama dia berhadapam dengan tokoh-tokoh hitam, para datuk golongan sesat, baru sekaranglah dia bertemu lawan yang amat hebat tenaga sinkangnya, bahkan yang agaknya masih mengatasi kekuatannya sendiri karena pertemuan tenaga tadi memuat dia menjadi agak pening sedangkan nenek itu masih terkekeh-kekeh. Dia tidak tahu bahwa nenek itu terkekeh bukan karena tidak merasakan akibat benturan tenaga itu, melainkan terkekeh untuk menutupi rasa kagetnya! Nenek itu pun terkejut bukan main ketika merasa betapa seluruh tubuhnya tergetar. Mengapa pemuda itu sehebat ini tenaganya" Belum lama yang lalu, di puncak Tai-hang-san, tidak sedahsyat ini tenaga Cia Keng Hong!
"Heh-heh-heh, sekali ini engkau akan mampus di tanganku, murid Sin-jiu Kiam-ong!" Tiba-tiba nenek itu menubruk maju dan entah kapan mengeluarkannya, kedua tangannya sudah memegang sepasang kebutan yang digerakkan cepat sekali ke arah muka dan pusar Keng Hong.
"Wuuuttt... syuuuttt!" Keng Hong yang melihat berkelebatnya sinar merah dan biru, cepat membuang diri ke belakang sambil mengebutkan kedua lengan bajunya. Ia merasa angin menyambar mukanya dan untung bahwa hawa pukulan yang keluar dari lengan bajunya dapat menyampok buyar ujung kebutan merah yang dia tahu amat berbahaya. Sambil berjungkir balik ketika membuang diri ke belakang, tangannya bergerak mencabut Siang-bhok-kiam!
Karena gentar menghadapi tenaga sinkang Keng Hong setelah benturan tangan pertama tadi, Go-bi Thai-houw mencabut keluar senjatanya, sepasang kebutan yang sesungguhnya hampir tak pernah ia keluarkan apabila ia menghadapi lawan. Dan hal ini merupakan kesalahannya karena dengan ilmu silatnya yang tinggi dan aneh, dengan tenaga sinkangnya yang mujijat karena bercampur dengan ilmu hitam yang didapat di waktu ia masih gila, belum tentu Keng Hong akan dapat mengalahkannya apabila mereka bertanding dengan tangan kosong. Akan tetapi sekali pemuda sakti itu mencabut pedang Siang-bhok-kiam dan memutar senjata itu, terkejutlah Go-bi Thai-houw karena sinar hijau bergulung-gulung dan mengeluarkan suara berdesing melengking itu benar-benar merupakan kiam-sut yang amat luar biasa dan bagi dia jauh lebih berbahaya kalau menghadapi lawan ini dalam pertandingan tangan kosong!
Betapapun juga, dia tidak percaya bahwa dia akan kalah melawan seorang pemuda yang patut menjadi cucunya! Sepasang kebutannya bergerak dan tiba-tiba beberapa helai benang kebutan merah dan biru terlepas dari ikatannya menyambar ke arah tiga belas jalan darah maut di depan tubuh Keng Hong!
Episode 388 Benang-benang kebutan ini merupakan senjata rahasia yang amat berbahaya karena selain dilepas dari jarak amat dekat selagi mereka bertanding, juga benang-benang itu karena dilepas dengan dorongan tenaga sinkang yang mujijat, menjadi kaku seperti jarum-jarum panjang! Kaget juga Keng Hong menyaksikan sinar-sinar berkelebatan menyerangnya ini, akan tetapi dengan sikap tenang dia memutar pedangnya melindungi tubuhnya dan benang-benang itu runtuh menjadi potongan-potongan halus karena beberapa kali terbabat pedang, kemudian dia melanjutkan gerakan pedangnya, mainkan Ilmu Pedang Siang-bhok-kiam-sut yang dia warisi dari suhunya, Sin-jiu Kiam-ong!
Go-bi Thai-houw menjadi kagum bukan main. Setajam-tajamnya sebatang pedang kayu, tentu tidak setajam pedang logam, akan tetapi pedang kayu itu dapat membabat benang-benang kebutannya yang melayang itu sampai menjadi potongan-potongan halus membuktikan betapa ampuh pedang itu dan betapa dahsyat tenaga sinkang tangan yang memegangnya. Kini nenek itu tidak berani memandang rendah lagi dan berhentilah suara ketawanya. Ia menyerang dengan pengerahan tenaga dan kepandaian sekuatnya sehingga terjadilah petandingan hebat yang membuat pandang mata para penonton menjadi kabur.
Gui Yan Cu yang tadi terkena tendangan dua kali oleh Go-bi Thai-houw, tidak terluka hebat, akan tetapi tendangan kedua yang mengenai bawah pusar membuat tubuh bagian itu terasa nyeri. Dia sudah bangkit kembali dan ketika melihat bahwa Keng Hong sudah melayani Go-bi Thai-houw, da tidak berani membantu karena maklum bahwa kepandaiannya masih jauh di bawah tingkat mereka.Apalagi dia percaya akan kesaktian suhengnya, maka dia lalu menghampiri subonya yang masih menggeletak rebah terkena pukulan Go-bi Thai-houw ketika kedua orang nenek itu tadi mengadu tenaga sinkang.
Ia melihat subonya berusaha bangkit duduk dengan susah payah, wajah subonya pucat sekali.
"Subo...1" Ia menubruk dan membantu subonya bangkit duduk.
"Jangan pedulikan aku... lekas bantu mereka... suamimu dan Biauw Eng..." Tung Sun Nio berkata lemah sambil menuding ke medan pertempuran Yan Cu memandang subonya dengan ragu-ragu.
"Subo terluka hebat.. perlu dirawat..."
Subonya menggeleng kepala. "Dahulukanlah yang lebih penting, suamimu terancam bahaya..."
Mendengar ini, Yan Cu cepat menengok dan ia segera meloncat bangun. Memang benar apa yang diucapkan subonya. Kalau tadi Cong San bersama Biauw Eng dapat mengimbangi Cui Im yang amat lihai dengan pengeroyokkan mereka, kini keadaan kedua orang itu terdesak hebat dengan masuknya Mo-kiam Siauw-ong dalam pertempuran itu membantu Cui Im!
Kiranya pertempuran antara para bajak yang dipimpin oleh kepala masing-masing melawan para tokoh kang-ouw, tidaklah terlalu berat lagi bagi para bajak setelah kini Keng Hong meninggalkan medan pertempuran untuk menghadapi Go-bi Thai-houw. Yang paling hebat kepandaiannya di antara para tokoh kang-ouw hanyalah ketua Tiat-ciang-pang Ouw Kian yang mengamuk dengan kedua tangan kosong yang merupakan tangan baja, akan tetapi Ouw Kian dikeroyok oleh enam orang kepala bajak yang semua memegang senjata sehingga terjadi pertempuran mati-matian yang amat hebat pula. Tentu saja Mo-kiam Siauw-ong lebih memeperhatikan Cui Im dan Go-bi Thai-houw daripada keselamatan para bajak, maka ketika dia melihat bahwa Keng Hong yang kepandaiannya menggetarkan hatinya kini bertanding melawan nenek Go-bi Thai-houw dan melihat Ang-kiam Bu-tek Bhe Cui Im dikeroyok dua oleh Cong San dan Biauw Eng yang juga amat lihai, dia sudah membantu Cui Im tanpa diminta.
Kalau dibandingkan dengan kepandaian Biauw Eng, tokoh lembah Sungai Fen-ho ini masih kalah jauh, bahkan jika dia sendiri saja melawan Cong San, dalam dua puluh jurus saja dia tentu akan roboh. Akan tetapi, di sampingnya terdapat Cui Im yang lihai sehingga bantuannya merepotkan Biauw Eng dan Cong San karena murid Thian-te Sam-lo-mo ini pun bukan seorang lemah.
Tung sun Nio sudah terluka hebat dan nenek ini maklum bahwa luka di dalam dadanya akibat himpitan tenaga sinkang Go-bi Thai-houw yang luar biasa kuatnya itu tak mungkin dapat diobati lagi. Dia tidak peduli akan keadaan dirinya sendiri. Dia sudah tua, usianya sudah sembilan puluh tahun! Mati bukan apa-apa lagi bagi seorang setua dia. Akan tetapi hatinya gelisah bukan main menyaksikan pertandingan itu, maka dia tidak mau membuat gelisah hati muridnya dan memaksa muridnya membantu Biauw Eng dan Cong San.
Yan Cu cepat merobohkan seorang bajak sungai yang berpedang, merampas pedangnya dan sekali hantam, telapak tangannya membikin pecah kepala bajak itu. Dengan pedang rampasan di tangan, ia meloncat dan menyerbu membantu suaminya dan Biauw Eng, langsung menyerang Mo-kiam Siauw-ong!
"Tranggg!" Mo-kiam Siauw-ong menangkis dan terkejutlah dia karena pedangnya hampir terpental dari tangannya sedangkan sinar pedang dara yang cantik jelita, kedua pipinya merah dan matanya bersinar-sinar saking merahnya itu telah menyambar lagi ke arah lehernya.
"Hayaaaaa...!" Ia membuang diri ke belakang sampai berdebuk suaranya dan terus dia bergulingan menjauhkan diri. Yan Cu mengejar, membacok bertubi-tubi sampai tiga kali. Akan tetapi Mo-kiam Siauw-ong bukanlah orang lemah, sambil bergulingan dia dapat menangkis tiga kai bacokan itu. "Trang-trang-trang... singgggg...!" Dalam gulingan keempat, pedangnya menyabar ke arah kaki Yan Cu. Terpaksa gadis ini melompat mundur dan kesempatan ini dipergunakan oleh Mo-kiam Siauw-ong untuk meloncat berdiri dengan keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya. Yan Cu merasa penasaran sekali. Kiranya teman Cui Im ini pun seorang yang memiliki kepandaian tinggi. Ia melirik ke arah Biauw Eng dan suaminya dan hatinya lega karena setelah kini ditinggalkan Mo-kiam Siauw-ong, kedua orang itu dapat mengimbangi lagi permainan pedang merah Cui Im sungguhpun tak dapat dikatakan bahwa mereka itu mendesaknya. Cui Im terlalu lihai dan Yan Cu yang sudah mendengar dari Keng Hong maklum bahwa kepandaian Cui Im terlalu lihai dan Yan Cu yang sudah mendengar dari Keng Hong maklum bahwa kepandaian Cui Im tidak jauh di bawah itu telah mewarisi pula kitab-kitab pelajaran ilmu silat tinggi peninggalan Sin-jiu Kiam-ong.
Episode 389 "Cong San koko! Enci Biauw Eng, hati-hatilah menghadapi siluman itu. Biar aku yang membasmi anjing busuk ini!" katanya dan kembali ia menerjang dengan ganas, pedangnya menusuk perut Mo-kiam Siauw-ong yang sudah bersiap-siap dan menangkis sambil balas menyerang.
Tung Sun Nio duduk bersila dan napasnya sesak sekali, akan tetapi ia masih mencurahkan perhatiannya kepada jalannya pertempuran. Para bajak yang kini ditinggalkan Mo-kiam Siauw-ong, menjadi kacau balau dan kehilangan semangat, tidak kuat menghadapi tokoh kang-ouw yang tadinya menjadi tamu dan kini membantu fihak tuan rumah. Keng Hong masih bertanding dengan seru melawan Go-bi Thai-houw dan karena gerakan mereka amat cepat sedangkan gerakan Go-bi Thai-houw anehnya luar biasa, sukar baginya untuk dapat mengikuti dan menentukan siapa di antara mereka yang akan menang. Akan tetapi hatinya merasa khawatir sekali melihat betapa Biauw Eng dan Cong San agaknya kewalahan menahan serangan-serangan hebat dari Cui Im, sedangkan sumoinya dapat mendesak Mo-kiam Siauw-ong. Ia menoleh ke arah lima orang hwesio Siauw-lim-pai yang masih berdiri seperti arca, agaknya tenggelam ke dalam lamunan masing-masing.
"Ngo-wi Suhu dari Siauw-lim-pai, apakah tidak malu berpeluk tangan saja menyaksikan orang-orang jahat mengacau?" Tung Sun Nio memaksa diri berkata.
Lima orang hwesio itu menoleh dan Thian Lee Hwesio menarik napas panjang, "Omotohud..... pinceng sendiri tidak tahu mana itu orang baik dan mana orang jahat.....! Setelah apa yang pinceng dengar tadi....... ahhhhh......"
"Thian Lee Hwesio! Sudah kuakui akan kesesatanku di waktu muda dengan ketua kalian, akan tetapi itu adalah urusan dulu! Sekarang yang penting, kalian melihat sute kalian Yap Cong San terancam oleh wanita iblis Ang-kiam Bu-tek yang dahulu pernah membunuh sudsiok kallian Thian Ti Hwesio. Apakah kalian kini akan berpangku tangan saja menyaksikan sute kalian dibunuh juga" Ataukah kalian menggunakan alasan pantang berkelahi untuk menyembunyikan rasa takut kalian terhadap Ang-kiam Bu-tek?"
Wajah lima orang hwesio itu menjadi merah dan Thian Lee Hwesio berkata, "Apa yang dilakukan oleh suhu memang telah lewat puluhan tahun lamanya, dan sekarang ditambah lagi dengan pernikahan Yap-sute dengan seorang gadis keluarga yang banyak melakukan penyelewengan....... omitohud........ kalau dunia kang-ouw mendengar akan semua ini........ habislah nama baik Siuw-lim-pai.......!" Biarpun berkata demikian, hwesio itu memberi isyarat kepada empat orang sutenya dan mereka melangkah lebar mendekati tempat pertandingan antara Cong San dan Biauw Eng yang mengeroyok Cui Im.
Melihat ini, Tung Sun Nio yang tadi mengerahkan seluruh tenaga untuk dapat bicara dan membakar hati para hwesio Siauw-lim-pai itu, menarik napas lega, akan tetapi wajahnya memperlihatkan rasa nyeri yang ditahan-tahannya dan ia memejamkan kedua matanya.
Pertandingan antara Keng Hong melawan Go-bi Thai-houw sudah berjalan seratus jurus lebih, makin lama makin seru dan gerakan kedua orang ini benar-benar dahsyat. Kalau Keng Hong bertempur dengan tenang dan hati-hati karena maklum akan kelihaian nenek itu, Go-bi Thai-houw menjadi marah-marah dan penasaran sekali. Masa dengan sepasang kebutannya dia tidak mampu mengalahkan seorang pemuda seperti ini" Bahkan mendesak pun dia tidak dapat dan sudah beberapa kali hampir saja ia disambar pedang Siang-bhok-kiam yang amat berbahaya itu. Ia mengeluarkan bunyi seperti gerakan seekor binatang buas, kemudian menubruk maju dengan gerakan aneh, kebutan kanan menyambar ke arah leher Keng Hong sedangkan yang kiri meluncur kaku seakan-akan bulu kebutan lemas itu berubah menjadi baja, menusuk ke arah pusar lawan.
Keng Hong yang merasa khawatir akan keselamatan isterinya, sumoinya, dan Cong San yang menghadapi Cui Im karena dia maklum bahwa tingkat kepandaian iblis betina yang juga sumoinya amat tinggi, jauh lebih tinggi dari pada tingkat Biauw Eng dan lain-lain, mengambil keputusan untuk cepat-cepat merobohkan nenek yang lihai ini. Agaknya kalau hanya mengandalkan pedang dan ilmu silatnya saja, akan amat sukarlah baginya merobohkan lawan yang selain lihai juga jauh lebih berpengalaman daripada dia itu. Di samping ilmu-ilmunya yang tinggi dan dahsyat, Keng Hong memiliki semacam ilmu yang disebut Thi-khi-i-beng (Mencuri Hawa Memindahkan Nyawa), ilmu penyedot sinkang lawan yang tadinya timbul di dalam tubuhnya di luar kesadarannya semenjak dia menerima pemindahan sinkang dari tubuh gurunya, Sin-jiu Kiam-ong. Akan tetapi, setelah dia menemukan kitab-kitab peninggalan suhunya dan mempelajari ilmu sakti Thai-kek Sin-kun yang ditemukan juga di dalam tempat rahasia suhunya, dia kini dapat menguasai ilmu itu sepenuhnya dan dapat mempergunakannya jika perlu. Dahulu dia banyak mengakibatkan robohnya orang-orang sakti di dunia kang-ouw dengan ilmu penyedot sinkang ini, akan tetapi hal ini terjadi di luar kehendaknya dan dia tidak tahu bagaimana cara menghentikan bekerjanya ilmu mujijat ini. Sekarang, ilmu yang telah dikuasainya ini dapat dia pergunakan dan hentikan sesuka hatinya. Kalau Keng Hong mengingat akan pengalamannya dahulu, betapa banyak orang roboh dan binasa sebagai korban ilmunya yang mujijat dan tidak dia kuasai sehingga merupakan ilmu yang liar dan yang timbul sewaktu-waktu di luar kehendaknya, dia merasa ngeri sehingga tadinya dia mengambil keputusan untuk tidak mempergunakan ilmu yang dianggapnya terlalu keji ini untuk menghadapi lawan, kalau tidak amat terpaksa.
Kini, menghadapi Go-bi Thai-houw yang benar-benar amat lihai, dia mengambil keputusan untuk menggunakan Thi-khi-i-beng agar dia dapat merobohkan si nenek iblis kemudian cepet-cepat membantu isteri dan teman-temannya mengalahkan Cui Im, apalagi karena dia tahu bahwa subonya, nenek Tung Sun Nio, telah menderita luka dalam yang amat berbahaya.
Keng Hong sedikit memperlambat gerakannya, memberi kesempatan kepada sepasang kebutan nenek itu menyambar dekat, kemudian dia mengangkat lengan kirinya menangkis kebutan yang menyambar leher, memindahkan langkah kaki untuk mengelak dari kebutan yang menyambar pusar dan Siang-bhok-kiam sudah berkelebat cepat menyambar ke arah pergelangan tangan Go-bi Thai-houw yang sebelah kanan.
Nenek itu terkejut sekali melihat sinar hijau berkelebat ke arah tangannya. Kalau yang diserang itu bagian tubuh lain, tentu dia sudah siap untuk mengelak atau menangkis. Akan tetapi hatinya sudah terlalu girang karena melihat tangkisan tangan kiri Keng Hong tadi, ia cepat mempergunakan kesempatan ini untuk membelit tangan kiri Keng Hong dengan ujung kebutan dan dia berhasil. Hal ini membuatnya agak lengah dan baru ia terkejut bukan main setelah Siang-bhok-kiam menyambar dekat!
"Crokkk!!" Kebutan itu jatuh ke atas tanah karena gagangnya terbabat putus oleh Siang-bhok-kiam! Nenek itu ternyata lihai bukan main. sambaran pedang yang tiba-tiba datangnya itu masih dapat ia hindari dengan tarikan lengan cepat sekali sehingga pedang itu bukan membabat lengannya, melainkan gagang kebutan, dekat sekali dengan jari tangannya yang memegang gagang! Akan tetapi, nenek itu terkejut, terpaksa melepaskan libatan kebutan kanannya dari tangan Keng Hong dan melompat mundur. Keng Hong merasa pergelangan tangan kirinya perih dan ternyata kulitnya lecet-lecet bekas lilitan ujung kebutan itu.
*** Episode 390 Go-bi Thai-houw yang merasa kaget menjadi marah sekali. Ia memindahkan kebutan ke tangan kiri, kemudian mengeluarkan teriakan melengking yang membuat orang-orang di dekat situ merasa kaget dan seperti seekor harimau mengamuk ia menubruk maju, kebutan di tangan kiri menghantam ke arah kepala Keng Hong dengan tenaga dahsyat! Keng Hong cepat menangkis dengan pedangnya.
"Wuuuttt..... plakkk!" Pedang itu kini terlibat oleh ujung kebutan dan Keng Hong merasa betapa tangan kanannya yang memegang pedang tergetar hebat. Terdengar nenek iblis itu tertawa dan tangan kanannya mencengkeram ke arah dada Keng Hong!
"Bagus!" Keng Hong berseru karena memang ini yang dia kehendaki untuk mengalahkan nenek itu dengan Thi-khi-i-beng, maka dia menyambut cengkeraman tangan kanan nenek itu dengan tangan kirinya.
"Plakkkkk!!" Dua tangan bertemu dan melekat kuat, pada saat pertemuan kedua telapak tangan itu, Keng Hong menggunakan ilmunya dan ada daya sedot yang amat kuat keluar dari telapak tangannya, membuat tangan nenek itu melekat pada tangannya dan tenaga sinkang nenek itu tersedot.
"Aihhhhh.....!" Go-bi Thai-houw berteriak seperti jeritan seekor binatang buas. Untuk dua tiga detik hawa sinkangnya menerobos keluar tersedot oleh lawan.
"Heeeiiiiittt!" Keng Hong terkejut sekali dan cepat dia mencelat ke belakang dengan mata terbelalak. Tadinya memang dia merasa berhasil menyedot sinkang nenek itu, akan tetapi tiba-tiba saja hawa sinkang nenek itu berhenti mengalir dan telapak tangannya seolah-olah menyedot sebatang kayu sudah kering sama sekali, bahkan tenaga menempel tangannya pun membuyar dan nenek itu sudah dapat menarik kembali tangan kanan yang tertempel dan tersedot, langsung mengirim tusukan dengan dua buah tangannya ke arah mata Keng Hog! Untung pemuda ini dapat cepat mencelat ke belakang, kalau dia terlambat sedikit saja tentu sepasang biji matanya tercokel keluar!
Sementara itu, lima orang hwesio Siauw-lim-pai tanpa banyak cakap lagi telah menerjang ke depan dan mengeroyok Cui Im. Thian Lee Hwesio sendiri bertangan kosong, hanya menggunakan ujung kedua lengan bajunya sebagai senjata, akan tetapi empat orang sutenya mempergunakan toya pendek yang biasanya mereka pakai sebagai tongkat. Biarpun tingkat kepandaian lima orang hwesio ini tidak ada artinya bagi Cui Im karena masih lebih rendah dari pada tingkat kepandaian Gui Yan Cu, namun pengeroyokan mereka ini membuat dia yang sudah terdesak oleh Biauw Eng dan Cong San, menjadi makin repot menghindarkan diri dari hujan serangan.
Yan Cu mempercepat gerakan pedangnya, mendesak Mo-kiam Siauw-ong yang sudah tak mampu balas menyerang.
"Cring-tringgg..... auggghhh....!" Mo-kiam Siauw-ong hanya berhasil menangkis dua kali, tusukan ketiga kalinya yang dielakannya masih menyerempet pundak sehingga baju dan kulit pundaknya terobek, luka berdarah dan dia meloncat mundur sambil memutar pedang menjaga diri.
Go-bi Thai-houw memandang Keng Hong dengan mata terbelalak. Ia bergidik mengingat daya sedot yang keluar dari telapak tangan pemuda itu dan diam-diam merasa gentar karena maklum bahwa kalau dilanjutkan melawan pemuda ini, akhirnya dia akan kalah. Ia lalu menoleh dan melihat betapa Cui Im juga terdesak hebat, dikeroyok oleh Biauw Eng, Cong San dan lima orang hwesio Siauw-lim-pai. Bahkan Mo-kiam Siauw-ong agaknya sudah terluka dan Yan Cu sudah bersiap membantu pengeroyokan atas diri Cui Im.
Nenek itu tiba-tiba melengking nyaring dan dari kebutannya menyambar sinar-sinar kecil ke arah Keng Hong. Itulah bulu-bulu kebutan yang hampir separuh dari seluruh bulu kebutan itu meluncur seperti jarum-jarum panjang menyerang Keng Hong. Pemuda ini sudah maklum akan kelihaian si nenek iblis dan betapa bahayanya bulu-bulu itu, maka cepat pedangnya berkelebat membentuk gulungan sinar meruntuhkan semua senjata rahasia itu.
Kesempatan ini dipergunakan oleh Go-bi Thai-houw untuk mencelat ke belakang dan sekali sambar ia memegang lengan Mo-kiam Siauw-ong sambil berseru, "Muridku kita pergi dulu!"
Cui Im yang sudah terdesak hebat itu tertawa, kemudian pedangnya berputar cepat membuat para pengeroyoknya menangkis dan mundur. Ia lalu meloncat ke belakang dan tangannya terayun. Berhamburanlah jarum-jarum merah ke arah para pengeroyok. Tentu saja para pengeroyok yang terdiri dari orang-orang pandai itu dapat menghindarkan diri dari jarum-jarum ini, bahkan Biauw Eng yang maklum bahwa sekali terlepas akan sukar melepas bekas sucinya, sudah melepaskan senjata-senjata rahasianya yang tidak kalah hebatnya daripada jarum-jarum merah Cui Im, yaitu bola-bola kecil putih berduri dan sebatang tusuk konde bunga bwee.
Terdengar suara berdencingan nyaring dan ternyata semua senjata rahasia itu runtuh disambar kebutan Go-bi Thai-houw yang memberi kesempatan kepada Cui Im untuk lari lebih dulu. Para pengeroyok Cui Im kini menerjang nenek itu, akan tetapi dengan memutar kebutan, nenek itu dapat menghalau semua pengeroyok kemudia sekali melesat dia telah meloncat jauh sambil menarik tubuh Mo-kiam Siauw-ong.
Keng Hong tidak mengejar karena dia telah berlutut dekat tubuh nenek Tung Sun Nio, memeriksa sebentar kemudian tetap berlutut dengan wajah berduka. Tanpa menoleh dia berteriak,
"Sumoi.....!"
Yan Cu dan Biauw Eng ingin sekali mengejar musuh, akan tetapi mendengar suara panggilan suhengnya, Yan Cu menoleh dan wajahnya berubah pucat. Cepat ia lari menghampiri dan begitu melihat subonya yang masih duduk bersila, dia cepat berlutut dan menangis.
"Subo.....! Subo.....!" Suaranya tercekik di kerongkongan dan ia tentu roboh pingsan kalau tidak cepat dirangkul oleh Keng Hong yang menghiburnya,
"Sumoi, kuatkan hatimu!"
Biauw Eng juga berlutut di depan tubuh Tung Sun Nio yang telah menjadi mayat itu. Ketika Cong San hendak lari menghampiri, Thian Lee Hwesio berkata,
"Yap-sute.....!"
Cong San tersentak kaget dan menoleh. Suara suhengnya terdengar keras seperti mengandung kemarahan, apalagi ketika dia memandang kelima orang suhengnya dan melihat sikap mereka yang kaku dan dingin. "Ada apakah.....?" Ia tergagap bertanya.
Episode 391 "Sute, hayo tingalkan tempat ini dan ikut kami menghadap suhu. Tempat dan keluarga ini tidak layak bagimu dan ada urusan besar mengenai kedudukan suhu sebagai ketua Siauw-lim-pai!"
Cong San makin terbelalak heran dan kaget. "Akan tetapi.....!" Ia menoleh dan melihat Yan Cu, isterinya, menangis tersedu-sedu dihibur Keng Hong yang merangkulnya. Ada perasaan yang amat tidak enak naik ke hati dan kepalanya, akan tetapi cepat ditekannya dan dia menjawab, "Mana mungkin, Suheng" Aku baru saja menikah dan....dan guru isteriku agaknya meninggal.... biarlah kelak aku menyusul Suheng."
"Yap Cong San! Kalau engkau tidak mau memutuskan hubungan dengan isterimu dan keluarganya, engkau bukan sute kami lagi, bukan murid Siauw-lim-pai lagi!" kata Thian Lee Hwesio dengan sikap dingin dan suara mengandung kemarahan.
Cong San menjadi terkejut sekali. "Suheng! Ada apakah......" Apa artinya semua ini......?"
Thian Lee Hwesio mengerti bahwa tadi sutenya ini tidak mendengar kata-kata Go-bi Thai-houw dan belum tahu akan rahasia yang amat memalukan dari suhu mereka. "Mari engkau ikut kami dan akan kami ceritakan semua. Pendeknya, kalau engkau ingin dianggap murid Siauw-lim-pai, engkau harus mentaati kami dan memutuskan hubunganmu dengan mereka itu!"
Cong San mengerutkan keningnya. Apapun yang terjadi, tidak mungkin dia harus memutuskan hubungannya sebagai suami isteri dengan Yan Cu yang dicintanya, dan dia merasa penasaran melihat sikap suheng-suhengnya.
*** "Suheng tidak adil. Biarlah kelak aku menghadap suhu dan minta pengadilan!"
Lima orang itu menghela napas, kemudian mereka pergi tanpa berkata apa-apa meninggalkan tempat itu, meninggalkan Cong San yang masih berdiri dengan kedua alis berkerut. Setelah menggerakan kedua pundak karena benar-benar merasa bingung dan tidak mengerti akan sikap lima orang suhengnya, dia lalu menghampiri Yan Cu yang masih menangis. Tanpa berkata apa-apa dia lalu berlutut di dekat isterinya. Keng Hong melepaskan rangkulannya dan berbisik,
"Cong San, kauhiburlah isterimu," katanya perlahan yang tidak dijawab oleh Cong San, akan tetapi dia lalu merangkul pundak isterinya. Yan Cu tersedu dan menyandarkan kepalanya di dada suaminya.
"Aihhh..... Subo..... tewas dalam membela kita......! Si keparat Bhe Cui Im, aku bersumpah hendak membalas kematian Subo!" Teriak Yan Cu. Baginya, nenek Tung Sun Nio bukan hanya merupakan seorang guru, melainkan juga menjadi pengganti ibu karena sejak kecil dia dirawat dan dididik oleh nenek itu.
"Sumoi, tenanglah. Lupakah engkau bahwa kematian adalah kehendak Tuhan" Tangan Cui Im dan Go-bi Thai-houw hanya merupakan alat saja bagi kematian Subo. Kalau Thian tidak menghendaki, biar ada sepuluh Go-bi Thai-houw tak mungkin Subo sampai tewas. Pula, Subo sudah berusia tinggi dan beliau tewas sebagai seorang gagah perkasa, tewas dalam pertempuran melawan musuh yang memang amat sakti. Lebih baik kita mengurus jenazahnya secara baik-baik."
Pertempuran telah selesai karena para sisa anak buah bajak yang melihat betapa pimpinan mereka melarikan diri, cepat melarikan diri pula. Ada beberapa orang di antara mereka yang tidak sempat dan roboh oleh para tokoh kang-ouw yang mengamuk. Ternyata perang kecil itu menjatuhkan korban yang amat banyak, terutama sekali di fihak bajak yang kehilangan lebih dari lima puluh orang yang kini malang melintang menjadi mayat. Belasan orang tamu yang tidak berkepandaian juga menjadi korban, dan enam orang kang-ouw yang tadinya menjadi tamu, tewas pula. Beberapa orang terluka, di antaranya Ouw Kian ketua Tiat-ciang-pang yang terluka pahanya karena sabetan golok. Kini mereka sibuk mengobati yang luka dan mengurus mayat-mayat yang memenuhi lereng Gunung Cin-ling-san. Pesta bersukaria menyambut pernikahan dua pasang mempelai kini berubah menjadi perkabungan yang menyedihkan disertai sumpah serapah terhadap para bajak yang datang mengacau, terutama sekali terhadap dua orang tokoh golongan hitam, yaitu Ang-kiam Bu-tek dan Go-bi Thai-houw.
Biauw Eng dan Yan Cu menangisi jenazah Tung Sun Nio dan setelah mereka mengangkat jenazah itu ke dalam ruangan rumah yang masih belum dimakan api yang keburu dipadamkan oleh para tokoh kang-ouw yang tadi ikut bertanding membantu fihak tuan rumah, kedua orang pengantin wanita ini lalu mencari ganti pakaian untuk mengganti pakaian pengantin mereka. Ketika Yan Cu bertukar pakaian menanggalkan pakaian pengantinya, baru ia terkejut melihat tanda darah di pakaian dalam yang dipakainya ketika bertanding tadi. Maklumlah ia bahwa tendangan kaki Go-bi Thai-houw tadi biarpun tidak mendatangkan luka dalam yang parah, namun telah mengakibatkan sesuatu di bagian tubuhnya yang membuat ia merasa terkejut dan juga cemas sekali. Kedua pipinya menjadi pucat, kemudian merah dan dia cepat membersihkan darah dan berganti pakaian, kemudian keluar lagi untuk mengurus jenazah gurunya dengan hati penuh duka.
Sementara itu, Keng Hog dan Cong San sibuk mengurus mayat-mayat para tamu yang menjadi korban dan para sahabat kang-ouw yang juga tewas dalam pertandingan tadi. Setelah senja baru mereka, dibantu orang-orang kang-ouw dan penduduk di wilayah Pegunungan Cin-ling-san, menyelesaikan tugas mereka mengubur semua mayat termasuk mayat-mayat para bajak.
Jenazah nenek Tung Sun Nio dimasukan peti dan selama sehari semalam mereka mengadakan upacara sembahyang dengan penuh duka. Pada hari kedua, peti itu dikubur, diiringi tangis Yan Cu dan Biauw Eng. Setelah selesai, barulah Yan Cu teringat akan ucapan nenek Go-bi Thai-houw, maka ia menghampiri suaminya yang kelihatannya selalu bermuram sambil berkata,
"Kita harus cepat pergi ke Siauw-lim-si. Aku amat mengkhawatirkan keadaan gurumu, ketua Siauw-lim-pai."
"Hemmm.... mengapa?" Mendengar suara suaminya, Yan Cu memandang dengan heran. Suara itu demikian kaku dan dingin, sedangkan pandang mata suaminya selalu seperti hendak menghindari pertemuan secara langsung. Semenjak mereka bersembahyang sebagai suami isteri, mereka tidak memdapat kesempatan untuk banyak bicara dan berkumpul berdua saja sehingga pada saat itu dia hanya menjadi isteri dalam sebutan saja.
"Apakah yang terjadi, Sumoi?" Keng Hong yang mendengar percakapan mereka, bertanya, memandang Yan Cu dengan sinar mata penuh selidik. Juga Biauw Eng menghampiri dan memegang lengan Yan Cu sambil bertanya,
Episode 392 "Mengapa engkau mengkhawatirkan keadaan ketua Siauw-lim-pai?"
Dengan suara tersendat-sendat dan air mata kembali mengalir mengingat akan nasib subonya yang sebelum tewas di tangan Go-bi Thai-houw lebih dahulu harus mendengar betapa rahasia pribadinya yang tidak harum itu dibongkar oleh nenek iblis itu, yang tidak didengar oleh Cong San, Keng Hong dan Yan Cu, lalu menceritakan akan ucapan-ucapan Go-bi Thai-houw.
"Pembongkaran rahasia Subo yang sudah sama kita ketahui itu didengar pula oleh lima orang hwesio Siauw-lim-pai sehingga mereka itu kelihatan marah. Mereka menghentikan pertandingan dan mendesak kepada mendiang Subo untuk mengatakan hal yang sebenarnya. Subo mengaku dan.... dan para hwesio itu agaknya menjadi benci dan menyesal, sehingga mereka tidak mau membantu kami, bahkan baru turun tangan membantu mengeroyok Cui Im setelah didesak oleh Subo. Aku khawatir kalau-kalau mereka itu akan membawa perkara ini ke Siauw-lim-pai dan......."
"Ahhh! Begitukah" Pantas saja sikap mereka menjadi murung dan marah-marah kepadaku!" Cong San tiba-tiba berkata.
"Sikap mereka bagaimana, Cong San?" Keng Hong bertanya.
Cong San sejenak memandang Keng Hong dan pendekar muda yang sakti ini, seperti juga Yan Cu, melihat sesuatu yang aneh dalam pandang mata Cong San, seolah-olah pemuda itu menjadi dingin terhadapnya. Cong San membuang muka dan menggeleng kepala.
"Tidak apa-apa, hanya aku........ aku sekarang juga harus menyusul para suheng itu ke Siauw-lim-si! Aku akan berangkat sekarang!" Sambil berkata demikian, murid Siauw-lim-pai itu bangkit berdiri, membalikan tubuhnya dan hendak pergi dari situ.
"San-koko......!" Tiba-tiba Yan Cu meloncat bangun dan menghampiri Cong San yang membalikan lagi tubuhnya secara acuh tak acuh, "Apakah engkau tidak mengajak aku?"
"Ahhh..... maaf, kusangka kau....... akan mengabungi kematian subomu dan...... dan.....ah, aku menjadi bingung oleh urusan suhu sehingga terlupa........"
"Aku ikut bersamamu!" kata Yan Cu yang memandang suaminya dengan terheran-heran dan juga kasihan karena dia mengira bahwa suaminya benar-benar karena terlalu mengkhawatirkan keadaan gurunya dan karena pukulan batin yang terjadi akibat penyerbuan bajak-bajak itu menjadi seperti linglung!
"Marilah....." jawab Cong San, sikapnya masih dingin.
"Suheng, Biauw Eng cici, aku pergi dulu!" kata Yan Cu.
Biauw Eng dan Keng Hong hanya bisa mengangguk dan setelah mereka berdua pergi, mereka saling berpandangan dengan penuh keheranan. Keadaan di situ sunyi karena para tamu telah pulang semua, sunyi dan amat menyeramkan kalau mereka teringat akan peristiwa hebat yang terjadi dua hari yang lalu.
*** Keng Hong menjadi terharu sekali ketika memandang bayangan Yan Cu yang menghilang bersama suaminya. Ia merasa kasihan kepada sumoinya itu yang harus mengalami kedukaan hebat di saat pernikahannya. Saat yang mestinya menjadi saat yang paling mengembirakan bagi sumoinya berubah menjadi saat yang menyedihkan. Pemuda yang sudah banyak tergembleng oleh pengalaman-pengalaman pahit dalam hidupnya ini, walapun masih muda, sudah pandai menyisihkan diri pribadi ke samping dan lebih memprihatikan keadaan orang lain. Dia lupa bahwa malapetaka itu bukan hanya menimpa diri sumoinya, akan tetapi juga dia sendiri, akan tetapi tidak ada penyesalan untuk dirinya sendiri!
"Kasihan sekali Sumoi....., heran, mengapa sikap Cong San seperti itu?" Ia menggumam seperti bicara kepada diri sendiri.
"Aihhh...., aku mengerti sekarang!" Tiba-tiba Biauw Eng berseru. Sejak tadi dia pun memikirkan Cong San yang dingin dan wajahnya yang muram itu. "Dia cemburu!!"
Keng Hong tertegun, tidak mengerti. "Siapa yang cemburu?"
"Yap Cong San, hatinya penuh cemburu, pantas saja sikapnya seperti itu!"
"Hah" Cemburu" Kepada siapa?"
"Kepada Yan Cu tentu! Kalau tidak cemburu kepada isterinya, kepada siapa lagi?"
"Apa" Cong San cemburu kepada Yan Cu" Apa maksudmu" Dicemburukan dengan siapa?"
"Dengan siapa lagi kalau bukan dengan engkau, Keng Hong! Betapa bodohnya engkau?"
Keng Hong makin melongo. "Apa" Mencemburukan Yan Cu dengan aku" Dia sumoiku sendiri" Dan mengapa Cong San mencemburukannya dengan aku?"
Melihat keheranan suaminya, Biauw Eng tersenyum menggoda, "Justeru karena suhengnya engkau inilah maka dia cemburu setengah mati!"
Keng Hong mengerutkan keningnya melihat isterinya tersenyum seperti itu. "Eh, Mio-moi, jangan main-mani, Kau! Ini urusan penting dan besar. Apakah sesungguhnya yang telah terjadi sehingga kau menduga Cong San cemburu?"
"Bukan hanya menduga, bahkan aku yakin. Dan semua ini gara-gara si keparat Bhe Cui Im!"
Mendengar ini, Keng Hong menjadi makin khawatir. Terbayanglah olehnya akan semua pengalamannya dahulu ketika dia pun termakan racun cemburu terhadap Biauw Eng akibat perbuatan Cui Im yang amat licik, maka dia cepat bertanya,
"Apa maksudmu" Ceritakanlah!"
Biauw Eng lalu menceritakan tentang ucapan-ucapan Cui Im yang merupakan racun berbahaya, fitnahan-fitnahan yang dilontarkan oleh Cui Im terhadap hubungan antara Yan Cu dan Keng Hong di depan Cong San.
"Melihat sikap Cong San, tidak salah lagi dugaanku bahwa tentu dia telah terkena racun itu dan menjadi cemburu terhadap isterinya, dalam hubungannya dengan engkau."
Episode 393 Wajah Keng Hong berubah merah sekali mendengar penuturan ini dan dia mengepal tinjunya. "Celaka! Kalau begitu aku harus cepat mengejar mereka untuk meyakinkan hati Cong San!"
Biauw Eng cepat memegang lengan suaminya yang sudah hendak melompat dan lari mengejar Cong San dan Yan Cu. "Tenanglah. Orang yang bersalah selalu ingin tergesa-gesa menyangkal kesalahannya, sebaliknya orang yang sabar akan tetap tenang karena yakin akan kebenarannya. Kalau Cong San demikian dangkal kepercayaannya terhadap isteri sendiri sehingga hatinya diracun cemburu, biarlah dia merasakannya dan mengalami penderitaan dari kebodohannya sendiri. Kalau engkau tergesa-gesa mengejar mereka dan menyangkal semua itu, hatinya bukan menjadi yakin malah akan lebih besar rasa cemburunya. Biarkan mereka pergi."
Keng Hong menghela napas panjang. "Engkau benar, isteriku. Engkau selalu benar karena dalam hal cemburu ini aku sendiri sudah merasakannya, sudah banyak menderita karena kebodohanku itu. Akan tetapi, menurut penuturan Yan Cu tadi, akan terjadi hal-hal yang hebat di Siauw-lim-pai, mengenai diri dan kedudukan Tiong Pek Hosiang berkenaan dengan urusannya di waktu muda dengan subo. Karena hal ini menyangkut diri mendiang suhu dan suboku, juga berarti menyangkut diri mendiang ayah kandungmu dan ibu tirimu, sudah sepatutnya kalau kita berusaha meredakannya dan mengunjungi Siauw-lim-pai."
Biauw Eng mengangguk-angguk kemudian menjawab tenang, "Sepatutnya, memang. Akan tetapi tidak semestinya. Urusan ketua Siauw-lim-pai dan para muridnya adalah urusan dalam partai itu sendiri. Cong San adalah murid Siauw-lim-pai, dan Yan Cu adalah isterinya, sudah semestinya kalau mereka itu menyusul ke Siauw-lim-si. Akan tetapi, kita berdua adalah orang-orang luar, bagaimana kita boleh lancang mencampuri urusan dalam Siauw-lim-pai" Jangan-jangan malah akan timbul salah faham dan akan mengakibatkan permusuhan.Keng Hong, engkau telah berhasil, sungguhpun tidak sempurna, untuk melenyapkan sikap bermusuh dunia kang-ouw terhadap mendiang ayahku dan engaku telah mengalami banyak hal yang tidak menyenangkan dari permusuhan itu. Apakah tidak mengerikan kalau sampai fihak Siauw-lim-pai menjadi salah faham oleh campur tangan kita dan memusuhi kita" Alasan apa yang akan kaukemukakan, hak apa yang kau miliki untuk mencampuri urusan dalam mereka?"
Keng Hong merasa terpukul dan sejenak dia tidak mampu menjawab, hanya memandang wajah isterinya itu sampai lama, baru kemudian dia menjawab dengan ketenangan goyah,
"Eng-moi....... isteriku yang bijaksana, habis bagaimana baiknya menurut pendapatmu?"
"Kita tidak perlu mencampuri urusan pribadi ketua Siauw-lim-pai kalau kita tidak ingin terlibat ke dalam permusuhan yang tidak enak, akan tetapi benar seperti katamu tadi bahwa urusan itu masih menyangkut pula diri mendiang ayahku dan ibu tiriku, sebaiknya kita melihat-lihat dari dekat dan melakukan perjalanan tamasya di dekat darah Siauw-lim-si. Bukankah kita dalam masa pengantin baru dan dalam suasana bulan madu" Adapun tentang Cong San yang cemburu, kelak engkau mengirim surat saja kepadanya, mencoba untuk meyakinkan hatinya dan mengusir perasaan cemburu yang berbahaya itu dari hatinya. Bagaimana, setujukah?"
Keng Hong menjadi girang sekali, wajahnya berseri dan dia memeluk isterinya.
"Engkau hebat, Moi-moi. Satu pertanyaan lagi."
"Perlukah itu?" "Perlu sekali, pertanyaan yang timbul dari sikap Cong San yang terkena racun omongan Cui
Im. Hatiku takkan tenteram sebelum mendapat jawabanmu."
"Tanyalah."
"Mendengar ucapan-ucapan Cui Im yang beracun, Cong San menjadi cemburu kepada Sumoi, bagaimana dengan engkau" Apakah engkau tidak cemburu kepadaku" Mengingat akan tingkah lakuku di masa lalu......"
"Hussshhh....... sudahlah. Aku bukan orang yang suka menangisi masa lalu, melainkan sorang yang melihat masa depan. Hal-hal yang telah lalu itu kuanggap sebagai ujian terhadap cinta kasihmu kepadaku, Keng Hong. Buktinya, pada saat terakhir engkau tetap memilih aku sebagai isterimu!"
"Biauw Eng......" Keng Hong menjadi terharu dan merasa bahagia sekali, dirangkulnya leher isterinya dan diciumnya bibir yang mengucapkan kata-kata bijaksana itu.
Akan tetapi hanya sebentar saja Biauw Eng membalas ciumannya, lalu merenggutkan dirinya terlepas dari ciuman dan pelukan suaminya. "Jangan di sini! Apa kau tidak malu?"
Keng Hong tersenyum mengoda. "Malu-malu kucing! Malu kepada siapa" Di sini tidak ada orang....."
Biauw Eng melotot dan bertolak pinggang, dengan sikap marah buatan. "Di depan makam subomu kau masih berani bilang di sini tidak ada orang?"
"Wah-wah-wah, kau benar..... aku salah lagi. Maafkan aku, Moi-moi, akan tetapi ada satu permintaan lagi dariku."
"Asal yang pantas, sebagai isterimutentu saja aku akan memenuhi permintaanmu."
"Setelah kita menikah, mengapa engaku masih saja menyebut aku dengan namaku begitu saja" Engkau benar-benar isteri yang kurang ajar!"
*** Biauw Eng menjadi merah kedua pipinya. "Maafkan aku....... Koko......"
Demikianlah, hanya mereka yang pernah mengalami masa pengantin baru sajalah yang dapat merasakan kebahagian yang dirasakan Keng Hong dan Biauw Eng di saat itu. Omongan-omongan yang kecil-kecil dan kosong, pandang mata yang saling mencurahkan percakapan tanpa kata denqan kasih sayang mendalam dan mesra, gerakan-gerakan yang kelihatan tidak berarti, senyuman-senyuman penuh madu, semua ini membuat sinar matahari kelihatan amat cerah, warna-warni di permukaan bumi menjadi lebih cemerlang dan dunia kelihatan indah sekali, seakan-akan dalam sekejap mata berubah menjadi sorga!
Ketika hendak berangkat meninggalkan bekas tempat tinggal nenek Tung Sun Nio yang kini menjadi makamnya, Biauw Eng memasuki bekas rumah yang terbakar untuk mencari sisa-sisa pakaian dan barang-barang berharga untuk dibawa pergi sebagai bekal dalam perjalanannya berbulan madu dengan suaminya. Ia melihat pakaian pengantin yan Cu bertumpuk di sudut kamar yang tadinya disediakan untuk kamar pengantin Yan Cu dan Cong San. Sambil menghela napas panjang, diam-diam ia mengkhawatirkan kebahagiaan Yan Cu dengan suaminya, diambilnya pakaian pengantin itu dengan maksud untuk dibawanya dan kelak diberikannya kepada Yan Cu. Pakaian pengantin tidak boleh dibuang begitu saja karena pakaian itu merupakan benda pusaka peringatan bagi seorang isteri. Akan tetapi, betapa kagetnta ketika ia melihat tanda-tandadarah di pakaian bagian bawah. Ia memegangi pakaian itu dengan alis berkerut. Jelas bahwa Yan Cu terluka dalam pertempuran tadi, akan tetapi mengapa Yan Cu diam saja, bahkan tidak kelihatan seperti orang menderita luka sama sekali" Tentu hanya luka ringan, akan tetapi sampai berdarah! Biauw Eng memutar otaknya, kemudian menganguk-anguk dan hatinya makin khawatir akan kebahagiaan Yan Cu, akan tetapi ia diam-diam menyimpan pakaian itu dan mengambil keputusan untuk tidak menceritakan kepada siapa juga.
Episode 394 Tak lama kemudian, suami isteri yang masih pengantin baru ini bergandengan tangan meninggalkan lereng Pegunungan Cin-ling-san, menuju ke timur di mana matahari pagi yang cerah menyinarkan cahaya keemasan. Pertama yang baik bagi mereka, seolah-olah mereka sedang mulai dengan perjalanan hidup baru, kepada sinar terang! Akan tetapi siapa tahu apa yang menanti di depan" Perjalanan hidup penuh lika-liku, penuh rahasia dan peristiwa yang tak terduga-duga sebelumnya, seolah-olah keadaan laut yang kadang-kadang tenang kadang-kadang bergelombang.
Cong San dan Yan Cu melakukan perjalanan yang cepat Ilmu ginkang mereka yang tinggi membuat mereka dapat lari cepat dengan kaki yang ringan sekali. Akan tetapi, hati mereka tidaklah seringan gerakan kaki mereka. Hati mereka berat dan terhimpit, tertekan oleh duka dan keraguan. Di sepanjang perjalanan itu, Cong San selalu murung dan pendiam, sedangkan Yan Cu yang mengira bahwa suaminya tentu amat gelisah memikirkan gurunya dan masih berduka oleh peristiwa yang menimpa saat pernikahan mereka, ikut pula berprihatin dan sekali-kali kalau ada kesempatan, berusaha menghibur suaminya yang disambut oleh Cong San dengan dingin.
Tidak keliru dugaan Biuaw Eng. hati Cong San terhimpit oleh rasa cemburu. Dan karena pemuda ini berusaha sekuat tenaga batinnya untuk mengusir dan melawan perasaan ini, maka terjadilah perang hebat di dalam hatinya yang membuatnya di sepanjang perjalanan itu murung dan pendiam. Terngiang dalam telingannya selalu ucapan Cui Im ketika dia bertanding melawan iblis betina itu.
"Yap Cong San, apakah kau kira isterimu itu belum ditiduri Keng Hong."
Ia mengerutkan alis dan berusaha mengusir gema suara ini, akan tetapi dia malah mendengar suara Cui Im yang melontarkan tuduhan-tuduhan keji,
"Kau pemuda tolol yang tidak mau melihat kenyataan! Engkau mengenal siapa Keng Hong. Aku berani bertaruh bahwa isterimu itu bukan gadis lagi. Karena hanya Biauw Eng satu-satunya gadis yang belum bisa dia dapatkan, maka dia memilih Biauw Eng. Isterimu adalah bekasnya, hi-hi-hik!"
Keparat betina bermulut keji Bhe Cui Im dan berusaha sekuat tenaga untuk melupakan semua ucapan itu. Fitnah belaka, pikirnya. Akan tetapi, seolah-olah setan selalu mendekati benaknya, tiba-tiba di depan matanya terbayang adegan yang dianggapnya tidak semestinya, di depan tubuh Tung Sun Nio yang telah menjadi mayat. Yan Cu menangis dan dirangkul oleh Keng Hong yang berbisik-bisik dengan sikap mesra! Setelah gadis itu menjadi isterinya, Keng Hong masih merangkulnya, apalagi sebelum menjadi isterinya! Mereka telah melakukan perjalanan berdua, selama berbulan-bulan. Yan Cu demikian cantik jelita tak mungkin ada pria yang tidak timbul gairahnya jika melihat Yan Cu. Dan Keng Hong seorang pria yang tampan dan gagah perkasa. Gagah perkasa dan lihai sekali, jauh melebihi dirinya! Juga dia sudah tahu akan sifat Keng Hong yang mata keranjang, suka akan wanita-wanita cantik. Hanya Biauw Eng yang belum bisa didapatkannya, maka Keng Hong memilih Biauw Eng! Yan Cu adalah bekasnya, pernah ditidurinya! Bekasnya! Pernah ditidurinya! Ucapan ini terngiang berkali-kali di dalam kepala dan langsung menusuk hati Cong San sehingga tiba-tiba dia mengeluarkan seruan keras,
"Tidak! Keparat! Tidak.....!!" Ia berhenti dan memejamkan kedua matanya tubuhnya bergoyang-goyang.
Yan Cu terkejut sekali dan mendepak pundak suaminya, "Koko, engkau kenapakah" Ada apakah?" Ia bingung dan khawatir menyaksikan suaminya.
Bisikan-bisikan mengejek memenuhi telinga Cong San. Huh, perempuan rendah seperti ini, lemparkan saja. Dia membujuk-bujukmu mengandalkan kecantikannya, tahu" Tidak, bantah suara lain di hati Cong San. Engkau gila oleh cemburu yang dibangkitkan oleh omongan beracun Bhe Cui Im. Dalam beberapa detik itu terjadi perang hebat dan akhirnya suara ke dua yang menang.
Cong San balas merangkul isterinya, mendekap kepala isterinya di dadanya. Yan Cu merasa demikian bahagia dan terharu sehingga ia menangis, menangis karena lega. Baru saat ini agaknya suaminya sadar dari cengkeraman duka dan gelisah.
Mendengar isterinya terisak menangis dan air mata yang hangat membasahi dadanya, Cong San membelai rambut yang halus hitam panjang mengharum itu. "Maafkan aku, Moi-moi. Aku seperti gila karena........ duka dan khawatir. Kalau sampai urusan suhu tersiar....., aihhh, kasihan sekali suhu. Dan para suheng itu....... mereka adalah orang-orang beragama yang amat fanatik, tentu akan terjadi apa-apa dengan kedudukan suhu sebagai ketua Siauw-lim-pai."
Yan Cu merenggangkan mukanya dan menengadah, memandang wajah suaminya dengan air mata masih membasahi pipinya, akan tetapi sinar matanya mesra penuh kasih dan mulutnya tersenyum penuh hiburan. "Jangan khawatir, suamiku. Suhumu adalah seorang sakti yang bijaksana sekali, tentu akan dapat mengatasi segala macam hal yang datang menimpa. Harap kau jangan terlalu banyak berduka dan bergelisah, karena kalau sampai engkau jatuh sakti....... ahhh, akulah yang akan bersedih dan bergelisah."
"Yan Cu.....! Isteriku, aku....... aku cinta padamu!"
Yan Cu tersenyum dan kedua pipinya menjadi merah sekali. Matanya yang indah itu mengerling penuh kemanjaan dan kemesraan, bibirnya berbisik, "Kalau tidak mencinta, masa mau menjadi suamiku" Aku pun cinta padamu, Koko......"
Cong San menunduk dan menciumnya. Sejenak mereka berdekapan dan lenyaplah semua duka dan kegelisahan, bahkan dalam saat itu Cong San seolah-olah mendengar sumpah-serapah setan yang suaranya selalu membujuk-bujuknya tadi, suara..... Cui Im. Hampir dia tertawa sendiri, mentertawakan Cui Im, mentertawakan diri sendiri.
Akan tetapi dia teringat akan suhunya, melepaskan pelukan dan menggandeng tangan Yan Cu. "Betapapun juga, kita tidak boleh terlambat. Aku harus hadir kalau para suheng hendak menuntut suhu karena peristiwa di waktu mudanya itu, dan aku akan membela suhu."


Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mereka melanjutkan perjalanan, berlari cepat sambil bergandengan tangan.
Cemburu bagaikan api yang menyala dan membakar perlahan-lahan. Kalau tidak cepat dipadamkan, akan dapat mengakibatkan kebakaran besar di dalam hati. Semenjak muda, Cong San telah mendapat gemblengan batin dari gurunya sehingga biarpun ucapan-ucapan Cui Im merupakan racun hebat yang menyerangnya, merupakan api yang mulai membakar hatinya, namun dengan kebijaksanaan, tanpa adanya bukti, dia dapat menguasainya dan dapat memadamkan api cemburu yang berbahaya itu. Dia cukup bijaksana untuk menahan perasaannya sehingga ketika dia dilanda nafsu cemburu tadi, dia tidak pernah menyatakan sesuatu kepada Yan Cu, isterinya yang amat dicintanya itu, karena kalau sampai hal itu dilakukannya, tentu akan menimbulkan akibat yang lebih parah lagi.
*** Episode 395 Kedatangan Cong San dan Yan Cu di kuil Siauw-lim-si tepat pada waktu persidangan besar antara pimpinan Siauw-lim-pai diadakan. Cong San, sebagai murid termuda akan tetapi juga murid terpandai dari ketua Siauw-lim-pai, langsung memasuki ruangan persidangan itu tanpa ada yang berani mencegah. Begitu masuk, melihat wajah Tiong Pek Hosiang yang tenang namun pucat, menghadapi seluruh pimpinan Siauw-lim-pai yang terdiri dari hwesio-hwesio berkedudukan tinggi, para sute sang ketua sendiri dan para tokoh tua lainnya dalam suasana yang sunyi dan tegang, Cong San mengajak Yan Cu serta merta menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Tiong Pek Hosiang. Semua mata para dewan pimpinan memandang ke arah Cong San penuh keraguan dan ke arah Yan Cu penuh penyesalan. Mereka tadi sudah mendengar penuturan Thian Lee Hwesio dan empat orang sutenya akan peristiwa yang terjadi di lereng Cin-ling-san dan akan pembongkaran rahasia pribadi ketua Siauw-lim-pai oleh Go-bi Thai-houw dan pengakuan terang-terangan dari Tung Sun Nio, isteri mendiang Sin-jiu Kiam-ong. Tentu saja mereka menganggap dara yang cantik itu keturunan atau murid dari golongan-golongan sesat yang terkutuk sehingga mereka sependapat dengan Thian Lee Hwesio, yaitu bahwa gadis itu tidak patut menjadi isteri seorang murid Siauw-lim-pai yang paling mereka banggakan.
Tiong Pek Hosiang memandang muridnya dengan senyum di bibir, sikapnya tenang sekali dan di menganguk-angguk. "Baik sekali engkau mengambil keputusan untuk datang, Cong San. Engkau berhak untuk mengikuti persidangan ini, dan isterimu karena dia telah menjadi isterimu dan dia pun murid Tung Sun Nio, dia pun pinceng perbolehkan untuk mengikuti persidangan ini. Duduklah kalian di sana." Hwesio tua itu menuding ke kiri dan tanpa banyak cakap karena dia mengerti bahwa suhunya tentu telah mendengar akan pembongkaran rahasia pribadinya, Cong san mengajak Yan Cu duduk di atas bangku sebelah kiri, kemudian menanti dilanjutkan persidangan itu dengan hati tenang.
Hadirnya Thian Kek Hwesio yang duduk di kursi sama tinggi dengan ketua membuat hati Cong San makin tegang. Dia tahu apa artinya persidangan ini karena dia mengenal Thian Kek Hwesio sebagai tokoh Siauw-lim-pai yang selalu diangkat menjadi ketua penengah atau semacam hakim untuk mengadili jalannya persidangan! Hwesio ini bertubuh tinggi besar, berkulit hitam, bermata lebar, sikapnya kasar akan tetapi dia jujur sekali dan karena kejujurannya inilah, karena semua orang tahu bahwa Thian Kek Hwesio ini menjunjung tinggi kejujuran dan keadilan melebihi segala apa di dunia, maka dia selalu diangkat untuk mengadili perkara-perkara yang timbul di kalangan para anggauta Siauw-lim-pai sendiri. Dan memang dalam kedudukan atau tingkat, Thian Kek Hwesio menjadi orang ke dua setelah ketuanya. Biarpun Thian Kek Hwesio juga menerima pelajaran ilmu dari Tiong Pek Hosiang dan berarti masih muridnya, murid ke dua karena murid pertama, Thian Ti Hwesio telah tewas di tangan Cui Im, namun hwesio tinggi besar berkulit hitam ini telah sejak kecil menjadi hwesio dan sebelumnya telah menerima ilmu silat dan pelajaran agama dari ketua yang lama. Ilmu silatnya, biarpun tidak setinggi tingkat Cong San yang mewarisi kepandaian suhunya, namun sudah membuat hwesio ini merupakan seorang tokoh Siauw-lim-pai yang terkenal.
"Thian Lee, teruskan kata-katamu yang terputus oleh datangnya Cong San tadi," terdengar ketua Siauw-lim-pai berkata dengan suara halus dan sikap tenang.
Thian Lee Hwesio mengusap keringat dari dahi dengan ujung bajunya. Tugasnya amat berat dan menekan hatinya. Betapa dia tidak akan merasa berat kalau harus menjadi penuntut gurunya sendiri, bahkan ketuanya sendiri" Namun, dengan keyakinan bahwa yang dilakukannya adalah demi kebenaran, dia lalu mengangkat muka dan berkata dengan suara nyaring.
"Teecu telah menceritakan semua yang terjadi di lereng Cin-ling-san dan semua kata-kata busuk yang diucapkan Go-bi Thai-houw. Seandainya kata-kata nenek itu hanya merupakan fitnah belaka, teecu bersumpah akan membela kebersihan nama Suhu dengan pertaruhan nyawa teecu. Akan tetapi karena yang bersangkutan telah mengaku, terpaksa teecu mengajukannya ke sidang ini, sekali-kali bukan untuk mencelakakan Suhu, melainkan semata-mata demi menjaga kebersihan dan kehormatan nama Siauw-lim-pai. Setelah nenek iblis itu membocorkan rahasia, tentu dia akan menyebar luaskannya ke dunia kang-ouw dan kalau hal ini terjadi, dan pasti akan terjadi karena ketika dia bicara di lereng Cin-ling-san, banyak pula orang kang-ouw yang mendengarnya, maka menurut pendapat pinceng beserta semua anggauta Siauw-lim-pai, kedudukan Suhu sebagai ketua tak mungkin dapat dipertahankan lagi. Selain itu, juga pernikahan sute Yap Cong San sebagai seorang tokoh muda Siauw-lim-pai yang diharapkan bersetia dan menjunjung tinggi nama Siauw-lim-pai, jika tidak dibatalkan dan dia melanjutkan hubungan jodoh itu dengan anggauta keluarga yang sudah demikian tercemar namanya, juga akan merendahkan nama besar Siauw-lim-pai. Teecu mewakili seluruh anggauta Siauw-lim-pai mohon keputusan yang seadilnya demi kehormatan Siauw-lim-pai!"
Hening setelah hwesio ini menghentikan kata-katanya. Suasanya menjadi sunyi dan tegang sekali, hampir semua orang yang hadir tidak ada yang berani memandang langsung ke arah ketua mereka. Di dalam hati, mereka semua membenarkan ucapan Thian Lee Hwesio yang tidak mungkin dapat disangkal kebenarannya, akan tetapi, urusan ini bukanlah menyangkut diri seorang anggauta biasa dari Siauw-lim-pai, bukan seorang murid biasa melainkan ketua mereka sendiri! Mereka yang biasanya suka mengemukakan pendapatnya dalam persidangan seperti itu apabila ada seorang anggauta Siauw-lim-pai yang diadili, kini bungkam dan tidak membuka mulut!
Terdengar suara batuk-batuk yang memecahkan kesunyian, suara Thian Kek Hwesio yang juga selama hidupnya baru sekali ini menghadapi perkara yang menegangkan dan yang membuat hatinya amat tidak enak. Betapapun juga, diam-diam dia harus mengakui bahwa selama menjadi ketua, Tiong Pek Hosiang telah banyak jasanya untuk Siauw-lim-pai dan belum pernah melakukan penyelewengan, namun dia pun harus membenarkan pendapat dan tuntutan Thian Lee Hwesio yang dia merasa yakin tidak menuntut karena hati benci atau dendam kepada ketua Siauw-lim-pai yang juga menjadi gurunya .
Setelah terbatuk-batuk, terdengarlah suara Thian Kek Hwesio, suara yang besar parau dan terdengar jelas satu-satu oleh mereka yang berada di situ, "Kami telah mendengar bunyi tuntutan dan menimbang bahwa isi tuntutan memang seluruhnya demi kepentingan nama Siauw-lim-pai, maka tuntutan dapat di terima untuk diteruskan kepada fihak tertuntut. Kami persilahkan ketua Siauw-lim-pai untuk mengajukan pembelaannya."
Kembali hening sejenak dan semua orang tanpa memandang muka ketua Siauw-lim-pai, menahan napas untuk mendengar apa yang akan diucapkan sang ketua menghadapi tuntutan berat itu. Akhirnya, Tiong Pek Hosiang menarik napas panjang dan berkata, "Omitohud..... betapa melegakan hati menghadapi hukuman yang timbul akibat dari perbuatan sendiri, dan betapa menggembirakan menyaksikan para anggauta Siauw-lim-pai sedemikian setia terhadap Siauww-lim-paidan berjiwa gagah, berdasarkan keadilan dan kebenaran sehingga kalau perlu berani menentang fihak atasan demi nama baik dan kehormatan Siauw-lim-pai! Pembelaan apa yang harus pinceng katakan! Ucapan Go-bi Thai-houw bukanlah fitnah belaka dan pinceng mengakui bahwa memang perbuatan maksiat itu prnah pinceng lakukan di waktu muda!"
Episode 396 Kini semua orang mengangkat muka memandang sang ketua dengan wajah pucat. Tadinya mereka masih mengharapkan bahwa ketua itu akan menyangkal karena mungkin saja orang-orang seperti Go-bi Thai-houw dan Tung Sun Nio itu sengaja mengeluarkan fitnahan untuk menjatuhkan nama baik ketua Siauw-lim-pai. Akan tetapi ternyata kini ketua mereka telah mengaku!
Biarpun wajahnya agak pucat, sikap ketua Siauw-lim-pai itu tenang sekali ketika ia memandang semua orang dan melanjutkan kata-katanya dengan mengucapkan syair pelajaran Agama Buddha,
"Tidak di langit tidak di tengah lautan tidak pula di dalam gua-gua atau di puncak gunung-gunung tiada sebuah tempat pun untuk menyembunyikan diri untuk membebaskan diri dari akibat perbuatan jahatnya!"
Cong San menjadi terharu sekali. Dialah satu-satunya orang diantara semua anggauta Siauw-lim-pai yang telah tahu akan berbuatan gurunya yang di waktu mudanya berjinah dengan isteri Sin-jiu Kiam-ong. Sudah semenjak pertama mendengarnya dia memaafkan suhunya, maka dia tidak dapat menahan dirinya lagi, cepat dia berkata,
"Maaf, Suheng....." katanya sambil memandang Thian Kek Hwesio, "bolehkan saya membela Suhu?"
Thian Kek Hwesio mengangguk. "Sidang pengadilan di Siauw-lim-pai selalu berdasarkan perundingan di antara saudara sendiri untuk mengambil keputusan yang paling adil dan tepat. Silahkan kalau Sute mempunyai sesuatu yang akan dikemukakan mengenai urusan ini."
*** "Tiada gading yang tak retak, tiada manusia tanpa cacad di seluruh jagad ini. Suhu pun hanya seorang manusia, dengan sendirinya, seperti seluruh manusia lain, juga mempunyai cacad berupa perbuatan yang dilakukan sebelum mendapat penerangan, sebelum sadar. Biarpun sebagai seorang anggauta Siauw-lim-pai saya tidak menjadi hwesio, namun pelajaran Sang Buddha sudah bertahun-tahun diajarkan oleh Suhu kepada saya. Teringat saya akan pelajaran yang berbunyi,
Tiada api sepanas nafsu tiada jerat sebahaya kebencian tiada perangkap selicin kedangkalan pikiran tiada arus sederas keinginan hati. Kesalahan orang lain sudah dilihat kesalahan diri sendiri sukar dirasai meniup-niupkan kesalahan orang lain seperti menapi dedak seperti seorang penipu menyembunyikan dadu lemparannyayang sial dari pemain lain."
Semua orang yang mendengar mengerti bahwa pemuda itu mengeluarkan ayat-ayat pelajaran untuk membela suhunya. Cong San melanjutkan kata-katanya penuh semangat,
"Agama kita mengajarkan orang memupuk rasa kasih sayang antara yang hidup, mempertebal pemberian maaf kepada orang bersalah, memperbesar sikap mengalah kepada orang lain. Marilah dengan modal pelajaran ini kita menghadapi Tiong Pek Hosiang, suhu kita, ketua kita dengan kesadaran dan pengertian bahwa biarpun Suhu telah mengakui perbuatannya yang menyeleweng dengan mendiang nenek Tung Sun Cio, akan tetapi perbuatan itu dilakukannya di waktu Suhu masih muda. Sekianlah pembelaan saya yang bukan hanya didasari semata-mata karena memberatkan Suhu daripada Siauw-lim-pai, melainkan dengan dasar kebenaran dan keadilan."
Suasana menjadi makin tegang, bahkan beberapa orang di antara para hadirin mulai merasa betapa suasana agak panas. Namun, Thian Kek Hwesio yang bersikap tenang dan keras, bagaikan sebuah batu karang kokoh kuat yang takkan mudah digoyangkan hantaman ombak, tidak mudah digerakan oleh tiupan angin taufan, kembali berkata,
"Pembelaan Yap Cong San sudah kami dengar dan kami terima. Sekarang kami persilahkan fihak penuntut untuk mengeluarkan pendapat dan sanggahannya terhadap pembelaan itu."
Thian Lee Hwesio berbisik-bisik dengan para sutenya, kemudian dia menghadap sidang dan berkata, "Apa yang dikemukakan oleh sute Yap Cong san sebagai pembela tak dapat kami sangkal kebenarannya. Sejak semula memang telah pinceng kemukakan bahwa para anggauta Siauw-lim-pai bukan sekali-kali menjatuhkan tuntutan dengan dasar membenci, melainkan semata-mata untuk melindungi kehormatan dan nama Siauw-lim-pai. Tidak dapat disangkal bahwa perbuatan itu dilakukan Suhu di waktu muda dan secara pribadi kami semua dapat memaklumi dan tidak akan merentang panjang urusan itu. Akan tetapi, sekali diketahui oleh dunia kang-ouw, akan bagaimanakah jadinya dengan nama dan kehormatan Siauw-lim-pai yang tentu akan dikabarkan bahwa Siauw-lim-pai diketahui oleh seorang yang...... harap Suhu maafkan teecu, telah melakukan perbuatan seperti itu?"
Sekali ini bebar-benar semua orang menjadi tegang. Thian Lee Hwesio dalam mengajukan dan membela tuntutannya, terlalu berani dan terlalu.......benar! Cong San dapat menerima dan arus mengakui kebenaran ucapan itu, maka dia membungkam dan kini Tiong Pek Hosiang yang berkata,
"Omitohud..... semoga dosa yang hamba lakukan tidak sampai mendatangkan akibat buruk yang menimpa lain orang, kecuali hamba sendiri!" Dia memejamkan mata sejenak, kemudiam membukanya lagi dan memandang kepada semua yang hadir, lalu berkata,
"Pinceng sudah merasa bersalah dan pinceng siap menerima akibat daripada perbuatan pinceng sendiri, siap menerima hukuman yang akan diputuskan oleh sidang ini. Pinceng tidak akan membela diri, akan tetapi mengenai pernikahan antara Yap Con San dan Gui Yan Cu, pinceng harus membela Cong San, bukan sekali-kali karena pinceng berat sebelah dan pilih kasih, melainkan demi keadilan pula. Kalian semua maklum bahwa perjodohan antara mereka ini adalah tanggung jawab pinceng sendiri karena pincenglah yang mengikatkan perjodohan itu. Cong San tidak bersalah apa-apa dalam hal ini, hanya memenuhi perintah pinceng. Kalau keputusan itu dilaksanakan dan dianggap bersalah, biarlah pinceng yang menerima hukumannya pula. Kemudian terserah keputusan sidang ."
Kini semua orang memandang Thian Kek Hwesio. Mereka memandang penuh harapan, karena hanya kepada hwesio tua tinggi besar berkulit hitam inilah mereka menggantungkan harapan mereka untuk dapat mencari jalan keluar yang paling baik. Hwesio tinggi besar berusia tujuh puluh tahun lebih ini pun maklum bahwa tugasnya amat berat dan amat penting, maka setelah berdoa sejenak sambil memejamkan mata, mohon kekuatan batin, dia membuka mata dan berkata,
Episode 397 "Setelah mendengar semua pendapat yang dikemukakan oleh fihak penuntut, fihak tertuntut dan fihak pembela, atas nama Tuhan Yang Maha Kuasa, atas nama Buddha yang maha kasih, atas nama kebenaran dan keadilan yang kita junjung bersama, kami telah mengambil kesimpulan dan telah mempertimbangkan untuk menjatuhkan keputusan yang hendaknya akan ditaati oleh semua fihak yang bersangkutan! Tiong Pek Hosiang telah melakukan perbuatan yang menyeleweng, akan tetapi karena perbuatan itu dilakukannya di waktu muda, di waktu belum menjadi anggauta, apalagi ketua Siauw-lim-pai, maka Siauw-lim-pai tidak berhak memberi hukuman atas perbuatannya itu yang dilakukannya sebagai orang luar di waktu itu. Akan tetapi, mengingat bahwa perbuatan itu merupakan lembaran riwayat yang hitam bagi pribadinya, sedangkan sekarang dia telah menjadi ketua Siauw-lim-pai, maka demi menjaga nama dan kehormatan Siauw-lim-pai, Tiong Pek Hosiang dipecat dari kedudukannya sebagai ketua Siauw-lim-pai. Untuk pemilihan ketua baru akan kita adakan kemudian. Mengenai pernikahan antara Yap Cong San dan Gui Yan Cu, mengingat akan pertimbangan yang sama pula, yaitu bahwa biarpun perbuatan itu dilakukan di luar kesalahannya akan tetapi akibatnya akan mencemarkan nama baik Siauw-lim-pai, maka kami memutuskan untuk tidak mencampuri urusan pernikahan karena kami menganggap Yap Cong San bukan anak murid Siauw-lim-pai lagi. Selanjutnya harap Yap Cong San tidak membawa nama Siauw-lim-pai sebagai perguruannya."
Sunyi senyap setelah Thian Kek Hwesio mengucapkan keputusannya itu. Semua anggauta Siauw-lim-pai menundukan muka, tidak ada yang berani memandang kepada Tiong pek Hosiang yang selama ini menjadi ketua mereka yang mereka hormati, juga menjadi guru besar mereka.
"Suhu......!" Kesunyian dipecahkan oleh keluhan Cong San yang menubruk kaki gurunya dan berlutut sambil terisak penuh kedukaan, penyesalan dan keharuan. Tiong Pek Hosiang tersenyum, mengelus rambut kepala muridnya itu sambil membaca doa pelajaran Buddha,
"Dunia ini bagaikan sebuah gelembung sabun! dunia ini bagaikan sebuah khayalan! dia yang memandang dunia sedemikian takkan bertemu lagi dengan raja kematian! Pandanglah dunia ini sebagai sebuah kereta kendaraan raja yang bercat indah si dungu terpikat oleh keindahannya tapi orang bijaksana takkan terpikat olehnya. Dia yang tadinya lengah dan tak sadar kemudian menjadi sadar dan rendah hati akan menerangi dunia seperti bulan yang terbebas dari gumpalan awan."
"Suhu, betapa hati teecu tidak akan berduka dan menyesal" Suhu telah melakukan banyak perbuatan mulia dan telah berjasa besar terhadap Siauw-lim-pai, akan tetapi sekarang....."
"Hushhhhh..... Cong San, bangkitlah, hapus air matamu, usir semua kedukaan dan penyesalan hatimu. Pengadilan yang telah disidangkan oleh saudara-saudaramu sudah tepat, benar dan adil! Perbuatan sesat mendapat hukuman, ini sudah tepat dan patut. Mengapa disusahkan dan disesalkan" Siapa yang mengharuskan kita menyesal dan berduka menghadapi sesuatu yang menimpa diri kita" Tidak ada yang mengharuskan dan hanya kesadaran kita sendirilah yang menentukan. Apa yang menimbulkan susah dan senang" Bukan dari luar, muridku, melainkan dari dalam, dari hati kita sendiri yang dicengkeram nafsu mementingkan diri sendiri, nafsu iba diri. Jika dirugikan, kita susah, jika diuntungkan, kita senang.
"Bukankah itu picik sekali" Susah dan senang hanya permainan perasaan sendiri seperti air laut yang pasang surut. Suatu penipuan dari nafsu yang hanya dapat kita atasi dengan kesadaran karena kesadaran akan mengangkat kita lebih tinggi daripada permainan susah senang itu, mendatangkan ketenangan dan tidak akan mudah dipengaruhi oleh perasaan. Andaikata engkau belum dapat mencapai tingkat itu, masih harus memilih antara susah dan senang, mengapa engkau tidak memilih" Susah menimbulkan tangis, senang menimbulkan tawa. Baik diterima dengan susah atau senang, persoalannya tidak akan berubah. Mengapa harus menangis" Tangis hanya akan menimbulkan hal-hal yang tidak baik, karena dapat menimbulkan kelemahan batin sendiri, dapat mendatangkan keharuan pada orang lain. Tangis susah akan mudah mengukirkan dendam dalam hati, melahirkan dosa-dosa lain. Dalam menghadapi sesuatu, sama-sama menggerakan bibir, mengapa tidak memilih tawa daripada tangis" hasilnya lebih baik bagi diri sendiri dan bagi orang lain. Cong San, ingatlah engkau bahwa yang terpenting daripada segala dalam menjalani penderitaan hidup ini hanyalah PENERIMAAN! Penerimaan akan segala hal yang menimpa diri kita disertai kesadaran bahwa segala yang terjadi adalah akibat daripada perbuatan kita sendiri, sesuai dengan kehendak Tuhan. Kesadaran ini akan menuntun kita untuk menerima segala peristiwa dengan penuh penyerahan kepada kekuasaan Tuhan, karenanya akan tetap tenang karena sudah waspada bahwa segala peristiwa yang terjadi takkan dapat dihindarkan oleh kekuasaan manusia yang sesunguhnya hanya mahluk lemah yang selalu menjadi permainan dari nafsu-nafsunya sendiri."
kakek itu berhenti sebentar dan bukan hanya Cong San yang mendengarkan dengan hati tunduk, melainkan semua anggauta Siauw-lim-pai, bahkan Yan Cu diam-diam merasa kagum akan kebijaksanaan kakek itu. gadis ini di dalam hatinya melihat seolah-olah kakek itu telah duduk di tempat yang begitu tinggi sehingga tidak akan terseret oleh gelombang penghidupan yang mempermainkan manusia.
"Pinceng merasa bersyukur kepada sidang pengadilan dan pinceng menerima keputusan tadi. Mulai saat ini, pinceng bukan lagi ketua Siauw-lim-pai, dan sesuai dengan peraturan perkumpulan kita, pinceng persilahkan kepada para tokohnya untuk mengadakan pemilihan ketua baru. Sebagai seorang anggauta yang masih berhak, pinceng pribadi mengusulkan agar Thian Kek Hwesio untuk menduduki jabatan ketua. Adapun pinceng sendiri, pinceng minta agar diperbolehkan menghabiskan usia yang tidak berapa ini untuk bersamadhi di dalam Ruang Kesadaran yang berada di ujung belakang."
"Apa yang Suhu katakan merupakan perintah bagi teecu sekalian," kata Thian Kek Hwesio. "Karena, biarpun Suhu bukan ketua Siauw-lim-pai lagi, akan tetapi tetap menjadi guru teecu semua dan teecu mengharapkan petunjuk-petunjuk dari Suhu demi kebaikan Siauw-lim-pai."
Tiong Pek Hosiang tersenyum dan mengangguk-angguk. Dia yakin bahwa kalau Siauw-lim-pai dipimpin oleh muridnya tertua ini sebagai ketua, tentu akan mengalami kemajuan. Kemudian dia menoleh kepada Cong San dan Yan Cu. "Cong San, Yan Cu, sekarang pinceng mengusir kalian pergi dari Siauw-lim-si, karena tidak boleh orang luar tinggal di sini. Engkau pasti mengerti bahwa pengusiran terhadap dirimu ini hanya merupakan hal yang sudah ditentukan oleh sidang pengadilan dan oleh peraturan yang berlaku di Siauw-lim-pai. Nah, pergilah, Cong San. Engkau bukan murid Siauw-lim-pai lagi, akan tetapi percayalah bahwa Siauw-lim-pai tetap akan menganggapmu sebagai seorang sahabat baik!"
Episode 398 Biarpun Cong San sudah menerima wejangan suhunya, namun dia seorang muda yang masih diombang-ambingkan nafsu dan perasaan yang sedang bergelora, maka tentu saja dia tidak dapat menahan air matanya yang bercucuran. Melihat keadaan suaminya, Yan Cu juga menangis sesenggukan. Mereka merdua maju berlutut ke depan Tiong Pek Hosiang.
"Suhu, teecu mohon diri......." Cong San berkata terisak.
Ting Pek Hosiang tersenyum dan menggerakan tangan. "Pergilah, muridku yang baik dan berhati-hatilah karena di luar sana menanti banyak cengkeraman-cengkeraman maut yang mengancam seluruh manusia. Yan Cu, semoga Tuhan memberkahi engkau dan suamimu." biarpun mulutnya tersenyum, namun sepasang alis yang putih kakek itu agak berkerut karena pandang matanya yang sudah waspada itu melihat awan gelap mengancam penghidupan kedua orang muda itu. Diam-diam dia hanya berdoa mohon kepada Tuhan agar melindungi mereka.
"Para suheng, sute dan saudara sekalian, saya mohon diri dan sudilah memaafkan segala kesalahan saya." Cong San memberi hormat kepada semua hwesio yang dibalas oleh mereka dengan terang.
Pedang Golok Yang Menggetarkan 23 Pedang Ular Merah Karya Kho Ping Hoo Angrek Tengah Malam 1

Cari Blog Ini