Ceritasilat Novel Online

Pendekar Lembah Naga 2

Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo Bagian 2


Di kaki Pegunungan Khing-an-san sebelah selatan itu terdapat sebuah dusun yang cukup besar dan ramai. Dusun itu selama beberapa tahun ini mengalami kemajuan setelah penghuninya mengusahakan rempah-rempah dan daun atau akar obat yang banyak tumbuh di sekitar kaki gunung itu. Setelah mendapat kenyataan bahwa kota-kota besar amat membutuhkan barang-barang itu, maka penghuni dusun Pek-hwa-cung lalu beramai-ramai menanam dan memelihara tanaman-tanaman berharga itu.
Tempat yang ramai dan makmur selalu menarik perhatian orang, Pek-hwa-cung juga demikian. Mendengar betapa dusun itu ramai dan mencari penghasilan di daerah itu mudah sekaii dibandingkan dengan daerah lain, maka banyaklah penduduk-penduduk baru berdatangan dari lain daerah, sehingga dusun itu makin menjadi besar dan ramai.
Akan tetapi, Bhe Coan bukanlah penghuni baru di dusun itu. Dia terhitung penghuni lama karena ayahnya yang telah meninggal merupakan seorang di antara para pembangun atau penemu tempat itu dan dia sejak kecil tinggal di Pek-hwa-cung. Seperti mendiang ayahnya, Bhe Coan juga merupakan seorang pandai besi yang ahli dan pandai. Boleh dibilang segala keperluan penduduk Pek-hwa-cung yang berupa besi adalah buatan orang she Bhe inilah. Akan tetapi, kalau hanya membuat alat-alat besi saja keahlian Bhe Coang agaknya namanya tidak akan terkenal dan dia tentu hanya menjadi seorang pandai besi biasa saja yang banyak terdapat di dunia ini. Tidak, Bhe Coan bukanlah pandai besi biasa dan dia memiliki suatu keahlian lain dalam menggembleng dan membentuk baja, keahlian yang tidak dimiliki oleh ayahnya dan yang dia pelajari dari seorang sakti yang kebetulan pada suatu waktu lewat di Pek-hwa-cung dan mengajarkan kepandaian itu kepada Bhe Coan. Kepandaian itu adalah keahlian membuat senjata, khususnya senjata pedang.
Pedang buatan Bhe Coan mempunyai bentuk yang indah dan yang lebih penting lagi, memiliki berat yang seimbang antara gagang dan mata pedang sehingga enak sekali dipakai. Selain itu, juga pandai besi ini memilih bahan pedang yang amat baik. Ilmu ini merupakan kepandaian istimewa yang tidak mudah ditiru orang, dan membuat namanya menjadi terkenal di dunia kang-ouw, sungguhpun Bhe Coan bukan seorang ahli silat yang pandai, melainkan seorang pandai besi yang bertubuh kuat, berwatak keras dan jujur, dan mengenal ilmu silat, biarpun dia pernah mempelajarinya, namun tidak secara mendalam. Ketenarannya di dunia kang-ouw bukan karena ilmu silatnya melainkan karena kepandaiannya membuat pedang itulah. Banyak sudah tokoh-tokoh kang-ouw yang mengunjunginya dan minta dibuatkan pedang. Mereka itu, berani membayar berapapun juga sehingga Bhe Coan tidak kckurangan penghasilan dan di dalam dusun Pek-hwa-cong dia terkenal sebagai seorang yang cukup mampu karena penghasilannya membuat pedang-pedang itu. Bahkan dia mengenal banyak tokoh kang-ouw yang semua, baik dari golongan hitam maupun putih, datang minta dibuatkan pedang olehnya.
Akan tetapi, kalau pandai besi ini dapat dikatakan berhasil dalam pekerjaannya, sebaliknya dalam kehidupan rumah tanggahya dia tertimpa nasib buruk. Kurang lebih dua tahun yang lalu isterinya meninggal dunia ketika melahirkan anaknya yang pertama. Pandai besi ini menikah ketika dia berusia tiga puluh lima tahun, menikah dengan seorang gadis Pek-hwa-cung juga, seorang gadis petani biasa yang sederhana. Selama tiga tahun menikah, barulah isterinya mengandung. Akan tetapi, dua tahun yang lalu, ketika melahirkan seorang bayi perempuan, isterinya itu meninggal dunia!
Bhe Coan yang amat mencinta isterinya, hampir gila oleh kedukaan. Kalau pada waktu itu tidak ada banyak orang, yaitu para tetangganya, mungkin saja akan dibanting dan dibunuhnya anak perempuan yang terlahir selamat itu karena dia menganggap anak itulah yang menyebabkan kematian isterinya tercinta! Para tetangga mengingatkan dia dan akhirnya dia sadar, biarpun sukar baginya untuk mengatasi kesedihannya ditinggal mati oleh isterinya yahg tercinta itu. Dia hidup menduda dan memanggil seorang inang pengasuh untuk merawat anaknya yang diberi nama Bhe Bi Cu.
Seperti kita ketahui, dusun Pek-hwa-cung yang makin makmur itu menarik banyak penghuni baru dah beberapa bulan semenjak kematian isteri Bhe Coan, di dusun Pek-hwa-cung itu datanglah seorang janda muda yang cantik manis dan bersikap genit. Janda muda ini telah tiga tahun ditinggal mati suaminya, tanpa anak dan usianya baru tiga puluh tahun. Wajahnya memang manis dan sikapnya menarik. Dia tinggal bersama ibunya yang sudah tua di dusun Pek-hwa-cung. Sebagai penghuni baru dan karena janda ini pandai menyulam dan menjahit, maka dia segera dapat bekerja dan memperoleh penghasilan yang cukup lumayan di dusun yang mulai maju itu dari hasil menjahit pakaian.
Banyak pria di Pek-hwa-cung terpikat oleh kecantikan janda muda itu dan di antara mereka yang terpikat, termasuk pula Bhe Coan! Dan karena keadaan pandai besi ini cukup mampu, juga dia merupakan seorang duda yang baru setahun ditinggal mati isterinya maka menanglah Bhe Coan dalam persaingan itu dan pada suatu hari, secara resmi dia memboyong janda itu menjadi isterinya! Dan ternyata bahwa janda itu amat pandai merayu hati pria sehingga terobatilah kedukaan Bhe Coan ditinggal mati isterinya dan dia jatuh bertekuk lutut di depan kaki isterinya dalam waktu beberapa bulan saja!
Karena dia tergila-gila, maka dia menurut saja ketika isterinya minta kepadanya agar Bhe Bi Cu, anak perempuannya yang baru berusia setahun itu, disingkirkan dari dalam rumah.
"Suamiku, kalau engkau menghendaki agar hubungan cinta kasih antara kita lancar dan bersih dari gangguan, sebaiknya kalau Bi Cu itu kauserahkan kepada orang lain agar dirawatnya, jangan dirawat di dalam rumah ini. Kalau dia masih di sini, mana mungkin aku melupakan bahwa engkau bukanlah milikku sepenuhnya, melainkan masih ada ikatan dengan mendiang isterimu" Ingat, aku sendiri telah bebas dan terlepas sama sekali dari mendiang suamiku yang tidak meninggalkan apa-apa untuk diingat."
Bhe Coan adalah seorang pandai besi yang kasar dan jujur, dan karena ini agaknya dia seperti seorang yang bodoh. Dia menganggap bahwa pendapat isterinya itu benar belaka dan akhirnya, setelah memilih-milih, dia lalu menyerahkan Bhe Bi Cu kepada seorang piauwsu (pengawal barang berharga) yang dikenalnya dengan baik. Piauwsu ini adalah seorang kepala piauwsu yang terkenal di kota Shen-yang di Propinsi Liao-ning dan dia terkenal sebagai pengawal barang-barang yang keluar masuk batas propinsi di utara, keluar atau masuk daerah propinsi itu.
Piauwsu itu bernama Na Ceng Han dan sudah lama mengenal Bhe Coan karena pandai besi inilah yang selalu dipesannya membuat pedang untuk dia sendiri dan para anak buahnya, bahkan Na-piauwsu itu pernah membawa bahan baja yang luar biasa, yang didapatnya di daerah suku liar di utara, kemudian baja murni yang mengeluarkan sinar ini dijadikan sebatang pedang oleh Bhe Coan yang kemudian menjadi pedang kesayangan Na-piauwsu. Ketika pada suatu hari Na-piauwsu lewat di dusun Pek-hwa-cung dan mengunjungi Bhe Coan, maka pandai besi ini lalu memilihnya sebagai ayah angkat Bhe Bi Cu. Dan kebetulan sekali bahwa Na-piauwsu memang sudah lama menginginkan seorang anak perempuan. Dia hanya mempunyai seorang anak laki-laki saja, anak tunggal yang kini telah berusia empat tahun. Maka ketika dia ditawari oleh sahabatnya itu untuk menjadi ayah angkat dan merawat Si Cu, dia menjadi girang bukan main. Dia mengerti akan keadaan Bhe Coan yang menikah dengan janda cantik itu.
Na Ceng Han adalah seorang kango-uw yang sudah banyak pengalaman, dan dia mempunyai pandangan yang bijaksana sekali. Andaikata sahabatnya itu belum menikah dengan janda itu, tentu dia dapat memberi nasehatnya. Akan tetapi, Bhe Coan telah menjadi suami isteri dengan wanita itu, maka dia tidak dapat berkata apa-apa lagi dan maklum bahwa kehadiran anak perempuan itu hanya akan menjadi bahan percekcokan antara suami isteri itu yang akhirnya akan membuat Bhe Coan merasa tersiksa hidupnya. Selain ini, juga dia suka sekali melihat Bi Cu yang sehat dan mungil, maka dia menerimanya dan dibawanyalah anak perempuan berusia setahun lebih itu pulang ke Shen-yang.
*** Seperti juga semua orang Han yang meninggalkan kampung halaman dan merantau jauh di luar tembok besar, seperti keturunan Bhe Coan yang sudah dua keturunan tinggal di luar tembok besar, tentu saja Bhe Coan juga merasa rindu untuk kembali ke selatan dan sebelum isteri pertamanya meninggal, diapun sudah bercita-cita untuk memboyong keluarganya itu ke sebelah dalam tembok besar apabila dia sudah cukup mengumpulkan uang, karena kehidupan di selatan tidaklah mudah. Akan tetapi, setelah dia menikah dengan janda manis itu, harapannya ini membuyar. Isteri barunya itu sama sekali tidak setuju untuk pergi ke selatan. Berbeda dengan Bhe Coan isterinya itu adalah seorang peranakan Mancu sehingga sudah menganggap daerah Pegunungan Khing-an-san sebagai kampung halamannya bahkan daerah selatan di sebelah dalam tembok besar merupakan daerah asing baginya.
Betapapun juga, isterinya itu bersikap manis kepadanya sehingga dia terhibur juga dan biarpun isteri barunya itu belum juga kelihatan mengandung setelah satu tahun menjadi isterinya namun dia merasa cukup gembira, hidup, rukun dengan isterinya yang cantik dan merasa dirinya cukup berbahagia. Bahkan kini isterinya merupakan pendorong baginya untuk bekerja lebih giat, karena isterinya yang baru ini selalu ingin memajukan keadaan mereka, memperbaiki rumah, membeli perabot-perabot baru dan sebagainya. Dorongan ini membuat Bhe Coan bersemangat sekali, bekerja dari pagi sampai sore tanpa mengenal lelah, dan malamnya menikmati pelayanan isterinya yang kelihatan amat mencintainya.
Pada suatu hari, selagi Bhe Coan sibuk di dalam dapur kerjanya, menempa besi untuk dibentuknya menjadi tapal kuda memenuhi pesanan para pemilik kuda di dusun itu, muncul seorang laki-laki di pekarangan rumahnya. Pada waktu itu, isteri Bhe Coan kebetulan berada di luar, maka ketika melihat ada seorang pria memasuki pekarangan rumahnya, dia mengangkat muka memperhatikan dan hampir saja kain yang sedang disulamnya itu terlepas dari pegangannya, jantungnya berdebar dan kedua pipinya menjadi kemerahan, sepasang matanya memandang wajah yang tampan itu penuh kagum. Yang datang itu adalah seorang pria berusia kurang lebih tiga puluh tahun, berwajah tampan dan berlenggang dengan lagak sopan santun namun gagah dan agung, lagak seorang sasterawan atau seorang kongcu golongan atas! Laki-laki itu memiliki wajah yang manis, sepasang matanya tajam bersinar-sinar, mulutnya selalu tersenyum, senyum penuh pikatan, senyum seorang laki-laki yang bisa menundukkan hati wanita, seorang laki-laki petualang asmara! Pakaiannya indah dan rapi sekali, pakaian seorang kongcu yang terpelajar atau seorang putera hartawan, dari kain sutera yang halus dan baru, demikian pula sepatutnya masih baru, biarpun waktu itu sepatu dan jubahnya tertutup debu, tanda bahwa dia melakukan perjalanan jauh. Tangan kirinya memegang kendali seekor kuda yang kelihatan juga kelelahan, kuda besar pilihan, kuda yang baik dan mahal pula.
Isteri dari Bhe Coan cepat sadar akan keadaannya dan menurut sepantasnya, dia harus cepat menyembunyikan diri, akan tetapi tadi dia terlongong kagum, maka dia terlambat dan kini pria itu telah berdiri di depannya, menjura penuh hormat dan dengan senyum di bibir dan lirikan mata penuh daya pikat seperti biasa dilakukannya kalau dia berhadapan dengan seorang wanita, apalagi kalau wanita itu muda lagi cantik seperti Leng Ci, isteri dari Bhe Coan itu.
"Nona, harap sudi memaafkan saya kalau saya berani lancang memasuki pekarangan rumah nona. Akan tetapi, saya seorang dari luar daerah ini, datang dari jauh dan tidak mengenal tempat ini. Kalau boleh saya bertanya, benarkah di sini tempat tinggal saudara Bhe Coan, pandai besi ahli pembuat pedang yang terkenal itu"
Suara pria muda itu halus, tutur sapanya sopan dan sikapnya ramah sehingga seketika itu juga hati Leng Ci, nyonya Bhe Coan itu terpikat dan dengan suara gemetar dia menjawab tanpa berani mengangkat muka, menunduk akan tetapi kadang-kadang sepasang matanya yang tajam mengerling dari bawah. "Benar, kongcu, di sini rumah Bhe Coan..."
Suaranya merdu dan lirih, agak gemetar dan tersendat karena jantungnya telah berdegup kencang.
"Ahh... sungguh beruntung sekali saya! Tadi saya mendengar bunyi dencing gemblengan besi di landasan, maka secara untung-untungan saya masuk ke sini. Kiranya benar! Ah nona yang baik, bolehkah saya bertemu dengan dia" Apakah nona ini puterinya"
Leng Ci tersenyum, senyum simpul yang manis dan tangannya segera menutupi mulut, matanya menyambar seperti gunting tajam lalu terdengar dia menahan kekehnya secara genit. "Ih-hi-hik... saya bukan anaknya, melainkan isterinya... hi-hik."
