Pendekar Gila Karya Kho Ping Hoo Bagian 1
___________________________________________________________________________
Bab 1 ... KURANG lebih sepuluh li jauhnya di sebelah barat daya dari So-cou, terdapat sebuah telaga Tai-hu yang amat indah pemandangannya. Airnya bening dan tak pernah surut, demikian beningnya sehingga segala warna yang berada di pinggir dan di atasnya tercermin ke dalamnya menimbulkan tata warna yang indah mengagumkan. Langit biru terhias awan-awan putih, daun-daun pohon berwarna hijau dihias bunga-bunga merah kuning dan kebiruan membayang dalam air, agaknya lebih hidup dari pada warna aslinya.
Apabila tidak ada angin bertiup, air telaga Tai-hu demikian tenang, licin mengkilap bagaikan lukisan besar tertutup kaca. Sewaktu terdapat angin bertiup, air menjadi hidup bergoyang-goyang mendatangkan keriput dan membuat seluruh pemandangan yang terbayang di dalamnya berubah aneh dan lucu.
Sukar untuk melukiskan keindahan telaga ini. Di sebelah kiri terdapat tetumbuhan kecil terdiri dari bermacam-macam bunga liar yang seakan-akan sengaja mendekati telaga agar bunga-bunga itu dapat bercermin setiap waktu, mengagumi kecantikan sendiri di dalam bayangan air.
Di sebelah kanan penuh dengan pohon-pohon besar yang berbatang bengkak-bengkok seperti tubuh orang-orang sedang menari, dengan cabang dan rantingnya penuh daun itu bergerak-gerak tertiup angin, mendatangkan suara berkerisik seakan-akan banyak daun itu saling bercakap-cakap memuji keindahan telaga dan cabang-cabang merupakan tangan dan jari-jari Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
1 para penari ulung yang sedang menari menurutkan irama yang didatangkan dari desau angin lalu.
Di sebelah kanan, yakni di seberang sana, terdapat beberapa buah bangunan kecil berbentuk menara-menara mungil yang dicat merah, hijau, biru dan kuning, nampak indah merupakan perpaduan yang harmonis antara keahlian tangan dan otak manusia dan keaslian alam di sekelilingnya.
Di sebelah sini, terdapat tanah pasir yang bersih dan banyak sekali perahu-perahu tambangan diikat pada patok-patok yang ditancapkan di atas pasir. Inilah perahu-perahu sewaan yang dapat disewa setiap saat oleh para pelancong yang ingin menghibur hatinya di telaga itu.
Di dekat menara-menara yang kecil mungil itu banyak terdapat orang berdagang, di antaranya dapat dibeli arak, makanan dan juga di situ banyak orang menjual alat tulis seperti pit, tinta, kertas atau kain putih yang biasa ditulisi, bahkan ada pula yang kosong dan belum dilukis.
Semua ini disediakan bagi para pelancong yang sebagian besar tergerak hatinya melihat keindahan alam ini dan yang menimbulkan hasrat untuk menulis sajak atau melukis keindahan itu di atas kertas, kain ataupun di atas kipas.
Pada hari itu, telaga Tai-hu istimewa ramainya. Tidak heran oleh karena musim bunga telah tiba. Bunga-bunga beraneka ragam mekar semua dan membuat pemandangan di sebelah kiri telaga nampak luar biasa indahnya. Angin bertiup perlahan, membawa sari kembang yang harum semerbak ke sekeliling telaga.
Berbagai macam orang datang mencari hiburan di telaga Ti-hu pada waktu itu. Akan tetapi yang terbanyak di antara mereka adalah para pelajar dan sasterawan, yang dapat dikenal dari keadaan pakaian mereka. Juga ada beberapa orang bangsawan yang menghibur hati di telaga itu, ternyata dari perahu mereka yang dihias bendera dan para penjaga yang berdiri di kepala perahu atau yang mengawal dengan perahu kecil terpisah.
Di atas beberapa buah perahu yang besar dan yang berbau bangsawan, terdengar nyanyian-nyanyian indah diiringi musik yang menawan hati. Memang, kalau orang ingin berpelesir di atas perahu sambil mendengarkan nyanyian indah, asal orang mempunyai uang, mudah saja maksudnya ini tercapai. Di situ telah siap sedia "calo-calo" atau makelar yang dapat mencarikan penyanyi-penyanyi yang dapat disewa untuk menghibur hati mereka yang suka mendengar suara merdu.
Setiap datang musim semi, alang-alang yang hijau segar tumbuh di pinggir telaga, menari-nari tertiup angin di atas air menambah indah pemandangan. Dan pada hari itu, di dekat rumput alang-alang ini, nampak sebuah perahu kecil yang diduduki oleh tiga orang pemuda berpakaian pelajar. Mereka masih muda sekali, rata-rata berusia tak lebih dari lima belas tahun, berwajah tampan dan bersikap halus bagaikan gadis-gadis simpanan.
Seorang di antaranya yang paling cakap dan tampan mengenakan pakaian serba hijau dengan garis-garis kuning. Topinya juga berwarna kuning. Mukanya lebar dan tampan, dengan alisnya yang berbentuk golok dan hitam sekali membuat wajahnya makin nampak putih.
Biarpun sikapnya lemah lembut, namun sepasang matanya yang bersinar cerdik dan mulutnya yang berbentuk keras itu menunjukkan bahwa ia adalah seorang pemuda yang berkemauan keras.
Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
2 Dua orang kawannya juga berwajah cakap dan sikap mereka gembira, berbeda dengan pemuda baju hijau yang agak pendiam. Seorang mengenakan pakaian biru dan yang kedua berpakaian kuning. Menilik dari bahan pakaian yang mereka pakai, dapat diduga bahwa ketiganya adalah pelajar-pelajar yang tidak kaya, karena sungguhpun pakaian mereka rapi dan bersih, namun terbuat dari bahan yang tidak mahal.
Mereka bertiga duduk di papan perahu menghadapi sebuah meja persegi kecil. Seguci kecil arak dengan tiga cawan terletak di atas meja itu, dan sebungkus kue kering menemani arak.
Mereka bercakap-cakap sambil makan kue dan minum arak. Selain arak dan kue, juga nampak tiga buah kipas yang masih kosong, yang mereka beli di dekat menara tadi. Alat-alat tulis lengkap berada pula di situ, berikut sebuah buku syair kuno yang tebal dan sudah kuning kertasnya karena terlalu tua.
Pemuda baju hijau itu adalah putera seorang bangsawan yang telah meninggal dunia. Karena semasa hidupnya, ayahnya memegang jabatan dengan jujur dan adil sehingga tidak seperti pembesar lain, hidupnya miskin, hanya mengandalkan gajinya yang tidak seberapa besar.
Bangsawan she Lie itu tidak mau menjalankan pemerasan kepada rakyat sebagaimana yang lazim dilakukan oleh setiap orang berpangkat pada masa itu, hingga pada suatu waktu ia menderita sakit sampai meninggal dunia, ia tidak meninggalkan warisan harta besar selain kepandaian yang dimiliki oleh putera tunggalnya ini yang bernama Tiong San. Memang semenjak kecil, bangsawan Lie telah banyak mempergunakan uangnya untuk memberi pelajaran ilmu kesusasteraan kepada puteranya dengan pengharapan agar kelak dapat menduduki pangkat tinggi.
Akan tetapi, biarpun Tiong San dalam usia lima belas tahun telah lulus dengan baik dalam ujian pemerintah, namun pada masa itu sukarlah bagi seorang pelajar untuk merebut kedudukan tinggi dalam kalangan pemerintah. Oleh karena mereka yang berwenang menetapkan pembagian pangkat adalah seorang yang hanya memandang uang sogokan.
Siapa saja yang memiliki uang dan berani memberi suapan besar, biarpun belum pernah lulus ujian, akan dapat memiliki pangkat kecil dengan amat mudah. Sebaliknya Tiong San yang telah ditinggal mati ayahnya hidup dengan ibunya yang mengandalkan hasil kerajinan tangan, biarpun hasil ujiannya baik, namun tak mungkin bisa memperoleh pangkat yang bagaimana kecilpun!
Hal ini amat menyedihkan hatinya dan ia menjadi sebal melihat keadaan petugas-petugas pemerintah yang hanya memandang harta itu. Hatinya menjadi tawar, bahkan ia tidak mempunyai keinginan sama sekali untuk memegang pangkat. Sehingga andaikata ia mendapat tawaran untuk menduduki sebuah pangkat, ia tentu akan menolaknya.
Pada hari itu, ia meninggalkan rumahnya dan diberi ijin oleh ibunya untuk bermain-main di telaga Tai-hu yang agak jauh letaknya dari kampung tempat tinggalnya, oleh karena ibunya merasa kasihan melihat kesedihan puteranya dan ingin melihat puteranya itu bergembira dengan kawan-kawannya. Maka pergilah Tiong San dengan dua orang kawannya itu menghibur diri di telaga Tai-hu. Kedua orang kawannya itu adalah kawan-kawan sekolahnya yang melanjutkan pelajarannya di kota raja, dan kini sedang berlibur kembali ke kampung masing-masing. Mereka adalah kawan sekampung dan telah menjadi sahabat karib semenjak kecil.
Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
3 Si baju biru bernama Khu Sin, putera kepala kampung mereka yang juga terkenal jujur dan bijaksana. Khu Sin dikirim oleh ayahnya ke kota raja untuk melanjutkan pelajarannya dan tinggal di rumah pamannya yang menjadi pemilik rumah makan.
Pemuda berbaju kuning bernama Thio Swie, putera seorang guru sastra di kampung mereka yang juga telah meninggal dunia dan kini hidup berdua dengan ibunya yang telah menjanda.
Seperti Khu Sin, Thio Swie inipun melanjutkan pelajarannya di kota raja dan tinggal di rumah bibinya yang kawin dengan seorang pemilik toko obat.
Kini kedua kawan sekampung itu pulang dalam waktu libur dan berpelesir dengan Tiong San di telaga Tai-hu, karena mereka berdua memang suka sekali kepada Tiong San yang terkenal paling pandai di antara mereka.
Dalam kegembiraan mereka, Thio Swie si baju kuning berkata sambil tertawa kepada Tiong San,
"Sekarang lebih baik kita mencoba ingatan masing-masing tentang sajak jaman dahulu. Kau terkenal ahli sajak yang banyak hafal akan sajak-sajak jaman dahulu, bahkan kitab sajak ini ke manapun kau bawa."
Tiong San tersenyum. "Boleh, dan tentu saja kau dan Khu Sin telah banyak mempelajari sajak-sajak baru di kota raja. Asal kau tidak menyebut sajak yang baru dan yang belum pernah ku dengar tentu aku masih ingat."
"Biar aku dulu yang mengajukan sebuah sajak untuk diterka oleh Tiong San!" kata Khu Sin yang segera mendongakkan mukanya yang cakap itu ke atas memandang awan-awan yang terbang lalu dengan perlahan. Ia mengingat-ingat sebentar, kemudian ia mendeklamasikan sebuah sajak dengan gaya yang menarik.
Berkawan arak setiap hari di perahuku,
Mendengarkan nyanyi sunyi, dari bawah alang-alang merayu-rayu,
Angin bertiup lalu, angkasa terang tiada awan,
Air dan langit bersih bagai kaca kehijau-hijauan.
Tiong San tersenyum dan mengangguk-angguk. "Kau memilih syair yang tepat, Khu Sin!" ia memuji. "Itulah sajak yang ditulis oleh Yang Pei pada masa dinasti Sung ketika ia berkunjung ke sini dan menikmati keindahan pemandangan telaga Tai-hu."
"Bagus, ternyata ingatanmu masih amat tajam!" Thio Swie memuji Tiong San. "Dan sajak yang baru saja diucapkan oleh Khu Sin amat baiknya, kalian harus diberi selamat dengan secawan arak!" sambil berkata demikian Thio Swie yang berwatak gembira lalu menuangkan arak dari guci, memenuhi cawan masing-masing dan mereka lalu mengangkat cawan dan minum dengan gembira.
"Sekarang giliranku," kata Thio Swie sambil pasang aksi memikir-mikir dengan mengerutkan jidat bagaikan seorang ahli sastra beraksi. "Dengarkan baik-baik, Tiong San, karena kau tentu takkan bisa menerka siapakah pengarang sajak ini." Thio Swie mengucapkan sajak pilihannya dengan mimik (gerak) muka yang lucu seakan-akan ia sedang beraksi di depan ribuan penonton di atas panggung.
Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
4 Tiap hari cawanku penuh arak wangi,
Duduk di taman bunga kecil indah sunyi,
Tiap hari aku bernyanyi dan menari gembira ria.
Lempar jauh-jauh segala susah dan duka,
Yang lalu hanya mimpi kosong belaka.
Lihatlah! Orang-orang besar mati menjadi tanah hampa,
Tidak sibuk lagi memperebutkan kedudukan dan nama!
Karenanya, bersenang-senanglah selagi kau bisa!
"Aah, siapa lagi orangnya kalau bukan Cu Si Cen yang tak kenal susah dan duka" Sudah semenjak kecil aku mengagumi orang itu!" kata Tiong San dan Thio Swie bertepuk-tepuk tangan dengan gembira lalu memperlihatkan ibu jarinya.
"Kau memang jempol, Tiong San! Sepintas saja kau sudah dapat menerka siapa penyairnya,"
ia memuji dan menuangkan arak kembali ke dalam cawan masing-masing.
"Memang Cu Si Cen orangnya berwatak suci dan tidak mau memusingkan otaknya dengan segala keruwetan dunia. Sebagai seorang terpelajar yang gagal memperoleh kedudukannya menjadi tak acuh lagi dan menyerahkan diri kepada nasib," kata Khu Sin sambil menarik napas. Kemudian ia memandang tajam kepada Tiong San dan tiba-tiba menepuk pundak kawannya itu. "Ah, Tiong San, aku menjadi ingat akan sesuatu. Kau mempunyai persamaan yang besar sekali dengan perenung itu!"
Tiong San hanya tersenyum pahit dan berkata, "Betapapun juga aku tidak suka kepada orang yang hanya menyerahkan diri kepada nasib tanpa mau berusaha dan berdaya upaya. Nasib adalah kurnia dari Thian Yang Maha Agung. Akan tetapi bukanlah kehendak Thian bahwa orang hanya menanti dan menyerahkan diri kepada nasib belaka, seakan-akan menyerahkan segala pekerjaan kepada Thian yang sudah cukup memberi berkah berlimpah-limpah! Orang-orang yang tidak mau berikhtiar dan hanya menyerahkan diri kepada nasib adalah orang-orang malas yang tiada guna!" Tiong San nampak bersungguh-sungguh ketika mengucapkan kata-kata ini sehingga kedua orang kawannya mendengarkan dengan penuh perhatian.
"Coba saja kalian pikir!" kata pemuda itu pula yang biarpun masih muda sekali akan tetapi telah pandai menerawang dan mempergunakan otaknya secara luas. "Thian telah memberi kurnia kepada kita selengkapnya. Ada sepasang tangan untuk bekerja, sepasang kaki untuk berjalan, lengkap dengan otak dan perasaan ditambah pertimbangan dan kecerdikan. Akan tetapi kalau kita tidak berikhtiar, tidak berusaha dan bekerja, tidak mencangkul tanah dan mempergunakan kecerdikan sendiri untuk menanam gandum dan mengerjakan segala kebutuhan kita, tak mungkin segala macam makanan, pakaian dan keperluan lain datang sendiri! Thian cukup adil, dan murah hati, akan tetapi tidak seharusnya diperas habis-habisan!"
Tiba-tiba Thio Swie tertawa bergelak. "Tiong San, kata-katamu ini biarpun tak dapat kubantah kebenarannya, akan tetapi kenyataannya pada dewasa ini sama sekali menyangkal kebenaranmu! Lihat saja, orang-orang besar tanpa berusaha, tanpa berikhtiar, hanya dengan duduk ongkang-ongkang dan goyang-goyang kaki dan mengipas-ngipas tubuh di atas kursi, semua keperluannya datang berlebih-lebihan! Bukankah itu karena nasib mereka yang amat baik" Seperti Wu Yen Kau pernah menulis,
Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
5 Nasib, kau makhluk penuh senda-gurau
Tak perduli kutuk tangis, tak hiraukan puji syukur!
Kadang-kadang di sini, kadang kala di sana, naik turun,
Mendatangkan senyum menimbulkan air mata!
"Itu bukan karena nasib, kawanku," kata Tiong San sambil menarik napas. "Akan tetapi karena salahnya keadaan dan keadaan hidup manusia bukanlah datang dari Thian. Akan tetapi timbul oleh karena perbuatan manusia sendiri. Kalau pengemudinya tidak pandai memegang kendali, kuda-kudanya akan berlari liar dan kereta yang ditariknya akan lari pontang panting kacau-balau dan banyak kemungkinan masuk ke dalam jurang. Demikian pula, kalau pemegang kendali pemerintah kurang bijaksana, maka para petugas akan dimabok kecurangan dan rakyat akan mengalami hidup sengsara ...."
"Sst! Tiong San, jangan keras-keras! Kita bukan berada di dalam sebuah kamar tertutup di rumah sendiri," kata Khu Sin dengan muka khawatir.
"Dindingpun pada waktu ini bertelinga, kau harus bicara dengan hati-hati, kawan!" kata pula Thio Swie memperingatkan. "Lebih baik kita lanjutkan dengan sajak-sajak kuno yang mengandung banyak filsafat hidup dari pada membicarakan hal yang bukan menjadi tugas kita untuk memusingkannya. Ingatkah kau kepada ahli filsafat Cu Si yang pernah berkata, Siapakah tak ingin biliknya penuh emas"
Siapakah tak ingin gudangnya penuh gandum"
Namun cita-cita akan tetap tinggal cita-cita
Kalau sang nasib tidak membantu pelaksanaannya!
Nasib anak-anak pun tak dapat kau tentukan di muka!
"Ah, Thio Swie, kau harus menjadi seorang pemeluk agama Tao, pergi ke puncak gunung mengasingkan diri, duduk melamun sepanjang hari dan mengucapkan syair yang dibuat oleh Su Tung Po,
Mengapa mengejar-ngejar nama besar tak berharga,
yang hanya terletak di atas tanduk seekor siput"
Mengapa mencari-cari keuntungan,
yang pada hakekatnya amat kecil hingga dapat ditimbang di atas kepala lalat"
Semua itu tiada gunanya!
Segala sesuatu sudah ditentukan oleh sang nasib
Siapa beruntung, siapa sengsara!
Ditegur sedemikian oleh Tiong San, Thio Swie hanya tersenyum gembira. "Kalau aku menjadi pertapa, hanya satu tempat yang akan kupilih menjadi tempat pertapaanku."
"Di mana?" tanya Khu Sin.
"Di atas tempat tidur yang empuk dengan tilam yang putih bersih dan bantal kepala yang empuk dan harum!"
"Ah, kau pemalas, itu bukan pertapa namanya, akan tetapi tukang tidur dan mimpi!"
Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
6 Ketiganya tertawa dan demikianlah ketiga orang muda itu tertawa-tawa gembira, mendeklamasikan sajak-sajak kuno dan bercakap-cakap tentang sastra yang menjadi kesukaan mereka. Keadaan di atas telaga makin ramai, perahu-perahu bertambah dan suara suling merayu-rayu yang diikuti suara yang-khim untuk mengiringi suara nyanyian merdu seorang penyanyi wanita, menambah gembira suasana.
Tiba-tiba di tempat perahu-perahu berkumpul terdengar seruan orang-orang sambil tertawa,
"Orang gila! Orang gila!"
Tiong San dan dua orang kawannya memandang dan mereka melihat seorang laki-laki bertubuh tinggi kurus yang hampir telanjang karena tubuhnya hanya tertutup oleh sebuah celana yang pendek sampai di atas lutut sedangkan bajunya hanya menyerupai kutang yang menutup dada dan perut saja.
Laki-laki itu usianya paling sedikit lima puluh tahun, akan tetapi rambutnya yang panjang terurai ke atas kedua pundaknya, masih nampak hitam. Ia berjalan-jalan di antara perahu-perahu kosong yang belum mendapat penyewa dan menggunakan sebatang pecut panjang yang dipegang di tangan kirinya untuk memecuti perahu-perahu itu sambil mulutnya tiada hentinya berkemak-kemik. Orang-orang yang dekat dengan dia mendengar ia berkata perlahan.
"Ayo berkumpul .... pulang ke kandang ....." seakan-akan perahu-perahu itu adalah sekumpulan kerbau yang sedang digembala olehnya.
Orang gila yang suka mengamuk amat ditakuti orang. Akan tetapi orang gila yang tidak berbahaya selalu menjadi ejekan dan bahan godaan orang. Maka melihat betapa orang gila ini tidak berbahaya dan sama sekali tidak memperdulikan sekian banyak orang yang berada di pantai telaga, ada beberapa orang yang hendak menggodanya,
"Eh, orang tua, agaknya kau gila kerbau!" kata seorang sambil tertawa-tawa.
"Siapa bilang dia gila!" kata seorang lain. "Dia adalah seorang hartawan yang sedang menggiringkan seratus ekor kerbau ke kandangnya!"
Seorang nelayan lain yang merasa kurang puas kalau hanya menggoda dengan kata-kata saja, lalu melangkah maju hendak menarik rambut orang gila yang bergantungan di atas pundak itu. Akan tetapi sebelum ia tiba dekat, kakinya tergelincir di atas batu dan ia roboh terguling.
Celaka baginya, ia terjatuh di tempat yang basah dengan muka lebih dulu sehingga ketika ia bangun kembali, mukanya penuh lumpur dan kedua matanya tak dapat melihat.
Ia mengangkat kedua tangan meraba-raba ke sana ke mari sambil mengumpat caci hingga semua orang tertawa terpingkal-pingkal dan kini orang itulah yang menjadi tontonan. Si gila dengan diam-diam terus melangkah maju menjauhi tempat ramai, lalu duduk di bawah pohon di bagian kanan telaga, memukul-mukulkan pecutnya pada air telaga seperti orang sedang memancing ikan. Orang-orang tidak memperhatikan lagi padanya karena tempatnya agak jauh dari tempat ramai.
"Ada-ada saja," kata Thio Swie yang tadi ikut tertawa bergelak melihat nelayan yang jatuh.
"Kawan-kawan, kipas kita masih kosong, mari kita isi dengan syair yang baik untuk kenang-kenangan!"
Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
7 Kedua orang kawannya setuju dan mereka mulai sibuk menulis syair di atas kipas yang putih bersih itu.
"Kalian telah belajar di kota raja, tentu saja aku tak dapat melawan kalian. Baik dalam susunan syairnya maupun tulisannya," kata Tiong San.
Akan tetapi Thio Swie dan Khu Sin maklum bahwa tulisan Tiong San bukan main indahnya sehingga guru mereka sendiri dulu amat kagum memujinya. Sedangkan dalam hal pembuatan syair, pemuda itupun amat pandai.
Ketika Thio Swie dan Khu Sin sudah selesai membuat syair mereka, Tiong San masih saja duduk melamun dengan pit yang masih kering di tangan kanan dan kipas terbuka dihadapannya. Ia tak dapat menulis sesuatu oleh karena pikirannya masih penuh terisi peritiwa orang gila yang barusan terjadi.
Entah mengapa, keadaan orang gila itu menarik perhatiannya. Seluruh keadaan orang gila itu membayangkan kebebasan yang mutlak baginya. Kalau lain orang bersopan-sopan, memakai pakaian yang mahal-mahal dan berpantas-pantasan, adalah orang gila itu seakan-akan terlepas dari pada segala ikatan dunia, bebas lepas seperti burung di udara.
Lihat betapa ia tadi berjalan seorang diri, bagaikan tak melihat sekian banyak orang di sekelilingnya. Kemudian sekarang duduk dengan enaknya di bawah pohon, bermain-main dengan pecut sendiri. Entah apa yang sedang dipikirkannya!
Tiong San teringat akan keadaan orang-orang yang menganggap diri sendiri "waras" dan nampak olehnya betapa banyak sekali kepalsuan dan keburukan terdapat pada orang-orang yang tidak gila ini. Seperti dia sendiri, ia bersenang selagi hatinya murung, selagi banyak sekali hal mengganggu ketentraman jiwanya, tentang kegagalan mendapat pangkat, tentang keadaan ibunya yang telah menjadi janda, tentang orang-orang berpangkat yang melakukan korupsi besar-besaran, tentang kesengsaraan rakyat jelata .... ah, semua ini tentu tidak terpikir atau mengganggu pikiran orang gila itu. Siapakah yang lebih gila, dia sendiri atau orang gila itu"
"Tiong San, lihat, syairku telah selesai!" kata Thio Swie dengan bangga. Tiong San sadar dari lamunannya dan terpaksa ia berkata sambil tersenyum,
"Cepat sekali, Thio Swie dan bagus sekali tulisanmu. Coba kau bacakan syairmu itu!"
Juga Khu Sin yang telah selesai menulis syairnya itu minta kepada Thio Swie untuk membacakan syairnya lebih dulu. Thio Swie lalu membaca syairnya setelah batuk-batuk untuk membuat suaranya terdengar lebih nyaring dan merdu.
Awan putih berkejaran di angkasa biru,
Bagaikan sekelompok angsa berenang di telaga Tai-hu!
Air telaga bersih bening penuh bayang-bayang nyata
Menarik semua keindahan di atas pada dasarnya
Kita minum arak ditengah-tengah, antara air dan angkasa
Menjadi bingung tak kuasa menerka
Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
8 Mana langit dan mana telaga"
"Bagus, bagus!" Tiong San dan Khu Sin memuji-muji keindahan sajak itu.
"Coba saja kalian dengarkan syairku, " kata Khu Sin yang lalu membaca syairnya di atas kipasnya.
Perahu kecil diayun air telaga Tai-hu
Bagaikan bayi dalam timangan ibu,
Menghadapi cawan penuh, dengan kawan-kawan bercengkerama
Menikmati keindahan Tai-hu, raja telaga
Angin berkesiur lembut membawa nyanyian merdu
Kalau surga bukan di sini, di mana adanya aku tak tahu!
"Waah, syairmu itu lebih indah lagi!" kata Thio Swie sambil bertepuk tangan memuji, sedangkan Tiong San juga mengangguk-angguk memuji.
"Eh, mana syairmu?" tanya Thio Swie sambil melihat kipas Tiong San yang masih kosong.
Juga Khu Sin merasa heran dan menegur sahabatnya itu. Tiong San menjadi merah mukanya karena memang ia belum menuliskan sehurufpun di atas kipasnya.
"Tunggu sebentar, kawan-kawan. Aku mendapatkan bahan baik untuk menuliskan syairku,"
kata Tiong San dan kembali ia teringat akan orang gila yang ketika ia lirik ternyata masih saja duduk melenggut di bawah pohon sambil memegang gagang cambuknya seperti orang memancing ikan. Ia lalu mulai mencelupkan pitnya pada tinta hitam dan menulis dengan cepat seakan-akan tanpa dipikir lagi,
Memancing ikan dengan pecut tanpa kaitan
Bersikap seperti Kiang Cu Ce sang budiman
Orang menyebutnya gila, memang dunia penuh orang gila!
Yang waras dianggap gila, yang gila meraja lela
Aku ....... Belum habis Tiong San menuliskan syairnya, tiba-tiba Thio Swie berteriak keras,
"Hai, apa kamu gila ....?"" dan baru saja ia berseru demikian untuk menegur sebuah perahu besar yang datang menubruk perahu kecil mereka. Tubrukan itu sudah terjadi dan hampir saja perahu mereka terguling! Baiknya perahu mereka yang kecil itu berdasar lebar hingga tidak terguling, hanya terombang-ambing dan terdorong sampai jauh.
"Kurang ajar!" seru Khu Sin
"Gila benar!" Thio Swie memaki. Akan tetapi perahu besar itu melewat tanpa memperdulikan mereka dan anak perahu hanya memandang sebentar sambil tertawa-tawa. Dari atas perahu besar itu terdengar nyanyian merdu dan melihat bendera yang berkibar di atas perahu, maklumlah ketiga orang muda bahwa itu adalah perahu seorang pembesar tinggi.
Tubrukan itu terjadi di tempat dekat pantai sebelah kanan di mana orang gila tadi duduk, dan perahu kecil Tiong San dan kawan-kawannya terdorong ke dekat pantai. Orang gila itu sedang Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
9 memukul-mukul pecutnya ke air dan ketika Tiong San memandang, ia terkejut sekali karena ternyata bahwa di atas air depan orang gila itu, nampak beberapa ekor ikan besar yang mati mengambang.
Orang gila itu menggunakan pecutnya untuk mencambuk ikan-ikan besar yang berenang lewat dan dengan mudahnya menangkap ikan itu yang dikumpulkan di dekat tempat duduknya. Pada saat tubrukan terjadi, orang gila itu sedang mencambuk seekor ikan besar.
Akan tetapi karena air menjadi bergelombang sebagai akibat tubrukan kedua perahu, maka ikan itu menjadi terkejut dan dapat menyelam ke bawah sebelum tubuhnya terpukul cambuk.
Melihat kegagalannya ini, si gila lalu mengangkat mukanya dan melihat betapa Thio Swie dan Khu Sin mengacung-acungkan tinju sambil marah-marah ke arah perahu besar. Ia tertawa bergelak-gelak.
"Ikan besar selalu mengganggu ikan kecil, juga perahu besar mengganggu perahu kecil,"
katanya dengan suara parau dan yang hanya terdengar oleh Tiong San yang sedang memperhatikannya karena kedua orang kawannya sedang sibuk memaki-maki perahu besar itu. "Aku lebih suka menangkap ikan besar!" kata orang gila itu dan dan sekali ia menggenjot tubuhnya, ia telah melompat dengan luar biasa cepatnya ke atas perahu besar yang jaraknya tidak kurang dari tujuh tombak dari tempat duduknya.
Tiong San terkejut sekali dan kalau ia tidak sedang memperhatikan orang gila itu, tentu ia tidak melihat gerakan itu karena gerakan si gila memang cepat sekali dan tubuhnya yang melompat hanya nampak bayangan berkelebat saja. Tahu-tahu di atas perahu besar terdengar suara ribut-ribut dan orang berteriak-teriak.
"Orang gila! Orang gila!!" lalu terdengar suara cambuk berdetak-detak seperti orang lagi mencambuki kerbau yang dihalaunya pulang.
Thio Swie dan Khu Sin yang tidak melihat hal ini mengira bahwa orang-orang di atas perahu besar sedang memaki mereka, maka Thio Swie menjadi makin marah dan balas memaki.
"Kalian yang gila! Mengapa menabrak perahu kami?" Akan tetapi biarpun ia memaki berulang-ulang, tidak ada orang yang meladeninya, dan suara di atas perahu besar makin gaduh saja. Mereka bertiga yang berada di perahu kecil tidak dapat melihat apa yang sedang terjadi di atas perahu besar yang tinggi itu. Akan tetapi dengan hati yang berdebar-debar, Tiong San dapat menduga bahwa si gila itulah yang mendatangkan keributan.
Memang benar, karena orang-orang di perahu besar tiba-tiba melihat seorang tua yang berpakaian tidak keruan sedang mengayun-ayunkan cambuknya memberi hadiah kepada para anak buah perahu dengan satu sabetan. Sabetannya membuat kulit menjadi biru dan terasa sakit sekali. Lagak si gila ini seperti seorang ayah yang sedang memberi ajaran kepada anak-anaknya, karena sambil tersenyum-senyum dan mata terputar-putar ia berkata berkali-kali,
"Nah, rasakan! Kalau tidak dicambuk kalian tidak akan kapok!"
Bab 2 ... SETELAH semua orang merasai cambukannya, si gila lalu melompat lagi ke darat. Akan tetapi tubuhnya menukik ke arah perahu Tiong San dan kawan-kawannya. Tiga orang anak Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
10 muda itu hanya melihat bayangan hitam seperti burung garuda menyambar ke arah mereka dan ketika melihat lagi, bayangan itu telah lenyap dan bersama bayangan itu, ketiga buah kipas mereka juga turut lenyap!
Thio Swie dan Khu Sin saling pandang dengan muka pucat.
"Apakah yang menyambar tadi dan ... dan kipas kita telah digondol pergi!" kata Thio Swie dengan bengong.
"Jangan-jangan setan telaga Tai-hu!" kata Khu Sin dengan bulu tengkuk meremang. "Tiong San, mengapa kau diam saja?"
Tiong San memang sedang memandang ke arah tempat orang gila tadi duduk memancing ikan dan kini ia tidak melihat lagi orang itu yang telah pergi entah ke mana dan dengan cara entah bagaimana. Ia memandang kepada kedua kawannya dan mengangkat pundak.
"Aku sendiri tidak mengerti, bagaimana kipas kita bisa lenyap!" katanya. "Sayang sekali karena syairku tadi belum selesai!"
"Heran sekali, jangan-jangan benar seperti kata Khu Sin bahwa yang mengganggu kita adalah setan telaga Tai-hu," kata Thio Swie.
"Sudahlah, hal ini baiknya jangan kita bicarakan lagi dan jangan memberitahukan kepada siapa pun juga," kata Tiong San yang tidak mau menceritakan apa yang telah dilihatnya tadi.
"Kalau benar-benar yang mengambilnya malaikat telaga, siapa tahu syair kalian yang amat bagus itu akan menyenangkan hati Hai-liong-ong (Raja Naga) yang menguasai semua air dan kau berdua diangkat menjadi pembesar!"
"Hush, jangan begitu, Tiong San!" kata Khu Sin dengan wajah pucat karena pemuda ini memang agak takhyul dan percaya kepada dongeng-dongeng tentang raja naga itu.
Juga Thio Swie yang biasanya suka berkelakar, kini menjadi pucat. "Aku .... aku tidak mau menjadi pembesar di dasar laut atau telaga! Mari .... mari kita pulang saja. Lebih baik aku pergi tidur di kamarku dan kalau sudah bangun menganggap semua ini sebagai mimpi."
Pada saat itu, perahu besar tadi di dayung menuju ke arah mereka dan dari atas perahu kelihatan kepala orang menjenguk ke bawah memandang kepada mereka.
"Eh, eh ... apakah mereka hendak menubruk kita lagi" Jangan-jangan perahu kita akan terbalik nanti, kata Khu Sin dengan muka marah.
"Kalau kita tenggelam, barangkali kita memang sudah akan diterima menjadi pembesar air!"
Thio Swie mulai berkelakar lagi setelah rasa kagetnya mereda.
"Hush, diam. Mereka rupanya hendak bicara dengan kita," kata Tiong San.
Benar saja, perahu itu berhenti dekat perahu mereka dan orang yang menjenguk itu berpakaian seperti seorang pelayan pembesar, yang segera berkata,
"Apakah sam-wi kongcu yang perahunya tertubruk tadi?" tanyanya.
Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
11 "Benar, akan tetapi kami tidak pusingkan hal kecil itu," kata Tiong San yang tidak mau berurusan dengan pembesar.
"Sam-wi, kalian dipersilahkan naik karena Ong-taijin (pembesar Ong) hendak bertemu dengan kalian."
Tanpa menanti jawaban ketiga orang muda yang diundang itu, orang-orang di atas perahu besar segera menurunkan anak tangga terbuat dari kain yang menggantung turun sampai ke perahu kecil.
"Bagaimana ini?" Thio Swie berkata kepada kedua orang kawannya. "Apalagi yang akan terjadi dengan kita?"
"Naiklah saja, untuk apa ragu-ragu" Kita tidak mempunyai kesalahan sesuatu," kata Khu Sin dan mereka lalu naik ke perahu besar melalui anak tangga itu. Akan tetapi, Thio Swie dan Khu Sin tidak mau naik lebih dulu dan memaksa Tiong San menjadi pelopor.
Mereka disambut oleh pelayan tadi yang dengan sikap hormat mengantar mereka masuk ke dalam ruang kamar perahu yang cukup luas dan yang berbentuk rumah indah di atas perahu itu, melalui sebuah pintu cat biru.
Ketika mereka melangkahi ambang pintu, mereka tercengang melihat betapa keadaan dalam perahu itu amat mewah dan indah, tidak kalah dengan ruang dalam sebuah gedung besar.
Terdapat tiga buah meja besar di situ yang penuh dengan dengan hidangan serba mewah dan lezat. Meja terbesar mempunyai beberapa bangku terukir dan di atas sebuah bangku duduk seorang laki-laki berpakaian mewah.
Pada meja yang berada di ujung, duduk tiga orang wanita, sedangkan pada meja terkecil duduk pula beberapa orang wanita yang ternyata adalah penyanyi-penyanyi yang bermuka sebagai kedok karena kulit muka mereka tebal tertutup bedak dan yanci (bedak untuk memerahi muka).
Laki-laki yang duduk menghadapi meja besar itu bertubuh tinggi besar dan dari pakaiannya ternyata bahwa ia tentu seorang berpangkat tinggi. Wajahnya angker dan nampak galak sedangkan sikapnya angkuh sekali. Ketika para pemuda itu masuk, ia tidak menyambutnya dengan berdiri, hanya tetap duduk sambil mengangkat tangan memberi tanda agar supaya pelayan yang menyambut tadi keluar lagi.
Tiong San dan kawan-kawannya melirik ke arah meja kedua. Di situ duduk menghadapi meja tiga orang wanita. Seorang di antara mereka sudah tua, agaknya isteri pembesar ini, yang seorang lagi masih muda dan cantik, sedangkan orang ketiga adalah seorang gadis yang mempunyai kecantikan seperti seorang bidadari dari kahyangan.
Sukar melukiskan gadis ini yang berpakaian mewah, akan tetapi memakai bedak yang tipis sekali. Kalau Thio Swie di suruh membuat syair memuji kecantikan gadis itu, tentu ia akan menyamakan gadis itu dengan burung hong, raja segala burung, dan kalau kembang ia adalah kembang seruni, kalau pohon tentu pohon liu (cemara) yang tidak saja indah, akan tetapi juga mempunyai batang yang lemas hingga dapat menari-nari kalau tertiup angin.
Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
12 Pembesar itu memandang kepada ketiga pemuda itu dengan matanya yang lebar dan ia nampak senang melihat tiga orang muda yang sopan santun dan tampan itu.
Melihat bahwa orang yang mengundang mereka adalah seorang pembesar tinggi, Thio Swie yang telah sering bertemu dengan pembesar-pembesar di kota raja lalu menjura dengan amat hormatnya, di turut oleh Khu Sin dan Tiong San. Pembesar itu tertawa senang dan berkata,
"Ah, anak-anak muda, duduklah di sini, di mejaku ini. Aku girang melihat bahwa yang ditubruk perahunya adalah kalian orang-orang muda terpelajar. Harap kalian bertiga suka memaafkan orang-orangku yang menubruk perahumu tanpa sengaja dan mendatangkan banyak kekagetan."
"Tidak apa, taijin. Kami bertiga tidak mendapat kecelakaan sesuatu," jawab Tiong San dan mereka bertiga lalu duduk di depan pembesar itu setelah sekali lagi dipersilakan. Thio Swie menjadi girang sekali ketika mendapat kenyataan bahwa dengan duduk menghadapi pembesar itu, maka mereka bertiga secara langsung dapat melihat meja di mana duduk gadis cantik itu yang kebetulan duduknya menghadap ke arah mereka pula.
Thio Swie dan Khu Sin hampir tak dapat menahan keinginan hati mereka untuk sering-sering melirik ke arah gadis cantik itu. Hanya Tiong San yang selalu tunduk karena ia memang sama sekali tak pernah merasa tertarik kepada keindahan wajah dan bentuk tubuh seorang wanita.
"Untuk menghilangkan kaget, kalian harus minum arak wangi yang sengaja kudatangkan dari Hok-ciu," kata pembesar itu dan ia lalu berseru ke arah pintu ruangan itu, "Hei, tambahkan arak dan daging!" Kemudian ia lalu menoleh kepada gadis cantik tadi dan berkata,
"Siu Eng, suruh mereka menyanyi lagi!"
Terdengar suara gadis itu memberi perintah kepada rombongan penyanyi dengan suara yang amat merdu dan tak lama kemudian terdengar suara nyanyian diiringi suara yang-khim.
Biarpun muka para penyanyi itu menyebalkan pemandangan mata Thio Swie dan kawan-kawannya, akan tetapi mereka harus mengakui bahwa suara para penyanyi itu cukup merdu.
Setelah seorang pelayan membawa masuk seguci arak wangi dan menuang isinya ke dalam cawan-cawan yang telah disediakan, pembesar itu lalu berkata, "Ayo, kita minum untuk menghilangkan kekagetan tadi sambil mendengar nyanyian merdu!"
Biarpun merasa sungkan-sungkan, akan tetapi ketiga orang muda itu lalu minum arak yang ternyata amat wangi dan enak.
"Anak-anak muda, kalian siapakah, siapa namamu dan di mana kalian tinggal" Setelah bertemu, ada baiknya aku mengetahui nama kalian. Siapa tahu kelak dapat bertemu lagi," kata pembesar itu.
"Saya adalah she Lie, bernama Tiong San, dan kedua kawanku ini bernama Khu Sin dan Thio Swie. Kami bertiga dari dusun Kui-ma-chung tidak jauh dari telaga Tai-hu. Kawan-kawanku ini yang mendapat hari libur dan baru kembali dari kota raja bersama saya sendiri sengaja datang menghibur diri di tempat ini. Sungguh beruntung dapat bertemu dengan taijin yang ramah tamah dan mulia."
Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
13 Pembesar itu amat senang mendengar sucapan Tiong San yang sopan santun. "Bagus, bagus, kalian orang-orang muda memang harus belajar dengan rajin agar kelak dapat membantu pemerintah menghatur negara." Kemudian suaranya berubah ketika ia mengajukan pertanyaan-pertanyaan dengan tiba-tiba,
"Apakah kalian kenal dengan orang gila yang mengacau tadi" Siapakah dia dan di mana tempat tinggalnya?" Sambil berkata demikian, ia memandang tajam dan matanya menatap wajah ketiga orang pemuda itu berganti-ganti dengan sinar mata menyelidik.
"Orang gila yang manakah, taijin?" Thio Swie balas bertanya dengan heran sehingga ia membuka matanya lebar-lebar. "Sudah sering benar saya mendengar adanya orang-orang gila pada hari ini! Pertama-tama orang gila yang mencambuki perahu-perahu di pantai tadi, dan juga dalam syairnya ....."
"Itulah yang kumaksudkan!" pembesar itu memotong ucapan Thio Swie yang tadinya hendak menceritakan bahwa di dalam syair Tiong San juga disebut-sebut adanya orang gila!
"Pengemis gila yang membawa cambuk itu! Siapakah dia dan di mana tinggalnya?"
"Saya tidak tahu, taijin. Selama hidup baru tadi saja kami melihat dia di pantai telaga."
Pembesar itu nampak kecewa dan ia berkata kepada Tiong San dan kawan-kawan, "Coba ceritakan apa yang kalian lihat setelah perahu kalian tertumbuk oleh perahuku tadi!"
Biarpun hatinya merasa heran, akan tetapi Tiong San dapat menduga bahwa pembesar ini tentu sedang menyelidiki orang gila tadi dan menyangka bahwa mereka bertiga mengetahui hal ihwalnya, maka ia cepat menginjak kaki kedua kawannya dan jawabnya,
"Sesungguhnya, taijin, tadi kami hanya melihat seorang gila berkeliaran di pantai dan digoda oleh para nelayan. Kemudian kami melihat ia duduk melenggut di bawah pohon sana dan sesudah itu kami tidak melihatnya lagi. Setelah perahu kami tertumbuk oleh perahu ini kami tidak melihat sesuatu, hanya mendengar teriakan-teriakan di atas perahu ini. Akan tetapi tidak terlihat apa yang terjadi dari perahu kami yang kecil. Hanya itulah sesungguhnya yang kami ketahui, taijin."
"Sudahlah, sudahlah!" kata pembesar itu dengan muka berubah merah. "Apapun juga yang akan terjadi, aku harus dapat menangkap si gila kurang ajar itu! Kalian boleh turun lagi dan aku mengucapkan terima kasih atas segala keteranganmu. Kalau kalian perlu sesuatu di kota raja, mungkin aku dapat membantumu asal saja kau suka mencari rumahku."
Tiba-tiba Thio Swie mendapat pikiran bagus. Siapa tahu kalau-kalau pembesar ini dapat menolongnya mendapatkan pangkat" Ia lalu menjura dan bertanya, "Maaf, taijin, akan tetapi di kota raja terdapat banyak sekali gedung-gedung besar. Yang manakah milik taijin?"
Pembesar itu tertawa. "Asal kau tanya di mana tempat tinggal pangeran Lu Goan Ong, siapakah yang takkan kenal namaku?"
Thio Swie membuka mata lebar-lebar dan ia segera menjatuhkan diri berlutut di depan pangeran itu, diturut oleh Khu Sin yang juga amat terkejut. Akan tetapi, Tiong San hanya menjura saja dan ia tidak melihat alasan yang cukup kuat untuk ikut-ikutan berlutut.
Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
14 "Maafkan hamba yang kurang hormat kepada taijin karena tidak tahu," kata Thio Swie dan Khu Sin.
"Bangunlah, bangunlah!" kata pangeran itu sambil mengerling tajam ke arah Tiong San yang masih berdiri. Setelah kedua orang pemuda itu bangun, pangeran Lu Goan Ong lalu bertanya kepada Tiong San,
"Anak muda, siapakah ayahmu?"
"Ayahku telah meninggal dunia, taijin," jawab Tiong San sederhana. Akan tetapi Thio Swie yang merasa girang bertemu dengan pangeran itu, segera menyambung, "Taijin, kawan hamba Tiong San ini adalah putera tunggal mendiang Lie-tihu yang menjabat pangkat tihu di kota Liong-shia, sedangkan kawan hamba Khu Sin ini adalah anak kepala kampung hamba, dan hamba sendiri adalah anak seorang guru sastra di kampung hamba pula. Hamba bertiga berasal sekampung, taijin, yaitu kampung Kui-ma-chung."
Tentu saja segala keterangan ini hanya seperti angin lalu saja terhadap telinga pangeran Lu Goan Ong, maka ia hanya menjawab, "Hm ......hmm ...." dan memberi tanda kepada pelayan untuk mengantar mereka keluar.
Setelah tiba di perahu sendiri dan mendayung perahu itu ke tepi telaga, Tiong San mengomel,
"Kalian berlaku seolah-olah dia itu raja sendiri. Apakah sikap menjilat itu kalian pelajari pula di kota raja?"
Dengan muka sungguh-sungguh Thio Swie berkata, "Tiong San, kau tidak tahu, pangeran Lu Goan Ong adalah seorang yang amat tinggi kedudukannya. Kalau tidak salah ia adalah keluarga kaisar sendiri dan menjadi seorang di antara para penasehat kaisar! Ia kaya raya dan amat berpengaruh sehingga semua pembesar di kota raja tunduk kepadanya! Tentu saja kita harus menghormatinya sebagai seorang pembesar tinggi."
Kini tahulah Tiong San, maka ia berkata, "Hm, kalau begitu soalnya, pantas saja kalian demikian menghormatinya, sungguhpun bagiku yang tidak membutuhkan pertolongannya tak perlu aku harus melakukan penghormatan sedemikian rupa."
Ketiga orang pemuda itu kembali ke kampung mereka dan di sepanjang perjalanan, Thio Swie dan Khu Sin tiada hentinya membicarakan pangeran besar itu, dan menyatakan
pengharapannya mereka untuk bisa mendapat pertolongan kelak di kota raja.
"Gadis tadi amat cantik jelita seperti bidadari," kata Khu Sin setelah mereka habis membicarakan pangeran itu sendiri.
"Cocok!" kata Thio Swie dengan hati puas. "Memang ia bidadari dan namanya juga manis, Siu Eng ... ah, siapa tahu kalau-kalau kelak aku dapat bertemu pula padanya! Ia cantik sekali, dan biarpun mukanya tidak dibedaki, akan tetapi sepasang pipinya seperti bunga bouwtan!"
"Berbeda sekali dengan para penyanyi yang berbedak tebal!" kata Khu Sin.
"Hih! Muak dan geli aku melihat para penyanyi itu!" kata Thio Swie sambil meludah. "Bedak mereka itu mungkin tebalnya ada setengah dim! Seperti topeng setan!"
Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
15 Kedua pemuda itu tertawa geli, akan tetapi Tiong San tidak ikut membicarakan keadaan pangeran dan gadis itu karena pikirannya penuh dengan bayangan orang gila yang aneh tadi.
Siapakah dia" Dan mengapa kepandaiannya demikian hebat" Manusiakah dia atau dewa telaga Tai-hu" Dan yang paling mengherankan hatinya dan membuatnya penasaran adalah perampasan kipas-kipas yang ia yakin dilakukan pula oleh orang gila! Apakah kehendaknya maka sampai mengambil kipas-kipas bersyair yang tidak berharga itu"
Setibanya di rumah, ketiga orang pemuda itu tenggelam dalam lamunan dan masing-masing terserang penyakit rindu yang berbeda-beda. Tiong San ingin sekali bertemu kembali dengan orang gila yang amat menarik hatinya itu. Khu Sin ingin sekali dapat menghadap pangeran Lu Goan Ong karena rindu akan pangkat dan kedudukan tinggi. Sedangkan Thio Swie biarpun juga mengharapkan pangkat, namun lebih condong hatinya untuk bertemu dengan Siu Eng, gadis yang telah menawan hatinya itu! Ternyata bahwa pengalaman yang mereka alami di telaga Tai-hu itu berkesan hebat dalam hati mereka dan mendatangkan perubahan yang hebat sekali kepada hidup mereka selanjutnya.
****
Pendekar Gila Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tiga hari kemudian, Khu Sin dan Thio Swie datang ke rumah Tiong San untuk berpamit karena mereka berdua hendak kembali ke kota raja dan melanjutkan pelajaran mereka.
Kebetulan sekali terdapat serombongan piauwsu (pengawal dan pengantar barang-barang dari satu ke lain tempat, semacam usaha ekspedisi) yang datang dari So-cou dan hendak mengantarkan barang-barang dua gerobak banyaknya ke kota raja.
Pada masa itu, melakukan perjalan jauh tidaklah semudah sekarang oleh karena selain tidak ada kendaraan-kendaraan baik dan juga tidak terdapat jalan-jalan raya yang cukup sempurna.
Juga perjalanan itu melalui hutan-hutan liar yang banyak terdapat binatang-binatang buas dan perampok-perampok yang lebih buas lagi dari pada binatang hutan!
Oleh karena itu, Khu Sin dan Thio Swie merasa girang sekali melihat adanya rombongan piauwsu dari Pek-eng-piauwkiok (Perusahaan ekspedisi Garuda Putih) lewat di dusun Kui-ma-chung, dan mereka lalu mempergunakan kesempatan itu untuk "membonceng" atau ikut minta perlindungan dengan membayar sedikit biaya. Memang, piauwkiok-piauwkiok ini dibuka oleh orang-orang gagah yang memiliki kepandaian tinggi untuk mengantar barang-barang berharga dan mengawalnya serta melindunginya dari gangguan perampok-perampok di jalan. Dan Pek-eng-piauwkiok telah mempunyai pengaruh besar sekali oleh karena yang menjadi kepala atau pemimpinnya adalah seorang gagah perkasa bernama Souw Cit yang berjuluk Pek-eng atau Garuda Putih.
Souw Cit mempergunakan pengaruh namanya untuk memberi nama kepada perusahaannya.
Dan tiap kali orang-orang atau murid-muridnya mengantar barang berharga, asal pada gerobak-gerobak itu ditancapi bendera yang dilukis dengan gambar seekor garuda putih sedang terbang mengembangkan sayap dan mengulur kedua cakarnya, kaum rimba hijau (perampok) takkan berani mengganggunya.
"Tiong San," kata Thio Swie. "Alangkah senangnya kalau kau bisa ikut dengan kami dan tinggal bersama di kota raja!"
"Benar," menyambung Khu Sin. "Tanpa adanya kau di sana, seakan-akan kami merasa kurang lengkap!"
Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
16 Tiong San tersenyum dan menarik napas panjang. "Terima kasih atas kebaikan hati kalian.
Percayalah, tak ada keinginan yang lebih besar dalam hatiku selain dapat bersama dengan kalian, kawan-kawanku yang baik. Akan tetapi, selain aku tidak punya biaya untuk melanjutkan pelajaran, juga aku tidak ada nafsu lagi. Entah mengapa, kawan-kawanku, akan tetapi aku mempunyai perasaan seakan-akan percuma saja aku mempelajari semua kepandaian menulis dan membaca selama ini! Harap kalian jangan meniru sikapku yang tak baik ini, karena kalian mempunyai harapan besar di kemudian hari. Belajarlah rajin-rajin, agar kalian dapat mencapai cita-cita, menjadi pembesar-pembesar yang baik dan bijaksana karena dengan demikian kalian akan berjasa bagi rakyat banyak."
Thio Swie merasa terharu dan memegang pundak kawannya itu. "Akan tetapi, kau sendiri, Tiong San" Apakah yang hendak kau lakukan?"
Kembali Tiong San tersenyum dan matanya bersinar-sinar ganjil.
"Aku" Entahlah, aku hanya seorang kutu buku kecil yang tidak ada gunanya. Mungkin aku akan menukar pitku dengan sebatang pacul, siapa tahu?"
"Apa?" seru Khu Sin sambil membelalakkan mata. "Kau hendak menjadi petani" Kau yang pandai bersyair dan amat indah tulisanmu ini hendak menjadi petani dan bekerja di ladang berlumpur-lumpur kotor?"
"Picik sekali pandanganmu ini, Khu Sin," Tiong San mencela kawannya sambil memegang pundaknya. "Siapa bilang petani kotor" Kalau kau mempunyai pendirian begitu, baiknya mulai sekarang, tiap kali kau makan, kau boleh mengingat bahwa barang yang kau masukkan ke mulut dan perut dan yang menjaga sehingga hidupmu dapat berlangsung terus, tak lain adalah hasil tetesan keringat para petani! Bagiku, lebih baik menjadi seorang pekerja kasar dengan perut kenyang dari pada menjadi seorang kutu buku yang kempis perutnya. Dan pula, aku harus membantu pekerjaan ibuku!"
Ketiga orang kawan karib semenjak kanak-anak itu bercakap-cakap tiada habisnya dan agaknya akan makin panjang dan hangat percakapan mereka kalau tidak datang rombongan piauwsu yang memberi tahu kepada Khu Sin dan Thio Swie bahwa saat untuk berangkat sudah tiba. Mereka berdua lalu memeluk Tiong San dan mengucapkan selamat berpisah dengan hangat. Juga mereka masuk ke dalam rumah dan menjura di depan ibu Tiong San, memberi hormat dan minta diri. Nyonya janda Lie memberi doa restu kepada dua orang pemuda kawan baik puteranya itu.
Setelah rombongan itu berangkat, Tiong San berdiri termenung memandang sampai rombongan itu lenyap dalam sebuah tikungan jalan, Masih terdengar suara kaki kuda yang menarik tiga buah gerobak itu dan suara para piauwsu yang bersenda gurau sepanjang jalan.
Untuk sesaat timbul rasa iri dan keinginan untuk ikut ke kota raja dalam hati Tiong San sehingga ia merasa betapa sedu sedan naik dari dada menuju kerongkongannya. Akan tetapi ia menindas perasaan itu dan mulutnya bergerak-gerak.
"Semoga kalian bisa menjadi pembesar-pembesar yang baik dan bijaksana ......." Kemudian ia lalu masuk ke dalam rumah. Ibunya yang sedang menyulam lalu menunda pekerjaannya dan memandang kepada puteranya dengan penuh kasih sayang.
Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
17 "Tiong San, kalau kau dapat ikut pergi dengan kawan-kawanmu itu, untuk belajar dan menempuh ujian di kota raja, biarpun hatiku merasa berat berpisah dengan kau, akan tetapi perasaan itu tidak ada artinya apabila dibandingkan dengan kegiranganku karena harapan melihat kau pulang dengan menggondol sebuah pangkat!" Nyonya ini lalu menarik nafas panjang dan matanya membayangkan rasa kasihan yang besar terhadap puteranya yang tercinta.
"Ah ibu, kalau aku pergi, bukankah kau menjadi sendirian di rumah ini dan merasa kesunyian!" kata Tiong San yang lalu duduk di dekat kaki ibunya.
Nyonya itu meraba kepala puteranya dan membelai rambutnya.
"Anakku, seorang ibu di manapun juga akan mendapatkan kebahagiaan dalam penderitaan dan pengorbanan perasaan demi keberuntungan anaknya! Kalau saja kau dapat melanjutkan pelajaranmu, ah ... alangkah akan senangnya hatiku ....." dan nyonya ini cepat-cepat menundukkan mukanya dan melanjutkan sulamannya agar air mata yang telah memenuhi pelupuk matanya itu tidak menetes turun.
Akan tetapi, keharuan hatinya mendorong airmata itu keluar hingga dua titik air bening jatuh ke atas kain yang sedang disulamnya, kain sulaman yang menjadi pekerjaannya sehari-hari di samping pekerjaan menenun untuk menutup kebutuhan sehari-hari.
Tiong San memeluk ibunya. "Ibu, jangan kau bersedih karena anakmu tidak dapat melanjutkan pelajaran. Terus terang saja, ibu. Akupun tidak ingin untuk melanjutkan pelajaran hanya untuk memperebutkan pangkat. Aku tidak ingin menjadi pembesar!"
Ibunya cepat menengok. Inilah kata-kata baru baginya. Cita-citanya sejak dulu, juga cita-cita mendiang suaminya, adalah melihat putera tunggal ini menjadi seorang pembesar yang terhormat dan bijaksana seperti ayahnya. Akan tetapi pengakuan tidak suka menjadi pembesar ini benar-benar mengagetkan hatinya.
"Apa katamu, nak" Kau tidak suka menjadi pembesar" Mengapa?"
"Aku tidak suka menjadi pembesar, terutama pada dewasa ini, ibu. Hal ini disebabkan oleh rasa sebal dan benciku melihat betapa sebagian banyak pembesar negeri menjalankan kejahatan di balik kedok kedudukan mereka! Tentu ibu masih teringat betapa aku yang telah lulus ujian tak dapat menerima pangkat oleh karena aku tidak punya uang untuk menyogok!
Keadaan di kota raja kotor sekali. Hampir semua pembesar hanya mementingkan kesenangan diri dan menumpuk harta tanpa memperdulikan halal atau tidaknya harta yang mereka tumpuk untuk keperluan diri sendiri itu! Aku tidak sudi menjadi pembesar macam itu, ibu!"
Ibunya menarik napas panjang. "Hatimu sama benar dengan ayahmu. Mendiang ayahmu biarpun menjadi seorang pembesar akan tetapi hidup secara jujur, tidak memeras rakyat bahkan membuang-buang uang untuk orang miskin. Akan tetapi, anakku, selain kedudukan tinggi dan pangkat, pekerjaan apalagi yang dapat mengangkat derajat dan nama kita dan dapat mendatangkan penghasilan yang cukup untuk kita makan dan pakai?"
"Aku tidak inginkan derajat dan nama besar itu, karena sebagaimana ucapan orang-orang cerdik pandai di jaman dahulu, nama besar dan derajat hanya akan membuat kita berada di Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
18 tempat yang amat tinggi hingga kalau sekali jatuh, akan terasa sekali sakitnya! Lebih baik aku menjadi seorang petani saja, ibu!"
"Petani?"
Tiong San memandang muka ibunya dengan sedih. "Ah, ibu, apakah ibu juga memandang rendah pekerjaan petani dan tidak dapat menghargai jasa-jasa mereka?"
Nyonya Lie menaruh kain sulamannya di atas meja dan memeluk puteranya. "Bukan demikian anakku. Pekerjaan itu sendiri tidak apa-apa, karena tidak ada pekerjaan yang rendah.
Akan tetapi, ada dua hal yang amat kusesalkan apabila kau hanya menerima menjadi seorang petani biasa. Pertama, kau semenjak kecil telah mempelajari ilmu kepandaian, membuang-buang waktu penuh ketekunan, dan membuang-buang uang yang tidak sedikit jumlahnya, sehingga tidak seharusnya apabila segala pengorbanan itu sekarang tidak menghasilkan sesuatu dan kau hanya ingin menjadi petani biasa! Kedua, dengan menjadi petani, maka kau berarti tidak dapat mempergunakan segala kepandaianmu yang telah kau pelajari bertahun-tahun itu untuk bekerja guna kepentingan umum! Dua hal inilah yang akan membuat aku menyesal selama hidupku!" Kemudian nyonya itu tak dapat menahan lagi turunnya air matanya.
Tiong San dapat menyelami hati ibunya. Sebagai seorang wanita biasa, sudah tentu ibunya rindu sekali melihat ia memakai pakaian kebesaran, dihormati orang dan menduduki pangkat tinggi. Hati ibunya akan menjadi besar dan bangga melihat puteranya menjadi orang mulia.
Kalau ia menjadi petani, maka setidak-tidaknya ibunya akan merasa malu dan kecewa.
"Ibu!" katanya kemudian dengan suara menghibur. "Percayalah bahwa anakmu akan berusaha sekuat tenaga untuk melakukan perbuatan yang akan menjunjung tinggi nama keluarga kita!
Akan tetapi tidak sebagai pembesar, karena kepandaian kesusasteraan pada dewasa ini hanya digunakan untuk mencelakai sesamanya, untuk merusak, bukan untuk melakukan kebaikan.
Kalau aku melakukan sesuatu demi kebaikan orang banyak, maka pekerjaan yang kulakukan itu bukan berdasarkan kepandaianku menulis!"
"Habis, selain menulis dan membaca, kau mempunyai kepandaian apalagi?" tanya ibunya yang mulai merasa jengkel.
Tiong San menundukkan kepalanya dan terbayanglah orang gila yang dijumpainya di telaga Tai-hu kemaren dulu itu. Ah, pikirnya. Kalau saja aku mempunyai kepandaian selihai orang gila itu, tentu aku dapat melakukan perbuatan mulia yang akan lebih menggemparkan dari pada kepandaian kesasteraan yang kumiliki! Ia menarik napas panjang berulang-ulang tanpa dapat menjawab pertanyaan ibunya, sehingga orang tua itu merasa kasihan melihatnya.
"Sudahlah, Tiong San. Kau beristirahatlah di kamarmu dan jangan terlalu banyak memikirkan hal ini. Kita percaya saja kepada Thian pada suatu waktu akan datang saat baik bagi kita. Aku hendak meneruskan pekerjaanku ini, karena aku sudah berjanji kepada orang yang memesannya untuk menyelesaikan dalam hari ini juga."
Tiong San lalu bangkit berdiri dan dengan kedua kaki lemas ia masuk ke dalam kamarnya. Ia membantingkan dirinya di atas pembaringan sambil mengeluh. Akan tetapi ia segera melompat bangun lagi karena terkejut ketika melihat sebuah kipas di atas meja kecil dalam Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
19 kamarnya. Karena kipas itu adalah kipasnya yang lenyap dari atas perahu di telaga Tai-hu kemaren dulu itu!
Dengan tangan gemetar pemuda itu mengambil kipas itu dan mengamat-amatinya. Dan ternyata bahwa syairnya yang belum habis di tulis itu kini telah ditambah dengan tulisan orang lain yang gayanya aneh dan bengkak-bengkok seperti ular! Ketika ia menulis syairnya dulu, pada baris kelima baru ia tulis "aku ...." dan terhenti karena tabrakan perahu. Akan tetapi sekarang huruf "aku" itu telah ada sambungannya yang berbunyi,
Aku juga gila! Dan alangkah baiknya gila bertemu gila
Pada malam bulan purnama di pinggir telaga!
Tiong San membaca syairnya berulang-ulang dengan perasaan tidak keruan karena heran dan juga kagum. Ia heran akan maksud orang gila itu, dan kagum melihat betapa tulisan itu, biarpun tak dapat disebut indah, akan tetapi gayanya benar-benar aneh dan dari bentuk coretan yang lenggak-lenggok seperti ular itu dapat diketahui betapa huruf-huruf itu mengandung tenaga yang kuat sekali sehingga tiap coretan merupakan seekor ular yang seperti hidup bergerak-gerak dan mengerikan!
Ia membaca sekali lagi sajaknya yang kini selengkapnya berbunyi,
Memancing ikat dengan pecut, tanpa kaitan
Bersikap seperti Kiang Cu Ce, sang budiman
Orang menyebut gila, memang dunia penuh orang gila!
Yang waras dianggap gila, yang gila merajalela!
Aku juga gila! Dan alangkah baiknya gila bertemu gila
Pada malam bulan purnama di pinggir telaga!
Alangkah aneh dan ganjilnya bunyi syair itu, dan hanya seorang yang tidak waras otaknya saja dapat menulis syair seperti itu. Apakah maksud orang gila itu menulis bahwa akan baik sekali kalau gila bertemu gila pada malam bulan purnama di pinggir telaga" Dan bagaimana ia bisa menaruh kipas itu di dalam kamarnya tanpa diketahui orang lain" Benar-benar seorang gila yang amat aneh.
Sampai malam Tiong San duduk termenung di dalam kamarnya dan ketika ibunya
mengajaknya makan malam, ia tidak banyak bicara hingga membuat ibunya merasa gelisah sekali.. Sehabis makan, pemuda itu tanpa menukar pakaiannya lalu kembali ke dalam kamar lagi dan duduk termenung sambil membuka jendela kamarnya. Tiba-tiba tanpa disengaja ia melihat ke angkasa dan mukanya bercahaya terang ketika ia melihat bulan yang hampir tersenyum di balik awan.
Dan cepat Tiong San mengeluarkan kipas yang sejak tadi berada di sakunya dan membaca syair itu sekali lagi. Ah, tentu ada maksudnya si gila menulis syair itu, pikirnya. Bulan purnama akan muncul dua tiga hari lagi. Mengapa aku tidak pergi ke sana dan melihat-lihat kalau-kalau ia berada di pinggir telaga" Ia telah menyebutku gila dan mengaku bahwa iapun gila, dengan kata-katanya si gila bertemu si gila pada malam terang bulan purnama di pinggir telaga, Bukankah itu suatu ajakan untuk mengadakan pertemuan di pinggir telaga Tai-hu"
Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
20 Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Tiong San menjumpai ibunya dan berkata, "Ibu, ijinkanlah aku pergi sekali lagi ke Tai-hu."
Ibunya merasa heran. "Bukankah baru saja kau kembali dari sana?"
"Benar, ibu! Akan tetapi aku ingin sekali menghibur diri sekali lagi di sana. Siapa tahu perjalananku kali ini akan mendatangkan perubahan baik seperti yang ibu harapkan kemaren."
Ibunya menggelengkan kepala. "Anakku, kau terlalu banyak memikirkan masa datang yang suram. Baiklah, kauhiburlah hatimu di telaga Tai-hu dan mudah-mudahanan Thian Yang Maha Agung membuka jalan baik bagimu."
Dengan tergesa-gesa Tiong San lalu berangkat ke Tai-hu. Malam hari itu, ketika semua pelancong telah meninggalkan telaga dan bahkan para pemilik perahu kembali ke rumah masing-masing sehingga telaga itu sunyi senyap, Tiong San tidak meninggalkan tempatnya dan masih duduk melamun di bawah pohon di mana si gila itu dahulu menangkap ikan.
Bab 3 ... IA duduk terus menanti dengan penuh harapan sambil menikmati keindahan pemandangan di malam itu. Ternyata bahwa pada malam hari, ditimpa cahaya bulan yang hampir bundar, pemandangan di situ benar-benar merupakan soranga. Cahaya bulan membuat air telaga berwarna kuning keemasan dan bulan sendiri tenggelam di dasar telaga, bergoyang-goyang kalau ada angin meniup permukaan air. Pohon-pohon nampak kebiru-biruan dan bunga nampak kekuning-kuningan, dan semua itu diliputi cahaya kemerahan dari sinar bulan yang amat menyejukkan hati.
Akan tetapi, hawa udara malam amat dinginnya sehingga Tiong San menggigil kedinginan.
Betapapun juga, pemuda itu cukup memiliki kekerasan hati untuk diam dan tidak meninggalkan tempatnya semalam suntuk. Hatinya amat kecewa oleh karena pada malam hari itu ia tidak melihat bayangan seorangpun di pinggir telaga. Ia mulai ragu-ragu.
Dan ketika fajar mulai menyingsing, matahari menggantikan tugas bulan menerangi permukaan telaga Tai-hu dan para pemilik perahu berangsur-angsur muncul di pinggir telaga.
Kekecewaan hati Tiong San membuat ia merasa lemas sekali. Ia tidak bisa tidur semalam penuh dan kini merasa mengantuk sekali. Ketika ia masuk ke dalam kelompok pohon dan memilih tempat yang sunyi agak jauh dari telaga, ia lalu membaringkan diri di bawah sebatang pohon dan segera tertidur nyenyak saking lelahnya!
Ketika ia terjaga, hari sudah siang dan ia merasa lapar sekali maka ditinggalkannya tempat itu dan ia membeli makanan sederhana untuk mengisi perutnya. Ia lalu berjalan-jalan mengelilingi telaga sambil mencari-cari kalau ia akan melihat orang gila yang ditunggu-tunggu. Akan tetapi ia tidak melihat bayangan orang yang dicarinya sehingga ia makin menjadi gelisah. Apakah ia datang jauh-jauh dengan sia-sia belaka"
Malam hari kedua kembali ia berjaga sampai pagi dan tidak melihat siapa-siapa. Hatinya makin sedih dan diam-diam ia memaki diri sendiri. Mengapa ia begitu bodoh menuruti tulisan kacau balau seorang yang tidak waras otaknya" Seorang gila telah mempermainkannya dan ia Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
21 menuruti saja, berlaku seolah-olah ia sendiri juga gila! Apakah aku benar-benar telah mulai miring otakku"
Demikianlah Tiong San berpikir dan menurutkan hatinya yang panas, ingin segera pulang meninggalkan tempat yang mengesalkan hatinya itu, untuk menumpahkan seluruh isi hatinya yang sedih itu dihadapan ibunya yang tentu akan pandai menghiburnya.
Akan tetapi, kekerasan hatinya membuat ia mengambil keputusan untuk menanti semalam lagi! Malam nanti barulah bulan akan muncul sepenuhnya, demikian pikirnya. Siapa tahu kalau-kalau orang gila itu akan muncul malam nanti, karena dalam syairnya juga disebutkan malam bulan purnama!
Uang bekalnya telah habis dan semenjak sore hari, ia belum makan sesuatu. Ia mengambil keputusan untuk bertahan semalam lagi dan apabila si gila itu tidak muncul pada malam hari ini, ia akan pulang pada keesokan harinya.
Malang baginya, baru saja hari berganti malam, udara menjadi gelap tertutup mendung tebal dan tak lama kemudian turunlah hujan bagai dituangkan dari atas! Semua orang yang tadinya hendak berpelesir di atas perahu di waktu malam bulan purnama terpaksa meninggalkan telaga dan perahu-perahu mereka. Kalau tidak ada hujan, banyak orang yang berada di perahu sampai semalam suntuk, menikmati pemandangan indah yang ditimbulkan oleh bulan purnama. Akan tetapi, langit gelap dan hujan turun, siapa yang mau menderita kehujanan dan kedinginan"
Namun Tiong San tetap duduk berlindung di bawah pohon. Air hujan yang membocor dari sela-sela daun pohon telah membuat seluruh pakaian dan tubuhnya menjadi basah kuyup dan ia menggigil kedinginan, menderita luar dalam. Tubuhnya di bagian luar menderita dingin sedangkan di bagian dalam menderita lapar. Sungguh penderitaan hebat yang belum pernah ia alami! Biarlah, biar aku menanti sampai mati di sini sebelum fajar mendatang, pikirnya dengan tekad bulat.
Menjelang tengah malam, hujan berhenti. Langit menjadi bersih dan bulan muncul penuh, indah dan ayu berseri-seri, bagaikan wajah seorang puteri jelita mengintai dari jendela, segar dan gemilang seakan-akan wajah itu makin bersih dan segar setelah dicuci oleh air hujan tadi.
Suara kodok yang bersembunyi di bawah alang-alang di pinggir telaga, menimbulkan lagu yang berirama, yang terdengar riang bagi mereka yang sedang bergembira, akan tetapi terdengar memilukan hati bagi mereka yang sedang berduka. Bagi telinga Tiong San, suara nyanyian kodok-kodok terdengar tidak keruan, oleh karena semangatnya telah menjadi lemah akibat kelelahan, kedinginan dan kelaparan.
Pada saat ia sedang duduk menggigil di bawah pohon, tiba-tiba permukaan air yang tadinya tenang itu menjadi bergerak-gerak dan terdengar suara air terpukul dan suara orang membentak-bentak marah.
"Nah, kau mau lari ke mana sekarang" Huh, ini yang besar, telah tertangkap. Ah, akan kunikmati dagingmu. Ha ha ha!"
Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
22 Tiong San tersentak bangun dari lamunannya dan segera berdiri. Ia sendiri merasa heran mengapa tiba-tiba ia menjadi begitu kuat dan segar. Ia melihat ke arah suara itu dan ternyata seorang sedang berenang ke sana ke mari menangkap-nangkap ikan dengan amat mudahnya!
Tangan kiri orang itu membawa tiga ekor ikan besar, sedangkan tangan kanannya masih juga menguber-uber ikan. Bahkan pada mulutnya nampak seekor ikan yang tergigit dan ikan itu masih hidup, bergerak-gerak dan ekornya memukul-mukul hidungnya. Agaknya ikan yang tertangkap paling akhir itulah yang kini digigitnya.
Tiong San tidak dapat melihat tegas wajah itu dan ia berdebar. Bagaimana kalau penangkap ikan itu bukan orang gila yang ia tunggu-tunggu" Akan tetapi, kalau orang lain, bagaimana ia bisa dengan tiba-tiba saja berada di air tanpa diketahui masuknya dan bagaimana ia bisa menangkap-nangkapi ikan seakan-akan ikan itu menyerah begitu saja pada tangannya"
Tiong San lalu melangkah maju sampai ke dekat telaga dan setelah berada dekat dengan orang yang bermain-main dengan ikan-ikan di air itu, ia menjadi girang sekali. Tak salah lagi, rambut yang panjang dan terapung-apung di atas air seperti rambut seorang wanita itu membuktikan bahwa orang ini memang benar orang gila yang ditunggu-tunggunya!
"Locianpwe (orang tua gagah)!" Tiong San memanggil ke arah orang itu. Akan tetapi yang dipanggilnya tidak meladeninya, bahkan makin gembira, tertawa terbahak-bahak sambil mengejar seekor ikan sisik kuning.
"Emas ..... emas.....! Ha, aku ingin emas pada sisikmu itu!" Ikan bersisik kuning emas itu berenang cepat melarikan diri. Akan tetapi tangan kanan orang itu lebih cepat lagi dan sebentar saja ia telah dapat menangkap ikan itu, diangkatnya tinggi-tinggi, kemudian menjepit ikan itu pada bawah lengan kirinya karena tangan kiri sudah penuh ikan. Lalu ia menggunakan tangan kanan untuk mencabut beberapa sisik ikan itu lalu diletakkannya di atas kepalanya bagai penghias rambut.
"Bagus, bagus.... aku memakai emas .... ha ha ha!"
"Locianpwe ....!" Tiong San memanggil lagi lalu mengulang panggilannya sampai berkali-kali. Akan tetapi orang itu sama sekali tak menghiraukannya. Kemudian pemuda itu teringat bahwa orang ini biarpun berkepandaian tinggi, akan tetapi mungkin memang benar-benar miring otaknya hingga tidak mau disebut locianpwe, maka ia berseru lagi keras-keras,
"Eh, kakek gila .....!"
Benar saja kali ini si gila itu menengok dan ketika melihat Tiong San berdiri di pinggir telaga, ia lalu berkata sambil tertawa,
"Ha ha ha, kau anak gendeng sudah berada di situ" Ayo, kau bantu aku menangkap daging ikan yang lezat!" sambil berkata demikian, ia mengambil ikan yang tadi digigitnya dan dengan hati ngeri Tiong San melihat betapa ikan itu telah kehilangan ekornya, agaknya sudah masuk ke dalam perut orang itu.
"Kau tidak lekas-lekas melompat turun?" orang gila itu berteriak dan suaranya terdengar marah. Aneh sekali, Tiong San ketika mendengar suara ini, merasa betapa suara itu amat Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
23 berpengaruh yang mengharuskan ia menuruti perintah, maka tanpa memperdulikan sesuatu lagi, ia lalu melompat dan mencebur ke dalam telaga!
Biarpun bukan seorang ahli berenang, akan tetapi oleh karena di dalam kampungnya terdapat anak sungai di mana ia mandi dengan kawan-kawannya ketika kecil, Tiong San cukup dapat menguasai kaki tangannya yang digerakkan untuk menjaga dirinya supaya tidak tenggelam.
"Ha ha, bagus! Tangkap ikan itu!"
"Mana?" tanya Tiong San sambil memandang ke sekelilingnya yang hanya air belaka.
"Itu! Dia berenang di dekat kakimu! Ah ..... ia berenang jauh, dasar kau tolol!"
Orang tua itu menangkap seekor ikan lagi dan berkali-kali memberi tahu kepada Tiong San akan adanya ikan di dekatnya yang sama sekali tidak terlihat oleh Tiong San. Sebetulnya andaikata pemuda itu dapat melihat ikan yang berada di dekatnya, tetap ia takkan dapat menangkapnya. Jangankan disuruh menangkap ikan yang dapat berenang amat cepatnya dan mempunyai tubuh yang sangat licin, sedang untuk menjaga diri jangan sampai tenggelam saja sudah merupakan pekerjaan yang amat berat baginya.
Sampai lama si gila itu bermain-main di air dan Tiong San mulai tidak tahan lagi. Tubuhnya memang sudah lemas dan lapar, maka kini karena berada di dalam air, ia menggigil kedinginan dan hampir tak kuasa menggerakkan kaki tangannya lagi.
"Aku .... aku dingin ..." katanya dengan bibir gemetar dan muka berwarna biru.
Orang gila itu memandangnya dan tiba-tiba tertawa terkekeh-kekeh seakan-akan merasa amat geli hatinya.
"Kau ... kau seperti mayat hidup! Ha ha ha! Alangkah lucunya! Kalau tidak bisa menangkap ikan, mengapa masuk ke dalam air" Benar tolol!"
"Kau yang suruh aku turun!" jawab Tiong San yang merasa mendongkol juga.
"Aku" Ha ha ha! Aku suruh kau membantu tangkap ikan, bukan suruh kau mandi."
"Siapa yang mandi?"
"Kau lapar! Ya, kau lapar, kudengar perutmu berkeruyuk. Ha ha ha!"
Mendengar perkataan yang tidak keruan arahnya ini, Tiong San makin merasa yakin bahwa orang ini benar-benar gila. Akan tetapi bagaimana ia dapat mendengar suara perutnya yang berkeruyuk" Ia memang merasa betapa perutnya menggeliat-geliat, akan tetapi telinganya sendiripun tidak mendengar suara keruyukan perutnya.
"Aku dingin ...."
"Lapar! Bantah kakek itu.
"Tidak, dingin!" Tiong San berkeras karena merasa malu mengaku lapar.
Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
24 "Lapar, lapar, lapar!" kakek itu berteriak berulang-ulang dengan marah seperti laku seorang anak kecil bertengkar dengan kawannya.
Tiba-tiba Tiong San merasa geli sekali melihat hal yang dianggapnya amat lucu ini. Ia teringat betapa dulu ketika kecilnya, ia sering bertengkar dengan Thio Swie tentang sesuatu dan sikap kakek gila ini sama dengan Thio Swie di waktu kecil.
"Baiklah," katanya kemudian. "Aku memang lapar."
Si gila tertawa bergelak-gelak, "Ha ha ha! Kau dingin!"
"Aku lapar!"
"Dingin, dingin, dingin!" lagi-lagi kakek itu berteriak-teriak sehingga Tiong San merasa bohwat (kehilangan akal) dan terpaksa pula ia mengangguk-anggukkan kepala. "Memang aku dingin dan lapar."
"Kau memang bodoh, anak gila yang bodoh. Makanan sudah tersedia, mengapa masih menderita kelaparan?"
"Makanan" Mana?"
"Ikan-ikan itu, bukankah tinggal ambil saja?"
"Aku tak dapat menangkapnya."
"Hm, memang kau bodoh. Nah, ini makanlah!" sambil berkata demikian si gila menyodorkan seekor ikan besar yang masih bergerak-gerak karena belum mati kepada Tiong San. Pemuda itu menerimanya dan harus mempergunakan kedua tangannya untuk memegang erat-erat karena ikan itu meronta-ronta. Karena kedua tangannya memegang ikan, maka tubuhnya lalu tenggelam.
Tiong San mendengar suara orang gila itu menertawakan, maka ia menggertakkan gigi dan menggerakkan kedua kakinya hingga tubuhnya mumbul lagi ke permukaan air. Selanjutnya ia menggerak-gerakkan kedua kakinya seperti orang berlari hingga tubuhnya tetap terapung dan tidak tenggelam.
"Lekas makan!" kata si gila.
"Apa! Makan apa" Ikan ini harus dimasak dulu!"
"Gila dan tolol! Makanan enak-enak akan dirusak pula! Kau makanlah, ikan ini enak sekali apabila belum mati. Masih segar darahnya!" Setelah berkata demikian, orang gila itu menggeragoti seekor ikan yang dipegangnya. Ikan itu meronta-ronta, akan tetapi tidak kuasa melawan gigi orang gila yang telah membenamkan giginya pada perut ikan dan sekali ia menggeragot, daging perut telah terbawa pada mulutnya yang lalu dikunyahnya dengan enaknya!
Tiong San menjadi pening kepalanya melihat hal ini. Kengerian terbayang pada matanya.
Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
25 "Ayo, makan ikanmu!" si gila kembali mendesak.
Tentu saja Tiong San tidak mau menurut perintahnya, dan tiba-tiba pemuda ini timbul sebuah pikiran. Ia maklum akan kesaktian orang gila ini dan ingin sekali menjadi muridnya untuk memiliki ilmu kepandaian yang hebat itu, maka ia lalu berkata.
"Aku mau menurut perintahmu asal kau mengambil murid padaku!"
Orang gila itu kembali bergelak tertawa. "Mengapa harus mengambil murid?"
"Karena hanya seorang muridlah yang harus tunduk kepada gurunya. Kalau kau tidak mau mengambil murid kepadaku, aku takkan sudi menjalankan peintahmu!"
"Ha ha ha! Semenjak melihatmu, aku memang suka kepadamu, karena kau tidak seperti orang-orang gila yang lain. Baiklah, kau kuterima menjadi muridku. Nah, makanlah ikanmu!"
Tiong San merasa girang sekali, akan tetapi juga gelisah. Bagaimana ia dapat makan daging ikan yang mentah, bahkan ikan yang masih hidup segar dan berkelonjotan di tangannya"
Akan tetapi, ia tahu bahwa orang gila itu aneh sekali pikirannya dan kalau ia menolak atau tidak mentaati perintahnya, tentu akan menjadi marah dan akan sia-sialah maksudnya berguru.
Maka sambil meramkan mata ia lalu membuka mulut dan menggigit perut ikan yang dipegangnya! Ikan itu meronta keras sekali dan telinga Tiong San seakan-akan mendengar pekik kesakitan dari ikan itu, maka ia urungkan maksudnya dan membelalakkan mata dengan penuh kengerian.
Hampir saja ia melepaskan ikan itu dari pegangannya. Akan tetapi ia bertemu pandang dengan si gila yang kini telah menjadi gurunya, dan sepasang mata orang itu berputar-putar liar hingga ia takut sekali. Dengan cepat ia lalu menggigit lagi dan kini ia betul-betul menggigit hingga terasa darah ikan yang asin dan agak manis itu pada lidahnya. Ia telah berhasil menggeragot sepotong daging yang terus dikunyahnya tanpa berani memandang kepada ikan yang masih meronta-ronta di tangannya!
Orang gila itu tertawa terbahak-bahak. "Gila! Gila dan bodoh! Mengapa ikan hidup dimakan?"
Panas sekali hati Tiong San mendengar ini, akan tetapi karena ia ingat bahwa orang itu memang gila, maka ia menjadi sabar kembali.
"Ayo, ikut aku naik!" kata pula si gila dan entah bagaimana caranya bergerak, biarpun tubuhnya masih lurus seperti orang berdiri di dalam air, akan tetapi tiba-tiba tubuhnya dapat bergerak maju dengan amat cepatnya. Tiong San lalu berenang ke pinggir dengan tubuh lemas dan napas tersengal-sengal. Ia dapat mencapai pinggir telaga, akan tetapi tidak dapat naik karena pinggir telaga itu tingginya lebih dari satu tombak. Si gila tadi dengan mudahnya menggerakkan tubuh dan tahu-tahu tubuhnya telah melompat ke darat tanpa memperdulikan Tiong San.
Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
26 "Suhu .... tolong teecu (murid) naik ....!" Tiong San berseru karena ia benar-benar telah tidak kuat lagi. Kedua kakinya telah menjadi kaku kedinginan dan sukar digerakkan lagi hingga beberapa kali ia telah tenggelam dan minum air telaga secara terpaksa.
Kepala orang gila itu muncul di atasnya dan tiba-tiba si gila itu menggerakkan cambuknya yang tadi digulung dan berada di pinggangnya. Cambuk ini panjang sekali dan tahu-tahu cambuk itu telah menyambar air di pinggir tubuh Tiong San dan telah melibat perutnya. Tiong San tidak tahu bagaimana hal itu dapat terjadi, akan tetapi ia merasa seakan-akan pinggangnya ada yang memegang dan tahu-tahu tubuhnya melayang ke atas dan ia terlempar ke darat dengan selamat, dalam keadaan berdiri.
Segera ia menjatuhkan diri berlutut di depan orang gila itu. "Suhu, teecu menghaturkan terima kasih bahwa suhu telah sudi menerima teecu sebagai murid."
"Ha ha ha! Orang gila memang aneh kelakuannya. Aku belum mati mengapa kausembah-sembah" Ayo, lekas panggang ikan itu, aku ingin makan daging panggang. Kau muridku, bukan" Maka kau harus menurut segala perintahku. Panggang ikan itu baik-baik!" Setelah berkata demikian, si gila itu lalu melompat-lompat dengan girang sambil tertawa-tawa dan tak lama kemudian terdengar mendengkur karena ia telah tertidur di bawah sebatang pohon dengan tubuh masih basah kuyup.
Tiong San lalu mengambil kayu kering dan membuat api dengan susah karena tangannya yang lemah itu sukar sekali menyalakan api dengan menggosok. Akhirnya ia mendapatkan batu karang yang keras dan ketika ia menggosok batu-batu itu, ternyata bahwa batu itu adalah batu api yang mudah mengeluarkan api.
Ia menjadi girang sekali dan sebentar saja di tempat itu nampak api unggun menyala dan Tiong San merasa betapa hangat dan enaknya duduk memanggang ikan di dekat api yang panas itu pada saat tubuhnya sedang menderita kedinginan. Akan tetapi, kehangatan tubuh ini menimbulkan penderitaan baru, karena perutnya yang tadi tidak amat mengganggu ketika ia kedinginan, kini setelah tubuhnya hangat dan darahnya berjalan cepat, rasa lapar itu mengganggunya bukan main seakan-akan menggeragoti perutnya dari sebelah dalam. Belum pernah selama hidupnya Tiong San menderita kesengsaraan sehebat ini.
Sampai menjelang fajar suhunya masih belum bangun. Daging ikan sudah semenjak tadi matang dan api unggun terus ia nyalakan untuk mengusir dingin. Ia merasa lapar sekali, akan tetapi ia tidak berani mengganggu lima ekor ikan besar yang kini telah matang itu. Ia anggap kurang sopan kalau ia mendahului suhunya makan daging tadi, maka dengan mengeraskan hati ia menahan lapar dan menunggu dengan penuh kesabaran.
Setelah fajar berganti pagi dan telaga itu mulai dikunjungi orang, barulah si gila itu bangun dari tidurnya dan segera mulai makan. Tiong San diam saja tidak ikut makan sampai si gila itu menghabiskan sebuah kepala ikan dan berkata,
"Ayo, makan!"
Ketika Tiong San baru saja makan dua gigitan, ia membentak,
"Makan ya makan, tapi jangan banyak-banyak!"
Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
27 Bukan main mendongkolnya hati Tiong San. Akan tetapi ia tidak berkata sesuatu, hanya makan dengan gigitan sedikit-sedikit dan perlahan-lahan. Gurunya membentak lagi sambil melototkan matanya yang besar,
"Kok sedikit amat! Kau makan atau main-main" Ayo, makan yang banyak! Apa kaukira aku harus menghabiskan semua ikan ini?"
Di dalam hatinya Tiong San merasa mendongkol dan juga geli. Akan tetapi ia mulai biasa dengan adat suhunya yang gila-gilaan, maka ia segera makan dengan lahap sekali. Karena memang perutnya telah amat lapar hingga ikan itu terasa amat gurih dan enak. Dengan heran ia melihat betapa gurihnya hanya makan sedikit daging ikan itu.
Akan tetapi semua kepala dan tulang ikan yang keras itu dikunyahnya sampai berbunyi keletak-keletuk seperti anjing menggeragoti tulang! Tulang ikan yang runcing dan keras itu beradu dengan giginya dan ternyata tulang-tulang itu kena dikunyah hancur dan harus ditelan dengan enaknya! Karena suhunya hanya sedikit makan daging ikan, maka bagian Tiong San amat banyak hingga telah menghabiskan tiga ekor ikan, ia merasa kenyang sekali.
Akan tetapi ketika ia berhenti makan, suhunya berkata lagi, "Makan terus! Ikan-ikan ini harus dihabiskan, kalau tidak ia akan menangis!"
Saking herannya, walaupun tahu akan keanehan adat suhunya, Tiong San sampai menunda makannya dan mengurungkan daging yang sudah dibawa ke mulutnya. Ia memandang kepada suhunya dan bertanya,
"Apakah ikan bisa menangis, suhu" Apalagi ikan yang sudah dipanggang dan mati, dan mengapa pula ia menangis?"
Gurunya tertawa-tawa geli. "Anak gendeng! Tentu saja menangis! Kita sudah tangkap dia dan panggang tubuhnya di atas api. Setelah mereka ini menderita sedemikian hebatnya, apakah mereka tidak menjadi sedih kalau mereka disia-siakan dan tidak dimakan" Ayo, kita makan terus!"
Tiong San terpaksa menjejal perutnya lagi dengan daging ikan dan ketika kedua orang murid dan guru itu sedang makan daging ikan, di situ lewat beberapa orang pelancong yang berjalan-jalan. Mereka memandang kepada Tiong San dan suhunya sambil tertawa-tawa, karena menganggap mereka berdua itu orang-orang gila.
Memang si gila itu nampak lucu dan menunjukkan bahwa ia memang seorang gila, sedangkan Tiong San kinipun kelihatan tidak keruan dengan pakaiannya yang kotor dan masih sedikit basah dan rambutnya yang awut-awutan cukup memberi kesan bahwa iapun seorang pemuda gila.
Melihat dua orang gila itu makan ikan dengan enaknya, para pelancong itu menganggapnya sebagai pemandangan yang aneh dan menggembirakan. Maka tak lama kemudian Tiong San dan gurunya telah dirubung orang banyak.
Tiong San merasa tak senang sekali dijadikan tontonan. Akan tetapi oleh karena ia melihat suhunya hanya menyeringai dan kadang-kadang memandang kepada orang-orang itu sambil tertawa ha ha, hi hi, maka iapun ikut menyeringai dan tertawa ha ha, hi hi, seperti lakunya Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
28 seorang gila pula! Suhunya memandang kepadanya dengan muka girang dan seperti seorang yang menahan kegelian hatinya, ia berkata perlahan,
"Memang dunia penuh orang gila .... ha ha ha!"
Tiong San teringat bahwa itu adalah sebuah kalimat dari syair pada kipasnya, maka iapun lalu tertawa geli dan tidak memperdulikan mereka yang menonton dia dan suhunya makan.
Setelah daging ikan dan semua tulang habis berpindah ke perut mereka, sehingga Tiong San merasa perutnya berat dan penuh padat. Orang gila itu lalu mengulurkan tangan merobek ujung jubah Tiong San dan menggunakan robekan baju itu untuk menyusuti mulutnya yang berlepotan minyak ikan. Tiong San tertawa dan iapun meniru perbuatan suhunya, merobek ujung bajunya yang lalu menyusuti mulutnya pula.
Orang-orang pada tertawa melihat hal ini, dan pada saat itu terdengar bentakan-bentakan.
"Minggir!"
Semua orang minggir dan memberi jalan kepada orang-orang yang membentaknya. Ternyata bahwa yang datang itu adalah lima orang anggauta polisi yang membawa rantai dan golok.
Tanpa banyak cakap lagi mereka lalu mengalungi leher orang gila itu dan leher Tiong San dengan rantai besi. Lalu mengikat pula kedua lengan mereka.
Tiong San merasa terkejut sekali, akan tetapi oleh karena maklum akan adat yang aneh dari suhunya dan melihat betapa suhunya itu hanya tertawa ha ha, hi hi, tanpa mengadakan perlawanan, ia pun ikut-ikutan tertawa. Sungguhpun tertawanya masam karena diliputi hati yang amat gelisah dan takut!
Seorang pelancong yang melihat betapa dua orang gila itu ditangkap, lalu bertanya kepada para anggauta ponggawa itu,
"Mengapa mereka ditangkap?"
"Entah, kami hanya mendapat perintah untuk menangkap orang gila yang berada di sekitar telaga Tai-hu dan karena di sini kami melihat dua orang gila, maka kedua-duanya kami tangkap!"
Kakek gila itu ketika lehernya dikalungi rantai dan tangannya dibelenggu, hanya tertawa menyeringai sambil memandang kepada para penangkapnya dengan mata bodoh. Akan tetapi ketika seorang di antara para polisi itu mengambil cambuk yang digantungkan pada pinggangnya, ia segera berseru keras,
"Jangan ambil cambukku!" dan aneh ketika ia mengulurkan tangan, belenggu besi yang mengikat tangannya putus bagaikan sehelai benang saja! Sekejap kemudian ia telah berhasil merampas kembali cambuknya.
"Apa ini" Aku tidak mau dikalungi kembang!" katanya dan sekali renggut saja, rantai yang dikalungkan lehernya tadi telah putus-putus. "Juga muridku tak boleh dikalungi kembang!" Ia membetot dan merenggut dan semua belenggu yang mengikat leher dan tangan Tiong San juga putus-putus.
Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
29 Semua orang terkejut sekali dan melarikan diri karena takut orang gila itu mengamuk.
Sedangkan para penjaga itu berdiri bengong karena heran bagaimana rantai mereka yang kokoh kuat itu diperlakukan oleh si gila bagaikan sehelai benang yang mudah diputuskan saja.
Si gila lalu melompat dan berkata, "Kalian orang-orang gila, aku mau pergi saja!" Sekali melompat ia telah berada di tempat jauh dan Tiong San melangkahkan kaki hendak lari mengejar. Akan tetapi seorang penjaga memeluk pinggangnya dan yang lain berteriak-teriak,
"Tangkap orang gila! Tangkap!!"
"Suhu!" teriaknya dengan ketakutan.
Si gila berhenti lari, menoleh dan segera menggerakkan cambuknya yang telah dilepas dari gulungan. Terdengar "tar-ter-tor" bunyi cambuk dan disusul oleh teriakan-teriakan kesakitan karena semua ponggawa yang berjumlah lima orang itu masing-masing telah mendapat hadiah satu cambukan pada mukanya hingga menjadi biru dan perih.
Tiba-tiba ujung cambuk melayang ke arah Tiong San dan membelit pinggangnya. Tiong San merasa betapa tubuhnya ditarik oleh kekuatan yang luar biasa, hingga tubuhnya segera melayang ke atas dan tahu-tahu ia telah jatuh di punggung suhunya bagaikan seorang sedang naik seekor kuda yang tinggi.
"Ha ha ha! Orang-orang gila, ayo kita balapan lari!" kata suhunya yang segera berlari secepat kijang melompat dan sebentar saja ia menggendong muridnya itu dan telah lenyap dari pandangan semua orang.
Peristiwa ini tentu saja menggemparkan orang dan sampai lama orang-orang membicarakan kesaktian orang gila itu dan tiada habisnya mereka terheran-heran mengapa seorang gila bisa mempunyai murid seorang pemuda pelajar, atau seorang pemuda yang berpakaian sebagai seorang pelajar.
Sebetulnya, siapakah orang gila yang aneh dan luar biasa lihainya itu" Para jago silat muda tentu takkan ada yang kenal kepadanya. Akan tetapi para locianpwe atau ahli-ahli silat tua yang sudah tinggi tingkat kepandaiannya, tentu masih ingat akan seorang hiapkek (pendekar) yang diberi julukan Thian-te Lo-mo atau Iblis Tua Langit Bumi!
Kurang lebih dua puluh tahun yang lalu, Thian-te Lo-mo masih merupakan seorang muda yang menjagoi di seluruh dunia kang-ouw dengan ilmu kepandaiannya yang amat mengagumkan. Ketika itu ia bernama Kui Hong Sian, seorang pendekar muda berusia belum tiga puluh tahun, akan tetapi yang telah menumbangkan jago-jago besar dalam pertandingan pibu atau pertempuran oleh karena Kui Hong Sian memang mempunyai watak yang keras dan tidak mau dikalahkan orang.
Kemudian ia bertemu dengan seorang pendekar wanita yang cantik dan ia jatuh cinta. Tak disangkanya bahwa pendekar wanita ini adalah puteri seorang jago tua yang pernah dikalahkannya dan ketika hal ini diketahui oleh pendekar wanita itu, maka sepasang orang muda yang sudah saling mencinta ini lalu bertempur karena pendekar wanita itu hendak membalaskan sakit hati ayahnya. Dalam pertempuran ini, Kui Hong Sian salah tangan dan melukai muka wanita itu dengan pedangnya sehingga muka yang cantik menjadi bercacad.
Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
30 Semenjak peristiwa ini, Kui Hong Sian lalu lenyap dari dunia kang-ouw. Ia menderita patah hati karena terputusnya cinta yang telah berakar di dalam hatinya. Sampai hampir sepuluh tahun ia mengasingkan diri dan ketika muncul kembali, ia menjadi seorang yang amat ganas.
Tiap orang penjahat yang bertemu dengan orang setengah tua yang pakaiannya tidak keruan ini pasti mengalami celaka, karena Kui Hong Sian tidak mau memberi ampun kepada penjahat-penjahat besar maupun kecil.
Didalam waktu itulah ia melakukan hal-hal yang menggemparkan dunia kang-ouw, karena seorang diri saja ia naik ke bukit Tung-hwa-san dan mengobrak-abrik sarang perampok yang dikepalai oleh tujuh orang perampok bersaudara yang terkenal gagah perkasa, yang menggemparkan ialah, bahwa ia mengganti pedangnya dengan sebatang cambuk panjang yang lihai sekali. Memang Kui Hong Sian telah bersumpah takkan memegang pedang lagi semenjak ia melukai muka wanita yang dicintai itu dengan pedangnya.
Selain mengobrak-abrik perampok di bukit Tung-hwa-san, ia masih banyak melakukan kegemparan, diantaranya dengan memasuki istana raja dan dalam satu malam saja ia mencuri puluhan cap-cap kebesaran para pembesar di kota raja dan melukai para pengawal dengan cambuknya yang lihai. Namanya menjadi terkenal sekali dan pada waktu itulah ia mendapat julukan Thian-te Lo-mo.
Setelah membuat nama besar selama lima tahun, kemudian ia lenyap lagi dari dunia ramai.
Dan orang tidak tahu bahwa si Iblis tua langit bumi ini telah kembali ke tanah kelahirannya, yakni di propinsi Shan-tung, di sebuah guha yang banyak terdapat di pegunungan Tai-san di propinsi Shan-tung sebelah barat.
Ternyata bahwa di dalam hidupnya, Kui Hong Sian mengalami berbagai kekecewaan dan terutama sekali kesedihan hati yang timbul akibat patah hatinya itu membuat ia semakin tua makin menjadi tidak keruan tingkah lakunya.
Bab 4 " DAN lima tahun kemudian setelah orang-orang mulai lupa kepada namanya, dari bukit Tai-san muncullah seorang kakek yang berpakaian tidak keruan, membawa-bawa cambuk dan tingkah lakunya seperti orang gila. Inilah Thian-te Lo-mo yang pada lima tahun yang lalu, baru melihat bayangannya saja sudah membuat penjahat-penjahat besar lari pontang-panting.
Kakek gila ini mengembara terus hingga ia tiba di telaga Tai-hu di dekat So-couw dan bertemu dengan Lie Tiong San yang akhirnya ia angkat menjadi muridnya. Demikianlah riwayat singkat dari kakek gila yang amat aneh dan lihai itu yang melarikan diri dengan murid digendong di atas punggungnya setelah tadi memperlihatkan ilmu kepandaiannya yang mengherankan semua orang di pinggir telaga Tai-hu.
Ketika berada di atas punggung suhunya yang lari secepat angin, Tiong San merasa amat heran dan juga ngeri. Ia melihat betapa pohon-pohon di kanan kirinya seakan-akan berlari cepat dari depan dan telinganya mendengar suara dari daun-daun pohon di kanan kiri yang dilaluinya.
Ia tak dapat melihat dengan nyata karena pohon-pohon di kanan kiri jalan itu seakan-akan hanya terbang lewat sekilat saja. Apalagi ketika suhunya mengambil jalan melalui lereng gunung yang penuh jurang-jurang dalam dan melompati jurang-jurang itu demikian enaknya Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
31 seperti dulu ketika ia masih kecil suka bermain-main melompati selokan-selokan. Terpaksa ia menutup matanya karena merasa ngeri dan takut. Pegangan pada leher suhunya dipererat agar supaya ia tidak sampai melepaskan leher itu dan jatuh ke dalam jurang yang amat dalam.
Tiba-tiba suhunya berhenti berlari dan menggoyang-goyang tubuhnya hingga Tiong San hampir saja tak dapat menahan lagi dan rangkulan tangannya pada leher orang tua itu hampir terlepas.
"Turun, turun! Anak gendeng, apakah kau kira aku ini seekor kuda yang boleh ditunggangi seenak hatimu?"
Tiong San terkejut sekali dan membuka matanya lalu melorot turun dari punggung kakek itu.
Ketika ia memandang ke sekelilingnya, ternyata mereka telah tiba di sebuah jalan besar yang lurus tidak di tempat berbukit-bukit lagi. Ia tidak tahu bahwa mereka telah tiba di tempat yang belasan li jauhnya dari telaga Tai-hu.
"Seekor kuda tak dapat lari secepat suhu," katanya tertawa. Karena pemuda ini mulai tahu tabiat suhunya yang sama sekali tidak menghendaki dipuja-puja dan dihormati sebagaimana layaknya seorang guru mendapat penghormatan dari muridnya.
Benar saja, kakek aneh itu tertawa senang. "Kau harus belajar berlari cepat!" katanya berulang-ulang sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. "Dan belajar pula memberi hadiah-hadiah kepada orang-orang yang mengalungi kembang pada lehermu!"
"Teecu bisa juga berlari, suhu."
"Coba kau larilah yang cepat!"
Karena jalan itu rata dan lurus, Tiong San lalu berlari ke depan, dan pada perasaannya larinya sudah cukup cepat hingga napasnya tersengal-sengal. Akan tetapi ketika ia menoleh, ia melihat suhunya berjalan di belakangnya sambil tertawa bergelak-gelak sehingga ia berhenti lagi sambil napasnya terengah-engah seperti mau putus.
"Ha ha ha! Kau seperti gajah berlari! Tubuhmu terlalu berat hingga suara kakimu memekakkan telinga! Ha ha, sungguh lucu melihat gajah kaki dua berlari!"
Merahlah muka Tiong San mendengar ejekan suhunya ini dan ia tak dapat berkata apa-apa selain memandang muka suhunya dengan bingung.
"Kau harus berlari seperti rusa, jangan seperti gajah!" kata suhunya. "Jangan pergunakan semua telapak kakimu untuk menginjak tanah, akan tetapi pergunakan jari-jari kaki saja.
Tumit harus diangkat dan terutama sekali napasmu harus diatur baik-baik! Tubuhmu harus seringan mungkin. Ah, celaka ..... kau masih harus belajar banyak!"
Demikianlah si gila yang dalam hal menerangkan ilmu kepandaian ternyata sama sekali tidak menunjukkan kegilaannya itu, mulai memberi pelajaran kepada Tiong San yang
memperhatikan baik-baik. Mereka melanjutkan perjalanan sambil berlari-lari dan mulai dengan pelajaran ilmu berlari cepat di sepanjang jalan yang sunyi.
Pendekar Gila Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
32 Menjelang senja mereka tiba di luar sebuah kampung. Dan tiba-tiba dari dalam kampung itu keluarlah tiga orang laki-laki yang setelah dekat ternyata bahwa mereka adalah orang-orang yang memakai pakaian perwira-perwira dengan topi pangkat di atas kepala masing-masing.
Seorang di antara mereka telah tua dan ketika melihat orang gila itu berjalan bersama muridnya, perwira tua itu tiba-tiba berseru keras dan menghentikan langkah kakinya. Kedua orang kawannya juga berhenti tiba-tiba.
Bukankah, kau Thian-te Lo-mo Kui Hong Sian?"" perwira tua itu berseru sambil menghadang di depan kakek gila itu.
Tiong San merasa takut karena peristiwa penangkapan di pinggir telaga Tai-hu tadi. Maka melihat sikap yang galak dari ketiga orang perwira ini, ia lalu mundur dan berdiri di belakang tubuh suhunya. Sementara itu, si gila tertawa ha ha, hi hi, dan sambil monyongkan mulutnya ke arah perwira tua itu, lalu berkata,
"Eh, eh, mukamu seperti monyet tua! Ha ha ha, muridku, coba kau lihat orang gila ini.
Bukankah seperti seekor monyet tua yang meniru lagak manusia" Ha ha!"
Tiong San yang sudah maklum akan adat suhunya, lalu tertawa juga dan berkata, "Benar, suhu. Akan tetapi jenggotnya seperti kambing!" Tiong San sengaja berkelakar untuk menyenangkan hati suhunya karena ia memang sedang merasa gembira sekali.
Tanpa disengaja ia kini dapat mengetahui nama dan julukan suhunya, yaitu Thian-te Lo-mo Kui Hong Sian atau Kui Hong Sian si Iblis tua langit bumi! Biarpun selama hidupnya Tiong San belum pernah mendengar nama ini. Akan tetapi dari julukannya saja, ia maklum bahwa suhunya tentu seorang gagah yang luar biasa dan memiliki ilmu kepandaian tinggi.
Thian-te Lo-mo tertawa terkekeh-kekeh mendengar ucapan muridnya ini. Dan perwira tua itu menjadi merah mukanya. Dia memang mempunyai julukan Sin-kun Lo-wan (Monyet tua bertangan sakti). Perwira ini adalah seorang perwira kota raja yang mempunyai kedudukan tinggi dan ia menduduki tingkat kelima dari para panglima kaisar. Maka ilmu silatnya sudah tinggi sekali.
Dulu ketika Kui Hong Sian suka datang ke kota raja dan membikin kacau, perwira yang bernama Kwee Houw inipun pernah ikut mengepung. Oleh karena itu ia masih dapat mengenal muka Thian-te Lo-mo. Tentu saja ia menjadi marah sekali ketika kedua orang itu begitu bertemu telah menggodanya dengan hina-hinaan.
"Thian-te Lo-mo! Kau telah membuat kedosaan besar ketika dulu mengacau ke kota raja.
Akan tetapi setelah kau mengundurkan diri, dosamu dilupakan orang. Tidak tahunya kau makin menjadi gila dan berani main-main mengganggu pangeran Lu Goan Ong dan mencuri cap kebesarannya. Mengingat bahwa kau adalah seorang tua berotak miring, maka kalau kau mau mengembalikan cap pangkat itu kepadaku, aku akan menghabiskan perkara sampai di sini saja. Akan tetapi kalau kau hendak tetap menggila, kau pasti akan menemui bencana.
Karena bukan aku saja yang akan menghadapimu, akan tetapi seluruh perwira kerajaan!"
Pidato perwira ini agaknya sama sekali tidak menarik perhatian Thian-te Lo-mo karena sambil menekan-nekan perutnya yang kempis tipis, ia menyeringai dan berkata, "Aduh, Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
33 perutku sudah lapar! Eh, bocah gendeng, ke mana perginya ikan-ikan panggang itu?" tiba-tiba ia berpaling kepada Tiong San yang menjadi celangap!
"Suhu, bukankah ikan-ikan itu kini telah berenang di dalam perut kita?" jawabnya sambil tersenyum-senyum juga.
"Kurang ajar! Kau sudah makan habis ikan-ikan itu?"
"Bukan teecu sendiri, akan tetapi bersama suhu!" Tiong San memperingatkan.
Bukan main marahnya Kwee Houw ketika melihat betapa kata-katanya tadi sama sekali tidak dihiraukan oleh orang gila itu.
"Thian-te Lo-mo, kembalikan cap pangkat pangeran Lu Goan Ong kepadaku!" katanya sambil mencabut keluar senjatanya, yakni sepasang siang-kek atau sepasang tombak bercabang yang pendek dan runcing.
Tiba-tiba Thian-te Lo-mo berpaling kepadanya. "Monyet tua, apakah kau membawa makanan" Perutku lapar sekali!"
Perwira tua itu hendak menyerang karena tidak dapat menahan marahnya lagi. Akan tetapi seorang kawannya, perwira yang lebih muda berkata perlahan, "Kwee-ciangkun, sukar berurusan dengan seorang yang miring otaknya." Ia memang agak merasa gentar juga terhadap orang gila ini karena nama Thian-te Lo-mo memang nama yang amat ditakuti oleh orang-orang kang-ouw. Ia lalu mengeluarkan bungkusan roti kering dan memberikan roti itu kepada Thian-te Lo-mo sambil berkata,
"Kakek yang baik, ini rotiku boleh kau ambil. Akan tetapi harus ditukar dengan cap pangkat pangeran Lu Goan Ong!"
Baru saja ucapan ini habis dikeluarkan, tahu-tahu bungkusan roti itu telah berada di tangan Thian-te Lo-mo! Perwira itu tidak tahu bagaimana hal ini bisa terjadi. Ia hanya melihat orang gila itu mengulurkan tangannya dan tahu-tahu bungkusan telah terampas dan berpindah tangan!
"Ha ha, roti kering, makanan anjing!" kata Thian-te Lo-mo sambil tertawa, lalu mengambil sepotong roti dan memasukkan ke dalam mulutnya. Ia memandang kepada Tiong San dan bertanya, "Eh, anak gendeng, apakah kau juga suka makanan anjing istana?"
"Kalau suhu suka, teecu tentu suka pula," jawabnya.
Kembali Thian-te Lo-mo tertawa. "Lihat, monyet tua, bukankah muridku ini lucu sekali!" Ia memberi beberapa potong roti kepada Tiong San yang lalu menerima dan memakannya. Roti itu memang enak, patut dibawa dan dijadikan bekal oleh perwira-perwira kerajaan.
Thian-te Lo-mo, mana cap pangkat itu?" tanya si perwira muda yang merasa penasaran dan cemas juga karena kakek itu makan rotinya tanpa mengembalikan cap yang dimintanya. Akan tetapi Thian-te Lo-mo seakan-akan tidak mendengarnya. Bahkan setelah roti itu dengan cepat habis dimakannya, lalu ia bertanya lagi,
Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
34 "Masih adakah rotinya" Kalau tidak ada, keluarkan arakmu, aku ingin sekali minum arak!"
"Orang gila kurang ajar!" Kwee Houw yang sudah tak dapat menahan sabarnya lalu menyerang dengan siang-kek. Gerakannya gesit dan cepat ketika siang-kek di tangan kanannya menusuk dada Thian-te Lo-mo dengan gerak tipu Macan hitam menyambar hati.
Melihat betapa suhunya diserang, Tiong San menjadi takut dan segera berseru kepada suhunya yang masih enak-enak berdiri tanpa memandang kepada penyerangnya, "Suhu, awas!"
Akan tetapi, ketika ujung tombak bercagak itu telah dekat dengan dada Thian-te Lo-mo, tiba-tiba kakek itu tertawa mengejek dan tubuhnya telah lenyap dari depan Kwee Houw. Ketika Kwee Houw cepat memutar tubuh, ternyata kakek itu telah berada di dekat perwira muda yang tadi memberi roti kepadanya dan begitu ia mengulur tangannya, buntalan besar di punggung perwira itu telah dapat direnggutnya dan kini berada di tangannya.
Sambil tertawa-tawa Thian-te Lo-mo membuka bungkusan dan keluarlah seguci arak yang menjadi bekal perwira itu. Ia melemparkan bungkusan tadi kepada perwira yang menyambutnya dengan melongo, lalu minum arak itu langsung dari guci!
Bukan main marahnya Kwee Houw melihat hal ini. Ia merasa dipermainkan oleh orang gila itu. Maka ia segera melompat dan menerjang lagi dengan siang-keknya. Juga dua orang kawannya telah mencabut golok masing-masing dan kini maju mengeroyok.
Tiong San merasa khawatir sekali melihat keadaan suhunya karena orang tua itu agaknya tidak melihat betapa tiga orang perwira sedang menerjang dan menyerangnya. Karena ia masih enak-enak menuangkan isi guci ke dalam mulutnya sambil mendongakkan kepalanya!
Akan tetapi, sungguh mengherankan, ketika ketiga senjata lawan itu telah hampir mengenai tubuhnya, tanpa menunda minumnya, orang gila itu menggeser kedua kakinya dengan amat indah dan cepatnya telah bergerak dengan gerakan Jiauw-pouw-poan-soan atau Tindakan Kaki Berputar-putar sesuai dengan Toa-su-siang-hong-wi (Kedudukan Empat Penjuru).
Dan karena menghadapi tiga orang penyerang dari tiga jurusan atau tiga penjuru, maka ia selalu dapat bergerak ke arah penjuru ke empat atau ke tempat yang kosong hingga betapapun juga ketiga orang lawannya menyerang, ia dapat meloloskan diri dengan menduduki tempat atau penjuru ke empat yang kosong.
Sementara itu, ia masih saja minum arak yang mengeluarkan suara menggelogok di tenggorokannya. Setelah puas minum arak, Thian-te Lo-mo lalu melompat ke dekat muridnya dan memberikan guci itu kepada Tiong San. "Kau minumlah, air keruh ini lumayan juga!"
Tiong San tadi bengong dengan perasaan kagum sekali melihat betapa suhunya sambil minum arak dapat menghindarkan diri dari kepungan tiga orang perwira itu. Maka kini dengan girang dan tersenyum ia menerima guci itu dan minum dengan lagak seperti suhunya tadi, yakni tangan kanan memegang guci yang dituangkan ke mulut sedangkan tangan kiri bertolak pinggang dan mendongakkan kepala.
Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
35 Akan tetapi diam-diam ia berpikir bagaimana caranya dapat mengelakkan serangan-serangan orang dalam kedudukan seperti itu! Memang kedua kaki mudah saja digerakkan, akan tetapi tanpa melihat musuh, bagaimana suhunya dapat mengelak secara sebegitu sempurnanya"
Ia hanya minum beberapa teguk oleh karena arak itu ternyata keras sekali. Maka ia segera menurunkan guci itu dan kembali memandang ke arah gurunya yang telah dikurung pula!
Kini ia melihat hal yang lebih mengagumkannya lagi.
Tiga orang perwira itu yang merasa amat marah dan penasaran, telah menggerakkan senjata mereka dalam penyerangan yang cepat dan ganas. Dua orang perwira muda menggerakkan golok mereka sedemikian cepatnya sehingga nampak dua sinar golok yang berkilauan menyerang suhunya dari depan, karena sepasang tombak ini bergerak-gerak tak menentu, dari bawah dan atas, kanan kiri dengan serangan-serangan maut.
Kini Thian-te Lo-mo tidak hanya mengelak sambil berputar-putar seperti tadi. Seperti seorang yang nampak gembira sekali ia tertawa terkekeh-kekeh sambil menggerakkan kedua lengannya. Jari telunjuk dan jari tengah dari kedua tangannya terbuka sedangkan jari-jari yang lain terkepal dan dengan dua jari tangan kanan kiri ini ia menghadapi senjata-senjata lawan.
Dengan jari-jari tangannya yang panjang dan kurus tak berdaging itu, ia menangkis serangan senjata setiap lawannya dengan kepretan-kepretan keras, dan selalu ia dapat mementalkan senjata pengeroyok dengan memukulkan jarinya pada punggung golok yang tidak tajam dan gagang tombak bercagak. Tiap kali ia menangkiskan jarinya pada senjata musuh, lawannya yang memegang senjata merasa betapa tangan mereka kesemutan karena dari jari tangan Thian-te Lo-mo keluar tenaga lweekang yang bukan main besarnya.
Tiong San yang menonton pertempuran itu merasa pening kepalanya karena gerakan empat orang itu, terutama suhunya, amat cepat sehingga seakan-akan yang bertempur bukan empat orang, akan tetapi banyak sekali! Betapapun juga, ia merasa amat khawatir karena suhunya hanya menggunakan jari tangan untuk menangkis senjata-senjata musuh. Apakah tangan suhunya takkan luka"
Agaknya Thian-te Lo-mo memang sengaja mempermainkan ketiga pengeroyoknya itu, karena tiba-tiba gerakan tubuhnya makin cepat ketika sambil tertawa ia berkata,
"Monyet tua dan monyet-monyet muda, sudahlah, aku sudah lelah!" begitu ia mengeluarkan ucapan ini, terdengar suara tang-ting-tong, dan dua golok beserta sepasang siang-kek itu terpental ke tengah udara dan tubuh Thian-te Lo-mo melayang ke arah muridnya.
"Ayoh kita kabur!" katanya sambil menangkap lengan kanan Tiong San.
"Suhu, cap itu kembalikan saja! Untuk apakah cap macam itu bagi kita?"
Thian-te Lo-mo tertawa gelak-gelak. Lalu merogoh saku baju di antara baju kutangnya yang tinggal sedikit itu, dan mengeluarkan sebuah cap yang dulu dicurinya ketika ia mengacau di atas perahu pangeran Lu Goan Ong. Ia melambaikan tangannya kepada Kwee Houw dan berkata,
"Monyet tua, ke sinilah kau dan terimalah kembali cap busuk ini!"
Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
36 Biarpun tadi merasa kaget dan marah karena dikalahkan, akan tetapi melihat orang gila itu benar-benar hendak mengembalikan cap pangeran Lu Goan Ong, perwira itu merasa girang sekali. Kalau ia berhasil mendapatkan kembali cap yang hilang tentu ia akan menerima banyak hadiah dan mungkin kenaikan pangkat dari pangeran Lu yang berpengaruh! Maka ia segera melangkah lebar menghampiri Thian-te Lo-mo.
"Thian-te Lo-mo, kau sungguh baik, terima kasih," katanya mengulurkan tangan. Thian-te Lo-mo memberikan cap itu dan melepaskan di tangannya Kwee Houw. Akan tetapi ketika perwira ini memandang, ternyata bahwa cap itu telah ditekan oleh tangan Iblis Tua Langit Bumi itu dan menjadi pecah berantakan!
Setelah memberikan cap yang dirusaknya itu, Thian-te Lo-mo lalu menarik tangan muridnya, dan lari bagaikan terbang! Tiong San merasa betapa ia ditarik cepat sekali sehingga kedua kakinya tidak menginjak bumi.
Biarpun cap itu telah pecah-pecah, akan tetapi Kwee Houw merasa lega. Karena rusaknya cap tidak menjadi soal besar. Bagi seorang berpangkat, pada dewasa itu, cap merupakan benda yang bernilai besar bagaikan ajimat. Dengan cap ini, seorang pembesar memberi tanda-tanda kepada semua surat-surat dan cap merupakan lambang kebesaran. Apabila cap itu dirusak, dapat dibuat yang baru, akan tetapi kalau sampai hilang dan terjatuh ke dalam tangan orang lain, maka orang lain akan dapat mempergunakan cap itu untuk memalsu dan merusak nama baik.
Oleh karena ini, maka cap dijaga amat tertib dan keras oleh setiap pemiliknya sehingga ketika Thian-te Lo-mo mencuri cap pangeran Lu Goan Ong, pangeran ini merasa gelisah dan tak sedap makan tak nyenyak tidur sehingga ia mengerahkan seluruh perwira untuk mencari dan mendapatkan kembali cap itu!
Thian-te Lo-mo membawa muridnya kembali ke Shan-tung, dan di sepanjang jalan, Tiong San makin mengenal tabiat dan watak suhunya yang benar-benar aneh. Pada umumnya, suhunya ini berwatak gila-gilaan, dan suka sekali menggoda orang dengan perbuatan-perbuatan yang seperti perbuatan anak kecil. Dan tiap kali bertemu dengan orang yang berlaku sewenang-wenang atau penjahat, tentu ia tidak lupa untuk menghadiahkan sekali cambukan pada muka atau tubuhnya.
Pendekar Panji Sakti 1 Renjana Pendekar Karya Khulung Alap Alap Laut Kidul 4
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama