Ceritasilat Novel Online

Pendekar Pendekar Negeri Tayli 8

Pendekar Pendekar Negeri Tayli Karya Jin Yong Bagian 8


Rupanja Tjiong Ling sangat takut terhadap manusia jang setengah-mati-setengah-hidup itu, ia membisiki Po-ting-te: Marilah kita pergi dulu, nanti kalau orang itu sudah enjah, barulah kita kembali lagi.
Po-ting-te sendiri rada heran djuga melihat Djing-bau-khek jang luar biasa itu. Ia tjoba menghibur sigadis: Djangan kuatir, masih ada aku disini. Apakah Toan Ki terkurung didalam rumah batu ini"
Tjiong Ling mengangguk, lalu mengumpet dibelakang Po-ting-te.
Pelahan-pelahan Po-ting-te mendekati Djing-bau-khek, tegurnja dengan ramah: Dapatkah silahkan saudara menjingkir sedikit"
Namun Djing-bau-khek itu anggap tidak melihat dan tidak mendengar, ia tetap duduk bersila dengan tenang ditempatnja.
Djika saudara tidak suka menjingkir, maafkanlah kalau Tjayhe mesti berlaku kasar, kata Po-ting-te pula. Sekali miringkan tubuh, segera ia melajang lewat disamping Djing-bau-khek terus hendak mendorong batu penutup pintu rumah.
Tapi sebelum Po-ting-te mengeluarkan tenaga, sekonjong-konjong Djing-bau-khek melorot keluar sebatang tongkat bambu terus menutuk ke Koat-bun-hiat dibawah ketiaknja. Tjuma anehnja tongkat bambu itu berkeder terus dan tidak lantas ditutukkan, pabila Po-ting-te kerahkan tenaga untuk mendorong batu, sekali tongkat itu ditutukkan, tentu Po-ting-te susah menghindarkan diri.
Karuan Po-ting-te terkesiap, pikirnja: Ilmu Tiam-hiat orang ini sungguh sangat pandai. Didjaman ini, siapakah gerangan tokoh kosen selihay ini"
Tjepat ia ajun tangan jang lain untuk membelah tongkat bambu orang, sedang tangan satunja tetap menahan diatas batu untuk sewaktu-waktu mendorongnja. Namun reaksi Djing-bau-khek itu benar-benar sangat tjekatan, sekali tongkatnja memutar, kembali ia antjam Thian-ti-hiat didada lawan.
Setjepat kilat Po-ting-te berganti serangan sampai beberapa kali, tapi selalu kena diatasi lebih dulu oleh tongkat bambu sibadju hidjau jang tetap mengantjam sesuatu tempat Hiat-to jang berbahaja ditubuhnja.
Pertarungan diantara kaum ahli memangnja tidak perlu setiap serangan mesti mengenai sasarannja dengan telak. Maka sesudah belasan kali berganti tipu serangan, selalu Djing-bau-khek berhasil membuat Po-ting-te tidak sempat kerahkan tenaganja untuk mendorong batu besar itu. Betapa djitu tjaranja mengintjar Hiat-to, Po-ting-te harus mengakui lawan tidak kalah daripada dirinja, bahkan masih diatas adiknja, jaitu Toan Tjing-sun.
Sekonjong-konjong Po-ting-te memotong miring kebawah dengan tangan kiri, menjusul mata, tahu-tahu telapak tangan itu mendadak berubah dengan tutukan djari, Tjus, ia keluarkan Lwekang dari It-yang-tji untuk menutuk tongkat lawan. Kalau tutukan ini kena, djangankan hanja tongkat bambu, biarpun tongkat badja djuga akan dibuatnja bengkok.
Tak tersangka, tiba-tiba tongkat bambu orang itupun bergerak, tjus, tongkat itupun menutuk kearahnja hingga kedua tenaga tutukan itu saling bentur diudara. Kontak Po-ting-te tergetar mundur setindak, sebaliknja badan Djing-bau-khek djuga rada tergeliat sedikit. Muka Po-ting-te sekilas memerah, sebaliknja wadjah Djing-bau-khek itupun sekilas bersemu hidjau, namun sama-sama lantas lenjap dalam sekedjap sadja.
Sungguh heran Po-ting-te tak terkatakan. Pikirnja: Ilmu silat orang ini bukan sadja sangat tinggi, bahkan sudah terang adalah satu sumber dengan diriku. Djelas kelihatan ilmu permainan tongkatnja ini ada hubungannja dengan It-yang-tji .
Karena itu, segera ia memberi hormat dan menanja: Siapakah nama Tjianpwe jang terhormat, sudilah kiranja memberitahu"
Kau ini Toan Tjing-beng atau Toan Tjing-sun" terdengar sesuatu suara mendenging berbalik menanja padanja.
Melihat mulut orang tanpa bergerak, tapi dapat bitjara, Po-ting-te mendjadi lebih heran, sahutnja: Aku adalah Toan Tjing-beng!
Hm, djadi engkau inilah radja Po-ting-te dari negeri Tayli sekarang"
djengek orang aneh itu.
Benar, sahut Po-ting-te.
Sesudah pertandingan barusan, ilmu silat kita siapa lebih tinggi" tiba-tiba Djing-bau-khek itu menanja.
Untuk sedjenak Po-ting-te memikir, lalu mendjawab: Bitjara tentang ilmu silat, memang engkau lebih menang sedikit. Tetapi kalau bergebrak sungguh-sungguh, aku bisa menangkan engkau.
Benar, Djing-bau-khek itu mengakui, betapapun karena badanku sudah tjatjat. Ai, sungguh tidak njata bahwa setelah mendjadi radja, sedikitpun engkau tidak terlantarkan ilmu silatmu. ~ Walaupun suaranja keluar dari perutnja dengan suara jang aneh, tapi tetap dapat terdengar utjapannja jang terachir penuh mengandung rasa bimbang, sesal dan ketjewa.
Karena takbisa menerka asal-usul orang, dalam sekedjap didalam benak Po-ting-te sudah berputar matjam-matjam tanda tanja.
Saat itulah, tiba-tiba dari dalam rumah batu berkumandang keluar suara djeritan seorang jang keras dan serak. Itulah dia suara Toan Ki.
Tjepat Po-ting-te berseru: Ki-djie, kenapakah kau" Djangan kuatir, segera aku datang menolong kau!
Kiranja sehabis memakan kedua ekor Bong-koh-tju-hap mestika itu, semula Toan Ki memang merasa agak segar. Tak tersangka olehnja bahwa sepasang katak merah itu adalah machluk adjaib jang djarang terdapat dialam semesta ini, hidupnja berkat hawa Yang atau positip jang murni. Pabila jang memakannja itu adalah Bok Wan-djing, maka dengan pembauran hawa Im dan Yang, seketika ratjun jang berkobar-kobar didalam tubuh sigadis akan dapat dihapusnja.
Tapi sekarang jang memakannja adalah Toan Ki jang bertenaga Yang atau positip, tenaga kaum lelaki. Memangnja hawa Yang itu sedang bergolak didalam tubuh Toan Ki, sekarang ditambah hawa Yang murni dari Tju-hap, karuan sebentar sadja setelah hawa Yang katak-katak itu mulai bekerdja, keadaan Toan Ki mendjadi mirip api disiram minjak, saking panas oleh bergolaknja hawa Yang itu, sampai achirnja Toan Ki hanja megap-megap sambil berteriak mengangakan mulutnja, dengan demikian dapatlah hawa jang merongkol didalam tubuh itu sekadar dikeluarkan. Tentang pertjakapan antara Po-ting-te dan Djing-bau-khek itu diluar rumah batu serta Po-ting-te menjuruhnja djangan kuatir segala, Toan Ki hanja dapat mendengarnja, tapi tidak sadar lagi akan maksudnja.
Hm, Siautju ini boleh djuga dasar imannja, setelah minum aku punja Im-yang-ho-hap-san ternjata masih mampu bertahan sampai sekarang, demikian tiba-tiba Djing-bau-khek berkata.
Karuan Po-ting-te kaget, tanjanja ragu-ragu: Kau ... kau memberinja ratjun sedjahat dan setjabul itu, apa maksud tudjuanmu sebenarnja"
Didalam rumah ini terdapat pula adik perempuannja, sahut Djing-bau-khek.
Maka mengartilah Po-ting-te akan muslihat kedji orang. Sekalipun biasanja ia sangat sabar, kini iapun tak tahan lagi, dengan ilmu It-yang-tji jang maha lihay itu terus menutuk. Segera Djing-bau-khek membalasnja dengan tongkat bambunja.
Menjusul tutukan kedua Po-ting-te dilontarkan pula, kali ini mengarah Tan-tjong-hiat didada lawan. Hiat-to ini adalah tempat jang mematikan, ia menduga musuh tentu akan menangis sekuat tenaga.
Tak tersangka Djing-bau-khek itu hanja mendengus dua kali, tidak menangkis djuga tidak berkelit, ia membiarkan dadanja ditutuk orang.
Dalam pada itu djari Po-ting-te sudah menjentuh badju orang, ia mendjadi tjuriga melihat lawannja mandah sadja diserang, segera ia tahan tutukannja itu ditengah djalan sambil menanja: Kenapa kau rela mati"
Kalau aku mati dibawah tanganmu, itulah paling baik, biarlah dosa keluarga Toan dari Tayli akan bertambah lebih dalam lagi setingkat, sahut Djing-bau-khek.
Siapakah engkau sebenarnja" tanja Po-ting-te pula.
Maka dengan pelahan Djing-bau-khek itu mengutjapkan satu kalimat.
Mendengar itu, seketika wadjah Po-ting-te berubah hebat, katanja dengan terputus-putus: Ak ... aku tidak pertjaja!
Tiba-tiba Djing-bau-khek itu oper tongkat bambunja ketangan kiri, lalu djari telundjuk tangan kanan mendadak menutuk kearah Po-ting-te. Namun tjepat Po-ting-te sempat mengegos kesamping, berbareng balas menutuk sekali.
Tjus, lagi-lagi tutukan kedua Djing-bau-khek itu dilontarkan dengan djari tengah. Dengan sikap prihatin Po-ting-te membalas pula dengan djari tengah pula.
Menjusul Djing-bau-khek menutuk pula dengan djari manis jang menjamber dari samping, kemudian tutukan keempat dilantjarkan dengan djari ketjil dengan gaja mentjukit.
Dengan wadjah sungguh2 Po-ting-te membalas semua tutukan itu dengan djari2 jang sama. Ketika tutukan kelima kalinja terdjadi, kini Djing-bau-khek menggunakan djari djempol dengan gaja menekan kedepan.
Diantara kelima djari tangan, djempol adalah djari jang paling kaku, tidak segesit djari2 lain. Tapi Djing-bau-khek dapat menggunakan djari djempol untuk menutuk dengan It-yang-tji, tentu sadja Po-ting-te tak berani ajal, segera iapun angkat djari djempolnja dan ditekan kedepan.
Tjiong Ling jang menonton disamping mendjadi ter-heran2, sifat kanak2nja mendjadi timbul lagi hingga lupa rasa takutnja pada Djing-bau-khek itu. Dengan tertawa ia berseru: He, apakah kalian sedang main sut (suten)" Siapakah jang telah menang"
Sembari berkata, Tjiong Ling berdjalan mendekati. Tapi se-konjong2
serangkum angin keras menjamber kearahnja, seketika dadanja mendjadi sesak se-akan2 kena ditikam sendjata tadjam. Untung Po-ting-te sempat ajun sebelah tangannja hingga tubuh Tjiong Ling dapat didorong mundur, menjusul mana Po-ting-te sendiripun melesat mundur untuk memajang badan sigadis dengan wadjah guram, katanja: Apakah kau sudah tidak sajang pada djiwamu lagi"
Huak, terus sadja Tjiong Ling muntahkan darah segar, dengan tertjengang ia mendjawab: Ap...... apakah ia hendak membunuh aku"
Bukan, sahut Po-ting-te. Aku sedang mengadu kepandaian dengan dia, orang luar tidak boleh sembarangan mendekat.
Habis itu, Po-ting-te urut2 pelahan beberapa kali dipunggung Tjiong Ling hingga pernapasan gadis itu lantjar kembali.
Sekarang kau pertjaja tidak" demikian terdengar Djing-bau-khek itu bertanja pada Po-ting-te.
Segera Po-ting-te melangkah madju, ia membungkuk memberi hormat pada orang sambil berkata: Toan Tjing-beng memberi hormat pada Tjianpwe.
Kau tjuma panggil aku Tjianpwe, djadi tidak sudi mengakui siapa diriku atau memang masih belum mau pertjaja" tanja Djing-bau-khek itu.
Tjing-beng adalah pemimpin dari suatu negeri, mempunjai pertanggungan djawab berat, setiap tindak-tanduk dengan sendirinja tidak boleh semberono. demikian djawab Po-ting-te. Tjing-beng sendiri tidak punja anak, Toan Ki itu adalah satu2nja anak laki2 keluarga Toan kami, maka mohon Tjianpwe suka memberi ampun melepaskan dia.
Tidak, aku djusteru ingin keluarga Toan rusak moralnja dari berdurhaka, hilang anak putus turunan. Dengan susah pajah aku mentjari kesempatan dan baru hari ini berhasil, mana boleh aku sembarangan membebaskannja"
Toan Tjing-beng tidak bisa terima perbuatanmu ini! seru Po-ting-te dengan suara keras.
Hehe! Kau mengaku sebagai radja Tayli, tapi bagiku kau tidak lebih daripada pemberontak jang merebut kekuasaan. Djika kau berani, boleh kau kerahkan pasukanmu dan kawanan pengawalmu kesini. Tapi ingin kukatakan padamu, memang kekuasaanku tidak bisa melawan kau, namun bila aku mau bunuh sibangsat tjilik Toan Ki ini, rasanja masih terlalu mudah.
Wadjah Po-ting-te mendjadi putjat pasi. Ia tahu apa jang dikatakan orang memang benar, asal dirinja bertambah lagi seorang pembantu, tentu Djing-bau-khek ini takkan mampu melawannja, tapi Toan Ki jang segera mendjadi korban, apalagi orang terhitung kaum Tjianpwe, mana boleh dirinja melawan pada orang tua. Maka terpaksa ia menanja: Habis, tjara bagaimana baru engkau bersedia membebaskan Ki-dji"
Tidak susah, mudah sekali! sahut Djing-bau-khek. Kau lekas mendjadi Hwesio dan serahkan tachtamu padaku, segera aku akan membebaskan Toan Ki.
Warisan dari leluhur, mana boleh sembarangan diberikan orang lain"
sahut Po-ting-te.
Djika begitu, boleh kau sabar menanti sadja, bila Toan Ki dan adik perempuannja sudah melahirkan anak, segera aku lepaskan dia. kata Djing-bau-khek.
Lebih baik lekas kau membunuhnja sadja. sahut Po-ting-te.
Tidak, kata Djing-bau-khek. Selain itu, masih ada lagi dua djalan.
Djalan apa" tanja Po-ting-te.
Pertama, mendadak menjerang aku, karena tak sempat mendjaga diri, kau bisa membunuh aku dengan mudah dan tentu kau dapat menolong keponakanmu itu.
Aku tidak pernah membokong orang, djuga tidak padamu! udjar Po-ting-te.
Walaupun kau hendak membokong aku djuga belum tentu mampu, sahut Djing-bau-khek. Dan djalan kedua, boleh kau suruh Toan Ki menempur aku dengan It-yang-tji, asal dia bisa menangkan aku, bukankah dia sendiri bisa lolos" Hehe-hehe!
Sungguh gusar Po-ting-te tak terkatakan, namun dia masih dapat mengendalikan diri, katanja pula: Ki-dji takbisa ilmu silat, ia tidak pernah beladjar ilmu It-yang-tji.
Putera keluarga Toan takbisa It-yang-tji" Ha, siapa jang mau pertjaja!
djengek Djing-bau-khek.
Sedjak ketjil Ki-dji hanja suka batja kitab dan tekun beribadat, hatinja welas-asih, ia bertekad tidak mau beladjar silat, demikian Poting-te mendjelaskan.
Huh, kembali seorang laki2 berhati palsu lagi. Orang demikian kalau mendjadi radja Tayli, rasanja djuga takkan menguntungkan rakjat, ada lebih baik lekas dibunuhnja sadja.
Tjianpwe, tiba2 Po-ting-te berseru dengan bengis, ketjuali itu tadi, apakah masih ada djalan lain pula"
Dahulu kalau akupun diberi djalan lain, tentu tak djadi seperti hariini, sahut Djing-bau-khek dingin. Kalau orang lain tidak memberi djalan padaku, kenapa aku harus memberi djalan padamu"
Po-ting-te menunduk memikir sedjenak, mendadak ia angkat kepalanja dengan sikap jang penuh kepertjajaan, serunja: Ki-dji, selekasnja aku akan berdaja untuk menolong kau. Djanganlah kau lupa bahwa kau adalah keturunan keluarga Toan!
Maka terdengar Toan Ki berseru mendjawabnja: Pekhu, lebih baik kau masuk kesini........ dan menutuk mati aku sadja!
Apa" Djadi kau sudah melakukan perbuatan jang merusak kehormatan keluarga Toan kita" bentak Po-ting-te.
Tidak! Tapi Tjitdji (keponakan) merasa panas bagai dibakar, takbisa...... takbisa hidup lagi!
Mati atau hidup adalah takdir ilahi, biarkan apa semestinja! seru Poting-te.
Habis itu ia ganddeng tangannja Tjiong Ling terus melompat lewat pagar pohon.
Nona tjilik, terima kasih engkau telah tundjukan djalannja, kelak tentu kau akan dapat gandjaran jang setimpal. kata Po-ting-te pada Tjiong Ling, lalu tinggal pergi kembali kedepan rumah utama tadi.
Dalam pada itu pertarungan masing2 partai dikalangan itu sudah mulai kentara kekuatan masing2, Bu-sian-tio-toh Leng Djian-li dan Tiam-djong-san-long Tang Su-kui berdua menempur Lam-hay-gok-sin sudah terang diatas angin. Sebaliknja Djay-sin-khek Siau Tiok-sing dan Pit-bak-seng Tju Tan-sin jang mengerubut Yap Dji-nio malah terdesak oleh golok tipis tokoh kedua dari Su-ok itu.
Si Pek-hong tampak putar kebutnja dengan rapat hingga sepasang Siu-lo-to lawannja susah menembus pertahanannja.
Disebelah sana In Tiong-ho tampak masih main udak2an dengan Thian-sik.
Napas In Tiong-ho tampak megap2 bagai kerbau sekarat, sebaliknja Thian-sik masih melompat dan meletjit dengan enteng dan tjekatan. Sedang Sian-tan-hou Ko Sing-thay tetap atjuh-tak-atjuh menggendong tangan mondar-mandir disamping, njata ia sudah jakin akan kemenangan dipihaknja, maka terhadap pertarungan sengit didepannja itu dianggapnja sepi sadja.
Padahal ia djusteru pasang telinga dan mata memusatkan antero perhatiannja mengikuti situasi medan pertempuran, asal tiada seorang kawannja menghadapi bahaja, iapun tidak perlu turun tangan membantu.
Dan karena tidak melihat adik pangerannja berada disitu, segera Poting-te menanja: Kemana Sun-te pergi"
Tin-lam-ong mengedjar Tjiong-koktju dan sedang mentjari Toan-kongtju.
sahut Sing-thay.
Segera Po-ting-te berseru: Kita sudah ada rentjana lain, harap semua orang mundur dulu.
Mendadak Pah Thiabn-sik lantas berhenti. Tapi In Tiong-ho masih terus menubruk kearahnja. Plak, tjapat Thian-sik melontarkan pukulan kebelakang. Ketika In Tiong-ho menangkis, kontan dadanja serasa sesak, darah hampir2 menjembur keluar dari mulutnja. Sekuatnja ia tjoba bertahan, namun pandangannja mendjadi remang2, susah lagi melihat datangnja serangan lawan.
Untung Thian-sik tidak menghantam lebih djauh, sebaliknja tjuma mendjengek beberapa kali dan berkata: Terima kasih!
Dalam pada itu, tampak Toan Tjing-sun telah muntjul djuga dari semak2
pohon sana, segera ia menanja: Hong-heng, apakah Ki-dji sudah terto......
sudah diketemukan" ~ sebenarnja ia hendak tanja apakah sudah tertolong, tapi karena tidak melihat Toan Ki, ia berganti menanja apakah sudah diketemukan atau belum"
Sudah ketemu, sahut Po-ting-te mengangguk. Marilah kita pulang sadja dahulu.
Mendengar perintah gentjetan sendjata radja mereka, sebenarnja Leng Djian-li dan kawan2nja lantas hendak berhenti. Namun Yap Dji-nio, Lam-hay-gok-sin dan Tjin Ang-bian sedang bernapsu melabrak lawan2nja, seketika mereka belum rela berhenti begitu sadja, mereka masih tetap tjetjar lawan2nja.
Po-ting-te mengkerut kening melihat itu, katanja pula: Marilah kita pergi sadja!
Ko Sing-thay mengia, sekali berbareng ia keluarkan sendjatanja giok-tik atau seruling kemala, sekali bergerak, segera punggung Tjin Ang-bian ditutuknja.
Huh, tidak malu, main kerojokan! damperat Ang-bian dengan gusar sambil menangkis.
Maka terdengarlah suara tjrang-tjring dua kali, sepasang Siu-lo-to kena ditekan kebawah, kesempatan mana segera digunakan Si Pek-hong untuk melompat mundur.
Sekali Ko Sing-thay kebas lengan badjunja jang longgar itu hingga berdjangkit serangkum angin keras, ia tahan agar Tjin Ang-bian tidak merangsak lebih djauh lawannja, lalu serulingnja menutuk pula kearah Lam-hay-gok-sin, menjusul serulingnja membalik, kini Yap Dji-nio jang diintjar.
Kedua gerak serangan itu semuanja menjerang ketitik kelemahan musuh jang terpaksa mesti dihindar. Maka Lam-hay-gok-sin dan Yap Dji-nio mendjadi kaget semua, tjepat mereka melompat mundur beberapa tindak.
Sebenarnja ilmu silat Ko Sing-thay toh tidak lebih tinggi daripada ketiga lawannja itu, soalnja sudah lama ia sudah merentjanakan tipu2
serangan hebat untuk melajani ketiga orang itu. Asal tipu serangan jang sudah disiapkan lebih dulu itu dilontarkan, seketika ketiga orang itu pasti kelabakan dan terpaksa melompat mundur.
Dengan mendelikan matanja jang bundar ketjil sebesar katjang itu, Lam-hay-gok-sin terkedjut tertjampur kagum, serunja: Setan, hebat benar, sungguh tidak njana....... ~ Ia tidak melandjutkan kata2nja jang bermaksud tidak njana begini lihay kepandaianmu, agaknja Lotju masih bukan tandinganmu.
Dalam pada itu Si Pek-hong lantas bertanja pada Po-ting-te: Hong-heng, bagaimana dengan Ki-dji"
Meski dalam batinnja Po-ting-te sangat kuatir, namun lahirnja ia tetap tenang sadja, sahutnja: Tidak apa2, saat ini djusteru adalah kesempatan jang paling bagus untuk menggemblengnja, lewat beberapa hari lagi tentu dia akan bisa bebas. ~ Habis berkata, segera ia putar tubuh dan mendahului berangkat.
Tjepat Sukong Pah Thian-sik berlari kedepan sebagai pembuka djalan.
Sedang suami isteri Toan Tjing-sun menjusul dibelakang Po-ting-te, lalu para pengiring dan tokoh2 Hi-djiau-keng-dok, paling achir adalah Ko Sing-thay jang mengawal dengan berlenggang seenaknja.
Njata, dengan serangan2 jang lihay tadi, Ko Sing-thay telah bikin lawan2nja rada djeri. Biarpun Lam-hay-gok-sin biasanja sangat garang dan buas, kini djuga tidak berani sembarangan menantang pula.
Setelah belasan tindak berdjalan, tiba2 Toan Tjing-sun menoleh memandang Tjin Ang-bian. Saat itu, dengan termangu2 Ang-bian djuga sedang memandang bekas kekasihnja itu. Dua pasang mata ketemu, seketika mereka terkesima semua.
Keparat! mendadak Lam-hay-gok-sin membentak, Apakah kau masih tidak mau pergi dan ingin berkelahi pula dengan Lotju"
Toan Tjing-sun mendjadi kaget, tjepat ia berpaling kembali, ia lihat sang isteri sedang memandangnja dengan sikap dingin, dengan kikuk lekas2
ia pertjepat langkahnja keluar dari Ban-djiat-kok.
Setelah rombongan sampai di Tayli, Po-ting-te lantas berkata: Mari kita berkumpul semua dikeraton untuk berunding!
Sampai dipendopo keraton, Po-ting-te duduk ditengah, Toan Tjing-sun suami-isteri disisinja, sedang Ko Sing-thay dan lain2 hanja berdiri.
Segera Po-ting-te suruh dajang membawakan kursi dan minta semua orang ikut berduduk. Habis itu, ia perintahnja semua dajang keluar ruangan, lalu mentjeritakan keadaan Toan Ki jang dikeram oleh musuh itu.
Mendengar itu, semua orang tahu bahwa kuntji daripada mati-hidupnja Toan Ki adalah terletak pada diri Djing-bau-khek itu. Tapi demi mendengar Po-ting-te mengatakan orang aneh itupun paham It-yang-tji, bahkan masih lebih lihay daripada sang radja, karuan tiada seorangpun jang berani sembarangan buka suara.
Sebab harus diketahui bahwa It-yang-tji itu adalah ilmu tunggal warisan keluarga Toan turun-temurun, hanja diadjarkan pada anak laki2 dan tidak kepada anak perempuan. Dan kalau Djing-bau-khek mahir ilmu sakti itu, dengan sendirinja pasti djuga berasal dari keturunan keluarga Toan.
Sedang semua orang menunduk berpikir, Po-ting-te berkata pada Toan Tjing-sun: Sun-te, tjoba kau terka siapakah gerangan orang itu"
Tjing-sun geleng2 kepala, sahutnja: Aku takbisa menebaknja, apa barangkali ada orang dari geredja Tjing-peng-si jang kembali mendjadi preman dan menjamar"
Bukan, sahut Po-ting-te.Tapi dia adalah Yan-king Thaytju!
Mendengar nama Yan-king Thaytju atau putera mahkota Yan-king itu, seketika semua orang terkedjut.
Yan-king Thay-tju" Tjing-sun menegas. Bukankah sudah lama dia meninggal" Besar kemungkinan orang itu memalsukan beliau untuk menipu belaka.
Nama orang bisa dipalsu, apakah It-yang-tji djuga dapat dipalsu" sahut Po-ting-te menghela napas. Memang banjak djuga orang Bu-lim mentjuri beladjar ilmu silat aliran lain, akan tetapi rahasia Lwekang dari It-yang-tji kita tjara bagaimana bisa ditjurinja" Maka menurut aku, orang ini pastilah Yan-king Thaytju adanja, hal ini tidak perlu disangsikan lagi.
Tjing-sun memikir sedjenak, lalu berkata: Djika Toako sudah djelas mengenali orang, ini berarti dia adalah tokoh pilihan dari Toan-keh (keluarga Toan) kita, tapi sebab apa dia malah hendak merusak nama baik keluarga kita"
Orang ini badaniah tjatjat semua, dengan sendirinja sifat2nja sangat menjendiri dan aneh, segala tindak-tanduk dengan sendirinja djuga abnormal, demikian Po-ting-te mendjelaskan. Apalagi tachta keradjaan Tayli sudah kududuki, dengan sendirinja ia tidak senang, maka kita berdua hendak dihantjurkannja habis2an.
Hlm. 17: Gambar
Dengan sjarat apa barulah Tjianpwe suka membebaskan Ki-dji" tanja Poting-te.
Mudah sekali, sahut Djing-bau-khek, Kau mendjadi Hwesio dan serahkan tachtamu padaku, dan botjah itu segera kulepaskan. Kalau tidak, haha, biarlah lain tahun kita saksikan kelahiran bajinja dari perkawinannja dengan adik perempuannja sendiri!
Toako sudah lama naik tachta dan didukung penuh oleh seluruh rakjat, negarapun aman dan tenteram, rakjat hidup sedjahtera, djangankan Yan-king Thaytju datang kembali, sekalipun Siang-tek-te hidup kembali djuga susah menggantikan tachta Toako, demikian udjar Tjing-sun.
Segera Ko Sing-thay djuga berbangkit, dan berdatang sembah: Apa jang dikatakan Tin-lam-ong memang tepat. Urusan akan mendjadi beres apabila Yan-king Thaytju mau bebaskan Toan-kongtju dengan baik2, kalau tidak, kitapun tidak kenal lagi apakah dia itu Thaytju apa segala, kita anja anggap dia sebagai kepala dari Su-ok jang maha djahat serta pantas dibasmi. Biarpun ilmu silatnja tinggi, achirnja djuga takkan mampu lawan kita jang berdjumlah lebih banjak.
Kiranja pada masa 14 tahun jang lalu, tatkala itu radja Tayli Toan Lian-tju dengan gelar Siang-tek-te, telah dibunuh oleh menteri dorna Njo Tjit-tjeng. Kemudian keponakan dari Siang-tek-te jang bernama Toan Siu-hui dapat bantuan dari pembesar setia Ko Ti-sing, telah membasmi pemberontakan Njo Tjhit-tjeng, lalu naik tachta sendiri dengan gelar Siang-beng-te.
Tapi Siang-beng-te tidak senang mendjadi radja, hanja bertachta satu tahun, ia lantas mengundurkan diri untuk mendjadi Hwesio, ia serahkan tachtanja kepada adik sepupunja Toan Tjing-beng, jaitu Po-ting-te jang sekarang.
Siang-tek-te sebenarnja mempunjai seorang putera kandng jang disebut oleh para menteri dengan gelar Yan-king Thaytju. Tapi sewaktu terdjadi kudeta oleh Njo Tjhit-tjeng, Yan-king Thaytju telah menghilang hingga semua orang menjangka djuga sudah dibunuh oleh pemberontak. Siapa duga sesudah belasan tahun lamanja, kini mendadak telah muntjul kembali.
Maka sesudah mendengar pendapat Ko Sing-thay tadi, Po-ting-te lantas berkata sambil geleng kepala: Tidak, aku tidak setudju. Tachtaku ini memangnja adalah haknja Yan-king Thaytju. Tatkala itu disebabkan dia menghilang, makanja Siang-beng-te mau terima tachta ini, kemudian diberikan pula padaku. Tapi kini kalau Yan-king Thaytju sudah kembali, tachta keradjaan ini sepantasnja harus dikembalikan padanja. ~ Lalu ia menatap Ko Sing-thay dan menjambung: Andaikan mendiang ajahmu masih hidup, tentu iapun sependapat dengan aku.
Kiranja Ko Sing-thay ini tak-lain-tak-bukan adalah puteranja Ko Tising, itu menteri setia jang membantu Siang-tek-te membasmi pemberontakan.
Segera Ko Sing-thay melangkah madju, ia menjembah dan menutur pula: Mendiang ajahku membaktikan dirinja kepada negara dan tjinta pada rakjat.
Padahal Djing-bau-khek ini mengaku sebagai kepala dari Su-ok jang maha djahat, kalau dia jang meradjai negeri Tayli ini, maka susah dibajangkan betapa tjelakanja rakjat djelata akan menderita akibat angkara-murkanja itu. Maka pendapat Hongsiang tentang akan menjerahkan tachta padanja, hamba Sing-thay sekalipun mati takbisa terima.
Tjepat Leng Djian-li pun menjembah kelantai, katanja: Tadi Djian-li djuga mendengar gembar-gembor Lam-hay-gok-sin itu, katanja kepala dari Su-ok mereka berdjuluk kedjahatan sudah melebihi takaran. Tjoba pikiran, andaikan benar orang itu adalah Yan-king Thaytju, lalu menjerahkan tachta ini kepada seorang jang kedjam dan durhaka seperti dia untuk memerintah rakjat Tayli ini, maka pastilah negara akan hantjur dan rakjat akan tjelaka!
Harap kalian bangun, apa jang kalian katakan memang ada benarnja djuga, sahut Po-ting-te. Tjuma Ki-dji berada ditjengkeramannja, ketjuali menjerahkan tachta padanja, djalan lain rasanja tiada lagi.
Toako, kata Tjing-sun, selamanja jang kita kenal adalah: orang tua ada kesulitan, jang muda harus berusaha sebisanja untuk menolong. Ki-dji meski benar sangat disajang oleh Toako, mana boleh Toako rela melepaskan tachtamu hanja untuk keselamatannja seorang" Andaikan untuk mana Ki-dji dapat diselamatkan, rasanja diapun akan merasa berdosa pada rakjat negeri Tayli ini.
Po-ting-te tidak berkata pula, ia berbangkit sambil berdjalan mondar-mandir diruangan pendopo itu, tangan kiri mengelus-elus djenggot, tangan lain ketok-ketok perlahan didjidat sendiri.
Semua orang tahu bila sang radja sedang menghadapi sesuatu kesulitan, selalu dia memeras otak seperti demikian, maka tiada seorangpun jang berani bersuara mengganggu.
Setelah mondar-mandir agak lama, kemudian berkatalah Po-ting-te: Perbuatan Yan-king Thaytju ini benar-benar kedji sekali, ratjun Im-yang-ho-hap-san jang dia minumkan pada Ki-dji itu sangat lihay, orang biasa sangat susah bertahan. Maka kukuatir saat ini Ki-dji sudah ... sudah hilap oleh pengaruh ratjun serta sudah berbuat .... Ai, tapi kedjadian ini adalah muslihat jang sengadja diatur musuh, takbisa djuga menjalahkan Ki-dji.
Toan Tjing-sun menunduk dengan rasa malu, sebab, kalau soal ini diungkat sampai keakar-akarnja, semuanja adalah gara-gara perbuatannja sendiri jang sok romantis itu.
Tiba-tiba Po-ting-te berpaling kepada Ko Sing-thay dan menanja: Sing-thay, tahun ini puterimu itu berusia berapa"
Siauli (puteriku) tahun ini berumur delapanbelas, sahut Sing-thay.
Bagus! udjar Po-ting-te. Lalu ia berkata lagi kepada Tjing-sun: Sun-te, kita tetapkan untuk melamar puteri Sian-tan-hou sebagai menantu. Pah-sukong, harap kau lantas pergi kebagian protokol untuk mengatur peresmian lamaran ini serta menjediakan emas kawin jang diperlukan. Persitiwa ini harus dirajakan semeriah-meriahnja hingga setiap pelosok negeri Tayli ini mengetahui semua.
Suami-isteri Toan Tjing-sun, Ko Sing-thay dan Pah Thian-sik merasa keputusan itu terlalu mendadak datangnja. Namun segera merekapun paham bahwa tindakan Po-ting-te itu adalah demi nama baik keluarga serta kehormatan Toan Ki jang masih sutji bersih itu. Asal setiap orang diseluruh negeri sudah tahu bahwa isterinja Toan Ki adalah puteri Sian-tan-hou Ko Sing-thay, sekali pun kemudian Yan-king Thaytju menjebarkan desas-desus bahwa Toan Ki mengadakan hubungan tak susila dengan adik perempuannja sendiri, tentu orang luar akan menganggapnja sebagai dusta dan pitenahan belaka, paling-paling djuga tjuma setengah pertjaja setengah tidak.
Maka Toan Tjing-sun lantas mendjawab: Siasat Hong-heng ini memang sangat bagus. Sudah lama menengar djuga bahwa puteri Sian-tan-hou tjantik aju, pintar lagi berbakti, sungguh seorang isteri jang susah ditjari.
Tetapi tabiat Ki-dji agak aneh djuga, maka lebih baik kita tunggu kalau dia sudah lolos dari bahaja, kemudian beritahukan padanja, lalu mengatur emas kawin untuk memastikan perdjodohan ini.
Sudah tentu akupun tahu watak Ki-dji memang terlalu bandel, udjar Poting-te. Misalnja waktu kita hendak adjarkan It-yang-tji padanja, tapi betapapun djuga ia tidak mau beladjar, benar-benar seorang jang tidak tahu adat. Tapi mengenai perdjodohan, selamanja harus tunduk pada pilihan orang tua, masakah dalam hal ini ia berani membangkang perintah kalian suami-isteri" Apalagi hal ini demi menjelamatkan nama baik keluarga Toan, demi kehoramatan selama hidupnja, biar bagaimanapun ia tidak boleh membangkang.
Kabarnja puteri Ko-hiante itu badannja rada lemah, maka urusan ini paling baik dirundingkan lebih masak dulu, udjar Tjing-sun.
Po-ting-te merasa alasan adik pangeran itu terlalu ditjari-tjari, maka katanja pula: Soal badan lemah bukanlah soal penting. Ilmu silat Ko-hiante begitu tinggi, asal dia adjarkan sedikit kepandaian Lwekang, dalam waktu singkat tentu badannja akan mendjadi kuat.
Namun .... namun .....
Sun-te, demikian Po-ting-te memotong sebelum adik pangeran itu bitjara lebih landjut. Sedjak tadi kau selalu menolak sadja, sebenarnja apa maksudmu" Apakah dalam hatimu ada sesuatu jang kau kurang senang terhadap Ko-hiante"
Tidak, tidak! tjepat Tjing-sun mendjawab. Hubungan Ko-hiante dengan aku laksana saudara sekandung. Kalau kami berdua dapat mendjadi besanan lagi, tentulah djauh lebih bagus. Ehm, ka ..... kabarnja Pah-sukong djuga mempunjai seorang puteri dan Hoan-suma djuga ada dua anak perempuan.
Marilah kitapun adjukan mereka itu sebagai tjalon untuk dirundingkan.
Thian-sik tertawa, katanja: Tapi anak Thian-sik itu baru lahir tahun jang lalu, sampai sekarangpun usianja belum genap setahun. Sedang kedua puterinja Hoan-suma, jang satu adalah menantuku jang tertua, sedang jang lain konon sudah bertunangan, jaitu mendapat putera sulung Hoa-suto.
Po-ting-te mendjadi kurang senang djuga oleh sikap adindanja itu, segera katanja pula: Sun-te, pertjumalah engkau sama2 bertugas dengan Thian-sik bertiga, masakah urusan2 mereka itu sedikitpun tak diketahui olehmu"
Melihat kaka bagindanja rada gusar, Tjing-sun tidak berani buka mulut lagi.
Tin-lam-ongya, tiba2 Sing-thay berkata, sedjak ketjil Sing-thay sudah bergaul dengan engkau, hubungan kita boleh dikata melebihi saudara sekandung, diantara kita biasanja tidak pernah kenal istilah rahasia.
Maka sudilah kau mengatakan terus terang, apakah barangkali kau ada dengar sesuatu jang mendjelekkan nama baik puteriku hingga merasa tidak sesuai untuk mendjadi menantumu" Djika benar begitu, hendaklah kau berkata terus terang, Sing-thay tak nanti merasa tersinggung.
Tjing-sun agak ragu2, tapi kemudian lantas berkata: Djika demikian, biarlah Tjing-sun mengatakan terus terang, tapi harap Ko-hiante djangan marah.
Silahkan Ongya bitjara terus terang sadja, sahut Sing-thay.
Begini, kata Tjing-sun merandek sedjenak. Sedjak ketjil puterimu sudah kehilangan ibu, betapapun Hiante tentu rada mandjakan dia. Konon watak puterimu sangat keras, suka turuti kemauan sendiri. Kabarnja dia djuga sudah mendapat seluruh ilmu silat Hiante, bahkan katanja lebih hebat dari jang tua. Djika begitu, kelak bila sudah mendjadi menantuku, mungkin.....
mungkin, hehe, aku mendjadi kuatir kalau Ki-dji akan menderita selama hidupnja. Ki-dji sedikitpun tidak bisa ilmu silat, melulu mahir beberapa langkah Leng-po-wi-poh jang tak berarti itu, kalau setiap hari selalu gunakan Leng-po-wi-poh itu untuk berlari kian-kemari didalam kamar guna menghindarkan hadjaran2 puterimu, hidup demikian bukankah tiada artinja lagi.
Po-ting-te ter-bahak2 oleh keterangan itu, katanja: Sun-te, sebabnja kau ragu2 tadi kiranja melulu soal demikian sadja.
Tjing-sun melirik sekedjap kearah Si Pek-hong, lalu menjahut dengan tertawa: Toako, adik iparmu itu selalu selisih paham dengan Siaute, dikala tjektjok, untung kepandaian kami berdua sama kuatnja hingga Siaute tidak sampai dihadjar olehnja, kalau sebaliknja, wah, bisa runjam.
Mendengar itu, mau-tak-mau semua orang tersenjum geli djuga.
Dengan dingin Si Pek-hong lantas berkata: Asal Ki-dji dapat mempeladjari It-yang-tji keluarga Toan, tentu tiada tandingannja didunia ini, biarpun dia menikah dengan lima atau sepuluh perempuan bawel djuga tidak perlu takut. ~ Dibalik kata2nja itu terang sengadja ia meng-olok2
It-yang-tji. Namun Tjing-sun hanja tersenjum sadja tak mendjawabnja.
Segera Ko Sing-thay bitjara pula: Siauli meski benar kurang mendapat didikan, tapi rasanja djuga takkan berbuat sembarangan. Namun Sing-thay sudah banjak menerima budi, tidak berani menerima budi lebih besar lagi dari Hongsiang dan Tin-lam-ong.
Po-ting-te tertawa, katanja: Djika puterimu bisa bantu menghadjar sedikit anak kami jang suka bikin gara2 itu, kami bersaudara djusteru merasa sangat berterima kasih, itu berarti puterimu telah berdjasa mendidik anak kami itu. Sing-thay, siapakah nama anak perawanmu itu"
Apakah benar rada ..... rada keras wataknja"
Puteri hamba bernama Bi, hanja satu huruf sadja, sahut Sing-thay.
Sedjak ketjil ia tidak pernah keluar rumah, tabiatnja sangat ramah.
Mungkin ada orang jang dendam pada Sing-thay, maka sengadja menjebarkan kabar tidak benar itu sehingga dapat didengar Ongya. ~ Njata dia mendjadi kurang senang ketika mendengar Tin-lam-ong menjatakan watak puterinja kurang baik.
Maka tjepat Tjing-sun mendekati Ko Sing-thay, ia gandeng tangan kawan karib itu dan berkata dengan tertawa: Ko-hiante, aku tadi telah salah omong, hendaklah engkau djangan pikirkan lebih djauh.
Nah, urusan lantas diputuskan demikian, kata Po-ting-te kemudian dengan tersenjum. Thian-sik, aku menugaskan kau sebagai Lap-djay-su, supaja kau bisa menarik rekening sebagai tjomblang se-besar2nja dari kedua belah pihak.
Lap-djay-su atau duta penghantar emas kawin dikalangan keradjaan adalah sama dengan tjomblang dikalangan rakjat djelata. Kalau urusan selesai, umumnja dari pihak penganten laki2 dan perempuan akan memberi hadiah tjukup besar.
Maka dengan tertawa Pah Thian-sik menerima tugas itu sambil mengutjapkan terima kasih.
Segera kau teruskan perintahku pula agar Han-lim-ih (bagian perpustakaan) mentjatat dalam buku silsilah, aku mengangkat adikku Tjing-sun sebagai Hong-thay-te (adik pangeran mahkota), demikian perintah Poting-te lebih landjut.
Tjing-sun terperandjat, tjepat ia berlutut menjembah: Usia Toako masih muda, kesehatan kuat, luhur budi dan bidjaksana, tentu akan diberkahi Thian jang maha kuasa dengan keturunan banjak, maka keputusan tentang Hong-thay-te ini hendaklah ditunda dahulu.
Po-ting-te bangunkan adik pangerannja itu, katanja: Kita bersaudara adalah dwi-tunggal, dua badan satu djiwa. Nasib negeri Tayli ini memangnja terletak ditangan kita berdua, djangankan aku memang tidak punja anak, sekalipun punja keturunan djuga tachtaku kelak akan kuturunkan padamu. Sun-te, keputusanku memgangkat kau sebagai penggantiku sudah lama tersirat dalam hatiku, pula rakjat diseluruh negeripun telah lama tahu, hari ini hanja menetapkannja setjara resmi sadja, biar Yan-king Thaytju jang bertudjuan djahat itu putus harapannja!
Karena ber-ulang2 menolak tetap tak diidjinkan, achirnja terpaksa Tjing-sun menerima dengan baik serta menghaturkan terima kasih pada Hongsiang. Segera Ko Sing-thay dan lain2pun lantas saling memberi selamat kepada Toan Tjing-sun.
Perlu diketahui bahwa Po-ting-te sendiri memang tidak punja keturunan, maka sudah bukan rahasia lagi bahwa kelak jang akan menggantikannja pasti Tin-lam-ong, hal ini sama sekali tidak mengherankan mereka.
Dengan tertawa Pah Thian-sik memberi tangan djuga kepada Ko Sing-thay, maksudnja memberi selamat bahwa bila kelak Toan Ki menggantikan tachta ajahnja, dengan sendirinja puterimu adalah permaisuri, maka uang djasaku sebagai tjomblang ini harus sepesial.
Achirnja Po-ting-te berkata: Sekarang silahkan semua pergi mengaso.
Tentang Yan-king Thaytju itu, harap djangan sampai botjor.
Semua orang mengia serta memberi hormat dan mengundurkan diri.
Setelah dahar, Po-ting-te tidur siang sebentar. Ketika bangun, ia dengar diluar ramai dengan suara musik jang meriah, suara letusan mertjon bergemuruh di-mana2. Dajang jang melajaninja itu memberi laporan: Oleh karena putera Tin-lam-ong mengirim Lap-djay kepada puteri Sian-tan-hou, maka diluar keraton rakjat bersuka ria sedang merajakannja dengan sangat meriah.
Perlu diketahui bahwa tatkala itu seluruh negeri Tayli dalam keadaan aman tenteram dengan pemerintahnja jang bidjaksana, rakjat hidup sedjahtera, maka dukungan rakjat kepada radja, Tin-lam-ong, Sian-tan-hou dan para pembesar lain, luar biasa besarnja. Ketika mendengar keluarga Toan dan Ko berbesanan, segenap penduduk kota Tayli ikut riang gembira.
Segera Po-ting-te memberi perintah: Sampaikan titahku agar besok dimeriahkan dengan membakar kembang api, segala larangan dikota Tayli ditjabut untuk sementara, semua angkatan bersendjata diberi tjuti agar bisa ikut merajakan, orang tua dan anak piatu diberi hadiah tersendiri.
Ketika titah radja itu disampaikan kepada umum, segenap rakjat Tayli seketika makin bersorak-sorai gembira.
Mendjelang petang, Po-ting-te menjamar dengan pakaian orang biasa dan keluar keraton sendirian. Ia tarik topinja jang lebar itu kebawah hingga hampir2 menutupi matanja, dengan demikian supaja orang lain susah mengenalinja. Sepandjang djalan ia lihat rakjat menjanji dan menari dengan riangnja, laki-perempuan, tua-muda hilir-mudik dengan ramai.
Betapa bersjukurnja Po-ting-te menjaksikan negerinja jang sentosa itu.
Diam2 ia berdoa: Semoga rakjat negeri Tayli kami turun-temurun senantiasa diberkahi kegembiraan seperti ini, maka aku Toan Tjing-beng sekalipun tidak punja keturunan djuga takkan menjesal.
Sesudah keluar kota, langkah Po-ting-te lantas dipertjepat, makin lama makin sunji tempat jang ditudju itu, kira2 belasan li djauhnja, setelah melintasi beberapa lereng bukit, sampailah disuatu kelenteng kuno dan ketjil, diatas papan kelenteng itu tertulis tiga huruf Liam-hoa-si atau kelenteng petik bunga.
Po-ting-te berhenti didepan kelenteng itu sambil berdoa sedjenak, lalu mengetok pintu dengan pelahan2.
Tidak lama, pintu tampak dibuka dan muntjul seorang Hwesio ketjil, tanjanja sambil memberi hormat: Ada keperluan apakah kundjungan tuan tamu ini"
Harap suka sampaikan pada Ui-bi Taysu, katakan bahwa sobat lama Toan Tjing-beng mohon bertemu, sahut Po-ting-te.
Silahkan masuk, kata paderi tjilik itu.
Po-ting-te dibawa keruangan tengah sesudah melalui suatu pekarangan jang sunji, kata paderi ketjil itu: Harap tuan tamu suka menunggu sebentar, biar kusampaikan kepada Suhu.
Po-ting-te mengia, ia mondar-mandir diruangan itu sambil menggendong tangan.
Selama hidup Po-ting-te tidak pernah berdiri diluar rumah untuk menunggu orang, jang selalu terdjadi adalah orang lain menanti diluar keraton hendak menghadap padanja. Namun begitu, ternjata sedikitpun ia tidak mengundjuk gopoh, ia tetap menanti dengan sabar didalam kelenteng jang se-akan2 memberi rahmat padanja itu, sama sekali ia sudah lupa bahwa dirinja adalah seorang radja.
Agak lama kemudian, tiba2 terdengarlah suara seorang tua berkata dengan tertawa: Toan-hiante, rupanja kau sedang dirundung sesuatu kesulitan"
Waktu Po-ting-te menoleh, terlihatlah seorang paderi tua jang mukanja sudah penuh berkeriput, berperawakan tinggi besar, sedang melangkah masuk dari pintu serambi samping.
Kedua alis paderi tua ini sangat pandjang hingga melambai kebawah, bulu alisnja bersemu kuning hangus. Ia bukan lain adalah Ui-bi Hwesio jang hendak ditemuinja itu.
Po-ting-te memberi kiongtjhiu, lalu katanja: Maafkan kalau aku mengganggu ketentraman Taysu.
Ui-bi Hwesio hanja tersenjum, sahutnja: Marilah masuk.
Segera Po-ting-te ikut masuk kesuatu pondok ketjil, disitu tampak enam Hwesio setengah umur berdjubah abu2 serentak membungkuk memberi hormat pada mereka.
Po-ting-te tahu keenam Hwesio itu adalah anak murid Ui-bi Taysu, segera ia membalas hormat mereka, lalu duduk bersila diatas tikar disisi kiri sana. Setelah Ui-bi Hwesio djuga sudah berduduk ditikar sebelah kanan, Po-ting-te lantas berkata: Aku mempunjai seorang keponakan bernama Toan Ki, waktu ia berusia tudjuh tahun, aku pernah membawanja kesini untuk mendengarkan chotbah Suheng.
Ja, anak itu rada pintar, sungguh anak bagus, anak bagus! udjar Ui-bi.
Setelah mendapat rahmat Budha, wataknja djuga welas-asih, ia tidak mau beladjar silat, katanja agar tidak membunuh sesamanja, tutur Po-ting-te.
Tidak bisa ilmu silat djuga bisa membunuh orang. Sebaliknja mahir ilmu silat, belum tentu kalau mesti membunuh orang, udjar Ui-bi.
Po-ting-te mengia membenarkan. Lalu iapun mentjeritakan tentang Toan Ki jang bandel tidak mau beladjar silat, minggat dari rumah, lalu berkenalan dengan Bok Wan-djing dan kemudian tertawan oleh Yan-king Thaytju jang bergelar orang djahat nomor satu didjagat itu.
Dengan tersenjum Ui-bi mendengarkan tjerita itu tanpa menjela seketjappun. Enam muridnja jang berdiri dibelakangnja dengan tangan lurus kebawah pun diam sadja, bahkan bergerak sedikitpun tidak.
Habis Po-ting-te bitjara, kemudian Ui-bi berkata dengan pelahan2: Djikalau Yan-king Thaytju itu adalah saudara sepupumu, kau sendiri memang tidak enak untuk bergebrak dengan dia, seumpama mengirim bawahanmu untuk menghadapi dia dengan kekerasan, rasanja djuga tidak pantas, maksudmu demikian bukan"
Po-ting-te menggangguk, sahutnja: Suheng memang bidjaksana!
Ui-bi tersenjum, ia tidak berkata pula, tapi mendadak mengulur djari tengah terus ditutukkan pelahan kedepan mengarah dada Po-ting-te.
Po-ting-te tersenjum djuga, iapun ulur djari telundjuknja tepat menutuk udjung djari orang. Seketika tubuh kedua orang sama2 tergeliat sedikit, lalu menarik kembali tangan masing2.
Dengan mengkerut kening berkatalah Ui-bi: Toan-hiante, aku punja Kim-kong-tji-lik toh tak bisa menangkan It-yang-tjimu jang hebat itu"
Tapi dengan kebidjaksanaan dan ketjerdikan Suheng, tidak perlu menang menggunakan Tji-lik (tenaga djari), udjar Po-ting-te.
Ui-bi tidak berkata pula, ia menunduk memikir.
Tiba2 Po-ting-te berbangkit dan berkata: Sepuluh tahun jang lalu Suheng pernah minta aku membebaskan tjukai garam bagi segenap rakjat negeri Tayli. Tapi tatkala itu, pertama, karena perbendaharaan negara belum mengidjinkan; kedua, Siaute bermaksud menunggu bila adikku Tjing-sun menggantikan tachtaku, barulah aku melaksanakan politik dalam negeri itu agar setiap rakjat djelata berterima kasih pada adikku. Tetapi kini aku berpikir lain, besok djuga Siaute akan memberi perintah pembebasan tjukai garam demi kebahagiaan rakjat.
Ui-bi berbangkit djuga dan memberi hormat, katanja: Hiante sudi beramal bagi rakjat seluruh negeri, Lotjeng merasa terima kasih tak terhingga.
Lekas2 Po-ting-te membalas hormat orang, lalu tanpa bitjara lagi ia tinggal keluar dari kelenteng itu.
Pulang sampai dikeraton, segera Po-ting-te memerintahkan dajang mengundang Pah thian-sik dan Hoa-suto serta memberitahukan pada mereka tentang keputusan menghapuskan tjukai garam itu. Mengetahui itu, kedua Sukong dan Suto ikut berterima kasih dan memberi pudjian atas kebidjaksanaan sang radja.
Dan untuk selandjutnja, segala pembiajaan didalam keraton harus diperketjil dan dihemat mungkin, demikian pesan Po-ting-te lebih landjut.
Sekarang pergilah kalian, tjoba rundingkan dan periksa setjara teliti, apakah ada pengeluaran2 lain jang perlu dihemat pula.
Segera kedua pedjabat tinggi itu mengia dan mengundurkan diri.
Meski urusan ditjuliknja Toan Ki diperintahkan oleh Po-ting-te agar dirahasiakan, namun Hoa-suto dan Hoan-suma adalah orang2 kepertjajaan Poting-te semua, dengan sendirinja tidak perlu dirahasiakan, maka sedjak tadi2 Pah Thian-sik sudah beritahukan kepada kedua rekan itu.
Waktu itu Hoan-suma sedang menantikan kabar apa jang bakal dibawa kembali oleh kedua kawannja jang dipanggil menghadap kekeraton itu. Maka setelah Pah Thian-sik dan Hoa-suto memberitahukan tentang keputusan radja akan membebaskan tjukai garam serta menghemat anggaran belandja negara, Hoan-suma mendjadi ikut bergirang. Katanja: Hoa-toako dan Pah-hiante, sebabnja Hongsiang memutuskan untuk menghapuskan padjak garam, tentunja disebabkan putera Tin-lam-ong masih berada ditjengkeraman musuh, maka ingin mohon belas kasihan Tuhan agar tjalon mahkota itu diberi berkah untuk pulang dengan selamat. Kita bertiga sama sekali tak bisa ikut menanggung beban kesukaran djundjungan kita, masakah kita masih ada muka mendjabat kedudukan setinggi ini di pemerintahan keradjaan"
Utjapan Hoan-djiko memang tidak salah, apa barangkali engkau mempunjai tipu daja jang bisa menolong Toan-kongtju" tanja Thian-sik.
Hoan-suma ini melulu bernama satu huruf Hua sadja, tabiatnja djenaka, tapi banjak tipu akalnja, maka djawabnja kemudian:
Djikalau musuh benar2 adalah Yan-king Thaytju, terang Hongsiang tak ingin bermusuhan dengan dia setjara terang2an. Siaute sih mempunjai suatu akal, tjuma diperlukan pengorbanan tenaga Hoa-toako.
Kalau tenagaku bisa dipakai, masakah aku berani menolak" Lekaslah Djite terangkan tipu akalmu" sahut Hoa-suto tjepat.
Menurut keterangan Hongsiang, demikian Hoan Hua, katanja ilmu silat Yan-king Thaytju itu masih lebih tinggi dari Hongsiang sendiri. Maka bila kita memakai kekerasan, terang takkan dapat menolong Toan-kongtju. Tapi kalau Hoa-toako sudi, dapat djuga pekerdjaan Hoa-toako jang dulu tjoba2
dilakukan lagi sekarang.
Wadjah Hoa-suto jang lebar dan rada ke-kuning2an itu mendjadi merah, sahutnja dengan tertawa: Ah, kembali Djite hendak menggoda aku sadja.
Kiranja Hoa-suto ini asalnja bernama A Kin, meski sekarang mempunjai kedudukan tinggi dinegeri Tayli, tapi dahulunja berasal dari kaum miskin, sebelum dia mendapat pangkat, kerdjanja jalah membongkar kuburan.
Kepandaiannja jang paling mahir jalah mentjuri isi kuburan dari keluarga bangsawan dan hartawan. Sebab dalam kuburan2 orang2 demikian tentu banjak disertai pendaman harta2 pusaka. Dan Hoa A Kin lantas menggangsir dari tempat djauh, ia menggali suatu djalanan dibawah tanah sampai menembus kedalam kuburan jang mendjadi sasarannja, disitulah dia mentjuri isi kuburan jang berharga itu.
Tjaranja membongkar kuburan itu dengan sendirinja sangat memakan tenaga dan waktu, untuk menggangsir satu kuburan terkadang diperlukan sampai sebulan dua bulan lamanja, tetapi dengan tjaranja menggangsir itu djusteru sangat ketjil sekali risikonja akan diketahui orang.
Suatu kali, ia berhasil menggangsir kedalam suatu kuburan kuno, disitu ia mendapatkan sedjilid kitab pusaka melatih silat. Ia lantas melatihnja menurut petundjuk kitab itu hingga memperoleh ilmu Gwakang jang sangat tinggi, achirnja iapun lepaskan pekerdjaannja jang tak bermoral itu serta mengabdikan diri kepada keradjaan, karena djasa2nja selama bertugas, achirnja pangkatnja mentjapai Suto seperti sekarang ini, jaitu setingkat dengan pembantu menteri.


Pendekar Pendekar Negeri Tayli Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Setelah mendjadi pembesar, ia anggap namanja jang dulu terlalu ke-kampung2an, maka namanja lantas diganti mendjadi Hek-kin. Diantara kawan2
karibnja, ketjuali Hoan Hua dan Pah Thian-sik berdua, orang lain djarang jang tahu asal-usulnja.
Maka dengan tertawa Hoan Hua mendjawab: Mana Siaute berani menggoda Toako" Tapi maksudku jalah, bila kita dapat menjelundup kedalam Ban-djiat-kok, disitu kita menggangsir satu djalan dibawah tanah jang menembus ketempat kurungan Toan-kongtju, maka dengan bebas tanpa diketahui oleh musuh, kita tentu dapat menolongnja keluar.
Bagus, bagus! teriak Hek-kin sambil tepuk paha sendiri.
Menggangsir kuburan sebenarnja adalah hal jang paling digemari Hoa Hek-kin. Meski sudah belasan tahun lamanja pekerdjaan itu tak pernah lagi dilakukan, namun terkadang bila teringat kembali, tangannja mendjadi gatal lagi. Soalnja tjuma pangkatnja sekarang sudah tinggi, hidupnja tidak kekurangan, kalau mesti mendjalankan pekerdjaan menggangsir, bagaimana djadinja kalau diketahui orang" Maka kini demi ada jang mengusulkan agar dirinja melakukan pekerdjaan lama lagi, ia mendjadi girang sekali.
Nanti dulu, Hoa-toako djangan buru2 senang dulu, demikian kata Hoan Hua pula. Dalam urusan kita ini masih banjak kesulitan2nja. Terutama hendaklah diketahui bahwa Su-tay-ok-djin (empat maha durdjana) telah berada di Ban-djiat-kok semua. Suami-isteri Tjiong Ban-siu dan Siu-lo-to Tjin Ang-bian tergolong tokoh2 lihay pula, kalau kita hendak menjelundup kesana, sesungguhnja tidaklah gampang. Lagipula, Yan-king Thaytju itu senantiasa berduduk djaga didepan rumah batu tempat Toan-kongtju dikeram, kalau kita harus menggali melalui bawahnja, apakah tidak mungkin akan diketahui olehnja"
Hoa Hek-kin memikir sedjenak, sahutnja kemudian: Djalan jang akan kita gangsir itu harus menembus kedalam rumah itu melalui belakang untuk menghindari tempat jang didjaga Yan-king Thaytju itu.
Tapi Toan-kongtju setiap saat terantjam bahaja, kalau kita menggangsir pelahan2, apakah masih keburu" udjar Hoan Hua, Hoan-suma.
Kalau perlu, marilah kita bertiga kerdja keras serentak, usul Hoa-suto.
Tjuma untuk mana kalian harus mendjadi muridku sebagai tukang gangsir kuburan.
Kita adalah Sam-kong (tiga menteri) dari Tayli, biarpun mesti bekerdja menggangsir, tugas ini betapapun tak bisa ditolak, sahut Pah Thian-sik dengan tertawa.
Maka tertawalah ketiga orang itu.
Kalau sudah mau bekerdja, marilah sekarang djuga kita memulai, adjak Hoa-suto.
Segera Pah Thian-sik melukiskan situasi lembah Ban-djiat-kok itu, dengan riang gembira Hoa Hek-kin lantas merentjanakan dimana akan dimulai dan dimana akan berachir dari lorong jang akan digangsirnja nanti. Sedang mengenai tjara bagaimana harus menghindari pengintaian musuh dan tjara bagaimana mengitari rintangan batu padas dibawah tanah, hal ini memang merupakan kepandaian tunggal Hoa-suto jang tiada bandingannja, maka tidak perlu dipersoalkan.
* * * Kembali lagi mengenai Toan Ki.
Sesudah dia memakan sepasang Bong-koh-tju-hap itu, hawa Yang dalam tubuhnja semakin bergolak dan ber-kobar2, saking luar biasa panasnja, achirnja ia djatuh pingsan.
Dan karena pingsannja itu malah telah menolongnja terhindar dari penderitaan selama semalam. Sudah tentu ia tidak sadar bahwa selama sehari semalam itu diluar sudah terdjadi banjak perubahan2: Ajahnja telah diangkat mendjadi tjalon pengganti paman dan dia sendiri sudah dilamarkan puterinja Ko Sing-thay ~ Ko Bi ~ sebagai isteri. Diseluruh kota Tayli saat itu sedang diadakan perajaan besar2an untuk meriahkan kedua peristiwa menggembirakan itu, sekaligus untuk merajakan dihapusnja padjak garam rakjat oleh pemerintah. Sedangkan dia sendiri masih bersandar didinding batu itu dalam keadaan tidak sadar.
Sampai besok lohor, barulah Toan Ki agak sadar ketika bekerdjanja ratjun Im-yang-ho-hap-san dan Bong-koh-tju-hap jang sangat hebat itu kebetulan berhenti bersama untuk sementara. Tapi setelah lewat waktu berhenti ini dan bila kumat lagi, maka serangan2 hawa ratjun itu akan bertambah hebat. Toan Ki tidak insaf bahaja apa jang masih mengeram didalam tubuhnja, dengan sadarnja pikiran, walaupun badan masih sangat lemas, ia menjangka kalau ratjunnja sudah mulai hilang.
Dan selagi dia hendak bitjara dengan Bok Wan-djing, tiba2 terdengar diluar rumah batu itu ada suara seorang tua lagi berkata: Sembilan garis malang-melintang, entah betapa banjak digemari orang. Apakah Kisu djuga ada minat untuk tjoba2 satu babak dengan Lotjeng"
Toan Ki mendjadi heran, ia tjoba mengintip keluar melalui tjelah2 batu.
Maka tertampaklah seorang Hwesio tua jang bermuka keriput dan beralis kuning pandjang, sedang berdjongkok sambil menggunakan djari tangannja lagi meng-gores2 garis lurus diatas sebuah batu besar jang rata. Begitu hebat tenaga djarinja itu hingga terdengar suara srak-srek disertai menghamburnja bubuk2 batu, lalu djadilah satu garis lurus jang pandjang diatas batu itu.
Toan Ki terkedjut. Meski dia tak bisa ilmu silat, tapi sebagai keturunan tokoh silat terkemuka, sering djuga ia menjaksikan sang paman dan ajahnja diwaktu melatih It-yang-tji. Ia pikir wadjah paderi tua ini lapat2 seperti sudah pernah kenal, tenaga djarinja ternjata demikian lihaynja, mampu menggores batu mendjadi satu garis jang dalam. Tji-lik atau tenaga djari demikian adalah sematjam ilmu Gwakang jang mengutamakan kekerasan tenaga melulu, agaknja berbeda dengan It-yang-tji jang dilatih paman dan ajahnja itu.
Maka terdengar pula suara seorang jang tak lampias berkata: Bagus, sungguh Kim-kong-tji-lik jang hebat! ~ Terang itu adalah suaranja sibadju hidjau alias Ok-koan-boan-eng.
Segera tampak sebatang tongkat bambunja mendjulur keatas batu, dengan radjin iapun menggores satu garisan diatas batu itu, tjuma kalau Ui-bi-tjeng atau paderi alis kuning itu menggores garisan lurus, adalah garisannja sekarang malang, hingga berwudjud satu garis palang dengan goresan paderi tadi.
Dari dalam rumah batu itu Toan Ki tidak bisa melihat bagaimana tjara bergeraknja Djing-bau-khek itu, ia pikir tongkat itu dengan sendirinja lebih keras daripada djari manusia, sudah tentu lebih menguntungkan bagi jang memakainja. Namun djari lebih pendek dan tongkat lebih pandjang, untuk menggores garisan diatas batu dengan memakai tongkat sepandjang itu, terang tenaga jang dikeluarkan akan djauh lebih besar daripada memakai djari.
Lalu terdengar Ui-bi-tjeng berkata pula dengan tertawa: Djika Toan-sitju sudi memberi petundjuk, itulah sangat baik. ~ Habis itu, kembali ia menggaris lagi diatas batu dengan djarinja.
Hlm. 31: Gambar
Jang satu menggores dengan djari dan jang lain menggaris dengan tongkat, maka hanja sekedjap sadja sebuah peta tjatur bergaris malang-melintang telah djadi digambar diatas batu.
Segera Djing-bau-khek menambahi garisan malang lagi seperti tadi.
Dengan demikian, jang satu menggaris lurus dan jang lain menggaris malang, makin lama makin lambat goresan masing2, kedua orang sama2
memusatkan tenaga masing2 untuk menggores garisan sendiri2 agar setiap garisan bisa dilakukan dengan tjukup dalam dan sama radjinnja seperti semula.
Harus diketahui bahwa pertandingan diantara tokoh2 terkemuka, soal menang atau kalah melulu tergantung sedikit selisih sadja, asal satu garisan diantaranja menundjukan kurang dalam atau mentjeng, maka itu berarti sudah kalah.
Maka kira2 setanakan nasi lamanja, sebuah peta tjatur jang berdjumlah 19 garis malang melintang itu sudah selesai digaris dengan radjin.
Diam2 Ui-bi-tjeng membatin: Apa jang dikatakan Po-ting-te memang tidak salah. Tenaga dalam Yan-king Thaytju ini benar2 luar biasa dan sedikitpun tidak dibawahnja Po-ting-te sendiri.
Sebaliknja Yan-king Thaytju alias Djing-bau-khek itu terlebih kedjut lagi, kalau datangnja Ui-bi-tjeng memang sudah disengadja dan bersiap-sedia sebelumnja, adalah Yan-king Thaytju sendiri sama sekali tidak menjangka apa2, maka pikirnja: Aneh, darimanakah mendadak bisa muntjul seorang Hwesio tua selihay ini" Terang datangnja ini adalah atas undangan Toan Tjing-beng, dalam saat demikian, kalau Toan Tjing-beng lantas ikut menjerbu kedalam untuk menolong Toan Ki, terang aku tak berdaja untuk merintanginja.
Dalam pada itu Ui-bi-tjeng sedang berkata: Betapa tinggi kepandaian Toan-sitju, sungguh aku sangat kagum, maka dalam hal kekuatan tjatur rasanja djuga akan berpuluh kali lebih pandai dari Lotjeng, terpaksa Lotjeng minta Toan-sitju suka mengalah empat bidji dahulu.
Djing-bau-khek tertjengang, pikirnja: Meski aku tak kenal asal-usulmu, tapi tenaga djarimu begini lihay, dengan sendirinja adalah orang kosen jang tidak sembarangan. Baru mulai menantang pertempuran padaku, kenapa begitu buka mulut lantas minta aku mengalah"
Segera katanja: Kenapa Taysu mesti merendah diri, djika toh harus menentukan kalah menang, dengan sendirinja kita harus madju sama tingkat dan sama deradjat.
Tidak, tetap Toan-sitju harus mengalah empat bidji, sahut Ui-bi-tjeng.
Aneh djuga usul Taysu ini, udjar Djing-bau-khek dengan tawar. Djikalau Taysu toh mengaku kepandaian tjaturmu tidak lebih tinggi dari Tjayhe, maka boleh tak usah kita bertanding sadja.
Djika begitu, sudilah mengalah tiga bidji sadja, bagaimana" kata Ui-bi-tjeng pula.
Biarpun mengalah satu bidji, namanja djuga mengalah, sahut Djing-bau-khek alias Yan-king Thaytju.
Hahaha! tiba2 Ui-bi-tjeng tertawa. Kiranja dalam ilmu main tjatur, kepandaianmu sangat terbatas, djika demikian biarlah aku jang mengalah padamu tiga bidji.
Itupun tidak perlu, sahut Djing-bau-khek. Mari kita mulai dengan kedudukan sama.
Diam2 Ui-bi-tjeng bertambah waspada dan prihatin, pikirnja: Orang ini tidak sombong djuga tidak gopoh, sebaliknja tenang dan susah diduga, sungguh merupakan satu lawan jang tangguh. Meski aku sudah memantjingnja dengan berbagai djalan, toh ia tetap tidak berubah sikapnja.
Kiranja Ui-bi-tjeng insaf dirinja tiada harapan buat menangkan It-yang-tji dari Djing-bau-khek itu. Ia tahu orang jang gemar tjatur, umumnja suka menang sendiri, bila diminta agar mengalah dua, tiga bidji tjatur, biasanja tentu diluluskan. Sebagai seorang pertapaan, Ui-bi-tjeng memandang soal nama sebagai sesuatu jang tak berarti. Asal Yan-king Thaytju bersedia mengalah sedikit dalam permainan tjatur itu, maka dalam pertarungan sengit itupun dia akan ada harapan buat menang.
Siapa duga sifat Yan-king Thaytju itu ternjata lain dari jang lain, ia tidak mau ambil keuntungan atas orang lain, tapi djuga tidak mau dirugikan orang, setiap tindak-tanduknja sangat prihatin dan tegas.
Karena tiada djalan lain lagi, terpaksa Ui-bi-tjeng berkata: Baiklah, engkau adalah tuan rumah, aku adalah tamu, aku jang main dulu.
Tidak, sahut Djing-bau-khek. Tamu mana boleh merebut hak tuan rumah"
Aku jang main dulu!
Wah, djika demikian, rupanja kita harus sut dulu, kata Ui-bi-tjeng.
Baik begini sadja, tjoba kau terka umurku tahun ini gandjil atau genap "
Djika betul engkau terka, kau main dulu, kalau salah terka, aku main dulu.
Umpama tepat aku menerkanja, tentu engkau djuga akan menjangkal , udjar Djing-bau-khek.
Baiklah, boleh engkau menerka sesuatu jang tidak mungkin aku bisa menjangkal, kata Ui-bi-tjeng pula. Tjoba kau terka, bila Lotjeng sudah berumur 70 tahun, djari kedua kakiku akan gandjil atau genap "
Teka-teki ini benar2 sangat aneh. Mau-tak-mau Djing-bau-khek harus memikir: Umumnja djari kaki orang berdjumlah sepuluh, djadi genap. Tapi dia menegaskan bila sudah berumur 70, terang maksudnja agar aku menjangka kelak djari kakinja akan berkurang satu, djika demikian halnja, tentu aku akan menerka djarinja berdjumlah gandjil. Namun seperti dikatakan ilmu siasat bahwa kalau berisi, katakanlah kosong; kalau kosong katakanlah berisi. Djangan2 djari kakinja tetap sepuluh, tapi sengadja main gertak.
Mana bisa aku ditipu olehnja"
Karena itu, segera ia mendjawab: Berdjumlah genap!
Salah, tapi berdjumlah gandjil, kata Ui-bi-tjeng.
Tjoba buka sepatu, periksa buktinja, sahut Djing-bau-khek.
Terus sadja Ui-bi-tjeng membuka sepatu dan kaos kaki kiri, ternjata djari kakinja masih tetap utuh berdjumlah lima. Ketika Djing-bau-khek memperhatikan wadjah paderi itu, ia lihat orang mengundjuk senjum, sikapnja tenang2 sadja, mau-tak-mau ia membatin: Wah, kiranja djari kaki kanannja memang tjuma tinggal empat.
Dalam pada itu Ui-bi-tjeng sedang membuka sepatu lagi dengan pelahan2, ketika mulai menanggalkan kaos kakinja, hampir2 Djing-bau-khek berseru suruh djangan membuka lagi dan menjerahkan orang main dulu. Namun sekilas timbul pula pikirannja: Ah, tidak bisa, djangan aku tertipu olehnja.
Dan benar djuga, ia lihat kaos kaki kanan paderi itu sudah dilepas dan djari kaki kanan itupun tampak masih utuh berdjumlah lima tanpa tjatjat apa2.
Meski badan Djing-bau-khek itu sudah tjatjat dan mukanja kaku tanpa emosi hingga tidak kentara apa jang dirasakannja waktu itu, sebenarnja dalam sekedjapan itu hatinja sudah ber-ganti2 berbagai perasaan untuk men-duga2 sebenarnja apakah maksud tudjuan perbuatan Ui-bi-tjeng itu. Dan ia mendjadi bersjukur ketika achirnja melihat tebakannja djitu, jaitu djari kedua kaki paderi itu toh tetap berdjumlah genap sepuluh.
Diluar dugaan, se-konjong2 Ui-bi-tjeng terus angkat telapak tangan kanan dan memotong kebawah sebagai pisau, krek, tahu2 djari ketjil kaki kanan itu telah dipotongnja putus.
Sekalipun keenam anak muridnja jang berdiri dibelakang sang guru itu sudah dalam djuga beladjar ilmu Budha, setiap orangnja bisa berlaku tenang meski menghadapi keadaan bagaimanapun djuga. Tapi mendadak nampak sang guru membikin tjatjat anggota badan sendiri, darah lantas mengutjur djuga, karuan sadja mereka terperandjat, bahkan murid jang termuda jang bernama Boh-ban Hwesio, sampai berseru kaget pelahan.
Tjepat murid keempat, Boh-gi Hwesio, mengeluarkan obat luka untuk dibubuhkan diatas kaki Suhunja itu.
Menjusul berkatalah Ui-bi-tjeng dengan tertawa: Tahun ini Lotjeng berumur 69, bila berumur 70 tahun nanti, persis djariku adalah berdjumlah gandjil.
Tanpa pikir lagi Djing-bau-khek mendjawab: Benar. Silahkan Taysu main dulu.
Njata sebagai tokoh dari Su-ok jang berdjuluk orang djahat nomor satu didunia, perbuatan kedjam dan ganas apa didunia ini jang tidak pernah dilakukannja atau dilihatnja, maka terhadap kedjadian memotong satu djari kaki jang sepele itu, tentu sadja tidak terpikir olehnja. Tjuma bila mengingat bahwa melulu untuk merebut hak main dulu dalam tjatur, Hwesio tua ini rela memotong djari kakinja sendiri, maka dapat dipastikan bahwa tudjuan paderi itu harus menangkan pertjaturan itu, dan bila dirinja kalah, bukan mustahil sjarat2 jang akan dikemukakan paderi itu tentu pelit luar biasa.
Maka berkatalah Ui-bi-tjeng: Terima kasih atas kesudianmu mengalah. ~
Segera ia ulur djarinja terus menekan kedua udjung peta tjatur dengan masing2 satu kali. Karena tekanan djari itu, diatas batu lantas mendekuk dua lubang hingga mirip dua bidji tjatur hitam.
Segera Djing-bau-khek angkat tongkatnja djuga dan menggores dua lingkaran ketjil dikedua udjung lain dari peta tjatur itu. Lingkaran ketjil jang mendekuk itupun mirip dua bidji tjatur putih.
Tjara pembukaan main tjatur dengan menaruh dua bidji tjatur dikedua udjung itu adalah lazim dilakukan dalam permainan tjatur kuno jang mirip permainan dam-daman djaman sekarang.
Begitulah, maka setjara bergiliran kedua orang itu saling menaruhkan bidji tjaturnja masing2 dengan tekanan tenaga djari dan goresan tongkat.
Mula2 tjara menaruh mereka sangat tjepat, tapi lambat-laun mendjadi pelahan. Sedikitpun Ui-bi-tjeng tidak berani ajal, ia tetap menguasai permainan berkat hak bermain dahulu tadi jang ditukarnja dengan memotong djari kaki itu.
Sampai belasan bidji tjatur sudah didjalankan, pertarungan ternjata bertambah sengit dan pertahanan masing2pun semakin kuat, tapi tenaga jang dikeluarkan kedua orangpun semakin besar. Disamping memusatkan pikiran untuk menangkan permainan tjatur itu, dilain pihak harus kerahkan tenaga untuk menekan atau menggores batu sekuatnja. Maka makin lama makin lambatlah permainan mereka itu.
Diantara keenam murid jang ikut datang bersama Ui-bi-tjeng itu, murid ketiga, Boh-tin Hwesio djuga seorang penggemar tjatur. Ia mendjadi sangat kagum dan gegetun demi nampak ilmu permainan tjatur gurunja dengan Djing-bau-khek jang hebat itu. Ketika tiba langkah ke-24, mendadak Djing-bau-khek melakukan serangan aneh hingga kedudukan masing2 segera berubah banjak, kalau Ui-bi-tjeng tidak segera balas dengan langkah jang tepat, pasti pertahanannja akan bobol.
Tampak Ui-bi-tjeng memikir agak lama, agaknja seketika masih belum mendapat tjara jang baik untuk balas serangan lawan itu. Tiba2 terdengar dari dalam rumah batu itu ada orang berkata: Balas gempur sajap kanan, tetap menguasai permainan!
Kiranja sedjak ketjil Toan Ki djuga sudah mahir main tjatur. Kini melihat permainan kedua orang itu, ia mendjadi getol dan ikut2 bitjara.
Penonton memang lebih djelas dari jang main. Demikian orang mengatakan.
Apalagi kepandaian tjatur Toan Ki memang lebih tinggi daripada Ui-bi-tjeng, ditambah sudah mengikuti dari samping sedjak tadi, ia mendjadi lebih terang dimana letak kuntji permainannja.
Maka terdengar Ui-bi-tjeng telah berkata dengan tertawa: Memangnja Lotjeng sudah pikir begitu, tjuma masih ragu2, tapi dengan utjapan Sitju, Lotjeng mendjadi mantap sekarang. ~ Terus sadja ia taruh bidjinja disajap kanan jang dimaksud itu.
Penonton jang tidak bitjara adalah Tjin-kun-tju (djantan tulen), orang jang ambil keputusan sendiri adalah Tay-tiang-hu (laki2 sedjati), demikian Djing-bau-khek menjindir.
Kau telah kurung aku disini, sedjak kapan engkau adalah Tjin-kun-tju", segera Toan Ki berteriak.
Dan aku adalah Tay-hwesio dan bukan Tay-tiang-hu, sahut Ui-bi-tjeng tertawa.
Huh, tidak malu! djengek Djing-bau-khek. Segera iapun taruh bidjinja dengan menggores satu lingkaran ketjil lagi.
Tapi lewat beberapa langkah lagi, kembali Ui-bi-tjeng menghadapi serangan bahaja. Boh-tin Hwesio mendjadi kuatir karena melihat gurunja tak berdaja memetjahkannja, sedangkan Toan Ki djuga diam sadja. Segera ia mendekati pintu batu itu dan menanja dengan pelahan: Toan-kongtju, langkah ini bagaimana harus mendjalankannja"
Djalan jang baik sih sudah kupikirkan, demikian sahut Toan Ki. Tjuma djalan ini seluruhnja meliputi tudjuh langkah, kalau kukatakan begini hingga didengar musuh, tentu akan gagal djuga rentjanaku, makanja aku diam sadja tidak buka suara.
Terus sadja Boh-tin ulur telapak tangan kanan kedalam rumah itu melalui tjelah2 batu, bisiknja: Silahkan tulis disini.
Toan Ki pikir bagus djuga akal ini, segera ia gunakan djarinja menuliskan ketudjuh langkah tjatur jang ditjiptakan itu ditelapak tangan Boh-tin.
Boh-tin memikir sedjenak, ia pikir langkah2 tjatur jang ditulis pemuda itu memang sangat tinggi, tjepat ia kembali kebelakang sang guru dan menulis djuga dipunggung Suhu dengan djari. Karena djubahnja sangat longgar hingga tangannja tertutup semua, maka Djing-bau khek tidak tahu apa jang sedang dilakukan orang.
Setelah mendapat petundjuk itu, Ui-bi-tjeng memikir sekedjap, lalu menurutkan petundjuk itu dan mendjalankannja satu langkah.
Hm, langkah ini adalah adjaran orang lain, agaknja kepandaian tjatur Taysu masih belum mentjapai setingkatan ini, djengek Djing-bau-khek.
Tapi dengan tertawa Ui-bi-tjeng mendjawab lagi: Permainan tjatur memangnja harus mengadu ketjerdasan. Jang pintar pura2 bodoh, mahir djuga berlagak tak bisa. Kalau tingkatan permainan tjatur Lotjeng diketahui Sitju, lalu buat apa pertandingan ini diadakan"
Huh, main litjik, main sulap dibawah lengan badju, sindir Djing-bau-khek pula. Rupanja iapun menduga Boh-tin jang mondar mandir dan me-megang2 punggung gurunja itu pasti sedang main gila. Tjuma dia sedang mentjurahkan perhatiannja diatas papan tjatur, terpaksa ia tak bisa mengurus apa jang terdjadi disamping situ.
Untuk selandjutnja Ui-bi-tjeng lantas mendjalankan enam langkah menurut saran Toan Ki itu tanpa banjak pikir, ia hanja kerahkan sepenuh tenaga djarinja untuk menekan enam bidji tjatur itu diatas batu hingga dekuknja lebih dalam serta lebih bulat.
Melihat enam langkah itu makin lama makin kuat, Djing-bau-khek rada terdesak, terpaksa ia harus peras otak memikirkan langkah2 perlawanan, kini ia terpaksa mesti bertahan sadja sekuatnja, lingkaran jang digores diatas batu dengan tongkat bambu itu tidak sedalam seperti tadi lagi.
Diluar dugaan, ketika mesti mendjalankan langkah keenam sesudah gilirannja Ui-bi-tjeng, mendadak ia memikir lebih lama, habis itu, tiba2
ia djalankan bidjinja pada suatu tempat jang tak ter-sangka2 dan sama sekali diluar taksiran Toan Ki.
Karuan Ui-bi-tjeng melongo, pikirnja: Pemikiran ketudjuh langkah Toan-kongtju ini sangat teliti dan bagus, tampaknja setiap langkah aku sudah mulai mendesaknja, tapi dengan perubahannja jang mendadak dan hebat ini, rasanja langkahku jang ketudjuh ini tak bisa didjalankan lagi dan bukankah akan sia2 sadja serangan2 tadi"
Harus diketahui bahwa dalam hal kepandaian main tjatur memang Djing-bau-khek lebih mahir daripada Ui-bi-tjeng atau sipaderi beralis kuning, maka begitu ia melihat gelagat djelek, segera ia mengadakan perubahan2
siasat, ternjata tidak mau dia masuk perangkap jang diatur Toan Ki itu.
Karuan jang kelabakan adalah Ui-bi-tjeng.
Melihat perubahan diluar dugaan itu, pula nampak gurunja memikir sampai lama masih belum mendapatkan akal jang sempurna, segera Boh-tin mendekati rumah batu pula, dengan pelahan ia uraikan keadaan pertjaturan itu kepada Toan Ki serta meminta petundjuknja.
Toan Ki memikir sedjenak, segera iapun mendapat akal lain, ia minta Boh-tin ulur tangannja agar bisa ditulis lagi petundjuknja diatas telapak tangan.
Boh-tin menurut dan ulurkan tangannja kedalam rumah batu itu. Tapi baru sadja Toan Ki mentjorat-tjoret beberapa kali ditelapak tangan orang, sekonjong2 antero badannja terasa berguntjang, dari perutnja mendadak terasa ada hawa panas menerdjang keatas hingga seketika mulutnja serasa kering, matanja ber-kunang2. Tanpa pikir lagi tangannja mentjengkeram sekenanja hingga tangan Boh-tin tadi dipegangnja erat2.
Tentu sadja Boh-tin kaget ketika mendadak tangannja digenggam Toan Ki dengan kentjang, ia mendjadi lebih kaget lagi ketika merasa hawa murni dalam badan sendiri terus-menerus mengalir keluar karena disedot melalui telapak tangan jang digenggam orang itu. Saking kedjutnja terus sadja ia berteriak: Hei, Toan-kongtju, apa jang kau lakukan ini"
Perlu diketahui bahwa hawa murni setiap orang jang melatih ilmu silat jang mengutamakan Lwekang, maka hawa murni dalam tubuh adalah besar sangkut-pautnja dengan djiwanja, semakin kuat hawa murninja, semakin tinggi pula ilmu Lwekangnja. Dan bila hawa murni itu hilang, sekalipun orangnja tidak mati, tentu djuga seluruh ilmu silatnja akan kandas dan mirip orang tjatjat selama hidup.
Boh-tin Hwesio sendiri sudah berumur lebih 40 tahun, tapi ia tidak pernah kawin, dus berbadan djaka ting-ting, selama berpuluh tahun giat melatih Lwekang, maka hawa murni dalam tubuhnja boleh dikata kuat luar biasa. Akan tetapi begitu telapak tangannja menempel tangan Toan Ki, seketika hawa murni dalam tubuhnja se-akan2 air bah jang bobol tanggulnja terus mengalir keluar tanpa bisa ditjegah sama sekali.
Ia membentak ber-ulang2 untuk menanja, namun saat itu keadaan Toan Ki sudah tak sadarkan diri. Maksud Boh-tin hendak melepaskan tangannja, tapi aneh bin adjaib, kedua tangan itu seperti sudah lengket mendjadi satu, betapapun susah dipisahkan lagi, dan hawa murni dalam tubuh Boh-tin tetap mengalir keluar tak pernah berhenti.
Kiranja Bong-koh-tju-hap atau katak merah bersuara kerbau jang dimakan oleh Toan Ki itu mempunjai sematjam kasiat aneh pembawaan jang bisa mengisap ular beratjun dan serangga berbisa lain. Binatang aneh itu berasal dari perkawinan tjampuran dari ber-matjam2 ular berbisa hingga beberapa keturunan. Tjiong Ban-siu suami-isteri dan Tjiong Ling tjuma tahu bahwa sepasang katak itu bisa memanggil ular, tapi tidak tahu bila orang memakannja, maka akan timbul reaksi aneh pada orang jang memakannja itu. Namun hendaklah maklum djuga bahwa setjara kebetulan Toan Ki bermaksud membunuh diri hingga setjara ngawur telah makan katak2 aneh itu. Kalau tidak, tjoba siapakah orangnja jang berani makan binatang jang dapat mengalahkan ular2 berbisa itu"
Sesudah Toan Ki makan sepasang katak merah itu, segera timbul pertentangan dengan ratjun Im-yang-ho-hap-san jang bekerdja didalam perut itu. Hawa positip atau kelakiannja mendjadi luar biasa kerasnja hingga susah ditahan, bahkan timbul pula sematjam sifat istimewa jang bisa menjedot hawa murni orang lain.
Waktu itu hawa murni Boh-tin masih terus-menerus mengalir ketubuh Toan Ki, seumpamakan Toan Ki dalam keadaan sadar, pemuda itupun tidak bisa menggunakan tenaga dalam untuk melepaskan tangan Boh-tin, apalagi ia dalam keadaan tak sadar, hakikatnja ia tidak tahu apa jang sedang terdjadi.
Boh-tin mendjadi kelabakan ketika merasa hawa murninja terus mengalir keluar, terpaksa ia ber-teriak2: Tolong, Suhu, tolong!
Mendengar itu, kelima murid Ui-bi-tjeng jang lain tjepat berlari mendekati Boh-tin, tapi karena tidak kelihatan apa jang terdjadi didalam rumah batu itu, mereka hanja ribut menanja: Ada apa, Sute" ~ Dan ada pula jang memanggil: Suheng! Ada apakah"
Tang ..... tanganku! seru Boh-tin sambil berusaha hendak menarik kembali tangannja sekuat mungkin. Namun waktu itu hawa murninja sudah hilang 8-9 bagian, untuk bersuara sadja sudah hampir tak kuat, apalagi hendak menarik tangan"
Boh-ban Hwesio, itu murid keenam, tanpa pikir terus ikut pegang tangan sang Suheng dengan maksud membantu menarik. Tak tersangka, begitu tangan menempel, kontan seluruh badannja ikut tergetar seperti kena aliran listrik, hawa murni dalam tubuhnja djuga ber-golak2 mengalir keluar, karuan ia kaget dan ber-teriak2: Aduh, tjelaka!
Kiranja setjara tidak sengadja Toan Ki telah makan sepasang katak adjaib itu hingga timbul sematjam Tju-hap-sin-kang atau tenaga sakti katak merah dalam badannja jang mempunjai daja sedot jang tak terbatas kuatnja. Siapa jang ketemu padanja, siapa lantas diisapnja, ketemu A, lantas A diisap, ketemu B, segera B disedot. Bahkan orang ketiga kalau menempel badan orang jang tersedot itu, setjara kontan hawa murninja djuga akan ikut disedot seperti kena arus listrik.........
* * * Kembali bertjerita tentang tiga tokoh dari Tayli, jaitu Suto Hoa Hek-kin, Suma Hoan Hua dan Sukong Pah Thian-sik.
Sesudah mereka menjelundup kedalam Ban-djiat-kok, mereka lantas pilih tempat jang telah direntjanakan dan terus menggangsir liang dibawah tanah.
Sebenarnja Ban-djiat-kok itu ada jang djaga, tapi sedjak kuburan jang merupakan pintu masuk itu dibabat rata oleh orang2 jang dibawa Po-ting-te, tempat itu mendjadi bebas untuk keluar-masuk tanpa rintangan.
Setelah ketiga orang itu menggali semalaman, sudah berpuluh meter djauhnja lorong jang mereka gali. Hoa Hek-kin adalah ahli menggangsir, dibantu lagi djago2 seperti Pah Thian-sik dan Hoan Hua, tentu sadja kemadjuan2 mereka sangat pesat, mereka bertiga mengaso bergiliran, apalagi rangsum dan air minum sudah tersedia hingga mereka tidak kekurangan perbekalan.
Hari kedua mereka menggali pula sepandjang hari, sampai petangnja, mereka taksir sudah tidak djauh lagi djaraknja dengan rumah batu jang mereka tudju. Mereka tahu ilmu silat Yan-king Thaytju sangat tinggi, alat2 gali mereka harus pelahan2 supaja tidak mengeluarkan suara. Sebab bagi orang jang Lwekangnja sudah tinggi, biarpun dalam keadaan tidur pulas djuga akan terdjaga bangun bila mendengar sedikit suara berisik.
Karena kekuatiran itu, kemadjuan mereka lantas banjak dilambatkan.
Sudah tentu mereka tidak tahu bahwa saat itu Yan-king Thaytju djusteru lagi pusatkan perhatiannja sedang mengukur kepandaian tjatur dengan Ui-bi-tjeng disertai adu tenaga dalam, maka takkan dapat merasakan suara jang timbul dari bawah tanah itu.
Kiranja waktu Ui-bi-tjeng melihat keenam muridnja berkerumun diluar rumah batu dengan ribut2, tampaknja terdjadi sesuatu jang aneh, ia menjangka Yan-king Thaytju telah pasang perangkap apa2 didepan rumah batu itu hingga murid2nja itu telah terdjebak. Maka katanja segera: Sitju terlalu banjak bertingkah jang aneh2, Lotjeng harus pergi kesana melihatnja dulu. ~ Sembari berkata, ia terus berbangkit.
Tak terduga Djing-bau-khek djusteru tidak mau melepaskannja, tiba2
tongkat kiri diangkat terus menutuk keiga kiri Ui-bi-tjeng sambil berkata: Babak tjatur ini belum selesai, djikalau Taysu mau mengaku kalah, boleh silahkan pergi.
Tjepat Ui-bi-tjeng angkat tangan kiri terus hendak pegang udjung tongkat orang. Namun tongkat Djing-bau-khek lantas ditarik kembali, menjusul udjung tongkat itu berkeder sambil menutuk pula kebawah dada sipaderi. Mendadak Ui-bi-tjeng memotong kebawah dengan telapak tangan, tapi tongkat itu sudah ditarik kembali lagi serta berobah pula dengan gerak serangan lain. Hanja sekedjap sadja kedua orang itu sudah saling gebrak beberapa djurus.
Hlm. 41: Gambar
Sungguh tjelaka bagi keenam murid Ui-bi-tjeng itu, seperti terkena aliran listrik sadja, satu-sama-lain telah melengket tersedot oleh Tju-hap-sin-kang jang tiba2 timbul dalam tubuh Toan Ki. Sebaliknja Ui-bi-tjeng jang sedang mentjapai titik menentukan mati-hidup dalam pertandingannja melawan tjatur dan Lwekang tokoh utama dari Su-ok itu terbaksa takbisa djuga menolong murid2nja itu.
Ui-bi-tjeng pikir tongkat orang menang pandjang, terang lebih leluasa dibuat menjerang. Sementara itu tongkat itu tampak sedang menutuk lagi kearahnja, tanpa pikir lagi iapun ulur djari tengah, ia intjar udjung tongkat orang dan menutuk djuga.
Djing-bau-khek tidak menghindar, ia benturkan udjung tongkatnja pada udjung djari lawan. Keduanja saling mengadu tenaga dalam masing2. Dan baru sekarang Ui-bi-tjeng mengerti bahwasanja ditengah tongkat orang itu dipasang pula dengan londjoran besi, pantas sadja begitu keras. Dan meski tongkat itu digentjet oleh dua tenaga raksasa dari dua ahli Lwekang jang tinggi toh tidak nampak bengkok sedikitpun.
Wah, rupanja ini adalah langkah simpanan Taysu jang tidak sembarangan dikeluarkan, lalu, apakah pertjaturan kita ini Taysu akan mengaku kalah sekarang" kata Djing-bau-khek.
Haha, belum tentu aku akan kalah, sahut ui-bi-tjeng ter-bahak2, berbareng djari kanan lantas menutul lagi sekali diatas batu hingga menambah lagi satu dekukan.
Tapi Djing-bau-khek tanpa pikir djuga balas menggores lagi satu kali.
Dengan demikian, disamping mengadu Lwekang, kedua orang sambil bertanding tjatur pula. Ui-bi-tjeng insaf dalam keadaaan demikian bila mesti memikirkan pula keselamatan murid2nja, mungkin djiwa sendiri akan melajang lebih dulu. Padahal muntjulnja sekali ini adalah untuk memenuhi undangan Po-ting-te.
Sepuluh tahun jang lalu Ui-bi-tjeng pernah memohon kemurahan hati Poting-te agar suka menghapuskan pungutan padjak garam rakjat, dan harapan itu baru sekarang diluluskan, meski kedua orang tidak bitjara setjara terang2an, namun sebagai timbal-baliknja sudah pasti Ui-bi-tjeng harus dapat menolong Toan Ki.
Sebab itulah Ui-bi-tjeng tidak berani pentjarkan perhatiannja untuk mengurus keadaan murid2nja itu. Ia sudah bertekad, sekalipun djiwa sendiri harus melajang, Toan Ki harus diselamatkan demi memenuhi djandji kepada Toan Tjing-beng. Maka ia tjuma kerahkan tenaga dalamnja untuk menandingi musuh disamping asjik memikirkan pertjaturan jang sangat tegang itu, sekuat tenaga ia bertahan mati2an.
Dalam pada itu Tju-hap-sin-kang dari Toan Ki jang mempunjai daja sedot luar biasa itu, setelah hampir kering mengisap hawa murni Boh-tin Hweshio, kemudian ditambah lagi menempelnja Boh-ban Hweshio, sekaligus korban kedua lantas disedot pula hawa murninja. Karuan terdjadilah sesuatu jang hebat, sebagai seorang jang sama sekali tidak pernah beladjar silat, seketika Toan Ki telah berubah mendjadi seorang jang memiliki keuletan tenaga berpuluh tahun lamanja.
Murid Ui-bi Hwesio jang pertama bernama Boh-tam dan kedua Boh-ay, kedua orang itu mendjadi sibuk demi melihat gelagat kedua Sutenja tidak benar, tjepat merekapun mendekati, jang satu hendak menarik Boh-tin dan jang lain menarik Boh-ban.
Akan tetapi, dengan sendirinja merekapun ikut tersedot pula oleh Tju-hap-sin-kang jang lihay.
Boh-tam dan Boh-ay terhitung paling tinggi Lwekangnja diantara murid2
Ui-bi-tjeng itu. Ketika merasa hawa murni dalam tubuh bergolak mengalir keluar, tjepat mereka pusatkan tenaga untuk menahan, meski sesaat itu mereka masih bisa bertahan hingga hawa murni tidak membandjir keluar disedot Toan Ki, namun djangan sekali2 mereka lengah, asal sedikit ajal, segera hawa murni merembes keluar lagi.
Tatkala itu Toan Ki masih tetap tak sadar, badannja panas bagai dibakar penuh hawa murni jang bergolak. Semakin banjak hawa murni dari keempat Hwesio itu mengalir masuk ketubuhnja, semakin kuat pula daja isap Tju-hap-sin-kang jang hebat itu. Sjukurlah dasarnja dia tiada punja maksud menjedot hawa murni korban2nja itu, maka Boh-tam dan Boh-ay masih dapat bertahan, tapi karena sedikit2 toh terus merembes, sedikit2 achirnja mendjadi banjak djuga, itu berarti daja tahan sendiri semakin berkurang, sebaliknja daja sedot lawan bertambah kuat, maka sampai achirnja perembesan hawa murni merekapun semakin santer keluarnja.
Murid keempat dan murid kelima masing2 bernama Boh-ti dan Boh-ek mendjadi tertegun menjaksikan Suheng2 dan Sute2 mereka jang tjelaka itu.
Maksudnja ingin minta pertolongan sang guru, tapi tampak gurunja djuga sedang bertanding tenaga dalam dengan musuh, saat itupun sudah mentjapai titik2 menentukan hidup atau mati. Karuan mereka kelabakan berlari kesana kesini tanpa berdaja. Sampai achirnja, karena dorongan sesama saudara seperguruan, merekapun tidak pikir pandjang lagi dan segera ikut2 menarik Boh-tam dan Boh-ay sekuatnja.
Waktu itu Tju-hap-sin-kang sudah bertambah dengan hawa murni dari Boh-tam, Boh-ay, Boh-tin dan Boh-ban berempat, betapa hebat daja sedotnja, sudah tentu tak mungkin dapat mereka tarik begitu sadja. Bahkan kontan mereka berduapun ikut disedot dan melengket.
Sungguh sial bagi keenam paderi itu, tanpa sengadja mereka ketemukan Tju-hap-sin-kang, tenaga latihan selama berpuluh tahun mereka akan hilang dalam sekedjap sadja. Sambil masih melengket satu-sama-lain, mereka hanja bisa saling pandang sadja dengan tjemas. Bahkan saking pedihnja, Boh-ti dan Boh-ek sampai mengutjurkan air mata...........
Kembali bertjerita tentang ketiga tokoh Suma, Suto dan Sukong.
Mendjelang magrib, menurut perhitungan Hoa Hek-kin galian mereka tentu sudah sampai dibawah kamar batu dimana Toan Ki dikeram.
Tempat itu sangat dekat dengan tempat duduk Djing-bau-khek, maka kerdja mereka harus lebih hati2 lagi, sedikitpun tidak boleh menerbitkan suara.
Karena itu Hoa Hek-kin lantas taruh sekopnja, ia gunakan djari2 tangan untuk mentjakar tanah.
Hou-djiau-kang atau ilmu tjakar harimau jang dilatih Hoa Hek-kin sangat lihay, kini dipakai mentjakar tanah, mirip benar dengan patjul garuk besi, sekali tjakar lantas segumpal tanah kena dikeduknja. Hoan Hua dan Pah Thian-sik mengikuti dibelakangnja untuk mengusung keluar galian tanah itu.
Kini arah jang digali Hoa Hek-kin tidak lagi mendjurus madju, tapi dari bawah keatas. Maka tahulah Thian-sik dan Hoan Hua bahwa pekerdjaan mereka sudah dekat rampung. Dapat tidak menjelamatkan Toan Ki, tidak lama lagi akan ketahuan dengan pasti. Karena itu, hati mereka mendjadi ber-debar2.
Menggali tanah dari bawah keatas dengan sendirinja djauh lebih mudah.
Sedikit tanahnja longgar, segera longsor sendiri. Ketika Hoa Hek-kin sudah dapat berdiri tegak, tjara galinja mendjadi lebih tjepat lagi. Tapi setiap kali mengeruk sepotong tanah, ia lantas berhenti untuk mendengarkan apakah ada sesuatu suara diatas sana.
Tidak lama pula, Hek-kin menaksir tinggal belasan senti sadja dengan permukaan tanah, kerdjanja lantas dilambatkan lagi dengan hati2, pelahan2
ia korek lapisan tanah dan achirnja dapat menjentuh sepotong papan kaju jang rata.
Ia mendjadi heran bahwa lantai rumah bukan dari papan batu, tapi adalah papan kaju. Namun dengan begitu mendjadi lebih leluasa lagi bagi kerdjanja.
Segera Hek-kin kerahkan tenaga pada udjung djarinja, pelahan2 ia mengiris satu lubang persegi pada papan kaju itu hingga tjukup untuk dibuat masuk keluar tubuh orang. Ia memberi tanda siap kepada kedua kawannja, lalu mengendorkan tangannja jang menjanggah papan lubang jang sudah dipotong itu, dengan sendirinja potongan papan itu lantas djatuh sendiri kebawah, segera Hek-kin ulurkan sekopnja keatas melalui lubang itu sambil diabat-abitkan untuk mendjaga kalau diserang musuh dari atas.
Diluar dugaan, bukannja diserang dari atas, tapi lantas terdengar djeritan kaget seorang wanita diatas situ.
Djangan bersuara, Boh-kohnio, kawan sendiri jang datang untuk menolong engkau! demikian bisik Hek-kin pelahan terus melompat keatas melalui lubang papan itu.
Tapi kedjutnja sungguh tak terkira ketika mengetahui bahwa kamar itu ternjata bukan rumah batu jang ditudju itu.
Kamar itu tampak banjak almari dan medja jang penuh botol2 obat.
Dipodjok sana tampak seorang gadis tjilik meringkuk dengan ketakutan.
Maka tahulah Hoa Hek-kin bahwa telah salah gali. Rumah batu jang dikatakan Pah Thian-sik itu hanja didengarnja dari tjerita Po-ting-te, maka rentjana mereka itu hanja didasarkan pada taksiran belaka, dan kini ternjata sudah kesasar.
Kiranja kamar jang mereka masuki itu adalah kamar kerdjanja Tjiong Ban-siu dan gadis tjilik itu bukan lain adalah Tjiong Ling.
Gadis itu senantiasa hendak mentjari obat penawar dikamar kerdja ajahnja guna menolong Toan Ki. Tak tersangka bahwa Im-yang-ho-hap-san itu tidak bisa sembarangan disembuhkan dengan obat penawar, tapi ada tjara penjembuhan jang istimewa. Dengan sendirinja biarpun Tjiong Ling sudah mengobrak-abrik kamar obat ajahnja toh tetap tak bisa mendapatkan sesuatu obat penawar jang diharapkan.
Waktu itu ajah-bundanja sedang mendjamu tamu diruangan depan, maka diam2 Tjiong Ling masuk kekamar ajahnja untuk mentjari lagi. Siapa duga mendadak lantai kamar itu berlubang, menjusul sebatang sekop menjelonong keluar, bahkan terus melompat keluar pula seorang laki2 tak dikenal, karuan kaget Tjiong Ling setengah mati.
Hoa Hek-kin bisa berpikir tjepat, sekali sudah salah gali, terpaksa harus gali pula kedjurusan lain. Djedjaknja sudah diketahui, kalau nona tjilik ini dibunuh, tentu majatnja akan diketemukan orang disini dan segera pasti akan diadakan penggeledahan setjara besar2an, djika hal itu terdjadi, mungkin dirinja sudah akan diketemukan sebelum berhasil menggali sampai dirumah batu itu. Rasanja djalan paling baik harus gondol gadis tjilik ini kedalam lorong dibawah tanah, dan orang lain kalau mentjari sigadis ini, tentu malah akan mentjarinja diluar sana.
Dan pada saat itulah, tiba2 diluar kamar ada suara tindakan orang mendatangi. Tjepat Hek-kin gojang2 tangannja kepada Tjiong Ling dengan maksud agar gadis itu djangan bersuara, lalu ia putar tubuh dengan lagak seperti hendak menerobos kedalam lubang. Tapi mendadak ia terus melompat kebelakang, segera mulut Tjiong Ling ditekap dengan tangannja, menjusul badan gadis itu lantas diangkat ketepi lubang itu terus dimasukkan kebawah. Disitu Hoan Hua sudah lantas menjambutnja.
Setelah ikut melompat kebawah lubang lagi, tjepat Hek-kin djedjalkan mulut Tjiong Ling dengan setjomot tanah, karuan gadis itu kerupukan.
Namun Hek-kin tak urus lagi, ia tutup kembali lubang papan tadi, lalu mendengarkan apa jang terdjadi diatas.
Kedjadian2 itu berlangsung dengan tjepat luar biasa, dalam keadaan kaget dan takut, Tjiong Ling mendjadi bingung hingga tidak tahu apa maksud tudjuan orang mentjulik dirinja. Apalagi mulutnja telah didjedjal dengan tanah, ia mendjadi gelagapan tak bisa bersuara lagi.
Sementara itu terdengar ada dua orang telah masuk kedalam kamar, jang seorang tindakannja berat, jang lain sangat enteng. Lalu suara seorang laki2 lagi berkata: Terang tjintamu padanja masih belum lenjap seluruhnja, kalau tidak, aku hendak merusak nama baik keluarga Toan, mengapa kau selalu merintangi"
Belum lenjap apa segala, hakikatnja aku tidak pernah tjinta padanja, sahut seorang wanita.
Djika demikian, itulah jang kuharapkan, kata laki2 tadi dengan nada penuh rasa sjukur dan girang.
Maka terdengar wanita itu berkata pula: Tapi nona Bok itu adalah puteri kandung Sutjiku, meski tabiatnja agak kasar dan bertindak kurang sopan pada kita, namun betapapun djuga adalah orang sendiri. Kau hendak bikin susah Toan-kongtju aku masa bodoh, tapi nona Bok djuga ikut kau korbankan nama baiknja hingga selama hidupnja bakal merana, itulah aku tak bisa tinggal diam.
Mendengar sampai disini, tahulah Hek-kin bahwa kedua orang jang bitjara itu terang adalah suami-isteri Tjiong Ban-siu. Mendengar pembitjaraan mereka menjangkut dirinja Toan Ki, segera ia pasang kuping lebih tadjam.
Maka terdengar Tjiong Ban-siu lagi berkata: Sutjimu telah berusaha hendak melepaskan pemuda itu, beruntung dipergoki Yap Dji-nio dan sekarang dia sudah bermusuhan dengan kita, mengapa kau malah ingin mengurus puterinja itu" A Po, para tamu didepan itu adalah tokoh2 Bu-lim kenamaan semua, tanpa pamit apa2 kau tinggal masuk kemari, bukankah kelakuanmu ini agak kurang sopan"
Hm, untuk apa kau mengundang orang2 matjam begitu" dengan kurang senang Tjiong-hudjin menanja. Huh, Lo-kang-ong Tjin Goan-tjun, It-hui-tjiong-thian Kim Tay-pang, murid utama dari Tiam-djong-pay Liu Tji-hi, Tjo Tju-bok dan Siang-djing tokoh dari Bu-liang-kiam dan ada lagi djago silat Be Ngo-tek apa segala, emangnja apa kau sangka orang2 matjam demikian berani main gila pada Paduka Jang Mulia radja Tayli sekarang"
Aku toh tidak bermaksud mengundang mereka untuk ikut memberontak pada Toan Tjing-beng, demikian Tjiong Ban-siu mendjawab. Hanja setjara kebetulan aku melihat mereka berada disekitar sini, lantas aku mengundang mereka kemari untuk meramaikan suasana sadja gar bisa ikut mendjadi saksi bahwa putera puteri Toan Tjing-sun telah tidur dalam sekamar. Malahan diantara hadirin itu terdapat pula Hui-sian dari Siau-lim-si, Kah-yap Siansu dari Tay-kak-si, Oh-pek-kiam Su An. Orang2 ini adalah djagoan2
didaerah Tionggoan. Besok pagi be-ramai2 kita lantas pergi membuka rumah batu itu, biar semua orang menjaksikan betapa bagus perbuatan keturunan keluarga Toan jang terpudji itu, bukankah hal ini sangat menarik dan segera akan tersiar luas diseluruh Kangouw dengan tjepat" Hahahaha!
Huh, rendah memalukan! djengek Tjiong-hudjin.
Kau maki siapa jang rendah memalukan" tanja Ban-siu.
Siapa jang berbuat rendah dan tidak kenal malu, dia adalah manusia jang rendah memalukan, sahut Tjiong-hudjin mendongkol.
Benar, keparat Toan Tjing-sun itu selama hidupnja sok romantis dan banjak berbuat dosa, tapi achirnja puter-puteri sendiri berbuat hal2 jang tidak senonoh, haha, benar2 rendah memalukan!
Kau sendiri tidak mampu menangkan orang she Toan, selama hidup mengumpet didalam lembah ini pura2 sudah mati, namun hal inipun maklum, karena kau masih tahu diri dan terhitung seorang laki2 jang kenal malu.
Tapi sekarang kau sengadja mempermainkan putera-puteri orang jang bukan tandinganmu, kalau diketahui kesatria2 seluruh djagat, mungkin orang jang akan ditertawai bukan dia, sebaliknja adalah engkau sendiri!
Karuan Tjiong Ban-siu berdjingkrak, teriaknja gusar: Djadi ..... djadi engkau maksudkan aku jang rendah dan memalukan"
Tiba2 Tjiong-hudjin mengutjurkan air mata, sahutnja ter-guguk2: Sungguh tidak njana bahwa suamiku adalah seorang demikian gagah perwiranja!
Sebenarnja Tjiong Ban-siu memang sangat tjinta pada isterinja ini, sebabnja dia bentji dan dendam pada Toan Tjing-sun adalah disebabkan rasa tjemburunja, kini melihat sang isteri menangis, karuan ia mendjadi sibuk, tjepat sahutnja: Baiklah, baiklah! Kau suka maki aku, makilah sepuasmu.
Habis berkata, ia berdjalan mondar-mandir didalam kamar itu, pikirnja hendak mengutjapkan sesuatu untuk minta maaf pada sang isteri, tapi seketika tidak tahu apa jang harus dikatakan. Tiba2 ia melihat botol obat dialmarinja disudut kamar sana berserakan tak teratur, segera ia mengomel: Hm, Ling-dji ini benar2 kurang adjar, masih ketjil sudah tanja tentang Im-yang-ho-hap-san apa segala, sekarang datang mengobrak-abrik lagi kekamarku sini.
Sembari berkata, ia terus mendekati almari obat itu untuk membetulkan botol2 obat jang tak keruan itu dan tanpa sengadja sebelah kakinja mendadak mengindjak diatas papan jang sudah dilubangi Hoa Hek-kin itu.
Karuan Hek-kin kaget, tjepat ia menjanggah dari bawah sekuatnja agar tidak diketahui orang.
Dimanakah Ling-dji" tiba2 Tjiong-hudjin menanja. Selama beberapa hari ini didalam lembah banjak orang djahat, Ling-dji harus diperingatkan djangan sembarangan keluar. Aku lihat sepasang mata maling In Tiong-ho itu selalu mengintjar Ling-dji sadja, kukira kau harus hati2 djuga.
Aku hanja hati2 mendjaga engkau seorang, wanita tjantik molek seperti engkau, siapa orangnja jang tidak sir padamu" demikian sahut Ban-siu dengan tertawa.
Tjis! semprot njonja Tjiong. Lalu ia berseru memanggil: Ling-dji!
Segera seorang pelajan mendekati dan memberitahu bahwa barusan sadja sang Siotjia berada disitu.
Tjoba tjari dan undang kemari, perintah Tjiong-hudjin.
Sudah tentu Tjiong Ling mendengar semua pertjakapan ajah-bundanja itu.
Tapi apa daja, mulut tersumbat tanah, sama sekali tak bisa bersuara, hanja dalam hati kelabakan setengah mati.
Dalam pada itu terdengar Tjiong Ban-siu lagi berkata pada sang isteri: Engkau mengaso sadja disini, aku akan keluar mengawani tamu.
Hm, kau berdjuluk Kian-djin-tjiu-sat (melihat orang lantas membunuh), kenapa sesudah tua lantas Kian-djin-tjiu-bah (melihat orang lantas takut)" sindir Tjiong-hudjin.
Ban-siu tidak berani marah, sambil menjengir kuda, ia tinggal keluar keruangan depan.
Dalam pada itu, dikota Tayli dengan gembira rakjat sedang merajakan dihapuskannja tjukai garam.
Hendaklah maklum bahwa produksi garam diwilajah Hunlam sangat terbatas, seluruh negeri hanja ada sembilan sumur garam, jaitu sumber penghasil garam jang terdapat didaratan Tiongkok bagian barat-daja. Maka setiap tahunnja Tayli mesti mengimpor sebagian besar garam dari daerah Sutjwan dengan tjukai garam jang berat, bahkan sebagian besar dari penduduk dipinggiran negeri itu dalam setahun hampir setengah tahun mesti makan setjara tawar tanpa garam.
Po-ting-te tahu bila tjukai garam sudah dihapuskan, tentu Ui-bi-tjeng akan berusaha menjelamatkan Toan Ki untuk membalas kebidjaksanaannja itu.
Biasanja Po-ting-te sangat kagum terhadap ilmu silat serta ketjerdikan Ui-bi-tjeng itu, apalagi keenam anak muridnja itupun memiliki ilmu silat jang tinggi, djika guru dan murid itu bertudjuh orang keluar sekaligus, pasti akan gol usaha mereka.
Tak terduga, sudah ditunggu sehari-semalam, ternjata tiada sedikitpun kabar jang diperoleh, hendak memerintahkan Pah Thian-sik pergi mentjari tahu, siapa sangka Pah-sukong itu beserta Hoa-suto dan Hoan-suma djuga ikut menghilang tanpa pamit.
Karuan Po-ting-te mendjadi kuatir, pikirnja: Djangan2 Yan-king Thaytju memang terlalu lihay hingga Ui-bi Suheng bersama murid2nja itu dan ketiga pembantuku jang lihay itu telah terdjungkal semua didalam Ban-djiat-kok"
Karena itu, segera ia undang berkumpul adik pangeran Toan Tjing-sun dan permaisuri, Sian-tan-hou Ko Sing-thay serta tokoh2 Hi-djiau-keng-dok, lalu diadjak berangkat ke Ban-djiat-kok pula.
Karena kuatirkan keselamatan sang putera, Si Pek-hong minta Po-ting-te suka kerahkan pasukan untuk menjapu bersih Ban-djiat-kok, namun sang radja jang bidjaksana itu tidak setudju, ia ingin pertahankan kehormatan dan nama baik keluarga Toan sebagai tokoh utama didunia persilatan, kalau tidak terpaksa, ia tetap bertindak menurut peraturan Kangouw.
Dan baru sadja rombongan mereka sampai dimulut lembah jang ditudju, tertampaklah In Tiong-ho sudah memapak mereka dengan ketawa2, ia memberi hormat lebih dulu, lalu berkata: Selamat datang! Tjiong-koktju menduga Paduka Jang Mulia hari ini pasti akan berkundjung kemari lagi, maka Tjayhe disuruh menantikan disini. Pabila kalian datang bersama pasukan setjara besar2an, kami lantas angkat kaki melangkah seribu. Tapi bila datang menurut peraturan Kangouw, maka disilahkan masuklah untuk minum2
dulu! Melihat pihak lawan demikian tenang, terang sudah siap sedia sebelumnja, tidak seperti tempo hari, begitu datang lantas saling labrak, maka diam2 Po-ting-te lebih kuatir djuga dan lebih prihatin. Segera ia membalas hormat dan berkata: Terima kasih atas penjambutanmu!
Segera In Tiong-ho mendahului dan membawa rombongan Po-ting-te keruangan tamu. Begitu melangkah masuk ruangan pendopo itu, Po-ting-te lantas melihat ruangan itu sudah banjak berkumpul tokoh2 Kangouw, kembali ia bertambah was2.
Terus sadja In Tiong-ho berteriak: Thian-lam Toan-keh Tjiangbundjin Toan-losu tiba! ~ Ia tidak bilang P.J.M. radja Tayli, tapi menjebutkan gelaran keluarga Toan dalam kalangan Bu-lim, suatu tanda ia sengadja menjatakan segala tindak-tanduk selandjutnja harus dilakukan menurut peraturan Bu-lim.
Nama Toan Tjing-beng sendiri didalam Bu-lim memangnja terhitung djuga seorang tokoh terkemuka jang disegani. Maka begitu mendengar namanja, seketika para hadirin berbangkit sebagai tanda menjambut. Hanja Lam-hay-gok-sin jang masih tetap duduk seenaknja ditempatnja sambil berseru: Kukira siapa, tak tahunja adalah Hongte-lodji jang datang! Baik2kah kau"
Sebaliknja Tjiong Ban-siu lantas melangkah madju dan menjapa: Tjiong Ban-siu tidak keluar menjambut, harap Toan-losu suka memaafkan!
Ah, djangan sungkan2! sahut Po-ting-te.
Oleh karena pertemuan ini dilakukan setjara orang Bu-lim, maka ketika disilahkan duduk, Toan tjing-sun dan Ko Sing-thay lantas berduduk disisi Po-ting-te, sedang Leng Djian-li berempat berdiri dibelakang Po-ting-te, segera pula pelajan menjuguhkan minuman seperlunja.
Melihat Ui-bi-tjeng dan murid2nja serta Pah Thian-sik bertiga tidak nampak disitu, diam2 Po-ting-te memikirkan tjara bagaimana harus buka mulut untuk menanjakannja.
Sementara itu Tjiong Ban-siu lantas buka suara: Atas kundjungan kedua kalinja dari Toan-tjiangbun ini, sungguh Tjayhe merasa mendapat kehormatan besar. Mumpung ada sekian banjak kawan2 Bu-lim berkumpul disini, biarlah Tjayhe memperkenalkannja satu per satu kepada Toan-tjiangbun.
Habis berkata, segera Ban-siu memperkenalkan Tjo Tju-bok, Be Ngo-tek, Hui-sian Hwesio dan lain2 kepada radja Tayli itu. Sebagian besar Po-ting-te tidak kenal, tapi ada djuga jang pernah mendengar namanja.
Setiap orang jang diperkenalkan itu lantas saling memberi hormat pula dengan Po-ting-te. Be Ngo-tek, Tjo Tju-bok dan kawan2nja sangat menghormat dan merendah diri terhadap Po-ting-te, sebaliknja Liu Tju-hi, Tjin Goan-tjun dan begundalnja bersikap sangat angkuh. Sedangkan Kah-yap Siansu, Kim Tay-peng, Su An dan lain2 memandang Po-ting-te sebagai kaum Tjianpwe, mereka tidak terlalu merendahkan deradjat sendiri djuga tidak mendjilat orang.
Lalu Tjiong Ban-siu berkata lagi: Mumpung Toan-tjiangbun sempat berkundjung kemari, sudilah kiranja tinggal lebih lama barang beberapa hari disini, agar para saudara bisa banjak meminta petundjuk.
Keponakanku Toan Ki telah berbuat salah pada Tjiong-koktju dan ditahan disini, kedatanganku hari ini pertama jalah ingin mintakan ampun bagi botjah itu, keduanja ingin minta maaf djuga. Harap Tjiong-koktju suka memandang diriku, sukalah mengampuni anak jang masih hidjau itu, untuk mana Tjayhe merasa terima kasih sekali, demikian djawaban Po-ting-te.
Mendengar itu, diam2 para kesatria sangat kagum, pikir mereka: Sudah lama kabarnja Toan-hongya dari Tayli suka menghadapi kaum sesama Bu-lim dengan peraturan Bu-lim pula, dan njatanja memang tidak omong kosong.
Padahal wilajah ini masih dibawah kekuasaan Tayli, asal dia mengirim beberapa ratus peradjuritnja sudah tjukup untuk membebaskan keponakannja itu, tapi dia djustru datang sendiri untuk memohon setjara baik2.
Hlm. 51 Gambar Toan-kongtju adalah gurumu, engkau sudah menjembah dan mengangkat guru padanja, apakah kau berani menjangkal" kata Ko Sing-thay.
Keparat, lotju tidak menjangkal, maki Lam-hay-gok-sin dengan gusar.
Harini djuga biar Lotju bunuh guru jang tjuma namanja sadja tanpa ada kenjataannja itu. Gak-lodji punja guru sematjam itu, huh, hanja bikin malu sadja!
Plak, dengan gusar Tjiong Ban-siu tempiling puterinja sendiri, Tjiong Ling, jang disangkanja telah berbuat tidak senonoh dengan Toan Ki didalam rumah batu itu.
Tjiong-koktju, urusan sudah ketelandjur, kini puterimu sudah mendjadi anggota keluarga Toan kami, terpaksa aku harus ikut tjampur djika kau menghadjar puterimu ini, tiba2 Toan Tjing-sun menjela dengan ter-senjum2.
Hlm 52 Dalam pada itu Tjiong Ban-siu sedang ter-bahak2, belum lagi mendjawab, tiba2 Su An telah menjela: He, kiranja Toan-kongtju berbuat salah sesuatu kepada Tjiong-koktju, djika demikian, untuk mana Tjayhe djuga ikut memohon ampun baginja, sebab Tjayhe pernah mendapat pertolongan dari Toan-kongtju.
Lam-hay-gok-sin mendjadi gusar mendadak, bentaknja: Urusan muridku, baut apa kau ikut tjerewet"
Toan-kongtju adalah gurumu dan bukan muridmu, tjepat Ko Sing-thay mendjawabnja dengan mengedjek. Kau sendiri sudah menjembah dan mengangkat guru padanja, apa sekarang kau hendak menjangkal"
Muka Lam-hay-gok-sin mendjadi merah, ia memaki: Keparat, Lotju takkan menjangkal. Harini biar Lotju membunuh djuga Suhu jang tjuma namanja sadja, tapi kenjataannja tidak. Hm, masakan Lotju mempunjai seorang guru matjam begitu, bisa mati kaku aku!
Karena tidak tahu seluk-beluknja, keruan semua orang merasa bingung oleh tanja djawab itu.
Kemudian Si Pek-hong ikut bitjara: Tjiong-koktju, lepaskan puteraku atau tidak, hanja tergantung satu ketjap utjapanmu sadja.
O, ja, tentu sadja kulepaskan dia, tentu kulepaskan! sahut Tjiong Ban-siu dengan tertawa. Emangnja, buat apa aku menahan puteramu itu"
Benar, tiba2 In Tiong-ho menimbrung. Dasar Toan-kongtju tampan dan ganteng, sedangkan njonja Tiong-koktju sangat tjantik aju, kalau Toan-kongtju tinggal terus dilembah ini, apakah itu bukannja memiara srigala dikandang kambing, tjari penjakit sendiri" Maka sudah tentu Tjiong-koktju akan melepaskan botjah itu!
Semua orang mendjadi tertjengang oleh kata2 In Tiong-ho jang tidak kenal aturan dan tanpa tedeng aling2 itu, njata suami-isteri Tjiong Ban-siu sama sekali tak terpandang sebelah mata olehnja, sungguh djulukan Kiong-hiong-kek-ok atau djahat dan buas luar biasa, memang tidak bernama kosong.


Pendekar Pendekar Negeri Tayli Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tentu sadja Tjiong Ban-siu mendjadi murka, sjukur ia masih bisa menahan diri, katanja sambil berpaling: In-heng, kalau urusan disini sudah selesai, pasti Tjayhe akan beladjar kenal dengan kepandaianmu.
Bagus, bagus! sahut In Tiong-ho tertawa.Akan djusteru sudah lama ingin membunuh suaminja untuk mendapatkan isterinja, ingin merebut hartanja serta mendiami lembahnja ini!
Keruan para kesatria bertamah terkesiap. Segera It-hui-tjiong-thian Kim Tay-peng berkata: Para kesatria kangouw toh belum mati seluruhnja, sekalipun kepandaian Thian-he-su-ok kalian sangat tinggi, betapapun tak bisa menghindarkan diri dari keadilan umum.
Tiba2 Yap Dji-nio ter-bahak2 dengan suaranja jang merdu, katanja: Kim-siangkong, aku Yap Dji-nio toh tiada permusuhan apa2 dengan engkau, kenapa aku ikut2 disinggung, ha"
Hati Kim Tay-peng tergetar oleh suara ketawa orang jang mengguntjang sukma itu. Begitu pula Tjo Tju-bok djuga ikut ber-debar2, terutama bila teringat puteranja sendiri hampir2 mendjadi korban wanita iblis itu, tanpa merasa ia melirik sekedjap pada tokoh kedua dari Su-ok itu.
Yap Dji-nio sedang ter-kikih2 tawa, katanja pula: He, Tjo-tjiangbun, baik2kah puteramu itu, tentu mendjadi lebih gemuk dan putih mulus bukan"
Tjo Tju-bok tidak berani membantah, sahutnja tak lampias: Ah, tempo hari ia telah masuk angin, sampai sekarang masih belum sehat.
O, kasihan! udjar Dji-nio. Biarlah nanti aku mendjenguk puteramu jang baik itu.
Karuan Tjo Tju-bok terkedjut, tjepatan sadja ia gojang2 tangannja dan berkata: Djang .... djangan, ti... tidak usah! ~ Sudah tentu ia kuatir, kalau orang benar2 bermaksud baik mendjenguk anaknja sih tak mengapa, tapi kalau digondol lari lagi untuk diisap darahnja, kan tjelaka!
Pedang Tanpa Perasaan 13 Pendekar Gelandangan - Pedang Tuan Muda Ketiga Karya Khu Lung Pendekar Remaja 1

Cari Blog Ini