Ceritasilat Novel Online

Bara Diatas Singgasana 24

Bara Diatas Singgasana Pelangi Di Singosari Karya S H Mintardja Bagian 24


"Hamba tuanku," jawab Mahisa Agni, "hamba akan selalu berusaha, karena Kesatria Putih dikenal oleh Rrakyat Kediri pula sebagai seorang pahlawan."
"Nah, sementara kalian masih meyakinkan hilangnya Kesatria Putih, Mahisa Agni sebaik-baiknya masih berada di Singasari."
"Hamba tuanku," jawab Mahisa Agni kemudian sambil bertanya, "Tuanku, apakah sementara ini, seperti juga tuanku Tohjaya yang disertai oleh penasehat tuanku beserta pengawalnya yang terpercaya, apakah hamba juga diperkenankan mengikuti tuanku Putera Mahkota untuk berbuat jasa seperti yang dilakukan oleh tuanku Tohjaya."
Sri Rajasa mengerutkan keningnya. Sejenak kemudian ia bertanya, "Apakah Anusapati tidak dapat melakukannya sendiri?"
"Seperti tuanku Tohjaya, ia memerlukan seorang kawan."
"Penasehat itu tidak berbuat apa-apa, selain menasehatinya apabila ia terdorong langkah."
"Mungkin hamba dapat berbuat lebih dari itu," sahut Mahisa Agni, "mungkin hamba tidak saja dapat menahannya apabila tuanku Putera Mahkota terdorong langkah, tetapi apabila diperlukan, hamba akan mencoba melindungi Putera Mahkota apabila keadaan memaksa. Bukankah Putera Mahkota kelak akan menggantikan kedudukan Sri Rajasa, sehingga karena itu harus dijauhkan dari bencana yang mungkin dapat timbul."
Sri Rajasa merenung sejenak, namun kemudian jawabnya, "Mungkin ada juga baiknya. Tetapi dengan demikian kau tidak memberikan didikan yang tepat kepada Anusapati. Ia akan selalu tergantung kepadamu dan kepada orang lain. Ia tidak membiasakan diri berbuat sesuatu atas tanggung jawabnya."
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Dengan sudut matanya ia memandang wajah Anusapati yang tertunduk dalam-dalam.
"Tetapi," berkata Sri Rajasa kemudian, "sekali dua kali kau dapat menyertainya. Tetapi untuk selanjutnya. Anusapati harus belajar menjadi seorang yang sudah dewasa. Bukankah ia sudah mempunyai seorang anak laki-laki" Ia bukan lagi anak-anak yang harus selalu dilindungi."
Mahisa Agni menganggukkan kepalanya dalam-dalam sambil menjawab, "Hamba tuanku. Hamba mengerti. Perlahan-lahan hamba akan melepaskannya."
Demikianlah, maka seperti berlomba Tohjaya dan Anusapati berusaha mendapatkan pengaruh dari rakyat Singasari. Tetapi ternyata setiap kali Tohjaya dapat lebih banyak berbuat dari Anusapati.
Beberapa kali Tohjaya berhasil menyelamatkan rakyat Singasari dari kejahatan. Hampir seperti Kesatria Putih. Tetapi Tohjaya tidak pernah berhasil memusnahkan mereka seperti yang sering dilakukan oleh Kesatra Putih.
Adalah menggemparkan sekali ketika tiba-tiba saja pula suatu kali rakyat Singasari melihat kembali Kesatria Putih. Meski-pun Kesatria Putih tidak berbuat apa-apa, karena ia hanya sekedar lewat diatas kuda putihnya, namun namanya kembali menggemparkan Singasari. Apalagi kepada para peronda disudut kota Kesatria Putih itu berkata, "Aku akan datang pada saatnya. Tohjaya bukan apa-apa bagiku. Tetapi sementara ini ia dapat menjalankan tugasku, meski-pun hanya sebagian kecil."
Ternyata bahwa pesan itu sampai juga ketelinga Tohjaya. Alangkah sakit hati Putera Sri Rajasa itu. Karena itu, maka dengan kemarahan yang meluap-luap Tohjaya berkata, "Ayahanda, hamba ingin menunjukkan kepada Rakyat Singasari, bahwa hambalah orang terkuat diseluruh negeri."
"Apakah yang akan kau lakukan?"
"Latihan terbuka, atau semacam sayembara tanding."
Sri Rajasa tidak segera menjawab. Ia mencoba merenungi kata-kata Tohjaya itu. Perang tanding yang dimaksudkan pasti mempunyai akibat yang luas. Jika ada yang dapat mengalahkannya, maka akibatnya sama sekali tidak diharapkannya.
"Kesatria Putih yang tiba-tiba saja muncul meski-pun hanya sesaat itu ternyata sangat mengganggu kebesaran nama hamba. Seakan-akan hamba hanyalah sekedar pembantunya yang tidak berarti."
Sri Rajasa mengngangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia berkata, "Tetapi kau harus mengerti akibatnya Tohjaya. Kau mempertaruhkan namamu. Kalau kau dikalahkan oleh siapa-pun juga, maka namamu akan hancur. Kau tidak akan dapat bangkit kembali untuk waktu yang sangat lama. Bahkan mungkin untuk selama-lamanya."
"Tetapi jika hamba dapat menguasai arena, maka hambalah orang terkuat diseluruh Singasari."
Sekali lagi Sri Rajasa mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun demikian, Sri Rajasa agaknya lebih berhati-hati dari Tohjaya, sehingga karena itu maka katanya, "Tohjaya, aku lebih senang mempergunakan istilah latihan terbuka bagi anak-anak muda. Di Singasari ternyata ada orang-orang kuat yang tidak dapat kau lupakan. Orang berkerudung hitam yang memasuki halaman istana, kemudian orang berkerudung putih itu, dan yang harus kau perhitungkan adalah orang-orang seperti Kiai Kisi yang tidak menghiraukan cara apa-pun yang akan ditempuh untuk mendapatkan kesempatan. Itulah sebabnya, maka kau harus membatasi daerah sayembara itu. Jika kau kalah didalam latihan itu, akibatnya tidak akan begitu parah. Tetapi jika kau menang, namamu akan cukup mendapat penghargaan meski-pun tidak seperti yang kau harapkan. orang terkuat diseluruh Singasari."
Tohjaya merenungi pendapat ayahandanya itu. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata, "ayah. Hamba mengerti."
"Nah, kita akan segera mengundangkan arena terbuka bagi anak-anak muda Singasari. Siapa-pun boleh memasuki gelanggang. Kita akan memberi kesempatan kepada siapa-pun juga. Yang paling menang diantara mereka, baru mendapat kesempatan berlatih melawan mu. Kau mengerti?"
"Hamba ayahanda."
"Perkelahian yang akan diadakan adalah perkelahian diatas punggung kuda dengan senjata tumpul. Sebuah tombak panjang yang tidak berujung runcing, tetapi justru diberi pelunak diujungnya. Siapa yang terjatuh dan kudanya ialah yang dianggap kalah."
Tohjaya mengerutkan keningnya. Sebenarnya ia menghendaki perkelahian yang lebih bersungguh-sungguh dan sekedar mempergunakan tombak panjang.
Sri Rajasa yang agaknya mengerti getar hatinya berkata, "Jangan menuntut lebih dari itu Tohjaya. Jangan sampai kau melakukan pembunuhan diarena. Akibatnya akan pahit bagimu, karena jika demikian terjadi dihadapan rakyat Singasari yang menyaksikannya, maka mereka tidak akan melupakan, bahwa kau pernah melakukan pembunuhan dihadapan mereka."
Tohjaya mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Tetapi jika sekedar mengalahkannya, maka kau akan tetap dikenang sebagai seorang yang paling kuat dan berjiwa besar."
Tohjaya mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berkata, "Hamba ayahanda. Hamba mengerti."
"Nah, biarlah para Senapati melakukan persiapannya. Mereka akan segera mengundangkannya pula diseluruh negeri."
Tohjaya menarik nafas dalam-dalam. Namun jika benar-benar ia dapat memenangkan perjuangan diarena itu namanya akan menjadi semakin baik dihati rakyat Singasari.
"Bagaimanakah caranya untuk memancing kakanda Anusapati agar ia dapat ikut serta?" berkata Tohjaya didalam hatinya. Namun kemudian dijawabnya sendiri, "Ia tidak akan berani turun kearena. Jika ia tidak berhasil mengalahkan bukan saja aku, tetapi anak muda yang lain. yang sama sekali bukan seorang yang pantas, maka namanya akan hancur."
Demikianlah maka para Senapati yang segera mendapat perintah untuk melaksanakan latihan terbuka itu, mempersiapkan segala sesuatu yang dilakukan. Mereka mulai membuat patok-patok dialun-alun. Kemudian menarik tali diantara patok-patok itu untuk membatasi agar kuda para peserta tidak berlari-lari sampai kegaris penonton. Dengan demikian akan dapat menimbulkan kecelakaan bagi mereka yang mungkin terinjak kaki-kaki kuda para peserta itu.
Ternyata bahwa pengumuman itu mendapat sambutan yang baik dari kalangan anak-anak muda Singasari. Apalagi suatu ketentuan yang mengatakan bahwa siapakah yang paling menang diantara para peserta, akan diberi kesempatan bertanding melawan Tuanku Tohjaya, dan kesempatan pertama untuk langsung diangkat menjadi seorang perwira jika dikehendaki dan hadiah berupa seekor kuda yang sangat baik. Apalagi jiga ia dapat menang atas Tohjaya, maka hadiahnya akan ditambah lagi dengan kesempatan yang lebih luas di bidang keprajuritan dan tiga ekor kuda yang paling baik.
Demikianlah pada saatnya, maka sejak pagi-pagi buta, berduyun-duyun orang-orang Singasari pergi kealun-alun untuk menyaksikan suatu arena terbuka bagi anak-anak muda Singasari. Sebuah panggungan khusus telah dibuat untuk tempat menonton bagi Sri Rajasa dan pada Panglima.
Para anak muda yang akan mengikutinya telah berkumpul disudut alun-alun yang ditentukan. Masing-masing diatas punggung kuda masing-masing yang dihias dengan kelengkapan beraneka warna dan dibungai dengan janur kuning
Ternyata bahwa arena terbuka itu menjadi sangai meriah dan menarik perhatian. Berjejal-jejal rakyat Singasari memenuhi alun-alun mengitari arena yang dibatasi dengan tali-tali yang terentang.
Beberapa orang Senapati dan prajurit yang bertugas menyelenggarakan arena terbuka itu telah siap ditempat masing-masing. Semuanya juga berkuda mengelilingi arena. Selain mereka harus mengawasi para penonton agar tidak masuk kearena, mereka harus mengamati jalannya sodoran di arena itu sendiri. Kecuali para petugas itu, ada dua orang petugas khusus yang akan menilai setiap perkelahian tongkat yang akan terjadi. Tidak boleh ada kecurangan dan tidak boleh ada kekerasan yang melampaui batas.
Seorang petugas yang berada diantara para peserta masih memberi kesempatan kepada anak-anak muda yang ingin mengikuti sodoran diarena itu. Namun agaknya sudah tidak ada lagi yang menyatakan dirinya menambah jumlah dan anak-anak muda yang ikut serta. Mereka sebenarnya ingin juga mencoba-coba, tetapi mereka harus mempunyai bekal kecakapan mengendalikan kuda dan kemampuan dalam olah kanuragan. Ketahanan tubuh dan ketrampilan menggerakkan tongkat panjang yang seakan-akan merupakan sebuah tombak bertangkai panjang.
Ketika semuanya sudah siap, serta persiapan-persiapan sudah selesai diselenggarakan, maka permainan itu-pun segera dibuka. Sebelum pertandingan dimulai, maka terlebih dahulu, putera Sri Rajasa, Tohjaya, berkuda mengelilingi arena pambil melambai-lambaikan tangannya.
Yang menyambut mula-mula adalah mereka yang berada diatas panggung kehormatan. Namun kemudian setiap orang yang menyaksikan pertandingan ketangkasan itu-pun bertepuk tangan dan melambai-lambaikan tangan mereka pula.
Tohjaya yang namanya semakin dikenal oleh rakyat Singasari itu berkenan untuk bertanding melawan pemenang terakhir dari permainan ketangkasan itu.
Setelah mengelilingi arena beberapa kali, maka Tohjaya-pun segera turun dari kudanya di muka tangga panggungan. Setelah sekali lagi melambaikan tangannya kepada setiap orang yang ada diseputar arena, maka ia-pun segera naik dan duduk disamping ayahanda Sri Rajasa dan ibunda Ken Ken Umang.
Disini yang lain dari ayahanda Sri Rajasa adalah Permaisuri Ken Dedes, kemudian Mahisa Agni dan seharusnya diantara mereka duduk Putera Mahkota. Tetapi ternyata Putera Mahkota tidak menghadiri permainan itu. Namun dibelakang mereka, para Panglima dan Senapati memenuhi panggung kehormatan itu.
"Apakah Anusapati tidak berminat ?" bertanya Sri Rajasa kepada Tohjaya.
Tohjaya mengangkat bahu. Jawabnya, "Hamba tidak tahu pasti ayahanda. Hamba sudah minta agar kakanda Anusapati hadir. Tetapi agaknya kakanda Anusapati tidak mau apabila dengan tiba-tiba saja diminta untuk turun kearena, karena kakanda Anusapati sama sekali tidak menguasai kendali kuda, apalagi dengan sebelah tangan memegang tongkat panjang."
Sri Rajasa mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun Ken Dedes yang mendengar jawaban itu mengerutkan keningnya. Tanpa sesadarnya ia berpaling. Tetapi Anusapati memang tidak ada diantara mereka. Yang tampak disebelah para Panglima dan Senapati adalah putera-puteranya yang lain, diantaranya adalah Mahisa Wonga Teleng.
Ken Dedes menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar, bahwa ternyata Sri Rajasa benar-benar bersikap kurang adil terhadap putera-puteranya. Sri Rajasa tidak mendidik puteranya menjadi laki-laki yang sejajar didalam berbagai macam hal. Juga didalam olah kanuragan.
Namun terasa sesuatu berdesir didalam dadanya. Ken Dedes tidak dapat mengingkari kenyataan, bahkan ia adalah orang yang paling tahu, siapakah sebenarnya Anusapati itu.
Sekilas terbayang Akuwu Tunggul Ametung yang perkasa. Yang terbunuh dengan cara yang licik sekali. Dan ia-pun akhirnya mengetahui, siapakah yang telah membunuh Akuwu Tunggul Ametung itu. Sama sekali bukan Kebo Ijo yang namanya telah dicemarkan.
Tetapi saat itu hatinya sedang digelapkan oleh suatu perasaan yang tidak dimengerti dan tidak dapat dikendalikannya terhadap orang yang bernama Ken Arok itu. Baru kini ia merasa seakan-akan ia harus menanggung dosa yang disandangnya itu.
Tetapi Ken Dedes yang telah cukup lama harus selalu menanggung rasa itu, berhasil mengendalikan dirinya, sehingga seolah-olah ia sama sekali tidak terpengaruh oleh ketidak hadiran Anusapati. Namun ia masih berharap, bahwa Mahisa Wonga Teleng dapat berbuat seperti seorang laki-laki yang baik.
Jadi bukan saja Tohjaya. Namun agaknya Mahisa Wonga Teleng-pun sama sekali tidak bersiap untuk mengikuti permainan di arena terbuka itu.
Demikianlah setelah semuanya dipersiapkan, mulailah perkelahian yang pertama diarena itu. Setelah diundi, maka dua orang anak muda muncul diarena. Mereka adalah anak-anak muda yang tegap dan kuat. Mereka duduk diatas kuda yang tegar dan sebuah tongkat panjang ditangan kanan. Tongkat panjang yang ujungnya dibalut dengan sabut yang terbungkus kain, agar sentuhan ujung tongkat panjang itu tidak berbahaya.
Dengan senyum dibibir, meski-pun tampak juga keringat mengembun dikening, keduanya pergi keujung yang berbeda dari arena itu. Sejenak mereka mempersiapkan diri. Sementara itu seorang prajurit telah siap memukul tengara.
Seorang Senapati yang duduk diatas punggung kudanya pula, memeriksa keduanya berganti-ganti. Pada mereka tidak boleh terdapat senjata yang lain kecuali tongkat itu.
Ketika ternyata tidak terdapat pelanggaran apapun, maka Senapati itu-pun mengangkat tangannya. Jika tangannya melambai maka prajurit yang sudah siap itu akan segera memukul tengara sebagai pertanda bahwa latihan perkelahian berkuda yang pertama ini segera dimulai.
Yang menang pada latihan pertama ini, harus melawan orang kedua pada pertarungan yang kedua. Demikianlah setiap orang yang memenangkan pertandingan, harus melawan orang-orang berikutnya, sampai pada orang yang terakhir. Apabila pemenang itu berhasil mengalahkan lawannya terus menerus, sehingga ia menjadi lelah sekali, maka setelah perkelahian yang kesepuluh, ia mendapat kesempatan beristirahat, sampai pada saatnya ia akan muncul lagi kegelanggang melawan orang yang akan memenangkan pertandingan babak baru berikutnya.
Demikianlah, maka setelah semuanya siap, maka Senapati yang mengangkat tangannya itu-pun segera melambai ke pada prajurit yang segera memukul tengara sebagai pertanda bahwa, perkelahian berkuda dengan tombak yang tumpul itu dimulai.
Kedua anak muda yang duduk diatas punggung kuda diujung dan ujung yang berlawanan itu segera memacu kudanya. Tombak mereka-pun kemudian merunduk mengarah ke^ pada lawannya yang berpacu pula kearahnya.
Demikianlah maka dada para penonton menjadi berdebaran. Meski-pun tongkat itu tidak runcing, tetapi apabila ujungnya mengenai dada, dan jika yang dikenainya tidak mempunyai daya tahan yang kuat, maka ujung tongkat yang telah dilunakkan dengan sabut itu-pun cukup berbahaya.
Semakin dekat kedua ekor kuda yang berpacu berlawanan arah itu, para penonton menjadi semakin berdebar-debar. Sejenak kemudian terdengar perempuan-perempuan menjerit kecil dan bahkan ada yang memejamkan matanya.
Kedua tongkat panjang itu bagaikan saling memukul. Masing-masing berusaha untuk menghindarkan ujung tongkat itu agar tidak mengenai tubuhnya. Namun agaknya yang seorang lebih trampil dari yang lain, sehingga tombaknya masih juga mengenai pundak lawannya.
Anak muda yang terkena itu menyeringai menahan sakit. Hampir saja ia terlempar dari kudanya. Tetapi ia masih dapat bertahan. Namun pundak serasa telah retak.
Meski-pun demikian ia masih belum dinyatakan kalah, karena ia belum terjatuh. Mereka harus mengulanginya sekali lagi. Jika keduanya masih tetap berada dipunggung kuda. maka mereka akan berkelahi dalam jarak dekat tanpa ancang-ancang lagi sampai salah seorang dari mereka terjatuh.
Sejenak kemudian kedua ekor kuda itu telah berpacu kembali. Seperti semula, kedua tongkat itu telah merunduk. Dengan segala macam usaha, masing-masing ingin menjatuhkan lawannya dari punggung kuda.
Tetapi seperti yang terjadi pertama kali, mereka sekedar saling menangkis, sehingga mereka sama sekali tidak berhasil menjatuhkan lawannya.
Dengan demikian, mereka-pun segera berkelahi tanpa ancang-ancang lagi. Mereka saling mendorong dengan tongkat, saling memukul dan saling menarik.
Akhirnya, salah seorang dari keduanya memang harus kalah. Ketika salah seorang dari padanya mengayunkan tongkatnya, maka yang lain berhasil menghindarinya dengan membungkukkan bandannya melekat kepunggung kuda. Demikian tongkat itu terayun, secepatnya tongkat itu dipukul kearah yang sama dengan ayunan itu, sehingga justru orang itu tertarik oleh kekuatannya sendiri. Belum lagi ia berhasil memperbaiki keadaannya, maka lawannya mendorongnya dengan ujung tongkatnya, tidak saja pada tubuh anak muda itu sendiri, tetapi pada tubuh kudanya sehingga kuda itu terlonjak.
Penunggangnya tidak sempat mempertahankan diri. Ia-pun kemudian terguling dan jatuh ditanah.
Sorak para penonton rasa-rasanya seperti membelah langit. Mereka bertepuk dan berteriak-teriak sekuat-kuatnya. Kemenangan yang pertama itu mendapat sambutan yang luar biasa dari para penontonnya.
Demikianlah perkelahian yang pertama itu disusul dengan yang kedua, ketiga dan selanjutnya. Ternyata orang yang memenangkan pertandingan yang pertama itu memang memiliki kelebihan dari yang lain, ternyata ia mampu bertahan sampai tujuh kali. Tetapi pada perkelahian yang ketujuh ia menemukan lawannya yang justru lebih lincah. Selain tenaganya yang memang sudah susut, anak muda yang menang sejak pertama kali itu, kurang mempunyai pertimbangan-pertimbangan atas kudanya sendiri. Karena itu, didalam perkelahian yang ketujuh, lawannya berhasil mendorongnya jatuh, justru hanya dengan tangannya, karena tongkatnya ada disisi lain dari tubuhnya.
Tetapi pemenang itu tidak bertahan lebih dari dua kali. Datanglah kemudian seorang anak muda yang gagah tegap dan berdada bidang. Anak muda ini berhasil dengan mudah menjatuhkan lawannya yang telah menang itu.
Agaknya anak muda yang berdada bidang itu akan mampu bertahan beberapa kali. Tetapi ternyata ia tidak dapat bertahan sampai lima kali.
Demikianlah maka menjelang orang yang terakhir, turunlah kegelanggang orang-orang yang semakin kuat, semakin lincah dan trampil, sehinggga pada saatnya, tinggal dua orang sajalah yang masih ada digelanggang.
Sorak para penonton bagaikan meruntuhkan langit. Para peserta yang tidak mampu lagi bertahan kini ikut pula berteriak-teriak dan bersorak-sorak. Mereka telah mengikat kuda masing-masing di pinggir alun-alun dan memusatkan perhatiannya pada perkelahian yang dahsyat dibabak terakhir itu.
Para pemimpin Singasari yang ada dipanggung menjadi berdebar-debar. Ternyata keduanya adalah anak-anak muda yang tangkas dan kuat. Salah seorang dari keduanya, yang dapat memenangkan pertandingan dibabak terakhir, itu akan mendapat kesempatan untuk bertanding melawan Tohjaya.
Demikianlah maka ternyata kedua anak-anak muda yang sampai pada pertandingan terakhir itu adalah anak-anak muda yang tangguh dan tangkas. Setelah mereka dua kali bertanding dengan ancang-ancang dan tidak seorang-pun dari mereka yang terjatuh, maka mulailah mereka bertanding dengan dahsyatnya pada jarak yang dekat. Tongkat mereka terayun-ayun dan mematuk dengan cepatnya. Sekali-sekali tubuh mereka terpukul oleh tongkat itu, namun mereka masih juga tetap bertahan.
Matahari yang telah mulai condong ke Barat terasa panasnya membakar arena. Tetapi tidak seorang penonton-pun yang menjadi jemu dan meninggalkan alun-alun. Mereka benar-benar terikat melihat ketangkasan anak-anak muda Singasari bertanding diatas punggung kuda, apalagi dua orang yang berakhir itu.
Yang masih anak-anak-pun rasa-rasanya tidak mengenal lapar. Bahkan mereka yang terlupa belum makan pagi-pun masih juga bertahan ditempatnya, meski-pun agak gemetar juga.
Dipanggung kehormatan para pemimpin Singasari memperhatikan perkelahian diantara keduanya itu dengan berdebar-debar. Ternyata bahwa Singasari memiliki bibit-bibit yang baik bagi seorang prajurit. Jika perkelahian ini berakhir, maka pantaslah bagi yang menang untuk mendapat penghargaan menjadi seorang perwira apabila dihendaki. Ketangkasan dan kemampuannya dapat dikagumi.
"Apakah tuanku Tohjaya dapat mengalahkannya?" timbul juga pertanyaan didalam hati para Senapati.
Tetapi mereka percaya bahwa Tohjaya adalah seorang anak muda yang perkasa.
Demikianlah maka Tohjaya sendiri memperhatikan pertandingan itu dengan tegang. Keduanya memang tangkas dan lincah.
Setelah bertanding beberapa lama, maka akhirnya tampak jugalah perbedaan kemampuan dari keduanya, meski-pun perlahan-lahan dan hampir tidak jelas. Yang seorang memiliki ketahanan nafas yang luar biasa sehingga setelah bertanding beberapa lama, seakan-akan ia sama sekali tidak menunjukkan gejala-gejala kelelahan. Dalam pada itu lawannya tampak menjadi semakin susut tenaganya. Nafasnya mulai mengganggu meski-pun ia masih tetap mempertahankan ketangkasannya. Namun sampai jugalah batas dari kemampuannya. Ketika salah seorang daripadanya tidak mampu lagi bertahan pada batas kekuatan nafasnya, maka perlahan-lahan ia mulai terdesak. Semakin lama semakin berat, sehingga pada akhirnya ia terdorong dari punggung kudanya. Betapa-pun ia bertahan, namun ia-pun terjatuh juga, meski-pun perlahan-lahan, seolah-olah sengaja turun dari kudanya dengan cara tersendiri.
Sorak sorai meledak seperti seribu guruh dilangit. Anak muda yang terjatuh itu-pun cepat berdiri. Tetapi ia tidak dapat mengelak, bahwa lawannya yang masih berada dipunggung kuda dengan tongkat ditangan itulah menang.
Setelah menganggukkan kepalanya kearah panggung kehormatan, maka dengan tersipu-sipu ia menangkap kendali kudanya dan dituntunnya keluar arena.
Meski-pun demikian, ternyata para penonton-pun menghormatinya. Sambil melambaikan tangan mereka, para penonton itu bersorak-sorak tidak henti-hentinya.
Setelah anak muda yang seorang itu menepi dan mengikat kudanya diluar arena, maka seorang Senapati yang bertugas diarena segera mengumumkan bahwa anak muda yang masih berada diarena itulah pemenang dari pertandingan sodoran pada hari itu.
Sementara itu, matahari sudah menjadi semakin condong ke Barat. Senapati itu pula kemudian mempersilahkan Tohjaya turun dari panggung kehormatan, untuk memenuhi janjinya, bertanding melawan anak muda yang memenangkan latihan terbuka diatas punggung kuda itu.
Tohjaya menganggukkan kepalanya sambil tersenyum. Ia cukup yakin akan kemampuannya. Kemampuan berkuda dan ketrampilan mempergunakan senjata. Ketahanan tubuhnya-pun dapat dibanggakannya pula.
Demikianlah, maka disambut dengan sorak yang membahana, Tohjaya berdiri dari tempat duduknya. Setelah bersujud didepan ayahanda dan ibunda Ken Umang, maka Tohjaya-pun segera berdiri dan berjalan perlahan-lahan kepintu panggungnya. Sekali ia masih berpaling memandang Ken Dedes yang termangu-mangu. Dengan senyum yang aneh ia mengangguk kecil seakan-akan ingin mengatakan kepadanya, bahwa anak Ken Umanglah yang akan menjadi anak muda yang paling perkasa di Singasari, bukan anak Ken Dedes. Bukan Putera Mahkota yang sama sekali tidak hadir dan tidak berani melihat kenyataan kemenangannya.
Tiba-tiba saja Ken Dedes menjatuhkan wajahnya. Terasa hatinya bagaikan terluka. Ia benar-benar merasa, betapa keturunannya sama sekali tidak mampu mengangkat derajadnya. Derajad padepokan Panawijen, meski-pun ayahnya, mPu Purwa adalah seorang laki-laki yang mumpuni.
Tanpa sesadarnya Ken Dedes berpaling memandang Mahisa Agni, tetapi karena Mahisa Agni tidak sedang memandangnya, maka ia-pun berkisar pada Mahisa Wonga Teleng. Tetapi anaknya itu-pun sedang menundukkan wajahnya dalam-dalam.
Demikianlah, Tohjaya-pun kemudian naik keatas punggung kuda yang tegar berwarna hitam. Kuda itu adalah kuda kesayangannya, yang selalu dipakainya apabila ia pergi berburu. Kuda itu bagaikan seseorang yang sudah mengenalnya dan dikenalnya baik-baik segala sifat dan tabiatnya.
Sambil melambaikan tangannya Tohjaya kemudian mengelilingi arena. Disambut dengan gemuruh oleh para penonton yang semakin berjejalan. Sejenak kemudian dipandanginya anak muda yang menang didalam pertandingan itu sambil bertanya, "Apakah kau sudah cukup beristirahat?"
"Ampun tuanku. Agaknya hamba sudah cukup lama menunggu."
Tohjaya tertawa. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, "Baiklah kita akan segera mulai."
Anak muda itu tidak menyahut. Tetapi hatinya menjadi semakin berdebar-debar. Kesempatan serupa ini tidak pernah diimpikannya sebelumnya. Bertanding melawan putera Sri Rajasa yang perkasa.
"Puteranya-pun tentu seorang yang pilih tanding," berkata anak muda itu didalam hatinya, "dan ternyata pula bahwa ia selalu berhasil mengusir perampok-perampok diseluruh daerah Singasari. Hampir seperti Kesatria Putih."
Tetapi anak muda itu tidak sempat berangan-angan lebih lama lagi, karena ia-pun harus segera bersiap menghadapi putera Sri Rajasa itu.
Sejenak anak muda itu memusatkan perhatiannya. Dipandanginya Tohjaya yang berada dipunggung kudanya yang hitam.
"Tuanku Tohjaya memang seorang yang perkasa," berkata anak muda itu didalam hatinya.
Sejenak kemudian, maka Isyarat-pun segera diberikan dan prajurit yang sudah siap dengan pemukul tanda ditangannya, segera mengayunkan tangannya.
Demikian tengara itu berbunyi, maka kedua ekor kuda di arena itu-pun segera berpacu. Masing-masing kemudian merundukkan badannya dan mempersiapkan tongkatnya masing-masing.
Benturan antara keduanya disambut dengan sorak yang gegap gempita. Anak muda yang memenangkan segala pertandingan itu hanya bergetar sedikit, tetapi ia masih dapat bertahan diatas punggung kudanya, sehingga mereka-pun harus mengulanginya sekali lagi.
Dan yang sekali lagi itu-pun disambut dengan sorak yang gemuruh. Juga pada benturan yang kedua anak muda itu masih mampu bertahan meski-pun hampir saja ia terlempar dari punggung kudanya.
Tohjaya tersenyum melihat lawannya masih tetap berada diatas punggung kuda. Dengan demikian mereka harus bertanding pada jarak dekat tanpa ancang-ancang lagi.
Keduanya-pun kemudian saling memukul dan saling mendorong. Namun seperti pada benturan-benturan yang terjadi, segera nampak bahwa Tohjaya memang seorang anak muda luar biasa. Tidak banyak kesempatan diberikan kepada lawannya. Setiap kali anak muda itu harus menghindar menjauh dan memperbaiki keadaannya. Namun setiap kali kembali serangan-serangan Tohjaya membuatnya terdesak terus.
Semua orang yang menyaksikan pertandingan diarena itu bagaikan disengat oleh kebanggaan yang tidak tertahankan, melihat Tohjaya yang dengan lincah dan tangkas mendesak lawannya. Mereka melihat dengan pasti, bahwa Tohjaya dengan sengaja membiarkan lawannya tetap bertahan agak lama, karena sebenarnya Tohjaya mempunyai kesempatan yang luas untuk menjatuhkannya.
Kebanggaan yang tidak ada taranya telah membakar hati rakyat Singasari. Tohjaya sekaligus berhasil merebut hati setiap orang. Tidak ada lagi yang sempat mengingat-ingat bahwa di Singasari ada seorang Putera Mahkota. Apalagi saat itu Putera Mahkota yang bernama Anusapati tidak menampakkan dirinya.
Ken Umang yang melihat sambutan rakyat Singasari kepada anak laki-lakinya demikian menggetarkan jantung, menjadi semakin berbangga. Hampir pasti ia dapat mengharap dukungan rakyat itu terhadap anaknya apabila terjadi suatu perebutan tahta kelak.
"Anusapati tidak akan mendapatkan tempat dihati rakyat ini," berkata Ken Umang didalam hatinya.
Dan sebenarnyalah bahwa kata hati Ken Dedes-pun hampir serupa. Ia melihat suatu permainan yang licik. Dengan sengaja Sri Rajasa ingin menyingkirkan anaknya dari hati rakyat Singasari. Namun demikian, Ken Dedes tidak dapat menyesali lebih jauh, karena Anusapati sendiri agaknya tidak memiliki kemampuan sebesar Tohjaya.
Karena itu, maka Ken Dedes-pun segera menundukkan kepalanya. Terasa hatinya bagaikan pecah. Sekali-sekali ia berpaling kepada Mahisa Wonga Teleng. Tetapi anaknya itu-pun hanya dapat menundukkan kepalanya.
"Agaknya telah menjadi takdir Yang Maha Agung," akhirnya Ken Dedes mencoba menenangkan hatinya dan menyerahkan semuanya kembali kepada pencipta alam dan seisinya.
Sejenak kemudian maka sorak yang membahana terdengar lagi dari arena. Ken Dedes hampir tidak berani mengangkat wajahnya. Ia tidak berani melihat kemenangan Tohjaya dan sambutan rakyat Singasari yang meledak-ledak.
Sebenarnyalah sejenak kemudian, Tohjaya berhasil mendesak lawannya. Sambil tersenyum ia menyentuh lawannya itu dengan ujung tongkatnya. Hampir saja lawannya itu terbanting jatuh, namun Tohjaya kemudian membiarkannya memperbaiki keadaannya. Bahkan dengan sengaja menjauhinya agar kesempatan itu dapat dilihat dengan jelas oleh para penonton diseputar arena.
Namun demikian, akhirnya Tohjaya menjadi jemu. Setelah berputar-putar beberapa lama, Tohjaya-pun berniat mengakhiri permainan itu.
Demikianlah, sejenak kemudian, tohjaya menjadi semakin cepat berputar. Sentuhan demi sentuhan membuat lawannya bingung, sehingga akhirnya lawannya itu-pun terdorong dan perlahan-lahan jatuh dari punggung kudanya.
Meledaklah sorak yang gemuruh, seakan-akan hendak meruntuhkan langit. Namun pada saat yang demikian itu, dilangit telah terbang sebatang anak panah sendaren dari pinggir alun-alun tanpa dihiraukan oleh siapa-pun karena mereka sedang ribut dengan kemenangan Tohjaya.
Namun sejenak kemudian, arena itu bagaikan dicengkam oleh tangan-angan hantu ketika tiba-tiba saja, hampir tidak ada seorang-pun yang mengetahui dari mana datangnya, berlarilah seekor kuda putih yang tegar dengan penunggangnya yang berkerudung putih. Hampir berbareng rakyat Singasari berdesis, "Kesatria Putih. Ya, Kesatria Putih."
Ternyata bukan saja rakyat yang berdiri berjejal-jejal disekitar arena sajalah yang terperanjat melihat kehadiran Kesatria Putih, tetapi para pemimpin Singasari yang berada dipanggung kehormatan-pun terkejut karenanya. Sri Rajasa bergeser setapak maju dan bahkan Mahisa Wonga Teleng telah berdiri dari tempat duduknya, sementara Mahisa Agni memanjangkan lehernya untuk dapat melihat seekor kuda yang kemudian perlahan-lahan berjalan kedepan panggung kehormatan itu.
Rakyat Singasari dengan sendirinya telah bersibak. Bagi mereka Kesatria Putih adalah seorang kesatria yang telah berhasil merebut hati mereka. Karena itu, meski-pun mereka belum mengenal siapakah sebenarnya Kesatria Putih itu, namun kehadirannya telah mendapat sambutan yang membuat Tohjaya menjadi iri hati.
Meski-pun rakyat Singasari tidak berteriak dan bersorak, namun tatapan mata mereka, bisik-bisik diantara mereka, "serta orang-orang yang berdiri dibelakang berusaha mendesak maju, adalah suatu pertanda bahwa Kesatria Putih mendapat banyak perhatian dari rakyat yang berdiri diseputar arena itu.
"Ampun tuanku," katanya dalam nada yang berat, seolah-olah suaranya berputar didalam perutnya, "bahwa hamba berani hadir didalam pertandingan sodoran ini adalah didorong oleh niat hamba untuk ikut meramaikan permainan yang diselenggarakan dialun-alun ini. Tetapi ampun tuanku, bahwa hamba telah datang terlambat karena hamba harus menyelesaikan tugas yang telah hamba bebankan kepundak hamba atas kehendak hamba sendiri. Selagi hamba berada didalam perjalanan yang jauh, hamba telah bertemu dengan segerombolan perampok yang agaknya ingin memanfaatkan kesempatan ini. Mereka sadar, bahwa hari ini tuanku Tohjaya pasti tidak akan dapat memberikan perlindungan kepada rakyatnya, karena tuanku berada diarena ini. Karena itulah maka segerombolan perampok itu telah berani berbuat jahat. Dengan demikian maka hamba terpaksa berhenti sejenak menyelesaikan para perampok itu." Kesatria Putih berhenti sejenak. Namun ceriteranya itu ternyata telah mendebarkan jantung orang-orang Singasari yang mendengarnya, "Sehingga dengan demikian tuanku, kedatangan hamba telah terlambat. Meski-pun demikian, jika diperkenankan hamba akan mengikuti pertandingan sodoran terbuka ini."
Jantung Sri Rajasa menjadi berdebar-debar. Ia sudah mendengar kemampuan Kesatria Putih, sehingga karena itu, ia menjadi ragu-ragu, apakah Tohjaya akan dapat melawannya. Tetapi untuk menolaknya, pasti akan sangat mengecewakan rakyat Singasari. Mereka pasti menganggap bahwa Tohjaya tidak akan dapat menandinginya. Dan hal ini tentu akan Sangat merugikan nama Tohjaya untuk selanjutnya.
Tetapi karena hal itu memang sudah dipertimbangkan oleh Sri Rajasa sebelumnya, maka Sri Rajasa-pun kemudian berkata, "Kesatria Putih, kehadiranmu sangat mencengangkan hati kami. Kami sudah mendengar betapa besar namamu karena pengorbanan yang pernah kau berikan kepada Rakyat Singasari, seperti apa yang pernah diberikan oleh puteraku Tohjaya. Tetapi ketahuilah, bahwa pertandingan sodoran ini adalah pertandingan untuk anak-anak. Jika kau akan menjajal kemampuan pimpinan Singasari, apakah ia mampu menamakan dirinya pemimpin didalam segala segi, maka kau tidak pantas untuk bertanding dengan anak-anak karena kebesaran namamu."
"Ampun tuanku," jawab Kesatria Putih, "hamba tidak mengira bahwa hamba akan mendapat pujian setinggi itu. Tetapi tuanku, pujian itu sebenarnya terlampau memberati pundakku, karena sebenarnyalah hamba tidak pernah berbuat apa-apa yang lebih berarti dari tuanku Tohjaya." Kesatria Putih itu berhenti sebentar. Lalu, "dalam pada itu tuanku, hamba-pun agaknya dapat, memenuhi persyaratan bagi pengikut pertandingan terbuka ini, atau katakanlah suatu latihan terbuka, karena sebenarnyalah bahwa umur hamba-pun tidak terpaut banyak dari tuanku Tohjaya. Jika hamba diperkenankan mengikuti permainan ini tuanku, hamba berjanji, jika hamba kalah, maka tidak ada gunanya setiap orang mengenal akan hamba, dan biarlah hamba menjalankan tugas hamba dengan rahasia seperti saat-saat lampau. Tetapi jika hamba menang, maka hamba berjanji, betapa jeleknya wajah hamba yang hamba sembunyikan ini, hamba akan menyatakan diri, bahwa sebenarnyalah hamba masih berhak mengikuti permainan ini, karena umur hamba tidak terpaut banyak dari tuanku Tohjaya."
Dada Sri Rajasa menjadi berdebar-debar. Sejenak ia merenung. Dipandanginya Kesatria Putih dengan tajamnya. Apakah benar umurnya belum terpaut banyak"
"Kesatria Putih, apakah kata-katamu dapat aku percaya?"
"Jika hamba berbohong tuanku, tuanku dapat memancung hamba sekarang juga dihadapan rakyat Singasari. Tetapi berhubung wajah hamba tidak pantas dipandang, sebaiknya wajah ini hamba sembunyikan. Hanya apabila hamba menang, hamba akan sekedar mendapat penghiburan betapa jeleknya hamba. Namun agaknya hal itu mustahil akan terjadi."
"Kalau kau sadari mustahil akan terjadi, kenapa kau memasuki arena?" bertanya Sri Rajasa."
"Hamba akan sekedar menilai diri, setelah sekian lama hamba mencoba membaktikan kemampuan hamba tanpa pamrih terhadap rakyat Singasari yang hamba cintai dengan cara hamba sendiri."
Sri Rajasa menjadi termangu-mangu. Tetapi ketika ia memandang wajah Rakyat Singasari, tampaklah dari sorot mata mereka, bahwa mereka ingin melihat kesempatan yang barangkali tidak akan pernah mereka jumpai lagi."
Sejenak Sri Rajasa berdiri mematung. Ia sadar, bahwa Kesatria Putih bagi rakyat Singasari adalah seorang pahlawan, sehingga ia tidak akan dapat berbuat sesuatu yang dapat menyinggung perasaan rakyatnya.
Dan kini, dua orang pahlawan rakyat Singasari akan berhadapan diarena, karena Tohjaya bagi rakyat Singasari juga seorang pahlawan.
Tetapi, bagi rakyat Singasari, tidak ada keberatan apa-pun jika keduanya turun ke arena. Seandainya salah satu dari keduanya itu kalah, rakyat Singasari sama sekali tidak akan dirugikan. Kekalahan itu diharapkan oleh rakyat Singasari akan dapat menjadi pendorong bagi salah seorang dari keduanya untuk lebih banyak berbuat lagi bagi Singasari.
Karena itu, maka mereka benar-benar mengharap agar Sri Rajasa memperkenankan Kesatria Putih untuk turun ke arena. Rakyat Singasari yang selama ini mengagumi kepahlawanannya, ingin melihat bagaimana ia bertanding.
Akhirnya, Sri Rajasa yang berdiri dipanggung kehormatan tidak dapat ingkar dari keinginan rakyat Singasari yang tampak pada sorot mata mereka. Karena itu maka katanya betapa-pun ia dilanda oleh kebimbangan, "Baiklah orang yang disebut Kesatria Putih. Aku tidak berkeberatan kau mengikuti pertandingan ini. Tetapi jika ternyata bahwa kau tidak memenuhi segala ketentuan yang ada, maka kau akan dipancung dialun-alun ini. Menang atau kalah, aku berhak untuk menuntut kau menyatakan dirimu kepada rakyat Singasari."
"Ampun tuanku. Apakah gunanya wajah hamba yang jelek ini akan diperlihatkan kepada rakyat Singasari, jika hamba kalah?"
"Itu terserah kepada keputusanku. Jika aku memutuskan demikian, kau tidak boleh menolak. Jika tidak, pergilah sebelum terlambat."
Kesatria Putih tampak merenung sejenak. Dalam pada itu Rakyat Singasari menjadi bertanya-tanya kenapa justru sikap Sri Rajasa tidak begitu baik terhadap Kesatria Putih yang selama ini telah banyak berjasa bagi bumi Singasari ini.
Sejenak kemudan barulah Kesatria Putih itu berkata, "Ampun tuanku, biarlah hamba menundukkan kepala atas titah tuanku. Tidak ada yang dapat membantah ketentuan yang telah tuanku jatuhkan."
"Baiklah. Masuklah kedalam arena. Tetapi kau tidak akan dapat lari dari ketentuan yang sudah aku katakan."
"Ampun tuanku, hamba akan selalu menjunjung titah tuanku itu."
Demikianlah, maka Kesatria Putih itu memutar kudanya. Dilihatnya Tohjaya termangu-mangu diarena. Namun sejenak kemudian Tohjaya itu-pun berkata dari kejauhan, "Ayahanda, jika Kesatria Putih ingin memasuki arena, biarlah hamba melayainya."
Sri Rajasa menganggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak berteriak menjawab kata-kata Tohjaya itu.
Demikianlah, maka Kesatria Putih itu-pun perlahan-lahan memasuki arena. Seorang Senapati yang bertugas segera memberikan sebatang tongkat panjang kepadanya dan memberikan beberapa penjelasan tentang pertandingan yang bakal berlangsung.
Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya Kesatria Putih itu berkata, "Baiklah tuan. Aku akan menyesuaikan diriku. Mudah-mudahan aku dapat melayani tuanku Tohjaya barang satu atau dua kejap saja."
Senapati itu tidak menyahut. Kemudian keduanya ditempatkan pada ujung yang berlawanan.
Seorang prajurit telah berdiri dengan tegang didepan tengara yang harus dipukulnya apabila Senapati yang bertugas diarena melambaikan tangan yang sudah diangkatnya itu.
Sejenak suasana menjadi tegang. Tohjaya dan Kesatria Putih sudah siap ditempat masing-masing. Tongkat panjang mereka telah mulai merunduk.
Dalam ketegangan yang memuncak itulah tangan Senapati yang berada diarena mulai bergerak terayun jatuh disisi tubuhnya. Pada saat itu pula, sebuah tengara telah dibunyikan oleh seorang prajurit yang bertugas.
Demikianlah kedua kesatria yang berada diarena itu mulai memacu kudanya. Keduanya merasa bahwa lawannya adalah seorang yang memiliki kekuatan dan ketrampilan yang melampaui anak-anak muda yang lain, yang kini berjajar di pinggir arena.
Para penonton yang ada diseputar arena menjadi tegang. Semua mulut tiba-tiba justru telah terkatup rapat-rapat. Dengan keringat yang mengembun dikening mereka menyaksikan dua orang kesatria yang selama ini menjadi kebanggaan mereka sedang bertanding di arena dalam suatu latihan terbuka.
Sekilas melintas diangan-angan mereka, kenapa justru Tohjayalah yang sekarang berada di arena. Kenapa bukan Putera Mahkota.
Hal itu semakin memperdalam kekecewaan rakyat Singasari atas Anusapati. Agaknya permainan Ken Arok selama ini telah berhasil semakin mendesak Anusapati jauh ketepi dan bahkan semakin kabur dihati rakyat Singasari.
-ooo0dw0ooo- Jilid 76 "ANUSAPATI." "Anggaplah bahwa yang terjadi adalah karma. Bukankah ayahanda Tunggul Ametung mengambil ibunda dengan cara yang tidak ibunda sukai" Dan bukankah ayahanda Tunggul Ametumg telah melakukan kesalahan yang merusak kehidup ibunda selanjutnya" Ibunda, dalam hal ini ibunda jangan menyalahkan diri sendiri. Karma akan berlaku dimana-pun hamba bersembunyi. Kutuk seorang pendeta di Panawijen pasti akan berlaku. Dan hamba-pun akan memanggul karma itu sebagai seorang putera dari Akuwu Tunggul Ametung."
"Tidak, tidak anakku. Kau tidak bersalah. Kau adalah anakku. Aku mencintaimu seperti aku mencintai adik-adikmu. Karena itu, aku tidak rela akan kematianmu itu."
Tangis Ken Dedes yang tertahan-tahan membuat hati Anusapati bagaikan tergores duri. Pedih. Tetapi ia masih bertahan dan berkata, "Hamba tahu ibunda mencintai hamba. Tetapi karma adalah diluar jangkauan kemampuan manusia. Dan keris yang ada ditangan Sri Rajasa itu-pun hanya sekedar sebagai lantaran. Sudahlah ibu. Jangan hiraukan hamba. Anak hambalah yang akan menggantikan hamba dihadapan ibunda. Jika hamba telah memanggul karma, maka akan bersihlah anak hamba dari kemungkinan-kemungkinan yang pahit. Dan biarlah keris itu kini tetap ditangan Sri Rajasa."
"Tidak, tidak," Ken Dedes berdesis diantara sedu sedannya.
"Sudahlah ibunda, hamba mohon diri. Hamba mohon diri untuk selama-lamanya."
"Anusapati, Anusapati," tiba-tiba ibundanya bangkit dan memeluknya erat-erat. Katanya, "Kau jangan membuat hatiku semakin parah Anusapati."
Anusapati menarik nafas. Jawabnya. "Tidak ibunda. Hamba akan tersenyum apa-pun yang akan terjadi. Hamba akan menerimanya dengan ikhlas sehingga kepergian hamba tidak akan membuat hati ibunda terluka."
"Tidak. Kau tidak boleh pergi," suara Ken Dedes lemah, "anakku, maafkan ibumu. Aku. aku telah membohongimu."
Anusapati mengangkat wajahnya. Pelukan ibunya-pun terlepas perlahan.
"Kenapa ibunda membohongi hamba" Apakah ternyata ayah hamba bukan Akuwu Tunggul Ametung, atau apakah, ayahanda Tunggul Ametung tidak mati terbunuh oleh ayahanda Sri Rajasa?"
"Bukan, bukan itu."
"Lalu?" "Aku membohongimu. Keris itu tidak ada pada ayahandamu Sri Rajasa. Keris itu ada padaku."
"O," Anusapati menarik nafas dalam-dalam, "jadi keris itu ada pada ibunda?"
Ken Dedes mengangguk-angguk. Betapa-pun ia menahan hati, tetapi air matanya meleleh semakin deras, "Ya Anusapati. Keris itu ada padaku."
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya, Tetapi ia bertanya, "Kenapa ibunda membohongi hamba" Apakah ibunda tidak menganggap penting bahwa keris itu tidak boleh berada disembarang tangan?"
"O, justru karena aku menganggap keris itu akan dapat menentukan kelanjutan sejarah Singasari, maka aku telah menyimpannya baik-baik."
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu katanya, "Ibunda. Jika keris itu memang ada pada ibunda, apakah hamba dapat memohon agar keris itu ibunda berikan kepada hamba?"
"Itulah yang aku cemaskan Anusapati." jawab ibundanya, "Karena itulah, maka aku berbohong kepadamu. Tetapi ternyata kau menjadi berputus-asa dan seakan-akan kau membiarkan dirimu sendiri mengalami kematian, tanpa berbuat sesuatu."
"Bukan ibunda. Jika memang keris itu ada pada ayahanda Sri Rajasa, hamba memang tidak akan dapat berbuat apa-apa. Tetapi ternyata keris itu ada pada ibunda. Karena itu, maka hamba mohon agar keris itu diserahkan kepada hamba. Hamba akan menyimpannya baik-baik."
Ken Dedes menggelengkan kepalanya. "jangan anakku. Biarlah ibunda menyimpannya."
"Apakah sebabnya ibunda tidak mengijinkan hamba menyimpan keris itu, karena justru jiwa hambalah yang kini paling terancam karenanya?"
"Tidak Anusapati. Aku akan menyimpannya baik-baik. Aku mengerti bahwa jiwamu terancam karenanya. Dengan demikian aku tidak akan menyerahkan keris itu kepada siapa-pun juga. Aku akan menyimpannya baik-baik sehingga dengan demikian jiwamu-pun akan selamat. Aku adalah ibumu Anusapari, dan aku akan selalu berusaha agar kau tidak terancam oleh bencana yang sama seperti ayahandamu Tunggul Ametung."
"Mungkin ibunda berniat demikian," jawab Anusapati, "tetapi apakah ibunda dapat bertahan jika pada suatu saat ayahanda Sri Rajasa datang kepada ibunda dan minta agar keris itu diserahkan" Mungkin ibunda berkeberatan. Tetapi Sri Rajasa dapat memaksa Ibunda dengan cara apa-pun juga sehingga akhirnya keris itu jatuh ketangannya."
Ken Dedes menggeleng. Katanya, "Anusapati, keris ini tidak boleh berpindah tangan. Aku akan mempertahankannya."
"Tentu ayahanda Sri Rajasa akan dapat mengambilnya. Jangankan ibunda seorang perempuan, sedangkan keris itu dapat dicurinya dari tangan Kebo Ijo, seorang perwira prajurit Tumapel yang memiliki kelebihan karena Kebo Ijo adalah saudara seperguruan pamanda Witantra."
"O," Ken Dedes menundukkan kepalanya.
"Apakah ibunda pernah mengenal paman Witantra" Seorang Panglima yang tidak ada duanya di Tumapel waktu itu. Panglima pasukan pengawal yang justru tersingkir karena Ia ingin membersihkan nama Kebo Ijo dan dikalahkan oleh pamanda Mahisa Agni di arena" Ternyata semuanya telah terjebak. Semua orang telah berhasil dikelabui oleh seorang yang bernama Ken Arok."
Ken Dedes menundukkan kepalanya sambil memegangi keningnya. Kini semuanya terbayang dengan jelas. Semuanya seakan-akan baru kemarin terjadi. Bagaimana rakyat Tumapel berkabung karena Akuwu Tunggul Ametung terbunuh. Kemudian dengan penuh kemarahan mereka menuduh Kebo Ijo telah membunuh Akuwu Tunggul Ametung. Yang belum lagi air mata rakyat Tumapel yang menangisi kematian Tunggul Ametung itu kering, ia sudah memasuki jenjang perkawinan bersama seorang anak muda yang tampan pada waktu itu, dan seorang prajurit yang perkasa, yang bernama Ken Arok.
"Ibunda," berkata Anusapati kemudian seakan-akan membangunkan ibundanya dari lamunan, "hamba menunggu keputusan ibunda. Jika ibunda memperbolehkan biarlah keris itu hamba saja yang menyimpannya. Mungkin paman Mahisa Agni berpendirian lain dan menganggap perlu untuk menyimpannya. Hamba percaya bahwa jika keris itu ada pada pamanda Mahisa Agni, ayahanda Sri Rajasa tidak akan berani mengambilnya. Dengan terang-terangan atau dengan sembunyi-sembunyi, karena di Singasari, orang yang paling disegani oleh ayahanda Sri Rajasa adalah pamanda Mahisa Agni."
Ken Dedes masih belum menjawab.
Dan Anusapati-pun berkata seterusnya, "Tetapi jika ibunda tidak berkenan menyerahkan keris itu kepada hamba, maka biarlah hamba sekali lagi mohon diri. Tidak ada harapan lagi bagi hamba untuk membebaskan diri."
"O, Anusapati." desis Ken Dedes, "kau berhasil memaksa aku untuk menyerahkan keris itu. Ternyata aku tidak dapat berbuat lain."
Dada Anusapati menjadi berdebar-debar.
"Tetapi ingat anakku. Keris itu bukan alat untuk menyebarkan dendam. Jika kau dikejar oleh dendam dihatimu, dan kau mempergunakan keris itu, maka akan tumbuh dendam yang lain diantara keturunan Sri Rajasa. Dan dendam itu akan selalu menghantuimu setiap saat."
Anusapati menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Hamba tidak mendendam ibunda. Hamba telah mendengar pesan pamanda Mahisa Agni, bahwa hamba tidak diperkenankan berbuat apa-apa, selain berusaha menghindarkan diri dari bencana. Salah satu cara yang dapat hamba tempuh adalah menyembunyikan keris ini. Bukan untuk dipergunakan."
Ken Dedes memandang puteranya sejenak. Di wajah itu memang terbayang wajah ayahandanya, Tunggul Ametung. Wajah yang semula sangat ditakutinya ketika Akuwu itu datang mengambilnya ke Panawijen dengan sorot mata yang merah.
"Kuda Sempanalah sumber dari bencana ini," desisnya didalam hati.
Tetapi semuanya itu sudah lama lampau. Semuanya itu sudah terjadi. Jika ia sendiri tidak ikut mengembangkan peristiwa-peristiwa berikutnya, maka akibatnya-pun tidak akan separah ini.
Ken Dedes mengangkat wajahnya ketika ia mendengar Anusapati kemudian berkata, "Ibunda. Jika memang berkenan dihati ibunda, hamba mohon keris itu dapat hamba terima dan hamba simpan sebaik-baiknya. Mumpung kini pamanda Mahisa Agni masih berada di Singasari. Biarlah hamba mohon pertimbangan, apakah yang sebaiknya hamba lakukan dengan keris itu, dan barangkali pamanda Mahisa Agni mempunyai cara yang baik yang dapat hamba lakukan."
Ken Dedes masih ragu-ragu. Terbayang ditatapan matanya kecemasan yang mencengkam.
"Apakah ibunda ragu-ragu?" bertanya Anusapati.
Dengan jujur Ken Dedes menganggukkan kepalanya sambil menjawab, "Ya Anusapati. Sebenarnyalah aku ragu-ragu. Tetapi aku kira tidak ada yang lebih baik bagimu daripada menyimpan keris itu. Tetapi sekali lagi, keris itu hanya dapat aku serahkan padamu untuk disimpan. Jika dengan demikian kau akan terhindar dari bencana."
"Tentu ibunda. Hamba hanya sekedar akan menyimpan keris itu. Hamba tidak akan mempergunakannya."
Ken Dedes menarik nafas dalam-dalam. Sejenak kemudian ia-pun berdiri dan melangkah perlahan-lahan masuk kedalam ruangan sempit disebelah biliknya.
Anusapati menunggu ibundanya dengan hati yang berdebar-debar. Ia belum pernah melihat keris buatan mPu Gandring itu. Seandainya ibundanya memberikan keris yang mana-pun juga, maka ia-pun akan mempercayainya.
Ketika ibundanya Ken Dedes keluar dari ruang sempit itu dengan membawa sebuah peti, maka hatinya kian bergejolak. Jika benar keris itu keris mPu Gandring, maka keris itulah yang sudah menghabisi jiwa ayahandanya.
"Inilah keris itu Anusapati," berkata Permaisuri itu dengan suara bergetar. Bukan hanya suaranya, tetapi tangannya yang memegang peti itu-pun bergetar.
Perlahan-lahan Ken Dedes meletakkan peti itu dipembaringan. Kemudian dengan hati-hati sekali ia merabanya sambil berkata, "Bukan maksudku untuk memperluas dendam disetiap hati, Anusapati, apakah kau mengerti maksudku?"
"Hamba mengerti ibunda."
"Simpanlah keris ini baik-baik. Dan lupakanlah bahwa kau menyimpan keris ini, keris yang mempunyai sangkut paut dengan ayahandamu. Jika kau berhasil melupakannya, kau akan mendapatkan ketenteraman."
"Hamba akan berusaha ibunda. Mudah-mudahan hamba dapat melupakannya bahwa hamba telah menyimpan dan menyembunyikan keris ini demi keselamatan hamba."
Ken Dedes tidak menjawab. Tetapi hatinya bagaikan terpecah karenanya. Ia benar-benar harus memilih, Sri Rajasa atau Anusapati anaknya yang lahir dari tetesan darah Akuwu Tunggul Ametung.
"Inilah Anusapati," desis Ken Dedes sambil menyerahkan peti itu kepada Anusapati.
Ternyata bahwa tangan Anusapati-pun menjadi gemetar pula. Dengan dada yang berdebar-debar tangannya yang gemetar itu-pun kemudian membuka peti itu.
Dadanya berdesir ketika ia melihat keris yang ada didalam peti itu. Keris yang tidak seperti dibayangkannya, keris dengan sarung emas bertatahkan intan berlian. Bukan pula dengan ukiran yang indah. Tetapi keris itu disarungkan dalam wrangka yang sederhana dan ukirannya adalah sebatang kayu cangkring yang belum dibentuk.
Anusapati menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia memang pernah mendengar bahwa keris itu sebenarnya masih belum siap sama sekali ketika Ken Arok mengambilnya dan kemudian membunuh mPu Gandring agar mPu itu tidak dapat mengatakan, bahwa yang memesan keris itu kepadanya adalah Ken Arok yang kini bergelar Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi.
Sesaat kemudian maka peti itu-pun ditutupnya kembali. Anusapati tidak sampai hati untuk menarik keris itu dari wrangkanya dihadapan ibunya. Ia yakin bahwa keris itu pasti masih bernoda darah yang membeku karena sepengetahuannya keris buatan mPu Gandring itu tidak pernah dimandikan.
Sejenak kemudian, setelah getar didadanya agak mereda, maka Anusapati-pun mohon diri kepada ibunya untuk membawa keris itu dan menyimpannya.
"Bagaimana jika seseorang melihat kau membawa peti itu Anusapati" Mungkin seseorang akan menjadi curiga dan mengatakan kepada orang lain bahwa kau membawa sebuah peti dari bilik ini."
"Apakah ada orang yang mengetahui bahwa peti ini berisi keris mPu Gandring itu ibunda?"
"Tidak. Tetapi bahwa kau membawa sesuatu dari bilik ini memang dapat dicurigai. Mungkin aku sekedar berprasangka. Tetapi jika benar-benar demikian, dan kecurigaan itu sampai ditelinga Tohjaya dan ayahanda Sri Rajasa, maka ia pasti akan bertanya kepadamu atau kepadaku, apakah yang ada didalam peti itu."
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu katanya, "Baiklah ibunda, jika demikian aku akan membawa kerisnya saja. Petinya biarlah aku tinggalkan disini."
"Apalagi keris itu Anusapati," jawab ibunda, "ciri keris itu mudah sekali dikenal."
Anusapati mengamati keris itu sekali lagi. Memang keris itu mudah sekali dikenal. Tetapi sepintas lalu, keris itu tidak berbeda dengan keris-keris yang lain. justru sederhana sekali bentuk dan warnanya.
"Ibunda," berkata Anusapati kemudian. "hamba akan membawanya tanpa peti ini. Keris hamba akan hamba tinggal didalam peti ini, dan hamba akan menggantinya dengan keris mPu Gandring ini."
"Sudah aku katakan Anusapati," keris itu mempunyai ciri yang mudah dikenal oleh siapapun. Meski-pun orang itu tidak mengenalnya bahwa keris ini adalah keris mPu Gandring, tetapi mereka pasti akan segera tertarik melihat, kesederhanaan keris ini, apalagi ukirannya yang terbuat dari kayu cangkring."
"Hamba akan membawanya dengan hati-hati ibunda. Hamba akan berusaha menyembunyikannya dibawah tangan hamba. Dari bangsal ini hamba akan langsung pergi ke bangsal hamba dan kemudian menemui paman Mahisa Agni untuk mengatakan kepadanya bahwa keris mPu Gandring itu ada ditangan hamba. Apakah sebaiknya yang pantas hamba lakukan menurut pertimbangan pamanda Mahisa Agni."
Ken Dedes termangu-mangu sejenak. Tetapi kemudian ia-pun berkata, "Hati-hatilah. Rasa-rasanya keris itu sendiri masih menuntut karena kematian mPu yang membuatnya."
"Itulah sebabnya keris ini harus disembunyikan. Dan seperti kata ibunda, aku akan berusaha melupakan, bahwa akulah yang telah menyembunyikan keris ini."
"Terserahlah kepadamu Anusapati."
Anusapati kemudian mengambil kerisnya yang terselip dilambung. Kemudian keris itu-pun diletakkannya didalant peti, setelah ia mengambil keris mPu Gandring.
Dengan hati-hati keris itulah yang kemudian disisipkan di pinggangnya. Ukirannya tepat berada dibawah tangan Anusapati yang tergantung disisi tubuhnya.
"Mudah-mudahan tidak ada orang yang melihatnya ibunda, agar tidak timbul persoalan-persoalan baru yang dapat mengguncangkan istana ini."
Ken Dedes menganggukkan kepalanya. Namun ia masih berkata, "Anusapati, aku masih harus mencari jawab jika pada suatu saat Ken Arok datang kepadaku dan menanyakan keris itu seperti kedatanganmu kini."
Anusapati menarik nafas dalam-dalam. Tetapi terbayang kecemasan di wajah ibunya meski-pun Ken Dedes itu kemudian berkata, "Tetapi biarlah jangan kau hiraukan. Aku akan berusaha untuk menjawabnya meski-pun saat ini aku belum menemukan alasan yang sebaik-baiknya."
Anusapati masih termangu-mangu. Karena itu ia-pun tidak segera berbuat sesuatu.
"Kenapa kau bimbang?" bertanya ibunya, "bagiku ternyata keris itu memang lebih baik ada padamu daripada ada pada Sri Rajasa."
"Terima kasih ibu," berkata Anusapati kemudian, "sekarang hamba mohon diri."
"Hati-hatilah Anusapati."
Anusapati kemudian meninggalkan ibunya sendiri di dalam biliknya. Sejenak ia berdiri dipintu bangsal sambil memandang berkeliling. Ternyata tidak banyak orang yang berkeliaran di halaman. Seorang juru taman dan dua orang prajurit yang melintas.
Anusapati-pun kemudian melangkah menuruni tangga. Disebelah pintu duduk dua orang emban sambil menunduk dalam-dalam.
Dengan hati-hati Anusapatiptun melangkah meninggalkan bangsal itu. Tangannya hampir tidak melenggang sama sekali karena ia berusaha untuk menyembunyikan ciri-ciri keris yang aneh itu.
Sepeninggal Anusapati, kedua emban yang duduk disebelah pintu itu-pun saling berpandangan. Tetapi mereka masih tetap ragu-ragu untuk mendekati bilik Permaisuri. Menurut dugaan mereka, Permaisuri yang sedang sakit itu selalu saja marah-marah kepada puteranya laki-laki yang sulung itu.
Barulah ketika mereka mendengar Permaisuri memanggil, mereka-pun datang mendekat dan dengan hati yang berdebar-debar mereka memasuki pintu bilik. Ketika mereka melampaui pintu bilik mereka melihat Permaisuri itu berbaring dipembaringannya sambil berselimut kain berwarna kelam menutupi seluruh tubuhnya, kecuali wajahnya.
"Ambilkan air panas emban," suara Ken Dedes lambat dan parau.


Bara Diatas Singgasana Pelangi Di Singosari Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kedua emban itu-pun saling berpandangan sejenak. Namun kemudian salah seorang dari mereka berkata, "Hamba tuan Puteri. Tetapi apakah hamba harus mengambil air panas untuk minum atau untuk keperluan yang lain?"
"Aku ingin minum air yang panas sekali. Taruhlah sedikit pangkal jahe dan gula kelapa."
"O, hamba tuan Puteri."
Salah seorang dari kedua emban itu-pun kemudian dengan tergesa-gesa meninggalkan bilik itu untuk membuat air jahe bagi tuan Puteri Ken Dedes.
Dalam pada itu, Anusapati yang berjalan dengan hati-hati telah sampai di halaman bangsalnya. Langkahnya menjadi semakin cepat, meski-pun ia berusaha agar tidak menimbulkan kecurigaan bagi siapa-pun juga.
Demikian Anusapati sampai di bangsalnya, maka ia-pun menarik nafas dalam-dalam. Keringatnya terasa terperas dari dalama tubuhnya oleh ketegangan meski-pun jarak yang dilewatinya sudah terlampau sering dilaluinya. Namun kali ini, dengan keris mPu Gandring dilambung, maka jarak itu rasa-rasanya menjadi sepuluh kali lipat. Setelah hatinya agak tenang, dan keringatnya berkurang, barulah ia masuk ke ruang dalam menemui isterinya yang sedang duduk bersama anak laki-lakinya.
"O, dari manakah ayahanda dalang?" bertanya anak laki-lakinya, "tampaklah ayahanda lelah sekali. Keringat ayahanda membasahi seluruh tubuh."
Anusapati mengerutkan keningnya. Namun ia-pun kemudian tersenyum sambi berkata, "Udara panasnya bukan main. Ayahanda tidak pergi kemana-mana. Ayahanda baru datang dari regol depan, melihat-lihat kegiatan para prajurit."
Anak laki-lakinya mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia-pun telah asyik lagi dengan permainannya.
Tetapi ternyata bahwa isteri Anusapati itu tidak secepat anaknya menerima keterangan itu. Dari sorot matanya masih tampak berbagai macam pertanyaan yang tidak terucapkan.
Sejenak kemudian maka Anusapati-pun segera masuk kedalam biliknya. Tetapi ia tidak mau membuat isterinya menjadi gelisah. Karena ia tidak bermaksud mengatakan apa-pun juga tentang keris itu dan tentang dirinya sendiri.
Sebelum isterinya menyusul masuk kedalam bilik itu, maka Anusapati-pun segera menyimpan keris mPu Gandring dan meletakkannya diantara beberapa pusakanya yang lain, sebelum ia dapat menyimpannya secara khusus.
"Aku harus menemui paman Mahisa Agni lebih dahulu," berkata Anusapati didalam hatinya, "aku harus mendapat petunjuk tentang keris itu."
Karena itu, maka ia-pun segera minta diri kepada isterinya untuk pergi kebangsal pamannya.
"Kakanda akan pergi lagi?" bertanya isterinya.
Anusapati tersenyum. Ia sadar, bahwa isterinya-pun melihat kesibukannya yang meningkat pada saat-saat terakhir. Tetapi ia masih belum mengatakan sesuatu.
"Aku akan menemui pamanda Mahisa Agni. Mungkin pamanda akan segera meninggalkan Singasari."
Isterinya tidak menyahut. Tetapi dimatanya membayang kecemasan dan kegelisahan.
Anusapati menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia mencoba tersenyum dan berkata, "Jika kau memerlukan aku, perintahkanlah seorang prajurit pengawal memanggil aku di bangsal pamanda Mahisa Agni."
Isterinya menganggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak berani mendesak lebih jauh lagi meski-pun sebenarnya hatinya sudah bergejolak. Sebagai seorang puteri dari keturunan Maharaja di Kediri, ia merasa asing di Singasari. Bahkan ia merasa bahwa ia berada dalam lingkungan yang sangat mencemaskan. Apalagi akhir-akhir ini Anusapati tampaknya sedang terlibat dalam suatu kesibukan yang sangat penting.
Beberapa keanehan yang dialaminya membuatnya semakin kecut. Bau yang sangat wangi, bunyi yang tidak dikenal dan wajah-wajah yang kadang-kadang memandanginya dengan tajamnya, seakan-akan sengaja menunjukkan kebencian dan dendam yang tertahan didalam hati.
Untunglah bahwa Ken Dedes bersikap sangat baik kepadanya. Dan bahkan Permaisuri itu rasa-rasanya bagaikan ibunya sendiri. Setiap kali ia selalu menghiburnya dan menenteramkan kegelisahannya. Adik-adiknya-pun sangat baik kepadanya. Adik-adik Anusapati yang lahir dari Ken Dedes. Tetapi adik-adik Anusapati yang lahir dari Ken Umang sama sekali acuh tidak acuh saja kepadanya.
"Tenangkan hatimu," berkata Anusapati, "bukankah disiang hari kita tidak pernah mengalami apa-pun juga."
Isterinya menganggukkan kepalanya pula.
"Nah, baiklah. Hati-hatilah mengawasi anak kita. Ia menjadi semakin nakal. Jika ia keluar bangsal, suruhlah pemomongnya mengikutinya kemana ia pergi."
"Baiklah kakanda," jawab isterinya, meski-pun kata-katanya itu bagaikan meloncat begitu saja dari bibirnya tetapi tidak dari hatinya.
Anusapati-pun kemudian mengambil kerisnya yang lain dan keluar pula dari biliknya. Dengan susah payah ia menahan perasaannya yang bergejolak, agar orang-orang yang melihatnya tidak menjadi curiga melihat sikapnya.
Perlahan-lahan Anusapati melangkah menuruni tangga. Di halaman bangsalnya yang ditanami berbagai macam pohon bunga ia berhenti sejenak. Dipetiknya setangkai bunga menur yang putih. Kemudian diselipkannya bunga itu diatas telinganya.
Langkahnya terhenti pula didepan gardu penjaga. Sambil tersenyum ia bertanya, "Berapa orang yang bertugas disini hari ini?"
Prajurit pengawal yang bertugas menganggukkan kepalanya dalam-dalam sambil menjawab, "Dua orang tuanku. Seperti biasanya."
"O, Dan dimalam hari?"
Prajurit itu menjadi heran. Selama ini masih belum ada perubahan apa-apa. Namun demikian ia menjawab juga, "Lima orang tuanku dan dua orang penghubung. Tetapi pada saat-saat yang dianggap gawat, kadang-kadang ditambah lagi dengan dua orang pengawal."
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya, meski-pun ia hampir tidak mendengar jawaban itu. Apalagi ketika pengawal itu menambahkan, "Bahkan kadang-kadang masih ditambah lagi apabila perlu."
Anusapati masih mengangguk-angguk. Bahkan masih tersenyum-senyum meski-pun angan-angannya sama sekali tidak melekat pada jawaban prajurit-prajurit itu.
"Jagalah baik-baik," katanya kemudian, "aku akan pergi sebentar."
Sekali lagi prajurit itu menjadi heran. Pangeran Pati itu hampir tidak pernah memberikan pesan seperti itu disiangi hari. Jika ia pergi, maka ia-pun pergi sajalah. Jika ia datang, ia-pun hanya sekedar berpaling dan tersenyum sedikit. Memang kadang-kadang Putera Mahkota itu menghampiri mereka dan bercakap-cakap. Tetapi hampir tidak pernah berpesan seperti itu disiang hari, selain apabila memang sedang timbul persoalan. Itu-pun dimalam hari, seperti pada saat-saat terjadi hal-hal yang aneh disekitar bangsal ini.
Tetapi prajurit itu tidak menjawab. Ia hanya mengangguk dalam-dalam. Demikian juga seorang kawannya. Dengan wajah yang aneh keduanya memandang Anusapati yang melangkah perlahan-lahan meninggalkan mereka. "Tampaknya Pangeran Pati itu sedang gelisah," berkata seorang prajurit.
"Ya. Akhir-akhir ini tampaknya sibuk sekali. Hilir mudik setiap kali."
Kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak menjawab lagi.
Dalam pada itu, Anusapati berjalan melintasi halaman istana Singasari menuju ke bangsal pamannya Anusapati selama ia berada di Singasari. Betapa-pun ia tergesa-gesa untuk segera menyampaikan ceritera tentang keris yang kini sudah ada ditangannya, namun langkah Pangeran Pati itu tampaknya tenang-tenang saja, dan bahkan seakan-akan tanpa maksud sama sekali.
Sementara itu, sepasang mata memandanginya dengan tajamnya dari balik gerumbul perdu agak jauh dari bangsal Mahisa Agni. Ketika ia melihat Anusapati dari kejauhan, ia-pun segera berlindung dibalik segerumbul pohon bunga soka merah.
Tetapi orang itu terkejut ketika tiba-tiba saja seorang juru Jaman yang membawa sebuah cangkul telah berdiri di sebelahnya sambil menggamitnya.
"Gila, kau lagi," ia menggeram.
Juru taman itu adalah Sumekar. Katanya sambil tersenyum, "Kau harus berterima kasih kepadaku, karena aku tidak menyebutmu akan membunuhku malam itu."
Orang itu memandang Sumekar dengan tajamnya. Betapa dendam memancar dari sorot matanya itu.
"Jangan memandang aku begitu," berkata Sumekar, "aku dapat mati kaku disini."
"Persetan. Kau memang harus mati."
"Tidak. Kau sudah gagal membunuh aku. Seharusnya, kau tidak boleh berusaha mengulanginya."
"Apa katamu" Nanti malam aku akan membunuhmu."
"Benar?" "Ya, pasti." Sumekar tidak segera menyahut. Dilontarkannya pandangan matanya kehalaman, dan ternyata Anusapati sudah tidak tampak lagi.
Prajurit itu-pun kemudian berpaling juga. Dan ia-pun kehilangan Anusapati pula.
"Kau memang gila," bentak prajurit itu, "nanti malam aku akan benar-benar membunuhmu."
"Jangan." "Aku tidak peduli."
"Jika demikian, sekarang aku akan melaporkan kepada para prajurit pengawal, bahwa kaulah yang akan membunuhku malam itu."
"Gila," prajurit itu membelalakkan matanya.
"Jangan, nanti aku akan berteriak."
Prajurit itu menjadi ragu-ragu. Jika juru taman itu benar-benar berteriak, maka para pengawal akan mendengarnya. Mereka akan berlari-larian datang dan ia kehilangan kesempatan untuk ingkar.
"Apakah aku harus berteriak."
Tiba-tiba prajurit itu tersenyum, "Aku tidak bersungguh-sungguh. Sebenarnya malam itu-pun aku tidak ingin membunuhmu. Aku hanya ingin membuatmu jera, agar kau tidak menipuku lagi. Tetapi kau sudah berteriak. Seandainya kau tidak berteriak, aku-pun tidak akan benar-benar mencekikmu. Aku bukan pembunuh seperti yang kau sangka."
"Benar begitu?"
"Ya. Bukanlah aku seorang prajurit. Prajurit pengawal" Tugasku adalah melindungi setiap orang didalam istana ini dan tentu bukan untuk membunuhmu."
Tatapan Sumekar memancarkan keragu-raguan.
"Kau ragu-ragu," prajurit itu tertawa pendek, "tentu kau ragu-ragu. Tetapi tidak apa, pada saatnya kau akan mengetahui bahwa aku berkata sebenarnya. Aku benar-benar tidak akan membunuh. Selama aku menjadi seorang prajurit, aku belum pernah membunuh. Apalagi membunuh seorang juru taman, sedang dipeperangan-pun aku tidak membunuh."
Sumekar memandang orang itu sejenak. Namun ia-pun ikut tertawa pula. Katanya, "Apa benar yang kau katakan?"
"Tentu, apakah kau masih belum percaya."
Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu, "Baiklah. Aku percaya. Dan sekarang, apakah yang akan kau lakukan disini?"
"Dan kau?" prajurit itu-pun bertanya.
Sumekar mengerutkan keningnya. Katanya, "Bukankah aku seorang juru taman yang bertugas di halaman ini. Aku mengurusi semua tanaman bersama beberapa orang kawanku. Tanaman perdu, pohon-pohon bunga, sampai pohon sawo kecik dan pohon beringin. Itu semua adalah tugas kami."
Prajurit itu mengangguk-angguk.
"Nah, aku 'minta diri. Aku akan bekerja lagi."
Prajurit itu tersenyum meski-pun didalam hati ia mengumpat-umpat. Ia tidak melihat kemana Anusapati menghilang. Tetapi ia hampir pasti, bahwa Anusapati masuk kedalam bangsal Mahisa Agni.
Sejenak kemudian Sumekar-pun meninggalkan prajurit itu seorang diri. Namun langkahnya tertegun ketika Sumekar mendengar prajurit itu berkata, "He, nanti malam aku pergi kepondokmu. Aku akan membawa makanan yang paling enak buatmu."
"Benar?" bertanya Sumekar.
"Ya. Apakah kau tinggal dibelakang diantara para kamba Istana ini?"
"Ya, aku tinggal digubug paling ujung."
Prajurit itu mengangguk-anggukkan kepalanya. "Tunggulah, aku pasti datang."
"Kau sangat baik. Aku minta maaf bahwa aku pernah berprasangka buruk terhadapmu."
"Aku nanti malam bertugas. Tetapi lewat tengah malam, aku sudah beristirahat. Aku akan datang saat itu."
"Lewat tengah malam?" bertanya Sumekar, "kenapa lewat tengah malam" Tetangga-tetangga kadang-kadang marah jika mereka terganggu dimalam hari. Mereka bekerja sehari penuh, sehingga dimalam hari mereka ingin beristirahat."
"Apakah kau sangka aku akan berteriak-teriak?"
Sumekar menarik nafas dalam-dalam. Lalu jawabnya, "Baiklah jika demikian. Aku akan menunggu."
"Baiklah, pergilah kepekerjaanmu."
Sepeninggal Sumekarj prajurit itu menggeram. Katanya kepada diri sendiri, "Nanti malam aku harus dapat membunuhnya dengan cara apapun. Tanpa mengeluarkan tenaga aku akan dapat membunuhnya. Tetapi ia tidak boleh mendapat kesempatan untuk berteriak. Ia harus terdiam pada serangan yang pertama."
Sambil menggeretakkan giginya prajurit itu-pun kemudian berlalu. Ia tidak mendapatkan bahan apa-pun juga tentang Anusapati. Juru taman itu telah mengganggunya lagi.
Namun ia sama sekali tidak menyangka bahwa apabila benar-benar ia berusaha untuk membunuh juru taman itu, maka pada suatu ketika juru taman itu akan kehilangan kesabarannya dan bahkan juru taman itu akan dapat membunuhnya tanpa mengadakan perlawanan apapun.
Dalam pada itu, Anusapati-pun telah sampai kebangsal pamannya. Dengan ragu-ragu Anusapati menceriterakan, apa yang sudah terjadi.
"Keris itu sekarang sudah aku simpan baik-baik paman."
Mahisa Agni-pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, "Dengan demikian, kau sudah mengurangi kemungkinan pahit yang dapat terjadi atasmu Anusapati. Keris mPu Gandring adalah keris yang sangat tajam. Bukan saja tajam ujungnya, tetapi juga tuahnya. Setiap goresan betapa-pun kecilnya, akan berarti maut."
"Ya paman," jawab Anusapati. Lalu, "tetapi yang sekarang menjadi pikiranku, apakah yang dapat dikatakan oleh ibunda Permaisuri apabila ayahanda bertanya kepadanya tentang keris itu."
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam.
"Mungkin ayahanda Sri Rajasa dapat menjadi sangat marah dan menimpakan kesalahannya kepada ibunda."
Mahisa Agni merenung sejenak. Namun kemudian katanya, "Aku kira ia tidak akan berani berbuat begitu terhadap ibundamu Anusapati. Selain Sri Rajasa harus mengingat asal usul kekuasaannya yang besar itu sekarang, juga karena ibundamu mempunyai seorang anak laki-laki yang digelari oleh rakyat Singasari sebagai Kesatria Putih. Disamping Kesatria Putih, ibundamu adalah adikku, yang ikut serta dalam perjuangan mempersatukan tanah Singasari. Setiap prajurit Singasari mengetahuinya dan setiap prajurit Singasari mengakuinya."
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia-pun kemudian bertanya, "Jadi apakah tidak mungkin ayahanda mengambil suatu tindakan mendahului peristiwa-peristiwa yang dapat terjadi menurut perhitungannya?"
"Maksudmu, Sri Rajasa mengambil tindakan terhadap ibundamu dan lebih daripada itu, berusaha untuk mendapatkan keris itu kembali?"
"Demikianlah paman."
"Memang mungkin Anusapati," berkata Mahisa Agni, "namun jika demikian, maka persoalannya akan menjadi terbuka. Setiap prajurit di halaman istana ini harus memilih. Dan Sri Rajasa tidak akan berani menghadapi akibat itu pada saat ini."
Anusapati mengerutkan keningnya. Namun ia masih tetap dibayangi oleh kegelisahan tentang ibunya, "Paman, jika ayahanda Sri Rajasa tidak dapat mengendalikan kemarahannya, maka yang pertama-tama akan mengalami akibatnya adalah ibunda. Apakah aku dapat berdiam diri jika ayahanda Sri Rajasa berbuat sesuatu atas ibunda Ken Dedes meski-pun ibunda seorang Permaisuri, yang didalam persoalan keris itu pasti akan mempunyai pertimbangan tersendiri?"
Mahisa Agni menganggukkan kepalanya. Kalanya, "Tentu kita tidak dapat membiarkan ibundamu menjadi sasaran kemarahan Sri Rajasa. Tetapi bukankah itu baru merupakan dugaan" Meski-pun demikian Anusapati, aku akan pergi kebangsal Permaisuri. Aku akan pura-pura menengoknya dan menungguinya. Jika pada saat itu Sri Rajasa datang, aku akan dapat membantu ibundamu didalam persoalan keris yang kau bawa itu." Mahisa Agni berhenti sejenak. Lalu, "tetapi bukankah keris itu sudah bertahun-tahun ada ditangan ibundamu dan Sri Rajasa tidak pernah bertanya sesuatu tentang keris itu" Tentu tidak dengan tiba-tiba saja ia datang hari ini dan mempersoalkannya. Kecuali jika ada seseorang yang melihat keris itu ditanganmu."
"Aku kira tidak ada seorang-pun yang melihatnya paman."
"Jika demikian tentu tidak ada pula yang menyampaikannya kepada Sri Rajasa, dan ia-pun tidak akan berbuat apa-apa hari ini."
"Mudah-mudahan. Tetapi aku berharap agar paman dapat menengok ibunda barang sejenak. Mungkin ada orang yang melihatnya diluar pengetahuanku. Aku akan segera kembali kebangsal. Jika ayahanda langsung mencari keris itu kebangsal. maka isteriku akan mati ketakutan."
"Dan jika kau ada di bangsalmu?"
"Tentu aku akan mempertahankan keris itu. Jika ayahanda memaksa apaboleh buat. Seperti kata paman Mahisa Agni, persoalannya akan menjadi persoalan terbuka. Dan aku akan kehilangan baktiku kepada ayahanda Sri Rajasa. Aku berharap bahwa orang-orang Singasari akan mengetahui bahwa aku berbuat dengan wajar. Bukan berbuat sebagai seorang anak yang durhaka."
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Itulah tekad yang sebenarnya yang tersimpan didada Anusapati. Tetapi Mahisa Agni masih berharap bahwa hal itu tidak akan segera terjadi. Meski-pun demikian, Anusapati memang harus berhati-hati menanggapi keadaan yang berkembang dengan pesatnya.
Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja Mahisa Agni ingin melihat keris itu. Apakah benar keris yang diberikan kepada Anusapati itu keris mPu Gandring. Mungkin ibunya hanya sekedar menenangkan hatinya, sementara keris itu masih tetap disimpannya sendiri.
Karena itu, maka Mahisa Agni-pun kemudian berkata, "Anusapati, apakah aku dapat melihat keris itu."
"Tentu paman. Apabila paman berkenan melihat keris itu, aku persilahkan setiap saat paman datang kebangsalku."
"Aku akan datang sore nanti Anusapati. Setelah aku menengok ibundamu, maka aku akan singgah di bangsalmu."
"Silahkan paman. Aku akan menerima paman dengan senang nati, bahkan aku ingin mendapat keterangan dari paman Mahisa Agni, apakah benar keris itu keris mPu Gandring yang telah mengambil nyawa ayahanda Akuwu Tunggul Ametung."
Dada Mahisa Agni berdesir. Ternyata Anusapati-pun mempunyai keragu-raguan meski-pun tidak terlampau besar.
Demikianlah maka Anusapati-pun kemudian minta diri. Sementara Mahisa Agni-pun kemudian berkemas untuk pergi menghadap Permaisuri.
Dengan dada yang berdebar-debar Mahisa Agni memasuki bilik Ken Dedes. Dilihatnya adik angkatnya itu terbaring di pembaringan berselimut kain panjang yang berwarna kelam. Sementara dua orang emban duduk disebelah pintu bilik yang tidak tertutup rapat, "Kau kakang," desis Ken Dedes.
"Berbaringlah," berkata Mahisa Agni sambil melangkah masuk.
Ken Dedes-pun kemudian menyuruh kedua embannya itu meninggalkannya.
"Rasa-rasanya aku benar-benar menjadi sakit kakang," desis Permaisuri itu, "kepalaku menjadi pening dan badanku menjadi dingin."
Mahisa Agni-pun kemudian duduk diatas sebuah dingklik kayu yang dialasi dengan kulit domba yang lunak. Sambil memandang wajah Ken Dedes yang buram Mahisa Agni berkata, "Tuan Puteri terlampau memikirkan keadaan yang berkembang dengan cepatnya saat ini. Sebaiknya tuan Puteri mencoba melupakannya."
Ken Dedes menganggukkan kepalanya. Tetapi ia berkata dengan nada yang dalam dan perlahan-lahan seakan-akan hanya ingin didengarnya sendiri, "Tetapi bagaimana aku akan melupakannya. Baru saja Anusapati datang kepadaku dan minta keris mPu Gandring itu. Aku sudah mencoba untuk mengingkarinya, bahwa akulah yang membawa keris itu. Tetapi aku tidak berhasil."
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Mungkin itu bukan kesalahan Pangeran Pati, tetapi hambalah yang bersalah. Namun bukan maksud hamba untuk mendorong Pangeran Pati berbuat sesuatu. Tetapi sebenarnyalah bahwa hamba ingin pengamanan yang lebih jauh lagi, karena keris itu akan dapat menjadi bahaya yang sebenarnya bagi Pangeran Pati."
Ken Dedes mengangguk-anggukkan kepalanya. Sedang Mahisa Agni berkata selanjutnya, "Tetapi hamba masih belum memikirkan bahwa hal itu memang dapat menimbulkan kepedihan pada tuan Puteri. Kegelisahan dan mungkin juga kecemasan, jika kemudian tuanku Sri Rajasa datang untuk mengambil keris itu."
Ken Dedes menarik nafas dalam-dalam.
"Itulah yang ingin hamba tanyakan kepada tuan Puteri apakah hal itu yang membuat tuan Puteri gelisah dan bahkan merasa benar-benar menjadi sakit."
Ken Dedes menggelengkan kepalanya. Katanya, "Bukan kakang. Aku sudah pasrah kepada Yang Maha Agung. Aku akan mengatakan bahwa keris itu hilang. Aku tidak tahu lagi dimana aku menyimpannya karena sudah bertahun-tahun tidak aku hiraukan lagi."
"Apakah tuanku Sri Rajasa akan mempercayainya?"
"Mungkin tidak. Tetapi aku bertekad untuk tidak mengatakan yang sebenarnya apa-pun yang akan terjadi atasku."
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Pada suatu saat, Ken Dedes memang sampai pada suatu pilihan, bahwa ia harus menyelamatkan anaknya.
"Apakah tuan Puteri benar-benar sudah mengambil keputusan demikian?"
"Ya. Aku sudah mengambil keputusan."
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Tuan Puteri. Hamba rasa seandainya tuan Puteri berkata demikian, Sri Rajasa tidak akan dapat memaksa. Selama hamba berada di Singasari, sudah tentu hamba akan ikut bertanggung jawab. Jika pada suatu saat Sri Rajasa mengambil sikap yang keras, maka apaboleh buat. Tentu hamba tidak akan membiarkan tuan Puteri mengalami sesuatu akibat keris itu."
Tiba-tiba saja Ken Dedes bangkit duduk dibibir pembaringan. "Apa yang akan kau lakukan kakang?"
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Hamba tidak ingin berbuat apa-apa tuan Puteri. Tetapi adalah kuwajiban hamba melindungi tuan Puteri, karena hamba adalah saudara tua tuan Puteri. Memang yang paling berhak melindungi tuan Puteri adalah suami tuan Puteri, didalam hal ini adalah tuanku Sri Rajasa. Tetapi jika bahaya itu datang justru dari Sri Rajasa, maka aku masih berhak untuk berbuat sesuatu jika tuan Puteri menghendakinya."
Ken Dedes memandang Mahisa Agni sejenak. Namun kemudian wajahnya segera tertunduk. Terbayang didalam rongga matanya Mahisa Agni itu dimasa mudanya. Ketika ia hampir saja menjadi korban nafsu Kuda Sempana yang ingin melarikannya dari Panawijen dan mengambilnya langsung dari bendungan ketika ia sedang mencuci. Mahisa Agni yang tiba-tiba muncul dari balik tanggul telah menyelamatkannya, setelah Wiraprana tidak berdaya berbuat sesuatu atas Kuda Sempana, yang saat itu menjadi prajurit Tumapel.
Kemudian dengan penuh tanggung jawab, Mahisa Agni selalu melindunginya. Bahkan kemudian ia mendengar pula, bahwa Mahisa Agni pernah berperang tanding melawan Mahendra dengan menyebut dirinya sebagai Wiraprana, sehingga ia berhasil mengalahkannya. Dan pada saat ia diambil dengan kekerasan dari Panawijen, Mahisa Agni hampir saja terbunuh oleh sebuah keris justru ia berusaha mempertahankannya.
Dan kini, ketika umurnya telah bertambah dengan puluhan tahun, Mahisa Agni masih tetap melindunginya sebagai seorang kakak yang bertanggung jawab, meski-pun sebenarnya ia hanyalah seorang saudara angkat.
Namun Ken Dedes tidak dapat melihat tembus kepusat jantung Mahisa Agni. Betapa hati anak muda yang bernama Mahisa Agni itu terguncang ketika ia mendengar dengan telinganya sendiri, bahwa Ken Dedes, gadis padepokan Panawijen itu mencintai seorang anak muda bernama Wiraprana. Pada saat itu Mahisa Agni hampir menjadi gila karenanya, dan bahkan ia serdirilah yang hampir saja membinasakan Wiraprana karena hatinya yang gelap.
Ken Dedes menarik nafas dalam-dalam. Masa muda yang penuh dengan khayalan-khayalan yang manis itu kini telah lalu. Panawijen yang hijau subur itu tinggallah kenangan, karena daerah itu kini menjadi kering kerontang. Panawijen telah menjadi kering karena kutuk ayahnya yang tidak dapat menahan luapan kemarahan dan memecahkan bendungan yang sanggup mengairi tanah persawahan. Meski-pun kini ada padukuhan baru yang hijau di pinggir padang Karautan, namun padukuhan yang baru ini tidak dapat memberikan kenangan semanis Panawijen yang lama, Panawijen tempat ia dibesarkan sampai saatnya ia menjadi seorang gadis remaja.
Dalam pada itu selagi Ken Dedes tenggelam didalam dunia kenangan, Mahisa Agni-pun duduk sambil menundukkan kepalanya pula. Dalam keheningan itu-pun ia telah dibayangi oleh berbagai persoalan. Tetapi berbeda dengan Ken Dedes yang mengenangkan masa lalunya, Mahisa Agni sedang mereka-reka apakah yang dapat dilakukan seandainya Sri Rajasa tiba-tiba saja mengambil sikap yang keras dan terbuka.
"Mungkin Sri Rajasa telah mempersiapkan diri," berkata Mahisa Agni didalam hatinya, "lewat beberapa orang Senapati yang dapat dipengaruhinya untuk menyingkirkan Anusapati, ia sudah menyiapkan sepasukan prajurit untuk bertindak dengan cepat didalam istana ini. Jika persoalannya telah dapat dikuasainya didalam istana, maka ia akan dapat menyebarkan keterangan sekehendak hatinya, dan memberikan kepercayaan kepada prajurit yang tersebar di seluruh Singasari. Bahkan para Panglima yang ada dipusat pemerintahan ini-pun akan dapat kelabuinya. Sri Rajasa dapat saja menuduh Anusapati melawan kehendaknya dan tidak lagi tunduk kepadanya. Dan ia masih dapat membuat alasan-alasan yang bagaimana-pun juga."
Namun dalam pada itu, selagi Ken Dedes mengenangkan masa-masa remajanya yang indah, dan yang menjadi semakin indah didalam bayangan masa lampau, dan selagi Mahisa Agni sibuk dengan perhitungan yang mendebarkan, Sri Rajasa sendiri sedang duduk merenung. Semua orang yang mendekatinya diusirnya, seakan-akan ia ingin duduk dalam kesepian. Dalam dunianya yang terasing.
Seperti Ken Dedes dan Mahisa Agni, maka yang bermain didalam diri Sri Rajasa-pun adalah angan-angannya. Angan-angan yang bergeser dari waktu kewaktu. Dari masa lampau kemasa kini dan kemasa yang mendatang.
Dengan nafas yang berat, Sri Rajasa duduk bersandar tiang di serambi belakang bangsalnya yang sepi. Dilihatnya dedaunan yang bergerak ditiup angin. Rasa-rasanya angin yang bertiup perlahan-lahan itu telah mengusap keningnya pula, seperti usapan tangan yang lembut.
Ken Arok, yang bergelar Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi itu belum pernah merasakan kelembutan tangan ibunya di masa kanak-anak. Sejak bayi ia sudah tersisih dari keluarganya dan hidup dalam lingkungan yang tidak terpuji.
Dalam suatu dunia yang gelap. Ia hidup dari rumah seorang pencuri, berpindah ke rumah seorang penjudi dan perampok. Kemudian hidup dipandang Karautan dan menghantui sesamanya. Sehingga pada suatu saat ia terlempar kedalam istana yang megah ini.
Ken Arok yang bergelar Sri Rajasa itu menarik nafas dalam-dalam. Adalah jauh berbeda dengan angan-angan Mahisa Agni dan Anusapati, bahkan Ken Dedes. Pada saat terakhir, Sri Rajasa seakan-akan mulai mampu melihat kedalam dirinya sendiri. Seakan-akan ia dihadapkan pada sebuah bayangan yang jelas tentang dirinya dan segala perbuatannya.
"Sudah cukup," tiba-tiba saja ia berdesah, "aku sudah cukup lama menerima kurnia Yang Maha Agung. Mungkin aku memang kekasih dewa-dewa. Tetapi aku tidak dapat ingkar melihat kenyataan pada diri Ken Dedes. Ia adalah perempuan pinunjul yang pantas melahirkan seorang besar di tanah ini."
Ken Arok yang bergelar Sri Rajasa itu menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia memandang kedalam semak-semak yang rimbun, ia tidak melihat lagi warna bunga-bungaan yang beraneka. Tetapi yang membayang adalah semak-semak di padang Karautan. Semak yang bahkan kadang-kadang berduri. Tetapi ia sama sekali tidak menghiraukan. Apabila ia ingin bersembunyi, maka ia-pun menyusup saja kedalamnya tanpa menghiraukan kulitnya yang berjalur-jalur merah tersangkut duri.
"Betapa hidup ini bagaikan mimpi di malam-malam yang panjang dan terputus-putus," berkata Ken Arok didalam hatinya. "Seperti hidupnya sendiri bagaikan mimpi yang patah-patah hampir tidak dapat dipercaya. Sebagai seorang anak liar di padang Karautan, kini ia cepat duduk dengan megahnya di atas tahta Singasari."
"Aku telah menyia-nyiakan kesempatan yang ada padaku. Didalam kamukten ini aku tidak berusaha membersihkan diriku, tetapi aku justru lebih banyak menodai diriku sendiri dengan berbagai macam kesenangan dan cita-cita yang menyimpang dari keinginan Yang Maha Agung," desisnya ketika terbayang di wajahnya seorang gadis yang ditemuinya dihutan perburuan dan berhasil menjebaknya. Seperti kehidupan liar yang ditempuhnya dimasa mudanya, dengan memperkosa gadis-gadis, maka ia-pun terjebak dalam kehidupan yang liar bukan atas kehendaknya. Maka ia-pun terjebak untuk mengambil Ken Umang menjadi isterinya, sehingga lahirlah anak demi anak. Namun kini ia melihat, bahwa ia tidak dapat lagi mengelakkan pengaruh perempuan itu yang justru semakin lama terasa semakin kuat.
Ken Arok bergeser setapak. Angan-angannya menjadi semakin tajam menyoroti dirinya sendiri. Dan ia-pun melihat dirinya sendiri kini telah berdiri di tengah-engah arus sungai yang deras. Berhenti atau terus, ia sudah terlanjur basah. "Jika aku harus berjalan terus, aku tidak lagi berbuat karena suatu keyakinan." ia berkata kepada diri sendiri, "yang aku lakukan hanyalah karena semuanya sudah terlanjur. Dan didalam saat yang paling sulit, tentu aku tidak akan dapat melepaskan Tohjaya yang tamak itu."
Namun Ken Arok tidak juga dapat menyalahkan Tohjaya. Ia telah ikut membentuk Tohjaya menjadi seorang pemimpin. Seorang yang bercita-cita terlampau tinggi tanpa mengingat alas yang diinjaknya. Jika perlu, ia akan berdiri diatas alas mayat Anusapati dan siapa-pun juga untuk mencapai singgasana Singasari.
Bayangan-angan itulah agaknya yang selalu menghantui Ken Arok. Bayangan-angan yang saling berbenturan antara warna-warna yang bertentangan didalam hatinya.
Namun dalam pada itu, selagi Ken Arok itu merenung, terdengar desir perlahan-lahan mendekatinya. Ketika ia berpaling dilihatnya dikejauhan, Tohjaya berdiri termangu-mangu. Agaknya ia sudah mendengar dari para prajurit yang bertugas, bahwa Sri Rajasa sedang tidak mau dikunjungi oleh siapapun. Tetapi agaknya Tohjaya masih ingin juga mencobanya.
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. Justru pergolakan di dalam hatinya itulah yang telah mendorongnya untuk memanggil Tohjaya menghadap, karena ia tidak mau dengan tiba-tiba saja bersikap lain.
Dengan dada yang berdebar-debar Tohjaya mendekati Ken Arok. Beberapa langkah daripadanya ia berhenti termangu-mangu. Baru ketika Ken Arok mengangguk, ia maju lagi beberapa langkah.
"Kenapa kau ragu-ragu?" bertanya Ken Arok.
"Ampun ayahanda," sahut Tohjaya, "para prajurit mengatakan bahwa ayahanda sedang ingin duduk sendiri."
"Ya, aku tidak ingin diganggu oleh masalah-masalah yang membuat kepalaku bertambah pening. Aku ingin beristirahat barang sejenak, karena badanku-pun terasa kurang enak."
"Ampun ayahanda. Hamba tidak ingin membicarakan sesuatu. Hamba hanya ingin datang menghadap."
Sri Rajasa mengangguk-angguk. "Baiklah. Jika demikian, duduklah sebaik-baiknya. Aku agak segan berbicara tentang persoalan-persoalan yang dapat memberati pikiranku hari ini."
Tohjaya mengerutkan keningnya. Namun ia-pun berkata, "Ampun ayahanda. Hamba memang tidak ingin mempersoalkan sesuatu. Tetapi hamba hanya ingin sekedar bertanya."
"Apa?" "Apakah sakit ibunda Permaisuri masih cukup parah ayahanda?"
"O," Ken Arok merenung sejenak. Lalu, "aku tidak tahu. Mudah-mudahan sakitnya sudah sembuh sama sekali."
"Sebenarnya ibunda Ken Umang ingin menghadap ibunda Permaisuri untuk sekedar menengoknya. Tetapi ibunda Ken Umang agak merasa takut kalau-kalau ibunda Permaisuri tidak menerimanya."
"Kenapa tidak menerima?"
"Mungkin karena ibunda Permaisuri ingin beristirahat, tetapi mungkin juga karena ibunda tidak ingin bertemu dan berbicara didalam keadaan itu dengan ibunda Ken Umang."
"Aku tidak tahu. Aku tidak tahu," sahut Sri Rajasa.
"Itulah sebabnya maka ibunda mohon pertimbangan ayahanda."
Sri Rajasa tidak segera menjawab. Sebenarnya ia tidak senang mendengar pertanyaan itu. Ia sedang menenteramkan hatinya dan menerawang hidupnya sendiri. Namun demikian ia tidak sampai hati untuk menolak pertanyaan itu.
Karena itu, maka Sri Rajasa kemudian menjawab, meski-pun seakan-akan asal saja terlontar dari mulutnya, "jangan pergi sekarang."
Tohjaya mengerutkan keningnya. Tetapi menilik sikap Sri Rajasa, Tohjaya-pun sadar, bahwa ayahandanya itu sedang dirisaukan oleh sesuatu yang tidak dimengertinya.
"Mungkin kakanda Anusapati," berkata Tohjaya didalam hatinya. Baginya setiap persoalan yang tidak menyenangkan bagi ayahandanya, adalah persoalan yang ditumbuhkan oleh Anusapati.
Namun jawaban itu sebenarnya bagi Sri Rajasa adalah jawaban yang dapat diucapkannya waktu itu. Dengan demikian maka Tohjaya pasti tidak akan bertanya apa-pun lagi.
Tetapi ternyata bahwa Tohjaya masih tetap tidak beranjak. Bahkan sejengkal ia bergerak maju sambil bertanya, "Ayahanda. Tampaknya ayahanda sedang memikirkan sesuatu. Jika berkenan dihati ayahanda, apakah hamba dapat mengetahuinya dan apakah hamba dapat ikut membantu memecahkannya?"
Sri Rajasa mengerutkan keningnya. Tetapi ia-pun kemudian mencoba tersenyum dan menjawab, "Tidak Tohjaya. Tidak ada apa-apa yang sedang aku pikirkan. Aku hanya ingin beristisahat karena aku terlampau lelah."
Tohjaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun dihatinya ia masih saja diganggu oleh sikap dan kerut-merut di wajah ayahandanya.
"Tohjaya," berkata Sri Rajasa, "tinggalkan aku seorang diri. Sebentar lagi aku akan beristirahat dipembaringan. Rasa-rasanya badanku terlampau letih beberapa hari ini."
Tohjaya memandang ayahanda dengan heran. Biasanya ayahnya tidak pernah tampak begitu letih dan lesu. Sri Rajasa adalah seorang yang penuh gairah menanggapi kehidupan ini. Wajahnya selalu memancarkan luapan perasaan dan matanya bagaikan menyala. Sri Rajasa tidak pernah menjadi tampak terlalu murung dan merasa seperti saat itu.
"Ayahanda," tiba-tiba saja Tohjaya bertanya, "apakah ayahanda merasa bahwa badan ayahanda tidak enak?"
"Tidak Tohjaya, aku tidak apa-apa. Aku hanya letih. Akhir-akhir ini aku menghadapi banyak persoalan yang menyangkut kelangsungan hidup Singasari."
"Tetapi ayahanda tidak memberitahukan kepada hamba. Jika hamba mengetahuinya, maka biarlah hamba ikut memikirkannya. Selama ini ayahanda selalu mempersoalkan keadaan Singasari dengan hamba. Dan ayahanda menganggap bahwa pikiran hamba baik juga dipertimbangkan oleh ayahanda."
"Ya. Aku memang memerlukan bantuan pikiranmu. Aku-pun akan mendengarkan pendapatmu. Tetapi tidak sekarang. Aku ingin beristirahat. Aku ingin tidur senyenyak-nyenyaknya."
Tohjaya menjadi semakin heran. Tetapi ia tidak mau menimbulkan kegelisahan yang semakin mengganggu ayahandanya, sehingga karena itu ia tidak mendesaknya lagi. Bahkan ia mencoba untuk mengalihkan pembicaraan. Katanya, "Ayahanda. Mungkin ayahanda memang terlampau lelah. Sudah lama ayahanda tidak pergi berburu."
Ken Arok yang bergelar Sri Rajasa itu tidak menyahut.
"Apakah ayahanda tidak ingin berburu" Dengan demikian ayahanda dapat melupakan kelelahan yang agaknya mulai mengganggu."
Sri Rajasa menarik nafas dalam-dalam.
"Jika ayahanda berkenan, hamba akan ikut serta berburu untuk mendapatkan kesegaran baru."
Sri Rajasa memandang Tohjaya sejenak. Lalu katanya, "Dalam keadaan serupa ini, aku tidak dapat meninggalkan Istana."
"Bukankah ada para Panglima yang dapat ayahanda serahi pemerintahan?"
Sri Rajasa menggelengkan kepalanya. Namun tanpa disangkanya Tohjaya berkata, "O, apakah ayahanda berpikir tentang pamanda Mahisa Agni yang kini sedang berada di istana ini. Ayahanda dapat mengusirnya. Biarlah ia segera pergi dan kembali ke Kediri."
Sri Rajasa tidak segera menjawab. Dan karena itu Tohjaya berkaca terus, "Ayahanda, kehadiran pamanda Mahisa Agni memang memberikan pengaruh yang buruk di istana ini. Kakanda Anusapati selalu saja hilir mudik dari bangsalnya sendiri kebangsal ibunda Permaisuri, kemudian ke bangsal pamanda Mahisa Agni. Bukan hanya sekali dua kali sehari, tetapi berulang kali. Kemudian pamanda Mahisa Agni pergi mengunjunginya dan kemudian pergi ke bangsal ibunda Permaisuri."
"Ken Dedes sedang sakit Tohjaya. Adalah wajar sekali jika pamanmu Mahisa Agni menungguinya. Ia adalah saudara tua ibundamu Permaisuri. Kegelisahan Anusapati-pun dapat dimengerti. Bukankah ibunya sedang sakit. Mungkin ia memang diminta oleh ibundanya untuk menghubungi pamannya. Tidak hanya sekali, mungkin sekali dua kali sehari."
"Tetapi tentu bukan karena sakit ibunda Permaisuri saja ayahanda."
"Jangan berprasangka terlalu jauh Tohjaya."
"Tetapi sikap kakanda Anusapati sudah menjadi semakin memuakkan. Bukankah kita sudah berkeputusan untuk mengusirnya dari kedudukannya dan dari istana ini" Ayahanda, jika ayahanda tidak cepat bertindak didalam keadaan ini, maka ia akan sempat memperbaiki kedudukannya."
Dada Sri Rajasa berdesir. Ia memang pernah mengatakan, bahwa sebenarnya Anusapati tidak diperlukannya lagi. Tetapi ketika ia mendengarnya hal itu sekali lagi, rasa-rasanya sesuatu bergetar dihatinya. Sekilas terbayang cahaya yang silau pada diri Ken Dedes. Dan Ken Arok pernah mendengar bahwa cahaya yang demikian adalah pertanda bahwa orang itu akan meneteskan keturunan agung.
Tohjaya memandang wajah ayahnya yang berubah-rubah itu. Kadang-kadang tegang, namun kadang-kadang seolah-olah Sri Rajasa sudah pasrah pada keadaan yang terjadi. Bahkan sekali-sekali ia memejamkan matanya dan melihat didalam kekelaman, dunia yang tidak dapat dimengertinya membentang dihadapannya.
"Ayahanda," Tohjaya menjadi cemas.
"Aku memang lelah sekali Tohjaya," jawab Sri Rajasa, "aku ingin beristirahat sejenak. Apakah keperluanmu sudah selesai?"
"Hamba tidak mempunyai keperluan yang khusus ayahanda. Hamba hanya ingin menghadap ayahanda. Barangkali ada titah ayahanda yang harus hamba lakukan." Tohjaya berhenti sejenak. Lalu, "atau, jatuhkanlah perintah atas namba ayahanda. Hamba akan melakukannya. Dengan, beberapa orang prajurit, hamba dapat menyelesaikan tugas ini."
"Maksudmu membunuh Anusapati?"
Dada Tohjaya berdesir. Tetapi ia mengangguk sambil menyahut, "Hamba ayahanda."
"Ah, kau. Apakah kau masih saja berusaha menyembunyikan kenyataan. Beberapa kali usaha itu dilakukan, tetapi selalu gagal. Kiai Kisi bahkan telah terbunuh. Tidak mustahil bahwa sebenarnya Anusapati telah menciun rencana itu."
"Aku memang pernah mendengar tentang Kiai Kisi meski-pun tidak begitu jelas. Tetapi itu tentu karena kebodohannya."
"Kemudian sepasukan prajurit yang berusaha membinasakan Kesatria Putih. Namun justru senjata prajurit-prajurit yang menyamar itu tertumpuk dipintu gerbang pada pagi harinya. Apakah kau masih mempunyai rencana lain?"
"Ayahanda, hamba tidak ingin berpura-pura. Jika hamba harus membunuhnya, maka hamba akan datang dengan dada tengadah dan membunuhnya. Melawan atau tidak melawan."
"Kau akan menjadikan persoalan ini terbuka?"
Tohjaya ragu-ragu sejenak. Namun kemudian ia mengangguk. "Ya. Apaboleh buat."
"Kau memang bodoh sekali Tohjaya."
Tohjaya terkejut mendengar kata-kata yang keras itu. Hampir tidak pernah Sri Rajasa mengatakan demikian tentang dirinya. Karena itu untuk beberapa saat lamanya ia tidak dapat berkata apa-pun juga.
"Tohjaya," berkata Sri Rajasa, "saat ini Mahisa Agni berada di Singasari. Ia dapat berbuat banyak apabila kita terlibat dalam benturan terbuka."
"Tentu tidak ayahanda. Jika ayahanda menjatuhkan perintah kepada para Panglima untuk menangkapnya. Betapa-pun kuatnya pamanda Mahisa Agni, namun para Panglima adalah bukan orang kebanyakan pula."
"Tohjaya," tiba-tiba suara Sri Rajasa merendah, "tinggalkan aku seorang diri. Aku lelah sekali. Aku sedang segan sekali memikirkan apa-pun juga, termasuk Anusapati dan Mahisa Agni. Bahkan tentang Singasari sekalipun."
Tohjaya menjadi semakin termangu-mangu. Ia tidak dapat mengerti sikap ayahandanya yang belum pernah dijumpainya itu.
Namun kesimpulan dihatinya adalah, bahwa ayahandanya memang benar-benar sedang terlalu lelah dan benar-benar ingin beristirahat.
Karena itu, maka ia-pun kemudian berkata, "Sudahlah ayahanda. Agaknya ayahanda memang benar-benar harus beristirahat. Perkenankan hamba mohon diri."
Sri Rajasa mengangguk. "Ya. Aku memang akan beristirahat sama sekali tanpa persoalan apapun."
"Baiklah ayahanda. Dan hamba akan mengatakannya kepada ibunda Ken Umang, bahwa untuk saat ini ibunda Ken Umang tidak sebaiknya pergi kebangsal ibunda Permaisuri."
"Ya," jawab Ken Arok yang bergelar Sri Rajasa itu agar Tohjaya tidak mempersoalkannya lagi.
Tohjaya-pun segera minta diri. Di halaman bangsal Sri Rajasa ia berhenti sejenak. Dilihatnya seorang prajurit berdiri termangu-mangu dikejauhan.
"He," katanya kepada pengawalnya, "apakah prajurit itu ingin menghadap aku?"
"Hamba akan bertanya kepadanya tuanku," jawab prajurit itu.
Sejenak kemudian seorang pengawal Tohjaya mendekati prajurit yang termangu-mangu itu. Ketika ia bertanya kepadanya, maka prajurit itu menjawab, "Aku akan menyampaikan sesuatu kepada tuanku Tohjaya."
"Marilah. Tuanku Tohjaya melihat kau termangu-mangu. Karena itu aku diperintahkannya bertanya kepadamu."
Prajurit yang termangu-mangu itu-pun kemudian dibawa menghadap. Dengan dahi yang berkerut merut Tohjaya bertanya, "Apa yang akan kau katakan?"
"Ampun tuanku," berkata prajurit itu dengan ragu-ragu.
"Jangan ragu-ragu. Katakan yang ingin kau katakan. Bahkan seandainya kau mempunyai permintaan sekalipun."
"Hamba tuanku. Memang ada yang ingin hamba katakan." ia berhenti sejenak. Lalu, "apakah hamba diperkenankan mengucapkannya."
"Katakan. Mungkin tentang kuda atau tentang senjata atau kau prajurit yang sering ikut bersamaku berburu?"
"Ya tuanku. Hamba kadang-kadang mengawal tuanku didalam dan diluar istana."
"Aku tahu." "Hamba, tuanku, sebenarnyalah hamba ingin mengatakan sesuatu tentang Putera Mahkota."
"He?" Tohjaya terbelalak.
"Tentang kakanda tuanku itu. Kesibukannya luar biasa setelah pamanda Mahisa Agni ada di halaman istana."
Tohjaya tidak menyahut. Dibiarkannya orang itu berbicara terus. Katanya, "Apakah tuanku tidak menaruh perhatian terhadap kesibukan kakanda tuanku itu?"
Tohjaya menganguk dan berkata, "Tentu, tentu."
"Nah, hamba menyaksikan sendiri, tuanku Pangeran Pati itu selalu mondar mandir dari bangsal tuan puteri Ken Dedes kebangsal pamanda tuanku Mahisa Agni."
"Aku sudah tahu. Tetapi apa yang akan kau katakan selanjutnya?"
"O," orang itu menjadi kecewa, "jadi tuanku sudah mengetahuinya."
"Aku sudah tahu. Sekarang katakan yang ingin kau katakan tentang kakanda Anusapati," geram Tohjaya.
"Itulah yang akan hamba katakan tuanku."
"Hanya itu?" "Hamba tuanku."
Wajah Tohjaya menegang sesaat. Namun kemudian sambil mendorong orang itu dengan kakinya sehingga orang itu terjatuh berguling ditanah.
"Pergi kau penjilat bodoh," bentak Tohjaya yang hatinya memang sedang gelap, "aku tidak perlu keteranganmu itu."
Orang itu dengan takutnya bangkit dan duduk ditanah. Tetapi ia sama sekali tidak berani memandang lagi wajah Tohjaya yang sedang marah."
Tohjaya-pun kemudian tidak menghiraukannya lagi. Dengan tergesa-gesa ia-pun pergi meninggalkan prajurit yang duduk dengan kepala tunduk itu diiringi oleh para pengawalnya.
Ketika Tohjaya sudah tidak tampak lagi, maka orang tu-pun segera berdiri sambil mengumpat perlahan-lahan. Tetapi ia tidak berani menunjukkan kemarahannya itu kepada orang lain. Sekali ia berpaling memandang para prajurit yang bertugas di bangsal Sri Rajasa. Ketika ia melihat prajurit-prajurit itu tersenyum, sekali lagi ia mengumpat.


Bara Diatas Singgasana Pelangi Di Singosari Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dengan tergesa-gesa ia-pun kemudian meninggalkan halaman bangsal itu. Mulutnya tidak hentinya mengumpat, meski-pun tidak ada seorang-pun yang mendengarnya.
Prajurit itu tertegun ketika ia mendengar suara seseorang yang tertawa dibalik gerumbul. Ketika ia berpaling dilihatnya seorang juru taman yang berjongkok sambil menyiangi sebatang pohon. Namun prajurit itu tahu pasti bahwa orang itulah yang sedang tertawa.
"Kenapa kau tertawa he?" prajurit itu membentak.
Juru taman itu berpaling sambil menjawab, "Aku tidak bermaksud tertawa. Tetapi aku tidak dapat menahannya."
"Gila. Aku bunuh kau," orang itu membelalakkan matanya, "kau juru taman yang gila itu. Seharusnya kau benar-benar sudah mati."
Wajah juru taman itu menjadi pucat.
"Jangan menyesal. Aku memang akan membunuhmu."
"jangan." "Apa peduliku. Aku akan mencekikmu."
"Aku akan berteriak."
"Persetan." "Prajurit-prajurit itu akan datang kemari. Dan aku akan berceritera bahwa pada malam hari itu, kau pulalah yang akan membunuhku. Sekarang kau berusaha memfitnah Pangeran Pati dengan mengatakan ceritera-ceritera bohong kepada tuanku Tohjaya. Kau dapat dituduh mengadu domba."
"Gila, gila kau."
"Nah, aku akan berteriak sekarang. Matamu menjadi liar. Kau benar-benar akan membunuhku."
Mata prajurit itu memang menjadi liar. Dipandanginya prajurit-prajurit yang bertugas didepan bangsal. Belum begitu jauh.
Pendekar Kembar 12 Pendekar Kelana Karya Kho Ping Hoo Sepasang Pedang Iblis 18

Cari Blog Ini