Ceritasilat Novel Online

Si Pemanah Gadis 6

Si Pemanah Gadis Karya Gilang Bagian 6


meloloskan gagang pedang pendek dari balik baju.
Ratih Kumala yang menyandang busur melihat apa yang dilakukan oleh Wulan.
"Ada apa, Wulan?" bisiknya.
"Aku melihat sesuatu yang mencurigakan," kata Wulan Kumala. "Lebih baik kau
siap-siap menanti perkembangan. Gunakan anak panahmu! Cari posisi yang
tepat dan sasarannya adalah laki-laki di sana. Aku mau melakukan sesuatu
sebentar."
Tanpa menunggu jawaban dari Ratih Kumala, gadis baju hijau itu segera
berjalan mendekat ke arah Gelang Bintang, lalu berjongkok tepat di belakang
kepala pemuda tanpa telinga.
Saat itu, Gelang Bintang sendiri sedang mengamat-amati ke arah Trisula
Kembar, pikirnya, "Bagus! Trisula Kembar sudah hampir berhasil membuka
totokan. Dalam keadaan terkepung seperti ini, jurus "Belut Hitam Melipat Bumi"
paling cocok digunakan. Aku juga harus bersiap-siap dari sekarang."
Tentu tatapan mata Gelang Bintang yang selalu mengarah ke temannya, bisa
dilihat Wulan Kumala dari samping belakang.
"Hemm ... pasti dia sedang menanti sesuatu yang berhubungan dengan tanah,"
pikir Wulan Kumala sambil berjongkok tepat di belakang Gelang Bintang yang
tergeletak di tanah. "Jangan-jangan ia memiliki Ilmu "Belut Putih?" Tapi jika benar
ia memiliki ilmu itu, kenapa waktu kami tangkap ia tidak bisa meloloskan diri?"
Sambil berbisik pelan, diangkatnya kepala Gelang Bintang, "Jika kau dan
temanmu berniat melarikan diri lewat jalan tanah, aku punya sedikit kenangkenangan
untukmu." Lalu tangan kirinya meletakkan mata pedang pendek di
bawah tengkuk dalam posisi tajam bersentuhan langsung dengan kulit dan
daging. Cress! Tajamnya mata pedang pendek mengiris sedikit bagian tengkuk Gelang Bintang
saat kepala pemuda itu diletakkan kembali ke tanah. Dan tentu saja darah mulai
menetes keluar. Namun karena tertutup tebalnya rambut dan memang sudah
adanya ceceran darah, membuat orang-orang yang ada di tempat itu tidak
menaruh perhatian sama sekali.
Setelah itu Wulan Kumala langsung bangkit berdiri dan berjalan lambat-lambat
ke arah Trisula Kembar.
Tentu saja hati Gelang Bintang kebat-kebit saat merasakan hawa dingin
menyayat di bagian tengkuk. Dan lagi, ia juga melihat gadis yang meletakkan
benda tajam di bawah lehernya juga berjalan ke arah Trisula Kembar.
"Celaka! Kalau benar Trisula Kembar ingin meloloskan diri lewat jalan tanah
dengan jurus "Belut Hitam Melipat Bumi", bisa mati tanpa kepala, nih!" pikir
Gelang Bintang, panik. "Aku harus memperingatkannya! Harus!"
Berulangkali ia berusaha berteriak, namun hanya sebentuk seringai saja yang
keluar. "Setan keparat! Totokan ini sulit sekali dibukanya!" keluh Gelang Bintang dalam
hati, dan hal ini membuat Gelang Bintang tidak bisa berbuat lebih banyak lagi
selain sepasang matanya yang membeliak-beliak lebar seperti orang kesurupan.
"Jadi ... yang mengetuai Istana Jagat Abadi sekarang ini bukanlah Ki Harsa
Banabatta yang dijuluki Si Tangan Golok" Dan digantikan oleh Raja Jarum Sakti
Seribu Racun, begitu?" tanya Gabus Mahesa.
"Betul! Ketua Istana Jagat Abadi yang asli, kami masukkan ke dalam kamar
tahanan bawah tanah bersama seluruh tiga puluh orang murid-muridnya," ucap
Trisula Kembar, pikirnya, "Bagus. Aku sudah bisa menggerakkan sepuluh jariku.
Sekarang saat meloloskan diri sudah tiba."
Saat ia melirik ke arah Gelang Bintang, ia melihat mata kawannya membeliakbeliak
liar. "Rupanya dia sudah paham dengan maksudku," kata hati Trisula Kembar, sambil
mengangguk-angguk pelan, sehingga ia mendesis tanpa sadar, "Bagus!"
"Apanya yang bagus?" tanya Watu Humalang dengan heran.
Sambil menyeringai, Trisula Kembar pun berkata, "Bagus maksudku adalah ...
selamat tinggal!"
Begitu kata "selamat tinggal" terlontar, terjadi hal yang luar biasa!
Tanah di sekitar Trisula Kembar melunak dengan cepat.
Cepat dan cepat sekali!
Bless! Semua orang yang ada di tempat itu berloncatan menjauh.
Belum lagi Watu Humalang dan Gabus Mahesa bertindak dengan apa yang
terjadi, sosok Trisula Kembar yang sejarak satu tombak dengan mereka
mendadak raib di telan tanah. Bersamaan dengan itu pula, sebentuk anak panah
melesat cepat, menembus masuk ke dalam tanah lunak.
Jlebb! Rupanya, Ratih Kumala yang sedari awal sudah merentang busur lengkap
dengan panah, segera melepaskan senjatanya dan tepat masuk ke dalam tanah
bersamaan dengan raibnya Trisula Kembar.
Belum lagi keterkejutan mereka hilang, terdengar suara menjerit tertahan,
"Eeekh!"
Crass! Kepala pemuda tanpa telinga tergeletak begitu saja di atas tanah!
Rupanya, Trisula Kembar berhasil menarik tubuh Gelang Bintang dari dalam
tanah seperti belut saja layaknya. Akan tetapi, mata pedang pendek yang ada di
bawah tengkuk sang kawan di luar perhitungan sosok yang tenggelam dalam
tanah itu, sehingga waktu saat berhasil menarik tubuh Gelang Bintang masuk ke
dalam tanah, yang tertinggal hanyalah sosok tubuh tanpa kepala!
Begitu melihat tawanan mereka melarikan diri dengan cara menenggelamkan diri
ke dalam tanah, Raden Wiratama segera bertindak. Telapak tangan terbuka si
pemuda bangsawan langsung menghantam tanah.
Bughhh ... ! Bumi terasa berguncang kala jurus "Naga Air Menggebah Bumi" digelar.
Seantero dalam tanah dalam jarak lima tombak bagai diaduk tangan raksasa
disertai semburan hawa dingin. Beberapa kedukan tanah semburat diselimuti
butiran-butiran es yang tidak terhitung jumlahnya. Bahkan potongan kepala
Gelang Bintang terpental kesana kemari seperti ditendang puluhan orang.
Namun, sosok Trisula Kembar benar-benar lenyap di telan bumi!
Beberapa murid Perguruan Sastra Kumala sampai berdecak kagum melihat
peragaan jurus yang dilakukan salah satu murid Aliran Danau Utara.
"Dia berhasil melarikan diri," desis Raden Wiratama sambil menarik jurusnya.
"Dia benar-benar telah menjauh dari sini, mungkin sudah puluhan tombak ... "
tutur Tiara Kumala, sambungnya, " ... sebab jurus "Detak Jantung Penghitung
Nyawa" perguruan kami tidak bisa menembus dalam jarak jika lebih dua puluh
tombak." Jika sebelumnya murid-murid Perguruan Sastra Kumala yang terkagum-kagum,
kini giliran murid-murid Aliran Danau Utara yang ternganga kaget mengetahui
kehebatan perguruan silat yang notabene berisi para gadis cantik.
"Apa yang kita lakukan sekarang?" tanya Raden Wiratama sambil duduk
berjongkok memandangi kepala Gelang Bintang yang tertinggal. Lalu kembali
mengerahkan jurus "Naga Air Menggebah Bumi".
Blubb! Potongan kepala Gelang Bintang langsung lenyap ditelan bumi!
Hilang tanpa meninggalkan bekas sedikit pun, kecuali ceceran darah yang mulai
mongering. "Melihat perkembangan yang ada sekarang ini, lebih baik kita segera menyusul
Jalu Samudra dan Beda Kumala yang lebih dahulu ke Istana Jagat Abadi," tutur
Sari Kumala. "Jadi Beda dan pemuda buta itu telah ada disana?" tanya Watu Humalang,
"Kalian terlalu berani membiarkan mereka berdua menempuh bahaya!"
"Kalau begitu ... biar aku menyusul mereka sekarang juga," kata Gabus Mahesa.
"Siapa tahu, aku bisa membantu mereka jika terjadi apa-apa."
"Diantara kita, hanya Adi Mahesa saja yang memiliki jurus peringan tubuh paling
tinggi," ucap Watu Humalang dengan nada bangga, "Adi Mahesa, kau bisa
bergerak mendahului kami. Tapi ingat ... jangan bertindak gegabah. Dari apa
yang kita dengar dari Trisula Kembar, Istana Jagat Abadi dihuni oleh tokoh-tokoh
hitam berilmu tinggi."
"Apakah aku boleh ikut?" tanya Tiara Kumala, sambil memandang lekat-lekat
pada lelaki tinggi besar itu.
"Sebaiknya kau menyusul saja, Tiara. Mahesa akan kesulitan jika engkau ikut
dengannya," sahut Ratih Kumala.
Gabus Mahesa yang paham dengan kekhawatiran sang kekasih, segera
memegang pundak gadis itu.
"Tiara, untuk sementara ini, terpaksa aku tidak bisa mengajakmu serta. Kita
harus berlomba dengan waktu. Jika Trisula Kembar kembali lebih dulu ke istana
mereka, dapat dipastikan mereka membuat persiapan untuk menghadapi
gempuran kita. Aku hanya bertugas menjadi telinga panjang saja. Dan lagian ...
aku bukan orang tolol yang menganggap diriku paling hebat sehingga langsung
menyerang lawan tanpa perhitungan. Kau paham maksudku?" kata Gabus
Mahesa panjang lebar.
Tiara Kumala akhirnya mengangguk. Gadis itu sadar betul, bahwa keadaan
sekarang ini dalam kondisi kritis. Salah perhitungan sedikit saja, bisa
membahayakan nyawa orang banyak!
"Baik! Kau harus hati-hati, Kang."
"Pasti!" sahut Gabus Mahesa, lalu sambungnya, "Saudara-saudara sekalian! Aku
berangkat dulu. Kalian bisa menyusulku ke Istana Jagat Abadi. Aku akan
meninggalkan tanda-tanda khusus aliran kita untuk kalian."
Begitu kata-katanya selesai, si tinggi besar Gabus Mahesa segera berkelebat
cepat, mengerahkan tahap tertinggi dari jurus peringan tubuh Aliran Danau Utara
yang bernama jurus "Air Buyar Bayangan Berlalu".
Plasshh ... ! Sebentar saja, terlihat gumpalan cahaya putih yang semakin menjauhi tempat
itu, dan akhirnya hilang sama sekali.
"Jurus ringan tubuh "Langkah Menjangan Terbang Meloncat" perguruanku
mungkin seimbang dengan jurus ringan tubuh milik Aliran Danau Utara," pikir
Wulan Kumala. "Aneh! Aku merasakan bahwa setiap ilmu yang dimiliki aliran ini
merupakan pasangan dari ilmu-ilmu perguruan kami."
"Kakang Watu, karena diantara kita sudah tidak ada ganjalan lagi, apa kau setuju
kalau kita kembali bersahabat seperti dulu lagi" Menjalin hubungan seperti
sebelumnya?" tanya Sari Kumala.
"Tentu saja, Sari. Tentu saja!" jawab Watu Humalang sambil mengembangkan
senyum. "Lalu ... bagaimana dengan guru-guru kita?"
"Dari apa yang kita dengar, tampaknya berani kupastikan bahwa Ki Gegap
Gempita dan Nyai Tirta Kumala juga turut tertawan pihak lawan. Kita harus
membebaskan guru-guru kita," ucap Watu Humalang. "Bagaimana saudarasaudara?"
"Setujuuuu!!" jawab semua orang yang ada di situ.
Para gadis dan pemuda yang ada di tempat itu saling bersalaman satu sama
lain. Bahkan diantara mereka yang menjalin hubungan kasih menumpahkan
dalam bentuk pelukan mesra dan ciuman hangat.
Tiba-tiba, Sari Kumala berkata pada Watu Humalang yang saat itu sedang
menggenggam erat tangannya.
"Kakang Watu ... sebenarnya satu hal buruk yang ingin kami sampaikan pada
Kakang." "Ada apa, Sari!?" sahut Watu Humalang, lalu dua tangannya bertepuk tangan
dua kali. Plok! Plokk! Semua yang mendengar tepukan keras ini menghentikan "ritual kebersamaan"
mereka sejenak.
"Ini ada hubungannya dengan Garan Arit atau Pendekar Dari Utara," Sari
Kumala berkata.
"Katakan saja. Kami akan mendengarkan."
"Garan Arit ... telah tewas beberapa waktu yang lalu."
"Hah!?"
"Apa!?"
Seluruh anak murid Aliran Danau Utara terkejut mendengar keterangan salah
seorang dari murid Perguruan Sastra Kumala.
"Siapa yang telah membunuhnya?" tanya Angklung Penebar Maut, meradang.
Diantara sesama saudara perguruan mereka, hanya Angklung Penebar Maut
dan Pendekar Dari Utara yang paling akrab satu sama lain. Jadi wajar saja jika ia
langsung meradang mendengar saudara karibnya telah tewas.
"Dari penuturan Beda Kumala, orang-orang Istana Jagat Abadi-lah pelakunya.
Tapi pelaku utamanya adalah orang yang tadi terpenggal kepalanya di tempat
ini, yang bernama si Gelang Bintang," tutur Sari Kumala sambil melanjutkan
rangkaian kronologis selengkapnya.
"Kurang ajar! Mereka harus menerima balasan yang setimpal dengan perbuatan
mereka!" desis Angklung Penebar Maut.
"Kakang, kita tidak bisa membiarkan orang-orang gadungan itu menginjak-injak
harga diri kita," kata Wonoboyo yang bertubuh pendek kekar. "Kita balas
perbuatan busuk mereka!"
"Betul! Betul!" sahut beberapa orang membetulkan ucapan Wonoboyo.
"Baik! Malam ini kita harus bisa menyelesaikan latihan tahap akhir dari ilmu
aliran kita! Kalian siap?"
"Siap!"
--o0o-- BAGIAN 20 "Apa keterangan dari Trisula Kembar bisa dipercaya, Mahesa?" tanya Jalu
Samudra. "Aku sendiri juga tidak tahu, sebab baru dua hari aku sini dan melakukan
penyelidikan seperti kalian," tutur Gabus Mahesa, lalu katanya kemudian, " ...
tapi tujuan penyelidikanku terfokus pada letak kamar tahanan bawah tanah yang
kuperkirakan berada di bagian belakang bangunan. Namun sampai sekarang,
belum ada hasilnya ... justru malah kepergok kalian berdua."
"Kalau begitu, upaya pelarian Trisula Kembar kemungkinan besar berhasil
sampai ke markasnya. Sebab dari beberapa hari yang lalu, kulihat banyak orang
yang berjaga-jaga di sekitar wilayah Istana Jagat Abadi dengan tidak kentara,"
sahut Si Pemanah Gadis, "Meski begitu, mereka berbuat seolah-olah tidak terjadi
apa-apa." Lalu ia menoleh ke Beda Kumala, "Beda, apa kau masih ingat dengan
wajah beberapa orang yang membunuh Garan Arit?"
"Masih, Kang. Kuingat jelas wajah orang-orang yang membunuh Kakang Garan
Arit dengan licik meski tertutup dengan kotoran sekali pun!" tandas Beda
Kumala. "Dari delapan orang yang kita ketahui raut mukanya, telah berkurang tiga orang
... " "Tunggu dulu! Berkurang tiga orang?" tanya Gabus Mahesa dengan heran.
"Benar! Satu orang tewas di Aliran Danau Utara, si tanpa telinga yang bergelar
Gelang Bintang. Yang ke dua dan ke tiga adalah Golok Tapak Kuda dan
Cambuk Pemutus Nyawa," kata Beda Kumala dengan nada bangga.
"Kalian mengatakan Golok Tapak Kuda dan Cambuk Pemutus Nyawa telah
tewas?" tanya Gabus Mahesa dengan tidak percaya. "Oleh kalian berdua?"
Dua orang yang ditanya mengangguk pasti.
Melihat anggukan Beda Kumala dan Jalu Samudra secara hampir bersamaan,
membuat kening Gabus Mahesa berkerut.
"Setahuku, Golok Tapak Kuda dan Cambuk Pemutus Nyawa adalah dua tokoh
hitam berilmu tinggi bahkan beberapa kali lipat lebih tinggi dariku. Trisula
Kembar berhasil kulumpuhkan itu pun hanya faktor keberuntungan saja yang
kebetulan berpihak pada diriku," kata Gabus Mahesa, lalu sambungnya sambil
memandang Beda Kumala, "Sedang Gelang Bintang sendiri dengan dikeroyok
tujuh delapan orang saudara seperguruanmu, baru dapat dilumpuhkan. Aku sulit
mempercayai kalau dua orang pentolan hitam yang kemana-mana selalu berdua
itu bisa kalian bunuh. Pasti pertempuran kalian berjalan alot dan lama."
"Benar! Pertempuran kami berjalan lama," kata Jalu Samudra membenarkan.
"Bahkan sangat melelahkan sekali."
Justru Beda Kumala berkerut kening, pikirnya, "Lama bagaimana" Lha wong
tidak sampai tidak sampai siang hari sudah selesai!?"
"Jadi ... sekarang ini tinggal Tombak Sakti, Karang Kiamat, Pedang Dewa,
Trisula Kembar dan Gada Maut yang masih ada," tutur Gabus Mahesa, saat
ingat keterangan Trisula Kembar tempo hari.
"Di tambah sang Ketua, tentunya," imbuh Jalu Samudra.
"Benar."
"Namun, aku yakin masih ada pihak-pihak lain yang berada di balik semua
kejadian ini," tambah Beda Kumala. "Tidak mungkin mereka mengadu domba
dua perguruan silat dengan alasan iseng saja."
"Tepat sekali apa yang duga, Beda!" sahut Gabus Mahesa cepat, lalu sambil
membetulkan duduknya, "Dalam perjalanan kemari, kujumpai beberapa tokoh
silat yang sedang melakukan pencarian terhadap beberapa tokoh silat tertentu.
Mulanya aku kira hanya acara balas dendam antar mereka. Namun, dari apa


Si Pemanah Gadis Karya Gilang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang mereka bicarakan, ternyata berhubungan dengan raibnya beberapa tokoh
silat belakangan ini secara misterius. Tidak peduli siapa mereka dan dari
golongan mana, semuanya lenyap tanpa ketahuan rimbanya. Terakhir kali,
tepatnya dua hari yang lalu, Iblis Pedang Beku dari Sungai Hitam yang hilang
dari pertapaannya."
Beda Kumala dan Jalu Samudra tidak menyela apa yang dikatakan oleh Gabus
Mahesa. Mereka menyimak setiap kalimat yang keluar dari murid kedua Aliran
Danau Utara ini. Tentu saja hal ini tidak pernah tertangkap telinga dua anak
muda ini, karena belakangan ini kegiatan mereka hanya tertuju menyelidiki
setiap jengkal dari Istana Jagat Abadi.
Dengan adanya tambahan informasi ini membuat Jalu Samudra berpikir keras,
"Dari keterangan Gabus Mahesa, aku bisa menarik satu benang merah disini.
Rata-rata dari tokoh silat memiliki ilmu silat tinggi dan setiap dari korban
mempunyai dasar ilmu yang sama yaitu unsur air dan api. Tidak ada satu pun
yang memiliki unsur logam, kayu, batu atau unsur-unsur yang lain. Ini benarbenar
menarik!" "Pihak lawan telah kita ketahui dan beberapa tokoh silat aliran hitam dan putih
telah hilang, meski kita belum begitu yakin bahwa Istana Jagat Abadi adalah
dalang dari semua kekacauan, namun hal ini layak diselidiki lebih jauh," tutur
Beda Kumala, "Kakang Mahesa, terus apa rencanamu selanjutnya?"
"Kemungkinan besok saat terang tanah, jika tidak ada aral melintang di jalan,
rombongan dari Aliran Danau Utara dan Perguruan Sastra Kumala akan sampai
di tempat ini. Biar aku menunggu mereka di tempat ini."
"Benarkah?" tanya Beda Kumala dengan girang, karena sebentar lagi ia bakalan
berjumpa dengan saudara-saudara seperguruannya.
Gabus Mahesa mengangguk pasti, "Kita harus bergerak cepat! Dan malam ini ...
kita terpaksa harus berbagi tugas. Waktu kita tidak banyak!"
"Kakang Mahesa, lebih baik kau saja yang membagi tugas," kata Beda Kumala.
"Jalu, kau menyelidiki bagian belakang dari Istana Jagat Abadi. Kukira letak
penjara bawah tanah tidak jauh dari tempat itu. Meski seorang tuna netra, aku
yakin kau memiliki kepandaian tinggi," kata Gabus Mahesa.
"Ceileee ... orang tuna netra" Sopan amat bahasanya!" Bilang aja orang buta,
habis perkara!?" pikir Jalu Samudra, namun diluarnya ia berkata lain, "Baiklah!
Aku akan menyelidiki bagian belakang dari Istana Jagat Abadi dan malam ini ...
tidak boleh tidak harus bisa mendapatkan hasil," kata Jalu Samudra
menyanggupi tugasnya, "Beda, lebih baik kau temani Mahesa di tempat ini."
Jalu Samudra bangkit berdiri sambil menggerakkan tongkat hitamnya mengetukngetuk
tanah. "Tidak! Beda Kumala harus ikut denganmu. Mungkin kau butuh bantuan
nantinya," kata Gabus Mahesa, sambungnya, "Biar aku seorang diri saja yang
menunggu mereka di tempat ini."
"Kakang Mahesa, jaga dirimu baik-baik!" kata Beda Kumala sambil berdiri, kala
melihat Jalu Samudra alias Si Pemanah Gadis berkelebat menjauh, ia pun
segera menyusul.
Blass! Sosok Beda Kumala berubah menjadi segulungan bayangan hijau yang
meluncur cepat, menyusul sosok bayangan biru yang telah berada di kejauhan
sana. "Hemm ... benar dugaanku! Jalu bukan tokoh silat sembarangan. Dari cara
berjalan yang tidak menimbulkan suara saja sudah bisa kupastikan seberapa
hebat tenaga dalam yang dimilikinya," gumam Gabus Mahesa, "Mungkin
beberapa tingkat di atasku."
--o0o-- Sementara itu ...
Tiga sebelumnya, Istana Jagat Abadi kedatangan tamu tak diundang. Dan
datangnya pun tidak dengan cara yang lazim. Bukan dari pintu depan, pintu
belakang, melompati tembok atau pun menerobos masuk lewat genteng dan
jendela, namun justru keluar dari dalam tanah!
Brull! Tanah keras bagian dalam, sejarak sepuluh tombak dari sisi dalam pintu
gerbang utama Istana Jagat Abadi tiba-tiba semburat ke atas, diikuti dengan
melesatnya sesosok tubuh tinggi besar yang berjumpalitan beberapa kali di
udara dan akhirnya melayang turun ke tanah.
Jlegg! Sosok belepotan tanah kini berdiri tegak dengan dua tangan memondong sosok
tanpa kepala! Semua orang terpana sesaat, bahkan Pedang Dewa yang saat itu sedang
berbincang-bincang dengan Karang Kiamat yang kini buta kedua matanya pun
ternganga sesaat. Saat rasa keterkejutan lenyap, Pedang Dewa membentak
sambil mencabut pedang besar yang tergeletak di depan.
Srriing! "Setan tanah darimana yang berani lancang menerobos masuk ke dalam wilayah
istana ini!"
Secepat ia mencabut pedang, secepat itu pula melakukan gerak tusukan tajam.
Wutt! Ilmu Pedang "Mayapada Beku" yang dimiliki oleh Pedang Dewa bukanlah
sembarang ilmu pedang. Ilmu pedang yang mengutamakan kecepatan gerak
dikuasai sempurna oleh laki-laki bertabiat aneh ini. Ilmu ini pada prinsip adalah
mendahului serangan lawan dengan pancaran hawa pedang, barulah serangan
yang sebenarnya dilancarkan. Kali ini, lewat jurus "Deru Angin Debur Ombak"
datang laksana gulungan angin tajam dan deburan ombak ganas yang langsung
membuncah ke arah sosok tinggi besar. Hamparan hawa pedang lawan yang
berjarak hanya satu tombak dari dirinya membuatnya mengambil keputusan
cepat. "Bangsat! Apa kau mau membunuhku, Pedang Dewa?" bentak sosok belepotan
tanah sambil melemparkan begitu saja sosok yang ada dalam pondongannya.
"Ini aku ... Trisula Kembar!"
Wutt! Sepasang telapak tangannya yang berubah menjadi hitam kelabu, langsung
disorongkan ke depan.
"Ilmu "Tapak Pengguncang Bukit Dan Sungai"!" seru Pedang Dewa, mengenali
jenis pukulan lawan, lalu bentaknya, "Trisula Kembar, kurangi tenaga!"
Dalam waktu sepersekian detik, pancaran hawa tenaga dalam yang digunakan
masing-masing pihak menurun cepat. Namun, benturan keras tetap terjadi meski
tidak sudah berusaha semaksimal mungkin meminimalisir tenaga yang keluar.
Bumm ... ! Bumm ... !
Hawa pedang yang keluar dari jurus "Deru Angin Debur Ombak" akhirnya baku
hantam secara frontal, sehingga dalam jarak tiga tombak, tanah sekitar bagai
dilanda gempa kecil. Tubuh Pedang Dewa dan Trisula Kembar terseret hingga
membentuk cerukan tanah ke belakang sedalam mata kaki.
"Kau mau membunuhku, apa?" bentak Trisula Kembar dengan mata melotot liar.
"Dasar orang syaraf! Memangnya aku tahu kalau yang keluar dari dalam tanah
adalah kau!" Muka belepotan tanah mirip cacing tanah mana aku kenal!?" balas
bentak Pedang Dewa tidak mau disalahkan.
"Setan keparat! Kau berani sekali menghinaku dengan sebutan cacing tanah?"
maki Trisula Kembar, sambil meloloskan sepasang trisula yang berada di balik
punggungnya. "Kecoa tengik sepertimu memang harus dikasih pelajaran!"
Crangg! "Memangnya aku takut denganmu, trisula busuk!" bentak Pedang Dewa sambil
pasang kuda-kuda.
Keduanya berjalan mendekat dengan senjata terhunus.
Tatapan mata beringas disertai dengusan napas keras.
Hawa membunuh sontak terpancar luas.
Beberapa orang murid Istana Jagat Abadi yang melihat kedua orang bersenjata
pedang dan trisula sebentar lagi akan saling labrak segera berlarian menjauh.
Sudah puluhan kali mereka melihat sesama murid yang berselisih paham saling
labrak dan ujung-ujungnya ... senjata pula yang bicara!
Satu-satunya jalan menghindar adalah menjauh sejauh-jauhnya dari ajang
pertikaian. Dan tujuannya pasti cuma satu ... apalagi jika bukan takut kena salah
sasaran!" Mereka hanya menonton dari kejauhan saja, menunggu siapa yang terjungkal
lebih dahulu. Dalam benak mereka masih terbayang lima hari yang lalu, tujuh
orang teman mereka tewas hanya gara-gara masalah sepele. Tujuh orang murid
sedang berlatih melempar senjata rahasia yang bernama Gundu Terbang.
Namun karena tidak pernah kena sasaran satu kali pun, salah seorang dari
mereka jengkel dan secara sembarangan melempar Gundu Terbang ke
belakang. Dan tanpa sengaja pula, Gundu Terbang justru tepat mengenai Ki
Wira Raja Jarum Sakti Seribu Racun sedang berjalan-jalan di sekitar taman.
Meski tidak mengalami luka apa pun, baik luka besar atau pun luka kecil, kecuali
benjol sedikit macam jerawat batu, tapi cukup membuat laki-laki tinggi kurus
berbaju kuning kusam naik pitam.
Bagaimana tidak naik pitam ... lha wong kena pas di tengah dahi!
Tanpa ba-bi atau bu, apalagi permisi, puluhan Jarum Lebah Terbang langsung
menembusi tubuh murid Istana Jagat Abadi hingga tubuh mereka mirip landak!
Dan tentu saja ... tewas-lah tujuh murid sial itu!
Kali ini pula, mereka bergerak menjauh menghindari medan perang antara
Trisula Kembar dan Pedang Dewa.
Akan tetapi, terjadi suatu keanehan!
Tunggu punya tunggu ... tidak ada tusukan pedang atau sabetan trisula yang
kena sasaran! Jelas sekali terlihat pedang besar di tangan Pedang Dewa dan sepasang trisula
di tangan Trisula Kembar terayun-ayun kesana kemari dengan gerakan-gerakan
tertentu. Akan tetapi anehnya, gerakan Pedang Dewa dan Trisula Kembar
seperti tertahan dinding tidak tampak.
Tentu saja Karang Kiamat yang buta dan sekarang mengandalkan ketajaman
telinga, hanya mendengar suara sumpah serapah dan caki maki dari Pedang
Dewa dan Trisula Kembar.
"Heran ... masa sedari tadi cuma pentang bacot saja?" desis Karang Kiamat
sambil memiring-miringkan kepalanya. "Apa jangan-jangan telingaku sudah
soak, ya?"
Dua jari tangan dimasukkan ke dalam lubang telinga sebentar, diputar pulang
balik, lalu ditarik keluar.
"Tidak ada masalah," gumamnya. Karena tidak tahan, akhirnya ia berteriak,
"Sebenarnya kalian ini mau bunuh-bunuhan atau cuma pentang lebar mulut atau
malah sedang lomba menggonggong siapa yang paling keras?"
Dua orang yang saling cakar itu tersentak kaget, seperti baru saja terbangun dari
mimpi! Belum lagi Pedang Dewa dan Trisula Kembar menjawab, sebuah suara
menggema di tempat itu.
"Dua budak goblok! Apa yang kalian ributkan!?"
Suara itu menggema ke seantero halaman.
Menggetarkan dinding-dinding telinga semua orang yang ada di tempat itu.
Beberapa orang berilmu pas-pasan langsung jatuh terduduk karena telinga
mereka seperti ditusuk ribuan jarum, bahkan ada yang langsung pingsan karena
tidak tahan dengan getaran tenaga gaib yang memaksa masuk ke dalam
gendang telinga.
Benar-benar hamparan kesaktian yang luar biasa!
"Raja Iblis Pulau Nirwana ... " desis Karang Kiamat, mengenali sebentuk suara
tanpa wujud yang menggema. "Pasti dia yang punya kerjaan menghalanghalangi
baku hantam antara Pedang Dewa dan Trisula Kembar. Jika dia datang,
pasti ada hal penting atau gawat yang akan terjadi ... "
Tentu saja Pedang Dewa dan Trisula Kembar mengenal siapa pemilik suara itu.
Siapa lagi jika bukan Raja Iblis Pulau Nirwana, tokoh misterius yang bisa
membuat mereka bertekuk lutut tanpa sempat memberikan perlawanan yang
berarti! "Ada yang ingin aku bicarakan dengan kalian. Panggil semua teman-teman
kalian yang lain. Kumpul di aula tengah. Cepat!" kata suara tanpa wujud bernada
memerintah. Tanpa banyak membantah, Trisula Kembar, Pedang Dewa dan Karang Kiamat
langsung berpencar.
Dan tanpa tempo lama pula mereka semua telah berkumpul di tempat yang telah
ditentukan. --o0o-- BAGIAN 21 Di dalam aula tengah Istana Jagat Abadi, terlihat Ki Wira yang bergelar Raja
Jarum Sakti Seribu Racun sedang duduk di atas kursi besar berukiran burung
merak. Di depannya duduk berkumpul setengah lingkaran dimulai dari Tombak
Sakti, Karang Kiamat, Pedang Dewa, Trisula Kembar dan Gada Maut.
Terlihat di bagian pojok ruangan, sesosok tubuh tanpa kepala!
"Apa!" Jadi kau ketahuan?" bentak Ki Wira dengan mata melotot, " ... dan untuk
bisa lolos dari sana, lalu kau korbankan Gelang Bintang, begitu!?"
Trisula Kembar yang merasa tidak bersalah namun merasa dipojokkan, langsung
membalas bentakan Ki Wira.
"Bah! Mana aku tahu kalau dibawah tengkuk Gelang Bintang tergeletak sebilah
pedang telanjang!?" seru Trisula Kembar, "Kepala si kunyuk itu telah terpotong
sebatas leher saat aku tarik ke dalam tanah, barulah kutahu adanya pedang itu!"
"Bangsat! Terhadap teman sendiri saja kau tidak setia kawan, bagaimana
terhadap pimpinan?" bentak Raja Jarum Sakti Seribu Racun sambil
mengibaskan tangan kiri.
Seleret cahaya perak menyambar ke arah tenggorokan Trisula Kembar.
Wuss! Tentu saja yang diserang tidak mau begitu saja membiarkan lehernya menjadi
sasaran empuk Jarum Lebah Terbang yang dilemparkan Ki Wira. Trisula di
samping kiri keluar dari balik baju, lalu berkelebat menebas dari kiri ke kanan.
Triing! Jarum Lebah Terbang terpental ke kanan, lalu menancap di tiang kayu yang
jaraknya sekitar sepuluh tombak.
Jleebb! "Kurang ajar!" Raja Jarum Sakti Seribu Racun membentak marah. "Berani sekali
kau menangkis Jarum Lebah Terbangku?"
"Bah! Memangnya apamu yang aku takuti! Cuih!" Trisula Kembar gantian
membentak sambil meludah di lantai batu. Seketika lantai batu mengeluarkan
asap putih dan tak beberapa lama kemudian, lantai batu menjadi semacam
bubur batu! "Sudah cukup!" bentak suara tanpa ujud atau Raja Iblis Pulau Nirwana kembali
menggema, "Dasar manusia-manusia tidak tahu diuntung! Menyesal aku
membiarkan kalian hidup lebih lama lagi!"
Semua yang ada di tempat itu tercekat mendengar ancaman dari si sosok tanpa
ujud. Buru-buru Pedang Dewa angkat bicara.
"Maaf, Ketua!" kata Pedang Dewa, "Kami mohon maafmu yang sedalamdalamnya!
Kami tidak akan mengulangi kejadian seperti ini lagi! Saya meyakini
dengan keluarnya dari kamar tahanan bawah tanah pasti membekal suatu berita
penting. Ada apakah gerangan yang membuat Ketua yang sakti tanpa tanding
bisa keluar dari tempat pendadaran ilmu?"
"Huh! Pedang Dewa! Mulutmu memang tajam, setajam pedangmu!" seru Raja
Iblis Pulau Nirwana. "Kau benar! Ada hal penting yang ingin aku bicarakan
dengan kalian semua."
Sesaat keadaan menjadi senyap. Hanya suara desau angin yang menerobos
celah-celah lobang angin yang terdengar.
"Mulai saat ini ... " kembali terdengar suara Raja Iblis Pulau Nirwana, " ... aku
ingin kalian meningkatkan kewaspadaan. Aku merasakan adanya getaran
bahaya yang mendekat ke tempat kita ini."
"Bahaya?" tanya Ki Wira, "Siapa orangnya yang berani menyatroni tempat ini,
Ketua!" Apa mereka mau menggali liang kubur di tempat ini!"
"Aku tidak tahu dengan pasti. Namun yang jelas, salah seorang dari mereka
telah membunuh Golok Tapak Kuda dan seorang lagi kawannya, seorang
perempuan baju hijau, berhasil pula mengalahkan Cambuk Pemutus Nyawa,
bahkan membunuhnya pula."
"Apa!?" enam orang itu berteriak kaget.
"Kalian tidak perlu terkejut," kata Raja Iblis Pulau Nirwana, "Tokoh ini memiliki
ilmu kesaktian yang tinggi bahkan terhitung langka untuk masa kini. Namun yang
pasti, lewat Ilmu "Tatar Sukma Memindah Hawa" bisa kurasakan bahwa sosok ini
membekal suatu benda yang bisa membuatku merasa ketakutan, bahkan diriku
bisa tewas jika tersentuh. Kalian harus bisa mengambil dan menghancurkan
benda itu!"
Tentu saja semua orang yang ada di tempat itu melengak kaget!
Beberapa jeda kemudian, mereka berenam saling pandang satu sama lain,
dengan pikiran yang sama. Raja Iblis Pulau Nirwana yang mereka anggap
memiliki kesaktian setingkat dewa ternyata memiliki rasa takut"


Si Pemanah Gadis Karya Gilang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Takut pada seseorang yang memiliki suatu benda!
Tapi ... benda apa"
Dan siapa orang yang ditakutinya itu!"
Itu yang perlu dicari!
Dicari bukan untuk dihancurkan demi kepentingan Sang Ketua ... tapi justru
untuk menghancurkan Sang Ketua, Raja Iblis Pulau Nirwana!
Tentu saja apa yang ada di kepala masing-masing orang bisa diduga oleh Raja
Iblis Pulau Nirwana.
"Kalian jangan berani main golok di depanku!" bentak Raja Iblis Pulau Nirwana
pada enam orang bawahannya. "Jangan dikira aku tidak tahu apa isi otak busuk
kalian! Tiga hari mendatang, ilmu kesaktian yang aku peroleh dari tokoh-tokoh
silat yang berhasil aku tawan akan sempurna ... dan saat itulah ... tidak ada satu
pun yang sanggup mengalahkan aku, Raja Iblis Pulau Nirwana! Bahkan tokoh
yang aku takuti ini hanyalah seorang pecundang! Ha-ha-ha ... !"
Suara tawa kembali terdengar menggema di dalam aula tengah.
"Ketua, orang yang kau takuti itu membekal barang apa" Apakah Ketua bisa
menyebutkannya!?" tanya Pedang Dewa dengan hati-hati. "Dan ... apakah Ketua
mengetahui siapa adanya tokoh ini!?"
"Aku tidak bisa mengetahui dengan jelas," jawab Raja Iblis Pulau Nirwana,
"Semua serba samar-samar. Namun yang jelas, aku melihat sosok harimau putih
belang hijau, seekor ular besar bermahkota warna hitam dan seekor burung
raksasa warna emas menyertainya."
Semua orang tercenung.
"Hemm ... rupanya hanya seorang pawang binatang saja," pikir Tombak Sakti,
"Aku harus bisa mendapatkan benda yang dimiliki orang itu. Dengan adanya
benda sakti itu, aku yakin sanggup membuat Raja Iblis bertekuk lutut di bawah
telapak kakiku."
"Apakah Ketua bisa memberikan gambaran tentang wujud dari benda sakti itu?"
tanya Raja Jarum Sakti Seribu Racun.
"Benda sakti apa!" Lebih tepat kalau disebut benda keparat!" nada suara Raja
Iblis Pulau Nirwana semakin menggema, namun terdengar jelas bahwa dalam
getaran suara terdapat rasa gentar. "Bentuknya ... aku tidak tahu. Itu adalah
tugas kalian semua. Kalian cari sendiri! Pertemuan hari ini, bubar! Aku ingin
melanjutkan pendadaran ilmu saktiku!"
Suasana mendadak senyap.
Sepi. Tidak ada helaan napas atau sesuatu gerakan dalam aula pertemuan.
"Apakah Ketua sudah pergi?" tanya Gada Maut, orang yang paling pendiam
diantara mereka.
Senjata sakti yang diberi nama Gada Raja Langit Empat Sisi dengan empat
rantai sepanjang satu setengah tombak yang bersilangan dibagian tengah,
sehingga untuk menggunakan benda super antik ini harus sedikit mempunyai
tenaga dalam tinggi, dimana masing-masing rantai memiliki bandulan besi
berduri. Belum lagi dengan cara menggunakan Gada Raja Langit Empat Sisi
terletak pada sisi silang empat yang ada ditengah, membuat gada empat sisi ini
akan banyak membawa kesulitan bagi pemiliknya.
Namun bagi Gada Maut, untuk memainkan Gada Raja Langit Empat Sisi seperti
halnya membawa empat karung kerupuk diatas pikulan bambu.
Enteng! "Tampaknya begitu," jawab Ki Wira. "Karang Kiamat, bagaimana menurutmu?"
"Dia benar-benar telah keluar dari ruangan ini," ucap Karang Kiamat. "Lalu ... apa
yang harus kita lakukan?"
"Menuruti perintah Ketua! Apa lagi!?" sahut Ki Wira sambil bangkit berdiri.
--o0o-- Dua sosok bayangan berloncatan di atas genting tanpa menimbulkan suara.
Blass ... ! Tapp! Tapp!
Tanpa tempo lama, keduanya terlihat mendekam sama rata di atas genting,
tepat di sebuah bangunan paling belakang dari lingkungan wilayah Istana Jagat
Abadi. Sosok sebelah kiri yang berbaju biru dengan mata putih terlihat
menggerakkan tangan pulang pergi sambil menunjuk bergantian dirinya dan
sosok baju hijau di depannya, lalu satunya menunjuk ke bawah. (Maksudnya,
"kau tinggal disini dan aku yang masuk ke dalam").
Seolah paham, si baju hijau menggeleng cepat, lalu dia jari telunjuk di jejer satu
sama lain, terus digerakkan bolak-balik, lalu ke dua tangan bergerak seolah
membuka sesustu, diikuti kepala dilongok-longokkan ke depan. (Maksudnya,
"tidak bisa. Kita datang berdua masuk juga harus berdua").
Si baju biru menggeleng-gelengkan kepala. (maksudnya, "tidak bisa").
Si baju hijau justru mengangguk-anggukkan kepala. (maksudnya, "harus bisa").
"Fyuhh ... capek juga ngomong seperti orang bisu," bisik si baju biru.
"Sama," sahut si baju hijau sambil menghela napas. "Pokoknya ... aku harus ikut
masuk ke dalam. Titik!"
"Baik! Tapi kau harus ikut apa kataku," kata si sosok bayangan biru pada
akhirnya. "Aduuhh ... kakang baik, dech." Si sosok baju hijau berbisik sambil menepuknepuk
pipi si baju biru.
"Sudahlah! Jangan main tepuk seenaknya. Memangnya pipiku mirip bantal
apa!?" Tiba-tiba dua sosok baju hijau dan biru semakin merundukkan kepala sambil
menutup mulut. Rupanya dua orang penjaga mendengar suara bisik-bisik dan
keluar dari ruang jaga.
"Apa kau mendengar sesuatu?" tanya yang sebelah kanan yang menggenggam
tombak bergolok.
Satunya yang baru bangun dari tidur-tidur ayam, nampak menguap sebentar.
Tidurnya agak terganggu karena sang kawan menariknya begitu saja saat ia
hampir terlelap.
"Aku tidak mendengar apa-apa. Mungkin kau salah dengar, "kali!" katanya, lagilagi
iamenguap, "Lebih baik kita masuk saja. Udara malam ini dingin sekali."
Penjaga bertombak mengedarkan pandangan, lalu mendongak ke atas.
Tidak ada apa-apa disana.
"Benar juga. Mungkin aku salah dengar!" sahutnya.
"Apa kataku!?"
Keduanya segera beranjak masuk. Namun baru dua langkah, mendadak tubuh
mereka ambruk ke tanah.
Brughh! Ternyata ... keduanya jatuh tertidur!
Tidur saja bisa kompak!
Hebat! Sebenarnya, kedua orang ini tertotok tepat di jalan tidur.
Bersamaan dengan itu pula, dua sosok tubuh melayang turun. Rupanya salah
satu dari sosok ini piawai melancarkan serangan totokan jarak jauh.
"Totokan jarak jauh yang hebat," desis si baju hijau sambil berjongkok meneliti
sesaat. Matanya melihat sesuatu menempel dekat tengkuk. "Benda apa ini?"
Tangannya hendak bergerak menyentuh.
Plakk! Namun sebatang tongkat menyingkirkan tangan si baju hijau.
"Jangan dipegang benda itu, Beda! Kalau kau pegang, kau bakalan menyesal
seumur hidup."
Dengan heran si baju hijau yang ternyata adalah Beda Kumala pun berkata,
"Kenapa" Apa kalau kusentuh mereka akan bangun" Aku sanggup kok
melumpuhkan mereka sekaligus."
"Bukan itu, bukan itu! Sebab ... " ucapan si baju biru, yang tak lain tak bukan Jalu
Samudra, sambil tertawa aneh. "Sebab ... itu adalah kotoran hidungku alias upil.
Hi-hi-hik!"
"Buta brengsek!" maki Beda Kumala, terus bangkit berdiri.
"Sttt ... jangan keras-keras!" bisik Jalu sambil meletakkan jari tangan ke depan
mulut Beda Kumala. "Nanti kita ketahuan."
"Biarin!"
"Ssstt!"
Jalu sekarang malah mendekap mulut Beda Kumala sambil menyeret gadis itu
masuk ke dalam. Dan bersamaan dengan itu juga, kaki kanan Jalu bergerak
menendang. Bukk! Bukk! Dua sosok tubuh penjaga terlempar ke arah semak-semak.
"Kau membunuhnya?" bisik Beda Kumala setelah berada di dalam.
"Tidak. Tapi aku tidak ingin ada orang yang tahu kedatangan kita," kata lirih Jalu
Samudra. "Kita harus segera mencari ruangan tahanan secepatnya."
Keduanya berjalan masuk lebih dalam. Di sudut ruangan, ada sebuah lorong
panjang yang diterangi dengan nyala obor, kesanalah tujuan mereka. Setelah
berjalan sejauh dua tombak, mereka menemukan jalan undak-undakan (tangga
batu) menurun. Jalu Samudra dan Beda Kumala langsung bergerak menuruni tangga batu yang
bentuk berulin seperti sekrup. Entah berapa lama mereka berjalan, tidak ada
yang tahu. Hanya yang pasti, semakin lama hawa semakin pengap dan jumlah
obor semakin jarang.
"Entah sampai kapan kita berjalan seperti ini?" keluh Beda Kumala, " ... atau
jangan-jangan kita salah jalan?"
"Tidak! Kita tidak salah jalan! Aku mendengar banyak hembusan napas berat
sejarak lima tombak di bawah kita," kata Jalu sambil memiring-miringkan
kepalanya. "Namun ... "
"Apa?"
"Suara mereka seperti terhalang sesuatu," kata Jalu Samudra kemudian.
Keduanya terus berjalan turun ke bawah. Dan benar seperti apa kata Jalu,
sejarak lima tombak di depan terdengar suara hembusan napas berat dan
beberapa kali suara erangan kesakitan yang semakin keras, namun suara
ternyata terhalang oleh suatu benda.
Yaitu ... pintu!
Ya, benda apa lagi yang menghalangi suatu ruang dengan ruang lain jika bukan
pintu!" Akan tetapi, pintu bukan sembarang pintu. Sebentuk pintu dari besi baja pilihan
setinggi tiga tombak tanpa ukiran berdiri kokoh.
Tangg! Jalu mengetukkan tongkat hitamnya.
"Hemm ... cukup tebal," desisnya. "tidak ada kuncinya. Terus ... masuknya lewat
mana?" Setelah meneliti sekian lama, tidak ditemukan satu pun lubang kunci, gembok
atau pun rantai pengikat untuk membuka tutup pintu baja.
"Jebol saja. Gitu aja kok repot," katanya kemudian. Pemuda yang dijuluki Si
Pemanah Gadis tampak melakukan ancang-ancang untuk mengerahkan tenaga
sakti untuk menjebol, namun sebuah tangan mulus memegang pundaknya.
"Biar aku saja, Kang."
"Apa kau yakin?" tanya Jalu sambil mengembalikan posisi.
"Kalau tidak dicoba, mana tahu" Betul ngga?"
BAGIAN 22 Tanpa menunggu jawaban dari Jalu Samudra, Beda Kumala berjalan mendekat
sambil memutar dua tangan bolak-balik dengan dada. Begitu sebentuk tenaga
berhawa panas mengalir deras, Beda Kumala yang saat itu mengerahkan jurus
"Dewa Surya Melumerkan Bumi", menghentakkan tangannya ke depan.
Wuss ... wushh ... !!
Jresss ... jress ... !!
Bukannya suara ledakan keras terdengar, tapi justru suara mendidih seperti air
dimasak. Pintu baja yang terkena jurus "Dewa Surya Melumerkan Bumi"
langsung melumer, membentuk bubur besi pada bagian yang tertembus hawa
panas ini. Beda Kumala segera mengulangi dengan jurus yang sama untuk lebih
memperlebar lobang pintu.
Wuss ... wushh ... !!
Jresss ... jress ... !! Jresss ... jress ... !!
Terdengar tiga empat kali suara mendidih yang diikuti dengan melumernya besi
baja. "Menakjubkan! Tidak kukira peningkatan tenaga dalamku setinggi ini," desis
Beda Kumala melihat "hasil perbuatannya". Ia tahu betul, jurus "Dewa Surya
Melumerkan Bumi" yang intinya bersumber pada kekuatan 'Air Panas Tenaga
Surya' tahap tiga paling banter hanya sanggup membuat lubang besi selebar
telapak tangan, itupun membutuhkan waktu lama. Akan tetapi kali ini justru
hanya dengan satu serangan sanggup melobangi pintu besi tebal sebesar
kambing dewasa dalam waktu sekian detik.
"Kita masuk!" kata Jalu.
Baru saja masuk dua langkah, telinga Jalu mendengar suara berdesing.
"Awas! Serangan gelap!"
Jalu segera memutar tongkat hitamnya di depan dada dengan cepat, diikuti Beda
Kumala sendiri yang dengan sigap mencabut pedang dan memutar pedang
membentuk perisai.
Triing! Triing!
Beberapa pisau terbang langsung berpentalan tak tentu arah. Tak berapa lama,
hujan pisau terbang berhenti.
"Hati-hati! Siapa tahu masih ada senjata rahasia di tempat ini," bisik Jalu
Samudra. Kedua berjalan dengan sikap waspada terhadap segala kemungkinan. Namun
sebegitu jauh tidak ada serangan susulan. Setelah berjalan beberapa tombak
jauhnya, mereka menemukan beberapa ruangan, namun semua dalam keadaan
kosong tanpa penghuni. Saat di paling ujung dari semua ruangan yang ada,
pandangan mata mereka melihat sesuatu yang berbeda dengan ruangan
sebelumnya. Sebuah kolam raksasa!
Namun, bukan kolam berpenerangan beberapa obor itu yang membuat mereka
terkejut, tapi adanya puluhan orang yang terbelenggu tangan dan kaki mereka
dengan besi bulat menempel di dinding batu, sedang rantai besar yang
membelenggu kaki, seluruhnya tercelup masuk ke dalam kolam besar. Meski
para tahanan yang adalah para tokoh rimba persilatan dapat duduk, namun
melihat keadaan mereka yang lebih mirip mayat hidup cukup membuat siapa
saja yang melihatnya trenyuh.
Yang mengenaskan, wajah mereka rata-rata putih pucat tanpa daya sedikit pun!
Adanya dua belas nyala di empat sudut ruangan bisa membuat Jalu Samudra
dan Beda Kumala melihat seluruh penghuni ruang tahanan bawah tanah, bahkan
beberapa diantara mereka terlihat bermeditasi menenangkan diri.
Beda Kumala memandang berkeliling, seakan mencari sesuatu. Matanya segera
berhenti mencari saat menatap sosok tubuh perempuan tua dengan baju hijau
kumal berada di sebelah timur. Wajah perempuan tua itu terlihat pucat seperti
mayat. Rambut panjang awut-awutan menutupi sebagian mukanya dengan
tubuh kurus kering kulit terbalut tulang terlihat duduk bersemedi.
Di sampingnya duduk berjejer di kiri kanan dalam keadaan bersemadi dua lakilaki
tua yang masing-masing berbaju ungu lusuh penuh sobekan dan satunya
baju putih lecek.
Beda Kumala setengah berlari diikuti isak tangis keharuan.
"Nyai Guru ... "
Suara nyaring melengking ini membuat kaget semua orang yang ada di tempat
itu. Sebab setahu mereka, hanya suara kasar tanpa ujud saja yang sering
mereka dengar dan si pemilik suara kasar itu pulalah yang sekarang ini membuat
mereka menderita lahir batin.
Tentu saja, suara yang berbeda dari biasanya ini, membuat mereka seolah tidak
percaya! Mereka rata-rata berpikir sama, jangan-jangan ada setan kesasar masuk ke
tempat ini"
Si perempuan tua terlihat membuka mata perlahan, saat itu pula melihat sesosok
tubuh mungil gadis cantik duduk bersimpuh di hadapannya.
"Siapa ... kau ... ?" tanya si nenek terbata-bata.
"Nyai Guru!" kata Beda Kumala sambil memegang tangan kanan si nenek, "Ini
aku ... Beda Kumala! Muridmu yang paling bungsu!"
Kelopak mata nenek tua yang disebut Nyai Guru, yang tak lain adalah Nyi Tirta
Kumala semakin melebar.
"Kau ... Beda Kumala?" tanya Nyi Tirta Kumala, "Kau benar muridku?"
"Benar, Nyai! Ini aku ... muridmu!"
Beda Kumala segera memeluk tubuh kurus gurunya.
Pertemuan guru dan murid ini cukup membuat mereka yang ada di tempat itu
menitikkan air mata. Bahkan beberapa orang diantara sampai menangis tersedusedu
melihat rasa kasih sayang yang ditunjukkan oleh murid bungsu si wanita
tua. "Kau sudah besar sekarang," kata Nyi Tirta Kumala.
"... dan ... cantik jelita," sambung laki-laki tua berbaju putih.
"Kakang Gegap, inilah muridku paling bungsu. Namanya Beda Kumala," kata Nyi


Si Pemanah Gadis Karya Gilang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tirta Kumala pada laki-laki berbaju putih.
Beda Kumala menganggukkan kepala.
"Anda pastilah Ki Gegap Gempita, Ketua Aliran Danau Utara adanya," tebak
Beda Kumala. Si laki-laki tua baju putih mengangguk membenarkan.
Melihat murid bungsunya datang dengan seorang pemuda bertongkat hitam, Nyi
Tirta Kumala bertanya, "Dengan siapa kau datang, Beda?"
Karena rasa gembira, Beda Kumala sampai terlupa beberapa saat pada murid
Dewa Pengemis. "Dia Kakang Jalu. Orang yang membantu kita selama ini, Nyai." ucap Beda
Kumala, lalu menoleh ke arah Jalu Samudra yang berdiri sejarak beberapa
langkah, sambil berkata, "Kakang Jalu, kemarilah."
Jalu Samudra yang dipanggil, segera berjalan mendekat. Ketukan tongkat
hitamnya memecah kesunyian tempat itu. Melihat cara kedatangan Jalu
Samudra dengan mengetuk-ngetukkan tongkat di lantai membuat semua orang
yang ada di tempat itu maklum bahwa pemuda baju biru ternyata bermata buta.
"Apakah kalian berdua juga tertangkap seperti kami semua?" tanya laki-laki
berbaju ungu. "Tidak. Kami sengaja datang kemari untuk membebaskan para tokoh yang di
tempat ini," kata Jalu Samudra.
"Ha-ha-ha! Mimpi kau, anak muda!" tukas laki-laki berbaju ungu. "Si buta yang
mimpi di siang bolong, ha-ha-ha!"
Jalu Samudra hanya tersenyum simpul.
"Jika boleh saya tahu, siapakah andika ini?"
"Dia adalah Ki Harsa Banabatta, Ketua sekaligus pemilik tempat celaka ini!" seru
salah seorang tokoh silat yang berkepala gundul klimis.
"Ooo ... jadi Ketua Istana Jagat Abadi yang dijuluki Si Tangan Golok itu?" tanya
Jalu Samudra, menegaskan.
"Hanya kalian berdua yang ingin membebaskan kami?" tanya Nyi Tirta Kumala,
tanpa mempedulikan ocehan Si Tangan Golok.
"Bukan hanya kami berdua saja. Tapi dengan seluruh murid Aliran Danau Utara
dan perguruan kita, Nyai ... "
" ... mungkin dengan ditambah beberapa puluh tokoh silat ... " tambah Jalu
Samudra. Akhirnya, Beda Kumala menceritakan semua kejadian yang dialami antara Aliran
Danau Utara dengan Perguruan Sastra Kumala sepeninggal gurunya. Semuanya
diceritakan tanpa ada yang dikurangi dan ditambahi, kecuali hubungan mesra
antara dirinya dengan Jalu Samudra yang disembunyikan. Bahkan Jalu Samudra
sendiri menambahkan adanya beberapa tokoh silat yang ikut bergabung dalam
usaha pencarian terhadap para tokoh silat yang hilang secara misterius.
Beberapa tokoh silat yang sudah sekian lama mendekam di tempat itu terbakar
semangatnya mendengar apa yang diceritakan oleh murid bungsu Nyi Tirta
Kumala dan murid Dewi Binal Bertangan Naga.
"Anak muda ... jika benar memang seperti itu apa yang kau katakan pada kami,
kami sangat berterima kasih sekali, akan tetapi ... bagaimana caranya kami
semua dapat keluar dari tempat ini?" kata Ki Harsa Banabatta, masgul. "Kaki dan
tangan kami terbelenggu begini rupa?"
"Biar kuputuskan rantai ini!"
Beda Kumala segera mencabut pedang, menghimpun tiga bagian tenaga
dalamnya dilanjutkan dengan membacok sekuat tenaga.
Trang! Triing! Triing!
Terdengar suara dentingan beradunya logam. Akan tetapi, justru membuat Beda
Kumala terbelalak matanya. Jangankan putus, rantai besar itu tergores pun juga
tidak! "Percuma saja, Cah Ayu! Pedangmu tidak akan mempan!" kata si kepala gundul
klimis. "Biar aku gunakan tenaga penuh," desis Beda Kumala, lalu menghimpun tenaga
hingga sepuluh bagian.
Trang! Triing! Triing! Criing!
Namun hasilnya tetap saja!
Rantai yang membelenggu tetap utuh tanpa cela!
"Sudah kukatakan, tidak ada satu pun senjata yang sanggup memutuskan
Rantai Setan Penghisap Tenaga Bumi Dan Langit dengan cara apa pun," keluh
Ki Harsa Banabatta.
Jalu yang tadi mendengar bahwa Ki Harsa Banabatta, Ketua Istana Jagat Abadi
sekaligus pemilik tempat dimana mereka berada sekarang mengajukan
pertanyaan. "Apakah Aki yang merancang tempat ini?" tanya Jalu Samudra, menyelidik. "Dan
apa itu Rantai Setan Penghisap Tenaga Bumi Dan Langit?"
"Memang ... yang merancang seluruh bangunan di tempat ini adalah aku sendiri,
tapi yang membawa rantai celaka ini adalah Raja Iblis Pulau Nirwana," kata
geram Ki Harsa Banabatta, lalu sambungnya, "Jika aku bisa bebas dari tempat
ini, aku akan adu jiwa dengannya!"
"Lagi-lagi Raja Iblis Pulau Nirwana," pikir Jalu Samudra, "Seperti apa wujud
orang ini" Aku jadi penasaran dibuatnya!"
"Rantai inilah yang membelenggu seluruh kesaktian kami, Jalu. Dan hal ini
secara tidak langsung telah mengkebiri kami semua," kata Ki Gegap Gempita,
Ketua Aliran Danau Utara.
"Dan satu-satunya manusia yang bisa memutus rantai ini hanyalah satu orang,
yaitu pemilik ilmu langka rimba persilatan yang dulunya berjuluk Dewa
Pengemis," ucap Nyi Tirta Kumala. "Padahal semua pendekar persilatan tahu,
bahwa tokoh ini sudah hilang sejak lima ratus tahun lalu, dan setahuku tidak ada
satu pun muridnya yang memiliki ilmu langka itu."
Jalu Samudra berdebar saat mendengar nama gurunya disebut-sebut.
"Dan kau tahu ... itu apa artinya" Artinya rantai celaka ini akan membelenggu
kami sampai ajal datang menjemput!" seru seorang laki-laki berwajah dingin.
"Alias mati dijemput malaikat maut!"
"Kalau tidak dicoba, bagaimana bisa mengetahuinya?" kilah Jalu Samudra, lalu
katanya pada Nyi Tirta Kumala, "Nyai, bagaimana cara melepas rantai ini" Aku
ingin mencobanya."
"Tangan Golok, kau saja yang bicara," sahut Nyi Tirta Kumala.
"Diberitahu pun juga percuma," sahut Ki Harsa Banabatta.
"Hemm ... laki-laki berjuluk Tangan Golok ini selalu memandang rendah orang
lain," kata hati Beda Kumala. "Biar kupancing dia!?"
"Huh, bilang saja tidak tahu! Habis perkara!" kata Beda Kumala.
"Gadis kurang ajar! Tentu saja aku tahu!"
"Apa!?"
"Kau tinggal menyelam ke dalam kolam, dan pukul hancur tepat di bagian tengah
sambungan. Rantai ini bakalan hancur berantakan dan setelah itu ... seluruh
kesaktian kami akan kembali seperti semula!" bentak Si Tangan Golok tanpa
sadar kalau dirinya berhasil dipancing oleh Beda Kumala.
"Ooo ... jadi tinggal menyelam ke kolam ini?" tanya Beda Kumala, sambil
berjalan mendekati kolam.
"Beda Kumala, tunggu!" seru Nyi Tirta Kumala melihat muridnya berniat
menyelam ke dalam kolam raksasa.
"Ada apa Nyai Guru?"
"Beda, aku ingin bertanya padamu satu hal."
"Silahkan, Nyai?"
"Kuat berapa lama kau dalam air?"
"Sekitar sepenanakan nasi."
"Untuk kedalaman berapa tombak?"
"Paling banter sepuluh tombak, Nyai."
"Menurut Si Tangan Golok, kolam ini sedalam tiga puluh tombak lebih."
"Apakah Si Tangan Golok yang membuat kolam ini, Nyai?" tanya Beda Kumala.
"Tidak!" kata Si Tangan Golok, "Ini kolam alam. Bukan buatan tangan manusia."
"Jika begitu, darimana Aki tahu kalau kolam ini dalamnya lebih dari tiga puluh
tombak?" "Bukankah gurumu telah menurunkan jurus "Detak Jantung Penghitung Nyawa?"
Kenapa kau tidak gunakan ilmu itu?" ejek Si Tangan Golok. "Atau jangan-jangan
kau tidak bisa melakukannya?"
Beda Kumala hanya mendengus kesal. Namun ia menuruti apa kata Ketua
Istana Jagat Abadi. Beberapa saat kemudian, suasana berubah hening. Namun
keheningan di pecah oleh suara tercebur suatu benda.
Byuuurr! Mendengar suara benda jatuh, Beda Kumala segera menghentikan pengerahan
ilmunya dan bertanya, "Siapa yang masuk ke dalam kolam?"
"Siapa lagi jika bukan temanmu yang buta itu?" ejek Si Tangan Golok. "Dia salah
jalan dan kecebur ke dalam kolam."
"Celaka! Kakang Jalu!" desis gadis itu yang seketika terkesiap. Lalu berlari ke
dekat kolam dan tanpa banyak pertimbangan langsung ikut terjun ke dalam
kolam! "Beda, jangan!" cegah Nyi Tirta Kumala, namun terlambat!
Byuuurr! Gadis itu langsung terjun menyelam ke dalam kolam!
Baru menyelam tiga tombak lebih, Beda Kumala langsung terperanjat!
"Gila! Tekanan air di tempat ini terlalu besar!" pikirnya, lalu matanya nyalang
memandang berkeliling, "Dimana beradanya Kakang Jalu?"
Beberapa kejap ia mencari, namun ia tidak menemukan sosok pemuda baju biru
yang menyelam lebih dahulu dari dirinya.
"Uhhh ... dadaku rasanya mau meledak," keluhnya dalam hati, "Mana pemuda
itu?" Setelah berputaran beberapa kali dan tidak menemukan sosok pemuda yang
dicarinya, akhirnya Beda Kumala memunculkan diri dari dalam kolam.
Pyarr ... ! Air kolam tersibak saat kepalanya muncul. Diiringi dengan napas terengahengah,
gadis itu berenang ke pinggir.
"Mana pemuda temanmu tadi?" ujar Si Tangan Golok.
Tanpa menjawab sepatah kata pun, murid bungsu Nyi Tirta Kumala berjalan
lunglai dan duduk dekat gurunya. Kepalanya ditundukkan.
"Aku ... tidak menemukannya, Nyai."
"Sudahlah, muridku! Mungkin sudah takdir pemuda itu bahwa ia tewas di tempat
ini," kata Dewi Tangan Api, sambil menjatuhkan raga muridnya ke dalam
pangkuan, "Kita hanya bisa berdoa untuk keselamatannya."
Beda Kumala hanya terdiam sambil memejamkan mata.
Setitik air bening terjatuh dari sudut mata indahnya!
--o0o-- BAGIAN 23 Nun jauh di kedalaman kolam ...
Murid pertama Dewa Pengemis dan Dewi Banal Bertangan Naga menyelam
cepat bagai seekor ikan, mengatur napas pori-pori kulit hingga sanggup berlamalama
di dalam air. Dengan menggunakan salah satu jurus dari "18 Tapak Naga
Penakluk" (Xiang Long Shi Ba Zhang) yang bernama "Ikan Menyusup Ke
Kedalaman" (Yu Yue Yu Yuan) yang bisa dialihfungsikan, si pemuda berbaju biru
menyelam semakin jauh ke kedalaman air. Bagaimana pun juga, ia seorang
pemuda yang sedari kecil akrab dengan laut. Menyelam dan mencari ikan sudah
menjadi kehidupannya meski Jalu Samudra kala itu dilanda kebutaan. Ketika
baru mencapai beberapa tombak, ia mendengar suara benda tercebur. Saat ia
menoleh ke atas, ia melihat sosok baju hijau mengikutinya terjun ke dalam
kolam, namun hanya sebentar saja sosok itu kembali naik ke permukaan.
"Hemm ... Beda Kumala rupanya," pikir si Jalu. " ... dia mengkhawatirkan diriku."
Ketika mencapai kedalaman dua puluhan tombak, tiba-tiba Jalu melihat sesuatu
yang memancarkan cahaya putih temaram di dinding kolam sebelah kanannya.
Cahaya itu membias dari sebuah lorong gelap.
"Hemm ... cahaya apa itu?" pikirnya, "Aneh sekali jika dalam kolam yang gelap
seperti ini ada bagian yang bisa memancarkan cahaya" Di dalam lorong lagi!?"
Namun Jalu mengacuhkan saja, akan tetapi hati kecilnya seakan
mengisyaratkan agar ia mendekat ke dalam lorong bercahaya itu. Sejenak ia
berhenti. "Lihat ngga, ya?" pikirnya. Setelah pikir punya pikir, "Ahh ... lihat sebentar ngga
apa-apalah."
Jalu segera berenang mendekat. Begitu sampai, yang dilihatnya bukanlah lorong
seperti yang dia kira, tapi cuma sebuah cerukan dinding selebar satu kali satu
tombak sedalam sekitar setengah tombak. Dan ternyata yang memancarkan
cahaya putih di dalam cerukan, adalah sebuah benda berbentuk kotak pipih
warna putih kusam.
"Benda apa ini?" pikirnya.
Tangan kanan Jalu bergerak menyentuh benda pipih yang bersandar di dalam
cerukan dinding. Begitu tersentuh tangan, tiba-tiba saja seberkas cahaya putih
terang membentuk gumpalan sinar membersit.
Criiing! Spontan, Jalu bergerak mundur melayang sambil kedua tangan dipalangkan di
depan mata. "Sinar apa ini" Sinau sekali!" kata Jalu dalam hati.
Saat sinar mereda, Jalu menurunkan sepasang tangannya yang tadi digunakan
untuk menghalangi pancaran di depan mata.
Begitu diturunkan, sepasang mata Jalu langsung melotot!
--o0o-- "Beda, kulihat kau begitu mengkhawatirkan pemuda itu," kata Ki Gegap Gempita.
"Apamukah dia?"
"Dia ... dia ... hanya seorang teman yang baik, Aki."
"Hanya teman?"
Gadis itu mengangguk lemah.
"Tidak lebih?" kali ini yang bertanya Nyi Tirta Kumala sambil tersenyum.
"Apa maksud Nyai?"
"Maksudku ... apa kau ada hati dengan Jalu?" tanya Nyi Tirta Kumala lebih
lanjut, tanpa tedeng aling-aling.
Degg! Jantung Beda Kumala berdetak kencang, pikirnya, "Ya! Apakah aku memang
ada hati dengan Kakang Jalu" Dan apakah Kakang Jalu juga merasakan hal
yang sama denganku?" Namun diluarnya, ia berkata lain, "Entahlah, Nyai! Saya
tidak tahu."
"Kenapa kau tidak tahu?" tanya heran Ki Gegap Gempita.
"Saya kenal dengan Kakang Jalu baru beberapa hari," ucap Beda Kumala. "Lagi
pula, menurut penuturan Kakang Jalu, ia sudah beristri. Dan saya pribadi tidak
ingin merusak rumah tangga orang lain."
Ke dua orang tua itu saling pandang satu sama lain.
"Nyai, sebenarnya apa yang terjadi dengan Nyai Guru hingga bisa sampai
berada di tempat celaka ini?" tanya Beda Kumala mengalihkan perhatian.
Sambil membetulkan posisi duduknya, Nyi Tirta Kumala berkata, "Sebelum aku
menjawab, aku ingin bertanya satu hal padamu."
"Silahkan, Nyai Guru."
"Saat ini, bagaimana waktu di luar" Maksudku ... siang atau malam?"
"Malam hari ... mungkin tengah malam," sahut Beda Kumala.
Nenek itu mengangguk pelan.
"Kalau begitu ... kau masih ada kesempatan untuk keluar dari tempat ini,
muridku," tutur Nyi Tirta Kumala, "Tapi sebelum kau pergi, aku akan menjawab
apa yang menjadi pertanyaanmu tadi."
Ki Gegap Gempita dan Nyi Tirta Kumala saling pandang beberapa saat.
"Sebenarnya, keberadaan semua tokoh silat di tempat ini termasuk kami berdua
adalah ulah dari sosok tanpa wujud yang menamakan diri sebagai Raja Iblis
Pulau Nirwana. Tak perlu kami ceritakan bagaimana kami bisa tertangkap,
namun yang jelas, tokoh ini berniat menguras habis semua ilmu-ilmu kesaktian
para tokoh rimba persilatan."
"Apa!?" seru Beda Kumala, kaget.
"Benar, Beda! Kau lihat rantai keparat ini ... " kata Ki Gegap Gempita, " ... rantai
bernama Rantai Setan Penghisap Tenaga Bumi Dan Langit inilah yang
menyedot kesaktian kami semua. Dan kau tahu kenapa gurumu tadi bertanya
tentang waktu?"
Beda Kumala menggeleng lemah.
"Karena hanya di pagi hari saja, Raja Iblis itu datang kemari dan menyedot
seluruh kesaktian kami semua," tutur Ki Gegap Gempita. "Semua! Tanpa
tersisa!" Kembali Beda Kumala tercekat. Tidak terbersit dalam pikirannya bahwa Rantai
Setan Penghisap Tenaga Bumi Dan Langit yang sulit diputus dengan senjata
apapun ini adalah pangkal bahala bagi insan persilatan!
"Namun, anehnya ... di siang hari hingga tengah malam, tenaga sakti kami
secara berangsur pulih hingga lima bagian dan mendekati pagi hari, justru pulih
sepuluh bagian," kali ini yang berkata justru Si Tangan Golok.
"Eh, kenapa bisa begitu?"
"Aku sendiri tidak tahu, dan aku yakin semua orang yang ada disini juga tidak


Si Pemanah Gadis Karya Gilang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengetahuinya," jawab Ki Harsa Banabatta.
Beda Kumala berpikir keras, "Jika setiap hari disedot tenaga dalamnya, dan
setiap hari pula tenaga dalam itu kembali secara aneh, entah sekarang ini
seberapa tinggi kesaktian Raja Iblis Pulau Nirwana jika melakukan hal itu hampir
lebih dari satu setengah tahun. Dan itu artinya ... ia sudah menjadi tokoh sakti
tanpa tanding di jagat persilatan!"
"Itulah sebabnya tadi kukatakan jika rantai keparat ini putus, maka kesaktian
kami akan kembali seperti sedia kala ... " lanjut Si Tangan Golok. " ... meski
harus menunggu hingga pagi hari."
--o0o-- "Selamat berjumpa, muridku," kata sosok laki-laki tampan bertubuh tinggi tegap.
Di hadapan Jalu Samudra, terlihat sosok laki-laki dengan raut muka lembut,
tatapan mata teduh penuh welas asih, berdiri menggendong tangan di belakang
punggung. Disebelahnya berdiri sesosok perempuan cantik jelita dengan pesona
kecantikan tersendiri, tidak seperti kerupawanan gadis-gadis tanah Jawa pada
umumnya, sekilas mirip dengan wajah orang-orang dari negeri seberang laut
yang bernama Daratan Tiongkok. Sepasang mata sipit dengan posisi alis
melengkung tipis di atasnya. Belum lagi dengan postur tubuh tinggi semampai
dan berkulit kuning pucat terbalut pakaian kuning gading dalam bentuk dan cara
memakainya cukup aneh di mata Jalu.
Ke dua sosok yang datang secara gaib ini terlihat melayang-layang,
mengambang di atas air.
Saat Jalu hendak membuka mulut, air segera memasuki kerongkongannya
hingga membuatnya tersedak.
Blubb ... blubb!
"Aduhh ... aku lupa kalau di dalam air," pikirnya, "Bagaimana harus menjawab,
nih" ... ah, ada akal!"
Tubuh Jalu Samudra yang juga mengambang di dalam air membuat gerakan
membungkuk sedikit, setelah itu ke dua tangannya membuat gerakan aneh di
depan dada, tunjuk sana-tunjuk sini.
Kedua sosok di hadapan Jalu hanya tertawa tanpa suara.
"Istriku, berikan ilmumu pada murid kita ini," pinta si laki-laki. "Biar kita bisa
bercakap-cakap sebentar dengan leluasa."
"Baiklah, suamiku," sahut si wanita berbaju kuning gading, "Terima ini, muridku."
Jari kanan si wanita menjentik pelan.
Ctik! Seleret cahaya putih bening melesat cepat membelah air.
Plass! Jalu tersentak kaget diserang mendadak begitu rupa, namun belum lagi ia
menghindar atau memang tidak sempat menghindar saking cepatnya serangan
si wanita berbaju kuning gading, cahaya putih bening langsung menabrak tengah
dada. Blashh! Jalu Samudra tersentak kaget, namun hanya beberapa kejap saja. Tangannya
segera meraba tengah dada, bahkan secara tidak sadar ia bergumam, "Lho, kok
tidak ada luka?"
Saat itulah ia baru menyadari sesuatu.
"Aku bisa bicara dalam air?" katanya dengan heran. "Mana mungkin"!"
"Kau tidak perlu heran, muridku!" tutur si laki-laki, "Barusan istriku memberikan
Ilmu "Napas Ikan Gajah" padamu. Dengan ilmu itu, kau bisa berada dalam air
berhari-hari bahkan berbulan-bulan lamanya."
(Ket : ikan gajah maksudnya adalah ikan paus, jaman dulu istilahnya masih ikan
gajah karena bentuknya yang besar seperti gajah).
Jalu merasa heran sekali. Dari awal ia memang sudah punya dugaan tentang
siapa adanya dua orang yang memiliki pancaran wibawa kuat di depannya ini. Di
dunia ini, Jalu memang memiliki dua pasang guru. Yang pertama pasangan
Tombak Utara Tongkat Selatan yang telah merawatnya sejak kecil dan yang
kedua adalah Dewa Pengemis dan Dewi Binal Bertangan Naga, sepasang tokoh
pendekar dari Aliran Pengemis yang telah hidup ratusan tahun silam. Jika
Tombak Utara Tongkat Selatan jelas tidak mungkin karena keduanya telah
meninggal dunia dalam usia tua, demikian pula dengan Dewa Pengemis dan
Dewi Binal Bertangan Naga yang sudah meninggal ratusan tahun silam.
Dan kemungkinan kedua hanyalah dua orang yang berdiri di hadapannya adalah
sosok roh gaib!
"Guru berdua adalah ... "
"Seperti yang ada di dalam pikiranmu, muridku," ucap si wanita. "Aku adalah
Dewi Binal Bertangan Naga dan ini suamiku, si Dewa Pengemis adanya."
Jalu Samudra alias Si Pemanah Gadis segera menjura dengan hormat.
"Heran, biasanya aku bisa bicara seenaknya. Namun di hadapan ke dua guruku
ini, entah mengapa aku menjadi segan dan sulit sekali mengatakan sesuatu,"
kata hati Jalu Samudra.
"Muridku, kau tidak perlu heran dengan kehadiran kami di tempat ini. Jika Yang
Maha Kuasa berkehendak, apa pun bisa terjadi," tutur Dewa Pengemis
melayang mendekat, lalu tangan kanannya membelai lembut rambut Jalu.
"Namun, waktu kami berdua tidak banyak."
"Lalu ... maksud kedatangan guru berdua?"
"Kami masih memiliki satu jenis ilmu yang tidak terdapat dalam dua kitab yang
kami tulis sebelumnya, dikarenakan kami keburu dipanggil Yang Maha Kuasa,"
kata Dewi Binal Bertangan Naga, sambungnya, "Di alam sana, hidup kami tidak
tenang, muridku. Seperti ada sesuatu yang mengganjal dalam perjalanan kami
menghadap Maha Yang Kuasa. Dan hal itu berlangsung selama lima ratus
tahun, hingga akhirnya kau dan istrimu Kumala Rani menemukan dua kitab milik
kami dan mempelajarinya hingga tuntas. Saat itulah sebagian dari beban hidup
kami terkurangi."
Sebagai murid yang baik, Jalu Samudra diam mendengarkan setiap wejangan ke
dua gurunya. "Meski demikian, ada sejenis ilmu yang belum sempat kami wariskan pada kalian
berdua," ujar si Dewa Pengemis.
"Menurut saya pribadi, apa yang Guru berikan pada kami berdua lebih dari
cukup, bahkan mungkin terlalu berlebihan untuk ukuran kami," tutur Jalu
Samudra, "Dan pribadi serta mewakili Nimas Rani, kami berdua mengucapkan
beribu-ribu terima kasih."
Ke dua sosok itu saling pandang sejenak, lalu sama-sama mengangguk.
"Tidak, Jalu! Kami berdua bukan guru yang pelit, yang menyembunyikan
sebagian ilmunya untuk di simpan sendiri. Bagi kami, setiap ilmu harus bisa
bermanfaat bagi diri sendiri dan orang banyak," sahut Dewa Pengemis,
sambungnya, "Walau ilmu terakhir ini tidak sehebat dan sedahsyat ilmu
kesaktian yang ada dalam Kitab Dewa Dewi dan Kitab Kembang Perawan,
namun kami yakin ilmu ini akan banyak berguna bagi orang-orang di atas sana."
"Nah muridku, bersediakah kau menerima ilmu terakhir kami?" tanya Dewi Binal
Bertangan Naga.
Biasanya, seorang guru selalu memberikan begitu saja setiap ilmu yang ia miliki
pada muridnya tanpa bertanya. Tidak peduli apakah muridnya suka dengan ilmu
itu atau tidak. Namun, bagi tokoh puncak Aliran Pengemis masa ratusan tahun
silam ini, hal itu tidak berlaku. Bagi mereka, keikhlasan sang murid yang
menimba ilmu dan guru yang mengajarkan ilmu berada pada urutan teratas,
sebab menurut pasangan suami istri ini, percuma saja memiliki segudang ilmu
jika faktor keikhlasan kedua belah pihak terabaikan!
"Dengan senang hati, Guru," sahut Jalu Samudra dengan hormat.
"Kau tidak bertanya ilmu apa?"
"Saya rasa tidak perlu saya bertanya mengenai ilmu terakhir ini, Guru," jawab
Jalu tegas. "Katakan alasanmu, muridku," tanya Dewa Pengemis.
"Saya pribadi yakin, bahwa tidak mungkin seorang guru akan menjerumuskan
muridnya ke lembah kenistaan. Sebab jika hal itu terjadi, sama saja dengan
mencoreng arang ke wajah guru yang bersangkutan," papar Jalu Samudra.
Kembali Dewa Pengemis dan Dewi Binal Bertangan Naga tersenyum.
"Darimana kau memiliki keyakinan seperti itu, Jalu?" tanya Dewi Binal Bertangan
Naga. "Hati kecil saya yang mengatakan begitu," jawab Jalu Samudra. "Semoga tidak
mengecewakan guru berdua."
"Bagus ... bagus!" kata Dewa Pengemis sambil menepuk lembut pundak kiri
muridnya. "Aku senang dengan pendapatmu."
"Oh ya, muridku. Apakah kau membawa serta kalung medali yang ada dalam
kotak hitam?" tanya Dewa Pengemis.
"Maksud guru lempengan besi hitam segi delapan dengan ukiran naga, rajawali
dan harimau itu?"
"Benar."
"Saya selalu membawanya, Guru!" jawab Jalu Samudra. "Sesuai yang tertulis
pada lembar akhir Kitab Dewa Dewi."
"Bagus! Kau bawalah terus Medali Tiga Dewa, jangan pernah kau lepaskan atau
kau berikan pada siapa pun juga," kata Dewa Pengemis lebih lanjut, "Sekarang
... mendekatlah kemari."
Jalu bergerak mendekat.
"Pejamkan matamu."
BAGIAN 24 Jalu Samudra segera memejamkan matanya. Begitu mata terpejam, di dalam
alam pikirannya terlihat serangkaian gerakan tangan dan kaki dengan titik-titik
merah yang saling berurutan. Ada yang dalam satu sesi hanya terlihat pancaran
titik merah sejumlah satu, ada yang dua akan tetapi jumlah terbanyak sejumlah
sembilan titik merah dari atas kepala hingga kaki. Tergambar dengan jelas di
alam pikiran Jalu, siluet tubuh yang menggambarkan posisi-posisi gerak dan
penggunaan aliran tenaga dalam melewati titik-titik merah.
Jalu sendiri merasa heran, sebab sosok tubuh yang ada dalam pikirannya adalah
... sosok dirinya!
Dan ia lebih heran lagi, seolah ia sendiri bisa mengetahui ke bagian mana dari
titik-titik merah akan berujung dan bagaimana daya guna dari siluet tubuh
dirinya, seolah-olah ia memang telah menguasai daya guna itu sebelumnya.
Ketika sosok bayangan dirinya menghilang, Jalu segera membuka matanya.
"Itulah ilmu terakhir kami Jalu," ucap Dewa Pengemis, "Kau sudah
memahaminya?"
"Walau tidak pernah belajar, namun saya seakan mampu menguasai setiap
jengkal dari sosok siluet yang ada dalam alam pikiran saya," tutur Jalu Samudra,
"Dan anehnya lagi ... sepertinya, saya merasa sudah lama memiliki ilmu itu,
Guru." "Kau benar-benar murid kami yang cerdas, Jalu."
"Jika boleh saya tahu, sebenarnya ilmu apa yang telah guru berdua berikan pada
saya." "Ilmu ini adalah ilmu pengobatan yang bernama Ilmu "Tapak Sembilan". Sesuai
dengan namanya ilmu ini memiliki sembilan kegunaan. Beberapa diantaranya
adalah bisa menyambung tulang dan daging yang terputus, bahkan sanggup
memulihkan dan membuyarkan tenaga sakti separah apa pun," tutur Dewi Binal
Bertangan Naga, "Untuk manfaat lain, kau bisa mengetahuinya sendiri."
"Terima kasih atas limpahan ilmu yang Guru berdua berikan pada saya," kata
Jalu Samudra. "Sama-sama, muridku."
"Cuma satu pesanku, kau boleh mengajarkan ilmu ini pada anak keturunanmu,
dengan catatan : tanpa menggunakan paksaan. Keduanya harus ikhlas antara
yang menimba dan mengajarkan. Bahkan pada siapa pun yang kau inginkan
asal untuk kebaikan."
"Pesan Guru akan saya junjung tinggi," kata Jalu Samudra. "Lalu ... bagaimana
dengan ilmu-ilmu yang lain Guru?"
"Sebenarnya ... semua ilmu kami bisa dipelajari oleh semua orang. Hanya saja,
bisa atau tidaknya tergantung dari jodoh dan keberuntungan masing-masing,"
tutur Dewa Pengemis pada muridnya. "Kau paham?"
"Jalu, kami memiliki sebuah kitab terakhir, dimana kitab ini mau kau pelajari atau
kau berikan pada orang lain, semua terserah padamu," kata Dewi Binal
Bertangan Naga, lalu tangan kiri bergerak menarik ke arah benda pipih yang
bersandar di dalam cerukan dinding. Seperti ada kekuatan gaib, benda pipih itu
tersedot keluar dari cerukan, melayang pelan, lalu mengarah pada Jalu yang
langsung menerimanya dengan kedua tangan.
Plekk! Benda pipih besar itu terasa ringan di tangan Jalu Samudra.
"Kitab itu hanya bisa dipelajari oleh orang yang memiliki tenaga dalam tinggi,
atau setidaknya mempunyai ilmu atau tenaga unik berserabut," tutur Dewi Binal
Bertangan Naga. "Meski demikian, kitab itu memiliki satu kelemahan."
"Apakah itu, Guru?"
"Kitab ini ... akan hancur setelah berada di luar kedalaman air dua puluh tombak
dalam waktu satu kentongan!"
"Benarkah!?"
"Menurut kakakku, memang seperti itulah adanya," ucap Dewa Pengemis. "Jadi
... apakah ingin kau pelajari atau tidak, semua kuserahkan padamu."
"Nah, muridku! Waktu kami berdua semakin menipis. Jaga dirimu baik-baik," kata
Dewi Binal Bertangan Naga, lalu sosoknya mengabur, "Sampaikan salam kami
untuk Kumala Rani."
"Satu lagi! Aku tahu kau sedang membantu para tokoh yang terbelenggu rantai
ini. Untuk menghancurkan Rantai Setan Penghisap Tenaga Bumi Dan Langit,
gunakan tingkat sembilan dari "Tenaga Sakti Kilat Matahari", muridku," kata
Dewa Pengemis dalam sosok samar.
Akhirnya, bersamaan dengan hilangnya suara sang guru, lenyap pula sosok gaib
Dewa Pengemis dan Dewi Binal Bertangan Naga dari hadapan Si Pemanah
Gadis. "Terima kasih guru berdua. Semoga perjalanan guru berdua tidak ada halangan
lagi," desis Jalu Samudra. Setelah termenung beberapa saat, ia berkata,
"Sebuah pengalaman yang unik. Nimas Rani pasti tidak percaya kalau aku
ceritakan semuanya. Sudahlah! Lebih baik aku lanjutkan tugasku." Lalu
pandangannya beralih pada benda pipih di tangan kirinya, katanya, "Dan perkara
kitab ini, lebih baik kuberikan saja pada Beda Kumala, siapa tahu dengan
adanya lonjakan tenaga saktinya kemarin bisa mempelajari ilmu dalam kitab ini
dengan sempurna."
Jalu Samudra segera menyelam lebih dalam lagi. Jika sebelumnya ia
menggunakan napas pori-pori kulit, kini ia justru berani menggunakan napas
hidung. "Wah ... Ilmu "Napas Ikan Gajah" benar-benar ciamik!" kata Jalu, sambil main
gelembung udara lewat hidung dan mulut, lalu sambungnya, " ... atau janganjangan
diriku malah keturunan ikan, nih?"
--o0o-- Di dalam penjara bawah tanah ...
"Begitulah, Beda!" kata Ki Gegap Gempita, "Sebisa mungkin kau segera keluar
dari tempat ini. Kami tidak ingin kau mengalami nasib celaka seperti halnya
kami-kami yang ada disini."
"Dan kau perlu memberi tahu pada tokoh persilatan tentang ancaman yang
ditimbulkan oleh Raja Iblis Pulau Nirwana," kata Dewi Tangan Api, sambungnya,
"Bergegaslah sebelum terlambat! Semakin cepat semakin baik!?"
Beda Kumala bingung.
Benar-benar bingung!
Di satu sisi, ia begitu mengkhawatirkan Jalu Samudra yang tercebur ke dalam
kolam dan ia sudah berkeyakinan apa pun yang terjadi, ia akan menunggu Jalu
meski yang keluar hanya sesosok mayat beku. Di sisi lain, ia perlu
memberitahukan perihal Raja Iblis Pulau Nirwana yang telah menyekap dan
menawan tokoh-tokoh silat di penjara bawah tanah Istana Jagat Abadi.
"Cepat! Tunggu apa lagi?" desak kata si kepala gundul klimis, lalu ia
mengangsurkan sebuah kotak kecil pada gadis itu, "Jika diluar sana kau bertemu
dengan orang bernama Jalak Siluman, berikan benda ini padanya."
"Tapi paman ... "
"Aku percaya padamu, Cah Ayu! Tidak mungkin murid Perguruan Sastra Kumala
seorang pengecut busuk yang menginginkan barang tak berharga milik orang
lain, bukan"!"
"Jalak Hutan!" bentak Nyi Tirta Kumala, "Kau berani berkicau tak karuan pada
muridku di depan gurunya, hah!?"
Si kepala gundul klimis yang dipanggil Jalak Hutan hanya menyeringai saja.
"Aduuhh ... bagaimana, nih?" gerutu Beda Kumala.
"Beda! Terima saja benda busuk itu," kata Nyi Tirta Kumala, lalu sambungnya,
"Antar ke Perkumpulan Titian Langit, dan bilang pada anaknya si Jalak Siluman
itu kalau bapaknya yang bau tanah sebentar lagi mau modar!"
"Dasar nenek bawel!"
"Botak sinting!"
"Nenek peot muka codot!"
"Sudah ... sudah ... " lerai Ketua Aliran Danau Utara, "Kalian ini selalu saja
berkelahi. Apa tidak malu sama yang muda-muda!"


Si Pemanah Gadis Karya Gilang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Jalak Hutan dan Nyi Tirta Kumala saling mendengus, lalu satu sama lain saling
melengos. "Baiklah ... kuterima," kata Beda Kumala. "Tapi dengan catatan, kalau ketemu
dengan Jalak Siluman, benda ini akan kuberikan padanya. Kalau tidak ... ya
menunggu kalau pas ketemu."
"Begitu juga boleh."
Tangannya terulur maju.
Belum lagi menyentuh benda yang diberikan Jalak Hutan, tiba-tiba saja dari
dalam kolam menyeruak sinar terang.
Crakkk ... crakkk ... !!
Dari dalam kolam tiba-tiba memancar keluar percikan-percikan bunga api warnawarni
seperti kilat yang berloncatan. Fenomena ini cukup mengejutkan semua
orang yang ada di dalam ruangan tahanan bawah tanah.
Bahkan Beda Kumala sendiri, langsung berlari mendekat ke arah tepi kolam.
"Apa yang kau lihat disana, Beda?" tanya Dewi Tangan Api dari tempat
duduknya. "Aku tidak tahu, Nyai Guru! Hanya saja di bawah sana, di kedalaman kolam
terlihat sembilan cahaya warna-warni membentuk gumpalan bola cahaya besar,"
terang Beda Kumala. "Dan kelihatannya semakin naik ke atas."
Tentu saja ucapan tak masuk akal ini sangat mengejutkan semua orang yang
ada di tempat itu, termasuk pula Nyi Tirta Kumala dan Ki Gegap Gempita yang
saling pandang.
"Mana ada dalam kolam gelap gulita bisa muncul cahaya terang sembilan
warna?" "Memangnya ada api yang bisa menyala dalam air" Bah!"
"Yang benar saja?"
Gerutuan beberapa tokoh persilatan terdengar di sana-sini.
"Apakah pikiranmu sama dengan apa yang aku pikirkan?" tanya Ki Gegap
Gempita. "Katakan apa yang ada dalam benakmu," sahut Nyi Tirta Kumala.
"Pikiranku adalah ilmu kesaktian langka milik Dewa Pengemis telah muncul
kembali di rimba persilatan ... " desis Ki Gegap Gempita. " ... Ilmu "Tenaga Sakti
Kilat Matahari"!"
Semua orang terkejut mendengarnya. Ada yang percaya, setengah percaya, tiga
perempat percaya bahkan ada yang tidak percaya!
"Apa yang ada dalam benakmu sama dengan apa yang ada dalam otakku,
Kakang." "Seperti itukah yang kau maksud dengan ilmu langka nan legendaris itu?" tanya
Jalak Hutan dengan nada kurang percaya. "Mungkin hanya bias sinar matahari
saja." "Sejak kapan tempat ini bisa disinari cahaya matahari?" seru seorang laki-laki
dengan rambut awut-awutan.
Tanpa mempedulikan ocehan Jalak Hutan, Ki Gegap Gempita terus memandang
di bagian atas kolam.
"Benar!" sahut Ki Gegap Gempita, dengan mata tidak beralih dari pancaran
sembilan warna yang menyeruak dari dalam kolam. "Tidak salah lagi."
"Tapi ... siapa yang menguasai ilmu itu sekarang?" tanya Ki Harsa Banabatta, si
Tangan Golok. Belum lagi pertanyaannya terjawab, semua orang yang ada di tempat itu
merasakan rantai yang membelenggu mereka terasa sedikit hangat memanas.
"Aneh, kenapa tiba-tiba rantai keparat ini menjadi hangat?" gumam Jalak Hutan.
Semua orang merasakan hal yang sama.
"Satu-satunya manusia yang masuk ke dalam kolam hanya Jalu saja," tutur Nyi
Tirta Kumala, "Apakah mungkin dia orangnya yang berhasil menguasai ilmu itu?"
"Tapi ... apakah mungkin ada manusia sanggup bertahan sebegitu lama berada
dalam air dengan tekanan yang begitu besar?" timpal si Tangan Golok. "Jika
kuhitung, sudah lebih dari satu kentongan berjalan. Jika benar, tentu ia pemuda
yang sakti mandraguna!"
"Yang namanya kemungkinan memang ada," ucap Jalak Hutan sambil
mengucap kepala klimisnya. "Tapi kalau bocah semuda itu sanggup melakukan
apa yang kau katakan tadi ... jelas mengada-ada namanya."
"Ada atau mengada-ada ... kita lihat saja hasilnya," desis Nyi Tirta Kumala.
Sementara itu, pancaran sembilan warna semakin lama semakin terang dan
akhirnya ... Blushhh ... ! Dari bawah air, pelan namun pasti menyembul keluar sebongkah bola raksasa
sebesar lebar kolam.
Blashh ... ! Dalam waktu satu sedotan napas, bola cahaya memancarkan sinarnya
menerangi seantero ruangan, memecah dan sinarnya menyebar ke segala arah,
membuat semua orang yang ada di tempat itu memicingkan mata, bahkan ada
yang sampai membalikkan badan.
Bersamaan dengan itu pula, seluruh ruangan bagai dilanda gempa bumi.
Grhhh ... ggreeehh ... !
"Ada apa ini?"
"Wuaaa ... gempa bumi!"
"Mati aku!"
"Awas ... atap runtuh!"
Suara-suara terdengar di sana-sini. Namun, gempa hanya sesaat saja terjadi.
Begitu gempa bumi berhenti, dari dalam kolam terdengar suara gemuruh keras,
seperti ada sejenis makhluk raksasa yang terbebas dari penjara besi, seperti
pekikan keras seekor naga air yang terbangun dari tidur panjang, diikuti dengan
sambaran kilat sembilan warna membentuk hawa naga dengan mulut terbuka
lebar melesat keluar mengarah ke langit-langit.
"Hroaagghhh ... !"
Blammm ... ! Blamm ... !
Semua orang yang terpana dengan yang terjadi di depan mata mereka, suasana
sontak bagai dicekam sebentuk hawa menakutkan disertai dentuman keras dan
air semburat ke mana-mana.
Pyarr ... pyarr ... !
Begitu naga air menghilang, dan air meluruh kembali ke dalam kolam, dari atas
langit-langit terlihat melayang turun sosok pemuda baju biru dengan tangan kiri
memegang benda putih besar sedang tangan kanan memegang tongkat hitam.
Jlegg! Semua orang terpana. Dalam hati masing-masing berkata, benarkah pemuda
buta ini pewaris ilmu-ilmu sakti Dewa Pengemis, tokoh sakti masa silam yang
paling diperhitungkan tindak-tanduknya"
Jika memang benar, betapa beruntungnya dia!
"Kakang Jaluuu ... !"
Beda Kumala langsung berlari menyongsong Jalu Samudra. Tanpa malu-malu di
hadapan banyak orang, murid bungsu Nyi Tirta Kumala memeluk erat Si
Pemanah Gadis. "Hu ... hu ... huk ... !"
"Sudah ... sudah ... jangan nangis! Cup, cup, cup!" kata Jalu sambil menepuknepuk
punggung Beda Kumala, "Malu diliat orang"!"
"Biarin!"
Sambil masih dipeluk Beda Kumala, Jalu Samudra berseru, "Saudara-saudara,
cepat putuskan rantai yang membelenggu kalian. Waktu kita tidak banyak!"
Mendengar hal ini, semua orang meragu. Namun begitu, ada juga yang
mencobanya dengan menggunakan tenaga dalam yang mereka tersisa.
Crakk! Klaang! Rantai yang dulunya sulit putus, kini bisa patah menjadi dua!
Melihat kawan-kawannya bisa memutuskan Rantai Setan Penghisap Tenaga
Bumi Dan Langit, membuat semua tokoh silat yang ada dalam tahanan meniru
perbuatan kawan-kawan mereka.
Crakk! Crakk! Crakk!
Klaang! Klaang! Klaang!
BAGIAN 25 Suasana dalam ruangan bawah tanah kini ramai dengan suara patahnya besi
serta ayunan senjata tajam diikuti dengan riuh rendah sorak-sorai kegembiraan
karena telah terbebas dari belenggu rantai yang selama ini mengekang
kebebasan mereka.
Sementara itu, Beda Kumala sudah melepaskan pelukannya pada Jalu
Samudra, karena beberapa tokoh silat yang telah bebas menghampiri pemuda
murid Dewa Pengemis ini. Tentu saja gadis ini malu bila menjadi tontonan.
"Anak muda bernama Jalu, kami tidak tahu harus mengucapkan apa, tapi
terimalah rasa hormat kami," kata seorang kakek yang membawa sebatang
tongkat besi, lalu duduk bertekuk lutut. Dan hal itu diikuti dengan beberapa orang
yang lain. Beberapa tokoh aliran hitam, mereka hanya mendengus saja, meski dalam hati
mengakui bahwa tanpa adanya pemuda itu sulit sekali mereka bisa lolos dari
penjara bawah tanah dari libatan Rantai Setan Penghisap Tenaga Bumi Dan
Langit milik Raja Iblis Pulau Nirwana. Jalu Samudra segera membangunkan
kakek yang membawa sebatang tongkat besi yang berlutut di hadapannya,
diikuti dengan yang lain.
"Sudahlah, Paman! Saling tolong menolong sesama manusia adalah kewajiban
kita bersama," tandas Jalu Samudra. Lalu sambil memutar badan, Jalu berkata,
"Mohon para sahabat segera bersemadi mengatur hawa murni. Kemungkinan
besar kita keluar dari sini dengan membuka jalan darah."
Semua orang yang ada di tempat itu tersentak!
"Benar! Kita harus keluar dari neraka ini! Apa pun caranya!?"
"Akuurr!"
"Kalau perlu, kita habisi semua orang yang menghalangi kita!"
"Ya! Ya ... betul!"
Semua orang segera duduk bersila mengatur jalan darah dan hawa murni
masing-masing. Bahkan Nyi Tirta Kumala dan Ki Gegap Gempita saling beradu
telapak untuk saling membantu mengalirkan hawa murni masing-masing.
Selagi semua orang tenggelam dalam semadi, Jalu berkata pada Beda Kumala,
"Beda, lebih baik kau pelajari ini."
Jalu Samudra mengangsurkan kitab besar di tangannya pada gadis itu. Saat
gadis itu ingin membuka suara, jari telunjuk kanan Jalu menempel di bibir merah
si gadis, katanya, "Tidak perlu bertanya! Cepat pelajari!"
Beda Kumala menelan suaranya, lalu berjalan ke pinggir kolam, duduk disana
sambil membuka kitab besar di tangannya. Disampingnya duduk Jalu Samudra,
sambil matanya mengawasi keadaan di sekelilingnya.
Pada lembar pertama, tertulis : Ilmu "Kepompong Ulat Sutera Perak"!
"Hemm ... Ilmu "Kepompong Ulat Sutera Perak"!?" pikir Beda Kumala, "Dari mana
Kakang Jalu dapat kitab seperti ini" Nanti saja aku tanyakan!"
Ilmu "Kepompong Ulat Sutera Perak" adalah sejenis ilmu silat dan tenaga sakti
yang digabung menjadi satu. Inti dari ilmu adalah persis seperti seekor ulat
sutera menjadi dewasa. Dimana diawali dengan asal muasalnya dari sebentuk
kepompong yang perlahan-lahan berubah menjadi ulat sutera. Dan luar
biasanya, Beda Kumala justru telah melampaui tahap menjadi kepompong dan
ibaratnya sekarang menjadi ulat sutera dewasa. Ilmu ini terdiri dari sepuluh jurus,
dimana setiap jurusnya justru berdiri sendiri. Tidak seperti ilmu silat pada
umumnya, yang dari satu jurus ke jurus berikutnya masih saling terkait.
"Beda, kau hapalkan dulu saja," bisik Jalu Samudra.
Beda Kumala yang tenggelam dalam konsentrasi seolah tidak mendengar, terus
saja membuka lembar demi lembar hingga pada lembar ke sepuluh. Beberapa
saat kemudian, Beda Kumala memejamkan mata sambil mulut berkomat-kamit.
Tak lama kemudian gadis itu membuka mata. Sinarnya begitu tajam menusuk.
Blusshh! Kitab besar di tangan Beda Kumala tiba-tiba menyerpih, serpihan kitab jatuh ke
dalam kolam. Gadis itu kaget bukan alang kepalang, sehingga tanpa sadar ia
terpekik! "Aaah ... " pekiknya, "Apa ... apa yang terjadi?"
Plungg! Kembali terjadi keajaiban!
Di saat menyentuh air, serpihan kitab kembali menyatu utuh membentuk sebuah
kitab putih besar, melayang turun perlahan ke bawah. Semakin lama semakin
mengecil dan akhirnya hilang dari pandangan mata.
"Kitab itu telah kembali ke asalnya," desis Si Pemanah Gadis. Lalu ia menoleh
pada gadis di sebelahnya, "Kau berhasil mengingat semuanya?"
"Semuanya aku ingat disini," kata Beda Kumala sambil mengetuk pelan dahinya.
"Bagus! Kau telah berhasil menguasai teori Ilmu "Kepompong Ulat Sutera
Perak"!" kata Jalu Samudra.
"Teori?" tanya Beda Kumala heran, "Tidak, Kang! Aku sepertinya sanggup
menggunakan ilmu baruku ini kapan pun aku mau!"
"Ahh ... yang benar?" tanya Jalu dengan nada setengah percaya.
"Betul alias tidak salah."
"Jika begitu adanya, kau tetap perlu melatih ilmu barumu ... " ucap Jalu Samudra
menandaskan, " ... meski hanya satu kali."
Beda Kumala mengangguk.
"Bagaimana kalau sekarang saja, mumpung semua yang ada di tempat ini
sedang tenggelam dalam alam semadi," usul Beda Kumala.
"Apa tidak mengganggu orang yang ada di tempat ini" Nanti kalau ada suara
ledakan, gimana?"
"Tenang saja! Kalau cuma melatih gerak jurus tanpa tenaga dalam, tak ada
salahnya dicoba, bukan?"
"Ide cemerlang!" sahut Jalu Samudra sambil mengacungkan jempol. "Apa perlu
teman bertanding?"
"Sementara ini ... belum dulu saja."
Segera saja Beda Kumala melakukan gerak awal dari Ilmu "Kepompong Ulat
Sutera Perak" dimana posisi kedua kaki sedikit merapat, hanya sejarak tiga jari.
tangan kanan ditekuk terulur dengan dua jari telunjuk dan tengah terpentang,
tiga jari lainnya di tekuk ke dalam. Sekilas seperti orang mau mencolok dua
mata. Akan halnya posisi kaki Beda Kumala cukup aneh untuk bentuk sebuah
kuda-kuda, sebab biasanya kuda-kuda ilmu silat sedikit banyak pasti
merenggangkan ke dua kaki.
Posisi tangan kiri justru lebih tidak mengherankan lagi. Jika tangan kanan dalam
posisi mencolok mata, justru tangan kiri membentuk posisi tegap lurus di depan
dada seperti orang mau menyembah!
Jalu Samudra hampir saja tertawa geli melihat posisi kuda-kuda awal Beda
Kumala, kalau ia sendiri tidak ingat bahwa kuda-kuda awal Ilmu Silat "Kepiting
Kencana" justru lebih aneh lagi, berdiri dengan kaki terpentang lebar dalam
posisi miring ke samping, justru badan tertekuk ke dalam dengan dua tangan
membentuk caping terentang ke kiri kanan.
Sekilas memang mirip dengan kepiting yang mau terjun ke dalam air!
Begitu posisi siaga siap, Beda Kumala menggerakkan ujung-ujung jari seperti
orang menunjuk-nunjuk sesuatu disertai dengan langkah kaki yang kadang
bergeser ke kiri kanan, namun anehnya pergeseran kaki tetap menyentuh lantai,
tidak diangkat seperti olah kaki pada umumnya. Belum lagi dengan badan yang
melejit-lejit seperti cacing kepanasan meski posisi kaki tetap berada di tanah.
Sett! wreett! Jurus "Ulat Sutera Memintal Benang" digerakkan dengan cantik oleh gadis mungil
ini. "Hemm ... untung tidak memakai hawa murni," desis Jalu Samudra, "Kalau ia
menyisipkan sedikit saja haw murni, kukira yang keluar justru buntalan hawa
maut yang siap menghabisi siapa saja. Dari catatan tadi, ini mungkin yang
namanya jurus "Ulat Sutera Memintal Benang". Sekarang memasuki jurus kedua.
Kalau tidak salah namanya "Belitan Ulat Sutera Jahat". Seperti apa ya
bentuknya?"
Begitu jurus pertama selesai, Beda Kumala menggerakkan ke dua tangan di atas
kepala, memulai jurusnya yang ke dua. Namun uniknya, gerakan tangan sangat
bertolak belakang. Tangan kiri membuat gerakan kotak-kotak berulang kali dan
tangan kanan membentuk gerak melingkar berulang-ulang. Seperti yang diduga
Si Pemanah Gadis, kali ini jurus "Belitan Ulat Sutera Jahat" diperagakan dengan
sempurna oleh Beda Kumala.
Jika sebelumnya kaki tetap bertumpu pada tanah, justru sekarang gadis itu
benar-benar melayang-layang di udara dengan posisi ke bawah di bawah!
Tiba-tiba saja ...
Dharr ... ! Dharr ... !
Terdengar suara ledakan meski terdengar tidak begitu keras, tapi cukup
membuyarkan konsentrasi semua orang yang ada di tempat itu.
"Siapa yang bikin berisik?" desis Jalak Hutan dengan mata mendelik.
Mulanya Jalu menduga bahwa Beda Kumala sengaja melambari jurus dengan
hawa murni, namun setelah terdengar ledakan untuk kedua kalinya, barulah ia
mengetahui bahwa suara ledakan berasal dari luar!
Beda Kumala yang hampir menggunakan jurus ketiga, berhenti sejenak.
"Suaranya terdengar dari luar," Jalu menjawab pertanyaan Jalak Hutan.


Si Pemanah Gadis Karya Gilang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Belum lagi gema suara pemuda baju biru itu menghilang, dari luar kembali
terdengar suara ledakan namun disertai dengan suara sorak-sorai membahana
dan dentingan senjata tajam.
"Mungkin bala bantuan telah datang," kata Ki Gegap Gempita.
"Kemungkinan besar ... para pendekar yang menyerbu ke mari," ujar Si Tangan
Golok. "Bagus! Tenagaku sendiri sudah pulih sembilan bagian. Sudah saatnya
Ilmu "Putaran Golok Sakti" minum darah para keparat yang menempati istanaku
dengan seenak perutnya!"
"Betul! Betul!" seru beberapa tokoh silat sambil mengangkat senjata masingmasing.
"Kita habisi mereka!"
"Cincang Raja Iblis Pulau Nirwana!"
"Bunuh!"
"Hancurkan!"
"Bantai para pecundang!"
Seperti sudah seia sekata, mereka yang sebelumnya terkurung di tempat itu,
berkelebatan keluar dari penjara bawah tanah. Pintu baja yang sebelumnya
sudah berlubang besar langsung dibuka dari dalam. Ki Harsa Banabatta sebagai
pemilik asli dari Istana Jagat Abadi tentu saja tahu dimana posisi kunci dan letak
jebakan maut dalam ruang bawah tanah, dan segera ia menekan sebuah kotak
persegi untuk mematikan alat rahasia.
Krieett! Terdengar suara berderit keras saat kunci pembuka pintu gerbang diaktifkan.
Jika hanya tenaga satu orang jelas tidak akan kuat membuka pintu baja yang
sebegitu tebal dan kuat, namun dengan tenaga sakti lima orang pendekar, sudah
lebih dari cukup untuk membuka lebar pintu ini.
Wutt! Wutt! Blassh! Blashh!
Lapp! Beberapa pendekar langsung berserabutan keluar.
Di dalam ruangan ...
"Lebih baik Nyi Tirta Kumala dan Aki Gegap Gempita memimpin para tawanan.
Takutnya mereka salah sasaran," ucap Jalu Samudra pada dua ketua perguruan
ternama itu. "Kami akan menyusul di belakang."
Rupanya perkataan Jalu Samudra disalahtafsirkan oleh Nyi Tirta Kumala dan Aki
Gegap Gempita. Ke dua orang ini masih berpikir bahwa pemuda baju biru yang
ternyata murid dari Dewa Pengemis, yang telah mewarisi satu-satunya ilmu
paling langka rimba persilatan adalah seorang pemuda buta. Dan satu-satunya
manusia yang dikenal oleh pemuda buta ini hanyalah Beda Kumala seorang.
Tanpa pikir panjang, Ketua Aliran Danau Utara berkata, "Baik! Kami berangkat
duluan, Jalu! Beda!"
"Beda! Jangan terlalu lama. Mungkin kami membutuhkan bantuan dari kalian
berdua," tambah Nyi Tirta Kumala alias Dewi Tangan Api.
Ke dua orang ini langsung berkelebat pergi tanpa menunggu jawaban dari Beda
Kumala dan Jalu Samudra.
Saat Beda Kumala hendak menyusul keluar, tangan kirinya dicekal oleh si
pemuda. "Kau mau apa?"
"Aku mau menyusul Nyai Guru dan yang lain-lainnya ... "
"Selesaikan dulu latihanmu, baru kita susul mereka," sahut Jalu Samudra.
"Tapi ... "
"Jangan khawatir! Kita tetap akan berpesta, kok!?"
--o0o-- Benar seperti dugaan Tangan Golok!
Saat di langit timur sudah menampakkan semburat merah, di halaman Istana
Jagat Abadi terlihat ratusan orang berada di tempat itu. Mereka semua berada di
tempat itu bukan untuk rapat, ngobrol, apalagi main dadu, tapi sedang siap-siap
beradu nyawa! Terlihat beberapa tembok pembatas terlihat berlubang besar disana-sini,
mungkin di jebol dengan pukulan sakti atau hantaman benda-benda berukuran
besar, jika dihitung sekitar dua belas lobang terbentuk membuat angin pagi
semakin santer menerobos masuk ke dalam.
Di setiap bagian jebolan tembok, berkumpul orang-orang dengan pakaian aneka
warna dan aneka rupa. Ada yang necis dengan rambut hitam klimis, ada yang
kucel seperti belum pernah dicuci seumur hidup, bahkan ada yang tidak
berpakaian sama sekali (maksudnya telanjang dada, bukan bugil, lho) karena
masih memakai celana. Bahkan ada yang seluruh tubuhnya tertutup pakaian,
hanya sepasang matanya saja yang kelihatan.
Namun yang cukup menyolok mata adalah adanya puluhan gadis cantik berbaju
hijau-hijau dengan sulaman bunga matahari kuning emas di dada sebelah kiri,
berdiri saling berpasangan dengan puluhan pemuda yang rata-rata tampan
berbaju putih-putih berikat pinggang ungu berdiri berdampingan, di dada bagian
kiri terdapat bulatan dari rajutan benang emas dan di tengahnya tersulam
dengan benang perak sebentuk tangan terkepal dan sebuah gambar tapak
tangan dengan warna yang sama.
Lambang Perguruan Sastra Kumala dan Aliran Danau Utara!
"Cepat, kembalikan ayahku!" teriak seorang pemuda tinggi kurus. "Kalau tidak ...
Perkumpulan Titian Langit akan membuat tempat ini sama rata dengan tanah!"
"Serahkan Ketua kami, dan kalian bisa hidup untuk beberapa tahun!" seru
seorang laki-laki kate dengan muka tirus. Di dahinya terdapat sebuah batu biru
ukuran yang melekat kuat di seperti di tempel dengan getah pohon.
Dibelakangnya berdiri pula lima orang dengan tubuh kate, hanya tidak memiliki
tempelan batu biru di dahi.
"Ya, betul ... !" seru kompak beberapa orang tokoh silat atau murid perguruan
yang datang ke Istana Jagat Abadi.
"Kembalikan orang-orang kami yang kalian culik!"
"Bebaskan tanpa syarat!"
BAGIAN 26 Seorang laki-laki berbaju ungu dengan jenggot panjang putih kelabu, sorot mata
tajam menusuk berdiri angkuh. Rambut panjangnya yang diikat memanjang
seperti ekor kelabang terlihat melingkari kepalanya. Dibelakangnya berdiri
ratusan orang berbaju ungu yang rata-rata siap dengan senjata telanjang di
tangan. Akan tetapi, tidak semuanya menggunakan baju ungu, ada yang
memakai baju hitam, biru bahkan belang-belang seperti harimau.
Tepat di belakang laki-laki berbaju ungu berdiri dengan tangan terlipat di depan
dada sosok laki-laki baju kuning kusam. Seorang laki-laki tua dengan tubuh
tinggi ceking menjulai mendekati dua tombak. Raut muka tirus kerut merut penuh
bercak-bercak putih dilengkapi sejumput jenggot warna kuning kehitaman
macam jenggot kambing. Belum lagi dengan sinar mata licik dan kejam tergurat
jelas di wajahnya.
Siapa lagi jika bukan Raja Jarum Sakti Seribu Racun!
Sedang di kiri kanannya, berdiri Tombak Sakti dengan tombak sepanjang tiga
tombak. Di kanannya berdiri Karang Kiamat yang kini buta dan disebelahnya
berdiri Pedang Dewa dengan pedang besar yang telah dikeluarkan dari sarung.
Agak sedikit ke kiri belakang berdiri Gada Maut dengan senjata andalannya yang
diberi nama beken Gada Raja Langit Empat Sisi. Akan halnya Trisula Kembar
terlihat berdiri bersandar di langkan sambil memutar-mutar sepasang trisulanya.
"Aku, Si Tangan Golok adalah pemilik tempat ini! Dan Istana Jagat Abadi tidak
ada hubungannya dengan hilangnya beberapa tokoh silat yang kalian sebutkan!"
seru Ki Harsa Banabatta lantang. Jelas sekali dalam suaranya dilambari
sebentuk tenaga dalam yang sanggup membuat telinga orang-orang yang ada di
depannya seperti tertusuk ujung jarum.
"Huh! Dari penuturan Watu Humalang dari Aliran Danau Utara dan Wulan
Kumala dari Perguruan Sastra Kumala, jelas-jelas bahwa kalianlah dalang dari
semua penculikan ini!" bentak seorang yang membawa sepasang tombak
pendek. "Itu fitnah!" bentak Si Tangan Golok. "Mana buktinya!" Tak ada!"
Watu Humalang yang disebut namanya segera maju ke depan. Di tangan kirinya
terlihat menjinjing sebuah benda.
"Ooo ... kalian mau mungkir" Kalau mau bukti ... ini buktinya!"
Watu Humalang melemparkan begitu saja benda yang dibawanya ke arah Si
Tangan Golok. Lemparannya yang dilandasi dengan kekuatan bawah sadarnya
membuat benda tanpa bungkus meluncur cepat.
Whuss! Tapp! Si tangan golok segera menangkap benda yang meluncur cepat ke arahnya.
Matanya sedikit menyipit kala tangan kirinya menangkapnya.
"Bangsat! Tenaga dalamnya boleh juga," pikirnya.
Saat matanya meneliti benda yang tertangkap di tangan kirinya, sontak ia
melonjak kaget!
"Gelang Bintang!" desisnya tanpa sadar. Rupanya benda yang dilemparkan oleh
Watu Humalang adalah potongan kepala Gelang Bintang yang saat itu tertinggal
di halaman Aliran Danau Utara.
"Bagaimana?" ejek Watu Humalang. "Apa bukti itu kurang kuat!?"
"Keparat busuk! Hanya dengan potongan kepala ini membuktikan apa?" bantah
Ketua Istana Jagat Abadi sambil membanting potongan kepala Gelang Bintang
yang di tangan kirinya.
Prakk! Tentu saja kepala itu langsung hancur berantakan.
"Jadi masih kurang bukti?" bentak Wulan Kumala. "Kalau begitu, coba tunjukkan
pada kami Ilmu "Putaran Golok Sakti" kalau kau benar memang Ki Harsa
Banabatta?"
Selebar wajah laki-laki berbaju ungu dengan jenggot panjang putih kelabu
langsung memias sesaat, lalu katanya dengan diiringi tawa keras, "Ha-ha-ha!
Buat apa aku tunjukkan ilmu golokku pada gadis kecil seperti dirimu" Tidak ada
gunanya!" "Benar, memang tidak ada gunanya!" kata Sari Kumala, sambungnya dengan
pandangan mengedar ke sekeliling, "Sobat-sobat semua! Memang benar kata Si
Tangan Golok ini, dia tidak mau menunjukkan Ilmu "Putaran Golok Sakti" karena
memang dia tidak bisa melakukannya."
"Gadis keparat! Jadi kau mau bukti kalau aku memang Si Tangan Golok yang
asli?" bentak Si Tangan Golok dengan tangan kanan terlihat mengencang kuat
dengan jari merapat.
Namun, belum lagi laki-laki ini mengerahkan tenaga dalamnya untuk menyerang
si gadis baju hijau, dari bangunan paling belakang berkelebat puluhan bayangan
orang. Salah seorang dari bayangan itu berkelebat cepat sambil berteriak keras, "Dia
memang ketua palsu!"
Belum lagi suaranya hilang, sebuah hamparan hawa golok menerjang ke arah
laki-laki baju ungu.
Wusshh ... ! Si Tangan Golok kaget bukan alang kepalang, namun sebagai tokoh silat
kawakan, tidak sembarang orang sanggup menjatuhkannya dengan sekali
serang. Sontak ia menangkis dengan mengelebatkan tangan kanannya yang
sudah teraliri dengan tenaga murni.
Wusshh ... ! Blarr ... blarr ... blarr ... !!
Terdengar dentuman keras kala dua hawa murni berbenturan di udara kosong.
Debu-debu beterbangan sehingga menutupi ke belah pihak yang masing-masing
telah melancarkan satu serangan keras.
Beberapa orang pendekar yang pernah mengenal siapa adanya Ketua Istana
Jagat Abadi ini, tentu mengetahui bagaimana kehebatan jurus "Putaran Golok
Membelah Bumi". Namun yang membuat mereka kaget dan terkejut adalah
ternyata lawan menggunakan jurus "Putaran Golok Membelah Bumi" yang sama!
Begitu debut-debu sirap, di tempat itu telah berdiri puluhan orang berwajah
pucat, baju yang dipakai compang-camping tidak karuan, terlihat menghadang di
depan Si Tangan Golok.
Kembali semua orang yang menyerbu ke Istana Jagat Abadi kaget bukan alang
kepalang! "Guru!" teriak seorang pemuda pendek.
"Ayah!" seru si tinggi kurus.
"Ketua!" seru si kate yang berdahi batu biru.
Dan tentu saja beribu macam sebutan saling bersahut-sahutan hingga
menggemuruh. Sontak, semua orang saling menghambur ke orang yang mereka
tuju masing-masing.
Semuanya tumpah ruah seperti pasar tiban!
Tentu saja pihak Istana Jagat Abadi kaget bukan main!
"Bagaimana mungkin mereka semua bisa lolos?" pikir Pedang Dewa. "Kemana
perginya Raja Iblis Pulau Nirwana hingga tawanannya bisa keluar dari ruang
bawah tanah."
Meski semua orang telah menemukan orang yang mereka cari, akan tetapi
urusan mereka dengan Istana Jagat Abadi belum selesai. Saat mata
memandang ke depan, semua orang yang ada di situ terkejut bukan main!
Bagaimana tidak terkejut, sebab di hadapan mereka berdiri dua orang saling
berhadapan dalam sejarak lima tombak. Namun yang lebih mengejutkan adalah
dua orang itu ternyata sekujur tubuhnya sama persis satu sama lain. Tinggi
sama, wajah juga sama, gerak-gerik juga sama dan yang jelas-jelas sama-sama
berjuluk Si Tangan Golok!
Beberapa murid Istana Jagat Abadi saling pandang satu sama lain, tidak
mengerti dengan apa yang sebenarnya terjadi.
"Bagaimana mungkin ada dua orang Ketua di tempat ini?" desis seorang yang
paling ujung. "Ssstt ... diam saja. Kalau kedengaran sama Ki Wira, kau bakal jadi daging
landak," bisik temannya. "Mau?"
"Ogah, ahh ... "
"Makanya diem."
Sementara itu ...
"Siapa kau sebenarnya?" bentak Si Tangan Golok yang baru datang.
"Huh, kau sendiri siapa?" balas bentak Si Tangan Golok yang rambutnya
dikelabang. "Kurang ajar! Berani sekali kau memalsukan diriku!" bentak Si Tangan Golok
yang rambutnya awut-awutan seperti orang gila.
Sambil menudingkan jari telunjuknya, Si Tangan Golok satunya balas
membentak, "Bangsat kurang ajar! Justru kau yang palsu!"
"Kau yang palsu!"
"Kau!"
Semua yang ada di tempat itu jadi bingung sendiri dengan perkembangan yang
tidak terduga sama sekali. Dua tua bangka itu saling tuding dan mengaku bahwa
dirinya yang asli dan lawan bicaranya yang palsu.
"Baik, kalau begitu kita buktikan siapa yang asli, siapa yang palsu!" kata Si
Tangan Golok yang di kelabang rambutnya, lalu ia menunjuk salah seorang
muridnya yang berdiri paling dekat dengannya, "Kau ... kemari!"
Si murid yang ditunjuk langsung berlari mendatangi.
Suasana mendadak senyap.
Semua orang hanya memandang heran sambil berpikir dengan cara bagaimana
dua orang itu bisa membuktikan keaslian mereka. Dari logat bicara, cara berkata
sampai tinggi tubuh semua sama persis. Sulit sekali membedakan mana yang
asli dan mana yang palsu.
Mirip dengan orang kembar identik!
"Apa apa, Ketua?"
"Sudah berapa lama kau berguru disini?" tanya Si Tangan Golok yang
berkelabang. "Sekitar dua tahun."
"Pergi sana!" usir Si Tangan Golok yang berkelabang.
Si murid langsung mengundurkan diri sambil bersungut-sungut.
"Kau ... yang membawa pisau, kemari kau!" kata Si Tangan Golok yang
berkelabang, menunjuk orang yang berdiri di belakang Ki Wira.
Segera saja pemuda ditunjuk berlari mendekat.
"Sudah berapa lama kau berguru di tempat sini?" tanya Si Tangan Golok yang
berkelabang. "Dua belas tahun."
"Kau murid ke berapa dari Istana Jagat Abadi?"
"Jika Rangga Langking tidak tewas, saya murid ke delapan."
"Bagus! Kau ternyata orang jujur! Jadi dengan begitu, aku tidak salah tunjuk
orang. Siapa namamu?"
"Jempana."
"Nah, Jempana ... menurutmu mana diantara kami yang asli?" tanya Si Tangan
Golok yang berkelabang.
"Diantara guru berdua?"
"Benar!" kata yang berambut awut-awutan.
"Ingat, jangan salah! Atau malah salah-salah kepalamu yang menggelinding ke
tanah," kata Ki Harsa Banabatta yang berambut di kelabang.


Si Pemanah Gadis Karya Gilang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Segera pemuda itu memandang pulang pergi antara dua orang yang kini berdiri
sejarak dua tombak jauhnya. Membuat perbandingan antara keduanya. Mungkin
saja ada yang beda dari dua orang itu. Tapi dimana, itu yang sulit diungkapkan.
"Duhh ... sulit sekali membedakannya," kata Jempana dalam hati, "Dengan cara
bagaimana, ya?"
Sepeminuman teh berlalu, namun Jempana hanya tengak-tengok saja seperti
kera mau mencuri buah.
"Jempana, cepat jawab! Mana diantara kami yang asli dan yang palsu! Sebagai
murid ke tujuh, tentu kau lebih paham gurumu sendiri!" seru Si Tangan Golok
yang berkelabang.
Melihat pemuda itu sulit menjawab, Si Tangan Golok berambut awut-awutan
memanggil, "Jempana, kemari kau!"
Jempana berjalan mendekat.
Belum lagi Jempana memberi hormat, Ki Harsa Banabatta yang berambut awutawutan
sudah berkata lagi, "Aku sudah capek dengan urusan disini! Lebih baik ...
BUNUH AKU!"
Semua orang terkejut mendengar perintah ini!
Sudah gila barangkali orang ini!"
Masa menyuruh orang membunuhnya!"
Namun, yang lebih membuat mereka terperanjat adalah sikap dari Jempana
sendiri! Jempana langsung membungkuk lebih dalam lagi sambil berkata tegas, "Baik!"
BAGIAN 27 Gendeng! Pemuda itu justru meluluskan permintaan dari si rambut awut-awutan. Begitu
Jempana bangkit dari membungkuknya, secepat kilat pisau yang ada di
tangannya berkelebat cepat.
Wutt! Sasarannya adalah ... Si Tangan Golok yang berkelabang!
Ilmu "Gundu Terbang" adalah sejenis ilmu melempar senjata rahasia melalui
sebentuk benda bulat kecil atau kelereng dimana setiap serangan selalu
diarahkan ke titik-titik jalan darah kematian. Sebenarnya dasar dari Ilmu "Gundu
Terbang" adalah ilmu totokan, namun karena dirasakan kurang efisien jika
bertarung dengan pendekar yang memiliki kesaktian lebih tinggi, maka ilmu ini
diciptakan untuk menutupi kekurangan pada sang penyerang. Selama masih ada
Pendekar Sakti 12 Perkampungan Misterius Seri Pendekar Cinta 4 Karya Tabib Gila Pendekar Aneh Dari Kanglam 2

Cari Blog Ini