Ceritasilat Novel Online

Bara Diatas Singgasana 8

Bara Diatas Singgasana Pelangi Di Singosari Karya S H Mintardja Bagian 8


Tetapi orang itu menggeleng lemah, "Ampun Sri Baginda," suaranya sudah hampir tidak terdengar, "biarlah aku mati di antara para prajurit ini."
"Kau akan hidup."
Sekali lagi orang itu menggeleng lemah. Nafasnya semakin deras mengalir. Hampir tidak dapat didengar lagi apa yang dikatakannya, "Hati-hatilah Sri Baginda. Lawan datang seperti banjir bandang."
Sri Baginda menarik nafas dalam-dalam. Dalam keadaan yang wajar, Sri Baginda Kertajaya sudah tentu akan membentak prajurit yang mencoba mengajari dan memperingatkannya atas suatu keadaan.
Tetapi kini Sri Baginda merasa bahwa prajurit itu benar-benar mengucapkannya dari dasar hatinya, di saat-saat nyawanya sendiri sudah di ambang pintu. Hanya didorong oleh kesetiaan yang tulus, maka penongsong itu berani mengatakan, apa yang sebenarnya telah terjadi di medan.
Ketika Sri Baginda akan memerintahkan sekali lagi untuk merawat penongsong itu, maka setiap kepala-pun kemudian ditundukkan. Prajurit itu telah menarik nafas yang terakhir di hadapan Sri Baginda dipapah oleh seorang prajurit yang lain.
"Serahkan kepada prajurit penjaga gerbang ini, supaya orang ini mendapat perawatan sebaik-baiknya," berkata Sri Baginda, "ia telah gugur dalam menunaikan tugasnya, seperti juga Mahisa Walungan telah gugur pula."
Demikianlah maka pasukan Kediri itu-pun segera bersiap untuk berangkat ke medan perang, dipimpin oleh Sri Baginda Kertajaya sendiri.
Dalam pada itu. di medan perang di sebelah Utara Ganter, pasukan Kediri benar-benar telah hampir tercerai berai. Beberapa orang Senapati dengan tanpa menghiraukan keselamatan diri sendiri, berusaha menyingkirkan jenazah Mahisa Walungan yang telah gugur di peperangan melawan Sri Rajasa.
Pada saat senjata Sri Rajasa mengenai dada kiri Mahisa Walungan, sebuah tombak telah menyerang penongsongnya. Tanpa dapat berbuat sesuatu dengan gerak naluriah penongsong itu menangkis ujung tombak itu dengan tangkai payung yang dibawanya. Tetapi ternyata tangkai payung itu-pun patah di tengah.
Sorak prajurit Singasari serasa akan memecahkan selaput telinga. Mereka meneriakkan kemenangan Sri Rajasa, dan meneriakkan kematian Adinda Sri Baginda Kertajaya.
Namun pada saat itu Sri Rajasa sendiri berdiri termangu-mangu memandang Mahisa Walungan yang terhuyung-huyung beberapa langkah surut.
"Kau memang seorang Raja yang sakti," desis Mahisa Walungan, "aku akui kemenanganmu. Tidak seorang-pun yang mampu melawan Aji Sangga Langit dan Aji Songkok Sari sekaligus. Tetapi kau sama sekali tidak terguncang oleh kedua Aji pamungkasku. Itu pertanda bahwa Sri Rajasa memang kekasih dewa-dewa."
Sri Rajasa tidak menjawab. Direnunginya Mahisa Walungan yang menjadi semakin lemah. Ia sama sekali tidak berbuat apa-apa ketika beberapa orang Senapati Kediri berusaha menyelamatkan Mahisa Walungan. Tetapi mereka hanya dapat mengangkat tubuhnya yang sudah tidak bernafas.
Ketika beberapa orang prajurit Singasari mencoba menghalang-halangi prajurit Kediri yang berusaha menyingkirkan Jenasah itu. Sri Rajasa membentak mereka dengan marahnya, "Biarkan jenazah itu. Ia pantas mendapat penghormatan, sehingga jenazahnya pantas mendapat perawatan yang sebaik-baiknya. Ia adalah seorang pahlawan besar. Pahlawan terbesar di saat ini."
Tidak seorang-pun yang kemudian mengganggu para Senopati Kediri membawa jenazah itu pergi. Tetapi Sri Rajasa tidak sempat memperhatikan, penongsong Mahisa Walungan yang menjadi luka parah oleh senjata orang-orang Singasari. Tetapi prajurit yang membawa payung kebesaran itu-pun berhasil menyingkir dan mendapatkan seekor kuda dari para penghubung.
Sri Rajasa seolah-olah tersadar ketika sorak para prajurit Singasari semakin membelah langit. Mereka berhasil semakin mendesak pasukan Kediri yang telah kehilangan agul-agul. Yang ada kini tinggallah Gubar Baleman.
Berita gugurnya Mahisa Walungan telah memukul dada Gubar Baleman, sehingga sejenak ia kehilangan pengamatan diri. Tetapi karena senjata Mahisa Agni yang menyentuh pundaknya, maka Gubar Baleman-pun menyadari, bahwa kini justru seluruh tanggung jawab ada di atas pundaknya.
Karena itu, maka Gubar Baleman-pun menggeretakkan giginya. Dengan lantang suaranya mengatasi sorak sorai prajurit Singasari, "Adinda Sri Baginda telah gugur sebagai seorang pahlawan. He. prajurit Kediri, apa yang dapat kalian serahkan kepada Tanahmu ini?"
Prajurit Kediri yang terguncang karena kematian Mahisa Walungan tiba-tiba seperti yang bangkit dari tidur yang diganggu oleh mimpi yang menakutkan. Serentak prajurit Kediri menyambut teriakan Menteri Gubar Baleman dengan gemeretak gigi dan nyala di dalam dada.
Sambil berteriak nyaring, mereka segera menemukan gairah perjuangan mereka kembali.
Tetapi pasukan Singasari ternyata semakin mendesak mereka. Jumlah yang besar, dan nafsu yang melonjak karena gugurnya Mahisa Walungan membuat pasukan Singasari berhasil menguasai segala bagian medan yang dahsyat itu.
Gubar Baleman-pun akhirnya melihat, betapa korban berjatuhan tanpa dapat dihitung lagi. Sebagai seorang pemimpin ia merasa kematian yang tidak terbilang masih akan terjadi.
Tetapi seperti Mahisa Walungan, maka Gubar Baleman-pun seorang Senapati jantan. Itulah sebabnya maka ia sendiri telah berusaha untuk bertempur sekuat-kuat tenaganya. Semua kemampuan. Aji dan ilmunya telah dicurahkannya.
Namun ternyata bahwa Mahisa Agni yang memiliki Aji Gundala Sasra dan Kala Bama sekaligus itu mampu melawan setiap ilmu yang dilontarkan oleh Gubar Baleman.
Namun ada sesuatu yang telah mengganggu segenap pemusatan kekuatan lahir dan batin dari Menteri Gubar Baleman yang berani itu. Ia tidak dapat menutup mata dan telinga, bahwa keadaan pasukannya telah menjadi semakin terdesak. Terbayang sekilas di kepalanya, bahwa pasukan Kediri sebentar lagi pasti akan pecah, dan akan lenyaplah Kerajaan Kediri yang besar itu.
Dan keprihatinan Gubar Baleman itu telah dicurahkan dengan mengerahkan segenap kemampuannya. Bahkan Gubar Baleman sama sekali sudah tidak menghiraukan keselamatan dirinya lagi.
Ketika pasukannya semakin lama menjadi semakin terdesak, maka Gubar Baleman tidak dapat lagi menahan hati. Kalau ia tidak berbuat sesuatu, maka semua prajurit Kediri yang ada di peperangan ini pasti akan tumpas. Tidak seorang-pun yang akan berusaha atau berniat menyelamatkan dirinya, sedang Kediri yang dipertahankan pasti juga akan runtuh.
Gubar Baleman memang terharu melihat kesetiaan prajurit Kediri kepada Tanah Kelahiran. Tetapi Gubar Baleman masih mencoba mempergunakan nalarnya. Karena itu, maka kepada kedua Senapati pengapitnya ia memberikan perintahnya sebagai Senapati Tertinggi, "Tarik pasukan. Hubungi Pujang Warit di dalam kota. Apapun yang dikehendaki, kita harus menyerahkannya. Tetapi Kediri harus dipertahankan sekuat tenaga. Aku masih berpengharapan, bahwa Pujang Warit akan bersedia menjadi Senapati Agung pasukan Kediri. Namun dengan demikian kekuatan yang ada padanya dapat dikerahkan bagi medan."
Senapati pengapitnya mengerutkan keningnya. Tetapi ia mendengar perintah itu dengan jelas, seperti juga Mahisa Agni mendengarnya.
Sekilas terbersit pertanyaan di hati Mahisa Agni, "Apakah yang sebenarnya terjadi atas prajurit-prajurit Kediri" Agaknya Kediri benar-benar telah dihancurkan oleh perpecahannya sendiri."
Ketika salah seorang Senapati pengapit yang menerima perintah itu mundur dari medan. Mahisa Agni menjadi termangu-mangu sejenak. Apakah yang sebaiknya dilakukan" Agaknya Kediri masih menyimpan tenaga cadangan. Tetapi tenaga cadangan itu sama sekali tidak dapat dikuasai, baik oleh Mahisa Walungan maupun oleh Gubar Baleman.
Namun ternyata bahwa Gubar Baleman sama sekali belum mendengar berita kematian Pujang Warit oleh tangan Sri Baginda Kertajaya sendiri.
Senapati pengapit yang mendapat perintah dari Gubar Baleman itu-pun segera berusaha mendapatkan seekor kuda untuk meninggalkan medan. Betapa berat hatinya, namun ia tidak dapat berbuat lain. Ia harus menghubungi Pujang Warit. Sedang Senapati pengapit yang lain masih belum menemukan jalan, bagaimana ia akan menarik pasukan yang sedang bertempur demikian dahsyatnya.
Karena Senapati pengapitnya masih belum berbuat apa-apa, maka Gubar Baleman mengulangi perintahnya, "Tarik pasukan. Kalau hubungan dengan Pujang Warit dapat diadakan, maka pertahanan yang kuat akan disusun. Kita akan mundur sampai pertahanan yang sudah tersusun itu."
Senapati itu kini mengerti. Pasukannya harus berusaha untuk mengundurkan diri sampai pertahanan berikutnya yang akan disusun oleh Pujang Warit.
"Tetapi bagaimana kalau Pujang Warit benar-benar telah menjadi gila?" pertanyaan itu sekilas melontar di dada Senapati itu.
Namun memang tidak ada jalan lain. Itu adalah jalan satu-satunya. Pasukan Kediri tidak akan dapat bertahan lebih lama lagi menghadapi pasukan Singasari yang besar ini.
Karena itu. maka Senapati itu-pun segera berusaha mengatur sisa-sisa pasukannya. Bersama beberapa orang penghubung, Senapati itu memerintahkan setiap pimpinan kelompok mengikat pasukannya, betapapun kecilnya yang tersisa, untuk menarik diri. Pasukan yang sudah parah ini tidak boleh pecah. Meskipun mereka harus menghindari peperangan, tetapi dengan teratur mereka harus dapat menempatkan diri pada pertahanan berikutnya. Apabila Pujang Warit tidak bersedia melakukannya, maka jalan terakhir adalah musna bersama-dengan musnanya Kediri.
Demikianlah maka kini pasukan Kediri berada di dalam keadaan yang sangat gawat. Menarik pasukan dari medan yang demikian dahsyatnya bukanlah pekerjaan yang mudah. Apalagi pasukan yang akan mengadakan pertahanan di belakang garis perang ini-pun masih belum dapat diperhitungkan dengan pasti.
Dalam gerakan inilah Gubar Baleman menunjukkan dirinya, sebagai seorang Senapati yang benar-benar bertanggung jawab. Ia sama sekali tidak berkisar dari tempatnya, selama para Senapati bawahannya mengatur diri. Sebagai seorang prajurit yang mumpuni ia tetap bertahan di tempatnya. sehingga Mahisa Agni tidak segera dapat mengatur pasukannya untuk mendesak maju. Dalam keadaan yang demikian, maka beberapa orang Senapati yang lain segera mengambil sikap, mendesak dan mencegah gerakan mundur pasukan Kediri.
Tetapi selain Mahisa Agni, ternyata di barisan Singasari masih ada Sri Rajasa sendiri yang kini tidak mempunyai lawan lagi yang seimbang. Namun demikian ternyata Sri Rajasa bukanlah seorang yang terlalu kejam. Ia tidak melawan orang-orang Kediri seperti menebas daun ilalang, meskipun ia dapat melakukannya apabila dikehendakinya.
Dalam keadaan yang demikian Sri Rajasa kini benar-benar berdiri sebagai seorang panglima. Ia hanya meneriakkan aba-aba untuk mengatur pasukannya.
Mahisa Agni yang melihat kehadiran Sri Rajasa sebagai panglima yang berdiri tanpa lawan itu-pun segera dapat memusatkan perhatiannya pada perang yang sedang dilakukan, melawan Gubar Baleman.
Sekali lagi Sri Rajasa menjadi kagum melihat sikap Gubar Baleman, seperti juga Mahisa Agni mengaguminya. Senapati-senapati Kediri yang demikian inilah yang agaknya membuat Kediri pada saatnya menjadi sebuah negara yang besar.
Ketika pasukan Kediri mengalami kesulitan untuk menarik diri itulah, terdengar derap kaki-kaki kuda yang berpacu menuju ke medan peperangan. Mereka adalah pasukan pengawal berkuda yang telah mendahului Sri Baginda Kertajaya maju ke peperangan.
Kedatangan pasukan berkuda yang tidak merupakan suatu barisan yang teratur itu telah mengejutkan prajurit-prajurit di peperangan itu. Sebagai seorang Senapati yang berpengalaman, maka Gubar Baleman segera mengetahui, bahwa pasukan itu telah menyusul ke medan dengan sangat tergesa-gesa, sehingga mereka tidak sempat menyusun barisan yang teratur.
Tetapi bagaimana-pun juga kehadiran pasukan berkuda itu telah memberi harapan bagi Gubar Baleman. Bukan suatu harapan untuk mengusir pasukan Singasari yang ternyata terlampau kuat. Tetapi pasukan berkuda itu akan dapat membantu melindungi pasukannya yang sedang bergerak mundur.
Dengan demikian maka melalui penghubungnya Gubar Baleman-pun segera menyampaikan perintah itu kepada seorang Senapati yang datang paling depan.
Senapati itu mengerutkan keningnya. Ia tidak menyangka bahwa pasukan Kediri sudah menjadi sedemikian parahnya. Apalagi sepeninggal Mahisa Walungan. Karena itu, maka Senapati itu-pun segera menyampaikan perintah Gubar Baleman lewat mulut kemulut, sehingga akhirnya perintah itu-pun merata di antara para pengawal berkuda itu.
Sejenak kemudian maka kuda-kuda itu-pun segera terjun ke peperangan. Mereka mencoba untuk menyesuaikan diri dengan perintah Gubar Baleman. Salah seorang dari mereka berhasil mendekati pemimpin tertinggi pasukan Kediri itu dan mengatakan bahwa pasukan yang lebih besar akan segera datang dipimpin oleh Sri Baginda Kertajaya sendiri.
"Bagus," sambut Gubar Baleman. Namun ia masih berpikir, berapa besarnya pasukan yang akan datang itu. Apakah mereka dapat menahan arus pasukan Singasari yang demikian dahsyatnya. Apabila pasukan itu gagal, maka taruhannya adalah Sri Baginda Kertajaya sendiri dan Kediri seluruhnya.
Demikianlah maka kini gerakan mundur dari pasukan Kediri itu agak terlindung oleh pasukan berkuda yang kecil. Namun kuda-kuda yang menjadi seakan-akan liar itu berloncatan di medan perang, menghalau prajurit-prajurit Singasari yang berusaha mengejar prajurit Kediri.
Namun dengan kenyataan itu, para pemimpin prajurit Singasari terpaksa membuat perhitungan-perhitungan baru. Berita tentang pasukan yang dipimpin langsung oleh Sri Baginda Kertajaya itu segera sampai pula ke telinga Sri Rajasa, sehingga dengan demikian maka ia-pun segera mengambil sikap. Dengan lantangnya Sri Rajasa perintahkan seluruh prajuritnya untuk bertindak lebih cepat. Katanya, "Jangan menunggu kalian masuk perangkap. Hancurkan pasukan lawan."
Perintah itu-pun segera mendapat tanggapan. Pasukan Singasari mendesak semakin maju. Selain pasukan berkuda yang kecil itu. Gubar Baleman sendiri berusaha untuk tetap bertahan. Bahkan seakan-akan ia-pun berusaha melindungi para prajurit yang sedang bergerak mundur. Dengan demikian maka sebagian perhatiannya kini dicurahkan kepada gerakan prajurit Kediri, selain lawannya yang tangguh, Mahisa Agni.
Namun dengan demikian, maka perlawanannya atas Mahisa Agni itu-pun tidak dapat dilakukan sepenuh kemampuannya, karena Gubar Baleman tidak dapat membiarkan pasukannya menjadi tercerai berai.
Suasana peperangan itu-pun menjadi semakin kalut. Pasukan Singasari semakin mendesak maju, sedang korban di pihak Kediri menjadi semakin banyak meskipun pasukan berkuda yang kecil itu berusaha sekuat-kuat tenaga mereka untuk melindungi.
Mahisa Agni yang harus mengerahkan segenap kemampuannya untuk mencoba mendesak lawannya, tetap mengaku, bahwa Gubar Baleman adalah seorang Senapati yang pilih tanding. Yang tidak saja menghiraukan dirinya sendiri. bahkan keselamatannya, namun baginya keselamatan prajurit-prajuritnyalah yang dianggapnya lebih penting.
Dalam saat yang demikian itulah Mahisa Agni justru merasa berdiri di persimpangan jalan. Dalam kekalutan itu ia melihat beberapa kesempatan untuk menembus pertahanan Gubar Baleman. Namun setiap kali ia tertegun. Kekagumamnya kepada Senapati Kediri itu membuatnya termangu-mangu. Setiap kali serasa ada sesuatu yang memberatkan perasaannya.
"Apakah aku harus melakukannya?" pertanyaan itu selalu mengganggunya.
Namun ketika terngiang kembali laporan peghubung Kediri yang mengatakan bahwa pasukan Sri Baginda Kertajaya sudah berada di perjalanan maka Mahisa Agni-pun segera menggeletakkan giginya. Teringat pula olehnya putera Mahkota Singasari, Anusapati putera Ken Dedes dari Akuwu Tunggul Ametung. Kalau Kediri dapat di kalahkan maka hari depan Anusapati itu-pun akan menjadi semakin cemerlang. Ia akan menjadi seorang raja yang besar, yang tidak saja meliputi daerah Singasari sekarang tetapi kesatuan dari daerah-daerah yang lebih luas akan membuat kerajaan itu lebih kuat.
Akhirnya Mahisa Agni menghentakkan perasaannya. Ia sadar, bahwa ia memang harus berbuat sebagai seorang Senapati di peperangan, sehingga ia tidak boleh hanyut dalam arus perasaannya.
Karena itu, ketika terbuka kesempatan padanya, ia segera mendesak lawannya. Gubar Baleman yang lagi terbelah perhatiannya oleh beberapa orang prajuritnya yang terdesak dan kehilangan sebagian dari kesempatan untuk melindungi diri, terkejut mendapat serangan yang tiba-tiba saja menyentuh tubuhnya.
Senapati Kediri itu menggeram sambil meloncat surut. Sejenak ia memusatkan perhatiannya menghadapi Mahisa Agni. Sehingga dengan demikian maka pertempuran di antara mereka-pun menjadi semakin dahsyat.
Tetapi ketika terdengar pekik kesakitan dan lengking seekor kuda yang terbanting jatuh, perhatian Gubar Baleman kembali terbagi. Bahkan Gubar Baleman berusaha untuk sekali lagi meloncat surut menjauhi Mahisa Agni.
Pada saat itu Sri Baginda Kertajaya sedang berada di perjalanan menuju ke medan perang. Meskipun Prajurit Kediri sudah berjalan secepat-cepat dapat mereka lakukan, bahkan ada di antara mereka yang terloncat-loncat, namun terasa pasukan itu maju terlampau lamban.
Di langit matahari merambat semakin ke Barat. Cahayanya yang terik serasa membakar kulit. Sekali-kali sehelai awan yang putih hanyut dibawa angin yang lambat.
Sri Baginda Kertajaya menengadahkan kepalanya. Terasa dadanya berdesir tajam. Tiba-tiba saja dari arah Tenggara segumpal awan yang hitam terbang dengan cepatnya, seakan-akan ingin mengejar matahari yang terik.
"Sri Baginda Kertajaya tidak pernah memperhatikan awan di langit. Tetapi tiba-tiba kini perhatiannya tertarik oleh awan yang hitam dan tebal. Selama ini langit tampak cerah kebiruan, sehingga awan yang tebal itu begitu tiba-tiba saja sudah ada di atas Kediri.
Awan yang hitam itu seakan-akan kemudian mekar memenuhi udara. Semakin lama semakin rata. sehingga sejenak kemudian maka matahari-pun telah ditelannya.
Langit yang biru kini menjadi berangsur gelap. Begitu cepatnya. Apalagi sejenak kemudian terdengar guruh yang lamat-amat mengumandang di sepanjang cakrawala.
Sri Baginda merasakan sesuatu yang aneh. Tetapi Sri Baginda Kertajaya tidak mengatakannya kepada siapapun juga.
Namun tiba-tiba langkah pasukan Kediri itu tertegun. Dari kejauhan mereka melihat kuda berderap seperti angin. Belum lagi Sri Baginda melihat siapakah yang datang itu, namun sesuatu sudah terasa melonjak di hatinya.
Sejenak, kemudian kuda itu-pun menjadi semakin dekat. Dan hati setiap prajurit Kediri-pun menjadi semakin berdebar-debar.
"Apa yang sudah terjadi?" belum lagi kuda itu berhenti Sri Baginda sudah tidak sabar lagi.
Dengan nafas terengah-engah Senapati penghubung itu meloncat dari kudanya. Ditundukkannya kepalanya dalam-dalam Kemudian katanya, "Ampun Sri Baginda. Menteri Gubar Baleman telah gugur pula?"
"Gubar Baleman," Sri Baginda berteriak sambil membelalakkan matanya.
"Hamba Tuanku."
Sejenak Sri Baginda justru terbungkam. Pasukan Kediri itu sama sekali sudah tidak mempunyai pengikat lagi.
Namun tiba-tiba Sri Baginda Kertajaya itu menggeretakkan giginya.
"Cepat," geramnya, "kita harus segera mencapai medan."
"Tuanku," berkata Senapati penghubung itu, "pasukan Kediri sedang dalam gerakan mundur. Itu-pun dalam keadaan yang payah. Sebaiknya Tuanku tidak maju ke medan. Tetapi justru mempersiapkan pertahanan yang lebih baik di batas kota."
"Gila," teriak Sri Baginda, "apakah aku akan membiarkan prajurit yang sedang berada di medan itu tumpas dibantai oleh orang-orang Singasari."
"Tuanku, kita berharap bahwa mereka akan dapat mencapai batas kota. Tetapi di gapura itu, kita dapat mengerahkan semua tenaga. Setiap prajurit akan kita tarik ke medan."
"Kapan akan kau lakukan itu?"
"Sekarang Tuanku. Selagi Tuanku kembali surut ke dinding kota, hamba akan mempersiapkan pertahanan itu. Setiap laki-laki yang dapat dikerahkan harus dikerahkan."
Sri Baginda menarik nafas dalam-dalam.
"Tuanku, waktu terlampau sempit. Sebenarnyalah keadaan medan sudah sangat parah."
Tanpa sesadarnya Sri Baginda menengadahkan wajahnya ke langit. Awan yang hitam kelam kini sudah memenuhi udara. Sekali-kali guruh terdengar meledak di kejauhan.
"Apakah Tuanku memperkenankan hamba melakukannya" Itulah pesan terakhir dari Menteri Gubar Baleman, karena hambalah yang telah berusaha menyingkirkan jenazahnya."
Sri Baginda masih termenung sejenak. Namun akhirnya Sri Baginda menganggukkan kepalanya, "Apa boleh buat."
Senapati penghubung itu-pun segera memacu kudanya ke dinding kota, sedang Sri Baginda menarik pasukannya mundur kembali memasuki regol.
Kotaraja Kediri segera berada di dalam keadaan yang gawat. Suara tengara telah bergema di seluruh kota. Setiap laki-laki yang merasa dirinya memiliki kemampuan sekedarnya untuk bertempur, segera menyambar senjata mereka apa saja yang dapat mereka pergunakan. Tombak, pedang, canggah, bindi, parang, keris dan lain-lain yang dapat mereka ketemukan.
Dengan hati yang berdebar-debar mereka-pun segera berlari-lari ke dinding kota. Mereka tahu benar, bahwa pasukan lawan pasti akan memasuki kota lewat regol itu.
Sejenak kemudian di sepanjang dinding kota itu telah bertebaran laki-laki bersenjata dari segala penjuru kota. Mereka sama sekali bukan prajurit. Tetapi mereka yang memiliki keberanian, telah terjun di gelanggang untuk mempertahankan Kotaraja. Di antara mereka terdapat beberapa orang prajurit penjaga regol. Kemudian berdatangan beberapa orang prajurit yang lain dari setiap sudut kota mereka. Mereka adalah para pengawal yang tinggal untuk mengamankan kota mereka. Tetapi kini mereka telah ditarik seluruhnya untuk melawan pasukan Singasari.
Sejenak kemudian pasukan Sri Baginda Kertajaya-pun telah berada di tempat itu pula. Mereka telah mempersiapkan diri untuk menyongsong kedatangan pasukan Singasari yang melanda Kediri seperti banjir bandang.
Dengan dada yang berdebar-debar Sri Baginda yang telah turun dari kudanya, berdiri tegak di tengah-engah regol. Ditatapnya jalan yang membujur panjang di bawah kakinya. Seolah-olah jalan itu adalah jalan yang langsung memanjat sampai ke batas langit.
Sekilas terbayang kedua orang yang selama ini telah menjadi sapu kawat kerajaannya yang sedang goncang. Mahisa Walungan dan Guber Baleman. Kini keduanya telah gugur di peperangan oleh kesetiaan mereka terhadap Kediri, meskipun keduanya hampir saja mati terbunuh oleh pengkhianatan Pujang Warit.
"Keduanya tidak melihat, bahwa Pujang Warit telah terbunuh," desisnya didalam hati, "meskipun barangkali Gubar Baleman sempat mendengarnya."
Dada Sri Baginda serasa menjadi sesak.
Namun kemudian tumbuh suatu pertanyaan di dalam hatinya, "Betapa saktinya para Senapati Singasari itu. Mereka mampu membunuh Mahisa Walungan dan Gubar Baleman. Kalau Mahisa Walungan terbunuh oleh Sri Rajasa, maka pastilah bahwa Sri Rajasa adalah seorang yang pilih tanding. Sedang Senapati yang mampu membunuh Gubar Baleman-pun pasti Senapati yang mumpuni.
"Dengan Senapati-senapati yang tangguh itulah agaknya Singasari akan merambat ke puncak kejayaannya, sementara Kediri akan menjadi semakin surut." gumamnya di dalam hati.
Meskipun melonjak pula penyesalan di dalam hati, tetapi ada semacam perasaan pasrah pula pada diri Sri Baginda Kertajaya. Namun demikian, ia masih tetap berdiri di ujung pasukan, menggenggam senjata sebagai seorang Senapati.
Pada saat itu, dengan susah payah pasukan Kediri berusaha menarik diri dari medan. Dengan korban yang tidak terhitung lagi pasukan itu berusaha untuk mencapai dinding kota. Mereka sudah mendapat kabar, bahwa Sri Baginda sendiri telah menyusun pasukan, untuk mempertahankan Kediri di batas Kotaraja. Karena itu maka gairah perjuangan mereka-pun semakin melonjak pula. Dengan sepenuh hati, mereka berusaha menarik pasukannya, bukan karena mereka takut mati terbunuh di peperangan. Tetapi sebagai seorang prajurit mereka memperhitungkan, bahwa masih ada kesempatan untuk memperbaiki kekalahan.
"Kita tidak boleh mati sia-sia," teriak seorang Senapati, "karena itu atur dirimu baik-baik."
Sementara beberapa orang yang masih berada di punggung kudanya selalu berusaha melindungi gerakan mundur yang banyak menemui kesulitan itu.
Betapapun sulitnya, namun akhirnya pasukan Kediri itu berhasil mendekati dinding kota. Dari kejauhan mereka sudah melihat, sebuah songsong pusaka, tombak, dan umbul-umbul yang merekat pada tunggul Kiai Gajah.
"Sri Baginda ada di dinding kota," teriak salah seorang Senapati.
Setiap hati prajurit Kediri-pun tergetar. Betapapun mereka menjadi lemah, tetapi tekad mereka telah menyala kembali. Sepeninggal Mahisa Walungan dan kemudian Gubar Baleman, pasukan Kediri seakan-akan sudah tidak bertenaga sama sekali. Namun kini, pada tubuh yang lemah itu, seakan-akan telah tersiram air yang sejuk, menyegarkan.
Sri Baginda yang melihat pasukan terdesak hatinya serasa telah menyala. Hampir tidak sabar lagi ia menunggu pasukannya sampai ke batas. Tetapi ia tidak dapai maju menyongsong pasukan Singasari dalam keadaan serupa itu. Menurut perhitungan nalar ia harus memanfaatkan dinding kota itu untuk bertahan.
Tetapi, Sri Baginda yang mempunyai pengalaman yang cukup itu, setelah melihat perimbangan kedua pasukan, berkata di dalam hati. "Pasukan Singasari memang tidak akan dapat dibendung. Akulah orang yang paling bodoh di antara para prajurit Kediri." dan penyesalan itu datang lagi, "kalau aku mendengarkan nasehat Mahisa Walungan dan Gubar Baleman. aku tidak akan terjerumus ke dalam kesulitan seperti ini. Tetapi kini keduanya telah gugur. Maka tidak ada penyelesaian yang lebih baik bagiku. Mengusir prajurit Singasari, atau gugur sama sekali di medan ini."
Sejenak kemudian, maka Sri Baginda-pun segera mengirimkan sepasukan yang akan menjadi mulut regol kotanya. Pasukan yang akan membantu pasukan Kediri yang sedang bergerak mundur. Sementara pasukan yang akan menjadi penutup regol-pun telah siap pula. Apabila pasukan Kediri yang mundur itu sudah memasuki regol, maka pasukan yang telah disediakan itulah yang akan menahan pasukan lawan, sedangkan para prajurit yang telah menyiapkan senjata jarak jauh. telah siap di atas dinding dengan busur di tangan.
"Pertempuran ini akan menjadi pertempuran yang paling dahsyat di sepanjang sejarah perkembangan Kediri," berkata Sri Baginda kepada Senapati pengapitnya.
"Hamba Tuanku," sahut Senapati itu.
Sejenak kemudian maka barisan Kediri yang mundur itu berhasil mencapai regol. Bahwa pasukan itu tidak pecah dan tercerai berai itu adalah karena ikatan yang kuat dan keberanian yang tiada taranya dari para prajurit Kediri itu.
Laju pasukan Singasari-pun kemudian tertahan oleh anak panah yang bagaikan hujan yang jatuh dari langit. Mereka yang berperisai, segera mempergunakan perisai mereka untuk melindungi bukan saja dirinya sendiri, tetapi juga melindungi kawan-kawannya yang sedang mendesak maju.
Sejenak kemudian kedua pasukan itu telah bergulat di depan regol dinding istana. Pasukan Kediri yang parah, dengan susah payah menyusup di antara prajurit Kediri yang masih segar masuk ke dalam dinding, sedang pasukan yang memang sudah dipersiapkan telah mencoba menahan pasukan Singasari.
Sri Rajasa dan Mahisa Agni yang tidak mempunyai lawan itu-pun kini sempat berdiri berdampingan sambil membicarakan kemungkinan yang mereka hadapi.
"Kita pecah dinding kota," berkata Sri Baginda.
"Dinding ini terlampau tebal Tuanku," sahut Mahisa Agni.
"Kita akan memanjat."
"Berbahaya sekali."
"Beberapa orang akan saling menyusun diri bersama. Sementara yang lain mecoba melindungi mereka."
Mahisa Agni tidak menjawab. Tetapi cara yang disebut oleh Sri Rajasa itu adalah cara yang berbahaya sekali. Dengan mudah sekali orang yang berada di atas dinding kota yang tebal itu dapat menyerang mereka yang sedang mencoba memanjat naik.
Tetapi cara lain memang sulit sekali diketemukan. Masuk melalui gerbang adalah hampir tidak mungkin. Gerbang yang tidak terlampau lebar itu telah tersumbat oleh pertempuran yang sengit. Prajurit yang sudah terlanjur bertempur di mulut regol itu, pasti tidak akan lagi dapat keluar. Maju mereka akan berhadapan dengan ujung senjata prajurit Kediri, sedang prajurit Singasari yang lain mendesak dari belakang, sementara prajurit Kediri-pun mempertahankan jalan masuk itu mati-matian.
Akhirnya perintah Sri Rajasa-pun segera mengumandang di seluruh medan, dan segera pula ditanggapi oleh para Senapati.
Dengan cepatnya pasukan Singasari itu-pun menebar dan berloncatan melekat dinding. Setiap jengkal seorang prajurit berdiri bertelekan pada dinding kota. Seorang kawannya yang lain memanjat di pundaknya dan kawan yang lain lagi harus meloncat pula naik. Kalau prajurit yang paling bawah merasa terlampau berat, maka seorang yang lain membantunya menahan berat tubuh orang yang ada di atasnya.
Orang yang ketiga sudah akan dapat meloncat dinding apabila ia dapat mengatasi serangan yang datang bertubi-tubi dari para prajurit Kediri yang berada di atas dinding. Sehingga, karena itulah maka orang ketiga yang akan naik adalah para prajurit yang mengenakan perisai atau yang bersenjata tombak panjang, sedang prajurit yang lain melindunginya dengan panah atau tombak-tombak pendek yang dilontarkan dari luar.
Demikian banyaknya prajurit Singasari yang melekat dinding kota itu, sehingga pada suatu saat terdapat juga bagian-bagian yang lemah dari para prajurit Kediri yang berada di atas dinding, sehingga ketika beberapa orang Singasari sempat naik keatas dinding, maka seolah-olah mereka telah membukakan pintu bagi kawan-kawannya yang lain.
Dengan demikian maka lambat laun, beberapa orang prajurit Singasari-pun segera berhasil meloncat memasuki bagian dalam Kotaraja yang sedang dipertahankan.
Dalam kekalutan itu seorang Senapati bertanya kepada Mahisa Agni, "Apakah sebagian dari kita diperkenankan memasuki Kotaraja dari pintu-pintu gerbang yang lain.?"
Mahisa Agni menggelengkan kepalanya, "Kita pusatkan seluruh kekuatan di sini. Gerbang-gerbang itu pasti juga sudah ditutup, dan beberapa orang prajurit pasti sedang menjaganya. Tanda-tandanya di sini kita akan segera dapat menyelesaikan pekerjaan ini."
Perhitungan Mahisa Agni itu-pun ternyata tidak jauh meleset. Selagi ke dua belah pihak bertempur dengan dahsyatnya di regol kota, maka beberapa kelompok pasukan Singasari berturut-turut telah berhasil meloncati dinding.
Ternyata bahwa beberapa kelompok prajurit itu mempunyai pengaruh yang besar bagi pertempuran yang terjadi di mulut regol. Kehadiran pasukan Singasari dari arah samping telah mengejutkan prajurit-prajurit Kediri yang berada di dalam dinding.
Dengan demikian maka pertempuran-pun menjadi semakin meluas. Pasukan Kediri tertarik untuk melawan prajurit Singasari yang masuk meloncati dinding, sehingga pertahanan di mulut regol-pun menjadi semakin berkurang, sedang prajurit Singasari yang memasuki dinding semakin lama menjadi semakin banyak.
Sementara itu langit yang kelam oleh mendung yang tebal menjadi semakin kelam. Sekali-sekali guntur meledak di langit. Semakin lama menjadi semakin sering. Sementara matahari di balik mendung yang tebal itu-pun merayap terus semakin ke Barat.
Sebenarnyalah bahwa pasukan Kediri yang terakhir itu-pun tidak mampu lagi membendung pasukan Singasari. Kemenangan demi kemenangan membuat seiap prajurit Singasari menjadi semakin berbesar hati.
Kematian Mahisa Walungan dan Gubar Baleman, dua pahlawan yang gagah berani itu, membuat para prajurit Singasari menemukan kejakinan, bahwa Kediri pasti akan dapat ditundukkan.
Di pertahanan yang terakhir inilah pasukan Kediri dan rakyat yang tetap setia kepada Kotanya, telah berjuang dengan sekuat tenaga mereka. Peperangan ini tidak hanya sekedar menentukan nasib Kotaraja Kediri itu sendiri, tetapi apa yang terjadi di pusat pemerintahan Kerajaan Kediri yang Agung ini, akan menentukan suatu bentuk pemerintahan dari sebuah wilayah yang luas sekali.
Perang yang semakin lama menjadi semakin dahsyat itu ternyata telah mendesak prajurit Kediri mundur semakin dalam memasuki Kotaraja. Prajurit-prajurit yang berjuang di regol-regol kota-pun sudah tidak mampu lagi bertahan, sehingga sejenak kemudian, pasukan Singasari yang masih ada di luar regol berhasil mendorong pasukan Kediri dan menguasai pintu gerbang. Dengan demikian maka pecahlah bendungan yang menahan arus banjir bandang dari Singasari itu.
Dengan demikian, maka medan perang kini telah berada di dalam kota. Sri Baginda Kertajaya sendirilah yang memimpin sisa-sisa dari pasukannya. Luka yang parah pada pasukannya, telah membuat Sri Baginda Kertajaya menjadi semakin garang, seperti seekor harimau yang terluka di bagian tubuhnya sendiri.
Mahisa Agni yang berada di pusat pasukan Singasari melihat Sri Baginda Kertajaya mengamuk. Pusakanya berputar seperti angin pusaran. Setiap sentuhan dari ujung senjata itu, pasti akan berakibat maut.
"Kemarahan Sri Baginda Kertajaya harus mendapat pelayanan," berkata Mahisa Agni di dalam hatinya, "kalau tidak, maka prajurit Singasari akan menjadi bosah-baseh."
Tetapi ketika Mahisa Agni meloncat maju untuk menyongsong Sri Baginda Kertajaya, terasa punggungnya digamit seseorang. Ternyata Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi, dibayangi oleh songsong kebesarannya telah siap pula maju melawan Sri Baginda di Kediri.
Dada Mahisa Agni menjadi berdebar-debar. Di medan ini akan bertemu dua orang raja yang besar, yang memiliki kelebihan yang sukar dicari tandingnya. Sri Baginda Kertajaya dan Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi.
"Apakah Tuanku akan menghadapi Sri Baginda Kertajaya sendiri?" bertanya Mahisa Agni di luar sadarnya.
Sri Rajasa menganggukkan kepalanya, "Ya. Aku akan melawannya. Menurut pendengaranku, Sri Baginda Kertajaya adalah seorang Raja yang besar, yang sakti dan tidak ada duanya."
Mahisa Agni tidak menjawab.
"Aku akan mencoba melawannya."
Mahisa Agni masih tetap berdiam diri.
"Agni," desis Sri Rajasa kemudian, "kalau aku gagal, maka kau adalah orang yang paling terpercaya di seluruh Singasari. Kau adalah kakak Permaisuriku. Karena itu, seandainya aku tidak dapat keluar dari peperangan ini karena Sri Baginda Kertajaya, maka kaulah yang wajib mengatur pemerintahan sampai Pangeran Pati dapat mengemudikan Kerajaan."
"Siapakah Pangeran Pati itu?" bertanya Mahisa Agni.
"Bukankah aku sudah menentukan?"
"Anusapati?" "Ya. Tidak ada orang lain."
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Ia melihat kesungguhan memancar di wajah Ken Arok yang bergelar Sri Rajasa itu. Sekilas terbayang sikap Sri Rajasa yang tidak adil atas kedua puteranya, Anusapati dan Tohjaya. Kedua putera yang lahir dari ibu yang berbeda dan sebenarnyalah dari ayah yang berbeda pula, karena Anusapati adalah putera Akuwu Tunggul Ametung.
Tetapi dalam saat yang genting ini Sri Rajasa telah, menyebut nama Anusapati.
Sejenak Mahisa Agni diam sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia terperanjat ketika Sri Rajasa berkata, "Aku akan mulai."
"O," Mahisa Agni mengangkat wajahnya. Selama itu pasukan Singasari berhasil mendesak terus. Tetapi tidak seorang-pun dari para Senapati yang berani mendekati Sri Baginda Kertajaya seorang diri. Di dalam kelompok yang terdiri dari Senapati pilihan, prajurit Singasari mencoba membendung kemarahan Sri Baginda Kertajaya. Tetapi korban masih berjatuhan terus.
Sejenak, kemudian maka Sri Rajasa-pun melangkah maju di bawah songsong kebesarannya. Selangkah demi selangkah. Ditatapnya Sri Baginda Kertajaya yang mengamuk sebagai harimau luka. Siapa yang mendekat pasti akan tersobek dadanya oleh ujung pusakanya.
Tetapi Ken Arok tidak menjadi gentar. Sejak kecil ia sudah ditempa untuk menghadapi bermacam-macam bahaya. Sekilas terngiang di telinganya sebuah suara yang memancar dari ketiadaan, selagi ia memanjat pohon tal ketika ia dikejar-kejar orang.
"Kalau aku memang akan binasa, binasalah aku saat itu. Tetapi Yang Agung masih melindungi aku," berkata Ken Arok di hatinya. "Meskipun pada saat itu ia tidak tahu sama sekali, siapakah yang telah menunjukkan jalan pelepasan itu. Namun dari Empu Purwa ia mendengar untuk pertama kali, bahwa Yang Agung adalah sumber dari segala bentuk kehidupan."
Kini Ken Arok telah menerjunkan dirinya kekancah peperangan melawan Sri Baginda Kertajaya.
Para prajurit dan Senapati, seakan-akan telah menyibak ketika mereka melihat Sri Rajasa sendiri maju menghadapi Sri Baginda Kertajaya, sehingga di sekitar mereka berdua, para prajurit seakan-akan tidak sempat lagi untuk saling bertempur. Mereka menjadi ternganga-nganga melihat kedua Raja besar itu bertemu di peperangan.
Dalam kancah peperangan yang riuh, di mana pasukan Singasari berhasil mendesak pasukan Kediri yang parah maka kedua rajanya sedang berhadapan untuk menentukan, siapakah di antara mereka yang akan menguasai telatah yang besar ini, telatah yang sampai saat itu masih bernama Kerajaan Kediri. Kerajaan yang diperintah oleh seorang Maharaja yang bernama Kertajaya.
Sejenak kedua raja itu saling berhadapan. Tetapi mereka agaknya tidak perlu untuk saling bertanya, karena mereka masing-masing telah mengetahui, dengan siapa mereka berhadapan.
Dengan demikian, maka keduanya segera menggerakkan senjata masing-masing. Sri Baginda Kertajaya dengan pusakanya, sebatang tombak dan Sri Rajasa mempergunakan sehelai pedang dan sebuah perisai kecil memanjang, terbuat dari kepingan baja yang tipis.
Sejenak kemudian keduanya telah terlibat dalam perang yang dahsyat, senjata mereka saling beradu, memancarkan bunga api di udara, sedang guntur di langit masih juga meledak-ledak tidak hentinya.
Selagi keduanya terlibat dalam perang tanding yang dahsyat, maka pasukan Singasari berhasil mendesak pasukan Kediri, sehingga mereka perlahan-lahan semakin terdesak mundur ke dalam kota. Karena itulah maka Sri Baginda Kertajaya-pun kadang-kadang terganggu pula karenanya.
Meskipun gerakan maju pasukan Singasari masih juga tidak dapat secepat di saat-saat pasukan Kediri kehilangan Gubar Baleman setelah mereka kehilangan Mahisa Walungan, namun untuk dapat bertahan di dalam kota, agaknya akan terlampau sulit.
Dalam keadaan yang kalut itulah Sri Rajasa berusaha sekuat-kuat tenaganya untuk mendesak Sri Baginda Kertajaya. Namun ternyata Sri Baginda Kertajaya memiliki kemampuan yang lebih matang dari Mahisa Walungan. Meskipun pada dasarnya ilmu mereka didasari oleh bahan yang sama, tetapi umur Sri Baginda yang lebih tua, ternyata berpengaruh pula atas kematangan ilmu pada kedua kakak beradik itu.
Itulah sebabnya, maka menghadapi Sri Baginda Kertajaya, Sri Rajasa mengalami beberapa kesulitan.
Namun ketika Mahisa Agni mendekati arena pergulatan dari dua orang yang berilmu raksasa itu, Sri Rajasa berteriak, "Menyingkir kau Agni."
Tanpa sesadarnya Mahisa Agni surut selangkah. Dengan hampir tidak berkedip ia memandang pertempuran yang semakin lama menjadi semakin seru.
Mahisa Agni sendiri adalah seorang raksasa di dalam olah kanuragan, sehingga dengan demikian ia dapat melihat imbangan kekuatan antara kedua Raja yang sedang bertempur itu.
Dalam pada itu, maka pertempuran antara ke dua belah pihak semakin dahsyat pula. Prajurit Singasari mendesak lawannya semakin jauh.
Dengan demikian maka timbullah jarak antara prajurit-prajurit Kediri itu dengan rajanya, sehingga pada suatu saat, Sri Baginda Kertajaya itu-pun terpisahlah dari para prajuritnya.
Beberapa orang Senapati yang tetap berusaha mengitari Sri Baginda, seorang demi seorang telah tersingkir. Bahkan penongsong Sri Baginda Kertajaya-pun telah menjadi terluka parah dan tidak mampu lagi untuk tetap mengangkat payung pusaka Sri Baginda. Dengan tenaganya yang terakhir, penongsong itu telah mencoba menancapkan tangkai bendera itu di tanah. Kemudian perlahan-lahan ia jatuh terduduk.
Tanpa disadarinya, kini Sri Baginda Kertajaya telah terkepung di dalam lingkungan pasukan Singasari. Namun demikian Sri Baginda Kertajaya sama sekali tidak menjadi berkecil hati. Dengan tekad yang bulat ia tetap bertempur dengan gigihnya. Yang masih tetap mendampinginya meskipun tubuhnya telah basah oleh darah adalah Senapati Kediri yang memanggul panji-panji yang terikat pada sebuah tunggul yang bernama Kiai Gajah.
Ketika Sri Rajasa melihat, bahwa lawannya telah terpisah dari pasukannya, serta beberapa orang Senapati Singasari telah mengepung arena, maka Sri Rajasa itu-pun kemudian berteriak, "Jangan ganggu kami. Kami akan menyelesaikan peperangan ini sebagai laki-laki."
Seperti Mahisa Agni. maka para Senapati itu-pun kemudian melangkah surut, membentuk suatu lingkaran yang membatasi arena perang tanding antara dua orang raja yang besar.
Ketika Sri Kertajaya menyadari keadaannya, maka ia-pun kemudian berkata, "Kau memang seorang Raja yang besar dan jantan. Dengan sebuah perintah yang pendek, maka Sanapatimu dapat beramai-ramai membunuhku. Tetapi kau bermaksud untuk menyelesaikan pertempuran ini dengan perang tanding."
"Ya," sahut Sri Rajasa, "aku ingin menyelesaikan pertempuran ini dengan perang tanding. Apapun yang akan mengakhirinya."
Tantangan Sri Rajasa itu telah membuat dada Mahisa Agni menjadi berdebar-debar. Ia, sebagai seorang yang memiliki ilmu yang hampir mumpuni itu-pun dapat menilai, bahwa Sri Rajasa memang berada di dalam kesulitan. Meskipun demikian Mahisa Agni masih belum dapat mengatakan bahwa Sri Rajasa akan dapat di kalahkan oleh Sri Baginda Kertajaya.
Perang yang berkecamuk antara prajurit Kediri dan prajurit Singasari masih berlangsung terus. Prajurit Kediri semakin jauh terdesak masuk ke dalam kota.
Sementara itu prajurit Kediri menjadi cemas ketika mereka menyadari bahwa Sri Baginda Kertajaya tidak mau menarik diri bersama pasukan yang bergerak mundur itu.
Beberapa orang Senapati Kediri yang setia segera berusaha menembus jaringan gelar pasukan Singasari. Tetapi sampai orang yang terakhir, mereka tidak dapat mencapai Sri Baginda Kertajaya.
Sedang prajurit-prajurit Singasari sendiri tidak kalah cemasnya menyaksikan perang tanding yang menjadi semakin seru itu. Namun setiap Senapati Singasari yang sempat menyaksikan perang tanding itu merasa bahwa kemampuan ilmu Sri Baginda Kartajaya agak lebih tinggi dari Sri Rajasa. Ketangkasan Sri Kertajaya benar mengagumkan. Sri Baginda mampu melontarkan tubuhnya dengan kecepatan yang hampir tidak dapat diikuti dengan pandangan mata wadag. Bukan saja ketangguhan ilmu seperti Mahisa Walungan. tetapi kematangan dan ketetapan penggunaan setiap unsur dari ilmunya itu.
Dengan demikian semakin lama menjadi semakin jelas bahwa ilmu Sri Baginda Kertajaya memiliki beberapa kelebihan dari Sri Rajasa yang sulit untuk dimengerti, ilmu apakah yang telah dipergunakannya.
Setiap kali Sri Rajasa selalu terdesak. Meskipun Sri rajasa masih selalu sempat menangkis setiap serangan ujung tombak Sri Kertajaya, tetapi kecepatan gerak Sri Kertajaya kadang-kadang telah membingungkannya.
Namun demikian, Sri Rajasa masih tetap segar seperti permulaan dari perang tanding itu. Meskipun ia harus memeras segenap tanaganya, tetapi tenaganya sama sekali tidak menjadi susut.
Dengan tabah ia menghadapi setiap serangan lawannya. Dengan memutar pedangnya dan perisai kecilnya, Sri Rajasa masih selalu sempat menghindarkan dirinya dari ujung tombak lawannya.
Dalam pada itu, Sri Baginda Kertajaya menjadi heran. Menurut perhitungannya, setiap kali Sri Rajasa kehilangan kesempatan untuk menghindar atau menangkis serangannya, karena geraknya yang cepat tidak dapat diikuti oleh lawannya. Tetapi apabila Sri Baginda Kertajaya hampir memastikan bahwa serangannya akan berhasil menembus dada Sri Rajasa, tiba-tiba saja, ujung tombaknya itu telah menyentuh perisai lawannya atau tersentuh oleh pedangnya ke samping.
"Aku tidak mengerti, ilmu apakah yang dipergunakannya," desis Sri Kertajaya. Namun karena itulah maka Sri Baginda itu telah, mengerahkan segenap ilmunya. Apalagi ketika ia sadar, bahwa ia tidak lagi berada di dalam lingkungan prajuritnya yang telah terdesak semakin jauh.
Tetapi keheranan Sri Baginda Kertajaya itu-pun segera terjawab ketika Sri Rajasa-pun telah mengerahkan segenap kemampuannya pula, meskipun ia sama sekali tidak dapat mengimbangi kecepatan bergerak Sri Baginda Kertajaya.
Ketika Sri Rajasa sudah sampai pada puncak pengerahan kekuatan lahir dan batinnya tanpa disadarinya sendiri, maka Sri Baginda Kertajaya-pun terkejut. Seperti Mahisa Walungan, ia-pun mampu menangkap sasmita yang memancar di atas kepala Sri Rajasa. Cahaya yang kemerah-merahan, yang hanya dapat ditangkap oleh indera seseorang yang berilmu mumpuni.
Mahisa Agni yang berada di luar arena itu-pun menarik nafas dalam-dalam. Itulah agaknya yang membuat Sri Rajasa mampu melakukan rencananya, karena ia mempunyai kelebihan yang tidak ada duanya. Dikasihi oleh dewa-dewa.
Demikianlah maka pertempuran itu-pun menjadi semakin seru. Tetapi juga seperti Mahisa Walungan Sri Baginda Kertajaya telah pasrah akan nasibnya kepada Yang Maha Agung. Tetapi ia sama sekali tidak menyesal, seandainya ia tidak dapat keluar lagi dari perang tanding ini. Bahkan ada sepercik kebanggaan yang menyentuh perasaannya, bahwa dewa-dewa sendirilah yang telah mengatur akhir dari hidupnya.
Namun demikian Sri Baginda Kertajaya tidak menjadi kendor. Ia masih bertempur dengan sekuat tenaga. Di saat terakhir ia berkeinginan untuk melihat, apakah yang ada di dalam diri Sri Rajasa itu selanjutnya.
Para Senapati yang tidak mempunyai indera setajam Sri Baginda Kertajaya dan Mahisa Agni, tidak dapat melihat cahaya yang kemerah-merahan itu. Karena itu, mereka-pun menjadi semakin cemas, bahwa Sri Rajasa seakan-akan menjadi semakin terdesak.
Namun yang tidak dapat mereka mengerti, dalam keadaan yang betapapun sulitnya, Sri Rajasa pasti dapat menyelamatkan diri. Seolah-olah mereka telah menyaksikan peristiwa yang tidak mungkin dapat terjadi. Tetapi yang tidak mungkin itu ternyata benar-benar telah mereka lihat.
Bahkan sekali-kali Sri Rajasa itu terdorong demikian kerasnya, sehingga terbanting jatuh. Namun demikian cepatnya pula ia meloncat bangkit. Tidak hanya sekali dua kali. Tetapi berkali-kali. Namun demikian, tenaga Sri Rajasa sama sekali tidak kelihatan susut. Bantingan yang keras, desakan-desakan serangan yang membingungkan, sama sekali tidak mempengaruhi. Ia masih saja bertempur dengan gigih dan mantap. Para Senapati Singasari yang tidak ikut di dalam pengejaran pasukan Kediri itu menjadi heran, seperti juga pemandi panji-panji pusaka dari Kediri yang masih berdiri mematung menyaksikan pertempuran itu. Sejenak kemudian justru Sri Baginda Kertajaya lah yang tampak menjadi lelah. Keringatnya telah terperas dari seluruh wadah kulitnya, dan nafasnya-pun telah mulai menjadi semakin cepat mengalir.
Perang tanding itu memang hampir tidak dapat masuk di akal setiap orang yang menyaksikannya. Meskipun demikian, mereka tidak dapat mengingkari kenyataan itu. Semakin lama Sri Baginda Kertajayalah yang justru kehilangan sebagian dari tenaganya.
Namun Sri Baginda Kertajaya-pun sama sekali tidak menjadi cemas. Ia menyadari dengan siapa ia berhadapan. Apapun yang akan terjadi atasnya adalah kehendak dari Yang Maha Agung.
Dalam pada itu langit-pun menjadi semakin lama semakin gelap. Matahari yang terlindung itu-pun menjadi semakin rendah di ujung Barat, sehingga sinarnya sama sekali tidak dapat lagi menembus lapisan awan yang gelap.
Guntur dan guruh saling bersahutan di langit dan lidah api-pun meloncat-loncat dengan dahsyatnya.
Beberapa orang prajurit dan Senapati yang tanggap akan sasmita alam itu-pun mulai mereka-reka apa yang kira-kira akan terjadi. Karena itu maka prajurit Kediri-pun menjadi semakin berkecil hati. Apalagi pasukan Singasari benar-benar telah mendesak mereka tanpa memberi kesempatan untuk mengatur diri di dalam gerakan mundur.
Para Senapati di ke dua belah pihak, kini sudah meyakini, bahwa pasukan Kediri pasti akan pecah.
Di saat-saat guntur meledak di langit, dan di saat titik-titik air hujan jatuh satu-satu, tampaklah, bahwa Sri Kertajaya seakan-akan telah kehabisan tenaga. Meskipun demikian wajahnya masih tetap bening dan segar, bahkan sorot matanya yang pasrah telah membuatnya menjadi semakin tenang.
Dan akhirnya yang sudah diperhitungkan itu terjadilah. Di saat-saat terakhir, justru Sri Baginda Kertajaya lah yang selalu terdesak. Bukan karena ilmu Sri Rajasa melampaui kematangan ilmu Sri Baginda Kertajaya. tetapi kekuatan yang tersembunyi, yang hanya tampak oleh Sri Baginda sendiri dan Mahisa Agni itulah yang telah menentukan akhir dari pertempuran itu.
Sejenak Mahisa Agni teringat, bagaimana pertama-tama ia bertemu dengan Ken Arok di padang Karautan. Di saat itu hantu itu sama sekali masih belum mengenal ilmu apapun juga. Namun sebagai seorang murid Empu Purwa yang terpercaya, ia sama sekali tidak berhasil mengalahkannya.
Tanpa disadarinya Mahisa Agni itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Agaknya saat itu guru-pun telah melihat cahaya yang kemerah-merahan itu," katanya di dalam hati.
Di saat-saat itulah teringat olehnya pusaka yang diterimanya dari gurunnya. Sebuah Trisula kecil. Kecil saja. Namun di saat ia mempergunakan trisula itu, Ken Arok yang lebih dikenal dengan julukan Hantu Karautan, sama sekali tidak berdaya melawannya. Trisula yang menurut gurunya langsung diterima dari langit.
Ternyata bahwa senjata kecil itu telah membuat orang yang dikasihi oleh dewa-dewa ini menjadi silau, sehingga ia sama sekali tidak dapat memberikan perlawanan.
Terngiang suara Hantu Karautan saat itu, "Kau curang."
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Tiba-tiba terbersit di hatinya, "Betapapun saktinya Sri Rajasa, namun aku memiliki sesuatu yang dapat mengimbanginya."
Dalam pada itu, pertempuran yang dahsyat itu-pun sudah mendekati pada saat-saat terakhir. Sri Baginda Kertajaya adalah seseorang yang memiliki tenaga yang tidak terkirakan besarnya. Namun melawan Sri Rajasa, tenaga itu seakan-akan begitu cepatnya terhisap.
Karena itulah maka sejenak kemudian, kekuatannya sama sekali sudah tidak berdaya lagi untuk melawan sambaran pedang Sri Rajasa.
Dengan kekuatan yang tidak terduga-duga besarnya, maka pedang itu-pun terayun dengan derasnya.
Sri Baginda Kertajaya melihat juga ayunan senjata itu. Tetapi tangannya seakan-akan telah membeku, sehingga dengan pasrah ia sama sekali tidak berbuat sesuatu.
Dengan demikian, maka pedang itu-pun segera terhunjam di dadanya. Dada Sri Baginda Kertajaya.
Terdengar Sri Baginda berdesis. Namun kemudian ia tersenyum sambil bertelekan pada tangkai tombaknya. Katanya, "Kau adalah lantaran dewa-dewa untuk memusnakan ketamakan kerajaan Kediri. Kaulah yang akan menyasikan, Kediri yang di saat ini akan runtuh. Karena itu, ingat-ingatlah Sri Rajasa. Jangan mengulangi kesalahan Kerajaan Kediri. Ketamakan, keangkuhan dan lupa diri. Tidak ada manusia yang dapat menyamai Yang Maha Agung. Aku ternyata juga tidak. Kau-pun tidak Sri Rajasa." Baginda Kertajaya berhenti sejenak. Tetapi tampaklah bahwa ia menjadi semakin lemah, "Karena itu, pergunakanlah kehidupan Kediri yang lampau sebagai cermin bagi pemerintahanmu yang bakal datang."
Sri Baginda tidak dapat berdiri tegak lagi. Sejenak ia terhuyung-huyung. Senapati yang setia, yang masih memegang panji-panji pusaka pada tunggul Kiai Gajah, mencoba untuk melangkah maju. Tetapi ternyata bahwa tubuhnya sendiri telah terlampau lemah, karena darah yang terlampau banyak mengalir dari luka-lukanya yang arang kranjang.
"O," desis Sri Baginda yang masih bertelekan pada tangkai tongkatnya sambil terhuyung-huyung, "kau masih di situ?"
"Ampun Tuanku, hamba tidak dapat berbuat apa-apa lagi."
"Terima kasih atas kesetiaanmu," desis Sri Baginda, "sebentar lagi aku akan mati, kembali ke alam asal mulaku."
"Hamba juga akan serta tuanku."
Sri Baginda tersenyum. Kemudian ia berpaling kepada Sri Rajasa, "Sri Rajasa. Di saat-saat terakhir aku mempunyai permintaan kepadamu, apakah kau mengijinkan?"
Sejenak Sri Rajasa terdiam. Namun kemudian ia menganggukkan kepalanya, "Sebutkan permintaan itu Sri Baginda Kertajaya."
"Apakah kau mau melepaskan orang ini?"
Sri Rajasa tidak segera menjawab.
"Biarlah ia menghadap adik-adikku di istana. Adik-adik perempuan. Biarlah ia memberikan kabar kepada mereka, bahwa aku telah mati di peperangan. Mati sebagai seorang prajurit."
Dada Sri Rajasa tersentuh juga mendengar permintaan itu. Sebagai seseorang yang berjiwa besar maka Sri Rajasa-pun menganggukkan kepalanya sambil menjawab, "Aku tidak berkeberatan. Tetapi apakah Senapatimu itu masih mampu mencapai istana?"
Sri Baginda Kertajaya ragu-ragu sejenak. Namun Senapati itu berkata, "Hamba akan mati bersama tuanku."
"Terima kasih. Tetapi aku akan lebih berterima-kasih lagi kalau kau dapat mengatakan kepada adik-adikku, kepada Dewi Amisani, Dewi Hasin dan Dewi Paya."
Senapati itu menundukkan kepalanya. Namun kemudian ia berkata, "Kalau itu perintah Tuanku, hamba akan melakukannya. Sudah tentu apabila tuanku kehendaki, apapun yang akan terjadi, aku pasti akan sampai ke istana."
Sri Baginda mengerutkan keningnya. Katanya terputus-putus, "terima kasih. Pergilah."
Namun sebelum orang itu beranjak dari tempatnya, Sri Rajasa berkata, "Kau akan melalui medan yang pasti masih gawat dan berbahaya. Karena itu, biarlah ia dikawal oleh dua orang Senapati Singasari."
Sri Baginda Kertajaya menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Pantaslah bahwa kau akan dapat menjadi seorang Maharaja yang besar dan bijaksana. Aku sangat berterima kasih atas kesempatan ini."
Senapati Kediri itu-pun kemudian menyerahkan tunggul Kiai Gajah kepada Sri Kertajaya yang sudah tidak dapat berdiri tegak lagi. Ternyata bahwa Sri Rajasa telah mengijinkan Senapati itu diantar dengan naik kuda penghubung, menuju ke istana Kediri.
Ketika kuda-kuda itu berlari meninggalkan Sri Baginta Kertajaya. maka Sri Baginda itu sudah tidak kuat lagi berdiri. Hampir saja ia terjatuh, kalau Mahisa Agni tidak cepat menyambarnya.
"Terima kasih," desis Sri Baginda Kertajaya, "aku sudah tidak kuat lagi."
Perlahan-lahan Mahisa Agni-pun melayaninya dan dibaringkannya Sri Baginda itu di tanah, sedang kepalanya diletakkannya di atas lengannya.
"Ternyata orang-orang Singasari adalah orang-orang yang baik," desisnya, "tetapi, kaukah yang bernama Mahisa Agni?"
Mahisa Agni menganggukkan kepalanya.
"Pantas, kau mampu membunuh Gubar Baleman," suaranya menjadi semakin lambat, "tetapi kalian adalah kekasih dewa-dewa. Peliharalah kerajaan Singasari yang sudah kalian rintis itu dengan baik, supaya kalian tidak terjerumus ke dalam kesalahan yang serupa seperti yang dialami oleh Kediri."
Sri Rajasa-pun kemudian berjongkok pula di sampingnya. Sambil mengangguk ia berkata, "Ya. Aku akan menjaga Singasari dengan sebaik-baiknya."
Sri Baginda tersenyum sejenak. Namun kemudian matanya-pun terkatub rapat-rapat. Tarikan nafasnya yang terakhir telah membuat kepala Mahisa Agni dan Sri Rajasa tertunduk dalam-dalam.


Bara Diatas Singgasana Pelangi Di Singosari Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Seorang Raja yang besar telah gugur," desis Mahisa Agni.
Sri Rajasa mengangguk-anggukkan kepalanya. Seperti pada saat gugurnya Mahisa Walungan, maka Sri Rajasa-pun memerintahkan agar jenazah Sri Baginda Kertajaya diselenggarakan sebaik-baiknya seperti lazimnya bagi para pahlawan yang mempertahankan keyakinannya.
Demikianlah maka Sri Baginda Kertajaya yang semula merasa dirinya sebagai pengejawantahan Dewa-dewa tertinggi di langit. pada saat-saat terakhirnya telah berhasil melihat ke dalam dirinya sendiri, bahwa bagaimana-pun juga kurnia yang diterimanya. namun ia tidak akan dapat menyamai Yang Maha Agung, yang melimpahkan kurnia itu kepada manusia.
Dalam pada itu. Senapati Kediri yang telah terluka itu-pun berpacu dilayani oleh seorang Senapati Singasari, dan dikawani oleh Senapati Singasari seorang lagi.
Ketika di hadapan mereka tampak debu yang mengepul tinggi. Senapati itu menarik nafas dalam-dalam. Di medan itulah-prajurit di ke dua belah pihak sendang bertempur mati-matian.
Dalam pada itu ketika tiba-tiba hujan tercurahkan dari langit Senapati Kediri yang sudah lemah itu-pun berpaling. Perlahan-lahan ia berdesis, "Sri Baginda Kertajaya pasti telah gugur."
"Darimana kau tahu?"
"Hujan yang tercurahkan dari langit bukan pada musimnya, guruh yang meledak-ledak dan awan yang hitam ke labu."
Senapati Singasari itu-pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun ia tidak menjawab.
Ketika kuda-kuda itu mendekati medan, tiba-tiba beberapa orang prajurit Singasari datang menyergap. Namun mereka tertegun ketika mereka melihat bahwa di antara mereka yang berkuda itu adalah Senapati Singasari sendiri. Bahkan ada di antara para prajurit itu yang sudah mengenalnya.
"Aku mengemban perintah Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi," teriak salah seorang Senapati itu. sehingga, para prajurit itu-pun kemudian menarik diri.
Demikianlah setiap kali mereka harus menyatakan perintah itu, sehingga pada akhirnya mereka melampaui medan, yang dikuasai oleh pasukan Singasari.
Namun di seberang medan itu, prajurit Kediri yang terluka itulah yang setiap kali menghalau prajurit-prajurit Kediri yang mencoba menghalanginya, "Dengarlah," katanya, "ini adalah perintah terakhir dari Sri Baginda Kertajaya."
"Kenapa terakhir?"
Senapati itu merenung sejenak, namun kemudian ia memutuskan bahwa tidak ada gunanya lagi merahasiakan gugurnya Sri Baginda Kertajaya. Karena menilik medan yang semakin bergeser itu. keadaan prajurit Kediri sudah menjadi, semakin payah.
"Sri Baginda telah gugur."
"He?" Senapati itu tidak menyahut lagi. Tetapi dilanjutkannya perjalanannya menuju ke istana.
Kedatangan Senapati yang luka parah, diantar oleh orang-orang Singasari itu menimbulkan persoalan pada para pengawal. Tetapi akhirnya mereka tidak dapat menolak, ketika dengan dada tengadah para Senapati Singasari itu melepaskan senjata mereka sambil berkata, "Kalau kalian meragukan niat baik kami."
Dengan demikian, maka prajurit Kediri yang luka itu-pun dipapah oleh para prajurit Singasari sampai mereka masuk ke keputren.
Beberapa orang hamba istana menyaksikan hal itu dengan herannya. Selagi di medan yang dahsyat ke dua belah pihak bertempur dengan dahsyatnya, bahkan saling membunuh, namun di sini kedua prajurit Singasari itu memapah orang-orang Kediri seperti melayani kawan mereka sendiri.
"Itulah buktinya, bahwa perang bukanlah tujuan para prajurit. Pada suatu saat, mereka akan mengenakan pribadi mereka masing-masing. Manusia dan kemanusiaan," berkata salah seorang hamba istana yang berambut putih.
Kawan-kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Di sini mereka melihat dua dunia yang terpisah dari golongan yang sama. Prajurit yang berperang, dan prajurit yang berpelukan dan saling menyatakan sikap kemanusiaan mereka.
Adik-adik Sri Baginda terkejut melihat kedatangan prajurit itu. Sejenak mereka menjadi ketakutan. Tetapi akhirnya mereka mengenal bahwa yang seorang itu adalah seorang Senapati Kediri, pengawal Sri Baginda Kertajaya yang setia.
Sebelum prajurit itu mengatakan sesuatu. Dewi Amisani telah berlari-lari kepadanya sambil bertanya, "Apa yang telah terjadi?"
"Ampun tuan Puteri, hamba mengemban perintah Sri Baginda."
"O. jadi Kakanda Baginda masih selamat?"
Senapati itu tidak menjawab.
"Tetapi siapakah orang-orang ini?"
"Mereka adalah para Senapati dari Singasari."
"He," Dewi Amisani terkejut, "kenapa mereka kau bawa kemari?"
"Merekalah yang membawa hamba kemari Tuan Puteri, karena hamba sudah tidak berdaya lagi."
Dewi Amisani dan adik-adiknya yang telah mendekat menjadi heran mendengar jawaban itu.
"Hamba sudah terluka parah. Dan hamba harus menyampaikan pesan kakanda Sri Baginda Kertajaya."
"Tetapi, tetapi bukankah Kakanda Baginda selamat," bertanya Dewi Paya, adik bungsu Sri Baginda.
"Di manakah sekarang Kakanda Baginda?" bertanya pula Dewi Hasin.
Senapati yang terluka itu menjadi termangu-mangu. Sejenak dipandanginya wajah Senapati-senapati dari Singasari itu. Tetapi, mereka menundukkan kepala mereka. Di peperangan mereka, selalu behadapan dengan mata sambil menengadahkan dadanya. Tetapi di sini mereka tidak berhadapan dengan maut itu, tetapi dengan kemanusiaan.
Baik para Senapati itu, maupun ketiga puteri Adinda Sri Baginda Kediri, sejenak dicengkam oleh kebekuan. Masing-masing saling berpandangan, tetapi seakan-akan mereka tidak dapat mengatakan sesuatu.
Baru sejenak kemudian justru salah seorang Senapati dari Singasarilah yang berkata sambil menundukkan kepalanya, "Ampun Tuan Puteri, sebenarnya bahwa Senapati ini membawa pesan terakhir Sri Baginda Kertajaya."
"Kenapa terakhir?" hampir bersamaan ketiga puteri itu bertanya serentak. Wajah-wajah mereka menjadi pucat dan tegang.
"Berkatalah," desis Senapati Singasari itu sambil mengguncang tubuh Senapati Kediri yang masih tergantung pada dua orang Singasari. Tetapi Senapati itu masih berdiam diri sambil menundukkan kepalanya dalam.
"Berbicaralah," desis Senapati Singasari yang lain. Tetapi keduanya menjadi termangu-mangu sejenak. Tubuh itu serasa menjadi semakin berat tergantung di pundak mereka.
Ketika salah seorang dari mereka mencoba memandangi wajahnya yang pucat, maka Senapati Singasari itu terkejut. Prajurit Kediri sudah terlampau lemah.
"Berbicaralah," desis Senapati Singasari itu. Dengan lemahnya ia menggelengkan kepalanya. Terdengar suaranya lirih sekali, "Aku tidak sampai hati mengatakannya."
"Tetapi harus. Kau harus mengatakan."
"Ya. katakanlah," sahut Dewi Amisani, "katakanlah apa yang sudah terjadi dengan Kakanda Baginda."
"Tuan Puteri," suara itu sudah hampir tidak terdengar, "hamba, hamba ?""
"Ya, katakan," desis Amisani yang mendekatinya sambil mendekatkan telinganya kemulut Senapati itu.
"Ampun Tuan Puteri. Sri Baginda telah gugur di peperangan."
"Gugur?" dewi Amisani hampir menjerit.
Prajurit itu mengangguk dengan lemahnya. lalu lemah pulalah seluruh tubuhnya.
"Prajurit ini-pun sudah meninggal," desis salah seorang Senapati Singasari.
"O," Dewi Amisani menutup mulutnya yang hampir berteriak. Tetapi tiba-tiba saja kedua adiknyalah yang berteriak serempak, sehingga para emban menjadi terkejut karenanya, dan berlari-lari mendekatinya.
Kalau para emban tidak menangkapnya, maka kedua puteri itu pasti sudah jatuh di lantai. karena tubuh mereka menjadi lemah seperti tidak bertulang lagi.
"O," Dewi Amisani kemudian menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya, "Kakanda Baginda telah gugur."
"Kalian pembunuh," tiba-Dewi Paya, adik Sri Baginda Kertajaya yang bungsu berteriak nyaring, "kalian, orang-orang Singasari telah membunuh Kakanda Baginda dan utusannya."
Dada kedua Senapati itu berdesir tajam, tetapi mereka tidak menjawab sama sekali.
Tiba-tiba saja puteri yang sudah hampir kehilangan kekuatannya itu meloncat berlari, menyambar tombak yang terpancang di sudut ruangan.
"Kubunuh kau. Kubunuh kau yang telah membunuh Kakanda Baginda."
Kedua Senapati terimangu-mangu sejenak. Untunglah para emban berhasil mencegahnya, dan Dewi Amisani mencoba menenteramkannya, "Paya. Sadarilah dirimu. Kakanda Baginda gugur di peperangan sebagai seorang pahlawan."
"Tetapi orang-orang Singasari adalah pembunuh."
Dewi Amisani mengusap dadanya. Ia sendiri menjadi sangat bersedih karena kematian Sri Baginda Kertajaya. Tetapi agaknya ia sudah lebih matang, menanggapi keadaan daripada kedua adik-adiknya. Karena itu. maka didapatkannya adiknya yang bungsu itu. Sambil membelai rambutnya yang ikal ia berkata, "Jangan menjadi bingung adikku. Adalah menjadi salah satu pilihan dari para prajurit. Menang atau gugur di peperangan. Kali ini kanda telah gugur sebagai seorang pahlawan. Jangan menyalahkan lawan."
"Kakanda Puteri," Dewi Paya meloncat memeluk Dewi Amisani seperti anak-anak, sambil meledakkan tangisnya yang tidak tertahan lagi.
Dewi Amisani masih membelai rambut adiknya yang kini ada di dalam pelukannya. Ketika ia berpaling, dilihatnya Dewi Hasin-pun duduk sambil menutupi wajahnya yang basah oleh air mata.
"Adik-adikku," berkata Dewi Amisani, "marilah, ikutlah aku masuk keruang dalam."
"Tetapi, bagaimana dengan kakanda Sri Baginda?" bertanya Dewi Hasin.
"Kakanda Baginda telah kembali kealam dewa-dewa."
"Lalu. bagaimanakah dengan kita kakanda Puteri?"
"Marilah, ikutlah aku. Aku akan berbicara dengan kalian."
Ketiga Puteri itu-pun pergi meninggalkan ruangan itu tanpa berkata apapun kepada kedua prajurit Singasari yang masih berdiri termangu-mangu.
Setelah kedua puteri itu hilang, maka diletakkannya prajurit Kediri yang telah gugur itu, dan dibaringkannya di lantai istana.
"Apakah yang akan dikerjakan oleh ketiga puteri itu?" desis salah seorang Senapati Singasari itu.
Senapati yang lain mengerutkan keningnya, "Mereka akan memuja untuk arwah Sri Baginda. Tetapi mungkin juga untuk keperluan yang lain."
Senapati yang pertama mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi terasa dadanya menjadi berdebar-debar. Katanya, "Kita menunggu sejenak. Mungkin mereka memerlukan bantuan kita."
"Ya," sahut yang lain, "agaknya mereka menjadi sangat bersedih atas kematian Sri Baginda Kertajaya."
"Sudah tentu. Mereka adalah adik-adik Sri Baginda."
Senapati yang lain mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi terasa sesuatu menyentuh jantungnya. Ia tidak merasakan getaran seperti saat itu, di dalam keadaan yang paling gawat sekali-pun.
Sejenak kedua Senapati dari Singasari itu berdiri termangu-mangu. Namun adik-adik Sri Baginda Kertajaya itu tidak menampakkan diri lagi. Meskipun demikian, kedua Senapati itu tidak segera pergi meninggalkan ruangan itu.
Dalam pada itu, ketiga puteri itu-pun segera memasuki ruang dalam istana. Setelah berbicara sejenak, maka mereka-pun segera pergi kepakiwan.
"Waktu kita tinggal sedikit," berkata Dewi Amisani, "kita harus segera selesai. Aku tidak sudi menerima siapapun masuk ke dalam istana ini, apalagi berhubungan dengan mereka dalam bentuk apapun."
"Aku sependapat dengan keputusan itu," hampir bersamaan kedua adik-adiknya menyahut.
"Marilah adik-adikku," ajak Dewi Amisani.
"Marilah kakanda Puteri."
Mereka-pun kemudian mengurai rambut-rambut mereka yang hitam dan panjang. Kemudian menyiramnya dengan air yang diberinya wewangian dan bunga-bunga.
"Tuan Puteri," bertanya seorang emban yang melayani ketiga puteri itu, "apakah yang akan Tuanku lakukan?"
"Aku adalah Adinda Sri Baginda Kertajaya dan adinda kakanda Mahisa Walungan."
"Ya. demikianlah yang hamba ketahui."
"Keduanya telah gugur di medan peperangan."
"Lalu?" "Tidak ada yang pantas mengganti kedudukan mereka, sebagai Senapati Agung, selain kami bertiga."
"Tuan Puteri. Tuanku adalah Puteri. Puteri yang tidak pernah mengenal tajamnya senjata."
"Sudahlah emban. Sediakan apa yang aku perlukan."
"Tuanku." Dewi Amisani tersenyum, meskipun senyumnya adalah senyum yang penuh dengan rahasia.
Emban yang melayaninya tidak bertanya lagi meskipun masih juga selalu dibayangi oleh keheranan. Beberapa orang emban yang lain-pun menjadi bertanya-tanya di dalam hati, apakah sebenarnya yang akan dilakukan oleh ketiga puteri itu.
Sejenak kemudian, setelah ketiganya selesai dengan membasahi rambut mereka dengan wewangian dan bunga-bungaan. maka mereka-pun kemudian masuk ke dalam bilik mereka.
"Tunggulah di luar emban," berkata Dewi Amisani.
Embannya menjadi semakin berdebar-debar. Tetapi ia tidak berani memaksa untuk ikut serta masuk ke dalam bilik itu.
Di dalam bilik, ketiga puteri itu-pun kemudian mengemasi diri mereka. Mereka mengenakan pakaian mereka. Bukan pakaian yang gemerlapan dihiasi dan disulami dengan benang-benang emas. tetapi mereka telah mengenakan pakaian mereka yang serba putih.
Sejenak kemudian mereka-pun telah selesai berpakaian. Dengan tanpa ragu-ragu mereka-pun kemudian mengambil beberapa helai pusaka istana, dan mengenakan di lambung mereka. Masing-masing sebilah patrem.
Ketika mereka keluar dari dalam bilik, maka para emban-pun menjadi semakin cemas. Salah seorang dari mereka memberanikan diri untuk bertanya, "Tuan Puteri. apakah yang akan tuan Puteri lakukan?"
Dewi Amisanilah yang menjawab, "Sudah aku katakan bukan. Tidak ada orang lain yang wajib mengangkat diri menjadi Senapati Agung, selain kami bertiga."
"Tetapi, tetapi ?""
Sekali lagi emban itu melihat senyum yang tersungging di bibir Dewi Amisani.
"Kami akan ke Sanggar Pamujan sejenak. Setelah itu, barulah kami akan melakukan kewajiban kami."
Ketika ketiga Puteri itu berjalan ke Sanggar Pamujan, maka para emban itu-pun mengikutinya. Semakin lama semakin banyak. Bahkan hamba-hamba istana yang lain-pun mengikutinya pula di belakang.
Sejenak kemudian maka keliga Puteri itu-pun telah memasuki Sanggar Pamujan. Dengan khusuk mereka mengheningkan cipta, mendekatkan diri kepada Yang Maha Agung.
Setelah mereka selesai dengan pemujaan itu, maka mereka-pun segera keluar pula dari dalam sanggar.
Di depan pintu sanggar ketiga puteri itu menjadi termangu-mangu sejenak. Dipandanginya emban-emban yang selama ini telah melayani mereka dengan baik. Mengawani mereka di dalam suka dan duka.
"Tuan Puteri," seorang emban tiba-tiba saja telah memeluk kaki Dewi Amisani, "ke manakah Tuan Puteri akan pergi" Jangan tinggalkan kami. Peperangan bukanlah tempat Tuan Puteri bermain. Karena itu sebaiknya Tuan Puteri tinggal di istana ini saja bersama kami."
"Emban," jawab Dewi Amisani, "kedua kakak-kakak kami telah gugur di peperangan. Kakanda Kertajaya dan kakanda Mahisa Walungan. Sebentar lagi pasukan Singasari pasti akan memasuki telatah Kotaraja dan sudah tentu akan memasuki istana ini. Maka apakah pantas bagi kami bertiga, sepeninggal kakak-kakak kami, kemudian kami menerima orang-orang Singasari itu?"
"Jadi maksud Tuanku?"
"Apakah aku harus mengulangi keputusanku?"
"Tuanku," emban itu-pun kemudian menangis sejadi-jadinya. Bahkan beberapa emban yang lain-pun telah menitikkan air mata pula. Apalagi ketika mereka memandang wajah puteri bungsu. Dewi Paya. Puteri yang masih terlampau muda. Sedang pada wajahnya seakan-akan terbayang kebeningan hati seorang gadis remaja yang sedang meningkat dewasa.
Seorang emban yang gemuk tidak dapat menahan hati lagi. Tiba-tiba saja berlari dan memeluk kedua Puteri terkecil. Dewi Paya dan Dewi Hasin. Dengan air mata yang berlinang-linang ia berkata, "Ampun Dewi. Hamba tidak sampai hati melihat Tuan Puteri berdua yang sedang bersedih."
Kedua puteri itu-pun saling berpandangan. Pandangan dua orang gadis yang bersih seolah-olah tanpa cacat, sehingga justru sikapnya itu telah membuat emban yang gemuk itu semakin iba.
Tetapi Dewi Amisani kemudian berkata, "Marilah kita bersikap sebagai keluarga terdekat dari Maharaja Kediri, Jangan cengeng seperti anak-anak. Saat ini bukanlah waktunya," Dewi Amisani berhenti sejenak, lalu, "sebentar lagi pasukan Singasari pasti sudah akan memasuki ruangan ini dan setiap ruangan di dalam istana. Kami bertiga akan menunggu mereka di paseban. dan akulah yang akan duduk di singgasana."
"Dewi," para emban itu berdesah.
Tetapi Dewi Amisani sudah berkeras hati untuk pergi keruang paseban dalam. Ruang yang selalu dipakai oleh Sri Baginda antuk berbincang dengan lingkungan yang agak terbatas.
Ketika ketiga puteri itu memasuki paseban. maka beberapa orang emban akan mengikutinya. Namun Dewi Amisani berkata, "Biarlah kami bertiga saja yang akan menemui mereka apabila pemimpin mereka memasuki ruang ini."
Tidak seorang emban dan hamba istana-pun yang berani memaksa. Mereka dengan gelisah menunggu di luar pintu bersama dua orang prajurit Kediri yang sedang bertugas. Sedang di ruangan lain dua orang Senapati Singasari berdiri termangu-mangu. Mereka tidak tahu apakah yang sebaiknya mereka lakukan atas ketiga puteri adik Sri Baginda Kertajaya itu. Yang dapat mereka perbuat hanyalah menunggu. Sebah mereka-pun yakin. bahwa pasukan Singasari pasti akan memasuki istana ini meskipun seandainya hari akan disaput oleh gelapnya malam.
Seisi istana itu menjadi berdebar-debar oleh guntur yang sahut menyahut di udara. Hujan yang lebat-pun kemudian seolah-olah tercurah dari langit, sehingga suasana di seputar istana itu menjadi suram, sesuram hati ketiga puteri yang kini sudah memasuki paseban dalam.
Dalam curahan hujan yang deras, dan senja yang mendatang, maka pasukan Singasari telah merayap maju memasuki seluruh bagian kota. Para prajurit Kediri tidak dapat lagi bertahan setelah orang-orang kebanggaan mereka gugur di peperangan. Karena itu, maka suatu saat perlawanan para prajurit Kediri benar-benar telah patah.
Demikianlah, maka di saat-saat gelap malam mulai menyentuh bumi Kediri yang pernah menguasai daerah yang luas, pasukan Singasari telah memenuhi seluruh Kota Raja. Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi sendirilah yang memimpin induk pasukannya bersama dengan Mahisa Agni memasuki gerbang istana Kediri. Beberapa orang petugas di pintu-pintu gerbang tidak dapat berbuat apa-apa selain menyerahkan senjata-senjata mereka.
Kedua Senapati Singasari yang telah berada di halaman istana itu-pun segera menyongsong pasukan Singasari yang basah kuyup namun memanggul kemenangan itu.
Sri Rajasa yang melihat kedua Senapati itu-pun segera bertanya, "He, apakah pesan Sri Baginda Kertajaya sudah disampaikan kepada adik-adiknya?"
"Hamba Tuanku," jawab salah seorang dari kedua Senapati itu.
"Di mana Senapati Kediri itu sekarang?"
"Sayang, ia-pun telah menghembuskan nafasnya yang penghabisan."
Sri Rajasa mengerutkan keningnya. Namun kemudian kepalanya-pun terangguk-angguk.
"Di mana keluarga Sri Kertajaya yang terdekat itu sekarang" Aku ingin menemui mereka. Aku harus menjelaskan, bahwa tidak ada permusuhan di antara kita. Bahwa Singasari terpaksa menyerang Kediri adalah karena cita-cita penyatuan dari daerah yang menjadi terpecah belah karena kekeliruan sikap dan tindakan Sri Kertajaya."
"Mereka ada di dalam istana. Tuanku."
Sri Rajasa mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Bersama pimpinan tertinggi Singasari mereka-pun kemudian memasuki pusat bangunan istana setelah mereka melampaui beberapa longkangan dan gerbang-gerbang di setiap bagian.
"Apakah mereka berada di Keputren?" bertanya Sri Rajasa.
"Mungkin Tuanku. Tetapi mungkin pula tidak. Mereka meninggalkan kami dan tidak muncul kembali."
Sri Rajasa mengerutkan keningnya. Tetapi sejenak kemudian ia menunjuk kesuatu sudut yang agak terang, "Kau lihat beberapa orang emban yang berkumpul itu?"
"Hamba Tuanku."
"Panggillah mereka."
Senapati itu-pun kemudian memanggil beberapa emban yang berdesak-desakan karena ketakutan. Prajurit-prajurit lawan yang memasuki istana dengan membawa kemenangan kadang-kadang bertingkah laku kasar dan mengerikan. Tetapi justru yang memimpin para prajurit itu Sri Rajasa sendiri, maka para prajurit-pun tidak berani berbuat sekehendak hati mereka.
Bersambung jilid ke 57 koleksi : Ki Arema scanning : Ki Arema Retype : Ki Raharga Proofing : Ki Raharga Cek ulang : Ki Arema ---ooo0dw0ooo--- Jilid 57-78 Kiriman Raharga
Jilid 57 BEBERAPA emban-pun kemudian maju menghadap Sri Rajasa yang berdiri di serambi bangsal yang ternyata adalah bangsal paseban dalam.
"Kaukah emban di istana ini?" bertanya Sri Rajasa.
Dengan mengenali pakaian dan tanda-tanda kerajaan, maka para emban itu-pun segera mengenal, bahwa yang dihadapinya adalah pemimpin tertinggi Singasari. Karena itu mereka-pun segera menyembah, "Hamba Tuanku. Hamba adalah emban di istana Kediri."
"Aku mendengar bahwa Sri Baginda Kertajaya mempunyai beberapa orang adik perempuan selain Mahisa Walungan yang telah gugur itu."
"Hamba Tuanku. Sri Baginda mempunyai tiga orang adik perempuan."
"Aku akan menemui mereka. Katakan, bahwa aku dan seluruh prajurit Singasari tidak akan berbuat apa-apa di dalam istana ini."
Para emban itu menjadi ragu-ragu sejenak. Mereka saling berpandangan dan tidak segera berbuat sesuatu, sehingga Sri Rajasa mengulanginya, "Kami tidak akan berbuat apa-apa. Yakini kata-kataku ini."
Salah seorang dari para emban itu kemudian memberanikan diri menyahut, "Hamba dan kawan-kawan hamba tidak diperkenankan masuk ke paseban dalam."
"Apakah ketiga puteri itu ada di paseban dalam?"
"Hamba Tuanku."
"Dimanakah bangsal paseban dalam itu?"
"Itulah Tuanku," tunjuk salah seorang emban.
Sri Rajasa mengerutkan keningnya. Bangsal itu masih terlampau gelap. Hanya di sudut, justru diluar paseban saja yang sudah dipasang sebuah lampu minyak.
"Apakah tidak dinyalakan lampu di bangsal itu?" bertanya Sri Rajasa.
Para emban itu menarik nafas dalam-dalam. Salah seorang dari mereka berkata, "Ketika ketiga puteri itu masuk, paseban masih belum terlampau gelap."
"Dan tidak ada yang memasang lampu itu kemudian?"
"Tuan Puteri berpesan, bahwa tidak boleh seorang-pun memasuki paseban. Dewi Amisani, yang terbesar dari ketiganya berkata, "Biarlah kami bertiga saja yang akan menemui mereka apabila pemimpin mereka memasuki ruang ini." Dengan demikian Tuanku, tidak ada seorang-pun yang berani memasuki paseban itu."
"Siapakah yang dimaksud dengan mereka?"
"Para pemimpin Singasari."
Sri Rajasa mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian, "Baiklah. Aku akan menemui mereka di bangsal paseban dalam itu."
Maka Sri Rajasa-pun kemudian mengajak Mahisa Agni dan beberapa orang pemimpin Singasari masuk ke paseban. Namun demikian, Sri Rajasa tetap berhati-hati menghadapi setiap keadaan didalam lingkungan istana Kediri.
Karena itu maka dengan hati-hati ia mendekati pintu bangssal paseban yang masih gelap itu. Ketika tangannya telah menyentuh pintu, Mahisa Agni menjadi berdebar-debar sehingga tanpa sesadarnya ia berdesis, "Tuanku."
Sri Rajasa tertegun sejenak. Di muka pintu paseban itu sama sekali sudah tidak terdapat seorang prajuritpun.
"Biarlah hamba mendahului Tuanku," gumam seorang Senapati.
Dengan hati-hati Senapati itu membuka pintu sementara Senapati yang lain telah mengambil lampu minyak yang ada diluar paseban.
Seleret sinar memancar memasuki ruangan paseban yang gelap itu. Namun Senapati yang sedang membuka pintu itu belum melihat seorangpun. Sehingga selangkah ia masuk lebih dalam lagi, diikuti oleh Senapati yang membawa lampu itu.
Ternyata Sri Rajasa tidak sabar lagi. Setelah ia yakin bahwa tidak ada sesuatu yang terdengar disebelah menyebelah pintu, ia-pun segera melangkah masuk. Didorongnya Senapati yang membawa lampu itu lebih kedalam lagi.
Ketika seluruh ruangan di bangsal paseban itu tersentuh oleh cahaya lampu yang remang, maka tertegunlah setiap orang yang berada di muka pintu itu. Sri Rajasa berdiri membeku seperti patung memandang Singgasana diujung ruangan, sedang Mahisa Agni hampir tidak percaya melihat apa yang sudah terjadi.
Diatas singgasana duduk salah seorang dari ketiga puteri adik Sri Baginda Kertajaya. Menilik bentuk lahiriahnya maka ia adalah puteri tertua dari ketiganya.
"Masuklah," terdengar suaranya lirih, "akulah sekarang Maharaja Kediri."
Sri Rajasa masih membeku di tempatnya. Ditatapnya puteri yang dengan tenang duduk diatas Singgasana itu.
"Mendekatlah kalau kalian ingin menghadap Sri Maharaja," terdengar suara puteri itu pula.
Seperti dipukau oleh sebuah pesona yang tidak terlawan Sri Rajasa dan para pemimipin Singasari itu-pun melangkah mendekat. Namun dada mereka-pun menjadi semakin berdebar-debar. Mereka melihat kedua puteri yang lain duduk memeluk kaki puteri yang menyebut dirinya Maharaja Kediri.
Tetapi langkah mereka terhenti ketika oleh cahaya lampu yang remang-remang mereka melihat noda-noda yang melumuri pakaian ketiga puteri itu. Ternyata pada pakaian mereka yang putih seputih kapas itu melekat noda-noda yang berwarna merah.
"Tuan Puteri," tanpa sesadarnya Sri Rajasa berkata, "apakah yang telah terjadi?"
"Aku adalah Maharaja Kediri. Namaku Dewi Amisani."
"Ya, Dewi Amisani. Aku adalah Sri Rajasa Batara Sana Amurwabumi."
"Bukankah kau Akuwu Tumapel?"
Dada Sri Rajasa berdesir tajam. Namun ia tidak mempedulikannya lagi. Setapak ia maju mendekat. Dan ia kini melihat dengan jelas, bahwa kedua puteri yang duduk di lantai memeluk kaki Dewi Amisani itu ternyata telah meninggal.
"Dewi Amisani, apa yang telah terjadi?"
Dewi Amisani tersenyum. Katanya, "Tidak ada apa-apa yang terjadi. Kami memang, menunggu kedatangan kalian. Pemberontakan kalian telah berhasil. Kakanda Sri Baginda Kertajaya telah gugur dan kakanda Mahisa Walungan-pun telah gugur pula. Kini kalian telah berhasil memasuki istana. Supaya kemenanganmu sempurna maka seluruh keluarga kakanda Kertajaya harus musna."
"Tuan Puteri, apakah artinya?"
Dewi Amisani tidak segera menjawab. Tetapi ketika Sri Rajasa maju selangkah lagi. Dewi Amisani berkata, "Sudah cukup. Jangan terlampau dekat dengan Singgasana. Hanya keturunan darah Maharaja Kediri sajalah yang boleh menyentuh Singgasana ini."
"Tetapi, apakah maksud Tuan Puteri?"
Dewi Amisani tidak segera menjawab. Dipandanginya Sri Rajasa dan para pemimpin Singasari yang lain dengan tajamnya. Sejenak kemudian ia berkata, "Meski-pun kalian dapat menguasai istana beserta seluruh isinya, namun kalian tidak akan dapat menguasai jiwa kami. Jiwa seluruh rakyat Kediri. Itulah sebabnya maka kakanda Sri Kertajaya dan kakanda Mahisa Walungan memilih gugur dipeperangan."
Sri Rajasa masih berdiri terpaku ditempatnya.
"Kini kau melihat kedua adik-adikku ini-pun telah memilih kebebasannya tidak kau tundukkan."
"Apakah yang telah terjadi dengan kedua puteri itu?" bertanya Sri Rajasa.
"Seperti Kediri. Kau dapat menguasai wadagnya, tetapi tidak jiwanya."
"Tuan Puteri," berkata Sri Rajasa, "bukan maksud kami untuk menguasai apa-pun dan siapapun. Kami tidak ingin menguasai Kediri jasmaniah dan apalagi rohaniah. Kami hanya ingin melihat satu negara yang besar yang bersama-sama kita bina. Selama ini kakanda Tuan Puteri telah berbuat beberapa kesalahan kepada rakyat Kediri sendiri dan terutama kepada kaum Brahmana."
"Terserahlah kepada penilaianmu Sri Rajasa. Tetapi kami sudah bertekad, bahwa kami hanya akan menyerahkan wadag-wadag kami."
"Tuan Puteri, tunggu. Jangan berbuat sesuatu. Kami akan dapat memberikan penjelasan."
Dewi Amisani tersenyum. Sambil menggelengkan kepalanya ia berkata, "Hari menjadi semakin gelap. Juga bagi Kediri."
"Tidak. Kalau tuan Puteri bersedia, kami dapat berbuat sesuatu sesuai dengan keinginan Tuan Puteri."
"Jangan mencoba membujuk. Niat kami sudah bulat." Dewi Amisani berhenti sejenak. Lalu, "Semuanya sudah bersiap. Aku memang menunggu kalian sejenak untuk mengatakan tekad kami. Kalian tidak akan dapat menguasai jiwa kami."
"Tuan Puteri, Tuan Puteri."
"Jangan maju lagi. Langkahmu hanya mempercepat penyelesaian."
Sri Rajasa menjadi termangu-mangu. Ketika ia berpaling, di dalam cahaya lampu minyak yang samar-samar ia melihat Mahisa Agni menjadi tegang.
"Agni," berkata Sri Rajasa, "kau mempunyai kesempatan seandainya kau berhasil."
Mahisa Agni menjadi berdebar-debar. Ia sama sekali tidak ingat lagi kepada dirinya sendiri. Tetapi hatinya menjadi seolah-olah tersayat melihat ketiga puteri Kediri itu.
"Mintalah kepadanya, supaya puteri itu menyadari keadaannya," desis Sri Rajasa.
"Tidak ada gunanya," Dewi Amisanilah yang menjawab. "siapa-pun yang akan membujuk aku. tidak akan ada artinya."
Sri Rajasa benar-benar kehilangan akal. Ia menjadi bertambah gelisah ketika ia melihat Dewi Amisani kemudian berdiri. Sejenak disentuhnya rambut kedua adiknya yang telah mendahuluinya suduk-sarira, dan telah meninggal pula sambil memeluk kaki Dewi Amisani.
"Adik-adikku-pun telah mendahului aku."
"Tuan Puteri," Sri Rajasa berdesis. Lalu, "Agni, kenapa kau tidak berbuat sesuatu?"
Mahisa Agni maju selangkah. Namun ia tertegun pula ketika ia mendengar Dewi Amisani berkata, "Jangan mencoba berbuat apa-pun juga. Sekarang, dengarlah. Kau dapat berbuat apa-pun atas Kediri dan atas tubuh kami. Tetapi kau tidak akan dapat menumbangkan keteguhan jiwa kami. Kami adalah pewaris kerajaan ini. Sehingga hanya kamilah yang berhak menguasainya."
"Ya. Tuan Puteri benar. Tuan Puterilah kini pewaris tunggal," Mahisa Agni mencoba untuk melunakkan hati Dewi Amisani.
"Sayang, kau sudah mengotori istana ini. Akuwu Tumapel yang mengenakan gelar apa-pun juga, tidak berhak menguasai dan mewarisi Kerajaan Kediri."
Mahisa Agni dan Sri Rajasa hanya membeku ditempatnya.
Sejenak mereka melihat Dewi Amisani tersenyum. Dibenahinya pakaiannya yang serba putih. Kemudian tiba-tiba saja tangnnnya telah menarik patremnya dari wrangka.
"Tuan Puteri. Jangan. Jangan."
Dewi Amisani seolah-olah tidak mendengarnya. Katanya. "Kakanda Kertajaya. kakanda Mahisa Walungan dan adinda Dewi berdua telah terlampau lama menunggu aku. Karena itu tugasku telah selesai. Aku sudah menyatakan tekad kami."
"Tetapi, tetapi ... " Sri Rajasa tidak dapat menyelesaikan kata-katanya. Tanpa sesadarnya ia berteriak, "Dewi Amisani."
Tetapi patrem ditangan Dewi Amisani telah tertancap didadanya. Sejenak ia masih berdiri. Namun sejenak kemudian tubuhnya itu jatuh terduduk disinggasana Kediri.
Sri Rajasa meloncat hampir bersamaan waktunya dengan Mahisa Agni. Secepat dapat mereka lakukan, mereka mencoba untuk menahan tubuh puteri yang sudah tidak berdaya itu. Tetapi seperti yang dikatakan oleh Dewi Amisani, mereka hanya dapat menguasai tubuhnya saja, karena Dewi Amisani itu-pun sudah menghembuskan nafasnya yang penghabisan.
"O," terdengar sebuah keluhan yang berat dibibir Sri Raiasa. Beratus-ratus kali ia melihat kematian. Sejak ia berkeliaran dipadang Karautan. Namun kali ini dadanya benar-benar telah berguncang melihat tiga orang puteri yang telah membunuh dirinya diatas Singgasana.
Sejenak Sri Rajasa berdiri membeku. Ditatapnya wajah Dewi Amisani yang seakan-akan sekedar tertidur di Singgasana. Namun darah yang memancar didadanya benar-benar telah menggetarkan jantung.
Mahisa Agni-pun berdiri tanpa berkedip memandang ketiga puteri adik Sri Baginda Kertajaya itu. Perlahan-lahan wajahnya menunduk, dan dirasanya pelupuk matanya menjadi terlampau panas.
Para pemimpin Singasari dan para Senapati telah menundukkan kepala mereka. Demikianlah tekad yang menyala didalam dada ketiga puteri Kediri itu.
Sejenak ruangan itu dicengkam oleh kesenyapan. Setiap orang yang berada didalam bangsal paseban itu telah terpesona oleh peristiwa yang telah menggoncangkan dada mereka.
Sejentik kemudian maka Sri Rajasa yang telah menyadari keadaannya berkata, "Jangan terlampau lama dibiarkan. Jenazah ketiga puteri itu harus segera mendapat perawatan sebaik-baiknya."
Tetapi ketika dua orang Senapati melangkah maju, Sri Ragasa berkata, "Jangan kau. Panggillah para emban. Biarlah orang-orang yang terbiasa berada disekelilingnya setiap hari menyelenggarakan perawatan jenazah-jenazah itu."
Senapati itu-pun kemudian berjalan meninggalkan ruangan itu dan memanggil beberapa orang emban dan hamba istana yang lain.
Ketika para emban melihat ketiga jenazah itu, maka serentak mereka menjerit. Hampir berbareng mereka berlari-larian dan berebut dahulu memeluk ketiga puteri yang telah tidak bernafas lagi itu.
Tiba-tiba salah seorang emban telah menarik patrem dari dada Dewi Amisani. Tanpa mengucapkan sepatah katapun, maka patrem itu-pun telah terhunjam didadanya sendiri.
Betapa terkejut para pemimpin tertinggi Singasari. Karena itu, maka Sri Rajasa sendiri segera meloncat, merebut ketiga patrem itu. Hampir saja dua orang emban telah melakukan tindakan serupa.
"Jangan bodoh," Sri Rajasa berteriak, "kalau kalian mencintai ketiga puteri ini, kalian tidak akan berbuat begitu bodoh."
Para emban itu memandang Sri Rajasa dengan penuh kebencian.
"Kalian boleh membenci aku. Tetapi kalian tidak dapat membiarkan jenazah ini tidak terawat, karena kalian telah membunuh diri kalian masing-masing."
Tidak seorang-pun yang menyahut.
"Kami memang dapat mengurus jenazah ketiga puteri ini. Tetapi maksud kami, biarlah orang-orang yang dekat dengan ketiganya semasa hidupnyalah yang mengurus jenazahnya sebaik-baiknya."
Para emban itu masih tetap berdiam diri.
"Nah, terserahlah kepada kalian. Apakah kalian benar-benar mencintai ketiga puetri itu atau kalian lebih mencintai diri sendiri dan berebut membunuh diri."
Para emban dan hamba istana yang lain itu-pun menundukkan kepala masing-masing. Tetapi mereka masih tetap berdiam diri.
Namun dalam keheningan itu tiba-tiba seorang emban yang masih sangat muda berdiri sambil menunjuk wajah Sri Rajasa, "Kalian telah membunuh momonganku. Kenapa kalian tidak membunuh kami sama sekali. Kenapa kalian mencegah kami untuk membunuh diri?"
Ketika seorang Senapati melangkah maju, maka Sri Rajasa menahannya sambil berkata, "Biarkan mereka."
"Jangan kau cegah. Kalau ia ingin membunuhku, inilah dadaku."
Sri Rajasa menggelengkan kepalanya, "Tidak. Kami tidak ingin membunuh siapapun. Ketiga puteri ini-pun bukan kamilah yang telak membunuhnya."
"Aku tahu. Tuanku Puteri telah melakukan suduk sarira. Tetapi kalianlah yang menyebabkannya."
"Sudahlah," berkata Sri Rajasa, "apakah kalian masih akan membiarkan perasaan kalian berbicara tanpa menghiraukan ketiga puteri itu?"
Para emban itu seperti digerakkan oleh kekuatan yang tanpa mereka sadari telah menyusup didalam diri mereka. Serentak mereka bergeser mendekati ketiga Puteri yang telah tidak bernafas lagi itu.
"Bawalah mereka kebangsal keputren. Mereka akan mendapat perawatan sebagai tiga orang puteri adik seorang Raja yang besar. Seperti Sri Kertajaya dan Mahisa Walungan yang mendapat penghormatan terakhir sebagai seorang pahlawan besar."


Bara Diatas Singgasana Pelangi Di Singosari Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Para emban dan hamba istana itu-pun tidak menyahut lagi. Perlahan-lahan mereka mengangkat tubuh ketiga puteri itu bersama seorang emban yang telah membunuh dirinya pula. Tidak seorang-pun dari mereka yang tidak menitikkan air matanya. Bahkan ada beberapa orang diantara mereka yang tidak mampu lagi membantu kawan-kawannya karena isaknya yang menghentak-hentak dada.
"Selenggarakan sebaik-baiknya. Semua kebutuhan untuk pemakaman ketiga jenazah itu. kamilah yang akan mengadakannya. Jangan takut, hubungilah kami."
Para emban itu tidak menjawab. Tetapi beberapa orang diantara mereka menganggukkan kepala mereka.
Namun demikian para emban, terutama yang masih muda menjadi sangat cemas terhadap keadaan yang sedang dihadapi oleh Kediri. Hampir disetiap sudut istana tampak prajurit Singasari berjaga-jaga dengan senjata telanjang.
Seperti yang sering mereka dengar, prajurit yang berhasil memecahkan pertahanan lawan, kadang-kadang telah berbuat sesuatu yang tidak sewajarnya. Terutama terhadap perempuan-perempuan muda.
Karena itu. hampir setiap emban telah membawa patrem pula dibawah ikat pinggang mereka. Mereka menganggap bahwa kematian adalah penyelesaian yang paling baik, daripada mereka jatuh ketangan prajurit-prajurit yang masih berbau darah. Darah orang Kediri sendiri.
Tetapi ternyata bahwa prajurit Singasari tidak berbuat demikian. Betapa gilanya Ken Arok semasa mudanya, namun kini ia berusaha mengendalikan prajurit-prajuritnya. Ia menyadari, betapa pahitnya seseorang yang dibayangi oleh ketakutan, dan betapa pedihnya seorang gadis yang mengalami perkosaan.
Apalagi sikap Mahisa Agni yang merupakan salah seorang pemimpin Singasari yang dekat dengan Sri Rajasa, karena Mahisa Agni adalah kakanda Permaisuri Singasari. Seperti Sri Rajasa ia selalu mengawawsi para prajurit Singasari yang berada didalam istana, dan lewat para Senapati, pengawasan yang serupa diseluruh daerah yang diduduki oleh prajurit Singasari.
Demikianlah, dipagi harinya, pemakaman katiga puteri Kediri itu-pun telah diselengarakan dengan upacara kebesaran. Meski-pun yang mengawal ketiga jenazah itu bakun prajurit Kediri, tetapi prajurit Singasari, namun semuanya dapat berlangsung sebaik-baiknya.
Sejak saat itu, maka Kerajaan Kediri telah tenggelam. Tidak ada lagi kekuatan yang dapat mempertahankan kehadirannya. Betapa prajurit yang gagah berani, tetapi kelengahan Sri Kertajaya karena kepuasan yang berlebih-lebihan telah tidak dapat menolong lagi. Sehingga akhirnya Kediri sampai pada puncak keruntuhannya, sebagai banjir bandang dari Singasari telah melandanya.
Tetapi ternyata Sri Rajasa adalah benar-benar seorang yang bijaksana. Seolah-olah bukan kehendaknya sendiri, bahwa ia telah melakukan suatu tindakan yang sangat terpuji.
Meski-pun ia telah berhasil mengalahkan Kediri, tetapi Sri Rajasa tidak mempunyai maksud sama sekali untuk menduduki pusat kerajaan itu. Diserahkannya istana Kediri kepada keluarga Sri Kertajaya yang terdekat. Bukan saja untuk menguasai isi istana, tetapi juga memerintah tlatah Kediri atas namanya.
Mahisa Agni yang mengenal Ken Arok dimasa mudanya, tidak dapat mengerti bagaimanakah sebenarnya sifat dan watak orang itu. Dipadang Karautan ia adalah hantu yang paling menakutkan. Kemudian ia adalah seorang prajurit yang patuh dan memegang teguh kewajibannya. Disaat-saat Mahisa Agni kehilangan keseimbangan, justru Ken Arok dapat memberinya peringatan. Namun pada suatu saat, Ken Arok itu juga telah membunuh mPu Gandring, kemudian mengorbankan Kebo Ijo dan membunuh pula Akuwu Tunggul Ametung. Namun kini, setelah ia berhasil menghancurkan kekuasaan Sri Baginda Kertajaya, maka ia telah berbuat sebagai seorang Raja yang terlampau bijaksana, seolah-olah Sri Rajasa itu sama sekali bukannya dan bahkan tidak ada sangkut pautnya dengan Ken Arok dan apalagi dengan Hantu Karautan.
Dengan demikian maka kemudian pusat kerajaan telah berpindah dari Kediri ke Singasari. Sri Rajasa kini memegang seluruh kekuasaan dari seluruh daerah Kediri, sehingga namanya-pun kemudian menjadi semakin lama semakin besar.
Setelah peperangan selesai, dan setelah beberapa saat Sri Rajasa beserta para pemimpin Singasari berada di Kediri untuk mengatur perpindahan pusat kekuasaan dan menyerahkan pimpinan atas Kerajaan Kediri yang berada dibawah kekuasaan Singasari, maka datanglah saatnya Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi, dengan segala macam tanda kebesarannya sebagai seorang Maharaja, kembali keistananya di Singasari. Beberapa utusan telah mendahuluinya dan mempersiapkan penyambutan di istana Singasari.
Mendengar berita tentang kedatangan Sri Rajasa maka gemparlah seluruh rakyat Singasari. Terutama mereka yang tinggal di sepanjang jalan yang akan dilalui Sri Rajasa. Tanpa diperintah oleh siapa-pun juga, maka hampir disetiap padukuhan telah dibuat gapura-gapura didepan regol. Rakyat yang dengan sepenuh minat ingin menyambut rajanya yang pulang dengan membawa kemenangan telah menghias padukuhan masing-masing dengan janur-janur kuning.
Apalagi gapura kota Singasari.
Disepanjang jalan telah dibangun pula gardu-gardu untuk menempatkan seperangkat gamelan. Gamelan itu kelak apabila Sri Rajasa bersama iring-iringannya lewat, akan mengumandangkan gending-gending kemenangan.
Bagi rakyat Singasari. Sri Rajasa adalah seorang Pahlawan besar yang telah dapat melontarkan Singasari dari sebuah lingkungan pemerintahan yang kecil, yang dipimpin oleh seorang Akuwu menjadi sebuah kerajaan yang besar, yang justru melampaui kebesaran Kediri.
Rakyat Singasari, yang pada mulanya adalah rakyat Tumapel yang merasa dirinya tertampau kecil, kini mereka dapat membusungkan dada, bahwa mereka adalah rakyat dari suatu kerajaan yang besar, Singasari. Dan mereka adalah rakyat dipusat pemerintahan. Rakyat Kotaraja.
Kota Singasari sendiri seakan-akan telah dipenuhi dengan berbagai macam perhiasan. Di alun-alun Singasari, umbul-umbul, rontek dan panji-panji telah dipancangkan. Tidak hanya seperangkat gamelan yang telah siap diatas panggungan disebelah-menyebelah paseban. Disitulah nanti penyambutan resmi akan dilakukan.
Para pemimpin pemerintahan Singasari dan para Senapati yang tidak ikut ke medan perang telah siap menerima kedatangan Sri Rajasa beserta pengiringnya.
Setiap kepala menengadah ketika mereka melihat dua ekor kuda berderap memasuki alun-alun. Keduanya adalah utusan Sri Rajasa yang memberitahukan bahwa iring-iringan Sri Rajasa telah mendekati kota.
"Sebentar lagi Sri Rajasa akan memasuki gerbang."
"Apakah sekarang mereka sudah sampai dipintu gerbang?"
"Sebentar lagi."
Para pemimpin yang sudah siap menyambut itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Para penabuh gamelan-pun telah siap ditempatnya. Apabila Sri Rajasa memasuki alun-alun, maka gamelan itu harus bersama-sama menyambutnya.
Pada saat itu Sri Rajasa telah berada diambang pintu gerbang kota. Para petugas yang menyambutnya telah mengelu-elukannya. Beberapa orang gadis telah menaburkan bunga-bunga kepada Sri Rajasa yang duduk diatas seekor kuda, diiringi oleh Mahisa Agni dan para Panglima dan Senapati.
Suara gamelan kemudian mengumandang mengiringi derap kaki-kaki kuda yang berjalan perlahan-lahan, dibarengi dengan para prajurit yang berjalan kaki.
Betapa besar hati rakyat Singasari melihat Rajanya kembali dengan membawa kemenangan. Karena itu, maka sambutan rakyat-pun seakan-akan telah meledak.
Gadis-gadis yang berdiri dipintu gerbang masih menabur-naburkan bunga kepada para prajurit yang lewat didalam barisan yang menyusup gerbang sampai bunga yang terakhir. Kemudian mereka-pun melambai-lambaikan tangan mereka, menyambut pasukan yang datang itu dengan penuh kegembiraan.
Digardu-gardu panggungan yang terdapat dipojok-pojok desa, para pengawas yang melihat iring-iringan itu segera memukul kentongan. Berlari-larian rakyat menuju kepinggir jalan. Sambil berteriak-teriak, mereka melambai-lambaikan tangan mereka dengan kegembiraan yang meluap.
Seluruh Singasari seakan-akan tengah dibakar oleh kegembiraan dan kebanggaan. Prajurit yang berjalan beriringan, bagaikan seekor ular Naga yang menyelusuri jalan-jalan menuju kepusat kota.
Diujung iring-iringan itu. Sri Rajasa beserta beberapa orang pemimpin tertinggi Singasari berada diatas punggung kuda, dibayangi oleh tanda-tanda kebesaran yang jarang sekali keluar dari simpanan.
Selain rakyat Singasari dan para Senapati, maka didalam istana-pun sedang sibuk dilakukan persiapan penyambutan. Kedua isteri Sri Rajasa, sibuk mengadakan persiapan masing-masing. Namun adalah merupakan semacam keharusan yang tidak disebutkan didalam peraturan resmi, bahwa Sri Rajasa akan diterima lebih dahulu di istana dalam oleh Permaisurinya. Upacara penyambutan khusus akan dilakukan oleh para pemimpin tertinggi Singasari yang tidak ikut menyerang Kediri, bersama Permaisuri Sri Rajasa, Ken Dedes. Sedang Ken Umang akan hadir didalam upacara itu, tetapi tidak akan melakukan penyambutan resmi.
Demikianlah maka akhirnya iring-iringan itu-pun memasuki pusat Kotaraja. Sebentar kemudian ujung dari iring-iringan itu-pun telah memasuki alun-alun Singasari.
Suara gamelan yang menyambut kedatangan Sri Rajasa, bagaikan meledaknya guntur dilangit. Sorak sorai rakyat yang berjejal-jejal seakan-akan memecahkan selaput telinga.
Apalagi ketika Sri Rajasa kemudian sampai ditengah-tengah alun-alun. Diatas punggung kudanya ia melambai-lambaikan tangannya kepada rakyatnya yang mengelu-elukannya.
"Sri Rajasa adalah Raja yang paling besar pada jaman ini," desis seorang yang telah berambut putih di pinggir alun-alun.
Kawannya berbicara-pun mengangguk-anggukkan kepalanya, "Ya. Yang terbesar. Seandainya daerah ini masih diperintah oleh Akuwu Tunggul Ametung, maka Tumapel pasti masih tetap saja merupakan daerah yang kecil dan diam. Akuwa Tunggul Ametung adalah seorang yang sakti pilih tanding. Tetapi ia terlampau cepat menjadi puas dengan keadaannya. Ia sudah puas dengan Permaisurinya yang cantik, dengan taman disebelah padang Karautan, dengan kota yang sedikit ramai dan beberapa orang prajurit pilihan. Ia sudah menjadi puas dengan hasil buruannya, dengan kulit harimau dilantai biliknya."
Orang yang berambut putih itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya pula, "Aku adalah prajurit pilihan saat itu. Aku adalah seorang prajurit pengawal istana dibawah pimpinan Witantra. Tetapi aku terlampau cepat menjadi tua, sehingga aku segera mengundurkan diri," orang itu berhenti sejenak, "semula aku kagum akan kesetiaan Witantra. Namun kini ternyata bahwa Witantra telah berbuat kesalahan. Seandainya pembelaannya atas Kebo Ijo dengan perang tanding diarena itu dimenangkannya, dan keadaan Singasari tidak seperti sekarang ini, maka Tumapel masih akan tetap merupakan daerah kecil dibawah kekuasaan Sri Baginda Kertajaya di Kediri."
Kawannya berbicara masih mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Aku adalah bawahan Witantra," katanya pula, "dan aku tidak menyangka bahwa di Tumapel ada orang yang mampu mengalahkannya diarena. Karena itu, secara tidak langsung, kakanda Permaisuri yang bernama Mahisa Agni itu telah meratakan jalan bagi Sri Rajasa untuk naik takhta."
"Dan sekarang kakanda Tuan Puteri itu-pun telah mendapatkan tempat yang baik. Ia merupakan sayap kanan yang telah memacu Singasari ketingkatnya yang sekarang."
"Berita yang mendahului para prajurit itu mengatakan, bahwa Mahisa Agnilah yang berhasil membunuh Menteri yang paling setia kepada Kediri, Gubar Baleman."
Keduanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka terpaksa berhenti berbicara karena sorak sorai yang seakan-akan hendak meruntuhkan langit.
Kini Sri Rajasa berdiri diatas panggungan yang sudah disediakan. Meski-pun Sri Rajasa tidak mengucapkan separah katapun, namun senyumnya telah menumbuhkan getaran di setiap dada rakyat Singasari yang menyaksikannya.
Pedang Tanpa Perasaan 4 Pendekar Bodoh Karya Kho Ping Hoo Persekutuan Tusuk Kundai Kumala 10

Cari Blog Ini