Ceritasilat Novel Online

Pusaka Negeri Tayli 13

Pusaka Negeri Tayli Karya Can I D Bagian 13


jurus, Jika kalian mampu membela diri tentu akan
kulepaskan pergi !"
Kedua Pengawal Hitam Itu saling bertukar pandang lalu
mencabut pedang.
"Awas, terimalah seranganku !" Cu Jiang berseru,
pedang berkelebat dan terdengarlah jerit auman ngeri
memecah kesunyian malam. Kedua Pengawal Hitam
terkapar dalam kubangan darah.
Setelah menyelesaikan kedua Pengawal Hitam, Cu Jiang
menghampiri ketempat Li Ho:
"Orang she Li, membunuh, memperkosa, engkau tentu
turut ambil bagian, bukan ?"
Li Ho membisu. Cu Jiang menengadahkan kepala. Sekilas terbayang akan
pemandangan delapan belas bulan yang lalu. Darah,
kepingan daging dan tubuh yang telanjang.
"Li Ho, engkau mau menjawab atau tidak, sama juga.
Aku akan mencincang tubuhmu !"
Wajah Li Ho berkerenyutan menyeramkan sekali.
Dengan lengannya yang tinggal satu itu dia berusaha untuk
berbangkit. Cu Jiang pelahan-lahan mencabut pedang dan
sekali ayun, Li Ho menjerit ngeri lalu jatuh terduduk lagi.
Pedang kutung berulang kali bergerak kian kemari,
seiring dengan jeritan ngeri yang berturut-turut, Li Ho telah
berobah menjadi manusia darah yang terkapar dan
meregang-regang. Dia harus menderita siksaan yang hebat
sebelum jiwanya melayang...
Cu Jiang menghela napas. Setelah memasukkan pedang,
ia lantas membuang mayat Li Ho ke-dalam sumur dan
ditutup. Saat itu sudah lewat tengah malam. Dia terus lari
menuju kejalan besar dan melanjutkan perjalanan ke kota
Kang ciu. Tiba ditempat Ang Nio Cu terluka, haripun sudah
menjelang fajar. Saat itu tentulah Ang Nio Cu masih tidur.
Dia sungkan untuk membangunkan dan terpaksa mondarmandir di luar biara.
Tetapi beberapa waktu kemudian, dia tak sabar lagi terus
masuk kedalam biara. Sengaja dia batuk2 dan memberati
langkah kakinya.
Tiba2 dia merasakan sesuatu yang tak wajar. Batuk dan
langkah kaki berat, tentu akan mengejutkan mereka tetapi
mengapa tetap sunyi senyap saja.
Ya, benar, paling tidak Ang Nio Cu tentu menyuruh
salah seorang muridnya untuk berjaga diluar tetapi
mengapa tak seorangpun yang tampak"
Tiba2 dipintu ruang tempat Ang Nio Cu dirawat, tampak
pintu terbuka dan keadaannya sunyi saja.
"Taci..." Cu Jiang berteriak keras. Tak ada penyahutan.
Ia memperhitungkan tentulah Ang Nio Cu sudah sembuh
dari lukanya, masakan sampai tak tahu kalau ada orang
masuk kedalam biara itu.
Dengan cemas Cu Jiang terus melesat masuk kedalam
ruang. Ah, tempat tidur tua kosong melompong, tak ada
orangnya sama sekali. Apakah Ang Nio Cu sudah pindah
ke lain tempat" Toh, tak mungkin. Bukankah dia sudah
berjanji akan bertemu ditempat itu "
Cu Jiang memandang ke sekeliling ruang untuk mencari
sesuatu jejak. Tiba2 pandang matanya terbeliak dan hatinya
berdebar keras. Di lantai terdapat bekas darah dan bekas2
pertempuran. Celaka! Ang Nio Cu tentu telah menderita
bencana. Tiba2 ia mendengar helaan napas orang dari sudut
ruang. Ah. Cu Jiang menjerit kaget dan cepat melesat
ketempat itu. Sesosok tubuh manusia yang berlumuran
darah rebah di lantai. Dia adalah seorang anak buah Ang
Nio Cu. Napasnya sudah lemah sekali.
Cu Jiang berjongkok dan berteriak:
"Apakah yang telah terjadi " Kemana mereka?"
Tetapi nona itu tak menjawab lagi. Cu Jiang kucurkan
keringat dingin. Memeriksa denyut nadi tangan nona itu, ia
mengeluh dalam hati. Urat-nadi jantungnya sudah tak
normal jalannya. Rasanya sukar ditolong lagi.
Cu Jiang bingung. Satu-satunya jalan untuk mendapat
keterangan harus bertanya kepada nona itu. Segera ia
mencekal tangan nona itu dan menyalurkan tenaga-murni.
Beberapa saat kemudian tampak mata nona itu bergerakgerak dan mulutnya menghembus napas.
"Engkau masih mengenal aku " Di mana dia?" seru Cu
Jiang. Mulut nona itu bergerak-gerak tetapi tak dapat
mengeluarkan kata2. Cu Jiang menghapus keringat di
jidanya lalu menyaluri tenaga-murni lagi.
Akhirnya wanita itu dapat mengeluarkan suara lemak
seperti ngiang nyamuk : "Nona Thong-thian Keng-cia . . .
cabang, . . markas. .."
"Nona" Siapa dia ?" Cu Jiang gopoh menegas. Tetapi
wanita itu menghembuskan napas yang terakhir, kepala
terkulai dan melayanglah jiwanya.
Cu Jiang terpaksa lepaskan cekalannya. Sesaat ia tak
tahu apa yang harus dilakukan. Siapa yang dimaksudkan
nona itu " Kawanan pengiring itu selalu menyebut Ang Nio
Cu sebagai majikan.
Lalu pengiring yang dua orang, Soa Tan Hong dan Gu
Kiau, kemanakah mereka "
Thong-thian Kang-ciu, Jelas berarti partai Thong thiankau di Kangciu. Tetapi dimanakah letak cabang markasnya"
Ia menggali lubang untuk mengubur mayat wanita itu.
Sampai terang tanah Cu Jiang masih termenung-menung
dalam biara untuk merenung siasat.
Kembali ia terkejut ketika daun pintu yang berlumuran
darah, Juga diluar biara. Ia segera menuruti bekas2 ceceran
darah itu yang menuju ketepi hutan. Mengeliarkan
pandang, seketika lunglailah semangatnya. Hampir saja dia
rubuh. Dua sosok mayat rebah berselang. Jelas kedua mayat itu
adalah Song Tan Hong dan Gi Kiau. Karena ketiga
pengiringnya sudah dibunuh, jelas Ang Nio Cu tentu
menderita bencana.
Setelah beberapa saat termenung seperti patung karena
menyaksikan kebiadaban orang persilatan yang gemar
melakukan pembunuhan, akhirnya Cu Jiang mengubur
kedua mayat itu.
Matahari bersinar gemilang tetapi dalam pandangan Cu
Jiang, tak lain hanya darah merah.
Tiba2 terdengar langkah kaki orang. Cu Jiang cepat
berpaling ke belakang. Tiga tombak jauhnya, tampak tegak
seorang baju merah yang mukanya bertutup kain.
"Taci, engkau... tak kena apa2 ?" serentak Cu Jiang
berteriak kegirangan.
Memang yang muncul itu adalah Ang Nio Cu. Tetapi
dia tak menjawab melainkan melangkah maju beberapa
langkah. Ketika mata saling beradu. Cu Jiang tergetar
hatinya. Sinar mata Ang Nio Cu sedemikian rupa seperti
yang belum pernah dilihatnya selama ini.
"Taci, apakah yang telah terjadi?" seru Cu Jiang.
"Adik, engkau telah datang," kata Ang Nio Cu dengan
nada rawan, "tetapi... terlambat . . ."
"Apa" Terlambat?" Cu Jiang makin kaget. "Dendam
telah terjadi, tak dapat dihapus kembali!"
Cu Jiang melesat maju dan berseru gemetar: "Taci,
sebenarnya apakah yang telah terjadi ?"
"Engkau sudah melihat mayat2 itu?"
"Ya, sudah kukubur. Siapa yang membunuhnya."
"Kedua iblis Hong-gwat-mo dan Thian-kau-mo beserta
belasan anak buahnya."
Marah Cu Jiang meluap-luap. Iblis Hong-gwat mo
pernah ia kalahkan ketika berjumpa dibiara Lian hoa yan di
luar kota Li-jwan dulu. Tetapi Thian-kau-mo dia belum
pernah bertemu.
"Apakah Thian-kau-mo itu termasuk iblis yang ke empat
belas?" tanyanya.
"Benar, dia menjabat sebagai ketua cabang kota Keng
ciu, dibantu oleh Hang-gwat-mo .. .. "
"Bagaimana peristiwa itu telah terjadi?"
"Demi kepentingan isterimu Ho Kiong Hwa!" Hati Cu
Jiang tergetar keras: "Karena dia?"
"Hm."
"Bagaimana urusannya?"
"Ketika dia menuju ke biara tua, dia telah dibuntuti
musuh . . ."
"Perlu apa musuh hendak mengikutinya?"
"Karena kecantikannya!"
"Dimana dia sekarang?"
"Pergi jauh!"
"Dimana letak cabang Keng ciu itu?"
"Dari sini delapan li menuju ke timur akan terdapat
sebuah gedung. "
Cu Jiang diam sejenak lalu mengertek gigi:
"Aku hendak membuat perhitungan ..."
"Tunggu !" Ang Nio Cu mencegah.
"Taci hendak memberi pesan apa lagi?"
"Bagaimana dengan perjalananmu kemari?"
"Dapat membasmi iblis tua!"
"Siapa?"
"Sam-bok thian cun, guru dari ketua Gedung Hitam."
"Ah."
"Aku akan pergi dan nanti kita bicara lagi!"
"Aku masih hendak bicara."
"Silakan."
Ang Nio Cu berdiam sejenak, katanya: "Pedang yang
engkau serahkan untuk tanda pengikat pernikahan itu Ho
Kiong Hwa telah menyerahkan kembali kepadaku.. .."
"Kenapa?"
"Dia minta kepadaku supaya menyerahkan kepadamu.
Tetapi kupikir, akan kuminta kepadamu supaya benda itu
kusimpan sebagai kenang-kenangan. Tentang gelang
kumala yang dia berikan kepadamu, dia minta supaya
engkau simpan sebagai kenangan selama-lamanya .. ."
"Apakah artinya ini?" Cu Jiang terkejut. Dia merasa ada
sesuatu yang terjadi.
"Tali pernikahan itu diputuskan !"
-oo0dw0oo- Jilid 21 Gemetar tubuh Cu Jiang sehingga dia sempoyongan
mundur sampai tiga langkah, serunya:
"Tali pernikahan bukan seperti mainan kanak-kanak.
Dan taci sendiri yang telah menjodohkan, mengapa . . ."
"Karena dia sudah tak bermuka lagi bertemu dengan
engkau!" "Aku benar2 tak mengerti."
Dengan nada rawan. Ang Nio Cu berkata. "Sekarang dia
merasa seperti bunga layu yang telah gugur tercampak
dilumpur!"
Cu Jiang terlongong-longong sampai beberapa saat.
Lama sekali baru dia dapat berkata:
"Ini . . . ini . . . . bagaimana terjadi ?"
"Dia telah dinodai Hong gwat-mo dengan cara
kekerasan. . ."
Saat itu Cu Jiang rasakan dirinya seperti disambar petir.
Dia tegak mematung, hatinya hancur berkeping-keping.
Beberapa waktu kemudian tiba2 dia tertawa nyaring.
Nadanya penuh menghambur kedukaan dan dendam
kesumat. "Adik ku. ini memang sudah takdir," setelah Cu Jiang
berhenti tertawa, barulah Ang Nio Cu menghiburnya.
Pukulan batin yang diderita Cu Jiang saat itu tak kalah
dengan ketika melihat kedua orang tuanya mati terbunuh
dahulu. Dia rasakan bumi serasa berputar cepat, tubuh
terhuyung-huyung hingga mau jatuh. Mulutnya tak hentihentinya mengigau:
"Takdir! Nasib! Apakah ini yang disebut nasib?" tiba2 dia
terus lari. "Adik Wan, tunggu dulu" teriak Ang Nio Cu, tetapi Cu
Jiang sudah tak menghiraukan lagi. Dia lari seperti orang
kalap. Dalam sekejap saja dia sudah mencapai delapan li.
Sebuah gedung besar tampak menyembul ditengah
gerumbul pohon.
Sekeliling penjuru merupakan sawah ladang yang tak
terurus dan beberapa rumah petani. Dia tak sangsi lagi
bahwa gedung besar itu tentu markas cabang Keng-ciu.
Dia segera melangkah dengan kaki sarat menuju ke
gedung itu. Tiba di tepi hutan, terdengar bentakan orang
yang menyuruhnya berhenti. Dua orang bu-su (orang
persilatan) berpakaian ringkas warna biru, menghadang
jalan. Cu Jiang dengan mata menyala-nyala memandang kedua
orang itu. "Cari mati. berhenti!" teriak kedua busu itu.
Tetapi Cu Jiang tak menghiraukan dan tetap melangkah
maju. Kedua penjaga itupun segera mencabut pedang dan
menyongsong. Tiba2 Cu Jiang dorongkan kedua tangannya. Seketika segulung angin dahsyat berhamburan
melanda ke muka.
Huak, huak, sebelum sempat bergerak kedua penjaga itu
sudah muntah darah dan terlempar sampai beberapa meter
jauhnya. Cu Jiang tak menghiraukan mereka, terus
lanjutkan langkah.
Rupanya dia sudah hangus terbakar oleh bara dendam
yang menyala-nyala.
Bagi seorang lelaki, tunangan atau isteri dinodai orang,
merupakan hinaan yang tak dapat ditahan lagi.
Tujuh delapan sosok tubuh manusia berhamburan lari
menghampiri. Salah seorang berteriak:
"Siapa kau yang berani mati masuk kedalam markas" "


Pusaka Negeri Tayli Karya Can I D di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Cu Jiang tak mau menjawab Dengan menirukan gaya
Toan-kiam jan-jin, dia berjalan dengan kaki terpincangpincang. Kedelapan orang itu segera menyerbu. Tetapi kepandaian mereka kalah dengan kawanan Pengawal
Hitam dari Gedung Hitam.
Terdengar jerit menguak beberapa kali dan dari delapan
orang itu, yang lima sudah rubuh mandi darah.
Sambil mencekal pedang kutung yang masih berlumuran
darah, Cu Jiang terus melangkah maju.
"Toan- kiam-jan jin!" sisa ketiga orang yang masih hidup
itu serempak menjerit keras dan terus lari masuk kedalam.
Setelah melintas jalan dari papan batu tampaklah sebuah
gedung bertingkat yang dipagari dengan pagar tembok.
Sepasang pintu besar berbentuk huruf pai, tampak
terpentang lebar. Tetapi di dalamnya tak tampak barang
seorangpun juga. Tentulah kedelapan orang tadi bertugas
menjaga pintu besar itu.
Terdengar gemuruh derap kaki berlari mendatangi dan
pada lain saat muncul belasan busu. Yang di muka sendiri
seorang lelaki tua brewok, tangannya mencekal sebatang
golok kui thau-to (golok kepala setan) bergigi tebal. Alisnya
lebat, mata bundar dan wajahnya menyeramkan sekali.
Orang itu menerobos ke luar pintu sedang di
belakangnya berjajar belasan anak buahnya.
Cu Jiang hentikan langkah, memandang lelaki tua itu
dengan menyala-nyala. Lelaki tua itupun balas menatap Cu
Jiang lalu menyeringai:
"Toan-kiam-jan-jin, perkumpulan kami memang justeru
hendak mencari engkau..."
"Tak perlu dicari, " sahut Cu Jiang dengan nada dingin,
"aku tentu akan datang sendiri."
"Perlu apa engkau datang kemari?"
"Membikin perhitungan!"
"Perhitungan apa?"
"Darah !"
"Aku ...."
"Siapa nama anda?"
"Song Piu, menjabat sebagai penilik."
"Menyingkirlah! "
"Engkau kira engkau boleh bertindak semaumu sendiri?"
"Aku tak punya waktu meladeni engkau!" Cu Jiang
menutup kata-katanya dengan taburkan pedang kutung.
Lelaki tua itupun mengangkat golok kui-thau-tonya tetapi
belum sempat ia memainkannya, mulutnya sudah menguak
darah dan tubuh terkulai rubuh, goloknya terlempar sampai
beberapa meter memancarkan letikan bunga api.
Kawanan anak buah itu serasa melayang semangatnya,
mereka cepat menyiak ke samping, Cu Jiang melangkah
masuk. Di halaman yang merupakan sebuah lapangan,
tampak kosong melompong. Sepanjang tepi lapangan
berjajar-jajar perumahan.
Tampak orang2 sibuk lari kian kemari. Ada yang meniup
terompet pertandaan bahaya. Tetapi Cu Jiang mengangkat
kepala ayunkan langkah menuju ke bangunan gedung di
tengah. Sepanjang jalan tiada yang menghalangi. Tiba di muka
gedung besar, berpuluh-puluh busu dari kedua samping
gedung berhamburan muncul sembari lepaskan senjata
rahasia. Untuk menghadapi hujan taburan senjata rahasia itu, Cu
Jiang gunakan tata langkah Gong gong poh-hwat.
Dan kelompok busu itu bergabung untuk menghadang
tetapi Cu Jiang masih mampu menyelinap kian kemari.
Yang terdengar hanya jerit pekik ngeri, darah muncrat dan
pedang2 yang berhamburan melayang.
Setelah itu tubuh2 kawanan busu yang malang melintang
menggeletak tumpang tindih. Berpuluh busu itu tak
seorangpun yang masih hidup.
Tampak pula gelombang kedua dari puluhan busu yang
berlari larian datang tetapi mereka berhenti pada jarak lima
tombak. Suasana dalam gedung markas itu tampak tegang
sekali. Menunggu sampai beberapa waktu tetap tak melihat
kedua iblis itu muncul, diam2 Cu Jiang menimang. Markas
itu luas sekali, kalau kedua Iblis itu sengaja bersembunyi,
tentu akan memakan waktu untuk mencari mereka.
Diam2 ia memutuskan untuk menggunakan siasat,
mendesak mereka supaya munculkan diri.
Dia mundur ke tempat serambi. Setelah menyarungkan
pedang, dia lalu kerahkan tenaga dan menghantam
sebatang tiang besar, bum . . . tiang berkisar tempat dan
rubuhlah wuwungan rumah menimbulkan suara yang
gemuruh sekali.
"Tua bangka Hong-gwat, Jika engkau tetap tak berani
keluar, sarangmu ini akan kuhancurkan dan kubasmi semua
anak buahmu!" teriaknya nyaring.
Tetapi tetap tiada penyahutan sama sekali. Karena tak
sabar, Cu Jiang kembali menghantam sebuah tiang di
sebelah kiri, bum .... para2 rumah bagian tengah
berhamburan roboh.
"Hayo, Thian-kau, Hong-gwat, apakah kalian benar2 tak
berani unjuk muka" " teriak Cu Jiang lagi. Namun tetap
tiada jawaban suatu apa.
Karena marah, Cu Jiang terus lari menghampiri
kawanan busu yang berjajar-jajar di tempat jauh itu.
Kembali terdengar jeritan ngeri. Cu Jiang benar2 seperti
harimau lapar yang menerkami kawanan kambing.
Kawanan busu itu memang berkepandaian tinggi tetapi
berhadapan dengan Cu Jiang mereka tak ubah sebagai
kawanan ayam yang menjadi bulan2an serangan burung
elang. "Berhenti!" tiba2 terdengar suara bentakan yang
menggeledek. Cu Jiang berhenti. Mayat2 berserakan
memenuhi tempat itu. Yang masih hidup hanya beberapa
orang saja. Dua lelaki bertubuh tinggi besar muncul. Ke duanya tak
lain adalah Hong-gwat mo dan Thian kau mo. Keduanya
diiring oleh tujuh orang anak buah yang mempunyai
kedudukan tinggi.
"Iblis tua, sudah berapa banyak gadis2 suci yang telah
engkau celakai?" teriak Cu Jiang.
"Budak kecil, kalau engkau tanyakan hal itu, aku sudah
tak ingat lagi !"
"Kalau peristiwa kemarin itu, apa engkau tidak ingat
lagi." "Bagaimana ?"
"Engkau harus membayar sampai seratus kali lipat."
"Bagai mana cara membayarnya ?"
"Aku akan mencuci markas ini dengan darah!"
Mendengar itu menggigil hati sekalian orang yang berada
di tempat itu. "Toan-kiam-jan-jin, mulutmu memang besar sekali.
Engkaulah yang harus membayar semua perbuatanmu
disini." tiba2 Thian-kau-mo membentak keras2.
"Serbu!" Hong-gwat-mopun segera memberi perintah.
Kedua iblis Itu terus berkisar memecah diri dan menyerang
dari kanan kiri. Ketujuh jago yang di belakang merekapun
segera berpencar mengepung.
Terdengar letupan dari pukulan yang beradu. Tubuh Cu
Jiang terhuyung tetapi kedua iblis itupun menyurut mundur
selangkah. Pada saat itu barisan ketujuh jago serempak
menyerang dengan senjata pedang.
Cu Jiang mencekal pedang kutung lalu memutarnya,
tring, tring, tring.... seorang Jago tua rubuh dan enam orang
mundur. Kedua iblis segera melemparkan pukulan dahsyat
untuk menutup lubang yang bobol itu.
Menilik cara mereka bertempur, jelas kalau sudah diatur
lebih dulu. Pedang hanya dapat digunakan untuk jarak dekat. Kalau
mengandalkan hawa-sakti yang dipancarkan pada gerakan
pedang, sukar untuk melukai kedua iblis itu.
Menghadap pukulan yang mampu menghancurkan
karang dan kedua iblis itu, memang tak menguntungkan Cu
Jiang. Hawa pedang terdampar dan Cu Jiang sendiripun
terpaksa harus sempoyongan. Dalam kesempatan itu,
keenam jago segera menerjang dengan pedangnya.
Cu Jiang gunakan tata-langkah Gong gong-poh-hwat.
sambil pancarkan tenaga-penuh pada gerak pedang kutung,
ia berlincahan menghindar dan menabas.
Hiiak, huat ,.. kembali tiga orang lawan terkapar ditanah.
Tetapi pukulan sedahsyat bumi terbelah segera melandanya.
Cu Jiang mundur sampai tiga empat langkah, Darahnya
bergolak-golak keras.
Setelah empat dari tujuh jago2 anak buah kedua iblis itu
terbasmi, kini hanya tinggal tiga orang. Dan ketiga jago itu
memang tak mampu menyelonong melakukan serangan
lagi. Sejenak mengurusi pernapasan, kini Cu Jiang pun maju
menyerang Thian kau-mo. Serangan kali ini dilancarkan
dengan sepenuh tenaga dan harus dapat merobohkan
lawan. Iblis Thian-kau-mo memekik ngeri, tubuhnya terhuyunghuyung lalu rubuh. Melihat gelagat tak baik, iblis Hong
gwat-mo berputar tubuh terus melarikan diri. Tetapi Cu
Jiang lebih cepat untuk menghadang.
"Anjing tua, akan hendak mencincang tubuhmu menjadi
bakso !" Hong-gwat mo membentak dan menghantam dengan
kedua tangannya terus melenting ke samping. Pukulan iblis
itu memang istimewa. Anginnya tidak berhembus lurus
melainkan berputar-putar seperti angin lesus. Ia terkejut dan
tak sempat lagi untuk menghindar.
Dalam keadaan yang genting, ia masih dapat
melontarkan pedang kutung kearah Hong-gwat-mo yang
saat itu sudah loncat keatas wuwungan rumah.
"Uh..." iblis itu menjerit dan meluncur jatuh. Cu Jiang
yang berhasil membebaskan diri dari libatan angin lesus
terus menyusuli dengan sebuah hantaman dahsyat, bummm
. . Tubuh Hong gwat-mo yang hampir tiba di tanah, mental
lagi sampai dua tombak jauhnya. Rusuk kirinya berhias
pedang kutung yang menyusup sampai ke tangkainya. Iblis
itu masih meregang-regang nyawa.
"Anjing tua." Cu Jiang loncat menghampiri "ketahuilah,
nona yang engkau cemarkan kesuciannya semalam itu
adalah calon istriku."
Sepasang mata iblis itu membeliak dan mulutnya hanya
menganga tak dapat bicara lagi.
Setelah mencabut pedangnya. Cu Jiang berkata pula:
"Anjing tua, engkau harus membayar hutangmu !"
Cu Jiang benar2 sudah kehilangan diri. dia marah sekali
atas peristiwa yang telan diderita Ho Kiong Hwa. Maka
dilampiaskan dendam kemarahannya itu dengan mencincang tubuh Iblis itu.
Setelah itu ia menyulut api dan membakar markas
gerombolan iblis2 terkutuk itu. Kemudian ia kembali ke
biara tua untuk menemui Ang Nio Cu.
Sesosok tubuh langsing tengah tegak memandang
mentari pagi yang baru timbul di ufuk timur. Rupanya
semangat dan perhatian orang itu seperti tercurah
sepenuhnya sehingga ia tak tahu kalau Cu Jiang sudah
berada di belakangnya.
Cu Jiang menduga tentulah Ang Nio Cu itu sangat
berduka sekali atas peristiwa yang menimpa diri Ho Kiong
Hwa. "Taci, aku sudah kembali," akhirnya ia berseru.
"Ih ..." Ang Nio Cu menghela napas dan pelahan-lahan
berputar tubuh.
Cu Jiang tak berani beradu pandang dengan Ang Nio
Cu. Ia merasa sinar mata nona itu benar2 menghancurkan
hati. "Adik." akhirnya beberapa saat kemudian Ang Nio Cu
berkata dengan suara rawan. "semula dunia ini terasa indah
sekali, siapa tahu ternyata hanya impian di musim semi."
"Taci."
"Sejak dahulu kala, wanita cantik tentu bernasib jelek.
Kiong Hwa memang kasihan sekali."
"Nasib telah menggariskan jalan hidup yang kejam
terhadap dirinya."
"Adik. bagaimana hasilmu ke markas iblis itu ?"
"Kedua iblis itu sudah kucincang dan markasnya
kubakar!" "Terima kasih engkau telah membalaskan sakit hati
Kiong Hwa."
"Ah, mengapa taci mengatakan begitu. Sudah tentu hal
itu merupakan kewajibanku!"
"Adik .. . apakah engkau dapat mengijinkan dia
bersemayam dalam hatimu untuk selama lamanya ?"
Sepasang mata Cu Jiang memancar terang dan dengan
nada bersungguh dia berkata. "Taci, aku hendak bertanya
beberapa hal kepadamu."
"Apa ?"
"Apakah hubungan taci dengan Ho Kiong Hwa?"
Ang Nio Cu tercengang.
"Sudah tentu amat erat sekali, hampir seperti diriku
sendiri." "Ah, dalam hubungan apakah itu?"
"Adik, hal itu kelak akan kuterangkan lagi kepadamu."
Cu Jiang tak berani mendesak lebih lanjut.
"Taci. tolong kasih tahu dimana beradanya Ho Kiong
Hwa saat ini .... "


Pusaka Negeri Tayli Karya Can I D di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Buat apa?"
"Aku harus mencarinya."
"Engkau.... masih mau mencarinya?"
"Kenapa taci heran" Bukankah dia itu isteriku" Tali
hubungan itu tentu tak dapat diputuskan selama-lamanya."
"Adik, dia sudah bukan isterimu lagi. Tali pernikahan itu
sudah putus."
"Tidak! Aku tidak setuju! Aku tetap akan menjadi suami
isteri untuk selama-lamanya dengan dia. Tak ada alasan
mengapa aku harus membuangnya. Apakah itu kesalahannya" Tidak, dia tak bersalah, dia mendapat
kecelakaan . . ."
"Adik," kata Ang Nio Cu dengan gemetar. "dia bukan
lagi sesuci dia yang dulu, dia laksana permata yang sudah
pecah . . ."
"Apakah dia merasa rendah diri begitu" Tidak! Yang
ternoda hanya tubuhnya tetapi jiwanya masih tetap suci
bersih. Kuanggap dia tak beda dengan dulu. Yang berbeda
hanya dia mempunyai penderitaan hatin tetapi kini
musuhnya sudah terbunuh. Tak perlu dipikirkan lagi. Yang
lampau biarlah lalu ..."
"Adik, kata-katamu itu ... tentu akan menghiburnya
sampai mati."
"Taci, dimanakah tempatnya?"
"Tak perlu engkau mencarinya. Dia sudah menentukan
keputusan. Jika engkau mencarinya, hanya akan menambah derita hatinya saja."
"Taci, kumohon engkau ..."
"Tetapi akupun tak tahu ke mana perginya. Dia hanya
mengatakan bahwa sejak saat ini dunia sudah tak ada lagi
manusia yang bernama Ho Kiong Hwa . . ."
"Ah, tentulah taci tak mau memberitahu kepadaku!"
"Adik yang baik, sudahlah, lupakan saja dia!"
"Tidak! Tak mungkin aku melupakannya!" teriak Cu
Jiang dengan kalap, "aku tak dapat melupakannya, tidak
dapat melupakannya!"
Nadanya amat tegas bagaikan paku menancap di kayu.
Betapapun dingin atau keras hati seseorang tentu akan
trenyuh juga mendengar ucapan itu.
Ang Nio Cu menghela napas: "Adik, mari kita ke
gunung Keng-san."
Cu Jiang mengangguk: "Baik, apabila urusanku sudah
selesai, ke ujung duniapun aku tetap akan mencarinya!"
"Ah, cintamu itu hanya tinggal kenangan belaka."
"Tidak, cinta itu tetap akan kulanjutkan sampai kapan
pun juga."
"Adik, kita berpencar saja dan ketemu lagi di mulut
gunung Keng-san."
"Apakah tidak baik bersama-sama saja?"
"Kurang leluasa. "
"Setelah memasuki gunung, kita akan menyerang secara
terang-terangan atau..."
"Secara terang-terangan saja tak perlu pakai tedeng
aling2." "Baik."
"Silakan berangkat dulu, aku hendak tinggal disini
beberapa jenak lagi. Tiga tetua angkatan terdahulu,
bertahun-tahun mengikuti aku. Sekarang mereka telah
tiada, sudah selayaknya kalau aku tinggal beberapa waktu
lagi untuk mengenang mereka ... ."
Cu Jiang terharu. Perpisahan memang merupakan
peristiwa yang mengharukan hati. Baik pisah hidup
maupun karena meninggal.
"Taci, dari sini aku akan melalui Tang yang, Wan-an lalu
menuju ke Keng-san. Kita bertemu didesa gunung itu."
Ang Nio Cu mengiakan dan Cu Jiangpun segera minta
diri. Dia pergi dengan membawa hati yang hancur sehingga
lupa makan dan lupa segala. Hari itu dia hanya mampu
mencapai jarak sepuluhan li. Disebelah muka tampak
sebuah bukit tanah merah.
Ketika ia melintasi jalan yang membelah tengah2 bukit
itu, tiba2 dari jauh terdengar suara harpa. Dia terkejut dan
sadar dari lamunannya. Ia memasang telinga dan
memperhatikan bahwa suara harpa itu berasal dari arah
kanan tak jauh dari bukit itu.
Harpa itu aneh sekali suaranya. Nadanya seperti orang
yang baru belajar, menusuk telinga menyebabkan hati
kacau dan perasaan tak keruan.
Memandang ke muka, tak berapa jauh ia melihat
gulungan asap mengepul dari arah bukit itu. Sejenak
berhenti, Cu Jiang melanjutkan langkah lagi. Tiba2 suara
harpa itu berobah, nadanya penuh dengan hawa
pembunuhan sehingga perasaan Cu Jiang tak enak dan
darah dalam tubuhnyapun ikut bergolak. Dia terkejut dan
hentikan langkah. Suara harpa itu memang menimbulkan
kecurigaan. Sesaat kemudian timbulkan keinginannya untuk mengetahui. Setelah menenangkan semangat dan perasaan,
dia segera menuju ke arah kepulan asap. Tiba2 harpa
berhenti. Melintasi sebuah gundukan tinggi, pemandangan di
sebelah muka membuatnya terkejut. Tampak api unggun
yang berasal dari tiga batu yang dijajar, di atas batu itu
digantung sebuah kuali besar yang airnya mendidih. Asap
dan uap air mendidih itu bergulung-gulung campur jadi
satu. Disamping api unggun itu duduk seorang nenek tua baju
kuning. Wajahnya seperti burung dara, rambutnya yang
putih sudah banyak yang rontok. Dia tengah mendekap
sebuah harpa. Matanya memejam, diam tak berkutik.
Dengan rasa heran Cu Jiang menghampiri. Ia melihat
jelas tubuh nenek itu menyerupai pohon jeruk yang layu,
sepasang tangannya seperti cakar burung, kuku panjang dan
runcing, kulitnya mengeriput. Sukar menentukan usianya.
Entah apa yang sedang dilakukan nenek itu tetapi
didengar dari petikan harpa tadi tentulah nenek itu seorang
persilatan. Karena sampai beberapa jenak nenek itu tetap tak
bergerak, Cu Jiangpun tak sabar, tegurnya:
"Pohpoh, apakah yang sedang engkau lakukan?"
Kelopak mata nenek agak terbuka dan dari celah selaput
matanya memancar sinar yang membuat Cu Jiang terkejut
sekali. Sinar mata nenek itu jelas menunjukkan seorang
yang memiliki tenaga dalam yang tinggi.
"Siapa engkau?" seru nenek itu.
"Orang2 menyebut diriku sebagai Toan-kiam-jan-jin."
"O, Toan-kiam . . . jan-jin!"
"Pohpoh, menggodok kuali besar . . ."
"Menggodok orang!"
Cu Jiang melonjak kaget: "Apa" Menggodok orang?"
Nenek itu membuka kelopak mata dan menyahut dingin:
"Benar, menggodok orang!"
"Buat apa?"
"Dimakan."
Cu Jiang mendelik, serunya: "Ah, mengapa nenek
bergurau?"
Nenek itupun deliki mata dan napasnya memburu keras,
serunya: "Sudah hidup seabad, perlu apa aku bergurau
dengan seorang bocah yang belum tulang bau susu ibunya
seperti engkau!"
Cu Jiang menyurut mundur selangkah. Memandang
kuali besar dan berseru penuh keheranan: "Pohpoh
memasak orang untuk dimakan?"
"Ya."
"Siapa yang pohpoh masak itu?"
"Dia datang sendiri."
Hampir Cu Jiang tak percaya pendengarannya. Belum
pernah ia mendengar orang yang memasak makanan dari
tubuh orang. Jika nenek itu seorang gila, ah, tentu
berbahaya sekali bagi keselamatan dunia persilatan. Tetapi
mengapa dia belum pernah mendengar dalam dunia
persilatan terdapat tokoh yang suka makan orang?"
"Siapa nama pohpoh yang mulia?" tanyanya.
"Pertandaanku yalah harpa."
Cu Jiang tertegun lagi. Dia belum pernah mendengar
tokoh persilatan yang memakai ciri pertandaan harpa.
"Maafkan pengetahuanku yang sempit sehingga tak
mengetahui diri pohpoh."
"Ya, sudahlah."
"Mengapa tak tampak orang yang datang mengantar
diri?" "Sudah datang."
"Di mana?"
"Engkau!"
Cu Jiang seperti disambar petir kejutnya sehingga dia
menyurut selangkah lalu berteriak:
"Aku ?"
Tiba2 nenek itu berdiri dan memandang Cu Jiang
dengan mata menyala: "Benar !"
"Pohpoh sudah memperhitungkan bahwa aku tentu
datang kemari ataukah karena melihat aku datang lalu
hendak menggodok diriku?"
"Aku memang sengaja menungguimu."
Cu Jiang menggigil, serunya: "Pohpoh memang sengaja
menunggu kedatanganku?"
"Ya, benar!"
"Tetapi kitakan belum pernah kenal?"
"Siapa bilang" Engkau telah berhutang banyak sekali
peristiwa berdarah, harus membayar."
"Ini ... . bagaimana jelasnya?"
"Engkau akan masuk ke dalam kuali itu sendiri atau
perlu aku harus turun tangan?"
"Apakah omongan pohpoh ini sungguh2?"
"Mengapa tidak?"
Serentak bergeloralah darah Cu Jiang. Hawa pembunuhan merangsang dadanya.
"Harap memberitahu siapa pohpoh ini?" teriaknya.
"Sudah kukatakan, pertandaan diriku ialah harpa, kalau
engkau tak tahu. Jangan banyak omong lagi!"
"Aku berhutang darah apa kepada pohpoh?"
"Bagaimana nasib dari kawanan Sip-pat-thian-mo itu?"
Seketika sadarlah Cu Jiang. Ia tertawa nyaring: "Oh,
kiranya engkau salah seorang komplotan kawanan iblis itu.
Bagus, aku gembira dapat membasmi seorang kutu penyakit
. . . . " Nenek itu mendengus: "Asal sudah tahu saja, agar kalau
mati jangan engkau menjadi setan penasaran !"
Tiba2 Cu Jiang teringat akan kata2 suhunya bahwa
dibelakang kawanan Sip pat-thian-mo itu, masih terdapat
beberapa iblis tua. mungkin sudah mati. Tetapi kalau
mereka masih hidup, tentu sukar dihadapi.
Ia duga, nenek ini tentulah salah seorang dari iblis tua
yang berdiri dibelakang Sip pat-thian-mo.
Teringat akan hal itu. Cu Jiang berseru dingin : "Sebagai
tokoh dibelakang Sip-pat-thian-mo, sudah lama aku
mengagumi pohpoh !"
Menuding pada kuali yang mendidih, nenek itu berseru
seram: "Bocah, engkau turun sendiri, tentu lebih nyaman.
Kalau suruh aku turun tangan, engkau tentu mati secara
pelahan !"
Cu Jiang mengertek gigi, serunya: "Mungkin akulah
yang hendak meminta engkau terjun kedalam kuali itu !"
"Mana orang2 ini !" teriak nenek itu dan serentak dua
sosok bayangan muncul dari balik gunduk bukit disebelah.
Cepat sekali mereka sudah melesat tiba.
Dua orang lelaki bertubuh kekar dengan wajah
menyeramkan. Yang satu memanggul tiga batang kayu,
yang satu membawa tali.
Tanpa bicara apa2 mereka terus mengikat ketiga batang
kayu itu dalam bentuk segi tiga, lalu dipasang diatas kuali
dan diberi gantungan tali. Setelah itu keduanyapun
mundur. Menunjuk pada tiang segi-tiga, si nenek berseru pula:
"Bocah, engkau hendak kugantung diatas tiang itu lalu
pelahan-lahan kuturunkan kedalam kuali. Nah. engkau
dapat merasakan sendiri betapa rasanya kalau digodok
dengan pelahan-lahan itu!"
Cu Jiang mendengus dingin: "Asal engkau mampu
melakukan, akupun tak menghiraukan harus mati dengan
cara apa saja !"
"Bagus, nyalimu sungguh besar." seru nenek itu. "aku tak
dapat menemukan cara lain lagi, bagaimana harus
menyuruhmu mati secara lebih menderita lagi . . ."
"Nenek tua, kata-katamu itu terlalu pagi engkau
ucapkan. Nanti saja apabila engkau sudah berhasil
meringkus aku, barulah engkau boleh bergembira!"
"Bocah edan, rupanya aku terpaksa harus turun tangan . .
." "Silakan !"
Cu Jiang mencabut pedang kutung dan pasang kuda2. Ia
percaya nenek itu tentu lebih lihay dari gerombolan Sip-pat

Pusaka Negeri Tayli Karya Can I D di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

thian-mo. Dia tak berani memandang sepele. Dia
pancarkan tenaga penuh hingga pedang itu memancarkan
hawa yang menyeramkan.
Nenek itupun harus melintangkan harpa, matanya
memancarkan sinar pembunuhan yang buas.
Suasana tempat itu sunyi senyap. Keduanya sama2 maju
dua langkah dan mencapai jarak yang dapat dilakukan
pertempuran. Cu Jiang telah mempersatukan semangat, pikiran, tenaga
dan pedang menjadi satu. Baru sekali itu dia benar2 harus
menumpahkan seluruh semangatnya untuk menghadapi
musuh. Mungkin nenek itu terlalu memandang rendah lawan
atau mungkin dia terlalu membanggakan diri. Setelah
merenung diapun mendesuh lalu menghantamkan harpanya
dari samping. Gerakannya tampak biasa2 saja tetapi
sebenarnya mengandung perubahan2 yang sukar diduga
dan ditaksir. Cu Jiangpun ayunkan pedang untuk melawan keras
dengan keras. Tring .., keduanya menyurut mundur
selangkah. Saat itu Cu Jiang baru mengetahui bahwa harpa nenek
itu terbuat daripada baja murni. Diam2 dia terkejut. Tenaga
yang terpancar dari harpa itu sedahsyat gunung rubuh
sehingga tangan Cu Jiang kesemutan.
Diam2 ia terkejut dan mengagumi nenek itu. Yang
mampu menerima Jurus Thian-te kau thay, barulah nenek
itu saja. Nenek itu juga mengetahui kesaktian Cu Jiang. Diapun
terkejut tetapi cepat dia sudah tenang kembali.
"Hait.... !" terdengar lengking dan gemboran ketika
kedua senjata beradu lagi. Kali ini Cu Jiang yang
melancarkan serangan. Setelah itu keduanya menyurut
mundur lagi. Tetapi keadaannya agak berbeda. Baju nenek itu dari
bahu sampai keujung lengan telah rompal sehingga
lengannya yang kurus kering tampak tergurat dengan
goresan pedang yang memanjang.
Kali ini nenek itu benar2 marah bukan kepalang
sehingga rambutnya sama tegak berdiri. Wajahnya yang
penuh keriput itu makin menyeramkan. Harpa bergetargetar mendengung.
Cu Jiang meningkatkan kewaspadaannya.
Kembali terdengar pekik dan gemboran ketika keduanya
berhantam lagi. Bayangan harpa menggunduk seperti
gunung, sinar pedang bertebaran seperti awan. tring, tring . .
Sejurus, dua jurus, tiga jurus. Ternyata tenaga
kepandaian keduanya hampir berimbang. Dalam pertempuran maut itu, keduanya telah menghamburkan
tenaga dalam yang menakjubkan. Tiada ampun lagi dalam
pertempuran itu kecuali salah seorang roboh.
Tring .... terdengar dering keras sekali disusul oleh erang
tertahan. Cu Jiang sempoyongan sampai lima enam
langkah baru dapat berdiri tegak.
Kain kerudung mukanya hampir separoh telah basah
dengan darah. Pedang kutung menjulai kebawah dan
napasnya tersengal-sengal keras.
Nenek itu juga tersurut mundur sampai dua meter, mulut
menyembur darah dan harpapun jatuh ke tanah.
Keadaannya lebih mengerikan. Kedua lelaki kekar tadi
hanya terlongong-longong kaget.
Cu Jiang cepat2 mengatur pernapasannya. Beberapa saat
kemudian dia sudah dapat bergerak, mengangkat pedang
dan menghampiri ke tempat nenek itu.
"Nenek, ambillah harpamu agar engkau dapat menyerah
dengan hati puas," serunya.
Wajah si nenek yang penuh keriput tampak berkerenyutan. Dia melangkah maju memungut harpa lalu
mundur beberapa langkah. Sepasang matanya tetap berapiapi memandang Cu Jiang,
"Toan kiam jan-jin, engkau satu-satunya musuh tangguh
yang pernah kujumpai seumur hidup. Beranikah engkau
mendengar petikan harpaku?"
"Silakan! "sahut Cu Jiang dengan angkuh. Si nenek terus
duduk bersila dan melintangkan harpa dipangkuan.
Matanya menunduk dan jari jarinya yang menyerupai cakar
burung itupun mulai meraba senar harpa, trung
Bagaikan suitan nyaring yang berasal dari langit.
Seketika gundahlah hati Cu Jiang. Buru2 dia menenangkan
pikiran dan mengarahkan tenaga-murni untuk melawan.
Tring, tring, trung. trung . . . . Makin lama harpa makin
deras. Nadanya mengandung kumandang rintihan setan.
Cu Jiang menggerenyet gigi, mengeraskan semangat untuk
menahan darah yang bergolak keras.
Suara Harpa makin deras dan riuh. Bagai langit berputar,
bumi bergetar dan badai prahara mengamuk, gelombang
tam menghempas dahsyat. Dunia seakan kiamat ....
Seperminum teh lamanya, sekonyong-konyong suara
harpa itu berhenti. Cu Jiang rasakan tenggorokannya
manis- anyir, ia muntahkan segumpal darah segar. Bajunya
basah kuyup dengan keringat.
Brungng .... harpa nenek itu tiba2 jatuh ke tanah.
Mulutnya mengalir darah dan sinar matanya pun redup.
Setelah mengusap darah di mulut, Cu Jiang melangkah
ke tempat nenek itu, serunya:
"Pohpoh, engkau ingin mati dengan pedang ini atau
turun mencebur ke dalam kuali itu sendiri?"
Nenek itu meraung-raung. "Budak, engkau menang,
hayo bunuhlah aku."
Sejenak Cu Jiang memandang ke arah kuali yang masih
mendidih itu. Dilihatnya kedua lelaki gagah tadi sudah
terkapar tak bernyawa. Jelas mereka mati karena suara
harpa maut tadi.
Memandang kembali ke arah nenek, Cu Jiang berkata.
"Pohpoh, kalau menggodokmu itu kelewat tak berperi
kemanusian. Lebih baik kuantar dengan pedang saja!"
"Bunuhlah! Jangan . . . banyak omong!"
Cu Jiangpun segera mengayunkan pedang dan nenek itu
pejamkan mata menunggu maut.
Tetapi pada saat pedang hampir mendarat di leher si
nenek, tiba2 Cu Jiang menghentikannya. Melihat rambut
yang sudah putih dan banyak yang rontok di kepala si
nenek, hati Cu Jiang tak tega.
Seorang nenek yang sudah begitu tua renta, masih dapat
hidup berapa tahun lagi"
"Mengapa tak lekas turun tangan" Engkau hendak
mengapakan diriku?" seru si nenek.
Cu Jiang menarik pedangnya dan berseru dingin:
"Engkau sudah di tepi lubang kubur. Aku tak tega
membunuhmu, kali ini kuampuni jiwamu . . ."
"Tutup mulutmu! Aku tak sudi menerima ampunmu!"
"Tidak, aku sudah terlanjur berkata, takkan kutarik
kembali. Kalau mau mati, silahkan engkau bunuh diri
sendiri !"
"Jahanam ..."
"Hanya satu hal yang pasti akan kulakukan. Yaitu ilmu
kepandaian yang membuat engkau melakukan kejahatan itu
harus kulenyapkan..."
"Engkau berani?"
Sebagai jawaban Cu Jiang acungkan jarinya untuk
menotok. Nenek itu mengerang ngeri dan berguling-guling
ke tanah. "Pohpoh, sekarang engkau boleh tenang2 melewatkan
sisa hidupmu!"
Nenek itu menggeliat duduk dan bergumam dengan
sedih: "Sungguh tak kira, aku Harpa penyambar nyawa, yang
begitu ditakuti dunia, sekarang harus hancur di tangan
seorang bocah yang tak ternama ...."
Mendengar kata2 itu terkejutlah Cu Jiang. Nama Harpapenyambar nyawa itu rasanya dia pernah mendengar tetapi
ia lupa entah di mana.
Ah, benar. teringat dahulu mendiang ayahnya pernah
menceritakan bahwa dalam dunia persilatan memang
terdapat sepasang iblis besar yakni Harpa-sambar nyawa
dan Genderang-pelelap-jiwa. Kedua iblis itulah yang
menghabiskan jago2 dari lima partai persilatan besar.
Cu Jiang benar2 tak menduga bahwa nenek yang
dihadapannya itu tak lain adalah Toh Hun pi-peh atau
nenek Harpa-penyambar nyawa. Nenek itu tentu sudah
berumur 100 tahun lebih. Apakah Jui-beng-to itu
Genderang pelelap nyawa itu, apakah masih hidup dalam
dunia" "O, kiranya engkau tak lain adalah Toh-hun-pi peh yang
melakukan kejahatan setinggi gunung. Sebenarnya kalau
kubunuh mati itu sudah jauh lebih murah menilik dosamu.
Tetapi biarlah kali ini kuampuni asal engkau masih dapat
hidup untuk menebus dosamu." seru Cu Jiang.
"Budak hina, sungguh tak kukira siapa manusia dalam
dunia persilatan yang mampu mengajarkan ilmu kesaktian
begitu hebat kepadamu ..."
"Kalau tak dapat menduga, ya sudahlah !"
"Jangan bermulut besar ! Kelak pasti akan terdapat
seseorang yang akan membereskan Jiwamu !"
"O. si Jui-beng-ko itu ?"
"Benar."
"Jangan kuatir, kalau dia tak bertemu aku, aku akan
mencarinya."
"Engkau .. . mengapa bermusuhan dengan Sip pat thianmo?" "Untuk memulihkan kesejahteraan dunia persilatan."
"Aku tak punya waktu, sampai jumpa !" habis berkata
Cu Jiang terus melanjutkan perjalanan. Diam2 dia masih
merata terkejut. Kiranya gerombolan Sip- pat thian mo itu
adalah murid2 dari sepasang iblis Toh hun-pi-peh dan Juibeng-ko. Jika kedua momok itu berada disitu, tak mungkin
dia mampu mengalahkan mereka.
Setelah dapat melakukan pembalasan di gunung Kengsan lalu menghancurkan markas Thong-thian kau di kota
Pek te-shia, tugasnya yang penting telah selesai. Sisanya dia
dapat mempergunakan untuk jejak calon isterinya Ho
Kiong Hwa. Diapun juga terkenang kepada si dara baju hijau Ki Ing
atau tepatnya bernama Cukat Bengcu. Diam2 ia heran atas
kesalahan faham dari Tionggoan-tay-hiap Cukat Giok atau
ayah dari nona itu yang mengira bahwa yang mencelakai
dirinya adalah si Buddha - hidup - Sebun Ong. Padahal jelas
isteri dari Cukat Giok itu kini telah diperisteri oleh ketua
Gedung Hitam. Dalam peristiwa itu tentu terjadi sesuatu
yang masih gelap.
Saat itu haripun sudah mulai gelap. Tiba2 ia mendengar
jeritan nyaring yang mengerikan memecahkan kesunyian
malam. Cu Jiang terkejut dan cepat2 lari menuju ke arah
tempat itu. Ia tiba di sebuah anak sungai di tengah hutan. Di
seberang anak sungai itu tampak sebuah pemandangan
yang membuatnya marah sekali. Wanita gemuk atau Poan
toanio beserta dua anggauta pengawal Su-tay-kojiu yakni Ki
Siau Hong dan Ko kun sedang dikepung oleh kawanan
orang yang tak dikenal. Sedang puteri dari Tayli tak tampak
bayangannya. Di tengah gelanggang pertempuran itu sudah
rebah empat orang baju busu.
Dalam pertempuran itu ada sebuah pemandangan yang
menyebabkan darah Cu Jiang naik seketika. Dalam
lingkaran kepungan orang2 itu, Poan toanio bertiga telah
bertempur dengan Ratu- bunga Tio Hong Hui dan putrinya,
dibantu oleh dua orang lelaki tua baju hitam. Dengan
demikian jelas bahwa gerombolan yang mengepung itu
tentulah dari pihak Gedung Hitam.
Cu Jiang serentak hendak muncul tetapi tiba2 ia
mendapat pikiran dan menahan diri. Dia hendak
memperhatikan keadaan di seberang itu dengan lebih jelas
lagi. Yang menjadi pemikirannya, mengapa puteri tak
berada dengan Poan toanio "
Di belakang tepi anak sungai itu terdapat sebuah
gerumbul hutan pohon yang melingkari tiga buah rumah
pondok. Rumah itu memancarkan penerangan.
Saat itu bintang2 bermunculan di angkasa sehingga
pertempuran itu dapat dilihat jelas. Sesaat terdengar Ratu
bunga Tio Hong Hui tersenyum.
"Putri negeri Tayli berkunjung ke Tionggoan, masa kami
dari pihak Gedung Hitam tak menyambutnya." serunya.
"Jika kalian berani mengganggu kongcu, kelak tentu
akan menerima pembalasan yang mengerikan." seru Poan
toanio. Mendengar itu tercekatlah hati Cu Jiang. Dengan begitu
jelas puteri telah jatuh di tangan musuh. Kedua pengawal
dari Tayli, Ki Siau Hong dan Ko Kun, telah mendapat
perintah agar merahasiakan diri. Tetapi karena saat itu
mereka terang2 muncul dan bertempur dengan musuh,
tentulah karena keadaan sudah gawat sekali.
"Cu Heng ih, karena engkau mempunyai rejeki besar dan
banyak pengalaman, tentulah diangkat menjadi inang besar
di negeri Tayli," seru Tio Hong Hui lagi.
"Tio Hong Hui." teriak Poan toanio, "hendak kalian
mengapakan kongcu kami?"
"Tidak apa2," sahut Tio Hong Hui tenang2, "pihak kami
hanya ingin menjamunya sebagai tetamu agung. Asal raja
Toan Hong ya mau memberikan kitab Giok-kah kim-keng,
setiap saat kongcu boleh kembali ke negeri Tayli!"


Pusaka Negeri Tayli Karya Can I D di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Engkau ngimpi!"
"Bukan, aku tidak bermimpi tetapi itu memang
kenyataan."
"Engkau kira Tayli mau tunduk pada tuntutanmu itu?"
"Demi keselamatan kongcu, lebih baik kita tak saling
merusak persahabatan."
"Engkau kira mampu melakukan hal itu?"
"Kukira bisa."
"Engkau mengira Tayli tak mempunyai jago?"
"Cu Heng Ih, meskipun engkau mengatakan begitu,
tetapi aku tak dapat merobah apa yang telah kukatakan.
Kedua sahabatmu itu boleh kembali ke Tayli untuk
menghaturkan laporan tetapi engkau .... harus tetap tinggal
di sini." "Apa?"
"Anak keponakanmu si Toan kiam jan jin itu apabila
tahu kalau engkau bertamu di gedung kami tentu akan
datang, ha, ha, ha .... "
"Tio Hong Hui, jangan buru2 bergiring dulu. Apakah
engkau yakin dapat menjamin dirimu bakal pulang dengan
selamat?" "Tentu !"
"Engkau mempunyai keyakinan begitu?"
"Tentu saja karena saat ini mungkin kongcu sudah
berada di Gedung Hitam!"
Mendengar itu serasa terbanglah semangat Cu Jiang.
Ternyata kongcu sudah ditawan oleh orang2 Gedung
Hitam untuk dijadikan sandera. Dia harus bertindak. Kalau
terlambat dan sampai terjadi sesuatu dengan diri kongcu,
bagaimana kelak dia harus memberi pertanggungan jawab
di hadapan baginda Toan Hong-ya"
Wajah Poan toanio berobah seketika.
"Kalian berdua tentu sudah jelas." seru Tio Hong Hui
kepada Ki Siau Hong dan Ko Kun. Kami minta agar
kongcu ditukar dengan kitab Giok kah kim keng. Silakan
kalian pergi dan kami pujikan supaya selamat tiba di negeri
Tayli!" Dengan mengertek gigi Ki Siau Hong berseru:
"Hujin, kelak engkau pasti menyesal."
"Ah takkan begitu, " Tio Hong Hui tersenyum.
"Hujin, tunggu dan lihatlah saja nanti," seru Ko Kun
"Ya, kami tentu akan menunggu kabar baik dari kalian."
Tio Hong Hui berseru lagi.
"Aku hendak mengadu jiwa dengan engkau." tiba2 Poan
toanio berteriak kalap dan terus maju menyerang. Tetapi
salah seorang dari lelaki tua baju hitam itu segera
songsongkan tangan dan Tio Hong Hui pun menyurut
mundur. Poan toanio bertempur seru melawan lelaki tua baju
hitam itu. Diam2 Cu Jiang terkejut dan kagum
menyaksikan kepandaian dari wanita gemuk yang menjadi
bibinya itu. Baru kali itu ia mengetahui kepandaian dari
bibinya "Bukan urusan kalian, silakan pergi!" seru Tio Hong Hui
kepada kedua pengawal dari Tayli.
Tampak wajah Ki Ing yang berada di samping, mengerut
tak puas atas sikap mamanya.
Melihat itu Cu Jiang tak dapat bersabar lebih lama.
Setelah dia ayunkan tubuh melayang melewati anak sungai
kecil itu. Selekas menginjak tepi, dia ayunkan lagi kaki
untuk melayang kedalam kepungan.
"Hai siapa itu ?"
"Huak..." lelaki tua yang bertempur melawan Poan
Toanio. serentak roboh dan di gelanggang pertempuran
telah bertambah dengan seorang bertutup muka dan
mencekal pedang kutung.
"Toan kiam-Janjin !" serempak terdengar pekik kejutan.
Poan toanio, Ki Siau Hong dan Ko Kun berobah girang
bukan kepalang. Wajah Tio Hong Hui berobah wajahnya.
Ki Ing kerutkan alis. Sekalian anak buah Gedung Hitam
yang berada di tempat itupun pucat.
0oodwoo0 Cu Jiang langsung menghampiri ke hadapan Tio Hong
Hui dan berseru dengan dingin:
"Nyonya Gedung Hitam, selamat bertemu lagi."
Tio Hong Hui menyurut mundur dua langkah.
"Toan kiam-jan-Jin. engkau benar2 panjang umur!"
serunya. "Kalau aku tak panjang umur. habis siapa yang akan
membereskan kalian kawanan kurcaci ini semua?" seru Cu
Jiang. "Apa kehendakmu ?"
"Tidak menghendaki apa2. Lebih dulu bebaskan dulu
puteri ?" "Kalau tidak?"
"Semua orang-orangmu yang berada di tempat ini pasti
tak ada satupun yang hidup!"
"Rupanya engkau juga mempunyai hubungan dengan
negeri Tayli ?"
"Sudahlah. Jangan banyak bicara !"
"Kongcu sudah dibawa ke Gedung Hitam, bagaimana ?"
"Sederhana sekali. Akan kurebut kembali puteri itu dan
nyawaku sebagai tebusannya !"
"Apakah semudah itu ?"
Cu Jiang berpaling kearah bibinya: "Toanio, kapan
kongcu dilarikan ?"
"Kemarin pagi."
"Saudara Song Pek Liang Juga sudah mengejar ke sana.
Di sepanjang Jalan tentu dia meninggalkan jejak pengenal."
kata Ki Siau Hong.
Cu Jiang menimang-nimang. Dia dapat mencapai
markas Gedung Hitam di gunung Keng-san dalam satu
hari. Maka ia mengangguk, serunya:
"Toanio. Ki-heng dan Ko-heng, bersiaplah untuk
membantai kawanan anjing2 ini !"
Habis berkata. Cu Jiang melirik kearah Ki Ing dengan
pandang meminta maaf. Kemudian berkata bengis kepada
Tio Hong Hui: "Apakah aku harus menyebutmu sebagai nyonya
Gedung Hitam atau nyonya Cukat ?"
Mendengar itu seketika wajah Tio Hong Hui pucat lesi.
Ki Ing pun terkejut memandang pada pelajar baju putih
yang pernah mencuri hatinya itu.
Cu Jiang tertawa dingin, Katanya pula: "Tio Hong Hui,
karena hendak mencari engkau, beberapa kali aku hampir
kehilangan nyawa!"
"Engkau .. . hendak mencari aku !"
"Benar."
"Perlu apa?"
"Heh, heh, aku melakukan permintaan orang untuk
menyerahkan barang kepadamu!"
"Barang apa ?" Tio Hong Hui makin tegang.
"Kalau sudah melihat engkau tentu tahu sendiri," sahut
Cu Jiang, lalu mengambil dompet titipan dari Ko-tiong-jin
atau Orang-dari lembah yaitu Tiong-goan thayhiap atau
pendekar besar dari Tionggoan, Cukat Giok.
Dia menjepit benda itu dengan kedua jari tangan kirinya,
serunya: "Kenalkah engkau akan benda ini ?"
Gemetar tubuh Tio Hong Hui dan wajahnya makin
pucat. Dia berpaling kepada puterinya "Nak, masuklah
kedalam pondok itu!"
"Mengapa?" Ki Ing terkejut.
"Turutilah kata-kataku. Keadaan sudah sangat genting,
aku tak menghendaki engkau terlibat dalam bahaya !"
"Apakah .... begitu?"
"Anakku, apa maksudmu ?"
"Aku tetap akan tinggal disini."
"Kusuruh engkau tinggalkan tempat ini."
"Tidak !" sahut Ki Ing dengan mantap.
"Puteri nyonya seharusnya hadir disini."
"Engkau hendak menjadikannya sandera dan hendak
menukar dengan puteri Tayli itu?"
"Nyonya, engkau tentu tahu bahwa aku tak akan berbuat
begitu." "Budak perempuan, mengapa engkau masih tak mau
pergi !" teriak Tio Hong Hui.
"Tak mau !"
"Nyonya, biarlah dia hadir disini..." kata Cu Jiang.
"Toan-kiam-jan-Jin baiklah, engkau hendak mengatakan
apa ?" "Silakan nyonya mengatakan dulu kenal atau tidak
dengan benda ini ?"
"Kenal!"
"Bagus," Cu Jiang mengangguk, "suami nyonya Cukat
tayhiap, minta tolong kepadaku untuk menyerahkan benda
ini kepadamu !"
"Apa maksudnya ?"
"Serahkan kemari!"
"Tunggu dulu, aku hendak bertanya....*"
"Soal apa?"
"Bukanlah nyonya telah bersatu hati dengan Buddhahidup Sebun Ong " Mengapa nyonya menjadi isteri dari
ketua Gedung Hitam?"
Wajah Ki Ing mulai bergolak dan sepasang matanya
yang indah, mulut membulat.
Tio Hong Hui mulai berkeringat.
"Engkau tak perlu mengurus soal itu !" teriaknya
melengking. "Kalau nyonya tak mau menerangkan, terpaksa aku
harus mencari lain bukti!"
"Apalagi kata Cukat Giok ?"
"Dia sudah tak dapat hidup lama lagi di dunia ini. Hanya
satu satunya yang masih menjadi ganjalan hatinya yalah
tentang benda ini."
"Serahkan kepadaku !" teriak Tio Hong Hui.
Cu Jiangpun terus melontarkan dan Tio Hong Hui
menyambutinya. Tubuhnya gemetar tak berkata apa-apa.
"Apakah nyonya tak mau membuka dan memeriksa
isinya ?" seru Cu Jiang.
Tio Hong Hui memandang dengan penuh dendam
kebencian kepada Cu Jiang lalu membuka bungkusan itu
dengan jarinya:
"Apakah isinya ?"
"Persembahan dari suami nyonya!"
"Apa ?" baru berkata begitu, wajah Tio Hong Huipun
berobah seketika dan cepat melemparkan bungkusan itu,
serunya: "Ra...cun..."
Dia terus rubuh terkulai di tanah. Sekalian orang
menjerit kaget. Dan Ki Ingpun terus hendak lari menubruk
mamanya. Tio Hong Hui bergeliatan, meregang-regang. Menderita
kesakitan yang hebat. Mulutnya tak henti-hentinya merintih
dan mengerang-erang.
"Toan-kiam-jan-jin, engkau sungguh keji, menggunakan
cara yang begitu biadab!" tiba2 lelaki baju hitam tadi
membentak. "Huak .,.." terdengar jeritan ngeri dan lelaki tua itu pun
rubuh mandi darah.
Poan toanio, Ki Siau Hong dan Ko Kun tertampak ikut
turun tangan. Karena Cu Jiang berada disitu sudah tentu
kawanan anak buah Gedung Hitam itu pecah nyalinya.
Mereka lari tunggang langgang.
Yang kepandaian rendah, harus meninggalkan tubuhnya
yang sudah tak bernyawa.
Cu Jiang tegak di samping Ki Ing yang menangisi
mamanya. Dia sedang merenungkan cara bagaimana
hendak memberi penjelasan kepada nona itu.
Tiba2 Poan toanio melesat dan terus menyambar Ki Ing:
"Ia dapat dijadikan penukar kongcu !"
"Toanio, lepaskanlah!" seru Cu Jiang.
"Mengapa?" Poan toanio terkejut.
"Jangan menjadikannya barang penukar kong-cu!"
"Kenapa tidak?"
"Aku pernah menerima budi pertolongannya menyelamatkan jiwaku, " sahut Cu Jiang.
"Menarik garis tajam antara budi dan dendam memang
benar. Tetapi keadaan kongcu saat ini .... "
"Sukalah toanio lepaskan dia lebih dulu. "
"Keselamatan kongcu?"
"Aku akan mempertaruhkan jiwaku untuk menolongnya."
Mendengar janji itu terpaksa Poan toanio mau
melepaskan Ki Ing.
Jelita itu tidak menangis. Tak mengucurkan setetes air
matapun juga. Wajahnya merah biru dan tiba2 dia meraung
kalap: "Engkau
telah membunuh mamaku!" terus
menyerang Cu Jiang.
Pemuda itu menghindar dengan gerak langkah Gong
gong-poh hwat, sembari berseru:
"Nona, dengar dulu, aku hendak bicara .."
Tetapi Ki Ing kalap. Dia menyerang makin hebat dan
melancarkan jurus2 maut. Karena berulang kali berseru
memberi peringatan tetap tak digubris, akhirnya Cu Jiang
balas menyerang, mencengkeram lengan si nona seraya
berseru: "Dengarkan dulu aku hendak menceritakan tentang
peristiwa itu..."
"Tak perlu, engkau telah membunuh mamaku!" teriak Ki


Pusaka Negeri Tayli Karya Can I D di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ing. "Nona, aku hanya melaksanakan permintaan dari . . ."
"Tutup mulutmu " Aku dapat menandingi engkau,
bunuh sajalah aku !"
"Tiada alasan aku harus membunuhmu . . ."
"Jika engkau tak mau membunuh aku, aku bersumpah
pada suatu hari tentu akan membunuhmu !"
"Dengarkan dulu keteranganku . . "
Ternyata Tio Hoag Hui masih belum mati. Tiba2 dengan
terputus-putus dia berseru:
"Anakku ... kemarilah ..."
"Lepaskan !" teriak Ki Ing dengan mata melotot.
Tertegun oleh sikap yang begitu berani dari si nona, Cu
Jiangpun melepaskannya. Nona itu menubruk dan
memeluk mamanya lalu mengangkatnya terus dibawa pergi
.... "Dengarkan dulu," cepat Cu Jiang melesat menghadang,
"aku harus memberitahu kepadamu bahwa engkau ini
sebenarnya berasal. .."
"Enyah!!"
"Engkau harus mendengarkan keteranganku !"
"Tidak!!"
Wajah Tio Hong Hui saat itu sudah berobah kehitamhitaman. Dengan terengah-engah wanita itu berkata
"Toan-kiam .... jan-jin tujuanmu ... telah tercapai .. . aku
. . , segera mati ... dia . . memang anak kandungku., .
biarlah aku dan anakku ... . pada saat terakhir . ..." sampai
disitu ia tak dapat melanjutkan kata-katanya karena
nyawanya putus.
Cu Jiang terlongong. Sementara
Ki Ing terus memondong tubuhnya dibawa lari.
"Sausu, engkau membiarkan dia lari?" seru Ki Siau
Hong. Cu Jiang menghela napas: " Biarlah mereka ibu dan anak
dapat bersama dalam saat2 terakhir!"
" Apakah itu bukan budi pekerti seorang perempuan?"
"Aku mempunyai pertimbangan sendiri." Cu Jiang deliki
mata membentak marah.
"Jika kongcu sampai terjadi apa2, bagaimana kami atau
menghadap baginda dan Koksu?" Ko Kun menyeletuk.
"Kalian boleh membawa batang kepalaku!" sahut Cu
Jiang getas. Mendengar penyahutan dan sikap Cu Jiang, kedua
pengawal dan Tayli itu leletkan lidah dan tak berani berkata
apa2 lagi. "Nak, jangan membawa adatmu sendiri," seru Poan
toanio pula. Cu Jiang terdiam sejenak lalu berkata:
"Sekarang juga aku hendak mengejar kongcu, toanio dan
kedua saudara itu boleh mengikuti secara diam2. Setelah
berhasil merebut kongcu, aku segera akan kembali. Karena
saudara berdua dan saudara Song Pek Liang sudah
mengunjuk diri, dan gerombolan Sip pat-thian mo pun
sudah tinggal separoh kurang. tak menguatirkan. Setelah
kubebaskan kongcu, kalian boleh mengantarkannya ke
Tayli." Ki Siau Hong dan Ko Cun hanya mementang mata tak
menyahut. "Toanio," kata Cu Jiang dengan nada menyesal,
"kuharap toanio bersama kedua saudara itu lebih dulu
berangkat. Aku hendak mengejar Tio Hong Hui dengan
puterinya itu, demi untuk menyelesaikan urusan yang orang
minta tolong kepadaku!"
"Nak, aku benar2 tak mengerti."
Terpaksa Cu Jiang menceritakan peristiwa dahulu ketika
dia dilempar musuh kebawah jurang, telah ditolong oleh
Ko-tiong Jin, Ternyata Ko-tiong-jin itu tak lain adalah
Tionggoan-tayhiap Cukat Giok yang kemudian minta
tolong kepadanya untuk mencari isteri dan putrinya.
"Tio Hong Hui dan nona itu tak lain adalah isteri dan
puteri dari Tionggoan-tay-hiap Cukat Giok." kata Cu Jiang.
"Oh,"
Poan toanio mendesuh kejut, "kiranya demikianlah peristiwa itu."
"Toanio, aku segera akan mengejar jejak nona Beng Cu."
seru Cu Jiang terus melesat keluar dari pondok.
Poan toanio, Ki Siau Hong dan Ko Kun pun segara
tinggalkan tempat itu.
Cu Jiang terkejut ketika memandang ke empat penjuru
tak tampak barang seorangpun juga.
Ia masih mempunyai kewajiban untuk menyerahkan
kantong kain dari Cukat Giok kepada puterinya. Begitu
pula ia merasa wajib harus menerangkan asal usul diri Ki
Ing agar nona itu tidak salah paham.
Lari sampai empat lima li, tetap ia kehilangan jejak Ki
Ing yang membawa mamanya itu. Tak mungkin nona itu
mampu lari sejauh itu. Mungkin karena malam gelap, nona
itu bersembunyi. Kalau dia harus balik kembali untuk
mencari disekeliling tempat itu, tentu akan menunda
rencananya untuk membebaskan puteri Tayli.
"Ah, mungkin mereka telah dibawa olah anak buah
Gedung Hitam," akhirnya ia menarik kesimpulan lain.
Yang jelas Tio Hong Hui tentu sudah mati. Jika demikian
tentulah arah larinya nona itu juga menuju ke Gedung
Hitam. Sekali dayung dua tepian. Pikir Cu Jiang. Dan diapun
harus memenuhi janji dengan Ang Nio Cu untuk bertemu
di Gedung Hitam. Demikian setelah menimang-nimang,
akhirnya ia hentikan pengejarannya dan terus menuju ke
jalan besar yang mencapai ke arah Gedung Hitam.
Menjelang terang tanah dia sudah mencapai seratusan li.
Dia berhenti makan disebuah warung ditepi jalan. Dan dia
melihat tanda rahasia yang ditinggalkan Song Pek Liang.
Setelah makan, cepat2 dia melanjutkan perjalanan lagi.
Dia tak menghiraukan pakaiannya yang berlumur percikan
darah. Sepanjang jalan dia menurutkan tanda2 rahasia yang
ditinggalkan Song Pek Liang. Sebelum tiba di kota Tongyang, dia mengambil jalan kecil yang menuju ke kota
Wasan. Pada hari ketiga, tiba2 tanda rahasia itu tak tampak lagi.
Dia heran dan kaget. Apakah dia yang kehilangan jejak
atau memang Song Pek Liang yang mendapat bahaya "
Dia kembali ke tempat tanda rahasia yang terakhir dan
berusaha untuk menyelidiki sekitar tempat itu tetapi
hasilnya nihil.
Dia bingung juga. Putusnya tanda rahasia itu hanya
dapat terjadi dalam dua Kemungkinan. Pertama, memang
jejak pemburuan itu hanya sampai ditempat situ. Orang
yang dikejar, berhenti disekitar tempat itu. Hanya letaknya
yang belum diketahui benar2.
Kedua, Song Pek Liang tertimpah bahaya sehingga tak
sempat meninggalkan tanda rahasia. Dan kemungkinan
kedua itu memang besar kemungkinannya. Karena kalau
hanya kehilangan jejak yang dikejar, tentulah Song Pek
Liang masih sempat meninggalkan pertandaan rahasia.
Setelah menimang-nimang,
akhirnya Cu Jiang memutuskan untuk menyelidiki sekeliling tempat itu sampai
beberapa li. Jika tak berhasil, barulah dia akan menuju ke
gunung Kengsan.
Sejam lamanya dia menyelidiki sampai seluas lima li dari
tempat tanda rahasia itu, tetap dia tak berhasil menemukan
sesuatu. Dia bingung dan kecewa.
Jika kongcu sudah dibawa ke Gedung Hitam untuk
menekan baginda Tayli supaya menebus dengan kitab
pusaka Giok kah-kim keng, itu memang dapat dimaklumi.
Gedung Hitam sudah lama sekali menginginkan kitab itu.
Diam2 Cu Jiang heran mengapa suhunya. Gong-gong-cu
mengijinkan kongcu pesiar ke daerah Tiong-goan padahal
tindakan itu berbahaya sekali bagi keselamatan kongcu.
Tetapi semuanya telah berlangsung. Tak ada lain pilihan
kecuali harus berusaha untuk mendapatkan kongcu
kembali. Jika dia hendak menghadang kawanan anak buah
Gedung Hitam yang membawa kongcu itu, dia harus
merahasiakan diri.
Jika tidak, maka musuh tentu dapat mengetahuinya. Ah.
sayang mengapa tempo hari dia tak mau meminta beberapa
kedok muka dari si pencuri sakti Thian-put thau.
Akhirnya ia memutuskan untuk melanjutkan masuk ke
kota kecil disebelah muka. Dia hendak menyaru dan
membeli perlengkapan sebagai seorang pemburu. Mungkin
kalau ia bertindak hati2 musuh tentu sukar mengetahui.
Segera ia lari. Beberapa waktu kemudian tiba2 ia
menemukan pertandaan rahasia lagi dari Song Pek Liang.
Tanda rahasia itu menyatakan bahwa Song Pek Liang telah
dikepung olah jago2 sakti dari pihak Gedung Hitam.
Melihat tanda rahasia itu. jelas Song Pek Liang telah
membuatnya dalam keadaan terburu-buru sekali. Tetapi dia
tak memberi keterangan suatu apa tentang diri kongcu.
Sekarang dia harus menolong Song Pek Liang lebih dulu
baru nanti meminta keterangan tentang beradanya kongcu.
Disebelah depan tampak jalan besar. Terdapat beberapa
rumah petani. Sebelah kanan jalan terbentang tanah ladang
dan disebelah kiri sebuah hutan.
Cu Jiang tujukan langkah ke hutan itu. Kalau tak
berhasil menemukan apa2, barulah dia akan kembali lagi
menyusur jalan besar.
Setelah menjelajahi hutan dan tak menemukan apa2, dia
terus hendak keluar lagi. Tiba2 ia melihat diatas tanah bukit
yang tak jauh dari hutan itu seperti tampak berkelebat
beberapa bayangan. Serentak timbullah semangatnya dan
terus saja dia melesat ketempat itu.
Tiba di tepi hutan, terpaksa ia harus menghela napas
panjang. Ternyata bayang2 itu bukan sosok manusia
melainkan batang pohon yang ditancapkan di punggung
bukit. Diatas dahan itu terpancang sehelai baju yang
berkibar2 dihembus angin.
Memandang dengan seksama, dilihatnya batang dahan
itu masih digantungi lagi dengan sebuah peti obat. Sudah
tentu dia terkejut sekali. Bukankah peti obat itu milik Song
Pek Liang ketika dia menyaru menjadi penjual obat tempo
hari " Ah, jelas Song Pek Liang tentu menderita bahaya.
Ia mengeliarkan pandang ke sekeliling dan kejutnya
makin hebat lagi. Tak berada jauh dari dahan itu. sebutir
kepala manusia menggeletak di tanah. Darah Cu Jiang
mendidih seketika.
Song Pek Liang telah dibunuh musuh secara mengerikan
sekali. Dia dikubur berdiri sampai sebatas leher sehingga
kepalanya saja yang kelihatan di permukaan tanah.
"Bajingan2 itu harus kuhancur-leburkan semua!" teriak
Cu Jiang. Tetapi sekonyong-konyong terdengar suara bentakan
yang gemuruh. Asalnya diperkirakan seperti di sebelah
kanan bukit itu. Segera dia lari ke tempat itu.
Ternyata dugaannya memang benar. Di tempat itu
sedang berlangsung pertempuran yang seru. Dan yang
bertempur itu tak lain adalah Ang Nio Cu bersama Thianput thou. Ang Nio Cu berhadapan dengan seorang lelaki
tua kurus berjubah kuning emas. Ang Nio Cu menggunakan
pedang yang Cu Jiang berikan sebagai tanda perjodohan
kepada Ho Kiong Hwa yang lalu.
Baru pertama kali itu Cu Jiang melihat Ang Nio Cu
bertempur dengan menggunakan senjata. Dan dilihatnya
pula bahwa ilmu-pedang nona itu, mempunyai corak gaya
permainan yang istimewa.
Lawannya, lelaki tua berjubah kening emas, juga
menggunakan pedang. Ilmu pedangnya hebat sekali.
Keduanya bertempur dengan seru sehingga sukar dibedakan
satu sama lain.
Sedang Thian-put-thou seorang diri menghadapi empat
orang Pengawal Hitam dan seorang lelaki pertengahan
umur yang mengenakan pakaian seperti seorang thaubak
(kepala regu). Keadaan Thian-put-thou memang kurang menguntungkan. Dia hanya mengandalkan kelincahan ilmu
meringankan tubuh untuk menghindari serangan lawan.
Sementara ditanah tampak berserakan tujuh sosok
mayat. Lima diantaranya adalah kawanan Pengawal
Hitam. Jelas rombongan anak buah Gedung Hitam itu
tentulah yang membunuh Song Pek Liang. Mungkin juga
yang membawa kongcu.
Cu Jiang tak menduga bahwa Ang Nio Cu dan Thian
put-thou akan muncul disitu dan bertempur dengan musuh.
Maka diapun terus melayang ke gelanggang dan...
Huak. . . huak . .. terdengar beberapa jeritan ngeri yang
menyeramkan dan kedua belah pihak yang bertempur itu
terkejut dan serempak berhenti
Kelima orang yang menjadi lawan Thian-put thou, sudah
ada tiga yang menggeletak, diantaranya yalah lelaki
setengah tua yang berpakaian sebagai thaubak.
"Adik kecil, bagus, engkau datang !" seru pencuri sakti
Thian put-thou.
"Adik Jiang !" seru Ang Nio Cu.
"Toan-kiam-Jan-jin !" teriak lelaki tua yang mengenakan
jubah kuning emas dengan wajahnya pun serentak berobah
kaget. Sedang kedua Pengawal Hitam tampak pucat pasi.
Cu Jiang tak mau berkata apa2 terus berputar tubuh,


Pusaka Negeri Tayli Karya Can I D di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mencabut pedang dan menyerang. Kedua Pengawal Hitam
itu menjerit dan rubuh. Lalu menyerang lelaki tua berjubah
emas untuk menggantikan Ang Nio Cu.
"Adik Jiang, dia adalah wakil ketua dari Gedung
Hitam." seru Ang Nio Cu.
Lelaki tua berjubah kuning emas itu cepat melesat
melarikan diri.
"Hai, mau lari ke mana engkau!" teriak Cu Jiang yang
dengan gunakan gerak Gong-gong-poh-hwat
sudah menghadangnya dan terus menghantam.
Rupanya lelaki tua yang menjadi wakil ketua Gedung
Hitam itu sudah tak menghiraukan soal gengsi lagi. Dengan
gerak Keledai malas menggelinding-ke tanah, dan
menyambitkan senjata rahasia kearah Cu Jiang.
Serangan itu benar2 tak pernah di duga Cu Jiang.
Hantamannya tadi bahkan malah membantu lawan untuk
berguling ke tanah dan setelah melepaskan senjata rahasia,
terus menyelinap lenyap kedalam hutan.
Ang Nio Cu dan Thian-put-thou serempak loncat
mengejar. Cu Jiangpun marah dan terus menyerbu kedalam
hutan. Tetapi dalam beberapa kejab itu. ternyata lawan
sudah menghilang. Sesaat mereka bertiga berjumpa dalam
hutan, ketiganya-pun tertawa kecut.
Sambil banting2 kaki, Cu Jiang uring2an:
"Aku harus dapat mengejar orang itu . ."
"Menolong orang
lebih penting," Thian-put-thou mencegah. "Mereka telah menculik puteri Tayli .. .. "
"Kutahu," Thian-put-thou mengangguk, "saat ini
mungkin sudah berada di Gedung Hitam ..."
"Mengapa begitu cepat?"
"Setiap pos, mereka berganti kuda, sudah tentu bisa
cepat." "Bagaimana lo-koko tahu?"
"Karena mendengar mereka secara tak sengaja telah
bercakap-cakap membocorkan hal itu."
"Lalu bagaimana tindakan kita ?"
"Kita berunding lagi."
"Kalian berdua mengapa dapat bersama ... "
"Bertemu di tengah jalan."
Cu Jiang berpaling kepada Ang Nio Cu: "Apakah taci
juga mengambil jalan pendek..."
"Ah, kita tolong orang dulu " kata Ang Nio Cu.
Mendengar itu Cu Jiang gelagapan. Ia baru teringat
tentang Song Pek Liang yang dikubur begitu kejam. Entah
dia masih hidup atau sudah mati. Cepat dia melesat dan
mengajak kedua orang itu
"Tunggu dulu, tak perlu terburu-buru !" seru Thian-putthou. "Lo koko kenapa"!" Cu Jiang hentikan langkah.
"Itu sebuah jebakan, khusus menunggu engkau, maka
jangan gegabah !"
"Jebakan ?"
"Apakan engkau tak memperhatikan mengapa lawan
sengaja menunjukkan pertandaan itu secara menyolok
sekali. Tak lain hanya untuk memikat engkau. Untung
belum menolongnya, kalau tidak engkau tentu sudah
hancur lebur!"
Mendengar itu berdetaklah hati Cu Jiang. "Apakah
mereka memasang obat peledak?" tanyanya.
"Ya !"
"Keparat !"
"Mari kita ke sana."
"Apakah Song Pek Liang masih hidup!"
"Mungkin belum mati."
Ketiga orang itu menuju ke tepi hutan dibawah bukit.
Memandang kepada kepala Song Pek Liang yang menonjol
di atas tanah, dada Cu Jiang serasa meledak.
Thian put-thou garuk2 telinga dan mukanya dan
bersungut-sungut.
"Harus mencari akal untuk menghilangkan obat peledak itu."
"Bagaimana caranya ?" tanya Cu Jiang.
"Jika salah menyentuh bahan itu, akibatnya sukar
dilukiskan. Yang menjadi kesulitan, kita tak mengetahui
dimana letak mereka memendam obat pasang itu."
"Oh, tentu tak jauh dari tempat orang yang dikubur itu.
Mereka tentu memperhitungkan, begitu adik Jiang melihat
kawannya dikubur hidup-hidupan tentu akan buru2
menolongnya. Begitu mengejar kesitu, tentu segera akan
meledak," tiba2 Ang Nio Cu menyelutuk.
Thian-put-thou kerutkan alisnya yang putih: "Sayang
orang yang dikubur itu jalan darahnya telah ditutuk
sehingga tak dapat bicara. Kalau tidak, dia tentu dapat
memberi tahu."
"Apakah dia masih dapat ditolong ?" tanya Cu Jiang
harap2 cemas. "Tentu saja masih, asal dapat menyingkirkan bahan
peledak itu."
"Aneh, mengapa musuh dapat mengetahui diri saudara
Song . . . . "
"Kudengar semua itu hasil tindakan mereka untuk
menekan si puteri manis itu sehingga rombongan pengawal
dari Tayli dan bahkan dirimu telah diketahui semua oleh
musuh." Cu Jiang tertawa hambar.
"Tak apa, kita dapat membuat serangan secara terangterangan," serunya.
"Tetapi engkau tentu tak sampai berpikir, bahwa apabila
peristiwa itu tersiar keluar, tentu akan menimbulkan banyak
kesulitan kepada kerajaan Tayli."
"Tetapi tiada lain jalan lagi. Setelah dapat membebaskan
kongcu, aku segera hendak mengantarkannya kembali ke
Tayli." "Itu memang benar."
"Sekarang apa daya kita untuk menolong Song Pak
Liang ?" gumam Cu Jiang dan ketika memandang kearah
Song Pek Liang, dilihatnya mata pengawal dari Tayli itu
sudah mengatup rapat. Cu Jiang serentak berseru
meneriaki: "Saudara Pek Liang!"
Rupanya pendengaran Song Pek Liang masih belum
hilang. Dia membuka mata. Sudah tentu Cu Jiang gembira
sekali karena hal itu menandakan bahwa dia masih hidup.
Bibir Song Pak Liang bergerak-gerak seperti hendak omong
tetapi tak dapat mengeluarkan suara.
Tiba2 Cu Jiang mendapat akal, serunya gembira: "Aku
menemukan akal!"
Ang Nio Cu dan Thian-put-thou serempak lompat
menghampiri: "Bagaimana ?"
"Pandangan Pek Liang masih belum beku," kata Cu
Jiang. "hanya tak dapat berkata, dia menggunakan kerling
mata untuk menyampaikan maksud hatinya . . ."
"Saudara Pak Liang, apakah engkau dapat mendengar
omonganku " Jika dapat, harap engkau kicupkan mata !"
seru Cu Jiang. Eh, ternyata Pek Liang mengicupkan mata. Sudah tentu
Cu Jiang bertiga gembira sekali.
"Saudara Peh Liang, aku hendak bertanya. Jika engkau
mengiakan, tolong kicupkan mata. Apakah jalan darahmu
tertutuk?" seru Cu Jiang.
Pek Liang kicupkan mata.
"Engkau terluka ?"
Kembali Pek Liang kicupkan mata.
Cu Jiang mengangguk lalu bertanya pula.
"Apakah mereka memasang obat peledak disamping
tempatmu?"
Lagi2 Pek Liang kicupkan mata.
"Sekarang kami hendak mencari tempat obat peledak itu.
Apakah obat itu berada dalam lingkungan satu meter di
sekelilingmu ?"
Pek Liang diam saja.
"Dua meter ?"
Tetap diam. "Tiga meter " ... Empat ... Lima meter " Satu tombak ?"
Namun Pek Liang tak memberi reaksi apa2.
"Apakah berada pada tubuhmu ?" akhirnya Cu Jiang
mendesak. Pek Liang mengangguk.
Cu Jiang berpaling kepada Thian put thou tanyanya:
"Lo-koko, obat itu ada pada tubuhnya, bagaimana ?"
"Hanya dengan cara perlahan-lahan kita menggali untuk
mengeluarkan tubuhnya tetapi hal itu memang mengandung bahaya besar. Salah-salah obat meledak dan
tubuh hancur berkeping2."
Sejenak merenung Cu Jiang bertanya lagi:
"Saudara Pek Liang, kami hendak menyingkirkan obat
peledak itu. Lalu dari mana kita harus mulai bertindak"
Dari muka ?"
"Dari belakang ?"
"Dari sebelah kiri ?"
Setelah berulang kali diam, akhirnya Pek Liang kicupkan
mata, menyatakan bahwa penggalian itu harus dilakukan
dari sebelah kiri.
Cu Jiang segera minta Thian-put-thou dan Ang Nio Cu
supaya mundur karena ia hendak bertindak.
"Tidak," sahut Thian-put thou."seharusnya aku yang
turun tangan."
"Tetapi lo-koko mengapa hendak menempuh bahaya."
"Adik kecil, tugasmu yang penting belum selesai. Musuh
besarmu belum dibalas dan engkau masih muda belia. Hari
depanmu masih gemilang. Sedangkan aku sudah seperti
pohon tua yang mendekati lapuk. Kalau harus mati itu
sudah wajar, tak ada yang perlu disalahkan. Tetapi itupun
hanya suatu kemungkinan karena belum tentu aku mati."
"Tidak, lo-koko ! Ini urusanku ..."
"Urusanmu apakah bukan urusanku Juga ?"
Cu Jiang tergerak hatinya. Ia terbaru mendengar
pernyataan lo-koko atau engkohnya yang tua itu.
"Lo koko, kecintaanmu terhadap diriku, sampai mati
pun takkan kulupakan. Tetapi dalam urusan ini, biarlah aku
saja yang turun tangan, harap kalian mundur . .. . "
"Tidak!"
wajah Thian-put-thou berobah sarat, "bagaimanapun aku takkan menurut perintahmu !"
"Jika demikian biarlah aku saja agar kalian tidak saling
berebut." tiba2 Ang Nio Cu menyeletuk.
"Tidak layak !" seru Cu Jiang terkesiap.
"Mengapa ?"
"Bagaimanapun alasan taci. tetapi engkau tak boleh
menerjang bahaya itu. Dan lagi penerus dari perguruan Hiat
ing bun terletak pada diri taci...."
"Seorang ksatrya rela mati untuk orang yang akrab
hubungannya dengan dia. Tak perlu harus memikirkan
segala alasan itu. Dan terus terang, aku sudah jemu dengan
kehidupan ini. Kalau bisa melakukan sesuatu yang
membahagiakan orang, hatiku sangat gembira . . ."
"Taci ..."
"Adik Jiang, tetapi ini bukan perjalanan menuju ke
kematian!" kata Ang Nio Cu.
Tetapi Cu Jiang tak mau berbantah lagi. Sekonyongkonyong tubuhnya melayang ke samping Song Pek Liang.
Sudah tentu Ang Nio Cu dan Thian-put-thou terkejut sekali
namun sudah tak keburu untuk mencegah.
"Hati-hati!" mereka hanya dapat memberi peringatan.
"Ya, tahu. Harap kalian beristirahat ke dalam hutan."
sahut Cu Jiang.
Tampak wajah Song Pek Liang merah padam. Karena
tubuh tertanam di tanah, darah tak dapat mengalir lancar
sehingga terhenti di muka. Apabila tak lekas ditolong tentu
mati. DI samping itu rupanya Song Pek Liang tak
menghendaki Cu Jiang bertindak begitu. Sedikit kurang
hati2, tentu akan menyentuh obat pasang dan keduanya
temu akan hancur lebur.
"Song-heng, jangan cemas, aku akan bertindak dengan
hati2." seru Cu Jiang lalu mencabut pedang kutung dan
mulai menggali. Diam2 sebenarnya hati Cu Jiang juga kebal
kebit. Dia tahu bahwa saat itu sedang menghadapi maut. Tak
berapa lama pakaiannyapun basah kuyup dengan keringat.
Napas memburu keras.
Ang Nio Cu dan Thian-put-thou yang berada di hutan
juga tak kurang tegangnya.
Pelahan-lahan sudah tampak bahu dan rusuk kiri dari
Song Pek Liang. Cu Jiang berhenti menggali.
"Song heng, di mana obat itu letaknya " Dibawah
pinggangmu "
"Kaki " Paha " . . . . Pantat.. ?"
Tetapi Song Pek Liang tetap pejamkan mata tak
menyahut. Sudah tentu Cu Jiang gugup. Terang kalau Song
Pek Liang itu pingsan. Cepat ia lanjutkan penggaliannya
dengan hati2. Akhirnya sampai ke perut.


Pusaka Negeri Tayli Karya Can I D di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tiba2 ia mendapat pikiran. Ia hentikan penggalian lagi.
Pikirnya, ia hendak membuka Jalan darah Song Pek Liang
yang tertutuk itu agar dapat ditanya keterangan. Ia segera
meraba-raba tubuh Song Pek Liang tetapi tak berhasil
menamakan bagian yang tertutuk. Ia menyadari bahwa
musuh mempunyai ilmu tutuk yang istimewa. Terpaksa ia
hentikan usahanya.
Saat itu ia mulai menggali lagi dan ketegangannyapun
makin memuncak. Mati atau hidup hanya tergantung dari
detik2 yang menentukan.
"Adik kecil, bagaimana, keadaannya ?" teriak Thian-putthou. "Dia pingsan," Cu Jiang membesut keringat.
"Engkau menemukan apa saja?"
"Tidak menemukan apa2."
"Peti obat atau barang sejenis itu ?"
"Tidak!"
"Engkau turun kemari, biar aku yang mengganti. Aku
lebih ahli dalam soal itu ...."
"Tidak !" Cu Jiang menolak.
Thian-put-thou dan Ang Nio Cu serempak ayunkan
tubuh melayang ke tempat Cu Jiang.
"Apa maksud kalian " Apakah hendak bersama-sama
mati?" tegur Cu Jiang dengan tegang.
"Engkau dan Ang Nio Cu cepat menyingkir, aku yang
menyelesaikannya !" kata Thian-put-thou dengan serius.
"Tidak !"
Sekonyong-konyong dari gunduk atas bukit itu terdengar
suara tertawa dingin. Ketiga orang itu terkejut. Memandang
kearah suara tawa itu, tampak wakil ketua Gedung Hitam
sedang tegak berdiri dengan mencekal seutas tali.
Cu Jiang mendengus geram. Pada saat dia hendak
bergerak tiba2 wakil ketua Gedung Hitam Itu membentak:
"Jangan bergerak!"
"Apa engkau hendak mengantar Jiwa?" teriak Cu Jiang
marah. Wakil ketua Gedung Hitam itu tertawa mengekeh seraya
menggerak-gerakkan tali, serunya:
"Tali ini bersambung dengan sumbu obat peledak. Sekali
kutarik, kalian bertiga tentu hancur lebar!"
Cu Jiang bertiga menelan ludah. Jarak wakil ketua
Gedung Hitam dengan tempat mereka terpisah dua puluhan
tombak. Betapapun hebat ilmu ginkang seseorang, tetapi
tetap masih kalah cepat dengan gerakan menarik tali itu.
Cu Jiang rasakan dadanya seperti meledak. Dengan ilmu
langkah Gong gong-poh mungkin dia masih dapat terhindar
dari bahaya kehancuran. Tetapi Ang Nio Cu dan Thian putthou tentu hancur.
Tak ada lain daya dari ketiga orang itu kecuali saling
bertukar pandang.
"Li Ing Bo, apa maksudmu" " teriak Thian-put-thou.
Ternyata wakil ketua itu bernama Li Ing Bo. Dia
membalas dengan tawa gelak2, serunya:
"Kalian bertiga hendak kuantar naik ke akhirat!"
"Adik kecil, dengan kepandaianmu, mungkin engkau
dapat menghindar dan tempat ini . . . ," bisik Thian put
thou. "Lo koko menganggap aku ini orang apa?" Cu Jiang
memberingas. "Bukan begitu maksudku," kata Thian put thou, " perlu
apa kita bertiga harus mati" Bukankah masih ada seorang
yang kelak dapat membalaskan dendam darah ini?"
"Aku tak mau!"
"Adik kecil, saat ini bukan saat main keras kerasan
kepala . . . . "Tidak! Kecuali kita bertiga sama2 ke luar!"
"Tak mungkin!"
"Taci tentu dapat keluar juga," kata Cu Jiang kepada
Ang Nio Cu. "Hm, apakah lo kokomu ini juga tak mampu ?" dengus
Ang Nio Cu "Kalau kita bergerak keluar dan lingkungan tempat ini,
mungkin dapat selamat. Tetapi bagaimana dengan jiwa
saudara Pek Liang..."
"Kecuali menemaninya mati, memang sudah tak ada lain
jalan lagi." kata Ang Nio Cu.
"Kalian hendak memberi pesan terakhir apa saja ?" seru
Li Ing Bo dengan keras.
"Orang she Li," teriak Cu Jiang dengan keras, "kalau aku
tak mati, kelak tentu akan kuratakan Gedung Hitam dan
takkan kutinggalkan seorangpun bahkan anjing dan ayam
pun akan kubunuh semua !"
"Heh, heh, heh, sayang engkau sudah mati dulu !"
Cu Jiang kebingungan faham. Tiba2 Thian put-thou
berkata dengan segera. "Kita tak boleh menunggu kematian
dengan cara begini. Harus lekas mengambil putusan !"
Tiba2 saat itu sesosok bayangan muncul disamping Li
Ing Bo. Hai jelas si Jelita Ki Ing, puteri dari Tay hiap-tionggoan Cukat Giok yang belum tahu asal usul dirinya dan
mengira kalau ketua Gedung Hitam itu ayahnya.
"Susiok, berikan tali itu kepadaku !" tiba2 si Jelita berkata
kepada Li Ing Bo. Dengan menyebut Li Ing Bo sebagai
susiok atau paman guru, mungkin Li Ing Bo ini juga adalah
seorang murid dari Sam Bok thian cun.
"Budak, lekas engkau menyingkir !" bentak Li Ing Bo.
"Tidak, aku hendak membalas dendam mamaku."
"Apakah kalau aku bukankah sama saja..."
"Aku hendak menghancurkan Toan-kiam-jan-jin dengan
tanganku sendiri ..."
Merah mata Cu Jiang mendengar itu. Tak tahu dia
bagaimana caranya untuk memberi penjelasan kepada nona
itu. Jika benar2 nona itu turun tangan, ah, akibatnya tentu
mengerikan. "Nona Ki Ing engkau bukan . . . ."
"Tutup mulutmu Toan kiam-Jan Jin ! Rasanya tak puas
hatiku kalau tak menghancurkan engkau dengan tanganku
sendiri !"
Mendengar itu akhirnya mau juga Li Ing Bo memberikan
tali kepada Ki Ing.
"Sayang tali itu terpendam dibawah tanah. Jika tidak
begitu, kita dapat memutuskannya," bisik Ang Nio Cu.
"Budak, mengapa tak lekas engkau tarik tali itu !" seru Li
Ing Bo. Cu Jiang terkejut dan serentak dia hendak berteriak lagi
memberi penjelasan kepada Ki Ing. Tetapi sekonyongkonyong nona itu lemparkan tali dan berseru gopoh: "Lekas
kalian lari !"
Sudah tentu Cu Jiang bertiga terlongong-longong
menyaksikan perbuatan yang tak terduga-duga itu. Adalah
Cu Jiang yang lebih dulu menyadari hal itu. Serentak dia
ayunkan tubuhnya seraya meneriaki kedua kawannya :
"Lekas lari !"
Sesaat ketiga orang itu melesat pergi terdengarlah suara
orang menguak yang mengerikan sekali. Kemudian disusul
dengan ledakan yang dahsyat. Tanah dan keping2 batu
muncrat berhamburan ke udara.
Bahan peledak itu telah meledak.
Sebenarnya Cu Jiang terus hendak enjot tubuh ke tempat
Li Ing Bo tetapi ledakan Itu telah membuatnya tertegun di
tempat. Sebuah pemandangan yang mengerikan serentak
menusuk hatinya.
Ki Ing mati dan Pek Liangpun hancur lebur. Tetapi pada
lain saat. Cu Jiang dapat melepaskan pikirannya dari
peristiwa itu dan cepat melambung ke atas bukit. Dia
hendak menghancurkan Li Ing Bo.
Tetapi wakil ketua dari Gedung Hitam itu sudah lenyap.
Yang tampak hanya si Jelita Ki Ing, menggeletak di tanah,
mata dan hidungnya mengucurkan darah.
Cu Jiang cepat lari menghampiri. Dilihatnya wajah nona
itu pucat seperti kertas, sinar matanya redup dan layu.
Tetapi napasnya belum putus. Jelita itu memandang Cu
Jiang, dari sudut bibirnya merekah senyum.
"Nona Beng Cu, Jangan kuatir, engkau tentu tertolong !"
"Apakah masih dapat ditolong ?" seru Thian-put thou
gugup. Ang Nio Cu memeriksa seluruh jalan darah tubuh nona
itu. Lama baru dia berkata dengan nada tegang: "Dia
menderita luka-dalam yang parah sekali, tetapi denyut
jantungnya masih baik, Dia terkena pukulan ganas yang
istimewa. Aku tak dapat menolongnya."
"Dia telah menyelamatkan kita bertiga, tidak bisa
membiarkan dia mati begitu saja!" seru Cu Jiang.
Thian-put-thou mengeluarkan beberapa butir pil dan
diberikan kepada Ang Nio Cu: "Untuk mempertahankan
jiwanya, baru nanti kita berusaha untuk mengobati."
Ang Nio Cu pun lalu menyusupkan pil itu ke dalam
mulut Ki Ing. "Ah, kenapa dia harus bertindak begitu ?" Thian-put-thou
menghela napas.
"Mungkin tak dapat melupakan rasa asmaranya terhadap
adik Jiang." kata Ang Nio Cu.
Cu Jiang tertegun, memandangnya. Kemudian menengadah memandang kearah bukit, Ditempat Song Pek
Liang dikubur hidup hidup tadi, terbukalah sebuah lubang
seluas dua tiga tombak.
Sedih hati Cu Jiang sehingga ia menitikkan airmata.
Diantara empat pengawal dari Tayli yang diperintah Gonggong-cu untuk mengikutinya ke Tionggoan, dua orang yaitu
Ong Kian dan Song Pak Liang telah mati. Bahkan kematian
Song Pek Liang itu sangat mengerikan.
Cu Jiang serentak melesat ke tempat bekas ledakan itu
tetapi tubuh Song Pek Liang sudah hancur lebur tak dapat
dikumpulkan lagi. Setelah berdoa memanjatkan arwah
Song Pek Liang agar mendapat tempat yang layak di
nirwana, Cu Jiang kembali ke tempat Ki Ing.
"Adik Jiang, satu-satunya yang dapat menolong nona ini
ialah Kui jiu-sin-Jin di gunung Busan."
Cu Jiang mengangguk.
"Kecuali engkau sendiri, lain orang tak mungkin
diijinkan masuk ke lembah Mo jin-koh," kata Ang Nio Cu
pula. "Baik, akulah yang akan kesana."
"Benar, memang kecuali engkau tak ada lain orang yang
mampu melindungi nona itu. Dia harus beristirahat. Kalau
sampai terganggu dan menderita goncangan hati, dia tentu
binasa. Aku akan menemanimu kesana," kata Thian putthou. Kepada Ang Nio Cu, Cu Jiang mengatakan bahwa
apabila membawa Ki Ing ke Bu-san, perjalanan ke Keng san
tentu tertunda.
"Sudah tentu menolong jiwa orang lebih penting."
sambut Ang Nio Cu.
"Perjalanan ke Bu-san ini paling tidak tentu memakan
waktu setengah bulan. ai..."
"Aku ikut dan Ciok cianpwe tak perlu capek2 kesana."
"Celaka!" teriak Thian-put-thou, "kalau nganggur aku
tentu angot penyakitku, Lebih baik aku saja yang menemani
adik kecil ke sana !"
"Dia seorang gadis, kalian kaum lelaki bagaimana akan
merawatnya di sepanjang jalan nanti ?"
-oo0dw0oo- Jilid 22 Thian-put-thou terbeliak. Dia benar2 terpojok. Memang,
bagaimana mungkin kalau dua orang lelaki harus merawat
seorang gadis dalam perjalanan nanti.
"Lo-koko, terpaksa engkau yang tidak ikut !" Cu Jiang
tertawa. Thian-put-thou garuk2 kepalanya: "Ang Nio Cu tak
dapat menunjukkan diri secara terang-terangan. Dan
engkau, adik kecil, musuhmu tersebar dimana-mana. Boleh
dikata setiap jalanan engkau selalu terancam bahaya. Kalau
aku si tua ini ikut dalam perjalanan, tentu dapat diajak
berunding apabila menghadapi sesuatu bahaya !"
"Ya." akhirnya Cu Jiang menghela napas,"kalau begitu
kita harus pergi bertiga saja."
"Itulah yang tepat," Thian put-thou tertawa, "aku akan
menyewa kereta dulu baru nanti kita berangkat."
Dia terus lari turun. Ang Nio Cu segera mengangkat KI
Ing dibawa masuk ke hutan untuk menunggu kereta.
Sedang Cu Jiang masih tetap berjaga diatas gunduk tanah
untuk mengawasi apabila pihak Gedung Hitam hendak
melakukan serangan.
Sejam kemudian Thian-put thou kembali dan membawa
mereka turun bukit. Ternyata dia sudah mempersiapkan
kereta Ang Nio Cu dan Ki Ing disuruh masuk, sedang Cu
Jiang dan Thian put-thou menyaru sebagai ayah dan anak
yang mengantar kereta.
Karena naik kereta mereka terpaksa harus mengambil
jalan ke kota Hu-yang baru kemudian menuju ke barat.
Pada hari kedua menjelang petang, Poan toanio, Ki Sian
Hong dan Ko Kun muncul menyambut. Cu Jiang
menceritakan semua peristiwa yang telah terjadi. Ketiga
orang itu mengucurkan airmata mendengar nasib yang
diderita Song Pek Liang.
Akhirnya diputuskan, Poan toanio bertiga supaya
menunggu dan bersembunyi sampai nanti Cu Jiang sudah
kembali dari Busan baru bergerak lagi untuk menolong
kongcu. Sebenarnya Cu Jiang memang cemas akan keselamatan
puteri Tayli itu, tetapi karena mengingat jiwa Ki Ing itu
perlu diselamatkan, terpaksa ia harus menunda dulu
rencananya untuk menggempur Gedung Hitam.
Mereka berpisah. Cu Jiang dan rombongannya
melanjutkan perjalanan lagi. Sepanjang perjalanan tak
terjadi suatu apa.
Setelah tiba di Kui-ciu, mereka naik perahu dan setelah


Pusaka Negeri Tayli Karya Can I D di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tiba di daerah gunung, mereka menempuh perjalanan lagi
dengan jalan kaki. Selama perjalanan itu, Ang Nio Cu yang
bertugas merawat Ki Ing.
Waktu mendaki gunung merekapun tak mengalami
kesukaran apa2. Dan kurang menggembirakan luka Ki Ing
atau namanya yang aseli Cukat Beng Cu, tak berobah
memburuk tetapi tetap begitu saja.
Keadaan di lembah Mo-Jin kok tetap seperti dulu.
Mereka berhenti di mulut lembah dan Cu Jiang lantas
berseru mohon menghadap pemilik lembah.
Tak berapa lama putera dari Kui-Jin sin-jin yakni Bun
Cong Beng keluar. Cu Jiang segera mengatakan maksud
kedatangannya. Sambil menjabat tangan Cu Jiang. Cong Beng berkata:
"Cu-heng, engkau tentu sudah tahu bagaimana perangai
ayahku yang aneh itu. Dia tak mau bertemu dengan
manusia, apalagi diminta mengobati seorang anak
perempuan. Tetapi karena yang minta Cu-heng, rasanya
tentu lain. Harap tunggu sebentar, aku hendak memberi
laporan kepada ayah."
"Sebenarnya
memang berat rasa hatiku untuk mengganggu ayahmu tetapi apa boleh buat. Soal ini
memang penting sekali, harap Bun-heng dapat membantu."
"Ah. tentu," kata Cong Bang. "lalu bagaimana tentang
permintaan ayah tempo hari ...."
"Ah. syukur aku dapat melaksanakannya." kata Cu
Jiang. Setelah ia teringat akan peristiwa ketua Hoa-gwatbun Tiam Su Nio.
Seperminum teh lamanya, Kui-jiu-sin-jin dan anaknya
keluar. Cu Jiang dan kawan-kawannya Bergegas menghaturkan hormat..
Memandang ke arah Thian-put-thou dan Ang Nio Cu,
Kui jiu sin jin berkata: "Karena urusanmu, aku tak dapat
mengatakan apa2 lagi."
Cu Jiang menjura dan menghaturkan terima kasih.
Kemudian memandang kepada Ki Ing, tabib sakti itu segera
suruh membawanya masuk. Ang Nio Cu meletakkan Ki Ing
di muka Kui-jiu-sin-jin.
Kui jiu sin jin berjongkok dan memeriksa beberapa jenak
lalu berbangkit lagi, ujarnya:
"Telat setengah hari, tak mungkin ditolong!"
"Tolong tanya, lo cianpwe, dia terkena ilmu pukulan
apa?" "Coat bun ciang!"
"Coat ban ciang?" Cu Jiang mengulang.
"Ya. Ilmu pukulan itu amat beracun sekali. Khusus
untuk melukai urat2. Apabila terkena tiada dapat tertolong.
Beruntung aku masih dapat menolongnya."
"Mohon locianpwe suka menolongnya."
"Perlu beristirahat selama sepuluh hari baru dapat
sembuh." "Ini ...."
"Dia seorang gadis, jika tinggal di dalam lembah, kurang
leluasa. Tetapi kalau tinggal di luar lembah dikuatirkan
terjadi hal2 yang tak diinginkan . . ."
"Apakah locianpwe mengijinkan kalau taciku ini
menyertainya tinggal dalam lembah?" tanya Cu Jiang.
Kui jiu sinjin kerutkan dahi, akhirnya dengan suara sarat
ia mengiakan. "Taci," berseru Cu Jiang kepada Ang Nio Cu, "apakah
taci tak keberatan?"
"Tidak."
"Terimalah lebih dulu terima kasihku."
"Jangan berlebih-lebihan adik Cu." seru Ang Nio Cu.
"Cu-heng, mari kita masuk dan bercakap-cakap sambil
minum hidangan teh." kata Cong Heng.
"Maaf, Bun-heng, mungkin aku tak dapat memenuhi
permintaanmu."
"Kenapa" Apakah Cu-heng tak mau masuk ke dalam
lembah?" "Aku masih mempunyai urusan penting yang belum
selesai. Selama sepuluh hari ini, biarlah kugunakan untuk
menyelesaikan hal itu."
"Urusan apa saja?"
"Aku hendak menuju ke markas besar perkumpulan
Thong thian kau di Pek teshia."
"Seorang diri?"
"Ya."
"Tentu harus pergi?"
"Karena melakukan perintah suhu. Kalau tak lekas
dilaksanakan dikuatirkan akan timbul perobahan2 yang tak
diinginkan."
"Ah, kalau begitu sungguh sayang sekali."
"Maaf, biarlah lain kali saja aku pasti akan menemani
Bun heng."
Setelah itu, Ang Nio Cu mengutarakan juga kekuatirannya tentang rencana Cu Jiang yang hendak
menuju ke markas besar Thong thian kau seorang diri.
"Menetapi kewajiban sebagai seorang ksatrya, tiada lain
jalan kecuali harus melaksanakan apa yang telah
disanggupkan."
"Sepuluh hari kemudian, dimana kita akan bertemu?"
tanya Ang Nio Cu.
"Bagaimana kalau di gunung Keng-san?" kata Cu Jiang.
"Thong thian kau merupakan sarang dari Iblis2 yang
ganas, apakah engkau .... tidak berbahaya seorang diri ke
sana?" "Jangan kuatir, taci, aku dapat menjaga diri dengan
hati2." "Jika memang begitu, baiklah, silahkan engkau
berangkat." akhirnya Ang Nio Cu melepas.
Tiba2 Kui jiu sinjin mau memberi nasehat kepada Cu
Jiang: "Nak, dunia persilatan itu penuh dengan Iblis yang jahat.
Hanya dengan mengandalkan kepandaian saja tak cukup.
Yang penting engkau harus berhati-hati dan waspada."
Cu Jiang menyatakan terima kasih sekali atas kebaikan
manusia aneh itu.
"Silahkan berangkat, dan jangan kuatir, aku akan
berusaha untuk menolong nona itu, " kata Kui jiu-sin-jin.
Kemudian manusia aneh itu berpaling kearah Thian put
thou, serunya: "Apakah engkau suka menjadi tetamu dari
lembah ini?"
Thian put thou tertawa gelak2, serunya: "Sudah tentu
aku senang sekali tetapi maaf, aku terpaksa harus
menemani adik kecil itu agar setiap waktu yang diperlukan
dapat memberi bantuan."
"Jika begitu, sampai jumpa dan selamat jalan." habis
berkata Kui jiu sin jin terus masuk ke dalam lembah. Ang
Nio Cu menggendong Ki Ing mengikuti masuk. Demikian
pula Bun Cong Beng.
"Lo koko, apakah engkau hendak menemani aku?" tegur
Cu Jiang kepada Thian put thou.
"Jika engkau menolak, kita mengambil jalan sendiri-2
saja." "Ah, tidak, bukan begitu maksudku."
Begitulah keduanya segera menuruni gunung. Disepanjang jalan, mereka tak banyak bicara. Cu Jiang
terkenang akan semua peristiwa yang dialaminya di gunung
Bu-san dahulu. Diam2 ia menghela napas.
Thian-put thoa deliki mata: "Adik kecil jarang sekali
kudengar engkau menghela napas !"
Cu Jiang tertawa tawar: "Kata orang, dunia persilatan itu
merupakan laut bahaya. Setiap hari gelombang bahaya itu
bergolak dalam dua belas jam."
Thian-put thou gelengkan kepala. "Adik kecil, mengapa
tiba2 engkau menjadi dewasa ?"
"Hanya merasakan kesan2 selama ini saja."
"Benar, adik kecil. Ang Nio Cu yang begitu ngotot
hendak memperjodohkan engkau, tak terduga dia sendiri
jatuh cinta..."
"Lo-koko tahu hal itu?"
"Ang Nio Cu sendiri yang mengatakan kepadaku."
"Hah !"
"Adik kecil, apakah sampai sekarang engkau belum
pernah melihat wajah yang sebenarnya dari Ang Nio Cu ?"
"Belum."
"Dia sangat memperhatikan sekali kepadamu. Ada
kalanya sampai berlebih-lebihan."
"Berlebih-lebihan ?"
"Ya. Orang yang diluar persoalan, tentu dapat melihat
jelas. Pada waktu aku seperjalanan dengan dia, paling
sedikit dia tentu menyebut namamu sampai sepuluh kali
dengan nada yang mesra. Sebagai sosok wanita yang
dianggap momok aneh oleh kaum persilatan, itulah dia
seorang wanita yang mengerikan. Tetapi tiap saat dia
menyebut namamu, sering terlepas kata2 keluhan yang
bernada pernyataan hatinya kepadamu. Sudah tentu hal itu
tak luput dari pengawasanku."
"Bagaimana menurut pengawasan lo-koko?"
"Dia sangat cinta kepadamu."
"Ah, benar2 suatu hal yang mengherankan. Mungkin
usianya terpaut lebih dari separoh umurku."
"Sukar di kata. Asmara itu memang ajaib. Kadang
memang sukar diukur dengan nalar biasa."
"Dalam kata-katanya dia pernah kelepasan omong," kata
Thian-put-thou pula.
"Soal apa ?"
"Dia menyatakan bahwa tiga kali dalam penitisan
perjodohan itu telah ditentukan, siapa tahu ternyata sampai
sekarang tetap hampa . ."
"Apakah dia bukan maksudkan Ho Kiong Hwa ?"
"Mungkin begitu tetapi mungkin bukan begitu. Karena
waktu mengatakan begitu dia hanya seorang diri, dan aku
secara kebetulan saja mendengarnya."
Cu Jiang mengangguk: "Biarlah begitu. Tetapi aku hanya
mempunyai perasaan menghormat jenasah orang tuaku."
Saat itu mereka sudah tiba dibawah bukit dan mendengar
suara orang bercakap-cakap.
"Peraturan perguruan tak boleh dirusak !"
Kemudian terdengar suara seorang wanita yang bernada
rawan: "Congkoan, karena urusan sudah begini, muridpun
taat pada perintah..."
Cu Jiang dan Thian put thou terkesiap. Setelah sejenak
bertukar pandang, keduanya pun segera menuju ke tempat
suara itu. Tampak ditengah hutan lebat, seorang dara yang cantik
tengah berlutut di tanah. Disamping tegak seorang pemuda
yang cakap dengan wajah membesi.
Tak berapa jauh dari tempat dara baju hijau itu. Juga
terdapat seorang dara yang dandanannya mirip seorang
puteri, mukanya memakai kain cadar.
Cu Jiang makin terkejut, Ia seperti kenal dengan mereka.
Agaknya dara2 dari istana Sie-li-kiong, Melihat kearah dara
baju hijau yang sedang berlutut itu. Cu Jiang segera makin
yakin bahwa dugaannya itu memang benar.
Dara itu tak lain adalah dara yang pernah diperintah Bu
san Sin-li untuk memikatnya masuk ke dalam istana Sin-li
kiong tempo hari.
Apakah yang telah terjadi ditempat itu. Siapakah
pemuda pelajar yang cakap itu "
"Geng Siu Yin," seru dara istana itu, "karena engkau
telah berhianat melanggar peraturan perguruan, walaupun
aku kasihan kepadamu tetapi aku tak dapat berbuat apa2
lagi." Dara baju hijau yang disebut dengan nama Ceng Siu Yin
Itu. mengertek gigi lalu berseru:
"Congkoan,
murid hendak mengajukan sebuah permohonan terakhir.. ."
"Apa ?"
"Harap lepaskan dia !"
"Tidak bisa ! Tidak seharusnya engkau membawanya ke
atas gunung sehingga membocorkan rahasia perguruan
kita." "Congkoan, murid bersumpah bahwa dia tak tahu apa2."
"Yin-moay," tiba2 pemuda pelajar itu berteriak, "tak
perlu engkau mintakan ampun jiwaku. Jika engkau mati
akupun tak ingin hidup lagi !"
Cu Jiang dapat menduga tentang peristiwa itu. Tentulah
dara yang bersama Ceng Siu Yin itu telah diutus turun
gunung untuk melakukan sebuah tugas.
Dia berkenalan dengan pemuda itu. Tetapi menurut
peraturan istana Sin-li-kiong, setiap murid yang turun
gunung, lebih dulu harus minum pil beracun. Jika tidak
pulang pada waktunya, racun itu akan bekerja dan matilah
dia. Cu Jiang tahu hal itu atas keterangan Tang Yin dulu.


Pusaka Negeri Tayli Karya Can I D di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dia lalu membawa kekasihnya naik gunung, jelas Siu
Yin telah melanggar peraturan Istana.
Dia harus menerima hukuman yang berat. Tetapi dia
merasa tergerak hatinya melihat tekad dari sepasang mudamudi yang telah memadu kasih itu.
Sejenak memandang kearah pemuda pelajar itu, kembali
dara istana itu berkata.
"Siu Yin, bagaimana dengan hasil tugasmu untuk
melakukan penyelidikan itu ?"
"Toan-kiam-jan-jin tidak membawa pergi Tang Yin Yin."
sahut Siu Yin. Cu Jiang terkejut. Ternyata Siu Yin turun gunung itu
karena diperintah untuk menyelidiki jejaknya. Diam2 ia
menghela napas. Ternyata tindakannya untuk menolong
Yin Yin, menghapus racun dengan mustika Thian-ju cu
sehingga Yin Yin dapat lolos dari istana Sin-li-kiong, belum
diketahui oleh pihak Sin li kiong.
"Apakah engkau dapat menemukan mayatnya ?" tanya
dara istana itu pula.
"Tidak."
"Lalu bagaimana engkau dapat memastikan bahwa dia
tak dibawa pergi Toan-kiam-janjin ?"
"Karena selama kuselidiki, Toan-kiam-Jan-jin itu
kemana-mana hanya seorang diri saja."
"Adakan kemungkinan dia tak menyembunyikan Yin
Yin ?" "Murid telah menyelidiki ke desa tempat kelahiran Yin
Yin. Menurut keterangan orang desa di situ. memang pada
suatu hari pernah muncul seorang gadis. Dia mondarmandir di desa itu tetapi tak pernah bicara dengan orang.
Tak lama gadis itu terus bunuh diri dengan membuang diri
ke dalam sungai."
Diam2 Cu Jiang mengangguk. Ia tahu bahwa peristiwa
itu hanya cerita yang dirangkai Yin Yin untuk menutupi
keadaannya. "Benarkah itu?"
"Benar."
"Baik, lalu apakah engkau masih mempunyai pesan yang
hendak engkau tinggalkan lagi?"
"Harap lepaskan dia!"
"Soal itu tak bisa."
"Congkoan, dia tak berdosa apa2."
"Dirinya yang melakukan sendiri tak dapat menyesali
lain orang." Habis berkata dia berpaling kepada pemuda
pelajar itu, serunya:
"Sebutir pil ini, dapat membantu engkau tak merasakan
penderitaan apa2. Jika dalam kehidupan di dunia kalian tak
dapat terangkap dalam perjodohan, kelak di akhirat tentu
kalian dapat melaksanakan perjodohan itu. Ingat, setengah
jam kemudian, segeralah kalian gali liang untuk tempat
peristirahatan kalian selama-lamanya!"
Habis berkata dia terus melemparkan pil itu yang
disambuti pemuda pelajar lalu tanpa ragu2 terus ditelannya.
"Engkoh Tio, aku berdosa kepadamu!" seru Siu Yin
dengan pilu. "Yin-moay, jika hidup tak dapat berkumpul biarlah kalau
mati kita berada dalam satu liang! " sahut pemuda itu.
Kedua anak muda itu tak mengucurkan air mata tetapi
derita perasaan hati mereka memang sangat mengibakan
sekali. Dara istana yang berpangkat congkoan atau pengurus
istana Sin-li-kiong itu berputar tubuh terus melesat lenyap.
Pemuda pelajar itu mengangkat tubuh Siu Yin dan
membelainya dengan pilu:
"Adik Yin, besarkanlah hatimu. Ini memang sudah
takdir kita, kita harus menerimanya. Kelak dalam penitisan
yang akan datang, kita tentu dapat bersatu."
Rebahkan kepalanya di dada sang kekasih, Siu Yin
berkata sedih: "Engkoh Tio, akulah yang bersalah, tak
seharusnya aku... menerima cintamu."
"Yin-moay, aku tak menyesal karena harus mati. Dua
bulan kita berkumpul rasanya melebihi lain orang yang
berkumpul seumur hidup."
"Engkoh Tio, jika tahu keadaan bakal begini, dan aku . .
." "Yin moay, waktu setengah jam itu sangat singkat sekali.
Engkau lihat bagaimana keadaan tempat ini sebagai tempat
peristirahatan kita selama lamanya."
"Mari. . ." kedua sejoli itu bergandengan tangan dan
ayunkan langkah tinggalkan tempat itu.
Cu Jiang menghela napas.
"Lo koko," kalanya, "cinta mereka benar2 sekokoh baja.
Pemuda itu sungguh hebat, dia memandang kematian
seperti pulang saja .. ."
"Aku tak mengerti maksudmu?"
Tiba2 Cu Jiang teringat akan janjinya kepada Bu-san Sinli bahwa dia takkan membocorkan rahasia istana Sin-li
kiong kepada siapapun juga. Maka kata2 yang sudah tiba
dimulutnya, ditelannya kembali.
"Mari kita ikuti mereka," akhirnya ia alihkan
pembicaraan. "Adik kecil, mereka menyebut-nyebut namamu dengan
dikaitkan peristiwa melarikan seorang murid," kata Thianput-thou. "Itu hanya salah faham tetapi maaf, aku sudah berjanji
dan tak dapat memberitahu soal itu."
"Baik. Tetapi apa guna kita mengikuti kedua kekasih itu"
Apakah kita hendak melihat mereka mati ?"
Sejenak keliarkan pandang kesekeliling penjuru. Cu
Jiang berbisik-bisik: "Aku mempunyai akal untuk menolong
mereka." "Sungguh !"
"Masakah aku bergurau."
Mereka terus mengikuti dan ternyata kedua pasangan itu
menuju ke gua batu yang pernah dipakai Thian-put thou
dan Cu Jiang tempo hari.
"Memang tempat itu bagus sekali," kata Cu Jiang.
"Lalu bagaimana engkau hendak menolong mereka?"
tanya Thian-put-thou.
"Lo koko jangan campur tangan, lihat sajalah nanti."
Tiba di mulut gua, tiba2 sepasang kekasih itu tahu kalau
ada orang datang. Mereka keluar dan menegur: "Siapa itu?"
"Aku, orang yang kebetulan jalan lewat gunung ini."
sahut Cu Jiang. Memang saat itu dia dan Thian put thou
menyaru menjadi orang biasa, kusir kereta.
"Engkoh Tio, suruh mereka pergi," seru Siu Yin dari
dalam. "Kuminta kalian segera pergi." kata pemuda pelajar itu
kepada Cu Jiang berdua.
"Tetapi hari sudah tengah petang aku dan ayahku ini
butuh bermalam di gua ini. Sayang telah kalian diami, ini
...." "Maaf. terpaksa harus minta saudara berdua supaya cari
lain tempat saja."
"Gunung ini banyak harimau dan serigala. Kalau tidak
tidur di tempat ini tentu berbahaya." bantah Cu Jiang.
Pemuda itu berpaling ke dalam, serunya:
"Yin-moay, memang nasib kita sial. Bahkan hendak
moksha saja kita tak dapat tempat yang tenang."
"Waktu sudah mendesak sekali. Ke mana lagi kita harus
cari tempat" Kita tutup pintu gua saja!"
Cu Jiang sengaja deliki mata dan berseru: "Tuan tadi
mengatakan moksha?"
"Ya, apa engkau tahu artinya moksha itu?"
"Mungkin aku salah dengar . . ."
"Tidak, memang moksha!"
"Hm, pernah kudengar cerita paderi dari kuil di desaku
bahwa moksha itu artinya pulang ke Se-thian (akhirat).
Alam telah menciptakan hubungan yang sungguh tak
karuan, sungguh kacau. . ."
"Tak peduli keruan atau tidak keruan, silakan saudara
berdua pergi. Maaf, gua ini tak dapat kuberikan kepada lain
orang." "Tidak bisa! " Cu Jiang berkeras.
"Apa yang tidak bisa?"
"Bahwa tuan tadi mengatakan moksha, jelas tentu
mencari kematian. Ujar orang tua mengatakan melihat
kematian tidak menolong, berarti dosa . . ."
"Silakan pergi, aku tak mempunyai waktu untuk adu
lidah. Yin-moay, kita . . ."
"Tunggu dulu! Mengapa kalian, sedikitpun tak punya
rasa kemanusian?"
"Apa maksudmu?"
"Kalau kalian memang hendak mencari kematian,
mengapa harus memilih segala macam cara. Mengapa
harus bersembunyi tak mau didekati orang" Kalau aku dan
ayahku sampai dimakan harimau, apakah aku takkan jadi
setan penasaran?"
Wajah Siu Yin mulai pucat dan menjerit kesakitan yang
hebat, ia berseru tersendat-sendat: "Engkoh Tio . . . aku . . .
tak . . . kuat ..."
Pemuda itu cepat memeluknya: "Yin-moay, mari kita ke
puncak di sebelah depan itu. Kita cari lain tempat dan
biarlah gua ini ditempati mereka."
"Baik."
"Biar kupanggulmu, Yin-moay." kata pemuda itu terus
memeluk tubuh kekasihnya lalu dibawa lari. Melihat
gerakannya dia tentu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi
juga. Cu Jiang mengangguk. "Lo koko, hati budi pemuda itu
baik sekali."
"Hm, jangan menyiksa orang, lekas engkau tolong
mereka!" Keduanya lalu melesat. Menjelang petang mereka tiba di
karang buntung. Sambil membopong kekasihnya, pemuda
itu selangkah demi selangkah menghampiri ke tepi karang.
"Tunggu, tunggu! " teriak Cu Jiang.
Pemuda itu terkejut dan berputar tubuh. Dia terkejut lalu
membentak keras2:
"Oh, kiranya sahabat ini orang persilatan. Apa
maksudmu hendak mempermainkan aku?"
"Sekarang aku sudah sadar, Bahwa kalau melihat orang
menderita tak menolong, itu berdosa. Maka aku buru2
mengejar kemari, " Cu Jiang tertawa.
"Sahabat sengaja hendak mencari-cari alasan untuk
bertengkar?" kata pemuda itu dengan nada bengis.
"Betapapun buruknya tetapi hidup itu lebih baik dari
mati. Kalian masih muda, mengapa sependek itu pikiran
kalian?" Pemuda itu berputar tubuh dan lanjutkan langkah
menuju ke tepi karang buntung. Cu Jiang melesat
menghadangnya. "Kongcu, mengapa pikiran kongcu begitu gelap?"
serunya. Melihat gerakan Cu Jiang, pemuda itu terkejut, Siu Yin
yang masih dalam pondongannya makin tampak pucat,
keringatnya bercucuran deras. Rupanya dia tengah
menderita kesakitan hebat.
Cu Jiang mengangguk: "Rupanya nona itu menderita
keracunan yang bersifat pelahan bekerjanya."
Pemuda itu merentang mata dan berseru gemetar:
"Sahabat, engkau dapat mengetahui?"
"Tentu, " sahut Cu Jiang, "kalau tak tahu bagaimana
dapat mengatakan?"
"Sahabat, apakah engkau dapat menolongnya?"
"Hm, soal ini bukan main-main."
"Sahabat, bukan hanya dia, aku sendiri pun termakan
racun ganas, tetapi..."
Kekaisaran Rajawali Emas 1 Seruling Perak Sepasang Walet Karya Khu Lung Panji Sakti ( Jit Goat Seng Sim Ki) 2

Cari Blog Ini