Ceritasilat Novel Online

Pendekar Buta 7

Pendekar Buta Karya Kho Ping Hoo Bagian 7


"Bajak laut Jepang...........!"
"Si Tengkorak Hitam..........,!" Demikian telinga Song-bun-kwi mendengar teriakan mereka yang lari ketakutan. Namun dia pura-pura tidak mendengar dan makan terus.
Para pedagang besar yang membawa banyak barang dagangan dan dikawal oleh jagoan-jagoan pengawal, sibuk mengumpulkan jagoan-jagoannya untuk melindungi barang mereka. Hanya pengawal-pengawal yang merasa dirinya berkepandaian dan mempunyai banyak teman, sedikitnya belasan orang anak buah saja yang berani menjaga barang yang dipercayakan mereka.
Begitu bajak-bajak itu mendarat, terdengar teriakan-teriakan mereka yang menyeramkan. Golok dan pedang mereka angkat tinggi-tinggi dan dengan pekik dan sorak-sorai, para bajak ini menyerbu ke darat. Segera terjadi pertempuran dengan para jagoan pengawal yang jumlahnya semua tidak kurang dari tiga puluh orang. Hiruk-pikuk suara yang bertempur, bunyi senjata tajam beradu mendencing-dencing, pekik kesakitan dan sorak kemenangan mulai terdengar bersama muncratnya darah dan robohnya tubuh manusia.
Lima orang anak buah bajak lari ke dalam restoran besar. Mereka berteriak-teriak girang karena membayangkan pesta pora. Alangkah heran hati mereka ketika melihat betapa di dalam restoran besar itu terdapat dua orang tamu yang masih belum pergi. Seorang kakek gundul berusia lanjut enak-enakan saja makan, sedikit pun tidak melirik kepada lima orang bajak yang memasuki restoran. Malah ketika seorang bajak memekik-mekik sambil menendang meja sampai terguling, dia malah mengangkat guci araknya dan minum seenaknya.
Orang ke dua adalah laki-laki berpakaian mewah yang duduk tenang-tenang saja, dengan tangan di gagang goloknya.
Para bajak itu memang sudah terlalu lama berada di lautan dan kini melihat kakek itu makan minum, mereka menjadi mengilar. Maka berebutanlah empat orang lari menghampiri Song-bun-kwi, sedangkan seorang di antara mereka tertarik akan pakaian mewah laki-laki yang duduk di pojok, maka dia lari kepada orang itu.
Sambil mengeluarkan kata-kata yang sama sekali tidak dimengerti oleh Song-bun-kwi, empat orang bajak itu menyerbu, ada yang menghantam kepala gundul kakek itu, ada yang membacok lehernya dengan golok, ada pula yang menyambar guci arak untuk merampasnya.
Kesudahannya hebat sekali. Kakek itu tanpa menoleh barang sedikit, menggerakkan tangan yang memegang sumpit, perlahan saja tapi cepat seperti kilat menyambar. Empat orang bajak seketika seperti orang terlongong, lalu membalikkan tubuh dan berjalan terhuyung-huyung ke pintu restoran, mulut mereka bergerak-gerak hendak memekik akan tetapi yang keluar hanya suara mengorok seperti babi disembelih! Dan sebelum mereka tiba di tempat teman-teman mereka di luar, robohlah mereka, terkulai satu-satu, dan hampir berbareng mereka mengeluarkan suara jeritan ngeri!
Kepala bajak yang gemuk pendek itu hebat sekali. Pedangnya yang panjang dan bengkok menyambar-nyambar dan banyaklah jagoan pengawal roboh dengan leher putus atau dada robek oleh pedangnya. Akan tetapi selagi enak dia mengamuk, seorang temannya berteriak sambil menuding ke arah empat orang anak buah yang roboh tanpa diserang lawan itu. Si kepala bajak sekali melompat sudah tiba di situ. Dengan kaki kirinya dia membalik-balikkan tubuh empat orang anak buahnya dan........... ternyata mereka telah putus nyawanya dengan mata mendelik, mulut berdarah sedangkan leher mereka nampak bolong sebesar jari tangan! Mata kepala bajak itu menjadi merah saking marahnya. Dia juga heran karena tidak melihat lawan di dekat empat orang anak buahnya ini. Matanya lalu mencari-cari dan terlihatlah olehnya cucuran-cucuran darah merah yang tercecer sepanjang jalan dari tempat itu ke pintu restoran. Dilihatnya seorang kakek duduk di dalam restoran dan tampak pula seorang anak buahnya tengah bertempur dengan seorang laki-laki yang mainkan golok. Jelas bahwa anak buahnya itu terdesak hebat.
Sambil memekik dengan suara yang keluar dari dasar perut, kepala bajak berjuluk Tengkorak Hitam ini lalu berlari, pedangnya teracung ke depan, mulutnya memekik panjang "Yaaaaaaa!!!" Dua orang jagoan pengawal mengira bahwa kepala bajak itu hendak menerjang mereka, berbareng dua orang ini memapakinya dengan pedang mereka. Akan tetapi bukan main hebatnya kepala bajak ini. Tanpa menghentikan larinya ke arah restoran, pedang panjangnya berkelebat dan........... dua orang jagoan pengawal itu rebah dengan perut robek dan isi perutnya berantakan ke luar! Si kepala bajak terus berlari tanpa menghentikan pekiknya yang panjang menyeramkan itu.
Akan tetapi begitu sampai di ambang pintu restoran, tiba-tiha dari dalam ada bayangan menubruknya. Si Tengkorak Hitam yang baru saja berhenti memekik panjang, kini membentak, "Yaaatt" dan pedangnya yang bengkok panjang itu bergerak ke depan berkelebat menyilaukan mata.
"Craaaatttt!" Pedang yang amat tajam itu membabat pinggang bayangan itu yang........... putus menjadi dua. Darah menyembur-nyembur mengerikan dibarengi suara terbahak-bahak si kepala bajak yang tertawa girang. Tiba-tiba suara ketawanya berhenti ketika dia mendengar suara mendengus penuh ejekan di dalam restoran. Ketika dia menundukkan muka memandang, tiba-tiba muka Tengkorak Hitam menjadi pucat. Kiranya bayangan yang dibacoknya putus menjadi dua tadi adalah anak buahnya sendiri yang agaknya telah dilemparkan lawan.
Jilid 11 : bagian 2
Dia mengarahkan pandang matanya yang berapi-api ke dalam restoran. Kakek itu masih duduk makan minum sedangkan laki-laki bergolok yang tadi bertempur melawan anak buahnya sekarang berdiri dengan golok melintang di depan dada. Tengkorak Hitam tak dapat menahan kemarahannya lagi. Sekali lagi dia memekik panjang dan lari menyerbu ke dalam restoran, langsung menerjang si pemegang golok. Biasanya, tiap sabetan pedangnya tak pernah gagal, kalau tidak merobohkan lawan, sedikitnya melukai atau mematahkan senjatanya. Akan tetapi sekali ini dia salah duga. Pedangnya bertemu dengan sebuah golok yang kuat dan terdengar suara berdencing nyaring dibarengi muncratnya bunga api berhamburan. Cepat kedua lawan ini menarik senjata masing-masing, memeriksa sebentar. Lega mendapat kenyataan bahwa senjata masing-masing tidak rusak.
Tengkorak Hitam lagi-lagi menerjang, kini gerakannya lebih kuat dan cepat sekali, pedangnya berkelebat tanpa berhenti, membobat-babit dari kanan kembali ke kiri, dari atas ke bawah seperti seorang akrobat mainkan dua obor api. Laki-laki bergolok itu beberapa kali mengeluarkan seruan kaget karena hampir saja pertahanannya bobol, namun dia melawan sedapat mungkin dengan permainan goloknya.
Song-bun-kwi tidak perdulikan itu semua, masih saja makan minum. Melirik pun tidak dia. Akan tetapi ketika araknya habis, dia melingukan ke sana ke mari, lalu mulutnya mendamprat, "Pelayan keparat! Ke mana kalian" Hayo tambah lagi arak seguci penuh!"
Tentu saja tidak ada setan yang menjawabnya karena semua pelayan sudah melarikan diri jauh dari tempat itu. Song-bun-kwi marah-marah, digebraknya meja sampai mangkok-mangkok yang kosong bergulingan. "Pelayan ke mana kalian pergi?"
Tiba-tiba si pemegang golok yang menjawab, "Lo-cianpwe, semua pelayan lari ketakutan karena bajak ini!"
Baru sekarang Song-bun-kwi menengok dan melihat pertempuran itu. Dia melihat seorang laki-laki pendek gemuk berkepala botak kelimis tapi di sebelah pinggir dan belakang berambut gemuk hitam. Laki-laki pendek gemuk ini tidak berbaju, hanya bercelana panjang yang komprang (kebesaran).
Tubuhnya kelihatan kuat sekali, dan permainan pedangnya aneh bukan main, namun tak boleh dibilang lemah. Si pemegang golok yang sepintas lalu dapat dinilai oleh Song-bun-kwi permainannya sebagai ilmu golok selatan yang tidak lemah, agaknya tidak kuat menandingi ilmu pedang aneh bajak pendek itu.
Timbul kemarahan Song-bun-kwi kepada bajak itu. Benar-benar tidak memandang mata kepadanya. Sedang enak-enak makan berani datang mengacau sampai semua pelayan lari. Dengan langkah lebar dia menghampiri tempat pertempuran.
"Heh, babi buntung! Berani kau membikin kacau sampai semua pelayan pergi, ya" Hayo kau gantikan pekerjaan mereka, layani aku baik-baik!"
Si pemegang golok yang melihat cara Song-bun-kwi tadi mengalahkan empat orang bajak, dapat mengerti bahwa kakek itu adalah seorang sakti, maka sekarang melihat kakek itu mau turun tangan, dia pun cepat memutar goloknya lalu melompat ke samping menjauhi kepala bajak yang lihai.
Tengkorak Hitam kaget mendengar bentakan Song-bun-kwi. Agaknya dia sudah sering kali menjelajah pantai timur ini sehingga dia mengerti juga bahasa daerah itu. Dengan kaku dia membentak sambil mengangkat pedangnya tinggi-tinggi,
"Iblis tua bangka, kau memaki siapa?"
"Memaki kau, siapa lagi" Hayo lekas ambilkan arak seguci!" Song-bun-kwi membentak.
Bukan main marahnya Tengkorak Hitam. Dia adalah seorang kepala bajak yang sudah terkenal. Hanya di seberang sini saja dia menjadi kepala bajak, kalau sudah pulang ke seberang sana membawa barang-barang rampasan, dia adalah seorang yang memiliki gedung indah, dihormati semua orang.
Sekarang dia dihina oleh seorang tua bangka, padahal biasanya di seberang sana dia amat ditakuti orang, tentu saja dia marah sekali. Pedangnya diobat-abitkan ke atas kepala, kata-katanya tidak jelas tercampur bahasa Jepang,
"Bakeiroo...........! Kau mau mampus, ya?"
Pedang itu menyambar ke arah leher Song-bun-kwi, agaknya dengan sekali tebas Si Tengkorak Hitam hendak menjadikan kakek itu setan tanpa kepala.
Song-bun-kwi mendengus sambil bangkit berdiri, tangan kirinya membabat dari samping memapaki pedang.
"Krekkk!" Pedang itu patah-patah menjadi tiga potong saking hebatnya gempuran tangan kakek ini. Si kepala bajak seketika pucat, terbelalak memandang pedang yang tinggal gagangnya saja itu. Namun dia seorang bajak laut yang buas dan tak kenal takut. Sambil menyumpah-nyumpah dia membanting gagang pedangnya dan segera kaki tangannya bergerak-gerak mempergunakan ilmu gulat yang amat dia andalkan. Jari-jari tangannya terbuka seperti cengkeraman, siap untuk menangkap lawan dan diangkat serta dibantingkan. Biasanya tak pernah dia gagal dalam membantingkan lawan mempergunakan ilmu ini. Malah lawan yang jauh lebih muda dan lebih tinggi besar daripada kakek itu pernah dia permainkan, dia banting-banting seperti penatu membanting cuciannya.
Song-bun-kwi tidak mengenal ilmu berkelahi semacam ini, namun melihat kuda-kuda yang diberatkan ke bawah dan melihat kedua tangan yang siap mencengkeram, dia dapat menduga bahwa ilmu ini tentulah semacam Ilmu Kim-na-chiu, ilmu tangkap atau ilmu gulat. Dia terkekeh lalu mengulurkan tangan kirinya, sengaja dia berikan untuk ditangkap lawan! Seorang ahli silat tentu akan ragu-ragu dan tidak berani menerima umpan selunak ini. Akan tetapi Tengkorak Hitam agaknya tidak mengenal istilah umpan dalam ilmunya berkelahi, atau memang dia terlalu mengandalkan kepandaiannya sendiri sehingga umpan itu dia caplok mentah-mentah. Cepat laksana bintang jatuh dia menerkam maju dan di lain saat lengan kiri Song-bun-kwi sudah ditangkapnya, diputar dengan gaya selicin belut, tubuhnya menyelinap dan membalik sehingga kedudukan lengan Song-bun-kwi terbalik dan dilandaskan di atas pundaknya, kemudian dia mengerahkan tenaga dari perut sambil memekik keras, menggentak lengan kiri kakek itu dengan gaya melemparkan tubuh si kakek ke atas melewati punggung dan pundaknya.
Tubuh itu terlempar ke atas sampai membentur langit-langit rumah lalu jatuh menimpa meja makan yang belum keburu dibereskan sehingga kuah masakan dalam mangkok memercik ke atas menyiram muka orang yang jatuh itu. Tapi bukan tubuh Song-bun-kwi yang terlempar, melainkan tubuh Tengkorak Hitam sendiri! Kepala bajak ini gelagapan, cepat menyusuti mukanya, terengah-engah meloncat turun dari kursi, kepalanya digoyang-goyang keras seperti laku seekor anjing habis kecemplung kolam, matanya terbeliak memandang kakek itu seakan-akan dia tidak percaya bahwa yang baru saja dia alami bukanlah mimpi buruk.
Sambil menahan rasa nyeri di seluruh tubuhnya kembali dia menggereng dan menubruk. Kaki ini dia menangkap kaki Song-bun-kwi. Kakek itu hanya berdiri dan tunduk memandang orang pendek yang nekat itu. Tengkorak Hitam berkutetan, mengerahkan tenaga untuk mengangkat kaki itu agar dia mendapat peluang untuk melontarkan si kakek. Namun kaki itu tak bergeming sedikit pun juga. Sampai payah dia mengerahkan semua tenaga perut, ah-uh-ah-uh mulutnya terengah-engah. Mendadak kaki itu terangkat sedikit. Girang hatinya. Mampus kau sekarang tua bangka, pikirnya. Tubuhnya menyelinap ke bawah selakang kakek itu, kaki itu di pundaknya dan kini dia mengerahkan seluruh tenaganya sambil menggentak.
"Bull!" Seperti layang-layang putus talinya tubuh itu mumbul ke atas, sekali lagi menghantam langit-langit sampai jebol kemudian terbanting ke bawah membikin remuk bangku yang ditimpanya. Juga kali ini tubuh Tengkorak Hitamlah yang melayang-layang, bukan tubuh si kakek kosen.
Sakit, marah, dan malu memenuhi benak Tengkorak Hitam, apalagi ketika dia melihat betapa mulai berdatangan orang menonton. Dia menjadi nekat dan kini hendak menggunakan ilmu pukulan. Dia menerjang lagi dengan tangan terkepal. Tiba-tiba tubuhnya yang merunduk dengan kepala di depan seperti laku seekor domba hendak menanduk ayam, berhenti di tengah jalan, tepat di muka kakek itu. Kepalanya tertahan sesuatu. Matanya melirik dan alangkah marahnya melihat bahwa kakek itulah yang menahan kepalanya dengan telapak tangan. Dia mengumpat caci, kedua tangannya menghantam bergantian, disusul kakinya yang juga mengirim tendangan-tendangan maut.
Akan tetapi, serangan-serangannya mengenai tempat kosong belaka, atau tegasnya, tidak sampai di tubuh si kakek. Seperti diketahui, bajak laut itu tubuhnya pendek, kedua lengannya pun pendek-pendek sekali, demikian pula kedua kakinya. Tentu saja setelah kakek itu yang bertubuh tinggi besar dan berlengan panjang menahan kepalanya dengan lengan diluruskan, semua pukulan dan tendangannya gagal, tidak sampai ke sasarannya.
Terdengar suara ketawa di sana-sini. Bajak itu marah sekali, kini menghantam lengan yang menahan kepalanya. Sia-sia, malah kedua tangannya sakit-sakit seperti menghantam baja layaknya. Tiba-tiba dia merasa betapa telapak tangan yang menahan kepalanya itu menjadi panas sekali. Dia berusaha menarik kepalanya yang botak, namun alangkah kagetnya ketika merasa betapa botaknya itu lengket pada telapak tangan lawan. Dan panasnya tak dapat dia menahannya lebih lama, seakan-akan botaknya ditempel arang merah! Dia mulai mengerling ke luar restoran dan tanpa malu-malu lagi mulutnya berteriak-teriak memanggil anak buahnya supaya membantunya melawan kakek yang aneh ini. Akan tetapi, begitu matanya mengerling ke luar, seketika wajahnya pucat. Apa yang dilihatnya" Anak buahnya sudah tidak kelihatan batang hidungnya seorang pun, malah sebuah perahunya pun tidak tampak lagi. Pantas saja banyak orang berdatangan menonton pertunjukkan di dalam restoran, kiranya sekarang di luar restoran sudah tidak ada bajak laut lagi!
Apakah sebetulnya yang telah terjadi di luar restoran" Seperti telah kita ketahui, pada saat kepala bajak itu beraksi di depan Song-bun-kwi, para bajak laut itu sedang bertempur menyerbu para jagoan pengawal yang melawan mati-matian. Namun karena kalah banyak jumlahnya, para pengawal itu kena desak dan mulai mundur tak teratur. Mulai banyaklah berjatuhan korban di kedua fihak, terutama sekali di fihak para pengawal.
Pada saat itu, terdengar bentakan mengguntur, disusul suara nyaring,
"Keparat jahanam! Beginikah perbuatan kalian di sini" Dari rumah mengaku berdagang kiranya melakukan perampokan. Bajak-bajak keparat, membikin malu saja kalian ini. Hayo pergi!"
Yang membentak ini adalah seorang laki-laki muda yang bertubuh tegap kokoh kuat, wajahnya membayangkan kegagahan, bajunya tipis terbayang dadanya yang bidang. Rambutnya hitam panjang dan gemuk, digelung ke atas dengan model yang asing, dijepit di bagian atas dengan hiasan rambut perak.
Sebatang pedang yang panjang sekali dan bentuknya agak melengkung tergantung di pinggang. Pedang ini sarung dan gagangnya berukir kembang-kembang indah, merah warnanya, dengan ronce-ronce merah pula, gagangnya agak panjang.
Para bajak laut kaget mendengar suara bangsanya sendiri, karena pemuda itu tadi menggunakan bahasa Jepang. Ketika menengok, mereka lebih kaget lagi karena dari dandanan, sikap, dan pedang pemuda itu, mudah diterka bahwa pemuda itu adalah seorang pendekar Samurai, yaitu golongan pendekar pedang yang amat terkenal di Jepang.
Akan tetapi karena pendekar itu masih amat muda, paling banyak dua puluh tahun usianya, apalagi karena bajak laut itu mengandalkan banyak teman dan bukan berada di daratan sendiri, mereka tidak takut.
"Berhenti dan pulang semua kataku!" Pendekar Samurai muda itu berseru lagi, suaranya benar-benar nyaring dan wibawa.
Ketika para bajak itu tidak memperdulikannya, tiba-tiba dia menggerakkan kedua tangan, sinar kemerahan berkelebat-kelebat menyambar bagaikan kilat di musim hujan. Terdengar pekik dan jerit di sana-sini dan di mana sinar kemerahan itu tiba, tentu ada bajak yang roboh dengan senjata mereka terlempar atau patah!
"Hayo siapa tidak menurut, akan kubasmi di sini juga. Memalukan orang-orang macam kalian ini!" lagi-lagi si pemuda berteriak. "Samurai Merah tak mengijinkan kalian merusak nama kehormatan bangsa!"
Melihat sepak terjang pemuda itu dan mendengar nama sebutan Samurai Merah, para bajak kaget dan ketakutan, Itulah nama pendekar yang amat terkenal kebengisannya terhadap para penjahat. Mereka segera membuang senjata masing-masing, menyambar tubuh teman-teman yang luka atau tewas, lalu berserabutan lari ke perahu masing-masing. Dalam sekejap mata saja bajak-bajak itu sudah berlayar pergi, tidak merampok apa-apa hanya meninggalkan korban-korban di fihak pengawal dan saking bingung dan takutnya mereka tadi lupa bahwa kepala mereka, Tengkorak Hitam masih tertinggal di dalam restoran!
Para pengawal kagum dan berterima kasih kepada pendekar Jepang itu. Akan tetapi berbareng dengan kaburnya para bajak laut, pendekar muda Jepang itu pun lenyap dari situ. Apakah dia ikut dengan perahu-perahu bajak atau tidak, tak seorang pun mengetahui karena tadi keadaannya kacau-balau. Akan tetapi ketika orang-orang ini mendengar adanya pertempuran lain di dalam restoran, segera mereka mendatangi tempat ini dan ternyata mereka menjadi saksi akan pertandingan yang lebih menarik lagi karena lucu sekali. Juga para jagoan pengawal itu diam-diam kaget dan kagum ketika mengenal bahwa yang sedang dipermainkan kakek tua itu bukan lain adalah Tengkorak Hitam, si kepala bajak yang terkenal akan kekejaman, keganasan dan juga kesaktiannya.
Pertempuran di dalam restoran itu memang lucu sekali, terutama bagi para penonton yang kesemuanya membenci si kepala bajak. Tengkorak Hitam seperti seekor cecak terjepit pintu. Kepalanya yang botak menempel pada telapak tangan kakek itu yang diluruskan ke depan. Pukulan dan tendangannya gagal semua tidak mengenai sasaran, malah dia sekarang mulai meringis-ringis dan keluar air mata dari kedua matanya tanpa dia sengaja. Air mata ini keluar saking nyerinya ketika dari telapak tangan itu keluar hawa panas seperti api yang membakar kepalanya yang botak. Akhirnya dia tak tahan lagi, menjerit-jerit dan melolong-lolong minta ampun dengan suaranya yang pelo (cedal),
"Ampun, orang tua gagah........... ampun..........."
Song-bun-kwi mendengus. Dia pun tidak suka dijadikan tontonan. "Aku sedang makan kau membikin ribut saja, menyebalkan sekali! Hayo lekas kau ambilkan tambahan arak!" Sekali dia mendorongkan lengannya, kepala bajak itu terlempar ke belakang menabrak bangku. Dengan muka pucat dan tubuh menggigil kepala bajak yang biasanya ditakuti orang ini merangkak bangun, sedangkan Song-bun-kwi dengan tenang duduk kembali ke bangkunya menghadapi meja makan. Dengan kening berkerut dia mengomel panjang pendek,
"Menyebalkan! Makanan ini sudah dingin semua, araknya sudah habis!"
Tiba-tiba para pelayan berdatangan membawakan arak dan masakan-masakan baru. Seperti menyulap saja tukang-tukang masak berlomba membuatkan masakan untuk kakek yang gagah perkasa ini.
Adapun kepala bajak Si Tengkorak Hitam tadi sudah menjadi bulan-bulan kemarahan para penduduk dan para jagoan pengawal. Dia diseret keluar dan digebuki sampai terkencing-kencing dan orang-orang baru menyudahi penyiksaan mereka setelah kepala bajak yang sudah membunuh ribuan itu tak bernapas lagi. Setelah itu barulah ramai-ramai mereka mengubur para korban dan merawat para pengawal yang terluka. Sebentar saja kota pelabuhan itu menjadi ramai lagi seperti biasa. Kali ini memang sepatutnya mereka bergembira karena bukankah bajak laut-bajak laut yang menyerbu itu selain dapat dihancurkan, juga kepalanya dapat ditewaskan" Jarang terjadi hal ini dan patut mereka bergembira.
Song-bun-kwi menoleh ke arah laki-laki yang tadi merupakan orang satu-satunya yang tidak lari dari restoran. Kebetulan laki-laki itu juga memandang kepadanya dan laki-laki itu cepat berdiri membungkuk dengan hormat lalu berkata,
"Saya merasa tunduk dan kagum sekali atas kegagahan locianpwe,"
Song-bun-kwi mengerutkan keningnya yang mulai beruban, lalu dia melambaikan tangan, "Hayo kau ikut makan dengan aku. Biarpun kepandaianmu tidak seberapa, tetapi keberanianmu membikin kau cukup berharga untuk makan bersamaku."
Laki-laki itu tidak merasa tersinggung atau tak senang mendengar kata-kata yang angkuh ini. Cepat dia datang sambil membungkuk-bungkuk menyatakan terima kasihnya. Dengan lagak amat sopan dia lalu menarik bangku dan duduk di depan Song-bun-kwi. Menyaksikan sikap merendah-rendah ini diam-diam Song-bun-kwi mendapat kesan tak baik dan menganggap laki-laki ini sikapnya terlalu menjilat-jilat. Akan tetapi karena sudah terlanjur, dia lalu menyilahkan laki-laki itu menikmati minuman dan masakan yang sudah disediakan oleh para pelayan yang merasa amat berterima kasih kepada dua orang itu karena sesungguhnya apabila tidak ada dua orang tamu itu, tentu restoran mereka sudah habis dan rusak oleh para bajak.
Akhirnya Song-bun-kwi merasa kenyang juga. Dengan lengan bajunya yang lebar dia mengusapi mulutnya dan tangan kirinya mengelus-elus perut. Laki-laki di depannya itu membungkuk sambil tersenyum dan berkata,
"Locianpwe yang gagah perkasa, saya bernama Teng Cun Le dari kota raja, seorang pelancong biasa. Bolehkah kiranya saya mengetahui nama Locianpwe yang mulia?"
Sebal hati Song-bun-kwi mendengar ini. Dia sudah menyesal dan kecewa mengapa dia tadi mengundang orang ini yang kiranya hanya mendatangkan kesebalan di hatinya dan mengganggu ketenteramannya seorang diri. Dengan gerakan tangan tak sabar dia menjawab, "Aku she Kwee........... sudahlah."
Tiba-tiba dia teringat sesuatu dan cepat berkata,
"Kau tentu tahu akan semua bajingan di daerah pantai timur ini, bukan?"
Orang itu terkejut, gugup bagaimana harus menjawab. Tapi segera dia dapat menguasai hatinya. "Apakah yang Locian-pwe maksudkan" Kalau yang dimaksudkan bangsat-bangsat cilik tiada nama, tentu saja saya tidak kenal.
Akan tetapi tokoh-tokoh besar di pantai timur ini banyak juga yang saya ketahui."
Wajah Song-bun-kwi yang biasanya seperti kedok itu kini membayangkan kegirangan, "Bagus, kalau begitu, hayo lekas kau tunjukkan di mana tempat tinggal si iblis bangkotan Thai-lek-sin Swi Lek Ho-siang?"
"Tentu saja aku tahu, Locianpwe. Akan tetapi pada waktu ini hwesio tua itu tidak berada di kelentengnya. Saya mendengar dari teman-teman bahwa dia seringkali berkunjung dan tinggal di tempat lain..........."
"Sayang sekali!" Song-bun-kwi membanting kakinya sehingga tanah dalam rumah makan itu tergetar. Kembali laki-laki yang mengaku bernama Teng Cun Le itu tercengang kagum. "Jauh-jauh kucari iblis bangkotan itu, akan kuajak dia bertanding selama tiga malam, kiranya dia minggat dan kabur! Huh, Thai-lek-sin iblis tua bangka, apakah kau sudah menduga akan kunjunganku ke Sini lalu kabur" Sayang........!" Setelah berkata demikian, Song-bun-kwi bangkit dari bangkunya, kemudian tanpa pamit kepada siapa pun juga meninggalkan restoran itu!
Para pelayan berikut para pengurus semua mengantar sambil membungkuk-bungkuk dan mulut mereka berdendang, "Selamat jalan, pendekar tua yang gagah perkasa!"
Namun Song-bun-kwi tidak memperdulikan mereka dan tidak perduli pula bahwa dia tidak membayar makanan, tidak perduli betapa orang-orang memandangnya dengan kagum dan penuh hormat. Dia terus saja melangkah lebar keluar dari restoran, tidak mau tahu biarpun dapat dia melihat betapa laki-laki yang mengajaknya bicara tadi melemparkan beberapa keping uang perak ke atas meja makan dan betapa para pengurus restoran berusaha menolak pembayaran yang royal ini.
Akan tetapi sebal juga hati Song-bun-kwi ketika dia mendapat kenyataan bahwa Teng Cun Le itu mengejarnya sambil berlari-lari cepat! Setibanya di luar kota pelabuhan itu, Song-bun-kwi membalikkan tubuh, tangannya mendorong dan.......... Teng Cun Le roboh terjungkal! Baiknya Song-bun-kwi yang berwatak aneh itu biarpun marah masih ingat akan kegagahannya ketika melawan para bajak tadi, maka tidak bermaksud mengambil nyawanya. Maka dia hanya merasa terdorong oleh tenaga raksasa sehingga orang itu tidak mampu mempertahankan diri lagi dan roboh. Dengan kaget dan muka pucat Teng Cun Le merangkak bangun karena seketika dia merasa tubuhnya lemas dan kakinya lumpuh. Tahu-tahu kakek itu sudah berdiri di depannya dengan muka merah.
"Cacing busuk! Kau berani mengikuti dan mengganggu aku?" bentak Song-bun-kwi.
Melihat kemarahan kakek itu, Teng Cun Le tidak jadi berdiri, malah terus saja berlutut dan mengangguk-angguk. "Mohon beribu ampun, Locianpwe. Bukan sekali-kali maksud saya untuk mengikuti atau mengganggu Locianpwe, hanya saya amat terdorong oleh rasa kagum........... dan pula, teringat bahwa Locianpwe jauh-jauh datang mencari Thai-lek-sin Swi Lek Hosiang, agaknya saya dapat menunjukkan di mana adanya hwesio itu sekarang ini agaknya..........."
"Hemm, kenapa tidak dari tadi kau bilang" Kalau tadi-tadi kau bilang, aku takkan curiga padamu dan takkan membikin kau roboh. Orang she Teng, mari tunjukkan aku di mana adanya hwesio bangkotan itu dan kau boleh ikut dengan aku menonton pertempuran menarik antara aku dan dia," Song-bun-kwi benar-benar gembira mendengar ada orang bisa mengantar dia kepada Thai-lek-sin. Bagus untungnya, baru saja makan lezat sekenyangnya dan sedikit "berlatih" dengan Tengkorak Hitam bajak Jepang, sekarang akan dapat berkelahi sepuasnya melawan seorang tokoh setingkat!
Teng Cun Le dengan wajah berseri segera bangkit dan berkata gembira, "Wah, kalau Locianpwe hanya hendak mencari lawan tangguh, kiraku kali ini Locianpwe akan mendapat kepuasan. Menurut pendengaran saya, seringkali Thai-lek-sin Swi Lek Hosiang mengunjungi Pek-tiok-lim, tempat tinggal sahabatnya."
"Pek-tiok-lim (Hutan Bambu Putih)" Di mana itu" Tempat tinggal siapa?" Song-bun-kwi mendesak gembira.
"Heran sekali bahwa Locianpwe belum mendengar tentang Pek-tiok-lim! Di sana adalah tempat tinggal seorang tokoh besar yang tidak kalah terkenalnya kalau dibandingkan dengan Thai-lek-sin. Dia itu adalah Sin-kiam-eng (Si Pendekar Pedang Sakti), ilmu pedangnya hebat dan anak perempuannya juga bukan main. Pendeknya, kalau Locianpwe dapat bertanding melawan dia, tentu akan puas betul. Akan tetapi, saya benar-benar merasa ragu-ragu apakah saya akan mampu membawa Locianpwe ke sana."
"Kenapa?" Song-bun-kwi bertanya penasaran hatinya sudah panas mendengar orang ini memuji-muji majikan dari Pek-tiok-lim itu.
"Pek-tiok-lim adalah daerah yang penuh deggan rahasia. Jalan-jalannya amat sukar dan kabarnya, orang yang memasukinya berarti mengantar nyawa karena jangan harap akan dapat keluar kembali dengan nyawa masih di badan."
Song-bun-kwi tidak menjawab, tangan kanannya bergerak memukul dan kakinya menyapu, serangan ini dia tujukan kepada sebatang pohcm besar, sebesar tubuh manusia batangnya dan sekali kena dihajar tangan dan kaki kakek itu, terdengar suara keras dan pohon itu seketika tumbang berikut akar-akarnya terjebol dari tanah. Dengan suara hiruk-pikuk luar biasa pohon itu roboh dan orang she Teng itu buru-buru melompat jauh karena khawatir tertimpa cabang-cabang pohon itu.
"Ha-ha-hi, apakah pohon-pphon bambu putih itu melebihi pohon ini kuatnya?"
Song-bun-kwi tertawa bergelak melihat orang itu ketakutan sampai mukanya pucat dan lidahnya terjulur keluar.
"Hebat........... luar biasa........... Locianpwe seperti malaikat ..........!" Teng Cun Le memuji, benar-benar baru sekali ini selama hidupnya dia melihat manusia kosen ini. Diam-diam dia merasa girang. "Saya percaya bahwa Locianpwe pasti akan sanggup menggempur Pek-tiok-lim!"
Teng Cun Le dengan girang lalu mengajak kakek itu berlari cepat menyusuri pantai timur itu menuju ke utara. Pek-tiok-lim itu terletak di dekat pantai Laut Po-hai, dan memang tempat ini sudah bertahun-tahun dijadikan tempat tinggal seorang tokoh ilmu pedang yang terkenal, yaitu murid pertama dari mendiang Raja Pedang Bu-tek-kiam-ong Cia Hui Gan. Nama tokoh ini adalah Tan Beng Kui berjuluk Sin-kiam-eng. Seperti telah disebut di bagian depan dari cerita ini, Tan Beng Kui ini adalah kakak kandung dari ketua Thai-san-pai, dan bukan lain adalah ayah daripada si dara lincah Tan Loan Ki yang sudah kita kenal baik itu.
Benarkah Thai-lek-sin Swi Lek Hosiang seringkali datang ke Pek-tiok-lim"
Kenyataannya tidak demikian dan sebetulnya tanpa disadarinya, Song-bun-kwi sitokoh yang ditakuti dunia kang-ouw puluhan tahun yang lalu itu terkena bujukan halus. Apakah kehendak Teng Cun Le dan mengapa dia melakukan hal ini"
Teng Cun Le sebetulnya adalah seorang mata-mata dari istana. Dia adalah seorang di antara banyak kepercayaan kaisar baru untuk melakukan penyelidikan ke daerah-daerah melihat reaksi para tokoh daerah atas pengangkatan diri Pangeran Kian Bun Ti menjadi kaisar, menggantikan kaisar tua yang meninggal dunia. Teng Cun Le ini mendapat tugas memata-matai daerah pantai timur. Tentu saja seorang yang sudah dipercayai tugas seperti ini memiliki kepandaian yang cukup tinggi dan hal ini sudah terbukti ketika dia menyaksikan penyerbuan para bajak laut. Selain berkepandaian silat, juga orang yang diangkat menjadi mata-mata tentu saja orang yang cerdik dan memang Teng Cun Le ini cerdik sekali orangnya.
Beberapa hari yang lalu dia bertemu dengan seorang dara lincah yang amat menarik perhatiannya. Dara itu bukan lain adalah Loan Ki. Melihat seorang gadis muda seorang diri melakukan perjalanan, Teng Cun Le maklum bahwa gadis ini tentulah seorang gadis kang-ouw yang berkepandaian. Dia menjadi curiga dan diam-diam melakukan pengintaian. Sama sekali dia tidak menduga bahwa gadis itu benar-benar amat lihai sehingga diam-diam Loan Ki tahu bahwa dirinya diintai orang! Dasar ia seorang anak yang memiliki watak nakal dan suka mempermainkan orang, maka sengaja gadis ini di dalam kamarnya membuka buntalannya, memamerkan bekal uang dan tiga buah mutiara Ya-beng-cu yang mengeluarkan cahaya di dalam gelap! Ia lakukan ini karena tahu bahwa di luar kamar ada orang itu yang selalu mengintainya selama ini!
Teng Cun Le menjadi terkejut dan girang bukan main melihat tiga butir mutiara ini. Sebagai seorang kaki tangan kaisar, tentu saja dia mengenal mutiara itu yang tadinya menjadi penghias mahkota kuno yang telah hilang.
Memang termasuk tugasnya untuk mencari jejak bekas pembesar Tan Hok karena menurut perintah rahasia yang dia terima, mahkota itu mengandung rahasia hebat dan harus dirampas kembali ke istana. Sekarang dia melihat mutiara-mutiara itu, tentu saja girangnya bukan kepalang. Kalau ada mutiara itu tentu ada pula mahkotanya, dan kalau ada mahkotanya tentu ada pula pengkhianat Tan Hok.
Loan Ki yang nakal itu pura-pura tidak tahu bahwa ia selalu diikuti, malah dengan enak-enakan ia berjalan pulang ke Pek-tiok-lim seperti sengaja menunjukkan kepada orang itu di mana ia tinggal. Melihat betapa dengan berani mati orang itu menguntitnya terus memasuki Pek-tiok-lim, diam-diam ia tertawa geli dan sebentar saja ia lenyap di jalan rahasia dalam hutan wilayah ayahnya itu. Celakalah Teng Cun Le. Hampir saja binasa di dalam hutan ini. Untungnya dia sudah mulai curiga dan sebelumnya sudah mencari keterangan tentang keadaan di situ. Dia sudah mendengar tentang Pek-tiok-lim, tempat kediaman tokoh besar Sin-kiam-eng dan puterinya. Maka melihat keadaan hutan yang penuh bambu putih ini, dia segera sadar dengan tengkuk meremang bahwa yang dia ikuti selama ini adalah puteri Sin-kiam-eng. Inilah yang menolongnya karena dia segera meninggalkan hutan itu dan kabur tanpa berani menoleh lagi.
Demikianlah pengalaman Teng Cun Le. Hatinya masih merasa penasaran.
Segera dia mengadakan hubungan dengan kurir yang berkuda cepat ke kota raja. Alangkah kagetnya ketika dia mendengar berita bahwa memang mahkota kuno itu yang tadinya sudah terampas oleh panglima istana Souw Ki, telah dirampas kembali oleh seorang gadis liar puteri Sin-kiam-eng. Dia girang bercampur bingung. Girang karena tahu betul bahwa mahkota itu tentu berada di Pek-tiok-lim, namun bingung bagaimana dia dapat merampasnya kembali.
Dia hendak mengirim utusan ke istana, mengusulkan agar secara resmi kaisar mengutus rombongan meminta kembali mahkota itu secara baik-baik dari Sin-kiam-eng. Kalau kaisar yang minta, sudah tentu akan dikembalikan dan tidak akan terjadi sesuatu keributan. Andaikata Sin-kiam-eng berani menolak, berarti dia memberontak dan boleh saja digempur menggunakan pasukan.
Sambil menanti keputusan, Teng Cun Le iseng-iseng mendatangi kota pelabuhan dan secara tak disengaja bertemu dengan Song-bun-kwi. Dia masih belum dapat menduga siapa adanya kakek yang hebat ini, akan tetapi segera otaknya yang cerdik bekerja ketika mendapat kenyataan betapa kakek sakti ini seperti gatal-gatal tangannya hendak mencari lawan yang setingkat. Maka dia sekarang hendak mempergunakan kesaktian kakek ini untuk memasuki Pek-tiok-lim, menggunakan kesaktian kakek ini untuk merampas kembali mahkota.
Dengan cara ini, selain lebih cepat juga semua pahala akan terjatuh ke dalam tangannya.
****** "Heh, keparat! Tua bangka gila dari mana berani merusak bambu peliharaan di Pek-tiok-lim...........?" bentak dua orang penjaga yang bertubuh tinggi besar dan bersenjata pedang. Tentu saja mereka ini marah sekali melihat betapa seorang kakek tinggi besar, sambil tertawa-tawa mencabut, menendang, dan melempar-lemparkan bambu-bambu putih di hutan itu begitu mudah seperti seorang mencabuti dan membuang-buang rumput kering saja!
Jilid 12 : bagian 1
Semenjak Pek-tiok-lim dimiliki oleh majikan mereka, jangankan manusia, setan pun kiranya takkan berani merusak tanaman di situ. Eh, tahu-tahu sekarang ada seorang kakek tua ini seperti seorang gila merusak tanaman dan di belakang kakek itu berdiri seorang laki-laki berpakaian mentereng yang tertawa-tawa juga. Kakek itu bukan lain adalah Song-bun-kwi. Dia sudah mulai merusak bambu-bambu yang berada di luar hutan, dalam usahanya menyerbu Pek-tiok-lim untuk mencari Thai-lek-sin, menantangnya dan sekalian menantang pemilik hutan ini, yang menurut orang she Teng itu adalah seorang tokoh besar berjuluk Sin-kiam-eng. Sengaja Song-bun-kwi mencari perkara.
Hatinya yang mengkal terbawa dari Min-san belum mencair dan dia harus mendapatkan sesuatu untuk melampiaskan kemendongkolan hatinya.
Melihat munculnya dua orang penjaga yang memakinya, kakek itu diam saja seperti tak mendengar dan melanjutkan pekerjaannya merusak tanaman di situ. Tentu saja dua orang penjaga itu marah sekali. Sambil membentak dan memaki mereka menerjang kakek itu dengan kepalan tangan. Akan tetapi biarpun tak kompak kakek itu bergerak menangkis atau memukul, tahu-tahu dua orang itu sendirilah yang terjengkang ke belakang dengan kepala benjol-benjol karena terbanting ke atas tanah yang berbatu! Mereka kaget, heran berbareng marah. Sambil mengutuk keras mereka mencabut pedang.
"Kakek gila, kau sudah bosan hidup!" teriak mereka sambil menerjang, kini dua batang pedang itu menyambar dari kanan kiri. Namun Song-bun-kwi terus saja merobohkan dan mencabuti bambu-bambu putih tanpa memperdulikan sambaran kedua pedang. Seperti juga tadi, dia tidak tampak bergerak menangkis atau mengelak apalagi memukul, tapi tahu-tahu dua orang itu terjengkang ke kanan kiri dan pedang mereka terlepas dari tangan. Celakanya kini mereka jatuh menyusup ke tumpukan bambu yang sudah dicabut sehingga pakaian mereka robek semua dan tubuh mereka juga babak-bundas berdarah karena tertusuk batang-batang bambu.
"Ha-ha-ha, anjing-anjing rendah. Apa mata kalian buta berani menyerang locianpwe ini" Lebih baik lekas panggil ke sini majikan kalian untuk bicara." Teng Cun Le menggunakan kesempatan ini untuk memancing keluar Sin-kiam-eng.
Dua orang itu merangkak bangun lalu tiba-tiba seorang di antara mereka meniup sebuah terompet kecil yang berbunyi nyaring. Song-bun-kwi terus saja melangkah maju sambil merusak pohon-pohon bambu di kanan kiri. Teng Cun Le mengikuti jejak langkahnya, sama sekali tidak berani menyeleweng karena tahu bahwa di situ banyak tempat rahasia. Sebentar saja mereka telah memasuki hutan.
Tiba-tiba terdengar suara keras, tanah yang diinjak Song-bun-kwi melesak ke bawah dan tubuh kakek itu tergelincir masuk! Teng Cun Le menjadi pucat wajahnya. Baiknya tanah yang melesak ke bawah itu belum diinjaknya dan tepat pinggirnya berada di depan kakinya sehingga dia dapat menyaksikan betapa tubuh kakek tinggi besar itu tergelincir. Hebat dan ngerinya, dari bawah tanah menyambar puluhan batang bambu runcing seakan-akan dilontarkan ke atas, tentu saja tubuh kakek yang sedang tergelincir itu seperti dihujani bambu runcing dari bawah!
Akan tetapi Song-bun-kwi tidak kaget, malah mengeluarkan suara ketawa mengejek. Kedua kakinya menendang ke kanan kiri, lengan bajunya juga mengebut ke sekeliling tubuhnya dan ketika empat buah bambu runcing yang tepat menyambar di bawah tubuhnya sudah mendekati kaki, dia malah...........
menerima ujung bambu runcing itu dengan kedua kakinya! Teng Cun Le hampir meramkan mata saking ngerinya karena kalau kakek ini tewas, bukankah berarti dia sendiri juga terancam malapetaka" Akan tetapi, anehnya, bambu runcing empat buah itu sama sekali tidak menembus kaki si kakek, malah seperti tangan-tangan orang mendorong kakek itu mencelat kembali ke atas dan di lain saat kakek itu sudah melompati sumur besar yang terjadi karena tanah ambles itu! Dari tepi lain, kakek itu menoleh kepadanya dan memberi isyarat supaya dia melompat. Teng Cun Le cepat menggunakan ginkang melompati sumur itu dan bergidiklah dia melihat betapa ujung-ujung bambu runcing itu tampak hitam kehijauan, tanda bahwa ujungnya diberi racun!
Kini makin tebal kepercayaannya akan kelihaian si kakek. Dia kini dapat menduga bahwa kakek itu tadi telah mempergunakan ginkang yang luar biasa sekali untuk menerima serangan bambu runcing dan rnempergunakan sebagai landasan untuk melompat ke atas. Betapa hebatnya! Menggunakan landasan benda runcing untuk menggenjot tubuh ke atas hanya dapat dilakukan oleh ahli-ahli silat kelas tertinggi. Diam-diam dia mulai menduga-duga siapa adanya kakek yang sakti ini dan kadang-kadang Teng Cun Le merasa bulu tengkuknya berdiri. Dia maklum bahwa dia telah memasuki pintu perjalanan yang amat berbahaya.
Belum seratus langkah mereka maju, dari depan dan kanan kiri muncullah belasan orang bersenjata pedang atau tombak. Mereka segera mengurung dan seorang di antara mereka membentak,
"Kalian berdua menyerah saja untuk kami bawa menghadap majikan kami."
Teng Cun Le melirik dan melihat betapa orang-orang itu makin banyak saja, juga kini beberapa orang muncul di belakangnya dan sebentar saja mereka dikurung lebih dari tiga puluh orang yang dikepalai oleh empat orang yang kelihatannya gagah dan kuat. Diam-diam dia bersiap sedia dan meraba gagang goloknya.
Song-bun-kwi tertawa bergelak, lalu menoleh kepada Teng Cun Le sambil berkata, "Kau bilang majikan Pek-tok-lim tokoh yang gagah" Huh, agaknya hanya seorang kaya yang memelihara banyak anjing-anjing pemakan tahi belaka!" Hebat hinaan ini. Empat orang penjaga tanpa diperintah pemimpinnya lalu, membentak marah dan mengerjakan tombak mereka. Mereka adalah orang pemain tombak yang kuat karena mereka menerima latihan dari majikan mereka sendiri. Ujung tombak-tombak itu tergetar saking besarnya tenaga yang menggerakkan ketika menusuk ke arah Song-bun-kwi dari empat jurusan.
"Tua bangka mau mampus masih amat sombong!" bentak seorang di antara mereka. Melihat cara mereka menerjang dengan tombak, Teng Cun Le masih berdebar gelisah karena benar-benar kali ini puluhan orang yang mengurung mereka adalah orang-orang yang kuat dan tak boleh dipandang rendah seperti halnya dua orang penyerang pertama tadi. Melihat getaran ujung tombak itu dia sendiri merasa sangsi apakah dia akan dapat menangkan empat orang lawan ini sekaligus.
Akan tetapi dengan amat tenang sambil mengeluarkan suara mendengus, Song-bun-kwi menggerakkan kedua lengan bajunya. Hebat kesudahannya.
Terdengar suara pletak-pletak terpatahkannya gagang-gagang tombak itu mata tombak itu secara aneh cepat sekali menyambar ke arah tuan masing-masing. Empat orang itu memekik ngeri dan tak seorang pun di antara mereka yang dapat membebaskan diri dari serangan mata tombak mereka sendiri itu yang menancap ke dada atau perut mereka sampai tak tampak lagi.
Keempatnya roboh terjengkang, berkelojotan dan sebentar kemudian tak bergerak lagi untuk selamanya.
Hebat akibat sepak terjang kakek ini. Teng Cun Le sendiri sampai mengkirik ngeri dan memandang dengan mata terbelalak. Celaka, pikirnya, tidak dinyana sama sekali bahwa kakek ini begini ganas, sekali turun tangan membunuh empat orang. Maksudnya memancing kakek itu ke Pek-tiok-lim sebetulnya hanya hendak dia "boncengi" saja, dan hendak dia pergunakan kepandaian kakek ini untuk memaksa Sin-kiam-eng mengembalikan mahkota kuno. Siapa kira sekarang kakek itu agaknya hendak berpesta seperti tadi di restoran, kalau tadi berpesta makan minum, sekarang hendak berpesta membunuhi orang. Kalau begini caranya, kecil harapannya untuk minta kembali mahkota, karena perkelahian ini akan menjadi permusuhan hebat dan dia mau tidak mau akan terlibat di dalamnya. Celaka sekali!
Memang benar apa yang dikhawatirkan oleh Cun Le itu. Para anak buah Sin-kiam-eng menjadi kaget dan marah bukan main ketika menyaksikan tewasnya empat orang teman mereka. Sambil berteriak-teriak mereka lalu menyerbu dan di lain saat terjadilah pertempuran hebat. Song-bun-kwi dikeroyok oleh puluhan orang, dipimpin oleh empat orang gagah itu yang hebat pula ilmu pedangnya. Akan tetapi, Song-bun-kwi melayani meraka sambil tertawa bergelak-gelak seperti Seorang anak kecil mendapat permainan bagus. Harus diketahui bahwa Song-bun-kwi ini dahulu merupakan manusia berwatak iblis yang amat jahat dan kejam di samping perangainya yang aneh, kesukaannya hanya satu, yaitu berkelahi dan mengalahkan orang lain. Maka tidak aneh kalau sekarang, dalam kemarahannya terhadap cucunya, dia pergi dengan tangan dan hatinya gatal-gatal untuk mencari permusuhan dengan siapa pun juga. Tentu saja dia kurang gembira kalau bertemu dengan lawan yang rendah tingkat kepandaiannya, dan barulah dia bergembira kalau bertanding melawan jagoan yang setingkat. Makin kosen lawannya, makin gembiralah hatinya.
Karena sifat yang aneh ini pula maka dia mati-matian mencari Thai-lek-sin.
Kasihan sekali para pengeroyok itu. Mereka seperti serombongan nyamuk menyerang api. Siapa dekat dengan kakek itu pasti roboh, kalau tidak terus tewas tentu luka-luka. Siapa yang sudah roboh takkan dapat bangun untuk mengeroyok kembali karena luka yang dideritanya tentu patah tulang!
Sambil dengan enaknya membabati para pengeroyoknya seperti orang membabat rumput, kakek itu berseru berulang kali, "Panggil si tua bangka Thai-lek-sin ke sini, ha-ha-ha, dialah lawanku, panggil dia ke sini..........!"
Sementara itu, Teng Cun Le hanya berdiri di belakang Song-bun-kwi, siap dengan golok di tangannya tapi dia tidak menggerakkan golok kalau tidak diserang orang. Akan tetapi para pengeroyok juga tidak ada yang menyerangnya karena melihat betapa orang ini tidak mengamuk seperti kakek itu.
Pada saat anak buah Pek-tiok-lim itu kocar-kacir dihajar kedua lengan baju Song-bun-kwi yang amat lihat, tiba-tiba berkelebat bayangan orang yang amat cepat dan ringan gerakannya, kemudian segulung sinar pedang menyambar ke arah Song-bun-kwi.
"Ha-ha-ha, bagus!" Kakek itu yang terkejut sedetik, tertawa sambil cepat berjungkir balik ke belakang untuk menghindarkan diri daripada ancaman pedang yang gerakannya amat kuat ini. Girang hatinya bahwa akhirnya muncul seorang lawan yang tangguh ilmu pedangnya. Ketika dia sudah turun lagi ke atas tanah, dia memandang dan melihat seorang laki-laki berusia kurang lebih lima puluh tahun, bertubuh tegap bermuka tampan dan gagah, berdiri di depannya dengan sebatang pedang di tangan. Sikap laki-laki ini gagah dan berwibawa, sepasang matanya mencorong seperti mata harimau, tarikan mulutnya membayangkan kekerasan dan keangkuhan hati, pakaiannya berbentuk sederhana namun terbuat daripada sutera halus. Sungguh seorang yang gagah perkasa nampaknya dan mudah diketahui bahwa orang dengan sikap seperti ini sudah pasti memiliki ilmu silat yang tinggi.
Sebaliknya, laki-laki itu ketika melihat wajah Song-bun-kwi, segera kelihatan terkejut dan cepat menegur,
"Kiranya Song-bun-kwi Kwee lo-enghiong yang datang! Kwee lo-enghiong, apa artinya ini semua" Mengapa kau orang tua datang-datang mengamuk dan membunuh banyak anak buah dan muridku?"
Song-bun-kwi juga kaget ketika mengenal majikan Hutan Bambu Putih ini. Tak disangkanya sama sekali bahwa yang berjuluk Sin-kiam-eng itu kiranya adalah Tan Beng Kui, kakak kandung Tan Beng San ketua Thai-san-pai. Akan tetapi sebagai seorang tokoh aneh yang tak mau kalah dan selalu membawa kehendak sendiri, dia tertawa bergelak dan berkata,
"Ha-ha-ha, kaukah majikan Pek-tiok-lim" Sungguh kebetulan sekali bertemu denganmu di sini. Hayo kau suruh Thai-lek-sim si tua bangka itu keluar, biar melayani aku bertanding seribu jurus. Atau kau juga gatal tangan hendak memamerkan ilmu pedangmu" Ha-ha, kalau begitu biar aku mewakili Beng San memberi hajaran kepadamu!"
Yang amat sangat kaget hatinya adalah Teng Cun Le. Ketika mendengar bahwa kakek itu adalah Song-bun-kwi, dia merasa seakan-akan semangatnya terbang melayang meninggalkan raganya. Tentu saja dia sudah pernah, bahkan sering kali, mendengar nama Song-bun-kwi sebagai iblis yang ganas.
Siapa kira sekarang dia telah main-main dengan iblis itu! Meremang bulu tengkuknya seketika karena maklum bahwa main-main dengan seorang terkenal sebagai iblis ini sama artinya dengan main-main dengan nyawanya sendiri! Akan tetapi ketika mendengar betapa iblis tua itu malah menantang Sin-kiam-eng Tan Beng Kui, hatinya lega juga. Sudah terlanjur dia main-main, biarlah dia lanjutkan dan membonceng kesaktian, kakek iblis itu demi keuntungannya. Dia sejak tadi berdiam diri, ini penting sekali. Andaikata Song-bun-kwi kalah, dia akan mudah mencari alasan agar tidak dipersalahkan oleh Sin-kiam-eng berdasarkan tidak ikutnya mengamuk melawan anak buah Pek-tiok-lim. Sebaliknya kalau Song-bun-kwi menang, dia akan menggunakan kemenangan kakek itu untuk minta kembali mahkota kuno dari tangan orang gagah itu.
Sementara itu, Sin-kiam-eng sudah menjadi marah sekali mendengar jawaban Song-bun-kwi tadi. Dengan sikap keren dan mata berapi dia membentak.
"Tua bangka she Kwee, kau benar-benar iblis yang tidak aturan. Kalau hendak mencari Thai-lek-sin yang tidak berada di sini, atau hendak menantang aku mengadu kepandaian, kenapa mesti pakai membunuh-bunuhi orang-orangku yang tidak tahu apa-apa" Apakah ini perbuatan orang gagah?"
"Ha-ha, Tan Beng Kui bocah sombong. Kalau mereka tidak mengeroyok aku si tua bangka, apakah mereka itu bisa mampus sendiri" Hayo lekas keluarkan ilmu pedangmu, ha-ha-ha, sudah lama benar aku merindukan Ilmu Pedang Sian-li-kiam-sut, ilmu pedang yang berhasil dipakai oleh murid untuk membunuh gurunya sendiri itu, ha-ha-ha!"
Ucapan Song-bun-kwi ini benar-benar menusuk ulu hati Beng Kui. Seperti diceritakan dalam cerita Rajawali Emas, Sin-kiam-eng Tan Beng Kui ini dahulu adalah murid kepala dari Raja Pedang Cia Hui Gan dan raja pedang ini tewas karena pengeroyokan beberapa orang tokoh tinggi, di antaranya juga Song-bun-kwi Kwee Lun sendiri dan hebatnya, murid kepala itu juga ikut mengeroyok gurunya! Seketika wajah Beng Kui menjadi pucat dan dengan mata berapi dia membentak,
"Song-bun-kwi iblis laknat! Kaulah seorang pengeroyok guruku itu dan biarlah sekarang aku menebus dosa terhadap guru dengan membalaskan sakit hatinya kepadamu." Sinar berkilauan menyambar dan tahu-tahu pedang di tangan Sin-kiam-eng Tan Beng Kui telah menyerbu ke arah Song-bun-kwi.
Kaget juga iblis tua ini menyaksikan kehebatan ilmu pedang lawan. Dalam beberapa tahun ini agaknya Tan Beng Kui tidak menganggur saja, akan tetapi memperdalam ilmu pedangnya sehingga makin cepat dan kuat, mengandung hawa serangan yang dahsyat. Song-bun-kwi cepat mengibaskan ujung lengan bajunya menangkis sinar pedang yang demikian cepat mengancam dadanya.
"Brettt!" Ujung lengan baju itu terbabat putus, akan tetapi Sin-kiam-eng sendiri terhuyung mundur dua langkah. Dari keadaan ini saja dapatlah dibayangkan betapa hebatnya dua orang yang kini sedang berhadapan ini.
Keduanya adalah jago-jago tua yang tak boleh dipandang ringan. Kaget hati Song-bun-kwi, akan tetapi segera dia kegirangan sekali karena biarpun dia tidak bertemu dengan Thai-lek-sin, kiranya jago pedang ini cukup tangguh untuk dia ajak berlatih. Memang bagi seorang bangkotan seperti Song-bun-kwi, bertempur hanya merupakan latihan belaka dan luka atau tewas dalam latihan ini bukanlah apa-apa baginya, lumrah!
Terbabat putus ujung lengan bajunya, Song-bun-kwi malah tertawa bergelak.
Tahu-tahu sebatang pedang telah berada di tangannya dan segera terjadilah pertandingan yang hebat. Ilmu pedang yang dimainkan oleh Tan Beng Kui adalah ilmu pedang keturunan yang bersumber pada Ilmu Pedang Im-yang-sin-kiam pula, yaitu ilmu Pedang Sian-li-kiam-sut (ilmu Pedang Bidadari). Akan tetapi karena ilmu pedang ini dahulunya khusus diciptakan untuk pemain wanita, maka oleh Beng Kui telah diubah dan ditambah sedemikian rupa sehingga ketika dia yang mainkan, ilmu pedang ini dari sebuah ilmu pedang seperti tari-tarian yang amat indah, berubah menjadi sebuah ilmu pedang yang sifatnya ganas dan sukar diikuti perubahan dan perkembangannya.
Pedangnya berubah menjadi segulung sinar pedang yang pecah ke sana ke mari seperti bunga api, akan tetapi bagaikan bunga api, setiap pecahan atau letupan bunga api merupakan penyerangan ujung pedang yang akan dapat merobohkan lawan karena yang diserang selalu bagian-bagian tubuh yang lemah. Apalagi kini menghadapi seorang tokoh besar seperti Song-bun-kwi, tentu saja Sin-kiam-eng Tan Beng Kui tidak berani main-main dan sengaja dia mengerahkan seluruh tenaganya dan mengeluarkan seluruh ilmu simpanannya.
Di lain fihak, Song-bun-kwi bukan seorang jagoan baru. Siapa yang tidak mengenai Si Setan Berkabung ini" Namanya dahulu menggegerkan kolong langit, dikenal semua jagoan sejagat. Selain ilmu kepandaiannya bermacam-macam dan hebat-hebat, juga akhir-akhir ini dia menemukan, kitab yang mengandung inti pelajaran Yang-sin-kiam sehingga kalau dia boleh diumpamakan seekor singa, dengan didapatkannya ilmu Yang-sin-kiam ini dia seakan-akan mendapat sepasang sayap menjadi singa bersayap! Demikian hebat kepandaian kakek ini sehingga jarang sekali orang di dunia persilatan melihat dia bertempur mempergunakan pedangnya. Biasanya, hanya dengan mempergunakan senjata berupa sepasang ujung lengan bajunya saja, sukarlah lawan mengalahkan kakek sakti ini.
Akan tetapi, menghadapi Ilmu Pedang Sian-li-kiam-sut yang dimainkan Tan Beng Kui sekarang ini, tak mungkin kakek sakti hanya melawan dengan kedua ujung lengan bajunya. Sin-kiam-eng terlampau kuat untuk itu, dan Sian-li-kiam-sut adalah ilmu pedang pilihan di seluruh muka bumi ini, masih merupakan pemecahan dari ilmu sakti Im-yang-sin-kiam, karenanya tidak boleh dibuat main-main. Inilah sebabnya mengapa kali ini terpaksa Song-bun-kwi mengeluarkan pedangnya dan segera pula mainkan Yang-sin-kiam-sut untuk menghadapi ilmu pedang lawan. Sesungguhnya, Ilmu Pedang Sian-li-kiam-sut masih sesumber dengan Ilmu Pedang Yang-sin-kiam-sut. Keduanya bersumber dari inti sari Ilmu Im-yang-sin-hoat yang ratusan tahun yang lalu dimiliki oleh Pendekar Sakti Bu Pun Su. Hanya saja Sian-li-kiam-sut adalah ciptaan menurut sumber itu dari Pendekar Wanita Ang I Niocu (baca cerita Pendekar Bodoh), sedangkan Yang-sin-kiam-sut langsung datang dari Pendekar Sakti Bu Pun Su. Sayangnya, Yang-sin-kiam-sut merupakan ilmu pedang tidak lengkap, karena lengkapnya adalah Im-yang-sin-kiam yang merupakan ilmu pedang gabungan dari Im-sin-kiam dan Yang-sin-kiam, yang berdasarkan dua macam tenaga dalam tubuh, yaitu tenaga halus dan tenaga kasar, hawa dingin dan hawa panas. Ilmu pedang Im-yang-sin-kiam ini seperti diketahui, hanya dimiliki sekarang oleh ketua Thai-san-pai, yaitu Tan Beng San, dan malah sudah diturunkan oleh pendekar ini kepada Kwa Kun Hong setelah pemuda ini menjadi buta kedua matanya (baca Rajawali Emas).
Karena sesumber inilah agaknya, maka pertandingan yang terjadi antara Sin-kiam-eng Tan Beng Kui dan Song-bung-kwi Kwee Lun hebat luar biasa.
Memang harus diakui bahwa menurut pertimbangan umum, tingkat kakek ini lebih tinggi daripada tingkat Tan Beng Kui. Namun selama beberapa tahun menyembunyikan diri setelah kalah oleh adik kandungnya sendiri, Tan Beng San, (baca Rajawali Emas), Tan Beng Kui tidak tinggal diam dan memperdalam ilmu kepandaiannya sehingga sekarang dalam menghadapi Song-bun-kwi, dia tidak kalah jauh dalam hal tenaga Iweekang. Hanya dia masih kalah dalam pengalaman dan keuletan karena kakek iblis ini diumpamakan daging adalah daging gerotan yang tidak akan menjadi empuk biar digodog selama tiga tahun juga!
Jurus demi jurus dikeluarkan oleh kedua orang jago kawakan itu, namun setiap jurus serangan selalu dapat dipunahkan oleh jurus pertahanan lawan, Mula-mula Beng Kui berusaha mendobrak pertahanan lawan dengan mengandalkan tenaganya, mempergunakan kekerasan untuk mencapai kemenangan. Pikirnya bahwa dia yang lebih muda tentu lebih bertenaga.
Namun melesetlah perkiraannya karena kakek itu benar-benar makin tua makin kuat tenaganya, atau setidaknya tak pernah tenaganya berkurang sehingga ketika pedang mereka bertemu, keduanya tergetar, bunga api berpijar menyambar ke sana-sini, dan telapak tangan mereka terasa sakit-sakit. Cepat mereka memeriksa pedang masing-masing dan barulah mereka menjadi lega dan saling menyerang kembali setelah mendapat kenyataan bahwa pedang mereka tidak rusak karena benturan hebat itu. Setelah beberapa kali tenaga besarnya membentur karang, Beng Kui tidak lagi mau mempergunakan kekerasan. Dia mulai main halus mengandalkan kelincahan dan keindahan Sian-li-kiam-sut sambil mencari kesempatan dan lowongan.
Namun, hebat pertahanan Song-bun-kwi dengan Yang-sin-kiam-sut, malah kakek ini dapat balas menyerang tak kalah hebatnya.
Setelah lewat lima ratus jurus, terasalah bagi Beng Kui bahwa betapa pun juga, dia takkan dapat menangkan kakek sakti ini. Dia berseru keras dan tiba-tiba pedangnya berubah menjadi segulung sinar yang memusat dan terbang lurus menyerang ke arah dada lawan. Hebat sekali penyerangan ini yang merupakan jurus inti dari Sian-li-kiam-sut. Seakan-akan semua kehebatan dari ilmu pedang itu, semua kelincahan dan kekuatan, dipusatkan dalam gerakan ini dan pedang didorong oleh tenaga dan semangat sepenuhnya, maka dapat dibayangkan betapa hebatnya!
"Bagus!" Song-bun-kui mau tak mau memuji lawannya karena memang jurus penyerangan ini hebat bukan main, hawa pedang mendahului dan terasa amat dingin menusuk tulang sedangkan matanya sampai silau oleh sinar pedang lawan. Untuk menyelamatkan dirinya, dia memutar pedangnya melindungi dada. Namun betapa kagetnya ketika gulungan sinar itu masih mampu menerobos perisai yang tercipta oleh pemutaran pedang itu, tahu-tahu hampir saja mencium dadanya. Cepat bagaikan kilat Song-bun-kwi membuang diri ke belakang sambil berseru keras dan mengibaskan lengan baju kiri, "Brettttt!"
Lagi-lagi ujung lengan bajunya terbabat buntung, akan tetapi dia selamat dan mukanya berubah merah saking marahnya. Tiba-tiba dia mengeluarkan lengking tinggi seperti orang menangis dan tahu-tahu tangan kirinya sudah mengeluarkan senjata jimatnya yang puluhan tahun tak pernah dikeluarkan, yaitu sebatang suling. Inilah "suling tangis" yang dahulu setiap kali terdengar suaranya membuat penjahat-penjahat seperti setan jatuh bangun dan iblis tunggang langgang.
Kini Song-bun-kwi mengamuk seperti iblis sendiri. Pedang dan sulingnya menyambar-nyambar merupakan dua gulungan sinar yang kadang-kadang berkumpul menjadi satu menyelubungi Beng Kui dari segala penjuru. Makin lama makin hebat dan dahsyat penyerangannya dan makin lemah pertahanan Tan Beng Kui yang merasa terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa suling di tangan kiri kakek itu tidak kalah hebatnya dengan pedang yang berada di tangan kanan. Dia merasa seakan-akan dikeroyok oleh dua orang lawan. Seorang Song-bun-kwi masih mampu dia hadapi, tapi dua orang Song-bun-kwi......." Terlalu banyak dan terlalu kuat baginya. Dia mengeluh dan maklum bahwa terhadap seorang lawan seperti kakek ini tidak ada ampun, tidak ada mundur, yang ada hanya menang atau mati.
Tiba-tiba berkelebat bayangan yang amat ringan gerak-geriknya, disusul bentakan yang nyaring merdu, "Berhenti dulu! Tangan senjata!" Tahu-tahu di situ sudah muncul seorang gadis muda dengan pedang di tangan, seorang gadis yang cantik manis, lincah, tabah. Bukan lain adalah Loan Ki dara lincah ini.
Akan tetapi terhadap bentakan seorang dara muda seperti Loan Ki ini, mana Song-bun-kwi mau perduli" Tentu saja Tan Beng Kui tidak dapat menahan senjata sefihak, karena hal ini berarti dia akan celaka. Kalau kakek itu tidak menghendaki berhenti, bagaimana dia bisa menghentikan pertempuran mati-matian itu" Memang dia ingin sekali menghentikan pertandingan, karena dia merasa lelah setelah bertanding selama lima ratus jurus lebih!
"Ihh, Kakek Song-bun-kwi ternyata namanya saja yang besar. Orangnya sih begitu-begitu saja, malah curang dan pengecut! Kalau tidak begitu masa menggunakan kesempatan menghina orang lain" Agaknya kalau berhenti sebentar saja, khawatir kalah. Hi-hi-hik, inikah tokoh nomor satu dari barat?"
Tan Beng Kui terkejut, juga para anak buahnya yang mendengar ucapan ini.
Alangkah nekatnya Loan Ki, berani menghina seperti itu terhadap seorang iblis seperti Song-bun-kwi. Tentu saja kakek itu sendiri pun mendengar semua ucapan Loan Ki, tiba-tiba dia mengeluarkan suara gerengan seperti harimau, tubuhnya melayang cepat sekali ke arah Loan Ki. Gadis itu kaget, menggerakkan pedangnya, tapi tahu-tahu pedangnya terpental jauh dan kakek itu sudah berdiri di depannya sambil menodong batang lehernya dengan pedang!
"Bocah bermulut busuk!" Song-bun-kwi memaki. "Apa kau bilang tadi?"
Beng Kui pucat mukanya, merasa takkan mampu melindungi puterinya yang ditodong sedemikian rupa oleh kakek yang lihai ini. Dia hanya bisa berteriak,
"Song-bun-kwi, jangan layani bocah. Lepaskan anakku dan hayo kita lanjutkan pertempuran seribu jurus lagi!"
Ucapan ini benar saja membuat Song-bun-kwi meragu dan menurunkan pedang yang tadi ujungnya menodong leher Loan Ki. "Anakmu terlalu lancang mulut......." dia mengomel.
Loan Ki mencebirkan bibirnya yang kecil merah. "Biarlah Ayah, biar saja dia ini mendengarkan ucapanku lebih dulu. Setelah mendengarkan ucapanku, baru aku tantang dia bertempur sampai sepuluh ribu jurus. Eh, tua bangka, kau berani tidak?"
"Setan cilik! Tidak berani padamu lebih baik mampus!"
"Nah, kalau begitu mampuslah, karena kau tidak berani mendengarkan kata-kataku. Berani tidak mendengarkan kata-kataku?"
Song-bun-kwi membanting-banting kakinya, tangannya gatal-gatal untuk sekali menggaplok menghancurkan kepala cantik yang memanaskan hatinya ini.
"Buka bacotmu, lekas kau mau bilang apa jangan banyak tingkah!"
Loan Ki tersenyum dan memainkan matanya yang jeli, mengerling ke arah Teng Cun Le yang menjadi tidak enak hatinya ketika mengenal gadis yang mempunyai mutiara-mutiara hiasan mahkota kuno itu.
"Kakek Song-bun-kwi, seorang tokoh tua macam kau ini mana pantas menurunkan tangan kepada seorang bocah seperti aku" Nah, dengarlah omonganku. Kalau kau tidak menjawab dengan semestinya, mulai saat ini aku yang masih kanak-kanak akan menganggap bahwa semua nama besarnya kosong melompong belaka, bahwa mungkin kau Song-bun-kwi palsu karena yang tulen bukan macam begini tingkahnya.........."
"Cukup, lekas bicara! Setan!" Song-bun-kwi membentak.
Loan Ki meleletkan lidahnya. "Waduh galaknya, kalau begitu kau agaknya yang tulen, bukan pengecut, bukan iblis curang. Kakek Song-bun-kwi, kau katanya seorang pendekar gagah segala jaman, kenapa hari ini melakukan perbuatan begini memalukan, menyerbu tempat tinggal ayahku, membunuhi orang-orang kami tanpa alasan" Memusuhi orang tanpa alasan hanya perbuatan manusia rendah dan sepan-ang pendengaranku, Song-bun-kwi si iblis tua sama sekali bukanlah orang rendah! Nah, jawab, kenapa kau melakukan semua ini, memusuhi ayahku tanpa sebab?"
Dengan cemberut Song-bun-kwi terpaksa menjawab karena kalau dia tidak menjawab, sama saja artinya dengan mengakui bahwa dia seorang pengecut, curang dan manusia rendah! Dia boleh jadi lihai sekali dalam ilmu silat, namun dalam hal silat kata-kata mana dia becus melawan Loan Ki si dara lincah yang amat cerdik dan nakal ini"
Jilid 12 : bagian 2
"Bocah setan jangan coba bicara pokrol-pokrolan terhadap aku. Aku datang ke sini hendak mencari si tua bangka Thai-lek-sin, tetapi orang-orangmu tidak tahu aturan mengeroyokku. Mereka mampus karena tidak ada kepandaian, kenapa salahkan aku" Ayahmu merupakan lawan yang lumayan, kenapa selagi kami berdua enak-enak saling gebuk untuk menentukan siapa lebih kuat, kau datang-datang mengacau" Heh, Tan Beng Kui, apa kau tidak bisa jewer telinga anakmu yang cerewet ini" Jewer dan usir ia, mari kita bertempur terus!"
Akan tetapi Loan Ki mana mau habis sampai di situ saja" Anak ini terlalu cerdik hingga ia tahu betul bahwa kalau pertandingan dilanjutkan, ayahnya tentu akan celaka. Sebelum ayahnya yang juga gemar bertanding itu terbujuk oleh lawan ia mendahului dengan suara nyaring,
"Kakek tua kau benar-benar pandai mencari alasan! Selama hidupku belum pernah aku melihat tua bangka berjuluk Thai-lek-sin di tempat ayah ini, sekarang kau menyebut namanya untuk alasan perbuatanmu mengacau di sini! Huh, siapa sudi kau akali" Benar-benar tak kusangka bahwa jagoan tua tenar Song-bun-kwi ternyata hanya seorang tukang bohong belaka!"
"Bocah sembarangan menuduh yang bukan-bukan! Aku tidak menggunakan alasan kosong. Dia orang she Teng ini yang bilang bahwa aku akan dapat menemukan Thai-lek-sin di sini. Betul tidak, orang she Teng?" bentaknya sambil menoleh ke arah Teng Cun Le yang menjadi pucat dan kedua kakinya menggigil. Akan tetapi terpaksa dia menjawab dengan kepalanya mengangguk-angguk dan bibirnya berkata lirih.
"........... aku mendengar di luaran begitu........... eh........... Thai-lek-sin sering ke sini..........."
Tiba-tiba Loan Ki tertawa nyaring dan menudingkan telunjuknya kepada Teng Cun Le, lalu berkata kepada Song-bun-kwi, "Wah, kakek tua goblok Song-bun-kwi, kau kena dipedayai orang! Nanti dulu aku hendak bertanya, pernahkah kau mendengar adanya anjing-anjing penjilat" Nah, manusia ini adalah seekor di antara anjing-anjing penjilat. Dia orang dari kota raja, mudah diduga. Dia selalu mengikuti aku karena tertarik akan mutiara Ya-beng-cu yang kubawa.
Dan dia telah menggunakan kau orang tua goblok untuk menyerbu ke sini karena dia sendiri mana mampu" He-he, Song-bun-kwi kakek bodoh, kau diperalat anjing ini masih tidak tahu."
Teng Cun Le bukanlah seorang bodoh. Dia tadinya kaget setengah mati mendengar semua kata-kata Loan Ki dan diam-diam dia mengeluh. Gadis ini benar-benar pandai bicara dan kakek yang sudah setengah pikun itu kalau sampai kena diakali oleh gadis ini, dialah yang akan celaka. Cepat dia bicara,
"Locianpwe, harap Locianpwe jangan mendengarkan ocehan gadis ini. Terang ia berusaha menolong ayahnya yang tadi hampir kalah oleh Locianpwe dan sengaja hendak mengadu domba kita, Locianpwe, mari kita gempur orang-orang ini, Locianpwe lanjutkan menghajar Sin-kiam-eng dan serahkanlah gadis itu kepada saya, saya sanggup menghajar kekurang ajarannya." Sambil berkata demikian, Teng Cun Le menggerakkan goloknya hendak menyerang Loan Ki.
"Tunggu dulu dan dengar kata-kataku sampai habis!" Loan Ki menjerit. "Kalau tidak mau mendengarkan, itu tandanya kau sengaja memperalat Song-bun-kwi!" Terpaksa Teng Cun Le menahan goloknya karena kalau dia teruskan khawatir kalau-kalau kakek itu kena diakali omongan pancingan ini.
"He, orang she Teng. Kau seorang laki-laki, hayo jawab betul tidak kau telah mengikuti aku beberapa hari yang lalu dan bahwa kau mengincar tiga butir mutiaraku atau........... mungkin juga kau ingin mengetahui tentang sebuah mahkota" Jawab!"
Teng Cun Le tak dapat mundur lagi, terutama karena dia lihat Song-bun-kwi amat memperhatikan percakapan itu. "Memang betul. Kau telah membawa tiga butir mutiara yang tadinya menghias mahkota yang dicuri dari istana kaisar. Sudah semestinya kau mengembalikan mahkota itu kepadaku untuk kubawa kembali ke kota raja!"
"Bagus, manusia she Teng! Kau hendak merammpas mahkota dari kami" Apa kau berani melawan ayah dan aku?" tantangnya.
Tentu saja Teng Cun Le menjadi sibuk sekali. Tak disangkanya gadis itu akan memutar-mutar omongan sedemikian rupa sehingga dia selalu terdesak. Akan tetapi dia pun bukan bodoh, maka dia segera menjawab berani. "Tentu saja berani karena Kwee-locianpwe tentu akan membantuku menghadapi ayahmu yang memang patut menjadi lawannya."
"Uhu-hu, sekarang mengertikah kau, kakek Song-bun-kwi" Kau dengar sendiri bahwa dia ini adalah seekor anjing penjilat kaisar dan kau telah dibodohinya, diperalat olehnya. Agar kau mau diperalat dan mau menyerbu ke sini, dia membohongimu dengan pernyataan bahwa Thai-lek-sin berada di sini. Padahal tua bangka Thai-lek-sin itu melihat pun aku belum pernah. Nah, tidak benarkah aku kalau aku bilang bahwa Song-bun-kwi si jago kawakan itu ternyata sekarang mudah saja dikempongi oleh seekor anjing penjiiat kaisar"
Hi-hik!" Dengan gaya nakal sekali Loan Ki menyambung hidungnya yang kecil mancung itu dengan jari-jari tangannya untuk mengejek Song-bun-kwi. Song-bun-kwi menjadi merah mukanya.
Racun yang disebar oleh Loan Ki melalui kata-katanya tadi telah mengenai hatinya. Dia seorang tokoh besar dari dunia bagian barat, dapat dengan mudah dikempongi oleh seorang anjing penjilat kaisar dan diperalat di luar kesadarannya. Benar-benar memalukan sekali. Dia menoleh dengan mata melotot kepada Teng Cun Le sambil memaki,
"Kau berani membawa aku untuk bantu menjadi perampok" Setan alas!"
"Tidak........... Locianpwe...... tidak..........!" Akan tetapi tangan Song-bun-kwi sudah bergerak. Teng Cun Le dalam takutnya nekas menangkis dengan goloknya, tapi akibatnya golok itu patah-patah dan tubuhnya melayang sampai sejauh lima meter lebih dan dia tak dapat bangun kembali karena dadanya sudah remuk tulang-tulangnya! Hebat kejadian ini, namun Loan Ki memandang dengan senyum simpul saja sedangkan Tan Beng Kui yang memang wataknya angkuh tidak mau memandang siapa pun juga, sejak tadi hanya berdiri tegak dengan pedang siap di tangan dan diam-diam dia mengatur napas dan memulihkan tenaga di dalam tubuhnya, siap menghadapi pertempuran lagi kalau perlu.
Setelah membunuh orang yang mempermainkannya dengan sekali gempur, kakek itu menoleh kepada Loan Ki, sepasang matanya memancarkan ancaman menyeramkan. Bulu tengkuk dara lincah itu meremang, akan tetapi dengan memberanikan hati ia tersenyum-senyum seakan-akan kejadian mengerikan itu "bukan apa-apa" baginya. Beginilah sikap seorang cabang atas, pikirnya, dan ia tidak mau kalah dalam berlagak. Pandang matanya kepada kakek itu seolah-olah menyuarakan tantangan "kau mau apa?"
"Bocah, jangan kau ketawa-tawa dulu. Memang bangsat she Teng itu telah menipuku maka layak mampus. Akan tetapi kau pun telah mempermainkan aku, jangan kira aku takut untuk memberi hajaran kepadamu di depan ayahmu!"
Gadis itu tertawa mengejek. "Kakek Song-bun-kwi, kau terlalu sombong.
Agaknya kau tidak mau melihat tingginya langit dalamnya lautan. Ayah adalah seorang gagah yang tidak mau begitu saja menanam permusuhan, kau tahu"
Ayah sudah mendengar bahwa kau adalah seorang tokoh besar kawakan, maka tadi ayah telah menjaga muka dan namamu, kau tahu" Kalau ayah mau sungguh-sungguh melawanmu, dengan mudah dia akan dapat merobohkanmu, kau tahu?"
"Loan Ki! Omongan apa yang kau keluarkan ini?" Ayahnya menegur marah karena merasa betapa gadisnya benar-benar keterlaluan kali ini. Masa seorang tokoh seperti Song-bun-kwi mau di "kecapi" seperti itu"
Benar saja, Song-bun-kwi tak dapat menguasai kemarahan hatinya lagi.
Sambil menggerak-gerakkan pedang dan sulingnya, dia berkaok-kaok,
"Siluman! Setan! Iblis jejadian, neraka jahanan! Hayo kalian ayah dan anak maju bersama, biar kalian buktikan macam apa adanya Song-bun-kwi Kwee Lun!" Muka kakek itu merah sekali, kedua matanya melotot, alisnya yang sudah putih itu bergerak-gerak terangkat tinggi. Marah betul-betul dia. "Song-bun-kwi, jangan kira aku Sin-kiam-eng takut kepadamu. Hayoh!"
Beng Kui menantang sambil melintangkan pedangnya di depan dada. Dalam pertempuran tadi dia pun belum kalah, memang dia agak kehabisan tenaga karena kalah ulet, akan tetapi setelah beristirahat tadi, tenaganya pulih kembali dan dia merasa sanggup menghadapi kakek yang sakti itu. Dia maklum bahwa memang Sukar mencapai kemenangan, namun keangkuhannya melarang dia mengalah terhadap si kakek.
"Bagus! Mari bertanding sampai seorang di antara kita menggeletak!" Song-bun-kwi .tertawa bergelak. "Kita laki-laki sejati mana sudi cerewet seperti perempuan tukang celoteh?" Dia mengejek Loan Ki dan membalikkan tubuh untuk menghampiri Tan Beng Kui.
Akan tetapi tiba-tiba bayangan gadis itu berkelebat dan tahu-tahu sudah berada di depannya, sampai kaget Song-bun-kwi menyaksikan kegesitan gadis ini.
"Kakek tua bangka pikun Song-bun-kwi! Kau benar-benar tak bermalu! Takut melawan aku kau mau meninggalkan aku begitu saja dan menantang ayah.
Huh, tak tahu diri. Ayah tadi mengalah kau masih tidak tahu" Kau tidak cukup pandai, tidak berharga menjadi lawan ayahku. Siapa orangnya yang sudah bisa mengalahkan aku, barulah cukup berharga untuk bertanding sungguh-sungguh melawan ayah. Song-bun-kwi, beranikah kau melawan aku?"
"Loan Ki...........!" mau tidak mau Beng Kui menegur puterinya. Memang dia merasa bangga menyaksikan keberanian dan ketabahan Loan Ki, akan tetapi mendengar gadisnya itu menantang Song-bun-kwi, benar-benar keterlaluan!
Apanya yang akan dibuat menang" Dia sendiri setengah mampus melawannya, masa sekarang Loan Ki hendak melawan kakek itu" Huh, biar dikeroyok sepuluh orang Loan Ki juga masih bukan lawan Song-bun-kwi! Anaknya yang baru tiga hari pulang dari perantauannya ini memang benar-benar bersikap aneh, sama anehnya seperti ketika kemarin dia menegur karena gadis itu duduk termenung seperti orang kehilangan semangat!
"Biarlah, Ayah, aku tanggung kakek yang sudah dekat lubang kubur ini takkan mampu mengalahkan aku. Hei, dengar tidak kau Song-bun-kwi kakek tua renta" Atau barangkali kau sudah agak tuli" Perlu kuulangi kembalikah" Aku menantangmu, beranikah kau melawan aku?"
Memang amat pandai Loan Ki bersilat lidah. Kali ini ia benar-benar berhasil memancing Song-bun-kwi sehingga kakek ini menjadi marah bukan main.
Siapa orangnya takkan mendongkol dan marah sekali, seorang kakek tokoh besar seperti dia ditantang mentah-mentah oleh seorang bocah perempuan"
Dengan gemas dia menyimpan kedua senjatanya dan membentak.
"Bocah neraka! Kau patut menjadi cucuku berani menantang seorang tua seperti aku" Apa kau sudah bosan hidup" Kalau aku tidak dapat membantingmu dalam sepuluh jurus, biar aku orang tua mengaku kalah!"
Song-bun-kwi siap menubruk gadis yang memanaskan hatinya itu.
"Heee, nanti dulu!" Loan Ki menyetop dengan isyarat tangannya. "Kenapa kau menyimpan pedangmu" Kalau dalam sepuluh jurus kau tak mampu mengalahkan aku, tentu kau kelak memakai alasan bahwa kau bertangan kosong. Tak mau aku! Hayo kakek tua renta, kau boleh gunakan pedangmu dan aku akan menandingimu, bukan sepuluh jurus melainkan tiga puluh jurus.
Tiga puluh jurus, kau dengar?"
"Iblis cilik, mulutmu benar jahat!" Song-bun-kwi membentak.
"Tapi kau yang menyebut diri tokoh besar dari barat, awas jangan kau menjilat ludahmu sendiri, ya" Kalau kau tidak bisa menangkan aku dalam tiga puluh jurus, kau harus pergi dari sini jangan mengganggu kami lagi. Ayah tidak mau bermusuh denganmu. Kalau tangan dan kepalamu merasa gatal-gatal ingin menerima gebukan, kau pergilah saja ke Ching-coa-to, nah, di sana banyak setan-setan bangkotan yang sama kwalitetnya denganmu. Tapi kau tentu tidak berani ya, memasuki Ching-coa-to. Huh, mana kau berani?"
"Cukup, jangan pentang mulut lagi, lihat seranganku!" Song-bun-kwi berseru dan mulai menyerang dengan tangan kosong. Dia pikir sekali bergerak tentu akan berhasil menangkap gadis ini. Biarpun membunuh bagi Song-bun-kwi bukan apa-apa, namun dia tidak sudi membunuh seorang dara cilik seperti Loan Ki. Niatnya hendak menangkap gadis itu dan membantingnya di depan Tan Beng Kui sampai kelenger (pingsan) agar tidak banyak mengoceh lagi sehingga dia dapat melanjutkan pertandingannya melawan Sin-kiam-eng.
Maka begitu menyerang dia mencengkeram dengan tangan kiri ke arah pundak sedangkan tangan kanannya mendahului membuat gertakan memukul ke arah pusar. Pukulan ini mendatangkan angin dan tentu akan membuat gadis yang masih pelonco itu kebingungan sehingga memudahkan tangan kirinya mencengkeram pundak.
Agaknya kalau penyerangan kakek sakti ini terjadi beberapa hari yang lalu saja, kiranya akan berhasil. Akan tetapi dia tidak tahu bahwa gadis lincah ini beberapa hari yang lalu telah mewarisi ilmu mujijat dari Kwa Kun Hong, yaitu yang diberi nama dua puluh empat langkah Hui-thian-jip-te (Terbang ke Langit Ambles ke Bumi). Maka melihat datangnya serangan yang hebat ini, tubuh Loan Ki terhuyung-huyung ke belakang seperti orang kena pukul.
Tan Beng Kui kaget sekali dan siap melompat untuk melindungi anaknya, akan tetapi dia heran mendengar seruan aneh kakek Song-bun-kwi karena ternyata bahwa kedua pukulannya itu mengenai angin belaka! Dalam terhuyung ini ternyata gadis itu sudah berhasil menghindarkan diri secara aneh sekali.
Kembali kakek Song-bun-kwi menerjang maju, kali ini malah sekaligus dia mengembangkan kedua lengannya hendak menerkam pinggang yang ramping itu untuk diangkat dan dibanting. Tapi aneh bin ajaib. Gadis yang masih terhuyung-huyung itu malah melangkah maju memapakinya dan pada saat kedua lengannya hampir berhasil menyingkap pinggang, tahu-tahu tubuh gadis itu miring seperti akan jatuh dan........... sekali lagi berhasil lolos!
"Kakek tua bangka, sudah dua jurus. Hi-hik!" kata Loan Ki yang ternyata sudah melangkah ke kiri dan.......... berjongkok.
Kemarahan Song-bun-kwi menjadi-jadi. Dia mengira bahwa gadis itu menggunakan kegesitannya dan sekarang mengejek. Mana ada orang berkelahi memasang kuda-kuda dengan berjongkok" Dia tidak mengerti bahwa memang sebetulnya begitulah kedudukan sebuah langkah dari Hui-thian-jip-te yang dipelajari Loan Ki dari Kwa Kun Hong. Ilmu langkah ini bukan lain adalah sebagian dari ilmu langkah ajaib dari Kim-tiauw-kun, maka tidak dikenal oleh Song-bun-kwi. Sambil mengeluarkan bentakan hebat dia menyerang Loan Ki yang masih berjongkok seperti orang mau buang air itu, kedua tangannya kini bergerak menyambak rambut.
Dengan tubuh masih berjongkok, kedua kaki Loan Ki main dengan gesitnya, sett-sett-sett dan........... kembali Song-bun-kwi yang menerjangnya hanya dapat menjambak bau harum dari rambut hitam panjang itu.
"Jurus ke tiga, Kakek!" Loan Ki mengejek sambil tersenyum dan kini ia sudah berdiri dengan tubuh membelakangi Song-bun-kwi, kaki kanan diangkat dengan tumit menempel paha kaki kiri, leher menoleh ke belakang dan berkedip-kediplah matanya kepada kakek itu, kedua tangannya dikembangkan, persis seperti seekor burung kuntul hendak terbang.
Tan Beng Kui kaget dan heran setengah mati melihat kejadian yang berlangsung di depan matanya. Dia sendirilah yang menjadi guru anaknya ini dan dia tahu betul bahwa tak pernah dia mengajari gerakan-gerakan menggila seperti yang dilakukan anaknya sekarang ini. Mana bisa dia mengajari kalau dia sendiri tidak mengenal dan tidak tahu akan gerakan-gerakan gila itu"
Siapakah yang main gila ini, Loan Ki ataukah Song-bun-kwi" Dia tidak percaya bahwa dengan gerakan-gerakan gila itu anaknya dapat menghindarkan serangan kakek itu sampai tiga kali dan sudah tentu si kakek yang main gila, pura-pura tidak dapat mengenai tubuh Loan Ki. Kalau memang main gila, apa kehendaknya" Ah, jangan-jangan kakek itu sengaja berbuat demikian sambil menanti sampai sepuluh jurus atau tiga puluh jurus, kemudian merobohkan Loan Ki untuk membuat malu.
"Loan Ki, jangan kurang ajar! Kuda-kuda jurus apa itu pakai angkat-angkat sebelah kaki segala?" Tan Beng Kui membentak keras dengan maksud supaya Song-bun-kwi mengerti bahwa bukanlah dia yang mengajari gadisnya menggila seperti itu, karena betapapun juga malulah hatinya menyaksikan aksi anak gadisnya yang dianggapnya kosong melompong ini.
"Ayah, memang jurus ini harus mengangkat sebelah kaki. Habis, apa yang dapat kulakukan untuk merubahnya" Kalau kedua kakiku yang kuangkat, tentu aku akan jatuh." Terang bahwa ucapan ini hanya kelakar saja untuk lebih memanaskan hati Song-bun-kwi. "Ini namanya burung bangau tidur, tapi sebetulnya tidak tidur, melainkan sedang memancing katak tua di belakangnya."
Song-bun-kwi menggereng seperti seekor biruang dan kini dia betul-betul menyerang Loan Ki, tidak seperti tadi lagi. Tadi dia hanya hendak menangkap dan membantingnya kelenger di depan Tan Beng Kui, akan tetapi sekarang dia menyerang untuk merobohkannya dengan pukulan berbahaya. Dia menyerang dari belakang dengan amat hebat dan merasa yakin bahwa kali ini dia akan berhasil merobohkan Loan Ki.
"Ki-ji (anak Ki), awas..........!" Tan Beng Kui terpaksa berseru saking kaget dan khawatirnya menyaksikan penyerangan dahsyat itu.
"Tak usah khawatir, Ayah!" Gadis itu masih sempat membuka mulut, padahal ia kaget setengah mati dan cepat-cepat ia mengeluarkan ilmu langkah mujijat seperti yang ia pelajari dari Kun Hong. Hebat penyerangan Song-bun-kwi sehingga Loan Ki masih merasa angin pukulan menyerempet pundaknya, membuat kulit pundak di bawah pakaian itu terasa panas. Ia sampai mengeluarkan keringat dingin, namun dasar ia nakal, masih saja ia mengejek setelah pukulan itu gagal,
"Sudah empat jurus!"
Sekarang Song-bun-kwi tidak mau sungkan-sungkan lagi. Dia menerjang terus dan mengirim pukulan bertubi-tubi", malah dia mengisi pukulan-pukulannya dengan Iweekangnya yang dahsyat sehingga rambut dan pakaian Loan Ki berkibar-kibar seperti diserang angin besar. Loan Ki juga tidak berani main gila lagi. Ia cukup maklum akan kesaktian kakek ini, maka ia mengerahkan seluruh perhatiannya untuk menjalankan langkah-langkah Hui-thian-jip-te guna menyelamatkan dirinya.
Tan Ben Kui melongo sampai mulutnya terbuka lebar dan lupa ditutupnya kembali. Hebat terjangan-terjangan Song-bun-kwi yang kini benar-benar berusaha sekuat tenaga untuk merobohkan Loan Ki, akan tetapi lebih hebat pula gerakan-gerakan Loan Ki yang tetap aneh seperti orang mabuk atau orang menari-nari menggila namun satu kalipun juga pukulan-pukulan kakek itu tak pernah menyinggung kulitnya!
"He, kakek Song-bun-kwi! Sudah empat puluh jurus lebih kau menyerangku dan tak mampu merobohkan, apakah kau tidak mau berhenti juga" Seorang kakek tua bangka mengejar-ngejar seorang gadis cilik, mau apa sih" Cih, tak tahu malu benar!"
Seketika Song-bun-kwi menghentikan penyerangannya. Matanya mendelik saking marahnya. Dia tahu bahwa gadis ini tak mampu menyerang kembali karena agaknya hanya memiliki ilmu mengelak yang luar biasa sekali itu.
Diam-diam dia kagum bukan main dan teringatlah dia kepada Kwa Kun Hong.
Dahulu Kun Hong juga membikin heran semua orang di Thai-san dengan ilmunya mengelak yang ajaib. Apakah sama dengan ilmu yang dipergunakan gadis ini" Tetapi dia malu untuk bertanya. Sambil bersungut-sungut dia membentak.
"Aku kalah janji, siapa kejar-kejar iblis cilik macammu" Tan Beng Kui, biarlah kali ini aku mengaku kalah bertaruh karena diakali anakmu si setan neraka.
Tetapi lain kali aku akan mencari kesempatan, untuk melanjutkan pertandingan kita sampai puas tanpa diganggu setan ini!" Dia lalu mengibaskan lengan bajunya yang buntung dan melangkah pergi dari tempat itu.
"Hee, Song-bun-kwi kakek tukang pukul! Kalau gatal-gatal kepalamu minta dijotosi orang, pergilah ke Ching-coa-to, tentu kau akan berubah matang biru dan bengkak-bengkak sampai puas!" teriak Loan Ki.
Song-bun-kwi tidak menoleh tidak menjawab, akan tetapi diam-diam dia mencatat nama tempat ini. Ada apa sih di Ching-coa-to, pikirnya. Agaknya gadis itu hendak memamerkan kehebatan orang-orang tertentu di pulau itu.


Pendekar Buta Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hemm, pikirnya sambil memperlebar langkahnya. Kalau aku tidak bisa mengobrak-abrik Ching-coa-to, bocah itu tentu makin memandang rendah kepadaku. Kalau yang tinggal di sana itu orang-orang yang ia andalkan, biar kuhancurkan tempat itu, baru ia tahu rasa dan mengenal kehebatanku.
Dengan pikiran ini kakek itu lalu melanjutkan perjalanannya sambil berlari cepat dan mulai mencari keterangan tentang letaknya Ching-coa-to.
****** Sudah terlalu lama kita tinggalkan Kwa Kun Hong, pendekar kita yang buta itu.
Seperti telah dituturkan dalam bagian depan, setelah pertemuannya dengan Tan Hok dan mendengar keterangan-keterangan tentang kepahlawanan, bangkit semangat Kun Hong. Dia ingin sekali berdarma bakti terhadap nusa bangsa. Ingin sekali menyumbangkan tenaganya untuk tanah air. Dia tahu betapa penting arti mahkota kuno yang menyimpan rahasia besar itu dan alangkah akan baiknya kalau dia dapat merampas kembali benda itu dan memberikannya kepada Tan Hok. Akan tetapi apa dayanya. Dia seorang buta, bagaimana mungkin dapat pergi seorang diri ke pulau itu" Selain pulau itu penuh dengan rahasia-rahasia, yang amat berbahaya, ular-ular yang berbisa, juga di sana terdapat orang-orang yang amat lihai.
Kun Hong duduk termenung di dalam kuil rusak itu sepeninggal Tan Hok, menyesali keadaannya yang buta, bingung tak tahu apa yang harus dia lakukan mengenai niatnya hendak merampas kembali mahkota. Baru pertama kali ini semenjak dia buta, dia merasa menyesal bukan main. Teringat dia akan Cui Bi dan berkali-kali dia menarik napas panjang sambil di dalam hati menyebut nama kekasihnya yang telah tiada.
Siapapun juga yang melihat keadaan Kun Hong di saat itu tentu akan merasa kasihan. Seorang pemuda buta yang pakaiannya kotor dan kumal, rambutnya juga awut-awutan karena pembungkusnya tidak rapi lagi, sepatunya penuh lumpur dan sudah bolong-bolong pula, duduk bersandar di dalam sebuah kuil rusak yang juga kumal dan kotor seperti dirinya, menarik napas berkali-kali kelihatan susah sekali. Dia merupakan seorang jembel muda buta yang amat miskin. Padahal bukanlah demikian sifat Kun Hong. Dia amat benci akan keadaan yang kotor dan biarpun pakaiannya sederhana, biasanya amat bersih.
Kali ini karena keributan dan pengalamannya di Pulau Chin-coa-to, maka pakaiannya menjadi seperti itu dan dia belum mendapat kesempatan untuk mencari pengganti pakaiannya.
Agaknya pada saat itu memang ada orang yang menaruh kasihan kepadanya, buktinya orang itu sejak tadi berdiri memandangi wajah orang buta yang duduk menarik napas panjang berkali-kali sambil menunduk itu. Orang ini menggeleng kepala dan mendesislah elahan napasnya. Elahah napas yang halus panjang namun cukup bagi Kun Hong untuk mengetahui bahwa ada orang yang secara diam-diam mengintainya. Tanpa bangkit dari tempat duduknya di lantai yang kotor itu, dia menoleh dan menegur lirih,
"Sahabat di luar kalau ada keperluan dengan aku si buta, masuklah saja."
Pendengaran Kun Hong yang tajam menangkap bunyi napas tertahan, lalu sambaran angin meliuk masuk melalui jendela dan sepasang kaki yang amat ringan gerakannya turun di atas lantai dalam ruangan itu, di depannya. Dia kaget karena dapat menduga bahwa yang datang ini adalah seorang yang berkepandaian tinggi, akan tetapi segera jantungnya berdebar tidak karuan ketika alat penggandanya bekerja. Lubang hidungnya kembang-kempis dan dia melompat bangun.
"Nona Hui Kauw........!" Kedua kakinya gemetar ketika dia berdiri dengan tubuh agak membungkuk memberi hormat. Orang yang baru masuk itu memang Hui Kauw adanya. Tentu saja Hui Kauw kaget dan heran bagaimana pemuda buta ini dapat mengenalnya sebelum ia membuka suara. Akan tetapi ia tidak perduli akan hal ini dan suaranya yang halus merdu itu terdengar penuh sesal,
"Kwa Kun Hong, aku datang untuk perhitungan. Mari ke luar dan pedang kita yang akan menentukan yang harus mati menebus hinaan."
Perih rasa hati Kun Hong. Dia menunduk, dahinya berkerut dan dia berkata,
"Aku tahu, Nona tanpa kusadari, aku telah melukai hati dan perasaanmu, aku telah menimpakan hinaan besar kepada dirimu. Aku tak hendak menyangkal lagi. Kau maafkanlah aku, Nona."
Hui Kauw memandang tajam. "Apa maksudmu" Kau....... kau....... tahukah kau apa yang menyakitkan hatiku?"
Dengan kepala masih tunduk Kun Hong menjawab, suaranya lirih dan lambat, satu-satu seakan-akan amat sukar keluar dari lubuk hatinya, "Aku tahu, Nona, atau setidak-tidaknya aku dapat menduga. Karena bujukan dan tipuan, kau mau menjalani upacara sembahyangan perkawinan dengan aku, mengira bahwa akupun sudah tahu dan sudah setuju akan hal itu. Kemudian, di depan banyak orang, aku seakan-akan menolakmu. Inilah hinaan yang tiada taranya, yang paling besar yang dapat menimpa diri seorang gadis seperti Nona."
Tiba-tiba Hui Kauw menjatuhkan diri berlutut di atas lantai, pedangnya berkerontangan jatuh dan ia menangis terisak-isak. Sedih sekali tangis ini dan Kun Hong maklum betapa perasaan gadis itu amat sakit, dendam dan penuh rasa malu, tertahan-tahan di dalam dada bagaikan api dalam sekam. Inilah berbahaya sekali bagi kesehatan, dan jalan terbaik untuk memberi jalan keluar adalah melalui tangis dan air mata. Karena itu, biarpun dia amat terharu dan berduka mendengar tangis ini, dia diam saja tak bergerak, hanya perlahan dia duduk bersila dan tunduk mendengarkan dengan kerut merut di antara kedua matanya yang buta.
Lama nona itu menangis. Sengaja derita dan sakit hati yang ia tahan selama bertahun-tahun di dalam dadanya, sekarang bagaikan gunung berapi meletus dan hawa panas dapat mengalir keluar melalui tangisnya itu. Tiada hentinya air matanya bercucuran, terisak-isak dan sesenggukan sampai napasnya terasa sesak. Akhirnya reda juga desakan hawa dari dada melalui tangisnya ini, dadanya terasa ringan kosong, dan seluruh tubuhnya menjadi lelah sekali.
Tangisnya terhenti, tinggal isak kecil-kecil dan jarang. Ia mengangkat muka memandang laki-laki yang duduk bersila dengan tubuh diam tak bergerak bagaikan patung, muka dengan mata meram itu kelihatan kerut merut amat menyedihkan.
"Siapa orangnya dapat menahan semua ini?" ia berkata lirih seperti kepada diri sendiri, suaranya sudah tenang tapi masih terputus-putus menahan isak.
"Perbuatanmu yang kau lakukan tanpa maksud menyakiti hatiku itu hanya merupakan pukulan terakhir yang mematikan kesabaranku dan membangkitkan perlawanan dalam hatiku. Tadinya aku sudah putus asa. Ibu memaksa aku supaya menikah dengan pangeran Mongol yang kubenci itu.
Kemudian muncul engkau yang mengakibatkan serangkaian peristiwa di pulau.
Hampir aku mati disiksa ibu, kau melupakan keselamatan sendiri membela dan melindungi aku. Malah akhirnya kau pula yang memulihkan kesehatanku.
Setelah apa yang terjadi di dalam kamar ketika kau mengobatiku, aku tak dapat menolak ketika ibu membujukku menikah denganmu. Kata ibu kaupun sudah setuju, dan semua ini dilakukan demi menjaga baik namaku dan nama keluarga ibu. Tiada pilihan lain bagiku. Daripada menjadi isteri pangeran Mongol yang kubenci, dan pula...... kau amat baik kepadaku, dan seorang pendekar sejati........ maka aku pun menurut. Siapa tahu......." kembali gadis itu menangis.
"Aku sudah dapat menduga semua itu, Nona. Memang terlalu sekali ibumu, anak sendiri dibujuk dan ditipu, dibantu oleh orang-orang seperti Ka Chong Hoatsu. Benar-benar aneh sekali. Kenapa pula ibumu mau mengambil aku sebagai........ eh, sebagai mantu, padahal aku seorang buta tiada guna dan malah mendatangkan keributan di pulaunya?"
"Kau pandai, ilmu silatmu tinggi dan luar biasa. Ibu dapat mempergunakan tenaga dan kepandaianmu..........."
"Hemmm, benar-benar jahat, demi kepentingan diri sendiri sampai hati mengorbankan anaknya. Nona, aku tidak percaya seorang ibu sejahat itu dapat mempunyai anak seperti kau."
Hening sejenak, kemudian terdengar suara nona itu lirih, "Memang dia bukan ibu kandungku..........." Ia menahan isak lalu melanjutkan, "Biarpun kau orang luar, kau adalah penolongku dan kuanggap orang sendiri, biarlah rahasia ini kubuka padamu. Dahulu ketika aku masih kecil, ibu menculikku dari rumah ayah bundaku yang aseli dan semenjak itu aku dijadikan anaknya. Ia amat kasih dan sayang kepadaku........... sampai Hui Siang terlahir.
Memang mereka itu baik kepadaku, tapi kadang-kadang........... ah, entah mengapa, aku tersiksa batin........... tak perlu kuceritakan sejelasnya, Sampai kau muncul dan........... penolakanmu itu merupakan pukulan terakhir. Aku tak kuat lagi, lalu aku lari. Aku hendak mencari orang tuaku, menurut penuturan seorang pelayan tua, orang tuaku seorang hartawan di kota raja, she Kwee!"
"Baik sekali niatmu itu, Nona, kuharap saja kau akan dapat bertemu dan berkumpul kembali dengan orang tuamu," kata Kun Hong sejujurnya, suaranya mengandung iba.
"Tapi ada ganjalan di hatiku..........." gadis itu melanjutkan, suaranya gemetar,
"ganjalan terhadap kau. Aku merasa sangat terhina oleh penolakanmu...........
betapa tidak........... karena itu, menurutkan nafsu hati dan kemarahan, aku sengaja menantimu, untuk membuat perhitungan. Maksudku, lebih baik seorang diantara kita tewas.......... takkan menjadi kenangan yang memalukan lagi..........."
Kun Hong bangkit berdiri, wajahnya membayangkan kedukaan. "Kau keliru, Nona. Kita berdua menjadi korban fitnah. Kau sekarang tahu, bahwa sama sekali tiada niat di hatiku untuk menghinamu, juga kau tidak pernah menghinaku. Kita hanya menjadi korban. Akan tetapi kalau kau memang merasa terhina olehku, nah, kau tancapkan pedangmu itu di dadaku, aku Kwa Kun Hong sanggup menerima kematian di tanganmu!"
"Tidak........ tidak........ sekarang aku sudah insyaf. Kau sama sekali bukan menghina atau mempermainkan, melainkan karena....... kau memang....... ah, siapa sih yang akan tertarik hatinya....... inilah yang meragukan hatiku, ayah ibu sendiri andaikata melihat, belum tentu sudi mengakui.........."
"Apa maksudmu, Nona?" tanya Kun Hong kaget mendengar betapa suara yang halus itu menggetar-getar penuh kesedihan.
Jilid 13 : bagian 1
"Tidak apa-apa. Nah, selamat tinggal saudara Kwa Kun Hong, aku hendak pergi mencari orang tuaku di kota raja." Terdengar gadis, itu menggeser kaki hendak ke luar dari kuil itu. Mendengar disebutnya "kota raja" ini, teringatlah Kun Kong akan mahkota kuno, maka cepat sekali dia berseru memanggil,
"Nona Hui Kauw, tunggu dulu.......!"
Gadis itu serentak berhenti dan cepat sekali sudah kembali ke depan Kun Hong, seakan-akan memang ia mengharapkan pemuda buta itu memanggilnya kembali.
"Ada apakah?" tanya Hui Kauw, suaranya penuh harapan aneh.
"Nona, aku ingin mohon sesuatu darimu, mohon bantuanmu, sekiranya kau tidak akan keberatan."
"Tentu saja tidak keberatan! Beberapa kali kau telah menolong dan menyelamatkan nyawaku daripada maut, tentu saja aku siap sedia membantumu!"
Tak enak hati Kun Hong ketika nona itu menyebut-nyebut tentang pertolongannya, Cepat-Cepat dia berkata untuk menghabisi hal itu, "Aku hanya ingin kau memberi petunjuk kepadaku, menjadi penunjuk jalan ke Ching-coa-to, Nona."
Hui Kauw kaget dan memandang dengan mata melebar, "Apa" Kau minta aku mengantarkan kau kembali ke pulau?" lalu menghapus kebimbangannya dengan pertanyaan, "Kun Hong, apa kehendakmu hendak kembali ke sana?"
Berdebar hati Kun Hong mendengar betapa nona itu memanggil namanya begitu saja seakan-akan seorang sahabat lama yang sudah biasa saling menyebut nama tanpa banyak peraturan lagi.
"Aku harus kembali ke sana untuk mengambil mahkota yang dirampas mereka dari tangan Loan Ki," katanya dengan suara biasa.
"Tapi mahkota kuno itu dirampas oleh Ka Chong Hoatsu! Dia lihai sekali, belum yang lain-lain. Biarpun aku suka membantumu, agaknya kita berdua takkan menangkan mereka, mana bisa kembali mahkota?" Kemudian gadis menyambung cepat-cepat,
"Jangan salah duga bahwa aku takut, sama sekali tidak, aku suka membantumu. Akan tetapi, aku hanya mengkhawatirkan bahwa usahamu tidak akan berhasil dan malah kau akan tertimpa malapetaka."
Kun Hong menjura, penuh rasa terima kasih. "Biarpun menghadapi bahaya, akan kutempuh karena hal ini penting sekali, lebih penting daripada nyawaku."
Ucapan ini keluar begitu saja sebagai gema dari ucapan Tan Hok. "Aku tidak berani mengharapkan tenagamu untuk melawan mereka, Nona. Dan andaikata aku dapat pergi ke sana sendiri, sudah tentu aku pun tidak berani minta bantuanmu karena aku maklum betapa berat memintamu kembali ke tempat yang telah menimpakan banyak kesengsaraan padamu itu. Akan tetapi apa dayaku, aku seorang buta, tak mungkin dapat masuk ke pulau itu tanpa bantuanmu." Dia berhenti sebentar, tersenyum-senyum dan memukul-mukulkan tongkatnya di atas lantai di depannya. "Sebelum sampai di sana mungkin aku sudah terjungkal ke dalam selokan!"
Akan tetapi kelakar ini diterima oleh Hui Kauw dengan alis berkerut, sama sekali tidak lucu baginya. "Marilah, Kun Hong, mari kuantarkan kau ke Pulau Ching-coa-to!" katanya dan seketika hati Kun Hong berdebar tidak karuan ketika tangannya dipegang oleh gadis itu dan ditarik keluar dari kuil. Telapak tangan yang halus itu seakan-akan menyalurkan getaran yang membuat jantungnya meloncat-loncat seperti katak kepanasan. Segera dia menekan perasaannya dan diam-diam dia memaki-maki diri sendiri, "Kau betul mata keranjang, hidung belang seperti yang dikatakan Loan Ki padamu! Gadis ini dengan hati jujur dan bersih menuntun tanganmu karena mengingat kebutaanmu, kenapa hatimu jadi geger tidak karuan?"
Tidaklah aneh apabila dengan bantuan Hui Kauw, Kun Hong dengan mudah dapat memasuki Pulau Ching-coa-to. Hui Kauw dikenal oleh para anak buah dan penjaga sebagai puteri Ching-toanio. Memang mereka sudah mendengar desas-desus tentang keributan yang terjadi antara nona ini dengan ibunya, akan tetapi tetap saja mereka tidak berani memperlihatkan sikap berbeda terhadap Hui Kauw. Apalagi mereka tahu betul betapa lihai nona ini, bahkan selain lihai, juga nona ini merupakan satu-satunya orang Ching-coa-to yang disegani oleh semua anak buah karena sikapnya yang selalu baik, sabar, dan suka menolong. Seperti bumi dan langit bedanya antara nona ini dengan ibu dan saudaranya yang kejam dan mudah saja membunuhi anak buah yang bersalah.
Hui Kauw mudah mendapatkan perahu dan bersama Kun Hong ia mendayung perahu itu cepat-cepat ke darat. Ia tidak memperdulikan pandang mata para anak buah ibunya yang terheran-heran melihat ia datang bersama Kun Hong, orang buta yang tadinya dianggap musuh yang datang mengacau Ching-coa-to. Akan tetapi keheranan inipun hanya sebentar saja. Para anak buah Ching-coa-to sudah terlalu sering menyaksikan keanehan-keanehan di antara para tamu pulau itu, keanehan orang-orang kangouw sehingga kejadian kali ini di pulau juga tidak begitu mereka perdulikan.
Setelah menyeberangi telaga dan tiba di pulau, Hui Kauw mengajak Kun Hong mendarat. Tegang juga hati Kun Hong ketika kakinya sudah menginjak daratan pulau itu dan hidungnya segera mencium bau aneka bunga.
"Apakah kita tiba di taman..........?" tanyanya perlahan.
"'Betul, tempat ini terbaik untuk mendarat dan dari sini mudah kita pergi menyelidiki tentang benda itu."
"Hui Kauw," Kun Hong memegang tangan gadis itu tanpa ragu-ragu lagi karena dia merasa amat berterima kasih dan pula sikap gadis itu yang ramah dan sewajarnya membuat dia tidak menjadi sungkan dan malu lagi, "Kau tunggulah saja di sini, jangan sampai ada yang melihatmu. Biar aku sendiri yang akan mencari Ka Chong Hoatsu dan terang-terangan minta kembali mahkota itu. Kalau sudah berhasil, baru aku minta bantuanmu lagi untuk mengajak aku menyeberangi telaga."
Mau tidak mau Hui Kauw tersenyum kali ini dan menarik tangannya. "Kun Hong, kau benar-benar berlaku sungkan kepadaku. Jangan kau kira bahwa aku demikian pengecut, membiarkan kau sendiri menghadapi mereka yang lihai.
Tidak, Kun Hong. Aku sudah sanggup dan hanya ada dua pilihan bagiku.
Berhasil merampas kembali mahkota dan dengan selamat bersamamu meninggalkan pulau ini atau kita gagal dan mati bersama di sini."
Menjenguk Cakrawala 7 Pendekar Kembar Karya Gan K L Peristiwa Bulu Merak 6

Cari Blog Ini