Pendekar Elang Salju Karya Gilang Bagian 5
"Apa itu, Rintani?" tanya Seto Kumolo heran.
Sejak kedatangannya ke tempat itu, ia sudah melihat bulatan tanah liat yang diletakkan di belakang batu datar tapi si pemuda berbaju loreng hanya memendam tanda tanya di dalam hati saja. Begitu melihat gadis disampingnya mengambil benda aneh itu, rasa ingin tahunya sudah tidak bisa ditahan lagi.
"Kakang lihat saja sendiri," kata gadis itu sembari melepasi bongkahan tanah liat dengan cepat.
Didalamnya masih terdapat lipatan daun jati dan setelah lipatan daun itu terlepas, nampak seekor ayam panggang utuh!
"Jadi ... ?"
"Iya! Kalau ketahuan ayah sama paman Lugita, malam ini kita berdua benar-benar kelaparan!"
"Kapan kau membungkusnya?"
"Tadi waktu aku berburu mendapatkan enam ekor ayam hutan, lalu kupikir-pikir jika ayah dan paman Lugita melihat semua ayam-ayam tangkapanku ini pasti semua habis ludes dimakan mereka berdua. Lalu aku masak saja salah satunya dan aku sembunyikan dibalik balutan tanah liat ini," kata gadis murid Kutu Buku Berbambu Ungu sambil membagi ayam itu menjadi dua potong.
Tanpa malu-malu, langsung disambarnya potongan ayam panggang dan dilahapnya dengan cepat.
"Ih ... kakang ini lapar atau rakus, sih?"
"Kalau ditanya aku ini lapar atau rakus, mungkin kedua-duanya benar," jawab Seto Kumolo sambil mengunyah daging di dalam mulutnya. "Hemm ... ayam panggang ini betul-betul enak, gurih dan empuk! Pantas ayah sering-sering kemari, tak tahunya disini terdapat gadis paling cantik sekaligus tukang masak terbaik di dunia."
Rintani hanya tersenyum simpul saja dengan muka merah jengah. Siapa gadis yang tidak mau dipuji oleh sang pujaan hati"
Gadis mana pun jika sudah dipuji oleh sang pujaan hati, mukanya pasti merah jengah karena senang ditambah dengan hati berbunga-bunga. Setelah sekian lama membina hubungan asmara dengan Seto Kumolo, sudah seringkali gadis manis itu menerima segala macam puja-puji dari sang kekasih, terutama sekali tentang masakan buatannya, pujian setinggi langit pasti akan meluncur keluar dari bibir Seto Kumolo.
"Uhh ... gombal! Paling-paling setelah itu ada maunya ... " kata Rintani sambil mencubit lengan kiri pria ganteng di sebelahnya.
"Aduhh, aduhh ... " terdengar keluhan kesakitan saat jari lentik itu mencubit dengan gemas.
Dimana pun seorang gadis, jika sudah melakukan aksi cubit mencubit, jari lentik itu akan berubah seperti capit kepiting.
Sekali capit langsung merah!
Walau mengerang kesakitan, anehnya pemuda itu tidak mau menarik tangannya yang dicapit oleh jari lentik si gadis. Kadangkala cinta memang suatu yang misterius. Andaikata dibacok golok atau tertebas pedang hingga tangan buntung sekali pun, seorang laki-laki masih bisa menahan rasa sakit yang mendera dengan sekuat tenaga, tapi jika dicubit oleh seorang gadis, apalagi dia seorang gadis cantik, pasti akan berteriak-teriak kesakitan.
Dan lucunya laki-laki pada umumnya tidak akan berusaha menghindari serangan ganas itu!
Tiba-tiba saja terdengar gelak tawa riuh dari balik pohon trembesi raksasa, lalu keluarlah si Kutu Buku Berbambu Ungu diikuti dengan Harimau Buas. Mereka masih tertawa keras sambil memegangi perut.
"Ha-ha-ha! Rupanya anakmu dan anakku sedang asyik pacaran di tempat ini, Lugita!"
"He-he-he, betul! Pantas saja akhir-akhir ini bocah dogol itu sering menghilang entah kemana, rupanya dia telah kecantol sama muridmu, kutu busuk!" seloroh si Harimau Buas sambil masih tertawa terbahak-bahak hingga air matanya keluar.
Dua muda-mudi itu malu bukan alang kepalang. Wajah mereka berdua merah seperti kepiting rebus. Mereka menjadi salah tingkah, ada saja yang mereka berdua lakukan untuk menutupi rasa malu masing-masing.
Melihat tingkah polah dua anak muda itu, tawa dua kakek bangkotan itu justru makin keras saja, seolah berusaha mengalahkan derasnya suara air terjun. Tentu saja Seto Kumolo dan Rintani makin salah tingkah saja. Pada akhirnya, Rintani bangkit berdiri dan melesat cepat ke arah belakang air terjun.
"Hoi ... Rintani!! Kau mau kemana?" seru Bargawa melihat kelebatan anak angkatnya.
"Tidur!!!"
"Hah!" Tidur!" Lalu Seto Kumolo bagaimana" Masak ditinggal sendirian?" seru Bargawa lagi dengan nada menggoda.
Senyap! Tidak ada sahutan sama sekali dari mulut Rintani.
Bargawa dan Lugita saling pandang, kemudian tatapan mata mereka beralih ke Seto Kumolo.
Seto Kumolo dengan wajah senyum tak senyum pun beringsut berdiri.
"Seto, kau mau kemana?"
"Ayah, aku mau pulang saja. Ini sudah tengah malam!"
Tanpa menunggu jawaban dari ayahnya, pemuda yang berjuluk Sabuk Hitam Macan Loreng itu langsung berkelebat cepat ke jurusan selatan.
Kembali sepasang mata kakek itu saling pandang kembali, tapi kali ini tatapan mata itu tertuju pada dua potongan besar ayam panggang yang kini tergeletak di atas batu datar.
Tanpa ba-bi-bu, langsung sikat!
-o0o- Jilid 1 : Sang Pewaris " Bab Delapan Belas
Suatu pagi yang cerah ...
Seorang gadis muda berbaju merah berusia belasan tahun berjalan perlahan-lahan menyusuri jalan di sebuah padukuhan yang cukup ramai. Di sebuah jalan yang cukup lebar, agak sedikit ke timur terdapat sebuah pasar rakyat dimana tampak berkerumun beberapa orang baik tua muda laki perempuan berbaur menjadi satu, dimana ada yang membeli dan ada yang menjual, tidak ketinggalan juga yang hanya melihat-lihat saja sekedar cuci mata. Segala macam hasil bumi tersedia ditempat itu, tak ketinggalan pula hasil ternak ikut mengisi keramaian dengan suara khas masing-masing.
Beberapa pemuda desa kelihatan hilir mudik. Ada yang sedang bersenda gurau, ada yang sedang tawar-menawar barang dagangan, namun banyak juga yang duduk ongkang-ongkang kaki sambil menikmati minuman hangat dan beberapa jenis jajanan pasar, seperti klepon, cucur, wajik dan lain sebagainya. Bisa dipastikan, di setiap pasar seperti itu pasti ada yang namanya keributan, tentu saja keributan-keributan kecil antar sesama pedagang dan pembeli. Si pedagang ingin barang dagangannya terjual dengan harga setinggi-tingginya sedang si pembeli menginginkan harga murah dengan barang yang diinginkannya.
Beberapa orang pemuda sedang memandang si gadis baju merah dengan raut muka terbengong-bengong, ada yang cuma melirik saja dengan ekor mata, ada yang terang-terangan memelototkan mata lebar-lebar, bahkan ada pula pemuda ceking menggodanya sambil bersiul-siul untuk menarik perhatian si gadis. Tak sedikit pula yang memandang penuh kekaguman terhadap kecantikan si gadis.
Di sebuah kedai nasi, tampak seorang laki-laki parobaya dengan perut gendut memandangnya sampai bibir tebalnya mengeluarkan air liur tanpa sadar. Air liur tampak menetes perlahan-lahan kemudian turun ke dagu dan akhirnya meluncur pelan menuju perut buncitnya. Mata laki-laki perut buncit yang semula kecil-kecil saja berubah melotot lebar saat memandang gadis berbaju merah itu seolah berusaha menelanjanginya bulat-bulat.
Pandangan nafsu bejat seorang hidung belang!
Laki-laki itu merapikan bajunya yang kedodoran, kemudian berdiri di depan pintu kedai sambil menebar senyum ramah ke arah gadis berbaju merah itu, namun susah sekali mengatakan bahwa senyum itu sangat manis, karena wajah yang selebar nampan itu justru malah tidak sedap di pandang mata.
Si gadis berbaju merah nampak menoleh ke arah si laki-laki gendut, karena sorot mata si gendut cuma tertuju pada dia seorang. Ia sedari tadi mengetahui kalau dirinya menjadi pusat perhatian orang-orang di pasar itu, tapi ia tidak peduli sama sekali, sebab sudah terbiasa menjadi tatapan mata laki-laki dimanapun ia berada, baik dengan tatapan kekaguman maupun dengan tatapan jalang. Namun, kebanyakan yang memandang seperti itu adalah orang-orang yang masih muda, jarang sekali orang tua atau pun kakek-kakek yang memandang dengan sorot mata seperti itu. Untuk pertama kalinya, ia merasa heran karena yang memandangnya kali adalah seorang laki-laki parobaya, gendut pula.
Gadis itu berjalan menghampiri si laki-laki.
Tentu saja laki-laki itu tampak senang, lalu ia menjawil teman di sebelahnya, "Jenggot! Kau lihatlah, gadis itu berjalan kemari. Nampaknya ia terpikat dengan ketampananku."
Laki-laki berbadan subur yang dipanggil Jenggot menoleh sekejap ke arah gadis baju merah yang berjalan kian mendekat itu, namun ia hanya meringis saja memperlihatkan giginya yang ompong tiga.
"Huh, gigi ompong seperti itu tak perlu kau perlihatkan padaku," sungut si laki-laki gendut, lalu dengan sok berwibawa ia berkata, "Pergi sana! Mengotori pandangan saja."
Si gendut melangkah lebar ke arah gadis baju merah, seakan meyongsong kedatangannya, itu pun hanya dua langkah saja dari pintu kedai nasi.
Sesaat kemudian, gadis berbaju merah itu sudah sampai di depan pintu kedai itu, sejarak tiga langkah dari si gendut. Tercium aroma harum bunga yang menyeruak hidung orang-orang yang ada di sekitar tempat itu. Bau semerbak bunga menguar keluar dari balik tubuh gadis itu.
Gadis itu nampak memandang si gendut dari ujung kepala hingga ke ujung kaki, lalu memutari tubuh subur itu dengan pandangan seperti meneliti ayam betina untuk disembelih. Beberapa orang tampak merasa iri hati dengan keberuntungan si gendut. Bahkan ada yang sambil menjebikkan bibir segala.
Setelah itu, si gadis kembali ke tempat semula.
Tentu saja tingkah polah si gendut nampak menjadi-jadi dan hal ini semakin membuat iri orang-orang di yang ada di dalam kedai. Seolah ialah yang nantinya akan dipilih oleh gadis itu. Air liurnya pun tampak semakin banyak menetes keluar tanpa disadarinya, tentu saja diikuti dengan aroma yang cukup membuat kambing betina pun pingsan.
"Wah, kalau gadis ini menjadi biniku, ini pasti suatu anugerah bagiku," batin si gendut.
Tentu saja itu merupakan anugerah baginya, tapi musibah bagi si gadis!
Sebuah senyuman manis tersungging dari bibir tipis si gadis baju merah.
Si gendut pun makin blingsatan tak karuan karena melihat senyuman menawan hati.
"Namamu siapa?"
"Aku" Oh ... a ... aku biasa dipanggil Karto Subur." jawab si gendut dengan mimik muka sumringah.
"Oooo ... Karto Subur ... boleh aku memanggilmu ... Kang Karto." kata si gadis dengan merdu.
"Iya ... Kang Karto juga bo ... boleh." sahut Karto Subur dengan gugup.
"Aku cantik, ya kang?"
"Tentu saja cantik, yang bilang kau tidak cantik cuma orang tolol."
"Betul! Tapi, biasanya orang tolol lebih banyak selamatnya dari pada orang pintar."
"He-he-he, entahlah ... " sahut Karto Subur, dengan sedikit bingung.
"Pernah makan cawan air?" kata si gadis semakin aneh.
"Cawan?" tanya Karto Subur semakin bingung.
Tentu saja ia semakin bingung, karena setiap pertanyaan dari gadis baju merah itu makin lama makin membingungkan dirinya.
"Cawan seperti ini," kata si gadis sambil mengambil cawan yang ada disamping kirinya dan diperlihatkan di depan mata Karto Subur.
"Belum pernah."
"Kalau begitu, sekarang kau akan mencicipinya!"
Begitu selesai perkataannya, tangan kiri si gadis yang memegang cawan berkelebat cepat. Sesaat pandangan Karto Subur berubah gelap.
Prokk!! Cawan itu membentur mulut Karto Subur dengan menimbulkan suara keras. Tentu saja Karto Subur langsung terlempar ke belakang masuk ke dalam kedai, lalu membentur meja kursi dan akhirnya jatuh terjerembab dengan pantat terlebih dahulu menyentuh lantai.
Prangg! Blukk! Kroommpyang ... !
Piring-piring tanah liat hancur berantakan ditimpa tubuh manusia sebesar kerbau bunting itu. Karto Subur meraung-raung kesakitan. Sepasang tangan gemuk berlemak langsung mendekap mulut berdarah-darah itu. Beberapa giginya nampak rompal, bahkan ada satu dua yang tertelan saat ia mendekap mulutnya yang hancur. Air matanya nampak meleleh keluar, suaranya sengau karena rasanya memang sakit bukan main.
Sambil bangkit berdiri Karto Subur memaki dengan suara sengau, "Khu ... rhanghh ... ajhrarr ... !"
Baru saja Karto Subur selesai menutup mulut lebarnya, sebuah nampan kayu melayang dengan cepat dan mampir di tepat wajah berminyak itu.
Bluakk!! Kembali tubuh subur itu terjengkang ke tempat semula. Kali ini bukan hanya bibir dan mulutnya yang semakin berantakan, ditambah pula dengan hidung besarnya tampak bengkak membesar kemerah-merahan dengan darah kental yang menetes-netes membasahi bibir bahkan ingus pun ikut berleleran keluar. Akan tetapi kali ini tidak terdengar lagi suara erangan atau makian yang keluar.
Karto Subur pingsan seketika!
Si gadis menghampiri nenek pemilik kedai dengan langkah gemulai.
"Nyi, ini sebagai ganti meja dan piring yang rusak." kata gadis itu sambil mengulurkan beberapa keping uang tembaga ke si pemilik kedai, yang saat itu tampak menggigil ketakutan.
"Teri ... ma ka ... sih ... Den Ayu ... "
Beberapa orang yang ada di kedai nasi hanya terpana saat gadis cantik itu melangkah keluar dengan lenggang kangkung, seakan tidak pernah terjadi apa-apa di tempat itu. Kejadian yang cuma sekejap itu memang membuat orang-orang yang ada di kedai itu terpesona.
Karena baru kali ini, ada gadis yang bisa membuat Karto Subur jungkir balik seperti itu!
Karto Subur sebenarnya adalah penguasa pasar di tempat itu. Ia terkenal memiliki tenaga yang besar dan katanya pernah belajar silat di sebuah perguruan silat ternama selama beberapa waktu, tapi dari perguruan silat yang mana, tidak ada yang mengetahuinya secara pasti. Tidak ada satu orang pun yang bisa menandingi kekuatan Karto Subur, bahkan pernah dikeroyok beberapa pemuda kampung, namun pada akhirnya para pemuda itu harus takluk dibawah kakinya. Walau tidak pernah menarik upeti, tapi beberapa orang terpaksa memberinya dengan mau tak mau.
"Jenggot, kenapa kau tidak membantunya?" kata salah seorang pemuda kepada laki-laki yang tadi dijawil oleh Karto Subur.
"Membantunya?" ucap Jenggot dengan mata melotot besar, suara serak terdengar keras meradang, "Memangnya gigiku yang rontok tiga ini perbuatan siapa!?"
"Jadi gigimu itu ... perbuatan gadis itu juga?"
"Benar."
"Dirontokin pakai apa?"
"Batu."
"Batu?"
"Aku kemarin sore juga menggodanya seperti Karto Subur, tapi akhirnya aku harus makan batu."
"Memangnya kejadiannya dimana?"
"Di tepi sungai ujung dukuh sana."
Pemuda itu mengangguk-anggukkan kepala. Ia tahu dimana letak sungai itu, sungai yang memang isinya cuma batu-batu kali yang lumayan besar. Ia bisa membayangkan betapa "nikmat" dan "asyik"-nya makan batu di tempat itu!
"Kau tahu siapa gadis itu?" tanya pemuda itu kembali.
"Hei Parjo, apa kau juga mau seperti diriku?"
"Oh ... tidak! Aku masih ingin menikmati enaknya makan daging. Maaf-maaf saja." kata pemuda yang dipanggil Parjo.
"Kalau kau mau tahu, dia anak ketiga Ki Kandha Buwana." kata Jenggot sembari nyruput wedang jahe.
"Ki Kandha Buwana yang dalang kondang itu?"
"Iya. Ki dalang dari Dukuh Songsong Bayu."
"Darimana kau tahu kalau dia anak ketiga Ki Kandha Buwana?"
"Gadis itu sendiri yang bilang."
"Kok bisa?"
"Tentu saja bisa! Sebab setelah aku dijatuhkan ke sungai berbatu, aku disuruhnya mengantar ke tempat kediaman Ki Dalang. Mau tak mau juga harus mau." kata Jenggot, kemudian dengan nada meninggi, " ... sudahlah, kau ini makin lama makin cerewet saja."
Parjo hanya menghela napas saja, kemudian melanjutkan kegiatannya yang tertunda sebentar.
-o0o- Malam gelap gulita tanpa bintang, tak terlihat satu pun yang menghiasi langit. Awan kelabu berarak mengikuti arah angin yang bertiup pelan. Bersamaan dengan desiran angin malam, sesosok bayangan hitam berkelebat cepat melintasi atap-atap rumah penduduk. Jejak kaki yang ditimbulkan tidak terlihat sama sekali karena saking cepatnya ia bergerak. Beberapa orang peronda yang sedang bertugas dilewati begitu saja bagai tiupan angin. Para peronda yang rata-rata penduduk biasa hanya merasakan tiupan angin yang cukup keras, tak terlihat sebentuk orang yang baru saja lewat di depan hidung mereka.
Bisa dipastikan bahwa orang yang berpakaian hitam-hitam memang bertujuan menyatroni padukuhan yang aman tenteram itu. Kali ini, sosok bayangan hitam nampak berjumpalitan di udara, lalu hinggap di atas pucuk pohon jati yang berdiri angkuh di sekitar pelataran rumah yang cukup besar. Mata dibalik kain hitam terlihat bersinar terang di malam gelap menandakan bahwa ia memiliki tenaga dalam tinggi, sebab sorot mata itu begitu tenang namun menyimpan kebuasan dan hawa hitam pekat terlihat menyelimuti tubuhnya.
Rumah itu merupakan rumah terbagus ke dua setelah rumah Juragan Padmanaba yang juga merupakan kepala dukuh Songsong Bayu. Disanalah berdiam dalang kondang yang biasa disebut Ki Dalang Kandha Buwana. Ki Kandha Buwana bukan hanya seorang dalang biasa, sebab dulunya ia pernah berkecimpung di dunia kependekaran dengan menyandang nama besar Kakek Pemikul Gunung sejak tiga puluh tahun berselang.
Bahkan pada saat berusia dua puluhan tahun, nama Si Pemikul Gunung ini pernah ikut serta dalam perebutan gelar Pendekar Nomor Satu Dunia Persilatan di Bukit Kuda Putih, namun pada akhirnya harus kandas di tangan Pendekar Gila Nyawa. Meski sekarang sudah tidak lagi mengangkat nama di kancah persilatan, namun nama harum Kakek Pemikul Gunung masih disegani sebagai angkatan tua masa kini.
Bisa dipastikan jika orang yang mencari gara-gara dengannya sama saja dengan cari mati sendiri!
Sebuah suara teguran dengan nada berat terdengar di belakang sosok kedok hitam.
"Apa yang kau cari disini, kisanak?"
Sosok berbaju hitam itu tampak terperanjat kaget. Terlihat dari sinar mata yang semakin mencorong tajam dibalik kedok hitam yang dipakainya. Sosok berkedok langsung membalikkan badan dengan perlahan.
Kini, didepannya berdiri seorang laki-laki tinggi besar mengenakan baju batik lurik lengkap dengan blangkon hijau tua bertengger di atas kepala. Rambut hitamnya sudah mulai beruban sebagian. Dibalik punggung nampak tersembul sebuah gagang sebilah keris. Akan halnya laki-laki itu bersedekap dengan tangan bersilangan, matanya tajam menyelidik memandang sosok berbaju hitam-hitam dengan lekat.
"Sejak kapan laki-laki ini berada di belakangku" Kenapa aku tak mengetahui kedatangannya?" batinnya, kemudian ia berkata dengan nada dingin, "Aku tidak sedang mencari siapa-siapa disini."
"O ya?" ketus suara laki-laki berbaju batik itu.
"Kau tidak percaya kalau aku sedang cari angin disini?"
"Percaya! Tapi aku lebih percaya lagi kalau kau sedang mengamati rumahku. Apa yang kau cari?" ulang si baju batik dengan pertanyaan yang sama.
"Heh, nampaknya sulit sekali untuk menipu dirimu."
"Ha-ha-ha. Memang betul! Cuma ... orang sinting saja yang mau cari angin di tempat setinggi ini." sahut laki-laki itu dengan nada sedikit meninggi.
"Aku sedang mencari anakmu. Ayu Parameswari!"
"Mencari anakku" Untuk apa kau mencari anakku?" kata laki-laki itu dengan heran.
"Aku ingin membunuhnya!"
"Dengan alasan apa kau ingin membunuhnya?"
"Aku punya dua alasan untuk membunuhnya."
Laki-laki berbaju batik hanya diam saja tanpa melontarkan pertanyaan, karena dia yakin sosok hitam depannya pasti akan menjawab sendiri pertanyaannya.
"Pertama, malam ini rasanya cocok untuk membunuh seorang gadis. Apalagi seorang gadis semuda dan secantik Ayu Parameswari."
"Yang kedua?"
"Yang kedua, tentu saja ada orang yang menyuruh diriku untuk melakukannya." ucap laki-laki berkedok hitam dengan enteng, seakan membunuh orang tak ubahnya seperti membunuh seekor semut.
"Siapa yang menyuruhmu untuk membunuh anak gadisku?" suara geram terdengar saat laki-laki berbaju lurik itu mendengar bahwa ada orang yang menginginkan kematian anak gadisnya.
"Kau tak perlu segeram itu, orang tua! Tentu saja ketuaku sendiri yang menginginkan nyawa anakmu itu."
"Bagus! Aku pun juga disuruh orang untuk membunuh orang semacam dirimu ini!"
"Benarkah?" kata si kedok hitam sedikit melengak kaget. "Siapa dia!?"
"Raja Neraka!"
Belum sampai ucapan "raja neraka" hilang dari tenggorokan, laki-laki berbaju lurik itu langsung melayangkan satu pukulan keras ke arah wajah sosok hitam dengan kecepatan kilat.
Wutt! Desiran angin tajam terdengar keras saat pukulan itu terlontar. Si sosok hitam tidak mau mandah begitu saja menerima serangan yang disertai dengan kekuatan tenaga dalam tinggi itu. Tubuhnya langsung melayang turun ke belakang sambil berjumpalitan di udara dan turun di tanah dengan kaki terpentang lebar.
Jlegg! Dari peragaan ilmu ringan tubuh barusan, terlihat bahwa sosok hitam itu memiliki ilmu silat yang tidak bisa dianggap enteng.
Bagai burung besar turun dari langit, laki-laki berbaju batik langsung meluruk turun dari ketinggian. Sepasang tangan membentuk cakar harimau diiringi dengan suara raungan dahsyat membahana. Cakar merah bening menebarkan hawa panas menerjang sosok baju hitam itu.
"Jurus "Cakar Perogoh Sukma?"!" seru si kedok hitam.
Sosok berkedok hitam langsung mengerahkan tenaga peringan tubuh untuk menghindari serangan dari ilmu "Cakar Perogoh Sukma" yang dilancarkan oleh lawan.
Brakk!! Blarrl!
Tanah berhamburan saat jurus "Cakar Perogoh Sukma" membentur bekas pijakan kedok hitam dengan diiringi suara keras. Selisihnya hanya sekedipan mata saja dengan gerak meloloskan diri si sosok hitam saat ia menghindari jurus maut yang dilontarkan oleh lawan.
"Setahuku, jurus "Cakar Perogoh Sukma" hanya dimiliki tokoh kosen yang berjuluk Kakek Pemikul Gunung." kata hati si sosok hitam. "Apakah dia ini orangnya?"
Tampak tubuh hitam itu berkelebatan kesana kemari menghindari serangan laki-laki berbaju batik yang diduganya sebagai Kakek Pemikul Gunung. Puluhan jurus telah berlalu, namun sampai saat ini belum nampak sama sekali kalau pertarungan akan segera berakhir. Sosok hitam itu hanya selalu menghindar kesana kemari dengan ilmu ringan tubuh, sehingga yang nampak hanya sesosok kelebatan bayangan hitam menghindari bayangan cakar merah yang berkelebatan mengejarnya.
"Kurang ajar! Apa bisamu hanya lari-lari saja seperti monyet!" bentak Kakek Pemikul Gunung sambil mengibaskan tangan kirinya ke arah lambung lawan dengan cepat.
Wess ... ! Brett!
Meski sudah berusaha menghindar dengan loncatan ke atas, tak urung tulang keringnya harus tersambar cakar lawan. Darah kental merah kehitaman pun langsung meleleh keluar.
"Uhh, jejak lukaku terasa panas menyengat. Ini benar-benar jurus "Cakar Perogoh Sukma" yang sesungguhnya." batin laki-laki berkedok itu sambil bersalto ke belakang menghindari serangan susulan. Meski begitu, akibat luka yang dideritanya sedikit banyak mengurangi kelincahan dalam mengerahkan tenaga peringan tubuh.
Kembali pertarungan menghiasi pada malam itu. Pepohonan rusak porak poranda, tanah tercongkel dan berhamburan kemana-mana, kesiuran angin tajam yang datang silih berganti dan juga suara ledakan yang memekakkan telinga.
Suatu saat, posisi sosok hitam itu benar-benar terjepit. Hujan serangan cakar bertenaga dalam tinggi semakin gencar dilontarkan Kakek Pemikul Gunung untuk menekan kedudukan lawan, sehingga sulit sekali bagi sosok hitam itu menghindar kembali dengan ilmu ringan tubuh andalannya. Dimana posisi yang berlangsung saat itu, Kakek Pemikul Gunung bertumpu kokoh di atas tanah, sambil sepasang tangan merah membara dengan tak henti-hentinya mengerahkan serangan jurus "108 Cakar Perogoh Sukma", sehingga sosok hitam yang waktu itu sedang melenting ke atas terkepung lontaran puluhan bahkan ratusan cakar berhawa panas membara.
"Uh, kalau begini terus ... aku bisa hancur terkena serangannya. Terpaksa aku harus menghadang serangan ini." batin si sosok hitam.
Diiringi suara bentakan penambah semangat, si kedok hitam pun menjulurkan sepasang tangan yang berubah menjadi hitam kelam diikuti kabut hitam yang membungkus tubuhnya memapaki jurus serangan yang dilontarkan Kakek Pemikul Gunung dengan gencar.
Plakk! Plakk! Dharr! Jdharr! Dhuas!!
Terdengar suara bentukan keras bagai besi ketemu besi di saat jurus "108 Cakar Perogoh Sukma" bertemu dengan tapak tangan berkabut warna hitam yang dilontarkan oleh si kedok hitam.
Sepasang kaki Kakek Pemikul Gunung nampak amblas ke dalam tanah hingga setinggi lutut. Tangannya nampak bergetar kencang menahan daya bentur dari tenaga dalam lawan yang luar biasa itu. Bahkan nampak lelehan darah segar terlihat dari sudut bibirnya.
"Bukankah itu tadi "Pukulan Tangan Kabut Hitam" yang telah menghilang ratusan tahun silam?" gumam kakek itu sambil menyusut darah dari bibirnya.
-o0o- Jilid 1 : Sang Pewaris " Bab Sembilan Belas
Sedangkan lawan terpental jauh akibat dari benturan dua kekuatan sakti yang dilancarkan masing-masing pihak. Tubuh terbalut baju hitam terlempar ke belakang keras dikarenakan posisi tubuh berada di atas lawan, meluncur cepat bahkan sampai menabrak hancur berturut-turut tiga pohon jati yang ada di belakangnya. Darah pun nampak berhamburan keluar dari mulut, bahkan sampai menetes keluar dari kedok hitam yang dikenakannya.
Tanpa menunggu lawan bangkit dari keterpurukannya, Kakek Pemikul Gunung atau Ki Kandha Buwana langsung melontarkan sebuah pukulan jarak jauh yang bertenaga dalam tinggi.
Wutt! Duubbb!! Sebuah pukulan sakti tanpa wujud yang dulu pernah dipakainya untuk mengalahkan lawan-lawannya disaat mengikuti perebutan gelar Pendekar Rimba Persilatan pada masa tiga puluh tahun silam. Kini jurus pukulan itu kembali digelar untuk menghadapi si sosok hitam.
Pukulan yang dinamainya dengan "Pukulan Tanpa Bayangan"!
Pada intinya pukulan ini memanfaatkan kekuatan hawa udara dan hawa murni tubuh lalu diolah dengan menggabungkan udara kemudian hawa murni tubuh dikeluarkan dalam bentuk hawa padat tanpa wujud, sehingga terciptalah sebuah jurus pukulan yang bisa menghantam lawan tanpa diketahui oleh yang bersangkutan. Hanya orang yang memiliki ketajaman telinga yang tinggi bisa merasakan gesekan udara yang datang secara bergelombang silih berganti.
Demikian juga dengan sosok hitam itu. Telinganya yang tajam lapat-lapat mendengar suara desiran angin tajam bergelombang mengarah tepat pada dirinya. Karena luka akibat benturan "108 Cakar Perogoh Sukma" cukup parah, sulit sekali bagi sosok itu menghindari serangan dari "Pukulan Tanpa Bayangan" yang dilontarkan oleh Kakek Pemikul Gunung. Jangankan berdiri, menggerakkan jari tangan susahnya setengah mati.
"Celaka!" kata si kedok hitam. "Matilah aku ditempat ini!"
Di antara kepasrahannya antara hidup dan mati, mendadak selebat bayangan hitam yang entah darimana datangnya sudah berdiri menghadang di depan sosok kedok hitam. Lalu tangan kiri bergerak memutar secara aneh diikuti dengan hentakan kaki kanan ke bumi dengan keras, bayangan hitam yang baru saja datang itu mendorongkan tangan kiri memapaki serangan Kakek Pemikul Gunung.
Wutt!! Jurus yang baru saja terlontar memiliki kemiripan dengan "Pukulan Tanpa Bayangan", baik cara mengolah udara dan menggabungkan dengan hawa murni, hanya gerakan menghentakkan kaki kanan ke tanah dengan keras serta memutar tangan baru melontarkan jurus saja yang berbeda. Samar-samar terlihat semacam hawa golok yang ikut terlontar bersamaan.
Dub! Blubb!! Bhess!!
Terdengar suara seperti besi panas yang dicelupkan ke dalam air saat dua pukulan yang sama-sama tanpa wujud itu saling bertemu. Sosok bayangan hitam hanya terjajar dua langkah ke belakang terkena imbas dari dua benturan yang terjadi.
Sedangkan keadaan lawan lebih parah lagi. Kaki Kakek Pemikul Gunung sampai tercerabut keluar dari dalam tanah lalu terlempar sejauh dua-tiga tombak. Dada terasa tersayat-sayat seakan ada ribuan senjata tajam yang merajam tubuh bagian dalam. Kembali darah kental menetes keluar, kali ini luka dalamnya benar-benar parah.
Andaikata lawan tetap melancarkan serangan, tipis kemungkinan untuk bisa menyelamatkan selembar nyawanya.
"Jurus "Ribuan Golok Membelah Lautan"! Apa hubunganmu dengan si Dewa Golok?" seru Kakek Pemikul Gunung sambil mengedarkan hawa murni ke seluruh tubuh untuk menekan luka dalam agar tidak menjadi lebih parah.
"Huh! Aku tidak kenal dengan manusia yang kau sebut sebagai Dewa Golok itu. Memangnya siapa dia?"
Suaranya terdengar seperti ditekan ke dalam, jelas sekali kalau itu adalah suara perut. Namun Kakek Pemikul Gunung yakin bahwa yang baru saja menolong si kedok hitam adalah seorang perempuan, terlihat dari postur tubuhnya ramping dan adanya tonjolan di depan dadanya.
"Dia adalah sahabatku!"
"Huh, memangnya hanya dia seorang yang memiliki jurus "Ribuan Golok Membelah Lautan"! Jurus picisan seperti itu bagiku hanya permainan bocah kemarin sore. Buat apa diributkan?"
Sosok hitam yang diduga berjenis perempuan itu segera menghampiri si kedok hitam, lalu bagai mengangkat karung basah, diangkatnya tubuh pingsan sesaat setelah terjadi benturan keras tadi. Di panggul pada pundak kiri, lalu berkelebat cepat ke arah selatan tanpa mempedulikan lawan.
Wesshh! Namun baru beberapa langkah, sesosok bayangan merah menerjang dengan cepat. Kaki kiri nampak memutar cepat diikuti dengan hentakan kaki kanan dalam posisi serong menyusur tanah. Akibatnya tanah seperti dibajak, saling berhamburan memanjang dan menerjang ke arah sosok penolong kedok hitam.
Drakk! Srakk! Srakk! Srakk ... !!
Jurus tendangan yang barusan dikerahkan oleh sosok bayangan merah tadi adalah jurus "Ekor Naga Menggetarkan Gunung", dimana kemampuan dari jurus ini menyerang lawan dari jarak jauh dengan memanfaatkan tanah sebagai alat penyerang.
Sosok hitam hanya mendengus saja, lalu mengibaskan tangan kanan dengan asal-asalan.
Wutt! Serangkum hawa hitam pekat berkabut dari "Pukulan Tangan Kabut Hitam" menerjang ke arah hamburan tanah yang menyerang dirinya.
Keras lawan keras!
Blarr! Blarrr, dharr ... !!
Suara benturan kembali terdengar. Namun bayangan hitam itu nampak terperanjat kaget. Serangan yang dilancarkannya tidak berpengaruh sama sekali terhadap sergapan hamburan tanah yang akibat dari jurus "Ekor Naga Menggetarkan Gunung" yang digunakan bayangan merah, justru kekuatannya malah makin menggila laksana naga mengamuk.
"Slompret! Itu pasti jurus "Ekor Naga Menggetarkan Gunung" milik dari Si Naga Bara Merah! Aku harus menghindar sejauh mungkin!"
Namun terlambat!
Baru saja bayangan hitam itu balik badan, punggungnya sudah terhantam hamburan tanah sarat tenaga penghancur dengan telak.
Blakk! Dhuuess ... !!
Tubuh ramping itu nampak terlontar kuat ke depan bagai disentakkan tangan-tangan setan. Sambil menahan rasa sakit yang mendera punggungnya, sosok hitam itu mengerahkan tenaga peringan tubuh kelas atas, lalu melesat cepat ke arah selatan dan akhirnya menghilang di kegelapan malam.
Blashh ... !! "Jangan lari! Berhenti!"
Sosok bayangan merah tadi ternyata adalah gadis yang tadi siang telah menghajar adat pada Karto Subur. Gadis itulah yang dicari si kedok hitam, gadis yang bernama Ayu Parameswari!
"Ayu, biarkan mereka pergi!" seru Kakek Pemikul Gunung saat melihat Ayu Parameswari ingin mengejar si bayangan hitam.
Mendengar seruan sang ayah, gadis menghentikan kelebatan tubuhnya dan berkelebat cepat ke tempat dimana sang ayah menderita luka dalam.
"Siapa mereka sebenarnya, ayah?" kata Ayu Parameswari sambil memapah bangkit ayahnya. "Ilmu mereka tinggi sekali."
"Aku sendiri tidak tahu, Ayu." kata Ki Dalang Kandha Buwana sambil berpegangan pada pundak anaknya, kemudian, " ... hanya saja, mereka mencari dirimu."
"Mencari diriku" Buat apa mereka mencari Ayu?" tanya Ayu Parameswari dengan heran.
"Apa mereka musuhmu, anakku?"
"Entahlah! Tapi dari ilmu silat mereka, Ayu bisa pastikan belum pernah bentrok satu kali pun dengan mereka, kecuali hari ini."
"Hmm, aneh juga!"
"Ayah, lebih baik kita ke dalam dulu," potong Ayu Parameswari.
Di dalam rumah, Nyi Dalang sudah ketar-ketir melihat suami dan anak perempuannya berkelahi dengan dua orang yang tidak diketahui siapa adanya mereka. Apalagi melihat Ki Dalang terluka dalam membuatnya semakin khawatir.
Sepenanak nasi kemudian ...
"Kakang, bagaimana keadaanmu, apa sudah baikan?" tanya Nyi Dalang sambil menempel bobok ramuan untuk mengobati luka dalam Ki Dalang Kandha Buwana.
"Aku sudah agak lumayan, Nyi Lastri."
Bobok ramuan berwarna hijau kehitaman yang mengeluarkan bau cukup menusuk hidung tampak dibalurkan ke bagian dada. Ramuan itu dibuat dari campuran beberapa lembar daun Tapakliman dan Tapakdara kemudian digerus hingga lembut, lalu dibalurkan pada bagian yang mengalami luka. Setelah selesai, dibalut dengan sehelai kain putih agar bobok obat itu tidak rontok ke bawah.
"Apa kakang dalang sudah tidak bisa lagi untuk turut campur dengan urusan seperti itu?"
"Nyi, sebenarnya aku juga tidak mau turun tangan. Tapi kalau tidak aku sebagai kepala keluarga disini, siapa lagi?" ungkap Ki Dalang Kandha Buwana, lanjutnya, " ... tidak mungkin menyuruh Ayu untuk menghadapi mereka, walau aku yakin sepenuhnya anak gadismu bisa mengatasi mereka berdua."
"Tapi Kang, aku takut jika terjadi apa-apa ... "
"Nyi, hidup mati orang itu di tangan Hyang Widhi, jika memang aku harus mati di tangan mereka, apa yang bisa kita lakukan?" sahut Ki Dalang memberi nasehat, " ... tapi andaikata belum saatnya dipanggil Yang Kuasa, dengan leher terpotong pun jika Hyang Widhi belum menghendaki, kita juga tidak bisa berbuat apa-apa. Ingat Nyi, kita harus pasrah dan ikhlas menerima apa saja yang diberikan Hyang Widhi pada kita, maka hati dan pikiran akan menjadi tenteram."
"Iya juga, tapi ... "
Ki Dalang segera meletakkan jari telunjuk ke depan bibir Nyi Lastri, "Sudahlah Nyi ... "
Nyi Lastri hanya bisa menghela napas panjang, untuk menghilangkan kegalauan yang menyelimuti hatinya.
"Ayu, kau harus menjaga bapakmu yang keras kepala ini dengan sebaik-baiknya."
"Hi-hi-hi, tenang Bu! Ayu pasti tidak akan melepaskan untuk kedua kalinya." kata Ayu cepat sambil memeluk leher Ki Dalang dari belakang.
"Hei, memangnya ayahmu ini burung apa?" kata Ki Dalang sambil memencet hidung bangir Ayu.
"Ihh ... ayah genit ... !!!"
Istri Ki Dalang Kandha Buwana memang bukan dari kalangan persilatan, ia hanyalah perempuan desa biasa yang setiap harinya berkutat dengan lumpur sawah dan adakalanya pergi ke pasar menjual hasil bumi, bisa dikatakan ia hanya tahu pisau dapur saja. Jangankan memegang pedang, melihat orang berkelahi saja ia sudah gemetar ketakutan.
Nyi Dalang yang bernama asli Sulastri memang sosok perempuan yang sederhana, tidak suka neko-neko seperti istri orang terpandang kebanyakan. Apa yang diberikan oleh suaminya akan diterima dengan hati ikhlas, bahkan andaikata dimadu sekali pun, Nyi Sulastri akan menerima istri muda suaminya dengan lapang hati. Karena kesederhanaan dan rasa keikhlasan yang tulus itulah yang membuat Ki Dalang semakin menghormati istrinya dari hari ke hari dan tidak ada niatan sedikit pun untuk menduakan sang istri.
Hingga mereka berdua dikaruniai tiga orang anak, satu laki-laki dan dua perempuan kehidupan mereka tetap aman tentram dan bahagia. Anak sulung, Wanengpati mengikuti jejak ayahnya sebagai seorang dalang, selain untuk Nguri-uri Kabudayan Jawi, juga pada dasarnya sedari kecil Wanengpati sudah dikenalkan dengan dunia wayang. Kini pemuda Wanengpati telah berumah tangga dan menjadi menantu satu-satunya dari Juragan Padmanaba yang juga kepala dukuh Songsong Bayu.
Sedangkan anak kedua yang bernama Dewi Pembayun, baru beberapa bulan melangsungkan pernikahannya dengan seorang pendekar muda dari Partai Dua Belas Lentera yang bernama Kuda Sempana, dan sekarang ini Dewi Pembayun mengikuti suaminya menetap di sekitar lereng sebelah tenggara dari Bukit Pelangi. Dimana jarak antara Bukit Pelangi dengan Partai Dua Belas Lentera dapat ditempuh dengan setengah hari perjalanan menunggang kuda, akan halnya jarak dari Bukit Pelangi dengan dukuh Songsong Bayu dapat ditempuh dengan sehari semalam dengan menunggang kuda.
Sedang si bungsu, Ayu Parameswari saat umur lima tahun pernah hilang tak ketahuan rimbanya. Tentu saja pasangan suami istri itu kelabakan setengah mati, bahkan sampai minta bantuan hampir seluruh warga dukuh Songsong Bayu untuk mencari Ayu kecil yang tiba-tiba saja menghilang, namun hasilnya nihil. Pada akhirnya pasangan suami istri itu harus pasrah dengan nasib, semua diserahkan pada Hyang Widhi.
Gadis kecil itu tiba-tiba muncul kembali ke rumah orang tuanya dua tahun berselang, dan menceritakan bahwa selama dua tahun menghilang ternyata ia diangkat sebagai murid gaib dari si Naga Bara Merah, dan harus menjalani masa gemblengan selama sepuluh tahun lagi di Jurang Tlatah Api.
Ayu kecil dipilih menjadi pewaris dari semua ilmu kesaktian Naga Bara Merah yang merupakan salah satu dari Pengawal Gerbang Timur " Sang Api, dikarenakan pada punggung Ayu terpatri dengan kuat sebentuk rajah naga berwarna merah darah. Rajah Naga Merah Darah muncul dengan sendirinya saat Ayu menginjak usia lima tahun, itu pun diketahui pertama kali oleh Nyi Dalang saat memandikan Ayu kecil.
Ki Dalang Kandha Buwana mengetahui perihal rajah berwujud naga itu setelah diberitahu oleh Nyi Lastri, pada mulanya ia beranggapan bahwa itu merupakan tanda setan atau iblis yang menyusup ke dalam diri anaknya, hingga diselenggarakan ritual meruwat Ayu kecil agar terbebas dari rajah yang diduganya berhubungan erat dengan kekuatan setan tersebut. Namun hasilnya, rajah yang semula samar-samar justru semakin jelas menampakkan diri saat dibacakan mantra "Rajah Kalacakra Pangruwating Diyu".
Rajah Naga Merah Darah!
Dua pekan sejak Ayu menghilang, Ki Dalang Kandha Buwana maklum bahwa rajah yang ada di punggung gadis kecilnya bukan rajah sembarang rajah dan hilangnya Ayu kecil pasti berhubungan erat dengan rajah yang ada di punggungnya. Saat ia melakukan muja semadi untuk melakukan kontak gaib dengan penghuni Rajah Naga Merah Darah, tiba-tiba di alam semadi atau tepatnya di alam gaib, Ki Dalang ditemui oleh sosok perempuan tua berbaju merah bersih dengan rambut digelung ke atas, di tangan kiri terbentang lebar sebuah kipas dari kain sutera halus berwarna putih dengan sulaman naga terbang berwarna merah. Sosok tua itu mengaku bahwa dirinya yang mengambil Ayu lewat tuntunan gaib dan kini dididik sebagai murid tunggal si nenek berkipas naga.
Tanya jawab antara Ki Dalang Kandha Buwana dengan sosok gaib perempuan berlangsung hingga fajar menjelang. Ki Dalang mengakhiri masa semadi dan menceritakan semua yang ditemuinya di alam gaib kepada Nyi Dalang. Perempuan parobaya itu akhirnya mengerti juga kemana hilangnya Ayu selama dua pekan.
Dua tahun berlalu tanpa terasa ...
Ayu kembali ke dukuh Songsong Bayu untuk menemui ayah ibunya menceritakan segala hal yang diketahui dan itu sama persis dengan apa yang diceritakan Ki Dalang, tapi gadis kecil itu hanya satu hari saja berada di rumah orang tuanya, kemudian ia kembali lagi ke Jurang Tlatah Api untuk melanjutkan pelajaran silatnya. Masa sepuluh tahun pun sampai pada titik akhir, kini Ayu kecil telah menjelma menjadi sosok gadis rupawan berilmu tinggi, dikarenakan semua ilmu silat dan kesaktian milik Naga Bara Merah dari Jurang Tlatah Api telah dikuasainya dengan sempurna, bahkan senjata andalan gurunya, Kipas Sutera Naga Merah pun kini secara resmi telah berganti pemilik.
Pada keesokan paginya, dukuh Songsong Bayu gempar!
Kegemparan itu terjadi di pagi buta kala seorang penduduk bernama Sentot sedang menyusuri tepi hutan sebelah barat untuk mencari kayu bakar. Bukannya menemukan onggokan kayu bakar tapi malah menemukan sesosok mayat.
Mayat yang berkedok hitam!
Sentot yang berusia senja itu langsung ngibrit, lari sekencang-kencangnya sambil berteriak-teriak ketakutan.
"Ada mayat ... ! Ada mayat ... !"
Pendekar Elang Salju Karya Gilang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Warga padukuhan yang saat itu memang bersiap pergi ke sawah, terkejut mendengar seruan keras itu. Tanpa dikomando, sebagian berlarian ke arah suara yang berteriak keras mencari kabar, sebagian berlarian menuju ke rumah kepala dukuh, ada pula yang langsung mengabari Ki Dalang Kandha Buwana dan sebagian kecil dari mereka berlarian sambil memukul kentongan!
Took! Toook! Toook ... !!
Juragan Padmanaba yang pagi itu masih asyik goyang-goyang kaki sambil menghisap cangklong pipa tembakau, nampak mengerutkan dahinya mendengar suara kentongan yang bertalu-talu.
"Bukankah itu suara kentongan tanda bahaya?" kata Juragan Padmanaba dengan nada heran. "Siapa yang berani menyatroni padukuhan ini di pagi buta begini?"
Dengan sedikit kemalas-malasan, laki-laki tambun itu bangkit dari duduknya. Tubuh gemuk itu terlihat kepayahan saat melangkahkan kaki, sebab selain harus menopang berat badan yang berlebihan ia harus keluar dari perangkap nikmat yang tadi didudukinya, apalagi dalam suasana sepagi itu!
Setelah menggeliat sebentar untuk melemaskan otot-otot tubuh, lalu melangkah dengan lambat-lambat ke arah regol depan. Laki-laki berbadan subur itu hanya berdiri mematung saja, seperti sedang menunggu seseorang. Tak lama kemudian, dari kejauhan tampak berlarian seorang laki-laki dengan pakaian ringkas warna biru tua lengkap dengan golok yang terselip di pinggang.
Laki-laki berpakaian biru tua langsung menghampiri Juragan Padmanaba yang nampak sedang menantinya. Memang sudah menjadi kebiasaan kepala dukuh itu, bahwa ia akan selalu berdiri di depan regol depan rumahnya jika terjadi sesuatu kejadian dan menunggu laporan dari para jagabaya.
Suatu kebiasaan jelek!
"Ki Suro, apa yang telah terjadi?" tanya Juragan Padmanaba sambil tangan kiri tetap memegang cangklong, sementara mulutnya asyik menghisap-hisap ujung pipa tembakau yang terselip di bibir yang cukup lebar.
Setelah menata napasnya sebentar, barulah jagabaya yang bernama Ki Suro itu menjawab, dengan terbata-bata, "Maaf, Ki! A ... ada ... mayat di tepi ... hutan!"
"Mayat" Mayat siapa?"
"Kurang tahu Ki! Tapi Den Wanengpati sudah berangkat duluan. Tadi saya bertemu di jalan."
Laki-laki itu hanya manggut-manggut saja.
"Hmm ... mantuku itu memang cekatan." gumam Juragan Padmanaba, lalu lanjutnya, "Ya sudah, kita sekarang berangkat kesana."
Dua orang itu berjalan beriringan.
Meski hanya berjalan lambat-lambat, ternyata Suro tidak bisa menyamai langkah kaki si kepala dukuh yang berbadan tambun itu. Sudah berulangkali ia mencoba mensejajari, tetap saja ia ketinggalan beberapa langkah di belakangnya.
"Aneh, padahal langkah kaki Ki Padmanaba tidak lebih lebar dari langkahku. Dengan tubuh yang segemuk kerbau begini, kenapa aku tidak bisa menyamai langkah kakinya ... " batin Ki Suro dengan kagum. " ... apa mungkin Ki Padmanaba ini dulunya orang sakti, ya?"
Dengan sedikit berlari-lari, barulah Ki Suro berhasil sejajar dengan laki-laki gemuk itu, namun itu hanya sebentar saja, lalu ia kembali tertinggal seperti sebelumnya.
Padukuhan Songsong Bayu bukanlah wilayah yang luas. Tempat itu di lewati oleh dua buah sungai kecil, yang satu berair jernih dan bersih sedang satunya sungai dangkal penuh dengan batu-batu yang berserakan. Karena itulah kehidupan di dukuh itu lebih banyak menghasilkan hasil bumi yang berlimpah, baik dari palawija hingga rempah-rempah. Bisa dikatakan gemah ripah loh jinawi, toto tentrem kerto raharjo. Serba makmur dan aman tenteram.
Di selatan sungai yang berbatu, terdapat sebuah hutan yang cukup luas dan lebar, namun tidak ada seekor binatang buas pun yang menghuni tempat itu. Meskipun disebut hutan, tapi tempat itu lebih cocok disebut sebagai taman raksasa, sebab setiap batang pohon yang hidup ditata dengan rapi, semak-semak dan perdu yang tumbuh berkelompok dipotong rapi, bahkan ada yang dicabut hingga ke akar-akarnya. Tanah yang tinggi rendahnya tidak sama, dibuat sama rata. Bahkan pada bagian tengah hutan dibelah dengan jalan selebar dua tombak berbatu-batu rata dan dibuat tembus hingga ke tepi hutan seberang, dimana jalan berbatu itu dibuat sebanyak tiga tempat, yaitu di tepi hutan bagian timur, di tepi hutan bagian barat dan di bagian tengah hutan. Di bagian kiri kanannya tiap ruas jalan ditanami dengan beraneka ragam bunga sehingga tampak asri dan sejuk dipandang mata.
Akan halnya sesosok mayat itu ditemukan di tepi hutan sebelah barat, tergeletak begitu saja. Mayat berkedok itu tewas dalam keadaan tengkurap, sehingga susah menentukan dia itu laki-laki atau perempuan, tapi yang pasti di kakinya terdapat sebentuk luka berwarna hitam berjajar empat larik.
Beberapa penduduk sudah berdatangan ke tempat itu, namun tidak ada satu pun yang berani menyentuh sesosok mayat yang tergeletak dihadapan mereka. Beberapa saat kemudian, Wanengpati datang ke tempat itu pula setelah mendapat laporan dari Jagabaya. Laki-laki berusia kurang lebih dua puluh delapan tahun yang berpakaian ringkas putih-putih dengan keris yang terselip di pinggang belakang. Pakaiannya yang dikenakan sekilas mirip dengan pakaian para dalang. Wanengpati duduk berjongkok di depan mayat itu sambil tangan kiri yang memegang sebatang ranting pohon berusaha menyingkap kedok hitam.
Brett! Kedok hitam akhirnya terlepas dari kepala.
Orang-orang yang ada ditempat itu nampak terperanjat kaget melihat roman muka si mayat.
-o0o- Jilid 1 : Sang Pewaris " Bab Dua Puluh
"Bukankah itu ... si Parjo?" kata Sentot, orang yang pertama kali menemukan mayat itu.
"Apa Aki Sentot yakin?" tanya Wanengpati pada Sentot.
"Benar, Den! Itu pasti si Parjo!"
"Parjo yang tinggal di ujung desa itu?" kata orang tua berbadan kerempeng, di belakang Sentot.
"Di dukuh ini hanya satu orang yang bernama Parjo, Kang." tutur Sentot pada si orang tua. "Ya ... dia ini!"
"Tapi kenapa ia mati disini?" tanya si orang tua kembali.
"Mana kutahu! Bukan aku yang membunuhnya!"
Sementara orang sibuk berkomentar tentang mayat Parjo, Wanengpati mengamati sekujur tubuh mayat parjo dari ujung rambut hingga ujung kaki, semua diteliti dengan seksama. Dengan ujung ranting itu pula, ia menyobek baju atas mayat hingga bertelanjang dada. Laki-laki berpakaian dalang itu menggunakan ranting pohon untuk mengantisipasi adanya racun yang mungkin saja menempel di tubuh mayat Parjo.
Sebuah pemikiran yang cermat!
"Mayat ini sudah dingin dan kaku, bisa dipastikan ia tewas di sekitar pertengahan malam. Dari jejak luka yang diderita di pundak, mayat ini terkena serangan sejenis tendangan bertenaga dalam tinggi, meski cuma menyerempet saja, tapi jantungnya sedikit tergetar akibat bias dari tenaga tendangan itu," batin Wanengpati saat melihat lebam biru kehitaman yang membekas di pundak kiri mayat.
Setelah membolak-balik mayat dengan ranting pohon dan yakin tidak ada racun yang menempel barulah Wanengpati berani menyentuhnya. Seluruh tubuh Parjo diteliti dengan seksama, setiap jengkal tubuh mayat tidak luput dari pandangan tajam Wanengpati. Di bagian dada kanan agak sedikit ke atas, samar-samar terlihat semacam tanda hitam yang berbentuk kepala setan bertanduk.
"Hemm, ini mungkin lambang suatu aliran. Tapi setahuku tidak ada lambang perguruan atau partai persilatan yang menggunakan wajah menyeramkan seperti ini sebagai tanda pengenal" Apa mungkin si Parjo ini dari aliran hitam?" pikir Wanengpati sambil tangannya menyentuh lambang kepala setan bertanduk itu. Tiba-tiba sebersit pikiran melintas di benaknya, " ... atau jangan-jangan ... "
Kembali mata tajam itu menjelajah sekujur tubuh mayat Parjo dan di saat matanya menemukan jejak luka di tulang kaki, dia agak tersentak kaget.
Jejak luka yang amat sangat dikenalnya!
"Bekas luka yang menghitam ini nampaknya kukenal. Luka ini tampak merapat rapi, dari arahnya jejak luka tergurat dari bawah ke atas, mungkin ia hendak melarikan diri dari perkelahian atau menghindar dengan meloncat ke atas, tapi masih terkena serangan," pikirnya, " ... dan kulit lukanya terlihat mengkerut ke luar ... hmm, luka ini diakibatkan serangan "108 Cakar Perogoh Sukma". Selain diriku, hanya Dewi dan ayah saja yang memilikinya. Apa mungkin ayah yang melakukannya" Andaikata betul, lalu dengan alasan apa?"
Daya nalar Wanengpati berputar-putar menganalisa apa yang dilihat dan ditemukan pada mayat Parjo. Bahkan sampai kedatangan mertua dan Ki Suro juga tidak diketahuinya. Hal itu dikarenakan ia terlalu konsentrasi dengan segala macam kemungkinan yang terjadi hingga mengakibatkan sosok kedok hitam yang oleh warga padukuhan bernama Parjo meninggal di tempat itu.
Juragan Padmanaba hanya melirik sekilas pada mayat yang ada di depan Wanengpati. Wajah kepala dukuh terlihat datar-datar saja seakan apa yang dilihatnya sudah kejadian biasa. Kemudian ia ikut berjongkok di samping Wanengpati, ia juga meneliti mayat itu dari ujung kepala hingga ujung rambut. Laki-laki gemuk berpipa tembakau juga berusaha menganalisa dari apa yang dilihatnya, tapi sebentar kemudian ia sudah menggeleng-gelengkan kepalanya.
Setelah menghela napas, ia bertanya pada Wanengpati, "Apa yang kau temukan?"
Wanengpati agak kaget mendengar pertanyaan barusan, karena sedari tadi ia asyik dengan daya nalarnya hingga ia tidak mengetahui kehadiran seseorang disebelahnya.
"Oh, Ayah! ... maaf, apa yang ayah tanyakan tadi?" jawab Wanengpati agak gugup.
"He-he-he, kau ini jika sudah menggunakan kemampuan otakmu, petir menyambar dekat telinga pun kau tak bakalan tahu." seloroh Juragan Padmanaba sambil terkekeh-kekeh, " ... apa yang kau temukan?"
"Cukup banyak yang saya temukan."
"Ooo ... " sahut mertuanya dengan mulut bundar.
Benar-benar bundar!
"Bisa kau jelaskan padaku?" katanya sambil menyedot pipa tembakau dengan santai.
"Emm ... mungkin lebih baik di rumah saja, karena apa yang dialami mayat ini berhubungan erat dengan diri saya, meski secara tidak langsung."
"Yang benar?"
Wanengpati hanya mengangguk pelan membenarkan pertanyaan sang mertua.
Tak lama kemudian, Ki Kandha Buwana dan Ayu Parameswari telah datang di tepi hutan, dan menjumpai Juragan Padmanaba serta Wanengpati yang telah datang terlebih dahulu ditempat itu. Apa yang dilakukan dalang kondang itu tak jauh beda dengan apa dilakukan oleh besannya. Tetapi yang cukup membuatnya terkejut adalah jejak luka di kaki mayat tersebut sama persis dengan jejak luka ditimbulkan oleh jurus andalannya, namun keterkejutannya semakin menjadi-jadi saat melihat sebuah gambar wajah menyeramkan di dada mayat itu.
"Rajah Penerus Iblis!" desis Ki Dalang Kandha Buwana.
Ayu Parameswari yang berada di samping ayahnya agak terkejut mendengar desisan pelan itu.
"Apa yang ayah katakan barusan?" tanya Ayu Parameswari dan Wanengpati bersamaan.
"Kau ... ?" tanya Wanengpati dengan heran, namun setelah mengamati beberapa saat wajah cantik gadis itu, sebuah senyum lebar terukir, "Kau ... Ayu?"
"Hi-hi-hi, kakang Wanengpati sudah lupa sama adik sendiri?" seloroh Ayu Parameswari sambil terkikik-kikik, lalu katanya menggoda, "Lupa apa lupa nih?"
"Ha-ha-ha, kapan kau balik ke rumah?" tanya Wanengpati sambil membusai rambut adiknya.
"Kemarin sore!"
"Dimas Kandha Buwana, tadi apa yang kau katakan?" tanya Juragan Padmanaba, karena memang dua orang itu hanya sejarak setengah tombak jauhnya.
Sambil mengarahkan telunjuknya, Ki Dalang berkata, "Ini adalah lambang kekuatan setan aliran Tantrayana kuno atau lebih tepatnya pemuda ini adalah salah satu pengikut dari aliran Bhirawa Tantra."
"Lambang kekuatan setan?"
"Lambang ini dinamakan sebagai Rajah Penerus Iblis, dan rajah ini harus segera dimusnahkan, sebab jika tidak rajah ini bisa berpindah ke tubuh orang lain tanpa yang bersangkutan menyadarinya," tutur ki Dalang Kandha Buwana, sambungnya, " ... dan kau tahu sendiri apa akibatnya jika seseorang memiliki rajah setan ini. Dia akan menjadi orang yang berilmu sesat."
Tiga orang itu sama menganggukkan kepala.
Lebih-lebih Ayu Parameswari, sebab sesuai pesan dari guru gaib si Naga Bara Merah bahwa selain harus mencari titisan Sang Angin sekaligus mencegah munculnya lambang wajah setan bertanduk di muka bumi. Sebab andaikata dibiarkan, bumi akan menjadi sarang setan dan iblis, dan dunia akan kacau balau.
Segera saja Ki Dalang Kandha Buwana melantunkan rangkaian mantra sakti Rajah "Kalacakra Pangruwating Diyu", sebuah mantra yang digunakan untuk mengenyahkan pelbagai kekuatan jahat yang mengganggu lahir batin pada waktu berlangsung ritual ruwatan bagi para bocah sukerta serta juga bisa menghilangkan segala bentuk ilmu-ilmu hitam yang bersumber atau pun bersekutu dengan kekuatan setan.
Hong ilaheng, Sang Hyang Kalamercu Katup
Sun umadep, Sun Umarep
Nir Hyang Kalamercu Katup
Nir Hyang Kala Mercu Katup, Nir Hyang Kala Mercu Katup
Yamaraja " Jaramaya
Yamarani " Niramaya
Yasilapa " Palasiya
Yamiroda " Daromiya
Yamidosa " Sadomiya
Yadayuda " Dayudaya
Yaciyaca " Cayasiya
Yasihama " Mahasiya
Mungguh wis pada saguh
Anggladi oyoting jati
Sakmadyaning kuwat kulup
Narima yen kataman
Isin panggawe dudu
Ninggalaken laku ngiwa
Oleha hayu swarganipun
Bersamaan dengan lantunan mantra Rajah "Kalacakra Pangruwating Diyu", tubuh kaku Parjo berguncang kencang, semakin lama guncangan tubuh semakin kencang seolah ada kekuatan gaib yang ingin menerobos keluar.
Beberapa penduduk mulai menjauhi tempat itu, seiring dengan getaran tubuh mayat semakin keras dan kencang, bahkan tersentak-sentak laksana tersengat ribuan petir. Tiba-tiba, meloncat keluar sebentuk cahaya kehitam-hitaman berbentuk bola sebesar kepalan tangan dengan cepat laksana kilat dari dada Parjo.
Wuss ... ! Wutt ... !!
Ki Dalang Kandha Buwana yang sudah siap sedia, segera mendorongkan telapak tangan kanan yang terisi rangkuman kekuatan gaib dari mantra Rajah "Kalacakra Pangruwating Diyu". Seberkas cahaya biru terang berpendar-pendar melesat cepat dan menghantam gumpalan bola cahaya kehitam-hitaman yang merupakan penjelmaan dari kekuatan setan.
Dhuess ... !! Terdengar letupan kecil saat dua kekuatan saling bertabrakan di udara. Cahaya menyilaukan mata terpancar kuat ke segala arah. Khalayak yang ada ditempat itu segera mengantisipasi dengan cara menutup mata rapat-rapat, namun ada juga bersembunyi di belakang pohon yang ada di sekitar tempat itu. Bahkan Ayu Parameswari dan Wanengpati sampai-sampai memalingkan wajah sambil memicingkan mata dikarenakan tidak tahan dengan cahaya menyilaukan itu.
Bersamaan dengan lenyapnya cahaya menyilaukan itu, mayat Parjo pun lenyap tak berbekas, hanya menyisakan seonggok pakaian hitam!
"Hilang?"
"Mayat Parjo hilang!"
Komentar beberapa penduduk Padukuhan Songsong Bayu mewarnai hilangnya sosok mayat Parjo yang semula terbujur kaku di hadapan mereka.
"Hemm, akhirnya musnah juga kekuatan setan itu," desis Juragan Padmanaba.
"I ya. Untuk sementara waktu kekuatan setan itu tidak akan kembali lagi." tukas Ki Dalang Kandha Buwana alias Kakek Pemikul Gunung.
"Kenapa bisa begitu?" tanya Juragan Padmanaba, heran.
"Karena yang tadi, hanya sebagian kecil saja dari kekuatan setan," sahut Wanengpati, lalu lanjutnya, "... kita harus mencari sumber dari segala sumber kekuatan iblis itu, sebab jika hanya anak buahnya saja yang kita hancurkan, kemungkinan kekuatan setan yang lebih besar masih bisa mengincar siapa saja yang dikehendakinya. Terutama sekali mereka yang memiliki kekuatan batin yang lemah."
"Lalu bagaimana mengatasi masalah ini?"
Kepala Dukuh Songsong Bayu termenung beberapa saat, lalu katanya pada Ki Suro, "Ki Suro, tolong bubarkan mereka dan bereskan sekitar tempat ini. Pastikan tidak ada bagian yang tersisa atau terlewati pada benda-benda yang berhubungan dengan mayat Parjo. Pakaian hitam ini, sebaiknya kau bakar saja."
"Baik, Juragan." jawab Ki Suro dengan patuh.
"Lebih baik kita bicarakan masalah ini di rumahku." kata Juragan Padmanaba.
"Baik."
-o0o- "Jadi ... menurutmu, Parjo-lah yang menyerang rumahmu semalam?" kata Juragan Padmanaba, kaget setelah mendengar dengan ringkas kejadian yang terjadi semalam di rumah besannya.
"Berdasarkan jejak luka di kakinya, aku berani memastikan bahwa memang Parjo yang menyamar sebagai sosok kedok hitam ... " tutur Ki Dalang Kandha Buwana dengan yakin, " ... ditambah lagi dengan jejak luka akibat tendangan yang dilancarkan oleh Ayu secara tidak sengaja ikut melukai si sosok hitam."
"Yang jadi pertanyaan, kenapa sosok hitam itu menghendaki kematian Ayu anakmu" Apa tujuan mereka sebenarnya dan kenapa harus Ayu, dan bukan orang lain?" kata Juragan Padmanaba, sambungnya, "Lalu siapa sebenarnya sosok hitam yang kedua itu" Kenapa pula ia meninggalkan mayat kawannya di termpat ini dan tidak membawanya sekalian?"
Tidak ada yang bisa menjawab serentetan pertanyaan yang dilontarkan oleh Juragan Padmanaba. Memang sulit sekali meraba arah tujuan dari dua sosok bayangan hitam yang malam itu menyatroni kediaman Kakek Pemikul Gunung. Otak empat orang itu berpikir keras, saking kerasnya diperas hingga keluar keringat sebesar jagung.
Tiba-tiba saja, Ayu berteriak, "Aku tahu!"
"Apa yang kau ketahui Ayu?" tanya Juragan Padmanaba, sambil mengatur jalan napas yang berdenyut kencang karena kaget.
"Guruku pernah memberi amanat agar aku mencegah munculnya sebuah kelompok aliran sesat dan saklah satu cirinya adalah lambang wajah setan bertanduk. Pada waktu aku baru keluar dari Jurang Tlatah Api, secara tidak sengaja aku melihat beberapa orang yang sedang melakukan ritual sesat dengan cara mengorbankan beberapa gadis desa sebagai tumbal ritual sesat mereka," kata Ayu Parameswari dengan berapi-api, " ... kemudian aku mengobrak-abrik tempat itu, dan terpaksa membunuh pemimpin mereka karena ia memiliki ilmu silat yang cukup tinggi. Waktu itu aku sempat heran melihat lambang yang ada di tubuh Parjo, sepertinya aku pernah melihat, dan kuingat bahwa lambang itu sama dengan lambang yang ada di telapak tangan kiri pemimpin ritual. Lagipula pancaran hawa hitamnya juga sama persis dengan sosok yang terkena jurus tendanganku tadi malam. Meski pun menggunakan jurus-jurus silat para pendekar persilatan, tapi hawa tenaga sesatnya tetap sama, meski kadar tinggi rendahnya berbeda."
"Jadi ... kau berkesimpulan, bahwa mereka semua memiliki hubungan erat?" tanya Wanengpati.
"Benar kakang! Dengan dasar lambang Rajah Penerus Iblis itulah aku memiliki dugaan yang kuat bahwa mereka satu aliran. Setidaknya mereka tahu bahwa akulah yang menghancurkan kelompok yang berada di sekitar Jurang Tlatah Api," kata Ayu Parameswari dengan mantap.
"Lalu ... apa kau juga memusnahkan lambang sesat itu?" tanya ki dalang kandha buwana.
"Itulah masalahnya, Ayah! Waktu itu aku tidak tahu bahwa rajah setan itu bisa berpindah tempat dengan sendirinya. Kalau saja aku tahu ... " kata Ayu Parameswari dengan penyesalan yang dalam.
"Kau tidak salah anakku. Apa yang kau lakukan sudah termasuk dalam darma kependekaran. Kau sudah berusaha, berhasil tidaknya kita serahkan pada Hyang Widhi," kata Ki Dalang sambil menepuk-nepuk pundak Ayu Parameswari. "Tenangkanlah hatimu."
"Terima kasih, ayah."
"Lalu bagaimana jika penduduk desa ini ada yang memiliki lambang rajah setan itu" Apa perlu kita membunuhnya?" tanya Juragan Padmanaba.
Empat orang itu kembali terdiam.
"Paman, aku punya usul," kata Ayu Parameswari setelah termenung beberapa saat, "itu pun jika paman, ayah dan kakang Wanengpati menyetujuinya."
"Apa usulmu, Nimas?" tanya Wanengpati dengan pandangan bertanya-tanya.
"Nanti siang kita kumpulkan seluruh warga padukuhan ini. Seluruhnya, baik tua-muda, laki-laki dan perempuan, baik yang sehat maupun yang sakit tidak terkecuali. Jika mereka bertanya-tanya, kita katakan saja bahwa Paman Padmanaba sebagai kepala dukuh ingin mengadakan ritual ruwatan sukerta untuk menangkal terjadinya serangan pagebluk yang sedang mengincar padukuhan ini ... " kata Ayu Parameswari, lalu setelah mengambil napas sebentar, ia menyambung," ... dengan alasan itu, aku yakin bahwa semua penduduk padukuhan ini pasti akan mengikutinya dengan sukarela. Di sini peranan ayah dan kakang Wanengpati sebagai dalang ruwat sangatlah besar."
Jilid 1 : Sang Pewaris - Bab Dua Puluh Satu
"Lalu bagaimana dengan yang tidak bisa datang" Apa perlu kita curigai bahwa mereka memiliki rajah setan itu?" tanya Wanengpati kagum dengan pemikiran adiknya yang sudah lama menghilang itu.
"Kita jemput mereka! Bukankah Paman Padmanaba punya kereta kuda yang sering digunakan untuk mengangkut hasil bumi ke pasar" Kita bisa gunakan kereta itu." kata Ayu Parameswari dengan tandas, "Untuk curiga memang itu diperlukan, tapi saya rasa kewaspadaan lebih penting lagi."
"Bagus, bagus sekali! Sebuah pemecahan yang cemerlang!" seru Juragan Padmanaba sambil tertawa senang, "Bagaimana Dimas, kau setuju?"
"Itu adalah pemikiran yang cemerlang. Ibarat sekali tepuk, dua pulau terlampaui!" sahut Kakek Pemikul Gunung dengan cepat.
Pada pagi itu juga, lima orang jagabaya di dibawah pimpinan Ki Suro mendatangi rumah penduduk satu persatu untuk menyampaikan perintah dari Juragan Padmanaba tentang adanya ritual ruwatan tersebut. Tentu saja berita itu disambut dengan sukacita oleh para penduduk, ada juga yang setengah percaya bahwa padukuhan itu sedang diincar oleh wabah pagebluk. Karena kepintaran lidah Ki Suro sambil memberikan bukti-bukti nyata tentang mayat Parjo yang tiba-tiba menghilang membuat orang yang semula tidak percaya, berbalik ketakutan dan akhirnya percaya penuh dengan apa yang dikatakan oleh Ki Suro.
Setelah semua penduduk menyatakan kesediaannya, Ki Suro dan empat kawannya kembali ke rumah Juragan Padmanaba untuk melaporkan segala sesuatunya. Kepala dukuh bertubuh subur itu senang melihat kesigapan dan hasil kerja anak buahnya, kemudian mereka diperintahkan menjaga perbatasan padukuhan.
Lima orang itu saling pandang satu sama lain.
"Tapi Ki ... "
"Ada apa lagi" Bukankah itu sudah menjadi tugas kalian berlima?"
"Bukan begitu, Ki! Bukankah Aki sendiri yang mengatakan bahwa semua warga padukuhan harus diruwat, lalu bagaimana dengan kami" Apa kami dibebaskan, tidak perlu mengikuti ritual ruwatan?" tanya Ki Suro dengan panjang lebar.
Betul-betul pintar bersilat lidah!
"Aduh celaka! Kenapa aku tidak memikirkan hal ini sebelumnya?" pikirnya. "mereka berlima juga tidak boleh tahu apa tujuan sesungguhnya dari ruwatan kali ini."
"Kalian tidak perlu khawatir akan hal itu," sahut seseorang melangkah masuk sambil memanggul sebuah gunungan wayang berwarna keemasan.
Gunungan kuning keemasan itu berukuran tiga kali lebih besar gunungan biasa. Torehan tinta dan lukisan yang ada didalamnya begitu hidup dan nyata persis sama dengan gunungan wayang pada umumnya. Yang menarik adalah sisi tepi gunungan terlihat tajam mengkilap. Itulah senjata pusaka Ki Dalang Kandha Buwana, yang membuatnya dijuluki sebagai Kakek Pemikul Gunung. Gunungan itulah yang nantinya akan digunakan untuk meruwat seluruh penduduk Padukuhan Songsong Bayu.
Mengikut di belakangnya Ayu Parameswari yang tetap berpakaian merah-merah dan Nyi Sulastri yang berjalan anggun dengan kebaya warna kuning gading. Di kepalanya bertengger sebentuk sanggul yang menambah keanggunannya sebagai istri dalang kondang.
"Oh, Ki Dalang ... "
"Aku sudah menyiapkan sesuatu untuk kalian berlima. Kalungkan saja benda ini di leher," ucap Kakek Pemikul Gunung sambil merogoh saku celananya, "Ingat, jangan sampai dilepas!"
Ki Dalang Kandha Buwana segera mengangsurkan lima lempengan logam berbentuk segi delapan dengan ujung yang meruncing seperti bintang. Di atasnya tertulis beberapa Aksara Jawa yang merupakan untaian mantra "Rajah Kalacakra Pangruwating Diyu". Rajah itu memang sengaja dibuat untuk para jagabaya, karena bisa dipastikan mereka tidak bisa mengikuti ritual ruwatan secara langsung.
"Bawa ini sebagai jimat pelindung kalian berlima! Orang yang memiliki kekuatan setan dan dekat-dekat dengan jimat yang kalian pakai ini, badannya akan panas membara seperti terbakar api. Benda ini khusus kuhadiahkan pada kalian berlima." tandas Ki Dalang Kandha Buwana. "Sekali lagi, jangan sampai dilepas! Ingat itu!"
"Terima kasih, Ki!" ucap Ki Suro mewakili teman-temannya.
Maka pada siang hari itu pula, digelar ritual sukerta bagi seluruh penduduk Padukuhan Songsong Bayu, bahkan ada beberapa orang dari padukuhan sekitarnya yang mengikuti ritual tersebut. Tentu saja hal itu disambut dengan senang hati oleh Juragan Padmanaba dan hal itu justru semakin menambah kewaspadaannya tentang kemungkinan terjadinya penyusupan dari pihak lawan.
Sementara ini, di tepi hutan bagian timur nampak berjalan dua muda-mudi dengan langkah lambat-lambat sambil menikmati keindahan alam dan kicauan burung yang terdengar begitu merdu di telinga. Jika dilihat sekilas, sulit sekali membedakan dua muda-mudi itu. Mereka memiliki tinggi tubuh yang sama, wajah dan sorot mata yang sama pula, bahkan baju dan celana yang dipakai pun memiliki warna yang sama, semua serba putih.
Karena sebenarnya mereka adalah anak kembar!
Tentu saja hanya jenis kelamin mereka saja yang berbeda, satu gadis cantik dan satunya adalah seorang pemuda tampan. Si gadis memiliki rambut tergerai panjang diikat dengan pita putih dan dihias dengan sebuah bunga anggrek putih pula. Wajah bulat telur sangat sepadan dengan bibir mungil serta hidung mancung yang tercetak dengan menawan. Kulitnya pun putih bersih tanpa cacat, andaikata nyamuk pun akan merasa enggan menggigit kulit yang halus itu. Di dada padat kencang sebelah kiri tertera sulaman benang perak bergambar rajawali merentangkan sayap.
Ikat pinggang putih keperakan melingkari pinggang si gadis, bagaikan tangan-tangan kekasih yang sedang memeluk dengan mesra, dan dari balik punggung tersumbul sebuah gagang pedang dengan ukiran kepala burung rajawali yang saling bertolak belakang juga berwarna putih keperakan. Dari seluruh tubuh luarnya, mungkin hanya rambut kepalanya saja yang berwarna hitam.
Benar-benar gadis yang sangat rupawan!
Sedangkan pemuda di sebelahnya tergolong pemuda yang menarik hati. Bagaimana tidak menarik, jika sepasang alisnya yang melengkung tebal adakalanya bergerak-gerak ke atas-bawah disaat sedang diam, seakan sepasang alis itu juga berbicara pada tuannya. Belum lagi dengan seraut wajah tampan putih bersih dan bebas dari jerawat terpatri kuat dengan pancaran sinar mata lembut, sehingga seluruh wajah pemuda tampan menyerupai wajah si gadis saking halus dan putihnya, bahkan tinggi badan si pemuda sama tinggi dengan tinggi badan si gadis.
Yang berbeda adalah gambar sulaman benang perak di dada si pemuda. Jika si gadis cantik memiliki sulaman benang perak bergambar rajawali, maka di dada kiri si pemuda tertera sulaman benang perak bergambar naga berkaki empat yang sedang mengejar mutiara. Dari balik punggungnya tergantung sebuah tabung bambu putih sepanjang satu tombak, dan salah satu tabung terlihat terbuka sehingga memunculkan cahaya kemilau dari mata tombak.
Mereka berdua merupakan murid kembar dari pasangan Rajawali Alis Merah dan Naga Sakti Berkait dari Benteng Dua Belas Rajawali yang menyandang gelar si Sepasang Naga Dan Rajawali. Si gadis cantik adalah murid dari Rajawali Alis Merah dan si pemuda tampan merupakan murid Naga Sakti Berkait. Ada kalanya pasangan pendekar dari Benteng Dua Belas Rajawali bertukar murid, sehingga dua muda-mudi kembar itu masing-masing memiliki gabungan dua ilmu dari pasangan suami istri tersebut. Bahkan Sepasang Naga Dan Rajawali berhasil menggabungkan dua ilmu guru mereka menjadi sebuah ilmu silat yang mereka namai sama dengan gelar kependekaran mereka, yaitu "Ilmu Sakti Sepasang Naga Dan Rajawali"!
"Nawara, apa benar ini tempatnya" Kok sepi sekali?"
"Kalau menurut keterangannya sih, memang ini tempatnya Nawala," jawab si gadis yang bernama Nawara, lalu lanjutnya, "bukankah hutan ini sebagai pintu masuknya?"
"Uuh ... hutan ini kok aneh begini" Biasanya hutan itu sedikit remang-remang, banyak pohon dimana-mana dan rimbun, terus banyak binatang buas yang berkeliaran dengan bebas ... " keluh Nawala sambil tangan kanan kiri sesekali membuat gerakan melingkar-lingkar, " ... lha hutan ini kok malah sebaliknya. Asri, sejuk, pohon-pohon tertata rapi dan seekor binatang buas pun tak ada, cocoknya disebut taman raksasa daripada hutan. Jangankan harimau, seekor kucing pun tak nampak batang hidungnya."
"Sudahlah Nawala, jangan mengeluh terus ... "
Dua muda-mudi kembar itu terus saja berjalan santai membelah hutan sambil berbicara panjang lebar. Tak berapa lama kemudian, mereke berdua sampai di tepi taman raksasa. Belum lagi keluar dari tepi hutan, mendadak terdengar bentakan nyaring.
"Berhenti!"
Lima sosok bayangan biru berloncatan keluar menghadang langkah dua muda-mudi kembar itu. Seorang laki-laki berkumis baplang tampak berdiri tegak di depan sebagai pemimpin sedang empat orang berdiri tepat di belakang si kumis. Masing-masing dari mereka menyelipkan sebilah golok yang cukup lebar dan besar.
"Maaf kisanak berdua, untuk sementara ini kisanak berdua tidak boleh memasuki padukuhan ini." kata si kumis baplang yang tak lain adalah Ki Suro, pimpinan jagabaya Padukuhan Songsong Bayu.
Ki Suro tampak tertegun. Tadinya ia melihat sekilas saja, tanpa memperhatikan jelas siapa dua orang di depannya, tapi setelah memandang beberapa lama, ia baru menyadari bahwa dua orang didepannya memiliki sedikit keunikan tersendiri.
Mereka adalah dua bersaudara kembar!
"Memangnya ada apa paman?" tanya Nawala dengan sopan mencairkan lamunan Ki Suro.
"Anak muda, maaf kami tidak bisa mengatakannya. Untuk sementara waktu memang wilayah kami tertutup untuk umum," jawab Ki Suro mengalihkan pembicaraan.
"Baiklah, paman! Kami akan mencari jalan lain saja." kata Nawara yang sedari tadi diam, sedang Nawala hanya melontarkan seyuman ramah saja kepada laki-laki parobaya didepannya.
"Silahkan kisanak, nisanak! Sekali lagi maafkan kami," ujar Ki Suro dengan segan.
Tentu saja segan, karena dua muda-mudi kembar itu ternyata begitu sopan dan merendah. Padahal dengan melihat gagang pedang si gadis, ia tahu bahwa mereka orang-orang rimba pendekar, mudah saja bagi mereka berdua untuk memaksa masuk ke Padukuhan Songsong Bayu, semudah membalik telapak tangan.
Tiba-tiba sebuah seruan nyaring memanggil nama mereka berdua.
"Nawala! Nawara! Akhirnya kalian sampai juga disini!"
Dari kejauhan terlihat sesosok bayangan merah berkelebat dengan cepat ke arah Nawala dan Nawara yang baru saja berjalan tiga langkah.
Sepasang Naga Dan Rajawali saling pandang sambil tersenyum simpul. Tentu saja mereka tahu siapa adanya bayangan merah yang berseru memanggil nama mereka berdua. Siapa lagi jika bukan Ayu Parameswari, murid si Naga Bara Merah dari Jurang Tlatah Api, sahabat karib mereka berdua.
Wutt! Wutt! Ayu Parameswari berloncatan dari pohon ke pohon dengan mengerahkan ilmu peringan tubuh yang bernama "Naga Berjalan Di Atas Awan". Tubuhnya terlihat berjumpalitan beberapa kali hingga akhirnya kakinya turun terlebih dahulu dan berdiri tepat di hadapan Sepasang Naga Dan Rajawali berdiri.
"Ayu!" seru Nawara sambil memeluk gadis baju merah di depannya.
Akhirnya dua gadis sama-sama cantik itu saling berpelukan melepas rindu dan kangen. Beberapa saat kemudian mereka saling melepas pelukan masing-masing.
"Wah, aku tidak kebagian dipeluk nih?" goda Nawala pada Ayu.
"Uh " maunya," cibir Ayu Parameswari pada pemuda tampan di depannya.
"Den Ayu, mereka ... "
"Oh iya. Paman Suro, mereka ini berdua sahabat-sahabat saya. Paman tidak perlu khawatir." jawab Ayu Parameswari sambil menyebut nama teman-temannya, "Yang perempuan bernama Nawara dan laki-laki ceriwis itu bernama Nawala."
"Jika begitu, maafkan kelancangan saya. Saya tidak tahu jika kisanak berdua adalah teman dari Den Ayu."
"Tidak apa-apa, paman."
"Lebih baik, kita ke balai dukuh saja." sahut Ayu Parameswari. "Disana sedang ada keramaian."
"Baiklah," sahut Nawara, lalu lanjutnya, "mari paman, saya duluan."
"Silahkan ... silahkan ... "
Ayu Parameswari berkelebat cepat ke arah darimana ia muncul, diikuti dengan Nawara dan Nawala yang menyusul di belakangnya sejarak satu tombak jauhnya.
Slap! Lapp! Seorang jagabaya mendekati Ki Suro sambil berkata, "Untung kita tidak jadi bentrok dengan dua orang kembar tadi, Ki."
"Ya! Untung saja." sahut Ki Suro pendek.
Sementara itu, tampak dua bayangan putih berkelebatan di antara pepohonan mengikuti sesosok bayangan merah di depannya. Sebentar saja, mereka bertiga sudah berada di sekitar rumah Juragan Padmanaba.
Agar tidak membuat heboh, mereka bertiga berjalan biasa saja sambil bercakap-cakap.
"Ayu, kenapa disini banyak orang" Bahkan menggelar wayang kulit segala," tanya Nawala, lalu sambungnya, "apa kau mau menikah ya" Wah ... selamat kalau begitu!"
"Menikah kepalamu pitak! Di sini sedang ada ritual ruwatan bagi penduduk padukuhan ini." potong Ayu dengan cepat, lalu ancamnya dengan mata melotot, "sekali lagi kau bilang "menikah", kuremas mulut ceriwismu itu!"
Nawala dan Ayu jika sudah ketemu pasti terjadi perang mulut. Tidak ada yang pernah saling mengalah, dua orang itu maunya menang sendiri. Nawara hanya bisa cekikikan saja melihat saudara kembarnya beradu mulut dengan Ayu yang memang sedikit bawel itu.
"Hi-hi-hi, kalian berdua ini memang cocok satu sama lain. Lebih kalian berdua saja yang menikah." kata Nawara, "Aku yakin rumah tangga kalian pasti ramai sekali, hi-hi-hi!"
"Apa" Nikah sama dia?" sahut Nawala dan Ayu bersamaan.
Jari telunjuk mereka saling menunjuk satu sama lain. Jari telunjuk Nawala menunjuk hidung Ayu, sedang jari Ayu menunjuk hidung Nawala.
Benar-benar pas!
Padahal dalam hati masing-masing berkata, "Masa dia tidak mau menikah denganku?"
Tak lama kemudian, tiga orang itu sudah sampai di depan pendapa balai padukuhan, dan di sambut dengan hangat oleh Nyi Sulastri. Setelah berbasa-basi sebentar, Nawara dan Nawala mengambil tempat duduk lesehan di sudut paling belakang, berdekatan dengan gapura sebelah kiri.
Suasana nampak khidmat dan hening sekali keadaan di tempat itu. Hanya suara Ki Dalang Wanengpati yang terdengar mengalun mantap. Kibasan tangan dalam menggerakkan wayang kulit begitu hidup, bahkan terlihat sangat menjiwai peranannya sebagai dalang, seakan Ki Dalang Wanengpati sendirilah yang berperan Bathara Wisnu yang sedang meruwat Bathara Kala.
Ketika waktu sudah mencapai tengah hari, lantunan mantra sakti Rajah "Kalacakra Pangruwating Diyu" kembali terdengar nyaring. Mendengar lantunan mantra jawa kuno itu, membuat penduduk padukuhan songsong bayu yang mengikuti ritual ruwatan semakin tenggelam dalam alam keheningan, bahkan desiran angin berhenti perlahan-lahan seakan sedang menikmati lantunan mantra-mantra yang keluar dari bibir Ki Dalang Wanengpati.
Akan halnya Ki Dalang Kandha Buwana duduk bersedekap sejauh dua tombak di belakang anak laki-lakinya yang sedang bertugas sebagai dalang ruwat. Matanya yang tajam menyapu ke sekeliling, satu demi satu wajah para penduduk padukuhan dilihat dengan seksama. Bola matanya sedikit bercahaya putih tipis pertanda mata batinnya sedang berkonsentrasi penuh untuk memilah satu demi satu pancaran hawa dari masing-masing orang yang ada disitu. Rupanya, untuk melihat pancaran hawa hitam dari pemilik rajah penerus iblis itu, laki-laki itu harus mengerahkan ajian yang bernama "Ilmu Suket Kalanjana", suatu ilmu kuno yang berguna untuk melihat suatu pancaran hawa seseorang atau suatu benda yang memiliki kekuatan gaib atau hanya benda biasa saja.
"Hemm, tidak ada pancaran hawa hitam di tempat ini," pikirnya, "atau barangkali mungkin ada yang terlewat dari pancaran hawa orang-orang itu" Hatiku mengatakan bahwa ada sesuatu yang berhawa sesat berada di tempat ini. Aku harus mencarinya!"
Ki Dalang Kandha Buwana alias si Kakek Pemikul Gunung segera beranjak dari tempatnya duduk bersila, namun baru berjalan dua tiga langkah, mendadak terdengar jeritan panjang menyayat. Suara jeritan wanita yang berasal dari dalam rumah Juragan Padmanaba!
"Aaaah ... panas ... panassss ... tobaat!!"
Semua orang yang ada ditempat itu tersentak kaget dari kekhusyukan masing-masing. Tanpa di komando lagi, semua warga padukuhan langsung lari tunggang langgang mendengar jerit kesakitan yang berkepanjangan itu.
"Ooooh ... panas ... panassss ... ampun!!"
"Itu suara Nyi Padmanaba!" gumam Ki Dalang Kandha Buwana.
"Benar, itu suara istriku!"
"Wanengpati, teruskan pekerjaanmu!" kata Kakek Pemikul Gunung pada anak laki-lakinya.
Bergegas dua laki-laki yang saling berbesanan itu berlarian masuk ke dalam rumah, namun baru sampai mendekati pintu, sebuah bayangan berkelebat dengan cepat seraya mendobrak pintu belakang hingga hancur berantakan.
Brakk! Drakk!! Bayangan itu sekilas berlari cepat ke arah selatan menggunakan ilmu peringan tubuh tingkat tinggi.
"Dia lari lewat belakang!" seru Juragan Padmanaba dengam cemas.
"Kejar!"
Ki Dalang Kandha Buwana segera menyambar gunungan emasnya dan langsung menguntit bayangan yang baru saja lari lewat pintu belakang, diikuti dengan kelebatan tubuh Ayu Parameswari dan Juragan Padmanaba, bahkan Sepasang Naga Dan Rajawali pun tidak mau ketinggalan, mereka mengejar dengan ketat ke arah yang berlawanan.
Wess! Blasshh! Lapp!
"Kurang ajar! Cepat juga larinya!" batin Kakek Pemikul Gunung, lalu dengan segera ia mengempos kembali tenaganya, sontak aliran tenaga dalam mengalir cepat dan kemampuan ilmu ringan tubuhnya meningkat lima kali lipat dari sebelumnya. Ilmu lari cepat yang paling sangat diandalkannya yaitu "Ilmu Menjangan Punguh" dikerahkan hingga delapan bagian!
Swoooshh ... ! Bagai seekor menjangan liar, Kakek Pemikul Gunung berlari dengan lompatan-lompatan panjang, seakan tidak memijak tanah di bawahnya. Tak lama kemudian, terlihat setitik bayangan di kejauhan sambil memegangi kepala dan mulut berteriak-teriak kesakitan.
"Hemm, rupanya pengaruh mantra "Rajah Kalacakra Pangruwating Diyu" masih ada pada dirinya. Aku harus secepatnya menyusul!"
Kakek itu kembali meningkatkan tenaga dalamnya hingga ke tingkat sepuluh, tingkat yang paling tinggi dari kekuatan "Ilmu Menjangan Punguh" yang dimilikinya. Segera saja pancaran sinar kuning temaram melingkupi seluruh tubuhnya, dimana pancaran sinar temaram itu membentuk sosok bayangan menjangan raksasa yang berlari cepat mengiringinya.
Blashhh ... ! Blashh ... !
Bukan main! Ternyata kekuatan gaib yang menyusup ke dalam raga perempuan itu bukan kekuatan gaib biasa, terbukti ia mampu menahan kekuatan dari mantra "Rajah Kalacakra Pangruwating Diyu" yang dilantunkan oleh Ki Dalang Wanengpati.
Wutt! Jlegg! Setelah jarak semakin dekat, Ki Dalang Kandha Buwana melakukan gerak berjumpalitan tiga kali, lalu turun ke tanah tepat sejarak tiga tombak di depan sosok yang di kejarnya.
"Berhenti!"
Sosok wanita itu kaget. Lalu berusaha berbalik arah, namun ia sedikit terlambat!
Wutt! Wutt! Ayu Parameswari dan Juragan Padmanaba telah berada di tempat itu dan mengepung dari arah yang berlawanan, diikuti dengan kelebatan dua bayangan putih yang datang menghampiri. Rupanya tadi Sepasang Naga Dan Rajawali tersesat ke arah lain, dikarenakan tidak mengenal wilayah Padukuhan Songsong Bayu dengan baik, namun dengan "Ilmu Delapan Arah Pembeda Gerak" yang dimiliki Nawala, mereka akhirnya dapat mengetahui posisi dari bayangan yang dikejar dan sampai hampir bersamaan dengan Ayu Parameswari dan Juragan Padmanaba.
"Nyi ... " keluh Juragan Padmanaba setelah yakin bahwa sosok yang memegangi kepalanya sambil berteriak-teriak kesakitan adalah sang istri, sambungnya, " ... kenapa harus dirimu, Nyi" Kenapa?"
"Uaahh ... sakitt ... sakiit ... ampun ... "
Wanita berbadan ramping berkulit kuning langsat dan mengenakan kebaya itu kembali meraung-raung kesakitan sambil terus memegangi kepalanya yang terasa berdenyut-denyut. Justru karena tangan yang memegangi kepala itulah terlihat sebentuk lukisan sepasang kepala setan bertanduk menyeramkan dengan sepasang mata merah membara!
-o0o- Jilid 1 : Sang Pewaris " Bab Dua Puluh Dua
Mata liarnya jelalatan kesana-kemari mencari celah untuk meloloskan diri, namun tempat dimana ia berdiri sudah terkepung rapat lima orang yang mengelilinginya, namun dari ke lima orang itu yang paling ditakuti adalah Ki Dalang Kandha Buwana alias Kakek Pemikul Gunung yang berada tepat didepannya. Dikarenakan sosok dalang kondang itulah pemegang tuah mantra yang paling ditakutinya.
Mantra Rajah "Kalacakra Pangruwating Diyu"!
"Kakang Padmanaba, dia bukan istrimu!" seru Ki Dalang Kandha Buwana.
"Tidak! Aku yakin sekali, dialah Rengganis. Aku yakin dia ... "
"Bukan! Jika aku bilang bukan, berarti dia memang bukan istrimu!" potong Ki Dalang Kandha Buwana dengan cepat, "kalau kakang tidak percaya, lihat tangan kirinya!"
Juragan Padmanaba hampir saja membentak Kakek Pemikul Gunung karena meragukan sosok wanita itu adalah Nyi Rengganis istrinya, namun mendengar ucapan sang besan mengatakan perihal tangan kiri, tiba-tiba ia teringat sesuatu. Pandangan matanya segera beralih ke tangan kiri sosok wanita itu. Sepasang mata itu tampak nanar menatap tangan kiri wanita yang memiliki salah satu dari sepasang rajah setan bertanduk. Bahkan Ayu Parameswari, Nawala dan Nawara pun ikut-ikutan menatap tangan kiri si wanita yang dikepungnya.
"Hemm, tidak ada yang aneh dengan jari tangannya, semua lengkap. Tidak berjari enam atau pun tujuh," gumam Nawala setelah mengamati beberapa saat.
"Aku juga sama, bahkan tangannya terawat dengan baik sekali. Pasti dia wanita yang rajin merawat diri," timpal Nawara.
Yang terlihat oleh tiga anak muda itu memang sebentuk tangan halus wanita dengan balutan kulit kuning langsat dengan jari-jari yang terawat rapi, bahkan kukunya cenderung runcing namun bersih.
Pendekar Elang Salju Karya Gilang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Namun bagi Juragan Padmanaba dan Ki Dalang Kandha Buwana malah memiliki pandangan yang berbeda. Justru dikarenakan jari tangan dan kuku yang lengkap dan terawat rapi itulah yang membuat Juragan Padmanaba sedikit tersentak kaget, karena setahunya jari manis kiri Nyi Rengganis terpotong sabit sebatas kuku, sedang sosok wanita di yang diakui sebagai istri memiliki memiliki jari tangan yang lengkap. Jelas wanita itu adalah ...
Nyi Rengganis palsu!
"Benar ... dia memang bukan istriku!" gumam laki-laki tambun itu sedikit terhenyak.
"Kakang Padmanaba, tolong ... tolonglah aku ... aaaahh ... kepalaku sa ... kitt ... sakit sekali ..."
"Kau bukan istriku! Siapa kau sebenarnya!?" bentak Juragan Padmanaba dengan keras.
Suaranya keras menggelegar bak petir di siang hari. Getaran suara yang sarat dengan kemarahan dan luapan emosi berbaur dengan kekuatan tenaga dalam tanpa wujud terlontar dari "Ajian Gelap Ngampar" tanpa disadarinya. Gendang telinga khalayak yang ada disitu serasa ditusuk-tusuk ribuan jarum tajam, bahkan sosok wanita yang ternyata Nyi Rengganis palsu nampak terhuyung-huyung sampai akhirnya jatuh terjengkang.
Justru karena lontaran "Ajian Gelap Ngampar" membuat tuah mantra sakti penolak setan menjadi tawar!
Nyi Renggani palsu akhirnya bangkit berdiri setelah rasa sakit yang menyerang kepalanya sirna.
"Terima kasih, kakang! Kau telah ... "
"Aku bukan suamimu!" bentak Juragan Padmanaba dengan kecewa, karena justru bentakan penuh emosi tadi membuat wanita itu sadar kembali, "Siapa kau sebenarnya" Dan apa yang telah kau lakukan pada istriku!?"
"Nisanak, untuk apa kau menyamar sebagai Nyi Rengganis?" tanya Ki Dalang Kandha Buwana dengan tajam.
"Kakang Padmanaba, aku ini benar-benar istrimu! Istrimu yang sesungguhnya ... " ucap Nyi Rengganis palsu, berusaha meyakinkan Kepala Dukuh Songsong Bayu.
"Tidak! Kau bukan istriku! Sekali kubilang tidak, maka selamanya tidak!!" bentak Juragan Padmanaba dengan keras, namun kali ini suara keras itu dilambari dengan "Ajian Gelap Ngampar" tingkat tinggi.
Swoshh ... buasshh ... !!
Sontak, tempat itu bagai diguncang gempa bumi kecil, tanah bergetar cukup kencang disertai tiupan angin yang sedikit membadai, bahkan beberapa pohon kecil yang ada di depannya ikut tercabut dari akar-akarnya dan akhirnya tumbang setelah terlempar dua tiga tombak.
Brakk ... Blamm ... !!
Bahkan Kakek Pemikul Gunung harus mengerahkan dua ilmu andalannya sekaligus yaitu ilmu kebal "Aji Tameng Wojo" untuk melindungi tubuhnya dari lontaran serangan "Ajian Gelap Ngampar" Juragan Padmanaba dan "Aji Gajah Wulung" untuk memberatkan tubuh agar tidak tersapu angin kencang yang menerpa dari depan.
"Gila! "Ajian Gelap Ngampar" Kakang Padmanaba sudah mencapai tahap pamungkas! Betul-betul ilmu yang dashyat. Entah bagaimana dengan "Pukulan Gelap Sewu" miliknya?" kata hati Ki Dalang Kandha Buwana memuji.
Bahkan gadis cantik murid tunggal Naga Bara Merah dan si kembar dari Benteng Dua Belas Rajawali menerima serangan yang tidak kalah parahnya. Mereka bertiga harus membentengi diri dari serangan tidak langsung ilmu yang dikerahkan oleh kepala Dukuh Songsong Bayu dengan kekuatan tenaga dalam masing-masing.
"Uhh ... gila benar! Ilmu macam apa ini?" gerutu Nawala sambil menutup telinga dengan tangan yang sudah dialiri tenaga dalam untuk menahan getaran tersebut.
Justru yang paling parah adalah Nyi Rengganis palsu. Tubuhnya langsung terlempar keras, hingga menabrak hancur beberapa pohon.
Brakk! Krakk!! Justru sialnya, arah lemparan tubuh ramping berkebaya ke arah sosok laki-laki bersenjatakan gunungan emas berdiri. Dengan manis, ki dalang segera mengulurkan tangan kanan menyentuh punggung, lalu dengan gerakan cepat memutar ke kanan luar dalam jurus "Kibasan Gunungan Wayang Kulit", tubuh wanita itu justru semakin terlempar jauh dan keras sekali menghantam sebuah batu hitam sebesar sapi.
Wutt! Blarr!! Terdengar benturan keras saat tubuh wanita pemilik sepasang rajah setan bertanduk membentur batu. Meski sudah dihajar dengan dua kekuatan tangguh, namun wanita itu masih bisa bangkit bahkan kini berdiri tegak. Tak terlihat roman kesakitan dari wajahnya.
"Huh, sudahlah! Aku tidak akan bermain sandiwara lagi!"
"Bagus kalau kau sudah menyadarinya."
"Kalau kau tanya istrimu, lebih baik kau tanyakan saja pada raja akhirat!"
"Wanita keparat! Kau ... kau telah membunuh istriku!?" suara Juragan Padmanaba sedikit bergetar mengetahui bahwa istrinya telah tiada. Sebagian dari sisi hatinya telah hilang untuk selamanya. Dia haanya bisa menangis tersedu-sedu sambil berjongkok.
Ayu Parameswari segera menghampiri sosok tambun itu, namun tidak ada kata yang bisa terucap untuk menghibur kesedihan mertua dari kakaknya itu.
Sementara itu, wanita yang menyamar sebagai Nyi Rengganis segera meraba wajah, lalu dengan tarikan yang kuat, dia menarik sesuatu dari wajah cantiknya.
Srett! Seraut wajah yang lumayan cantik berkulit putih cemerlang, namun matanya berkesan jalang dengan hidung yang cukup mancung dipadu dengan sebentuk bibir tipis menggiurkan.
"Aku pun juga sudah bosan memakai baju kumal seperti ini!"
Brett! Brett! Dalam satu tarikan napas saja, kebaya wanita itu sudah hancur tercabik-cabik, sehingga terlihat sebentuk baju dalam hitam ketat. Baju hitam ketat itu membentuk badan ramping dari seorang wanita umur lima puluhan tahun. Meski sudah berusia setengah abad, namun pancaran kecantikannya masih terlihat sempurna untuk ukuran wanita seusianya.
"Oooo ... ternyata cuma si kucing garong! Kukira siapa?" seru Nawala setelah beberapa saat mengamati wanita cantik itu beberapa saat.
"Bocah keparat! Sekali lagi kau mengatakan kucing garong, kubeset mulutmu!"
"Nawala, rupanya kucing garong itu masih kangen denganmu!" seru Nawara sambil tertawa geli.
"Bah! Paling-paling juga, kangen sama anginku ... maksudku sama angin busuk alias ... kentut!"
"Bangsat kecil! Kurobek mulutmu!" bentak wanita yang disebut "kucing garong" oleh Nawala.
"Bangsat besar! Kalau kau berani, sini ... beset mulutku, tapi pakai bibir ya" Jangan pakai tangan!" seloroh Nawala sambil mengangsurkan mulutnya ke depan, "Nih!"
"Kurang ajar!"
Wanita itu sangat marah dengan perbuatan salah satu dari Sepasang Naga Dan Rajawali. Memang pada setahun silam, wanita cantik berbaju hitam ketat yang menyebut diri sebagai Kucing Iblis Sembilan Nyawa dan suaminya si Musang Terbang Tangan Hitam dari Partai Sarang Iblis dan Setan yang bernaung di bawah bendera Benteng Tebing Hitam pernah menyatroni Benteng Dua Belas Rajawali, untuk melakukan penyelidikan mengenai kekuatan aliran putih yang sedang memupuk diri.
Pasangan golongan sesat yang terkenal dengan ilmu ringan tubuhnya itu diutus oleh Roda Sakti Tujuh Putaran untuk menyelidiki seberapa besar kekuatan aliran putih, namun akhirnya penyelidikan mereka kandas, dikarenakan kepergok oleh murid kembar dari Rajawali Alis Merah dan Naga Sakti Berkait. Setelah terjadi baku hantam beberapa puluh jurus, dengan terpaksa pasangan dari Partai Sarang Iblis dan Setan harus angkat kaki karena tidak kuasa menahan gempuran Sepasang Naga Dan Rajawali, terutama dengan ilmu pasangan pedang dan tombak dua anak kembar itu.
"Kucing garong, mana suamimu si musang busuk itu" Kenapa tidak kelihatan batang hidungnya" Sudah mampus ya!?" kata Nawala dengan sedikit bercanda. Memang diantara Nawara dan Nawala, hanya si pemuda saja yang paling suka bercanda.
Kucing Iblis Sembilan Nyawa hanya melirik saja pada Ki Dalang Kandha Buwana.
"Kakek Pemikul Gunung! Kau harus menggantikan nyawa suamiku yang tewas ditanganmu!" geram Kucing Iblis Sembilan Nyawa, suara terdengar bergetar.
"Jadi ... "
"Ya! Laki-laki yang menyatroni rumahmu kemarin malam adalah suamiku, Musang Terbang Tangan Hitam!" sebelum kata-katanya selesai, Kucing Iblis Sembilan Nyawa sudah menyerang ke arah Ki Dalang dengan sepasang cakar terkembang.
Sett! Namun baru sampai setengah jalan, tiba-tiba saja Juragan Padmanaba yang tadi sedang menangis dikarenakan kehilangan istri, mendadak menerjang maju ke arah Kucing Iblis Sembilan Nyawa. Sepasang telapak tangannya yang besar nampak terselimuti oleh pendaran cahaya hitam keunguan dan sekarang terulur ke depan dalam sebuah dorongan yang kuat.
Wukk! Dalam kemarahannya, Juragan Padmanaba merapal satu ilmu andalannya yang bernama "Pukulan Gelap Sewu", sebuah ilmu pukulan maut yang memiliki tenaga penghancur kelas tinggi bahkan bisa menghancurkan bukit cadas dalam sekali pukul. Jika yang jadi sasaran adalah tubuh manusia, bisa dibayangkan apa akibat yang bakal terjadi, tubuh bakal hancur lebur menjadi bubur!
Selama ini, laki-laki bertubuh tambun itu memang selalu menyembunyikan ilmu kesaktian yang dimilikinya, hanya Kakek Pemikul Gunung saja yang mengetahui kalau sosok kepala Dukuh Songsong Bayu adalah orang berilmu tinggi. Setiap kali ditanya oleh kakek yang bersenjatakan Gunungan Emas kenapa ia tidak mau mengangkat nama harum di kalangan rimba persilatan, selalu dijawab dengan alasan yang cukup sederhana.
Karena ia orang yang cinta damai!
Ia tidak mau repot dengan urusan tetek-bengek yang berhubungan dengan darah, segala bentuk balas dendam, saling jegal satu sama lain, bahkan sampai lempar batu sembunyi tangan, terlebih lagi dengan rebutan kitab sakti dan senjata pusaka, terlebih lagi dengan segala macam tipu muslihat antar sesama pendekar. Itulah gambaran rimba persilatan menurut Juragan Padmanaba, gambaran yang membuatnya malas terjun ke rimba hijau. Bahkan mantunya, anak dari Ki Dalang Kandha Buwana yang bernama Wanengpati pun sudah diwanti-wanti agar tidak ikut dalam kancah berdarah seperti itu.
Sebagai sosok yang juga cinta damai sama seperti mertuanya, Wanengpati pun tidak keberatan dengan hal itu, karena mengingat pengalaman pahit yang dialami oleh sang ayah saat perebutan gelar pendekar rimba persilatan di Bukit Kuda Putih pada tiga puluhan tahun yang lalu.
Sekarang, dalam suatu keterpaksaan yang ditimbulkan oleh Kucing Iblis Sembilan Nyawa, Juragan Padmanaba dipaksa melanggar apa yang selama ini tidak ingin ia lakukan, yaitu ...
Balas dendam! Sebentuk cahaya hitam keunguan yang bersumber dari "Pukulan Gelap Sewu" berkiblat cepat ke arah sosok wanita berbaju hitam itu.
Wutt! Wesshh ... !
Melihat serangan dadakan pembawa maut itu, sosok wanita sesat baju hitam ketat tidak mau tinggal diam begitu saja dirinya dihantam tanpa melawan sama sekali. Tangannya segera berputar cepat setengah lingkaran di depan dada, dimana gerakan itu merupakan gerakan pembuka dari "Pukulan Tangan Kabut Hitam", lalu diikuti hentakan kaki ke tanah, segumpal kabut hitam pun melesat keluar dari tangannya, memapak serangan lawan.
Buashh ... ! Dhuass ... Dharr ... Jdharrr!!
Terdengar benturan keras antara "Pukulan Tangan Kabut Hitam" milik Kucing Iblis Sembilan Nyawa dengan "Pukulan Gelap Sewu" milik Juragan Padmanaba. Tubuh laki-laki tambun itu sedikit terhuyung-huyung ke belakang beberapa tindak, jika tidak ditahan oleh Ayu Parameswari mungkin sudah jatuh terjengkang ke tanah. Terlihat segumpal darah kehitam-hitaman terlempar keluar dari mulutnya.
"Hoekhh ... !"
Pertanda luka dalam yang diderita cukup parah akibat benturan yang terjadi. Sedangkan kondisi lawan justru malah jauh lebih parah. Tubuhnya terlempar dengan deras ke belakang dengan darah merah berhamburan di udara, dan pada akhirnya jatuh bergulingan di tanah.
Brukk! Namun sesaat kemudian ia sudah berdiri tegak dalam kondisi yang mengenaskan!
Justru yang membuat lima pengepungnya terpana adalah sebuah lubang menganga yang cukup besar di bagian perut hingga tembus sampai ke punggung, lubang sebesar kepala bayi. Tapi dengan luka tubuh sebesar itu, Kucing Iblis Sembilan Nyawa yang seharusnya tewas, justru masih kelihatan segar bugar, seakan tidak memiliki jejak luka yang mengerikan.
Cuhh! Ia meludahi telapak tangan kanan kiri, lalu dengan segera mengusap pulang balik ke depan dan belakang tubuh, seolah hendak menutupi luka yang menganga lebar. Dan sungguh ajaib, luka tembus sebesar kepala bayi yang diakibatkan oleh pukulan Juragan Padmanaba yang terangkum dalam "Pukulan Gelap Sewu" telah pulih seperti sediakala,e kembali merapat seperti tidak pernah terluka sama sekali. Tersisa hanya ceceran darah merah di baju hitam yang dikenakannya, tentu saja baju hitamnya tidak dapat pulih kembali, tetap robek sebesar kepala bayi dan menampak sebentuk pusar seorang wanita.
"Ilmu "Rawa Rontek"!" desis Ki Dalang Kandha Buwana mengenali jenis ilmu yang dimiliki oleh lawan.
Sebagai orang yang mendalami "Kitab Sastra Hati", tentu saja Ki Dalang Kandha Buwana dan Ki Wanengpati mengenal segala jenis ilmu-ilmu hitam, termasuk juga "Ilmu Rawa Rontek" yang saat ini dipertontonkan di depan mata tuanya.
"Ilmu Rawa Rontek" membuat orang yang memilikinya bisa hidup kembali selama masih menyentuh tanah meski raga sudah hancur terpotong-potong bahkan menjadi potongan kecil sekali pun. Andaikata sampai kepala tertebas pedang dan golok sekali pun, tubuhnya masih bisa tersambung kembali. Konon kabarnya kekuatan ilmu hitam tingkat tinggi ini sanggup menahan pukulan bertenaga dalam tinggi dan serangan senjata pusaka.
Sebuah tataran ilmu yang sangat mengerikan!
Karena adanya rajah setan bertanduk itu pula, yang membuat kedashyatan "Ilmu Rawa Rontek" semakin menampakkan taringnya, di mana proses penyembuhan luka dan penyambungan tubuh dapat berlangsung dalam satu kedipan mata.
Dan kini ... kengerian itu dipertontonkan di depan tiga orang jago-jago muda persilatan. Sepasang Naga Dan Rajawali hanya bisa meleletkan lidah saja melihat peragaan ilmu hitam yang bernama "Ilmu Rawa Rontek", sedangkan Ayu Parameswari hanya tertegun tanpa mengeluarkan suara sepatah kata pun!
"Hi-hi-hik, bandot tua sepertimu juga mengenal kehebatan ilmu andalanku ini!"
"Ilmu setan seperti itu, apa hebatnya!?" ejek Nawala. "Paling juga bisanya menakuti anak kecil!"
"Bocah, tempo hari aku memang kalah darimu! Namun sekarang, setelah Paduka Raja menganugerahkan ilmu sakti ini padaku, tahun depan adalah hari peringatan kematianmu!" bentak Kucing Iblis Sembilan Nyawa dengan berang. Sudah muak rasanya ia mendengar olok-olok dari pemuda kembar itu. Lalu sambil menuding Nawala dia berkata, "Lebih baik, kalian maju bersamaan!"
"Ahh ... yang benar!?" kata murid Naga Sakti Berkait, lalu menoleh pada saudara kembarnya, "Nawara, bagaimana pendapatmu?"
Di saat genting seperti ini, sempat-sempatnya pemuda itu meminta pendapat saudara kembarnya, dengan gaya yang kocak pula!
"Kucing buduk itu sendiri yang meminta, jadi apa salahnya kita mengabulkan permintaan mereka?"
Tiba-tiba saja Ayu Parameswari menyela, "Tunggu dulu! Aku juga pengin sekali menggebuk matang pantat wanita sial itu! Nawala, kau khan laki-laki, sebaiknya urusan ini biar para gadis saja yang menyelesaikannya! Kalau kau yang menyentuhnya, keenakan dia!"
Dengan mengangkat dua tangan tanda menyerah, Nawala pun mengundurkan diri sambil berkata, "Baiklah kalau itu maumu, sayang! Aku hanya bisa menonton saja!"
"Apa kau bilang" Sayang kepalamu pitak!"
"Cukup! Aku muak mendengar perkataan kalian yang tak karuan juntrungannya itu!" bentak Kucing Iblis Sembilan Nyawa, seakan dirinya dianggap tidak ada oleh dua orang itu.
Ayu Parameswari yang memang sudah gatal tangannya, segera melancarkan sebuah tendangan berantai dengan cepat ke arah kepala lawan.
Wett! Syattt!! Murid tunggal Naga Bara Merah dari Jurang Tlatah Api yang sudah mengetahui kehebatan lawan, tidak tanggung-tanggung dalam mengerahkan jurus-jurus silatnya. "Ilmu Silat Naga Langit Timur" di kerahkan tanpa perlu ditahan lagi, bahkan aliran tenaga dalamnya pun semakin deras, maka sosok bayangan naga berwarna merah pekat seakan ikut keluar dari tubuh Ayu Parameswari. Sosok samar bayangan naga itu telah menyatu dengan tubuh anak gadis Kakek Pemikul Gunung yang bergerak lincah dalam memainkan jurus-jurus silat tingkat tinggi.
Wessh! Wakk!! Akan halnya Kucing Iblis Sembilan Nyawa juga melakukan hal sama. Meski dirinya memiliki "Ilmu Rawa Rontek" namun dirinya sadar bahwa ilmu itu tidak bisa dipakai dalam pertarungan sesungguhnya. Kekuatan hitam sesat yang bersumber dari rajah setan bertanduk berbaur menjadi satu dengan "Tenaga Hitam Siluman Kucing", sehingga kekuatan yang dimilikinya semakin meningkat pesat, maka tampaklah sosok samar bayangan kucing raksasa bermata hijau menyala. Sepasang tangannya yang memiliki kuku-kuku runcing bagaikan cakar-cakar kucing, silih berganti menerjang lawan.
Sratt! Sratt! Prakk! Crakk!
Jurus "Sepasang Cakar Naga Membentur Gunung" bertemu dengan jurus "Cakar Kucing Mengaduk Tanah", sehingga terdengar suara tulang beradu keras.
"Gila! Tulang bocah itu keras juga! Aku lebih hati-hati terhadapnya," batin Kucing Iblis Sembilan Nyawa sambil mengerahkan "Tenaga Hitam Siluman Kucing" untuk mengatasi rasa ngilu di tulang tangannya.
"Tenaga si kucing garong ini sarat dengan hawa setan. Untunglah Nenek Guru telah mengajarkan cara menghalau tenaga sesat, kalau tidak tentu aku terjungkal dari tadi," batin Ayu Parameswari sambil mengalirkan tenaga dalamnya untuk menghilangkan rasa sakit dan ngilu akibat benturan keras barusan.
-o0o- Jilid 1 : Sang Pewaris " Bab Dua Puluh Tiga
Saat itu pertarungan menjadi semakin seru.
Sesekali bayangan naga merah melibas dengan garang, sedangkan bayangan kucing hitam raksasa menghindar dengan gesit. Adakalanya bayangan kucing hitam raksasa berusaha menyerang ke arah ekor bayangan naga merah, namun dengan gerakan manis, mulut naga merah menghembuskan napas apinya untuk menghalau. Begitulah, pertarungan maut yang mempertontonkan peragaan ilmu-ilmu silat kelas tinggi dan dipadu dengan kemampuan mengolah tenaga dalam nomor wahid dari dasar ilmu silat masing-masing, seakan larut menjadi satu dengan raga pemiliknya.
Yang muda adalah pewaris tunggal dari Naga Bara Merah yang juga merupakan salah satu dari Empat Pengawal Gerbang Utama bagian timur dari Istana Elang yang juga disebut Sang Api. Gadis yang memiliki Rajah Naga Merah Darah yang secara sah telah diangkat sebagai pengganti Pengawal Gerbang Timur Istana Elang.
Sedang satunya adalah salah satu dari pasangan suami-istri pentolan sesat Partai Sarang Iblis Dan Setan, yang kini bernaung di bawah bendera Benteng Tebing Hitam. Sejak suaminya Musang Terbang Tangan Hitam yang menyamar sebagai Parjo, dan tanpa sengaja tewas di tangan Ki Dalang Kandha Buwana, ia mulai menyamar sebagai Nyi Rengganis, istri Juragan Padmanaba. Tentu saja ia harus menyingkirkan terlebih dahulu Nyi Rengganis asli.
Ksatria Negeri Salju 3 Pendekar Kembar Karya Gan K L Lentera Maut 9
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama