Ceritasilat Novel Online

Bende Mataram 23

Bende Mataram Karya Herman Pratikto Bagian 23


"Dialah Sangaji. Anak Made Tantre sahabat Wayan Suage dari Desa Karangtinalang," jawab Sanjaya dengan acuh tak acuh.
Hati Pangeran Bumi Gede terkesiap. Sebagai seorang cerdik tahulah dia menebak sikap Sanjaya dengan selintasan saja. Teringatlah dia masa dua belas tiga belas tahun yang lalu, tatkala ia memasuki sebuah rumah panjang seperti bentuk lumbung desa itu hendak mencoba merampas
pusaka wasiat Pangeran Semono. Di sana ia membunuh se-orang laki-laki dan menculik ibu
Sanjaya. Karena teringat hal itu ia jadi bungkam.
Beberapa waktu lamanya, ia mendengar Sangaji dan Titisari balik kembali dan berbicara
dengan laskar Pangeran Ontowiryo. Kemudian mereka berusaha mencari dirinya. Teringat akan kekejamannya membunuh ayahnya dua tiga belas tahun yang lalu, terasa bergeridiklah bulu
kuduknya. "Ayah!" Tiba-tiba Sanjaya berkata berbisik... "Mari kita bersembunyi di dalam kamar terbu-ka itu. Ayah akan kulindungi dengan tumpukan peti dan onggokan keranjang. Dengan kututupi
selembar dinding kulit bambu pula, pastilah mereka takkan menemukan. Dan setelah mereka
pergi, diam-diam kita melarikan diri."
Pangeran Bumi Gede mengangguk.
"Kau benar. Mari! Hai Kenapa kau berada di sini bersama dia?"
Sanjaya tak menjawab. Dia hanya tertawa perlahan melalui hidung. Dalam benaknya
teringatlah dia kata-kata Sangaji dan nasib ibunya tatkala terenggut pangeran itu dari desanya.
Pangeran Bumi Gede jadi gelisah. Dengan menaikkan dahi ia mencoba memperoleh
keterangan. "Apakah engkau kena siksaannya" Ah... ibumu pasti gelisah memikirkanmu. Baik, anakku.
Setelah kita selamat sampai di Bumi Gede, kau tak kuizinkan lagi bepergian me-nempuh bahaya."
Pangeran itu kemudian meraba pergelangan tangan Sanjaya. Terasa dingin dan agak
menggetar. "Mari kita bersembunyi!" Sanjaya meng-alihkan pembicaraan sambil mengurangi pegangan Pangeran Bumi Gede dengan per-lahan.
Mereka bersembunyi di dalam kamar terbu-ka. Dinding sebelah pojok agak keropos. Di pojok itulah, Pangeran Bumi Gede bersembunyi. Kemudian Sanjaya melindungi dengan onggokan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
keranjang dan tumpukan peti. Sekilas pandang, tempat bersembunyi itu ter-lindung benar-benar dan tak gampang-gam-pang dapat diketahui.
"Anak Made Tantre itu galak sekali," kata Sanjaya.
"Paman Kartawirya, Cekatik dan Setan Kobar dapat diruntuhkan dengan sekali pukul. Akupun tak bisa menandingi. Bahkan Pring-gasakti tak mampu mengalahkan. Dia bahkan kena hajar
berkali-kali. Sekarang demi menuntut balas kematian ayahnya, ia mengancam jiwa Ayah. Agaknya dia mempunyai banyak pembantu-pembantu bukan sembarangan. Karena itu, ayahlah yang harus berusaha menyelamatkan diri. Bukan aku ..."
MESKIPUN SANJAYA MASIH MENYEBUT AYAH, TETAPI SEBAGAI seorang cerdik dan cermat,
Pangeran Bumi Gede merasakan suatu kesan yang berbeda dari pada biasanya. Diam-diam ia
mengernyitkan kening. "Baiklah," akhirnya ia berkata perlahan. "Aku akan menyingkir sejauh mungkin. Apakah engkau telah berbicara dengan dia?"
"Ya," Sanjaya menunduk. "Dia telah mena-wan aku semenjak semalam. Karena melihat Ayah, aku memaksa diri untuk menemui Ayah..."
Mendengar suara Sanjaya, tahulah Pangeran Bumi Gede bahwa anak itu sudah mengetahui asal usulnya. Memperoleh dugaan demikian, ia heran mengapa dia masih sudi menolong dirinya.
Tiga belas tahun lamanya, dia dan pemuda itu bergaul sebagai ayah dan anak. Mereka saling mendekati dan akhirnya terbesitlah rasa kasih sayang yang kuat berakar dalam lubuk hati masingmasing. Tetapi pada detik itu, mendadak saja rasa kasih sayartg itu terasa menjadi pudar. Dalam hati masing-masing tergemalah gaung permusuhan hebat. Pangeran Bumi Gede merasa bersalah, sedangkan Sanjaya berbimbang-bimbang terombang-ambingkan oleh rasa kasih sayang dan
kebencian. Pikir pemuda itu, orang inilah yang merenggut kebahagiaan Ibu. Hm... asalkan aku menggerakkan tangan sedikit saja, akan dapat aku membalas rasa sakit hati Ibu. Tetapi...
dapatkah aku berbuat demikian" Selamanya ia sayang padaku bagaikan anak kandungnya sendiri.
Aku bahkan diangkatnya sebagai putra angkatnya yang resmi. Kalau dia mati, bukankah aku yang akan mewarisi seluruh harta benda dan kedudukannya" Sebaliknya, seumpama aku berhasil
membunuhnya, apakah aku harus hidup semacam Sangaji yang merantau tak karuan hinggapnya"
Eh, nanti dulu! Masakan aku harus mengorbankan diri semata-mata untuk membalaskan sakit hati orang tua saja" Bukankah Ibu hidup tak sengsara juga"
Pangeran Bumi Gede seperti dapat menebak gejolak hatinya. Hati-hati ia berkata seperti
membujuk, "Sanjaya! Kita berdua pernah hidup bersama selama tiga belas tahun. Aku menjadi ayahmu dan engkau menjadi anakku. Siapa yang menjadikan demikian baik aku maupun engkau
tak tahu. Di sana entah dilangit entah di celah-celah bumi... Dialah yang menjadikan semua ini.
Kini, dengarkan! Sultan Hamengku Buwono II menjadi raja hanya mengingat kepentingan diri sendiri. Karena itu dia memusuhi orang banyak, di antara Gusti Patih Danureja II dan aku sendiri.
Gusti Patih telah menyerahkan kekuasaannya kepadaku. Karena itu, apabila beliau berhasil menumbangkan, maka kebahagiaan kita tiada batasnya. Kita, aku berkata. Karena untuk apa aku ini berjuang, selain untukmu. Engkau tahu sendiri, anakku hanyalah engkau seorang. Karena itu di kemudian hari, semuanya adalah untukmu dan ibumu."
Sanjaya telah lama mengerti, bahwa ayah-nya termasuk salah seorang anggota perse-kutuan
hendak menumbangkan kekuasaan raja. Kini ayahnya bahkan sudah menunjukan sikap hidup
terhadapnya. Karena itu, hatinya guncang. Kata-kata kebahagiaan kita tiada batasnya terus saja mengiang-ngfang dalam pendengarannya.
Pikirnya, dengan bantuan kompeni, ma-sakan Ayah tak mampu menumbangkan kerajaan.
Ayahpun cerdas, cermat dan pandai bekerja. Raja sekarang tak mampu menandingi. Kalau Ayah sampai bisa naik tahta, bukankah aku menjadi putera mah-kota" Dengan demikian, aku akan bisa mem-bahagiakan Ibu sebagai balas jasa pende-ritaan hatinya.
Memperoleh pikiran demikian, darahnya berdesir. Tak sengaja lantas saja ia memegang
pergelangan tangan ayah angkatnya dengan keras. Kemudian berkata seperti bersumpah, "Ayah!
Anakmu akan membantu usaha Ayah dengan segenap hati. Hal itu tak usah Ayah meragukan."
Pangeran Bumi Gede merasakan pegangan tangan Sanjaya. Hatinya girang dan bersyukur.
Terus saja berkata meyakinkan, "Aku seumpama Ki Ageng Pemanahan dan engkau adalah
Ngabehi Loreng Pasar )"!
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Selagi Sanjaya hendak menyahut, seko-nyong-konyong terdengarlah suara bergeresek di antara tumpukan peti kayu. la mengernyit-kan dahi. Jantungnya berdegupan.
"Suara apa itu?" Bisiknya.
Pangeran Bumi Gede menoleh pula. Ia merenungi peti kayu
"Rupanya ada binatang tersekap di dalam-nya."
Mendengar jawaban ayah angkatnya, Sanjaya berlega hati. Tetapi kemudian terde-ngarlah
suara Sangaji dan Titisari lagi lewat di sisi lumbung. Mereka membicarakan pula kancing emas Pangeran Bumi Gede.
Celaka! pikir Sanjaya. Kenapa tak kuketahui jatuhnya kancing Ayah. Segera ia membisiki ayah angkatnya.
"Aku akan memancing mereka meninggalkan lumbung ini. Hendaklah Ayah menero-bos ke sana lewat dinding." Setelah berbisik demikian, ia melompat dan menghampiri pintu depan. Kemudian melesat ke arah barat.
Titisari yang bermata tajam melihat bayang-an berkelebat. Cepat ia memburu sambil ber-teriak,
"Sangaji! Dia di sini!"
Ilmu lari Titisari cepat luar biasa berkat ajaran pendekar Gagak Seta. Tetapi begitu sampai di ujung lumbung, bayangan itu tiada.
Sangaji pun sewaktu mendengar seruan Titisari, segera memburu pula sambil ber-tanya,
"Apakah dia?" "Siapa lagi" Pastilah dia sudah bersembunyi di sini, semenjak kita mencari ubek-ubekan di luar desa," sahut Titisari.
Mereka melemparkan pandang kepada rumpun bambu. Sewaktu hendak melompat ke sana,
tiba-tiba semak pohon bergoyangan.
Dan munculah Sanjaya dengan muka terbata-bata.
Sangaji terkejut dan heran.
"Dimas Sanjaya! Kau datang dari mana" Apakah kau melihat Pangeran Bumi Gede?"
"Apakah dia berada di sini?" sahut Sanjaya keheran-heranan.
"Dia lewat di sini, sedang dikejar laskar Pangeran Ontowiryo," kata Sangaji. "Agaknya dia bersembunyi di sekitar sini. Inilah kan-cingnya."
"Kancing" Kancing baju maksudmu. Ha... kalau begitu... mestinya berada tak jauh di sini,"
sahut Sanjaya tinggi. Titisari mengamat-amati Sanjaya. Ia curiga. Kemudian mencoba memancing, "Kita berdua mencari engkau. Ke mana selama ini engkau pergi?"
Sanjaya berhati-hati menghadapi gadis ini. Tapi dasar cerdik, lantas saja ia tertawa peringisan.
"Semenjak kemarin aku berada di luar rumah. Perutku membutuhkan peluang. Karena itu aku pergi sebentar menjenguk su-ngai. Sayang di sini tiada sungai yang cukup airnya. Terpaksa aku bertelur dalam gerombol pepohonan itu."
Titisari tak berkata lagi, tetapi hatinya tetap curiga kepadanya.
"Dimas! Inilah kesempatan yang bagus. Marilah kita cari," ajak Sangaji.
Jantung Sanjaya berdegupan. Pikirannya sibuk menduga-duga, apakah ayah angkatnya sudah
lolos dari lumbung atau belum. Tetapi ia pandai menenangkan diri, agar tak nampak perubahan mukanya. Dengan mengendapkan kecemasannya ia berkata, "Bagus! Dia datang mengantarkan nyawa. Ayo! Pergilah Kangmas dan Nona Titisari ke timur dan aku akan men-cari mengitari dari barat!"
"Baik," sahut Sangaji. Terus saja dia pergi bersama Titisari mengitari lumbung dari sisi timur.
Tetapi mendadak Titisari berbalik kem-bali dan berseru kepada Sanjaya.
"Biarlah aku bersamamu mencari dari sisi barat. Aku yakin dia berada di sisi barat."
Mendengar seruan Titisari, Sanjaya kaget setengah mati. Rasa cemasnya melambung sampai
ke leher. "Ayo! Cepat! Jangan sampai dia kabur!" Segera ia mendahului lari mengitari sisi barat.
Di pojok belakang terdapat pintu butulan. ' Tanpa ragu-ragu ia mendorong. Kemudian
menggeledah di dalam di dekat tumpukan peti. Titisari mengikuti dari belakang dan de-ngan cermat ia mengamat-amati gerak-gerik Sanjaya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
la melihat Sanjaya membongkar tumpukan peti dan onggokan keranjang. Malahan bekas
dinding-dinding keropos diperiksanya pula. Nampaknya ia bersungguh-sungguh.
"Bagaimana?" seru Titisari.
"Sebentar!" sahut Sanjaya. Hatinya kini jadi girang, karena ayah angkatnya ternyata tiada lagi.
Maka dengan berani, ia mendepaki peti-peti dan melemparkan onggokan keran-jang. Kemudian mulutnya seperti menyum-pahi.
"Hm... kau manusia licin seperti belut! Seperti iblis! Masakan kau mampu meloloskan diri" Hm...
jangan mimpi." Mendadak ia mendengar suara gemeresek. Cepat ia berteriak, "Suara apa itu" Kangmas
Sangaji, ke mari!" Mendengar teriakan Sanjaya, Sangaji cepat menghampiri dengan hati girang. Titisari pun tak terkecuali. Segera ia melompat meng-hadang pintu butulan. Tetapi ia melihat dinding lumbung terbelah dari jepitannya. Segera otaknya yang cerdik lantas saja dapat menebak.
"Saudara Sanjaya, tak usah engkau ber-girang. Siang-siang dia telah kabur. Lihat!"
Sambil menunjuk diding lumbung, ia tertawa kecil dan berlaku lagi.
"Tak usah engkau terlalu cermat mem-bongkari segala. Apa perlu membuat hati kita berdebar-debar?"
Muka Sanjaya merah padam, karena merasa terbongkar rahasia hatinya. Diam-diam ia
mengutuk dan menyumpahi kalang kabut. Katanya gugup bercampur mendongkol.
"Nona Titisari mengapa engkau berkata begitu kepadaku?"
Sangaji turut campur. Katanya menyabar-kan, "Titisari memang seorang gadis yang nakal dan suka bergurau. Janganlah kata-katanya kau masukkan dalam hati." Setelah berkata demikian, ia menunjuk ke lantai. Nampak sekali kubangan abu bekas kena pantat. Katanya sambil menuding.
"Ha... lihat! Benar-benar dia pernah bersembunyi di sini."
"Lekas kejar!" perintah Titisari. Cepat ia berputar dan hendak mengejar. Tiba-tiba ter-dengar suara gemeresek di dalam peti. Mereka bertiga terkejut.
Titisari seorang pemberani. Tetapi semenjak kanak-kanak takut pada suatu bunyi di dalam peti atau tempat-tempat yang terbungkus. Maka segera ia mendekati Sangaji sambil memegang
tangan kekasihnya dengan erat-erat. Sebaliknya Sangaji hidup lama di barat. Terhadap bunyi-bunyi aneh yang menerbitkan angan-angan kepada setan atau iblis, sama sekali tabu baginya.
Maka dengan lapang ia berkata "Hm... jangan takut, Titisari. Paling-paling binatang kena sekap."
"Hai! Jangan terpaku perkara tetek bengek! Lihat, dia lari ke sana!" Sekonyong-konyong Sanjaya berteriak. Memang dia pintar luar biasa menghilangkan rasa curiga. Segera ia melompat dan menerobos pintu butulan. Tetapi Titisari tetap saja bercuriga kepadanya. Cepat sekali ia menjejak tanah. Dan sekali melesat ia telah berhasil menyambar perge-langan tangan Sanjaya.
"Hai! Kau mau apa?" Sanjaya terkejut. Ia kagum kepada kegesitan gadis itu. Anehnya, begitu pergelangan tangannya kena tangkap, tenaganya seperti terlolosi. Sama sekali tak diketahui, bahwa Titisari menggunakan ilmu tangkap ajaran Gagak Seta yang rapih dan kuat luar biasa.
Itulah sebabnya, tak berani dia mencoba merenggut atau mengadakan perlawanan. Sebaliknya cepat-cepat ia mene-nangkan hati dan menguasai diri.
"Kau mau apa?" katanya lagi.
"Aji! Bukalah peti itu!" perintah Titisari kepada Sangaji sambil tetap menerkam pergelangan tangan Sanjaya. Dia menduga, bahwa Pangeran Bumi Gede bersembunyi di
dalamnya dan Sanjaya sengaja hendak memancingnya.
"Apakah si jahanam bersembunyi di dalam peti itu?" Sangaji menebak-nebak.
Titisari mengerling kepada Sanjaya hendak membaca kesan mukanya.
"Apa sebab engkau mengajak kita menero-bos ke luar?"
Gemetaran dan mendongkol hati Sanjaya kena ditikam Titisari dengan pertanyaan itu. la
mengibaskan tangan membebaskan diri dari cengkeraman. Kemudian mengalihkan pandang
kepada peti mati. Meskipun ia melihat dinding lumbung terbuka, tetapi hatinya masih sangsi apakah ayah angkatnya benar-benar sudah kabur dan tidak bersembunyi di dalam peti itu. Maka berkatalah dia kepada Sangaji.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Hati-hati Kangmas Sangaji...!" katanya gugup. Meskipun kedengarannya ia memberi peringatan tentang kemungkinan Pangeran Bumi Gede melepaskan senjata pemunahnya, tetapi
sebenarnya justru ia memberi kisikan kepada siapa yang berada di dalam peti agar bersiaga.
Waktu itu Sangaji sudah mendekati peti. Mendengar peringatan Sanjaya, ia berhenti. "Apa katamu?"
Belum lagi Sanjaya menjawab, Titisari menyahut, "Tindih saja dari atas!" Sangaji tertawa.
"Jangan takut. Tak bakal dia bisa lolos!"
Cepat ia hendak melompat. Tetapi Titisari menyanggah katanya agak gugup.
"Tunggu dulu! Biarlah kuhantamnya dengan ilmu pukulan Ayah. Meskipun aku belum mahir, tetapi untuk meremukkan peti itu masih bisa."
Segera ia mengumpulkan tenaga. Seperti diketahui, Titisari pernah mengeluarkan pu-kulan itu, tatkala terjepit di halaman Kadipaten Pekalongan di dalam melawan sang Dewaresi dan pendekar Abdulrasim. Pukulan itu terkenal dengan nama pukulan melintang udara. Maksudnya memukul dari jauh. Yakni, dengan mengandalkan hempasan lontaran tenaga dengan tata napas.
Dahulu ia bisa mengibarkan lengan baju sang Dewaresi, sehingga pendekar itu jadi terkejut dan tak berani berlaku sembarangan. Kini dia sudah memiliki sekelumit ilmu sakti Gagak Seta.
Meskipun belum sempurna, tetapi betapapun juga jauh lebih maju daripada dahulu. Maka bisa diperacaya, bahwa pukul-annya akan sanggup memecahkan peti. Tetapi tatkala dia hendak
melontarkan pukulan, mendadak terdengrlah suara mengeluh dan merintih, la terkejut sampai napasnya tertahan. Kemudian meletuslah perkataannya dengan tergagap-gagap.
"Suara perempuan! Perempuan...!"
Suara keluhan dan rintihan itu terdengar halus mirip perempuan. Tapi bagi pende-ngaran
Sanjaya mengingatkan dia kepada erangan seorang ningrat. Karena itu, keringat dinginnya
sekaligus merembes keluar. Besar dugaannya, bahwa itulah keluhan dan rintihan ayah angkatnya yang tak tahan lagi mencekap diri di dalam peti. Maka hatinya terguncang bukan main.
"Dimas Sanjaya! Ayo kita buka!" ajak Sangaji.
Sanjaya telah mandi keringat. Terpaksa ia mengangguk, segera ia maju. Mendadak ter-dengar lagi suara keluhan. Kali ini, hatinya lega bukan main. Karena suara itu benar-benar suara seorang perempuan. Bahkan suara itu terdengar minta pertolongan. Maka tiada ragu-ragu lagi, ia
melompat dan merenggut tutup peti.
Sangaji waktu itu mundur setengah langkah, tatkala melihat Sanjaya telah merenggut tutup peti. Ia bersiaga hendak melepaskan serangan ilmu Kumajan Jati, manakala suara itu adalah permainan sandiwara Pangeran Bumi Gede. Tetapi segera ia memekik heran, karena yang rebah di dalam peti itu ternyata Nuraini.
"Titisari!" pekiknya, "Lihat... Siapa dia?"
"Siapa?" "Nuraini!" Mendengar keterangan Sangaji, gadis itu terus melompat dan menjenguk. Melihat cara
rebahnya Nuraini, tahulah dia bahwa Nuraini telah kena siksa. Cepat ia memijat-mijat dan menarik Nuraini ke luar.
"Mengapa engkau berada di sini?"
Rupanya sudah lama Nuraini tersekap di dalam peti itu. Jalan darahnya seperti tersumbat.
Karena itu pula tak pandai menjawab pertanyaan Titisari. Mukanya nampak kuyu. Rambutnya
terurai. Bajunya robek-robek. Dan kainnya setengah tersingkap dan tanpa ikat pinggang lagi.
Titisari segera mengusir Sangaji dan Sanjaya agar menjauh. Kemudian dengan cekatan ia
menolong merapikan dandanan Nuraini. Sejenak kemudian... setelah agak rapi... Nuraini baru bisa bersuara. Sebagai permulaan kata, ia menangis sedu sedan. Kemudian berkata tersekat-sekat,
"Aku kena ditawan dan diperkosa."
"Siapa?" Titisari bergemetaran. Sebagai seorang gadis ia bisa merasakan penderitaan dan penanggungan jenisnya. Tiba-tiba suatu bayangan berkelebat dalam benaknya. Cepat ia
menyusuli, "Apakah engkau ditawan si bangsat Dewaresi?"
Nuraini membungkam. Tetapi ia mengang-guk, kira-kira satu bulan yang lalu, Nuraini di desak Sanjaya agar mengundang gurunya Pringgasakti. Di tengah jalan ia bertemu de-ngan sang
Dewaresi. Meskipun pada mulanya ia kena di tolong Pringgasakti dengan bantuan orang berjubah
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
abu-abu, tetapi akhirnya kena tangkap lagi. Semenjak itu ia menjadi tawanan sang Dewaresi.
Beberapa kali sang Dewaresi mencoba membujuk dirinya agar menuruti kehendaknya. Kehendak sang Dewaresi akan mengambilnya sebagai selir. Tetapi dengan teguh hati ia menolak, karena cintanya telah tertanam kuat pada Sanjaya.
Sang Dewaresi tidak gampang putus asa. Sebagai seorang laki-laki yang sudah berpengalaman, ia menggunakan akal. la kini bersikap keras. Anak buah dan murid-murid-nya
diperintahkan untuk mengancam dan menakut-nakuti. Meskipun demikian, masih saja dia belum berhasil, Nuraini tetap kukuh. Akhirnya ia menggunakan ilmu lunak.
Nuraini selalu dibawanya pergi berjalan. Di sepanjang jalan ia memperlakukan Nuraini sebagai isteri utamanya. Apabila dia bersinggah pada handai taulannya, selalu diperkenalkan dengan penuh hormat. Sekalian anak buah dan murid-muridnya kini bersikap lain pula. Mereka melayani dengan cermat dan menghormati. Ia sendiri bersikap manis dan berbudi. Karena wajahnya
memang tampan, sikapnya itu menambah perbawa keagungannya.
Pada waktu-waktu tertentu, ia membujuk kembali, merayu dan memaksa. Oleh keuletan dan
kesabarannya, akhirnya runtuhlah ben-teng Nuraini. Gadis itu menyerah kalah.
Melihat keadaan Nuraini kini sudah berubah, diam-diam giranglah hatinya. Seketika itu juga, ia meranjangkan penyergapannya. Pada suatu hari, ia bermaksud pergi ke Bumi Gede atas undangan Pangeran Bumi Gede. Tak lupa pula, Nuraini dibawanya serta. Begitulah, tatkala tiba di Dusun Sarasan timbullah nafsu binatangnya. Segera ia menghardik beberapa pengikutnya agar
mendahului berjalan. Dia sendiri kemudian menyeret Nuraini menghampiri lumbung desa. Pintu yang terpalang kenceng, didupaknya sampai terjeblak. Itulah sebabnya, ketika Sangaji dan Titisari hendak memasuki lumbung, pintunya dapat dibukanya dengan gampang. Mereka berdua
menduga, bahwa sebentar tadi pasti ada seseorang yang telah memasuki lumbung, pintunya
dapat dibukanya dengan gampang. Tetapi tak pernah mengira, bahwa orang itu sesungguhnya
sang Dewaresi. Demikianlah, maka Nuraini diperkosanya satu malam suntuk. Tatkala laskar
Pangeran Bumi Gede bertempur melawan laskar Pangeran Ontowiryo, dia enak-enak
menggerumuti mangsanya. Mendadak saja ia mendengar Sangaji, Titisari dan Sanjaya memasuki lumbung. Cepat ia menyekap Nuraini ke dalam salah sebuah peti yang cukup panjang. Kemudian ia melarikan diri seperti anjing kena gebuk. Namun, ia hanya bersembunyi di belakang rumpun bambu.
Keesokan harinya ia hendak menjemput mangsanya. Tetapi ia melihat Sanjaya masih berada di dalam lumbung. Terpaksa ia mengurungkan niatnya. Bukan karena takut kepada Sanjaya, tetapi ia enggan bermusuhan dengan anak Pangeran Bumi Gede hanya karena perempuan yang tak begitu
berarti baginya. Untuk menghapuskan kesan, segera ia mencari pengikut-pengikutnya. Menjelag siang hari ia lewat di depan lumbung itu dan berbicara dengan Sanjaya. Mendengar bahwa Sangaji dan Titisari masih berada di sekitar dusun itu, cepat-cepat ia melarikan diri, mengingat ia pernah mengadu tenaga dan jeri terhadap gurunya.
Demikianlah, maka ia meninggalkan Desa Sasaran tanpa bisa membawa Nuraini. Dengan
begitu, tertolonglah Nuraini, sewaktu Sangaji bertiga lagi sibuk mencari Pangeran Bumi Gede.
Seumpama kasep setengah hari saja, pastilah Nuraini telah mati lemas.
23 JAGO-JAGO TUA MELIHAT Nuraini sudah bisa berbicara, Sanjaya bergirang hati. Segera ia menghampiri dan
berkata, "Adikku, mengasolah! Biarlah kucarikan air untuk membasuh mukamu."
"Eh, dimanakah engkau mencari air?" sahut Titisari dengan tertawa kecil. "Biarlah aku berdua mencarikan air. Aku kan lebih pantas masuk ke dusun untuk meminjam tempat air. Ayo, Aji!"
Memang tujuan Titisari menolong Sanjaya di tengah pertempuran semalam adalah hendak
mempertemukan Nuraini kepadanya. Tak pernah diduganya, bahwa Nuraini berada di sekitar
dusun tersebut. Tadinya, ia hanya bermaksud mengakurkan belaka.
"Aji, dengan begini Tuhan membantu aku," kata gadis itu. "Biarlah mereka berbicara sepuas hati. Kita tak perlu mengganggu lagi."
Mendengar ujar Titisari, Sangaji bersyukur dalam hati. Ia tahu hubungan antara Sanjaya
dengan Nuraini kurang menyenangkan. Semenjak di Pekalongan, ia berkutat agar ter-tangkap
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
jodoh. Kedua-duanya mempunyai hubungan erat dengan almarhum Wayan Suage. Karena itu,
apabila mereka berdua bisa akur, bukankah berarti meringankan beban penderitaan pamannya di alam baka" Demikianlah pikir Sangaji. Hanya saja bila teringat akan pesan Wayan Suage pada saat ajalnya, agar memperistrikan Nuraini, hatinya jadi berduka.
"Titisari," katanya perlahan, "tak pernah kusangka engkau begini baik hati."
"Masakan begitu?" sahut Titisari. "Terhadap siapa aku berbaik hati?"
"Terhadap Sanjaya. Tadinya kusangka engkau benci padanya. Tak tahunya, engkau..."
"Aku memang benci padanya," potong Titisari.
Mendengar ucapan Tiisari, Sangaji heran sampai tercengang-cengang. Tanyanya kemu-dian,
"Tapi mengapa engkau begini bersusah payah menolong dia dari ancaman bahaya" Bukankah engkau berkata semalam karena hendak mempertemukan dengan Nuraini?"
Titisari tertawa geli. Sambil menarik tangan Sangaji, ia melompat ke depan.
"Kalau Nuraini sudah akur dengan sahabat-mu yang sehati itu, bukankah hatiku jadi ten-tram."
"Tentram?" Sangaji heran.
"Ya, tentram. Dengan begitu, engkau tak perlu lagi memikirkan Nuraini menggodamu..."
Ah! Sangaji terkejut. Tak pernah pemuda itu berpikir sejauh itu, bahwa diam-diam Titisari menaruh cemburu juga terhadap Nuraini. Mengingat pesan almarhum Wayan Suage, kalau
ditimbang-timbang tak begitu salah. Karena itu mau tak mau ia geli juga memi-kirkan nalar seorang perempuan.
Dalam pada itu Nuraini bersikap dingin ter-hadap Sanjaya. Dengan sengit ia berkata, "Yang mulia Raden Mas Sanjaya! Aku meng-ucapkan syukur kepadamu. Di kemudian hari, bukankah
kebahagiaanmu bakal tak terbatas" Engkau akan menjadi pewaris kerajaan. Dan akan di agungagungkan orang di seluruh jagad. Selamat!"
Mendengar kata-kata Nuraini, wajah Sanjaya berubah hebat. Tahulah dia, bahwa Nuraini telah mendengar percakapannya de-ngan ayah angkatnya. Pikirnya dalam hati, pantas, kudengar suara gemeresek di dalam peti. Tak tahunya, dialah yang bersembunyi di sini...
Nuraini melihat perubahan wajah Sanjaya. Hatinya menjadi lemah. Memang terlalu besar cinta kasihnya terhadap pemuda itu, sehingga tak sampai hati melihat dia berpedih hati. Ia tahu juga tentang pengkhianatan pemuda itu terhadap Sangaji danTitisari. Terang-terang, dialah yang mengatur Pangeran Bumi Gede bisa meloloskan diri. Tetapi, pandai bermain sandiwara begitu hampir sempurna. Alangkah palsu hatinya. Tetapi untuk membuka rahasianya, masih juga dia tak sampai hati. Sangaji mungkin bisa memaafkan tetapi Titisari,... hmm... dalam gusarnya gadis itu bisa membinasakan dia.
"Kau panggil dia ayah" Hm... bagus sekali," dampratnya dengki. Ayahmu yang sejati sudah terkubur karena perbuatan pangeran itu. Mengapa engkau bahkan mengabdi padanya?"
Sanjaya menundukkan kepala. Dampratan Nuraini benar-benar termakan dalam hatinya. Mau ia membalas, tapi takut terdengar Titisari.
"Kau akui bangsat itu sebagai ayahmu, masih bisa dimengerti. Mengingat semenjak kanak-kanak engkau dirawat dan dibesarkan," damprat Nuraini lagi. "Tapi yang memuakkan engkaupun turut menjadi gerombolan musuh negara. Apakah engkau... engkau... ikut-ikut-an pula kemaruk kekuasaan?"
Kalimat terahir itu diucapkan dengan derun hatinya sehingga tubuhnya menggigil. Sanjaya jadi berdebaran juga. Cepat ia menyabarkan.
"Adikku..." "Siapa sudi kau panggil adik segala?" bentak Nuraini.
"Bagus!" Sanjaya membalas membentak. Mukanya menjadi pucat, karena tak mengira diperlakukan demikian. Sebagai seorang anak pangeran yang dimanjakan, ia bisa memper-oleh segala dengan gampang. Kini ia kena bentak seorang gadis. Dan menurut pendapat-nya adalah seorang gadis lumrah"seorang gadis kampung"seorang gadis pasaran yang hidup
bergelandangan dari kota ke kota. Meskipun demikian, teringat akan pengakuan si gadis bahwa ia berada di tempat itu karena terengut sang Dewaresi, hatinya jadi panas juga. Katanya kemudian,
"Engkau tak sudi kupanggil adik, karena engkau telah mempu-nyai kekasih baru. Hm, beginikah engkau memperlakukan diriku?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kau... kau... kau bilang apa?"
"Bukankah engkau telah mengabdi kepada
Dewaresi" Kau bilang, Pangeran Bumi Gede adalah seorang bangsat. Apakah Dewaresi bukan
bangsat pula?" ujar Sanjaya sengit.
Mendengar ujar Sanjaya, hati Nuraini pepat. Wajahnya menjadi pucat lesi. Seluruh tubuh-nya menggigil, karena tak tahu lagi apa yang harus dikatakan untuk mempertahankan diri. Mendadak Sanjaya berkata lagi tak kurang sengitnya.
"Memang...aku kalah ngganteng. Ilmu kepandaiannya pun jauh melebihi aku. Dia boleh
memperlihatkan keagungannya dan kemam-puannya. Tapi aku, kau larang bercita-cita hendak
mencapai keagungan... Memang, apakah aku ini"
"Aku melarang sepak terjangmu yang sesat, demi cintaku," akhinya Nuraini bisa berkata.
Hm...cinta kasih" Engkau telah kena tawan bangsat itu. Masakan kesucianmu tak direnggutnya pula" Sanjaya bersakit hati sampai raut wajahnya menjadi merah dan pucat bergantian. Tapi Nuraini pun tak kurang-kurang menderita kepedihan dan sakit hati "Aku... aku... aku... kehilangan kesucian?" Katanya tersekat-sekat, "Bilanglah...bahwa engkau tak kehilangan kesucianmu!
"Kesucianku" Apakah maksudmu dengan kesucian" Selama langit belum roboh, cintaku tetap padamu."
"Hm...engkau telah menjadi tawanan si bangsat itu bukan sekedar dua tiga hari. Tapi beberapa minggu. Engkau dipeluk, dicium, diraba...ih! Masih beranikah engkau mengakui putih bersih?"
Hebat penanggungan hati Nuraini, kata-kata Sanjaya seperti gelombang menampar padanya.
Tiba-tiba saja, matanya berkunang-kunang. Sekujur badannya seperti dilolosi. Maklumlah,
semenjak bertemu di Pekalongan hatinya telah menyerahkan diri kepada pemuda itu setiap detik ia merindukannya. Meskipun ia pernah ditawan, dihina dan diperlakukan sebagai budak, hatinya tetap tertancap padanya. Kini, suatu malapetaka diluar kekuatannya menimpa dirinya. Dan ia tak mampu lagi mempertahankan diri terhadap serangan Sanjaya. Dalam lubuk hatinya ia mengakui, bahwa dirinya telah kehilangan kesuciannya. Meskipun cinta kasih kepada pemuda itu tak pernah pudar sedikitpun juga.
"Apakah itu yang kaumaksudkan dengan kesucian?" Nuraini mencoba.
"Apakah ada lain lagi" Coba kau bilang," bentak Sanjaya.
Benar-benar Nuraini tak bisa berkutik. Karena pepat, ia roboh tak sadarkan diri.
Melihat Nuraini jatuh pingsan, hampir saja Sanjaya melompat hendak menolongnya.
Maklumlah, bagaimanapun juga dengan gadis itu dia pernah bersentuh tubuh dan mempu-nyai
kisahnya sendiri. Mendadak teringatlah dia kepada sesuatu.
Nuraini kuserang habis-habisan, kalau sampai dia berputus asa, bukankah ia bisa membalas dengan membuka rahasiaku kepada Sangaji dan Titisari" Celakalah kalau sampai begitu.
Memperoleh pikiran demikian. Cepat ia keluar dari pintu butulan. Kemudian bersem-bunyi


Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dibalik rumpun bambu. Di sana ia meli-hat kuda Titisari lagi menggerumuti rumput. Tanpa ragu-ragu ia terus melompat ke atas pelananya dan melarikan secepat angin menuju ke timur laut.
Waktu itu, Titisari dan Sangaji sedang men-jenguk sungai hendak mengambil air. Mendadak ia mendengar derap kuda. Cepat mereka lari ke jalan dan terheran-heran meli-hat kepergian
Sanjaya. "Jangan-jangan mereka telah bertengkar dan Nuraini kena di...," kata Titisari cemas. Gadis itu lantas saja balik ke lumbung dan melihat Nuraini tergeletak di atas tanah. Gugup ia mendekati dan ketika melihat Nuraini hanya roboh pingsan, hatinya jadi berlega.
Titisari segera mengurut-urut pernapasan Nuraini. Sebagai sesama jenis, ia bisa berlaku dengan merdeka. Sebaliknya, Sangaji tak dapat berbuat lain kecuali keripuhan seorang diri. Mau ia menolong, tapi tak berani menyen-tuhnya. Salah-salah bisa kena gampar Titisari. Karena itu, ia hanya berdiri disamping dengan hati kebat-kebit.
Sejenak kemudian. Nuraini menjenak mata. Melihat titisari. Ia membuang muka. Kemudian
menangis sedu-sedan dan berusaha mene-gakkan tubuh.
"Mengapa engkau begitu?" tanya Titisari."... apakah Sanjaya..."
Nuraini menyekat pertanyaan Titisari de-ngan menggelengkan kepala. Dengan setengah
berbisik Nuraini berkata, "Titisari! Masih ingatkah engkau, tatkala aku kau ancam, dengan cundrik"
' Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"AH! APA PERLU HAL ITU DIBICARAKAN POTONG," TITISARI gugup. Mukanya menjadi merah teringat akan peristiwa dahulu. Peristiwa penodongan itu tak pernah diceritakan kepada Sangaji.
Maklumlah, justru karena khawatir Sangaji hendak direbut Nuraini, ia jadi mata gelap. Karena itu diam-diam hatinya tercekat dan merasa kikuk. Ia khawatir, Nuraini akan membongkar peristiwa itu dihadapan Sangaji. Kalau sampai begitu, bukankah memalukan sekali"
Maka cepat-cepat ia mengalihkan pem-bicaraan, "Sanjaya telah melarikan diri dengan
menggondol kudaku. Mengapa?"
Nuraini mengngguk. Ia menelan ludah. "Aku tahu... karena itu aku ingin bertanya kepadamu, apakah engkau masih teringat tatkala engkau mengancam aku dengan cundrik?"
"Ya! Mengapa?" terpaksa Titisari meng-iyakan.
"Masihkah cundrik itu" Bolehkah aku pinjam barang sebentar?"
"Aji! Kemari!" kata Titisari memanggil Sangaji, sambil mengangguk kepada Nuraini.
Sanagaji mendekat. Pandangnya penuh teka-teki. "Bolehkah dia pinjam cundriku?" Titisari minta pertibangan.
Sangaji tak pandai menjawab dengan cepat, ia seperti kebingungan.
"Sekiranya dia membutuhkan benar dan engkau tak keberatan, apakah buruknya meminjami?"
"Tapi cundrik itu bertabiat jahat. Pernah kuancamkan dia," ujar titisari. Ia seperti telah memperoleh firasat buruk.
Sangaji tak mengerti tentang cundrik dan kisah penodongan. Karena itu, tak tahu dia
menjawab. Selagi ia tergugu Titisari berkata kepada Nuraini, "Kau ingin pinjam cundrikku" tak berani aku meminjami. Tetapi kalau engkau ingin memiliki, akan kuberikan dengan lapang hati. Aji menyetujui pula. Hai! Apakah engkau benar-benar sampai hati hendak mem-bunuh kekasihmu?"
Nuraini tersenyum pahit. Ia segera meneri-ma cundrik Titisari sambil berkata, "Tadi aku telah bertengkar hebat dan aku dituduh kehi-langan kesucianku."
"Karena aku kena tawan, kena peluk, kena cium dan kena raba!" potong Titisari.
Nuraini tertawa melalui dada. Kemudian beralih kepada Sangaji.
"Kangmas Sangaji! Tak perlu lagi engkau ke Bumi Gede hendak mencari pangeran jahanam pembunuh ayah dan pamanmu." Dia telah mendengar kabar dari Sanjaya tentang maksudmu hendak membalas dendam. Kalaudia sudah mempunyai maksud hendak bersembunyi sambil pula
mempersiapkan diri untuk menghadapimu, tidaklah mudah engkau menemukan. Mungkin dia bisa ke Jawa Timur. Mungkin pula ke Jawa Barat. Agaknya dia takut padamu... Karena itu lebih baik Kangmas Sangaji mencarinya dengan perlahan-lahan sambil mengurusi adik Titisari. Kalian berdua bernasib jauh lebih baik dari padaku...
la berdiam berenung-renung. Kemudian tersenyum mengejek dirinya sendiri. Mendadak saja ia menjejak tanah dan melesat keluar pintu butulan sambil membawa cundrik Titisari.
"Kak Nuraini! Kau mau ke mana?" teriak Titisari sambil memburunya.
Mendengar seru Titisari, Nuraini seperti berbimbang-bimbang di dekat sebuah pohon johar ia berhenti. Tangannya menarik cundrik tinggi-tinggi kemudian bergerak hendak menikam diri.
"Kak Nuraini! Jangan!" Titisari berteriak cemas.
Sudah barang tentu gadis itu tak dapat mencegah maksud Nuraini hendak bunuh diri. Jarak
antara keduanya agak jauh.
"Aji! Cegahlah dia!" Titisari menjerit lagi.
Sangaji sendiri waktu itu tertegun seperti kehilangan pikiran. Melihat Nuraini melesat pergi dengan mendadak, ia heran dan tak tahu apa yang harus dilakukan. Tiba-tiba melihat Nuraini mencabut cundrik. Dan ia tersadar, karena terkejut. Cepat ia meloncat memburu. Tetapi jaraknya pun cukup jauh.
Ternyata Nuraini tak menikam dadanya. Ia hanya memangkas rambutnya sebatas kuduk.
Kemudian melesat lagi entah ke mana tujuan-nya.
"Kak Nuraini! Kak Nurani!" jerit Titisari masih memburu. Ia kaget tatkala dahinya hampir kesamplok potongan rambut yang beterbangan. Ia tertegun-tegun dan dengan hati mendelong
mengawaskan kepergian Nuraini yang nampak kian jauh dan jauh.
Semenjak kanak-kanak Titisari hidup senang. Meskipun telah kehilangan ibunya, tetapi ayahnya sangat memanjakan. Apa yang diinginkan tak pernah tak terkabulkan. Karena itu belum pernah ia
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
merasakan suatu duka cita menggigit kalbunya. Kalau ingin tertawa, tertawalah dia sepuas-puasnya. Sebaliknya apabila ingin menangis, maka menangislah dia tiada hentinya.
Kini ia menyaksikan suatu peristiwa hebat yang berkesan mengerikan hatinya. Bagi se-orang wanita, rambut merupakan suatu pelengkap tubuh yang paling berharga. Pada zaman itu, bahkan laki-Iakipun memelihara rambut sepanjang mungkin, seolah-olah suatu mustika yang menentukan harga diri. Karena itu perbuatan Nuraini memangkas rambutnya adalah suatu kejadian yang baru untuk pertama kali itu ia saksikan. Karuan saja ia terkejut dan terharu bukan main. Sebagai sesama wanita, dapatlah ia merasakan betapa besar penanggungan Nuraini. Kalau tidak, masakan sampai berbuat demikian.
Perlahan-lahan ia memutar tubuhnya. Dengan berkaca-kaca ia menatap Sangaji yang tertegun pula bagaikan tugu. Dengan penuh haru ia berbisik, "Kak Nuraini telah kehilangan kecantikannya...
Apalah artinya seorang gadis tiada berambut lagi" ... Aji, tahukah engkau mengapa dia berbuat demikian" Hatinya begitu keras..."
Sangaji terkunci mulutnya. Ia merenungi Titisari dengan berbagai perasaan. Tiba-tiba Titisari lari padanya dan menjatuhkan kepalanya di atas dadanya. Bisik gadis itu di atas dadanya.
"Aji! Aku takut! Entah apa sebabnya... aku takut..."
Tak terasa Sangaji mengusap-usap rambut Titisari seolah-olah lagi membesarkan hatinya.
Tetapi mulutnya tetap terbungkam.
"Aji!" panggil si gadis.
"Ya?" Sangaji menyahut pendek.
"Dia tadi berkata padaku, dia pernah dirangkul, diciumi dan diraba Dewaresi. Lantas Sanjaya menuduh dirinya kehilangan kesucian" Masakan seorang perempuan kehi-langan kesuciannya,
karena dirangkul, dicium dan diraba belaka" Apakah kesucian takut kepada rangkulan, ciuman dan rabaan" ... Katanya, kalau seorang gadis kehilangan kesuciannya, hilanglah kehormatannya pula.
Masakan begitu" Apakah dia lantas nampak hina dalam mata laki-laki" Ih, laki-laki sok berkepala besar." Ia berhenti sebentar me-meras otak mencoba mengerti. "Aku sekarang kau usap-usap...
kau rangkul... kau raba... hanya belum kau ... apakah aku sudah kehi-langan kesucianku" Aji!
Apakah engkau lantas memandang hina padaku" Apakah aku kini telah kehilangan kehormatanku"
... Aji! Apa-kah begitu?"
Titisari adalah seorang gadis lagi menanjak umur 17 tahun. Masalah demikian masih asing
baginya, karena keadaan keluarganya. Sebaliknya, meskipun umur Sangaji dua tahun lebih tua, sesungguhnya ia masih goblok juga mengenai urusan demikian. Tetapi kodrat naluriahnya, samar-samar seperti mengerti. Maklumlah, dia telah menjadi akil-balig. Hanya saja, tak tahu bagaimana harus menerangkan dan mengucapkan.
Karena tak memperoleh jawaban, gadis itu seperti kehilangan semangat. Seluruh tubuh-nya
terasa menjadi lelah. Dengan berdiam diri ia mengajak Sangaji kembali ke lumbung. Kemudian tertidur pulas di samping pemuda itu dengan pikiran penuh.
Keesokan harinya, ia bangun dengan hati segar bugar. Kesan kemarin hari, hilang lenyap
seperti awan tersapu angin. Sebaliknya Sangaji nampak kuyu. Satu malam penuh ia susah
menidurkan diri. Kecuali berbagai kesan tentang Pangeran Bumi Gede, Sanjaya dan Nuraini, teringatlah dia kepada gurunya. Dalam pendengarannya ia seolah-olah mendengarkan gurunya.
Merintih dan memanggil padanya dengan gigi bergemeretakan. Itulah sebabnya, begitu melihat Titisari telah bangun, segera ia mengajak memburu Pangeran Bumi Gede.
"Peduli amat dengan Pangeran Bumi Gede!" kata Titisari menggerutui. "Biarkan dia berse-nang-senang dahulu. Diam-diam kita meng-amat-amati dari jauh."
"Tapi aku harus menuntut dendam guruku," sahut Sangaji dengan hati terbakar.
"Eh, apakah benar-benar Pangeran Bumi Gede yang menjebak gurumu?"
Memperoleh pertanyaan demikian, pemuda itu tergugu. Memang dia belum mendapat
pegangan. Hanya saja dia harus berkata.
"Titisari! Budi guruku setinggi langit dan sebesar gunung. Barangkali engkau belum dapat merasakan apa yang bergolak dalam diriku."
"Bagus!" sahut Titisari cepat. "Masakan engkau tahu pula apa yang bergolak dalam diriku"
Semenjak kanak-kanak aku di-besarkan ayahku. Tetapi begitu kenal padamu, tak betah aku
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
berdiam terlalu lama di samping Ayah. Kau tahu apa yang bergolak dalam diriku?"
Mendengar kata-kata Titisari, Sangaji terdiam. Dasar ia tak pandai berbicara dan semenjak lama telah merasa takluk pada kepandaian Titisari, maka dia seperti botol ter-sumbat gabus.
"Titisari! Hal itu meskipun tak dapat kuba-ca... ya, hal itu meskipun dapat kurasakan, sedapat mungkin harus kita pisahkan. Ini mengenai guru dan murid. Guru seolah-olah bagian hidupku sendiri."
"Hm... kalau engkau membiarkan dirimu sendiri menjadi bagian hidupnya gurumu, apakah aku tak boleh membiarkan diriku menjadi bagian hidupmu?" potong Titisari. Dan Sangaji menjadi terharu bukan main. Terus saja ia memeluknya.
Titisari membiarkan dirinya dipeluk. Terasa dalam dirinya, hatinya jadi aman. Kemudian berkata lembut, "Mari kita berangkat mencari musuhmu. Kau mandi tidak?"
Terus saja mereka mencari sungai. Dan setelah mandi, berangkatlah mereka meng-arah ke
selatan. Mendadak saja, teringatlah Sangaji kepada janjinya hendak menghadap Adipati
Surengpati. "Titisari! Bagaimana pendapatmu, kalau aku menyeberang ke Karimunjawa?" ujarnya.
Titisari terkejut mendengar ujarnya. Sekilas berubahlah wajahnya, kemudian berkata agak
gugup, "Apa kamu mencari mati?"
"Mati adalah soal takdir, kata guruku. Tapi aku telah berjanji kepada ayahmu. Kau bilang sendiri, ayahmu seorang yang menepati janji.
Sekiranya aku tak datang, pastilah dia akan mencari aku. Kalau aku sampai diketemukan, di manakah aku harus menaruhkan mukaku?"
Titisari tahu, janji merupakan suatu kehor-matan bagi laki-laki. la mengenal watak ayah-nya yang tinggi hati, keras kepala dan bengis. Sebaliknya apabila Sangaji menemui dia masakan akan dibiarkan berlalu dengan sela-mat" Sangaji bukan tandingannya. Dan ia takkan membiarkan
Sangaji menerima nasib-nya. Kalau sampai mati, diapun enggan hidup lagi. Sedangkan dia masih ingin hidup lebih lama lagi, agar bisa bergaul lebih rapat dengan pemuda itu.
"Aji! Kau tak boleh berangkat menemui Ayah," bisiknya gelisah.
"Lantas" Apakah kau menginginkan aku agar menjadi seorang yang tak tahu menepati janji?"
Hati Titisari pepat, dan adalah wajar bila-mana seseorang merasa terdorong ke pojok ia
mencoba mencari pegangan lain. Maka teringatlah dia kepada Gagak Seta. Pikirnya, sekiranya Paman Gagak Seta berada di sini, tak usahlah aku khawatir. Mustahil ia akan membiarkan
muridnya terbunuh. Meskipun belum tentu menang melawan Ayah, tapi nyawa Sangaji pasti
selamat. Tetapi di manakah dia harus mencari Gagak Seta! Ia jadi kehilangan harapan. Terus saja ia merintih dalam hati mengingat kekejaman ayahnya. Mendadak saja terkenanglah dia kepada
ibunya yang telah lama meninggal dunia. Sekiranya ibunya ada, tak perlu ia takut menghadapi ayahnya. Tak terasa terlocatlah perkataannya.
"Aji! Ayo kita mencari Ibu dahulu."
Mendengar ucapan Titisari, Sangaji heran sampai tercengang-cengang. Bertanya mene-baknebak, "Kau bilang apa?"
Titisari tersentak sadar. Sekonyong-konyong wajahnya berseri-seri. Setengah memekik, "Ibuku salah seorang keturunan raja. Dia dikebumikan di lmogiri. Ayo kita menengok Ibu! Sekiranya Ayah menyusulmu, bukankah ada alasannya yang kuat?"
Sangaji mengerenyitkan dahi. Tak tahu ia menebak maksud gadis itu.
"Eh, kenapa kau mesti berpikir sampai begitu," kata Titisari dengan tertawa riang. "Sehari kita boleh bergaul lebih lama, kita per-gunakan saat itu sebaik-baiknya."
Terang sekali maksud gadis itu. Dalam rasa putus asa ia mencoba hendak mengulur waktu.
Dan hati Sangaji yang perasa kian menjadi terharu. Maka tak sampai hati ia menolak.
Mereka terus saja menuju ke Imogiri dengan melalui Desa Tunjungan, Krajan, Randu-gunting dan Kalasan. Di Kalasan mereka membeli seekor kuda, karena kuda Titisari telah dilarikan Sanjaya.
Kemudian melanjutkan perjalanan ke Imogiri. Kini perjalanan mereka jauh lebih cepat. Sebelum matahari mendekati cakrawala, sampailah mereka di makam keluarga raja Imogiri.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Keadaan makam keluarga raja di Imogiri pada dewasa itu tidaklah sejernih kini. Kesannya
sangat gawat, angker dan berper-bawa. Makam itu sendiri berada di atas gundukan tinggi, diapit-apit bukit yang berbentuk memanjang, pohon-pohon besar memayungi tempat-tempat tertentu.
Desa yang berada di seberang menyeberang jalan belumlah serapat sekarang. Seluruhnya hampir tertutup hutan bambu yang menyekat batu-batu alam yang berkesan maha perkasa dan angkuh.
Peraturan menjenguk makam keluarga raja, sangat keras pula. Seorang pengantar tak
diperkenankan mendekati pintu gerbang ter-lalu dekat. Karena Sangaji bukan keturunan raja, maka ia seperti tersekati tembok tinggi. Tatkala Titisari diizinkan memasuki makam, terpaksalah ia menunggu jauh di luar gerbang seperti anak keserakat.
Ia mendongkol kenapa mesti diperlakukan demikian. Pikirnya, bukankah manusia ini
berketurunan sama dan berderajat sama pula" Raja berhidung satu aku pun berhidung satu. Raja bermata dua, aku pun bermata dua. Raja bermulut satu, aku pun bermulut satu.Terasa sekali dalam hatinya, betapa orang-orang besar ini membuat susah orang-orang kecil belaka yang tak berkelas. Tetapi ia tak mempunyai kekuasaan untuk menentang peraturan-peraturan yang
memisahkan antara manusia dan manusia. Maka mau tak mau ia harus tunduk kepada suatu
keharusan itu. Karena kesal ia mundar-mandir di luar tembok. Kudanya kemudian dititipkan kepada salah
seorang penduduk kampung. Ia menge-mukakan kekesalan hatinya.
"Naik bukit sana saja, Gus," kata orang itu. "Dari sana bisa melihat seluruh makam."
Girang Sangaji mendengar saran itu. Cepat ia merogoh uang untuk makanan kudanya,
kemudian lari mendaki bukit sebelah tenggara. Maka benar juga kata orang itu. Dari atas bukit ia bisa menjenguk makam sepuas-puasnya. Hanya saja Titisari tak terlihat olehnya.
Barangkali dia lagi mendekati makam ibu-nya, pikirnya menghibur diri. Biarlah dia menengok makam ibunya sepuas-puasnya.
Masakan aku tak mengetahui, manakala ia sudah rampung.
Kemudian beralihlah dia menyelidiki bukit. Di sana sini banyak tumbuh pohon jambu. Rumput alam tebal menutupi buminya. Maka duduklah ia menghempaskan diri.
Senang ia duduk di atas rumput tebal itu. Hanya saja hatinya terlalu kosong. Untuk iseng, ia mengingat-ingat kembali pada jurus-jurus ajaran Kyai Kasan Kesambi yang ternyata dahsyat tak terkira. Teringat akan jurus itu, teringatlah pula ia kepada gurunya. Hatinya terus saja bergolak hebat. Tak terasa ia melakukan setiap perubahan jurusnya dengan sungguh-sungguh.
Tatkala matahari telah tenggelam di barat, ia berhenti beristirahat. Kembali ia mengamat-amati makam. Keadaannya sunyi lengang. Namun Titisari tak nampak batang hidungnya.
Kini rasa dahaga dan lapar mulai menggoda. Teringat kepandaian Titisari memasak, liurnya terus saja cerocosan.
Tiba-tiba dia teringat buah-buah jambu yang bergelantungan dengan merdeka. Karena rasa
lapar makin lama makin menggigit perutnya, tak berpikir panjang lagi terus saja memanjat dan menggerumuti jambu sampai perutnya terasa jadi kenyang.
Dari atas pohon ia mencoba mengamat-amati kembali pintu gerbang yang kini sudah nampak
samar-samar. Masih saja sunyi sepi.
Hai! Ke manakah Titisari" Apakah dia mesti menginap" pikirnya menebak-menebak. Hatinya
mulai curiga. Mendadak saja terasalah kesiur angin meraba lengannya. Tak setahunya sendiri, bulu romanya menggelidik. Kemudian terdengar suara lamat-lamat, tapi terang.
"Hm...! Begitulah caramu hendak menuntut dendam gurumu?"
Keruan saja, Sangaji terkejut bukan main. Cepat ia menoleh, tetapi sekelumit bayangan
manusia tiada sama sekali, la jadi keheran-heranan.
Sangaji adalah seorang pemuda yang memperoleh didikan barat dalam masa per-tumbuhannya
mencapai jenjang kedewasaan, perkara hantu, iblis, setan atau demit masih tipis baginya. Karena itu, suara yang didengarnya tadi tidaklah cepat-cepat mengingatkannya kepada dunia makhluk halus. Meskipun ia kini berada di atas sebuah bukit yang melingkupi makam besar di waktu malam hari.
Segera ia meloncat turun ke tanah dengan hati penasaran. Pikirnya, masakan telingakusalah tangkap" Ia celingukan ' menyelidiki sekitarnya. Keadaannya sunyi senyap seperti sediakala.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dia mengingatkan aku kepada penuntutan dendam guruku. Siapa dia" pikirnya berteka-teki.
Pastilah dia mengetahui tentang keadaan pertapaan Gunung Damar. Tetapi terang suara tadi bukanlah suara Paman Gagak Handaka, Ranggajaya, Bagus Kempong dan Surya-ningrat. Hm...
apakah peristiwa keji itu kini telah menjadi pembicaraan umum"
Selagi ia sibuk menduga-duga dari arah kiri terdengar suara orang mengeluh berat. Kaget ia menoleh. Juga kali ini tiada tanda-tanda adanya seseorang. Akhirnya dia berkata nyaring,
"Agaknya Tuan mengenal diriku, sebaliknya aku tidak. Apakah Tuan berkebe-ratan menampakkan diri kepadaku?" Sangaji menunggu, tetapi tiada jawaban. Lalu ia berkata lagi, "Baiklah... sekiranya Tuan tak sudi menampakkan diri, maukah menyebut nama Tuan?"
Kembali lagi tiada jawaban, seolah-olah kata-katanya tiada berharga sepeserpun juga untuk dilayani. Karena itu, betapa sabar Sangaji ia adalah seorang pemuda yang gam-pang tersinggung kehormatannya. Dengan mengeraskan diri, ia mulai menyelidiki mah-kota pohon-pohonan.
Mendadak terdengar suara dari arah selatan.
"Seorang laki-laki, masakan merengek-rengek seperti perempuan?"
Sadarlah Sangaji, bahwa ia lagi berhadapan dengan seseorang yang berilmu tinggi. Tadi berada di belakang, kemudian beralih ke sebe-lah kiri. Mendadak saja kini sudah berpindah di sebelah selatan.
Baik kau suruh aku mengetahui siapa dirimu tanpa bertanya asalkan engkau bukan malaikat, masakan aku tak mampu, pikirnya dalam hati. Lantas saja ia melesat menubruk segerombol
belukar yang berada di sebelah selatan. Tetapi ia menubruk angin. Kemudian jauh di depannya terdengar suara menter-tawakan. Keruan saja, hatinya jadi panas. Dengan memusatkan seluruh kemampuannya, ia terus memburu.
Kepandaian Sangaji dalam hal kegesitan sepuluh kali lebih tinggi daripada sewaktu baru
merantau dari Jakarta. Ilmu itu diperolehnya dari Gagak Seta. Meskipun demikian, setelah memburu sekian lamanya tak mampu menemukan buruannya. Kini ia telah melintasi ting-- gi bukit dan turun ke sebelah utara. Keadaan seberang menyeberang merupakan alam terbuka tiada
pohonnya. Hanya di sana sini nampak beberapa batu gundukan mencongakkan diri dari bumi.
Melihat keadaan itu ia jadi ragu-ragu. Pikirnya, tak mungkin buruannya melintasi alam terbuka.
Bukankah gampang terlihat"
Setelah menimbang-nimbang sebentar ia bermaksud hendak kembali. Tiba-tiba terde-ngar
suara bergemeresek seperti binatang galak mengikuti dari belakang. Kaget ia memutar tubuh, tapi kembali tiada sesuatu. Tatkala berputar lagi menghadap ke utara matanya yang tajam menangkap sesosok bayangan berkelebat di sana. Karena itu tanpa berpikir panjang lagi terus saja ia mengejar.
Watak Sangaji memang ulet dan tabah, la tahu, dirinya lagi dipermainkan seorang yang
kepandaiannya sepuluh atau seratus kali lipat daripadanya. Tetapi ia enggan menyerang atau berputus asa, apa lagi tadi kena disindir begitu tajam. Manakala belum bisa mengetahui alasan orang itu mempermainkan dirinya, betapa dia sudi menyudahi. Itulah sebabnya, dengan mati-matian ia terus mengejar, menye-lidiki dan menebak-nebak, ia tak percaya, se-orang manusia bisa terbang atau menghilang.
Terang sekali, tadi kulihat ada bayangannya.
Pasti dia seorang manusia yang berdarah dan berdaging, pikirnya yakin.
Bukit yang satu telah dituruni. Kini ia men-daki bukit yang lain. Kemudian lapangan ter-buka dan sawah ladang. Dan orang itu tetap mempermainkan dari tempat ke tempat.
Tak terasa larut malam telah tiba dengan diam-diam. Sangaji terus mencari ubek-ubekan dan mengejar-ngejar tak keruan tujuannya. Kini ia mulai melintasi desa-desa. Akhirnya tiba pada suatu petak tanah dekat rumpun bambu yang merupakan sebidang hutan. Rasa capai mulai terasa.
Napasnya mulai menyekati rongga dadanya pula. Lambat laun ia kehilangan pegangan.
Hm! Orang itu benar-benar tinggi ilmunya. Sepuluh kali lipat mungkin seratus kali lipat
daripadaku. Kalau ia mau mencelakai diriku samalah gampangnya seperti membalik tela-pak
tangan. Mengapa dia tak berbuat demi-kian" Baiklah aku berhenti saja. Siapa tahu, dia malah sudi memberi keterangan.
Memperoleh pikiran demikian, terus saja ia berhenti. Kemudian duduk bersimpuh di atas batu mengatur pernapasan. Diam-diam otaknya lantas berputar mengingat-ingat tokoh-tokoh ternama
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
pada zaman itu. Teringatlah dia kepada tutur kata gurunya, bahwa kakek gunanya Kyai Kasan Kesambi termasuk salah seorang dari tujuh orang sakti urutan pertama.
Kemudian, almarhum Mangkubumi I, Adipati Surengpati, almarhum Pangeran Samber Nyawa,
Gagak Seta, almarhum Haji Lukman Hakim dan Kebo Bangah. Mengingat kepandaian orang itu,
pastilah dia termasuk salah seorang tokoh dari mereka. Tetapi siapa! Dari ketujuh tokoh sakti itu, dia telah mengenal tiga di antaranya. Yakni, Adipati Surengpati, Gagak Seta dan Kyai Kasan Kesambi.
Yang belum dan masih hidup, tinggal Kebo Bangah paman sang Dewaresi. Dan begitu teringat kepada tokoh itu tak tersa hatinya menggelidik. Maklumlah, dengan sang Dewaresi ia pernah mengukur kepandaiannya. Masakan pamannya akan tinggal berpeluk tangan belaka" Sebagai
seorang tokoh sakti yang pasti tinggi hati, sudah barang tentu tak mungkin tinggal diam
mendengar keponakan-nya menanggung malu tatkala kena diper-mainkan Titisari.
"Ah, tidak mungkin! Tidak mungkin! Tidak mungkin!" Ia mencoba menghibur diri. "Masakan tokoh setinggi, itu merasa perlu berlari-lari menguji diriku sewaktu hendak membalas dendam?"
Tapi apabila bukan, lantas siapa orang itu" Pastilah orang itu tidak perlu kalah berlawan mereka bertujuh. Apa sebab tak termasuk dalam daftar namanya" Tiba-tiba selagi ia bergelisah,
terdengarlah bergemeresek dua puluh langkah di depannya. Kemudian suara itu terdengar lagi,
"Bocah tolol! Masakan sela-ma itu belum mengenal siapa aku" Apakah engkau masih berotak udang" Mengasolah dan simpanlah tenagamu!"
Mendengar istilah tolol dan deretan kalimat yang cukup panjang itu, akhirnya Sangaji ter-sadar.
Terus saja terlompatlah perkataannya, "Ah! Guru memang aku tolol!"
Kini hilanglah teka-teki yang membi-ngungkan otaknya yang sederhana. Dialah gurunya. Gagak Seta yang terkenal aneh wataknya, la bagaikan seekor naga sakti. Kena terlihat ekornya, tapi tiada kepalanya. Apa yang lagi dikerjakan, tak mudah orang menebaknya.
Sangaji menunggu beberapa waktu lama-nya, namun Gagak Seta tak muncul di depan-nya.
Teringat akan tabiatnya, maka terus saja ia membungkuk hormat sambil berkata ren-dah.
"Guru! Terimalah hormatku..."
Dari jauh ia mendengar suara Gagak Seta tertawa panjang makin lama makin menjauh.
Kemudian lenyap seperti awan.
Mau tak mau Sangaji jadi tertegun-tegun memikirkan peristiwa itu. Apakah maksud gurunya
membawa dia berlari-lari seperti orang gila" Perlahan-lahan ia menyiratkan pandang" Di sebelah timur laut, berdiri gun-dukan tanah terbuka. Di puncaknya berdiri dua batang pohon berhadap-hadapan. Kedua pohon itu gundul tak berdaun. Di malam hari nampak bagaikan tangan-tangan panjang hendak mencakar langit. Di sebelah barat, tergelar petak-petak yang disekati sawah ladang. Nampaknya aman damai seperti desa tak berbambu. Di sana terdengar air gemericik.
Terang sekali suatu pancuran yang seringkali dipergunakan penghuni-penghuni dusun mengairi sawahnya. Tetapi termasuk wilayah manakah pemandangan itu, tak dapat ia menduga-duga.
Maklumlah, selama hidupnya baru kali itulah menginjak daerah sebelah tenggara wilayah kerajaan Yogyakarta.
Perlahan-lahan ia menghempaskan diri di atas tanah. Napasnya yang tadi menyekat dada, telah dapat dikuasai kembali, la mulai bisa berpikir dengan tenang, meskipun demikian masih saja tak sanggup meme-cahkan teka-teki itu.
"Kalau Guru tahu aku berada di atas makam raja, mestinya tahu pula apa sebabnya. Masakan Guru dengan sengaja hendak memisahkan aku dari Titisari?" la meyakinkan dirinya.
"Di belakang peristiwa ini pasti ada maksudnya. Hm... aku disuruhnya mengaso dan
menyimpan tenaga. Apakah aku bakal menghadapi suatu bahaya?"
Teringat akan pesan itu ia memaksa diri menghilangkan corat-coret benaknya yang ramai
mengerumuni otaknya. Untunglah dia pernah memperoleh ajaran bersemadi dari Ki Tunjungbiru tatkala masih berada di Jakarta. Maka, tak lama kemudian ia malah jatuh ter-tidur tak setahunya sendiri.
Waktu itu bulan mulai cerah benar. Angin malam membuai lembut puncak-puncak rumpun
bambu sehingga berbunyi bergemere-sak. Dingin alam mulai terasa meresapi tulang belulang.
Meskipun angin demikian belum kuasa menyakiti tubuh Sangaji, tetapi mampu memaksanya untuk meringkaskan diri. Tiba-tiba, sewaktu dia hendak bergeliat meringkaskan badan, pendengarannya
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
yang tajam menangkap suatu bunyi dengung yang mencurigakan. Kaget ia melompat bangun.
Dan di angkasa terlihatlah deretan ribuan tabuan, berdengungan hampir menutupi cerah bulan.
Sekaligus teringatlah dia kepada sang Dewaresi yang dahulu membawa-bawa barisan
tahuannya ke mana saja ia pergi. Tak usah ia takut kepada bisa-bisa tabuan itu, karena pernah meminum getah sakti pohon Dewadaru. Tetapi datangnya barisan tabuan itu, membuat dia harus berwaspada.
Ih! Apakah ini maksud Guru membawa aku ke mari" pikirnya.
Cepat ia memasuki hutan rumpun bambu. Ternyata di antara mahkota daunnya, terde-ngar
suara dengung pula. Apabila diamati ternyata terdapat beberapa gerombol tabuan yang melengket di mana-mana.
Rupanya sudah semenjak lama tabuan ini berada di sini. Kalau begitu, pemiliknya sudah lama pula berada tak jauh dari sini. Ah! Benar-benar Guru mempunyai maksud tertentu untukku. Tadi ia memesan agar aku mengaso dan menyimpan tenaga. Baiklah kulakukan dahulu, mumpung belum
kasep, pikir Sangaji lagi.
Meskipun masih samar-samar, tapi hati Sangaji tak lagi disibukkan oleh suatu teka-teki. Cepatcepat ia duduk bersila menghimpun tenaga muminya. Kemudian semua ilmu ajaran Jaga
Saradenta, Wirapati, Gagak Seta dan Kyai Kasan Kesambi ditekuni kembali. Setelah itu, mulailah dia mengatur tata napas ilmu sakti Kumayan Jati dan ilmu kebal Bayu Sejati ajaran Ki Tunjungbiru.
Kedua unsur ilmu yang bertentangan sifatnya itu masih saja saling berbenturan. Ia belum berhasil melebur menjadi satu, meskipun telah dicobanya berkali-kali.
Selagi ia berkutat mengatur tata napas kedua ilmu sakti tersebut, sekonyong-konyong
terdengarlah dengung tabuan kian sibuk. Ternyata gerombolan tabuan yang agaknya lagi
beristirahat di ranting-ranting pohon bubar berderai seperti tergebu. Dan binatang-binatang berbisa itu terbang kaget ke angkasa. Kemudian membentuk barisan berlingkar-lingkaran terus terbang ke arah barat laut.
"Barisan tabuhan ini bukan main banyak-nya. Apakah Kebo Bangah ada di sini?" Sangaji mencoba menebak-nebak. Dahulu ia pernah menyaksikan barisan tabuhan sang Dewaresi.
Meskipun sudah luar biasa, namun masih kalah jauh apabila ia dibandingkan de-ngan saat itu.
Memperoleh pikiran demikian, cepat ia me-loncat ke belakang rumpun bambu yang agak
terlindung. Kemudian dengan hati-hati ia mengikuti barisan tabuhan itu. Syukurlah, penggembala-penggembala tabuhan itu ber-kepandaian lumrah berlaku, sehingga mereka tak mengetahui
dirinya. Jalan yang ditempuh berliku-liku. Ternyata makin lama makin mendekati gundukan tanah tinggi yang tadi nampak berdiri di sebelah timur. Terang sekali barisan tabuhan itu mendekati dari arah barat laut. Setibanya di tempat itu, barisan tabuhan itu lantas bubar berderai. Penggembala-penggembalanya menggebunya ke arah utara. Sebentar saja suaranya telah tersirap dan
menghilang di antara pohon-pohon yang berdiri berderetan jauh di sana.
Hati-hati Sangaji mendekati sebongkah batu dan bersembunyi di baliknya. Kemudian ia
merangkak maju. la menyusup melalui arah selatan dan bersembunyi di belakang semak-semak dekat pohon gundul. Dari sini ia menebarkan penglihatannya. Betapa kaget-nya, ia melihat beberapa orang berdiri tegak di atas batu-batu. Dan di antara mereka nampak Titisari berada di dekat seorang laki-laki tegap perkasa. Dialah Adipati Surengpati. Hanya kini ia tak mengenakan topeng seperti dahulu.
"Eh! Kebo Bangah atau Arya Senggala atau siapa lagi namamu, engkau menahan aku di sini pasti ada perhitungannya," kata Adipati Surengpati.
Seorang laki-laki berperawakan bagaikan raksasa, tertawa terkekeh-kekeh mende-ngarkan
ucapan Adipati Surengpati. Bunyi tertawanya seperti gembreng pecah dan menyakiti pendengaran.
Dialah Kebo Bangah, paman sang Dewaresi, yang termasuk salah seorang tokoh sakti.
"Saudara Surengpati! Janganlah khawatir aku akan merugikan engkau," sahutnya. Suaranya parau dan sumbang, tetapi memiliki daya kekuatan aneh. Selamanya aku Kebo Bangah tak pernah menyakiti orang.
"Hm... kau seorang berbisa, masakan aku tak tahu?"
"Bagus! Bagus!" sahut Kebo Bangah sambil tertawa terkekeh-kekeh. Agaknya, senang ia memperoleh gelar sebagai seorang berbisa. Dan diam-diam Sangaji bercekat hatinya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Benar-benar Kebo Bangah berada di sini. Dan Titisari mengapa tiba-tiba berada di samping ayahnya" Apakah dia kena tangkap sewaktu menyambangi makam ibunya" pikirnya sibuk.
Teringat akan pekerti gurunya Gagak Seta membawanya ke mari, maka bertambah jelaslah
maksudnya. Diam-diam ia bersyukur kepadanya. Pikirnya, rupanya guru telah mengerti beradanya mereka di sini. Lalu membawa aku ke mari.
Kini ia memusatkan seluruh perhatiannya. Ditebarkan matanya dan mengamat-amati mereka
yang berada di situ. Adipati Surengpati berdiri di atas batu disamping Titisari. Di hadapannya kira-kira berjarak sepuluh langkah, berdiri Kebo Bangah yang berperawakan bagaikan raksasa. Karena malam hari, meskipun bulan bersinar cerah, tiada begitu jelas raut mukanya, la hanya nampak berkumis tebal, jenggotnya tebal pula. Pandangnya tajam dan sebentar-bentar tertawa terkekeh-kekeh melebihi orang gila.
Di belakang Kebo Bangah, berdiri sang Dewaresi yang mengenakan pakaian putih. Kemudian
beberapa pengiringnya bersikap tegak seperti pengawal-pengawal kerajaan. Mereka semua
mengesankan suasana ke-agung-agungan. Pakaiannya serba putih pula dan berseragam.
Tatkala Kebo Bangah habis berbicara, tiba-tiba sang Dewaresi maju ke depan dan membungkuk hormat. Kemudian berkata mengejutkan hati Sangaji.
"Menantumu Dewaresi perkenankan meng-haturkan sembah kepada ayahhanda mertua Adipati Surengpati."


Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Menantu" Hati Sangaji kebat-kebit. Me-nantu" Kapankah sang Dewaresi menjadi menantu
Adipati Surengpati" Menurut Titisari, Adipati Surengpati tak berputera lagi selain Titisari seorang.
Apakah dia lagi membahasakan diri sebagai calon suami Titisari"
la melihat Adipati Surengpati menegakkan kepala. Agaknya ia tak begitu senang men-dengar ucapan sang Dewaresi. Meskipun demikian, tangannya diangkat tinggi seakan-akan hendak
memberi salam. Mendadak saja terus dikibaskan. Dan sang Dewaresi terpental mundur dan
hampir jatuh terbalik. Untung Kebo Bangah dengan tertawa terkekeh-kekeh menolong dirinya dengan mengibaskan tangannya pula dari belakang punggung, sehingga ia dapat berdiri tegak kembali dan sekaligus terlontarkan pada tempatnya semula.
"Hi ha ha ha, bagus! Bagus saudara Surengpati." Kebo Bangah tertawa lebar. "Rupanya engkau menaksir-naksir perlu calon menantumu apakah sepadan berjajar dengan puterimu. Bagus!
Bagus!" Dengan tenang Adipati Surengpati men-jawab, "Dia pernah menghina muridku Pringgasakti dengan barisan tabuhannya. Kali ini inginlah aku menguji sampai di mana kepandaiaannya."
Mendengar kata-kata Adipati Surengpati, Kebo Bangah menaikkan nada tertawanya. Suaranya
luar biasa menyakitkan telinga Sangaji.
"Nah, bagaimana menurut pendapatmu saudara Surengpati. Apakah dia pantas men-jadi
menantu putrimu?" ia berhenti sebentar mengamat-amati Titisari. "Saudara Sureng-pati! Benarbenar engkau pintar menciptakan seorang anak. Begini cantik molek. Pantas keponakanku ini mendadak saja berubah jadi gendeng."
Setelah berkata demikian, Kebo Bangah merogoh ke dalam saku bajunya. Kemudian
mengeluarkan sebuah kotak yang memental-kan sinar berkilauan di tengah malam bulan gede.
Bahwasanya kotak itu memantulkan cahaya di malam hari, pastilah terbuat dari bahan logam yang berharga. Apabila bukan emas, setidak-tidaknya suatu kotak yang di-hiasi permata.
"Anakku!" katanya kepada Titisari. "Ayah-mu seorang kaya raya. Pastilah engkau tiada silau melihat kotak emasku dan permata-per-mata yang menghiasi sisinya. Tetapi di dalamnya aku mempunyai semacam permainan.
Cobalah buka sendiri. Engkau akan melihat segebung jarum emas bertatahkan permata intan.
Dahulu aku pernah mengimpikan wasiat Bende Mataram yang paling ampuh, yakni jala
Korowelang. Konon kabarnya jala itu mempunyai bandul-bandul jarum sakti. Barang siapa kena bandul jarum itu, meskipun kebal dari segala, akan lumpuh tak berkutik. Hm... selama hidupku belum pernah aku melihat jala sakti tersebut. Tapi aku mempunyai otak dan khayal. Nah,
kuciptakan bandul-bandul itu. Di kemudian hari, apabila aku berhasil menemukan bahan sakti untuk membuat jala, pastilah bandul jarum ini akan kusematkan pada tiap benang jaring.
Sekarang terimalah sebagai pembayaran emas kawin keponakanku..."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kebo Bangah kemudian maju mengang-surkan barang berharga itu. Hati Sangaji bergetar
bukan main. Katanya dalam hati, Titisari! Apakah engkau menerima juga ge-bungan jarum emas itu sebagai pembayaran emas kawin"
Dia terkejut berbareng kecewa, tatkala meli-hat Titisari mengulurkan tangan menyambut kotak tersebut. Dengan lembut Titisari mem-perdengarkan suara tertawanya. Kemudian berkata penuh girang.
"Terima kasih!"
Setelah berkata demikian, sambil mengang-surkan tangan ia mengerling kepada sang
Dewaresi. Keruan saja, sang Dewaresi yang telah tergila-gila semenjak bertemu di pendapa kadipaten Pekalongan serasa copot hatinya. Dadanya mendadak saja menjadi sesak, karena
jantungnya berdebar terlalu keras. Di dalam hati ia bersyukur, melihat gadis itu menerima pemberian emas kawin pamannya. Pikirnya, ayahnya telah berkenan menyerahkan dia kepadaku.
Masakan dia berani menolak pemberian emas kawin. Hm... tahulah aku sekarang. Sikapnya yang selalu galak terhadapku, alihkan hanya merupakan suatu gaya khas seseorang gadis
belaka... Dalam detik-detik itu, dia telah memimpikan malam pengantin. Maklumlah, dia adalah seorang laki-laki yang sudah terlalu sering memperoleh pengalaman. Terhadap seorang gadis, tahulah dia apa yang harus dilakukan pada malam-malam itu, seperti terhadap Nuraini.
Tetapi sekonyong-konyong tengah ia memimpikan malam indah itu nampaklah suatu sinar
beterbangan menyerang dirinya.
"Waduh! Celaka!" jeritnya kaget.
Sekilas pandang tahulah dia, bahwa sinar yang menyerangnya berkeredepan itu adalah
perbuatan Titisari. Ternyata setelah membuka kotak pemberian dengan cekat Titisari meraup gebungan jarum emas itu dan disambitkan kepadanya.
Untunglah, sang Dewaresi pernah diserang demikian dengan biji sawo. Karena itu, dalam
gugupnya cepat ia menjejak tanah dan mele-sat ke udara. Meskipun demikian, jarum emas
pemberian pamannya berjumlah bukan hanya satu. Tetapi merupakan segebung jarum yang
berjumlah paling tidak dua puluh lima batang.
"Titisari! Apa yang kaulakukan ini?" bentak Adipati Surengpati sambil mengibaskan ta-ngan.
Oleh kibasan itu, jarum-jarum itu tersa-pu bersih. Seumpama tidak, meskipun sang Dewaresi sudah melesat ke udara tiada ter-tolong lagi.
Karena dirintangi Adipati Surengpati mak-sud Titisari hendak membinasakan sang Dewaresi
gagal berantakan. Gadis itu lantas saja menangis sedih.
"Ayah! Lebih baik bunuhlah aku! Selama hidupku tak bakal aku kawin dengan bangsat itu!"
Hebat adalah sikapnya Kebo Bangah. Orang itu menyaksikan peristiwa demikian seperti lagi menonton sandiwara belaka. Ia malah lantas saja tertawa terkekeh-kekeh, menyaksikan Adipati Surengpati menggerembengi anaknya perempuan. Terhadap keponakannya yang baru saja
terlepas dari lubang jarum, ia bersikap dingin seakan-akan tiada menaruh perhatian.
"Saudara Surengpati!" katanya dengan suara parau. "Janganlah salah paham! Puterimu lagi menguji anakku. Mengapa engkau menggerembengi begitu sungguh-sungguh?"
Waktu itu sang Dewaresi telah berdiri lagi di atas batu. Dadanya sebelah kiri terasa sakit. Maka tahulah dia, bahwa ia masih juga kena sambaran jarum Titisari. Tetapi di depan seo-rang gadis ayu, betapa dia mau memerintah. Dasar hatinya angkuh pula, maka meskipun nyeri bukan main bisa dia bertahan diri. Malahan wajahnya nampak tersenyum, se-olah-olah tak pernah terjadi sesuatu.
Dalam pada itu Kebo Bangah berkata lagi kepada Adipati Surengpati. "Saudara dahulu hari kita pernah mengadu kekuatan dan mengukur kepandaian. Barangkali sudah dua-puluhan tahun yang lalu. Sekarang, hatiku girang, karena tak terduga kita berdua sudah mengikat tali kekeluargaan.
Engkau memperkenankan anakku memperisteri puterimu. Selanjutnya, aku akan tunduk dan
patuh kepada semua perintahmu."
"Hm," dengus Adipati Surengpati angkuh. "Siapakah yang berani main perintah terhadap manusia berbisa seperti tampangmu. Dua puluh tahun kita tak pernah bertemu. Pastilah ilmu kepandaianmu kini sudah jauh melebihi diriku, sampai-sampai berani bersikap merendah. Eh, cobalah perlihatkan macam kepan-daianmu di hadapanku. Aku ingin melihat."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Terang sekali maksud Adipati Surengpati. la memaksa Kebo Bangah agar memisahkan antara
tali kekeluargaan dan ilmu kepandaian. Dua puluh tahun yang lalu, mereka pernah mengadu
kepandaian. Kesudahannya satu-satu, di antara mereka tiada yang kalah atau menang. Karena itu, mereka berdua saling berlomba menekuni ilmunya agar di kemudian hari bisa merebut
kemenangan. Dasar Adipati Surengpati berkepala besar pula, maka ia tak senang mendengar
ucapan Kebo Bangah. Sebaliknya kesan Titisari adalah lain. Dasar hatinya masih kekanak-kanakan, maka begitu
mendengar ucapan ayahnya ia segera menyetujui. Lantas saja tangisnya hilang tak keruan
perginya. Ditegakkan kepalanya. Wajahnya terus saja kelihatan manis luar biasa. Dengan mata bersinar-sinar ia menatap Kebo Bangah. Dalam hatinya ia berharap pendekar itu memperlihatkan kepandaiannya. Dengan demikian ia akan bisa menyaksikan kepandaian salah seorang tokoh sakti yang sudah sekian lama mengeram dalam ingatannya, berkat tutur kata ayahnya yang sering
membicarakan keunggulan tujuh tokoh sakti pada zaman itu.
Kebo Bangah nampak membawa tongkat bercat merah, kira-kira sedepa panjangnya. Tongkat
itu berduri. Dan ia mengenalnya sebagai tongkat duri batang rukem yang mengandung bisa alam luar biasa. Barangsiapa kena tergores duri itu meskipun ia kebal dari senjata tajam, akan mati keracunan. Apalagi Kebo Bangah, memelihara tongkat itu sebagai jiwanya sendiri. Bertahun-tahun lamanya, tongkat tersebut direndamnya dalam kubang racun ular dan binatang-binatang beracun lainnya. Sebagai obat pemunahnya, pasti saja dia memiliki. Tetapi menurut kabar, tatkala ia mencoba kehebatan tongkat rukemnya, sudah meminta korban 475 orang yang mati keracunan.
Dan di antara mereka tak seorangpun diberi obat pemunahnya. Oleh perbuatannya itu terkenallah dia sebagai si bisa dari Gunung Serandil.
"Saudara Surengpati!" katanya sambil tertawa terkekeh-kekeh. "Dua puluh tahun yang lalu, ilmu kepandaianku tak bisa dija-jarkan dengan ilmu kepandaianmu. Sekarang sudah dua puluh tahun lewat, pastilah ilmumu makin bertambah tinggi. Betapa bisa aku mengejar ilmu
kepandaianmu. Aku usul begini sekarang kita sudah menjadi sanak. Marilah kita pulang ke
Karimunjawa saja. Di sana aku berniat berguru kepadamu. Nah, bagaimana pendapatmu?"
Tatkala sang Dewaresi bertemu pandang untuk yang pertama kalinya dengan Titisari di
pendapa kadipaten Pekalongan segera ia meminta pertolongan pamannya untuk mela-mar gadis itu. Kebo Bangah segera mengi-rimkan beberapa orang sebagai utusan mewakili dirinya meminang Titisari. Memper-oleh lamaran itu, Adipati Surengpati sibuk menimbang-nimbang. Pikirnya, pada zaman ini, orang yang melebihi kesaktian Kebo Bangah tiada lagi. Andaikata ada, tidaklah begitu banyak, jika aku dan dia bisa mengikat suatu ikatan keluarga, bukankah tiada lagi tandingku di kolong langit ini"
la tahu, anak perempuannya amat nakal. Jika sudah tiba waktunya untuk kawin, harus
memperoleh seorang suami yang seimbang. Si suami harus memiliki ilmu yang bisa mengimbangi. Kalau tidak, anaknya perempuan bakal menghinanya, la segera mencari di mana Titisari berada setelah minggat dari pulau
Karimunjawa. Secara kebetulan ia bisa menyaksikan kepandaian sang Dewaresi tatkala berani melawan muridnya Pringgasakti. Diam-diam ia bergirang hati. Ternyata ilmu kepandaiannya jauh di atas Titisari. Di samping itu, ia cakap dan tiada tercela. Gerak-geriknya halus dan matang. Dan begitu memperoleh kesan itu, segera ia membawa Titisari pulang ke Karimunjawa. Di sana ia menerima baik lamaran Kebo Bangah.
Sebaliknya, begitu Titisari mendengar pem-bicaraan antara ayahnya dan utusan Kebo Bangah, terus saja ia menolak dengan menge-mukakan kebusukan-kebusukan sang Dewa-resi. Tetapi
Adipati Surengpati tak meladeni, la menganggap alasan itu sebagai lumrahnya seorang dara yang terkejut mendengar berita lamaran untuk yang pertama kalinya dalam hidupnya.
Karena itu, Titisari lantas minggat kembali. Kepada salah seorang pengasuhnya, gadis itu menerangkan bahwa ia hendak mencari kekasihnya Sangaji.
Keruan saja, Adipati Surengpati mencak-mencak seperti seseorang terbakar jenggotnya.
Menurut hematnya, sang Dewaresi jauh lebih sempurna daripada Sangaji yang ketolol-tololan.
Tetapi kini, begitu mendengar tata kalimat Kebo Bangah yang sebentar merendah dan sebentar lagi tinggi hati, ia jadi curiga. Pikirnya, apakah maksud orang ini" Apakah dia hendak memaksa aku terikat menjadi sanak keluarganya untuk melindungi kelemahannya"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Teringatlah dia, Kebo Bangah dahulu pernah punah ilmunya tatkala melawan Kyai Kasan
Kesambi. Apakah ilmunya kini bisa pulih kembali sesungguhnya masih merupakan suatu teka-teki besar. Teringat akan hal itu, teringat pulalah dia kepada sepak terjang dan tabiat Kebo Bangah.
Orang itu, sangat berbisa. Mulutnya tajam, cerdik, licin, kejam dan mau menang sendiri. Dia sendiri salah seorang tokoh sakti yang berkepala besar. Sudah selayaknya tak sudi ia mengakui keunggulan Kebo Bangah. Maka segera ia mengeluarkan senjata andalannya, yakni: sebuah
tanduk panjang. Kemudian berkata angkuh, "Seorang tetamu dari jauh telah memaksaku
menerima perangkapan jodoh di tengah jalan. Akupun tidak memedulikan dan kuterima maksud itu. Nah, apa perlu kini hendak mencoba ilmu kepandaian, membutuhkan suatu tempat layak jauh di Karimunjawa" Kalau aku sudah berani menerima suatu perangkapan jodoh tanpa adat istiadat, masakan aku memerlukan pula adat istiadat melayani kepandaian orang?"
Sebagai seorang yang sudah mempunyai pengalaman penuh, tahulah Kebo Bangah arti kata
Adipati Surengpati. Lantas saja ia tersenyum panjang. Menghadapi bakal besan yang berwatak angkuh dan berkepala besar, ia bersedia mengalah dalam beberapa hal. Sebab kalau Adipati Surengpati sampai meniup tanduknya yang panjang, akibatnya terlalu hebat. Senjata itu bisa meniupkan beberapa macam tenaga mantram yang susah dilawan. Maka segera ia berteriak
menyerukan aba-aba. Beberapa pengiringnya yang semenjak tadi berdiri tegak seperti pengawal raja, cepat menoleh dan meneruskan aba-abanya. Dan tak lama kemudian dari balik gundukan tanah tinggi, munculah dua puluh wanita-wanita cantik yang segera bersimpuh menghaturkan sembah kepada Adipati
Surengpati. "Saudara Surengpati!" kata Kebo Bangah nyaring. "Sekalian dayang-dayangku ini masih tergolong gadis tulen. Aku berkata masih tergolong! Sebab kalau kau suruh membuktikan, tak berani aku menanggung. Hihaaa...! Sekalipun demikian, mereka cantik-cantik. Tentu saja menurut seleraku. Aku mengumpulkan dari beberapa penjuru tanah air.
Bilanglah, aku bersusah payah juga. Nah, mereka ini akan kupersembahkan kepadamu sebagai dayang-dayang puterimu. Tetapi apa-bila engkau hendak merebutnya atau memak-sanya, tak
berani aku menghalang-halangi."
Titisari mengamat-amati dua puluh dayang itu. Mereka berwajah tak tercela. Meskipun hanya dipantuli cahaya rembulan, namun kulitnya nampak bersih dan kuning. Heran ia mengapa mereka bersedia menghamba kepa-da Kebo Bangah. Pastilah di belakang keada-annya terselip suatu kisah rahasia.
Tak disadari ia mengerling kepada sang Dewaresi sekilas pandang, ia melihat sang Dewaresi merenungi dirinya seperti orang gen-deng. Kesannya menjemukan dan mendeng-kikan. Maka
diam-diam ia mencari akal untuk membunuhnya dengan suatu jebakan lagi. Pikirnya, biarlah di depan Ayah, ia kuhajarnya mati. Meskipun Ayah akan mendesak aku menikah dengannya, toh dia sudah menelung-kupi liang kubur.
Tabiat Titisari memang liar dan berbuat menurut kehendak hatinya. Apa yang dipikirkan lantas saja dikerjakan tanpa pertimbangan lagi. Maka sebentar kemudian ia tersenyum manis, karena telah memperoleh pegangan.
Sebaliknya sang Dewaresi salah tangkap, la mengira memperoleh kiriman senyuman dari gadis yang menggemaskan hatinya. Tentu saja ia sangat girang. Dan saking girangnya lenyaplah rasa nyerinya yang menusuki dada semenjak tadi.
Dalam pada itu, Adipati Surengpati mere-nungi para dayang seolah-olah lagi menim-bangnimbang. Mendadak saja, ia meniup tanduknya. Ternyata tanduk itu merupakan sebuah terompet yang mula-mula bersuara lembut. Kemudian, entah bagaimana caranya sekonyong-konyong
berubah menjadi nada bengis.
Barisan tabuan yang lagi mengeram di pun-cak-puncak pohon, sekaligus bubar berderai.
Binatang-binatang itu berterbangan mendaki angkasa. Tatkala berada di atas Adipati Surengpati terus saja mati berontokan bagaikan hujan.
Keruan saja, sang Dewaresi terkejut menyaksikan Adipati Surengpati. la pernah bertemu
seseorang yang memiliki ilmu semacam itu, tatkala lagi bertempur melawan Pringgasakti. Orang itu mengenakan topeng dan bisa bersiul panjang. Siulnya itu mampu mengusir sekalian barisan tahuannya. Dan sama sekali tak terduga olehnya, bahwa orang bertopeng tersebut adalah Adipati
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Surengpati yang kini tengah memperlihatkan salah satu kesaktiannya yang lain lagi. Dan tatkala ia melihat para dayang pada menggigil di atas tanah, sadarlah dia akan bahaya. Tetapi kesadarannya itu kasep juga. Tiba-tiba tubuh-nya terasa menjadi panas dan seperti tertusuki ribuan jarum.
Tulang-tulangnya seperti ter-lolosi. Dan darahnya bergolak kacau. Sudah barang tentu, ia kehilangan dasar untuk mempertahankan diri. Bahkan matanya jadi berkunang-kunang. Dunia
seolah-olah berputar di depannya. Gunung-gunung pada terbalik. Tanah yang diinjaknya terasa bergoyangan. Mau tak mau terpaksalah dia berteriak memanggil pamannya. "Paman...!"
Tetapi Kebo Bangah kala itu nampak sibuk sendiri. Orang itu tengah mengetuk-etuk tanah
seolah-olah seorang pemimpin musik lagi memperdengarkan irama lagunya.
Karena itu, keadaan sang Dewaresi bertam-bah lama bertambah runyam. Kini terasalah dia,
betapa suatu gumpalan hawa melonjak ke atas. Gumpalan awan itu mula-mula berputar di dalam perutnya. Kemudian dengan suatu tenaga yang susah dibendung, terus mendaki ke atas melalui rongga dadanya. Terpaksa pulalah ia berjongkok agar bisa mempertahankan diri. Sedangkan nasib para dayang waktu itu, susah diceritakan penderitaannya. Mereka jatuh terkapar di atas tanah seperti ayam tersembelih. Tangannya mencakar-cakar tanah dan akhirnya bergulingan dengan merintih kesakitan.
Makin lama tiupan Adipati Surengpati makin tajam. Penderitaan dan penanggungan para
dayang serta sang Dewaresi, kian menjadi-jadi. Mereka mendekap perut dan dadanya seolah-olah berkhawatir akan meledak. Dan melihat keadaan mereka, Kebo Bangah mulai mengerenyitkan
dahinya. Kini berhentilah dia mengetuk-ngetuk tanah dengan tongkatnya. Kepalanya didongakkan ke udara, lalu menarik napas sekuat-kuatnya sampai perutnya menggelembung. Setelah itu dia memperdengarkan suara perutnya melalui dada. Nadanya mengingatkan kepada salak anjing
kelaparan di tengah rimba raya.
Mendengar suara itu, Titisari tertawa geli. Sebaliknya, tidaklah demikian halnya sikap ayahnya.
Adipati Surengpati nampak jadi bersungguh-sungguh, karena tiupan tan-duknya ternyata seperti terhapus. Mendadak saja, dia berhenti meniup sambil berkata, "Kebo Bangah! Marilah permainan ini kita atur, agar sedap didengar dan menarik untuk penglihatan!"
"Bagus!" sahut Kebo Bangah dengan ter-tawa terkekeh-kekeh.
"Saudara Surengpati! Tiupanmu hebat bukan main. Karena itu izinkan aku me-nyumpal telinga anakku dan dayang-dayang yang hendak kupersembahkan kepadamu."
Setelah berkata demikian, terus saja ia memerintah sang Dewaresi dan sekalian dayangnya
untuk menutup telinga serapat-rapatnya.
"Eh, kenapa harus menutup telinga?" Titisari heran, la melemparkan pandang kepada ayahnya hendak minta penjelasan. Nampak Adipati Surengpati menoleh kepadanya dan berkata
menasehati. "Kau tahu apa" Suara bakal mertuamu hebat bukan main. Kaupun harus menyumpal
telingamu!" Tapi Titisari belum juga mengerti maksud ayahnya. Ingin ia hendak minta keterangan lebih jelas lagi, mendadak ayahnya telah me-robek sapu tangannya menjadi dua bagian. Kemudian
disumpalkan rapat-rapat ke dalam telinganya.
Diam-diam Sangaji heran menyaksikan peristiwa itu. Hatinya jadi kian tertarik. Karena tak mengerti akan bahaya, dia bahkan merangkak lebih mendekat.
Dalam pada itu terdengar Adipati Surengpati berkata nyaring, "Kebo Bangah! Apabila ternyata aku tak tahan melawan tenaga saktimu, sudikah engkau mengalah?"
"Hm! Bagaimana mungkin engkau bisa kalah" Ilmuku hanyalah ilmu pasaran belaka. Apakah hebatnya?" sahut Kebo Bangah.
Belum lagi ia selesai berkata, Adipati Surengpati telah menyumbatkan senjata tan-duknya ke mulut. Cepat-cepat ia bersiaga menghadapi kemungkinannya. Dan begitu suara tanduk Adipati Surengpati mulai me-ngalunkan nada tinggi, Kebo Bangah terus saja menyalak bagaikan anjing kelaparan.
Sangaji yang berada di belakang rerum-putan, heran menyaksikan perangai mereka. Selama
hidupnya belum pernah sekali juga ia menyaksikan suatu pertandingan mengadu ilmu dengan cara demikian. Bahkan mende-ngarpun belum pernah. Maklumlah, sebagai seorang anak yang
dibesarkan di Jakarta, sama sekali dia asing tentang ceritera-ceritera kesaktian orang-orang kuno
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
seperti janda sakti Calon Arang, Empu Baradah, Ratu Angin-angin, Dewi Kili Suci, Menak Koncar, Narasoma dan lain-lainnya lagi yang bisa memukul musuhnya dari jauh dengan ilmu mantram
sakti. Seperti diketahui, janda Calon Arang, Empu Baradah dan Narasoma hidup pada zaman raja Erlangga. Sedangkan Ratu Angin-angin dan Dewi Kili Suci terkenal pada zaman Jenggala dan Daha. Dan Menak Koncar hidup pada zaman Majapahit. Mereka terkenal sebagai tokoh-tokoh sakti yang memiliki ilmu mukjizat dan sarwa gaib. Karena itu, dia berpikir, eh, apa-apaan sih mereka ini" Masakan mengadu ilmu dengan cara begitu. Apakah bukan adu tenaga yang menentukan
segalanya" Teringatlah dia kepada tutur kata gurunya, bahwa tokoh-tokoh sakti itu kebanyakan ber-adat aneh. Bahkan menurut ukuran pergaulan, tak jarang mereka digolongkan dengan orang-orang
setengah waras. Tetapi selagi berpikir demikian, mendadak saja hatinya terasa ter-goncang.
Darahnya terus saja jadi bergolak, sehingga mukanya terasa panas luar biasa seperti terselomoti bara. Kaget ia merasakan perubahan ini. Maka cepat-cepat ia duduk bersimpuh mengatur
pernapasan dan tata darahnya. Dipusatkan seluruh perhatiannya karena kini sadarlah dia akan bahaya.
Sebenarnya, tak gampang-gampang sese-orang mampu mempertahankan diri terhadap
serangan ilmu mantram kedua tokoh sakti tersebut. Sang Dewaresi sendiri"seumpama tak
memperoleh pertolongan pamannya" akan rubuh kena serangan ilmu mantram Adipati
Surengpati. Apalagi kini, kedua tokoh sakti itu bersama-sama melepaskan ilmunya yang saling bertentangan. Bisa dibayangkan betapa hebatnya. Untunglah, Sangaji telah mengantongi ilmu sakti Bayu Sejati ke dalam perbendaharaan hatinya, berkat ajaran Ki Tunjungbiru. Kecuali itu, seluruh tubuhnya telah diliputi kemukjizatan getah sakti pohon Dewadaru. Itulah sebabnya, begitu ia menga-tur tata pernapasan dan tata peredaran darah, segera ia terbebas dari guncangan.
Dengan cepat ia dapat menguasai ketenangannya kembali. Dan dalam ketenangannya itu mulailah dia bisa merasakan irama dan nada suara tanduk dan salak Kebo Bangah.
Heranlah dia, mengapa suatu nada suara bisa mempengaruhi ketenangan seseorang. Malahan
bisa menusuk dan menikam jantung. Tetapi setelah diamat-amati dengan seksama, mulailah dia mengerti. Ternyata suara mereka itu kadang-kadang mengalun tinggi, kemudian merendah.
Mendadak saja bernada sama tingginya seakan-akan dua anak panah yang meluncur berbareng
membidik sasarannya. Masing-masing tak mau mengalah dalam per-lombaan itu. Kerap kali bahkan saling menin-dih dan saling menikam.
Titisari yang telah tersumpal telinganya, kala itu nampak tertawa senang. Maklumlah, dia bebas dari pengaruh nada ayahnya dan Kebo Bangah. Dengan pandang geli ia mengamat-amati mereka berdua. Ternyata ayahnya makin lama makin nampak bersungguh-sungguh. Kini mulai bergerak-gerak pula. Kemudian berjalan menempati sudut-sudut tertentu bagaikan sedang berkelahi.
Sedangkan raut muka Kebo Bangah nampak kejang luar biasa, sampai urat-uratnya menonjol ke dagingnya.
Sebagai seorang yang cerdas otaknya, tahu-lah dia bahwa ayahnya sedang menghadapi lawan
tangguh. Begitu juga, Kebo Bangah. Mereka berdua berkutat dengan sungguh-sungguh mengadu keuletan dan ketabahan.
Sangaji yang tengah menenangkan diri, lambat-laun berani pula menyenakkan mata sambil
menajamkan pendengaran. Melihat Titisari tertawa-tawa geli, ia gelisah luar biasa. Tapi mengingat telinganya telah tersumbat robekan sapu tangan, hatinya agak terhibur. Karena itu, kembali ia dapat memusatkan seluruh perhatiannya kepada mereka yang sedang bertempur.
Pemuda itu sebenarnya bukanlah seorang pemuda yang tolol dalam arti kata sebe-narnya.
Seandainya dia benar-benar tolol, masakan mampu menerima ajaran berbagai ilmu kepandaian bermutu tinggi seperti ilmu Jaga Saradenta, Wirapati, Ki Tunjungbiru, Gagak Seta dan Kyai Kasan Kesambi yang di-lihatnya hanya selintasan saja. Karena itu, meskipun otaknya lambat dalam menerima sesuatu keadaan, lambat laun ia mulai bisa memahami. Sekarang makin terang
baginya, bahwa kedua suara itu berusaha saling mengalahkan. Kadang-kadang melompat,
mengendap, menghindar, menyerang dan menangkis dengan jurus-jurus tertentu. Karena
tekunnya ia mendalami adu kesaktian itu, mendadak saja di luar kemauannya sendiri tangannya
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
bergerak-gerak mengikuti sudut jurus ajaran Kyai Kasan Kesambi.
"Hai, kenapa jadi begini?" ia heran. "Jurus-jurus Eyang Guru, ternyata bisa mengimbangi jurus-jurus mereka."
Khawatir pergerakan tangannya akan keta-huan mereka, cepat-cepat ia menguasai. Tetapi
pikiran dan perasaannya terus berjalan melakukan jurus-jurus ajaran Kyai Kasan Kesambi.Ternyata makin lama makin dimengerti intisari sesungguhnya. Kini dengan lincah ia ikut bertempur dalam khayalnya, seumpama dia harus menghadapi salah seorang di antara mereka. Hanya saja, tenaga penyalurannya belum diketemukan. Sehingga andaikata benar-benar bertempur akan gampang
dirobohkan mereka. Tatkala itu, mereka yang sedang mengadu ilmu sakti telah memasuki babak-babak penentuan.
Orat-urat mereka makin kejang. Pandang matanya tajam luar biasa. Diam-diam Sangaji terkejut dalam hati. Pendengarannya yang tajam kini mulai memahami intisari ilmu mereka. Kadang-kadang suara salak Kebo Bangah terdengar merendah seakan-akan kena terundurkan. Mendadak saja melompat merangsang dengan dahsyat. Suara tanduk Adipati Surengpati mempunyai jurus tipu muslihatnya pula. Apabila kena serangan demikian, nadanya terus berlengkak-lengkok seolah-olah menempel terus. Kemudian de-ngan tiba-tiba menggigit dan menyambar de-ngan cekatan.
Pada suatu kali, suara tanduk Adipati Surengpati hampir kena tertindih dan terasa kena
terdorong ke pojok. Hati Sangaji tercekat. Memang di dalam hatinya, ia menjagoinya. Tiba-tiba selagi suara tanduk Adipati Surengpati berkutat hendak membebaskan diri, dari jauh terdengarlah suara siulan pan-jang melengking tajam. Mula-mula agak samar-samar, tapi lambat laun kian nyata dan kini mulai memasuki gelanggang. Adipati Surengpati dan Kebo Bangah terkejut sehingga suara mereka berkisar mundur.
Siulan itu makin lama makin nyata dan tegas. Itulah suatu tanda, bahwa orang yang bersiul di kejauhan sudah mendekati gelang-gang mereka.
Kebo Bangah nampak gelisah. Terus saja ia berjongkok dan bersalak keras luar biasa begitu bersungguh-sungguh sampai seluruh lehernya berkeringat penuh. Adipati Sureng-pati pun tak tinggal diam. Suara tanduknya lantas saja membumbung tinggi, mengejar nada siulan yang makin lama makin tinggi. Akhirnya saling bentrok dan mengendap. Mendadak saja ketiga-tiganya saling berben-turan dan mundur lagi. Suara tanduk berben-turan dengan siulan. Dan siulan bertempur melawan salak Kebo Bangah.
Ah! Orang yang datang ini samalah tingkatannya dengan mereka, pikir Sangaji. Terus saja ia menduga-duga, siapakah orang itu sambil menajamkan pendengaran. Dalam khayalnya ia ikut
mencebur mengadu kepandaian. Jurus-jurus ilmu kepandaian yang dapat dipergunakan hanyalah ajaran Kyai Kasan Kesambi. Kadang-kadang ia merasa kerepotan, sehingga membutuhkan waktu beberapa detik lamanya untuk meme-cahkan persoalan. Dan apabila merasa sang-gup
membebaskan diri, kembali lagi ia ikut bertempur. Tetapi karena kalah pengalaman, mau tak mau ia harus mengakui masih kalah jauh. Sekalipun demikian, ia berbesar hati juga dapat ikut berkelahi.
Dalam pada itu, orang yang bersiul telah tiba tak jauh dari gelanggang. Ternyata nada
siulannya kian terdengar nyaring dan tajam. Nada dan iramanya tak tetap, kadang cepat, kadang melayang rendah. Tetapi tekanannya tetap. Malahan makin lama makin lincah dan kuat. Karena itu, sebentar saja pertempuran adu mantram sakti kian tegang dan seru. Terpaksa ia
mengundurkan diri dari gelanggang, karena merasa tak sanggup melayani. Dalam hatinya ia
kagum bukan main. Tak terasa terloncatlah perkataannya.
"Bagus!" Mendengar ucapannya sendiri, ia terkejut, bukankah dia lagi bersembunyi" Sadar akan
akibatnya, cepat ia berkisar dari tempat hen-dak melarikan diri. Tapi baru saja ia bergerak, mendadak saja berkelebatlah sesosok ba-yangan. Ternyata Adipati Surengpati telah menghadang di depannya.
"Ih! Kau bisa tahan menyaksikan pertem-puran ini. Bagus! Rupanya kau paham pula. Mari ke mari!" damprat Adipati Surengpati.
Dengan melesatnya Adipati Surengpati ke luar gelanggang, berhentilah adu ilmu sakti mereka.
Baik suara salak Kebo Bangah maupun suara siulan lenyap dengan seko-nyong-konyong.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sangaji terus saja berdiri. Dengan memaksa membesarkan hati ia menghadap Adipati
Surengpati dan menurut saja ke mana dia dibawa pergi.
Titisari yang tersumbat telinganya, tak men-dengar ucapan kagum Sangaji. Karenanya ia heran dan terkejut tatkala melihat munculnya. Hatinya girang luar biasa. Tanpa memedulikan segala, terus saja ia lari menyongsong sambil berteriak nyaring. "Aji! Akhirnya kau datang...! Aku percaya kau pasti datang. Masakan kau tak bakal bisa berpikir, mengapa aku begitu lama mengeram dalam makam ibuku." Di antara seruan girangnya terselip rasa pedih juga. Maklumlah, sewaktu memasuki makam ia tak mengira, bahwa ayahnya kebetulan berada di situ. Waktu itu, hatinya dalam keadaan terharu. Karena itu sama sekali tak menoleh kepada Sangaji yang berdiri seperti batu di luar tembok. Di hadapan ayahnya, tak bisa ia berkutik. Mau tak mau ia harus tunduk kepada kemauan ayahnya hendak dibawanya pulang ke Karimunjawa. Di tengah jalan ia mencoba memberontak. Tapi betapa dia bisa melawan ayahnya yang berilmu tinggi dan berotak encer luar biasa. Mendadak saja bertemulah dia dengan utusan Kebo Bangah dan sang Dewaresi. Ayahnya ternyata tak berkeberatan dihadang dengan cara demikian. Memang ayahnya terkenal sebagai seorang adipati yang tak memedulikan tata susila dan tata pergaulan umum. Itulah sebabnya, meskipun perangkapan jodoh terjadi di tengah jalan, hatinya tak berkeberatan atau merasa terhina. Waktu itu, ia dalam keadaan putus asa. Bermacam-macam akal ia mencoba mencelakakan sang Dewaresi agar bisa mem-bebaskan diri dari persoalan, tapi selalu gagal. Untung Sangaji bisa dibawa Gagak Seta ke tempat itu. Kalau tidak, entah bagaimana jadinya.
"Aji! Siapa yang membawa engkau ke mari?" tanya Titisari. Air matanya terus saja berdansa di atas pipinya. Dan melihat adegan demikian, hati sang Dewaresi mendidih seperti terbakar.
Sumbatan telinganya terus saja dilempar. Dan dengan pandang menyala ia menatap Sangaji.
Mendadak saja ia melompat menghajar Sangaji karena tak sanggup lagi mengendalikan diri.
"Hai telur busuk! Kau pun berada di sini?" dampratnya.
Sangaji terperanjat melihat datangnya suatu serangan, tak terduga. Kini, ilmu kepandaiannya telah berlipat dua kali majunya dibandingkan dengan ilmu kepandaiannya tatkala bertempur melawan sang Dewaresi di Dusun Gebang. Pertama kali, karena memperoleh waktu cukup untuk mendalami ilmu sakti Kumayan Jati. Kedua kalinya memperoleh tambahan ilmu sakti Kyai Kasan Kesambi yang ternyata dahsyat luar biasa. Itulah sebabnya, dengan gesit ia dapat menghindarkan serangan. Kemudian membarengi dengan dua jurus ilmu sakti Kumayan Jati. Seperti diketahui tiap jurus ilmu sakti Kumayan Jati, dahsyat luar biasa. Apalagi kini dua jurus dengan sekaligus.
Sang Dewaresi terkejut. Sama sekali ia tak mengira, Sangaji bisa mengelak sambil me-nyerang.
Tahu-tahu, pundaknya terasa suatu tenaga dahsyat, la kenal hebatnya ilmu Kumayan Jati. Karena itu tak berani ia menyongsong. Satu-satunya jalan, ia harus mengelak secepat mungkin. Maka terus saja ia menjejak tanah dan melesat ke kiri.
Dalam hal kecekatan, ia tak usah kalah melawan kecekatan Sangaji. Tetapi Sangaji kini
bukanlah Sangaji sebulan yang lalu. Begitu melihat serangannya dapat dihindar-kan, secara wajar ia memapak dengan satu jurus ilmu ciptaan Kyai Kasan Kesambi yang dahsyat pula. Tak ampun lagi, dadanya kena terpukul dan tulang rusuknya patah sebuah.
Sebenarnya sang Dewaresi bukan orang sembarangan. Ilmunya tinggi dan otaknya cerdas. Ia
mengerti, Sangaji bukan lawannya yang empuk. Tatkala serangannya gagal cepat-cepat ia sudah bersiaga mengelak ke kiri. Dan begitu memperoleh serangan pem-balasan, kakinya telah menjejak tanah hendak meloncat tinggi. Meskipun demikian tak sanggup ia membebaskan diri. Karena
begitu luput dari serangan ilmu sakti Kumayan Jati, di luar dugaan Sangaji menyerang dengan jurus ilmu sakti yang belum pernah diketahui.
Hatinya mendongkol bukan main. Dadanya sakit sampai menusuk jantung. Tapi dasar tinggi
hati, emoh dia memperlihatkan kele-mahannya. Dengan menahan nyeri, ia berjalan dengan
tenang ke tempat semula. Titisari girang bukan kepalang, menyak-sikan kehebatan Sangaji. Terus saja ia ber-tepuk
tangan sambil menjerit-jerit tinggi. Sebaliknya Adipati Surengpati dan Kebo Bangah gusar bukan kepalang. Dengan tajam Kebo Bangah melirik kepadanya. Kemudian berkata nyaring, "Hai pendekar bule Gagak Seta! Aku ucapkan selamat setinggi-tingginya, karena kau telah memperoleh seorang murid jempolan."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sebenarnya, Sangaji sendiri tak mengira akan memperoleh kemenangan dengan begitu mudah.
Inilah suatu kemenangan di luar dugaan. Sebagai seorang anak yang berhati sederhana dan
rendah hati, tak pernah ia mengira bahwa ilmunya telah maju dengan pesat, la mengira, sang Dewaresi baru lalai sehingga gampang dikalahkan. Itulah sebabnya, meskipun sang Dewaresi kena dilukai, tangannya masih saja bersiaga penuh-penuh. Tetapi begitu mendengar seruan Kebo
Bangah, matanya terus saja bercelingukan. Titisari sendiri mendadak saja melompat-lompat karena girang. Kemudian berteriak nyaring, "Guru! Guru! Guru!..."
Dalam hatinya ia bersyukur setinggi langit, karena telah memperoleh bintang penolong.
Mendengar seruan Kebo Bangah dan seruan
Titisari, Adipati Surengpati heran bukan main. Pikirnya, heh! Bagaimana bisa, anakku menjadi murid si bule Gagak Seta"
Tatkala itu, ia melihat Gagak Seta telah muncul di ketinggian. Dengan wajah berseri-seri ia menggandeng tangan Titisari. Kemudian seperti seorang gendeng, tertawalah dia ha ha hi hi.
"Titisari! Kau memanggil apa kepadanya?" Adipati Surengpati menegas dengan hati meluap.
Titisari tak menjawab langsung. Dengan menuding sang Dewaresi ia berkata mengadu. "Ayah!
Orang itu berhati busuk, jahat dan cabul! Seumpama aku tak ditolong Paman Gagak Seta, anakmu sudah menjadi bangkai babi."
"Apa katamu?" bentak Adipati Surengpati dengan heran. "Dia berhati bagus, mulia dan jujur.
Masakan benar seperti yang kau-tuduhkan?"
"Hm... jika Ayah tak percaya, biarlah aku bertanya kepadanya. Ayah bisa mende-ngarkan sendiri apa jawabannya," sahut Titisari cepat. Setelah itu langsung ia berkata kepada sang Dewaresi dengan menuding.
"Hai! Bersumpahlah, bahwa engkau harus menjawab semua pertanyaanku dengan jujur!
Jika engkau berdusta, bersumpahlah engkau ... Bahwasanya di kemudian hari engkau akan
mampus kena hantaman senjata tongkat pamanmu! Hayo, berbicaralah!"
Mendengar ucapan Titisari, baik sang Dewaresi maupun Kebo Bangah tercekat hatinya. Seperti diketahui, tongkat Kebo Bangah bukanlah sembarangan tongkat. Tongkat itu terbuat dari batang duri rukem yang berbisa. Kini bahkan telah dilumuri racun yang jahat luar biasa. Barangsiapa kena hantamannya, meskipun andaikata kebal dari senjata akan mati terjengkang. Dan pada zaman itu, orang percaya benar kepada sumpah. Dan kalau sang Dewaresi sampai mati oleh tongkat
pamannya sendiri, inilah hebat! Bukankah seganas-ganasnya harimau tidak akan memangsa
anaknya sendiri" "Nona!" sahut sang Dewaresi dengan gemetar. "Di depan mertua, masakan aku berani mendustai engkau" Meskipun tanpa bersumpah, aku akan menjawab semua per-tanyaanmu?"
"Bersumpahlah dahulu! Masakan aku kena kau paksa mempercayai semua omonganmu?"
Sang Dewaresi merasa terdesak. Di depan bakal mertuanya meskipun hatinya men-dongkol
diperlakukan demikian, tak berani ia melawan dengan terang-terangan. Maka ter-paksalah ia mengangguk.
"Baik! Aku bersumpah demikian."
"Bagus! Tapi kalau engkau mengada-ada aku akan menggaplokmu lima kali berturut-turut.
Sekarang dengarkan!" kata Titisari. "Kita pernah bertemu di serambi kadipaten Pekalongan, tatkala engkau memenuhi undangan Pangeran Bumi Gede bukan?"
Mendengar pertanyaan Titisari, sang Dewa-resi mengangguk. Tulang rusuknya nyeri luar biasa, sampai ia segan hendak berbicara. Dan sebenarnya, nyaris tak tahan ia melawan rasa sakitnya.
Sekiranya hatinya tidak terlalu angkuh dan tidak berada di depan saingannya, sudah siang-siang ia mengundurkan diri. Kini, meskipun nyeri luar biasa, sedapat-dapatnya ia berusaha bertahan diri.
Satu-satunya jalan ialah dengan mengurangi berbicara.
Dalam pada itu Titisari bertanya lagi, "Tatkala itu engkau berada di tengah-tengah para pendekar undangan. Dan dengan tak segan-segan, engkau mengkerubut aku se-orang diri,
bukan?" Mendengar pertanyaan Titisari yang kedua ini, sang Dewaresi hendak menyangkal. Memang
benar, ia berada di antara para pen-dekar undangan. Tetapi dia bukanlah bekerja sama dengan mereka. Serentak ia hendak berbicara, mendadak saja dadanya sakit luar biasa. Itulah sebabnya dia hanya mampu berkata tersekat-sekat: "Aku... aku... aku tak bekerja sama dengan mereka..."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/


Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Baiklah! Tak usahlah engkau berbicara banyak-banyak. Cukuplah! Engkau mengang-guk saja, apabila pertanyaanku benar. Dan menggeleng, bila tidak benar," kata Titisari cepat. "Sekarang, dengarkan lagi! Kau tahu bukan, bahwa para pendekar undangan Pangeran Bumi Gede memusuhi aku."
Sang Dewaresi mengangguk. Memang para pendekar undangan itu, bergerak hendak
menangkap Titisari. "Mereka hendak membekuk aku, bukan" Tetapi tak berhasil. Kemudian munculah engkau.
Benar tidak?" Sang Dewaresi tak bisa membantah. Terpaksa ia mengangguk, dan Titisari berkata lagi. Tatkala itu aku berada di tengah pendapa seorang diri. Tak seorangpun membantu padaku. Tak
seorangpun ingat akan penderitaanku. Padahal hatiku takut bukan main. Aku berdoa dan aku memekik-mekik memanggil Ayah dalam hatiku. Kau tahu, bahwa ayahku tak mungkin bisa datang bukan?"
Sang Dewaresi terpaksa mengangguk lagi. Tahulah dia, bahwa pertanyaan kali ini sengaja
membawa-bawa nama ayahnya. Ia sadar, bahwa gadis itu sedang memancing kemarahan
ayahnya. Benar juga. Begitu sang Dewaresi mengang-guk, gadis yang cerdik itu lantas saja memeluk
pinggang ayahnya. Kemudian dengan suara pedih ia berkata, "Ayah! Kau dengar pengakuannya sendiri. Mengapa Ayah tak pernah memikirkan keselamatanku" Seumpama aku tak benasib baik, bagaimana jadinya" ... Kalau Ibu masih hidup... takkan aku mengalami penderitaan sehebat itu..."
Mendengar Titisari menyebut-nyebut ibunya, hati Adipati Surengpati terguncang bukan main.
Lantas saja ia memeluk anaknya dengan mesra.
Kebo Bangah adalah seorang pendekar sakti yang cerdas dan sudah mengenal watak Adipati
Surengpati. la tahu, maksud Titisari sebenarnya. Dan apabila Adipati Surengpati kena tergugah kemarahannya, akan hebat akibatnya. Grusan perjodohan bisa bubar pasar-. Maka cepat-cepat ia berkata mendahului.
"Nona Titisari! Dalam pendapa itu banyak sekali jumlah pendekar undangan. Tapi ternyata mereka tak becus menangkap engkau seorang. Itulah suatu bukti, betapa tinggi ilmu keluargamu.
Bukankah mereka tak berdaya menghadapi perlawananmu?"
Kesatria Baju Putih 15 Pendekar Remaja Karya Kho Ping Hoo Pedang Darah Bunga Iblis 12

Cari Blog Ini