"Apa..." Pemuda sasterawan itu membelalakkan matanya dengan lebar seolah-olah dia mendengar berita tentang sesuatu yang luar biasa dan amat mengherankan. "Nona... eh, nyonya tidak main-main"
"Mengapa" Leng Ci bertanya, kini lebih berani dan tidak lagi menutupi mulutnya sehingga mulut yang tersenyum lebar itu memperlihatkan kilauan gigi yang berderet rapi.
"SUNGGUH MATI siapa dapat menduganya" Kouw-nio... eh, toanio sungguh kelihatan masih sangat muda... dan saya mendengar... eh, maaf, saudara Bhe Coan itu sudah berusia hampir empat puluh tahun dan toanio masih kelihatan amat muda... maaf..."
Bukan main senangnya hati Leng Ci mendengar ini. Tidak ada pujian yang lebih mendebarkan jantung seorang wanita daripada dikatakan masih kelihatan muda, apalagi kalau cara mengatakannya seperti pemuda sasterawan ini! "Ahh, kongcu terlalu memuji..." katanya tersipu-sipu, kedua pipinya menjadi kemerahan menambah kemanisannya. "Suami saya memang berusia hampir empat puluh, akan tetapi sayapun sudah... eh, hampir tiga puluh tahun..."
"Ahhh...! Siapa dapat percaya" Menurut pandangan saya, toanio tidak akan lebih dari dua puluh tahun, atau jauh kurang dari itu!"
Jantung nyonya itu makin berdebar, akan tetapi dia khawatir kalau-kalau percakapan yang tidak semestinya itu akan terdengar orang lain, maka dia lalu cepat-cepat berkata, "Kongcu hendak bertemu dengan suami saya"
"Benar, toanio. Saya bernama Hok Boan she Kui. Saya datang jauh dari selatan dan sengaja mencari suami nyonya untuk memesan pedang yang baik. Berapapun harganya akan saya bayar, karena saya mendengar dari teman-teman bahwa suami nyonya adalah seorang ahli membuat pedang yang pandai. Dan melihat... ehh..." di sini dia menyambung kata-katanya dengan suara berbisik "...melihat nyonya sebagai isterinya, saya tidak ragu-ragu lagi akan kepandaiannya, dia pandai sekali memilih..."
Ucapan itu sudah melewati batas pujian dan sepasang mata Leng Ci mengeluarkan sinar marah. Dia mengangkat muka memandang wajah itu, siap untuk memaki, akan tetapi melihat wajah itu, melihat sinar mata yang seolah-olah membelainya, senyum yang penuh pikatan dan tantangan itu, hatinya luluh dan dia menunduk kembali.
"Dia bekeria di dapur, harap kongcu langsung masuk ke sana melalui jalan samping. Silakan." Setelah berkata demikian, Leng Ci lalu memasuki rumahnya, langsung dia memasuki kamarnya dan menuju ke depan cermin untuk memeriksa keadaan wajah dan bentuk tubuhnya yang baru saja mendapat pujian secara tidak langsung namun amat menyenangkan hatinya itu dari seorang pemuda yang amat menarik hatinya. Dia tersenyum-senyum melihiat wajahnya kemerahan dan berseri, matanya bersinar-sinar dan otomatis tangannya menyentuh dadanya yang membusung untuk merasakan debar jantungnya yang membuat dadanya tergetar.
Sementara itu, sasterawan itu tersenyum mengikuti langkah nyonya muda yang memasuki rumah itu dengan sinar mata kagum, melihat betapa buah pinggul itu bergerak-gerak membayang di balik pakaian ketika nyonya itu memasuki rumah. Tentu saja sejak pertama kali bertemu dia sudah tahu bahwa yang berdiri di depannya itu adalah seorang wanita muda yang usianya sudah kurang lebih tiga puluh tahun, wanita yang sudah matang. Tentu saja dia tidak ragu-ragu lagi bahwa wanita itu bukanlah seorang gadis dan dia tidak heran mendengar bahwa wanita manis itu adalah isteri ahli pembuat pedang Bhe Coan. Akan tetapi, kebiasaan membuat dia bersikap seperti tadi, sikap yang selalu memikat hati wanita manapun yang dijumpainya, terutama kalau wanita itu muda dan manis seperti Leng Ci.
Setelah mengikat kendali kudanya pada batang pohon yang tumbuh di depan rumah pandai besi itu, sasterawan muda yang bernama Kui Hok Boan itu sambil tersenyum lalu melangkah memasuki pintu di samping rumah dari mana terdengar suara berdentang dan berdencingnya besi bertemu besi.
Ketika dia melangkah memasuki pintu pekarangan samping, tiba-tiba suara berdencing itu berhenti, dan ketika dia memasuki pintu dapur di mana suara itu tadi terdengar, dia melihat seorang laki-laki yang hanya memakai celana hitam tanpa baju, muka dan dadanya berlepotan angus, bangkit berdiri dari sebuah bangku yang kotor oleh bubuk besi. Nampak olehnya nyonya rumah yang manis tadi baru saja meninggalkan tempat kerja pandai besi itu, memasuki pintu rumah samping dan melempar kerling dari sudut matanya yang menunduk.
Karena pandai besi itu sudah berdiri dan memandangnya, Kui Hok Boan membungkuk memberi hormat kepada nyonya rumah yang lewat, dengan sikap sopan sekali dan muka tunduk, sedikitpun tidak mengerling kepada wanita yang manis itu, kemudian, setelah wanita itu lenyap di balik pintu, dia mengangkat muka dan menghampiri pandai besi itu. Mereka saling berhadapan, seorang sasterawan muda yang tampan dan bersikap halus, dan seorang pandai besi yang bertubuh kuat berotot dan bertelanjang baju. Keadaan mereka sungguh jauh berbeda, bahkan merupakan kebalikan, maka tidaklah mengherankan kalau Leng Ci tadi begitu tertarik melihat pemuda sasterawan itu.
Sejenak Bhe Coan tercengang. Biasanya, mereka yang datang mencarinya untuk memesan pedang adalah orang-orang kang-ouw yang kasar, atau tokoh yang aneh, para piauwsu, para kauwsu (guru silat), atau perwira-perwira dan bahkan dan pula utusan pembesar-pembesar. Akan tetapi belum pernah ada seorang sasterawan memesan pedang! Biasanya, sepanjang pengetahuannya, sasterawan biasa memegang kertas dan pensil untuk menulis, suling atau yangkim untuk bermain musik, atau kwas untuk melukis, sama sekali bukan pedang. Maka dia tercengang dan hanya memandang bengong kepada sasterawan yang bersikap sopan dan berwajah terang berseri itu.
Kui Hok Boan agaknya maklum akan keheranan tuan rumah, maka dia cepat melangkah maju dan menjura dengan hormat. "Tadi saya diperkenankan oleh nyonya rumah yang terhormat untuk masuk ke dapur pekerjaan ini. Benarkah saya berhadapan dengan saudara Bhe Coan, ahli pembuat pedang yang terkenal sampai ke dalam tembok besar"
Sepasang mata pandai besi itu bersinar, tanda bahwa ucapan pemuda sasterawan itu berkenan di hatinya. Diapun terheran. Biasanya, orang-orang yang kaya, atau berkedudukan, atau berkepandaian seperti para sasterawan bersikap angkuh dan merasa lebih tinggi daripada orang-orang kasar seperti dia, akan tetapi pemuda ini sungguh bersikap sopan dan menyenangkan sekali.
"Ahh, kongcu terlalu memuji. Silakan duduk... ah, akan tetapi bangkunya kotor, khawatir akan mengotorkan pakaian kongcu saja..."
Kui Hok Boan tersenyum lebar, nampak giginya yang putih bersih. "Bhe-twako, kiranya twako seorang yang ramah dan gagah. Terimalah salam hormat saya, saya Kui Hok Boan, dari kota Shen-yang..."
"Ahhh...!" pandai besi itu kelihatan berseri wajahnya mendengar disebutnya kota ini, dan dia cepat bertanya. "Dari Shen-yang" Apakah kongcu mengenal piauwsu yang juga tinggal di Shen-yang"
Pemuda she Kui itu mengerutkan alisnya. Tentu saja dia tahu siapa yang dimaksudkan itu. Nama Na Ceng Han cukup terkenal di Shen-yang. Akan tetapi sebagai seorang yang cerdik sekali, pemuda ini tidak segera menjawab, melainkan memperlihatkan wajah seperti orang kaget dan heran lalu berbalik dia bertanya. "Ada hubungan apakah Bhe-twako dengan Na-piauwsu"
"Hubungan baik sekali!" Bhe Coan berkata sambil mengangguk. Dia memang orang jujur yang tidak pernah mau menyimpan rahasia. "Dialah sahabat baik saya nomor satu! Bahkan anakku satu-satunya menjadi anak angkat dari Na-piauwsu. Apakah kongcu mengenalnya"
Wajah sasterawan muda itu berseri dan dia tersenyum, lalu mengangkat kedua tangan menghormat lagi kepada pandai besi itu. "Aihh, kiranya twako adalah sahabat baik piauwsu Na Ceng Han yang terhormat itu" Tentu saja saya mengenalnya, twako. Saya kagum kepada piauwsu yang gagah perkasa itu!"
Wajah pandai besi itu makin berseri dan dia melangkah maju, memegang kedua tangan sasterawan itu. "Lui-kongu, saya girang sekali mendengar ini! Apakah kongcu pernah melihat seorang anak perempuan yang kira-kira berusia dua tahun di rumah piauwsu itu" Bagaimana keadaan anak itu"
Sebagai seorang yang amat cerdik Kui Hok Boan tidak lama-lama menjawab. Dia tersenyum dan dengan wajah gembira, dia berkata, "Bulan yang lalu saya mengunjungi Na-piauwsu dan memang saya melihat seorang anak perempuan kecil, dipangku dan ditimang-timang oleh Na-piauwsu. Bukankah anak itu manis, mungil dan montok sekali"
Bhe Coan mengangguk-angguk. "Benar... benar... itulah anak saya, itulah Bi Cu anak saya..." Suaranya terdengar agak tergetar karena keharuan dan kegirangan hatinya mendengar bahwa anaknya sehat dan selamat. Dia tidak ingat bahwa sudah tentu saja anak perempuan kecil semua juga manis, mungil dan montok kalau anak itu sehat!
"Kiranya anak itu anak twako" Ah, selamat, twako. Anak twako begitu manis!"
"Ha-ha-ha-ha, Thian agaknya mengutus kongcu untuk datang dan menyampaikan berita menggirangkan itu kepada saya! Ah, kongcu, mari kita duduk di dalam dan bicara. Kongcu merupakan seorang tamu agung bagi saya, tamu yang membawa berita baik sekali. Marilah, kongcu, eh... saya akan mencuci tangan dulu..." Pandai besi itu menghampiri bak air dan mencuci muka dan kedua tangannya sebelum memakai bajunya yang juga hitam kotor.
Dengan wajah gembira dan sikap ramah dan wajar, Bhe Coan lalu menggandeng lengan tamunya, dibawa masuk ke dalam rumah. Isterinya menyambut mereka dengan wajah berseri akan tetapi pandang matanya agak terheran melihat tamu yang tampan itu oleh suaminya digandeng dan diajak memasuki rumah.
"Kui-kongcu, perkenalkan, ini isteri saya. Ah, tadi kongcu telah bertemu dengan dia, bukan" Isteriku, ini adalah kongcu Kui Hok Boan dari Shen-yang. Dia membawa berita baik sekali tentang Bi Cu. Anak kita itu selamat dan sehat."
Kui Hok Boan menjura dan mengangkat kedua tangan di depan dada sambil menundukkan mukanya dan berkata kepada nyonya muda. itu, "Twaso, maafkan kalau saya mengganggu."
Wajah nyonya muda itu berseri, kedua pipinya berubah merah dan diapun cepat-cepat menjura dan berkata, "Kongcu adalah sahabat dan tamu suami saya tentu saja tidak mengganggu."
"Ha-ha-ha, isteriku yang baik, lekas kausediakan masakan dan arak. Kita harus menjamu Kui-kongcu!" kata pandai besi itu dan Leng Ci bergegas meninggalkan mereka, memasuki dapur dan segera sibuk dengan persiapan hidangan. Diapun merasa gembira sekali dan wajahnya selalu berseri, bibirnya tersenyum dan matanya termenung.
Bhe Coan duduk menghadapi meja dan tamunya duduk di seberangnya. Pandai besi itu menghujankan pertanyaan kepada Kui Hok Boan tentang anaknya di Shen-yang, tentang keadaaan dan keluarga Na Ceng Han, tentang kota Shen-yang dan tentang tokoh-tokoh yang dikenalnya ketika mereka memesan pedang kepadanya. Dan ternyata Kui Hok Boan memiliki pengetahuan yang amat luas. Pemuda ini pandai sekali berbicara sehingga sebentar saja Bhe Coan yang jujur dan bodoh merasa amat tertarik dan kagum, mendengarkan semua penuturan pemuda itu dengan wajah berseri.
Beberapa kali Leng Ci datang menghampiri mereka, menyuguhkan arak dan masakan yang telah diselesaikannya. Dan setiap kali dia mendekati meja, jantungnya berdebar tegang, matanya mengerling tajam dan dia melihat betapa pcmuda tampan itupun mengerling kepadanya secara diam-diam dan halus sambil tetap bercakap-cakap dengan Bhe Coan.
"Kui-kongcu adalah seorang terpelajar, dan pengetahuan kongcu luas sekah sehingga kongcu mengenal semua tokoh kang-ouw dan para pembesar. Akan tetapi, saya sungguh merasa heran mendengar bahwa kongcu hendak memesan pedang! Untuk apakah sebatang pedang bagi seorang sasterawan seperti kongcu" Akhirnya Bhe Coan bertanya sambil memandang wajah orang itu dengan kagum.
Kui Hok Boan tersenyum lebar dan pada saat itu Leng Ci datang lagi membawa mangkok besar terisi masakan terakhir. Dia meletakkan mangkok itu di atas meja, di samping masakan-masakan lain yang dipersiapkannya secara cepat tadi, dan kini dia berdiri di dekat meja, lalu menyambung ucapan suaminya, "Saya sendiripun belum pernah mendengar suami saya membuatkan pedang untuk seorang sekolahan!"
Bhe Coam tertawa. "Nah, Kui-kongcu. Isteri saya berkata benar. Diapun tentu heran mendengar bahwa kongcu memesan pedang. Kongcu datang berkuda, kalau kongcu memesan tapal kaki kuda, hal itu tentu saja tidak mengherankan. Akan tetapi, pedang..."
"Benar, untuk apakah sebatang pedang bagi kongcu" Leng Ci bertanya juga, pertanyaan yang diajukan seolah-olah dia juga terheran dan ingin sekali mendengar alasan pemuda itu.
Kui Hok Boan menarik napas panjang. Dia mengerutkan alisnya lalu menjawab, "Sesungguhnya, pedang yang saya pesan bukanlah untuk saya sendiri. Hendaknya Bhe-twako dan twaso mengetahui bahwa tahun ini saya akan mengikuti ujian di kota raja. Saya mengenal pengujinya sebagai seorang pembesar yang suka sekali pedang yang bagus, maka saya hendak membawa oleh-oleh sebatang pedang yang baik sekali untuk hadiah kepadanya. Dan saya mendengar bahwa Bhe-twako di sini adalah seorang ahli pedang yang hebat, maka jauh-jauh saya datang untuk memesan sebatang pedang yang baik dan indah yang akan saya hadiahkan kepada pembesar itu. Saya bersedia untuk membayar berapa saja harga pedang itu..."
"Ahhhh... begitukah" Ha-ha-ha, Kui-kongcu tidak keliru kalau datang kepada saya. Tentang harga pedang, ah, mari kita makan dulu. Urusan itu dapat kita bicarakan nanti."
"Benar, kongcu. Silakan makan seadanya, dan maklumlah, karena di dusun maka kami tidak berkesempatan untuk menyajikan masakan yang baik."
Kui Hok Boan bangkit berdiri dan menjura kepada Bhe Coan, lalu kepada Leng Ci, "Twako dan twaso sungguh budiman dan ramah sekali terhadap saya, menerima kedatangan saya sebagai seorang anggauta keluarga saja. Oleh karena itu, tidak enak rasanya kalau saya makan sendiri masakan twaso yang sudah berjerih telah membuatkan masakan-masakan ini. Kalau boleh, saya persilakan twaso ikut pula makan bersama kami, karena bukankah kalian berdua memperlakukan saya sebagai anggauta keluarga sendiri"
Bhe Coan adalah seorang dusun yang jujur dan penuh kepercayaan kepada orang lain. Apalagi dia adalah keturunan pandai besi dan sudah menjadi kenyataan bahwa orang-orang yang bekerja sebagai pandai besi sejak kecil biasanya berwatak polos, jujur dan mudah percaya, juga dapat dipercaya. Mendengar ucapan ini dan melihat sikap sasterawan muda yang begitu halus dan ramah, dia tertawa girang dan menarik tangan isterinya yang berdiri menunduk dengan muka merah.
"Ha-ha-ha, Leng Ci isteriku. Kenapa mesti malu-malu" Kui-kongcu berkata benar. Dia adalah seorang tamu agung, seorang sahabat, dan memang seperti anggauta keluarga sendiri. Maka tidak ada salahnya kalau kau menemani kami makan. Duduklah!"
Leng Ci tersenyum malu-malu dan duduk di samping kiri suaminya, berhadapan dengan tamunya yang agak di sebelah kirinya karena Hok Boan duduk tepat berhadapan dengan Bhe Coan. Dengan cekatan nyonya rumah ini lalu menuangkan arak ke dalam cawan tamunya dan suaminya, lalu berkata, "Silakan minum, Kongcu."
Bhe Coan mengangkat cawannya dan berkata, "Kui-kongcu, mari kita minum untuk menyatakan selamat datang kepada kongcu!"
Hok Boan melirik ke arah Leng Ci dan melihat wanita ini agaknya tidak turut minum, dia lalu tertawa dan berkata, "Twaso, mana arakmu"
"Ha-ha, benar isteriku, hayo kau ikut minum untuk menghormati Kui-kongcu!"
Leng Ci hanya tersenyum ketika dengan cekatan Hok Boan menuangkan arak dari guci ke dalam cawan di depan nyonya itu. Mereka bertiga lalu minum arak mereka.
"Dan kini saya ingin mengajak twako dan twaso minum untuk menghaturkan terima kasih saya." Hok Boan berkata, lalu sambil menuangkan arak lagi ke dalam cawan mereka. Kembali mereka minum secawan arak. Mereka silih berganti menghaturkan selamat sambil makan minum dan setelah menghabiskan lima cawan arak, wajah yang manis dari nyonya rumah itu menjadi makin merah, senyumnya makin genit dan matanya yang tajam lebih sering menyambar dengan kerlingan dari sudut matanya ke arah tamunya. Bhe Coan yang juga sudah mulai dipengaruhi arak, tidak melihat perubahan sikap isterinya ini dan kegembiraan isterinya dianggap wajar saja karena tamu mereka itu amat menyenangkan.
Kui Hok Boan tentu saja melihat perubahan sikap wanita di depannya, agak di sebelah kanannya itu. Dia telah banyak berpengalaman dengan wanita, maka bukanlah hal yang lancang atau tidak diperhitungkan ketika tiba-tiba kakinya menyentuh betis kaki nyonya muda itu di bawah meja. Leng Ci sedang membawa sepotong daging ke mulutnya.
"Ihhkk...!" serunya dengan kaget sekali ketika merasa betapa betis kakinya diusap oleh sebuah kaki, matanya terbelalak saking kagetnya melihat keberanian tamu itu.
"Eh, kenapa kau..." Suaminya bertanya heran.
Wajah itu menjadi merah sekali dan tak dapat menjawab.
"Apakah twaso tersedak" Baiknya diberi minum teh, twaso." kata Hok Boan dengan kaki masih mengusap betis itu.
Wanita itu menarik kakinya menjauh dan cepat menyambar cangkir teh dan diminumnya teh itu untuk menutup mukanya yang menjadi merah. Jantungnya berdebar keras sekali, akan tetap kini dia menjadi tenang. Setelah minum dia memandang suaminya dan tersenyum.
"Aku tersedak memang, agaknya terlalu banyak minum membikin orang mabok dan tidak menyadari apa yang dilakukannya." Sambil berkata demikian, dia mengangkat muka memandang wajah pemuda itu dengan sinar mata penuh teguran.
Kui Hok Boan tertawa. "Ha-ha, memang bagi yang tidak biasa minum, arak dapat memabokkan. Akan tetapi bagi yang biasa seperti saya, sukar untuk mabok oleh arak, biarpun tentu saja saya bisa mabok oleh yang lain." Ucapan ini mengandung arti mendalam dan kembali kedua pipi wanita itu menjadi merah.
Bhe Coan yang polos itu memandang kepada tamunya. "Kongcu, kalau bukan arak yang dapat membikin engkau mabok, habis apa"
Sasterawan muda itu tersenyum. "Ha-ha twako. Banyak yang dapat membikin mabok orang, yang lebih hebat dari pengaruh arak. Keindahan misalnya, saya bisa mabok melihat sesuatu yang indah menarik..." kembali kongcu itu melirik ke arah nyonya rumah yang kini menunduk karena nyonya ini jelas sekali dapat menangkap arti kata-kata pemuda itu. Apalagi kini tiba-tiba dia merasa ada tangan yang dengan halus mengusap pahanya! Nyonya itu tidak berani bergerak, takut kalau diketahui suaminya, akan tetapi tangan itu merayap-rayap membuat semua bulu di tubuhnya meremang dan jantungnya berdegup demikian kerasnya sehingga dia khawatir suaminya akan mendengar bunyi degup jantungnya itu. Maka dia lalu bangkit berdiri sehingga tentu saja tangan Bok Hoan itu terlepas dari pahanya.
"Sebaiknya aku menyingkirkan mangkok-mangkok kosong dan mencucinya." Memang masakan-masakan itu telah mereka makan habis. Mukanya merah sekali, akan tetapi tentu saja kalaupun suaminya melihat ini, tentu akan disangkanya bahwa muka isterinya itu merah karena terlalu banyak minum arak.
"Dan sayapun harus berpamit untuk mencari penginapan. Twako, berapa lamakah engkau dapat menyelesaikan sebatang pedang yang baik dan indah untukku"
"Kurang lebih tujuh hari."
"Sepekan" Kalau begitu aku harus mencari kamar penginapan yang baik untuk tinggal selama sepekan di dusun ini." Kongcu itu bangkit pula dan mendengar ini, Leng Ci tidak jadi meninggalkan meja dan hanya berdiri memandang wajah tampan yang kini agak kemerahan itu. Wajah suaminya juga merah dan kalau kemerahan wajah sasterawan muda itu menambah ketampanannya, adalah kemerahan wajah suaminya baginya menambah keburukan dan kebodohan wajah suaminya itu. Betapa jauh perbedaan yang terdapat antara dua orang pria ini! Dan Leng Ci untuk ke sekian kalinya menghela napas panjang.
"Kui-kongcu adalah seperti keluargaku sendiri, suamiku, kalau dia sudi tinggal di rumah kita yang buruk, kamar di belakang itu dapat kubersihkan untuk dia pakai selama dia menunggu jadinya pedang itu," katanya dengan suara datar sambil memandang suaminya. Sikapnya begitu wajar sebagai seorang nyonya rumah yang baik.
"Kau setuju" Ha-ha, tadinya aku hendak menawarkan kepadanya akan tetapi khawatir engkau tersinggung, maka aku ragu-ragu. Nah, Kui-kongcu, setelah isteriku berkata demikian, aku minta kepadamu untuk tinggal saja di rumah kami..."
"Ah, twaso dan twako sungguh budiman dan baik sekali kepadaku. Akan tetapi, mana aku berani mengganggu seperti itu"
"Tidak ada yang mengganggu! Kami persilahkan kongcu tinggal di sini, kecuali tentu saja kalau kongcu merasa rumah ini terlalu buruk dan kotor, maka kami tidak dapat memaksa kalau kongcu mencari kamar lain..." kata Leng Ci.
"Ha-ha-ha, Kui-kongcu, isteriku amat pandai berdebat. Engkau takkan menang, maka harap engkau suka menerima saja, tinggal di sini bersama kami agar kita dapat bercakap-cakap kalau aku sedang berhenti bekerja. Dan selagi aku bekerja, kongcu dapat pergi ke manapun untuk melewatkan waktu menganggur."
Kui Hok Boan menghela napas memperlihatkan sikap kewalahan, lalu dia menjura den berkata, "Baiklah, kalau twako dan twaso menghendaki demikian. Mana mungkin saya berani menolak lagi" Biarlah segala kebaikan kalian itu dapat saya balas dengan imbalan apa saja yang mampu saya lakukan."
"Ha-ha, bagus sekali! Saya girang sekali, Kui-kongcu..."
"Bhe-twako, sudah menerima segala kebaikan ini, harap twako jangan menyebut kongcu kepadaku. Bukankah kita sudah seperti keluarga sendiri" Sebaiknya twako menyebut siauwte saja kepadaku."
"Ah, mana saya berani"
"Kalau twako dan twaso bersikap sungkan, mana aku berani tinggal di sini"
"Ha-ha, engkau pandai berdebat seperti twasomu! Baiklah, Kui-siauwte, sungguh merupakan kehormatan besar bagiku."
Demikianlah, Hok Boan tinggal di rumah Bhe Coan dan isterinya, tinggal di sebuah kamar di belakang yang telah dibersihkan oleh Leng Ci. Kamar itu berada di bagian paling belakang dan mempunyai pintu belakang yang menembus ke kebun belakang. Dan ternyata sasterawan muda itu dapat bersikap amat menyenangkan, sopan dan ramah. Hal ini membuat Bhe Coan menjadi makin suka sehingga ketika beberapa kali Hok Boan menanyakan harga pedang, dia bilang bahwa hal itu akan dibicarakan kalau pedang telah selesai saja! Dia bermaksud menghadiahkan sebatang pedang kepada tamunya yang amat menyenangkan itu.
Tidak demikian dengan keadaan Leng Ci. Wanita ini merasa tersiksa sekali. Dia makin tertarik, bahkan tergila-gila kepada sasterawan itu. Apalagi ketika dia mendengar suara nyanyian atau tiupan suling Hok Boan yang sering bermain suling dan bernyanyi seorang diri di dalam kamarnya, dia makin tergila-gila. Bahkan di waktu dia tidur dengan suaminya, dia sering membayangkan betapa akan senangnya kalau yang tidur di sampingnya itu adalah Hok Boan, bukan suaminya yang kalau tidur mengorok seperti babi disembelih! Akan tetapi, dia adalah isteri Bhe Coan, dan tinggal serumah, tentu saja dia takut untuk mendekati Hok Boan dan dia selalu menghindar, sungguhpun hatinya amat ingin, namun dia tidak berani melayani bujuk rayu yang terpancar dari sepasang mata sasterawan itu apabila bertemu dengan dia.
Kui Hok Boan sendiri merasa penasaran. Dia merasa yakin bahwa nyonya rumah yang manis itu sudah pasti terpikat olehnya dan seperti biasa, dia merasa yakin bahwa dia tidak akan gagal mendekati Leng Ci. Kalau nyonya rumah itu tidak muda dan manis seperti Leng Ci, sudah tentu dia tidak suka tinggal di rumah pandai besi itu, lebih senang ditinggal di penginapan di mana dia dapat bersenang-senang dengan bebas! Kini, melihat betapa nyonya muda yang sudah jelas terpikat olehnya itu seolah-olah takut dan tidak pernah mau mendekatinya, dia merasa penasaran dan nafsunya makin memuncak! Gemaslah rasa hatinya dan dia bertekad untuk mendapatkan wanita itu dengan akal apapun juga!
Demikianlah memang sifat nafsu apapun kalau sudah mencengkeram batin seseorang. Nafsu terdorong oleh pikiran yang membayangkan kesenangan yang akan dinikmatinya. Nafsu adalah keinginan memperoleh sesuatu yang dianggap amat menyenangkan, bayangan dari pengalaman-pengalaman lalu yang dinikmati, dikunyah kembali seperti seekor kerbau mengunyah daun-daun muda yang tadi telah dimakannya. Kenangan akan kesenangan ini, bayangan akan kesenangan yang diharapkan akan dinikmati nanti, menimbulkan nafsu atau keinginan. Dan makin sukar sesuatu yang diinginkan itu diperoleh, makin berkobarlah nafsu keinginan itu. Nafsu berahi, seperti juga nafsu keinginan lain, akan makin mendorong kita sehingga membuat kita mata gelap, tidak lagi perduli akan cara-cara yang bagaimanapun untuk memperoleh apa yang kita inginkan itu, baik dengan cara yang benar maupun cara yang kotor!
Setelah tinggal di situ selama dua malam dan belum nampak tanda-tanda bahwa dia berkesempatan mendekati nyonya rumah karena di waktu siang nyonya rumah sibuk di dapur kemudian setelah selesai lalu menyembunyikan diri dalam kamar sambil menyulam sedangkan di waklu malam tentu saja Leng Ci tak pernah dapat meninggalkan suaminya. Hok Boan tidak sabar lagi. Sejak pagi itu, telah terdenger suara berdencing di dapur atau bengkel kerja di mana Bhe Coan bekerja dengan giat menyelesaikan pembuatan pedang untuk tamunya.
Hok Boan maklum bahwa setiap pagi Leng Ci mengantarkan secangkir teh kental untuk suaminya di bengkel itu. Dia menanti dan mengintai dari belakang. Ketika dia melihat wanita itu keluar dari kamarnya menuju ke bengkel suaminya, dia cepat berjalan membayanginya dan begitu melihat nyonya itu memasuki pintu bengkel, dia lalu masuk pula dan berkata, "Twako... ah... maaf aku kesiangan... aku... agaknya terserang penyakit demam panas..." Dia berhenti lalu menoleh kepada isteri tuan rumah yang memegang cangkir lalu berkata, "Ah, maafkan, twaso... aku tidak bermaksud mengganggu..."
Bhe Coan terkejut dan cepat bangkit, membersihkan tangannya kepada kain yang tersedia di situ dan memandang pemuda itu. Memang wajah Hok Boan pucat sekali dan kelihatan seperti orang sakit, bahkan berdirinya juga bergoyang-goyang seperti akan jatuh. Bhe Coan cepat menghampiri dan memegangnya agar tidak sampai jatuh, dan ketika dia memegang tangan sasterawan itu, dia terkejut.
"Ah, badanmu panas sekali! Kui-siauwte, kau tidak perlu datang ke sini... ah, jangan-jangan kau terkena penyakit yang berbahaya. Sebaiknya kau pergi saja tidur dan mengaso di kamarmu, siauwte!"
"Agaknya... agaknya... begitulah." Hok Boan melepaskan tangan tuan rumah dan hendak melangkah ke pintu, akan tetapi dia terhuyung dan tentu jatuh kalau tidak berpegang kepada pintu.
"Aihhh...!" Leng Ci bertertak kaget dan khawatir sekali. "Kau benar-benar sakit, kongcu...!" Dia masih belum dapat menyebut sasterawan itu "adik" seperti yang dilakukan sueminya. "Sebaiknya kita pangglikan tabib..."
"Benar, kau kemballiah ke kamarmu, mari kubantu, siauwte. Nanti kupangglikan tabib untukmu." Bhe Coan lalu memapah pemuda itu keluar dari bengkelnya, diikuti oleh Leng Ci yang memandang dengan hati kasihan sekali terhadap sasterawan itu.
Dengan bantuan Bhe Coan, Hok Boan merebahkan diri di atas pembaringannya, mengeluh lirih dan mukanya makin pucat, dahinya penuh keringat.
"Biar kupangglikan tabib sekarang," kata Bhe Coan.
"Tidak usah... tidak perlu, twako. Aku hanya mengganggu pekerjaan twako, dan... dan pedang itu menjadi makin terlambat jadinya. Aku pernah terserang penyakit demam seperti ini dan aku... aku bisa... menulis resep obatnya. Tolong ambilkan kertas dan pena bulu... oughhh..." Dia menuding ke atas meja di kamar itu, lalu bangkit duduk dengan sukar.
Leng Ci yang melihat perabot tulis di atas meja lalu mengambilkan apa yang diminta pemuda itu. Dengan jari-jari tangan gemetar, Hok Boan membuat corat-coret di atas kertas, lalu menyerahkannya kepada Bhe Coan. "Tolong twako suruhan orang membeli obat ini... dan tolong panggil seorang tetangga yang suka melayaniku untuk menggodok obat dan memberi minum setiap jam sekali..."
"Ah, kenapa siauwte demikian sungkan" Isteriku dapat membelikan obat dan untuk melayanimu di waktu sakit, bukankah di sini ada twasomu"
"Ah, ...aku tidak ingin... membikin susah twaso saja..."
Leng Ci berkata dengan suara terharu. "Kui-kongcu, kau sedang sakit, jangan berpikir yang tidak-tidak dan jangan sungkan. Aku suka untuk merawatmu, bukankah kau seperti adik suamiku sendiri" Nah, aku akan membeli obat."
Wanita itu melangkah pergi dan Bhe Coan lalu duduk di atas bangku dalam kamar. "Kuharap saja penyakitmu tidak parah, siauwte."
Hok Boan kembali merebahkan dirinya mencoba untuk tersenyum. "TIdak apa-apa, twako, aku pernah diserang penyakit ini. Asal aku dapat beristirahat beberapa hari dalam kamar dan setiap jam minum obat itu, tentu akan sembuh kembali. Jangan membikin repot twako, dan harap twako kembali ke bengkel menyelesaikan pedang itu..."
"Baiklah kalau begitu. Jangan kau sungkan-sungkan kepada twasomu, siauwte. Anggaplah dia seperti kakak iparmu sendiri. Dia akan merawatmu."
"Sebaiknya panggilkan saja orang lain... aku... aku merasa tidak enak kalau harus merepotkan twaso..."
"Aaahh, kau terlalu sungkan, sudahlah. Aku akan memberi tahu dia agar merawatmu sebaik mungkin, jangan kau khawatir." Pandai besi itu lalu meninggalkan Hok Boan yang masih mengeluh lirih, dengan hati-hati menutupkan daun pintu kamar pemuda itu.
Setelah langkah-langkah tuan rumah tidak terdengar lagi dan tak lama kemudian terdengar bunyi dencing besi dipukul, Hok Boan tidak mengeluh lagi, bahkan tersenyum! Dia mengusap peluh di dahinya dan mukanya kembali menjadi merah, lalu dia bangkit duduk, tersenyum dan mengepal tinju. Dapat kau sekarang olehku, manis! Demikian dia berkata kepada diri sendiri. Akal ini sudah direncanakan sejak malam tadi dan ternyata berhasil baik sekali.
Siapakah sebenarnya sasterawan muda ini" Orang macam apakah dia dan bagaimana dia mampu bermain sandiwara sehebat itu sehingga dia dapat berpura-pura sakit sampai dahi dan lehernya mengeluarkan keringat, dan tubuhnya terasa panas, mukanya menjadi pucat sekali"
Tentu saja Kui Hok Boan dapat melakukan hal ini karena dia adalah seorang ahli lwee-keh yang memiliki sin-kang amat kuat sehingga dengan mempergunakan sin-kangnya, dia dapat membuat wajahnya pucat, keringatnya bercucuran, dan tubuhnya panas! Sebenarnya, Kui Hok Boan yang selalu berpakaian sebagai sasterawan itu bukan hanya pandai dalam hal sastera, melainkan dia juga seorang ahli silat yang tinggi ilmunya! Di selatan, di dalam tembok besar, namanya sudah terkenal dan dia malang-melintang sebagai seorang petualang besar yang sering kali mengandalkan ilmunya untuk melakukan apa saja yang disenanginya!
Sesungguhnya, orang she Kui yang baru berusia tiga puluh tahun ini bukanlah seorang jahat, bukan pula termasuk golongan kaum sesat. Sama sekali bukan. Dia seorang petualang yang hidup sendirian, malang-melintang mengandalkan kepandaiannya. Akan tetapi dia amat cerdik sehingga dia mempunyai banyak sahabat, baik di kalangan kaum sesat maupun di kalangan para pendekar. Dia sendiri berdiri di tengah-tengah, tidak bergabung pada suatu golongan tertentu. Kadang-kadang, kalau memang hatinya menghendaki dan tentu saja kalau dia melihat keuntungan di dalamnya, dia tidak segan-segan untuk menentang golongan hitam. Akan tetapi, dia sendiripun memiliki kelemahan terhadap kesenangan dunia sehingga tidak heran pula melihat dia berhari-hari menghabiskan waktu di rumah judi atau di rumah pelacuran. Juga, dia tidak segan-segan untuk menggunakan wajahnya yang tampan, gerak-geriknya yang halus, dan ilmu silatnya yang tinggi untuk menggoda wanita baik-baik. Akan tetapi dia tidak pernah melakukan perkosaan, tidak pernah menggunakan kekerasan untuk memaksa seorang wanita. Dan memang dengan modal yang ada pada dirinya, jarang sekali dia dikecewakan wanita, jarang sekali ada wanita yang mampu menolak bujuk rayunya!
Beberapa bulan yang lalu, dengar kepandaiannya membujuk rayup dia berhasil menundukkan hati seorang gadis, puteri seorang guru silat di kota Koan-sui. Akan tetapi guru silat itu tidak menyetujui, dan hampir saja dia tertangkap basah dan tentu akan dikeroyok kalau dia tidak cepat-cepat melarikan diri. Kalau dia mau melawan, agaknya dia akan dapat mengalahkan guru silat itu dan semua muridnya. Akan tetapi Hok Boan adalah seorang yang cerdik. Dia tidak mau melihat dirinya dimusuhi dunia kang-ouw hanya karena seorang wanita dan di kota Koan-sui terdapat banyak orang pandai. Maka dia terus melarikan diri, dan karena mendengar akan kepandaian Bhe Coan membuat pedang, maka dia sampai tiba di Pek-hwa-cung, yaitu pertama untuk menjauhkan diri dari Koan-sui sementara waktu ini, kedua kalinya karena dia ingin memiliki sebatang pedang yang baik. Tentu saja cerita yang dituturkan kepada Bhe Coan dan isterinya bahwa dia hendak mengikuti ujian di kota raja, hanya bohong belaka dan hanya dipergunakan untuk menarik perhatian mereka terutama perhatian nyonya muda itu dan untuk menyembunyikan kepandaiannya dalam ilmu silat.
Kui Hok Boan adalah seorang bekas murid dari Go-bi-pai yang murtad. Dia adalah murid seorang tokoh Go-bi-pai yang terkenal gagah perkasa dan saleh, yaitu Kauw Kong Hwesio yang sudah tua. Sebenarnya, Kauw Kong Hwesio amat sayang kepada pemuda yang cerdas ini, akan tetapi ketika pada suatu hari dia mendapatkan muridnya yang tersayang itu melakukan hubungan gelap dengan isteri seorang petani di kaki gunung, dan pendeta itu menerima pelaporan dari si suami yang tidak berani menegur atau melawan Kui Hok Boan, pendeta ini menjadi marah dan mengusir Kui Hok Boan, tidak mengakuinya lagi sebagai murid dan dia melarang pemuda itu menggunakan nama Go-bi-pai sebagai golongannya.
Masih untung bagi Hok Boan bahwa dia tidak sampai dipukul mati oleh gurunya. Kauw Kong Hwesio sudah tua sekali, sudah delapan puluh tahun lebih usianya ketika hal itu terjadi, dan dia sudah lebih condong kepada keagamaan daripada kepada urusan dunia. Maka dia dapat memaafkan muridnya dan tidak membunuhnya, apalagi kalau diingat bahwa hubungan gelap itu dilakukan atas dasar sama-sama suka, jadi muridnya tidak melakukan kekerasan, tidak menggunakan ilmu silat untuk menaklukkan atau merampas isteri orang. Tentu saja perbuatan itu tidak dibenarkan oleh hwesio tua ini, maka diapun dengan hati berat mengusir dan tidak mengakui lagi murid berbakat yang sebenarnya disayangnya itu.
Setelah terlepas dari pengawasan gurunya, Hok Boan yang memang hidup sebatangkara tanpa keluarga ini mulai dengan petualangannya. Dia seperti seekor burung liar yang terbebas dari kurungan! Semenjak kecil dia telah belajar sastera karena sebelum keluarga ayahnya terbasmi dalam perang pemberontakan yang lalu, ayahnya adalah seorang kaya dan dia diberi kesempatan mempelajari sastera sampai mendalam. Setelah keluarganya tewas dalam kerusuhan perang, dia seorang yang selamat dan akhirnya dia diambil murid oleh Go-bi-pai itu, dan disamping giat mempelajari ilmu silat tinggi, dia juga masih tekun memperdalam ilmunya tentang sastera.
Setelah dia diusir oleh gurunya, Hok Boan mencoba untuk mengikuti ujian di kota raja dengan pengharapan akan lulus dan memperoleh pangkat. Akan tetapi harapannya membuyar karena gagal dalam ujian. Dia merasa bosan untuk mengulang lagi dan mulailah dia merantau dan bertualang. Dengan kepandaiannya yang tinggi, tidak sukarlah baginya untuk memperoleh uang karena dia tidak pantang memasuki gedung harta seorang hartawan dan mengambil beberapa kati uang emas atau perak untuk keperluannya bertualang. Selama beberapa tahun, dia berpindah-pindah, sampai akhirnya dia hampir dikeroyok oleh guru silat dan anak muridnya di Koan-sui itu. Kini dalam perjalanannya ke utara, ke dusun Pek-hwa-cung untuk memesan sebatang pedang yang baik, buatan pandai besi Bhe Coan yang terkenal, dia bertemu dengan isteri Bhe Coan yang demikian manis menarik, yang bertubuh montok dan padat, tentu saja wanita seperti Leng Ci itu tidak dapat terlewatkan begitu saja dari pandang mata Hok Boan yang berminyak! Dan ketika mereka makan bersama dan dia mengujinya dengan rabaan di bawah meja, mendorong Hok Boan untuk melanjutken petualangannya sampai berhasil.
Tak lama kemudian, suara dencing di bengkel itu berhenti dan terdengarlah langkah kaki Bhe Coan dan isterinya menuju ke kamar. Hok Boan cepat merebahkan dirinya lagi dan dengan pengerahan sin-kangnya, dia kini berkeringat dan mukanya pucat lagi. Terengah-engah dia rebah terlentang seperti orang kepanasan.
Bhe Coan dan isterinya masuk ke kamar itu. "Siauwte, ini obatnya. Akan tetapi tidak kelirukah" Menurut isteriku..." Bhe Coan memandang isterinya.
"Kui-kongcu, tukang obat yang menjual obat-obat menurut catatanmu tadi mengatakan bahwa ini bukanlah obat untuk penyakit demam panas. Ketika aku bertanya obat apa, dia hanya tertawa dan dia tidak mau menjawab, hanya berkata bahwa ini bukan obat penyakit panas. Jangan-jangan kau keliru membuat catatan, kongcu."
"Ahh... tukang obat kampungan... mana dia tahu..." Aku sudah pernah mengobati penyakit ini dengan obat itu... harap twaso suka cepat menggodoknya, dengan air tiga mangkok sampai tinggal semangkok... dan sediakan arak yang keras... untuk campuran..." Dia kembali merebahkan diri dan terengah-engah, napasnya memburu dan keringatnya makin banyak.
"Cepat masak obat ini!" kata Bhe Coan kepada isterinya den wanita itu cepat melakukan perintah suaminya. Lalu Bhe Coan mendekati tamunya. "Bagaimana siauwte" Berbahayakah keadaanmu"
Hok Boan memaksa senyum dan menggeleng kepala. "Jangan khawatir, twako... kalau berbahaya tentu aku juga tahu... aku, aku pernah mengalaminya, lebih hebat dari sekarang, tapi obat itu pasti akan menyembuhkan aku... tinggalkanlah aku, lanjutkan pembuatan pedang itu agar tidak terlambat... aku berterima kasih kepada twako dan twaso..."
Bhe Coan menarik napas lega dan menepuk-nepuk pundak sasterawan muda itu. "Jangan berkata demikian, jangan sungkan-sungkan, kami hanya mengharapkan kesembuhanmu." Dia lalu pergi dan tak lama kemudian terdengar lagi bunyi dencing palunya yang memukul-mukul.
Leng Ci melangkah memasuki kamar itu membawa semangkok obat yang berwarna hitam dan seguci arak. Diletakkannya obat dan arak di atas meja, kemudian dia mendekati pembaringan di mana Hok Boan masih rebah terlentang dengan muka pucat.
"Kui-kongcu, obatnya sudah selesai kumasak, dan sudah kudinginkan. Mau diminum sekarang"
"Baik... baik..." Dia mencoba untuk bangkit, akan tetapi mengeluh. "Auhhh..." Dan dia hampir terguling.
Leng Ci cepat merangkul pundaknya dan membantunya bangkit duduk. Hampir tidak kuat rasa hati Hok Boan ketika merasakan kehangatan tubuh itu dan mencium bau minyak harum bercampur bau khas wanita. Akan tetapi dia memejamkan matanya dan duduk.
"Pusingkah, kongcu..."
Dia mengangguk dan membuka matanya "Ya, agak pusing, twaso..."
"Mau minum obat sekarang" Sudah kusediakan bersama araknya."
"Nanti dulu, twaso. Ketahuilah, penjual obat itu benar, obat ini sama sekali bukan obat untuk demam panas. Akan tetapi penyakitku ini aneh, twaso. Dan kalau sampai obat yang kaubeli itu tidak cocok dan mendatangkan hawa dingin, bisa merupakan racun bagiku dan dapat membunuhku seketika..."
"Ihhh...!" Wanita itu mundur selangkah dan mukanya berobah pucat, matanya terbelalak memandang kepada obat di atas meja itu. "Kalau begitu, jangan diminum, kongcu!"
Kui Hok Boan tersenyum. "Akan tetapi obat itu tidak berbahaya sama sekali bagi orang yang sehat, bahkan kalau ada yang mau, dapat menolongku untuk mengujinya, apakah cocok atau tidak untukku. Bagi yang sehat seperti twaso umpamanya, obat itu sama sekali tidak berbahaya, bahkan menyehatkan. Akan tetapi... ah, aku hanya akan merepotkan twaso saja..."
"Ah, tidak, kongcu. Sama sekali tidak. Bagaimana cara mengujinya"
"Campurannya adalah, setengah mangkok obat itu dicampur setengah mangkok arak, lalu diminum. Kalau orang sehat yang meminumnya lalu terasa hangat, berarti obat itu cocok untukku dan pasti akan menyembuhkan aku. Akan tetapi kalau orang sehat meminumnya lalu terasa agak dingin, berarti aku tidak boleh minum obat itu. Harap twaso suka mencari seorang tetangga yang suka menguji obat itu dan menolongku."
"Kalau cuma begitu saja, aku dapat menolongmu, kongcu. Akan tetapi benarkah tidak berbahaya obat itu"
"Aku tanggung dengan nyawaku, twaso. Apakah twaso tidak percaya kepadaku"
Leng Ci menahan senyum lalu melangkah mendekati meja, memberi kesempatan kepada Hok Boan untuk melihat gerak pinggulnya. Dia menuangkan obat yang semangkok itu ke dalam mangkok lain, setengah mangkok banyaknya, lalu dicampurinya dengan setengah mangkok arak. Baunya sedap sekali.
"Aku akan mencobanya, kongcu."
"Minumlah, twaso, dan kalau terasa hangat, berarti aku akan sembuh dengan cepat."
Nyonya muda itu tanpa curiga lalu minum obat semangkok itu, rasanya agak manis dan memang bukan tidak enak, apalagi karena dicampur arak yang keras. Hanya arak itu terlalu keras baginya namun ditahannya dan habislah obat semangkok itu.
"Kalau arak itu terlalu keras, duduklah, twaso..."
Leng Ci tidak menjawab melainkan duduk dan memang kepalanya agak pening, maka dia duduk di atas bangku dan memejamkan mata. Sunyi di kamar itu. Bunyi dencing besi dipukul dari bengkel terdengar satu-satu dengan jelas sekali.
"Bagaimana, twaso" Hok Boan bertanya lagi ketika melihat wanita ini membuka matanya. Wajah wanita itu menjadi kemerahan dan napasnya agak memburu, matanya bersinar aneh.
"Panas... rasanya panas dan hangat di seluruh tubuh..."
"Ah, kalau begitu cocok untukku!" Hok Boan bangkit duduk. "Tolong campurkan obat itu dengan arak seperti tadi..."
Leng Ci bangkit berdiri dan menuangkan arak ke dalam mangkok, obat yang tinggal separuh itu, lalu mendekati pembaringan. Hok Boan menerimanya dan meminumnya sampai habis, kemudian dia merebahkan diri. Seketika dahinya penuh dengan keringat, juga lehernya. Dia bergerak gelisah sedangkan Leng Ci duduk kembali dan memandangnya.
"Ahhh... panas sekali... panas...!" Hok Boan merintih dan berguling ke kanan kiri.
"Bagaimanap kongcu" Leng Ci bangkit dan menghampiri pembaringan, lalu duduk di tepi pembaringan dengen khawatir. Dia tidak sadar bahwa dia sendiri mulai berkeringat halus membasahi dahi dan lehernya.
"Panas, tolong bukakan kancing bajuku..." Hok Boan merintih.
Jari-jari tangan yang kecil itu agak gemetar ketika membukakan kancing-kancing baju Hok Boan, apalagi karena pemuda itu menggerakkan tubuhnya, maka jari-jari tangannya kadang-kadang mengusap kulit dada yang putih halus itu.
"Panas sekali..." kembali Hok Boan merintih.
"Aku... akupun merasa panas dan gerah, kongcu. Mungkin obat itu..."
"Kalau begitu, kenapa tidak dibuka saja bajumu"
"Kongcu... ehh..." Akan tetapi kedua lengan pemuda itu telah merangkulnya, merangkul leher dan pinggangnya, dan tubuh Leng Ci telah ditariknya ke atas pembaringan. Wanita itu hendak meronta namun terlambat. Hok Boan memeluk dan menciumnya, dan Leng Ci telah diamuk oleh nafsunya sendiri yang didorong oleh obat yang diminumnya, karena memang obat itu adalah obat perangsang!
Nyonya muda itu memang sudah mempunyai hati terpikat dan menyeleweng terhadap Hok Boan. Kini, berada begitu dekat dengan pemuda yang amat menarik hatinya itu, apalagi didorong oleh obat yang diminumnya, dia lupa segala, lupa bahwa tak jauh dari kamar itu, suaminya sedang bekerja dan bunyi dencing besi dipukul terdengar jelas dari situ.
"Sakitku adalah sakit rindu kepadamu, Leng Ci... dan hanya engkau seorang yang dapat menyembuhkan aku..." Hok Boan berbisik kepada wanita yang sudah diamuk nafsu itu, yang kini sama sekali tidak lagi menolak, bahkan bersama Hok Boan dengan suka rela memasuki jurang perjinaan!
Yang terdengar hanya suara puputan pembuat api dan suara dencing besi dipukul. Pekerjaan pandai besi adalah pekerjaan yang mengeluarkan suara hiruk-pikuk, dan Hok Boan tidaklah lupa daratan sama sekali seperti halnya Leng Ci. Tidak, dia amat hati-hati dan telinganya tidak pernah meninggalkan suara dari bengkel itu sehingga dia tahu bahwa suami wanita ini masih sibuk bekerja!
Menjelang tengah hari, barulah dia mendorong tubuh Leng Ci yang kelelahan itu dan menyuruhnya cepat membereskan pakaiannya. "Suamimu sudah berhenti bekerja..." bisiknya dan dia sendiri cepat membereskan pakaian dan sudah rebah terlentang lagi ketika terdengar langkah kaki Bhe Coan menuju ke kamar itu! Dengan tergesa-gesa Leng Ci membereskan pakaiannya dan rambutnya, dan ketika suaminya muncul di pintu, dia sedang membawa mangkok-mangkok kosong itu keluar dari kamar. Bhe Coan tidak memperhatikan isterinya, kalau dia memperhatikan tentu dia akan melihat wajah yang kemerahan, napas yang masih memburu dan rambut yang agak awut-awutan itu. Akan tetapi pandai besi ini segera menghampiri Hok Boan dan sejak memasuki kamar dia sudah memandang ke arah pemuda itu karena memang sama sekali dia tidak pernah menaruh kecurigaan apapun terhadap isterinya.
"Bagaimana, Kui-siauwte" tanyanya. "Wajahmu tidak sepucat tadi, agak merah, akan tetapi engkau kelihatan basah semua penuh keringat..."
"Ah, terima kasih, twako. Keadaanku sudah banyak baik. Obat yang dimasak twaso itu sungguh hebat dan menyembuhkan. Aku hanya perlu beristirahat dan terus minum obat itu. Nyawaku tertolong berkat kebaikanmu dan terutama sekali berkat rawatan twaso, twako."
Bhe Coan tersenyum. "Ah, jangan sungkan, siauwte. Aku girang mendengar engkau sudah mendingan."
Demikianlah, semenjak saat itu, hampir setiap saat selagi Bhe Coan sibuk di bengkelnya membuat pedang, Hok Boan dan Leng Ci tidak pernah membuang kesempatan itu untuk bermain cinta, melakukan hubungan jina yang kotor itu. Mereka berenang dalam nafsu mereka, terseret oleh gelombang nafsu berahi yang memabokkan.
Memang demikianlah nafsu. Seperti api. Makin diberi umpan dan bahan bakar, makin berkobar. Seperti babi yang rakus. Makin diberi makan, makin kurang! Segala macam bentuk nafsu keinginan selalu demikian, makin dituruti keinginan itu, makin banyak yang didapatnya makin serakah. Seorang yang gila uang, makin banyak mendapat uang, makin serakahlah dia, tidak akan ada puasnya seolah-olah makin diberi minum makin haus. Seorang yang gila kekuasaan, gila kedudukan, gila nama dan sebagainya juga demikian. Makin dikejar nafsu keinginannya, makin banyak yang didapatkannya, makin kuranglah dia merasa! Sama pula dengan semua itu, nafsu berahipun demikian. Karena makin banyak dialami dalam pemuasannya, makin bertumpuk kenangan di dalam ingatan, makin kuat pula pendorong yang membuat orang ingin mengulanginya kembali, bahkan ingin mendapatkannya lebih banyak lagi.
Leng Ci dan Hok Boan yang sudah sekali terjun memasuki pengejaran kenikmatan melalui pelampiasan nafsu berahi, menjadi makin haus dan selalu ingin lebih banyak lagi memperoleh kesempatan untuk mengulanginya. Kini mereka seperti orang-orang yang kelaparan, bahkan kadang-kadang mereka lupa akan kewaspadaan. Kini mereka mulai berani saling bertemu di waktu malam, di waktu Bhe Coan tidur mendengkur dan diam-diam Leng Ci menyelinap meninggalkan kamarnya untuk menikmati kepuasan sejenak dengan kekasihnya di dalam kamar tamu itu, kemudian menyelinap kembali ke dalam kamar suaminya sambil mencebirkan bibirnya kepada tubuh suaminya yang tidur mendengkur!
Beberapa hari lewat dan bagi Bhe Coan, tamu yang dihormatinya itu masih beristirahat di kamar saja! Juga dia tidak menaruh curiga kalau di waktu malam, isterinya selalu menolak dia melakukah pendekatan dengan dalih lelah karena harus melayani makan dua orang ditambah merawat dan memasakkan obat untuk Hok Boan! Karena di situ terdapat tamu, maka Bhe Coan mengalah dan tidak mau ribut-ribut dengan isterinya.
Sementara itu, pedang yang dibuatnya sudah mulai mendekati kerampungannya. Sudah berbentuk pedang yang baik sekali. Pedang itu pedang pendek, sepanjang lengan Hok Boan, ringan dan indah bentuknya, seperti yang dipesan oleh sasterawan itu. Terbuat dari baja murni yang diperhitungkan dengan tepat waktu pembakarannya dan pembenamannya di dalam air. Dengan hati puas Bhe Coan menyentil ujung pedang dengan kuku jari tangannya dan terdengar suara berdencing nyaring! Tanda bahwa pedang itu memang hebat! Bentuknya sudah sempurna, hanya tinggal memperhalus dan memperindah gagangnya saja.
Dengan senyum di mulut Bhe Coan dengan girang membawa pedang itu ke kamar tamunya. Sekali ini, karena kegirangan dan tidak sabar untuk cepat-cepat memamerkan hasil karyanya kepada tamunya, dia masih tak berbaju dan melepas sepatu karena memang dia masih bekerja. Tiba-tiba, dia mendengar suara ketawa isterinya, ketawa cekikikan yang membuat dia terheran-heran! Itu hanyalah suara ketawa Leng Ci di waktu wanita itu bergurau di dalam kamar dengan dia!
Akan tetapi ketika dia tiba di depan pintu kamar yang terbuka, dia melihat Hok Boan masih rebah terlentang, dan Leng Ci cepat mengambil guci arak dan mangkok obat, meninggalkan kamar.
Wajah isterinya biasa saja dan ketika Bhe Coan memandang ke arah pembaringan, dia melihat pemuda itu masih tidur dengan dengkur halus! Ah, tak mungkin. Dia cepat keluar lagi dan mengejar isterinya.
"Leng Ci...!" panggilnya perlahan.
Isterinya berhenti dan memutar tubuh, memandangnya dengan heran. "Ada apakah"
"Tadi aku mendengar suara tertawa... seperti ketawamu. Apakah aku salah dengar"
Isterinya tersenyum. "Hi-hik, lucu! Ketika aku masuk mengambil mangkok. aku melihat Kwi-kongcu mengigau dan bernyanyi kecil, lalu tertawa-tawa. Aku, geli melihatnya, dan mungkin saja aku menahan ketawaku."
"Ahh..." Bhe Coan mengangguk dan pada saat itu terdengarlah suara dari dalam kamar tamunya
"Nah, kaudengar..." Leng Ci berkata lalu melanjutkan langkahnya pergi dari situ untuk mencuci mangkok.
Berindap-indap Bhe Coan mendatangi kamar itu, menjenguk dan benar saja. Dia melihat pemuda itu mengigau, kedua tangan bergerak-gerak dan mulutnya mengeluarkan nyanyian sumbang.
Peristiwa itu menghapus keheranan hati Bhe Coan. Akan tetapi, ada sesuatu yang mengganggu hatinya. Dia tadi mencium bau harum ketika menghentikan Leng Ci dan melihat betapa isterinya itu merias wajahnya dan memakai wangi-wangian. Padahal, biasanya di waktu pagi isterinya tidak pernah merias diri seperti itu apalagi memakai wangi-wangian. Dan anehnya pula, biarpun muka isterinya memakai bedak dan gincu, akan tetapi gincu di bibirnya agak rusak terhapus dan rambutnya yang disisir rapi itu agak awut-awutan di bagian dahinya. Dia belum menduga yang bukan-bukan, hanya merasa aneh dan heran saja.
Sore hari itu Bhe Coan berpamit dari isterinya dan juga Hok Boan untuk pergi ke kota yang berdekatan untuk membeli sarung pedang. Sarung pedang terbuat dari kayu dan di kota itu terdapat tukang kayu yang pandai dan yang biasa membuat sarung pedang atau senjata lain. Setelah pandai besi itu pergi, biarpun kepergiannya itu tidak akan lama, tetap saja merupakan peluang yang tidak disia-siakan oleh Hok Boan dan Leng Ci. Mereka bersenda-gurau dan bergumul dalam kamar, melampiaskan nafsu mereka yang tak kunjung padam dan tidak pernah mengenal kenyang itu.
Di kota kecil itu, secara kebetulan saja Bhe Coan bertemu dengan tukang obat yang sudah lama dikenalnya. Melihat Bhe Coan, tukang obat itu tersenyum lebar menyeringai dan mengacungkan telunjuknya ke arah muka pandai besi itu sambil berkata, "Hemm, orang she Bhe! Engkau makin tua makin muda saja hatimu, ya."
Bhe Coan memandang tukang obat itu dengan alis berkerut, "Eh, Lao Tung, apa maksudmu berkata demikian" Sudah lama tidak bertemu, sekarang sekali berjumpa kau mengatakan demikian. Apa maksudmu"
"Ha-ha-ha, pura-pura tidak tahu lagi! Dan masih berani menyuruh isterinya lagi yang membeli, tidak mau membeli sendiri, bahkan dengan dalih untuk mengobati orang sakit demam. Sakit demam" Ha-ha-ha, memang demam, demamnya orang yang berhati muda!" Orang itu tertawa lagi, membuat Bhe Coan makin penasaran.
"Lao Tung, jangan mempermainkan aku. Katakanlah, apa maksudmu" Isteriku memang membeli obat penyakit demam, apakah dia membeli darimu" Kalau begitu mengapa"
"Memang dia membeli obat dariku, akan tetapi menurut resep itu, ha-ha-ha, sama sekali bukan obat untuk penyakit demam!"
Bhe Coan teringat akan kata-kata isterinya ketika pulang dari membeli obat. Isterinya menyatakan bahwa penjual obat berkata tentang obat itu yang dianggapnya bukan obat penyakit demam panas akan tetapi tidak mau mengaku obat untuk apa.
"Lao Tung, kalau obat itu bukan untuk penyakit demam, lalu untuk apakah"
Dengan mulut masih menyeringai Lao Tung menjawab, "Benar-benar kau tidak tahu" Itu adalah obat perangsang, obat untuk membangkitkan gairah nafsu berahi, obat untuk orang-orang yang suka pelesir. Ha-ha-ha!"
Bhe Coan menjadi bengong. Dia meninggalkan tukang obat yang masih tertawa-tawa itu dan biarpun dia melanjutkan pergi mencari tukang kayu dan memesan sarung pedang namun hati dan pikirannya tidak karuan. Obat perangsang" Untuk apa" Kui Hok Boan membeli obat perangsang" Akan tetapi, dia melihat sendiri betapa sasterawan muda itu memang sakit. Wajahnya yang pucat, keringatnya yang bercucuran, badannya yang panas! Tidak mungkin semua itu pura-pura belaka. Dan mungkin saja obat yang dianggap obat perangsang oleh tukang obat itu memang merupakan obat penyembuhnya. Dia tidak tahu tentang obat-obatan. Dia sendiri tidak pernah minum obat. Tubuhnya selalu sehat. Akan tetapi sikap isterinya...! Mulailah kecurigaan dan kecemburuan menggerogoti hati dan pikirannya. Wajah isterinya kini selalu gembira, sepasang matanya bersinar-sinar. Anehnya, semenjak ada Kui Hok Boan, telah enam malam ini isterinya tidak pernah mau didekatinya di waktu malam. Seperti orang murung dan lelah, akan tetapi kalau siang kelihatan demikian penuh semangat dan kegembiraan. Ada apakah yang terjadi dengan isterinya" Dan isterinya demikian tekun merawat Hok Boan, sampai-sampai pernah heberapa kali isterinya terlupa mengirim minuman kepadanya!
Ketika tiba kembali ke rumahnya, Bhe Coan datang bersama seorang anak laki-laki tanggung berusia tiga belas tahun. Dia mendapatkan Hok Boan dan isterinya duduk di serambi depan. Melihat tamunya itu kini sudah keluar dari kamar dan kelihatan wajahnya kemerahan dan sehat, Bhe Coan tersenyum girang. "Ah, kiranya engkau sudah sembuh, Kui-siauwte!" katanya dan dia mengerling ke arah isterinya yang juga kelihatan berseri gembira wajahnya, dengan riasan muka yang baru sehingga wajah yang manis itu kelihatan makin cantik karena makin putih oleh bedak, rambutnya licin sekali, tentu baru saja disisir rapi, pakaiannya juga baru dan berbeda dengan malam tadi, agaknya isterinya baru saja berganti pakaian. Hal ini saja sudah aneh. Biasanya tidak demikian. Isterinya biasanya baru bergantl pakaian di sore hari.
"Terima kasih, twako. Sudah banyak baik, hanya masih tinggal lemas dan masih perlu minum obat untuk beberapa hari ini. Apakah pedang itu sudah selesai, twako"
"Sudah, tinggal memperhalus saja yang akan makan waktu dua hari sambil membuatkan hiasan sarung pedang yang kubeli ini. Mudah-mudahan dalam dua hari ini akan selesailah pesananmu, siauwte."
"Terima kasih, twako. Engkau baik sekali, dan twaso juga..."
"Eh, siapakah anak ini dah mengapa kauajak ke sini" tiba-tiba Leng Ci bertanya sambil menuding kepada anak laki-laki itu.
"Dia adalah anak tetangga di sudut dusun, kumintai bantuan untuk mendorong puputan api agar pekerjaan lebih lancar," jawab Bhe Coan singkat dan dia lalu mengajak anak itu masuk ke dalam bengkelnya. Tak lama kemudian terdengarlah dua orang itu sibuk bekerja di bengkel.
Mengingat bahwa waktu berada di rumah itu tinggal dua hari, Hok Boan dan Leng Ci makin menggila dalam hubungan perjinaan mereka. Agaknya mereka bersepakat untuk mempergunakan sisa waktu dua hari itu untuk menikmati hubungan mereka sekenyang-kenyangnya dan sepuas-puasnya. Mereka seperti tidak mengenal lelah dan karena mereka mengandalkan pendengaran mereka untuk merasa yakin bahwa Bhe Coan selalu sibuk dalam bengkelnya, maka mereka menjadi lengah dan lalai, kini mereka berdua bermain cinta di dalam kamar tanpa mengunci daun pintu!
Pada keesokan harinya pagi-pagi sekali Bhe Coan telah bekerja di bengkelnya, dibantu oleh anak itu dan terdengarlah suara berdencingnya palu baja menghantam pedang di landasan, nyaring dan tinggi rendah berirama. Sementara itu, di dalam kamamya, Hok Boan juga menyambut kedatangan Leng Ci yang kelihatan segar sehabis mandi. Begitu memasuki kamar pemuda itu, Leng Ci lari menghampiri dan menubruk pemuda itu, merangkul dan menangis!
"HEH, mengapa menangis, sayang" Hok Boan memeluk dan membelai rambut halus itu, mencium air mata yang membasahi pipi. "Tiada pertemuan tanpa perpisahan, dan kita masih mempunyai waktu sehari ini."
"Kongcu, aku tidak tahan untuk berpisah darimu. Besok... besok kaubawalah aku besertamu, kongcu..."
"Hemm, mana mungkin begitu, manis" Engkau adalah isteri Bhe-twako dan..."
"Aku tidak sudi lagi menjadi isterinya! Setelah aku menjadi milikmu, setelah aku menyerahkan diri lahir batin kepadamu, bagaimana aku dapat didekatinya, kongcu"
"Kau memang manis! Aku sungguh sayang padamu, Leng Ci."
"Kongcu... kaukasihanilah aku, bawalah aku besok..."
"Ssstt... bagaimana besok sajalah."
Leng Ci memang tidak dapat banyak cakap lagi karena dia sudah terbuai oleh belaian pemuda itu yang menariknya ke bawah selimut. Di luar terdengar suara berdencing yang berirama dan dua orang ini, yang sudah lupa segala, membiarkan saja pintu setengah terbuka. Yang berada dalam kamar sudah tenggelam lagi dalam lautan nafsu yang bergelora.
Bunyi suara berdencing yang berirama masih terdengar di luar kamar ketika Leng Ci rebah terlentang, kepalanya berbantalkan lengan kekasihnya yang membelai-belai rambutnya yang sudah terlepas dari sanggulnya.
"Kongcu..."
"Hemm..."
"Kalau kau tidak mau membawaku, aku ikan hidup seperti dalam neraka...!"
"Ah, jangan kau berkata demikian. Suamimu amat mencintaimu, Leng Ci."
"Akan tetapi aku tidak cinta padanya."
"Bukankah engkau sudah setahun lebih menjadi isterinya dan bukankah engkau menjadi isterinya secara sukarela"
"Ya... akan tetapi setelah bertemu denganmu..."
"Kau memang manis!" Hok Boan membalikkan tubuh wanita itu dan menarik mukanya, lalu mencium mukanya.
Mereka tidak tahu bahwa pada saat itu, Bhe Coan telah berdiri di pintu dengan pedang di tangan! Memang pandai besi ini sengaja menyuruh anak yang membantunya untuk membuat tapal kaki kuda dan karena itulah maka suara berdencing berirama itu masih terdengar terus. Akan tetapi dia sendiri meninggalkan bengkel, membawa pedang yang sudah jadi itu untuk diperlihatkan kepada Kui Hok Boan, juga sekalian ingin melihat apakah isterinya tidak melakukan sesuatu yang tidak selayaknya. Dapat dibayangkan betapa kaget, heran, marah dan malunya ketika dia melihat isterinya sedang berciuman dengan pemuda itu dalam keadaan setengah telanjang!
"Jahanam busuk kau orang she Kui!" bentaknya dengan kemarahan yang berkobar-kobar!
Leng Ci dan Hok Boan terkejut setengah mati dan mereka sudah bangkit duduk. Leng Ci menjadi pucat sekali wajahnya dan dia menggigil, lalu mencoba untuk menyembunyikan tubuhnya di balik punggung kekasihnya yang duduk dengan mata terbelalak memandang pandai besi yang telah berdiri di depan pembaringan itu. Telinganya masih jelas mendengar suara dencing berirama di luar kamar dan tahulah pemuda ini bahwa yang memukul-mukulkan palunya itu adalah anak yang membantu pandai besi itu! Betapa bodohnya! Mengapa dia tidak membedakan suara pukulan yang jauh lebih lemah itu!
Sejenak Bhe Coan terheran-heran melihat sikap sasterawan muda itu. Demikian tenangnya! Sama sekali tidak kelihatan takut, bahkan kini tersenyum! Kemarahannya memuncak karena kini terbayanglah olehnya betapa sasterawan muda ini sejak datangnya, sejak "sakit" itu tentu telah berjina dan bermain gila dengan isterinya! Pantas saja sejak pemuda ini menginap di rumahnya, isterinya tidak pernah mau melayaninya! Kiranya di waktu siangnya, dari pagi sampai petang, selagi dia bekerja setengah mati mengerjakan pedang pesanan sasterawan ini, isterinya berjina di dalam kamar ini dengan tamunya itu. Dan dia sudah menganggap tamunya sebagai keluarga sendiri!
"Bedebah, engkau layak mampus!" bentaknya dan tiba-tiba Bhe Coan menubruk ke depan menusukkan pedang yang selama sepekan ini digemblengnya itu ke arah dada Hok Boan.
Akan tetapi, gerakan yang amat cepat dan kuat itu dihadapi oleh Hok Boan seolah-olah tidak pernah ada bahaya yang mengancam dirinya. Setelah ujung pedang meluncur dekat, tiba-tiba dia meloncat turun dari atas pembaringan seperti seekor burung terbang saja ringannya.
Sesungguhnyag munculnya Kui Hok Boan di Pegunungan Khing-an-san bukanlah semata-mata karena dia ingin memesan pedang, melainkan ada hal lain yang lebih penting baginya. Dia telah mendengar berita di dunia kang-ouw bahwa di utara, di kaki Pegunungan Khing-an-san, terdapat dua tempat yang amat terkenal dan amat menyeramkan. Dua tempat itu adalah Padang Bangkai dan Lembah Naga. Menurut berita yang seperti dongeng itu, di kedua tempat ini tersimpan harta pusaka yang tak ternilai harganya. Bahkan kabarnya, di dalam sebuah istana kuno di Lembah Naga, terdapat barang-barang berharga peninggalan Raja Sabutai. Berita inilah yang menarik hati Kui Hok Boan dan ketika dia tiba di dusun Pek-hwa-cung, dia teringat akan nama Bhe Coan ahli pembuat pedang, maka dia singgah di situ dan memesan pedang sebelum dia mencari dua tempat yang amat menarik hatinya itu.
Berita itu datang dari para perajurit yang pernah menyerbu Lembah Naga bersama para pendekar sakti (baca cerita Dewi Maut). Akan tetapi tidak ada orang kang-ouw yang berani mencoba untuk mengunjungi tempat-tempat itu. Pertama karena memang tempat itu berada amat jauh dari tembok besar, ke dua karena mereka tidak percaya akan berita itu dan ke tiga karena mereka tahu bahwa tempat-tempat itu amat berbahaya sehingga tidak sepadanlah menempuh bahaya yang amat besar itu untuk mencari sesuatu yang masih belum tentu kebenarannya.
Akan tetapi Kui Hok Boan adalah seorang petualang yang hidup malang-melintang seorang diri saja di dunia ini. Dan terutama sekali kesenangannya akan wanita membuat dia senang saja berada di manapun, karena di manapun dia mengharapkan untuk bertemu dengan wanita yang berkenan di hatinya. Dan ternyata benar, di Pek-hwa-cung dia bertemu dengan Leng Ci yang membuatnya cukup merasa senang dan puas.
Istana Lembah Naga sesungguhnya adalah bekas markas besar yang dijadikan tempat tinggal oleh Raja Sabutai pada belasan atau puluhan tahun yang lalu. Kemudian markas atau benteng itu oleh Raja Sabutai dirombak menjadi istana dan diberikan kepada dua orang gurunya, yaitu kakek dan nenek iblis yang berjuluk Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li. Lembah itu berada di kaki Pegunungan Khing-an-san, tepat di tepi Sungai Loan-ho yang menikung di situ kemudian diikuti oleh tikungan-tikungan kecil. Dilihat dari atas, Bukit Khing-an-san, lembah itu kelihatan seperti seekor naga yang tubuhnya berliku-liku. Karena inilah maka lembah itu dinamakan orang Lembah Naga. Karena lembah ini berada di luar Tembok Besar, di daerah Mongol yang berbahaya, penuh dengan pegunungan tinggi dan luas, hutan-hutan yang lebat dan padang-padang rumput yang seperti lautan tidak bertepi, diselingi gurun-gurun pasir yang tandus, maka daerah ini merupakan daerah terasing karena jarang ada orang berani mengunjunginya, bahkan mendekatinya.
Jalan menuju ke Lembah Naga hanya ada satu, yaitu dari selatan, karena mendatanginya melalui arah lain tidaklah mungkin mengingat bahwa lembah itu terkurung oleh jurang-jurang yang luar biasa dalamnya. Dari selatan inipun bukanlah merupakan jalan yang mudah. Sama sekali tidak! Hanya jalan dari selatan ini saja kelihatannya mungkin dilalui manusia, sungguhpun dalam kenyataannya, jalan yang kelihatan mudah ini penuh dengan ancaman bahaya maut yang mengerikan.
Mengapa demikian" Karena jalan melalui selatan ini berarti melalui Padang Bangkai. Dari namanya yang menyeramkan itu saja sudah dapat diduga bahwa daerah itu amat berbahaya. Dan memang benarlah. Padang rumput yang luas itu demikian aneh keadaannya, sehingga banyak binatang yang terjebak dan mati di sekitar tempat itu, hanya tinggal tulang-tulangnya saja yang nampak dan karena seringnya orang melihat bangkai binatang, kadang-kadang juga manusia yang melakukan perjalanan lewat di tempat itu dan tersesat kemudian menjadi korban pula, bangkai-bangkai dan mayat berserakan di sekitar padang rumput, maka tempat itu dinamakan Padang Bangkai.
Memang berbahaya sekali daerah Padang Bangkai ini. Banyak sekali tempat-tempat yang kelihatan indah menyenangkan, kiranya menyembunyikan tangan maut yang amat kejam. Ada bagian yang kelihatannya seperti padang rumput biasa saja, dengan rumput-rumputnya yang hijau segar seperti beludru, akan tetapi bagi mereka yang sudah mengenal daerah ini, bagian yang rumputnya hijau segar tanpa mengenal musim itu, baik musim panas maupun di musim semi tetap hijau segar itu merupakan tempat maut yang mengerikan. Salah sangka membuat banyak manusia maupun binatang yang kebetulan lewat, terperosok ke tempat ini dan sekali kaki mereka terjeblos, sukar untuk menyelamatkan diri karena rumput hijau segar itu seolah-olah merupakan umpan atau perangkap yang kalau diinjak ternyata bawahnya merupakan lumpur lembut yang dapat menyedot apa saja dengan kekuatan yang tidak terukur besarnya. Lumpur lembut itu amat dalam dan sekali kaki menginjak, sukarlah ditarik kembali sampai akhirnya orang atau binatang yang terjebak itu ditelan habis ke dasarnya! Ada pula yang sebelum tertelan habis, dapat berpegang kepada rumput-rumput dan biarpun mereka itu tetap dapat mempertahankan sehingga tubuh atas mereka berada di luar, tetap saja orang atau binatang itu mati dengan separuh tubuh masih di luar. Apa yang terjadi" Tubuh bawah yang terhisap lumpur itu sebentar saja akan habis dihisap darahnya dan digerogoti dagingnya oleh binatang-binatang kecil semacam lintah dan lain-lain binatang yang hidup di dalam lumpur itu! Ada pula terdapat bagian yang rumputnya berwarna aneh, berwarna kebiruan dan ternyata bahwa rumput di bagian ini mengandung racun yang amat berbahaya. Sekali saja kaki atau bagian tubuh lain yang terluka terkena getah rumput ini, orangnya atau binatangnya tentu akan roboh dan tewas. Juga terdapat bagian yang rumputnya merupakan ilalang setinggi orang dewasa dan yang dapat menyesatkan karena luasnya dan karena lorong di antara ilalang tinggi ini berliku-liku, bercabang-cabang dan bentuknya sama semua, yaitu lorong setapak yang di kanan kirinya diapit-apit oleh ilalang tinggi. Orang dapat tersesat dan sampai berhari-hari tidak mampu keluar dari tempat ini. Tentu saja tempat ini amat berbahaya, belum lagi diingat akan banyaknya binatang-binatang buas yang menghuni tempat ini, bersembunyi di dalam rumpun ilalang yang tinggi lebar itu.
Dan di tengah-tengah perjalanan antara tempat-tempat berbahaya itu dengan Lembah Naga, terdapat sebuah dusun kecil yang dikelilingi air sungai. Air yang mengelilingi dusun ini sengaja dibuat Raja Sabutai dahulu, karena tempat ini merupakan semacam pintu gerbang maut untuk menghalangi musuh yang hendak menyerbu Lembah Naga. Air yang mengelilingi dusun itu dialirkan dari Sungai Luan-ho sehingga siapapun juga yang hendak pergi ke Lembah Naga tentu akan terhalang dan harus lebih dulu menyeberangi sungai itu dengan jembatan yang terdapat di situ, jembatan satu-satunya yang menghubungkan orang ke dusun kecil itu, kemudian menyeberangi lagi melalui jembatan kecil di belakang dusun. Jalan lain menuju ke Lembah Naga tidak ada lagi, karena kalau orang tidak mau melewati dusun itu, dia harus mengambil jalan melalui padang rumput hijau berlumpur di bawahnya yang berada di sebelah kiri dusun, atau melalui padang rumput beracun yang berada di sebelah kanan dusun.
Melanjutkan perjalanan dengan perahupun tidak mungkin, karena selain tidak nampak sebuahpun perahu di situ, juga andaikata ada orang membuat perahu dan menggunakannya untuk mengelilingi dusun, sebelum tiba di tempat tujuan tentu perahunya sudah akan digulingkan oleh mereka yang menjadi penghuni dusun itu.
Beberapa tahun yang lalu, ketika Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li masih tinggal di Istana Lembah Naga, Padang Bangkai menjadi tempat tinggal suami isteri golongan sesat yang terkenal dan berilmu tinggi, yaitu Ang-bin Siu-kwi dan isterinya Coa-tok Sian-li. Akan tetapi, kurang lebih tiga tahun yang lalu, ketika rombongan pendekar sakti menyerbu Lembah Naga, suami isteri ini bersama semua anak buah mereka telah terbasmi habis, dan seperti juga Lembah Naga, maka Padang Bangkai juga menjadi tempat kosong yang menyeramkan sekali.
Akan tetapi, semenjak kepala perampok Coa Lok yang berjuluk Sin-jio (Tumbak Sakti) dan anak buahnya menjadi penghuni Padang Bangkai, tempat itu mulai terawat lagi, akan tetapi kini menjadi makin menyeramkan karena selain keadaan yang berbahaya dari tempat itu masih ditambah lagi ancaman bahaya yang datang dari para perampok itu sendiri. Seperti telah diceritakan di bagian depan, ada anak buah perampok yang berani mencoba untuk menyerbu Istana Lembah Naga dengan akibat yang mencelakakan mereka karena lima orang telah tewas di tangan Liong Si Kwi, penghuni dan juga majikan yang baru dari Istana Lembah Naga. Kemudian Sin-jio Coa Lok sendiri yang memimpin anak buahnya menyerbu, akan tetapi diapun ditundukkan oleh Liong Si Kwi sehingga dia takluk dan menganggap wanita itu sebagai seorang yang patut dihormati.
Demikianlah, Coa Lok hidup di Padang Bangkai bersama anak buahnya yang berjumlah kurang lebih tiga puluh orang. Tentu saja mereka tidak dapat mengharapkan hasil di tempat seperti itu, dan mereka tidak pula mau mengganggu para penduduk Khing-an-san, karena selain hal ini amat berbahaya, juga penduduk dusun-dusun itu adalah petani-petani yang miskin. Bahkan mereka tidak berani mengganggu penduduk dusun-dusun yang lebih makmur seperti dusun Pek-hwa-cung dan lain-lain, karena mereka tahu bahwa di tempat-tempat itu terdapat banyak orang pandai, dan mereka tidak mau memancing kemarahan Raja Sabutai yang mempunyai pengaruh besar di sekitar tempat itu. Maka, para perampok ini hanya "mencari nafkah" dengan cara merampok para pedagang yang lewat di dekat tembok besar di perbatasan, atau di hutan-hutan yang dilewati oleh para pedagang yang keluar masuk daerah Propinsi Liao-ning. Jadi, Padang Bangkai itu hanya dijadikan sarang atau tempat sembunyi mereka saja.
Selama tinggal di Padang Bangkai, para perampok itu belum pernah melihat ada orang berani mendatangi sarang mereka. Apalagi mendatangi dusun yang mereka jadikan sarang itu, bahkan di sekitar daerah Padang Bangkai itu tidak pernah nampak seorangpun manusia kecuali mereka sendiri. Daerah itu memang merupakan daerah seram yang ditakuti, dan hal ini membuat para perampok itu merasa aman.
Akan tetapi pada suatu hari, pagi-pagi ketika matahari mulai menyinari bumi dengan cahaya keemasan, nampak seorang penunggang kuda datahg dari selatan. Ketika tiba di depan padang rumput yang luas itu, si penunggang kuda menghentikan kudanya dan memandang ke depan dengan penuh perhatian.
"Hemm, inilah agaknya yang dinamakan Padang Bangkai..." katanya seorang diri dan dia lalu turun dari atas kuda. Dibiarkan kudanya itu makan rumput di bawah pohon dan dia sendiri lalu meloncat naik ke atas pohon itu, mengintai jauh ke depan. "Bukan main luasnya," kata orang itu dan dia meloncat turun lagi, mengambil tempat air dari sela kuda dan sambil duduk di atas rumput, dia minum beberapa teguk air, menyimpan kembali tempat air dan mengusap peluhnya di leher dan dahi dengan ujung lengan bajunya yang lebar.
Orang ini bukan lain Kui Hok Boan. Setelah dia melarikan diri dari dusun Pek-hwa-cung di mana dia meninggalkan mayat Bhe Coan dan isterinya di kamar rumah mereka, pemuda sasterawan ini membalapkan kudanya, meninggalkan dusun itu dan langsung dia menuju ke Lembah Naga di kaki Pegunungan Khing-an-san. Sebelum dia menuju ke utara, dia memang telah menyelidiki dan mempelajari keadaan Lembah Naga yang didengarnya dari penuturan beberapa orang anggauta pasukan tentara kerajaan yahg pernah melakukan penyerbuan ke Lembah Naga (baca cerita Dewi Maut). Dari para anggauta pasukan ini dia mendengar gambaran yang cukup jelas tentang Padang Bangkai dan Lembah Naga serta tempat-tempat yang berbahaya di sekitar Padang Bangkai.


Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dia tidak mau tergesa-gesa dan tidak mau bertindak ceroboh. Hok Boan adalah seorang yang selalu berhati-hati dan cerdik sekali. Dari atas pohon tadi dia mendapat kenyataan bahwa dia telah melalui jalan yang benar seperti yang digambarkan oleh anggauta pasukan yang pernah datang ke tempat ini. Memang mengerikan keadaannya. Dari atas pohon nampak sinar matahari menimpa padang rumput yang luas dan terdapat bermacam-macam warna di sepanjang padang yang luas itu.
"Ada lorong kecil menujd ke selatan. Lorong itu tidak berbahaya. Akan tetapi setelah lorong itu berhenti dan habis, tempat itu disambung dengan padang-padang rumput yang hanya mempunyai lorong-lorong setapak. Itulah tempat-tempat yang berbahaya dan jangan sembarangan memasuki lorong setapak ini tanpa lebih dulu mengetahui keadaannya." Demikian antara lain penuturan anggauta pasukan kerajaan itu.
Setelah membiarkan kudanya makan rumput dan beristirahat, Hok Boan lalu meloncat naik lagi ke atas punggung kudanya dan menjalankan kudanya melewati lorong kecil yang menuju ke selatan itu. Matanya selalu awas memandang ke kanan kiri yang mulai penuh dengan rumpun ilalang, juga dia awas melihat ke depan, siap menghadapi bahaya yang mungkin datang dari manapun, sungguhpun tempat itu amat sunyi dan agaknya merupakan tempat yang aman.
Ketika matahari telah naik tinggi, tibalah dia ujung jalan kecil itu. Di depannya kini terbentang luas rumput hijau, diselang-seling dengan rumput-rumput yang lain warnanya, ada yang merah, ada yang kebiruan dengan bentuk yang aneh-aneh. Hok Boan tidak turun dari kudanya, akan tetapi dengan hati ngeri dia memandang ke arah rumput-rumput hijau segar itu. Dia mendengar penuturan anggauta pasukan itu bahwa di bawah rumput hijau segar ini bersembunyi tangan maut berupa lumpur yang dapat menghisap dan yang di dalamnya menanti binatang-binatang kecil yang suka menghisap darah dan menggerogoti daging! Mengerikan! Akan tetapi, melihat rumput-rumput hijau segar itu, sukar untuk dapat mempercaya cerita itu.
"Lebih baik menempuh bahaya diserang ular dan binatang buas," pikirnya. Dia mendengar bahwa ilalang kuning di sebelah kiri, di mana terdapat pula jalan setapak, akan membawa orang ke padang ilaiang yang tingginya seperti manusia dewasa di mana terdapat banyak ular dan binatang lain.
Tadi Hok Boan telah mematahkan cabang pohon dan kini tangannya sudah memegang sebatang tongkat panjang seperti toya, kemudian dia menggerakkan kudanya memasuki lorong setapak di antara rumput-rumput kuning itu. Kudanya bergerak perlahan memasuki lorong itu dan benar saja, makin lama lorong itu makin menurun agaknya karena rumput-rumput itu menjadi makin tinggi, ataukah rumput ilalang yang tumbuh di kanan kiri sudah setinggi paha kudanya.
Kuda yang ditunggangi Hok Boan maju terus. Tiba-tiba kuda itu berhenti melangkah, lalu meringkik keras dan mengangkat kedua kaki depan ke atas, terdengar bunyi berkerosakan disusul oleh suara salak anjing dari jauh. Hok Boan terkejut, akan tetapi dia sudah siap dengan tongkatnya. Tak lama kemudian, muncullah delapan ekor anjing liar yang menyerang dari depan, kanan dan kiri. Akan tetapi, Hok Boan sudah siap dengan tongkatnya dan beberapa kali tongkatnya bergerak memukul. Setiap gerakannya tentu meremukkan kepala seekor anjing sehingga tak lama kemudian, bangkai delapan anjing liar itu berserakan di tempat itu.
Akan tetapi kuda itu menggigil, agaknya ketakutan. Ketika Hok Boan memaksanya untuk maju, kuda itu meringkik dan maju perlahan-lahan. Kini mereka tiba di lorong setapak yang memisahkan antara rumput ilalang tinggi dan rumput hijau segar yang berada sebelah kiri. Hok Boan menjaga benar-benar agar kudanya tidak makan rumput itu atau menginjak bagian kiri. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara mendesis-desis dan berkerosakan. Ilalang itu bergoyang-goyang dan kudanya kini makin ketakutan, meringkik-ringkik ganas, mendengus-dengus. Kembali Hok Boan mempersiapkan tongkatnya dan ketika dia melihat muncuinya ular-ular yang datang menyerang, dia memutar tongkatnya itu, memukul remuk kepala beberapa ekor ular yang datang dekat. Akan tetapi, kuda itu menjadi ketakutan, tiba-tiba meringkik dan meloncat ke kiri, jauh sekali, ke arah padang rumput hijau.
"Blessss...!" Begitu empat buah kaki kuda itu tiba di atas tanah berumput hijau, seketika kaki itu amblas ke bawah sampai seperut kuda! Hok Boan terkejut bukan main, namun dia memang cerdik. Dia tidak menjadi gugup dan masih ingat untuk tidak meloncat turun. Tahulah dia bahwa kudanya telah terperosok ke dalam lumpur maut yang menghisap dari bawah. Kuda itu tidak akan dapat tertolong lagi. Maka dia lalu menggunakan kuda itu sebagai batu loncatan, meloncat ke kanan dan tiba di lorong setapak tadi. Dia mendengar kudanya meringkik-ringkik dan mendengus-dengus. Ketika dia menoleh dan memandang, bulu tengkuknya meremang. Mengerikan sekali memang. Kuda itu tenggelam makin dalam, kini tubuhnya sudah tenggelam semua, tinggal leher dan kepalanya, matanya terbelalak, hidungnya mendengus-dengus, mulutnya berbusa. Bagian tubuh yang tinggal inipun tidak lama karena leher dan kepalanya segera terbenam pula dan tidak nampak lagi bekas-bekasnya. Rumput hijau itu sudah menjadi rata kembali seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa.
Hok Boan menjadi marah sekali. Dengan menggunakan pedangnya dan batu yang terdapat di situ, dia membuat api dan membakar padang ilalang yang penuh dengan ular-ular tadi. Api berkobar dan menjalar, membakar seluruh padang ilalang itu!
Hok Boan sendiri menjauh, kembali ke tempat tadi karena dia merasa terlalu berbahaya untuk melanjutkan perjalanan. Biar tempat berbahaya itu habis terbakar lebih dulu sebelum dia melanjutkan perjalanan, pikirnya. Untung ketika dia meloncat dari atas kudanya tadi, dia tidak lupa untuk menyambar bungkusannya yang terisi pakaian dan bekal makanan. Kini, dia duduk memandang padang ilalang yang terbakar itu sambil menggerogoti roti kering. Benar juga penuturan anggauta pasukan kerajaan itu. Melakukan perjalanan menuju ke Lembah Naga akan melalui tempat-tempat berbahaya dan sampai berhari-hari tidak akan bertemu dengan dusun, maka sebaiknya membawa bekal makanan. Kalau dia tidak membawa bekal roti kering, dia bisa kelaparan.
Kebakaran di Padang Bangkai itu hebat sekali. Padang ilalang itu penuh dengan ilalang kering dan sudah berbulan-bulan ini tidak turun hujan, maka tentu saja api yang mengamuk itu memperoleh bahan bakar secukupnya sehingga api berkobar-kobar membasmi seluruh padang ilalang itu selama sehari semalam!
Pada hari ke dua, setelah api kehabisan makanan dan mulai padam, meninggalkan puing, abu dan asap, muncullah serombongan orang dari Padang Bangkai, memeriksa keluar dan sampai di tempat yang kebakaran itu. Mereka ini adalah Sin-jio Coa Lok bersama tiga puluh orang anak buahnya. Ketika api sedang mengamuk, mereka ini tidak dapat berbuat apa-apa, hanya menonton saja ketika api mengamuk hebat, merobah padang ilalang itu menjadi lautan api. Akan tetapi setelah api mulai padam, mereka lalu keluar dari sarang mereka untuk mengadakan pemeriksaan dan untuk menyelidiki apa yang menyebabkan kebakaran itu karena sepanjang pengetahuan mereka, tidak pernah ada orang berani mendekati daerah Padang Bangkai, apalagi melakukan pembakaran.
Akan tetapi sekali ini mereka keliru dan memandang dengan penuh keheranan ketika mereka melihat seorang laki-laki muda berpakaian sasterawan duduk melenggut di bawah pohon. Melihat ada seorang asing di daerah ini, mereka bukan hanya merasa heran, akan tetapi juga curiga sekali. Andaikata bukan orang ini yang melakukan pembakaran, tentu orang ini melihat siapa yang melakukannya, maka atas isyarat tangan kepala perampok itu, gerombolan ini lalu menghampiri pohon di mana laki-laki itu duduk di bawahnya dan mengurung pohon itu.
Laki-laki itu adalah Kui Hok Boan. Tentu saja dia tahu ketika ada segerombolan orang kasar itu muncul dari Padang Bangkai. Mula-mula dia merasa heran bukan main, juga terkejut karena menurut keterangan yang diperolehnya dari angauta pasukan kota raja itu, bahwa Padang Bangkai maupun Lembah Naga kini merupakan tempat berbahaya yang kosong karena penghuninya telah dibasmi oleh para pendekar yang memimpin pasukan kerajaan. Bagaimana kini tahu-tahu muncul segerombolan orang itu" Dari gerak-gerik mereka, Kui Hok Boan, yang sudah banyak pengalamannya di dunia kang-ouw itu sudah dapat menduga bahwa mereka adalah gerombolan penjahat, setidaknya orang-orang yang kasar, yang hanya mengandalkan tenaga dan kekerasan untuk memaksakan kemauan dan keinginan mereka kepada orang-orang lain. Dan melihat laki-laki berusia empat puluhan tahun yang memegang sebatang tombak panjang itu, yang berjalan di muka dan memberi isyarat dengan tangan, dia dapat menduga pula bahwa laki-laki itu tentulah yang menjadi kepala dari gerombolan itu.
Hok Boan bersikap tenang saja, malah ketika mereka melihatnya dan menghampiri dari jauh, dia sudah duduk melenggut di bawah pohon, seolah-olah tidak melihat kedatangan mereka. Akan tetapi tentu saja seluruh urat syaraf di tubuhnya telah siap siaga. Pedangnya dia sembunyikan di bawah buntalan pakaian sedangkan tongkat ranting pohon itu menggeletak di dekatnya.
"Hemm, sungguh aneh, di tempat seperti ini ada seorang sasterawan kesasar!" kata Coa Lok sambil meraba dagunya, "Hai, kutu buku, bangunlah!"
Akan tetapi Hok Boan masih pura-pura tidur. Dia ingin melihat apa yang akan diperbuat oleh orang-orang ini sehingga dari perbuatan mereka, dia sudah dapat menilai orang-orang macam apa adanya mereka. Ketika melihat bahwa sasterawan muda itu masih enak saja melenggut, seorang anak buah perampok menjadi penasaran dan menghampiri, memegang pundak Hok Boan dan mengguncangnya dengan kasar dan kuat-kuat. Tubuh Hok Boan tergoncang-goncang keras.
"Heh, babi malas! Tai-ong kami menegurmu! Bangun!"
Kui Hok Boan gelagapan, menggosok-gosok matanya, lalu bangkit duduk. Di depannya berdiri Coa Lok yang bermuka kekuning-kuningan dan yang memegang tombak panjang. Tombak itu dipegang dengan tangan dan berdiri di depannya. Sikap kepala perampok ini tidaklah begitu kasar dan buas, tidak seperti tiga puluh orang anak buahnya yang memandang dengan mulut menyeringai dan sinar mata buas.
"Ah, siapakah kalian" Dari mana kalian datang" Hok Boan bertanya dan bangkit berdiri tanpa mengambil buntalan, pedangnya maupun kayu ranting itu.
Melihat sikap orang muda itu, Sin-jio Coa Lok yang mengira bahwa pemuda itu tentu seorang sasterawan yang suka melancong dan kesasar di tempat itu, bersikap lunak dan berkata, "Orang muda, apakah engkau tidak tahu bahwa engkau berada di daerah Padang Bangkai"
Hok Boan pura-pura terkejut. "Padang Bangkai" Betapa menyeramkan nama itu!"
"Ha-ha-ha, dan engkau akan menjadi bangkai pula di sini, kutu busuk!" terdengar seorang anak buah perampok mengejek dan terdengar suara ketawa di sana-sini.
"Orang muda, ketahuilah bahwa kami adalah penghuni-penghuni Padang Bangkai. Engkau telah memasuki wilayah kekuasaan kami. Siapakah engkau" Coa Lok bertanya.
"Namaku adalah Kui Hok Boan."
"Bagaimana engkau bisa datang ke tempat ini"
"Bagaimana" Dengan berkuda, melalui padang ilalang itu. Akan tetapi segerombolan anjing liar menyerangku dan untung aku dapat mengusir mereka. Ketika segerombolan ular datang menyerang, kudaku terkejut dan meloncat ke padang rumput hijau, terbenam dan tewas. Aku mendongkol sekali dan kubakar padang ilalang itu."
"Setan alas!"
"Keparat jahanam!"
"Jadi kutu buku ini yang membakarnya!"
Tiga puluh orang itu sudah mengepung dengan sikap mengancam, akan tetapi Coa Lok mengangkat tangan kiri ke atas dan mengisyaratkan anak buahnya untuk mundur. Dia melihat sesuatu yang aneh dan mengherankan. Bagaimana sasterawan muda yang kelihatan lemah ini mampu mengusir gerombolan anjing liar yang amat galak dan buas itu" Dan setelah kudanya terbenam ke dalam lumpur maut, bagaimana sasterawan ini masih mampu menyelamatkan diri" Tentu orang ini bukanlah seorang sasterawan biasa yang lemah!
"Kui Hok Boan, engkau telah lancang tangan membakar padang ilalang. Apa maksudmu datang ke sini" Coa Lok membentak lagi.
"Aku membakar padang ilalang itu karena padang itu membikin buruk tempat ini, membuat tempat ini merupakan tempat yang tersembunyi dan terputus dari dunia luar. Dan maksud kedatanganku ke sini" Aku hendak pergi ke Padang Bangkai dan Lembah Naga."
Sejenak suasana menjadi sunyi ketika pemuda ini menjawab seperti itu, lalu menjadi berisik karena anak buah perampok saling bicara sendiri. Akhirnya Coa Lok mengangkat tangan menyuruh mereka diam. Dia, memandang kepada pemuda sasterawan itu penuh perhatian, lalu berkata, suaranya mengandung kemarahan. "Orang muda she Kui, jangan kau main-main! Padang Bangkai adalah daerah kekuasaan kami, seorangpun tidak boleh memasukinya, dan Lembah Naga adalah daerah terlarang bagi siapapun juga. Katakan, apa sebetulnya kehendakmu"
Kini Hok Boan tersenyum lebar dan memandang kepala perampok itu."Engkau masih belum tahu" Aku datang untuk menaklukkan Padang Bangkai dan Lembah Naga!"
Terdengar suara ketawa bergelak ketika para perampok mendengar jawaban ini. Bahkan Coa Lok sendiri tersenyum masam. "Orang muda, agaknya engkau telah menjadi gila!" katanya.
"Tai-ong, serahkan kepadaku untuk menyembelih anjing ini yang telah berani membakar padang ilalang!" kata seorang anggauta perampok yang bertubuh tinggi besar dan bermuka brewok sehingga nampaknya menyeramkan sekali. Orang ini terkenal dengan tenaganya yang besar dan disegani di antara kawan-kawannya. Karena merasa bahwa orang muda berpakaian sasterawan ini memang keterlaluan, apalagi telah bersalah membakar padang ilalang yang merupakan pelindung bagi Padang Bangkai, Coa Lok mengangguk memberi ijin. Semua orang mundur untuk memberi ruang kepada si brewok yang hendak menyembelih sasterawan itu.
Si brewok tinggi besar kini melangkah maju sambil menyeringai. Tangan kanannya memegang sebatang golok besar yang tajam mengkilap. Matanya yang lebar itu terbelalak penuh ancaman, dan hidungnya mendengus-dengus, dia seperti seekor harimau kelaparan haus darah dan agaknya tugas membunuh orang ini mendatangkan ketegangan yang menggembirakan hatinya!
Tentu saja Kui Hok Boan tidak merasa takut sama sekali. Dia berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar, kedua tangan di pinggang dan berkata mengejek, "Heh, babi gemuk, bukan aku yang akan menjadi korban golok pemotong babimu itu, melainkan engkau sendiri!"
Dimaki babi gemuk, si brewok itu menjadi marah, apalagi karena beberapa orang kawan-kawannya tertawa mendengar ini. "Anjing kurus! Kau berani memaki aku" Huh, terlalu enak kalau kau disembelih begitu saja! Aku akan merobek-robek seluruh tubuhmu dengan kedua tanganku ini saja!"
"Cappp!" Dia membanting goloknya ke bawah dan golok itu menancap di atas tanah sampai setengahnya, gagangnya bergoyang-goyang saking kerasnya bantingan itu.
"Bagus! Dengan melepaskan golok, berarti engkau menyelamatkan nyawamu sendiri, babi gemuk," Hok Boan berkata dan ketika si brewok itu menerjangnya dengan kedua lengan dikembangkan seperti biruang besar, tiba-tiba pemuda sasterawan itu menggerakkan kedua kakinya dan si brewok menjadi bingung karena pemuda itu tiba-tiba saja lenyap dari depannya! Akan tetapi para anak buah perampok terkejut karena mereka melihat betapa tubuh sasterawan muda itu seperti seekor burung saja tadi telah melayang melalui atas kepala si brewok dan kini telah hinggap dengan kaki kirinya di atas gagang golok yang menancap di atas tanah itu! Gagang golok itu masih bergoyang-goyang dan tubuh si sasterawan juga ikut bergoyang-goyang, akan tetapi dia masih bertolak pinggang dengan kedua tangannya sedangkan kaki kanannya diangkat ke lututnya!
Musuh Dalam Selimut 2 Badai Laut Selatan Karya Kho Ping Hoo Sepasang Pedang Iblis 4

Cari Blog Ini