Ceritasilat Novel Online

Pendekar Elang Salju 4

Pendekar Elang Salju Karya Gilang Bagian 4


Istana Iblis Dasar Langit!
Karena anak muda itu sebenarnya merupakan buah perkawinan antara manusia dengan iblis yang menguasai Istana Iblis Dasar Langit, yaitu Raja Diraja Iblis Dasar Langit!
Pemuda titisan iblis itu memiliki Rajah Penerus Iblis di telapak tangan kirinya, tanda itu berbentuk kepala setan bertanduk bermata merah darah, sebagai pertanda dia adalah putra dari Raja Diraja Iblis Dasar Langit. Tak pelak lagi, dialah sesungguhnya ancaman maut di atas bumi ini. Akan halnya pemuda itu terlahir dari buah Laknat Hitam yang dimakan secara tidak sengaja oleh seorang gadis murid Perguruan Rimba Putih yang bernama Danayi, buah itulah yang mengubah sejarah hidup gadis itu. Yang merupakan aib bagi seorang gadis ...
Hamil tanpa suami!
Sebenarnya kehamilan itu terjadi karena campur tangan iblis penjaga buah Laknat Hitam itu. Setelah makan buah itu, Danayi langsung tertidur pulas, dan di alam mimpi, dia digauli oleh sembilan orang laki-laki yang gagah dan tampan, karena sebenarnya buah itu adalah buah simbol perkawinan iblis, siapa pun yang memakannya, secara tidak langsung sudah bersekutu dengan iblis. Ketika terbangun dari tidurnya, Danayi mengalami kekagetan yang luar biasa. Dalam tubuhnya seolah terjadi pergolakan hebat, perutnya seolah-olah diaduk-aduk, ususnya seakan dipelintir oleh tangan-tangan yang tidak kelihatan. Karena tidak tahan dengan penderitaan itu, gadis murid Perguruan Rimba Putih akhirnya jatuh pingsan.
Entah berapa lama, Danayi siuman dari pingsannya. Ketika pandangan matanya terbuka, dilihatnya suatu pemandangan yang terasa asing baginya. Dirinya sudah berada diatas kasur yang empuk, di sekelilingnya duduk bersimpuh belasan perempuan yang mengenakan pakaian-pakaian aneh, berumbai-rumbai kuning kehitaman hanya sebatas dada saja. Sedang lebih aneh, lagi, tubuh mereka berwarna hitam kelam seperti tersiram tinta, walau berwajah rata-rata cantik manis, namun saat berbicara atau tersenyum, tersembul sepasang taring di dalam mulutnya.
Danayi sedikit ngeri, namun gadis itu ternyata tabah juga. Saat akan bangkit berdiri, gadis itu kagetnya bukan alang kepalang.
"Ahh ... !"
Perutnya telah membesar, menggelembung, seolah-olah ada sesuatu yang ada didalam perutnya.
"Apa yang terjadi" Dimanakah ini" Apakah aku sudah mati?" suara terdengar bergetar.
Suasana di tempat itu betuk-betul aneh. Seluruh ruangan juga berbentuk ganjil, ada meja berkaki dua, kursi berkaki lima, ada pula sebentuk buah pepaya, tapi bukan pepaya berwarna biru pucat. Banyak sekali hal-hal aneh yang tidak bisa dijangkau oleh akal pikirnya.
Ini adalah kamar teraneh yang pernah dikenalnya!
Dan lebih aneh lagi, dirinya merasa akrab dengan tempat itu, tempat yang tidak ketahui letak dan namanya, dikelilingi oleh wanita-wanita berkulit hitam dengan sepasang taring menghiasi mulutnya.
Seorang dari kumpulan aneh itu, menyembah dan berkata, "Nyai Ratu, sebaiknya Nyai Ratu jangan banyak bergerak dulu. Lebih baik beristirahat saja di ranjang, agar kehamilan Nyai Ratu tidak terganggu."
"Apa kau bilang ... Nyai Ratu ... " Ratu apa" Dan ... dan apakah ... aku hamil" Aku khan belum bersuami!?" seru Danayi kaget, " ... dan siapa kalian ini ... ?"
"Nyai Ratu tidak perlu bingung, biarlah hamba yang menceritakan semuanya ... "
Kemudian perempuan bertaring itu mengenalkan dirinya sebagai Nyi Tembini, seorang kepala dayang dari Istana Iblis Dasar Langit, menceritakan secara terperinci semua kejadian yang dialami Danayi. Dari permulaan hingga gadis itu bisa hamil tanpa suami dan kini sedang tergolek atas kasur yang empuk.
Mendengar hal itu, Danayi tersentak kaget!
Dirinya memang secara tidak sengaja memakan buah berwarna hitam pekat yang terdapat di hutan sebelah timur dari Perguruan Rimba Putih, buah yang rasanya manis dan berbau harum itu sangat menarik perhatiannya. Namun sungguh tidak disangka bahwa buah tersebut adalah buah perkawinan bagi para penghuni gaib dari Istana Iblis Dasar Langit, dimana setiap biji dari buah itu mewakili satu penghuni gaib istana tersebut. Kebetulan yang dimakan oleh gadis itu adalah satu biji yang terbesar berwarna hitam kemerahan serta terletak paling atas dan delapan biji yang sudah matang di bawahnya, namun ukurannya agak kecil. Itu artinya Danayi telah bersuamikan dengan raja tertinggi dan delapan raja kecil dari istana alam gaib.
Seorang gadis dari alam manusia bersuamikan sembilan mahkluk penghuni alam gaib!
Alam gaib berbeda dengan alam manusia, dimana satu hari di alam gaib itu sama artinya dengan satu bulan di alam manusia. Begitulah, sembilan hari kemudian, Danayi melahirkan seorang bayi mungil laki-laki dan oleh Raja Diraja Iblis Dasar Langit diberi nama Nawa Prabancana.
-o0o- Sepuluh tahun pun berlalu tanpa terasa ...
Suasana di Lembah Badai masih tetap sama seperti dulu, penuh dengan kilatan petir dan kadangkala disertai tiupan angin di tambah dengan sergapan badai salju yang menggila. Meski pun di pulau Jawadwipa hanya mengenal dua musim saja, nampaknya hal itu merupakan pengecualian pada Lembah Badai, lembah yang merupakan pintu gerbang menuju Gunung Tambak Petir.
Sesosok bayangan putih tampak berkelebatan kian kemari menghindari sambaran petir dan tiupan angin yang cukup ganas. Tubuh pemuda itu melayang-layang di angkasa, seperti terbangnya seekor burung yang sedang mengangkasa, kadangkala menukik tajam, saling susul menyusul dengan terjangan petir-petir dari langit, seolah berlomba untuk saling dahulu mendahului.
Dharr! Jdhar ... !!
Petir itu menyambar bumi dengan memperdengarkan suara yang gelegar memekakkan telinga. Tak pelak lagi, bumi bagai diguncang gempa yang dahsyat, salju yang membeku berhamburan ke udara membentuk tiang-tiang es yang menjulang beberapa tombak, kemudian luruh kembali memperdengarkan suara gemuruh yang keras. Lembah itu seakan diaduk oleh tangan-tangan tak kelihatan.
Bluarr ...!! Chaarr ... !!
Kalau hanya kekuatan petir saja, kejadiannya tidak akan seperti itu. Kiranya saat petir itu menghantam ke tanah, saat itu pula bayangan putih itu menghantamkan sepasang telapak tangan terbuka ke tanah, sehingga mengakibatkan menjadi bumi bergetar dan salju-salju beterbangan hingga membentuk tiang-tiang es yang tinggi. Bayangan itu kembali menggerakkan sepasang tangan memutar di atas kepala dengan sepasang kaki membentuk kuda-kuda kokoh. Secara perlahan namun pasti, tubuhnya dikelilingi oleh sebentuk cahaya putih tipis yang memendar-mendar memancarkan hawa dingin.
Wess! Bwooshh ... !!
Dari sepasang telapak tangan itu memancarkan hawa sedingin salju, memiliki liukan secepat angin, gerakan tangan memutar-mutar memilin udara dingin yang ada di lembah itu. Tak berapa lama kemudian, terciptakan pusaran angin yang membawa debu-debu salju dan serpihan-serpihan es. Lalu tangan kiri dikibaskan ke arah badai salju yang jaraknya masih puluhan tombak di depannya.
Whess ... !! Pratt! Dharr ... ! Blarr ... !!
Badai salju itu kontan pecah berantakan. Ambyar! Namun beberapa bagian masih ada yang lolos dan menyambar ke arah pemuda itu. Tangan kanannya kembali bergerak dengan cepat.
Pratt! Dharr ... ! Blarr ... !!
Kembali terdengar letupan keras disertai dengan salju yang berhamburan kemana-mana, kali ini sisa-sisa badai salju harus takluk dibawah anak muda!
Tubuh pemuda itu masih diselimuti dengsn selapis hawa putih keperakan, memunculkan nuansa dingin yang menyejukkan. Melihat hasil pukulannya, pemuda berwajah tampan itu menyunggingkan senyum tipis.
Senyum kepuasan!
"Pukulan "Sepasang Angin Mengguncang Salju" sudah bisa aku kuasai dengan baik, entah bagaimana pendapat Eyang Guru jika melihatnya," gumamnya lalu, "hmmm ... lebih baik kuulangi saja dari awal, mungkin aku bisa menemukan sesuatu yang baru."
Tubuh pemuda itu kembali berkelebat cepat sehingga meninggalkan sesosok bayangan putih. Pemuda kembali menyongsong badai yang mulai datang lagi, seakan Lembah Badai itu adalah tempat tinggalnya, tempat ia bermain-main, pendek kata seperti kampung halamannya sendiri. Padahal tokoh-tokoh persilatan akan berpikir ribuan kali jika ingin menapakkan kaki di lembah itu. Tapi bagi anak muda berbaju putih itu, Lembah Badai sungguh sedemikian bersahabat dengannya. Kilatan petir yang menyambar dan mengenai tubuhnya dianggap sebagai salam sayang dari langit, hempasan badai dan tiupan angin yang menggulungnya dianggap sebagai pelukan ibu terhadap anaknya. Dinginnya hawa dianggap teman yang senantiasa menemani dirinya.
Karena pemuda itu sudah menyatu dengan alam!
Tubuhnya berputaran kesana kemari, pukulan dan tendangan mengarah ke segala penjuru. Gerakannya laksana elang muda yang turun dari langit, kadang menukik, mencakar, mematuk, mengibas, mengelak, persis layaknya burung elang. Belum lagi dengan pancaran tenaga salju yang keluar dari tubuhnya, bahkan lapisan hawa putih keperakan yang melingkupi tubuhnya semakin menebal.
Sedang hawa yang sudah dingin membekukan tulang itu menjadi semakin dingin menyengat, sampai sosok pemuda bertubuh tambun dengan baju buntung hijau tanpa lengan yang mengawasi dari kejauhan terpaksa mengerahkan tenaga dalam berhawa panas untuk menahan hawa dingin yang bisa membekukan tubuh. Padahal dia menonton di luar wilayah Lembah Badai dengan jarak puluhan tombak, namun rasanya seperti dia sendiri berada di dalam lembah itu.
"Gila! Apa yang dilakukan anak itu" Mau membuat aku jadi kura-kura beku apa?" gumamnya, "tapi, ilmunya makin lama makin hebat saja. Sampai hawa dinginnya menyengat sampai kemari."
Pemuda tambun itu terus saja mengawasi pemuda yang sedang berlatih di dalam Lembah Badai. Di punggungnya terdapat sebentuk tempurung kura-kura yang ukurannya luar biasa besar. Bobotnya pun bisa mencapai ribuan kati, tapi pemuda itu memakainya dengan santai saja, seolah tanpa beban. Di saat angin bertiup sedikit kencang, baju buntung sedikit tersingkap, sehingga nampaklah tato atau rajah kura-kura berwarna hijau tua di dada kiri. Siapa lagi jika bukan Joko Keling alias Arjuna Sasrabahu, murid tunggal Kura-kura Dewa Dari Selatan dan pemuda yang sendirian berlatih silat di Lembah Badai tak lain dan tak bukan adalah Paksi Jaladara adanya.
Dua orang itulah yang sekarang menghuni sisi luar dari Lembah Badai, dari dua orang bocah ingusan sekarang telah berubah menjadi dua pemuda sama jenis tapi beda bentuk. Paksi Jaladara bertubuh tinggi tegap dengan kulit bersih, dadanya bidang dan berwajah tampan, sedang Joko Keling tetap dengan postur tubuh tambun namun padat, kulit sedikit menghitam karena gemblengan yang diberikan oleh gurunya.
-o0o- Jilid 1 : Sang Pewaris - Bab Tiga Belas
Pernah saat mereka baru dua tahun menghuni tempat itu, Joko Keling pernah coba-coba menginjakkan kaki di Lembah Badai, namun baru mencapai satu tombak, tiba-tiba kilatan petir telah menyambarnya. Meski telah mengerahkan ilmu ringan tubuh dan membentengi diri dengan tenaga saktinya, tak urung terjungkal juga terkena sambaran petir. Tubuhnya terpental sejauh tiga tombak lebih. Tubuh montok itu langsung berubah menjadi hitam legam seperti arang, pakaiannya hancur luluh berbau gosong, meski tubuhnya berubah hitam akibat tersambar petir tapi tidak terluka terlalu serius, dikarenakan telah mengadakan persiapan sebelumnya dan tetap mengenakan Perisai Kura-kura Sakti, hanya seluruh badan terasa di panggang dalam tungku api membara.
Lebih celaka lagi, tubuh bugil bocah itu terjatuh dalam keadaan tengkurap!
Paksi Jaladara yang melihat kejadian itu tertawa terbahak-bahak hingga keluar air matanya, bagaimana tidak tertawa geli, jika melihat tubuh bugil jatuh tengkurap dan tempurung kura-kura berukuran besar berada di atas punggungnya, persis kura-kura berjalan keluar dari selokan.
Joko Keling yang diketawai memaki panjang pendek, tapi melihat keadaannya sendiri yang hitam legam dan telanjang bulat, tak urung juga membuatnya tertawa tergelak-gelak. Tindakan itu cukup menjadi pelajaran bagi bocah bongsor itu, sampai keluar sumpah serapahnya tidak akan menginjak Lembah Badai lagi. Andaikata ada gadis secantik bidadari sekalipun menyuruhnya menginjak lembah maut itu, pasti bakal ditolaknya mentah-mentah.
Bagaimana tidak, jika nekat tentu keadaannya pasti seperti kura-kura yang ekornya di depan!
Sementara itu, Paksi Jaladara mengerahkan seluruh kekuatan hawa tenaga dalam yang bersumber dari kitab Sakti "Hawa Rembulan Murni" yang kini telah mencapai tahap akhir dan digabungkan dengan ilmu silat "Delapan Belas Jurus Elang Salju" yang diwariskan oileh guru gaibnya, Elang Berjubah Perak. Jurus itu pada mulanya hanya ada lima belas jurus saja, tapi oleh Paksi Jaladara dikembangkan hingga menjadi delapan belas jurus. Entah bagaimana kehebatan tiga jurus yang terakhir itu.
Jurus ke delapan belas merupakan inti dari ke tujuh belas jurus yang sudah ada sebelumnya. Oleh Paksi Jaladara, jurus ini dinamai dengan jurus jurus "Menyatu Menjadi Elang Raksasa", mendadak saja terpancar cahaya menyilaukan mata, dan bersamaan itu pula tampak sesosok elang putih raksasa sedang melayang ke atas, kemudian menukik ke bawah dengan cepat dengan pekikan yang menggelegar.
"Awwkk! Awwkk!"
Weesshh! Sasarannya adalah gugusan batu yang umurnya sudah ratusan tahun dan berada tepat di tengah-tengah Lembah Badai.
Jdharr ... ! Dhuuarr ... !!
Gugusan batu raksasa itu hancur berantakan setelah ditabrak oleh elang raksasa itu, menimbulkan buncahan debu-debu putih di angkasa. Beberapa saat kemudian, ketika guguran debu mereda, tampak sosok tubuh Paksi Jaladara berdiri dengan gagah. Guguran debu dan batu menyibak dengan sendiri, dikarenakan pengerahan tenaga dalam yang memuncak, seakan-akan ada tangan tak terlihat yang mengalihkan guguraan debu dan batu ke samping.
Namun mendadak, alis matanya mengernyit.
Dari bekas gugusan batu raksasa itu, tertancap sebatang pedang di sisi kanan dan sarung pedang di sisi kiri. Bentuk pedang itu seperti pedang biasa, hanya sedikit melengkung seperti golok dan panjangnya dua kali pedang biasa dengan bilah pedang selebar tiga jari tangan. Satu sisi pedang tumpul dan satunya tajam mengkilat seperti bilah golok dengan membentuk lekukan pedang seperti ombak yang memisahkan antara bagian tumpul dan tajam. Gagang pedang cukup panjang untuk ukuran pedang biasanya, panjang sekitar tiga kali ukuran gagang pedang biasa, jika digenggam dengan dua tangan akan cukup nyaman. Pembatas pedangnya pun berbentuk aneh, melingkar membatasi antara bilah pedang dengan gagangnya, dimana pembatas yang melingkar itu berlubang sebanyak sembilan buah. Lubang itu membentuk gambar bulan sabit dan bintang segi delapan.
Di kedua sisi bilah pedang terdapat ukiran-ukiran aneh, seperti tulisan-tulisan dari negeri seberang. Pedang itu memancarkan cahaya samar-samar kebiru-biruan. Akan halnya sarung pedang berwarna putih mengkilap mulus tanpa gambar apa pun. Hanya pada ujungnya terdapat gambar ukiran gambar angin dan awan yang berarak.
"Pedang apa ini?" katanya dalam hati.
Paksi mendekati pedang aneh itu, lalu menggenggam gagangnya dengan tangan kanan.
Srtt! Srtt ... !!
Mendadak muncul kilatan-kilatan petir kecil yang menyengat tangannya. Kilatan itu terus menjalar ke seluruh tubuhnya dan akhirnya seluruh tubuh Paksi Jaladara tersengat kilatan-kilatan kecil berbiru-biruan itu. Paksi Jaladara segera mengerahkan tenaga dalam yang dimilikinya, namun celakanya tenaga dalam itu seakan mampet, tidak mau keluar.
"Celaka! Apa yang harus kulakukan" Uhh ... tanganku tidak bias dilepaskan ... "
Dalam kebingungannya, perlahan namun pasti tampak sesosok bayangan manusia yang makin lama makin jelas wujudnya. Sosok laki-laki berwajah tirus dengan mata sipit yang mencorong tajam, rambutnya dikucir ekor kuda dengan balutan pita hitam. Bajunya juga cukup aneh, dengan ukuran agak kebesaran berwarna biru laut demikian pula dengan celananya yang hitam juga terlihat kebesaran. Kulitnya yang pucat kekuning-kuningan ditingkahi dengan seulas senyuman ramah. Dipunggungnya terselip sebentuk pedang yang bentuknya cukup aneh dan cukup panjang ukuran pedang pada umumnya. Yang membuat Paksi sedikit terperanjat adalah pedang laki-laki itu sama persis dengan pedang yang saat ini digenggam oleh Paksi Jaladara.
Pedang panjang melengkung yang aneh!
Laki-laki bermata sipit dengan kulit kuning itu membungkukkan badan ke arah paksi dan dengan gerakan yang indah, ia mencabut pedangnya dan mulailah ia melakukan gerakan-gerakan aneh, dimana bayangan itu menggenggam gagang pedang dengan kedua tangannya. Gerakan itu terus diperlihatkan di depan Paksi Jaladara, seolah-olah sedang memperlihatnya jurus-jurus pedang yang menggunakan dua tangan. Gerakan menebas, menusuk, membabat, semua diperlihatkan di depan mata pemuda itu.
Anehnya, Paksi Jaladara bisa mengikuti gerakan itu dengan baik, seolah dia sendirilah yang melakukan jurus-jurus pedang aneh itu. Puluhan jurus pun berlalu dan selama itu pula, pemuda itu menatap semuanya dengan tanpa berkedip!
Mendadak orang yang bermata sipit itu meloncat ke atas, lalu mengayunkan pedangnya ke arah Paksi Jaladara dengan cepat bagai kilat.
Bwessh! Pemuda itu tersentak kaget, untuk menghindar pun rasanya sudah tidak mungkin lagi, karena serangan hawa pedang itu membutuhkan waktu sepersekian detik dan langsung menerjang ke tubuhnya.
Cess!! Aneh, hawa pedang tadi langsung lenyap saat membentur tubuhnya bersamaan dengan bayangan laki-laki bermata sipit itu juga menghilang tanpa bekas, termasuk juga kilatan petir kecil juga lenyap.. Paksi Jaladara hanya terlongong bengong, lalu tangan kiri meraba dadanya tanpa sadar.
"Apa yang terjadi ... " Tidak ada luka sama sekali!" gumam pemuda itu. "Aneh, padahal tadi jelas-jelas sabetan pedang itu mengarah ke dada, tapi tidak ada bekasnya sama sekali."
Ketika menggerakkan tangan kanan yang menggenggam gagang pedang, pedang itu tercabut dengan mudah. Pemuda pemilik Rajah Elang Putih itu lalu mengamat-amati pedang itu dari gagang pedang hingga ke ujungnya. Lalu jari tangan kiri menyentuh bilah pedang, terasa hawa dingin menjalar melewati jari-jarinya.
"Hmm, tajam juga. Bilah pedang ini memancarkan hawa dingin, entah dibuat dari bahan apa. Entah milik siapa pedang panjang ini. Lebih baik aku tanyakan saja pada kakek tabib dan kakek kura-kura, siapa tahu mereka berdua tahu tentang pedang ini."
Dengan sengaja tak sengaja, Paksi mengibaskan pedang itu ke samping kanan dengan mendatar, menirukan gerakan orang aneh tadi.
Wess! Sebentuk hawa pedang memancar keluar secepat angin dan menebas tiang es yang besarnya sepelukan orang dewasa yang jaraknya sepuluh tombak dari tempat pemuda itu berdiri.
Crass!! Tiang es itu langsung terpotong rapi, lalu ambruk diiringi dengan suara keras.
Bruull ... ! Paksi terperanjat.
"Edan! Padahal cuma kibasan pelan saja, sudah bisa memotong tiang es sebesar itu. Wow, keren!" kata pemuda itu penuh kekaguman sambil menghampiri sarung pedang putih itu dan memasukkan pedang panjang itu ke dalamnya.
Pas sekali! Lalu dengan tangan kanan menjinjing pedang panjang itu, dia berkelebat cepat ke arah tepi luar Lembah Badai dengan mengerahkan jurus peringan tubuh "Ribuan Li Selaksa Ombak". Gerakan kakinya seolah melayang-layang di udara, laksana menunggang angin. Jurus ini sudah banyak kemajuan dibanding pertamakalinya Paksi mempelajarinya dari Tabib Sakti Berjari Sebelas.
Wess! Sebentar kemudian dia sudah sampai di sisi luar Lembah Badai, dan melihat Arjuna alias Joko Keling, musuh karib dan teman bebuyutannya yang setia menunggu.
Jleg! Pemuda bongsor itu nampak sedang bersekedap di depan dada saat Paksi baru saja menjejakkan kakinya di sisi luar lembah. Sorot mata pemuda itu menatap tajam pemuda berikat kepala merah dari ujung rambut hingga ujung kaki, lalu berjalan memutari tubuh pemuda, seperti seorang pembeli sedang menaksir barang dagangan saja. Lalu pandangan matanya beralih kepada pedang panjang yang ada dalam genggaman tangan Paksi.
"Sepanjang pengetahuanku di Lembah Badai tidak ada pedang yang sepanjang itu."
"Aku dapatkan diantara gugusan batu-batu raksasa yang ada di sisi selatan lembah ini."
"Oooh ... " kata Joko Keling manggut-manggut.
"Apa kau tahu siapa pemiliknya?" balik tanya murid tunggal Elang Berjubah Perak.
"Tidak," sahut Joko Keling pendek, "lebih baik kita segera menghadap kakek. Tadi aku diberitahu, jika kau sudah keluar dari Lembah Badai, kita berdua supaya langsung menuju puncak Gunung Tambak Petir."
Paksi mengiyakan saja, sambil berkata, "Kapan kita berangkat?"
"Tahun depan! Tentu saja sekarang, memangnya mau tunggu apa lagi?" ucap Arjuna dengan jengkel.
Kalau sudah begitu, Paksi kadang tertawa geli sendiri, karena muka pemuda bongsor itu kalau sudah marah atau jengkel, susah sekali membedakan mana hidung, mana mata dan mana pipi karena semua menjadi satu. Mungkin jika sekali tabok mukanya bisa kena hidung, mata dan pipi sekaligus.
"Kenapa senyam-senyum, ngejek ya?"
"Ah ... nggak kok ... " elak Paksi sambil berusaha menahan senyumnya agar tidak meledak.
Pemuda bertempurung kura-kura langsung menjejakkan kakinya ke arah utara, mengikuti sisi luar dari lembah bersalju itu. Tubuh besar itu berkelebat dengan ringan, seakan tidak terbebani dengan berat badan dan juga tempurung kura-kura yang ada dipunggungnya.
-o0o- "Kazebito!"
"Kazebito" Maksud kakek tabib, pedang ini bernama Kazebito?" potong Paksi dengan cepat.
"Ya. Tepatnya Pedang Samurai Kazebito! Pedang ini dulunya adalah milik seorang pendekar samurai dari Negeri Sakura yang bernama Sasaki Kojiro. Jika tidak keliru hitunganku, itu terjadi sekitar empat ratus tahun yang lalu pada masa ketua generasi ke 28," tutur Ki Gedhe Jati Kluwih seraya menimang-nimang pedang samurai itu di tangannya, lalu lanjutnya, "Paksi, apakah ada kejadian aneh sesaat atau sebelum kau menemukan pedang ini?"
"Ada, kek."
"Ceritakan!"
Paksi Jaladara dengan singkat menceritakan kejadian yang berhubungan dengan pedang itu, termasuk rambatan aliran hawa aneh bahkan saat sosok laki-laki bermata sipit yang diduga bernama Sasaki Kojiro pun diceritakan lengkap dengan jurus pedang anehnya. Dikatakan aneh, karena biasanya para pesilat dari Tanah Jawadwipa menggunakan tangan kanan atau kiri dalam bersilat pedang, sedang sosok Sasaki Kojiro menggunakan dua tangan dalam memegang gagang pedang.
Ki Gedhe Jati Kluwih, Kura-Kura Dewa Dari Selatan dan Joko Keling mendengarkan dengan seksama, tidak ada yang menyela atau memotong penuturan Paksi sedikit pun, bahkan sampai selesainya kisah itu, ketiganya masih tertegun dengan apa yang baru saja didengarnya.
"Paksi, apakah kau masih bisa mengingat setiap jurus yang digunakan oleh sosok Sasaki Kojiro?" tanya Kura-Kura Dewa Dari Selatan.
"Masih, kek."
"Coba kau peragakan. Tapi, gunakan tanpa pengerahan kekuatan tenaga dalammu."
"Baik."
Paksi mencabut Pedang Samurai Kazebito dan mulailah ia melakukan gerakan-gerakan aneh seperti apa yang pernah dilakukan oleh Sasaki Kojiro, menggenggam gagang pedang dengan kedua tangannya. Lalu mulaialh ia melakukan gerakan menebas, menusuk, membabat, menangkis dan mengunci. Meski tanpa menggunakan pengerahan tenaga dalam, namun udara disitu seakan mengikuti kemanapun Paksi bergerak. Baju pemuda itu berkibar-kibar tatkala ia melakukan gerakan menusuk tiga kali dengan cepat.
Wutt! Wess ... !
Terlihat larikan udara yang meruncing keluar dari ujung pedang samurai itu, lalu membentur batang pohon yang ada didepannya.
Durrr!! Meski tanpa pengerahan tenaga dalam, daun-daun berguguran terkena sentakan dari Pedang Samurai Kazebito yang digunakan Paksi.
"Cukup Paksi!"
Paksi Jaladara menyudahi gerakan pedangnya, lalu dengan gerakan manis, menyarungkan pedang panjang yang digenggamnya. Semua yang dilakukan Paksi murni dari apa yang diterima oleh indera penglihatannya, tidak ada yang tercecer sedikitpun.
"Bagus! Ilmu pedang yang baru saja kau gunakan tadi adalah jurus terhebat dari aliran Partai Matahari Terbit yang bernama "Terbit Di Timur, Tenggelam Di Barat"," kata kakek bercaping kura-kura itu, " ... setahuku, ketua generasi ke 28 terdahulu mengundang mendiang Sasaki Kojiro. Dia datang jauh-jauh dari Negeri Sakura untuk menjalin persahabatan antara dengan Istana Elang, dimana sebelumnya Ketua Galangtara pernah mengembara hingga tanah seberang dan berkunjung ke Partai Matahari Terbit serta saling bertukar jurus."
"Lalu sebagai imbal baliknya dari Partai Matahari Terbit, dalam hal ini diwakili oleh mendiang Sasaki Kojiro yang mungkin anak dari ketua partai atau murid utamanya untuk berkunjung ke Tanah Jawadwipa ini. Namun mendiang Sasaki Kojiro berhasil melewati Ladang Pembantaian tapi gagal menembus ganasnya Lembah Badai tanpa sempat memperlihatkan kembali jurus pedang andalan Partai Matahari Terbit. Bukan begitu, kek?" duga Paksi Jaladara.
Kura-Kura Dewa Dari Selatan dan Tabib Sakti Berjari Sebelas menganggukkan kepalanya mendengar uraian panjang lebar dari Paksi Jaladara, sebuah analisa yang tepat dari seorang pemuda usia belasan tahun!
"Tepat sekali dugaanmu, Paksi!"
"Lalu, darimana kakek tahu kalau jurus pedang yang saya gunakan tadi adalah jurus terhebat dari Partai Matahari Terbit sedangkan Tuan Sasaki Kojiro sendiri sudah keburu tewas di tengah perjalanan dan belum sempat memperlihatkannya pada Ketua Galangtara?"
Kembali dua tokoh tua menyatakan kekagumannya.
"Dari sebuah kitab pedang yang diberikan ketua Partai Matahari Terbit kepada Ketua Istana Elang." kata Kura-Kura Dewa Dari Selatan.
"Kitab pedang?"
"Ketika terjadi pertukaran ilmu silat, Ketua Galangtara meminjamkan sejilid Kitab Sakti "Inti Beku" kepada Ketua Partai Matahari Terbit yang konon kabarnya merupakan salah satu dari lima kitab pusaka yang menjadi perebutan tokoh golongan persilatan tempo dulu, dan sebagai gantinya Ketua Galangtara menerima sejilid kitab "Pedang Matahari Terbit Dari Timur", yang juga merupakan salah satu pusaka partai itu. Akan halnya aku tahu jurus yang baru saja kau gunakan, ketua pernah memperlihatkannya padaku setelah mempelajari selama dua purnama," tutur kakek bercaping kura-kura itu.
"Guru, dimanakah kitab pedang itu sekarang?" sela Joko Keling yang sedari tadi hanya diam saja mendengar tanya jawab antara Paksi dengan gurunya.
"Kitab itu sekarang berada di Ruang Pustaka," kata Kura-kura Dewa dari Selatan, " ... tapi, Ruang Pustaka itu hanya bisa dimasuki oleh ketua dan tidak seorang pun yang bisa memasukinya, kecuali orang itu telah ditunjuk sebagai Pewaris Tahta Angin. Jika bukan pewaris dari Empat Pengawal dan Pewaris Tahta Angin sendiri, orang lain pasti mati seketika!"
"Begitu rupanya," kata hati Tabib Sakti Berjari Sebelas, "pantas Elang Berjubah Perak pernah berkata padaku "tidak ada penjaga di Ruang Pustaka karena Ruang Pustaka itu sendirilah yang menjaganya", setelah kura-kura tua itu menyebutkan tentang pewaris, baru aku paham apa makssudnya."
"Kakek, lalu apa yang harus kulakukan dengan Pedang Samurai Kazebito ini" Aku merasa tidak pantas memilikinya setelah kutahu bahwa pedang ini ada pemiliknya meski sekarang orangnya sudah tiada, namun aku yakin Partai Matahari Terbit masih memiliki hak dengan pedang samurai ini," kata Paksi Jaladara sambil menimang-nimang pedang panjang ditangannya.
"Pada awalnya, Tuan Sasaki Kojiro berniat memperlihatkan kehebatan jurus pedang partainya kepada Ketua Istana Elang dan kukira mendiang Sasaki Kojiro sudah melaksanakan tugasnya dengan baik dengan memperlihatkan jurus pedang itu padamu, karena menganggap dirimu sebagai Ketua Istana Elang yang baru. Maka sudah sepantasnyalah bila kau pula nantinya yang mengembalikan pedang itu ke tempat asalnya, yaitu ke Partai Matahari Terbit di negeri seberang sana," kata Ki Gedhe Jati Kluwih.
"Benar apa yang dikatakan tabib tua, karena kaulah pewaris tunggal Elang Berjubah Perak." kata Kura-Kura Dewa Dari Selatan dengan mantap.
"Guru, apa keistimewaan dari pedang samurai itu?" sela Joko Keling.
"Arti dari "Kazebito" adalah "kekuatan angin". Aku sendiri belum begitu jelas dengan kehebatannya, hanya saja pedang itu, sesuai namanya pasti berhubungan dengan kekuatan angin atau udara. Tapi ini hanya pradugaku saja," ujar Kura-Kura Dewa, lalu lanjutnya, "bagaimana dengan dirimu, tabib tua?"
"Ha-ha-ha! Aku pun sama tololnya dengan dirimu, kura-kura tua!"
"Paksi, apakah kau sudah menyelesaikan pelajaran dari gurumu?" tanya Tabib Sakti Berjari Sebelas mengalihkan pembicaraan
"Sudah semuanya, kek."
"Bagus! Sampai tingkat berapa yang bisa kau kuasai?"
"Saya tidak begitu yakin, tapi mungkin sampai tingkat "Tapak Rembulan Perak" dan pengembangan Ilmu Silat "Elang Salju" hingga jurus ke " 18," kata Paksi Jaladara.
Paksi sengaja menyembunyikan salah satu ilmu terbarunya, karena ia beranggapan ilmu barunya masih dalam tahap awal, dalam tahap coba-coba. Ilmu temuannya itu datang secara tiba-tiba saja, saat ia berhasil menyelesaikan jurus ke " 18. Yakni pada pemikiran bila seluruh tingkat dari kitab "Hawa Rembulan Murni", "18 Jurus Silat Elang Salju", jurus "Terbit Di Timur, Tenggelam Di Barat" dari Partai Matahari Terbit dan dengan kekuatan "Ilmu Mengendalikan Badai", semua digabung menjadi satu jurus tunggal, entah apa yang akan terjadi. Pastilah akan menghasilkan kekuatan dahsyat luar biasa, mungkin hasilnya sudah diluar jangkauan akal sehat manusia.
Lagi pula itu masih dalam pemikiran saja, belum sekali pun dalam tahap praktek!
"Apa akibatnya jika benda hidup atau mati terkena dampak dari "Tapak Rembulan Perak?"" selidik Kura-Kura Dewa Dari Selatan.
"Jika benda hidup seluruh jaringan otot, daging, darah hingga tulang sumsumnya akan melebur hancur menjadi cairan es dan jika benda mati akan hancur menjadi serpihan es."
"Betul!"
"Coba kau perlihatkan pada kami!" kata Tabib Sakti Berjari Sebelas, karena dirinya sangsi mana ada itu segila dan sehebat itu, kecuali hanya cerita dongeng saja"
Paksi melihat ke sekelilingnya, lalu matanya terbentur pada batu hitam sebesar kerbau. Tiba-tiba saja, jari tangan kanannya berpencar putih pekat lalu menjentik dengan pelahan.
Ctik! Seberkas larikan cahaya putih keperakan yang menebarkan hawa dingin berkiblat diiringi dengan suara gemuruh. Cahaya itu meluncur cepat seperti anak panah lepas dari busurnya dan membentur batu besar itu sambil mengeluarkan suara mendesis.
Cesss! Seketika seluruh batu itu terbungkus lapisan es, dan dalam sekedipan mata, batu hitam itu hancur berantakan menjadi kepingan-kepingan es yang tersebar kemana diiringi dengan suara yang memekakkan telinga.
Brull! "Bagus! Memang seperti itulah kekuatan tahap ke - 4 dari Kitab Sakti "Hawa Rembulan Murni"! Ilmu ini memang berbeda dengan ilmu sakti atau jurus maut pada umumnya, dimana harus mengolah tenaga dalam dahulu barulah kemudian menjadi satu jurus maut. Akan halnya orang yang menguasai hingga tahap ini, bisa menggunakan sesuka hatinya tanpa perlu bersusah payah mengolah napas, karena inti dari ilmu ini adalah kekuatan hati. Paksi, berhati-hatilah dengan ilmu tadi, karena bisa mencelakai orang tanpa kau sadari. Cobalah berusaha mengendalikan hati dan pikiranmu. Kau paham?" kata Kura-Kura Dewa Dari Selatan memberi nasehat.
"Paham, kek."
"Wuih, andaikata kena tubuhku, bisa jadi cairan es, nih!?" gumam Arjuna antara sadar tak sadar.
"Juna, bagaimana dengan "Tapak-Tapak Dewa Api" yang kau pelajari?" tanya gurunya.
"Semua sudah Juna selesaikan dengan baik, kek! Pokoknya beres!" sahut si murid sambil mengacungkan jempol kanan dengan mantap.
"Perlu kau ketahui, ilmu "Tenaga Sakti Tapak-Tapak Dewa Api" kuturunkan hanya padamu, yang merupakan ilmu tandingan dari "Tenaga Sakti Tapak-Tapak Dewa Air" milikku. Jangan sembarangan kau gunakan, jika bisa kau menggabungkan dengan "Ilmu Silat Pulau Kura-Kura" tentu akan lebih baik."
"Tanpa disuruh pun tentu akan kulakukan," kata hati Arjuna Sasrabahu sambil mengiyakan perkataan gurunya.
Pada mulanya ia akan menurunkan "Tenaga Sakti Tapak-Tapak Dewa Air" tapi tidak jadi setelah tanpa sengaja dirinya menemukan rangkaian ilmu "Tenaga Sakti Tapak-Tapak Dewa Api" saat sedang tiduran diatas tubuh kura-kura tunggangannya, si Tirta Kamandanu.
Setelah mencerna beberapa waktu, akhirnya ia paham!
Rupanya tempurung kura-kura betina yang kini dipakainya menjadi penutup kepalanya terdapat rangkaian ilmu "Tenaga Sakti Tapak-Tapak Dewa Air" yang kini dikuasainya sedangkan di kura-kura jantan terdapat rangkaian ilmu "Tenaga Sakti Tapak-Tapak Dewa Api". Akhirnya kakek bertempurung kura-kura itu memutuskan untuk menurunkan kekuatan dari "Tenaga Sakti Tapak-Tapak Dewa Api" kepada murid tunggalnya.
"Paksi, sudah saatnya kau turun gunung untuk mengamalkan semua apa yang kau pelajari dari mendiang ketua lama. Biarkan Arjuna menemani perjalananmu, sambil sekalian mencari pewaris atau murid dari Tiga Pengawal Gerbang yang lain," ujar Kura-kura Dewa Dari Selatan, lanjutnya, "Karena dirimu adalah titisan Sang Angin dan juga pewaris tunggal Elang Berjubah Perak, maka sudah menjadi tugasmu mengemban amanat ini."
"Tapi, alangkah baiknya bila sebagai seorang murid ketua Elang Berjubah Perak untuk berkeliling ke wilayah-wilayah Istana Elang yang ada di puncak Gunung Tambak Petir ini." Kata Tabib Sakti Berjari Sebelas.
"Tentu saja. Saya sudah lama ingin melihat-lihat kemegahan dari istana ini."
-o0o- Jilid 1 : Sang Pewaris - Bab Empat Belas
Begitulah, dengan diantar Pengawal Gerbang Selatan, Paksi Jaladara menyusuri ruangan demi ruangan. Setiap tempat yang tidak diketahuinya, langsung ditanyakan. Sehingga semakin banyak pula pengetahuan baru yang diterima. Bahkan kakek bercaping tempurung kura-kura itu menceritakan sejarah berdirinya Istana Elang dari ketua generasi pertama hingga ketua generasi ke 32, betapa Istana Elang merupakan salah satu dari tiang penyangga rimba persilatan aliran putih dari jaman ke jaman. Sang Air juga menceritakan siapa saja tokoh-tokoh kosen rimba persilatan masa kini baik dari golongan putih mau pun dari golongan sesat.
Pada masa kini, rimba hijau baik golongan sesat maupun lurus terbagi menjadi Dua Istana, Tiga Wisma, Empat Benteng, Lima Perguruan dan Partai. Istana Elang yang dulunya diketuai oleh mendiang Elang Berjubah Perak dan sekarang akan tergantikan Paksi Jaladara yang baru saja keluar dari Lembah Badai dan satunya Istana Rumput Maut yang dipimpin seorang tokoh tua yang bergelar Nenek Rambut Hijau yang terkenal dengan jurus "Pukulan Tebaran Rumput Menggesek Awan'. Meski tabiatnya kasar dan kadang ugal-ugalan, namun pada dasarnya dia memiliki hati yang bersih. Konon kabarnya sudah berusia seratus tahun lebih.
Tiga Wisma yang dimaksud adalah Wisma Bambu Hitam, Wisma Harum, dan Wisma Samudera. Wisma Bambu Hitam saat ini dijabat oleh tokoh yang bernama Nyi Jagat Semayi, yang merupakan murid tunggal dari majikan Wisma Bambu Hitam yang telah tewas saat terjadi penyerangan yang dilakukan oleh Serikat Ular Iblis pada empat puluh tahun silam. Meski sudah berusia tiga puluh lima tahun, namun postur dan penampilan tubuhnya masih tampak seperti gadis usia belasan tahun saja. Tubuhnya yang tinggi sekal terlihat kontras dengan kulit tubuhnya yang sedikit kecoklatan sehingga menambah daya pesona sebagai seorang wanita matang. Bibirnya yang selalu nampak merah delima dengan sebentuk lesung pipit di pipi kirinya, seakan mengundang hasrat bagi laki-laki yang memandangnya.
Banyak para jago silat yang berusaha mendapatkannya untuk dijadikan istri bahkan selir, namun akhirnya gagal karena Nyi Jagat Semayi memberikan syarat yang cukup berat, selain harus bisa mengalahkan ilmu silatnya, juga harus bisa menaklukkan hatinya. Apalagi sekarang dia memiliki Golok Pusaka Bambu Terbang dan juga jurus "Golok Bambu Terbang" warisan gurunya kini sudah dikuasainya dengan sempurna.
Akan halnya Wisma Harum saat ini dipimpin pasangan sesat suami-istri yang kini bernaung dibawah Benteng Tebing Hitam, terkenal dengan julukan Sepasang Kupu-Kupu Besi. Belum ketahui sampai dimana kehebatan pasangan suami-istri ini, namun berita yang santer terdengar, bahwa saat ini Sepasang Kupu-Kupu Besi sedang mempelajari sebuah ilmu baru yang bernama jurus "Racun Kembang Patah Hati".
Sedangkan Wisma Samudera saat ini diketuai laki-laki parobaya yang bernama Ki Dirga Tirta yang pada jamannya terkenal dengan "Tiga Belas Pukulan Telapak Kosong". Majikan Wisma Samudera mempunyai seorang anak gadis yang masih muda belia disebutnya sebagai Gadis Naga Biru. Saat ini, Majikan Wisma Samudera sedang giat-giatnya menggembleng putri tunggalnya untuk mewarisi semua ilmu yang dimilikinya. Entah sampai di tingkat ke berapa dari "Tiga Belas Pukulan Telapak Kosong" yang saat ini dipelajarinya.
Empat Benteng adalah Benteng Tebing Hitam yang dipimpin oleh Roda Sakti Tujuh Putaran, yang kini sedang menyusun semua kekuatan hitam di tempat kediamannya. Benteng Dua Belas Rajawali diketuai pasangan saudara seperguruan Rajawali Alis Merah dan Naga Sakti Berkait, yang saat ini juga sedang menyusun kekuatan tandingan bagi Benteng Tebing Hitam. Majikan Benteng Lembah Sunyi yang bernama Ki Gentar Swara yang juga masih terhitung saudara dari garis keturunan ibu dari Naga Sakti Berkait pun kini juga mendukung Benteng Dua Belas Rajawali.
Akan halnya Benteng Lembah Selaksa Setan, saat ini dipimpin seorang kakek berusia delapan puluhan tahun yang bernama Kelelawar Iblis Berkepala Besi yang menguasai Ilmu Silat "Kelelawar Sakti". Sukar sekali menentukan sikap dari Kelelawar Iblis Berkepala Besi, karena adakalanya membantu aliran putih, bahkan tidak malu-malu untuk mendukung aliran hitam. Bisa dikatakan sulit diraba kemana arah tujuan dari Majikan Lembah Selaksa Setan itu.
Lima Perguruan dan Partai, diantaranya adalah Padepokan Singa Lodaya yang berada di kaki Gunung Singa Putih yang diketuai oleh Ki Singaranu yang juga merupakan kakek dari Paksi Jaladara. Kemudian Partai Awan Merah dan Partai Dua Belas Lentera, saat ini sedang mengalami kekosongan kepemimpinan karena kedua ketua mereka dikabarkan sama-sama tewas saat membantu Wisma Bambu Hitam menghadapi Serikat Ular Iblis, sehingga untuk sementara masih diwakili oleh murid utama masing-masing. Meski kejadian sudah lewat empat puluh tahun lamanya, namun para murid utama tidak bisa begitu saja mengangkat diri menjadi ketua karena mereka masih mengharapkan kedatangan ketua mereka, hal itu disebabkan sampai sekarang masih diyakini bahwa sang ketua masih hidup.
Sedang Perguruan Pedang Putih merupakan sinar baru di rimba persilatan, meski baru berdiri beberapa tahun belakangan, namun kiprahnya cukup bisa disejajarkan dengan perkumpulan silat yang sudah punya nama. Perguruan Pedang Putih ini dipimpin seorang pemuda berusia dua puluh sembilan tahun dengan tinggi tubuh sedang-sedang saja. Raut wajah tampan dengan rahang persegi yang menggambarkan keteguhan hatinya. Dalam kalangan persilatan dijuluki si Raja Pedang dengan Pedang Sinar Bintang sebagai senjata andalannya.
Sedangkan Partai Telapak Sakti sampai sekarang ini masih menjadi misteri bagi orang-orang rimba persilatan, sama misteriusnya dengan Istana Elang sendiri. Dari kabar burung yang beredar, bahwa partai yang terkenal dengan ilmu "Telapak Sakti Matahari Membara" saat ini sedang mengumpulkan tokoh-tokoh silat untuk direkrut menjadi anggotanya.
Dengan panjang lebar, Kura-Kura Dewa Dari Selatan menceritakan keadaan dunia persilatan saat itu, bahkan kemunculan tokoh-tokoh hitam sekelas Ratu Sesat Tanpa Bayangan yang dulu pernah menyerang Padepokan Singa Lodaya dan masih banyak tokoh silat dari aliran hitam dan putih yang kini kembali bermunculan.
Dengan demikian semakin menambah bekal bagi Paksi Jaladara maupun Arjuna Sasrabahu.
Menjelang sore hari, disaat sang surya mulai menutup diri, sampailah mereka berempat memasuki sebuah aula yang di kiri kanannya terdapat patung elang kembar raksasa yang beratnya mencapai ribuan kati. Setelah melewati aula yang oleh kakek bercaping itu disebutnya Aula Elang Kembar, sampailah mereka berempat di suatu ruangan berpintu besi tebal dengan gagang pintu yang menghitam. Di pintu besi itu terukir indah seekor elang berwarna putih keperakan yang sedang melayang-melayang di antara gumpalan awan yang membentang luas. Kura-Kura Dewa Dari Selatan menyebut ruang itu sebagai Ruang Pustaka, ruang pribadi dari setiap generasi ketua Istana Elang.
Sekeliling tempat Ruang Pustaka ditumbuhi dengan pohon-pohon yang aneh dan juga kolam yang jernih. Ruangan itu tepat berada di ujung paling timur dari Gunung Tambak Petir, seakan menyatu dengan perut gunung tersebut.
"Joko, coba kau buka pintu Ruang Pustaka."
Tanpa banyak bicara, pemuda bertubuh bongsor itu segera mendekat dengan sigap. Begitu kurang lebih berjarak dua langkah dari pintu bergagang hitam itu, mendadak tubuhnya terpental dengan keras, lalu melayang jauh melewati patung elang kembar. Saat masih melayang, Joko Keling bersalto beberapa kali ke belakang untuk mematahkan daya lontar yang cukup kuat itu.
Wutt! Wutt! Jleg!!
"Hooiii, apa yang kau lakukan?" bentak gurunya.
"Entahlah, kek! Tahu-tahu tubuhku terasa ada yang mengangkat ke atas lalu melemparkannya dengan keras."
"Tolol! Ulangi lagi!"
Kali ini Arjuna Sasrabahu lebih siaga. Dengan mengerahkan ilmu terakhir warisan gurunya, yaitu "Tenaga Sakti Tapak-Tapak Dewa Api". Sontak suasana disekitar tempat itu berubah menjadi panas membara laksana tungku api yang menyala-nyala. Kobaran api yang membentuk bayangan kura-kura api raksasa semakin lama semakan membesar.
Bwosshh! Bwoshh ... !
Terdengar desisan-desisan api yang menjilat-jilat menyelimuti tubuh bongsor yang punggungnya tergantung Perisai Kura-Kura Sakti. Perlahan-lahan Joko Keling alias Arjuna Sasrabahu memusatkan daya nalar untuk mengerahkan tujuh bagian dari ilmu yang saat ini sedang digunakannya. Tampak sepasang kaki pemuda itu diselimuti oleh kobaran api membara. Setelah merasa memiliki cukup kekuatan, melangkahkan kaki setindak demi setindak ke arah pintu baja itu.
Mendekati dua langkah dari pintu besi itu, mendadak Joko merasa ada kekuatan gaib yang kembali berusaha untuk melontarkannya. Namun tujuh bagian dari "Tenaga Sakti Tapak-Tapak Dewa Api" berusaha keras untuk menahannya. Akan tetapi desakan gaib makin lama makin kuat, sehingga mau tak mau harus ia meningkatkan lagi hingga bagian ke delapan.
Swooshh ... ! Hawa panas itu pun makin membara ketika sudah mencapai bagian ke sembilan dari seluruh ilmunya. Sungguh kekuatan tenaga dalam yang hebat. Jarang didapati jago muda yang memiliki tenaga dalam setinggi itu pada masa kini.
"Huh, kurang ajar! Apa perlu kugunakan sepuluh bagian sekalian?" pikirnya.
Seiring dengan daya pikirnya, akhirnya tenaga panas meningkat drastis hingga bagian ke sepuluh dari "Tenaga Sakti Tapak-Tapak Dewa Api". Bahkan sampai-sampai gurunya harus mengerahkan bagian ke tujuh "Tenaga Sakti Tapak-Tapak Dewa Air", yang merupakan tandingan dari "Tenaga Sakti Tapak-Tapak Dewa Api" yang kini digunakan oleh Joko Keling. Akan halnya dengan Tabib Sakti Berjari Sebelas yang saat itu berdiri di samping Paksi Jaldara juga mengalirkan "Tenaga Sakti Aliran Pulau Khayangan" untuk menahan hawa panas yang semakin lama semakin membuncah, sedang Paksi Jaladara juga harus mengerahkan tahap ke tiga dari Kitab Sakti "Hawa Rembulan Murni"!
Kini, hawa panas dan dingin menerpa silih berganti. Joko keling terus berusaha bertahan dengan kekuatan puncaknya, namun kekuatan gaib dari Ruang Pustaka itu juga semakin meningkat sebagai bentuk perlawanan, semakin besar tenaga yang menekannya, semakin besar pula daya benturannya.
Srekk! Srekk ... !!
Perlahan namun pasti, Arjuna Sasrabahu mulai terdorong ke belakang, dimana dorongan itu makin lama makin kuat. Dan akhirnya, kembali pemuda yang merupakan murid tunggal dari Pengawal Gerbang Selatan harus menyerah. Setelah berjuang keras selama sekian lama, pemuda itu jatuh terduduk kehabisan tenaga.
Brukk! Napasnya terengah-engah karena baru saja menguras tenaganya.
"Kek! Aku capek sekali! Heh ... hehh ... aku ... tidak sang ... gup ... lagi ... !"
Kura-Kura Dewa Dari Selatan berjalan menghampiri pemuda itu, dan menepuk bahunya dengan tatapan bangga. "Juna, aku bangga padamu! Tidak percuma aku memilihmu sebagai pewarisku! Dulunya, aku harus sungsang sumbel saat berusaha mendekati Ruang Pustaka. Sedangkan kau, hanya terseret sejauh tujuh tombak jauhnya! Aku bangga memiliki murid sepertimu!"
Tertampak pancaran kekaguman yang tulus dari seorang guru kepada muridnya.
Untuk pertama kalinya Joko keling melihat gurunya mengucapkan kata-kata tulus seperti itu, bahkan dengan sorot mata kebahagiaan, tanpa dapat dicegah lagi, pemuda itu berlutut di hadapan gurunya, dan itu pun juga untuk pertama kalinya dia lakukan.
"Terima kasih, terima kasih Guru! Maafkan muridmu yang tolol ini!" Ini untuk pertamakalinya pula ia menyebut "Guru" pada kakek itu.
"Sudah, ayo bangkit!" guru tua itu membimbing sang murid bangkit berdiri.
Sementara itu, pemuda pilihan dari Lembah Badai itu sedang berdiri termangu-mangu, pandangan matanya tertuju pada lukisan kepala elang yang ada di tengah-tengah pintu.
"Aneh! Lukisan itu hampir sama dengan rajah yang ada di dahiku. Aku yakin ini pasti ada hubungannya." Katanya dalam hati.
Paksi perlahan mendekati pintu Ruang Pustaka, mendekati tiga langkah dari pintu, seolah sengaja tak sengaja tangan kanannya menarik lepas ikat kepala merah yang melingkar di kepalanya. Mata tertampaklah sebentuk lukisan kepala elang putih yang bentuk dan rupanya sama persis dengan lukisan kepala elang yang ada di pintu Ruang Pustaka itu.
Mendadak, sepasang lukisan elang yang sama rupa dan sama warna itu bersinar secara bersamaan.
Cahaya putih terang!
Beberapa saat kemudian, cahaya putih terang mulai memudar dan secara ajaib, ointu Ruang Pustaka terbuka dengan sendirinya, seolah ada tangan-tangan gaib yang membukakan pintu dengan selebar-lebarnya.
Krieet! Grakkh ... !
Rupanya penunggu gaib Ruang Pustaka mengetahui pemilik syah Rajah Elang Putih yang juga merupakan penguasa tunggal Istana Elang sedang berkunjung.
"Ketua, silahkan masuk." kata Kura-kura Dewa Dari Selatan dengan sopan. Kura-kura Dewa Dari Selatan menyebut pemuda berikat kepala merah sebagai ketua, tentu saja membuat Paksi terperanjat kaget.
"Ketua?"
"Ya, sekarang andalah Ketua Istana Elang generasi ke-33. Sebenarnya ketua diajak berkeliling seluruh ruangan di Istana Elang ini, selain untuk mengenal lebih jauh tentang Istana Elang itu sendiri, juga sebagai salah satu bentuk ujian yang harus ketua hadapi adalah Ruang Pustaka, untuk menguji keaslian dan kemurnian Rajah Elang Putih. Jadi, maafkan saya karena tidak memberitahukan hal ini sebelumnya kepada Ketua."
Tahulah Paksi Jaladara sekarang apa maksud tutur kata dari salah seorang Empat Pengawal Gerbang Istana Elang itu. Suka tidak suka dan mau tidak mau, entah sekarang atau pun besok, pada akhirnya pula ia harus memikul tanggung jawab itu.
"Jika aku masuk ke dalam, lalu bagaimana dengan yang ada disini?"
"Tentu itu tergantung dari kebijaksanaan ketua sendiri."
Paksi Jaladara berpikir sejenak. Setelah menimbang-nimbang, akhirnya terucaplah sebuah kata dari mulutnya, "Kalau begitu ... kita masuk bersama."
"Baik, jika itu perintah dari ketua."
Maka, dengan beriringan dua orang tokoh tua rimba persilatan dan dua orang muda usia memasuki Ruang Pustaka. Begitu melangkah masuk, pintu itu menutup dengan sendirinya.
Ruang Pustaka ternyata cukup luas dan lega bahkan cukup untuk menampung dua ratus orang pun sekaligus. Lantainya bening mengkilap hingga nampak bayangan orang waktu berjalan diatasnya, seolah sedang berjalan di atas air.
Dinding ruangan dibuat dari batu-batu alam yang memiliki nilai seni tinggi. Masing-masing dinding mempunyai karakteristik tersendiri.
Dinding sebelah utara berhiaskan senjata-senjata mantan ketua Istana Elang. Menurut Sang Air, itu adalah senjata yang didapat dari mengalahkan lawan tangguh atau pemberian dari tokoh-tokoh sakti. Setiap ketua diperbolehkan untuk menggunakan senjata-senjata itu sebagai alat pelengkap diri. Ada yang berbentuk tombak pendek, lembing, golok, pisau berlekuk, keris, bahkan tambur berbahan kulit badak pun juga ada.
Dinding timur berwarna biru gelap dipenuhi dengan alat-alat musik, seperti kecapi, sitar, seruling, dan lain-lain, juga dipenuhi oleh lukisan para ketua yang kini telah mangkat. Sinar terang memantul dari dinding sebelah selatan yang berwarna biru muda, tertumpuk puluhan kitab-kitab pusaka, terdiri dari kitab silat, kitab golok, kitab tenaga dalam, kitab pengobatan dan lain sebagainya. Semua kitab yang terbuat dari daun lontar tersusun rapi berderet-deret.
Sementara dinding sebelah barat berwarna hijau teduh yang berasal dari batu giok raksasa yang dihancurkan dan dijadikan campuran dinding, terdapat silsilah dari Istana Elang, termasuk Empat Pengawal Gerbang beserta pewarisnya juga ikut tertulis disitu. Yang membuat Paksi Jaladara kaget adalah namanya tertera pada silsilah itu dan terdapat garis lurus warna putih yang berhubungan dengan si Elang Berjubah Perak yang bernama asli Ki Wisnupati.
"Kek, itu ... "
"Ketua tidak perlu heran, setiap pewaris yang dipilih akan tertulis dengan sendirinya di dinding sebelah barat."
"Saya paham. Terus, apa arti dari garis putih itu?"
"Garis putih memiliki arti bahwa calon pewaris dipilih sejak ia masih dari kandungan. Jika garis warna merah berarti pewaris dipilih setelah dewasa. Hal itu berlaku juga bagi para pewaris ilmu Pengawal Gerbang yang lain. Arjuna misalnya, dia memiliki garis merah, itu artinya dia dipilih ketika dia sudah dewasa," tutur Kura-Kura Dewa Dari Selatan.
"Betul! Dulunya aku tidak punya rajah itu. Aku tahu punya rajah itu dua purnama sebelum berkelahi dengan seekor ular sanca besar dan ditolong oleh kakek." kata Joko Keling, " ... pada mulanya kukira kena penyakit kulit, tak tahunya ... "
Took! Kepalanya langsung bertelur bundar karena di jitak dengan manis oleh gurunya. Pun masih ditambahi dengan rasa pening dan mata berkunang-kunang.
"Bocah sial! Dikasih gambar bagus malah dibilang penyakit kulit! Sini kan kepalamu, biar kutambah satu telur lagi!"
"Ampun kek! Ampun ... !" teriak Joko Keling seraya berusaha menghindar dari ketokan gurunya.
Namun tangan kakek itu seolah mempunyai mata, kemana pun Joko Keling berkelit, selalu tangan kurus itu selalu dapat mengikutinya, setelah berkutatan cukup lama, akhirnya ...
Took! Kena juga kepala pemuda itu diketok untuk kedua kalinya.
"Ha-ha-ha! Kau tidak mungkin bisa menghindar dari jurus ketokanku, bocah! Ha-ha-ha!"
Semua orang tertawa melihat wajah Arjuna yang meringis-ringis kesakitan sambil meraba-rba kepalanya yang punya dua telur bundar diatasnya.
"Kakek, sudahlah! Kasihan ... " iba juga Paksi Jaladara melihat ringisan Joko.


Pendekar Elang Salju Karya Gilang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tenang! Aku pun juga sudah puas!"
Begitulah, suasana di Ruang Pustaka yang semua lengang kini menjadi ramai oleh riuh tawa mereka berempat.
-o0o- Jilid 1 : Sang Pewaris - Bab Lima Belas
Satu bulan berlalu tanpa terasa ...
Paksi Jaladara seorang diri berada di Ruang Pustaka sambil memandangi dinding-dinding itu dengan seksama. Di dinding sebelah timur terdapat puluhan mungkin ratusan macam jenis alat-alat musik. Hanya sebentar saja ia melihat-lihat, karena pada dasarnya memang tidak paham alat-alat semacam itu, paling banter ia hanya paham cara meniup seruling saja sedangkan tinggi rendahnya nada cuma sekedar tahu saja.
"He-he-he, dari sekian alat musik, hanya meniup seruling saja yang bisa kulakukan."
Setelah itu ia berjalan menuju ke dinding sebelah selatan dimana terdapat rak-rak kitab pusaka yang tersusun rapi. Setiap satu ukuran rak kecil tersimpan satu jilid kitab. Deret pertama berisi kitab-kitab ilmu pengobatan, deret kedua berisi kitab-kitab ilmu silat beraneka ragam termasuk keterangan asal-usul kitab tersebut. Diambilnya secara acak salah satu kitab lusuh yang dimana sampulnya tertulis "Ha Na Ca Ra Ka", lalu dibuka-bukanya sebentar.
"Tidak ada yang menarik disini," batinnya. " ... lagi pula tulisannya aku juga tidak begitu paham. Semua menggunakan huruf Jawa Kuno."
Lalu diletakkannya kembali kitab itu ditempat semula. Paksi Jaladara tidak tahu bahwa kitab "Ha Na Ca Ra Ka" merupakan salah satu kitab paling langka yang puluhan tahun silam menjadi buruan kaum persilatan hingga mengakibatkan pertumpahan darah dimana-mana. Hingga pada akhirnya jatuh ke tangan si Elang Berjubah Perak, lalu disimpan rapat di dalam Ruang Pustaka, karena memang bertujuan untuk meredam gejolak saat itu, maka lambat laun kegemparan yang diakibatkan perebutan kitab "Ha Na Ca Ra Ka" itu hilang dengan sendirinya.
Dari semua deret kedua rak kitab silat tidak diketemukannya kitab "Ilmu Silat Elang Salju". Diperiksanya kembali seluruh rak-rak kitab itu, tapi tidak ada satu pun yang menyinggung kitab yang dicarinya. Bahkan sampai dibolak-balik berulang kali tetap juga tidak ketemu.
"Apa mungkin dideret yang lain, ya?" gumamnya, " hmmm ... lebih baik kutanyakan saja nanti pada kakek kura-kura."
Kemudian Paksi Jaladara menuju ke dinding sebelah barat dimana terdapat silsilah sejarah dan silsilah 33 orang ketua dari Istana Elang. Dimulai dari ketua yang pertama, Ki Tapa Geni yang bergelar Hakim Jujur Berwajah Besi, lalu ketua generasi ke - 2 dan seterusnya, hingga pada akhirnya sampailah pada generasi ke " 32, si Elang Berjubah Perak. Dibawahnya persis tertulis nama dirinya sebagai ketua generasi ke " 33.
Paksi Jaladara membaca seluruh silsilah dengan seksama, bahkan silsilah Empat Pengawal Gerbang Utama juga ikut dibacanya dengan maksud untuk mencari para pewaris dari Empat Pengawal Gerbang Utama yang masih tercecer, kecuali pewaris dari Sang Air, yaitu Arjuna Sasrabahu alias Joko Keling. Setelah mencatat dalam ingatan siapa saja nama pewaris Empat Pengawal Gerbang Utama, Paksi Jaladara menuju ke dinding berikutnya.
Dinding sebelah utara berhiaskan ribuan senjata-senjata sakti, semuanya disusun dengan rapi dan tampak terawat dengan baik. Ada deret pedang terdapat berbagai macam jenis pedang dimana terdapat pedang pendek, pedang panjang meski kalah panjang dengan Pedang Samurai Kazebito milik mendiang Sasaki Kojiro, bahkan ada pedang bermata dua yang bernama Pedang Dua Ular milik Raja Ular Hitam.
"Kalau menggunakan pedang seperti ini, pasti membutuhkan tenaga dalam yang cukup besar," katanya sambil menimang-nimang pedang bermata dua, lalu diletakkannya kembali.
Dia beralih ke deret tombak, lalu terus deret tongkat panjang, begitu seterusnya hingga akhirnya sampai pada deret golok di paling ujung. Di dunia persilatan banyak sekali beraneka ragam bentuk golok, namun di deret golok yang ada Ruang Pustaka hanya ada empat jenis. Dua golok yang bentuknya lurus dengan satu mata tajam, satu golok yang bentuknya melengkung seperempat lingkaran. Dan yang terakhir susah disebut dengan golok, karena besar dan lebar hanya satu jengkal tangan dengan bentuk melengkung seperti bulan sabit dengan pegangan golok hanya berbentuk cerukan lima jari tangan berada tepat ditengah-tengah lengkungan. Tepinya berwarna putih mengkilap sebagai sisi tajam dan sisi sebelah dalam warna gelap kehitaman dan agak kasar bila diraba, termasuk pula cerukan lima jari tangan, namun ukuran lima lubang dibuat cukup halus.
Tidak ada keterangan apa pun tentang senjata aneh itu, baik nama atau pemilik dari senjata yang panjangnya cuma sejengkal itu!
Paksi Jaladara mengambil salah satu golok aneh tadi, karena memang jumlahnya ada sepasang.
"Mungkin cara pakainya begini," gumam Paksi Jaladara sambil memasukkan lima jari tangan kanannya ke dalam cerukan kecil yang ada di tengah lingkaran, " ... Hemm, nyaman juga."
Dicobanya mengibaskan senjata aneh itu secara acak ke segala arah. Saat digerakkan terdengar seperti suara daging yang disayat dengan pisau tajam.
Sriit! "Wah, hebat! Dengan bentuk sekecil ini, ternyata bisa menghasilkan suara seperti sayatan pisau," gumamnya. "Coba kupakai kedua-duanya."
Kemudian Paksi Jaladara mengambil satunya dan di pakai ditangan kiri.
Pas sekali! Dicobanya lagi mengibas-ngibaskan ke sana kemari, kadangkala digesek-gesekkan satu sama lain. Maka terjadilah hal yang cukup menakjubkan, kadang muncul suara decitan tajam bagai angin yang terbelah, kadang muncul suara seperti sayatan daging yang dipotong dengan pisau tajam, ada kalanya pula keluar bunga api kecil-kecil saat sepasang golok berbentuk bulan sabit itu saling diadu.
Trriik! Triing ... !! Criing!!
Paksi Jaladara memandangi kedua golok aneh di tangannya itu.
"Coba kalau kugunakan Ilmu "Mengendalikan Badai", hasilnya bagaimana ya" Tapi ruangan ini terlalu sempit, lebih baik aku ke dekat kolam saja." gumam Paksi Jaladara.
Lalu pemuda itu keluar dari Ruang Pustaka, lalu berjalan lambat-lambat sembari menimang-nimang benda aneh itu. Beberapa saat, sampailah dekat tepi kolam yang berair jernih. Setelah tengok kanan tengok kiri untuk memastikan bahwa tidak ada orang di sekitar tempat itu, pemuda yang kini secara resmi menjabat ketua Istana Elang segera melemparkan sepasang golok aneh itu ke arah yang berlawanan.
Swiing ... sritt!!
Dua bayangan berkelebat cepat ke sisi kanan kiri dengan laksana kilat, namun anehnya kedua benda bergerak seolah ada tangan gaib yang menggerakkan dengan lincah mengikuti arah telunjuk Paksi Jaladara. Kemana pun dua telunjuk itu bergerak, maka dua bayangan itu juga mengikuti arah yang sama secara bersamaan pula.
Setelah beberapa saat menggerakkan dua golok itu secara serampangan, terbersit pikiran cemerlang dari anak muda itu. Lalu tampaklah sepasang golok berbentuk lengkung seperti bulan sabit dengan lima cerukan di tengahnya bergerak dalam aturan-aturan tertentu. Sekilas nampak pemuda itu menggunakan jurus pedang aliran Partai Matahari Terbit yang bernama "Terbit Di Timur, Tenggelam Di Barat" untuk menggerakkan sepasang golok lengkung, karena memang dari semua ilmu yang dimilikinya, hanya jurus pedang itulah yang dikuasainya.
Itupun hanya satu jurus pedang!
"Hemm ... kalau begini saja, kelihatan kurang bagus!" pikirnya, "lebih baik aku tambah tenaga dalamku hingga empat bagian dan kuubah arah menjadi berlawanan ... "
Seiiring dengan pemikirannya, tangan kiri bergerak dengan pola-pola serangan ke arah kiri, begitu pula tangan kanan bergerak dengan pola serangan ke arah kanan.
Sett ... reett!!
Sekarang suara gesekan udara semakin keras menyayat, laksana ratapan hantu di siang bolong. Semakin cepat, suara sayatan semakin membuat gendang telinga laksana ditusuk-tusuk ribuan jarum.
Dalam gerakan menebas, Paksi Jaladara mengubah gerakan menjadi arah yang berseberangan, satu bergerak ke kiri dan satunya bergerak ke kanan dengan kecepatan yang lebih tinggi hingga nampak kelebatan bayang putih kehitaman, sehingga kelihatan menjadi dua serangan yang berbeda meski tetap menggunakan jurus yang sama. Hingga tampak dua bayangan yang seolah saling berkejaran. Itulah Ilmu "Mengendalikan Badai", sebuah ilmu yang bisa mengendalikan benda apa pun sesuai dengan keinginan pemilik ilmu tersebut.
Air di kolam nampak semburat kemana-mana terkena gesekan udara yang tersayat oleh golok itu, saat salah satu dari golok itu nampak menghunjam ke dalam kolam, lalu muncul kembali diikuti dengan semburat tiang air setinggi beberapa tombak.
Pyarr ... ! Dari arah ketinggian salah satu golok lengkung itu bergerak cepat membentur dengan sisi tajam golok yang saat itu baru muncul dari kolam. Terjangan keras pun terjadi.
Rrrtt ... Critt ... ! Crriing!! Triing ... !!
Terdengar suara dentingan nyaring diikuti dengan percikan bunga-bunga api yang berterbangan. Mendadak sepasang golok itu berputaran ke atas, lalu melayang cepat ke Paksi Jaladara!
Sutt! Sutt ... ! Tapp!
"Jurus yang bagus!" seru seseorang yang berjalan keluar dari balik rerimbunan pohon perdu. Di kepalanya mengenakan tempurung kura-kura sebagai caping dengan balutan baju hijau serta alat pancing di tangan kanannya. Siapa lagi jika bukan Kura-Kura Dewa Dari Selatan adanya. Memang sedari tadi, ia sudah ada disitu, menikmati keindahan alam sambil memancing ikan yang ada di kolam. Tak terduga bahwa ia melihat Paksi Jaladara sedang berlatih ilmu ditempat itu.
"Oh ... kakek, kukira siapa?"
"Maaf, Nakmas Paksi, kalau saya sedikit mengagetkan tadi. Saya tadi sedang memancing ikan di tepi kolam sebelah sana, dekat rerimbunan perdu itu." kata kakek itu sambil menunjuk ke tempat darimana ia tadi muncul.
"Tidak apa-apa kek, justru kebetulan sekali ketemu kakek di tempat ini ... " ucap Paksi Jaladara, lalu sambungnya, " ... padahal rencananya saya mau ke Graha Air untuk menanyakan sesuatu kepada kakek."
"Apa itu Nakmas?"
"Saya mau menanyakan ini kek."
Paksi Jaladara mengangsurkan benda yang berada di tangannya, sembari duduk ditepi kolam diikuti dengan kakek itu. Benda yang diangsurkan ternyata sepasang golok aneh melengkung dengan lima cerukan jari tangan dtengahnya.
"Darimana Nakmas menemukan senjata itu?" tanya kakek berbaju hijau itu, sembari meneliti golok itu dengan seksama.
"Dari deret golok paling ujung, saya menemukan senjata ini. Memangnya ada apa dengan senjata ini?"
"Sebetulnya senjata ini ditemukan secara tidak sengaja oleh Ki Wisnupati."
"Secara tidak sengaja?"
"Benar! Waktu itu di langit malam, bulan sedang bertengger berbentuk sabit, Ki Wisnupati sedang berenang di kolam ini berdua dengan saya. Waktu itu beliau masih muda sekali, baru beberapa tahun menjabat sebagai ketua. Saat di tengah kolam, ia melihat suatu bayangan cahaya berkilauan berbentuk bulan di dasar kolam ini," kata Kura-Kura Dewa Dari Selatan, sambil menunjukkan tengah kolam itu, " ... pada mulanya Ki Wisnupati mengira bahwa itu cuma pantulan cahaya bulan ke dalam kolam saja. Namun setelah berulangkali berenang bolak-balik, ternyata bayangan sinar itu masih tetap saja berada pada tempatnya, tidak bergerak meski dicobanya membuat percikan-percikan air. Karena penasaran, saya dan Ki Wisnupati menyelam ke arah dasar kolam dan menemukan sepasang senjata ini."
Paksi Jaladara mengangguk-anggukan kepalanya.
"Jadi, kolam ini merupakan kolam alam ya, kek?"
"Betul, kolam ini sudah ada sebelum Istana Elang dibangun oleh Ki Tapa Geni. Dari sekian banyak ketua, hanya Ki Wisnupati yang senang berlama-lama di kolam ini." ucap pemilik Graha Air, lalu lanjutnya, "Kemudian, oleh Ki Wisnupati senjata ini disimpan dalam Ruang Pustaka, beliau berkata bahwa senjata berbentuk aneh ini sulit digunakan sebagai pelengkap ilmu silat, tapi jika sebagai senjata gelap atau rahasia juga kurang menarik karena bentuknya terlalu besar untuk ukuran senjata gelap."
Kembali Paksi Jaladara mengangguk-anggukkan kepalanya. Otaknya berusaha mencerna setiap perkataan dari kakek tua disampingnya.
"Tadi sewaktu saya sedang memancing, saya melihat Nakmas Paksi menggunakan senjata ini," kata kakek itu sambil mengangsurkan kembali golok aneh itu, " ... rasanya senjata berbentuk bulan sabit ini cocok untuk digunakan seperti jurus yang barusan."
"Betul, kek! Saya sendiri juga sudah merasa nyaman. Disamping bentuknya yang kecil sehingga tidak menyolok dilihat orang, penggunaan jurus atau pun tenaga dalam juga tidak ada bermasalah. Lagi pula saya tidak ingin memamerkan apa yang saya miliki pada orang lain."
"Pemikiran yang bijaksana! Saya setuju dengan hal itu," kata kakek bercaping kura-kura itu, " ... lalu, akan diberi nama senjata berbentuk bulan sabit itu?"
"Nama ... ?" gumam Paksi Jaladara.
"Setiap senjata memiliki nama, orang pun juga memiliki nama. Saya kira tidak ada salahnya jika kita memberi nama untuk sesuatu yang kita miliki."
Otak Paksi Jaladara mengingat-ingat semua yang diceritakan oleh Pengawal Gerbang Selatan tentang golok aneh yang ditemukan di dasar kolam alam, bahkan jurus-jurus yang baru saja ia gunakan tak luput singgah di otaknya tentang kelebat golok yang saling berkejaran di angkasa.
"Bagaimana jika ... Golok Terbang Mengejar Bulan?" usul Paksi Jaladara, " ... sebab jika diberinama Golok Bulan Sabit, rasanya lucu sekali dan juga terlalu hebat sedangkan bentuk dan ukuran senjatanya kecil mungil saja. Menurut kakek bagaimana?"
"Hmmm, Golok Terbang Mengejar Bulan ... ?" kata Kura-Kura Dewa Dari Selatan sambil meraba-raba jenggotnya yang cuma beberapa gelintir itu.
"Atau kakek punya nama yang lain?" pemuda itu bertanya.
"Oh, tidak ... tidak! Nama itu sudah bagus! ... " sahut Kura-Kura Dewa Dari Selatan setelah merenung beberapa saat," ... sebab nama Golok Sakti Bulan Sabit saat ini digunakan oleh seorang tokoh aliran putih yang bergelar Dewa Golok. Jadi, jika ada nama senjata yang sama, orang akan kesulitan membedakan Golok Bulan Sabit yang mana" Yang kecil apa yang besar?"
"Ha-ha-ha, kakek bisa-bisa saja. Tapi, ada lagi yang ingin saya tanyakan pada kakek."
"Boleh, silahkan saja."
"Ini perihal kitab "Ilmu Silat Elang Salju" ... " tanya Paksi Jaladara dengan hati-hati. " ... kenapa tidak ada di deret-deret kitab?"
"Oh, itu ... memang kitab itu tidak terdapat di deret kitab di Ruang Pustaka, karena memang sengaja tidak ditulis dalam bentuk kitab melainkan diwariskan secara gaib," sahut Kura-Kura Dewa Dari Selatan, setelah menghela nafas sejenak, sambungnya, " ... hal ini dimaksudkan untuk menjaga kemurnian dari ilmu ini saja. Lagipula "Ilmu Silat Elang Salju" memang diperuntukkan hanya untuk calon ketua atau ketua saja. Sedang kitab-kitab yang lain boleh dipelajari oleh siapa saja."
"Begitu rupanya."
"Kapan Nakmas Paksi akan berangkat?" kata kakek itu mengalihkan pembicaraan.
"Jika tidak ada halangan, mungkin saja akan berangkat besok pagi bersama dengan Kakang Joko Keling," kata Paksi Jaladara, lanjutnya, " ... tapi sebelumnya selain Dua Istana, Tiga Wisma, Empat Benteng, Lima Perguruan dan Partai, bagaimana dengan para tokoh rimba persilatan saat ini, mungkin bisa menjadi bekal bagi saya jika turun gunung besok pagi."
"Baiklah, kukira tidak ada jeleknya jika Nakmas tahu."
Pada saat ini, banyak bermunculan jago-jago muda yang kebanyakan juga dari perkumpulan silat ternama seperti dari Istana Rumput Maut keluar seorang jago muda yang bergelar si Pedang Awan Terbang yang juga merupakan murid utama dari partai tersebut. Dari Wisma Samudera keluar seorang jago muda yang berjuluk Tombak Perak Tapak Maut yang merupakan murid tunggal dari Majikan Wisma Samudera, sedangkan putrinya yang menyebut diri sebagai Gadis Naga Biru saat ini masih digembleng oleh ayahnya. Namun menurut kabar angin, gadis ini pun juga sudah menamatkan pelajaran silatnya dan turun gunung serta ikut meramaikan rimba persilatan.
Lalu ada Sepasang Naga Dan Rajawali dari Benteng Dua Belas Rajawali yang merupakan murid utama dari pasangan tokoh golongan putih Rajawali Alis Merah dan Naga Sakti Berkait, yang mana sebenarnya Sepasang Naga Dan Rajawali adalah anak kembar dari Ki Gentar Swara selaku Majikan Lembah Sunyi, yang kemudian diangkat murid oleh Rajawali Alis Merah dan Naga Sakti Berkait karena mereka berdua tidak memiliki seorang anak pun meski sudah menikah puluhan tahun.
Singa Jantan Bertangan Lihai dari Padepokan Singa Lodaya yang juga paman dari Paksi Jaladara dari garis ibu yang sudah malang melintang cukup lama di rimba persilatan sejak usianya masih belasan tahun. Belum lagi dengan tokoh-tokoh kelas wahid yang mengasingkan diri tidak terhitung jumlahnya dan juga tokoh kosen tanpa nama cukup banyak bertebaran di dunia persilatan. Ada yang benar-benar mengasingkan diri, ada pula yang mendalami ilmu-ilmu baru seperti halnya Sepasang Kupu-Kupu Besi yang mendalami "Racun Kembang Patah Hati", ada pula yang sedang mendidik murid-muridnya di tempat yang sunyi sepi dan suatu saat akan keluar untuk menggegerkan jagad persilatan.
Belum lagi dengan Cakar Iblis Taring Serigala yang merupakan pentolan dari Gerombolan Serigala Iblis yang juga murid kedua dari Ratu Sesat Tanpa Bayangan. Sebenarnya murid Ratu Sesat Tanpa Bayangan berjumlah tiga orang, yang dua orang sudah tewas saat terjadi penyerangan ke Padepokan Singa Lodaya karena memperebutkan Pusaka Rembulan Perak, yaitu Serigala Hitam Bermata Tunggal dan Tangan Kilat Kaki Bayangan. Oleh gurunya, Cakar Iblis Taring Serigala digembleng kembali untuk meningkatkan ilmu silat dan "Tenaga Sakti Serigala Iblis"-nya. Sepuluh tahun terakhir ini, kegiatan Gerombolan Serigala Iblis makin menggila, bahkan dari kabar terakhir mereka berhasil menjalin hubungan dengan Benteng Tebing Hitam.
"Pada saat ini gelar pendekar persilatan dipegang seorang tokoh sakti yang bergelar Pendekar Gila Nyawa," tutur kakek itu.
"Pendekar Gila Nyawa" Aneh sekali namanya ... "
"Perlu Nakmas ketahui, bahwa hanya satu orang yang boleh menyandang gelar Pendekar Nomor Satu Dunia Persilatan dan perebutan gelar tersebut dilakukan setiap tiga puluh tahun sekali."
"Wah ... lama sekali!"
"Jika tidak salah perhitunganku, dua bulan dari sekarang, perebutan gelar tersebut akan dilakukan di puncak Gunung Tiang Awan."
"Apakah Pendekar Gila Nyawa juga akan hadir di tempat itu, kek?"
"Tentu saja, sebab setiap orang yang ingin mendapat gelar kehormatan ini, tak peduli dari golongan putih maupun golongan hitam harus bisa mengalahkan Pendekar Gila Nyawa." kata Kura-Kura Dewa Dari Selatan. "Perlu diketahui pula, bahwa setiap pesilat harus mengalahkan para pesaingnya terlebih dahulu. Begitu seterusnya hingga akhirnya harus melakukan tarung penentuan dengan pemegang gelar pendekar rimba persilatan."
"Jika boleh saya tahu, siapakah lawan terakhir dari Pendekar Gila Nyawa saat itu?"
"Dari kabar yang kusirap di luaran, lawan terakhirnya adalah Dewa Golok yang juga ketua Perguruan Golok Sakti dan seorang dalang muda yang berjuluk Si Pemikul Gunung. Saat itu si Gila Nyawa malah langsung bertarung dengan dua lawan tangguh sekaligus, namun akhirnya pada akhirnya dua lawan tangguh itu harus takluk dibawah ilmu silatnya." kata Kura-Kura Dewa Dari Selatan, "meski tidak tewas, namun Dewa Golok dan Si Pemikul Gunung harus mendapat jejak luka yang sangat parah akibat terkena "Pukulan Pelebur Raga" dari Si Gila Nyawa."
Paksi Jaladara mendengarkan semua apa yang diceritakan oleh kakek itu dengan seksama.
"Begitu pentingkah gelar pendekar itu ... ?" kata Paksi Jaladara. " ... Jika yang menyandang gelar pendekar tapi bukan berjiwa pendekar, mungkin dunia akan penuh dengan kekacauan karena merasa tanpa tanding, tanpa lawan sehingga bisa mengumbar nafsu angkara murka. Bertindak adigang adung adiguna."
"Betul apa kata Nakmas Paksi ... " sahut kakek itu, " ... lebih baik bukan pendekar tapi berjiwa pendekar daripada pendekar tapi bukan berjiwa pendekar."
Pengawal Gerbang Selatan kagum sekali dengan sikap bijaksana ketuanya masih muda itu. Jarang ditemui jago muda yang memahami sifat kependekaran yang sejati. Pada umumnya jago-jago muda yang baru saja turun gunung mudah sekali bangga dengan apa yang dimilikinya saat ini, merasa hebat sehingga memandang rendah setiap insan manusia, merasa dirinya paling jago di jagat ini. Mereka lupa bahwa diatas langit masih ada langit, di atas jago masih ada jago yang lebih jago.
Pada keesokan harinya, Paksi Jaladara dan Arjuna Sasrabahu turun gunung. Setelah membekali diri dua anak muda itu dengan wejangan dan nasehat yang bermanfaat, Kura-Kura Dewa Dari Selatan dan Tabib Sakti Berjari Sebelas mengingatkan tujuan utama mereka berdua turun ke rimba persilatan, yaitu untuk mencari para pewaris dari Tiga Pengawal Gerbang Utama yang lain sekaligus mengamalkan ilmu yang mereka miliki untuk menolong siapa saja yang membutuhkan.
Tak lupa Ki Gedhe Jati Kluwih mengingatkan Paksi Jaladara tentang munculnya pemilik Rajah Penerus Iblis, supaya berhati-hati dalam menghadapi para pemilik rajah setan ini. Jika memungkinkan untuk bisa menghancurkan rajah setan itu tanpa harus melukai atau membunuh pemiliknya.
-o0o- Jilid 1 : Sang Pewaris " Bab Enam Belas
Air terjun ... Air mengalir dari ketinggian, kemudian air jatuh ke bawah menghasilkan suara gemuruh yang memekakkan telinga. Akan tetapi dibalik suara yang keras menggelegar itu, tersimpan suatu keindahan yang tiada duanya. Dedaunan yang terkena percikan air bergoyang-goyang memunculkan irama kehidupan. Burung walet pun beterbangan sambil sesekali menyambar ke atas air, berkelebatan membelah angin.
Beberapa ekor kadal berwarna kelabu kehijauan nampak bertengger di atas bebatuan sambil menikmati sentuhan sang surya di kulitnya yang licin mengkilat. Beberapa diantara nampak berloncatan dari atas tebing dan meluncur dengan cepat mengikuti arus air terjun, kemudian menyelam untuk beberapa saat dan akhirnya muncul dari cerukan air yang cukup dalam dan akhirnya berenang ke tepian. Adapula yang hilir mudik berenang di telaga yang jernih itu.
Pada umumnya kadal memiliki ukuran sebesar ujung jari manusia, tapi berbeda dengan kadal yang menghuni sekitar air terjun ini. Ukurannya jauh lebih kecil dari kadal pada umumnya, tapi sedikit lebih besar dari cecak dengan bentuk kepala yang gepeng menyerupai ular sanca. Namun yang luar biasa adalah panjang badannya yang seperti ular, sekitar satu tombak serta dihiasi dengan sisik-sisik mirip ular yang berkilauan saat tertimpa sinar matahari. Di saat melayang di udara, perutnya mengempis dengan sedemikian rupa hingga menyerupai bilah bambu yang dibelah tipis dengan delapan kaki yang saling merapat ke badan.
Yang paling unik dari binatang ini adalah matanya berjumlah tiga!
Itulah binatang istimewa yang bernama Kadal Ular Berbisa Mata Tiga. Jangan ditanya bagaimana kehebatan racunnya, sekali tergigit kadal ular jika dalam sepeminuman teh tidak mendapatkan penawarnya bisa mengakibatkan kematian. Kumpulan binatang unik itu memang bukan satwa liar pada umumnya, tapi peliharaan seorang tokoh kosen yang menghuni goa di balik air terjun, seorang tokoh yang kemana-mana selalu membawa kitab kumal dan bertongkat bambu berwarna hitam kebiruan. Siapa lagi tokoh dengan ciri khas unik seperti itu jika bukan si Kutu Buku Berbambu Ungu, yang beberapa tahun belakangan ini lebih banyak mengasingkan diri dari pada berkeliaran di rimba persilatan.
Si Kutu Buku Berbambu Ungu sebenarnya tidak memiliki tempat tinggal yang tetap, dia bisa tinggal dimana saja dengan beralas bumi dan beratap langit sudah cukup baginya. Namun pada akhirnya, karena usia yang sudah semakin menaik, mendekati usia senja membuat dirinya memutuskan untuk menetap di suatu tempat tertentu. Pada akhirnya dia memutuskan untuk menetap di goa di balik air terjun itu setelah sebelumnya menghadiri pengangkatan ketua baru Perguruan Gerbang Bumi. Meski bukan termasuk dari Lima Perguruan dan Partai terkenal rimba persilatan, tapi ketua lama Perguruan Gerbang Bumi adalah sahabat karibnya ketika masih kecil, bisa dikatakan seperti saudara sendiri. Kaum persilatan menjulukinya Si Harimau Buas yang kondang dengan "Tenaga Sakti Gerbang Inti Bumi"-nya.
Oleh Si Harimau Buas, si Kutu Buku Berbambu Ungu disarankan agar menempati tempat mereka bermain-main waktu kecil dahulu, tepatnya pada goa di balik air terjun yang masih berada di wilayah Perguruan Gerbang Bumi. Selain bisa bertemu kapan saja juga sekalian merawat tempat yang begitu indah rupawan agar tidak rusak. Bahkan beberapa ekor Kadal Ular Berbisa Mata Tiga ikut berpindah ke tempat itu sebagai hewan peliharaannya. Kakek bertongkat bambu menyetujui saja, dan begitulah sejak saat itu terdapat penghuni baru lengkap dengan hewan peliharaannya.
Dua tahun kemudian, si Kutu Buku Berbambu Ungu menemukan tubuh pingsan gadis remaja akibat terkena gigitan kadal peliharaannya. Akhirnya, gadis berusia dua belasan tahun bernama Rintani itu diambil menjadi anak angkat sekaligus sebagai murid penutup untuk mewarisi ilmu silat dan jurus tongkat ciptaannya yang bernama "Ilmu Tongkat Daun Bambu Melayang" agar tidak musnah dibawa mati. Sejak saat itu bertambah satu lagi penghuni baru di tempat itu.
Begitulah, sepuluh tahun pun berjalan tanpa terasa. Kadal Ular Berbisa Mata Tiga yang pada mulanya berjumlah beberapa ekor itu kini menjadi ratusan ekor jumlahnya. Jika bulan purnama penuh, telaga itu akan berubah menjadi tempat pesta pora dari kawanan kadal badan panjang itu. Semua tumpah ruah menjadi satu. Tak peduli besar kecil dan tua muda, bahkan kadal betina yang sedang mengerami telurnya pun akan menyempatkan diri untuk menikmati indahnya sinar bulan.
Rintani pun tumbuh menjadi gadis cantik berkulit sawo matang dengan postur tubuh padat berisi. Meski wajah cantiknya biasa saja seperti gadis kebanyakan, dengan tubuh tinggi semampai serta potongan tubuh yang cukup sempurna. Mata bulat dengan dihiasi hidung mancung serta sepasang alis cukup tebal dan gigi putihnya berbaris rapi. Bibirnya yang tipis merah merekah tanpa pemerah bibir ditingkahi dengan sebentuk tahi lalat kecil di pipi kiri menambah kemanisannya. Rambut hitam kelam yang adakalanya diikat ekor kuda sehingga memperlihatkan leher jenjangnya. Ibarat bunga yang sedang mekar-mekarnya, sehingga nampak sedap dipandang mata. Kesukaannya memakai pakaian serba coklat sehingga nampak serasi dengan kulitnya yang sawo matang.
Berbeda dengan kakek bertongkat bambu berwarna hitam kebiruan, usianya juga sudah semakin tua, ibarat lentera sudah kehabisan minyak semakin hari semakin payah saja. Meski begitu, semangatnya masih kuat. Saat usianya mendekati delapan puluh tahun, kakek itu tanpa sengaja menemukan khasiat lain dari hewan peliharaannya. Tubuh yang semula sering sakit-sakitan, kadang sering pingsan tanpa sebab berubah menjadi sehat setelah tanpa sengaja memakan sebutir telur kadal!
Waktu itu tubuhnya kadang panas kadang dingin selama tiga hari berturut-turut, bahkan dia pernah berpikir mungkin seperti itulah rasanya jika orang mau mati. Pada hari keempat dia pingsan setengah harian, hingga membuat Rintani kelabakan, bahkan si Harimau Buas yang pada saat itu sedang berkunjung ke tempat itu karena mendengar sahabatnya menderita sakit panas dingin, sudah menduga kalau temannya pasti menelan telur kadal ular.
Bekas ketua Perguruan Gerbang Bumi tahu betul apa akibat menelan telur kadal ular itu, sedangkan dirinya saja akan berpikir ribuan kali jika disuruh menelan telurnya apalagi sampai memakan daging Kadal Ular Berbisa Mata Tiga.
Rintani dan si Harimau Buas menunggui tubuh pingsan si Kutu Buku Berbambu Ungu setengah harian lamanya. Tubuh kakek tua yang semula terbujur lemas, mendadak bangun seperti orang kaget karena tersengat lebah. Tentu saja yang paling kaget adalah Rintani dan si Harimau Buas.
"Ayah!!" seru Rintani dengan kaget.
"Dasar kutu busuk, buat apa pakai acara pingsan-pingsanan, seperti gadis perawan saja kau! Bangun pun bikin orang jantungan!" bentak Si Harimau Buas sambil mengurut-urut dadanya yang berdebar kencang. Dia memang terbiasa menyebut teman karibnya itu dengan sebutan "kutu busuk".
"Hei, macan tengik! Siapa yang main pingsan-pingsanan" Aku tadi sedang berjuang antara hidup dan mati." sahut kakek itu sambil bangun dari tidurnya, " ... enak saja kalau ngomong! Kau tidak senang kalau aku masih hidup, hah!?" semprot Kutu Buku Berbambu Ungu.
"Ha-ha-ha-ha! Rupanya kau sudah benar-benar sehat sekarang! Buktinya, mulut nyinyirmu itu sudah kumat lagi."
"Uhh, dasar sial kau!"
Akhirnya dua teman karib itu saling berpelukan erat.
Jika orang lain yang mendengar percakapan mereka, tentu akan berpikiran bahwa mereka berdua sedang bermusuhan satu sama lain, tapi begitulah si Harimau Buas dan si Kutu Buku Berbambu Ungu. Meski saling ejek dan saling maki, mereka tetap akrab, tak ada dendam atau pun kebencian apalagi perselisihan justru mereka makin akrab dengan saling mengejek seperti itu.
Begitulah, sakit yang diderita oleh si Kutu Buku Berbambu Ungu hilang lenyap tak berbekas dan bagi si Harimau Buas merupakan penemuan yang menakjubkan sekaligus mendatangkan ide cemerlang di otaknya yang karatan itu, yaitu membuat ramuan obat-obatan dengan bahan utama telur kadal ular!
Rintani pun juga kecipratan rejeki tak terduga. Selain ilmu pengobatannya bertambah juga mendapat tambahan ilmu jurus tendangan dari si Harimau Buas yang bernama "Belalang Salto Menerjang Batu". Jurus ini harus dilakukan dalam posisi bersalto kemudian melakukan tiga kali serangan kaki ke arah bagian kepala, terutama di ubun-ubun dengan posisi kepala tetap dibawah saat melakukan jurus ini. Pada mulanya Rintani agak kesulitan melakukan gerakan dari jurus "Belalang Salto Menerjang Batu". Kalau hanya gerakan jungkir balik atau salto saja bisa dia lakukan, tapi jika harus salto sambil melakukan tendangan beruntun dengan posisi kepala tetap berada dibawah, merupakan kesulitan tersendiri baginya. Pada hari kelima, barulah ia berhasil menguasai jurus itu, meski pun masih banyak celah-celah yang bisa ditembus oleh lawan.
"Jurus ini mengutamakan kecepatan dan ketepatan dalam serangan. Aliran tenaga dalam pun juga harus sesuai, tidak kurang dan tidak lebih. Jika aliran tenaga dalammu tidak stabil akan mengakibatkan dirimu terpelanting seperti kejadian tempo hari." ujar si Harimau Buas pada Rintani, "Jadi, usahakan kau harus bisa memusatkan tenaga dan konsentrasimu dengan baik. Ingat, kawan masih bisa mengampunimu, tapi tidak untuk lawan. Camkan itu!"
"Baik, paman!"
"Lebih kau istirahat saja, hari pun sudah menjelang sore. Aku mau menemui guru di dalam goa."
"Saya masih ingin menjajal jurus ini lagi, paman." kata Rintani dengan tegas.
"Bagus, tapi ingat pesanku tadi."
"I ya, paman!"
Rintani pun kembali berlatih lagi. Mula-mula ia melatih kembali "Ilmu Tongkat Daun Bambu Melayang" ajaran guru sekaligus ayah angkatnya. Tubuhnya berkelebatan cepat diiringi suara kesiuran tongkat panjang yang menderu-deru. Tenaga dalam pun dinaikkan setingkat demi setingkat. Gerakan tongkat bambu panjang pada intinya hanya mengait, menangkis, menusuk, memutar, menempel dan menebas saja, namun yang luar biasa adalah pergeseran jurus tongkat yang tak terduga. Saat Rintani sedang mengait ke atas, baru setengah jalan sudah berganti dengan tebasan cepat bertenaga.
Wuuung! Tak pelak lagi, dedaunan yang terkena sambaran angin yang diakibatkan oleh jurus tongkat bambu itu berhamburan kesana kemari mengikuti arah gerak tongkat, hingga nampak daun-daun kering itu melayang-layang di udara seoalh ada tangan-tangan yang sedang bermain.
Di depan goa ...
"Lugita, bagaimana menurutmu kepandaian muridku itu?" kata si Kutu Buku Berbambu Ungu menyebut nama asli si Harimau Buas.
"Hemm, jurus tongkat muridmu itu makin lama makin bagus saja, Bargawa," kata si Lugita alias si Harimau Buas, " ... aku iri padamu yang memiliki murid secerdas itu. Kulihat hawa tenaga dalamnya juga semakin matang."
"Ha-ha-ha! Kau terlalu memuji kawan. Bagaimana dengan anakmu si Seto Kumolo itu" Apa "Tenaga Sakti Gerbang Inti Bumi"-nya sudah mencapai tingkat terakhir?" tanya si Kutu Buku Berbambu Ungu yang ternyata bernama asli Bargawa itu.
"Huh, anak itu makin hari makin dogol saja! Sampai sekarang baru mencapai tingkat sebelas. Benar-benar payah dia." jawab Harimau Buas dengan bersungut-sungut.
Bargawa hanya manggut-manggut saja sambil mengelus jenggot putihnya, batinnya, "Seto Kumolo sudah sampai tingkat ke sebelas dari dua belas tingkat yang ada, padahal usianya lebih tua dua tahun dari Rintani. Setahuku si macan tengik ini mencapai tingkat sebelas menjelang usianya empat puluh tahun. Edan, masak seperti itu dibilang dogol?"
"Lihat, nampaknya muridmu sedang mengerahkan jurus "Belalang Salto Menerjang Batu"." kata si Harimau Buas.
"Ehmm."
Pada saat itu Rintani mulai melakukan gerakan dua kali salto, lalu sepasang kakinya bergantian melakukan gerakan menendang dengan cepat ke arah tiga jurusan yang berbeda dengan posisi kepala tetap berada di bawah. Ketepatan dan kecepatan dalam hal ini sebagai kunci penentu berhasil tidaknya melakukan jurus "Belalang Salto Menerjang Batu"!
Wutt! Debt! Debb! Debb!
Setelah melakukan tendangan tiga secara beruntun, Rintani langsung melakukan liukan tajam ke bawah sambil melakukan ayunan tongkat bambu dengan cepat melalui jurus "Daun Berguguran Jatuh Ke Bumi" dimana tongkat panjangnya melakukan gerakan sapuan-sapuan pendek diikuti dengan hempasan tenaga dalam yang tinggi.
Wutt! Wushh!! Daun-daun kering pecah beterbangan menjadi serpihan saat terlibas hempasan yang terangkum rapi dengan tenaga dalam tinggi milik Rintani.
"Hebat! Muridmu benar-benar hebat, Bargawa!"
"Sudahlah! Ayo masuk ke dalam, aku punya sesuai untukmu," kata si Kutu Buku Berbambu Ungu.
"Apa?"
"He-he-he, pepes telur kadal! Mau nggak?" katanya lagi sambil menjungkit-jungkitkan alisnya.
"Nggak!"
Akhirnya dua orang itu tertawa terbahak-bahak sambil berangkulan masuk lebih ke dalam goa, karena goa di balik air terjun itu memiliki empat ruangan yang cukup lebar dan lega.
Sementara itu, gadis murid si Kutu Buku Berbambu Ungu pun telah selesai melatih jurus-jurus silatnya. Saat ini sedang melakukan pernafasan untuk menata kembali aliran tenaga dalam yang baru saja digunakan. Beberapa saat kemudian, nafasnya sudah normal kembali seperti sediakala.
Ia pun menyeka peluh yang menetes dari dahinya. Seluruh tubuh gadis itu nampak berkeringat menimbulkan aroma khas seorang dara muda. Keringat yang membasahi tubuh sintal itu nampak mencetak ketat lekukan-lekukan indah terutama di bagian dada yang membusung kencang, seolah tidak bisa di sembunyikan lagi dari balik pakaian coklat yang dikenakannya.
"Wah tubuhku berkeringat begini, lebih baik aku mandi sekalian saja di dalam telaga." gumamnya, "... ayah kalau sudah ketemu paman Lugita, pasti akan ngobrol terus hingga tengah malam. Lebih baik aku mandi dulu, lalu berburu di hutan sebelah sana. Hemm, siapa tahu dapat ayam hutan lagi seperti kemarin."
Air terjun itu jarang sekali diinjak oleh manusia, selain disekitar tempat itu banyak terdapat binatang-binatang berbisa, juga merupakan daerah larangan bagi murid Perguruan Gerbang Bumi untuk mendekati tempat itu apalagi sampai memasukinya. Siapa saja yang melanggar larangan tersebut akan mendapat hukuman yang cukup berat. Hanya ketua Perguruan Gerbang Bumi dan orang-orang tertentu saja yang boleh memasuki tempat larangan itu. Seto Kumolo dan Ki Lugita saja yang tahu kalau tempat terlarang itu dihuni oleh si Kutu Buku Berbambu Ungu dan muridnya.
Gadis itu nampak berkelebat cepat ke sisi kanan air terjun menembus lebat rerimbunan dedaunan dan beberapa saat kemudian nampak keluar lagi sambil tangan kirinya membawa seperangkat pakaian ganti. Pakaian ganti warna coklat itu diletakkan di sebuah batu hitam berbentuk datar yang ada di situ. Lalu dengan tenang Rintani melolos sabuk kain yang melilit pinggang rampingnya diikuti melepas kancing baju dan pakaian yang dikenakan oleh gadis itu. Terlihat sebentuk tubuh dara muda yang masih terbalut baju dalam tipis coklat muda yang menutupi sepasang payudara bulat penuh yang membusung kencang, sehingga semakin merangsang daya khayal laki-laki yang melihatnya. Beberapa saat kemudian dia telah melepas baju dalam tipis coklat muda diikuti dengan celana coklat setinggi lutut pun terlepas dari kakinya.
Praktis, terpampanglah sebentuk keindahan yang menggiurkan para perjaka!
Kemudian gadis cantik bertubuh mulus itu langsung terjun ke dalam telaga.
Byurr!! Air semburat saat gadis itu menceburkan diri ke dalam telaga. Sergapan hawa sejuk menggantikan rasa panas menyelimuti tubuhnya. Gadis itu berenang kesana kemari dengan gembira. Tubuh mulus gadis tampak semakin jelas karena jernihnya air telaga tersebut. Beberapa ekor kadal ular nampak berebutan mendekati tubuh sintal gadis, seperti tangan-tangan perjaka yang ingin menjamah setiap bagian tubuh indah Rintani. Bahkan seekor Kadal Ular Berbisa Mata Tiga dengan berani melingkari leher gadis itu lalu kepalanya yang gepeng meluncur cepat ke arah kiri dan sasarannya adalah ...
Ujung bukit kembar si gadis!
Meski sambil berenang, Rintani tetap tidak hilang kewaspadaannya, dengan cepat menangkap tangan kanan bergerak cepat menangkap kepala makhluk panjang tersebut.
Tepp! "Hi-hi-hi, jangan nakal ya?" katanya sembari menarik lepas Kadal Ular Berbisa Mata Tiga yang nakal dan melepaskan kembali.
Begitulah, sambil membersihkan diri, gadis murid Kutu Buku Berbambu Ungu bermain-main dengan binatang berbisa itu. Dan itu dilakukan hampir setiap hari. Adakalanya ia mandi di tengah telaga, tak jarang pula ia bersemadi sambil bertelanjang bulat di bawah derasnya air terjun sekaligus berlatih tenaga dalam.
Setelah puas bermain-main dan membersihkan diri, gadis itu berenang ke tepian, ke arah batu datar dimana ia meletakkan pakaian gantinya. Saat berenang itulah, tampak di pundak sebelah kiri terdapat sebentuk lukisan kecil berwarna biru terang dengan garis tepi kuning keemasan berbentuk bintang segi lima sejumlah tiga. Lukisan bintang segi lima itu nampaknya bukan sembarang lukisan tapi memiliki arti tertentu, karena sebenarnya lambing itu adalah salah satu dari lambang Delapan Bintang Penakluk Iblis!
Sedangkan yang tertera di pundak gadis itu bintang ke tiga dari Delapan Bintang Penakluk Iblis yang ada di dunia. Bahkan Paksi Jaladara dan Tabib Sakti Berjari Sebelas pun tidak mengetahui perihal adanya Delapan Bintang Penakluk Iblis, meski di tubuh pemuda hasil didikan Lembah Badai tertera lambang bintang itu, karena bintang itu letaknya tersembunyi di tengkuk agak ke atas.
Bintang ke satu!
Jadi selain memiliki Rajah Elang Putih, pemuda sakti murid si Elang Berjubah Perak itu juga memiliki salah satu lambang dari Delapan Bintang Penakluk Iblis tersebut.
Rintani akhirnya selesai berpakaian lengkap dengan tubuh segar bugar setelah mandi di dalam telaga yang berair sejuk itu. Wajah tampak berseri-seri sambil bibirnya menyunggingkan senyuman tipis nan menawan, mematut-matut diri sebentar sambil mengikat rambut hitam panjangnya menjadi ekor kuda. Meski sudah mengenakan pakaian lengkap, tetap tidak bisa menyembunyikan tubuh padat berisi itu.
Kemudian gadis itu berkelebat cepat ke arah hutan mengerahkan segenap ilmu peringan tubuh sambil tak lupa menyambar tongkat bambu hitamnya yang diletakkan atas batu datar. Tubuh itu berloncatan dengan cepat di antara dahan-dahan pohon bagai kera yang lincah.
Tepp! Wwess!! Pijakan kakinya terlihat ringan saat kakinya menutul daun-daun yang diinjak ujung kaki gadis itu, dimana daun-daun itu hanya bergoyang-goyang sedikit saja.
-o0o- Jilid 1 : Sang Pewaris " Bab Tujuh Belas
Malam pun kembali menyapa bumi. Kegelapan mulai menyelimuti seantero jagad raya. Bintang-bintang di langit bertaburan dengan menebar pesona. Sungguh suatu karunia Yang Kuasa yang tiada bandingnya. Entah dengan cara bagaimana bisa membuat siang dan malam datang silih berganti tanpa pernah terlambat sedikit pun.
Sinar bulan yang cuma setengah sudah lebih dari cukup menerangi malam yang pekat. Dengan sedikit cahaya bulan pula sudah lebih dari cukup untuk menerangi tempat larangan Perguruan Gerbang Bumi, tepatnya di air terjun dimana Bargawa dan muridnya tinggal.
Nampak Bargawa atau yang dikenal dengan si Kutu Buku Berbambu Ungu duduk berendeng dengan Lugita atau si Harimau Buas di atas batu datar yang cukup besar. Terlihat air liur mereka mau menetes keluar saat memandang sebentuk benda "ajaib" yang dibolak-balik oleh tangan gadis berbaju coklat. Sepasang mata tua itu tidak pernah lepas dari tangan gadis itu.
Sedang di sebelah kiri si gadis, duduk seorang pemuda tampan berusia sekitar dua pulluh empat tahun dengan baju buntung loreng-loreng bercelana komprang hitam. Sebentuk sabuk berwarna kuning hitam loreng-loreng terlihat mengikat pinggangnya dengan kokoh. Lengan kekar berotot dengan dada bidang berbulu semakin menambah kejantanannya. Sebaris kumis tipis tercetak rapi dibawah hidungnya yang mancung. Yang menggetarkan adalah sorot mata pemuda itu sangat tajam bagaikan sorot mata kucing di kegelapan malam.
Pemuda itu adalah Seto Kumolo, yang secara resmi diangkat sebagai Ketua Perguruan Gerbang Bumi, yang tiga tahun belakangan ini mengukir nama besarnya dengan sebutan Sabuk Hitam Macan Loreng. Nama itu diberikan oleh lawan yang takluk dibawah senjata sabuknya dikarenakan Seto Kumolo mahir sekali menggunakan senjata berbentuk sabuk, meski dasar ilmu yang dimilikinya adalah jurus pedang. Sampai saat ini, pemuda berbaju loreng itu telah menguasai "Tenaga Sakti Gerbang Inti Bumi" tingkat sebelas, sungguh jarang dijumpai pemuda yang memiliki kecerdasan yang begitu tinggi.
Rintani duduk tenang sambil terus sibuk membolak-balik daging ayam panggang yang dipegangnya. Sebentar-sebentar matanya melirik ke arah dua kakek itu. Nampak tersungging senyum kecil saat melihat mimik muka ayah angkat dan sang paman.
Mimik muka orang tidak pernah melihat makanan enak!
Tempat duduk dua kakek bangkotan dengan gadis itu hanya terpisah dua tombak saja, dimana di tengah-tengah mereka terdapat api unggun yang apinya menyala sedang. Tangan kiri Rintani menaburkan bubuk rempah-rempah diikuti tangan kanan membolak-balik ayam panggang tersebut. Tak lama tercium bau harum yang menebar kemana-mana.
"Rintani, sudahlah ... ayam itu sudah siap mengisi perutku, tak perlu kau bolak-balik begitu terus." kata Bargawa sambil mulutnya bergerak-gerak lucu sedang sepasang tangannya mengelus-elus perut.
"Enak saja! Kutu busuk, tiap hari kau dapat jatah makan enak karena muridmu ini pintar sekali menyenangkan perutmu yang karatan itu." sahut Lugita tak mau kalah, "sedang aku ... tiap hari harus menelan rasa pahit. Menyesal dulu aku tidak memiliki mengambilnya saja menjadi muridku!"
"Salah sendiri, kenapa dulu-dulu kau tidak mau mencari murid perempuan?"
Memang perlu diketahui, bahwa seluruh murid Perguruan Gerbang Bumi seluruhnya adalah laki-laki, tidak ada satu pun yang perempuan.
"Eee ... kau ngledek ya?" kata lugita dengan mata sedikit melotot.
"Apa" Mau mengajak berkelahi" Ayo!"
Bargawa sudah berdiri sambil menyingsingkan lengan bajunya.
"Huh, siapa yang takut dengan kutu busuk macammu itu!"
Tak mau kalah, Lugita pun langsung berdiri sambil menyingsingkan lengan baju. Dua kakek yang sudah bau tanah itu tampak saling dorong satu sama lain. Dorongan tangan pun bukan sembarang dorongan, tapi disertai dengan pengerahan tenaga dalam yang cukup tinggi, hingga setiap hempasan mengeluarkan suara angin menderu-deru.
Rintani dan Seto Kumolo hanya saling pandang saja melihat tingkah laku dua "bocah tua" itu.
"Kakang Seto, lebih baik ayam ini kita saja yang makan. Nampaknya ayah dan paman Lugita sudah tidak berminat lagi. Sayang sekali ... Hemm ... padahal sudah matang semua ... "
"Hemm ... harum sekali." seru Seto Kumolo agak keras, lalu sambil menggosok-gosok telapak tangannya dia berkata, " ... sinikan ayam panggang itu. Wah ... nampaknya enak betul!"
Aneh, mendengar kata "makan", dua kakek itu langsung berhenti main dorong-dorongan!
"Tung ... tunggu dulu, Rintani! Jangan kau berikan semua pada bocah dogol itu. Aku masih mau ... "
"Hei, siapa yang bilang tidak berminat lagi ... "
Dua kakek itu secara bersamaan langsung mengulurkan tangannya, dan sekejap mata kemudian tangan masing-masing telah memegang ayam panggang matang dan tanpa dikomando langsung melahap dengan cepat. Tak terlihat bahwa mereka tadi saling dorong-dorongan, kini saling beradu punggung sambil makan. Dua kakek itu seakan sedang beradu cepat siapa yang duluan menghabiskan ayam panggang di tangan masing-masing. Tanpa perlu tempo yang lama, dua ayam panggang itu sudah ludes tandas masuk ke dalam perut mereka!
Seto Kumolo dan Rintani hanya geleng-gelang kepala saja.
"Masih ada lagi?" kata dua kakek itu secara bersamaan sambil mengangsurkan tangan kanan.
Rintani mengangsurkan lagi dua ekor ayam panggang utuh ke arah dua kakek itu, dan dengan sigap dua tangan keriput menyambutnya dengan manis.
"Ha-ha-ha! Kau memang muridku yang jempolan!" seru Bargawa sambil mulutnya penuh dengan kunyahan daging ayam.
"He"eh, betul-betul enak!" sahut Lugita dengan kondisi mulut yang sama.
Seto Kumolo hanya tersenyum kecil saja mendengar celoteh dari sepasang sahabat karib itu.
Karena tadi Rintani menangkap lima ekor ayam hutan, kini tinggal seekor saja yang masih dalam keadaan di panggang. Setelah matang dari panggangan, Rintani membelah daging ayam itu menjadi dua bagian, kemudian satu bagian diberikan pada Seto Kumolo sedang satu bagian untuk dirinya sendiri. Baru saja daging ayam itu mendekati mulut mereka, dua kakek itu sudah memandang potongan ayam itu mulut bergerak-gerak diikuti pandangan berbinar-binar seolah berkata, "untukkukah?".
Seto Kumolo dan Rintani untuk kesekian kalinya saling bertemu pandang, kemudian pandangan mereka beralih ke orang tua yang ada didepannya, lalu beralih pada setengah potong ayam panggang di tangan masing-masing.
Dua kakek itu tampak mengangguk kepala dengan mimik muka penuh harap, bahkan sepasang tangan mereka secara tidak sadar sudah setengah terulur siap menyambut hidangan lezat itu.
Pasangan anak muda itu saling menghela napas dalam, lalu masing-masing memberikan setengah potongan daging ayam yang seharusnya mengisi perut mereka.
"He-he-he, ini baru betul! Yang muda harus lebih mengalah pada yang tua. Betul tidak?"
"Tentu saja betul! Masak teori sederhana seperti itu saja tidak kalian pahami!?" sahut Bargawa sambil menelan potongan daging yang ada dimulutnya.
Akhirnya, lima ekor ayam hutan itu tandas dan menghuni perut dua kakek itu. Namun mata kakek itu masih jelalatan kesana-kemari mencari-cari sesuatu.
"Ayah cari apa?" Tanya Seto Kumolo sambil celingukan kesana-kemari.
"Masih ada?"
"Apa?"
"Ayam!"
"Ayam?" sahut Rintani.
"Iya."
"Lima ekor ayam sebegitu besar masih kurang juga?" ucap Seto Kumolo dengan heran.
Kakek itu hanya menganggukkan kepala saja.
Seto Kumolo malah menoleh ke arah Rintani dan dibalas dengan kedipan mata.
"Masih, bahkan masih banyak! Ayah dan paman Lugita masih mau?" kata Rintani kembali.
Dua pasang kakek itu langsung mengangguk dengan cepat.
"Itu ... disana!"
Jari telunjuk gadis itu menunjuk ke arah timur, diikuti dengan pandangan mata dari Bargawa dan Lugita secara bersamaan. Ketika melihat arah yang ditunjuk, sorot mata penuh harap berubah menjadi pandangan sayu.
Karena yang ditunjuk Rintani adalah hutan!
"Hua ... ha ... ha ... "
Dua pasang muda-mudi itu tertawa terkial-kial melihat dua kakek di depan mereka memperlihatkan wajah kusut, karena itu artinya mereka harus berburu sendiri ke dalam hutan!
"Bargawa, nampaknya nasib perut kita sedang tidak baik."
"Betul-betul malang sekali."
"Padahal nafsu makanku sedang baik-baiknya malam ini." kata Harimau Buas kembali.
"Apalagi aku!" Aku khan sedang dalam kondisi memulihkan kesehatan karena sakit kemarin itu." timpal Kutu Buku Berbambu Ungu sambil menghela napas.
Mereka pun bangkit berdiri dengan sedikit kemalas-malasan.
"Kau masih punya simpanan air jahe?"
"Ada ... ada tiga guci penuh!" sahut kakek bertongkat bambu itu.
"Bagus! Disini sudah tidak ada yang bisa kita makan lagi, lebih baik kita masuk ke dalam saja sambil menikmati air jahe."
"Tak masalah!"
Tanpa pamit sama sekali, dua kakek itu langsung melesat cepat ke dalam gua dibalik air terjun itu. Mereka berdua memamerkan ilmu ringan tubuh tingkat tinggi di hadapan pasangan muda-mudi dengan melewati tengah-tengah telaga. Kaki-kaki itu seakan berjalan di atas air. Hanya dengan beberapa kali loncatan saja, dua sosok kakek itu telah menghilang dibalik tirai air terjun.
Rintani menunggu beberapa saat sambil matanya tidak lepas dari tirai air terjun. Setelah dirasakan cukup aman, tangan kanannya mengambil bulatan tanah liat yang cukup besar dari balik batu datar tempat duduknya.
Pendekar Pemetik Harpa 17 Kisah Si Pedang Kilat Karya Kho Ping Hoo Ilmu Ulat Sutera 4

Cari Blog Ini