Ceritasilat Novel Online

Pedang Penakluk Iblis 1

Pedang Penakluk Iblis ( Sin Kiam Hok Mo) Karya Kho Ping Hoo Bagian 1


Pedang Penakluk Iblis
(SIN KIAM HOK MO)
Karya: Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Ebook ini dibuat dengan sumber hasil scan djvu oleh :
syauqy_arr kredit 4 him
Convert & edit : MCH
Final edit & Ebook by : Dewi KZ
Tiraikasih Website
http://kangzusi.com/ http://dewikz.byethost22.com/
http://cerita-silat.co.cc/ http://ebook-dewikz.com
Jilid I "SINCHUN Kionghi Thiam-hok Thiam Siu! Selamat tahun baru,
panjang umur banyak rejeki!"
1 Ucapan ini bergema di seluruh Tiongkok. di dusun dan kota, di
mana saja manusia berada. Ucapan yang menjadi inti dari pada
perayaan hari Tahun Baru yang telah menjadi tradisi di seluruh Tiongkok semenjak tahun diperhitungkan, berapa orang takkan
gembira ria menyambut hari itu" Tidak saja sebagai hari pertama dari tahun yang baru, akan tetapi juga hari pertama dari musim semi yang gilang-gemilang, yang memberi harapan baik bagi semua manusia, baik ia pedagang, petani, maupun buruh, pendeknya
rakyat jelata. Tanaman akan tumbuh subur, hawa udara segar dan bersih, pemandangan alam indah permai. Olch karena inilah maka upacara selamat menjadi Sin-chun Kionghi yang berarti Selamat
Musim Semi Baru.
Semua orang merayakannya. Besar kecil kaya, miskin mereka
bergembira menyambut datangnya musim semi dengan cara dan
kebiasaan masing-masing. Orang-orang mengadakan pesta, segala
mata pertunjukan, seni budaya rakyat muncul meramaikan pesta
tari-tarian, nyanyi, tari, barongsai, kilin, hong dan lain-lain memenuhi sepanjang jalan besar.
Anak-anak lebih gembira lagi. Mereka pergi ke sana ke mari,
menghaturkan selamat kepada keluarga dan tetangga yang lebih
tua, menerima angpauw (bungkusan merah berisi uang atau
hadiah) menonton pertunjukan dan di hari itu mereka akan terbebas daripada hukuman dan omelan orang tua. Di sana-sini mengebul
asap hio mengharum, karena orang-orang pada mengadakan
sembahyang untuk memperingati nenek moyang mereka yang telah
meninggal dunia.
Suara petasan menambah kegembiraan penduduk. Tiadi hentinya
suara mercon ini susul-menyusul seakan-akan berlomba. Kadangkadang kelihatan di udara meluncur roket-roket kecil dari kertas.
Pendeknya, semua orang menabung setahun penuh untuk
menghabiskan uang tabungannya di hari-hari tahun baru itu,
berpakaian baru, makan minum sampai mabok dan
menghamburkan uang tak mengenal sayang.
Pada pagi hari tahun baru itu seorang laki-laki tinggi besar
berwajah tampan dan gagah akan tetapi seperti orang yang
menanggung banyak penderitaan batin, berusia kurang lebih tiga 2
puluh lima tahun, bcrjalan perlahan-lahan memasuki kota Keng-sin-bun yang berada di kaki Bakit Hoa-san. Laki-laki yang gagah ini berjalan sambil menuntun seorang anak kecil berusia kurang lebih tujuh tahun. Pakaian mereka jauh berbeda dengan pakaian orang-orang yang sedang merayakan tahun baru. Kalau semua orang
besar kecil memakai serba baru, adalah dua orang ini berpakaian amat sederhana dan sudah kotor, bahkan laki-laki itu sudah ada tambalan pada bajunya.
"Gi-hu, semua orang merayakan hari musim semi, mengapa kita tidak?" Suara anak ini lemah lembut dan kata-katanya teratur rapi seperti ucapan seorang anak yang mempelajari bun (sastra) dan
tata susila, akan tetapi terdengar nyaring bersemangat. Ia
menyebut "gi-hu" yang berarti ayah angkat kepada laki-laki itu.
Orang gagah itu memandang dan senyum sedih muncul di
bibirnya. "Hong-ji (Anak Hong), kita sedang dalam perjalanan, bagaimana bisa merayakan hari tahun baru" Sebentar lagi kalau kita sudah sampai di tempat tinggal Sucouwmu (Kakek Gurumu) barulah kita
bisa merayakan hari baik ini. Atau barang kali kau ingin
merayakannya di kota ini" Kalau demikian, kita bisa mampir di
rumah makan dan berpesta berdua, bagaimana pikiranmu?"
Pada saat itu mereka telah memasuki kota dan bocah itu
memandang ke kanan kiri dan melihat setiap rumah memasang
meja sembahyang dengan segala macam masakan di atas meja dan
hio mengebulkan asap harum.
"Gi-hu aku tidak ingin makan minum, aku ingin dapat
menyembahyangi Ayah Ibuku..." Suara anak ini terputus-putus dan biarpun matanya tetap bening dan tajam, namun suaranya
menunjukkan bahwa ia menahan isak tangis yang naik mendesak
dari dada ke lehernya.
Mendengar ini, hati orang gagah itu merasa perih sekali saking terharunya. Ia menghentikan tindakan kakinya dan membawa anak
itu ke pinggir jalan di mana ia berdiri sambil mengelus-elus kepala anak itu. Ia termenung dan terbayanglah semua pengalamannya.
Laki-laki tinggi besar yang gagah perkasa ini bukan lain adalah Lie 3
Bu Tek, seorang gagah yang dijuluki Hui-liong (Naga Terbang)
karena kalau ia mengamuk, pedangnya berkelebatan laksana seekor naga terbang yang menyambar leher para penjahat. Adapun anak
kecil itu sebagai-mana dapat diketahui dari cara ia memanggil Lie Bu Tek, adalah Wan Sin Hong anak angkat dari Lie Bu Tek. Kata-kata anak tadi membuat Lie Bu Tek termenung dan terbayang akan
semua pengalamannya.
"Baiklah, Hong-ji. Mari kita menyembahyangi Ayah Bundamu
secara sederhana saja."
Dengan girang dan berterima kasih Sin Hong ikut ayah angkatnya itu menuju ke sebuah toko yang menjual lilin, hio, dan segala
keperluan sembahyang. Setelah membeli alat-alat untuk
bersembahyang secukupnya, Lie Bu Tek lalu mengajak anak
angkatnya pergi ke sebuali tempat yang sunyi. Di tempat ini Lie Bu Tek memasang alat-alat sembahyang, menyalakan membakar hio
dan bersembahyanglah dua orang itu dengan cara masing-masing.
Bu Tek memegang hio di tangan sambil berdiri seperti patung,
bibirnya tidak bergerak, akan tetapi dua titik air mata yang
menurum pipinya menyatakan bahwa hatinya amat terharu. Wan
Sin Hong berlutut di depan lilin dan mulutnya bergerak-gerak
mengeluarkan bisikan,
"Ayah dan Ibu yang tak pernah kukenal, aku anakmu Wan Sin Hong menghaturkan hormat dan selamat tahun baru. Mohon restu
Ayah Ibu agar aku kelak menjadi seorang gagah dan pandai seperti Gi-hu...."
Lie Bu Tek ikut berlutut dan memeluk anak angkatnya itu. Entah mengapa, begitu dipeluk Sin Hong merasa sesuatu yang amat
menyedihkan hatinya sehingga tak tertahankan lagi la menangis
terisak-isak di dada ayah angkatnya. Sampai api hio habis dan lilin kecil itu padam baru mereka berdiri lagi.
"Mari kita melanjutkan perjalanan, Sin Hong. Sucouwmu di
Puncak Hoa san sudah menanti-nanti."
"Apakah Sucouw sudah tahu akan kedatangan kita?" tanya Sin Hong.
4 "Tahu sih belum, akan tetapi sebagai orang tentu dia
mengharapkan kedatangan orang-orang muda di hari tahun baru."
Kembali mereka melalui jalan-jalan besar yang ramai sekali.
Karena saat itu memang tiba waktunya menyalakan asap, hio
mengepul memenuhi kota. Sambil berjalan di sebelah ayah
angkatnya Sin Hong memandang ke kanan kin, melihat orang-orang yang sedang bersembahyang. Tiba-tiba sambil menarik-narik tangan Bu Tek, ia mengajukan pertanyaan,
"Gihu biarpun aku sudah membaca dan mengerti tentang
peraturan sembahyang akan tetapi maksudnya aku masih belum
tahu. Mengapakah nenek moyang yang sudah mati disembahyangi"
Mengapa disediakan hidangan dan masakan enak-enak bagi orang
yang sudah mati" Apakah mereka itu benar-benar mempunyai roh,
dan kalau benar, apakah roh-roh itu dapat datang untuk makan
hidangan-hidangan itu?"
Lie Bu Tek tersenyum dan diam-diam ia memuji kecerdasan otak
anak angkatnya yang dalam usia sekecil itu sudah dapat
mempergunakan pertimbangan akal budinya.
"Tentu saja roh halus tidak bisa makan hidangan-hidangan itu, Hong-ji. Akan tetapi, bukan itulah maksud daripada
menyembahyangi nenek moyang kita. Orang bersembahyang untuk
menyatakan cinta kasih dan penghormatan, sebagai tanda bakti
kepada nenek moyang, bakti yang tak kunjung padam, baik moyang yang masih hidup maupun sudah meninggal dunia. Seorang anak
yang berbakti dan mencinta orang tuanya, tentu selalu akan
membikin senang hati orang tuanya, dan jalan satu-satunya untuk menyenangkan hati orang tua adalah menjaga baik-baik nama
keluarganya. Untuk dapat melakuan hal ini, orang itu harus
berperilaku baik, karena seorang yang melakukan kejahatan tak
mungkin dapat menjaga nama baik keluarga. Kebaktian yang
sesungguhnya takkan lenyap bersama dengan matinya orang tua,
biarpun orang tua sudah mati, tetap saja anak yang berbakti
menghormat dan mencinta orang tuanya dan selalu ia akan
menjaga perilaku hidupnya untuk menjaga nama baik orang tuanya yang sudah mati itu. Karena itulah maka setiap orang
meyembahyangi nenek moyangnya, untuk mempertebal rasa
5 kebaktian ini sehingga mereka selalu takut untuk melakukan
kejahatan karena tidak ingin mencemarkan nama orang tuanya."
Sin Hong memang seorang anak yang cerdik luar biasa, maka
kata-kata ini dapat ditangkap artinya dan ia mengangguk-angguk.
"Aku pun selalu akan mengingat orang tuaku yang sudah mati dan mengingat kepada Gi-hu yang masih hidup agar selama hidup
aku takkan melakukan perbuatan buruk yang dapat mencemarkan
nama baik Ayah Bunda dan Gi-hu."
Lie Bu Tek girang sekali dan ia mengelus-elus kepala anak
angkatnya. "Bagus sekali prasetyamu ini, Hong-ji. Memang sudah menjadi kenyataan bahwa nama baik orang tua akan terbawa-bawa kalau
anaknya berbuat. Bahkan nama baik orang tua yang sudah
meninggal akan terseret pula karena sekali menyebut nama
anaknya, berarti menyebut pula nama ayahnya. Sebaliknya, kalau anaknya menjadi seorang manusia yang berprilaku balk, nama
ayahnya akan terangkat baik dan menjadi harum."
Ini pun Sin Hong dapat mengerti karena ia sudah tahu bahwa
she (nama keturunan) orang tua selalu dibawa-bawa oleh anaknya.
Percakapan mereka terhenti ketika tiba-tiba serombongan anakanak kecil berlan-lari ke arah barat sambil berteriak-teriak girang.
"Ang-bwe-sai (Singa Buntut Merah) datang ... !!"
Benar saja serombongan pemain barongsai mendatangi di jalan
raya itu dari barat. Suara gembreng dan tambur sudah ditabuh
ramai sekali dan dari jauh sudah terlihat barongsai yang besar dan indah sekali berlenggang-lenggok di sepanjang jalan raya. Orang-orang hartawan, pemilik-pemilik toko segera menyambutnya dengan mercon (petasan) dan sebagian pula menggantungkan "angpauw"
(bungkusan merah terisi uang atau hadiah) di depan pintu.
Barongsai itu berlagak, main di depan pintu setiap rumah dan
dengan cara amat indah menyambar angpauw itu dan memberi
hormat kepada tuan rumah sambil mendekam-dekam dan berlutut.
6 "Di rumah Gan-wangwe (Hartawan Gan) disediakan angpauw
besar yang dipasang tinggi sekali!" terdengar beberapa orang berteriak dengan girang.
Sebagai seorang anak-anak, Sin Hong tentu saja ikut gembira. la menarik tangan ayah angkatnya untuk mendekati barongsai itu dan mengagumi cara orang mainkan tari barongsai. Karena anak ini
sudah menerima latihan dasar ilmu silat dari Lie Bu Tek, maka ia dapat mengagumi jurus permainan kaki dari pemain barongsai yang bergerak menurut jurus-jurus permainan silat. Sekali pandang saja, Lie Bu Tek tahu bahwa pemain barongsai ini tentulah murid dari Siauw-limpai. Ketika ia memandang ke arah rumah gedung
Hartawan Gan, diam-diam ia menjadi gembira juga. Ang-pauw dari hartawan Gan ini benar-benar besar, tentu terisi uang banyak atau hadiah yang amat berharga. Akan tetapi hartawan itu sengaja
memasang ang-pauw di tempat yang amat kurang lebih tiga tombak tingginya. Padahal, biasanya kalau ang-pauw digantungkan di atas pintu, barongsal akan meloncat dan menyambar ang-pauw. Apakah
Barongsai Buntut Merah itu sanggup melompat setinggi itu"
Tiba-tiba dari timur terdengar suara gembreng dan tambur yang
lain lagi. Anak-anak dari timur berlarian datang dan terdengar anak-anak berterlak,
"Pek-bwe-sai (Singa Buntut Putih) datang...!"
Riuh rendah suara gembreng dan tambur kedua barongsai itu
dipukul pada saat yang sama dan di jalan raya yang sama pula. Kini kedua barongsai yang bermain di depan setiap rumah, mulai
mendekati gedung Hartawan Gan, serombongan dari barat dan
rombongan Barongsai Buntut Putih dari timur!
Melihat suasana dan cara kedua pihak memukul tambur seperti
tambur perang. Lie Bu Tek berdebar hatinya. Dapat diramalkan
bahwa tentu akan terjadi keributan di jalan raya ini. Tidak biasa dua Barongsai bertemu di jalan raya pada saat yang sama. Biasanya
diadakan perundingan lebih dulu dan diatur jalannya sehingga tidak sampai bertemu di jalan.
Akan tetapi dua rombongan ini agaknya sengaja hendak bersaing
dan mencari keributan. Ketika rombongan Pek-bwe-sai sudah dekat, 7
Lie Bu Tek menjadi gelisah karena dari gerak kaki pemain-pemain barongsai ini, tahulah ia bahwa mereka adalah anak murid dari Butong pai.
Akan tetapi para penduduk yang sedang berpesta pora itu tidak
ada yang mempunyai dugaan seperti Bu Tek. Mereka bahkan
bergembira sekali, karena sekaligus ada dua rombongan barongsai yang berlumba memperlihatkan permainan mereka yang indah
menarik. Terutama sekali anak-anak kecil bukan main senangnya. Di sana-sini orang melempar lemparkan petasan ke arah dua barongsai yang datang dari dua jurusan yang berlawanan itu. Suara tambur dan gembreng bercampur-baur dengan suara petasan dan teriakan-teriakan anak-anak serta gelak tawa orang dewasa, benar-benar
menambah kegembiraan suasana. Tanpa disengaja para penonton
memperbesar api persaingan di antara kedua rombongan itu dengan kata-kata demikian.
"Pek-bwe-sal lebih bagus. Lihat matanya berkilauan seperti hidup'"
"Tidak. Ang-bwe-sai lebih indah, mulutnya bergerak-gerak dan rambutnya lebih panjang'"
"Pek-bwe-sai lebih bagus mainnya, kakinya berloncatan dan ekornya bergoyang-goyang, seperti singa hidup'"
"Benar, akan tetapi Ang-bwe-sai mempunyai pemain-pemain
yang pakaiannya lebih indah dan orang-orangnya lebih tegap dan gagah."
Demikianlah, suara orang-orang yang menilai dua rombongan
barongsai itu seakan-akan menambah sakit hati dan kebencian di antara kedua pihak. Apalalagi ketika ada yang menyatakan bahwa permainan Pek-bwe-sai lebih indah dan permainan Ang-bwe-sai,
pihak Ang-bwe-sai tentu saja menjadi marah dan penasaran.
Memang mereka harus akui bahwa permainan barongsai Pek-bwesai lebih indah mainnya, karena memang permainan anak murid
Butong-pai itu mengutamakan gerakan indah, sedangkan anak
murid Siauw-lim-pai mengutamakan gerakan-gerakan yang kuat.
Sebetulnya masing-masing memiliki gaya dan keindahan sendiri,
8 den kalau ditinjau oleh orang ahli silat, tentu saja permainan anak murid Siauw lim-pai lebih baik.
Kini dua rombongan barongsai itu telah tiba di depan gedung
Gan-wangwe. Mereka agaknya sengaja mengatur agar supaya tiba
di tempat itu dalam waktu yang bersamaan. Orang-orang yang
menonton dua rombongan itu kini berkumpul menjadi satu, keadaan ramai bukan main. Gan-wangwe sudah menyuruh para pelayan
untuk menghujankan petasan ke arah dua barongsai itu yang
seakan- akan kini menjadi "keranjingan" dan bermain dengan hebat penuh semangat. Karena kedua barongsai itu bermain di bawah
gantungan ang-pauw, maka kelihatan seolah-olah mereka adalah
dua ekor singa yang hendak berkelahi, bukan main bagusnya.
Apalagi, dua rombongan itu sengaja pada saat memasuki gedung
itu, menyerahkan barongsai kepada ketua atau guru masing-masing yang tentu saja lebih pandai bermain barongsai daripada anak
buahnya. Pada saat yang telah tepat di bawah gantungan ang-pauw,
Barongsai Buntut Putih melakukan gerakan melompat ke atas.
Barongsal Buntut Merah tidak tinggal-diam melihat ang-pauw itu hendak "dimakan" lawannya, maka ia pun melompat cepat. Indah
sekali dua gerakan itu, akan tetapi karena mereka melakukan
gerakan hampir berbareng, mulut barongsai itu saling beradu dan tidak berhasil mencapal ang-pauw.
"Duk!" dan keduanya kembali turun ke bawah menari-nari lagi dengan berangnya.
"Duk-duk-ceng! Duk-duk-ceng! Duk-duk ceng!" Tambur dan
gembreng kedua rombongan dipukul gencar seakan-akan mereka
memberi semangat kepada barongsai masing-masing.
"Dar-dar-dor-dor! Blung...!"
Suara petasan juga tidak kalah gencarnya dilepas oleh keluarga dan pelayan Gan-wangwe yang tentu saja menjadi gembira sekali
melihat pertunjukan istimewa ini.
"Bagus! Hayo berlumba, siapa yang lebih pandai!"
9 "Pek-bwe-sat, tangkap ang-pauw itu lebih dulu!" Demikian terdengar sorak sorai penonton. Tahun baru kali ini benar-benar luar biasa dan ramai dengan adanya pertunjukan yang menarik dari dua barongsai yang bersaingan ini.
Lie Bu Tek menahan napas. "Sin Hong, sebentar lagi mereka akan bertarung. Alangkah bodoh dan memalukan orang-orang ini,
memperebutkan ang pauw dan lupa akan peraturan kang-ouw dan
persahabatan!" .
Akan tetapi Sin Hong tidak menjawab, karena anak ini juga amat tertarik, memandang permainan kedua barongsai itu dengan wajah berseri dan sepasang mata bersinar-sinar. Lie Bu Tek menunduk
dan memandang kepada anak angkatnya, dan ia tersenyum. Ia ikut girang melihat bocah ini bergembira.
Tiba-tiba para penonton yang berada di luar sendiri berseru.
"Kim-gan-sai (Barongsat Mata Emas) datang...!"
"Aduh, bakal ramai Ini...!" teriak seorang penonton lain.
Lie Bu Tek menoleh. Ia melihat rombongan pemain barongsai
baru datang dengan cepat ke tempat itu. Rombongan ini berbeda
dengan dua rombongan yang saling berebut ang-pauw. Lebih
garang dan indah. Barongsai ini besar dan berat. Gembreng dan
tamburnya besar-besar dan suaranya amat nyaring sehingga setelah dekat mengalahkan suara tambur dan gembreng dari dua
rombongan terdahulu.
Juga para pemainnya kelihatan gagah dan angker. Melihat gerak
kaki pemain yang menjalankan barongsai mata emas ini, diam-diam Lie Bu Tek terkejut. Bukan orang sembarang yang memainkan
barongsai ini, akan tetapi orang yang memiliki kepandaian silat yang berarti.
"Benar-benar bakal ramai sekarang!" PIkir Lie Bu Tek karena ia maklum bahwa rombongan baru ini tentu bukan kebetulan datang di tempat itu pada saat yang sama. Apalagi rombongan ini tidak
bermain di depan rumah-rumah yang dilalui melainkan langsung
menuju ke rumah Hartawan Gan!
10 Yang menarik hati Lie Bu Tek adalah ketika ia melihat betapa dua rombongan yang sedang berebut ang-pauw itu rata-rata kelihatan pucat dan gelisah. Apalagi para pemukul tambur dan gembreng
mata mereka tertuju ke arah barongsai mata emas yang baru
datang sehingga mereka menabuh asal bunyi saja, sama sekali tidak mengikuti gerak-gerik barongsai masing-masing sehingga keadaan menjadi makin ramai dan lucu! Pada saat itu Barongsai Mata Emas telah tiba di tempat itu. Para penonton otomatis memberi jalan dan dengan sebuah lompatan yang amat dahsyat sehingga menakutkan
sebagian penonton, barongsai ini telah tiba di bawah tempat
gantungan angpauw di mana dua barongsai buntut putih dan merah sedang berlumba mendapatkan ang-pauw yang dipasang di tempat
tinggi itu. Sekarang para penonton disuguhi pemandangan yang benarbenar hebat, akan tetapi mereka kini agak merasa takut,
sungguhpun tak seorang juga mau meninggalkan tempat itu untuk
melihat pertandingan barongsai yang benar-benar tak pernah
terjadi. Barongsai Mata Emas yang lebih besar ini ternyata dapat
bergerak jauh lebih gesit. Dengan gerakan kaki yang amat kuat, ia menyeruduk ke kanan dan Barongsai Buntut Putih terkena


Pedang Penakluk Iblis ( Sin Kiam Hok Mo) Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

serudukan ini menjadi terjengkang ke belakang! Hampir saja
pemegang kepala barongsai jatuh kalau saja ia tidak cepat-cepat ditolong oleh pemegang ekor barongsai. Kemudian dengan gerakan yang serupa, sambil membalikkan tubuh dengan indahnya.
Barongsai Mata Emas menyeruduk Barongsai Buntut Merah dan
kembali barongsai ini terjengkang ke belakang.
Pengurus rombongan Barongsai Putih dan Barongsai Merah
menjadi penasaran, lalu mereka maju memprotes. Akan tetapi,
pemimpin rombongan Barongsai Mata Emas, seorang yang usianya
ada lima puluh tahun dan bertubuh jangkung kurus, melangkah
maju dengan sikap tenang akan tetapi mulut tersenyum mengejek.
"Mengapa ribut-ribut?" katanya. "Marilah kita sama lihat, siapa di antara tiga barong barongsai yang sanggup mengambil ang-pauw
itu." 11 Agaknya pemimpin Barongsai Mata: Emas ini sudah dikenal baik
oleh rombongan Barongsai Putih dan Merah, mereka menjura
dengan sikap takut-takut lalu seorang di antara mereka berkata.
"Ciok-loya, harap maafkan kami, akan tetapi kami dengan
rombongan kami yang datang lebih dulu."
"Hm, begitukah. Kalau begitu, mengapa kalian berebut"
Sekarang begini saja, kita adukan tiga barongsai kita dan siapa yang terjatuh dianggap kalah dan tidak berhak mengikuti perlumbaan
mengambil ang-pauw dari Gan-wangwe!"
Sambil berkata demikian, tanpa menanti jawaban ia lalu memberi tanda kepada kawan-kawannya penabuh gembreng dan tambur.
Mereka ini agaknya sudah berunding lebih dulu karena tiba-tiba tambur dan gembreng itu dipukul gencar, melagukan tambur
perang. Tentu saja dua barongsai yang lain maklum akan tanda ini,
apalagi karena pihak mereka juga memainkan tambur dan
gembreng tanda bertempur, maka tiga barongsai itu lalu siap sedia dengan gaya dan aksi masing masing. Para penonton menjadi
gembira bukan main. Sudah banyak mereka menonton pertandingan
pibu (adu kepandaian) antara ahli-ahli silat di panggung luitai (panggung tempat adu silat), akan tetapi mengadu barongsai"
Sungguh kejadian yang amat aneh dan tak pernah terjadi!
Gan-wangwe adalah seorang yang gembira dan juga tabah. Ini
tidak mengherankan karena dia adalah seorang harlawan besar
yang selain mempunyai hubungan dengan para jagoan juga ia
menjadi kesayangan para pembesar setempat. Juga dia sendiri
memelihara jago-jago dan tukang-tukang pukul. Melihat betapa tiga barongsai itu akan "bertanding", ia lalu memberi perintah kepada para pelayan untuk mengeluarkan lebih banyak petasan lagi dan
sebentar saja tempat bertanding tiga barongsai itu dihujani petasan.
Benar-benar luar biasa sekali tahun baru ini!
Lie Bu Tek sendiri, biarpun ia seorang yang banyak pengalaman
dan sudah menghadapi hal yang aneh-aneh, selama hidupnya baru
kali ini melihat barongsai bertanding tiga buah banyaknya sekaligus!
la maklum bahwa pertandingan macam ini jauh lebih sulit daripada 12
pertandingan pibu biasa, karena sebagaimana diketahui, pemain
barongsai terdiri dan pada dua orang, seorang pemegang kepala
dan seorang memegang ekor. Keduanya tertutup oleh kain yang
merupakan "tubuh" barongsai sehingga sukar sekali melihat ke depan.
Pemegang kepala yang selalu di depan, tak dapat menggerakkan
kedua tangan untuk bertempur, karena kedua tangannya sudah
dipergunakan untuk memegang kayu pegangan di dalam kepala
barongsai. Hanya kedua kaki mereka yang bebas, sedangkan
pandangan mata mereka pun amat terbatas dan terhalang yakni
melalui mulut barongsai. Dengan berdebar dan tegang Lie Bu Tek menonton dengan asyiknya, bahkan ia lalu memanggul Wan Sin
Hong di pundaknya agar bocah ini dapat menonton dengan leluasa, tidak terhalang oleh lain orang penonton.
Maka terjadilah "pertempuran" yang hebat. Kalau saja pertempuran itu hanya merupakan permainan tiga barongsai
sekaligus, biarpun sudah amat indah, agaknya tidak menimbulkan suasana yang demikian tegangnya. Tambur dan gembreng dipukul
sekeras-kerasnya, petasan hujan di atas kepala tiga barongsai itu.
"Hem, pertempuran yang curang," kata Lie-Bu Tek dalam hatinya. "Terang sekali barongsai Mata Emas dikeroyok dua."
Memang demikianlah keadaannya. Barongsai bermata emas yang
kepalanya lebih besar dan berat dan gerakan-gerakan kakinya
demikian teratur tanda bahwa yang memainkannya memiliki ilmu
silat yang tinggi dikeroyok dua oleh barongsai Pek-bwe-sai dan Ang-bwe-sai. Agaknya dua orang yang memainkan Barongsai Buntut'
Putih dan Buntut Merah ini tahu aka kelihatan lawan, muka mereka yang tadinya berebut ang-pauw kini menjadi kawan mengeroyok
Barongsai Mata Emas. Namun, sebentar saja pertandingan itu
berakhir. Ketika Barongsai Buntut Putih dan Barongsai Buntut Merah menyerang dari kanan kiri, menyecruduk ke arahb pemain
Barongsai Mata Emas, tiba-tiba Barongsai ini melompat keras sekali ke belakang sehingga dua barongsat yang mengeroyoknya saoling
beradu kepala sendiri. Tiba-tiba pemain Barongsai Mata Emas
menggerakkan kakinya susul-menyusul. Terdengar suara "tak! tak!"
dan, dan pemain-pemain barongsai yang mengeroyok itu roboh
13 sambil berteriak kesakitan. Ternyata bahwa tulang kering mereka telah patah oleh tendangan lawan tadi.
Baiknya mereka cepat-cepat melepaskan kepala barongsai
masing-masing, karena pemain Barongsai Mata Emas itu cepat
menghampiri kepada
Barongsai Buntut Putih dan
sekali ia menendang, pecahlah
kepala barongsai ini. Setelah
itu, ia menggerakkan
barongsai dan memukulkan
kepala barongsai ini ke atas
Barongsai Buntut Merah,
terdengar suara keras dan
kepala barongsai ini pun
hancur! Otomatis penabuh-penabuh
gembreng, tambur dan
barongsai-barongsai yang
terkalahkan menghentikan
permainan mereka. Semua
orang menjadi pucat dan
semata yang terdengar
hanyalah permainan tambur dan gembreng dari Barongsai Mata
Emas, dipukul perlahan-lahan sedangkan barongsai itu sendiri
menari-nari dengan gaya sombong sekali. Kepala barongsai
diangkat tinggi-tinggi, diputar ke kanan kiri seakan-akan seekor singa hidup mencari lawan baru! Dalam mengangkat barongsai ini kelihatanlah muka si Pemain, dan terkejutlah Lie Bu Tek. la
mengenal muka ini, muka seorang penjahat besar di daerah selatan Sungai Huang-ho yang bernamu Lee Kan Sek, berjuluk Thiat-say
atau Singa Besi! Agaknya dua rombongan yang dikalahkan juga
mengenal orang ini karena mereka menjadi makin ketakutan dan
gelisah sekali.
Hartawan Gan, seorang, yang gemuk pendek dan bermuka
periang, merasa hawatir juga melihat kesudahan dari permainan
ketiga barongsai ini. la lalu keluar dan dengan suara ramah-tamah berkata.
14 "Cuwi sekalian, kami merasa terima kasih sekali bahwa cuwi dan ketiga rombongan telah sudi meramaikan rumahku dengan
permainan barongsai yang amat indah. Karena sudah jelas bahwa
rombongan Kim-gan-sai menang ia berhak mencoba untuk
mengambil ang-pauw yang saya gantungkan di atas. Agar dapat
diketahui oleh umum, di dalam ang-pauw itu terisi emas sebanyak lima tail. Akan tetapi, bagi rombongan yang barongsai yang
dikalahkan, saya akan menyumbang masing-masing dua tail emas
untuk memperbaiki barongsai mereka yang rusak. Harap saja
urusan ini dibikin habis sampai di sini saja."
Para penonton bersorak girang memuji kebaikan hati hartawan
itu, yang sesungguhnya melakukan sumbangan bukan karena
kebaikan hatinya, akan tetapi untuk mencegah terjadinya kerilbutan dan terutama sekali untuk mencari nama baik dengan sumbangan-sumbangannya yang royal atau tegasnya, sebagai reklame saja!
Tiba-tiba Tiat-sai Lee Kam Sek berseru keras dan sekali ia
melompat, barongsainya telah berhasil "menggigit" ang-pauw yang tergantung setinggi tiga tombak itu."
"Gerakan Pek liong-seng-thian (Naga Putih Naik ke Langit) yang indah!" Tak terasa pula Lie Bu Tek memuji. Mendengar ini, dari lubang mulut barongsai Lee Kan Sek mencari-cari siapa orangnya yang mengeluarkan pujian ini, akan tetapi oleh karena tempat itu penuh dengan penonton, ia tidak dapat mencarinya. Dengan
gerakan yang kuat sekali, ia melontarkan barongsai ke atas setinggi tombak sambil berseru,
"Cong-te (Adik Cong), terimalah!"
Dan rombongan pemain Kim-gan-sai melompat seorang laki-laki
bertubuh kate dan dengan cekatan sekali ia menerima kepala
barongsai itu, demikian pula seorang pemain lain menggantikan
kedudukan pemain buntut barongsai. Demontrasi ini disambut
dengan tepuk tangan riuh oleh penonton.
Tiat-sai Lee Kan Sek lalu menghampiri rombongan Pek-bwe-sal
dan Ang hwe-sai sambil berkata sombong.
"Kalian sudah menjadi pecundang, dan lekaslah enyah dari sini!
Sebelum kami berhenti bermain di kota ini, kalian tidak boleh
15 muncul, juga tidak boleh menerima sumbangan dan siapapun juga.
Karena itu sumbangan dan Gan-wangwe juga boleh kalian terima.
Ada yang tidak setuju?" Kata-kata ini merupakan tantangan terbuka.
Akan tetapi rombongan Pek-bwe-sai dan Ang-bwe-sai yang sudah
tahu bahwa perkumpulan yang mengeluarkan Kim-gan-sai amat
kuatnya, juga di situ terdapat pula jagoan ini menjadi gentar dan dengan kepala tunduk mereka bersiap-siap untuk pergi. Gan-wangwe yang melihat ini diam saja, karena hal itu dianggap bukan urusannya. Juga hartawan ini tahu diri, ia tidak mau menanam bibit permusuhan dengan perkumpulan Bu-cin-pang yang mengeluarkan
Kim gan-sai itu.
Akan tetapi pada saat itu tiga orang pengemis yang berpakaian
baru akan tetapi penuh dengan tambalan melompat maju sambil
berkata, "Tidak adil! Tidak adil' Dari pada emas dan sumbangan diberikan kepada jagoan-jagoan sombong yang pada hakekatnya tak lain
daripada perampok-perampok keji, lebih baik disumbangkan kepada jembel-jembel seperti kami!" Sambil berkata demikian, seorang di antara mereka yang bertubuh jangkung bermuka kuning bergerak
cepat sekali dan tahu-tahu ia telah merampas ang-pauw yang tadi disambar oleh barongsai Kim-ga sai!
Bungkusan ang-pauw ini telah dipegang oleh seorang anggauta
rombongan sebagai bendahara dan orang ini tidak dapat mengelak lagi karena gerakan pengemis itu benar-benar cepat sekali.
Bukan main marahnya rombongan Kim-gan-sai dan orang-orang
yang tadinya menonton, cepat-cepat menyingki karena maklum
bahwa tentu akan terjadi keributan hebat. Semua orang kini
mencurahkan perhatian mereka kepada tiga orang pengemis aneh
itu. Keadaan mereka benar-benar aneh. Perampas ang-pauw tadi
bertubuh kurus jangkung, bermuka kuning dan biarpun pakaiannya penuh tambalan, akan tetapi terbuat dari kain yang baru semua!
Demikian juga dua orang kawannya memakai pakaian penuh
tambalan, yang seorang kurus kecil seperti orang cacingan, yang kedua bertubuh gemuk dan bundar seperti katk dan mulutnya selalu tersenyum lebar.
Ketika Lie Bu Tek ikut memandang, menjadi tertegun dan heran.
16 "Hemm, mereka ini dari Hek in-kai-pang (Perkumpulan Pengemis Sabuk Hitam), mengapa muncul di sini?" pikirnya.
Sementara itu, pengemis kurus yang meraumpas ang-pauw, lalu
membuka bungkusan itu dan memberi dua tail kepada Pek-bwe-sai
dan Ang-bwe-sai, katanya tertawa,
"Gan-wangwe telah berbaik hati mengganti kerugian kalian, nah, terimalah bagian kalian dan segera pergilah. Sisanya yang satu tail untuk kami jembel-jembel miskin."
Dua rombongan yang barongsainya rusak, menerima dengan
takut-takut, akan tetapi mereka tahu diri dan cepat-cepat pergi dan tempat itu. Hanya sebagian yang tabah saja diam-diam
mencampurkan diri dengan penonton untuk mengetahui bagaimana
kelanjutan pertengkaran itu.
Tiat-sai Lee Kan Sek menjadi merah mukanya. Alisnya berdiri dan giginya dikerutkan. Kalau tadi ia tidak segera turun tangan, adalah karena ia mengenaI pula pengemis-pengemis yang pada
pinggangnya diikat sabuk hitam. Ia menjura kepada Si Jangkung
sambil berkata,
"Tuan-tuan dari Hek-in-kaipang mengapa mencampuri urusan
permainan barongsai" Kalau Cuwi hendak mencari nafkah di saat
tahun baru ini, mengapa tidak mengambil jalan lain?"
Pengemis jangkung itu tertawa. "Sudah lama kami mendengar nama perkumpulan Bu-cin-pang di kota Keng-sin-bun yang tersohor galak dan mempunyai banyak pengurus yang gagah perkasa.
Bahkan sudah lama kami kagum akan nama ketuanya, yakni Ma Ek
Lo-eng-hiong yang berjuluk Siang-pian Giam-ong (Raja Maut
Bersenjata Sepasang Pian). Akan tetapi tidak tahunya pada hari baik ini kami menyaksikan perbuatan yang amat galak dari Bu-cin-pang.
Perbuatan sewenang-wenang, tapi apakah tanggung jawab Bu-cinpang ataukah kau orang she Lee yang sengaja hendak
membusukkan nama Bu-cin-pang dan memperlihatkan kegagahan?"
Thiat-sai Lee Kan Sek marah sekali, mukanya yang sudah merah
itu menjadi makin merah, matanya mendelik.
17 "Kalau aku orang she Lee memandang muka Nona Kiang Cun
Eng yang menjadi Pangcu (Ketua) Hek-in-kaipang, apa kalian kira aku dapat menahan sabar lagi" Hai, orang-orang Hek-in kaipang!
Kalau kalian perlu sumbangan, tidak apa uang lima tail emas itu kalian ambil, akan tetapi jangan kalian menghina nama Bu-cin-pang!
Hinaan harus dibayar dengan pukulan kecuali kalau si penghina
minta maaf sambil berlutut. Pilih saja sekarang, minta maaf atau dihajar?"
Pengenns jungkung itu tertawa terbahak-bahak.
"Aku Hek-lo-kai (Pengemis tua Hitam) selamanya memang
menjadi pangemis, akan tetapi minta maaf kepada seorang
pencoleng" Aha, hal ini selamanya aku tidak pernah dan tak sudi lakukan! Bagaimana dengan kalian!" Ia bertanya kepada dua orang kawannya.
"Pengemis makan pun dari seorang pencoleng aku Siauw-mo-kai (Pengemis Setan Cilik) tak sudi lakukan, apalagi minta maaf?" jawab pengemis yang bertubuh kurus kecil.
"Ha, ha, ha, perutku penuh makanan dari orang-orang yang
menaruh hati kasihan kepadaku. Akan tetapi aku belum pernah
minta apa-apa dari pencoleng, apalagi minta maaf, jangan harap Oei-bin-kai (Pengemis Muka Kuning) sudi lakukan!" jawab pengemis gendut yang memang bermuka kuning itu sambil tertawa-tawa.
"Kurang ajar, kalau begitu kalian sudah bosan hidup!" bentak Tiat-sai Lee Kan Sek dan di lain saat ia telah mencabut sebatang golok besar sambil memberi tanda kepada kawan-kawannya.
Sebentar saja tiga orang pengemis itu sudah dikurung oleh sebelas orang Bu-cin-pang yang memegang senjata tajam. Akan tetapi tiga orang pengemis itu tidak gentar biarpun mereka hanya memegang
sebatang tongkat hitam yang tidak karuan macamnya, ada yang
bengkok-bengkok ada yang lurus.
"Serang!" Lee Kan Sek memberi aba-aba sambil menerjang pengemis jangkung dengan goloknya. Hek-lo-kai menangkis dan
membalas dengan totokan tongkatnya. Ternyata ia lihai sekali dan begitu menangkis dapat membalas serangan lawannya. Akan tetapi Lee Kan Sek juga lihai ilmu goloknya, cepat dapat menangkis dan 18
terus membabat. Kawanan Bu-cin-pang sudah serentak maju dan
terjadilah pertempuran yang hebat dan mato-matian. Suara senjata beradu dengan tongkat menerbitkan suara nyaring, tanda bahwa
ternyata tongkat-tongkat itu pun terbuat daripada logam keras
seperti baja. Gan-wangwe cepat memasuki gedungnya, mempersiapkan
orang-orangnya untuk menjaga pintu depan, sedang dia sendiri lalu naik ke loteng untuk menonton pertempuran itu dari atas. Orang-orang yang tadi mengerumuni tempat itu lalu bubar dan hanya
menonton dari jauh dengan hati berdebar-debar. Kalau
pertempuran sudah demikian hebat berarti akan ada nyawa
melayang dan tentu saja mereka merasa ngeri. Hanya Lie Bu Tek
memondong Wan Sin Hong masih berdiri tenang.
"Gihu, aku benci pemain-pemain barongsai itu. Mereka orang-orang jahat. Mengapa Gi-hu tidak membantu para pengemis yang
dikeroyok?" kata Sin Hong penasaran.
"Tak perlu, Kepandaian tiga orang pengemis Hek-kin-kaipang itu tak boleh dibuat main-main dan mereka tak kan kalah kalau hanya dikeroyok oleh sebelas orang itu," Jawab Lie Bu Tek dan melihat pada pengemis anggauta Hek-in-kaipang itu teringatlah ia akan
semua pengalamannya dahulu dengan Nona Kiang Cun Eng, ketua
dari Hek-kin-kaipang yang cantik dan genit. Tak terasa lagi
merahlah mukanya saking malu dan jengah. Di dalam cerita
Pendekar Budiman (Hwa I Enghiong) telah diceritakan, bagaimana Lie Bu Tek pernah terjatuh dibawah pengaruh kecantikan Kiang Cun Eng dan menjadi seorang tak berdaya, dipermainkan seperti
boneka. Baiknya akhirnya ia dapat melepaskan diri dari pengaruh Nona Ketua Perkumpulan Hek-kin-kaipang itu. Sekarang tak
terduga-duga ia bertemu dengan anggauta-anggauta Hek-kinkaipang, tentu saja semua pengalaman itu terbayang kembali dan ia merasa malu kepada diri sendiri.
Akan tetapi ucapan Lie Bu Tek tadi ternyata tidak keliru.
Kepandaian tiga orang pengemis itu benar-benar lihai. biarpun
dikeroyok oleh sebelas orang, mereka tidak terdesak, bahkan
berturut-turut telah berhasil merobohkan enam orang! Yang masih dapat mengimbangi kepandaian mereka hanya Tiat-sai Lee Sek dan 19
empat orang kawannya, akan tetapi Singe Besi ini dengan kawankawannya juga sudah mulai terdesak oleh permainan tongkat yang lihai dari tiga orang pengemis itu.
Pada saat pertempuran sedang ramai-ramainya, tiba-tiba
berkelebat bayangan yang gesit sekali dan tahu-tahu di situ telah berdiri seorang laki-laki tinggi kurus yang bermuka pucat. Laki-laki memandang marah dan membentak,
"Berhenti! Tahan semua senjata!"
Bagi Lee Kan Sek dan kawan-kawannya yang mengenal suara ini
sebagai suara ketua mereka, tentu saja tidak berani membantah
dan cepat melompat ke belakang, Adapun tiga orang pengemis itu pun terkejut karena bentakan nyaring sekali, tanda bahwa orangnya memiliki lweekang yang tinggi. Mereka cepat melompat mundur dan memandang. Orang itu mengeluarkan kata-kata yang tegas.
"Selamanya Bu-cin-pang tidak pernah ada urusan dengan Hek-kin-kaipang. Pada hari baik ini mengapa orang Hek-kin-kai- pang sengaja menghina kami" Apakah orang Hek-kin-kaipang sudah tidak memandang mukaku lagi ataukah sengaja hendak mencari
permusuhan?"
Hek-lo-kai yang agaknya menjadi wakil dua orang kawannya,
segera maju dan berkata. "Ma-lo-enghiong harap suka memaafkan kami bertiga. Sesungguhnya bukan kami yang " mencari
permusuhan, tetapi karena kami melihat sepak-terjang orang she Lee dan kawan-kawannya amat jahat dan sewenang-wenang,
terpaksa kami berlancang tangan, membantu Lo-enghiong untuk
memperingatkan mereka. Harap Lo-enghiong suka menegur mereka
itu agar mereka tidak menyeret nama Bu-cin-pang yang harum ke
lembah pecomberan."
Orang itu memang Siang-pian Ciam, Ma Ek, ketua Bu-cin-pang
yang tadi menerima laporan dari seorang anak buahnya tentang
peristiwa yang terjadi di depan gedung Gan-wanggwe. Mendengar
pengemis tinggi itu bukan minta maaf atas kesalahan mereka akan tetapi sebaliknya menjelekkan nama baik para anggautanya, bahkan menyuruh ia menegur anggauta-anggautanya sendiri, bukan main
marahnya. Kumisnya yang pendek itu seakan-akan berdiri dan sekali 20
tangannya bergerak tahu-tahu ia telah memegang siang-pian
(senjata ruyung lemas) yang arnanya kchijauan.
"Hm, hem, memang aku harus menegur mereka yang tidak
punya guna, mudah saja terhina oleh tiga orang pengemis
sombong. Biarlah aku yang akan menebus kebodohan mereka itu.
Sambutlah!"
Tiga orang pengemis itu terkejut sekali ketika melihat dua sinar hijau menyambar. Mereka cepat mengangkat tongkat untuk
menangkis. "Krak! Krak! Krak!" tiga batang tongkat itu patah pada tengah tengahnya! Tiga orang pengemis itu menjadi terkejut sekali dan melompat mundur dengan muka pucat.


Pedang Penakluk Iblis ( Sin Kiam Hok Mo) Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kami orang orang Hek-kin-kaipang hari ini menerima pelajaran dari Ma Ek Lo-enghlong dan mengaku kalah. Biar lain kali ketua kami akan datang menghaturkan terima kasih," kata Hek-lo-kai sambil menjura.
Akan tetapi sekali menggerakkan kakinya, Siang-pian Giam-ong
sudah melompat menghadapi mereka.
"Enak saja kalian ini, sudah menghajar orang-orangku akan angkat kaki dengan mudah! Agar ketuamu Nona Kiang Cim Eng
percaya akan penuturanmu, kalian harus meninggalkan sebelah
telinga di sini." Setelah berkata demikian, sepasang piannya
bergerak cepat hendak menghancurkan sebelah telinga tiga orang itu.
"Traaang! Traaang!" Bunga api berpijar menyilaukan mata ketika pian itu beradu dengan sebatang pedang yang menangkis serangan dua senjata pian itu. Lie Bu Tek ketika melihat bahaya meugancam tiga orang pengemis itu, telah melemparkan tubuh Sin Hong ke atas lapangan pertempuran sedangkan ia sendiri lalu melompat dan
menangkis sepasang pian itu.
Selagi Siang-pian Giam-ong yang kaget melompat ke belakang,
Lie Bu Tek berseru keras.
"Turunlah, Hong-ji!"
21 Tubuh Sin Hong tadi dilontarkan ke atas dan kini meluncur ke
bawah dan Anak yang sudah terlatih baik ini dapat meluncur turun dengan kedua kakinya di bawah. Akan tetapi, melihat ayah
angkatnya hendak menyambut kedua kakinya ia merasa kurang ajar sekali kalau ia membiarkan kedua tangan ayah angkatnya menerima telapak kakinya yang kotor. Maka dengan gerakan loh-be (semacam salto) atau poksai di tengah udara sehingga kini ia meluncur dengan kepala di bawah. Para penonton yang melihat hal ini menahan
napas, khawatir kalau-kalau anak itu akan mendapat bencana. Akan tetapi dengan tenang Sin Hong menggunakan kedua tangannya ke
bawah, diterima oleh kedua tangan Bu Tek yang sudah
menancapkan pedang di atas tanah dan sekali gerakan tangan
orang gagah ini membuat Sin Hong berjumpalitan dan tiba di atas tanah dalam keadaan berdiri tegak, sedikit pun tidak bergoyang atau kehilangan keseimbangan badan.
"Lie Bu Tek Taihiap...!" Hek-lo-kai mengenaI pendekar ini yang dulu pernah menjadi kekasih Kiang Cun Eng ketua Hek-kin-kaipang.
"Kalian pulanglah, biarkan aku menghadapi Bu-cin-pang dan mintakan maaf untukmu." kata Lie Bu Tek. Pertemuan dengan anggauta-anggauta Hek-kin-kai-pang tidak menyenangkan hatinya
karena mengingatkan ia akan pengalamannya yang memalukan
dengan ketua perkumpuim pengemis itu.
Hek-lo-kai dan kawan-kawannya menjura menghaturkan terima
kasih, lalu berjalan pergi menyelinap di antara ratusan orang yang berkumpul di tempat itu.
Lie Bu Tek mencabut pedangnya dari tanah, lalu menjura kepada
Siang-pian Giam-ong Ma Ek yang memandang dengan mata merah.
"Siang-pian Gian-ong Ma Ek Lo-enghiong siauwte Lie Bu Tek mohon dengan hormat, sukalah Lo-enghiong menghabiskan urusan
ini sampai di sini saja dan suka memaafkan tiga orang tua dari Hek-kin-kaipang itu. Mengingat akan hari baik ini, tentu Lo-enghiong sudi memandang muka siauwte dan memaafkan mereka."
Siang-pian Giam-ong tahu bahwa orang yang menangkis siangpiannya ini memiliki kepandaian tinggi, maka ia berlaku hati-hati dan biarpun ia marah sekali, bertanya.
22 "Kau ini dan golongan mana dan murid siapakah berani
mencampuri urusa Bu-cin-pang?"
Kalau Bu Tek ingin mencari perkara, tentu ia takkan
memperkenalkan perguruannya, akan tetapi oleh karena ia benarbenar mengharapkan perdamaian, ia lalu menjawab terus terang.
"Siauw te adalah anak murid Hoa-san pai. Sehingga kita boleh dibilang masih tetangga dekat. Sekali lagi, kalau Lo-enghiong tidak mau memandang muka siauwte, harap mengingat perhubungan
dengan guruku, Liang GI Tojin."
Mendengar bahwa Lie Bu Tek adalah anak murid Hoa-san-pai,
Siang pian Giam- ong Ma Ek lalu tertawa bergelak dengan suara
menghina sekali.
"Aha, tidak tahunya murid Hoa-san pai. Sudah lama aku
mendengar murid-murid Hoa-san-pai banyak yang melakukan
perbuatan memalukan. Saudara Lie Bu Tek, tidak tahu apakah
benar berita-berita yang kudengar tentang anak murid Hoa-san-pai yang tidak tahu main" Kabarnya ada seorang murid perempuan
yang telah menikah dengan seorang pangeran bangsa Kin. Menikah dengan pangeran musuh pada saat rakyat sedang berjuang mati-matian mengusir bangsa Kin, benar-benar luar biasa sekali. Ada lagi yang selalu menimbulkan kerusuhan, memusuhi tokoh-tokoh dari
lain partai persilatan, mengandalkan kepandaiannya sendiri."
"Ma-enghiong, harap kau jangan menghina kami orang-orang
Hoa-san!" kata Lie Bu Tek menahan marahnya. TeIinganya sudah panas mendengar betapa perbuatan saudara-saudara
seperguruannya dikecam demikian pedas.
"Siapa menghina aku hanya mengatakan hal yang sebenarnya
belaka, bagaimana dianggap menghina" Kaulah yang, menghina
kami, kau berlancang mencampuri urusan kami. Sekarang aku
percaya bahwa memang anak murid Hoa-san-pai sombongsombong. Agaknya Liang Gi To-jin sudah tak dapat mengajar murid-muridnya lagi."
"Tutup mulutmu!" Lie Bu Tek membentak marah mendengar nama suhunya dibawa-bawa. "Tarik kembali omonganmu menghina Suhu, kalau tidak aku akan memaksamu!"
23 "Bocah sombong sambutlah siang-pian ku!" Sambil berkata Ma Ek tertawa mengejek. "Hendak kulihat bagaimana kehendak
memaksaku?" demikian Ma Ek lalu menggerakkan kakinya maju dan mainkan siang-pian melakukan serangan hebat.
"Hong-ji, mundur kau!" seru Lie Bu Tek kepada putera angkatnya. Anak ini melompat mundur, akan tetapi tidak terlalu jauh karena ia ingin sekali melihat bagaimana ayah angkatnya
memberi hajaran kepada manusia sombong itu. Sementara itu,
dengan pedangnya, Lie Bu Tek menangkis datangnya siang-pia lalu membalas dengan serangan yang tidak kalah hebatnya. Selama
beberapa tahun ini, kepandaian Lie Bu Tek telah meningkat cepat karena segala pengalamannya yang sudah lalu mengingatkannya
bahwa kepandaiannya masih amat rendah tingkatnya.
Ilmu Pedang Hoa-san Kiam-hoat memang indah dan cepat.
Sungguhpun sepasang pian di tangan Ma Ek bergerak cepat dan
kuat, namun ia masih kalah kalau dibandingkan dengan Lie Bu Tek.
Pertempuran hebat terjadi dan beberapa kali terdengar suara
nyaring kalau pedang bertemu dengan pian, dan bunga api berpijar ke sana ke mari. Dalam pertemuan senjata ini, Ma Ek selalu merasai tangannya tergetar dan piannya tertolak kembali. Memang Lie Bu Tek adalah seorang murid Hoa-san-pai yang memiliki tenaga
lweekang paling tinggi. Ia langsung menerima latihan dari Liang Gi Tojin, tokoh pertama dari Hoa-san-pai.
Lie Bu Tek tahu bahwa kalau ia memperoleh kemenangan,
akhirnya ia tentu akan dikeroyok oleh orang-orang Bu-cin-pang.
Pengeroyokan ini tentu saja tidak ia takuti kalau saja ia tidak mengingat bahwa ia berada di situ bersama Wan Sin Hong putera
angkatnya. Kalau sampai terjadi pengeroyokan, tentu keselamatan puteranya itu akan terancam dan ia belum tentu dapat melindungi dengan baik.
"Lepaskan senjata!" Lie Bu Tek tiba- tiba berseru keras sambil mengerahkan seluruh tenaganya, menghantam pian kanan
lawannya dengan pedang. Terdengar suara nyaring dibarengi pekik Siang-pian Giam-ong Ma Ek yang benar-benar tak dapat menahan
hantaman ini dan pian di tangan kanannya telah terlepas dari
pegangan! 24 Lie Bu Tek cepat menjura dan berkata, "Ma-lo-enghiong, harap maafkan sauwte dan terima kasih bahwa kau orang tua sudah
mengalah!" Tanpa menanti jawaban lagi, Lie Bu Tek menyambar tubuh Sin Hong dengan tangan memondong anak itu dan melompat
pergi cepat sekali.
Tepat seperti dugaannya, Ma Ek tidak mau sudah sampai di situ
saja dan kalau sekiranya Lie Bu Tek tidak lekas-lekas lari tentu ia akan dikeroyok. Kini Ma-Ek hanya dapat menyambitkan tiga batang piauw ke arah punggung Lie Bu Tek. Pendekar ini sudah menduga
akan hal itu, maka ia belum menyimpan pedangnya. Tanpa
menoleh, ia menggerakkan pedang ke belakang dan berhasil
menyampok runtuh tiga batang piauw itu. Di lain saat ia telah
lenyap dan sebuah tikungan jalan dan cepat-cepat ia lari keluar kota, terus mempergunakan ilmu lari cepat mendaki Bukit Hoa-san.
"Gi-hu, kau menang mengapa melarikan diri?" tanya Wan Sin Hong dengan suara mengandung penasaran.
"Kalau tak lari mereka akan mengeroyokku, Hong-ji."
"Lebih balk lagi! Kau bisa menghajar semua buaya darat itu Gihu.
Membasmi penjahat harus sampai dengan akar-akarnya.
Lie Bu Tek tersenyum. Kata-kata yang diucapkan oleh Sin Hong
ini adalah kata-katanya sendiri yang pernah diajarkan kepada
anaknya itu. Memang Lie Bu iek telah banyak menjejalkan sifat-sifat pendekar kepada anaknya ini dan ternyata bahwa otak anak ini luar biasa tajamnya, dapat mengingat setiap pelajaran, baik pelajaran bun maupun bu.
"Mereka belum tentu penjahat-penjahat yang harus dibasmi, Hong-ji. Keributan yang baru saja terjadi hanya disebabkan oleh persoalan kecil belaka, tak perlu menanam bibit permusuhan hebat karena persoalan kecil."
"Akan tetapi Ma Ek tadi telah menghina Hoa-san-pai seperti yang Gi-hu katakan sendiri! Penghinaan bukanlah kecil. Dia mengatakan fitnah yang keji-keji terhadap anak murid Hoa-san-pai!"
"Bukan fitnah Hong-ji, memang yang ia katakan tadi semua betul dan pernah terjadi."
25 "Apa" Murid perempuan Hoa-san-pai menikah dengan pangeran bangsa Kin" Tak mungkin! Bukankah menurut Gi-hu, semua murid
Hoa-san-pai membantu perjuangan mengusir orang-orang Kin"
Betulkah itu" Murid Hoa-san-pai yang mana yang telah menikah
dengan pangeran bangsa Kim?"
Lie Bu Tek menahan napas. Apa yang harus ia jawabkan" Anak
ini sudah mulai besar dan telah dapat mempergunakan akal budi
dan pikirannya. Lebih baik ia berterus terang. Ia lalu menurunkan anak itu dan mengajaknya duduk di bawah pohon.
"Jangan kau kaget Hong-ji. Murid perempuan yang menikah
dengan Pangeran Kim itu bukan lain adalah mendiang ibumu
sendiri, Thio Ling In sumoi!"
Sin Hong melompat berdiri seperti diserang ular. Wajahnya yang tampan Menjadi pucat sekali dan matanya memandang kepada Lie
Bu Tek seperti memandang iblis yang muncul di tengah hari.
"Gihu... kalau begitu... kalau begitu mendiang ayahku... dia...."
Lie Bu Tek mengangguk. "Mendiang ayahmu adalah pangeran
Kin itulah, namanya Wan-yen Kan dan telah menikah dengan
Ibumu, menjadi Wan Kan dan menjadi seorang Han."
"Tak mungkin! Gi-hu bilang bahwa orang-orang Kin jahat. Tak mungkin orang Kin jahat menjadi Ayahku!" Anak ini mengeluarkan kata-kata sambil berteriak-teriak marah, mukanya merah sekali
sekarang dan dua titik air mata mengalir ke atas pipinya, dua
tangannya yang dikepalkan erat-erat.
Lie Bu Tek menangkap tangan anak itu dan menariknya ke atas
pangkuannya lalu ia mengelus-elus rambut itu penuh kasih sayang.
"Tidak semua orang Kin jahat, anakku, seperti juga tidak semua bangsa kita baik. Ada orang jahat tentu ada orang baik, demikian sebaliknya. Ayahmu, biarpun seorang pangeran Kin, namun ia
benar-benar seorang gagah yang berbudi mulia. Kau tak usah
kecewa atau malu mempunyai seorang ayah seperti dia, biarpun dia seorang pangeran musuh."
Tak tertahankan lagi menangislah Wan Sin Hong di atas
pangkuan ayah angkatnya.
26 "Hong-ji, tak baik seorang laki-laki menangis." kata Lie Bu Tek setelah ia membiarkan anak itu menangis beberapa lamanya.
Wan Sin Hong cepat menyapu matanya dengan ujung bajunya
dan memandang kepada ayah angkatnya dengan mata memohon.
"Gihu, ceritakanlah semua tentang mendiang Ayah Bundaku,
ceritakanlah tentang Hoa-san-pai dan anak-anak muridnya."
"Baiklah, Sin Hong. Kau akan kubawa menghadap kepada
Sucouwmu, memang baik kalau kau mendengar tentang keadaan
Hoa-san-pai agar kau tahu jelas segala persoalannya." Kemudian Lie Bu Tek menceritakan semua kejadian yang lalu sebagaimana yang
telah dituturkan di dalam cerita "Pendekar Budiman". Akan tetapi bagi para pembaca yang belum pernah membaca cerita Pendekar
Budiman, baiklah kita rnendengarkan penuturan singkat dari Lie Bu Tek.
"Tokoh Hoa-san-pai ada empat orang." Lie Bu Tek mulai bercerita, "Pertama adalah guruku sendiri yakin Liang Gi Tojin, ke dua Liang Bi Suthai yang sudah gugur dalam pertempuran. Liang Bi Suthai seorang murid wanita, yakni Thio Ling In sumoi."
"Ibuku?" tanya Sin Hong.
"Ya, Ibumu. Tokoh ke tiga adalah ang Siang Tek Sianseng yang mempunyai murid Gan Hok Seng sute."
"Kau maksudkan Paman Hui-houw (Macan Terbang) yang tinggal di Kanglam?"
"Benar, dialah Hui-houw Gan Hok Seng yang sekarang menjadi kepala Piauwsu di Kanglam. Kemudian, tokoh ke empat adalah Tan Seng. Dia ini membawa seorang anak perempuan bernama Liang Bi
Lan yang kemudian menjadi murid dari semua tokoh Hoa-san,
memiliki kepandaian paling tinggi, bahkan kemudian menjadi murid orang pandai dan akhirnya menikah dengan pendekar besar Go
Ciang Le."
"Apakah kau maksudkan Hwa I Enghiong (Pendekar Baju
Kembang))"
27 "Benar dia. Sayang sudah lama aku tidak bertemu dengan dia dan lebih sayang lagi kau belum pernah melihatnya. Dialah
pendekar yang sudah menggemparkan dunia kang-ouw beberapa
tahun yang lalu. Kelak tentu aku akan membawamu menghadap
pendekar besar itu, karena kalau kau bisa menerima bimbingan ilmu silat dari dia, kau akan beruntung sekali."
"Lalu bagaimana dengan Ibuku" Bagaimana dia bisa menikah
dengan seorang pangeran Kin?"
"Pada masa itu, kami semua anak murid Hoa-san pai berjuang untuk menggulingkan pemerintah Kin. Akan tetapi ibumu bertemu
dengan seorang pemuda, yakni Ayahmu yang pada waktu itu
mempergunakan nama Han yakni Wan yen Kan. Dalam pertemuan
ini mereka saling mencintai. Ibumu sama sekali tidak tahu bahwa Wan Kan adalah Pangeran Wanyen Kan. Setelah mereka menikah,
barulah Ibumu tahu. Hampir saja ayahmu dibunuh oleh Ibumu
sendiri, akan tetapi baiknya cinta kasih mereka terlalu mendalam sehingga hal itu tidak pernah terjadi." Lie Bu Tek menarik napas panjang dengan terharu sekali mengenangkan nasib sumoinya yang ia cintai itu.
"Memang Ayah salah! Mengapa tidak secara laki-laki mengaku bahwa dia seorang pangeran Kin" Dia mcnipu Ibu'"
"Tidak boleh kau berkata demikian, Hong-ji. Ayahmu benar-benar seorang baik dan biarpun dia pangeran Kin, namun ia tidak suka akan pemerintahnya sendiri. Oleh karena itulah maka ia rela
meninggalkan kedudukan sebagai pangeran, hidup sebagai orang
biasa menikah dengan lbumu. Bahkan ia boleh dibilang diusir oleh kaisar karena nekad hendak mengawini seorang wanita Han. Namun Ayahmu lebih memberatkan Ibu mu dari pada kedudukan dan harta
benda. Dia seorang mulia!"
Untuk beberapa lama keduanya berdiam diri. Di dalam hati Sin
Hong, kalau tadi ia membenci ayahnya, kini diam-diam merasa
bangga karena ayahnya dipuji-puji oleh ayah angkatnya.
"Mengapa kemudian Ayah Bunda mati Gi-hu" Mereka tentu masih muda mengapa mati keduanya?"
28 Lie Bu Tek menarik napas panjang, masih berduka kalau
mengingat akan keburukan nasib Thio Ling In, sumoinya yang amat dicintainya itu.
"Ayahmu dibunuh oleh gurunya sendiri yang bernama Ba Mau
Hoatsu. Ibumu juga."
"Mengapa, Gi-hu" Mengapa Ba Mau Hoatsu membunuhi
muridnya sendiri?"
"Ba Mau Hoatsu termasuk seorang pembela pemerintah Kin dan
memusuhi para pejuang rakyat. Melihat muridnya yang sebetulnya seorang pangeran Kin telah lari menyeberang, yakni menikah
dengan seorang wanita pihak musuh. Ba Mau Hoatsu menjadi
marah dan juga merasa malu. Oleh karena itu, ketika kau masih
berusia setahun. Ba Mau Hoatsu datang ke rumah orang tuamu dan membunuh mereka. Baiknya kau sedang keluar bersama inang
pengasuh sehingga kau terluput daripada bahaya maut."
Sampai lama anak itu diam saja, tangannya terkepal dan
matanya mengeluarkan sinar. Kemudian ia berkata,
"Gi-hu pada suatu hari, aku pasti akan dapat menewaskan Ba Mau Hoatsu itu untuk membalas dendam Ayah-bundaku." Suaranya
tenang dan tetap, biarpun diucapkan oleh anak kecil, namun
mendatangkan keseraman.
"Bagus kalau kau mempunyai pikiran demikian, Nak. Akan tetapi kau harus belajar ilmu silat sampai tinggi. Harus jauh lebih tinggi darit kepandaianku, malah lebih tinggi daripada kepandaian
Sucouwmu, karena ilmu kepandaian dari Ba Mau Hoatsu amat lihai.
Hanya Tayhiap (Pendekar Besar) Go Ciang Le dapat
mengalahkannya, oleh karena itu kalau saja kau dapat menghadapi Ba Mau Hoatsu."
Mendengar ini Sin Hong kecewa dan mengerutkan kening.
"Begitu lihaikah Ba Mau Hoatsu" Pantas saja Ayah dan Ibu kalah dan tewas. Gi-hu, kalau dia lebih lihai daripada Gi-hu atau Sucouw, habis untuk apakah Gi-hu membawaku ke Hoa-san-pai?"
"Sin Hong, biarpun tingkat kepandaian Ba Mau Hoatsu amat
tinggi dan memang dia akan dapat mcngalahkan Sucouwmu, akan
29 tetapi, kepandaian Sucouwmu juga hebat. Untuk tingkat pertama
kau cukup menerima pelajaran daripadaku kemudian kau menerima
pula petunjuk-petunjuk dan Sucouwmu. Selain daripa itu Ayah
Bundamu dahulu adalah orang-orang yang memiliki kepandaian bun di bu, apalagi Ayahmu. Maka kau pun harus menjadi seorang yang pandai ilmu silat dan ilmu surat. Di Puncak Hoa-san-pai. Masih ada Liang Gi Tojin yang dapat melatih ilmu silat padamu, Juga ada
Paman Guruku, yakni Liang Tek Sianseng, seorang sasterawan yang pandai. Dari Susiokku (Paman Guruku) inilah kau menerima
pelajaran ilmu surat."
Girang hati Sin Hong mendengar bahwa ia akan menjadi murid
Hoa-san-pai. Bagaimanapun juga, ia telah melihat sepak terjang ayah angkatnya dan merasa kagum. la menganggap Lie Bu Tek
gagah perkasa dan ia pandai, maka kalau ia menjadi murid dan
Liang Gi Tojin, tentu ia akan menerima pelajaran ilmu-ilmu silat yang hebat. Apalagi di sana ada Liang Tek Sianseng yang akan
mengajarnya tentang kesusasteraan, gembira hatinya.
"Kalau begitu, hayo kita melanjutkan perjalanan, Gi-hu!"
Lie Bu Tek dan Sin Hong melanjutkan perjalanan mereka
mendaki Bukit Hoa-san. Karena pemandangan alam di pegunungan
itu amat indahnya, Sin Hong merasa senang sekali. Beberapa kali mereka berhenti di jalan untuk menikmati tamasya alam. Lie Bu Tek yang sudah beberapa tahun tinggal di pegunungan ini ketika ia
belajar di Hoa-san-pai, menunjukkan tempat-tempat yang indah
kepada anak angkatnya.
"Di lereng depan itu terdapat tanah datar yang amat baik untuk berlatih silat. Dahulu aku dan Ibumu, juga saudara saudara
seperguruan lain sering kali berlatih ilmu silat di situ."
Sin Hong tertarik. "Mari kita ke sana, Gi-hu."
-oo0mch-dewi0ooJilid II Lie Bu Tek membawa anak itu ke tempat yang membangkitkan
kenang-kenangan lama. karena sesungguhnya hubungannya
30 dengan Thio Ling In, paling mesra adalah kalau mereka bertanding ilmu pedang sebagai latihan di tanah datar itu.
"Gi-hu, ada orang bertempur!" tiba-tiba Sin Hong berseru sambil menudingkan telunjuknya ke arah tanah datar itu. Memang betul, di sana terdapat dua orang yang sedang bertempur hebat. Orang
pertama adalah seorang tosu setengah tua, dan orang ke dua
adalah seorang laki-laki bertubuh kecil yang usianya tiga puluh lebih. Keduanya bertempur mempergunakan sebatang pedang. Akan
tetapi betapapun gesit dan lihai permainan pedang laki-laki itu, ia masih terdesak hebat oleh lawannya.
"Ah, dia adalah Liok San!" kata Lie Bu Tek setelah ia memandang penuh perhatian.
"Yang mana, Gi-hu?" tanya Sin Hong. "Dan siapakah Liok San itu?"
"Yang terdesak itulah Liok San, tak salah lagi. Dia anak murid dari Kwan-im-pai. Pernah dia berjuang melawan penjajah bersama dengan kami. Aku harus membantunya!" Setelah berkata demikian Lie Bu Tek lalu mencabut pedangnya dan melompat ke kalangan
pertempuran. "Lie Bu Tek Toako...! Bagus kau datang, bantulah aku
membunuh anjing Im-yang-bu-pai ini!" seru Liok San gembira ketika melihat Bu Tek.
Lie Bu Tek sudah mendengar tentang perkumpulan baru yang
bernama Im-yang-bu pai ini. Di Tiongkok terdapat aliran yang
menganut pelajaran atau filsafat Im-yang, sebuah pelajaran filsafat atau kebatinan yang bersumber pada pelajaran Lo Cu. Menurut apa yang di dengar oleh Lie Bu Tek, pada tahun-tahun terakhir ini, sifat dari Im-yang-bu-pai sudah banyak berbeda dengan dahulu, bahkan kalau dulu nama perkumpulannya Im-yang-kauw (Perkumpulan
Agama Im Yang) sekarang diubah menjadi lm-yang-bu-pai atau
Perkumpulan Silat Im Yang. Buruknya bahwa perhimpulan ini
setelah menjadi perkumpulan yang amat kuat, lalu berubah tinggi hati dan memandang rendah kepada golongan lain, apalagi
terhadap perkumpulan-perkumpulan agama lain mereka amat
menghina dan memandang rendah.
31 Oleh karena inilah, maka begitu mendengar Liok San minta
tolong tanpa ragu-ragu lagi Lie Bu Tek lalu menyerbu dan
menangkis pedang tosu itu dengan pedangnya sendiri. Beradunya
dua pedang menerbitkan suara nyaring dan tahulah Lie Bu Tek
bahwa lawannya ini memiliki kepandaian yang cukup tinggi. Maka ia segera mainkan pedangnya dan mengeluarkan jurus-jurus ilmu
pedang Hoa-san-pai yang paling lihai. Liok San tidak tinggal diam dan membantunya.
Adapun tosu itu, setelah merasa bahwa kepandaian Lie Bu Tek
tak boleh dipandang ringan dan ia takkan dapat menang


Pedang Penakluk Iblis ( Sin Kiam Hok Mo) Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menghadapi dua orang ini, lalu tertawa dan berkata,
"Bagus. Hoa-san-pai memang tukang mencampuri urusan orang!
Biarlah, Pinnie memberi ampun kali ini. akan tetapi tunggu saja hukuman dari Im -yang-bu-pai." Setelah berkata demikian ia melompat mundur dan lari pergi dari situ.
Liok San hendak mengejar akan tetapi lengannya dipegang oleh
Lie Bu Tek. "Saudara Liok, musuh yang sudah lari tak perlu dikejar."
Liok San menghela napas. "Sayang kita tak dapat bikin mampus keparat itu. Sekarang aku telah membawa-bawa Hoa-san-pai
sehingga dimusuhi oleh Im-yang-bu-pai, sungguh membuat hatiku
tidak enak sekali terhadap Liang Gi Totiang."
"Saudara Liok, jangan kau berkata begitu. Sejak lama kami mendengar keburukan nama Im-yang-bu-pai, kalau sekarang
mereka memusuhi partai kami itu sudah sewajarnya. Akan tetapi, siapakah tosu tadi dan bagaimana kau dapat bertempur dengan dia di lereng Bukit Hoa-san ini?"
Kembali Liok San menarik napas panjang. "Kalau diceritakan sungguh membikin hati sakit sekali. Aku telah mengantarkan
keponakanku untuk belajar di Hoa-san-pai dan telah diterima oleh Liang Gi Totiang. Bahkan aku tinggal di puncak Hoa-san-pai selama satu pekan. Ketahuilah, Saudara Lie, Kakakku perempuan telah
tewas bersama suaminya dalam pertempuran, dikeroyok oleh orang-orang Im-yang-bu-pai. Mula-mulanya terjadi bentrokan antara
anggauta-anggauta Kwan-im-pai kami dan anggauta-anggauta Imyang-bu-pai sehingga tak dapat dielakkan lagi terjadinya
32 pertempuran hebat. Kami dipukul hancur, Kakakku dan suaminya
tewas dan aku sendiri dikejar-kejar. Untuk menjaga keselamatan keponakanku, putera tunggal dari Kakakku, aku membawanya
kepada Liang Gi Totiang untuk belajar ilmu silat. Keselamatan anak itu terancam karena selama masih ada orang Kwan-im-pai, tentu
pihak Im yang-bu-pai tidak akan mau sudah begitu saja. Buktinya, ketika tadi aku turun gunung aku telah diserang oleh seorang di antara mereka dan tentu aku akan tewas kalau kau tidak datang
menolong. Karena itu Lie Toako, harap kau merahasiakan adanya
Liok Kong keponakanku itu di Puncak Hoa-san. Nah, sekarang
selamat tinggal, aku harus mengumpulkan lagi kawan-kawanku
yang cerai-berai. Betapapun juga, Kwan-im-pai harus dibentuk lagi dan memperkuat diri."
Liok San menjura lalu pergi dari situ dengan langkah cepat, Lie Bu Tek menggeleng-geleng kepalanya.
"Kasihan sekali. Aku masih ingat akan Kakaknya yang bernama Liok Hui seorang wanita yang gagah perkasa."
"Gi-hu, siapakah ketua dari Kwan-im-pai?" tanya Sin Hong.
"Dahulu ketuanya adalah Sin-kun Liu-toanio, seorang nenek yang gagah perkasa dan yang membantu perjuangan merobohkan
pemerintah Kin, akan tetapi nenek itu gugur oleh seorang tosu
bernama Giok Seng Cu, murid dari seorang tokoh besar dari Tibet yang bernama Pak Hong Siansu. Setelah Sin-kun Liu toanio
meninggal dunia, perkumpulan dipimpin oleh dua orang muridnya
yakni kakak beradik Liok Hui dan Liok San tadi. Sepak terjang kaum Kwan-im-pai selama ini amat baik dan nama mereka harum di dunia kang-ouw, sekarang mereka dihancurkan oleh Im-yang-bu-pai maka dapat dinilai betapa jahatnya orang-orang Im-yang-bu-pai itu."
Lie Bu Tek lalu membawa Sin Hong naik ke puncak. Perjalanan
kali ini amat sukarnya. Tidak saja tanah yang diinjak terdiri dari batu karang yang amat tajam, akan tetapi juga jalan yang naik amat
terjal, licin dan terhalang oleh banyak jurang-jurang yang dalam.
Kepandaian Sin Hong dalam ilmu silat masih amat rendah, maka
tentu saja ia tidak sanggup melalui jalan yang demikian sukar dan berbahayanya. Biarpun ia memaksa untuk terjalan di dekat Lie Bu 33
Tek sehingga sepatunya pecah dan kakinya berdarah, amkhirnya ia harus menyerah dan tak anggup berjalan lebih jauh lagi.
"Gi-hu, aku tidak kuat lagi....." keluhnya.
Liu Bu Tek tertawa. Ia amat kagum melihat kekerasan hati anak
ini, baru menyerah kalah setelah kedua kakinya berdarah dan tak dapat berjalan lagi. Kalau sekitranya kedua kaki yang kecil itu tidak terluka dan biarpun sudah amat lelah, ia percaya anak ini tentu takkan mau menyerah begitu saja. Semenjak kecilnya, Sin Hong
yang pada luarnya kelihatan lemah-lembut ini memang mempunyai
kekerasan hati yang amat luar biasa.
"Mari kau kupondong biar cepat kita tiba di puncak." katanya.
Tanpa menanti jawaban, ia menyambar tubuh anak angkatnya dan
berlarilah Lie Bu Tek cepat-cepat ke puncak. Dengan ilmu
meringankan tubuh yang sudah tinggi dan dengan pengerahan ilmu lari cepat Cho-sang-hiu (Terbang di Atas Rumput), tanpa
banyak`susah Bu Tek telah melalui bagian yang paling sukar dari puncak Hoa-san.
Ketika mereka tiba di puncak Hoa-san, Bu Tek melihat seorang
anak laki tengah duduk melamun di depan pondok suhunya. Anak
ini usianya kurang lebih sepuluh tahun, berwajah bersih dan
bermata cerdik. Akan tetapi. melihat keadaan anak itu, Bu Tek
mengerutkan keningnya. Ia dapat menduga bahwa anak itu tentulah Liok Kok Ji, putera dari Liok Hui yang dibawa oleh Liok San ke atas Hoa-san. Yang membuat hati Bu Tek tak senang adalah karena ia
melihat anak itu duduk melamun saja di dekat ladang sayur
tanaman suhunya, sedangkan cangkul dan keranjang digeletakkan
saja di atas tanali, itulah tanda kemalasan, pikir Bu Tek.
"Kau sedang bikin apa di situ?" Bu Tek menegur keras. Anak itu terkejut sekali karena memang Bu Tek sengaja meringankan
tindakan kakinya sehingga tahu-tahu telah berada dekat dengan
anak itu. Dalam kekagetan serta kegugupannya, anak itu cepatcepat memegang cangkul dan keranjang dan hendak mulai bekerja!
Bu Tek tersenyum dan menegur lagi. "Bukankah kau yang
bernama Liok Kong Ji?"
34 Anak itu kini melihat bahwa yang menegurnya tadi bukanlah
Liang Gi Tojin seperti yang tadi dikiranya. Pada wajahnya yang tampan kelihatan tanda kemendongkolan hatinya, akan tetapi ia
pandai menyembunyikan perasaan dan balas menegur.
"Kau ini siapakah berani datang tempat suci! Kalau Suhu
melihatmu mengotori tempat ini, kau tentu akan mendapat marah.
Tidak tahukah bahwa kau berada di tempat kediaman tokoh besar
Hoa-san-pai. Guruku Liang Gi Tojin"
Melihat mata yang bersinar-sinar dan tabah itu, diam-diam Lie Bu Tek memuji bahwa anak ini betapapun juga memiliki semangat
besar dan keberanian yang cukup. Sebelum ia menjawab, tiba tiba terdengar suara halus.
"Kong-Ji, jangan kau kurang ajar terhadap Suhengmu!" Maka muncullah seorang tosu tua di dalam pondok.
"Suhu...!" Bu Tek lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kakek ini sambil menurunkan Sin Hong dari pondongannya.
"Bu Tek, alangkah lamanya kita berpisah. Selama ini, apa saja yang kau alami?" Liang Gi Tojin, kakek itu yang menjadi tokoh pertama dari Hoa-san-pai maju dan memegang kedua pundak
muridnya. Adapun Liok Kong Ji ketika mendengar bahwa orang yang datang
bersama anak kecil tadi adalah Lie Bu Tek, suhengnya yang pernah ia dengar namanya dari Liang Gi Tojin segera maju memberi hormat dan berkata,
"Suheng, harap maafkan siauw-te yang bodoh dan tak mengenal kakak seperguruan sendiri."
"Tidak apa, Siauw sute." Kemudian Bu Tek memperkenalkan Sin Hong kepada suhunya dan menuturkan semua pengalamannya.
Pada akhir penuturannya ia berkata,
"Wan Sin Hong ini adalah putera tunggal dari Sumoi Thio Ling In dan Wan-yen Kan."
"Di mana mereka sekarang?" tanya Liang Gi Tojin.
35 "Mereka telah dibunuh oleh Ba Mau Hoatsu. Baiknya anak ini sedang dibawa keluar oleh pelayannya. Karena teecu menganggap
bahwa anak ini harus mendapat pendidikan sebaiknya, maka teecue membawanya pergi dan sekarang dia sudah cukup besar untuk
menerima latihan dari Suhu, oleh karena itu teecu mohon sudilah suhu membimbingnya."
Liang Gi Tojin mengangguk-angguk dan memandang tajam
kepada Sin Hong yang berdiri di hadapannya. Mata kakek yang
tajam ini dapat melihat bakat yang amat baik dalam diri anak itu. Ia menghela napas panjang.
"Sudah dapat dibayangkan bahwa nasib Ling In akan
menghadapi banyak rintangan dan bahaya dalam perjodohannya
dengan Pangeran Wan yen Kan. Ternyata kekhawatiranku terbukti
dan guru suaminya sendiri yang datang membunuh mereka. Ah...."
Kakek itu memandang kepada Sin Hong. "Anak, apakah kau suka belajar ilmu silat di sini, belajar dari pinto?"
"Locianpwe adalah Suhu dari Gi-hu dan Supek dari mendiang Ibuku, jadi adalah Sucouwku sendiri. Bagaimana teecu tidak suka belajar ilmu silat di sini" teecu suka sekali!"
"Sin Hong, kau ingin belajar ilmu silat untuk apakah?" Tiba-tiba kakek itu bertanya sambil memandang tajam.
Tanpa ragu-ragu Sin Hong menjawab sambil mengangkat
kepalanya. "Seperti seringkali teecu dengar dari Gi-hu, teecu mempelajari ilmu silat untuk dipergunakan menolong orang-orang yang
mcmbutuhkan pertolongan. Akan tetapi terutama sekali agar teecu kelak dapat mencari musuh besar Ayah Bundaku dan memhalas
dendam!" Liang Gi Tojin tersenyum kemudian menarik napas panjang lagi.
"Aah, Sin Hong, musuh besarmu itu adalah Ba Mau Hoatsu yang kepandaiannya amat tinggi. Pinto sendiri takkan sanggup
mengalahkannya, apalagi engkau. Dengan menguras seluruh
pengertianku, kau masih jauh untuk dapat mengalahkannya."
36 Kata-kata ini memang sesungguhnya dan Bu Tek juga mengerti
bahwa suhunya berkata benar. Oleh karena itu ia memandang
kepada putera angkatnya dengan hati duka. Tiba-tiba di dalam
keadaan sunyi itu, terdengar Liok Kong Ji berkata riang.
"Suhu, mengapa putus asa" Adik Hong setelah tamat belajar dari Suhu dapat melanjutkan pelajarannya, dan teecu akan
membantunya, mencari guru-guru yang pandai agar kelak dapat
merobohkan Ba Mau Hoatsu!"
Sin Hong melirik ke arah Kong Ji dan melihat pandang mata Kong Ji penuh harapan, ia menjadi girang dan berkata.
"Teecu merasa cocok dengan pernyataan tadi. Teecu takkan
berhenti belajar untuk kemudian mencari Ba Mau Hoatsu yang
sudah membunuh Ayah Bundaku."
"Bagus, bagus, pinto berjanji akan menghabiskan waktu hidup yang tinggal sedikit ini untuk mendidik kalian anak-anak yang
malang," kata Liang Gi Tojin dengan girang.
Demikianlah, semenjak hari itu, Kong Ji dan Sin Hong menerima
latihan-latihan ilmu silat Hoa-san-pai dari Liang Gi Tojin, dibantu dengan penuh perhatian oleh Lie Bu Tek.
Empat tahun kemudian, tanpa ada gangguan sesuatu, dua orang
anak itu menerima gemblengan dari kakek ini dan memperoleh
kemajuan pesat sekali. Yang menggirangkan hati Liang Gi Tojin
adalah kecerdikan mereka yang luar biasa sehingga kalau
dibandingkan dengan murid Hoa-san-pai yang dahulu, mereka
berdua menang banyak. Adapun Lie Bu Tek juga tidak menyianyiakan waktunya di gunung itu. Ia menerima pelajaran lanjutan dari gurunya sehingga dalam waktu empat tahun, semua ilmu silat Hoa-san-pai telah ia miliki. Liang Gi Tojin sengaja menurunkan seluruh kepandaiannya kepada Bu Tek dan kelak kalau ia sudah
meninggal dunia, Lie Bu Tek yang berhak menjadi ketua Hoa-sanpai. Tiga orang laki-laki dengan gerakan kaki seakan-akan terbang
naik ke Hoa-san. Yang seorang adalah Siang-pian Giam-ong Ma Ek yang bertubuh tinggi kurus dan bermuka pucat. Orang kedua dan
ketiga adalah kakek-kakek berjubah putih. Yang pertama adalah
37 seorang kakek bongkok yang memegang tongkat hitam di tangan
kanan dan tongkat putih di tangan kiri, sedangkan orang kedua
adalah seorang kakek botak yang pada punggungnya tergantung
sepasang pedang. Yang bongkok itu adalah tokoh ketiga Im-yangbu-pai, bernama Kwa Siang berjuluk Thian-te Siang-tung (Sepasang Tongkat Langit Bumi). Yang kedua dan bertubuh besar pendek
adalah tokoh kedua dari Im-yang-bu-pai bernama Lai Tek berjuluk Siang-mo-loam (Sepasang Pedang Iblis). Mereka ini memiliki
kepandaian yang amat tinggi dan tidak saja di perkumpulan Imyang-bu-pai mereka menduduki tempat ke dua dan ke tiga dari
perkumpulan Im-yang-bu-pai juga di dunia kang-ouw nama mereka
amat terkenal karena mereka memiliki kepandaian yang amat tinggi.
"Kenapa keadaannya begini sunyi?" tanya Thian-te Siang-tang Kwa Siang sambil berlari.
"Di dalam dunia ini, yang paling miskin anggauta dan boleh dibilang sudah hampir bangkrut adalah partai Hoa-san-pai." kata Giam-ong Ma Ek ketua Bu-cin-pai. "Dahulu memang Hoa-san-pai termasuk partai yang besar dan berpengaruh, ketika empat orang tokohnya masih hidup, yakni Liang Gi Tojin, Liang Bi Suthai, Liang Tek Sian-seng, dan Tan Seng Lo-enghiong. Akan tetapi sekarang di antara empat orang tokoh itu hanya tinggal Liang Gi Tojin seorang.
Dahulu empat orang tokoh itu pun mempunyai banyak sekali anak
murid, akan tetapi sekarang para murid itu banyak yang sudah
tewas, dan hanya ada beberapa gelintir orang saja yang tinggal jauh dari Hoa-san-pai. Agaknya Liang Gi Tojin tidak mau mengumpulkan murid-muridnya dan kalau tidak salah, sekarang orang tua itu hanya tanggal bersama muridnya, yaitu Hui-hong Lie Bu Tek.
"Hm, sudah hampir bangkrut masih saja sombong dan suka
mencampuri urusan orang lain." Siang-mo-kiam Lai Tek tokoh ke dua dari Im-yang-bu-pai berkata kurang senang.
"Itulah sebabnya maka mereka harus dibasmi sama sekali agar kelak tidak menyusahkan partai kami saja," kata Giam-ong Ma Ek.
Orang tua ini memang menaruh hati dendam kepada Hoa-san-pai
setelah ia kena dikalahkan oleh Lie Bu Tek dalam keributan di hari tahun baru sebagaimana telah dituturkan di bagian depan. Adapun dua orang tokoh 1m yang bu-pai itu karena mendengar dari anak
38 murid mereka bahwa Liok San tokoh Kwan-im-pai melarikan diri ke Hoa-san dan dibantu oleh Lie Bu Tek, kini datang untuk membalas dendam pula. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Giam-ong Ma Ek, maka ia lalu mengajak mereka untuk bersama pergi naik ke
Hoa-san. Memang betul apa yang diceritakan oleh Ma Ek tadi. Liang Bi
Suthai tokoh ke dua dari Hoa-san-pai telah tewas oleh tokoh-tokoh pembantu pemerintah Kin, Liang Tek Sianseng juga telah meninggal dunia karena sakit. Sedangkan Tan Seng meninggal dunia karena
usia tua. Tinggal Liang Gi Tojin seorang diri, yang tiada nafsu lagi untuk berurusan dengan keramaian dunia. Memang kakek ini lebih mengutamakan ilmu batin. Banyak hal-hal yang menyakitkan hati
membuat ia makin tidak mempunyai semangat untuk membangun
kembali partai Hoa-san-pai. Harapan satu-satunya hanya tergantung kepada mitridn}a, Lie Bu Tek, maka setelah Lie Bu Tek datang
membawa Wan Sin Hong, kakek ini mengerahkan seluruh
kepandaian dan tenaganya untuk mewariskan kepandaiannya
kepada murid tunggal ini, juga tentu saja ia memberi bimbingan kepada dua orang murid cilik yang baru, yakni Wan Sin Hong dan Liok Kong Ji.
Pada saat tiga orang kakek yang mempunyai maksud tidak baik
terhadap Hoa-san-pai itu berlari-lari naik bukit, melompati jurang-jurang dengan gerakan laksana burung terbang, Liang Gi Tojin
sedang duduk di luar pondok bersama Lie Bu Tek dan dua orang
murid cilik. Kini Liok Kong Ji telah berusia empat belas tahun dan Wan Sin Hong sudah dua belas tahun, mereka kelihatan bersikap
gagah. Akan tetapi, biarpun Sin Hong lebih muda, ia ternyata lebih halus sikapnya dan lebih luas pandangannya. Hanya dalam
kecerdikan ia tidak lebih unggul daripada Kong Ji, bahkan dalam latihan ilmu silat, ia ketinggalan oleh suhengnya ini. Sebaliknya, kalau Sin Hong amat tertarik dan suka mempelajan ilmu surat dan kebatinan, adalah Kong Ji sama sekali tidak mempunyai bakat untuk kepandaian ini.
Empat orang itu sedang menikmati hawa udara yang amat sejuk
dan segar di waktu pagi itu, dan menikmati sinar matahan yang
menyehatkan tubuh. Liang Gi Tojin bermain catur bersama Sin Hong 39
adapun Kong Ji mendengarkan keterangan tentang ilmu silat dari Lie Bu Tek.
Tiba-tiba Lie Bu Tek berkata, "Ada tamu datang!"
Liang Gi Tojin mengangguk-angguk karena kakek ini juga sudah
tahu, adapun dua orang pemuda cilik itu celingukan mencari-cari, karena mereka belum mengetahui akan hal ini.
Baru saja Sin Hong hendak bertanya, berkelebat tiga bayangan
orang dan sekejap kemudian tiga orang kakek berdiri di pinggir lapangan di depan pondok sambil tersenyum menyindir.
"Aha, tak kusangka bahwa nama besar Hoa-san-pai akan
berakhir di tangan seorang kakek tiada guna tukang main catur
dengan seorang bocah," Giam-ong Ma Ek berkata mengejek.
Dua orang tokoh lm-yang-bu-pai tidak berkata apa-apa, akan
tetapi mereka lalu menggerakkan lengan baju dan bagaikan dua
ekor burung garuda saja mereka melayang ke atas pondok,
menginjak pecah genteng dan mengintai ke dalam, juga melihat
dari tempat tinggi ke sekeliling pondok. Mereka mencari Liok San yang disangkanya berada di situ. Kemudian mereka melayang
kembali ke bawah dan berdiri di belakang Siang-pian Giam-ong Ma Ek.
Melihat gerakan dua orang kakek tadi, diam-diam Lie Bu Tek
terkejut sekali demiklan pula Liang Gi Tojin. Menghadapi ketua Bu-cin-pai tidak mengkhawatirkan hati Lie Bu Tek, akan tetapi gerakan yang diperlihatkan oleh dua orang tadi benar-benar hebat sekali.
Liang Gi Tojin berdiri dan menjura ke arah Ma Ek. "Selamat datang di puncak Hoa-san, Sam-wi Bengyu (Tiga Sahabat). Pinto
mengenaI Siang-pian Giam-ong Ma Ek ketua Bu-cin-pai sebagai
orang gagah perkasa, akan tetapi pinto yang sudah tua dan kurang awas pandangan mata, belum pernah berkenalan dengan Jiwi-enghiong (Dua Orang Gagah) yang ikut datang pula. Keperluan
apakah gerangan yang membawa Sam-wi datang di sini?"
Mata Siang-pian Giam-ong Ma Ek menyapu tempat itu dan
akhirnya ia memandang kepada Lie Bu Tek dengan mendelik.
40 "Lebih baik kau bertanya kepada muridmu itu, karena dialah yang memaksa. kami datang menagih hutang kepada Hoa-san-pai."
Liang Gi Tojin tak perlu bertanya karena sesungguhnya ia telah mendengar dari Lie Bu Tek tentang pertempuran antara muridnya
itu dengan Siang-pian Giam-ong Ma Ek, dan kemudian betapa Lie
Bu Tek menolong Liok San dan serangan anak murid Im-yang-bupai. Mengertilah tokoh Hoa-san-pai ini bahwa mereka memang
sengaja hendak mencari keributan dan dengan dalih menagih
hutang mereka hendak merusak nama baik dan menghacurkan Hoasan-pai. Sebelum gurunya sempat menjawab, Lie Bu Tek yang merasa
bertanggungjawab penuh atas semua perbuatannya, melangkah
maju dan berkata kepada ketua Bu-cin-pang itu,
"Siang pian Giam-ong, untuk peristiwa kecil dahulu itu, aku yang bodoh membantu pihak Hek-kin-kaipang yang diperlakukan
sewenang-wenang oleh murid-muridmu, dan untuk itu aku pun
sudah minta maaf kepadamu. Apakah kau masih penasaran dan
hendak menarik panjang perkara itu" Kalau demikian kehendakmu
marilah aku bersedia memenuhi kehendakmu dan untuk perkara ini aku Lie Bu Tek yang bertanggung jawab, jangan kau membawa-bawa nama Guruku dan Hoa-san-pai."
Ma Ek tertawa bergelak dengan lagak mengejek sekali. "Ha, ha, ha, kalau buahnya pahit, pohonnya pun buruk. Kalau muridnya tidak baik, gurunya tentu tidak benar. Membasmi pohon busuk harus
mencabut sampai dengan akar-akarnya.
"Ma Ek! Kau orang tua tidak putus menerima penghormatan yang muda! Tutup mulutmu yang kotor, sekarang kau sudah datang, mau apakah?" Lie Bu Tek tak dapat mengendalikan kemarahannya lagi, tangannya bergerak, pedang dicabut dan ia berdiri dengan pedang melintang di depan dada.
"Lihat, Jiwi-cianpwe, betapa sombongnya orang Hoa-san-pai!"
kata Siang pian Giam-ong Ma Ek kepada dua orang tokoh Im-yangbu-pai. 41 Siang-mo-kiam Lai Tek berkata dengan muka marah, "Ma
enghiong, mengapa banyak cakap dengan orang muda ini. Lekas
bereskan dia agar jangan memerahkan telinga."
Lie Bu Tek maklum bahwa ketua Bu-cin-pai ini sengaja hendak
minta pertolongan dua orang Im-yang-bu-pai itu maka ia menyindir,
"Betul, Ma Ek. Mengapa kau seperti anak kecil merengek-rengek, tidak mau turun tangan sendiri" Apakah kau takut padaku?"
Diejek demikian itu, Ma Ek menjadi marah dan ia mencabut
siang-piannya. Semenjak kalah oleh Lie Bu Tek, ia memperdalam
ilmu silatnya, dari tadi kalau ia sengaja membakar hati dua orang tokoh Im-yang-bu-pai, adalah karena ia merasa gentar melihat
Liang Gi Tojin yang sikapnya demikian agung dan tenang.
"Bangsat kecil, kaurasakan pembalasanku!" bentaknya dan
sepasang pian di tangannya bergerak ganas menyerang Lie Bu Tek.
Jago dari Hoa-san-pai ini tidak menjadi gentar dan menangkis
dengan pedangnya. Terdengar suara nyaring dan bunga api
beterbangan ketika dua senjata bertemu.
Ma Ek terkejut sekali. Dibandingkan dengan empat tahun yang
lalu, tenaga lweekangnya sudah meninigkat tinggi, akan tetapi
mengapa kini tangkisan Lie Bu Tek membuat tangannya tergetar" Ia tentu saja tidak tahu bahwa selama empat tahun itu. kalau ia
memperdalam ilmu silatnya dengan tekun, musuhnya ini bahkan
telah menguras semua ilmu silat dari Hoa-san-pai dan kini telah memiliki kepandaian yang amat tinggi, bahkan hampir setaraf
dengan kepandaian Liang Gi Tojin sendiri. Akan tetapi ia cepat dapat menguasai hatinya dan sepasang pian tangannya diputar
cepat sekali, melakukan serangan yang mematikan ke arah bagian tubuh yang berbahaya dari lawannya. Sepasang pian itu bergerak dari jurusan yang berlawanan sehingga merupakan dua gulung sinar yang membungkus tubuhnya, angin sambaran senjata berkesiur
mendatangkan hawa dingin.
Namun Lie Bu Tek tidak menjadi gentar. Ila mengimbangi
serangan lawan dengan gerakan pedangnya yang lihai. Jurus jurus yang tersulit dan paling berbahaya dari ilmu pedang Hoa-san Kiam hoat ia keluarkan untuk mendesak lawan yang lihai ini. Diam-diam Bu Tek harus akui bahwa kalau saja selama empat tahun ini ia tidak 42
memperdalam kepandaiannya dengan berlatih secara rajin dari
suhunya, agaknya ia takkan mampu menghadapi ketua Bu-cin-pai
ini. Karena tahu bahwa pihak lawan masih ada dua orang yang


Pedang Penakluk Iblis ( Sin Kiam Hok Mo) Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kelihatannya amat tangguh, Lie Bu Tek tidak mau membuang
banyak tenaga agar dapat menghadapi lain lawan dengan tenaga
masih kuat. Ia segera menggerakkan pedangnya dengan kecepatan
luar biasa serta mengerahkan seluruh tenaga lweekangnya.
"Gi-hu pasti menang!" teriak Sin Hong penuh semangat.
Kong Ji yang berdiri di dekatnya tidak berkata apa-apa, hanya
diam-diam ia memandang pertempuran itu dan kadang-kadang ia
melirik ke arah dua kakek yang pakaiannya hitam itu dengan
pandang mata penuh kekhawatiran.
Baru saja Sin Hong mengeluarkan kata-kata itu, terdengar suara keras disusul oleh teriakan Ma Ek yang tubuhnya terguling roboh.
Ternyata bahwa pedang Bu Tek telah berhasil membabat putus pian di tangan kanannya dan kaki pendekar Hoa-san-pai ini telah mampir di dadanya sehingga tak dapat dicegah lagi kena dikalahkan.
Akan tetapi, sebagai ketua dari sebuah perkumpulan yang
berpengaruh dan besar. Siang-pian Giam-ong Ma Ek tidak mau
kalah muka dan cepat ia melompat berdiri dengan meringis karena dadanya telah terluka lumayan juga. Dengan siang-pian yang
tinggal satu, yakni yang dipegang oleh tangan kiri. ia menyerang lagi! Tiba-tiba tubuhnya terhenti di tengah serangan ini karena lengan kanannya dipegang orang dari belakang pegangan yang
amat kuat dan juga membuat ia tidak berdaya.
"Cukup, Saudara Ma Ek, biarkan pinto yang berkenalan dengan pedang Hoa-san-pai yang ganas!" kata orang yaitu memegang tangannya dan ternyata orang itu adalah tokoh ketiga dari Im-yan bu pai, yakni Thian-te Siang-tung Kwa Siang. Ma Ek diam-diam
menarik napas lega. tadi pun ia telah merasa bahwa ia bukan
tandingan jago dari Hoa-san pai itu, dan kini biarpun ia
mengundurkan diri, namun ia masih dapat menjaga mukanya,
karena ia berhenti bertempur bukan karena takut, melainkan karena dibujuk oleh Thian-te Siang-tong Kwa Siang. Sementara itu, tokoh ketiga dari Im-yang-bu-pai ini segera melepaskan pegangannya dan sekali ia menggerakkan tubuh, ia telah berhadapan dengan Lie Bu 43
Tek. Dengan tongkat kanan yang hitam, serta tubuhnya
membongkok-bongkok menjadi rendah sekali, kakek ini menuding
ke arah muka Lie Bu Tek.
'Orang Hoa-san-pai, ketahuilah bahwa aku Thian-te Siang-tung
Kwa Siang dan suhengku Siang-mo-kiam Lai Tek datang untuk
menagih hutang. Kau telah berani membela keparat Liok San dan
pukul anak murid kami. Sungguh perbuatan yang amat sombong!
Bukankah selamanya Im-yang-bu pai tak pernah pagganggu Hoasan-pai" Agaknya kau amt menyomhongkan kepandaianmu, maka
cobalah kauterima sepasang tongkatku ini!"
Sebelum Lie Bu Tek sempat menjawab, kakek ini sudah
menggerakkan tongkat kirinya yang berwarna putih menotok jalan darah Tai-hwi-hiat di tubuh Bu Tek. Tentu saja Lie Bu Tek tidak mudah diserang begitu saja dan cepat mengelak. Akan tetapt tiba-tiba berkelebat sinar hitam dan tongkat hitam tangan kanan
lawannya sudah menyerang dengan tusukan ke arah lambungnya.
Inilah serangan yang amat lihai dan berbahaya sekali dan tahulah dia bahwa kakek ini menyerang dengan maksud membunuh.
"Kwa-lo-enghiong, kau menghendaki pertempuran mati-matian"
Baiklah, bukan aku yang mulai lebih dulu'" bentaknya dan sekali lagi Bu Tek mainkan pedangnya dengan hebatnya.
Namun kali ini ia menghadapi lawan yang memiliki kepandaian
amat lihai. Begitu terbentur dengan tongkat putih ia merasa telapak tangannya dingin. terkejutlah hati Lie Bu Tek. Ia tahu bahwa
lawannya itu adalah seorang ahli lwee- keh yang sudah pandai
membagi tenaga lweekeh antara keras dun lembek. Tongkat hitam
di tangan kanan itu mengandung tenaga lweekang yang keras dan
panas, yakni tenaga Yang, sedangkan tongkat kiri yang putih itu mengandung tenaga Im yang lembek. Akan tetapi bahayanya sama
saja karena kalau tongkat hitam Itu dapat merusak kulit daging, adapun tongkat putih itu dapat memutus urat dan jalan darah'
"Pergunakan Ngo-heng Kiam-hoat!" Liang Gi Tojin berseru kepada muridnya, karena ia maklum bahwa dengan ilmu pedang
biasa saja muridnya tak mungkin dapat membuat kemenangan. Bu
Tek segera merubah ilmu pedangnya dan kini pedangnya bergerakgerak dari lima jurusan dan tenaganya juga berubah-ubah. Baru
44 beberapa belas jurus saja ia dapat mengakui keunggulan lawannya yang benar-benar lihai sekali. Sepasang tongkat hitam dan putih itu memiliki gerakan yang amat aneh dan dua macam hawa sambaran
tongkat yang berlawanan benar-benar membingungkan hati Bu Tek.
Ngo-heng Kiam-hoat ternyata tidak dapat menahan datangnya
desakan dari ilmu tongkat Thian-te Siang-tung, betapapun cepat Bu Tek menggerakkan pedangnya, namun pada jurus ke tiga puluh
tongkat putih di tangan kiri lawannya dengan tepat telah menotok dada kanannya di bagian jalan darah besar. Bu Tek mengeluarkan seruan kesakitan dan separuh tubuhnya seperti lumpuh, pedangtnya terlepas dari pegangan. Sebelum ia roboh, tongkat hitam lawannya menotok lambungnya dan tubuh Bu Tek terkulai!
"Jangan bunuh Gi-hu!" Sin
Hong berseru marah dan
melompat ke depan sebelum
gurunya sempat mencegahnya.
Dengan kepalan tangannya yang
kecil ia menerjang dan menyerang
Thian-te Sian Tung Kwa Siang,
yang tertawa-tawa dan sekali ia
menendang, tubuh anak itu
terpental dan bergulingan sampai
empat tombak jauhnya! Namun
Sin Hong biar pun sakit-sakit
tubuhnya, melompat lagi dan
hendak menyerang, akan tetapi
Liang Gi Tojin membentaknya.
"Sin Hong, mundur!"
Setelah membentak muridnya, kakek Hoa-san-pai ini lalu
melangkah maju dan berkata kepada Thian-te Siang tung,
"Setelah kau berlaku kejam kepada muridku, terpaksa pinto harus meIupakan usia tua dan minta pelajaran dari Im yang-bupai."
"Sute, biar aku menghadapinya." kata Siang-mo-kiam Lai-Tek yang sudah mencabut sepasang pedangnya. Seperti juga tongkat
45 yang dipegang oleh Kwa-Siang, pedang ini ternyata adalah pedang hitam dan putih dan berkilauan cahayanya.
"Liang Gi Tojin, dilihat dari sepak terjang Hoa-san-pai yang semenjak dahulu hanya mengacau dan mencampuri urusan orang
lain, mudah diduga bahwa kalau kau bukan seorang tolol, tentu
seorang yang tidak bersih. Oleh karena itu setelah Im-yang-bu-pai muncul menjagoi dunia kang-ouw, kami tak dapat membiarkan
partai persilatan seperti Hoa-san-pai hidup terus."
Luang Gi Tojin tersenyum, lalu mencabut pedangnya. Dengan
tenang ia berkata, "Biarpun kepandaian Hoa-san-pai tidak seberapa, namun dalam pengertian tentang perikebajikan kiranya tidak akan kalah oleh Im-yang-bu-pai. Sejak dahulu punto sudah mendengar
tentang lm-yang-kauw (Agama Im Yang), yang sesungguhnya
masih merupakan cabang daripada To-kauw, jadi sealiran dengan
kebatinan yang kami pelajari. Akan tetapi, semenjak Im-yang-kauw merubah nama menjadi Im-yang-bu-pai, kiranya perkumpulan
agama ini berubah menjadi perkumpulan tukang pukul dan ahli-ahli berkelahi yang suka membunuh orang. karena kalian sudah datang di puncak Hoa san pai dan sudah mencelakai muridku, marilah kita main-main sebentar."
Siang-mo-kiam Lai Tek tertawa mengejek. Ia menggerakkan
pedang kanan yang hitam terdengar suara mengaung seperti
harimau mengaum. Pedang kirinya yang putih digerakkan,
terdengar suara angin mengiuk yang amat tajam menusuk telinga.
Dengan dua kali gerakan ini saja tokoh Im-yang-bu-pai sudah
memperlihatkan kelihaiannya dan diam-diam Liang Gi Tojin terkejut.
Ia makum bahwa tenaga dari orang besar pendek ini besar sekali dan juga sepasang pedang itu merupakan pasangan pedang
mustika. Yang putih terbuat daripada pek-kim (emas putih) dan
yang hitam terbuat daripada batu hitam yang lebih keras daripada besi. Namun ia tidak menjadi gentar.
"Kau lihai Siang-mo-kiam akan tetapi untuk membela nama Hoa san-pai sampai mati pun pinto takkat melangkah mundur."
"Ha-ha-ha, kau sudah bosan hidup dan ingin mampus" Baiklah, mari kuantar kau menghadap Giam-kun (Raja Maut)!" kata Siang-mo-kiam Lai Tek yang menyerang dengan cepatnya. Sepasang
46 pedangnya berubah menjadi dua gulung sinar hitam dan putih, yang putih bergerak dari atas dan yang hitam bergerak dari bawah atau sebaliknya. Inilah ilmu pedang berdasarkan ilmu pedang Lo-hai-kiam-hoat (Ilmu Pedang Mengamuk Lautan) dari Kun-lun-pai yang
telah dioper dan dijiplak oleh Im-yang-bu-pai dan diubah setelah dtsesuaikan dengan ilmu silat Im yang-kiam-hoat mereka.
Liang Gi Tojin sebagai seorang tokoh yang kenamaan tentu saja
mengenal Ilmu Pedang Lo-hai-kiam-hoat dari Kun-lun pai ini, akan tetapi oleh karena ilmu pedang ini sudah disatukan dengan Im-yang kiam-hoat serta tokoh ke dua dari Im yang-bu-pai ini memang
memiliki kepandaian amat tinggi, kakek Hoa-san-pai ini menjadi kewalahan sekali. Biarpun ia mengerahkaii tenaga dan kepandaian, mainkan Hoa-san-kiam-hoat yang paling tersembunyi dan lihai,
namun tetap saja ia tidak berdaya menahan gelombang desakan
sepasang pedang lawan yang amat luar biasa. Dengan nekat kakek Hoa-san-pai ini lalu membarengi serangan lawan. Ketika pedang
hitam di tangan kanan lawannya menusuk ke arah perutnya, ia
cepat mengelak, miringkan tubuhnya sambil membarengi membabat
ke arah leher lawan. Gerakan ini adalah gerakan nekad, karena
kalau lawan melanjutkan serangannya, tentu ia akan mati akan
tetapi di lain pihak pedangnya tentu akan mengenai sasaran pula!
Siang-mo-kiam Lai Tek tentu saja tidak sudi mengadu nyawa.
Cepat sekali menarik pulang pedang hitamnya dan pedangnya yang putih menangkis dengan tenaga "menempel". Dua pedang itu menempel menjadi satu dan tak dapat dipisahkan lagi! Liang Gi
Tojin cepat menggerakkan tangan kiri menonjok dada lawan. Akan tetapi ternyata Siang-mo kiam Lai Tek lihai luar biasa. Dengan membagi tenaga lweekangnya, ia menerima pukulan ini dan
membarengi mengayun pedang hitamnya.
"Duk!" tubuh Lai Tek terpental setombak lebih akan tetapi tangan kiri kakek Hoa-san-pai itu putus sebatas sikunya! Darah mengalir dengan semburan mengerikan. Sin Hong menjerit ngeri melihat
suhunya putus lengannya.
Namun kakek Hoa-san-pai ini benar- benar hebat. Tanpa
memperlihatkan sedikit pun rasa sakit, ia mengempit pedangnya
dan menggunakan tangan kanan untuk menotok pangkal lengannya,
47 menghentikan darah yang mengalir keluar. Pada saat itu, Lai Tek sudah dapat berdiri kembali dengan wajah pucat. Biar pun ia, telah mengerahkan lweekangnya untuk menahan pukulan tadi, namun
masih merasa betapa dadanya sakit dan sukar untuk bernapas.
Setelah napasnya normal kembali, dengan amat marah menyerbu
lagi! Kasihan sekali Liang Gi Tojin. Dengan dua tangan masih utuh
saja ia sudah terdesak hebat. Apalagi kini ia telah kehilangan tangan kirinya. Biarpun sambil menggigit bibir mempertahankan diri dengan pedangnya, namun dalam jurus ke sepuluh, pedang hitam menusuk
dadanya dan pedang putih amblas ke dalam perutnya. Tanpa
mengeluarkan sedikit pun suara, kakek ini roboh tak bernyawa lagi.
"Kau... kau membunuh Suhu dan mencelakakan Gi-hu...!" Sambil menangis Sin Hong lalu melompat dan menyerang Lai Tek. Akan
tetapi sebelum anak itu dekat dengan Lai Tek, Kwa Siang telah
menendangnya lagi dan kini tendangannya jauh lebih keras
daripada tadi sehingga tubuh Sin Hong terlempar jauh sekali,
bergulingan seperti sebuah bal karet. Namun anak ini tabah sekali.
Tanpa memperdulikan rasa sakit ia bangkit lagi dan dengan air mata berlinangan, ia lari menyerbu lagi sambil mengepalkan dua
tangannya yang kecil.
"Kubunuh kalian!" serunya, dan kini ia menyerang Kwa Siang.
Dengan tingkat kepandaiannya yang sekarang, anak yang usianya
baru dua betas tahun ini dengan mudah akan dapat merobohka
seorang dewasa biasa. Akan tetapi ia menghadapi Thian-te Siang-tung Kwa Siang, tokoh ke tiga dari Im- yang bu-pai, tentu saja ia tidak berdaya sama kali. Sebuah totokan yang dilakukan dengan
sebuah jari, yakni ilmu totok It-ci tiam-hoat (Totokan Satu Jari) dari Go-bi-pai, Sin Hong seketika menjadi kaku dan berdiri seperti
patung. totokan itu ditujukan pada jalan darah yang tidak saja dapat membikin orang menjadi kaku, akan tetap, juga mendatangkan rasa sakit yang menusuk jantung. Tiga orang tamu yang menghancurkan Hoa-san-pai itu menduga bahwa mereka akan melihat anak bandel
ini menjerit-jerit kesakitan dan minta ampun, akan tetapi, aneh sekali. Anak itu berdiri seperti patung dan sepasang matanya yang masih dapat bergerak, memandang dengan mendelik dengan
bibirnya digigit sampai berdarah tanda bahwa anak ini, menahan 48
rasa sakit yang amat hebatnya! Totokan tadi dilakukan pada pusat jalan darah di pundak kanan, di bagian tai-hiat yang melumpuhkan kaki tangan akan tetapi dari leher ke atas masih dapat digerakkan.
"Kau tidak minta ampun?" tanya Lai Tek dengan heran dan kagum sekall. Sin Hong tidak menjawab, hanya mendelikan
matanya. "Ha, ha, ha! Biar kita lihat saja sampai di mana dapat bertahan!"
kata Kwa Siang. "Sebelum minta ampun kau tak-kan kubebaskan."
"Monyet tua, jangan harap aku minta ampun!" kata Sin Hong.
Semua orang tercengang. Akibat totokan ini, kalau orang
menutup mulut masih kurang hebat, akan tetapi begtu orang yang tertotok bicara, rasa sakit luar biasa sekali. Akan tetapi anak ini masih berani memaki!
Adapun Thian-te Siang-tung Kwa-siang yang dimaki monyet tua
oleh Wan Sin Hong, menjadi marah sekali.
"Bocah setan kau harus mampus!" kayanya sambil
menggerakkan tongkat hitamnya ke arah kepala Sin Hong.
"Sute jangan...!" Lam Tek mencegah sambil memegang pundak kakek bongkok itu.
"Suheng, mengapa kau melarang membunuhnya?"
"Anak ini mempunyai keberanman luar biasa, patut ia menjadi anggauta dan calon jago Im yang-bu-pai!" Sambil berkata demikian, Lam Tek memberi isyarat dengan matanya kepada Kwa Siang.
Thian-te Siang-tung Kwa Siang maklum akan maksud suhengnya.
Memang perkumpulan mereka selalu memandang tinggi orangorang gagah dan anak ini kalau sampai bisa menjadi anggauta
perkumpulan mereka, berarti akan bertambah kuatlah perkumpulan lm-yang bu-pai. Ia pun dapat melihat bahwa dalam diri anak kecil ini terdapat bakat yang luar biasa sekali.
"Kau betul, Suheng." Kemudian menotok bebas tubuh Sin Hong sambil berkata, "Anak baik, aku tadi hanya main-main saja."
Rasa sakit lenyap dari tubuh Sin Hong, akan tetapi anak ini
sekarang menjadi lemas dan tidak dapat mengeluarkan suara.
49 Memang Kwa Siang sengaja menawannya agar anak ini mudah
dibawa, tidak gaduh dan rewel di tengah jalan.
Selama itu, Liok Kong Ji hanya berdiri dengan muka pucat. la
dapat melihat bahwa para tamu tak diundang ini benar-benar lihai sekali dan ia pun merasa gelisah. Biarpun ia masih kecil sekali ketika ayah bundanya tewas dalam pertempuran melawan Im-yang-bu-pai,
namun ia masih ingat dengan baik bahwa musuh-musuh besar ayah
bundanya adalah orang-orang inilah. Mereka tentu akan
membunuhnya kalau mengetahui bahwa dia adalah putera dari
ketua Kwa-im-pai.
"He, kau... siapakah namamu" Apakah kau juga murid Liang Gi Tojin?" tanya Lam Tek kepada Kong Ji.
Diam-diam Sin Hong memandang dan hendak melihat sikap
suhengnya itu. Alangkah heran clan kagetnya ketika ia melihat Kong Ji tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut di depan Lam Tek sambil menangis.
"Locianpwe, teecu adalah seorang anak sebatangkara yang
dipaksa oleh bangsat Lie Bu Tek dibawa naik ke gunung ini dan
dijadikan pelayan! Orang tua teecu bahkan dibunuh olehnya.
Dendam teecu setinggi langit, maka sekarang Samwi Locianpwe
datang ke sini membasmi Hoa-san-pai berarti teecu terbebas dari kesengsaraan! Teecu mohon sudilah Locianpwe menerima teecu
sebagai murid Im-yang-bu-pai. Teecu berjanji untuk belajar dengan baik dan kelak dapat menjunjung tinggi nama baik Im-yang-bu-pai!"
Sin Hong hampir tak dapat mempercayai telinganya sendiri.
Kalau saja dapat bicara tentu akan memaki Kong Ji.
"Hmm, begitukah?" kata Lai Tek sambil memandang tajam. Ia dapat melihat pula bahwa Kong Ji mempunyai tubuh yang amat baik dan bakat besar untuk menjadi ahli silat, terutama sekali sepasang mata anak itu membayangkan kecerdikan luar biasa. "Siapa
namamu?" "Teecu bernama Kong Ji, she Lui. Ayah telah dibunuh oleh Lie Bu Tek yang tergila-gila kepada lbu teecu. Akhirnya, karena Ibu tidak sudi menuruti kehendaknya, Ibu pun dibunuh...." Kembali Kong Ji menangis sedih.
50 Tiba-tiba Lai Tek mencabut pedangnya. Sin Hong sudah merasa
girang karena mengira bahwa Lai Tek tentu tahu akan kebohongan Kong Ji dan hendak membunuh anak durhaka itu. Akan tetapi Kong Ji tidak takut sama sekali dan memandang dengan matanya yang
tajam. Lai Tek bukan hendak membunuhnya, bahkan memberikan
pedang itu yang berwarna hitam kepada Kong Ji sambil berkata.
"Kau benar-benar telah dibikin sengsara oleh Lie Bu Tek. Nah, ambil pedang ini dan balaslah sakit hatimu. Kau boleh membunuhnya!"
Kong Ji menerima pedang itu dan berjalan menghampiri tubuh
Lie Bu Tek yang masih menggeletak dalam keadaan tidak berdaya
lagi. Setelah terkena totokan-totokan tongkat Kwa Siang, Lie Bu Tek tak dapat bangun kembali dan biarpun pancainderanya masih
bekerja, ia tidak mampu menggerakkan kaki tangannya. Ia pun
mendengar akan semua yang dikatakan oleh Kong Ji dan kini ia
melihat anak itu mendekati sambil membawa pedang hitam dari Lai Tek!
Sin Hong membuka matanya dan mukanya pucat. Apakah yang
akan dulakukan oleh Kong Ji" la melihat Kong Ji mendekati Lie Bu Tek dan mengangkat pedang hitam! Kemudian pedang itu
digerakkan dengan cepat dan kuat ke bawah dan... lengan kanan
Lie Bu Tek terbabat putus pada pangkalnya dekat pu dak! Lie Bu Tek tak mengeluarkan suara akan tetapi rasa sakit membuatnya
jatuh pingsan. Wan Sin Hong merasa begitu kaget, marah, dan sakit hati sampai-sampai ia pun roboh tak sadarkan diri, melihat peristiwa hebat yang mengerikan hatinya itu.
Lai Tek melompat dan sekali tangannya bergerak, ia telah
merampas pedang dari tangan Kong Ji.
"Kong Ji, mengapa kau tidak menebas batang lehernya dan
hanya memotong lengannya?" bentaknya menegur.
Kong Ji cepat berlutut di depan Siang-mo-kiam Lai Tek. "Mohon ampun sebanyaknya, Locianpwe. Ada dua hal yang memaksa teecu
tidak mau membunuh jahanam itu. Pertama karena teecu merasa
malu dan tidak sampai hati membunuh seorang yang sudah tak
berdaya biarpun dia musuh besarku. Ke dua, karena teecu
selamanya akan masih merasa penasaran kalau teecu
membunuhnya sekarang karena ia roboh bukan karena oleh teecu.
51 Teecu ingin belajar ilmu kepandaian yang kelak akan dapat teecu pergunakan untuk membalas dendam dan mengalahkannya dengan
kedua tangan teecu sendiri."
"Ha-ha-ha-ha! Lai-suheng, kau benar. anak ini amat
mengagumkan. Aku sendiri yang akan membimbingnya agar ia
dapat memiliki kepandaian yang melebihi semua orang Hoa-san-pai.
Lagi pula, kalau satu-satunya keturunan Hoa-san-pai dibinasakan, siapa kelak yang akan menggembirakan hati kita" Biarkan Lie Bu Tek hidup dan kita sama lihat saja apakah kelak dia masih berani menjual kepandaian. Ha-ha-ha! Akan luculah kalau. Lie Bu Tek yang tinggal sebelah tangan itu berani mencari kita untuk membuat
perhitungan terakhir!"
"Sute, urusan sudah beres. Mari kita segera kembali!" kata Lai Tek yang segera menjura ke arah Siang-pian Giam-ong Ma Ek. "Ma-enghiong, kita berpisah di sini saja. Pulanglah ke Keng-sin-bun dan setiap kali perkumpulan Bu-can-pang hendak mengadakan atau
melakukan sesuatu, jangan lupa memberi laporan kepada kami!"
Di dalam hatinya Ma Ek merasa mendongkol sekali. Bu-cin-pai
atau Bu-cin pang adalah perkumpulannya yang besar dan ternama, sekarang eleh pihak Im-yang-bu-pai dipandang sebagai
perkumpulan kecil saja. Akan tetapi, ia tidak dapat berbuat apa-apa melainkan membalas dengan penghormatan dan menganggukkan
kepala. Kemudian ia pergi dari situ dengan hati puas, karena ia telah berhasil membasmi Hoa-san-pai, yang takkan mungkin ia lakukan
tanpa bantuan dua orang tokoh Im-yang-bu pai ini.
Thian-te Siang-tung Kwa Siang memondong Kong Ji sedangkan
Lai Tek juga mengempit tubuh Sin Hong dan kedua orang kakek
yang lihai ini cepat berlari seperti terbang turun dari Hoa-san, meninggalkan Liang Gi Tojin yang sudah tewas dan Lie Bu Tek yang berada dalam keadaan setengah mati.
Lie Bu Tek menderita kesakitan hebat. Baiknya tubuhnya telah
terlatih baik sehingga tak lama kemudian ia dapat siuman kembali sebelum darahnya habis mengalir keluar dari luka di pangkal
lengannya. Ia menahan napas dan mengerahkan tenaga dalam.
Dengan amat susah payah barulah ia berhasil membebaskan diri
52 dari totokan yang lihai dari sepasang tongkat Thian-te Siang-tung Kwa Siang.
Sambil menggigit bibir, ia menggerakkan tangan kirinya dan
menotok jalan darah di pundak kanan untuk nienghentikan
darahnya yang terus mengalir keluar. Dengan jalan ini barulah ia dapat mencegah darahnya mengalir habis. Kemudian dengan susah
payah ia bangun dan duduk bersila, mengatur pernapasannya untuk mengobati luka yang dideritanya di dalam tubuh. Ia berusaha
sekeras mungkin untuk melupakan keadaan suhunya yang mati
berbaring di atas tanah tidak jauh dari tempat ia duduk. Pada saat seperti itu ia harus dapat melapangkan dada dan mengosongkan
pikiran. Ia harus hidup bukan saja untuk membalas penghinaan dari Im-yang-bu-pai, akan tetapi juga untuk mencari Sin Hong yang
dibawa lari oleh musuh.
Tak lama kemudian sesosok bayangan yang gesit dan ringan
sekali berlari-lari naik ke puncak Hoa-san. Bayangan ini adalah seorang wanita yang berusia kurang lebih empat puluh tahun akan tetapi masih nampak nyata kecantikannya. Ketika melihat keadaan di tempat pertempuran tadi, wanita itu mengeluarkan seruan
tertahan dan cepat-cepat ia berlari menghampin Lie Bu Tek.


Pedang Penakluk Iblis ( Sin Kiam Hok Mo) Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Lie Bu Tek Taihiap... kau kenapakah?"
Bu Tek membuka matanya dan melihat wanita ini, wajahnya
berubah. "Kiang Cun Eng, kau datang mau apakah. Apa kau juga hendak memusuhi Hoa-san-pai?"
Kiang Cun Eng mengerutkan kening melihat betapa tangan Bu
Istana Yang Suram 4 Sepasang Golok Mustika Karya Chin Yung Rajawali Hitam 6

Cari Blog Ini