Pengemis Tua Aneh Ouw Bin Hiap Kek Karya Kho Ping Hoo Bagian 3
Hok Liong Tosu marah sekali dan ia cabut pedangnya. Lie Bun kaget melihat sinar pedang itu karena maklum bahwa tosu itu memiliki sebuah pedang pusaka yang tajam dan kuat. Ia khawatir kalau-kalau nanti pedang Cui Im terusak oleh pedang tosu itu, maka ia segera memandang ke arah serumpun bambu yang tumbuh di dalam
pekarangan itu.
"Cui-siocia, bolehkah aku mengambil sebatang bambu itu?"
Cui Im yang telah menolong Lie Kiat dan membantu kekasihnya itu berdiri,
memandang heran dan berkata. "Tentu saja boleh!"
Lie Bun lalu berkata kepada Hok Liong Tosu.
"Tahanlah nafsumu sebentar. Aku hendak mencari senjata untuk melayanimu dengan ilmu pedangku dari Siauw-lim-si!" Kemudian sambil membawa pedang Cui Im ia lalu menghampiri rumpun bambu lalu membacok putus sebatang bambu kuning yang
sudah tua. Setelah membersihkan daun-daunnya, maka ia lalu bawa bambu yang
panjangnya kira-kira setengah meter itu ke tempat mereka yang melihatnya dengan heran. Ia lalu mengembalikan pedang Cui Im dan menghadapi Hok Liong Tosu
dengan bambu di tangan.
"Nah, sekarang aku telah siap dan kau boleh mencoba ilmu pedangku," katanya
dengan tenang. "Tidak, tidak, Lie-taihiap. Kau pakailah pedangku ini. Aku rela kau pakai pedangku!"
kata Cui Im cepat-cepat.
"Lie Bun, kau pakailah pedang Cui Im!" Lie Kiat juga mendesak.
Tapi Lie Bun hanya menggeleng kepala sambil tersenyum. Tentu saja Cui Im dan Lie Kiat tidak tahu bahwa Lie Bun memang sengaja memakai bambu itu karena untuk
menghadapi pedang pusaka lawannya ia tahu bahwa pedang Cui Im tentu akan
terbabat kuntung. Sedangkan kalau ia gunakan bambu tua yang lemas dan ulet ia dapat menghadapi pedang pusaka dengan lebih leluasa.
Pula memang ia lebih biasa menggunakan tongkat bambu dari pada menggunakan
pedang. Dulu ketika ia ikut suhunya, mereka berdua selalu menghadapi lawan-lawan tangguh hanya dengan batang-batang bambu di tangan.
Yang paling heran dan marah adalah Hok Liong Tosu. Ia adalah seorang tokoh
ternama dari kalangan kang-ouw dan untuk daerah selatan ia telah cukup dikenal, maka tentu merendahkan dan menghina sekali kalau seorang anak muda yang masih hijau menghadapi pedangnya hanya dengan sebatang bambu di tangan.
"Ouw-bin Hiap-kek! Jangan kau mencari mampus dengan penasaran! Kau
pergunakan sebatang pedang. Kalau tidak aku tidak sudi melayanimu dan anggap kau sengaja gunakan akal ini agar aku tidak mau melayanimu!"
"Eh, tosu sombong! Jangan kira aku takuti pedangmu. Hayo kau maju dan coba-coba bagaimana hebatnya kiam-hwat Siauw-lim-si!"
Kata-kata Lie Bun ini tidak hanya mengherankan lawannya, tapi juga mengherankan Lie Kiat dan Cui Im. Karena kedua anak muda inipun maklum bahwa ilmu pedang
dari Siauw-lim tidak sangat terkenal dan umumnya menganggap bahwa ilmu pedang dari Kun-lun dan Go-bi lebih tinggi.
Mereka semua tidak tahu bahwa sebetulnya yang mengangkat tinggi ilmu pedang
bukanlah karena dari mana ilmu itu datang, yang terpenting ialah mereka yang
melakukan ilmu itu. Biarpun ilmu yang bagaimana sederhana, jika digunakan oleh orang yang memang ahli dan tinggi ilmu silatnya, tinggi ginkangnya dan sempurna lweekangnya, ilmu silat itu akan menjadi semacam ilmu yang lihai sekali.
Karena Lie Bun memaksa, maka Hok Liong Tosu lalu membentak.
Kehilangan Gadis Pilihan Hati
"BAIKLAH, banyak orang yang menyaksikan bahwa kau mencari mampus sendiri.
Jangan nanti orang katakan pinto keterlaluan!" Setelah berkata begini, tosu itu lalu mulai membuka serangan hebat.
Lie Bun berkelit cepat dan segera mereka bertempur hebat. Gerakan ilmu pedang Hok Liong Tosu memang cepat dan lihai. Tapi Lie Bun dengan girang sekali kenali bahwa ilmu pedang lawannya adalah campuran dari Kun-lun-pai dan Bu-tong-pai yang telah digabung hingga terdapat kekurangan-kekurangan karena tidak asli lagi.
Lie Bun pergunakan kegesitannya dan ternyata dalam hal ginkang ia tidak usah
menyerah kalah. Pula senjata di tangannya lebih lemas dan ringan hingga ketika ia putar bambu itu secvepatnya, tampaklah sinar kuning kehijau-hijauan mengurung dirinya.
Hok Liong Tosu terkejut sekali, karena ketika ia perhatikan, benar-benar Lie Bun menggunakan ilmu silat pedang dari Siauw-lim-si! Juga Cui Im dan Lie Kiat kenal gerakan-gerakan pedang Siauw-lim yang dimainkan Lie Bun. Tapi mereka heran dan terkejut sekali menyaksikan betapa gerakan-gerakan itu dapat dilakukan sedemikian hebat!
Hok Liong Tosu segera ubah gerakannya dan kini ia mainkan ilmu pedang Ngo-heng-kiam-hwat yang terkenal berbahaya. Tapi ia tak tahu bahwa ilmu pedang ini adalah
"makanan" bagi Lie Bun. Dulu Kang-lam Koay-hiap telah memberitahu padanya
bahwa di antara ilmu-ilmu pedang yang lihai dan harus berhati-hati menghadapinya, termasuk Ngo-heng-kiam-hwat. Maka guru dan murid itu lalu bersama-sama mencari jalan pemecahannya. Kang-lam Koay-hiap lalu menciptakan Im-yang-kiam-sut yang merupakan kepandaian simpanannya dan bersama muridnya ia meyakinkan ilmu
pedang itu dengan sempurna betul.
Maka dalam menghadapi Hok Liong Tosu tadinya Lie Bun menggunakan ilmu
pedang Siauw-lim-si. Kini melihat betapa lawannya mainkan Ngo-heng-kiam-hwat, ia berseru.
"Tosu sombong, Ngo-heng-kiam-hwatmu ini tidak ada harganya! Coba kau lihat ilmu pedangku ini!"
Maka ia lalu putar bambunya dalam gerakan-gerakan dari ilmu pedang Im-yangkiamsut. Ujung bambunya berputar dalam cara aneh sekali, tapi tiap serangan dari Ngo-heng-kiam-hwat dapat terpukul buyar.
Yang hebat ialah pada tiap tangkisan, maka bambu itu langsung menyerang kembali hingga Hok Liong Tosu menjadi terkejut dan bingung sekali.
Ujung bambu itu biarpun lemas dan kecil, tapi digunakan untuk menotok jalan-jalan darah yang berbahayanya tidak kalah hebat dengan tusukan pedang tajam. Maka
mengertilah kini tosu itu mengapa anak muda ini memilih sebatang bambu untuk
melawannya. Ia tak sangka pemuda ini demikian hebat dan lihai, maka diam-diam ia akui keunggulan Kang-lam Koay-hiap yang telah terkenal sebagai orang gagah
golongan atas. Kini ia telah menyesal tapi terlambat. Maju berbahaya, mundur malu.
Ia lalu menjadi nekat dan gerakan pokiamnya lebih ganas lagi.
Lie Bun lalu pusatkan seluruh perhatiannya kepada permainan lawan dan pada suatu saat yang tepat sekali ia berhasil menotok sambungan lutut lawannya hingga Hok Liong Tosu berseru keras dan jatuh berlutut di depan Lie Bun.
Anak muda itu lalu menghampiri lawannya dan sambil berkata. "Ah, aku yang muda tidak berani terima penghormatan sebesar ini!" Ia pura-pura balas berlutut. Tapi sebetulnya cepat sekali ia totok dengan jari lutut lawan itu agar terlepas dari pengaruh totokan tadi.
Hok Liong Tosu dapat berdiri lagi dan dengan muka merah ia masukkan pedangnya ke dalam sarung pedang sambil menghela napas.
"Ouw-bin Hiap-kek benar-benar kau gagah dan sakti. Pantas sekali menjadi murid Kang-lam Koay-hiap yang besar!" Kemudian tanpa pamit lagi ia balikkan tubuh dan tinggalkan tempat itu di kuti dengan cepat oleh Hok Hwat Hwesio.
Lie Kiat tertawa bergelak-gelak dengan hati puas. Lalu ia peluk adiknya.
"Lie Bun kau harus ajarkan ilmu pedang tadi padaku!"
Cui Im kagum bukan main. "Lie-taihiap, kau sungguh-sungguh hebat sekali.
Kepandaian pedangmu ratusan kali lebih hebat dariku!"
Lie Bun hanya tersenyum dan merendahkan diri.
Setelah ibu Cui Im datang dan Lie Bun diperkenalkan kepada janda yang ramah
tamah itu, kakak dan adik itu pulang. Di sepanjang jalan Lie Bun memuji-muji
kakaknya yang dikatakan beruntung sekali mempunyai seorang kawan baik seperti Cui Im.
"Twako, aku lihat nona Cui itu cukup berharga untuk menjadi isterimu. Ia cantik, manis, jujur dan polos. Ilmu pedangnya lihai dan mempunyai watak yang gagah dan peramah. Ibunya juga seorang baik hati dan ramah tamah, mau apa lagi?"
Lie Kiat mengangguk-angguk. "Tapi belum tentu ibu dan ayah menyetujuinya. Lagi pula tunanganku yang cantik jelita dan hartawan itupun sangat menarik hati!"
Lie Bun cemberut. "Ah, kau nakal sekali, twako. Mengapa harus dua-duanya?"
"Eh, eh, kau iri hatikah?" tanya Lie Kiat dengan melotot marah.
Lie Bun buru-buru tersenyum. "Siapa yang iri" Kalau memang kau ingin ambil dua-duanya dan kalau mereka berdua suka, apa sangkut pautnya dengan aku"
Sesukamulah! Asal saja kelak kau jangan minta tolong padaku jika kedua isterimu saling cakar!"
Lie Kiat tertawa gembira. "Aku dapat mengurusnya, aku dapat mengurus mereka!"
Lie Bun hanya menghela napas melihat sikap kakaknya demikian itu. Tapi biarpun ia tahu bahwa pendirian kakaknya ini tidak benar dan memperlihatkan watak yang
serakah dan ingat diri sendiri saja, ia tak dapat membenci kakaknya.
Ia tahu bahwa dibalik keserakahan dan kesombongan yang terjadi karena terlalu dimanja oleh orang tua. Lie Kiat mempunyai jiwa yang setia dan gagah, berani mati dan tabah dalam menghadapi bahaya untuk membela adiknya. Inilah watak baik Lie Kiat yang membuat adiknya sangat mencintainya.
Karena ingin membela kakaknya, maka ketika berada berdua dengan ibunya, Lie Bun menceritakan kepada ibunya tentang Cui Im yang disebutnya seorang gadis baik, sopan santun dan ramah tamah. Ia ceritakan betapa gadis yang manis itu sangat cinta kepada Lie Kiat dan sebaliknya Lie Kiat cinta kepada gadis itu hingga dapat
dipastikan bahwa kelak mereka akan menjadi sepasang suami isteri yang bahagia hidupnya.
"Aku tahu akan hal itu, A Bun. Tapi anak gila itu pernah menyatakan bahwa iapun suka kepada tunangannya di Lun-kwan! Ah, sudahlah jangan kita bicarakan tentang A Kiat. Pusing kepalaku kalau memikirkannya. Marilah kita bicara tentang kau,
anakku!" "Tentang aku, ibu?" tanya Lie Bun dengan dada berdebar.
"Ya, kau sudah dewasa, nak. Sudah pantas pula kau memilih seorang calon isteri. Aku tahu banyak gadis-gadis keturunan baik-baik di kota Kwie-ciu dan Lun-kwan.
Maukah kau kalau kulamarkan seorang untukmu?"
Kulit muka Lie Bun yang kehitam-hitaman itu menjadi merah ketika ia tundukkan mukanya.
"Ibu, mukaku begini .... begini buruk .... gadis manakah yang sudi memandangku?"
Untuk sesaat nyonya Lie tak dapat berkata apa-apa, hatinya terharu dan ia merasa lehernya tersumbat sesuatu. Kemudian ia berkata setelah dapat menetapkan hatinya.
"Jangan kau berkata demikian, anakku. Kebahagiaan bukan didatangkan oleh rupa tampan. Pula kau tidak seburuk yang yang kau sangka. Kau tampak gagah dan tampan bagiku, nak."
Lie Bun angkat muka dan dua titik air mata menuruni pipinya. Ia pandang ibunya dengan mesra karena selama hidupnya, hanya ibunya saja yang selalu menganggap ia tampan dan gagah.
"Terima kasih, ibu. Kalau saja ada seorang gadis seperti ibu!"
Cepat-cepat nyonya Lie hapus butir derai air mata yang juga loncat keluar dari matanya dan pada saat Lie Bun memandang ibunya itu, maka terbayanglah wajah
Kwei Lan yang jelita. Ia lalu tetapkan hatinya dan berkata.
"Ibu, sebenarnya ..... ah..... sukar dikatakan ....."
Ibunya memandang tajam. "Apakah maksudmu, A Bun" Katakanlah! Bukankah di
sana sudah ada gadis yang mengisi lubuk hatimu?"
Lie Bun terkejut. Cerdik sekali ibunya ini. Ia hanya mengangguk dan tundukkan mukanya.
Terdengar suara ibunya yang berkata girang. "Gadis manakah dia?"
"Dia tinggal jauh dari sini, ibu. Di kota Bhok-chun."
"Kalau begitu, biarlah aku mencari perantara dan menyuruh orang pergi melamarnya.
Setujukah kau?"
Lie Bun ragu-ragu, tapi ia mendengar kata-kata mendiang gurunya. "Kalau kau setuju kepada gadis itu, pulanglah dan mintalah kepada orang tuamu untuk melamarnya."
Demikianlah Kang-lam Koay-hiap sebelum menutup mata pernah meninggalkan
pesan. Maka sekarang mendengar tawaran ibunya, ia lalu mengangguk.
"Baiklah, ibu."
Nyonya Lie merasa girang sekali. Segera ia menemui suaminya dan menceritakan
maksudnya melamar gadis dari Bhok-chun untuk Lie Bun.
Suaminya hanya menyetujui saja, karena soal perkawinan-perkawinan ini tidak begitu menarik perhatian Lie Ti. Ia cukup percaya akan pilihan isterinya yang bijaksana.
Hanya pesannya demikian.
"Sesukamulah, asal saja kau pilih mantu perempuan yang seperti kau, pasti aku akan suka dan cocok!"
Mendengar kelakar suaminya ini, nyonya Lie mengerling dan cemberut.
Kemudian seorang comblang dicari dan Lie Ti memilih seorang comblang yang biasa menjadi perantara.
Orang ini telah berusia hampir lima puluh tahun dan namanya Lo Sam. Ia seorang periang dan peramah seperti biasanya seorang comblang yang harus pandai bicara.
Karena perjalanan ke Bhok-chun sangat jauh, pula karena Lo Sam belum pernah pergi ke sana, maka Lie Bun disuruh oleh ibunya untuk mengantar.
Ketika Lie Kiat mendengar tentang lamaran ini, ia berkata sambil tertawa kepada Lie Bun. "Jangan kau khawatir. Kalau nanti isterimu tidak suka melihat mukamu, kau boleh pinjam mukaku!"
Lie Bun hanya tertawa dan sedikitpun tidak merasa sakit hati. Tapi ibunya
membentak. "Lie Kiat! Tutup mulutmu yang ceriwis itu!"
Setelah berkemas dan membawa barang-barang antaran yang berharga, Lo sam dan
Lie Bun berangkat menunggang kuda. Karena Lo Sam pandai bicara dan selalu riang gembira maka Lie Bun merasa suka dan perjalanan itu dilakukan dalam suasana
gembira. Kuda mereka adalah kuda pilihan dan besar-besar hingga perjalanan dapat dilakukan dengan cepat.
Lima hari kemudian mereka masuk ke dalam sebuah hutan yang sangat besar dan
penuh pohon-pohon raksasa. Melihat keadaan hutan ini, Lo Sam berkata.
"Ah, jangan-jangan di dalamnya ada setan."
Lie Bun tertawa. "Lopeh, di mana ada setan muncul di siang hari?"
"Setan siang itulah yang lebih berbahaya dari pada setan malam," kata Lo Sam ketika mereka melanjutkan perjalanan mereka.
"Apakah setan yang kau maksud itu?"
"Sudahlah, jangan kita bicarakan mereka di sini. Nanti saja kalau kita sudah keluar dengan selamat dari hutan ini, kuterangkan padamu," jawab Lo Sam.
Ketika mereka tiba di tengah-tengah hutan, tiba-tiba dari pinggir melayang sebatang anak panah yang menancap di batang pohon besar di depan mereka.
"Nah, nah ...! Celakalah kita. Setan siang benar-benar muncul!" kata Lo Sam sambil mendekam di atas kudanya dengan tubuh gemetar.
"Oo, jadi kau maksudkan setan siang itu golongan perampok?"
Pada saat itu dari kanan kiri berlompatan keluar orang-orang tinggi besar yang kesemuanya memegang golok telanjang. Wajah mereka semua bengis-bengis dan
yang mengepalai mereka adalah seorang tinggi besar yang tampaknya kuat sekali serta bersenjata sepasang ruyung besi yang besar dan berat.
"Hayo kalian berdua turun dari kuda dan tinggalkan semua barang bawaanmu!"
bentak kepala rampok itu.
Menggigil ah seluruh tubuh Lo Sam dan ia segera membaca liam-keng penolak setan.
Mendengar ini, kepala rampok itu membentak.
"Hei, kau orang tua! Lekas turun!"
Lo Sam menjadi pucat dan ia berkata gagap. "Tet .....tet....tetapi ...!"
"Tidak ada tapi, hayo lekas turun dan tinggalkan semua barang dan kuda!
"Ampun tay-ong..... tapi ....ini .... adalah .... adalah barang mas kawin...."
Kepala rampok itu menjadi tidak sabar dan mengangkat ruyungnya hendak
dipukulkan. Lo Sam tiba-tiba menjadi gesit, ketika ia lompat turun dari kudanya karena ketakutan. Ia lari ke arah Lie Bun dan peluk pemuda itu sambil sembunyikan muka di belakang tubuh Lie Bun. Lie Bun lepaskan dirinya dan menghadapi kepala rampok itu.
"Kami adalah pelancong-pelancong bukan pedagang, maka harap saja tay-ong suka maafkan dan lepaskan kami!"
Kepala rampok itu memandangnya dengan teliti, tapi karena ia belum kenal maka ia membentak.
"Kau bicara seperti seorang kang-ouw, siapakah nama dan julukanmu?"
"Orang-orang menyebutku Ouw-bin Hiap-kek."
"Ah, aku tidak kenal. Kau harus tinggalkan semua barang dan kuda. Baru kami dapat memberi jalan."
Lie Bun sedang bergembira dan menghadapi urusan lamaran yang menggirangkan
hatinya, maka ia tidak mau mencari permusuhan dan tidak ada nafsu untuk berkelahi.
Maka ia mencari akal lain dan kemudian berkata.
"Tay-ong, sekarang begini saja baiknya. Aku tidak mau menjatuhkan banyak korban di antara orang-orangmu. Kalau kau bersikeras hendak merampas barang-barang dan kudaku, sekarang diatur begini saja. Dengan sepasang ruyungmu itu kau menyerang aku dalam sepuluh jurus. Kalau kau bisa menjatuhkan aku dalam sepuluh jurus, maka kau boleh memiliki semua ini. Kalau tidak kau harus lepaskan kami. Bagaimana?"
Terdengar suara tertawa di antara para anak buah perampok. Pemuda kecil itu hendak melayani kepala mereka yang gagah" Ah, mungkin dalam satu kali gebrakan saja
sudah pecah kepala pemuda itu.
"Hei, anak muda! Aku kagum mendengar keberanianmu. Tahukah kau bahwa
ruyungku ini selama bertahun-tahun belum pernah terkalahkan" Kau hendak
menghadapi aku dengan senjata apakah?"
Lie Bun perlihatkan kedua tangannya. "Dengan ini, aku tidak biasa bersenjata."
Kepala rampok itu tertawa menyeringai. "Anak muda, agaknya kau mencari
mampus!" Sementara itu, Lo Sam yang sejak tadi menutupi mukanya karena takut dan ngeri, kini mengintai dari balik celah-celah jarinya. Mendengar bahwa Lie Bun hendak
menghadapi raksasa itu dengan tangan kosong, ia segera berseru. "Ya, Al ah, jangan begitu! Ji-kongcu apakah kau sudah bosan hidup" Kalau kau mati, siapakah yang akan kulamarkan?"
Kepala rampok itu tertawa geli, kemudian ia berkata.
"Karena kau sendiri yang menghendaki, nah, bersiaplah untuk mampus!"
Lie Bun lalu loncat ke tempat yang agak luas, di kuti kepala rampok itu yang
mengayun-ayunkan kedua ruyungnya. Setelah mereka berhadapan, kepala rampok itu lalu mengirim serangan pertama. Pukulan ruyungnya begitu hebat dan keras hingga mendatangkan suara mengaung dan menggerakkan daun-daun pohon yang
berdekatan. "Satu!" Lie Bun menghitung sambil berkelit cepat hingga ruyung itu menyambar di dekatnya. Ruyung kedua yang menyusul dapat juga dikelitnya. Kepala rampok
menjadi penasaran sekali dan menyerang bertubi-tubi, makin cepat dan keras. Tapi Lie Bun dengan tenang dan enaknya loncat ke sana ke mari berkelit sambil
menghitung jurus-jurus lawannya.
Setelah menghitung sampai sepuluh, Lie Bun berkata keras.
"Nah, sepuluh jurus telah lewat, tay-ong. Kau kalah!"
Setelah berkata begitu, Lie Bun lalu berjalan seenaknya ke arah kudanya. Ia tidak tahu agaknya bahwa Kepala rampok itu dengan marah sekali mengejarnya dan dari
belakang menghantamkan ruyungnya ke arah kepala Lie Bun dengan keras sekali.
Terdengar jerit Lo Sam dari atas kudanya, karena diam-diam ia telah naiki kudanya pula. Juga semua anak buah perampok merasa pasti bahwa kali ini pemuda muka
hitam itu tentu akan remuk kepalanya.
Tapi kesudahannya membuat semua orang merasa heran. Dengan ringan dan lincah
bagaikan seekor burung walet, Lie Bun miringkan kepalanya dan geser kakinya
hingga ruyung itu menyerempet di dekat tubuhnya, lalu sambil berkata"Kau curang!"
ia gunakan jari tangannya menotok.
Kepala rampok itu tiba-tiba berdiri bagaikan patung dengan ruyung di tangan dan sikapnya masih seperti hendak memukul.
Ternyata ia dengan tepat dan cepat sekali kena ditotok urat tai-twi-hiat di lambungnya hingga tubuhnya menjadi kaku.
Para anak buah perampok itu menjadi kaget sekali dan sambil berteriak-teriak ramai lebih dari dua puluh orang itu menyerbu ke arah Lie Bun.
Anak muda itu berseru. "Hai, mundur kalian! Lihatlah, kalau ada yang berani
menyerang, pemimpinmu ini pasti binasa!" Lie Bun mengambil ruyung dari tangan kepala rampok dan gunakan senjata itu untuk mengancam di atas kepala pemimpin rampok itu.
Melihat betapa pemimpin mereka berdiri diam bagaikan patung, seorang anak buah perampok memberanikan diri bertanya. "Hai, kau apakan pemimpin kami itu?"
Seorang lain berkata. "Ah, ia tentu menggunakan ilmu siluman!"
Lie Bun berkata sambil tertawa. "Aku tidak mencari permusuhan dengan kalian, maka aku ampuni jiwamu." Kemudian kepada kepala rampok itu ia berkata. "Dan kau, tai-ong, hendaknya ini menjadi pelajaran bagimu. Terserah kalau kau mau merampok.
Tapi janganlah sewenang-wenang. Rampoklah mereka yang curang dan menipu
rakyat. Jangan hantam kromo saja dan mengganggu sembarang orang."
Setelah berkata demikian, Lie Bun tepuk pundak kepala rampok itu yang segera
terbebas dari totokan. Kepala rampok itu lalu berlutut dan berkata.
"Sungguh mataku buta tidak melihat gunung Thay-san di depan mata. Harap taihiap sudi memberi tahu nama."
Lie Bun berkata sederhana sambil bangunkan kepala rampok itu.
"Aku yang muda bernama Lie Bun, karena mukaku begini maka orang-orang sebut
aku Ouw-bin Hiap-kek."
Kepala rampok itu lalu memberi hormat sambil menjura dan setelah haturkan terima kasih atas kemurahan hati Lie Bun yang sudah mengampunkan mereka, ia pimpin
anak buahnya menghilang di dalam hutan belukar.
"Aduh .... hebat.... berbahaya sekali ..." Lo Sam mengeluh dengan wajah pucat. Tidak kusangka sama sekali bahwa calon penganten begitu gagah perkasa! "Untung ada kau, Ji-kongcu. Kalau aku Lo Sam seorang diri bertemu dengan mereka, ah, tanggung
sekali pukul beres dah!"
"Lho, apanya yang beres, lopeh?" tanya Lie Bun sambil naiki kudanya kembali.
Mereka lalu melanjutkan perjalanan itu dan pada hari kesembilan mereka tiba di Bhok-chun. Dada Lie Bun berdebar-debar dengan penuh rasa terharu dan gembira.
Terharu karena kota itu mengingatkan ia akan suhunya dan gembira karena ia berada di kota Kwei Lan, gadis yang tak pernah meninggalkan ingatannya itu.
Mereka tidak langsung menuju ke gedung Lo-wangwe, tapi atas kehendak Lo Sam
mereka mencari sebuah penginapan yang terbesar. "Kita harus berganti pakaian yang bersih dan baik sebelum pergi ke sana. Ketahuilah, bukan orang saja membuat
pakaian, tapi pakaian pun membuat orang!"
"Eh, kata-katamu kau jungkir balikkan hingga aku menjadi bingung dan tidak
mengerti artinya, lopeh. Apa maksudmu dengan kata-kata pakaian membuat orang?"
"Aai h, kau benar-benar bodoh, Ji-kongcu. Apakah kau belum mendengar juga
tentang pakaian yang bisa makan sayur dan pandai minum arak?"
Lie Bun geleng-geleng kepala karena sungguh-sungguh ia tidak mengerti.
"Marilah kita masuk mencari kamar, lalu makan dulu sampai kenyang. Nanti sambil makan kuceritakan padamu tentang itu."
Mereka lalu memilih sebuah kamar besar untuk berdua. Setelah bersihkan badan, mereka memesan makanan dan sambil menanti datangnya makan, Lo Sam bercerita
tentang pakaian yang suka makan sayur dan pakaian minum arak itu.
"Ada seorang kakek pergi mengunjungi seorang sahabatnya di kota lain. Karena
menganggap bahwa sahabatnya itu telah lama dikenalnya hingga tak perlu
menggunakan peradatan lagi. Kakek itu mengenakan pakaian yang sudah lama dan
buruk. Ketika ia sampai di rumah sahabatnya, ternyata ia diterima dengan dingin sekali dan agaknya sahabat itu tidak suka menerima kedatangannya. Jangankan
hidangan-hidangan lezat, secawan airpun tidak dikeluarkan oleh sahabatnya itu untuk disuguhkan padanya. Kakek ini pulang dengan hati sakit dan perih.
Beberapa bulan kemudian ia mendapat rezeki besar hingga dapat membeli pakaian sutera, sepatu baru dan baju luar yang tebal dari bulu yang mahal. Ia teringat akan sahabatnya itu. Lalu ia pergi mengunjunginya lagi, tapi kali ini ia mengenakan pakaian yang serba indah dan mahal itu.
Dan bagaimanakah sikap sahabatnya" Ah, ia buru-buru menyambutnya, memberinya
kursi terbesar dan cepat memanggil semua anaknya untuk memberi hormat kepada
tamu agung ini. Lalu ia keluarkan hidangan-hidangan yang paling lezat dan
dipersilahkan kakek itu makan. Kakek itu lalu tanggalkan baju luarnya yang indah, dan sambil pegang-pegang baju itu dengan tangan kirinya lalu mengambil sayur
dalam mangkok. Lalu ia tuangkan sayur itu ke dalam saku baju sambil berkata dengan hormat sekali meniru-niru suara sahabatnya,
"Silahkan saudara baju bulu yang terhormat makan sayur!"
Kemudian ia ambil pula secawan arak dan tuangkan arak itu ke dalam saku baju itu sambil berkata lagi.
"Silahkan saudara pakaian yang mahal minum arak!"
Tentu saja sahabatnya heran melihat kelakuan ini dan menegurnya. Maka dengan
wajah bersungguh-sungguh kakek itu berkata kepada sahabatnya.
"Dulu ketika aku datang dalam pakaian buruk, jangankan sayur dan arak , air putih secawanpun tidak kau keluarkan. Sekarang aku datang dalam pakaian mewah dan
indah, kau menyambutku begini hormat dan mengeluarkan sayur serta arak, maka
bukankah yang kau jamu ini pakaianku dan bukan aku?"
"Nah setelah berkata demikian, kakek yang telah puas menyindir dan membalas sakit hatinya itu lalu meninggalkan sahabatnya yang berdiri dengan wajah kemerah-merahan karena malu."
Lie Bun tersenyum dan kagum akan isi cerita yang tepat dan menggambarkan tabiat orang yang sebagian besar memang demikian.
"Jadi sekarang kita berpakaian indah agar mendapat hidangan lezat?" ia menggoda Lo Sam dan keduanya lalu tertawa girang. Hidangan yang dipesan tiba dan keduanya lalu makan minum dengan gembira karena menghadapi urusan baik. Lo Sam angkat
cawan araknya dan minum arak dengan harapan agar urusan ini akan berhasil baik.
Setelah makan, mereka lalu mengenakan pakaian-pakaian indah dan Lo Sam minta
pemuda itu membawanya ke rumah keluarga Lo-wangwe.
Ketika mereka keluar dari rumah penginapan itu, dari luar datang tiga orang dan Lie Bun terkejut sekali karena orang yang berjalan di tengah, seorang hwesio pendek gemuk, ternyata adalah Bok Bu Hwesio, pertapa kosen yang dulu telah melukai
suhunya dan karenanya menjadi pembunuh Kang-lam Koay-hiap.
Ia rasakan dadanya berdebar dan dendamnya timbul, tapi karena sedang menghadapi urusan besar, maka ia pura-pura tidak melihatnya dan melanjutkan perjalanan dengan Lo Sam. Ia anggap bahwa urusan dengan Kwei Lan jauh lebih besar dari pada urusan dengan Bok Bu Hwesio, dan bukankah suhunya memesan agar ia jangan mencari Bok Bu Hwesio untuk menuntut balas" Maka ia segera melupakan hwesio itu dan dengan girang menuju ke rumah gedung tempat tinggal Kwei Lan.
Alangkah terkejut dan menyesalnya hati Lie Bun ketika ia mendengar dari seorang pelayan bahwa Lo-wangwe telah lama pindah dari rumah itu. Ketika ditanya ke mana pindahnya keluarga Lo itu, pelayan tadi tidak dapat memberi keterangan. Karena ia adalah pelayan dari keluarga baru yang menempati bekas gedung Lo-wangwe itu.
Lo Sam dan Lie Bun setengah hari lamanya mencari tahu di seluruh kota kalau-kalau ada yang dapat menerangkan ke mana pindahnya Lo-wangwe. Tapi tidak ada orang
yang dapat memberitahukan mereka. Dan mereka hanya mendengar bahwa keluarga
Lo telah pindah lebih setahun yang lalu ke tempat yang jauh sekali, tapi entah ke mana.
Malam hari itu Lie Bun tinggalkan Lo Sam dan ia langsung menuju ke taman bunga di belakang gedung besar bekas tempat tinggal Kwei Lan dulu.
Taman bunga itu masih seperti dulu, sedikitpun tidak berubah. Karena melihat di situ sunyi tidak ada orang, Lie Bun lalu duduk di empang di mana dulu ia dan Kwei Lan duduk berdua sambil melihat lukisannya di atas kipas. Ia teringat betapa Kwei Lan berdiri di belakangnya sambil melihat lukisannya, dan betapa ia beri totol-totol hitam di muka lukisan dirinya itu dan Kwei Lan menjerit.
Ia heran dan sampai kinipun tidak tahu mengapa gadis itu menjerit ketika ia beri warna totol-totol hitam yang merusak mukanya itu.
Apakah kipas itu masih dibawa oleh Kwei Lan" Lie Bun duduk termenung di situ, tenggelam dalam lamunannya sendiri. Hatinya sedih dan sunyi dan ia melihat seekor ikan tampak berenang di dalam cahaya bulan di empang itu.
Hanya seekor di situ. Ah, sama benar dengan nasibnya. Lalu teringatlah ia akan syair yang ditulis oleh Kwei Lan di atas kipas yang digambarnya dulu. Syair itu berbunyi.
Pengemis Tua Aneh Ouw Bin Hiap Kek Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sepasang ikan bercerai ........."
"Seekor ke kanan, seekor ke kiri ..."
Teringat akan bunyi syair ini, tak terasa lagi Lie Bun angkat kedua tangannya dan menutupi mukanya. Alangkah sengsara hidupnya. Mukanya yang buruk sukar
mendatangkan rasa kasih dalam hati orang lain, kecuali dalam hati ibunya, kakaknya dan ayahnya.
Tapi dapatkah ia mengharapkan kasih seorang gadis, apalagi seorang gadis yang secantik dan sejelita Kwei Lan" Mengapa pula ia tak dapat melupakan gadis itu"
Mengapa ia harus mencintai gadis itu" Ah, beginilah kalau bernasib buruk. Lahir dengan wajah cacat, hitam bopeng menjijikkan.
Mungkin yang pernah mencinta padanya selain keluarga sendiri, dari orang-orang lain yang sekian banyaknya di dunia ini hanya suhunya seoranglah. Suhunya yang selama tujuh tahun mendidiknya, membimbingnya, mengisi jiwa raganya dengan kekuatan
yang menganggap ia seperti anak sendiri.
Tiba-tiba teringatlah ia betapa suhunya tewas dalam tangan Bok Bu Hwesio. Dan hwesio pembunuh suhunya itu tadi ia lihat di rumah penginapan.
Serentak bangunlah Lie Bun. Semangatnya bernyala-nyala dan rasa dendam dan sakit hatinya bagaikan api mendapat kayu kering. Ia lalu loncat dan keluar dari taman secepatnya. Ia tiba dihotelnya dan cepat sekali karena ia lari melalui atap genteng-genteng rumah.
Setelah tiba di hotel dan ia mengintai ke bawah dan tahu di mana kamar hwesio gemuk pendek bersama dua orang kawannya itu. Ia segera loncat turun dan dari
jendela kamar ia berseru.
Tak Disangka ........
"BOK BU HWESIO! Kau keluarlah untuk lunaskan perhitungan lama!"
Bok Bu Hwesio adalah seorang tokoh kangouw yang ternama. Mendengar tantangan
orang di luar jendela, ia tenang saja karena baginya tidak aneh untuk sewaktu-waktu mendapat kunjungan seorang musuh yang hendak menuntut balas. Ia lalu kebutkan ujung lengan bajunya hingga lampu dalam kamarnya padam seketika.
Kemudian ia berkelebat keluar dan langsung loncat ke atas genteng, diikuti oleh kedua orang kawannya yang sebetulnya hanya dua orang muridnya yang baru saja
datang dari luar kota.
Ketika hwesio itu tiba di atas genteng, ia melihat seorang pemuda dengan tongkat bambu di tangannya berdiri menanti kedatangannya.
"Anak muda, dari manakah dan siapakah yang sengaja datang mencari pinceng?"
tegurnya. Melihat musuh gurunya dihadapannya, hati Lie Bun yang sedang sedih dan risau itu menjadi panas dan timbullah marahnya. Ia menuding dengan tongkat bambu sambil berkata.
"Bok Bu! Tidak ingatkah kau, betapa kau telah melukai suhuku ketika ia sedang menderita sakit" Kau telah berlaku pengecut menyerang seorang yang tidak sehat.
Sekarang kau berhadapan dengan muridnya yang hendak menuntut balas!"
"Bok Bu Hwesio tertawa tergelak-gelak. "Anak muda, orang-orang yang telah kulukai dan kujatuhkan banyak sekali hingga aku sendiripun tidak ingat lagi ada berapa banyak. Siapakah kau ini, dan siapakah gurumu yang telah kulukai itu?"
"Suhuku ialah Kang-lam Koay-hiap!"
Terkejutlah Bok Bu Hwesio mendengar pengakuan ini. Ah, kalau benar anak muda ini murid Kang-lam Koay-hiap, maka tidak boleh berlaku sembrono.
"Kalau kau hendak menuntut balas, mengapa tidak mencari aku di Thian-siang saja"
Di sana aku akan melayani tuntutanmu. Sekarang aku sedang sibuk!" Hwesio gemuk pendek yang licin ini tahu dan ingat bahwa Lie Bun adalah seorang yang
berkepandaian tinggi dan barangkali tidak banyak bedanya dengan Kang-lam Koayhiap sendiri, maka berbahayalah melayaninya di sini. Kalau melayani di sarangnya, yakni di Thian-siang, ia dapat mengharapkan bantuan dari kawan-kawannya.
"Hwesio pengecut! Kau berani berbuat mengapa mundur menghadapi tanggung
jawab" Kau terimalah pembalasanku!"
Lie Bun segera menyerang dengan tongkat bambunya.
"Baiklah, kalau kau sudah kepingin mampus!" jawab Bok Bu Hwesio untuk tidak
kalah garang dan ia segera menyampok dengan ujung lengan bajunya yang panjang.
Pertempuran hebat terjadi di atas genteng rumah penginapan itu. Kedua murid Bok Bu Hwesio cabut pedang mereka dan membantu hwesio itu. Tapi sebentar saja,
mereka kena terpukul ujung tongkat bambu Lie Bun yang digerakkan dengan gemas hingga sangat ganas dan lihai.
Tubuh kedua murid Bok Bu Hwesio itu roboh dan membuat pecah banyak genteng.
Bok Bu Hwesio marah sekali dan ia berhasil memungut sebilah pedang muridnya
yang telah dirobohkan. Kini mereka berdua memegang senjata dan pertempuran
dilanjutkan dengan seru sekali.
Harus diakui bahwa kepandaian Bok Bu Hwesio sangat tinggi dan hampir sejajar
dengan kepandaian Kang-lam Koay-hiap. Hanya di dalam ilmu tongkat dan ilmu
pedang, Kang-lam Koay-hiap menang setingkat. Dulu Kang-lam Koay-hiap dapat
dilukai karena kakek pengemis yang lihai itu sedang sakit dan tenaganya lemah.
Kini menghadapi Lie Bun, segera Bok Bu Hwesio merasa bahwa pemuda ini lebih
tangguh dari pada Kang-lam Koay-hiap sendiri. Hal ini karena ketika menghadapi Kang-lam Koay-hiap dulu, pengemis sakti itu sedang sakit dan kini Lie Bun yang sedang menderita hati sedih dan risau itu menyerangnya dengan nekat dan tidak kenal takut hingga Bok Bu Hwesio merasa jerih sekali.
Pertempuran hebat itu berjalan ratusan jurus dan Lie Bun telah berhasil menotok iga kanan lawannya. Tapi karena Bok Bu Hwesio adalah seorang kebal, totokan itu tidak melukai hebat hanya membuat sebelah tubuh hwesio itu untuk sesaat merasa linu.
Kemudian hwesio itu loncat ke bawah dan dikejar oleh Lie Bun.
Di tanah mereka lanjutkan pertempuran mati-matian itu. Lie Bun keluarkan ilmu simpanannya, yakni Im-yang Kiam-sut. Ilmu pedang ini memang sukar dicari
tandingannya hingga setelah bertempur puluhan jurus, Bok Bu Hwesio terdesak hebat.
Ketika Lie Bun menyerang dengan tongkat menusuk perutnya, Bok Bu Hwesio
gunakan pedangnya menekan tongkat itu ke bawah dengan tipu Hui-eng Bok-tho atau Elang terbang sambar kelinci. Maksudnya hendak menggunakan tenaga gwakang
untuk membuat tongkat itu patah. Tapi tidak tahunya itu memang pancingan Lie Bun.
Ketika merasa betapa pedang itu menggencet tongkatnya, Lie Bun kerahkan
lweekangnya dan tangan kirinya menyambar leher musuh, berbareng tongkatnya ia tarik cepat. Melihat serangan tangan kiri yang cepat itu Bok Bu Hwesio segera miringkan kepala berkelit. Tapi karena gerakan ini maka perhatiannya kepada
pedangnya agak mengurang hingga Lie Bun berhasil membetot tongkatnya yang
langsung disodokkan ke arah muka lawannya.
Dua kali serangan masih dapat dikelit oleh pendeta gemuk pendek itu. Tapi serangan ketiga tepat sekali melukai pinggir matanya karena Lie Bun menyerang mata
lawannya. Karena luka ini, maka terpaksa Bok Bu Hwesio gunakan tangan kiri untuk menutupi sebelah matanya. Tapi cepat seperti burung menyambar, Lie Bun sudah kirim
serangan lagi dengan ujung tongkatnya yang menotok uluhati lawannya.
Terdengar jerit ngeri dan menyeramkan, dan tubuh Bok Bu Hwesio yang gemuk
pendek itu roboh di tanah dengan tidak bernyawa lagi.
Habislah riwayat hwesio yang mencemarkan nama golongannya dengan perbuatanperbuatan yang tak patut dilakukan oleh seorang hwesio yang seharusnya menuntut penghidupan suci.
Mendengar jeritan itu, semua orang penghuni hotel menjadi bingung dan panik. Tidak seorangpun berani tongolkan kepala dari jendela semenjak mereka tahu bahwa di atas genteng ada orang sedang bertempur mati-matian.
Lie Bun masuk ke kamarnya dan seret Lo Sam dari atas pembaringan di mana orang tua itu sembunyikan diri di bawah selimut. Merasa betapa kakinya di seret orang, Lo Sam buka mulut hendak berteriak minta tolong tapi Lie Bun cepat bekap mulut orang tua itu.
"Lopeh, hayo kita pergi!"
"Apa" Bagaimana" Kemana ..." Malam-malam begini pergi?"
"Sudahlah, kau turut saja!"
Dengan diam-diam dan cepat, keduanya lalu keluarkan kuda dan naiki kuda itu
menuju keluar kota dengan cepat.
"Ji-kongcu, apa yang terjadi" Siapa yang bertempur di atas hotel tadi?" tanya Lo Sam dengan menggigil kedinginan karena memang jauh bedanya hawa di dalam kamar
hotel yang hangat karena berselimut, dengan hawa di luar di mana angin malam
bertiup perlahan-lahan.
"Aku yang bertempur dan aku berhasil membunuh musuh besarku."
Mendengar pengakuan ini, Lo Sam melirik ke arah Lie Bun dan ia menelan ludah.
Diam-diam timbul hati seram dan takut terhadap anak muda itu. Ia tidak menyangka sama sekali bahwa pemuda yang hendak dipinangkan seorang gadis itu dapat
membunuh orang dengan demikian enaknya. Maka ia tak berani banyak cerewet lagi dan selalu menurut kehendak Lie Bun.
Seminggu kemudian mereka telah tiba di kota Bi-ciu dan Lie Bun segera memasuki kamarnya dan membanting dirinya di atas pembaringan.
Keesokan harinya ia menderita sakit panas yang hebat sekali. Ayah ibunya menjadi bingung dan tabib yang pandai segera dipanggil.
Lie Bun bergulingan di atas pembaringan dengan gelisah. Tubuhnya panas dan ia bicara kacau balau. Seringkali menyebut nama suhunya dan berkali-kali ia ucapkan syair.
"Sepasang ikan bercerai ......."
"Seekor ke kanan, seekor ke kiri ........"
Kedua orang tuanya tidak tahu maksud syair itu dan mereka hanya dapat menjaga Lie Bun dengan hati cemas.
Dari Lo Sam mereka diberitahu bahwa gadis yang hendak dilamar itu telah pindah dan tak seorangpun yang tahu ke mana gadis itu pindah.
Ibu Lie Bun segera dapat menduga bahwa anaknya menderita sakit rindu.
Hampir sebulan Lie Bun menderita sakit. Setelah sembuh, tubuhnya menjadi kurus dan ia jarang sekali keluar dari kamarnya. Berhari-hari ia hanya duduk bersila sambil bersamadhi di dalam kamarnya, jarang mengeluarkan kata-kata kalau tidak ditanya.
Demikianlah keadaan pemuda yang sengsara itu sampai tiba musim chun di mana
orang-orang menyambutnya sebagaimana kebiasaan mereka setiap tahun. Rumahrumah dihias dan dikapur dan orang-orang mengenakan pakaian serba baru. Rumah keluarga Lie tidak ketinggalan. Terutama Lie Kiat, ia gembira sekali dan mengenakan pakaiannya yang indah berwarna biru dan merah muda hingga ia tampak gagah.
Di depan rumah-rumah dipasangi lampion-lampion yang beraneka macam dan di
sana-sini terdengar suara tetabuhan karena banyak orang-orang mainkan singasingaan dan barongsai.
Seluruh kota Bi-ciu tenggelam dalam pesta pora dan kegembiraan. Mungkin hanya Lie Bun seorang yang duduk termenung di taman belakang sambil melihat ikan-ikan berenang kesana kemari dalam empang. Bunga-bunga teratai warna merah dan putih tersenyum dengan manis berseri di atas air kehijau-hijauan.
Orang-orang saling kunjung mengunjungi untuk mengucapkan selamat, satu kepada yang lain berhubung dengan datangnya musim terindah dan terbaik selama setahun.
Lie Kiat berlari-lari mencari adiknya di taman.
"A Bun ...! Lie Bun ...!" teriaknya, dan ketika ia melihat Lie Bun duduk termenung di pinggir empang, ia segera lari menghampiri.
"Lie Bun, jangan kau termenung saja. Hari ini adalah hari baik dan ayah mengajak kita pergi mengunjungi rumah tunanganku. Kau harus ikut, A Bun!"
Melihat kegembiraan kakaknya ini, Lie Bun terpaksa senyum lemah. "Untuk apakah aku harus ikut?" tanyanya halus.
Mata Lie Kiat terbelalak. "Untuk apa" Ampun, anak ini! Untuk apa, katanya!
Bukankah ini hari besar dan kita harus mengucapkan selamat kepada orang-orang yang kita cinta" Kau harus mengucapkan selamat pula pada calon ensomu! Tidak
maukah kau memberi selamat kepada calon isteriku?"
Tentu saja Lie Bun tidak berani menolaknya.
"Hayo, kau ganti pakaian yang paling indah dan paling baru!"
"Untuk apa berganti pakaian segala?" tanya Lie Bun.
Kakaknya menjadi gemas dan segera menarik tangannya diajak berlari ke kamarnya sambil berkata.
"Ah, kau ini rewel benar. Hayolah, aku malu kalau calon isteriku melihatmu dalam pakaian buruk."
Terpaksa Lie Bun bertukar pakaian. Kemudian ia berkata kepada Lie Kiat.
"Twako, kau hanya teringat kepada tunanganmu saja, apakah kau sudah lupa kepada Cui-siocia?"
"Bodoh, siapa yang lupa" Kau kira kemanakah aku sehari kemarin" Berpesta di
rumahnya. Sekarang giliran tunanganku!"
Mau tidak mau Lie Bun tersenyum melihat lagak Lie Kiat. Ah, alangkah bedanya
nasibnya dengan nasib Lie Kiat. Kakaknya ini selalu mendapat apa yang
dikehendakinya, karena kakaknya memang tampan dan gagah. Siapa yang tidak suka melihat pemuda secakap ini" Tapi dia" Ah, orang buruk memang selalu bernasib
buruk pula. Kemudian ia mencela diri sendiri. Ia memang telah terlahir buruk. Mengapa harus mengeluh" Kwei Lan pindahpun bukan sengaja menyakiti hatinya. Mengapa ia harus bersedih" Apakah ini laku seorang gagah" Apakah ia harus tunduk kepada nasib
buruk" Ah, suhunya kalau masih hidup tentu akan marah padanya.
Pada saat itu ayah ibunya datang menghampiri mereka.
Melihat pandangan ayah ibunya yang ditujukan padanya dengan khawatir. Tiba-tiba Lie Bun insyaf betapa ia telah berdosa besar terhadap mereka. Ia telah membuat mereka itu bersedih dengan sikapnya yang selalu murung. Ah, sungguh bodoh dan sesat. Beginikah laku seorang yang uhauw, seorang yang berbakti kepada orang tua"
Lie Bun merasa betapa ia telah bersalah kepada orang tuanya, maka kini melihat mereka mendatangi dengan pakaian indah dan baru sambil memandang ke arahnya,
hatinya menjadi terharu sekali. Ia maju dan memberi hormat kepada ayah ibunya sambil menghaturkan selamat.
Lie Ti dan isterinya heran melihat perubahan ini dan mereka gembira sekali. Ternyata Lie Bun telah sembuh benar-benar sekarang. Ibunya pegang pundak puteranya yang kedua ini sambil berkata.
"Syukur, anakku, kalau kau sudah dapat menguasai hatimu. Mari kau ikut pergi ke Lun-kwan. Kita harus bergembira ria, karena kepergian kita kali ini ialah untuk menetapkan hari perkawinan kakakmu!"
Lie Bun tersenyum dan dengan tenaga luar biasa ia tekan hatinya yang berdebar mendengar betapa kakaknya akan segera kawin.
"Anak telah berlaku bodoh selama ini. Mohon ayah dan ibu suka memberi ampun,"
katanya. Dalam suasana gembira, keluarga Lie berangkat menuju ke Lun-kwan. Lie Ti dan
kedua puteranya naik kuda sedangkan nyonya Lie naik sebuah kereta kecil yang
dihias indah. Banyak pelayan ikut sambil membawa barang-barang hadiah yang
hendak diberikan kepada calon besan itu.
Ketika tiba di Lun-kwan dan rombongan berhenti di depan sebuah gedung besar yang indah. Lie Kiat mendengar tetabuhan ramai di taman yang berada di sebelah kanan gedung itu. Pemuda itu segera tarik tangan adiknya yang diajak langsung memasuki taman itu.
"Twako, jangan, nanti kita disebut kurang tahu adat!" Lie Bun mencegah, tapi seperti biasa Lie Kiat suka membawa kehendak sendiri. Dengan tindakan gagah Lie Kiat
cepat memasuki taman sedangkan Lie Bun setelah itu masuk pula, berhenti dengan ragu-ragu karena di sebelah dalam taman itu tampak seorang sedang menikmati
pertunjukkan Ki-lin yang agaknya sengaja diundang untuk menghibur keluarga
hartawan itu. Kalau Lie Bun berhenti dan berdiri ragu-ragu, adalah Lie Kiat langsung menuju ke taman dan ketika melihat betapa gadis tunangannya menonton pertunjukkan itu dari sebuah menara kecil yang dibangun di tengah-tengah taman, ia segera menghampiri dan masuk dari pintu belakang.
Suara tetabuhan gembreng dan tambur yang ramai itu akhirnya menarik pula
perhatian Lie Bun. Dengan tak terasa kakinya melangkah maju mendekat dan ia
menggabungkan diri dengan para pelayan yang sedang mengelilingi pemain Ki-lin dan menikmati tari-tarian yang lincah dan indah itu.
Kemudian Lie Bun teringat akan kakaknya. Ia menjadi khawatir kalau-kalau terjadi sesuatu atas diri kakaknya, maka ia segera mengitari lingkungan penari Ki-lin itu hingga sampailah ia di belakang menara.
Ketika ia sedang mencari-cari Lie Kiat, tiba-tiba ia mendengar suara kakaknya itu di dalam menara sedang bercakap-cakap dengan seorang wanita.
"Siocia, mengapa kau marah" Bukankah kita telah bertunangan dan apa salahnya bagi orang yang telah bertunangan untuk bertemu di sini" Ah, siocia, kau cantik sekali dan perkenankanlah aku untuk mengucapkan selamat kepadamu!"
Kemudian terdengar jawaban seorang wanita, suaranya halus tapi tajam.
"Lie-kongcu, aku mendapatkan bahwa kau adalah seorang terpelajar, tapi ternyata bahwa kau agaknya memang biasa bergaul dengan segala macam perempuan rendah.
Tapi kau ingatlah, aku belum menjadi isterimu dan kau tak berhak berlaku sesuka hatimu di tempatku ini. Kau keluarlah, tak pantas kalau sempat terlihat orang perbuatanmu yang tak pantas ini!"
Suara Lie Kiat terdengar marah dan penasaran ketika ia menjawab.
"Siocia, perbuatan mana yang tidak pantas?"
"Kau masuk ke sini tanpa izin, seakan-akan ini tempatmu sendiri. Apakah itu pantas namanya" Pula, akupun mendengar bahwa kau telah mempunyai tunangan. Mengapa
kau masih hendak mencari aku" Apakah itupun pantas namanya?"
Celaka, pikir Lie Bun ketika mendengar ini. Agaknya gadis inipun sudah tahu akan hal hubungan Lie Kiat dengan Cui Im. Nah, berabelah kini!
"Ooo ...... jadi kau cemburu?" terdengar Lie Kiat berkata.
"Aku" Cemburu?" Hah! Peduli apakah aku, biarpun kau mempunyai kekasih puluhan orang" Hanya saja, aku tak sudi dipermainkan orang! Kau keluarlah dari sini!"
Lie Bun merasa betapa kakaknya harus keluar dari situ karena kalau sampai terdengar orang, akan mendapat malu besarlah keluarganya. Maka ia lalu masuk ke dalam pintu yang terpentang itu untuk memanggil kakaknya.
"Twako, mari keluar," katanya sambil membuka tirai. Dan pada saat itu ia melihat seorang gadis cantik jelita yang berdiri berhadapan dengan Lie Kiat dan yang pada saat itu memandang ke arahnya.
Baik Lie Bun dan gadis itu berdiri kesima. Mata mereka terbelalak dan mereka saling pandang lama sekali.
Tak terasa kaki Lie Bun bertindak maju menghampiri dan tiba-tiba pada wajah gadis yang tadinya muram dan marah itu tampak senyum menghias bibirnya yang indah.
"Kwei Lan .......!" Lie Bun berbisik bagaikan dalam mimpi dan ia maju mendekat.
Sama sekali tidak melihat Lie Kiat yang berdiri memandang mereka dengan heran.
"Kau ......." Kau ........ di sini?"" gadis itu menunjuknya dengan telunjuknya yang runcing dan mungil ke arah Lie Bun dan mukanya menjadi girang sekali.
"Kwei Lan ...... siocia ...... kau masih ..... masih ingat kepadaku" Aku adalah .....
pengemis dulu itu ......!"
"Lie-inkong ........., Lie-twako ........! Bagaimana aku bisa melupakan kau?"
Tiba-tiba kedua anak muda yang seakan-akan terkena pesona dan lupa segala, saling pandang dengan mesra. Dan terkejutlah mereka ketika terdengar suara Lie Kiat
tertawa keras. Mereka baru sadar dan merasa malu.
"Ha ha ha! Pantas, pantas! Tahulah aku sekarang mengapa sikapmu kepadaku dingin dan benci! Tidak tahunya kau sudah mempunyai kekasih. Ha ha! Sungguh
memalukan, sungguh menjemukan! Lie Bun, kau adik yang selama ini kuanggap
seorang gagah dan budiman, ternyata hanya ... seorang tidak tahu malu! Kau
mengadakan hubungan kotor dengan calon iparnya sendiri! Ha ha ha! Kwei Lan
dimanakah kau hendak sembunyikan mukamu yang kotor?"
Lie Bun loncat ke depan kakaknya. "Twako! Aku larang kau maki-maki dia! Kami
tidak melakukan sesuatu yang buruk. Kau salah sangka!"
Lie Kiat gerakkan tangan dan menampar muka Lie Bun dengan keras. Lie Bun tidak berkelit dan menerima tamparan itu hingga pipinya kena tampar keras sekali hingga menjadi biru.
"Lie Bun! Kau ....... kau manusia rendah. Kalau kau hendak mencari kekasih,
mengapa justru kau menggoda calon isteriku" Bukankah itu memalukan sekali?"
"Twako! Dengarlah aku! Kami tidak mempunyai hubungan apa-apa. Kami dulu
kebetulan saja pernah bertemu dan berkenalan. Sungguh, twako. Aku tidak
mengganggu tunanganmu dengan ........ Lo-siocia!"
"Bangsat bermulut manis!" dan Lie Kiat kini mengirim pukulan ke mulut Lie Bun.
Sekali lagi Lie Bun tidak menangkis hingga bibirnya berdarah ketika menerima
hantaman Lie Kiat.
Karena merasa cemburu dan panas, Lie Kiat tidak puas dan ia menjadi mata gelap. Ia kirim lagi pukulan ke dada Lie Bun dan pukulan ini berbahaya sekali karena Lie Kiat pergunakan seluruh tenaganya.
Lie Bun tidak dapat melawan kakaknya, maka ia hanya kerahkan tenaga dalam untuk melindungi isi dadanya, maka ketika pukulan Lie Kiat mengenai dadanya,
terdengarlah suara keras dan Lie Bun terlempar jauh menabrak dinding dan jatuh dengan wajah pucat. Tapi Lie Bun tidak mendapat luka dalam hanya merasa betapa kulit dan daging di dadanya terasa panas dan sakit. Betapa pun juga, Lie Bun tidak mengeluarkan sedikit rintihan, hanya memandang kakaknya dengan sedih.
Sementara itu, Kwei Lan menjerit-jerit minta tolong dan menangis sedih hingga semua pelayan datang berlari-larian.
Beberapa orang pelayan segera memberi laporan kepada Lo-wangwe dan dengan
berlari-lari Lo-wangwe datang diikuti oleh tamunya, yakni Lie-wangwe. Kedua orang tua itu saling pandang dan heran sekali melihat keadaan yang mereka hadapi.
Lie Kiat sedang berdiri dengan wajah merah dan mata bernyala-nyala sedang dibujuk oleh para pelayan untuk bersabar. Kwei Lan duduk di atas bangku sambil menutup mukanya dan menangis sedih sekali. Sedangkan Lie Bun berdiri bersandar pada
dinding dengan wajah pucat dan mulut berdarah. Tapi senyum menyedihkan terlukis di bibirnya yang pecah-pecah.
"Kwei Lan, apakah yang terjadi?" tegur Lo-wangwe kepada Kwei Lan.
Gadis itu hanya menangis makin sedih dan isaknya membuat seluruh tubuhnya
bergoyang-goyang. Kemudian dengan tiba-tiba gadis itu berdiri dan lari keluar dari situ memasuki gedung dan membanting dirinya di dalam pembaringan di kamarnya.
Lie-wangwe membentak kedua puteranya. "Lie Kiat! Lie Bun! Apa yang kalian
perbuat" Sungguh memalukan sekali! Hayo keluar!"
Lie Kiat dengan angkat dada dan wajah masih merah segera keluar dengan tindakan lebar, sedangkan Lie Bun dengan kepala tunduk berjalan keluar pula.
"Eh, bukankah ..... bukankah ..... kau yang dulu pernah datang di rumahku?"
"Lie Bun geleng-geleng kepala. "Wan-gwe salah kenali orang. Siauwte yang rendah ini tak pernah mengenal siapa-siapa. Harap maafkan, Wan-gwe." Dan ia lalu keluar dengan kepala masih tunduk. Ia merasa sedih sekali. Hatinya terasa perih dan sakit.
Bekas pukulan kakaknya tak berarti apa-apa baginya. Tapi kenyataan bahwa tunagan Lie Kiat bukan lain ialah Kwei Lan. Gadis yang dipuja-pujanya dan dicari-carinya serta membuat ia sebulan lamanya menderita sakit. Ah ..... hal ini sungguh merupakan kenyataan yang pahit dan membikin hatinya perih. Kini ditambah lagi dengan dugaan-dugaan Lie Kiat yang keji. Ah, mengapa nasibnya selalu sengsara"
Ketika tiba di rumah, Lie Bun segera masuk ke kamarnya dan memikirkan nasibnya.
Ia mendengar betapa Lie Kiat masih marah-marah dan memaki-maki dia di luar
kamarnya. Ketika ayah dan ibunya datang, Lie Bun dipanggil keluar.
"Lie Bun, sebenarnya apakah yang terjadi, nak" Kau ceritakanlah yang sejujurnya kepadaku karena Lie Kiat sukar diajak bicara," kata ibunya.
"Ibu, biarlah kalau memang aku yang dipersalahkan dalam hal ini. Hanya Thian yang tahu bahwa aku tidak bersalah. Memang aku pernah bertemu dan kenal dengan Lo-siocia. Tapi kami tak pernah melakukan sesuatu. Bahkan kami baru sekali saja
bertemu." "Bohong! Baru sekali bertemu tapi ketika berjumpa tadi kau langsung menyebut
namanya saja! Dan dia menyebutmu Lie-twako. Sedangkan kepadaku sendiri, kepada tunangannya, calon suaminya, ia masih menyebut kongcu! Mungkinkah ini kalau kau dan dia tak mempunyai hubungan erat?" teriak Lie Kiat.
"Sungguh, twako. Maki-makianmu, pukulan-pukulanmu, dan fitnah-fitnah keji yang dilontarkan padaku itu kuterima dengan sabar. Aku tadi terlampau heran dan terkejut melihat ia di sana karena sama sekali tidak pernah kuduga, maka tak sengaja aku menyebut namanya. Pikirlah, apa mungkin seorang siocia seperti dia itu sudi
mengadakan hubungan dengan aku yang begini buruk?" Lie Bun mengucapkan katakata ini dengan terharu sekali.
"Kau sangka aku buta" Pandangan matamu ketika melihat dia tadi .... aku bukan anak kecil!" Lie Kiat masih saja marah-marah.
Lie Bun tiba-tiba berdiri dan berkata dengan gagah.
"Ya, biarlah aku akui. Semenjak pertemuanku yang hanya satu kali itu, aku telah jatuh cinta kepadanya! Ya, aku cinta kepada Kwei Lan! Dengarkah kalian" Aku cinta
padanya. Dan tahukah kalian semua bahwa ketika aku pergi dengan Lo Sam dulu itu, yang hendak kulamar bukan lain ialah Kwei Lan seorang" Tahukah kalian bahwa aku menderita sakit karena memikirkan Kwei Lan" Dan tadi aku bertemu dengan dia!
Ternyata ia tunangan saudaraku sendiri! Nasib! Nah, aku sudah mengaku, kau mau apa twako" Membunuhku" Kau tahu baik-baik, bahwa kalau aku mau, tak mungkin
kau dapat memukulku. Apalagi sampai menyakiti badanku. Kau tahu bahwa dengan
sekali bergerak saja, dengan mudah aku dapat membunuhmu. Tapi aku tidak segila kau! Aku mengalah dan menerima pukulan-pukulan dan makian-makianmu karena
aku kasihan melihat kau. Karena aku tidak ingin melihat kau sakit hati. Nah, aku sudah bicara. Aku takkan menghalang-halangi perjodohanmu dengan Kwei Lan. Tapi ingat, kalau kau sampai membuat dia sengsara atau kau menyia-nyiakan Kwei Lan, biarlah aku melanggar dosa terbesar dengan membunuh kakakku dengan kedua
lengan tanganku sendiri!"
"Lie Bun!" jerit ibunya.
Maka sadarlah Lie Bun dari keadaannya yang seperti bukan maunya sendiri itu dan ia tubruk dan peluk kaki ibunya.
"Ibu .... ampuni aku, ibu .....!"
Atas desakan Lie Kiat yang semenjak hari itu selalu marah-marah, perkawinan akan diadakan secepatnya, yakni dua bulan lagi. Pihak keluarga Lo juga telah menyatakan persetujuannya.
Biarpun Lie Kiat kini tidak berani maki-maki adiknya lagi. Tapi tiap kali ada Lie Bun di situ, pasti ia bicara tentang perkawinannya itu hingga dengan sengaja ia hendak menyakiti hati adiknya.
Agaknya Lie Kiat masih tak dapat melenyapkan perasaan cemburunya. Ia maklum
bahwa tak mungkin Kwei Lan mencintai Lie Bun. Tapi ia mengetahui bahwa Lie Bun mencintai calon isterinya. Cukup membuat ia merasa cemburu sekali.
Karena makin dekat menjelang hari perkawinan itu, hati Lie Bun makin tergoda.
Akhirnya ia berpamitan kepada kedua orang tuanya untuk mengembara barang
setahun. Ibunya melarang, tapi Lie Bun berkata bahwa ia ingin menengok makam gurunya.
"Biarlah kalau ia mau pergi, tapi jangan lama, Lie Bun. Ingatlah bahwa kami di sini selalu menanti-nanti kembalimu. Jangan kau pergi lebih dari setahun. Ini merupakan perintah ayahmu, mengerti?"
Lie Ti cukup bijaksana untuk mengetahui bahwa memang berat bagi Lie Bun untuk menyaksikan perkawinan kakaknya, maka ia sengaja memberi ijin kepada puteranya yang kedua ini.
Maka pergilah Lie Bun. Sebelum pergi ia menemui Lie Kiat di kamarnya. Kakaknya itu sedang duduk dan ketika melihat adiknya masuk ke kamarnya, ia buang muka
sambil bersungut-sungut.
"Twako, aku .... aku pergi ...."
Lie Kiat tidak menjawab dan diam saja.
"Twako, aku tahu, kau tentu marah dan sakit hati kepadaku. Apa dayaku" Agaknya hidupku ini hanya merupakan gangguan saja bagi orang lain. Mengapa aku yang
buruk rupa ini begini tidak tahu diri dan mencintai orang" Twako, kalau .... kalau kau kehendaki, biarlah aku minta ampun padamu ... twako ...." Lie Bun tak tahan lagi dan air matanya keluar membasahi pipinya yang hitam.
Kecintaan Raja Pencopet
Lie Kiat terharu dan rasa sayangnya terhadap adiknya timbul. Tapi ketika ia
memandang Lie Bun, ia teringat pula betapa adiknya itu mendapat perhatian besar dari Kwei Lan, maka marahnya lebih kuat dari pada rasa sayangnya.
"Sudahlah, sudahlah! Kau mau pergi, pergilah! Siapa yang hendak menahanmu?"
"Twako, kau memaafkan aku?"
"Sudahlah, jangan ulang-ulangi lagi hal itu!" Lie Kiat lalu banting diri di atas pembaringan sambil gunakan kedua tangan tutupi telinganya.
Lie Bun lalu tinggalkan kakaknya dan setelah berpamit kepada ayah ibunya, ia pergi dengan cepat.
Keadaannya kini jauh berbeda dari pada dulu ketika ia merantau bersama suhunya.
Dulu ia hidup sebagai seorang pengemis. Tapi sekarang ibunya memaksa ia
membawa cukup uang guna belanja selama ia merantau. Pakaiannya juga bagus dan di dalam bungkusan pakaian yang berada di punggungnya masih ada barang dua stel pakaian baru.
Lie Bun menuju ke Timur karena ia ingin menjelajah sepanjang pantai laut timur yang terkenal indah.
Untuk menghibur hatinya yang terluka, ia sengaja ambil jalan air dan naik perahu sepanjang sungai Yang-ce menuju ke timur. Makin ke timur, sungai ini makin
Pengemis Tua Aneh Ouw Bin Hiap Kek Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melebar dan pemandangan makin indah.
Lie Bun berlayar seorang diri dan membiarkan perahunya dibawa hanyut di pinggir sungai. Beberapa pekan kemudian, tibalah ia di Nan-king, kota yang sangat besar dan menjadi pusat kebudayaan itu.
Ia mendarat dan dengan penuh kagum di dalam hati. Ia berjalan sepanjang jalan yang lebar dan melihat-lihat rumah-rumah dan bagunan-bangunan dengan ukiran-ukiran indah.
Ketika ia masuk ke dalam sebuah jalan yang ramai dan banyak sekali orang. Tiba-tiba di tempat yang agak berdesakan ia merasa betapa sebuah tangan dengan cepat sekali menyambar bungkusannya. Tapi lebih cepat lagi jari telunjuk Lie Bun menyambar dan dapat menotok pergelangan tangan itu hingga pergelangan itu menjadi lumpuh dan bungkusan yang telah disambar itu dijatuhkan kembali.
Lie Bun segera pungut buntalan pakaiannya dan ia melihat wajah seorang setengah tua meringis kesakitan sambil memandangnya dengan heran.
Kemudian copet itu lalu melarikan diri dengan cepat di dalam tempat yang ramai dan penuh sesak itu.
Lie Bun menghela napas. Ternyata tidak hanya rumah-rumah, jalan-jalan dan barang-barang yang istimewa di dalam kota besar ini. Bahkan tukang copetnya juga istimewa karena ia harus akui kelihaian tukang copet tadi yang sekali bergerak saja buntalan yang di katkan di punggungnya telah kena disambar.
Untung ia cepat dapat menggunakan totokan dengan satu jari, yakni ilmu totok It-ci-sian, untuk merampas kembali buntalannya. Kalau tidak, entah bagaimana kalau
sampai pakaian dan uangnya semua hilang!
Ia tersenyum geli kalau teringat betapa pencoleng itu lari sambil membawa luka di pergelangan tangannya karena totokannya itu. Kalau bukan orang yang telah melatih ilmu totok ini dengan sempurna, sukar agaknya untuk memulihkan kembali
pergelangan tangan itu.
Biarlah, tentu ia akan mencari aku dan minta pertolonganku, pikir Lie Bun. Dan pemuda ini lalu mencari kamar dalam sebuah hotel yang memakai merk "Lo-seng".
Pada keesokan harinya, pagi-pagi setelah ia bersihkan badan, pelayan hotel
memberikan sebuah sampul merah kepadanya.
"Surat ini untuk kongcu," katanya.
Dengan menyembunyikan rasa herannya, Lie Bun menerima surat bersampul merah
itu. Ketika ia buka sampulnya , maka ia mencium bau harum keluar dari sampul itu.
Ia tarik keluar suratnya yang berwarna merah muda. Tulisannya bagus dan halus.
Nyata tulisan tangan seorang wanita. Ia membaca dengan heran.
Lie-taihiap yang terhormat,
Kelihaian taihiap telah kami rasakan melalui seorang anggota kami, maka kami
kagum sekali kepada taihiap.
Sukalah taihiap memberi kehormatan pada kami dengan menghadiri pertemuan yang kami adakan hari ini di loteng rumah makan Ayam Emas.
Menanti dengan hormat,
Cian-chiu Sin-touw
Lie Bun kagum sekali dengan kelihaian orang yang menulis surat ini. Baru saja ia datang, orang sudah tahu akan namanya.
Yang menandatangani surat adalah Cian-chiu Sin-touw atau Malaikat Copet Tangan Seribu, tentu inilah copet di kota ini. Ia lalu bertanya kepada pelayan hotel di mana letaknya rumah makan Ayam Emas.
"Ah, kongcu belum tahu letaknya Kim-kee-tian" Itu adalah rumah makan terbesar dan yang paling mahal di kota ini."
Pelayan itu lalu memberi petunjuk kepada Lie Bun dan ia makin menaruh hormat.
Karena biasanya orang yang mencari dan makan di rumah makan itu tentu tamu yang padat kantongnya.
Setelah bersiap, Lie Bun pergi ke rumah makan Ayam Emas. Ketika ia tiba di depan rumah makan itu, seorang setengah tua menyambutnya dengan menjura hormat sekali.
Lie Bun tersenyum karena ia segera kenal wajah ini, yaitu wajah pencopet yang kemaren mencoba mencopetnya! Ketika ia lirik pergelangan tangan orang itu,
ternyata totokannya telah dibuka orang!
"Siauwte kemarin telah menerima pelajaran dari taihiap, harap taihiap maafkan.
Pangcu kami menanti taihiap di loteng dengan para saudara lainnya."
Lie Bun balas memberi hormat, lalu ikut pencopet itu naik ke loteng. Ternyata loteng itu luas sekali. Tapi agaknya perkumpulan copet itu telah memborongnya karena keadaan sunyi sekali dan para tamu hanya memenuhi ruang di bawah saja.
Ditengah-tengah ruang atas itu tampak sebuah meja yang besar dikelilingi bangku-bangku sebanyak lima belas buah. Meja itu penuh masakan dan arak, sedangkan di situ telah duduk beberapa orang.
Ketika Lie Bun menghampiri, semua orang berdiri dan alangkah heran dan kagetnya Lie Bun ketika yang menyambutnya adalah seorang gadis kira-kira berumur dua
puluh tahun yang berwajah cantik. Gadis itu mengenakan pakaian serba hijau dan sikapnya gagah sekali. Sebuah kantung piauw tergantung di pinggangnya dan wajah yang cantik itu diberi warnah merah-merah sehingga menambah kecantikannya.
Gadis itu tanpa malu-malu dan dengan ramah tamah mengangkat kedua tangan
memberi hormat dan berkata.
"Lie-taihiap, silahkan duduk di tempat penerimaan kami yang buruk."
Lie Bun balas memberi hormat. "Bolehkah aku yang bodoh ini mengetahui dengan
siapa aku bertemu?"
Gadis itu tersenyum genit dan matanya mengerling tajam. "Aku yang rendah adalah Cian-chiu Sin-touw sendiri, pemimpin dari perkumpulan kami di kota ini. Mari, mari silakan, taihiap!"
Kemudian Malaikat copet tangan seribu yang bernama Swat Cu itu memperkenalkan Lie Bun kepada orang-orang yang kesemuanya merupakan pemimpin-pemimpin
copet dari berbagai kota!
"Taihiap diundang ini untuk menjadi tamu kehormatan kami, karena kami tahu bahwa taihiap orang asing di sini. Kami mengagumi totokan It-ci-sian yang lihai dan maklum bahwa taihiap bukan orang sembarangan. Justru kami paling suka bersahabat dengan orang-orang pandai. Kebetulan sekali kami sedang mengadakan pertemuan tahunan untuk memilih pengurus baru, maka mungkin sekali hal ini menggembirakan taihiap.
Karena inilah taihiap kami undang."
Kemudian mereka makan minum dengan gembira karena ternyata bahwa mereka
kesemuanya terdiri dari orang-orang yang pandai bergaul. Terutama Swat Cu pandai sekali bergaul dan sangat ramah tamah kepada Lie Bun, yang merasa tertarik sekali dan seakan-akan telah kenal lama dengan gadis baju hijau ini.
Lie-taihiap, apakah membawa kartu undangan?" tiba-tiba Swat Cu bertanya sambil memandang pemuda itu sambil tersenyum.
Lie Bun mengangguk dan meraba sakunya. Tapi alangkah herannya karena saku itu telah kosong dan kartu undangan itu telah lenyap.
"Bukankah ini kartu undangan itu?" Swat Cu berkata sambil mengeluarkan sampul merah itu dari kantung bajunya yang lebar.
Lie Bun terkejut, karena baru saja ia menduga-duga sampai di mana kepandaian gadis yang menjadi kepala copet ini. Tahu-tahu dirinya telah dijadikan korban demonstrasi.
Tanpa diketahuinya tahu-tahu kartu itu telah dicopet Swat Cu.
Lie Bun tertawa dengan muka merah dan hanya bisa berkata.
"Kau sungguh lihai sekali, pangcu!"
Kini ia tahu bahwa yang membuka totokannya pada pergelangan lengan pencopet itu tentu gadis ini juga. Ia kini ingat bahwa tadi ketika mempersilakan ia duduk, gadis itu berada dekat sekali dan agaknya meraba bajunya sambil mempersilakan. Dan
tentunya ketika itulah digunakan oleh gadis itu untuk mencopet isi sakunya.
Setelah makan-minum cukup, Swat Cu lalu berdiri dan berkata.
"Nah, cuwi yang terhormat. Sekarang tibalah waktunya bagi kita untuk menuju ke tempat perkumpulan kita dan mengadakan pemilihan. Lie-taihiap, kami tetap
mempersilakan taihiap ikut dengan kami untuk menambah pandangan kami. Taihiap tetap menjadi tamu kehormatan kami."
Karena merasa tertarik gembira melihat orang-orang yang begitu ramah tamah tapi yang sebenarnya adalah kepala-kepala copet yang lihai. Lie Bun mengangguk sambil mengucapkan terima kasih.
Kemudian mereka beramai-ramai turun dari loteng itu dan menuju keluar kota sebelah barat.
Dan yang mereka sebut rumah perkumpulan itu bukan lain adalah sebuah perahu layar besar yang berlabuh di pinggir sungai Yang-ce.
Mereka lalu masuk ke dalam perahu itu yang ternyata cukup besar hingga dalamnya merupakan ruang yang cukup lebar. Di situ juga telah dipasang meja kursi dan semua orang lalu duduk mengitari meja. Swat Cu memimpin pertemuan itu dan
membukanya sambil berkata.
"Cuwi, sebagaimana terjadi tiap tahun, kali ini kita bersama hendak memilih ketua baru di antara kita. Dan tiap orang yang hadir mewakili kota masing-masing. Tahun yang lalu aku mendapat kehormatan untuk memimpin perkumpulan ini dan sekarang aku hendak serahkan kedudukan ini kepada siapa yang terpilih."
Seorang yang telah tua tapi matanya tajam angkat bicara.
"Pangcu, lebih baik kau letakkan kedudukan atau lepaskan kedudukan sebagai ketua lebih dulu. Kemudian baru dipilih seorang ketua baru dan kau masih berhak juga untuk menjadi ketua baru itu."
Semua orang setuju.
"Tapi kalau pangcu melepaskan kedudukannya, siapa yang akan memimpin pemilihan ini?" tanya seseorang.
Seorang berdiri dan berkata. "Aku tidak setuju kalau ketua lama berhak dipilih lagi.
Pantasnya ketua harus seorang pria!"
Yang berkata ini adalah seorang yang masih muda dan tidak lebih dari tiga puluh tahun usianya. Tubuhnya tegap dan mukanya kejam.
"Aku setuju dengan pendapat ini!" kata seorang lain yang juga masih muda dan
brewokan mukanya.
Swat Cu berdiri dengan tenang. "Siapa lagi yang setuju dengan pendapat ini?"
Tak seorangpun menjawab.
"Jiwi," kata Swat Cu kepada dua orang itu. "Jangan kira bahwa akupun terlalu suka menjadi pangcu. Kalau aku bukan anak pangcu yang lama dan dipilih oleh semua
pemimpin daerah, tak nanti aku mendapat kedudukan ini. Nah, saudara-saudara
sekalian. Karena kita harus berlaku adil, maka tidak tepat kalau kini setelah aku letakkan jabatan pangcu, lalu memimpin kembali rapat ini. Lebih baik kita minta tolong kepada Lie-taihiap untuk membantu kita sebentar dengan pemilihan ini."
Semua orang setuju dan Lie Bun juga tidak keberatan. Ia lalu mendengar suara semua orang. Seorang demi seorang dan setelah dihitung, maka ternyata bahwa suara
terbanyak memilih Swat Cu! Karena ini dengan gembira Lie Bun berdiri dan
mengumumkan. "Suara terbanyak jatuh kepada Cian-chiu Sin-touw. Maka dialah yang berhak menjadi ketua untuk tahun ini! Nah, sekarang kuserahkan kembali pimpinan kepada saudara ketua."
Semua orang bertepuk tangan dan kedua orang muda tadi serentak berdiri.
"Aku tidak setuju!"
"Akupun tidak setuju!" teriak yang seorang lagi.
"Jiwi!" Swat Cu membentak marah. "Kalau jiwi tidak suka menjadi anggota
perkumpulan kami, jiwi boleh keluar!"
Marahlah orang yang brewokan. Ia lalu menggebrak meja dan berkata.
"Dulu ayahmu menjadi pangcu karena kami akui bahwa ia lebih cakap dan lebih
tinggi kepandaiannya dari pada kami! Tapi kau, seorang gadis muda, sampai
dimanakah kepandaianmu?"
Swat Cu tersenyum sindir. "Nah, lebih baik berterus terang saja. Kalian berdua hendak menguji kepandaianku" Boleh, mari kita keluar!"
Dengan tenang dan gagah Swat Cu lalu keluar dari perahu dan loncat ke darat di kuti oleh kedua orang itu dan oleh semua orang yang berada di dalam perahu.
Lie Bun juga keluar dengan sangat tertarik. Ia kagum melihat sikap gagah dan
ketenangan Swat Cu. Jarang terdapat gadis seperti dia ini!
Melihat Lie Bun berdiri di situ, Swat Cu berkata.
"Lie-taihiap, kebiasaan kami untuk menguji kepandaian ialah dengan tangan kanan bermain pedang dan tangan kiri mencoba serobot ikat rambut yang dipakai masing-masing. Siapa yang berhasil menyerobot ikat rambut itu, menanglah dia!"
Swat Cu cabut pedangnya yang tersembunyi di punggung dan menghadapi dua orang itu.
"Kalian boleh maju berbareng dan mengeroyokku!"
"Tapi itu tidak adil!" Lie Bun berseru.
Tapi Swat Cu berkata sambil tersenyum. "Biarlah, agar urusan ini cepat selesai."
Kedua orang yang memprotes itu lalu mencabut pedang dan mengikat rambut mereka erat-erat. Kemudian sambil berseru keras mereka menyerang dengan pedang!
Pertandingan macam ini bukanlah tidak berbahaya, bahkan lebih berbahaya karena kemenangan bukan didasarkan atas menjatuhkan lawan. Tapi menyerobot pengikat
rambut. Tentu saja bukan mudah mencuri ikat rambut dari seorang yang menjaga
dirinya dengan pedang di tangan!
Tapi setelah Swat Cu bergerak, yakinlah Lie Bun bahwa gadis itu pasti menang.
Gerakan pedang gadis itu cepat sekali, hingga sebentar saja ia berhasil mengurung kedua lawannya dan berputar-putar sekeliling mereka hingga terpaksa kedua orang itu ikut berputar.
Pada suatu saat terdengar Swat Cu berseru dan pedangnya berkelebat. Tahu-tahu sebagian besar rambut si berewok terpapas oleh pedang itu dan pengikat rambutnya terbawa pula yang segera disambar oleh tangan kiri Swat Cu! Sebelum hilang
kagetnya, kembali pedang gadis itu membabat hingga jari tangan pengeroyok kedua berdarah dan terpaksa ia lepaskan pedangnya. Pada saat itu si gadis telah berhasil pula membetot ikat rambutnya hingga beberapa ikat dari rambut kepalanya terbawa
bersama-sama dan menimbulkan rasa pedas dan sakit!
"Bagaimana, sudah puaskah jiwi sekarang?" Swat Cu bertanya kepada kedua orang itu sambil melemparkan pengikat rambut kepada mereka.
"Memang kau jauh lebih pandai dari pada kami dan pantas menjadi pangcu," jawab mereka berdua dengan tunduk.
Pada saat itu terdengar suara orang tertawa mengejek yang disusul dengan ucapan.
"Bagus sekali, mengandalkan kepandaian merebut kedudukan!"
Semua orang memandang dan ternyata yang datang adalah orang-orang yang
berpakaian hitam yang jumlahnya tujuh orang. Di depan sekali sebagai pemimpin tampak tiga orang tua yang kesemuanya berwajah pucat tapi mempunyai mata yang tajam dan liar.
"Kawan-kawan dari gabungan Yang-heng-jin mempunyai kepentingan apakah
mengunjungi kami?" Swat Cu bertanya dengan keren.
Ternyata yang datang itu adalah kawanan Yang-heng-jin atau orang-orang jalan
malam, yang bukan lain adalah sekumpulan maling-maling di kota itu!
Memang sejak dulu telah terjadi pertempuran yang sifatnya seperti persaingan di antara kumpulan copet dan maling ini! Kawanan maling ini selalu berpakaian hitam dengan ikat pinggang dan ikat kepala warna merah darah.
Ketiga ketua mereka adalah orang-orang yang berkepandaian tinggi, yakni yang
pertama adalah Lui Kian, yang kedua adiknya sendiri bernama Lui Tong, dan yang ketiga adalah seorang bernama Leng Kak.
Ketiga orang maling ini merupakan tiga tokoh maling yang ditakuti orang.
Sudah lama ketiga orang ini ingin sekali menjatuhkan perkumpulan copet agar dapat menggabungkan diri dengan perkumpulan mereka. Dan terutama sekali karena Leng Kak tertarik dan ingin memperisteri Swat Cu yang manis. Maka mereka sengaja
datang pada saat pemilihan ketua ini untuk mengacau.
Leng Kak maju mendekati Swat Cu sambil berkata.
"Jadi kau telah terpilih menjadi ketua lagi" Kurang pantas, kurang pantas! Mana ada raja copet seorang wanita" Lebih baik aku menjadi rajanya dan kau menjadi
permaisuriku. Bukankah itu lebih baik?"
Swat Cu marah sekali dan menggerak-gerakkan pedangnya.
"Tutup mulutmu dan pergi kau dari sini!"
Tapi Leng Kak hanya tertawa saja, dan memandang dengan mengejek.
"Saudara-saudara, sebenarnya apakah maksud kalian"!" bentak Swat Cu yang telah marah sekali.
"Kurang jelaskah?" Lui Tong berkata. "Tadi Leng-twako berkata bahwa ia ingin
menjadikan kau sebagai permaisurinya. Nah, lebih baik kau gabungkan
perkumpulanmu dengan kami dan kita bekerja sama. Bukankah itu lebih baik?"
"Apa" Kami tidak sudi bergabung merendahkan diri dengan perkumpulan maling
pengecut!"
Leng Kak tertawa. "Aduh, hebatnya, ha ha! Coba dengarkan nona ini. Dia sendiri copet, memaki-maki maling! Sungguh lucu. Apakah bedanya copet dan maling?"
"Tentu saja berbeda," jawab Swat Cu. "Kami mengambil barang orang berdasarkan kepandaian dan orang yang kami ambil barangnya adalah orang-orang yang sadar.
Sedangkan kalian bangsa maling selalu berlaku curang dan mengambil barang orang sewaktu pemiliknya tidur pulas! Apakah ini laku orang-orang gagah?"
"Swat Cu! Sampai dimanakah kegagahanmu maka kau berani sombong" Marilah kita
main-main sebentar!"
Dengan kata-kata ini Leng Kak lalu maju menubruk hendak peluk gadis ini. Tapi Swat Cu cepat berkelit dan menyerang dengan pedangnya. Baru beberapa gebrakan saja Lie Bun tahu bahwa Swat Cu takkan menang, maka ia segera loncat menghalangi di antara mereka.
"Pangcu, aku sebagai tamu yang telah kau perlakukan dengan ramah tamah tak enak melihat gangguan ini dengan peluk tangan saja. Serahkan orang-orang liar ini
kepadaku!" Swat Cu mengangguk dengan wajah berseri.
"Eh, Siapakah kau, anjing keparat" Tak tahukah kau sedang berhadapan dengan
siapa?" Leng Kak membentak marah kepada Lie Bun.
Lie Bun tersenyum. "Aku disebut orang Ouw-bin Hiap-kek, dan tentu saja aku tahu siapa kalian ini. Kalian adalah tukang-tukang colong ayam yang rendah."
"Bangsat gila!" Leng Kak memaki dan menyerang dengan pedangnya. Tapi Lie Bun
hanya berkelit sedikit lalu maju menyerang.
Sekali serang saja, Lie Bun telah berhasil menampar pundak Leng Kak hingga kepala maling ini berseru kesakitan dan hampir saja pedangnya lepas dari pegangan.
Kedua saudara Liu melihat ini terkejut sekali dan mereka berbareng lalu menyerbu dengan pedang mereka. Tapi segala maling ini mana bisa menandingi Lie Bun"
Pemuda itu dengan tangan kosong melayani mereka dan bergerak bagaikan seekor
capung bermain di antara kembang-kembang teratai. Tiga batang pedang itu tidak berdaya sama sekali. Bahkan beberapa kali mereka bertiga saling adu pedang.
Tentu saja semua orang, baik dari pihak copet maupun dari pihak maling yang
menonton pertempuran ini dengan kagum sekali, memandang dengan mata terbelalak.
Tak mereka sangka bahwa pemuda muka hitam ini demikian lihai. Bahkan Swat Cu
sendiri tidak menyangka bahwa tamunya demikian hebat ilmu silatnya. Maka diam-diam gadis manis ini ambil ketetapan dalam hatinya. Ia harus dapat tarik pemuda ini disampingnya. Kalau saja ia dapat menjadi isteri pemuda lihai ini, maka hidupnya selanjutnya akan terjamin.
Lie Bun yang sedang gembira, sambil bergerak berkata kepada Swat Cu.
"Pangcu, harus aku apakan ketiga tikus ini?"
Swat Cu menjawab sambil tertawa.
"Tikus-tikus ini biasanya takut akan air. Biarlah kau suruh mereka mandi agar tidak terlalu berbau busuk!"
Lie Bun mengerti maksud gadis itu, maka sebentar saja terdengar suara teriakan dan tahu-tahu dengan kedua tangannya Lie Bun berhasil menangkap batang leher kedua saudara Liu dan dengan cepat ia lempar mereka ke sungai.
Sekali ia bergerak dan dengan sebuah dorongan kuat, Leng Kak terhuyung-huyung dan akhirnya juga jatuh ke dalam sungai!
Setelah minum banyak air sungai, akhirnya dapat juga ketiga maling itu ditolong oleh kawan-kawannya dan mereka merangkak ke darat.
Seluruh tubuh dan pakaian mereka yang hitam menjadi basah kuyup hingga benarbenar merupakan tiga ekor tikus air! Mereka lalu memandang Lie Bun dengan mata menyala, kemudian tanpa pamit lagi mereka bertindak pergi di kuti kawan-kawannya.
Para pemimpin copet tertawa besar.
"Lie-taihiap, sungguh kau luar biasa dan hebat sekali! Hal ini harus kita rayakan.
Hayo kawan-kawan, sediakan arak wangi untuk Lie-taihiap!" berkata Swat Cu dan kembali mereka masuk ke dalam perahu besar dan seorang pencopet lalu
mengeluarkan seguci arak wangi yang sangat keras.
Sebetulnya Lie Bun kurang biasa minum arak keras, maka setelah ia minum beberapa cawan karena gembiranya, ia menjadi mabok dan jatuh tertidur di atas meja! Ia tidak ingat apa-apa lagi dan tidak tahu betapa ia dipindahkan ke atas sebuah pembaringan dengan kasur yang empuk.
Menjelang senja Lie Bun terjaga dari tidurnya. Ia merasa kepalanya berat dan
tubuhnya kaku semua. Pada saat ia hendak bangun, tiba-tiba terdengar suara Swat Cu berkata di luar pintu.
"Hayo lekas periksa dengan teliti dan kalau kau tidak bisa memberi obatnya, awas dan jaga kepalamu!"
Kemudian pintu kamar itu terbuka dan Lie Bun pura-pura tidur sambil mengintai dari balik bulu matanya.
Ternyata Swat Cu masuk dan diikuti oleh seorang tua yang berambut putih dan
berpakaian sebagai sastrawan. Wajah kakek itu halus dan gerak-geriknya pun halus dan terang sekali bahwa ia seorang terpelajar.
Lie Bun tidak tahu bahwa Swat Cu telah memaksa orang tua itu datang ke kamarnya dan tidak tahu pula bahwa orang tua itu adalah Lie Ban Tong, tabib yang terkenal sekali di Nan-king sehingga mendapat julukan tabib dewa.
Karena keadaan dalam kamar itu sudah agak gelap, maka Swat Cu lalu menyalakan sebatang lilin. Tabib itu sambil dekatkan lilin pada muka Lie Bun, mulai melakukan pemeriksaan dengan teliti. Jari-jari tangannya yang halus itu beberapa kali mengusap-usap kulit muka Lie Bun hingga Lie Bun harus bertahan kuat-kuat karena merasa geli.
Setelah pemeriksaan beberapa lama, tabib itu berkata.
"Kau tenanglah. Aku sanggup obati muka ini!"
Lie Bun berdebar hatinya. Diobati" Apa maksudnya" Tapi kedua orang itu bertindak keluar dan ia tidak keluar dan tidak mendengar apa-apa lagi.
Tak lama kemudian, seorang pelayan masuk dan membawa makanan dan air dalam
mangkuk. "Siocia persilakan makan malam, kongcu," katanya sambil meletakkan hidangan itu di dekat pembaringan.
"Terima kasih, eh .... di manakah aku sekarang" tanyanya.
Pelayan itu tertawa kecil. "Kau berada di kamar siocia! Sejak pagi tadi kau tidur saja!"
"Apa" Kamar siocia yang mana" Kau maksudkan pangcu?"
Pelayan itu mengangguk. "Sudahlah, jangan ribut-ribut. Pangcu atau Oey-siocia itu sudah berlaku baik sekali terhadapmu dan ia bahkan telah menyerahkan kamarnya untukmu sedangkan ia sendiri tidur di kamar lain. Kau harus berterima kasih atas budi kecintaannya ini, kongcu!"
Lie Bun tidak jadi berdiri dan ketika pelayan itu meninggalkannya, ia duduk
termenung. Alangkah baiknya nona Swat Cu itu. Baru saja kenal telah merawatnya begini baik, bahkan telah bersusah payah mendatangkan tabib untuk mengobati mukanya.
Tiba-tiba ia terkejut ketika teringat akan kata-kata pelayan tadi. Budi kecintaan"
Apakah nona yang gagah dan menjadi pangcu itu cinta padanya" Tak mungkin nona gagah dan cantik itu cinta padanya, sedangkan ia buruk rupa"
Ia lalu mengenangkan kembali peristiwa-peristiwa pagi tadi.
Cinta Kasih Murni (Tamat)
TIBA-TIBA ia teringat dan ia loncat bangun lagi. Ah, bukankah nona itu tertarik dan kagum padanya karena pertempuran tadi"
Mungkin nona itu sangat kagum setelah ia mengusir ketiga musuhnya dan jatuh cinta.
Tapi ...... tabib itu" Lie Bun tersenyum pahit.
Tentu saja Swat Cu ingin sekali melihat ia menjadi tampan, jadi betapapun juga, gadis ini tidak menyukai mukanya yang buruk, dan yang disukai hanyalah kepandaiannya saja.
Tentu akan lain halnya kalau ia tidak berkepandaian tinggi. Ah ........ dan ia menjadi kecewa. Tapi karena kepalanya masih terasa berat, ia lalu makan sedikit dan tidur lagi dengan nyenyaknya!
Pada keesokan harinya, ia mendengar lagi suara tabib yang lemah lembut itu, disusul suara Swat Cu yang lembut.
"Kau sungguh keras hati, nona. Kau kuat menunggu aku sampai semalam penuh
membuat obat itu, sungguh mengagumkan!" tabib itu memuji.
Lie Bun terkejut, jadi tabib itu dengan Swat Cu telah sibuk semalam penuh dalam pembuatan obat untuk mukanya! Cepat Lie Bun bangun dan bereskan pakaiannya lalu ia membuka pintu kamarnya.
Ternyata tabib itu sedang duduk menghadapi secangkir teh dan di depannya duduk Swat Cu yang rambutnya agak kusut dan mukanya mengantuk. Dan di dekat cawan
teh itu tampak sebuah bungkusan kecil.
Melihat Lie Bun telah bangun, Swat Cu berdiri dan menyambutnya dengan senyum.
"Lie-taihiap, enakkah tidurmu?"
Melihat sikap ini, Lie Bun merasa tidak enak kalau tidak menjawab, maka iapun berkata.
"Terima kasih atas segala kebaikanmu, pangcu. Sekarang perkenankanlah aku
kembali ke hotelku dan maafkan bahwa selama ini aku telah mengganggumu."
"Eh, Lie-taihiap, nanti dulu. Silakan duduk dulu, taihiap."
Terpaksa Lie Bun duduk di atas sebuah bangku.
Tabib itu lalu berkata kepada Swat Cu. "Kau telah tahu cara menggunakannya, nona yakni kuulangi lagi. Masak dengan air semangkuk sampai airnya habis. Lalu campur dengan embun yang terkumpul di ujung daun-daun bambu sampai basah betul.
Biarkan menempel di muka sampai satu hari satu malam lamanya, pasti akan berhasil dan sembuh!"
Setelah berkata demikian, tabib itu lalu berpamitan dan meninggalkan tempat itu sambil membawa sebuah bungkusan yang tampak berat, agaknya uang perak hadiah
dari Swat Cu. "Pangcu, sekarang terpaksa aku juga harus pamit," kata Lie Bun sambil berdiri.
"Tunggu sebentar, taihiap. Aku merasa sangat kagum dan berterima kasih kepadamu.
Untuk menyatakan terima kasihku, maka sukalah kau terima pemberianku ini. Bukan barang berharga, melainkan semacam obat yang kau telah mendengar sendiri cara pemakaiannya tadi. Sesungguhnyaaku ingin sekali diberi kesempatan untuk
mengobati mukamu, taihiap. Aku ingin sekali bahwa aku dan tanganku sendiri yang mengerjakan pengobatan itu, tapi ........" gadis itu menundukkan mukanya dengan pipi kemerah-merahan.
Celaka, pikir Lie Bun. Dugaannya benar! Ia merasa tidak enak kalau menolak
pemberian ini, karena ternyata betapa gadis ini dengan sabar menunggu tabib itu mengerjakan dan membuat obat ini sampai semalam penuh. Maka ia lalu berkata
sambil tersenyum.
"Pangcu, kau benar-benar baik hati. Baiklah, pemberianmu kuterima dengan senang hati dan terima kasih. Tapi aku tidak berani mengganggumu dan membuatmu repot, pula akupun sebenarnya tidak ingin menjadi tampan. Tapi ......" sambungnya ketika melihat betapa Swat Cu merasa terpukul dengan pernyataan ini. "Siapa tahu, mungkin sewaktu-waktu aku perlu dengan obat pemberianmu ini." Setelah berkata demikian, maka Lie Bun terima bungkusan obat yang telah diangsurkan oleh Swat Cu itu.
"Nah, selamat tinggal, nona. Aku akan selalu mengingatmu sebagai seorang yang baik dan ramah tamah."
"Tapi, tapi ..... kau hendak kemana taihiap" Tidakkah ... kau kembali lagi kesini?"
Lie Bun tersenyum. "Tentu, kalau aku kebetulan lewat kota ini, tentu aku akan mampir kesini."
"Ah, alangkah baiknya kalau ..... kalau kau suka di sini, taihiap."
"Tak mungkin, nona. Aku harus kembali ke tempat tinggalku di Bi-ciu."
Maka, Lie Bun tinggalkan nona kepala copet yang lihai itu dengan perasaan kasihan, sungguhpun ia tahu bahwa nona itu mencintainya karena kepandaiannya, bukan
karena sewajarnya.
Setelah tiba dihotelnya, Lie Bun keluarkan bungkusan obat itu dan ia pandang obat yang ditaruh di atas meja itu lama sekali. Timbul perang di dalam hatinya.
Alangkah baiknya kalau ia pakai obat itu dan ternyata berhasil. Ia akan berubah tampan, kulit mukanya akan putih dan cakap, seputih Lie Kiat, secakap kakaknya itu.
Ia akan disukai orang, tidak diejek dengan julukan si muka buruk lagi. Ia akan dapat membanggakan kecakapannya. Ia akan dicintai oleh .... ya oleh siapa" Apa artinya dicintai seluruh orang di muka bumi ini kalau Kwei Lan tidak mencintainya"
Kwei Lan tidak mungkin mencintainya karena gadis itu kini telah menjadi isteri Lie Kiat, telah menjadi kakak iparnya. Tapi .... Kwei Lan juga tidak tergila-gila muka tampan.
Sekarang, setelah tiada seorangpun gadis yang diharapkan olehnya, untuk apa ia menjadi tampan" Tiada guna! Dengan tak terasa ia ambil obat itu dan masukkan ke sakunya.
Pada hari itu juga Lie Bun melanjutkan perjalanannya karena ia dengan sengaja tinggalkan kota itu cepat-cepat agar dapat terlepas dari Swat Cu.
Ia melakukan perjalanan sepanjang pantai laut timur dan tidak lupa tiap kali bertemu dengan peristiwa yang membutuhkan bantuan tenaganya, ia selalu melakukan
perbuatan-perbuatan gagah perkasa demi membela kebenaran dan keadilan.
Karena sepak terjangnya yang memang menggemparkan berkat kepandaiannya yang
tinggi itu, sebentar saja namanya sebagai Ouw-bin Hiapkek telah menjadi terkenal sebagai seorang pendekar muda yang budiman, yang selalu membantu orang yang
Pengemis Tua Aneh Ouw Bin Hiap Kek Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kesusahan. Setelah merantau kurang lebih enam bulan, maka Lie Bun lalu putar arah
perjalanannya menuju pulang. Kini ia ambil jalan darat dan tempuh perjalanan yang sangat jauh itu dengan berkuda.
Juga pada waktu pulangnya, di tiap tempat yang dilewatinya, ia selalu melepas tenaga membela mereka yang perlu ditolong. Ia sengaja tidak melewati Nan-king, tapi
memutar ke selatan melalui Han-kou.
Beberapa bulan kemudian tibalah ia kembali di kotanya.
Kalau dihitung semenjak ia tinggalkan kota itu pergi merantau, maka ia telah pergi kurang lebih sebelas bulan. Nyata bahwa ia tidak boleh pergi lebih lama dari pada setahun.
Ketika ia hendak masuk pekarangan rumah orang tuanya, hatinya sudah dak dik duk tidak karuan karena ia takut kalau-kalau ia akan bertemu dengan Kwei Lan yang pasti sudah menjadi isteri Lie Kiat dan tinggal di rumahnya itu.
Tapi ia heran karena di rumahnya sunyi saja. Seorang pelayan yang melihat
datangnya segera lari masuk memberi laporan dan sebentar kemudian ayah ibunya berlari-lari keluar menyambutnya.
Lie Bun memberi hormat kepada mereka dengan girang dan ibunya senang sekali
melihat puteranya yang kedua ini kembali dengan selamat, bahkan tampak lebih
matang air mukanya.
Karena melihat kesunyian rumah itu, Lie Bun serentak bertanya.
"Ayah, ibu, mana twako?"
Ayah dan ibunya saling pandang hingga Lie Bun merasa terkejut dan menyangka
yang bukan-bukan.
"Dimana dia?" Lie Bun mendesak.
Ayahnya menjawab sambil menghela napas. "Ia di belakang, mungkin di kebon
seperti biasa."
Lie Bun lalu berlari-lari ke belakang, dipandang oleh ayah dan ibunya sambil geleng-geleng kepala.
Benar seperti kata ayahnya, Lie Kiat sedang duduk di pinggir empang sambil
melamun. Ia tampak sedih sekali dan ketika ia menengok dan memandang Lie Bun.
Lie Bun terkejut melihat betapa wajah yang tampan itu kini nampak tua. Padahal Lie Kiat baru juga berusia paling banyak dua puluh tiga tahun.
"Twako, kau kenapa" Dan .... mana isterimu?"
Lie Kiat pada waktu melihat adiknya datang, wajahnya menjadi girang, tapi hanya sebentar. Apalagi ketika Lie Bun bertanya demikian, mukanya menjadi muram.
"Ah, nasibku memang ternyata lebih buruk darimu, Lie Bun!"
"Kenapa, twako, kenapa" Apa belum juga kau kawin?"
Lie Kiat geleng-geleng kepalanya. "Aku telah minta kepada ayah dan ibu untuk
mengijinkan aku kawin dengan Cui Im, tapi mereka tidak memberi izin, bahkan
marah-marah kepadaku."
Lie Bun terkejut. "Dengan Cui Im" Mengapa begitu" Ah, apa yang terjadi, twako"
Kenapa kau tidak kawin dengan nona Lo?"
"Dia itulah yang menimbulkan persoalan ini!" jawab kakaknya dengan wajah muram.
"Beberapa bulan yang lalu, ketika perkawinanku dengan dia kurang tiga hari
dilangsungkan, tiba-tiba datang berita dari Lun-kwan yang membuat aku bingung dan tak tahu harus berbuat apa. Ternyata gadis she Lo itu agaknya membenci aku
sedemikian rupa, atau agaknya ia sakit hati padaku sedemikian hebatnya sehingga ia mengambil keputusan nekad."
"Apa?" kedua mata Lie Bun terbelalak dan wajahnya pucat sekali. "Kau maksud .... ia
...ia ....."
Lie Kiat geleng-geleng kepala dengan sedih. "Tidak, ia tidak membunuh diri, tapi lebih hebat dari pada itu. Ia telah menjadi nikouw di kelenteng Kwan-im di Kwie-cu!"
Lie Bun menghela napas lega. "Ah, tapi mengapa, twako?"
"Mengapa" Siapa yang tahu mengapa!"
"Twako, bukankah ia tunanganmu" Kau harus mencari tahu, kau harus hibur hatinya.
Siapa tahu, mungkin ia marah karena dulu kau maki-maki dia. Mungkin kalau kau datang minta maaf, dia akan ubah kenekatannya itu!"
"Ah, mana bisa. Sedangkan ayah ibunya sendiri menangis-nangis dan membujuknya, tapi ia tidak mau menurut."
"Kenapa mereka tidak mau menggunakan kekerasan?"
"Ah, ayah ibunya terlalu sayang kepada anak tunggal mereka, maka mereka lalu
batalkan perkawinan dan melepaskan ikatan jodohnya dengan aku!"
"Tapi, twako, kau harus kasihani dia. Hayo kuantar kau pergi ke sana untuk
membujuknya. Siapa tahu, ia akan berubah pikiran melihatmu."
Mendengar bujukan adiknya ini, timbul pula harapan Lie Kiat.
Memang ia telah tergila-gila melihat kecantikan Kwei Lan. Dengan semangat baru, Lie Kiat kenakan pakaiannya yang terindah dan setelah memberi tahu kepada ayah ibunya bahwa mereka hendak mengunjungi nona Lo di kelentengnya.
Lie Ti dan isterinya hanya bisa saling pandang saja."
"Ah, sungguh anak kita Lie Bun itu mempunyai hati dari pada emas, jauh bedanya dengan watak Lie Kiat," kata nyonya Lie.
"Memang, kebagusan di luar belum tentu mencerminkan keadaan di dalam," kata Lie Ti sambil menghela napas.
Kedua saudara itu dengan cepat menuju ke Kwei-ciu. Mereka tidak tahu bahwa dari jauh seorang pemuda cakap mengejar mereka dengan diam-diam.
Pemuda cakap itu agaknya tahu bahwa kedua saudara itu lihai, maka ia berlaku hati-hati sekali dan hanya mengikuti mereka dari jauh. Gagang sebatang pedang tampak menonjol di punggungnya.
Sebetulnya tidak mudah bagi orang luar untuk mengunjungi seorang nikouw dari
Kwan-im-bio, Tapi karena Lie Kiat telah terkenal sekali dan ayah pemuda itu terkenal sebagai penderma terbesar dari kelenteng ini, maka kedua pemuda itu diperkenankan masuk dan menanti di ruang tamu.
Kami hendak bertemu dengan Lo-siocia yang masuk menjadi nikouw di sini," kata Lie Kiat.
"Tapi kongcu ...... dia tidak mau bertemu dengan siapa juga, bahkan ayahnya yang kemaren datang ke sini tidak dapat bertemu dengan dia."
Lie Kiat menjadi marah. "Katakan bahwa aku Lie Kiat dan Lie Bun hendak bertemu.
Kalau ia tidak mau, aku akan memaksa masuk, tak perduli apa yang akan terjadi!"
Nikouw yang menyambut tamu itu menjadi ketakutan dan buru-buru ia lari ke dalam untuk memberitahukan kepada yang berkepentingan.
Lie Kiat menanti dengan uring-uringan, sebaliknya Lie Bun duduk dengan sabar dan hati berdebar.
Setelah menanti agak lama, dari dalam terdengar tindakan kaki yang halus dan ringan.
Pintu terbuka dan tubuh seorang nikouw yang sangat ramping muncul dari pintu.
Nikouw itu memakai kerudung sutera hitam di atas kepala sampai ke dada hingga mukanya tidak tampak. Tapi biarpun demikian, tubuh yang berpakaian sederhana
sekali itu membayangkan bentuknya yang menggiurkan hingga Lie Kiat diam-diam
mengagumi. Muka yang berkerudung itu memandang kepada Lie Kiat sebentar, kemudian
berpaling dan memandang ke arah Lie Bun dan agaknya ia terkejut dan tidak
menduga bahwa Lie Bun berada pula di situ.
"Lie kongcu, kau memaksa hendak bertemu aku, ada keperluan apakah?" terdengar suara Kwei Lan yang merdu dan halus tapi terdengar ketus.
"Aku ..... kami ...... eh......." Lie Kiat berkata gagap hingga diam-diam Lie Bun menjadi geli.
"Duduklah Lie Kongcu dan katakan dengan tenang," kata Kwei Lan.
Lie Kiat lalu duduk dan Kwei Lan duduk pula.
"Twako, perlukah aku keluar sebentar?"
"Tidak usah kau keluar, Lie-inkong. Kami tidak akan bicara tentang suatu rahasia.
Kau duduklah saja." Kwei Lan dengan cepat , berkata.
"Duduklah Lie Bun, tak perlu kau keluar." Lie Kiat membenarkan. Kemudian setelah beberapa kali menelan ludah, Lie Kiat berkata.
"Lo-siocia, aku ....... aku datang mohon maaf darimu jika kiranya aku yang
menyebabkan kau mengambil keputusan nekad ini. Aku harap saja, mengingat ikatan di antara kita, kau akan memaafkan kekasaranku dulu dan jika kau mau .... aku akan merasa bahagia sekali untuk menyambung kembali ikatan yang kau putuskan itu
......." Mendengar kata-kata ini, Kwei Lan tundukan mukanya dan tidak menjawab.
Lie Bun merasa perlu untuk membantu kakaknya karena ia merasa terharu mendengar kata-kata kakaknya yang menyatakan cintanya terhadap gadis itu.
"Nona Lo, perkenankanlah aku bicara sedikit," kata Lie Bun.
Kwei Lan gerakan kepalanya dan memandang ke arah Lie Bun melalui sutera hitam tipis itu, lalu ia mengangguk.
"Nona Lo, kasihanilah kakakku yang mencintaimu dengan sepenuh hatinya.
Semenjak kau masuk kesini, dia bagaikan seorang yang kehilang ingatan. Maka aku harap kau suka menaruh belas kasihan kepadanya, tidak saja kepadanya, tapi juga kepada ayah ibuku, kepada orang tuamu sendiri. Maafkanlah dia jika kiranya ia bersalah kepadamu, nona dan ... dan ... kau terimalah permintaannya."
Terdengar sedu sedan tertahan dibalik kerudung itu. Agaknya nona ini terharu sekali mendengar ucapan Lie Bun yang diucapkan dengan suara gemetar. Setelah beberapa kali mengangkat tangannya dan mengusap mukanya, agaknya menyusut air mata,
terdengar Kwei Lan berkata.
"Alangkah halusnya budi pekertimu, Lie-inkong. Kau katakan bahwa Lie-kongcu
menyintai aku. Ah, Lie-kongcu, benarkah ini?"
Ditanya langsung seperti ini, terkejutlah Lie Kiat dan buru-buru ia berkata. "Tentu saja aku cinta padamu, nona."
"Benar-benarkah itu kongcu" Coba kau ulangi lagi kata-katamu. Benar-benarkah kau cinta padaku?" berkata Kwei Lan dengan keras.
"Haruskah aku bersumpah" Nah, inilah adikku menjadi saksi. Aku benar-benar cinta sepenuh jiwaku kepadamu, nona Kwei Lan."
Terdengar ketawa kecil mencemoohkan dari balik kerudung dan Kwei Lan lalu
berdiri mendekati Lie Kiat yang berdiri juga.
Lie-kongcu, sekali lagi aku harap kau nyatakan dengan keras, benar-benarkah kau cinta padaku" Lihatlah mukaku, lihat!"
Sambil berkata demikian, ia renggut kerudungnya hingga terlepas dan mukanya
kelihatan. "Nah, kau lihat dan katakan sekarang, betul-betulkah kau cinta padaku?"
Ketika kerudung itu sudah terbuka, Lie Bun menjerit. "Kwei Lan!" suaranya tergetar mengandung perasaan kaget, heran dan kasihan. Sedangkan Lie Kiat ketika melihat muka itu lalu terhuyung ke belakang bagaikan kena sambar petir. Ia mundur-mundur dengan mata terbelalak.
"Lie-kongcu, cepat jawab! Cintakah kau padaku" Hayo katakan, katakan dengan
keras!" Lie Kiat gunakan tangan kanannya menutupi mukanya dan ia berkata.
"Ya, Tuhan ......... apakah yang terjadi dengan mukamu" Ah ... tidak ...tidak!"
Tiba-tiba Kwei Lan tertawa keras sambil gunakan ujung lengan baju menutup
mulutnya. "Hayo ... kau katakan tentang cinta .... hayo kau bujuk rayu aku, Lie-kongcu .... ha ha ha!"
Dan Kwei Lan lalu jatuhkan diri di atas bangku dan menangis terisak-isak sambil gunakan kerudung yang direnggutnya tadi menutupi mukanya.
Lie Kiat hendak loncat keluar dari ruangan itu, tapi secepat kilat Lie Bun
menghalanginya dan memegang lengannya erat-erat. "Twako, hayo kau katakan
bahwa kau masih tetap cinta padanya! Katakan bahwa apapun yang terjadi dengan dia, kau tetap mencintainya dan suka ambil dia untuk menjadi isterimu!"
"Tidak ..... tidak ....." kata Lie Kiat dengan pucat.
"Twako! Bukankah kau seorang jantan" Bukankah kau seorang gagah" Apakah kau
akan menjilat kembali kata-kata yang telah kau keluarkan" Twako, berlakulah sebagai laki-laki!"
"Tidak, Lie Bun! Tidak mungkin aku mengawini seorang cacad mukanya seperti ini.
Tidak!" Dan pada saat itu tangan Lie Bun sudah jatuh di mukanya hingga Lie Kiat terhuyung-huyung ke belakang dengan muka berdarah.
"Hayo, kau minta maaf padanya dan menyatakan cintamu. Kalau tidak, demi Tuhan kubunuh kau, twako!"
"Tidak, tidak ..... Lie Bun. Kau gila!"
"Kalau begitu, kau betul-betul akan mati di tanganku!" kata Lie Bun sambil bertindak maju dengan wajah mengancam.
Lie Kiat melihat wajah adiknya ini, tiba-tiba menjadi nekad karena takut. Ia loncat menerjang dengan sepenuh tenaganya. Tapi dengan mudah saja Lie Bun
menangkapnya dan melemparkannya ke dinding hingga ia roboh sambil merintihrintih. "Twako, dulu aku telah bersumpah. Kalau kau membikin dia sengsara, kau akan
kubunuh!" Pada saat itu terdengar pekik Kwei Lan. "Lie-koko! Jangan kau menjadi pembunuh saudara sendiri!"
Dan berbareng pada saat itu, dari luar berkelebat masuk bayangan seorang pemuda dengan pedang terhunus di tangan. Ia berdiri menghadang di depan Lie Bun dengan menggertak gigi dan mata menyala.
"Lie taihiap, kalau kau hendak membunuh Lie-koko, kau harus dapat melalui
mayatku lebih dulu!"
"Nona Cui Im ...." Lie Bun berkata terharu.
Tubuhnya menjadi lemas melihat betapa nona itu demikian besar rasa cintanya
terhadap Lie Kiat hingga rela berkorban jiwa untuk membelanya.
Sementara itu, Kwei Lan telah mendekatinya dan memegang lengannya.
"Dengar Lie koko, aku .... aku tidak menderita karenanya, karena aku tidak pernah mencintainya."
Lie Bun mendengar kata-kata ini merasa bagaikan dalam mimpi.
"Apa ..... apa katamu?"
Kwei Lan lalu menarik dia duduk di atas sebuah bangku dan nona itu duduk di
depannya. Sementara itu, Cui Im yang berpakaian sebagai seorang pemuda yang semenjak tadi mengikuti Lie Kiat dan Lie Bun, kini menarik bangun pemuda kekasihnya itu dan membantunya keluar dari bio itu.
Lie Bun memandang gadis yang duduk menangis di depannya.
"Nona, betulkah kau tidak menderita karenanya?"
"Tidak, sejak dulu aku tak pernah mencintainya. Setelah kau dipukul dulu itu. Aku menjadi sangat benci padanya. Karena benci itulah maka aku menjadi nikouw di sini."
"Dan mukamu itu kenapakah, Kwei Lan?" tanya Lie Bun dengan sangat kasihan.
"Kutusuk-tusuk dengan jarum."
"Apa" Mengapa?" Lie Bun bertanya dan merasa ngeri.
"Mengapa" Ah, biar aku tidak dicintai oleh orang-orang semacam Lie-kongcu itu."
Lie Bun merasa heran. "Heran sekali, sungguh aku merasa tidak mengerti mengapa kau rusak mukamu sendiri yang cantik itu Kwei Lan."
"Lie koko, bukankah kalau begini aku dapat membuka rahasia hatinya" Aku tahu, pemuda-pemuda seperti dia itu hanya sampai di kulit saja cintanya. Rusakkanlah kulit yang dicintainya itu, maka ia akan berbalik muka! Dan bagiku, perasaan suci itu hanya di kulit, Lie koko. Apa artinya di luar indah kalau di dalamnya busuk?"
Mendengar kata-kata ini, Lie Bun berdebar karena merasa tersindir.
"Kwei Lan, semenjak dulu aku .... aku ..... ah, mukaku buruk sekali. Karena itulah dulu .... di pinggir empang itu ... aku lari. Aku lari darimu, Kwei Lan karena kau begitu cantik dan aku .... aku begini buruk. Aku menjadi takut dan aku lari pergi!"
Kwei Lan mengeluarkan sebuah kipas dari lipatan bajunya. Ia buka kipas itu dan Lie Bun menahan napas ketika ia melihat bahwa kipas itu ialah kipas yang ia lukis dulu!
Gambar wajahnya masih ada di situ, dengan muka totol hitam!
Kwei Lan lalu membalikkan kipas itu dan di situ terdapat gambar Kwei Lan, tapi Lie Bun melihat betapa wajah di gambar itupun telah ditotol-totol hitam pula.
"Kau lihat koko. Bukankah kita sekarang sudah sama?"
"Kwei Lan, kau maksudkan bahwa aku ..., kau tidak jijik melihat mukaku?"
Kwei Lan buka kerudungnya hingga tampak kedua pipinya yang hitam dan totol-totol itu, tapi sepasang matanya bening bagaikan mata burung Hong.
"Dan katakanlah, apa kau juga tidak jijik melihat mukaku yang seburuk ini?"
Lie Bun memegang kedua tangan gadis itu.
"Tidak, Kwei Lan, kau masih tetap Kwei Lan bagiku, biar mukamu berubah
bagaimana juga! Aku ... semenjak pertemuan kita dulu telah mencintaimu ...."
"Dan kau .... aku mengagumimu karena kau gagah, berbudi, setia dan berjiwa luhur.
Tiada laki-laki di dunia ini yang melebihi kau bagiku." Suara gadis yang merdu ketika mengucapkan kata-kata ini, bagi Lie Bun terdengar bagaikan nyanyian surga yang membuat ia terayunayun ke surga ke tujuh. Tiada kebahagiaan yang lebih besar
pernah dirasainya seperti pada saat ini!
"Kwei Lan, kalau begitu, aku akan memberitahukan kepada orang tuaku. Mereka
tentu akan datang melamarmu, tapi kau .... kau harus pulang dulu!"
Kwei Lan mengangguk. "Ini hari juga tentu aku pulang dan menanti-nanti berita girang darimu."
"Kwei Lan!" Lie Bun hanya dapat berkata demikian sambil pegang jari-jari tangan gadis itu erat-erat. Kemudian ia tinggalkan gadis itu dan lari pulang secepat mungkin.
Ketika tiba di rumah, ayah ibunya berkata dengan khawatir.
Lie Kiat telah berkelahi dengan orang. Ia pulang dibantu oleh seorang gadis yang gagah ...."
"Aku sudah tahu, ayah. Dan gadis gagah itu adalah seorang gadis yang betul-betul mulia hatinya dan patut menjadi isteri twako. Ayah dan ibu, demi kebahagiaan twako, izinkanlah dia mengawini gadis itu."
Ayah dan ibunya saling pandang. "Jadi gadis yang membawa pulang Lie Kiat tadi
....." "Ya, dia itulah nona Cui Im yang gagah perkasa dan yang telah menolong jiwa twako dari bahaya maut!"
"Kalau gadis yang tadi akupun setuju. Ia cukup cantik manis. Sikapnya sopan santun dan untuk membela A Kiat, ia sampai berani keluar menyamar sebagai seorang
pemuda ..." kata nyonya Lie.
"Akupun tidak keberatan," kata Lie Ti.
Lie Bun girang sekali mendengar keputusan ini.
"Dan sekarang ada kabar baik lain lagi, ayah," kata Lie Bun.
Ayah dan ibunya memandang heran.
"Ada apa lagi?"
"Aku ..... aku harap, ayah dan ibu suka melamarkan seorang gadis untukku."
Ibunya girang sekali dan memeluknya. Juga ayahnya tersenyum senang.
"Katakan lekas, siapa gadis itu" Anak siapa dan di mana rumahnya?" kata ibunya dengan cepat.
"Orang dekat saja, ibu. Bukan lain ialah Lo-siocia, puteri Lo-wangwe di Lun-kwan!"
Wajah ayah dan ibunya menjadi pucat. Bibir ibunya gemetar ketika ia bertanya.
"Lie Bun, gilakah kau" Gadis bekas tunangan saudaramu itu?"
"Benar, ibu."
"Bukankah ia sudah menjadi nikouw dan sudah memutuskan tali perjodohannya
dengan Lie Kiat?"
"Ya, tapi kini aku yang menggantikan twako, karena twako sendiri tidak mau kawin dengan dia."
"Apa?" tanya ayahnya. "Lie Kiat tidak mau kawin dengan dia?"
"Begini, ayah dan ibu. Coba tanyakan hal ini kepada twako. Kalau dia setuju aku mengawini nona Lo, maka besok pagi harap dilamarkan gadis itu untukku. Kalau
tidak dengan gadis itu, aku tidak akan mau kawin dengan siapa pun juga."
Dengan heran kedua orang tuanya melihat Lie Bun memasuki kamarnya dan mereka
berdua berlari-lari memasuki kamar Lie Kiat yang masih merintih-rintih karena pundaknya sakit terbentur tembok tadi.
"Lie Kiat! Adikmu menjadi gila!" kata ibunya begitu masuk ke kamarnya.
Lie Kiat balikkan tubuh dengan malas-malasan.
"Mengapa lagi, ibu?"
"Coba dengar! Ia minta dilamarkan bekas tunanganmu yang telah menjadi nikouw
itu! Kau keberatan tentunya, bukan?"
Untuk sesaat Lie Kiat terbelalak tak percaya. Benar-benar gila anak itu, mau
mengawini seorang gadis yang mukanya telah berubah seperti muka setan! Kemudian ia tersenyum.
"Boleh saja, ibu. Aku tidak keberatan. Memang nona itu lebih pantas menjadi isteri Lie Bun."
"Dan kau ... bagaimana kalau kami lamarkan gadis yang mengantarmu ... eh, siapa namanya tadi?"
"Cui Im," kata suaminya.
Serentak Lie Kiat loncat bangun. "Benarkah, ibu?" tanyanya dengan girang. "Siapa yang memberitahukan kepada ibu?"
"Siapa lagi kalau bukan adikmu, Lie Bun!"
Maka terharulah hati Lie Kiat. Betapapun juga, Lie Bun memang seorang adik yang benar-benar luar biasa dan setia.
"Ibu, kawinkanlah kami berbareng, Aku dengan Cui Im dan Lie Bun dengan Losiocia!" Ayah dan ibunya sling pandang, lalu mengangguk-angguk.
Setelah mengadakan perundingan dengan Lo-wangwe, ternyata Lo-wangwe tidak
keberatan menyerahkan puterinya untuk menjadi isteri Lie Bun, apalagi ketika mereka mendengar dari Kwei Lan bahwa pemuda itu bukan lain ialah penolong mereka di
Bok-chun dulu. Ketika Lo-wangwe dan isterinya minta pendapat tentang lamaran itu, Kwei Lan hanya menundukkan muka dengan muka merah, maka mengertilah kedua
orang tuanya bahwa gadis itu telah setuju.
Karena mengawinkan kedua puteranya dengan berbareng, maka gedung keluarga Lie dihias indah sekali.
Di dalam kamar penganten, Lie Bun mendatangi Lie Kiat dan memeluk kakaknya
sambil berbisik.
"Twako, maafkanlah adikmu."
Lie Kiat balas memeluk. "Akulah yang seharusnya minta maaf, adikku."
Maka semenjak saat itu, lenyaplah ganjalan hati di antara keduanya.
Setelah penganten bertemu, di mana Cui Im dan Kwei Lan dikerudung seluruh
tubuhnya hingga tak tampak orangnya ditemukan dengan Lie Kiat dan Lie Bun."
Lie Kiat lalu memboyong pengantennya ke rumah orang tuanya, sedangkan Lie Bun atas kehendaknya sendiri dan kehendak mertuanya, tinggal di rumah mertuanya di Lun-kwan.
Malam hari itu setelah semua tamu pulang, Lie Bun memasuki kamar penganten di mana Kwei Lan duduk di atas pembaringan dengan muka masih dikerudung.
Ketika Lie Bun hendak membuka kerudung itu, Kwei Lan menahannya karena ia
merasa malu. "Kwei Lan, alangkah bahagianya perasaan hatiku memikirkan bahwa kau kini telah menjadi isteriku. Kwei Lan aku membawa semacam hadiah untukmu. Bukan barang
berharga, melainkan sebungkus obat, isteriku."
"Obat" Obat apakah, koko?"
"Obat untuk kulit mukamu. Obat ini mustajab sekali. Kwei Lan, dan setelah dipakai maka mukamu akan pulih kembali seperti sedia kala, halus dan cantik."
"Hm, kalau begitu kau tidak senang mempunyai isteri yang mukanya buruk
sepertiku?" tanya isterinya dengan suara manja.
"Hush ...... bukan begitu, Kwei Lan. Kau tahu, betapapun berubah mukamu, aku akan tetap mencintaimu. Tapi tidak senangkah kau kalau mukamu sembuh kembali"
Pakailah obat ini, Kwei Lan .....!"
"Jangan twako. Kaulah yang harus pakai obat itu!
"Mengapa aku" Apa kau malu melihat mukaku yang buruk?"
Digoda demikian, Kwei Lan mencubit lengan suaminya.
"Bukan begitu, tapi kau pakailah dulu obat itu. Kalau berhasil, mudah saja mencari lagi untukku"
Maka teringatlah Lie Bun bahwa obat itu adalah buatan seorang tabib di Nan-king. Ia tepuk-tepuk kepalanya. "Ah, mengapa aku tidak ingat hal ini" Alangkah bodohnya aku!"
Ia lalu menuturkan kepada isterinya bagaimana cara menggunakan obat itu. Dan Kwei Lan lalu berkeras menyatakan bahwa Lie Bun harus segera pakai obat itu, malam itu juga!
"Eh, eh! Mengapa kau begitu tidak sabar" Mengapa harus malam ini" Inikan malam perkawinan kita!"
"Suamiku, apakah permintaan sedikit saja dari isterimu pada malam pertama ini tidak kau turuti?" tanya Kwei Lan dengan manja sekali. Lie Bun angkat pundak dan
terpaksa mengalah. Kwei Lan dengan girang lalu masak obat itu dengan air
semangkuk sampai habis airnya. Kemudian ia suruh pelayan mengumpulkan air yang tergantung pada daun-daun bambu.
Malam itu juga ia berhasil membuat ramuan itu dan ia paksa suaminya berbaring telentang. Kemudian dengan halus dan hati-hati sekali, kedua tangannya yang halus lemas itu membedaki kulit muka Lie Bun dengan obat itu sampai tebal.
"Aduh! Gatal-gatal rasanya!" Lie Bun merintih.
Pengemis Tua Aneh Ouw Bin Hiap Kek Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hush, diamlah jangan bergerak, nanti obatnya jatuh," tegur Kwei Lan.
Demikianlah sehari semalam lamanya Lie Bun telentang dengan tak berani gerakgerakan mukanya. Ia makan dan minum dengan disuapi oleh isterinya yang tak
pernah tinggalkan dia. Lie Bun tak dapat membuka mata dan ia hanya merasa puas dengan pegangan erat isterinya yang halus. Selama itu, Kwei Lan selalu masih pakai kerudungnya.
Pada malam kedua, maka cukuplah obat itu dipakai sehari semalam. Dengan dada
berdebar-debar dan leher seakan-akan tersumbat karena menahan gelora hatinya, Kwei Lan mencuci muka Lie Bun. Ketika obat itu sudah tercuci habis dan muka itu sudah dikeringkan dengan kain, maka Kwei Lan memandang muka suaminya dan .....
ia tak tahan lagi karena girang dan terharunya. Ia tubruk suaminya dan menangis tersedu-sedu di atas dada Lie Bun!
Lie Bun heran dan bingung. Cepat ia bangun dan mengambil alat cermin untuk
melihat mukanya sendiri. Hampir saja ia berteriak karena ia melihat muka Lie Kiat di dalam cermin itu! Sungguh ia sama benar dengan Lie Kiat setelah mukanya menjadi halus dan putih!
Lie Bun peluk isterinya. "Kwei Lan, kini kau harus buka kerudungmu."
"Koko ...... Apakah kau tidak jijik melihat mukaku yang buruk" Kau kan sudah
menjadi cakap dan tampan sekarang, isterimu masih buruk menakutkan."
"Kwei Lan, jangan kau berkata begitu. Aku masih tetap Lie Bun yang kemarin, yang akan mencintaimu sepenuh jiwaku. Tak peduli kau akan berubah menjadi makhluk
seburuk-buruknya di dunia ini!"
Kwei Lan memeluk suaminya. "Kalau begitu, suamiku, aku hanyalah isterimu yang rendah dan setia .... kau ... bukalah kerudungku ini ........."
Dengan kedua tangan gemetar, Lie Bun buka kerudung yang menutup muka dan
kepala isterinya. Ketika kerudung itu disentakkan ke atas hingga muka isterinya tampak, Lie Bun loncat ke belakang seperti tiba-tiba diserang senjata tajam. Ia berdiri kesima dan memandang wajah isterinya dengan mata terbelalak.
Kwei Lan memandangnya dengan bibir tersenyum semanis-manisnya dan mata
cemerlang menatap semesra-mesranya. Dan wajah itu ....... demikian cantik jelita, lebih cantik malah dari pada dulu ....... kulit pipinya begitu putih kemerah-merahan dan halus .... rambut yang sebagian menutup jidatnya itu ..... ah! Lie Bun kucek-kucek matanya, lalu mencubit lengannya untuk menyatakan bahwa ia tidak sedang mimpi.
"Kwei Lan .......!"
"Koko ..........!"
Mereka saling rangkul dan masing-masing mengeluarkan air mata karena terharu dan girang.
"Kwei Lan .... bagaimanakah ini ....." Sungguh aku tidak mengerti ......."
"Aku hanya pura-pura, koko. Aku hanya memakai kedok pemberian ketua kelenteng Kwan-im-bio. Aku sengaja pakai itu untuk membuat kakakmu mundur teratur ..... dan sementara itu ...... aku selalu .... menanti-nantimu ......"
"Kwei Lan, kau sungguh mulia ......."
Dan mereka berdua hidup bahagia sampai hayat meninggalkan badan!
TAMAT Ilmu Ulat Sutera 12 Pendekar Kembar Karya Gan K L Tiga Mutiara Mustika 4
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama