Ceritasilat Novel Online

Pusaka Negeri Tayli 11

Pusaka Negeri Tayli Karya Can I D Bagian 11


Percuma kalau mau membunuhnya. Ia dapat memaafkan
tindakan orang.
"Song-heng, tenanglah, soal ini tentu akibat salah
faham," akhirnya ia turunkan pedang dan berkata dengan
ramah. Tetapi Song Pek Liang tetap penasaran.
"Salah paham" Adakah orang mati itu pada saat2
terakhir dapat meninggalkan tulisan untuk memfitnah
orang?" serunya sinis.
"Memang itu yang menjadi pokok persoalan," kata Cu
Jiang dengan menahan perasaan.
"Kami ingin mendengar penjelasan ciangkun." seru Song
Pak Liang. Sejenak menenangkan perasaannya, Cu Jiangpun segera
berkata kepada Ko Kun:
"Ko-heng, harap engkau menjaga diluar."
Sejenak memandang kearah kedua rekannya, dengan
kepala menunduk Ko Kun segera melangkah keluar.
Setelah itu barulah Cu Jiang berkata dengan tandas:
"Dengan mengesampingkan peraturan, Kok-su telah
menerima aku sebagai murid. Baginda Tonghongyapun
telah berkenan memberikan kitab pusaka sehingga aku
berhasil memperoleh ilmu kepandaian.
Tugasku yang utama yalah membereskan kawanan Sippat-thian-mo. Dalam rangka melaksanakan tugas itu
saudara berempat telah memberi bantuan. Soal Jabatanku
sebagai Tin-tian-ciang-kun adalah dikarenakan harus
menghadapi tantangan dari putera raja Biauw tempo hari.
Dalam hal ini kuharap saudara jangan terlalu menyanjung
diriku ... "
"Ucapan baginda itu bukan kata2 kosong. Dan lagi telah
disaksikan oleh sekalian menteri, tidak boleh dianggap
sepele," kata Song Pak Liang.
Cu Jiang tertawa hambar.
"Saudara Song. baiklah, aku takkan membicarakan soal
itu. Mengenal kematian Ong Kian, aku benar2 tak pernah
datang ke Hu-yang.. ."
"Lalu bagaimana dengan tulisan darah itu?"
"Marilah kita mempelajarinya dengan tenang, untuk
mencari sebabnya."
"Ciangkun, tetapi urusan bukan hanya yang itu saja."
"Masih ada yang lain lagi ?" teriak Cu Jiang terkejut.
"Apakah aku harus mengatakan satu demi satu ?"
"Silakan memberi keterangan."
"Song-heng, kesabaranku ada batasnya. Sekali lagi
kuminta engkau bersikap tenang."
Dahi Song Pek Liang berkerenyut.
"Biarlah aku yang mulai bicara," kata Ki Siau Hong,
"kantor pengiriman barang Han Tiong dikota Hu-yang pada
suata hari telah menerima pekerjaan untuk mengirim
barang gelap yang harganya semahal pembelian sebuah
kota. Barang itu terdiri dari sebuah barang permainan dari
batu permata yang tak ternilai indahnya. Tetapi sebelum
sempat berangkat mengirim, kepala perusahaan itu dan
seluruh keluarganya besar kecil berjumlah delapan orang,
telah mati dibunuh orang.. ."
"Oh..."
"Siau-lim Sam-lo Juga dibunuh di Kwiciu."
"Siapa lagi ?"
"Ketua partai Heng-san-pay mati dicincang puterinya
diperkosa."
"Lalu ?"
"Masih ada lagi, tetapi tak perlu kami terangkan. Pokok,
banyak sekali terjadi pembunuhan2 yang amat keji !"
"Semua itu Toan-kiam-jan-Jin yang melakukan?" Cu
Jiang mengertek gigi.
"Ciangkun," kata Song Pek Liang dengan nada tergetar,
"menurut beritanya memang begitu. Dan banyak sekali
saksinya. Kamipun pernah melihat sendiri bukti itu."
"Pernahkah
Song heng membayangkan bahwa kemungkinan ada orang yang menyamar sebagai diriku ?"
"Tetapi Ong Kian tak mungkin salah melihat diri
ciangkun ?"
"Seratus hari lamanya aku berobat di gunung Busan,"
kata Cu Jiang, "seturun gunung, aku tak menyamar menjadi
Toan-kiam-Jan Jin lagi. "
"Soal itu hanya ciangkun sendiri yang tahu."
Sejenak berpikir, Cu Jiang menatap Ki Siau Hong,
serunya. "Yang menyampaikan berita tentang diri Long sim-mo
itu adalah Ki-heng, pada waktu itu bagaimana keadaan
diriku?" "Peristiwa itu terjadi pada waktu ciangkun belum muncul
di kota itu," jawab Ki Siau Hong.
"Mengapa waktu itu engkau tak memberitahukan?"
"Sudah sebulan lamanya kami mengikuti Long-sim-mo.
Pada waktu itu belum begitu jelas tentang peristiwa itu !"
"Belum ada sebulan aku turun dari gunung Busan. Ang
Nio Cu dan- Thian put thou menjadi saksinya . . ."
"Ong Kian terbunuh lima hari yang lalu!"
Mendengar jawaban itu Cu Jiang benar2 tak dapat
membantah, ia kerutkan alis tak berkata apa2.
"Ciangkun, kami hendak kembali ke Tayli dulu untuk
memberi laporan kepada Kok-su." kata Song Pek Liang,
"Untuk sementara jangan kalian pergi dulu."
"Mengapa ?"
"Tunggu sampai peristiwa ini jelas."
"Bagaimana tindakan ciangkun untuk membereskan soal
itu ?" "Mencari orang yang memalsu diriku."
"Song-heng menganggap tentu aku sendiri ?"
"Karena bukti memaksa kami tak dapat menduga yang
lain," "Hm," Cu Jiang menahan kemarahannya, "tindakan
musuh itu Jelas mengandung siasat yang licik. Tujuannya
tentu hendak membangkitkan kemarahan kaum persilatan
terhadap diriku. Tentu musuh takkan berhenti sampai
disitu. Kalau kita menyelidiki dengan sungguh2, pasti akan
dapat menemukan jejaknya."
Agaknya Ki Siau Hong lebih sabar maka dia segera
membujuk kawannya. Song Pek Liang.
"Song-heng. karena ciangkun mengatakan begitu,
bagaimana kalau kita ikut menyelidiki ?"
"Aku tak ingin mengubur tulangku di tanah Tionggoan,"
sahut Song Pek Liang dengan tegang.
Mendengar sikap Song Pek Liang begitu kukuh, Cu
Jiang mendongkol sekali serunya:
"Kalau aku memang seperti yang kalian duga, perlu apa
aku harus berbanyak kata. Bukankah saat ini juga aku dapat
membereskan kalian bertiga?"
Kata2 itu penuh mengandung keterbukaan hati dan
kemarahan yang tertahan sehingga kedua orang itu
terkesiap. Memang benar, jika mau, dengan mudah Cu
Jiang tentu dapat membunuh mereka bertiga.
Akhirnya Song Pek Liang agak kendor. Setelah
merenung beberapa saat, ia berkata:
"Ciangkun. mudah-mudahan hal itu benar2 suatu
kesalahan faham."
"Memang sebenarnya suatu rencana busuk sekali. "
"Kira2 siapakah yang melakukan rencana itu?"
"Siapa lagi kalau bukan orang Gedung Hitam. "
"Lalu bagaimana tindakan kita?"
"Kita berpencar menyelidiki. Hanya apabila kalian
menemukan sesuatu, jangan sekali-kali menunjukkan diri
biarlah aku yang membereskan sendiri. Karena berani
melakukan pemalsuan itu, musuh tentu memiliki kepandaian hebat dan lagi tentu dikawal oleh anak
buahnya." "Baiklah, kami akan mohon diri "
"Ei, mengapa tak minum dulu?"
"Lain waktu saja." Ki Siau Hong dan Song Pek Liang
segera menghaturkan hormat lalu melangkah keluar.
Cu Jiang masih termenung dikursinya. Dia benar2 tak
menyangka kalau musuh akan melakukan rencana begitu.
Memikirkan peristiwa itu, dia pun tak punya selera makan
lagi. Dia memanggil pelayan, membayar rekening lalu
tinggalkan rumah makan itu.
Saat itu jalan sudah ramai. Lampu2 menerangi seluruh
jalan, orang tak putus-putusnya berjalan hilir mudik.
Ramainya bukan kepalang.
Dengan dandanannya sebagai seorang pedagang Cu
Jiang berjalan pelahan-lahan. Tengah dia berjalan, tiba2 dia
melihat pertandaan-rahasia yang di tinggalkan oleh Su-tayko-jiu. Semangatnya bangkit serentak. Apakah dalam waktu
singkat mereka sudah mendapatkan jejak musuh"
Segera dia menurutkan pertandaan rahasia itu. Akhirnya
dia tiba di ujung jalan yang sepi. Seorang sasterawan tua
segera menyongsong kedatangannya, memberi hormat.
"Laute." seru sasterawan tua itu. "sungguh beruntung
dapat berjumpa. Tampaknya laute berseri-seri tentu
mendapat kemajuan dalam kehidupan. Sebaliknya aku ini
tetap sasterawan yang tak berguna, nasib buruk . . . .
Sasterawan tua itu tak lain adalah Ki Siau Hong. Dan Cu
Jiangpun balas memberi hormat.
"Ki-heng, sudah bertahun-tahun tak berjumpa tetapi
sikap Ki-heng masih tetap gagah seperti dulu!"
"Gagah " Ha, ha, ha, ha ... aku sih begini rudin."
"Tetapi adakah..."
"Tinggal di luar kota, entah apakah laute suka
berkunjung kesana?"
"Ai, tentu,"
"Baiklah, laute. Mari kita ke sana."
Demikian keduanya segera berjalan menuju keluar kota,
Tiba diluar kota yang sepi, barulah Ki Siau Hong berkata.
"Kita bicara di pondok petani itu."
"Hm."
Setelah berada digerumbul pohon bambu dibelakang
pondok, Cu Jiang terus bertanya:
"Apakah mendapat penemuan?"
"Dikedai minum telah tersiar berita besar," kata Ki Siau
Hong dengan semangat.
"Berita besar apa ?"
"Waktu malam terang bulan, dibiara Kang-sin-bio kira2
lima li diluar kota, Toan-kiam-Jan-jin akan menantang
ketua Gedung Hitam."
"Bagus! Kiranya kedua manusia itu sama2 muncul!" seru
Cu Jiang dengan gembira.
"Ciangkun." kata Ki Siau Hong, "Toan-kiam-jan-Jin dan
ketua Gedung Hitam itu merupakan tokoh2 yang paling
menonjol dalam dunia persilatan dewasa ini. Kedua belah
pihak sama2 memberi pengumuman itu, tentu ada
maksudnya. Harus menjaga akal muslihat jahat mereka. Ko
Kun dan Song Pek Liang sudah ke tempat itu untuk
menyelidiki kebenarannya . . ."
"Sekarang masih kurang berapa hari dari bulan
purnama?" "Tujuh hari."
Cu Jiang memperhitungkan waktunya. Perjanjiannya
dengan Ang Nio Cu yalah dalam empat puluh hari akan
bertemu di kota Hu-yang. Apalagi harus membuang waktu
tujuh hari, memang temponya terlalu mendesak sekali.
Tetapi peristiwa pertempuran antara Toan-kiam jan-jin
dengan ketua Gedung Hitam juga sangat penting. Akhirnya
ia memutuskan, akan menunggu pertandingan itu baru
kemudian berangkat ke gunung Tay pa san.
"Baiklah, aku akan menunggu selama tujuh hari di kota."
"Sebaiknya ciangkun jangan pergi kemana-mana, agar
setiap waktu kita dapat bertemu ... "
"Ya, aku tetap berada di rumah penginapan Gwat-lay
tiam. " Setelah itu mereka berpisah. Semalam ia tak dapat tidur
karena memikirkan siapakah orang yang memalsu dirinya
itu. Apa maksudnya" Dia menantang ketua Gedung Hitam
untuk bertempur di biara Kang sin-bio. Juga perlu diselidiki.
Adakah yang bertempur itu benar ketua Gedung Hitam
yang aseli atau palsu"
Ayam berkokok, baru Cu Jiang tidur. Ketika bangun
haripun sudah siang. Sehabis mandi, dia pesan makanan.
Menunggu, suatu hal yang menyiksa. Apalagi Cu Jiang
harus menunggu sampai tujuh hari. Bagaimanakah ia harus
melewatkan tempo selama tujuh hari itu ?"
Jika dalam pertempuran pada bulan purnama nanti,
ketua Gedung Hitam yang asli benar2 muncul, memang itu
akan merupakan suatu kesempatan bagus untuk menuntut
balas. Tetapi dia curiga, jangan2 hal itu hanya suatu siasat
dari Gedung Hitam saja.
Hanya satu hal yang membuatnya girang ialah dengan
perkembangan peristiwa yang begitu cepat, dapatlah
kesalah-fahaman Ki Siau Hong dan kawannya hilang.
Andaikata ketiga pengawal itu benar2 pulang ke Tayli,
entah bagaimana nanti reaksi baginda dan Gong-gong cu
terhadap dirinya.
Teringat akan tulisan darah Ong Kian pada bajunya. Cu
Jiang heran tetapi masih belum dapat memecahkan rahasia
itu. Dengan cara bagaimana mereka dapat membinasakan
Ong Kian " Padahal Ong Kian itu cerdas dan
berkepandaian tinggi, masakan dia tak dapat mengenali
Toan-kiam jan-jin itu palsu atau asli.


