Ceritasilat Novel Online

Pendekar Lembah Naga 11

Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo Bagian 11


Sin liong merasa tersiksa sekali. Dia sukar untuk bernapas, dan hawa panas dingin bergantian menyerang tubuhnya yang kadang-kadang terdorong ke belakang oleh dua tenaga dahsyat yang saling dorong di depan dan belakangnya itu. Dia tidak ingin membantu siapapun, karena dia kasihan kepada kakek gundul yang gila, akan tetapi dia juga tentu saja bersimpati kepada kakeknya itu. Selain itu, andaikata dia ingin membantu sekalipun, bagaimana mungkin dia dapat membantu" Dia hanya melerai, akan tetapi siapa kira, dia malah terseret dan terhimpit tak dapat terlepas lagi. Sama sekali dia tidak sadar bahwa tanpa diketahuinya, dia telah membantu Kok Beng Lama karena dia duduk berhadapan dengan kakeknya itu! Biarpun Sin Liong tidak mau membantu, akan tetapi di dalam tubuhnya terdapat hawa mujijat yang timbul karena dia pernah keracunan Hui-tok-san yang kemudian dibikin punah oleh racun-racun ular sehingga timbul semacam tenaga mujijat di dalam tubuhnya, tenaga inilah yang serentak bangkit dan melakukan perlawanan ketika tubuhnya dialiri dua tenaga dahsyat itu, dan karena dia duduk menghadap Cia Keng Hong, maka tentu saja perhatiannya ditujukan ke depan dan otomatis tenaga mujijat di dalam tubuhnya itu juga meluncur ke depan! Tanpa disadarinya sendiri, tenaga ini membantu Kok Beng Lama dan menyerang Cia Keng Hong!
Ketika ketua Cin-ling-pai merasa betapa ada tenaga yang amat kuat, seolah-olah tenaga kakek gundul itu menjadi bertambah besar, menyerangnya dan mendorongnya sehingga dia mendoyong ke belakang, dia menjadi terkejut sekali dan cepat dia lalu mengerahkan tenaga Thi-khi-i-beng untuk menyedot. Kini giliran Kok Beng Lama yang terkejut ketika tiba-tiba tenaganya yang amat kuat itu membanjir keluar tanpa dapat diremnya lagi. Cepat dia mengubah tenaganya, mempertahankan dan kini berubahlah sifat pertandingan itu. Kalau tadi kedua orang sakti itu mengerahkan sin-kang untuk saling mendorong dan mengadu kekuatan untuk saling merobohkan, kini Cia Keng Hong menggunakan Thi-khi-i-beng menyedot sedangkan pendeta Lama itu mempertahankan!
Kembali Sin Liong yang menjadi sasaran utama dan yang paling menderita! Anak ini merasa betapa tubuhnya kadang-kadang seperti kosong dan kering tersedot, lalu terisi kembali oleh tenaga dari Kok Beng Lama, seolah-olah dia sebentar mati sebentar hidup kembali, wajahnya sebentar pucat sebentar merah. Dia mengeluh panjang pendek akan tetapi untuk melepaskan diri dia tidak sanggup, biarpun sudah beberapa kali dia berusaha untuk bergerak dan keluar dari dalam himpitan itu. Melihat ini, maklumlah Cia Keng Hong bahwa anak ini terancam bahaya maut. Akan tetapi, kakek sakti inipun memperoleh kenyataan yang amat luar biasa, yaitu bahwa anak itu sama sekali tidaklah asing dengan tenaga sakti! Tahulah dia bahwa tadi tenaga Kok Beng Lama menjadi berlipat ganda karena memperoleh tambahan tenaga dari anak ini! Tahulah kakek ini bahwa Sin Liong benar-benar adalah anak luar biasa, yang mungkin karena sesuatu hal yang tidak disadarinya sendiri oleh anak itu, telah memiliki sin-kang yang aneh. Kalau saja dia bisa mempergunakan sin-kang anak itu untuk membantunya, tentu Kok Beng Lama akan kalah dan anak ini akan selamat. Keselamatan anak inilah yang penting baginya, anak ini masih kecil, masih berhak untuk hidup lebih lama lagi. Sedangkan dia dan Kok Beng Lama adalah dua orang kakek tua renta yang hanya tinggal menghitung hari saja, yang tinggal menanti kematian yang tentu tidak akan lama lagi karena mereka sudah tua. Pikiran untuk menyelamatkan anak inilah yang membuat Cia Keng Hong berbisik-bisik, membuka rahasia pelajaran untuk mengerahkan tenaga di dalam tubuh, membangkitkan tenaga dahsyat dengan Ilmu Thi-khi-i-beng!
Sin Liong sudah berada dalam keadaan antara sadar dan tidak hampir pingsan. Akan tetapi dia adalah seorang anak yang luar biasa, memiliki daya tahan yang besar berkat penderitaan yang terlalu sering dialaminya semenjak dia masih bayi, dan karena pernah hidup bersama monyet-monyet yang tajam sekali perasaan dan peka terhadap segala sesuatu yang terjadi, memiliki naluri halus dan dekat dengan alam, maka biarpun dia dalam keadaan tersiksa, dia dapat mencurahkan perhatian terhadap bisikan-bisikan kakek sakti yang sesungguhnya adalah kakeknya sendiri itu.
Mula-mula pening juga kepala Sin Liong mendengarkan kakek itu menyebut-nyebut hiat-to (jalan darah) yang bermacam-macam itu. Dia tidak tahu di mana adanya ci-kiong-hiat, koan-goan-hiat, thian-ti-hiat dan lain-lain. Akan tetapi ketika dengan teliti dan sabar Cia Keng Hong memberi penjelasan, perlahan-lahan anak itu mulai mengerti dan mulailah dia mengatur pernapasan menurutkan petunjuk kakek itu, menahan napas dan menggerakkan hawa dari pusarnya. Memang Sin Liong memiliki bakat yang amat hebat, dan juga Cia Keng Hong memang hendak menolongnya dan sudah mengambil keputusan untuk mewariskan Thi-khi-i-beng kepada anak ini, maka perlahan-lahan muncullah tenaga sedot dari dalam tubuh anak itu yang makin lama makin kuat!
"Oohhhh...!" Kok Beng Lama terkejut sekali ketika pertahanannya mulai jebol dan perlahan-lahan tenaga sin-kangnya mulal mengalir ketuar melalui kedua telapak tangannya yang masih menempel di punggung Sin Liong! Akan tetapi, karena bocah itu belum dapat menguasai Thi-khi-i-beng secara sempurna, biarpun tubuhnya sudah dapat mengeluarkan daya sedot, akan tetapi dia belum dapat mengalirkan sin-kangnya yang memasuki tubuhnya itu keluar melalui kedua tangan Cia Keng Hong, melainkan berkumpul dengan hawa pusarnya dan berputar-putar di seluruh tubuhnya, makin lama makin cepat putaran itu sehingga menimbulkan daya sedot yang makin kuat!
Terjadilah hal yang amat aneh. Cia Keng Hong juga mengeluh karena kini dia merasa betapa tenaga sin-kangnya sendiripun tersedot masuk ke dalam tubuh Sin Liong melalui kedua tangannya! Kiranya, dia telah mempergunakan seluruh tenaga untuk saling tarik dengan tenaga Kok Beng Lama, maka ketika muncul tenaga baru ke tiga dari Sin Liong yang memiliki daya sedot, dia sendiri tidak berani membagi tenaga untuk bertahan, karena membagi tenaga berarti mengurangi tenaga melawan Kok Beng Lama dan hal itu amatlah berbahaya. Oleh karena itu, kakek ketua Cin-ling-pai ini terpaksa membiarkan tenaganya perlahan-lahan keluar dan mengalir masuk ke dalam tubuh anak yang baru saja diajari ilmu Thi-khi-i-beng itu! Sama halnya dengan senjata makan tuan!
Akan tetapi, yang hebat keadaannya adalah Kok Beng Lama. Kini tenaga sin-kangnya keluar seperti membanjir memesuki tubuh Sin Liong, tidak dapat dibendung atau ditahannya lagi. Cia Keng Hong tidak sadar akan hal ini. Kalau dia tahu tentu dia tidak pertu membiarkan tenaganya sendiri juga tersedot. Maka dia hanya memejamkan mata, membiarkan tenaganya dari sedikit tersedot, sedangkan dia masih mempertahankan perlawanannya terhadap Kok Beng Lama.
Kalau dua orang kakek itu terkejut oleh kenyataan betapa sin-kang mereka tersedot, adalah Sin Liong yang paling repot dan paling tersiksa. Dia merasa betapa tubuhnya seperti sebuah balon karet yang ditiup terus melampaui takaran, dia merasa seolah-olah tubuhnya menggembung besar dan penuh, matanya berkunang, melihat warna merah kuning, napasnya sesak dan setiap kali membuka mata, dia melihat dunia seperti kiamat, seperti kebakaran! Maka dia cepat memejamkan matanya kembali dan diam-diam dia menyesal mengapa dia tadi mempelajari ilmu setan yang diajarkan oleh kakek itu. Untuk menghilangkan ilmu itu sudah tidak mungkin lagi karena tanpa disadarinya sendiri hawa di tubuhnya sudah terus berputar-putar dan terus dibanjiri tenaga dari belakang dan dari depan!
"Auhh... sudah... sudah...!" Berkali-kali Sin Liong mengeluh, akan tetapi dua orang kakek itu tidak mampu berbuat apapun. Kok Beng Lama yang merasa terkejut itu melihat bahwa dia sudah terlambat untuk melepaskan diri, kedua tangannya sudah melekat dan tenaganya sudah terus membanjir keluar! Dia mengira bahwa itulah kehebatan dari tenaga dalam Cia Keng Hong.
"Cia Keng Hong... kau... kejam...!" Dia mengeluh dan terpaksa hanya melihat saja betapa tenaganya makin lama makin habis, seolah-olah tubuhnya yang tua itu mulai dihisap kering, seperti seekor laba-laba menghisap kering semua cairan dari tubuh seekor lalat yang telah tertawan dalam sarangnya.
Akan tetapi, Cia Keng Hong sendiripun tidak tahu akan hal ini. Disangkanya bahwa Kok Beng Lama telah mengetahui rahasia Thi-khi-i-beng dan kini dia malah mulai merasa betapa dia terancam maut di tangan kakek gundul itu. Maka dia terus saja mempertahankan! Kalau saja tidak terjadi kesalahfahaman ini, kiranya dua orang kakek itu akan dapat masing-masing menghentikan sin-kang mereka yang diarahkan keluar, dan dapat terbebas dari sedotan hawa aneh yang berputaran di dalam tubuh anak itu.
"Ouhhhh... Cia Keng Hong... selamatkan anak ini...!" itulah keluhan terakhir dari Kok Beng Lama yang pada saat-saat terakhir telah waras kembali ingatannya dan dia masih dapat meninggalkan pesan agar menyelamatkan bocah yang tadi memperlihatkan sikap ramah kepadanya. Setelah berkata demikian, pendeta Lama ini menarik napas panjang sekali lalu tubuhnya menjadi lunglai kehabisan tenaga.
Setelah pendeta Lama itu kehabisan tenaga, barulah Cia Keng Hong terkejut bukan main. Barulah dia tahu bahwa sejak tadi, tenaganya sendiripun tersedot ke dalam tubuh anak itu, sama sekali bukan untuk menahan serangan Kok Beng Lama! Dan pendeta Lama itu agaknya juga kehabisan tenaga bukan untuk bertanding dengannya, melainkan habis teredot oleh anak itu.
"Aihhhh...!" Ketua Cin-ling-pai itu mengerahkan tenaganya yang tinggal setengahnya itu, membuat gerakan menarik sehingga kedua tangannya dapat terlepas dari kedua pundak Sin Liong. Dia meloncat berdiri dengan tubuh lemas dan bergoyang-goyang, mukanya pucat sekali karena hampir setengah dari tenaganya juga amblas! Dia mengalami luka di dalam tubuhnya, biarpun tidak terlalu berbahaya namun membutuhkan waktu untuk memulihkan kesehatannya. Ketika dia memandang lagi, kini tubuh Kok Beng Lama yang masih duduk bersila ternyata telah tidak bernyawa lagi!
"Celaka...!" keluhnya. "Sin Liong, bangkitlah engkau!"
Sin Liong tadinya bersila, kedua matanya terpejam, mukanya merah sekali dan napasnya kadang-kadang berhenti, kadang-kadang terengah. Mendengar ucapan ini, dia menggerakkan kepalanya dan menengadah, membuka mata. Terkejutlah Cia Keng Hong melihat sepasang mata yang mendorong seperti mata seekor naga sakti dalam dongeng itu! Dan tiba-tiba saja tubuh anak itu meloncat dan... tubuhnya mencelat ke atas dengan cepatnya.
"Aahhhhh... tolong, locianpwe...!"
Ternyata ketika meloncat bangun tadi, otomatis Sin Liong menggunakan tenaganya, akan tetapi dia tidak tahu bahwa pada saat itu, tenaga sin-kangnya yang amat kuatnya memenuhi tubuhnya dan begitu dia menggerakkan syaraf-syarafnya, tenaga ini bangkit bekerja dan akibatnya tubuhnya mencelat seperti kilat ke atas tanpa dapat diremnya lagi. Tubuhnya itu meluncur ke arah sebuah puncak bukit batu karang dan untung baginya bahwa dia sudah biasa berloncatan dan memiliki kesigapan seekor monyet, maka biarpun dia terkejut sekali dan minta tolong, namun kedua tangannya masib dapat menyambar ke depan dan dia dapat berpegang kepada ujung batu karang dan berjungkir balik, tidak sampai terbanting pada batu karang. Dia berdiri di atas batu karang itu dengan mata terbelalak. Tubuhnya masih terasa menggelembung besar, hampir meledak rasanya, dan tubuhnya demikian ringannya seolah-olah hembusan anginpun akan dapat membuat tubuhnya melambung tinggi seperti sebuah balon karet penuh hawa!
Cia Keng Hong memandang ke atasan anak itu. Anak itu telah mengoper semua tenaga sin-kang dari dalam tubuh Kok Beng Lama, yang telah tewas dalam keadaan bersila itu, bahkan, telah menyedot setengah dari tenaganya sendiri! Aneh sekali bagaimana anak itu masih dapat hidup!
"Turunlah, jangan meloncat, berjalan saja dengan hati-hati!" kata Cia Keng Hong.
Akan tetapi pada saat itu Sin Liong sudah merasa demikian tersiksa sehingga dia seperti tidak lagi mendengar suara kakek itu. Siksaan amat hebat dideritanya. Tubuhnya terasa panas semua seolah-olah dia dipanggang di atas api bernyala-nyala. Lebih tersiksa dari pada ketika dia teracun oleh Kim Hong Liu-nio yang menggunakan Hui-tok-san, bahkan lebih tersiksa daripada ketika dia dijemur dan dikeroyok burung gagak. Panas yang dirasakan sekarang adalah panas dari dalam, dan tiba-tiba saja berubah dingin sampai rasanya seluruh tubuh seperti ditusuki ribuan batang jarum. Isi perutnya seperti diremas-remas, kepala seperti hampir meledak, telinganya terngiang-ngiang, matanya pedas dan perih, pendeknya, seluruh tubuhnya terasa sakit-sakit sampai hampir tak tertahankannya lagi. Dan celakanya, itulah. Kalau dia tidak tahu, pingsan atau mati, dia akan terbebas dari siksaan. Celakanya dia pingsan tidak matipun tidak dan semua derita itu dapat dirasakannya.
Dia memandang kepada kedua tangannya. Begitu dia memandang tangannya dan jalan pikirannya ditujukan kepada kedua tangan ini, maka otomatis tenaga sakti yang dahsyat mengalir ke arah kedua tangannya dan Sin Liong merasa betapa kedua tangannya itu tergetar hebat dan terasa panas-panas, gatal-gatal dan seolah-olah kedua tangan dengan sepuluh jarinya itu dibakar dalam api, digigiti semut-semut berbisa dan nyerinya bukan kepalang.
"Setan...!" Dia memaki dan dengan kedua tangannya itu dia menghantam batu di sampingnya, kanan kiri.
"Pyarr! Pyarrr...!"
Sin Liong terbelalak memandang pecahan-pecahan batu yang berhamburan disambar oleh kedua tangannya itu. Sejenak dia memandangi kedua tangannya dengan mata terbelalak. Kepalanya menjadi pening dan otomatis kedua tangan itu memegang kepalanya. Aku telah gila, pikirnya. Tak mungkin hanya dengan sekali tampar saja tangannya berhasil menghancurkan batu! Akan tetapi dia teringat betapa kedua tangannya yang tadinya terasa nyeri bukan main itu menjadi berkurang nyerinya ketika dipakai menghantam batu. Maka dia lalu turun dari atas batu karang itu, dan menggunakan kedua tangannya menghantam ke sana-sini, menghantami batu-batu besar yang berserakan di tempat itu. Terdengar suara-suara keras dan batu-batu itu remuk dan pecah berhamburan setiap kali terkena hantaman kedua tangannya. Sin Liong merasa betapa kedua tangan itu makin lama makin enak, tidak nyeri-nyeri lagi seperti tadi, bahkan makin hebat dia mengamuk memukuli batu-batu itu, sesak napasnya berkurang dan pening kepalanya juga mereda. Oleh adanya kenyataan ini, Sin Liong makin mengamuk, makin hebat menggerakkan kedua tangannya, bahkan juga kedua kakinya, untuk memukul dan menendang batu-batu di sekelilingnya. Anehnya, batu-batu hancur dan kaki tangannya tidak merasa nyeri. Dia sendiri keheranan, seperti melihat sulapan saja. Akhirnya, dia kelelahan dan duduk terengah-engah, tenaganya masih terus mendorongnya untuk bergerak, akan tetapi napasnya hampir putus dan di dalam dadanya terdapat hawa yang menggelora dan bergerak-gerak berputaran membuat dia seperti mau berpusing.
Tiba-tiba dia melihat berkelebatnya bayangan orang dan tahu-tahu Cia Keng Hong telah berada di depannya. "Kau diamlah, aku akan mencoba mengobatimu," kata kakek itu dan dia lalu mengulurkan kedua tangannya menempel di kedua pundak Sin Liong sambil mengerahkan tenaga Ilmu Thi-ki-i-beng! Cia Keng Hong maklum apa yang terjadi pada anak ini. Anak ini penuh dehgan hawa sakti dan kelau dibiarkan saja tentu akan hancur atau luka-luka semua isi dadanya, maka dia akan menyedot hawa murni dan kuat itu dengan Thi-khi-i-beng.
"Ahh...!" Cia Keng Hong terkejut dan cepat dia menggerakkan tangannya terlepas dari kedua pundak Sin Liong. Baru saja kedua tangannya menempel tadi, bukan dia yang menyedot, bahkan dia lagi-lagi tersedot! Dan dia kalah kuat! Celaka, bocah ini tanpa disadarinya memiliki tenaga sin-kang yang luar biasa sekali dan satu kali diajari Thi-khi-i-beng, tenaga sedotnya itu terus-menerus bekerja!
"Kau jangan melawan, matikan semua gerakan, dan pusatkan pikiranmu, jangan melawan, kendurkan semua, jangan kauingat lagi pelajaran yang kuajarkan kepadamu tadi!" kata Cia Keng Hong.
Sin Liong mengerti dan dia mengangguk-angguk, masih terengah-engah. Kemudian dia merasa betapa tangan kakek itu kembali menempel di pundaknya dan dia mengosongkan pikirannya. Perlahan-lahan, dia merasa betapa hawa yang mengamuk di dalam dadanya itu mulai berkurang. Dan memang dengan Thi-khi-i-beng Cia Keng Hong mulai menyedot kelebihan hawa itu. Akhirnya, setelah dia merasa betapa tenaganya sendiri pulih, kakek itu menghentikan sedotan itu dan melepaskan kedua tangannya. Dia telah sembuh, dan anak itu kini hanya memiliki sin-kang dari Kok Beng Lama yang telah diopernya tanpa disadarinya itu.
"Bagaimana rasanya tubuhmu" tanya Cia Keng Hong.
Sin Liong mengangguk. "Sudah agak baik... tapi masih mau muntah..." Dia bangkit berdiri dan terhuyung.
"Sin Liong, tahukah engkau apa yang telah terjadi"
Anak itu menggeleng kepalanya. "Saya melihat locianpwe melakukan pertandingan aneh dengan kakek gundul itu... ah, bagaimana dengan dia"
"Mari kita turun dan lihat," kata Cia Keng Hong dan dia dengan hati-hati menggandeng tangan Sin Liong karena anak ini masih terhuyung-huyung dan kalau dibiarkan turun sendiri dari puncak tentu akan terjatuh ke bawah. Setelah tiba di bawah, mereka melihat tubuh Kok Beng Lama masih duduk bersila.
Sin Liong melihat betapa wajah kakek gundul itu aneh sekali, matanya masih terbuka akan tetapi pandang matanya kosong. Dia merasa bahwa ada sesuatu yang luar biasa pada tubuh tinggi besar yang duduk bersila itu, maka dia bertanya. "Apakah dia tidak... apa-apa"
Cia Keng Hong menarik napas panjang. "Dia telah tewas..."
Sin Liong terbelalak dan otomatis kakinya bergerak, tahu-tahu tubuhnya sudah "melayang" ke arah kakek gundul itu dan begitu tangannya menyentuh pundak kakek itu, mayat itu tergelimpang.
"Ahhh...!" Sin Liong membalikkan tubuhnya, memandang kepada kakek sakti yang ternyata adalah kakeknya sendiri itu. "Locianpwe... telah... membunuhnya"
Cia Keng Hong menggeleng kepalanya. "Bukan aku yang membunuhnya."
"Habis siapa" Mengapa dia mati"
Kembali kakek itu menarik napas panjang. "Kami berdua tadi sedang mengadu sin-kang, maksudku... dia memaksaku untuk melindungi diriku karena dia menyerangku dengan sin-kang. Lalu kau tiba-tiba masuk di antara kami dan kau terseret. Engkau terancam bahaya maut maka aku mengajarkan Thi-khi-i-beng kepadamu. Dan tanpa kausadari, juga tanpa kusadari, ternyata semua hawa sin-kang di tubuhnya telah berpindah ke dalam tubuhmu, membuat dia tewas..."
Sin Liong menggigil dan kembali dia menoleh, memandang kepada tubuh yang tak bernyawa itu dan tiba-tiba kedua matanya mengalirkan beberapa butir air mata. Kakek gila yang patut dikasihani. Dia yang membunuhnya"
"Lociaripwe mengajarkan saya ilmu iblis untuk membunuhnya!"
Cia Keng Hong menggeleng kepala.
"Dia sendiri yang salah... ah, dalam usia, setua itu kambuh kembali penyakit gilanya... sungguh patut dikasihani..."
"Tapi locitnpwe mengajarkan Ilmu Mencuri Hawa Memindahkan Nyawa! Dan dia mati karena saya! Ah, locianpwe mengajarkan saya menjadi pembunuh orang yang tidak berdosa!"
"Tidak, Sin Liong. Aku mengajarkan Thi-khi-i-beng kepadamu hanya untuk menyelamatkan nyawamu yang tadi terancam bahaya. Kok Beng Lama meninggal dunia karena kesalahannya sendiri dan memang dia sedang kumat gilanya, dan dia sudah tua. Engkau tidak membunuh, apalagi karena hal itu terjadi di luar kesadaranmu, di luar pengetahuanmu."
"Tapi... tapi dia mati karena saya..." Sin Liong merasa menyesal bukan main, apalagi sekarang tubuhnya masih merasa tidak karuan, masih sakit-sakit dan penuh dengan hawa yang bergerak-gerak mengerikan. Lebih-lebih sekarang setelah dia tahu bahwa yang bergerak-gerak di dalam tubuhnya itu adalah hawa sin-kang dari kakek gundul itu yang telah berpindah ke dalam tubuhnya, dia merasa ngeri dan serem, seolah-olah nyawa kakek gundul itu telah memasuki jasmaninya!
"Sudahlah, Sin Liong. Daripada meributkan hal-hal yang sudah terjadi di luar kesadaranmu, lebih baik kau membantu aku menguburkan jenazah Kok Beng Lama. Kau tidak tahu siapa dia. Dia itu adalah seorang tokoh besar di dunia persilatan. Ilmu kepandaiannya luar biasa sekali sehingga akupun tadi hampir celaka dan kalah olehnya kalau saja engkau tidak masuk di antara kami. Dan dia itu adalah guru dari putera saya sendiri, bahkan guru dari cucu saya sendiri, jadi dia bukanlah musuhku. Hal ini perlu kuberitahukan agar kau tidak salah duga, Sin Liong. Aku sama sekali tidak bermusuh dengannya, apalagi ingin membunuhnya!"
Sin Liong memandang dengan jantung berdebar. Kakek ini adalah ketua Cin-ling-pai, kakek ini adalah kong-kongnya sendiri! Dan kakek gundul tadi adalah guru dari putera kong-kongnya, berarti guru dari ayahnya, ayah kandungnya! Akan tetapi karena masih meragukan kebenaran hal luar biasa ini dia bertanya, "Dia... dia itu guru putera locianpwe, siapakah putera locianpwe itu"
Pertanyaan itu terdengar sepintas lalu saja, maka tidak menimbulkan kecurigaan dalam hati Cia Keng Hong yang menarik napas panjang lagi. "Ah, puteraku itu bernama Cia Bun Houw..." Lalu kakek itu termenung karena sampai sekarang hatinya masih terluka oleh kepergian Bun Houw yang tiada kabar ceritanya itu.
Mendengar ini, yakinlah hati Sin Liong dan ingin dia memeluk kakeknya ini saking girangnya, akan tetapi dia menahan perasaannya dan berkata, "Akan tetapi, bukankah locianpwe tadi bertanding secara aneh dengan dia"
"Bukan bertanding, melainkan aku terpaksa membela diri karena dia menyerangku..."
"Kalau dia itu bukan musuh locianpwe, kenapa dia menyerang locianpwe"
Kakek itu termenung. Memang ada sebabnya dan dia merasa tidak perlu menceritakan kepada anak ini tentang sebab musababnya yang terlampau panjang. Di dalam kisah Dewi Maut diceritakan betapa puteri Kok Beng Lama tewas dan puteri ketua Cin-ling-pai ini yang tertuduh menjadi pembunuhnya sehingga pernah terjadi bentrok antara Kok Beng Lama dan Cin-ling-pai. Kemudian, biarpun ternyata bukan puteri Cin-ling-pai itu yang membunuh, namun kematian itu terjadi sebagai akibat dari percekcokan antara puteri Kok Beng Lama dan puteri ketua Cin-ling-pai. Akan tetapi, hal itu telah diselesaikan oleh kedua fihak, dan hanya kalau Kok Beng Lama kambuh penyakit gilanya maka urusan itu timbul lagi di dalam hatinya. Cia Keng Hong tentu saja merasa tidak perlu menceritakan urusan itu kepada anak kecil yang ditolongnya itu.
"Dia bukan musuhku, akan tetapi dia itu mempunyai penyakit gila yang kadang-kadang kambuh. Dan sekarang, dia sedang kambuh, maka dia menyerangku. Sudahlah, Sin Liong, mari kita menggali kuburan untuk dia."
Melihat betapa Cia Keng Hong hanya menggunakan sebatang kayu untuk menggali tanah berbatu itu, Sin Liong ikut-ikut dan... betapa heran hatinya ketika dia mampu pula menggunakan sebatang kayu untuk menggali tanah berbatu! Walaupun tidak secepat kakek itu dan dia amat canggung dan beberapa kali kayu itu patah dan harus diganti, namun dia dapat mengerahkan tenaga melalui kayu itu dan menggali tanah yang keras!
Kagum sekali hati Sin Liong melihat betapa kakeknya itu meletakkan sebuah batu besar di depan kuburan sebagai nisan, dan menggunakan jari telunjuknya untuk menggores-gores permukaan batu yang halus dengan huruf-huruf indah yang berbunyi MAKAM KOK BENG LAMA. Diam-diam dia kagum dan juga girang. Kakeknya ternyata adalah seorang yang luar biasa saktinya, juga seorang kakek yang berhati mulia!
Mereka melanjutkan perjalanan dan Cia Keng Hong melihat betapa anak itu diam saja, padahal tubuhnya masih penuh dengan hawa mujijat itu. Anak ini benar-benar hebat, pikirnya. Anak lain tentu akan mengeluh, dan mungkin sekali mengamuk atau melakukan hal-hal aneh, apalagi setelah diketahuinya bahwa ada tenaga hebat di dalam tubuhnya. Dia mengajak Sin Liong mengaso duduk bersila di depannya.
"Sin Liong, engkau tentu merasa bahwa ada sesuatu yang aneh dalam dirimu, bukan"
Anak itu mengangguk. "Di dalam seluruh tubuh saya ada hawa bergerak-gerak, locianpwe."
"Dan engkau sudah tahu bukan, apa artinya itu"
"Locianpwe sudah memberi tahu bahwa tenaga sakti dari mendiang Kok Beng Lama telah pindah ke dalam tubuh saya."
"Benar, dan engkau telah pula mengetahui rahasia Thi-khi-i-beng. Biarpun kuberikan ilmu itu dalam keadaan darurat, akan tetapi berarti engkau telah mewarisi ilmu itu dariku. Ketahuilah bahwa puteraku sendiri, Cia Bun Houw, tidak mewarisi ilmu ini. Satu-satunya orang yang pernah mempelajarinya adalah Yap Kun Liong. Oleh karena itu, engkau boleh dibilang adalah seorang muridku, Sin Liong."
Sin Liong menundukkan mukanya. "Terima kasih atas kebaikan locianpwe."
"Aku tidak memberi kebaikan apa-apa. Hanya engkau harus berjanji. Tidak sembarang orang boleh memiliki Thi-khi-i-beng, dan setelah engkau terlanjur memilikinya, maka engkau harus mengucapkan janji. Kalau tidak, terpaksa aku akan mencabut ilmu itu dengan merusak jalan darahmu, hal ini terpaksa agar kelak engkau tidak mendatangkan malapetaka bagi manusia di dunia."
"Saya akan berjanji, locianpwe," jawab Sin Liong dengan alis berkerut. Untung bahwa yang bicara itu adalah Cia Keng Hong, atau lebih tepat lagi untung bahwa Sin Liong tahu bahwa kakek ini adalah kong-kongnya, karena andaikata tidak demikian, dia lebih memilih mati daripada ditekan!
"Kau harus bersumpah dan berjanji bahwa Thi-khi-i-beng tidak akan kaupergunakan untuk membunuh orang, kecuali dalam pembelaan diri, dan juga kau berjanji bahwa engkau tidak akan mengajarkan Thi-khi-i-beng kepada siapapun juga sebelum aku mati, dan kalau terpaksa kauajarkan kepada orang kelak, engkau harus menyuruh dia bersumpah pula untuk mempergunakan demi kebaikan dan kebenaran."
Sin Liong mengucap janji dan sumpahnya sehingga agak terhibur jugalah hati kakek itu. Setelah Sin Liong mengucapkan janjinya, keadaan menjadi hening dan akhirnya terdengar kakek itu berkata, "Dengan demikian, mulai sekarang engkau adalah muridku. Nah, sekarang perhatikan baik-baik dan dengarkan dengan penuh perhatian. Aku akan mengajarkan pertama-tama agar kau dapat menyimpan dan menyalurkan hawa yang amat dahsyat di dalam tubuhmu itu, karena kalau tidak, tubuhmu yang masih muda dan lemah tidak akan kuat bertahan dan engkau takkan dapat hidup lama."
Kakek itu lalu mengajarkan cara-cara menghimpun tenaga sakti itu, cara bersamadhi dan mengatur pernapasan. Selama semalam suntuk kakek itu menggembleng sehingga Sin Liong mengerti benar dan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Sin Liong masih duduk bersamadhi dan dia sudah mulai merasakan betapa tubuhnya tidak begitu hebat lagi menderita kelebihan tenaga sakti itu, sungguhpun gerakannya masih kaku karena dia merasa kadang-kadang hawa itu hendak membawanya terbang ke angkasa, kadang-kadang pula mendatangkan berat yang hampir tak dapat terbawa oleh tubuhnya.
Melihat keadaan anak itu, Cia Keng Hong maklum bahwa betapapun juga, anak ini memerlukan tempat istirahat untuk terus berlatih mengendalikan hawa sakti yang terlalu kuat untuk tubuhnya itu. Maka dia mengambil keputusan untuk cepat pulang saja ke Cin-ling-san, biarpun hatinya masih penasaran dan menyesal bahwa dia belum juga berhasil menemukan Lie Ciauw Si, cucunya yang pergi mencari Bun Houw itu. Dia sendiripun perlu istirahat untuk memulihkan tenaga.
*** Ketika mereka mulai mendaki puncak Cin-ling-san, hati Sin Liong dilanda kegembiraan dan juga keharuan. Kakeknya tidak banyak bercerita tentang Cin-ling-san, maka diapun tidak tahu apakah ayah kandungnya berada di tempat itu, akan tetapi dia tidak berani banyak bertanya, dan ketika dia tiba di daerah pegunungan ini, merasa betapa tempat ini adalah tempat ayah kandungnya, dia merasa gembira dan terharu. Maka dalam kegembiraannya itu, dia berjalan sambil menoleh ke kanan kiri, memperhatikan setiap keadaan di pegunungan itu.
Dari lereng sudah nampak bangunan di puncak Cin-ling-san, bangunan yang menjadi tempat atau pusat dari Cin-ling-pai. Akan tetapi pagi hari itu sunyi saja di daerah puncak. Memang kini Cin-ling-pai tidaklah seramai dahulu. Apalagi semenjak isterinya meninggal, Cia Keng Hong lalu menyuruh semua anggauta Cin-ling-pai untuk meninggalkan puncak dan para murid atau anggauta Cin-ling-pai lalu tersebar di mana-mana, banyak yang masih tinggal di kaki Pegunungan Cin-ling-pai dan hidup sebagai petani-petani. Cia Keng Hong tadinya hanya tinggal berdua saja bersama cucunya, yaitu Lie Ciauw Si, dilayani oleh dua orang pelayan wanita. Kakek ini dan cucunya sendiri turun tangan di kebun menanam sayur-mayur. Hanya pada waktu-waktu tertentu saja para murid kadang-kadang naik ke puncak mengunjungi ketua mereka. Ketika Cia Keng Hong dan Sin Liong mendaki puncak, di puncak telah menanti empat orang. Dari jauh Sin Liong melihat bahwa mereka itu adalah dua orang pria dan dua orang wanita yang menanti kedatangannya kakek itu dengan wajah gembira, dan dia melihat betapa kakek itu mengeluarkan seruan tertahan kemudian tubuh kakek itu melesat dengan cepatnya ke atas puncak. Sin Liong juga berlari mengikutinya dan dia melihat betapa kakek itu kini berhadapan dengan mereka berempat, memandang dengan mata terbelalak kepada seorang di antara mereka, seorang laki-laki tampan yang berdiri dengan kepala agak tunduk.
"Kau..." Kau...!" Dan tiba-tiba Cia Keng Hong terhuyung dan jatuh terguling!
Pria tampan gagah berusia tiga puluh tahun lebih itu bukan lain adalah Cia Bun Houw dan wanita cantik jelita di sampingnya yang usianya satu dua tahun lebih muda itu adalah isterinya, Yap In Hong! Adapun pria dan wanita lain yang berada di situ adalah Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng.
Dalam cerita Dewi Maut telah diceritakan betapa Cia Bun Houw, putera bungsu dari ketua Cin-ling-pai itu, pergi meninggalkan orang tuanya ketika Cia Keng Hong menentang puteranya yang hendak menikah dengan Yap In Hong, karena puteranya itu telah ditunangkan dengan orang lain. Ayah dan anak bersikeras mempertahankan kehendaknya sendiri sehingga akhirnya Bun Houw pergi bersama In Hong dan menjadi suami isteri tanpa perkenan orang tua! Kepergian Bun Houw inilah yang menghancurkan hati Cia Keng Hong dan isterinya, sampai isterinya meninggal dunia karena semenjak kepergian pemuda itu, tidak pernah ada berita lagi.
Ketika Cia Giok Keng, puteri ketua Cin-ling-pai itu, mendengar bahwa puterinya Lie Ciauw Si yang ikut dengan kakeknya di Cin-ling-san untuk belajar silat dan menemani kakeknya, pergi meninggalkan Cin-ling-san untuk pergi mencari pamannya, hatinya menjadi gelisah! Maka dia lalu pergi kepada pendekar Yap Kun Liong, pria yang sesungguhnya dicintanya itu, dan minta pertolongan Yap Kun Liong untuk pergi mencari adiknya, Cia Bun Houw yang telah membuat orang tuanya berduka itu. Pergilah pendekar Yap Kun Liong dan akhirnya dia berhasil menemukan Cia Bun Houw dan Yap In Hong yang ternyata mengasingkan diri dan tinggal jauh di sebelah selatan. Yap Kun Liong membujuk Cia Bun Houw untuk pulang ke utara menengok ayahnya, dan Bun Houw yang mendengar akan kematian ibunya dan kedukaan hati ayahnya, lalu bersama isterinya ikut dengan Kun Liong pergi ke utara. Mereka berhenti dulu di Sin-yang, kemudian diantar pula oleh Cia Giok Keng, mereka semua pergi ke Cin-ling-san. Setelah tiba di puncak itu, mereka menemukan tempat kosong dan mereka menanti di situ selama dua hari.
Demikianlah, pada pagi hari itu, mereka berempat menyambut kedatangan Cia Keng Hong yang pulang bersama seorang anak laki-laki yang tidak mereka kenal. Akan tetapi, Cia Keng Hong yang baru saja kehilangan tenaga dan masih terluka biarpun sudah mulai sembuh, luka di sebelah dalam sebagai akibat pertandingannya dengan Kok Beng Lama, begitu melihat Bun Houw, jantungnya tergetar hebat. Berbagai macam perasaan mengaduk hatinya. Rasa gembira, rasa terharu, juga rasa marah dan mendongkol bercampur duka teringat akan isterinya, membuat dia tidak dapat menahan lagi dan dia jatuh tergulingg dan pingsan dalam rangkulan Cia Giok Keng yang tadi cepat menubruk dan menyambut tubuh ayahnya yang terguling.
Melihat ini, Sin Liong terbelalak dan marah bukan main. Dia tadi melihat betapa kakek itu memandang kepada laki-laki gagah yang berbaju kuning dan menggerak-gerakkan tangan ke arah laki-laki itu, maka sudah tentu laki-laki itulah yang telah membuat kakeknya roboh dan mungkin mati itu. Kemarahan memenuhi hatinya dan Sin Liong sudah menerjang ke depan sambil berteriak, "Kau manusia jahat...!"
Semua orang terkejut, terutama sekali Cia Bun Houw sendiri yang melihat dirinya diserang oleh anak yang datang bersama ayahnya tadi. Lebih terkejut lagi hati empat pendekar yang berilmu tinggi itu ketika melihat betapa tubuh anak laki-laki tanggung itu bergerak luar biasa cepatnyag dengan gaya seperti seekor harimau menubruk, atau seperti seekor binatang buas lainnya, dan ketika tangan kirinya mencengkeram ke arah leher Bun Houw dan tangan kanannya memukul ke arah dada, ternyata gerakan anak itu mendatangkan hawa pukulan yang luar biasa kuatnya sehingga terdengar angin menyambar dahsyat!
"Ehhh...!" Cia Bun Houw mengelak cepat dan kaget sekali. Tentu saja bagi pendekar ini yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, serangan Sin Liong itu tidak merupakan bahaya, akan tetapi pendekar ini kaget melihat betapa seorang anak kecil yang usianya baru dua belas atau tiga belas tahun ini bisa memiliki tenaga sin-kang sedahsyat itu, juga kecepatan yang luar biasa sungguhpun gerakannya ketika menyerang lebih patut gerakan seekor binatang buas daripada gerakan silat.
Akan tetapi, begitu serangannya luput, Sin Liong sudah membalik lagi dan menyerang lebih dahsyat, menggunakan pukulan dengan pengerahan tenaga seperti yang diajarkan oleh kakeknya sehingga kini dia dapat mengerahkan tenaga yang terkumpul di pusarnya itu. Tenaga dahsyat yang hangat dan hidup mengalir ke dalam lengan sampai ke ujung-ujung jarinya ketika dia memukul dan mengerahkan tenaga. Terdengar suara bercuitan dan kembali Bun Houw terkejut karena angin pukulan dari anak itu benar-benar dahsyat, seperti pukulan seorang ahli sin-kang yang amat kuat! Dengan hati penuh keheranan dan keinginan tahu, pendekar ini laku menggerakkan lengannya menangkis, dengan maksud untuk mengukur sampai di mana kekuatan anak yang luar biasa ini.
"Dukkk! Aihhh...!" Kini Cia Bun dia mengeluarkan teriakan. Siapa yang tidak akan kaget ketika dua lengan itu bertemu, selain dia merasakan kekuatan yang amat dahsyat, yang tidak patut dimiliki oleh seorang bocah berusia dua belas atau tiga belas tahun, juga dia merasa betapa tenaga sin-kangnya tersedot ke luar! Itulah Thi-khi-i-beng! Ataukah lain ilmu iblis yang dapar menyedot sin-kang lawan" Sebagai murid terkasih dari Kok Beng Lama, tentu saja dengan sekali mengerahkan tenaga membetot, lengannya dapat terlepas dari lekatan lengan lawan yang mempunyai daya sedot, dan dia memandang dengan mata terbelalak kepada anak itu.
Akan tetapi, Sin Liong tidak perduli orang terheran-heran. Dia tidak tahu sama sekali bahwa orang itu kagum dan terkejut melihat kehebatan tenaganya, dan dia merasa penasaran mengapa dia belum dapat menghantam orang yang telah membuat kakeknya sampai roboh pingsan itu.
"Orang jahat kau...!" Dia berteriak lagi dan kini kembali dia menubruk, dengan gerakan yang ganas. Bun Houw kembali mengelak dan pada saat itu nampak bayangan berkelebat, jari-jari tangan yang runcing mungil meluncur dan menotok pundak Sin Liong yang luput menyerang lawannya tadi.
"Dukk! Ahh...!" Wanita cantik itu, Yap In Hong, terkejut bukan main. Karena tadinya dia memandang rendah kepada seorang bocah yang disangkanya hanya liar dan ganas, dia tentu saja menotok tanpa mempergunakan tenaga sakti, khawatir kalau sampai membunuh anak itu. Akan tetapi ketika jari tangannya bertemu pundak Sin Liong yang pada saat itu sedang mengerahkan tenaga, In Hong merasa betapa tenaga kasarnya membalik dan jari-jari tangannya terasa nyeri bukan main! Barulah dia tahu mengapa suaminya kelihatan terkejut dan terheran-heran, ragu-ragu, kini dia mengerti bahwa memang bocah ini luar biasa sekali, memiliki tenaga sin-kang yang luar biasa kuatnya. Maka diapun menjadi marah dan kini tangannya kembali melayang, sekali ini mengandung tenaga sin-kang yang kuat, bahkan dia mempergunakan tenaga Thian-te Sin-ciang yang ampuh.
"Dess...!" Anak itu terpelanting dan roboh dengan tubuh lemas karena jalan darahnya tertotok.
Akan tetapi, Sin Liong yang marah itu merasa betapa tenaga dan hawa aneh di dalam pusarnya bergolak, mendorong-dorong akan tetapi tidak mampu menembus jalan darah yang sudah tertotok. Dia sama sekali tidak menjadi jerih, bahkan matanya melotot memandang kepada Bun Houw dan In Hong yang menghampirinya, memandang penuh kebencian.
"Kalian tunggu saja..." desisnya, "kalau locianpwe Cia Keng Hong sampai mati, aku bersumpah kelak aku akan membunuh kalian berdua manusia-manusia jahat!" Sepasang matanya mencorong seperti naga sakti. "Aku benci kalian! Aku benci kalian...!"
Melihat sinar mata yang penuh nafsu membunuh, seperti mata seekor harimau kelaparan yang marah, diam-diam In Hong bergidik. "Bocah setan ini perlu dihajar!" katanya dan dia sudah mengangkat tangannya untuk menampar.
"Tahan, jangan pukul dia!" Bun Houw berseru menahan isterinya yang menurunkan kembali tangannya sambil menoleh kepada suaminya. Mengapa suaminya melarang dia memukul anak yang mengeluarkan ancaman mengerikan itu"
Melihat pandangan mata isterinya, Bun Houw berkata, "Aku melihat dia tadi menggunakan Thi-khi-i-beng."
Mendengar ini, In Hong terkejut dan terheran-heran, akan tetapi mereka berdua lalu menghampiri kakek Cia Keng Hong yang sudah mulai siuman.
"Ah, kau datang, kalian datang semua... ah, aku agak lelah..." Akhirnya kakek itu bangkit duduk.
"Ayah, engkau harus beristirahat dulu. Nanti saja kita bicara..." Cia Giok Keng lalu merangkul dan memapah ayahnya, dibantu oleh Bun Houw. Kakek itu tidak mau dipondong dan dengan dipapah oleh kedua orang anaknya, dia melangkah tertatih-tatih memasuki pondoknya.
Cia Keng Hong jatuh sakit! Beberapa kali dia jatuh pingsan dan terserang demam. Bun Houw dan encinya yang memeriksa, mendapat kenyataan bahwa tenaga ayah mereka itu berkurang banyak sekali, menjadi lemah, dan di sebelah dalam tubuh ayah mereka itu mengalami guncangan hebat dan seperti orang baru sembuh dari luka parah di dalam tubuh. Akan tetapi mereka belum dapat bicara dengan ayah mereka dan dengan penuh ketelitian kedua orang anak itu merawat ayah mereka, dibantu oleh Yap In Hong dan kakaknya, Yap Kun Liong.
Seperti telah diketahui jelas oleh para pembaca cerita Dewi Maut, isteri dari Cia Bun Houw, Yap In Hong, adalah adik kandung pendekar Yap Kun Liong. Dan semenjak Bun Houw dan isterinya ini meninggalkan orang tuanya, belasan tahun yang lalu, kakak dan adik inipun tidak pernah saling jumpa, apalagi karena Kun Liong juga selama ini hanya menyembunyikan diri saja di rumahnya, yaitu di Leng-kok. Biarpun antara Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng terdapat perasaan cinta kasih yang mendalam, duda dan janda ini tidak melanjutkan hubungan itu dengan hubungan jasmani, melainkan hanya saling mencinta saja di dalam hati masing-masing. Maka kini, pertemuan antara mereka semua tentu saja mendatangkan percakapan yang asyik, saling menceritakan keadaan mereka masing-masing. Hanya keadaan kakek ketua Cin-ling-pai itu yang menimbulkan prihatin di hati mereka, dan juga, anak aneh yang datang bersama ketua Cin-ling-pai itu tidak mau banyak membuka mulut, hanya berwajah muram dan ikut pula menjaga kakek yang sedang sakit itu. Yap Kun Liong juga menasihatkan yang lain agar jangan sembarangan terhadap bocah ini, karena diapun menduga bahwa tentu ada rahasia di balik kedatangan bocah ini, dan tentu ada hubungan erat antara bocah itu dan pendekar sakti Cia Keng Hong, apalagi ketika dia mendengar bahwa anak itu agaknya pandai Thi-khi-i-beng.
"Kita tunggu saja sampai Cia-locianpwe sudah sembuh kembali dan menceritakan siapa adanya anak itu," kata pendekar ini dan yang lain-lain merasa setuju. Anak itu benar-benar amat luar biasa. Kalau ditanya, hanya memandang dengan mata mendelik marah dan memang Sin Liong merasa tidak suka kepada empat orang ini, terutama kepada Cia Bun Houw dan isterinya yang dianggapnya jahat karena telah membuat kakeknya roboh pingsan dan sakit. Dia tidak tahu siapa mereka dan juga tidak ingin tahu, dan diapun tidak suka memperkenalkan diri ketika ditanya. Diapun ingin menanti sampai kakek itu sembuh, baru dia akan mengambil keputusan apakah akan terus tinggal di situ ataukah akan pergi. Hanya terhadap Yap Kun Liong dia tidak begitu dingin dan ketus, karena pendekar yang usianya sudah empat puluh delapan tahun ini bersikap manis budi kepadanya. Bahkan hanya dari Yap Kun Liong saja dia mau menerima makanan. Biarpun dia diberi sebuah kamar, akan tetapi dia tidak mau tidur di kamarnya, sebaliknya dia terus berada di kamar Cia Keng Hong dan di situ dia duduk bersila, bersamadhi seperti yang telah diajarkan oleh kakek itu kepadanya. Dan diapun tidur dalam keadaan bersila. Melihat cara anak itu bersamadhi, makin yakinlah hati empat orang pendekar itu bahwa anak ini pasti memiliki hubungan yang erat dengan ketua Cin-ling-pai.
Ternyata guncangan batin ketika dia melihat wajah puteranya itulah yang membuat Cia Keng Hong jatuh sakit. Ketika dia mengadu ilmu melawan Kok Beng Lama, dia sudah merasa bahwa dia terluka di sebelah dalam tubuhnya, apalagi ketika sebagian dari tenaga sin-kangnya tersedot oleh kekuatan dahsyat yang mengeram di dalam tubuh Sin Liong. Biarpun kemudian dia dapat menyedot kembali tenaga dari tubuh Sin Liong dengan menggunakan Ilmu Thi-khi-i-beng dan dengan demikian selain menyelamatkan Sin Liong juga memulihkan kembali tenaganya, namun luka yang dideritanya belumlah sembuh sama sekali. Maka ketika menerima guncangan hebat dan mendadak dalam perjumpaan yang tak disangka-sangkanya dengan puteranya itu, dia jatuh pingsan dan jantungnya yang sudah tua itu mengalami tekanan berat yang membuat dia jatuh sakit. Baru setelah sepekan dirawat dengan penuh perhatian oleh putera dan puterinya, Cia Keng Hong sembuh dari demam dan ingatannya kembali. Biarpun tubuhnya masih lemah namun dia sudah dapat bangun duduk dan bicara.
Ketika melihat Sin Liong duduk bersila di sudut kamar, Cia Keng Hong tersenyum dan wajahnya berseri. Dia mengangguk-angguk dan berkata kepada Bun Houw dan Giok Keng, "Bantu aku keluar, aku ingin duduk di luar pondok, di tempat terbuka yang sejuk."
Cia Giok Keng dan Cia Bun Houw lalu memapah ayah mereka itu, membawanya keluar dan di bawah sebatang pohon pek di depan pondok itu memang terdapat sebuah batu halus yang menjadi tempat duduk dan tempat samadhi kakek ini. Di situlah dia duduk bersila dan empat orang pendekar itupun duduk di atas tanah di depannya.
"Sin Liong, kau ke sinilah..." kata kakek itu kepada Sin Liong yang ikut pula keluar dengan sikap sungkan, karena dia merasa bahwa dia adalah seorang pendatang baru yang asing. Namun hatinya lega melihat bahwa ternyata empat orang itu bukanlah musuh kakeknya.
Mendengar ucapan kakek itu, Sin Liong cepat menghampiri dan menjatuhkan diri berlutut, lalu duduk bersila pula di depan batu besar yang diduduki kakek itu.
Sejenak keadaan di situ sunyi. Udara pagi itu cerah dan hangat oleh sinar matahari pagi. Angin gunung mendatangkan kesejukan di bawah pohon itu dan mereka semua seperti tenggelam dalam keheningan yang maha luas. Cia Keng Hong memandang ke kanan dan alisnya berkerut, hatinya diliputi penuh keharuan dan penyesalan. Melihat puteranya kini telah menjadi seorang pria yang matang, berusia tiga puluh tahun lebih, duduk bersila di dekat Yap In Hong yang memang cantik jelita dan gagah, dia melihat kesalahan yang telah dilakukannya belasan tahun yang lalu. Jelas bahwa puteranya itu saling mencinta dengan wanita itu, mengapa dia dahulu berkeras tidak menyetujui perjodohan mereka" Padahal, mereka itulah yang akan saling berjodoh, yang akan hidup berdua selamanya, mereka berdualah yang akan hidup bersama membagi suka duka bersama-sama. Perjodohan adalah urusan mereka berdualah, dengan hak dan kewajiban mereka berdua sepenuhnya pula. Mengapa dia bercampur tangan, mengapa dia hendak mengatur kehidupan kedua orang itu, ingin menyesuaikan mereka berdua untuk menyenangkan hatinya" Betapa bodohnya dia, dan betapa bodohnya orang-orang tua yang ingin mencampuri urusan perjodohan anak-anak mereka! Memang dahulu dia mempunyai alasan kuat untuk menentang, mengingat betapa Yap In Hong sendiri pernah memutuskan pertunangannya dengan Bun Houw (baca kisah Dewi Maut), dan ke dua betapa Bun Houw telah ditunangkan dengan gadis lain. Namun, segala macam alasan itu sesungguhnya hanyalah untuk mempertahankan pebdiriannya atau kesenangan dirinya pribadi. Kini nampak jelas olehnya dan dia merasa menyesal sekali.
Dan ketika dia menoleh ke kiri, dia melihat si duda, Yap Kun Liong duduk bersanding dengan puterinya, Cia Giok Keng yang sudah menjadi janda, dan hatinyapun tertusuk keharuan bercampur kekaguman. Dua orang itu benar-benar memiliki cinta kasih yang murni, cinta kasih yang sama sekali tidak dikotori oleh nafsu berahi. Betapa mereka saling mencinta, dia dapat merasakannya, namun keduanya tetap bertahan dan hanya berhubungan sebagai sahabat-sahabat yang saling mencinta. Benar-benar mengagumkan dan patut dipuji kedua orang itu! Lalu dia memandang ke depan, kepada Sin Liong. Bocah ini juga mengagumkan! Senanglah hati Cia Keng Hong karena biarpun sejak tadi tidak pernah ada yang bicara sepatah katapun, namun dalam keadaan sehening dan seindah itu, memang kata-kata tidak banyak gunanya lagi.
"Sin Liong, setelah beberapa hari kau berada di sini, apakah engkau sudah mengenal siapakah adanya mereka ini" Dia menoleh ke kanan dan kiri. Empat orang pendekar itu memandang kepada Sin Liong dan anak itupun menoleh dan memandang kepada mereka dengan wajah yang masih muram. Dia menggeleng kepala.
"Saya belum mengenal mereka, locianpwe," jawabnya kemudian.
"Ah! Engkau belum mengenal mereka" Lihatlah baik-baik, Sin Liong, yang duduk di sebelah kirimu itu adalah puteraku yang bernama Cia Bun Houw dan isterinya!" Kakek itu berhenti karena tiba-tiba Sin Liong menoleh ke kiri dan sepasang matanya mencorong aneh ketika dia memandang kepada Bun Houw.
Tidak ada seorangpun di antara mereka yang tahu betapa kagetnya hati Sin Liong mendengar perkenalan itu. Jadi laki-laki gagah itu adalah ayah kandungnya! Dan beberapa hari yang lalu dia telah menyerang orang itu sebagai orang yang dibencinya! Kiranya ayah kandungnya, yang oleh mendiang ibu kandungnya dipuji-puji sebagai pendekar sakti itu. Akan tetapi mengapa ayah kandungnya itu duduk di situ bersama wanita cantik yang diperkenalkan sebagai isteri ayahnya itu" Dan wanita itu telah turun tangan menotoknya! Dia kini memandang kepada Yap In Hong dengan pandang mata penuh kebencian. Ketika Bun Houw dan In Hong memandang Sin Liong, mereka melihat sinar mata anak itu dan keduanya terkejut sekali.
"Ihhh...!" In Hong mengeluarkan seruan lirih dan Bun HoUw mengerutkan alisnya.
Cia Keng Hong juga merasa heran melihat sikap Sin Liong itu, maka dia bertanya. "Ada apakah Sin Liong"
Sin Liong tidak menjawab, hanya memandang kepada Bun Houw dan In Hong dengan sinar mata aneh, dan kini tanpa disadarinya, sepasang mata yang menyinarkan kebencian itu menjadi basah dan dua titik air mata mengalir keluar. Melihat ini, Bun Houw cepat berkata, "Ayah, dia salah sangka terhadap kami berdua. Ketika ayah terkejut dan tak sadarkan diri, dia langsung menyerangku, dan aku heran sekali melihat dia memiliki sin-kang yang luar biasa, bahkan memiliki Thi-khi-i-beng!"
Cia Keng Hong tersenyum dan mengangguk-angguk mengerti. "Ah, kiranya begitukah" Sin Liong, engkau salah duga. Dia bukanlah musuh, dia adalah puteraku. Hayo kau cepat minta maaf, biarpun kau melakukan hal itu tanpa kausadari."
Sin Liong menunduk, kemudian menghadap kakek itu sambil berkatap "Maafkan saya, locianpwe." Dia tidak minta maaf kepada Bun Houw, melainkan kepada kakeknya! Memang hati anak ini luar biasa kerasnya. Dia telah bertemu dengan ayah kandungnya, akan tetapi melihat kenyataan pahit betapa ayah kandungnya yang telah meninggalkan ibu kandungnya ini menjadi suami wanita lain, mana mungkin hatinya tidak diliputi kekecewaan dan kebencian"
"Dan yang duduk di sebelah kiri itu adalah puteriku, Sin Liong. Namanya Cia Giok Keng. Sedangkan pria itu adalah Yap Kun Liong, kakak ipar dari puteraku Bun Houw, juga dia dapat dibilang muridku karena hanya dia seorang yang telah mewarisi Thi-khi-i-beng dariku, di samping engkau sendiri, sekarang engkau telah menjadi muridku, maka engkau adalah sute mereka, sute paling kecil." Kakek itu mengangguk-angguk senang. Hatinya gembira sekali, terutama karena dia dapat melihat puteranya kembali.
"Ayah, siapakah anak ini dan bagaimana asal mulanya sampai dia dapat memiliki sin-kang sedemikian hebatnya, dan telah mewarisi Thi-khi-i-beng pula" tanya Bun Houw. Betapapun juga, dia merasakan sinar mata benci dari anak itu, oleh karena itu, diapun mempunyai perasaan tidak senang kepada Sin Liong!
"Memang aneh dia, dan banyak pula terjadi hal-hal aneh menimpanya. Pertama-tama, ketahuilah, Bun Houw, bahwa gurumu telah meninggal dunia."
"Ahhh...!" Bun Houw berseru kaget.
"Ihhh...!" In Hong juga berseru tertahan yang merasa sayang kepada kakek pendeta Lama itu.
"Hemmm...!" Yap Kun Liong juga menahan seruannya karena diapun merasa amat kagum kepada ayah mertuanya itu. Kok Beng Lama adalah ayah mertua pendekar ini, karena mendiang isterinya, Pek Hong In, adalah puteri tunggal dari pendeta Lama itu (baca cerita Petualang Asmara).
"Ayah, apakah yang telah terjadi" Bagaimana suhu sampai meninggal dunia" Apakah dia dibunuh musuh"
Ayahnya menggeleng kepala. "Dia memang sudah tua dan pikun, Bun Houw, dan agaknya memang sudah tiba saatnya bagi Kok Beng Lama untuk meninggalkan dunia ini. Betapapun juga, kematian itu terjadi karena kesalahannya sendiri." Dengan singkat ketua Cin-ling-pai itu menceritakan tentang pertemuannya dengan Kok Beng Lama, betapa Kok Beng Lama memaksanya untuk mengadu tenaga sin-kang dan betapa Sin Liong yang mencoba untuk melerai itu tanpa disengaja malah mewarisi seluruh tenaga dari Kok Beng Lama, biarpun hal itu juga hampir saja menewaskannya, dan betapa dia terpaksa membuka rahasia Thi-khi-i-beng kepada anak itu untuk menolongnya. Empat orang pendekar itu mendengarkan dengan penuh keheranan dan kekaguman dan mereka kini memandang kepada Sin Liong dengan sinar mata lain. Memang anak luar biasa, pikir mereka.
"Bagus, kalau begitu engkau adalah suteku, Sin Liong!" Bun Houw berseru dengan girang. "Engkau she apakah"
Sin Liong sejenak menatap wajah ayah kandungnya itu. Hampir saja dia menitikkan air mata, dan ingin hatinya berteriak bahwa dia adalah putera pendekar itu. Akan tetapi, hatinya memang keras sekali. Melihat ayah kandungnya mempunyai seorang isteri dan meninggalkan ibu kandungnya, dia tidak mau memperkenalkan diri. Hatinya terasa nyeri, 1upa dia bahwa ibu kandungnya juga mempunyai suami baru!
"Aku tidak mempunyai she," jawabnya sambil menunduk.
"Eh, kenapa begitu aneh" Giok Keng yang biarpun usianya sudah empat puluh tujuh tahun masih cantik dan masih juga keras hatinya itu berseru. "Lalu siapakah nama ayahmu"
Sin Liong memandang sejenak kepada puteri kakeknya yang sesungguhnya adalah bibinya itu, lalu dia menunduk dan menjawab singkat, "Aku tidak mengenal siapa ayah bundaku."
Cia Keng Hong tersenyum. "Memang dia aneh. Dia tidak tahu siapa ayah bundanya, dan dia hanya ingat bahwa dia bekerja sebagai kacung pada keluarga Na-piauwsu. Akan tetapi, untuk bertanya tentang asal-usul anak ini kepada keluarga Na-piauwsu juga tidak mungkin karena keluarga Na itu dibunuh oleh musuh-musuhnya. Anak ini dibawa oleh seorang wanita kejam yang bernama Kim Hong Liu-nio, seorang wanita yang benar-benar memiliki kepandaian yang mengejutkan dan entah mengapa wanita iblis itu demikian bencinya kepada Sin Liong sehingga menyiksanya dan aku telah membebaskannya dari tangan wanita itu."
"Sin Liong, siapakah wanita itu" tanya Yap Kun Liong yang merasa tertarik karena diapun tidak mengenal tokoh kang-ouw bernama Kim Hong Liu-nio itu. Kalau ada seseorang tokoh sampai dipuji kepandaiannya oleh Cia Keng Hong, su dah pasti bahwa tokoh itu bukan orang sembarangan dan kepandaiannya tidak boleh dibuat main-main.
Sin Liong memang tidak ingin menceritakan banyak-banyak tentang dirinya, akan tetapi karena semua orang memandang kepadanya dan sinar mata mereka menunjukkan bahwa mereka itu ingin sekali mendengar tentang Kim Hong Liu-nio, dia teringat akan tantangannya terhadap Kim Hong Liu-nio dan dengan lantang dia lalu berkata, "Saya tidak mengenalnya. Ketika keluarga Na-piauwsu diserbu musuh dan dibunuh, dia muncul dan dia membunuh semua musuh keluarga Na itu lalu menangkap saya dan membawa saya pergi ke hutan di mana Cia locianpwe menolong saya. Akan tetapi, saya mendengar dia berkata-kata seorang diri bahwa dia akan membunuh semua orang yang she Cia, Yap dan Tio."
"Ehhh"
"Ahhh"
"Heiii..."
Seruan-seruan itu keluar dari mulut Yap Kun Liong, Cia Giok Keng, Cia Bun Houw dan Yap In Hong. Mereka saling pandang, lalu memandang kembali kepada anak itu. Sin Liong merasa senang melihat mereka terkejut. Kalau benar mereka ini adalah pendekar-pendekar besar, ingin dia melihat wanita iblis yang lihai itu berhadapan dengan mereka.
"Sungguh aneh sekali! Mengapa justeru she-she dari kita yang dimusuhinya" tanya Cia Bun Houw sambil memandang Yap In Hong.
"DAN she Tio itu bukanlah ada hubungannya dengan Tio Sun twako" tanya pula Yap In Hong.
"Ahhh, sekarang aku ingat...!" Tiba-tiba kakek ketua Cin-ling-pai itu berkata. "Ya, benar. Tadinya aku merasa heran mengapa aku sampai tidak mengenal dasar ilmu silatnya. Kini, setelah mendengar bahwa dia memusuhi kita dan juga Tio Sun, teringatlah aku. Sudah tentu wanita itu ada hubungannya dengan Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li! Benar, ilmu silatnya memang mempunyai dasar ilmu silat dua orang iblis tua itu!"
"Akan tetapi mereka itu sudah mati!" kata Yap In Hong. "Pek-hiat Mo-ko telah tewas olehmu dan Hek-hiat Mo-li terluka parah olehku." Dia bicara kepada Bun Houw.
Bun Houw mengangguk-angguk. "Kalau memang ada hubungannya dengan mereka, tentu ada hubungannya dengan Hek-hiat Mo-li. Pek-hiat Mo-ko jelas telah mati, akan tetapi Hek-hiat Mo-li belum tewas biarpun terluka parah akan tetapi dia disalamatkan dengan datangnya Raja Sabutai. Mungkin dia itu murid dari Hek-hiat Mo-li yang masih selalu menaruh dendam kepada kita." Bun Houw mengerutkan alisnya dan teringatlah akan peristiwa belasan tahun yang lalu ketika dia dan In Hong mengalahkan Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li dalam pertandingan mati-matian.
Cia Keng Hong juga mengangguk-angguk dan mengelus jenggotnya. "Kiranya begitu... ilmunya lihai sekali dan setelah menggunakan Thi-khi-i-beng baru aku berhasil menundukkannya. Akan tetapi dia segera mengenal ilmu itu dan mengenalku, lalu pergi. Agaknya tentu Hek-hiat Mo-li yang berdiri di belakangnya. Hemmm, musuh sudah mulai keluar dari sarang dan mencari gara-gara, harap kalian suka berhati-hati," katanya sambil memandang kepada dua pasang pendekar itu.
Empat orang pendekar itu tinggal di Cin-ling-san sampai kakek itu sembuh dari luka-lukanya. Dalam kesempatan itu, Cia Keng Hong secara bergiliran bicara berdua saja dengan dua orang anaknya. Dengan hati terharu dia mendengar dari Bun Houw ketika dia bertanya mengapa puteranya itu belum mempunyai keturunan, dan pengakuan puteranya itu yang bicara dengan nada suara duka mengejutkannya.
"Ayah, sebelum ayah memberi restu kepada kami untuk menikah, mana mungkin kami berdua dapat menjadi suami isteri dan mempunyai anak"
Cia Keng Hong memandang kepada puteranya dengan mata terbelalak. "Apa katamu" Engkau dan In Hong... kalian... belum menjadi suami isteri"
Bun Houw mengangkat mukanya memandang kepada ayahnya, sepasang matanya jernih akan tetapi wajahnya agak pucat. "Ayah, kami berdua saling mencinta, saling menghormat, maka bagaimana mungkin kami saling merendahkan dengan jalan melakukan hubungan jina" Biarpun kami telah hidup bersama selama belasan tahun ini, akan tetapi selama ayah masih ada, tanpa perkenan dari ayah atas perjodohan kami, mana berani kami melakukan hubungan yang akan menjadi perjinaan"
Sepasang mata yang terbelalak memandang itu kini menjadi sayu, bibir tua itu gemetar dan hati pendekar itu seperti ditusuk pedang rasanya. Terbukalah kini matanya dan tahulah dia betapa dahulu dia terlalu menuruti hati, terlalu mempertahankan kehendaknya sendiri sehingga dia mengorbankan puteranya yang menderita karena keangkuhannya. Dia memeluk puteranya, merangkul dan berbisik.
"Houw-ji... kaumaafkan aku... ah, mendiang ibumu benar, aku terlalu keras kepala... aku telah membuatmu hidup menderita, kaumaafkanlah aku, anakku..."
Dua titik air mata membasahi mata pendekar sakti itu, hal yang luar biasa sekali, dan menandakan bahwa hati pendekar itu luar biasa sakitnya, tertindih oleh rasa sesal dan haru.
"Tidak, ayah, sebaliknya akulah yang selama ini merasa berdosa dan membikin susah hati ayah," jawab Bun Houw lirih.
"Aku yang bodoh, anakku, lupa akan keadaanku sendiri ketika masih muda. Ah, aku seperti buta dan lupa bahwa tak mungkin mengatur hati orang lain, dan aku bangga sekali mendengar betapa murni cinta antara kalian. Bun Houw, lekas kaupanggil In Hong ke sini!"
Bun Houw cepat pergi ke belakang dan tak lama kemudian dia sudah kembali dengan In Hong. Melihat gadis itu, Cia Keng Hong makin terharu. Dia memegang tangan In Hong, memandang tajam dan berkata, "In Hong, kau maafkanlah aku, orang tua tak tahu diri yang kukuh sehingga aku telah membuat kalian berdua menderita. Kalau... kalau kalian masih mau menganggap dan mau menerima, biarlah detik ini aku menyatakan bahwa aku girang sekali kalian saling berjodoh! Kuharap kalian suka menjadi suami isteri dalam arti yang sesungguhnya. Aku... aku... ingin sekali dapat melihat cucuku, putera dari kalian sebelum aku mati..."
"Gak-hu...!" In Hong yang biasa menyebut locianpwe itu kini menyebut "ayah mertua" dan menjatuhkan diri berlutut sambil meneteskan beberapa titik air mata.
Keadaan tiga orang ini sungguh mengharukan, akan tetapi di dalam keharuan ini muncul sinar yang amat membahagiakan mereka bertiga, terutama di dalam hati Bun Houw dan In Hong sehingga dalam pertemuan pandang mata mereka, selain kasih sayang seperti biasanya, terdapat pula sinar yang membayangkan kegirangan dan juga perasaan malu-malu.
Bun Houw juga berlutut di samping isterinya dan berkata, "Kami menghaturkan terima kasih kepada ayah atas kebijaksanaan ayah."
Ucapan itu malah makin menusuk perasaan Cia Keng Hong, sungguhpun Bun Houw tidak bermaksud demikian. Dengan mata basah pendekar sakti yang sudah tua ini menggunakan kedua tangan meraba kepala putera dan mantunya, seperti hendak memberi berkah. "Ayahmu bersalah, ayahmu terlalu mementingkan perasaan dan keinginan hati sendiri sehingga kalian menderita dan menjadi korban selama belasan tahun. Ah, anak-anakku, hendaknya peristiwa ini menjadi pelajaran bagi kalian sehingga kelak kalian tidak melakukan kebodohan seperti yang telah kulakukan ini, dan tidak membikin anak-anak kalian menderita..."
Selain mendatangkan kebahagiaan dalam hati dua orang yang saling mencinta itu, menjodohkan mereka sehingga mereka dapet menjadi suami isteri secara sah oleh persetujuan orang tua, dapat menjadi suami isteri dalam arti kata yang sesungguhnya, juga pendekar sakti tua Cia Keng Hong mengadakan pertemuan bertiga saja dengan puterinya, Cia Giok Keng dan Yap Kun Liong. Juga kepada dua orang yang sesungguhnya saling mencinta ini, Cia Keng Hong memberi "lampu hijau". Antara lain dia berkata dengan nada suara sungguh-sungguh dan yang didengarkan oleh kedua orang itu dengan muka menunduk.
"Aku tahu bahwa kalian berdua saling mencinta, Kun Liong dan Giok Keng. Dan kalian adalah orang-orang bebas, seorang duda dan seorang janda. Oleh karena itu, yakinlah hati kalian bahwa aku akan merasa ikut berbahagia, apabila kalian berdua dapat mengisi kekosongan hidup masing-masing dan menjadi suami isteri. Kalian masih cukup muda untuk menikmati hidup, dan sudah selayaknyalah kalau saling mengisi dan saling menghibur. Nah, legalah kini hatiku, karena aku telah menyatakan isi hatiku. Tentu saja pelaksanaannya terserah kepada kalian berdua."
Di depan kakek tua renta itu, tentu saja Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng merasa malu untuk menjawab, akan tetapi terdapat sinar lain dalam pandang mata mereka ketika mereka saling bertemu pandang. Dan sinar-sinar mata inipun dapat ditangkap oleh kakek Cia Keng Hong yang membuatnya tersenyum penuh kelegaan hati, seperti kelegaan hati seorang ayah yang melihat anak-anaknya hidup bahagia.
Dua pasang pendekar itu tinggal di puncak Cin-ling-san, merawat Cia Keng Hong sampai kakek pendekar ini sembuh dari sakitnya. Selama beberapa hari itu, ada beberapa orang anggauta Cin-ling-pai yang datang pula untuk menjenguk sehingga terjadilah pertemuan-pertemuan yang menggembirakan. Dalam kesempatan itu, Cia Giok Keng mengusulkan kepada ayahnya apakah tidak sebaiknya kalau Cin-ling-pai dibangun kembali dan memanggil para anggauta yang kini tinggal terpisah-pisah.
Kakek itu menggeleng kepala dan menarik napas panjang. "Tidak, Keng-ji. Tidak ada gunanya sama sekali. Kini nampak benar olehku betapa pendirian sebuah perkumpulan hanya berarti memisahkan diri dari orang-orang lain saja. Sebaiknya kalau kita menganggap dunia manusia adalah anggautanya! Dengan demikian, setiap orang manusia sebagai anggauta perkumpulan besar itu akan selalu menjaga dunia, dan saling setia, saling mencinta antara manusia sebagai rekan hidup. Sebaliknya, mendirikan perkumpulan-perkumpulan terpisah-pisah hanya akan mendatangkan lebih banyak permusuhan dan persaingan belaka. Tidak, biarlah Cin-ling-pai bubar saja, lebih baik begini...!"
Diam-diam Cia Giok Keng dan Cia Bun Houw melihat betapa ayah mereka telah berubah sama sekali. Dahulu, ayah mereka amat mementingkan nama dan kehormatan sehingga ayah mereka itu menentang perjodohan Bun Houw dengan In Hong karena hendak menjaga nama dan kehormatan pula. Sekarang, ayah mereka telah menjadi lunak dan memiliki pandangan yang amat luas dan sama sekali tidak kukuh lagi.
Dua pasang pendekar yang memiliki kepandaian tinggi itu hampir setiap hari menjenguk makam ibu mereka, nyonya Cia Keng Hong. Pada suatu pagi Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng berdua saja bersembahyang di depan kuburan itu. Setelah selesai bersembahyang, mereka berdua lalu berjalan dan tanpa disadari mereka saling bergandengan tangan menuju ke tepi jurang yang ditumbuhi rumput hijau yang gemuk. Mereka tidak mengucapkan sepatah kata, akan tetapi jari-jari tangan mereka yang saling berpegang itu sudah bicara banyak. Mereka lalu duduk, saling berhadapan di atas rumput hijau di tepi jurang, saling memandang, kemudian Cia Giok Keng menundukkan mukanya ketika dia mulai bicara, seolah-olah dia tidak dapat menatap wajah pria yang dicintanya itu. "Kun Liong, apa yang kaupikirkan"
Kun Liong memandang wajah yang menunduk itu. Baginya, wanita yang usianya sudah empat puluh tujuh tahun itu masih nampak seperti dulu, seperti ketika masih gadis remaja, masih tetap cantik menarik.
"Giok Keng, agaknya apa yang berada dalam pikiranku tidak jauh bedanya dengan apa yang sedang kaupikirkan. Aku teringat akan pesanan ayahmu."
Wajah yang memang masih jelas memperlihatkan raut yang cantik itu menjadi agak kemerahan, akan tetapi dengan berani Giok Keng mengangkat mukanya memandang. Kembali dua pasang mata bertemu dan melekat. Memang, di saat seperti itu, kata-kata dari mulut tidak lagi banyak artinya, bahkan terasa janggal dan kaku karena sinar mata lebih lancar menyatakan perasaan hati.
"Lalu, bagaimana pendapatmu" Giok Keng bertanya, pertanyaan yang hanya untuk memecahkan kesunyian yang mendatangkan rasa kikuk baginya itu karena sesungguhnya, tanpa bertanyapun dia sudah tahu apa yang menjadi isi hati Kun Liong. Mereka berdua memang saling mencinta, dan tidak ada kesenangan yang lebih besar daripada perkenan ayahnya tadi yang bahkan menganjurkan, agar mereka berdua menjadi suami isteri. Membayangkan bahwa mereka berdua akan tinggal serumah, akan selalu hidup berdampingan, akan membagi segala sesuatu yang mereka hadapi, akan bersama-sama menikmati kesenangan, bersama-sama menanggung penderitaan, benar-benar merupakan suatu hal yang amat menghibur dan membahagiakan hati.
"Kau tahu betapa akan bahagia rasa hatiku kalau kita selalu dapat saling berdekatan. Giok Keng, maukah engkau pergi bersamaku ke Leng-kok"
Giok Keng mengerutkan alisnya, berpikir sejenak lalu berkata, "Sebetulnya, apakah bedanya bagi kita tinggal di Leng-kok atau di rumahku di Sin-yang" Di manapun, asal kita berdua, apa bedanya"
Yap Kun Liong memegang tangan wanita itu dan menggenggamnya. "Engkau benar, aku meributkan soal-soal yang kecil saja. Kalau engkau lebih suka tinggal di Sin-yang, akupun tidak akan menolak tinggal di sana."
Melihat betapa pria itu sudah memperlihatkan sikap mengalah. Giok Keng merasa tidak enak hati juga. Seolah-olah dia masih Cia Giok Keng yang dahulu, yang keras hati sehingga kekerasan hatinya itulah yang menggagalkan perjodohannya dengan Kun Liong, dan kekerasan hatinya pula yang mendatangkan atau mengakibatkan segala macam peristiwa hebat (baca Kisah Dewi Maut). Teringat akan ini, dia cepat berkata lagi.
"Tentang di mana kita tinggal, kita lihat saja nanti. Bagiku, ke manapun kau pergi dan tinggal, di situ aku merasa betah dan senang, Kun Liong. Akan tetapi, hatiku merasa tidak enak mendengar akan kepergian Ciauw Si yang mencari Bun Houw dan sampai kini belum pulang. Aku mempunyai keinginan untuk lebih dulu pergi merantau mencari anakku itu sampai dapat. Engkau tentu tahu, Seng-ji dan Ciauw Si sekarang telah menjadi anak-anak yang telah dewasa. Dalam urusan antara kita ini, adalah bijaksana kalau aku lebih dulu memberitahukan kepada mereka. Mengertikah engkau"
Kun Liong menggenggam tangan itu dia mengangguk. "Tepat sekali. Memang semestinya demikian, Giok Keng. Akupun akan merasa tidak enak kalau mereka tidak diberi tahu lebih dulu. Kalau begitu, aku akan membantumu mencari puterimu itu. Dan bagaimana dengan puteramu"
"Dia akan pulang kalau sudah tamat belajar dari Kok Beng Lama. Dan kurasa kini memang sudah tiba saatnya dia akan pulang. Kalau begitu, mari kita pergi mencari Ciauw Si besok. Ayah juga sudah sembuh."
Demikianlah, pada keesokan harinya, Cia Giok Keng dan Yap Kun Liong berpamit kepada kakek Cia Keng Hong untuk pergi mencari Ciauw Si. Kakek itu segera menyatakan persetujuannya. Dan dalam kesempatan ini, Cia Bun Houw dan Yap In Hong juga berpamit untuk kembali ke selatan.
Karena merasa bahwa dia sudah sembuh, hanya tinggal memulihkan tenaganya saja, Cia Keng Hong sama sekali tidak menahan, bahkan diam-diam dia merasa girang karena kepergian kedua pasang anak-anaknya itu disertai dengan pancaran kebahagiaan di wajah mereka! Dia merasa bahagia sekali dan ketika kedua pasang pendekar itu berpamit lalu pergi, dia mengikuti bayangan mereka dengan pancaran sinar mata penuh kebahagiaan. Sin Liong yang duduk bersila di dekatnya juga memandang dengan sinar mata sayu. Tidak seorangpun di antara mereka tahu betapa anak ini menderita tekanan batin yang cukup hebat, melihat ayah kandungnya pergi tanpa menoleh sedikitpun kepadanya, bahkan tanpa mengetahui bahwa dia adalah anak kandungnya! Ingin dia berteriak, ingin dia mengaku sebelum ayahnya pergi akan keadaan dirinya, akan tetapi anak ini duduk bersila dan menggigit bibir untuk menahan dorongan hati yang ingin berteriak itu sampai akhirnya bayangan empat orang itu lenyap di sebuah tikungan.
"Eh, kenapa kau menangis"
Pertanyaan ini mengejutkan hati Sin Liong. Tanpa disadarinya, ketika tadi dia melawan dorongan hatinya, menggigit bibirnya, ada dua titik air mata meloncat keluar ke atas pipinya.
"Menangis" Apakah saya menangis, locianpwe" tanyanya sambil menggerakkan tangan mengusap dua titik air mata itu.
Kakek itu tersenyum maklum. Tentu anak ini diam-diam merasa suka kepada kedua putera dan puterinya, dan kini merasa berduka melihat mereka pergi. Kasihan sekali anak ini. Hidup sebatangkara di dunia yang luas dan penuh dengan kekerasan dan kekejaman ini.
"Sin Liong, jangan khawatir. Setelah engkau memiliki sin-kang yang diwariskan oleh Kok Beng Lama kepadamu, setelah engkau memiliki Thi-khi-i-beng, dan dalam waktu dekat aku akan mengajarkan ilmu-ilmu silat tinggi kepadamu, kelak engkau dapat menjaga diri sendiri dan dapat mengembara ke manapun sebagai seorang pendekar, seperti anak-anakku itu."
Sin Liong tidak menjawab, melainkan segera berlutut di depan kakeknya itu. Dia kagum kepada kakeknya ini, amat menghormatnya, dan amat sayang kepada kakeknya yang dianggap merupakan seorang manusia budiman yang sangat baik kepadanya. "Terima kasih, locianpwe, terima kasih..."
Diam-diam Cia Keng Hong merasa heran mengapa anak ini tidak pernah menyebut suhu kepadanya, akan tetapi karena dia sekarang tidak lagi mau memperdulikan tentang segala macam upacara dan sebutan, dan karena diapun tahu bahwa Sin Liong adalah seorang anak yang aneh sekali, maka diapun tidak pernah menegurnya. Baginya tidak ada bedanya apakah dia akan disebut locianpwe ataukah suhu, karena pendekar sakti yang tua ini mulai terbuka matanya bahwa segala macam upacara dan sopan santun, segala macam sebutan itu hanyalah kosong belaka, seperti kosongnya semua kata-kata yang keluar dari mulut, yang hanya merupakan permainan dari hawa dan angin kosong belaka! Yang penting baginya adalah tindakan, kenyataan, bukan segala macam sebutan dan omongan.
*** Pendekar sakti Cia Keng Hong memenuhi kata-katanya kepada Sin Liong. Mulai hari itu semenjak kedua orang putera dan puterinya pergi, dia menurunkan ilmu-ilmunya kepada Sin Liong. Ketika dia melatih cucunya, Lie Ciauw Si, dia juga melatih dengan tekun, akan tetapi sekarang, melihat keadaan diri Sin Liong, pendekar ini menjadi kagum dan gembira bukan main. Cucunya perempuan itu hanya memiliki bakat biasa saja dan mempelajari ilmu-ilmu silat tinggi yang amat sukar itu tidak mudah dikuasai oleh Ciauw Si. Akan tetapi tidak demikian halnya dengan Sin Liong. Anak ini benar-benar amat luar biasa sekali. Segala macam pelajaran dasar ditelannya dengan mudah, bahkan ketika kakek itu mulai mengajarkan ilmu-ilmu silat tinggi yang rumit, mudah saja bagi Sin Liong untuk menguasainya. Seolah-olah sekali diberi pelajaran setiap teori ilmu silat, semua itu telah melekat di dalam benaknya dan tidak lupa lagi. Dan ketika dia mulai melatih diri, juga di dalam gerakan-gerakannya terkandung bakat yang amat besar, gerakannya tidak kaku dan seolah-olah gaya ilmu silat memang sudah mendarah daging di dalam tubuhnya. Maka semua pelajaran dapat diterimanya dengan lancar.
Cia Keng Hong merasa betapa amat sukar baginya untuk memulihkan tenaganya. Tubuhnya sudah sehat kembali, akan tetapi tenaganya tidak dapat pulih seperti sebelum dia bertanding melawan Kok Beng Lama. Hal ini dianggapnya bahwa usianya sudah sangat tua dan ini pula yang membuat dia tergesa-gesa menurunkan semua ilmu silat tinggi kepada Sin Liong.
"Pelajari dulu kauwkoat (teori silat) sampai kau hafal betul. Melatihnya boleh belakangan, Sin Liong." Demikianlah kakek itu berkata dan dia lalu mengajarkan teori-teori dari ilmu-ilmu silat yang pernah menggemparkan dunia persilatan, seperti San-in-kun-hoat, Thai-kek-sin-kun, Siang-bhok-kiam-sut dan banyak lagi ilmu-ilmu silat yang sukar dicari bandingnya di dunia persilatan. Dan semua teori ilmu silat yang aneh-aneh itu telah dicatat oleh ingatan dalam otak Sin Liong yang luar biasa cerdasnya.
Dalam waktu kurang lebih setahun lamanya, Sin Liong telah berhasil menghafal semua teori ilmu silat yang banyak macamnya itu, dan selain hafal, juga dia telah diberi petunjuk oleh kakek itu bagaimana untuk melatih ilmu-ilmu itu seorang diri kelak.
Seperti telah diceritakan di bagian depan, Cin-ling-pai sekarang sama sekali tidak sama dengan Cin-ling-pai belasan tahun yang lalu, ketika Cin-ling-pai masih merupakan sebuah perkumpulan besar dengan tokoh-tokohnya yang terkenal sebagai Cap-it Ho-han (Sebelas Pendekar) dari Cin-ling-pai. Akan tetapi semenjak Cap-it Ho-han tewas di tangan musuh-musuh besar Cin-ling-pai, yaitu Ngo-sian Eng-cu (Lima Bayangan Dewa), maka Cin-ling-pai seperti kehilangan pamornya (baca cerita Dewi Maut). Apalagi setelah Cia Keng Hong kehilangan puteranya dan kematian isterinya kakek ini lalu membubarkan Cin-ling-pai sehingga semua anak murid atau anggauta Cin-ling-pai menjadi tersebar ke mana-mana. Betapapun juga, masih ada saja anak murid yang kadang-kadang naik ke Cin-ling-san untuk mengunjungi guru besar mereka itu.
Para anggauta atau lebih tepat lagi bekas anggauta Cin-ling-pai yang datang berkunjung, mengerti bahwa kini guru besar mereka mempunyai murid lagi, seorang pemuda aneh yang pendiam dan serius, yang jarang sekali bicara bahkan tidak menjawab sepenuhnya kalau ditanya. Juga Cia Keng Hong yang mengerti akan keanehan anak itu, tidak mau banyak bicara tentang Sin Liong, hanya samar-samar kakek ini mengatakan bahwa Sin Liong merupakan pewarisnya yang terakhir dan yang paling berbakat!
Pada suatu senja yang cerah dan indah, seperti biasa semenjak dia pulang ke Cin-ling-san bersama Sin Liong, kakek Cia Keng Hong bersamadhi seorang diri di dalam kebun di belakang pondoknya. Bersamadhi setiap matahari timbul dan matahari tenggelam merupakan pekerjaan sehari-hari kakek itu, dan dalam keadaan seperti itu, dia tidak mau diganggu. Oleh karena itu, Sin Liong dan para anggauta Cin-ling-pai tidak ada yang berani mendekati kakek itu kalau kakek Cia Keng Hong sedang berada di kebun. Dan pada senja hari itu, ada belasan orang bekas anggauta Cin-ling-pai yang datang berkunjung. Mereka ini berkumpul di ruangan besar bercakap-cakap, karena Cin-ling-san kini merupakan suatu tempat bertemu dan berkumpul antara mereka dan dalam pertemuan ini tentu saja banyak yang mereka bicarakan. Di antara mereka terdapat beberapa orang bekas anggauta golongan tua yang memiliki kepandaian tinggi karena mereka dahulu adalah tokoh-tokoh tingkat dua, yaitu murid-murid langsung dari mendiang Cap-it Ho-han, yaitu sebelas orang pendekar dari Cin-ling-pai itu.
Sin Liong sendiri yang juga maklum akan kebiasan kakeknya, tidak berani mengganggu dan dia berada di dalam kamarnya untuk melatih pernapasan seperti yang diajarkan oleh kakeknya. Kini, anak berusia empat belas tahun ini sudah dapat menguasai hawa sin-kang yang amat kuat di tubuhnya itu, bahkan tahu cara memeliharanya dengan pengumpulan hawa murni dan mengatur pernapasan. Dia dapat pula menggerakkan hawa sin-kang itu di seluruh tubuhnya sehingga biarpun semua ilmu silat tinggi itu belum dikuasainya, namun dengan tenaganya yang dahsyat dia sudah merupakan seorang pemuda tanggung yang amat tangguh.
Kakek Cia Keng Hong duduk bersila di atas batu bulat di kebunnya, di bawah sebatang pohon yang-liu yang daunnya bergerak-gerak lembut tertiup angin senja. Dia bersamadhi dengan tenang, kedua tangannya bersilang di depan dada. Kakek ini tenggelam di dalam samadhinya, dan biarpun kini kesehatannya sudah pulih kembali, namun tenaganya jauh berkurang dibandingkan dengan dahulu. Diapun sudah tidak berminat lagi untuk memperkuat tubuhnya, hanya memperdalam ketenangan batinnya, menghentikan segala macam gangguan pikiran. Kini tidak ada lagi kedukaan mengganggu batinnya. Dia sudah bertemu kembali dengan puteranya, bahkan telah memberi persetujuan kepada puteranya untuk berjodoh dengan wanita yang dipilihnya. Diapun sudah memberi dorongan kepada puterinya untuk menikmati kehidupan bersama pria yang dicintanya. Dan diapun merasa lega bahwa dia bertemu dengan seorang anak luar biasa seperti Sin Liong sehingga dia dapat menurunkan semua kepandaiannya. Dalam diri Sin Liong dia melihat bakat yang ada pada dirinya sendiri, dan dibandingkan dengan puteranya, Bun Houw, bakat Sin Liong bahkan masih menang setingkat. Maka hatinya sudah puas dan kakek ini merasa sudah siap untuk meninggalkan dunia ini dengan hati tenang dan tenteram. Tidak ada lagi duka dan persoalan yang mengikat batinnya, maka samadhinya demikian mendalam, membuat dia lupa segala.
Kakek itu yang sudah bebas dari kekhawatiran, tidak tahu bahwa pada saat dia tenggelam dalam samadhinya itu tiba-tiba muncul dua orang yang mendaki puncak dan dengan gerakan yang cepat sekali memasuki taman di belakang pondoknya. Mereka adalah seorang wanita yang cantik sekali bersama seorang nenek bermuka hitam yang memegang sebatang tongkat. Mereka itu adalah Kim Hong Liu-nio dan gurunya, Hek-hiat Mo-li!
Seperti telah kita ketahui, wanita cantik jelita ini, telah berhasil menewaskan seorang di antara tiga tokoh utama yang menjadi musuh besar gurunya, yaitu Tio Sun. Sudah berkuranglah sumpahnya dan kini dia tidak perlu lagi mengejar-ngejar dan membunuhi orang-orang she Tio karena orang she Tio yang utama telah berhasil dibunuhnya. Ketika dia sedang menyiksa Sin Liong yang diketahuinya sebagai putera Cia Bun Houw menurut pengakuan anak itu sendiri, dia bertemu dengan pendekar tua Cia Keng Hong dan dia terkejut bukan main menyaksikan kelihaian kakek tua itu. Memang sudah lama dia mendengar tentang ketua Cin-ling-pai itu dari gurunya, akan tetapi Kim Hong Liu-nio yang tadinya terlalu mengandalkan kehebatan ilmu kepandaiannya sendiri, mula-mula memandang rendah. Baru setelah dia bentrok dengan Cia Keng Hong, dia terkejut setengah mati dan merasa jerih, meninggalkan kakek itu dan cepat-cepat dia mencari gurunya yang memang sudah hendak turun tangan sendiri, meninggalkan utara, dan kini Hek-hiat Mo-li sudah berada tidak jauh dari tempat itu. Maka Kim Hong Liu-nio lalu menceritakan kepada gurunya tentang pertemuannya dengan pendekar tua Cia Keng Hong dan mengatakan pula betapa lihainya pendekar tua itu.
Mendengar ini, Hek-hiat Mo-li lalu mengajak muridnya untuk melatih diri dan memperkuat diri sebelum mereka berdua turun tangan. Sampai beberapa bulan lamanya guru dan murid ini melatih diri dan setelah merasa diri mereka benar-benar kuat, keduanya lalu pergi mendaki Bukit Cin-ling-san dan pada senja hari itu mereka memasuki kebun di mana pendekar tua Cia Keng Hong sedang duduk bersamadhi seorang diri.
Ketika Kim Hong Liu-nio yang berjalan di depan dengan langkah ringan sekali itu melihat betapa dari kepala kakek yang sedang duduk bersamadhi itu mengepul uap putih yang tebal, dia terkejut dan tertegun, merasa makin jerih. Akan tetapi tidak demikian dengan Hek-hiat Mo-li. Nenek ini merasa girang sekali melihat uap putih itu dan dia tahu bahwa saat itu musuh besarnya sedang dalam keadaan "kosong", maka dengan mukanya yang hitam berubah beringas, nenek ini lalu meloncat dan menggerakkan tongkatnya ke arah punggung kakek itu sambil mengerahkan tenaga sin-kang sepenuhnya. Melihat ini, Kim Hong Liu-nio menjadi berani dan diapun meloncat dan dengan tangan kanannya dia memukul pula ke arah tengkuk kakek itu.
"Blukk! Plakkk!" Hantaman tongkat dan tamparan tangan itu tepat mengenai punggung dan tengkuk Cia Keng Hong hampir berbareng akan tetapi kedua orang penyerang gelap itu terkejut setengah mati. Tongkat di tangan Hek-hiat Mo-li patah menjadi dua potong sedangkan Kim Hong Liu-nio merasa betapa telapak tangan kanannya panas dan nyeri bukan main. Mereka terkejut dan meloncat mundur.
Ketika menerima pukulan-pukulan tadi, Cia Keng Hong dalam keadaan samadhi yang amat mendalam, akan tetapi sebagai seorang ahli silat yang tingkatnya sudah amat tinggi, apalagi karena dia telah menguasai Thi-khi-i-beng dengan sempurna, maka tubuhnya dapat secara otomatis menjaga diri dan begitu pukulan-pukulan itu tiba, tenaga sin-kangnya sudah bergerak dan menolak dan mengejutkan kedua orang lawannya, namun sesungguhnya dia telah menderita luka-luka yang hebat di dalam tubuhnya! Pukulan tongkat dan hantaman tangan guru dan murid tadi hebat bukan main dan takkan dapat tertahan oleh seorang ahli yang bagaimana kuatpun. Jangankan pukulan itu diterima oleh Cia Keng Hong dalam keadaan tidak sadar, bahkan andaikata diterimanya dalam keadaan sadar sekalipun, tentu dia akan terluka hebat. Akan tetapi hal ini tidak diketahui oleh Kim Hong Liu-nio dan gurunya, maka mereka berdua terkejut bukan main. Kim Hong Liu-nio menjadi makin jerih, akan tetapi Hek-hiat Mo-li yang sudah marah bertemu dengan seorang di antara musuh-musuh utamanya itu, kini sudah menerjang maju lagi dengan tongkatnya.
Tubuh Cia Keng Hong yang masih bersila tadi, kini melayang turun dari atas batu dan dengan dorongan-dorongan kedua tangannya, dia membuat guru dan murid itu terhuyung ke belakang. Pendekar tua itu memaksa dirinya untuk menggunakan sin-kang yang hebat, dan hal ini makin membuat luka-lukanya di dalam tubuh menjadi parah. Dia maklum akan hal ini, akan tetapi dia tahu pula bahwa tanpa memamerkan kekuatan sin-kangnya dia tidak akan dapat membikin jerih dua orang lawan tangguh ini, dan untuk mengadu silat, dia merasa bahwa dia tidak akan dapat bertahan lama dengan luka-luka hebat itu. Untuk menambah kekuatannya, Cia Keng Hong mengeluarkan suara melengking dahsyat dan kembali kedua tangannya mendorong ke arah dua orang lawannya dan kembali guru dan murid itu terhuyung ke belakang, biarpun mereka sudah mencoba untuk mempertahankan diri.
Suara melengking itu mengejutkan belasan orang anggauta Cin-ling-pai yang sedang berkunjung dan berkumpul di dalam ruangan besar, juga terdengar pula oleh Sin Liong. Mereka semua menjadi terkejut dan cepat-cepat mereka berlarian menuju ke kebun di belakang. Ketika melihat betapa ketua Cin-ling-pai itu sedang bertanding dan dikeroyok oleh seorang wanita cantik dan seorang nenek tua bermuka hitam, mereka terkejut sekali dan tidak berani sembarangan turun tangan tanpa ada perintah dari guru besar itu. Akan tetapi, selagi belasan orang tokoh Cin-ling-pai itu tertegun dan meragu, tiba-tiba terdengar gerengan seperti suara seekor monyet besar atau seekor harimau marah dan sesosok bayangan berkelebat dan bayangan itu langsung menerjang Kim Hong Liu-nio dengan terkaman dahsyat dan dengan pukulan kedua tangannya.
Semenjak dia kecil, Sin Liong sudah sering kali melihat orang-orang yang disayangnya dibunuh orang tanpa dia mampu membantu atau mencegah kejadian itu. Pertama-tama dia melihat ibu kandungnya dibunuh orang, biang monyet yang memellharanya dibunuh orang, kemudian melihat Na-piawsu dibunuh orang. Kini, melihat kakek yang amat disayangnya itu diserang oleh dua orang ini, apalagi mengenal bahwa seorang di antara mereka yang menyerang kakeknya adalah Kim Hong Liu-nio, wanita yang bukan hanya telah membunuh ibu kandungnya akan tetapi yang sudah sering menyiksanya, dia menjadi marah sekali dan timbullah sifat liarnya. Dia menyerang seperti seekor binatang buas dan kemarahan yang hebat ini mendorong keluar semua tenaga sin-kang yang mengeram di dalam tubuhnya.
Melihat Sin Liong, wanita itu mengenalnya dan tentu saja memandang rendah, bahkan menyambut terjangan Sin Liong itu dengan hantaman tangan kirinya.
"Desss...! Ihhhh...!" Tubuh Kim Hong Liu-nio terlempar dan bergulingan, lalu dia meloncat bangun, mukanya pucat dan matanya terbelalak. Tak disangkanya betapa pertemuan tenaga dengan anak berusia empat belas tahun itu membuat dia terlempar, dan hampir saja dia celaka!
Melihat betapa anak itu berani turun tangan membantu guru besar mereka, para anggauta Cin-ling-pai juga lalu menerjang maju. Sementara itu, nenek Hek-hiat Mo-li yang merasa penasaran karena hantaman tongkatnya tadi tidak menewaskan Cia Keng Hong, kini membentak keras dan tubuhnya melayang ke depan, menyerang Cia Keng Hong. Pendekar ini menanti sampai nenek itu datang dekat, kemudian dengan gerakan istimewa dia menangkis hantaman nenek itu, dan membarengi dengan tamparan tangan kirinya. Itulah gerakan dari jurus Ilmu Silat Thai-kek-sin-kun yang tidak disangka-sangka oleh Hek-hiat Mo-li, maka tanpa dapat dicegah lagi pundaknya kena ditampar sehingga diapun terlempar dan jatuh bergulingan seperti halnya Kim Hong Liu-nio tadi. Akan tetapi baik nenek muka hitam ini maupun Kim Hong Liu-nio, telah memiliki kekebalan yang luar biasa, kekebalan yang bukan hanya dapat menghadapi pukulan kosong bahkan mampu bertahan terhadap pukulan sakti dan pukulan senjata tajam! Kekebalan inilah yang dahulu membuat mendiang kakek Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li amat sukar dilawan dan barulah pendekar Cia Bun Houw berhasil membunuh Pek-hiat Mo-ko dan Yap In Hong berhasil melukai Hek-hiat Mo-li setelah mereka berdua ini mengetahui rahasia kelemahan kakek dan nenek itu (baca cerita Dewi Maut).
Cia Keng Hong sudah mendengar dari puteranya bahwa nenek ini memiliki kelemahan di telapak kakinya, akan tetapi karena dia sendiri sudah terluka hebat, maka tidak mudah baginya untuk menyerang tempat berbahaya lawan ini. Apalagi hantaman-hantaman yang dilakukannya tadi menggunakan sin-kang pula sehingga keadaannya menjadi makin parah dan hampir saja dia tidak kuat berdiri lagi. Hanya dengan paksaan dan pengerahan tenaga terakhir dia masih mampu menghadapi lawan.
Kini para anggauta Cin-ling-pai sudah mengeroyok nenek dan wanita cantik itu, dan Sin Liong yang terutama sekali menerjang dan mendesak Kim Hong Liu-nio yang dibencinya. Melihat betapa kakek Cia Keng Hong benar-benar lihai bukan main, kini ditambah pula oleh orang-orang Cin-ling-pai, nenek dan muridnya itu mulai merasa gentar. Mereka mengamuk dan ada empat orang anggauta Cin-ling-pai yang roboh dan tewas, sedangkan Sin Liong yang baru menguasai teori-teori belaka dari ilmu-ilmu silat tinggi, tentu saja dalam ilmu silat masih kalah jauh dibandingkan dengan Kim Hong Liu-nio sehingga berkali-kali dia kena dihantam sampai bergulingan. Akan tetapi diam-diam Kim Hong Liu-nio bergidik karena bukan saja anak itu tidak sampai tewas atau terluka oleh hantamannya, bahkan sering kali tangannya melekat dan tenaganya tersedot oleh ilmu Thi-khi-i-beng yang amat ditakutinya itu. Kalau saja dia tidak memperoleh latihan khusus dari gurunya untuk melepaskan diri terhadap ilmu mujijat itu, tentu dia sudah kena ditempel dan disedot sampai tehaganya habis oleh anak ini!
Setelah berhasil merobohkan empat orang, Hek-hiat Mo-li maklum bahwa dia dan muridnya takkan berhasil, bahkan kalau tokoh-tokoh lain seperti putera Cin-ling-pai itu, dan wanita perkasa Yap In Hong muncul, juga kakak wanita itu yang bernama Yap Kun Liong tentu dia dan muridnya akan celaka.
"Mari kita pergi!" bentaknya dan sekali meloncat, tubuhnya sudah melayang jauh, pergi dari situ. Melihat ini, Kim Hong Liu-nio juga meloncat pergi menyusul gurunya.
Sin Liong yang marah sekali sudah bergerak hendak mengejar, juga para anggauta Cin-ling-pai, akan tetapi terdengar suara lemah kakek itu mencegah, "Jangan kejar...!"
Sampai lama Sin Liong dan para anak buah Cin-ling-pai berdiri memandang ke arah lenyapnya dua orang musuh itu, kemudian para bekas anggauta Cin-ling-pai itu sibuk merawat mereka yang luka dan tewas dalam pertempuran itu.
"Kong-kong...!" Teriakan itu mengejutkan semua orang. Mereka menengok dan melihat Sin Liong menangis di depan kakek yang telah duduk bersila kembali di atas batu itu. Semua bekas anggauta Cin-ling-pai berlari menghampiri dan terkejut bukan main melihat bahwa guru besar mereka itu ternyata telah tak bernapas lagi! Kiranya setelah mencegah semua orang mengejar musuh-musuh yang amat lihai itu, Cia Keng Hong kembali duduk bersila dan kakek ini melepaskan napas terakhir sambil duduk bersila.
Pukulan-pukulan dua orang lawan yang amat lihai itu tadi telah mengguncangkan jantung dan melukai isi dada dan perutnya. Hanya karena semangatnya yang luar biasa saja kakek tua renta ini tadi masih mampu melawan, bahkan membikin jerih hati musuh-musuhnya. Akan tetapi justeru perlawanannya itu membutuhkan pengerahan tenaga dan dalam keadaan luka hebat dia mengerahkan tenaga, maka hal ini tentu saja membuat luka-lukanya menjadi makin parah dan yang mencabut nyawanya setelah dia duduk bersila.
Sin Liong yang pertama kali melihat keadaan kakek itu, menjerit dan dalam kedukaannya dia sampai lupa diri dan menyebut kakek itu "kong-kong" karena dia memang merasa amat sayang kepada kong-kongnya (kakeknya) itu. Melihat kakeknya mati, dia berteriak lalu menangis mengguguk seperti anak kecil. Belum pernah selamanya dia menangis seperti itu. Akan tetapi hanya sebentar dia menangis dan setelah berhenti menangis, dia hanya diam saja seperti patung, ketika melihat para bekas anak buah Cin-ling-pai sambil menangis lalu mengangkat jenazah itu, bersama empat orang anggauta Cin-ling-pai lainnya, membawanya masuk ke dalam pondok.
Sampai semua jenazah dimasukkan peti dan dijajarkan di ruangan depan dengan peti jenazah bekas ketua Cin-ling-pai itu di depan dan empat buah peti jenazah para anggauta itu di belakang, Sin Liong tidak pernah menangis lagi, juga tidak pernah mengeluarkan sepatahpun kata. Akan tetapi dia hanya duduk bersila di dekat peti jenazah kongkongnya itu, tak pernah makan tak pernah tidur, hanya duduk bersila seperti sebuah arca.
Setiap kali terdengar orang menangis dan berkabung, para keluarga empat orang anggauta Cin-ling-pai itu. Bekas anak buah Cin-ling-pai berbondong-bondong datang dan menangis. Berita secepatnya dikirim melalui dunia kang-ouw dan beberapa hari kemudian berturut-turut datanglah Cia Bun Houw dan Yap In Hong, lalu Yap Mei Lan, Lie Seng, Souw Kwi Eng dan Souw Kwi Beng yang datang bersama. Riuh rendah tangis mereka di depan peti mati.
Seperti telah diceritakan di bagian depan, empat orang muda itu, Yap Mei Lan, Lie Seng, Souw Kwi Eng dan Souw Kwi Beng, datang ke Cin-ling-pai uniuk mengabarkan tentang kematian Tio Sun di tangan ketua Hwa-i Kai-pang yang kenal baik dengan ketua Cin-ling-pai, kong-kong dari Lie Seng. Akan tetapi, ketika mereka akhirnya tiba di Cin-ling-san, mereka hanya mendapatkan bahwa ketua Cin-ling-pai telah tewas.
Setelah bertangis-tangisan dan berkabung, Bun Houw dan isterinya bercakap-cakap dengan empat orang itu. Sebenarnya, kalau saja tidak terjadi hal yang menyedihkan berhubung dengan kematian kakek Cia Keng Hong, tentu pertemuan itu akan menggembirakan sekali, Yap Mei Lan adalah keponakan dari In Hong, dan Lie Seng adalah keponakan dari Bun Houw. Bahkar, Souw Kwi Eng pernah ditunangkan dengan Cia Bun Houw (baca Dewi Maut)! Akan tetapi, mereka semua sedang berkabung dalam kedukaan, maka tentu saja tidak ada suasana gembira dalam pertemuan mereka. Hanya In Hong yang merangkul keponakannya yang dia duga tentu sudah memiliki kepandaian hebat setelah digembleng oleh Kok Beng Lama itu.
Tiba-tiba Souw Kwi Eng menangis lagi, kini tangisnya tidak seperti ketika menangis di depan peti mati kakek Cia, bahkan dia menangis dengan penuh kedukaan sehingga mengejutkan Bun Houw dan In Hong. Yap In Hong yang tidak lagi cemburu kepada bekas tunangan suaminya ini karena dia sudah tahu bahwa wanita peranakan barat ini sudah menikah dengan Tio Sun, segera mendekatinya dan memegang pundaknya.
"Adik Kwi Eng, sudahlah, jangan engkau terlalu berduka...!" dia menghibur.
Kwi Eng mengangkat muka memandang dan tiba-tiba dia merangkul leher In Hong dan tangisnya makin mengguguk. Di antara tangisnya In Hong mendengar kata-kata yang membuatnya terbelalak dan terkejut sekali, "...bagaimana... takkan berduka... kalau... kalau suamiku dibunuh orang..."
Tentu saja bukan hanya In Hong yang terkejut mendengar ini, juga suaminya, Cia Bun Houw kaget bukan main. Mereka tadi melihat betapa nyonya muda yang cantik jelita ini memakai pakaian berkabung, akan tetapi mereka hanya mengira bahwa nyonya muda ini karena sudah mendengar akan kematian kakek Cia yang amat dikaguminya, memang sengaja mengenakan pakaian berkabung. Siapa kira, nyonya muda ini berkabung karena kematian suaminya yang dibunuh orang!
"Siapa yang membunuh Tio-twako" Siapa" Bun Houw berseru dengan penasaran sekali. Ayahnya baru saja dibunuh orang, dan kini dia mendengar bahwa Tio Sun dibunuh orang pula.
Dengan panjang lebar Souw Kwi Beng mewakili saudara kembarnya, menceritakan tentang kematian Tio Sun di tangan ketua Hwa-i Kai-pang dalam suatu pertempuran gara-gara seorang wanita bernama Kim Hong Liu-nio.
"Iparku itu hanya ingin mendamaikan antara Panglima Lee Siang dan ketua Hwa-i Kai-pang," demikian dia menutup ceritanya, "akan tetapi siapa kira, ketua Hwa-i Kai-pang mengira bahwa iparku itu membela wanita yang bernama Kim Hong Liu-nio itu sehingga terjadi pertempuran dan iparku tewas..."
"Kim Hong Liu-nio..." Bun Houw bangkit berdiri dan mengepal tinjunya. "Kiranya perempuan itu pula yang menjadi gara-gara" Kini giliran empat orang itu, Yap Mei Lan, Lie Seng, Souw Kwi Eng, dan Souw Kwi Beng yang mendengar betapa kakek Cia juga tewas oleh Kim Hong Liu-nio dan gurunya, Hek-hiat Mo-li!
"Dan semua ini adalah gara-gara bocah itu!" tiba-tiba Bun Houw berkata sambil menudingkan telunjuknya ke arah Sin Liong yang masih duduk seperti arca di dekat peti jenazah dengan muka pucat. Mendengar kata-kata ayah kandungnya yang menuding kepadanya itu, Sin Liong memandang dengan mata terbelalak dan mukanya menjadi pucat. Semua mata kini ditujukan kepadanya.
"Mendiang ayah bentrok dengan Kim Hong Liu-nio karena menolong bocah itu!" Bun Houw berkata penuh penyesalan. "Dan bocah itu pula yang bercerita kepada kami bahwa Kim Hong Liu-nio memusuhi orang-orang she Tio, Yap dan Cia. Sebelum muncul bocah itu kita semua hidup tenteram dan tidak pernah terjadi permusuhan dengan siapapun. Bocah ini benar-benar mendatangkan sial!"
Yap In Hong menyentuh lengan suaminya yang sedang dicekam kedukaan dan kemarahan itu, lalu dia menghampiri Sin Liong dan bertanya, "Sin Liong, menurut keterangan para anggauta Cin-ling-paim nenek itu berwajah hitam. Engkau yang mengenal Kim Hong Liu-nio, tentu engkau tahu pula siapa nenek yang datang bersama wanita itu" Apakah benar dia itu Hek-hiat Mo-li"
Yap In Hong ini pernah bertanding dengan Hek-hiat Mo-li, bahkan berhasil melukai nenek yang kebal itu karena dia tahu di mana letak kelemahannya. Akan tetapi sebelum dia sempat membunuh nenek iblis itu, keburu datang Raja Sabutai yang menyelamalkan nenek yang juga guru raja itu. Kini dia bertanya kepada Sin Liong, selain untuk memperoleh keyakinan, juga untuk menghentikan suaminya memarahi anak itu.
Sin Liong yang sejak tadi mengalami tekanan batin, merasa berduka sekali, penasaran dan juga marah-marah mendengar ayah kandungnya sendiri memaki dan menyalahkannya, tidak menjawab, bahkan tidak mendengar pertanyaan yang diajukan oleh Yap In Hong itu. Dia hanya bersila sambil menundukkan mukanya, alisnya berkerut, bibirnya dikatupkan keras-keras.
"Kalau dia tidak bisa bicara lagi, biar saja tak usah ditanya!" Bun Houw yang masih merasa marah karena terdorong kedukaan dan penyesalan, berkata lagi. "Tak perlu mendapatkan keterangan anak sial itupun sudah jelaslah bahwa nenek muka hitam itu pasti Hek-hiat Mo-li orangnya. Dan perempuan itu tentu muridnya. Setelah selesai pemakaman jenazah ayah, aku akan mencarinya dan membunuh mereka!"
"Tidak perlu!" Tiba-tiba Sin Liong yang sejak tadi diam saja, kini membentak dengan suara yang amat lantang sehingga mengejutkan semua orang. Seperti sebuah gunung berapi yang sudah ditahan-tahan sekian lamanya dan kini meletus, Sin Liong bangkit berdiri, sepasang matanya mencorong seperti mata naga sakti, kedua tangannya dikepal dan dia berkata, "Akulah yang akan membalas kematian kong-kong! Akulah yang akan mencari musuh-musuh besar itu dan membunuh mereka. Aku tidak mengharapkan bantuan para pendekar. Para pendekar yang hebat-hebat hanya namanya saja pendekar, duduk di tempat tinggi, mabok kemuliaan dan nama besar seolah-olah mereka itu adalah dewa-dewa di sorga, bukan manusia! Padahal, namanya saja pendekar-pendekar mulia, akan tetapi perbuatannya banyak yang rendah dan hina, di balik nama-nama besar itu tersembunyi perbuatan kotor!"
"Bocah lancang mulut...!" Bun Houw membentak akan tetapi isterinya menyentuh lengannya.
"Ssttt...!" kata In Hong berbisik sambil memandang kepada Sin Liong dengan mata penuh kagum dan tertarik. Bocah itu bukan sembarang bocah dan dia melihat sesuatu yang aneh pada mata bocah itu, dan dia merasa seolah-olah dia sudah mengenal anak ini, entah di mana dan kapan.
"Para pendekar merasa bahwa mereka itu orang-orang paling mulia, paling suci, paling terhormat dan paling tinggi, paling hebat! Semua itu hanya untuk menyembunyikan perbuatan-perbuatan mereka yang kotor dan tidak bertanggung jawab! Biarlah aku seorang yang akan membalas dendam, aku yang akan mencari mereka itu dengan taruhan nyawaku, jangan ada yang turut campur!" Setelah mengeluarkan kata-kata sebagai peluapan rasa marah dan penasarannya itu, Sin Liong terisak sekali lalu duduk bersila lagi di dekat peti jenazah, menunduk dan apapun yang akan dilakukan orang kepadanya, jangan harap dia akan mau membuka mulut lagi. Dia sudah menyampaikan isi hatinya yang penuh penasaran. Ketika dia bicara, dia teringat akan ibu kandungnya yang ditinggalkan ayah kandungnya, maka dia bicara tentang perbuatan kotor para pendekar yang dikatakan tidak bertanggung jawab! Tentu saja dia tujukan ucapan itu kepada ayah kandungnya. Dan dia memang menaruh dendam kepada Kim Hong Liu-nio, lebih dari pada mereka semua, karena wanita itu telah membunuh ibu kandungnya di depan matanya, dan membunuh pula kong-kongnya.
Semua orang bengong menyaksikan sikap dan mendengar ucapan Sin Liong itu. Yap In Hong masih memegang lengan suaminya, mencegah suaminya marah-marah, karena amat tidak baik marah-marah di depan peti jenazah ayah mertuanya itu. Pada saat semua orang masih bengong memandang kepada Sin Liong, tiba-tiba terdengar jerit tertahan,
"Ayahhhh...!" Dan berkelebatlah sesosok bayangan orang. Bayangan ini adalah Cia Giok Keng yang begitu tiba di situ terus menjatuhkan diri berlutut di depan mati jenazah ayahnya, memeluki peti dan menangis tersedu-sedu, kemudian dia tentu akan terguling roboh kalau tidak cepat-cepat Yap Kun Liong menyambar tubuh yang pingsan itu. Kembali hujan tangis di tempat itu karena semua orang yang menyaksikan ini mulai menangis lagi. Sin Liong telah dilupakan orang yang tenggelam dalam kedukaan dan keharuan itu.
Ternyata Cia Giok Keng dan Yap Kun Liong yang belum berhasil menemukan Lie Ciauw Si, mendengar berita tentang kematian kakek Cia dari suara di dunia kang-ouw. Mereka cepat-cepat kembali ke Cin-ling-san dan di sepanjang jalan Cia Giok Keng sudah menangis sedih, dihibur oleh Yap Kun Liong. Maka begitu tiba di depan peti jenazah, wanita ini lalu menjerit dan menangis, kemudian roboh pingsan.
Suasana di situ diliputi keharuan dan kedukaan. Cia Giok Keng menangis tersedu-sedu ketika dia telah siuman kembali dan dia berangkulan dengan Cia Bun Houw. Dua orang inilah yang merasa paling terpukul dengan kematian ayah mereka, dan kini pendekar sakti Cia Bun Houw tak dapat lagi menahan tangisnya melihat encinya, apalagi dia teringat betapa dia telah pernah marah dan meninggalkan ayahnya sampai belasan tahun sehingga kematian ibunyapun tidak diketahuinya. Sekarang, baru saja dia pulang dan berbaik kembali dengan ayahnya, merasakan betapa ayahnya sesungguhnya amat mencintanya, baru saja berjumpa satu kali dengan ayahnya, kini ayahnya telah mati dibunuh orang, atau setidaknya, meninggal akibat pertempuran melawan orang lain. Dia mengerti bahwa sebenarnya ayahnya tidaklah langsung dibunuh orang, melainkan bertempur melawan guru dan murid itu dan menurut cerita para anggauta Cin-ling-pai, ayahnya tidak kalah, bahkan membikin jerih musuh-musuh yang melarikan diri. Akan tetapi dia tahu bahwa ayahnya memang telah tua dan lemah, telah banyak berkurang tenaganya sehingga ketika menghadapi dua orang yang tangguh itu, ayahnya terluka dan tewas.
Pada saat itu, di antara para tamu yang mulai berdatangan untuk memberi penghormatan terakhir kepada jenazah dalam peti, muncul orang laki-laki tua yang aneh sekali bentuk tubuhnya. Melihat wajahnya, jelaslah bahwa laki-laki ini sudah tua sekali, seorang kakek yang memang sukar ditaksir berapa usianya, akan tetapi tentu sudah tua sekali karena mukanya yang kurus itu penuh keriput, matanya agak juling dan kepalanya gundul pelontos dan halus kulitnya, hanya ada sedikit rambut kering yang tumbuh di padang tandus, tumbuh di atas kepala, di tengah-tengah menutupi ubun-ubun. Kepalanya besar dan bulat, tapi kurus, dengan dua buah daun telinga yang tebal dan lebar. Alisnya tebal, sudah bercampur uban, bengkak-bengkok di atas sepasang matanya yang juling. Hidungnya pesek dan mulutnya lebar sekali, agaknya memang tidak dapat ditutup baik-baik sehingga balik bibirnya selalu nampak. Gigi bawahnya sudah habis dan gigi atasnya tinggal beberapa buah saja, berderet jarang. Kepala dan wajah itu biarpun amat buruk dan menyeramkan, namun belumlah aneh kalau dibandingkan dengan bentuk tubuhnya dari leher ke bawah. Kakek yang kelihatan sudah tua sekali ini ternyata memiliki bentuk tubuh seperti kanak-kanak yang baru sepuluh tahun usianya! Tubuh itu kecil pendek, dengan dua tangan yang kecil dan dua kaki bersepatu yang kecil pula.
Seruling Samber Nyawa 4 Pendekar Sejagat Seri Kesatria Baju Putih Karya Wen Rui Ai Pendekar Super Sakti 10

Cari Blog Ini