Buddha Pedang Dan Penyamun Terbang Naga Bumi Ii Karya Seno Gumira Bagian 17
tersebut. Kami bertiga pun membakar hio dan aku ikut bersoja dalam
upacara angkat saudara itu. Konon, hubungan seperti ini
sering menjadi jauh lebih dekat dari hubungan saudara
sedarah. Tidaklah dapat kukatakan betapa terharukannya
diriku dengan peristiwa ini.
Setelah memberitahukan tanda-tanda rahasia menuju
Kampung Jembatan Gantung kepadaku, rombongan itu pun
segera berangkat. Serigala Hitam memimpin di depan dan
Serigala Merah mengawal di belakang. Kupandang mereka
satu persatu memasuki celah. Tanpa terasa air mataku
mengalir membasahi pipi.
Teringat sebuah pepatah tua Negeri Atap Langit:
ikan-ikan, meskipun jauh di dalam air, bisa ditombak;
burung-burung, meskipun tinggi di udara, bisa dipanah;
tetapi rahasia pikiran manusia tak bisa dijangkau
langit bisa diukur, bumi bisa diteliti
hati manusia tidak untuk diketahui
(Oo-dwkz-oO) KECERAHAN pagi segera pergi setelah mereka menghilang.
Lelaki tua yang dipaksa menjadi bisu dan gagu karena
lidahnya dipotong itu sudah siap di atas kuda cadangan yang
dipinjamkan Serigala Hitam. Ia bahkan boleh membawanya
jika ingin meneruskan perjalanan. Tanpa banyak kata aku pun
menaiki kudaku yang kukira sudah puas memakan rerumputan
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
di sekitar tempat ini. Di atas punggung kuda aku juga
mengunyah daging asap dingin yang menjadi bekalku. Kulihat
lelaki tua itu pun melakukan hal yang sama.
Kabut datang kembali seperti kepastian suatu janji.
Kubiarkan kudaku melangkah sendiri di jalan sempit di tepi
tebing yang berkelak-kelok itu. Jalan setapak yang menghilang
di balik semak dan kabut menuju Kampung Jembatan Gantung
itu sebetulnya terletak tidak terlalu jauh. Dengan ukuran
Negeri Atap Langit jauhnya tidak sampai limaratus li, tetapi
aku tidak akan mungkin menemukan jalan setapak ke sana
tanpa diberitahu tanda-tanda rahasianya. Meskipun gagasan
tentang pemberontakan sudah jauh dari keturunan para
pemberontak yang bermukim di situ, naluri untuk tetap hidup
tersembunyi dan mengamankan diri tetap dipelihara.
Terutama semenjak Pemberontakan An Lushan, pemerintahan Wangsa Tang semakin sering mengirimkan
pasukan penjaga perbatasan untuk naik dan menyisir wilayah
tak bertuan seperti lautan kelabu gunung batu ini, karena
kekawatiran tersembunyi jauh di lubuk hati, bahwa
pemberontakan meruyak dari balik persembunyian.
Maka dari tahun ke tahun pun sebetulnya pertempuran
masih berlangsung diam-diam. Memang tidak terdapat dua
pasukan yang berhadapan di tanah lapang, tetapi regu kecil
pengawal rahasia istana yang tangguh tidak jarang dikirim
dengan tugas membasmi para penyamun, tetapi tugas
sesungguhnya adalah menemukan dan menghancurkan
berbagai pemukiman tersembunyi itu.
Dalam tugas terselubung mencari penyamun, tidak jarang
mereka memang berhasil menemukan sarang penyamun dan
menghancurkannya. Asap mengepul dari balik bukit dan hutan
jika perkampungan penyamun itu mereka bakar sampai bumi
hangus seperti arang menyala. Namun dalam tugas
sebenarnya mencari kampung keturunan para pemberontak,
lebih sering regu pengawal rahasia yang dikirim ini menjadi
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
hilang dan tidak pernah kembali. Gerombolan penyamun yang
menghimpun penjahat kambuhan cenderung lebih mudah
ditemukan daripada penyamun yang berasal dari keturunan
pemberontak, karena pemukiman tersembunyi mereka
sesungguhnyalah memang diselaputi dengan kerahasiaan
yang ketat sekali.
Dengan semangat kerahasiaan itu pula maka antara
pemukiman yang satu dengan yang lain letaknya dijauhkan,
karena dahulu kala agaknya dibayangkan seandainya sebuah
pemukiman ditemukan dan dihancurkan, maka itu tidak akan
merambat ke pemukiman lain. Namun ternyata bukan hanya
semangat kerahasiaan itu dahulu yang membuat pemukiman
para pemberontak gagal ini terpencar-pencar, melainkan
karena pemukiman yang sangat tersembunyi dan bisa
dirahasiakan dalam keadaan alam lautan kelabu gunung batu
ini memang hanya mampu menampung mereka dalam jumlah
terbatas. Baiklah kuceritakan saja keadaan Kampung Jembatan
Gantung, agar gambarannya bisa menjadi lebih jelas. Seperti
telah disebutkan, aku harus menemukan tanda-tandanya lebih
dahulu, bahwa jalan setapak berlumut di balik semak dan
kabut mengambang yang akan kulalui itu memang jalan
menuju Kampung Jembatan Gantung. Sekali salah jalan,
bukan saja Kampung Jembatan Gantung tidak ditemukan, dan
sampai ke pemukiman lain, tetapi juga apabila sampai di
pemukiman lain itu belum tentu bisa kembali, karena setiap
jalan ke setiap pemukiman keturunan kaum pemberontak
memiliki kerahasiaannya masing-masing. Bahkan sesama
keturunan pemberontak, jika memasuki dan berkunjung ke
pemukiman lain, memerlukan pemandu dari pemukiman
tersebut, karena pembunuhan gelap yang dilancarkan jaringan
rahasia istana bukan takmungkin mencapai pemukiman
semacam itu. Sebenarnya bahkan pembunuhan gelap
semacam itu memang pernah terjadi.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Setelah menyusuri jalan sempit berkelak-kelok sepanjang
tebing beberapa saat lamanya, sambil menikmati burung
berkicau, terlihatlah olehku tanda yang dimaksud Serigala
Hitam sebagai penanda masuk ke arah Kampung Jembatan
Gantung. Adapun tanda itu adalah sebuah batu di tepi jalan
yang berwarna merah bata. Memang di sepanjang lautan
kelabu gunung batu, baru sekali ini kulihat ada batu berwarna
lain selain kelabu. Namun batu tersebut bagaikan secara
alamiah saja berada di situ, dan tampaknya memang begitu,
sehingga seorang mata-mata yang mencari tanda rahasia,
kiranya tidak akan menganggapnya sebagai tanda yang telah
dibebani arti. Sebelum keluar dari jalan sempit untuk mengikuti jalan
setapak, aku berhenti sejenak menunggu lelaki tua bisu
berjubah ungu itu. Aku merasa semenjak terjadinya peristiwa
tadi pagi, ketika pedagang dari kota itu menunjuk-nunjuknya
dengan pandangan benci, semangatnya untuk hidup bagaikan
telah hilang melayang. Usianya kukira sudah 70 tahun, dan
usaha untuk melarikan diri sampai kemari dari Changian tentu
menunjukkan semangat mempertahankan hidup yang besar.
Rahasia yang dipegangnya telah membuat lidahnya dipotong,
selain supaya dirinya tidak membuka rahasia kepada siapapun,
juga ia tidak dibunuh karena rahasia yang belum
diungkapkannya tersebut memang masih sangat dibutuhkan
pula. Bahwa ia tidak bunuh diri, artinya karena masih
menghargai kehidupan. Namun kini kulihat wajahnya
mengungkapkan keadaan yang rawan.
"Bapak, bukankah Bapak memang masih menunda
perjalanan, dan ingin beristirahat di Kampung Jembatan
Gantung?" Ia mengangguk saja tanpa menatapku. Hatiku seperti
teriris. Lidah dipotong bukanlah nasib yang baik. Rahasia
macam apakah kiranya yang begitu penting, sehingga
membuatnya bernasib malang seperti ini"
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
"BAPAK, apa pun persoalan Bapak, sahaya mohon
janganlah berputus asa. Bapak saksikan sendiri, kami tidak
ingin mengetahui rahasia yang Bapak pegang, dan kami peduli
akan keselamatan Bapak."
Mendengar kalimatku, sekilas kulihat ia tersenyum. Hanya
sekilas, dan hanya secercah, itu pun bukan senyum yang
menunjukkan ada sesuatu yang disukainya dari kalimatku.
Seperti senyum kepedihan.
Namun aku tidak bisa berpikir lebih lama lagi tentang
makna senyumannya itu. Aku ingin segera tiba di Kampung
Jembatan Gantung, menyerahkan lelaki tua itu kepada kepala
kampung sesuai dengan pesan Serigala Hitam. Lantas
melanjutkan perjalanan sesuai dengan tujuanku semula, yakni
mengejar Harimau Perang.
Demikianlah kami menghilang ke balik semak dan kabut
menyusuri jalan setapak menuju Kampung Jembatan Gantung.
Sekarang aku melihat sendiri, jalan setapak ini bagaikan
menempel di dinding tebing, tepat di bawah jalan sempit di
atasnya, karena jalan yang di atasnya itu di bawahnya
berongga. Hanya karena merupakan jalan batu, maka rongga
itu tidak membuatnya longsor, bahkan seperti memayungi
jalan setapak di bawahnya. Pantaslah ketika berhadapan
dengan para penyamun yang menyerang silih berganti dari
berbagai penjuru, ketika aku baru mulai memasuki wilayah ini,
mereka bagaikan muncul begitu saja dari balik kabut tanpa
bisa diduga, karena ternyata ada jalan setapak tepat di bawah
jalan sempit yang kupijak. Jadi jalan setapak itu tentu saja
menghilang di balik semak dan kabut bagi siapa pun yang
hanya melihatnya dari jalan sempit di atasnya, karena
memang berbelok masuk ke bawah jalan sempit itu sendiri.
Tentu jalan setapak ini tidak selamanya berada di bawah
jalan sempit di tepi jurang tersebut, karena itu hanyalah jalan
keluar dan masuk ke jalan sempit, yang untuk selanjutnya
berbelok menuju permukikan. Jalan setapak menuju
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
permukikan, seperti yang sedang kutempuh sekarang, tidaklah
lurus atau tanpa cabang sampai ke tujuan, melainkan juga
berbelak-belok dan naik turun, serta terutama dengan
berbagai percabangan jalan penuh jebakan. Adapun yang
dimaksud dengan jebakan, sekali seseorang memasuki cabang
yang keliru, maka dia tidak akan pernah bisa lagi kembali ke
jalan yang seharusnya ditempuh.
Artinya memang hanya penduduk permukikan itulah yang
bisa sampai ke sana, atau siapapun yang telah diberitahu
tanda-tanda penunjuk jalannya, seperti diriku sendiri sekarang
ini, maupun penduduk permukikan tersembunyi lain yang
selama ini saling berhubungan dengan mereka. Betapapun,
para penduduk permukikan tersembunyi itu merupakan
keturunan dari nenekmoyang yang sama, yakni para
pemberontak terhadap pemerintahan wangsa yang berkuasa.
Apakah terhadap Wangsa Tang, sejak masa Maharaja Li Y uan
yang pertama kali berkuasa pada 618; terhadap pemerintahan
wangsa sebelumnya, yakni Wangsa Sui, dengan kekuasaan
terakhir pada Maharaja Yangyu yang hanya berkuasa setahun
sejak 617; dari wangsa-wangsa semenjak awal tercatatnya
pemerintahan di Negeri Atap Langit, yakni Wangsa Han sekitar
seribu tahun lalu, maupun Maharaja Li Shih atau Dezong
sekarang ini yang berkuasa sejak tahun 779. Demikianlah para
pelarian, orang-orang yang terbuang, tersingkirkan, dan
terpinggirkan, sedikit demi sedikit dari wangsa ke wangsa
terus mengalir untuk diserap dan disembunyikan dalam
keluasan dan kesunyian lautan kelabu gunung batu.
Dengan segenap tanda-tanda yang diberitahukan kepadaku, perjalanan tidak menjadi lebih mudah. Jalan
setapak berbatu-batu kadang menjadi jalan setapak yang
sangat licin, karena tanah yang sangat keras juga menjadi
terlalu halus dan penuh dengan lumut jika jarang dilewati.
Jalan setapak yang naik turun dan berkelak-kelok menembus
semak, kabut, dan juga terowongan sempit di bawah gunung
batu yang gelap dan di dasarnya terdapat air mengalir, dan air
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
juga menetes-netes dari atapnya. Bahkan di dalam
terowongan ini pun terdapat percabangan terowongan yang
juga menyesatkan jika keliru menempuh.
Pada percabangan inilah, di dalam maupun di luar
terowongan, kadang aku harus berhenti cukup lama, karena
pada jalan masuknya sengaja dipasang tanda-tanda juga,
tetapi sebagai jebakan yang menyesatkan. Artinya aku harus
mengenali pula, apakah tanda-tanda penunjuk jalan yang
kulihat itu memang merupakan tanda-tanda yang mengarah
ke permukikan, ataukah mengarahkan seseorang ke mana pun
kecuali menuju permukikan.
Sebegitu jauh kulihat lelaki tua itu selalu tertunduk di atas
kudanya, tenggelam dalam pikirannya sendiri, dan tampaknya
juga tidak terlalu menyadari apakah jalan yang sedang
ditempuh ini penuh dengan jebakan menyesatkan atau tidak.
Hanya kudanya saja mengikuti, bagaikan membawa barang
mati, yang bagiku menimbulkan suatu kekhawatiran tertentu.
NAMUN aku merasa lega, ketika akhirnya sampai juga di
jembatan gantung yang menjadi ciri permukikan tersebut,
sehingga disebut sebagai Kampung Jembatan Gantung. Aku
sangat terpesona memandang jembatan gantung yang sangat
panjang melintang di atas jurang itu, begitu panjang sehingga
dari tempatku turun dari kuda sekarang ujungnya tampak jauh
dan kecil sekali. Setelah ujung itulah terlihat Kampung
Jembatan Gantung, yang sebentar kelihatan dan sebentar
tidak, karena kabut yang datang dan pergi memang membuat
pemandangan timbul tenggelam.
Dari jauh begini, memang hanya tampak betapa kampung
itu sebetulnya adalah rumah-rumah yang menempel pada
dinding sebuah lereng. Dari sini, memang hanya melalui
jembatan gantung inilah cara mencapai permukikan tersebut.
(Oo-dwkz-oO) TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Episode 178: [Di Kampung Jembatan Gantung]
JIKA angin bertiup, menyingkirkan maupun membawa
kabut, jembatan gantung itu bergoyang-goyang. Kami sudah
berada di tengah jembatan ketika angin bertiup seperti
nyanyian, dan membuat jembatan itu seperti menjadi miring,
sehingga kuda kami berhenti. Saat masih berjalan aku tidak
Buddha Pedang Dan Penyamun Terbang Naga Bumi Ii Karya Seno Gumira di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sempat memperhatikan keadaan sekitar, karena betapapun
terlatihnya kuda yang kutunggangi, bukannya tidak mungkin
akan bisa terperosok juga. Tali temali dari akar-akaran yang
seperti menjadi pagar di kiri dan kanan jalan memang tampak
kuat, tetapi batang-batang pohon yang dirapatkan itu ada
kalanya sangat licin. Hanya dua batang pohon yang dirapatkan
sebagai tempat berpijak, asal cukup bagi kuda untuk
melangkah, karena jika lebih banyak lagi akan menjadi terlalu
berat bagi tempat bergantungnya, yakni rentangan rotan
sambung menyambung sahaja, yang meskipun terbukti luar
biasa liat, tidaklah berarti dapat menahan segala beban di luar
perhitungan. Ketika berhenti karena jembatan bergoyang mengerikan
seperti ini, aku lebih mengerti bagaimana pemukiman ini
menjadi tersembunyi. Berada di tengah jembatan ini saja
bagaikan me layang di tengah langit. Dua sisi tebing yang
dihubungkannya sangatlah jauh, bahkan lebih sering tidak
terlihat karena tertutup kabut, sementara gunung-gunung
batu lain yang tampak di kanan dan kiri jembatan pun hanya
tampak samar-samar jauh sekali. Padahal betapapun
pemukiman tersembunyi ini masih berada di wilayah lautan
kelabu gunung batu juga. Keadaan alam jelas sangat
dimanfaatkan oleh para pelarian
ini dahulu, untuk
mendapatkan pemukiman yang meskipun tersembunyi tetapi
sebetulnya tidak terlalu jauh dari jalan sempit di tepi lereng,
yang merupakan jalan utama sepanjang lautan kelabu gunung
batu. TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Setelah angin berhenti dan jembatan gantung kembali lurus
seperti semula, kudaku pun melangkah lagi. Menengok ke
belakang, kulihat lelaki tua berjubah ungu dan mengenakan fu
tou hitam dari bahan sutera itu masih tertunduk di atas
kudanya. "Bapak, hati-hatilah," kataku, "batang-batang pohon ini
sangat licin."
Ia mengeluarkan suara dengan sisa lidahnya, yang kukira
sekadar mengatakan, "Ya."
Perlahan-lahan, semakin mendekati tujuan, semakin tipis
kabutnya, dan semakin jelas betapa pemukiman itu bukanlah
sekadar rumah yang menempel di dinding lereng, melainkan
sebuah pemukiman yang selain rumah panjang menempel dan
bergantungan pada lereng, terdapat jalan, altar doa, rumah
agak lebih besar yang mungkin dijadikan balai pertemuan,
bahkan juga kedai, dan juga semacam gardu penjaga yang
berada paling dekat dengan akhir jembatan gantung ini.
Dari tempatku mendekat perlahan-lahan, terlihat suasana
sebuah pemukiman yang hidup, orang-orang di dalam rumah,
orang-orang berjalan di luar rumah, masih pada jalan setapak
yang bahkan kadang-kadang terputus karena mengecil dan
habis menjadi dinding lereng, untuk disambung susunan
papan yang cukup halus potongannya, yang bahkan cukup
lebar tempat kanak-kanak berlari. Namun tentu saja bagi
kanak-kanak yang suka berlari, pemukiman ini adalah tempat
yang berbahaya, karena sekali terpeleset dan terlempar dari
jalan setapak maupun jalan susunan papan, yang bergantung
dengan tali rotan pada lereng yang menjorok seperti atap,
tentu langsung me layang ke jurang. Pemukiman ini seperti
sarang burung walet menempel di tebing-tebing curam, yang
bagai tak mungkin dicapai manusia, dan para penghuninya
harus terbang ke sana ke mari, meski sempat kuperhatikan
bahwa betapapun jalan setapak dan jalan susunan papan itu
memang dipagari tali akar-akaran.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
AKU telah semakin dekat, tetapi pandanganku segera
terhalang oleh seorang pengawal yang muncul dari dalam
gardu. Ia seorang gadis yang tampaknya masih muda sekali,
tetapi tindak tanduknya sudah terlihat matang dan berhatihati. Baik yi, busana atasan, dan shang, busana bawahan,
yang dikenakannya itu serba putih, begitu pula ikat pinggang
yang mengikatnya erat, sehingga menjadi ringkas, sesuai
dengan kesiapan orang-orang rimba hijau dan sungai telaga
semenjak masa Wangsa Han, bahkan alas kakinya yang
disebut sepatu pun berwarna putih bersih, bagaikan tiada
setitik debu sama sekali. Sebilah pedang jian tersoren di
punggungnya, kulihat gagangnya juga putih, yang segera
memberi kesan kepadaku betapa ia sangat bersungguhsungguh dengan ilmu silat yang dipelajarinya.
Jembatan gantung yang sangat panjang ini sesungguhnyalah ternyata melengkung, sehingga siapapun
yang datang dari seberang dan hampir sampai akan terpaksa
harus setengah mendaki. Setelah kuperhatikan sekilas
bagaimana jembatan ini tergantung, tahulah aku bahwa apa
pun yang terhubungkan dengan permukiman selalu dibuat
dengan mempertimbangkan
kemungkinan diserang. Kedudukan mendaki ini m isalnya, jika digunakan sebagai jalan
untuk menyerang adalah kedudukan yang lemah. Adapun jika
terpaksa, kulihat betapa dengan sekali tetakan pedang, maka
jembatan gantung akan secara sangat teratur simpulsimpulnya terurai, menjadi tali-tali lepas yang tidak saling
berkaitan, merontokkan segalanya yang sedang berada di atas
jembatan. Dapat kubayangkan seribu orang pasukan pilihan
yang sedang melesat berlari dengan ringan di atasnya,
mendadak saja akan kehilangan pijakan dan melayang jatuh
ke dalam jurang yang bagaikan tiada berdasar.
Gadis pengawal itu mengamatiku dengan tajam. Tentu aku
tampak sebagai orang asing, tetapi ia mengajukan pertanyaan
dalam bahasa Negeri Atap Langit.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
"Li Bai atau Du Fu?"
Aku tersenyum dan teringat petunjuk Serigala Hitam.
"Meski Li Ba i periang dan Du Fu pemurung, daku lebih suka
Du Fu," kataku.
Ia pun melanjutkan, "Kutinggalkan uang sesen dalam
saku." Aku meneruskan, "Kantungku kempis takut malu."
Ia menatapku dengan geli, lantas tersenyum lebar.
Menatap senyuman secerah itu, rasanya ketegangan karena
menyeberangi jembatan gantung serbalicin ini lenyap
menguap sama sekali.
"Ucapan dikau kacau balau, tetapi jawabannya benar
sekali," katanya, "teruslah naik kemari."
Menurut Serigala Hitam dan Serigala Merah, jawaban yang
salah hanya berarti kematian, karena jika seseorang berhasil
menghindari segala cabang penuh jebakan, tetapi gagal
menjawab kalimat sandi, akan dianggap penyusup yang harus
dibunuh. Meskipun pertanyaannya Li Bai atau Du Fu, dua penyair
terkenal pada masa keemasan Wangsa Tang, jawaban yang
benar hanyalah Du Fu. Jadi pertanyaan pertama itu sangat
menjebak. Adapun pertanyaan kedua tidak terlalu penting,
karena puisi-puisi Du Fu dikuasai banyak orang di luar kepala,
seperti juga puisi Kantungku Kempes ini.
kutinggalkan uang sesen dalam saku
kantungku kempes takut malu
Untuk menjaga bahwa seorang penyusup tidak sekadar
beruntung ketika menjawab pertanyaan, "Li Bai atau Du Fu?",
maka jawabannya pun menjadi seperti yang kuucapkan tadi.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
"Jangan salah, meski cuma satu kata," ujar Serigala Hitam.
Tidaklah terbayang olehku sebelumnya, betapa bisa begitu
dekatnya seseorang dengan kematian.
"Daku membawa pesan Serigala Hitam," kataku setelah tiba
di atas. Untuk mencapai permukiman aku masih harus mendaki,
tetapi aku turun dari kudaku dan gadis pengawal berbusana
serba putih itu berjalan di sampingku.
"Tidak sembarang orang dipercaya oleh Serigala Hitam
maupun Serigala Merah," katanya, "katakanlah apa yang
menjadi pesan."
Kuingat apa yang disampaikan Serigala Hitam, bahwa aku
dapat mempercayai siapapun yang bertugas di ujung
jembatan gantung, maka kusampaikan dengan singkat apa
yang telah terjadi, sehingga aku harus melewati Kampung
Jembatan Gantung bersama seorang lelaki tua berjubah ungu
yang gagu karena lidahnya dipotong itu
GADIS pengawal itu mengangguk-angguk seperti orang
dewasa. Mungkinkah naluri yang dipelihara, agar selalu
waspada terhadap ancaman bahaya, membuat seorang gadis
pengawal yang masih muda menjadi terlalu cepat matang
seperti itu"
"Baiklah kami akan mengurusnya, bahkan memberinya
seorang pengawal tangguh agar ia dapat tiba di tempat
tujuannya dengan selamat," katanya, "tampaknya bukan
sembarang rahasia yang dipegangnya sehingga ia masih tetap
hidup." Sambil terus berbicara kami menelusuri jalan yang silih
berganti dengan jalan susunan papan tergantung dan
berpagar tali itu. Dari jalan setapak, setiap kali terdapat rumah
di atasnya yang menempel ke dinding, terdapatlah menuju ke
atas yang terbuat dari batang pohon. Di batang pohon itu
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
anak tangga dibentuk dengan bacokan golok, sekadar cukup
bagi telapak kaki, tepatnya sepertiga telapak kaki, untuk
menapak. Kulihat kanak-kanak maupun orang tua yang sudah
bungkuk, seperti hanya perlu menyentuhkan telapak kakinya
sebentar ketika berlari menaiki maupun menuruninya. Orangorang memperhatikan aku, tetapi tidak lantas meninggalkan
apa pun yang sedang mereka kerjakan.
Di permukiman yang rumah-rumahnya menempel di
dinding jurang serbacuram seperti sarang burung walet itu,
kehidupan berlangsung seperti biasa. Kami berpapasan
dengan orang-orang pulang berburu misalnya, mengangkut
rusa yang terikat di pikulan dan diangkut dua orang. Terlihat
asap dari dapur, tercium bau masakan, terdengar perempuan
bernyanyi sambil menenun. Orang-orang tua tampak
bercengkerama sambil minum teh, ada yang menjalankan alat
dari bambu yang kelak kuketahui bernama pompa air, ada
yang berlatih tai chi sendirian di atas batu, dan seorang kakek
tua tampak dikerumuni anak-anak. Banyak anjing berbulu
tebal, yang tampaknya anjing pemburu, berkeliaran maupun
diam memandangku dari depan pintu.
Para pemuda, selain duduk saling berhadapan menghadapi
permainan perang dengan buah-buah batu di atas papan, ada
juga yang duduk meluruskan kaki, bersandar pada tiang
rumah sambil membaca. Kaum perempuan kesanku sangat
gagah, langkahnya serba mantap dan tubuhnya tegap. Jika
bertemu pandang mereka tidak menundukkan kepala,
melainkan menatap kembali dengan tegas. Juga busana
mereka ringkas, bahkan busana lelaki sejak masa Han yang
disebut pao mereka pakai juga. Busana seperti pipa yang
disebut-sebut sebagai ce lana atau ku seperti menjadi seragam
utama di Kampung Jembatan Gantung, tampaknya tiada lebih
karena suasana siap tempur.
Di dinding setiap rumah jika tidak kulihat tombak, tentu
terlihat pedang jian terpasang bagai menunjuk kesiagaan
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
penduduknya. Sementara golok dao dan kelewang dadao,
meski terpasang di setiap pinggang dengan alasan untuk
menebang kayu, kuyakini dapat mereka mainkan dengan cara
ilmu silat pula. Mereka semua memandangku hanya sekilas,
tetapi tak dapat mereka sembunyikan pandangan mata yang
bertanya-tanya itu, karena mungkin untuk pertama kalinya
melihat seseorang berkulit sawo matang seperti diriku.
Kaum perempuan tidak ada yang tidak bekerja. Tidak
seperti kaum lelakinya, yang sepertinya hanya sibuk bicara di
antara mereka sendiri sahaja.
"Jin-siyan!"
Terdengar suara memanggil gadis berbusana serba putih
itu, yang segera berkelebat me layang secepat walet, tetapi
begitu mengudara hanya membentangkan tangan untuk turun
perlahan-lahan seperti jatuhnya kapas.
Adapun yang memanggilnya adalah seorang tua berjanggut
putih, yang ketika melihat gadis pengawal tersebut turun
perlahan-lahan seperti itu segera menggerakkan tangannya.
Dalam sekejap terdengar desis jarum-jarum beracun yang
melesat ke arahnya, yang sudah pasti akan menancap di
tubuhnya jika ia tidak segera mencabut jian di punggungnya
itu dan memutarnya dengan sebat untuk merontokkan jarumjarum beracun tersebut.
Gadis yang dipangggil sebagai Jin-siyan itu menjura begitu
mendarat. Pedang jian yang sempat kulihat berkilat
menyilaukan itu sudah masuk ke dalam sarungnya.
"Maafkan sahaya Guru, karena datang terlambat untuk
berlatih. Sahaya sudah akan kemari ketika mereka datang."
Orang tua itu mengelus-elus janggut putihnya tanpa
menoleh kepada kami. Dari caranya melempar jarum, yang
hanya seperti mengibas tidak sengaja, jelas ilmu silatnya
sudah sangat tinggi. Tampaknya ia orang penting dan
dihormati di pemukiman ini, sehingga mungkin merasa
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
sebaiknya menganggap kami tidak ada sebelum diperkenalkan
kepadanya terlebih dahulu.
DENGAN singkat Jin-siyan menjelaskan semuanya, barulah
lelaki berjanggut putih yang dipanggil Guru itu sudi
memandang kami ke bawah. Kuperhatikan busananya juga
serba putih, tetapi karena agaknya sudah lama, maka tidak
tampak terlalu putih lagi.
''Tanpa Nama"''
Jelas pertanyaan singkat itu ditujukan kepadaku.
''Ya Tuan,'' kataku, ''sahaya tidak memiliki nama...''
Ia mengangguk-angguk.
Buddha Pedang Dan Penyamun Terbang Naga Bumi Ii Karya Seno Gumira di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
''Tentu seseorang tidak bisa dipaksa memiliki nama, tetapi
lantas dikau akan dipanggil"''
''Karena sahaya tidak memiliki nama, maka sahaya
dipanggil sebagai orang yang tidak punya nama, Tuan.''
Ia tersenyum. ''Tanpa Nama. Tidakkah ini suatu nama"''
Aku pun menjura kepadanya.
''Dengan segala hormat, Tuan, itu hanya cara untuk
memanggil sahaya saja.''
Ia mengangguk-angguk lagi, masih mengelus-elus janggut
putihnya. ''Wu ming,'' katanya lagi, ''tahukah dikau artinya wu ming"''
Aku menggeleng.
''Maafkan sahaya Tuan, penguasaan kata-kata sahaya
sebagai orang asing masih sangat terbatas, tapi sahaya
sungguh ingin mengetahui artinya.''
''Jika dikau membaca Daodejing, akan dikau temui kata wu
ming, yang berarti tidak mempunyai nama, takbernama, tanpa
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
pembeda apa pun yang membuat suatu nama bisa diberikan.
Kata ini sering digunakan untuk menunjukkan Jalan dan
akibatnya. Maka juga dianggap sebagai tersendiri, karena
suatu nama bisa diberikan kepada apapun yang tidak
tersendiri. Adapun karena Jalan adalah tersendiri, tiada nama
yang diketahui dapat diterapkan maupun menjelaskannya.''
Ia berbicara tentang nama dan tak nama, tetapi
perhatianku dalam tukar menukar kata ini adalah kata Jalan,
yang disebutnya dengan kata dao. Di Kuil Pengabdian Sejati
untuk beberapa waktu lamanya telah kuperhatikan makna
kata dao ini. Aku pun menjura, dan berkata, ''Kepada pengembara
bodoh yang datang dari Javadvipa ini Tuan Guru, mohon
sudilah kiranya memberikan sedikit pengetahuan tentang
Jalan.'' Ia pun tertawa terbahak-bahak.
''Huahahahahaha! Cepat sekali ya, pengembara" Cepat
sekali!'' Bahkan Jin-siyan ikut pula tertawa-tawa menutupi
mulutnya. ''Jin-siyan! Kamu sajalah nanti memberi tahu Yang Tidak
Bernama ini penjelasan tentang Jalan ya" Supaya setelah itu
semakin bahagialah ia berjalan-jalan! Huahahahahaha!''
Sepintas kulirik lelaki tua berjubah ungu itu. Percakapan
begini meriah, tetapi ia hanya tertunduk saja
Jin-siyan telah melayang turun. Sambil meneruskan
langkah ke balai pertemuan tempat kami bisa menginap, Jinsiyan bicara tentang dao. Ia keluarkan pedang jian dan
sembari melompat pedangnya menuliskan suatu aksara di
udara. ''Jangan lupa aksara ini,'' katanya, ''begitulah caranya dao
ditulis, yang dapat diuraikan menjadi tiga bagian, yakni kepala
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
manusia, jalanan, dan kaki manusia. Itulah lambang bahwa
seorang pemimpin dan pengikutnya bersama-sama menempuh sebuah jalan.''
Aku ingat ketika mempelajari aksara itu di Kuil Pengabdian
Sejati. Cara perangkaian rambut di kepala pada unsur kedua,
menunjukkan itu kepala seorang pemimpin, sedangkan unsur
ketiga, lambang kaki manusia, maksudnya menunjukkan
seorang pengikut. Setahuku, sebelum pemikiran Kong Fuzi
dikenal di Negeri Atap Langit, dao merupakan lambang citacita manusia. Artinya kepercayaan diberikan kepada pemimpin
yang bijak, karena dao adalah jalan menuju kebajikan.
Dalam Kitab Shujing disebutkan:
langit tidak dapat dipercaya
Dao semata perluasan
kebajikan Raja Agung
Ketika dao dimaksudkan sebagai Jalan, maka itu berarti
cara melakukan sesuatu dalam tiga pengertian, apakah itu
tata cara alam atau tata cara semesta yang mengungkap he
atau keselarasan; apakah itu tata cara kehidupan manusia
yang serasi dengan susunan alam, yang menempatkan
manusia sebagai bagian dari alam; ataukah tata cara yang
diikuti manusia karena keputusannya sendiri, bahwa meskipun
dao berada dalam diri, haruslah tetap dicari dan dikejar,
karena memang tidak semua orang akan menemukan dan
menemukan dao, tanpa berjuang untuk mendapatkannya
sendiri. Setiap aliran filsafat di Negeri Atap Langit
memanfaatkan kata dao untuk menjelaskan tatacara
pemikirannya. Sambil berjalan mendaki, Jin-siyan meneruskan.
''Pemikiran Kong Fuzi maupun Kaum Dao, sebagai dua
aliran filsafat besar, juga memanfaatkan kekuatan kata dao.
Tata cara pemikiran Kong Fuzi menggunakan istilah dao dalam
kerangka pikiran tentang kebaikan dan perangkat aturan
tentang perilaku, bahwa cara hidup manusia harus sesuai
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
dengan tatacara alam. Tapi jika dalam pemikiran Kong Fuzi
penekanannya kepada manusia dalam hubungannya dengan
manusia lain, Kaum Dao menekankannya kepada manusia
dalam hubungannya dengan alam itu sendiri. Nah, ketika
Mahayana masuk ke sini tujuhratusan tahun lalu, katanya dao
adalah jalan menuju Nirvana,'' ujarnya sambil tersenyum
menatapku. Aku tidak tahu harus berbuat apa dengan senyum yang
manis sekali seperti itu. ''Bagaimana Mahayana diterapkan di
Shin-li-fo-shih"'' tanyanya pula.
Aku harus maklum jika di antara puncak-puncak gunung
batu seperti ini, orang tidak mengetahui perbedaan antara
Srivijaya yang disebutnya Shin-li-fo-shih itu dengan Javadvipa,
atau bahwa Sriv ijaya sebagai nama kadatuan memang terletak
dalam wilayah Suvarnadvipa, yang bertumpang tindih dengan
yang disebut sebagai Suvarnabhumi. Aku menjawab tanpa
perlu menjelaskan bahwa pusat pemerintahan Shih-li-fo-shih
terletak di Samudradvipa yang justru belum pernah kuinjak,
sedangkan aku adalah rakyat Kerajaan Mataram yang dikuasai
Wangsa Syailendra dan bertempat di Javadvipa yang juga
disebut Yawabhumipala.
''Jika di Negeri Atap Langit sudah mengakar pemikiran Kong
Fuzi maupun Kaum Dao ketika Mahayana tiba, di Javadvipa
masuklah Hindu pemuja Siva, disebut Saiva, meski di
Jambhudvipa juga berkembang Vaisnava, penyembah Visnu,
dan juga Shakta, penyembah Shakti. Sebelum Saiva tiba,
penduduk setempat sudah memiliki kepercayaannya sendiri
pula. Jadi mungkin Buddha Mahayana juga akan diterapkan
dengan perbedaan dari yang berlaku di Jambhudvipa.''
Jin-siyan mengangguk-angguk.
''Dao membedakan Mahayana di Negeri Atap Langit dengan
Mahayana di Jambhudvipa, sampai Yang Mulia Xuanzang
harus mengembara begitu jauhnya, mencari kitab-kitabnya
yang asli ke Jambhudvipa.''
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Bahkan adalah Fo-shih yang menjadi tempat belajar bahasa
Sansekerta, terutama yang digunakan untuk membaca sutra
Buddha, sebelum meneruskan pelayaran untuk belajar
langsung di Nalanda.
Kuperhatikan Jin-siyan, kepalanya mengenakan fu tou yang
dimaksudkan sebagai perlengkapan busana pria. Di sebuah
pemukiman yang rumah-rumahnya menempel di dinding
curam seperti sarang burung walet, dengan tempat berpijak
hanya setapak, diselang-seling susunan papan tergantung
pula, memang tidaklah mungkin seorang perempuan
berbusana seperti perempuan.
Matanya mengerjap, wajah manisnya tampak lucu di bawah
fu tou. Tiada kukira dari pemilik wajah seperti itulah kudengar
perbincangan tentang dao seperti terterapkan kepada
pemikiran Kaum Dao, penganut Kong Fuzi, maupun Buddha
Mahayana yang datang dari Jambhudvipa ke Negeri Atap
Langit ini. BAGAIMANA jika aku membagi atau menjual keterangan,
dengan segala penjelasan tentang bagaimana tempat ini dapat
diserang" Memang benar, keturunan para pemberontak di
tempat tersembunyi seperti ini tidak lagi menyimpan impian,
maupun kekuatan yang cukup untuk menggulingkan
kekuasaaan. Namun memang bukan penggulingan kekuasaan
yang ditakutkan, melainkan keterpeliharaan gagasan tentang
kemerdekaan di dalam pikiran. Begitulah ketakutan bisa
melahirkan kekejaman begitu rupa, karena bagi penguasa
yang sangat terganggu oleh bayangan pemberontakan,
gagasan di dalam pikiran hanya bisa dihapus dengan
pemenggalan kepala!
Maka perburuan masih terus menerus dilangsungkan,
sebagai kebiasaan yang dipelihara dari zaman ke zaman, yang
membuat penduduk pemukiman pun memelihara kewaspadaan dan kesiagaan selama waktu yang sama,
dengan suatu bayangan yang sama menakutkannya seperti
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
bayangan penguasa, bahwa suatu hari sejumlah besar
pasukan mengepung dan menyerbu dalam suatu pembantaian
besar-besaran. Aku menghela napas panjang. Alam begitu
sunyi dan sepi, tetapi betapa maut selalu dirasakan sebagai
ancaman. Kulihat lelaki tua yang masih saja murung wajahnya
menulis di atas lembaran yang disebut kertas menggunakan
alat tulis yang dicelupkan ke dalam cairan bernama tinta.
Sudah beberapa lembar kertas yang ditulisnya dan beberapa
kali pula ia menghela napas panjang. Apakah kiranya yang
dituliskannya itu" Di balai pertemuan tempat kami dipersilakan
menginap, memang tersedia segala sesuatu yang bisa
digunakan setiap warga pemukiman, termasuk altar untuk
berdoa. Bagi lelaki tua tersebut disediakan sebuah bilik
dengan alas tebal berisi kapas yang disebut kasur, lengkap
dengan kain tebal sebagai selimutnya, mungkin mengingat
usianya yang kuduga mencapai 70 tahun. Aku ditempatkan di
luar bilik, tetapi di dalam balai pertemuan, tempat terdapatnya
kisah-kisah tentang Wangsa Tang yang bisa dibaca.
Pagi ini aku sedang makan sayur asin dengan sumpit,
ketika Jin-siyan, gadis pengawal itu muncul dari balik atap,
melenting dan mendarat dengan ringan di hadapanku. Ia
menjura sebelum bicara.
''Dengan hormat, guruku yang dikenal sebagai Angin
Mendesau Berwajah Hijau meminta kedatangan Yang Tidak
Bernama ke pondoknya, karena ada masalah penting yang
akan disampaikannya.''
Masalah penting" Apakah yang bisa menjadi penting bagiku
di tempat seperti ini"
Aku bermaksud menuang lagi teh dari teko ke cawan,
tetapi Jin-siyan segera menyergah.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
''Jika Angin Mendesau Berwajah Hijau memanggil, biasanya
siapa pun tidak menundanya lagi. Di sana telah disediakan
juga teh bagi Yang Tidak Bernama.''
Aku pun tidak menundanya lagi, meski rasanya masih
terdapat makanan di mulutku. Kuikuti dia melenting dari atap
ke atap, sementara kulihat pemandangan kehidupan seharihari berlangsung di bawah. Ibu-ibu tua dengan kayu bakar di
punggung tampak begitu tenang melangkah di jalan setapak,
yang ada kalanya miring letaknya, untuk menyambung ke
jalan susunan papan yang tergantung dan bergoyang-goyang,
anak-anak kecil bahkan berlarian tanpa takut dan tertawatawa meloncat menyeberang padahal di bawahnya jurang.
Maka segera pula kumengerti, bahwa dengan kemampuan
untuk hidup dalam lingkungan seperti ini, penyerbu mana pun
seperti hanya akan menemukan kematiannya sendiri.
Jin-siyan menukik dan lenyap masuk ke dalam pondok. Aku
pun menukik ke bawah mengikuti jejaknya, tetapi dengan
segera terpaksa melenting ke atas, berputar jungkir balik
dengan Jurus Naga Meringkuk di Dalam Telur, ketika
mendadak saja berkelebat suatu bayangan dan desau angin
panas nyaris melibasku di tengah udara berkabut, yang akan
membuat tubuhku leleh jika tidak berhasil menghindarinya.
Aku telah diserang Angin Mendesau Berwajah Hijau yang
menggulungku bagaikan angin puting beliung menghancurkan
kampung. Guru Jin-siyan ini tak bisa dilihat lagi, hanya angin
panas melibas tanpa memberi ruang untuk bernapas.
Pernah kubaca dalam Kitab Perbendaharaan I lmu-ilmu Silat
Ajaib dari Negeri Atap Langit bahwa angin panas ini
sebetulnya datang jurus-jurus persilatan jua, yang karena
cepatnya menjadi tiada terlihat, dengan kemampuan
memisah-misahkan anggota badan, sehingga yang diserang
pun binasa secara mengerikan. Barangkali itulah yang
membuatnya dikenal sebagai Angin Mendesau Berwajah Hijau,
yang tentu maksudnya adalah wajah iblis. Betapa tidak akan
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
disebut iblis jika jurus angin panasnya memisah-misahkan
anggota badan! SEMBARI terus berkelebat menghindar, aku berjuang
mengatasi keherananku bahwa guru Jin-siyan itu telah
menyerangku dengan jurus-jurus yang sangat mematikan.
Tidakkah aku telah mendapat segala kunci rahasia, agar tidak
tersesat dan dapat mencapai Kampung Jembatan Gantung,
adalah karena kepercayaan Serigala Hitam dan Serigala Merah
juga" Bersama kedua orang itu, tanpa kuminta kami bahkan
telah saling mengangkat saudara, yang maknanya sering
dianggap lebih dalam daripada hubungan saudara sedarah
yang ditentukan oleh nasib.
Kemudian sempat kulirik, bahwa Serigala Hitam dan
Serigala Merah ternyata sudah ada di s ini pula, sesuai dengan
rencana bahwa mereka langsung kembali dari seberang celah,
membawa rombongan yang memintanya memandu perjalanan
mereka menyeberangi celah ma lam itu juga. Rupanya tugas
itu sudah diselesaikannya dan kini mereka telah tiba di sini.
Buddha Pedang Dan Penyamun Terbang Naga Bumi Ii Karya Seno Gumira di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Apa yang telah terjadi" Namun bagaimana mungkin berpikir
lebih jauh sambil menghadapi serangan maut seperti ini,
apalagi jika tiada penanda apapun yang kiranya dapat menjadi
bahan pertimbangan atas terjadinya serangan ini"
Serangan bergulung seperti angin puting beliung. Mereka
yang tidak berdaya menghadapinya memang segera merasa
harinya akan berakhir, karena gelombang angin panas yang
membuat udara bagaikan mendidih akan membuat lawannya
putus asa. Aku masih mendekap kedua lututku, berputar-putar
dan meliak-liuk dalam Jurus Naga Meringkuk di Dalam Telur,
yang harus segera kuganti, karena jika jurus ini memang
mampu menghindarkan serangan, belumlah mengatasi angin
panas yang dapat membuat udara mematangkan telur. Artinya
aku bisa mengalami kematian dalam keadaan matang
terpanggang... TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Aku tidak ingin terlalu lama melayani Angin Mendesau
Berwajah Hijau yang serangannya mengerikan seperti itu.
Bahkan aku tidak tertarik mengeluarkan Jurus Bayangan
Cermin untuk menyerap ilmu silatnya agar dapat kukembalikan lagi kepadanya, sebagai jurus baru yang tidak
terduga, karena meskipun kehidupan di pemukinan ini tampak
menyenangkan tetapi pikiranku tertuju kepada Harimau
Perang. Aku ingin segera berangkat dan tidak menambah
persoalan, apalagi dengan terjadinya serangan tanpa
penjelasan seperti ini. Namun aku juga tidak ingin
mempermalukan Angin Mendesau Berwajah Hijau yang
kuduga tentunya merupakan guru besar di pemukiman
keturunan pemberontak ini, yang berarti juga merupakan guru
Serigala Hitam dan Serigala Merah. Keputusan ini kuambil
karena kusaksikan sekilas wajah Serigala Hitam dan Serigala
Merah yang tampak sangat khawatir, tetapi bukan atas nasib
gurunya, melainkan nasibku!
Pertarungan di udara tanpa sentuhan ini berlangsung cepat
sekali, begitu cepatnya sehingga tidak dapat diikuti siapapun
yang ilmunya masih berada pada tingkat awam. Angin panas
masih bergulung dengan ganas dan panas, tetapi kugunakan
Jurus Tarian Naga Salju yang membuat setiap gerakanku,
menyerang atau tidak menyerang, menghindar atau tidak
menghindar, mendesaukan pula angin, tetapi yang begitu
dingin membekukan segala zat cair. Di puncak gunung batu
ini, udara dingin tentulah bukan masalah, tetapi angin yang
terbentuk dari gerakan jurus ini bahkan Jin-siyan, Serigala
Hitam, dan Serigala Merah yang menyaksikan dari jarak
tertentu pun tampak mendekapkan tangan kedinginan sekali.
Memang kusalurkan tenaga dalam hasil latihan sepuluh tahun
di dalam gua untuk membekukan segenap uap air di udara
melalui pori-poriku, yang tersalur melalui udara dalam kibasan
Jurus Tarian Naga Salju.
Jurus ini sebetulnya indah sekali, seperti rangkaian gerak
yang bukan hanya dibuat untuk ditarikan, tetapi bahkan juga
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
tidak untuk menangkis maupun menyerang. Maka bagi
mereka yang mampu menguraikan kelebat bayangan dan
angin berdesauan ini akan me lihat diriku bagaikan menari
sendiri pelahan sekali, tetapi yang dalam segala kepelahanannya tiada tersentuh segenap serangan Angin
Mendesau Berwajah Hijau sama sekali. Namun yang
sebenarnya terjadi adalah begitu cepatnya gerakanku,
sehingga akulah yang melihat Angin Mendesau Berwajah Hijau
bergerak amat sangat lamban dan setiap pukulannya
menimpa tempat kosong.
Dengan maksud agar daya pendinginan yang keluar dari
pori-poriku membekukan sebanyak mungkin udara, maka
jurus ini akan selalu berusaha mengitari dan melingkari lawan
ke mana pun ia berkelebat pergi. Maka karena sebelumnya
aku menggunakan Jurus Naga Mendekam di Dalam T elur yang
membuat tubuhku berputar-putar, aku tinggal meneruskannya
berputar-putar me lingkar agar dapat mengepung Angin
Mendesau Berwajah Hijau dengan hawa dingin, dengan
membuka kedua tangan yang memeluk kedua tekukan lutut
dan mulai memainkan Jurus Tarian Naga Salju.
Dari saat ke saat, setiap kibasan tangan dalam jurus ini
membuat udara setingkat bertambah dingin. Pada saat uap air
menjadi beku dengan seketika karena ketinggian dayanya,
saat itulah jurus ini menjadi berbahaya sekali.
SAAT itu Jurus Tarian Naga Salju akan menjadi terlalu
mengasyikkan, sementara daya pendinginannya
tanpa hentinya meningkat untuk membekukan lawan. Demikianlah
Sepasang Naga dari Celah Kledung yang mengasuhku pernah
bercerita, bahwa...
"...ketika tarian selesa i, lawanmu sudah menjadi patung."
Maka aku pun berhenti sampai di sini. Melenting dan
berputar balik tujuh kali untuk keluar dari gelanggang dan
hinggap di atap sebuah rumah. Di sanalah aku berkata sambil
menjura. TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
"Maafkanlah jika ternyata tanpa sahaya sengaja, telah
sahaya lakukan kesalahan yang membuat sahaya tidak
diterima. Baiklah sahaya meminta maaf sekali lagi, dan
terimakasih banyak atas segala keramahan dan pelajaran yang
telah sahaya dapatkan pula hari ini. Bersama ini pula sahaya
mohon pamit untuk melanjutkan perjalanan, dengan rendah
hati pengembara yang bahkan tiada memiliki nama ini masih
harus melaksanakan tugas yang belum diselesaikannya..."
Aku memperlihatkan sikap seperti akan me lesat pergi,
ketika kusaksikan Serigala Hitam dan Serigala Merah berlutut
dan mengetuk-ngetukkan dahi mereka ke lantai papan di teras
rumah sampai tiga kali sambil berujar, kalimat dari yang satu
diseling kalimat dari yang lainnya.
"Maafkanlah kami Tuan Pendekar! Maafkanlah! Guru kami
hanya ingin sekadar berkenalan dengan caranya sendiri!
Maafkanlah! Mohon sudilah mendengar dan memenuhi
permintaan kami! Maafkanlah!"
Kulihat Angin Mendesau Berwajah Hijau masih mengerahkan tenaga dalamnya untuk memecahkan es yang
menyelimuti tubuhnya. Aku terkejut melihat akibat Jurus
Tarian Naga Salju yang tidak terduga. Busana yang
dikenakannya menjadi kaku karena mengandung uap air
membeku. Krrrkkk... Terdengar bunyi lapisan es merekah karena arus tenaga
panas yang memecahkannya. Angin Mendesau Berwajah Hijau
tidak menjadi patung, karena aku menyadarkan diriku sendiri
agar tidak terlalu tenggelam dalam pembayangan naga menari
di padang salju, yang dunia putih memutihnya, bagaikan tiada
lagi yang lebih putih, berdaya menghentikan aliran darah dan
membekukannya. Namun tetap busananya membeku, seperti
busana sebuah patung, yang jika tidak dipecahkannya dengan
irisan daya panas yang dikuasa inya, akan benar-benar
membuatnya menjadi patung.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Aku memang tidak mengerti adat orang Kampung
Jembatan Gantung ini, seandainya adat keturunan pemberontak dengan segala masalahnya memang harus
dibedakan dari mereka yang kedudukannya berbeda. Jadi aku
pun ingin tahu, jika upacara angkat saudara itu ada artinya,
mengapa Angin Mendesau Berwajah Hijau menyerangku
dengan jurus mematikan begitu rupa, dan mengapa pula jurus
mematikan seperti itu diterapkan untuk menyerangku, jika
tidak bermaksud membunuhku"
Betapapun Angin Mendesau Berwajah Hijau tidak berlutut
seperti Serigala Hitam dan Serigala Merah, tetapi ia balas
menjura, mengatupkan tangan satu ke tangan lainnya.
"Ia yang mengaku tidak bernama adalah seorang pendekar
besar," katanya, "sudilah kiranya minum teh sekadarnya di
pondok seorang guru tua yang mengajarkan ilmu beladiri
dengan sekadarnya."
Di atas atap itu diriku kembali menjura, dengan bahasa
Negeri Atap Langit yang terpatah-patah aku berusaha
berbasa-basi sebaik-baiknya.
"Tiadalah yang lebih terhormat bagi seorang pengembara
selain tawaran untuk singgah dari seseorang tidak dikenalnya,
tetapi kali ini yang mengundangnya adalah guru saudarasaudaranya sendiri pula," jawabku, "maka pengelana lata ini
membayangkan betapa puja-puji berlebihan tiada lagi
diperlukan, agar terbukalah kiranya segala sekat yang
menghambat persaudaraan."
Setelah mengucapkan kalimat seperti itu aku me layang
turun, menuju ke tempat Serigala Hitam dan Serigala Merah
telah mengetuk-ngetukkan dahinya seperti itu. Meskipun
barangkali sesuai adatnya mereka melakukannya dengan
tulus, aku tidak dapat menerimanya sebagai saudara yang
kedudukannya seharusnyalah setara. Mungkin mereka
melakukannya karena alasan yang terlalu sederhana, yakni
bahwa ilmu silatku yang betapapun hanya secara terbatas
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
dapat mereka saksikan, dianggap mengungguli ilmu silat
gurunya; atau betapa mereka khawatir, setelah mereka
takutkan diriku akan terbunuh, kemudian bahwa aku akan
membunuh gurunya. Namun aku baru akan mengetahuinya
nanti, bahwa ternyata terdapat penyebab lainnya lagi.
KURANGKUL bahu keduanya, dan aku pun berkata.
''Janganlah pernah lagi memanggil diriku Tuan, apalagi
Tuan Pendekar, wahai Kakak Serigala Hitam dan Kakak
Serigala Merah. Daku hanya seorang pengembara yang telah
dikau angkat sebagai saudara, anggaplah diriku sebagai
saudara muda kalian, dan panggillah Adik. Iz inkan pula daku
memanggil kalian berdua sebagai Kakak seperti sekarang.
Daku telah mendapatkan sesuatu semenjak kita bersua, dan
diriku sama sekali tidak ingin menghilangkannya, karena
bagiku persaudaraan kita adalah sesuatu yang luar biasa.''
Mereka berdua merangkulku pula. Pipi kami basah oleh
airmata. (Oo-dwkz-oO) DI dalam pondok Angin Mendesau Berwajah Hijau, terdapat
dua lian atau kertas bertulisan di kiri dan kanan meja abu.
Pedang Mengambang dalam Kabut adalah bunyi lian pertama,
sedangkan Dasar Laut Merah Membara adalah bunyi lian
kedua. Meskipun lian biasanya mudah dimengerti, kali ini
kurasakan sebagai teka-teki. Namun aku tidak berusaha
menduga apa maksudnya, karena Angin Mendesau Berwajah
Hijau telah mulai berbicara dengan wajah sungguh-sungguh.
''Pendekar Tanpa Nama,'' ujarnya, tanpa menyadari aku
memang biasa dipanggil seperti itu dalam bahasa manapun,
''dikau tentu telah mengenal Jin-siyan, dan demi kepentingannyalah sebenarnya, maka aku pun telah
menyerang dirimu.''
Aku terkejut dan melirik Jin-siyan yang matanya
mengerjap-ngerjap, sebentar melihat ke bawah dan sebentar
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
mencuri pandang. Untuk sejenak aku seperti tidak melihat
kematangannya, bagaikan kanak-kanak yang belum mampu
menentukan nasibnya sendiri. Untuk sekejap pula bagaikan
kulihat Amrita berkelebat. Membuat dadaku berdesir dan
tanpa kuketahui sebabnya udara dingin bagaikan hilang
lenyap takterasa. Mendadak bajuku serasa terlalu tebal
untukku. Aku menjadi gelisah ingin segera pergi. Apakah
kiranya yang akan disampaikan Angin Mendesau Berwajah
Hijau ini"
''Jin-siyan adalah seorang gadis yang tidak lagi mempunyai
ayah dan ibu,'' kisah orang tua itu mengawali ceritanya.
Kisah Jin-siyan ternyata berhubungan dengan Pemberontakan An Lushan yang sempat menguasai Kotaraja
Chang'an. Supaya tidak usah mengulangi riwayatnya dengan
berpanjang lebar, hanya akan kuceritakan kembali bagian
yang berhubungan dengan urusan Jin-siyan ini.
Terusan Tongguan merupakan gerbang menuju Kotaraja
Chang'an, suatu terusan sempit melalui wilayah tertutup, yang
dipertahankan oleh pasukan besar di bawah pimpinan
panglima Geshu Han yang sangat dipercaya oleh Maharaja
Xuanzong. Panglima pasukan pemberontak, Cui Qianyou,
sudah selama enam bulan berturut-turut berusaha menembus
terusan itu tanpa hasil. Setiap malam mereka yang
mempertahankan terusan ini akan menyalakan api pada
menara, sebagai tanda bahwa segalanya aman. Tanda
keamanan ini akan diulang dan diteruskan dari menara satu ke
Buddha Pedang Dan Penyamun Terbang Naga Bumi Ii Karya Seno Gumira di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menara lain, yang memang disebut menara api, sampai ke
Kotaraja Chang'an, supaya wargakota merasa tenang.
Sementara pasukan pemberontak terhenti di Terusan
Tongguan, pihak Wangsa Tang dilanda perpecahan. Ketika
Geshu Han menganjurkan agar Terusan Tongguan dipertahankan dengan ketat oleh pasukan yang kuat;
panglima wilayah Shuofang, Guo Ziy i, dan panglima wilayah
Hedong, menulis surat kepada Maharaja dari medan
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
pertempuran, meminta izin untuk membawa pasukannya ke
utara menyerang Fanyang, kubu yang menjadi pusat kendali
An Lushan, serta menganjurkan agar pasukan di Terusan
Tongguan menyerang pasukan musuh di luar terusan.
Namun Perdana Menteri Yang Ghuozong menentang
rencana ini. Banyak orang berkata kepada Yang Ghuozong,
''Geshu Han sekarang menguasai sebagian besar pasukan
kerajaan. Jika dia kembali ke Changian setelah mengalahkan
pasukan musuh, jabatan dikau akan berada dalam bahaya.''
Menyadari dirinya sebagai perdana menteri yang paling tidak
disukai, Yang Guozhong sangat memperhatikan peringatan ini.
Ia berkata kepada maharaja bahwa para pemberontak di luar
Terusan Tongguan sudah semakin melemah, dan jika Geshu
Han masih terus bertahan untuk tidak menyerang,
kesempatan untuk menghancurkan pemberontakan akan
hilang. Maharaja Xuanzong mempercayai alasan ini, dan
mengirim utusan demi utusan ke Tongguan memerintahkan
Geshu Han untuk menyerang musuh.
MESKIPUN waspada bahwa tindakan seperti itu akan
berakibat buruk, Geshu Han tidak dapat sepenuhnya
mengabaikan perintah maharaja. Dengan teriakan keras, ia
memberi aba-aba agar pasukannya keluar dari terusan.
"Sementara itu, pasukan pemberontak yang dipimpin
panglima Cui Qianyou telah beristirahat dengan sangat cukup.
Inilah saat yang telah mereka tunggu. Ketika pasukan Wangsa
Tang yang berkekuatan 200.000 orang di bawah pimpinan
Geshu Han menyerang keluar terusan sempit itu, mereka
disergap pasukan pilihan yang ditempatkan Cui Qianyou di
dekat Lingbao. Pasukan Wangsa Tang berhasil dihancurkan.
Hanya 80.000 orang di antara mereka yang selamat.
"Sebelum Geshu Han mendapat peluang menyusun
kekuatannya kembali, para perwira bawahannya memberontak. Sebagai akibat, para pemberontak yang
menang dalam pertempuran segera dapat menguasai T erusan
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Tongguan dan menawan Geshu Han. Dengan jatuhnya
Tongguan ke tangan musuh, tidak terdapat batas pertahanan
alam sepanjang jalan ke Chang'an. Segenap pejabat wilayah
setempat dan pasukan sepanjang jalan ke Chang'an lari
lintang pukang meninggalkan kubunya.
"Semula utusan yang dikirim Geshu Han ke Chang'an untuk
meminta bantuan pasukan masih tiba, tetapi kemudian lantas
tidak muncul lagi. Pada malam hari, tanda-tanda api dari
menara pun tidak terlihat lagi. Maharaja Xuanzong akhirnya
menyadari kegawatan dan kegentingan keadaan ini. Dengan
panik ia meminta nasihat Yang Guozhong, yang segera
mengadakan pertemuan dengan para perwira maupun para
petinggi, tetapi mereka semua tidak bisa menemukan jalan
keluar, tiada sanggup mendapatkan gagasan bagus untuk
membalikkan keadaan. Mengetahui bahwa tinggal di Chang'an
bukan lagi merupakan pilihan, Yang Guozhong menganjurkan
Maharaja Xuanzong agar mundur ke wilayah Shu.
"Malam itu juga, dalam pengawalan Panglima Chen Xuanli
dan pengawal istana, Maharaja Xuanzong dan Yang
Guozhong, diikuti oleh Yang Guifei, beserta anak-anak dan
cucu-cucu keluarga bangsawan, menyelinap keluar dari
halaman tertutup istana dan meninggalkan Chang'an. Mereka
mengirim dahulu orang-orang kebiri, yang ditugaskan
mempersiapkan segala upacara yang patut bagi rombongan
kerajaan oleh para pejabat daerah.
"Tanpa pernah tersangka, ketika rombongan mencapai
Xianyang, mereka temukan bahwa kelompok yang mendahului, yaitu kelompok orang-orang kebiri, maupun para
pejabat daerah telah lenyap bagaikan ditelan bumi.
Rombongan melakukan perjalanan dengan jarak yang sangat
jauh, tanpa seorang pun menyediakan makanan kepada
mereka. Dengan usaha keras, orang kebiri yang masih tersisa
dalam rombongan akhirnya berjumpa dengan penduduk
setempat, dan meminta makanan kepada mereka.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
"Mereka menghasilkan sejumlah kecil roti kasar yang
terbuat dari gandum. Sesuatu yang para bangsawan istana
belum pernah memakannya sama sekali, tetapi para
bangsawan yang lapar dengan terpaksa melahapnya juga,
memegang makanan dengan tangan, mengabaikan sumpit,
mangkok, apalagi upacara.
"Dengan susah payah Maharaja Xuanzong menelan
beberapa potong roti kasar itu, air mata mengalir di pipinya.
Seorang tua menyelip di antara orang banyak dan mendekati
kereta maharaja. Ia berkata kepada maharaja, eAn Lushan
telah merencanakan pemberontakannya lama sekali. Banyak
yang melaporkan niat jahatnya dibunuh sebagai balasan. Yang
Mulia dikelilingi menteri-menteri dan penasehat yang
pekerjaannya sangat bagus
dalam menyanjung dan
membudak, tetapi menyekat Sang Maharaja dari apa yang
terjadi di seluruh negeri. Kami rakyat biasa telah mengetahui
bahwa hari semacam ini akan terjadi, tetapi istana begitu sulit
dimasuki, sehingga adalah tidak mungkin membagi pengetahuan kami dengan Yang Mulia. Betapa menyedihkan
bahwa perlu bencana seperti ini agar kami bisa menyampaikan
pandangan kami ke hadapan Yang Mulia.
"Maharaja Xuanzong menjawab dengan sedih, 'Daku telah
berlaku seperti seorang dungu, tetapi sudah terlambat.'
''PADA hari ketiga pelarian ini berhenti untuk istirahat.
Rombongan tiba di sebuah gardu penjagaan di Mawei.
Pasukan yang mengawal para pengungsi istana ini dirundung
kelaparan dan kehausan, dan dirasakan semakin berat oleh
pikiran telah dipaksa meninggalkan kenyamanan Chang'an,
untuk mengembara di jalanan selamanya dengan penuh susah
payah. Mereka menyalahkan semua ini kepada Yang
Guozhong, dan mereka berniat membikin perhitungan
dengannya. ''Setidak-tidaknya dua puluh prajurit yang diperbantukan
Suku Tubo melingkari Yang Guozhong yang berada di atas
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
kuda, meminta makanan darinya. Sebelum ia sempat
menanggapi, orang-orang di luar suku itu mulai berteriak,
'Yang Guozhong mau berontak!' Lantas mereka membentangkan tali busur, siap melepaskan anak panahnya.
''Yang Guozhong menjadi panik dan lari, tetapi yang
arahnya telah didahului oleh sejumlah prajurit, dan mereka
inilah yang memenggal kepalanya.
''Setelah membantai Yang Ghuozong, para prajurit, masih
dalam suasana hati yang terganggu, mengelilingi gardu
tempat Maharaja Xuanzong telah diinapkan. Mendengar
keributan di luar, maharaja bertanya apa yang telah terjadi.
Orang-orang kebiri yang masih berada bersamanya mengatakan bahwa anggota pasukan telah membunuh Yang
Ghuozong. Maharaja yang tampak jelas menjadi gemetar itu,
menahan tubuhnya dengan tongkat, keluar dari gardu untuk
meyakinkan para prajurit dan mereka kembali ke perkemahan
mereka dan beristirahat.
''Para prajurit tidaklah menjadi tenang dan masih terus
berteriak-teriak. Maharaja Xuanzong mengirimkan Gao Lishin
untuk menjemput Chen Xuanli dan bertanya kepadanya
mengapa para prajurit tidak bersedia membubarkan diri. Chen
Xuanli menjawab, 'Mereka percaya bahwa karena Yang
Guozhong mencoba untuk berontak, maka Yang Diperselir
Guifei tidak dapat dibiarkan hidup.''
''Maharaja Xuanzong berada dalam kebingungan. Ia tentu
tidak tega untuk membunuh selir kesayangannya. Setelah
lama terdiam untuk berpikir, ia mengangkat kepalanya dan
berkata, 'Bagaimana mungkin Puan Guifei yang berada di
kamarnya dapat mengetahui pemberontakan Yang Guozhong"''
''Waspada bahwa para prajurit akan menjadi tenang hanya
dengan kematian Yang Guifei, Gao Lishi berkatas, 'Puan Guifei
tidak bersalah, tetapi pasukan yang telah membunuh Yang
Guozhong, dengan ketakutan mereka atas pembalasan
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
dendam, tidak akan hilang kecemasannya jika Puan Guifei
tetap diizinkan hidup. Yang Mulia harus menimbang
masalahnya dengan hati-hati. Pada akhirnya, keselamatan
Yang Mulia tergantung dari kesetiaan pasukannya.
''Demi menyelamatkan lehernya sendiri, Maharaja Xuanzong, berkeras hati bagi keputusan yang sulit,
memerintahkan Gao Lishi untuk memisahkan Y ang Guifei dan
membawanya ke tempat yang tidak terlihat. Di sana, Gao Lishi
mencekiknya. Setelah diberitahu mengenai pelaksanaan
hukuman mati Yang Guifei, seluruh pasukan kembali ke
perkemahan, dan akhirnya juga merasa maharaja berpihak
kepada mereka. ''Akibat dari pemberontakan ini, Maharaja Xuanzong merasa
bimbang, 'bagaikan burung yang baru saja luput serambut
dari sambaran panah', dengan tergesa-gesa pergi ke Chengdu.
Putera Mahkota Li Heng diminta oleh penduduk Mawei untuk
tinggal dan menjadi penguasa mereka. Maka ia pun
mengumpulkan orang-orang terlantar tanpa pekerjaan
maupun sisa pasukan dalam perjalanannya ke utara dari
Mawei, dan naik takhta di Lingwu dengan gelar Maharaja
Suzong.'' SAMPAI di sini, tanpa kusadari ternyata aku telah selalu
membandingkannya dengan cerita bapak kedai dahulu tentang
Gao Lishi. Jadi rupanya peristiwa yang sama menjadi tidak
terlalu sama, ketika diceritakan dengan sudut pandang
berbeda, meskipun tidak ada sesuatu yang diubah. Bapak
kedai menceritakan peristiwa yang sama, berdasarkan
kebutuhan untuk bercerita tentang riwayat orang-orang kebiri,
sedangkan Angin Mendesau Berwajah Hijau menceritakan
peristiwa itu karena berhubungan dengan urusan Jin-siyan.
Bagaimana peristiwa yang berlangsung tahun 756 itu, jadi
sekitar 41 tahun yang lalu, bisa berhubungan dengan Jinsiyan, belumlah kuketahui. Namun sudah kuketahui betapa
sebagai orang asing diriku harus belajar mengenal cara
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
penyebutan yang berbeda terhadap nama yang sama. Sekadar
mengingatnya, Terusan Tong sama dengan Terusan
Tongguan, Yang Yuhuan adalah juga Yang Guifei, dan ada
beberapa rincian bapak kedai yang tidak terlalu rinci dalam
kisah Angin Mendesau Berwajah Hijau.
Terbunuhnya Yang Guifei oleh keputusan Maharaja Xuan,
meski dianggap sebagai hukuman bagi pasangan penguasa
yang suka bermewah-mewah tanpa peduli rakyat, sebagai
nasib sepasang kekasih dianggap sangat menyedihkan. Tidak
kurang dari penyair Bo Juyi menggubah puisi panjang yang
berjudul ''Nyanyian Kesedihan Tanpa Akhir'' yang juga sangat
dikenal orang banyak. Aku pernah membacanya di Kuil
Pengabdian Sejati, tetapi saat itu belum mampu kuhayati
betapa menyedihkannya nasib sepasang kekasih yang seperti
itu, karena penguasaan bahasaku yang masih sangat miskin.
Namun melalui penceritaan Angin Mendesau Berwajah Hijau
yang sudah jelas bukan seorang penyair ataupun sastrawan,
agaknya caranya bercerita lebih sesuai dengan daya
tangkapku daripada puisi Bo Juyi yang membutuhkan lebih
banyak pengetahuan dan pengalaman untuk memahaminya.
Yang Guefei dicekik Gao Lishi, dan mayatnya bahkan
diperlihatkan, agar para prajurit terbebas dari perasaan akan
dihukum berat karena membunuh Yang Ghuozong.
''Saat itu,'' kata Angin Mendesau Berwajah Hijau,
''sebetulnya Yang Guifei masih hidup!''
(Oo-dwkz-oO) Episode 179 ga ada
(Oo-dwkz-oO)
Buddha Pedang Dan Penyamun Terbang Naga Bumi Ii Karya Seno Gumira di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Episode 180: [Menulis Seperti Bersilat, Bersilat
Seperti Berpikir, Berpikir seperti Menulis]
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
LEMPIR-LEMPIR lontar berserakan di atas tikar, hari sudah
sangat terang, rupa-rupanya aku sudah tertidur. Kulihat baris
terakhir yang kutulis. Aku menghela napas panjang. Dalam
lempir terakhir pun aku belum memasuki Chang'an. Tanpa
kusadari kegeleng-gelengkan kepalaku sendiri mengingat
segenap pengalamanku di Negeri Atap Langit. Alangkah
berbedanya negeri itu dengan Mataram, baik dulu maupun
sekarang. Kini pada 872, ketika di sana lembaran yang
bernama kertas tersedia untuk dibeli di setiap sudut kota, dan
kertas bertulisan dapat digandakan dengan suatu cara,
sehingga lebih banyak orang terlibat dalam pembacaan, di sini
setiap kali masih harus kuolah lempir-lempir lontarku sendiri,
sebelum aku bisa menulis di atasnya dengan guratan-guratan
pengutik yang sangat membutuhkan kesabaran.
Maka jika seperti pernah kusaksikan di Negeri Atap Langit
betapa aksara bisa dituliskan di atas kertas dengan tinta
seperti memainkan pedang, maka sulitlah kiranya untuk
melakukan yang serupa menggunakan pengutik pada lempiran
lontar. Menghadapi lempiran lontar untuk menuliskan aksara
di atasnya, artinya aku harus duduk tenang dan menulis
pelahan, karena menulis di sini adalah mengguratkan aksara
di atas lempiran lontar tersebut. Jika pengguratan tidak
berlangsung cermat, aksara menjadi tidak jelas dan tidak bisa
dibaca. Adapun di Negeri Atap Langit, alat tulisnya lemah
gemulai seperti sekumpulan rambut yang dicelupkan ke dalam
tinta. Seseorang tinggal memegang gagangnya dan
menggerakkannya di atas kertas. Masih bisa kuingat kesanku
ketika kali pertama melihat tangan menulis di atas kertas itu,
kadang seperti menari, kadang seperti memainkan pedang.
Itu juga berarti mereka bisa menulis dengan cepat sekali.
Kuingat cerita tentang penyair Li Bai, yang sambil duduk di
punggung kuda menulis di atas kertas dengan sangat cepat
dan setiap kali penuh atau selesai melemparkannya, untuk
segera mengambil kertas baru dari sebuah kantong di leher
kudanya. TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
KONON di belakangnya seorang budak harus berlari-lari
mengumpulkan kertas-kertas bertebaran itu. Meskipun
barangkali cerita semacam ini dilebih-lebihkan, tetapi
menunjukkan betapa menulis itu mungkin untuk dilakukan
dengan cepat, bahkan cepat sekali. Apakah itu berarti dalam
menulis di Negeri Atap Langit orang tidak merenung dan
berpikir" Tentu siapa pun ketika menulis dengan sendirinya
merenungkan dan memikirkan sesuatu, dan itu juga berarti
bahwa merenung dan berpikir sembari menulis dapat
dilakukan dengan cepat sekali.
Dengan demikian, di Negeri Atap Langit menulis itu tidak
jauh bedanya dari bermain pedang, atau tepatnya ilmu
penulisan dapat selalu dihubungkan dengan ilmu persilatan.
Bukankah sering kuceritakan tentang bagaimana jurus silat
dapat dima inkan secepat pikiran, bahkan lebih cepat dari
pikiran itu sendiri" Lebih cepat dari pikiran sebetulnya berarti
antara pikiran dan gerakan sudah menyatu tanpa jarak lagi,
tepatnya melebur tidak terpisahkan, tiada persilatan tiada
pikiran, tiada pikiran tiada penulisan, hanya kehidupan; seperti
ombak dengan gerakan, seperti angin dengan desisan, seperti
cahaya dengan kilauan...
Maka apakah yang bisa dikatakan dengan penulisan yang
menggunakan pengutik untuk menggurat di atas lempir-lempir
lontar secara sangat perlahan-lahan" Aku berpikir bahwa
dalam pemikiran, dalam pengertian sebagai pemikiran yang
tidak berjarak dari kehidupan, kelambanan maupun kecepatan
tidak lagi menjadi ukuran yang membedakan, karena memang
tiada lagi ukuran ketika bentuk meleburkan dirinya ke dalam
ketiadaan. Maka Jurus Tanpa Bentuk akhirnya memang
menjadi sama dengan Tulisan Tanpa Aksara maupun Puisi
Tanpa Kata. Jelas hanyalah dengan pikiran yang mengatasi
kebiasaan dan peraturan maka semua itu dapat terjelmakan
dalam suatu pencapaian.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Pemikiran semacam inikah yang membuat seseorang di
balik tembok istana berpikir bahwa diriku telah mengalami
ketersesatan" Tentu jika seseorang itu memahami pikiranku,
dia akan menemukan bahwa pemikiran ini dapat sampai
kepada kemungkinan seperti Dewa Tanpa Kekuasaan, Agama
Tanpa Doa, maupun Buddha Tanpa Semesta, karena segala
sesuatu menyatu termasuk melenyap leburkan pikiran, seperti
Ada yang tidak memisahkan dirinya dari Tiada. Padahal para
penguasa sangat membutuhkan wibawa sebuah kekuasaan,
demi berbagai macam kepentingan.
Bukan hanya diriku kemudian yang disebutkan tersesat,
melainkan betapa diriku ini telah menyebarkan aliran sesat,
sehingga membuat diriku begitu layak ditiadakan, meski sudah
jelas mustahil melenyapkan seseorang begitu saja tanpa bekas
selama pikirannya telah berada dalam pikiran lain orang. Ia
tidak perlu dikenal, tidak perlu terkenal, bahkan sebetulnya
juga tidak perlu ada, karena jaringan pemikiran terbentuk dari
mulut ke mulut dari zaman ke zaman dalam berbagai
penanggapan, sehingga usaha melenyapkannya sebaliknya
menjadi tindak yang justru akan mengabadikan.
Seberapa berbahayakah pikiran bagi kekuasaan" Tidakkah
kekuasaan itu memiliki begitu banyak alat dan perangkat
untuk memaksakan kepentingan" Justru agaknya para pemikir
di balik tembok istana itu sangat mengerti, bahwa meskipun
seseorang itu ditangkap, dipenjarakan, atau bahkan diberikan
hukuman penggal, tiadalah mungkin menghalangi kemerdekaan berpikirnya yang juga berada di dalam kepala
setiap orang. Makanya tujuan menangkap dan menghukum
mati seseorang tidaklah sekadar bertujuan membunuh pelaku
dalam penyebaran pemikiran, melainkan terutama sebagai
lambang pemikiran itu sendiri.
Dengan kematian pelaku, diharapkan mati pula pemikirannya yang sudah tersebar di dalam kepala orang
banyak. Apabila suatu pemikiran yang dianggap berbahaya
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
tersebar dan menggelisahkan kekuasaan, dalam arti kuasa
pemerintahan maupun kuasa pemikiran, maka dicarikanlah
seseorang yang kiranya dianggap cocok sebagai pelaku
penyebaran, untuk dibunuh dalam usaha mematikan
pemikiran yang dianggap berbahaya tersebut.
Ketika seseorang dan banyak orang akhirnya memang
dibunuh, dalam pengertian sengaja dibunuh untuk membunuh
pemikiran, sangat mungkin memang orang-orang menjadi
takut dibunuh, tetapi betapapun tiada berdaya menolak untuk
memikirkan dan memandang dunia dengan cara yang telah
disepakati oleh dirinya sendiri. Pemikiran tidaklah pernah
memaksakan dirinya selain untuk disepakati, disanggah, atau
ditolak dalam perbincangan seseorang dengan dirinya sendiri,
yang jika akan menerimanya, maka penerimaan itu sebetulnya
adalah pembermaknaan yang juga berasal dari dirinya. Jadi,
dalam pemikiran, seseorang itu sebetulnya tidak menerima,
melainkan menghasilkan, karena berpikir itu membuka
kesadaran, dan kesadaran itulah yang memberi makna
kehidupan. ADAPUN kesadaran disebut sebagai kesadaran, karena
susunan dalam penalarannya yang penuh peny ingkapan,
seperti penyusunan sebuah tulisan untuk menyampaikan
gagasan. Demikianlah sebuah tulisan bagaikan cermin suatu
gagasan, yang ketika menjadi bagian ingatan dalam kepala,
dengan segala pengayaan yang diberikan sang empunya
kepala, merupakan olah pemikiran yang mustahil dibunuh dan
dihilangkan. Penindasan dan pembunuhan hanya membuat
orang memikirkannya kembali, kembali, dan kembali; dan
ketika ditemukan kelemahan dalam pemikiran itu seseorang
sangat mungkin memperbarui atau menyesuaikannya
berdasarkan sudut pandang dan kepentingannya.
"Kakek!"
Kulihat Nawa melambai ketika digandeng ibunya menuju ke
sungai. Ibunya mengangguk, aku pun mengangguk dan
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
tersenyum, meski kemudian senyumku hilang me lihat lempirlempir lontarku yang tersebar tidak berurutan. Mungkin aku
telah menjatuhkan tumpukannya ketika tertidur. Damar sudah
lama mati. Aku pun tentunya harus membersihkan diri ke
sungai. Namun kini aku harus membereskan lempir-lempir lontar ini
terlebih dahulu. Kukira aku memang harus mengikatnya dalam
urutan, dan menyimpannya dalam bentuk tumpukan keropak.
Aku bermaksud menyimpannya di dalam bilik, dan seperti baru
menyadari bahwa sudah tinggi juga tumpukan keropak itu,
terbersit suatu gambaran, bagaimana kalau keropak-keropak
lontar ini suatu hari hilang" Jika pernah ada usaha untuk
mencurinya, tidak ada alasan untuk terulang kembali. Lagipula
jika para tetangga mungkin mengetahuinya, mungkin mereka
akan curiga. Pengusaha lempir yang selalu membawa lempirlempir buatanku ke istana pernah bertanya diriku sedang
menulis apa, dan sudah kujawab menuliskan kenanganku
sendiri, tetapi jika sempat diketahui bahwa tumpukan keropak
sudah setinggi ini, apakah seseorang tidak akan setidaknya
bertanya-tanya"
Begitulah, umurku dalam penulisan riwayat hidupku itu
baru sampai umur 26 tahun, tetapi aku tidak mungkin
melewati setiap rincian begitu saja dalam tujuan penulisanku
ini. Aku sudah melompati masa sepuluh tahun, ketika dari
tahun 786 sampai 796 berkubang memperdalam ilmu silat
dalam gua sejak usia 15 tahun. Sebetulnya bukan tidak ada
yang layak ditulis selama berada di dalamnya, bahkan jika
kuingat kembali banyak juga yang menarik dan penting,
terutama dalam perenungan ruang dan waktu. Namun aku
merasa dapat melompatinya, karena selama sepuluh tahun
berada di dalam gua diriku memang tidak pernah bertemu
manusia, sehingga kuanggap tidak ada sesuatupun yang akan
berhubungan dengan pengumuman resmi kerajaan untuk
memburu diriku. Jika dalam hal ini diriku keliru, tentu saja
akibatnya besar sekali, karena meskipun ruang-waktu
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
terhayati secara lain dalam samadhi, betapapun dalam
sepuluh tahun tiada mustahil ada juga sesuatu yang secara
tidak langsung berhubungan dengan masalahku ini terjadi.
(Oo-dwkz-oO) KURAPIKAN dan kubawa lempir-lempir lontar ini ke dalam
bilik. Kupikir aku akan mengikatnya nanti setelah kembali dari
sungai. Namun saat itulah telingaku yang masih sangat amat
tajam meski tanpa merapal ilmu Mendengar Semut Berbisik di
Dalam Liang, menangkap gerakan banyak orang yang
mengendap-endap.
Aku terkesiap. Apakah mereka mengepungku" Jika memang begitu, tentu saja agak di luar
kebiasaan jika tindak pengepungan ini dilakukan siang hari.
Jika mereka anggota Kalapasa, dan jika mereka bukan
anggota Kalapasa tetapi adalah pemburu hadiah maupun
seorang tikshna atau pembunuh bayaran, maka mengepung
seseorang di hari terang seperti ini adalah di luar kebiasaan.
Kecuali, tentu, jika ini bukan serangan gelap seperti yang akan
dilakukan golongan hitam, melainkan suatu penangkapan
resmi! Benarkah tempat persembunyianku ini sudah diketahui
orang" Jika memang demikian halnya bagiku ini tentu sangat
menyulitkan. Bukanlah karena aku merasa jiwaku terancam,
karena bagiku mereka yang masih merasa pengepungan
adalah jalan terbaik untuk menangkap buronan, ilmu silatnya
besar kemungkinan tidak terlalu tinggi. Ibarat kata sekali
berkelebat, aku sudah akan bisa meloloskan diri dari
kepungan. Namun aku tidak akan bisa berkelebat begitu saja
dan pergi, karena aku harus mempedulikan lempiran lontar
yang sudah bertumpuk-tumpuk itu.
Setelah berjuang dari hari ke hari dan dari ma lam ke
malam menuliskannya, sedangkan ini barulah permulaannya
sahaja, akan sangat tidak mungkin bagiku untuk meninggalkannya, tetapi justru membawanya itulah yang akan
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
mengakibatkan persoalan besar, meskipun misalnya tidak
seorang di dunia ini yang tertarik untuk memperhatikan.
PADAHAL, mungkinkah kiranya di dunia yang penuh bahaya
ini, tempat orang-orang di luar kotaraja meradang penuh
dendam karena merasa disingkirkan kerajaan, miskin, kurang
makan, dan tidak mempunyai tempat tinggal untuk tidur
dengan nyaman, tidak akan penasaran melihat seorang tua
membawa banyak beban, baik dalam gerobak ataupun karung
di punggungnya"
Adapun jika mereka sudah tertarik perhatiannya, tidak ada
jaminan untuk tidak ingin mengetahui isinya, bahkan sudah
berharap isinya mungkin berharga dan barangkali bisa
dirampok pula. Meskipun aku masih terus menyamar, tetap
saja banyak orang melihatku sebagai orang yang sudah tua,
dan membayangkan bahwa orang tua biasanya kurang
Buddha Pedang Dan Penyamun Terbang Naga Bumi Ii Karya Seno Gumira di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berdaya, mereka yang berpikiran jahat dan berkeliaran di
jalanan tentulah akan
sangat amat tergoda untuk
merampoknya. Tidak berarti jika seseorang mengetahui bahwa isi karung
yang dipanggul atau tergolek di dalam gerobak itu bukanlah
intan berlian melainkan lempir-lempir lontar, lantas seseorang
itu tidak akan tertarik untuk merampasnya pula. Mereka yang
mengerti bahwa aksara tersusun jadi kata, kata-kata
membentuk kalimat, dan kalimat demi kalimat membentuk
wacana, tentulah akan menjadi penasaran untuk mengetahuinya pula, begitu rupa sehingga bukan tidak
mungkin berusaha mencurinya. Apalagi, seperti yang pernah
kukatakan, jika seseorang itu adalah pendekar pengembara
pula, yang sangat mungkin akan mempertimbangkan, bahwa
lempir-lempir lontar ini adalah sejumlah kitab ilmu silat yang
sangat langka. ''Pendekar Tanpa Nama!''
Mendadak terdengar teriakan menggelegar.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
''Keluarlah dari tempat persembunyianmu! Dikau sudah
terkepung! T idak ada gunanya melawan! Menyerahlah!''
Suara itu memang keras, tetapi ada sesuatu yang rasanya
janggal. Aku pun mengintip lewat celah dinding bambu.
Kulihat sekitar lima puluh prajurit dengan senjata terhunus.
Mereka membawa tombak dan pedang, tetapi tidak membawa
perisai, yang memang hanya digunakan dalam pertempuran
melawan suatu pasukan pula. Pemimpinnya bersenjata
cambuk dan terbedakan dari lainnya karena ken dan
perangkat hiasan yang dikenakannya, sejak dari sadangan
warna kuny it, ikat pinggang emas dengan hiasan intan, hiasan
rambut kulit penyu pada rambutnya yang terikat ke atas,
maupun kelat pada bahunya. Wajah orang ini tampak seram
karena penuh dengan bulu.
Namun yang penting, ternyata mereka tidak sedang
mengepung pondokku, melainkan pondok Rangga!
Mereka keliru! Atau seseorang telah menyesatkan mereka!
Aku sungguh tidak mengerti dengan keadaanku ini, yang
tampaknya saja tenang dan tersembunyi, tetapi bagaikan
begitu banyak orang yang ternyata mengetahui.
Betapapun mereka telah keliru, dan itu berarti mereka tidak
tahu. Namun setidaknya ada seseorang yang telah membuat
limapuluh anggota pengawal raja mencariku ke dalam puri
yang tanahnya disewa-sewakan ini. Meskipun begitu, jelas
terdapat mata rantai yang terputus, sehingga keterangan bisa
terbelokkan dan pondok orang tua yang suka meniup seruling
itulah yang dikepung dan bukan pondokku.
Terdengar suara ledakan dahsyat. Ternyata berasal dari
cambuk itu. Ia melecutkan cambuknya berkali-kali sehingga
terdengar ledakan keras beruntun yang menggetarkan.
''Keluarlah orang tua! Jangan sampai kami terpaksa
membakar dirimu di rumahmu sendiri! Keluarlah! Tiada lagi
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
tempat bagimu untuk bersembunyi! Janganlah melawan
pasukan pengawal raja!''
Aku menahan nafas. Ternyata terdapat juga mamanah,
atau anggota pasukan panah, yang baru terlihat olehku
sekarang di antara mereka, setidaknya sepuluh orang, yang
ujung anak panahnya telah berbalut kain menyala-nyala, siap
membakar atap ijuk dan dinding bambu yang serba mudah
terbakar itu. Apa yang akan terjadi dengan Rangga Tua jika ia
muncul dari balik pintu" Apakah pasukan pengawal raja ini
akan menangkapnya"
Tutup pintu yang terbuat dari bambu itu terjatuh ketika
Rangga T ua yang sudah berusia 80 tahun muncul di pintu. Ia
melangkah tertatih dan tampak belum menyadari apa yang
terjadi, ketika begitu keluar cahaya matahari pagi yang
menembus dedaunan langsung menerpa matanya.
Pemimpin pasukan itu melecutkan cambuknya. Terdengar
ledakan dahsyat.
''Serbuuuuuu!''
Teriakannya keras membahana, dan limapuluh anak
buahnya bergerak serentak. Meskipun sudah 101 tahun
umurku, darahku masih bisa naik ke kepala.
BUKANKAH pemimpin pasukan ini memintanya menyerah"
Semula, karena kupikir pasukan pengawal raja ini akan
menggunakan aturan, setidaknya hanya menangkap Rangga
Tua dan tidak membunuhnya, akan kubiarkan saja mereka
menangkap Rangga Tua, untuk kemudian menyadari
kekeliruan lantas melepaskannya. Namun yang terjadi justru
pembantaian terencana!
Aku sudah memutuskan untuk bergerak menyelamatkan
Rangga Tua yang selalu kunikmati suara serulingnya pada
malam sunyi, ketika suatu bayangan berkelebat. Para
mamanah langsung terpental dan terjungkal muntah darah,
sedangkan anak panahnya yang berapi langsung berpindah
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
tangan, menjadi senjata yang digunakan untuk menyapu para
manalah atau pasukan tombak. Delapan anak panah
menancap ke tubuh delapan manalah dalam keadaan masih
berapi yang menimbulkan jeritan-jeritan panjang, sementara
dua anak dipegang dan menjadi senjata yang berputar seperti
baling-baling menangkis serangan seluruh pasukan.
Baling-baling api berkelebat di antara gerak pengeroyokan
pasukan. Meski hari sudah terang, pepohonan di dalam puri ini
cukup rimbun untuk memperlihatkan cahaya api yang
melesat-lesat kian kemari dan dalam setiap arahnya menelan
korban. Semua ini terjadi cepat sekali, tetapi dapat kubaca
dari gerak api itu sebuah jurus yang belum pernah muncul di
dunia persilatan, meski pernah kupelajari dari Kitab JurusJurus Langka yang Hampir Punah. Sejauh yang bisa kuingat,
jurus itu disebut Jurus
Naga Api, yang memang memanfaatkan unsur api sebagai bagian penting dari
jurusnya. Dalam bentuknya yang terbaik, demikian katanya
dalam kitab yang pernah kubaca itu, tubuh lawannya dapat
terbungkus api dan menyala sampai lawannya tewas
terpanggang menjadi arang.
Namun bayangan yang berkelebat itu tampaknya tidak
bermaksud membuat para anggota pasukan pengawal raja ini
menjadi arang ataupun menjadi dendeng, meski memang
tidak biasanya jika pucuk panah berapi itu menembus tubuh,
ketika dicabut kembali apinya masih menyala. Kukira
pemegangnya menyalurkan tenaga dalam yang membuat
apinya bukan saja tetap menyala, tetapi juga bahwa ujung
logam mata anak panahnya merah membara.
Dalam sekejap semua anggota pasukan sudah tergeletak
tak bergerak-gerak dan takbersuara. Pemimpin pasukan
bertarung sebentar dikurung Jurus Naga Api. Rupanya kepada
pemimpin pasukan inilah penyelamat Rangga Tua itu
mengirimkan hukuman dan pesan kebersalahan. Hanya
sebentar cambuk andalannya meledak-ledak membahana,
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
karena sebentar kemudian terdengar jeritan panjang, tetapi
yang kemudian berhenti untuk selama-lamanya. Begitu mata
anak panah itu tertancap ke dadanya, warna merah bara dari
mata anak panah itu merayap ke seluruh tubuhnya, membuat
seluruh tubuh itu juga menjadi merah, seperti bara yang
menyala! (Oo-dwkz-oO) TANAH di halaman sudah bersih dari darah yang mengalir.
Mayat-mayat sudah diangkut dengan gerobak. Para anggota
pasukan pengawal raja itu masih dihormati karena
menjalankan tugas negara, dan karena itu mayatnya tidak
ditumpuk-tumpuk. Asal sudah penuh oleh mayat tiga atau
empat mayat berdampingan, segeralah gerobak dibawa pergi.
Gerobak ini tidak dihela oleh sapi, melainkan budak-budak
yang mengendalikan di depan maupun mendorong dari
belakang. Mayat kepala pasukan itu paling sulit diangkut
karena sudah menjadi kaku seperti patung. Tubuhnya yang
tadi menyala kini hanya hitam seperti batu, tetapi yang
sebetulnya sangatlah rapuh seperti arang.
Warga setempat yang mau membantu dilarang. Bahkan
tadi tempat pertempuran dan mayat-mayat tergeletak dijaga,
supaya segala petunjuk yang mengarah kepada Pendekar
Tanpa Nama tidak terhapus. T idak seorangpun dapat melihat
gerak bayangan yang berkelebat itu. Memang benar warga
yang saat pengepungan masih berada di pondoknya masingmasing mengerti duduk perkaranya, bahwa pasukan pengawal
raja telah keliru menyangka Rangga Tua sebagai Pendekar
Tanpa Nama. Namun tidak seorangpun sebenarnya mengetahui, bahwa bayangan berkelebat yang telah
menewaskan lima puluh pasukan pengawal raja, masih
ditambah dengan kepala pasukannya, bukanlah Pendekar
Tanpa Nama. Bayangan itu berkelebat begitu cepat seperti kilat. Segenap
peristiwa yang kuceritakan tadi dalam arti sebenarnyalah
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
hanya berlangsung sekejap mata. Orang awam yang
menganggap dunia persilatan hanya dongeng, tidak mungkin
dapat melihat gerak dengan kecepatan seperti itu, apalagi
mengetahuinya sebagai Jurus Naga Api, meski barangkali bisa
saja membayangkannya. Bukankah orang awam juga kiranya
yang suka menceritakan kembali dunia persilatan ini begitu
rupa, sehingga lebih mirip dongeng tidak masuk akal yang
bisa dipercaya" Betapapun memang tidak seorangpun yang
mengetahui makna peristiwa ini, kecuali, ya kecuali seseorang
cukup waspada dengan kenyataan bahwa semula yang
disangka Pendekar Tanpa Nama adalah Rangga Tua.
TELAH kusebutkan kemungkinan terputusnya mata rantai
pesan, sehingga yang seharusnya mengepung pondokku,
beralih menjadi kepungan atas pondok Rangga Tua, yang
sampai sekarang belum juga menyadari betapa dirinya nyaris
menjadi korban. Namun aku memikirkan kemungkinan lain
lagi sekarang, karena pasukan pengawal raja kukira tidaklah
mungkin tertipu begitu saja. Dengan dukungan pengawal
rahasia istana, semestinya sekali mereka menyelidiki, tiada
alasan untuk tidak sampai ke arah yang tepat; tetapi bukan
saja mereka belum berhasil, bahkan segenap mata-matanya
juga sudah ditewaskan.
Memang dari ketiga orang berkuda hitam yang tewas
waktu itu, belum dapat dipastikan apakah mereka bekerja
demi kepentingan pengawal rahasia istana, karena jaringan
rahasia Cakrawarti yang merasuk ke segala lapisan,
kupertimbangkan telah menyelundupkan sejumlah anggota
Kalapasa sebagai pengawal rahasia istana. Namun jika
pertimbanganku keliru, tetap saja jalan yang menunjukkan
keberadaanku masuk akal kukatakan sudah tertutup. Sebab
jika tidak, tentu sudah terlalu banyak tantangan maupun
serangan gelap yang harus kulayani.
Hanya satu orang yang kukira berusaha keras mengetahui
keberadaanku maupun siapa diriku. Ia sudah berada di arah
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
yang tepat, seperti diceritakan Nawa, bahwa ia te lah bertanyatanya adakah di kampung ini seorang pendekar yang disebut
Pendekar Tanpa Nama, tetapi aku tidak pernah menunjukkan
tanda-tanda yang membenarkannya. Bahkan juga setelah
diketahuinya betapa aku telah menulis dan menyimpan
keropak lontar yang cukup banyak di pondokku. Ia memilih
untuk mengamatiku dari kejauhan, siang dan malam, seperti
pernah kukatakan, dan bukannya diriku tiada mengetahuinya.
Aku berpikir, mungkinkah kini dirinya ingin menarik
perhatianku" Dialah satu-satunya manusia yang mengetahui
diriku berada di sini. Sangatlah mungkin baginya untuk
menyampaikan pesan terpercaya, yang dengan dungu akan
diikuti pula, karena memang bukan pengawal rahasia istana
yang dipancingnya!
Namun jika perhitunganku ini tidak terlalu keliru, tidakkah
berarti ia sebetulnya kejam sekali" Karena para anggota
pasukan pengawal raja itu telah dijebaknya dalam jerat tipu
daya, dengan kesadaran penuh bahwa mereka semua akan
dibunuhnya sendiri!
Aku menghela napas panjang. Apakah yang diinginkannya
dariku" Di halaman masih terdengar teriakan riuh rendah para
budak. "Awas! Awas! Jangan lewat tempat berbatu itu!"
Namun agaknya budak yang menghela di depan sudah
telanjur berjalan di atas batu. Ini gerobak yang membawa
kepala pasukan membatu, tetapi yang sebetulnya rapuh
seperti arang itu. Bagaikan patung yang berdiri di atas
gerobak, mengacungkan cambuk yang tampak begitu siap
untuk melecut. "Awaaaass!!"
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Gerobak itu melonjak, mayat kepala pasukan yang kaku
beku itu terpental.
"Aaaaahhhh!"
Orang banyak berteriak melihatnya, karena tubuh yang
mematung serapuh arang ini jatuh berdebum di atas tanah
dalam keadaan terpisah-pisah. Tangannya yang memegang
cambuk lepas, kepalanya menggelinding, dan tubuhnya pun
patah terbagi antara pinggang ke atas dan pinggang ke
bawah. Aku masih berada di dalam bilik. Menyadari sepenuhnya
betapa setiap orang yang mengenalku di sini mengetahui aku
tidak mempunyai nama. Namun kurasa dunia persilatan masih
terlalu berjarak dari dunia orang awam, sehingga tidak
mungkinlah siapapun di sini akan menghubungkan diriku
Buddha Pedang Dan Penyamun Terbang Naga Bumi Ii Karya Seno Gumira di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan Pendekar Tanpa Nama yang nyawanya dihargai
10.000 inmas tersebut.
Betapapun aku merasa masih aman untuk menulis terus di
sini. Ya, menuliskan segala sesuatunya seperti bersilat, tentu
bersilat seperti berpikir, dan berpikir seperti menulis!
(Oo-dwkz-oO) Episode 181: [Orang-orang Tersingkir]
Kabut turun kembali menyelimuti Kampung Jembatan
Gantung. Dari rumah-rumah yang menempel di dinding seperti
sarang burung walet ini segalanya hanya tampak sebagai
kekelabuan yang rata. Negeri Atap Langit memiliki
perbentengan alam yang sangat kuat untuk menghadapi
serangan dari bangsa-bangsa lain, tetapi di dalam negerinya
sendiri, perpecahan yang tidak kunjung usai, semakin lama
semakin memperlemah wangsa yang telah membawa negeri
itu ke puncak kejayaan dan peradaban, yakni Wangsa Tang.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
DALAM Pemberontakan An Lushan antara tahun 755
sampai 763, kekacauan bahkan dapat membuat Maharaja
Xuanzong memerintahkan hukuman mati bagi selirnya yang
terkasih, Yang Guifei. Peristiwa itu terjadi ketika rombongan
istana mengungsi, dan pada 756 para pengawal berhasil
membunuh Perdana Menteri Yang Ghuozong, serta memaksa
agar Yang Guifei yang cerdas disingkirkan juga. Tercatat
dalam sejarah, bahwa dalam peristiwa 41 tahun lalu itu, orang
kebiri Gao Lishi melaksanakan perintah maharaja dengan cara
mencekiknya di sebuah kuil. Dengan meyakinkan mayatnya
diperlihatkan, dan karena itulah para pengawalnya tetap setia,
sementara rombongan itu sendiri telah menjadi tercerai berai.
"Saat itu," kata Angin Mendesau Berwajah Hijau,
"sebetulnya Yang Guifei masih hidup!"
Bagaimanakah ucapan seseorang bisa dipegang" Setelah
dibiasakan menggauli kitab-kitab, baik keropak lontar di
Javadvipa maupun gulungan kain sejak dari Kuil Pengabdian
Sejati, aku mengerti betapa sekali dituliskan aksara tidak akan
pernah berubah lagi. Namun cerita lisan dari mulut ke mulut,
akan selalu terceritakan dalam penafsiran pengujarnya, dan
apabila sang juru cerita memiliki kepentingan tertentu dalam
apa yang diceritakannya, maka disadari atau tidak tentu
berpengaruh kepada nada, sudut pandang, maupun semangat
penceritaannya.
Adapun cerita Angin Mendesau Berwajah Hijau ini sama
sekali berbeda. Yang Guifei yang telah diketahui semua orang
mati dicekik Gao Lishi dikatakannya masih hidup. Bahkan saat
itu hamil besar dan me lahirkan pula. Konon itulah pula
sebabnya maka Gao Lishi tidak tega membunuhnya.
"Yan Zi ini adalah anak Yang Guifei dari Maharaja
Xuanzong," ujar Angin Mendesau Berwajah Hijau, "makanya ia
disembunyikan di sini, bahkan di kampung ini hanya yang
berada di ruangan inilah yang mengetahui siapa sebenarnya
Yan Zi. Jika mata-mata kerajaan mengetahui keberadaan
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
seorang anak Maharaja Xuanzong dari kandungan Y ang Guifei,
niscaya segala kekuatan yang ada dikerahkan untuk menjejaki
dan menjejaki dan melenyapkannya, sebagai bibit manusia
yang terlarang untuk hadir di muka bumi."
Aku pernah membaca bagaimana kemudian seluruh
kerabat Yang Guifei di wilayah Szechuan diburu untuk
dibantai, dan ini tentu mengingatkan diriku pula, bahwa dalam
catatan yang kubaca di Kuil Pengabdian Sejati dituliskan
betapa Yang Guifei diperintahkan mencekik dirinya sendiri
dengan kain sutera. Mungkinkah" Berbagai cerita yang
berbeda tidaklah muncul tanpa sengaja, melainkan demi
jaringan penyebab yang sangat rumit pula.
Bahkan dalam bentuk tulisan, kepentingan bukan tidak
mengendap dalam pengarahan, meskipun bagi pembaca
segala sesuatunya lebih memberi kesempatan untuk
mempertimbangkan. Adapun dalam cerita lisan, yang dalam
hal cerita seorang Angin Mendesau Berwajah Hijau tidak
dimaksudkan sebagai hiburan maupun tontonan, melainkan
perbincangan yang sungguh-sungguh demi kehidupan seorang
perempuan, bukan berarti aku tidak waspada terhadap
pembelokan catatan, melainkan sungguh aku harus bersikap
sopan. Artinya pengetahuan yang kudapat sebelumnya
mengenai Yang Guifei yang tewas mengenaskan dalam usia
43 tahun itu tidaklah harus membuat aku mempertanyakan,
karena apapun yang menjadi latar belakang, Angin Mendesau
Berwajah Hijau pada dasarnya ingin menyerahkan Yan Zi
sebagai titipan.
"Sejak dilahirkan 41 tahun yang lalu Yan Zi menjalani
kehidupan sebagai pelarian, sampai akhirnya kami menemukan dan membangun persembunyian ini," Angin
Mendesau Berwajah Hijau me lanjutkan, ikini sudah waktunya
ia pergi mengambil haknya dan melihat dunia."
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Aku memandang Angin Mendesau Berwajah Hijau, maupun
Serigala Hitam dan Serigala Merah, dengan wajah kurang
mengerti. Angin Mendesau Berwajah Hijau tersenyum sambil
mengelus jenggotnya yang putih.
"Tentu saja Pendekar Tanpa Nama belum paham. Yan Zi
bukannya ingin diakui sebagai keluarga istana, melainkan
wajib mengambil kembali pedang mestika warisan leluhurnya,
yakni Pedang Mata Cahaya, yang dirampas dalam penjarahan
di Szechuan. Pedang itu merupakan pasangan, maksudnya
seperti sepasang mata, yang jika keluar dari sarungnya saja,
jika dipegang dengan tenaga dalam cahayanya sudah bisa
menggoreskan luka mematikan.
"Ketika mengungsi dari Changian, Pedang Mata Cahaya
yang untuk dipegang tangan kanan berada di dalam tumpukan
busana Yang Guifei. Orang kebiri Gao Lishi yang
menemukannya segera menyimpan pedang itu, yang
diperlakukannya
seperti milik sendiri supaya tidak mencurigakan. Adapun Pedang Mata Cahaya yang untuk
dipegang tangan kiri berada di tempat tinggal ayahnya di
Szechuan. Ketika berlangsung pembantaian seluruh kerabat
Yang Guifei, yang dianggap merupakan sumber kekacauan
pemerintahan Wangsa Tang, pedang itu menjadi barang
jarahan, yang tentunya menjadi barang perbendaharaan
istana. 'YAN Zi sejak bayi hidup bersama kami dan belum pernah
keluar dari wilayah ini, kecuali ketika tinggal di Perguruan
Shaolin untuk belajar ilmu silat. Itu pun tidak pernah pergi ke
mana pun karena memang dilarang keluar dari balik tembok.
Sebetulnya Perguruan Shaolin hanya mengajarkan ilmu silat
kepada para bhiksu atau bhiksuni, tetapi mereka bersedia
mengajar Yan Zi setelah kami temui bhiksu kepala, dan
menceritakan segalanya, antara lain suatu ketika ia harus
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
mengambil kembali Pedang Mata Cahaya yang untuk dipegang
tangan kiri dari dalam istana.
''Pedang Mata Cahaya yang untuk tangan kanan sudah
dikirimkan oleh Ghao Lizi secara rahasia, melalui segala
jaringan yang memungkinkan, bersama bayi Y ang Guifei, yang
diselundupkan bersama para pemberontak yang setelah
dikalahkan segera melarikan diri ke perbatasan. Tidakkah
aneh bahwa para pemberontak berhubungan dengan Gao
Lishi" Dalam jaringan kerahasiaan lawan bisa menjadi kawan
dan kawan bisa menjadi lawan, apalagi terdengar desas-desus
bahwa bayi itu bukan anak Maharaja Xuanzong melainkan An
Lushan! ''Sementara Ghao Lizi mungkin saja menotok jalan darah
Yang Guifei agar tampak seperti orang mati, memang masih
belum jelas siapa yang menghuni kuburannya sekarang, dan
bagaimana caranya menyembunyikan Yang Guifei sampai ia
melahirkan. Namun hanya orang terpercayalah yang akan
mendapat jalan sampai ke tempat ini mengantar s i bay i. Kami
menerimanya bukan karena dia anak maharaja atau
pemberontak, tetapi karena anak siapapun dia, sangat
mungkin dibunuh jika diketahui s iapa ibunya.
''Bhiksu kepala Perguruan Shaolin itu menyanggupi,
meskipun katanya melanggar peraturan, yang membuat Yan
Zi tidak boleh terlihat orang luar tinggal bersama mereka.
Tidak kurang dari dua puluh tahun Yan Zi belajar ilmu silat di
sana. Namun bhiksu kepala itu sebelum meninggal dunia
sempat berkata, meski ilmu silat Yan Zi sangat tinggi, jangan
mimpi bisa menembus penjagaan istana jika jurusnya masih
dapat terlihat oleh orang-orang sungai telaga. Ia berkata, Yan
Zi hanya akan dapat mengambil pedang Mata Cahaya untuk
tangan kiri yang persembunyiannya pun belum jelas tersebut,
jika ia sanggup memainkan jurus-jurusnya sehingga tidak
dapat dilihat, atau masuk bersama seseorang yang sudah
mampu melakukannya.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
''Serigala Merah telah menyaksikan bahwa gerakan
Pendekar Tanpa Nama tidak dapat dilihat, bahkan oleh orangorang sungai telaga dan rimba hijau yang ilmu silatnya sudah
sangat tinggi. Tidak usah dijelaskan lagi bahwa kami sangat
mengerti, bahkan telah lancang menguji kepandaian pendekar
yang mengaku tidak bernama, dan kami merasakan sendiri
betapa ilmunya memang tinggi. Mohon kiranya sudi menemani
dan menjaga Yan Zi untuk mengambil Pedang Mata Cahaya
untuk tangan kiri di istana Chang'an.''
Setelah menutup kalimatnya, baik Angin Mendesau
Berwajah Hijau, maupun Serigala Hitam dan Serigala Merah,
segera berlutut, membungkuk, dan mengetuk-ngetukkan
kepalanya ke lantai berkali-kali.
Aku menghela napas. Dengan cara seperti itu, dibandingkan dengan Negeri Atap Langit, orang-orang
Javabhumipala tampak sombong.
(Oo-dwkz-oO) AKU memang harus berangkat, dan aku memang ingin
segera berangkat, karena meskipun Kampung Jembatan
Gantung yang rumah-rumahnya menempel seperti sarang
burung walet ini bagaikan begitu menarik untuk dihuni,
pikiranku tak bisa kulepaskan dari Harimau Perang. Aku tidak
ingin kehilangan jejaknya lagi, apalagi ketika aku justru
berpeluang mencegatnya. Namun siapakah kiranya akan
mengira, bahwa akhirnya diriku bahkan mendapat beban
tugas tambahan, yakni mengawal Yan Zi dalam usahanya
mengambil Pedang Mata Cahaya" Serigala Hitam dan Serigala
Merah tentu juga telah menyampaikan kepada Angin
Mendesau Berwajah Hijau bahwa aku sedang melacak jejak
seseorang yang kusebut Harimau Perang, tetapi baiklah
kupercayakan saja betapa dengan segala pengertian tetap
saja tugas itu dibebankan kepadaku karena tiada lain pilihan.
Betapapun aku tidak boleh mengeluh dan memikirkan diriku
sendiri. Kong Fuzi berkata:
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
manusia unggul mengerti apa yang benar
manusia rendah mengerti apa yang laku dijual
Setelah kami semua bersama-sama minum teh oolong yang
sungguh mengembalikan kekuatan tubuh, Y an Zi meminta diri
untuk mengambil barang bawaan dan menyiapkan kuda. Aku
memang merasa kehilangan kudaku, dan sejak kemarin
bertanya-tanya di manakah kiranya kuda bisa merumput di
tempat setiap orang seolah-olah akan selalu bisa terpeleset
melayang ke jurang seperti ini.
NAMUN sebentar kemudian Yan Zi telah melayang kembali
dengan wajah pucat. Angin Mendesau Berwajah Hijau serta
Serigala Hitam dan Serigala Merah segera berkelebat
mengikutinya. Hubungan batin keempat orang ini tampaknya
begitu kuat, sehingga hanya perlu sekilas pandangan mata
sahaja untuk menggantikan seribu kata berbusa. Aku pun
tentunya ikut berkelebat menyusul mrereka dari belakang.
Mereka langsung melayang masuk ke balai pertemuan yang
juga menempel di dinding seperti sarang burung walet,
tempatku menginap semalam. Di dalam kulihat lelaki tua
berjubah ungu itu sudah tertelungkup, dengan cawan yang
sudah terguling dan air tehnya menggenang pada meja
pendek. Sebagian air teh itu juga sudah membasahi kertas yang
sudah bertulisan. Rupanya lelaki tua berjubah itu menyeduh
teh sebelum menulis, dan sempat meminumnya selagi
menulis, tetapi kemudian tertelungkup karena ternyata
kehilangan nyawanya. Pasti kejadiannya belum lama. Ia sudah
menulis ketika aku keluar dari balai pertemuan ini tadi pagi,
dan waktu itu di meja pendek tempat lelaki tua tersebut
menulis belum kulihat teko maupun cawan berisi teh panas. Di
balai pertemuan itu memang terdapat irisan daun teh pada
suatu tempat dari anyaman bambu, agar siapapun
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
menyeduhnya sen-diri dengan air panas. Di belakang balai,
terdapat tempat untuk memasak air itu.
Berarti kejadiannya memang belum lama, berlangsung
ketika Angin Mendesau Berwajah Hijau mengisahkan riwayat
Yan Zi, yang berlanjut dengan acara minum teh. Setelah aku
pergi ia berhenti menulis, menyeduh teh, dan kembali ke
mejanya. Ketika mulai menulis kembali, ia minum teh dari
dalam cawan yang sudah disiapkannya sendiri....
"Racun...," desis Angin Mendesau Berwajah Hijau.
Kuamati permukaan genangan air teh yang tumpah dari
cawan di atas meja, meski samar terlihat kebiru-biruan.
Meskipun ilmu pemunah racun yang bekerja dengan
Buddha Pedang Dan Penyamun Terbang Naga Bumi Ii Karya Seno Gumira di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sendirinya sebagai warisan Raja Pembantai dari Selatan sudah
menguap bersama dengan penguasaan atas
filsafat Nagarjuna, pengenalan tersembunyi tentang racun itu tidak
pernah hilang, meski aku sendiri tidak merasa pernah belajar
cukup sungguh perihal racun.
Serigala Hitam segera memeriksa teko, dan Serigala Merah
membuka tutup penyimpan irisan-irisan daun teh. Sementara
Angin Mendesau Berwajah Hijau menyelamatkan kertas
bertulisan yang dirayapi resapan air.
"Racun itu berasal dari sini," ujar Serigala Hitam.
"Ya, daun-daun teh ini bersih," ujar Serigala Merah.
Masalahnya, siapa yang telah memasukkan racun itu ke
dalam teko" Yan Zi yang sejak tadi bagaikan tersihir
berkelebat menghilang. Tentu ia mencari orang-orang yang
mengurus balai pertemuan,
termasuk merekas yang
mempersiapkan irisan-irisan daun teh dan menyediakan segala
peralatan yang ada di situ, antara lain ceret, teko, maupun
cawan untuk minum teh.
Tubuh orang tua itu masih hangat. Barangkali nyawanya
baru saja lepas dalam sekejap mata. Aku mengerti betapa
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
persoalan bisa menjadi pelik, bukan sekadar karena seorang
tua yang lidahnya dipotong mati diracuni ketika sedang
menulis, melainkan karena seseorang telah diracuni di dalam
Kampung Jembatan Gantung yang sangat ketat pertahanannya atas penyusupan dari luar. Satu kali sahaja
suatu titik tembus, meski hanya oleh satu orang, sangat
mudah segera berubah menjadi satu pasukan, yang niscaya
akan membakar, menjarah, membunuh, dan memperkosa,
memusnahkan segalanya yang dianggap sebagai bibit-bibit
pemberontakan. Pikiran, itulah masalahnya, tidak harus pikiran
untuk memberontak, bahkan berpikir untuk tidak menjadi
sama, melainkan untuk menjadi berbeda, meskipun hanya
sebagai pikiran, bagi kekuasaan yang menghendaki
kemutlakan, sudah lebih dari cukup untuk sebuah
pembasmian. Keadaan harus dianggap genting bagi Kampung Jembatan
Gantung jika telah berlangsung penyusupan yang mampu
menembus tabir tanda-tanda rahasia penuh jebakan
menyesatkan, maupun lolos dari mata tajam para penjaga
batas-batas perkampungan. Pembunuhan seorang tua
berjubah ungu yang bekerja di istana, tetapi yang sudah lari
jauh ke pelosok seperti ini, bahkan ke suatu tempat yang amat
sangat tersembunyi, tentu dilakukan petugas rahasia yang
dengan suatu cara telah membongkar kunci-kuncinya. Namun
aku tahu, mengingat begitu mustahilnya Kampung Jembatan
Gantung ini ditemukan dalam berpuluh-puluh tahun perburuan
oleh para petugas rahasia, yang sangat ditakuti oleh Angin
Mendesau Berwajah Hijau adalah terdapatnya mata-mata
tidur, yakni mata-mata yang telah ditanam selama berpuluhpuluh tahun, hanya untuk melakukan tindakan pada saat yang
sangat amat menentukan.
MUNGKINKAH terdapat mata-mata tidur di antara semua
orang yang telah mereka kenal dengan akrab ini" Bahwa
hampir setiap warga Kampung Jembatan Gantung memiliki
kemampuan tempur yang diwariskan oleh para pemberontak
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
gagah berani tentu sudah menjadi pengetahuan bersama.
Namun jika dengan kemampuan yang tinggi salah seorang
warga ternyata adalah mata-mata tidur, pada dasarnya
riwayat Kampung Jembatan Gantung sebagai benteng
persembunyian terakhir sudah tamat. Akupun takbisa
membayangkan, seseorang menunggu dengan tabah dan
sabar selama berpuluh-puluh tahun, untuk suatu ketika
memutuskan bahwa orang tua berjubah ungu itu tergolong
ancaman bahaya yang harus dimusnahkan. Sebelum ia
menulis lebih banyak lagi.
Cara berpikir semua orang yang ada di ruangan ini ternyata
sama. ''Mengapa kertas bertulisan ini tidak diambilnya"'' ujar
Angin Mendesau Berwajah Hijau.
Serigala Hitam yang memeriksa teko, ceret, maupun
cawan, juga seperti Serigala Merah, dengan mengendusendusnya, rupanya sangat memahami ilmu racun.
''Racun ini tidak mungkin dibuat di sini, bahannya tidak
terdapat di Negeri Atap Langit,'' katanya.
Sesuatu terasa bergerak di dadaku. Tidakkah hanya diriku
satu-satunya unsur asing di sini" Apakah mereka akan
menggeledahku"
Betapapun jika mereka berminat melakukannya, aku merasa hal itu masuk akal. Meski ternyata
lanjutan kata-katanya membuat diriku tenang.
''Racun ini kepahitannya memang mirip teh,'' ujar Serigala
Hitam yang bahkan berani mencecap dengan lidahnya, dari air
teh yang ia tuangkan sedikit ke punggung tangannya, ''maka
sama sekali tidak mencurigakan.''
Ia pun mengibas-ngibaskan tangannya, sambil berteriak.
''Hanya beberapa tetes saja sudah begini gatal rasanya!''
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Angin Mendesau Berwajah Hijau yang masih memegang
kertas kemudian ikut mencicipi, tetapi yang seperti juga
Serigala Hitam segera meludahkannya keluar jendela.
''Racun ini tergolong dalam jenis-jenis racun Lendir Naga,''
katanya, ''berasal dari campuran bisa ular senduk di
Jambhudvipa dengan jamur hitam beracun dari Persia.
Campuran langka hanya bisa didapatkan para pengolah racun
yang sudah sangat tinggi tingkatnya.''
Rahasia Peti Wasiat 5 Darah Dan Cinta Di Kota Medang Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M Misteri Lukisan Tengkorak 5
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama