Ceritasilat Novel Online

Bende Mataram 14

Bende Mataram Karya Herman Pratikto Bagian 14


"Eh"ayahmu bisa juga berkata terus-te-rang," kata Gagak Seta bersyukur dalam hati.
"Tadinya kusangka, ia akan mengangkat diri menjadi seorang sakti nomor satu di kolong langit ini, setelah Kyai Kasan Kesambi menarik diri dan Pangeran Mangkubumi I wafat. Tak tahunya... eh kamu berdua... lekaslah memasak kopi lagi. Aku mau tidur di sini."
Dan belum lagi mendapat jawaban, orang tua itu lantas saja merebahkan diri, sebentar
kemudian angan-angannya telah amblas entah ke mana. Dengkurnya keras luar biasa seakanakan tidak memedulikan gunung gugur.
Titisari segera mengambil bubuk kopi. Dengan kerlingan mata ia minta pertolongan Sangaji agar membantunya menyalakan perdiangan. Ia sangat gembira, sampai pandang matanya
berkilat-kilat. "Aji! Bersyukurlah pada Dewa atau Tuhan atau siapa saja yang kau sujudi," bisiknya. "Esok hari, kita akan menjadi orang lain... "
Waktu itu telah jauh malam hujan agak reda. Kini angin meniup dengan kerasnya. Rasa dingin menyelinap ke seluruh tubuh. Untung mereka dekat dengan perdiangan api sehingga dingin angin itu membuat rasa menjadi aman.
Mereka tiada berkata-kata lagi. Rasa kantuk mulai menggerumuti tubuh. Apabila Titisari telah menyediakan kopi Gagak Seta, mereka berdua kemudian duduk saling berdekatan. Dan tanpa
dikehendaki sendiri, kedua-duanya telah tertidur lelap.
Keesokan harinya, mereka terbangun hampir berbareng. Yang pertama dilihatnya adalah tubuh Gagak Seta yang meringkas seperti landak. Dengkurnya masih saja kuat luar biasa. Hanya saja anehnya, kopi yang disediakan semalam telah ludas. Pastilah orang tua itu diam-diam telah bangun dan menikmati kopi hangat seorang diri. Melihat mereka tidur, tak sampai hati dia mengganggu. Kemudian balik kembali keperaduannya dan meneruskan impiannya di jagad lain.
Sangaji segera melepaskan kedua kudanya, sedang Titisari terus saja menyelam ke dalam
sungai berburu ikan. la anak seorang adipati yang bermukim di tengah lautan. Karena itu, sudah biasa bergaul dengan air.
Tatkala Sangaji sedang asyik mengamat-amati kedua kudanya merenggut rerumputan,
sekonyong-konyong pundaknya terasa kena raba. Ia kaget luar biasa. Karena sebagai anak murid Wirapati dan Jaga Saradenta, ia sudah diajar dan diasuh menggunakan ketajaman pendengaran.
Tapi si pendatang kali ini tidak dapat tertangkap oleh pendengarannya. Suatu bukti bahwa ilmunya sudah mencapai taraf kesempurnaan yang susah untuk dinilai. Waktu ia menoleh, dilihatnya Gagak Seta berdiri merenungi dirinya.
"Eh, bocah! Dalam hal kecerdikan dan bakat, kamu kalah jauh daripada kawanmu. Tapi dalam hal kejujuran barangkali aku memilihmu, kawanmu itu mempunyai sifat-sifat berbahaya. Tak bisa aku lekas-lekas percaya kepadanya. Karena itu, kemarilah! Aku akan mewariskan suatu ilmu khusus bagimu," katanya.
Dengan gembira Sangaji menghadap padanya. Kemudian Gagak Seta berkata melanjutkan,
"Sekarang cepatlah kamu bersumpah kepadaku, bahwa tanpa seijinku kamu kularang mewariskan ilmu ini kepada siapa saja. Juga terhadap bakal isterimu yang licin sebagai belut itu. Nah, bersumpahlah!"
Sangaji yang sudah jadi bergembira, sekonyong-konyong nampak pudar. Pandang mukanya
jadi resah. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Paman! Aku tak dapat bersumpah demikian terhadapmu. Sebab kalau Titisari meminta agar aku mengajarkan ilmu Paman, tak dapat aku menolak."
"Tapi ilmuku ini bukan ilmu murahan. Bakal isterimu itu cerdik luar biasa dan mempunyai sifat-sifat liar. Kalau kamu tak pandai menjaga diri, di kemudian hari kamu bakal bisa ditaklukkan dan disusahkan."
Sangaji diam menimbang-nimbang. Sejurus kemudian menjawab, "Jika demikian, biarlah
Paman tak usah mengajariku. Tak ingin aku belajar sesuatu ilmu yang kelak akan merisaukan hati.
Biarlah Titisari jauh lebih gagah daripadaku."
"Hai! Mengapa?"
"Sebab kalau dia minta kuajari, tak dapat aku menolaknya. Inilah sulit. Aku akan mengkhianati Paman. Sebaliknya kalau kutolak, rasanya kurang menyenangkan. Tak sampai hatiku, melihat dia akan bermurung sedih karena aku."
Mendengar keterangannya, Gagak Seta tertawa lebar. Gerutunya, "Anak goblok! Biar otakmu bebal, hatimu mulia dan matamu tajam. Kau jujur sekali. Rasanya tak gampang-gampang pula, bertemu dengan seorang pemuda seperti kamu. Baiklah! Biarlah aku menyulapmu menjadi
tandingan anak Adipati Surengpati Karimun Jawa." la berhenti mengesankan diri. Meneruskan,
"Kamu tahu, ayah calon isterimu itu angkuh luar biasa. Ganas, kejam dan gagah perkasa.
Kegagahannya sebanding dengan Arya Penangsang pada zaman Kerajaan Bintara. Dia merasa diri menjadi orang sakti nomor satu di jagad ini. Aha ... nah, biarlah dia menyenakan mata. Kamu akan kuwarisi ilmuku Kumayan Jati. Tapi entah kaumampu atau tidak. Sebab untuk bisa memiliki ilmu itu, kamu harus berani bertapa paling tidak tujuh bulan..."
Sehabis berkata demikian, dia lantas berputar sambil menekuk lutut. Kemudian tangannya
menyodok. Dan tiba-tiba sebatang pohon yang berdiri tegak dua puluh langkah di depannya, patah berantakan. Dan dengan suara gemeretak, pohon itu tumbang sekaligus.
Sangaji kagum luar biasa. Hatinya bergetar. Dahinya pucat, karena terperanjat dan tercekam suatu perbawa yang luar biasa kuat. Sama sekali tak disangkanya, kalau dengan suatu sodokan yang nampaknya begitu sederhana bisa menumbangkan sebatang pohon sebesar tubuhnya. Kalau saja itu seorang manusia, bisa dibayangkan bagaimana akan hancur berkeping-keping. Tiba-tiba saja insyaflah dia, apa arti julukan dan gelar orang sakti itu. Benar-benar bukan suatu gelar kosong melompong.
"Pohon itu adalah suatu benda tak bergerak," Gagak Seta menjelaskan dengan sederhana. "Jika dia manusia tidaklah semudah itu kena bidik. Sebab dia bisa maju mundur, mengelak, meloncat tinggi atau mengendapkan diri. Karena itu, tata-berkelahi Ilmu Kumayan Jati adalah lain daripada yang lain. Kamu harus bisa mendesak musuh demikian rupa, sehingga dia tak dapat bergerak lagi seolah-olah terdorong ke pojok. Kemudian kau hantam dengan pukulan itu. Kalau dia bergerak hendak menangkis, nah itulah maksud pukulan Kumayan Jati sesungguhnya. Sebab begitu dia
menangkis, dia akan runtuh seperti tumbangnya pohon tadi."
Sekali lagi. Gagak Seta melontarkan pukulan Ilmu Kumayan Jati ke arah suatu pohon yang lebih besar. Pohon itu pun lantas saja gemeretak patah berantakan dan tumbang ke tanah.
"Tapi Ilmu Kumayan Jati itu tidaklah hanya berupa suatu pukulan tunggal belaka. Sekiranya hanya satu macam pukulan belaka, akan cepat diketahui lawan. Lalu lawan akan berusaha
menciptakan suatu daya pertahanan sehingga Ilmu Kumayan Jati tidak berguna lagi. Sekarang lihat!"
Gagak Seta memutar tubuh untuk yang ketiga kalinya. Tiba-tiba tangannya bergerak seperti mengusap, ke arah sebatang pohon. Sehabis bergerak demikian, ia berdiri tegak sambil tersenyum puas.
Sangaji heran mengapa orang tua itu tersenyum puas. Dilihatnya pohon yang menjadi sasaran bidiknya masih saja segar-bugar. Tidak nampak suatu perubahan. Ingin ia minta penjelasan, tiba-tiba Gagak Seta berkata memerintah.
"Mengapa berdiri tegak seperti batu" Dekatilah dan lihat!"
Dengan kepala kosong, Sangaji menghampiri pohon itu. Sesampainya di depan pohon itu, tak tahulah dia apa yang harus dilakukan.
"Dorong!" Perintah Gagak Seta dari kejauhan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sangaji mendorong pohon itu dengan telapak tangannya. Mendadak saja, pohon itu roboh
hancur berkeping seperti rapuh.
"Hai! Mengapa begini rapuh?" serunya heran.
Gagak Seta tertawa berkakakan.
"Kamu masih belum percaya" Nah, cobalah pilih sebatang pohon yang terkuat!"
Di seberang-menyebrang jalan, banyak terdiri batang-batang pohon liar. Maka dengan mudah Sangaji bisa memilih pohon kuat sentosa. Ia mencoba memeriksa dengan suatu dorongan dan depakan. Yakin, bahwa pohon itu tangguh sentosa, maka segera ia berkata nyaring.
"Inilah pilihanku."
"Bagus! Sekarang minggirlah cepat dan sedikit menjauh!" perintah Gagak Seta.
Dengan cepat Sangaji melompat ke samping. Ia berdiri tegak mengawaskan gerak-gerik Gagak Seta yang sedang berputar mengayunkan tangan kemudian seperti tadi, ia mengusapkan
tangannya. Setelah itu berdiri tegak sambil tersenyum. Perintahnya, "Periksalah!"
Dengan kepala menebak-nebak dan jantung berdegupan, Sangaji menghampiri pohon itu.
Ternyata pohon itu sekaligus roboh berantakan begitu kena raba. Orat-uratnya hancur seperti terhangus. Kulitnya remuk berkeping seperti abu. Sudah barang tentu, anak muda itu heran terlongoh-longoh seperti kanak-kanak menonton permainan sulap.
"Nah, ke marilah!" perintah Gagak Seta. "Dengarkan kuberi kamu suatu penjelasan."
Dengan rasa takjub, kagum, hormat dan takluk, Sangaji datang menghampirinya. Orang tua itu lantas saja memberi penjelasan.
"Itupun adalah satu macam pukulan Ilmu Kumayan Jati. Pokoknya terbagi menjadi dua.
Pukulan Keras dan pukulan Lemas. Kedua-duanya adalah pukulan mematikan. Setiap sasaran yang kena bidik kedua macam ilmu itu, bisa kamu bayangkan bagaimana akibatnya. Soalnya sekarang ialah, bagaimana cara memperoleh bidikan itu sampai dia tak dapat bergerak. Caranya ialah, kita harus berusaha mempengaruhi, menjebak, mengurung, mencekam, menangkap, menjaring,
melibat dengan tata-berkelahi bermacam ragam. Dan tata-berkelahi ini tidak boleh terlalu berbelit.
Sederhana saja tapi harus mengandung suatu siku-siku mata angin yang bisa merupakan pedang penggiring atau cemeti pelipat. Dengan demikian, musuh bisa kita kelabui. Ia mengira ilmu tata-berkelahi Kumayan Jati begitu sederhana. Tak tahunya jika sekali kena libat, takkan gampang-gampang dia bisa membebaskan diri. Nah, anakku! Masing-masing ragam tata-berkelahi kedua macam pukulan Ilmu Kumayan Jati itu berjumlah sembilan. Jadi jumlah semuanya delapan belas jurus. Ayunan lontaran enam jadi seluruhnya berjumlah dua puluh empat. Sanggupkah kamu
mentelaah Ilmu Kumayan Jati ini adalah semata-mata tergantung pada nasibmu belaka. Sebab, orang takkan bisa mempelajari ilmu ini hanya mengandalkan kecerdasan otak. Dan hanya dapat memperoleh kulitnya saja. Karena itu, orang harus berani bertapa agar mendapat kekuatan alam yang murni. Paling tidak tujuh bulan. Kau sanggup?"
Selama hidupnya, Sangaji belum pernah berpuasa. Tentang istilah bertapa itu baru didengarnya untuk yang pertama kali dari Panembahan Tirtomoyo. Maka begitu ia mendengar tuntutan Gagak Seta, mulutnya bungkam seribu bahasa.
Gagak Seta tidak mendesaknya lagi. Dengan sikap acuh tak acuh ia berkata, "Hai! Mengapa kamu tergugu seperti katak" Biar kamu berdiam diri seribu hari, tahulah aku kalau kamu takkan mampu menerima warisan ilmu ini. Hal itu bukan kesalahanku. Aku sudah membuka tangan dan sekarang tergantung pada bakatmu belaka. Bukankah aku berkata, bahwa bakatmu sangat miskin dan kalah jauh dari anak iblis itu?"
Sehabis berkata demikian, ia kemudian mengajari Sangaji cara mengatur dan menguasai napas.
"Napas itu adalah tali hidup. Meskipun napas itu bukan menentukan hidup dan matinya orang, tetapi termasuk alat yang penting dan kuat."
"Apakah Paman ingin berkata, orang bisa hidup tanpa napas?" Sangaji heran.
"Benar." "Masa orang bisa hidup tanpa napas?"
"Ah, kau bocah tolol! Sewaktu kamu dulu di kandung ibumu dalam perut, apakah kamu sudah bisa bernapas" Apakah kamu sudah mempunyai hidung dan jantung" Itulah suatu bukti, kalau dalam diri manusia ini bersemayam suatu tenaga rahasia yang menghidupi napas itu sendiri. Jika
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kamu bisa menemukan tenaga itu, kamu akan bisa menguasai seluruh alam ini. Sekarang carilah tenaga itu, lewat pernapasanmu. Jika kautekun, mudah-mudahan kamu berhasil."
Dua jam kemudian, Sangaji bisa mengatur dan menguasai napas. Maklumlah, dia pernah
mendapat ajaran Ki Tunjungbiru. Tapi sewaktu menginjak ke tataran selanjutnya, dia heran dan kaget. Ajaran tarikan napas Gagak Seta itu jauh berlainan dengan ajaran tarikan napas Ki Tunjungbiru. Lagi pula mempunyai daya guna yang aneh. Tiba-tiba saja, ia merasa dalam dirinya ada suatu tenaga yang bergolak. Itulah tenaga getah pohon Dewadaru yang kena tersedot ke luar. Tenaga getah itu lantas saja bergolak dan berputar bergulungan ke seluruh tubuh. Baik Sangaji dan Gagak Seta sendiri tak pernah mengira, kalau daya guna ilmu napasnya bisa
membangunkan tenaga uapan getah sakti. Pemuda itu jadi kaget luar biasa. Mukanya lantas
menjadi merah membara dan matanya jadi berkunang-kunang.
"Hai, kamu kenapa?" Gagak Seta terkejut. "Kosongkan angan! Tebarkan semangat! Jangan kaupusatkan seperti orang bersemedi."
Sangaji ingin mengiyakan tetapi mulutnya seperti terkunci. Maka ia hanya mengangguk.
Mukanya kian nampak makin membara.
Gagak Seta menghampiri sambil memijit uratnya, la menggoncang-goncangkan tubuhnya.
Terasa keras bukan kepalang seperti sebongkah batu. Pikirnya, "semua berjalan lancar menurut bunyi ajaran. Tapi kenapa bocah ini" Bagaimana bisa sesat?"
Sebagai seorang pendekar yang sudah mendapat gelar sakti, ia merasa terpukul melihat
kenyataan itu. Ingin ia mendapat jawabannya dan menyelidiki secermat-cermatnya.
"Sekarang lepaskan semuanya! Tengadahkan mukamu ke angkasa. Buka mulutmu! Cepat!"
Suara Gagak Seta agak menggeletar. Karena melihat anak muda itu biru pengap. Perlahanlahan Sangaji dapat menguasai diri. Dengan cermat ia mengikuti petunjuk Gagak Seta. Tak lama kemudian, rongga dadanya menjadi lega. Ia bisa bernapas seperti sediakala. Hanya terengah-engah seperti seseorang yang tengah lepas dari cengkraman binatang galak.
Dalam pada itu Gagak Seta mondar-mandir mencari kunci jawabannya.
"Apakah kamu telah melepaskan semua anganmu?" tanyanya penuh selidik.
Sangaji mengangguk. "Telah kau tebarkan semangatmu?"
"Ya." "Kau kosongkan dirimu?"
"Ya." "Kau salurkan semua deburan darahmu ke seluruh urat nadi?" Sangaji mengangguk.
"Aneh!" ia bergumam. Ia yakin, kalau Sangaji menjawab dengan sebenarnya. Karena tadi, ia telah memeriksanya. Pikirnya, ya, semua telah berjalan seperti semestinya. Apakah yang
mengganggu" Memang pada zaman dahulu orang hampir menyamakan Ilmu Kumayan Jati
dengan Ilmu Bayu Sejati. Meskipun bersumber sama, tetapi lakunya jauh berlainan. Ilmu Bayu Sejati mengutamakan kekuatan urat nadi, tulang-belulang yang bersandar pada napas. Tetapi Ilmu Kumayan Jati biarpun mengutamakan tenaga napas, tetapi hanya bersifat sebagai penyalur.
Napas itu hanya dipergunakan sebagai pengungkap daya kekuatan yang terpendam." la terus merenung. Tiba-tiba suatu pikiran berkelebat dalam benaknya.
"Eh bocah tolol! Apakah kamu pernah mendapat pelajaran ilmu bernapas?"
Sangaji mengiakan. Melihat pemuda itu mengangguk, seleret cahaya tersembul pada raut muka Gagak Seta. Ia mau menduga, bahwa Sangaji pernah tersesat dalam pelajaran. Maka ia menguji penuh selidik.
"Coba bagaimana kamu melakukan ilmu bernapas itu!"
Sangaji kemudian menghapal dua belas kata petunjuk bersemedi ajaran Ki Tunjungbiru.
Mendengar bunyi hapalannya, Gagak Seta yang sudah mempunyai dugaan yang bukan-bukan jadi merenung-renung lagi.
"Siapa yang mengajarimu bersemedi?" ia masih mencoba.
"Ki Tunjungbiru."
"Siapa dia?" "Menurut kabar, dulu dia bernama Otong Darmawijaya."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Eh, kau bilang apa?" Gagak Seta terkejut. Dahinya berkerenyit. "Apakah dia belum mati" Ih!
Benar orang itu belum tinggi ilmu bergumulnya, tetapi dia memiliki tenaga ajaib. Apakah...
apakah... kamu... hai, kenapa kamu mendapat ajaran daripadanya" Orang itu tak gampanggampang menerima murid."
"Dia bukan guruku. Dan aku tak pernah pula berguru kepadanya." Sangaji menerangkan. "Aku menerima petunjuknya berkat jasaku menyedot getah pohon Dewadaru sebagai pembalas
dendamnya." "Getah pohon Dewadaru" Apa itu?" Gagak Seta heran.
Sangaji kemudian menerangkan dengan singkat tentang sifat pohon sakti itu menurut
pendengarannya saja tatkala Ki Tunjungbiru berbicara di dalam perahu dahulu. Gagak Seta
mendengarkan dengan penuh perhatian. Lantas berkata, "Eh! Apakah di dunia ini ada suatu macam pohon ajaib-ajaib demikian rupa" Inilah aneh!" ia berhenti menimbang-nimbang. Berkata lagi memutuskan, "Baiklah! Coba ulangi lagi menarik napas menurut ajaranku. Kemudian tirukan semua gerakanku."
Sangaji segera melakukan ilmu menarik napas ajaran Gagak Seta, kemudian menirukan
gerakan selanjutnya. Waktu itu Gagak Seta menekuk lutut sambil meliukkan tubuh. Tiba-tiba menyodok ke arah suatu pohon.
"Bidik!" perintahnya.
Sangaji cepat-cepat menyodok. Ternyata batang pohon yang berdiri di depannya bergoyang.
Mahkota daunnya runtuh berhamburan.
"Bagus! Bagus!" seru Gagak Seta kagum. "Inilah hebat! Tanpa bertapa kamu sudah bisa menguasai setengah jurus Ilmu Kumayan Jati, meskipun lagi menggoyang-goyang tupai!"
la berjalan mondar-mandir kembali seperti sedang menghadapi satu soal yang belum
mendapatkan kunci jawabannya. Sekonyong-konyong kepalanya mendongak dan berputar
menghadap Sangaji. "Aji! Coba gempurlah aku!"
Sangaji tadi heran menyaksikan pukulannya sendiri yang sudah mempunyai prabawa, sampai
hatinya tak mau percaya. Ia belum mendapat pegangan darimanakah asal tenaga dorong sekuat itu. Tetapi diam-diam hatinya bangga dan bersyukur. Mendadak Gagak Seta memerintahkan agar menggempur padanya. Keruan saja, ia jadi bingung berbimbang-bimbang. Pikirnya, mahkota
dedaunan bisa kuron-tokkan. Apakah dia yang terdiri dari darah dan daging bisa bertahan" Gagak Seta rupanya bisa menebak kata hatinya. Maka orang tua itu berseru nyaring, "Pukulanmu lagi bisa menggoyangkan pohon. Takkan mampu menewaskan aku."
Mendapat penjelasan itu, anak muda itu jadi berlega hati. Segera ia menarik napas menurut ilmu ajaran Gagak Seta. Tubuhnya meliuk, lutut ditekuk dan sambil berputar ia menjodok. "Dak"
Gagak Seta tergetar sedikit. Matanya menutup rapat.
Mulutnya kemudian mengulum senyum. Katanya, "Eh"lumayan juga. Sekarang gunakanlah
ilmu tarikan napas yang pernah kau tekuni. Dan gempurlah aku!"
Heran Sangaji mengawasi orang tua itu. Hatinya beragu lagi. Apakah pukulanku tadi salah, sehingga tidak ada pengaruhnya?" pikirnya sibuk. Ia tak tahu, kalau pukulannya tadi seujung rambut pun tak berbeda dengan pukulannya yang pertama sewaktu memukul pohon. Hanya saja, keputusan Gagak Seta mengumpankan diri sendiri untuk memperoleh jawaban, adalah luar biasa.
Jika tidak mempunyai pegangan kuat, bagaimanapun juga takkan berani menerima pukulan
Sangaji. "Hai tolol!" bentak Gagak seta. "Pukulanmu hebat! Tak beda dengan tadi. Hanya saja belum bisa menewaskan aku! Kau dengar" Nah"jangan tergugu seperti orang linglung! Sekarang
kerjakan apa yang kuperintahkan tadi. Aku ingin mengetahui titik perbedaannya."
Puaslah hati Sangaji mendapat penjelasan ini. Diam-diam hatinya kagum kepada orang-tua itu.
Benar-benar hatinya merasa takluk. Apakah tubuhnya lebih kukuh daripada sebatang pohon"
pikirnya lagi. Tak sempat lagi ia menunggu jawabannya. Dalam dirinya terasa ada semacam hawa hangat yang merayap memenuhi tubuhnya. Kemudian ia maju menggempur Gagak Seta.
Hebat suara itu. Tetapi Gagak Seta seperti tak merasakan sesuatu. Matanya merem-melek
seperti seseorang yang lagi menikmati makanan lezat.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Telah kuduga! Telah kuduga!" serunya girang. Kemudian ia tertawa berkakakan sambil mendongakkan kepala.
"Bocah tolol! Dengarkan penjelasanku! Apa yang pernah kau pelajari itu adalah bait-bait Ilmu Bayu Sejati. Itulah suatu ilmu yang mengutamakan tenaga semata untuk daya pertahanan.
Apakah orang yang mengajarimu, pernah menerangkan nama ilmu itu?"
Sangaji bergeleng kepala.
"Ah! Sekarang tahulah aku, mengapa kau begitu ulet, tabah dan makin lama makin gagah tatkala kau tadi bertempur melawan calon isterimu. Itulah berkat ajaran ilmu tarikan napas Bayu Sejati. Dasarnya adalah sama. Yakni bersandar pada tenaga sakti kodrat manusia. Eh"eh ...
bocah tolol! Siapa mengira, kamu mempunyai tenaga sakti getah pohon Dewadaru. Itulah karunia alam yang hebat bukan kepalang," kata Gagak Seta girang. Kemudian ia merebahkan diri ke tanah dan berbaring merenungi angkasa.
"Sekiranya di kemudian hari kau berhasil menjalin dua ilmu ini sebagai satu pengucapan, alangkah kamu akan jadi gagah perkasa. Tapi sekarang"di bawah asuhanku" kamu kularang
mengingat-ingat ilmu ajaran yang lalu. Sebab lakunya jauh berlainan. Ilmu ajaranmu dahulu, adalah ilmu buat perempuan, bukan buat laki-laki. kalau kamu diserang, kamu hanya mampu
bertahan. Sekiranya lawanmu menggenggam senjata tajam, apakah kamu hanya menerima
hajarannya belaka tanpa bisa membalas" Eh"bocah tolol! Akhirnya kamu hanya jadi bakaran sate kambing!" ia berhenti mengesankan. "Karena itu, meskipun kelak kamu mahir dengan ilmu ajaran dahulu, paling-paling kamu hanya bisa menjadi seorang ahli olahraga belaka. Paling-paling kamu hanya pandai meloncati jurang, memanjat pohon seperti kera dan tahan berenang di lautan
seperti ikan." Gagak Seta tertawa berkakakan. Sangaji jadi heran terkejut. Mula-mula ia memang agak
tersinggung mendengarkan ulasan orang tua itu yang begitu menusuk. Tetapi apa yang dikatakan adalah benar. Teringatlah dia, bagaimana Ki Tunjungbiru pernah mempamerkan kepandaiannya menangkap dua ekor kera, meloncat jurang dan bersampan di atas lautan menembus derum angin dan gelombang. Dia pun hanya mengesankan, bahwa ilmu ajarannya hanya berguna untuk
membantu menelan ajaran ilmu kedua gurunya.
"Memang Ki Tunjungbiru hanya berkata, kalau ilmu itu adalah ilmu untuk bersemedi. Bukan untuk berkelahi." Sangaji mencoba untuk mempertahankan.
"Bagus!" Sahut Gagak Seta cepat. "Aku pun tak mencela ilmu itu. Tapi kau tahu apa arti bersemedi itu" Semedi itu adalah perempuan waktu hamil. Dia tak bisa bergerak cepat. Tak bisa makan terlalu kenyang. Tak bisa minum sebanyak sediakala. Tak bisa tidur tengkurap atau miring terlalu lama. Pokoknya serba kurang dan tanggung. Laripun dia tak mampu. Apa lagi berkelahi.
Karena itu aku berkata, ilmu semedi itu adalah ilmu perempuan! Kamu sakit hati?"
Sebenarnya Sangaji mendongkol mendengar semua kata-kata Gagak Seta. Tapi karena
kesannya lucu, diam-diam ia tersenyum geli.
"Lantas" Apakah yang harus kulakukan?" Ia mengalihkan pembicaraan.
"Berlatih dan berlatih, tolol!" damprat Gagak Seta. "Rejekimu sudah terlalu besar. Bahwasanya tanpa bertapa, kamu sudah memiliki tenaga sakti yang ajaib. Dulu aku pun tak bisa memiliki suatu bekal seperti kamu. Aku cuma bisa menghapal jurus-jurusnya belaka. Tenaga saktinya, harus kutempuh dengan bertapa selama tiga tahun terus menerus."
Sangaji tak berkata lagi. Ia memilih sebatang pohon yang berdiri tak jauh daripadanya.
Kemudian ia berlatih. Mula-mula ia mengatur napas dan memusatkan ke urat nadi menurut ajaran Gagak Seta. Setelah itu menekuk lutut, berputar dan meliuk tubuhnya. Lantas menyodok dengan menumpahkan seluruh tenaga napasnya yang tersekam. Dan batang pohon di depannya lantas
saja bergoyang-goyang. "Hai! Bocah tolol!" damprat Gagak Seta. "Mengapa mengoyang-goyangkan pohon" Apa kamu mau menangkap tikus" Kamu harus bisa menggempur musuh dengan sekali pukulan. Bukan untuk mengitik-ngitik biar kegelian."
Sangaji tertawa menyeringai. Mukanya merah kebiru-biruan karena tercekat hatinya. Segera ia minta petunjuk-petunjuk.
"Dengar!" kata Gagak Seta. "Sudah kukatakan tadi, kalau aku akan menyulapmu menjadi tandingan anak siluman Karimun Jawa. Kamu harus sadar, bahwa bakal isteri-mu itu cerdas
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
otaknya. Bakatnya pun lebih besar daripadamu. Ia mengenal bermacam-macam ilmu. Gerakgeriknya cekatan. Tapi hanya penuh gertakan-gertakan belaka. Janganlah kamu sampai kena
dipengaruhi. Tunggu saja, sampai dia memukul benar-benar! Jika pukulannya tiba, nah"papakilah dengan pukulanmu. Dia pasti kalah."
"Apa hanya itu saja?"
"Apa kau bilang?" bentak orang tua itu. "Sudah kukatakan ia memiliki ilmu bermacam ragam.
Gerak-geriknya, pasti sukar kau duga. Sekali kena pukul, dia akan bisa membalas dengan ilmu tangkisan yang lain lagi. Sebab yang baru kau pelajari ini, hanya satu macam ilmu saja. Di kolong langit ini, kamu akan menemukan ratusan macam ilmu sakti."
Sangaji diam merenung-renung. Sekarang ia merasa dirinya kecil. Tadinya ia mengira, sesudah mendapat ilmu ajaran gurunya rasanya cukup buat bekal merajai orang. Tak tahunya, ilmu sakti di dunia ini banyak ragamnya. Pantas, kedua gurunya tak mampu mengalahkan Pringgasakti
meskipun dikerubut empat orang.
"Sekarang yang penghabisan," kata Gagak Seta.
"Sesudah ini, tak mau lagi aku berbicara. Tadi kujelaskan, kalau kamu harus berusaha menggiring lawan ke suatu pojok tertentu. Jepitlah dia dengan gerakan-gerakan begitu rupa sampai dia tak mampu bergerak. Kemudian hantamlah dengan Ilmu Kumayan Jati. Atau tunggu
saja lawanmu sampai memukulmu. Begitu ia memukul, sambutlah ia dengan suatu pukulan pula."
"Jika demikian aku harus bisa bergerak cepat dan sebat," potong Sangaji.
"Tentu saja, tolol!"
Sangaji tertawa geli. Istilah tolol yang diucapkan orang tua itu terlalu sering, lambat-laun terdengar sedap juga. Bagaikan seorang minta sambal dalam suatu perjamuan makan.
"Telah kukatakan kepadamu, kalau semua jurus ajaranku berjumlah delapan belas dan enam ayunan. Pukulan keras ini terbagi menjadi sembilan. Tentu saja ada perubahan-perubahannya.
Setiap jurus aku beri nama, agar memudahkan ingatanmu yang tolol. Kau tahu?"
Sangaji mengangguk. "Bagus! Seperti seorang belajar menari atau menabuh gender (sejenis gamelan). Tiap-tiap bagian ada namanya. Umpamanya dalam ilmu menabuh gender atau clempung (kecapi) terdapat
istilah-istilah, Jarik-Kawung, Kutut Belut, Gantungan, Petih, Ayu Kuning dan sebagainya. Nama-nama itu boleh diciptakan sesuka hati oleh yang mengajar. Pokoknya memudahkan untuk
penelitian dan ingatan. Juga pukulan kuberi nama. Yang kautekuni tadi kuberi nama, Cacing Gering. Kemudian perubahannya kuberi nama, Congor Babi, Anjing Buduk, Sate Gangsir, Terpedo Kambing, Telur Kerbau, Sambel Goreng... hai! hai! Mana isterimu" Aduh, aduh perutku! Perutku!"
Sehabis berkata begitu, ia menekan-nekan perutnya yang tiba-tiba jadi keruyukan. Lantas lari berserabutan memasuki gua. Rupanya begitu menyebut jenis masakan, teringatlah dia kepada masakan itu sendiri. Kebetulan sekali, semenjak tadi pagi perutnya belum terisi sebutir nasi pun.
Karuan saja, ia jadi blingsatan.
Mau tak mau Sangaji tersenyum geli. Siapa mengira, orang sesakti dia, mempunyai tabiat
doyan makan dan menggelikan. Sebentar ia mengawasi larinya Gagak Seta yang pontang-panting memasuki gua, kemudian segera dia berlatih.
Waktu itu, Titisari telah mulai memasak di dalam gua. Ia tahu Gagak Seta sedang menurunkan ilmu saktinya kepada Sangaji. Diam-diam ia bersyukur dalam hati. Ia berdoa, moga-moga Gagak Seta berkenan menurunkan seluruh ilmu saktinya dan Sangaji sanggup pula menerima
warisannya. Untuk ikut menyatakan terima kasih, dengan sungguh-sungguh ia memasak beberapa resep masakan yang istimewa. Pikirnya, biarlah Paman Gagak Seta tahu, kalau kami tahu apa arti terima-kasih. Tapi selagi ia membumbui beberapa ekor ikan dan sedang pula dibakar, di luar dugaan asapnya meruap sampai ke luar gua. Tahu-tahu, Gagak Seta sudah berada di sampingnya sambil mencak-mencak.
"Masakan apa ini" Masakan apa ini?"
Belum lagi Titisari dapat menjawab, tangannya sudah menyambar dua ekor ikan sekaligus dan digerogoti sampai tulang-tulangnya.
"Bukan main! Bukan main!" pujinya berulang kali. Mulutnya terus dijejali penuh-penuh, sampai tak kuasa berbicara lagi. Sekaligus menghabiskan enam ekor ikan sebesar lengan kanak-kanak.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ketika keenam ekor ikan tadi sudah habis dikunyahnya, barulah ia teringat kepada Sangaji yang perutnya belum terisi sebutir nasi juga. Lantas ia berkata menyesali diri sendiri.
"Ai! Ai! Perut edan! Perut gendeng! Mana kawanmu si bocah tolol itu! Suruh berhenti dulu!
Masa mau berlatih sampai mati?"
Tetapi Titisari hanya membalasnya dengan senyum. Bahkan tanpa berbicara ia menyodorkan
dua ekor ikan bakaran lagi. Gagak Seta jadi perasa, la jadi sungkan (segan) sendiri. Meskipun demikian, tangannya menerima pemberian itu.
"Masakanmu benar-benar hebat!" ia mengalihkan pembicaraan untuk menyembunyikan rasa sungkannya. "Masakan apa ini namanya?"
"Sebenarnya, kalau Paman agak bersabar sedikit, akan kumasakkan semacam masakan khas dari Karimun Jawa," sahut Titisari seolah-olah menyesali.
"Ah!" Gagak Seta terhenyak. Mendadak mulutnya berliur tak karuan. Dan mau tak mau, Titisari geli juga menyaksikan perangainya.
"Baiklah! Biarlah aku menangkap beberapa ekor ikan lagi dan aku ingin mencoba masakan Karimun Jawa."
"Tak usah tergesa-gesa," potong Titisari membesarkan hati. "Aku percaya, Paman pandai menangkap ikan. Tapi aku yakin Paman belum pandai memilih jenis ikan."
Gagak Seta diam menimbang-nimbang. Kemudian berkata mengakui.
"Ya, benar. Bagaimana aku bisa melawanmu dalam hal memilih jenis ikan."
Titisari kemudian mengalihkan pembicaraan.
"Kulihat muridmu tadi sudah bisa mematahkan batang pohon dalam sekali tumbuk."
Gagak Seta menggelengkan kepala sambil berkata, "Belum! Belum bisa dia mematahkan batang pohon. Paling-paling hanya menggoyang-goyangkan sampai melengkung. Sebenarnya, dia harus sanggup mematahkan sebatang pohon sebesar lengan dengan sekaligus. Mengingat ia telah
memiliki rejeki besar dalam dirinya."
"Apakah itu?" "Dia memiliki semacam tenaga ajaib dalam dirinya. Katanya, itulah getah pohon sakti Dewadaru," sahutnya sungguh-sungguh. "Pastilah kamu mengerti, bahwa untuk memiliki pukulan sakti, orang harus berlatih dulu sampai memiliki dasar tenaga murni. Inilah dasar utama. Sebab sekali pun orang memiliki macam ilmu silat yang sebagus-bagusnya, tetapi tidak ada tenaga di dalamnya adalah semacam hembusan angin menyerak-nye-rakkan dedaunan. Itu tidak ada
gunanya." Ia berhenti dengan dahi berkerenyit seakan-akan berpikir keras. Tiba-tiba bertanya,
"Hai Nona kecil, apa dia suamimu?"
Titisari adalah seorang gadis yang cerdas dan cerdik. Meskipun demikian, mendapat pertanyaan Gagak Seta, ia terbungkam. Orang tua itu lantas tertawa terbahak-bahak.
"Eh! Eh! Apakah aku salah omong" Ah, akulah yang tolol! Bukankah kalian sedang berpacaran melulu" Baiklah! Aku kenal watak ayahmu. Seumpama kamu sudah menyetujui pemuda itu, dan
ayahmu merintangi, aku tak bakal diam. Aku akan tampil ke depan mengurus perjodohan kalian.
Andaikata ayahmu menentang, biarlah aku bertempur satu tahun sampai salah seorang mati."
Entah apa sebabnya, Titisari bahagia mendengar kata-kata Gagak Seta. Hatinya tiba-tiba
menjadi senang dan tentram sampai air matanya hampir membersit dari kelopak mata. Maka
cepat-cepat ia menundukkan pandang ke tanah sambil mencari sisa ikan lainnya, hendak
dibakarnya dengan segera.
Gagak Seta adalah laki-laki yang sudah banyak makan garam. Dengan sendirinya, tahulah dia menebak keadaan hati si gadis. Maka dengan lancar ia berkata, "Dengarkan, Nona manis. Bakal suamimu itu, meskipun bakatnya kalah jauh daripadamu tetapi berkat getah sakti itu, dia kelak akan menjadi seorang pendekar ajaib yang sakti luar biasa. Tadi kulihat keajaiban terpancar dari dirinya. Apabila kemudian hari, ia bisa melebur kedua macam ajaran mengatur napas dan
menghimpun tenaga yang dimiliki, tubuhnya akan kebal dari segala. Bahkan apabila kena
serangan dahsyat, maka yang menyerang itu akan terpental balik. Sekarang tinggal melatih dan memasaknya sampai kokoh benar. Siapa tahu, kedua macam ilmu mengatur napas dan
menghimpun tenaga akan bisa pula membersihkan otot-otot urat saraf, sehingga pada suatu hari akan menjadi seorang manusia yang cerdas luar biasa. Mengapa" Karena pada hakekatnya, Ilmu
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Bayu Sejati dan Kumayan Jati itu seumpama sepasang suami istri yang saling memberi rasa
asmara." Titisari bersyukur dalam hati, mendengar tutur Gagak Seta. Ia percaya, kalau ketajaman mata seorang ahli seperti yang cerdik, ia pandai menyembunyikan kesan hatinya. Pandangnya tetap murung. Bahkan ia bisa berkata dengan nada Gagak Seta tak mungkin salah. Tetapi sebagai
seorang gadis kurang senang.
"Bagus! Tapi dasar Paman berat sebelah. Seumpama dia menghinaku, apakah yang akan
Paman lakukan?" Gagak Seta hendak mengambil hati si gadis. Mengapa dia berlaku demikian, tidak seorang-pun di dunia ini yang bisa menerangkan. Dia sendiri tak pandai membaca perasaan hatinya. Yang terasa dalam hati ialah ia senang melihat Titisari, seolah-olah gadis itu bagian dari dirinya sendiri.


Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Barangkali karena tingkah lakunya begitu lincah dan cekatan. Lagi pula bisa melayani dirinya.
Kecuali itu pandai memasak pula. Rasanya, dia segan mau berpisah daripadanya.
"Nona manis! Janganlah kamu bersedih. Coba katakan, apa yang kau pinta" Seyogyanya aku hanya mengajar bakal suamimu satu dua jurus semata?" katanya.
"Tidak! Tidak!" Sahut Titisari cepat. "Bahkan Paman harus mengajarkan dengan sungguhsungguh. Syukur bisa menerima seluruh kepandaian Paman. Hanya saja, Paman harus pula
memberi ilmu simpanan kepadaku, yang bisa memenangkan dia."
"Eh, anak siluman. Kamu benar-benar licin seperti ayahmu."
"Baiklah. Memang aku tak punya anak dan merindukan seorang anak selincah kamu. Rasanya tidak ada ruginya, mengabulkan permintaanmu. Moga-moga dikemudian hari" kalau tulang
belulangku sudah rontok"kau sudi mengurusi." Ia berhenti mengesankan. Meneruskan, "Bakatmu lebih baik daripada calon suamimu itu. Sebelum dia bisa memahami semua ilmu yang kuberikan kepadanya, kamu akan kuberi suatu ilmu. Aku percaya, kamu akan cepat mengerti sebelum dia paham ekornya. Ilmu itu merupakan tenaga imbangan dahsyat dari Kumayan Jati. Namanya,
Ratna Dumilah. Konon kabarnya"menurut cerita"ilmu itu berasal dari Sanghyang Tunggal yang diberikan kepada putranya kedua, Sanghyang lsmoyo. Ilmu itu khusus untuk melawan Ilmu
Kumayan Jati yang diberikan Sanghyang Tunggal kepada putranya ke empat, Sanghyang
Manikmaya. Tetapi karena kalian berdua adalah calon suami-isteri, maka akan kubuat sedemikian rupa sehingga kalian berdua tak bisa saling menyentuh dan melukai. Kau mengerti maksudku?"
Sehabis berkata demikian dan belum lagi Titisari membalas pertanyaannya, ia meloncat dan bersilat berputaran cepat luar biasa. Gerak-geriknya cekatan, gesit luar biasa sampai bisa mengaburkan penglihatan. Tapi anehnya, tidak menerbitkan suatu tenaga dahsyat yang
membahayakan. Setelah ia berhenti bersilat, Titisari sudah bisa mengingat-ingat separah.
"Seluruhnya berjumlah 36 jurus," kata Gagak Seta. 'Tetapi mempunyai silang perpecahan tujuh sudut tiap jurus. Jadi berjumlah 7 x 36, ditambah dengan delapan penjuru. Utara, barat, selatan, timur, kemudian tenggara, barat daya, timur laut dan barat laut. Jadi keseluruhan berjumlah 7 x 36 x 8 = 1008 jurus pecahan. Meskipun nampaknya tidak bertenaga, tetapi ilmu itu memiliki daya lingkaran rahasia dan daya libatan rahasia. Dalam sekali putaran, ilmu itu membawa pengaruh hawa tertentu. Sudut anginnya tajam luar biasa, bagaikan sebilah pedang. Karena Ismoyo itu artinya dunia, maka gerakannya berputar terus menerus seperti arus samudra dan arus angin yang mengitari jagad. Kau sudah paham?"
Titisari lantas berdiri. Terus ia bersilat menirukan gaya Gagak Seta. Dasar otak terang dan memiliki bakat keturunan yang luar biasa, hampir saja dia bisa melakukan gerakan-gerakan Ilmu Ratna Dumilah dengan sempurna. Dia hanya membutuhkan beberapa petunjuk dan penjelasan.
Selang tiga jam, dia sudah hapal seluruhnya. Tinggal memahirkan belaka.
Kala itu, matahari hampir condong ke barat. Segera mereka teringat kepada Sangaji yang
masih saja berlatih di luar gua. Bergegas Titisari memanggilnya. Dan ketika anak muda datang kepadanya, Titisari menyongsongnya dengan tertawa bangga.
"Aji! Sekarang kau bisa memenangkan ilmumu. Makanlah! Aku akan mandi dahulu."
Setelah berkata demikian, gadis itu benar-benar pergi mandi. Ia melompat ke sungai dan
berenang ke sana kemari dengan gembira.
"Bakal isterimu itu cerdik luar biasa." Kata Gagak Seta menemani Sangaji makan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ya," sahut Sangaji sederhana. "Tadi kulihat Paman sedang menurunkan suatu ilmu begitu dahsyat. Kucoba melihat dari jauh. Mendadak penglihatanku kabur. Ilmu apakah itu?"
Gagak Seta tertawa. Ia tidak melayani pertanyaan Sangaji. Bahkan ia kemudian merebahkan
diri dan tidur mendengkur seperti babi hutan.
Tak berani Sangaji mengganggunya. Sehabis makan, diam-diam ia melatih mengatur napas
menurut ajaran Gagak Seta. Tetapi seperti tadi pagi. Darahnya seperti bergolak dengan
sekonyong-konyong. Seluruh tubuhnya bergetar. Napasnya jadi sesak dan matanya berkunangkunang. Khawatir akan salah laku, cepat-cepat ia membuka mulutnya sambil mengendorkan
semangat. Dan perlahan-lahan ia bisa menguasai diri lagi. Tapi dasar dia berwatak ulet dan tabah.
Tak gampang-gampang menyerah kalah. Sekali lagi ia mencoba dan mencoba. Dan setiap kali ia merasa aliran darahnya terganggu cepat-cepat ia melepaskan semangat. Begitulah ia berulangkah mencoba ilmu Gagak Seta. Mendadak saja, sekilas pikirannya menusuk dalam benaknya. Cepatcepat ia memperbaiki diri. Kemudian berlatih mengatur napas menurut ajaran Ki Tunjungbiru.
Dalam dirinya lantas timbul semacam hawa hangat yang nyaman luar biasa. Hawa itu bergerak dengan halusnya dan meraba seluruh urat-uratnya. Mendapat perasaan ini, ia gembira. Kemudian ia berpikir, kalau sekarang aku menggabungkan ilmu ajaran Gagak Seta, apakah akibatnya"
Hatinya berdegup hendak mencobanya. Tetapi segera ia mengendapkan degupan hati dan dengan hati-hati, ia menarik napas menurut ajaran Gagak Seta sedikit demi sedikit. Tiba-tiba ia merasa ada suatu gumpalan hawa yang muncul dalam perutnya. Gumpalan hawa itu makin lama makin
membeku. Anehnya, kian lama kian mengembang. Tak lama kemudian, hawa hangat menurut
ajaran Ki Tunjungbiru menghampiri. Mendadak saja tubuhnya berguncang hebat. Karena kedua hawa yang berlainan sifat itu saling bertubruk dan hisap-menghisap. Kedua hawa itu lantas berputar- putar sambil tarik-menarik sehingga memenuhi seluruh tubuh. Seperti diketahui, menurut Gagak Seta ajaran Ki Tunjungbiru adalah ilmu bertahan diri. Itulah intisari dari Ilmu Bayu Sejati. Sebaliknya, ajaran Gagak seta bersifat merangsak dan menghimpun tenaga. Karena dasar tenaga Sangaji berpijak kepada kesaktian getah pohon Dewadaru, maka kedua kekuatan yang
berlainan sifat itu saling berebut hendak mengambil bahan tenaga. Yang satu merangsak dan yang lain bertahan. Karena dasarnya sama kuat, maka tenaga getah sakti Dewadaru lambat-laun terasa berubah sebagai bola yang berputar-putar dan meluncur ke sana ke mari tiada tentu.
Andaikata Sangaji sudah bisa meluncurkan tenaga raksasa itu ke dalam urat-uratnya, alangkah akan besar guna-faedahnya. Sayang, ilmu demikian belum dimiliki. Karena itu, yang terasa dalam perutnya semacam bongkahan batu mengganjel perut. Bongkahan itu kadang tersekam dalam
pusat, kadang-kadang naik menyodok ketiak dan menutupi rongga dada. Meskipun demikian,
bongkahan hawa itu tiada menyakiti dirinya seperti tadi. Dia hanya merasa geli dan bulu romanya meremang kalang-kabut. Karena lambat-laun rasa geli itu menyeluruh sampai bulu-bulunya, ia tidak tahan lagi. Cepat ia melepaskan kedua tenaga sakti yang saling berbenturan. Di luar dugaan, begitu terlepas dari gangguan itu, mendadak saja tubuhnya menjadi lemas tak berdaya.
Ia kaget luar biasa. Tatkala sadar akan kecerobohannya, Titisari sedang memasuki gua dengan membawa serenteng ikan. Gadis itu terperanjat ketika melihat muka Sangaji berubah menjadi bersemu hijau. Cepat ia meraba pergelangan tangan dan dengan berteriak agak keras ia mencoba membangunkan Gagak Seta.
"Paman! Apakah yang salah?"
Sebenarnya menurut pantas, orang yang sedang tidur berdengkur semacam Gagak Seta takkan
mendengar pekikan Titisari. Tapi Gagak Seta adalah seorang yang mahasakti pada zaman itu.
Hampir berbareng dengan kalimat Titisari yang penghabisan, ia sudah meloncat bangun terus menyambar perge-langan tangan Sangaji.
"Anak tolol!" makinya sungguh-sungguh. "Kamu mau bunuh diri" Bukankah sudah kunasihatkan, agar tak mengingat-ingat ajaranmu yang dulu?"
Meskipun mulutnya memaki kalang kabut. Tapi segera dia bekerja. Dengan bantuan tenaga
saktinya, ia dapat mengendapkan pengaruh getah Dewadaru yang dibangunkan oleh Ilmu Bayu
Sejati. Apalagi dikala itu Sangaji telah melepaskan pengaruh kedua tenaga ajaran saktinya. Maka dalam beberapa saat, ia telah pulih kembali. Mukanya yang bersemu hijau, kembali menjadi merah dan lambat-laun nampak segar seperti sediakala.
"Apa yang telah kau lakukan?" bentak Gagak Seta.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Aku mencoba membangunkan ajaran yang lalu dengan ajaran Paman," jawab Sangaji gugup.
"Goblok! Tolol!" maki Gagak Seta. "Otakmu tumpul. Kau harus menginsyafi, tahu?"
"Ya, memang otakku tumpul." Sangaji mengaku. Karena pengakuannya, mendadak timbullah suatu iba dalam diri Gagak Seta. Mulutnya yang sudah siap-siap hendak memaki lantas saja batal.
Bahkan, timbullah rasa sayangnya. Sebentar kemudian ia berkata menasihati.
"Memang, aku berharap kamu bisa melebur kedua ilmu itu. Tapi, jangan sekarang! Sebab masing-masing belum kau pahami benar, sehingga kamu belum punya pegangan titik imbangnya.
Coba kalau tidak cepat-cepat ketahuan, tubuhmu sudah hangus terbakar. Karena dalam dirimu tersekam tenaga sakti yang dahsyat."
Titisari mempunyai kesan tertentu terhadap Sangaji. Mendengar Gagak Seta memakinya, jadi tidak senang hati. Menungkas, "Hai Paman! Kau mau merasakan kelezatan masakan Karimun Jawa tidak?"
"Tentu saja! Tentu saja!" Gagak Seta menebak-nebak.
"Nah, tolong aku membersihkan ikan-ikan. Dan jangan lagi memaki muridmu di hadapanku."
Sebentar saja orang tua itu terhenyak. Kemudian tertawa terbahak-bahak.
"Eh! Jadi, aku salah omong" Baiklah aku minta maaf. Ayo, ayo kutolong."
Sangaji jadi perasa. Dengan sungguh-sungguh ia memotong.
"Semua ini akulah yang menerbitkan gara-gara. Biarlah Paman meneruskan tidur. Aku akan membantu Titisari. Dan aku berjanji, aku tidak akan mengulangi kesem-bronoanku semacam tadi."
Dengan cekatan ia menyambar serenteng ikan-ikan tangkapan Titisari dan bergegas keluar gua.
Setelah itu, ia menyalakan perdiangan. Dan pada malam harinya, mereka bertiga menggerumuti masakan Titisari yang benar-benar terasa lezat luar biasa.
"Kamu ini memang anak iblis benar," kata Gagak Seta kagum. "Tanganmu membawa kelezatan luar biasa. Selama hidupku baru kali inilah aku merasakan masakan Karimun Jawa. Pantas,
ayahmu betah tinggal di suatu kepulauan jauh di seberang."
"Tak usah Paman mengeranyangi milik orang kampung. Kami membekal beberapa ringgit.
Asalkan Paman setuju, kita meneruskan perjalanan mendekati perkampungan, ayam-ayam dan
itik-itik akan kita peroleh."
"E-hem. Itu pun cara yang baik pula. Eh, ke mana sebenarnya tujuan kalian?"
Titisari mengalihkan pandang kepada Sangaji. Pemuda itu lantas menjawab.
"Ke selatan. Ke Desa Karangtinalang. Di iesa itulah, aku dahulu dilahirkan. Tapi aku dibesarkan di Jakarta."
Gagak Seta merenunginya, kemudian menguap lebar dan tanpa berpamitan ia memiringkan
tubuh dan merebahkan diri. Belum lagi lima pernapasan, dia telah mendengkur ribut. Dan mau tak mau kedua muda-mudi itu segera memilih tempat berbaring masing-masing.
Menjelang tengah malam, Titisari telah tertidur lelap. Tinggal Sangaji seorang diri yang masih bolak-balik di atas tanah. Dengan berdiamm diri ia merenungi perdiangan yang masih menyala terang. Pengalamannya berlatih mengatur napas sehari tadi sangat mengesan dalam dirinya.
Dasar wataknya ulet dan tabah, tak dapat ia menyerah kalah dengan kenyataan sehari tadi. la mencoba memecahkan persoalannya. Pikirnya, "apa yang dikatakan Paman Gagak Seta benar
belaka. Tapi mustahil ia dapat merasakan apa yang kurasakan dalam diriku. Tetapi sewaktu kulepas, tubuhku lantas saja terasa menjadi lemah lunglai. Apakah hal ini tidak disebabkan karena aku terus melepaskan tenaga dengan sekaligus" Jika kukendalikan sedikit demi sedikit, apakah sama juga pengaruhnya" Baiklah kucoba."
Mendapat pikiran demikian, maka dengan diam-diam ia duduk bersila. Kemudian mengatur
napas menurut ajaran Ki Tunjungbiru. Ketika sudah merasa kokoh, segera ia menyedot napas menurut ajaran Gagak Seta. Mendadak saja terdengar Gagak Seta menggerutu.
"Tolol! Jangan terlalu banyak mencampur-adukan, perlahan-lahan dan sedikit demi sedikit!"
Ia terkejut bukan kepalang, karena sama sekali tak mengira pendengaran Gagak Seta
sedemikian tajam. Tapi diam-diam ia bergirang hati, karena Gagak Seta lebih condong menasihati.
Maka dengan tekun dan penuh semangat, ia menjalankan semua nasihatnya. Napas yang tersedot terlalu kuat, cepat-cepat dikurangi sehingga terasa enteng merata. Dan ajaib! Pengaruhnya tidak begitu tajam. Yang terasa kini, seolah-olah ada selembar lapis hawa merata ke seluruh kulit dagingnya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Bagus!" Gagak Seta setengah girang. "Sekarang coba pertebal! Tapi jaga jangan sampai bergelombang. Sedikit bergelombang, kamu akan merasa pengaruhnya. Sebab gelombang itu
akan membeku dan menjadi gumpalan tenaga yang harus kau lepaskan cepat-cepat."
Perlahan-lahan dan hati-hati, Sangaji mencoba melakukan nasihat itu. Tetapi bagaimanapun juga, dia belum mendapat pengalaman banyak. Keseimbangan antara tenaga napas ajaran Ki
Tunjungbiru dan ajaran Gagak Seta, belum dapat dikuasai. Maka di luar kemampuannya sendiri, mendadak saja terasalah tenaga Kumayan Jati mendesak tenaga Bayu Sejati. Sudah barang tentu Bayu Sejati berusaha mempertahankan diri sebisa-bisanya. Karena itu, terjadilah suatu
pergumulan yang menimbulkan riak gelombang. Muka Sangaji lantas bersemu hijau. Waktu itu, perdiangan dalam gua belum padam seluruhnya, maka warna hijau itu cukup terang bagi
penglihatan seorang ahli seperti Gagak Seta.
"Tolol! Apakah kamu mau bunuh diri!" bentak Gagak Seta.
Bentakan itu sangat dahsyat, sehingga Titisari terbangun sekaligus. Melihat Sangaji dalam kesulitan, gadis yang cerdas itu cemas hatinya.
"Kendorkan perlahan-lahan!" perintah Gagak Seta. "Terlebih dulu Kumayan Jati. Kemudian Bayu Sejati cepat tarik!"
Sebagai gadis yang terang otaknya. Titisari lantas bisa menebak persoalannya. Tanpa disadari, terloncatlah ucapannya.
"Bagaimana kalau Bayu Sejati yang ditambah?"
Sebenarnya, ia tak tahu tentang sifat Bayu Sejati dan Kumayan Jati yang bertentangan. Ia hanya menarik kesimpulan dari kata-kata Gagak Seta belaka, yang memerintahkan agar menarik Kumayan Jati dan kemudian Bayu Sejati. Tapi memang dia ditakdirkan sebagai seorang gadis yang sangat cerdas pada zaman itu. Ayahnya, seorang ahli ilmu alam, ilmu falak, ilmu ukur, ilmu siasat perang dan tata-berkelahi. Dalam hal ilmu tata-berkelahi, ia kurang menaruh perhatian, sehingga tak mau mewarisi kepandaian ayahnya. Tetapi dalam hal ilmu-ilmu lainnya, ia hampir sejajar. Tak bosan-bosannya ia mengadakan percobaan mencampur adukkan ramuan-ramuan tertentu,
sehingga ia ahli dalam hal membuat racun, membuat ramuan obat-obatan dan memasak. Karena itu, begitu mendengar istilah Kumayan Jati dan Bayu Sejati yang terlompat dari mulut Gagak Seta, sekaligus ia dapat menebak.
Sangaji sendiri, sudah semenjak lama merasa takluk kepada kecerdasan Titisari, maka begitu ia mendengar suaranya cepat-cepat ia melakukan sarannya tanpa was-was lagi. Karena ajaran Ki Tunjungbiru telah terlatih masak dalam dirinya, maka tak soal menambah atau mengurangi daya gunanya.
Bukan merupakan sulit baginya. Hasilnya sungguh mengagumkan. Sebab dengan menambah
tenaga Bayu Sejati, dengan sendirinya ia melepaskan tekanan arus Kumayan Jati. Dengan
demikian kekuatannya jadi berimbang. Tetapi seperti dirasakan semula, ia belum menguasai keseimbangannya. Sehingga menambah tenaga Bayu Sejati dan terlalu melepaskan arus Kumayan Jati yang agak berlebihan, melahirkan suatu perpaduan yang timpang. Seketika itu juga, warna mukanya yang tadi bersemu hijau kini jadi menghitam.
"Apa yang salah?" seru Titisari cemas.
Gagak Seta merenungi. Kemudian berkata penuh selidik.
"Kau lakukan saran bakal isterimu?"
Sangaji hanya kuasa mengangguk.
Kembali Sangaji mengendorkan tenaga Bayu Sejati dan menambah arus Kumayan Jati.
Tak lama kemudian, seluruh tubuhnya merasa nyaman. Tetapi karena kedua tenaga sakti itu
belum bisa melebur menjadi satu dan ditambah pula dengan getah sakti Dewadaru, maka tetap saja merupakan unsur yang selalu bertentangan. Sulitnya ialah, karena tak dapat terlihat oleh indera mata. Sehingga keseimbangannya hanya berdasarkan rasa belaka. Maka kembali ukuran arus Kumayan Jati terlalu kuat. Seketika itu juga, seluruh tubuhnya menggigil dan mukanya berwarna hijau tua sampai kelopak matanya hijau pengap pula. Segera Gagak Seta memberi aba-aba dahsyat. "Lontarkan pukulan!"
Sangaji mencoba bangun, tetapi tubuhnya seperti terpaku. Ia mencoba menggeliat. Lengannya pun terasa menjadi kaku pula.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Tambah Bayu Sejati dan coba lontarkan pukulan!" teriak Titisari tegang. Ia tahu kalau Sangaji lalai sedikit tubuhnya bisa kaku menjadi arca.
Karena jerit Titisari, hati Sangaji terkesiap. Sesungguhnya bibit cinta kasih mulai tersenyum dalam hati nuraninya. Dan orang tahu, apa arti cinta yang tumbuh dalam hati seorang pemuda sebaya dia. Itulah cinta sejati yang berani berkorban dalam segala hal. Maka dengan mati-matian, ia mengendorkan arus Kumayan Jati dan menambah tenaga daya tahan arus Bayu Sejati. Begitu ia merasa mendapat peluang, segera ia menggeliat dan melontarkan pukulan gaya Gagak Seta.
Pukulan itu dilontarkan dengan membabi buta dan tepat mengarah dinding gua. Maka seketika itu juga, terjadilah suatu keajaiban luar biasa.
Gua itu sekaligus runtuh berantakan dengan suara
gemuruh. "Bagus! Hebat!" puji Gagak Seta. Tapi berbareng
dengan itu, cepat-cepat ia menolong keadaan Sangaji
yang jatuh terkulai. Setelah pulih kembali, mulailah anak muda itu
insyaf benar-benar. Karena bagaimanapun juga, kedua
unsur ilmu sakti itu masih saja berdiri sendiri. Sifatnya
bertentangan dan seolah-olah sedang berlomba. Mau
tak mau ia harus mendengarkan nasihat Gagak Seta
agar melupakan ajaran Ki Tunjungbiru untuk
sementara sebelum mendapat jalan keluar.
"Paman! Pukulan yang tadi kulontarkan, benarbenar mengagumkan. Aku hampir-hampir tak percaya.
Tetapi mulai sekarang, aku akan tunduk kepada setiap
patah kata Paman ..."
Gagak Seta waktu itu masih saja memijat-mijat
seluruh tubuhnya, la berdiam diri dan sepatah kata
pun tiada terbintik keluar dari mulutnya. Suasana
dalam gua itu lantas saja menjadi tegang luar biasa.
Kesokan harinya, mereka meneruskan perjalanan
mengarah selatan. Perjalanan mereka kini mulai mengitari punggung Gunung Sumbing.
Pemandangan seberang-menyeberang sangatlah indahnya. Apa lagi, waktu itu habis hujan.
Mahkota daun-daunan nampak segar bugar. Dan sawah-sawah penduduk yang bermukim di atas
pegunungan berkesan meriahkan hati.
Gagak Seta menunggang kuda putih, sedangkan Sangaji dan Titisari membebani punggung
Willem. Mereka cukup kenal kekuatan Willem, sehingga tak usah meragukan kesanggupannya.
Sepanjang jalan Titisari mengobrol tentang bermacam-macam resep makanan sampai mulut
Gagak Seta yang keranjingan makan enak, jadi meliur tak keruan. Hatinya bertambah kepencut dan takluk kepada si gadis. Dengan demikian, orang tua itu sama sekali tak sadar sudah menjadi tawanannya.
"Paman!" tiba-tiba Titisari mengalihkan pembicaraan. "Mengapa semalam Sangaji begitu sengsara mencoba memanunggalkan dua ilmu saktinya?"
Dalam keadaan biasa, tak mungkin Titisari memperoleh jawaban. Tapi karena Gagak Seta
sudah terlalu kepencut kepada masakannya, maka tak ingin dia menyakiti hatinya. Segera orang tua itu meloncat ke tanah sambil meraup tiga butir batu. Kemudian ia meloncat kembali ke atas kudanya, la membagi kedua batu kepada Titisari dan Sangaji, sedangkan dia sendiri
menggenggam sebutir. "Batu yang digenggam bakal suamimu itu seumpama ilmu Bayu Sejati. Yang kugenggam ini seumpama Ilmu Kumayan Jati. Dan yang kau genggam adalah getah sakti Dewadaru. Getah sakti Dewadaru adalah dasar tenaga murni Sangaji, yang dahulu kucapai dengan bertapa tiga tahun lamanya. Meskipun sifatnya berbeda, tapi dalam hal ini ada persamaannya. Yakni suatu himpunan tenaga ajaib menurut kodrat alam."
"Apakah getah sakti Dewadaru itu, Paman?" potong Titisari. Dia belum pernah mendengar tentang riwayat getah sakti itu. Maka Sangaji lantas saja memberi penjelasan dan menceritakan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
pengalamannya tatkala menghisap getah sakti pohon Dewadaru di Pulau Edan. Dengan kening
berkerut-kerut, Titisari mendengarkan cerita Sangaji dengan sungguh-sungguh. Bulu kuduknya ikut meremang, tatkala cerita Sangaji sampai pada perjuangan menghisap getah. Tanpa
disadari terlompatlah rasa kagumnya.
"Sungguh ajaib! Masa di dunia ini ada semacam pohon demikian" Aji! Kenapa kamu tak
mengajakku ke sana" Aku mau menghisap seluruh pohon sampai perutku bulat seperti perut
babi!" Seperti diketahui, tatkala Sangaji menghisap getah pohon sakti Dewadaru, perutnya lantas saja menjadi bulat penuh keputih-putihan dan Gagak Seta lantas saja menyahut.
"Hai iblis cilik! Tiga puluh tahun lagi, kalau kamu sudah kehilangan kelangsinganmu, tanpa menghisap getah Dewadaru perutmu akan segemuk babi juga." Setelah berkata demikian, orang tua itu tertawa terbahak-bahak. Dan mau tak mau Sangaji ikut pula tertawa. Titisari lantas saja menjadi dengki. Maklumlah, dalam benaknya tak pernah dia percaya, kalau pada suatu kali
kelangsingan dan kecantikan tubuhnya bisa larut digulung umur.
"Baik, baik!" katanya menggigit. "Biar aku kelak menjadi seekor babi, apa pedulimu?" Kemudian cepat-cepat mengalihkan pembicaraan untuk mengelakkan kesan yang tak enak baginya. Katanya,
"Apakah pengaruh getah sakti Dewadaru bagi muridmu itu" Bukankah tidak mengganggu?"
"E-hem." Gagak Seta mendehem, la diam sebentar menimbang-nimbang. "Ilmu Bayu Sejati dan Ilmu Kumayan Jati bersumber sama. Meskipun berlainan sifat, tapi pada hakikatnya bersandar pada suatu tenaga mumi seseorang. Dalam hal ini tenaga sakti Dewadaru. Dengan demikian,
sesungguhnya getah Dewadaru merupakan bahan yang diperebutkan. Mana yang lebih kuat,
dialah yang menang."
"Tapi mengapa, jika Sangaji mengendorkan dan melepaskan kedua unsur ilmu itu, lantas menjadi lemah lunglai" Padahal getah Dewadaru masih tetap berada di dalam tubuh."
"Dewadaru mempunyai sifat menghisap. Itulah sifatnya yang ajaib. Apabila dia telah
ditimbulkan, kemudian sandaran hisapan tiba-tiba menghilang, apakah bukan lantas menghisap tenaga tubuh" Kau mengerti?"
Titisari yang cerdas lantas saja dapat memahami. Sebaliknya, Sangaji yang berotak sedikit bebal belum juga dapat mengerti. Maka segera dia minta penjelasan lagi.
"Ah tolol!" damprat Gagak Seta. "Lihat! Bayu Sejati dan Kumayan Jati saling berebut untuk mendapatkan tenaga Dewadaru. Sebaliknya, Dewadaru juga menghisap kedua unsur ilmu sakti
itu, karena sifatnya memang menghisap apa saja yang bersentuh. Mendadak saja kamu
melepaskan kedua ilmu saktimu. Karena Dewadaru kehilangan sumber hisapan, bukankah lantas saja menghisap sekenanya belaka" Dengan sendirinya yang menjadi sasaran adalah tenaga
tubuhmu. Jelas?" Baru Sangaji dapat memahami persoalannya. Sekonyong-konyong Titisari menimbrung.
"Paman sudah tahu sifat masing-masing. Apakah tidak ada akal untuk melebur dan
menunggalkan?" "Hm, inilah yang masih menjadi soal bagiku," jawab Gagak Seta dengan jujur. Sekiranya ayahmu berada di sini, pastilah bukan soal sulit lagi."
Titisari menghela napas, ketika diingatkan akan kepandaian ayahnya. Sebentar ia berenung-renung, kemudian berkata lagi, "Semalam Sangaji berhasil menggempur dinding gua. Dia pun masih jatuh lunglai juga. Bukankah yang dilontarkan adalah tenaga sakti Bayu Sejati dan Kumayan Jati?"
"Bukan! Bukan! Sudah kuterangkan tadi kalau pokok dasarnya ialah berpijak pada kesaktian getah Dewadaru."
"Ah, tahulah aku!" jerit Titisari setengah girang. "Yang dilontarkan, bukankah tenaga sakti getah Dewadaru?"
"Otakmu memang terang," puji Gagak Seta. "Karena itu, aku menganjurkan kepada bakal suamimu agar menggunakan salah satu ilmu sakti saja untuk menghemat tenaga saktinya. Di
kemudian hari jika sudah berhasil dilebur, itu lain halnya. Jika Kumayan Jati dan Bayu Sejati berhasil dilebur ke dalam getah sakti Dewadaru, alangkah dahsyat hasilnya. Aku pun barangkali takkan tahan pukulannya."
"Kenapa?" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Sebab Dewadaru bukan lagi menjadi bahan, tetapi merupakan gudang penghimpun tenaga sakti Bayu Sejati dan Kumayan Jati sekaligus," jawab Gagak Seta sungguh-sungguh. "Itulah pula sebabnya, aku menganjurkan agar bakal suamimu memupuk daya sakti Ilmu Kumayan Jati
terlebih dahulu. Karena Kumayan Jati, pada hakikatnya menghimpun tenaga murni. Sedangkan jurus-jurusnya adalah ilmu pelontaran dan perangsangnya."
Tanpa merasa, mereka telah memasuki lembah Gunung Sumbing sebelah selatan. Dusun
Kidang dan Arca sudah dilalui. Kini sudah mendekati Dusun Butuh. Mereka kemudian mencari sebuah gubuk yang berada di luar desa. Di sanalah mereka hendak berhenti dan beristirahat.
Kebetulan sekali, gubuk itu menghadap ke barat laut. Pemandangannya sangat indah. Di sana berdiri pegunungan Butak dan Prahu yang samar-samar merupakan latar belakang kemegahan
Gunung Sundara. Kali Bregota yang bermata air di kaki Gunung Sumbing, terjun berdesakan
melintasi batu-batu alam yang mencongakkan diri di persada bumi. Seleret petak hutan terhampar sepanjang tebingnya. Dan dengan sendirinya, angin yang turun dari pinggang gunung terhisap bening sebelum sampai ke lembah.. Terasa hawanya segar-bugar menyegarkan pernapasan.
Sangaji lantas saja memasuki tepi hutan hendak berlatih. Ilmu Kumayan Jati hendak
ditekuninya sungguh-sungguh. Ia telah membekal tiga jurus pukulan sakti. Tapi kali ini, dia tidak lagi membutuhkan sasaran batang pohon. Maksudnya hendak memahirkan rahasia lika-liku
jurusnya. Baru saja ia berlatih lima puluh kali, keringatnya sudah membasahi seluruh tubuhnya.
Tetapi diam-diam ia bergirang hati, karena terasa kedua lengan dan kakinya menjadi kokoh kuat.
Ia kemudian beristirahat di bawah rindang pohon sambil mensiasati letak rahasia ilmu sakti itu.
Sekonyong-konyong ia mendengar suara langkah berderapan. Terdengar suara seseorang.
"Guru! Kami kira sudah mendekati tempat tujuan."
Sejurus kemudian terdengar jawaban. "Matamu awas juga. Hm, meskipun aku belum puas
menyaksikan ilmu larimu, tetapi jika dibandingkan dengan dulu ada kemajuannya juga."
Sangaji terperanjat, la kenal suara itu. Cepat ia mengintip. Dan benar juga. Dia adalah Yuyu Rumpung yang sedang berjalan melintasi hutan dengan diiringkan empat orang muridnya.
Keempat murid Yuyu Rumpung itupun, telah dikenalnya, Yakni: Kartawirya, Cekatik gelar Simpit Ceker Bebek, Setan Kobar dan Maling. Melihat mereka, Sangaji mengeluh. Maklumlah dia seorang diri dan berada agak jauh dari pondokan. Dan terhadap Yuyu Rumpung ia segan bukan main.
Maka cepat-cepat ia melompat menerjang gerombolan belukar dan lari sekuat-kuatnya.
Tetapi Yuyu Rumpung bukan anak kemarin sore. Begitu melihat Sangaji lari seorang diri, lantas saja dia membentak.
"Bangsat! Kamu mau lari kemana?" setelah membentak demikian, terus saja dia lari mengejar.
Kini dia telah sembuh benar seperti sediakala. Karena itu tidak lagi ia segan-segan seperti dulu.
Kecuali itu, terhadap Sangaji bencinya setengah mati. Pertama-tama gagal menangkapnya
sewaktu berada di kadipaten Pekalongan dan di alun-alun kena hajar kedua gurunya juga.
Kemudian masih mendapat rintangan dari Gagak Seta, sewaktu menyergap di guanya. Sekarang, dia mendapat kesempatan bagus. Keruan saja, lantas memburu mati-matian.
Keempat muridnya bukan pula orang sem-barangan. Merekapun mempunyai dendam.
Teringatlah mereka, bagaimana kawan pemuda itu menggantungnya di pohon dan mem-permainmainkannya di tengah lapangan di depan orang banyak. Itulah sebabnya, seperti saling berjanji mereka serentak mengejar dan hendak menghajarnya sampai mampus.
Sangaji terus saja lari. Ia sadar akan bahaya. Tapi ketika sudah melintasi tebing kali, pondok tempat Gagak Seta beristirahat sudah dekat. Pastilah Gagak Seta akan mendengar suara
perkelahiannya. Ia berharap akan mendapat bantuan.
"Bangsat! Jangkrik! Babi!" Maki Yuyu Rumpung kalang kabut. "Kamu mau minggat ke mana?"
Jarak antara Yuyu Rumpung dan Sangaji sudah dekat. Maka dengan terpaksa, Sangaji sekaligus berhenti. Cepat ia berputar dan menekuk lutut sedikit. Itulah gaya lontaran pukulan Kumayan Jati ilmu sakti Gagak Seta.
Kartawirya, Cekatik, Setan Kobar, dan Maling, sama sekali tak mengira, bahwa Sangaji akan berhenti dengan tiba-tiba, meskipun itulah yang mereka harapkan. Karena itu, mereka terus saja nyelonong. Pada saat itu, pukulan Sangaji tiba. Hebat akibatnya, Setan Kobar, Maling dan Cekatik mencoba menangkis. Justru itulah letak sasaran yang dikehendaki Ilmu Kumayan Jati. Maka begitu
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menangkis, mereka terpental sepuluh langkah dan kedua lengan mereka patah sekaligus. Mereka jatuh pingsan tak sadarkan diri.
Yuyu Rumpung kaget bukan kepalang. Untung tadi, dia sempat menghindari. Meskipun
demikian, lengannya terasa panas juga. Sewaktu diperiksa, kulitnya lecet.
Sangaji pun heran bukan kepalang. Sama sekali tak diduganya, bahwa Ilmu Kumayan Jati
begitu hebat. Padahal ia hanya menggunakan lima bagian tenaganya. Sebentar ia tercengang-cengang. Ketika telah sadar kembali, segera ia meneruskan berlari cepat-cepat.
"Awas! Bocah itu mempunyai ilmu siluman."
Teriak Yuyu Rumpung setinggi langit. "Kartawirya rawat saudara-saudaramu. Biar kupegatnya sendiri, jahanam itu."
Kartawirya tadi berada di pinggir sebelah utara. Ia hanya kena sambar angin pukulan Sangaji karena itu selamatlah dia, meskipun lengannya pegal bukan main.
Dalam pada itu, Yuyu Rumpung telah berhasil mencegat larinya Sangaji. Seperti binatang galak, lantas saja ia menghadang dengan jurus yang mematikan.
Sangaji terperanjat, tanpa berpikir lagi, terus saja ia menekuk lutut dan mengirimkan pukulan Ilmu Kumayan Jati lagi.
Yuyu Rumpung kaget. Selama merantau nampir seluruh kepulauan Jawa, belum pernah ia
melihat pukulan aneh semacam itu. Melihat siku-siku gerakannya nampak berbahaya, ia tak berani sembrono. Cepat ia berguling ke tanah. Inilah pengalamannya yang pertama bertanding melawan seseorang sampai bergulingan. Tapi mau tak mau, ia harus berbuat begitu jika ingin selamat.
Melihat pukulan meleset, Sangaji segera sadar. Cepat ia berputar dan meneruskan larinya. Tapi Yuyu Rumpung dengan sigap terus melompat, berdiri sambil mengejar.
"Titisari! Titisari!" teriak Sangaji ketakutan.
"Tolong panggil Paman Gagak Seta. Aku dirampok orang."
Yuyu Rumpung terkesiap mendengar Sangaji menyebut nama keramat itu, tapi kemudian ia
berpikir, eh masa Gagak Seta terus menerus berada di antara mereka. Dia laksana angin yang sebentar datang dan pergi. Hm..., apa kamu mau menggertakku" Mendapat pikiran demikian,
lantas saja dia menggertak.
"Bangsat cilik! Kau jangan jual lagak!"
Titisari mendengar seruan Sangaji. Ia melongok dari pintu gubuk. Ketika melihat Yuyu
Rumpung datang menguber-uber Sangaji, timbullah watak nakalnya. Pikirnya, Paman Gagak Seta lagi tidur mendengkur. Biarlah aku menguji ilmu Ratna Dumilah. Kemudian berteriak membalas seruan Sangaji: "Aji! Janganlah takut lawanlah dulu, nanti kubantu."
Sangaji cemas, mengapa Titisari tidak minta bantuan Gagak Seta. Sebaliknya Yuyu Rumpung
girang dan bertambah yakin, kalau Gagak Seta sesungguhnya tidak ada di antara mereka. Dengan tertawa lebar dia membentak.
"Hurdah! Hurdah! Kalian Kelinci-kelinci muda, ayolah kemari. Kalian mau menggertakku, jangan harap!"
Habis membentak demikian, terus saja Yuyu Rumpung merangsak cepat. Sangaji menjadi
gugup. Maklumlah, dia kenal dan tahu kegagahan lawannya. Tanpa berpikir lagi, tiba-tiba
tubuhnya berputar dan meliuk. Itulah jurus kedua ilmu Kumayan Jati. Terus tangannya menyodok.
Yuyu Rumpung sudah mendapat pengalaman. Tapi ia ingin mencoba kekuatan pukulan pemuda
itu. Maka ia hanya minggir satu langkah. Mendadak saja ia merasakan arus angin sekuat batang balik menyodok dadanya. Gugup ia memiringkan tubuh. Tetapi tak urung lengannya kena sambar dan panas bukan main. Tentu saja ia jadi keheran-heranan. Pikirnya, baru beberapa hari aku berpisah dengan bocah ini, mengapa ilmunya berubah begini hebat.
Sangaji melihat lawannya mengelak, lantas saja mengulangi serangannya. Tapi kali ini Yuyu Rumpung tak berani lagi mencoba-coba. Dengan meloncat ke samping, ia mendamprat sambil
merendahkan. "Huh bangsat kecil! Kamu hanya mempunyai satu jurus pukulan, jangan harap kau bisa


Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menaklukanku." Sangaji seorang pemuda yang jujur. Ia tak tahu, kalau Yuyu Rumpung agak jera dan hati-hati, ia ingin benar mengetahui kekuatannya. Tanpa curiga dia menyahut.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Aku mempunyai tiga jurus. Meskipun demikian, kau tak mampu menangkis dan berani
mengadu tenaga." Setelah berkata demikian terus menyerang dengan jurus ketiga.
Yuyu Rumpung terkesiap. Tapi ia ingin melihat ketiga jurus lawannya. Begitu melihat Sangaji berputar-putar melepaskan serangan, cepat ia melompat dan berhasil. Dengan pukulan ini, lantas saja ia mengenal ketiga jurus Sangaji. Yang pertama tatkala di tepi hutan, kemudian yang kedua dan ketiga yang baru dilontarkan. Diam-diam ia bergirang. Pikirnya, asal cepat-cepat menjaga diri masakan bisa kena pukulan. Mendapat pikiran demikian, tanpa ragu-ragu lagi ia merangsak.
Sangaji jadi kerepotan. Berulang-ulang kali ia kena hajar, tetapi selalu saja kena dielakkan.
Lengannya lambat-laun jadi pegal juga. Meskipun demikian, seleret cahaya terlintas dalam benaknya sebagai suatu pengalamannya yang berharga untuk kemudian hari. Yakni mulai
meresap peringatannya tentang maksud Gagak Seta membuat sasaran pukulan sedemikian rupa
sampai tak bisa bergerak. Mendapat peringatan demikian, sadarlah dia akan arti jurus-jurus Ilmu sakti Kumayan Jati yang berjumlah 24 jurus. Pikirnya, sambil berkelahi aku baru mendapat tiga jurus. Seumpama seperempat bagian saja dari semua jurus Ilmu Kumayan Jati sudah kukuasai, Yuyu Rumpung bukan lagi lawanku yang berarti.
Titisari tatkala itu menonton dari luar gelanggang. Ingin dia mengetahui, sampai di mana kemajuan Sangaji. Begitu lambat-laun melihat Sangaji terdesak segera ia berseru, "Aji! Minggir!
Biar aku yang melawan."
Berbareng dengan serunya, ia melompat memasuki gelanggang perkelahian. Tubuhnya gesit
dan melayang seperti seekor burung bangau. Begitu kakinya mendarat, lantas saja tinjunya bekerja. Di luar dugaan, kedua kakinya ikut pula merangsak cepat luar biasa. Itulah salah satu jurus Ilmu Ratna Dumilah.
Yuyu Rumpung kaget. Cepat-cepat ia berkisar dan mundur beberapa langkah. Inilah hebat,
sebab selamanya, belum pernah ia kena desak mundur lawannya dalam satu gebrakan saja.
Sebaliknya Sangaji jadi bergirang hati. Diam-diam ia bersyukur melihat kehebatan gadisnya. Maka ia melompat keluar gelanggang dan menjadi penontonnya.
Titisari ternyata lincah dan cekatan menggunakan Ilmu Ratna Dumilah. Hanya sayang, dia
belum mampunyai tenaga dasar murni. Andaikata dasar tenaga murninya seperti Sangaji, Yuyu Rumpung dapat dijungkirkan dalam beberapa gebrakan saja. Karena itu, sekalipun pukulannya sering mengenai sasarannya, tetapi lawannya belum juga dapat dijungkalkan. Maklumlah, Yuyu Rumpung adalah penasehat sang Dewaresi dan menjadi guru besar anak-anak buah Banyumas.
Selain ilmunya hebat, kulitnya kebal pula dengan senjata.
Beberapa jurus kemudian, ia nampak dapat mendesak Titisari. Dua-tiga kali Titisari kena hajar.
Untung hanya tersambar lintasan. Jika kena telak, sudah semenjak tadi ia dijatuhkan, mengingat Panembahan Tirtomoyo saja tidak tahan menerima pukulannya.
Dalam pada itu Kartawirya sudah datang pula dengan memapah Cekatik, Setan Kobar dan
Maling bisa berjalan sendiri, meskipun kakinya pincang dan lengannya patah sebelah. Mereka berdiri di pinggir gelanggang. Melihat gurunya menang, mereka bergembira walaupun mukanya masih pucat lesi.
Sangaji jadi resah. Mau tak mau ia harus segera membantu Titisari. Mendadak ia mendengar Titisari berkata nyaring. "Hai setan botak! Kamu begini kurang ajar berani mendesakku. Apa kamu tak takut Gagak Seta?"
Yuyu Rumpung tertawa terbahak-bahak, "Hm, kamu mau menggertakku" Jangan harap."
"Kau tak percaya Gagak Seta berada di sini?"
"Meskipun dia berada di sini apa kau kira aku takut padanya?"
"Bagus! Jadi kamu berani melawan Gagak Seta?" Titisari girang. Sebab dalam hatinya, ia lagi mencari siasat memancing lawan agar menantang Gagak Seta yang lagi tidur berdengkur dalam gubuk.
"Kamu kira apa aku ini?" Damprat Yuyu Rumpung sengit.
"Bagus! Jadi kamu tak takut, kalau tiba-tiba Gagak Seta muncul di depanmu?"
"Apa yang kutakuti?"
"Kau tak takut kegarangannya?"
"Bih! Masa aku takut" Biarpun dia bule seperti Baladewa (raja Mathura). Aku takkan bisa kejangkitan bulenya" Ohooo..."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Bagus! Kamu menghina pamanku. Dia berada dalam gubuk!" gertak Titisari. Tetapi Yuyu Rumpung sudah yakin semenjak tadi, kalau Gagak Seta tidak ada di antara mereka. Itulah
sebabnya dia begitu berani. Maka dengan membusungkan dada, ia meledek.
"Kalau benar, suruhlah dia keluar! Seribu Gagak Seta suruhlah mengkerubutku dan aku takkan mundur selangkah pun juga."
Berbareng dengan kalimatnya yang penghabisan, terdengar suara orang mendehem dari dalam
gubuk. Itulah dehem Gagak Seta yang terbangun oleh caci-cercanya. Maka terdengar suara Gagak Seta nyaring.
"Nona manis! Tolong hajar pipinya si Monyet meloncat parit terenggut Babi Buduk kesodok Anjing Kencing!"
Titisari heran mendengar ucapan Gagak Seta. Tapi dasar ia cerdas, mendadak saja tahulah dia maksud orang tua itu. Bukankah Monyet melompat parit itu adalah nama jurus Ilmu Ratna
Dumilah yang berbunyi, Amangkurat Mas melintasi perbatasan-perbatasan" Dan arti terenggut Babi Buduk adalah nama jurus dipegat Opsir Belanda. Sedangkan istilah kesodok Anjing Kencing, maksudnya dihancurkan Untung Surapati. Hanya saja istilah-istilah nama jurus Ilmu Ratna
Dumilah itu diganti demikian rupa, agar tak diketahui lawan sambil menghinanya.
Titisari jadi geli setelah dapat menebak maksud Gagak Seta. Waktu itu ia melihat, Yuyu
Rumpung sedang bersiaga hendak melancarkan serangan, la berbimbang-bimbang. Pikirnya, dia menyuruhku menggunakan tiga jurus Ratna Dumilah dengan sekaligus. Apakah dia sudah bisa menebak maksud lawan. Percaya kepada kehebatan ilmu Gagak Seta, gadis itu lantas saja
melancarkan serangan jurus pertama sebagai kelinci percobaan. Hasilnya sungguh mengagumkan.
Mendadak saja Yuyu Rumpung gugup merubah jurus serangannya menjadi suatu pertahanan.
Keruan saja, Titisari terus memberondong dengan dua jurus berikutnya. Di luar kesadarannya sendiri tangannya mendadak saja sudah menggaplok pipi kanan Yuyu Rumpung. Untung,
tangannya belum bertenaga. Meskipun demikian, sebagai pendekar besar Yuyu Rumpung malu
bukan main. "Monyet!" makinya. "Apa kamu sudah sekarat?"
Terdengar suara Gagak Seta dari dalam gubuk, "Kuda Binal mendupak pantat, tercebur dalam kubangan Kopi, kena sambar geledek Tikus, keserobot Babi Gering."
Titisari jadi tertawa cekikikan mendengar kalimat-kalimat pengganti istilah jurus Ratna Dumilah.
Ia kini percaya benar, kalau orang tua itu dengan tepat dapat menebak kemauan musuh, garis pertahanannya dan jurus-jurus serangannya. Maka tanpa ragu-ragu lagi, ia terus mendesak. Yuyu Rumpung mendengar pula ucapan Gagak Seta. Ia sibuk menduga-duga. Maka begitu melihat
serangan Titisari, cepat ia bersiaga. Sebagai seorang pendekar kawakan, ia tak menjadi gugup menghadapi macam serangan bagaimanapun hebat dan anehnya. Hanya saja ia heran, mengapa
dia tadi bisa kena tamparan. Padahal dia sudah ber-siaga-siaga pula. Bahkan diam-diam sudah mempersiapkan suatu serangan balasan. Apakah orang yang mengkisiki gadis itu mempunyai
mata dewa, pikirnya menebak-nebak.
Tapi kali ini pun dia kena jebak pula. Jurus-jurus yang sudah dipersiapkan jadi macet.
Sebaliknya, gerakan Titisari seperti mempunyai mata. Dengan gesit, kedua tangan dan kakinya berserabutan. Dan hati-hati Yuyu Rumpung melayani. Ia mencoba berlaku seksama. Tapi aneh!
Masih saja lututnya kena sapu. Meskipun tak sampai jatuh, namun tubuhnya tergetar juga.
"Kurangajar!" makinya kemudian berkata nyaring mengarah ke gubuk, "Tolong! Siapa orang cendekiawan yang bersembunyi dalam gubuk?"
Sampai sekian lama ternyata dia belum juga mengenal suara siapa yang bersembunyi dalam
gubuk. Sebaliknya, Gagak Seta tak mengindahkan. Waktu itu dia lagi menggerayangi masakan Titisari yang sudah disiapkan di atas tanah. Dia makan seperti kuda keranjingan. Menghantam daging, menggerogoti paha ayam. Mencicipi sayur dan menyikat habis gorengan ikan sungai.
Yuyu Rumpung jadi penasaran. Sebagai seorang penasehat sang Dewaresi yang berwibawa di
daerah Banyumas, ia merasa terhina. Maka dengan tak segan-segan lagi, ia mendesak Titisari sampai keripuhan. Berkali-kali gadis itu terancam bahaya. Untung dia gesit, sehingga senantiasa dapat menghindari semua pukulan. Sebaliknya, Sangaji jadi cemas. Tanpa mengukur kepandaian sendiri, ia melompat kembali ke gelanggang.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Sekarang aku minta sambel goreng dan bergedel anjing," seru Gagak Seta dari dalam gubuk.
Ternyata sambil menikmati makanan, orang tua itu masih bisa juga memberi nasihat-nasihat.
Titisari segera tahu maksud Gagak Seta. Cepat luar biasa, ia mendorong Yuyu Rumpung ke
suatu sudut tertentu. Kemudian ia memberi isyarat kepada Sangaji agar memukulnya. Dan tanpa ragu-ragu lagi, Sangaji terus saja melontarkan pukulan sakti Ilmu Kumayan Jati jurus pertama dan jurus kedua dengan sekaligus.
Yuyu Rumpung terkejut luar biasa, la kenal, kehebatan pukulan Sangaji. Karena itu, dengan mati-matian ia mengelak dan menjatuhkan diri bergulungan di atas tanah. Setelah dapat berdiri kembali, segera ia berseru nyaring.
"Tuan yang bersembunyi di dalam gubuk. Sudilah Tuan memperkenalkan nama Tuan, agar aku tahu diri."
Tapi sekali lagi, Gagak Seta tak mempedulikan. Enak saja, dia menggerumuti makanan sambil memberi petunjuk-petunjuk dari dalam dinding.
Titisari dan Sangaji heran bukan kepalang. Semua jurus-jurus yang dianjurkannya selalu tepat.
Dia seperti sudah dapat menebak apa yang akan dilakukan lawannya. Itulah sebabnya, kerjasama mereka bertambah yakin dan yakin.
"Bangsat! Babi!" maki Yuyu Rumpung kalang kabut. Segera dia berusaha mendesak, tapi selalu saja dapat digagalkan oleh jurus-jurus kedua anak muda yang terpimpin dari jauh. Kartawirya yang menonton dari luar gelanggang jadi penasaran pula. Ingin dia membantu, tapi segan kepada gurunya. Sebab kalau dia terus menceburkan diri dalam gelanggang tanpa seizinnya adalah bagai merendahkan derajat sang guru. Karena itu, seperti cacing terinjak ia bergelisah seorang diri.
Setelah cukup menghajar Yuyu Rumpung pulang-balik, akhirnya Gagak Seta berkata, "Nona manis! Tolong kisikkan kepada binatang itu, siapakah sebenarnya yang berkata ini dan bilang, agar dia jangan berkisar dari tempatnya."
Mendengar perkataan Gagak Seta, Titisari segera berkata sambil mendesak, "Hai kau binatang botak! Tahukah siapa yang berada di dalam gubuk itu" Dialah Paman Gagak Seta yang sudah
kuberitahukan kepadamu terlebih dahulu. Dia minta agar kamu jangan berkisar dari tempat."
Mendengar ujar Titisari, Yuyu Rumpung masih saja belum percaya, la berbimbang-bimbang.
Dengan mata melotot ia mendamprat.
"Hm... kaukira apa aku ini, sampai bisa kau gertak?" Titisari hendak membalas dampratan itu, mendadak ia mendengar Gagak Seta berkata nyaring.
"Nona manis! Kemarilah sebentar! Dan biarkan anak tolol itu melayani anjing buduk itu.
Suruhlah menggempurnya dengan tiga jurus terus-menerus. Dan tak bakal dia berani mendekat."
Benar juga. Ketika Sangaji terus-menerus menggempur Yuyu Rumpung dengan tiga jurus ilmu
sakti Kumayan Jati, tak berani pendekar botak itu mendekati, la melompat mundur dan berdiri dalam jarak sepuluh langkah. Dengan begitu, lambat-laun pertempuran jadi berhenti sendiri.
Dalam pada itu, Titisari datang memasuki gubuk. Dan tak lama kemudian, keluar lagi dengan membawa sebatang tongkat terbuat dari baja putih (monet). Tongkat baja putih itu berkilauan, tatkala kena pantulan surya. Dan itulah kelebihannya ketika dibandingkan dengan tongkat yang terbuat dari kayu atau besi atau baja hitam. Selain itu tidak ada keistimewaannya lagi. Meskipun demikian, ketika Yuyu Rumpung melihat tongkat tersebut, lantas saja menjadi pucat lesi.
Tubuhnya menggigil. Sangaji dan Titisari tidak heran lagi, mengapa Yuyu Rumpung kemudian menjadi ketakutan. Mereka sudah menyaksikan tatkala Yuyu Rumpung kena gertak Gagak Seta
dalam gua dua hari yang lampau. Hanya saja, mereka tak mengira pendekar botak itu sampai menggigil tubuhnya.
Paman Gagak Seta berkata, "Kamu binatang disuruh memilih macam hukuman. Apakah
hukuman seperti di Gombong atau menerima pukulan kawanku ini," kata Titisari.
Mendengar ujar Titisari, Yuyu Rumpung sekaligus menjatuhkan diri di atas tanah. Ia
menyembah berulang-kali ke arah gubuk. Kemudian berkata minta dikasihani.
"Kasihanilah hambamu. Jika paduka sudi mengampuni hamba, mulai detik ini takkan lagi berani bertemu dengan paduka..."
Titisari segera balik ke gubuk. Berapa saat lagi, ia datang kembali seraya berkata, "Karena kamu berani berkata, maka Paman Gagak Seta memutuskan begini, kau tetap belajar kenal
dengan pukulan kawanku ini ditambah mulai detik sekarang, jangan mengusik kami berdua. Jika
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
melanggar dua larangan itu, nyawamu akan dicabut dari sedikit demi sedikit. Nah, jawablah tanpa kata-kata! Suaramu terlalu berisik."
Yuyu Rumpung tahu arti kata mencabut nyawa sedikit demi sedikit. Yakni hukum picis,
biasanya orang yang kena hukum picis, tubuhnya diikat pada suatu pohon. Lantas kulitnya
dirusak. Setelah itu dikupas. Kemudian anggota tubuhnya dipagasi satu demi satu. Isi perut dan jantungnya akan dikeluarkan dan baru ditikam sampai mati. Karena itu, tubuhnya bertambah menggigil. Kejadian itu menunjukkan, betapa berwibawa nama Gagak Seta di depan matanya.
Padahal dia termasuk salah seorang pendekar sakti undangan Pangeran Bumi Gede.
"Nah, bagaimana?" gertak Titisari seraya mengacungkan tongkat Gagak Seta.
Tanpa berani melepaskan sepatah kata, Yuyu Rumpung memanggut-manggut sambil mencium
tanah. "Bagus!" seru Titisari girang. Segera ia mengedipi Sangaji, agar melepaskan satu jurus ilmu sakti Kumayan Jati. Tapi Sangaji berbimbang-bimbang. Anak muda yang jujur hati itu, kemudian lari memasuki gubuk, berkata kepada Gagak Seta, "Paman! Ampuni dia!"
"Apa kau bilang! Ampuni?" bentak Gagak Seta. Selama bergaul beberapa hari itu, belum pernah Sangaji mendengar dan melihat Gagak Seta membentak begitu garang. Biasanya orang tua itu, gemar bersenda-gurau dan melucu. Karena itu,, hatinya terkesiap dan samar-samar tahulah dia mengapa Yuyu Rumpung bisa ketakutan setengah mati terhadapnya. Pastilah orang tua itu, di saat-saat tertentu bisa berbuat kejam luar biasa.
"Ya... aku memintakan ampun baginya," ujar Sangaji. "Karena memukul orang tanpa perlawanan adalah suatu perbuatan pengecut."
"Hm, kau tahu apa perkara pengecut dan tidak. Perkara perbuatan ksatria dan tidak. Dia orang jahat! Sekiranya tidak ada aku, bagaimana bisa dia membiarkan kamu hidup utuh" Pastilah
tubuhmu akan dicincang dan dijadikan bergedel. Nah, lakukan perintahku! Kau nanti tahu,
siapakah dia sebenarnya."
Diingatkan akan perangai Yuyu Rumpung, mau tak mau Sangaji harus mengangguk. Memang,
orang itu kejam luar biasa. Hampir saja dia mampus tatkala kena tindih di halaman kadipaten Pekalongan dahulu. Teringat akan perlakuan orang itu terhadap Panembahan Tirtomoyo, hatinya menjadi mendongkol pula. Karena itu, meskipun hukuman Gagak Seta terasa kurang berkesan
perwira baginya, setidak-tidaknya apa yang dikatakan tentang dasar watak Yuyu Rumpung
sebagian besar meyakinkan hatinya.
Perlahan-lahan dia mendekati Yuyu Rumpung yang sudah berdiri tegak menunggu hukuman.
Benar-benar orang tua itu tak berani berkutik. Tapi matanya melototi penuh kegusaran kepada Sangaji dan Titisari. Kartawirya pun yang berada di luar gelanggang, tak dapat berbuat sesuatu untuk meringankan hukuman guru besarnya. Cekatik dan Maling, terpaksalah dia menyaksikan pelaksanaan hukuman itu.
"Hai manusia mencari gebuk!" kata Titisari girang. "Kamu sudah melukai Panembahan Tirtomoyo, kakek kawanku itu. Kecuali itu, sudah untuk sekian lamanya menguber-uber dan
mengusik ketenteramannya. Dosamu sudah terlalu besar. Apa lagi berani menghina dan
menantang Paman Gagak Seta. Kalau saja, kepalamu masih bisa menancap di atas lehermu,
sudah merupakan suatu karunia besar."
Yuyu Rumpung tak berani membalas. Hanya, kedua matanya melotot begitu hebat seakan-akan
mau copot. Hatinya geram bukan main seumpama tidak ada Gagak Seta, entah apa yang akan
dilakukan untuk mencingcang kedua muda-mudi itu.
Titisari kemudian memberi isyarat kepada Sangaji.
"Sekarang hukuman akan dilakukan. Awas, jangan berani kamu mengelak. Paman Gagak Seta mengintip dari balik dinding."
Terhadap Gagak Seta, Yuyu Rumpung sudah takluk sampai ke bulu-bulunya. Tapi terhadap
Sangaji, bagaimana dia bisa mengaku kalah" Meskipun demikian, tak berani dia membantah. Mau tak mau dia harus menerima semua perlakuan Sangaji dan Titisari.
Waktu itu, Sangaji sudah meliukkan tubuh. Tadi, dia hendak menggunakan sebagian tenaganya saja. Tapi karena mendengar ancaman Titisari bahwasanya Gagak Seta mengintip dari balik
dinding, terpaksa ia menggunakan seluruh tenaganya. Lututnya lantas saja menekuk dan
terlepaslah pukulannya. Dan hebat akibatnya. Tubuh Yuyu Rumpung nampak bergoyang-goyang,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
la seperti kebal dari pukulan Kumayan Jati. Ia tersenyum menunggu keputusan. Mendadak saja, dia lontak darah dan tubuhnya jadi sempoyongan. Dengan begitu, perlakuannya terhadap
Panembahan Tirtomoyo telah terbalas. Titisari jadi girang. Dengan bertolak pinggang ia lantas berkata, "Itulah hukumanmu yang setimpal. Sekarang, enyah dan jangan lagi berani mencoba mengganggu kami berdua."
Dengan memaksakan diri, Yuyu Rumpung membungkuk ke arah gubuk sambil berkata, "Terima kasih atas kemurahan Paduka..."
Setelah itu melototi Sangaji dan Titisari. Kemudian berjalan tertatih-tatih meninggalkan gelanggang bersama keempat muridnya yang sudah bangkit.
Titisari kagum kepada daya tenaga pukulan Sangaji yang bisa merontokkan jantung Yuyu
Rumpung. Ia memuji dan girang menyaksikan kemajuannya. Tetapi tatkala menghadap Gagak
Seta, orang tua itu nampak bersungut-sungut.
"Mestinya, kamu harus bisa merontokkan tulang-belulangnya," katanya menyesali. "Tapi jika dibandingkan dengan tenaga pukulanmu kemarin, sekarang nampak ada kemajuannya."
Mereka bertiga kemudian menghadapi hidangan. Tadi Titisari sudah selesai memasak hidangan-hidangan yang direncanakan untuk hari itu, kini tinggal sisa-sisanya belaka, karena sebagian besar sudah disikat habis oleh Gagak Seta. Tetapi kedua muda-mudi itu tak mengambil pusing, sebab hidangan itu memang sengaja diperuntukkan baginya. Kalau Gagak Seta bisa terus menerus
tertawan oleh suatu hidangan-hidangan tertentu, dapat diharapkan sudi berada bersama mereka lebih lama lagi. Artinya, mau tak mau ilmu Gagak Seta bisa dikorek sedikit demi sedikit.
"Paman!" ujar Titisari. "Yuyu Rumpung si binatang botak tadi terkejut setengah mati, tatkala aku menyebutkan hukuman seperti Gombong. Mengapa?"
"Tentu saja," sahut Gagak Seta sambil tertawa. Kalau kera buduk itu berani membantah, aku akan memperlakukannya seperti tatkala di Gombong. Peristiwa itu terjadi kira-kira pada lima belas tahun yang lalu. Kera buduk itu percaya kepada suatu kepercayaan, bahwa seorang laki-laki bisa mempertahankan kemudaannya, jika sekali-kali merusak kesucian gadis-gadis belasan tahun..."
"Apanya yang dirusak?" Titisari minta keterangan.
Titisari adalah seorang gadis yang polos. Umurnya lagi menginjak delapan belasan tahun.
Belum banyak ia hidup dalam masyarakat, karena baru untuk pertama kalinya ini dia hidup
berpisah dari orangtua. Semenjak kanak-kanak, ia hidup di samping orang tuanya jauh di
seberang lautan. Sama sekali, ia tak mengenal arti pergaulan antara pemuda dan pemudi. Dia hanya mendengar kabar, bahwa pada suatu kali orang mesti kawin. Di Karimun Jawa pun
seringkali dia melihat penduduk setempat saling kawin dan kemudian mempunyai anak. Mengapa semuanya itu terjadi, otaknya yang masih kanak-kanak belum sampai mempersoalkan. Dalam
sehari-harinya, ia hanya menekuni pelajaran-pelajaran dan pendidikan dari ayahnya. Tatkala ibunya meninggal gara-gara perbuatan Abu dan Abas, hatinya lantas menjadi gelisah. Ayahnya tidak lagi seramah dahulu. Dia, hanya nampak uring-uringan dan menghajar semua pegawainya.
Terhadap dirinya, tak lagi ayahnya menaruh perhatian. Karena merasa sebal, lantas ia minggat.
Pada saat itulah dia mulai mengenal arti penghidupan sebenarnya. Pengalaman-pengalamannya cukup pahit karena dia harus berjuang sendiri mencari sesuap nasi. Mula-mula dia mengandalkan harta benda yang dibekalnya. Setelah habis, mulailah dia menanggung sengsara. Kemudian
bertemulah dia dengan Sangaji. la senang bergaul dengan pemuda itu. Di luar kesadarannya sendiri, ia merasakan suatu kesedapan rasa yang manis luar biasa. Perasaan naluriahnya lantas tumbuh tanpa diketahui sendiri. Rasanya ia enggan berpisah dengan pemuda itu biar seujung rambut pun.
Tatkala berpisah beberapa hari dengan Sangaji, hatinya terasa menjadi sepi. Maka berpikirlah dia tentang pengertian suami-isteri. Menurut jalan pikirannya, seorang isteri takkan pisah lagi dari suaminya. Karena tak ingin berpisah lagi dari Sangaji, ia merasa dirinya menjadi isterinya. Dengan sendirinya Sangaji adalah suaminya. Selebihnya dia masih gelap.
Gagak Seta terdiam sejenak, ketika mendengar pertanyaan Titisari. Sulit ia menjawabnya.
"Kelak saja, jika kamu pulang kembali ke rumah tanyalah hal itu kepada ibumu."
"Ibu sudah lama meninggal," sahut Titisari.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Oh..." Gagak Seta terdiam lagi. Kemudian seperti memutuskan, "Baiklah... jika demikian, beberapa tahun lagi kamu akan mengerti. Suatu kali, kalau aku menghadiri perayaan
perkawinanmu... pastilah kamu akan mengerti tanpa penerangan lagi..."
Muka Titisari jadi merah dadu. Bukan disebabkan soal khayal perhubungan suami-isteri, tapi karena arti perkawinan itu sendiri, la malu terhadap Sangaji, karena orang tua itu seolah-olah membongkar kehendak hatinya.
"Baiklah, jika Paman tak sudi menerangkan," katanya.
Gagak Seta menjadi lega hati mendengar ujarnya. Lantas meneruskan ceriteranya.
"Pokoknya, si kera buduk itu mempunyai 45 gadis-gadis yang diperolehnya dari hasil
penyerobotan, paksaan dan ancaman. Mereka semua hendak dikawini. Kau tahu?"
Samar-samar Titisari mulai mengerti. Mendengar Yuyu Rumpung hendak mengawini 45 orang
gadis, hatinya menggeridik. Seumpama Sangaji isterinya sebegitu banyaknya, pastilah dia tak terpandang lagi. Dan itu bukan tujuannya.
"Ih!" serunya. "Bagaimana mengurusnya?"
"Bukan diurusnya lagi. Hanya dikumpulkan belaka. Mereka tersiksa lahir batinnya. Coba bayangkan, seumpama Sangaji mempunyai isteri sekian banyaknya, bagaimana perasaanmu?"
Titisari terkejut. Terasa suatu kepahitan menggigit hatinya. Tanpa merasa, air matanya jadi berlinang.
"Aku mendengar kabar itu," Gagak Seta meneruskan. "Mula-mula kuanggap sebagai dongeng.
Ketika benar-benar terjadi, dia segera kubekuk dan kuhajar sampai kepalanya botak. Setelah itu dia kusuruh telanjang. Kedua lengannya kuikat erat dengan tongkat itu. Kemudian kupaksa
mengantarkan gadis-gadis itu pulang kembali ke kampung halamannya dengan telanjang bulat.
Bisa kau bayangkan bagaimana hatinya tersiksa oleh hukuman itu..."
Gagak Seta tertawa gelak terkenang oleh peristiwa itu. Ujarnya lagi, "Hatiku belum puas juga.
Tubuhnya lantas kusiram air gula dan kuborehi (dilumuri) daging mentah. Setelah itu,
kukerumunkan pula segenggam semut merah dan serangga. Sudah barang tentu, dia mencakmencak ribut tak keruan. Sebab seluruh tubuhnya lantas saja menjadi gatal kena gigit semut merah dan panas diserang serangga..."
Sangaji ngeri membayangkan hukuman itu. Sebagai seorang laki-laki dapatlah dia merasakan bagaimana hebat siksaan batin Yuyu Rumpung tatkala melakukan hukuman itu. Kecuali malu
bukan main, tubuhnya tersengat hebat oleh bisa serangga dan semut merah. Belum lagi, disoraki orang sepanjang jalan dan harus pula mengantarkan pulang 45 orang gadis yang tempat
tinggalnya berpencaran di kotanya masing-masing. Tapi Titisari berkesan lain. Gadis itu bahkan bersyukur dalam hatinya, mendengar kabar siksaan hati Yuyu Rumpung. Katanya setengah
bersorak, "Mestinya dia harus Paman siksa berjalan terbalik. Nah, itu namanya baru pantas..."
"Tidak! Tidak!" bantah Gagak Seta penuh kemenangan. "Hukuman itu lebih berat daripada dihukum mati."
"Ah! Apakah begitu?" gadis itu heran.
"Ya. Dan dia kuancam lagi. Apabila sampai bertemu aku kembali, nyawanya akan kucabut sedikit demi sedikit. Itulah sebabnya. Ia ketakutan setengah mati."
Titisari diam seperti lagi memikirkan sesuatu.
"Tongkat Paman seperti mempunyai keramat. Tahulah aku sebabnya, karena dia pernah terikat erat-erat pada tongkat itu. Begitu melihat tongkat itu, lantas saja ia teringat siapa pemiliknya.
Tetapi... sebaliknya kejadian tadi merupakan soal rumit bagi kami berdua. Bukankah kita tak bakal hidup bersama-sama untuk selanjutnya" Aku tahu, pada suatu kali Paman pasti meninggalkan kami. Bagaimana kalau dia kemudian membalas dendam dan melampiaskan amarahnya kepada
kami?" Gagak Seta tertawa terbahak-bahak sambil menyahut, "Otakmu memang cerdik seperti iblis benar. Aku tahu maksudmu. Kau ingin aku mewariskan seluruh Ilmu Kumayan Jati kepada bakal suamimu sampai bisa dan berbareng memberi ilmu lain kepadamu. Baiklah! Apa boleh buat, aku sudah kepincut dengan masakanmu. Nah, carilah resep makanan dan masakan kira-kira seratus macam. Selama itu, kukira kalian berdua sudah bisa menaklukkan orang-orang gagah di seluruh kepulauan Jawa ini."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Mendengar ujar Gagak Seta, Titisari girang luar biasa. Lantas saja ia menyambar pergelangan tangan Gagak Seta dan dibawanya lari ke pinggir hutan. Di sana Gagak Seta menurunkan dua ilmu sakti lagi kepadanya. Sedangkan kepada Sangaji, ia mewariskan sembilan jurus ilmu sakti
Kumayan Jati sekaligus dengan pecahan-pecahannya. Dengan demikian, pada hari itu juga Sangaji sudah memiliki ilmu sakti Kumayan Jati yang terbagi menjadi dua bagian. Yakni keras dan lunak.
Tetapi mempelajari gaya jurus ilmu Kumayan Jati, bukanlah mudah. Sangaji diajar melompat tinggi di udara. Di sana dia harus bisa berputar dan turun ke bawah dengan melontarkan
serangan. Menyerang dari atas mempunyai daya tekanan dua kali lipat. Tatkala Gagak Seta
memberi contoh, tanah yang jadi sasaran bidikan sekaligus amblong (berlubang-gugur) menjadi kubangan sedalam dua langkah seorang laki-laki. Bisa dibayangkan bagaimana hebat tenaganya.
Untuk memahami kesembilan jurus ilmu sakti Kumayan Jati ini, Sangaji membutuhkan waktu
sepuluh hari lamanya. Selama itu. Titisari melayani selera Gagak Seta dengan secermatcermatnya. Orang tua itu merasa puas dan tak habis-habisnya memuji keahliannya.
Tujuh hari kemudian, Sangaji mulai dapat menguasai pecahan-pecahannya kesembilan jurus
sakti Kumayan Jati. Memang Ilmu Kumayan Jati bukan ilmu sembarangan. Nampaknya sederhana tetapi mengandung rahasia pukulan luar biasa bagusnya. Kecuali itu, memiliki segi-segi bidikan yang dapat menyekat dan menguasai semua penjuru bidang gerak. Inilah keistimewaannya.
Sesungguhnya Ilmu Kumayan Jati adalah ilmu andalan Gagak Seta hasil dari ciptaannya sendiri.
Ilmu itu berdasarkan kunci sari-sari Ilmu Kawrastan, Pangabaran Sepi Angin, Pemepesan,
Bandung Bondowoso, Lebur-seketi, Gimeng, Undupanon dan Narantaka. Konon menurut cerita,
ilmu-ilmu itu adalah milik Syanghyang Wenang, Syanghyang Tunggal, Resi Abiyasa, Manikmaya, Hanuman, Gondomono, Drestarata, Kasipu. Resi Seta, Pandudewanata dan Harjuna. Gagak Seta berhasil meleburnya menjadi satu. Setelah ditekuni bertahun-tahun lamanya, ia berhasil
menciptakan ilmu sakti luar biasa yang diberinya nama, Kumayan Jati. Dulu ia mengadu kesaktian melawan Kyai Kesambi, Kyai Haji Lukman Hakim, Pangeran Mangkubumi I, Adipati Surengpati, Kebo Bangah dan Pangeran Samber Nyawa. Ilmu Kumayan Jati belum rampung diciptakan.
Seumpama sudah rampung pasti dia merebut gelar pendekar sakti nomor satu. Meskipun
demikian, ilmunya yang belum paripurna sudah memperoleh pujian hebat dari semua yang hadir.
Bahkan mereka semua mengagumi dan menyegani. Dengan demikian, Sangaji merupakan
seorang yang kejatuhan rejeki tak ternilai harganya. Karena ialah satu-satunya orang sepanjang sejarah yang kelak dapat mewarisi Ilmu Kumayan Jati seluruhnya.
Titisari pun tercatat pula oleh sejarah sebagai seorang wanita suku Jawa satu-satunya yang memiliki ilmu prajurit ( ada yang mengabarkan dialah sesungguhnya yang terkenal sebagai Gusti Ayu Serang). Dialah sebenarnya yang berhak mendapat julukan Srikandi untuk yang pertama
kalinya. Dari Gagak Seta ia mewarisi beberapa ilmu sakti yang bercampur aduk. Yakni: Ilmu Pameling, Mundri, Panitisan, Pranawajati, Pramanajati, Condobirowo, Pangabaran, Poncosona, Panra-wangan dan Pengesanan. Dan dari ayahnya ia mewarisi ilmu siasat ilmu alam, ilmu falak dan ilmu pelarutan (Kimia).
Dalam sebulan saja, mereka berdua sudah menjadi manusia-manusia baru. Mereka kini, bukan lagi seperti sepasang muda-mudi yang dahulu. Tubuhnya menjadi kekar, cekatan, gesit dan padat.
Otaknya mendadak saja menjadi cerah dan terang. Sangaji sendiri yang sering di sebut sebagai seorang pemuda tolol tiba-tiba saja tersulap menjadi seorang pemuda yang cerdas. Inilah berkat pengkajian dan usaha keseimbangan antara sari-sari Ilmu Bayu Sejati dan Kumayan Jati yang bersandar pada daya sakti Dewadaru.
Pada suatu hari, mereka telah berada dekat Dusun Karangtinalang. Selama bergaul satu bulan itu, mereka selalu berpindah-pindah tempat mendekati tujuan. Gagak Seta kini bersikap lain kepada Sangaji. Meskipun bukan seperti guru, namun sikapnya lebih ramah daripada dahulu.
Waktu itu sore hari, matahari hampir tenggelam di balik gunung. Gagak Seta memanggil
Sangaji dan Titisari menghadap padanya. Orang tua itu kemudian berkata, "Anak-anak! Kita sudah berkumpul lebih dari satu bulan lamanya. Sudah tiba waktunya kita berpisah."
Mereka berdua sudah barang tentu terkejut mendengar berita itu. Serentak Titisari berkata tinggi.
"Paman! Jangan Paman meninggalkan kami. Aku masih mempunyai beberapa resep masakan
yang harus Paman nikmati..."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Anakku," kata Gagak Seta penuh kasih. "Ingat, tidak ada pesta yang tidak bubar. Kau tahu, biasanya aku tak pernah mengajar orang lain lebih dari tiga hari. Tetapi terhadap kamu berdua, sudah melebihi satu bulan lamanya. Aku tak bisa tinggal lebih lama lagi."
"Kenapa?" Titisari minta keterangan dengan cemas.
"Ilmuku akan kalian kuras habis..."
"Ah, Paman! Paman seorang yang berbudi. Hati Paman begini mulia dan baik. Dahulu pernah aku mendengar pepatah bahasa dari Ayah. Bunyinya begini, 'Sekali kamu berbuat suatu kebajikan, pertahankan kebajikan itu selama hayatmu dikandung badan" kata Titisari mengambil hati.
"Paman sudah menurunkan kesembilan bagian ilmu sakti Kumayan Jati. Itu baru separuhnya. Jika Paman menurunkan yang sembilan jurus lagi, bukankah akan lengkap jadinya. Dengan demikian, sejarah Paman ada bekasnya. Karena Sangajilah orang yang akan memupuk dan mengagungkan
ilmu Paman." Gagak.Seta tertawa terbahak-bahak sambil meludah ke tanah. Katanya tak senang hati,
"Janganlah kamu mendongeng tentang suatu kebajikan. Aku bukan orang berbudi. Aku bekerja menurut kemauanku sendiri dan takkan membiarkan diriku diperintah siapapun juga. Biar malaikat pun, apa peduliku. Sekarang aku mau pergi dan pergilah aku."
Sehabis berkata demikian, dengan sebat ia menyambar tongkatnya. Kemudian terus saja
bangkit dan pergi meninggalkan mereka.
Titisari dan Sangaji bingung bukan kepalang. Mereka saling pandang dan tak tahu lagi, apakah yang harus dilakukannya. Seperti saling memberi isyarat, mereka kemudian lari menyusul. Tetapi Gagak Seta bukan orang sembarangan. Sekali berkelebat, tubuhnya telah lenyap.
"Paman! Paman!" teriak Sangaji. "Aku adalah muridmu... Sekian lama aku mengabdi padamu belum pernah aku menyatakan sebagai muridmu. Kini dengan saksi bumi dan langit, aku
mengakui Paman sebagai guruku. Dan Paman sudah menurunkan ilmu sakti kepadaku. Sedangkan aku belum dapat membalas budi. Paman! Dengarkan suaraku ini. Aku ingin membalas jasa dan budi Paman. Katakan, apakah yang harus kulakukan!"
Sangaji adalah seorang pemuda yang kukuh hati, sehingga tak gampang-gampang ia mengakui
seorang sebagai gurunya. Meskipun andaikata orang itu kepandaiannya melebihi kedua gurunya.
Dahulu dia pernah menolak pula kehendak baik Gagak Seta, tatkala akan menurunkan ilmu
saktinya dengan janji tidak diperkenankan berkabar kepada Titisari. Itulah suatu bukti, kalau dia bukanlah seorang pemuda yang serakah atau mudah kepencut. Tetapi kini, di luar dugaannya tiba-tiba menyebut diri sebagai murid dan mengakui Gagak Seta sebagai gurunya. Hal itu
membuktikan, kalau dia benar-benar menaruh hormat kepada orang tua itu.
Tetapi di luar dugaan pula, Gagak Seta mendadak muncul kembali sambil menggertak.
"Apa kau bilang" Benar-benar aku mengajarmu rahasia ilmu sakti Kumayan Jati, tetapi bukan karena aku sudi menerimamu sebagai murid dan aku sebagai gurumu. Tapi semata-mata karena aku telah menggerogoti masakan kalian. Karena itu pula, antara aku dan kalian tiada hubungan sama sekali sebagai murid dan guru. Nah, selamat tinggal."
Sangaji terperanjat mendapat jawaban demikian. Sebentar dia termangu-mangu, kemudian
dengan cepat terus saja hendak berjongkok melakukan sembah. Tetapi baru saja ia menekuk
lutut, sekonyong-konyong tubuhnya menjadi kaku. Ia melihat Gagak Seta menyentilkan dua jari.
Tahulah dia, bahwa orang tua itu sedang menyerangnya dengan sentilan rahasia Ilmu Kumayan Jati yang bisa dibidikkan dari jauh. Kemudian orang tua itu bersembah sambil berkata, "Ingat-ingatlah kejadian ini. Di antara aku dan kamu tiada pernah menerima sembah sebagai suatu penghormatan. Tadi kamu mau bersembah. Kini aku telah membalasnya. Jadi tiada lagi hutang-piutang. Aku bukan gurumu dan kamu bukan muridku..."
Sampai di sini Gagak Seta mengungkurkan Sangaji dan terus saja meloncat hilang sambil
menyentilkan jari. Seketika itu juga, Sangaji dapat bergerak. Ia heran benar-benar menyaksikan perangai pendekar sakti itu. Tak tahulah dia, apa yang harus dilakukan. Segera ia menoleh kepada Titisari untuk minta bantuan. Tetapi gadis itu pun yang diakui cerdik luar biasa, hanya


Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membungkam mulut. Nampak dia sedang menghela napas panjang. Kesan mukanya muram
mengibakan hati. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Di luar dugaan, tiba-tiba terdengarlah suara Gagak Seta di kejauhan, "Ih!" Dan tahu-tahu sudah muncul kembali di depan mereka. "Awas!" katanya dengan pandang sungguh-sungguh. "Tabuan Kelingking!"
Titisari menghampiri orang tua itu. Tak tahulah dia, apakah maksud Gagak Seta. Pandangnya menebak-nebak. Mendadak saja Gagak Seta menolak pundaknya, hingga dia membungkuk tanpa
dikehendaki sendiri. Dan kemudian dipentalkan sampai mundur tujuh langkah.
0oo0 17 GUSTI AYU RETNONINGSIH Titisari lantas saja berdiri setengah berjongkok dengan pandang masih saja menebak-nebak.
Tak usahlah dia menunggu lama, karena pada saat itu juga terdengarlah suara berdengung di udara. Gadis itu segera mendongak dan melintaslah gerombolan tabuan (Lebah) berleret-leret seperti seekor naga. Ia melihat Gagak Seta berdiri tegak sambil menyapukan tongkatnya.
Gerombolan tabuan yang kena hantamannya lantas saja bubar berderai. Tetapi barisan yang
menyusul, segera melayang rendah dan menyambar berderu-deru.
Titisari yang tadi terkejut oleh sikap Gagak Seta, kini tahu apa sebabnya. Melihat Gagak Seta dikerumuni ribuan tabuan kumatlah hati kanak-kanaknya. Dengan gembira, ia berloncat-loncatan sambil memekik-mekik. Waktu itu Gagak Seta nampak sibuk. Tangan dan tongkatnya
berserabutan menyerang dan mempertahankan diri.
Sangaji yang berdiri tak jauh daripada orang tua itu, segera datang menyusul dan menggebu tentara angkasa yang menyerang begitu bernafsu. Titisari heran, mengapa Sangaji berani
Istana Pulau Es 7 Pendekar Kelana Karya Kho Ping Hoo Pendekar Super Sakti 16

Cari Blog Ini