Ceritasilat Novel Online

Bara Diatas Singgasana 18

Bara Diatas Singgasana Pelangi Di Singosari Karya S H Mintardja Bagian 18


"Apakah mereka anak siluman?" Anusapati menjadi tegang, "saat ini ayahanda Sri Rajasa tidak ada di istana. Semua tanggung jawab pasti terlimpah pada para panglima yang tinggal. Panglima kesatuan yang ada di Singasari, terutama kesatuan pengawal istana ini."
"Hamba tuanku, Panglima itu sudah masuk kelingkungan istana pula. Ya sekarang berada diregol terdepan."
"Aku akan menemuinya. Apabila ayahanda Sri Rajasa tidak ada, akulah yang harus bertanggung jawab atas seluruh keadaan didalam istana ini."
"Tetapi, keadaan ini sangat berbahaya tuanku. Kami harap tuanku tetap didalam bangsal ini. Kamilah yang akan menjaga diluar."
"Dimana adinda Tohjaya sekarang?"
"Didepan bangsal ayahanda Sri Rajasa."
Anusapati mengerutkan keningnya. Ditatapnya wajah para prajurit itu. Ia sadar, bahwa prajurit-prajurit itu adalah prajurit-prajurit yang setia. Setia kepada ayahanda Sri Rajasa. Tetapi ia menjadi terharu juga melihat mereka siap mengawasi bangsalnya.
"Kenapa adinda Tohjaya berada di bangsal ayahanda?"
Prajurit itu mengerutkan keningnya. Sejenak mereka saling berpandangan. Tetapi mereka tidak segera menyahut.
"Apakah adinda Tohjaya berada di bangsal itu setelah ia mendengar tanda bahaya, atau ia memang berada disana ketika tanda bahaya berbunyi?"
"Hamba tidak jelas tuanku. Tetapi dari sanalah sumber berita, bahwa ada orang-orang yang tidak dikenal masuk kedalam istana ini."
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya, "Aku akan keregol depan menemui Panglima pengawal istana."
"Tuanku, hamba berharap tuanku tetap berada di bangsal ini saja."
"Jangan cemas. Aku bukan anak-anak lagi." Anusapati tidak menunggu prajurit-prajurit itu menjawab. Dengan tergesa-gesa ia memasuki bangsalnya. Kemudian mengenakan pakaian keprajuritan dengan sebilah keris dipunggungnya.
Ketika Anusapati keluar dari biliknya, hampir saja ia melanggar embannya yang berlari-larian datang kebangsal itu pula dari biliknya dibelakang bangsal.
"Bibi, kenapa kau datang kemari?"
Embannya menekan dadanya yang tersengal-sengal. Katanya, "Hamba mendengar tanda bahaya."
"Dan kenapa kau keluar dari bilikmu" Apakah kau takut?"
Embannya menggeleng. "Jadi?" "Aku cemas akan tuanku."
"Kenapa" Diluar ada empat orang prajurit yang telah siap menghadapi semua kemungkinan."
Emban itu menundukkan kepalanya.
"Apakah yang kau cemaskan" Apakah kau sangka orang-orang yang dikabarkan masuk kedalam istana ini akan berbuat jahat atasku?"
Sekali lagi emban itu menggeleng.
"Jadi, apa yang kau cemaskan?"
"Tuanku." "Kenapa dengan aku?"
Emban itu menahan nafasnya sejenak. Kemudian ia berpaling kepintu depan, seolah-olah ia ingin meyakinkan, bahwa tidak ada orang lain didalam bangsal itu.
"Tuanku, hamba menjadi cemas, justru karena hamba mengetahui hanya beberapa hal saja atas tuanku. Hamba tidak mengetahui keadaan tuanku seluruhnya."
"Apa yang kau ketahui tentang aku bibi?"
"Ampun tuanku. Hamba mengetahui, bahwa kadang-kadang tuanku meninggalkan bangsal ini. Dan bahkan meninggalkan halaman istana ini. Pakaian tuanku kadang-kadang terlampau kotor oleh debu dan pasir. Bukan pasir di halaman, tetapi pasir yang masih basah."
Anusapati mengerutkan keningnya. Kemudian ia-pun tersenyum. Ia sadar bahwa embannya mengetahui akan hal itu. Ia sadar pula, bahwa embannya pulalah yang selalu menghapus jejak itu sebelum pakaiannya yang kotor diserahkan kepada juru pakaian.
"Tetapi kali ini bukan aku bibi," sahut Anusapati kemudian, "aku tahu bahwa kau menjadi cemas, kalau para penjaga melihat aku keluar atau masuk halaman dan berusaha menangkap aku karena mereka tidak tahu. Bukankah begitu?"
Embannya mengangguk-anggukkan kepalanya.
Anusapati menepuk pundak embannya itu. Katanya, "Tidurlah kembali. Aku akan ikut serta mencari orang yang memasuki istana ini."
Embannya menarik nafas dalam-dalam.
"Atau kau ingin menunggui bangsal ini?"
"Tuanku akan pergi kemana?"
"Aku akan menemui Panglima pengawal diregol halaman."
Embannya mengerutkan keningnya. "Apakah tuanku ingin menemuinya?"
"Ya." "Tuanku adalah Pangeran Pati. Tuanku dapat memerintahkan prajurit-prajurit itu memanggilnya. Panglima itulah yang harus menghadap tuanku."
Anusapati tertegun sejenak. Tetapi ia-pun kemudian tersenyum. Katanya, "Aku kadang-kadang memang kurang menyadari, bahwa aku adalah Putera Mahkota. Tetapi biarlah aku melihat keadaan halaman istana ini selagi ada bahaya mengancam."
Embannya tidak dapat menahannya lagi. Ketika Anusapati melangkah keluar bangsal, ia mengikuti dibelakangnya.
"Aku akan pergi keregol. Mungkin kini para perwira sudah berkumpul pula disana."
"Tetapi, apakah keadaan tidak sangat berbahaya bagi tuanku?" salah seorang prajurit itu masih berusaha mencegahnya.
Anusapati tidak menghiraukannya. Sambil tersenyum ia berkata kepada embannya, "Masuklah. Malam sangat gelap."
Embannya membungkukkan kepalanya dalam-dalam, "Hamba tuanku."
Anusapati-pun kemudian melangkah meninggalkan bangsal itu tanpa menghiraukan apa-pun lagi. Tetapi prajurit-prajurit yang berunding sejenak itu mengambil keputusan, bahwa dua diantara mereka harus mengawal Putera Mahkota, sedang dua lainnya menjaga bangsal itu.
Ketika dua orang diantara mereka berlari-lari mengikutinya, Anusapati berpaling sambil berkata, "Kalian mengawal aku?"
"Hamba Tuanku. Dalam keadaan ini, mungkin pengawal diperlukan."
Anusapati melangkah terus. Kedua prajurit yang berlari-lari itu-pun kemudian berada dua langkah saja dibelakangnya.
"Aku tidak pernah mendapat pengawalan selama aku tinggal didalam istana. Juga setelah aku menjadi Pangeran Pati. Dan selama itu, aku tidak pernah menemukan kesulitan apa-apa didalam istana ini."
"Hamba tuanku. Tetapi tidak dalam keadaan seperti ini."
Anusapati tidak menjawab lagi. Ia berjalan terus.
Tetapi para prajurit yang mengawalnya itu menjadi heran. Putera Mahkota itu tidak langsung pergi keregol depan menemui Panglima pasukan pengawal istana yang ternyata kali ini tidak ikut pula berburu.
"Apakah tuanku tidak pergi keregol depan?" bertanya salah seorang dari kedua prajurit yang mengawalnya.
"Ya. Tetapi aku ingin melihat, apakah semua penjagaan tidak ada yang lengah."
Kedua prajurit itu saling berpandangan sejenak. Namun mereka berjalan saja mengikuti Putera Mahkota yang ternyata kemudian berjalan mengelilingi halaman istana. Dilaluinya gardu-gardu yang terpencil dan tempat-tempat yang gelap.
Disetiap gardu Anusapati menjumpai para pengawal telah siap menghadapi kemungkinan. Dan hampir disetiap tempat yang agak gelap ditemuinya peronda yang mengawasi setiap jengkal dinding yang mengelilingi istana.
"Hem," Anusapati menarik nafas dalam-dalam, "dalam keadaan serupa ini, tidak mungkin ada seekor cicak-pun yang dapat lolos," katanya didalam hati.
Terbayang dirongga matanya, dirinya sendiri memanjat dinding yang tinggi itu. Tetapi ketika ia meloncat turun, tiba-tiba saja beberapa ujung tombak telah melekat ditubuhnya.
"Untunglah, semuanya itu tidak pernah terjadi," katanya pula didalam hatinya, "Agaknya hanya didalam keadaan tertentu saja pengawasan menjadi begini ketat. Jika suatu saat, aku dilihat oleh para peronda itu, maka terpaksa aku membuat mereka menjadi pingsan."
Namun ternyata sikap Putera Mahkota itu telah menumbuhkan keheranan dikalangan para prajurit dan perwira pengawal. Selama ini mereka menganggap bahwa Anusapati adalah seorang anak muda yang lemah, seperti yang selalu diceriterakan oleh Tohjaya kepada siapa-pun juga, sedang Anusapati sendiri tidak pernah memerlukan memberikan bantahan.
Teitapi kini, didalam keadaan yang gawat, selagi Sri Rajasa tidak ada di istana, Putera Mahkota itu telah melakukan kuwajibannya dengan baik, mengambil alih tugas Sri Rajasa seperti yang sering dilakukan. Dalam keadaan yang gawat, Sri Rajasa selalu turun ke gelanggang sendiri. Dan begitu pulalah yang dilakukan oleh Anusapati. Bukan Tohjaya, putera kebanggaan Sri Rajasa yang tetap berada di bangsal ayahanda Sri Rajasa bersama pengawalnya dan penasehat raja.
Demikianlah maka Anusapati telah mengunjungi gardu-gardu dan hampir setiap sudut-sudut halaman. Tetapi ia masih membatasi dirinya. Ia tidak mau melintasi regol yang membatasi halaman istana dengan taman yang diperuntukkan bagi ibunda Ken Umang.
Yang terlebih-lebih heran lagi adalah justru kedua prajurit yang mengawalnya. Dalam keadaan yang demikian, seandainya mereka tidak berlari-lari mengikuti atas kehendak mereka sendiri, agaknya Anusapati akan pergi seorang diri, mengitari halaman ini.
"Semua berada ditempatnya," desis Anusapati kemudian.
"Hamba tuanku. Semua berada ditempatnya."
Ketika Anusapati melintasi pondok perwira prajurit yang menjadi gurunya bersama dengan Tohjaya, dilihatnya prajurit itu berdiri didepan pintu lengkap dengan pakaian keprajuritannya.
"O, kau?" sapa Anusapati.
"Hamba tuanku. Hamba mendengar tanda bahaya itu. Seandainya diperlukan, hamba sudah siap apa-pun yang harus hamba lakukan."
"Terima kasih. Bersiaplah apabila ada sesuatu yang penting. Kau dapat langsung pergi keregol depan. Mungkin kau akan mendapat tugas khusus dari pemimpin pengawal."
"Hamba tuanku," sahut perwira itu.
Sepeninggal Anusapati perwira yang masih basah oleh keringat itu menarik nafas dalam-dalam. Ia kini merasa bebas dari segala macam dugaan apapun, karena Putera Mahkota sendiri telah melihatnya, justru pakaian yang dipakainya adalah pakaian keprajuritan.
Sejenak kemudian langkah Anusapati-pun sampai di muka pondok Sumekar dibagian belakang istana. Ia melihat pintu pondok itu tertutup rapat-rapat. Sedang pelita didalamnya hampir tidak tampak dari luar, karena sangat redup.
"Orang-orang disini sama sekali tidak terbangun oleh suara ribut itu," berkata Anusapati. "Bukan saja pintu pondok Sumekar, juru taman itu, tetapi juga pondok-pondok yang lain, juru panebah, juru pangangsu dan pelayan-pelayan yang lain, justru tertutup rapat-rapat."
"Mereka menjadi ketakutan," desis seorang pengawalnya.
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Disamping pondok Sumekar Putera Mahkota itu berdesis, "He, apakah kau dapat juga tidur dalam keributan begini?"
"Ampun tuanku," terdengar jawaban dari dalam, "apakah tuanku Putera Mahkota?"
Anusapati menarik nafas dalam-dalam. Sumekar-pun telah ada didalam pondoknya. Namun ia menjawab, "Ya. Aku adalah Putera Mahkota."
"Ampun tuanku. Hamba sangat takut."
"Tidurlah dan bermimpilah. Tidak akan ada seorang penjahat-pun yang akan masuk kedalam pondokmu."
Tidak ada jawaban. Yang terdengar adalah desah nafas tertahan-tahan. Kemudian desir langkah menuju kepintu.
Ketika pintu berderit, Sumekar menyembulkan kepalanya. Dianggukkan kepalanya itu kemudian dalam-dalam, sambil berkata, "Ampun tuanku. Hamba tidak berani membuka pintu seandainya tuanku tidak berada diluar. Tetapi, apakah tuanku tidak lebih baik berada didalam bangsal?"
Anusapati tersenyum sambil menjawab, "Aku melihat keadaan halaman istanaku."
Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia-pun bertanya, "Apakah tuanku tidak menemukan sesuatu?"
Anusapati menggelengkan kepalanya. Tetapi ia tertawa didalam hati.
"Sudahlah, masuklah. Aku akan meneruskan tugas ini."
Sumekar-pun mengangguk pula dalam-dalam ketika Anusapati meninggalkan pintu pondoknya.
Ternyata halaman istana Singasari itu telah benar-benar bersiaga menghadapi setiap kemungkinan. Setiap prajurit yakin, bahwa tidak ada seekor nyamuk-pun yang telah berhasil lolos dari pengawasan.
Ketika Anusapati sampai diregol depan dilihatnya panglima pasukan pengawal istana sedang sibuk memperbincangkan langkah yang akan diambilnya bersama beberapa orang perwira. Ketika mereka melihat Anusapati datang, mereka-pun segera bersibak dan menganggukkan kepala mereka.
"Selamat malam tuanku," berkata Panglima pengawal, "tetapi kedatangan tuanku telah mengejutkan kami. justru dalam keadaan yang gawat ini."
Anusapati mengerutkan keningnya. Ia-pun bertanya pula, "Kenapa kalian terkejut" Bukankah sudah menjadi kewajibanku untuk menilai setiap keadaan didalam istana ini, justru dalam keadaan yang gawat, apalagi ayahanda Sri Rajasa tidak ada di istana?"
Panglima itu menjadi terheran-heran. Ia tidak menyangka bahwa pada suatu saat Anusapati akan menunjukkan suatu sikap yang selayaknya bagi seorang Putera Mahkota. Selama ini seperti prajurit-prajurit yang lain, kesannya terhadap Anusapati agak terlampau kecil. Mereka menganggap bahwa Anusapati adalah seorang anak muda yang lemah, sehingga yang menonjol diantara mereka adalah putera Sri Rajasa yang lain, Tohjaya. Tetapi dalam keadaan ini. Anusapatilah yang hadir diantara mereka diregol depan. Terlebih-lebih lagi ketika mereka mengetahui, bahwa Anusapati telah mengelilingi seluruh halaman istana dengan diiringi hanya oleh dua orang prajurit pengawal.
Perwira itu seakan-akan tersadar ketika Anusapati bertanya, "Apakah rencana kalian sekarang?"
Panglima itu termangu-mangu sejenak. Jawabnya kemudian, "Baru hamba bicarakan tuanku."
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu katanya, "Aku sudah melihat seluruh penjagaan, pengawalan dan peronda-peronda dari seluruh halaman istana selain halaman dan petamanan ibunda Ken Umang. Menurut pengamatanku, pengawalan cukup rapat, sehingga tidak akan ada seorang-pun yang dapat keluar dari halaman tanpa diketahui. Seandainya benar seperti yang dikatakan, bahwa ada orang-orang yang memasuki halaman, aku kira mereka tidak akan dapat keluar. Karena itu, apabila kalian sedang membicarakan apa yang akan kalian lakukan, maka yang sebaiknya dan segera dapat kalian kerjakan adalah mencari orang-orang itu diseluruh halaman termasuk petamanan dan halaman bangsal ibunda Ken Umang. Apakah kau sependapat?"
Panglima itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia memang sedang merencanakannya seperti apa yang dikatakan oleh Anusapati itu. Namun dengan demikian, para perwira itu melihat, bahwa sebenarnya Anusapati bukan sekedar kepompong yang mati.
"Kami sedang mempersiapkan diri, tuanku," berkata Panglima itu.
"Bagus. Lakukanlah segera apabila kalian sudah siap."
"Hamba tuanku," jawab Panglima itu.
"Aku ikut serta bersama kalian. Kalau kalian membentuk kelompok-kelompok, aku ikut salah satu dari kelompok itu."
Panglima itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, "Baiklah tuanku. Hamba akan membentuk kelompok-kelompok yang akan mengaduk seluruh halaman mencari orang-orang yang dikabarkan memasuki halaman istana."
Demikianlah, maka telah disiapkan empat buah kelompok kecil yang akan mengelilingi segenap sudut halaman dengan teliti. Semua bagian akan mendapat pengamatan. Karena seperti Anusapati, Panglima itu yakin, apabila benar ada orang-orang yang memasuki istana, mereka tidak akan dapat keluar.
Setelah kelompok-kelompok itu siap untuk mulai perondaan mereka, Anusapati menjadi berdebar-debar. Dilihatnya seseorang bersama dengan tiga orang prajurit datang keregol itu pula.
"Kau adinda Mahisa-wonga-teleng," sapa Anusapati.
"Ya kakanda. Aku mendengar tanda itu. Dan aku merasa bahwa aku wajib datang keregol ini. Semula aku datang mencari kakanda. Tetapi dua orang pengawal di bangsal kakanda mengatakan, bahwa kakanda telah mendahului pergi keregol depan."
"Kenapa kau kemari" Bukankah berbahaya bagimu?"
Mahisa-wonga-teleng termangu-mangu sejenak. Kemudian jawabnya, "Tentu tidak menyenangkan apabila seluruh istana ini sibuk, aku sekedar membetulkan letak selimut. Mungkin begitu semasa aku masih kanak-anak. Tetapi sekarang aku sudah dewasa."
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Ketika ia memandang adiknya, barulah ia sadar, bahwa Mahisa-wonga-teleng sudah tumbuh menjadi seorang anak muda yang gagah.
Tetapi justru dengan demikian, Mahisa-wonga-teleng menjadi termangu-mangu. Dirasakannya bahwa tatapan mata Anusapati kali ini agak aneh. Karena itu maka ia-pun bertanya, "Apakah kakanda Anusapati melihat ada yang aneh padaku?"
Anusapati seperti tersadar dari lamunannya. Terbata-bata ia menjawab, "Tidak. Tidak ada yang aneh adinda Mahisa-wonga-teleng. Tetapi kedatangan adinda memang agak mengejutkan. Meski-pun demikian, baiklah adinda ikut bersama kami disini. Kami sudah membagi diri untuk mengelilingi seluruh istana ini. Kami masing-masing akan mencari orang-orang yang dikatakan memasuki istana ini. Karena demikian tanda bahaya berbunyi, maka para prajurit segera menyebar sehingga tidak mungkin lagi seseorang dapat keluar dari halaman. Karena itu, orang-orang itu sampai kini pasti masih ada didalam istana ini."
Mahisa-wonga-teleng mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya, "Aku ikut bersama kakanda."
"Baiklah. Marilah. Kau berada didalam kelompokku."
Demikianlah maka sejenak kemudian empat kelompok itu-pun segera mulai menjalankan tugasnya. Mereka memencar kedaerah yang sudah terbagi menurut persetujuan mereka bersama.
"Kita akan memeriksa seluruh isi halaman. Dan kita mendapatkan bagian disebelah barat. Termasuk bangsal ayahanda Sri Rajasa dan bangsal ibunda Permaisuri," berkata Anusapati.
Mahisa-wonga-teleng mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak menjawab.
Kelompok itu langsung dipimpin oleh Panglima pasukan pengawal sendiri, karena daerah pengamatannya termasuk daerah yang paling penting.
Dengan hati-hati kelompok-kelompok itu mulai melakukan pemeriksaan. Setiap gerumbul perdu dan tanaman-tanaman bunga-bungaan telah diperiksa dengan cermat. Setiap pondok dan gardu, bahkan setiap bangsal yang ada. Bukan saja bagian-bagian didalam bangunan dan disekitarnya, tetapi juga diatasnya.
Setiap kali beberapa orang prajurit atau perwira telah mencoba meloncat keatas dinding batu untuk melihat bagian atas dari setiap bangunan yang ada.
Tetapi belum ada suatu kelompok-pun yang menjumpai seseorang yang mencurigakan.
Kelompok yang mendapat tugas dibagian belakang, telah membangunkan setiap orang yang tinggal disana. Pondok-pondok yang tertutup rapat harus dibuka. Dua atau tiga orang prajurit memasuki setiap rumah, mengamati setiap orang yang ada didalam pondok-pondok itu, kalau-kalau mereka menemukan orang asing. Tetapi mereka tidak menemukan apa-apa.
Beberapa orang prajurit muda berebutan memeriksa pondok para emban. Tetapi mereka kehilangan nafsu penelitian mereka ketika beberapa orang emban yang terdapat didalam pondok itu mulai bertanya, "Siapakah yang mau kau cari?"
Salah seorang prajurit menjawabnya sambil bergurau, "Kau."
"Ah. Tentu bukan aku. Tetapi mBok ayu ini," katanya sambil mendorong seorang kawannya sehingga hampir saja melanggar prajurit yang sedang memeriksa ruangan-ruangan itu.
Karena prajurit itu membawa pedang telanjang, maka emban itu hampir saja menyentuh ujungnya seandainya prajurit itu tidak dengan cepat menariknya.
"Kau, kau," emban yang didorong itu meloncat sambil mencubit gadis yang mendorongnya.
"Aduh, aduh sakit."
"Kau nakal sekali. Ayo apakah kau sudah jera."
"Sudah. Aku sudah jera."
"Ssst," prajurit-prajurit yang ada didalam pondok itu berdesis, "jangan ribut. Aku sedang bertugas. Kalau kau mulai bergurau maka kami tidak akan dapat menjalankan tugas kami dengan baik."
Emban-emban itu tertawa. Salah seorang berkata, "Pandai juga kau memilih tugas."
"Sudah kami rencanakan. Kami harus menggeledah seisi pondok ini. Mungkin kalian menyembunyikan orang asing disini."
"Silahkan," berkata emban-emban itu.
"Kalian harus menunggui kerja kami supaya kalian tidak kehilangan apa-pun juga. Kami-pun akan menggeledah kalian seorang demi seorang, kalau-kalau kalian menyembunyikan orang asing itu didalam pakaian kalian."
"Jadi?" "Kami geledah pakaian yang kalian pakai."
"Tidak mau, tidak mau," emban-emban yang masih muda itu berteriak hampir berbareng.
"Ssst," sekali lagi prajurit-prajurit itu berdesis, "jangan berteriak-teriak. Kami akan dicurigai oleh para prajurit dan perwira yang ada diluar. Mereka mungkin menjadi iri, dan memaksa kami keluar. Kalau para perwira itu menangani sendiri, kalian tidak akan dapat menolak seandainya mereka akan menggeledah seluruh tempat ini termasuk kalian masing-masing."
"Tidak mau, tidak mau."
"Kalau begitu tenanglah. Berkumpullah diruang tengah ini. Seluruhnya. Kami akan memasuki setiap ruangan."
Demikianlah maka penelitian itu dilakukan secermat-cermatnya. Tidak ada tempat yang terlampaui.
Sementara itu, kelompok yang langsung dipimpin oleh Panglima pasukan pengawal sudah sampai pula di bangsal Sri Rajasa. Mereka masih menemukan Tohjaya, dua orang prajurit pengawalnya, beberapa orang prajurit yang lain. yang ikut serta mengawal bangsal itu setelah ada tanda bahaya, dan gurunya, penasehat Sri Rajasa itu.
"Kau," desis Tohjaya ketika Panglima itu mendekati bangsal.
Panglima pasukan pengawal itu menganggukkan kepalanya dalam-dalam. Kemudian sambil mendekat ia berkata, "Hamba tuanku. Hamba sedang meronda berkeliling setelah hamba mendengar tanda bahaya dari luar istana."
"Ya. Aku memerintahkan para pengawal membunyikan tanda bahaya. Apakah tanda bahaya itu merambat keluar kota?"
"Hamba tuanku. Bukan saja halaman istana ini yang kini diliputi oleh kecemasan. Tetapi beberapa bagian diluar istana agaknya telah mendengar pula. Hamba telah memerintahkan kesiagaan diluar istana pula. bukan hanya didalam istana."
"Bagus," Tohjaya mengangguk-anggukkan kepalanya, "sekarang apakah yang kau lakukan?"
"Kami menjelajahi isi halaman ini untuk mencari orang-orang yang diberitakan masuk kedalam halaman ini."
"Bukan diberitakan. Tetapi pasti. Aku melihatnya sendiri."
Dalam pada itu Anusapati-pun kemudian mendekat sambil berkata, "Adinda Tohjaya melihat orang-orang itu?"
Tohjaya mengerutkan keningnya. Dipandanginya orang yang mendekat itu. "Kakanda Anusapati?" ia bertanya.
"Ya, aku," sahut Anusapati.
"Apakah yang kakanda lakukan?"
"Aku bersama dengan para prajurit sedang meronda."
"Apakah kakanda tidak mendengar tanda bahaya?"
"Justru karena aku mendengar tanda bahaya."
Tohjaya termangu-mangu sejenak. Ia-pun menjadi heran. "Justru karena ia mendengar tanda bahaya." Tohjaya mengulang didalam hatinya.
"Jadi, kakanda tidak tinggal saja didalam bangsal" Apakah kakanda menyadari bahaya yang sedang membayangi halaman istana ini?"
"Aku menyadari. Itu adalah salah satu kuwajibanku justru karena ayahanda Sri Rajasa tidak ada."
Tohjaya menjadi berdebar-debar mendengar kata-kata Anusapati. Seperti para perwira prajurit yang menyertainya, sama sekali tidak mengira bahwa pada suatu saat Anusapati benar-benar bersikap sebagai Putera Sri Rajasa.
"Aku telah memerintahkan pula untuk menutup halaman ini dan mencarinya sampai kita semua mendapatkan orang-orang yang masuk kedalam istana itu, karena aku yakin, tidak seekor cicak-pun yang akan dapat keluar dari istana ini. Setiap jengkal dinding sudah diawasi. Aku sudah mengelilingi halaman istana sebelum aku sampai keregol depan dan menemui Panglima pasukan pengawal."
Tohjaya menjadi semakin berdebar-debar. Dan Anusapati-pun berkata pula, "Nah, sekarang kami sedang mencari orang-orang itu disegala sudut. Kami telah membagi pasukan yang ada menjadi empat kelompok kecil, untuk meneliti setiap jengkal tanah didalam halaman istana."
"Kenapa aku tidak melakukannya lebih dahulu," Tohjaya berkata didalam hatinya dengan penuh penyesalan, "kenapa aku tetap tinggal di bangsal ini menunggui angin?"
Tetapi semuanya sudah terlanjur. Untuk menutup kekecewaannya Tohjaya berkata, "Aku sudah menemukan mereka bertiga sebelum kalian berbuat sesuatu. Akulah yang memerintahkan tanda itu dibunyikan."
"Apakah kau tidak berusaha menangkapnya?" bertanya Anusapati tiba-tiba.
Pertanyaan itu terasa menyinggung perasaan Tohjaya. Namun ia menjawab, "Aku sudah bertempur melawan ketiganya. Tetapi mereka melarikan diri."
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, "Kalau perintahmu tidak terlambat adinda Tohjaya, maka orang-orang itu pasti tidak akan dapat keluar istana ini. Tetapi kalau adinda Tohjaya terlambat, dan tanda-tanda itu berbunyi justru setelah yang kau katakan tiga orang itu sudah berada diluar istana, maka kita pasti tidak akan dapat menemukannya."
"Aku tidak terlambat," berkata Tohjaya lantang, "tetapi aku memerlukan waktu. Setelah ketiganya melarikan diri, aku baru dapat memerintahkan pengawalku untuk membunyikan tanda bahaya dan menghubungi para petugas dimalam ini."
"Jadi adinda Tohjaya bersama pengawal-pengawal itu?"
"Ya." "Di bangsal ini?"
Tohjaya menjadi ragu-ragu sejenak. Tetapi ia-pun menganggukkan kepalanya, "Ya. Aku berada di bangsal ini bersama pengawal-pengawalku."
"Dan penasehat ayahanda Sri Rajasa itu?"
Sekali lagi Tohjaya menjadi ragu-ragu. Namun ia harus mengiakannya pula, "Ya. Bersama penasehat ayahanda Sri Rajasa. Aku sedang mempelajari beberapa isi rontal."
"Apakah pengawal-pengawal adinda tidak membantu berusaha menangkap salah seorang dari mereka?"
Wajah Tohjaya menjadi merah. Untunglah bahwa didalam gelapnya malam perubahan wajah itu tidak nyata kelihatan. Sambil mengumpat didalam hati ia menjawab, "Pertanyaan kakanda adalah pertanyaan yang aneh. Sudah tentu kami semuanya berusaha sejauh-jauh dapat kami lakukan. Tetapi sudah aku katakan, mereka melarikan diri. Kalau kakanda bertanya apakah aku tidak mengejarnya, aku akan menjawab, bahwa aku sudah mengejarnya bersama para pengawal. Tetapi aku tidak akan dapat menjawab kalau kakanda bertanya, kenapa aku tidak dapat menangkapnya."
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya, meski-pun ia tersenyum didalam hati.
Agaknya Panglima pasukan pengawal yang mengetahui bahwa ada jarak pada kedua putera Sri Rajasa itu berkata, "Ampun tuanku berdua. Tugas kita sekarang adalah mencari orang-orang itu dan menemukannya. Kemudian menangkap mereka hidup atau mati."
Anusapati menarik nafas dalam-dalam. Ternyata Panglima itu cukup bijaksana sehingga karena itu ia menjawab, "Ya. Kita sekarang mencari orang itu. Kita akan menangkap hidup atau mati."
Suasana yang sudah mereda itu tiba-tiba melonjak ketika Mahisa-wonga-teleng menyambung dari kejauhan, "Tetapi benarkah ada orang-orang yang memasuki istana ini?"
Tohjaya yang sudah menahan hati itu hampir-hampir saja menjadi marah kepada Mahisa-wonga-teleng. Namun agaknya ia masih berusaha menahan hatinya. Meski-pun demikian ia menjawab, "Agaknya aku masih dapat mempercayai otakku adinda Mahisa-wonga-teleng. Aku masih dapat membedakan antara sebuah mimpi dan kenyataan yang terjadi dihadapanku, bahkan yang telah memaksa aku untuk bertempur."
Mahisa-wonga-teleng tidak menjawab lagi. Tetapi hatinya agak menjadi berdebar-debar juga. Ternyata ia telah menyinggung perasaan Tohjaya.
"Sudahlah." Panglima itu sekali lagi menengahinya, "kita jangan membuang-buang waktu. Kita harus segera menemukan orang itu."
"Ya, marilah, kita lanjutkan usaha kita malam ini. Selambatnya besok pagi-pagi, orang itu harus sudah tertangkap."
Panglima itu-pun kemudian menganggukkan kepalanya dalam-dalam kepada Tohjaya sambil berkata, "Hamba akan melanjutkan tugas hamba tuanku. Hamba sengaja tidak melihat keadaan didalam bangsal dan sekitarnya karena disini ada tuanku serta para pengawal. Seandainya orang-orang itu kembali kebangsal ini atau kelongkangan dibelakang, hamba serahkan kepada tuanku."
"Seharusnya kau tidak usah mengatakannya. Apakah tanpa pesan itu aku tidak akan berbuat apa-apa seandainya mereka kembali dan bersembunyi disini?"
Dada Panglima itulah kini yang berdesir. Ia adalah seorang prajurit yang tertinggi didalam kesatuannya. Ia mempunyai wewenang dan kekuasaan. Adalah tidak pada tempatnya bahwa Tohjaya bersikap begitu kasar kepadanya.
Tetapi sebagai orang yang telah cukup matang, Panglima itu masih menahan hati. Ia sadar pula bahwa ia berhadapan dengan putera terkasih dari Sri Rajasa. Karena itu maka ia-pun manganggukkan kepalanya sekali lagi sambil berkata, "Ampun tuanku. Hamba tidak bermaksud apa-apa. Hamba hanya terlampau berhati-hati. Kalau hal itu tidak berkenan dihati tuanku, biarlah aku mencabut ucapan itu kembali."
Tohjaya mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak menjawab sama sekali.
Yang kemudian menyahut adalah penasehat Sri Rajasa, "Silahkanlah. Mungkin waktu akan sangat berharga bagi kalian."
"Terima kasih," desis Panglima itu, lalu, "Hamba mohon diri tuanku."
"Ya," jawab Tohjaya singkat.
Panglima itu-pun kemudian meninggalkan bangsal Sri Rajasa. Anusapati dan adiknya. Mahisa-wonga-teleng-pun minta diri pula kepada Tohjaya. Dan jawab Tohjaya-pun sesingkat jawabannya kepada Panglima itu.
Beberapa langkah setelah mereka meninggalkan bangsal itu, Mahisa-wonga-teleng bertanya kepada Anusapati, "Kakanda, kenapa kakanda Tohjaya ada ditempat itu?"
Anusapati menggeleng, "Aku tidak tahu. Mungkin ia mengikuti orang-orang yang dikatakannya memasuki halaman Istana ini. Atau ia sengaja mengawasi bangsal yang kosong itu, agar tidak dipergunakan sebagai tempat persembunyian orang-orang yang sedang kita cari."
"Tetapi kita tidak mencari disekitar bangsal itu. Orang-orang itu justru akan merasa aman bersembunyi disana."
"Ah kau. Dengan demikian adinda Tohjaya akan merasa tidak mendapat kepercayaan."
"Tetapi ternyata kakanda Tohjaya tidak dapat menangkap."
"Seandainya ia berada disana, maksudku orang-orang itu, mereka tidak akan dapat keluar dari halaman ini. Pada suatu saat mereka pastu akan dapat kita tangkap juga."
Mahisa-wonga-teleng mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tetap tidak mengerti, kenapa Tohjaya berada di bangsal ayahanda Sri Rajasa justru ketika ayahanda Sri Rajasa tidak ada di istana.
"Mungkin ayahanda memang sudah mengijinkan kakanda Tohjaya dengan orang-orang yang mengawaninya itu berada di bangsal itu," katanya didalam hati untuk menenteramkan hatinya itu sendiri.
Demikianlah maka kelompok-kelompok prajurit yang sedang mencari orang-orang yang dikatakan memasuki istana itu sudah mengelilingi semua sudut. Tidak ada sejengkal tanah-pun yang lepas dari pengawasan mereka. Namun demikian mereka tidak menemukan seorang-pun juga. Mereka tidak menemukan orang-orang yang mencurigakan.
Sambil mengusap keringat dikening, Panglima pengawal itu berdesis, "Ternyata kita tidak menemukan apa-pun juga. Tetapi apa yang dikatakan oleh tuanku Tohjaya itu pasti benar. Soalnya adalah, apakah ketika tanda bahaya berbunyi, orang-orang itu sudah berhasil keluar dari halaman istana ini. Jika demikian, kita tidak akan dapat menangkap mereka."
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian, "Tetapi bukankah diluar halaman ini penjagaan telah diperkuat pula?"
"Tetapi sudah tentu setelah tanda bahaya itu berbunyi tuanku."
Sekali lagi Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Seolah-olah ia sependapat dengan Panglima itu. Sudah tentu bahwa Tohjaya memerlukan waktu sebelum tanda bahaya itu berbunyi.
Tetapi Anusapati tersenyum didalam hati. Ia tahu benar apa yang sebenarnya telah terjadi. Lebih dari Tohjaya dan gurunya. Lebih dari setiap orang didalam istana itu. Bahkan perwira prajurit yang lebih dahulu turun kelongkangan dan bertempur melawan guru Tohjaya itu-pun tidak mengetahui selengkap yang diketahuinya.
Meski-pun demikian Anusapati tidak dapat menjelaskannya kepada siapa-pun juga. Ditahannya saja perasaan ini didalam hati. Ia akan menunggu sampai Mahisa Agni pada suatu saat berkunjung ke Singasari. Ia akan menceriterakan apa yang telah terjadi didalam halaman istana itu.
Ketika fajar mulai menyingsing di Timur, semuai kelompok telah kembali keregol depan. Mereka berkumpul di gardu induk untuk menyampaikan laporan mereka kapada Panglima pengawal istana.
"Aneh," desis Panglima itu.
"Apakah kalian mencurigai seseorang?" bertanya Anusapati.
Hampir berbareng para pemimpin kelompok menyahut, "Tidak tuanku. Hamba tidak melihat tanda-tanda yang dapat menimbulkan kecurigaan. Apalagi pada seseorang."
Anusapati mengangguk-angguk. Lalu katanya kepada Panglima itu, "Mungkin kita terlambat. Maksudku, tanda bahaya itulah yang terlambat sehingga orang-orang itu sempat meloncat keluar."
Panglima itu mengangguk-angguk. Katanya, "Mungkin tuanku. Hamba juga menyangka demikian. Hamba menduga bahwa apabila tanda itu tepat pada waktunya, para pengawal cukup cepat bertindak. Setidak-tidaknya pasti ada satu dua orang yang melihatnya meloncat meski-pun dari kejauhan. Karena menurut laporan, begitu tanda yang pertama berbunyi, maka semua prajurit yang mendengarnya langsung menjaga semua regol dan mengawasi segenap dinding."
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian, "Aku melihat sendiri. Aku-pun segera melihat berkeliling halaman istana." Anusapati diam sejenak, "kita akan bersama-sama melaporkannya kepada ayahanda Sri Rajasa. Kau dan aku. Ayahanda tidak akan dapat menyalahkan kita semua para prajurit. Kalau ayahanda Sri Rajasa menganggap bahwa kesempatan lepas dari orang-orang itu merupakan suatu kesalahan, ayahanda harus menimbang secara adil, siapakah yang sebenarnya bersalah."
Panglima itu merenung sejenak. Desisnya, "Hamba tuanku. Hamba akan menyampaikan laporan apa yang ada dan apa yang sebenarnya terjadi."
Demikianlah maka malam itu, istana Singasari telah dilanda oleh suatu teka-teki yang menggemparkan. Sebelum matahari naik. maka berita itu telah tersebar hampir keseluruh kota.
Orang-orang Singasari segera mempercakapkan peristiwa itu dengan setiap orang yang mereka jumpai. Dijalan-jalan, dipasar, dirumah-rumah tetangga dan bahkan ditikungan-tikungan.
"Pasti hantu dari prajurit-prajurit Kediri yang ingin membalas dendam," berkata salah seorang dari mereka.
"Kenapa tidak kepada Sri Rajasa atau Mahisa Agni. Merekalah yang telah membinasakan para pemimpin puncak di Kediri. Kenapa hantu itu justru datang kebangsal yang sedang kosong itu?"
"Tentu mereka tidak berani menghadapi Sri Rajasa. Mereka masih tetap ketakutan. Juga kepada Mahisa Agni. Itulah sebabnya mereka berusaha menakut-nakuti puteranya terkasih, Tohjaya."
Kawan-kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun tiba-tiba salah seorang dari mereka berkata, "Bukan, pasti bukan hantu. Mereka pasti orang-orang Kediri yang mendendam."
"Tetapi kenapa mereka dapat hilang begitu saja?"
"Pasti dengan aji panglimunan. Mereka menjadi tidak kelihatan. Dengan demikian mereka dapat leluasa keluar lewat regol betapa-pun rapatnya penjagaan."
"Kalau Kediri mempunyai tiga orang saja yang memiliki ilmu itu yang sebenarnya, Singasari tidak akan dapat mengalahkannya."
"Kenapa?" "Dengan mudahnya mereka akan membunuh semua prajurit Singasari digaris perang. Bahkan Sri Rajasa dan Mahisa Agni."
"Bodoh kau. Sri Rajasa dan Mahisa Agni memiliki aji Sapta Pandulu dan Sapta Pangrungu. Mereka akan melihat yang tidak tampak oleh mata biasa, dan mereka akan mendengar apa yang tidak terdengar oleh telinga wadag ini. Meski-pun mereka dapat melenyapkan diri dengan aji Panglimunun, namun baik Sri Rajasa dan Mahisa Agni tetap dapat melihat mereka dan mendengar langkahnya."
Yang lain mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, "Itulah sebabnya mereka datang pada saat Sri Rajasa tidak ada dan demikian pula Mahisa Agni."
"Tetapi apa maksudnya" Kalau mereka akan mengganggu putera-putera Sri Rajasa, mereka pasti dapat melakukannya. Mereka tidak usah bertempur dan melarikan diri."
Mereka-pun terdiam. Sejenak mereka mencoba mencari alasan untuk membenarkan pendirian masing-masing.
Namun tiba-tiba saja tanpa mereka duga-duga, seorang anak laki-laki yang berdiri diantara mereka bertanya, "Siapakah mereka itu paman?"
"Tidak ada yang tahu."
"Kenapa mereka memakai selubung hitam seandainya memang belum ada seorang-pun yang tahu" Apa pula gunanya?"
Pertanyaan itu benar-benar mengejutkan orang-orang tua. Anak itu berkata dengan jujur, seperti apa yang tersirat didalam hatinya.
Karena itu, maka beberapa orang tua-tua itu saling berpandangan. Salah seorang dari mereka kemudian berkata, "Ya, kenapa kita tidak bertanya seperti anak itu" Buat apa sebenarnya mereka memakai tutup wajah?"
Yang lain mengangguk-angguk, "Ya, sudah tentu mereka takut dikenal. Apakah mereka sebenarnya orang-orang yang memang sudah dikenal di istana?"
"Ah. Itu adalah urusan orang-orang istana. Bukan urusan kita."
Ternyata pertanyaan itu-pun sudah tumbuh pula dikalangan orang-orang istana. Ketika para pengawal pasti, bahwa orang-orang itu tidak dapat diketemukan sampai pagi hari berikutnya, maka Panglima pengawal itu-pun bergumam hampir kepada diri sendiri, "Aneh. Tetapi apa pula gunanya mereka memakai tutup wajah?"
Anusapati yang masih berada diantara para prajurit itu-pun menjadi berdebar-debar. Tetapi ia-pun menyahut, "Ya. Apa pula gunanya mereka mempergunakan tutup kepala" Ada dua kemungkinan. Mereka memang orang-orang yang sebenarnya sudah dikenal di istana ini atau orang-orang yang takut dikenal kemudian karena mereka memang sering datang ke Singasari."
Panglima itu mengangguk-angguk. Ia-pun kemudian bertanya, "Bagaimana pendapat tuanku?"
"Aku mengira bahwa mereka memang orang-orang yang sudah dikenal dan sudah mengenal liku-liku istana. Mereka dapat tanpa diketahui oleh seorang penjaga-pun mencapai pusat dari halaman istana yang luas ini. Mereka berhasil mendekati bangsal ayahanda Sri Rajasa dan bahkan masuk kelongkangan belakang menurut adinda Tohjaya. Kemudian mereka dapat menghilang tanpa diketahui oleh para penjaga. Menurut dugaanku orang-orang itu sudah cukup mengenal isi istana ini."
Panglima itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, "Hamba-pun berpendapat, bahwa hamba harus mengawasi setiap orang didalam istana ini. Hamba wajib mencurigai mereka yang tinggal didalam."
"Tetapi menurut pengamatanku, sulitlah mencari, jangankan tiga, seorang saja diantara isi istana ini yang mampu berbuat seperti yang dikatakan oleh adinda Tohjaya."
Panglima itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak menyahut lagi.
Sehari berikutnya, halaman istana seakan-akan masih tertutup rapat-rapat. Tidak boleh ada orang yang keluar atau masuk tanpa pengamatan khusus.


Bara Diatas Singgasana Pelangi Di Singosari Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Perwira prajurit, guru Tohjaya dan Anusapati-pun sudah mengunjungi pusat-pusat pengawasan halaman istana digardu induk. Seperti Anusapati dan Panglima pasukan pengawal ia sependapat, bahwa setiap orang memang harus dicurigai.
"Tetapi tiga orang yang berilmu. Apakah ada satu saja orang-orang didalam halaman ini yang mampu berbuat seperti dikatakan oleh tuanku Tohjaya?"
Pertanyaan itu memang telah menyentuh setiap dada. Hanya para Panglima dan prajurit-prajurit pilihan sajalah yang memiliki kemampuan yang begitu tinggi. Dan pada umumnya mereka berada diluar istana.
Tetapi ada juga yang melihat, setidak-tidaknya seorang yang memiliki ilmu yang cukup. Perwira prajurit yang menjadi guru Tohjaya dan Anusapati.
"Tetapi orang itu tidak mempunyai kepentingan apapun. Apa pula maksudnya berbuat onar?" bertanya orang-orang yang telah menyorotinya didalam hati, "apakah ia sekedar mencobai muridnya?"
Tetapi orang lain justru berpikir, "Apakah Sri Rajasa sendiri yang telah memasuki halaman ini bersama dua orang prajurit pilihan. Ia agaknya ingin melihat kesiagaan istana Singasari dengan langsung."
Ada pula yang berpikir, "Mungkin Mahisa Agni."
Namun tidak ada seorang-pun yang dapat mendekatkan dugaannya. Semuanya hanyalah sekedar dugaan yang masih belum dapat diserta dengan bukti atau alasan yang mapan.
Demikianlah maka penjagaan di istana Singasari itu-pun menjadi semakin ketat dihari berikutnya. Sampai saatnya Sri Rajasa datang kembali dari berburu.
Istana Singasari yang nampak sepi untuk beberapa hari itu-pun rasa-rasanya menjadi hidup kembali. Bangsal dipusat halaman itu-pun menjadi terang benderang, justru karena Sri Rajasa sudah berada didalamnya.
Setelah Sri Rajasa beristirahat dan menikmati hasil buruannya, membagikan daging binatang buruan, dan menyimpan kulitnya, kulit harimau, kijang dan seekor biawak raksasa, barulah Panglima pengawal istana berani melaporkan apa yang sudah terjadi di istana. Panglima itu sengaja mengambil kesempatan yang pertama sebelum orang lain menyampaikannya.
Wajah Sri Rajasa tiba-tiba menjadi merah padam. Sambil menghentakkan tangannya ia berkata, "Dan kalian tidak berhasil menangkap orang-orang itu?"
"Ampun tuanku," berkata Panglima, "sekejap setelah tanda bahaya berbunyi, kami sudah siap mengepung istana. Tidak seorang-pun yang dapat lolos lewat mana-pun juga. Tuanku Putera Mahkota-pun segera hadir digardu induk dan bersama kami mengelilingi segenap sudut istana ini, sementara para pengawal dan prajurit tetap ditempat masing-masing. Bukan saja para prajurit yang bertugas, tetapi para prajurit dibarak keprajuritan disebelah istana ini-pun sebagian telah diperbantukan kedalam istana."
Sejenak Sri Rajasa terdiam. Tampak betapa gelora yang dahsyat telah melanda dadanya. Sementara Panglima itu meneruskan, "Putera tuanku yang lain-pun telah ikut pula didalam usaha itu. Tuanku Tohjaya berada di bangsal tuanku, tuanku Mahisa-wonga-teleng ikut pula bersama kami dan tuanku Anusapati."
Darah Sri Rajasa serasa telah mendidih. Adalah suatu penghinaan, bahwa tiga orang berkerudung hitam telah memasuki halaman istana. Meski-pun para prajurit telah dengan cepatnya berusaha mengepung istana sehingga tidak memberinya kesempatan lolos, tetapi kenyataan yang tidak dapat dipungkiri, orang-orang itu tidak dapat ditangkap.
Panglima itu-pun kemudian menceriterakan bahwa Tohjaya telah terlibat dalam perkelahian melawan ketiga orang itu. Namun mereka berhasil lolos juga.
Sri Rajasa menggeretakkan giginya. Hampir saja ia bertanya, kenapa penasehatnya yang menggurui Tohjaya tidak menangkap mereka. Tetapi untunglah bahwa ia sadar, dan menunda pertanyaannya itu dalam kesempatan yang lain.
"Aku mengharap mereka kembali," berkata Sri Rajasa, "aku ingin melihat siapakah sebenarnya mereka itu."
Panglima pasukan pengawal itu-pun duduk sambil menundukkan kepalanya. Agaknya Sri Rajasa benar-benar telah marah.
Demikianlah akhirnya Panglima itu diijinkan untuk meninggalkan bangsal. Yang menghadap kemudian adalah Tohjaya bersama penasehat Sri Rajasa yang telah ditunjuk untuk memberikan latihan-latihan kepada puteranya itu.
Dari mereka Sri Rajasa-pun mendengar laporan yang sama, bahkan lebih terperinci lagi. Tohjaya dapat menceriterakan bagaimana mereka seorang demi seorang turun dan berkelahi. Bagaimana gurunya telah turun tangan, tetapi tidak dapat mengimbangi kemampuan mereka. Salah seorang dari ketiga orang itu ternyata memiliki kemampuan diatas gurunya, sehingga mereka sama sekali tidak berhasil menangkapnya.
"Gila," Sri Rajasa menggeram, "penghinaan tiada taranya bagi Sri Rajasa."
Dihari berikutnya, justru telah keluar suatu perintah yang aneh bagi para pengawas. Tetapi ketika Panglima pengawal telah menghadap Sri Rajasa, ia mendapat penjelasan tentang perintah itu.
"Aku memang menghendaki, agar orang-orang itu menganggap bahwa kita sudah lengah. Penjagaan harus dikembalikan seperti biasa. Tetapi harus ada gardu-gardu pengawas yang khusus dan terlindung. Aku mengharap bahwa orang-orang itu akan datang kembali. Aku ingin tahu, apakah orang itu mampu melawan Sri Rajasa."
Barulah Panglima pasukan pengawal itu menjadi jelas. Dan ia-pun segera mengatur segala macam persiapan untuk melakukan perintah Sri Rajasa itu.
Dalam pada itu, disuatu kesempatan Anusapati berkata kepada Sumekar, "Kita sekarang mengalami kesulitan untuk meloncat keluar paman. Dibeberapa tempat telah dibuat gardu-gardu pengawas yang khusus. Dengan demikian, maka hampir setiap jengkal dinding dapat diawasi secara tersembunyi."
Sumekar menganggukkan kepalanya sambil tersenyum. "Hamba tuanku. Akibat dari permainan perwira yang telah memaksa kita untuk ikut serta."
"Kita tidak akan dapat keluar lagi untuk waktu yang agak lama," berkata Anusapati kemudian, "tetapi kau masih mempunyai kesempatan, justru di siang hari apabila kau ingin menjumpai paman Witantra."
"Ya. Hamba masih mempunyai waktu."
Demikianlah, maka istana Singasari itu seolah-olah telah tertutup. Setiap saat Sri Rajasa menunggu untuk mengetahui, sampai dimana kemampuan orang berkerudung itu.
Namun Sri Rajasa bukan seseorang yang terlampau cepat menentukan keputusan dalam setiap persoalan. Ia cukup teliti dan mempunyai perhitungan yang tajam. Seperti kebanyakan orang didalam istana itu, Sri Rajasa-pun menyimpan kecurigaan bahwa sebenarnya orang didalam istana itu sendirilah yang telah melakukannya, sehingga ia tidak perlu lari melintasi dinding yang betapa-pun ketatnya pengawasan.
Namun demikian, kecurigaan itu lambat laun terasa pula. Setiap kali Sri Rajasa memanggil seseorang yang pantas dicurigainya untuk dipertemukan dengan Tohjaya. Meski-pun persoalan yang dibicarakan adalah persoalan-persoalan yang sama sekali tidak bersangkut paut dengan peristiwa itu, namun Sri Rajasa mengharap bahwa Tohjaya akan dapat mengenal sikap orang itu.
Tetapi dengan cara itu, Tohjaya tidak berhasil menemukan. Yang dipanggil oleh Tohjaya justru para perwira dan Panglima, orang-orang penting yang memiliki kemampuan cukup, dan perwira prajurit saudara sepupu Ken Umang. Tetapi perwira yang memang merasa dicurigai itu masih berhasil menyembunyikan setiap kesan yang memungkinkan membuka rahasianya.
Yang sama sekali tidak dicurigai didalam hal ini adalah Sumekar dan Anusapati. Mereka sama sekali tidak dihitung sebagai orang-orang yang memiliki kemampuan untuk melakukan hal itu.
Meski-pun demikian kecurigaan Sri Rajasa atas orang-orang dalam memang membuat keduanya cemas. Apabila lambat laun perwira prajurit itu tidak berhasil menyembunyikan rahasia ini, maka ia akan mengalami nasib yang sangat buruk.
Disaat-saat Sumekar mendapat kesempatan di siang hari berjalan-jalan keluar istana, ia tidak dapat menahan desakan keinginannya untuk mengatakan hal ini kepada Witantra, sehingga sambil tersenyum Witantra berkata, "Kalian telah menyusahkan diri kalian sendiri. Tetapi kasihan juga perwira itu." Witantra berhenti sejenak, lalu, "Baiklah, aku akan membebaskannya dari kecurigaan itu."
"Maksudmu?" bertanya Sumekar.
Witantra tertawa. Jawabnya kemudian, "Aku akan berbuat sesuatu sehingga timbul kesan bahwa yang telah melakukannya adalah memang orang diluar istana."
"Tetapi apakah hal itu tidak akan dapat menimbulkan salah paham?"
Witantra mengerutkan keningnya. Ia tidak segera mengetahui maksud Sumekar sehingga ia bertanya, "Apakah yang kau maksud dengan salah paham?"
"Mungkin Sri Rajasa akan menduga terlampau jauh. Mungkin ia menyangka bahwa akan ada semacam pemberontakan yang didahului dengan perbuatan-perbuatan aneh untuk menunjukkan kelebihan mereka yang akan memberontak. Atau dugaan-dugaan lain yang semacam itu."
"Aku hanya akan melakukannya satu atau dua kali untuk menyelamatkan orang-orang yang mungkin dicurigai, padahal orang itu tidak pernah berbuat apa-apa, karena Sri Rajasa tidak akan mungkin mencurigai seorang juru taman atau Putera Mahkota yang dungu itu."
Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya, namun kemudian. "Tetapi apakah tidak mungkin bahwa Sri Rajasa akan menduga, bahwa hal itu dilakukan oleh Mahisa Agni yang berada di Kediri?"
Witantra mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia berkata, "Aku akan menunggu Mahisa Agni berada di istana Singasari. Bukankah kini ia sering berkunjung kemari untuk membicarakan masalah Putera Mahkota yang sudah sepantasnya kawin?"
Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia masih bertanya, "Tetapi apakah hal itu tidak akan terlampau berbahaya bagimu?"
Witantra tertawa. Katanya, "Kalau hanya sekedar melarikan diri, aku kira aku tidak akan kalah dari Sri Rajasa."
Sumekar-pun tersenyum. Ia percaya, bahwa Witantra memiliki beberapa kelebihan dari orang kebanyakan. Witantra pasti sudah mengetahui, betapa tinggi ilmu Sri Rajasa, sehingga ia akan dapat mengira-ngirakan, apa yang sebaiknya dilakukan.
Demikianlah, maka persoalan orang-orang berpakaian hitam yang memasuki istana itu, dengan sengaja dihapus dari pembicaraan sehari-hari. Sri Rajasa sendiri memerintahkan, agar masalah itu tidak selalu diulang-ulang, selalu dibicarakan dan menjadi bahan kecemasan bagi penghuni istana.
"Mereka tidak akan berani datang apabila aku berada di istana," berkata Sri Rajasa, "bahkan aku mengharap ia sekali-sekali datang mengunjungi aku. Karena itu, jangan terlampau ketat menjaga dinding istana. Beri mereka kesempatan masuk. Aku sendiri akan menangkapnya."
Dengan demikian, maka masalah orang-orang berkerudung hitam itu sudah tidak pernah diucapkan lagi oleh orang-orang Singasari.
Ketika orang-orang didalam dan disekeliling istana sudah melupakannya, maka Mahisa Agni mendapat kesempatan untuk mengunjungi Singasari. Dengan penuh harapan ia menghadap Sri Rajasa untuk menyampaikan kelanjutan persoalan Anusapati yang dianggap sudah agak terlampau lambat kawin bagi seorang Putera Mahkota.
"Hamba menghadap untuk menyampaikan hasil pembicaraan hamba dengan para bangsawan di Kediri," berkata Mahisa Agni.
"Lalu?" "Seorang bangsawan yang berdarah Tumapel telah menyetujui permintaan hamba."
"Kenapa berdarah Tumapel?"
"Adalah menguntungkan sekali bagi kesatuan Singasari dan Kediri."
Sri Rajasa mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, "Apakah kau sudah meneliti lajur keturunannya?"
"Hamba tuanku. Sudah hamba ketahui semuanya."
"Apa katamu?" "Menurut hamba, pantaslah apabila keturunan kebangsawanannya akan dikuatkan bagi sisihan Putera Mahkota."
Sri Rajasa mengangguk-anggukan kepalanya. "Terserahlah kepada ibunya."
Dada Mahisa Agni berdesir. Agaknya Sri Rajasa hampir tidak peduli, apa saja yang akan terjadi dengan Anusapati. Namun demikian Mahisa Agni berkata lebih jauh, "Ampun tuanku. Hamba telah mendahului tuanku, bahwa hamba telah membayangkan kepada keluarga itu, bahwa tuanku menghendaki puterinya bagi Putera Mahkota."
"Kau adalah pamannya. Kau pasti dapat mempertimbangkannya."
"Tetapi yang ingin hamba persembahkan kepada tuanku adalah, bahwa didalam keluarga itu terdapat dua orang gadis kakak beradik."
"Jadi, yang mana yang kau kehendaki?"
"Ampun tuanku, bagaimana kalau kedua-duanya?"
"Kedua-duanya?"
"Maksud hamba, yang seorang bagi putera tuanku yang muda, tuanku Tohjaya."
"He," wajah Sri Rajasa menjadi berkerut-merut. Sejenak ia termenung. Namun kemudian ia berkata, "Aku sama sekali belum pernah berbicara dengan ibunya. Aku kira tidak menginjak perkawinan."
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia menjadi agak kecewa. Katanya, "Hamba sudah menyinggungnya. Tetapi ampun tuanku bahwa hamba agak mendahului tuanku. Menurut tilikan hamba, tuanku Tohjaya-pun sudah cukup dewasa. Sudah sepantasnya apabila tuanku Tohjaya-pun segera menginjak perkawinan."
"Aku akas berbicara dengan ibunya. Tetapi tidak untuk waktu yang singkat"
Mahisa Agni mengangguk-angguk pula. Sedang Sri Rajasa berkata didalam hatinya, "Tidak pantas bahwa putera kebanggaan Sri Rajasa mendapatkan seorang isteri saudara sekandung dengan isteri Anusapati yang bodoh itu. Tohjaya harus mendapat isteri yang lebih tinggi derajatnya."
Meski-pun demikian Sri Rajasa berkata, "Kalau kau sudah pernah memberikan harapan pada keluarga itu, terlebih-lebih kepada anak gadisnya, bagaimana kalau yang seorang kita kawinkan dengan Mahisa-wonga-teleng?"
Mahisa Agni terperanjat. "Apakah tidak masih terlampau muda tuanku?"
Sri Rajasa tidak segera menjawab. Memang Mahisa-wonga-teleng masih terlampau muda. Tetapi ia sudah tumbuh menjadi seorang anak muda yang pantas disebut dewasa.
"Mungkin umurnya masih terlampau muda," berkata Sri Rajasa. "Tetapi tiga tahun lagi ia sudah seorang anak muda yang dewasa. Sudah tentu bahwa seandainya Anusapati akan diikat dalam perkawinan, tidak akan kita selenggarakan tahun ini. Kita akan melakukan persiapan seperlunya. Kalau saat perkawinan itu akan berlangsung tahun depan, maka umur Mahisa-wonga-teleng-pun sudah menjadi semakin mendekati batas kedewasaannya sehingga sudah pantas baginya untuk segera kawin ditahun berikutnya."
Mahisa Agni tidak segera menjawab. Tetapi kepalanya terangguk-angguk. Kalau perhitungan Sri Rajasa demikian, maka dua tahun lagi Mahisa-wonga-teleng memang sudah pantas untuk menjadi seorang suami, meski-pun seorang suami muda.
"Aku kira ibunya tidak akan berkeberatan," berkata Sri Rajasa. "Bukan Mahisa-wonga-teleng yang terlampau cepat, tetapi Anusapati dan Tohjayalah yang agak lambat."
"Jika demikian, kenapa bukan tuanku Tohjaya?"
"Aku memerlukan pembicaraan dengan ibunya. Sedangkan Mahisa-wonga-teleng adalah saudara seibu dengan Anusapati, sehingga pembicaraan tentang masalah perkawinan tidak akan merupakan masalah baru," Sri Rajasa berhenti sejenak, lalu, "apalagi kau adalah pamannya."
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian, "Segala sesuatu tergantung kepada kebijaksanaan tuanku. Hamba akan melaksanakan saja semua titah tuanku."
"Aku akan berbicara dengan Permaisuri. Aku rasa ia tidak akan berkeberatan. Kemudian pembicaraan seterusnya, kau sendiri dapat mengaturnya. Pada saatnya, aku akan menyampaikan keputusan itu kepada sidang para pemimpin dan tetua Singasari. Mudah-mudahan mereka tidak berkeberatan."
"Hamba tuanku. Hamba akan melakukannya."
"Untuk sementara tinggallah di istana Singasari. Kau tidak perlu mondar-mandir setiap kali dalam pembicaraan ini. Aku akan memberikan keputusanku, sehingga pada saat kau kembali ke Kediri, semuanya sudah selesai. Kita tinggal menunggu saat yang akan kita tentukan itu."
"Hamba tuanku. Hamba akan menjunjung titah tuanku."
Demikianlah maka untuk beberapa lama Mahisa Agni berada di istana Singasari. Ia telah bertemu dengan Ken Dedes didalam persoalan Anusapati.
Mahisa Agni terkejut ketika pada suatu saat perwira prajurit saudara sepupu Ken Umang, datang menemuinya. Dengan gelisah ia mengamati keadaan disekitarnya. Ketika ia yakin bahwa tidak ada seorang-pun yang mengetahuinya, maka ia-pun mulai berceritera tentang usahanya untuk mengetahui guru Tohjaya yang dianggapnya telah menyainginya itu.
"Kau berhasil?" bertanya Mahisa Agni.
"Aku berhasil tuan," jawabnya, "tetapi aku menjumpai keajaiban didalam hal itu."
"Keajaiban?" "Ya tuan. Suatu hal yang sama sekali tidak aku sangka-sangka." Dan perwira itu-pun kemudian menceriterakan, bagaimana ia tidak dapat lagi menghindarkan diri dari perkelahian melawan guru Tohjaya itu. Tetapi tiba-tiba telah hadir pula dua orang yang kebetulan sekali mempergunakan penutup wajah seperti dirinya sendiri.
"Kau tidak mengenal keduanya?"
"Sama sekali tidak tuan." ia berhenti sejenak, lalu, "Dan ternyata peristiwa itu telah menggemparkan istana sampai Sri Rajasa kembali dari perburuannya."
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Jadi penasehat raja itulah yang telah menuntun Tohjaya dengan cara yang kasar untuk mempelajari ilmu yang kasar itu pula.
Namun demikian, ceritera tentang dua orang yang berkerudung hitam itu telah menarik perhatian Mahisa Agni pula. Tetapi sebelum ia mendengar ceritera itu dari sumber yang lain, ia sudah dapat menduga, siapakah kira-kira dua orang yang tiba-tiba ada pula dilongkangan belakang bangsal Sri Rajasa itu.
Ternyata dugaan Mahisa Agni tidak salah. Disaat lain, ia bertemu dengan Anusapati. Sambil tersenyum Anusapati menceriterakan pula apa yang telah terjadi.
"Orang itu menjadi bingung," berkata Mahisa Agni, "ia menganggap hal itu sebagai suatu keajaiban."
Anusapati tertawa. Katanya, "Pada suatu saat, paman Sumekar akan berceritera pula."
Demikianlah, ketika Mahisa Agni sempat berjalan-jalan ditaman, ia menjumpai Sumekar diantara para juru teman. Namua Sumekar sempat juga menemukan waktu untuk berceritera. Tetapi karena ia yakin bahwa Anusapati sudah mengatakan tentang semuanya, maka yang dikatakannya justru pertemuannya dengan Witantra.
"Hem," Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam, "jadi Witantra akan ikut pula bermain-main."
"Ya. Ia akan membuat Sri Rajasa menjadi semakin bingung." Sumekar berhenti sejenak, "tetapi bukan itulah tujuannya. Ia ingin membebaskan setiap orang didalam istana ini dari kecurigaan. Karena sampai saat ini, meski-pun seakan-akan tidak ada masalah lagi tentang tiga orang berkerudung itu, namun sebenarnya penyelidikan masih terus dilakukan. Kadang-kadang seseorang dipanggil langsung oleh tuanku Tohjaya, apabila mungkin ia masih dapat mengenalinya."
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, "Aku percaya bahwa Witantra akan dapat melakukannya. Saat ini aku tidak dapat mengatakan, siapakah yang lebih unggul dari keduanya setelah kakang Witantra mengasingkan dirinya untuk waktu yang lama."
Ceritera-ceritera itu ternyata telah sangat menarik perhatian Mahisa Agni. Ia tahu bahwa Witantra hanya ingin sekedar membebaskan prasangka orang-orang yang terdekat dengan Tohjaya, kepada mereka yang mungkin dicurigai. Memang tidak mustahil bahwa pada suatu saat, orang-orang Tohjaya yang tidak segera dapat menemukan ketiga orang itu, akan segera bertindak kasar. Mereka dapat menangkap siapa saja yang tidak disukainya dan dipaksakannya untuk mengakui perbuatan itu.
Tetapi lebih dari itu, dengan demikian Sri Rajasa akan membuat pertimbangan disetiap tindakannya. Ia tidak akan segera tenggelam dalam kebanggaan, seolah-olah diseluruh permukaan bumi tidak ada orang yang dapat mengimbanginya setelah " " Kau berhasil"," bertanya Mahisa Agni. lah ia berhasil mengalahkan Maharaja di Kediri. Sehingga dt-ngan demikian, ia tidak akan terperosok kedalam pemujaan terhadap dirinya dan bertindak sewenang-wenang.
"Kapan Witantra akan melakukannya?" bertanya Mahisa Agni kemudian.
"Segera setelah kakang Mahisa Agni ada disini."
"Kenapa menunggu aku ada disini" Apakah Witantra masih juga memerlukan seorang penonton bagi pertunjukannya yang menarik itu?"
"Kami menjadi cemas, bahwa Sri Rajasa akan salah paham. Menurut penilaian orang-orang Singasari, hanya ada dua orang yang memiliki kemampuan melampaui kemampuan orang kebanyakan. Yang pertama adalah Sri Rajasa sendiri, yang kedua adalah Mahisa Agni. Para Panglima dan prajurit pilihan tidak ada seorang-pun yang mampu menyamainya. Dengan demikian, apabila Witantra melakukannya selagi kakang Mahisa Agni tidak ada di istana, maka mungkin akan timbul dugaan, setidak-tidaknya bagi kebanyakan orang, bahwa kakang Mahisa Agnilah yang telah melakukannya."
"Ah. Apakah akan sampai begitu jauh?"
"Mudah-mudahan tidak. Tetapi tidak akan ada orang yang berani berbuat demikian selain kakang Mahisa Agni."
Mahisa Agni tersenyum. Ternyata pertimbangan mereka sudah sampai begitu jauh, yang barangkali justru tidak terpikir sama sekali oleh Sri Rajasa.
Namun demikian Mahisa Agni berkata, "Terima kasih, bahwa kalian disini masih sempat juga mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi atasku. Jika demikian, kita tinggal menunggu kapan kakang Witantra akan membuat tontonan yang aneh itu."
"Dengan demikian, kita yang ada didalam istana ini akan bebas dari segala kecurigaan. Terutama perwira prajurit itu. Sorotan yang paling tajam ditujukan kepadanya."
"Sorotan yang tepat. Tetapi sampai saat ini ia masih sanggup mengelak."
"Tetapi pada suatu saat ia akan tersudut kedalam kesulitan sehingga ia tidak akan dapat mengelak lagi, kasihan. Ia akan menjadi bahan pangewan-ewan meski-pun ia seorang saudara sepupu tuan puteri Ken Umang."
"Baiklah kita menunggu, apa yang akan dilakukan oleh Witantra."
Demikianlah, selama di Singasari Mahisa Agni mendapat kesempatan untuk menyaksikan suatu peristiwa yang cukup menarik, selain ia harus menunggu keputusan Sri Rajasa mengenai perkawinan Putera Mahkota yang masih harus dibicarakan didalam sidang. Mahisa Agni mengerti bahwa ia sendiri akan dipanggil didalam sidang itu untuk memberikan penjelasan tentang semua pembicaraan yang pernah dilakukan di Kediri.
Meski-pun demikian, meski-pun Mahisa Agni percaya kelebihan yang ada didalam diri Witantra, ia masih juga berdebar-debar menunggu kehadirannya didalam istana, karena ia sadar bahwa Sri Rajasa adalah seorang yang ajaib sejak ia masih berkeliaran dipadang Karautan.
Tiba-tiba saja Mahisa Agni teringat kepada sebuah pusaka kecil yang diterimanya dari gurunya. Sebuah Trisula yang kini telah disimpannya baik-baik. Trisula yang mempunyai pengaruh langsung kepada Sri Rajasa didalam sikap jasmaniah.
"Tetapi Sri Rajasa akan segera mengenal benda itu," desisnya.
Demikianlah, maka hampir setiap malam Mahisa Agni selalu berdebar-debar. Sehingga pada suatu saat dari Sumekar ia mendapat kabar, bahwa malam nantilah Witantra akan hadir di halaman istana.
"Apakah ia akan datang seorang diri?"
"Ya. Ia akan datang seorang diri. Jika kehadirannya telah diketahui orang, dan tanda bahaya sudah berbunyi, maka kakang Mahisa Agni diminta untuk menampakkan diri dihadapan umum. Setidak-tidaknya digardu induk bersama para Panglima."
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia tahu benar maksud Witantra, agar tidak seorang-pun yang menyangka, bahwa ialah yang telah berbuat gila-gilaan itu.
Ketika malam kemudian tiba, Mahisa Agni menjadi gelisah. Anusapati yang mengetahui akan kehadiran Witantra itu-pun menjadi gelisah pula. Sejak matahari terbenam, ia sudah berada di bangsalnya. Dicobanya menenangkan dirinya dengan membaca beberapa helai rontal. Namun sama sekali tidak sebuah huruf-pun yang tersangkut dihatinya.
Sumekar-pun tidak beranjak pula dari pondoknya. Ia masih berbicara beberapa patah kata dengan juru taman yang lain, yang tinggal dipondok itu pula. Namun kemudian ia segera merebahkan diri dipembarngannya.
Hanya Mahisa Agnilah yang masih tetap duduk tepekur di bangsal penginapannya. Sekali-sekali ia berdiri dan berjalan mondar-mandir. Ketika ia membuka pintu dan menyembulkan kepalanya, dilihatnya dua orang pengawal berjaga-jaga di muka bangsal itu.
Menjelang tengah malam, Mahisa Agni-pun telah merebahkan dirinya dipembaringan sambil bertanya kepada diri sendiri, "Apakah Witantra menggagalkan niatnya malam ini?"
Dalam pada itu Witantra-pun telah siap dengan rencananya. Ia sadar bahwa permainannya itu adalah permainan yang berbahaya. Tetapi dengan demikian ia akan menyelamatkan orang-orang yang mungkin dicurigai didalam halaman istana.
Seperti yang pernah dikatakan oleh Sumekar, maka ia-pun mengenakan pakaian yang serupa. Berkerudung hitam dan hampir menutup seluruh tubuhnya.
Sebagai bekas Panglima pengawal istana, maka Witantra telah mengenal segala sudut istana dengan baik. Meski-pun kini istana Singasari telah berubah, tetapi pokok-pokok bentuknya masih diingatnya. Ditambah dengan, petunjuk Sumekar, maka seolah-olah Witantra setiap hari masih saja berada di halaman yang luas itu.
Ketika ayam jantan berkokok ditengah malam, maka Witantra-pun mulai merayap mendekati istana. Dari Sumekar ia tahu, dimana para penjaga bertugas mengawasi dinding istana itu. Seperti yang dikehendaki oleh Sri Rajasa, maka para penjaga memang memberi kesempatan kepada orang yang dianggapnya masih akan masuk kembali kedalam istana Singasari.
Ketika Witantra berdiri diseberang jalan yang mengelilingi dinding halaman istana hatinya memang menjadi berdebar-debar. Tetapi kemudian ia membulatkan tekadnya dengan kepercayaan bahwa ia pasti masih akan mampu menghindarkan dirinya dari tangan Sri Rajasa. Ia menganggap bahwa tidak akan ada orang lain yang dapat mengimbangi ilmunya, dalam kecepatan lari. Satu-satunya yang mungkin adalah Sri Rajasa. Dan Sri Rajasa baginya kini bukan lagi manusia ajaib yang tidak terkalahkan, meski-pun ia sadar, bahwa Sri Rajasa adalah seseorang yang melampaui manusia kebanyakan.
Demikianlah, Witantra-pun semakin mendekat kedinding istana yang menurut petunjuk Sumekar tidak medapat pengawasan terlampau ketat. Seperti seekor bilalang ia melenting dan hinggap diatas dinding istana langsung menelungkup melekat. Dalam kegelapan malam, bayangan hitam itu sama sekali tidak dapat segera dilihat oleh mata biasa.
Sejenak Witantra beristirahat sambil menahan nafas. Ia tidak ingin bersembunyi seluruhnya. Ia justru ingin menimbulkan keributan. Karena itu, ia justru harus menampakkan dirinya.
Sejenak Witantra menunggu. Ketika ternyata halaman itu sunyi ia-pun segera meloncat masuk.
Perlahan-lahan Witantra merayap di halaman. Berlindung dan gerumbul yang satu kegerumbul yang lain.
Ia pertama-tama ingin menampakkan dirinya didekat gardu sebelah bangsal Sri Rajasa. Kemudian apabila para prajurit yang meronda membunyikan tanda bahaya, ia akan berlari disepanjang dinding penyekat antara halaman istana yang lama dan halaman bagian istana yang baru, tempat kediaman Ken Umang. Dinding penyekat itu akan langsung sampai kedinding yang mengelilingi istana ini.
Memang tidak mudah untuk berlari cepat diatas dinding yang tidak terlampau tebal itu. Tetapi sudah tentu bahwa Witantra akan dapat melakukannya.
Dengan menahan nafasnya Witantra melalui beberapa gardu peronda tanpa diketahui oleh para prajurit yang ada didalamnya. Apalagi mereka sama sekali tidak menyangka, bahwa ada bayangan hitam yang merayap-rayap dibalik batang-batang bunga yang cukup rimbun. Sedangkan beberapa orang diantara mereka sudah menjadi kantuk pula.
Sejenak kemudian Witantra-pun telah sampai di halaman bangsal Sri Rajasa. Dicobanya untuk mengenal kembali daerah itu. Beberapa bagian masih juga belum berubah.
Lamat-lamat telinga Witantra yang tajam itu mendengar suara gemerisik langkah kaki dibelakang bangsal. Kadang-kadang ia mendengar loncatan-loncatan yang cepat. Karena itu maka segera ia menduga bahwa seperti yang dikatakan oleh Witantra, Tohjaya pasti sedang mengadakan latihan dibelakang bangsal Sri Rajasa.
Tetapi kali ini bangsal itu tidak sedang kosong. Sri Rajasa ada didalamnya.
Sejenak kemudian Witantra-pun sudah bertengger diatas dahan sawo kecik. Dari dahan itu ia dapat melihat apa yang sedang dilakukan oleh Tohjaya dibelakang bangsal itu.
Witantra yang berada didahan sawo kecik itu menarik nafas dalam-dalam. Seperti yang dikatakan oleh Sumekar, Tohjaya memang jatuh ketangan seorang guru yang aneh. Seolah-olah guru itu tidak menghiraukan kemampuan jasmaniah muridnya sama sekali. Ia harus berlatih melakukan gerakan-akan yang terlampau berat baginya. Apalagi terlampau kasar.
"Sri Rajasa memang orang yang aneh," berkata Witantra didalam hatinya, "ia mampu berkelahi melawan Maharaja di Kediri, bahkan mengalahkannya. Tetapi ia tidak mengerti bagaimana ia mendidik anaknya sendiri dalam olah kanuragan. Ternyata anaknya yang terkasih itu sudah diserahkan kepada seorang guru yang sama sekali tidak terpuji."
Witantra-pun kemudian melihat, bagaimana Tohjaya harus jatuh bangun melayani kehendak gurunya. Keringatnya bagaikan terperas dari segenap wajah kulitnya.
Mungkin Tohjaya dapat menjadi seorang yang luar biasa. Tetapi umurnya pasti tidak akan panjang. Tulang-ulangnya akan menjadi retak sebelum mengeras. Latihan itu terlampau tergesa-gesa.
Tetapi Witantra tidak menghiraukannya lagi. Ia sedang melakukan permainan tersendiri. Kini ia tidak ingin menampakkan dirinya pada gardu disebelah bangsal itu. Tetapi ia ingin bertengger menonton latihan itu, sehingga guru Tohjaya pasti akan segera melihatnya. Sebuah keributan kecil akan segera membangunkan Sri Rajasa, sementara Tohjaya akan memerintahkan pengawalnya membunyikan tanda bahaya.
Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia tidak boleh segera keluar dari halaman. Sri Rajasa pasti harus melihat, bagaimana ia meloncat keluar dan menghilang didalam kegelapan. Dengan demikian ia tidak akan lagi mencari-cari orang didalam halaman ini.
Demikianlah maka Witantra merayap semakin maju. Ia tidak saja berdiri pada sebatang dahan sawo kecik, tetapi ia-pun kemudian meloncat keatas pagar batu di pinggir longkangan belakang itu.
Ternyata guru Tohjaya itu sedang sangat asyik mengajar Tohjaya sehingga kehadiran Witantra yang berpakaian serba hitam itu tidak segera diketahuinya.
Tetapi ternyata pelatih itu tidak sebodoh yang disangka oleh Witantra. Meski-pun ia masih terus melatih Tohjaya, namun ternyata sejenak kemudian matanya telah tertarik oleh bayangan hitam yang bergerak-gerak dibelakang dedaunan.
"Gila," ia berkata didalam hatinya ketika ia yakin bahwa yang bergerak-gerak itu adalah bayangan seseorang yang berkerudung hitam. Meski-pun orang itu berlindung dibalik dedaunan, namun jelas baginya, bahwa bayangan itu adalah seseorang yang mencoba mengintip latihan yang sedang diselenggarakannya.
"Orang itu ternyata benar-benar kembali seperti dugaan Sri Rajasa," berkata pelatih itu didalam hatinya, "tetapi sekarang ia tidak akan dapat pergi karena Sri Rajasa ada didalam bangsal."
Dalam pada itu, pelatih itu masih tetap berpura-pura tidak melihat bahwa bayangan hitam dibalik dedaunan itu adalah bayangan seseorang.
Namun ia-pun ternyata pula tidak dapat tetap mengelabui Witantra. Ketika ia mencoba membisikkan sesuatu kepada Tohjaya, sambil melemparkan tatapan matanya meski-pun hanya sekejap, maka Witantra-pun mengetahui pula, bahwa pelatih itu telah melihatnya. Tetapi seperti pelatih itu, Witantra-pun tidak beringsut dari tempatnya. Ia juga masih tetap berpura-pura tidak tahu, bahwa orang-orang yang ada dilongkangan itu telah melihatnya.
Dalam pada itu, Tohjaya-pun mendengar gurunya berbisik, "Dengarlah, jangan bertanya dan jangan menimbulkan kesan bahwa kau mendengarkan kata-kataku."
Tohjaya tidak bertanya apa-pun juga. Ia mengerti, pasti ada sesuatu yang tidak wajar. Sedang gurunya berkata terus, "Diatas dinding longkangan ini ada seseorang yang memakai kerudung hitam mengintip latihan ini seperti yang pernah kita saksikan dahulu."
"Oh," tetapi Tohjaya tidak bertanya terus.
"Tetapi sekarang ia tidak akan dapat lolos. Kalau Sri Rajasa mengetahui, maka orang itu pasti akan tertangkap."
"Jadi, apakah aku harus memberitahukan kepada ayahanda?" bertanya Tohjaya perlahan-lahan sekali sambil berlatih terus.
"Kalau orang itu mengetahui, ia akan melarikan diri sebelum tuanku Sri Rajasa terbangun."
"Aku kira ayahanda masih belum tidur selama kaki kita masih berderap dilongkangan ini."
"Tuanku akan hamba lemparkan kepada pengawal tuanku. Berpura-puralah tidak segera dapat bangkit supaya mereka menolong tuanku. Berbisiklah kepada mereka, bahwa salah seorang harus membunyikan tanda bahaya, meski-pun perintah yang akan diberikannya adalah mengambil air untuk tuanku yang hampir pingsan."
Tohjaya mengerti maksud gurunya. Karena itu, maka ia-pun mengangguk sambil menjawab, "Baik guru."
Sejenak kemdian maka latihan itu-pun menjadi semakin sengit. Tohjaya-pun kemudian terlempar beberapa langkah, hampir saja menimpa pengawalnya yang menyaksikan di pinggir arena.
Terdengar Tohjaya merintih perlahan. Karena itu, maka dengan tergesa-gesa kedua pengawalnya mendekatinya.
Dalam kesempatan itulah Tohjaya memberikan pesan kepada kedua pengawalnya. Ketika salah seorang dari mereka akan berpaling, Tohjaya mencegahnya, "Sst, jangan sampai orang itu mengetahui bahwa kita sudah melihatnya."
Sejenak kemudian pelatihnya perlahan-lahan mendekatinya sambil bertanya, "kenapa tuanku Tohjaya?"
Kedua pengawal itu tidak menyahut.
"Ambillah air," perintah gurunya.
"Baik, baik tuan."
Salah seorang pengawal Tohjaya itu-pun segera meninggalkan arena. Ia mendapat pesan untuk menyampaikannya kepada prajurit pengawal Sri Rajasa, kemudian ia sendiri harus membunyikan tanda bahaya sebelum orang itu berhasil keluar dari istana.
Tetapi Witantra tensenyum didalam hati.
"Cerdik juga orang-orang itu," katanya kepada diri sendiri, karena ia mengerti, bahwa kepergian prajurit itu pasti bukan untuk sekedar mengambil air.
Dugaan Witantra memang segera ternyata. Prajurit yang menerima pesan itu segera memberanikan diri memasuki bangsal dan langsung mengetuk pintu Sri Rajasa.
Ternyata Sri Rajasa memang belum tidur, meski-pun sudah berada dipembaringannya. Hampir saja ia membentak karena prajurit itu sudah mengejutkannya. Namun karena prajurit itu berbisik, maka niatnya-pun diurungkannya.
"Ampun tuanku," bisik prajurit itu, "orang berkerudung hitam itu benar-benar kembali. Ia berada dilongkangan belakang sekarang ini."
Sri Rajasa segera meloncat berdiri. Dibenahinya pakaiannya sejenak. Kemudian dengan tergesa-gesa ia-pun meloncat keluar dari biliknya.
Namun pada saat itu, Witantra telah bergerak menjauh, sehingga guru Tohjaya itu mengira bahwa Witantra berniat untuk meninggalkan tempat itu. Karena itu, maka ia-pun tidak ingin melepaskannya sambil menunggu Sri Rajasa.
-ooo0dw0ooo- Jilid 66 DENGAN kecepatan yang luar biasa, maka ia-pun segera meloncat langsung menyerang Witantra yang masih berdiri diatas dinding itu. Ia masih tetap menyangka, bahwa Witantra tidak mengetahui, bahwa ia sudah melihatnya.
Tetapi benar-benar diluar dugaan pelatih Tohjaya itu. Ketika tangannya hampir menyentuh bayangan itu, tiba-tiba bayangan itu menghindar dan bahkan mendorongnya sekali.
Dengan demikian maka pelatih Tohjaya itu justru terlempar dengan derasnya, terdorong oleh daya loncatnya sendiri ditambah oleh dorongan Witantra. Dengan derasnya pula ia terbanting ditanah disebelah dinding yang cukup tinggi itu.
Tohjaya yang menyaksikan hal itu terbelalak sejenak. Ia tidak menyangka, bahwa gurunya dapat dengan mudahnya terperdaya.
"Mungkin guru kurang berhati-hati," katanya didalam hati. Dan agaknya Tohjaya-pun tidak mau membiarkan bayangan itu pergi begitu saja. Karena itu, maka ia-pun segera bangkit. Dengan senjata ditangan ia meloncat pula keatas dinding beberapa langkah dari bayangan hitam itu. Kemudian dengan senjata ditangan ia siap untuk menyerang.
Dalam pada itu, suara kentongan mulai bergema di halaman istana itu. Suara itu merayap dari gardu yang satu kegardu yang lain, sehingga setiap orang yang ada didalam halaman itu-pun terbangun karenanya.
Mahisa Agni yang belum tertidur menarik nafas dalam-dalam. Ia mencoba menekan kecemasannya. Sri Rajasa adalah seorang yang seakan-akan tidak dapat dinilai tingkat kemampuannya, karena ia seolah-olah dilahirkan menjadi seorang manusia yang ajaib. Namun demikian, Witantra yang sekarang pasti bukan Witantra yang dahulu pernah dikalahkannya.
Ketika suara tanda bahaya itu sudah bergeletar memenuhi halaman istana, maka Mahisa Agni-pun segera membenahi diri, bangkit dari pembaringannya dan dengan tergesa-gesa pergi kegardu induk disisi regol depan halaman istana. Hampir berbareng dengan kedatangannya adalah Anusapati dan Mahisa-wonga-teleng.
"Orang itu kini tidak akan dapat lolos," berkata Panglima pengawal, "Tuanku Sri Rajasa dan tuan Mahisa Agni ada di istana."
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya, katanya kemudian, "Apakah pasukanmu sudah mengawasi setiap jengkal dinding istana?"
"Mereka sudah menyebar. Aku harap, mereka dapat menahan orang yang sombong itu untuk tetap berada didalam, sehingga kita dapat menangkapnya."
Mahisa Agni tidak menjawab. Tetapi kegelisahannya kadang-kadang masih menghentak-hentak dadanya.
"Aku akan mengelilingi halaman ini," berkata Mahisa Agni, "marilah, ikutlah aku."
Panglima itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini ia tidak sendiri. Panglima dari kesatuan yang lain-pun ada pula digardu itu. Karena itu, maka diserahkannya pimpinan kepada seorang kawannya, dan ia sendiri mengikuti Mahisa Agni mengelilingi halaman istana. Agaknya Anusapati dan Mahisa-woga-teleng-pun tidak mau ketinggalan, sehingga sebuah kelompok kecil itu kemudian meninggalkan gardu induk.
Dalam pada itu, selagi Tohjaya menjulurkan pedangnya kepada bayangan hitam itu, ternyata suara tanda bahaya telah tersebar kesegenap sudut. Namun bayangan hitam itu tampaknya masih tetap tenang. Bahkan sambil tertawa pendek bayangan itu berkata, "Selamat malam tuanku Tohjaya. Hamba datang menghadap lagi. Tetapi kali ini hamba datang sendiri, tidak bersama dengan dua orang kawan hamba seperti beberapa hari yang lalu."
"Persetan," geram Tohjaya, "kau tidak akan dapat lolos kali ini."
"Maaf tuanku. Guru tuanku yang kasar itu agaknya terlampau tergesa-gesa." Witantra berhenti sejenak. Ketika ia memandang orang itu sekilas, ternyata ia sedang berusaha untuk bangkit. Tetapi agaknya punggungnya terasa terlampau sakit.
"Jangan mengigau," bentak Tohjaya.
"Jangan menyerang tuanku. Dinding ini terlampau tipis bagi kaki tuanku. Nanti tuanku terjatuh seperti guru tuanku itu."
"Ya," terdengar suara yang lain dari bawah dinding, sehingga keduanya berpaling.
Bagaimana-pun juga, dada Witantra berdesir juga melihat Sri Rajasa berdiri tegak dengan tangan bertolak pinggang.
Tatapan matanya yang tajam, bagaikan tatapan mata seekor kucing Candramawa yang melihat seekor tikus diatas atap.
Sekali Witantra menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia bukan seekor tikus. Witantra kini adalah Witantra yang seakan-akan telah mencapai taraf tertinggi dari ilmu olah kanuragan dan telah menemukan kemantapan dari penguasaan rohaniah.
Karena itu, maka dengan tenang Witantra menyapa Sri Rajasa yang masih berdiri tegak, "Ampun tuanku, bahwa hamba telah berani mengunjungi halaman istana tuanku tanpa seijin tuanku. Beberapa hari yang lampau hamba pernah datang pula kemari, melihat bagaimana putera tuanku berlatih. Kini hamba datang kembali karena hamba sangat tertarik melihat latihan-latihan itu. Latihan-latihan yang sama sekali tidak mendasar dan sama sekali tidak mempertimbangkan jalur ilmu yang sewajarnya."
Sri Rajasa masih berdiri ditempatnya tanpa bergeser sedikitpun.
"Latihan-latihan itulah yang telah menarik hamba untuk sekali lagi datang kemari."
"Terima kasih atas kunjungan itu," jawab Sri Rajasa kemudian, "tetapi apakah tidak lebih baik kalau aku mempersilahkan tamuku turun dan masuk kedalam bangsal" Dari sana kau akan dapat melihat latihan itu dengan lebih baik lagi."
"Terima kasih tuanku. Sebenarnya hamba tidak ingin mengganggu tuanku. Hamba merasa cukup menonton dari tempat ini."
"Seorang tamu yang sopan, akan dengan senang hati dipersilahkan oleh tuan rumahnya. Kenapa kau tidak?"
"Hamba bukan seorang tamu yang sopan. Kedatangan hamba-pun tidak mempergunakan cara yang sopan pula. Karena itulah agaknya di halaman istana ini telah bergema tanda bahaya."
"Ya. Kau mengerti juga agaknya." Sri Rajasa berhenti sejenak. Lalu, "tetapi siapakah kau sebenarnya" Mungkin kau merasa perlu memperkenalkan dirimu lebih dahulu."
Bayangan hitam yang bertengger diatas dinding batu itu termenung sejenak. Namun kemudian jawabnya, "Hamba kira tidak perlu tuanku, karena hamba memang tidak, mempunyai pertanda apa-pun juga yang dapat dianggap penting."
"Tetapi kau tentu punya nama dan tempat tinggal."
"Hamba tidak punya nama tuanku, dan tempat tinggal hamba-pun bukanlah tempat tinggal yang sewajarnya. Hamba berkeliaran disepanjang padang Karautan, sehingga orang memberi nama kepada hamba Hantu Karautan."
Dada Sri Rajasa berdesir karenanya. Sejenak ia berdiri tegak bagaikan patung. Memang sekilas angan-angannya lari kepada Mahisa Agni. Tetapi menilik bentuk tubuhnya, orang itu memang bukan Mahisa Agni.
Mahisa Agni adalah orang yang paling mengetahui tentang keadaannya semasa kanak-anak, semasa ia masih berkeliaran dengan sebutan Hantu Karautan. Selama ia masih sering merampok, memperkosa dan masih menjadi buruan yang tidak pernah dapat tertangkap.
"Mahisa Agni kebetulan ada di Kediri saat ini," katanya didalam hati.
"Tuanku," Sri Rajasa tersentak mendengar panggilan ini, "sekarang perkenankan hamba pergi. Hamba ingin melihat latihan yang kasar itu. Tetapi agaknya guru tuanku Tohjaya mengetahui kehadiran hamba dan ia berkeberatan untuk meneruskan latihannya. Bahkan dengan serta-merta ia mencoba menyerang hamba dan memaksa hamba membela diri. Kepada putera Tuanku hamba sudah memperingatkan, agar tidak menyerang hamba diatas dinding batu yang sempit ini."
"Tentu," jawab Sri Rajasa, "Tohjaya sebaiknya tidak menyerangmu, karena gurunya tidak berhasil menangkapmu. Apalagi muridnya." Sri Rajasa berhenti sejenak. Lalu, "tetapi apakah kau keberatan kalau aku yang melakukannya?"
"Tentu tuanku, hamba berkeberatan pula. Tuanku adalah seseorang yang tidak terkalahkan. Itulah keberatan hamba."
"Bagaimana kalau kau menyerah?"
"'Hamba juga berkeberatan."
"Baiklah. Sekarang aku akan membuat pertimbangan dari segi kepentinganku. Aku memerlukan kau."
Witantra mengerutkan keningnya. Sudah sampai saatnya ia mempersiapkan diri. Ia sadar, bahwa suara tanda bahaya itu sudah merata, dan kini setiap sudut dan setiap jengkal tanah sudah dijaga dengan rapat.
"Sudah waktunya aku melarikan diri," berkata Witantra.
Tetapi ia tidak sempat merenung lebih lama. Tiba-tiba saja Sri Rajasa telah berada diatas dinding itu pula, dihadapan Tohjaya.
"O," desis orang berkerudung, "apakah tuanku juga ingin bermain-main."
"Sudahlah. Aku tahu bahwa kau ingin mencoba, apakah Sri Rajasa mampu menangkapmu."
"Ya tuanku. Tetapi Hantu Karautan tidak pernah dapat tertangkap. Apakah tuanku percaya?"
Sri Rajasa mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, "Memang Hantu Karautan tidak pernah dapat tertangkap, karena Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi belum pernah mencobanya."
Tiba-tiba Witantra tertawa mendengar jawaban itu. Katanya, "Apakah sekarang Batara Sang Amurwabuma akan mencoba menangkapnya?"
Dada Sri Rajasa menjadi berdebar-debar. Tetapi ia menganggukkan kepalanya sambil berkata, "Ya."
Witantra menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya mata Ken Arok yang masih saja tetap menyala seperti pertama-tama ia melihat.
"Baiklah tuanku. Kalau begitu, biarlah hamba mencoba melarikan diri, dan tuanku mencoba mengejarnya. Hamba tahu, istana ini sudah terkepung. Tetapi hamba-pun tahu, bahwa hamba akan dapat meloloskan diri. Hanya Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi sajalah yang mungkin mengejarku. Itu-pun baru suatu kemungkinan."
Tetapi Sri Rajasa ternyata tidak membiarkan Witantra untuk melarikan diri. Tiba-tiba saja Sri Rajasa telah menyerangnya dengan garangnya. Dengan ilmu yang tidak dimengertinya sendiri, Sri Rajasa langsung berusaha melumpuhkan lawannya.
Ternyata Witantra memang bukan Witantra yang dahulu. Agaknya setelah sekian lama ia menyepi, terbentuklah kekuatan ilmu yang ajaib dari dirinya, seperti luluhnya ilmu Gundala Kasra dan Kala Bama didalam diri Mahisa Agni, dibumbui oleh tata gerak yang cepat kekasar-kasaran yang ditemuinya diantara sarang Kebo Sindet dan Wong Sarimpat. Karena itu, maka sejenak kemudian terjadilah sebuah perkelahian yang sengit diatas dinding yang sempit. Benturan antara dua puncak ilmu yang dahsyat.
Dalam pada itu para prajurit-pun segera melihat apa yang terjadi, sehingga berlari-larian mereka pergi kelongkangan di belakang istana, termasuk Mahisa Agni dan Anusapati.
Tetapi demikian mereka memasuki longkangan itu, maka Witantra-pun segera meloncat kedinding disebelah pada batas silang dengan dinding yang langsung bertemu dengan dinding sekeliling halaman itu.
Beberapa orang menjadi bingung karenanya. Mereka tidak dapat dengan mudah meloncat keatas dinding yang sempit itu. Karena itu, beberapa orang menjadi termangu-mangu karenanya.
Ketika Anusapati melihat Tohjaya ada diatas dinding itu, hampir saja ia menyusulnya meloncat pula. Tetapi Mahisa Agni sempat menggamitnya dan berbisik, "Kau tidak mampu meloncat setinggi itu dengan begitu mudahnya."
"O," Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Hampir saja ia melupakannya.
"Tinggallah disini. Adalah janggal sekali kalau aku tetap berada dilongkangan ini."
Dalam pada itu, Mahisa Agni-pun segera meloncat naik keatas dinding itu pula. Sejenak ia mencari, namun segera dilihatnya dua buah bayangan yang sedang bertempur diatas dinding yang menyilang.
Seperti bayangan hantu Mahisa Agni meluncur mendekati kedua orang yang sedang berkelahi diatas dinding batu. Tohjaya-pun kemudian mengikutinya pula. Tetapi ia sama sekali tidak mampu berbuat seperti Mahisa Agni, sehingga terbersit didalam hatinya, "Paman Mahisa Agni memang luar biasa. Ia adalah satu-satunya orang yang dapat menyamai ayahanda di seluruh Singasari. Kalau saja kakanda Anusapati bukan seorang pemalas. Ia mempunyai seorang paman yang luar biasa. Kalau aku menjadi kakanda Anusapati, maka aku pasti akan berguru kepada paman Mahisa Agni tanpa diketahui oleh orang lain."
Sejenak kemudian maka Mahisa Agni-pun sudah berhasil mendekati perkelahian itu. Namun ia justru menjadi termangu-mangu. Ia tahu benar bahwa orang berkerudung itu adalah Witantra. Tetapi kalau ia membiarkan Witantra itu lolos, maka pasti ada dugaan yang aneh dari Sri Rajasa, atau orang-orang yang menyaksikannya.
Mahisa Agni yang kemudian berdiri membeku itu berusaha menemukan jalan. Bagaimana ia dapat melepaskan diri dari segala macam kecurigaan.
Sementara itu, para prajurit Singasari telah berkumpul dibawah tempat perkelahian yang dahsyat itu. Semua mata memandang keduanya hampir tanpa berkedip. Sri Rajasa adalah seorang yang memiliki kemampuan yang luar biasa tanpa berguru kepada siapapun, sedang Witantra telah ditempa oleh keprihatinan yang sangat mendalam sampai kedasar dadanya, setelah ia dikalahkan oleh Mahisa Agni diarena ketika ia berusaha membersihkan nama adik seperguruannya. Kebo Ijo, yang saat itu, ia yakin bahwa Kebo Ijo memang tidak bersalah. Dan demikianlah agaknya yang sebenarnya.


Bara Diatas Singgasana Pelangi Di Singosari Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mahisa Agni itu-pun kemudian menemukan akal pula. Ia sudah melihat beberapa pasang mata memandangnya dengan heran, karena ia masih belum berbuat apa-apa.
Perlahan-lahan Mahisa Agni-pun melangkah setapak demi setapak mendekat. Tampaklah ia menjadi ragu-ragu. Kadang-kadang ia ingin maju lagi, tetapi kadang-kadang ia bahkan surut selangkah.
Tiba-tiba saja maka terdengar suaranya, "Tuanku, apakah hamba diperkenankan membantu tuanku menangkap orang itu?"
Sejenak tidak ada jawaban. Namun kemudian terdengar suara Sri Rajasa menggeram, "Jangan sombong Agni. Kau sangka aku seorang diri tidak mampu menangkap orang ini."
"Ampun tuanku, maksud hamba, apakah hamba diperkenankan sekedar mencegatnya apabila ia berusaha melarikan diri."
"Aku dapat melakukannya sendiri. Tidak boleh seorang-pun yang menggangguku."
Mahisa Agni berdiri termangu-mangu. Tetapi ia kemudian menarik nafas. Dadanya menjadi lapang. Kini ia tidak akan disangka apa-pun juga oleh siapa-pun juga.
Sebenarnyalah para prajurit, perwira dan para Panglima yang menyaksikan perkelahian itu menganggukkan kepala mereka. Ternyata Mahisa Agni cukup bijaksana. Sebelum bertindak ia sudah bertindak dengan sangat berhati-hati. Ternyata Sri Rajasa sama sekali tidak ingin merasa terganggu, sehingga karena itu, maka Mahisa Agni tidak tergesa-gesa berbuat sesuatu yang dapat membuat Sri Rajasa menjadi justru marah kepadanya.
Dengan demikian, maka tidak seorang-pun yang mencoba mengganggu perkelahian itu. Dengan heran mereka hanya dapat menyaksikan. Tetapi yang lebih mengherankan lagi, bahwa ada juga seseorang yang berani bertempur melawan Sri Rajasa, Maharaja Singasari yang tidak terkalahkan.
Bukan saja orang-orang yang menyaksikan perkelahian itu, tetapi Sri Rajasa sendiri menjadi heran. Ia belum pernah menjumpai seseorang yang memiliki kemampuan begitu tinggi dan bahkan dapat mengimbanginya. Ia pernah mengalahkan Maharaja di Kediri yang pilih tanding. Ia dapat menguasai seluruh Kerajaan Singasari dan sekitarnya. Selain Mahisa Agni, menurut dugaannya, tidak ada orang yang dapat bertempur segarang itu.
Karena itulah, maka kemarahan Ken Arok yang bergelar Sri Rajasa itu bagaikan membakar dadanya. Dengan sekuat tenaga ia mencoba menguasai lawannya. Tetapi usahanya itu tidak segera dapat berhasil. Namun dalam pada itu, sebenarnyalah bahwa Witantra menjadi berdebar-debar karenanya. Ternyata bahwa Sri Rajasa benar-benar seorang yang pilih tanding. Semakin lama semakin terasa pada Witantra, bahwa Ken Arok memang memiliki kekuatan yang tidak dimiliki oleh orang lain. Kekuatan yang tidak bersumber pada kekuatan yang dicapai dengan latihan yang betapa-pun beratnya.
"Kekuatan inilah yang membuatnya melampaui kemampuan manusia biasa," berkata Witantra didalam hatinya. Dengan demikian maka Witantra yang telah menyepi bertahun-tahun dan mendekatkan diri dalam pencahariannya kepada Yang Maha Agung, sumber segala kekuatan, juga yang mengalir pada Sri Rajasa, dapat mencoba untuk menyesuaikan dirinya sebaiknya. Namun demikian ia sadar, sesadar-sadarnya, bahwa ia tidak boleh terlambat menghindarkan diri dari perkelahian itu.
Dalam pada itu, Witantra-pun berterima kasih pula kepada Mahisa Agni, yang telah menghindarkan dirinya dari kemungkinan lain. Apabila Sri Rajasa memerintahkan para Panglima dan termasuk Mahisa Agni dan Sri Rajasa sendiri mengepungnya, maka ia akan mengalami kesulitan untuk melarikan diri dari halaman ini.
Tetapi kini Mahisa Agni telah berhasil memancing perintah Sri Rajasa, tidak boleh seorang-pun yang boleh mengganggunya.
"Betapa-pun besar kemampuan dan betapa-pun tinggi ilmunya, namun aku pasti masih berkesempatan untuk sekedar melarikan diri. Dan itu adalah tugasku yang terakhir malam ini," berkata Witantra.
Namun demikian, tiba-tiba dadanya berdesir. Ia melihat Sri Rajasa tiba-tiba saja telah sampai ke puncak kemarahannya. Meski-pun tidak ada orang lain yang melihatnya, selain mereka yang memiliki ketajaman pandangan rohaniah, namun Witantra melihat, cahaya yang kemerah-merahan diatas ubun-ubun Sri Rajasa yang marah itu.
Mahisa Agni yang melihat cahaya yang kemerah-merahan diatas kepala Sri Rajasa itu-pun menjadi berdebar-debar pula. Ia sadar, bahwa cahaya itu adalah suatu pertanda, bahwa Sri Rajasa telah sampai ke puncak ilmunya. Ilmu yang tidak dimengertinya sendiri.
Ternyata bukan saja Mahisa Agni, tetapi agak jauh dari tempat itu, Sumekar menekan dadanya dengan telapak tangannya. Seperti Witantra dan Mahisa Agni, ia-pun melihat bayangan yang kemerah-merahan itu. Meski-pun Sumekar seakan-akan tidak ikut terlibat didalam benturan jasmaniahnya, tetapi ada hubungan rohaniah atas peristiwa yang terjadi diatas dinding itu, sehingga sentuhan getaran yang memancar dari pusat kekuatan Ken Arok-pun telah menyentuhnya, sehingga ia melihat pula bayangan kemerah-merahan itu.
Baik Mahisa Agni dan Sumekar menjadi berdebar-debar. Namun kemudian mereka-pun yakin, bahwa pandangan mata rohaniah Witantra-pun pasti cukup tajam, sehingga ia pasti sudah melihat pula bayangan kemerah-merahan itu.
Namun demikian, jantung mereka-pun menjadi semakin cepat berdetak oleh kecemasan yang semakin mencengkam.
Sumekar yang sedang terpukau melihat perkelahian itu terkejut ketika tiba-tiba saja seseorang membentaknya dibelakangnya. Ketika ia berpaling dilihatnya dua orang prajurit yang sedang membawa senjata telanjang.
"Apa kerjamu disini juru taman?"
"O," Sumekar tergagap, "aku, aku sedang melihat perkelahian itu."
"Gila. Kau sangka apakah perkelahian itu semacam tontonan yang pantas kau lihat" Ayo kembali kepondokmu. Kalau terjadi sesuatu adalah salahmu sendiri."
"Baik, baik," Sumekar terdiam sejenak. Lalu, "tetapi bukankah Sri Rajasa sudah ada disana pula sehingga tidak seorang-pun perlu mencemaskan keadaan halaman istana ini lagi" Bukankah Sri Rajasa adalah seseorang yang tidak terkalahkan?"
Prajurit itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian kepalanya terangguk-angguk. Jawabnya, "Ya, Sri Rajasa tidak akan terkalahkan oleh siapa-pun juga."
Prajurit itu-pun kemudian meninggalkan Sumekar yang masih belum beranjak dari tempatnya. Kedua prajurit atu tidak lagi menyuruh siapa-pun bersembunyi didalam pondok masing-masing karena mereka-pun yakin, bahwa Sri Rajasa tidak akan terkalahkan.
Ternyata bukan saja Sumekar yang menonton perkelahian itu selain para prajurit. Beberapa orang juru taman yang lain-pun melihat perkelahian itu pula dari kejauhan, meski-pun sambil tersembunyi dibalik pepohonan. Dan kedua prajurit yang melihat Sumekar itu-pun tidak menghiraukan mereka itu lagi.
Diatas dinding yang sempit itu, Witantra masih melakukan perlawanan terakhir. Tetapi ia-pun mengetahui pula, bahwa Ken Arok sudah sampai pada batas tertinggi dari ilmunya. Tanpa menunjuk tanda-tanda tertentu, Sri Rajasa sudah dapat melepaskan kekuatan yang tidak terduga-duga besarnya.
Karena itu, semuanya itu menjadi pertanda bagi Witantra, bahwa ia harus meninggalkan medan sebelum ia mengalami cidera apa-pun juga.
Dengan demikian maka Witantra-pun berusaha untuk mendapat kesempatan menghindarkan dirinya, setelah terasa olehnya bahwa tekanan Ken Arok menjadi semakin berat. Bahkan hampir tidak tertahan. Sehingga karena itu, maka dengan kemampuannya yang hampir sempurna, Witantra-pun kemudian membangunkan ilmu tertingginya. Aji pamungkas yang jarang sekali dipergunakan selain dalam keadaan tertentu.
Namun kali ini ia sama sekali tidak angin membinasakan lawannya. Ia tahu pasti, bahwa kekuatan jasmaniah Ken Arok jauh melampaui kekuatan manusia biasa. Karena itulah, meski-pun ia tidak mempergunakan seluruh kekuatan aji pamungkasnya, namun ia mencoba melontarkannya juga, sekedar untuk mendapat kesempatan melarikan diri.
Mahisa Agni yang sudah mengenal bentuk aji pamungkas itu menjadi berdebar-debar. Demikian juga Sumekar yang berada agak jauh daripadanya. Tanpa mereka sadari, mereka-pun telah menahan nafas ketika mereka melihat Witantra mengangkat tangannya melepaskan kekuatan tertingginya, meski-pun tidak dilontarkannya sepenuh tenaga.
Ken Arok yang tidak mempelajari bentuk-bentuk ilmu kanuragan itu-pun merasakannya pula, bahwa ia akan menghadapi suatu pukulan yang sangat dahsyat. Itulah sebabnya, maka ia-pun mengerahkan daya tahan yang ada padanya, tanpa diketahuinya sendiri, bagaimana kekuatan itu dapat terbangun didalam dirinya, seperti pada saat-saat ia menghadapi Maharaja di Kediri.
Demikianlah, maka sejenak kemudian telah terjadi benturan yang dahsyat diatas dinding batu di halaman istana itu, dinding yang menyekat bagian dari istana yang lama dengan halaman yang baru, yang dibangun karena hadirnya Ken Umang didalam istana itu.
Akibat dari benturan itu ternyata dahsyat pula. Witantra memang tidak mengerahkan segenap kemampuannya. Tetapi Ken Arok-pun tidak berusaha membentur kekuatan itu. Ia hanya mengerahkan daya tahannya, karena ia memang tidak ingin membunuh orang yang berkerudung hitam itu. Ia ingin menangkapnya hidup-hidup, agar dari padanya ia mendapatkan keterangan yang diperlukannya mengenai perbuatan gila-gilaan itu.
Namun demikian, akibatnya cukup berat bagi Witantra. Meski-pun hal itu sudah diperhitungkannya, namun untunglah, bahwa Ken Arok memang tidak ingin membunuhnya.
Witantra yang telah membentur daya tahan Ken Arok itu-pun terdorong oleh pantulan kekuatannya sendiri. Namun demikian, Witantra justru mempergunakan pantulan kekuatan itu. bahkan sekali lagi ia menjejak dinding batu itu, sehingga ia-pun terlempar beberapa langkah seperti yang dikehendakinya sendiri.
Mahisa Agni dan Sumekar terperanjat melihat benturan itu. Mereka tidak segera mengetahui akibatnya pada Witantra. Mereka hanya melihat Witantra terlempar beberapa langkah, melampaui lingkaran para prajurit yang mengepungnya dibawah dinding batu itu.
Beberapa orang prajurit dan perwira dengan gerak naluriah meloncat mengejarnya. Namun kemudian terdengar Sri Rajasa berkata lantang, "Tidak seorang-pun yang dapat mengganggu perang tanding ini."
Witantra yang sudah berdiri diatas tanah memandang Sri Rajasa sejenak. Sekilas tersirat kekagumannya atas Maharaja Singasari itu. Namun kemudian terdengar suara tertawanya, "Terima kasih tuanku. Namun agaknya hamba sudah cukup, untuk hari ini. Hamba sudah dapat menjajagi kemampuan tuanku, Maharaja Singasari yang perkasa. Ken Arok yang bergelar Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi."
Sri Rajasa tidak menjawab. Tetapi bagaikan terbang ia meloncat dari atas dinding batu itu kearah Witantra.
Adalah benar-benar diluar dugaan, bahwa Witantra sama sekali tidak menyambutnya. Namun bahkan seperti terbang pula ia meninggalkan arena perkelahian. Yang terdengar adalah suarai tertawanya menggetarkan setiap dada orang yang mendengarnya.
"He, apakah kau akan lari" " teriak Sri Rajasa.
Witantra tidak menyahut. Tetapi tubuhnya seperti terhembus angin malam yang kencang melintasi halaman dalam istana Singasari.
Tetapi Sri Rajasa tidak membiarkannya. Secepat Witantra ia-pun segera menyusul menyusup kedalam gelapnya malam.
Tidak seorang-pun yang mampu menyusul mereka berdua selain Mahisa Agni. Karena itu, belum lagi debar jantung mereka mereda, mereka melihat bayangan ketiga menyusul Witantra yang berkerudung hitam itu, dengan Sri Rajasa. Orang itu adalah Mahisa Agni.
Dikejauhan Sumekar hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak dapat melihat lagi apa yang sedang terjadi. Dan ia-pun tidak dapat berbuat seperti Mahisa Agni, karena ia adalah seorang juru taman. Yang dapat dilakukannya hanyalah menarik nafas dalam-dalam.
Beberapa saat kemudian para prajurit dan perwira, bahkan para Panglima-pun menyusul ketiga bayangan itu. Para panglima yang memiliki kemampuan melampaui yang lain, tidak juga berhasil mengikuti ketiga bayangan yang bagaikan terbang itu.
Diantara mereka yang kemudian berlari-lari keregol depan adalah Tohjaya, Anusapati dan Mahisa-wonga-teleng. Dengan senjata ditangan Tohjaya meloncat-loncat dipaling depan bersama para Panglima, seolah-olah ia akan dapat berbuat banyak didalam persoalan itu.
Namun demikian kelincahan Tohjaya-pun telah menimbulkan kekaguman, bahwa tampaknya ia tidak kalah tangkas dari para perwira prajurit Singasari, dan hanya sedikit dibawah kemampuan para Panglima.
Tetapi mereka tidak lagi dapat menemukan ketiga bayangan yang seakan-akan telah menghilang. Para prajurit yang mengawasi dinding batu yang melingkari istana itu-pun hanya sempat melihat tiga orang yang bagaikan terbang meloncati dinding dan kemudian hilang didalam kegelapan sebelum para prajurit itu sempat menyapanya.
"Kemana mereka berkejaran?" desis Panglima pengawal.
Tidak seorang-pun yang dapat memberikan jawaban.
"Kita harus menyusulnya," berkata Tohjaya.
"Kemana?" bertanya salah seorang perwira.
Tohjaya menjadi termangu-mangu karenanya. Tanpa sesadarnya ia berpaling memandang Anusapati yang berada ditempat itu.
"Kita menunggu disini," berkata Anusapati.
"Apa yang dapat kita lakukan disini?" bertanya Tohjaya.
"Kita menunggu disini."
"Tetapi, apakah kita yakin, bahwa tidak akan terjadi sesuatu atas ayahanda Sri Rajasa?"
"Paman Mahisa Agni ada besertanya. Juga ayahanda Sri Rajasa sudah menjatuhkan perintah. Tidak seorang-pun boleh mengganggunya."
Tohjaya menjadi termangu-mangu sejenak. Tetapi ia-pun kemudian berkata, "Kita akan mencarinya," lalu katanya kepada Panglima pengawal, "siapkan pasukan. Kita akan menyusul."
"Kita tidak akan pergi kemanapun," potong Anusapati, "kita tetap berada diregol istana, siapa tahu, orang itu tidak sendiri. Kekosongan halaman istana ini akan sangat berbahaya."
Anusapati berhenti sejenak. Lalu, "Kita percaya kepada kemampuan ayahanda Sri Rajasa dan paman Mahisa Agni. Dan kita tidak akan berani melanggar perintahnya."
Tetapi Tohjaya merasa lebih mantap untuk membawa sepasukan prajurit pilihan keluar dari regol istana. Karena itu maka ia-pun berkata pula, "Kita tidak akan tinggal diam. Ikuti aku. Bawa pasukan pengawal pilihan."
Panglima pengawal itu-pun menjadi termangu-mangu. Namun, kemudian terdengar kata-kata Anusapati tegas, "Dengar perintah Putera Mahkota. Kita tetap disini. Tidak seorang-pun yang akan pergi, seolah-olah kita tidak percaya kepada ayahanda Sri Rajasa dan pamanda Mahisa Agni. Dan tidak seorang-pun yang boleh melanggar perintah ayahanda Sri Rajasa, karena ayahanda pasti tidak akan menjatuhkan perintah tanpa maksud dan pertimbangan."
Terdengar Tohjaya menggeram. Ia tahu benar, bahwa Sri Rajasa pasti tidak akan menganggapnya bersalah. Bahkan ayahanda Sri Rajasa akan membenarkan sikapnya, apa-pun yang dilakukannya. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-pun juga dihadapan para prajurit Singasari, karena Anusapati menyebut dirinya sebagai Putera Mahkota. Setiap prajurit pasti akan mengerti makna dari sebutan itu, selagi Sri Rajasa sendiri tidak ada ditempat. Karena itu, Tohjaya hanya dapat menggeram sambil menghentakkan kakinya. Dipandanginya kedua pengawalnya yang berdiri disampingnya. Namun tidak sepatah kata-pun yang diucapkannya.
Tetapi dengan demikian, semakin terasa olehnya, betapa besar arti kedudukan Anusapati. Betapa besar kekuasaan Putera Mahkota apabila diterapkan pada tempat yang sewajarnya. Kalau selama ini Anusapati seolah-olah tidak berarti sama sekali bagi Singasari, itu bukan karena kedudukan Putera Mahkota di Singasari sama sekali tidak berarti. Tetapi karena Anusapati selama ini tidak pernah berbuat apa-apa. Namun sekali ia menjatuhkan perintah atas nama Putera Mahkota, maka sadarlah setiap orang, terutama Tohjaya, bahwa sebenarnyalah Anusapati itu seorang Putera Mahkota.
"Kenapa ayahanda mengambil ibunda Ken Dedes sebagai seorang Permaisuri. Kenapa bukan ibunda Ken Umang," ia menggeram didalam hatinya.
Tetapi Tohjaya tidak berwenang untuk melakukan perubahan itu. Ia hanya dapat menggeram dan marah-marah didalam hatinya. Namun Anusapati tetap sebagai Putera Mahkota beserta semua hak yang ada padanya.
Dalam pada itu, orang yang berkerudung hitam itu terus saja berlari didalam kegelapan. Dibelakangnya Sri Rajasa, Maharaja di Kediri yang merasa sangat terhina atas kehadiran orang itu di halaman istana masih saja mengejarnya. Beberapa langkah dibelakang keduanya adalah Mahisa Agni yang selalu mengikuti Sri Rajasa.
Kasih Diantara Remaja 6 Jaka Galing Karya Kho Ping Hoo Pendekar Muka Buruk 17

Cari Blog Ini