Ceritasilat Novel Online

Si Pemanah Gadis 5

Si Pemanah Gadis Karya Gilang Bagian 5


yang telah mengangkat namanya sebagai satu tokoh silat yang diperhitungkan.
Pada jurus ke dua puluh, tubuh mungil si gadis melenting setinggi lima tombak,
kemudian menukik ke bawah sembari mengelebatkan pedang di tangan kanan
sedang sarung pedang di tangan kiri melakukan gerakan menotok. Jurus "Hujan
Gerimis Di Musim Kemarau" yang digunakan gadis itu bukan jurus sembarangan.
Jarang ada tokoh silat yang mampu menangkis serangannya.
Wutt! Wutt! Ribuan bayangan pedang mengancam dari atas membuat Cambuk Pemutus
Nyawa segera melakukan gerak pertahanan. Cambuk panjangnya semakin
cepat diputar-putar di atas kepala hingga membentuk perisai perlindungan yang
kokoh. Criing! Criing!
Trangg! Beberapa kali benturan keras terjadi tatkala ujung mata pedang bentrok dengan
perisai cambuk yang dimainkan oleh lawan.
Klangg! Klanggg!
Akan tetapi, serangan jurus "Hujan Gerimis Di Musim Kemarau" yang dilancarkan
oleh gadis murid Perguruan Sastra Kumala kandas begitu saja, bahkan totokan
sarung pedang yang membentur perisai cambuk lawan juga tidak bisa berbuat
banyak. "Ganti jurus!" pekik Beda Kumala yang masih melayang di udara, segera
menginjak sarung pedang di tangan kiri sebagai batu loncatan untuk melayang
lebih tinggi lagi.
Tapp! Wutt! Tentu saja, gerakan yang dilakukan oleh Beda Kumala membuat Cambuk
Pemutus Nyawa terpana!
"Bagaimana mungkin ada gerakan seperti itu!?" desisnya sambil terus memutarmuta
cambuknya. Begitu mencapai tiga tombak lebih tinggi dari sebelumnya, Beda Kumala kembali
menggerakkan pedangnya membentuk ribuan bayangan pedang yang semakin
lama semakin menggila.
"Huh, jurus yang sama" Siapa takut!" bentak Cambuk Pemutus Nyawa.
Segera saja, laki-laki ini memperhebat putaran ayunan cambuknya.
Wuung! Wungg! Wuung!
Sementara itu, jurus yang dilancarkan oleh Beda Kumala memang kelihatannya
sama dengan jurus sebelumnya, tapi begitu melayang turun sejarak satu tombak
ke bawah, terbersit pancaran hawa pedang tajam menerjang Cambuk Pemutus
Nyawa yang berjumlah ribuan banyaknya.
Jurus "Daun Runtuh Mengguguri Bumi" memang ada kemiripan dengan jurus
"Hujan Gerimis Di Musim Kemarau", namun begitu mendekati lawan, barulah
terlihat perbedaannya. Serangannya lebih tajam dan lebih menakutkan.
Wirr! Wirr! Cwiss! Cwiss!! Cambuk Pemutus Nyawa yang meremehkan serangan lawan harus
menanggung kerugian yang tidak sedikit. Hawa pedang yang dilancarkan oleh
Beda Kumala ternyata sanggup menembus perisai yang dibangun oleh salah
seorang dari pentolan Istana Jagat Abadi. Akibatnya, seantero tubuhnya
langsung tersayat-sayat seperti daging dicacah pisau jagal.
Crass! Crass! "Gadis keparat! Jika aku mati ... kau pun harus menemaniku ke neraka!" bentak
Cambuk Pemutus Nyawa, "Silahkan cicipi Pukulan "Awan Biru"-ku!"
"Heeeaaa ... !"
Disertai bentakan keras, Cambuk Pemutus Nyawa mendorongkan tangan kiri
yang berubah menjadi kebiruan ke arah lawan sedang tangan kanannya yang
masih memegang hulu cambuk menjentikkan berkali-kali.
Wutt! Wutt! Sritt! Sriit! Pukulan "Awan Biru" digunakan bukan pada waktu yang tepat, namun hasilnya
sungguh luar biasa sekali. Suara deru angin disertai gumpalan asap kebiruan
langsung membersit ke atas, bahkan sanggup menerobos hawa pedang yang
dikerahkan oleh Beda Kumala.
Beda Kumala yang saat itu masih melayang di udara, tersentak kaget, "Celaka
dua belas!"
Tidak ada waktu untuk menghindar, bahkan untuk menghimpun kekuatan 'Air
Panas Tenaga Surya' juga tidak sempat. Satu-satunya hal yang bisa dilakukan
adalah memperhebat serangan hawa pedang ke lawan, siapa tahu saja sanggup
menahan pukulan sakti yang dilancarkan lawan.
Wutt! Wutt!! Dhuarr! Buaghh! Crasss! Crasss!!
BAGIAN 11 Cambuk di tangan lawan kontan terputus-putus menjadi ribuan potong, termasuk
pula kepala Cambuk Pemutus Nyawa menggelinding ke tanah dalam kondisi
terbelah kecil-kecil. Orang tanpa kepala tentu nyawanya tidak bakalan mau
lama-lama berada di dalam raga, apalagi jika berdiri lama-lama!
Bruggh! Bersamaan dengan rubuhnya Cambuk Pemutus Nyawa yang tanpa nyawa lagi,
Beda Kumala mengikut melayang jatuh di tanah.
Bruggh! Gadis itu segera berusaha bangkit dari keterpurukan, namun baru saja
mengangkat kepala, darah kental kehitaman tersembur keluar dari mulutnya.
"Hoeekk! Hoeekk!"
Rupanya serangan terakhir dari lawan yang berupa gumpalan asap biru tepat
menggedor dada kanan dekat pundak.
"Aku terluka dalam!" keluhnya sambil tangan kiri menekan bagian dada kanan.
Tiba-tiba matanya melihat sebuah benda kecil menancap di tangan kiri. "Apa ini"
Senjata beracunkah?"
Cess! Benda berbentuk serabut warna coklat segera dicabut, lalu dibuang begitu saja.
"Tidak ada rasa dingin atau panas, bengkak pun juga tidak ada. Mungkin terkena
serabut pohon barangkali," pikirnya sambil berusaha duduk bersandar di pohon.
"Aku harus segera menyembuhkan luka dalam ini."
Sebelum gadis itu duduk bersila, matanya sempat memperhatikan jalannya
pertarungan antara Jalu Samudra dengan Golok Tapak Kuda.
"Ilmu apa yang digunakan Kakang Jalu" Pergeseran kaki dan tangan sungguh
unik sekali. Kadang miring ke kiri, kadang miring ke kanan, bahkan tongkat
hitamnya seperti telah menjadi satu jiwa dengan pemakainya. Benar-benar ilmu
yang aneh," desis lirih Beda Kumala. "Entah siapa gurunya yang mengajarkan
ilmu aneh seperti itu?"
Sementara Beda Kumala mengobati luka dalamnya akibat pertarungan dengan
Cambuk Pemutus Nyawa, pertarungan antara Jalu Samudra dan Golok Tapak
Kuda semakin seru dan memanas. Sudah beberapa kali Golok Tapak Kuda
terpental ke belakang akibat adu jurus mau pun adu tenaga, namun berulang kali
pula ia menerjang lawan dengan sebat.
Meski terlihat seru dan menegangkan, namun sebenarnya kondisinya tidak
seperti yang terlihat.
Si Pemanah Gadis seperti setengah hati dalam pertarungan, hanya menunggu
serangan dari lawan. Tidak ada inisiatif membuka serangan terlebih dahulu.
Sedangkan lawan, justru terlihat beringas dengan cecaran hawa dan kelebatan
jurus-jurus silat menggunakan golok persegi.
Brakk! Brakk! Praakk!
Tranggg! "Baru kali ini aku dapat lawan keras kepala seperti ini," pikir si Jalu sambil kirinya
bergerak merendahkan tubuh ke bawah menghindari tebasan golok, sambil
tangan kirinya melancarkan serangan tapak ke arah dada lawan.
Debb! Dalam waktu sekian detik, lawan sanggup mengeliminasi serangan tapak Si
Pemanah Gadis yang mendadak datang dengan tinju kiri terkepal sarat tenaga
sakti. Plakk! "Uughhh!"
Untuk ke sekian kalinya, Si Golok Tapak Kuda kembali terjajar ke belakang.
"Gila! Tenaganya semakin lama semakin kuat," desisnya dengan terengahengah.
"Rambatan energinya seperti sengatan kilat semakin menyengat."
"Anak muda! Siapa kau sebenarnya?" tanya Golok Tapak Kuda.
"Aku!?" jawab Jalu sambil menunjuk hidungnya, "Aku ya ... aku! Aku jelas bukan
kamu!?" Jawaban Jalu yang pulang pergi membuat lawan semakin beringas.
"Bangsat!"
Senjata golok persegi ditarik lurus melintang ke depan. Dua pasang tangan yang
memegang golok terlihat bergetar lembut, kemudian semakin lama semakin
keras. Jelas sekali bahwa dalam serangan kali ini bahwa Golok Tapak Kuda
berniat memberikan serangan pamungkas pada lawan.
Keringat sebesar jagung terlihat mengucur deras dari dahi.
"Kalau kau sanggup menahan jurus terakhirku ini, aku akan tunduk padamu,
anak muda!" seru Golok Tapak Kuda, "Tapi aku yakin kau tak bakalan sanggup
menahan jurusku ini! Di dunia ini cuma Ketua saja yang sanggup menahan
serangan jurus "Gelombang Pasang Mempermainkan Ombak" ini!"
"Ooo ... jadi jurus golok terhebatmu ini sudah ada yang sanggup
mematahkannya," ucap Jalu enteng sambil menarik bagian tengah tongkat
hitamnya. Begitu ditarik, seutas benang tipis dari kulit ular yang dikaitkan dari
ujung ke ujung terentang kuat, "Jadi ... sudah bukan jurus terhebat lagi dong?"
"Setan keparat! Silahkan kau pentang bacot sesukamu!" bentak Golok Tapak
Kuda gusar, namun pengerahan hawa sakti terus meningkat setahap demi
setahap. Begitu mencapai batas maksimal, sekujur tubuh pendek kekar itu
diselimuti cahaya putih yang membungkus sekujur tubuhnya.
Sriiing! Perlahan-lahan, pancaran sinar putih menjalar naik dan pada akhirnya terkumpul
di genggaman tangan dan terus menjalar hingga badan golok memancarkan
sinar putih menyilaukan mata. Semakin lama pancaran sinar putih membesar,
dan berikutnya mendadak bergejolak seperti ombak di tepi pantai. Bahkan
jilatan-jilatan cahaya itu membuat jarak dua tombak di sekitar Golok Tapak Kuda
seperti pasir pantai yang dihempaskan oleh gelombang laut pasang.
Srakk! Srakk! Sementara itu, Jalu sendiri tidak tinggal diam menunggu serangan lawan seperti
yang sudah-sudah.
"Kukira dengan tingkat dua sudah lebih dari cukup untuk menghajar adat si
pendek ini," kata hati Si Pemanah Gadis sambil mengerahkan tingkat dua dari
Ilmu "Tenaga Sakti Kilat Matahari".
Dihimpunnya kekuatan tenaga kilat yang berasal dari sepasang buah Naga Kilat
dan diikuti dengan melontarkan hawa panas matahari dari pusar yang berasal
Bibit Matahari yang semuanya telah bersatu raga dengan murid tokoh silat masa
lima ratus tahun silam ini.
Swoshh! Swoshh ... !!
Sebentuk hawa biru bening merambat keluar hingga pada tangan kanan dan kiri,
lalu menggumpal membentuk mata anak panah berbentuk kepala burung
rajawali yang juga memancarkan cahaya biru bening sepanjang setengah
tombak lebih. Sebenarnya, dengan Ilmu "Tenaga Sakti Kilat Matahari", Jalu
Samudra sanggup membuat sembilan mata anak panah sekaligus. Namun untuk
menghadapi lawan seperti Golok Tapak Kuda, Jalu Samudra memutuskan untuk
menggunakan satu anak panah saja.
Sementara itu, Beda Kumala sudah sembuh tiga perempat bagian. Dan begitu ia
membuka mata, gadis murid Perguruan Sastra Kumala takjub melihat tontonan
tataran olah kanuragan yang tergelar gratis di depan mata.
"Baru pertama kali kulihat orang membuat senjata dengan pancaran hawa
tenaga dalamnya," pikir Beda Kumala takjub sambil bangkit berdiri dari duduk
bersilanya, "Menurut Nyai Guru Tirta Kumala, hanya orang pilih tanding saja
yang mampu melakukannya hal mustahil seperti itu."
Jalu Samudra sendiri memutuskan untuk mengerahkan jurus "Rajawali Meniti
Pelangi" yang merupakan jurus ke tiga dari '18 Jurus Panah Hawa' dari Aliran
Rajawali Terbang yang diwarisinya dari Dewa Pengemis untuk menghadapi jurus
lawan. Tentu saja apa yang dilakukan Jalu Samudra membuat lawan juga terhenyak.
"Mustahil! Bagaimana mungkin ini bisa terjadi!?" desis Golok Tapak Kuda
dengan mata terbelalak.
Hatinya sempat tergetar melihat tataran ilmu yang digunakan pihak lawan. Akan
tetapi, sebagai salah satu tokoh persilatan yang sudah lama malang melintang
puluhan tahun lamanya, tidak membuat Golok Tapak Kuda mundur dari arena
pertarungan. "Cuma panah sekecil itu mana sanggup menahan jurusku!" ejek Golok Tapak
Kuda, lalu sambungnya, "Terima jurus golokku ini! Heaaa ... !!"
Diiringi dengan teriakan penambah semangat, Golok Tapak Kuda mendorongkan
golok perseginya dengan dorongan kuat ke depan.
Wutt! Wussshh ... !
Seberkas cahaya putih terang menebar hingga dua tombak lebarnya. Tanah di
sekitar pancaran sinar putih yang berasal dari jurus "Gelombang Pasang
Mempermainkan Ombak" yang dilepas dengan tenaga penuh membuat tanah
terkelupas bagaikan ada tikus tanah raksasa yang sedang menggali liang,
menggebah deras ke arah Jalu Samudra seakan-akan ini menelannya bulatbulat.
Melihat lawan mengawali serangan, Jalu tetap tenang-tenang saja.
"Mari kita adu, mana yang lebih hebat, jurus "Gelombang Pasang
Mempermainkan Ombak" atau jurus "Rajawali Meniti Pelangi" milikku," ucap Jalu,
lalu dengan sedikit tarikan tangan kanan yang semakin mengencangkan busur,
lalu melepaskan tali busur terentang.
Srett! Twanggg ... ! Begitu dilepas, lontaran anak panah biru bening berubah bentuk menjadi burung
rajawali yang melesat cepat dan dibawahnya terlihat pancaran sinar tujuh warna,
sekilas terlihat seperti seekor burung rajawali yang memekik-mekik yang meniti
pelangi di angkasa.
Kwaarkk! Kwaarkk!
Benar-benar jurus yang indah, namun berbahaya bagi lawan!
Dhuaarr! Dhuaarr!!
Terdengar suara ledakan keras yang memekakkan telinga saat hawa sakti yang
dilepas masing-masing lawan saling bentrok di udara kosong.
Buuumm!! Bummm ... !!
Di seantero pertarungan dalam jarak belasan tombak bagai dilanda gempa bumi
skala sedang. Beberapa pohon terlihat bergetar keras, kemudian bertumbangan
menimbulkan suara derak bisa menulikan gendang telinga.
Krakk! Krakk! Brakkk!! Beda Kumala sendiri meski sudah siap dengan jurus peringan tubuhnya, tetap
terpelanting ke belakang laksana dilemparkan oleh tangan-tangan gaib.
Brakk! "Ughh! Patah punggungku!" keluhnya tatkala punggungnya membentur pohon
yang tumbang malang melintang tak karuan. Dengan susah payah, akhir ia
sanggup berdiri, meski tangan kiri harus bersitekan pada batang pohon yang
rubuh. Kembali ke pertarungan ...
Jalu Samudra masih tegak dengan posisi semula, dengan tangan kiri masih
memegang busur tongkat hitam sedang tangan kanan masih dalam posisi
seperti melepas anak panah. Tidak ada yang berubah sama sekali, tetap seperti
sebelumnya. Sedang Golok Tapak Kuda justru terjajar ke belakang hingga tanah
di bawah kakinya membentuk lekukan memanjang ke belakang. Dari lima panca
indra di tubuhnya keluar leleran darah kental kehitaman berbau sangit. Jelas
sekali bahwa organ dalam tubuhnya terluka parah. Mungkin kesempatan untuk
hidup hanya tinggal satu dua bagian saja. Andaikata ia selamat, ia pasti jadi
orang cacat seumur hidup.
Golok persegi ditangannya pelan tapi pasti terkikis menjadi bubuk halus dan
akhirnya seluruh badan golok musnah, lenyap tertiup angina, termasuk pula
dengan gagang golok yang ikut menyerpih, membuat laki-laki pendek kekar ini
berkata dalam keterkejutan.
"Golok kesayanganku ... " desisnya dengan mata nanar, "Golokku ... "
Rasa kehilangan benda kesayangan menyeruak dari dalam jiwanya. Golok
persegi yang mengangkat namanya dengan julukan Si Golok Tapak Kuda,
senjata yang selama hidupnya telah menemaninya, kini telah hilang musnah.
Tiba-tiba sorot matanya berubah beringas seperti mata beruang yang kehilangan
anaknya.

Si Pemanah Gadis Karya Gilang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kembalikan golokku!"
Golok Tapak Kuda dengan menggembor marah, melesat ke depan. Meski dalam
keadaan terluka parah, namun Golok Tapak Kuda tidak malu dianggap sebagai
salah satu tokoh hitam yang di perhitungkan. Gerakkannya masih gesit dan
bertenaga. Debb! Debb! Meski tanpa senjata, tapi sisa-sisa energi dari jurus "Gelombang Pasang
Mempermainkan Ombak" masih ada. Bahkan daya tekannya lebih dahsyat dari
pada menggunakan golok. Kali ini jurus lanjutan dari jurus "Gelombang Pasang
Mempermainkan Ombak" yang bernama jurus golok "Gelombang Badai Silih
Berganti Menindih Dan Menerpa" di ubah menjadi jurus pukulan maut menerjang
keras ke arah Si Pemanah Gadis.
Wutt! Wutt! Sepasang kepalan tangan bergerak cepat membentuk bayangan pukulan.
Namun bagaimana pun juga, sisa tenaga yang ada paling tinggi sampai tiga
bagian saja, dipaksakan sekeras apa pun juga tidak akan bertambah banyak.
Melihat serangan nekat lawan, Jalu tanpa bersuara segera menghindar kesana
kemari dengan jurus "Kilat Tanpa Bayangan". Sosoknya kadang melejit ke atas,
kadang berputar ke bawah bahkan berkelit ke kiri dan kanan menghindari
sergapan lawan.
Tiba-tiba saja, Jalu berkelebat ke depan, tidak menghindari serangan lawan tapi
justru memasuki daerah pukulan yang dilancarkan Golok Tapak Kuda.
"Mampus kau!" bentak Golok Tapak Kuda sambil mengelebatkan tangan kanan
ke kiri. Wutt! Luput! Jalu menundukkan kepala sambil tangan kiri meraih pinggang lawan dari arah
belakang. Sett! "Apa yang kau lakukan!?" sergah Golok Tapak Kuda kaget.
Begitu Golok Tapak Kuda berada dalam pelukan Jalu, tangan kanan yang
memancarkan cahaya biru bening bergerak meremas ke arah dada kiri Golok
Tapak Kuda sambil berkata, "Selamat tinggal, sobat!"
Krakkk! "Aaaacchh ... "
Si pendek kekar menjerit keras saat tulang iganya berderak hancur dan melesat
masuk ke dalam dada setengah jengkal dan tentu saja jantungnya langsung
terkoyak oleh patahan iga.
Rupanya Si Pemanah Gadis yang mengetahui kondisi lawan sudah tidak bisa
diselamatkan lagi, segera mengambil keputusan untuk mengakhiri penderitaan
lawan. Dengan salah satu jurus dari "30 Jurus Asmara Pemanah Gadis" yang
bernama "Memeluk Pinggang Meremas Dada" disertai hawa sakti dari Ilmu
'Tenaga Sakti Kilat Matahari' tingkat dua, nyawa Golok Tapak Kuda keluar dari
raganya dengan sukses!
Namun, sebelum melepas nyawa, Golok Tapak Kuda sempat bertanya, "Sia ...
pa nama ... mu?"
"Kau boleh menyebutku ... Si Pemanah Gadis," bisik lirih Jalu Samudra.
"Rupa ... nya ... kau ... "
Kepala Golok Tapak Kuda langsung terkulai!
Dengan pelan, Jalu Samudra meletakkan jenazah Golok Tapak Kuda di tanah,
gumamnya, "Maaf, sobat! Aku terpaksa membunuhmu dari pada dirimu tersiksa
yang membuatmu setengah hidup setengah mati."
BAGIAN 12 Beda Kumala berlari kecil menghampiri Jalu Samudra yang sedang meletakkan
raga tanpa nyawa Golok Tapak Kuda. Sekujur badan si cantik mungil ini penuh
keringat, selain karena hawa panas siang hari, juga baru saja mengerahkan
hawa inti "Air Panas Tenaga Surya" untuk membantu penyembuhan luka dalam.
"Bagaimana kondisinya, Kakang?" tanya Beda Kumala begitu sampai dengan
napas sedikit memburu.
"Ia tewas."
"Kakang membunuhnya?"
"Aku terpaksa melakukannya, Beda. Sebab luka dalam yang dialaminya teramat
parah. Dari pada menanggung sakit derita berkepanjangan lebih baik aku sudahi
saja hidupnya," desah Si Pemanah Gadis, " ... padahal sebenarnya aku berniat
mengorek keterangan tentang gurumu yang menghilang."
"Lawanku juga tewas, Kakang," tutur gadis berbaju hijau itu, "Padahal awalnya
aku juga punya niatan yang sama denganmu. Namun, nasi telah menjadi bubur,
apa yang bisa kita perbuat jika sudah begini?"
Jalu hanya mengangguk pelan.
"Kita kuburkan mereka," ucap Jalu.
Siang itu juga mayat Golok Tapak Kuda dan Cambuk Pemutus Nyawa di kubur
di tempat itu pula. Karena kondisi kepala mayat Cambuk Pemutus Nyawa yang
menjadi serpihan daging kecil, membuat Jalu Samudra dan Beda Kumala sedikit
sibuk. Sambil bersungut-sungut, pemuda berkuncir ekor kuda itu berkata, "Uuhh ...
besok lagi kalau mau buat mayat, kepalanya jangan dibuat kecil-kecil begini,
susah menguburnya ... "
Beda Kumala hanya meringis saja tanpa menjawab.
Setelah selesai mengubur dua mayat pengikut Istana Jagat Abadi, mereka
berdua segera meninggalkan tempat itu.
Saat berada tepat berada di luar hutan, hawa mulai berubah. Terik sinar
matahari terasa lebih menyengat dari pada dalam hutan.
"Fyuhh ... capek juga ... " kata si gadis, sambil tangan kanan memegang kerah
baju kiri dan dikibas-kibaskan, "Hawa siang ini begitu panas menyengat, sampai
tubuhku bersimbah keringat begini."
Tentu saja Jalu Samudra yang ada di samping kanannya dapat tontonan gratis.
Sebentuk pemandangan indah terbentang di sela-sela kerah baju Beda Kumala
yang sekarang semakin ketat membasah berkeringat. Sebentuk penutup dada
ukuran sedang terisi dengan sempurna oleh gelembung payudara putih dibalik
baju seragam hijaunya.
"Benar. Aku sendiri juga merasa gerah," kata Jalu sambil menyeka keringat di
dahinya. Tentu saja gerahnya Jalu tidak sama dengan gerahnya gadis cantik di
sampingnya. "I ya. Apalagi setelah ... oupss," tiba-tiba gadis itu menyadari bahwa pemuda di
depannya sedang menatap kedua payudara yang kelihatan jelas dari balik
kancing baju yang terlepas di urutan paling atas. Hampir saja ia membentak
kalau tidak menyadari bahwa pemuda yang ada disampingnya itu buta. Akhirnya
ia biarkan saja tanpa membetulkan kerah bajunya.
"Untung saja ia buta," pikirnya menerawang. "Duuh ... kancingnya pakai acara
lepas, lagi?"
"Bagaimana kalau kita duduk sebentar di bawah pohon itu. Sekalian melepas
lelah." "Emm ... boleh juga."
Keduanya segera duduk di atas sebatang kayu yang melintang.
"Kakang, aku bingung dengan ilmu silat yang tadi kau gunakan untuk bertarung
dengan Golok Tapak Kuda," ucap Beda Kumala mengawali pembicaraan.
"Benar-benar aneh dan membingungkan gerakannya."
"Apanya yang kau bingungkan?" Jalu bertanya sambil melirik wajah gadis di
sebelahnya, pikirnya, "Wooow, rupanya seorang bidadari mungil yang duduk
disebelahku, wajahnya sungguh cantik. Bibir tipis kemerahan, hidung mancung
dengan sepasang alis mata hitam melengkung tipis di atas matanya yang bulat
bersinar. Belum lagi dengan sepasang bukit kembar yang menggelembung
sempurna. Benar-benar yang makhluk menawan."
"Kulihat gerakan tongkat hitammu selalu menebas atau menusuk dari arah
samping, tidak pernah dari depan atau belakang. Apa lagi gerak langkah yang
miring ke kiri ke kanan tak tentu arah," kata Beda Kumala, "Baru kali ini aku
melihat ilmu silat seaneh itu."
"Sebenarnya aneh atau tidak, itu tergantung seberapa sering kau melihatnya."
"Tapi tetap saja aku merasa aneh dengan jurusmu itu. Apalagi dengan anak
panah warna biru yang kau lepaskan tadi, benar-benar mengagumkan,"
sambung Beda Kumala dengan sinar mata berbinar, lalu tambahnya, "Tak
kuduga jika Kakang Jalu ternyata pemuda berilmu tinggi."
"Kau sendiri juga hebat, Beda."
"Tapi lebih hebat Kakang Jalu," tukas Beda Kumala, lalu dengan pandangan
ingin tahu, imbuhnya, "Memangnya ... jurus yang Kakang kerahkan tadi apa
namanya?" "Yang miring-miring itu?"
"Ya."
"Sebenarnya jurus tadi adalah gabungan antara ilmu tombak dengan ilmu
tongkat yang aku pelajari dari mendiang kakek nenekku," tutur Jalu samudra,
"Jurus ini sementara hanya diriku yang menguasainya. Namanya Ilmu Silat
"Kepiting Kencana"."
"Ilmu Silat "Kepiting Kencana?" Pantas saja gerakannya miring-miring seperti
kepiting," desis Beda Kumala dengan senyum geli. "Jika boleh tahu, siapa nama
kakek nenekmu itu, Kang?"
"Aku sendiri tidak tahu pasti siapa namanya, hanya saja mereka dijuluki dengan
Tombak Utara Tongkat Selatan ... "
"Tombak Utara Tongkat Selatan ... " desis Beda Kumala.
"Apa kau mengenalnya?"
"Tidak juga. Hanya dari Nyai Guru, kupernah mendengar bahwa di rimba
persilatan pernah tersiar kabar bahwa Tombak Utara Tongkat Selatan adalah
sepasang suami istri aliran lurus yang banyak berbuat kebajikan. Bahkan mereka
termasuk tokoh silat papan atas meski tidak bisa dikatakan dalam jajaran jago
silat nomor satu. Bahkan kabar terakhir, selama puluhan tahun ini mereka jarang
menampakkan diri, mungkin karena usia tua atau ... "
"Sekarang mereka berdua sudah meninggal," potong Jalu Samudra.
" ... atau sudah meninggal ... " kata lanjut Beda Kumala, "Hanya saja, tidak ada
yang tahu dimana adanya sepasang pendekar budiman ini mengasingkan diri."
"Kakek nenekku selama hayat mengasingkan diri di Gua Walet," Jalu berkata
membuka cerita, "Mereka adalah orang yang paling kusayangi. Meski cuma
orang luar ... "
"Orang luar?" potong Beda Kumala, heran.
"Mereka sebenarnya bukan kakek nenekku yang sejati, tapi cuma kakek nenek
angkat saja ... "
"Terus orang tuamu dimana?"
"Menurut penuturan kakek, aku ditemukan di tengah laut lepas, dimana sehari
sebelumnya sebuah bencana melanda beberapa desa di pesisir laut hingga
hancur akibat terjangan badai laut raksasa dan di hari berikutnya, nenek
menyelidiki kemungkinan adanya warga desa yang selamat, akan tetapi tidak
ada satu pun yang tersisa dari mereka," tutur Jalu mengenang jati dirinya, "Dan
karena saat bayi mereka menemukanku di tengah laut dan di leherku tergantung
taji ayam, maka kakek memberiku nama Jalu Samudra."
Beda Kumala mengangguk-angguk pelan.
"Boleh aku bertanya satu hal?" tanya Beda Kumala, kali ini nadanya sedikit
bergetar seperti menahan sesuatu.
"Tanya saja."
"Tentang kebutaan matamu, apakah ... "
"Sejak masih bayi. Memangnya kenapa?" tanya Jalu Samudra sambil bersandar
ke batang pohon.
Beda Kumala memutar badan ke kiri, lalu tangan kanannya digoyang-goyangkan
pulang pergi di depan mata Si Pemanah Gadis.
"Kamu ini ngapain, sih?" tukas Jalu dengan dahi berkerut.
"Pendengarannya hebat. Pantas dia sanggup menumbangkan Golok Tapak
Kuda," batin Beda Kumala. "Jika bukan karena pendengaran yang super tajam,
mana mungkin dia bisa tahu kalau aku mengibas-ngibaskan tangan di depan
matanya." "Kenapa bengong?" tanya Jalu Samudra sambil memalingkan wajah ke kanan.
Lagi-lagi matanya melihat celah-celah aduhai disela-sela kerah baju Beda
Kumala, pikirnya, "Kalau begini terus-terus, bisa kumakan dia!"
"Ahh ... enggak. Aku hanya bisa merasakan kalau dalam kehidupan Kakang
pasti penuh kegetiran."
"Tidak juga!"
"Tidak?"
"Karena aku sendiri menikmati apa saja yang melekat pada diriku ini. Tidak
pernah satu kali pun dalam hidupku menghujat Yang Pencipta. Dia menciptakan
mahkluk pasti dengan tujuan mulia," ujar Jalu Samudra, sambungnya, " ... nenek
pernah bilang begini, "seorang anak manusia tidak mungkin mengalami cobaan
berat yang tidak mampu ia jalani, sebab Yang Kuasa pasti sudah memberikan
jalan keluar untuk setiap cobaan yang diberikan kepada anak manusia. Dan
yang pasti, tidak mungkin Yang Kuasa memberikan cobaan tidak sesuai dengan
kemampuan anak manusia itu sendiri. Apa pun itu bentuk dan caranya pasti ada
penyelesaian masing-masing." Kata-kata itulah yang membuat diriku seperti
mendapat cambuk penyemangat agar tidak pernah putus asa. Dalam setiap
masalah yang menghadang seberat apa pun, pasti ada jalan keluarnya masingmasing.
Dan hal itu aku yakini hingga sekarang."
Beda Kumala termenung mendengar penjelasan panjang lebar dari pemuda
berbaju biru itu. Jika sebelumnya mengenai tentang cinta, kini justru membahas
tentang pandangan hidup si pemuda. Tidak disangkanya bahwa pemuda yang
menurutnya buta, ternyata memiliki pandangan hidup yang begitu dalam dan
luas. Tidak ada keluh kesah dalam kamus hidupnya. Jika dibanding dengan
dirinya, bedanya seperti air laut dengan air selokan. Dirinya yang selalu
mengeluh jika ada masalah yang terbentang lebar di depannya, selalu berusaha
mencari pelarian tanpa mencari solusi. Tidak pernah bertanya apa dan mengapa
masalah itu bisa timbul dan menimpa dirinya. Selalu saja orang lain yang
membantu menyelesaikan masalahnya, bukan dirinya.
Betapa kecilnya ia di hadapan pemuda buta itu sekarang!
"Aku harus berubah mulai dari sekarang," pikir Beda Kumala, "Aku tidak bisa
terus seperti ini. Pasrah jika ada masalah menghadang, lari jika tidak
menyelesaikannya. Seberapa jauh aku menghindar, masalah selalu saja
mengikuti kemana saja. Tampaknya aku harus belajar banyak dari Kakang Jalu."
"Apa yang kau pikirkan sekarang" Sedang mengurai setiap masalah yang
menimpamu, ya?" tebak Jalu.
Dengan sedikit merengut, dia berkata, "Memangnya Kakang Jalu ini cacing yang
ada di perutku, ya" Sok tahu!"
"Ha-ha-ha!"
Jalu Samudra tertawa tergerai saat melihat bibir merah Beda Kumala meruncing.
"Kenapa ketawa" Ada yang lucu?" sergah Beda Kumala dengan sedikit melotot.
"Ada."
"Apa?"
"Kalau aku seperti cacing di dalam perutmu, mungkin sekarang aku sudah minta
jatah." "Minta jatah?"
"Ya. Sebab dari tadi kudengar perutmu "kruak-kruek" tanpa bisa dikendalikan,"
sahut Jalu sambil tertawa terpingkal-pingkal.
"Dasar sinting!" seru Beda Kumala sambil tangan kanan-kiri memberikan
cubitan-cubitan tajam di lengan Jalu, tentu saja tidak keras, cenderung mesra
malah. Tentu saja jalu berteriak-teriak kesakitan mendapat serangan jari-jari
lentik Beda Kumala (meski cuma pura-pura sakit sih).
Perlahan namun pasti, rona muka Beda Kumala memerah. Tentu saja
perubahan wajah gadis di depannya dapat terlihat dengan jelas oleh Jalu. Tapi
sedapat mungkin Jalu berpikir bahwa hal itu mungkin saja terjadi kala si gadis
sedang bersenda-gurau sehingga rona mukanya menjadi memerah. Akan tetapi,
makin lama justru makin merah saja, dan hal ini ternyata tidak disadari oleh Beda
Kumala yang masih asyik mencubiti lengan Jalu Samudra.
Akhirnya, tanpa dapat di tahan lagi, mulut Jalu pun terucap, "Tunggu sebentar,
Beda. Aku melihat ada yang aneh pada dirimu."
Beda Kumala terperanjat, "Apanya yang aneh?"
"Apa kau selalu bermuka merah merona seperti itu jika dekat dengan laki-laki?"
Tanpa sadar, Beda Kumala memegang ke dua pipinya yang halus, sambil
berkata, "Tidak. Tidak pernah. Memangnya mukaku semerah itu, ya" Perasaan
aku baik-baik saja."
"Apa kau sedang ... maaf ... dilanda birahi?" tanya Jalu dengan hati-hati.
"Maksudku ... ingin bercinta, begitu!?"
"Aku?" kata Beda Kumala menunjuk hidungnya sendiri.
Jalu hanya menganggukkan kepala.
"Tidak juga," sahutnya, namun saat mengatakan hal itu, darah dalam raga cantik
Beda Kumala berdesir lembut, "Edan! Perasaan apa ini" Kenapa rasanya aku
ingin sekali dibelai oleh laki-laki di depanku ini" Jangan-jangan memang benar
aku sedang birahi?"
Jalu termenung sambil berpikir, "Jelas sekali ia sedang mengalami hal itu. Tapi


Si Pemanah Gadis Karya Gilang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kenapa bilang tidak" Aneh! Atau jangan-jangan ia keracunan waktu sedang
bertarung dengan Cambuk Pemutus Nyawa tadi" Aku harus tanya sejelasjelasnya
pada si mungil ini."
"Sewaktu bertarung tadi, apakah lawanmu menggunakan senjata beracun atau
sejenisnya?" tanya murid Dewa Pengemis.
"Tidak," sahut Beda Kumala, "Memangnya ada apa, Kakang Jalu" Dari tadi
pertanyaanmu aneh terus."
Sambil membetulkan letak duduknya, Jalu pun mulai berkata, "Begini! Dari
tarikan napasmu, aku merasakan kalau kau sedang mengalami sesuatu. Meski
lembut sekali, tapi aku merasa kalau saat ini kau sedang keracunan sesuatu
atau jika tidak sedang dalam tahap pencapaian nafsu ragawi," tutur Jalu
Samudra. "Yang benar?" tanya Beda Kumala dengan mimik muka tidak yakin.
"Boleh aku pegang tangan kirimu?"
"Untuk apa?"
Meski bertanya begitu, toh Beda Kumala mengangsurkan tangan kirinya juga.
Jari telunjuk dan jari tengah tangan kanan Jalu diluruskan, kemudian
ditempelkan pada urat besar yang ada di tangan kiri. Dari bawah pusar, mengalir
lembut sebentuk tenaga yang menyusup masuk ke dalam urat besar di tangan
kiri. Begitu disentuh, sekujur tubuh Beda Kumala langsung bergetar aneh.
"Apa-apa"an ini?" pikir Beda Kumala.
"Denyut nadimu mulai memburu, jalan darah bergerak cepat dan tiga perempat
bagian darah dalam tubuhmu bergejolak," ucap Jalu, lalu sambungnya, "Bahkan
sekarang dengusan napasmu mulai tersengal-sengal."
Jalu menarik kembali tangan kanannya, bersamaan dengan serangkum hawa
hangat yang asalnya dari hidung dan hembusan napas mulut Beda Kumala
menerpa wajah Jalu.
"Coba kau ingat-ingat, mungkin ada senjata rahasia atau apa sajalah yang
menempel di tubuhmu atau dimana pun. Pokoknya apa saja yang pernah
menempel atau menancap," ucap Jalu Samudra kemudian. "Dari deteksi jalan
darah, kalau tidak dalam birahi tinggi, kau menderita keracunan, Beda."
"Racun?" gumam Beda Kumala, sambil berusaha meredakan dengusan
napasnya. Gadis itu memeras otak, berusaha membuka lipatan-lipatan ingatan yang ada di
kepala, terutama dengan pertempuran maut melawan Cambuk Pemutus Nyawa.
Namun setelah berpikir pulang-pergi, tidak ada yang terlewatkan sama sekali di
otaknya. "Tidak ada, Kakang ... tidak ada ... " jawab Beda Kumala. Tiba-tiba ia teringat
sesuatu, sesuatu yang menancap di tangan kirinya. Tanpa sadar, ia mengelus
tangan yang terkena serabut kayu, katanya, "Oh ... i ya! Waktu aku sedang
menyembuhkan luka dalamku, ada sebuah benda kecil menancap di tangan
kiriku." "Bentuknya seperti apa?"
Seperti bergumam, gadis itu berkata lirih, "Seperti apa ya" Emm ... mungkin bisa
dikatakan seperti ... serabut ... ya ... serabut kayu warna coklat yang segera
kucabut, karena bentuknya cuma kecil. Setelah itu kubuang."
"Serabut kayu?"
"Betul."
"Apa kau tidak merasakan tanda-tanda keracunan yang aneh" Pusing
misalnya?"
Beda Kumala menggeleng. Beberapa saat kemudian, barulah Beda Kumala
menyadari bahwa tubuhnya terasa hangat di bawah pusar, tepatnya di gerbang
istana kenikmatan miliknya.
Tiba-tiba Jalu melihat sebuah urat warna hijau di lengan kiri gadis murid
Perguruan Sastra Kumala.
"Celaka!" desisnya, "Kalau dibiarkan saja, aliran darahnya bisa meledak
sewaktu-waktu. Aku harus bertindak cepat."
Jalu segera bangkit berdiri dan mengambil keputusan cepat, lalu meraih tangan
Beda Kumala sambil berkata, "Kita harus cari penginapan. Penyakitmu harus
segera disembuhkan atau kau akan mati dengan tubuh hancur berantakan!"
Tanpa sepatah kata pun, Beda Kumala mengikuti tarikan tangan si pemuda.
--o0o-- BAGIAN 13 Cuaca menjelang sore masih panas meski tidak menyengat. Suasana saat
keluar dari hutan belantara yang sejuk dan kini masuk ke sebuah pedesaan,
berubah drastis. Terasa lengang, hanya orang yang tampak lalu lalang sambil
berkipas-kipas. Mungkin merasakan panasnya sengatan sinar matahari sehingga
harus cari angin di luaran.
Terlihat Beda Kumala juga mengipasi lehernya dengan telapak tangan karena
kepanasan, sampai-sampai baju hijau yang masih melekat di tubuh membasah
hingga mencetak indah lekuk tubuhnya. Sepintas terlihat tampak sangat
menggairahkan dengan kerlip keringat di wajah. Belum lagi dengan rona merah
matang yang semakin kentara, membuat nuansa romantis tercipta dengan
sendirinya. Sesuatu dalam diri pun mulai Jalu Samudra bergejolak.
"Kurasa aku rindu bercinta yang benar-benar bercinta," kata dalam hatinya.
"Kita cari penginapan untuk menyembuhkan lukamu dulu," kata Jalu Samudra.
"Aku sudah cukup sehat, Kakang."
"Tapi wajahmu semakin merah matang seperti itu. Aku takut kalau benar-benar
kau menderita keracunan," tutur Jalu sambil memandang lekat-lekat wajah Beda
Kumala. "Wajahku semakin memerah?" tanya Beda Kumala, heran.
Seakan menyadari sesuatu, Jalu berkelit dengan manis, "Dengus napasmu
terdengar memburu, itu adalah salah satu tanda orang keracunan. Dan kalau
orang keracunan salah satu tanda yang lain adalah wajahnya merah matang
macam tomat."
Beda Kumala mengangguk pelan saja.
Akhirnya mereka memilih penginapan yang ada di desa itu. Saat membuka pintu
kamar, Si Pemanah Gadis bersin beberapa kali begitu menghirup debu yang
berhamburan keluar.
Hatchiing! Hatchiing ... !
"Hi-hik-hik!"
Beda Kumala terkikik geli melihatnya.
"Sialan! Kalau pemilik penginapan ini kesini bakalan aku semprot habis-habisan
dia," gerutu Jalu. "Kamar bersih apanya" Debu hampir satu jengkal begini
dibilang bersih. Bah!"
Kembali Beda Kumala tertawa renyah.
Begitu masuk ke dalam kamar dan mengunci pintu, Jalu segera melangkah ke
ruang tengah, sambil berkata, "Lebih baik kau duduk di atas dipan sana. Aku
bantu menyembuhkan lukamu."
Belum lagi suara menghilang dari tenggorokan, mendadak saja Beda Kumala
merangkul dari belakang.
"Wah, wah, ada apa nih," protes Jalu.
Tak ada sahutan dari Beda Kumala, yang terdengar hanyalah dengusan napas
memburu saja disertai pelukan yang semakin erat. Tonjolan besar di dada gadis
itu menekan punggung Jalu.
"Edan! Jangan-jangan anak ini benar-benar terkena racun birahi," pikir Jalu
sambil berusaha melepaskan diri, "Atau malah mungkin dia terkena apa yang
namanya Serabut Maut yang seperti diucapkan Golok Tapak Kuda tadi, ya"
Masa" hasilnya seperti ini!?"
Jalu segera menyentuh nadi tangan kiri Beda Kumala.
"Pembuluh darahnya berdenyut terlalu cepat," pikirnya, "Dia benar-benar kena
racun birahi!"
Jalu membiarkan saja tangan gadis itu menjelajah kemana-mana.
"Cuma ada satu solusi untuk masalah ini. Jika ditotok jalan darahnya pasti ada
pembalikan hawa," pikirnya, "Kukira tidak ada solusi lain selain hal itu."
Si Pemanah Gadis tahu betul, bahwa gadis yang terkena racun birahi tidak ada
obat yang paling manjur dan ampuh selain bercinta dengan lawan jenisnya pula.
Diobati dengan hawa murni atau ramuan obat apa pun juga tidak akan berguna.
Hanya saja Jalu Samudra tidak tahu apa jenis racun birahi yang berada di dalam
tubuh Beda Kumala dan seberapa kuat daya kerjanya.
"Yach ... apa boleh buat ... sekali-sekali diperkosa gadis juga tidak ada jeleknya,"
desis Si Pemanah Gadis, membiarkan saja tingkah polah gadis yang
menggerayangi dirinya.
Tangan gadis itu lalu turun dan jemarinya masuk bergerilya kemana-mana.
Jalu segera membalik tubuh dan membalas memeluk mesra Beda Kumala
dengan segenap perasaan. Jalu sendiri sempat terheran-heran mendapati pilar
tunggal penyangga langit menegang begitu cepat.
"Kurasa baju hijaunya yang basah oleh keringat itu membuat daya khayal
asmaraku cepat berkembang," pikirnya sambil tangan kanan meremas-remas
dada membusung Beda Kumala, "Sudahlah! Toh, bercinta merupakan sesuatu
yang menyenangkan."
Sedang Beda Kumala merasakan kekagetan.
"Benda apa ini yang menempel di perutku" Apa mungkin ... " pikir si gadis.
Belum lagi ia menurunkan tangan kiri ke bawah, Si Pemanah Gadis telah
melancarkan serangan pertama.
"Hmmm ... " Jalu langsung melumat bibir merah merekah yang seolah
disodorkan dengan pasrah sambil memeluk pinggang si gadis erat-erat sampai
ia terengah-engah. Bau keringat yang keluar dari tubuh Beda Kumala membuat
darah muda Si Pemanah Gadis mengalir semakin cepat.
"Kau berkeringat," bisik Jalu di bibirnya.
"Aku ... mhh ... ini gara-gara nahan kelamaan," Beda Kumala balas berbisik.
Jalu tertawa, sambil berpikir, "Aku harus bertindak cepat. Tidak ada waktu untuk
main-main sekarang ini."
"Sekarang balik belakang," kata Jalu seraya merapatkan tubuh gadis mungil baju
hijau ke dinding kamar.
Beda Kumala menurut. Saat ia hendak melepas baju hijaunya, Jalu berbisik,
"Jangan dilepas. Pakai saja bajumu."
Beda Kumala tersenyum saja.
"Kamu suka dengan begini ya, Kang," katanya setengah mendesah.
"Kau lebih merangsang kalau begini," ucap Jalu Samudra.
Saat itu, baju hijaunya yang basah sudah membasahi pakaian biru si pemuda.
Rambutnya yang basah karena keringat membuat ia tampak sangat
menggairahkan di mata Si Pemanah Gadis.
Si Pemanah Gadis segera melipat kaki ke bawah dan berjongkok di belakang,
sambil jari tangannya meraba lembut bagian kaki yang masih terbalut celana,
sementara jari tangan kiri bergerak-gerak tak sabar, sedang tangan kanan
menurunkan sedikit celana Beda Kumala. Setelah itu, ditekan sedikit jemari ke
dalam lipatan paha.
Beda Kumala langsung mendesah nikmat.
"Baru kali ini aku bisa merasakan nikmatnya jari seorang laki-laki bermain di
tempat itu," desahnya dalam hati sambil matanya sedikit memejam. "Dia pintar
memanjakan lawan jenisnya."
Tanpa tempo lama, Beda Kumala tiba-tiba merasakan sesuatu akan segera
meledak dalam dirinya. Akan tetapi, ketika baru mau mencapai titik yang jarang
sekali ia dapatkan, justru Jalu menghentikan jurus "Tarian Jari"-nya, diganti
dengan si pemuda semakin menurunkan posisi celana luar dalam hingga
mencapai lutut. Praktis belahan pantat bebas merdeka yang penuh dan kencang
terpampang di depan mata putihnya.
"Kenapa berhenti?" desis Beda Kumala, kecewa.
"Bungkuk lagi," bisik Jalu Samudra tanpa menjawab pertanyaan, sembari tangan
kiri menekan lembut punggung si gadis.
"Gila! Mau apa lagi si buta satu ini" Aku sudah tidak tahan tapi dianya masih
main-main saja!" desah Beda Kumala dalam hati.
Beda Kumala merendahkan tubuhnya hingga pemuda yang ada di belakangnya
bisa melihat gerbang istana kenikmatannya yang ditumbuhi bulu-bulu tipis.
Dengan masih bertumpu di lutut, kepala Jalu sedikit merunduk ke bawah,
lidahnya menjulur.
Slepp! Langsung memainkan bibir gerbang istana kenikmatannya.
"Ughh ... uahh ... "
Beda Kumala semakin merapat ke dinding kamar sambil mendesah. Erangan
keluar dari mulutnya saat lidah panas bermain-main dengan tepi gerbang istana
kenikmatan miliknya. Dinikmatinya setiap rasa yang masuk dan menjalar hingga
membuat seluruh tubuhnya bergetar lembut.
Jemari Beda Kumala bergeser ke belakang, lalu menemukan rambut si pemuda,
menjambak dan mencakar dengan penuh gelora.
"Kakang Jalu ... ah ... ah ... " ia merintih.
Tak ingin Beda Kumala mencapai titik asmara sebelum dahaganya terpuaskan,
Jalu segera mengangkat tubuhnya. Beda Kumala hendak berbalik, tapi si
pemuda menahannya.
"Tetap seperti itu," kata Jalu lirih.
Baju hijau khas Perguruan Sastra Kumala yang basah kuyup membuat Si
Pemanah Gadis terangsang juga.
Srett! Tiba-tiba Beda Kumala merasakan sesuatu benda panas membara dengan
ukuran jumbo berusaha menerobos masuk gerbang istana kenikmatan dari
belakang. Di tarik, didorong. Di tarik, didorong. Di tarik, didorong.
"Gila! Baru kali ini bisa merasakan hentakan nikmat dan berirama seperti ini,"
pikir Beda Kumala sambil memejamkan mata, sedang mulutnya mendesis-desis
seperti ular. Beda Kumala merintih saat ujung pilar tunggal penyangga langit si
Jalu semakin dalam membelah bibir gerbang istana kenikmatannya dan melesak
masuk perlahan.
Beda Kumala untuk pertama kalinya mencicipi jurus "Keledai Musim Semi"
dimana dalam jurus ini menuntut kekuatan topangan kaki dan tangan sang gadis,
karena dilakukan dalam posisi menungging dan bertumpu pada kaki dan
tangannya, meskipun sulit, posisi ini disukai gadis murid Perguruan Sastra
Kumala ini, karena dengan posisi ini sebenarnya Jalu Samudra alias Si
Pemanah Gadis berniat membuat Beda Kumala mendaki puncak asmara yang
paling tinggi dalam waktu singkat.
Sementara itu, Jalu terus menyerang, membenamkan puncaknya sedikit demi
sedikit, tarik ulur dalam menenggelamkan ujung pangkalnya, bagai siput besar
sedang mengusir angin.
"Meski aku pernah melihatnya bercinta dengan Garan Arit, tak kuduga gerbang
istananya masih sedahsyat ini," pikir Jalu, "Begitu sesak, begitu menantang,
menjepit, memijat pilar tunggalku hingga rasa nikmat menjalar cepat. Aku harus
menekan masuk lebih dalam lagi. Biar dia merasakan titik puncak asmara yang
sebenarnya."
Sedang Beda Kumala menggerak-gerakkan pinggulnya dan merintih-rintih kala
benda bulat panjang itu semakin menerobos masuk.
Tangan kanan kiri Jalu menyusup masuk ke dalam baju hijau, meremas-remas
sepasang bukit kembar yang penuh dan kencang, yang menggelantung
bergerak-gerak saat ia mendorong pinggulnya maju dan mundur serta masih
terbungkus penutup dada.
"Kakang ... Jalu ... kang ... ah ... ah ... " Beda Kumala terus merintih.
Si pemuda berbaju biru terus mendorong semakin kencang dan semakin
kencang. Diciuminya belakang telinga dan punggung leher Beda Kumala yang
membuat gadis itu menggelinjang geli-gatal. Saat Si Pemanah Gadis semakin
cepat menerjang, lengan Beda Kumala terlepas dari dinding. Masih dengan pilar
tunggal penyangga langit di dalam gerbang istana kenikmatannya, didorongnya
tubuh Beda Kumala dari belakang, sampai ia terjatuh membungkuk di lantai.
Permainan jurus "Keledai Musim Semi" naik ke tingkat dua!
Gadis itu berusaha membalikkan tubuhnya, tapi Jalu kembali menahan tubuhnya
hingga tetap diam membelakang dalam posisi nungging. Pipinya menempel di
tembok. Rintihan terdengar terus dari bibir mungil. Bagi Beda Kumala sendiri,
rasanya seperti diterjang batang membara yang membawa geli-gatal ke seluruh
dinding gerbang istana kenikmatannya. Belum apa-apa, gadis itu sudah terlanda
gelombang puncak birahinya yang pertama.
Begitu cepat! "Aaaah ... aaahh ... "
Beruntun dengan gelombang ke dua datang saling susul menyusul.
"Aaaah ... uuuhh ... "
Beda Kumala mengerang, melejang, bahkan sepasang matanya membeliak
merasakan sebentuk kenikmatan yang untuk pertama kalinya ia rasakan. Begitu
menggeletar. Begitu menggemuruh seakan sanggup merontokkan seluruh isi
tubuhnya. Melihat Beda Kumala sudah mencapai titik asmara tertinggi, Si Jalu segera
menarik mundur seluruh tenaga yang dipakai.
Srepp!

Si Pemanah Gadis Karya Gilang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

BAGIAN 14 Begitu tenaga ditarik, diganti dengan sebuah tarikan napas lembut, diikuti hawa
hangat mengalir cepat melewati pori-pori bawah perut dan pada akhirnya sebuah
denyutan kuat berjalan cepat dari bawah pusar ke ujung pilar tunggal penyangga
langit. "Terima jurus pamungkasku ini, sayang!" kata Jalu sambil mempercepat gerakan
mennyerang dari belakang.
Beda Kumala sendiri masih terguncang-guncang, tapi justru inilah yang
diharapkannya. Ia pun semakin menggerakkan pinggul dan pantat lebih cepat ...
lebih cepat! "Aaah ... hhh .... hehh ... ssst ... ugh ... "
Bersamaan dengan itu pula, sebentuk denyutan cepat bergerak pada dindingdinding
gua, menjalar cepat menuju ke ujung. Dan akhirnya ...
Jrass ... ! Sebentuk hawa keperkasaan si Jalu yang berasal dari jurus Ilmu "Perjaka Murni"
menggelegak tersembur keluar diiringi dengan sentakan keras pilar tunggal
penyangga langit hingga melesak ke dalam, menekan erat bagian terujung dari
dinding dalam gerbang istana kenikmatan. Dan bersamaan dengan itu pula,
Beda Kumala mengalami hal yang sama untuk ke tiga kalinya.
Serr ... ! Cairan asmara memancar kuat, bertemu dengan lahar panas di dalam sana.
Saling sembur dan saling semprot!
Jika tubuh si Jalu menegang sambil dada bidang menempel erat pada punggung
dan sepasang tangannya meremas kuat sepasang bukit padat si gadis dari arah
belakang, sedang pinggul menekan dalam-dalam hingga membuat pilar tunggal
penyangga langitnya semakin dalam menekan ke gerbang istana terujung.
Sedang yang dialami Beda Kumala justru berlainan. Tubuhnya melengkung
indah ke atas dengan kepala mendongak ke belakang memperlihatkan sebentuk
leher jenjang serta sepasang tangan melingkar kuat ke pangkal paha si Jalu,
seakan dengan cara begitu, ia bisa memperdalam hunjaman pilar tunggal
penyangga langit si pemuda. Dada kencang gadis itu semakin membusung.
Delapan-sembilan helaan napas kemudian, tubuh mereka mulai melemas.
"Kau benar-benar hebat, Kakang Jalu," kata Beda Kumala setelah gelombang
asmaranya mereda. "Bisa dilepas, ngga" Aku mau duduk di tempat tidur saja.
Begini terus bikin capek."
"Terima kasih atas pujiannya," jawab Jalu tertawa sambil bergerak menarik
mundur, katanya dalam hati, "Hemm, rona mukanya sudah kembali seperti
semula. Berarti racun birahi dalam darahnya sudah terusir semua. Semoga saja
perkiraanku benar adanya."
"Bagaimana keadaanmu sekarang?" tanyanya sambil duduk dekat Beda Kumala.
"Apanya?"
"Apa kau masih merasakan getaran-getaran aneh?" tanya Jalu Samudra.
Sambil meraba dada kiri yang masih tertutup baju dengan tangan kanan, ia
menekan-nekan beberapa kali, lalu menggeleng.
"Sudah tidak ada lagi. Rasanya sudah plong," katanya sambil mengangsurkan
tangan kirinya. "Coba Kakang Jalu raba denyut nadiku?"
Tanpa menjawab, Jalu meraba tangan gadis yang diangsurkan ke arahnya.
"Benar. Denyut jantung dan jalan darah di nadimu sudah normal kembali," sahut
Jalu sambil melepas tangan kiri Beda Kumala.
Saat ini mereka duduk agak berdempetan dan tentu saja masih dalam keadaan
setengah telanjang tentunya. Namun lucunya, mereka berdua seolah tidak sadar
kalau dalam keadaan seperti itu.
"Sebenarnya aku kena racun apa?"
"Kau ingin tahu?"
Beda Kumala mengangguk.
"Aku sendiri kurang begitu tahu, hanya saja dari percakapan mantan lawan kita,
aku mendengar Racun "Serabut Maut" mereka sebutkan ... "
"Benar! Aku juga mendengar mereka mengatakan seperti itu," potong Beda
Kumala. "Setahuku, racun ini adalah sejenis racun yang sering kali digunakan para lelaki
hidung belang untuk memperdaya korbannya. Dalam bahasa kasarnya, tanpa
diperkosa pun mereka pasti menyodorkan diri untuk dinodai."
"Masa seperti itu?"
"Racun "Serabut Maut" sebenarnya masih termasuk dalam racun birahi, racun
yang bisa membangkitkan nafsu ragawi lawan jenis dalam tempo singkat.
Semakin banyak racun yang masuk ke dalam tubuh seseorang, ia bisa menjadi
budak nafsu ragawi secara berkepanjangan," urai Jalu panjang lebar. "Bahkan ia
menemui ajalnya dengan tubuh kurus kering."
Beda Kumala bergidik ngeri dirinya menjadi budak nafsu.
"Iiihh ... jangan menakut-nakuti aku, Kang?" kata Beda Kumala sambil
mendekapkan dua tangan ke pipinya.
"Tapi untunglah, kau hanya terkena sedikit, jadi tidak perlu cemas seperti itu
Beda," kata Si Pemanah Gadis, lembut.
"Benarkah?" tanya Beda Kumala sambil menurunkan sepasang tangannya.
Saat ia menundukkan kepala, tiba-tiba saja ia menjerit kaget!
"Aaaa ... " jerit kaget Beda terdengar.
"Apa ada!?" Jalu bertanya dengan kaget.
"Itu ... itu apa?" tanya Beda Kumala sambil tangan kanannya menuding ke
bawah pusar Jalu yang masih berdiri kokoh seperti batu karang.
Seperti sudah tahu benda apa yang dituding Beda Kumala, Si Pemanah Gadis
menjawab ringan, "Benda itulah yang telah menyembuhkanmu, Beda. Kau tidak
perlu kaget!" Sedang katanya dalam hati, "Huh, kaget kok telat! Sudah diobokobok
baru tahu benda yang dipakai buat obok-obok!?"
"Seperti belum pernah melihat saja kau ini?" kata Jalu sambil membusai lembut
rambut panjang Beda Kumala.
"Bukan begitu! Ukuran dan panjangnya ... "
"Ada yang salah, ya?" goda si Jalu.
Selebar muka Beda Kumala merona karena malu.
"Apa mau merasakan lagi?" tanya Jalu sambil mendekap erat tubuh gadis murid
Perguruan Sastra Kumala ini.
"Dasar nakal ... " ujar Beda Kumala lagi sambil mengusap rambut pemuda
bermata putih itu, menjambaknya dengan bercanda.
"Oh ya" Nakal seperti ini ... " kata Si Pemanah Gadis sambil menunduk dan
menciumi leher Beda Kumala yang jenjang, membuat gadis cantik mungil itu
menjerit kaget dan tertawa kecil kegelian.
"Lebih nakal dari itu!" sergah Beda Kumala sambil berusaha menghindar tetapi
tidak sungguh-sungguh.
"Atau yang seperti ini ... " kata Jalu Samudra sambil menunduk lebih ke bawah,
menelusupkan mukanya di antara belahan bukit kenyal yang terpampang
menggairahkan di balik baju hijau Beda Kumala, membuat gadis itu
menggelinjang dan tertawa lebih keras.
"Kurang nakal ... " desah Beda Kumala.
"Kalau yang ini bagaimana?"
Jalu Samudra segera membuka kancing-kancing di depan sepasang bukit
kembar sang gadis. Tidak sulit melakukan yang satu ini, karena posisi kancing
baju tampaknya sengaja dibuat untuk mudah dibuka. Sebentar saja telah
terpampang pemandangan indah menakjubkan, putih mulus tanpa cela,
tersangga penutup dada yang seperti tidak cukup muat menampung gelembung
daging menggairahkan itu.
Jalu Samudra tentu paham semua gerakan birahi gadis dalam dekapannya.
Paham semua petunjuk paling samar sekalipun. Ia sudah sangat paham apa
yang disukai tipe gadis mungil seperti Beda Kumala kala bercinta yaitu sebuah
usapan lembut di perut yang perlahan-lahan menuju ke bawah, menyelinap di
antara dua pahanya yang bagai pualam, dilanjutkan dengan penjelajahan nakal
di gerbang istana kenikmatan di yang mulai terkuak mengundang sentuhan
penuh pengertian.
Tanpa kata, Jalu Samudra mengusap-usap lembut permukaan perut datar Beda
Kumala, seperti hendak ikut merasakan gerak gejolak gairah di dalam tubuh
lawan jenisnya. Lalu, perlahan-lahan tangan Jalu Samudra turun, menelusup ke
bawah, menggapai tepi pintu gerbang istana kenikmatan.
"Oooohh ... "
Beda Kumala pun mengerang nikmat. Bahkan membuka diri sebisa dan selebar
mungkin, membiarkan gerakannya menjadi liar dan penuh gejolak.
"Hebat! Hebat sekali si buta tampan ini! Dia bisa menyelami setiap jengkal
tubuhku," kata Beda Kumala dalam hati, "Kenapa dulu aku tidak ketemu dia?"
"Sudah cukup nakal?"
Gadis itu hanya menggeleng-gelengkan kepala.
"Oooooh ... " Beda Kumala kembali mengerang sambil memejamkan mata eraterat
dan mencengkeram pinggiran dipan kuat-kuat dengan kedua tangannya.
Bersamaan dengan itu, dua kenikmatan sekaligus meletup di tubuhnya, karena
dengan bersamaan Si Pemanah Gadis mengisap-menyedot ujung-ujung bukit
kembar sambil menggelitik-mengutik tonjolan kecil di celah atas gerbang istana
kenikmatannya. Dan rasanya"
Seperti ada selaksa bunga api meledak menimbulkan percikan birahi yang
dengan cepat membakar seluruh persendian tubuhnya.
Sesekali jari Jalu Samudra menelusup semakin ke bawah, menyelinap lembut di
antara sepasang rekahan gerbang istana kenikmatan di bagian bawah sana,
mengambil sesuatu yang basah untuk dibawa ke atas menjadi pelicin-pelumas.
Berkali-kali Jalu Samudra melakukan ini dengan penuh perasaan, mengirimkan
sebentuk kenikmatan demi kenikmatan kepada gadis itu.
Justru hal ini membuat Beda Kumala semakin mengerang-erang
berkepanjangan, merasakan sebentuk titik puncak asmara awal yang tercipta di
dasar pinggulnya. Ia menggelinjang dan membuka kedua pahanya lebih lebar
lagi, dan lebih lebar lagi, seakan mengundang Jalu Samudra untuk menjelajah
lebih dalam lagi.
Tetapi, sebelum Jalu Samudra sempat bergerak lebih jauh, Beda Kumala tak
bisa menahan ledakan puncak kenikmatan.
Menggelepar kuat, dan mengerang panjang!
"Aaaaaaahhh ... "
Sambil mencengkeram pinggiran dipan kuat-kuat dan melentingkan tubuhnya.
Jalu Samudra membiarkan sang bidadari mungil menikmati ledakan puncak
kenikmatan, melepaskan isapan di bagian ujung bukit kembar, dan mengalihkan
tangannya ke pinggul Beda Kumala. Diciuminya wajah yang tampak semburat
memerah-jambu dan tegang berkonsentrasi menikmati puncak asmara. Wajah
itu semakin cantik dan semakin bersinar tatkala mencapai titik puncak asmara.
Pemandangan paling indah dalam sebuah percumbuan!
Merupakan episode paling menegangkan sekaligus paling dramatis dan indah!
Beda Kumala membuka matanya setelah segalanya mereda. Ditemukannya
sepasang mata putih Jalu Samudra memandang lembut dan dekat sekali. Susah
payah Beda Kumala mengatur nafasnya yang masih memburu.
"Huuh ... " desah Beda Kumala sambil tersenyum manja di sela nafasnya yang
mulai teratur tetapi masih agak tersengal, "Bagaimana aku bisa mengusir
Kakang Jalu, kalau begini ... "
BAGIAN 15 "Memangnya kau ada rencana mengusirku?"
"Mulanya begitu, tapi sekarang malah lebih sulit lepas lagi, Kang."
"Oh ya?" sahut Jalu seperti orang tidak percaya.
Gadis itu hanya mengangguk saja.
"Apakah cuma karena "itu?"" tanya Jalu Samudra menjungkit-jungkitkan alis, dan
dua tangan mengulur ke belakang, mengusap-usap lembut pinggul Beda
Kumala. Mata Beda Kumala berbinar nakal.
"Bukan hanya karena itu ... " katanya.
"Karena apa?" sergah Jalu Samudra.
"Karena ... mungkin aku sekarang telah jatuh cinta pada Kakang Jalu," kata Beda
Kumala lirih. "Ahhh ... yang bener, nih?" sergah Jalu, "Masa" kau yang cantik jelita begini bisa
jatuh cinta pada pemuda rudin sepertiku, buta lagi!?"
"Aku belum pernah merasakan seperti apa yang aku rasakan sekarang ini, Kang.
Aku betul-betul jatuh hati padamu."
"Tapi, aku "kan sudah punya istri?"
"Aku tidak peduli. Jadi pacar gelap pun aku bersedia," kata Beda Kumala, serius.
"Asal selalu tetap bersamamu."
"Kau perlu bertanya dulu pada istriku, apa dia mau menerima dirimu seutuhnya?"
ucap Jalu Samudra.
"Baik. Siapa takut?"
"Tapi istriku galak, lho?" kata Si Pemanah Gadis menakut-nakuti sambil tangan
kiri menowel pelan hidung mancung si gadis.
"Aku juga galak!"
"Hah" Yang benar!?"
"Apa perlu dibuktikan?" tukas Beda Kumala, sambil memeluk leher pemuda
bermata putih itu. "Kubuka dulu bajumu, setelah itu baru kau tahu aku ini galak
atau tidak ... " kata Beda Kumala tertawa kecil, sambil melepas baju biru si
pemuda. Jalu Samudra terbahak, lalu dengan bergairah menciumi leher, pipi, bibir, mata,
hidung ... semua permukaan wajah Beda Kumala.
"Baiklah. Tapi sebelumnya kau harus menerima satu jurus dariku dulu," kata Jalu
Samudra. "Biar tidak seperti orang amatiran."
Tanpa menunggu jawaban dari Beda Kumala, Jalu Samudra segera
membisikkan sesuatu ke telinga gadis yang kini dalam pelukannya.
Sesaat kemudian Beda Kumala mengernyit berpikir, "Masa bercinta ada jurusnya
segala" Aneh-aneh saja si buta ganteng ini. Tapi tak apalah aku coba."
Percintaan mereka semakin lama semakin menggairahkan, tidak cuma berisi
birahi dan kasih, tetapi juga penuh canda dan permainan-permainan kecil.
Seperti kali ini, tanpa diminta oleh Beda Kumala Jalu Samudra segera tidur
terlentang setelah keduanya tidak dilapisi selembar benang pun.
"Jangan bergerak, ya ... " bisik Beda Kumala sambil bergerak mundur ke
belakang bawah, menelusur pinggul Jalu Samudra. Geraknya gemulai, seperti
seorang penari yang menyiapkan gerakan pembukaan dalam sebuah tarian.
Dengan takjub Jalu Samudra memandang tubuh telanjang yang serba indah
menggairahkan itu terpampang bebas di mukanya.
Beda Kumala kemudian melakukan beberapa gerakan yang tak terlalu kentara
karena mata Jalu Samudra terpaku menatap tubuh indah kekasih gelap.
Slepp! Tahu-tahu Jalu Samudra merasakan pilar tunggal penyangga langitnya seperti
menyelinap diam-diam ke liang lembab licin gerbang istana kenikmatan yang
bagai memiliki indera tersendiri ... tahu-tahu kegairahan terbangkit membuat
batang-kenyal-liat itu perlahan-lahan menjadi semakin kokoh bagai batu karang
di dalam sana. Dalam hati, Beda Kumala berdecak kagum, "Benar-benar luar biasa. Ukuran dan
panjangnya dua kali lebih dahsyat dari milik Kakang Garan Arit. Istanaku sampai
terasa penuh, tidak muat menampungnya." Lalu ia melirik ke bawah, kembali ia
bergumam, "Gila! Cuma setengahnya saja sudah menabrak dinding terdalam."
Ketika Jalu Samudra menggelinjang merasakan nikmat yang mulai terbangkit di
bawah sana, kembali Beda Kumala berbisik, "Jangan bergerak ... "
Bidadari cantik dengan tubuh sempurna itu memulai jurus "Tarian Dewi
Kayangan Mengendarai Kuda Dewa" yang merupakan salah satu jurus asmara
yang ada dalam Kitab Kembang Perawan dan Jalu Samudra menikmati semua
itu dengan diam, berbaring terlentang dengan sepasang kaki sedikit di tekuk
sambil memandangi Beda Kumala yang sudah mulai berkeringat, bergerak naik
turun perlahan dan teratur. Wajahnya tampak memerah-muda kembali dengan
sepasang mata dipenuhi sinar gairah sekaligus kelembutan, terbuka menatap
mata putih Jalu Samudra tanpa berkejap.
Bibirnya yang basah kini agak terbuka, dan nafasnya mulai memburu. Kedua
bukit kenyal tegak menjulang di dadanya, berguncang-guncang sedikit seirama
gerakan tubuh pemiliknya!
"Ohhhh ... " Beda Kumala mendesah tanpa sadar saat pilar tunggal pemuda
yang kini didudukinya semakin dalam dan dalam saja, menyeruak masuk
memberikan geletar nikmat, menyentuh dinding-dinding gerbang istana. Tangan
segera bertopang mencari penguatan di dada bidang Jalu Samudra. Gerakannya
semakin lama semakin cepat, tetapi ia juga terkadang berhenti manakala ia
memutar pinggulnya selagi pilar tunggal Jalu Samudra terbenam dalam-dalam.
Pada saat seperti itu, Beda Kumala memejamkan mata erat-erat, dan merintihrintih
nikmat. Murid si Dewa Pengemis merasakan denyut-denyut halus di bawah sana, di
sepanjang batang-kenyal-pejal yang semakin lama semakin tegang membesar.
Gadis murid Perguruan Sastra Kumala kembali bergerak turun-naik lagi.
Membuka matanya lagi, yang kini mulai meredup seperti hendak menutup, tetapi
dengan sinar birahi yang semakin tajam. Jalu Samudra menatap mata itu, dan


Si Pemanah Gadis Karya Gilang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seketika terjalin lagi sebuah rasa kasih di antara mereka, menjadi bumbu
penyedap utama dari sebuah drama percumbuan.
Gerakan Beda Kumala kini semakin mempesona diselingi gelinjang gemulai.
Tubuh bagian bawah gadis ini melakukan putaran-putaran menakjubkan.
Terkadang maju-mundur dalam gerakan lembut penuh perasaan, terkadang
naik-turun dengan gairah liar. Terkadang berputar-putar perlahan, hingga Jalu
Samudra merasakan pilar tunggalnya mengusap-mengurut dinding-dinding
kenyal yang hangat dan basah dan berdenyut itu.
Suara-suara mulai terdengar dari tempat kedua tubuh mereka bertaut. Berdecap
ramai menyelingi derit-derak dipan bambu, di antara rintihan dan desah napas
memburu. Beda Kumala dengan wajah sumringah konsentrasi pada pencapaian
tujuan yang mulai tampak di ufuk percumbuan. Ia seperti sedang menunggu
dengan penuh ketakjuban datangnya serbuan kenikmatan maksimal yang tak
bisa tertahankan oleh tembok baja sekalipun.
Jalu Samudra mengangkat kedua tangannya, tak tahan berdiam diri melihat
sang gadis menarikan jurus "Tarian Dewi Kayangan Mengendarai Kuda Dewa"
yang menggairahkan. Dijamahnya lembut kedua dada putih padat Beda Kumala
yang bergerak-gerak seirama tubuhnya. Perlahan diputar-putarkannya kedua
telapak tangan di atas kedua ujung bukit kembar yang telah tampak membesar
dan tegak-kenyal.
Si pemilik kedua bukit indah itu pun merasakan setiap usapan bagai tambahan
pasokan kenikmatan yang memicu letupan-letupan birahi baru sepanjang
tubuhnya. Akibat usapan-usapan itu, puncak birahi Beda Kumala kini tinggal
beberapa langkah lagi.
"Aaah ... Kang ... " Beda Kumala berucap terputus-putus oleh erangannya
sendiri, " ... Ah ... aku tidak ... aaah, tahan ... Kang ... "
Jalu Samudra mengerti. Cepat diraihnya pinggul Beda Kumala dengan kedua
tangannya. Lalu dengan energik pemuda itu membantu gerakan sang gadis.
Naik turun dengan cepat. Berputar-putar ke kiri ke kanan seperti seperti
pendekar murka yang mengerahkan pedang emas menyerang ke kanan kiri!
"Oooooh ... " Beda Kumala mengerang panjang.
Naik turun lagi dengan cepat. Berputar-putar lebih cepat dan cepat ...
"Aaaaah ... " Beda Kumala mendesah sambil menengadah kepala dan
memejamkan mata.
Naik turun lagi dengan cepat. Berputar-putar lagi ...
"Mmmmmmmmmm ... " Beda Kumala mengerang panjang.
Naik turun lagi ... Lagi ... Lagi ...
Dan lagi! Kedua dada padatnya berguncang-guncang indah sekaligus menggairahkan.
Ingin rasanya Jalu Samudra meremas-remas kedua bukit kembar
menggemaskan itu, kalau saja kedua tangannya tidak sibuk membantu gerakan
Beda Kumala dalam menggapai puncak asmaranya.
Beda Kumala akhrinya benar-benar tak tahan lagi. Ia menjerit-jerit kecil dalam
selang waktu pendek, dengan tubuh berguncang-guncang dan gerakan turunnaik
yang tidak lagi teratur.
"Aah ... aaah ... aaah ... "
Gerakan-gerakan menjadi sangat liar, tak terkendali. Lalu setelah beberapa saat,
gerakan itu ditutup dengan erangan panjang ...
"Aaaaaaaaaah ... !"
Beda Kumala kali ini berhasil mencapai titik tertinggi dari percumbuan di atas
tubuh Jalu Samudra. Menggelepar-gelepar ia dalam posisi terduduk-terhenyak
dipegangi oleh Jalu Samudra agar tidak terlempar ke luar dipan. Pemuda itu
merasakan pilar tunggalnya seperti disedot kuat-kuat oleh sebuah liang sempit
kenyal yang berdenyut-denyut semakin liar.
"Sudah saatnya," bisik Jalu Samudra.
Kembali hawa keperkasaan jurus ilmu "Perjaka Murni" si pemuda menggelegak
panas tersembur diiringi dengan sentakan keras pilar tunggal penyangga langit
hingga melesak ke dalam, menekan erat bagian terujung dari dinding dalam
gerbang istana kenikmatan yang saat ini sedang menggelepar-gelepar di atas
tubuhnya. Jrassh ... ! Dan hal itu tentu saja semakin membuat Beda Kumala menggeliat-geliat
menikmati puncak asmaranya!
"Aaaaaaaaaah ... !"
Cukup lama Beda Kumala menggeliat-geliat menikmati puncak asmaranya
diiringi dengus desah menggelora, sebelum akhirnya terengah-engah dan
membuka matanya bagai seseorang yang baru bangun dari mimpi
menggairahkan. Kedua matanya bersinar terang penuh kepuasan dan
kebahagiaan. Belum pernah rasanya Jalu Samudra melihat mata yang begitu terang setelah
bercinta. "Aku benar-benar takluk padamu luar dalam, Kang!" kata Beda Kumala sambil
memeluk Jalu Samudra.
--o0o-- BAGIAN 16 Begitu bangun tidur, Jalu tidak mendapati lagi sosok Beda Kumala di
sampingnya, tapi justru sebuah benda bulat panjang warna putih perak berada
dalam pelukannya. Bagai disengat kalajengking, Jalu segera melenting menjauh
menghindari benda yang semula dalam dekapan.
"Apa yang terjadi" Dimana Beda Kumala?" pikir Jalu sambil matanya mengawasi
ke sekelilingnya, tapi tidak ada yang mencurigakan atau adanya tanda-tanda
orang yang memasuki kamar mereka. Semua masih sama seperti sebelumnya.
Sambil memandang benda bulat panjang warna putih perak dengan tatapan
siaga, Jalu beringsut ke depan dengan perlahan, sementara tangan kiri teraliri
hawa murni hingga memancarkan sinar putih kusam sedang tangan kanan
membentuk tapak dengan pancaran sinar yang sama. Perlahan-lahan ia
mendekati benda bulat panjang yang ada di tempat tidur.
Setelah mendekat, mata putihnya melihat sesuatu yang ganjil pada benda putih
itu. "Hemm ... tidak ada hawa beracun di tempat ini," gumamnya saat ia menggesergeserkan
telapak tangan kanan di atas benda aneh itu sejarak dua jengkal.
Pancaran tenaga segera ditarik kembali. Dan dengan perlahan penuh kehatihatian
disentuhnya serabut-serabut halus warna putih dengan lembut.
"Apa ini?"
Saat tersentuh tangan, ia merasakan sesuatu yang lengket-lengket kenyal di
ujung jarinya. "Ini ... benang?" gumam Jalu, lalu dengan sedikit membungkuk, berusaha
memperjelas pandangan matanya, "Mirip sekali dengan jaring laba-laba ... atau
lebih mungkin kalau disebut sebagai benang sutera, ya!?" gumamnya lebih
lanjut. Sambil mendongak memandang langit-langit kamar, ia kembali
bergumam, "Di sekitar sini tidak ada tanda-tanda adanya ulat atau sejenisnya.
Lalu dari mana datangnya benda ini?"
Kembali pandangan matanya menelusuri benda putih di depannya. Jalu segera
bergeser ke kiri, ke arah benda yang membulat kecil, yang diduganya adalah
kepala. "Jika dilihat dari sini seperti kepompong ulat yang lagi dalam proses menjadi
kupu-kupu ... " gumamnya sambil geleng-geleng kepala. "Dilihat dari
keadaannya, memang seperti kepompong, dari ujung ke ujung semuanya
berwarna putih perak. Membujur kaku tanpa gerak seperti mayat. Kayak orang
pakai selimut saja."
Begitu kata "selimut" terlontar, Jalu tersentak, serunya, " ... atau jangan-jangan
gadis itu ada di dalam kepompong ini ... " Waduh, celaka! Kalau benar seperti
dugaanku, benar-benar celaka dua belas! Bias mati kehabisan napas dia, nih!"
Matanya segera meneliti dengan seksama benda bulat memanjang yang terbalut
benang-benang halus itu. Dari ujung ke ujung diperiksanya dengan seksama.
Tidak ada yang terlewatkan sedikit pun. Semuanya tertutup rapat. Bahkan celah
sebesar lubang semut pun tidak ia dapatnya disana.
"Aku harus melihat apa isi dari kepompong ini," katanya, namun setelah pulang
pergi di sekitar benda itu, ia kembali mengeluh, "Lewat mana aku harus menjebol
kepompong ini?" keluhnya sambil matanya jelalatan.
Tiba-tiba ia berseru senang, "Ada ide bagus! Kurobek saja dengan pedang."
Sambil berjalan ke pojok ruangan dimana pedang anak murid Perguruan Sastra
Kumala tergeletak, diraihnya sarung pedang yang tergeletak di atas meja kecil
dan sambil berjalan kembali ke tempat tidur, dilolosnya pedang dari sarungnya.
Criiing! "Kucoba dulu dengan bagian bawah. Di gores cukuplah," katanya sambil
menggoreskan ujung mata pedang.
Sraakk! "Eeehh?" Jalu kaget kala ujung mata pedang tidak bisa mengoyak benda yang
dianggapnya kepompong itu. "Edan! Pedang setajam ini tidak bisa mengoyak
benang selembek bubur begini" Padahal kemarin kepala Cambuk Pemutus
Nyawa saja dari daging cincang tanpa bentuk" Kok bisa!?"
Dicobanya sekali lagi, tapi sekarang sedikit dengan tekanan.
Srakk! Srakk! Kembali keanehan terjadi.
Diulanginya lagi. Lagi. Dan lagi!
Srakk! Srakk! Srakk! Srakk!
Tapi hasilnya tetap sama. Bahkan saat Si Pemanah Gadis menggunakan satu
bagian tenaga dalamnya, terasa sekali daya tolak dari benda bulat panjang yang
ada di depannya. Bahkan tangan yang memegang gagang pedang terasa
kesemutan. "Gila! Tetap tidak mempan juga!" seru murid tunggal Dewa Pengemis ini.
"Kepompong apa ini sebenarnya?"
Jalu Samudra meletakkan pedang, lalu duduk di kursi dekat dipan. Saat duduk ia
merasakan sesuatu yang sejuk di sekitar bawah perutnya.
"He-he-he! Pantas saja adem, belum pakai apa-apa, sih," gerutunya, lalu
disambarnya celana dan baju birunya, terus dikenakan. "Nah, gini baru enak."
Hingga sore hari, belum juga ada tanda-tanda kalau kepompong itu akan
menetas atau keluar sesuatu dari dalamnya. Bahkan kala pemilik penginapan
sempat melihatnya saat mengirim makan pagi atas permintaan si pemuda, Ki
Ajur Mumur sampai ketakutan setengah hidup saat mengetahui ada benda aneh
di dalam kamar yang disewa pasangan muda itu.
Tanpa banyak kata, langsung diletakkan begitu saja sarapan pagi di dalam
kamar, tepat depan pintu bagian dalam!
Barulah pada saat merembang petang, terjadi tanda-tanda kehidupan meski
halus sekali. Ssshh ... !! Dalam waktu sepenanakan nasi, terdengar suara desisan halus seperti bara api
dimasukkan ke dalam segentong air.
"Hemm ... sudah ada tanda-tanda kehidupan dari kepompong ini," desis Si
Pemanah Gadis. "Setelah ini apa yang akan muncul" Setan berkepala tujuh"
Atau malam kuda nil berbadan cacing raksasa barangkali?"
Suara desisan makin lama makin keras, bahkan sekarang ditingkahi dengan
suara gemeresak seperti ribuan ulat sedang memakan daun.
Ssshh ... !! Ssshh ... !! Srreekk ... srreekk!!
"Walah, suara apa lagi sekarang?" desis si pemuda sambil mengerahkan hawa
murni untuk menutupi gendang telinganya. Meski pelan, tapi suara itu sanggup
menusuk gendang telinga hingga telinga pekak dan berdenging-denging.
Perlahan-lahan, bagian bawah kepompong bagaikan disayat dengan sebilah
pisau gaib nan tajam, terus menjalar lurus dari bawah ke atas.
Srett! Srett! "Wuihh ... sekarang ada keganjilan apalagi ini?" gumam si Jalu sambil
memandang lekat-lekat pada fenomena aneh yang terpampang dengan jelas di
depan matanya. "Masa bisa sobek sendiri?"
Begitu terbelah dari bawah tampak terkuak sepasang kaki putih mulus, sayatan
terbelah terus naik ke atas hingga memperlihatkan bongkahan betis putih
menggoda. Begitu terus hingga sobekan benang mencapai pada permadani
hitam dan terus naik ... terus naik ... terus naik ... dan naik lagi!
Srett! Kini sayatan sudah mencapai bagian perut, terus terobek perlahan ke atas
hingga memperlihatkan sepasang bukit kembar padat menantang terkuak lebar.
Jalu sendiri yang melihat peristiwa menakjubkan ini sampai geleng-geleng
kepala, "Kukira hanya Nimas Rani saja yang mengalami kejadian heboh seperti
ini, tak tahunya Beda Kumala pun mengalami hal-hal yang luar biasa pula."
Hingga akhirnya, seluruh sayatan terkuak sempurna dan seperti ada tangantangan
gaib saja, tepi sayatan meluruh sendiri ke samping kiri kanan, sehingga
memperlihatkan sesosok sempurna tubuh seorang anak gadis yang terbaring
diam. Beberapa saat kemudian, kelopak mata anak gadis yang ternyata adalah Beda
Kumala terbuka perlahan. Berkejap-kejap sebentar, lalu bangun dari dipan dan
duduk manis di sana.
"Sudah malam rupanya."
Itulah kata pertama yang meluncur dari bibir merah alami itu.
"Sudah malam-sudah malam! Ini sudah malam berikutnya, Non," tukas Jalu
sambil melemparkan baju hijau si gadis. "Cepat pakai baju, nanti masuk angin."
Dengan raut muka setengah bingung, Beda Kumala bertanya sambil memakai
baju dan celananya, "Sudah malam berikutnya!?"
"Kau sudah tidur sehari semalam di tempat ini! Masa" tidak terasa, sih?"
Gadis itu hanya mengernyitkan alis sambil bergumam, "Masa" aku bisa tidur
selama itu?"
Saat selesai berpakaian, barulah ia menyadari ada sesuatu yang lengket-lengket
di tangannya. "Apa ini?"
"Kau tidak tahu dengan apa yang sebenarnya kau alami?" tanya Jalui Samudra
dengan heran. Gadis itu hanya menggeleng sembari melepas benang-benang halus yang
melekat di tangannya.
"Terus apa yang kau alami?"
"Entahlah, Kang! Aku sendiri juga tidak tahu dengan pasti," tutur Beda Kumala
memulai cerota, "Hanya tadi malam aku bermimpi di kejar-kejar ulat raksasa
warna putih sebesar pohon kelapa. Ulat itu berhasil menangkapku, lalu ia
menyemprotkan air liur berbuih hingga mengenai badanku. Anehnya, saat
mengenai tubuh, air berbuih tersebut berubah menjadi serabut-serabut halus
yang ulet dan kenyal. Kucoba memutuskan dengan pedang tidak berhasil."
"Aneh juga kalau begitu. Terus lanjutnya bagaimana?" tanya Jalu mengomentari.
"Entah bagaimana awalnya, aku juga tidak tahu. Tiba-tiba saja kedua tanganku
bisa memutuskan benang-benang putih yang membelit tubuhku dan setelah itu
terbangun dari tidur," sambung Beda Kumala sambil matanya mengamati
benang-benang putih yang berserakan di dipan dan lantai. "Bentuk benang putih
ini sama persis dengan yang ada dalam mimpiku," Beda Kumala berkata.
Sebenarnya apa yang dialami oleh Beda Kumala adalah suatu kejadian langka!
Tanpa setahu Jalu Samudra dan Beda Kumala sendiri, dalam tubuh gadis itu kini
bersemayam sebuah kekuatan menakjubkan yang awalnya adalah sebuah racun
birahi yang bernama Racun "Serabut Maut" dimana racun ini merupakan
kumpulan beberapa jenis racun ulat yang paling ganas di rimba persilatan.
Terutama sekali yang berjenis Racun "Ratu Ulat Sutera", racun paling langka dan
paling sulit ditawarkan dengan obat apa pun. Entah darimana Golok Tapak Kuda
dan Cambuk Pemutus Nyawa bisa memiliki dan meracik Racun "Ratu Ulat
Sutera" menjadi semacam racun birahi berdaya kerja cepat.
Dan tanpa setahu Jalu pula, bahwa dengan percumbuan yang mereka lakukan
selain berhasil menawarkan Racun "Ratu Ulat Sutera" hingga tidak berbahaya
lagi bagi gadis baju hijau itu, justru sekarang racun birahi yang bertemu dan
saling gempur dengan hawa keperkasaan jurus "Perjaka Murni" milik Jalu
Samudra selain tawar juga mengalami perubahan wujud dari sifat racun yang
mematikan berubah menjadi sebentuk hawa aneh dengan ditandai adanya
serabut-serabut halus putih yang menyelubungi Beda Kumala.
Serabut-serabut inilah yang merupakan proses penggodokan serta
penggabungan antara hawa keperkasaan Jalu Samudra dan racun birahi dalam
diri Beda Kumala, melebur menjadi satu. Begitu proses penggabungan berhasil,
otomatis serabut-serabut ini akan membelah dengan sendirinya, seperti seekor
kupu-kupu keluar dari kepompong. Dan sepeminuman teh kemudian, serabutserabut
itu meluruh dan akhirnya berubah menjadi bubuk atau tepung putih yang
berserakan dimana-mana.
"Sekarang bagaimana kondisimu?"
"Dalam tubuhku terasa ada arus tenaga panas dingin yang kuat. Berputar-putar
melewati jalan darah di seantero tubuhku," jawab Beda Kumala menceritakan
keadaan dirinya.
"Apakah kau terasa mau meledak?"
"Mau meledak?"
"Ya. Misalnya seperti ada suatu keinginan untuk menghentakkan keluar arus


Si Pemanah Gadis Karya Gilang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hawa yang ada dalam tubuhmu," sahut Jalu Samudra, lalu sambungnya, "Coba
kau atus napasmu."
Beda Kumala menurut. Diaturnya napas beberapa saat menurut apa yang
dipelajarinya dari Kitab Bunga Matahari. Hawa sakti digerakkan melewati jalanjalan
darah, diarahkan ke tangan, kaki, dada, punggung. Semua bisa dilakukan
tanpa suatu kendala.
Dalam artian ... lancar-lancar saja!
"Tidak ada, Kang. Semuanya lancar. Tidak ada sumbatan apa pun di jalan
darah, bahkan di pusat energi terasa sekali arus yang amat kuat, tapi tidak liar.
Mungkin lebih kuat empat lima kali dari biasanya," sahut Beda Kumala sambil
melepas kendali Jalur tenaga dalamnya.
"Ya, sudah kalau begitu," tutur murid Dewa Pengemis dan Dewi Binal Bertangan
Naga ini, "Bagaimana kalau kita lanjutkan perjalanan ke Istana Jagat Abadi?"
"Malam-malam begini?"
"Malam hari adalah waktu yang tepat untuk melakukan penyelidikan di tempat
itu," jawab Si Pemanah Gadis, lalu imbuhnya, "Aku tahu, jarak perjalanan dari
Istana Jagat Abadi dari sini sudah cukup dekat. Jadi, kusarankan malam ini juga
kita bergerak. Siapa tahu kita bisa mengetahui apa yang sebenarnya terjadi
dengan perguruan kalian."
"Benar juga ucapan, Kakang."
Mereka berdua menemui Ki Ajur Mumur, pemilik penginapan bahwa mereka ada
keperluan sebentar dan menitipkan buntalan pakaian mereka pada laki-laki tua
itu dan berpesan agar kamar itu jangan disewakan dulu pada orang lain. Pada
awalnya Ki Ajur Mumur agak keberatan, namun saat melihat Jalu Samudra
meletakkan lima belas keping uang perak di tangannya, rambut kepala laki-laki
yang tujuh bagian sudah beruban langsung mengangguk-angguk menyetujui.
Padahal dengan sekeping uang perak saja bisa digunakan untuk menginap
selama satu minggu, kini malah dapat lima belas keping sekaligus!
Jarang-jarang ia dapat rejeki nomplok seperti itu!
Ketika sudah berada di luar desa, Jalu Samudra dan Beda Kumala langsung
mengerahkan jurus peringan tubuh masing-masing. Keanehan kembali terjadi
pada diri Beda Kumala. Lesatan tubuhnya begitu cepat, lebih cepat dari biasanya
yang mampu ia kerahkan.
Blasss! "Eeehh ... " seru Beda Kumala kaget.
Brakk! Tanpa bisa dicegah lagi, Beda Kumala langsung menabrak pohon besar hingga
pohon tersebut berderak tumbang.
"Apa yang terjadi?" tanya Beda Kumala sambil meraba seluruh tubuhnya baru
saja menghantam batang pohon secara frontal, namun ia tidak mengalami luka
sedikit pun. Jalu Samudra segera berlari mendekat sambil otaknya bekerja, "Gadis ini
mengalami lonjakan tenaga secara drastis. Pasti ini ada hubungannya dengan
serabut putih yang membungkusnya."
"Kau tidak apa-apa?" tanya Jalu sambil membantu Beda Kumala bangkit berdiri.
"Aku tidak apa-apa."
"Kau harus bisa mengontrol tenagamu."
Jalu Samudra segera memberi petunjuk bagaimana cara mengontrol tenaga
yang berlimpah itu. Kejadian seperti yang dialami Beda Kumala hampir sama
persis dengan apa yang terjadi pada dirinya dan Kumala Rani, istrinya sewaktu
pertama kali mendapat limpahan hawa dari buah sakti peninggalan Dewa
Pengemis dan Dewi Binal Bertangan Naga.
Setelah dicoba beberapa kali, barulah Beda Kumala sanggup mengontrol tenaga
dalamnya yang melimpah.
Blass ... ! Saat ia mengerahkan jurus "Langkah Menjangan Terbang Meloncat" andalan
perguruannya, Beda Kumala langsung melesat seperti larinya seekor menjangan
betina yang dengan lincah menghindari pohon-pohon yang dilewatinya.
Jalu sendiri yang melihat cara berkelebat Beda Kumala, mengikuti langkah si
gadis sambil mengerahkan jurus "Kilat Tanpa Bayangan" miliknya sambil
berdecak kagum, "Bukan main! Gadis itu bisa bergerak selincah menjangan
saja." Tubuh pemuda baju biru melesat cepat laksana sambaran kilat, hingga
membentuk sosok bayangan biru yang mengejar sosok bayangan hijau yang ada
di depannya. --o0o-- BAGIAN 17 Tanpa terasa sebelas hari berlalu ...
Pengintaian yang dilakukan oleh Si Pemanah Gadis dan Beda Kumala, sejauh
ini masih biasa-biasa saja. Tidak ada yang luar biasa, atau pun melihat sesuatu
yang diluar kebiasaan orang-orang Istana Jagad Abadi. Dan sudah dua-tiga hari
lamanya Beda Kumala uring-uringan tak karuan, karena sebegitu jauh mereka
melakukan penyelidikan, tidak ada sesuatu yang bisa mereka gunakan sebagai
tambahan informasi. Beberapa mereka menyusup masuk ke dalam, namun tidak
ada yang mereka dapatkan. Dan pada akhirnya, Beda Kumala memutuskan
ingin mengalihkan penyelidikan ke Aliran Danau Utara saja. Lebih mudah
katanya. Namun oleh Jalu Samudra, niatan itu di cegah karena si pemuda, karena entah
mengapa mencium sesuatu yang tidak beres terjadi pada tempat yang sudah
sepuluh hari lamanya mereka intai. Entah pada bagian mana dari Istana Jagat
Abadi hingga sanggup membuat si buta ganteng ini curiga.
"Kalau sampai besok pagi kita tetap tidak mendapatkan apa-apa di tempat ini,
aku akan pergi saja," kata Beda Kumala lirih, sambungnya sambil menggerutu,
"Kita ini seperti dua ekor monyet yang tiap hari kerjaan naik turun pohon."
"Sudah kubilang, kau harus sabar, Beda. Aku yakin malam ini kita akan
mendapatkan sesuatu," sahut Jalu Samudra yang duduk uncang-uncang kaki di
atas pohon. "Dari kemarin Kakang Jalu juga bicara seperti itu. Tapi ... mana hasilnya" Mana"
Nol besar!" tukas Beda Kumala dengan ibu jari dan jari telunjuk ditautkan
membentuk bulatan.
Tiba-tiba saja, Jalu membekap mulut mungil Beda Kumala.
"Emmphh ... emmphh ... "
"Ssst ... diam! Ada orang di bawah kita," bisik Jalu Samudra sambil tangan kiri
menunjuk ke bawah, sedang tangan kanan bergerak melepas dekapan mulut.
Beda Kumala mengikuti arah telunjuk kiri si pemuda.
Di bawah sana, sejarak tiga tombak dari tempat mereka duduk, terlihat sesosok
tubuh tengah duduk mendekam di atas dahan yang cukup besar. Tidak bisa
diketahui apakah dia laki-laki atau perempuan, karena gelapnya malam tanpa
cahaya bulan atau sinar bintang. Hanya dengan melihat caranya mendekam di
atas pohon seperti itu, gadis murid Perguruan Sastra Kumala bisa memastikan
setidaknya si pengintai memiliki ilmu ringan tubuh cukup tinggi.
Namun anehnya, si pengintai entah menyadari atau tidak, justru ia membuat
sesuatu perbedaan yang cukup mencolok perhatian. Bagaimana tidak, di malam
gelap gulita seperti itu, justru ia memakai baju putih-putih untuk melakukan
pengintaian! "Rupanya selain kita, ada orang lain yang melakukan pengintaian, Beda," bisik
Jalu Samudra pada gadis di sebelahnya.
"Dia kawan atau lawan?"
"Aku kurang tahu," sahut Si Pemanah Gadis. "Namun aku melihat sesuatu yang
aneh dengan pengintai di bawah kita ini."
"Apanya yang aneh" Toh sama saja seperti kita. Mendekam seperti monyet di
atas pohon," sela Beda Kumala, seakan tidak menyadari sesuatu yang aneh
pada perkataan pemuda di sampingnya.
"Makanya ... punya otak jangan diletakkan di dengkul! Mikir dikit kenapa sih!?"
seru lirih Jalu Samudra sambil menyentuh lembut dahi gadis cantik di
sampingnya, "Coba kau perhatikan pakaiannya."
Begitu Jalu selesai berkata, barulah Beda Kumala menyadari maksud perkataan
pemuda baju biru disampingnya.
"Masa" mengintai tempat orang lain malam-malam begini memakai baju putih
begitu?" kata Beda Kumala dalam bisikan.
"Jika seperti itu pertanyaanmu, jawaban yang bisa kuberikan hanya ada dua."
"Apa?"
"Pertama, dia adalah orang tolol merangkap sebagai orang jujur. Dan yang
kedua adalah ... karena dia belum pernah mengintai sama sekali, jadi tidak tahu
bagaimana cara mengintai yang baik dan benar ... " ucap Jalu sambil tersenyum.
"Dari dua kemungkinan yang kakang berikan, aku cenderung mengatakan kalau
dia jelas orang tolol tapi bukan orang jujur!" kata Beda Kumala, lalu sambungnya,
"Terus apa yang sebaiknya kita lakukan pada pengintai tolol ini?"
"Kita lumpuhkan dia, terus kita bawa dia menjauh dari tempat ini," ujar Jalu
Samudra, imbuhnya, "Aku harus tahu siapa dia sebenarnya dan dengan maksud
apa dia mengintai markas Istana Jagat Abadi malam-malam begini."
Si Pemanah Gadis langsung melayang turun secepat kilat sambil menyentakkan
dua jari tengah dan telunjuk ke bagian tengkuk. Sebentuk hawa padat menerjang
ke sasaran. Dubb! Takk! Karena di serang mendadak, si pengintai berusaha menghindar, namun sudah
terlambat. Baru saja ia berniat menghindar, tubuhnya sontak menjadi kaku
karena totokan dan tanpa bisa dicegah lagi, langsung terjengkang ke belakang.
"Mati aku!" pikir si pengintai baju putih saat mana mengetahui tubuhnya jatuh ke
bawah. Namun tiga tombak sebelum menyentuh tanah, segulungan bayangan biru
menyambar tubuhnya dan melesat cepat ke jurusan timur. Sedang
dibelakangnya satu bayangan hijau terlihat membayangi.
Wutt! Wutt! Dalam tiga helaan napas, bayangan biru telah mencapai jarak puluhan tombak
dari markas Istana Jagat Abadi.
Jlegg! Jlegg! Begitu sampai di tepi sebuah sungai, bayangan biru dan hijau hentikan larinya.
Terlihat pemuda baju biru yang adalah Jalu Samudra melemparkan begitu saja
sosok manusia baju putih yang semula dalam panggulannya.
Brukk! "Kita apakan dia?" ucap Beda Kumala sambil melangkah mendekat.
Ketika sampai pada sosok yang jatuh terlentang di tanah, alis mata Beda Kumala
tampak mengkernyit.
"Rasa-rasanya aku kenal sama orang ini ... " gumam si gadis sambil memandang
sosok telentang tanpa gerak itu.
Sosok yang ternyata adalah seorang laki-laki tinggi besar dengan kulit coklat
kehitaman, sangat kontras dengan balutan baju putih dan celana putih. Sehelai
sabuk ungu terlihat melingkari pinggang si pemuda yang diperkirakan berusia
dua puluh tujuh tahunan, mungkin lebih sedikit. Di dada bagian kiri terdapat
lambang bulatan dari rajutan benang emas dan di tengahnya tersulam dengan
benang perak sebentuk tangan terkepal dan sebuah gambar tapak tangan
dengan warna yang sama pula.
Lambang Aliran Danau Utara!
Mata Beda Kumala agak melebar saat mengamati raut muka si pemuda baju
putih. Sepasang alis hitam tebal dengan bola mata sebesar jengkol terlihat melotot
seperti mata ikan kena bisul. Belum lagi dengan kumis tebal tercukur rapi yang
bertengger di bawah hidung yang terhitung mancung (mancung ke dalam
maksudnya alias pesek), dilengkapi dengan janggut hitam yang tercukur rapi
pula. Belum lagi dengan ikat kepala putih yang melingkar di kepala, selain untuk
merapikan rambut yang terhitung panjang dengan keriting kecil, juga menambah
kesan wibawa pada diri si pemuda baju putih.
Jelas sekali, bahwa pemuda tinggi besar ini sangat menjaga penampilan dirinya!
Setelah beberapa saat, Beda Kumala berkata tanpa menoleh pada Jalu
Samudra, "Kang, aku kenal dengan orang ini."
Jari telunjuk dan jari tengah Beda Kumala menegang, lalu menusuk dekat
belakang tengkuk si pemuda.
Taak! Begitu bebas dari totokan, si pemuda bergegas bangun, sambil mengeprikngeprik
bajunya yang kotor karena jatuh di tanah.
"Iga sapi! Apa kabarmu?" tanya Beda Kumala pada si pemuda.
Jalu Samudra langsung tertawa keras mendengar ucapan Beda Kumala,
katanya dalam hati, "Cocok sekali! Tapi lebih cocok kalau disebut iga kera
hutan." Akan tetapi, si pemuda baju putih justru malah terperanjat kaget!
Setahunya, yang mengetahui gelar jelek itu cuma dua orang. Yang pertama
adalah Tiara dan satunya Beda Kumala, keduanya murid-murid Nyai Tirta
Kumala dari Perguruan Sastra Kumala.
"Jika Tiara jelas tidak mungkin, dia masih ada di perguruan. Jadi dia pasti teman
Tiara yang cerewetnya seperti burung kutilang itu," kata hati pemuda yang
disebut dengan nama iga sapi itu.
"Dasar kutilang cerewet! Baru ketemu langsung bikin masalah!" bentak si
pemuda. Dan untuk kedua kalinya, Jalu Samudra tertawa keras, "Ha-ha-ha! Sebutan
kutilang cerewet sangat cocok denganmu, Beda! Pas betul! Dari kemarin dulu
aku sibuk cari kata yang tepat untukmu, baru hari ini kudapatkan! Ha-ha-ha!"
Beda Kumala langsung merengut dengan bibir meruncing.
Begitu Jalu melihat bibir merah itu meruncing, dalam matanya langsung
terbayang sosok patuh burung kutilang, dan itu justru semakin membuatnya
tertawa terkial-kial.
"Ha-ha-ha-ha! Sudahlah! Aku mau buat api unggun. Tidak enak bicara panjang
lebar dalam gelap begini."
Iga sapi yang melihat pemuda baju biru masih tertawa-tawa sambil berjalan ke
arah sebatang pohon yang tumbang karena usia, hanya terbengong seperti sapi
ompong! "Apanya yang lucu?" katanya dengan mimik muka lugu.
Melihat mata sebesar jengkol itu, mau tak mau Beda Kumala tertawa-tawa juga.
"Iga sapi! Kalau melotot seperti itu, matamu benar-benar mirip mata sapi," ujar
Beda Kumala sambil tertawa. Setelah tawanya reda, gadis itu kembali berkata,
"Kita ke dekat api unggun saja, lebih terang."
Keduanya berjalan beriringan ke api unggun.
"Apa tujuanmu datang ke tempat ini?" tanya Beda Kumala sembari duduk dekat
Jalu Samudra. "Aku sedang melakukan penyelidikan ke Istana Jagat Abadi," sahut si pemuda,
lalu sambungnya, "Sedang kau sendiri, apa yang kau lakukan disini" Dan ...
terus siapa dia?"
"Dia ... Jalu," sahut Beda Kumala memperkenalkan diri pemuda bertongkat
hitam, lalu sambil menoleh pada Jalu, Beda Kumala berkata, "Kakang Jalu, dia
ini Kakang Gabus Mahesa, calon suami dari Tiara sahabatku."
Pemuda tinggi besar yang bernama Gabus Mahesa sedikit membungkuk ke arah
Jalu Samudra dan dibalas dengan cara yang sama pula.
"Sopan juga si buta ini," pikir Gabus Mahesa sambil memandangi mata putih
pemuda baju biru, lalu katanya, "Apakah beberapa hari ini kau tidak berjumpa
dengan Garan Arit?"
Mendengar nama Garan Arit disebut, raut muka Beda Kumala bagai disaputi
awan kelabu. Tentu saja perubahan raut muka Beda Kumala bisa dilihatnya dengan jelas.
"Ada apa, Beda?" tanya Gabus Mahesa, "Kau bertengkar lagi dengannya?"
"Benar! Tapi itu adalah pertengkaran dan juga pertemuan kami yang terakhir,"
sahut Beda Kumala, lirih.
"Apa maksudmu?"
"Kakang Garan Arit telah tewas."
"Apa!?" Gabus Mahesa berkata. "Siapa yang telah membunuhnya?" tanyanya
dengan nada geram.
Beda Kumala terdiam tanpa kata. Air matanya berlinang membasahi ke dua
pipinya yang halus.
"Orang-orang Istana Jagat Abadi," Jalu Samudra yang menjawab, "Garan Arit
tewas oleh serangan gelap dari lawan."
"Serangan gelap" Maksudmu ... "
"Ya! Dia dibokong dari belakang. Punggungnya ditembus oleh golok pendek
dengan rumbai hitam di gagangnya," terang Jalu Samudra.
"Bangsat! Aku harus bikin perhitungan dengan mereka!" seru Gabus Mahesa
dengan dua tangan saling diadu sama lain. Suara beradunya tangan membuat
area sekitar mereka bergetar seperti mau terjadi gempa.
"Hemm ... hebat juga tenaga dalamnya," kata hati Jalu Samudra.
Setelah hawa amarahnya reda, barulah Gabus Mahesa berkata, "Sebenarnya
kedatanganku ke tempat ini untuk menyusul kalian berdua, sekalian melakukan
penyelidikan."
"Menyusul ... kami?" tanya Beda Kumala heran.


Si Pemanah Gadis Karya Gilang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Benar! Tujuh hari yang lalu, aliran kami kedatangan teman-temanmu. Tepatnya
di siang hari."
"Kalian berkelahi!?" tanya Jalu Samudra, menebak.
"Hampir saja terjadi perkelahian antara kami, kalau saja Sari tidak
mengemukakan tujuan mereka mendatangi Aliran Danau Utara," tutur Gabus
Mahesa, yang juga murid ke dua Aliran Danau Utara segera menceritakan
kronologis kejadian yang sebenarnya.
--o0o-- BAGIAN 18 Belasan gadis murid-murid Perguruan Sastra Kumala bersenjata lengkap
mendatangi Aliran Danau Utara sambil menyeret seorang laki-laki yang
seluruhnya babak-belur bersimbah darah.
Tentu saja kedatangan para gadis cantik yang notabene sedang bersengketa
akibat kehilangan kitab pusaka masing-masing dimana dua pihak saling
menuduh, bahwa pihak lawanlah yang mencuri kitab perguruan mereka, dimana
kejadian sudah berlangsung beberapa waktu yang lalu. Meski tidak secara
sungguh-sungguh bermusuhan, namun tetap saja ada rasa tidak nyaman saat
saling berdiri berhadapan dengan senjata siap tercabut.
Seorang pemuda berbaju rompi putih celana putih berikat pinggang ungu berdiri
menghadang di depan pintu gerbang. Di dada bagian kiri terdapat lambang
Aliran Danau Utara berupa bulatan dari rajutan benang emas dan di tengahnya
tersulam dengan benang perak sebentuk tangan terkepal dan sebuah gambar
tapak tangan dengan warna yang sama.
"Ada keperluan apa kalian kemari?" tanyanya dalam nada sinis.
Seorang gadis baju hijau dengan pedang di punggung maju satu langkah ke
depan. Sari Kumala, orang tertua dari Perguruan Sastra Kumala, berkata, "Watu
Humalang, apa betul kau yang bertanggung jawab di tempat ini?"
"Benar! Karena aku yang tertua, maka akulah yang bertanggung jawab selama
Ki Gegap Gempita, guru kami tidak berada di tempat!" kata tegas si baju rompi
yang bernama Watu Humalang. "Ada perlu apa kau membawa seluruh saudara
seperguruanmu ke tempat kami, Sari!?"
Baru saja Watu Humalang selesai berkata, dari arah belakang si pemuda berlari
mendatangi seorang pemuda tinggi besar sambil menyeret seseorang. Dari
caranya berlari, jelas sekali bahwa ilmu ringan tubuhnya sudah mencapai cukup
tinggi. Pakaian yang digunakan oleh laki-laki tinggi besar dengan kulit coklat kehitaman
sama seragamnya dengan Watu Humalang, hanya bedanya ia mengenakan baju
lengan panjang sedang Watu Humalang menggunakan rompi tanpa lengan.
Tangan kanannya melemparkan orang yang diseretnya ke tanah begitu saja.
Brughh! Tak ada keluhan sama sekali. Jelas bahwa seluruh tubuh dan urat suaranya
dalam keadaan tertotok.
"Brengsek!" maki orang yang dibanting dalam hati. "Dalam satu kali totok, aku
langsung keok! Gabus Mahesa ini cepat juga gerakannya, cepat laksana
hembusan angin." Saat ia melirik ke samping, ia sedikit terkejut, "Gelang Bintang
juga sudah tertangkap rupanya. Kalau sudah begini, aku harus berusaha
meloloskan diri dari sini dan memberi laporan pada Ki Wira atau pada Ketua."
"Ada apa, Mahesa?" tanya Watu Humalang dengan mata menyipit saat melihat
sesosok tubuh tinggi besar. Ia kenal dengan orang ini, karena bekerja sebagai
penjual kayu bakar dan sering menjual kayu bakar ke perguruan mereka.
"Kenapa dengan dia?"
"Kakang, rupanya dia ini orangnya yang memata-matai kita selama ini dengan
berkedok sebagai penjual kayu bakar," kata pemuda yang dipanggil Mahesa,
lengkapnya Gabus Mahesa. "Untung saja berhasil kulumpuhkan saat ia sedang
menuangkan sesuatu ke dalam sumur."
"Apa!?" seru beberapa murid Aliran Danau Utara hampir bersamaan.
Mata kiri Sari Kumala sedikit melebar melihat muka jelek orang yang baru saja
dibanting oleh Gabus Mahesa. Ia langsung menoleh ke belakang, tangan kiri
terulur ke arah Wulan Kumala, mencekuk leher pemuda tanpa telinga dan di
lempar begitu saja dekat si tukang kayu bakar.
Bruggh ... ! "Aku ingin bertanya satu hal padamu. Apa dia orangmu!?" tanya Sari Kumala.
"Apa dia juga orangmu!?" balik tanya Gabus Mahesa, meski suaranya tidak
keras, tapi cukup membuat telinga berdenging.
"Di tempat kami pantang menerima tamu laki-laki yang tidak kami kenal," sahut
Wulan Kumala sambil maju selangkah.
"Kalau begitu ... kami juga sama," jawab Watu Humalang, sambil memandang
dua sosok tubuh yang terkapar di tanah.
Jika hasil tangkapan Gabus Mahesa masih utuh, sehingga bisa dilihat raut
mukanya. Namun orang satunya yang tanpa telinga, sulit sekali dikenali siapa
adanya. Semuanya babak belue belepotan darah kering. Hanya yang pasti, dia
masih bernapas!
"Karena kita sama-sama tidak kenal dengan mereka berdua, berarti dua orang
ini sengaja disusupkan oleh pihak ketiga untuk membuat suasana semakin
kacau antara perguruan kita," tutur Tiara Kumala sambil berjalan mendekat, "Apa
kalian setuju dengan pendapatku?"
Matanya menatap tajam pada murid-murid Aliran Danau Utara satu persatu, dan
pada akhirnya berhenti pada Gabus Mahesa.
Orang dipandangi hanya menatap sesaat, lalu mengangguk pelan.
"Bagaimana dengan kalian?" tanya Tiara Kumala kembali, mencari ketegasan.
Suasana semakin tegang!
"Baik! Untuk sementara ... kita lupakan dulu permusuhan kita," jawab Watu
Humalang pada akhirnya.
Suasana yang semula tegang, mencair seketika.
"Bukan untuk sementara ... tapi untuk selamanya," kata tegas Sari Kumala.
Meski agak sedikit heran, tapi Watu Humalang memandang dengan mata penuh
tanya. Tanpa ditanya dengan sebuah pertanyaan, Sari Kumala pun berkata, "Orang
tanpa telinga ini hampir enam bulan lamanya berkeliaran di tempat kami, entah
sejak kapan ia tidak punya telinga, aku tidak tahu. Pada mulanya kami diam saja,
membiarkan saja ia mengintai kami dari segala arah, namun lama-lama
dibiarkan, dia jadi semakin keterlaluan. Beberapa kali ia mencuri masuk ke
dalam perguruan, namun berhasil kami gagalkan."
"Teruskan."
"Akhirnya, kami membuat jebakan. Kami semua keluar dari perguruan lewat
pintu gerbang dan pergi ke jurusan yang berbeda-beda, padahal kami hanya
berlari memutar saja setelah sepuluh tombak jauhnya. Sengaja kami tinggal
Cantika menunggu perguruan seorang diri. Dan benar dugaan kami. Saat
Cantika sedang bersalin baju dalam kamar, tiba-tiba saja si brengsek ini masuk
... " kata Sari Kumala sambil berjalan mengitari si tanpa telinga, " ... dan begitu
mendengar teriakan dari dalam kamar, kami semua segera mengurung jalan
keluar dan berhasil meringkus monyet tanpa telinga ini!"
"Terus ... apa hubungannya dengan kedatangan kalian kemari?" tanya Gabus
Mahesa. "Pertanyaan bagus!" seru Tiara, sambungnya, "Hubungannya sangat erat. Saat
kami korek keterangan dari mulutnya, mulanya ia tidak mengaku. Namun setelah
kami beri sedikit "usapan mesra" di beberapa bagian tubuhnya, keluar juga
pengakuan dari mulutnya."
Tentu saja orang-orang yang ada disitu paham dengan apa yang namanya
"usapan mesra". Apalagi jika bukan ketupat bangkahulu alias bogem mentah plus
dengan bumbu-bumbu penyedapnya!"
"Sebelumnya, teman kami Beda Kumala mengalami celaka, hampir mati
keracunan jika tidak ditolong oleh seorang pemuda buta bernama Jalu Samudra.
Dari Jalu inilah, akhirnya mata kami terbuka bahwa selama ini Aliran Danau
Utara dan Perguruan Sastra Kumala telah diadu domba oleh pihak ketiga ... "
"Pemuda buta bernama Jalu Samudra!?" gumam Watu Humalang dalam hati.
"Rasa-rasanya aku pernah mendengar nama itu!?"
Kemudian Sari Kumala, bergantian dengan Wulan Kumala, menceritakan apa
yang dibicarakan dengan Si Pemanah Gadis tempo hari. Tentang segala
kemungkinan yang terjadi, tentang adanya pihak-pihak yang berusaha mengail di
air keruh. " ... dan puncaknya, akhirnya kami tahu tentang kebenaran kemungkinan yang
diberikan Jalu Samudra, lewat si tanpa telinga ini," kata Wulan Kumala
mengakhiri ceritanya. "Orang ini mengaku mata-mata dari Istana Jagat Abadi.
Dan satu temannya berkeliaran di aliran kalian," sambil jari telunjuknya menuding
ke bawah, "Kukira si tinggi besar yang menggelosoh di tanah ini adalah
kambratnya."
Watu Humalang, Gabus Mahesa dan rekan-rekan seperguruan mereka saling
pandang satu sama lain.
"Bagaimana menurut kalian?" tanya Watu Humalang.
"Kakang Watu, kemungkinan apa yang diucapkan Sari dan Wulan ada benarnya.
Dan aku yakin sepuluh bagian, bahwa memang kita sedang dimanfaatkan oleh
pihak ketiga untuk kepentingan mereka," kata salah seorang yang bertubuh
jangkung yang dibagian punggungnya tergantung sebuah benda aneh terbuat
dari potongan-potongan bambu bulat yang di tata sedemikian rupa hingga
membentuk deretan bambu nan unik. Benda itulah yang disebut sebagai
angklung, sedang pemiliknya dijuluki dengan Angklung Penebar Maut.
"Benar sekali apa perkataanmu, Adi Angklung. Kita telah membahas masalah ini
jauh-jauh hari, tapi tidak ada bukti nyata di depan mata kita. Namun, dengan
adanya tambahan keterangan dari pihak Perguruan Sastra Kumala, kurasa kita
harus menyelidiki ini lebih jauh ke Istana Jagat Abadi," tutur Gabus Mahesa.
"Namun sebelumnya, aku ingin mengorek keterangan dulu dari keparat ini!"
Gabus Mahesa berjongkok, lalu tangannya berkelebat. Sebuah tamparan keras
mendarat di pipi kiri si tinggi besar, sedang satunya mendarat di pipi kanan si
tanpa telinga. Plakk! Plaakk! "Hebat! Dalam satu gerakan tangan, dua tamparan melayang sekaligus
membebaskan totokan," kata Gaharu dalam hati.
"Katakan! Apa benar yang dikatakan oleh teman-temanku yang cantik-cantik
tadi?" tanya Gabus Mahesa.
Trisula Kembar merasakan nyeri di pipi, namun karena seluruh tubuhnya tertotok
kaku, ia tidak bisa menggerakkan tangan, hanya pita suaranya saja yang bebas.
Diluarnya ia berkata lain dengan nada memelas, "Semuanya bohong, Tuan!
Saya ini cuma tukang kayu bakar ... Tuan Mahesa telah salah tangkap! Dan
dengan dia, saya tidak kenal dengan si bodong jelek penuh kutil ini. Tolong ...
lepaskan saya!"
"Lalu ... apa yang kau lakukan tadi di sumur" Mau meracuni kami, hah!?" bentak
Gabus Mahesa dengan mata melotot.
"Meracuni apa" Tadi saya sedang meracik jamu untuk obat sakit perut. Sudah
dua hari ini perut saya mules tidak karuan," elak si tukang kayu bakar alias
Trisula Kembar dengan mimik muka meringis-ringis seperti orang mau buang
hajat. "Ooo ... begitu?"
"Ya begitu, Tuan Mahesa! Sumpah! Di samber perawan satu desa saya mau
kalau saya bohong," kata si tukang kayu bakar pakai sumpah-sumpah segala.
"Sumpah kok enak betul!?" bentak Angklung Penebar Maut.
"Aku yakin dia bohong, Mahesa. Dia pasti kenal dengan si tanpa telinga ini," tutur
Wulan Kumala. "Mungkin kenal akrab, malah."
"Darimana kau tahu?"
"Gampang sekali," sahut Wulan Kumala. "Darimana ia tahu kalau orang yang
kami tangkap ini pusarnya bodong penuh kutil" Padahal dari tadi kita tidak
membuka pakaiannya sedikit pun."
Si tanpa telinga atau tepatnya Gelang Bintang tampak memelototi orang di
sampingnya, sambil memaki panjang pendek dalam hati, "Dasar mulut ember!
Borok orang lain di buka di depan umum! Kalau kita berdua bisa lolos dari sini,
mulutmu bakal aku sumpal dengan kotoran sapi!"
Sedang si tukang kayu bakar gadungan tercekat, pikirnya, "Celaka! Aku
kelepasan omong!"
"Benar ... benar ... tadi aku juga mendengar dia bicara seperti itu," ucap
Angklung Penebar Maut. "Kakang Mahesa, biar aku saja yang urus. Kali ini aku
yakin dia bakal ngaku."
Tanpa menunggu jawaban dari Gabus Mahesa, Angklung Penebar Maut segera
meraih angklung di punggungnya. Tanpa menunggu lama, terdengar suara
merdu dari goyangan-goyangan angklung yang dimainkan oleh Angklung
Penebar Maut. Kluung! Klukk! Klukk! Klekk ... !
Semua orang yang ada disitu menikmati alunan bunyi angklung yang terasa
merdu di telinga, namun tidak bagi si tukang kayu bakar gadungan. Laki-laki ini
berulangkali mengernyitkan dahi dengan muka pucat pias seperti tanpa darah.
Keringat sebesar biji nangka langsung keluar.
"Uuuhhh ... aaaghhh ... aghhh ... ammm ... puun ... sakiittt ... "
"Bagaimana" Masih tidak mau mengaku?" tanya Angklung Penebar Maut sambil
terus menggoyang-goyangkan senjata unik di tangannya.
Sepenanakan nasi telah berlaku, dan selama itu pula Trisula Kembar menahan
derita yang mendera pada panca indranya hingga meneteskan darah kental
secara perlahan-lahan.
"Baik ... ba ... iikk ... aku mengaku ... " akhirnya menyerah juga Trisula Kembar.
"Tapi ... hentikan dulu alunan angklungmu ... aku sudah ... tidak tahan ... "
Angklung Penebar Maut segera menghentikan ayunan angklung di tangannya.
"Silahkan, Kakang Watu."
"Terima kasih, Adi Angklung," kata Watu Humalang, lalu tanyanya pada si tukang
kayu bakar gadungan. "Siapa namamu?"
"Aku biasa disebut Trisula Kembar, sedang dia itu Gelang Bintang."
"Tunggu ... tunggu ... ! Namamu Trisula Kembar!" Jadi kau ini salah seorang dari
anggota Komplotan Pondok Setan yang beberapa waktu yang lalu diburu oleh
Paman Panglima Bratasena dari Kerajaan Danaraja?" tutur salah seorang dari
murid Aliran Danau Utara.
"Jadi kau kenal dengan dia, Raden Wiratama?" tanya Watu Humalang.
"Jika benar dia adalah Trisula Kembar yang merupakan salah satu pucuk
pimpinan dari komplotan sesat Pondok Setan, berarti dialah orang yang selama
ini dicari Paman Bratasena dan Pemanah Dewa Dua Nyawa selama beberapa
bulan terakhir ini, Kakang Watu," ujar Raden Wiratama. "Kebetulan sekali kalau
pada akhirnya penjahat busuk ini bisa tertangkap. Dia sudah berbuat makar
pada Kerajaan Danaraja. Bahkan Sang Prabu sendiri memerintahkan hukum
penggal padanya."
Trisula Kembar langsung tercekat!
Tidak disangkanya bahwa salah seorang murid Aliran Danau Utara masih ada
hubungan dengan keluarga Kerajaan Danaraja.
"Celaka dua belas!" pikir Trisula Kembar, "Aku harus benar-benar bisa lolos dari
tempat ini. Perduli setan dengan Gelang Bintang!"
"Itu kita urus nanti saja," kata Watu Humalang dengan cepat.
Pada akhirnya, dari mulut Trisula Kembar berhasil diperoleh keterangan tentang
sepak terjang Istana Jagat Abadi, bahkan tentang siapa Ketua dan orang-orang
yang berada di balik semua kejadian yang menimpa dua aliran perguruan ini
serta beberapa pendekar persilatan, semua berhasil didapatnya dari mulut
Trisula Kembar.
Sementara itu, sambil terus berbicara panjang lebar, diam-diam Trisula Kembar
berusaha keras untuk bisa mengalirkan hawa murni dan memulihkan diri dari
totokan. Namun totokan yang dilakukan oleh Gabus Mahesa cukup kuat.
Beberapa kali ia gagal menjebol pembatas jalan darah yang tersumbat. Dalam
hati, Trisula Kembar berharap bahwa semua orang tertuju pada keterangan yang
keluar dari mulutnya, sehingga tidak mengetahui bahwa dirinya sedang berusaha
membebaskan diri.
Tapi ... benarkah seperti itu yang diharapkan oleh salah seorang anggota Istana
Jagat Abadi ini"
Jawabnya ... tidak!
BAGIAN 19 Wulan Kumala yang paling teliti diantara sesama saudara perguruannya, melihat
sesuatu yang tidak wajar sedang dilakukan oleh Trisula Kembar.
"Aneh, jelas-jelas dia dalam keadaan tertotok namun kulihat ujung tangannya
bisa bergetar pelan. Pasti ada apa-apanya ini," kata hati Wulan Kumala sambil
Amanat Marga 2 Jago Kelana Karya Tjan I D Hati Budha Tangan Berbisa 8

Cari Blog Ini