Pusaka Negeri Tayli Karya Can I D di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kemungkinan satu-satunya ialah, Toan-kiam-jan-jin
palsu itu sebenarnya tak mengenal Ong Kian. Karena
menilik peristiwa pembunuhan ini seolah-olah Ong Kian
tak diberi kesempatan untuk bicara. Dengan demikian Ong
Kian tentu mengira bahwa Toan kiam jan jin itu tentulah
dirinya (Cu Jiang). Dan jelas pula bahwa Toan kiam jan jin
palsu itu seorang tokoh yang sakti sekali.
Kamar Cu Jiang itu terletak disebelah belakang dari
bagian rumah makan. Dan kebetulan merupakan pertemuan antara dua buah kamar yang gelap dengan dua
buah kamar yang diberi penerangan.
Didepannya terdapat sebuah lorong yang mencapai
ujung pekarangan. Bersih dan tenang.
Sekonyong-konyong pintu gang dibuka dan muncullah
seorang lelaki.
"Tuan, maaf, hendak mengganggu."
"Siapa?"
"Aku, pemilik rumah penginapan."
"Ada urusan apa?"
"Hm, hendak berunding dengan tuan."
"Masuk..."
Seorang lelaki setengah tua mengenakan pakaian warna
biru. masuk kedalam ruangan Cu Jiang. Ia memberi hormat
lalu tertawa. "Tuan. sesungguhnya tak harus aku berkata begini
kepada tuan. Tetapi keadaan memaksa."
"Katakanlah !"
"Maaf. bagaimana kalau tuan kami minta pindah ke lain
kamar?" "Apa" Suruh aku pindah ?"
"Ai, ini .... tetapi ruang gudang sebelah barak itu juga
bersih dan tenang dan masih terdapat sebuah kamar yang
terang serta dua kamar lagi."
"Mengapa aku engkau minta pindah?"
"Maaf, karena tetamu yang hendak menginap di sini."
"Tetamu?"
"Ya, tetamu wanita."
"Apa wanita tak dapat tinggal disebelah sana?"
"Maaf, karena tetamu itu rupanya hendak melahirkan,
mungkin kurang leluasa maka terpaksa aku minta maaf
kepada tuan. Kamar di sebelah luar juga . . ."
Cu Jiang mempertimbangkan. Karena ada tamu wanita
yang hendak melahirkan, memang kurang leluasa kalau
pakai kamar sebelah luar. Tetapi bagaimana nanti dengan
Ki Siau Hong. Bukankah dia sudah berjanji kalau akan
tinggal dikamar yang sekarang."
"Baik, aku akan pindah." akhirnya ia berkata.
Pemilik rumah penginapan itu serentak menghaturkan
hormat: "Terima kasih atas kemurahan hati tuan. Harap jangan
terburu-buru, silakan makan dulu. sebentar mereka tunggu
juga tak apa. "
"Hm..." dengus Cu Jiang.
Dia tak membawa barang apa2. Hanya sebuah buntalan
dan sebatang pedang kutung. Selesai makan, lebih dulu dia
membuat tanda sandi pada ujung pintu kamar itu, setelah
itu ia memang pelayan supaya mengantarkan kamar yang
disebelah barat.
Tepat pada waktu Ci Jiang pindah kamar, sebuah tandu
yang digotong oleh beberapa bujang perempuan turun di
ujung pintu gang. Seorang nyonya yang berpakaian mewah
turun lalu dengan kepala menunduk masuk ke pintu.
Menilik gerak geriknya dia tentu seorang wanita kaya atau
isteri dari orang berpangkat.
Cu Jiang tak tahu rombongan wanita itu. Dia memakai
sebuah ruangan besar yang terdiri dari tiga kamar.
Tiga hari kemudian, datanglah Ki Siau Hong dengan
membawa berita bahwa dari dalam dan luar kota, telah
bermunculan banyak sekali orang persilatan. Ada yang tak
diketahui asal usulnya. Saat itu kota Ih-shia benar2 menjadi
kandang dari harimau dan naga.
Hari keempat dan kelima, yang datang makin banyak.
Selama itu Cu Jiang tetap berada di rumah penginapan. Dia
tak mau keluar.
Hari keenam atau malam purnama kurang sehari, tetap
belum mendapat hasil penyelidikan, siapa sesungguhnya
Toan kiam-jan jin dan ketua Gedung Hitam itu.
Karena kesal, timbullah keraguan dalam hati Ki Siau
Hong, Song Pak Liang dan Ko Kun bahwa sebenarnya
tokoh Toan-kiam-jan-jin itu tak lain memang Cu Jiang
sendiri. Cu Jiang sendiri tak kurang gelisahnya. Mengapa sampai
sekian lama menyelidiki tetap belum memperoleh hasil
suatu apa. Setelah makan2 dan minum arak untuk menghibur
kekecewaan hatinya, Cu Jiang lalu berjalan mondar mandir
di sepanjang lorong gang. Dia sedang menimang-nimang
bagaimana besok akan bertindak.
Dalam rumah penginapan itu juga banyak tetamu orang
persilatan tetapi mereka tak memperhatikan diri Cu Jiang
karena menilik pakaiannya Cu Jiang itu lebih menyerupai
seorang pedagang daripada seorang persilatan.
Ciri dari orang persilatan adalah sepasang matanya yang
berkilat kilat tajam. Tetapi apabila sudah mencapai tataran
tinggi dalam ilmu tenaga dalam, dapatlah ia menyembunyikan sinar matanya sehingga tampak seperti
orang biasa saja. Demikianlah yang dilakukan Cu Jiang
untuk menghapus perhatian orang.
Tiba2 dari balik sebuah jendela diujung gang terdengar
suara seorang wanita yang dikenalnya. Cu Jiang terkejut.
Tetapi dia pura2 diam saja lalu menyelinap ke arah jendela
itu untuk mendengarkan lebih lanjut. Dengan hati2 ia
menghampiri jendela dan mengintai melalui celah celahnya.
Dari sinar penerangan dalam ruang itu tampak seorang
wanita cantik dalam pakaian sutera sehingga dadanya
tampak menonjol.
Bukankah itu yang dikatakan rombongan tetamu wanita
oleh pemilik rumah penginapan" Mengapa dia tidak akan
melahirkan" Hm, jelaslah sekarang.
Karena hendak mengambil muka pada wanita cantik
maka pemilik rumah penginapan itu meminta dia pindah
lain kamar dengan merangkai alasan kalau wanita itu
hendak melahirkan.
Tiba2 wanita yang menghadap ke sebelah sana, berputar
tubuh menghadap ke arah Cu Jiang. Melihat wajah wanita
itu, hampir saja Cu Jiang berteriak. Untung dia cepat dapat
menekan perasaan dan hanya mundur beberapa langkah.
Darahnya bergolak keras.
Wanita cantik itu tak lain adalah Tiam Su Nio, ketua
dari perkumpulan wanita cabul Hoa-gwat-bun.
Jika musuh lama bertemu, sudah tentu mata menjadi
marah. Cu Jiang tak sangka bahwa dia bakal bertemu lagi
dengan wanita cabul di situ. Mungkin sudah takdir. Malam
ini dia takkan memberi ampun lagi.
Dia kembali ke dalam kamar dan menutup pintu lalu
duduk bersemedhi menenangkan pikiran. Jelas bahwa Bulim-seng-hud Sebun Ong itu berkomplot dengan ketua Hoagwa-bun. Jika wanita cabul itu berada disini, tentulah Sebun Ong
juga berada disini, Jika benar Sebun Ong datang, ah, Allah
maha pemurah dan arwah toa-suhengnya memang memberi
restu. Diapun mempertimbangkan untuk segera turun tangan
ataukah tunggu setelah Sebun Ong sudah muncul.
Tetapi karena menjaga gengsi dan Sebun Ong tak mau
datang pada wanita itu, bukankah malam itu dia akan
kehilangan kesempatan baik untuk membasmi wanita cabul
itu " Teringat betapa dulu ia hampir saja mati ditangan wanita
cabul itu, mendidihlah darah Cu Jiang. Bunuh saja wanita
itu. Akhirnya ia mengambil keputusan.
Tetapi mereka terdiri dari beberapa pengikut. Kalau
dibunuh dalam rumah penginapan itu tentu akan
menimbulkan kegemparan para tamu lain. Sedang tetamu2
yang menginap disitu kebanyakan orang2 persilatan semua.
Cu Jiang agak bingung memikirkan. Sampai lama belum
juga ia menentukan cara yang tepat. Karena kalau ia tetap
bertindak dan akhirnya ketahuan siapa dirinya, tentulah
kemungkinan dapat mengakibatkan peristiwa besok malam
yang lebih penting, karena siapa berani tanggung bahwa di
antara tetamu2 yang menginap disitu, tak ada orang2 pihak
Gedung Hitam "
Tiba2 pintu diketuk orang.
"Siapa ?"
"Laote, aku."
"O, Ki-heng, silahkan masuk."
Yang datang itu Ki Siau Hong. Setelah duduk
berhadapan maka Cu Jiang menanyakan maksud kedatangannya. "Ah, tidak ada sesuatu yang penting hanya ingin saja."
kata Ki Siau Hong lalu tertawa. Kemudian dengan berbisik
berkata, "besok malam kalau kedua pihak tak muncul,
terpaksa kami akan kembali ke Tayli."
Cu Jiang terkesiap, Ia dapat menyelami arti kata2 Ki
Siau Hong. Jelas Ki Siau Hong dan kawan-kawannya
menyangsikan dirinya. Mereka menduga besok pagi kedua
belah pihak tentu takkan muncul karena jejak Cu Jiang
sudah ketahuan.
Dengan demikian masih berlaku tuduhan bahwa Cu
Jiang yalah Toan kiam-jan jin yang membunuh Ong Kian.
"Ki-heng, kalau kalian memang hendak pulang akupun
tak dapat memaksa. Tetapi sebaliknya peristiwa ini dapat
dibikin terang dulu. Tetapi kalau memang mereka tak mau
muncul karena hendak mengatur siasat, silakan Ki-heng
kembali ke Tayli."
"Kami juga mengharap agar peristiwa ini dapat segera
dibereskan."
"Apakah ada perkembangan lain ?"
"Tidak ada, kedua pihak sama2 diam. Orang yang ingin
menyaksikan pertempuran itu makin lama makin banyak.
Bahkan ada yang datang dari tempat yang jauh. Memang
kedua tokoh itu sangat menarik perhatian seluruh umat
persilatan."
"Apakah sesungguhnya rencana mereka?"
"Belum jelas."
"Apakah Ki heng pernah melihat Bu-lim-seng hud Sebun
Ong muncul disini. Mestinya dalam peristiwa sebesar ini
dia tentu datang . . ."
"Tidak."
"Aku bahkan menemukan sesuatu."
"Apa?"
"Yang tukar kamar dengan aku ternyata ketua Hoa-goatbun Tiam Su Nio."
"Ah, lalu apakah laute akan bertindak?"
"Tentu, tetapi kuatir akan mengejutkan tetamu-tetamu
yang lain sehingga mengakibatkan acara besok malam itu."
"Awasi dia, setelah besok malam selesai, baru bertindak."
"Yah .... terpaksa memang harus begitu."
"Aku hendak pamit. Kalau tiada suatu perubahan apa2,
maka aku tak datang kemari lagi."
"Baik."
Ki Siau Hong sengaja bicara sekerasnya: "Laute, besok
dalam pertemuan partai kita di ruang Tang hun-kheng,
harap datang!"
"Tentu," sahut Cu Jiang dengan suara keras juga.
Setelah Ki Siau Hong pergi, Cu Jiang kembali merenung.
Yang dia kuatirkan kalau gerombolan Hoa-goat-bun itu
sampai lolos lagi. Untuk mencari mereka tentu makan
waktu yang lama.
Saat itu sudah menjelang tengah malam. Cu Jiang
memadamkan lampu dan membaringkan badannya. Dia
memutuskan apabila sampai terjadi keributan, dia hendak
tinggalkan rumah penginapan itu dan sembunyi di luar kota
hingga sampai besok malam.
Dengan gunakan gerak Gong-gong-poh, dia melompati
tembok dan menyelinap ke ujung halaman. Ruang disitu
masih menyala penerangannya sehingga dari tirai jendela ia
dapat melihat ketua Hoa goat-bun tidur terlentang di atas
ranjang. Tubuhnya yang menarik, tentu menyengsamkan
setiap lelaki yang memandangnya.
Cu Jiang batuk-2.
"Siapa?" terdengar teguran dari dalam ruang dan pada
lain kejap muncullah seorang dara baju biru. Melihat Cu
Jiang, dia terkejut.
Menyusul muncul lima orang lelaki dan perempuan.
Seorang lelaki setengah umur, maju ke hadapan Cu Jiang,
mengawasi lekat2 lalu menegurnya.
"Mengapa sahabat berani sembarangan masuk kemari?"
"Aku hendak menemui majikanmu." sahut Cu-Jiang
dingin. "Majikan kami tak ada, hanya rombongannya yang ada.
Sahabat dari mana?"
"Mencari hiburan."
"Apa ?"
"Tetamu iseng."


Pusaka Negeri Tayli Karya Can I D di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sekalian anak buah Hoa-goat-bun berobah mukanya dan
lelaki itu deliki mata, membentak.
"Disini keluarga pembesar, rasanya engkau memang
bosan hidup . .. ."
"Keluarga pembesar " Kapankah kiranya ketuamu yang
terhormat itu menjadi keluarga pembesar negeri ?"
Mendengar kata2 "ketua", wajah lelaki itu terperanjat
dan berseru dengan menggigil.
"Sahabat, sebutkan dirimu siapa ?"
"Apakah kata-kataku tadi tidak benar ?"
"Jika begitu jangan harap engkau dapat pergi dari sini
dengan membawa nyawamu."
"Apabila bertemu dengan ketuamu, aku dapat memberi
penjelasan."
"Tidak !"
"Tidakpun harus bisa !" cepat Cu Jiang gunakan gerak
langkah Gang-gong-poh melesat kian kemari lalu gunakan
ilmu jari Hui-ci-tiam, sess, sesss, dua orang lelaki dan tiga
wanita segera rubuh.
"Ha, ha, ha. sahabat sungguh lihay sekali !" entah kapan
tahu2 ketua Hoa goat bun telah muncul dipinggir pintu.
Melihat itu mata Cu Jiang berkilat-kilat memancarkan
hawa pembunuhan. Tetapi ketua Hoa-goat-bun tenang saja.
"Bagaimana kita bicara didalam," katanya menggeliat
dengan wajah menghormat.
Sedangkan gadis yang seorang lagi melontarkan senyum
berani kepada Cu Jiang lalu membuka kain tirai. Gadis itu
tak lain adalah Soh-hun-li yang pernah bersama ketua Hoagoat-bun menyaru sebagai Tiong Hong Hui dan puterinya.
Diam2 Cu Jiang gembira karena sekaligus dia akan dapat
membasmi dua ekor rase. Segera ia melangkah masuk,
diikuti ketua Hoa-goat-bun. Ia duduk disebuah kursi dan
mempersilakan Cu Jiang duduk di kursi yang lain.
Cu Jiang tak mau sungkan lagi terus duduk tak berapa
jauh. Bau yang harum bertebaran tetapi hati anak muda itu
tetap masuk. Sedang Soh-hun li berdiri di belakang ketua
Hoa-goat-bun. "Malam2 datang kemari tentulah sahabat mempunyai
urusan penting?" ketua Hoa goat-bun mulai membuka
pembicaraan. "Ya."
"Tadi sahabat mengatakan hendak cari hiburan."
"Hm," Cu Jiang merah mukanya. "Sukalah memberi
tahu nama sahabat ini."
"Ini... tak perlu ..."
"O. apakah kita pernah bertemu?" ketua Hoa goat-bun
tertawa genit. "Ya, tidak hanya sekali saja."
Ketua Hoa-goat-bun kerutkan alis, ujarnya:
"Kapan dan di mana."
Cu Jiang tak mau banyak berbelit belit. Dia terus
langsung berkata:
"Kedatanganku kemari adalah karena atas permintaan
seorang sahabat."
"Atas permintaan orang?" ketua Hoa goat-bun mulai
agak berobah cahaya mukanya.
"Benar."
"Siapa?"
"Kui jiu sin Jin Bun Yak Ih?"
Ketua Hoa goat bun seperti terpagut ular. Dia melonjak
dari kursinya. Wajahnya pucat.
"Engkau mengatakan Ban Yak Ih" "
"Benar."
"Lalu dia minta tolong apa saja kepada sahabat?"
"Sebelum kukatakan hal itu, aku hendak mohon tanya
sebuah hal."
"Soal apa?"
"Dimanakah saat ini sahabatmu yang bernama Bun lim
seng hud Sebun Ong itu?"
"Apa" Sahabatku" Engkau salah, aku tak punya
hubungan apa2 dengan Sebun Ong."
"Benar?"
"Masakan tidak!"
Cu Jiang menggeram. Tetapi diapun tak dapat berbuat
apa2 karena ia masih tak mau mengatakan siapa dirinya.
"Baik, kalau anda tak mengaku, tak perlu dibicarakan
lagi. " "Sahabat, sekarang katakanlah, apa permintaan Bun Yak
Ih kepadamu?"
"Adakah anda ini hujin (isteri) dari Bun cianpwe?"
"Memang pernah menjadi isterinya."
"Dan sekarang tidak lagi?"
"Apa katanya?"
"Membunuh engkau!"
Wanita itu terkejut tetapi sesaat kemudian tertawa
nyaring. Soh-hun-li juga ikut tertawa seperti mendengar
sebuah lelucon,
"Tiam Sa Nio, apa yang engkau tertawakan?" tegur Cu
Jiang. Ketua Hoa goatbun hentikan tawanya dan melirik:
"Bun Yak Ih belum meninggal, mengapa urusan suami
isteri harus diserahkan kepada lain orang?"
"Mempunyai isteri begitu macam, dia malu bertemu
dengan kaum persilatan!"
"Kenapa diriku" adakah seorang ketua sebuah perkumpulan itu menghina namanya?"
"Hinaan saja masih belum cukup. "
"Lalu bagaimana?"
"Membuat dia tak dapat mengangkat muka untuk
selama-lamanya."
"Benar."
"Sahabat, apakah engkau mampu melakukan."
"Pasti."
Kembali ketua Hoa-goat-bun itu tertawa. Tiba2
serangkum bau harum bertebar menusuk hidung Cu Jiang.
Dia tergetar hatinya dan segera menyadari bahwa wanita
itu tengah melepas siasat busuk... racun.
Tetapi karena dia membekal mustika Thian-Ju-cu maka
diapun tak kena apa2.
Melihat pemuda itu tak kurang suatu apa, diam2 ketua
Hoa-goat-bun terkejut tetapi ia masih bersikap tenang.
"Sahabat, engkau memang hebat. Adalah kami yang
kurang cermat. Karena melakukan permintaan Ban Yak Ih,
sebetulnya engkau tentu sudah menyiapkan penolak racun."
"Asal engkau sudah tahulah."
Ketua Hoa-goat-bun itupun berdiri, berjalan dua langkah
dan berseru: "Sahabat, harap menyebut dirimu dulu, maukah ?"
"Ah, tak perlu."
"Tidak ! Dapat membunuh ketua Hoa-goat-bun dan
sebelumnya memberitahuku dulu, tentu bukan tokoh
sembarangan."
"Salah ! Aku tak lain hanya seorang kerucuk tak ternama
dalam dunia persilatan."
Ketua Hoa-goat-bun terkesiap, tertawa.
"Bagaimana engkau hendak turun tangan ?"
"Saat ini ditempat ini juga !"
"Waktunya sudah keliwat lama mengapa tak lekas turun
tangan ?" Cu Jiang tertawa dingin. Ia meletakkan buntalannya
keatas kursi lalu pelahan-lahan membukanya. Ketua Hoagoat-bun dan Soh-hun-li heran melihat tingkah laku
pemuda itu. Setelah lipatan buntalan kain itu dibuka maka tampaklah
sebuah kerangka pedang yang bertebar mutiara. Suasana
saat itu segera berobah tegang penuh dengan hawa
pembunuhan. Tiba2 Cu Jiang tertegun. Kalau dia mencabut pedang itu,
jelas dirinya akan ketahuan. Maka dia harus berhasil untuk
membasmi semua gerombolan Hoa-goat-bun. Tak boleh
ada seorangpun yang di biarkan hidup.
Dengan tangan kiri memegang kerangka dan tangan
kanan memegang tangkai pedang, pelahan-lahan dia berdiri
dan berhadapan dengan Tiam Sa Nio.
Tiba2 Soh-bun-li melengking lain secepat kilat menerjang
Cu Jiang. Dia mendahului menyerang untuk mengetahui
sampai dimana kesaktian anak-muda itu.
Tampak pedang berkilat, terdengar erang pelahan disusul
dengan tubuh Soh-hun-li yang rubuh berlumuran darah.
Karena menjaga jangan sampai membuat suara sehingga
mengejutkan lain tetamu, maka Cu Jiang bergerak cepat
sekali. Yang diarah bagian tenggorokan sehingga Soh hun li
tak sempat menjerit lagi.
Tampak wajah ketua Hoa goat bun pucat dan mulutnya
segera memekik kaget:
"Toan kim jan jin!"
"Bagus, engkau tentu dapat mati dengan mata meram . ."
Tiba2 tubuh ketua Hoa goat bun bergeliat dan
terdengarlah letupan keras disusul dengan gulungan asap
yang menebar menggelapkan pandang mata.
"Celaka!"
diam2 Cu Jiang mengeluh. Setelah menentukan arah tempat lawan, dia terus menabas tetapi
ternyata tempat kosong.
Karena ruang itu tak berapa besar maka kepulan asappun
segera memenuhi seluruh ruang sehingga gelap sekali. Cu
Jiang terpaksa loncat keluar. Beberapa saat setelah asap
menipis, ternyata dalam ruang itu sudah kosong. Tiam Su
Nio sudah lolos dari jendela.
Marah Cu Jiang bukan kepalang. Dirinya sudah
diketahui tetapi dia tetap belum dapat membasmi wanita
itu. Tidakkah hal itu akan menambah kesulitan lagi
baginya" Diam2 dia menyesal mengapa membuang waktu bicara
begitu lama. Kalau dia terus turun tangan secepatnya,
tentulah wanita itu tak dapat lolos.
Berpaling ke belakang dilihatnya kelima anak buah Tiam
Su Nio yang masih tak dapat berkutik.
Mereka banyak melakukan kejahatan, lebih baik
dilenyapkan. Dia segera menutuk jalan darah kematian
mereka. Untuk mengejar wanita itu tentu sukar dan makan waktu
lama. Tiam Su Nio tak mengerti bahwa dia menginap disitu
juga dan peristiwa tadi ternyata tak mengejutkan lain
tetamu. Maka diapun segera kembali ke kamarnya lagi.
Tanpa menyalakan lampu dia terus menutup pintu dan
tidur. Ketika bangun matahari sudah bersinar, ia tak
mendengar suara apa dari sebelah kamar mereka. Dengan
begitu peristiwa semalam tentu belum didengar orang lain.
Ketika turun dari pembaringan, hampir dia menjerit.
Ketua partai Hoa-goat-but ternyata muncul di atas meja.
Waktu dia merentang mata memandangnya ternyata yang
berada di meja itu adalah batang kepala Tiam Su Nio.
Cu Jiang cepat menghampiri dan memeriksa kepala
manusia itu. Siapakah yang membunuh ketua Hoa-goatbun. Dan mengapa dikirim kedalam kamarnya" Adakah Ki
Siau Hong yang melakukan" Ah, tak mungkin. Gong-gongcu telah memberi pesan, melarang keempat pengawal itu
untuk turun tangan. Lalu siapa"
Mengapa orang itu tahu tentang dirinya lalu membunuh
Tiam Su Nio dan mengirim kepalanya kedalam ruang
kamarnya. Sepasang mata wanita itu masih terbelalak dan wajahnya
pucat tetapi masih tampak seperti orang hidup.
Tiba2 ia melihat secarik kertas di meja itu Buru2
diambinya. Tulisannya indah dan lemas, tentu tulisan
seorang wanita. Bunyinya:
"Tak sengaja bertemu disini. Tahu bahwa anda menghendaki
jiwa wanita beracun ini. Maka dengan ini kupersembahkan
kepalanya sebagai balas budi anda dahulu kepadaku.
Yin-yin." Yin-yin " Siapakah Yin-yin itu " Dia coba berusaha
untuk menggali ingatannya. Ya, ia agaknya kenal dengan
nama itu Tang Yin-yin, oh .... dia adalah anak murid dari
Bu-san-sin-li itu!
Ya, benar dia telah menolong wanita itu minggat dari
cengkeraman Bu-san sin-li.
Ah, sungguh kebetulan sekali peristiwa ini. Tetapi diam2
diapun berdebar. Kiranya dirinya telah diketahui orang.
Padahal dia sudah berusaha sekuat mungkin untuk tidak
mengadakan gerakan apa2 dan menyembunyikan diri.
Kemudian diapun berterima kasih atas bantuan Yin-yin.
Dengan terbunuhnya Tiam Su Nio, tentulah dapat dicegah
akibat lebih luas dari tindakan Tiam Sunio untuk
menyiarkan tentang diri Toan-kiam-Jan Jin.
Tiba2 terdengar langkah kaki orang mendatangi dan
pada lain saat terdengar pintunya diketuk: "Tuan hendak
pesan makanan apa?"
"Sejam lagi kirimkan hidangan dan arak. Dobel porsi
sekali." kata Cu Jiang.
"Baik."
"Dan juga carikan beberapa helai kertas minyak,
beberapa utas tali kecil. Masukkan dalam rekening."
"Baik, tuan."
Setelah pelayan itu pergi, Cu Jiang lalu menaruhkan
kepala orang itu diatas ranjang kemudian membersihkan
meja. Pada saat itu pelayanpun datang dengan membawa
kertas dan tali.
Setelah pelayan pergi, Cu Jiang lalu membungkus kepala
Tiam Su Nio itu dengan kertas minyak dan diikat dengan


Pusaka Negeri Tayli Karya Can I D di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tali lalu dibungkus lagi dengan buntalan kain. Dengan
begitu tentu takkan menimbulkan kecurigaan orang.
"Pembunuhan !" tiba2 dari gedung sebelah terdengar
orang berteriak dan tak lama ramailah orang mengerumuni.
Cu Jiang tenang2 saja berada dalam kamar. Dia tak mau
ikut menonton karena kuatir akan ketahuan dirinya.
Sampai siang masih ramai orang mendatangi rumah
penginapan itu. Diantaranya terdapat pembesar daerah
yang memeriksa.
Siang itu Song Pek Liang datang membawa berita bahwa
di belakang biara Kang sim-bio, didekat tepi sungai telah
didirikan sebuah panggung.
Tetapi tak diketahui siapa yang memerintahkan.
Pekerja2 yang membangun panggung itu hanya memberi
keterangan bahwa mereka menerima pesanan dari seorang
lelaki yang tak dikenal.
Dengan tak sabar Cu Jiang menunggu siang berganti
malam. Setelah malam baru dia menuju ke tempat itu. Dia
telah mempergunakan dandanan sebagai seorang saudagar.
Pedang kutung dibawanya sedangkan kepala Tiam-su-nio
disimpan dalam kamar dan dikuncinya.
Sepanjang jalan banyak sekali rombongan2 orang
persilatan yang berbondong-bondong menuju tempat itu.
Toan-kiam jan-jin menantang ketua Gedung Hitam
memang merupakan berita yang paling menggemparkan
dalam tahun ini.
Tampak ditempat itu dibangun sebuah panggung setinggi
satu tombak, luas dua tombak lebih.
Dimuka dan kanan kiri panggung itu dipagari dengan
pagar bambu diberi jalan seluas tiga tombak. Orang yang
melihat hanya dapat dari luar pagar bambu.
Cu Jiang menyusup diantara penonton. Tak lama Ki
Siau Hong, Song Pek Liang dan Ko Kun bermunculan.
Mereka memberi salam melalui kicupan mata.
Dikanan kiri panggung dipasang dua buah obor besar
sehingga suasana panggung terang benderang. Di bawah
panggung orang penuh sesak seperti melihat pasar malam.
Tetapi sampai lama sekali belum juga tampak acara
dimulai, bahkan seorangpun tak muncul diatas panggung.
Lama menunggu penonton tak sabar dan mereka bersungutsungut berisik sekali.
Cu Jiangpun juga gelisah. Kalau kedua orang itu benar2
tak muncul dan hanya suatu siasat, tentulah Ki Siau Hong
dan kawan- kawannya makin mencurigai dirinya.
Sampai menjelang tengah malam masih tetap panggung
itu kosong melompong, Song Pek Liang menghampiri ke
sisi Cu Jiang dan berkata seorang diri:
"Ah, rasanya Toan-kiam jan-Jin malam ini tak berani
unjuk muka."
Apa maksud kata2 itu, Cu Jiang sudah dapat
menangkap. Sekonyong-konyong
sesosok bayangan manusia melayang ke udara dan melayang turun keatas
panggung dengan gerakan yang indah sekali.
Hiruk pikuk para penonton lenyap seketika. Kini mereka
mencurah pandang pada pendatang itu.
Cu Jiang terkejut juga. Tetapi ketika ia memandang ke
arah panggung ternyata yang muncul itu seorang lelaki
muda berumur 30-an tahun, mengenakan pakaian
berkabung dan membawa pedang.
Wajah memberingas dan membungkuk tubuh memberi
hormat kearah penonton, serunya.
"Aku yang rendah, Ong Cu Bo dari gunung Hong san,
sengaja naik ke panggung untuk menantang Toan kiam JanJin!" Terdengar suara hiruk di bawah panggung. Bahwa ketua
Hong-san-pay dibunuh dan puterinya dinodai kehormatannya telah diketahui seluruh dunia persilatan.
Maka munculnya Ong Cu Bo tidaklah mengherankan
mereka. Perasaan Cu Jiang benar2 sakit sekali. Orang telah
memalsu dirinya dan telah membunuhi beberapa tokoh
persilatan yang terkenal. Dengan demikian kaum persilatan
tentu membenci kepada Toan-kiam jan jin.
Sedangkan Song Pek Liang hanya tertawa dingin
sehingga hati Cu Jiang makin tertusuk.
"Toan-kiam jan-jin, hayo keluarlah! Apa engkau takut
mati ! Binatang, mengapa engkau menyembunyikan diri
seperti kura-kura .. . ."
Geraham Cu Jiang bergemerutuk keras tetapi apa daya"
Dia memutuskan, jika tak mampu membekuk orang yang
memalsu dirinya itu, untuk selama-lamanya dia tak mau
memakai nama Toan-kiam jan-jin lagi. Tetapi bagaimana ia
harus menjelaskan kepada Ki Siau Hong bertiga"
Sekonyong-konyong
sesosok bayangan mendesak kesamping Cu Jiang bahkan membenturnya lalu berkata :
"Bagaimana ini ?"
Cu Jiang berpaling. Ternyata disampingnya seorang tua
bertubuh pendek dengan sepasang mata yang berkilat-kilat
tajam. Siapa lagi kalau bukan si orang aneh Lam kek-soh
sahabat kental dari guru Cu Jiang, Gong gong-cu.
Cu Jiang tertawa meringis dan gelengkan kepala:
"Tunggu sampai Toan-kiam-jan-Jin muncul di atas
panggung !"
Lam kek-soh mendengus tak berkata apa2. Kembali
sesosok tubuh melesat keatas panggung.
"Itu dia!" teriak sekalian orang.
"Hai. bukan dia !" sesaat kemudian seorang lain berseru
terkejut. Ong Cu Bo yang sudah lintangkan pedang tiba2 pun
julaikan pedangnya ke bawah lagi.
Yang naik ke panggung itu seorang tua berambut merah,
gagah perkasa dengan memegang sebatang tongkat thengciang (rotan). Dia memandang kearah sekalian penonton
lalu berseru dengan dingin:
"Toan-kiam jan-jin, hendak kucincang tubuhmu. Kini
engkau tak berani keluar, terang engkau memang kutu
busuk !" "Cianpwe, siapakah dia ?" tanya Cu Jiang kepada Lam
ki-soh. "Belum pernah melihatnya," Lam-ki-soh gelengkan
kepala. Ong Cu Bo pun memandang orang tua gagah itu dengan
tercengang. Tetapi orang tua gagah itu tertawa mengekeh
dan berkata seorang diri:
"Toan - kiam jan jin mengandalkan ilmu pedangnya
untuk berbuat sekehendak hatinya. Sekarang hendak
kucincang tubuhnya, kubeset kulitnya. Ternyata malam ini
kedua belah pihak sama2 tak muncul. Rupanya ketua
Gedung Hitam itu juga bangsa kura2 tua!"
Sudah tentu ucapan itu menimbulkan gelak tawa
sekalian penonton. Sementara Cu Jiang masih belum habis
herannya, siapakah gerangan orang tua yang berani
menantang Toan-kiam-jan-jin itu" Bahkan berani juga
memaki ketua Gedung Hitam sebagai bangsa kura2.
Siapakah dia"
Tiba2 melayang pula sesosok bayangan ke belakang
kedua orang itu. Tiada seorangpun yang tahu kapan dan
bagaimana dia berada di panggung. Seolah-olah dia
memang sudah berada disitu.
"Toan kiam jan jin! " terdengar sorak gegap gempita dari
sekalian penonton.
Seketika gemetarlah Cu Jiang. Benar, memang yang
muncul di atas panggung itu adalah orang yang mirip
dirinya waktu masih menjadi Toan kiam jan jin.
Mengenakan baju sasterawan warna biru dan kerudung
kepala serta muka warna biru juga. pinggangnya tergantung
sebuah kerangka pedang, tangkai pedang berhias mutiara.
Song Pek Liang dan Lam ki soh berpaling ke arah Cu
Jiang dan memandangnya dengan heran.
Cu Jiang memandang lekat2 ke panggung. Rupanya Ong
Cu Bo dan lelaki tua gagah itu merasa lalu serempak
berputar tubuh. Begitu melihat Toan-kiam-jan-jin sudah
hadir di situ, mereka berteriak kaget dan bersiap-siap.
Dengan wajah mengerut dendam kemarahan Ong Cu Bo
segera menegur:
"Apakah anda ini Toan-kiam-jan-jin?"
"Benar, siapa engkau?"
"Putera dari ketua Heng san pay, Ong Cu Bo!"
"Mau apa engkau?"
"Menagih hutang darah kepada anda."
Cu jiang sudah mulai mengisar langkah tetapi Lam ki
soh cepat membentaknya:
"Peristiwa aneh sekali, jangan sembarangan bergerak!"
Cu Jiang terpaksa menurut.
Dengan langkah tertatih tatih pincang, Toan kiam jan jin
menghampiri dan berseru:
"Lawanku malam ini adalah ketua Gedung Hitam. Yang
lain lainnya tidak sepadan!"
"Cabut pedangmu!" teriak Ong Cu Bo.
"Engkau hendak menjadi orang pertama yang berlumur
darah?" seru Toan kiam jan jin.
"Cabut pedangmu!"
"Engkau tak berharga menghadapi aku!"
"Aku hendak mencincang tubuhmu!" Ong Cu Bo terus
menyerang. Sekali bergerak, sudah dapat diketahui seorang jago itu
sungguh berisi atau kosong. ilmu pedang dari Jago muda
Heng-san-pay itu memang hebat sekali. Juga tenaga
dalamnya amat tinggi.
Apalagi dia menyerang dengan penuh dendam kesumat,
sudah tentu gerakannya maut sekali.
"Huakkkk..." terdengar Jeritan ngeri dan tubuh Ong Cu
Bopun terhuyung-huyung dua kali lalu rubuh. Sekalian
penonton terlongong menyaksikan permainan ilmu pedang
Toan-kiam jan- Jin.
Kecuali Cu Jiang seorang, tak ada lain orang lagi yang
dapat melihat bagaimana cara Toan-kiam-Jan jin bergerak
tadi. Diam2 Cu Jiang menyesal. Kalau dia muncul ke atas
panggung tentulah dia dapat menyelamatkan jiwa putera
dari ketua Heng-san-pay itu.
Kemudian Toan-kiam Jan-jin menghadap lelaki gagah
berambut merah, serunya.
"Apa kata anda ?"
Wajah lelaki tua berambut merah itu pucat dan belum
beberapa lama tak kedengaran dia membuka suara. Tahu2
dia terus melayang turun ke bawah panggung.
Kini diatas panggung hanya tinggal Toan-kiam Jan-Jin
seorang. Suasana penuh diliputi ketegangan yang menyeramkan. Beratus-ratus jago2 silat yang berkumpul di bawah
panggung, tak seorangpun tahu bagaimana gerak pedang
Toan-kiam-jan-jin, apa nama jurus ilmu pedang itu, hanya
pernah mendengar namanya tetapi belum pernah melihat
kenyataannya. Kini apa yang mereka saksikan, benar2
membuat mereka kesima.
Tetapi dibalik rasa kagum, terpencarlah rasa ngeri dalam
hati setiap orang. Karena dengan munculnya seorang tokoh
semacam itu, Jelas dunia persilatan akau menjalani hari
kiamat. Sementara saat itu Toan kiam jan-jinpun menyimpan
pedangnya dan dengan suara tandas berseru:
"Apakah ketua Gedung Hitam benar2 tak mau keluar
menyambut tantanganku ?"
Sejak berpuluh tahun tak pernah terdapat manusia yang
berani menantang ketua Gedung Hitam, apalagi menantang
secara terang-terangan di depan umum.
Setiap jago silat yang berada di tempat itu sangat ingin
sekali melihat ketua Gedung Hitam muncul. Mereka ingin
tahu bagaimana wujud ketua Gedung Hitam, tokoh yang
selama ini merupakan tokoh misterius dalam dunia
persilatan. Sekalian orang menahan napas. Apakah ketua Gedung
Hitam berani keluar " Jelas bahwa tokoh misterius itu tentu
sudah berada diantara orang2 yang hadir ditempat itu.
Siapakah sesungguhnya yang lebih Sakti, ketua Gedung
Hitam atau Toan-kiam-jan-Jin "
Malam makin larut. Toan-kiam-jan-Jin masih berdiri
tegak diatas panggung, bagaikan seorang malaikat pencabut
nyawa. Sayang tak tampak bagaimana wajah yang
sebenarnya dibalik kain kerudung yang menutupi mukanya
itu. Sekonyong-konyong dari samping panggung sesosok
bayangan melayang keatas panggung. Ternyata seorang tua
kurus berjubah hitam. Tangannya membawa sebuah
buntalan kain. Begitu berada dipanggung terus melontarkan buntalan
itu kelantai panggung lalu berdiri dengan mendekap kedua
tangan. "Ketua Gedung Hitamkah itu ?" Pikir Cu Jiang. Tetapi ia
melihat perawakannya tidak mirip.
Toan-kiam-jan-Jin berputar tubuh dan menghadap orang
tua itu menegur dingin:
"Siapakah anda ?"
Walaupun bertubuh kurus tetapi nada suara orang tua itu


Pusaka Negeri Tayli Karya Can I D di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

amat besar dan nyaring.
"Aku pemimpin pengawal pribadi dari ketua Gedung
Hitam. Namaku Ki Gai Kah."
Toan-kiam-Jan-Jin tertawa dingin. "Ki Gai Kah,
bukankah engkau ini Thian lan pohcu " Mengapa engkau
menjadi anjing penjaga ketua Gedung Hitam?" serunya.
"Peliharalah lidahmu yang baik," Ki Gai Kah
mendengus dingin.
"Orang she Ki, perlu apa engkau naik ke panggung.?"
"Mewakili pohcu !"
"Yang kutantang bertempur adalah pohcu sendiri."
"Pohcu kami akan muncul nanti."
"Kalau begitu perlu apa engkau keluar ?"
"Untuk mengadakan pemeriksaan."
"Apa ?"
"Memeriksa diri anda yang sebenarnya."
Ucapan itu telah menimbulkan berbagai bisik-bisik
dikalangan penonton, Cu Jiang tahu bahwa sebentar lagi
bakal terjadi pertunjukan yang menarik.
Mata Toan-kiam-Jan-jin berkilat-kilat memancarkan
hawa pembunuhan dan dengan suara gemetar berseru:
"Ki Gai Kah, apa maksud omonganmu?"
"Pohcu kami sangsi, apakah anda ini benar Toan-kiamjan jin yang aseli."
"Ha, ha, ha, apakah perlu harus memalsu diri ?"
"Berhati-hati terhadap orang, memang yang paling baik.
Dalam pertemuan besar ini, banyak sekali hal2 yang harus
dicurigai."
"Bagaimana kalau engkau menyambuti barang sejurus
saja dari pukulan untuk membuktikan palsu atau tidaknya
diriku?" "Tunggu, kita harus bicara yang jelas . . ."
"Katakan !"
"Menurut penilaian pohcu kami terhadap perangai Toankiam-Jan-jin, ada beberapa hal yang perlu ditanyakan."
"Tanyakanlah !"
"Pertama. Toan-kiam-Jan-jin itu seorang manusia yang
suka menyendiri dan angkuh. Tak mungkin mau
menantang bertempur diatas panggung terbuka seperti ini.
Kedua, sinar mata anda kurang pancaran dendam dan
keganasan. Ketiga, perawakan anda juga kurang tinggi
sedikit, begitu pula suara anda. Keempat, cara anda
mencabut pada pedang tidak sama seperti dulu. Dan
kelima, dalam peristiwa pembunuhan yang terjadi pada
akhir2 ini, jelas Toan-kiam-jan-Jin tak bersangkut ..,."
"Masih ada lagi"!
"Rasanya sudah cukup."
Cu Jiang diam2 terkejut. Ia tak mengira ketua Gedung
Hitam ternyata memiliki pengetahuan yang cermat
terhadap dirinya. Juga sekalian penonton terdengar hiruk
pikuk. Seluruh mata penonton tertumpu pada diri orang yang
diduga sebagai Toan-kiam jan Jin palsu itu.
Toan-kiam jan jin yang berada diatas panggung
terdengar mendengus geram.
"Si Gui Kah, aku tak sudi melayani ocehanmu. Yang
akan kubunuh yaitu ketua Gedung Hitam. Kalau engkau
mau menjual jiwa antiknya, lekas copot nyawamu dan
letakkan dipanggung ini!" serunya.
"Nanti dulu." Si Gui Kah memberi isyarat tangan,
"masih ada yang hendak kukatakan."
Tetapi Toan-kiam jan jin sudah mencabut pedang
kutungnya dan membentak:
"Jangan banyak mulut, lekas engkau bunuh dirimu . . ."
"Apakah anda tak ingin melihat dua barang yang berada
dalam bungkusan ini." kata Si Gui Kah seraya menunjuk
pada buntalan yang berada di tengah panggung.
Toan-kiam-jan-jin tampak tertegun. "Apa sih barang itu?"
serunya. "Anda mau melihat?"
"Jangan coba main-main . ."
"Bukti apa?"
"Bukti dari dirimu."
Sekalian orang yang berada disekeliling gelanggang yang
semua dicengkam rasa tegang saat itu berobah heran.
Rupanya Toan-kiam jan-jin juga terkejut. Ia memandang
kearah buntelan kain itu. serunya:
"Si Gui Kah, engkau hendak coba2 membuka rahasia
diriku?" "Tak perlu aku yang mengatakan, buntalan itu sudah
berbicara sendiri."
"Apakah sebenarnya buntalan itu?"
"Kepala manusia !"
"Apa" Kepala orang?"
"Benar, memang sebutir kepala orang ?"
"Batang kepala siapa ?"
"Batang kepala dari hu-hwat perkumpulan Thong thiankau cabang kota Siang-yang, yaitu yang bergelar Ang mokim-kong!"
Toan kiam-Jan jin terkejut. Tiba2 dia menyahut.
"Hal itu tiada sangkut pautnya dengan diriku "
Dengarkan, kalau malam ini ketua Gedung Hitam tak
berani keluar, dalam beberapa hari dia harus membubarkan
Gedung Hitam dan seluruh anak buahnya. Sejak itu nama
Gedung Hitam hapus dari dunia persilatan! "
Si Gui Kah tertawa gelak2.
"Dengan begitu dalam dunia persilatan hanya ada
Thong-thian-kau, bukan?"
Mendengar itu tiba2 Cu Jiang seperti tersadar.
"Hai, kutahu kiranya urusannya begitu." Song Pek Liang
yang berada di sampingnya, berkata seorang diri.
Cu Jiang berpaling dan mengangguk.
Sebelum Toan-kiam jan jin sampai menyatakan sesuatu,
sekonyong-konyong Si Gui Kah sudah loncat turun dari
panggung dan lenyap dibalik kerumunan orang.
Toan-kiam jan-jin gemetar karena marah.
"Ketua Gedung Hitam, aku hendak membunuhmu. Di
hadapan jago2 dari segenap pelosok dunia persilatan,
beranikah engkau naik ke panggung?"
Saat itu hati Cu Jiang sudah tenang. Dia sudah dapat
menduga apa yang telah terjadi.
Tiba2 diantara kerumun penonton, terdengar seseorang
berseru nyaring.
"Toan kiam jan jin, bukalah buntalan itu!"
Entah karena ingin tahu, entah karena marah
dipermainkan orang, Toan kiam jan jin memang terus
mengambil buntalan itu dan membukanya.
"Astaga...!"
Terdengar pekik teriak terkejut dari sekalian penonton.
Ternyata isi buntalan itu memang sebutir kepala orang.
Kepala dari lelaki tua berambut merah yang barusan naik ke
panggung lalu terbirit-birit melarikan diri itu!
Karena memakai kain cadar yang menutup mukanya
maka tak dapat diketahui bagaimana perubahan wajah
Toan kiam jan jin saat itu. Tetapi dari sorot matanya yang
memancarkan cahaya berkilat, jelas dia tentu juga kaget.
Tetapi hanya sebentar dan sorot mata kaget itu segera
berganti dengan pancaran sinar pembunuhan yang buas
Karena gemas, dia lalu membanting kepala orang itu ke
lantai panggung, bum ....
Terdengar ledakan keras dan disusul asap yang
bergulung-gulung dan suara orang menjerit ngeri. Seluruh
penonton terkejut dan panik. Mereka tak menduga bahwa
kepala manusia itu ternyata berisi bahan peledak.
Sebelum orang2 tenang kembali dan asap reda, beberapa
sosok bayangan telah berhamburan loncat ke atas
panggung. Terdengar beberapa ledakan keras lagi.
Asap hitam membumbung tinggi, keping2 kayu meledak
bertebaran dan sekalian penontonpun kacau balau. Mereka
berdesak-desak menyingkir ke empat penjuru. Pekik dan
erang memenuhi tempat itu.
"Mari kita pergi," Lam-kek soh menggapai kearah Cu
Jiang, "tak ada apa apanya lagi disini."
Cu Jiang meragu, ia menyatakan hendak mencari ketua
Gedung Hitam. "Kalau dia berada disini, lawan tentu sudah mencarinya," kata Lam-kek soh.
Untuk menghindarkan kecurigaan orang, Cu Jiang
pulang seorang diri. Saat itu sudah tengah malam. Begitu
masuk ke kamar, Ki Siau Hongpun sudah mengikuti juga.
Dengan penuh rasa sesal pengawal dari Tayli itu segera
menghaturkan maaf.
"Atas nama kawan bertiga, aku menghaturkan maaf atas
segala kesalahan terhadap ciangkun." katanya.
"Ah, itu hanya salah faham tak dapat menyalahkan
kamu bertiga, duduklah."
Tanpa memasang lampu, keduanya duduk bercakapcakap. "Apakah ciangkun sudah dapat menduga peristiwa itu?"
"Ya, siasat dari Thong thian kau."
"Benar. Tahukah ciangkun siapa yang menyaru jadi
Toan kiam jan jin itu?"
"Siapa?" Cu Jiang balas bertanya.
"Kiu-kio Thian-mo, jago nomor lima dari kawanan Sip
pat thian mo. Dia cerdik dan cermat sekali. Jika orang
mempunyai tujuh lubang dia memiliki sembilan lubang.
Itulah sebabnya dia bergelar kiu-kio atau sembilan lubang
..." "Oh !"
"Dia adalah kepala dari Thong-thian-kau cabang Siang
yang." "Bagaimana saudara Ki begitu jelas?"
"Sedang lelaki tua berambut merah adalah hu-hwat dari
cabang Thian long kau itu. Setelah turun dari panggung dia
terus dibekuk orang Gedung Hitam, dipaksa supaya
mengaku dan diapun segera menerangkan semua yang telah
terjadi .."
"Bagaimanakah sebenarnya peristiwa itu?"
0dw0 Ki Siau Hong mengisar kursinya ke dekat jendela untuk
menjaga apabila ada orang yang mencuri dengar.
"Tujuan Thian thong kau untuk menggunakan siasat itu
tidak lain untuk memancing ketua Gedung Hitam dan
ciangkun supaya tampil keluar. Karena ciangkun dianggap
sebagai musuh mereka yang utama sedang Gedung Hitam
merupakan saingan mereka dalam rencana mereka untuk
menguasai dunia persilatan."
"Apakah rencana mereka semula menghendaki supaya
aku dan ketua Gedung Hitam keluar ke atas panggung?"
"Benar. Mereka sudah mempersiapkan obat peledak di
bawah panggung. Asal ciangkun naik ke panggung, mereka
segera akan meledakkan panggung "
"Ah."
"Karena tak tampak seseorang naik panggung maka
mereka lalu memutuskan untuk menampilkan diri sebagai
Toan-kiam jan-jin. Agar ketua Gedung Hitam mau keluar.
Tetapi ternyata ketua Gedung Hitam memang cerdik dan
licin. Sebelumnya dia sudah menyebar anak buahnya di
sekeliling tempat itu untuk mengikuti perkembangan
keadaan. Begitu lelaki berambut merah itu loncat turun dari
panggung, mereka terus menangkapnya.
Kepala lelaki berambut merah itu dipotong, dibuntal
dengan kain, disebelah dalam dari kepala itu diisi dengan
bahan peledak lalu diletakkan di panggung.
"Siasat itu sungguh ganas sekali!" seru Cu Jiang.
"Dan rencana kedua. anak buah Gedung Hitam itu telah
mendahului untuk menguasai barisan pendam anak buah
Thian thong-kau, lalu menyulut api."
"Jika begitu toh telah Kiu-kio Thian-mo sudah mati?"
"Tentu. Dia tentu sudah hancur berkeping-keping
bersama beberapa anak buahnya."
Menggigil hati Cu Jiang mendengar penuturan itu.
Diam2 ia merasa ngeri membayangkan jika tadi dia tak
dapat menguasai diri dan terus loncat keatas panggung,
tentulah saat itu dia sudah menjadi mayat yang hangus.
Dari pengalaman itu ia dapat menarik kesimpulan bahwa
hubungan antara Thong-thian-kau dengan Gedung Hitam
sudah gawat sekali.
"Apakah saat itu ketua Gedung Hitam berada disitu"
tanyanya. "Jika ada, tentu dia menyamar sehingga sukar dikenali."
"Lalu bagaimana akibat dari peristiwa itu?"
"Hubungan kedua pihak bagaikan air dan api"
"Apakah kalian bertiga tetap hendak pulang ke Tayli?"
"Tidak ! Karena salah faham sudah beres, hamba bertiga
tetap akan melakukan titah Kok-su untuk membantu
ciangkun. Sungguh beruntung kami mendapat bantuan dari
Lam kek-soh..."
"Apa yang terjadi dengan dia ?"
"Adalah karena memandang muka Kok-su maka dia
mau membantu kita."
"Lalu bagaimana dengan Ong Kian?"
"Mayatnya telah kami bakar, abunya kelak akan kami
bawa pulang dan dikubur dengan upacara yang layak."
Cu Jiang mengangguk.
"Lalu bagaimana langkah engkau selanjutnya ?" tanya Ki
Siau Hong. "Saat ini aku hendak menuju ke gunung Tay-pa-san
untuk menemui seorang sakti yang aneh."
"Siapa ?"
"Ih Se lojin."
"Untuk apa ?"
"Meminta petunjuk kepadanya tentang ilmu yang dapat


Pusaka Negeri Tayli Karya Can I D di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

untuk menghancurkan Gedung Hitam."
"Oh..."
"Sebelum kemudian aku akan kembali kekota Huyang
dan akan bertemu dengan Ang Nio Cu dirumah penginapan
Naga Hijau."
"Apakah ciangkun masih ada pesan lagi ?"
"Tidak."
"Jika begitu hamba hendak mohon diri."
"Silakan,"
Ki Siau Hung berbangkit, dengan hati2 ia membuka
jendela lalu loncat keluar dan lenyap dalam kegelapan.
Cu Jiang teringat akan batang kepala dari Ciam Su Nio
yang masih disembunyikan dibawah ranjang. Pikirnya. Jika
wanita itu muncul di situ, tentulah Bu lim-seng hud Sebun
Ong juga akan datang.
Mengapa dia tak mau menggunakan batang kepala itu
untuk memikat agar Sebun Ong mau unjuk diri "
"Hem." serunya dalam hati, "aku harus membalaskan
sakit hati toa-suheng."
Dia tak jadi tidur. Setelah mengemasi barangnya dan
meninggalkan sekeping perak diatas meja, dia lalu
menjinjing bungkusan kepala orang itu dan terus loncat
keluar. Saat itu kota sunyi senyap. Kecuali kentongan ronda,
seluruh penjuru tak terdengar suara apa2 lagi.
Ia memilih sebuah tiang lentera penerangan jalan lalu
memancang kepala orang itu diatas tiang. Setelah itu dia
bersembunyi ditempat gelap.
Malam cepat sekali berlalu. Menjelang terang tanah, di
jalan mulai muncul orang2 yang gempar melihat kepala
orang diatas tiang lampu jalan.
Cu Jiang juga keluar dan berjalan mondar-mandir. Kini
makin lama makin banyak orang berkerumun untuk
menyaksikan peristiwa itu. Mula2 mereka hiruk pikuk
menduga-duga siapa kepala dari wanita secantik itu.
Bagi kaum persilatan, peristiwa itu tidak mengherankan
tetapi bagi kaum awam, sudah tentu mereka menganggap
hal itu sebagai sesuatu yang menggemparkan.
Sekonyong-konyong sesosok tubuh melayang ke udara,
melampaui tiang lampu dan pada lain kejap orang itupun
sudah lenyap. Cepat sekali gerakannya sehingga orang2 tak
sempat untuk berteriak.
Saat itu Cu Jiang berada pada jarak lima enam tombak
dari tiang lentera tetapi dia juga tak mampu melihat siapa
bayangan orang itu. Cepat ia melesat, loncat ke atas
wuwungan rumah dan mengejar.
Lari orang itu memang cepat sekali. Dalam beberapa
kejap dia sudah melampaui tembok kota, Cu Jiangpun
segera tancap gas, mengejar keluar kota.
Diluar kota, orang makin banyak. Ada yang mau masuk
kota dan ada yang keluar dari kota. Cu Jiang gemas sekali.
Dia mengingat ingat perawakan, pakaian dan gerak-gerik
orang itu. Kemudian dia berhenti di tepi jalan sambil
memperhatikan setiap pejalan yang lewat.
Sampai setengah jam menunggu, ia merasa kecewa. Dia
tak melihat seorang yang menimbulkan kecurigaan.
Akhirnya ia memutuskan, lebih baik tak melanjutkan
pengejaran yang sia-sia itu.
Teringat akan waktu perjanjiannya dengan Ang Nio Cu,
ia harus lekas2 menuju ke Tay pay san. Soal jalanan, ia sih
kenal. Tetapi ia tak tahu berapa lama ia dapat kembali dari
gunung itu. Ia bergegas mencari tempat yang sepi untuk berganti
pakaian, menyamar sebagai seorang pemuda desa. Dengan
begitu, dia tentu tak banyak menimbulkan perhatian orang.
Setelah melintasi sungai Han cui, dia lalu mengarahkan
perjalanan ke timur laut. Dalam beberapa waktu dia sudah
mencapai seratusan li. Menjelang tengah hari, tiba disebuah
kota kecil. Setelah berhenti makan dan membeli bekal rangsum
kering, ia melanjutkan perjalanan lagi. Petang hari dia
bermalam ditempat seorang penduduk desa. Keesokan
harinya dia berangkat dan sorenya dia sudah berada
didaerah gunung Tay-hong-san.
Dia hanya menentukan arah tetapi tak mau mengambil
jalan di gunung. Dengan begitu memang dia banyak
menghemat waktu. Tetapi untuk memotong jalan naik bukit
turun lembah, jika tidak memiliki kepandaian silat yang
tinggi, tentu sukar.
Pada saat bintang2 muncul di angkasa, dia mendaki
sebuah puncak, mencari tempat yang bersih dan duduk
menikmati bekal makanannya.
Puncak gunung yang jauh disebelah muka, menggunduk
hitam seperti raksasa. Kukuk burung hantu dan lolong
serigala, menimbulkan suasana seram.
Tetapi Cu Jiang seorang pemuda yang bernyali besar.
Dia tak gentar. Beberapa saat kemudian terdengar letupan2
keras macam petir. Datangnya dari puncak jauh disebelah
muka. Dia terkejut dan heran. Malam itu bintang bergemerlapan di angkasa, langit tak mendung tetapi
mengapa terdengar suara petir"
Tiba2 suara letupan petir itu terdengar lagi. Dia makin
heran. dimalam yang terang terdengar petir, sungguh aneh.
Lebih aneh lagi ketika ia memperhatikan bahwa walaupun
ia dengar suaranya tetapi dia tak melihat pancaran sinar
petir. Pada waktu terdengar bunyi petir yang ketiga kalinya,
Cu Jiang tak dapat menahan keinginan tahunya lagi.
Serentak ia lari menuju ketempat itu.
Puncak itu hampir boleh dikata gundul. Hanya
ditumbuhi beberapa batang pohon siong saja. Rumput dan
semak2 tak ada sama sekali.
Cu Jiang berdiri diatas sebuah batu yang tinggi. Ia
memandang kesegenap penjuru tetapi tak melihat barang
sesuatu yang menimbulkan keheranan.
"Bu m m m . . . !"
Ledakan keras terdengar, dekat sekali dari tempat Cu
Jiang berdiri sehingga pemuda itu melonjak kaget.
Menyusur pandang kearah asal suara itu, kejutnya bukan
kepalang. Dibawah dua pohon siong yang saling berhadapan,
tampak duduk seorang lelaki dan seorang wanita. Mereka
terpisah pada jarak dua tombak. Keduanya saling
menjulurkan telapak tangan kemuka.
Jelas mereka sedang melakukan pertempuran mengadu
tenaga dalam. Tetapi dengan ilmu apakah yang mereka
pancarkan itu sehingga dapat menimbulkan daya tenaga
yang sedemikian dahsyatnya"
Siapakah mereka" Mengapa mereka mengadu Ilmu
kepandaian pada saat tengah malam buta dan ditempat
pegunungan yang sunyi senyap"
Ketika memandang dengan seksama, Cu Jiang dapatkan
bahwa kedua insan itu sudah sama2 berambut putih. Yang
lelaki bertubuh kurus, sepasang matanya cekung kedalam,
dahi penuh keriput.
Pada saat Cu Jiang masih melekatkan pandang, tiba2
lelaki tua itu menarik kedua tangannya dan berseru:
"Nenek tua, ada orang yang melanggar larangan!"
Nenek tua itupun menarik pulang tangannya lalu berseru
dengan nada dingin: "Seorang lelaki desa."
Cu Jiang terkejut. Kiranya mereka sudah mengetahui
kedatangannya. Tetapi apa maksud mereka mengatakan
kalau dia melanggar larangan itu"
Kakek tua mendengus.
"Nenek tua, jangan membuang waktu, bereskan lalu kita
menyelesaikan urusan yang penting!" serunya.
Nenek itu mengangkat muka memandang Cu Jiang
dengan mata berapi-api, serunya.
"Budak kecil, kemari engkau!" Cu Jiang loncat turun dan
pelahan-lahan menghampiri. Kira2 terpisah satu tombak
dari tempat mereka, dia berhenti.
"Budak kecil, penggallah kepalamu sendiri agar tidak
merepotkan aku!" tiba2 nenek tua itu berseru.
Bukan kepalang kejut Cu Jiang.
"Suruh aku bunuh diri sendiri?" serunya. "Mengapa ?"
"Engkau berani melanggar larangan!"
"Melanggar larangan" Larangan apa ?"
"Apa engkau tak membuka lebar2 matamu !" Cu Jiang
terkesiap lalu mengeliarkan pandang kesekeliling. Saat itu
baru dia melihat pada gundukan batu yang terpisah
beberapa tombak jauhnya, tertancap sebatang panji
berbentuk segi tiga dan berlukiskan sebuah tengkorak putih.
Seram tampaknya.
Tiba2 Cu Jiang teringat akan cerita dalam dunia
persilatan tentang sepasang iblis besar. Seketika menggigillah hatinya.
"Apakah kalian ini Pek Kut song-sian?"
Kakek tua itu tertawa keras.
"Ho, budak, kiranya engkau juga tahu kebesaran nama
dari kami berdua suami isteri !"
Cerita dunia persilatan mengenai sepasang suami isteri
iblis itu, memang menyeramkan. Mereka gemar membunuh
dan setiap membunuh tentu takkan membiarkan mayatnya
utuh. Tanda pengenal mereka adalah sebatang panji
Tengkorak. Setiap orang berjumpa dengan panji itu, jangan harap
dapat hidup. Tetapi ada keistimewaan Juga. Orang yang
melihat panji itu terus melarikan diri, sepasang suami isteri
iblis itu tak mau mengejar.
Sudah berpuluh tahun sepasang iblis itu tak muncul
dalam dunia persilatan. Kabarnya, mereka sudah dibasmi
oleh pendekar dan golongan putih. Tetapi ternyata mereka
masih segar bugar dan berada di gunung yang sepi itu.
"Budak kecil, aku tak punya waktu melayani engkau,
lekas bereskan dirimu!" teriak nenek Tengkorak.
Cu Jiang menyahut sinis:
"Tetapi aku masih senang hidup, bagaimana?"
"Budak, suruh engkau bunuh diri, sudah suatu
kemurahan besar bagimu. Kalau sampai aku turun tangan,
mayatmu tentu berantakan!"
"Tetapi aku tak minta kemurahan begitu !" Jawab Cu
Jiang dengan masih bersikap dingin.
"Hih, malam ini baru yang pertama dalam sepanjang
hidupku, ada orang berani bicara begitu kepada kami
berdua suami isteri .. . ."
"Akupun juga baru pertama kali ini disuruh orang
supaya bunuh diri." sahut Cu Jiang.
"Engkau benar2 tak tahu diri. Kakek tua, bagaimana
akan mengurusnya ?"
Kakek Tengkorak bertepuk tangan, serunya: "Ada !
Mengapa tak menjadikan dia benda percobaan diri ilmu
pukulan Ngo-lui ciang !"
"O, bagus sekali," sambut nenek Tengkorak dengan
gembira. Diam2 Cu Jiang menimang. Kiranya saat itu kedua
suami isteri iblis sedang melatih Ngo-lui ciang atau pukulan
halilintar. itulah sebabnya tadi ia mendengar beberapa
letusan seperti petir.
Ilmu pukulan sakti itu sudah lama hilang dari dunia
persilatan. Entah dari mana sepasang suami isteri iblis itu
dapat menemukan pelajaran ilmu sakti itu.
Diam2 Cu Jiangpun teringat bahwa ada sebuah pukulan
dalam kitab Giok-kah-kim-keng yang belum sempat ia
gunakan. Ilmu pukulan itu dinamakan Mo-kiat-ciang atau
pukulan Angin pusing.
Entah bagaimana kalau ilmu pukulan itu diadu dengan
pukulan Ngo-lui-ciang.
"Kebetulan sekali," pikir Cu Jiang. "mereka hendak
mencoba ilmu pukulan yang sedang dilatih, akupun juga
demikian."
Maka dengan tenang2 dia berseru: "Apakah kalian
hendak mengadu pukulan dengan aku ?"
Nenek Tengkorak tertawa mengikik. "Benar, pukulan
Ngo-lui ciang itu dapat membuat alat pekakas dalam dada
orang pecah berantakan tetapi tubuhnya tak kurang suatu
apa. Sejak dilatih belum pernah dicobakan pada orang.
Budak, sungguh kebetulan sekali engkau datang kemari."
Cu Jiang balas tertawa dingin.
"Oh, itu sungguh kebetulan sekali. Akupun juga berlatih
sebuah ilmu pukulan. Lawan yang menerima pukulan itu,
apabila dia makin tinggi kepandaiannya, perbawa
pukulanku itu akan makin hebat. Sungguh beruntung sekali
malam ini aku dapat berjumpa dengan kalian berdua untuk
mencoba ilmu baruku itu !"
Sepasang suami isteri iblis itu terkesiap. Mereka tak tahu
apakah kata2 pemuda desa itu sesungguhnya ataukah
hanya berolok-olok saja.
Tetapi menilik sikap Cu Jiang yang begitu tenang mereka
menduga tentulah pemuda itu memang berisi.
Kakek Tengkorak tertawa mengekeh.
"Nenek, apakah didunia terdapat kebetulan yang begitu
aneh ?" "Kakek, nasib kita berdua sungguh sial," tiba2 nenek
Tengkorak berseru.
"Apa maksudmu itu ?"
"Coba engkau ingat2, apakah selama ini terdapat orang
yang berani bicara begitu terhadap kita ?"
"Rasanya tak ada."


Pusaka Negeri Tayli Karya Can I D di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tetapi agaknya sekarang ada."
"Nenek, apakah budak itu gila?"
"Tampaknya tidak."
"Kalau begitu tergolong anak kambing yang baru lahir."
"Bukan, dia tak layak sebagai anak kambing, lebih tepat
sebagai anak anjing."
"Ha, ha, setelah mencoba harus membelah dadanya
untuk diperiksa, sayang .... aku tak dapat melihat . . ."
"Nenek tua isteriku, akan kuceritakan nanti kepadamu."
"Bagus, mari kita mencobanya."
Kedua suami isteri tua itu serempak berdiri. Ternyata
tubuh mereka lebih tinggi dari ukuran orang biasa. Belum
turun tangan, orang tentu sudah ketakutan setengah mati
melihat perwujudan mereka yang menyeramkan.
Cu Jiang segera menghimpun segenap tenaga-dalam ke
lengannya. Diam2 Ia merasa gelisah karena belum merasa
yakin, mampukah pukulannya nanti menyambut pukulan
dari kedua suami isteri iblis itu.
Pek Kong Song sian, merupakan dua momok yang
menggetarkan nyali setiap orang persilatan pada masa
berpuluh tahun yang lampau.
"Nenek, siap?"
"Ya."
"Eh, budak itu sama sekali tak takut."
"Aku tak dapat melihat."
"Hm, memang aneh."
"Mulailah!" seru nenek Tengkorak.
"Ya, mari," sahut kakek Tengkorak. Dan kedua suami
isteri iblis itu lalu menghantam dari dua arah pada Cu
Jiang. Saat itu Cu Jiangpun serentak menyongsong dengan
ilmu pukulan Mo kiat-ciang yang belum pernah digunakan.
Bum . . . bum. . .
Terdengar ledakan sedahsyat gunung rubuh. Batu karang
pecah bertebaran, dahan2 pohon siong berhamburan.
Sampai mirip gempa yang terjadi di sekeliling tempat itu
batu reda. Sepasang suami isteri iblis itu mundur sampai dua meter
dari tempatnya semula.
Tubuh Cu Jiang berguncang-guncang mau rubuh. Darah
bergolak keras, matanya berkunang-kunang. Diam2 ia
bersyukur dalam hati karena dapat menyambut pukulan
Ngo-lui-ciang yang dilepas kedua suami isteri iblis itu.
Menurut penilaian sebenarnya kedua suami isteri Pek
Kut song-sian kalah setingkat.
Kejut nenek Tengkorak itu bukan kepalang sehingga
matanya mendelik dan mulut melongo.
"Nenek, bagaimanakah ini ?" seru kakek Tengkorak.
"Kita kalah."
"Apa" Kalah?"
"Benar."
"Bagaimana mungkin terjadi?"
"Kakek, apakah engkau tak merasakan?"
Kelopak mata kakek Tengkorak yang cekung kedalam
nampak berkerenyutan beberapa kali. Lama baru dia
membuka mulut: "Ah, tak kira kalau Pak Kut Song-sian hari ini jatuh
ditangan seorang anak muda!"
Tiba2 nenek Tengkorak itu deliki mata dengan buas.
Sambil melangkah maju dia membentak.
"Budak, beritahukan namamu!"
"Seorang kerucuk, tak pantas menyebut namanya!" sahut
Cu Jiang. "Kecongkakanmu memang boleh sekali."
"Ah. jangan memuji."
Nenek itu berpaling kearah suaminya.
"Kakek, jangan melanggar peraturan kita," serunya.
"Nenek, jangan melanjutkan latihan Ngo-lui-ciang lagi, "
seru kakek tengkorak.
"Kenapa?"
"Karena terhadap seorang budak kecil saja kita tak
mampu merubuhkan . . ."
"Kakek, jangan putus asa. Peristiwa ini hanya secara
kebetulan saja."
"Lalu bagaimana maksudmu?"
"Lenyapkan dia!"
"Oh, terserah kepadamu."
Nenek Tengkorak kebaskan kedua lengan bajunya dan
segulung kabut putih segera berhamburan keluar.
Cu Jiang gunakan tata-langkah Gong gong-poh-hwat,
berkisar tubuh berganti tempat. Tetapi ruang lingkup kabut
itu luas sekali dan cepat sekali bertebaran. Mau tak mau
hidung Cu Jiang terhisap bau mayat yang busuk. Diam2 ia
terkejut sekali.
"Nenek tua, bagaimana?" seru kakek Tengkorak.
"Kakek! Dia ... dia ..."
"Bagaimana?"
"Dia tak takut racun!"
"Tidak mungkin! Dia juga manusia."
"Tetapi buktinya dia tak kena apa2."
Kakek tengkorak menggigil dan berseru dengan nada
gemetar: " Apakah dia sudah menguasai ilmu kebal Kimkong puthoay?" Wajah yang bengis dari nenek itupun lenyap Seketika
berganti dengan kejut ketakutan. "Mungkin saja," serunya
gemetar. "Kuharap kalian berdua jangan suka membunuh orang
lagi. Jika tetap melakukan perbuatan begitu, hukum karma
tak mungkin kalian hindari lagi." seru Cu Jiang dengan
tandas. "Budak, apakah engkau datang dari luar daerah?" kakek
Tengkorak terpaksa bertanya.
"Bagaimana dapat diketahui?"
"Dalam dunia persilatan di Tionggoan tak terdapat ko
Jiu seperti engkau."
"Salah !" sahut Cu Jiang "tokoh yang lebih sakti dari
diriku banyak sekali di Tionggoan, hanya anda belum
pernah bertemu saja."
"Ngaco! Menurut omonganmu, dengan begitu Pak Kong
song sian itu tak berharga lagi dalam dunia persilatan!"
"Bukan begitu artinya."
Kakek Tengkorak tak dapat menjawab. Tiba2 nenek
Tengkorak menampar dahinya sendiri dan berseru tegang:
"Kakek, dahulu kita pernah belajar ilmu apa itu,
sekarang aku mendapat akal . .."
"Akal bulus apa uh ?"
"Bagaimana kalau kita serahkan urusan kita itu kepada
engkoh kecil ini?"
-oo0dw0oo- Jilid 19 Tergerak hati Cu Jiang ketika mendengar sebutan kepada
dirinya yang semula "budak kecil" menjadi "engkoh kecil".
Diam2 ia menduga-duga, hendak berbuat apakah kedua
suami isteri iblis ini kepadanya "
"Bagus! itu tepat sekali!" seru kakek Tengkorak seraya
bertepuk tangan.
Kemudian nenek Tengkorak berkata kepada Cu Jiang:
"Sahabat, ada sebuah urusan yang hendak minta
bantuanmu .. ."
"Suruh membunuh orang?" tegur Co Jiang.
"Hampir seperti itu "
"Pek Kut tong-sian hendak membunuh orang lain
menggunakan algojo, sungguh ganjil sekali berita ini !"
"Sahabat, engkau menerima?"
"Coba terangkan dulu bagaimana urusannya."
"Kami berdua suami isteri mempunyai musuh. Tetapi
dia selalu menyembunyikan diri tak akan muncul. Kami
berlatih pukulan Lima-petir ini, tujuannya yalah hendak
menghancurkan gua si kura2 tua. Dari pukulan mu yang
engkau tunjukkan tadi apabila engkau mau membantu,
urusan ini tentu berhasil."
"Siapakah musuhmu ?"
"Seorang makhluk tua yang aneh. Dia telah menawan
putera tunggal kami."
"O, kalian hendak menolong putera?"
"Benar."
"Ah, tak kira dalam dunia ini terdapat manusia yang
berani menculik putera dari Pek Kut song sian, Bagaimana
peristiwa itu dapat terjadi ?"
"Sahabat, lebih baik engkau tak perlu mengusut asal usul
peristiwa itu."
Diam2 Cu Jiang geli. Tentulah mengenai hal2 yang tak
boleh diketahui orang, mungkin yang membuat malu
kepada kedua suami isteri itu, maka keduanya tak mau
menerangkan. "Lalu dengan alasan apa aku akan membantu anda
berdua?" tanyanya.
"Ada imbalannya." seru kakek Tengkorak.
"Ada imbalannya " Imbalan apa ?"
"Tentu !"
"Apa imbalannya?"
Sejenak memandang kepada isterinya, kakek Tengkorak
merenung beberapa saat.
"Sebuah kitab pusaka!" katanya kemudian.
"Kitab pusaka mengenai ilmu apa saja?" Cu Jiang mulai
tertarik. "Cara memecahkan ilmu barisan aneh."
"Pemecahan ilmu barisan ?" Cu Jiang terkejut.
"Hm, kitab itu berisi rahasia dan segala macam ilmu
barisan dari jaman dahulu sampai sekarang. Disebut Kibun-cong-thai."
Terkejut hati Cu Jiang, Ia ke gunung Tay-pa-san mencari
tokoh aneh Ie Se lojin, tujuannya juga minta petunjuk
tentang ilmu barisan. Tetapi kemungkinan akan mendapat
hasil tipis sekali.
Sekarang dia secara tak sengaja telah bertemu dengan
sepasang suami isteri iblis yang memiliki simpanan kitab
pusaka tentang ilmu barisan. Jika berhasil mendapatkan
kitab pusaka itu, tak perlu lagi kiranya dia harus ke Tay-pasan. Tetapi siapakah musuh mereka " Jika sepasang tokoh
seperti Pek Kut song-sian tak mampu mengalahkan dan rela
menyerahkan kitab pusaka yang tak ternilai harganya
sebagai imbalan untuk bantuan itu, tentulah musuh mereka
tokoh yang luar biasa.
"Siapakah musuh anda?" akhirnya ia meminta keterangan. "Sahabat, soal itu jangan engkau tanyakan."
"Lalu bagaimana caraku memberi bantuan ?"
"Cukup meminjam tenaga pukulanmu untuk menghancurkan kunci dari sebuah barisan. Cukup begitu
saja." "Tak perlu membunuh orangnya?"
"Jika engkau tak mau, tak perlu begitu."
"Baik, aku menerima tawaran ini. Lalu kapan dan
dimana akan memulainya?"
"Tempatnya di gunung Tong-pek-san. Kalau terus
menerus menempuh perjalanan dalam tiga hari tentu sudah
tiba disana."
"Dan kitab itu kapan akan diserahkan ?"
"Setelah urusan selesai."
"Apakah aku boleh melihatnya ?" Sejenak merenung
kakek Tengkorak mengiakan. Dia mengambil keluar sejilid
kitab yang dibungkus dengan sutera dari dalam bajunya.
Kulit kitab itu sudah kuno sekali. Dia melemparkan kepada
Cu Jiang. "Kakek !" nenek Tengkorak menjerit kaget.
Cu Jiang tahu bahwa nenek itu tentu kuatir kalau dia
akan menghancurkan kitab itu.
"Takut kalau kuhancurkan?" serunya mengejek.
Kedua iblis itu diam. Membalik lembaran pertama. Cu
Jiang melihat beberapa huruf kuno yang berbunyi Ki bunceng-ciat oleh Gak Bu cu orang dari Gui.
Ah, memang benar sebuah kitab kuno ditulis oleh Gak
Bu cu dari negeri Gui pada jaman Jun Jiu.
Membuka lembaran selanjutnya, memang terdapat
beberapa gambaran. Setelah itu ia lemparkan kembali
kepada kakek Tengkorak dan berseru:
"Baik, aku menerima tawaran anda!"
"Mari kita berangkat sekarang," kata kakek Tengkorak
itu. Demikian mereka bertiga dengan gunakan ilmu lari cepat
segera berangkat menuju ke gunung Tong-pek san.
Ringkasnya, mereka telah tiba disebuah lembah yang
terletak dibelakang gunung Tong pik-san.
Lebih kurang setengah li memasuki lembah, mereka
berhadapan dengan sepasang puncak yang tegak menjulang
tinggi tetapi merapat satu sama lain sehingga jalannyapun
sempit sekali, hanya selebar dua tiga tombak.
Ditengah jalan sempit itu tegak tiga gunduk batu karang
yang aneh bentuknya. Setiap batu karang besarnya
sepemeluk dua orang, sehingga menyumbat jalan.
"Sudah sampai," seru kakek Tengkorak.
Sejenak mengeliarkan pandang ke sekeliling Cu Jiang
menegasi apakah benar tempat itu.
"Ya, memang disini."
"Batu itu aneh sekali bentuknya, " kata Cu Jiang.
"Itulah pintu barisan." sahut kakek Tengkorak, "kalau
batu itu tak dihancurkan, tak mungkin masuk kedalam
barisan."

Pusaka Negeri Tayli Karya Can I D di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apakah musuh anda berada dalam barisan itu?"
"Ya."
"Itukah sebabnya maka anda berdua lalu berlatih ilmu
pukulan Lima petir?"
"Benar."
"Apakah selama ini anda tak pernah memikirkan untuk
menggunakan bahan peledak, atau . ."
"Tidak bisa."
"Kenapa?"
"Puteraku itu ditawan tak berada jauh dari pintu barisan.
Kalau diledakkan sudah tentu puteraku yang akan hancur
lebih dulu."
"Oh, begitu hebat akal orang itu!"
"Ketiga gunduk batu itu harus serempak sekaligus
dihancurkan kalau tidak keadaan barisan tentu berobah."
"Barisan apakah itu namanya?"
"Hian li ki bun!"
"Apakah akan dimulai sekarang?"
"Ya."
"Apakah tak perlu memanggil orang itu lebih dulu?"
"Percuma, dia akan pura2 tuli."
"Setelah menghancurkan pintu barisan?"
"Aku dan isteriku cukup untuk menghadapinya. "
"Mari!"
"Tunggu dulu." teriak kakek Tengkorak, "kami berdua
harus melepaskan pukulan dari jarak dua tombak. Dalam
lingkaran dua tombak, tak boleh orang mendekati. Sahabat,
engkau menghancurkan batu yang tengah, aku berdua akan
menghancurkan batu yang kanan dan kiri. Ingat, ini bukan
bermain-main, harus menggunakan sepenuh tenaga!"
"Baik, " sahut Cu Jiang.
Mereka bertiga lalu mundur kira2 dua tombak dan lalu
mulai menghimpun tenaga-dalam menyalurkan kearah
tangan. Tiba2 kakek Tengkorak mengembor dan serempak
mereka bertiga melontarkan hantaman. Tiga gulung tenaga
pukulan yang dahsyat segera menerjang, bum, bum, bum
.... Terdengar tiga kali suara ledakan yang dahsyat, ketiga
batu itu pecah berhamburan. Tiba2 kedua Pek Kut Songsian itu melesat masuk kedalam lembah.
"Tahan dulu!" teriak Cu Jiang seraya loncat mengejar,
"bagaimana pertanggungan jawab ucapan anda itu?"
Kakek Tengkorak tertawa.
"Pertanggungan jawab bagaimana?"
"Soal Ki-bun ceng-ciat."
"Setelah selesai akan kuberikan kepadamu. . . ."
"Sebelumnya, bagaimana janjimu?"
"Budak, engkau tunggu saja."
Mendengar itu marah Cu Jiang bukan kepalang.
"Kuhancurkan kalian setan busuk!" bentaknya seraya
mengangkat kedua tangan. Tetapi secepat itu Pak Kut Song
sian sudah melesat lenyap.
Cu Jiang penasaran. Ia terus mengejar. Tetapi alangkah
kejutnya ketika ia memandang kemuka. Ternyata
keadaannya sudah bukan jalanan lembah seperti tadi.
Serentak ia tersadar bahwa dirinya telah terlibat dalam
sebuah barisan aneh. Setelah pintu barisan pecah, kedua
iblis itu dapat masuk dengan leluasa. Walaupun barisan
belum pecah tetapi karena kedua iblis itu mempunyai kitab
Ki-bun-cong-ciat, mereka tentu dapat memasuki dengan
lancar. Tetapi dia sendiri sekarang terkurung dalam barisan itu,
Ah, benar2 ia tak menyangka kalau akan terjebak dalam
tipu muslihat yang busuk.
Kanan kiri merupakan batu yang menonjol dan sebelah
muka hanya hutan batu semua. Bahkan arahpun Cu Jiang
tak dapat mengenal lagi.
Cu Jiang pernah terkurung dalam barisan di Gedung
Hitam sehingga ia tak mampu keluar. Maka saat itu dia tak
mau sembarangan bergerak dan tenangkan diri.
Dia marah dan penasaran tetapi diam2 dia pun geli
menertawakan dirinya sendiri. Bukankah sepasang suami
isteri Pek Kut song sian itu sudah terkenal sebagai momok
yang jahat dalam dunia persilatan"
Mengapa ia masih mau percaya pada omongan mereka"
Bukankah itu kebodohannya sendiri"
Iapun segera membayangkan bahwa tokoh yang menjadi
musuh kedua suami isteri itu tentulah tokoh golongan
Ceng-pay (Putih). Mengapa ia menyanggupi membantu
kedua suami isteri untuk melawan tokoh itu"
Makin merenung makin geram. Makin memikirkan
makin penasaran sekali.
Siapakah sesungguhnya tokoh yang berada dalam
lembah Itu"
Entah sampai berapa lama Cu Jiang masih tercengkram
dalam kebimbangan itu. Tiba2 ia rasakan pinggangnya
kesemutan dan terus rubuh.
Seorang lelaki tua kurus, dengan wajah murka tegak
dihadapannya dan tahu2 menjinjing tubuh Cu Jiang terus
dibawa lari. tak berapa lama, cuaca terang dan keduanya
sudah berada diluar gua.
Lelaki tua itu melemparkan tubuh Cu Jiang ke tanah.
Dia tegak bersidekap tangan. Matanya berkilat-kilat
memancarkan kemerahan.
Pikir Cu Jiang, adakah dia berhadapan dengan tokoh
dalam lembah itu" Dengan susah payah ia mengangkat
muka. Ia sempat melihat lelaki tua itu berwajah terang, bukan
dari golongan Sia-pay atau jahat. Diam2 Cu Jiang kerahkan
tenaga dalam, ah, jalan darahnya sudah terbuka...
Tiga sosok bayangan berkelebat melesat keluar dari
mulut tempat itu. Yang dua jelas kedua suami isteri Pek Kut
song sian, sedang yang seorang lelaki muda berwajah
seram. Tentulah putera dari kedua suami istri iblis itu.
"Berhenti !" teriak orang tua itu.
Ketiga orang itupun serempak berhenti. Kakek Tengkorak tertawa congkak.
"Oh, mahluk tua, kukira engkau sudah ngacir pergi?"
"Tinggalkan kitab Ki-bun-congciat!" seru orang tua itu
pula. "Mau apa engkau ?"
"Jika sembarangan akan kubunuhnya!"
"Siapa yang hendak engkau bunuh ?"
"Kawanmu ini." seru orang tua itu menuding pada Cu
Jiang. Nenek Tengkorak berpaling kearah suaminya. "Pak tua,
sungguh kebetulan sekali hal ini. Kalau budak itu tak
dilenyapkan, kelak tentu menimbulkan bahaya..."
"Ya, biarlah mahluk tua itu membunuhnya."
"Masih belum meyakinkan. Lebih baik kita saksikan dia
membunuhnya."
Orang tua itu tertegun mendengar percakapan kedua
suami isteri iblis. Tetapi pada lain saat ia seperti menyadari
sesuatu. "Jangan main gila, jika tak mau memberikan kitab Kibun-cong-ciat itu, lebih dulu akan kubunuhnya." serunya.
Kakek Tengkorak mengangkat bahu. "Silakan turun
tangan..." Tampak lelaki muda kerutkan alis dan bertanya.
"Yah, siapakah dia ?"
"Ha, ha, na, anakku, Jika tidak dia yang membantu
menghancurkan pintu barisan, engkau tentu belum dapat
keluar . "O, kalau begitu kita harus menolongnya."
"Tidak perlu !"
"Kenapa ?"
"Dia seorang yang berbahaya."
Orang tua dari lembah itu menukas: "Apakah kalian
memperalat dia ?"
Dalam kegirangan, nenek Tengkorak telah kelepasan
bicara. Ia menyahut serentak:
"Ya, memang begitu, lekas engkau bunuh dia !"
Orang tua dari lembah itu menggigil karena marahnya.
Tiba2 lelaki muda itu ayunkan tubuh ke muka Cu Jiang,
serunya: "Dalam beberapa hari ini aku hampir mati karena
terkurung. Sekarang biarlah kuhibur tangan ku yang gatal
ini." Dia berhadapan dengan orang tua dari lembah,
sementara Cu Jiang berada di tengah2 mereka berdua.
Orang tua itupun juga melangkah maju.
"Membantu orang jahat, juga bukan manusia baik,
bunuhlah!" serunya kepada lelaki muda.
Lelaki muda atau putra dari kedua suami isteri Pek Kut
song sian, tertawa mengekeh:
"Begitu baru kata2 yang tepat!" habis berkata ia
mengangkat tangan dan diayunkan kearah kepala Cu Jiang.
Bum .... Terdengar lengking jeritan ngeri dan sesosok tubuh yang
mencelat ke atas sampai beberapa tombak. Tubuhnya
menghambur hujan darah.
Kedua suami isteri iblis menjerit kaget dan cepat melesat
kearah tubuh itu. Ternyata yang mencelat ke udara itu
tubuh lelaki muda, anak dari sepasang suami isteri iblis.
Sedang Cu Jiang berbangkit pelahan-lahan.
Orang tua dari lembah itu terlongong-longong. Pemuda
desa itu jelas telah ditutuk jalan darahnya dan tak berkutik.
Mengapa dalam waktu sekejab saja dia sudah dapat
membebaskan diri.
Nenek Tengkorak memondong tubuh lelaki muda dan
menjerit kalap:
"Pak tua, dia mati !"
"Mati ?" teriak kakek Tengkorak.
"Hancur leburkan bangsat kecil itu . . ."
"Baik!" seru kakek Tengkorak terus loncat kemuka Cu
Jiang. Ia memandang pemuda itu dengan wajah
memberingas seram.
Tiba2 Cu Jiang teringat sesuatu. Ia terus membuka
buntalan kain dan mengambil pedang kutung. Tangan kiri
memegang sarung pedang, tangan kanan pedang kutung,
lalu berseru dingin.
"Iblis tua. lekas serahkan kitab Ki-bun ceng-ciat dan akan
kuampuni jiwamu !"
"Bangsat, belum puas hatiku kalau belum meremukkan
tulangmu !" teriak kakek Tengkorak seraya ayunkan
sepasang tangannya, menghantam kepala dan menusuk
dada Cu Jiang. Cu Juang keluarkan gerak langkah Gong-gong poh untuk
menghindar seraya berseru:
"Kuberimu kemurahan satu kali!"
Kakek Tengkorak cepat menarik tangan dan berputar
kearah Cu Jiang.
"Bangsat kecil, aku harus membunuhmu."
Cu Jiang mendengus, sahutnya:
"Selama ini kejahatan anda sudah melewati batas, entah
sudah berapa banyak jiwa yang mati ditangan anda. Maka
kalau hari ini anda harus mati, sudah selayaknya, bahkan
masih murah."
Cu Jiang melintangkan pedang kutung.
"Pedang kutung !" kakek Tengkorak itu berteriak gentar.
"Apakah dia tokoh Toan-kiam-Jan-Jin yang akhir2 ini
menghebohkan dunia persilatan?" seru nenek Tengkorak.
"Benar, memang aku," sahut Cu Jiang.
Wajah orang tua dari lembah itupun tampak berobah
cahayanya. Dia Juga tahu akan nama besar dari Toankiam-Jan jin. Kakek Tengkorak tebarkan jubah dan dari lengan
Jubahnya meluncur sebuah benda aneh. Benda itu tak lain
adalah dua batang tulang lengan. Sebelah tangan kanan dan
kiri masing2 mencekal tulang itu, dia berseru:
"Toan-kiam-Jan-Jin, engkau harus mengganti jiwa
puteraku !"
Cu Jiang bingung. Apakah daya khasiat dari sepasang
tulang belulang"
Tiba2 orang tua dari lembah mundur tiga langkah seraya
berseru ngeri. "Pek-kut-cau-bon !"
Cu Jiang tak mengerti apa arti kata2 itu tetapi ia
menduga tentulah merupakan benda yang amat beracun.
"Jangan memberi kesempatan bergerak kepada lawan."
Kata2 itu cepat mengiang dalam telinga Cu Jiang.
"Mundur, Jangan coba menangkis tulang." berteriak
orang tua dari lembah. Dan dia sendiripun turut loncat
mundur sejauh tiga tombak.
Cu Jiang juga mengadakan reaksi yang cepat. Selekas
memindah pedang ke tangan kiri, dia terus melepaskan
hantaman sembari terus loncat mundur setombak jauhnya.
Ternyata tindakan Cu Jiang itu berhasil. Sebelum kakek
Tengkorak sempat melancarkan serangan, tubuhnya sudah
terpental mundur sampai lima langkah. Melihat itu Cu
Jiang tak mau memberi kesempatan lagi. Dia lepaskan
hantaman yang kedua ....
Kali ini Kakek Tengkorakpun memutar tubuh untuk
menyambut pukulan itu.
"Lekas mundur!" teriak orang tua dari lembah pula.
Bang"!! Terdengar letupan keras ketika Cu Jiang tepat sudah
loncat mundur beberapa tombak. Seketika dari udara seperti
muncrat berhamburan air hitam seluas dua tombak.
Dan selekas jatuh ketanah maka terdengarlah bunyi
mendesis-desis di susul dengan asap hitam yang bergulanggulung membumbung.


Pusaka Negeri Tayli Karya Can I D di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ketika memandang dengan seksama, kejut Cu Jiang
bukan kepalang. Ternyata rumput2 ditanah itu hangus
semua, bahkan sampai tanahnyapun ikut berwarna hitam.
Batu yang dekat tempat itupun penuh berhias lubang2.
Benar2 sejenis racun yang maha hebat. Jika batupun
sampai berlubang, tidakkah tubuh manusia apabila terkena
tentu akan hancur lebur "
Cu Jiang cepat memeriksa pakaiannya. Ternyata
celananya juga penuh dengan lubang kecil-kecil.
Melihat Cu Jiang tak kurang suatu apa. kejut kakek
Tengkorak itu bukan alang kepalang. Tetapi bukannya jera.
dia malah kalap. Dengan memekik sekeras-kerasnya dia
terus loncat menerjang. Tetapi serempak dengan itu. Cu
Jiangpun sudah membabatkan pedangnya.
"Auahhh..."
Terdengar lengking jeritan ngeri yang berkumandang
memenuhi angkasa. Kakek Tengkorak rubuh, kepala
terpisah menggelinding sampai beberapa langkah dari
tubuhnya. Cu Jiang menghela napas. Ia berpaling tetapi ternyata
nenek Tengkorak sudah lenyap entah kemana.
"Engkau sudah terkena racun penghancur tulang !" seru
orang tua dari lembah dengan nada getar.
Cu Jiang terkejut. Saat itu dia memang merasakan,
beberapa bagian dari tubuhnya terasa panas seperti
terbakar. Hampir ia tak dapat menahan rasa sakitnya.
Buru2 ia membuka bajunya dan memeriksa. Badannya
terdapat tujuh delapan buah gunduk hitam sebesar buah
kelengkeng. "Barang siapa tercemar racun itu, tentu segera akan luluh
jadi cairan air. engkau . . . bagaimana?"
Cu Jiang teringat akan mustika Thian-ju cu. Segera ia
mengambil dan menempelkan pada noda2 hitam itu. Aneh
tetapi nyata, noda2 hitam pada kulitnya itu segera hilang
demikian rasa sakitnya.
Setelah tahu dirinya tak kurang suatu apa, dia terus
berjongkok untuk mengambil kitab Ki-bun-ceng ciat dari
tubuh kakek Tengkorak. Kemudian dia mengangkat muka
memandang kearah orang tua dari lembah.
Sejak tadi dia memang belum sempat memperhatikan
wajah orang tua dari lembah itu. Kini begitu memandangnya, dia terlongong-longong kaget.
Orang tua itu mengenakan jubah yang menutup tubuh
sampai kebatas lutut. Kepala gundul, tidak memakai sepatu.
Ditengah alisnya terdapat sebuah tahi-lalat merah.
Tidakkah orang itu yang dikatakan Ang Nio Cu sebagai
Ih Se lojin"
Ah, Cu Jiang menghela napas. Jika dia benar2 menuju
ke gunung Tay-pa san yang jauh, tentulah akan sia2 saja
karena tokoh yang hendak dicari itu ternyata berada di
gunung Tong-pek-san.
Peristiwa dengan Pek Kut song sian itu ternyata
membawa rejeki. Dan jelas Ang Nio Cu tentu membuang
tenaga sia2. Mata orang tua itu memandang lekat2 pada kitab yang
dipegang Cu Jiang lalu berkata dengan nada sarat:
"Toan kiam jan jin, apakah engkau pernah melihat kitab
pusaka itu?"
Cu Jiang terkejut.
"Apakah kitab ini milik cianpwe?"
"Benar."
"Bagaimana dapat jatuh ditangan kedua suami isteri iblis
itu?" "Dia merebut dari seorang muridku yang celaka."
"Oh."
"Karena hendak merebut kembali kitab itu aku terpaksa
menggunakan siasat menculik anak lelakinya agar kita
dapat tukar menukar . . ."
"Oh, kiranya begitu. "
"Engkau . . . mempunyai kemampuan untuk terhindar
dari racun?"
Cu Jiang tertawa. Tanpa menjawab pertanyaan itu ia
menyerahkan kitab Ki bun ceng ciat.
"Karena milik lo cianpwe, harap suka menerimanya,"
kata Cu Jiang. Orang tua dari lembah itu terbeliak. Dia tak mau cepat2
menerima, melainkan kerutkan alisnya yang putih.
"Lapang sekali hatimu. Setitikpun engkau tak mempunyai keinginan untuk memiliki kitab pusaka yang
jarang terdapat dalam dunia."
"Karena kitab ini memang bukan milikku."
"Engkau hendak mengajukan perjanjian apa?"
"Perjanjian?" Cu Jiang terbeliak.
"Ya, aku tak mau menerima dengan cuma2."
Seketika itu timbullah rasa kagum dalam hati Cu Jiang.
Walaupun memang aneh sikap orang tua itu tetapi tindakan
itu memang patut dihargai.
"Tak ada perjanjian apa2," serunya.
"Baik, tetapi aku akan mencatat budimu ini," kata orang
tua dari lembah seraya menyambuti kitab.
"Mohon tanya, siapakah gelaran yang mulia dari
cianpwe?" "Ah, sudah lama tak kupakai nama gelaranku."
"Bukankah gelaran yang mulia dari cianpwe itu Ih Se
lojin?" "Ho, engkau .... bagaimana dapat mengetahui?"
"Jika begitu lo cianpwe memang benar Ih Se lojin?"
"Anggap saja engkau berkata benar. "
"Wanpwe justeru hendak mohon bertemu."
"Hah, engkau hendak mencari aku?"
"Ya. Sebenarnya wanpwe hendak menuju ke Tay-pa-san
mencari locianpwe. Tak terduga wan pwe tertipu oleh Pek
Kut song sian tetapi justeru malah dapat bertemu dengan lo
cianpwe." Tiba2 nada Ih Se lojin berobah dingin:
"Perlu apa engkau hendak mencari aku?"
Saat itu bukan kepalang gembira Cu Jiang, namun ia
tetap bersikap tenang.
"Akan mohon petunjuk pada lo cianpwe. "
"Soal apa?"
"Mohon petunjuk cara memecahkan sebuah barisan."
"Tidak bisa."
"Apakah lo cianpwe tak mau memberi petunjuk?"
"Aku sudah mengikrarkan sumpah, tak mau berhubungan dengan manusia di dunia lagi."
Sebagai seorang ksatrya, dengan tulus Cu Jiang
menyerahkan kembali kitab pusaka yang sehebat itu. Tak
terduga Ih Se lojin masih bersikap begitu ketus.
"Apakah tak dapat memberi kelonggaran?" tanyanya
dengan marah. "Tidak bisa! "
"Kalau tadi wanpwe tak menyerahkan kembali kitab
pusaka itu dan wanpwe terus mempelajarinya sendiri,
bagaimanakah kesudahannya?"
"Itu persoalan lain lagi."
"Apakah lo cianpwe tetap mengukuhi pendirian itu ?"
"Tentu, tetapi.. ."
"Tetapi bagaimana ?"
"Jika hal itu engkau anggap sebagai perjanjian dari
tindakanmu menyerahkan kitab pusaka kepadaku tadi, aku
memang tak dapat berkata apa2. Karena seumur hidup aku
tak mau menerima budi orang. Begini sajalah, bagaimana
kalau permintaanmu itu kau anggap sebagai syarat dari
penyerahan kitab itu ?"
"Tidak!" sahut Cu Jiang dengan angkuh, "ucapan
seorang lelaki harus ditepati. Aku sudah mengatakan kalau
penyerahan kitab itu tanpa suatu syarat apa, masakan aku
hendak menjilat ludahku lagi ?"
"Hii, watakmu hampir sama dengan aku ... ."
"Ah, lo cianpwe memuji."
"Akupun juga begitu. Apa yang telah kukatakan, takkan
kulanggar."
"Dalam keadaan bagaimana cianpwe dapat memberi
kelonggaran?"
"Tak ada kemungkinannya:"
"Kalau kuminta cianpwe supaya mengajukan syarat
supaya cianpwe dapat memberi kelonggaran ?"
"Juga tidak mungkin, kecuali ...."
"Kecuali bagaimana?"
"Mengandalkan ilmu kepandaianmu !"
Cu Jiang terpaksa menyeringai. Rasanya tiada manusia
yang lebih nyentrik wataknya dari orang tua ini. Itulah
sebabnya maka Ang Nio Cu mengatakan bahwa Ih Se lojin
itu lebih nyentrik lagi dari tabib Kui jiu sinjin.
"Maksud lo cianpwe agar aku mengeluarkan ilmu
kepandaian silat?" ia menegas.
"Benar." Sahut Ih Se lojin dengan nada bengis, "pada
saat aku sudah tak dapat melawan lagi, barulah aku dapat
memberi kelonggaran. Kuanggap hal itu tidak melanggar
sumpahku."
"Apakah itu satu-satunya jalan?"
"Tidak ada lainnya lagi."
"Jika begitu terpaksa aku hendak mencoba."
"Hm, kuharap ilmu kepandaianmu tidak tinggi."
"Lo cianpwe," seru Cu Jiang. "maaf jika aku hendak
mengucapkan kata2 yang sombong. Sejak turun dari
perguruan, selama ini aku belum pernah bertemu lawan
yang dapat lolos dari pedang kutungku itu !"
"Engkau terlalu mengandalkan dirimu!"
"Ah, tidak, tetapi kenyataan memang begitu."
"Ilmu silat itu bukan hanya dari satu sumber. Tidak bisa
karena memiliki sebuah aliran lalu sudah berbangga diri. . ."
"Bukan maksudku hendak membanggakan diri."
"Kalau begitu, engkau boleh mulai."
"Sebenarnya aku tak ingin berlaku kurang hormat
terhadap cianpwe."
"Jika begitu. silahkan engkau pergi saja."
Cu Jiang merasa bahwa berputar-putar lidah tiada
gunanya. Jelas orang tua itu tak mau merobah
pendiriannya. Pelahan-lahan ia maju ke hadapan orang tua
itu. "Maaf, wanpwe terpaksa berlaku kurang hormat,"
serunya. "Mulailah!"
"Harap hati-hati !"
Dalam berkata-kata itu Cu Jiangpun sudah mencabut
pedang kutung dan terus menyerang. Dia hanya gunakan
setengah bagian dari tenaga dalamnya karena ia anggap
orang tua itu bukan musuh melainkan hanya menguji saja.
Sekalipun begitu jurus Thian-te-kau thay yang dimalukan
itu menghamburkan sinar pedang yang dahsyat.
Tetapi apa yang didapatinya, sungguh diluar dugaan.
Baru dia melancarkan jurus serangannya, bayangan orang
tua itupun sudah lenyap.
Terpaksa setengah jalan ia hentikan serangannya.
Dilihatnya Ih Se lojin tegak disebelah kanan lebih kurang
dua meter jauhnya. wajahnya mengulum tawa.
Cu Jiang merah mukanya. Ia menyerang lagi dengan
delapan bagian tenaganya. Namun hasilnya tetap serupa. Ih
Se lojin bagaikan sesosok bayangan setan yang menghilang
dan pindah tempat.
Diam2 Cu Jiang sempat memperhatikan bahwa Ih Se
lojin menggunakan gerakan yang mirip dengan geraklangkah Gong gong-poh hwat.
Setelah merenung, Cu Jiang diam2 mengangguk.
"Kalau sampai serangan yang ketiga masih gagal, engkau
harus pergi." seru Ih Se lojin tertawa gembira.
"Baik, Jika kali ini masih gagal, aku segera tinggalkan
tempat ini." sahut Cu Jiang dengan nada tandas.
"Bagus,. "Harap locianpwe hati-hati..." pedang kutung segera
ditaburkan. Ih Se lojin masih tetap menggunakan gerak-langkah
semula. Secepat terayun tubuh, dia sudah lenyap, Tetapi
ternyata serangan Cu Jiang itu hanya suatu gerak
menggertak saja. Dia tetap mengikutkan pandang mata
pada orang tua itu.
Sesaat Ih Se lojin melesat pergi, diapun cepat melesat
mengikutinya. Sampai delapan kali Ih Se lojin melesat untuk
menghindar tetapi Cu Jiang dengan gerak-langkah Gonggong-poh-hwat tetap dapat membayanginya. Bahkan dia
lebih cepat bergerak diri orang tua itu.
Pada saat gerakan Ih Se lojin agak kendor, tahu2 ujung
pedang kutung sudah melekat pada dadanya.
"Lo cianpwe, maaf, aku berlaku kurang hormat!" pada
lain saat terdengar Cu Jiang berseru.
Sepasang mata Ih Se lojin melotot.
"Engkau menggunakan gerak langkah apa?" serunya
dengan nada gemetar.
"Hanya langkah kucing menangkap tikus yang tak berarti
dan tak berharga dikatakan."
"Bilang!"


Pusaka Negeri Tayli Karya Can I D di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Harap lo cianpwe suka melaksanakan janji."
"Katakan dulu, gerak langkah apa yang engkau lakukan
tadi?" Karena terus menerus didesak, akhirnya Cu Jiang
mengaku: "Gong gong-poh hwat."
"Hai, Gong-gong-poh-hwat?" - teriak Ih Se lojin terkejut.
"Benar."
"Gong-gong . . . Gong gong .... apakah engkau murid
pewaris dari Nyo Wi itu?"
Diam2 Cu Jiang terkejut. Jarang sekali orang persilatan
yang kenal akan riwayat Gong-gong-cu. Tetapi orang tua
itu dapat menyebut nama aseli dari Gong-gong-cu. Apakah
dia sahabat baik dan suhuku, pikir Cu Jiang.
"Apakah lo cianpwe kenal akan suhuku" " akhirnya ia
bertanya. "Apakah engkau benar2 murid dari Nyo Wi?"
"Benar."
"Dan kau datang kepadaku untuk meminta petunjuk
tentang ilmu barisan?"
"Benar."
Seketika berobah cahaya muka Ih Se lojin.
"Enyah!" teriak dengan bengis.
Cu Jiang tertegun. Adakah orang tua itu mempunyai
dendam permusuhan dengan gurunya"
"Lekas engkau pergi dari sini!" bentak Ih Se lojin pula.
"Apa artinya ini?" seru Cu Jiang dengan nada dingin.
"Kusuruh engkau pergi!"
"Baik, tetapi harus ada alasannya."
"Tidak ada! Lekas engkau enyah dan tanyakan sendiri
pada Nyo Wi! "
"Apakah locianpwe mempunyai ganjelan terhadap
suhuku?" "Engkau tidak berhak tanya. Selanjutnya kalau engkau
berani menginjak tempat ini lagi, aku tentu akan
membunuhmu!"
Saat itu makin keras dugaan Cu jiang bahwa Ih Se lojin
tentu mempunyai ganjelan hati terhadap suhunya, Ia tahan
kemarahannya. "Tetapi tidakkah lo cianpwe merasa karena tidak
menetapi janji?" serunya.
Ih Lo lojin tertawa dingin.
"Tindakanku Ini sudah cukup baik, " sahutnya.
"Jika tidak?"
"Aku..." kata2 selanjutnya tak diucapkan lagi. Ih Se lojin
menyadari bahwa pemuda yang berdiri dihadapannya lebih
tinggi kepandaiannya dari dia.
Cu Jiang sendiri juga kehilangan faham. Untuk
mendapat petunjuk dari orang tua aneh itu, jelas tak
mungkin lagi. Tetapi barisan dalam Gedung Hitam harus
dihancurkan. Apabila ia mengirim orang untuk meminta
petunjuk pada guru di Tayli, tentu memakan waktu lama.
Apabila dia merebut saja kitab pusaka dari tangan Ih Se
lojin, juga tidak enak. Ah, tetapi apa daya kecuali harus
menggunakan kekerasan. Bukankah orang tua itu juga
menghendaki cara begitu...
"Locianpwe. kita tak perlu panjang lebat bicara. tekadku
datang kemari, kalau tak mendapat apa yang kuinginkan,
aku takkan kembali."
"Engkau bermimpi."
"Jangan salahkan kalau aku terpaksa berani berlaku
kurang adat."
"Mau pakai kekerasan" Ha, ha, ha . . ." tiba2 Ih Se lojin
melesat dan terus lenyap kedalam mulut lembah.
Sudah tentu Cu Jiang terkejut sekali. Orang tua itu cepat
sekali gerakannya, tak mungkin dia dapat menahan.
Padahal lembah itu disusun dalam bentuk barisan aneh. Dia
tadi sudah merasakan tak dapat keluar. Lalu bagaimana"
Dia tegak termangu-mangu di tempat itu. Mayat kakek
Tengkorak yang tiada kepalanya, masih membujur di tanah.
Dia tersenyum tawar. Belum setengah hari saja dia sudah
mengalami peristiwa yang tak terduga duga. Jika bermula
dia mengira beruntung karena dapat bertemu dengan Ih Se
lojin, ternyata keberuntungan itu cepat lenyap seperti awan
terhembus angin.
Jika dia teras tinggalkan tempat itu, sebenarnya dia
masih penasaran. Tetapi akan kemanakah ia ayunkan
langkahnya"
Menilik gerak gerik langkah yang dimiliki Ih Se lojin,
kecuali suhunya Gong gong cu, rasanya dalam dunia
persilatan tak ada yang menandingi lagi.
Tetapi apakah yang terjadi diantara suhunya dengan Ih
Se lojin" Menilik betapa geram sikap Ih Se lojin terhadap
Gong gong-cu, tentulah dia mempunyai dendam yang
hebat. Tiba2 sesosok bayangan meluncur datang. Ketika
memandangnya, girang Cu Jiang bukan kepalang. Ternyata
pendatang itu tak lain adalah sahabat baik dari gurunya
yakni Lam ki soh. Dia benar-tak menyangka kalau tokoh itu
datang ke gunung Tong peksan juga. Cepat ia maju
menyambut dan memberi hormat:
"Cianpwe, terimalah hormat wanpwe."
"Hai, mengapa disini?" ternyata Lam ki sok juga terkejut.
Cu Jiang lalu menuturkan peristiwa yang dialami disitu.
Lam-ki-soh mengangguk-angguk.
"O, kukira engkau sudah menuju ke Tay-pa-san."
"Lalu maksud kedatangan cianpwe kemari?"
"Kalau tidak untuk kepentinganmu, apalagi!" sahut Lamki-soh. "Urusan wanpwe?" Cu Jiang heran.
"Waktu mendengar cerita dari Ki Sau Hong, aku segera
mengejarmu, Kalau sebelumnya engkau memberitahukan
maksudmu kepadaku, aku tentu dapat membawamu
menemui Ih Se lojin itu kemari."
"Apakah, cianpwe memang sudah tahu kalau dia diam
disini?" "Tidak tahu," sahut Lam ki soh, "baru akhir2 ini setelah
menerima berita dari suhumu di Tayli, baru kuketahui hal
itu . .. karena tak dapat mengejarmu, maka kuputuskan
untuk datang sendirian kemari. Tak kira kalau engkau
sudah bertemu dengan dia, sungguh kebetulan sekali .. ."
"Suhu mengirim berita?"
"Hm, dia minta aku menguruskan sebuah urusan
untuknya."
"Urusan apa ?"
"Dengan Ih Se lojin"
Cu Jiang tertarik hatinya, Dia lalu menceritakan
pengalamannya dengan Ih Se lojin. Begitu dia mengaku
bahwa Gong gong cu itu suhunya, kontan Ih Se lojin
membuat reaksi keras.
"Sesungguhnya apa saja yang telah terjadi antara suhu
dengan Ih Se lojin?" tanyanya.
Lam-ki-soh tersenyum misterius, katanya:
"Nanti engkau pasti tahu sendiri, mari kita menemuinya
..." "Jalanan lembah ditutup dengan barisan yang aneh,"
kata Cu Jiang. "Ya, tahu, kupanggilnya supaya keluar. "
"Dia belum tentu mau keluar ..."
"Ah, ikuti aku saja.! "
Keduanya menuju ke batu yang dihancurkan Cu Jiang
tadi. Batu itu merupakan pintu barisan. Lam-ki-soh
kerahkan tenaga-dalam lalu berseru sekeras-kerasnya:
"Co King Yap, Gong cu-wi datang menemuimu!"
Tetapi tiga kali dia mengulang seruannya, tetap tak ada
penyahutan. Saat itu Cu Jiang baru tahu bahwa nama asli
dan Lam-ki-soh itu Gong cu wi dan nama dari Im Se lojin
itu Co Keng Yap.
Beberapa saat kemudian, Lam ki soh berseru pula:
"Orang she Co, apakah engkau benar tak memandang
muka kepada aku orang she Gong ini?"
Namun tetap tiada jawaban. Lam ki soh berpaling
kepada Cu Jiang, tertawa:
"Aku hendak memaki-makinya!"
Dia berbatuk-batuk untuk membasahi kerongkongan lalu
menggembor sekuat tenaganya.
"Hai, Co keng Yan, apa sih engkau ini, berani
memandang hina orang. Apakah engkau minta aku masuk
untuk meringkusmu!?"
Tiba2 sesosok bayangan berkelebat dan Ih Se lojinpun
muncul keluar dari barisan. Sejenak memandang dingin
kepada Cu Jiang dia terus membentak Lam ki soh:
"Hai, orang she Gong, jangan berteriak teriak seperti
orang gila! "
Lam ki soh tertawa gelak2.
"Loheng, engkau dan aku segera akan masuk kedalam
kuburan, mengapa watakmu masih begitu berangasan?"
"Mau apa engkau kemari?" tegur Ih Se lojin dingin.
"Sudah tentu ada urusan, masa kalau tak ada urusan aku
datang kemari" Engkau kira aku senang gentayangan naik
gunung seperti ini?"
"Aku orang she Co sudah tak mau mengurusi urusan
manusia di dunia lagi!"
"Urusanmu sendiri engkau mau menanyakan atau
tidak?" "Urusanku sendiri?"
Lam-ki-soh berpaling ke arah Cu Jiang dan menggapainya: "Nak, mari, haturkan hormat kepada toa-supeh !"
Cu Jiang termenung seketika. Mengapa Lam ki-soh
mengatakan Ih Se lojin itu sebagai toa supehnya (paman
guru). Ia teringat tatkala upacara pengangkatan guru. Gonggong-cu pernah mengatakan bahwa Cu Jiang itu termasuk
murid angkatan pertama. Apakah artinya itu.
"Orang she Gong, jangan soal itu...." tiba2 Ih Se lojin
deliki mata. Tetapi Lam-ki-soh seperti tak mengacuhkan berseru
kepada Cu Jiang:
"Budak kecil, engkau dengar atau tidak omonganku
tadi?" Lam-ki-soh merupakan sahabat baik dari suhunya,
seorang tokoh yang termasyhur, tentu tak mau omong
sembarangan. Kata-katanya itu tentu ada dasarnya maka
segera Cu Jiangpun membungkuk tubuh dihadapan Ih Se
lojin. "Menghaturkan hormat kepada toa-supeh !"
Sepasang alis Ih Se lojin tegak keatas. Jelas dia sedang
marah besar. Cepat dia berputar tubuh kearah Lam-ki soh
dan berteriak keras2.
"Gong Cu-wi, enyah dari hadapanku !"
Cu Jiang meringis, mukanya merah.
"Co Keng Yap, engkau benar2 bukan manusia!" Lam kisoh balas berseru marah.
Tetapi Ih Se lojin tak mengacuhkan. Berputar tubuh dia
terus ayunkan langkah....
"Berhenti !" bentak Lam-ki-soh dengan marah. "aku
hanya akan mengatakan sepatah kata saja."
Entah bagaimana, Ih Se lojin pun berhenti dan berbalik
tubuh, serunya: "Bilanglah !"
Lam-ki-soh tenangkan kemarahannya lalu berkata
pelahan-lahan: "Jika tak menyanggupi permintaan orang, tak mungkin
aku sudi bicara dengan bahasa manusia pada kerbau.
Dengarkan ! Dibawah arca kakek guru perguruanmu,
terdapat sebuah benda. Lihatlah sendiri. Kutunggu engkau
setengah Jam. Cukup pergilah !"
Ih Se lojin terbeliak tercengang-cengang memandang
Lam-ki soh. Tanpa berkata apa2, dia terus berputar tubuh
dan masuk kedalam lembah.
"Cianpwe, apakah artinya ini semua ?" Cu Jiang tak
dapat menahan keheranannya.
"Dia memang toa-supehmu !"
"Hal ini .. . tak pernah suhu menceritakan.."
"Sudah tentu dia tak menceritakan. Soal itu menyangkut
urusan perguruannya belum dibereskan, suhumu tak diakui
oleh perguruan."
Cu Jiang makin tertarik, serunya: "Dapatkah cianpwe
memberi keterangan?"
Sambil mengajak Cu Jiang duduk pada segunduk batu
didekat situ. Lam-ki-soh mulai melanjutkan ceritanya lagi.
"Suhumu mengirim berita kepadaku agar aku menyelesaikan urusan itu . .."
"Mohon cianpwe suka menerangkan sejelasnya."
"Sebenarnya suhumu itu saudara seperguruan dengan si
tua kepala batu itu. Mereka berguru pada Bu Ya Siangjin.
Karena Cu Keng Yang lebih dulu yang menjadi murid,
maka suhumu yang masuk belakangan menyebutnya
sebagai suheng.."
"Oh, maka gerak tubuhnya mirip sekali. Walaupun
Bunga Ceplok Ungu 9 Istana Tanpa Bayangan Karya Efenan Duel 2 Jago Pedang 5

Cari Blog Ini