Bende Mataram Karya Herman Pratikto Bagian 24
Titisari tertawa senang sambil mengangguk. Adipati Surengpati pun nampak tersenyum.
Maklumlah, pendekar itu memuji nilai ilmu kepandaiannya.
Melihat Adipati Surengpati bersenyum, legalah hati Kebo Bangah. Orang itu segera berkata lagi.
"Saudara Surengpati! Tatkala itu keponakanku ini melihat kecantikan puterimu untuk yang pertama kalinya, la jatuh cinta. Itulah sebabnya, dengan tak memedulikan rintangan dan halangan kami datang mene-muimu."
Kembali lagi Adipati Surengpati tersenyum, karena dia merasa memperoleh kehormatan. Lantas saja berkata memutuskan.
"Ya, sudahlah! apa perlu direntang-rentang panjang lagi..."
Hati Kebo Bangah girang luar biasa. Karena merasa telah memperoleh kemenangan, maka ia
hendak mencari kambing hitam. Serentak ia menoleh kepada Gagak Seta dan berkata, "Saudara Gagak Seta! Kami"paman dan kemenakan"mengagumi ilmu kepandaian-kepandaian keluarga
Adipati Surengpati. Mengapa engkau tidak" Mengapa engkau menghadapi tingkah-tingkah laku bocah kemarin sore dengan sungguh-sungguh" Coba, andaikata kemenakanku tidak berusia
panjang, nyawanya telah terbang kena sambaran biji sawo berkat ajaranmu..."
Terang sekali, Kebo Bangah hendak mengungkit-ungkit peristiwa di Desa Gebang, sewaktu
Gagak Seta menolong sang Dewaresi kala kena serangan Titisari dengan senjata biji sawo. Hanya saja, Kebo Bangah memutar balik peristiwa sebenarnya. Bukan dia meng-ucapkan terima kasih, tapi malahan menuduh Gagak Seta sebagai penerbit gara-gara. Tetapi Gagak Seta yang berjiwa ksatria, nampak sabar. Sama sekali ia tak menggubris kata-kata Kebo Bangah. Malahan dia
tertawa perlahan melalui dadanya.
Sebaliknya, Sangaji yang benci kepada semua hal yang kurang jujur, serentak menyahut.
"Sebenarnya Paman Gagak Seta yang menolong keponakanmu. Mengapa engkau berkata begini?"
Tetapi Adipati Surengpati sekonyong-ko-nyong membentak, "Kita lagi berbicara, bagaimana engkau berani bercampur mulut?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sangaji adalah seorang pemuda yang gam-pang tersinggung rasa kehormatan diri. Maka begitu mendengar dampratan Adipati Sureng-pati, tanpa memedulikan akibatnya, terus menjawab. "Aku berkata sebenarnya. Kalau tak percaya, suruhlah Titisari menceritakan peristiwa sebenarnya!"
Kemudian kepada Titisari ia berkata nyaring, "Titisari! Cobalah bongkar sepak terjang sang Dewaresi tatkala memperkosa Nuraini! Biarlah ayahmu bisa mempertimbangkan!"
Di luar dugaan Titisari menggelengkan kepalanya. Ia kenal watak ayahnya. Ayahnya terkenal dengan gelar adipati siluman dari Karimunjawa, karena wataknya yang aneh. Dia mempunyai
anggapan dan ukuran sendiri dalam menilai sesuatu peristiwa yang berten-tangan dengan
anggapan umum. Kerapkali suatu perbuatan benar, dikatakan salah. Begitulah sebaliknya, belum tentu dia menya-lahkan seseorang memperkosa seorang gadis. Mungkin dia akan menganggap
sebagai suatu perbuatan wajar bagi seorang laki-laki. Kecuali itu, Titisari tahu pula bahwa ayahnya tidak begitu senang kepada Sangaji. Bahkan nampak membenci dan memusuhi. Itulah sebabnya, diam-diam ia mencari dalih lain yang bisa menikam kedudukan sang Dewaresi. Katanya kemudian,
"Hai! Kata-kataku belum habis. Sewaktu engkau mengadu kepandaian melawan aku di pendapa kadipaten, dengan sengaja engkau mengikat kedua tanganmu ke belakang punggung. Kau
sesumbar, bahwa dengan tanpa menggunakan tangan, engkau bisa melawan ilmu Karimunjawa
dengan mudah. Bukankah begitu?"
Sang Dewaresi mengangguk membenarkan pertanyaan itu.
"Kemudian aku mengangkat Paman Gagak Seta sebagai guruku," kata Titisari lagi. "Di Desa Gebang, kita pernah bertempur kembali. Kau sesumbar, bahwa aku boleh menggu-nakan ilmu
warisan Paman Gagak Seta atau ayahku sesuka hatiku. Dan sebaliknya engkau akan melawan
dengan ilmu warisan keluargamu. Kau yakin, bahwa dengan bersendikan ilmu warisan
keluargamu, kau akan sanggup mengalahkan semua ilmu warisan Paman Gagak Seta dan ayahku.
Benar tidak?" Sang Dewaresi mengangguk. Dalam hatinya dia berkata, yakin akan ilmunya sendiri, bukankah hak setiap orang" Mendadak saja, sadarlah dia bahwa Titisari telah menjebaknya. Gadis itu lantas saja berkata nyaring, "Nah, lihat Ayah! Sama sekali dia tak memandang sebelah mata kepada semua ilmu Ayah dan ilmu Paman Gagak Seta. Meskipun tak terucapkan, bukankah berarti ilmu Ayah dan ilmu Paman Gagak Seta berdua kalah jauh dengan ilmu kepandaian pamannya" Tetapi aku tak percaya! Ilmu kepandaian Ayah masakan kalah dengan ilmu kepandaian pamannya?"
"Ih, Titisari! Janganlah engkau menajamkan persoalan!" berkata Adipati Surengpati dengan hati berdebar-debar menahan marah. Orang-orang gagah di kolong langit ini, siapakah yang tak kenal ilmu sakti Adipati Surengpati, Kebo Bangah, Gagak Seta dan Kyai Kasan Kesambi"
Terdengar, Adipati Surengpati seperti mem-bantu kedudukan sang Dewaresi yang kena dipilin-pilin puterinya. Tetapi di dalam hati ia mulai kecewa terhadap bakal menantunya. Maka cepatcepat ia mengalihkan pem-bicaraan, agar tak jadi berlarut-larut. Berkata kepada Gagak Seta, "Hai!
Saudara Gagak Seta, tiba-tiba muncul di sini seperti malaikat. Apakah mempunyai urusan
tertentu?" Gagak Seta mendeham dua kali. Kemudian dengan sikap hormat ia menjawab, "Saudara
Surengpati! Sudah semenjak senja hari tadi aku mengikuti engkau dari jauh. Sebenarnya aku hendak memohon sesuatu kepadamu."
Adipati Surengpati kenal watak Gagak Seta. Meskipun miskin dan tak berkedudukan, tetapi
hatinya jujur dan berjiwa ksatria sejati. Karena itu, ia menghargai dan menghormatinya sebagai seseorang yang bermartabat sejajar. Ia tahu biasanya Gagak Seta menyelesaikan tiap urusannya"
seorang diri saja. Belum pernah selama hidupnya minta bantuan orang. Karena itu, ia kini heran bercampur girang mendengar permintaan Gagak Seta. Apabila tidak terlalu mendesak, tak
mungkin dia sampai menga-jukan permintaan demikian. Maka cepat-cepat ia menjawab,
"Persahabatan kita berdua adalah suatu persahabatan yang sudah terjalin semenjak dua tiga puluh tahun yang lalu. Saudara Gagak Seta, tiba-tiba kini engkau sudi mengajukan suatu
permintaan kepadaku. Berkatalah! Aku pasti akan mengabulkan sekuasa-kuasaku."
"Ah!" sahut Gagak Seta. "Jangan engkau menjawab demikian tergesa-gesa! Kukha-watirkan, bahwa engkau takkan bisa memenuhi kesayanganmu itu..."
Adipati Surengpati tertawa. Berkata, "Aku tahu, pastilah soal yang hendak kau kemukakan kepadaku adalah soal berat. Apabila tidak, masakan engkau sampai me-minta bantuan kepadaku."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Gagak Seta tertawa sambil menggosok-gosok tangannya.
"Benar!" katanya dengan perlahan. "Jika demikian, benar-benar engkau adalah saha-batku sejati. Jadi, pastikah engkau menerima perintahku ini?"
Adipati Surengpati selama hidupnya selalu menepati janji. "Setiap patah kataku adalah jiwaku sendiri," sahut Adipati Surengpati. "Kalau aku sudah melompat ke dalam lautan api, aku akan melompat kalau perlu terjun ke dalam kubangan air, masakan aku akan mundur?"
Mendengar ucapan Adipati Surengpati, Kebo Bangah terkejut. Cepat-cepat ia menge-tuk tanah dan melintangkan tongkat rukemnya di depan dadanya.
"Saudara Surengpati, tunggu dulu!" katanya dengan suara parau. "Kalau sampai bersumpah demikian. CJrusan apa sebenarnya" Bersumpah adalah gampang. Itulah jamaknya seorang lakilaki. Tapi lebih baik dengarkan dahulu persoalannya saudara Gagak Seta!"
Gagak Seta tertawa tergelak-gelak. Berkata, "Hai bandotan busuk Kebo Bangah! Grusanku ini sama sekali tiada sangkut-pautnya dengan urusanmu. Lebih baik tutuplah mulutmu yang usilan itu. Suruhlah mulutmu yang doyan makan itu, bersiaga menerima hari bahagia. Nah, kan lebih bagus begitu...?"
Kebo Bangah heran mendengar ucapan Gagak Seta. Katanya menebak-nebak, "Eh ... bersiaga menerima hari bahagia! Apakah itu?"
Gagak Seta tertawa tergelak-gelak. Pan-dangnya mendongak ke angkasa. Kemudian menatap
wajah Kebo Bangah seperti mere-nungi seorang badut.
"Tak salah ucapanku! Siagakan saja mulut-mu! Sebentar lagi engkau mengerti apakah hari bahagia itu."
224 ADU TENAGA SAKTI KEBO BANGAH - ADIPATI SURENGPATI dan Gagak Seta adalah jago-jago tua yang saling
mengenal kesaktian dan tabiat masing-masing. Kebo Bangah adalah seorang pendekar yang
kejam bengis, licin, licik dan berbisa. Dan Adipati Surengpati seorang pen-dekar yang berkepala besar, angkuh, tegas, serba pandai dan tegas. Sebaliknya Gagak Seta berhati polos, jujur dan berwatak ksatria sejati. Apa yang diucapkan cukup terang, karena hatinya selalu terbuka.
Meskipun demikian, kali ini Kebo Bangah yang licin bagaikan belut tak juga pandai menebak maksud Gagak Seta, sampai ia merasa kelabakan menduga-duga.
"Hai manusia jembel, cobalah bicara yang terang!" teriak Kebo Bangah.
Bunyi tertawa Gagak Seta kian meninggi.
Kemudian dengan menuding Sangaji, ia menghadap Adipati Surengpati.
"Saudara Surengpati! Anak muda ini dan puterimu adalah muridku. Aku sudah berjanji kepada mereka berdua, bahwa pada suatu saat aku akan memohon kelapangan hatimu untuk
mengawinkan. Karena itu, sekarang aku mohon padamu agar engkau meluluskan perjodohan
mereka." Sangaji dan Titisari terperanjat mendengar ucapan Gagak Seta. Mereka berdua sama sekali tak dapat menebak sebelumnya. Sekalipun demikian, dalam hati mereka girang dan bersyukur. Tak sengaja, mereka saling menoleh dan tersenyum seri. Sebaliknya, Kebo Bangah, sang Dewaresi dan Adipati Surengpati merasa dirinya tertikam.
"Saudara Gagak Seta!" Akhirnya Kebo Bangah berseru nyaring. "Puteri saudara Surengpati sudah dijodohkan dengan keme-nakanku. Hari ini aku sengaja menemui dia, untuk menetapkan hari perkawinan mereka."
"Saudara Surengpati! Benarkah keterangan bandot Kebo Bangah ini?" Gagak Seta minta penjelasan.
"Benar," sahut Adipati Surengpati. "Karena itu kuminta dengan sangat, agar saudara ja-ngan bergurau lagi denganku."
Mendengar jawaban Adipati Surengpati, Gagak Seta mengerutkan kening. Ia menatap wajah
Adipati Surengpati, kemudian berkata dengan suara ditekankan.
"Siapa yang berani bergurau denganmu. Hm... malahan kaulah yang sedang bergurau. Coba di manakah pernah terjadi seorang puteri hendak dijodohkan dengan dua orang." Ia berhenti mengesankan. Setelah itu ia menoleh kepada Kebo Bangah. "Hai Kebo Bangah! Akulah orang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
perantara keluarga Sangaji. Kau sendiri, manakah perantaramu" Masakan kau borong sendiri, sehingga tak mengindahkan tata cara?"
Kebo Bangah tak mengira akan didesak demikian. Seketika itu juga ia tercengang sehingga tak mampu menjawab. Sejenak kemudian, barulah dia bisa berbicara.
"Dahulu hari aku sudah mengirimkan perantara. Kini kudengar dari mulutnya bahwa saudara Surengpati sudah menerima baik. Akupun begitu. Nah, apa perlu menggunakan perantara lagi?"
"Bagus! Begitulah alasanmu?" sahut Gagak Seta cepat.
"Tetapi pernahkah engkau mengira, bahwa masih ada seorang di antara kamu berdua yang tidak sudi menerima pinanganmu itu?"
"Siapa dia?" Kebo Bangah membentak.
"Siapa lagi, kalau bukan aku."
Kebo Bangah terdiam. Dalam hatinya telah terasa, bahwa mau tak mau ia harus bertem-pur
melawan pendekar jembel itu. Maka pada saat itu juga, ia mulai sibuk mencari siasat untuk melawannya.
Gagak Seta tertawa lebar. Dengan tenang ia berkata, "Kemenakanmu itu berkelakuan kurang bagus. Sama sekali tak cocok menjadi suami puteri saudara Surengpati. Sayang, apabila sampai terjadi begitu. Andaikata engkau memaksa merangkapkan jodoh, tetapi putri saudara Surengpati tak sudi, apakah yang hendak kaulakukan" Baik, taruhlah dia kini kawin dengan kemenakanmu.
Tapi masing-masing mempunyai paham yang tak dapat dipadukan, apakah engkau bersedia
menjadi pendamai terus-menerus sepanjang hidupmu" Hm hm! Inilah hebat, kalau mereka berdua sama hidupnya harus berkelahi setiap kali bangun dari tempat tidurnya."
Mendengar kata-kata Gagak Seta, hati Adipati Surengpati tergerak. Diam-diam ia mencuri
pandang kepada anak perempuan-nya. Ternyata Titisari waktu itu tengah mena-tap wajah Sangaji dengan pandang penuh cinta kasih. Mau tak mau ia mulai memper-hatikan muka Sangaji.
Alangkah menye-balkan! Bocah itu begitu tolol kesannya, meskipun wajahnya tak boleh dikatakan buruk. Tapi bila dibandingkan dengan wajah sang Dewaresi seperti bumi dan langit.
Adipati Surengpati, adalah seorang pen-dekar keturunan bangsawan. Semenjak turun-temurun, keluarganya terkenal pandai dan bijaksana. Dia sendiri berotak terang, serba pandai, tinggi ilmu saktinya dan luas ilmu pengetahuannya. Anak perempuannya pun seorang gadis yang encer
otaknya. Cerdas, cekatan, pandai dan cantik jelita. Dengan sendirinya apabila dijajarkan dengan Sangaji yang nampak ketolol-tololan dan kurang jelas keturunan siapa, ia benar-benar tak rela. Karena itu, hatinya lebih condong kepada sang Dewaresi. Pertama, anak keluar-ga pendekar. Kedua,
bertampan nggariteng, Ketiga, otaknya cerdas dan mempunyai kedudukan jelas. Tetapi, di
dekatnya berdiri pendekar jembel Gagak Seta yang tak boleh dibuat sembarangan. Karena itu, diam-diam, ia mencari jalan keluarnya.
"Saudara Kebo Bangah!" Akhirnya dia memanggil Kebo Bangah dengan menggu-nakan kata-kata saudara. "Kemenakanmu tadi terluka. Baiklah kau rawat dahulu! CIrusan ini bisa dibicarakan lagi di kemudian hari."
Inilah pernyataan yang sangat diharap-harapkan Kebo Bangah untuk menghindarkan suatu
pertempuran yang akan banyak membawa akibat. Maka lantas saja ia memanggil sang Dewaresi dan dibawanya menepi. Dengan cekatan ia mencabut jarum emas dan menyambung tulang
rusuknya yang patah. Ternyata ia mempunyai kemahiran dalam soal pertabiban. Dengan ramuan obatnya, segera ia membubuhi luka itu dan dibebatnya dengan kencang. Sebentar saja, sang Dewaresi nampak seperti pulih kembali. Pandang matanya segar bugar, penuh semangat.
Sejurus kemudian, Adipati Surengpati berkata nyaring kepada Kebo Bangah dan Gagak Seta.
"Anakku ini seorang perempuan yang lemah, tapi nakalnya bukan main. Karena itu. tak bakal dia sanggup merawat seorang suami seperti kalian harapkan. Namun di luar dugaan, ternyata aku memperoleh dua la-maran sekaligus. Yang pertama dari saudara Kebo Bangah. Yang kedua dari saudara Gagak Seta. Kejadian ini merupakan suatu kehor-matan besar bagiku. Dan sebenarnya, anakku sudah kurestui agar berjodoh dengan keme-nakan saudara Kebo Bangah. Tetapi lamaran saudara Gagak Seta tak boleh kuabaikan pula.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Hm... benar-benar aku menemui kesulitan. Meskipun demikian, aku mencoba meme-cahkan
sebaik-baiknya agar memperoleh suatu keputusan yang adil. Sebelumnya, perkenankan aku minta pertimbangan penda-pat kalian berdua, bagaimana cara menyelesaikan persoalan ini."
"Berkatalah! Apa perlu berdansa kalimat tiada gunanya" Bukankah engkau tahu, bahwa otakku paling tak senang mendengar ocehan yang tak keruan juntrungnya?" sahut Gagak Seta. "Saudara Surengpati adalah seorang keturunan keluarga agung. Dalam segala halnya pasti lebih mengenal tata cara yang santun daripadaku. Aku bersedia tunduk kepada kehendakmu."
Adipati Surengpati bersenyum. Berkata de-ngan sabar, "Sebenarnya aku tak boleh meng-harap-harapkan yang bukan-bukan terhadap jodoh anakku. Tetapi sebagai seorang ayah aku
mengharapkan agar suami anakku kelak adalah manusia yang benar-benar baik. Sang Dewaresi adalah kemenakan saudara Kebo Bangah. Dan Sangaji adalah murid saudara Gagak Seta, kedua-duanya pasti memiliki ilmu kepandaian yang tak boleh kuabaikan. Tapi untuk menentukan pilihan, bagiku amat sukar. Kupikir begini saja, baikiah mereka berdua kita adu ilmu kepandaiannya.
Apakah pendapat kalian?"
"Bagus! Bagus!" seru Kebo Bangah girang. "Kepandaian apakah yang kaumaksudkan?"
"Nanti kuterangkan. Semua tiga syarat. Siapa di antara mereka berdua dapat meme-nangkan tiga syarat ujianku, akan kuresmikan menjadi calon menantuku.
"Bagus! Bagus!" Seru Kebo Bangah lagi. "Kau tahu sendiri, kemenakanku terluka. Tidaklah mungkin kau uji dengan mengadu ilmu kepalan. Sekiranya engkau memaksanya sebagai syarat
utama, baiklah ditunda sebulan dua bulan lagi.
"Tentang lukanya kemenakanmu, masakan aku tak tahu?" sahut Adipati.
Mendengar kata-kata Adipati Surengpati, Gagak Seta curiga. Pikirnya, Kebo Bangah ini adalah seorang berbisa yang kejam bengis dan licin. Dan Surengpati seorang siluman dalam arti kata sebenarnya. Dia banyak akalnya, melebihi manusia lumrah. Hm... kini dia mau main menguji segala. Kalau Sangaji sampai harus diuji kepandaiannya mengenal ilmu sejarah, sastra,
kebudayaannya, irama lagu dan tetek bengek, pastilah dia gagal. Masakan dia bisa mengatasi kepandaian anak Kebo Bangah. Ih! Nampaknya Surengpati berat sebelah. Baiklah aku mengambil caraku sendiri... Dan setelah memperoleh pikiran demikian, Gagak Seta terus saja tertawa terbahak-bahak. Kemudian berkata nyaring berwibawa. "Saudara Surengpati! Kita semua ini adalah keturunan tukang pukul dan mengadu kepalan. Apa perlu mengadu kepandaian semacam
murid-murid sekolah." Ia berhenti mengesankan. Lalu menatap Kebo Bangah. "Kau bandotan Kebo Bangah. Katamu, keme-nakanmu lagi terluka. Bagus! Tapi kau sendiri sehat walafiat. Karena itu, marilah kita berdua bermain-main barang sebentar."
Tanpa menunggu pertimbangan Kebo Bangah, Gagak Seta terus saja menyerang tiga kali
sekaligus. Sudah barang tentu Kebo Bangah kaget setengah mati. Tetapi dia adalah seorang pendekar yang telah makan garam. Melihat serangan lawan, dengan gesit ia mengelak.
Gagak Seta segera meletakkan tongkatnya di atas tanah. Kemudian menyerang lagi sam-bil
membentak, "Kebo Bangah! Balaslah!"
Tiga jurus ia menyerang dengan satu kali gerak. Kebo Bangah mundur sambil menge-lak, la
enggan menangkis atau membalas me-nyerang. Dalam hatinya, ia enggan bertempur melawan
musuh lamanya itu. Tetapi kerena terus menerus diserang sampai tujuh kali berturut-turut, tak dikehendaki sendiri tangannya mulai mengangkis tujuh kali dan membalas menyerang tujuh kali pula.
"Bagus!" seru Adipati Surengpati gembira. Ia tahu akibatnya, apabila dua orang tokoh sakti itu sampai mengadu kepandaian. Namun ia tak sudi melerai atau menengahi. Malahan ia
mengharapkan mereka berdua bertempur mengadu kesaktian. Maklumlah, dua puluh tahun
berselang ia pernah menyaksikan ilmu kepandaian mereka. Kini, ilmu kepandaiannya pasti sudah jauh majunya. Bagaimana kemajuan mereka itu, ingin sekali ia menyaksikan dan menilainya.
Gagak Seta dan Kebo Bangah adalah dua orang sakti pada zaman itu. Masing-masing
mempunyai keunggulannya yang sama kuat dan sama tangguh. Dua puluh tahun yang lalu,
mereka pernah mengadu kesaktian. Kedua-duanya tiada yang kalah tiada yang menang.
Kemudian mereka menekuni dan mendalami ilmunya masing-masing selama dua puluh tahun.
Tujuan mereka hendak merebut kemenangan dengan mengalahkan ilmu lawannya. Maka kini,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mereka saling bertemu kembali. Ilmu kepandaian mereka masing-masing jauh berbeda dengan
dua puluh tahun yang lalu.
Karena pertempuran mereka sebentar'saja sudah berlangsung dengan cepat dan tepat
meskipun baru memasuki babak gertakan belaka untuk mengetahui kelemahan dan kekuatan
lawan. Sangaji mencurahkan segenap perhatiannya. Dilihatnya gerakan-gerakan mereka sangat lincah.
Yang sangat menggirangkan hatinya ialah, bahwa jurus-jurus perubahannya seperti mirip ilmu ciptaan Kyai Kasan Kesambi sesungguhnya adalah suatu gabungan intisari ilmu kepandaiannya sejati. Tiap jurusnya mengandung perhitungan-perhitungan tertentu. Ukurannya ialah apabila mengahadapi lawan setangguh tokoh-tokoh sakti. Tiap gerakannya berdasarkan ilmu tenaga
PANCAWARA yang dahsyat tak terlawan. Kadang-kadang cepat gesit angin. Kadang-kadang
lamban seperti tegak gunung. Maka tanpa disadari sendiri seluruh tubuhnya seperti gatal.
Dengan cepat, kedua jago tua itu sudah bertempur melampaui lima ratus jurus. Masing-masing kagum dan mengagumi ilmu kepandaian lawan.
Adipati Surengpati yang menonton ikut kagum pula. Tak terasa ia menghela napas dalam.
Katanya di dalam hati, dua puluh tahun lamanya aku mengeram di sebuah pulau jauh dari
daratan. Selama itu aku berusaha menekuni dan mendalami ilmuku agar di kemudian hari aku bisa menjagoi semua tokoh sakti. Tak tahunya ilmu kepandaian si bisa Kebo Bangah dan si jembel Gagak Seta begini hebat.
Sang Dewaresi dan Titisari diam-diam ikut berlomba dan menjagoi jagonya masing-ma-sing.
Sang Dewaresi sudah barang tentu mengharapkan kemenangan pamannya. Sebaliknya, Titisari
menjagoi Gagak Seta. Sebab pendekar sakti itu, kecuali menjadi gurunya adalah bintang
penolongnya pula. Tapi baik sang Dewaresi maupun Titisari tak mengetahui tinggi rendahnya ilmu kepandaian mereka, sehingga tak tahu cara menilainya. Maklumlah, ilmu kepandaian mereka jauh berada di bawahnya.
Suatu kali Titisari mengerling ke samping mencari kesan Sangaji. la heran, tatkala meli-hat pemuda itu bergerak-gerak seperti sedang menghafalkan jurus ilmu tempur. Kaki dan tangannya bergerak-gerak seperti sedang menari dan raut mukanya tegang luar biasa. Pemuda itu seperti terlibat dalam arus kegirangan.
"Aji!" seru Titisari perlahan. Sangaji tak menyahut. Karena itu rasa herannya, berubah menjadi rasa cemas. Dengan penuh perhatian ia mulai mengamat-amati. Ternyata Sangaji benar-benar sedang mengingat-ingat suatu ilmu kepandaian tinggi. Gerak-geriknya, sesuai benar dengan gerak-gerik kedua jago yang sedang bertempur itu.
Dalam pada itu, setelah melampaui kurang lebih tujuh ratus jurus, gerak-gerik kedua jago itu jadi berubah. Mereka kini tidak bergerak selincah tadi. Tapi makin lama makin lamban. Kadang-kadang mereka bergerak ogah-ogahan. Kemudian menyerang dengan tiba-tiba setelah dipikirkan masak-masak. Anehnya, kadang kala setelah saling bergebrak mereka duduk bersila mengatur napas. Kemudian bangkit kembali dan menyerang dengan dahsyat. Kesannya kini berubah pula.
Kala mendekati jurus keseribu, mereka bertempur seolah-olah sedang bermain-main, tetapi
wajahnya tegang luar biasa.
Tak terasa matahari mulai menebarkan cahayanya di seluruh bumi. Angin pegu-nungan meniup sejuk menyegarkan jasmani. Adipati Surengpati berdiri tegak mengawasi pertempuran itu.
Wajahnya ikut tegang juga. Dahinya berkerenyit seakan-akan sedang memecahkah suatu soal
yang bukan mudah diselesaikan.
Titisari mengamat-amati sikap ayahnya yang luar biasa itu. Selama hidupnya belum pernah ia melihat ayahnya bersikap setegang itu. Tak terasa ia melemparkan pandang kepada yang
mengadu kesaktian. Mendadak saja ia melihat sang Dewaresi yang terkesan tenang luar biasa. Pemuda itu seolah-olah yakin benar, bahwa pamannya akan memperoleh kemenangan mutlak. Maklumlah, ilmu
kepandaiannya masih jauh berada di bawah ilmu kepandaian kedua tokoh tersebut, sehingga tak dapat memperoleh penilaian sebenarnya.
Selagi Titisari merenungi sang Dewaresi, ia mendengar Sangaji bersorak memuji. Sang
Dewaresi kaget. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Hai, bocah tolol! Kau tahu apa," bentaknya mendengar Sangaji bersorak memuji" "Lebih baik tutuplah mulutmu."
Titisari memuja Sangaji sebagai dewanya. Meskipun kerap kali ia menyebutnya dengan istilah tolol, tapi ia tak rela pemuda pujaannya dipanggil si tolol oleh orang lain. Maka terus saja dia mendamprat.
"Kaupun bukankah jauh lebih tolol dari dia" Coba kau mengerti tentang mereka" Nah,
sumbatlah mulutmu! Kalau kau tak betah, enyahlah dari sini dan biarkan kami sendirian."
Didamprat demikian, sang Dewaresi tak menjadi sakit hati. Malahan dia terus tertawa nyaring.
Katanya memberi keterangan, "Nona, janganlah salah paham. Maksudku, anak itu bergerak-gerak begitu tolol. Umurnya masih muda belia. Bagaimana dia bisa mengetahui kepandaian pamanku?"
"Hm! Engkau bukan dia. Dan dia bukan engkau. Bagaimana engkau mengetahui, bahwa dia mengerti tentang ilmu kepandaian pamanmu?" sahut Titisari cekatan.
Selagi sang Dewaresi dan Titisari berselisih, Adipati Surengpati terus mencurahkan seluruh perhatiannya kepada kedua sahabatnya yang sedang bertempur mati-matian. Sama sekali ia tak menggubris perselisihan itu. Sangaji sendiri demikian juga. Dengan penuh perhatian ia mengamat-amati gerakan-gerakan Gagak Seta dan Kebo Bangah.
Ternyata gerakan kedua tokoh sakti itu makin lama makin lambat. Kini mereka tak memukul
langsung tetapi memukul-mukul udara yang berada di sekitarnya. Gagak Seta tiba-tiba
menyentilkan tangan ke depan hidungnya. Dan buru-buru Kebo Bangah menangkis dengan
mengibaskan tangan melintang udara. Setelah itu, mereka berjongkok dan berpikir keras. Sejenak kemu-dian, kedua-duanya bangkit sambil berseru dan pertempuran sengit terjadi lagi.
"Bagus! bagus!" Teriak Sangaji gembira. Sesaat kemudian, Gagak seta dan Kebo Bangah terpisah lagi. Kembali lagi mereka mengasah pikiran. Terang sudah, masing-masing telah
mengenal ilmu simpananya. Karena itu, tak berani mereka bertempur sembrono. Setiap kali akan bergerak, selalu dipikirkan dahulu Masak-masak. Dua puluh tahun yang lalu mereka bertempur seperti Pagi hari itu. Masing-masing sibuk menduga-duga ilmu kepandaian lawanya. Kemudian mereka berpisah dan mengolah ilmu kepandaianya lagi dengan diam-diam. Selama itu mereka tak pernah bertemu. Dengan demikian tak menge-tahui pula sampai di mana tinggi rendahnya ilmu masing-masing. Kemajuan-kemajuan yang mereka peroleh dari hasil ketekunannya tak
diketahuinya pula. Kini ternyata, bahwa keadaan mereka samalah gelapnya seperti dua puluh tahun yang lalu. Masing-masing merasa kagum, was-was, hati-hati. Itulah sebabnya, mereka terpaksa mengambil waktu terlalu panjang. Tatkala matahari telah sepeng-galah tingginya, belum juga mereka memperoleh kepastian. Yang sangat beruntung dalam hal ini, ialah
Sangaji. Pemuda ini telah mengantongi dasar-dasar ilmu sakti Kumayan Jati. Kemajuan yang diperolehnya adalah dari hasil ketekunannya sendiri. Kini ia dapat menyaksikan betapa gurunya menggunakan ilmu sakti tersebut. Sudah barang tentu ia memperoleh kemajuan sangat berharga.
Kecuali itu, dengan tak sengaja ia mengantongi ilmu ciptaan Kyai Kasan Kesambi yang terakhir.
Meskipun belum mewujudkan ilmu Kyai Kasan Kesambi yang khas, tapi ilmu ciptaan itu meliputi sari-sari ilmu pendekar sakti yang utama. Jurus-jurusnya mengandung ungkapan-ungkapan tenaga sakti jasmaniah. Dan diluar dugaan, hampir mirip gerak gerik ilmu Kebo Bangah. Pemuda itu tak mengetahui, bahwa Kebo bangah adalah lawan Kyai Kasan Kesambi yang utama. Karena itu
ciptaan Kyai Kasan Kesambi ditujukan untuk memunahkan ilmu kepandaian pendekar tersebut.
Dengan meli-hat gerak gerik pendekar Kebo Bangah, diam-diam Sangaji telah memperoleh
tambahan-tambahannya sebagai pelengkapya. Kini ilmu ciptaan Kyai Kasan Kesambi tidak hanya berjumlah 72 jurus, tapi sekaligus menjadi 325 jurus. Bisa dibayangkan betapa untung Sangaji menyaksikan perkelahian mereka itu. Titisari selama itu terus mengamat-amati gerak gerik Sangaji dengan penuh keheranan. Pikirnya, baru satu bulan aku berpisah. Tapi ilmunya begitu maju pesat.
Apakah dia men-dapat ilmu dari malaikat" Memperoleh pikiran demikian, diam-diam ia bersyukur dalam hati. Namun hatinya sangsi. Masakan di dunia ini pernah ada seorang bertemu dengan malaikat. Karena itu, hatinya yang tadi merasa bersyukur berubah menjadi was-was. Teringat akan daya saksi ilmu jogo-jago tua ia khawatir Sangaji kena pengaruhnya, sehingga bergerak dengan tak sadar. Maka ia mendekati dengari hati-hati.
Tatkala itu, Sangadji tengah menirukan gerakan Kebo Bangah. Getah Dewadaru yang berada di dalam tubuhnya bergejolak hebat. Inilah suatu kejadian yang tak pernah dipikirkan sebelumnya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Barangkali Gagak Setapun tak pernah menyangka pula. Maklumlah, pemuda itu sendiri tak
mengetahui bahwa ilmu ciptaan Kyai Kasan Kesambi adalah lawan ilmu Kebo Bangah. Dengan
sendirinya Kebo Bangah merupakan ilmu yang bertentangan. Oleh pertentangan sifat itu, sekaligus getah sakti Dewadaru bergolak sangat hebat seperti peristiwa pertentangannya antara ilmu sakti Kumayan Jati dan ilmu sakti Bayu Sejati.
Demikianlah pemuda itu berputar dan menyerang sambil berjongkok. Nampaknya gaya
serangan itu lumrah belaka. Tapi sebe-narnya telah diliputi tenaga tekanan getah sakti Dewadaru.
Maka, sewaktu tangan Titisari hendak meraihnya, tiba-tiba kena terpental ke udara. Dan kabur seperti layang-layang putus. Keruan saja Sangadji terkejut bukan kepalang. Tanpa berpikir lagi, terus ia menjejak tanah dan melesat menyusul. Dengan menggunakan ilmu ajaran Wirapati, ia menangkap pinggang Titisari yang langsing menggiurkan. Kemudian dengan gaya indah, ia turun di atas batu seolah-olah berpeluk-pelukan.
"Aji!" Bisik gadis nakal itu," cobalah beru-lang begitu. Senang aku kaupentalkan ke udara dan kau sambar pinggangku. Sewaktu kau peluk turun di atas batu, nyaman benar rasanya."
"Hm." dengus Sangaji pendek. Terus saja berputar mengamat-amati kedua jago tua yang sedang bertempur makin seru. Dalam hatinya ia heran atas tenaganya sendiri yang tiba-tiba bisa melontarkan suatu arus. Sama sekali tak di ketahui, bahwa hal itu terjadi karena pergolakan getah sakti Dewadaru yang kena ditarik dan di lontarkan jurus-jurus ilmu ciptaan Kyai Kasan Kesambi karena dia sedang menirukan jurus ilmu Kebo Bangah yang justru menjadi lawannya utama.
Dalam pada itu, di kalangan terjadi suatu perubahan. Kedua jago kini tidak lagi menggunakan kepalan dan tendangan. Mereka berdiri tegak dengan berdiam diri. Gagak Seta nampak
menggurit-gurit suatu corat-coret di udara dan buru-buru Kebo Bangah berjongkok. Kemudian meniup-niup keras seolah-olah sedang membuyarkan corat-coret Gagak Seta.
Melihat cara mereka bertempur, Titisari geli sampai tertawa. Sebaliknya, Sangaji jadi gem-bira karena tiba-tiba saja, teringatlah dia kepada Kyai Kasan Kesambi sewaktu menulis-nulis huruf tertentu di udara. Kini tahulah dia, bahwa ilmu ciptaan Kyai Kasan Kesambi bukanlah suatu ilmu murahan. Buktinya, ilmu semacam demikian baru terlihat setelah kedua jago itu mengadu kepalan dua ribu jurus lebih.
"Aji! Mereka lagi bermaksud apa?" bisik Titisari minta keterangan.
"Aku pernah mengenal ilmu sakti demikian. Tapi bagaimana mestinya, tahulah aku," sahut Sangaji setelah menimbang nimbang sebentar. "Pernah aku menirukan dan menghafalkah jurus-jurus ilmu demikian, tatkala aku secara kebetulan melihat Eyang Guru mencorat coret dengan jari di udara..."
Titisari mencoba mengerti. Mendadak saja ia melihat Kebo Bangah menyerudukkan kepalanya
ke tanah. Kemudian bergerak-gerak ke kiri dan ke kanan seperti santri lagi bertahlilan. Keruan saja, penglihatan demikian bagi Titisari dianggapnya sangat lucu sampai ia tertawa-tawa geli sambil memekik. "Aji! Aji! Lihat! Dia seperti babi lagi menggrogoti ketela. Waktu itu, sang Dewaresi telah agak lama mengamat-amati mereka berdua. Melihat betapa Titisari begitu mesra terhadap Sangaji, hatinya seperti tergodok. Rasa cemburunya meledak tak tertahankan lagi. Kalau menuruti kata hati, ingin ia menerkam Sangaji selagi anak muda itu lengah. Tapi waktu hendak bergerak, tulang rusuk dan dadanya sakit bukan kepalang. Dan tatkala mendengar, Titisari menyebut tingkah laku pamannya sebagai babi lagi menggerogoti ketela, hatinya panas sekali.
Kini, tak sanggup lagi ia menguasai diri. Maka diam-diam ia menggengam segebung jarum emas.
Seperti diketahui, sang Dewaresi adalah seorang pendekar tak sem-barangan. Sewaktu di pendapa Kadipaten Pekalongan, Sangaji pernah menyaksikan kepandaiannya menepuk sesuatu yang
melayang senjata bidik amat ampuh. Kepandaian itu di lakukan dalam waktu hati bebas dari rasa segala. Tapi kini ia mengandung dendam maka bisa di bayangkan betapa akan hebat jadinya.
Waktu itu, ia telah mengarahkan senjata bidiknya ke punggung Sangadji yang tengah melihat pertempuran. Pemuda itu sama sekali tak mengira akan menghadapi bahaya. Dia sedang
mengamat-amati gurunya melakukan perlawanan dengan ilmu sakti Kumayan Jati tingkat tinggi.
Untunglah, Titisari tak begitu terpusat perhatiannya. Sama sekali tak pernah terpikir olehnya, bahwa Gagak Seta dan Kebo Bangah adalah dua orang sakti yang menempatkan tingkatan teratas pada zaman itu. Saat itu sedang menghadapi detik-detik yang menentukan dan membahayakan.
Seumpama dia sadar akan hal itu, pastilah seluruh perhatiannya akan terpancar penuh-penuh.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tapi karena tak mengetahui, perhatiannya terbagi-bagi. Sewaktu matanya mengembara ke arah sana, secara kebetulan melihat gerak-gerik sang Dewaresi yang mencurigakan. Dasar otaknya cerdas dan berhati cerdik, seketika itu juga dapat menebak gejala-gejalanya. Terus saja ia menajamkan mata dan pendengaran. Dan apabila ia mendengar gerak tangan sang Dewaresi,
cepat ia berkisar melindungi pung-gung Sangadji.
Terhadap Titisari, sang Dewaresi benar-benar tergila-gila. Jangan lagi bermaksud hendak
melukai, sedangkan kata-kata dan sikapnya diatur demikian rupa agar tetap meresapkan kesan.
Karena itu, begitu melihat Titisari berkisar melindungi punggung Sangadji seakan-akan tidak di sengaja, membuat sang Dewaresi membatalkan niatnya. Tapi hal itu, bukanlah berarti ia
menggagalkan maksudnya sama sekali. Cepat ia berkisar ke kanan. Untuk herannya, ia melihat Titisari bergeser ke kanan juga Eh, apakah dia bermaksud melindungi anak tolol itu" Pikirnya menebak-nebak. Selagi ia mencoba bergeser ke kanan. Titisari pun bergeser lagi ke kanan, kini mendekati para dayang yang masih saja duduk setengah lumpuh kena perbawa tenaga sakti
kedua jago kelas wahid pada zaman itu.
Bagus! Jangan salahkan aku mengham-burkan jarum emasku. Seumpama engkau terluka
masakan Paman tak dapat mengobati. Bukankah Adipati Surengpati menyetujui aku pula menjadi menantunya, damprat sang Dewaresi dalam hati. Dan cepat-cepat ia bergeser ke kanan, kemudian ke kiri. Setelah itu kembali ke kanan dengan cepat dan dibarengi membidikkan jarumnya.
Seketika itu juga, di udara berkeredep puluhan jarum emas mengarah punggung Sangaji.
Titisari terkesiap. Dasar ia anak se-orang siluman, maka tanpa banyak pertimbangan lagi ia mendepak salah seorang dayang, sedangkan dirinya terus melesat ke samping. Maka tak ampun lagi, dayang yang bernasib malang itu kena hujan jarum emas majikannya sendiri. Sekali ia menjerit, kemudian roboh tak berkutik.
Sangaji terkejut mendengar jerit itu. Ia menoleh.Tiba-tiba melihat Titisari meloncat menyerang sang Dewaresi.
"Titisari! Kembali!" teriak Sangaji. Anak muda itu mengenal bahaya. Dua jago yang sedang bertarung, kala itu mulai melontarkan arus tenaga dahsyat. Dan Titisari yang belum mengetahui corak ilmu saktinya, dengan berani melintasi tanpa bersiaga, waktu itu, ia melintasi arus tenaga Kebo Bangah yang sedang menyerang Gagak Seta. Gugup, Adipati Surengpati berteriak. "Saudara Kebo Bangah! Kasihanilah anakku!"
Sangaji sendiri terus saja melompat menyusul. Ia sadar akan bahaya. Karena itu dia bersiaga menghadapi, kemungkinan, tatkala bergerak menyusul kekasihnya. Kesudahannya hebat bukan
main. Tiba-tiba saja, Sangaji merasa kena dorong suatu arus dahsyat bagaikan gelombang pasang.
Tanpa berpikir panjang lagi, terus ia memukul dengan salah satu jurus ilmu sakti Kumayan Jati.
Dengan jurus itu, ia bermaksud menolak tenaga sakti Kebo Bangah. Sudah barang tentu, mau tak mau ia harus mengadu tenaga. Sekiranya ia menghadapi tokoh sakti semacam Lumbung Amisena atau sang Dewaresi, cukuplah tenaga bendungannya untuk melawan tenaga lawan. Tapi kali ini, dia terpaksa menghadapi Kebo Bangah, seorang pendekar sakti kelas utama pada zaman itu
keruan saja, pertahanannya gugur, la kena terlontar terbalik di udara meskipun demikian, masih sempat ia melemparkan Titisari ke samping. Kemudian dengan berjumpalitan ia turun ke tanah dan cepat-cepat bersiaga lagi menghadapi serangan ulangan.
Benar saja. Kebo Bangah heran, melihat pemuda itu bisa menandingi serangan tenaganya
tanpa menanggung luka parah. Bahkan pemuda itu, terus saja berdiri tegak di tanah seakan-akan lagi menantang. Sudah barang tentu, ia merasa tertusuk kehormatannya. Cepat ia hendak
melepaskan serangannya lagi. Hanya belum dilontarkan Gagak Seta dan Adipati Surengpati
berkelebat menghalang didepannya.
"Ut! Ladalah...! Sungguh malu! Benar-benar aku tak sempat menarik seranganku kembali.
Apakah Nona Titisari terluka?" Teriak Kebo Bangah.
Sebenarnya Titisari kaget setengah mati, menghadapi saat-saat genting yang tak di-sadari sebelumnya. Tapi begitu mendengar pertanyaan Kebo Bangah yang terdengar minta maaf, ia
memaksa diri tersenyum lebar.
"Ayahku berada di sini masakan engkau dapat melukai aku?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tetapi Adipati Surengpati sendiri, sesung-guhnya bercemas. Cepat ia menghampiri putrinya dan memeriksa denyut jantung dan pergelangan tangan.
"Apakah engkau merasakan sesuatu yang kurang beres dalam tubuhmu?" tanyanya agak gugup. "Coba tariklah napas dan salurkan jalan darahmu!"
Titisari menurut. Segera ia menarik napas dan menyalurkan jalan darahnya. Ia tak merasakan sesuatu. Maka ia lantas saja tertawa riang sambil menggelengkan kepala. Melihat sikap Titisari, Adipati Surengpati heran dan ingin memperoleh keterangan sebab-musababnya. Tetapi hatinya tenteram. Rasa cemasnya hilang. Katanya menasehati, "Kedua pamanmu lagi berlatih mengadu kepandaian. Engkau jangan bertingkah tak keruan macam. Ilmu sakti pamanmu Kebo Bangah
bernama Kala Lodra. Kecuali hebat tenaganya, dibarengi ilmu mantram Aji Gineng. Dahsyatnya bagai gugurnya sebuah gunung. Andaikata dia tak sayang padamu, masakan nyawamu masih
menancap dalam tubuhmu. Coba lihat belakangmu!"
Titisari memutar tubuh dan ia terperanjat. Ternyata sebuah batu raksasa yang berada di
belakangnya, hancur berantakan seperti kena tumbuk bukit besi. Andaikata ia tadi kena telak, teranglah sudah bahwa dirinya yang terdiri dari daging dan darah akan hancur berantakan.
Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Istilah KALA LODRA yang menjadi dasar ilmu sakti Kebo Bangah sebenarnya bukanlah istilah yang benar-benar asing bagi pende-ngaran Titisari. Seperti di ketahui, istilah Kala Lodra terkenal dalam cerita wayang purwa, sebagai tokoh dewa raksasa yang sering menganugrahi kesaktian tak terlawan. Seperti terhadap Raja Rahwana dan Raja Nirwatakawaca dalam cerita Arjuna Wiwaha, kesaktian ke dua raja tersebut tak terlawan. Dewa sendiri tak kuasa menumbangkan. Sedangkan Aji Gineng adalah anugerah Dewa Kala Lodra juga yang menjadi milik Raja Nirwatakawaca.
Kedua ilmu sakti tersebut demikian saktinya, sehingga namanya digunakan untuk nama salah satu ilmu sakti yang paling disegani pada zaman itu, sebagai suatu pemujaan.
Menurut keterangan, seseorang bisa memperoleh ilmu sakti demikian, apabila mampu bertapa sampai dua belas tahun lamanya dengan berdiam diri di atas pegunungan yang terapit batu-batu raksasa. Orang itu harus mulai dengan berdiam diri. Kemudian merendam dalam kubangan air sebatas bentuk tubuh. Setelah lewat beberapa tahun lamanya, lalu menjepitkan diri di antara batu raksasa. Dan setelah memperoleh wewenang, kedua batu tersebut merupakan kelinci
percobaannya. Manakala dia dapat meledakkan kedua batu raksasa yang menjepit dirinya, maka nyatalah sudah bahwa wewenang sakti itu telah meresap dalam tubuhnya.
Tadi"sewaktu Kebo Bangah melawan ilmu sakti Kumayan Jati Gagak Seta segera dia berdiam
diri untuk mengerahkan tenaga Kala Lodra. Kemudian mulailah dia bergerak-gerak. Itulah suatu tanda, bahwa ia mulai menge-rahkan tenaga saktinya. Tenaga sakti Kala Lodra bisa menerjang bagaikan gugur gunung dan bertahan bagaikan bukit. Manakala kena serang, mendadak saja bisa membalas me-nyerang secara wajar. Demikianlah, Sewaktu Kebo Bangah mulai menyerang Gagak Seta, mendadak saja Titisari melompat melintasi dengan dibarengi pekik seorang dayang yang kena jarum emas sang Dewa Resi.
Kebo Bangah kaget setengah mati, karena sama sekali tiada niatnya hendak melukai bakal
menantunya. Apa lagi menewaskan. Maka cepat-cepat ia hendak menarik semua tenaga saktinya.
Tetapi kodrat ilmunya bisa menyerang dan berbalik menyerang secara wajar, tanpa membutuhkan pengendalian. Karena itu, tak gampang-gampang dia bisa menguasai sepenuhnya, sekalipun sadar bahwa Titisari lagi terancam bahaya maut.
Ketika mendengar suara Adipati Surengpati, ia terlebih-lebih terkejut lagi, sekonyong-konyong ia merasakan suatu tumbukan tenaga yang membendung tenaga sakti Kala Lodra. Itulah suatu kesempatan untuk menarik semua tenaganya. Kemudian ia memandang tajam ke depan dan
melihat Sangaji berdiri tegak sebagai penolong jiwa Titisari. Diam-diam ia heran dan kagum.
Lantas saja ia berkata dalam hati, benar-benar hebat sijembel Gagak Seta ini. Dia berhasil mewariskan ilmu Kumayan Jati kepada miridnya.
Adipati Surengpati setelah tenteram kembali, segera mengamati-amati Sangaji. Ia pernah
menyaksikan dan mencoba tenaga pemuda itu. Maka berpikirlah dia dalam hati, anak ini begini tak mengenal bahaya sampai-sampai berani melawan Kebo Bangah. Sekiranya Kebo Bangah tak
mengingat cegahanku, bukankah tulang belulang dan urat-uratnya akan hancur berantakan"
Adipati Surengpati belum mengetahui, bahwa Sangaji sekarang bukanlah Sangaji sewaktu
berada di sebelah utara Desa Gebang. Selain sudah berhasil menekuni dasar-dasar ilmu sakti
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kumayan Jati, telah mengantongi pula ilmu ciptaan Kyai Kasan Kesambi yang terakhir. Ia hanya mengetahui dan mengakui, bahwa Sangaji tadi yang menolong jiwa putrinya. Karena itu,
betapapun juga kesannya terhadap Sangaji yang kurang baik, surut tujuh atau delapan bagian.
Bukankah pemuda itu telah membuktikan dihadapannya, betapa dia sanggup berkorban untuk
Titisari" Akhirnya dia berkata lagi dalam hati, anak ini berhati jujur dan mulia. Meskipun tiada niatku hendak menjodohkan Titisari kepadanya, tapi aku harus menghadiahi sesuatu.
Selagi dia sibuk menimbang-nimbang, terdengar suara Gagak Seta nyaring. "Hai, Kebo
Bangkotan! Benar-benar jempolan ilmu saktimu. Kita berdua belum memperoleh kepastian siapa yang kalah dan menang. Marilah kita bertempur terus sampai memperoleh ketentuan!"
Kebo Bangah terhenyak mendengar ucapan Gagak Seta. Sebentar ia tercengang-cengang,
kemudian tertawa riuh. "Bagus! Aku Kebo bangkotan bersedia melayani seorang pendekar budiman!"
"Hm! Hm! Aku bukan seorang budiman. Aku hanya seorang jembel tak keruan macamnya...,"
sahut Gagak Seta. Habis berkata demikian, terus saja ia melompat memasuki gelanggang. Kebo Bangahpun tak
mau mengalah. Tetapi sewak-tu hendak melompat, Adipati Surengpati menyanggahnya sambil
berkata menya-barkan. "Saudara Kebo Bangah, tunggu dulu! Saudara Gagak Seta harap sabar barang sebentar! Kamu berdua sudah bertempur lebih dua ribu jurus dan belum juga memperoleh kepastian siapa di antara kamu berdua yang menang. Hal ini merupakan suatu kehormatan bagiku. Tetapi, kecuali aku dan kamu berdua "dijagat ini" masih ada seorang lagi yang harus kita datangi. Yakni, Kyai Kasan Kesambi. Apabila ia muncul di sini, teranglah aku tak berani mencegah perkelahianmu.
Sebab, akupun akan tampil juga mengadu tenaga. Karena Kyai Kasan Kesambi kini tiada berada di antara kita, bagaimana pandapat kalian apabila pertempuran hari ini kita sudahi sampai sekian saja?"
"Baiklah!" sahut Kebo Bangah dengan tertawa panjang. "Kalau aku terpaksa bertem-pur melawan Gagak Seta, terang sekali aku bakal keok."
Gagak Seta melompat keluar gelanggang sambil tertawa riuh pula. Kemudian sambil meludahi tanah, "Kebo Bangkotan dari serandil ini, memang besar mulutnya. Masakan aku tak tahu, seluruh tubuhmu penuh lumuran bisa. Lain mulutnya lain hatinya. Kau sendiri sadar, bahwa dirimu sangat termasyur di seluruh jagat. Kini ngoceh, kau bakal keok melawan aku. Nah, artinya kau yakin bakal menang. Heh! Hm... aku si jembel tak karuan juntrungnya, masakan aku bisa mempercayai mulutmu..."
"Bagus! Jika begitu, terpaksa aku harus melayani kepandaianmu lagi, saudara Gagak Seta!"
Kebo Bangah menantang. "Itulah jalan yang paling bagus!" sahut Ga-gak Seta, dan terus saja dia bersiaga mema-suki pertempuran untuk mencari keputusan.
"Sudahlah! Adipati Surengpati melerai de-ngan tertawa. "Aku siluman tua, benar-benar merasa bahwa kalian berdua sengaja mema-' merkan ilmu kepandaian kalian dihadapanku.
Gagak Seta tertawa lebar berkata, "Kau pantas menegor aku, saudara Surengpati. Sebenarnya, aku sengaja menemui engkau untuk melamar putrimu dan bukan berniat mengadu ilmu dengan
bangkotan Kebo edan!"
"Bukankah aku telah mengumumkan hen-dak menguji kedua pemuda itu dengan tiga syarat?"
sahut Adipati Surengpati. "Siapa yang lulus, dialah yang bakal menjadi menantuku. Tetapi siapa yang jatuh, akupun takkan membiarkan dia kecewa dan menyesal."
Mendengar ucapan Adipati Surengpati, Gagak Seta heran. "Hai! Apakah itu" Apakah engkau masih mempunyai seorang putri lagi?"
"Sekarang, belum," kata Adipati Surengpati dengan tertawa."Seumpama aku harus kawin lagi dengan terburu-buru, rasanya pun akan kasep juga. Maksudku takkan membiarkan kecewa dan
menyesal ialah bahwasannya kasar-kasar aku mempunyai beberapa macam kepandaian, seperti: ilmu perbintangan, ilmu mantram, ilmu sejarah, ilmu bumi, ilmu ketabiban ilmu pedang, ilmu kepalan... dan apabila tidak mencela, dia kuperkenankan memilih salah satu macam ilmu
kepandaian untuk kuajarkan sampai mahir."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Adipati Surengpati, terkenal sebagai seorang bangsawan yang serba bisa. Gagak Seta
mengetahui tentang hal itu. Maka dia berpikir, baiklah! Andaikata muridku kalah, dia pun bisa menambah ilmu kepandaian. Di kemudian hari akan banyak gunanya menghadapi perjuangan
hidup. Melihat Gagak Seta berdiam diri, Kebo Bangah segera menyahut dengan suara nyaring.
"Baiklah! Kalau begitu keputusan saudara Surengpati, akupun harus menerima dengan dada terbuka. Sebenarnya, saudara Surengpati sudah menerima lamaran keme-nakanku. Tetapi
memandang saudara Gagak Seta, biarlah kedua bocah ini diuji. Kurasa hal ini tidak akan
menerbitkan suatu pertikaian berlarut-larut dikemudian hari, sehingga tiada memecahkan
kerukunan kita." Setelah berkata demikian. Ia menoleh kepada sang Dewaresi. "Sebentar lagi, engkau bakal diuji melawan kepandaian Sangaji. Seumpama engkau tak dapat memenangkan,
itulah suatu tanda bahwa dirimu tiada gunanya hidup di-jagat ini. Karena itu, janganlah engkau menyesalkan siapa saja. Malahan engkaupun harus ikut menyatakan syukur kepada sainganmu.
Sebaliknya apabila dikemudian hari engkau ternyata menimbulkan suatu perkara yang bukanbukan... Hm... bukan saja kedua pamanmu bakal menghadapimu, tetapi akupun tak gampanggampang mengampuni dirimu."
Gagak Seta tertawa tergelak-gelak. Menya-hut, "Eh kerbau buduk. Kau pandai juga berdoa tak keruan macamnya. Agaknya engkau sudah merasa pasti bahwa keme-nakanmu bakal menang.
Sampai-sampai di depan kita kau sudah mengumumkan sangsi hukumannya. Bukankah
maksudmu hendak mendesak kita berdua. Agar membatalkan saja niat saudara Surengpati akan menguji kemenakanmu... karena kau yakin muridku bakal keok, sehingga tiada gunanya untuk diadu segala."
Kebo Bangah tertawa terkekeh-kekeh. "Bagus, jika engkau telah mengetahui mak-sudku. Nah, saudara Surengpati! Hayo sebutkan tiga syarat ujianmu untuk memilih calon menantumu!"
25 MENENTUKAN PILIHAN DI DALAM hati Adipati Surengpati sudah memperoleh keputusan hendak menyerahkan gadisnya
kepada sang Dewaresi yang tampan dan mempunyai kedudukan. Karena itu, tiga syarat yang akan dikemukakan harus bisa dimenangkan calon menantu pilihannya. Tetapi selagi ia memeras otak hendak memilih tiga sarat ujiannya, mendadak Gagak Seta berkata nyaring, "Saudara surengpati!
Kau hendak menentukan pilihan calon menantumu dengan tiga syarat, itulah baik. Tapi dengarlah!
Kita ini adalah golongan tukang pukul, kepalan dan adu tendangan. Karena itu, tiga syarat yang hendak kau kemukakan harus mengenai ilmu tenaga. Seumpama engkau lantas mengajukan ilmu
menggambar, ilmu sastra, ilmu sejarah, ilmu ketabilan, ilmu bumi, ilmu irama lagu atau ilmu alam terlebih-lebih mengenai ilmu mantra dan racun maka aku dan muridku dengan ini menyatakan kalah dan mengaku keyok. Karena itu daripada menanggung malu lebih baik kami berdua
meninggalkan panggung ujianmu."
"Saudara Gagak Seta. Janganlah terburu-buru mengaku kalah!" sahut Adipati Sureng-pati cepat. "Kutanggung, bahwa tiga syarat yang hendak kukemukakan pasti ada hubungannya dengan ilmu jasmaniah. Yang pertama-tama mengenai adu tenaga ilmu kepandaian..."
"Itulah tak dapat," potong Kebo Bangah menggugat."Kemenakanku sedang terluka. Bagaimana bisa mengadu tenaga jasmani."
"Hal itu sudah tentu kuketahui," kata Adipati Surengpati dengan tertawa. "Akupun tak kan membiarkan kedua calon menantuku akan mengadu kepalan dan tendangan di hadapanku.
Bukankah dikemudian hari akan merusak tali kerukunan kita?"
"Lantas apakah maksudmu hendak mengujinya dengan mengadu tenaga jasmani?" Kebo Bangah heran.
"Kujamin lagi, bahwa mereka berdua tak kan kuadu berkelahi."
"Bagus! Bagus!" Kebo Bangah girang kemu-dian menebak-nebak. "Apakah maksudmu, engkau sendiri hendak menguji tenaga jas-mani calon menantumu?"
"Itupun bukan," sahut Adipati Surengpati penuh teka-teki. "Dengan cara demikian, susahlah untuk dipertanggungjawabkan. Bukankah diwaktu aku menggerakkan tenaga bisa mengatur daya berat dan daya ringan menurut kemauanku sendiri" Saudara Kebo Bangah dan saudara Gagak
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Seta! Tadi telah kusaksikan dengan mata kepalaku sendiri, betapa tinggi ilmu kepandaian kalian sampai berkelahi dua ribu jurus masih belum juga memperoleh keputusan siapakah di antara kalian berdua yang lebih unggul. Karena itu, kini baiklah kalian menguji tenaga jasmaniah sang Dewaresi dan Sangaji. Agar aku mem-peroleh seorang menantu yang tangguh."
Mendengar ujar Adipati Surengpati, Gagak Seta tertawa. Terus berkata, "Cara begitu, tiada buruknya. Mari! Mari kita jodohkan!" Sehabis berkata demikian, lantas saja dia menghampiri sang Dewaresi.
"Tunggu dulu!" Adipati Surengpati buru-buru menyanggah.
"Kalian berdua harus tunduk pada suatu aturan tertentu. Pertama-tama, sang Dewaresi sedang luka, pastilah dia tak bisa menghimpun tenaga untuk melawan pukulan saudara
Gagak Seta. Begitu juga, Sangaji masih anak kemarin sore. Jika saudara Kebo Bangah ter-lalu menggunakan tenaga, masakan dia masih bisa mempertahankan nyawanya. Karena itu yang diuji bukanlah tenaga jasmaninya, tapi ilmu kepandaian tenaga jasmani. Kedua, cara menguji kalian tidak boleh menginjak bumi. Kalian berempat harus memanjat pohon itu. Saudara Gagak Seta dan sang Dewaresi di atas pohon sebelah utara. Dan Saudara Kebo Bangah dan Sangaji di atas pohon sebelah timur. Siapa di antara kedua calon menantuku jatuh terlebih dahulu, dialah yang kalah.
Dan yang ketiga, siapa yang melukai anak yang harus diuji, dialah yang kalah.
Gagak Seta heran mendengar bunyi pera-turannya.
"Jadi apabila aku melukai kemenakan Kebo Bangkotan, maka aku dianggap kalah?"
"Ya... itulah maksudku," jawab Adipati Surengpati.
"Kamu berdua berilmu sangat tinggi, apabila tiada diatur semacam ini, sekali turun tangan apakah nyawa kedua anak muda bisa dipertahankan. Saudara Gagak Seta! Apabila engkau
membuat lecet saja kulitnya Dewaresi, kau kuanggap kalah! Demikian dengan saudara Kebo
Bangah!" Gagak Seta menggaruk-garuk kepalanya. Tetapi ia tertawa juga. Akhirnya berkata seperti
kepada dirinya sendiri. "Adipati Surengpati benar-benar seorang siluman bangkotan. Semua keputusannya sangat aneh bin ajaib. Benar-benar cocok dengan sebutannya. Cobalah pikir, hai Kebo Bandotan! Masakan melukai lawan sedikit saja, dianggap kalah" Aturan begini adalah aturan yang paling aneh semenjak zaman pur-bakala! Tetapi baiklah, mari kita tetapi peraturannya...!"
Dalam pada itu Adipati Surengpati telah mengibaskan tanggan. Keempat orang itu segera
memanjat dua pohon gundul yang berada di atas bukit. Gagak Seta dan sang Dewaresi di sebelah utara dan Kebo Bangah dan Sangaji di sebelah timur. Seperti diketahui, kedua pohon itu gundul tiada daunnya selembar pun. Karena itu, keempat orang itu dapat diamat-amati setiap gerakgeriknya dengan jelas.
Tatkala mereka berempat sudah berada di atas pohon. Adipati Surengpati berpikir seje-nak, la tahu, sang Dewaresi lebih pandai dari pada Sangaji. Meskipun terluka, tapi otaknya cerdas.
Pastilah dia emoh mengadu tenaga. Sebaliknya, hanya mengadu keringanan tubuhnya dengan meloncat-loncat menghin-dari. Dengan demikian bisa mengulur waktu.
Kemudian berseru panjang, "Hai dengarkan! Asal aku menghitung satu-dua-tiga mulailah bertempur! Dewaresi dan Sangaji apabila kamu jatuh terlebih dahulu, aku akan menganggapmu kalah!
Mendengar ucapan Adipati Surengpati, Titisari berpikir keras untuk membantu Sangaji dengan diam-diam. Tetapi melihat Kebo Bangah seorang pendekar berilmu sangat tinggi, ia jadi bingung.
Betapapun juga, tak dapat ia menghalang-halangi keperkasaan pendekar sakti itu.
Tak lama kemudian terdengarlah suara Adipati Surengpati, "Dengar! Aku menghitung! Satu...
dua... tiga...!" Maka bergeraklah keempat orang itu di atas pohon gundul. Mereka bergerak sangat cepat dan lincah bagai bayangan di atas permukaan air.
Titisari menahan napas, mengkhawatirkan Sangaji. Pandangnya hampir tak berkedip.
Dilihatnya, Sangaji dapat bergerak dengan gesit dan tangkas bahkan bisa melampaui belasan jurus. Diam-diam ia heran dan tak terkecuali Adipati Surengpati yang mengira kepandaian Sangaji biasa saja.
...Aneh! Mengapa ia belum bisa dijatuhkan" Adipati Surengpati sibuk menduga-duga.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kebo Bangah sendiri heran berbareng gelisah menghadapi perlawanan Sangaji mau tak mau
terpaksalah dia menggunakan tena-ganya. Namun ia tak dapat mengumbar kehendaknya sendiri, karena takut melukai. Karena itu ia berpikir keras mencari akal untuk menjatuhkan. Dengan tiba-tiba saja ia menyapu Sangaji dengan kedua kakinya bergantian. Apabila gagal, ia mengulangi lagi dan mengulangi sambil mengibaskan tangan pula.
Diserang demikian, Sangaji melawan dengan ilmu sakti Kumayan Jati. Tubuhnya melompatlompat dengan gesit. Kedua tangannya dibuka dan dipergunakan sebagai gunting untuk
membabat kaki Kebo Bangah. Tetapi dia bukan Gagak Seta yang sudah mahir menggunakan ilmu sakti Kumayan Jati. Karena itu bagaimanapun juga ia masih kalah tenaga. Meskipun demikian, ia masih bisa sekali-kali menyerang.
Titisari yang berada di bawah berdebaran menyaksikan pertempuran mati-matian itu. Tatkala ia mengerling kepada Gagak Seta dan sang Dewaresi, ia melihat cara bertempur yang lain.
Sang Dewaresi tak sudi melayani rangsakan Gagak Seta. Ia memperlihatkan ilmu ringan-nya, dengan selalu menghindari dan menge-lakkan tiap serangan. Dengan enteng ia me-loncat-loncat dari dahan kedahan. Sama sekali ia menghindari pertempuran langsung. Dengan demikian, Gagak Seta menemui suatu kesulitan besar.
Binatang ini menyingkir saja. Terang sekali ia hendak mengulur waktu, maki Gagak Seta dalam hati. Sebaliknya Sangaji terlalu jujur sehingga jadi tolol. Pastilah dia melayani Kebo Bangah dengan mengadu tenaga dan kepan-daian. Bagaimana dia bisa melawan" Pasti dia bakal jatuh terlebih dahulu...
Memperoleh pikiran demikian, Gagak Seta terus saja menggeram. Dengan memperde-ngarkan
suara "Hm" mendadak saja tubuhnya melesat tinggi. Kemudian dengan mengem-bangkan kedua tangannya ia menubruk dari udara. Kesepuluh jarinya di cengkramkan bagai harimau menerkam.
Sang Dewaresi terkejut. Segera ia menjejak dan dengan kaki kirinya ia melesat ke kanan.
Tetapi Gagak Seta bukanlah anak kemarin sore. Tahulah dia menebak gerak lawannya. Begitu sang Dewaresi melesat ke kanan, men-dadak saja dia telah mendahului mencegat ke kanan.
Dengan menggeram ia menggertak pula.
"Hi hi ha ha... biarlah aku kalah, asal engkau mampus kalau kau mampus masakan bisa mengawini anak siluman Surengpati..."
Kena betul gertakan ini, sehingga hati sang Dewaresi ciut sekecil biji asam. Gugup ia
menghadapi gerakan Gagak Seta yang begitu gesit dan tangkas. Untuk menangkis, teranglah dia tak mampu. Dalam keragu-raguannya, kakinya menjejak mundur. Dan diluar kemampuannya
sendiri, tiba-tiba saja kakinya menginjak tempat kosong. Tak ampun lagi ia jatuh terperosok ke bawah. Pada saat itu ia merasa kalah dalam pertempuran itu. Hanya tatkala dia menoleh, melihat Sangaji jatuh pula ke bawah.
Kebo Bangah memang gelisah benar, meng-hadapi Sangaji yang bisa bertahan sampai sekian
lamanya. Sudah dua puluh jurus, namun tetap saja masih bisa bertahan. Bahkan makin lama
makin gagah. Pendekar itu sama sekali tak mengira, bahwa di samping ilmunya Kumayan Jati Sangaji mengantongi pula ilmu ciptaan Kyai Kasan Kesambi. Agaknya Kyai Kasan Kesambi
menaruh curiga kepadanya, melihat Wirapati terluka parah demikian hebat. Karena itu, ia
menciptakan suatu ilmu pemunah untuk menghadapi ilmu sakti Kebo Bangah. Hanya sayang,
Sangaji tak menyadari sehingga melayani ilmu Kebo Bangah dengan Kumayan Jati. Coba
andaikata dia menggu-nakan ilmu ciptaan Kyai Kasan Kesambi, belum tentu dia bisa dijatuhkan demikian gampang. Sebaliknya, kala itu Kebo Bangah mulai berpikir keras.
Jikalau aku sampai melayani bocah ini melebihi lima jurus, habislah sudah pamorku dihadapan siluman Surengpati.
Dengan membekal pertimbangan ini, terus saja ia memperhebat rangsakannya. Bagaikan kilat, tangannya menyambar ke tengkuk Sangaji. Kemudian menggertak. "Bedebah! Turun!"
Sangaji terkejut setengah mati diserang demikian. Mestinya dia harus melawan dengan salah satu jurus ilmu ciptaan Kyai Kasan Kesambi. Tapi dalam gugupnya, ia hanya teringat jurus-jurus ilmu sakti Kumayan Jati yang sudah agak dipahami daripada ilmu ciptaan Kyai Kasan Kesambi.
Seperti diketahui, ilmu sakti Kumayan Jati mengutamakan keras lawan keras. Itulah sebabnya ia kecelik menghadapi Kebo Bangah yang sudah lama mengenal ilmu Gagak Seta. Maka begitu
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sangaji hendak melawan dengan jurus ilmu sakti Kumayan Jati yang mengutamakan kekerasan, mendadak saja Kebo Bangah menarik semua tenaganya.
Keruan saja, Sangaji menumbuk udara kosong, sampai tubuhnya terhunyuk ke depan. Dan
begitu tubuhnya hendak menungkrap, cepat-cepat Kebo Bangah menggertak lagi, "Haaa...!
Bukankah tengkukmu jadi terluka?"
Sangaji kaget. Khawatir akan kena terkam, cepat ia menjejak dahan. Sudah barang tentu,
jatuhnya ke bawah sangat keras karena ter-pental oleh tenaga kakinya sendiri. Dan celakanya kepalanya tetap menukik ke bawah.
Pohon tempat mereka bertarung, berdiri berjajar. Hanya saja yang satu menempati sudut utara dan lainnya sudut timur. Takala Sangaji turun terbalik, sang Dewaresi terlempar pula ke bawah.
Hanya saja, kemenakan Kebo Bangah itu jatuhnya tegak lurus dan berdekatan. Sang Dewaresi melihat dengan tegas, bagaimana saingannya jatuh jungkir balik di dekatnya. Mendadak saja, tangannya diajukan hendak menekan kaki. Maksudnya terang, agar jatuhnya Sangaji lebih cepat lagi.
Titisari memekik kaget melihat peristiwa itu. Jika Sangaji sampai jatuh terlebih dahulu, artinya dia kalah. Maka terloncatlah per-kataannya, "Aji! Tahan!"
Gadis itu tak teringat sama sekali, bahwa di tengah Udara seseorang tak dapat menahan
tubuhnya. Tapi hampir berbareng dengan pekikannya, mendadak ia melihat suatu kegaiban. Pada saat itu, ia melihat Sangaji bisa melesat kembali ke tengah udara dan terlempar di atas dahan.
Bahkan, ia terus dapat duduk berayunan di dahan sambil meraba-raba mencari pegangan.
Menyaksikan peristiwa di luar dugaan. Titisari kaget bercampur girang bukan kepalang.
Sungguh-sungguh ia tak mengerti mengapa bisa terjadi demikian rupa. Padahal kekasihnya itu justru ditekan kakinya oleh sang Dewaresi.
Kebo Bangah dan Gagak Seta waktu itu, telah turun pula ke tanah. Melihat Sangaji menang, Gagak Seta tertawa terbahak-bahak. Katanya berulang kali, "Sungguh indah! Sungguh indah!
Siapa bilang ilmu gulat bangsa kompeni buruk?"
Wajah Kebo Bangah berubah hebat. Lantas saja mennyahut.
"Saudara Gagak Seta! Muridmu ini benar-benar hebat. Ilmunya bercampur aduk. Kecuali telah mewarisi ilmumu, agaknya dia memiliki ilmu-ilmu sakti lainnya. Malahan dia bisa ilmu gulat pula..."
Gagak Seta tertawa riuh. Menjawab, "Tapi aku sendiri tak becus ilmu gulat segala. Sungguh!
Sama sekali aku tak pernah menga-jari."
SEBENARNYA SANGAJI KAGET SETENGAH MATI, tatkala kakinya kena di tangkap sang
Dewaresi dan di tekan ke bawah. Ia sadar, bahwa jatuhnya ke tanah akan sangat cepat dan
sangat keras. Sedang lawannya bahkan bisa meminjam berat tubuhnya untuk melompat ke udara.
Hal itu berarti, bahwa dia akan diumumkan sebagai pihak yang kalah. Tapi di saat segenting itu, ia tak menjadi gugup.
Seperti diketahui, dia pernah berkelahi melawan anak-anak Mayor de Groote kala di Jakarta.
Satu-satunya perlawanan yang dimi-liki kala itu ialah menyeruduk dan menggantol kaki lawan.
Begitu jugalah kali ini. Dalam saat-saat terjepit, mendadak saja ia lupa kepada semua ilmu silatnya. Yang dipunyainya pada waktu itu ialah, naluri mempertahankan diri sebisanya. Maka begitu kakinya kena tangkap, mendadak saja terus menggantol seperti mengkait suatu dahan.
Kemudian dengan meminjam lengan sang Dewaresi yang perkasa, terus saja melompat berputar ke udara. Begitu tubuhnya berhasil berbalik ke atas, kakinya dikembangkan dengan serentak.
Kesudahannya dia terlempar ke atas dan hinggap di suatu dahan dengan secara kebetulan.
Dengan demikian, ia memperoleh kemenangan.
"Kali ini Sangaji yang menang," kata Adipati Surengpati memberi keputusan. Kemudian kepada sang Dewaresi.
"Tapi kau tak perlu bersusah hati. Juga saudara Kebo Bangah jangan lantas panas hati. Siapa tahu dalam pertandingan yang kedua dan ketiga, kemenakanmu akan menang."
"Baiklah!" Kebo Bangah menyahut sambil menghela napas. "Sebutkan pertandingan yang kedua!"
"Pertandingan yang kedua ini, tidak lagi menggunakan tenaga jasmani. Kali ini menge-nai ilmu pengetahuan. Aku ingin tahu, siapa di antara mereka berdua yang lebih tinggi ilmu
pengetahuannya." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Mendengar ujar Adipati Surengpati, Titisari lantas saja mencibirkan bibir sambil menggu-gat.
"Ayah! Engkau terang-terangan berat sebe-lah. Jelaslah sudah, bahwa Sangaji akan kalah ...
Aji! Lebih baik kau tak usah bertanding!"
"Diam!" bentak Adipati Surengpati. "Dalam ilmu tata raga dan tata jasmaniah, apakah seseorang akan terus menerus menggunakan tenaga untuk mengalahkan lawan" Seseorang yang
sudah mencapai puncak kemahiran, tidak lagi menggunakan kekerasan. Dia akan mengadu ilmu kepandaian yang lain. Nah, kali ini aku hendak menguji kedua pelamar dengan sebuah lagu."
Girang hati sang Dewaresi mendengar macam ujian yang hendak dikemukakan Adipati
Surengpati. Lantas saja ia berkata dalam hati, bagus! Si tolol itu, masakan tahu tentang tembang"
Kali ini, pastilah aku yang bakal menang...
Tetapi Kebo Bangah terdengar berkata nyaring.
"Saudara Surengpati! Apakah engkau hanya menguji tentang syair, guru lagu atau guru wilahan?"
"Hm... masakan begitu?" sahut Adipati Surengpati cepat. "Aku berkata lagu! ... dan bukan syair lagu. Meskipun demikian, untuk menolong tataran pengetahuan anak-anak muda, sengaja aku
akan memperdengarkan bait-baitnya. Dengan mengenal sajak baitnya, anak-anak muda akan
dapat menebak lagu apakah itu."
Kebo Bangah tertawa terkekeh-kekeh. "Saudara Surengpati! Tiupan lagumu dari tan-duk pusakamu itu sangat berbahaya bagi anak-anak muda. Kukhawatirkan mereka takkan dapat
mempertahankan diri."
Tetapi Adipati Surengpati seperti tak meng-indahkan lagi. la menghadap kepada sang Dewaresi dan Sangaji, kemudian berkata memutuskan.
"Dengar! Gjianku kali ini ialah mengenai ilmu irama lagu. Aku tak peduli apakah kalian mengenal nama lagu atau tidak. Yang kuingin-kan di sini ialah cara kalian menguasai irama.
Barangsiapa dapat menguasai irama laguku, dialah yang kuanggap menang." Ia berhenti mengesankan, "Agar kalian bisa mengenal macam lagu apa yang hendak kutiup, baiklah aku memperdengarkan sajaknya. Sekarang ambillah sebatang ranting pohon! Timpali irama laguku pada pohon itu. Sang Dewaresi di utara dan Sangaji pada pohon yang berada di timur!"
Mendengar macam ujian yang hendak dike-mukakan Adipati Surengpati, Sangaji lantas saja
maju dan membungkuk hormat. Kemudian berkata rendah, "Aku ini seorang pemuda yang tolol.
Sebagian besar hidupku berada di daerah barat. Sama sekali aku asing dengan lagu-lagu Jawa Tengah. Tiada sebuah pun yang pernah kukenal. Kecuali tatkala aku mendengar Panembahan
Tirtomoyo melagukan tembang Dandanggula di Pekalongan dahulu. Karena itu, pertandingan yang kedua ini, tak usah dilanjutkan saja. Aku mengaku kalah..."
"Jangan buru-buru mengaku kalah! Jangan buru-buru!" sahut Gagak Seta. "Meskipun engkau bakal kalah, tetapi apalah buruknya mencoba-coba dahulu" Apakah kau khawatir bakal ditertawai orang" Jangan takut! Aku berada di sini. Siapa yang berani menter-tawakan ketololanmu, masakan aku akan tinggal diam saja?"
Mendengar kata-kata gurunya, terbangunlah sifat jantan Sangaji. Pikirnya, menang kalah
adalah lumrah dalam tiap pertaruhan apa saja. Masakan aku tak berani menanggung akibatnya"
Tatkala itu, ia melihat sang Dewaresi telah mematahkan sebatang ranting.
Adipati Surengpati kemudian tertawa lebar. Berkata kepada Gagak Seta, "Hebat benar cara saudara membangunkan semangat per-juangan. Baiklah aku segera mengumandang-kan suaraku
yang buruk. Kuharap engkau ja-ngan mentertawakan!"
Adipati Surengpati adalah seorang pendekar yang luas pengetahuannya. Yang menga-jaibkan, bahwasanya dia mengusai tiap ilmu yang dikenalnya. Karena itu, lawan-lawannya susah menebak kelemahannya. Akhirnya mereka mengakui, bahwa kepandaian Adipati Surengpati adalah karunia alam yang tak dapat diganggu gugat.
Dalam pada itu, sang Dewaresi dan Sangaji sudah berdiri tegak di samping pohon masingmasing. Kemudian Adipati Surengpati mendongakkan kepala dan menembang suatu lagu dengan
sajak Jawa Kuno bercampur bahasa Sanksekerta.
Dawuh sad lingsir ing surya
Mentas sang anginum amit Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sang mantri Sagara Wina Tan kocapa punang enjing Oreg sarajya de ning Tabuh-tabuhan sakuwu Sawong aprayatinon, Apaju balamantri
Anglenging wus sama angliga gagaman.
Tinom kadi pangalusan Cara caraannyarawit Mantri mawang balakukuwon
Pinrenah makapanawing Pesawahan wus dadi Tanem-taneman aluhung Pattranyalum asinom, Sarwakusuma tan kari
Pucang tirisan tumaruna lan pisang.
Perlahan-lahan cara Adipati Surengpati menyanyikan lagu itu. Maksudnya agar anak-anak muda mengenal hukum-hukum bait sajaknya sehingga dapat mengenal lagunya. Tapi bagi Sangaji
adalah setali tiga uang. Meskipun andaikata Adipati Surengpati mengulangi sampai seratus kali paling-paling dia hanya bisa menghafal bunyi kata-katanya. Tetapi untuk mengerti artinya, jangan harap. Apalagi mengenal lagu yang lagi dinyanyikan.
Sebaliknya, sang Dewaresi yang beruntung. Mula-mula ia terpengaruh oleh bunyi syairnya.
Lambat-laun ia tak memedulikan lagi, karena sama sekali tak mengerti artinya. Kini ia beralih pada hukum-hukum akhir kalimat. Apabila Adipati Surengpati sudah mengumandangkan bunyi bait-baitnya dan mengulangi tiga empat kali, segera ia mengenal lagu yang dinyanyikan. Ternyata Adipati Surengpati lagi menyanyikan lagu Sinom Macapat. Untuk mengelabui calon menantunya, sengaja ia menggunakan bahasa Jawa Kuno. Syairnya dipetik dari ceritera kakawin Ranggalawe tatkala bertempur melawan utusan Raja Djajanegara pada zaman Majapahit. Maka begitu ia
mengenal lagu itu, segera ranting dahan yang digenggamnya mulai mengetuk-ngetuk menginjak iramanya.
Ia berbesar hati dan girang bukan main, tatkala melihat Sangaji bingung terlongong-longong.
Pikirnya dalam hati, kali ini engkau mampus. Hm... masakan Adipati Surengpati akan membiarkan puterinya kaukawini dan kau peluk! Cuh! Jangan kau mimpi di siang hari bolong ...!
Selagi ia kegirangan, mendadak Adipati Surengpati berhenti menyanyi. Dia menye-matkan
pusaka tanduknya, kemudian meniup lagu. Lagu yang ditiupnya, lebih gampang dimengerti.
Karena ternyata masih tetap Sinom, hanya saja mengalun lamban.
Sebaliknya, Sangaji bertambah bingung. Ranting pohonnya diangkatnya dan mencoba hendak
mengetuk-ngetuk irama lagunya. Tetapi karena tak mengenal lagunya, maka susahlah dia
menebak angkatan nada dan jatuhnya. Akhirnya, dia hanya terlongong-longong seperti moncong seekor kerbau.
Melihat keadaannya, hati sang Dewaresi bertambah gembira. Yakinlah dia, bahwa kali ini dia pasti menang, sedangkan ujian yang ketiga, pastilah juga bukan ujian tenaga jas-mani.
Kemenangannya sudah terasa berada di ambang pintu.
Titisari yang melihat kesan muka sang Dewaresi, jadi gelisah. Ia tahu kekasihnya takkan dapat mengetuk irama lagu yang sedang dilagukan ayahnya. Maka segera ia berdaya upaya untuk
menolong kekasihnya. Pikirnya gelisah, kangmasku ini, benar-benar tak mengenal sekelumit lagu Jawa Tengah. Mengapa Ayah mengujinya demikian rupa" Benar-benar tak adil!
Kemudian ia mencoba menepuk-nepuk lutut kanannya dengan tangan. Ia mengharap, mudahmudahan Sangaji mengerti maksud-nya. Apabila pemuda itu mengikuti gerak ta-ngannya, tak
usahlah dia kalah melawan kepandaian sang Dewaresi menimpali irama lagu. Tetapi ternyata Sangaji untuk sekian lamanya tiada menoleh kepadanya. Malahan pemuda itu, mendongak ke
udara seperti lagi merenungi awan. Tubuhnya diam tak berkutik, sedangkan ranting yang
digenggamnya tiada tanda-tandanya hendak bergerak.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Titisari jadi putus asa. Tatkala itu Adipati Surengpati masih terus meniup lagu Sinom Parijata.
Matanya mengawaskan Sangaji yang masih saja berdiri tegak tak berkutik.
Mendadak saja, pemuda itu nampak mulai mengangkat rantingnya. Kemudian menge-tukngetukkan rantingnya pada tengah-tengah irama. Mendengar bunyi ketukannya, sang Dewaresi sampai tertawa tinggi.
Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Benar-benar tolol! Heh... bagaimana dia sampai berani mengharapkan jadi menantu Adipati Surengpati yang serba pandai?" pikirnya dalam hati.
Tapi Sangaji tak peduli. Masih saja dia mengetuk tengah-tengah irama lagu. Dan Titisari benarbenar putus asa. Dengan meng-hela napas gadis itu berpikir memaklumi, kangmasku ini benarbenar tolol. Mestinya Ayah tak boleh menguji sesuatu ilmu yang belum diketahui.
Terus saja ia menoleh kepada ayahnya hendak menggugat. Sekonyong-konyong ia heran,
melihat raut muka ayahnya berubah. Kesannya aneh dan bersungguh-sungguh. Maka dengan
penuh perhatian ia mulai menyelidiki.
Waktu itu, Sangaji masih saja mengetuk-ngetuk irama lagu dengan tak keruan. Tapi anehnya, tiupan Adipati Surengpati ikut kacau. Teranglah, bahwa lagu yang sedang ditiup kena perbawanya.
Adipati Surengpati nampak bertahan me-nguasai irama lagunya. Tapi lagi kena dikacau oleh tak-tik-tuk ranting Sangaji. Dan apabila iramanya hampir kena terkacau, sebentar kemudian lurus kembali dan makin rapih. Namun ketukan Sangaji hampir-hampir bisa merusak irama lagunya
berulang kali. Peristiwa ini tidak hanya mengherankan Adipati Surengpati saja, tapi Gagak Seta dan Kebo Bangah pula. Mereka tahu dan sadar, andaikata Sangaji tak memiliki ilmu tenaga sakti yang tinggi, tidak bakal dapat mengacau ilmu tiupan Adipati Surengpati yang tinggi. Sedangkan mereka berdua tadi, hanya bisa seimbang saja. Dan andaikata Sangaji benar-benar memiliki ilmu tenaga sakti yang tinggi, darimanakah dia memperolehnya.
Gagak Seta yang menjadi gurunya dan mengenal ilmu kepandaiannya, tak habis-habis
herannya dan akhirnya tak mengerti. Apalagi Kebo Bangah, pikir pendekar itu dalam hati, pemuda ini kutaksir umurnya lagi menginjak dua puluh tahun. Untuk memperoleh ilmu tenaga sakti, seorang harus bertekun paling tidak tiga puluh tahun. Apakah dia sudah belajar semenjak ayah ibunya masih menjadi perawan dan jejaka" Bagaimana mungkin!
Sangaji sendiri sebenarnya tak pernah me-ngira bahwa ketukannya akan bisa mengacau irama lagu Adipati Surengpati. Kalau tadi ia berdiri tegak mendongak ke udara, sebenarnya lagi sibuk mengingat-ingat cara ketiga pendekar sakti saling bertempur mengadu tenaga sakti. Tiupan Adipati Surengpati, suara salak Kebo Bangah dan siulan Gagak Seta tadi saling menindih dan menggencet tengah-tengah nada dan iramanya. Dan ia segera menirukan sedapat-dapatnya.
Kemudian terjadilah suatu peristiwa di luar perhitungan dan nalar manusia. Seperti dike-tahui, dalam tubuh pemuda itu mengalir getah sakti pohon Dewadaru yang tiada duanya di dunia ini.
Sifat getah sakti tersebut selalu mengadakan perlawanan secara wajar apabila kena serangan dari luar. Dan tiupan Adipati Surengpati, betapa pun diperingan, meletupkan tenaga sakti juga yang bisa menyerang iman (perbendaharaan hati) seseorang yang dikehendaki. Keruan saja, getah sakti pohon Dewadaru terus saja timbul mengadakan per-lawanan. Kecuali itu, Sangaji mempunyai dua ilmu dasar yang sakti dalam tubuhnya. Yakni, ilmu sakti Bayu Sejati untuk bertahan dan ilmu sakti Kumayan Jati untuk menyerang. Kedua-duanya memiliki tenaga sakti luar biasa hebatnya. Maka begitu dirinya merasa terserang, terus saja ilmu Bayu Sejati bergolak. Dengan didorong oleh tenaga sakti getah Dewadaru yang tiada habis-habisnya, maka letupan ketukannya meledakkan suatu tenaga yang mampu menyibakkan gelombang udara. Keruan saja, irama lagu Adipati
Surengpati yang lagi menyusuri gelombang udara, kena dibendung dan disibakkan sehingga
terkacau dengan mendadak.
"Ih! Keparat!" Adipati Surengpati terkejut. "Dari mana dia mewarisi ilmu dewa ini?"
Tak peduli Adipati Surengpati adalah seorang pendekar sakti yang mahir dalam ilmu tenaga sakti, mau tak mau hampir-hampir lagunya rusak iramanya kena dikacau ketukan Sangaji yang istimewa: "Tak tik tuk ... tak tik tuk bung! Bung!"
Menghadapi tenaga perlawanan itu, lantas saja terbangunlah keangkuhan Adipati Su-rengpati yang mau menang sendiri.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Bagus!" ia berkata dalam hati. "Kau bisa melawan tenaga tiupanku. Biarlah kucoba sampai di mana kekuatan tenaga saktimu ..."
Dan setelah itu, ia berdiri tegak. Kemudian beralih kepada lagu Pangkur yang lebih lantang.
Tiupan pusaka tanduknya bernada tinggi dan merendah. Sebentar menukik dan sebentar pula
menyelinap rendah. Sang Dewaresi buru-buru memasang untuk menangkap lagu baru itu. Sesaat kemudian,
tersenyumlah dia. Sebentar saja sudah dapat mengenalnya. Tapi tatkala ia menyelami keindahan iramanya, mendadak saja ranting pohonnya tergetar. Dan tak terasa ia terseret di dalamnya dan mulai menari-nari kecil dengan tak disadarinya sendiri.
Kebo Bangah terkejut. Ia tahu apa akibatnya, apabila seseorang kena terseret semangatnya.
Terpaksalah dia menghela napas, menyaksikan keadaan itu. Cepat-cepat ia menangkap
pergelangan tangan kemenakannya dan segera menekan urat nadinya. Kemudian ia menyumpali
telinganya dengan sapu tangan, agar kemenakannya bebas dari pengaruh lagu Adipati Surengpati yang mulai melampiaskan serangan tajam. Manakala kemenakannya nampak tenang kembali,
baru ia melepaskan pegangannya. Tetapi ia mengeluh dalam hati, karena peristiwa itu
membuktikan bahwa kemenakannya kalah jauh dari Sangaji.
Titisari sendiri tak terpengaruh serangan nada lagu ayahnya. Maklumlah, lagu itu memang
dialamatkan kepada dua pelamarnya. Tapi begitu melihat keadaan sang Dewaresi, ia jadi
mengkhawatirkan nasib kekasihnya. Ia khawatir, kekasihnya akan menjadi gendeng apabila tiada tahan melawan serangan urat syaraf.
Tiupan lagu Pangkur kali ini, jauh berbeda dengan tiupan yang pertama. Kalau tadi Adipati Surengpati meletupkan tenaga saktinya dengan tak sengaja, kini benar-benar bertujuan hendak menguji Sangaji. Maka tiupan lagunya terasa melengking menusuki urat syaraf.
Sangaji terus saja duduk bersila. Perlahan-lahan ia mengatur tata napas dan peredaran
darahnya. Kemudian mengumpulkan pergolakan getah sakti Dewadaru dan disalurkan melalui ilmu Bayu Sejati. Dan ketukan penyekat iramanya bertambah kuat dan kuat.
Mau tak mau Adipati Surengpati terpaksa memuji kehebatan Sangaji. Segera ia beralih kepada nada sendon dan tak lama lagi nada suluk. Suara tiupannya sebentar keras dan sebentar lagi melenyap sampai susah di dengar. Inilah justru letak kehebatan Adipati Surengpati.
Dasar dia seorang pendekar sakti yang angkuh, congkak, besar kepala dan mau menang
sendiri, maka tata kerjanya tak mau setengah-setengah. Tadi dia mengadu tenaga sakti melawan Kebo Bangah dan Gagak Seta. Antara mereka bertiga bisa saling menyerang dan bertahan. Tapi menghadapi Sangaji ia merasa seperti direndahkan. Maklumlah, anak muda itu hanya pandai
bertahan diri, dengan mengadakan jaring pertahanan sangat rapat. Meskipun demikian, ia tak mampu menaklukkan. Coba andaikata anak muda itu sudah terlatih tenaga saktinya sehingga
menjadi suatu pengucapan wajar, ia pasti kalah. Sebab dia tidak hanya bertahan saja, tetapi mampu membalas menyerang. Karena itu, hati Adipati Surengpati jadi panas membara.
Sangaji berhenti mengetuk, mendengarkan lagu tiupan Adipati Surengpati yang sebentar ada dan sebentar lagi lenyap. Inilah suatu kesalahan yang menentukan. Maklumlah, dia belum
mempunyai pengalaman sehingga tak mengetahui bahwa lenyapnya nada lagu itu justru
merupakan suatu tipu yang memba-hayakan. Seolah-olah seekor ular, suara tiupan itu menyelinap di bawah lingkungan sesuatu benda. Kemudian dengan mendadak terus saja menyambar dan
menggigit. Itulah sebabnya, perlahan-lahan pemusatan hati Sangaji kena terbetot dan sebentar lagi akan bisa dipermainkan.
Syukurlah, hati Sangaji masih suci bersih. Selama hidupnya belum sekali juga bersen-tuhan dengan wanita. Karena itu, daya tahan-nya masih penuh dan tak bisa diganggu gugat. Kecuali itu hatinya sangat sederhana. Dahulu dia pernah dihajar setengah mati oleh Mayor de Groote. Dia bisa bertahan, karena sebagian hatinya terpusat kepada Willem Erbefeld yang disembunyikan di dalam gua sungai. Dengan tak sengaja, hal itu merupakan suatu latihan memecah hati. Dan kini, dia menghadapi suatu keadaan yang hampir bersamaan. Karena merasa bingung, wataknya yang bandel emoh menyerah dengan begitu saja. Maka hatinya terus saja dibagi. Yang pertama
berjaga-jaga sehingga merupakan benteng pertahanan. Dan yang kedua, mencoba menyerang
dengan tata napas ilmu sakti Kumayan Jati. Kesudahannya hebat dan mengagumkan. Di luar
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dugaan para pendekar, tiba-tiba ranting pohonnya mulai memperdengarkan irama ketukannya
yang kacau tapi penuh letupan tenaga sakti yang kuat dan ulet.
Adipati Surengpati benar-benar terperanjat saking herannya. Sekaligus ia berpikir, bocah ini mempunyai kepandaian luar biasa. Benar-benar tak bisa dipandang ringan. Apakah kesan ketolol-tololannya hanya suatu sikap tata pergaulan hidup belaka untuk menutupi kepandaiannya sejati"
Tapi begitu ia memuji, hatinya yang angkuh terus saja menjadi penasaran. Kini ia beralih kepada tembang Durma. Tembang Durma ini adalah suatu himpunan nada lagu bersifat
menyerang dan menantang. Dan berbareng dengan lagu itu, kakinya mulai bergerak-gerak seperti lagi menyerang dalam suatu perkelahian tenaga jasmani.
Melihat tata sikap Adipati Surengpati yang berubah dari berdiri tegak menjadi tata langkah, hati Sangaji tergetar juga. Tapi diam-diam ia bergirang, karena usaha perlawanannya ternyata
berhasil. Maka segera ia menghadapi dengan ilmu Kumayan Jati dan ilmu Bayu Sejati dengan berbareng.
Adipati Surengpati bukanlah sembarang pendekar. Makin ditantang makin menjadi gagah. Nada tiupannya memekik tinggi dan rendah saling bergantian. Iramanya tak tentu bentuknya. Dan tenaga tekanannya kian bertambah-tambah.
Dengan mati-matian, Sangaji mempertahankan diri dengan dua ilmu saktinya. Namun seperti
dikatakan Gagak Seta dahulu, dia belum berhasil melebur menjadi satu. Karena itu, tenaga salurannya belum teratur. Lama kelamaan, dalam dirinya terjadi suatu kekacauan yang bergolak hebat. Tiba-tiba ia merasa seperti kena sambar hawa dingin dan panas. Tak terasa tubuhnya menggigil kedinginan. Buru-buru ia membendung dengan ilmu Bayu Sejati. Tapi kemudian hawa dingin berubah menjadi panas membara. Sangaji jadi kebingungan.
Seperti diketahui, ilmu Bayu Sejati dan ilmu Kumayan Jati merupakan dua sifat yang
bertentangan. Yang satu tenang bertahan dan yang lain merangsang dan meletup. Keadaannya seperti air dan api. Lambat laun saling menarik dan saling bersaingan. Maka tak mengherankan, dalam diri Sangaji timbul suatu pergolakan sengit laksana air terebus. Karena itu, wajahnya nampak putih dan merah pengap. Tubuhnya menggigil seperti orang menanggung sakit demam.
Adipati Surengpati sudah barang tentu melihat keadaan diri Sangaji. Dan untuk kesekian
kalinya, ia heran. Pikirnya, anak ini benar-benar memiliki suatu ilmu yang susah diraba. Di kemudian hari apabila sudah menjadi suatu pengucapan, naluriah, benar-benar akan menjadi seorang pendekar tak terlawan lagi. Ha! Bukankah anak ini lebih tepat menjadi pelindung Titisari"
Ia berhenti menimbang-nimbang. Meneruskan, sekarang, ia nampak memaksa diri melawan
seranganku. Nampaknya dia masih sanggup melawanku setengah hari lagi. Tapi akibatnya, dia akan terluka parah. Masakan aku akan membiarkan dia menanggung derita hebat, semata-mata sedang bertahan mati-matian untuk memenangkan ujianku"
Memperoleh pikiran demikian, lantas saja ia berhenti meniup. Dan cepat-cepat Sangaji
mengatur napas dan pergolakan darahnya. Tahulah dia, bahwa Adipati Surengpati mau mengalah terhadapnya. Diam ia jadi bergirang dan bersyukur. Maka begitu ia sudah berhasil menguasai diri, segera ia meloncat memberi hormat menyatakan terima kasihnya.
Heran Adipati Surengpati menyaksikan Sangaji bisa bangun dengan cepat dan sama sekali tak menanggung derita. Dan kembali dia menduga-duga, bocah ini masih sangat muda usianya.
Namun tenaga saktinya benar-benar hebat! Mustahil otaknya tak cerdas melebihi orang lumrah.
Hanya saja, mengapa dia nampak begini tolol" Jika benar dugaanku, Titisari harus kuserahkan kepadanya. Di bawah perlindungannya, aku bisa pergi dengan hati tenteram. Biarlah kucobanya, apakah otaknya benar-benar cerdas atau tidak.
Kemudian dengan tersenyum ia menegas. "Kau hendak berkata apa kepadaku?"
"Gusti Adipati," kata Sangaji. Dalam dirinya ia merasa menjadi manusia tak berkelas, karena itu menyebut ayah Titisari dengan sebutan gusti. "Gusti Adipati sudi mengalah terhadapku. Selama hidupku, aku takkan lupa. Kini perkenankan aku menghaturkan rasa terima kasihku tak terhingga."
"Daya tahanmu baik benar," sahut Adipati Surengpati dengan tersenyum. "Engkau masih saja memanggilku dengan sebutan gusti?"
Terang sekali maksud Adipati Surengpati, bahwa Sangaji telah terpilih menjadi menan-tunya karena sudah memenangkan dua ujian. Karena itu Sangaji sebenarnya tak perlu lagi
memanggilnya dengan sebutan gusti. Cukup dengan mertua atau kanjeng romo. Kanjeng Romo
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
adalah suatu sebutan kekeluargaan antara anak dan ayah. Tetapi Sangaji seorang jujur dan berhati polos. Sama sekali ia tak dapat menangkap maksud Adipati Surengpati.
"Aku... aku," katanya tergagap-gagap. Kemudian matanya mencari Titisari hendak minta pertolongan.
Titisari girang bukan kepalang mendengar ujar ayahnya. Melihat Sangaji kebingungan, cepatcepat ia menekuk-nekuk ibu jari.
Maksudnya ia menganjurkan, agar kekasihnya menghaturkan sembah kepada ayahnya.
Kebetulan sekali, Sangaji mengerti maksud Titisari. Tanpa berbimbang-bimbang lagi, terus saja ia menjatuhkan diri sambil bersembah. Tetapi mulutnya tetap terkancing seperti botol tersumbat.
"Bagus! Kau memberi sembah kepadaku," kata Adipati Surengpati dengan tertawa.
"Benar... tapi Titisari yang menyuruh aku berbuat begini," sahut Sangaji tolol.
"Hm," keluh Adipati Surengpati dalam hati. Benar-benar ia tolol.
Adipati Surengpati menjadi kecewa melihat kenyataan itu. Ternyata wajahnya yang ber-kesan ketolol-tololan membuktikan pemiliknya tolol benar-benar. Sekaligus terhapuslah dugaannya, bahwa Sangaji bersikap pura-pura tolol untuk menyembunyikan kecerdasannya. Karena itu kesan mukanya terhadap pemuda itu, kembali lagi.
Sebenarnya, Sangaji bukanlah seorang tolol. Seumpama tolol benar-benar, tidaklah dapat
menelan beberapa ilmu sakti seperti kini. Soalnya, hatinya terlalu sederhana, jujur dan polos.
Sifatnya blak-blakan pula. Karena itu untuk mengungkapkan sesuatu yang kurang blak-blakan, hatinya tak mau.
Sebaliknya, Adipati Surengpati waktu itu terus saja menghampiri sang Dewaresi yang
ngganteng. Dengan tangannya sendiri, ia membuka sumbatan telinganya. Pikirnya, pemuda ini kurang kuat tenaga saktinya. Tapi dengan perlahan-lahan, bukankah bisa dilatih di kemudian hari"
Memperoleh pikiran demikian, segera ia memberi keputusan. "Berbicara tentang tenaga sakti, Sangaji yang lebih kuat. Akan tetapi mengenai pengetahuan lagu, sang Dewaresi yang lebih mengerti. Karena itu keputusanku begini saja, acara kedua kuanggap sama kuat. Masing-masing mempunyai alasannya sendiri. Baiklah, aku meningkat kepada ujian ketiga, agar kedua pelamar ini berlega hati. Apabila hasilnya tetap sama, maka kalian boleh belajar sepuluh atau dua puluh tahun lagi untuk mencariku. Kutak-sir Titisari belum kasep tua..."
"Setuju! Setuju!" lantas saja Kebo Bangah memberikan persetujuannya. Ia tahu, kemenakannya kalah. Sama sekali tak diduganya, bahwa Adipati Surengpati mengambil keputusan
demikian. Sebagai seorang cerdik tahulah dia, bahwa Adipati Surengpati membela kemenakannya.
Sebaliknya Gagak Seta bukan pula seorang bodoh. Tapi anehnya, dia tak membuka suara.
Mulutnya hanya memperlihatkan suatu senyum panjang. Dalam hati ia berkata, bagus! Kau
siluman Karimunjawa, janganlah menganggap dirimu berotak terang dan pandai segala. Nyatanya engkau bakal keliru, mengawinkan anakmu dengan seorang pemuda yang doyan foya-foya dan
berhati serong. Tapi Titisari adalah anakmu. Masakan aku kau suruh memikirkan nasibnya. Hm...
jangan harap! Tapi... aku ingin mencoba tenagamu. Sekarang aku seorang diri berada di
antaramu. Kalau aku kau suruh melayani dua orang sekaligus, rasanya tanganku kurang cukup.
Tapi tunggulah sebentar! Sangaji adalah cucu murid Kyai Kasan Kesambi. Kalau sampai orang tua itu tergugah semangat tempurnya, hah... semuanya nanti akan menjadi jelas... siapa di antara kita yang lebih unggul.
Waktu itu, Adipati Surengpati telah menge-luarkan seberkas kertas dari dalam sakunya.
Ternyata berkas kertas itu adalah sebuah kitab kuna yang berkulit merah. Begitu kitab itu diperlihatkan kepada sang Dewaresi dan Sangaji, lantas dia berkata nyaring.
"Lihat! Buku ini bernama Witaradya. Dalam buku ini terisi 1.500 gurindam syair sakti. Almarhum isteriku dahulu memberikan kitab ini kepadaku sebagai hadiah perkawinan. Oleh bantuannya dan ketekunanku, berhasilah aku menggali sarwa saktinya, sampai aku bisa memiliki 327 jurus pokok.
Sayang, belum lagi aku berhasil menelaah semuanya... sebagian besar kena dicuri muridku ..."
Ia berhenti sebentar. Kedua matanya nampak merah membara. Raut mukanya lalu berubah
menjadi sedih. Rupanya terkenanglah dia kepada almarhumah istrinya. Tatkala menoleh kepada Gagak Seta, ia melihat pendekar itu tersenyum. Seketika itu juga, terbangunlah semangat
jantannya. Lalu berkata dengan lantang.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Isteriku menganggap buku ini sebagai jiwanya sendiri. Tatkala sebagian besar ha-lamannya kena tercuri muridku, ia jatuh sakit, la tak pernah menyalahkan aku apa sebab aku menerima murid durhaka itu. Tapi aku tahu, dia meninggal dunia dengan hati penasaran. Semenjak itu, aku berusaha mengingat-ingat semua isinya gurindam yang sudah kusim-pulkan menjadi 327 jurus pokok. Maksudku, aku hendak memperlengkapi isi gurindam yang hilang sebagai pengganti
halaman-halaman yang hilang. Sayang, ingatanku tidaklah sebaik masa muda. Banyak di antara jurus pokokku yang hilang atau menjadi samar-samar. Sekarang aku akan mempertontonkan
semua jurus yang pernah kuperoleh dari buku ini. Siapa di antara kamu berdua, bisa menghafal sehingga dapat menirukan jurus-jurusnya lebih banyak, akan kuanggap sebagai cara berbakti kepada ibu Titisari. Karena itu, aku akan menganggap sebagai pemenang. Dengan begitu, habislah kewajibanku merawat anakku satu-satunya... dan selanjutnya dia akan kuserahkan kepada
pemenang ujian terakhir ini..."
Sampai di sini, habislah sudah kesabaran Gagak Seta. Ia tahu, otak Sangaji sangat bebal
menerima ajaran dengan selintasan. Tadi dia masih bisa tersenyum melihat lagak lagu Adipati Surengpati. Tapi kini, tidak. Sekaligus meledaklah suaranya. "Surengpati manusia siluman! Siapa sudi mendengarkan obrolanmu tentang buku, tentang isteri, tentang mati penasaran segala.
Terang kau tahu, muridku ini seorang tolol. Jangan lagi disuruh menghafalkan ilmu surat... untuk mengerti saja akan membutuhkan waktu berbulan-bulan lamanya. Kalau tadi bisa melampaui
ujianmu yang kedua, sudahlah beruntung, ltupun kau anggap tak berarti, sehingga kauumumkan sama kuat. Kini dia kau gertak dengan syarat-syarat gila. Dan nama isterimu kau bawa-bawa pula.
Hm...sungguh! Sungguh kau manusia siluman yang mau menang sendiri..."
Setelah berkata demikian, Gagak Seta terus saja memutar tubuh hendak meninggalkan
galanggang. Adipati Surengpati tertawa dingin melihat sikap Gagak Seta. Sama sekali hatinya tak gentar.
Lantas berkata nyaring, "Saudara Gagak Seta! Kau sengaja bertemu dengan aku di sini. Mestinya untuk mencoba ketang-guhanku, kau harus belajar lagi sepuluh tahun lagi!"
Gagak Seta berputar cepat menghadap padanya. Kedua alisnya tegak dan matanya jadi
beringas. "Kau bilang apa?" bentaknya.
"Sama sekali kau tak mengerti ilmu Witaradya yang dapat memberi petunjuk saat-saat naasnya seseorang pada jam-jam tertentu. Masakan kau bisa memenangkan aku?"
"Aku akan bertempur dengan membawa obor. Seluruh gelanggang ini akan kubakar. Ingin aku melihat, kau bisa melakukan apa terhadapku."
"Heh! Jika engkau mempunyai keberanian dan kepandaian demikian, cobalah!" gertak Adipati Surengpati.
Melihat kedua pendekar itu hendak bertem-pur, cepat-cepat Sangaji menengahi. Katanya agak gugup, "Gusti Adipati! Paman Gagak Seta! Biarlah aku mencoba-coba bersama sang Dewaresi. Aku tak takut kepada kegagalan. Bila Titisari memang jodohku, masakan yang mempunyai jagat ini tidak mencarikan jalan bagiku. Sebaliknya, seumpama aku kalah... memang nasibku yang kurang mujur. Apa perlu disesalkan lagi?"
Adipati Surengpati melototi Sangaji. Membentak, "Kau memanggil apa terhadap gurumu?"
"Paman Gagak Seta adalah guruku. Waktu itu aku belum minta izin kepada kedua guruku yang pertama. Karena itu, belum berani aku memanggilnya guru. Saat ini, aku telah mem-peroleh izin.
Hanya belum sempat mem-bicarakan dengan resmi. Itulah sebabnya, aku masih memanggilnya
paman." "Hai! Peraturan macam apakah ini?" sahut Adipati Surengpati sebal. Ia memang paling benci terhadap semua peraturan yang berbe-lit-belit. Adat istiadat dan tata pergaulan umum, tak juga disukai. Sedangkan dia terkenal sebagai seorang pendekar yang luas pengetahuannya. Karena sifatnya yang aneh itu, ia memperoleh julukan siluman liar.
"Bagus!" tiba-tiba Gagak Seta berkata nyaring. "Saat ini aku belum terhitung gurumu secara resmi. Kalau kau sudi menelaah malu dan dihina orang, terserah. Nah, silakan! Aku tak berkata lagi!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Mendengar keputusan Gagak Seta, legalah Adipati Surengpati. Terus saja ia menoleh kepada Titisari.
"Kau duduklah tenang-tenang dan jangan usilan!"
Ia tahu, hati anaknya berkiblat kepada Sangaji. Sedangkan maksudnya hendak membantu sang Dewaresi. Apalagi, tadi ia kena bentrok dengan Gagak Seta. Tak mengherankan ia telah
memperoleh sikap tertentu.
Titisari tak menyahut, la hanya tersenyum dingin. Tetapi hatinya sibuk bekerja, ia tahu, kali ini Sangaji pasti kalah. Karena itu, ia mengasah otak hendak mencari jalan kabur bersama kekasihnya entah ke mana. Dengan bantuan Gagak Seta, agaknya rencana itu bisa diharapkan.
Adipati Surengpati kemudian memberi pe-rintah kepada sang Dewaresi dan Sangaji agar
memperhatikan dengan seksama. Kemudian, ia mulai mempertunjukkan jurus-jurus pokok ilmu
sakti Witaradya. Sengaja ia melakukan dengan perlahan-lahan. Maksudnya agar kedua pemuda itu memperoleh kesempatan untuk menghafalkan dan memahami. Terhadap Kebo Bangah dan Gagak
Seta, ia tak usah khawatir kena jiplak. Sebab, meskipun andaikata kedua pendekar itu dapat menghafalkan jurus-jurusnya, intinya tak mungkin dapat diketemukan dalam waktu singkat. Sebab apa yang diperlihatkan hanyalah kem-bangan-kembangan lahiriah. Sedangkan rahasia
kesaktiannya masih samar-samar. Pikirnya, jangan lagi engkau. Aku sendiri yang sudah menekuni selama sepuluh tahun lebih, belum juga dapat menemukan. Karena... bagian besar sambungannya telah tercuri...
Terkesiap hati Sangaji, tatkala melihat gaya Adipati Surengpati melakukan jurus-jurusnya.
Gerak-geriknya, bagaikan Kyai Kasan Kesambi dahulu sewaktu menulis corat-coret di udara.
Mungkinkah ilmu ciptaan Eyang Guru ada hubungannya dengan ilmu sakti Witaradya milik
Adipati Surengpati" Ah, mustahil! Tapi mengapa hampir bersamaan" pikirnya sibuk. Apakah Eyang Guru telah menemukan bagian kitab Witaradya yang hilang" Ah, mustahil! Pringgasakti adalah lawan utama Eyang Guru. Iblis itu berguru kepada Adipati Surengpati, karena ingin mengalahkan Eyang Guru. Masakan, kitab itu diserahkan dengan begitu saja kepada Eyang Guru" Segoblok-go-bloknya orang atau selalai-lalainya orang tidak bakal membiarkan ilmu simpanannya diketahui musuhnya.
Dugaan Sangaji sebenarnya tidaklah terlalu salah. Seperti diketahui, Kyai Kasan Kesambi adalah lawan Kebo Bangah, Adipati Surengpati dan Gagak Seta dalam percaturan adu sakti dan ilmu kepandaian. Terhadap Gagak Seta, dia tidak begitu mencurigai. Sebab, Gagak Seta adalah seorang pendekar berwatak ksatria sejati. Sebaliknya terhadap Kebo Bangah yang bengis dan licin dan Adipati Surengpati yang serba pandai, ia mempersiapkan segala kemungkinannya dengan tekun serta hati-hati. Terhadap kedua pendekar lawan utamanya itu, sudah barang tentu ia mengetahui ilmu simpanannya. Meskipun belum jelas, sebagai seorang pendekar yang berpengalaman, tahu pula menebaknya.
Maklumlah, dengan mereka berdua, ia pernah bertempur mengadu sakti dan kepandaian.
Itulah sebabnya, seluruh perhatiannya dicurahkan untuk mencari kunci-kunci pemu-nahan ilmu lawan dengan cermat dan hati-hati. Tatkala melihat Wirapati terluka begitu parah, sebenarnya ia menaruh curiga terhadap kedua tokoh tersebut. Hanya saja, hal itu tak pernah dikatakan kepada sekalian muridnya. Maklumlah, ia tahu akibatnya. Sekalian muridnya bukanlah lawan kedua
pendekar itu. Dan malam itu, terletuplah kemarahannya berwujud suatu ilmu pemunah ilmu sakti kedua lawannya. Andaikata Sangaji sudah bisa menguasai ilmu tenaga sakti Pancawara, hebatnya tak terkatakan lagi. Tak diragukan lagi akan dapat mematahkan setiap jurus ilmu Kebo Bangah dan Adipati Surengpati yang bersumber pada ilmu sakti Kala Lodra Witaradya.
Adipati Surengpati sewaktu melihat Sangaji terlongong-longong, hatinya girang, la menduga, pemuda itu mulai pusing kepalanya melihat gaya jurus ilmunya. Sebaliknya pandang mata sang Dewaresi berseri-seri memancarkan sinar harapan penuh.
Dalam hal kecerdasan, sang Dewaresi menang sepuluh kali lipat daripada Sangaji. Ia gembira, tatkala mendengar keputusan Adipati Surengpati hendak mempertontonkan ilmu simpanannya.
Pikirnya, masakan aku tak dapat menghafalkan" Andaikata tidak seluruhnya, aku akan dapat mengingat-ingat sebagian besar. Bukankah di kemudian hari aku bisa mencangkoknya untuk
memperlengkapi ilmu Kala Lodra.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Memperoleh pertimbangan demikian, dengan hati besar ia mengikuti gerak-gerik Adipati
Surengpati. Satu demi satu ia dapat mengingat-ingat dengan baik. Tapi lambat-laun, gerak-gerik Adipati Surengpati terasa menjadi samar-samar dan janggal. Barangkali inilah yang dikatakan ia kehilangan sebagian besar kitab Witaradya, pikirnya. Ataukah ia sengaja menyesatkan
penglihatan, agar tak dapat mencangkok ilmu saktinya" Ya, kiranya dia enggan memperlihatkan ilmu sakti Witaradya dengan penuh-penuh.
la mengerling kepada Sangaji yang masih saja berdiri terlongong-longong. Katanya di dalam hati, hm... kali ini mampuslah kau! Masakan kau begini tolol, bisa membedakan antara ilmu sakti Witaradya yang asli dan bukan" Apalagi mencoba menghafalkan. E-hem... akhirnya Titisari jatuh juga di tanganku...
Lantas saja ia membayangkan malam pe-ngantin. Menuruti kata hatinya, ingin ia me-remasremas sampai puas. Mendadak ia tersentak oleh dehem pamannya yang memberi peringatan
kepadanya. Cepat-cepat ia memusatkan perhatiannya lagi memperhatikan tiap gerak-gerik Adipati Surengpati. Beberapa waktu kemudian, Adipati Surengpati mengakhiri jurusnya yang penghabisan.
Setelah mengawasi kedua pemuda itu, berkatalah dia. "Nah, siapa di antara kalian berdua yang sudah dapat menirukan jurus ilmu sakti Witaradya?"
Mendengar ucapan Adipati Surengpati, sang Dewaresi lantas saja menimbang-nimbang.
Pikirnya cepat, jurus-jurusnya nampak kacau. Isinya susah pula untuk dipahami dengan selintasan.
Baiklah aku maju dahulu. Dengan begitu, aku bisa menghafal lebih banyak sebelum menjadi
kabur... Memang, seumpama dia menahan diri lebih lama lagi, pastilah dia akan melakukan banyak
kesalahan. Maklumlah, jumlah jurusnya berjumlah 72 gerakan. Dengan mengundurkan waktu
berarti pula menghapuskan daya ingatannya. Karena itu segera ia berkata, "Aku akan maju terlebih dahulu."
Adipati Surengpati girang mendengar kepu-tusan pelamar anaknya yang dikehendaki. Lantas
saja dia mengangguk sambil berkata nyaring.
"Bagus! Nah Sangaji, balikkan tubuhmu menghadap ke belakang! Dengan begitu, engkau tak dapat mencuri pandang."
Tajam kata-kata Adipati Surengpati. Sebe-narnya, hati Sangaji yang lekas tersinggung
mendongkol bukan main karena seolah-olah dikhawatirkan hendak mengintip atau mencuri
pandang. Tapi mengingat Titisari, mau tak mau ia patuh pada perintah itu. Terus saja ia
membalikkan tubuh mengungkurkan gelang-gang.
Melihat Sangaji mengungkurkan gelanggang, Titisari jadi girang. Segera ia hendak berdiri di seberang sana menghadap padanya. Maksudnya hendak mengkisiki, selagi ayahnya mengamat-amati sang Dewaresi mangha-palkan jurus-jurus ilmu sakti Witaradya. Tetapi mendadak, ayahnya berseru memanggilnya.
"Titisari! Ke mari! Tolonglah aku mengamat-amati sang Dewaresi menghapalkan jurus-jurus Witaradya. Dengan begitu, kau kelak tak menuduh aku berat sebelah..."
Mencelos hati Titisari mendengar kata-kata ayahnya. Terang sekali, maksud ayahnya hendak mencegah padanya membantu Sangaji. Meskipun nampaknya adil, tetapi sesungguhnya berat
sebelah. Karena itu dengan lantang ia menyahut, "Ayah! Kau benar-benar berat sebelah! Dengan mengulur waktu, berarti menipiskan daya ingatan Sangaji. Bukankah begitu maksud Ayah?"
Adipati Surengpati tak merasa tersinggung didamprat puterinya. Malahan dia lantas tertawa sambil berkata, "Anakku! Kau terlalu berbicara dengan hatimu. Kemarilah! Kau harus ikut menyaksikan dan menilai kedua pelamarmu."
"Tidak!" sahut Titisari cepat. Tetapi meskipun demikian, ia menghampiri ayahnya juga. Sebagai seorang gadis yang cerdik, ia kenal tabiat ayahnya. Jika ayahnya sudah ber-jaga-jaga tiada gunanya hendak melawan. Karena itu, dengan diam-diam ia mencoba mencari jalan lain. Maka begitu ia berhadapan muka dengan sang Dewaresi, terus saja ia tersenyum manis. Kemudian
berkata lembut, "Kangmas Dewaresi! Apa sih yang menarik perhatianmu terhadapku" Bukankah tingkah laku dan perangaiku tak serasa dengan selera-mu?"
Memangnya sang Dewaresi sudah tergila-gila semenjak bertemu pandang untuk yang pertama
kalinya di kadipaten Pekalongan. Selama itu, Titisari bersikap galak terhadapnya. Kini mendadak sontak, memanggilnya dengan sebutan kangmas. Keruan saja otaknya jadi butek. Jantungnya
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
berdegupan. Dan menurut penglihatannya, potongan tubuh dan raut muka Titisari bertambah elok dan menggairahkan. Tak dikehendaki sendiri, nafsu birahinya bergolak hebat dalam dirinya sampai napasnya jadi sesak.
"Adikku... kau kini sudi memanggilku dengan kang... mas?" Tak sanggup lagi ia meneruskan luapan perasaannya. Ia berdiri tegak seperti kehilangan ingatan.
"Kangmas! Inilah kesalahanmu, mengapa engkau tak datang sendiri menemui aku di
Karimunjawa tatkala pamanmu meminang daku. Coba, seumpama kau datang sendiri... masakan
akan menemui kesulitan demikian! Hm... hem... tahulah aku! Barangkali kau tak senang mendarat di Karimunjawa ..." kata Titisari menggairahkan.
"Siapa bilang aku tak senang mendarat di Karimunjawa?" potong sang Dewaresi dengan hati bergetar. "Kalau kau suka berdiam di sana, masakan aku tidak" Soalnya... karena..."
Kuda Putih 3 Kuda Binal Kasmaran Serial Tujuh Senjata Karya Gu Long Pedang Kayu Harum 18
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama