Pendekar Elang Salju Karya Gilang Bagian 9
"Lho, memang jurus 'Harimau Hitam Menggetarkan Langit' sasarannya di ulu hati dan dada, kalau mau di kepala ya ... jurus 'Harimau Menggulung Topan'," sahut Simo Bangak sambil tetap membela dirinya bahwa dirinya tidak bersalah sama sekali. Padahal dalam hatinya ia memaki panjang pendek, "Gagal dech! Mulanya kupingin meremas dada montok yang menggelembung besar itu, eh ... malah tanganku yang hancur kayak gini. Nasib ... nasib!"
"Bodo amat! Pokoknya kau mau menjahiliku! Titik!"
"Tidak bisa! Memang jurusku seperti itu! Untuk apa aku menjahilimu" Aku khan masih kecil!"
"Masih kecil?" sahut heran Gadis Naga Biru, "Iya memang kau masih kecil, tapi otakmu sudah besar!" semprotnya. "Sekali lagi kau bilang masih kecil, aku remas mulut bawelmu!"
Cep klakep! Simo Bangak diam seribu bahasa. Entah mengapa saat ia adu debat dengan gadis usia delapan belas tahunan itu ia selalu kalah. Padahal adu debat dengan Joko Keling ia selalu menang, meski menang tipis sih. Apalagi jika ia menggoda Seto Kumolo dan Rintani yang kemana-mana selalu berdua, mulut jahil tidak bakalan berhenti sebelum dua orang kekasih itu pergi dengan muka merah padam. Bahkan Ki Dalang Kandha Buwana dan Juragan Padmanaba yang notabene terhitung orang tua juga tidak lepas dari sifat jahilnya. Hanya pada Paksi Jaladara saja bocah gemblung itu tidak bisa menyalurkan hasrat jahilnya. Entah mengapa ia merasa segan pada pemuda berbaju putih-putih itu.
"Simo, kau itu memang jahilnya tidak ketulungan. Kalau ketahuan kakekmu, kau pasti bakal direndam di kubangan lumpur tiga hari tiga malam lamanya," seru Paksi Jaladara yang melihat sejarak dua tombak dari arena latih tanding antara Gadis Naga Biru dan Simo Bangak.
"Wah ... aku dikeroyok dua orang nih."
"Siapa yang mengeroyokmu?" Gadis Naga Biru bertanya dengan nada bentak.
Melihat mata melotot besar ke arahnya, Simo Bangak hanya meringis ngeri.
"Amit-amit jabang kodok! Matamu mau keluar tuh," ejek Simo Bangak sambil berlari menjauh.
"E-e-e, bocah sableng! Berani benar kau berkata begitu padaku! Sinikan mulutmu ... kutabok pulang pergi baru tahu rasa kau!"
Baru saja gadis cantik berbaju biru berniat mengejar, sebuah tangan memegangnya.
"Buat apa kau mengejar bocah sableng itu?" seru si pemuda yang ternyata Paksi Jaladara.
"Tapi kakang ... "
"Apa kau memang sebegitu marahnya pada anak itu?"
"Aku tidak marah padanya." Katanya kemudian, "Entah kenapa kalau adu debat dengannya aku merasa senang saja, seperti dia itu adikku sendiri. Rasanya begitu aneh menurutku. Pokoknya asyik!"
"Apa kau punya seorang atau dua orang adik barangkali?"
"Tidak. Aku anak tunggal. Ibuku meninggal saat aku dilahirkan."
"Maaf kalau begitu."
"Tidak apa-apa kakang," sahut Gadis Naga Biru sambil duduk bersebelahan dengan Paksi Jaladara.
Sesaat keheningan meraja.
"Apa ayahmu, Ki Dirga Tirta tidak menikah lagi?"
"Ayahku terlalu setia pada mendiang ibu." sahut Gadis Naga Biru, pelan. "Beliau bersumpah hanya menikah satu kali dengan ibuku. Aku sangat menghargai ketegasan ayahku. Demikian juga dengan Kakang Wisnu Jelantik murid utama ayah juga tidak bisa merubah pendirian ayah."
"Wisnu Jelantik" Dia ... tunanganmu?" tanya Paksi Jaladara, ada sedikit nada kecewa yang tersamar.
"Bukan! Aku menganggap Kakang Wisnu Jelantik sebagai kakakku sendiri. Kalau kau mengenal Si Tombak Perak Tapak Maut, dialah orangnya," ucap Gadis Naga Biru.
"Jadi selama ini ... kau hanya menuntut ilmu saja pada ayahmu?"
"Tidak juga. Kadang-kadang aku keluar wisma dan berjalan-jalan beberapa waktu. Supaya tidak jenuh saja," katanya sambil menoleh ke samping dan pada saat yang bersamaan, sinar mata iindah gadis itu langsung beradu pandang dengan sorot mata elang Paksi Jaladara.
"Sinar mata itu ... begitu menawan dan teduh, seolah berusaha mengaduk-aduk seluruh isi hatiku. Belum pernah dalam hidupku menjumpai sinar mata yang begitu teduh penuh perlindungan seperti milik Kakang Paksi," batin Gadis Naga Biru sambil berdebar-debar, menatap pandang pemuda yang ada didepannya.
"Apa yang kau lihat?" tanya Paksi Jaladara tiba-tiba.
"Ah .. apa?" sahut Gadis Naga Biru sambil tergagap kaget.
"Apa yang kau lihat di mataku, Retno Palupi?" tanya ulang Paksi Jaladara.
"Ahh ... dari mana kakang Paksi mengetahui nama asliku" Padahal aku belum mengenalkan nama asliku pada siapa pun yang ada disini," tanya heran si Gadis Naga Biru yang ternyata bernama asli Retno Palupi.
"Aku telah menjenguk isi hatimu," kata Paksi sambil beringsut mendekat, " ... disana tertulis indah namamu. RETNO PALUPI! Nama yang cantik, secantik orangnya."
Selebar wajah cantk Retno Palupi memerah dadu.
"Apa yang kau lihat di dalam hatiku, Retno Palupi?" tanya ulang Paksi Jaladara untuk ketiga kalinya.
Mata indah Retno Palupi menatap tajam mata elang Paksi.
"Aku melihat ... " kata Retno Palupi menggantung sambil membuat seulas senyuman manis.
Dua lesung pipit terbentuk bagai bulan sabit kembar di pipi halus gadis itu.
Paksi masih menunggu jawaban si gadis.
"Aku hanya melihat ... pemuda nakal yang tengah mempermainkan hati seorang gadis," kata Retno Palupi bangkit berdiri sambil menundukkan wajah, lalu berkelebat cepat ke arah timur.
Blasss! Paksi Jaladara kaget.
"Waduh .. jangan-jangan dia tersinggung lagi," pikirnya sambil berkelebat cepat, menyusul Retno Palupi ke jurusan timur.
Dua insan itu tidak menyadari bahwa apa yang mereka perbincangkan itu tidak lepas dari pandangan cemburu seorang gadis cantik berbau putih denagn sulaman rajawali di dada kirinya.
Nawara! "Rupanya Gadis Naga Biru juga jatuh cinta pada Kakang Paksi." pikir Nawala yang bersembunyi di balik pohon. "Aku kalah selangkah darinya."
Sebenarnya gadis itu sudah ada disitu sejak tadi, bahkan sejak latih tanding antara Gadis Naga Biru dengan bocah dogol Simo Bangak. Mulanya dia berniat menghampiri Paksi Jaladara, tapi kalah duluan dengan Gadis Naga Biru. Sehingga ia hanya bersembunyi saja di tempat itu.
Baru saja ia membalikkan badan, seseorang telah menghadangnya di depan.
"Nawala!" Kau bikin aku kaget saja!" serunya sambil memegangi tengah dada membusungnya.
Saudara kembar gadis itu menatap dengan tajam.
"apa yang kau lakukan disini?" tanya Nawara setelah debaran jantungnya mereda.
Pemuda itu tetap menatap gadis itu dengan tajam, bahkan lebih tajam dari sebelumnya.
Tiba-tiba Nawala mengatakan sesuatu yang benar-benar membuat Nawara kaget bukan alang kepalang.
"kau ... Juga jatuh cinta dengan Paksi Jaladara?"
"eh, ap ... Apa kau bilang?"
"Nawara, aku tahu siapa dirimu! Kita ini kan bersaudara, apalagi saudara kembar." kata Nawala bijak, "apa yang kau rasakan tentu aku bisa merasakannya dengan pasti."
Gadis itu hanya menunduk.
"Apa aku perlu membicarakan ini pada Paksi?" usul Nawala.
"Jangan Nawala ... jangan! Aku tidak mau berselang-sengketa dengan Gadis Naga Biru. Kelihatannya Kakang Paksi juga menyukainya." cegah Nawala sambil memegang tangan Nawala. "Aku mohon, jangan bilang padanya!"
"Tapi kau ... "
"Aku tahu! Seperti kata guru Naga Sakti Berkait, bahwa cinta itu tidak harus memiliki!" ucap Nawara melepas genggaman tangan saudaranya, "Baru kali ini aku paham maksudnya, walau aku tetap kukuh dengan prinsipku!"
Gadis itu berprinsip, sekali ia jatuh cinta maka cintanya adalah seumur hidup!
"Itu namanya membabi buta, Nawara!"
"Tapi hanya itu yang bisa aku lakukan! Lainnya tidak ada!" seru Nawara dengan setitik air mata di sudut matanya.
Pemuda itu langsung memeluk erat saudara kembarnya.
"Kau harus tabah! Harus kuat! Lebih kuat dari gadis mana pun yang aku kenal!" bisiknya. "Dan aku tahu, kau bisa!"
Akhirnya ... bendungan air mata Nawara jebol. Ia menangis lirih sesenggukan di dada bidang Nawala. Memang keadaan Nawara saat ini dalam posisi serba sulit. Di satu sisi ia begitu mengharapkan Paksi Jaladara dan di satu sisi ia harus bersaing dengan gadis lain yang sama-sama mencintai si pemuda.
Kali ini ... jalinan kisah cinta segitiga mereka telah terbuka lebar!
"Sudahlah ... biarkan waktu yang menjawab semuanya," kata Nawala sambil membelai lembut rambut panjang Nawara.
Setelah air matanya kering, Nawara melepas pelukan pada pemuda kembarnya.
"Aku ... kalau nangis jelek ya?" katanya sambil menyusut air mata dengan bibir diruncingkan.
"Tidak, tidak kok! Kau tambah cantik mempesona!" kata Nawala.
"Benar?"
"Ya ... bener-bener cantik," katanya sambil pringas-pringis.
Tentu saja pringas-pringis karena daun telinga kirinya sedikit tertarik ke atas oleh tangan putih seorang gadis.
"Begitu ya" Dibelakangku kau main nggak karuan dengan saudara sendiri, ya?" seru gadis berbaju merah menyala. "Pakai merayu lagi!?"
Nawara langsung tertawa tergelak-gelak melihat tingkah polah saudara kembarnya yang tersengat di tepat di daun telinga.
Siapa lagi yang berani sekurang ajar itu jika bukan Ayu Parameswari, gadis incaran Nawala!
"Aduhh .. duhh ... Ayu ... lepasin dong ... ntar putus nih ... " ucap Nawala sambil meringis-ringis kesakitan.
Lucunya, meski kesakitan seperti itu, wajahnya justru menunjukkan rasa senang.
"Kalau begitu selamat bersenang-senang!" kata Nawara sambil pergi dari tempat itu, "Ayu ... jangan buat saudaraku porak-poranda, ya?" serunya dari kejauhan.
"Beres!"
Jempol kanan pun teracung ke atas!
"Heran ... sebenarnya Ayu yang suka menyiksa atau aku yang suka disiksa Ayu, sih?" pikirnya sambil memandangi wajah cantik ada sejangkauan di hadapannya.
"Kalau ngga dilepas ... "
"Kalau ngga di lepas, kenapa!?" bentak Ayu sambil berkacak pinggang. Tentu saja posisi tangan tetap menjewer telinga si pemuda.
"Kalau ngga di lepas, ntar kena ini ... "
Langsung saja bibir Nawala menyumpal bibir Ayu yang setengah terbuka.
Pluuups! Ayu gelagapan sambil melepas jeweran tangan kirinya saat bibir hangat tanpa permisi yang menutup rapat bibirnya. Rasa hangat langsung menjalari seluruh pori-pori tubuh gadis itu.
Sedetik kemudian ...
Nawala langsung berlari menjauh setelah 'mencuri serang' pada gadis cantik berbaju merah.
"Nawala brengsek! Kurang ajar! Kutu kupret! Babi ngorok!" seluruh caci maki terlontar dari bibir merah Ayu, tubuhnya segera berkelebat cepat mengejar Nawala yang baru saja 'mencuri serang' saat dirinya tidak siap.
Tapi ngomong-ngomong, Ayu Parameswari suka banget lho! (Swear ... dicium lagi juga ngga nolak!)
-o0o- Jilid 1 : Sang Pewaris - Bab Empat Puluh Satu
Paksi Jaladara dan Retno Palupi duduk berdekatan batu besar, bahkan berdempetan dengan tangan kanan kiri berpegangan. Dilihat sekilas saja orang sudah bisa menduga sejauh mana hubungan mereka berdua. Meski keduanya baru bertemu kemarin dan situasi yang cukup rumit dan membingungkan, tapi rupanya dewa asmara begitu cepat melepaskan panah-panah asmara sehingga tepat menghunjam ke relung hati dua insan yang paling dalam.
Dua kaki mereka masuk ke dalam air saling senggol-senggolan, mengagetkan serombongan ikan kecil yang berlalu lalang di bawah bebatuan.
Gadis Naga Biru menyandarkan kepala di pundak kanan si Elang Salju. Mulutnya bersenandung lirih, mengiringi irama cinta mereka berdua. Bahkan angin yang semula bertiup sedikit kencang, mulai bergerak melemah, terhanyut alunan senandung lembut dari bibir merah merekah gadis berbaju biru laut itu.
"Apa kau selalu begitu?" tanya Paksi.
"Selalu apa?"
"Selalu bersenandung kecil saat gembira."
"Aku selalu begitu. Sejak dulu." ucap Retno Palupi sambil menggeser kepala ke bawah, turun ke atas pangkuan pemuda berbaju putih-putih itu. Setelah itu gadis berbaju biru-biru tampak memejamkan mata.
Sebentar kemudian ia terlelap1
Paksi Jaladara membusai anak rambut yang ada di dahi Angin pagi segar berhembus membawa keharuman bunga-bunga rumput, bercampur wangi tubuh gadis yang tertidur di pangkuannya.
"Mungkin ia kecapaian karena semalam melakukan pengintaian," pikir Paksi Jaladara sambil memandangi seraut wajah cantik. "Cantik juga dia."
Tiga peminuman teh telah berlalu ...
Retno menggeliat bangun dan sejenak tersentak sadar bahwa tubuhnya terlelap di pangkuan Paksi Jaladara. Walau bagaimana pun, ia malu membiarkan dirinya tertidur di pangkuan pemuda tampan yang sedang ditaksir ini. Malu sekaligus senang. Sekaligus penasaran, kenapa dirinya begitu mudah tertarik pada seorang pemuda yang baru satu hari dikenalnya.
Aneh! "Selamat pagi menjelang siang," kata Paksi Jaladara sambil membiarkan Retno melepaskan diri.
"Hmmm ... " gadis itu menggumam sambil menguap dan menggeliat, membuat gerakan sensual dengan tangan terentang di atas kepala.
Sejenak darah Paksi Jaladara berdesir melihat dada membusung penuh dan tentu saja, kepala sekaligus leher masih tetap di atas pangkuan sehingga belahan dada membusung sedikit mengintip dari celah-celah baju. Memang begitulah rumusan alam bahwa wanita tampak sangat cantik dan menawan sesaat setelah bangun dari tidurnya. Retno Palupi menjadi bukti nyata dari rumus itu. Dengan latar belakang langit yang mulai menyejuk, dan pohon-pohon di hutan yang tidak begitu jauh, Retno adalah pemandangan indah bagai lukisan para dewa!
Gadis itu bangun dari posisi sebelumnya.
"Enak tidurnya?" Tanya Paksi Jaladara sambil bangkit untuk meluruskan pinggangnya yang mulai terasa kaku akibat duduk diam.
Retno tidak menjawab, melihat sekeliling dan mengernyitkan dahinya, "Apakah sudah siang?"
"Belum, masih terhitung pagi," sahut Paksi Jaladara sambil menawarkan tangannya untuk menarik Retno berdiri.
Gadis itu membiarkan tubuhnya ditarik ke atas. Kedua matanya masih mengantuk, dan berdirinya pun masih terhuyung. Dia membiarkan Paksi Jaladara merangkul pundaknya, mengajaknya berjalan menjauh dari batu besar tempat mereka tadi duduk beristirahat.
Angin semakin sejuk membelai rambut Retno yang panjang bergelombang, membuat gadis itu merasakan kesegaran baru yang luar biasa. Berdua, bergandengan tangan, mereka menuju ke bagian tengah hutan terbelah, kemudian sedikit naik ke puncak bukit menuju sebuah lembah lapang yang di sana-sini dihiasi semak dan perdu lengkap dengan bunga-bunga bermekaran yang menjaga keseragaman akibat siraman cahaya langit yang mendominasi alam.
"Bagaimana kalau kita duduk disana?" Tanya Paksi Jaladara sambil menunjuk ke sebuah gundukan yang agak menjulang di seberang lembah. " ... sekalian melakukan pengawasan. Siapa tahu ada penyusup yang masuk."
Retno merasa tidak punya pilihan. Dipandangnya Paksi Jaladara yang juga sedang memandangnya. Tangan mereka berdua bergandengan. Kedua mata pemuda itu menatap polos, dan Retno tak menemukan apa-apa di sana selain sebuah ajakan tak berprasangka. Lalu juga ada senyum yang mengembang samar mengungkapkan keramahan.
Sebetulnya Retno ingin melihat kenakalan di wajah pemuda itu, tapi tidak terlihat sama sekali.
"Baik," kata Retno pelan, "Tetapi kakang Paksi harus janji ... "
Paksi Jaladara mengernyitkan dahinya, "Janji apa?"
"Janji tidak akan macam-macam di sana," kata Retno.
Tabiat seorang putri Wisma Samudera yang selalu memberi perintah secara otomatis langsung terlihat keluar. Ia terbiasa menjaga jarak terhadap siapa pun, walau dalam hati sudah ingin merapat.
Paksi Jaladara tersenyum lebar, "Aku tidak mengerti ... apa yang kamu maksud dengan 'macam-macam' itu?"
Mereka mulai melangkah berjalan berdampingan, bergandengan menuju gundukan yang agak menjulang.
"Jangan pura-pura tidak mengerti, lah!" sergah Retno sambil menyentak tangan Paksi Jaladara.
"Aku memang mau melakukan pengawasan disana," kata Paksi Jaladara sambil mengiringi langkah Retno yang masil lunglai karena baru bangun tidur, " ... setelah itu soal lain."
"Setelah itu apa?" Desak Retno, membiarkan tangannya diayun-ayun seperti anak kecil digandeng orangtuanya.
"Kamu cantik kalau baru bangun," sahut Paksi Jaladara seperti tak peduli pertanyaan Retno.
"Setelah itu apa?" desak Retno, sama tak pedulinya.
"Aku senang menjadi pangkuan tidurmu," kata Paksi Jaladara.
"Setelah disana, apa yang akan kakang lakukan?" suara Retno, sedikit meninggi.
"Apakah kamu mimpi indah?" tanya Paksi Jaladara.
Langkah mereka berdua tak terganggu oleh percakapan yang simpang siur ini.
"Kakang mengajakku di atas sana," kata Retno berubah normal lagi, " ... setelah itu, apa yang akan kakang lakukan?"
"Biasanya mimpi di hari terang selalu indah," kata Paksi Jaladara sambil memetik bunga rumput yang mereka lintasi, lalu diselipkan di bibir.
"Kakang!" Sergah Retno sambil berhenti melangkah.
Terpaksa Paksi Jaladara ikut berhenti melangkah, memutar tubuhnya menghadap gadis itu yang sedang menatap tajam kepadanya.
Pemuda itu tersenyum.
Sedikit nakal! "Nah," seru Retno dalam hati, "sekarang mulai terlihat sinar nakal di matanya!"
"Apa yang akan kamu lakukan setelah kita sampai disana?" tanya Retno sambil terus menatap tajam.
Tangannya masih terayun-ayun perlahan dalam genggaman tangan pemuda itu.
"Aku akan ... menciummu," sahut Paksi Jaladara tenang, dengan senyum samar, dan dengan sorot mata yang tidak bisa menyembunyikan kenakalan, sedikit keliaran, berganti-ganti dengan semburat kecil birahi. Semua terbuka terpampang di kedua mata yang tak berkedip itu.
Retno membuka mulutnya. Tetapi ia menutupnya lagi, karena tak tahu apa yang bisa ia ucapkan!
"Berani juga dia!" pikirnya.
Lalu Paksi Jaladara melangkah mendekat, justru Retno Palupi mundur selangkah, lalu berhenti karena bagian punggung membentur batang pohon. Mereka berada di sebuah jalan setapak yang sedikit menikung ke kiri.
Lengang, tak ada orang di sekeliling. Sepi, kecuali oleh suara burung yang pulang kandang dari mencari nafkah sepanjang hari.
Lalu Paksi Jaladara melangkah lebih dekat lagi. Retno sejenak ragu, tetapi lalu tersenyum.
"Aku ingin tahu seberapa pandai ia merayu gadis, meski ini untuk pertama kalinya untukku," ucapnya dalam hati.
Lalu Paksi Jaladara mendekatkan wajah. Mulut membuka sebentar, lalu segera menempel lembut di mulut Retno yang telah siap menerima lumatan pemuda itu. Dengan sepenuh hati pemuda itu mengulum bibir Gadis Naga Biru yang merah merona penuh gairah, basah mengundang seperti semangka matang.
Paksi menikmati bibir itu, seperti seorang petualang menikmati temuan barunya!
Ciuman mereka berlangsung cukup lama, dan baru berhenti setelah terdengar lenguhan kecil dari dalam mulut Retno Palupi. Retno menyeka bibirnya yang basah dengan punggung tangan, sedang Paksi Jaladara masih sibuk mengatur nafasnya.
"Kakang benar-benar nakal."
"Aku memang nakal, sejak dulu," kata Paksi Jaladara sambil tersenyum setelah nafasnya reda.
Mereka berdua mulai melangkah lagi. Tetapi kini sudah tidak bergandengan, tapi tangan paksi melingkar mesra di pinggang gadis itu.
"Aku suka menciummu," kata Paksi Jaladara. "Mulutmu harum sekali."
Retno tertawa, mengeluarkan jurus 'apa-peduliku"' dengan muka yang sengaja memiaskan ketenangan, seperti menguap dan menggeliat sehabis tidur panjang.
Tidak istimewa!
"Kamu tidak menikmatinya?" Kata Paksi Jaladara menyimpulkan sendiri.
Tadinya Retno menyangka akan mendengar nada kecewa.
Ternyata tidak!
Paksi Jaladara mengucapkan kalimat itu seperti menyampaikan berita kematian. Walaupun yang diberitakan sebetulnya mengerikan, berita kematian selalu bernada datar.
Seperti itulah nada suara Paksi Jaladara!
-o0o- Jilid 1 : Sang Pewaris - Bab Empat Puluh Dua
"Kita bisa ulangi lagi," ucap Retno dengan nada datar pula. "Kakang mau?"
Paksi Jaladara tersenyum sambil hendak meraih tangan Retno, tetapi Retno menolak dengan halus.
Lalu ia tiba-tiba berlari ke depan dan berseru, "Ayo! Kejar aku!"
Terpaksalah Paksi Jaladara ikut berlari mengejar si burung centil yang cantik itu!
Ketika mereka berdua sampai di atas gundukan, Retno menengadahkan mukanya dan berbisik, "Ayo, cium lagi. Itu kalau kakang benar-benar berani."
"Tidak masalah selama kau yang menyuruhnya!" sahut Paksi sambil menahan senyum.
Tak peduli apakah 'perintah' itu patut atau tidak, Paksi menarik leher Retno lebih dekat lagi. Dengan gerakan perlahan tetapi penuh kepastian, pemuda itu mengulum lembut bibir merah merekah yang tersedia. Ciumannya kali ini sedikit lebih bernafsu dibanding sebelumnya. Paksi Jaladara tidak hanya mengulum, tetapi juga menjelajahi ruang dalam yang penuh harum nafas Retno itu dengan ujung lidah.
Dan Retno juga meladeninya dengan semangat membara. Ia bahkan membiarkan raganya terbawa arus kencang yang membuat jantungnya berdegup lebih keras. Ia membuka mulutnya lebih lebar, ikut menerima lidah Paksi yang meronta-ronta liar di dalam.
Seperti tuan rumah yang ramah, menyambut tamu yang memang diundang!
Retno bahkan memeluk leher pemuda itu, menempelkan dada padat membusung miliknya ke dada Paksi yang bidang dan kekar. Ia membiarkan ujung-ujung bukit kembarnya bergeletar samar ketika bergesekan dengan tubuh tegap itu. Ribuan rasa geli serentak menyebar langsung ke seluruh tubuh. Retno pun mendesahkan apa yang dirasakannya.
Ia merasa lebih baik menyerah!
Dan Paksi menjadi lebih berani. Ia meraih tubuh gadis semampai itu lebih dekat lagi. Ia menelusuri punggung gadis itu, membawa kedua tangannya yang nakal ke bagian belakang tubuh yang sintal padat terbalut celana panjang itu dan disana ... ia meremas-remas dengan mesra disana.
Dan Retno Palupi kembali mendesah, kini seperti ingin menyatukan saja seluruh tubuhnya ke tubuh tegap itu.
Saat Retno mencoba melepaskan diri, Paksi justru menahannya ... dan Retno Palupi membiarkan lagi Paksi Jaladara memagut bibirnya. Rasanya tubuh Paksi bagai besi sembrani yang terus menarik tubuhnya untuk menempel semakin erat. Gerakan meronta yang ia coba lakukan tadi justru menambah gesekan-gesekan tak sengaja yang penuh kenikmatan.
Retno justru merasa ingin lebih kuat dipeluk dan diremas!
"Hmmmmm ... " Retno menggumam, mencoba mendorong dada Paksi tetapi dengan setengah hati.
Setelah memagut bibir gadis itu dan meremas pinggulnya sekali lagi, akhirnya Paksi melepaskan ciumannya.
"Kakang betul-betul nakal ... " desah Retno sambil melangkah mundur. Dalam hati Retno berteriak, "akhirnya aku bisa menjerat elang liar itu!"
Nafasnya terdengar jelas terengah-engah. Wajahnya merah merona, dan Paksi bisa melihat sinar matanya yang berbinar menggairahkan.
"Sama denganmu ... " jawab Paksi, pendek.
saat kedua sedang dalam proses pemulihan diri, terdengar pekikan nyaring dari atas.
Awwkkk! Awwkk ... !
Paksi mendongak ke atas. terlihat sesosok bayangan putih keperakan berputaran di langit.
"Benar dugaanku," gumamnya.
"Dugaan apa, kakang?"
"Ada penyusup!"
"Bukankah tempat ini sudah diberi pagar gaib oleh Kakang Wanengpati?"
"Benar! Tapi dengan Ilmu "Kelambu Gaib", pagar itu bisa ditembus siapa saja tanpa menjebol hancur pagar itu," kata Paksi, "kita kesana!"
Pemuda itu berkelebat cepat ke arah selatan, diikuti dengan Gadis Naga Biru yang langsung mengerahkan ilmu lari cepat.
Lapp! Blass! Sebentar kemudian sudah terlihat dua titik putih dan biru yang berlari berdampingan.
"Hebat juga ilmu larinya," pikir Paksi Jaladara sambil mengurangi sedikit tenaga agar bisa berlari sejajar dengan si gadis cantik.
"Kita intai dari atas sana," kata Paksi sambil berkelebat cepat ke atas pucuk cemara, diikuti dengan Retno Palupi yang melayang ringan dan hinggap di pucuk cemara sebelahnya. Mata elang Paksi mengedar ke sekeliling, tapi tidak diketemukan penyusup yang dimaksud si perak.
"Lebih baik kugunakan saja kekuatan Rajah Elang Putih," pikir Paksi sambil mengusap dahi dengan tangan kanan.
Tentu saja perbuatan pemuda kekasihnya itu cukup aneh dalam sudut mata Retno Palupi.
"Apa yang dilakukannya?" pikirnya.
Setelah diusap tiga kali, terlihat cahaya putih temaram karena tertutup ikat kepala merah di dahi Ketua Muda Istana Elang. Kemudian ia kembali mengedarkan pandangan dan akhirnya berhasil menangkap enam titik hitam di kejauhan.
"Ada enam orang yang menyusup ke tempat kita, Retno."
"Enam orang" Disebelah mana, aku tidak melihat mereka, kakang." kata Retno Palupi celingak-celinguk seperti monyet.
Paksi tersenyum kecil melihat gaya Retno.
"Tentu saja tidak terlihat, karena mereka masih menggunakan Ilmu "Kelambu Gaib" untuk menutupi sosok jati diri mereka." ucap Paksi, " ... lebih baik kita turun ke bawah. Aku yakin mereka akan lewat di tempat ini."
"Baiklah!"
Mereka berdua lalu turun dari atas pohon. Jika Retno Palupi langsung menginjak tanah setelah berjumpalitan beberapa kali, justru Paksi melayang turun bagai segumpal asap. Tubuhnya seringan daun, bagai angin yang berhembus. Itulah jurus "Ribuan Li Selaksa Ombak" yang dulu diajarkan Tabib Sakti Berjari Sebelas digabungkan dengan Ilmu 'Mengendalikan Badai" sehingga pemuda itu bisa melayang-layang di udara dengan bebas.
"Edan! Jurus apa yang digunakannya" Ayah saja tidak bakalan mampu melakukan ilmu melayang bebas seperti yang dilakukan Kakang Paksi." batin Retno Palupi sambil memandangi tubuh tegap yang kini telah berdiri kokoh dihadapannya.
"Bagaimana dengan mereka kakang?"
"Sebentar lagi sampai di tempat ini."
"Tapi aku tidak bisa melihat mereka jika Ilmu "Kelambu Gaib" belum dilepas."
Paksi Jaladara tidak menjawab pertanyaan gadis itu, tapi malah melangkah mendekat.
Retno diam tanpa gerak.
Tangan si Elang Salju meraih kepala Gadis Naga Biru dengan gerakan pelan penuh kelembutan.
"Wah ... mau dicium lagi nih" Gimana ya" Aku khan tidak bisa menolak kalau begini caranya," pikir Retno Palupi.
Buhh! Paksi justru meniup mata gadis itu yang langsung terpejam. Segumpal udara hangat langsung menerpa sepasang mata indah si gadis.
Pedas! "Aduuh .. apa yang Kakang Paksi lakukan," pekik Retno Palupi sambil menyusut sudut mata yang berair. "Perih, nih!"
"Nanti kau akan tahu sendiri."
Sementara Retno Palupi cemberut karena matanya pedas, enam sosok yang diselimuti Ilmu "Kelambu Gaib" telah sampai di tempat itu. Mereka berenam berjalan dengan tenang. Tidak ada satu suara pun keluar dari bibir. Enam orang itu mengenakan baju warna-warni, tiap satu orang menggunakan pakaian yang serba seragam
Ada yang seluruh tubuhnya merah semua, jika kuning maka semuanya kuning, kecuali bagian mata tentunya. Bahkan salah seorang diantaranya memakai baju-celana hitam-hitam bermata juling dengan rambut jabrik mengeluarkan bau apek menyengat. Mungkin sudah tahunan tidak pernah mandi dan lebih parahnya lagi ... sudah jelek, hitam, muka penuh hiasan panu dimana-mana, gigi atas keluar dari peredaran alias nongol.
Lengkap sudah kejelekan yang ada mahkluk satu ini!
Mereka berenam biasa disebut Enam Tikus Gila, terdiri atas Tikus Muka Merah, Tikus Gigi Hitam, Tikus Kaki Biru, Tikus Mata Hijau, Tikus Tangan Kuning dan Tikus Bayangan Coklat. Walau ilmu silat mereka biasa-biasa saja, tapi sebagai tokoh persilatan papan atas (itu menurut mereka), Enam Tikus Gila patut diperhitungkan. Tentu saja yang diperhitungkan adalah kejahatannya. Jika ada pembunuhan massal dimana-mana, maka orang-orang akan segera menunjuk Enam Tikus Gila, yang dengan bangganya akan langsung mengakui perbuatan itu adalah hasil karya mereka, meski pada kenyataan tidak sama sekali. Jika ada gegeran yang melibatkan orang banyak, pasti Enam Tikus Gila ikut nimbrung di dalamnya, meski cuma sekedar setor muka dan adu debat.
Beberapa tokoh persilatan akan berpikir puluhan kali jika ingin bersinggungan dengan mereka. Bukannya takut dengan ilmu pas-pasan Enam Tikus Gila, atau gurunya sekalipun si Kumis Tikus, tapi yang ditakuti adalah kelicinan dan kelicikan yang dimiliki Enam Tikus Gila. Mereka seakan satu hati jika ada salah satu dari anggota mereka yang tertimpa musibah. Meski mereka saudara seperguruan tapi bukan saudara kembar, tapi yang jelas mereka kembar disatu tempat.
Kembar jeleknya!
Yang paling menakutkan adalah justru bubuk bius yang dimiliki Enam Tikus Gila yang tidak berbau, tidak berwarna serta tidak berasa sama sekali, hanya tiba-tiba lawan menjadi lemas kemudian jatuh tertidur pulas. Andai tidak mati duluan, lawan yang terkena bubuk bius akan bangun enam hari kemudian. Benda itulah yang sebenarnya disegani oleh tokoh-tokoh persilatan.
Bukan main! Enam Tikus Gila memberikan nama mentereng Bubuk Sukma Merana pada senjata andalannya.
Setiap ada Enam Tikus Gila tentu ada Empat Macan Bengis, sobat sekaligus saingan mereka dalam mengarungi dunia hitam. Hanya kebetulan saja Empat Macan Bengis harus melakukan suatu tugas rahasia, sama seperti apa yang ditugaskan pada Enam Tikus Gila.
Seperti halnya saat ini, Tikus Gigi Hitam matanya langsung hijau saat melihat gadis cantik dengan kulit putih mulus sedang berdiri sejajar dengan pemuda berbaju putih.
"Tampaknya si cantik sedang ada masalah dengan pemuda jelek itu," bisiknya pada Tikus Kaki Biru, yang ada didekatnya, "Lihat saja, dia menangis."
"Monyong tonggos, jangan kau main belakang! Ingat tugas yang diberikan pada Ketua Topeng Tengkorak Emas pada kita," sahut Tikus Kaki Biru mengingatkan Tikus Gigi Hitam, " ... salah-salah nyawamu bisa terbang meninggalkan badan busukmu."
"Alaaaahhh .... ini juga dalam rangka menjalankan tugas," elak si Tikus Gigi Hitam dengan jakun naik turun memandangi kemontokan tubuh gadis berbaju biru yang sedang mengusap-usap mata. "Kugoda aaah ... " katanya sambil mendekati gadis cantik itu.
"Hoi, jangan macam-macam!" bisik kawannya sedikit lebih keras.
Kali ini Tikus Bayangan Coklat yang berkata, meski matanya juga jelalatan melihat pemandangan indah yang tersedia di depan mata. Meski berkata jangan macam-macam, justru dirinya ikut menyusul Tikus Gigi Hitam.
Benar-benar hidung belang!
Dua dari Enam Tikus Gila yang merasa bahwa Ilmu "Kelambu Gaib" masih digunakan berjalan dengan cengar-cengir, sedang empat kawannya yang sama bejatnya, hanya meringis kesenangan sambil membayangkan gadis itu 'dikerjain' tanpa diketahui siapa orang yang mengerjainya.
Namun, dua tikus itu tidak sadar bahwa mereka seperti mendatangi sarang harimau.
Setelah rasa pedas di matanya menghilang, barulah Retno Palupi bisa melihat kembali dengan jelas. Dan justru yang pertama kali dilihatnya adalah Tikus Gigi Hitam yang berjalan mendekatinya.
"Hi-hi, kakang ... lihat ada tikus ginong kesini. Mungkin minta diracun biar cepat mampus," kata Retno Palupi.
Suara yang terdengar merdu di telinga hingga membuat Tikus Gigi Hitam bagai dipuji sebagai orang tertampan di dunia.
Kebagusan amat!
"Tikus ginong?" tanya Paksi heran sambil menahan senyum.
Pendekar Elang Salju Karya Gilang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Iya, ginong alias gigi nongol. Hi-hi-hik!"
Kali ini suara merdu Retno Palupi agak sedikit keras.
Tentu saja Paksi tertawa keras mendengar gaya berkata Retno Palupi yang memutar-mutarkan tangan di depan mulutnya.
Yang paling kaget justru Tikus Gigi Hitam!
"Apa si cantik itu membicarakan aku?" tanya pada Tikus Bayangan Coklat.
"Ya .. iya, lah! Siapa lagi coba?"
"Tapi kok dia tahu aku, sih" Bukankah ilmu pemberian ketua bisa membuat diri kita tidak kelihatan oleh siapa pun?"
"Aku sendiri juga bingung, kenapa gadis itu bisa mengetahui keberadaan kita." kata Tikus Bayangan Coklat sambil tetap berjalan mendekat, " ... jangan-jangan ... "
"Jangan-jangan apa?"
"Jangan-jangan dia tahu keberadaan kita karena mencium bau harum tubuh kita berdua. Ilmu pemberian ketua pastilah ilmu sakti. Ilmu hebat. Tanpa tanding." seru Tikus Bayangan Coklat menyombongkan ilmu pemberian Topeng Tengkorak Emas.
Tikus Gigi Hitam mencium-cium lengan, ketiak dan sekitar tubuhnya.
"Iya juga sih! Sudah lama sekali aku tidak mandi." katanya, "Mandi terakhir kira-kira empat bulan yang lalu, itu pun terpeleset saat mengejar musuh tangguh, dan nyungsep di kubangan tahi kerbau."
"Musuh tangguh apa'an" Wong cuma mengejar ayam hutan buat sarapan kok dibilang musuh tangguh?" kata heran si Tikus Bayangan Coklat.
Tentu saja Paksi Jaladara dan Retno Palupi saling pandang, kemudian suara tawa mereka meledak keras, membelah suasana pagi yang bersinar cerah itu.
"Hua-hah-ha-ha! Rupanya pembual berteman dengan penipu! Alias sama-sama tukang bo'ong!" seloroh Paksi Jaladara.
"Brengsek! Mulut pemuda itu harus disumpal dengan batu!" maki Tikus Bayangan Coklat.
"Kalau yang gadis disumpal pakai bibir saja, kalau dengan batu kasihan." timpal Tikus Gigi Hitam.
Sejarak satu tombak dari tempat berdirinya Paksi Jaladara dan Retno Palupi, dua tikus itu berhenti.
"Kau yang kanan dan aku yang kiri," kata si Tikus Bayangan Coklat dengan tangan siap-siap menubruk mangsa.
"Enak saja! Bagian gadis cantik kau embat duluan."
"Ngga bisa! Aku kan yang paling tua!" tukas Tikus Bayangan Coklat.
"Tapi aku yang melihat duluan! Jadi mestinya aku dulu!"
"Tapi anuku sudah sampai di ubun-ubun!" bentak Tikus Bayangan Coklat, menggunakan kata 'anu' untuk mengungkapkan sesuatu jika diajak debat cepat.
"Anu apa?"
"Maksudku ... nafsuku sudah menthok butuh penyaluran."
"Setan brengsek, memangnya cuma anumu saja, aku juga!"
Akhirnya mereka berdua malah saling buka mulut tanpa ada yang mau mengalah!
-o0o- Jilid 1 : Sang Pewaris - Bab Empat Puluh Tiga
"Retno, merekalah yang disebut Enam Tikus Gila! Ilmunya tidak seberapa tinggi, tapi mereka pandai menggunakan racun penidur," bisik Paksi Jaladara setelah mengenali siapa adanya enam orang penyusup tersebut.
"Tenang saja, kakang! Darah dalam tubuhku sudah mengalir penawar segala macam racun! Tak bakalan aku tumbang melawan mereka," bisik Retno pula sambil melihat adu mulut antara dua orang didepan mereka. "Terus, apa yang harus kita lakukan" Apa perlu kita tawan?"
"Tidak perlu kita tawan, lebih baik mereka dibereskan secepatnya! Sebentar lagi Gerhana Matahari Kegelapan akan terjadi ... " bisik si Elang Salju, " ... sedang tugas kita melindungi pemilik Mutiara Langit Merah masih menunggu. Tidak ada waktu untuk bersilang pendapat dengan mereka."
"Kita bunuh maksudnya?"
"Benar! Kita bunuh mereka sebelum memberi laporan pada ketuanya. Aku yakin tujuan mereka kemari untuk menyelidiki seberapa besar kekuatan yang ada di padukuhan ini dan itu tidak bisa dibiarkan," bisik Paksi Jaladara, " ... ini terpaksa! Sebab dunia persilatan dipertaruhkan disini!"
"Baik! Kita bunuh habis!" desis Gadis Naga Biru.
Gadis itu berjalan satu tindak ke depan, sambil membentak, "Kalian sudah selesai pentang bacot belum?"
Suara itu langsung menyadarkan dua orang yang sedari tadi adu mulut.
"Jika sudah, kau mau apa gadis cantik?" kata Tikus Gigi Hitam sambil tersenyum.
Justru melihat senyuman itu, membuat Retno Palupi mau muntah.
"Jadi ... kalian sudah puas pentang bacot didepanku?"
"Benar!"
"Kalau begitu ... bersiaplah pentang bacot di neraka!" seru Gadis Naga Biru sambil melancarkan jurus serangan bertenaga dalam tinggi ke arah dua orang itu.
Wutt! Wutt ... !
Tikus Gigi Hitam dan Tikus Bayangan Coklat terperanjat kaget. Sebisa mungkin menghindari serangan gadis cantik yang ternyata tidak kalah galaknya dengan kucing beranak.
Wutt! Wuss ... !
Mereka berjumpalitan ke belakang, sehingga serangan dadakan Gadis Naga Biru kandas ditengah jalan.
Melihat serangan pertama gagal, putri tunggal Wisma Samudera berganti jurus dengan cepat. Tangan kiri menebas cepat bagai merobek-robek angin dimana serangan tapak mengalir bagai anak sungai, rapat bagai jaring-jaring ikan yang menebar. Kali ini jurus 'Selaksa Tapak Membelah Laut' dikerahkan, dimana jurus ini merupakan rangkaian jurus pertama dari "Tiga Belas Pukulan Telapak Kosong"!
Wuss! Wutt ... !
Tiga empat serangan tapak bisa dihindari, tapi selebihnya, tubuh Tikus Gigi Hitam dan Tikus Bayangan Coklat langsung menjadi bulan-bulanan bayangan tapak yang mengurung rapat. Menjerit kesakitan saja sudah tidak sempat, apalagi mempertahankan diri.
Prak! Brakk! Prookk!
Karena memang bertujuan membunuh, Retno Palupi mengerahkan setengah dari kekuatan hawa tenaga dalam yang dimilikinya. Tentu saja pendekar kelas kambing macam dua tikus itu tidak berarti apa-apa dihadapan putri tunggal Majikan Wisma Samudera, Ki Dirga Tirta.
Sambil memutar tubuh bagai baling-baling, jurus tapak datang bagai gelombang laut yang menerpa silih berganti.
Prakk! Prakk! Krakk!
Kembali terdengar suaranya berderak tulang patah mengiringi hujan serangan yang tanpa henti.
Brughh! Dua onggok tubuh terpuruk saat Retno Palupi menarik pulang serangannya. Seluruh tulang Tikus Gigi Hitam dan Tikus Bayangan Coklat hancur lumat. Dan tentu saja seperti apa yang dikatakan Retno Palupi, kemungkinan besar mereka akan melanjutkan perang mulut di akhirat!
Empat orang rekan mereka begitu terkesima melihat kejadian yang berlangsung cepat di depan mata.
"gila!"
"Gadis kejam!"
"Kurang ajar!"
"Apa ya?"
Plakk! "Brengsek! Mengumpat tidak perlu kata-kata bagus, langsung saja kenapa, sih!?" bentak Tikus Muka Merah sambil menampar telinga kanan Tikus Mata Hijau.
"Oh ... dasar korong bekicot, kau!" bentak Tikus Mata Hijau, sambil matanya dipelototkan lebar-lebar.
"Huh ... makian telat!" bentak Tikus Kaki Biru.
"Biarin!"
"Gadis busuk! Berani sekali kau membunuh mati teman kami" Apa kau tidak tahu siapa kami, hah!" bentak si Tikus Muka Merah.
Jika marah begitu, mukanya semakin merah saja!
"Aku tidak perlu tahu siapa kalian!" sahut Paksi Jaladara sambil melenting ke atas, berputar setengah lingkaran, lalu sepasang kakinya silih berganti melakukan tendangan berantai 'Elang Menapak Di Salju'. Pancaran hawa sedingin salju mengiringi jurus tendangan 'Elang Menapak Di Salju' yang dilancarkan Paksi Jaladara. Meski hanya menggunakan setengah bagian dari tahap pertama dari Kitab Sakti "Hawa Rembulan Murni" yang bernama 'Temaram Sinar Rembulan' sudah membuat empat orang yang tersisa menggigil kedinginan.
"Ini jurus berhawa dingin! Satukan "Tenaga Sakti Tikus Api", cepat!" bentak Tikus Muka Merah sambil memasang kuda-kuda kokoh.
Berturut-turut tiga orang tersebut melakukan hal yang sama. Tikus Kaki Biru, Tikus Mata Hijau dan Tikus Tangan Kuning sambil menempelkan kepalan tangan mereka membentuk setengah lingkaran untuk mengerahkan "Tenaga Sakti Tikus Api". Ilmu ini diciptakan oleh mereka berenam menjadi satu ilmu khas tersendiri. Si Kumis Tikus pun tidak kuat menahan gabungan tenaga mereka berenam.
"Hantam!"
Begitu mendengar aba-aba 'hantam', enam pasang tangan langsung menghantam bagian punggung Tikus Muka Merah.
Bukk! Bukk! Bukk!
Memang ilmu ini cukup aneh, seharusnya mereka menempelkan tangan untuk mengirimkan tenaga dalam ke tubuh kawannya, tapi justru menghantam dengan sepenuh tenaga. Begitu menerima limpahan tenaga dari tiga kawannya, tubuh Tikus Muka Merah bagai diselimuti kobaran api.
"Heaaa ... !"
Teriakan keras terdengar saat sepasang tinju Tikus Muka Merah menerjang ganas.
Jurus yang sederhana tanpa tipu daya!
Plakk! Plakk! Blarr! Dhuuar ... !!!
Bertemunya sepasang tinju dengan sepasang kaki menimbulkan ledakan kecil, diikuti dengan terpentalnya empat sosok tubuh ke segala arah.
Brugh! Ternyata, mereka adalah anggota Enam Tikus Gila yang tersisa.
Rupanya jurus 'Elang Menapak Di Salju' yang dilancarkan berhasil menembus benteng pertahanan dari "Tenaga Sakti Tikus Api", sehingga Ketua Muda Istana Elang pun langsung membagi-bagikan tendangan maut dengan kecepatan kilat.
Tiga orang langsung tewas seketika. Kepala Tikus Kaki Biru pecah, dada kiri Tikus Mata Hijau jebol dan ulu hati Tikus Tangan Kuning melesak ke dalam membentuk tapak kaki. Yang sedikit lebih baik hanyalah Tikus Muka Merah. Tubuhnya bengkak-bengkak disana-sini tak karuan. Darah kental kehitaman mengalir deras menganak sungai.
Tangannya berusaha meremas sesuatu. Tapi sorot mata tajam Paksi melihatnya.
Sebuah kerikil kecil ditendang dan melayang cepat menghantam pergelangan tangan.
Wutt! Plakk! Tangan itu langsung terkulai lemas.
"Kau tidak perlu membuang racun, Tikus Muka Merah," kata Paksi Jaladara berjalan mendekat.
"Khhau ... ssshh ... sshiiaa ... phhaa ... ?"
"Aku pelindung padukuhan ini," ucap Paksi pendek. "Selamat tinggal, tikus jelek!" lanjutnya, sebab pemuda itu sudah berketetapan tidak akan melakukan negosiasi dengan lawan, karena taruhannya terlalu besar.
"Thungg ... ghuu ... "
Terlambat! Kaki Paksi sudah berkelebat cepat.
Prakk! Dada kiri Tikus Muka Merah langsung jebol terhantam hawa maut sedingin salju!
"Aku tahu kau akan memohon pengampunan atau apa saja untuk mempertahankan hidupmu. Tapi aku tidak bisa mengabulkannya, maaf!" ucap Paksi setelah mengakhiri hidup Tikus Muka Merah. "Simpan saja pengampunanmu di alam keabadian."
Gadis Naga Biru segera menghampiri si Elang Salju.
Pemuda itu justru mendongak ke langit.
"Gerhana Matahari Kegelapan sebentar lagi terjadi. Kita harus secepatnya kembali ke padukuhan." kata Paksi Jaladara.
"Benar, kakang!"
Keduanya langsung berkelebat cepat. Karena tidak mau ketinggalan, Paksi langsung menyambar pinggang Retno Palupi, dan bagai lesatan angin langsung berkelebat cepat, lima kali lebih cepat dari saat mereka berkejar-kejaran.
Lapp! Lapp! Angin bagai menampar-nampar wajah cantik Retno Palupi.
"Cepat sekali dia berlari," pikir gadis itu sambil merangkul erat Paksi.
-o0o- Jilid 1 : Sang Pewaris - Bab Empat Puluh Empat
"Kita kedatangan penyusup," kata Paksi sesampainya di rumah Ki Dalang Kandha Buwana.
"Kalau begitu, sama dengan yang dijumpai Rintani dan Seto Kumolo," sahut Wanengpati.
"Siapa mereka?"
"Empat Macan Bengis!"
"Dimana mereka sekarang" Apa tertawan?" tanya Paksi lagi.
"Mereka tewas semua."
"Bagus!"
"Kenapa kau katakan bagus?" balik tanya Nawala dengan heran. "Bukankah lebih baik kita tawan agar bisa kita mintai keterangan?"
"Untuk apa menawan mereka" Percuma! Resiko yang kita tanggung terlalu besar hanya untuk mengorek keterangan yang tidak perlu." tutur Paksi Jaladara, mengemukakan pendapatnya. "Lagi pula, aku bersama Retno Palupi telah menamatkan riwayat Enam Tikus Gila di dekat hutan sana."
"Retno Palupi?" tanya Wanengpati heran. "Siapa dia?"
"Aku!" seru Gadis Naga Biru dari luar.
Saat itu ia sedang bercakap-cakap dengan Rintani, Ayu Parameswari, dan Nawara. Bahkan dengan Nawara, Retno Palupi seperti bertemu dengan seorang kakak perempuan, meski usia mereka tidak terpaut jauh, lebih tua Nawara sedikit.
Begitu mendengar suara khas lengkap dengan kecentilannya, tahulah mereka siapa yang bernama Retno Palupi.
"Tidak lama lagi, Gerhana Matahari Kegelapan akan terjadi. Kita harus tetap pada rencana yang telah kita susun rapi," ujar Paksi Jaladara memimpin rapat, sebab pemuda itu telah disepakati memimpin garis pertahanan di Padukuhan Songsong Bayu, " ... tapi kita ada sedikit perubahan rencana."
"Perubahan rencana" Bukankah rencana kita sudah matang" Kenapa perlu dirubah lagi?" tanya Raja Pemalas.
"Begini ... sewaktu terjadi penyusupan yang dilakukan oleh Enam Tikus Gila, mereka menggunakan Ilmu "Kelambu Gaib" ... "
"Apa?" seru Ki Dalang Kandha Buwana dan Juragan Padmanaba bersamaan, sebab mereka tahu betul kehebatan Ilmu "Kelambu Gaib" yang bisa menembus pagar gaib sehebat apa pun.
"Benar, paman! Ilmu "Kelambu Gaib" dan kemungkinan besar, para pengikut Si Topeng Tengkorak Emas serta para pemilik Rajah Penerus Iblis akan menggunakannya untuk mengelabui mata kita," tutur Paksi Jaladara. "Dan satu-satunya cara untuk mematahkan ilmu ini adalah dengan mantra "Rajah Kalacakra Pangruwating Diyu" yang Paman Kandha miliki atau ilmu-ilmu lain yang sejenis."
"Setahuku mantra "Rajah Kalacakra Pangruwating Diyu" justru memperkuat daya kesaktian Ilmu "Kelambu Gaib" ... " tanya heran Ki Dalang Kandha Buwana. " ... dengan cara bagaimana Ilmu "Kelambu Gaib" bisa dilunturkan kekuatannya?"
"Dengan cara dibalik membaca mantra dan naik ke tempat yang tinggi, misalnya di atas pohon."
"Benar!" kata Wanengpati tiba-tiba, "Ayah, bukankah mantra "Rajah Kalacakra Pangruwating Diyu" akan semakin menguatkan Ilmu "Kelambu Gaib" jika di rapal di atas tanah, kenapa kita tidak membuat kebalikannya, dengan merapal mantra dalam susunan terbalik dan berada di atas ketinggian?"
"Betul katamu, Waneng! Kita bisa mencobanya, siapa tahu berhasil. Kurasa dengan bantuan Sepasang Raja Tua, rencana ini bisa berhasil dengan gemilang."
"Dengan senang hati kami akan membantu."
"Hanya itu saja perubahan yang kita lakukan, selebihnya semua sesuai dengan rencana. Ada pertanyaan?"
"Kapan mantra terbalik ini harus dirapal?" tanya Ki Dalang Kandha Buwana.
"Sesaat setelah Gerhana Matahari Kegelapan terjadi."
Semuanya mengangguk pelan tanda mengerti.
"Baiklah, semuanya siap di posisi masing-masing." kata Paksi membubarkan pertemuan singkat itu.
-o0o- Nawara berjalan lambat-lambat dengan kepala tertunduk, memandangi daun-daun yang berserakan, seperti hati dan pikirannya yang gundah.
"Aaah ... kenapa aku harus jatuh cinta pada pemuda yang sudah punya pilihan sendiri," pikir gadis bersulam rajawali. "Betul-betul cinta yang salah tempat!"
Tentu saja tingkah laku Nawara tidak luput dari tatap pandang Retno Palupi dan Paksi Jaladara. Keduanya saling pandang. Retno Palupi menganggukkan kepala melihat tatapan permohonan dari Paksi.
"Lebih Kakang Paksi temani Nawara, kasihan dia. Mungkin sedang mengalami masalah pelik."
"Kau tidak marah?"
"Kenapa harus marah padamu" Toh tambah satu lagi aku juga tidak keberatan," kata Retno Palupi sambil mengedipkan mata.
"Tambah satu lagi" Apa maksudmu?" tanya Paksi Jaladara, heran.
"Nanti kakang akan mengetahuinya. Cepat temani dia!" kata Retno Palupi sambil mendorong-dorong Paksi untuk menyusul Nawara, "Lagian tempat kalian berdua juga berdekatan. Nanti aku menyusul."
Kali ini Paksi lebih baik menyerah, menuruti kehendak sang Tuan Putri!
Baru berjalan beberapa langkah, Retno Palupi mengirimkan bisikan jarak jauh, yang hanya bisa didengar oleh Paksi seorang.
"Kakang ... aku mencintaimu."
Paksi tersenyum kecil, sambil menoleh, bibirnya berkemik-kemik mengucapkan sesuatu.
Dari gerak bibir Paksi, Retno Palupi bisa membaca dengan jelas bahwa ucapan itu adalah 'Aku juga mencintaimu, Nimas Retno'!
Keduanya saling melempar senyum kemudian Paksi balik badan, menyusul ke arah Nawara.
"Nawara ... tunggu!"
Nawara berhenti. Jantungnya berdebar kencang, bagai saling berlari mendahului di dalam dada.
"Kakang Paksi ... " desis Nawara.
"Boleh jalan bareng?" tanya Paksi setelah ia sampai di sebelah gadis berpedang kepala rajawali bertolak belakang itu.
Gadis itu hanya mengangguk pelan meng-iya-kan.
Keduanya berjalan lambat-lambat dalam keheningan. Tidak ada kata. Serba membisu. Dan yang pasti ...
Seperti dua patung hidup yang berjalan!
"Apa ... kau sakit?" tanya Paksi melihat wajah gadis itu pucat pasi.
"Tii ... tidak, Aku sehat-sehat saja."
"Tapi wajahmu pucat begitu. Kau pasti sakit," kejar Paksi dengan cepat. "Lebih baik kau beristirahat saja di dalam."
"Aku tidak apa-apa." jawab Nawara, lalu berdiam diri.
Paksi berupaya melanjutkan pembicaraan, "Pertarungan hidup mati akan segera terjadi di tempat ini ... kau sudah siap?"
Nawara menunduk, "He"eh ... "
Entah kenapa, Paksi sulit sekali menyusun kata-kata yang bisa mengungkapkan apa yang ingin dikatakannya pada Nawara.
"Brengsek! Kenapa aku jadi orang bego sih" Lain sekali jika bersama Retno Palupi," pikir Paksi.
"Begitu," kata Paksi Jaladara, tanpa sepenuhnya tahu apa yang ia maksud sepotong kata "begitu".
Bah, apanya yang "begitu?"
"Yaa ... begitulah," jawab Nawara tetap menunduk.
"Bagaimana perjalananmu tadi pagi ke hutan dengan Retno" Menyenangkan?" tanya Nawara memecah kesunyian, terdengar nada bergetar di dalam sana.
Paksi sejenak tertegun, lalu menyahut cepat, "Tidak ada yang istimewa sama sekali ... biasa saja ... "
"Hi-hi-hik ... " tiba-tiba Nawara tertawa kecil, sadar dengan tanya jawab konyol mereka berdua.
Paksi juga tertawa, menyadari bahwa Nawara dan ia sendiri dalam situasi yang aneh.
Seonggok daun asem kering bergemerisik terbang terbawa angin, melewati jarak antara Paksi dan Nawara yang berdiri berhadapan di bawah pohon asem yang sebagian besar daunnya telah rontok.
"Kulihat kau terlihat bersedih belakangan ini?"
Akhirnya Elang Salju berhasil mengeluarkan pertanyaan penting.
Nawara mengangkat muka. Kedua matanya yang bening sejenak menyiratkan sinar mesra, tetapi lalu segera meredup menghilang kembali.
"Masih sedih?" desak Paksi karena Nawara tak menjawab.
"Lumayan," jawab Nawara pendek, kedua matanya menatap langsung ke Paksi, terlihat binar kemesraan yang terpancar samar.
"Maaf," kata Paksi pendek, menatap pandang gadis di depannya, mencoba menyampaikan pesan bahwa ucapannya itu adalah ungkapan langsung dari dalam lubuk hati.
"Untuk apa minta maaf?" Kata Nawara, jernih bening seperti mata pedang yang baru terasah.
"Karena aku mengungkapkan kesedihanmu, mungkin?"
Nawara menggeleng perlahan.
"Aku sudah tidak sedih lagi ... sekarang ini."
"Benar?"
Gadis itu mengangguk, sambil tersenyum kecil.
"Lalu, kenapa kau bersedih?" tanya Paksi semakin heran.
"Peduli apa kakang mengetahui aku sedang sedih atau tidak?" Nawara balik bertanya.
"Karena aku dan Retno pikir kamu sedang susah hati, maka aku berusaha menghiburmu," sahut Paksi cepat. Apa-apaan ini" sergah hatinya.
Nawara mendengus pelan, nyaris tak jelas, "Dasar tak punya perasaan!"
Pemuda itu terpana.
"Lho ... siapa yang tak punya perasaan?" sergahnya membalas. "Aku!?"
"akang cuma peduli pada apa yang terjadi pada diri kakang sendiri!" sahut Nawara ketus.
"Lho kok ... " kata Paksi terputus.
"Kakang Paksi tidak peduli sama sekali terhadap apa yang aku rasakan sekarang. Sedih,s enang atau marah, apa peduli kakang padaku ... !" Kata Nawara, menerobos kuat di antara relung-relung kerikuhan.
"Lho ... apa maksudmu?" Ucap Paksi sungguh tak mengerti, pikirnya, "Ketemu saja baru dua hari, gadis ini kok ngomongnya bikin sengsara hati?"
"Ah ... sudah, lah!" sergah Nawara.
Paksi menghela nafas panjang dan menghempaskannya kuat-kuat. Gadis di depannya ini menawarkan teka-teki yang sulit diterjemahkan oleh otak pintarnya.
"Bahkan Kakang Paksi tidak usah peduli pada perasaan yang kurasakan saat ini!" lanjut Nawara seperti seseorang yang tiba-tiba menemukan cara terbaik untuk mengungkapkan pendapat dengan baik.
"Nawara ... aku tak mengerti apa maksudmu! Kau membuatku semakin bingung," potong Paksi, cepat.
Nawara menyela cepat dan lebih keras dari sebelumnya, seperti seorang hakim kerajaan menuntut seorang penjahat rimba persilatan golongan hitam kelas kakap yang menghadapi risiko hukuman mati. "Kakang Paksi tidak pernah mengerti perasaanku. Tidak mau tahu!"
Paksi terpana. "Sinting!" sergahnya dalam hati. "Kenapa gadis cantik ini jadi marah-marah di depanku, padahal sebelumnya ia seperti anak kucing yang manis?"
"Aku sudah berusaha, tapi ... " ucapan Paksi terhenti sendiri. "Sebenarnya ... apa maksudnya, kok aku jadi bingung sendiri" Dari tadi kata 'perasaan' diulang-ulang terus?" pikirnya.
Nawara menunggu sejenak, lalu karena tak ada kelanjutannya gadis itu menyambung, "Tapi Kakang tidak betul-betul berusaha. Tidak pernah sungguh-sungguh ingin mengetahui perasaanku!"
Paksi terdiam. Daun-daun ikut diam.
Pohon asem pun ikut diam.
Nafas Nawara terdengar sedikit memburu. Gadis itu seperti mengeluarkan tenaga berlipat ganda untuk mengungkapkan semua yang barusan ia ungkapkan. Sesungguhnyalah Nawara merasakan jantungnya berdebur sangat kuat dan emosinya seperti air sungai yang banjir bandang hendak meluap menerjang ke tepian.
"Aku tak mau diganggu! Aku mau sendirian," bisik Nawara tiba-tiba.
Tanpa menunggu reaksi Paksi, gadis itu balik badan dan melangkah cepat ke lokasi penjagaan yang memang cuma terletak beberapa tombak saja dari tempat mereka berdiri. Dia di sudut utara, bersama dengan Ayu Parameswari sebagai Pewaris Sang Api.
"Aku ikut!"
Tahu-tahu Paksi sudah berkata begitu sambil menyusul Nawara.
"Aku ngga mau kakang ikut ... !" sergah Nawara ketus sambil terus melangkah, bahkan langkah kakinya semakin melebar, "Aku mau sendiri!"
"Nawara ... " bujuk Paksi lembut, " ... aku masih ingin bicara denganmu."
"Aku capek!" sahut gadis yang memang bisa sekeras baja dan setajam pedang itu.
Paksi terdiam. Dengan lesu ia membiarkan Nawara pergi, memandangnya menghilang di balik gerbang padukuhan.
Setelah sekitar dua helaan napas, pemuda itu berbalik menuju tempatnya yang memang juga cuma beberapa langkah dari situ. Namun, walaupun secara fisik jarak itu dekat, tapi terasa seperti beribu-ribu tombak dalam pikiran Paksi.
Letih sekali ia menjalaninya!
"Sebenarnya apa yang terjadi?" gumam Paksi pada diri sendiri.
"Masak pemuda romantis seperti Kakang tidak mengerti juga?" sebuah suara merdu menyeruak.
"Nimas Retno ... "
"Apa Kakang paham yang aku maksudkan?" tanya Retno sambil duduk bersebelahan dengan Paksi di sebuah dipan panjang.
Paksi hanya menghela napas panjang sambil menggeleng lemah.
"Nawara juga ... menyukaimu, Kang!"
"Heh?" pemuda itu terlonjak kaget. "Apa kau bilang?"
"Nawara juga mencintaimu, seperti halnya aku mencintaimu." tutur Retno Palupi, tidak ada nada kecemburuan yang keluar bibir dan sinar matanya. "Dari sinar matanya saja aku bisa melihat, mungkin cintanya kepadamu lebih besar dari cintaku kepadamu."
Benar-benar gadis luar biasa!
Jilid 1 : Sang Pewaris - Bab Empat Puluh Lima
Seorang gadis, apalagi termasuk dalam kategori cantik, tentu akan sangat memuja pasangannya setinggi langit dengan segala kelebihan dan kekurangan yang dimilikinya. Jika ada gadis lain yang menyukai pemuda yang disukainya, rasa panas pasti menggelayuti seluruh pori-pori dalam tubuhnya.
Dalam arti luas ... cemburu buta!
Justru Retno Palupi melakukan hal yang tidak semestinya dilakukan seorang gadis yang mempunyai pasangan tampan dan rupawan. Dia membiarkan saja gadis itu ikut pula menyukai pemuda disukainya tanpa ada rasa cemburu atau iri hati. Malahan ia bangga, pemuda pilihannya ternyata bisa menarik minat gadis lain, yang berusaha mencoba masuk dalam kehidupan mereka berdua.
"Tunggu ... tunggu dulu ... jadi yang kau maksud dengan 'tambah satu lagi' adalah ini?" tanya Paksi dengan tatap pandang menusuk ke dalam mata Retno Palupi.
"Aduh ... Kakangku ini pinter deh." kata gadis itu dengan senyuman manis terukir. "Dan aku yakin, Kakang Paksi tidak akan menolak gadis secantik Nawara."
"Bagaimana Nimas bisa berkata seperti itu?"
"Berarti Kakang orang tolol bin bego! Karena aku juga seorang gadis. Tahu betul bagaimana watak seorang laki-laki terhadap seorang wanita, apalagi dia cantik jelita," urai Retno Palupi panjang lebar.
"Jika aku menerimanya, bukankah itu tidak adil untukmu, Nimas."
"Tidak juga!" kata Retno Palupi, enteng, " ... selama Kakang bisa membagi diri dengan adil antara kami berdua, aku tidak keberatan." lalu berdiri lambat-lambat, berjalan ke arah bagian belakang Paksi.
"Kami berdua ... kami berdua ... ! Memangnya aku sudah pasti setuju apa dengan usul gilamu itu," sungut Paksi Jaladara sambil garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal, walau dalam hati ia merasa senang juga dipuji seperti itu.
Yang jadi masalah adalah prakteknya, itu yang sulit!
Sambil memeluk mesra Paksi dari belakang, yang tentu saja, langsung merasakan kekenyalan gumpalan padat menghangati sekitar punggung si pemuda. Retno Palupi merebahkan kepala di punggung Paksi. Sebentuk perasaan sayang tiba-tiba saja menyeruak keluar dari dalam dada, menyebabkan Gadis Naga Biru memejamkan mata.
"Kakang harus bisa menerimanya, seperti halnya menerima diriku," suara berbisik terdengar lirih di telinga kiri Paksi.
Bulu kuduk pemuda itu langsung meremang karena geli.
"He-he-he ... "
"Apa yang Kakang tertawakan?" tanya heran Retno Palupi.
"Biasanya para laki-laki yang merayu gadisnya agar ia bisa mendua, tapi kini justru terbalik! Nimas merayuku agar menduakan dirimu! Benar-benar kekasih ajaib kau ini," kata Paksi sambil mencubit pelan hidung mancung Retno.
"Yah ... aku hanya berbagi kebahagiaan saja dengan orang lain, masak tidak boleh?" kata Retno, manja.
"Tentu saja boleh! " kata Paksi menggantung. "Tapi ngomong-ngomong ... "
"Apa?"
Sambil menarik kepala Retno sedikit ke samping, tepat pada telinga gadis, ia berbisik mesra, "Milikmu besar juga."
Dan tanpa permisi ...
Pendekar Elang Salju Karya Gilang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Cupp! Sebuah ciuman cinta mendarat di pipi halus gadis itu.
"Iihh ... Kakang curang!" katanya sambil melepaskan pelukan.
Mereka bercanda ria dan tertawa-tawa lepas di sebuah bangku kecil yang memang cukup untuk mereka berdua, itu pun harus duduk berdempetan.
Tanpa terasa, waktu sudah semakin siang. Saat-saat Gerhana Matahari Kegelapan sudah menunjukkan tanda-tanda bakal terjadi.
Si Elang Salju langsung menyadari perubahan alam yang masih samar itu.
"Retno, apa kau merasakan sesuatu"' tanya Paksi, masih memeluk Gadis Naga Biru.
"Aku merasakannya Kakang. Hawa berubah menjadi sedikit dingin, dan angin ... seperti berhenti berhembus saat ini," ucap Retno Palupi, " ... apa tanda-tanda bencana bakal terjadi sekarang?"
"Mungkin saja," pemuda itu berkata sambil melepas pelukan, lalu bangkit berdiri, "Nimas, kembalilah ke posisimu."
"Baiklah, Kakang! Berhati-hatilah," kata Retno sambil menggenggam erat tangan pemuda itu, dan menghadiahkan ciuman hangat di bibir pemuda berbaju putih-putih, yang langsung dibalas dengan lumatan mesra.
"Kau juga harus hati-hati, Nimas," kata Paksi, lalu sambungnya, " ... Kakang ada sesuatu untukmu. Kau tunggulah sebentar disini."
Tanpa menunggu jawaban, Si Elang Salju berkelebat pergi, dan bagai angin pula, ia telah kembali ke tempat itu. Di tangannya tergenggam dua buah benda yang panjangnya bertolak belakang.
"Aku tahu Nimas tidak membawa senjata ... "
"Aku biasa tidak bersenjata, Kakang." ralat Retno Palupi.
"Tidak ada salahnya memiliki senjata. Disini ada Sepasang Golok Terbang Mengejar Bulan dan Pedang Samurai Kazebito ... " kata Paksi sambil mengangsurkan dua senjata anehnya. "Silahkan Nimas pilih salah satu."
"Tapi Kakang ... ini kan pedang dan golok milikmu."
"Aku tidak keberatan, Nimas."
Retno tahu, waktu yang mereka miliki tidaklah banyak, ia harus segera mengambil keputusan saat itu juga. Tangannya mengarah ke Sepasang Golok Terbang Mengejar Bulan, tapi ia urungkan. Justru tangan halus itu mengarah ke Pedang Samurai Kazebito.
"Bagaimana jika pedang panjangmu yang kupilih?"
"Aku setuju! Sebenarnya sudah kutetapkan Nimas memegang pedang ini," kata pemuda itu sambil mengangsurkan Pedang Samurai Kazebito pada gadis itu. "Nimas bisa jurus pedang?"
"Jelek-jelek begini aku handal menggunakan Ilmu "Pedang Naga Laut" warisan kakekku," sahut Retno Palupi.
"Syukurlah kalau begitu."
"Dengan senjata sekecil itu apa Kakang yakin bisa menggunakannya." kata Gadis Naga Biru, melihat sepasang senjata yang disebut golok itu.
"Sangat yakin!"
"Sangat yakin?"
Pemuda itu hanya mengangguk pelan.
Tak lama, keduanya segera berpisah, tentu saja sebelumnya ciuman hangat bertaut di bibir pasangan kekasih itu.
Tiba-tiba terdengar pekikan nyaring di angkasa.
Awwwk ... awwwkk ... !
Pekikan elang yang panjang nyaring melengking, sebagai pertanda bahwa musuh telah menembus pagar gaib 'Delapan Roh Penjuru Angin' yang dibuat dari Mutiara Hastarupa Hastawarna yang diletakkan di delapan sudut Padukuhan Songsong Bayu. Semua orang yang memiliki Bintang Penakluk Iblis langsung memposisikan diri masing-masing di delapan sudut arah mata angin.
Pemilik bintang satu, Si Elang Salju sebagai Pewaris Sang Angin menduduki posisi timur.
Pemilik bintang dua, Jin Kura-kura sebagai Pewaris Sang Air menduduki posisi tenggara.
Pemilik bintang tiga, Rintani yang juga murid Kutu Buku Berbambu Ungu bersama dengan Seto Kumolo alias Sabuk Hitam Macan Loreng yang juga Ketua Perguruan Gerbang Bumi menduduki posisi selatan.
Pemilik bintang empat, Simo Bangak sebagai Pewaris Sang Tanah menduduki posisi barat daya dan barat, meski cukup berat, tapi bocah sableng itu justru menikmati tugas gandanya, karena bintang ke lima juga tertera rapi di tubuhnya.
Pemilik bintang enam, Gadis Naga Biru putri tunggal Majikan Wisma Samudera menduduki posisi barat laut, lengkap dengan Pedang Samurai Kazebito yang masih berada dalam sarung.
Pemilik bintang tujuh, Ayu Parameswari sebagai Pewaris Sang Api menduduki posisi utara bersama dengan Nawara.
Pemilik bintang delapan, anak Wanengpati yang masih dalam kandungan ditempatkan di posisi timur laut. Dikarenakan bintang ke delapan masih dalam kandungan maka diletakkan pada sudut yang berdekatan dengan posisi timur agar mudah diawasi, selain itu masih dijaga ketat Sepasang Raja Tua, Juragan Padmanaba dan Nawala, sedangkan Ki Dalang Kandha Buwana dan suami Dhandhang Gendhis yaitu Wanengpati berdiri tegak di atas pucuk-pucuk pohon. Mereka berdua berkedudukan paling diandalkan untuk melumpuhkan Ilmu 'Kelambu Gaib' yang kemungkinan besar digunakan pihak lawan.
Beberapa saaat kemudian, desiran angin terhenti dengan tiba-tiba.
Suasana terang benderang menjadi sedikit redup, seperti pada petang hari.
Semua orang yang ada ditempat itu langsung bersiaga penuh mengetahui tanda-tanda bencana telah muncul.
Tiba-tiba tubuh Paksi bergetar, bulu kuduknya merinding, "Ada hawa pembunuh yang sangat kuat dari beberapa orang di depanku."
Jarak sepuluh tombak dari arah pemuda itu kembali terasa hawa pembunuh yang semakin dahsyat!
"Gila," pikirnya, "Rasanya selama ini belum pernah aku bertemu dengan hawa pembunuh sekuat ini! Aku harus memberitahu Paman Kandha."
Dengan ilmunya yang sudah tinggi, Paksi segera mengirimkan suara jarak jauh yang ditujukan pada Ki Dalang Kandha Buwana dan Wanengpati.
"Paman Kandha, lantunkan mantra "Rajah Kalacakra Pangruwating Diyu", sebab mereka ada sejarak sepuluh tombak dari tempat kita berdiri." kata si Elang Salju.
Dua orang itu segera saling pandang, dan mengangguk hampir bersamaan.
Sebentar kemudian, terndengar lantunan mantra yang aneh.
Tidak umum. Tidak sebagaimana mestinya.
Mantra sakti yang terbalik!
Bersamaan dengan gaung mantra "Rajah Kalacakra Pangruwating Diyu" mengalun, terjadilah kehebohan di delapan sudut penjuru mata angin.
Bushh ... buussh ... !
Kepulan asap warna-warni membumbung ke atas dengan cepat, lalu hilang di udara. Begitu kepulan asap menghilang, tampak sepasukan makhluk gaib yang telah mengepung tempat itu!
Semua orang yang berada di wilayah itu mengalami keterkejutan yang teramat sangat, diantaranya sampai mengeluarkan keringat dingin tanpa mereka sadari.
Jumlah pasukan makhluk gaib terlalu banyak sehingga Paksi Jaladara dan kawan-kawan sulit mengetahui jumlah pasti makhluk-makhluk negeri siluman itu.
"Gila! Jumlah mereka banyak sekali! Jika begini caranya sulit sekali menumpas mereka," pikir Paksi Jaladara.
Pemuda itu berusaha setenang mungkin dalam menghadapi bahaya yang ada didepan mata!
Benar-benar pemuda pilihan!
Didepan Si Elang Salju sendiri berdiri puluhan bahkan mungkin ratusan siluman kera dengan beraneka ragam bentuk dan jenis yang berteriak-teriak, jingkrak-jingkrak tak karuan. Paling depan sendiri berdiri kokoh sesosok tubuh kekar dengan gada besar di atas pundak. Tubuhnya memang seperti sosok manusia, tapi tarikan bibir dan selebar wajahnya berbulu lebat dengan mata menyala kuning kemerahan bagai mutiara. Yang lebih menggidikkan, ternyata makhluk itu memiliki sebentuk ekor panjang yang ujungnya memiliki gaetan dari besi hitam.
Dialah Senopati Monyet Plangon!
Sementara itu, di depan Jin Kura-kura yang berada di posisi tenggara, tersebar ribuan jenis hewan berbisa berbentuk kalajengking yang dipimpin tiga siluman kalajengking berkepala manusia, terdiri dari kala kuning yang kehilangan tangan kiri, kala hijau dan kala biru. Merekalah yang disebut sebagai Kelompok Kala Maut pimpinan Senopati Kala Hitam, orang yang berdiri berkacak pinggang berpakaian hitam-hitam dengan sebuah cambuk aneh ekor kalajengking melilit pinggang. Wajah tirusnya sebentar-sebentar menyeringai menampakkan seribu kelicikan.
Sedang Rintani murid Kutu Buku Berbambu Ungu dan Seto Kumolo Ketua Perguruan Gerbang Bumi juga tak kalah kagetnya. Sebab dihadapan mereka berdiri ratusan siluman beraneka ragam bentuk. Ada tuyul, jin kecil-kecil, setan berkepala besar, tengkorak berjalan dan sebagainya.
"Kakang, bagaimana menghadapi siluman seperti mereka" Apa ilmu-ilmu kita mempan pada mereka?" tanya lirih Rintani dengan rasa khawatir.
"Aku sendiri juga tidak tahu, Rintani! Ini adalah pertarungan teranehku yang pertama," bisik pula Seto Kumolo, sambil menggenggam erat tangan kekasihnya, seolah berusaha memberikan perlindungan dan rasa aman. "Kita serahkan saja pada Hyang Widhi!"
Rintani pun semakin erat menggenggam tangan Seto Kumolo, seakan tidak mau dipisahkan.
Justru yang paling bahagia adalah Simo Bangak kali ini!
Lho, kok bisa"
Tentu saja bisa, sebab di hadapan bocah sableng itu berdiri seorang wanita cantik berambut panjang dengan tubuh manusia dari kepala hingga sebatas pusar, sedang dari pusar kebawah seluruhnya bertubuh ular. Tentu saja bocah gendeng itu gembira, karena lawan yang dihadapinya meski termasuk jenis siluman ular berbadan manusia, tapi Senopati Taksaka Sunti, si wanita siluman ular hadir dalam keadaan telanjang bulat sehingga menampakkan segala kemolekan tubuh sintal dan montok miliknya. Rambut panjangnya menutupi sebentuk gumpalan padat menggelembung yang ada di depan dada, sedang di belakangnya ribuan jenis ular melata sambil menjulur-julurkan lidah merah bercabang dua.
Kali ini, Senopati Taksaka Sunti datang lengkap dengan Barisan Ular Setan andalannya!
Sedang di bagian barat, entah darimana datangnya, seorang pemuda berbaju coklat buntung tanpa kancing bercelana pangsi hitam sudah berada ditempat itu. Sepasang pisau panjang telanjang bercahaya biru keemasan tergenggam erat di tangan. Meski tidak cukup tampan, tapi sinar matanya teduh mententramkan hati.
Semua orang yang ada disitu bertanya-tanya dalam hati tentang siapa adanya si pemuda berpisau panjang yang datang tak diundang.
Tanpa menoleh, pemuda itu berkata pelan, namun jelas, "Den Paksi! Semoga kedatanganku ke tempat ini belum terlambat."
Kata 'Den Paksi' mengagetkan si Elang Salju, sontak ia menoleh ke sumber suara yang sangat akrab ditelinganya.
"Kakang Gineng?"
"Apa kabar Den Paksi," kata si pemuda yang ternyata Gineng adanya, "Saya diutus guru untuk membantu ke sini."
"Guru" Maksudmu ayahanda ... "
"Bukan, Den Paksi! Tabib Sakti Berjari Sebelas adalah guru kedua saya, setelah Ki Ragil Kuniran tentunya." kata Gineng, "Cerita selengkapnya lebih baik nanti saja."
Paksi Jaladara hanya mengangguk pelan, pikirnya, "Yang dimaksud Si Perak sebagai utusan dari istana mungkin Kakang Gineng. Entah bagaimana caranya Kakang Gineng bisa menjadi murid kakek tabib." lalu lanjutnya, " ... syukurlah kekosongan di posisi barat terisi juga. Biarlah babi raksasa itu dihadapi Kakang Gineng."
Kali ini Senopati Babi Angot, si siluman babi yang berbentuk babi raksasa berhadapan muka dengan Gineng, murid Tabib Sakti Berjari Sebelas dari Pulau Khayangan.
-o0o- Jilid 1 : Sang Pewaris - Bab Empat Puluh Enam
Gadis Naga Biru, putri tunggal Majikan Wisma Samudera sendirian menghadapi lawan yang tidak ringan. Seorang laki-laki berkepala serigala coklat bermata merah darah berdiri tegak dihadapannya, sedang tepat dibelakangnya berdiri tiga siluman serigala dengan bentuk dan rupa sejenis dengan sang pimpinan. Seluruh tubuh penuh bulu-bulu coklat kehitaman yang terlihat samar-samar.
Dialah Senopati Segawon Alas, senopati berdarah campuran antara manusia murni dengan siluman serigala tulen. Begitu melihat lawan dihadapannya adalah seorang gadis cantik jelita, air liur Senopati Segawon Alas menetes terus tiada henti.
"Hehehe, dia masih perawan," katanya sambil mendengus-dengus, "Pasti darah dan dagingnya terasa nikmat di lidah. Betul begitu, kawan-kawan?"
"Auuung ... auuung ... "
Suara lolongan serigala menggema bersahut-sahutan, langsung membuat bulu kuduk Gadis Naga Biru meremang berdiri saat telinganya menangkap raungan serigala haus darah. Tanpa sadar, kakinya mundur setindak.
Akan halnya Ayu Parameswari dan Nawara berhadapan dengan siluman bermuka kuda dengan rumbai hitam di belakang kepala.
Senopati Jaran Panoleh!
Seluruh Pasukan Kuda Iblis yang terdiri dari lima belas orang siluman kuda berkepala manusia berbaris rapi di belakangnya. Seketika napas Senopati Jaran Panoleh mendengus-dengus liar mengetahui dua gadis muda cantik jelita berdiri menantang dihadapannya. Hasrat membara di dalam dirinya bagai disulut dengan api, berkobar-kobar menginginkan pelampiasan.
"Tidak bisa menikmati tubuh Taksaka Sunti, justru digantikan dua gadis cantik dari alam manusia ... hemm ... tidak ada jeleknya," pikirnya memelototi tubuh indah Ayu Parameswari dan Nawara saling bergantian. "Betul-betul sempurna!" katanya diiringi dengan ringkikan kuda.
Hiieeeghh ... !
Tentu saja dua dara cantik itu merasa diri mereka ditelanjangi oleh tatapan liar lawan!
"Dasar siluman keparat!" desis lirih Nawara.
Sepasang pedang dilolos dari balik punggung secara perlahan.
Srrang! Sriing!
Dua pedang yang sama-sama bergagang kepala rajawali bertolak belakang telah keluar dari sarungnya, dan siap menghirup darah lawan. Pedang putih keperakan di tangan kiri, sedang tangan kanan memegang sebilah pedang bersinar hijau kekuning-kuningan. Pada mulanya pedang ini berada di tangan Kucing Iblis Sembilan Nyawa yang telah tewas tanpa memiliki jantung dan hati.
Melihat pedang bersinar hijau kekuning-kuningan berada di tangan Nawara, Senopati Jaran Panoleh tersentak. "Bagaimana mungkin Pedang Giok Hijau Rajawali Gaib milik si Dewa Rajawali Sakti kenapa bisa berada di tangan gadis itu" Celaka ... celaka .... ! Kenapa aku harus berhadapan dengan pedang pusaka yang paling aku takuti itu?"
Tentu saja wajah pias Senopati Jaran Panoleh yang cuma sekejap itu tidak luput dari tatap pandang Ayu Parameswari.
"Nawara, tampaknya siluman kuda itu gentar dengan pedang di tangan kananmu," bisik Ayu Parameswari sambil mengembangkan kipas merahnya, pikirnya, "Dengan begini tidak perlu aku menggunakan Ilmu "Susup Sukma Gaib" warisan guru."
"Aku tahu! Meski sekilas, aku bisa melihat rasa takut di matanya." desis Nawara. "Kalau begitu ... akan kucongkel mata mesumnya dengan pedang ini!"
Kepungan segala jenis mahkluk itu hanya tidak melakukan apa-apa, selain hanya mengepung orang-orang persilatan itu saja. Mereka terlihat sedang menunggu sesuatu yang akan terjadi di tempat itu. Meski terdengar desah dan aneka suara menggema di tempat itu, tapi penghuni alam gaib dari Kerajaan Iblis Dasar Langit tetap dalam posisi sebelumnya.
Tidak menyerang dan tidak beranjak dari tempat mereka berdiri!
Justru orang yang paling ditunggu oleh Paksi tidak ada diantara para makhluk gaib yang meluruk ke tempat itu.
"Aneh ... kemana perginya si Topeng Tengkorak Emas?" gumam Paksi, " ... atau jangan-jangan ... "
Di sisi timur laut, Sepasang Raja Tua, Juragan Padmanaba dan Nawala, melindungi Nyi Dhandang Gendhis yang sedang hamil tua. Nyonya muda itu berada dalam sebuah ruang batu yang telah diberi pagar gaib oleh ayah mertuanya, dan tentu saja kalung emas terukir mantra "Rajah Kalacakra Pangruwating Diyu" terkalung indah di lehernya. Dan di sekeliling empat orang persilatan tersebut, masih berlapis dengan Bidadari Berhati Kejam, tiga orang murid utama Partai Ikan Terbang, Tiga Golok Empat Pedang dari Perguruan Karang Patah serta Ketua Perguruan Perisai Sakti, Perisai Baja Bermata Sembilan dengan dua orang muridnya Suratmandi dan Wiratsoko yang telah siap dengan klewang tanpa sarung.
Ketika angin bisa dikatakan berhenti berhembus, di langit meloncat kilatan petir tanpa suara. Bukan hanya sekali, tapi berulang kali. Bersamaan dengan loncatan bunga api di langit yang paling panjang dan paling lama, awan kelabu bergulung-gulung dari segala penjuru seakan berusaha menutupi pancaran sinar matahari. Begitu gulungan awan kelabu menebal, di atas langit terlihat jelas bola kuning raksasa yang sebelumnya memancarkan sinar garang sedikit demi sedikit memerah, semakin lama semakin merah pekat kehitaman, kemudian pada akhirnya tertutup sebentuk bayangan hitam yang bentuk dan wujudnya sama besar dengan sang mentari hingga seluruh tempat itu menjadi gelap gulita, pekat tanpa cahaya, seakan bumi dan seluruh isinya diguyur dengan tinta hitam dari langit.
Untuk ketiga kalinya, Gerhana Matahari Kegelapan terjadi di muka bumi!
Ketika Gerhana Matahari Kegelapan terjadi di bumi, bagaikan muncul dari alam gaib, ribuan cahaya bagai kunang-kunang beterbangan di segala pelosok mata angin mengiringi seberkas cahaya merah pekat berkilau yang turun dari langit, saling tegak lurus menghunjam bumi.
Plashh ... ! Semua mata memandang pancaran cahaya agung kemerahan yang semakin lama semakin mengecil. Terus mengecil ... terus mengecil dan ... terus mengecil. Bahkan cahaya kunang-kunang juga semakin rapat mengerumuni pancaran tiang cahaya, hingga seperti bentuknya laksana pilar yang menyangga langit.
Tiba-tiba saja ...
Pyarr ... ! Tiang langit pecah, meledak tanpa suara!
Namun, pecahan tiang langit yang tetap dikerumuni cahaya kuning bagai kunang-kunang berputaran cepat di angkasa. Semakin lama semakin cepat dan pada akhirnya ...
Wuuungg ... !! Diikuti suara meraung layaknya ribuan naga angkasa mengamuk, pecahan tiang langit seperti dihempaskan ke bawah dan langsung menukik ke arah Nyi Dhandhang Gendhis berdiam diri.
Blashh ... !! Nyi Dhandhang Gendhis yang tidak siap dengan kejadian itu langsung terlonjak kaget, tapi kekagetannya sirna tatkala pecahan tiang langit hanya berputaran mengelilingi dirinya. Cahaya kunang-kunang berputaran lambat-lambat, sedang pecahan tiang langit berwarna merah kemilau bagai bintang bertaburan masih tetap di posisi semula, berputaran di sekeliling tubuh Nyi Dhandhang Gendhis.
Werr ... werr ... !
Perlahan-lahan, tubuh ibu muda itu terangkat naik, bagai di topang tangan-tangan kasat mata. Sejarak satu tombak, luncuran berhenti bergerak. Yang terlihat adalah, Nyi Dhandhang Gendhis berdiri melayang setinggi satu tombak di selimuti cahaya merah berkilauan bagai bintang bertaburan sedang cahaya kunang-kunang membungkusnya dengan rapat.
"Apa yang terjadi?" gumam Wanengpati, tetap berdiri di atas pucuk pohon.
"Sebentar lagi kau akan mengetahuinya, anakku," kata Ki Dalang Kandha Buwana.
Sebuah bisikan lembut terdengar jelas di telinga ayah anak dalang itu.
"Sebentar lagi proses kelahiran akan terjadi! Saat pecahan tiang langit merah selesai bersatu dan masuk ke dalam tubuh bayi, lantunkan mantra sakti kalian. Jangan ditunda lagi!"
Suara tanpa wujud menggema di dalam dinding-dinding telinga Wanengpati dan Ki Dalang Kandha Buwana. Suara itu begitu asing di telinga, saat mereka berdua melihat ke sekelilingnya, tidak satu pun orang yang berbicara pada mereka, semua terpaku memandang kejadian menakjubkan itu.
"Siapakah ... "
"Tanyalah pada Paksi!" potong cepat si suara tanpa wujud.
"Bagaimana, Ayah?" tanya Wanengpati pada ayahnya.
"Kita turuti saja," jawab Ki Dalang Kandha Buwana pendek.
Perlahan-lahan, cahaya merah berkilauan memasuki bagian pusar Nyi Dhandhang Gendhis.
Srepp ... ! Saat cahaya merah itu masuk seluruhnya ke dalam perut buncit si nyonya muda, sekujur tubuh wanita hamil itu bergetar lembut bagai menerima sentuhan hangat melenakan. kejadian itu berlangsung cepat dan hanya sebentar. Cahaya merah berkilauan keluar kembali dari dalam perut lewat pusar, tapi terjadilah keanehan yang sulit diterima akal sehat. Dari pusar Nyi Dhandhang Gendhis tiba-tiba keluar sebentuk gumpalan benda bulat bergerak-gerak lembut diselimuti cahaya merah berkilauan. Benda yang bergerak-gerak itu semakin lama semakin membesar ... membesar dan terus membesar.
Sosoknya menyerupai bayi manusia!
Dua helaan napas berlalu. Sosok itu semakin lama semakin jelas bentuknya. Ketika selesai membentuk raga sempurna, cahaya merah berkilauan memancarkan sinar ke segala penjuru.
Sriiing ... pyar ... pyar ... !!
Ratusan ekor kalajengking, ular-ular setan, kuda siluman dan sebagian besar penghuni alam gaib musnah terkena terjangan sinar merah itu.
Blabb ... blabb ... blubbb ... blushhh ... !
Barisan pengepung langsung geger!
Mereka serabutan lintang pukang tak karuan menghindari terjangan sinar merah yang ternyata bisa menewaskan bangsa penghuni alam gaib.
"Sinar apa itu?" desis Raja Pemalas.
"Itulah yang dinamakan Sinar Pelebur Ruh, seperti apa yang dituturkan mendiang Panembahan Wicaksono Aji dahulu," sahut Bidadari Berhati Kejam.
Bersamaan dengan pancaran sinar merah, dari atas ketinggian terdengar lantunan mantra ilmu gaib untuk mengusir makhluk halus dan sejenisnya.
Mantra "Rajah Kalacakra Pangruwating Diyu"!
Mendengar suara mantra yang paling ditakuti para penghuni alam gaib dan sejenisnya, membuat situasi menjadi pengepungan kendor dimana-mana. Suara letusan dan letupan berulangkali terdengar. Suara jerit kesakitan para penghuni alam gaib menyebar kemana-mana bagai ratapan dari dalam kubur.
"Panasss ... panasss ... tobattt ... ampuuun ... !"
Blabb ... blabb ... blubbb ... blushhh ... ! Blabb ... blabb ... blubbb ... blushhh ... !
Kepulan asap berbau menyengat langsung menyeruak di sekitar tempat itu.
Blabb ... blabb ... blubbb ... blushhh ... !
Akhirnya ... seluruh tempat itu bersih seperti sebelumnya. Tidak ada desisan ular dan kalajengking, pekikan kera-kera juga menghilang, ringkikan kuda dan lolongan serigala sudah tidak terdengar lagi. Akan tetapi, lantunan mantra sakti itu ternyata tidak mempan terhadap enam senopati tangguh Kerajaan Iblis Dasar Langit. Atau dengan kata lain, mereka berenam bisa bertahan dari lantunan mantra sakti tingkat tinggi. Enam senopati masih berdiri di tempat masing-masing, hanya saja pancaran 'Tenaga Gaib Siluman' sudah dikerahkan untuk menahan daya lebur mantra "Rajah Kalacakra Pangruwating Diyu" yang dilantunkan Ki Dalang Kandha Buwana dan anak laki-lakinya.
Dari arah selatan, melesat dengan kecepatan kilat sebentuk bayangan hitam, dan sasarannya adalah raga sempurna bayi mungil!
Blassh ... ! Kejadian itu terlalu cepat sehingga sulit diikuti pandangan mata. Namun, kembali kejadian aneh terjadi. Cahaya kunang-kunang yang mengelilingi si ibu dan anak tiba-tiba memancarkan kilau cahaya kuning terang, seolah melindungi mereka berdua.
Sriiing ... pyarrr!!
Sosok itu kaget, tapi sudah terlambat untuk menghindar karena cepatnya ia berkelebat dan cahaya kuning terang menerjangnya. Sontak ia mengempos hawa tenaga dalam sebisa mungkin untuk melindungi diri.
Bwoshh ... !! Begitu tubuh si bayangan tersentuh kilau cahaya kuning terang, muncul kobaran api yang langsung menyergap sosok bayangan dengan cepat, menjalar laksana petir menyambar.
"Aaaakhh ... ammpuun ... tolooonggg ... !!"
Teriakan kesakitan kembali membuncah di tempat itu sambil bergulingan berusaha memadamkan api yang membakar tubuh. Namun anehnya api itu bukannya padam, justru makin berkobar-kobar menjilat-jilat tubuh mangsanya. Sebentar kemudian, gulingan tubuh berhenti. Kejadian itu hanya sesaat berlangsung.
Begitu dicermati, sosok tubuh terbakar yang ternyata adalah perempuan bongkok dengan tangan kiri dan kaki kanan buntung sebatas siku tewas dengan tubuh hangus terbakar api.
"Ratu Sesat Tanpa Bayangan," desis Gineng begitu mengenali siapa adanya tokoh yang berniat buruk pada Nyi Dhandhang Gendhis dan anaknya yang terlindung di dalam bola cahaya kunang-kunang. Ia bisa mengenali Ratu Sesat Tanpa Bayangan dengan adanya tongkat ular kobra yang tergeletak di samping mayat si nenek sesat.
Gineng tidak menyangka sama sekali bahwa tokoh sakti sekelas Ratu Sesat Tanpa Bayangan harus kehilangan nyawa secara mengenaskan dengan tubuh hangus terbakar. Padahal ia tahu seberapa tinggi kesaktian dari nenek sesat yang dulu pernah membuatnya gentar saat Ratu Sesat Tanpa Bayangan dan Gerombolan Serigala Iblis menyerang Padepokan Singa Lodaya kurang lebih sepuluh tahun silam.
"Itu ... Sinar Pelebur Raga!" ujar Bidadari Berhati Kejam. "Tubuh hangus terbakar adalah akibat tersengat api gaib Sinar Pelebur Raga yang melindungi bayi itu!"
Jilid 1 : Sang Pewaris - Bab Empat Puluh Tujuh
Keadaan di tempat itu yang sedikit terang karena adanya pancaran sinar dari bola cahaya kunang-kunang yang terus berputaran tanpa jeda.
Melihat keadaan yang tidak menguntungkan pihaknya, Paksi Jaladara segera memberi perintah.
"Pewaris Sang Api! Laksanakan tugas!"
Ayu Parameswari yang mendengar perintah, langsung berkelebat cepat yang tentu saja membuat para pengepung siaga menyerang.
Wutt ... ! Dara berbaju merah tidak melakukan serangan apa pun, tapi malah berloncatan dari satu pohon ke pohon lain yang mengelilingi tempat itu. Bersamaan dengan itu pula, api pun menyala terang. Rupanya Paksi Jaladara sudah membuat persiapan jika Gerhana matahari Kegelapan terjadi. Puluhan bahkan ratusan obor ditempatkan di segala penjuru, dan begitu dinyalakan membuat tempat kediaman Kakek Pemikul Gunung dan sekitarnya, bahkan dalam jarak lima belas tombak terlihat terang benderang.
Jlegg! Begitu tugasnya selesai, Ayu kembali ke tempatnya semula.
Saat api obor menyala terang, terjadi kehebohan untuk kesekian kalinya. Meski tidak sebanyak sebelumnya, tempat itu kembali terkepung dengan beragam jenis penghuni alam gaib. Seperti halnya si Elang Salju, pihak lawan juga telah membuat persiapan matang. Prajurit alam gaib tidak dimunculkan seluruhnya, sehingga yang mengalami kemusnahan hanya sebagian saja. Topeng Tengkorak Baja sudah mengantisipasi bahwa kekuatan Sinar Pelebur Ruh tidak akan bertahan lama.
Sesuai dengan praduga, sinar maut tersebut hanya memancar sesaat saja sedang api gaib Sinar Pelebur Raga justru diluar dugaan. Cahaya gaib Sinar Pelebur Raga justru masih melindungi sosok Nyi Dhandhang Gendhis dan bayi yang kini dalam pondongan.
"Aauuuung ... lebih baik kalian menyerah! Percuma saja melawan kami, Enam Senopati dari Kerajaan Iblis Dasar Langit, auuungg ... " kata Senopati Segawon Alas, jumawa. "Dan biarkan kami mendirikan kerajaan kami di atas bumi. Dengan begitu kita bisa hidup berdampingan dengan damai."
"Kalian tidak perlu membujuk-bujuk kami, iblis keparat! Percuma saja!" bentak Joko Keling, lalu ia mengambil sesuatu dari dalam cangkang kura-kura, kemudian berkomat-kamit sebentar. Setelah itu benda dalam genggamannya dibanting ke tanah.
Bluubb, blubb, blubbb ... !
Asap hijau pekat mengepul keluar disertai suara air yang keluar dari dalam tanah. Begitu asap menghilang, terlihat di hadapan Jin Kura-Kura puluhan sosok manusia berlendir dengan sebuah tempurung kura-kura di punggungnya.
"Pasukan Manusia Rawa! Serang ... !!"
Begitu aba-aba serang dilontarkan, seluruh Pasukan Manusia Rawa langsung menyergap maju.
Demikian juga dengan para pengepung yang melihat lawan telah membuka serangan, langsung menerjang pula diiringi teriakan yang beraneka ragam. Ada desisan ular, cekikikan tuyul-tuyul, tarapan para kuntilanak, ringkikan kuda siluman semua campur aduk menjadi satu.
Bahkan Enam Senopati pun dengan ganas menyerang orang-orang yang ada di hadapan mereka!
Si Elang Salju yang tidak mau basa-basi segera mengerahkan segenap kemampuannya. Dikeluarkanlah ilmu tenaga sakti berhawa sedingin salju yang asalnya dari Kitab "Hawa Rembulan Murni" langsung ke tahap ketiga 'Di Bawah Sinar Bulan Purnama', dengan ilmu ini ia menyergap cepat Senopati Monyet Plangon.
Wushh ... ! "Edan! Pemuda ini memiliki hawa dingin yang paling ditakuti bangsa kera," pikir Senopati Monyet Plangon, sambil berjumpalitan mengerahkan jurus 'Kera Hitam Melayang Jatuh' untuk menghindari sergapan hawa dingin.
Melihat lawan bisa lolos, membuat Paksi Jaladara bergerak cepat laksana bayangan putih sambil menggerakkan sepasang tangan memutar di atas kepala. Segera saja tubuhnya dikelilingi oleh sebentuk cahaya putih tipis yang memendar-mendar memancarkan hawa dingin.
Wess! Bwooshh ... !!
Dan dari sepasang telapak tangan kembali memuntahkan hawa sedingin salju sehingga debu-debu salju dan serpihan-serpihan es terbentuk didalam pusaran disertai liukan angin tajam, dengan tangan bergerak memutar-mutar memilin udara yang ada di sekitar tempat itu. Pukulan "Sepasang Angin Mengguncang Salju" langsung dikerahkan pada gebrakan pertama, sebab pemuda itu berpikir jika terlalu lama dalam pertarungan, dikhawatirkan membuat lawan yang lebih berat akan mencuri serang di kala mereka lengah.
Whess ... ! Weeerr ... !
Beberapa kera siluman yang mengeroyoknya langsung terseret pusaran angin menggila. Lalu tangan kiri dikibaskan ke arah kerumunan kera yang jaraknya masih beberapa tombak di depan.
Whess ... !! Pratt! Dharr ... ! Blarr ... !!
Kerumunan kera bagai diterjang badai salju hingga barisan kera pecah berantakan, bahkan ada yang tewas dengan tubuh hancur membentuk serpihan-serpihan darah dan daging beku. Namun beberapa ekor diantaranya masih ada yang lolos dan menyambar ke arah pemuda itu dengan kecepatan kilat.
Tangan kanan Paksi Jaladara kembali bergerak dengan cepat.
Pratt! Dharr ... ! Blarr ... !!
Kembali terdengar letupan keras disertai dengan salju yang berhamburan kemana-mana, kali ini sisa-sisa gerombolan kera langsung hancur berkeping-keping, takluk dibawah tangan si anak muda!
Tubuh pemuda itu masih diselimuti selapis hawa putih keperakan hingga memunculkan nuansa dingin membeku begitu selesai menggunakan Pukulan "Sepasang Angin Mengguncang Salju". Napasnya terlihat tenang, setenang air danau.
"Pemuda keparat! Kau telah membunuh anak-anakku! Terimalah kematianmu!" Senopati Monyet Plangon membentak keras sambil lincah berjumpalitan tak karuan disertai pekikan-pekikan keras.
Kiikh, kiikhh ... !
Rupanya senopati kera tersebut juga berniat sama dengan lawan, langsung menggunakan ilmu tingkat tinggi tanpa perlu beradu jurus yang melelahkan, sehingga sebentuk hawa hitam kental berbentuk kera raksasa bagai membayangi seluruh tubuh Senopati Monyet Plangon.
Itulah tingkat puncak "Tenaga Gaib Siluman Monyet" milik Senopati Monyet Plangon dari alam gaib!
Melihat lawan telah mengerahkan kekuatan gaib, Paksi Jaladara hanya tersenyum, lalu melepas ikat kepala merah dengan pelan.
Srett ... ! "Jurus terakhir cocok diujicoba sekarang," pikirnya.
Paksi Jaladara yang masih mengerahkan kekuatan hawa tenaga sakti yang bersumber dari Kitab "Hawa Rembulan Murni" tahap ke tiga, kemudian menggabungkannya dengan jurus ke delapan belas dari Ilmu Silat "Elang Salju" yang diwariskan oleh si Elang Berjubah Perak.
Jurus "Menyatu Menjadi Elang Raksasa"!
Mendadak terpancar cahaya menyilaukan keluar dari Rajah Elang Putih yang kini tidak tertutup lagi, terus menyelimuti tubuh Paksi yang sedikit demi sedikit terangkat naik ke atas, dan bersamaan itu pula tampak sesosok elang putih raksasa sedang mengepakkan sayap-sayap perkasa di langit kelam, kemudian menukik ke bawah dengan cepat diiringi pekikan menggelegar.
Awwkk! Awwkk! Weesshh! Sasarannya adalah bayangan hitam berbentuk kera raksasa!
Jdharr ... ! Dhuuarr ... ! Jdharr ... ! Blamm ... !!
Dentuman keras terjadi akibat beradunya sosok bayangan elang putih raksasa yang berasal dari jurus "Menyatu Menjadi Elang Raksasa" bertemu dengan bayangan hitam berbentuk kera raksasa yang berasal dari "Tenaga Gaib Siluman Monyet". Dua mahkluk beda jenis dan bentuk itu saling serang disertai pekikan elang dan monyet silih berganti.
Benar-benar pertarungan yang seru!
Sedikit demi sedikit, sosok kera terdesak karena serangan atas yang dilakukan elang putih. Pada suatu saat, si elang berkelit ke samping sambil mengibaskan cakar kanan kiri bergantian.
Wutt .. wutt ... !
Prakk ... pratt ... crakk ... !
Tangan kiri kera raksasa hancur berantakan setelah dicakar oleh elang raksasa itu. Kera raksasa meraung keras menahan kesakitan, tapi sebuah sambaran keras dari sayap kanan elang langsung membuat kera raksasa tumbang.
Brakk! Begitu jatuh ke tanah, hawa "Tenaga Gaib Siluman Monyet" menghilang. Yang terlihat pundak kiri Senopati Monyet Plangon hancur akibat cakaran elang raksasa. Kali ini lukanya benar-benar parah dan sulit sekali disembuhkan. Jika melawan manusia biasa dan mengalami luka, dengan mudah Senopati Monyet Plangon mengobati lukanya dan sembuh dalam sekejap. Akan tetapi kali ini yang dihadapi adalah pemuda pilihan, pemuda yang dinaungi Rajah Elang Putih sehingga berhak menduduki jabatan Ketua Istana Elang, dilindungi Mutiara Langit Putih atau dikenal dengan nama Pusaka Rembulan Perak dan terlebih lagi, pemuda yang menjadi lawannnya adalah pemilik Bintang Penakluk Iblis ke satu!
Begitu turun ke tanah, bayangan elang pun raib, yang tampak adalah sosok Paksi Jaladara yang berdiri gagah.
"Kau ingin aku yang menghabisimu atau kau menghabisi dirimu sendiri?" tanya Paksi Jaladara alias si Elang Salju, datar.
Senopati Monyet Plangon tidak menjawab, justru menoleh ke kanan kiri seakan mencari sesuatu.
Telapak tangan kiri Paksi menegang kencang terselimuti cahaya tipis kuning keemasan dan yang kanan terselimuti cahaya tipis putih keperakan saat melihat lawan tidak menjawab pertanyaannya. Dua cahaya tipis kuning keemasan dan putih keperakan semakin lama semakin menebal hingga menjalar sampai pergelangan tangan dan naik sampai siku. Dua buah ilmu pukulan dahsyat luar biasa berbeda sifat yang menakutkan sebentar lagi akan digelar.
Pukulan "Telapak Tangan Bangsawan" dan 'Tapak Rembulan Perak' dilontarkan bersamaan!
Si Elang Salju menggeser kaki kiri ke belakang, kedua tangan di tarik ke samping pinggang, kemudian didorongkan ke depan dengan mantap, diikuti dengan hentakan kaki kanan ke bumi.
Wuushh! Srakk! Srakkk ... !!!
Terlihat bayangan sepasang telapak tangan raksasa berwarna kuning keemasan menebarkan hawa panas membara dan putih keperakan hawa menebarkan sedingin salju menggebah cepat laksana kilat dan menghantam Senopati Monyet Plangon yang terkesiap melihat datangnya serangan maut yang dilancarkan lawan.
Blarrrr ... ! Blaammm ... !
Tubuh siluman monyet hancur lebur berkeping-keping termasuk pula beberapa penghuni alam gaib yang berada di belakang Senopati Monyet Plangon, yang diantaranya tiga siluman serigala yang mengeroyok Gadis Naga Biru ikut menjadi korban serangan gabungan Pukulan "Telapak Tangan Bangsawan" dan Ilmu 'Tapak Rembulan Perak'. Bahkan ratusan siluman ular yang melihat beberapa temannya tewas mengenaskan, saling berebutan keluar dari tempat itu. Tapi mereka lupa bahwa Ilmu 'Kelambu Gaib' telah ditawarkan, sehingga begitu menyentuh pagar gaib yang ditanam ditempat itu, tubuh mereka langsung mengabu.
Kembali Kerajaan Iblis Dasar Langit kehilangan salah satu senopati tangguh!
Di sisi timur laut, Sepasang Raja Tua, Juragan Padmanaba dan Nawala, yang melihat bahwa Nyi Dhandang Gendhis dan bayinya telah dilindungi cahaya kuning kunang-kunang serta melihat bahwa si Elang Salju telah menyelesaikan pertarungan dengan siluman kera, mereka berempat segera menggebah maju.
"Heeea ....! Hiaaaat ... !"
Selain pemilik Delapan bintang penakluk Iblis dan pemilik mantra sakti, yang paling menakutkan dari lawan adalah Sepasang Raja Tua. Raja Pemalas dengan Ilmu 'Tapak Tangan Putih' tingkat ke lima belas di tangan kiri dan Ilmu gaib "Sangkakala Braja' di tangan kanan bagaikan malaikat maut pencabut nyawa. Akan halnya Raja Penidur yang mengerahkan "Kidung Sang Baka" dan 'Tapak Inti Ungu' tingkat ke dua belas juga tidak bisa dibuat main-main.
Blamm ... blarr ... ! Blusssh ... bless ... !!
Berulang kali para makhluk halus harus main petak umpet dengan dua jago tua ini menghindari serangan gabungan tersebut.
Meski rata-rata yang dihadapi adalah jenis setan yang menggunakan Ilmu 'Baju Besi Iblis' tingkat merah dan hitam, tidak membuat Sepasang Raja Tua gentar, bahkan semangat dan jiwa mereka bagai terlahir muda kembali saat mengetahui jumlah lawan semakin lama semakin sedikit.
"Tukang mimpi, kita beradu cepat siapa yang paling banyak membuat setan brengsek ini menemui penciptanya!" serunya sambil melontarkan Ilmu "Sangkakala Braja' ke depan.
Wutt! Blamm ... ! "Siapa takut! aku yakin orang malas sepertimu tidak bakalan menang melawanku!" tukasnya disertai hentakan "Kidung Sang Baka" ke kiri dan kanan secara bersamaan.
Wuss! Blarrr ... ! Sementara itu, Bidadari Berhati Kejam, tiga jago muda dari Partai Ikan Terbang, Tiga Golok Empat Pedang dari Perguruan Karang Patah serta Ketua Perguruan Perisai Sakti yang bergelar Perisai Baja Bermata Sembilan dengan dua orang muridnya, Suratmandi dan Wiratsoko telah lebih dulu masuk dalam kancah pertarungan.
Sratt ... sratt .. crasss ... crass ... !
Bluuub, blubb, blushh ... !
Dikarenakan sebelumnya telah tahu kelemahan dari para makhluk gaib itu yang menyerang kali ini, membuat mereka yang tidak berbekal ilmu-ilmu gaib pemusnah bisa dengan leluasa melakukan pengurangan jumlah lawan. Si nenek bersenjatakan Pedang Pusaka Besi Kuning tanpa segan-segan mengerahkan Ilmu "Pedang Sukma Gelap' dengan pancaran hawa 'Tenaga Sakti Sukma Gelap' tingkat tujuh sehingga sekujur badan si nenek dan pedangnya yang berkelebatan diselimuti pancaran cahaya kuning buram.
Crass! Crass ... !
Beberapa tuyul hitam dan hijau yang mencoba menyergap dari arah samping harus merelakan tubuh mereka terbelah dua, lalu meledak disertai asap tebal dan lenyap tak bekas. Bagaimana pun juga pamor gaib besi kuning merupakan salah satu benda keramat yang juga ditakuti bangsa mahkluk gaib, bahkan siluman sekelas Ratu Siluman Kucing dibuat keder oleh pamor gaib tersebut.
Melihat penjagaan di sisi timur laut dalam keadaan kosong seperti yang sudah direncanakan sebelumnya, si Elang Salju bergegas menghampiri bola cahaya kuning dan berdiri tepat di depannya, sedang tangan kiri dan kanan terlihat mengibas cepat dalam aturan-aturan tertentu.
Swiing ... sritt!!
Dua bayangan berkelebat cepat ke sisi kanan kiri dengan laksana kilat, namun anehnya kedua benda bagai gerakkan tangan-tangan gaib, yang dengan lincah mengikuti arah telunjuk Paksi Jaladara. Kemana pun dua telunjuk itu bergerak, maka dua bayangan itu juga mengikuti arah yang sama secara bersamaan pula.
Crass! Crass! Crass! Crass ... !
Pendekar Elang Salju Karya Gilang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aaakhh ... huakkhh ... !"
Bushhh ... bushhh ... !
Jilid 1 : Sang Pewaris - Bab Empat Puluh Delapan
Rupanya Sepasang Golok Mengejar Bulan telah beraksi. Sepasang golok berbentuk lengkung seperti bulan sabit dengan lima cerukan di bagian tengah bergerak dalam aturan-aturan tertentu seperti menggunakan jurus-jurus pedang. Untuk pertama kalinya pemuda sakti berbaju putih menggunakan jurus pedang tunggal aliran Partai Matahari Terbit yang bernama jurus "Terbit Di Timur, Tenggelam Di Barat" untuk menggerakkan sepasang golok lengkung. Adakalanya tangan kiri bergerak dengan pola-pola serangan ke arah kiri, begitu pula tangan kanan bergerak dengan pola serangan ke arah kanan.
Sett ... reett!!
Suara gesekan angin semakin keras menyayat laksana ratapan hantu di siang bolong. Semakin cepat bergerak, suara sayatan semakin membuat gendang telinga para penghuni alam gaib laksana ditusuk-tusuk ribuan jarum. Saat dilanjutkan dengan gerakan menebas, Paksi Jaladara mengubah gerakan menjadi arah yang berseberangan, satu bergerak ke kiri dan satunya bergerak ke kanan dengan kecepatan yang lebih tinggi hingga nampak kelebatan bayangan putih kehitaman, sehingga kelihatan menjadi dua serangan yang berbeda meski tetap menggunakan jurus yang sama. Tampak dua bayangan yang seolah saling berlomba membantai lawan.
Kali ini gabungan Ilmu "Mengendalikan Badai" dan jurus pedang "Terbit Di Timur, Tenggelam Di Barat" bagai tangan panjang Paksi Jaladara.
Rrrtt ... critt ... ! Crriing!! Triing ... !!
Kepulan asap abu-abu semakin banyak memenuhi tempat itu.
"Pantas Kakang Paksi bersikukuh menggunakan golok uniknya, rupanya ia mahir menggunakan senjata aneh itu dengan cara luar biasa," kata hati Gadis Naga Biru atau Retno Palupi yang menggunakan Ilmu "Pedang Naga Laut" warisan sang kakek lewat Pedang Samurai Kazebito yang digenggam dengan tangan kanan, sedang tangan kiri merapal "Tiga Belas Pukulan Telapak Kosong", sehingga diantara desingan pedang terselip suara gemuruh ombak yang menghantam batu karang. Saking cepatnya ia bergerak membuat tubuh gadis itu berubah menjadi sebentuk bayangan biru yang berkelebat cepat menyambar-nyambar bagai camar di laut.
Gadis Naga Biru, putri tunggal Majikan Wisma Samudera bertarung sengit dengan Senopati Segawon Alas, dimana 'Tenaga Gaib Siluman Serigala' sudah dikerahkan hingga maksimal bahkan Ilmu 'Baju Besi Iblis' tingkat coklat dikerahkan sampai tingkat tertinggi. Sehingga seluruh arena pertarungan dipenuhi dengan gulungan bayangan pedang yang menari-nari liar disertai suara tapak menggemuruh laksana badai di laut beradu tanding dengan hujan cakar serigala yang gesit dan adakalanya melakukan gebrakan-gebrakan tak terduga. Bahkan lontaran beberapa pukulan sakti sering terdengar diantara celah-celah pertarungan.
Akan tetapi, terdapat keanehan pada gerak siluman serigala di kala pedang aneh yang ada di tangan lawan mengejar dirinya. Siluman berdarah campuran yang kebal senjata karena Ilmu 'Baju Besi Iblis' tingkat coklat tidak berani membenturkan sepasang tangan dengan pedang aneh panjang melengkung di tangan gadis jelita yang menjadi lawannya.
"Aneh, kenapa aku memiliki rasa takut terhadap pedang melengkung di tangan gadis itu?" pikirnya sambil mengerahkan tendangan beruntun ke arah kuda-kuda kokoh si dara cantik berbaju biru. "Lebih baik aku rebut dulu pedangnya, baru orangnya kuhabisi belakangan."
Wukk! Wukk! Gadis Naga Biru melenting sambil mengayunkan pedang panjang lewat jurus 'Naga Siluman Menjulurkan Lidah' berusaha membuntungi sepasang kaki Senopati Segawon Alas dari atas, sedang tangan kanan menyerang dengan jurus 'Selaksa Tapak Membelah Laut'.
Werr ... swerrr ... ziing ... !
Melihat kaki terancam putus sebatas lutut sedang bagian atas dihadang puluhan tapak yang datang bagai gelombang membuat Senopati Segawon Alas mengambil resiko tinggi. Mengandalkan Ilmu 'Baju Besi Iblis' tingkat coklatnya, manusia serigala berguling ke depan dan membiarkan bagian punggung terhantam serangan lawan.
Dess! Prakk! Brakk!
Bersamaan dengan itu pula, sepasang kakinya berhasil lolos dari sergapan pedang, namun ia melupakan satu hal!
Bagian ekor! Di bagian itu terlupa sama sekali, karena ia hanya memikirkan sepasang kaki. Hingga tanpa bisa dicegah lagi, ekor panjang Senopati Segawon Alas terbabat putus setengah lebih.
Crasss ... !! "Aaauuuungg ... "
Suara raungan serigala kesakitan langsung terdengar keras. Darah kental coklat kehitaman menetes keluar dari bekas potongan ekor.
"Sial ... ternyata mata pedang berasal dari batu dingin dari Pegunungan Himalaya," terdengar gumaman lirih saat merasakan rasa dingin menjalar masuk lewat bagian ekornya yang terpotong putus. Darah kental kecoklatan menetes keluar disertai bau amis.
Melihat lawan terluka membuat serangan Retno Palupi semakin meningkat.
"Serigala jelek! Lebih baik kau menyerah saja!" serunya sambil memutar-mutar pedang membentuk gulungan-gulungan tajam, kemudian dikibaskan ke depan diiringi bentakan keras. "Terima jurusku ... ! Hiyaaa ... !"
Wuuukk ... wuuk ... werr ... !
Sebentuk gulungan hawa pedang dari jurus 'Tarian Naga Laut' langsung menggebah maju disertai serangan tapak yang menyusul belakangan. Jurus kedua dari "Tiga Belas Pukulan Telapak Kosong" yang bernama 'Dewa Samudera Memecah Gelombang' menggebah dengan dashyat bagai mendorong maju gulungan hawa pedang dari jurus 'Tarian Naga Laut'!
'Tenaga Gaib Siluman Serigala' sudah tidak seperti sebelumnya, menurun separoh lebih karena putusnya bagian ekor, sebab di bagian ekorlah sebenarnya merupakan titik lemah paling utama dari ilmu tenaga gaib tersebut. Meski tanpa sengaja terputus oleh lawan, membuat Senopati Segawon Alas harus berpikir dua kali lipat memapaki dua jurus serangan lawan. Namun saat ini tidak ada waktu lagi untuk berpikir panjang. Tidak ada pilihan lain, dengan kekuatan tersisa ia mengemposkan 'Tenaga Gaib Siluman Serigala' ke tahap yang paling tinggi bisa ia kerahkan.
"Brengsek! Hanya bisa pada tingkat ke lima!" pikirnya kuatir, sedang serangan lawan kini sejarak setengah tombak lagi di depannya.
Diikuti raungan keras, sepuluh kuku jari Senopati Segawon Alas berubah memanjang.
Peristiwa Burung Kenari 1 Manusia Harimau Jatuh Cinta Serial Manusia Harimau Karya S B. Chandra Pendekar Laknat 6
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama