Ceritasilat Novel Online

Si Pemanah Gadis 2

Si Pemanah Gadis Karya Gilang Bagian 2


Dengan lembut, ujung keras pilar tunggal penyangga langit itu mendekat, berusaha menyelusup masuk dengan pelan namun pasti. Tentu saja Jalu sedikit kesulitan. Sebab selain baru pertama kali, senjata pusaka miliknya terlalu besar untuk ukuran gerbang istana kenikmatan Kumala Rani yang sempit.
Baru masuk ujungnya saja, Rani sudah meringis.
"Ughh ... "
"Sakit ... ?"
"Lanjut ... " bisiknya parau ketika terasa Jalu berhenti sejenak di tengah jalan.
Jalu mendorong masuk lebih dalam.
"Oh ... !"
Kembali Kumala Rani hanya bisa merasakan dirinya terbelah dua dari ujung ke ujung.
Dan kembali pula Jalu mendorong masuk lebih dalam lagi. Kumala Rani menjerit kecil dan menggigit pundak pemuda yang menindihnya. Terasalah sudah seluruh batang kenyal itu di dalam gerbang istana miliknya, begitu besar dan panjang hingga bergetar menimbulkan rentetan nikmat di sepanjang dinding-dinding lembut bagian dalam istana.
Sambil terus mendorong memaju-mundurkan pilar tunggal penyangga langit, bibir si Jalu memagut lembut bibir merah merekah Rani yang langsung menerima. Lidah saling bertaut di dalam sana, menimbulkan getaran-getaran halus.
Plukk! Ciuman si Jalu terlepas, bergerak turun menyusuri leher, terus turun ke pundak, bermain sebentar di gundukan daging kenyal yang tegak menantang, kemudian menyambar cepat pada ujung-ujung bukit yang coklat kemerahan.
"Oooh ... " keluh Rani. "Aku tidak menyangka Jalu begitu pandai memanjakan diriku. Tidak seperti Kakang Raganata yang langsung tancap." keluhnya dalam hati sambil membuat perbandingan jurus-jurus asmara milik Jalu dengan mantan kekasihnya. "Dia benar-benar hebat! Benar-benar perkasa!"
Setelah selesai dengan yang kiri, si Jalu berpindah posisi ke yang kanan, sedang tangan kiri yang bebas segera meluncur dan meremas, memilin bagian satunya, dada bulat menggairahkan!
"Sebentar lagi ... " bisik hatinya tidak karuan " ... sebentar lagi sempurna sudah ... "
"Lebih cepat lagi ... " desah Kumala Rani. "Ahhhhh ... !"
Rupanya gadis itu mendambakan gerakan-gerakan cepat mengagetkan. Hunjaman dalam hingga mampu membentur-bentur apa saja yang ada di dalam sana, kalau perlu tikaman tak kenal ampun.
"Ja ... lu ... " nama itu terlompat dari mulutnya yang terbuka terengah-engah.
Kumala Rani sampailah sudah pada awal untaian kematian kecil yang nikmat itu. Ia pejamkan mata erat-erat, berkonsentrasi pada luar-dalam yang terpancar kuat dari dalam gerbang istana kenikmatan miliknya yang menghadirkan kembali puncak-puncak asmara.
Jalu semakin mempercepat gerakannya. Menambah daya serang. Meningkatkan kemampuan tertinggi dari jurus-jurus asmara, semuanya demi gadis yang sedang menggelepar-gelepar mencari pelepasan birahi. Demi menunduk Rani. Jalu semakin menggenjot sekuat tenaga.
Srett! Srett! Dan juga ... karena sebuah kekalahan yang ditanggung gadis itu!
Rani menjerit, mengeluh dan akhirnya ... menggeliat!
"Aaaghh ..."
Begitu Kumala Rani menyelesaikan puncak asmaranya, pemuda itu mengubah posisi, dengan pilar tunggal penyangga langit masih terselip rapat di dalam gerbang istana kenikmatan Kumala Rani, si Jalu menggunakan jurus "Monyet Bersilat", dimana posisi si gadis telentang dengan pinggang disanggah oleh si pemuda, lututnya didorong sedemikian rupa hingga menempel ke dada dan bagian punggungnya terangkat ke atas, sepasang betis diletakkan pada pundak si pemuda. Jika pada gerakan awal seperti jurus 'Monyet Bersilat' tapi pada posisi kaki ia menggunakan jurus 'Burung Meraung" yaitu jurus dimana si gadis berbaring dengan kaki diangkat, pria berlutut dan memasukkan pilar tunggal penyangga langit sampai ke daerah gerbang dalam istana yang gelap dan lembab.
Jurus ini membutuhkan pengendalian diri yang sangat tinggi dan dalam hal ini, pemuda bermata putih itu justru sangat menguasai!
"Ooh ... apalagi yang ingin dilakukannya?" pikir Kumala Rani.
Ia tersenyum saja sambil mengikuti kemauan si Jalu.
Pada serangan pertama, Kumala Rani tersedak nikmat karena ujung pilar tunggal penyangga langit tanpa permisi langsung menghantam ujung dinding yang paling dalam.
"Hegh ... heghh ... mmmh ... !!"
Suara itu cukup keras terdengar.
"Gila! Ini lebih nikmat dari yang tadi!" pikirnya.
Begitulah, sampai petang menjelang, entah sudah berapa kali Kumala Rani mendaki dan mencapai puncak asmara. Namun anehnya, hingga sekarang ini si Jalu belum juga memuntahkan lahar panas miliknya sebagai titian puncak asmara seorang pemuda.
Keluhan dan lenguhan datang silih berganti baik dari mulut Jalu dan Rani. Saling pagut, saling lilit dan saling raba dilakukan oleh dua insan yang sedang berlayar di tengah samudra.
"Luar biasa! Sudah begini lama, ia masih bisa bertahan! Benar-benar pejantan tangguh!" pikir Rani. "Kakang Raganata pasti sudah jatuh tertidur sedari tadi."
"Jalu ... " kata Rani di sela-sela lenguhan kecilnya.
"Apa?"
"Kau belum lelah?"
"Belum." jawab Jalu sambil tetap melakukan kegiatannya. Tangan kiri kanan meremas-remas benda kenyal Kumala Rani sedang pinggangnya bergerak maju mundur dengan cepat.
"Aku ada satu permintaan," kata Kumala Rani sambil memejamkan mata menikmati serangan-serangan yang diterima bawah perutnya.
"Apa yang kau minta?"
"Keluar ... kan ... " suara Kumala Rani terhenti karena Jalu melakukan serangan cepat membahana pada liang miliknya. " .. ooohh .. "
"Apa ... "
"Keluarkan ... cairan ... keperkasaanmu di dalam sana ... aku sudah hampir sam ... pai ... sstt ... " Rani berkata sambil menggoyang-goyangkan pantatnya yang besar untuk menambah rasa geli-geli nikmat yang serasa mengaduk-aduk gerbang dalam istana.
"Kau yakin?"
"Cerewet! Cepat lakukan perintahku!" bentak Rani, karena saat ini ia sudah merasakan bahwa gelombang asmara akan datang lebih besar lagi dari sebelumnya dan ia ingin sekali bisa pada saat yang bersamaan si Jalu memuntahkan lahar panasnya.
Si Jalu segera menarik mundur seluruh tenaga yang dipakai.
Srepp! Begitu tenaga ditarik, ia mengganti dengan sebuah tarikan napas lembut, mengalir cepat melewati pori-pori bawah perut dan pada akhirnya sebuah denyutan kuat berjalan cepat dari bawah pusar ke ujung pilar tunggal penyangga langit.
"Terima ini, sayang!" kata Jalu sambil mempercepat gerakan.
Kumala Rani sampai terguncang-guncang, tapi justru inilah yang diharapkannya. Ia pun semakin menggerakkan pinggul dan pantat lebih cepat ... lebih cepat!
"Aaah ... hhh .... hehh ... ssst ... ugh ... "
Bersamaan dengan itu pula, sebentuk denyutan cepat bergerak pada dinding-dinding gua, menjalar cepat menuju ke ujung. Dan akhirnya ...
Jrass ... ! Sebentuk cairan panas menggelegak tersembur keluar diiringi dengan sentakan keras pilar tunggal penyangga langit hingga melesak ke dalam, menekan erat bagian terujung dari dinding dalam gerbang istana kenikmatan. Dan bersamaan dengan itu pula, Kumala Rani mengalami hal yang sama.
Serr ... ! Cairan asmara memancar kuat, bertemu dengan lahar panas di dalam.
Saling sembur dan saling semprot!
Jika tubuh si Jalu menegang sambil mendekat erat punggung si gadis hingga dada padat Rani menempel erat dada bidang si Jalu yang membuat pilar tunggal penyangga langitnya semakin dalam menekan ke gerbang istana terujung, lain halnya dengan Kumala Rani. Tubuhnya melengkung indah ke depan dengan kepala mendongak ke belakang memperlihatkan sebentuk leher jenjang serta sepasang tangan melingkar kuat ke pinggang si Jalu, seakan dengan begitu, ia bisa memperdalam hunjaman pilar tunggal penyangga langit si pemuda. Dada kencang gadis itu semakin membusung.
Delapan-sembilan helaan napas kemudian, tubuh mereka mulai melemas.
"Kau benar-benar pejantan tangguh, Jalu." kata Kumala Rani sambil berpindah posisi setelah gelombang asmaranya mereda. Mereka berdua beristirahat sambil berpelukan erat dimana kali ini posisi Jalu di bawah, sedang posisi Rani berada di atas Jalu, dan tentu saja pilar tunggal penyangga langit masih tercengkeram erat di dalam gerbang istana kenikmatan.
"Mengapa kau katakan begitu?"
Rani pun mulai bercerita tentang masa lalunya pada si pemuda yang telah memberikan berjuta-juta kenikmatan ragawi.
"Dulu ... sekitar dua tahun yang lalu, ditempat ini pula aku serahkan milikku yang paling berharga pada Kakang Raganata, tunanganku. Kami begitu bernafsu melakukannya, dan setelah itu hanya kekecewaan yang aku dapat. Belum pernah aku merasakan seperti apa yang aku rasakan saat bersamamu. Rasanya beda jauh dan jauh beda."
"Benarkah?"
Rani hanya mengangguk pelan, lalu ia merengkuh bahu si pemuda dan melumat bibir dengan lembut serta kaki sedikit di tekuk ke belakang.
Wah ... rujak bibir nih!
"Tapi ... aku hanya merasakan satu keanehan di dalam sana." kata Rani setelah melepas pagutan panasnya. "Cairan keperkasaanmu terasa lain."
"Sebenarnya ... itu bukan cairan keperkasaanku, tapi hawa keperkasaanku."
"Hawa keperkasaan?"
Jalu Samudra mengangguk.
"Hawa ini hanya sebuah saluran tenaga lembut, memang hasil akhir agak sedikit mirip dengan cairan keperkasaan tapi berbeda," kata Jalu, lalu sambungnya, " ... hawa ini berasal dari tekanan udara yang diolah di perut, seperti mengolah tenaga dalam. Untuk memancarkan hawa keperkasaan membutuhkan pengaturan tenaga yang tepat, tidak lebih dan tidak kurang. Ilmu ini dinamakan jurus 'Perjaka Murni'!"
"Apa akibat dari hawa keperkasaan itu?"
"Tidak ada ... hanya rasa nyaman yang menjalari seluruh tubuh. Dan yang pasti ... kau tidak bakalan hamil gara-gara hawa keperkasaanku!" seru Jalu sambil meraih punggung si gadis, bibir ranum di depannya langsung dilumat dengan penuh perasaan. Tentu saja badan segar dengan buah dada sekal dan menantang langsung beradu keras dengan dada bidang si pemuda.
Sementara mulut masih bertautan, Kumala Rani yang mengambil inisiatif terlebih dahulu, segera ia menaik turunkan pantatnya dengan dengan dada terayun-ayun ke depan.
"Hemm ... jurus ini dalam Ilmu "Asmara Pemanah Gadis" dinamakan 'Kunci Pusaka Menemukan Lubang Gerbang'!" pikir Jalu sambil membalas lumatan bibir si gadis.
Jurus 'Kunci Pusaka Menemukan Lubang Gerbang' adalah jurus dimana posisi pasangan duduk bersama dengan kedudukan gadis di atas kaki pria. Kaki sedikit direntangkan hingga kaki sang pria berada di bawah kaki sang gadis. Kemudian kaki gadis ditekankan ke perut pria agar pilar tunggal penyangga langit dapat digerakan maju mundur serta dapat keluar masuk gerbang istana kenikmatan dengan bebas.
"Uhh ... "
Lenguhan dan desahan napas kembali terdengar di tepi danau. Suasana yang menjelang petang justru menambah keromantisan dua insan yang sedang dimabuk asmara itu.
Melihat bongkahan daging kenyal putih mulus bulat indah dan menggairahkan dengan ujung-ujung coklat kemerahan terayun-ayun bebas di depan mata, membuat Jalu semakin bersemangat.
Happ! Dengan sebuah tangkapan mulut yang manis, ujung bongkahan daging sebelah kiri tertangkap mulut, sedang tangan kiri merengkuh pinggang ke depan dan tangan kanan dengan lembut meremas dan memilin benda menggairahkan itu lewat jurus 'Mematuk Keras Dan Berputar Ringan Persis Elang Memecahkan Kulit Gabah'.
Sebentar kemudian, Kumala Rani kembali merasakan gelombang tinggi mendera gerbang istana kenikmatan dengan cepat.
"Ssst ... shhh ... " desisan terdengar saat gadis itu sudah berada di ambang puncak asmara.
Dan ... "Aahhh ... "
Diikuti dengan sentakan-sentakan keras, gadis itu menekankan keras gerbang istana kenikmatannya dalam-dalam!
... tujuh ... delapan helaan napas berlalu. Kembali gadis itu terkulai untuk kesekian kalinya. Kali ini dahaga ragawinya benar-benar terpuaskan. Setelah beristirahat sejenak, Jalu Samudra dan Kumala Rani membersihkan badan masing-masing, tentu saja diselingi dengan remasan dan pagutan-pagutan kecil.
Si Pemanah Gadis " Bab 11
Sebentar kemudian, mereka berdua telah berjalan berendeng menuju ke desa.
Tanpa ketinggalan tongkat hitam Jalu kembali memerankan diri sebagai penunjuk jalan bagi si buta. Lucu juga, sudah bisa melihat dengan sempurna masih menggunakan tongkat penunjuk jalan. dalam hal ini si Jalu mempunyai pendapat sendiri. Waktu di danau, ia pernah sekali bercermin pada air. Terlihat dengan jelas bahwa matanya meski bisa melihat dengan sempurna, tapi tetap berwarna putih seperti orang buta, jadi tidak ada salahnya ia menggunakan tongkat itu.
Yang kedua, tongkat hitam itu adalah warisan satu-satunya dari nenek baik hati yang mengasuhnya sejak bayi. dan yang terakhir, tongkat itu bisa digunakan sebagai senjata, dimana antara ujung ke ujung dikaitkan seutas benang tipis dari kulit ular yang banyak ditemuinya di gua bawah tanah. Jika ditarik dan direntangkan dari tengah, akan membentuk sebuah busur yang kuat.
Busur tongkat hitam digunakan untuk melengkapi '18 Jurus Panah Hawa' dari Aliran Rajawali Terbang yang telah dikuasainya dengan sempurna, meski dengan kemampuannya sekarang, tanpa busur pun ia bisa menggunakan Ilmu 'Tenaga Sakti Kilat Matahari' untuk membentuk hawa panah dahsyat.
Saat malam sudah merembang dan dewi malam sudah bertahta di atas langit, dua muda-mudi berjalan bergandengan tangan sambil bersenda gurau menuju ke sebuah pondok kecil namun terawat rapi. Di kiri kanan tumbuh dengan subur tanaman pisang dan pepaya yang saat itu sedang ranum-ranum.
Tentu saja kedatangan dua orang yang adalah Kumala Rani dan Jalu Samudra diketahui oleh dua laki-laki parobaya yang sedang duduk-duduk sambil menghisap rokok klobot. Yang satu selalu terlihat bergerak lamban sambil membolak-balik sesuatu di tangan, sedang satunya terlihat terkantuk-kantuk menikmati sedapnya klobot yang kini tinggal beberapa hisapan lagi. Siapa lagi jika bukan Suro Keong dan Suro Bledek yang saat itu sedang keheranan melihat kedatangan gadis cantik anak asuh mereka. Kalau pulang sedikit malam sudah bukan hal baru lagi bagi dua orang itu, tapi kini justru terlihat sesuatu yang ganjil.
Kumala Rani pulang dengan menggandeng mesra seorang pemuda!
Tapi itu masih belum seberapa. Yang luar biasa adalah sinar mata gadis itu yang sekarang begitu hidup, begitu riang, begitu cemerlang laksana bintang dan teramat sangat bahagia, hal yang sudah dua tahun tidak dijumpai oleh pasangan Pendekar Tombak Putih dan Si Mulut Guntur.
"Paman Suro! Paman Bledek!" teriaknya nyaring. "Lihat siapa yang datang bersamaku!?"
"Gadis bandel! Kenapa baru malam kau pulang" Kelayapan kemana saja kau?" bentak Si Mulut Guntur.
Kalau perkara bentak membentak, dia nih jagonya!
Rani yang biasanya mengkeret saat dibentak Suro Bledek, kini justru tertawa terkikik-kikik sambil tangan kiri menuding-nuding hidung sang paman.
"hi-hi-hik! Baru kali ini aku tahu ... jika Paman Bledek marah seperti itu, wajahnya benar-benar lucu, hi-hi-hik!"
"Dasar gadis sinting!" umpat Suro Bledek, tapi kali ini tidak begitu keras seperti sebelumnya, "Dengan siapa kau datang?"
"Pacar barumu ya?" tanya selidik Suro Keong.
"Masa' paman berdua sudah lupa" Coba perhatikan baik-baik!" kata Kumala Rani sambil meletakkan bakul cucian di dipan bambu panjang. "Coba tebak deh!"
Suro Keong dan Suro Bledek bangkit dari duduknya, lalu berjalan mengitari pemuda tampan yang berdiri di depan mereka.
Persis dua orang sedang menaksir harga ayam aduan!
Tentu saja si Jalu merasa risih dipelototi dua orang laki-laki seperti mereka.
"Brengsek! Dikiranya aku ayam aduan apa?" makinya dalam hati.
Kalau ngomong keras, ntar dikira ngga sopan dan pasti dapat bonus tempelengan!
"Hemm ... siapa ya?" gumam Suro Keong sambil mengusap-usap dagunya yang klimis.
"Seperti aku pernah melihatmu, bocah ganteng," tutur Suro Bledek, "Aku tahu! ... kau pasti ... "
Tiga orang yang mendengarnya menahan napas saat suara Suro Bledek menggantung.
"Pasti siapa?" tanya Suro Keong tidak tahan.
"Pasti ... pacar barunya gadis bengal itu!" sahut Suro Bledek kemudian.
Plakk! Suro Bledek langsung celeng di tempeleng Suro Keong.
"Setan alas! Kenapa kau memukul kepalaku?" bentak Suro Bledek sambil mengelus-elus kepalanya.
Pening juga dia!
"Goblok benar kau ini! Tanpa kau kasih tahu pun aku juga tahu!" timpal Suro Keong, "Lihat saja wajah keponakanmu itu! Cerah ceria! Mendung saja tidak ada! Itu artinya pemuda buta ini memang pacarnya. Eh ... tunggu ... tunggu dulu!" seru Suro Keong sambil mengamat-amati wajah dan sepasang mata putih pemuda bertongkat hitam itu. "Aaaahh .... aku tahu ... aku tahu ... "
"Apa yang kau ketahui?"
"Kau masih ingat dengan bocah buta yang sepuluh tahun lalu kita temui di ladang?"
"Ingat! Ingat! Lalu kenapa?" tanya Suro Bledek dengan muka ketolol-tololan.
"Siapa?"
"Huuh," dengusnya pelan, "Siapa lagi jika bukan Jalu" Bocah yang dulu ditangisi keras-keras sama gadis bandel itu."
"Siapa yang menangis?" kata Kumala Rani yang sedari awal hanya diam, saling beradu pandang dengan si pemuda bermata putih.
"Lho ... jadi air mata yang mengalir itu bukan air mata, tho?" tanya Suro Bledek dengan wajah ketolol-tololan.
"Paman brengsek!" seru Rani sambil mengayunkan tangan untuk mencubit.
"Ha-ha-ha!"
Suro Keong dan Jalu Samudra tertawa keras melihat gaya bercanda Suro Bledek yang kocak, namun kadang menjengkelkan.
Kini ... pondok kecil itu terlihat ramai.
Tentu saja yang bikin ramai Jalu Samudra yang ketularan penyakit sintingnya Suro Bledek. Gelak tawa bercampur dengan jeritan khas terdengar santer. Hingga saat santap malam tiba, masih saja mereka berempat bersenda gurau seperti keluarga besar.
"Rani ... ada yang ingin Paman katakan padamu." kata Suro Keong.
"Silahkan paman," kata Rani sambil melirik sekilas pada Jalu.
Suro Keong menyodorkan secarik kertas pada gadis itu.
"Bacalah!"
Kumala Rani menerima kertas, dan langsung membacanya dengan seksama. Sebentar kemudian, seluruh mukanya merah padam dengan napas berat tersengal-sengal.
"Gagak Cemani keparat! Tidak ada habis-habisnya kalian mengganggu ketenteraman keluargaku!"
Rupanya surat itu berisi permintaan bantuan dari Nila Sawitri kepada Suro Keong dan Suro Bledek, dimana disebutkan dalam surat bahwa Perkumpulan Gagak Cemani dalam tiga hari mendatang akan membumihanguskan seluruh Partai Naga Langit jika tidak mau memberitahukan tentang adanya Mata Malaikat. Sebab orang-orang Perkumpulan Gagak Cemani, terutama sekali ketuanya, si Gagak Setan Tangan Seribu sangat berkeyakinan bahwa dua orang terakhir murid Perguruan Gunung Putri mengetahui dengan jelas letak keberadaan Mata Malaikat.
Bahkan dari kabar terakhir yang terdengar, Perserikatan Mata Emas telah hancur lebur di tangan orang-orang Perkumpulan Gagak Cemani.
"Kita harus membantu Kangmbok Nila dan Kakang Rangga, Paman!" kata Kumala Rani dengan berapi-api. "Bagaimana menurutmu, Kakang Jalu?"
"Betul katamu, Rani! Orang-orang Gagak Cemani kelihatannya harus diberantas dari muka bumi. Hanya karena kabar burung yang tidak jelas sudah menyusahkan orang banyak," timpal Jalu, lalu tersenyum kecil saat mendengar sebutan "Kakang" untuknya.
Duuuh ... manisnya!
"Kalau begitu ... kita berangkat saja bersama-sama membantu Partai Naga Langit." kata Kumala Rani seraya bangkit dari duduknya.
"Tidak!"
"Kenapa, Paman!?"
"Malam ini biar kami duluan yang berangkat. Besok pagi kalian pergi menyusul ke sana."
"Kenapa kita tidak berangkat bersama-sama saja?" usul Jalu Samudra. "Bukankah itu lebih ... "
"Justru itulah sebabnya kami ingin mendahului kalian." potong Suro Keong, lalu lanjutnya, "Aku dan Bledek akan mengintai seberapa besar kekuatan lawan. Sebab menurut pendapatku, tidak mungkin orang-orang Gagak Cemani hantam kromo begitu saja terhadap Partai Naga Langit." tutur Suro Keong kemudian, lalu lanjutnya, " ... jika berangkat bersama kalian ... aku takut tidak bisa melindungi kalian dengan sebaik-baiknya."
"Bukannya kami meremehkan kepandaian kalian, tapi ini jalan satu-satunya yang bisa kita tempuh." kata Suro Bledek, "kita bantu Partai Naga Langit dari belakang!"
"Benar juga apa kata Paman Suro Keong, Rani!" sahut Jalu sambil menyentuh lembut lengan kiri gadis itu dengan maksud menenangkan, "Cara ini bisa digunakan untuk mengurangi jumlah lawan. Kukira hanya itu cara yang terbaik saat ini!"
Setelah mendengar penjelasan panjang lebar, akhirnya Kumala Rani menyerah juga, "Baiklah! Jika itu memang cara yang terbaik. Kapan Paman berangkat?"
"Sekarang juga!" kata Suro Keong bangkit berdiri diikuti dengan Suro Bledek, lalu melangkah keluar.
"Kutunggu kalian di Gunung Naga," kata Suro Keong, lalu berkelebat cepat menembus kegelapan malam.
wuuss!! Suro Bledek juga melakukan hal yang sama, tapi ia kembali lagi menghampiri dua muda-mudi yang berdiri berjajar itu.
"Apa apa lagi, Paman?" tanya Kumala Rani, heran.
"Kalian berdua kutinggal disini. Ingat jangan macam-macam, ya?" kata Suro Bledek sambil menjungkit-jungkitkan alis, lalu berkelebat cepat menyusul Suro Keong.
"Jangan khawatir, Paman! Kami tidak akan macam-macam kok," seru Rani.
"Tenang saja, Paman! Kami tidak akan macam-macam, cuma ... satu macam saja kok," ucap Jalu dengan diikuti cengiran konyol, setelah mengetahui dengan pasti bahwa dua orang itu benar-benar telah pergi jauh.
"Kau berani?" kata Rani sambil berkacak pinggang.
"Siapa bilang aku tidak berani?" kata Jalu sambil memegang dagu si gadis.
Kumala Rani hanya mendengus lirih saat bibir pemuda tampan yang membuat jantung berdebar-debar keras melumat bibirnya.
"Aku ingin tanya satu hal padamu?" tanya Jalu sambil melepas pagutan mautnya.
Rani hanya mendesah saja, "Apa yang kau tanyakan, Kang?"
"Sejak kapan kau memanggilku Kakang?"
"Aaaah ... brengsek!" seru Rani sambil memukul-mukul pelan dada Jalu.
Apalagi jika bukan pukulan mesra"
"Memangnya kau tidak suka?"
"Tentu saja suka dan ingin sekali." sahut Jalu sambil menangkap dua tangan mulus yang kini menempel di dada bidangnya. "Apakah kau mencintaiku?" tanya Jalu tiba-tiba.
Pertanyaan yang mendadak itu langsung membuat selebar pipi Rani merah merona. Gadis itu hanya mengangguk pelan.
"Sejak kapan?" tanya Jalu sambil memandang lekat mata bening didepannya.
Dengan muka semakin menunduk karena malu, ia berkata, "Sejak kita bertemu. Dan yang pasti sejak Kakang menyelamatkan diriku dari sergapan ular di danau. Mulai saat itu aku sudah berjanji dalam hatiku bahwa aku akan mengabdikan diriku seluruh jiwa raga."
"Lalu ... kenapa kau berhubungan dengan Raganata?" tanya Jalu Samudra.
Suaranya tetap lembut dan tidak ada nada cemburu disana.
Kumala Rani memberanikan diri memandang wajah tampan pemuda yang kini sedang meremas-remas dua tangannya.
"Waktu itu ... aku menduga bahwa kau dicelakai oleh Sembilan Gagak Sakti dan telah tewas. Aku begitu mendendam pada mereka karena mengakibatkan penolongku tewas dan yang lebih menyedihkan, jasadmu lenyap, yang tersisa hanyalah sobekan bajumu saja." Rani berkata sambil melepaskan ikatan pita biru laut di kepalanya. "Inilah sobekan bajumu itu, Kakang Jalu! Sampai sekarang aku masih menyimpannya."
Jalu Samudra begitu terharu melihat ketulusan cinta gadis itu padanya.
"Tapi Rani ... aku khan buta. Tidak bisa melihat ... "
"Sttt!" gadis itu menempelkan jari telunjuk di bibir si pemuda, "Kakang, cintaku tidak mengenal batas! Yang aku cintai adalah hati tulusmu, jiwa budimanmu! Cacat fisikmu tidak menyurutkan langkahku untuk terus mencintaimu. Meski aku pernah menjalin asmara dengan pemuda lain, namun di dasar hatiku yang paling dalam, namamu terukir indah disini." kata Kumala Rani sambil menyentuh dada kiri.
Jalu Samudra semakin terharu mendengar ungkapan rasa cinta gadis itu. Dengan serta merta ia memeluk erat tubuh montok Kumala Rani dan di balas pula dengan pelukan hangat dari si gadis.
Dua muda-mudi yang dulu dipisahkan oleh waktu, kini bisa bersatu kembali meski dalam suasana haru. Disertai ciuman panas membara, bibir dan lidah saling bertaut seperti bertautnya cinta mereka.
"Kakang, kapan kita berangkat?" tanya Rani diantara desahan menggelora, saat pemuda itu menyusuri leher jenjangnya.
"Apa kau begitu tergesa-gesa hingga melewatkan mau malam pengantin kita?"
"Ahhh ... Kakang," gumam Kumala Rani sambil merangkul mesra sebuah gigitan kecil mampir di telinga.
Dengan sigap Jalu membopong tubuh montok Kumala Rani yang segera memeluk erat pundak dan leher Jalu, bahkan disertai desahan manja, entah apa yang diperbuat Jalu pada Rani, sehingga dia bisa berdesah seperti itu.
"Kakang ... "
"Hmmh ... "
"Malam ini aku hanya ingin tidur dalam pelukanmu."
"Tidak mau 'yang lain'?"
"Hi-hi-hik ... Kakang genit ... "
"Baiklah ... Kakang juga lelah gara-gara mandi di danau tadi sore," kata Jalu sambil merebahkan tubuh Kumala Rani diatas kasur empuk, lalu ia menyusul merebahkan diri di samping si gadis yang segera memeluk erat sambil memejamkan mata.
Kali ini ... mereka benar-benar tidur!
-o0o- Si Pemanah Gadis " Bab 12
"Kali ini kita harus bisa mengorek keterangan tentang adanya "Ilmu Sakti Mata Malaikat" pada bekas murid Perguruan Gunung Putri yang tersisa," kata salah seorang yang sebelah kanan, sebab dialah pimpinan rombongan kecil yang terdiri dari tiga puluhan laki-laki.
Tujuh delapan diantaranya masih berusia muda, sekitar sembilan belas tahunan, akan tetapi sorot mata mereka terlihat kejam dan bengis. Sedang yang lainnya berusia rata-rata dua puluh tujuh tahunan. Di bagian pinggang terlilit sabuk kuning dengan garis merah melintang satu, sedang sang pimpinan mengenakan sabuk kuning dengan garis merah melintang tiga. Seluruh tubuh mereka terbalut pakaian abu-abu dengan sulaman burung gagak raksasa merentangkan sayap di bagian punggung.
Diantara mereka semua, dialah yang ilmunya paling tinggi.
Dan uniknya, semua orang-orang Perkumpulan Gagak Cemani selalu memberikan nama 'gagak' di depan nama mereka.
"Kakang Gagak Ludira, apa rombongan yang lain sudah sampai di tempat yang direncanakan ketua?" tanya salah seorang yang bernama Gagak Angkeran.
"Aku sudah mengirim sandi 'Api Gagak Suci' untuk memberitahukan posisi kita berada saat ini," ujar Gagak Ludira menanggapi pertanyaan Gagak Angkeran. "kau tidak perlu khawatir, Adi Gagak Angkeran."
"Kali ini Ketua membagi kita dalam enam kelompok kecil ... hampir seluruh murid tingkat dua dan enam orang murid tingkat satu dikerahkan semua. Andaikata murid utama ketua, yaitu Sembilan Gagak Sakti tidak tewas sepuluh tahun yang lalu, mungkin kita masih melanjutkan pelajaran silat kita."
"Memang tewasnya Sembilan Gagak Sakti membuat kita semua kelimpungan, sebab secara tidak langsung mereka bersembilan adalah tulang punggung Perkumpulan Gagak Cemani. Kehilangan satu saja sudah merupakan tamparan berat bagi kita, tapi kita justru kehilangan mereka bersembilan sekaligus. Entah siapa yang bisa membantai mereka bersembilan yang kita tahu ilmunya hanya dua tingkat saja di bawah Ketua kita," papar Gagak Ludira.
Pandang matanya menyapu seluruh teman-temannya, dan kemudian ia menemukan sebuah wajah muram.
"Apa ada, Angkeran" Kulihat kau sedang ada masalah serius?"
"Kakang, kali ini firasatku mengatakan akan terjadi sesuatu yang luar biasa di tempat ini," gumam Gagak Angkeran.
"Apakah firasat buruk?" tanya yang paling muda, ia bernama Gagak Berpedang Sakti.
"Entahlah. Aku sendiri tidak tahu." gumaman kali ini agak sedikit keras.
"Kakang Gagak Ludira, apa menurutmu Partai Naga Langit adalah memang tempat munculnya "Ilmu Sakti Mata Malaikat" yang sesungguhnya" Jangan-jangan cuma kabar angin saja."
"Jaga mulutmu, Gagak Rambata!" bentak Gagak Ludira pada Gagak Rambata, " ... yang menyatakan tempat kemunculannya Mata Malaikat di Partai Naga Langit adalah guru Ketua sendiri, Ki Gagak Surengpati. Apa kau meragukan kemampuan ilmu nujum beliau?"
"Tidak Kakang, sama sekali tidak! Hanya saja aku merasa heran, sudah sepuluh tahun lamanya kita memburu "Ilmu Sakti Mata Malaikat" tapi hasilnya tidak ada. Bahkan beberapa perguruan silat telah kita hancurkan dan yang terakhir kali ... Perserikatan Mata Emas, yang dikatakan sebagai tempat keberadaan "Ilmu Sakti Mata Malaikat", tapi tidak ada hasilnya sama sekali," sahut Gagak Rambata membela diri. "Jelas tidak mungkin ilmu bisa berpindah-pindah seenaknya seperti itu?"
Gagak Ludira hanya mendengus saja, meski dalam hatinya ia pun mulai goyah dalam keyakinan.
"Benar juga apa kata Gagak Rambata! Semua perguruan yang dihancurkan adalah tempatnya orang-orang aliran putih yang sebagian besar memusuhi perkumpulan kami. Jangan-jangan ini merupakan siasat adu domba yang dilakukan oleh guru Ketua. Tapi tidak mungkin guru Ketua setega itu pada murid kesayangannya?" pikirnya.
Sementara itu, di balik rimbunnya pohon-pohon raksasa yang ada di sekitar tempat itu, dua sosok manusia duduk mengintai di atas ketinggian. Helaan napas mereka sudah menyatu dengan alam, sehingga orang sehebat Gagak Ludira tidak akan bisa mengetahui keberadaan mereka. Rupanya, dua saudara seperguruan Suro Keong dan Suro Bledek sudah sampai terlebih dahulu di tempat itu.
"Hemm, mereka ada bertiga puluh, apa perlu kita sikat sekarang?" bisik Suro Bledek, namun meski berbisik tetap saja suaranya keras.
"Bledek, rendahkan sedikit suaramu," bisik pula Suro Keong, " ... mereka bukan orang-orang berilmu rendah."
"Aku tahu!" bisiknya dengan nada lebih rendah lagi, "Ini sudah jadi ciri khasku. Apa perlu kuserang dengan jurus 'Mulut Guntur'-ku?"
"Jangan, nanti kita ketahuan."
"Lalu bagaimana caranya membunuh mereka tanpa ketahuan siapa diri kita. Ilmu-ilmu kesaktian kita sudah banyak dikenali orang-orang persilatan ... "
"Kita berdua masih punya ilmu sakti yang belum pernah kita gunakan sama sekali."
"Ilmu apa?" bisik Suro Bledek setelah berpikir keras.
"Kau ingat dengan jurus 'Memindah Bayangan' dan jurus 'Kelereng Arwah'" Bukankah tidak ada yang mengetahui ilmu itu selain kita berdua dan dua keponakanmu."
"Benar juga! Rata-rata orang persilatan mengenalmu dengan "Ilmu Pukulan Tombak Akherat" dan aku dengan jurus 'Mulut Guntur', tapi tidak ada yang tahu kalau kita punya ilmu sakti yang tingkatannya lebih tinggi dari ilmu yang biasa kita gunakan." kata Suro Bledek manggut-manggut, "Sekarang tunggu apa lagi?"
"Biarkan matahari berada tepat di atas kepala!"
"Kenapa harus menunggu selama itu?"
"Bego benar kau ini! Kalau kita gunakan sekarang, mereka pasti bisa menduga siapa bayangan yang tiba-tiba menyerang mereka. Kalau matahari tepat di atas kepala, akan sulit menentukan kita ini manusia atau setan?"
"Ooo ... betul juga kau!" bisik Suro Bledek, "Baiklah! Kita perpanjang sedikit umur mereka hingga tengah hari, toh juga tidak lama lagi."
"Itu baru sobat karibku!" bisiknya sambil menyenggol rusuk kiri Suro Bledek.
Hampir saja orang tua itu terjatuh jika tidak segera berpegangan pada ranting yang ada di samping kanan.
Sementara itu, matahari yang semula berada di ufuk timur sedikit demi sedikit bergeser ke barat, dan tepat di tengah hari, dua sosok bayangan samar bergerak lincah dari sesekali menjentikkan jari ke arah kerumunan orang-orang Perkumpulan Gagak Cemani.
"Awas serangan gelap!" seru Gagak Ludira sambil berkelit ke samping.
Jrub! Jrub! Jrub!
Tiga lesatan benda bulat sebesar kelereng melesat dalam-dalam di tanah menimbulkan kepulan asap. Akan tetapi serangan bayangan yang sulit sekali ditentukan bentuk dan rupanya kembali melakukan serangan kilat. Kali ini enam orang langsung terkapar menjadi mayat saat dahi mereka tertembus benda-benda kecil pembawa maut.
Jrub! Jrub! Crook! Crook!
"Ahh ... " jerit kematian terdengar bersamaan dengan tumbangnya enam orang sekaligus.
Gagak Berpedang Sakti dengan bergulingan di tanah segera mencabut pedang yang ada di punggung.
Srangg! Secepat ia mencabut pedang, secepat itu pula ia mengayunkan benda tajam ke bagian tengah bayangan samar yang memunggunginya.
Bless! Aneh, pedang itu berhasil menebas dengan tepat tapi seperti memotong bayangan, bahkan terdengar jerit kesakitan saja tidak!
"Eh?" Gagak Berpedang Sakti terperanjat, "Ini ... bukan manusia?"
Keterperanjatan Gagak Berpedang Sakti harus ditebus dengan mahal. Dua butir benda sebesar kelereng langsung menembus dada kiri dan mata kanan dengan telak.
Jrub! Crook! "Ughh ... " terdengar lenguhan pendek sebelum akhirnya ia terkulai melepas nyawa.
Benar-benar cepat nyawa pemuda itu pergi!
Kali ini firasat buruk yang dirasakan Gagak Angkeran benar-benar menjadi kenyataan. Bahkan pemuda itu sebisa mungkin berkelit kesana kemari dengan jurus peringan tubuh sambil membagi-bagikan serangan bertenaga dalam tinggi, harus rela melepaskan nyawa satu-satunya yang ia miliki. Lehernya tertembus benda bulat yang sebelumnya telah merenggut nyawa Gagak Berpedang Sakti.
Jrubb! "Ukkh ... khekk ... "
Hanya terdengar suara mengorok nyaring, kemudian ia ambruk dengan tubuh berkelojotan dan akhirnya ... mati juga!


Si Pemanah Gadis Karya Gilang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Biadab! Ilmu apa ini?" keluh Gagak Ludira sipat kuping menghindari serangan-serangan gencar dari dua bayangan yang berkelebat cepat bagai malaikat maut pencabut nyawa.
"Serangan pukulan-pukulan sakti tidak berguna sama sekali. Dua bayangan ini benar-benar seperti bayangan yang sesungguhnya, bisa menembus benda apa saja." gumamnya sambil bersalto ke atas menghindari lontaran benda bulat yang mengarah ke dada.
Wutt! Serangan bayangan melesat lewat di bawah kakinya, tapi dua orang yang di belakanglah yang menjadi korban.
Jrubb! Jrubb! Kembali dua nyawa melayang ke neraka.
Dua bayangan samar yang melihat hasil karya mereka, semakin mempergencar pola serangan yang semakin hebat.
Wutt! Wutt! Jrubb! Jrubb!
Kali ini orang-orang Gagak Cemani harus ketemu batunya. Dua orang tokoh kelas tinggi rimba persilatan yang cukup terkenal adalah lawan yang tidak sepadan dengan mereka, apalagi mereka menggunakan jurus-jurus aneh dan langka, yaitu jurus 'Memindah Bayangan' dan jurus 'Kelereng Arwah' yang saat ini hanya dikuasai dengan sempurna oleh Pendekar Tombak Putih dan Si Mulut Guntur.
Sepeminuman teh kemudian, dua puluh sembilan mayat terbujur kaku malang melintang di sana-sini, sedang yang seorang yaitu Gagak Ludira masih dengan lincah menghindari sergapan-sergapan benda bulat sebesar kelereng yang kemana-mana selalu mengejarnya.
Wutt! Wutt!! Gagak Ludira berusaha menghindari serangan yang tiba-tiba saja sudah berada tepat di depan mata dengan mendongak ke belakang, tapi terlambat!
Jrubb! Dahinya sempat terserempet benda pembawa maut. Kepalanya bagai pecah saat rasa panas menyengat merebak di jejak luka berdarah di dahi.
"Ughh ... pecah kepalaku ... " gumamnya sambil memegang erat kepala dan dahinya yang kini berlinang darah merah.
Darah merah itu begitu panas bagai dimasak pada kuali mendidih.
Sambil terhuyung-huyung, kembali Gagak Ludira berusaha menghindari serangan beruntun.
Wutt! Wutt! Dua tiga serangan berhasil di hindari, tapi hujan serangan yang kian banyak membuatnya tidak bisa bergerak leluasa, apalagi ditambah dengan mata berkunang-kunang karena hawa panas menyengat.
"Uuhh .. kalian pasti setan gentayangan!" serunya keras saat melihat tiga serangan beruntun mengarah ke tiga jalan darah kematian ditubuhnya.
Jantung, ulu hati dan ubun-ubun!
Jrubb! Jrubb! Jrubb!
Tiga benda maut yang berasal dari jurus 'Kelereng Arwah' sukses menembus jantung, ulu hati dan ubun-ubun hingga ke belakang.
Dan tentu saja ... orang tingkat satu rombongan kecil itu menyusul rekan-rekannya yang lain.
Begitu selesai dengan pekerjaannya, dua bayangan itu mendadak menghilang begitu saja.
Lenyap bagai dtelan bumi!
Di atas pohon ...
"Kali ini kita berhasil mengurangi jumlah lawan. Entah berapa banyak orang-orang Gagak Cemani yang akan menyerang Partai Naga Langit," kata Suro Keong.
"Dari apa yang berhasil aku sadap tadi, mereka mengerahkan hampir seluruh kekuatan yang ada."
"Benar-benar gawat keadaan sekarang ini. Kita harus bergerak cepat dalam mengurangi jumlah lawan."
"Benar katamu. Ayo kita cari yang lain!" kata Suro Bledek sambil berkelebat cepat, diikuti Suro Keong yang berada dibelakangnya.
Blass! Blass! Sebentar kemudian, terlihat dua titik hitam di kejauhan!
-o0o- Si Pemanah Gadis " Bab 13
"Berapa jumlah mereka?" tanya seorang pemuda berbaju biru laut pada dara cantik di sebelahnya.
"Sekitar tiga puluhan orang, mungkin lebih," jawab si gadis tanpa mengalihkan pandangan.
"Banyak juga! Jika langsung diserang mendadak, mungkin sembilan sepuluh orang bisa kita bereskan, justru sisanya itulah yang paling merepotkan," bisik si pemuda lirih.
"Kenapa dulu aku tidak belajar melempar pisau terbang atau senjata rahasia," sahut lirih si gadis. "Kakang Jalu, kau pernah belajar menggunakan senjata rahasia?"
"Belum pernah, Rani!" kata Jalu dengan singkat.
Mata putih menatap nanar pada sekumpulan orang yang sedang menyantap daging ayam bakar.
Saat ini mereka berdua sedang bertengger di atas sebuah dahan yang cukup besar dengan duduk bersebelahan. Pohon tempat persembunyian mereka berada dalam jarak aman sehingga lawan tidak bisa mendeteksi keberadaan dua insan itu.
"Bagaimana kalau kita serang sekarang juga?" kata Rani sambil mengarahkan dua jari tangan lurus kencang.
"Jangan gegabah! Dengan jurus pukulanmu mereka akan mengenali siapa kau adanya," cegah Jalu sambil menyentuh lembut lengan gadis itu.
"Lalu kita harus bagaimana?" tanya Kumala Rani sambil menurunkan tangan.
Pemuda itu tidak menjawab. Tangan kiri meraih tongkat kayu hitam, tangan kanan menarik pelan seutas tali hitam, lalu sedikit direntangkan mundur.
Sebuah busur kini terentang!
"Apa yang Kakang lakukan?"
"Membuat hujan turun dari langit." kata si Jalu sambil mengarahkan busur ke atas.
Ilmu "Tenaga Sakti Kilat Matahari" tingkat empat dikerahkan dengan cara menghimpun tenaga kilat dan melontarkan hawa matahari yang ada di pusar.
Swoshh ... !!! Sebentuk tenaga berupa kilatan cahaya kuning kebiru-biruan merambat keluar melewati tangan kanan dan kiri, lalu membentuk empat buah benda bulat kecil memanjang sepanjang setengah tombak. Rupanya dengan Ilmu "Tenaga Sakti Kilat Matahari", Jalu Samudra bisa membuat anak panah sejumlah empat sekaligus, dimana mata anak panah berbentuk kepala burung rajawali dengan tangkai yang memancarkan cahaya bening kuning kebiru-biruan.
"Ilmu apa lagi yang mau digunakan Kakang Jalu?" pikir Kumala Rani takjub, "Hebat juga dia bisa membuat anak panah dari pancaran hawa tenaga dalamnya. Entah darimana ia mempelajari ilmu unik ini."
Kali ini Jalu Samudra mengerahkan jurus "Hujan Turun Dari Langit" yang merupakan salah satu bagian dari '18 Jurus Panah Hawa' dari Aliran Rajawali Terbang yang diwarisinya dari Dewa Pengemis. Begitu empat anak panah telah terbentuk sempurna, dengan sedikit tarikan yang semakin mengencangkan busur, Jalu melepaskan tali yang direntang.
Sasarannya adalah ... matahari!
Srett! Twanggg!
Empat anak panah terlepas dari busur. Bagaikan burung rajawali langsung melesat cepat ke angkasa menuju matahari.
"Apa yang Kakang panah" Bukankah mereka ada di bawah sana"' kata Kumala Rani sedikit kesal setelah mengetahui serangan panah tidak ditujukan pada orang-orang Gagak Cemani yang ada dibawah sana.
Jalu Samudra hanya tersenyum ringan.
"Edan! Ditanya baik-baik malah senyam-senyum mirip orang sinting." pikir Rani, " ... tapi kalau dilihat-lihat, senyumannya manis juga."
Sementara itu, rombongan kecil itu tidak menyadari bahaya yang mengancam.
"Apa itu?" tanya salah satu diantara mereka yang makan sambil tiduran hingga bisa menatap langit biru sehingga bisa melihat sekawanan benda kecil berwarna hitam bergerombol di atas sana
Salah seorang berkomentar, "Cuma sekawanan burung yang mau kawin. Apa anehnya?"
Beberapa orang tertawa pelan mendengarnya.
Tess! Setitik air bening menetes dan mengenai lengan kanan orang baru saja berkomentar.
"Lho, ini khan air hujan" Masak siang benderang ada air hujan?" katanya sambil mendongak. " ... tapi ... kenapa rasanya panas menyengat ya?" katanya lagi sambil mengusap-usap lengan yang terkenan tetesan air hujan. Semakin diusap justru semakin membengkak besar.
Belum lagi hilang keterkejutan mereka, datanglah bencana yang sangat mengejutkan.
Kali ini justru nyawa mereka yang terkejut bukan alang kepalang!
Bagai dicurahkan dari langit, titik-titik air maut berbentuk panah berkepala rajawali langsung menerjang bagai hujan lebat dari langit.
Bress! Bress! Bessh!
"Huahhh ... aakhh .... ugh ... "
"Panas ... panass ... tolooong ... "
Jerit lengking kematian terdengar keras bagai membelah bumi mengguncang langit. Tiga puluh orang itu tubuhnya seketika melepuh bagai tersiram air panas dan kulit terkelupas bagai disayat pisau. Beberapa diantara mereka yang sudah tidak tahan dengan rasa sakit dan panas menyengat bagai terkena sambaran kilat, langsung memukul kepala mereka sendiri.
Bunuh diri! Sisanya dengan bergulingan di tanah, berkelojotan meregang nyawa. Teriakan kepanasan dan minta tolong mengiringi jerit kematian kini telah mereda dan dalam waktu yang hampir bersamaan pula mereka melepas nyawa.
Mati dengan kondisi mengenaskan!
Tapi kematian mereka masih berlanjut. Saat hujan panah buatan akibat jurus "Hujan Turun Dari Langit" yang dikerahkan Jalu Samudra menggunakan tingkat empat dari Ilmu "Tenaga Sakti Kilat Matahari" berhenti, tubuh mereka mulai meleleh, mencair dan akhirnya menyatu ke dalam tanah.
Dari tanah kembali tanah!
"Bukan main! Jurus yang baru saja kau peragakan betul-betul jurus maut!" kata Kumala Rani dengan bergidik ngeri saat melihat orang-orang Gagak Cemani tewas terbantai tanpa perlawanan.
"Hemm ... aku sendiri tidak menyangka kalau jurus yang kugunakan begitu mengerikan akibatnya," sahut Jalu Samudra menyesali diri.
"Kau tidak perlu menyesalinya, Kakang Jalu!" hibur Kumala Rani pada pemuda yang semakin membuatnya kagum, "Jika dibandingkan dengan perbuatan mereka, perbuatanmu tadi tidak sebanding dengan mereka."
"Meski begitu, mereka juga manusia sama seperti kita."
"Kalau saja pikiran mereka sama dengan apa yang Kakang pikirkan, tentu aku akan sangat mengasihani mereka. Tapi pikiran mereka tidak seperti itu, Kakang," ucap Kumala Rani, sambungnya, " ... yang mereka pikirkan hanyalah kesenangan diri mereka sendiri, perkara orang lain menderita akibat perbuatan mereka ... itu sudah urusan lain."
Sambil menghela napas, Jalu berucap, "Mungkin yang katakan tadi benar, Rani! Tapi aku ... "
"Sudahlah, tidak usah Kakang memikirkannya." kembali Rani menghibur, "Jika mereka tidak dihabisi sekarang, tentu orang-orang Partai Naga Langit dan penduduk di sekitarnya yang akan menjadi korban."
Jalu Samudra mengangguk-anggukkan kepala.
Kumala Rani sedikit berjinjit dan ...
Cupp! Sebuah ciuman hangat mendarat di pipi kiri Jalu.
Jalu hanya mengusap pelan pipi kiri yang baru saja mendapat ciuman.
"Kita pergi dari sini, siapa tahu masih ada kelompok yang lain," kata Jalu sambil menggandeng tangan Rani dan berkelebat turun.
"Selain kau pandai memanah mati orang, ternyata Kakang juga pandai memanah hati seorang gadis." kata Kumala Rani dengan mesra, lalu ia bergerak ke punggung Jalu.
Apalagi jika bukan minta digendong"
Sebab selama dalam perjalanan menuju Partai Naga Langit, Kumala Rani berada dalam gendongan Jalu. Andai saja hawa tenaga dalam gadis itu sudah mencapai tingkat tinggi, bisa saja ia menyamai kecepatan lari yang dikerahkan Jalu.
Dan jika tidak dalam kondisi tergesa-gesa, Jalu inginnya berlama-lama dengan dara cantik yang ada dalam gendongannya, dan tentu saja Jalu dengan senang hati menggendong si gadis cantik, sebab dengan begitu punggungnya akan terasa nyaman saat dua gumpalan daging padat di dada Kumala Rani menekan hangat.
"Ahhh ... yang bener?"
"Benerr!" kata rani sambil mencuri cium dari samping, "Contohnya ya ... aku ini! Sekali panah ... langsung kena!"
"Bagaimana jika aku memanah gadis lain?" tanya Jalu sambil berkelebatan diantara lebatnya pepohonan.
"Ehhmm ... tidak masalah bagiku!"
"Kau ... tidak cemburu jika aku juga bercinta dengan gadis lain?"
"Tidak!"
"Kenapa tidak?" tanya Jalu dengan heran.
"Karena kau buta! Jadi andai seribu orang gadis cantik dari negeri mana pun berhasil kau panah sekaligus, aku tidak bakalan cemburu padamu."
"Hanya itu saja?" tanya Jalu semakin heran, " ... padahal aku tidak buta lho... " sambungnya.
"Aku tahu, tapi apa yang aku katakan tadi adalah benar, asal ... "
"Asal apa?"
"Asal Kakang tidak menggeser hatimu untukku! Dan selama dalam relung hatimu yang paling dalam tetap ada nama Kumala Rani yang tercinta disana." bisik gadis itu di telinga Jalu, " ... itu sudah cukup bagiku!"
"Gadis ini benar-benar berlapang dada. Tidak percuma aku mencintainya sepenuh hati," pikir Jalu sambil sesekali menjejakkan kaki di pucuk-pucuk daun.
Wesss! "Yang namanya pendekar khan harus punya gelar, Kakang. kurasa Kakang pun juga harus memilikinya sebagai tanda pengenal kependekaran," kata Kumala Rani dari belakang.
"Apa itu harus!?"
"Harus itu! Masak jagoan ngga punya gelar, sih?"
"Terus ... kira-kira gelar apa yang pas bagiku menurutmu, sayang?" tanya Jalu Samudra sambil tangan kiri mencubit ujung hidung Kumala Rani yang ada dalam gendongannya.
"Emmh ... sebentar kucarikan nama dulu," gumam Rani sambil berpikir, "Kalau Dewa Panah ... kurang cocok. Jika si Pemanah Sakti ... juga tidak bagus. Pemanah Buta" Ihh ... jelek banget! Ahaa ... aku tahu!"
"Apa?"
"Kakang lebih pantas disebut ... Si Pemanah Gadis! Kukira gelar itu lebih cocok untukmu." cetus Rani, "Bagaimana, bagus tidak?"
"Hemm ... Si Pemanah Gadis?" gumam si Jalu sambil meluncur ke bawah, menghindari ular yang baru saja mengeluarkan kepala dari atas dahan pohon. "Apa tidak kedengaran seperti lelaki hidung belang, tuh?"
"Tenang Kakang, aku sudah memikirkannya. Kalau lelaki hidung belang, jelas Kakang tidak masuk hitungan. Sebab yang namanya lelaki hidung belang pasti menggunakan segala tipu daya dalam menghadapi para gadis mau pun istri orang dan pasti tujuan mereka hanyalah tubuh para korbannya. Sedang Kakang tidak! Kakang lebih alami, lebih apa adanya. Tidak ada yang direkayasa atau dibuat-buat. Semua serba asli, dan yang pasti ... " urai Rani memperjelas maksudnya memberi gelar aneh pada Jalu Samudra, kekasihnya. " ... hidung Kakang tidak belang, tapi mancung. Hi-hi-hik!" kata Rani sambil terkikik geli, mirip benar dengan kuntilanak mau beranak.
Si Pemanah Gadis, itulah gelar kehormatan yang dipilihkan Kumala Rani untuk kekasihnya tercinta!
Setelah sekian lama mengitari lereng Gunung Naga, Jalu Samudra dan Kumala Rani menemukan orang-orang Perkumpulan Gagak Cemani dan dengan jurus "Hujan Turun Dari Langit" pula, pemuda berbaju biru berhasil mengurangi jumlah lawan yang akan menyerang Partai Naga Langit. Tidak kurang empat kelompok berhasil dilumpuhkan pasangan muda-mudi itu.
Yang satu cantik jelita dan satunya tampan rupawan!
"Kakang ... kita sudah melumpuhkan empat kelompok. Jika ditotal sekitar seratus dua puluhan orang." kata Kumala Rani, sambil menyantap ayam panggang, "Tentu mereka masih banyak yang berkeliaran di tempat ini. Aku hanya berharap Paman Suro Keong dan Suro Bledek pun melakukan pengurangan jumlah lawan yang cukup berarti. Sebab kekuatan Partai Naga Langit selain terletak pada Kakang Rangga dan Kangmbok Nila, tidak ada yang bisa diandalkan, kecuali Partai Naga Langit dibantu pendekar lain selain kita."
"Kupikir juga begitu. Meski baru saja muncul di jagad persilatan, nama Partai Naga Langit cukup diperhitungkan juga, terutama Ketuanya, Si Pedang Naga Perkasa," sahut Jalu.
"Jika ada bantuan lain, kemungkinan besar dari Perguruan Catur Bawana dan Kuil Langit," kata Kumala Rani.
"Perguruan Catur Bawana dan Kuil Langit yang terkenal itu?"
"Perguruan Catur Bawana masih ada hubungan dengan kami berdua, karena kami berdua adalah cucu dari wakil Ketua Perguruan Catur Bawana dari garis ayah, sedang Kuil Langit adalah tempat asal perguruan Kakang Rangga Wuni, bisa dikatakan bahwa dia berguru di tempat itu, meski sekarang tidak resmi."
"Secara tidak resmi, maksudmu ... dia mencuri belajar ilmu silat disana?"
"Tidak, Kakang! Kebetulan Kakang Rangga Wuni pernah membantu Kuil Langit dari serbuan beberapa pentolan aliran hitam yang pada waktu itu sedang dalam silang sengketa Kitab "Langit Sakti" dan akhirnya, Kakang Rangga diangkat sebagai tamu kehormatan Kuil Langit dan dianugerahi jurus "Pedang Aliran Naga" yang kini digunakan sebagai ilmu khas Partai Naga Langit."
"Ooo ... begitu rupanya!"
Mereka makan sambil bercakap-cakap.
"Rani, apa puncak Gunung Naga masih jauh dari tempat ini?"
"Tidak seberapa jauh, paling juga tidak sampai tengah malam nanti kita sudah sampai disana. memangnya kenapa?"
"Aku capek gendong kamu terus ... "
"Beneran nih?"
"Tidak, kok cuma bercanda!" seru Jalu sambil meringis kena cubitan si gadis, lalu ia berkata sambil mengelus-elus lengannya, "Kita harus secepatnya sampai Partai Naga Langit, sebab aku merasakan firasat buruk jika kita datang terlambat."
Kumala Rani tercenung sebentar, dalam hati ia berkata, "Daya batin orang buta biasanya lebih peka membaca alam dari pada orang normal. Mungkin firasat Kakang Jalu ada benarnya."
"Kalau begitu kita berangkat sekarang," kata Kumala Rani sambil bangkit berdiri.
"Ayo!"
Keduanya segera melesat pergi, dan kali ini tujuannya adalah Gunung Naga, tempat berdirinya Partai Naga Langit!
-o0o- Si Pemanah Gadis " Bab 14
Yang namanya matahari, mau dibenamkan lumpur mana saja tetap akan bersinar dan menghangatkan!
Begitu pula dengan Partai Naga Langit yang bermarkas di puncak Gunung Naga.
Saat mendengar bahwa Partai Naga Langit yang diKetuai Pedang Naga Perkasa mendapatkan musibah lewat burung merpati, beberapa orang tokoh dari Perguruan Catur Bawana dan Kuil Langit telah berdatangan memberikan bantuan. Tujuh murid tingkat pertama dari Perguruan Catur Bawana yang dijuluki Tujuh Dewa Catur di kalangan persilatan dimana mereka bertujuh terkenal dengan jurus unik 'Tujuh Bintang Catur' telah hadir. Mereka terdiri dari Catur Satu, Catur Dua, Catur Tiga, Catur Empat, Catur Lima, Catur Enam dan Catur Tujuh sebagai pimpinannya.
Sedang dari Kuil Langit hanya mengirim dua utusan, satu Maharsi (pendeta) dan satu orang parobaya berkulit hitam legam (dalam bahasa jawa disebut keling) bertangan buntung sebatas pundak. Meski cuma dua orang, tapi mereka berdua bukan orang sembarangan. Siapa yang tidak kenal dengan Si Telapak Langit atau Maharsi Manikmaya dan Ki Jliteng, Si Dewa Kaki Kilat yang tersohor lewat Ilmu "Tendangan Api Membara". Konon kabarnya Maharsi ini mendalami Ilmu 'Telapak Sakti Dewa' yang merupakan ilmu ke tujuh dari delapan ilmu-ilmu sakti yang ada di Kitab "Langit Sakti", sedang Ilmu "Tendangan Api Membara" merupakan ilmu ke lima dari kitab sakti tersebut. Justru karena cacat raga yang dimilikinya menjadikan ilmu ini semakin menunjukkan kehebatannya.
Jurus "Pedang Aliran Naga" juga merupakan ilmu pilih tanding, tapi masih kalah jauh dengan ilmu Ilmu 'Telapak Sakti Dewa' dan Ilmu "Tendangan Api Membara", karena jurus pedang ini merupakan ilmu pertama dari Kitab "Langit Sakti". Meski hanya tahap pertama, sudah bisa membuat Rangga Wuni sebagai tokoh silat yang diperhitungkan oleh lawan mau pun kawan.
Sementara itu, Suro Keong, Si Pendekar Tombak Putih dan Suro Bledek, Si Mulut Guntur juga telah berada di tempat itu. Mereka berdiri bersebelahan dengan Nila Sawitri dan Rangga Wuni, sedang Tujuh Dewa Catur dan dua utusan dari Kuil Langit berdiri di kiri dan kanan mereka. Akan halnya Jalu Samudra dan Kumala Rani tidak terlihat diantara mereka yang ada disitu, entah apa yang sedang dilakukan pasangan kekasih itu.
Beberapa orang yang merupakan murid-murid angkatan pertama Partai Naga Langit juga berada di tempat itu. Pada mulanya Si Pedang Naga Perkasa sudah memerintahkan murid-muridnya yang rata-rata anak petani yang ada di sekitar lereng Gunung Naga agar menyingkir terlebih dahulu dari kancah pertikaian, namun hanya sebagian kecil saja yang menuruti perintah sang guru, itu pun hanya murid-murid perempuan yang baru beberapa bulan belajar silat di tempat itu. Sedang sisanya murid-murid bandel yang ingin membela kehormatan partai mereka.
Rangga Wuni sebagai guru muda begitu terharu melihat pengorbanan murid-muridnya, dan ia bertekad sebisa mungkin menghindari pertumpahan darah yang tidak perlu, terutama di pihaknya. Meski ia menyadari bahwa dalam setiap pertempuran, membunuh atau dibunuh sudah biasa terjadi.
Sementara itu, di hadapan orang-orang Partai Naga Langit berdiri puluhan orang dengan senjata telanjang terhunus. Sorot mata mereka terlihat kejam dan bengis. Rata-rata di bagian pinggang terlilit sabuk kuning dengan garis merah melintang satu, sedang tiga mengenakan sabuk kuning dengan garis merah melintang tiga, dimana seluruh tubuh mereka terbalut pakaian abu-abu dengan sulaman burung gagak raksasa merentangkan sayap di bagian punggung.
Yang paling depan berdiri seorang kakek renta dengan dayung baja di tangan kiri. Meski tubuhnya ringkih seperti pohon mau tumbang, tapi jangan diremehkan kesaktiannya. Dialah yang digelari Si Kakek Nelayan Dari Laut Utara. Jurus silat menggunakan dayung baja sama ringannya bagaikan membawa segumpal kapas.
Di sebelah kiri Si Kakek Nelayan Dari Laut Utara berdiri seorang perempuan cantik tinggi langsing dengan dandanan menor serba merah. Potongan baju bagian depan dibuat serendah mungkin sehingga terlihat jelas sumbulan gumpalan daging kenyal yang menggoda. Sebentuk bibir di poles tebal dengan pemerah bibir, lengkap dengan bedak tebal di wajah. Belum lagi dengan tingkahnya yang genit, saat mana mata besarnya selalu lirik sana lirik sini seperti mata maling yang mau mencuri jemuran.
Saat melihat beberapa pemuda tampan dan masih muda di pihak Partai Naga Langit, membuat mata itu berbinar-binar kegirangan sehingga tanpa sadar berulang kali ia membasahi bibir. Jelas terlihat bahwa sebenarnya wanita cantik yang memang aslinya sudah berusia lanjut sekitar tujuh puluhan tahun sangat menggemari perjaka-perjaka muda dan tampan, apalagi jika tidak untuk melampiaskan nafsu bejatnya. Dialah yang disebut sebagai Dewi Cabul Teratai Merah. Selain memiliki ilmu awet muda yang bernama Ilmu 'Serap Sukma' yang selain bisa membuat awet muda pada kaum hawa, namun jika diarahkan pada pemuda perjaka, mereka merubah diri menjadi kuda binal yang sulit dikendalikan nafsunya.
Konon kabarnya, ilmu ini juga bisa menyerap kemurnian seorang gadis hingga korban menjadi kering kerontang dan raganya berubah seperti seorang nenek-nenek menjelang ajal, dan kabarnya pula, tidak ada satu obat pun yang bisa menghentikan menjalarnya Ilmu 'Serap Sukma' kecuali ada orang yang memiliki tenaga dalam langka dan unik. Bahkan siapa saja yang menyentuh korban Ilmu 'Serap Sukma' akan ikut tertular dan bernasib sama dengan korban yang ditolongnya.
Di sebelah kanannya berdiri pula seorang kakek yang masih terlihat ketampanannya di masa muda. Dari muda hingga jadi tua bangka seperti ini, tetap saja kegemarannya melahap daun muda tidak pernah berhenti, semakin tua semakin menjadi-jadi. Tak peduli ia anak gadis orang atau istri orang, jika sudah nafsu birahi menguasai diri, membunuh orang yang menghalangi keinginannya seperti membalik telapak tangan. Dialah Ki Gagak Surengpati, yang juga sekaligus sebagai guru dari Gagak Setan Tangan Seribu, Ketua Perkumpulan Gagak Cemani. Konon kabarnya, ia memiliki sejenis ilmu yang bisa menembus alam gaib, tapi entah benar entah tidak belum ada yang bisa membuktikannya.
Yang jelas ... dialah merupakan pasangan gelap dari Dewi Cabul Teratai Merah!
Sedang yang disebut sebagai Gagak Setan Tangan Seribu rupanya masih berusia muda, berusia sekitar tiga puluh lima tahunan, tubuh tinggi besar. Seluruh otot di tubuhnya bertonjolan keluar, dilengkapi dengan wajah yang lumayan (lumayan jelek, maksudnya) karena wajah itu penuh dengan jejak luka yang tidak karuan. Ada yang melintang lurus dari dari kiri ke dagu kanan, ada yang meliuk tajam dari pipi kanan ke memutari leher, bahkan ada guratan kasar membentuk gergaji melingkari kepala botaknya.
Mata kirinya tertutup bulatan hitam diikat dengan rantai emas, mirip sekali dengan bajak laut!
Memang sebenarnya Gagak Setan Tangan Seribu mulanya adalah seorang bajak laut yang kejam dan ganas. Hanya kalah ilmu kesaktian saat adu tanding dengan Ki Gagak Surengpati, sehingga mengangkat laki-laki itu sebagai guru, lalu menggantikan gurunya memimpin Perkumpulan Gagak Cemani. Sejak ia pimpin, Perkumpulan Gagak Cemani menjadi maju pesat. Maju dalam arti sempit yaitu maju kejahatannya, maju kebengisannya, maju kebuasannya dan maju pula keserakahannya.
Jika nama aslinya adalah Darupaksa, maka sejak memimpin perkumpulan ini, berubah menjadi Gagak Darupaksa.
Ilmu Silat "Tangan Seribu" menjadi lebih maju saat ia digembleng dengan hawa tenaga sakti oleh Ki Gagak Surengpati. Jika awalnya Gagak Darupaksa memiliki hanya tenaga luar yang besar, ditambah dengan hawa tenaga sakti justru semakin memperkokoh jurus silat andalannya. Tapi yang namanya bajak laut, tetap saja tidak luput dari keculasan dan kelicikan. Ia tidak mau mengajarkan ilmu andalannya itu pada orang-orang Gagak Cemani karena takut tersaingi.
Praktis hanya ia sendiri yang memiliki Ilmu Silat "Tangan Seribu"!
Jika di pihak Partai Naga Langit ada Tujuh Dewa Catur, di pihak penyerbu juga Tujuh Gembong Bandit dari Sarang Elang Langit. Mereka bertujuh sudah lama menjalin silang sengketa dengan Perguruan Catur Bawana saat Tujuh Dewa Catur membantu Kuil Langit di kala terjadi perebutan Kitab "Langit Sakti" dan celakanya tahap ke tiga dari kitab itu yang dijaga Catur Lima berhasil dicuri secara licik oleh salah seorang dari Tujuh Gembong Bandit meski hanya mencuri separo bagian awal.
Begitu melihat Si Elang Botak, hampir saja Catur Lima menerjang lawan jika tidak dicegah oleh Catur Empat dan Catur Enam.
"Tenang, kawan! Aku tahu kau ingin sekali melumat si Perkutut Botak itu," kata Catur Empat mengganti nama Elang Botak menjadi Perkutut Botak.
"Betul! Jangankan kamu, aku saja juga pingin melumat habis Perkutut Botak itu!" timpal Catur Enam dengan suara agak dikeraskan.
"Bangsat! Jika berani, silahkan kalian maju semua!" bentak Si Elang Botak, diejek sedemikian rupa oleh mereka.
"Bangsat! Jika berani, silahkan kalian maju semua!!" tiru Elang Latah, sambil petentang-petenteng.
Tentu saja orang-orang jadi tertawa geli mendengar perkataan si Elang Latah, yang tepat meniru apa yang baru saja didengarnya.
Bahkan Catur Lima sampai tertawa terbahak-bahak, sambil berkata, "Dasar perkutut tolol!"
"Dasar perkutut tolol!" tiru Elang Latah tanpa sadar.
"Perkutut busuk!"
"Perkutut busuk!" kembali Elang Latah menirukan.
"Tujuh Gembong Bandit adalah kumpulan perkutut tukang kentut!"
"Tujuh Gemb ... umphh!"
Mulut Elang Latah langsung dibekap tangan Elang Kurus, agar ia tidak ngoceh tak karuan terlalu banyak. Tentu saja percakapan singkat itu membuat suara gelak tawa di sana-sini. Bahkan beberapa orang-orang Gagak Cemani tertawa keras mendengar celotehan latah itu.
"Diam ... !!" bentak salah seorang dari Tujuh Gembong Bandit yang tinggi besar.
Semua langsung terdiam.
Dialah pimpinan Sarang Elang Langit yang disebut sebagai Raja Elang Besar, lalu tudingnya pada Elang Kurus, "Sumpal mulutnya dengan kain, biar dia tidak ngoceh sembarangan!"
Mulut Elang Latah terlihat bergerak-gerak menirukan logat suara Raja Elang Besar, tapi tidak kedengaran karena dibekap erat tangan kurus kawannya.
"Baik, Kakang!"
"Tujuh Dewa Catur, aku tahu diantara kita telah terjadi silang sengketa sejak lama hanya masalah sepele."
"Sepele katamu?" bentak Catur Satu, "Nama baik Tujuh Dewa Catur tercemar gara-gara perbuatan kotor kalian!"
"Huh, cuma karena beberapa lembar bagian kitab saja sudah kalian anggap mencemarkan nama baik!?"
"Setan keparat! Tentu saja kalian bisa mengatakan seperti itu, sebab kalian sendiri yang berbuat licik!" sergah Catur Lima. "Siapa yang tidak kenal dengan tujuh manusia pengecut seperti kalian yang bisanya main belakang" Cuihh!"
Mendengar olok-olok Catur Lima, selebar wajah Raja Elang Besar merah padam. Baginya kata pengecut merupakan tantangan berani mati untuknya!
Si Pemanah Gadis - Bab 15
"Kau ... aku tahu siapa kau! Bukankah kau manusia tolol yang dulu dipecundangi Elang Botak?" katanya sambil menunjuk hidung Catur Lima.
"Betul! Aku memang pernah dipecundangi Si Perkutut Botak itu," katanya sambil menuding ke arah Elang Botak yang lagi-lagi disebut Perkutut Botak, " ... tapi dia ... membokongku dari belakang menggunakan Racun Pelemas Tulang!"
"Dalam setiap pertarungan, cara apa pun boleh digunakan asal bisa meraih kemenangan!" sentak si Elang Botak marah, karena berulang kali disebut Perkutut Botak, pikirnya, "Benar-benar menghina dia!"
Napasnya naik turun dengan cepat menahan kemarahan yang sudah hampir meledak keluar.
Dan akhirnya ...
Tanpa diperintah siapa pun Elang Botak langsung menerjang cepat ke arah Catur Lima yang sepertinya tidak siap untuk diserang ternyata telah siap siaga menghadapi segala kemungkinan yang terjadi.
Wutt! Plakk! Plakk!
Saling pukul dan saling serang terjadi dalam waktu cepat. Yang jelas, serangan dua musuh bebuyutan itu bukan sembarangan. Pancaran hawa tenaga dalam terasa memerihkan kulit saat desiran angin menerpa. Jika Catur Lima mengandalkan ilmu khas Perguruan Catur Bawana yang unik yang bernama jurus 'Tukang Catur Membalik Langit', dengan posisi kaki tangan yang selalu membentuk lingkaran-lingkaran besar kecil menadahi setiap jurus cakar ganas yang dilancarkan Elang Botak.
Wutt! Wess ... !!
Ilmu Silat 'Cakar Elang' yang digunakan Elang Botak begitu lincah dan tangkas. Suatu saat cakar kiri berhasil menerobos masuk ke dalam lingkaran hawa yang dibentuk Catur Lima, tapi begitu berhasil masuk setengah bagian ke dalam lingkaran, jurus serangan cakar bagai dibalik arah serangannya, mengarah ke diri sendiri.
Wutt!! "Ehhh?"
Elang Botak terkejut saat mengetahui arah serangannya justru mengincar dua bola matanya, dengan sedikit menggeser kepala ke samping, membuat arah serangan meleset dua jari dekat telinga.
"Upss, hampir saja," keluhnya sambil mundur selangkah, katanya dalam hati, "Ilmu apa yang digunakan keparat itu?"
"Baru menghadapi jurus kecil saja sudah kelabakan," kat Catur Lima sambil membuat posisi kuda-kuda depan dengan dua tangan bergerak-gerak membentuk lingkaran. "Mana jurus-jurus ampuhmu, Perkutut Botak!"
Catur Lima memang berusaha memancing kemarahan dari lawan. Jika lawan dalam keadaan terbelenggu hawa amarah, berarti ia sudah menang satu langkah!
"Ini baru pemanasan, sobat! Sekarang terimalah kematianmu!" kata geram Elang Botak sambil melenting tinggi tiga tombak sambil sepasang tangannya yang membentuk cakar melancarkan serangan-serangan maut. Kali ini, si Elang Botak tidak mau berlama-lama menghadapi Catur Lima, sehingga jurus "Elang Membabi Buta" langsung digunakan dengan menggunakan seluruh tenaga dalam yang dimilikinya.
Wutt! Wutt ... !
Puluhan, bahkan mungkin ratusan bayangan cakar elang mengurung ruang gerak Catur Lima.
"Kurang ajar! Rupanya si botak tidak main-main kali ini," pikirnya sambil menghindar kesana kemari, tetap dalam posisi tangan dan kaki yang melingkar-lingkar, namun kali ini justru bentuk lingkaran kaki dan tangan menjadi lebh kecil dari sebelumnya. Anehnya, daya pental yang dihasilkan malah semakin membesar dan lebih berbahaya.
Brakk! Brakk! Pertemuan antara cakar-cakar maut si Elang Botak dengan jurus "Perisai Catur Semesta" yang digunakan Catur Lima terjadi.
Namun hasilnya justru diluar dugaan Catur Lima. Saat Elang Botak melancarkan jurus "Elang Membabi Buta" yang ternyata hanyalah jurus pancingan, sedang serangan yang sesungguhnya terletak pada sapuan kaki yang saling silang dalam jurus "Gunting Elang Besi" yang mengarah pada sepasang kaki Catur Lima yang lincah bergerak berpindah-pindah.
Srakk ... srakk ... !!
Catur Lima terkejut bukan main. Menghindar tidaklah mungkin. Satu-satunya cara adalah bertahan. Dalam tempo singkat, "Hawa Sakti Catur Bawana" dikerahkan untuk mempertahankan diri dari serangan lawan.
"Heeaa ... "
Diikuti dengan teriakan kencang, sebentuk hawa padat kuning pekat dan putih cemerlang berbentuk lingkaran besar kecil langsung menghentak keluar dari seluruh tubuh Catur Lima.
Glaar ... jdarrr ... !!
Jurus "Elang Membabi Buta" rontok!
Jurus "Gunting Elang Besi" kandas!
Memang patut diacungi jempol hasil didikan Perguruan Catur Bawana. Meski banyak menggunakan jurus-jurus bertahan, tapi ternyata di dalam setiap pertahanan tersimpan daya serangan balik mematikan. Seperti halnya jurus "Perisai Catur Semesta" yang beradu keras dengan jurus "Elang Membabi Buta" membuat sepasang tangan Elang Botak patah tulang belulangnya. Bahkan jurus "Gunting Elang Besi" yang penuh hawa sakti juga tumbang oleh "Hawa Sakti Catur Bawana" meski dikerahkan secara mendadak oleh Catur Lima.
Sepasang kaki Elang Botak langsung hancur lumat terkena bias tenaga sakti khas Perguruan Catur Bawana!
Catur Lima mendekati tempat Elang Botak tergeletak.
"Kau tinggal pilih, mati bunuh diri atau aku yang membunuhmu!?" kata Catur Lima sambil berdiri tegak dengan tangan kiri kanan mengencang memancarkan hawa padat kuning pekat dan putih cemerlang.
"Bangsat!" kata geram si Elang Botak. "Bunuh kalau berani!"
"Rupanya kau menginginkan aku sendiri yang turun tangan," tutur Catur Lima, dingin. "Kukabulkan permintaanmu, Perkutut Botak!"
Selesai berkata, dua tangan sarat tenaga sakti itu menghantam ke depan.
Bumm! Bumm! Dentuman keras langsung terjadi.
Justru yang aneh adalah tubuh Catur Lima terpental jauh ke belakang, dan andai tidak di tahan oleh Catur Tujuh mungkin sudah jatuh terjengkang mencium tanah. Ternyata, Raja Elang Besar-lah yang menapaki pukulan maut Catur Lima yang hampir saja menghabisi Elang Botak.
"Itu ... jurus "Elang Dewa Menyambar Petir"!" kata kaget Ki Jliteng mengenali jenis pukulan lawan.
"Jika begitu, empat jurus Silat "Elang Dewa" dari Kuil Langit telah kau kuasai dengan baik, Raja Elang Besar," kata lembut Maharsi Manikmaya, Si Telapak Langit. "Ilmu curian yang kau miliki tidak akan sempurna jika tidak digabung dengan delapan jurus yang lain, sobat."
"Jika bukan karena dia ... " katanya sambil menuding Catur Lima yang terkapar di tanah yang tengah ditolong saudara-saudaranya yang lain, " ... aku sudah menguasai dua belas jurus Ilmu Silat "Elang Dewa" dengan sempurna. Semua ini gara-gara Tujuh Dewa Catur sialan!" geramnya kemudian.
Lalu ia membopong tubuh lemas Elang Botak. Baru beberapa langkah berjalan, ia menyadari bahwa sosok dalam pondongannya ternyata telah tidak bernyawa!
"Orang-orang Catur Bawana keparat!" bentaknya dengan mata berapi-api mengetahui salah seorang saudaranya telah menjadi mayat, lalu diletakkan begitu saja ke tanah, seakan tidak ada rasa hormat sama sekali.
"Kalian harus membayar semua perbuatan kalian!" sergahnya, "Dasar kalian licik, menyerang orang yang sudah terluka parah!"
"Bukankah dalam setiap pertarungan, cara apa pun boleh digunakan asal bisa meraih kemenangan, itu khan slogan yang sering kau gembar-gemborkan"!" bentak si Catur Tujuh, setelah menolong Catur Lima dari luka dalamnya, "Jika aturan seperti itu berlaku pada orang lain, kenapa tidak berlaku padamu?"
"Kau ... "
"Apa" Mau memakiku?"
Tiba-tiba saja Catur Tujuh sudah berada jarak setengah langkah dari Raja Elang Besar.
Tentu saja laki-laki tinggi besar itu kaget bukan alang kepalang. Langsung saja ia melompat menjauh sambil menggerakkan sepasang kaki dan tangannya.
"Kenapa kau malah seperti monyet menari, Raja Elang Besar" Takut diserang mendadak!" sergah Catur Tujuh dengan cepat.
"Bangs ... "
"Siapa yang kau maki bangsat! Kaulah yang bangsat! Semua orang juga tahu itu!"
Lagi-lagi dengan cara aneh, Catur Tujuh sudah berada dalam jarak setengah langkah dari Raja Elang Besar.
Dan untuk kedua kalinya pula, Raja Elang Besar melompat sejauh tiga tombak dari tempat berdirinya semula, sambil memaki keras, "Setan bel ... "
"Siapa yang setan belang" Kau?" kata Catur Tujuh dan lagi-lagi ia sudah sejarak setengah langkah dari lawan, "Bagus kalau kau menyadari bahwa dirimu adalah biangnya segala setan belang!"
Kali ini Raja Elang Besar benar-benar dibuat tidak berkutik!
Gerak kilat Catur Tujuh yang seperti bayangan yang menempel terus pada dirinya kemana saja ia pergi membuatnya kehilangan akal. Pikirannya buntu. Kepala senut-senut. Badan gemetar menahan amarah. Kemana pun ia bergerak, selalu saja ada Catur Tujuh didekatnya. Sebenarnya apa yang dilakukan Catur Tujuh bisa dilakukan setiap orang Perguruan Catur Bawana, terutama sekali Tujuh Dewa Catur. Dalam jurus 'Menempel Setengah Langkah' merupakan jurus peringan tubuh yang paling diandalkan Tujuh Dewa Catur untuk merontokkan nyali lawan. Seperti apa yang dilakukan oleh Catur Tujuh pada Raja Elang Besar. Laki-laki pimpinan Tujuh Gembong Bandit itu sudah kuncup nyalinya. Bagaimana tidak kuncup nyali, laki-laki berbaju kuning putih itu bisa saja menggunakan jurus-jurus maut untuk membunuh dirinya, tapi justru tidak dilakukan Catur Tujuh.
Itulah yang membuatnya serba susah!
Hingga akhirnya ... laki-laki tinggi besar itu jatuh terduduk dengan meratap-ratap minta ampun seperti perawan mau dikawinkan!
Dan itu semua dilakukan di hadapan para anak buahnya.


Si Pemanah Gadis Karya Gilang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Benar-benar memalukan!
Sebenarnya, Catur Tujuh memang sengaja menggiring Raja Elang Besar agar berkumpul dengan para gembong bandit yang lain, dimana mereka berlima berdiri terpisah dari orang-orang Gagak Cemani.
"Tolong ... tolong jauhi aku ... kumohon ... "
Tangan kanan Catur Tujuh terjulur ke depan.
Krepp! Leher Raja Elang Besar langsung terkunci.
"Berikan!"
"Apa ... apa yang harus ... kuberikan?"
"Kitab curianmu," kata Catur Tujuh, datar. " ... dan ingat! Jangan macam-macam!" desisnya.
Dengan lesu, Raja Elang Besar merogoh ke dalam baju, lalu mengambil sebuah kitab kecil dan diangsurkan ke arah Catur Tujuh.
Laki-laki itu menerima kitab kecil itu, lalu membuka-buka sebentar. Setelah itu mengangguk-angguk samar.
"Bagus, kau boleh pergi!" Catur Tujuh berkata sambil membalikkan tubuh.
Begitu melihat Catur Tujuh berdiri membelakangi, Raja Elang Besar tersenyum menyeringai.
"Mampus kau, bangsat!" gumamnya sambil mengerahkan seluruh tenaga dalam, dan tanpa mengindahkan sopan santun dan aturan dunia persilatan, laki-laki itu membokong Catur Tujuh yang baru berjalan dua tiga langkah.
"Kakang, awas ... !!" seru Catur Tiga yang bermata paling tajam.
Terlambat! Bumm ... bummm ... !
Bunyi ledakan keras membuncah terjadi. Di tempat berdirinya Catur Tujuh diselimuti kepulan asap berbau busuk menyengat.
"Mampus kau! Mampus!" seru Raja Elang Besar kegirangan melihat serangannya berhasil menghantam lawan.
"Mampus kau! Mampus!" tiru Elang Latah tanpa sadar.
Tentu saja semua orang yang berada disitu kaget melihat kelicikan Raja Elang Besar, terlebih lagi Enam Dewa yang lain. Bahkan Rangga Wuni dan Suro Keong hampir saja melabrak Raja Elang Besar jika tidak dicepat Maharsi Manikmaya dan Ki Jliteng.
"Dasar licik!" bentak Catur Empat.
"Bukankah itu tadi jurus 'Elang Dewa Menyambar Matahari'!" pekik Si Telapak Langit.
Saat semua orang terpengaruh oleh kelicikan Raja Elang Besar, terdengar suara dari atas.
"Raja Elang Besar! Kau benar-benar manusia licik! Orang sepertimu tidak pantas hidup lebih lama didunia ini. "Pukulan Sakti Catur Bawana" sebenarnya tidak cukup pantas melumatkan manusia sampah seperti kalian ini!"
Bersamaan dengan ucapan yang terdengar dari atas, terpancarlah dari langit puluhan lingkaran kuning pekat dan putih cemerlang saling dahulu mendahului. Dan arah yang dituju adalah ... Raja Elang Besar dan anak buahnya yang saat itu sedang meluapkan kegembiraan sehingga mereka lengah!
Blarr ... blarrr ... blarrr ... blarrr ... !!
Ledakan keras terjadi beberapa kali, diiiringi dengan jerit lengking kematian yang menyayat hati.
Begitu pancaran lingkaran kuning pekat dan putih cemerlang berhenti, berhenti pula bunyi ledakan. Sedikit demi sedikit kepulan asap menipis dan pada akhirnya, terlihat serpihan tubuh-tubuh hangus terbakar yang berserakan dimana-mana. Bahkan di satu tempat terdapat cekungan dalam, tepat dimana Raja Elang Besar berdiri pongah sebelumnya.
Gara-gara perbuatan Raja Elang Besar, Tujuh Gembong Bandit dari Sarang Elang Langit benar-benar tamat sampai disini!
Mereka tewas karena kejahatan mereka sendiri!
Si Pemanah Gadis - Bab 16
Begitu menginjakkan kaki di tanah, Catur Tujuh berjalan ke arah dua utusan Kuil Langit dan mengangsurkan kitab pemberian Raja Elang Besar.
"Silahkan Paman Maharsi menerima."
Si Telapak Langit dan Si Dewa Kaki Kilat sangat berterima kasih pada Catur Tujuh saat laki-laki itu memberikan bagian awal Kitab Ilmu Silat 'Elang Dewa'.
"Entah dengan cara bagaimana Kuil Langit bisa membalas budi baik Tujuh Dewa Catur." kata lembut Si Telapak Langit.
"Mengikat tali persaudaraan dan persahabatan dengan Kuil Langit sudah merupakan budi yang tidak terkira bagi Perguruan Catur Bawana, Paman Maharsi." tutur halus Catur Tujuh.
Dua pihak saling memberi hormat satu sama lain.
Pertikaian antara Tujuh Gembong Bandit dan Tujuh Dewa Catur memang tidak direncanakan sebelumnya oleh Ki Gagak Surengpati sehingga membuatnya memaki panjang pendek di dalam hati, "Sial, perhitunganku meleset! Ini semua gara-gara Tujuh Dewa Catur membuat bala bantuan yang kuharapkan tenaganya menjadi berkurang banyak." pikirnya saat mengetahui tujuh orang terhebat dari Sarang Elang Langit hancur di tangan dua orang anggota Dewa Catur.
Sambil menekan perasaannya, ia berkata lantang, "Pedang Naga Perkasa! Tanpa perlu kami katakan apa maksud kedatangan kami ke tempat ini, tentu kau sudah tahu dengan sendirinya, bukan?"
"Apa maksudmu?"
"Huh! Tak perlu bertele-tele, anak muda! Cepat serahkan Kitab Ilmu 'Mata Malaikat' padaku!"
Mendengar kata 'Mata Malaikat' disebut-sebut, kakek berdayung baja langsung mengumpat, "Bangsat tua! Kenapa kau tidak mengatakan tujuanmu yang sebenarnya, Gagak Surengpati! Rupanya kau berniat mengangkangi sendiri ilmu itu!"
"Sabar, Kakang! Aku tidak bermaksud begitu! Sebab menurut wangsit gaib yang aku terima, ilmu itu akan muncul di tempat ini, perkara hasilnya bisa kita pelajari bersama," kata Ki Gagak Surengpati saat kedoknya terbongkar. "Setan tua! Cepat benar dia sadar kalau aku bermaksud menipunya," pikirnya.
"Aku sudah sering mendengar kehebatan ilmu nujummu, tapi yang kudengar banyak yang meleset dari pada yang betul." kata Kakek Nelayan Dari Laut Utara. "Dari seratus ramalanmu, semuanya cuma omong kosong! Mungkin karena waktu mudamu banyak kau gunakan mengumbar nafsu hingga ilmu setanmu tidak manjur!"
Selebar muka Ki Gagak Surengpati merah padam mendengar boroknya diungkit-ungkit di depan orang banyak. Tapi karena pada dasarnya laki-laki culas itu mengharapkan bantuan dari si kakek berdayung baja, ia hanya tersenyum masam saja.
"Itu cuma kabar diluaran, Kakang, jangan dipercaya! Yang pasti ... ilmu itu akan muncul di tempat ini!" sergah Ki Gagak Surengpati, pikirnya, "Selesai masalah disini, kepalamu bakal kupenggal dan kuberikan pada anjing-anjing peliharaanku, bangsat!"
"Gagak Surengpati ... !" kata Rangga Wuni sambil maju ke depan, "Jika memang hal itu yang kau inginkan, maaf ... di Partai Naga Langit tidak ada ilmu yang kau maksud ... "
"Pasti ada ... tidak mungkin ilmu nujumku salah!" bentak Ki Gagak Surengpati, "Cepat serahkan! Kalau tidak ... "
"Kalau tidak apa" Mau menghancurkan partaiku seperti halnya kalian menghancurkan Perguruan Gunung Putri?" bentak Nila Sawitri sambil mengerahkan jurus 'Mulut Guntur'.
Tentu saja lawan yang ada didepannya langsung merasakan desakan suara bertalu-talu berusaha menjebol dinding telinga. Meski tidak berlangsung lama, tapi sudah cukup membuat orang-orang Gagak Cemani kelimpungan, bahkan beberapa orang yang paling depan sampai berdarah-darah telinga mereka.
"Rupanya kau gadis sundal dari Perguruan Gunung Putri. Pantas wangsit yang kuterima ... "
"Gara-gara wangsit sintingmu itu ... seluruh teman-temanku habis kalian bantai!" potong istri Pedang Naga Perkasa, sambil bersiap melakukan serangan.
"Tenang, istriku! Kita harus bisa menahan diri saat ini! Ingat dengan murid-murid kita," bisik Rangga Wuni mencekal lengan istrinya saat ia melihat bahwa Nila Sawitri berniat melabrak orang tua penujum itu.
Melihat perkembangan yang sudah menjurus ke pertarungan hidup mati, Suro Keong dan Suro Bledek saling pandang.
"Kau siap, kawan," bisiknya pada Suro Bledek, "Siapkan penangkal ilmumu!"
Suro Bledek mengambil sesuatu dari saku baju dan ternyata ... bulatan dari tanah padas yang dibuat bulat sebesar kelereng.
Sambil berjalan pelan, mereka mendekati murid-murid Partai Naga Langit sambil berbisik agar memasukan benda bulat tanah padas ke dalam lubang telinga dan dibebat dengan ikat kepala supaya tidak jatuh, karena semua murid Pedang Naga Perkasa memang mengenakan ikat kepala sehingga perbuatan mereka tidak mencurigakan orang-orang Perkumpulan Gagak Cemani.
Hanya mereka memang melihat orang-orang Partai Naga Langit mengencangkan ikat kepala, itu saja!
Bahkan Suro Keong langsung memberikan kata 'bunuh' jika ada kesempatan!
Sebenarnya dua orang itu menyiapkan satu kantong besar untuk berjaga-jaga jika kekurangan. Namun ternyata justru kelebihan jumlah, sebab murid-murid Partai Naga Langit sekitar delapan puluhan orang telah turun gunung menuruti perintah sang guru, sedang yang tersisa tidak lebih dari dua puluh lima orang yang ingin membela kehormatan partai.
"Sisa banyak!" bisik Suro Bledek.
"Kita gunakan saja sebagai senjata rahasia."
"Bagus, aku juga begitu! Jurus "Kelereng Arwah" paling cocok digunakan dalam pertarungan seperti ini."
"Tapi jangan salah sasaran!"
"Jangan khawatir, lah!" kata Suro Bledek, enteng.
Lalu laki-laki itu mendekati pasangan suami istri itu dan berbisik, "Jika terjadi perkelahian, gunakan jurus 'Mulut Guntur' tingkat tertinggi ... "
"Tapi Paman, bagaimana dengan murid-muridku, mereka ... "
"Mereka akan aman-aman saja. Percayalah!" katanya sambil kembali ke belakang.
"Cepat berikan kitab itu!" kali ini Dewi Cabul Teratai Merah yang membentak.
"Bagaimana jika kami menolak?" tantang Rangga Wuni sambil melolos pedang dari sarung.
Srakk! "Jika tidak ... maka partai kalian akan kubuat karang abang!"
"Kalau begitu ... kami memilih menolak!"
Begitu kata 'menolak' selesai diucapkan, Rangga Wuni langsung menerjang maju ke arah dengan pedang menusuk lurus ke arah wanita cabul berbaju merah sambil mengeluarkan teriakan lantang sarat dengan jurus 'Mulut Guntur' tingkat ke enam, "Serbu ... !"
Dewi Cabul Teratai Merah cukup kaget mendapat dua serangan mendadak, tusukan pedang dan suara mendenging di telinga yang langsung berusaha menerobos ke dalam dinding-dinding telinga. Namun, sebagai tokoh kosen yang diperhitungkan jago-jago persilatan, serangan dadakan itu bukanlah hal berat baginya. Sambil tertawa cekikikan, nenek cantik itu langsung berjumpalitan ke belakang.
Wutt! Wutt! Jleg!
"Tidak perlu tergesa-gesa begitu, pemuda tampan," katanya sambil mengumbar senyum manis disertai kerlingan manja.
Tentu saja Rangga Wuni jengah diperlakukan seperti itu oleh musuhnya.
"Kakang, biar nenek genit ini aku saja yang menanganinya!"
Sekelebat bayangan kuning gading menerjang cepat disertai larikan-larikan sinar putih patah-patah sepanjang satu tombak.
Syutt! Syutt! Darr! Daarrr! "Ilmu "Pukulan Tombak Akherat"!" pekik Dewi Cabul Teratai Merah melenting ke atas, lalu turun ke tempat semula, "Kau apanya si Pendekar Tombak Putih?"
"Dia adalah ... Pamanku!" kata gadis cantik berbaju kuning gading, "Masak kau tidak bisa melihat kedua pamanku sedang membantai orang-orangmu, nenek peot!"
Wanita cantik itu geram disebut nenek peot.
"Kau ... kau harus membayar penghinaan ini, gadis kecil!" kata si nenek setelah mengetahui Pendekar Tombak Putih dan Si Mulut Guntur ternyata berada di tempat itu. "Setelah kau mampus, giliran ke dua paman keparatmu itu menyusulmu ke akhirat!"
"O ya" Apa tidak kebalik, Nek?" goda Kumala Rani.
"Bangsat! Kurobek mulutmu!"
Dewi Cabul Teratai Merah langsung baku hantam dengan Kumala Rani dengan saling tukar jurus-jurus maut.
Gagak Setan Tangan Seribu bertemu dengan lawan yang sepadan. Jika ia mahir menggunakan dua tangan besarnya lewat Ilmu Silat 'Tangan Seribu', justru lawan handal menggunakan jurus kaki lewat Ilmu "Tendangan Api Membara" yang dikerahkan Si Dewa Kaki Kilat dari Kuil Langit.
Prakk! Prakk! Brakk!
Beradunya kaki dan tangan bagai suara besi ketemu besi.
Keras lawan keras!
Sedang Suro Keong memilih lawan yang lebih ringan. Berulang kali jurus "Kelereng Arwah" mencabut nyawa orang-orang Gagak Cemani dengan mudah.
Jruub! Jrubb! "Aaah ... "
Akan halnya Nila Sawitri dan Suro Bledek memimpin murid-murid Partai Naga Langit menghadapi serbuan yang datang bagai banjir bandang. Memang ini adalah untuk pertama kalinya murid-murid Partai Naga Langit menghadapi suasana pertempuran yang sebenarnya, tapi dengan adanya bantuan dari istri guru dan pamannya membuat semangat mereka kian membara.
Apalagi kedua orang itu selalu membantu mereka dengan jurus 'Mulut Guntur'. Saat lawan sedang berusaha menutupi telinga akibat desakan suara yang bagai merobek-robek telinga, dengan mudahnya orang-orang Partai Naga Langit menyarangkan senjata mereka ke tubuh lawan.
Crass ... croook ... jrabb ... bless ... !
Bahkan sambil mengeluarkan jurus 'Mulut Guntur', Nila Sawitri mengelebatkan pedang telanjang kesana kemari membantai lawan. Kali ini penyaluran dendam kesumat bekas murid Perguruan Gunung Putri langsung menyeruak keluar bagai letusan gunung api, bahkan trisula yang ada di tangan kiri turut berkelebatan membantai lawan. Jurus 'Pisau Pedang Membedah Gunung' yang seharusnya menggunakan pasangan pedang dan pisau, tidak kehilangan keganasannnya meski digantikan oleh trisula.
Crass ... crass ... !!
"Aaakh ... uughh .... "
Berulang kali Ilmu "Pisau Pedang Jalan Tunggal' dari Perguruan Gunung Putri memperlihatkan taringnya. Tak pelak lagi, korban mulai berjatuhan sehingga darah mulai menggenangi pelataran Gunung Naga yang asri.
Jerit lengking kesakitan dan kematian bagai menghiasi langit biru.
Roh-roh keluar dari raga karena dicabut paksa.
Dan yang pasti ... tubuh tanpa nyawa berjatuhan satu demi satu!
Rangga Wuni pun menghadapi lawan yang tidak enteng. Tiga murid utama Perkumpulan Gagak Cemani menggempurnya dari tiga jurusan yang berbeda. Serangan mereka yang susul-menyusul cukup membuatnya cukup kerepotan.
Set! Sett! Beberapa kali pemuda yang juga Ketua Partai Naga Langit berkelit cepat menghindari serangan lawan yang datang bagai gelombang pasang. Untunglah ia telah menguasai tingkat enam dari jurus "Mulut Guntur" hingga sesekali ia melancarkan bentakan-bentakan maut sambil menggerak-gerakkan pedang yang meliuk-liuk bak naga terbang.
Rett! Rett! Jurus ke tujuh dari Ilmu 'Pedang Aliran Naga' yang bernama 'Naga Menerobos Kerumunan Ular' yang digunakan Pedang Naga Perkasa bergerak lincah, menyusup diantara celah-celah pertahanan tiga murid utama Gagak Cemani. Kali ini, Gagak Dewa menjadi korban pertama. Kepalanya menggelinding ke tanah saat Gagak Dewa dalam posisi tidak siap dimana ia menghindari sergapan pedang dari kiri ke kanan dengan cara menundukkan kepala. Namun rupanya jurus 'Naga Menerobos Kerumunan Ular' adalah jurus yang unik, begitu tahu lawan berhasil menghindar, tahu-tahu ujung pedang mematuk tengkuk dengan telak
Cras! Kepala Gagak Dewa langsung terpisah dari raga.
Melihat Gagak Dewa tewas, Gagak Limau dan Gagak Ungu langsung melontarkan pukulan maut andalan perkumpulan mereka ke arah Rangga Wuni.
Pukulan "Gagak Cemani"!
Dubb! Wutt! Dua sinar hitam melesat cepat saat Pukulan "Gagak Cemani" dilontarkan hingga mengeluarkan suara menggebubu bagai raungan lebah menggebah.
Rangga Wuni terkesiap. Tidak ada waktu bagi dirinya untuk menggunakan jurus pukulan, sebab selang waktu antara kematian Gagak Dewa dengan luncuran Pukulan "Gagak Cemani" terlalu singkat dan cepat. Satu-satunya jurus siap pakai adalah ... jurus "Mulut Guntur" tingkat enam!
"Huaa ... haaaa ... haa ... !!!"
Gelombang suara bertenaga dalam tinggi langsung bertemu dengan dua sinar Pukulan "Gagak Cemani". Detik berikutnya dua dentuman lumayan keras langsung menghentak keluar.
Blarrr! Blarr!!
Tubuh Gagak Limau dan Gagak Ungu terhempas ke belakang disertai muncratan darah kental dari mulut, telinga dan hidung. Begitu jatuh menyentuh tanah, berkelojotan sebentar lalu diam untuk selama-lamanya. Rupanya saat terjadi benturan tadi, dua sinar Pukulan "Gagak Cemani" menghantam balik pemiliknya hingga membuat mereka tewas dengan tulang tengkorak hancur di bagian dalam.
Sedang Rangga Wuni pun mengalami nasib yang tidak kalah parah dari lawan. Dari telinga, hidung, sudut mata dan mulut keluar darah segar. Pedang langsung ditancapkan tanah, selanjutnya si pemuda duduk bersila mengatur napas melakukan pemulihan tenaga dan penyembuhan luka dalam. Lima murid Partai Naga Langit yang menganggur, dengan sigap membuat pagar betis melindungi.
Memang saat itu, dewi keberuntungan tidak sedang berpihak pada Perkumpulan Gagak Cemani. Murid-murid Gagak Cemani hanya tinggal beberapa gelintir saja, itu pun sekarang hanya Nila Sawitri seorang yang menghadapi empat orang murid tingkat dua. Tanpa tempo lama, empat murid itu akhirnya tumbang satu demi satu.
Crass! Jrubb! Pada akhir pertempuran di Partai Naga Langit ... seluruh murid tingkat satu dan dua dari Perkumpulan Gagak Cemani tewas semua!
Si Pemanah Gadis - Bab 17
Akan halnya Suro Keong dan Suro Bledek membantu beberapa murid Partai Naga Langit yang terluka ringan dan parah. Meski ada lima orang murid tewas di medan laga, gugur sebagai pembela kehormatan partai.
Sementara itu, pertarungan antara Kakek Nelayan Dari Laut Utara dengan pemuda bermata putih bersenjata tongkat hitam berlangsung seru dan unik. Bagaimana tidak unik, jika si kakek selalu menggebah maju dengan dayung baja yang bersliweran mengurung tubuh si pemuda dengan desiran angin kuat, justru si pemuda dengan santainya bergerak miring-miring mirip kepiting berjalan di selokan.
Bisa dikatakan seru, sebab setiap si kakek mengayunkan dayung baja, selalu terdengar raungan angin yang tersibak bagai lolongan setan dari neraka, sedang si pemuda tetap bergerak miring-miring secepat kilat menyambar. Meski belum melancarkan serangan balasan satu kali pun, pemuda bertongkat hitam itu tetap dengan senyum ramah tersungging melayani serangan-serangan si kakek.
"Ayoo kek, yang semangat ... " serunya sambil menggeser kaki kiri ke samping kanan diikuti dengan badan membungkuk. "Aduuuh ... meleset ... coba lagi kek ... "
Kakek itu berhenti menggerakkan dayung baja dengan napas sedikit terengah-engah!
Fiuhh .... capek, deh!
"Setan buta keparat! Dia bisa menduga arah seranganku dengan tepat," pikirnya, "Jurus Silat 'Dayung Baja' selalu meleset saja saat hampir menghantam tubuh. Apalagi tubuhnya yang bergerak miring-miring seperti orang sinting ... entah ilmu macam apa yang dipakainya."
"Ayo, kek! Kenapa diam" Capek, ya?" kata si pemuda yang tak lain si Jalu sambil berkacak pinggang.
"Setan buta sialan! Murid siapa kau ini?" bentak Kakek Nelayan Dari Laut Utara.
"Wah ... guruku yang mana, kek" Aku punya banyak, tuh!"
"Kenapa kau ngomong plintat-plintut seperti anak gadis sulit buang air besar, hah!"
"Lho ... kakek ini gimana, tho" Tadi nanya siapa guruku, kok bilangnya seperti itu?" sahut Jalu Samudra dengan suara dikenes-keneskan. "Memang guruku ada banyak, jadi sulit mengatakannya satu persatu ... "
"Bangsat buta! Katakan yang mana saja, biar aku tidak kesalahan tangan waktu membunuhmu!"
Kali ini kakek besenjata dayung benar-benar marah.
"Guru yang mana, ya?" kata Jalu Samudra sambil pura-pura berpikir keras, " ... ahh, aku tahu! Itu tuh ... guruku!" katanya sambil menunjuk ke arah tempat Kumala Rani berkelahi. "Yang cantik di sana tuch, lagi berantem sama nenek-nenek baju merah!"
Si Kakek menoleh sebentar, lalu mendengus, "Guru macam apa dia" Ilmunya lebih jelek daripada dirimu!"
"Dia itu guruku yang paling kusayangi, Kek!"
"Guru silat?"
"Bukan!"
"Lalu guru apa?"
"Guru .... bercinta alias memadu kasih! Hua-ha-ha-ha!"
Jalu Samudra tertawa terbahak-bahak, sukses mempermainkan kakek nelayan di hadapannya.
"Pemuda bangsat! Bercintalah kau dengan setan-setan di neraka!" bentak si kakek sambil tangan kanan mengayunkan dayung baja ke arah kepala si pemuda berbaju biru.
Wutt! Tangan kiri pun juga ikut bekerja dengan melancarkan beberapa pukulan-pukulan bertenaga dalam tinggi. Pukulan "Ombak Laut Utara" datang silih berganti dengan kibasan dayung baja, sehingga Jalu Samudra yang saat itu sedang mengerahkan Ilmu Silat "Kepiting Kencana" menjadi kelabakan.
Wesshh ... werr ... wreett!
Blamm! Blaaamm!
Dua larik cahaya kelabu menghantam tanah kosong di belakang anak muda yang dihindari dengan cara berguling-guling di tanah.
"Kalau begini caranya, mau tidak mau aku harus mengeluarkan '18 Jurus Tapak Naga Penakluk'!" pikirnya sambil mengelebatkan tongkat hitam di tangan kanan, menangkis dayung baja yang siap menggemplang kepala.
Trakk! "Tapi jangan, ah! Ilmu ini terlalu berbahaya. Lebih baik aku tingkatkan saja 'Tenaga Sakti Kilat Matahari' hingga mendekati tingkat tiga. Kukira sudah cukup!" pikirnya.
Trakk! Kembali dayung baja bertemu tongkat hitam menimbulkan percikan api.
"Gila! Tenaga bocah ini cepat laksana kilat menyambar," batin si kakek merasakan rambatan tenaga menyengat. "Tenaga sakti macam apa ini" Baru kali ini aku merasakan tenaga aneh seperti ini."
"Aku harus cepat membereskan pak tua berdayung ini," pikir Jalu Samudra, "Kukuras dulu tenaganya dengan jurus 'Kilat Tanpa Bayangan'!"
Begitu selesai ia menahan serangan dayung, mendadak saja tubuh pemuda itu berkelebat cepat, lima kali lebih cepat dari sebelumnya, membentuk segulungan bayangan biru yang mengurung lawan sambil melancarkan serangan-serangan aneh.
Wuss ... ! Tentu saja hal ini membuat Kakek Nelayan Dari Laut Utara kaget bukan alang kepalang. Sehingga tanpa jeda, ia melontarkan puluhan Pukulan "Ombak Laut Utara" menghujani kelebatan bayangan biru.
Blamm! Blamm! Blamm!
Meleset! "Kurang ajar! Cepat sekali dia bergerak!" pikirnya, dan kembali kakek itu melontarkan Pukulan "Ombak Laut Utara" ke berbagai arah.
Blamm! Blamm! Lagi-lagi meleset!
Bagaimana pun juga, kondisi fisik kakek itu sudah jauh berkurang dari masa mudanya, hingga tenaganya merosot cukup banyak. Apalagi menghadapi pemuda buta yang gerakannya secepat kilat menyambar semakin menguras tenaga luar dalam. Sebentar saja, nafasnya sudah kembang-kempis.
"Sekarang, giliran jurus 'Capit Kepiting Mengebor Batu' baru beraksi," pikir si Jalu saat melihat kakek nelayan itu berhenti melontarkan jurus pukulannya. "Kakek ini harus kutaklukkan tanpa membunuh atau melukainya."
Jalu Samudra menggeser kaki kiri saling silang dengan kaki kanan mundur-mundur, sedang tongkatnya bergerak cepat membentuk bulatan mengerucut di depan.
Wutt! Belum sempat Kakek Nelayan Dari Laut Utara bergerak menghindar, ujung tongkat sudah berada tepat sejarak dua jari dari leher lawan.
Selebar wajah kakek itu langsung pusat pias!
"Jika kau benar-benar berniat membunuhku, gampang sekali kau melakukannya, anak muda." katanya sambil menghela napas.
"Aku memang tidak berniat membunuhmu, Kek." kata Jalu Samudra sambil menurunkan ujung tongkat hitamnya, "Kau kalah, Kek!"
"Aku mengakui kekalahanku, anak muda!" sahut si Kakek Nelayan Dari Laut Utara.
Meski termasuk golongan hitam, tapi Kakek Nelayan Dari Laut Utara termasuk orang yang kesatria, jika kalah ia akan mengaku kalah, jika ia menang dan lawan meminta ampun, dengan senang hati ia akan mengampuninya. Tapi jika lawan minta di bunuh, dengan senang hati pula ia akan membunuhnya.
"Jika boleh kutahu, siapakah kau sebenarnya ini, anak muda" Siapa pula gurumu hingga bisa mendidikmu sehebat ini?" tanya Kakek Nelayan Dari Laut Utara. "Tentu saja selain guru bercintamu itu." Tambahnya lagi sambil melirik pada Kumala Rani di kejauhan.
"Maaf, Kek! Tadi saya cuma bercanda, kok." ujar Jalu Samudra, malu hati, "Sebenarnya guruku adalah kakek nenekku sendiri yang bergelar Tombak Utara Tongkat Selatan, merekalah yang mengajari hingga bisa seperti ini."
Jalu memang tidak berbohong, sebab Tombak Utara Tongkat Selatan memang termasuk gurunya juga, guru pertama. Justru akan dianggap tukang ngibul jika ia mengatakan bahwa Dewa Pengemis dan Dewi Binal Bertangan Naga adalah guru yang sebenarnya.
"Pantas saja, sekilas aku melihat gerakmu kadang lentur seperti tombak, kadang kaku seperti tongkat. Tak tahunya mereka adalah kakek-nenekmu, anak ... "
"Jalu!"
"Nak Jalu." kata Kakek Nelayan Dari Laut Utara, "Baiklah, Jalu. Saya mohon diri! Sebelum berpisah, boleh kutahu nama gelar kehormatanmu?"
"Gelar kehormatan?" tanya heran Jalu Samudra, "Kalau gelar kesayangan, saya punya, Kek."
Lagi-lagi kakek berdayung baja menghela napas dalam-dalam.
"Pemuda ini tolol apa goblok, sih?" pikirnya. "Yach, gelar kesayangan bolehlah ... " katanya kemudian.
"Kekasih saya menamai Si Pemanah Gadis, Kek ... "
Tiba-tiba saja, pipi si kakek menggembung besar menahan tawa, tapi akhirnya justru meledak keras tanpa bisa di cegah!
"Hua-hah-ha-ha, Si Pemanah Gadis ... Si Pemanah Gadis! Benar-benar gelar yang aneh!" sahut si kakek berdayung baja itu sambil berkelebat pergi, menuruni lereng Gunung Naga diikuti suara tawa keras bercampur dengan teriakan 'Si Pemanah Gadis' berulang-ulang.
"Hemm, apa anehnya gelarku?" pikir si Jalu Samudra.
-o0o- Si Pemanah Gadis - Bab 19
Sementara itu, pertarungan dua tokoh tua juga terjadi di sebelah selatan, dekat dengan pintu gerbang Partai Naga Langit. Ki Gagak Surengpati sendiri sudah berjibaku dengan Maharsi Manikmaya. Pertarungan mereka justru berjalan lebih lambat daripada yang lainnya, tapi justru yang paling berbahaya dan paling menentukan hidup mati dua petarung tua ini.
Debb! Debb! Desiran-desiran hawa sakti saling bentrok dan labrak hingga menimbulkan guncangan-guncangan dahsyat.
Derr ... derrr ... !!
Berkali-kali guncangan dahsyat terjadi, dan berkali-kali pula dua kakek itu kembali terseret ke belakang tiga-empat tombak jauhnya.
Keduanya berimbang!
"Tenaga dalammu boleh juga, Si Telapak Langit!" kata Ki Gagak Surengpati sambil menyusut darah di sudut bibirnya.
"Kau terlalu memuji, Ki Gagak Surengpati! Tenaga tuamu juga tidak kalah kuatnya," kata halus Si Telapak Langit sedikit bergetar. "Namun bagaimana pun juga, kejahatan tidak akan menang melawan kebaikan, lebih baik kau segera bertobat! Ingat dengan usiamu yang sudah tidak lama lagi," lanjut Maharsi Manikmaya berkotbah.
"Bah! Simpan saja kotbahmu di neraka, orang sial!" bentaknya sambil melontarkan jurus "Cakar Gagak Terkembang" dari arah kiri dan kanan.
Dubb! Dubb! Dua larik cahaya kuning dari jurus "Cakar Gagak Terkembang" bila dihantamkan ke batu cadas akan hancur lumat seperti bubur, entah bagaimana jadinya jika mengenai tubuh manusia. Sulit sekali dibayangkan.
"Hemmm ... jurus keji!" gumam Si Telapak Langit sambil mendorongkan sepasang telapak tangan dari atas ke bawah dengan pelan.
Wutt! Sebentuk cahaya pijar keemasan berbentuk perisai yang berasal dari jurus "Telapak Sakti Dewa Bertapa" melindungi diri sang Maharsi dari Kuil Langit dari serangan maut yang dilancarkan Ki Gagak Surengpati lewat jurus "Cakar Gagak Terkembang".
Klang! Claang! Bukannya bunyi letupan seperti biasa, tapi nyaring bagai besi bertemu dengan baja. Rupanya saat melontarkan jurus bercahaya kuning, Ki Gagak Surengpati secara diam-diam melontarkan pula dua bola berduri yang beracun ganas menyertai jurus "Cakar Gagak Terkembang". Untunglah jurus "Telapak Sakti Dewa Bertapa" yang digunakan oleh Maharsi sakti dari Kuil Langit bukanlah sembarang jurus, selain bisa membalikkan arah serangan lawan, juga bisa melindungi pemiliknya dari serangan senjata gelap lawan.
Begitu mendapati serangannya berhasil dimentahkan lawan, Ki Gagak Surengpati tersentak.
"Gila! Senjata rahasiaku malah mental balik," pikirnya sambil memutar cepat dua pasang tangannya di depan dada.
Srepp! Dua bola berduri bagai dimasukkan ke dalam kantong saat menyentuh telapak tangan laki-laki cabul itu. Begitu berhasil ditangkap kembali, sambil memutar badan untuk menambah daya luncur lagi-lagi Ki Gagak Surengpati melemparkan bola berdurinya di sertai jurus "Cakar Gagak Terkembang". Kali ini jumlahnya puluhan kali lipat dari serangan pertama dan larikan cahaya kuning juga semakin membesar.
Wutt! Wutt! Wutt!
Klang! Claang! Crangg! Trakk!
Kali ini, jurus "Telapak Sakti Dewa Bertapa" harus bertahan dari serangan yang datang bagai hujan deras, bahkan Maharsi Manikmaya sampai-sampai menambah hawa tenaga dalam demi mempertahankan jurus saktinya. Puluhan kali serangan senjata gelap Ki Gagak Surengpati kandas dan mental balik ke pemiliknya, tapi berulang kali pula senjata maut itu bisa ditangkap dan digunakan kembali sebagai alat penyerang yang berbahaya.
Wutt! Wutt! Wutt!
Klang! Klang! Crangg! Trakk!
Setelah dihantam ratusan bahkan mungkin ribuan kali, jurus "Telapak Sakti Dewa Bertapa" akhirnya jebol.
Krakk! Krakk! Terdengar retakan disana-sini, dan pada akhirnya ...
Dhuaarr ... !! Begitu hawa tenaga dalam yang menopang jurus "Telapak Sakti Dewa Bertapa" berada di titik puncak kemampuan, Maharsi Manikmaya tidak menarik tenaga, tapi justru melanjutkan hawa jurus yang sudah terpancar dengan jurus baru, 'Telapak Sakti Dewa Menjungkirkan Langit'!
Blarrr ... jdarrr ... !!
Puluhan senjata rahasia bola berduri hancur berkeping-keping.
Meski berhasil menghancurkan jurus 'Cakar Gagak Terkembang', tak urung Maharsi Manikmaya harus menanggung akibat yang tidak sedikit. Tubuh Maharsi berilmu tinggi dari Kuil Langit terhumbalang ke belakang, berguling-guling di tanah hingga jubah pendeta miliknya kotor terkena debu.
Brakk! Baru berhenti setelah menabrak sebatang pohon sebesar dua pelukan orang dewasa, itu pun pada akhirnya pohon itu juga ikut tumbang, berderak roboh di bagian tengah.
Brukkk ... ! Maharsi sakti segera bangkit dengan darah kental keluar dari mulut. Kali ini luka dalam yang diderita sang Maharsi Manikmaya terhitung parah. Terlebih lagi di lengan kiri tertancap satu buah bola berduri, meski hanya masuk setengah saja.
"Ya Dewa ... Ilmu Ki Gagak Surengpati benar-benar pilih tanding! Jika hari ini aku tidak mengenyahkan bibit angkara, aku tidak tahu bencana apa lagi yang akan diderita umat manusia," kata hatinya sambil mengalirkan hawa murni ke seluruh tubuh, berusaha mengurangi rasa sakit dan rasa tertusuk-tusuk duri di dalam dada.
"Senjata gelapnya beracun cukup ganas." pikirnya setelah ia mengetahui bahwa akibat jejak luka di lengan kiri mengeluarkan bau bangkai saat teraliri hawa murni.
Sedang kondisi Ki Gagak Surengpati tak kalah parahnya dengan Maharsi Manikmaya. Tubuhnya terkapar bersimbah darah dimana puluhan bola berduri hampir memenuhi seantero tubuh. Untunglah ia sebelumnya telah menelan penawar racun, sehingga terhindar dari kematian, namun efek dari adu tenaga dalam tetap di derita. Ki Gagak Surengpati dengan tertatih-tatih bangkit berdiri sambil menghentakkan tenaga sakti.
"Heaaa ... !!"
Plukk .... pluukk ... !
Bola-bola berduri terlepas dan berjatuhan dari tubuhnya. Memang yang namanya adu tenaga dalam akan mengakibatkan salah satu atau kedua-duanya bisa mengalami luka dalam yang acap kali merenggut nyawa. Sebenarnya hal ini diketahui betul oleh Ki Gagak Surengpati, tapi untuk menghadapi manusia sekelas tokoh dari Kuil Langit, mau tidak mau ia harus menggabungkan kekuatan hawa murni dengan senjata gelapnya. Andai cuma beradu jurus saja, bisa memakan waktu tiga hari tiga malam tanpa henti.
"Setan keparat! Minggat kemana nelayan tua itu?" kata hatinya sambil mengatur napas dalam-dalam. "Jika cuma mengandalkan Dewi Cabul Teratai Merah dan Gagak Setan Tangan Seribu, tak bakalan mungkin bisa melibas Partai Naga Langit. Menghadapi pendeta botak ini saja hanya berjalan seimbang. Lagi pula, murid-muridku sudah pada tergeletak mati. Benar-benar brengsek!"
Setelah melihat bahwa tidak ada kemenangan yang bisa diraih di Partai Naga Langit, Ki Gagak Surengpati berniat melarikan diri dari arena pertarungan.
Tentu saja niat licik tukang nujum itu diketahui oleh Maharsi Manikmaya.
"Apakah kau mau lari dari sini, sobat?" sindir Si Telapak Langit.
"Lari" Huh! Tidak ada kata 'lari' dalam hidupku! Aku hanya ingin memperpanjang sedikit saja umurmu agar kau bisa bertemu dengan teman-temanmu di Kuil Langit sana," elak Ki Gagak Surengpati.
Bersamaan dengan itu, Gagak Setan Tangan Seribu mengalami nasib yang tidak kalah mengenaskan dengan gurunya.
Bahkan lebih buruk lagi!
Si Gagak Setan Tangan Seribu secara mendadak mendorongkan sepasang tangannya ketika tubuh besarnya hampir mengenai tanah hingga tubuhnya melentik di udara, ia bersalto ke belakang Dewa Kaki Kilat sambil mengeluarkan tendangan ke arah belakang kepala lewat jurus 'Kaki Seribu Mencabut Nyawa'!
Whutt!! Dewa Kaki Kilat menundukkan kepala, kemudian bersalto ke depan sambil mengeluarkan jurus tendangan ke arah pangkal paha belakang lawan. Dalam gerak lambat sungguh tampak indah. Posisi kepala Dewa Kaki Kilat berada di bawah, sementara tumit kaki kanannya mengarah ke pangkal paha sebelah belakang lawan.
Wutt! Jduaaakkk ... !!


Si Pemanah Gadis Karya Gilang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Jurus "Tendangan Tumit Pemecah Batu" Dewa Kaki Kilat masuk telak!
Si Gagak Setan Tangan Seribu bersalto ke belakang beberapa kali mengikuti daya tendangan Dewa Kaki Kilat untuk mengurangi akibat jurus "Tendangan Tumit Pemecah Batu".
Wutt! Dewa Kaki Kilat sengaja tidak mengejar lawan, ia ingin melihat dampak tendangan yang barusan dihasilkan. Kaki kanan Gagak Setan Tangan Seribu yang terkena tendangan tampak meleset tulangnya, ia berdiri terseok-seok. Wajah jelek si mata satu kembali menyeringai menahan sakit, ia menarik nafas sebentar untuk mengurangi rasa ngilu akibat tulangnya meleset dari persendian.
"Kau tidak akan menang adu jurus tendangan denganku, Gagak Setan!" kata Si Dewa Kaki Kilat. "Cukuplah jika kakinya patah, setidaknya ia takkan bisa lagi menyerangku," pikirnya.
Badai Laut Selatan 5 Han Bu Kong Karya Tak Diketahui Kucing Suruhan 4

Cari Blog Ini