Ceritasilat Novel Online

Bende Mataram 25

Bende Mataram Karya Herman Pratikto Bagian 25


"Ah... kau memang pandai berputar lidah...," sahut Titisari genit. "Kau biasa dibesarkan di tengah suatu kemewahan, sedangkan Karimunjawa boleh kau anggap pulau tandus. Bukankah
begitu?" "Nanti dulu! Jangan salah sangka!" sang Dewaresi khawatir. Ingin sekali ia hendak memberi penjelasan agar gadis yang mem-buatnya linglung itu jangan sampai salah paham. Mendadak
pamannya kembali meng-halang-halangi. Sebagai seorang pendekar berpengalaman, Kebo
Bangah dapat menebak maksud Titisari hendak mengacau daya ingat-annya. Dengan diajak
berbicara panjang lebar, bukankah ingatannya kepada jurus-jurus ilmu sakti Witaradya akan menjadi kabur" Maka dengan tegas Kebo Bangah menegur, "Dewaresi! Omongan yang tiada hubungannya dengan soal ujian tak perlu kausibukkan macam begitu. Di kemudian hari, belumlah kasep engkau membicarakan soal itu. Sekarang pusatkan seluruh ingatanmu dan segera
perlihatkan kemampuanmu di hadapan mertuamu!"
Sang Dewaresi terkejut. Kini barulah dia sadar mengapa Titisari begitu bersikap lembut dan menggairahkan. Dan setelah mengingat-ingat jurus-jurus Witaradya, benar-benar ia kehilangan sebagian. Maka buru-buru ia memusatkan pikirannya. Setelah itu menirukan gaya Adipati
Surengpati melakukan jurus-jurus ilmu sakti Witaradya.
Otak sang Dewaresi memang encer luar biasa. Meskipun agak lamban, tetapi semua jurus ilmu sakti Witaradya hampir dapat ditirukan. Tentu saja, ia tak sanggup memecahkan bagian terakhir jurus Witaradya yang jadi samar-samar. Adipati Surengpati sendiri tak sanggup, karena sebagian kitab Witaradya kena tercuri Pringgasakti dan Pringga Aguna. Kalau dia tadi bisa bergerak terus, sebenarnya hanya berdasarkan ingatannya belaka yang mencoba menebak-nebak sejadi-jadinya semenjak ia kehilangan bagian kitabnya.
Melihat cara sang Dewaresi melakukan jurus-jurus ilrsiu sakti Witaradya yang dapat
diselesaikan dengan baik, hati Adipati Surengpati bersyukur bukan main. Memang, hatinya
condong kepada sang Dewaresi yang ngganteng. la sudah mengambil keputusan untuk
memungutnya sebagai calon suami Titisari. Maka berkatalah dia bergembira, "Kau telah berhasil menirukan jurus sakti Witaradya begini banyak. Nah, beristirahatlah!" Ia tersenyum lega. Dan setelah memberi isyarat, agar sang Dewaresi beristirahat segera ia beralih kepada Sangaji. Berseru keras, "Sekarang giliran Sangaji! Ke mari!"
Sangaji memutar tubuhnya dan segera menghadap Adipati Surengpati. Ia melihat wajah sang
Dewaresi berseri-seri. Mau tak mau ia kagum padanya. Pikirnya dalam hati, benar-benar
cemerlang otaknya. Pantaslah dia menjadi suami Titisari yang berotak cerdas pula. Untuk
menandingi, terang sekali aku tak sangup... Baiklah! Daripada aku berdiam tiada memperlihatkan sesuatu, biarlah kuhapalkan saja jurus-jurus ilmu ciptaan Eyang Guru. Di hadapan mereka, bukankah aku akan menda-pat petunjuk-petunjuk yang berharga" Lagi-pula aku bakal mengenal macam ilmu sakti apakah ciptaan Eyang Guru ini."
Melihat kesan muka Sangaji yang beku tiada cahaya, Gagak Seta terus saja tertawa
memaklumi, la tahu, otak Sangaji bebal. Sewaktu menerima ilmu sakti Kumayan Jati
membutuhkan tempo sangat lama. Maka berkatalah dia nyaring, "Sangaji! Kau ini benar-benar tolol! Masakan kau tak mempunyai harga diri" Lihatlah, mereka hendak menonton ketololanmu belaka. Lebih baik, kau mengaku kalah saja..."
"Memang sebenarnya tak sanggup aku melawan sang Dewaresi. Tiada sejurus pun ilmu sakti Witaradya yang dapat kuingat-ingat," sahut Sangaji.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Mendadak Titisari melompat ke tengah gelanggang sambil menghunus belati. Kemudian dengan menghadap ayahnya, ia berseru "Ayah! Jikalau kau memaksa aku kawin dengan manusia busuk Dewaresi, hari ini aku mati di depanmu."
Adipati Surengpati kenal watak Titisari. Agak gugup ia berkata, "Letakkan dahulu belatimu. Kita bicarakan hal ini perlahan-lahan!"
Dalam pada itu Kebo Bangah dengan cekatan telah bekerja dengan diam-diam. Nampaknya ia
seperti lagi mengetuk tongkatnya. Tapi mendadak melesatlah sebuah benda bulat dan terus
menyambar belati Titisari.
Luar biasa melesatnya senjata pendekar itu. Belum lagi Titisari tersadar, pisau belati yang berada dalam genggamannya kena terhajar dan jatuh ke tanah. Tatkala itu Adipati Surengpati berkelebat seperti bayangan dan dalam sedetik saja ia telah berhasil memeluk pinggang anaknya, dan dibawa meloncat ke atas batu.
"Benar-benarkah engkau tak sudi menikah?" ia membujuk perlahan. "Baiklah! Jika demikian, marilah kau berdiam menemani ayahmu selama hidup di Karimunjawa."
Titisari meronta dan menangis tinggi. Katanya setengah menggugat, "Ayah! Kau benar-benar tak sayang padaku... tak sayang padaku..."
Menyaksikan adegan itu, Gagak Seta tertawa berkakakan. Sama sekali tak diduganya, bahwa
Adipati Surengpati yang terkenal bengis, kejam, tak berperasaan dan tegas, kini benar-benar kuwalahan menghadapi puterinya. Sebaliknya Kebo Bangah dengki mendengar tertawanya Gagak Seta. Diam-diam pendekar itu membatin. Baiklah kutunggunya dahulu keputusan ujian ini. Setelah itu baru kubereskan pendekar jembel itu sekalian anak tololnya. Gadis Surengpati ini ternyata manja benar. Apa peduliku" Di kemudian hari, masakan Dewaresi tak mampu menguasai"
Setelah memperoleh keputusan demikian, dengan wajah berseri-seri ia berkata kepada Sangaji.
"Anakku Sangaji! Kau benar-benar seorang pemuda gagah. Tadi kau bisa melawan melebihi dua puluh jurus. Pastilah engkau bisa menirukan ilmu sakti Witaradya. Saudara Surengpati, silakan engkau menguji anak itu agar kita memperoleh keputusanmu ...!"
Terdengarnya suatu saran yang bagus, tetapi karena mendesak. Untung Adipati Surengpati
telah memperoleh ketetapan hendak memilih sang Dewaresi menjadi menantunya, sehingga
hatinya yang angkuh tak tersinggung oleh desakan itu. Malahan dia lalu menyahut, "Baik! Nah Titisari! Janganlah engkau mengacau lagi. Ingatan Sangaji bisa rusak oleh pekertimu."
Mengingat kepentingan Sangaji, Titisari lan-tas saja berhenti menangis. Sebaliknya, besar keinginan Kebo Bangah hendak membuat malu Sangaji di hadapan para pendekar. Maka dia
berkata setengah menghardik.
"Hayooo! Lekaslah mulai! Biarlah kepandaianmu kita saksikan beramai-ramai."
Paras muka Sangaji berubah mendengar hardik Kebo Bangah. Jantungnya berdegupan. Pikirnya kemudian, tiada satu jurus pun ilmu sakti Witaradya yang dapat kuingat-ingat. Tadi aku hanya melihat selintasan. Karena itu be-tapa dapat aku menandingi sang Dewaresi... Baiklah aku menghafalkan jurus-jurus Eyang Guru saja. Masakan ciptaan Eyang Guru tiada harganya untuk mereka lihat.
Dengan keputusan itu, segera ia memusatkan pikiran. Mendadak saja teringatlah bayangan
Kebo Bangah dan Gagak Seta tatkala lagi bertempur mengadu kepandaian. Ia benci kepada Kebo Bangah. Karena itu, ia mem-bayangkan diri seolah-olah lagi bertempur menghadapinya. Terhadap Adipati Surengpati ia tak berani memusuhi. Hanya saja, tahulah dia bahwa pendekar itu
membantu sang Dewaresi dengan diam-diam. Itulah sebabnya pula, bayangan Adipati Surengpati sewaktu lagi mempertontonkan jurus-jurus ilmu sakti
Witaradya seolah-olah lagi ikut membantu bayangan Kebo Bangah. Terus saja ia mengeluarkan jurus ciptaan Kyai Kasan Kesambi untuk menghadapi dua lawan tersebut. Sama sekali ia melupakan ilmu sakti Kumayan Jati, karena dalam pikirannya Gagak Seta ikut membantu dirinya dengan ilmu itu. Maka kesudahannya hebat luar biasa.
Seperti diketahui jumlah jurus ilmu ciptaan Kyai Kasan Kesambi berjumlah 72 jurus. Tapi
setelah menyaksikan pertempurannya antara Kebo Bangah dan Gagak seta, Sangaji memperoleh pelengkapnya sampai 325 jurus. Bisa dibayangkan betapa kokoh dan hebat ilmu ciptaan Kyai Kasan Kesambi yang diperlihatkan di depan para pendekar.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Adipati Surengpati, Kebo Bangah dan Gagak Seta sampai tercengang-cengang. Bahkan sang
Dewaresi dan Titisari ikut kagum pula. Diam-diam Kebo Bangah membatin, bocah ini benar-benar luar biasa cerdas. Kiranya mukanya yang berkesan tolol itu memiliki otak sangat terang...
Sebenarnya, gerak-gerik Sangaji menyimpang dari jurus-jurus ilmu-ilmu sakti Witaradya yang ditentukan. Adipati Surengpati tahu akan hal itu. Tetapi dia seorang pendekar yang besar kepalanya. Maka begitu melihat ilmu Sangaji, ia merasa seperti terbentur lawan yang sanggup memunahkan ilmu sakti kebanggaannya. Tiada hentinya, dalam otaknya berkelebat jurus-jurus ilmu sakti Witaradya. Tetapi setiap kali, kena dibendung dan dipunahkan oleh jurus-jurus ilmu Sangaji. Akhirnya ia jadi keheranan.
Mustahil dia bisa menekuni ilmu sakti Witaradya sehingga mampu menciptakan ilmu
pemunahnya. Aku sendiri sudah menekuni semenjak dua puluh tahun yang lalu. Selama itu belum pernah aku menemukan saingannya. Masakan bocah ini mempunyai kemampuan melebihi aku"
pikir Adipati Surengpati sibuk.
Selagi ia sibuk menimbang-nimbang, matanya terus mengamat-amati gerak-gerik Sangaji.
Tatkala mengerling kepada Kebo Bangah, ia melihat pendekar itu mengerutkan keningnya.
Parasnya berubah hebat seperti serang yang kena terbuka rahasia hidupnya.
"Ah!" Kebo Bandotan itu terkejut pula. Apakah ilmu simpanan kena terbongkar juga" Adipati Surengpati heran. Dalam hatinya dia mengakui adanya suatu keajaiban. Teringat bahwa Sangaji adalah salah seorang pelamar puterinya, hatinya jadi girang. Mendadak saja teringatlah dia kepada Raden Ayu Herdiningsih, ibu Titisari yang telah lama meninggal dunia. Tak terasa air matanya berlinangan dan mulutnya berkomat-kamit.
"Diajeng! Syukurlah, engkau ikut pula membuka mataku dari sana. Kalau tidak, aku bisa keliru memilih bakal menantumu. Dengan melihat cara dia menirukan ilmu sakti Witaradya pusaka
leluhurmu, aku jadi teringat kembali kepada bagian kitab yang tercuri. Nah, tenang-tenanglah di alam sana. Aku akan mempersembahkan kitabmu kembali dengan utuh kepadamu..."
Baik Kebo Bangah, Gagak Seta, sang Dewaresi maupun Titisari, heran melihat Adipati
Surengpati berdiri terlongong-longong. Apalagi mereka melihat pula air mata Adipati Surengpati berlinangan.
Semenjak dahulu, mengeluarkan butiran air mata merupakan suatu pantangan besar bagi
seorang ksatria. Sebab air mata adalah air hidup. Barangsiapa mengeluarkan air mata samalah halnya dengan membunuh diri. Karena itu diperibahasakan, bahwa air mata seorang ksatria
apabila runtuh ke bumi membuat bumi itu sangar. Dan apabila mengenai daging akan membuat retak tulang belulangnya.
Tapi sebenarnya Adipati Surengpati hanya sebentar saja dalam keadaan demikian. Cepat sekali ia telah menemukan dirinya sendiri. Mendadak saja ia mengibaskan tangannya dan terus
membentak Sangaji dengan suara mengguntur.
"Apakah bagian kitab Witaradya yang dahulu tercuri oleh Pringgasakti berada dalam tanganmu?"
Sangaji terkejut. Hatinya jadi ciut. Agak ter-getar menjawab, "Ki... ki... kitab" Sama sekali aku tak pernah berhubungan dengan Pringgasakti. Benar aku pernah bertempur dengan dia, tapi
perkara kitab itu... darimana aku tahu, jika aku tahu, pastilah akan kukem-balikan kepada Gusti Adipati..."
Adipati Surengpati merenungi Sangaji dengan tajam. Melihat kesan muka pemuda itu, hatinya yakin akan kejujurannya. Karena itu ia percaya, bahwa almarhum istrinya yang membuka
penglihatannya dari alam sana. Ia kini percaya, bahwa Sangaji bukanlah pemuda sembarangan.
Maka dengan penuh hati, ia menyiratkan pandang kepada Kebo Bangah dan Gagak Seta.
Kemudian berkata memutuskan, "Baiklah saudara Gagak Seta dan Kebo Bangah! Dialah menantu pilihanku. Dengan ini ku umumkan, bahwa Titisari akan kujodohkan dengan dia. Sangaji!
Semenjak kini engkau harus memperlakukan bakal istrimu dengan baik-baik. Titisari seorang gadis manja. Karena itu, engkau harus bersedia mengalah tiga bagian...!
Mendengar keputusan Adipati Surengpati, Titisari girang tak terlukiskan lagi. Lantas saja ia tertawa riang. Pandang matanya berseri-seri dan kemudian berkata nyaring kepada ayahnya.
"Ayah! Bukankah aku anakmu yang baik dan selalu patuh padamu" Siapa bilang aku biasa kaumanjakan?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sangaji meskipun kerapkali menjadi tolol menghadapi sesuatu yang baru untuk pertama kali dilihatnya, tetapi kali ini tidaklah demikian. Tanpa menunggu isyarat dari Titisari terus saja bersembah tiga kali kepada Adipati Surengpati. Kemudian menyebutnya dengan Kanjeng Romo.
Itulah suatu tanda, bahwa kini dirinya sudah menjadi calon menantunya yang sah. Tetapi tiba-tiba terdengar suatu bentakan, "Hai! Tunggu dulu!"
Semua yang hadir menoleh. Ternyata yang membentak adalah Kebo Bangah. Semenjak melihat
Sangaji mempertontonkan ilmu ciptaan Kyai Kasan Kesambi yang merupakan ilmu pemunah jurus-jurus Witaradya dan Kalalodra, hatinya gelisah tak terperikan. Sekaligus timbulah rasa curiganya terhadap pemuda itu. Pikirnya, tidaklah mungkin Sangaji bisa memperoleh ilmu pemunah demikian apabila belum mengenal ilmu simpanannya jauh sebelumnya. Maka mau ia menuduh, bahwa
Sangaji telah mencuri atau mengutip ilmu kebanggaannya.
Gagak Seta kala itu sedang tenggelam dalam arus kegirangan. Sama sekali tak diduganya,
bahwa muridnya mempunyai ilmu simpanan begitu tinggi hingga merupakan ilmu pemunah
Witaradya dan Kala Lodra. Saking herannya, mulutnya sampai melongoh ternganga-nganga. Tapi begitu mendengar suara Kebo Bangah, sekaligus terbangunlah rasa sadarnya. Terus saja
membentak, "Hai! Kebo Bandotan! Apakah kau belum mau menyerah?"
Kebo Bangah tertawa tergelak-gelak.
"Apa yang diperlihatkan anak muda itu, terlalu banyak dan jauh lebih lengkap daripada yang dipertontonkan saudara Surengpati. Aku yakin, bahwa semenjak lama dia sudah mengantongi
kitab-kitab Witaradya dan Kala Lodra. Setidak-tidaknya kutipannya. Jika benar demikian, inilah melanggar hak angger-angger. Karena itu, ingin aku memberanikan diri hendak menggeledah
tubuhnya." "Hm, hm! Saudara Surengpati telah selesai memilih jodoh puterinya. Nah, apa perlu engkau rewel seperti perempuan bawel?" sahut Gagak Seta. Tetapi di dalam hatinya, ia agak percaya juga bahwa Sangaji pasti telah mengetahui kedua ilmu sakti itu semenjak lama. Kalau tidak, masakan bisa menirukan jauh lebih lengkap dari pemiliknya sendiri.
"Cuh! Aku Kebo Bangah, masakan bisa diakali monyet itu" Biarkan aku menggeledah
tubuhnya!" Kata Kebo Bangah memutuskan. Pada saat itu derun hatinya mulai berbicara pula. la berjanji pada dirinya sendiri, hendak merampas kitab-kitab yang dituduhkan. Tentang pelamaran Titisari dan tetek bengeknya sudah lenyap dari ruang otaknya.
Sangaji mendongkol dituduh demikian. Tanpa menunggu Kebo Bangah, dengan serta merta ia
melepas ikat pinggangnya sambil berkata menantang.
"Paman Kebo Bangah, silakan menggeledah diriku!"
Semua sakunya dibalik dan mengeluarkan isinya di atas batu. Ternyata isinya hanya mata uang dan beberapa benda lumrah. Tetapi betapa sudi Kebo Bangah menyerah oleh kenyataan itu.
Tangannya segera menjangkau pemuda itu.
Adipati Surengpati kenal baik kelicikkan, kelicinan dan kebengisan Kebo Bangah. Di waktu menaruh juga seringkah bisa menurun-kan tangan jahat. Dan apabila pendekar itu sudah
menurunkan tangan, barangkali tiada lagi dewa yang sanggup mencegahnya lagi. Karena itu, sebelum terlanjur ia harus mengambil tindakan untuk mengimbangi. Maka dengan berbatuk-batuk kecil tangan kirinya segera diletakkan di atas tulang punggung sang Dewaresi. Semua orang kenal betapa penting tulang punggung itu bagi bagian manusia. Sekali kena diremukkan, tanpa ampun lagi akan terpecatlah nyawanya.
Sebagai seorang pendekar yang berpengalaman, Kebo Bangah kenal bahaya. Adipati
Surengpati tak boleh diajak bergurau. Memang dalam hati kecilnya, ia bermaksud hendak
menyerang perut Sangaji dengan ilmu sakti Kala Lodra selagi menggeledah tubuh. Tetapi begitu melihat Adipati Surengpati mengancam pula kemenakannya, mau tak mau ia harus menyabarkan diri. la menggeledah tubuh Sangaji dengan wajar. Ternyata tiada lain kecuali kulit dan daging belaka. Heran dia, sampai ia berdiri tegak beberapa saat lamanya, la tak percaya dalam dunia ini masih saja berlaku suatu keajaiban yang terlepas dari nalar manusia. Masakan pemuda itu sudah mengenal ilmu sakti Witaradya dan Kala Lodra semenjak dalam perut ibunya"
"Hm...," dengusnya. "Anak tolol ini memang tak berdusta. Tapi aku akan memaksa dia agar berbicara ..."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ia mundur memungut tongkat saktinya. Kemudian diketukkan di tanah. Mendadak saja
terdengarlah bunyi berdesis. Di udara lantas saja terlihat beberapa jarum emas berkeredepan.
Sangaji terkejut sampai mundur dua langkah. Titisari pun ikut pula terjengkang ke belakang.
Mereka berdua sadar, bahwa Kebo Bangah sedang mengambil jalan lain untuk membuktikan
tuduhannya. "Sangaji!" bentak Kebo Bangah dengan tajam. "Darimana engkau memperoleh ilmu Jala Karawelang itu" Bilang terus terang, sebelum aku memaksamu!"
Jala Karawelang sebenarnya adalah nama pusaka. Di samping keris Tunggulmanik dan Bende
Mataram. Menurut cerita, pusaka Jala Karawelang dahulu merupakan alat paling ampuh untuk menangkap lawan. Jangan lagi terhadap manusia. Meskipun jin dan dewa takkan dapat
meloloskan diri. Konon diceritakan pula, di negeri Loano dahulu pernah timbul suatu kekacauan.
Seorang pangeran bernama Jayakusuma mencuri isteri Pangeran Anden Loano putra Batara
Loano. Maka timbullah suatu pertempuran. Pangeran Jayakusuma begitu sakti dan perwira,
sehingga tak terlawan lagi. Akhirnya Pangeran Semono tampil ke muka dan mengutus patih Lawa ljo untuk menangkap maling sakti tersebut. Dengan dibekali tiga senjata yakni, keris
Tunggulmanik, Bende Mataram dan Jala Karawelang, Patih Lawa ljo berhasil menangkap Pangeran Jayakusuma, dan semenjak itu ter-masyurlah kekeramatan ketiga pusaka tersebut. Dua tiga ratus tahun kemudian, seorang sakti bernama Prabusana mencipta suatu ilmu pemunah untuk melawan semua kejahatan. Orang-orang menyebut ilmu pemunah sarwa jahat itu dengan istilah Jala
Karawelang. Begitulah ilmu pemunah sarwa jahat turun-temurun itu diwarisi angkatan mendatang.
Tetapi sesungguhnya, ilmu pemunah sarwa jahat pada zaman sesudahnya bukanlah ilmu ciptaan Prabusana. Hanya karena sifatnya bertujuan membendung segala pekerti jahat, maka istilah Jala Karawelang itu masih saja dikenakan.
Mendengar tuduhan Kebo Bangah, Adipati Surengpati terus saja bertindak dengan cepat. Ia
tahu, kali ini Kebo Bangah tiada main-main. Di balik tuduhannya, mengandung pula suatu
tantangan menentukan. Terang-terangan ia menggolongkan diri sebagai golongan yang hendak dipunahkan. Dan sudah barang tentu adalah syah dan wajar apabila berusaha mem-pertahankan diri. Karena itu, dengan sigap ta-ngan kirinya telah meraba tulang punggung sang Dewaresi.
Apabila Kebo Bangah bergerak sedikit saja, ia akan meremukkan tulang punggung kemenakannya.
Gagak Seta yang semenjak tadi berdiam saja, tersenyum melihat sepak terjang Adipati
Surengpati. Pikirnya dalam hati, Surengpati benar-benar pantas disebut Jangkrik Bongol setengah siluman. Tadi ia membantu Dewaresi, kini setelah memperoleh keputusan siapa yang dipilih menjadi menantunya, mendadak saja berbalik menyayangi Sangaji. Aiiih... lantas saja dia
melindungi muridku yang tolol.
"Apakah itu Jala Karawelang?" kata Sangaji dengan nyaring. "Ilmu yang kuperlihatkan ini pun bukan pula Witaradya. Aku hanya sedang menghafalkan jurus-jurus ilmu ciptaan eyang guruku yang dapat kutangkap selintasan saja."
"Siapakah eyang gurumu itu?" potong Keboh Bangah galak.
"Kyai Kasan Kesambi. Kenapa?" Sangaji menyahut dengan berani.
Mendengar disebutkan nama pendekar sakti itu, semua jadi terheran sampai Gagak Seta
berkata, "Eh eh... Kyai Kasan Kesambi" Apakah benar orang tua itu sudi mengakui engkau sebagai cucu muridnya?"
"Aku adalah murid Wirapati. Dan guruku itu murid Kyai Kasan Kesambi. Tatkala guruku kena luka parah, Eyang Guru sedang bersilat di tengah malam hari sampai hampir menjelang subuh.
Kebetulan sekali, aku dapat melihatnya. Entah bagaimana, otakku bisa menangkap sebagian.
Malahan, lambat laun aku bisa memahami semua jurus-jurusnya. Dan tatkala aku melihat Paman Gagak Seta bertempur melawan Paman Kebo Bangah, mendadak saja aku menemukan
kelengkapannya. Begitulah, maka aku kini sudah dapat memahami 325 jurus sekaligus dari
penglihatan itu." Gagak Seta tertawa terbahak-bahak sehingga air matanya berlinangan. Sejak lama tahulah dia, bahwa Sangaji adalah cucu murid Kyai Kasan Kesambi. Hanya saja untuk menge-sankan mereka, ia berpura-pura bersikap tak tahu menahu. Dengan demikian, keterangan Sangaji itu bagai canang menggaung di udara bebas.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Saudara Surengpati!" Akhirnya Gagak Seta berteriak nyaring. "Tak kukira... si tua bangka itu masih bisa mendendamkan sesuatu. Kau menyaksikan sendiri, betapa gagah dan perkasa jurus-jurusnya. Inilah celaka bagi si bandot Kebo Bangah dan kau sendiri. Terang-terangan, si tua bangka itu mencurigai kamu berdua. Ilmu ciptaannya merupakan ilmu pemunah jurus Kala Lodra dan Witaradya. Nah, kalian berdua mau bilang apa?"
Dengan terhenyak Kebo Bangah dan sang Dewaresi saling memandang. Sejurus kemudian
Kebo Bangah berkomat-kamit, "Kasan Kesambi" Hm! Betapa mungkin! Sama sekali dia belum pernah melihat lembaran buku Witaradya dan Kala Lodra, masakan bisa men-ciptakan suatu ilmu pemunah begini rupa" Apakah aku harus percaya, dia memperoleh kisikan dari malaikat" Hm ...
hm...! Nanti dulu! Apakah engkau telah menyerahkan buku Witaradya kepadanya yang hilang
digondol Pringgasakti?"
"Apakah ilmu ciptaan Eyang Guru adalah ilmu sakti Witaradya?" Sangaji heran. "Inilah aneh!
Belum pernah sekali juga aku membi-carakan tentang buku tersebut. Juga Eyang Guru tak pernah menyinggung-nyinggung. Hanya saja pada hari itu, guruku kena akal licik sehingga luka parah.
Dan pada malam harinya, Eyang Guru bersilat dengan wajah bersungut-sungut di tengah
halaman. Kuka-takan tadi, kebetulan sekali aku melihatnya. Tatkala Eyang Guru mengetahui, aku dibiarkan seorang diri mengingat-ingat semua jurusnya. Apakah engkau menuduh pula, aku
mencuri ilmu ciptaan Eyang Guru?"
Diam-diam Adipati Surengpati menghela napas. Sebagai seorang yang cerdik dan serba pandai tahulah dia, bahwa Kyai Kasan Kesambi lagi melampiaskan dendamnya kepada salah seorang di antara mereka yang dicurigai. Celakanya, dia pun ikut tersangka pula melukai muridnya.
Benar-benar segala peristiwa di dunia ini tiada yang terjadi secara kebetulan. Semuanya seperti teratur. Andaikata Sangaji tak melihat ilmu ciptaan eyang gurunya, masakan aku akan memilihnya sebagai calon suami anakku, pikirnya pulang balik. Rupanya bocah ini sudah ditakdirkan menjadi jodoh anakku.
Selagi Adipati Surengpati menimbang-nim-bang peristiwa itu, Kebo Bangah meneruskan
pengusutannya. Tanyanya nyaring, "Siapa yang melukai gurumu?"
Segera Sangaji menguraikan peristiwa pade-pokan Gunung Damar semenjak dibanjiri tamutamu dari berbagai daerah sampai gurunya terluka parah. Baik Adipati Surengpati, Gagak Seta, Kebo Bangah, Titisari dan sang Dewaresi mendengarkan dengan sungguh-sungguh dan hati-hati.
Maka ma-sing-masing merasa, bahwa ekor peristiwa akan jadi panjang dan berbahaya. Kalau saja, Kyai Kasan Kesambi akhirnya turun gunung, dunia akan menjadi gempar. Sebab, handai taulan Kyai Kasan Kesambi tidak hanya terdiri dari para ksatria, tetapi raja dan pangeran-pangeran berada di belakangnya. Sebentar atau lama akan menyangkut soal pemerintahan negara pula.
"Bagus! Kau sudah memberi keterangan sebisa-bisamu," potong Kebo Bangah. "Tapi kau menyinggung soal benda pusaka Bende Mataram. Cobalah beri keterangan di manakah kedua
benda tersebut tadinya disimpan?"
Sangaji hendak memberi keterangan, men-dadak Adipati Surengpati menyanggah. "Anakku Sangaji! Tak usahlah engkau terlalu banyak berbicara!"
Kemudian berpaling kepada Kebo Bangah dan berkata, "Inilah urusan yang tiada sangkut-paut dengan kita. Apa perlu direntang panjang" Saudara Kebo Bangah dan saudara Gagak Seta, dua puluh tahun yang lalu kita bertiga pernah berkutat mempertahankan kehormatan diri. Kini, aku telah memisahkan diri dan berdiam, di sebuah pulau agak jauh di utara. Marilah kalian kuundang berpesta pora. Dan di sana kita bisa berbicara dari hati ke hati tanpa gangguan lagi. Nah, apakah pendapat kalian?"
Titisari terus saja menyambung, "Paman Gagak Seta! Aku berjanji akan membuat beberapa masakan bagimu. Di pulau Kari-munjawa, terdapat pula gundukan tanah dan rumput hijau. Di tengah alam Paman bisa menikmati sepuluh dua puluh macam masakan yang kauhendaki."
Gagak Seta tertawa lebar mendengar ujar Titisari. "Sekarang, tercapailah rasa hatimu. Lihatlah, betapa girang engkau... sampai mau memberikan segala yang kaumiliki kepadaku."
Digoda demikian, Titisari tertawa riang. Memang ia seorang gadis berhati polos. Apa yang terasa di dalam hatinya terbayang jelas pada wajah dan sikapnya. Maka terus saja ia berbicara lancar. "Paman Gagak Seta! Paman Kebo Bangah! Kalian berdua kuundang datang. Juga terhadap sang Dewaresi, aku pun tak boleh mensia-siakan. Kau mau datang, bukan?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Titisari kemudian memanggut manis terhadap sang Dewaresi dengan sikapnya yang wajar.
Keruan saja, hati sang Dewaresi kelabakan tak tentu kesannya.
Kebo Bangah kemudian membungkuk ter-hadap Adipati Surengpati. "Saudara Sureng-pati...
aku berterima kasih mendengar maksud baikmu. Hanya saja, perkenankan kita berpisah sampai di sini saja..."
"Saudara Kebo Bangah!" sahut Adipati Surengpati. "Kau datang dari jauh dan aku belum kau beri kesempatan melayanimu seba-gaimana lazimnya. Masakan kau akan mem-biarkan hatimu
kurang tentram?" Sama sekali Kebo Bangah tak tertarik kepada undangan itu. Kemenakannya telah kalah.
Pikirnya, apa perlu lagi berkumpul dengan saingannya. Hanya saja, tatkala melihat ilmu ciptaan Kyai Kasan Kesambi yang diperlihatkan Sangaji di hadapannya, hatinya jadi tertarik. Maklumlah, sebagai seorang pendekar yang merasa diri tiada yang mampu menandingi, terkejut apabila
menyaksikan jurus-jurusnya yang benar-benar merupakan ilmu pemunah ilmu Kala Lodra. Diamdiam ia berpikir pulang balik, anak tolol itu agaknya sudah bisa menguasai ilmu ciptaan si tua bangka. Kalau di kemudian hari sudah memperoleh bentuknya, bukankah akan mencelakakan
aku" Sebelum terlanjur, biarlah kubu-juknya agar mau mengulangi jurus-jurusnya dua tiga kali.
Masakan aku tak sanggup meng-hapalkan jurus perlawanannya. Dan setelah memperoleh pikiran demikian dengan wajah berseri ia berkata kepada Adipati Surengpati.
"Saudara Surengpati! Setelah engkau mem-peroleh calon menantu, kini kau bakal bersa-habat dengan si jembel Gagak Seta. Dalam beberapa bulan saja, kamu berdua pasti akan berhasil
menciptakan suatu ilmu hebat yang tak terlawan lagi."
"Ha, kau mengiri?" Gagak Seta tertawa pan-jang.
"Aku bukan beriri hati, tapi berbicara perihal yang nyata."
Kembali Gagak Seta tertawa panjang. Berkata setengah mengejek, "Masakan aku tak kenal ulu hatimu. Di mulutmu kau bilang begitu, tetapi di hatimu lain."
Dua pendekar itu memang bermusuhan dan saling mendendam. Gagak Seta adalah seorang
pendekar yang terbuka hatinya. Sebaliknya Kebo Bangah tidak. Ia seorang pendekar licik dan licin.
Dalam hatinya ia bersumpah takkan hidup tentram sebelum Gagak Seta mampus di tangannya.
Tapi karena licik, dendam itu tak nampak pada wajahnya. Demikian pulalah kali ini, begitu mendengar Gagak Seta tertawa panjang dua kali, terus saja ia membarengi tertawa pula.
"Saudara Gagak Seta! Aku berkata dengan sejujurnya. Kalian berdua pasti akan bisa menciptakan suatu ilmu hebat di kemudian hari. Hanya saja, ilmu itu tiada gunanya lagi. Sebab pada saat ini teranglah sudah, siapa di antara kita yang bakal menduduki tempat teratas..."
"Eh, kau berkata apa?" sahut Gagak Seta terkejut. "Mungkinkah engkau telah berhasil menciptakan suatu ilmu baru yang tiada ban-dingnya lagi di kolong langit ini?"
Kebo Bangah tersenyum. Menjawab dengan suara merendah. "Apa sih kehebatannya Kebo
Bangah, sehingga akan dapat menduduki ksa-tria tersakti nomor wahid" Yang kumaksudkan ialah orang yang memberi ilmu sakti kepada Sangaji."
Mendengar jawaban Kebo Bangah, Gagak Seta tertawa. Berkata menegas, "Apakah yang kau maksudkan Kyai Kasan Kesambi. Kalau benar, aku harus mempertimbangkan dahulu. Ilmu
kepandaian saudara Surengpati bertambah hari bertambah maju. Dia makin gagah dan panjang umurnya, sedangkan Kyai Kasan Kesambi usianya sudah mendekati seratus tahun. Engkau sendiri masih nampak berwibawa dan perkasa. Tinggal akulah yang ketinggalan. Habis makanku tak
teratur dan tak terurus. Maksud hati mau beristeri, tetapi tiada seorang pun di kolong langit ini yang mau kuajak hidup melarat."
"Tetapi saudara Gagak Seta," potong Kebo Bangah. "Meskipun kita bertiga ini bergabung menjadi satu, rasanya susah mengalahkan kyai tua bangkotan yang bermukim di atas Gunung
Damar itu." "Apa?" sahut Adipati Surengpati terkejut. "Kau maksudkan kita bertiga tak mampu mengalahkan Kasan Kesambi?"
"Benar. Karena dia sudah berhasil mencip-takan suatu ilmu pemunah untuk menghadapi kita berdua."
"Hal itu belumlah pasti," sahut Adipati Surengpati lagi. "Jurus-jurusnya memang hebat. Tetapi tenaga saktinya, masakan bisa melebihi kita yang berusia jauh lebih muda?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Senang hati Kebo Bangah mendengar perkataan Adipati Surengpati. Jika Adipati Surengpati
bisa dibakar hatinya, bukankah secara tidak langsung akan renggang juga dari Sangaji yang ternyata menjadi cucu murid
Kyai Kasan Kesambi" Dasar ia berhati licik dan licin, maka terus saja ia bermain sandiwara.
"Pastilah ilmu ciptaan si tua bangka itu masih mempunyai sambungannya. Kita berdua pernah mengadu ilmu kepandaian melawan dia. Sedikit banyak ia telah mengenal ilmu simpanan kita.
Selang dua puluh tahun, bukankah dia seperti harimau tumbuh sayapnya" Dengan tekun ia
mendalami ilmu kita dan kini ternyata ia sudah berhasil pula men-ciptakan ilmu pemunahnya."
"Hm... mungkin benar Kyai Kasan Kesambi bisa melebihi aku. Tetapi tak bakal bisa melawan engkau," potong Adipati Surengpati panas.
"Janganlah kau berkata begitu. Kau terlalu merendah. Kita berdua adalah setali tiga uang.
Kalau kau mengakui bisa dikalahkan si tua bandotan, maka teranglah sudah siapa yang lebih unggul dariku. Dan inilah yang kukha-watirkan."
Ia lantas berhenti berenung-renung. Dan melihat kesungguh-sungguhannya, Adipati Surengpati tersenyum. "Lihat saja tahun depan!" katanya. "Aku akan mengundangnya, saudara Kebo Bangah akan bisa menyaksikan siapa di antara kita yang menang."
Kebo Bangah merenunginya dengan sung-guh-sungguh. Katanya kemudian, "Saudara
Surengpati! Ilmu silatmu telah lama aku meng-agumi. Akan tetapi jikalau engkau berkata bisa mengalahkan si Kasan bangkotan, benar-benar aku bersangsi. Janganlah engkau menganggap
enteng padanya. Dengan murid-muridnya saja, belum pasti engkau bisa mengalahkan dengan
gampang..." Meskipun Adipati Surengpati kenal akan mulut jahil pendekar dari Sarandil itu, namun hatinya kena juga terbakar. Mendadak saja ia menoleh kepada sang Dewaresi dan terus berkata, "Hai kau Dewaresi! Aku sudah berjanji, barangsiapa yang kalah dalam ujian ini akan kuberi hak untuk memilih satu macam kepan-daianku. Nah, pilihlah salah satu ilmu kepandaianku. Sebaliknya kalau engkau ingin menyerahkan hal ini kepadaku, akan kubuat engkau seorang jantan yang bisa
menandingi murid-murid Kasan Kesambi. Berkatalah!"
Mendengar ucapan Adipati Surengpati, Gagak Seta dan Sangaji terkejut. Titisari pun tak
terkecuali. Hanya Kebo Bangah seorang yang lantas saja tertawa riang. Kata pendekar itu,
"Kemenakanku betapa bisa mengenal keahlianmu. Kalau tadi dia gagal menempuh ujian, kali ini pun dia bakal tak becus pula memilih ilmu yang baik untuknya. Karena itu biarlah semuanya ini kami serahkan padamu belaka."
Kebo Bangah mengenal kepandaian Adipati Surengpati yang luar biasa. Kali ini hatinya sedang panas. Kalau saja ia terlanjur berjanji hendak membentuk sang Dewaresi menjadi seorang ksatria setangguh murid-murid Kyai Kasan Kesambi, inilah suatu kesempatan yang tak bisa terulang untuk yang kedua kalinya. Karena itu, terus saja ia bersuara mewakili kemenakannya.
Girang luar biasa adalah sang Dewaresi. Setelah ia kena dikalahkan dalam ujian, hatinya
menjadi ciut. Mulutnya seperti tersekap tak kuasa berbicara lagi. Kini mendadak ia memperoleh jalan lain yang bisa membawa suatu kemungkinan menguntungkan. Pikirnya, bagus! Kalau aku menyerahkan diri agar dia membentuk aku sebagai wakil dirinya untuk melawan murid-murid Kyai Kasan Kesambi, bukankah berarti aku akan berada di Pulau Karimunjawa untuk suatu masa latihan yang tak terbatas" Ini berarti pula, aku akan tinggal cukup lama di samping Titisari. Masakan dalam waktu itu aku tak bisa menyergapnya" Dia boleh menghindari aku di waktu sadar. Tetapi...
masakan dia terusmenerus tak pernah lengah sedetik dua detik" Hihaa... haa...
Oleh pikiran itu, wajahnya terus saja berseri-seri. Dengan membungkuk hormat ia berkata,
"Paman Adipati! Apa yang diucapkan pamanku, adalah keputusanku sendiri. Dengan disaksikan bumi dan langit, semenjak saat ini aku menyerahkan diriku kepada Paman. Di kemudian hari, aku akan berjuang dengan segenap jiwa ragaku demi kepentingan Paman menghadapi murid-murid
Kyai Kasan Kesambi di mana pun mereka berada."
Mendengar ujar sang Dewaresi, hati Adipati Surengpati jadi terharu. Memang dalam hatinya sebenarnya lebih condong memilih sang Dewaresi menjadi menantunya.
"Kau sudah menyanggupkan diri, itulah baik. Hanya saja semenjak kini kau tak boleh bergerak sesuka hatimu," kata Adipati Sureng-pati pendek.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sampai di situ Kebo Bangah, sang Dewaresi dan Adipati Surengpati puaslah sudah dengan
alasannya masing-masing. Hanya Titisari, Sangaji dan Gagak Seta yang nampak bersungutsungut. Tetapi mereka tiada yang membuka mulut.
Gagak Seta adalah seorang ksatria yang ter-buka hatinya. Memperoleh kesan yang terlalu
menekan, tak betahlah ia menguasai diri. Terus saja ia tertawa terbahak-bahak. "Bagus! Bagus!
Kalian bertiga memang termasuk golongan siluman. Hm... apalagi yang harus kita bicarakan."
Sekonyong-konyong dari jauh terdengar suara bentakan sayup-sayup. Itulah suatu tanda,
bahwa di jauh sana terjadi suatu pertempuran hebat. Mereka lantas saja memasang kuping.
"Anakku Sangaji! Mari kita lihat!" ajak Gagak Seta.
Mereka semua adalah golongan manusia yang gemar melihat sesuatu perkelahian. Maka begitu mendengar ajakan Gagak Seta, terus saja mereka berlari-larian saling mendahului. Tidaklah mengherankan, bahwa sebentar saja mereka telah mendekati gelanggang perkelahian.
Ternyata mereka melihat tiga bayangan manusia berlari-larian ke jurusan barat dengan suatu kecepatan luar biasa. Dilihat dari gerak-geriknya, terang sekali mereka bukan orang sembarangan.
Sebaliknya termasuk golongan pendekar kelas utama.
"Hai Kebo Bandotan dan kau saudara Surengpati!" seru Gagak Seta. "Mereka bukan masuk golonganmu. Juga bukan golonganku.
Cara mereka berlari bukankah mengingatkan kita kepada ilmu Kyai Kasan Kesambi?"
Terkejut Sangaji mendengar seru Gagak Seta. Terus saja ia menajamkan penglihatannya.
Tanpa berkata lagi, ia menyambar pergelangan Titisari dan sambil menjejak bumi memburu tiga bayangan itu yang sedang kejar mengejar.
Tiga bayangan yang berada di depan mereka waktu itu melesat luar biasa cepatnya. Yang satu kabur dan yang dua sedang menyusul. Sangaji mengerahkan segenap tenaganya dan melompat-lompat seperti kemasukan setan. Titisari merasa seperti dibawa terbang melintasi awan. Mereka berdua kini bukanlah seperti lima enam bulan yang lalu. Semenjak menerima warisan ilmu sakti pendekar Gagak Seta, gerak-geriknya gesit melebihi manusia lumrah. Itulah sebabnya, beberapa waktu kemudian mereka mulai bisa menyusul. Ternyata yang sedang mengejar bayangan yang
kabur itu ialah Gagak Handaka dan Ranggajaya.
Mendadak Ranggajaya menimpuk dengan sebatang kayu berbentuk penggada. Orang yang
dikejar melompat ke samping dan menangkis dengan pedangnya. Dengan adanya sedikit


Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kelambatan itu, Gagak Handaka berhasil menyusul dan menikam dengan pedang pula.
Gugup orang itu melesat ke samping dan membalas dengan pukulan telapak tangan. Sangaji
kaget sampai mengeluarkan seruan tertahan. Sebab, orang itu ternyata seorang laki-laki berewok yang dahulu melukai Bagus Kempong dalam perjalanan pulang ke Gunung Damar. Muka orang itu nampak pucat dan rambutnya terurai. Cepat-cepat Sangaji menarik lengan Titisari dan
menghadang di sebelah barat.
Hebat gempuran telapak tangan orang berberewok itu. Dahulu Bagus Kempong sampai kena
dilukai. Kali ini dia seimbang dengan tenaga Gagak Handaka. Bahkan tubuh Gagak Handaka
nampak tergetar sedikit. Serentak Gagak Handaka menyarungkan pedangnya. Kemudian bersama Ranggajaya terus saja mengepung rapat. Mereka sedang mempersiagakan ilmu Pancawara.
"Setan! Iblis!" bentak laki-laki itu. "Apa perlu kamu berdua menguber-uber aku?"
"Hm! Hari ini barulah kuketahui, bahwa engkaulah biang keladi perbuatan licik. Dengan akal keji, engkau menjebak adikku seperguruan. Ternyata engkau tidak hanya membuatnya cacat,
tetapi merampas kedua benda pusaka milik tanah Jawa. Nah, kemba-likan kedua benda itu dan serahkan obat penyembuh cacat adikku!" bentak Gagak Handaka.
Selama di padepokan Gunung Damar, belum pernah Sangaji mendengar pamannya itu
berbicara melebihi sepuluh kata. Kini mendadak bisa memberondong dengan kata-kata yang
ditekankan, terkuasai. Suatu tanda, bahwa pamannya itu lagi dalam keadaan marah tak terkuasai lagi.
Orang berberewok itu mendengus melalui hidungnya. "Mereka yang melukai adikmu adalah Malangyuda, Panji Pengalasan, Citrasoma, Randukintir, Baruna, Bagus Tilam dan begundal-begundal Suma, Wira, Pitra dan Salamah. Apa sangkut pautnya dengan aku?"
"Masakan ular tanpa kepala" Engkau seorang ksatria. Kepandaianmu tiada rendah pula," sahut Gagak Handaka berwibawa. "Baiklah! Kau boleh berdusta sampai dunia kiamat. Tetapi tak
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
pernahkah engkau berpikir, bahwa salah seorang di antara bawahanmu yang membawa daku
mengenalmu?" Mendengar keterangan Gagak Handaka, seketika itu juga berubahlah wajah yang berberewok
itu. Lantas saja ia berteriak tinggi sambil menjejak bumi. "Huh! Aku Bagas Wilatikta, masakan bisa kau ingusi. Memang kedua benda itu ada padaku. Memang, adikmu yang sombong hati, akulah
yang menjebaknya. Tetapi apa salahku" Dalam dunia selebar dan seluas ini, seseorang boleh merdeka mencapai angannya. Siapa yang lemah, dialah mangsa yang kuat. Kau mau bilang apa?"
"Tentang kedua benda itu, bisa dirundingkan perlahan-lahan. Tetapi perbuatanmu yang keji itu, haruslah kau cuci bersih secepat mungkin. Serahkan obat penyembuhnya. Dengan de-mikian
namamu tak akan tercemar dalam dunia ini."
"Hihuuuu... apakah itu nama cemar dan nama baik?" potong Bagas Wilatikta. "Semuanya adalah omong kosong belaka. Tentang kedua benda itu sudah kujual kepada pemerintah Belanda.
Lihat niih... perutku kosong! Keluargaku banyak. Apakah aku harus menelan nama cemar dan nama baik belaka" Cuh! ... Dan tentang obat penyembuh adikmu, jangan mimpi di siang hari bolong. Meskipun andaikata saat ini aku mengantongi obat penyembuhnya, masakan akan
kuberikan dengan begitu saja" Ketahuilah bahwa ada di antara bawahanku kena dilukai adikmu pula. Dialah Bagus Tilam yang kini mati tidak hidup pun tidak."
"Baik. Mari kita tukar nyawa. Kami akan menyembuhkan bawahanmu itu dan engkau
memberikan obat penyembuhnya." Gagak Handaka menyabarkan diri.
"Aku tak mempunyai waktu untuk beromong kosong macam begini. Sampai ketemu di akhirat!"
Bagas Wilatikta terus saja melompat hendak berlari.
"Tahan!" bentak Ranggajaya. Kemudian dengan Gagak Handaka ia menyerang dari kiri dan kanan.
Bagas Wilatikta memutar pedangnya bagai-kan kitiran dan menyambut serangan Rang-gajaya
dan Gagak Handaka. Dahulu Sangaji pernah menyaksikan, betapa perkasa dan hebat pukulan
orang berberewok itu. Kini dia menyaksikan pula ilmu pedangnya. Gerak-geriknya gesit dan indah.
Agaknya tak gampang-gampang Gagak Handaka dan Ranggajaya bisa mengalahkan meskipun
maju dengan berbareng. Dugaan Sangaji benar juga. Sesudah lewat puluhan jurus, Bagas Wilatikta belum juga jatuh di bawah angin. Bahkan makin lama makin nampak gagah.
Sungguh sayang! pikir Sangaji. Orang begitu perkasa, apa sebab mempunyai pekerti
bertentangan dengan angger-angger laku seorang ksatria. Coba, seumpama musuhnya bukan
paman Gagak Handaka atau paman Ranggajaya pastilah sudah berhasil menumbangkan.
Kira-kira lima puluh jurus lagi, mendadak saja Gagak Handaka bersuit panjang. Inilah suatu tanda, bahwa pendekar itu mengajak adik seperguruannya menggunakan ilmu sakti Pancawara.
Terus saja mereka merapatkan diri. Kemudian dengan mendadak melepaskan suatu pukulan
berbareng. Seketika itu juga, pedang Bagas Wilatikta maupun mereka yang melihat terkejut sampai mengeluarkan suara tertahan. Kedahsyatan pukulan ilmu Pancawara itu tak pernah
mereka duga sebelumnya. Tetapi Bagas Wilatikta ternyata bukanlah seorang pendekar murahan. Begitu pedangnya
terlepas dan kabur di udara, tersentak ia melompat maju sambil menggempurkan tangannya.
Terus saja Gagak Handaka dan Ranggajaya menggabungkan diri dan menyongsong pukulan itu.
Kesudahannya hebat. Tubuh Bagas Wilatikta kena terhentak dan terpental sepuluh langkah.
Tubuhnya terbanting di atas tanah dan kemudian mendekam dengan memuntahkan darah segar.
Gagak Handaka dan Ranggajaya dengan cekatan lalu mengepungnya lagi dan melepaskan
pukulan tajam. Seketika itu juga Bagas Wilatikta tak dapat berkutik lagi.
"Hebat! Hebat! Sungguh dahsyat!" sorak Gagak Seta dengan jujur. Ingin ia menyatakan kesan hatinya, mendadak terdengar Sangaji lari sambil berseru girang.
"Paman!" Gagak Handaka dan Ranggajaya menoleh berbareng. Dan begitu melihat Sangaji, wajahnya
bersinar terang. Dengan berbareng pula mereka maju menyongsong dan mendekap kepala
pemuda itu. "Anakku! Lihat, inilah biang keladi yang melukai gurumu," kata Gagak Handaka dengan sederhana.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Girang luar biasa hati Sangaji, menyaksikan kedua pamannya dapat mengalahkan Bagas
Wilatikta. Serentak ia merenggutkan diri dan memperkenalkan mereka kepada Gagak Seta, Kebo Bangah, sang Dewaresi, Titisari dan Adipati Surengpati.
"Nah, saudara Surengpati!" kata Gagak Seta nyaring. "Hebat tidak murid-murid Kyai Kasan Kesambi?"
Adipati Surengpati adalah seorang pendekar yang tinggi hati dan mau menang sendiri. Tadi ia sudah kena dibakar Kebo Bangah dan kini menyaksikan kegagahan murid-murid Kyai Kasan
Kesambi. Sudah barang tentu hatinya panas seperti air mendidih. Dengan tersenyum mengejek ia menyahut, "Memang hebat. Tapi belum tentu."
Sehabis berkata demikian terus saja ia menyerang Gagak Handaka. Betapa terkejut Gagak
Handaka tak terperikan. Maklumlah serangan itu sama sekali tak diduganya. Syukur, bahwasanya ia murid Kyai Kasan Kesambi yang tertua. Gurunya seringkali menceritakan sepak terjang dan tabiat-tabiat pendekar seangkatannya. Kerap kali mereka sengaja mencoba sampai di mana
kemajuan saingannya mewariskan ilmunya kepada murid-muridnya. Karena itu, dengan serentak Gagak Handaka bangun semangatnya. Meskipun dalam hati ia mengakui takkan mungkin
mengalahkan Adipati Surengpati, tetapi demi mempertahankan pamor perguruannya ia akan
berjuang sebisa-bisanya. Pada detik-detik yang membahayakan, mendadak saja ia mengelak ke samping sambil
membalik tubuh. Kemudian mengawaskan penyerangnya dengan setengah heran.
"O... Gusti Adipati Surengpati. Apakah begini cara Tuan memperkenalkan diri?"
Serangannya Adipati Surengpati tadi adalah suatu sambaran yang sudah dilatihnya dua puluh tahun lebih. Sebatnya luar biasa, akan tetapi Gagak Handaka dapat mengelakkan dengan suatu gerak yang sederhana. Sudah barang tentu diam-diam hati Adipati Surengpati terkesiap. Pikirnya, benar-benar Kasan Kesambi sudah berhasil mengadakan gerakan pemunahnya. Inilah bahaya.
Karena itu, ia tidak menyerang lagi, hanya merenungi Gagak Handaka dengan kagum. Kebo
Bangah, sang Dewaresi, Titisari dan Gagak Seta tegang dengan sendirinya. Gugup Sangaji maju menengahi sambil berkata kepada Gagak Handaka.
"Paman! Sekarang ini Gusti Adipati Sureng-pati adalah mertuaku. Itulah Titisari calon isteriku.
Karena itu, kita pun adalah keluarga sendiri."
Gagak Handaka menghela napas. Katanya agak menyesali, "Pantaslah, selama engkau di
padepokan sering kulihat duduk termenung. Rupanya ada yang mengganggu pikiranmu. Gusti
Adipati Surengpati adalah seorang pendekar besar. Sayang, hatinya agak kejam bengis dan terlalu tinggi hati. Tabiatnya aneh pula. Karena itu, apakah puterinya tidak mewarisi tabiat ayahnya"
Kuharap, engkau takkan menyesali seumur hidupmu apabila mengalami kepahitan-kepahitan tak terduga dalam perjalanan hidupmu..."
Titisari mendekati sambil tertawa manis. "Paman! Atas doa Paman, mudah-mudahan aku
takkan menyusahkan Sangaji di kemudian hari dan untuk selama-lamanya..."
Gagak Handaka mengangguk. Kemudian kembali mengarah kepada Adipati Surengpati. Berkata
tak kurang hormat, "Gusti Adipati, dua puluh tahun lamanya, Tuan tak pernah bertemu dengan guru kami. Kami pun baru untuk yang pertama kali ini bertemu pandang dengan Tuan. Tetapi nama Tuan selalu mengisi ruang pelajaran kami di perguruan Gunung Damar. Apa sebab dengan tiba-tiba Tuan menyerang kami tanpa peringatan lagi?"
"Apakah kau murid tertua Kasan Kesambi?" sahut Adipati Surengpati pendek angkuh.
Gagak Handaka mengangguk.
"Dan dia?" Adipati Surengpati menuding kepada Ranggajaya.
"Murid perguruan Gunung Damar berjumlah lima orang. Dialah adikku seperguruan nomor dua.
Mengapa?" sahut Gagak Handaka.
Adipati Surengpati tersenyum pahit. Berkata sengit, "Kau kini berhadapan dengan lawan gurumu. Mengapa saudaramu itu tak kau ajak maju berbareng?"
Gagak Handaka adalah murid Kyai Kasan Kesambi yang berwatak brahmana. Dalam segala hal
ia bisa berlaku tenang. Pikirannya penuh dan pertimbangannya luas. Pada saat itu tahulah dia, bahwa tiada gunanya lagi berbicara panjang lebar dengan Adipati Surengpati yang senang
membawa kemauan-nya sendiri. Meskipun demikian, tetap ia bersikap sopan dan tenang. Dan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dengan membungkuk sedikit ia menjawab, "Dalam hal ini aku mempunyai alasanku sendiri. Tuan adalah angkatan tua yang harus kuhormati."
Singkat jawabannya Gagak Handaka, tapi cukup tegas dan berwibawa. Dengan hati-hati ia
mulai mempersiapkan diri. Teringat lawannya bukanlah tokoh sembarangan, maka dengan
terpaksa ia lantas saja mengerahkan ilmu sakti Pancawara. Seperti diketahui, ilmu sakti tersebut jarang dipergunakan apabila tidak dalam keadaan memaksa. Kehebatannya di luar dugaan
seseorang. Karena tenaga lontarannya bagaikan pukulan seorang sakti kelas wahid. Dan apabila digabungkan dengan salah seorang dari perguruannya, tenaganya bertambah dua kali lipat. Dalam hatinya, tiada niat hendak mencelakai Adipati Surengpati. Karena itu, ia emoh mengajak
Ranggajaya agar membantu.
"Hai! Siapakah namamu sebelum kau mampus di tengah ladang ini?" gertak Adipati Surengpati.
"Gagak Handaka."
"Nah, tahukah engkau siapa saja yang berada di sini" Dialah pendekar dari Gunung Serandil Arya Kebo Bangah. Dan ini pendekar Gagak Seta."
Gagak Handaka lantas saja membungkuk hormat terhadap mereka. Sedianya ia hendak
berbicara, tetapi Adipati Surengpati telah berkata lagi. "Gurumu telah mencuri ilmu Witaradya dan Kala Lodra. Karena itu kami berdua merasa dirugikan."
"Mencuri?" sahut Gagak Handaka dan Ranggajaya hampir berbareng. Serentak mereka bersiaga menghadapi perkelahian yang menentukan.
Sangaji jadi bergelisah. la tahu, kedua pamannya pasti tak dapat lagi menguasai kesabarannya lagi manakala nama kehormatan gurunya difitnah demikian. Dia sendiri pun meskipun kini sudah dipilih menjadi menantunya"akan berani menentang pula, apabila gurunya dihina dan dituduh sebagai pencuri. Tetapi betapa pun juga, ia tak ingin melihat kedua pamannya bertempur
melawan mertuanya. Maka dengan suara gemetar ia mencoba melerai. Mendadak Gagak Seta
menarik lengan bajunya sambil berkata cukup terang.
"Sangaji! Tak usahlah engkau mencampuri urusan ini. Mertuamu sekalipun terdengarnya galak, tetapi tahu membatasi diri. Aku kenal dia. Meskipun terdengarnya menghina Kyai Kasan Kesambi, sebenarnya hanya bermaksud hendak menyalakan api marah pamanmu. Dengan begitu ia akan
bisa mencoba kekuatan Paman dan kakek gurumu yang benar. Lihat sajalah! Sekiranya benarbenar mertuamu akan menghabisi kedua pamanmu, aku ada di sini. Meskipun belum tentu bisa menang, tetapi mengalahkan aku tidaklah begitu gampang."
Mendengar kata-kata Gagak Seta, secara tak langsung Gagak Handaka dan Ranggajaya
tersadar. Karena itu, masih saja mereka bisa bersikap tetap hormat terhadap Adipati Surengpati.
Sebaliknya Kebo Bangah yang menghendaki lain, terus saja ikut menimbrung.
"Hai, pendekar jembel! Gampang kau mengoceh seperti burung. Kau anggap apa aku ini"
Masakan aku tinggal memeluk dada, melihat engkau banyak bertingkah terhadap saudara
Surengpati" Di sampingku masih ada Dewaresi dan anakku Titisari. Mereka pun takkan tinggal diam. Nah, genaplah pertandingan ini. Empat musuh empat. Kau mau bilang apa?"
Hebat ucapan Kebo Bangah ini. Didengar selintasan terasa mengancam juga. Namun Gagak
Seta hanya tertawa panjang seolah-olah tak mengindahkan. Malahan dengan memanggutmanggut ia menjawab, "Boleh coba! Boleh coba!"
Dalam pada itu Gagak Handaka memperta-hankan diri.
"Meskipun tidaklah seagung Gusti Adipati, tetapi guruku tahu membedakan antara per-buatan layak dan buruk menurut ukuran-ukuran naluriah dan budi pekerti dalam pergaulan hidup.
Masakan hendak mengalahkan kekuatan lawan saja, seseorang harus mencuri buku wasiatnya"
Lagi pula apakah sih hebatnya ilmu sakti Witaradya dan Kala Lodra, sehingga Tuan yang agung sudi mendakwa guruku sebagai pencuri?"
"Apa kau bilang?" bentak Adipati Surengpati. "Kau anak kemarin sore berani menghina aku"
Jika begitu jangan kau persalahkan aku. Hari ini, janganlah engkau mengharapkan pulang dengan selamat!"
"Seorang ksatria takkan melarikan diri dari gelanggang. Tentang mati dan hidup adalah takdir belaka," sahut Gagak Handaka dengan gagah. Kemudian berkata memerintah kepada Ranggajaya,
"Minggirlah! Janganlah kau berkutik dari tempatmu. Aku akan melawannya sendiri dengan tenagaku sendiri."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Gagak Handaka adalah murid Kyai Kasan Kesambi yang tertua dan berwibawa. Setiap katanya
merupakan keputusan yang tak boleh diganggu-gugat. Maka Ranggajaya segera meloncat ke tepi dengan tak membantah.
"Awas!" teriak Adipati Surengpati dan terus saja melompat sambil menyerang.
Tubuh Gagak Handaka bergoyangan ke kiri ke kanan. Dan dengan suatu gerakan sederhana, ia berhasil membebaskan diri dari serangan Adipati Surengpati yang sebat luar biasa.
Adipati Surengpati heran, mengapa Gagak Handaka tak melakukan pembalasan selagi
membebaskan diri, ia pun heran pula, cara Gagak Handaka mengelakkan serangan. Seketika itu juga, sadarlah dia. Cepat ia meloncat mundur sambil berkata nyaring. "Aku Adipati Surengpati, masakan kaulayani seorang diri" Panggil adikmu seperguruan!"
"Aku Gagak Handaka mempunyai alasanku sendiri."
"Bagus! Jangan menyesal!" Adipati Surengpati menyahut dengan cepat. Terus saja ia mengulurkan tangan dan menyambar dengan dahsyat.
Gagak Handaka mundur jumpalitan dan terus bergulingan di atas tanah. Keruan saja Sangaji terperanjat luar biasa. Gugup ia berteriak, "Kanjeng Romo! Ampuni pamanku!"
Cepat ia menjejak tanah hendak maju, tapi lengannya kena disambar Gagak Seta.
"Hai! Jangan berlaku tolol! Lihat gerakan pamanmu!"
Oleh sanggahan itu dengan tak sengaja Sangaji melepaskan penglihatannya kepada Gagak
Handaka. Waktu itu Gagak Handaka terus bergulingan dengan tiada hentinya. Lincahnya bukan main. Tetapi Adipati Surengpati bukan pula seorang anak kecil. Dengan sebat ia terus memburu, memukul dan menendang. Meskipun demikian semua serangannya kena dielakkan berturut-turut.
"Perhatikan gerak-gerik pamanmu!" bisik Gagak Seta kepada Sangaji.
Sangaji terus memperhatikan dengan cermat. Kini insyaflah Sangaji, bahwa cara berguling
pamannya merupakan suatu ilmu pemunah yang dahsyat dan licin tak terkira. Itulah suatu ilmu pemunah tingkat tinggi yang gayanya mengingatkan kepada cara eyang gurunya tatkala berputar-putar di udara selagi hendak mulai mencoret suatu jurus ciptaan-nya. Teringat akan hal itu, terus saja ia mengamat-amati dengan seksama. Tatkala melihat bagian pelipatan diri yang indah, tak terasa terloncatlah mulutnya. "Bagus!"
Adipati Surengpati benar-benar menjadi penasaran, karena semua serangannya dapat
digagalkan dengan mudah. Hatinya kian panas dan menyerang kian hebat. Kesudahannya luar
biasa mendebarkan hati. Tubuh Gagak Handaka luput dari semua pukulan, namun setiap kali menghindari lengan
bajunya terobek juga. Bahkan rambutnya pun seperti kena terpangkas. Lambat laun insyaflah dia, bahwa serangan Adipati Surengpati tak boleh dianggap remeh. Maka dengan serentak ia meloncat tinggi dan melesat jauh di depan. Kemudian berdiri dengan gagah sambil mempersiagakan
serangan pembalasan. Bagi Ranggajaya cukuplah terang, bahwa Gagak Handaka kini mempersatukan segenap
tenaganya hendak menggunakan ilmu sakti Pancawara tanpa ragu-ragu lagi. Hatinya yang tegang, agak lega juga.
Dalam pada itu Adipati Surengpati telah memburu dengan cepat. Serentak ia memukulkan
telapak tangannya dan Gagak Handaka menyongsongnya dengan berani.
"Hai! Kau berani menyambut?" Adipati Surengpati berteriak heran. Dan tatkala merasakan betapa Gagak Handaka memiliki tenaga yang hampir seimbang, ia terkejut dan kagum luar biasa.
Dasar hatinya mau menang sendiri, maka sekaligus ia memberondong dengan tiga pukulan sakti sekaligus.
"Sang Adipati! Pukulanmu luar biasa kuat-nya. Tetapi masakan aku harus menyerah mentah-mentah belaka?" terdengar Gagak Handaka bergumam.
Kemudian ia menyambut serangan Adipati Surengpati dengan ilmu sakti Pancawara sambil
tangan kirinya menyambar ikat kepala.
Dalam hal mengadu tenaga"meskipun Gagak Handaka memiliki ilmu sakti Pancawara"masih
kalah setingkat dan kalah ulet pula daripada Adipati Surengpati. Maka itu, begitu tangan kirinya menyambar ikat kepala, tubuhnya kena terdorong mundur beberapa langkah. Tetapi ia sangat sebat pula. Ikat kepala Adipati Surengpati masih saja kena dijambretnya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Adipati Surengpati melompat maju. Karena sangat murka, ia menyerang dengan kedua
tangannya sambil berseru. "Gunakanlah kedua tanganmu berbareng! Kau takkan tahan!"
Peringatan Adipati Surengpati itu menyadarkan Gagak Handaka. Dengan sebat ia membuang
ikat kepala rampasannya, kemudian menghimpun semua tenaganya. Dan dengan kedua
tangannya ia menyambut serangan gempuran Adipati Surengpati yang dahsyat luar biasa. Dan begitu dua tenaga itu beradu, tubuh Gagak Handaka berkisar dari tempatnya. Kemudian jatuh berjongkok dengan memejamkan mata.
Melihat Gagak Handaka terluka, Adipati Surengpati tak meneruskan serangannya lagi. Sebagai seorang pendekar yang merasa diri bagai malaikat, engganlah hatinya hendak menghajar lawan selagi terluka. Karena itu dia meloncat mundur selangkah dan menunggu dengan berdiri tegak.
Beberapa saat kemudian, terdengarlah suara berkeruyuk dalam rongga dada Gagak Handaka.
Dan dari mulutnya terloncatlah darah segar. Seketika itu juga wajahnya menjadi pucat lesi.
Semua yang menyaksikan pertempuran itu heran dan tercengang-cengang. Terang sekali
Gagak Handaka tidak bakal menang tetapi belum tentu bisa dikalahkan dengan mudah. Apa sebab dia tak tahan menghadapi pukulan Adipati Surengpati"
Setelah memuntahkan darah, Gagak Handaka bangkit dengan perlahan-lahan. Kemudian
berkata, "Aku mencoba bertahan dengan ilmu sakti ajaran guruku. Sayang sekali, aku tak diperkenankan membalas menyerang. Seumpama aku sampai hati melanggar perintah Guru
dengan membalas menyerang dan minta bantuan adik seperguruanku, pastilah engkau takkan
sanggup melawan kehebatan ilmu sakti Pancawara. Kau percaya tidak?"
Adipati Surengpati membungkam dalam hatinya ia percaya akan keterangan Gagak Handaka.
Tadi ia merasakan betapa teguh benteng pertahanannya. Seumpama Gagak Handaka membalas
menyerang"meskipun belum tentu bisa merobohkan"tetapi apabila dibantu adik
seperguruannya, rasanya tenaganya takkan kuasa melawan. Karena itu hatinya tak enak sendiri.
Serentak ia merogoh sebungkus ramuan obat dari dalam sakunya. Kemudian diangsurkan kepada Gagak Handaka sambil berkata setengah membujuk. "Minumlah! Inilah obat buatanku sendiri.
Dahulu pernah pula menolong nyawa gurumu. Sekarang kuakui dengan hati bersih, bahwa
gurumu memang seorang pendekar sakti tak terlawan pada zaman ini. Meskipun belum tentu aku bisa menang, namun akan menguras habis semua daya ingatanku untuk mempertahankan diri.
Pergilah dengan selamat dan sampaikan salamku."
Gagak Handaka memanggut sambil menerima sebungkus obat itu. Segera ia menelannya dan
kemudian menyalurkan napasnya. Di sampingnya berdiri tokoh sakti Gagak Seta dan adik
seperguruannya sendiri. Dengan pertolongan mereka, darah yang bergolak dalam dadanya telah dapat dikuasai.
Sangaji kemudian menggendongnya dan membawanya berteduh. Pemuda itu dengan hati tak
keruan, mengurut-urut punggung dan pinggangnya. Maksudnya hendak menolong melancarkan
jalan darahnya. Meskipun dia bukan tabib, tapi dalam dirinya mengalir getah sakti Dewadaru.
Maka tak mengherankan, setelah mengatur pernapasan dan jalan darah, sebentar saja Gagak
Handaka telah pulih kembali.
"Saudara Surengpati!" tiba-tiba Kebo Bangah berkata, "Kau rasakan sendiri kini, betapa makin hebat si tua bangka itu. Melawan muridnya saja, kau nampak kuwalahan. Apakah yang hendak kaukatakan?"
Adipati Surengpati merenungi ucapan Kebo Bangah. Mendadak ia tersenyum wajar dan
menjawab, "Saudara Kebo Bangah! Benar-benar aku membuatmu kecewa ilmu kepandaian
memang maju terus di luar pengamatan manusia. Seumpama di kemudian hari aku harus
mengakui keunggulan Kyai Kasan Kesambi, apakah yang harus kusesalkan?"
"Bagus! Bagus! Itulah ucapan seorang ksatria sejati," sambung Gagak Seta dengan tertawa lebar. Kemudian kepada Kebo Bangah, "Kau Kebo bangkotan, belajarlah sepuluh dua-puluh tahun lagi. Apakah jeleknya?"
Mendengar ujar Gagak Seta, sebenarnya hati Kebo Bangah mendongkol bukan main. Tetapi
dasar licin, wajahnya bebas dari sesuatu kesan. Tetap saja ia memancarkan kesan gembira dan segar. Hanya saja, tangannya terus mengibas. Lalu berkata kepada Adipati Surengpati.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Marilah kita berpisahan sampai di sini saja. Sekiranya Pulau Karimunjawa cukup lapang, aku ingin mengunjungi barang tiga empat bulan. Di sana kita berdua bertempur menguji sampai di mana kemajuan ilmu kepandaian kita masing-masing."
"Eh, apakah kalian berdua akan bersekongkol untuk menciptakan semacam ilmu pemusnah ciptaan Kyai Kasan Kesambi?" potong Gagak Seta.
"Saudara Surengpati hendak mendidik kemenakanku menjadi seorang pendekar. Di waktu
senggang, bukankah lebih baik aku mencoba-coba kepandaian Tuan rumah?" sahut Kebo Bangah penasaran. "Kau pendekar jembel, urusilah dirimu sendiri!"
"Baik! Segera aku akan mencari seorang pengemis perempuan. Siapa tahu, dia mau kukawini.
Dengan begitu, bukankah diriku bakal ada yang mengurus?"
Titisari yang selama itu berdiam diri terus saja menimbrung. "Paman Gagak Seta! Di antara semua pembicaraan ini, cita-citamulah yang terbaik. Biarlah kelak aku mengajari bibi memasak resep masakan Tionghoa, Jawa, Madura, Bali dan Eropa..."
"Huuuu... siapa kesudian" Lebih baik ajarilah dia memasak cacing, jangkrik dan belalang.
Dengan begitu tak usah aku bersusah payah mencuri ayam, itik, kambing atau lembu..."
Titisari tertawa geli mendengar ujar Gagak Seta. Sang Dewaresi mengerling kepadanya. Begitu melihat keserian wajahnya dan kulitnya yang kuning bersih darahnya berdesir jungkir balik.
"Saudara Gagak Seta!" tiba-tiba Adipati Surengpati berkata. "Marilah kau ku undang datang ke Karimunjawa." .
"Terima kasih, saudara Surengpati. Aku si jembel ini merasa memperoleh suatu kehormatan besar. Tetapi kawan-kawanku saat ini tersebar di seluruh persada bumi. Ibukota kerajaan lagi mengalami kekeruhan. Kompeni Belanda kini mengadakan pengawasan keras terhadap istana. Aku dan kawan-kawanku ingin mengemis ke tangsi itu. Siapa tahu aku memperoleh itik, ayam, dan roti Belanda," sahut Gagak Seta.
"Saudara Gagak Seta! Engkau sungguh seorang ksatria sejati. Seumur hidupku tak pernah kau melupakan perjuangan bangsa. Aku kagum sekali..."
"Kau salah saudara Surengpati. Coba, andaikata aku mempunyai seorang puteri secantik Titisari, masakan aku sudi keluyuran tak keruan juntrungnya..."
Semua orang lantas saja melemparkan pandangannya kepada Titisari. Pada waktu itu, kesan
tubuh Titisari seperti bunga bersemi, la nampak segar bugar, menggairahkan dan jelita.
Mendadak saja, Adipati Surengpati membentak Sangaji. "Hai bocah tolol! Kau sudah bisa memikat hatiku dengan jurus-jurus pemunah ilmu sakti Witaradya. Tetapi janganlah engkau
tergesa-gesa merasa diri sudah lulus. Aku telah mencoba kekuatan pamanmu. Sama sekali tak kutemukan jurus-jurus itu. Karena itu, sudahlah waktunya engkau berbicara terus terang. Katakan kini, dari mana engkau mengetahui kunci ilmu Witaradya" Apakah engkau telah memperoleh
bagian kitab dari muridku Pringgasakti, kemudian kau perbincangkan dengan kakek gurumu ..."
Sangaji kaget setengah mati, mendengar tuduhan Adipati Surengpati. Mau ia menjawab, tetapi kerongkongannya seperti tersumbat.
"Hai nanti dulu!" Gagak Seta berkata, "kau memang seorang pendekar yang bisa berubah dari hijau ke merah. Ada apa sih engkau begini angin-anginan" Apakah alasanmu engkau menuduh
bakal menantumu yang bukan-bukan. Menantumu adalah seorang tolol. Hatinya sederhana. Apa yang diucapkan adalah kata hatinya. Masakan dia hendak membohongi bakal mertuanya?"
Tetapi Adipati Surengpati tiada mengindahkan. Tetap saja ia memandang Sangaji dengan
wajah bengis. "Bagian kitab Witaradya hilang dicuri Pringgasakti. Bukankah engkau telah mengabaikan hal itu kepada kakek gurumu" Bilang!"
Dengan memaksa diri, Sangaji menguasai rasa kagetnya. Lalu menjawab sulit, "Sama sekali aku tak tahu menahu tentang kitab itu. Waktu aku menghadap kakek guru, aku hanya mengabarkan tentang pusaka Bende Mataram dan Keris Kyai Tunggulmanik."
Tatkala itu, Ranggajaya yang sedang mem-bantu menyalurkan jalan darah Gagak Handaka
berdiri dengan perlahan dan memandang Adipati Surengpati dengan tajam. Dahulu... semua murid Kyai Kasan Kesambi... melihat Sangaji sewaktu sibuk memahami ilmu ciptaan Kyai Kasan Kesambi, tatkala mereka hendak meninggalkan gunung. Mereka semua tahu, bahwa Sangaji memperoleh
ilmu baru dari gurunya. Hanya saja mereka tak sempat lagi hendak ikut mempelajari. Kini, hati Ranggajaya luar biasa dengkinya terhadap Adipati Surengpati karena pendekar itu melukai kakak
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
seperguruannya dengan cara demikian. Mendengar pendekar itu sedang menuduh Sangaji,
sekaligus terbangkitlah rasa permusuhannya. Lantas saja berkata memotong kepada Sangaji.
"Kenapa engkau berkata tak tahu menahu" Menurut pamanmu Bagus Kempong, engkau telah berhasil merampas bagian buku Witaradya dari tangan Pringgasakti. Syukur Adipati Surengpati seorang pendekar kelas wahid tak mengetahui hal itu. Mestinya engkau sebagai cucu murid Kyai Kasan Kesambi harus berkata terus terang, bahwa engkau telah memahami bagian kitab
Witaradya yang kemudian disempurnakan oleh eyang gurumu. Bukankah berkata terus terang
atau membohong, samalah halnya" Mulai saat ini, biar pun mertuamu sendiri akan tunduk
padamu." Mendengar ujar Ranggajaya, Sangaji pucat lesi. Dengan tersekat-sekat ia mencoba
membantah. "Paman!... Kapan... kapan aku pernah berkata demikian?"
Ranggajaya melototkan matanya. "Pamanmu Bagus Kempong yang berkata. Bukan kau!"
Seperti diketahui, tatkala Wirapati datang ke padepokan Gunung Damar setelah merantau
selama sepuluh tahun, ia melihat perubahan dalam diri Ranggajaya. Kakaknya seperguruan yang dahulu tak pandai berbicara, kini tangkas dalam suatu perdebatan. Karena itu, menghadapi Sangaji yang tak pandai berbicara tidaklah menemukan sesuatu kesulitan. Bahkan ia merasa lebih berwibawa. Maklumlah, tingkatannya samalah halnya dengan gurunya.
Pada waktu itu hati Sangaji kelabakan kehilangan pegangan. Sama sekali ia tak merasa
bersintuan dengan kitab Witaradya. Kalau saja ia bisa memperlihatkan sesuatu ilmu kepandaian yang mengagumkan para pendekar, adalah semata-mata diperolehnya dari eyang gurunya. Apa
sebab, paman gurunya bisa menguatkan tuduhan bakal mertuanya. Tapi dasar ia tak pandai
berbicara, maka mulutnya makin terasa mengunci.
Sebaliknya Adipati Surengpati menjadi kalap. Ia percaya Ranggajaya berkata dengan
sebenarnya. Lantas saja ia menyambar tangan Titisari. Setelah membungkuk hormat kepada Kebo Bangah dan Gagak Seta, terus ia melesat seperti kilat. Sebentar saja bayangannya tiada nampak lagi.
Titisari terkejut kena tersambar tangannya. Ingin ia hendak berbicara, tetapi baru saja


Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memperdengarkan suara, "Aji...!" tubuhnya telah terseret ayahnya. Bayangannya pun sebentar pula hilang dari pengamatan manusia.
Ranggajaya tertawa perlahan melalui dadanya. Tatkala itu, Gagak Handaka telah selesai
menyalurkan jalan darah dan pernapasan. Semua pembicaraan antara Ranggajaya, Sangaji dan Adipati Surengpati didengarnya dengan jelas. Hanya saja, ia belum berani mencampuri karena waktu itu keadaan dirinya tidak mengizinkan. Dan begitu kesehatannya pulih kembali, terus saja ia berkata kepada Ranggajaya setengah menyesali.
"Ranggajaya! Apa sebab engkau berkata demikian?"
"Hm... dia boleh merasa diri seorang pendekar jempolan. Tapi nyatanya, masih bisa ia kukelabui," jawab Ranggajaya dingin.
Mendengar jawaban Ranggajaya, Gagak Seta heran bercampur kaget. Lantas saja ikut
berbicara, "Jadi... Sangaji benar-benar tak tahu menahu tentang kitab Witaradya?"
"Memang dia tak tahu menahu," jawab Ranggajaya dengan hormat.
"Ah! Engkau merusak urusan besar! Biarlah aku berbicara kepadanya..." Gagak Seta terkejut.
Terus saja ia melesat memburu Adipati Surengpati. Dalam hal mengadu lari, tak usahlah Gagak Seta merasa kalah daripada rekan-rekannya. Maka sebentar saja, tubuhnya telah lenyap pula dari penglihatan.
Setelah kedua pendekar itu pergi mening-galkan lapangan Kebo Bangah pun segera
melanjutkan perjalanannya. Barisan tahuannya lantas saja berterbangan memenuhi angkasa. Sang Dewaresi berjalan di belakangnya, sedangkan para pengiring mengiringi dengan penuh hikmat.
Empat orang penggembala tabuan tak ikut serta, karena lagi sibuk mengubur seorang dayang yang kena korban jarum emas majikannya sendiri.
"Anakku Sangaji!" kata Ranggajaya. "Kau tahu kini tabiat mertua pilihanmu. Kalau lagi kumat tabiatnya, dia bisa mengutungi anaknya sendiri. Tabiatnya kejam, bengis dan tak per-dulian.
Apabila di kemudian hari ia sampai mengutungi lengan anaknya pastilah akan tambah tenar
namanya." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sangaji tersirap darahnya mendengar ucapan pamannya. Tak diketahui sendiri, tubuhnya
menggigil. Dalam hati, ia percaya mertuanya bisa berbuat demikian. Alangkah akan hebat jadinya, apabila Titisari sampai kena dianiaya.
"Kau takut?" Ranggajaya tertawa. Mendadak saja ia memekik terkejut. Tangannya menuding ke arah tempat Bagas Wilatikta tertawan. Ternyata orang itu tiada lagi di tempatnya.
Dengan langkah panjang, Ranggajaya dan Gagak Handaka memburu ke tempat itu. Mereka
menjelajahkan matanya dan benar-benar tawanannya telah melarikan diri. Pastilah dia melarikan diri, sewaktu mereka lagi terlibat dalam pertikaian tadi. Peristiwa itu adalah wajar. Hanya yang mengherankan Bagas Wilatikta bisa membebaskan diri dari pukulan mereka berbareng. Sedangkan tadi, ia luka parah pula.
Sungguh berbahaya orang itu! Akhirnya Gagak Handaka berkata seperti menasehati diri
sendiri. "Terang sekali, dia telah kita kunci pembuluh darahnya. Tapi dia bisa membebaskan begitu cepat... Ranggajaya! Kuperingatkan kepadamu seumpama engkau bersua dengan dia seorang diri, jangan sekali-kali engkau berani melawannya. Aku pun takkan mampu..."
Ranggajaya memanggut kecil. Dalam hatinya, ia mengakui keperkasaan Bagas Wilatikta. Tadi saja, andaikata tiada ber-sama-sama kakak seperguruannya tidakkan bakal bisa merobohkannya.
Itu pun harus menggunakan ilmu sakti Pancawara yang sebenarnya tidak boleh dipergunakan
dengan sembarangan. "Orang itu juga yang dahulu melukai Paman Bagus Kempong," kata Sangaji yang diam-diam mengikuti dari belakang.
"Hai! Kau tak salah lihat!"
26 PENGEJARAN SANGAJI menggelengkan kepala. Dan melihat kesan mukanya yang sungguh-sung-guh,
Ranggajaya tak perlu menegas lagi. Dengan menghela napas ia berkata, "Coba kita tak terlibat dalam pertikaian yang tiada gunanya tadi, pastilah gurumu akan tertolong. Agaknya nasib adinda Wirapati kurang baik. Entah sampai kapan lagi, ia harus menanggung deritanya."
Diingatkan akan penderitaan gurunya, tubuh Sangaji menggigil tak setahunya sendiri. Mukanya pucat lesi. Ia tahu ke mana arah kata-kata pamannya itu. Hatinya lantas saja merasa bersalah.
Mendadak saja Gagak Handaka mendeham. Kemudian berkata perlahan, "Dalam hal ini, janganlah kita menyalahkan siapa saja. Kalau Bagas Wilatikta bisa membebaskan diri, itulah suatu bukti bahwa kita kurang berhati-hati." Ia berhenti sebentar. Meneruskan kepada Sangaji. "Orang itu kami jumpai secara kebetulan belaka. Dahulu Eyang Guru pernah memperkenalkan seorang tokoh sakti ahli membuat racun yang bermukim di daerah Gunung Kidul. Namanya Rajahpidekso. Aku dan pamanmu mencari kediamannya dengan maksud hendak meminta sekedar pertolong-an.
Siapa tahu karena dia seorang ahli racun pasti pula mengenal obat pemunah luka guru-mu.
Ternyata orang tua itu sudah lama meninggal dunia. Untung juga, anak cucunya bisa
menyediakan obat yang kupinta. Tetapi baru saja obat pemunah itu diterima pamanmu,
mendadak saja suatu kesiur angin menyambar padanya. Tahu-tahu obat pemunah itu telah kena dirampas Bagas Wilatikta. Berbareng dengan itu, cucu Rajahpidekso jatuh bergedebugan di atas tanah. Dengan memekik tinggi dan napas terengah-engah ia menceritakan, bahwa Bagas Wilatikta pernah merampas semacam racun berbisa untuk mencelakai seseorang. Mungkin, dialah adik tuan yang menjadi korbannya, katanya. Mendengar keterangannya, terus saja aku melesat
memburunya. Waktu itu, pamanmu telah bertempur dengan Bagas Wilatikta. Dengan bantuanku, akhirnya dia bisa kami mundurkan. Dan dari tempat ke tempat, akhirnya aku memperoleh
pengakuan daripadanya, bahwa dialah biang keladi penganiaya gurumu... Sayang, obat pemunah racun yang mengeram dalam tubuh gurumu masih belum berhasil kami rampas."
Sederhana kata-kata Gagak Handaka, tetapi terasa lebih berwibawa dan menakutkan daripada Ranggajaya yang beradat panas. Tak terasa Sangaji menundukkan mukanya ke tanah. Berbagai perasaan merumun hebat dalam benaknya.
"Kudengar selintasan tadi, bahwa dia telah merampas kedua benda pusaka Bende Mataram.
Jika demikian, guru sudah berhasil menemukan tempat menyimpannya," katanya kemudian dengan setengah berbisik. "Paman! Dalam hal ini akulah yang berkewajiban untuk merampungkan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
semuanya. Tetapi kemenakanmu yang buruk ini, mendadak saja terlibat dalam suatu peristiwa yang memalukan..."
Gagak Handaka tertawa melalui dada me-motong perkataan Sangaji. Dengan pandang berseri
ia berkata, "Mana kudamu?"
Oleh pertanyaan itu, terus saja Sangaji mengisahkan pengalamannya.
"Baiklah! Ambilah kudamu dan susullah kami," tukas Gagak Handaka. "Dan hendaklah mulai kini engkau berhati-hati terhadap sepak terjang bakal mertuamu. Pamanmu dengan tak sengaja, mungkin membubarkan kepen-tinganmu. Tetapi semuanya telah terjadi. Rupanya... engkau akan menghadapi peristiwa-peristiwa yang sulit. Karena itu, sekiranya engkau tak tahan... mintalah nasehat eyang gurumu."
Kedua pendekar itu kemudian melanjutkan perjalanannya menuju ke barat laut. Sangaji jadi tambah perasa, la merasa diri seperti seseorang yang ditinggalkan semuanya. Tiba-tiba saja teringatlah dia kepada ibunya yang berada jauh di rantau orang. Rasa rindunya terus saja menyanyi-nyanyi lembut dalam lubuk hati.
Perlahan-lahan ia memutar tubuh dan ber-jalan kuyu mengarah ke selatan. Sepanjang jalan, mulailah dia menyiasati perjalanan hidupnya.
Hm... tak terasa aku telah memasuki tahun 1805. Hampir satu tahun lamanya aku
meninggalkan Ibu. Dahulu aku begitu bersema-ngat hendak berbuat sesuatu kebajikan, pidmya dalam hati. Dengan doa restu Ibu, aku hendak menuntut balas kematian Ayah. Musuh Ayah Ibu telah kuketahui kini. Pangeran
Bumi Gede! Tetapi jangankan aku telah berhasil menuntut balas, malahan Guru kena dianiaya orang. Sedangkan aku, hanya sibuk mengurusi kepentinganku sendiri...
Tetapi teringat akan wajah Titisari, hatinya jadi lemas. Gadis itu memang liar, nakal dan aneh.
Meskipun demikian, tiada alasannya untuk menjauhi agar bisa berjalan di atas jalan yang
dirintisnya dahulu. Titisari begitu mencintai daku. Masakan aku akan menyia-nyiakan" Ia menimbang-nimbang.
Mendadak pikiran lain datang minta pengadilan. Baik! Kawinilah gadis itu! Tetapi gurumu pada saat ini menggeletak mengerang-erang di atas tempat tidurnya, semata-mata untukmu. Apakah bahagianya berdansa di atas bangkai gurumu"
Terkejut ia mendengar pertimbangan lain itu. Sekaligus terbangkitlah rasa ksatrianya, terus saja ia lari dengan cekatan menuju Imogiri.
"Cinta adalah korban! Guru telah mengor-bankan segalanya karena beliau mencintai daku.
Budinya setinggi gunung. Jiwaku sendiri belum tentu cukup untuk membalas budinya..." Sangaji berkomat-kamit seperti orang gendeng. Dan larinya bertambah pesat dan pesat.
Sebentar saja ia telah memperoleh kudanya kembali. Kemudian membedalkan ke arah utara
hendak menyusul kedua pamannya. Namun peristiwa yang dihadapinya, sesung-guhnya bukanlah suatu peristiwa yang enteng. Betapa kokoh hatinya umurnya masih muda belia. Tatkala malam hari mulai melingkupi alam, kembali ia kena goda dan kena rumun. Akhirnya ia membanting diri di atas gundukan tanah dekat persimpangan jalan Yogya -Surakarta.
Tengah ia merenung-renung tiba-tiba dide-ngarnya derap kuda berderapan. Ia mene-gakkan
kepala dan melihat empat penunggang kuda mengenakan pakaian seragam mirip seragam
kompeni Belanda. Yang berada di depan tertawa terbahak-bahak. Ternyata di atas kedua
lengannya terbujur seorang wanita setengah umur yang tak berkutik lagi. Wanita itu belum mati, karena terdengar ia merintih karena kesakitan.
Melihat pemandangan itu, Sangaji heran. Tak disadarinya sendiri tiba-tiba ia sudah ber-ada di tengah jalan seolah-olah lagi meng-hadang mereka.
"Minggir! Minggir!" bentak laki-laki yang menunggang kuda di sebelah kiri. Orang itu lantas saja mencabut pedang dan disabetkan miring ke kiri.
Sangaji waktu itu sedang pepat. Ia merasa diri seorang yang terlalu banyak menanggung
kesalahan. Dalam hatinya, ia hendak memperbaiki diri. Maka begitu melihat sepak terjang empat penunggang kuda yang mau menang sendiri, terbangkitlah rasa marahnya. Dengan tangkas ia
mengelak, kemudian tangannya menyambar pergelangan tangan perajurit itu dan dihentakkan ke tanah. Tak ampun lagi, prajurit itu jatuh bergedebukan di atas tanah.
"Hai iblis!" bentak yang lain.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Aku manusia! Bukan iblis! Mengapa perempuan itu?" sahut Sangaji galak.
"Biar kumakan, kusembelih, kunikmati dan kukuliti apa pedulimu" Inilah urusan kami..."
Dalam dada Sangaji merasakan sesuatu yang kurang beres. Tapi dasar tak pandai berdebat, ia jadi tergugu. Mendadak saja perempuan yang berada dalam pelukan pera-jurit yang berjalan di depan mengerang-erang minta pertolongan. Seketika itu juga, hati Sangaji terkesiap. Tanpa berbicara lagi, terus saja ia melompat hendak merampas.
Perajurit yang membentaknya menghalang di depan dengan menyabetkan pedang. Sangaji
telah memperoleh keputusan dalam hati. Maka dengan tangkas ia menangkisnya, kemudian
dengan sekali pukul terjungkallah lawannya.
Pukulan Sangaji bukanlah pukulan lumrah. Sekalipun hanya dilontarkan dengan sem-barangan, kesiur anginnya membawa tenaga ilmu sakti Kumayan Jati. Itulah sebabnya, begitu perajurit itu kena pukulnya, terus saja rebah tak berkutik.
Melihat temannya roboh kena sekali pukul, pecahlah keberanian rekan-rekannya. Dengan
berteriak-teriak salah seorang di antara mere-ka menyambar tubuh rekannya dan diba-wanya lari berserabutan. Yang celaka adalah nasib perempuan setengah umur yang ternya-ta luka parah. Dia terus saja dilemparkan de-ngan dibarengi tendangan telak.
Tatkala jatuh di tanah, napasnya telah tersita. Sangaji merenungi dengan hati terharu. Dengan pedang rampasan ia menggali lubang hendak mengubur mayat itu. Tetapi baru saja ia menggali beberapa jari, terdengarlah kembali derap kuda bergemuruh. Tak lama kemudian suara hiruk pikuk dengan disertai aba-aba. Ternyata yang datang adalah sepasukan perajurit berseragam kurang lebih berjumlah 250 orang.
Dengan membawa pedang rampasan dan mayat, Sangaji meloncat ke punggung si Willem.
Kuda hadiah Willem Eberfeld bukanlah kuda sembarangan. Begitu ditunggangi, terus saja
membedal menyeberang sawah.
"Bagus! Kau bersembunyilah di sini! Aku ingin menengok mereka," bisik Sangaji kepada Willem.
Tapi kali ini Willem salah tangkap aba-aba majikannya. Dengan meringkik tinggi, men-dadak saja lari berbalik dan menerjang barisan itu. Karuan saja Sangaji menjadi gugup. Untung, dia pernah mempunyai pengalaman menyerbu lawan dengan berkuda tatkala kakak angkatnya Willem Eberfeld bertempur melawan Mayor de Groote. Karena itu, begitu melihat barisan bergerak hendak mengadakan perlawanan, dengan gesit ia memutar pedangnya. Dalam sekejap saja, beberapa
perajurit jatuh bergelimpangan di tanah.
Sebenarnya Sangaji tiada mempunyai per-musuhan dengan mereka. Soalnya dia hanya
mempunyai kesan buruk terhadap mereka karena keempat orang penunggang kuda berseragam
tadi menganiaya seorang perem-puan begitu hebat. Tatkala melihat usia perempuan itu.
Teringatlah dia kepada ibunya yang semenjak tadi merisaukan hatinya. Dalam benaknya, seolah-olah ibunya yang tengah mengalami siksa. Itulah sebabnya, ia melabrak dengan benar-benar.
Gerak-geriknya dahsyat, cekatan dan tangkas.
Tetapi jumlah mereka terlalu banyak. Mau tak mau Sangaji harus melihat gelagat. Maka dengan hati setengah mendongkol ia memutar kudanya dan dilarikan sekencang-kencang-nya. Prajurit-prajurit itu berteriak-teriak setinggi langit dan melepaskan anak panah laksana hujan lebat.
"Tangkap bangsat itu! Tangkap bangsat itu!" Mereka memaki-maki kalang kabut.
Sangaji memutar pedangnya dan terus membedalkan kudanya. Willem adalah kuda jempolan.
Ia mengerti, majikannya dalam bahaya. Maka larinya sepesat angin. Sebentar saja telah lenyap ditelan kegelapan malam.
Beberapa waktu kemudian, Sangaji tiba di suatu persimpangan jalan yang sunyi senyap.
Dengan sebelah tangan masih memapah mayat, ia meloncat ke tanah. Cepat ia meng-gali lubang dan mengubur perempuan itu de-ngan penuh hormat. Perempuan itu terang bukan sanak bukan
kadang, tetapi bagi Sangaji mempunyai kesan hebat bagi dirinya. Terus menerus ia diganggu rasa rindu dendam terhadap ibunya
Membayangkan seolah-olah bahwa perem-puan itu adalah ibunya sendiri, tak terasa terperciklah air matanya. "Ibu bukan seperti dia!" ia membisiki diri sendiri. "Aku yakin, Ibu masih hidup segar-bugar.
Hanya saja Ibu pasti menung-gu-nunggu kabar beritaku..., Ibu! Aku pasti datang... Tetapi musuh Ibu belum kulunasi ... tunggu barang satu dua bulan lagi..."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Keadaan dirinya memang lagi berada dalam sarwa perasa. Sehabis membayangkan keadaan
ibunya, mendadak saja teringatlah ia pula kepada Titisari yang kini terenggut dari-padanya. Ia jadi berkecil hati.
Hebat pukulan peristiwa sehari tadi kepadanya. Dengan kepala kosong ia kembali lagi dan pada tengah malam berada kembali di tepi jalan Yogya - Surakarta. Pikirannya mulai tertarik kepada gerakan pasukan seragam yang berkesan kurang wajar. Terang sekali, mereka bukanlah pasukan kompeni Belanda atau begundal-begundalnya. Juga bukan pasukan kerajaan mirip pasukan
Pangeran Ontowiryo yang pernah dilihatnya. Jika demikian, pasukan dari mana mereka itu"
Waktu itu bulan cerah belum habis. Di te-ngah malam, bulan remang-remang mulai timbul di langit timur. Suasana alam jadi remang-remang dan penuh rahasia.
Willem diikatnya pada tonggak jalan dekat pohon kapuk. Dia sendiri menggeletak di atas batu menengadah ke udara. Sudah sering ia tidur di alam terbuka. Selama itu hatinya ringan dan terhibur. Sebaliknya kali ini, pepat dan tak menentu. Suasana alam yang remang-remang
meninggalkan kesan menye-sakkan padanya. Tahulah dia kini, bahwa semuanya itu tergantung pada keadaan hati. Coba, andaikata Titisari berada di dekatnya... bukankah semua menjadi indah belaka"
Kira-kira lewat larut malam, ia mendengar suara binatang berlari cepat menuju ke arah-nya.
Kemudian hidungnya mengendus bau wangi kemenyan. Berbareng dengan itu, Willem menggarukgarukkan kakinya. Oleh suara itu, binatang yang berlarian menyalak tinggi. Ternyata dua ekor anjing raksasa terus saja menyerang Willem.
Sangaji terkejut. Cepat ia menggeserkan diri dan berlindung di balik batu. Dari arah barat, selatan dan utara, munculan tiga pelita yang padam menyala. Dan saat itu pula, Willem mulai bertahan sebisa-bisanya melawan serangan dua ekor anjing raksasa yang nam-pak galak bukan kepalang.
Menyaksikan Willem kena ganggu, Sangaji hendak meloncat membantu. Tetapi teringat akan
tiga pelita yang padam menyala itu, ia jadi sangsi. Ia meraba-raba sekitarnya mencari batu. Selagi ia meraba-raba, dari sebelah barat tiba-tiba terdengar suara helaan napas. Ia menengok dan begitu menjenakkan mata, hatinya terkesiap. Hampir-hampir ia tak percaya kepada matanya
sendiri. Karena yang dilihatnya adalah sesosok bayangan setingginya enam tujuh meter. Tapi tatkala bayangan itu selalu mengeluarkan bunyi duk-duk-duk tahulah dia apa sebabnya. Ternyata bayangan itu berjalan di atas dua penyangga tongkat bambu (egrang-Jawa) yang berukuran tiga kali tinggi manusia lumrah.
Permainan egrang-egrangan1) seringkali ia melihatnya sebagai permainan kanak-kanak. Dan
bahwasanya seorang dewasa berjalan di atas egrang itu, benar-benar mengherankan. Apakah
orang ini beradat angin-anginan, pikirnya. Tetapi kian diamat-amati, hati Sangaji kian menjadi heran. Gerak-gerik orang itu gesit luar biasa. Tahu-tahu dengan sekali lompat, ia sudah berada di samping Willem. Dan dengan sekali ayun, dua ekor anjing yang menyalak memekakkan telinga terlontar dua puluh langkah lebih. Dengan suara bergede-bugan mereka mengkaing-kaing tinggi.
Melihat pertunjukkan itu, Sangaji ternganga-nganga. Memukul dua anjing dengan sekali pukul dan melontarkan sampai dua puluh langkah adalah soal biasa baginya. Yang mengherankan ialah, dua anjing itu berada di tempat yang tak segaris. Meskipun demikian mereka terlempar berbareng oleh suatu kesiur angin. Itulah suatu tanda, bahwa orang itu memiliki tenaga jasmaniah melebihi orang lumrah.
Sekonyong-konyong dari kejauhan ter-dengar tiga suitan panjang dan nyaring luar biasa. Di tengah malam suaranya bagai pekik burung hantu. Sesosok bayangan nampak mendatangi
dengan kecepatan luar biasa. Kedua ekor anjing yang mengkaing-kaing kesakitan terus saja berdiri tertatih-tatih menyonsongnya. Bayangan itu ternyata se-orang laki-laki berperawakan tegap, bercam-bang tebal dan berpakaian serba hitam.
Kedua anjing itu terus saja mengibas-ibaskan ekornya seperti lagi mengadu. Sangaji
mengamat-amati orang itu dengan lebih seksama, kesannya berwibawa benar. Meskipun pada
malam hari, Sangaji seolah-olah melihat sinar matanya yang cemerlang, la membawa sebatang kapak yang diselipkan di pinggang.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Randukintir!" teriak orang itu. "Kenapa kau menghajar kedua anjingku" Kata orang, memukul anjing samalah halnya dengan me-nantang majikannya. Benar-benar kau seorang biadab tak tahu aturan!"
"Saudara Malangyuda!" sahut Randukintir. "Aku seorang tukang pancing. Kerjaku cuma berada di tepi rawa dan sungai. Kebiasanku menjaga hasil pancinganku. Melihat anjingmu menyalaki kuda, aku jadi usilan. Sangkaku ia lagi hendak menggerogoti ikan pancingan. Meskipun demikian, aku hanya mendepaknya. Coba kalau aku lupa daratan, sekali kemplang kedua anjingmu akan
pelesir ke neraka. Tetapi biarlah aku minta maaf padamu."
Setelah berkata demikian, Randukintir membungkuk hormat sebagai pernyataan maaf dengan
setulus-tulus hati. Namun demikian, masih saja ia menongkrong di atas egrangnya. Terang sekali, hatinya tak sudi minta maaf. Sekali pun demikian, Malangyuda sudah puas dibuatnya.
"Randukintir!" katanya, "Bagaimana dengan urusan Bagas Wilatikta?"
Mendengar nama Bagas Wilatikta, Sangaji terkejut dan segera menajamkan pendengar-annya
dengan penuh perhatian. "Ia mencoba memisahkan diri. Bende
Mataram dan keris Tunggulmanik hendak dikangkangi. Hm... mana bisa begitu" Malam ini
menurut perjanjian ia hendak datang ke mari. Di sini ia hendak mengambil penentuan. Dia
seorang diri dan kita berempat. Nah, biar-lah dia menumbuk tembok," jawab Randu-kintir.
Malangyuda tertawa tergelak-gelak sampai tubuhnya berguncangan.
"Aku Malangyuda jauh-jauh datang ke mari untuk memenuhi undangan," katanya. "Tak kusangka, bangsat itu mempunyai maksud begitu. Kita semua sudah bekerja dengan rapi waktu menjebak Wirapati. Di antara kita pun, seorang kena dilukai sehingga hidup tidak mati pun tidak.
Masakan dia bersikap seolah-olah seorang majikan besar hendak mengangkangi kedua pusaka itu"
Hm! Dengan kepandaiannya yang tidak berarti itu, ia hendak memaksa kita tunduk padanya" Ih!
Jangan harap!" Mendengar disebutnya Wirapati, hati Sangaji tergetar. Sekaligus tahulah dia, bahwa musuh yang dicarinya kini sudah berada di depan hidungnya. Menurut kata hati, ingin sekali ia segera menerjang. Mendadak teringatlah dia bahwa Randukintir menyebutkan berempat. Pikirnya,
membasmi rumput harus sampai ke akar-akarnya. Biarlah kutunggu barang sebentar.
Tatkala itu Randukintir lantas saja tertawa terbahak-bahak. Katanya bergelora, "Memang... di kolong langit ini kecuali saudara Malangyuda tiada orang lain yang sanggup mengalahkannya.
Bukankah Malangyuda berarti malang-melintang ke segala penjuru tanpa tandingan?"
Malangyuda tertawa tinggi mendengar ungkapan2 itu. Hatinya girang benar. Men-dadak
bertanya, "Randukintir! Sewaktu kau mendengar bunyi mulutnya yang begitu besar, mengapa tidak lantas menamparnya?"
"Aku mendengar kabar ini dari Citrasoma dan Panji Pengalasan yang menjaga kedua pusaka tersebut. Kala itu, aku lagi memancing. Karena itu, tak dapat aku menyenangkan harapanmu."
"Bagus! Sesudah kau kini habis memancing, mengapa kau tak mencarinya" Apa kau takut padanya?"
"Takut" Apakah yang kutakutkan?" sahut Randukintir uring-uringan.
Malangyuda tertawa mendongak. Kemudian membentak, "Randukintir! Selama ini aku kagum pada Bagas Wilatikta. Kuakui pula, bahwa bagiku segan. Sekarang kauhilang, tak takut padanya.
Bukankah hal itu samalah halnya merendahkan daku" Baiklah, sekarang kita mencoba-coba
mengadu kepandaian. Ingin aku merasakan, apakah engkau mempunyai kepandaian yang berarti untuk menjajal ilmu Bagas Wilatikta."
"Hm! Hm! Aku tukang pancing, selamanya mau bekerja apabila ada hasilnya," sahut Randukintir.
"Baik! Kalau aku kalah, anggaplah aku tak berhak lagi mempunyai andil perkara kedua pusaka itu."
Dan berbareng dengan ucapannya itu, Malangyuda terus menyerang dengan kapaknya.
Randukintir ternyata benar-benar gesit. Meskipun masih berada di atas egrangnya yang tegak berdiri bagai tiang, ia dapat me-nyingkir dengan gerakan indah dan tangkas luar biasa. Kemudian bagaikan kilat, ia membalas menyerang.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tetapi musuhnya bersenjata kapak. Bagai-manapun juga, ia kalah dalam hal mengadu tenaga.
Maka tahu-tahu ia mengeluarkan sebilah galah dengan benang pengait. Ternyata itulah sebuah pancing yang dibuatnya sebagai senjatanya. Terus ia menyongsong gempuran kapak Malangyuda, keras melawan keras.
Masing-masing mempunyai senjata andalan. Yang satu tajam dan kuat. Lainnya, lemas dan
lembut. Meskipun demikian, senjata mereka masing-masing mengeluarkan bunyi desing dan
gaung yang hebat. Senjata pancing Randukintir menyambar-nyambar seperti kilat. Setiap kali berbentur gagang kapak lawan, segera hendak melilitnya. Sebaliknya kapak Malangyuda seperti mempunyai mata.
Apabila hampir kena gubat, mendadak saja terus membetot berbareng memapas ke samping.
Pada suatu kali tenaga benturan mereka benar-benar mengenai sasaran yang dikehendaki.
Masing-masing kena dipentalkan dua langkah dengan pekikan heran.
"Randukintir!" teriak Malangyuda. "Kepandaianmu memainkan pancing boleh juga. Untung aku bukan ikan goblok, sehinggga tak mudah kau beri umpan. Hai! ilmu kepandaian apakah itu
namanya?" "Kentut! Kentut!" maki Randukintir. "Inilah ilmu kepandaian kentut!"
"Randukintir! Aku bicara dengan setulus hatiku apa sebab engkau membalas dengan cara begitu rupa?" Malangyuda jadi sakit hati.
"Engkau bertanya aku sudah menjawab. Bukankah sudah terbayar" Kau mau mengompak
hatiku yang goblok, huuu.... masakan bisa?"
MENDENGAR UCAPAN RANDUKINTIR, MALANGYUDA tertawa terbahak-bahak dan terus
membungkuk hormat. Dan buru-buru Randukintir membalas hormatnya dari atas egrangnya.
Mendadak saja terdengar suara berdesing. Kaget Randukintir menengadahkan mukanya. Belum
lagi ia sempat bergerak, sebongkah tanah telah menghantam salah satu tongkatnya. Hebat tenaga pelempar bongkahan tanah itu, karena tongkat Randu-kintir kena dipentalkan. Dan dengan
berjungkir balik, Randukintir mendarat ke tanah.
"Siapa?" Ia membentak terkejut.
"Memberi hormat sesama kawan, masakan masih saja menongkrong di atas egrang?" sahut suatu suara. Di saat itu juga munculah laki-laki berperawakan ramping dan gerak-geriknya halus.
Ia menyandang sebuah cangkul di atas pundaknya. Agaknya, cangkul itu merupakan senjata
andalannya. Tadi ia seperti mencangkul tanah. Mendadak saja bongkahan tanah yang kena
cangkulnya terus melesat menghantam tongkat egrang Randukintir.
"Eh, Panji Pengalasan!" seru Malangyuda. "Kami sedang bermain-main. Mengapa kau ikut campur?"
"Kita adalah sesama rekan. Masakan kalian bisa bermain-main tanpa menunggu aku?" sahut Panji Pengalasan dengan suara lembut. "Lihatlah! Saudara Citrasoma penunggu warung kopi yang berbudi, ikut menyesali kalian."
Baik Randukintir maupun Malangyuda terus menoleh ke arah telunjuknya. Di sana berdiri
seorang laki-laki berkesan keruh menentang mereka.
"Hai! Kapan kau datang?" seru Randukintir. "Kau pun akan berebut kedua benda pusaka Bende Mataram."
Orang yang di sebut Citrasoma mendeham. Dengan suara malas, singkat dan pendek ia
menjawab, "Kedua benda itu milik kita bersama. Habis perkara...!"
"Itulah jempol!" Sahut Malangyuda dengan tertawa terkekeh-kekeh. "Tapi si bangsat Bagas Wilatikta berpikir lain. Kita semua harus menentukan pemiliknya. Barangsiapa bisa mengangkangi kedua benda itu, dialah yang berhak menjadi pemiliknya yang sah."
Mereka membungkam mulut seolah-olah lagi sibuk menimbang-nimbang. Sekitar tem-pat itu
lantas menjadi sunyi. Sangaji melongokkan kepalanya dengan diam-diam. Ia tak kenal mereka dengan sejelas-jelasnya dan tak mengetahui peranan apakah yang pernah mereka lakukan
terhadap gurunya. Tetapi mendengar tutur katanya, ia yakin mereka adalah sekawan sepaham dalam hal mencelakakan gurunya. Teringat akan pen-deritaan gurunya, seketika itu juga mendidih darahnya.
"Sebenarnya Pangeran Bumi Gede mau membeli berapa?" Panji Pengalasan membuka
mulutnya. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Citrasoma si pendiam menjawab, "Dua gedung, empat puluh hektar sawah, uang lima ratus ribu rupiah."
"Jumlah yang menyenangkan juga," sahut Randukintir yang mulutnya tajam. "Cuma saja susah membaginya. Bayangkan jumlah itu dibagi lima. Sawah dan jumlah uang gampang dibagi. Tetapi membagi dua gedung adalah sulit. Siapa kesudian kebagian kamar kencing dan kamar pelangsir kotoran" Entahlah kalau kalian tukang kentut!"
Malangyuda tertawa terbahak-bahak. "Kau lupa! Kitapun masih harus memberi bagian sedikit kepada Bagus Tilam, Suma, Wira, Pitrah dan Salamah. Merekapun bukankah ikut bekerja pula?"
"Kentut!" sahut si mulut jahil Randukintir. "Bagus Tilam sebentar lagi akan mampus. Masakan perlu segala tetek bengek" Suma, Wira, Pitrah, dan Salamah cuma cecunguk yang tak punya
guna. Dahulu mereka cuma kita gantung terbalik selama seperempat jam. Apakah susahnya cuma digantung begitu saja?"
"Kau bisa menutup mulutmu tidak?" tegur Panji Pengalasan.
"Ini mulutku sendiri, apa perlu kau usilan?"
"Kita lagi mempertimbangkan jerih payah kita. Janganlah kau ganggu agar kita bisa
menentukan sikap terhadap kemauan Bagus Wilatikta."
Mendengar alasan Panji Pengalasan, mulut jahil Randukintir menurut juga. Segera ia menguasai mulutnya dan memasang kuping. Sejenak kemudian, Panji Pengalasan merninta
keterangan kepada Citrasoma.
"Siapa lagi calon pembeli kedua benda pusaka itu?"
"Patih Danurejo II."
"Berapa dia menjanjikan upah?"
"Empat gedung, seratus hektar sawah, dua puluh ekor lembu, uang tujuh ratus lima puluh ribu rupiah."
"Haa, ini lebih mendingan!" sahut Randukintir yang tak bisa menguasai mulutnya lagi begitu mendengar jumlah tawaran.
"Hai, diam!" bentak Malangyuda. "Dengarkan dulu!"
Kena bentakan Malangyuda, Randukintir melototkan matanya. Menuruti hatinya, ingin ia
membalas mendamprat. Mendadak terdengar Panji Pengalasan bertanya lagi, "siapa lagi?"
"Sri Sultan." "Kentut!" maki Randukintir. "Kenapa kentut?" Citrasoma minta keterangan. "Kentut!"
Dan Malangyuda yang beradat berangasan, lantas saja mendamprat. "Hai! Kau jangan bilang kentut-kentut terus menerus. Bilanglah apa sebabnya!"
"Aku bilang kentut ya kentut. Masakan kau tak tahu?" Randukintir melototkan matanya. "Siapa sudi mendengarkan omongan yang besar. Coba pikir! Masakan Sri Sultan begitu gampang keluar dari istana semata-mata untuk menemui paduka yang mulia Citrasoma?"
"Pintalah keterangan dahulu dan jangan hanya memaki-maki melulu," sahut Panji Pengalasan.
"Meskipun Pangeran Bumi Gede dan Gusti Patih-pun bukanlah datang sendiri. Tapi mereka mengirimkan orang-orang kepercayaannya untuk mengadakan tawar-menawar. Kau tahu kini,
goblok!" Randukintir rupanya berhati jujur. Dalam hati mengakui terlalu ceroboh sampai memaki kawan sendiri. Karena itu meskipun ia kena damprat, kali ini tiada bersakit hati. la mena-han tertawa cengar-cengir seperti orang gendeng.
"Baiklah! Kau bicara saja. Memang akulah yang kentut!" katanya.
Rekan-rekannya menggerendengi kecerobohannya. Kemudian Citrasoma menerangkan jumlah
penawarannya. "Dengarkan! Kali ini bisa kita pertimbang-kan. Sepuluh gedung bangsawan, lima ratus hektar sawah, seratus ekor lembu. Uang, satu juta ringgit. Dan siapa yang ikut serta mendapat pangkat Wedana."
"Bagus!" Mereka berteriak girang hampir berbareng.
"Nanti dulu! Rupanya Pangeran Bumi Gede mendengar penawaran ini. Dengan persetujuan gusti patih, ia menjanjikan jumlah penawaran Sri Sultan dua kali lipat. Bahkan, sepertiga tanah kerajaan diberikan pula dan kita semua dijanjikan pangkat Bupati," sahut Citrasoma bersemangat.
"Nah, penawaran apa lagi yang kita tunggu?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Berikan kepadanya!" teriak Malangyuda.
"Kau setuju?" Panji Pengalasan menegas.
"Bukankah itu suatu penawaran yang paling tinggi dan cukup berharga?"
"Dan kau Randukintir?"
Si mulut jahil tiada segera menjawab. Mulutnya masih sengaja cengar-cengir. Dan setelah di desak dua tiga kali, akhirnya menjawab, "Aku si tukang pancing. Kebiasaanku melemparkan pancing dan terus menyaplok hasilnya. Dan tak biasa mengumbar mulut besar menyebutkan
jumlah-jumlah tanpa gede bukti."
"Monyet! Kau tak percaya?" damprat Citrasoma.
"Apa yang harus kupercayai" Kentutmu?"
"Tunggu Baruna! Dialah yang mengadakan pembicaraan. Nah, kau nanti akan mendengar


Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sendiri." Randukintir tertawa terkekeh-kekeh sambil meludahi tanah.
"Masakan aku harus mempercayai mulut Baruna pemalas, penunggu jembatan" Huuu... Mana dia?"
"Aku ada di sini." Tiba-tiba terdengar suara bermalas-malasan.
Sangaji terkejut bukan main. Suara itu datang dari arah belakangnya. Dan tatkala menoleh, ia melihat seseorang berbaring di atas batu yang berada kira-kira sepuluh langkah di belakang punggungnya. Kapan orang itu di atas batu, sama sekali tak diketahuinya. Mendadak saja,
tersadarlah dia. Ah! pikirnya dalam hati. Terang sekali mereka bukanlah orang lumrah. Kalau tadi mereka
melihat si Willem, masakan tak ingat pemiliknya" Apa sebab mereka sama sekali tak menyinggung pemilik Willem.
Oleh pertimbangan itu, ia menyesali ketololannya sendiri. Lantas saja timbullah dugaannya, pasti mereka telah mengetahui keberadaanku. Nampaknya semua gerak-geriknya sudah diatur
demikian rupa semacam jebakan untuk mengelabui mataku. Alangkah tololku!
Dalam pada itu, Randukintir terdengar memaki kalang kabut. Kemudian mendamprat,
"Semenjak kapan kau berada di situ?"
"Semenjak kapan?" jawab Baruna dengan menguap panjang. "Semenjak batang hidungmu belum dilahirkan di sini, aku sudah berada di peraduanku. Mengapa?"
"Bangsat! Kita semua saling bertengkar dan kau enak-enak berada di situ. Turun!"
"Naiklah! Malam hari kian nampak terang. Kalau kau berada di sini, bulan yang tolol itu kelihatan terang benderang... Kau mau apa dariku?"
Randukintir maju dua langkah. Rekan-rekannya mendadak maju pula. Sikapnya seolah-olah lagi bergerak mengepung sesuatu.
"Aku menghendaki bukti tawar-menawar!" teriak Randukintir. "Tak sudi aku mendengarkan ocehan tak keruan juntrungnya."
"Hihaaai Kalian goblok tak mempunyai otak! Hayo jawablah dahulu pertanyaanku ini. Apakah hak kalian mengangkangi kedua pusaka itu" Kalau kalian sudah bisa menjawab, nah itulah baru syah!"
"Kentut!" maki Radukintir. "Apakah kedua pusaka itu kepunyaanmu" Apakah milik Bagas Wilatikta" Berrr!"
Baruna menegakkan badan sambil tertawa terkekeh-kekeh.
"Kalian tahu, kedua pusaka itu datang dari tangan murid Gunung Damar. Tapi dia kalian jebak begitu rupa. Apakah itu perbuatan laki-laki" Baiklah! Anggaplah itu suatu perjuangan hidup. Tetapi apakah kalian tak ingat pembalasan murid Wirapati yang menurut kabar adalah pewaris kedua pusaka tersebut?"
"Kentut! Kentut! Mana dia" Tunjukkan aku di mana dia berada. Biar bagairriana aku seorang laki-laki. Akan kupintanya secara berhadap-hadapan. Aku tukang pancing tak bisa main mengintip-intip seperti kucing!"
Mendengar ucapan Randukintir, teranglah sudah bagi Sangaji. Benar-benar mereka telah
mengetahui keberadaannya. Seketika itu juga, berdesirlah darahnya. Terus saja ia berdiri tegak dengan menggenggam tinju.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dalam hal mengatur suatu rencana, Sangaji bukan tandingnya. Begitu melihat Sangaji, mereka bersikap seolah-olah terkejut dan heran. Hampir berbareng mereka memekik kaget tetapi
bergerak maju. Dan Baruna yang berada di atas batu terus saja merosot ke tanah sambil menguap panjang lagi.
"Siapa?" bentak Malangyuda.
"Akulah murid Wirapati. Sangaji namaku," jawab Sangaji dengan tenang.
Mereka memekik terkejut lagi. Randukintir terus menyahut, "Hai! Apakah engkau hendak membalas dendam" Celaka! Agaknya kau telah mendengarkan pembicaraan kami. Celaka! Benarbenar kami susah untuk mengingkari lagi."
Hati Sangaji mendongkol mendengar ucapan Randukintir. Meskipun andaikata tolol tahulah dia, bahwa mereka terang-terangan telah mengetahui keberadaannya. Semua pembicaraan mereka
telah diaturnya demikian rupa serta sengaja diperdengarkan.
Sangaji yang tak pandai berbicara hanya menjawab, "Hm!" Dan karena sudah merasa, bahwa persoalan itu harus diselesaikan dengan adu tenaga, terus saja ia menyelidiki sekitarnya. Diamdiam ia memuji lawannya. Ternyata mereka menempati garis lintang, sehingga ia berada pada suatu bidang sempit. Apabila jadi bergerak, ruang geraknya sangat terbatas. Teringat akan senjata pancing, cangkul dan kapak, tak terasa tergetarlah hatinya.
Randukintir mendadak saja tertawa tergelak-gelak. Kemudian berkata nyaring, "Kami semua ini memang bajingan! Gurumu Wirapati memang kamilah yang menjebak. Sayang, dia baru sadar
setelah nyawanya hampir terbang. Hm! Hm! Ini semua adalah gara-garanya orang gede itu! Aku sih.... cuma memancing di pinggir rawa."
Bu Kek Kang Sinkang 5 Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo Sepasang Pedang Iblis 26

Cari Blog Ini