Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar ( Bwee Hoa Kiam Hiap ) Karya Liong Pei Yen Bagian 22
dan ibu, begitu pula Lie Siauw Hiong yang juga amat sibuk
mencari pada Thio Ceng, hingga mereka terpaksa
berpisahan dengan Bwee San Bin dan lalu berpencar untuk
mencari kekasih masing-masing.
Kemudian dengan mengikuti petunjuk yang diberikan
oleh Siauw Hu, Leng Hong lalu menuju kejalan sebelah
barat, dalam perjalanan mana dengan hati berdebar-debar ia
berpikir: "Bila Ah Lan dengan secara sekonyong-konyong
mengetahui bahwa aku telah dapat berhasil mencari
jejaknya, entahlah bagaimana girangnya. Sekarang Hui Cie
sudah menutur jelas tentang perhubungannya satu sama
lain, dia pasti tidak lagi akan membenciku. Dan bila dia
mengetahui bahwa twakonya dengan susah payah sudah
berhasil mendapatkan buah 'Hiat-ko' untuknya dan dapat
menyembuhkan kembali matanya, dia pasti akan merasa
terharu dan bersyukur sekali terhadapku."
Akhirnya diapun mendapatkan rumah yang diterangkan
oleh Siauw Hu, dan setelah tiba dihadapan pintu rumah
tersebut, dengan perlahan dia mengetuk pintu tersebut dua
kali, kemudian pintu tersebut dibuka oleh seorang anak lakilaki kecil. "Lan Kho-nio apakah ada didalam?" Leng Hong
bertanya. Bocah cilik tersebut adalah Siauw Ie. Mula-mula ia
pandang Leng Hong sejenak, sudah itu barulah ia
mempersilahkannya masuk keruangan tamu, sedangkan ia
sendiri lalu masuk kedalam untuk melaporkan kepada
majikannya. Leng Hong dengan matanya yang tajam lalu memandang pada keadaan sekeliling rumah tersebut, yang
ternyata segala perlengkapannya sangat mewah, hingga
dalam hatinya ia merasa terheran-heran dan berpikir:
"Siauw Ie belum menerangkan Ah Lan sebenarnya tinggal
dirumah siapa, tapi dengan menilik keadaan sekelilingnya,
teranglah sudah, bahwa pemilik rumah ini pastilah seorang
yang berada."
Setelah menunggu setengah harian dan tidak menampak
Ah Lan keluar menyambut kedatangannya, hati Leng Hong
mulai merasa tidak tenteram, tapi ketika baru saja dia
hendak berdiri dan menyelidiki, sekonyong-konyong tirai
pintu terkuak dan dari dalam segera keluar seorang gadis
yang berwajah amat cantik.
Ternyata Ah Lan setelah menerima laporan dari Siauw
Ie, diapun mengetahui bahwa Leng Hong sudah datang,
hingga dia sekali-kali tidak menyangka akan kejadian dapat
berlangsung sedemikian sekonyong-konyongnya. Biasanya
setiap hari ia berharap-harap agar supaya Leng Hong
datang mencarinya, tapi setelah saatnya tiba, hatinya
menjadi ragu-ragu, seakan-akan anak kecil yang bersalah
takut menjumpai orang tuanya.
Akhirnya ia telah mengambil keputusan dan berkata
pada diri sendiri: "Didunia ini masakah perkara yang
ditakuti melebihi daripada kematian" Terhadap kematian
aku masih tidak takuti, apa lagi terhadap perkara ini?" Oleh
karena itu, barulah dia keluar menjumpai kekasihnya.
Muka tersebut yang sukar dilupakan oleh Leng Hong,
begitu muncul dihadapannya, menyebabkan ia diam
terpaku, sehingga tak dapat ia mengeluarkan sepatah
katapun. Setelah menetapkan semangatnya dan maju dua langkah,
dengan perasaan terharu sipemuda telah menyapa: "Ah
Lan, aku .. aku .. akhirnya .. dapat juga mencarimu."
Ah Lan lalu menjatuhkan dirinya dalam pelukan
kekasihnya, dan dengan tangis terisak-isak ia berkata:
"Akhirnya twako dating juga! Setiap hari aku mengharapkan kedatanganmu, dan kini .. ternyata engkau
datang juga keharibaanku."
Airmata Leng Hong mengucur tanpa terasa pula, ketika
is menjawab: "Ah Lan, sudahlah, engkau jangan menangis.
Hapuslah airmatamu itu, karena pada saat ini sudah
sepatutnya kita bergembira. Lagi pula aku kini membawa
satu barang untukmu, yang kau pasti akan menyambutnya
dengan perasaan girang."
Ah Lan setelah puas menangis, barulah perasaannyapun
menjadi tenang kembali. Sudah itu ia berkata pada dirinya
sendiri: "Hari ini adalah untuk penghabisan kalinya aku
menjumpai twako, sesudah itu, twako untuk selamalamanya tidak akan menjumpaiku lagi. Ya, benar, aku
harus menggembirakannya, barulah cara itu dapat
dibenarkan."
Setelah menyusut airmatanya, dengan suara yang lemah
lembut ia bertanya: "Twako, selama ini kau pergi kemana
saja" Apakah sakit hati orang tuamu sudah kau balaskan?"
Leng Hong ketika mendengar sinona membuka mulut
menanyakan tentang soal sakit hatinya, sedangkan terhadap
usaha mencari buah 'Hiat-ko' tidak disinggung-singgung
olehnya, hatinya jadi merasa sangat terharu dan iapun
segera menjawab: "Selama setengah tahun ini aku telah
mengalami peristiwa-peristiwa yang menyeramkan serta
menegakkan bulu roma, begitu pula kejadian-kejadian yang
lucu-lucupun aku telah merasakannya juga, hal mana
baiklah akan kukisahkan perlahan-lahan nanti. Pada
sebulan yang lampau, aku bersama Hiong-tee telah pergi
kegunung Ngo-hoa-san, dimana kami berdua telah
melawan musuh kita yang berjumlah empat orang tapi
keempat lawan itu telah kami kalahkan sehingga lari
tunggang langgang, dengan dua orang antaranya .. Cek
Yang Tojin dari Bu-tong dan Li Gok dari Kong-tong .. telah
dapat kita binasakan. Tempo hari mereka berempat dengan
bersatu padu telah mengurung serta berhasil membinasakan
ayahku, tapi sepuluh tahun kemudian merekapun terbinasa
pula dalam tangan kita!"
Sekalipun hatinya merasa pilu, tapi ketika mendengar
sakit hati kekasihnya sudah terbalas himpas, dengan
bersemangat ia memuji sambil berkata: "Twako, sungguh
tepat sekali kau bunuh orang itu!"
Kemudian Leng Hong lalu bertanya: "Ah Lan, twanio
mana?" Mengutik soal Twanio, tanpa dapat ditahan lagi airmata
Ah Lan mengucur turun dengan amat derasnya, ia terisakisak dan menjawab: "Ibuku telah terbawa oleh banjir entah
kemana parannya .."
Lalu dia ceritakan tentang keadaan banjir tempo hari
kepada Leng Hong.
Dengan suara lemah-lembut sipemuda lalu menasihatinya: "Ah Lan, hal itu tidak mungkin terjadi,
Tuhan selalu melindungi orang baik, Twanio pasti tertolong
dari kecelakaan sehingga memperoleh keselamatan." Sudah
itu, Leng Hong melanjutkan bicaranya: "Ah Lan, coba kau
terka, barang apakah yang kubawa ini untukmu?"
Setelah berpikir sebentar, Ah Lan gelengkan kepala dan
menjawab: "Tak dapat kuterka."
Leng Hong berkata pula: "Sekarang ini barang apakah
yang paling kau harapkan?"
Ah Lan menjawab: "Asal kau dan ibu selamat, aku
masih ingin mengharapkan apa lagi" Tuhan selalu
membenci pada orang yang tamak, lebih-lebih jika aku
memohon sesuatu yang melampaui batas, yang pasti sekali
akan mengecewakannya."
Dari dalam saku didadanya, Leng Hong segera
mengeluarkan dua buah peles, yang satu adalah cairan obat
yang ribuan tahun tuanya, sedangkan yang lainnya adalah
memuat 'Hiat-ko'.
Dengan suara yang lemah-lembut Leng Hong berkata:
"Ah Lan, telah kukatakan bahwa aku akan mencarikan
buah 'Hiat-ko' untukmu, agar supaya matamu dapat
disembuhkan. Sekarang ternyata Tuhan tidak mengecewakan pengharapanku, karena aku telah berhasil
menemukan barang yang kucari itu. Mari, akan kubantu
engkau menyembuhkan matamu itu."
Mendengar perkataan sipemuda, Ah Lan merasa
gembira bukan buatan, tetapi perasaan gembira itu hanya
untuk sekejap saja lamanya, karena ia telah berbalik pikir:
"Waktu lewat seperempat jam, itulah berarti bahwa
pertemuanku dengan twako tambah pendek seperapat jam.
Untuk apakah aku disembuhkan mataku, jika itu takkan
berguna lagi bagiku?" Lalu dia menjawab: "Baiklah kita
bercakap-cakap mengenai hal yang lainnya saja yang
mengenai soal menyembuhkan mataku, tak perlu kita
tergesa-gesa."
Leng Hong yang melihat kekasihnya tenang luar biasa,
dengan rasa terharu lalu berkata: "Cu Hu Cu pernah
mengatakan, bahwa jika kau makan buah mustajab ini,
dalam waktu tiga jam pasti akan terbukti kemanjurannya.
Apa lagi sekarang ada cairan obat yang ribuan tahun
tuanya, oleh karena itu, lekaslah engkau makan cairan obat
ini." Ah Lan karena tidak mau menyusahkan hatinya, segera
menyambuti peles itu yang lalu diminumnya dengan hanya
sekali tegukan saja.
Sudah itu, Leng Hong lalu minta secangkir air, yang lalu
diteteskannya cairan obat yang ribuan tahun tuanya itu,
akan kemudian dengan menggunakan lap yang bersih dia
mencuci mata Ah Lan. Setelah selesai mencuci bersih mata
nona itu, segera juga ia membungkus sepasang mata
kekasihnya sambil berkata dengan girang: "Setelah lewat
tiga jam, bila aku membuka tutup matamu ini, kau pasti
akan dapat melihat kembali terangnya dunia ini."
Ah Lan dengan perasaan terharu lalu berkata: "Twako,
aku mengucapkan terima kasih kepadamu."
Leng Hong segera berkata: "Ah Lan, sekarang lekaslah
kau beristirahat."
Sambil menggelengkan kepalanya, Ah Lan lalu
menjawab: "Tidak, twako, aku ingin mendengar dahulu
ceritamu."
Leng Hong tidak berdaya dan lalu memilih beberapa
peristiwa lucu yang telah dialaminya selama setengah tahun
itu, dan tatkala Leng Hong bercerita sampai pada bagian
yang menggembirakan, Ah Lan hanya tersenyum dan
mendengari dengan roman yang tenang, tapi waktu ia
mendengar kesulitan-kesulitannya sehingga kekasihnya
berhasil mencari buah 'Hiat-ko' untuknya, tidak terasa lagi,
airmatanya jatuh berderai-derai.
Leng Hong lalu berkata pula: "Sekarang kesedihan itu
sudah lampau, sakit hatiku sudah terbalas. Ah Lan,
sekarang marilah kita pulang kembali kekampung halaman
kita, dimana kita dapat menanam padi dan bunga, agar
supaya kita dapat hidup bahagia dan tanpa berpisahan pula
untuk selama-lamanya."
Ah Lan tersenyum mendengar perkataan sipemuda,
hingga dalam senyumnya terkandung suatu perasaan yang
sukar diduga, sedangkan matanya sudah berkaca-kaca oleh
airmata. Sebaliknya Leng Hong sendiri dengan semangat yang
bergolak-golak, ia tidak sempat memperhatikan wajah
kekasihnya dan hanya berkata: "Baiklah kita mencari
twanio terlehih dahulu, aku ingin sekali akan dapat
membalas budi kebaikan twanio. Rumah kita yang dahulu
pasti sudah terlanda banjir sehingga musnah, tetapi itu tidak
mengapa, kita dapat pindah dan menetap dibawah kaki
gunung, dimana kita dapat membangun kembali rumah
kita. Dengan demikian, kita dapat sering-sering mengunjungi In Yaya. Ah Lan, In Yaya sangat
menyayangimu, dia memesan untuk mengajakmu kepadanya. Benar, disana masih terdapat pohon jeruk yang
baik, buahnya besar-besar lagi manis, kau pasti merasa
senang untuk makan buah itu."
Sekonyong-konyong Ah Lan rasakan matanya gatalgatal, lalu dia ulurkan tangannya hendak membuka kain
penutup matanya itu.
Leng Hong segera menghalanginya sambil bertanya:
"Kau merasa bagaimanakah?"
Ah Lan menjawab: "Aku rasakan mataku sangat gatal."
Leng Hong dengan girang lalu berkata: "Berhasil,
berhasil! Tidak disangka bahwa khasiat obat cairan ini
manjur luar biasa. Ah Lan, tenanglah, biarlah aku yang
membuka tutup matamu itu."
Dengan perasaan tidak sabar, Leng Hong buru-buru
membuka kain penutup mata Ah Lan, hingga sinona yang
melihat sinar terang menembus matanya, tanpa terasa lagi
ia segera jatuh pingsan.
Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar ( Bwee Hoa Kiam Hiap ) Karya Liong Pei Yen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Gouw Leng Hong segera bertanya: "Ah Lan,
mengapakah kau" Kenapa?"
Pelahan-lahan Ah Lan siuman dan lalu bangun berdiri,
dan sambil menghirup hawa udara dalam-dalam, ia lirikan
matanya pada Leng Hong sejurus, kemudian airmata
sebesar kacang jatuh berderai-derai melalui kedua belah
pipinya. Leng Hong lalu bertanya: "Kau dapat melihat aku
tidak?" Ah Lan manggutkan kepalanya, sedang Leng Hong
saking girangnya lalu mengangkat tubuh sinona dan
berputar-putar dalam kamar tersebut.
Dengan kata-kata yang lemah-lembut Ah Lan berkata:
"Twako, turunkanlah daku ini."
Mendengar perkataan kekasihnya, ia menjadi terlongong-longong dan menjawab: "Lihatlah, saking
girangnya, sehingga aku berlaku semberono! Ya, benar, Ah
Lan, sepasang matamu baru saja sembuh kembali, maka tak
boleh kau memaksa matamu memandang lama-lama.
Lekaslah kau baringkan tubuhmu diatas ranjang dan
beristirahat secukupnya." Setelah berkata demikian, lalu ia
pondong tubuh kekasihnya dibawanya masuk kekamar
tidur. Dengan perlahan-lahan ia meletakkan tubuh Ah Lan
diatas ranjang dan lalu menyelimutinya sekali, kemudian
dengan suara yang lemah gemulai ia berpesan: "Sebentar
kemudian akan kujengukmu pula."
Ah Lan segera menjambret tangan Leng Hong sambil
berkata dengan cepat: "Twako, kau jangan tinggalkan aku."
Leng Hong yang melihat wajah sinona sedemikian
gugupnya, lalu meluluskan permintaannya sambil duduk
dipinggir ranjang menjagainya.
Ah Lan yang dapat melihat kekasihnya dalam jarak
dekat dan dapat pula melihat wajah kekasihnya yang
tampan, sekonyong-konyong
ia bertanya: "Twako, percayakah kau bahwa diatas langit terdapat taman
Firdaus?" Leng Hong merasa tercengang mendengar perkataan
kekasihnya itu, maka dengan perasaan tidak mengerti ia
menjawab: "Ah, mungkin hal itu hanya kabar bohong
belaka." Ah Lan yang mendengar jawaban pemuda kekasihnya,
agaknya ia berputus asa, maka dalam hati ia berpikir:
"Apakah cerita ayah dan ibu tidak benar sama sekali?"
Leng Hong lalu menghiburnya sambil berkata:
"Janganlah kau memikir yang tidak-tidak, baik-baik sajalah
kau merawat badanmu serta semangatmu."
Ah Lan terus memohon agar Leng Hong suka
menceritakan masa hidup kecil mereka, maka Leng Hong
yang mendengar hal tersebut, dalam hatinya lalu timbul
rasa kasih sayang dan akrab yang tak dapat terlukiskan.
Ah Lan lalu menimbrung: "Twako, masih ingatkah kau
pada suatu hari ketika kita naik keatas gunung untuk
memetik sayur-sayuran hutan dan berpapasan dengan
serigala yang berwarna abu-abu?"
Dengan tertawa Leng Hong menjawab: "Pada saat itu
saking kagetnya, tangan dan kaki kita sampai terasa lemas,
sedangkan bernapaspun sampai tak berani keras-keras,
sehingga serigala itu tidak sampai menemukan jejak kita."
Ah Lan lalu berkata pula: "Aku senantiasa masih ingat,
pada saat itu walaupun kau kaget tampaknya, tapi
ditanganmu memegang erat-erat sebatang cabang pohon.
Kau berdiri dimukaku melindungi diriku, kau memperlakukan diriku begitu baik, hingga bila umurku tak
dapat aku membalas kebaikanmu ini, sekalipun aku
menjadi setan, pasti akan kuberusaha untuk membalasmu."
Leng Hong berkata: "Ah
Lan, janganlah kau memperbincangkan soal-soal yang menyedihkan. Hari
kebahagiaan kita sudah sampai, hingga terhadap urusan
dalam kalangan Kang-Ouw telah tidak menarik pula
perhatianku. Asalkan kau mau hidup bersama-samaku,
sekalipun kelaparan dan mati kedinginan, akupun merasa
rela. Kita tinggal dikaki gunung, setiap hari kita dapat naik
keatas gunung bersama-sama, mendengarkan bergemericiknya sumber air, berjalan-jalan dan memetik
buah-buahan. Sedangkan Hiong-tee yang kepandaiannya
sangat tinggi, ia pasti akan sering-sering datang
mengunjungi kita disana. Ah Lan, cobalah kau katakan,
penghidupan yang demikian ini apakah tidak cukup
bahagia?" Ah Lan yang melihat airmuka kekasihnya yang sangat
terang dan menunjukkan perasaan hatinya yang bergembira, beberapa kali ia ingin menyadarkannya, akan
tetapi dia tetap tidak dapat membuka mulutnya.
Pada saat itu hari sudah parak siang, waktu Leng Hong
terpikir akan janjinya dengan Lie Siauw Hiong, diapun
segera memberitahukan hal tersebut pada Ah Lan untuk
meminta diri daripadanya.
Dengan perasaan terharu Ah Lan memandang pada
kekasihnya, dan lalu dengan suara yang lemah-lembut ia
berkata: "Twako, benarkah bahwa kau akan mengingatku
senantiasa?"
Mendengar perkataan Ah Lan ini, Leng Hong jadi
merasa agak tercengang, tapi ia tetap menganggukkan
kepalanya menyatakan benar.
Kemudian Ah Lan berkata pula: "Twako, andaikata aku
telah membuat suatu kesalahan yang tidak menyenangkan
bagi perasaanmu, apakah kau .. tetapkah .. kau sudi
memaafkanku?"
Sambil tertawa Leng Hong menjawab: "Ah Lan, dimanamana kau senantiasa memikirkanku serta berbuat sesuatu
untuk kebaikanku, maka dimanakah mungkin engkau
membuat kesalahan kepadaku?"
Sambil menarik napas panjang, Ah Lan lalu menjawab:
"Bila demikian halnya, maka akupun merasa tenteram.
Twako, kau boleh pergi sekarang."
Leng Hong baru saja memutarkan badannya hendak
berjalan pergi, Ah Lan sudah memanggilnya pula sambil
berkata: "Twako, coba biarkan aku memandangmu sekali
lagi." Dalam hati Leng Hong merasa agak tercengang dan
merasakan bahwa tingkah laku Ah Lan luar biasa anehnya,
tapi dalam kegirangan yang tidak terhingga besarnya,
kecerdasan otaknya seakan-akan tertutup dan tak dapat
memecahkan teka-teki ini terlebih lanjut.
Ah Lan sambil melirik pada Leng Hong, diapun sudah
dapat menguasai perasaannya, sedikit perasaan sayangpun
tidak diingat-ingatnya kembali maka dengan secara wajar ia
tertawa: "Bukankah kau ingin segera pergi?"
Dengan pandangannya ia mengantarkan kepergian Leng
Hong dengan separuh tertawa sambil berpikir: "Segala
sesuatu yang terdapat dibumi ini, memanglah tidak ada
yang sempurna, karena bila keadaan sesuatu itu sedikit saja
hampir mencapai kesempurnaan, make usianyapun tidak
panjang. Jika sepasang muda-mudi berpacaran dalam usia
yang sedemikian mudanya, sekalipun mula-mula mereka
saling mencintai dengan secara dalam sekali, tapi
kenyataannya adalah mereka ini pasti tidak dapat hidup
sampai tua, maka untukku, hidupku sampai saat ini
cukuplah bagiku, apa lagi akupun sudah dapat mengecap
percintaan yang demikian berharganya! Sekalipun saat
percintaanku ini amat pendek, tapi jika dibandingkan
dengan percintaan yang kacau berbelit-belit, lelakon
percintaanku masih jauh lebih berharga."
Lalu dia menolak jendela sambil mengangkat kepalanya
memandang pada langit yang biru, sedangkan hidungnya
dengan bernapsu mencium wanginya bunga Lan Hoa,
sehingga pikirannya dengan jernih sekali dapat mengatur
apa yang hendak dilakukannya ..
Dengan perasaan penuh kegirangan dan langkah yang
ringan, Gouw Leng Hong menuju keluar kota, akan tetapi
sesampainya disana, dia tak dapat menemui Lie Siauw
Hiong, sehingga terpaksa ia berjalan bolak-balik didekat
tempat-tempat yang berdekatan.
Pada saat itu langit tampak cerah, dan kebetulan pula
didaerah situ untuk tiga tahun lamanya hasil panen sangat
memuaskan. Dari kejauhan Leng Hong dapat melihat
tembok kota yang tinggi kekar, sedangkan para pedagang
tampak mondar-mandir dalam kesibukan, begitupun para
petani menunjukkan muka yang berseri-seri, sehingga Leng
Hong yang menampak kesemuanya ini, hatinyapun merasa
jembar sekali. Dia telah menanti selama setengah jam, tapi Lie Siauw
Hiong yang ditunggu-tunggu belum lagi menampakkan
mata hidungnya, maka iapun segera mengetahui, bahwa
Lie Siauw Hiong pasti mempunyai pekerjaan yang agak
sulit. Oleh karena itu, ia lalu menuju kesebuah toko kecil,
dimana dari pemilik toko tersebut ia minta kertas dan pit,
dan lalu menulis pesannya kepada Lie Siauw Hiong,
andaikata pemuda kita datang juga kesitu, ia dapat
menyusul pada alamat yang tertulis dalam surat itu.
Kemudian dengan langkah yang ringan ia meninggalkan
toko kecil itu kejalan raya, dimana pada saat itu matahari
telah memancarkan sinarnya dengan cepat diatas ubunubunnya, tapi panas matahari yang terik itu melainkan
dirasakannya hangat saja, sehingga sama seperti hatinya
yang merasakan hangatnya percintaannya.
Dengan teliti ia memikirkan perkataan-perkataan Ah
Lan tadi, dengan semacam perasaan yang tidal enak telah
bersarang dalam perasaannya. Dalam waktu yang pendek
tak dapat ia membedakan apakah perasaannya itu diliputi
kesenangan ataukah kedukaan, karena hanya tangan dan
kakinya yang dirasakannya agak lemas, dan setelah ia
menetapkan semangatnya, ia lalu berkata dalam hati: "Huh,
mungkin juga saking kegirangan aku menjadi mabuk
kepayang."
Belakangan bayangan buruk dengan pelahan-lahan telah
menguasai dirinya.
Leng Hong sebenarnya orang yang amat cerdik serta
cerdas, tapi disaat itu karena ia tengah diliputi suasana
kegirangan yang memuncak, maka kecerdasan otaknya itu
menjadi agak tidak wajar, karena demi melihat tawa serta
tutur kata Ah Lan, ia menjadi kegirangan luar biasa,
seakan-akan hatinya bulat-bulat sudah diserahkan kepadanya .. Kemudian dengan perasaan ketakutan yang amat sangat
dan tanpa memperdulikan sesuatu lagi, lalu dia berlari-lari
cepat sekali menuju ketempat tinggal Ah Lan. Tapi begitu
dia sampai didepan pintu rumah itu, ia sudah mendengar
suara tangisan orang.
Leng Hong tahu pasti, bahwa sesuatu yang tidak
diinginkan telah terjadi, maka sambil mengempos semangat
dia melompati tembok, akan kemudian dengan tindakan
lebar dia menerobos masuk kekamar Ah Lan, dimana dia
lihat tubuh Ah Lan lemah terkulai dilantai, sedangkan
Siauw Ie menangis terisak-isak sambil memeluk tubuhnya.
Dalam tangisnya, Siauw Ie masih sempat berkata: "Lan
Kho sudah meninggal dunia, kau datang mau apa lagi?"
Dengan laku yang kalap ia maju dan menubruk tubuh
Ah Lan sambil dipeluknya erat-erat.
Segera dia ulurkan tangannya dan meraba nadinya,
ternyata tangannya telah kaku dan dingin, matanya
berkunang-kunang seakan-akan diapun hendak jatuh
pingsan. Dengan perlahan-lahan dia letakkan tubuh Ah Lan,
kemudian dengan mata yang sayu dia melihat kesekitarnya,
kemudian dengan secara tiba-tiba dari mulutnya dia telah
memuntahkan darah segar. Waktu Siauw Ie mengangkat
kepalanya memandang, dia dapatkan pemuda tersebut
seperti sudah bersalin rupa, matanya tampak sangat sayu
dan guram, semangatnya runtuh habis-habisan, sehingga
membuat orang yang memandangnya merasa pilu sekali.
Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar ( Bwee Hoa Kiam Hiap ) Karya Liong Pei Yen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dan tatkala Siauw Ie menampak aksi sipemuda, tidak
terasa lagi iapun menjadi menggigil tubuhnya.
Leng Hong dalam puncak kedukaannya setelah dapat
menetapkan pikirannya, tanpa mengeluarkan sepatah
katapun, dia lalu memeluk mayat Ah Lan, kemudian, tanpa
menolehkan kepala lagi dia berjalan pergi meninggalkan
rumah celaka itu.
Dengan perlahan-lahan Siauw Ie menyusut air matanya,
sedangkan kata-kata Lan Kho masih terngiang-ngiang
ditelinganya: "Siauw Ie, segala sesuatu yang telah kualami,
engkau sendiri telah ketahui cukup jelas, maka sekarang aku
hendak pergi kesuatu tempat yang jauh sekali. Oleh karena
itu, mulai hari ini dan selanjutnya, engkau harus menjadi
seorang yang baik dan pandai-pandai menjaga diri, tapi
mengenai urusanku ini, sekali-kali engkau jangan perbincangkan pada Gouw Kongcu .."
Tatkala ia mengingat sampai disitu, tidak terasa lagi
airmata Siauw Ie telah mengucur kian menderas, hingga
sambil menyesalkan dirinya sendiri ia berkata: "Siauw Ie,
kau ini sungguh manusia yang bodoh sekali, dengan
sesungguhnya dia menyatakan ingin meninggalkan pergi
ketempat yang jauh sekali. Halmana, bukankah berarti
bahwa dia ingin membunuh diri dengan jalan menggantung
dirinya sendiri?"
Tapi suatu pikiran lain lalu muncul dan berkata: "Phui
Popo dan Lan Kho adalah orang yang paling erat
hubungannya, tapi bagaimanakah kesudahannya riwayat
mereka" pembesar yang harus mampus, tatkala dia melihat
wajah Lan Kho yang cantik menarik, lantas dia menjadi
terpincuk, maka dengan menggunakan kesempatan nona itu
datang meminta pertolongan kepadanya, dia pura-pura
berlaku baik, dan sungguh kasihan nona Lan Kho yang
tidak menyangka jelek terhadapnya, sehingga akhirnya ia
kena ditipu olehnya. Karena pada suatu hari pembesar
keparat itu diwaktu menyuguhkan arak, dengan diam-diam
telah mencampurkan obat bius kedalam arak itu, sehingga
akhirnya dengan mudah saja dia telah dapat mencemarkan
kehormatan nona Lan Kho. Halmana, semua orangpun
telah mengetahuinya. Tapi karena dia adalah seorang
pembesar, maka tidak ada seorangpun yang berani
melawannya, apakah hal ini adil menurut hukum alam?"
"Lan Kho sekalipun telah menerima penghinaan yang
demikian menyakitkan hati, tapi dia masih tetap ingin
hidup terus. Dia ingin melihat untuk penghabisan kalinya
wajah Gouw Kongcu. Maka sekarang setelah anganangannya tercapai, diapun rela mati, tanpa Gouw Kongcu
mengetahui kejadian yang telah dialaminya, karena dia
tidak ingin merembet-rembet pada nama baik pemuda
kekasihnya. Sungguh kasihan sekali, dia yang begitu
mencintai Gouw Kongcu dan rela menerima penghinaan
sehesar itu. Urusan ini hanya aku sendiri yang mengetahui
cukup jelas, maka untuk membalas kebaikan Lan Kho yang
telah memperlakukan aku begitu baik sekali, aku Siauw Ie
selama hayatku dikandung badan ini, akan selalu berikhtiar
untuk membalaskan sakit hatimu terhadap pembesar
jahanam itu!"
Begitulah dengan semangat yang menggelora ini, Siauw
Ie lalu mengembara dikalangan Kang-ouw, dimana ia
mengembara kemana-mana dalam usahanya untuk mencari
seorang guru yang pandai, akan kemudian melaksanakan
cita-citanya untuk membalas dendam terhadap pembesar
yang keji itu. Leng Hong setelah menyewa sebuah kereta, lalu mayat
Lan Kho dinaiki kekereta, tapi karena takut orang
mencurigainya, setibanya diluar kota dia telah memberikan
banyak uang kepada sikusir untuk menutup mulut,
kemudian ia memondong tubuh Ah Lan dan berlari dengan
langkah yang ringan dan gesit menuju kekaki sebuah
gunung. Dan situ ia masuk kedalam guha gunung, dimana
ia telah meletakkan tubuh Ah Lan.
Selama hidupnya ini, sesungguhnya dia lebih banyak
mengalami kesengsaraan daripada mengecap kesenangan.
Lalu dia mencabut pedangnya dengan mana dia menggali
tanah yang lalu mengubur mayat Ah Lan disitu. Sudah itu
didepan kuburan tersebut dia berkata dengan perasaan yang
tidak keruan rasa: "Ah Lan, dalam hayatku ini aku sudah
menetapkan, bahwa aku akan mengawalmu sepanjang
masa .. tidak perduli dilangit maupun dibumi, maka
nantikanlah kedatanganku, aku pasti akan menyusulmu."
Sesudah berkata demikian, lalu dia mengangkat
pedangnya, untuk kemudian .. ditabaskan pada lehernya
sendiri! Sekonyong-konyong dia merasakan tangan kanannya
tergetar hebat sekali, berhubung suatu tenaga yang sangat
kuat telah menahan jatuhnya pedangnya tersebut, dengan
dibarengi oleh satu suara nyaring bagaikan bunyi lonceng
pecah yang berkata: "Kecantikan itu adalah kekosongan,
kekosongan itu adalah kecantikan, sekalipun kesengsaraan
itu luas bagaikan lautan, tapi bila kau menoleh kedepan,
disanalah tampak daratan." Maksudnya kurang lebih
berarti sekalipun kesukaran itu terdapat dimana-mana, tapi
bila kau tekun dan ulet serta tawakal menghadapinya, maka
pada akhirnya kau pasti akan mencapai kebahagiaan.
Mendengar suara tersebut yang begitu nyaring, diapun
merasakan kepalanya seperti diguyur oleh air dingin, maka
dalam waktu sekejap mata saja, ia telah merasakan apa
yang terlihat dimuka menjadi kabur, hingga dalam keadaan
setengah sadar ia telah menolehkan kepalanya, tapi tidak
melihat bayangan seorangpun. Dan tatkala ia menatapkan
matanya memandang kemuka dengan cermat, barulah ia
melihat dua bayangan bagaikan terbang cepatnya melesat
pergi, diantaranya adalah seorang pendeta tua yang
bertubuh kurus kering, sedangkan dengan hanya melihat
punggungnya saja, ia seakan-akan merasa kenal terhadapnya, dengan diantara kempitan tangannya terdapat
seorang anak dara yang seolah-olah dalam keadaan pingsan
.. Dalam hati Leng Hong sama sekali tidak pernah
memikirkan tentang keganjilan kejadian ini, berhubung
otaknya sedang diliputi oleh penderitaan. Maka begitu ia
dikejutkan oleh peristiwa yang tak terduga ini, sebentar
kemudian dia seperti melihat sebuah telaga besar yang
airnya tenang bagaikan sebuah kaca besar, dari mana tidak
putus-putusnya terdengar perkataan sipendeta tua kurus tadi
yang telah mengatakan: "Kecantikan itu adalah kekosongan
.. kekosongan itu adalah kecantikan .." beberapa perkataan
yang bersarang dalam sekali diotaknya.
Sekonyong-konyong
dia seperti tersadar dari lamunannya, hingga pada wajahnya yang tampan tampak
memancar suatu ketetapan yang teguh, tapi begitu ia
melangkah .. lekas-lekas ia menghentikan juga tindakannya,
sedangkan didalam hatinya diam-diam ia berkata:
"Sebenarnya aku ingin sekali mencari In Yaya. Aku ingin
sekali menemaninya selama ada kesempatan dalam sisa
hidupku ini, tapi terhadap perjanjianku dengan Hiong-tee,
cara bagaimana harus kuselesaikannya" Tapi sebagai
seorang laki-laki sejati, masakah aku dapat menelan katakataku kembali dengan jalan mengingkari janjiku" Aku, aku
harus menantikannya, kemudian .. aiiii, aku masih ada
'urusan' apa lagi?"
Dalam pada itu tiba-tiba saja dia menjadi terperanjat,
karena wanita yang dikempit oleh pendeta tua itu seakanakan tidak asing lagi baginya karena anak dara itu
sesungguhnya ada beberapa bagian mirip dengan wajah
Ceng Jie! Maka tanpa merasa ragu-ragu lagi, ia segera memutarkan
badannya dan mengejar pada kedua bayangan yang baru
lalu itu. Dan tatkala sedang mengejar dengan mempergunakan Keng-sin-kangnya yang dahsyat itu,
sekonyong-konyong dari sebelah kirinya terdengar suara
suitan, hingga dengan cepat dia menahan laugkahnya,
sedang dari balik sebuah bukit kecil muncul satu bayangan
manusia yang bergerak dengan secara gesit sekali.
Kecepatan gerakan orang itu sungguh mengejutkan
sekali, karena dengan hanya tiga atau empat kali lompatan
saja ia sudah lari dan mencapai jarak duapuluh tombak
lebih jauhnya. Leng Hong yang bermata sangat celi, segera
dapat melihat tegas siapa gerangan orang yang bergerak
bagaikan angin cepatnya itu karena orang itupun bukan lain
daripada Lie Siauw Hiong adanya. Dan meski dengan
pandangan sekilas saja, wajah Siauw Hiong tampak jelas
berupa putus asa dan gugup yang bercampur aduk menjadi
satu. Karena, dengan sesungguhnyalah, bahwa tak berhasil
ia dapat menemui jejak Thio Ceng yang tengah dicarinya.
Tatkala itu, begitu Leng Hong berhadapan dengan Lie
Siauw Hiong, entah mengapa, airmatanya sudah lantas
mengalir deras, maka sambil menahan perasaan hatinya
yang menyesakkan dadanya ia berkata: "Hiong-Tee,
dimuka .. dimuka terdapat seorang laki-laki dan seorang
wanita .. yang tampaknya mirip sekali dengan Ceng Jie .."
Sekalipun kata-kata itu terputus-putus, tapi Lie Siauw
Hiong sudah mengerti jelas apa maksudnya, maka dalam
kegirangannya ia berseru: "Lekas kita menyusul!"
Kemudian bagaikan terbang cepatnya is melesat dan
mengejar orang yang lari dihadapannya itu.
Disaat itu Siauw Hiong tidak memperhatikan wajah
Leng Hong, yang sekalipun wajahnya masih tetap tampan,
tapi sudah banyak lebih kurus, sedangkan pandangan
matanya tampak agak suram, sedangkan matanya sudah
kelabu dan seakan-akan ia sudah sepuluh tahun bertamhah
tua. Halmana, Siauw Hiong sendiripun tak dapat mengira,
bahwa begitu mereka saling berpisahan tidak berapa lama,
Gouw Twakonya sudah berhasil dapat menjumpai Ah Lan,
maka ia tak mendusin tentang hati Leng Hong yang kini
tengah menderita kehancuran yang hebat sekali.
Begitulah kedua orang ini telah berlari-lari dilereng
gunung yang curam dan mudun bagaikan berlari ditanah
datar belaka layaknya.
Sekonyong-konyong kedua pemuda ini mendapatkan
dua jalan yang bercagak.
Leng Hong lalu menyarankan: "Baiklah kita masingmasing, menyelidik kedua jalan ini .."
Lie Siauw Hiong membantah: "Tidak mungkin, bila
kedua jalan ini kita tidak berhasil menjumpainya, maka kita
bukankah jadi terpisah semakin jauh saja dari orang yang
kita kejar itu?"
Dengan demikian, kedua orang ini jadi merasa serba
salah, dan paling akhir Lie Siauw Hiong mengambil
keputusan sambil berkata dengan suara yang pasti: "Baiklah
kita mengambil jalan yang sebelah kiri saja, jika Tuhan
ingin .." Dan diwaktu dia mengatakan: "Jika Tuhan ingin," dia
sudah menghentikan perkataannya. Lalu dia menengadahkan kepalanya memandang keangkasa, dimana
selain langit yang berwarna biru tua, ternyata disudut langit
tampak sinar aneka warna, sedangkan awan putih yang tipis
melayang-layang bagaikan angkin yang tertiup angin.
Kejadian diatas dunia ini, ada kalanya begitu kebetulan
bagaikan sudah dituliskan oleh Takdir.
Andaikata Lie Siauw Hiong mengambil jalan yang
sebelah kanan, penghidupannya pasti akan berubah menjadi
lain kesudahannya.
Jalan disebelah kiri itu pada akhirnya menuju keatas
sebuah bukit, dimana kedua orang pemuda ini setelah
mencari-cari sebentar, sedikit jejakpun tidak mereka dapati,
maka sambil menghela napas Lie Siauw Hiong berkata:
"Kebanyakan kita telah mengambil jalan yang salah .."
Sekonyong-konyong Leng Hong berseru: "Hiong-tee,
tengoklah, disana terdapat guha gunung, marilah kita coba
memeriksanya."
Lie Siauw Hiong seakan-akan dari kegelapan telah
berhasil dapat mencari setitik sinar terang, maka dengan
langkah yang pesat ia hampiri guha tersebut. Selama
beberapa hari ini, entah sudah berapa kali dia dikecewakan,
tapi dia masih tetap bersemangat dan kekecewaanpun
banyak pula dia sudah rasakan, tapi semuanya itu dapat
dipertahankan terus berkat cintanya yang besar terhadap
orang yang sedang dicarinya itu.
Dari kejauhan sudah kelihatan berdiri dimuka guha yang
dituju itu seorang laki-laki, yang itu seakan-akan melihat
juga akan kedatangan mereka berdua, bahkan dari
pinggangnya ia telah mencabut sebilah pedang untuk
bersiap-siap. Tatkala Lie Siauw Hiong dan Gouw Leng Hong tiba
Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar ( Bwee Hoa Kiam Hiap ) Karya Liong Pei Yen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dihadapannya, mereka dengan serentak mengeluarkan
suara "Oh", karena orang itu ternyata bukan lain daripada
Bu-lim-cie-siu Sun Ie Tiong adanya.
Dalam hati Lie Siauw Hiong merasa bagaikan dibokong
oleh ribuan anak panah yang menancap diulu hatinya,
karena Sun Ie Tiong dan Ceng Jie tentu sekali tidak ada
sangkut pautnya pada satu dengan yang lainnya, tapi
dengan terpaksa dia berkata juga: "Sun Heng, apakah
engkau baik-baik saja?"
Sun Ie Tiongpun menjawab: "Kalian berdua mengapa
datang kemari?"
Sekonyon-konyong Leng Hong berseru: "Hiong-tee,
lihatlah, siapakah gerangan dia ini?"
Lie Siauw Hiong lalu memandang kearah yang ditunjuk
oleh Leng Hong, dimana ia melihat seorang laki-laki
dengan tenang berjongkok diatas salju yang putih, tengah
meniupkan asap yang dimasukkan kedalam guha tanpa
henti-hentinya, pada tangannya ia memegang segulungan
hio wangi, hingga Lie Siauw Hiong yang sudah agak
paham terhadap 'Racun', dengan sekali lihat saja dia sudah
mengetahui, bahwa orang ini sedang mencari ular berbisa
yang umum disebut 'Kim-siat-jie' atau ular lidah mas.
Dalam diwaktu ia memandang dengan cermat, tanpa
terasa lagi ia menjadi tercengang, karena muka orang itu
yang penuh bekas bacokan sehingga tidak keruan macam,
sesungguhnya bukan lain daripada Thian-mo Kim Ie
adanya. Siauw Hiong jadi tergerak hatinya dan berpikir: "Kim Ie
ini dari tempat yang terpisah ribuan lie jauhnya telah datang
kemari dengan hanya bermaksud untuk mencari ular 'Kimsiat-jie', tentulah dia ingin membikin 'Hiat-hun-tok-see' atau
pasir darah beracun untuk mencabut nyawa."
Kepandaiannya ini, semuanya telah didapatinya dari
kitab 'Tok Keng' (kitab racun).
Kim Ie adalah salah seorang manusia aneh yang terdapat
didunia ini, sekalipun dia mengetahui dibelakangnya berdiri
Lie Siauw Hiong dan Gouw Leng Hong berdua, tapi
sekejappun dia tidak menolehkan kepalanya memandang
kepada mereka. Leng Hong yang kuatir Lie Siauw Hiong merasa kecewa,
kembali dia sudah mendahului berkata: "Hiong-tee, marilah
kita pergi kedalam guha untuk menyelidikinya .."
Sun Ie Tiong sebaliknya dengan tergopoh-gopoh dan
bersikap tegang telah mendahului berkata: "Tidak
mungkin!" Lie Siauw Hiong merasa sangat aneh dan lalu balik
bertanya: "Mengapa tidak mungkin?"
Sun Ie Tiong sendiripun agaknya menginsyafi, bahwa
dirinya sudah berlaku tegang tidak keruan, hingga ia lantas
memberi penjelasan: "Aku hanya ingin mengatakan, bahwa
kalian berdua untuk sementara waktu jangan masuk
kedalam guha itu."
Dengan tidak sabaran Lie Siauw Hiong berkata:
"Kenapa?"
Mungkin karena terlampau gugup, suaranya menjadi
keras sekali, sehingga Sun Ie Tiongpun menjadi agak marah
juga dibuatnya, tapi dia tidak menjawab pertanyaan orang.
Kecurigaan Lie Siauw Hiong kian bertambah besar dan
dengan suara yang dalam ia bertanya: "Mengapa"
Katakanlah .."
Sun Ie Tiong dengan marahpun menjawab: "Jika tidak
karena apa-apa, kau mau apa?"
Sebenarnya Lie Siauw Hiong mengira, bahwa Ceng Jie
pasti tidak ada dalam guha itu, tapi ketika mendengar
jawaban orang ia jadi bertekad bulat untuk memasuki guha
tersebut untuk melakukan pemeriksaan, maka dengan tidak
mengeluarkan sepatah katapun, dia sudah bersiap-siap
untuk memasuki guha itu.
Sun Ie Tiong segera menghadang dipintu masuk guha itu
dengan menghunus pedangnya.
(Oo-dwkz-oO) Jilid 46 (Tamat)
Justeru tepat pada saat itu, sekonyong-konyong dari
tempat gelap dari arah belakangnya terdengar suara orang
yang tertawa dingin, hingga Lie Siauw Hiong dan Gouw
Leng Hong buru-buru menolehkan kepalanya memandang,
dimana mereka berdua melihat disuatu tempat yang
terpisah tiga tombak jauhnya dari tempat mereka berdiri,
terdapat lima orang yang wajah dan pengawakan badannya
tidak rata. Yang mengepalai rombongan itu adalah jago kelas satu
dari Thian-tiok, yaitu Kinlungo.
Menampak hal itu, Lie Siauw Hiong jadi agak
terperanjat, dan tatkala sinar mata mereka saling
berbentrok, kedengaran Kinlungo berkata dengan suara
dingin sambil melangkah maju dua tindak: "Lie Tayhiap,
apakah engkau baik-baik saja?"
Mendengar perkataan orang, Lie Siauw Hiong hanya
bergelak gumam yang sukar diartikan lawannya.
Sedangkan Kim Ie sendiri yang sedang berjongkok
menangkap ular, menolehpun tidak kearah mereka. Dia tak
melakukan gerak apa-apa, itulah sebabnya mengapa
Kinlungo dan kawan-kawannya tidak melihat kepadanya.
Sementara Kinlungo yang melihat Lie Siauw Hiong
tidak menghiraukannya, tidak terasa lagi ia menjadi murka,
maka dengan suara dingin dia berkata: "Hari ini aku
bersama-sama saudara seperguruanku datang untuk
memohon sesuatu kepadamu .. hm, agaknya pedangmu
termasuk benda yang langka juga, ha?"
Lie Siauw Hiong yang melihat lawannya dengan hanya
melihat gagang pedangnya saja sudah mengetahui bahwa
pedangnya itu adalah pedang mustika, pandangannya yang
tajam ini sungguh mengagumkan sekali, hingga dalam hati
ia berpikir: "Bocah ini ingin memohon apakah dariku" Ah,
mungkin juga dia hendak memperdayaiku!"
Tapi dimulut dia hanya menjawab: "Kenapa?"
Sambil berkata-kata Kinlungo lalu tertawa-tawa, dan
berkata pula: "Tidak ada apa-apa, selain untuk melaksanakan janji lama saja. Kami hanya ingin penegasan
satu patah kata saja dari Lie Tayhiap, sudah itu, kamipun
akan merasa bersyukur sekali .."
Dengan heran Lie Siauw Hiong balik bertanya:
"Mengakui apakah?"
Setelah berdehem dua kali, Kinlungo lalu berkata: "Asal
saja Lie Tayhiap mengakui bahwa kepandaian silat dari
Thian-tiok berada diatas dari para pendekar di Tiong-goan,
kamipun sudah cukup merasa puas .."
Lie Siauw Hiong lekas menjawab: "Tempo hari kalian
Heng-hoo-sam-hut dalam pertandingan dipulau Siauw Ciap
To telah banyak memperoleh kemurahan, bila tidak,
masakah kalian dapat berlalu demikian mudahnya" Hm!"
Sambil tertawa dingin, Kinlungo berkata pula: "Guruku
dengan secara sekonyong-konyong melihat Bu Kek Toocu
telah terserang oleh penyakit, maka guru kami telah
melepaskannya begitu saja, jika tidak, apakah hal itu Lie
Tay-hiap menganggap bukan suatu kebaikan?"
Lie Siauw Hiong tidak dapat lagi menahan kemarahannya, maka dengan tertawa terbabak-bahak ia
berkata: "Apakah kedatangan kalian semata-mata disebabkan oleh hal itu sajakah?"
Dengan sombong Kinlungo manggutkan kepalanya.
Lie Siauw Hiong hanya merasakan dadanya hendak
meledak, berhubung darahnya sudah naik sekian derajat,
maka dengan tidak memperdulikan pula kepada dirinya
sendiri dan berbareng melupakan juga usahanya untuk
mencari Thio Ceng, juga dengan melupakan bahaya yang
mengancam pada dirinya ia telah berteriak: "Aku orang she
Lie menjawab pertanyaanmu, yaitu kalian lekas enyahlah
dari sini!"
Sesungguhnyalah, pada saat itu dia telah melupakan
pada diri Ceng Jie .. bila hal itu diingatnya kemudian,
mungkin ia akan merasa heran juga .. tapi sampai detik itu,
hatinya yang menyinta ternyata jauh lebih kecil daripada
tugasnya yang harus diselesaikan dengan segera disaat itu
juga! Dengan tawar Kinlungo tertawa, diapun tampaknya
tidak menghiraukan lawan bicaranya lagi, hanya dengan
menunjuk pada seorang hweeshio (pendeta) katai ia
berkata: "Yang ini adalah Twa-suhengku, gelarnya disebut
orang Mitopos."
Lie Siauw Hiong lalu memandang pada hweeshio katai
itu, yang bentuk kepalanya agak muncul, sepasang matanya
tajam bagaikan mata burung alap-alap, tapi sekalipun
perawakannya agak kecil, semangatnya besar dan teguh
sekali laksana sebuah gunung, hingga dengan perasaan
tercengang Lie Siauw Hiong lalu berkata: "Tenaga-dalam
pendeta ini ternyata amat tinggi, hingga jika dibandingkan
dengan guru mereka, mungkin juga terpautnya tidak jauh.
Maka diantara kelima orang ini, dialah yang paling sukar
dihadapi."
Sudah itu Kinlungo menunjuk pula pada seorang
hweeshio berbaju kuning yang berdiri disebelah kirinya
sambil berkata: "Yang ini adalah Jie-suhengku cindu Arhat
.." Kemudian disusul dengan penerangan-penerangan
selanjutnya, sambil menunjuk pada hweeshio yang kedua
disebelah kiri: "Yang ini Sam-suhengku Katar kalian berdua
pasti sudah pernah saling berjumpa."
Paling aehir dia menunjuk pada hweeshio disebelah
kanannya yang berjembros sambil berkata: "Yang ini adalah
sie-suhengku Unjenporo. Kami berlima disebut Poo-lo-ngokie .." (Lima orang aneh dari golongan Bhagawat).
Lie Siauw Hiong sekonyong-konyong teringat akan
penuturan dalam kitab Sansekerta itu, maka sambil tertawa
dingin ia menjawab: "Hm, mungkin kalian adalah Poo-loliok-kie?"
Muka Kimlungo berubah seketika, tapi sambil mengeluarkan suara dari lubang hidung ia menjawab: "Lie
Tayhiap sungguh pandai sekali berkelakar .. Omongan
kosong dipersingkat saja, kedatangan kami bersaudara
kemari adalah tetap untuk .."
Berkata sampai disitu, ia berhenti sebentar, lalu
disambungnya pula: "Lie Tayhiap tidak mau mengakui
kepandaian kami melebihi daripada para pendekar di
Tiong-goan, hal itu tidak menjadi halangan apa-apa. Hanya
tempo hari kami yang pernah bertanding digunung Kwiesan, setibanya dinegeri kami, lalu kami menceritakan
tentang kepandaian kalian pada guru kami, hingga mereka
sesungguhnya mengagumi sekali terhadap kepandaian Lie
Tayhiap dan kawan-kawan, oleh karena itu .. oleh karena
itu, kami hendak mencari Lie Tayhiap untuk memohon
pengajaran barang satu dua jurus saja .."
Setelah berkata sampai disitu, sepasang matanya yang
tajam lalu diarahkan kepada diri Lie Siauw Hiong.
Dengan sikap tenang-tenang saja Lie Siauw Hiong
melirikkan matanya selayang pandang kepada para
musuhnya, tapi belum berhasil ia menemui satu cara untuk,
meloloskan diri dengan secara sempurna.
Kemudian ia membalikkan kepalanya memandang pada
Gouw Leng Hong, kepada siapa ia tersenyum sambil
bertanya: "Bagaimana?"
Mula-mula Gouw Leng Hong menggelengkan kepalanya, tapi kemudian dengan suara yang pasti ia
berkata: "Maju satu kita tempur satu."
Wajahnya yang tampan memperlihatkan sifat yang
wajar, hingga sifat ini menambah kegagahannya sebagai
seorang jantan sejati.
Lie Siauw Hiong sambil mendongak ia tertawa panjang,
sudah itu dengan lantang ia menjawab: "Air bah melanda,
angin puyuh menderu-deru. Seorang jantan sejati lebih suka
mati daripada harus bertekuk lutut dihadapan bangsa asing.
Mari, twako, kita berjoang sehingga titik darah kita yang
terakhir .. Twako, lima orang bangsa liar ini, cara
bagaimana dapat melawan kita?"
Kinlungo tertawa terkekeh-kekeh mendengar perkataan
pemuda itu, maka dengan suara dingin ia berkata: "Kalian
hanya berduaan saja, cara bagaimana dapat menghadapi
kami?" Baru saja Lie Siauw Hiong ingin menjawab, sekonyongkonyong dari arah belakangnya terdengar suara orang yang
berseru dengan nyaring: "Tiga orang! bukan dua!"
Tatkala Kinlungo menolehkan kepalanya memandang,
Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar ( Bwee Hoa Kiam Hiap ) Karya Liong Pei Yen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ternyata dalam jarak tiga tombak jauhnya ia melihat
seorang pemuda berbaju biru yang berdiri tegak sambil
bertolak pinggang, sedangkan kuncir pedangnya yang
tergantung dipinggangnya, melambai-lambai tertiup angin
lalu, dan orang ini tidak lain tidak bukan adalah pemuda
yang ia pernah jumpai digunung Kwie-San, yaitu Bu-limcie-siu Sun Ie Tiong adanya.
Kinlungo tertawa tengal sambil berkata: "Baiklah, kalau
begitu engkaupun terhitung masuk bilangan juga."
Hampir dalam saat itu juga, sekonyong-konyong dari
arah kiri terdengar orang yang berkata dengan suara dingin:
"Hai, hei, jangan lupa, kawan, disini masih ada aku seorang
pula!" Poo-loo-ngo-kie buru-buru memutarkan badan mereka
memandang pada orang tersebut, yang ternyata berdiri
dibelakang salah satu batu besar dengan rambut awutawutan dan pedang terhunus ditangannya. Muka orang itu
terdapat tanda bacokan golok yang bersilang, hidungnya
tampak tidak sempurna, sedang keadaan orang itu sangat
mengerikan, berhubung orang itu senantiasa melakukan
kejahatan dimana-mana pada masa yang lampau, karena ia
itupun bukan lain daripada Thian-mo Kim Ie adanya.
Kinlungo yang pernah berjumpa dengan Kim Ie, pada
saat ini dia merasakan bahwa muka orang itu sungguh
menakutkan sekali, hal mana tanpa terasa pula telah
membuat hatinya jadi terkejut.
Lie Siauw Hiong sama sekali tidak menduga, bahwa
kedua orang itu sudi mengeluarkan tenaga untuk bersamasama menempur kelima orang lawan asing tersebut, hingga
Siauw Hiong yang menampak hal itu menjadi girang sekali,
sedangkan semangatnyapun jadi membumbung semakin
tinggi, kemudian sambil tertawa nyaring iapun dengan
sekonyong-konyong telah mencabut juga pedang Bweehiang-kiamnya. Dengan demikian, Leng Hongpun segera menelad
tindakan kawannya dan melangkah maju sambil menghunus pedangnya pula.
Lie Siauw Hiong dengan suara yang pelahan lalu berkata
kepada Gouw Leng Hong: "Twa-hweeshio yang katai yang
menjadi pemimpin mereka, biarlah aku yang nanti hadapi
.." Akan tetapi pada sebelum ia selesai berkata, dengan
memperdengarkan suara ser ser dua kali, tampak Kim Ie
dan Sun Ie Tiong telah melesat tampil kemuka.
Kinlungo dengan tertawa dingin telah berkata: "Numpang tanya nama tuan-tuan yang terhormat berdua?"
(Karena biarpun ia pernah berjumpa dengan kedua orang
ini, tapi ia belum mengetahui she maupun nama mereka).
Sambil tertawa terbahak-bahak Sun Ie Tiong lalu
menjawab: "Jika mau bertempur, boleh bertempur saja,
buat apa banyak bertanya yang tidak-tidak?"
Sedangkan Kim Ie, tanpa bersuara apa-apa, tampaknya
sama sekali tidak terlampau mengambil pusing akan tanya
jawab tersebut.
Kinlungo saking mendongkolnya jadi tertawa panjang
sambil menengadahkan kepalanya, kemudian setelah
berhenti tertawa, dengan gemasnya ia berkata: "Kalian ini
sungguh keliwat temberang sekali, tahukah kalian, bahwa
hari ini adalah hari kematian kalian?"
Bersamaan dengan diucapkannya perkataan tersebut,
segera terdengar suara "brat" yang nyaring sekali, suara
mana dibarengi melayangnya dengan seutas laso yang
panjang dan berwarna hitam legam, menyamber kearah Lie
Siauw Hiong dan kawan-kawannya bagaikan ular yang
keluar dari dalam sarangnya.
Gouw Leng Hong dengan sebat segera menarik sebelah
kakinya, kemudian tangannya diputar dan pedangnya
dengan separuh melingkar telah dipergunakan untuk
menyampok laso Kinlungo yang datang menyamber
kejurusannya. Lie Siauw Hiong dan kawan-kawannya yang melihat
Kinlungo sudah mulai turun tangan, merekapun segera
mencari tempat masing-masing dan bersiap sedia untuk
menempur musuh.
Tatkala itu Lie Siauw Hiong dengan menghunus
pedangnya lalu menolehkan kepalanya pada Sun Ie Tiong
dan Kim Ie sambil memanggutkan kepalanya, kemudian
segera membalikkan tubuhnya dan mencelat kehadapan
pendeta asing yang menjadi kepalanya, yang dengan tak
sungkan-sungkan lagi ia lalu tusuk dengan pedangnya.
Jurus serangan pemuda itu sungguh aneh sekali. Karena
pedang Bwee-hiang-kiam itu bagaikan pecut yang lemas,
ujungnya yang membentuk lingkaran bergerak kekirikekanan, atas dan bawah, menyerang dengan ganasnya
kearah empat jalan darah yang berbahaya didadanya
Mitopos. Pendeta asing itu sama sekali tidak mengira, bahwa
lawannya dapat mengeluarkan serangan yang seaneh dan
luar biasa itu, maka sambil mengeluarkan suara "Ih" lekaslekas ia miringkan pundaknya, hingga dengan begitu ia
berhasil dapat meluputkan serangan Lie Siauw Hiong yang
maha dahsyat itu. Selanjutnya dengan mengambil
kesempatan selagi badannya Lie Siauw Hiong masih
bergoncang, Mitopos telah pergunakan sepasang tangannya
untuk memukul kepada pemuda kita, hingga tangan yang
kurus kecil itu sama sekali tidak disangka akan mampu
menerbitkan angin yang menderu-deru, diwaktu serangannya diarahkan pada jalan darah Sin-teng dan Hiankie sipemuda. Biar bagaimana cepatpun Lie Siauw Hiong berkelit, tidak
urung dia tak keburu menarik kembali pedangnya, oleh
karena itu, ia terpaksa menangkis serangan lawannya itu
dengan tangan kirinya, sehingga beradunya tiga telapak
tangan itu menerbitkan suara yang keras sekali, berbareng
dengan mana Lie Siauw Hiong sampai mundur dua
langkah jauhnya.
Diam-diam Lie Siauw Hiong berkata pada dirinya
sendiri: "Si Mitopos ini sungguh tidak kecewa menjadi
kepala dari kelima orang aneh dari kaum bhagawat.
Tenaga-dalamnya cukup tangguh dan ternyata lebih tinggi
setingkat jika dibandingkan dengan Kinlungo sendiri."
Dengan menundukkan kepalanya, ia melihat sinar
pedang Bwee-hiang-kiamnya berkilau-kilau memancarkan
sinar dingin, kemudian dengan sepasang mata yang berapiapi ia telah menabaskan pedangnya keatas dan kebawah,
membabat kepala Mitopos.
Buru-buru Mitopos memutar badannya, dan selagi ia
berbuat demikian, tiba-tiba tangannya telah mencekal
sebilah sabit kecil, yang ternyata bukan terbuat dari pada
logam atau batu, sinarnya mengkeredep-keredep dan
entahlah gegamannya itu terbuat dari bahan apa.
Dari serangan Lie Siauw Hiong ini, Mitopos seakanakan timbal perasaan tidak enak yang bersarang pada
dirinya, .. karena dia rasakan seluruh jalan darahnya
senantiasa dibawah ancaman totokan pedang Lie Siauw
Hiong, hanya dia tak mengetahui jalan darah yang mana
yang hendak diserang oleh pemuda kita itu.
Tak usah dikatakan lagi betapa lihaynya jurus tersehut,
karena jurus yang dipergunakan oleh Lie Siauw Hiong itu
adalah bukan lain daripada pelajaran Tay-yan-sip-seknya
Peng Hoan Siangjin yang disebut jurus 'Hong-seng-put-sip',
atau gerak yang tidak putus-putusnya.
Begitulah deugan cepat Mitopos telah memutarkan
badannya, dengan sabit ditangannya ia telah membabat
kekiri kanan tubuh Lie Siauw Hiong, dengan ujung sabit itu
ia telah mencoba akan menotok jalan darah Co-bok-hiat
dikepala kiri pemuda kita, sedangkan dengan gagang
sabitnya dia hendak coba menotok jalan darah 'Yu-kionghiat' disebelah kanan kepala pemuda itu.
Jurus yang digunakannya ini adalah timbul dengan
sewajarnya saja, tapi jurus ini justeru mengandung
kehebatan yang tepat sekali, karena dengan jurus ini, berarti
bahwa ia sudah menutup jalan mundurnya pemuda
lawannya itu. Siapa sangka Lie Siauw Hiong dengan berseru keras,
badannya sudah berputar begitu rupa, sehingga ia dapat
melejit dari babatan kiri dan kanan sabit musuhnya, dan
bersamaan dengan itu, dengan lincahnya ia sudah
menyerang Unjenporo, orang keempat diantara Po-lo-ngokie. Sewaktu Lie Siauw Hiong telah mulai bertempur dengan
Mitopos, ternyata yang lainnyapun sudah mulai bergebrak
pula. Diantara kelima ahli silat asing itu, orang ketiga yang
bernama Katar tatkala melihat Sun Ie Tiong memandangnya dengan tersenyum dingin, ia menjadi
murka sekali, maka sambil melangkah maju ia berhasrat
untuk menempur si-pemuda itu.
Siapa tahu waktu dia melampau Kim Ie, tahu-tahu Katar
telah ditotok jalan darah 'Tong-bun-hiat' diiganya dengan
cara yang amat ganasnya.
Oleh karena itu, dengan tergopoh-gopoh Katar telah
mengelitkan dirinya, sedang didalam hati tak pernah ia
menyangka, bahwa didunia ini ada orang yang dapat
berlaku demikian tidak tahu malunya, menyerang orang
tanpa berkata-kata lagi, maka dengan menggereng keras
telah membalikkan badannya dan memukul pada Kim Ie
yang telah menyerangnya dengan secara menggelap itu, dan
bersama dengan itu, diapun telah menghunus pula
pedangnya dan dengan berbareng pula telah membacok
lawannya dengan sekaligus.
Sun Ie Tiong yang menampak semua orang sudah mulai
turun tangan, ia lalu tertawa terbahak-bahak, kemudian
mementilkan pedangnya dengan rnengeluarkan suara "ting"
yang nyaring dan berseru: "Marilah siapa yang berani
melawanku?" Sudah itu ia menyerang Cindu Arhat dengan
pedangnya itu. Cindu Arhat yang diantara mereka berlima menempati
kedudukan kedua, dengan pedangnya ia menangkis
serangan lawan itu, hingga kini dalam gelanggang
pertempuran itu hanya ketinggalan Unjenporo yang belum
mendapatkan lawan, maka dengan tidak sabaran dan tanpa
memperdulikan lagi peraturan yang berlaku dikalangan
Rimba Persilatan, ia segera menjotos punggung Sun Ie
Tiong dari sebelah belakang ..
Justeru bertepatan dengan kejadian tersebut, Lie Siauw
Hiong yang dengan lincah dapat menerobos dari babatan
Mitopos dari kiri dan kanan, kebetulan ia melihat
penyerang secara membokong dari Unjenporo, maka
secepat kilat ia telah menusukkan pedangnya untuk
membebaskan bokongan ahli silat asing itu terhadap Sun Ie
Tiong. Demikianlah, dikatakan lambat tapi kenyataannya cepat
sekali, karena ketika baru saja Unjenporo mengajukan
serangannya, pedang Lie Siauw Hiong yang tajam disertai
tenaganya yang keras telah menyerang sampai, sehingga
Unjenporo tidak berani melanjutkan serangannya dan
dengan segera menarik kembali serangan itu, akan
kemudian tanpa menolehkan kepalanya lagi ia telah
menyabetkan pedangnya kearah belakangnya.
Tapi Lie Siauw Hiong dengan tangkasnya lalu menyabet
pulang pergi, sehingga ia berhasil dapat menangkis
serangan para lawannya, kemudian dengan gerakan sama
tangkasnya ia telah menyerang pada Mitopos dan
Unjenporo dengan sekaligus.
Diseberang sana, Gouw Leng Hong yang mendapat
lawan Kinlungo, keadaannya sudah tentu saja jauh berbeda
dengan yang lain-lainnya, karena Kinlungo biarpun
diantara kelima saudaranya terhitung yang paling kecil, tapi
karena dia adalah murid mas dari gurunya, tentu saja
pelajaran yang didapatkan dari gurunya adalah yang paling
sempurna sendiri, maka pada ia datang bersama twasuhengnya dan mengira, bahwa di Tiong-goan ini kecuali
Lie Siauw Hiong seorang, yang lain tidak usah
dikuatirkannya lagi, hingga barusan waktu dia melihat
Gouw Leng Hong maju menyerangnya, dia hanya
mengganda tertawa dingin saja. Begitulah dengan lasonya
dia telah mencoba menyerang dan melilit pedang lawannya,
samhil berbareng menyabet keatas dan membabat kebawah
dengan lasonya yang panjang itu, dengan berhasrat untuk
menghina serta mempermainkan pihak lawanya itu.
Tapi dia mana sangka, bahwa ilmu pedang yang dipakai
oleh Gouw Leng Hong itu adalah menggunakan ilmu
keturunan pedang leluhurnya, yakni dengan jurus 'Kwieong-pa-ho', sehingga pedangnya dengan leluasa dapat
menerobos lilitan lasonya, malah ujung pedangnya dengan
cepat sudah hampir menusuk jalan darah dipahanya.
Dia sama sekali tidak menyangka, bahwa serangan
Gouw Leng Hong begitu cepat dan ganas, sehingga ia harus
berlompat tiga kali dengan berturut-turut barulah ia dapat
membebaskan dirinya dari pada serangan pemuda
Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar ( Bwee Hoa Kiam Hiap ) Karya Liong Pei Yen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lawannya itu. Tempo dahulu Gouw Ciauw In ayah Leng Hong dengan
jurus yang dipakainya telah melawan tiga orang musuhnya
di Yong Kwan yang disebut 'Tiang-pak-sam-eng' atau tiga
elang dari pegunungan Tiang-pek, dengan jurus mana ia
telah berhasil melukai seorang lawannya, sehingga yang
seorang lagi terpaksa melarikan diri, dan kini anaknya
dengan menggunakan tipu yang sama telah menyerang
Kinlungo, dan karena pada beberapa waktu yang lalu Leng
Hong telah mendapat pelajaran gaib, maka tidaklah heran
jika kepandaiannya jauh melampaui kepandaian ayahnya
dahulu. Kinlungo lalu mengangkat kepalanya memandang pada
Gouw Leng Hong, yang ternyata berwajah amat tampan
dan masih muda belia, sedangkan ditangannya menghunus
pedang yang dilintangkan didepan dadanya. Dengan
lawannya ini baru saja beberapa bulan dia tak berjumpa,
tapi ternyata pemuda lawannya ini sudah maju sedemikian
pesatnya. Oleh karena itu, lalu dia sapukan matanya memandang
keempat penjuru. Dia lihat jie-suhengnya sedang bertempur
dengan Sun Ie Tiong, dengan kedua pedang mereka saling
gulung-menggulung bagaikan sepasang naga yang sedang
bertempur dalam lautan yang terbuka. Pertempuran itu
cukup hebat dan terbukti dengan pedang yang berkelebatkelebat memancarkan sinarnya yang berkilau-kilauan,
sehingga mata yang memandangnya terasa kabur.
Dalam hati ia merasa terkejut sekali, hingga diam-diam
dia berpikir: "Permainan pedang jie-suheng diantara kita
berlima, hanya dialah yang tergolong paling pandai, tapi
mengapakah dia belum berhasil dapat menjatuhkan
lawannya" Apakah barangkali keempat lawan ini semuanya
tergolong dalam tingkat atas?"
Dugaan Kinlungo ini memang sedikitpun tidak meleset,
karena sesungguhnyalah bahwa keempat orang itu pada
saat ini didaerah Tiong-goan tergolong sebagai orang-orang
gagah memiliki kepandaian yang paling hebat.
Diantara Poo-loo-ngo-kie kecuali yang memegang sabit
Mitopos dan Kinlungo yang menggunakan laso, Cindu
Arhatlah Ceng-Tu yang terhitung paling menonjol dalam
permainan pedang. Karena dengan mengandalkan sebatang
pedangnya ini, didaerahnya sendiri, yaitu Thian-tiok, dia
pernah mengalahkan delapanbelas jago-jago pedang
kenamaan, sehingga namanya disekitar Thian-tiok dan
Tibet, setiap orang yang pandai menggunakan pedang pasti
akan mengetahui sampai dimana Kelihayan Cindu Arhat
itu. Tapi pada saat ini Sun Ie Tiong baru saja dapat
mempelajari ilmu pedang Pang Hoan Siangjin yang
bernama 'Hui-pek-kiam-sek', hingga Cindu Arhat sekalipun
telah menyerang lawannya bagaikan sinar kilat dahsyatnya,
sedikitpun dia tak berdaya untuk menggempur daya
pertahanannya Sun Ie Tiong.
Dan tatkala Kinlungo melirikkan matanya kearah kiri, ia
melihat Katar dengan menggereng karena kemurkaannya
yang memuncak hebat sekali telah menerjang bagaikan
harimau edan kepada pemuda yang bermuka jelek bagaikan
memedi, sedangkan pemuda yang berwajah jelek itupun
tanpa sungkan-sungkan lagi segera membalas menyerang
lawannya dengan tidak kalah hebat dan ganasnya. Dan
selama pertempuran itu berlangsung dengan amat
hehatnya, dalam hatinya Kinlungo diam-diam merasa lega
dan berpikir: "Bocah berwajah jelek ini sekalipun
tampaknya ganas dan telengas, tapi diantara lawannya yang
berjumlah empat orang ini, adalah dia sendiri yang paling
lemah kepandaiannya, hingga Katar masih sanggup
menghadapinya. Asalkan aku bersama twa-suheng dapat
memenangkan pertempuran ini perduli apa lagi terhadap
yang lain-lainnya?"
Oleh karena itu, terpaksa dia melirikan matanya pada
pertempuran hebat yang tengah berlangsung antara twasuhengnya dengan Lie Siauw Hiong, tatkala pada saat itu
telinganya sekonyong-konyong mendengar suara bentakan
Gouw Leng Hong yang nyaring: "Lihat pedang!"
Belum lagi Gouw Leng Hong berseru habis, pedangnya
sudah menjurus sampai.
Kinlungo yang telah mengambil ketetapan yang pasti,
maka hatinyapun menjadi mantap sekali, sambil tertawa
dingin dan tanpa menolehkan kepalanya lagi, dia sudah
membabatkan lasonya kebelakang.
Laso tersebut berputar ditengah udara dua kali dengan
cepat sekali, sedangkan ujung laso yang melesat bagaikan
kilat cepatnya telah mengancam jalan darah 'Kiok-tie-hiat'
dipundak Gouw Leng Hong.
Leng Hong yang memperhatikan aksi lawannya, pedang
yang terhunus ditangan kanannya lalu mengikuti putaran
laso lawannya dengan membentuk lingkaran pula, sehingga
diapun berhasil membebaskan sabetan laso lawannya,
kemudian ia memainkan pedangnya dan lagi-lagi menyerang lawannya dengau menggunakan jurus 'Kwieong-pa-ho' kembali.
Kinlungo tidak menyangka bahwa Leng Hong sudah
mahir sekali ilmu pedangnya, lagi pula gerakannya begitu
lincah dan cepat, hingga diapun tidak berani berlaku ayalayalan, maka dengan menambah kekuatan pada lengannya,
telah putarkan lasonya kembali.
Sekonyong-konyong terdengar suara bentakan marah
dari pihak lainnya lagi, karena diseberang sana katar yang
bertempur dengan Kim Ie sudah mencapai babak yang
menentukan .. Katar belum pernah seumurnya menemui
lawan yang lebih ganas daripada Thian Mo Kim Ie, yang
pada saat itu dengan keras lawan keras telah menempur
musuhnya, dan tiap-tiap serangan yang dilancarkannya
selalu mengarah tempat-tempat yang berbahaya, sehingga
Katar berteriak-teriak saking kalapnya.
Apa yang menyebabkan dia bertambah kalap, adalah
muka Kim Ie yang dingin selalu seperti mengejek dirinya
saja, ditambah dengan bekas bacokan dimukanya, yang
menyebabkan orang sukar menahan kengerian dari
wajahnya itu. Begitulah dengan bayangan masing-masing yang tampak
sebentar merapat sebentar berpencar, pundak kiri Kim Ie
telah kena dilukai oleh Katar sehingga darahnya mengucur
deras, tapi dia sendiri tidak pernah mengeluh. Sepasang
kakinya bergerak dengan lincahnya sambil menggunakan
ilmu pedang 'Pek-ciok-kiam-hoat' pejaran gurunya Pak-kun
Kim It Peng menggunakan jurus 'Tok-kong-heng-sek' (Kala
jengking beracun melintangkan capitnya) dengan mana
diapun telah berhasil menggores dada Katar dengan ujung
pedangnya! Diatas gunung Liok-poan-san disitu, dimana buminya
sudah putih meletak karena dialasi oleh salju, sedangkan
dilangit penuh bunga-bunga berpijar api karena beradunya
pedang-pedang satu sama lain, merupakan suatu pemandangan yang luar biasa dibalik keseraman serta maut
yang tengah mengintai pihak masing-masing yang kurang
bersiaga. Begitulah dipuncak gunung tersebut sembilan
jago-jago muda tingkat kelas satu sedang bertempur dengan
mempertaruhkan nyawa mereka, suatu pertempuran yang
sungguh mendebarkan serta mengerikan sekali barang siapa
yang memandangnya.
Sekonyong-konyong
terdengar suara jeritan yang mengerikan. Pada saat itu sekalipun mereka sedang
memusatkan perhatian mereka terhadap pertempuran yang
sedang mereka lakukan itu, tapi tidak urung diwaktu
mendengar suara jeritan tersebut, mau tak mau mereka jadi
berhenti sedetik, ternyata ahli pedang nomor wahid dari
Thian-tiok yaitu Cindu Arhat yang sedang bertempur hebat
dengan Sun Ie Tiong telah mengalami perubahan yang
tidak disangka-sangka ..
Pada saat itu tampak bayangan kedua orang itu sedang
mengapung ditengah-tengah udara, sinar pedang mereka
bergulung-gulung dan terdapat dalam lingkaran sejauh tiga
tombak jaraknya mengelilingi tubuh mereka masingmasing. Cindu Arhat yang lama masih belum berhasil juga
mengalahkan Sun Ie Tiong, dalam kemurkaannya yang
memuncak terpaksa telah mengeluarkan kepandaian ilmu
pedangnya yang paling diandalkannya, yaitu ilmu pedang
'Pek-hap-hui-kiam' (ilmu pedang ratusan rangkai).
Ilmu pedang Pek-hap-hui-kiam ini meski namanya
disebut ratusan rantai tapi kenyataannya hanya terdiri dari
sembilan macam saja. Ilmu pedang ini adalah warisan dari
golongan kaum beragama 'Hui-liong-kauw' di Thian-tiok,
sekalipun Cindu Arhat memiliki ilmu pedang tersebut, tapi
sesungguhnya kepandaiannya itu bukanlah diperoleh dari
gurunya, yang dinegerinya disebut 'Heng-hoo-sam-hut' itu.
Cindu Arhat setelah berhasil mencangkok kepandaian
ilmu pedang tersebut dan membuat namanya menjadi
terkenal, selama hidupnya dia hanya baru menggunakan
ilmunya itu satu kali saja. Pada waktu itu, dia hanya
mengeluarkan sampai jurus kesepuluh saja, dengan mana
telah empat kali ia mengalahkan musuh-musuhnya yang
kuat dan mengurungnya dengan hebatnya. Tapi pada saat
ini sekalipun dia telah menggunakan habis seluruh ilmu
pedangnya itu, tidak urung dia tak berhasil dapat
menggempur daya pertahanan Sun Ie Tiong, hingga dalam
kemurkaannya ia terpaksa mengeluarkan ilmu yang paling
diandalkannya ini untuk menjatuhkan lawannya yang
tangguh itu. Maka begitu dia keluarkan ilmu pedang 'Pek-hap-huikiam' itu, Sun Ie Tiong segera merasakan betapa hebatnya
terjangan pihak lawannya itu, karena Cindu Arhat yang
gerakannya kini menjadi sangat luar biasa cepatnya, tiaptiap serangannya selalu mengalami kegagalan saja.
Dan tatkala dengan beruntun ia telah menyerang tiga kali
dengan tak berhasil dan malahan dirinya sendiri hampir
saja menemui maut, Sun Ie Tiong dalam sengitnya lalu
bersiul panjang, dan setelah mengerahkan kekuatan pada
lengannya dengan gerak menyabet dan mengacip, sinar
pedangnya tampak bertambah hebat, karena dengan gerak
itu kini dia telah mengeluarkan jurus dari pelajaran Tayyan-sip-sek yang disebut 'Hong-seng-put-sip' (gerak tidak
putus-putusnya), pelajaran mana telah ditemukan oleh Peng
Hoan Siangjin, dari jurus yang sudah hilang dan disebut
'Pouw-tat-sam-sek'. Jurus 'Hong-seng-put-sip' ini adalah
jurus yang paling hebat dan luar biasa sekali, dan pelajaran
ini sebenarnya adalah pelajaran dari kaum Budhis, yang
didunia ini tidak ada keduanya. Diwaktu pelajaran itu
digunakan, kekuatannya luar biasa hebatnya, kini Sun Ie
Tiong yang telah menggunakannya, sekalipun tidak sehebat
dan sesempurna seperti yang diperlihatkan oleh Lie Siauw
Hiong, tapi sebagai seorang anak murid golongan Budhis,
ia dapat juga menggunakannya dengan cukup hebat dan
sempurna. Cindu Arhat yang melihat usahanya hampir saja
berhasil, dengan cepat dia melancarkan kembali serangannya kekiri dan kanan, tapi siapa tahu begitu
pedangnya saling beradu dengan pedang lawannya,
sekonyong-konyong dia rasakan satu tenaga yang luar biasa
hebatnya telah menindih pada dirinya.
Dalam kekagetan dan kemurkaannya, buru-buru dia
keluarkan seluruh permainan pedang 'Pek-hap-hui- kiam'nya, dan dengan melompat-lompat kesana kesini
laksana seekor kera yang lincah, ia menerjang kepada pihak
lawannya dengan secara hebat sekali.
Sebaliknya Sun Ie Tiong setelah menggunakan ilmu
'Tay-yan-sip-seknya', ia telah berhasil dengan kecepatannya
melampaui kecepatan lawannya, hingga dalam waku yang
pendek sinar pedang kedua belah pibak tampak berkelebatlebat laksana bunga api, berputar-putar mengelilingi tubuh
mereka masing-masing .. hal mana telah menyebabkan
orang lain yang berada disekelilingnya jadi berteriak saking
tegangnya menyaksikan pertempuran tersebut.
Kedua orang ini semakin lama telah bertempur semakin
cepat dan dahsyat, sedangkan sinar pedang yang
mengurung mereka tambah lama tambah meluas lingkaran
disekelilingnya, hingga lingkaran itu kini telah mencapai
jarak lima tombak jauhnya.
Orang lainnya karena takut akan terkena akibat yang
tidak disangka-sangka dari pertempuran yang maha dabsyat
ini, mereka dengan tidak berjanji terlebih dahulu telah
menyingkir sejauh mungkin, sehingga melampaui jarak
lima tombak itu.
Sedangkan Kinlungo sendiri yang tidak berhasil
menjatuhkan Gouw Leng Hong, kini hanya mengharapkan
agar salah seorang dari Twa-suheng atau Jie-suhengnya
memperoleh kemenangan, tapi siapa tahu Cindu Arhat
Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar ( Bwee Hoa Kiam Hiap ) Karya Liong Pei Yen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sekalipun sudah mengeluarkan ilmu pedangnya 'Pek-haphui-kiam' yang hebat itu, ternyata masih tetap saja tidak
berhasil ia menjatuhkan lawannya, hingga dalam hatinya
tidak terasa lagi menjadi sangat terkejut, oleh karena itu
sewaktu dia memperoleh sedikit luang, buru-buru dia
menolehkan kepalanya memandang pada Twa-suhengnya ..
Karena sikapnya ini, seakan-akan dia telah melupakan
terhadap pertahanannya.
Sedang dipihak lainnya lagi Lie Siauw Hiong dengan
seorang diri yang melayani Mitopos dan Unjenporo,
ternyata masih sanggup melayani mereka dengan cukup
tangkas dan sempurna, sebab dengan tangan kiri yang
bertangan kosong dan tangan kanan menggunakan pedang,
ditambah lagi dengan tindakan kakinya yang menuruti
pelajaran 'Kit-mo-pouw-hoat' dengan lincahnya ia telah
dapat melayani lawannya, sedangkan dengan tangan
kirinya ia menggunakan jurus-jurus dari 'Kong-kong-cianghoat' (ilmu pukulan tangan kosong berjarak jauh), dengan
mana ia berhasil dapat membuat lawan-lawannya tidak
mudah untuk menyerangnya dengan seenaknya saja.
Dalam kegugupannya, Kimlungo hampir saja kena
tertusuk oleh pedangnya Gouw Leng Hong, hingga dengan
berteriak keras buru-buru ia putarkan lasonya dengan cepat
sekali, dengan mana barulah ia dapat mempertahaukan
dirinya terlebih jauh pula.
Sedangkan pihak lainnya lagi, tanpa terasa pula
terdengar suara orang yang mengeluh, karena Katar yaug
bertempur dengan Kim Ie, kini mereka masing-masing telah
bertambah lagi dengan satu tusukan sehingga badan mereka
penuh luka-luka.
Kedua orang ini buru-buru mundur beberapa langkah
dengan muka pucat dan masing-masing mengeluh karena
kesakitan. Kinlungo yang menampak keadaan tidak menguntungkan bagi pihaknya setelah menangkis dua kali
tusukan pedang Gouw Leng Hong, lalu dengan suara
nyaring ia berseru: "Orang she Lie, aku ada omongan yang
hendak disampaikan kepadamu. Silakan berhenti sebentar."
Lie Siauw Hiong sambil tertawa dengan penuh
keyakinan ia menjawab: "Kenapa aku harus takut
kepadamu?"
Hanya tampak tangan kiri dan tangan kanannya ditarik,
sedang kakinya digeser sedikit, kemudian dengan cepat
bagaikan bintang beralih, tubuhnya sudah mundur setengah
langkah jauhnya.
Sementara orang-orang yang lainnya ketika melihat
mereka sudah berhenti turun tangan, merekapun lalu turut
pula berhenti. Sudah itu, kedengaran Kinlungo tertawa getir sambil
berkata: "Ternyata para busu dari pibak Tiong-goan benarbenar hebat sekali, cuma kami bersaudara masih ada satu
pelajaran yang hendak mobon pengajaran kepada kalian,
yaitu asal saja kalian dapat memecahkan kurungan kami,
maka kalian benar-benar terhitung sebagai seorang jago
yang tidak ada tandingannya!"
Setelah berkata begitu, tampak Kinlungo membalikkan
tubuhnya dan bercakap-cakap dengan Mitopos dalam
bahasa asing. Lie Siauw Hiong dan kawan-kawan hanya melihat
mereka dengan melongo saja, karena dengan kecepatan luar
biasa mereka telah dikurung ditengah-tengah oleh lawan
mereka. Halmana, sudah barang tentu sangat mengejutkan
sekali Lie Siauw Hiong yang sudah kawakan, tapi akhirnya
tidak urung ia memuji juga atas kecepatan pihak musuhmusuhnya itu. Mitopos lalu berkata kepada Kinlungo, yang artinya
lebih kurang sebagai berikut: "Bocah ini hanya memiliki
jurus yang aneh saja, tapi bila bertempur lebih jauh, pasti
aku mempunyai akal untuk mengalahkannya."
Tampaknya karena tadi ia telah diabui oleh Lie Siauw
Hiong, maka kini dia masih merasa kurang puas terhadap
pemuda kita. Kinlungo dengan bahasanya sendiri juga menyahut:
"Tidak perduli bagaimana, kita harus menjauhkan mereka
dengan kurungan kita ini."
Mitopos meski berkedudukan sebagai Twa-suheng dalam
kalangan Po-lo-ngo-kie, tapi ia suka mengikuti petunjukpetunjuk Kinlungo yang terhitung sebagai saudara yang
termuda, berhuhung kecerdikan sutenya paling menonjol
diantara mereka berlima saudara.
Lie Siauw Hiong, Gouw Leng Hong, Kim Ie dan Sun Ie
Tiong berempat sekalipun belum pernah menampak sampai
dimana kebebatannya kurungan bangsa asing ini, tapi
dalam hati mereka yakin bahwa kurungan ini pasti akan
hebat sekali. Lie Siauw Hiong dengan sikap yang tenang melihat
kurungan tersebut, kemudian dengan kecerdikannya ia
segera dapat menduga, bahwa Mitopos menempati
kedudukan 'Tin-cu' (pemimpin barisan), dengan Katar dan
Unjengporo berdiri dikiri-kanannya, sedangkan Cindu
Arbat dan Kinlungo berdiri dihadapannya!
Dengan tekun ia memutar otak untuk memecahkan tekateki barisan ini sambil berpikir didalam hatinya: "Twako,
Sun Ie Tiong dan Kim Ie, mereka bertiga sekalipun tidak
mengetahui jelas tentang barisan ini, tapi terhadap dalil
'dengan tenang mengatasi gerakan lawan', pasti mereka
dapat memahaminya, oleh karena itu, asal lawan tidak
bergerak, kita pasti tidak akan bergerak juga, maka kini aku
harus mencoba menempuh bahaya ini .."
Keadaan disekeliling mereka begitu sunyi dan senyap,
sehingga jatuhnya salju dapat terdengar dengan nyata.
Dalam pada itu Lie Siauw Hiong dengan tajam
memandang pada barisan tersebut, sedangkan didalam
hatinya ia menimbang-nimbang: "Tidak perduli barisan
apakah ini, pendeta katai itu pastilah 'pemimpin barisan' ini.
Sebentar bila pertempuran sudah berlangsung, aku harus
menjatuhkan serta membekuk sikatai ini .., bila dengan
berbuat demikian ternyata tidak membawa hasil apa-apa,
sedikitnya tindakanku ini akan dapat juga mengacaukan
barisan ini .."
Kemudian dengan memperdengarkan suara "sret",
ternyata sabit ditangan Mitopos telah dikibaskannya
sehingga melayang keudara ..
Tatkala itu benar saja, Gouw Leng Hong, Sun Ie Tiong
dan Kim Ie sambil menghunus pedang masing-masing,
menatapkan mata mereka atas gerak-gerik lawannya itu ..
Lie Siauw Hiong yang mengetahui, bahwa ia tidak boleh
menyia-nyiakan waktu, sambil menghempas semangat
pedang Bwee-hiang-kiamnya dengan mengeluarkan sinar
yang mengkeredep-keredep dengan ditimpali oleh gerakan
kakinya yang pendek ia telah menggeser tubuhnya hingga
setengah tombak jauhnya, sedang sinar pedangnya
mengurung dalam jarak tiga tombak, dengan tangan kirinya
diam-diam dipersiapkan unuk memukul lawannya dimana
kesempatan terbuka.
Jurus yang dipakainya ini telah diambil dari pelajaran
'Tay-yan-sip-sek', yaitu yang disebut 'But-hoan-seng-ie'
(benda-benda bertukar tempat dan bintang beralih arah),
tapi ilmu yang dipergunakan oleh Lie Siauw Hiong ini jauh
lebih hebat daripada apa yang pernah digunakan tadi oleh
Sun Ie Tiong. Pada saat itu Lie Siauw Hiong telah menggunakan
tenaga sepenuhnya, dengan perhitungan bahwa disamping
'Tiga Dewa Diluar Dunia', pasti tidak ada orang yang dapat
menyambut serangannya itu.
Orang-orang yang berada dalam gelanggang tersebut dan
menampak Lie Siauw Hiong telah mulai bergerak, mereka
jadi terkejut bukan kepalang, tatkala pedang Bwee-hiongkiam Lie Siauw Hiong dengan kecepatan luar biasa telah
membabat kearah para lawannya ..
Mitopos jadi berseru keras dan menghentikan gerakannya dengan sekonyong-konyong,
sambil mempergunakan sabitnya bagaikan sebatang tombak
bercagak saja agaknya.
Lie Siauw Hiong jadi terkejut juga, karena ia tahu bahwa
tipu yang digunakannya itu mengandung banyak sekali
perubahan, tapi cara penangkisan yang dilakukan oleh
Mitopos itu sungguh aneh dan tepat sehingga ia merasa
tidak leluasa untuk melancarkan serangannya selanjutnya.
Karena kemana saja serangan itu dilancarkannya, tusukan
maupun babatannya selalu bagaikan dirintangi oleh dinding
tembok baja yang tidak mudah untuk ditembusnya.
Dia yang sesudah menggunakan pelajaran 'Tay-yan-sipsek' dan baru unuk pertama kalinya merasakan kejadian
tersebut, tangan kanannya yang telah gagal menyerang
musuh tentu saja tangan kirinyapun tidak berkesempatan
untuk melancarkan serangannya pula, hingga dengan ini tak
terasa lagi ia menjadi sangat gugup dan insyaf, bahwa tidak
seharusnya ia menggencet tenaga-dalam sipendeta katai itu
.. Justeru pada waku itu, dibelakangnya ia mendengar ada
suara senjata yang saling beradu, suatu tanda bahwa yang
lainpun sudah mulai turun tangan. Sedang Lie Siauw Hiong
sendiri yang merasakan dibebokongnya ada angin keras
yang menyampok dirinya, buru-buru ia mengenjot
badannya melayang keatas guna menghindarkan bokongan
gelap itu. Tapi ketika baru saja ia berdaya unuk
menggempur bagian bawah lawannya, sekonyong-konyong
ia merasakan kearah kakinya ada angin pula yang
menyambar, maka dengan tidak menoleh pula diapun
segera mengetahui, bahwa laso Kinlungo itulah yang kini
telah menyerangnya hingga dalam kekagetanuya ia memuji,
betapa cepatnya perubahan pihak musuh yang mengatur
barisan untuk mengepung mereka berempat.
Tapi ketika baru saja ia berhasil dapat menghindarkan
dirinya dan ingin turun kembali kebumi, laso Kinlungo tibatiba sudah membabat sampai .. inilah sesungguhnya suatu
tipu hebat yang dipakai oleh Kinlungo, sehingga Lie Siauw
Hiong hampir saja menemui kecelakaan. Tapi sekonyongkonyong sepasang kaki sipemuda telah ditendangkan ke
bawah, sedangkan badannya mengapung kembali keatas,
dengan suara laso Kinlungo berjeter nyaring menyabet
tempat kosong lewat dibawah tapak sepatu lawannya. Dan
begitu Lie Siauw Hiong kembali kebumi, dari kiri-kanannya
senjata lawannya telah menyerang sampai, maka dengan
penuh kekuatan ia menangkis serangan para lawannya,
kemudian ketika baru saja ia menggeser kakinya setengah
langkah, tiba-tiba laso panjang milik Kinlungo telah
menyambar untuk memukul kepalanya.
Dengan terkejut dan nekad Lie Siauw Hiong telah
melancarkan tiga kali serangan yang saling susul-menyusul,
dan diwaktu ia melirikkan matanya memandang pada
Gouw Leng Hong, Kim Ie dan Sun Ie Tiong, mereka inipun
tampaknya sangat gugup sekali.
Barisan Po-lo-ngo-kie semakin berputar semakin cepat
gerakannya, hingga laksana ratusan senjata yang mengurung mereka, dengan hanya mengandalkan tenaga
seorang saja sudah tentu tak berdaya ia untuk mengungguli
para lawannya. Mitopos dengan berhadap-hadapan telah melancarkan
penyerangannya, Kinlungo dan Cindu Arhat yang masingmasing menggunakan pedang laso lalu saling membantu
diwaktu pemimpin mereka melakukan penyerangan,
kemudian ditambah lagi dengan Katar dan Unjenporo yang
dari samping yang maju dengan bergantian untuk
membantu kawan-kawan mereka, sehingga barisan ini
tampak sangat rapat sukar sekali untuk ditembusi.
Kian lama Lie Siauw Hiong merasakan tindihan pedang
para lawannya kian bertambah berat saja, maka dengan
sepenuh tenaganya ia telah melancarkan sepuluh kali
penyerangan dengan beruntun. Tapi, bukan saja cara itu
tidak berhasil, malahan
bertambah sibuk saja ia menghadapi para lawannya, karena ketika baru saja ia
menangkis pedang yang satu, yang empat lainnya sudah
menjurus datang, hingga ini sangat sulit untuknya akan
dapat menembusi pertahanan lawan yang kokoh itu. Oleh
karena itu, sambil kertek gigi ia telah memutar otaknya, tapi
unuk sementara belum berhasil ia dapat menemui jalan
keluar dari dalam kepungan para musuhnya itu.
Mitopos dengan langsung menusukkan sabitnya pada Lie
Siauw Hiong, hingga pemuda itu mundur kearah kanan
setengah langkah, tapi dengan berbuat demikian, ia malah
membentur punggung Gouw Leng Hong ...
Ternyata kian lama mereka terkurung kian rapat oleh Polo-ngo-kie, karena jika tadinya mereka terpisah puluhan
tombak jauhnya, sekarang mereka seakan-akan sudah saling
belakang-membelakangi diantara mereka berempat.
Selama itu Lie Siauw Hiong yang berlaku agak lengah,
Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar ( Bwee Hoa Kiam Hiap ) Karya Liong Pei Yen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sepotong baju dilengannya telah kena terbabat putus oleh
sabetan laso Kinlungo.
"Sret!" terdengar pedang Sun Ie Tiong kena dibabat
kutung oleh pedang Cindu Arhat, hingga dengan
terhuyung-huyung ia mundur setengah langkah, dengan
mana ia baru insyaf, bahwa pedang lawannya itu
sesungguhnyalah sebilah pedang mustika yang tajam tiada
taranya. Sementara Gouw Leng Hong yang berlompat-lompat
kekiri dan kanan, keringatnya mengucur deras bagaikan
hujan, hingga lengan kanannya dirasakannya kian lama
kian bertambah berat saja dan perlahan-lahan hampir tak
tahan pula .. Pada saat itu hujan salju sudah berhenti turun, langit
tampak kelabu, gunung Ouw-kee-san tampak berdiri
dengan tegak bagaikan seorang raksasa yang sangat
menyeramkan sekali.
Barisan Po-lo-ngo-kie semakin lama semakin ciut, hingga
Lie Siauw Hiong dan Gouw Leng Hong merasa agak tidak
tahan, sedangkan Sun Ie Tiong yang sudah terbabat
sepotong pedangnya, tampaknya sudah tidak mempunyai
semangat unuk bertempur pula ..
Hanya Kim Ie saja, sambil membisu ia bertahan terus.
Diantara keempat orang ini, memang dialah yang paling
banyak pengalamannya, malahan diapun paling kejam, apa
lagi kini pertempuran sudah mencapai titik darah yang
penghabisan, dia seakan-akan tidak terpengaruh oleh tiga
kawan seperjuangannya, permainan pedang 'Pek-ciok-kiamhoatnya' telah dilancarkannya begiu rupa, hingga jika
ditimpali dengan mukanya yang seram, sesungguhnya telah
membuat suasana jadi semakin mengerikan saja.
Begitu pedangnya tampak menyambar kekiri baru saja
dilancarkannya setengah jalan, tiba-tiba ia sudah menariknya kembali dan diteruskan menusuk kesebelah
kanannya, hingga Unjenporo disebelah kirinya yang tengah
melancarkan serangan pada pundaknya, tampaknya sama
sekali tidak diperdulikannya ..
Kemudian dengan mengerutkan sepasang keningnya dan
memperdengarkan suara "bles!" yang agak nyaring,
pahanya Katar telah tertusuk pedangnya, sedangkan pedang
Unjenporo telah menusuk pundaknya sehingga setengah
dim dalamnya. Dilain pihak Mitopos dengan lincahnya coba menyerang
pada Lie Siauw Hiong, dan tatkala Lie Siauw Hiong
dengan acuh tak acuh menangkis serangan lawannya itu,
sekonyong-konyong terdengar suara bentakan Kim Ie yang
penuh kemurkaan katanya: "Orang she Lie, mengapa kau
tidak berguna sekali?"
(Oo=dwkz=oO) PENUTUP Lie Siauw Hiong dengan kerasnya menangkis serangan
Mitopos hingga dengan memperdengarkan suara "trang"
yang nyaring sekali, hampir saja pedang Bwee-hiangkiamnya kena dibikin terpental oleh lawannya, maka
dengan cepat ia putarkan badannya kekiri dan kanan,
sedangkan kakinya dengan otomatis telah menggunakan
pelajaran 'Kit Mo Pouw Hoat' warisan Hui Taysu.
Waktu dia menolehkan kepalanya memandang, ternyata
pundak Kim Ie telah terluka dan dari situ darah segar telah
mengalir bercucuran, sedangkan wajah Leng Hong telah
penuh keringat. Maka setelah melihat Sun Ie Tiong dengan
pedang yang separuh sudah buntung tampaknya sudah
kehilangan semangat bertempurnya, buru-buru dia menggunakan jurus 'Leng-bwee-kut-bian' (bunga bwee
menyampok muka), yang kemudian disusul dengan tipu
'Ban-coan-hui-kong' (laksana mata air menyemperot
kelangit) unuk menyerang musuhnya, sedangkan mulutnya
lalu berteriak:
"Pada beberapa tahun terdahulu murid Siauw-lim
urunan ketujuh Hui In Taysu dipuncak gunung Ciong-lamsan dengan menggunakan ilmu 'Pouw-tat-sam-sek' telah
mengalahkan jago-jago ternama sebanyak dua puluh satu
orang kegagahannya tersebut masakah kau orang she Sun
tidak dapat menandinginya?"
Sementara Sun Ie Tiong yang mendengar perkataan
tersebut, semangatnya jadi terbangkit kembali, kemudian
dengan bersiul panjang ia berkata pada diri sendiri: "Aku
Sun Ie Tiong tidak boleh menodai nama baik kaum Siauw
Lim!" Lalu dia memusatkan kekuatannya pada lengannya,
dengan mempergunakan pelajaran 'Tay-yan-sip-sek' ia
serang lawannya dengan pedang yang sudah separuh
buntung itu. Lie Siauw Hiong dengan sekuat tenaganya telah
menahan serangan dua pedang lawannya, kakinya digeser,
dan ujung kakinya dengan erat menempel pada bumi kaki
kanannya dengan gerak melintang membentuk separuh
bundaran menyapu pada lawannya, sedangkan pedangnya
dengan sekaligus menyerang kearah tiga orang lawannya.
Siapa tahu selagi dia menyerang, sekonyong-konyong
matanya menjadi kabur, hingga dalam sekejap mata saja
empat lima senjata lawannya telah meluruk pada dirinya
dengan sekaligus, hingga buru-buru dia mundur dua
langkah, kemudian dengan pedangnya ia mengeluarkan
jurus-jurus 'But-hoan-seng-ie' (benda-benda bertukaran
tempat dan bintang beralih arahnya) yang disusul dengan
'Hian-in-tam-eng' (lawan memperlihatkan bayangannya),
dengan jurus-jurus mana barulah dapat dia mempertahankan diri dari pada serangan para lawannya
itu. Tapi sekonyong-konyong
ia mendengar Mitopos
berteriak dalam bahasanya sendiri.
Sebegitu lekas dia berteriak habis, lantas barisannya
tampak berubah, sedangkan kelima orang itu yang barusan
telah berputar-putar bagaikan kuda lari sekarang mereka
telah menambah kecepatan gerakan mereka, hingga
bagaikan angin cepatnya senjata-senjata mereka telah
mengancam para lawan mereka.
Tapi bahasa asing Mitopos malah menyadarkan Lie
Siauw Hiong yang lalu berteriak: "Twako, marilah kita
lawan cepat dengan cepat pula!"
Gouw Leng Hongpun menjadi sadar pula, maka setelah
bersiul panjang, mereka segera membentangkan ilmu dari
Thian-tiok yang langkah itu.
Tempo hari Peng Hoan Siangjin pernah mengatakan,
bahwa ilmu meringankan tubuh dari Thian-tiok itu, pada
suatu waktu pasti mempunyai kegunaan lainnya, hingga
tampaknya hal inilah yang dimaksudkannya oleh paderi tua
itu. Hanya tampak sinar putih dan merah yang berputarputar, karena Gouw Leng Hong dan Lie Siauw Hiong yang
telah membentangkan ilmu meringankan tubuh dari Thiantiok itu, ternyata kedua-duanya telah memasuki barisan
musuh, hingga sekejap saja mereka telah bercampur-baur
dengan orang para lawannya itu, yang kini barisan lima
orang itu dalam waku sedetik telah menjadi tujuh orang.
Hal mana telah membuat Po-lo-ngo-kie bingung dan tidak
mengetahui, apakah lebih baik mereka menyerang atau
bertahan saja"
Kinlungo menjadi sangat terkejut dan didalam hatinya ia
berkata: "Eh, mengapa kedua orang ini dapat mengetahui
rahasia ilmu meringankan tubuh kita?"
Waktu memperhatikan terlebih cermat, dia bertambah
kaget dan marah, karena sesungguhnyalah,
ilmu meringankan tubuh kedua orang lawannya itu bukan saja
mirip, malahan ilmu merekapun jauh melampaui kemampuan mereka berlima, hingga buru-buru dia berseru
untuk menyuruh kawan-kawannya berlaku lebih hati-hati
atas gerak- gerik musuh itu selanjutnya.
Begitu kedua sinar putih dan merah berkelebat, tahu-tahu
tubuh Lie Siauw Hiong dan Gouw Leng Hong sudah keluar
dari barisan mereka!
Po-lo-ngo-kie saking herannya, memandang kepada
kedua orang muda itu dengan bengong terlongong-longong.
Sekonyong-konyong Mitopos berteriak mengatakan
sesuatu. Lie Siauw Hiong sekalipun tidak mengerti bahasa
mereka, namun dia masih sanggup menangkap maksud
mereka yang kurang lebih berkata: "Bocah, sambuti
seranganku sekali lagi!"
Dalam hati dia berpikir: "Sekalipun tenaga-dalammu
cukup hebat, masakah aku takuti kepadamu" .. Tempo hari
sampaikan pukulan gurumu masih dapat aku terima, konon
lagi kau yang hanya menjadi muridnya .."
Tampak rambut Mitopos pada berdiri saking geramnya,
sabit kecilnya disisipkan dipinggangnya, sedangkan sepasang tangannya yang satu dipakai menepok dan yang
satunya lagi dipakai mendorong kearah Lie Siauw Hiong.
Lie Siauw Hiong rasakan dadanya seakan-akan digencet
oleh angin yang keras sekali, tapi angin itu sungguh aneh
sekali, karena sekalipun tidak tajam, tenaganya yang seberat
ratusan kati terasa sampai dikulit bagaikan angin yang
menusuk sampai ketulang dan sumsum saja.
Pukulan ini yang tidak diketahui oleh Siauw Hiong
bernama 'Pek-to-han-sim-ciang' (pukulan unta alpaka) yang
dia telah latih selama sepuluh tahun. Ia tahu, asal saja
kakinya tergeser setengah langkah saja, maka dialah yang
berada dipihak yang kalah, Dia tidak berdaya unuk
menangkis serangan lawannya, karena sesungguhnya
tenaga-dalam lawannya berada disebelah atas dari pada
kemampuannya. Seluruh para hadirin yang menyaksikan pertempuran ini,
menahan napas dengan hati berdebar-debar. Kaki Lie
Siauw Hiong dengan kokoh menancap ditanah, pedang
Bwee-hiang-kiamnya membentuk separuh lingkaran, ketika
seluruh bajunya berkibar-kibar tertiup angin pukulan pihak
lawannya. Jangan dipandang ringan terhadap ujung pedangnya
yang hanya membentuk separuh lingkaran kecil itu, karena
dengan pelajaran 'Tay-yan-sip-sek' itu ia telah mengeluarkan
jurus 'Hong-seng-put-sip' (gerak tidak putus-putusnya),
sudah itu jurus tersebut telah berganti dengan jurus 'Buthoan-seng-ie' (benda bertukaran tempat dan bintang-bintang
beralih arah), dan sebelum jurus itu selesai, lalu diubahnya
kembali menjadi 'Leng-bwee-kut-bian'
(bunga bwee menyapu muka), hingga tiga jurus yang digabungkan
menjadi satu itu sungguh hebat sekali akibatnya.
Para hadirin yang berkepandaian tinggi sekali dalam
ilmu permainan pedang, mereka masing-masing sangat
memuji atas kecerdikan dan kelihayan cara bersilat Lie
Siauw Hiong itu.
Dan tatkala terdengar suara "bet!" yang nyaring sekali,
ternyata angin pukulan Mitopos telah lewat melalui ujung
pedang Lie Siauw Hiong, sehingga batu dan pasir yang
berada disisi pemuda kita sama beterbangan dan hancur
lebur, sedangkan pemuda kita selembar rambutnyapun
tidak bergerak!
Maka setelah termangu-mangu sebentar, Mitopos
sekonyong-konyong menengadahkan kepalanya tertawa
panjang dan begitu dia kibaskan tangannya, lalu dia
menarik tangan saudara-saudara seperguruannya diajak
pergi, hingga dalam berapa loncatan saja mereka telah
lenyap dari pandangan orang banyak.
Sementara Lie Siauw Hiong yang melihat para lawannya
telah kabur, lalu memasukkan kembali pedang Bwee-hiongkiamnya kedalam sarungnya dan setelah disitu ia berdiam
sejurus lamanya, barulah iapun membalikkan badannya.
Pada saat itu lagi-lagi Kim Ie telah berjongkok ditanah
menantikan ular 'Kim-siat-jie', tapi bersamaan dengan itu,
Leng Hong sendiripun tidak dapat menemukan Sun Ie
Tiong yang barusan berada disampingnya.
Dan selagi Siauw Hiong keheran-heranan, tiba-tiba
pundaknya terasa ada orang yang memegang, dengan satu
suara yang merdu dan empuk menyapanya: "Lie twako,
ilmu pedangmu itu sungguh luar biasa sekali!"
Ketika dengan hati berdebar-debar Lie Siauw Hiong
Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar ( Bwee Hoa Kiam Hiap ) Karya Liong Pei Yen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menolehkan kepalanya memandang, ternyata satu muka
yang cantik dan mungil terlihat dihadapannya, sehingga
tanpa terasa pula ia memanggil: "Ceng Jie!" Karena nona
itupun bukan lain daripada sigadis jelita Thio Ceng adanya.
Dalam kegirangannya buru-buru dia maju memeluknya,
ia mencekal tangan sinona yang kecil dengan empat mata
mereka saling beradu, sehingga mereka seolah-olah sukar
terpisahkan kembali.
Sejurus kemudian ia merasa bahkan dibalik tubuh Thio
Ceng masih berdiri dua orang pula, yang satu adalah
seorang pendeta tua kurus, sedangkan yang lainnya lagi
adalah Sun Ie Tiong.
Terhadap pendeta tua ini Lie Siauw Hiong tidak merasa
asing lagi, karena setelah berpikir sejenak dengan teliti,
sekonyong-konyong dia teringat akan pendeta yang naik
dipungung burung bangau dipulau Siauw-ciap-to dan
memanggil pada Peng Hoan Siangjin itu.
Belum lagi dia membuka mulut, ketika Ceng Jie sudah
mendahului berkata: "Twako, tempo hari waktu aku
bersama Gouw Twako berpisah, ternyata aku telah
tertangkap oleh seorang setan tua, aku tidak dapat melawan
padanya, karena aku telah tertotok olehnya. Dua kali aku
telah mencobanya melarikan diri, tapi kesudahannya tetap
saja aku tertangkap kembali olehnya."
Ketika baru saja Lie Siauw Hiong ingin menimbrung,
Ceng Jie sudah meneruskan perkataannya: "Setan tua itu
ternyata bukan lain daripada suteenya Giok Kut Mo. Dia
mengatakan bahwa ayahku telah membinasakan suhengnya, maka dia lalu menangkapku untuk memancing
ayahku keluar untuk menolongku. Hm, dengan menggunakan ilmu totok yang aneh, ia telah menotok tiga
puluh enam jalan darah besar dibadanku .."
Dalam kagetnya Lie Siauw Hiong hanya dapat
mengeluarkan perkataan " Aaaah" saja, kemudian dengan
tidak henti-hentinya Ceng Jie bercerita pula: " Belakangan
untung juga aku telah berjumpa dengan pendeta ini, dia
begitu melihat rantai yang kupakai ini, segera mengetahui
bahwa aku ini adalah anak ayahku, dia mengatakan pada
setan tua itu bahwa dia dengan ayahku pernah berjumpa,
belakangan sisetan itu telah melepaskan aku, tapi dia
ternyata amat sombong dan mengatakan, agar supaya
pendeta ini jangan turut campur tangan. Tapi bila dia berani
membandal, pasti dia akan dibinasakan .. Tapi, hm!
belakangan setelah pendeta ini menunjukkan kelihayannya
ternyata sisetan tua itu telah kena dilukakan dan lari terbiritbirit. Twako, kepandaian pendeta ini sungguh hebat sekali,
aku kira jika dibandingkan dengan ayah, tidak banyak
selisihnya .."
Sudah itu Lie Siauw Hiong segera bertanya: "Setelah
engkau tertotok, apakah yang telah terjadi selanjutnya?"
"Belakangan pendeta ini telah membawaku keguha ini,
dimana ia menyuruh Sun Ie Tiong menjaga dimulut guha
sambil mengatakan, bahwa siapapun tidak diijinkannya
keluar masuk guha tersebut. Sudah itu ia telah
menggunakan ilmu yang hebat untuk bantu membuka jalan
darahku yang tertotok oleh setan tua itu," Thio Ceng
mengakhiri penuturannya.
Lie Siauw Hiong waktu berpikir cara bagaimana Sun Ie
Tiong telah melarangnya memasuki guha itu, kini barulah
dia sadar apa sebab musababnya.
Begitulah Ceng Jie bercakap-cakap dengan penuh
kelincahan, sehingga Lie Siauw Hiong yang mendengarnya
merasa sangat tertarik sekali.
Sekonyong-konyong Sun Ie Tiong dari samping berkata:
"Couw-su-ya kau sekali-kali jangan pergi lagi .. teecu
dengan susah payah barulah dapat mencarimu, maka pada
kali ini kau harus pulang kekelenteng kami."
Lie Siauw Hiong dengan perasaan heran telah
memandang dan mendapatkan Sun Ie Tiong tengah
berlutut dihadapan pendeta tua itu, sedang hweeshio tua itu
hanya tersenyum saja sambil menggelengkan kepalanya.
Oleh karena itu, maka kini barulah dia mengerti jelas dan
lalu diapun berkata: "Cian-pwee, bukankah Cian-pwee ini
pendeta Siauw Lim yang bernama Leng Keng Taysu?"
Pendeta tua itu tertawa terbahak-bahak memutuskan
perkataan sipemuda, setelah itu dia mendongakan
kepalanya keatas dan bersiul panjang, tidak antara lama
maka datanglah seekor burung bangau putih raksasa yang
segera menghampiri kehadapannya.
Sekonyong-konyong Lie Siauw Hiong teringat sesuatu,
buru-buru dia berkata pada Ceng Jie:
"Kita harus lekas-lekas pergi ke Ouw-lam untuk mencari
ayahmu. Pada tiga hari yang lalu didunia Kang-ouw tersiar
kabar bahwa ayahmu karena ingin mencarimu telah
menerbitkan kegemparan besar didunia Kang-ouw .."
Dengan kegirangan Ceng Jie lalu berkata: "Ayah juga
mencariku" .. kau lihatlah!"
Waktu Lie Siauw Hiong menolehkan kepalanya,
tampaknya ia menjadi terkejut, karena entah dari kapan
Leng Hong secara diam-diam telah melenyapkan dirinya,
dan diwaktu dia memperhatikannya dengan cermat, dia
melihat disuatu tempat yang terpisah agak jauh terlihat
sesosok bayangan manusia yang kecil sekali. Lalu ia berniat
akan mengejarnya, tapi skeonyong-konyong pendeta tua itu
sudah berkata: "Bocah, tidak usah engkau mengejarnya
biarkan saja dia pergi .."
Lie Siauw Hiong jadi tercengang dan buru-buru
membatalkan niatannya akan mengejar Leng Hong.
Diwaktu dia menolehkan kepalanya memandang
kembali, dia lihat bayangannya Leng Hong sudah lenyap.
Ia pikir Leng Hong yang datang bersama-sama dengannya
dari tempat yang ribuan lie jauhnya, kini setelah berhasil
dapat menjumpai Ceng Jie, mengapakah diam-diam ia telah
melarikan diri" Tatkala berpikir sampai disitu, tidak terasa
lagi hatinya merasa tidak enak sekali.
Tapi pendeta tua itu (Leng Kheng Taysu) lalu menghela
napas panjang dan berkata: "Semuanya ini sudah
ditakdirkan oleh Thian Yang Maha Kuasa. Ia berwajah
tampan, tapi sayang sekali nasibnya buruk sekali. Akhirnya
dia akan menjadi seorang murid sang Budha, yang karena
otaknya yang cerdas, maka dibelakang hari ia pasti akan
menjadi murid Budha yang pandai. Oleh karena itu,
biarkanlah dan relakanlah kepergiannya itu .."
Leng Kheng Taysu lalu bersiul panjang dan naik keatas
punggung burung bangau raksasa yang berbulu putih itu,
yang segera membawanya melayang keangkasa raya.
Lie Siauw Hiong dengan perasaan terharu memandang
pada kaki langit disebelah sana, dengan perasaan tidak
mengerti mengapa Leng Hong telah melenyapkan diri
dengan secara diam-diam" Lebih-lebih dia tidak mengerti,
sebenarnya peristiwa celaka apakah yang telah menimpa
atas dirinya"
Sekonyong-konyong terdengar suara Ceng Jie yang
merdu berkata: "Gouw Twako pasti mempunyai uursannya
sendiri, dia memiliki kepandaian yang sangat tinggi, hingga
kita tidak usah menguatirkannya .."
Lie Siauw Hiong merasa sedih sekali, karena
kepergiannya itu mungkin juga berarti untuk selamalamanya ia tak akan saling berjumpa kembali, maka
diwaktu mendengar perkataan Ceng Jie, diapun tidak
menjawab apa-apa, kecuali dalam lubuk hatinya ia
menghadap: "Hanya aku harapkan .. sekalipun entah kapan
kita baru dapat berjumpa lagi, tapi aku berharap pada suatu
hari akan dapat juga menemuinya kembali .."
(Oo-dwkz-oO) Tatkala itu telah bulan tiga, dimana bunga-bunga liar
menyiarkan wanginya yang sedap.
Dibawah kaki gunung Kwie-san diluar kota Han Yang,
dipinggir sebuah telaga tersembunyi dibalik gerombolan
pohon-pohon bambu terletak sebuah kuil, didepan mana
terpancang papan merek yang bertuliskan: 'Sui-goat-am'.
Kuil ini letaknya sangat tersembunyi, hingga orang
banyak jarang sekali sampai disitu. Tapi pada saat itu ada
dua orang yang berpakaian bagaikan pengemis telah tiba
dipintu kuil tersebut, dengan salah seorang antaranya yang
berbadan gemuk tampak mengetuk pintu kuil itu.
Dengan mengeluarkan suara terkuak, terbukalah pintu
kuil itu, yang dibukakan oleh seorang pendeta wanita yang
masih muda belia, ia berbaju putih bagaikan salju,
wajahnya cantik, matanya hitam dan bagus, giginya putih
bagaikan mutiara, bibirnya dadu dan mulutnya mungil
bagaikan buah Tho, tapi amat disayangi, bahwa diantara
kecantikannya ini tersembunyi kesedihan yang dapat dilihat
jelas sekali. Kedua pengemis itu menjadi tercengang, karena tidak
menyangka bahwa dihutan bambu yang demikian sunyinya
itu terdapat seorang wanita muda belia yang demikian
cantiknya .. apa lagi dia adalah seorang pendeta wanita.
Tahukah pembaca mengapa wanita muda dan cantik
begini suka berkawan dengan kesunyian dan menjadi
muridnya Sang Budha"
Kedua pengemis tersebut setelah tercengang sebentar,
salah seorang yang umurnya lebih lanjut lalu berkata:
"Khonio, .. ah, bukan .. siauw-suhu (pendeta kecil)
bolehkah kami mendapatkan sedikit air untuk kami minum"
.. Kami terlampau haus karena melakukan perjalanan jauh
.." Pendeta wanita muda itu manggutkan kepalanya, lalu
dia putarkan badannya masuk kembali untuk mengambil air
yang diminta, kemudian barulah dia kunci pintu kuilnya
kembali. Kedua pengemis itu duduk dibawah sebuah pohon besar,
dimana sambil minum mereka bercakap-cakap.
"Ai, didunia yang demikian luasnya serta banyak
manusia sebagai penghuninya, kita disuruh mencari Kim
Bwee Ling seorang. Ini sungguh sulit bagaikan mencari
jarum ditengah lautan saja .."
Yang satunya lagi menjawab: "Siapa suruh Lie Tayhiap
menjadi tuan penolong partai kita" Mengenai urusan Lie
Tayhiap, sekalipun kaki kita bisa patah, kita wajib
mencarinya juga."
Yang berkata duluan itu lalu berkata lagi: "Benar,
kepandaian Lie Tayhiap yang begitu hebat, aku orang she
Cian benar-benar merasa takluk. Jangan dia telah melepas
budi yang demikian besarnya terhadap partai kita, sekalipun
dia tidak pernah melepas budi terhadap partai kita, asal dia
berlaku baik terhadapku dengan rela akan membantunya
juga." Mereka bercakap-cakap demikian asyiknya, sehingga
mereka tidak menyangka, bahwa dibalik pintu kuil
sipendeta wanita muda itu tengah mencuri dengar
percakapan mereka berdua. Dan diwaktu dia mendengar
namanya disebut-sebut, mukanya yang pucat seketika
menunjukkan semu merah, sesungguhnya perasaan dalam
lubuk hatinya tengah berperang.
Dia seperti seorang yang sudah terjatuh dalam peristiwa
yang lampau, mukanya tampak memerah, dimulutnya
mengunjukkan senyuman yang manis, tapi senyuman itu
lenyap dengan perlahan-lahan, akan kemudian pada muka
itu terlihat kembali kesedihan hatinya, hingga barang siapa
yang melihatnya, pasti ia akan merasa kasihan terhadap
dirinya .. Dengan menguatkan hati ia telah menahan keluar
airmatanya, sambil dengan diam-diam berkata pada dirinya
sendiri: "Hiong Koko, kau seumur hidupmu pasti tak akan
menjumpaiku kembali .., Hal ini mungkin juga sudah
ditentukan oleh Thian Yang Maha Kuasa. Sejak aku
dilahirkan, mungkin juga aku harus bernasib malang, tapi
mengapakah engkau begitu kejam, hingga segala kecelakaan telah kau timpakan kepadaku seorang gadis
yang lemah?"
Belakangan waktu dia terpikir pada kata-kata pengemis
diluar itu, diam-diam ia telah menghibur dirinya sendiri:
"Hiong Koko belum tentu mengingatku senantiasa,
hingga ini sudah cukuplah, dan biarlah kita putuskan
perhubungan kita sampai disini saja .., karena tak ada jalan
lain yang lebih 'baik' lagi daripada itu .. Hiong Koko, kau
tak usah mencariku lagi, kau pasti tak kan dapat mencariku
.. Aku senantiasa mendoakan atas keselamatan serta
kebahagiaanmu .."
Begitulah dengan perlahan-lahan ia telah memutarkan
badannya, ia memandang pada patung dewi Kwan Im.
Sinar matahari yang menerobos dari jendela telah
memantulkan sinarnya diatas patung dewi tersebut, hingga
ini memberi suatu pemandangan yang indah permai. Lalu
dia jatuhkan dirinya berlutut, kemudian menyulut hio
wangi dan ditancapkannya dihiolouw, yang asapnya
bergulung-gulung naik keatas dan lenyap dengan melalui
sinar matahari. Demikian juga suara doa pendeta wanita
muda ini pelahan-lahan telah mengikuti naiknya asap hio
menuju kesorga Sang hari perlahan-lahan telah mulai menjadi gelap,
sedangkan mataharipun lambat-laun tenggelam pula
memasuki awan ketempat peraduannya diufuk sebelah
barat (Oo-dwkz-oO)
Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar ( Bwee Hoa Kiam Hiap ) Karya Liong Pei Yen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
TAMAT Kisah Si Pedang Terbang 3 Bakti Pendekar Binal Karya Khu Lung Pendekar Kelana 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama