Ceritasilat Novel Online

Bende Mataram 28

Bende Mataram Karya Herman Pratikto Bagian 28


Sebab dengan demikian, gagallah tipu muslihatnya. Dan karena mendongkol, lantas saja ia
menyerang Gusti Ayu Retna-ningsih. Surapati, terkejut. Cepat ia menangkis dan membalas
menyerang. Dengan begitu, Cocak Hijau dikerubut tiga orang.
Meskipun gagah, akhirnya Cocak Hijau kewalahan juga menghadapi tenaga gabungan itu.
Masing-masing mempunyai cara penye-rangan dan pertahanan yang khas. Yang satu dari ajaran pendekar Ki Hajar Karangpandan. Dan hanya saja, ilmu kepandaian yang dua khas ajaran
perguruan Gunung Damar yang tak boleh dipandang ringan. Mau tak mau ia jadi bingung. Kini ia bermaksud hendak meloloskan diri, tetapi kepungan mereka sa-ngat rapat.
Suatu kali ia kena dilibat Surapati. Tahu-tahu pahanya kena ditusuk golok Fatimah. Ia kaget dan dengan menggerung membalas menyerang. Namun segera dikurung Gusti Ayu Retnaningsih
dan Surapati dengan berbareng.
Karena lukanya itu, kelincahannya jadi agak berkurang. Meskipun demikian, biar bagaimana ia menang tenaga dan pengalaman. Dalam adu tangkisan, Gusti Ayu Retnaningsih kena terbentur ke samping. Mendadak saja pundaknya kena terbabat pedang Surapati. la merasa kesakitan. Selagi begitu, Fatimah menampar pedangnya sehingga jatuh berkelontangan ke tanah.
Melihat jatuhnya pedang, dengan sebat Surapati memukul kepala Cocak Hijau berbareng
dengan Gusti Ayu Retnaningsih yang menusukkan cundriknya ke paha. Tak ampun lagi Cocak
Hijau roboh terjengkang ke tanah. Dan Fatimah yang berwatak angin-anginan, terus saja meludahi mukanya. Kemudian pangkal goloknya diletakkan ke lengan lawan.
"Jangan disakiti!" teriak Gusti Ayu Retnaningsih. "Kita ikat saja dia!"
Seperti burung kecil yang tunduk kepada perintah majikan, Surapati lantas melepaskan ikat pinggangnya yang terbuat dari kain batik. Kemudian dibuat pengikat lengan Cocak Hijau. Fatimah menyumbangkan ikat ping-gangnya pula yang panjangnya lebih dari sepuluh depa. Dengan penuh semangat, ia segera mengikat Cocak Hijau erat-erat dari kaki sampai ke leher. Dengan demikian, Cocak Hijau kini mirip sebuah pisang goreng terbungkus daun kelapa. Seluruh tubuhnya terbebat rapat-rapat. Hanya tinggal kepalanya belaka yang nongol seperti kepala itik.
"Tuuu rasakan! Melawan anak-anak kemarin sore saja kau tak mampu." Damprat Fatimah.
"Masihkah monyongmu berkaok-kaok menantang Wirapati segala?"
Cocak Hijau memaki kalang-kabut. Tangkisnya setengah menggugat. "Kalian curang. Coba satu lawan satu."
"Iddiiih"katamu, kau pernah dikerubut Wirapati, Jaga Saradenta... dan siapa lagi tadi" Ih!
Melawan kita saja tak becus."
"Siapa bilang tak becus?"
Dasar watak Fatimah angin-anginan, terus saja ia menyobek sudut kainnya. Lalu disum-batkan ke mulut Cocak Hijau sehingga pen-dekar yang selamanya tak pernah kalah itu, tak dapat lagi berkaok-kaok mengumbar mulutnya, la hanya bisa melototkan matanya sampai merah membara.
Mulutnya masih saja berusaha berontak dengan menyemburkan bunyi ah - ih - uh.
"Nona..." kata Surapati. "Tak kusangka aku akan berjumpa dengan murid pendekar Wirapati."
Setelah berkata demikian, ia mem-bungkuk hormat kepada Fatimah.
"Kau bilang aku murid Wirapati?" potong Fatimah acuh tak acuh. "Kau salah terka. Aku murid Suryaningrat seperti tunanganmu. Kau seorang pangeran janganlah sembarangan membungkuk
hormat terhadap seseorang. Gerak-gerikmu mewakili rakyat yang kau pimpin."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Fatimah masih menyangka, Surapati adalah Pangeran Ontowiryo. Keruan saja hampir berbareng, Surapati dan Gusti Ayu Retnaningsih menolak dugaan itu. Kata Surapati gugup, "Aku bukan seorang pangeran. Aku bernama Surapati, murid Ki Hajar Karangpandan."
"Apa kau bilang?" Fatimah kini jadi ter-cengang-cengang. Pandangnya beralih kepada Gusti Ayu Retnaningsih minta penjelasan.
"Benar. Dia bukan Pangeran Ontowiryo," kata Gusti Ayu Retnaningsih perlahan. Wajahnya terus saja berubah merah jambu.
"Ah! Kalau bukan Pangeran Ontowiryo, apa sebab ke mari?"
"Hanya secara kebetulan saja aku singgah ke mari," sahut Surapati.
"Eh"macammu! Secara kebetulan pula engkau menggerogoti ketelaku sampai hampir habis."
"Untuk ini aku bersedia membayar. Kalau tak sudi kubayar aku akan melakukan segala
perintahmu sebagai penebus sepiring ketela-mu."
"Bagus!" sahut gadis angin-anginan itu dengan cepat.
"Kau telah berjanji sendiri. Nah, duduklah makanlah ketelaku semua tanpa minum!"
Surapati tercengang. Sama sekali tak diduganya, perintah gadis itu terlalu lunak. Diam-diam ia berpikir, dari luar kelihatannya galak. Siapa tahu hatinya sebenarnya baik.
Maka dengan senang hati, segera ia duduk dan mulai menggerumuti ketela. Tapi menggerumuti ketela sebenarnya mempunyai caranya sendiri. Kalau tiada hati-hati, lambat-laun tenggorokan bisa pepat. Benar juga, belum lagi Surapati menghabiskan lima buah ketela besar, ia mulai kelabakan mencari minum. Tetapi ia malu memperoleh kesulitan. Dengan licin ia mulai memutar lidah.
"Nona! Kau rupanya kenal dengan pendekar Wirapati. Apakah dia sanakmu?"
"Kau benar... apa maksudmu?" sahut Fatimah.
Surapati tertawa menyeringai.
"Dahulu hari, guruku pernah bertanding melawan pendekar Wirapati. Masing-masing membawa seorang murid yang harus dididiknya dalam jangka waktu dua belas tahun. Murid guruku bernama Sanjaya. Dialah kakak seperguruanku putera Gusti Pangeran Bumi Gede. Sedangkan murid
pendekar Wirapati, bernama Sangaji. la berhenti mencari kesan sambil menelan ludah. Kemudian meneruskan, "untuk menemukan muridnya, pendekar Wirapati harus merantau ke barat sampai datang ke Jakarta. Dalam hal ini gurukulah yang beruntung. Dengan gampang bisa menemukan muridnya. Ah, hebat akhirnya."
Mendengar cerita Surapati, mau tak mau Fatimah dan Gusti Ayu Retnaningsih tertarik hatinya.
Bahkan Titisari yang sudah menge-tahui hal itu ikut memasang kupingnya. Memang Surapati
pandai berbicara. Dahulu tatkala bertemu dengan Sangaji, Wirapati dan Jaga Saradenta, ia bisa membakar hati orang. Peristiwa itu terjadi di Jakarta, sewaktu ia di-utus Pangeran Bumi Gede menyesapi berita tentang beradanya lawan anak-angkatnya sekalian menguji kepandaiannya. Kini, ia lagi mempunyai maksud tertentu terhadap dua gadis itu. Baginya adalah mudah untuk memikat hati mereka dengan memutar lidah-nya.
Dalam hal inf Fatimahlah yang tertambat hatinya, demi pemuda itu menyebut-nyebut nama
kakaknya. Sesungguhnya belum pernah ia bertemu muka dengan kakaknya dalam keadaan jelas.
Sewaktu kakaknya (Wirapati) merantau ke daerah barat, ia baru berumur tiga tahun, la tinggal bersama ayah bundanya yang hidup sebagai petani. Tatkala daerah perbatasan kerajaan terjangkit penyakit kolera, ayahnya meninggal dunia. Kemudian Kyai Kasan Kesambi mengambil suatu
kebijak-sanaan. Suryaningrat"muridnya yang bungsu diutus menilik keadaan keluarga Wirapati.
Perintah itu dilakukan satu tahun sekali. Begitu Fatimah berumur dua belas tahun, mulailah Suryaningrat menurunkan ilmu warisan perguruan Gunung Damar. Semenjak itu, Suryaningrat
menilikinya setiap tiga bulan sekali sampai pada suatu hari ibu Fatimah menyusul suaminya ke alam baka. Fatimah jadi seorang gadis yatim piatu, la hidup merdeka, tapi tanpa pengawasan dan pendidikan.
Sehingga akhirnya menjadi seorang gadis yang senang membawa maunya sendiri. Pada saatsaat tertentu, ia berada di dalam benteng apabila sedang berlatih. Gurunya sering meyakinkan bahwa kakaknya sewaktu-waktu akan pulang menjenguknya. Karena kakaknya adalah seorang
pendekar besar, alangkah tidak baiknya apabila dia menjadi seorang gadis tiada guna. Maka dalam khayalannya ia selalu mengharap-harap kedatangan kakak-nya. Setiap kali gurunya datang menjeTiraikasih Website http://kangzusi.com/
nguknya, selalu ia menanyakan kabar beri-tanya. Begitu juga terhadap Gusti Ayu Retnaningsih.
Tetapi baik Suryaningrat maupun Gusti Ayu Retnaningsih tak dapat mengabarkan kepergian
kakaknya dengan jelas. Kini ia mendengar warta tentang alasan kepergian kakaknya dari mulut Surapati. Keruan saja hatinya tertarik bukan main.
"Lantas bagaimana?" desaknya dengan bernafsu.
Surapati adalah seorang pemuda yang sudah masak dan mempunyai banyak pe-ngalaman
mengenai kesan seseorang. Melihat perhatian Fatimah begitu besar, timbullah kenakalannya hendak mempermainkan. Sahutnya acuh tak acuh. "Apa yang lantas?"
"Kau mengumbar mulutmu setengah matang, masakan enak didengarkan kuping?" damprat Fatimah gregetan. "Ingat janjimu! Kau harus menebus ketelaku yang kaugero-goti!"
Surapati berpura-pura terkejut, la mendo-ngak ke atap, lalu membuka mulut hendak
meneruskan berbicara. Sewaktu hendak mulai, sengaja ia menyumpali mulutnya dengan
sebongkah ketela. Kemudian mengumbar monyongnya. Tentu saja kata-katanya kurang jelas.
Gusti Ayu Retnaningsih adalah seorang bangsawan murni. Gerak-geriknya halus dan hatinya
perasa. Terus saja ia menyodori sege-las air teh. Sebaliknya Fatimah yang beradat angin-anginan, lantas menyemprot.
"Kalau kau mau minum, bilanglah! Masakan nyengar-nyengir seperti monyet" Siapa kesu-dian melihat monyongmu kesumpalan ketela... Idih!"
Itulah kehendak Surapati. Diam-diam hatinya girang, karena ia merasa diri menang. Sambil menyambar gelas air teh, ia mengerling kepada Gusti Ayu Retnaningsih yang menggairahkan
hatinya. "Nah... teruskan!" desak Fatimah lagi sete-lah Surapati meneguk airnya.
"Apakah kau ingin mendengar hebatnya guruku?" sahut Surapati tenang-tenang.
"Siapa kesudian mendengarkan kehebatan gurumu."
"Hah... apa kau bilang?" Surapati tak senang. "Guruku adalah seorang laki-laki sejati di kolong langit. Betapa bisa Wirapati nempil kepandaiannya" Belum lagi muridnya diadu dengan kakak seperguruanku ia sudah kena kujatuhkan."
"Hm," Fatima menggerutu. "Mari kita tinggalkan burung yang pandai mengoceh ini."
Gusti Ayu Retnaningsih mengangguk tanda setuju sambil berkata, "Memang, aku berniat hendak minta diri. Aku khawatir akan keper-gok Kangmas Pangeran."
"Hai, nanti dulu!" teriak Surapati nyaring sambil berdiri. "Kau bilang aku mengoceh seperti burung" Hm... kau kira apa murid-murid Ki Hajar Karangpandan?"
"Kalau tidak semacam burung pastilah semacam monyong babi. Kau mau apa?"
"Bedebah!" maki Surapati sambil meng-gempur meja. la benar-benar tersinggung
kehormatannya. Matanya melotot dan bibirnya bergemetaran. "Kalau aku sebangsa burung atau monyong babi, lantas kalian bangsa apa?"
"Aku murid Suryaningrat. la adalah adik seperguruan Wirapati. Kau bilang sendiri, Wi-rapati seorang pendekar. Nah, dengan sendiri-nya termasuk golongan pendekar. Bukan seperti
monyongmu!" sahut Fatimah tajam.
Mendengar ujar Fatimah, tubuh Surapati menggigil karena menahan marah. Gusti Ayu
Retnaningsih yang berperasaan halus, kemu-dian berkata menengahi. "Biarlah aku mohon diri dahulu. Apabila kalian tersesat di Yogya, sudilah mampir barang sebentar."
Fatimah terhenyak mendengar keputusan Gusti Ayu Retnaningsih hendak berangkat benarbenar. Berat rasa hatinya akan segera terpisah dengan saudara seperguruannya. Sebaliknya Surapati yang belum reda hawa amarahnya terus saja berkata, "Hai! Kau bilang, aku kauharapkan mampir ke rumah-mu" Bagaimana bisa" Kau belum lagi memperkenalkan dirimu."
Mendengar suara Surapati yang masih bernada galak, kembali watak Fatimah yang anginanginan menyahut. "Kau mengaku adik seperguruan anak angkat Pangeran Bumi
Gede! Kalau engkau diharapkan mampir, itu-lah suatu anugerah. Kau tahu siapa dia" Dialah tunangan Pangeran Ontowiryo lawan besar majikanmu."
Surapati kaget bercampur heran, la jadi bersangsi. Pikirnya, masakan dia tunangan Pangeran Ontowiryo" Kalau benar apa sebab sampai keluyuran di sini seorang diri" Mendadak saja timbullah niat jahatnya. Kalau bisa membekuk Nona itu, bukankah besar artinya" Memperoleh pikiran
demikian, terus saja ia melompat menghadang pintu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Berhenti!" gertaknya. "Kalian kini jadi tawananku." Setelah berkata demikian, ia tertawa riuh.
Fatimah seorang gadis yang tajam mulut-nya. Barangkali memiliki ketajaman otak pula. Hanya sayang, ia belum berpengalaman dalam kehidupan petualangan. Karena itu tak disadari sendiri, ia telah membuka suatu rahasia besar yang merupakan pantangan dalam suasana perang.
Maksudnya tadi hanyalah sebagai gertakan belaka untuk membuat hati Surapati mengkeret. Tak tahunya, ucapannya itu mempunyai ekor panjang yang sangat berharga bagi pihak yang saling bermusuhan. Meskipun tak takut"mengingat keperkasaan Surapati tadi"hatinya tergetar juga.
"Kau banyak bertingkah di sini. Kau mau tangkap dia?"
"Jangan mimpi!" bentak Fatimah.
Belum lagi habis perkataannya, Surapati telah melompat dan menyerang dengan sung-guhsungguh. Tadi, ia telah menyaksikan sen-diri, betapa mereka bisa berkelahi dengan baik. Dalam hal ketangguhan, tak usahlah dia khawatir akan gagal dan kalah.
Gusti Ayu Retnaningsih sadar, bahwa ia kalah tangguh. Namun demikian, tak sudi ia dijatuhkan pamornya. Demi membela ke-agungan perguruannya, serentak ia menang-kis serangan itu.
Fatimahpun tak mau berpe-luk tangan pula. Segera ia menyerbu lawan dari samping. Dengan
demikian pertempuran bertambah lama bertambah seru.
Di ruang atas, Titisari menyaksikan semua-nya itu semenjak tadi. Hatinya ikut men-dongkol menyaksikan lagak Surapati.
"Dia berani menghina Aji! Coba kalau Aji dapat kutinggalkan, masakan aku tak mampu
menghajarnya," katanya dalam hati. la melirik kepada Sangaji. Pemuda itu tiada menaruh perhatian terhadap mereka. Ia lagi tenggelam dalam semadinya. Karena itu, tak berani ia
mengganggu. Ia mengarahkan matanya ke bawah lagi. Tiba-tiba ia hampir berteriak terkejut.
"Celaka!" Fatimah membabat kepala Surapati dari atas. Tetapi Surapati bisa mengelak dengan cepat,
sehingga senjata Fatimah kehilangan sasaran. Dan belum lagi gadis itu berhasil menarik
lengannya, Surapati telah membalas menyerang dengan memukul sikunya. Tak ampun lagi,
senjatanya jatuh bergelontangan di atas tanah.
"Kau tahu sekarang, betapa hebat ilmu warisan Ki Hajar Karangpandan?" seru Surapati dengan takabur. Kemudian ia menyabetkan pedangnya sambil berteriak nyaring. "Awas!"
Fatimah melihat bahaya mengancam. Ia mengendapkan diri sambil meloncat mundur. Dan
pada saat itu, cundrik Gusti Ayu Retna-ningsih menangkis dari samping.
"Bagus! Kau mempunyai tenaga juga!" kata Surapati sambil tertawa, la tahu, gadis itu kalah tenaga daripadanya. Tatkala pedangnya kena sampok, tangan gadis bangsawan itu ter-getar
miring. "Surapati, maafkan!" sahut Gusti Ayu Retnaningsih. "...mungkin kau bisa menawan aku. Tetapi kau berkata bisa mengalahkan kakakku seperguan Sangaji" Itulah suatu obrolan yang
menyakitkan hati." "Hm"apa sih kehebatan murid Wirapati itu" Di Jakarta dia pernah kurobohkan dalam tujuh gebrakan."
"Jika demikian, kau hebat! Tapi, kukira melawan kekasihnya saja kau tak mampu."
"Siapa dia?" "Dia bernama Titisari. Puteri Adipati Karimun Jawa, Surengpati."
"Cuh!" Surapati meludah ke tanah. "Jangan kau kira hatiku mengkeret kau gertak dengan nama Surengpati. Apa sih hebatnya bangsat Surengpati" Coba, suruhlah dia ke mari. Ingin kulihat tampangnya!"
Panas hati Gusti Ayu Retnaningsih mende-ngar suara Surapati. Dan Fatimah yang bera-dat
aseran, terus saja memungut goloknya dan membabat kakinya.
"Jahanam! Mulutmu memang mulut babi!" bentaknya.
Surapati terkejut diserang dengan men-dadak. Untung dia gesit. Melihat berkelebatnya golok Fatimah, cepat ia menjejak tanah dan meloncat berjungkir balik. Dengan demikian barulah dia selamat dari tebasan golok.
Sekarang ketiga-tiganya sudah saling mengumpat. Hati merekapun sudah panas pula. Karena
itu mereka kini bertempur dengan sungguh-sungguh. Titisari yang berada di ruang atas, geli hatinya menyaksikan sepak-terjang mereka, la merasa lucu. Tadi mereka bersatu-padu melawan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Cocak Hijau. Tiba-tiba kini, dari teman menjadi lawan dan saling menikam. Bagaimana
kesudahannya nanti, hanya iblis yang tahu.
Tatkala itu, terdengarlah suara langkah. Kemudian muncullah rombongan Manyarsewu dan
Yuyu Rumpung yang tadi lari berserabutan meninggalkan benteng dengan diikuti Pangeran Bumi Gede dan Sanjaya. Di luar benteng, mereka membiarkan Cocak Hijau memasuki benteng kembali untuk membuat penyelidikan. Setelah ditunggu sekian lama, ternyata Cocak Hijau tiada kabarnya, Manyarsewu jadi berkhawatir. Segera ia mengajak kawan-kawannya menyusul rekannya. Hati-hati mereka mendekati benteng dan mengintip dari celah dinding. Mereka melihat Surapati, Fatimah dan Gusti Ayu Retnaningsih sedang bertempur dengan serunya.
Inilah aneh! pikir Manyarsewu. Dengan membesarkan hati ia memasuki benteng se-orang diri.
Tak urung kawan-kawannya ikut pula. Demikianlah, maka mereka masuk ben-teng hampir
berbarengan. Surapati, Fatimah dan Gusti Ayu Retnaningsih terkejut melihat datangnya mereka. Dengan
sendirinya, mereka bertiga berhenti berkelahi. Seperti berjanji, mereka melompat mundur. Tetapi belum lagi mereka mundur beberapa langkah, Manyarsewu telah menyambar dengan kecepatan
luar biasa. Sedangkan Yuyu Rumpung dan pendekar-pendekar lainnya dengan serentak menolong Cocak Hijau yang terikat erat seperti seekor itik.
Dengan tertatih-tatih, Cocak Hijau segera berdiri. Napasnya sesak, karena mulut, telinga dan hidungnya disumbat demikian rupa. Setelah ia terbebas, terus saja ia menyerang Fatimah dan Gusti Ayu Retnaningsih dengan berbareng. Pendekar itu mendongkol hatinya, karena ia kena telikung. Mukanya sampai merah membara. Karena itu serangannya hebat luar biasa.
Melihat serangan itu, Fatimah meloncat menghindari. Manyarsewu yang sedang me-rabu
Surapati, buru-buru mencegah.
"Tahan! Kita tangkap saja mereka hidup-hidup. Biarlah mereka berbicara!"
Cocak Hijau tak mendengar seruan rekan-nya, karena telinganya masih tersumbat. Dengan
mata menyala-nyala ia mengejar Fatimah yang lari berputaran, sedangkan Gusti Ayu Retnaningsih mencoba merintangi dari samping.
Karena merasa kena rintangan Gusti Ayu Retnaningsih, Cocak Hijau mengalihkan murkanya
kepada gadis bangsawan ini. Tanpa segan-segan lagi, tangannya terus menyambar pergelangan Gusti Ayu Retnaningsih dan diputar ke belakang punggung. Tak ampun lagi, Gusti Ayu
Retnaningsih habis tenaganya, la mati kutu.
"Kau bilanglah, aku tak becus mencekuk tampangmu!" damprat Cocak Hijau.
Pada saat itu Fatimah berada di luar garis. Melihat Gusti Ayu Retnaningsih dalam bahaya, tanpa peduli keselamatan diri terus melompat menyerang. Manyarsewu yang sudah berhasil merobohkan Surapati buru-buru menghadang dan memotong serangan itu. Dengan gampang ia dapat
menyambar pergelangan tangan Fatimah dan diterkam kencang-kencang.
"Bedebah!" makinya galak. "Hayo bilang! Siapa yang menjadi hantu?"
Baru saja Manyarsewu menutup mulutnya, tiba-tiba terdengar daun pintu berkerenyit. Sekalian yang berada di dalam benteng menoleh. Tetapi mereka tak melihat sesuatu. Mau tak mau hati mereka kebat-kebit juga.
Fatimah cerdik. Saat itu dipergunakannya dengan baik. Dengan mengerahkan tenaga, ia
berhasil merenggutkan diri dari terkaman
Manyarsewu yang agak kendor karena terpe-ngaruh suara gerit daun pintu. Kemudian
melompat mundur dan berlindung di belakang tiang.
"Hai iblis! Kau mau lari ke mana?" Mendadak saja Cocak Hijau itu menggerung. Dalam hatinya memang dia amat mendongkol terhadap gadis itu. Sedangkan terhadap Gusti Ayu Retnaningsih sebenarnya jatuh nomor dua. Itulah sebabnya, tanpa memedulikan Gusti Ayu Retnaningsih lagi, lantas saja ia melompat mengejar.
Fatimah tahu, ia bukan lawan Cocak Hijau. Namun hatinya tak gentar. Dengan mengi-baskan
tangan, ia memukul balik serangan Cocak Hijau. Kemudian dengan pukulan aneh ia membalas
menggaplok pipi Cocak Hijau. Inilah jurus darurat ajaran Suryaningrat yang dipetik dari ilmu Mayangga Seta. Tentu saja Cocak Hijau kaget bercampur heran. Pipinyapun terasa nyeri.
"Iblis! Kau berlagak tolol," ia memaki. Lalu dia menyerang dengan dua tangan berbareng.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ha ha ha... lihat! Kepalanya gundul!" tiba-tiba Fatimah tertawa riuh sambil menuding Yuyu Rumpung. Mau tak mau Cocak Hijau menoleh. Ia mengira terjadi suatu peristiwa di luar
pengamatan. Tatkala melihat gundul Yuyu
Rumpung yang licin polos bekas kena hajaran hantu semalam, ia kembali mengarah kepada
Fatimah. Tetapi tepat pada saat itu, kaki Fatimah melayang dan singgah di paha kanannya.
Meskipun tak sampai terjungkal, tak urung tubuhnya tergoncang juga.
"Benar-benar kau iblis keparat!" Kembali ia memaki untuk kesekian kalinya. Dengan menggerung ia menerkam. Fatimah menang-kis, dengan cepat. Ia berhasil menangkis, tetapi
kalah tenaga. Tubuhnya berputar ter-kisar dari tempatnya. Merasa akan meng-hadapi bahaya, cepat ia menjejak tanah hen-dak mendaki tangga.
Cocak Hijau adalah seorang pendekar bukan sembarangan. Gerak-geriknya gesit dan sudah
berpengalaman. Dengan tiba-tiba saja, tubuhnya terbang dan menghadang tepat di bawah kaki tangga. Sikutnya digerakkan, maka hidung Fatimah kena terbentur. Darah-nya lantas saja
mengucur. Dasar wataknya angin-anginan, tanpa berpikir panjang lagi ia berteriak tinggi.
"Anak Surengpati! Turunlah! Tolong! Tolong!"
Titisari terkejut mendengar seruannya. "Celaka! Kalau dia tidak kubunuh dahulu, bisa membahayakan Sangaji."
Buat Titisari, Sangaji adalah segala-galanya. Ontuk kepentingan Sangaji, ia mau berkorban.
Ontuk kepentingan Sangaji, ia berani menempuh bahaya macam apa pun jua. Karena itu, tak
peduli siapa saja yang sekiranya akan merugikan kekasihnya, mau ia membunuhnya tanpa
mempertimbangkan segala akibatnya. Wataknyapun tak kurang anehnya daripada Fatimah. Apa
yang dipikirkan, lantas saja di-kerjakan. Segera ia menghunus belatinya dan siap akan disambitkan dari celah dinding. Tetapi belum lagi ia bergerak, sekonyong-konyong ia mendengar suara. "Hm..."
Itulah suatu suara yang dikenalnya semenjak kanak-kanak. .
"Ah! Ayah datang!" serunya dalam hati. Dengan berdebar-debar ia mengintip dari celah dinding.
*** 29 AJALNYA SANG DEWARESI BENAR-BENAR Adipati Surengpati muncul di dalam benteng dengan jubahnya abu-abu. Seperti
biasa, wajahnya mengenakan topeng mayat yang terbuat dari kulit manusia. Dia berdiri tegak di ambang pintu bagai Dewa Yama hendak menyebarkan maut.
Tiada seorangpun yang mengatahui, kapan dia tiba. Dan tiada seorangpun yang mendengar
gerak langkahnya. Ia muncul dengan tiba-tiba seolah-olah memiliki ilmu siluman. Meskipun topengnya tak bertaring, tetapi hebat perbawanya. Pandangnya beku dan menyayat hati. Ia tegak bagaikan patung, sehingga tak seorangpun berani mengadu pandang.
"Nona! Kau siapa memanggil-manggil anak Surengpati untuk minta pertolongan?" katanya kepada Fatimah. Ia harus mendengar gadis ini menyebut-nyebut namanya. Agaknya gadis itu
pernah mengenal anaknya. Seperti diketahui, Gagak Seta meninggalkan benteng untuk mencoba memanggilnya. Tetapi
mencari di mana Adipati Surengpati berada samalah sukarnya dengan menjaring angin. Tetapi Gagak Seta kenal akan tabiat dan sepak terjang rekannya itu. Segera ia menggurat tulisan sandi pada suatu tempat tertentu, kemudian meneruskan perjalanan menye-berangi laut Jawa hendak mendarat di Kari-mun Jawa. Pada saat itu, Adipati Surengpati belum bermaksud pulang ke
pulaunya. Ia mempunyai kebiasaan lewat di tempat-tempat tertentu yang biasa disinggahi
manakala sedang mengadakan perjalanan. Maka dengan demikian, ia bisa membaca pesan Gagak Seta. Terus saja ia mencari benteng kuno yang disebutkan, la datang, sewaktu Cocak Hijau merabu Surapati, Fatimah dan Gusti Ayu Retna-ningsih. Ia menyaksikan pula, betapa muda-mudi itu saling bertengkar dan akhirnya mengadu kepandaian. Dan apabila mereka bertiga berada dalam bahaya menghadapi pendekar-pendekar undangan Pangeran Bumi Gede, terus saja ia muncul dan berdiri tegak di ambang pintu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Fatimah heran melihat tibanya Adipati Surengpati. Ia belum pernah berjumpa atau mengenal nama besarnya. Karena itu tak segera ia menjawab. Maklumlah, hatinya penuh curiga. Meskipun ia melihat para pendekar terkejut juga melihat kedatangannya, siapa tahu dia justru pemimpinnya.
"Nona! Jawablah pertanyaanku ini," Adipati Surengpati menegas. "Kulihat kau pandai bertempur. Siapa gurumu?"
Fatimah penuh kebimbangan, tapi ia menggelengkan kepala. Tatkala pandangnya bertemu
dengan topeng Adipati Surengpati, hati kanak-kanaknya mulai tergerak. Mendadak saja timbullah wataknya yang angin-anginan. Terus saja ia menghampiri sambil tertawa geli.
"Apa-apaan ini" Masakan pada siang hari bolong begini, kau masih tetap menjadi hantu?"
Adipati Surengpati mengerutkan keningnya, ia berpikir sejenak. Tadi ia melihat cara Fatimah melayani lawannya. Sebagai seorang pendekar besar, dengan segera ia mengenal ilmu gadis itu.
Itulah ilmu perguruan Gunung Damar. Hanya, jurus-jurusnya kacau dan tak teratur. Tahulah dia, bahwa gadis itu belajar dengan sembarangan saja. Melihat begitu, ia jadi teringat kepada puterinya sendiri yang di-sayangi. Titisari pun enggan pula menekuni ilmu kepadanya yang hendak diwariskan dengan teratur. Teringat akan puterinya, ia jadi sayang kepada Fatimah. Timbullah keputus-annya hendak membela gadis itu.
"Eh... anak!" katanya. "... hidungmu berdarah karena kena diserang babi bang-kotan itu. Apa sebab engkau tak membalas?"
"Aku tak mampu melawan dia. Apalagi membalas," sahut Fatimah sambil mengusap darahnya.
"Siapa bilang kau tak mampu membalas," potong Adipati Surengpati cepat. "Kaudekati dan hajarlah seperti caranya. Kau dipukul sekali dan engkau harus membalas sepuluh kali. Itulah utang-piutang wajar dengan bu-nganya sekali."
Dasar watak Fatimah angin-anginan, ia senang mendengar ucapan Adipati Surengpati yang
bernada liar. Lantas saja ia tertawa senang. Serunya girang, "Bagus!"
Ia menghampiri Cocak Hijau dan melototkan matanya. Tanpa mempertimbangkan lagi bahwa
dia bukan tandingan pendekar itu, terus saja ia menggaplok mengarah hidung. Tentu saja Cocak Hijau bukanlah sebuah boneka. Ia seorang pendekar yang beradat berangasan bengis dan percaya kepada kepandaiannya sendiri. Maka itu, begitu melihat berkelebatnya tangan Fatimah dengan cepat ia hendak menangkis berbareng menyerang. Tetapi ia terkejut setengah mati. Belum lagi ia menggerakkan tangannya, lengannya mendadak kehilangan tenaga. Ketiaknya terasa menjadi
nyeri dan kejang tanpa dimengerti sendiri. Karena itu tangan Fatimah terus melayang menyambar hidungnya tanpa rintangan lagi. Bluk! Ia kaget berbareng kesakitan.
"Inilah yang kedua!" seru Fatimah gembira.
Panas hati Cocak Hijau kena gaplokan itu tanpa dapat menangkis. Segera ia memasang kudakudanya. Tangan kirinya ditarik untuk melindungi dada. Apabila tangan Fatimah hendak
menyambar hidungnya lagi, ia hendak menyodok dari bawah. Tapi kali inipun ia tak berdaya juga.
Sewaktu tangan kirinya hendak dibenturkan, kembali ketiaknya terasa kena tusuk dengan
mendadak. Lalu lengannya lemas dengan sendirinya dan melayang turun tanpa tenaga. Karena itu, untuk yang kedua kalinya Fatimah berhasil menggaplok hi-dungnya. Bahkan kali ini
gaplokannya jauh lebih hebat daripada tadi. Bluk! Tubuhnya ter-goyang-goyang dan nyaris
terjengkang ke belakang. Selagi Cocak Hijau kaget dan kesakitan berbareng heran, semua yang hadir di situ tak kurang-kurang pula herannya. Manyarsewu, Yuyu Rumpung, Abdulrasim dan Sawungrana adalah
pendekar-pendekar yang mahir pula menggunakan senjata rahasia dalam suatu pertempuran jarak jauh. Karena itu, pendengarannya tajam melebihi manusia lumrah. Mereka mendengar suara
kesiur angin halus luar biasa, setiap kali Cocak Hijau hendak menggerakkan tangannya. Mereka tahu, pastilah itu suara senjata rahasia Adipati Surengpati. Hanya saja mereka tak mengenal macam senjata rahasia apa yang dipergu-nakan. Biasanya seseorang akan mati kera-cunan kena sambitan senjata rahasia. Tapi Cocak Hijau hanya mati kutu belaka. Inilah suatu bukti, bahwa senjata rahasia Adipati Surengpati adalah lain daripada biasanya.
Tentu saja mereka tak mengenal senjata rahasia Adipati Surengpati. Karena senjata rahasia Adipati Surengpati berwujud jarum halus yang dilepaskan dari balik lengan jubahnya. Siapa dapat mengelakkan serangan begini"
"Yang ketiga!" terdengar Fatimah berseru lagi.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Cocak Hijau terkejut. Karena kedua tangan-nya kini terasa menjadi lumpuh, sedangkan ia tak sudi menerima bogem mentah tanpa dapat menangkis, maka ia bermaksud hendak me-loncat
mundur. Tapi baru saja ia hendak mengangkat kaki, tiba-tiba urat-uratnya menjadi kejang. Dan kedua kakinya mati kaku. Itulah sebabnya ia kaget setengah mati. Maka tahulah dia, bahwa pukulan Fatimah yang ketiga inipun tak dapat dielakkan. Hatinya mendongkol dan ingin menjerit tinggi. Tetapi kalau sampai menjerit, habislah sudah nama besarnya. Karena itu, buru-buru ia menguasai diri. Tapi justru ia berbuat demikian, air matanya sekonyong-konyong hendak meloncat ke luar. Bagi seorang pendekar, mengeluarkan air mata merupakan pantangan besar pula.
Celakalah dia! Karena menahan rasa mendongkol dan sakit hati, air matanya akhirnya merembes juga ke luar. Gugup ia hendak mencoba menyusutnya. Tapi kedua lengannya telah kehilangan tenaga gerak. Karena itu akhirnya air matanya bercucuran membasahi kedua pipinya.
Fatimah berwatak angin-anginan, namun sebenarnya, hatinya penuh rasa iba, pemurah dan
perasa. Begitu melihat Cocak Hijau men-cucurkan air mata, ia membatalkan gaplokan-nya yang ketiga. Lalu berkata lembut. "Sudahlah, jangan menangis! Aku takkan menghajarmu lagi. Dua kali sudahlah cukup...!"
Suara lembut itu bahkan lebih hebat menyayat hati daripada gaplokan betapa keraspun.
Maklumlah, dia adalah seorang pendekar besar yang mempunyai nama. Sepak terjangnya
disegani, dihormati dan ditakuti orang. Kini, terang-terangan dihina seorang gadis kemarin sore di hadapan para pendekar undangan Pangeran Bumi Gede. Hati siapa takkan hancur menghadapi
peristiwa demi-kian. Mendadak saja tubuhnya menggigil dan bergoyang-goyang. Terus saja ia berbatuk-batuk menyemburkan gumpalan-gumpalan ludah dan liur jantung. Lalu ia menoleh
kepada Adipati Surengpati dengan mata membelalak. Membentak, "Tuan! Siapakah engkau sebenarnya" Secara menggelap engkau melukai aku. Apakah itu seorang pendekar?"
Adipati Surengpati tertawa dingin. Menyahut, "Hm... apakah kau cukup berharga untuk mengetahui namaku" Kau ini macam manusia apakah sampai berani berbicara demikian
kepadaku?" Dengan wajahnya yang menakutkan, Adipati Surengpati menyiratkan pandang kepada sekalian
pendekar. Tiba-tiba memben-tak. "Semua saja, menggelinding ke luar!"
Mereka tadi mendengar belaka percakapan antara Adipati Surengpati dan Fatimah.
Karena itu, meskipun Adipati Surengpati tak sudi memperkenalkan namanya, mereka semua
tahu siapa dia sebenarnya.
Mereka semua tahu dan kenal sepak terjang Adipati Surengpati yang bengis kejam dan tak
mengenal ampun. Itulah sebabnya, walaupun perintah itu mengejutkan tetapi hati mereka lega juga. Maklumlah, untuk mengangkat kaki dengan diam-diam, mereka merasa malu. Sebaliknya
hendak melawan apakah bekal-nya" Karena itu, semenjak tadi mereka ber-sikap diam. Kini


Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mendengar perintah terang-terangan agar meninggalkan benteng. Ini berarti, bahwa Adipati Surengpati mengampuni mereka. Apakah ini bukan suatu anugerah"
Yuyu Rumpung pernah merasakan hukum-an Gagak Seta. Dengan sendirinya ia kenal pula,
siapakah Adipati Surengpati. Terhadap mereka berdua, hatinya yang biasanya sebe-sar bongkahan batu mendadak saja meng-keret menjadi sekecil biji asam. Dialah yang bergerak paling dulu hendak cepat-cepat meninggalkan benteng. Tapi baru saja berge-rak dua langkah, dengan tiba-tiba Adipati Surengpati berdiri menghalang di ambang pintu. Terpaksa ia menghentikan
langkahnya dan berdiri tegak tiada berkutik.
"Iblis!" bentak Adipati Surengpati. "Telah kuberi kalian ampun, kenapa belum ada yang bergerak" Apakah kamu menghendaki aku membunuh kalian semua?"
Yuyu Rumpung ketakutan sampai kakinya menggigil. Ia mengerti bahaya. Karena itu, dengan
suara parau ia mengajak kawan-kawannya. "Adipati Surengpati telah memerintahkan kita semua meninggalkan benteng. Apa lagi yang kalian tunggu" Hayo keluar!"
Benar ia berteriak demikian, tetapi kakinya belum juga melangkah. Karena sesungguhnya ia takut ngeloyor seorang diri.
Manyarsewu yang beradat berangasan pula, tak tahan direndahkan Adipati Surengpati. Dengan memberanikan diri ia menerjang sam-bil membentak, "Minggir!"
Matanya melotot dan merah membara. Tapi Adipati Surengpati tak memedulikan. Bahkan
dengan suara dingin ia berkata, "Kau mau mendesak aku minggir" Hm... jangan mimpi!
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dengarkan! Siapa yang menyayangi nyawa-nya, hendaklah merangkak keluar melalui
selakanganku!"(Kedua kakinya)
Pendekar Abdulrasim, Sawungrana, Manyarsewu, Yuyu Rumpung dan lain-lainnya saling
memandang untuk minta pertimbangan. Hati mereka mendongkol berbareng gusar. Manyarsewu
lantas membentak. "Baik! Kau memang hebat. Tapi masakan kau berani melawan kami beramai-ramai?"
Setelah membentak demikian, terus ia menubruk maju. Tetapi tahu-tahu, tengkuknya kena
cekuk. Tangan kirinya dipuntir ke punggung. Rekatak!
Lengannya patah sekaligus. Kemudian dengan enteng saja, Adipati Surengpati meng-angkat
tubuhnya dan dilemparkan ke ruang tengah dengan sikap dingin. Sudah barang tentu Manyarsewu menjerit kesakitan. Namun Adipati Surengpati tak memedulikan. Ia mendongak ke atap dengan sikap acuh tak acuh.
Melihat Manyarsewu kena dirobohkan begitu gampang mereka semua merasa ngeri. Mereka
adalah pendekar-pendekar undangan Pangeran Bumi Gede. Kesanggupannya mele-bihi pendekar
lumrah. Mereka merupakan momok hebat bagi rakyat jelata. Meskipun demikian, kena pandang Adipati Surengpati, hatinya menggigil ketakutan. Bulu romanya menggeridik. Dan entah apa sebabnya, tenaga jasmaninya seperti punah.
"Kamu sayang akan nyawamu tidak" Bi-lang!" bentak Adipati Surengpati dengan bengis.
Tiada seorangpun berani menjawab. Mereka seolah-olah telah merasa apa artinya bentakan
Adipati Surengpati kali ini. Karena itu, tanpa mengindahkan kehormatan diri lagi Yuyu Rumpung terus saja merangkak keluar melewati selangkangan Adipati Surengpati.
Melihat perbuatan Yuyu Rumpung, pendekar-pendekar lainnya tak berani pula mem-bangkang.
Seorang demi seorang lantas saja keluar dengan merangkak-rangkak. Bahkan lambat-laun jadi saling berebutan.
Abdulrasim menolong membebaskan Cocak Hijau dari siksaan Adipati Surengpati. Kemudian
dengan menyeret Manyarsewu, Cocak Hijau memberosot pula dari selang-kangan Adipati
Surengpati dengan diikuti pendekar Abdulrasim.
*** Begitu sampai di luar, cepat-cepat mereka meninggalkan benteng. Dalam hati, mereka
mengutuk dan mengumpat. Mau tak mau, mereka harus mengakui bahwa nama besarnya habislah
sudah pada hari itu. Kegarangannya dan keangkerannya pudar sekaligus tanpa tawar-menawar lagi.
Adipati Surengpati tertawa mendongak ke udara. Kemudian membentak pula kepada Surapati.
"Kaupun tak segera keluar?"
Surapati tadi telah kena tangkap Manyarsewu. Ia belum dapat bergerak dengan leluasa. Karena itu tak dapat pula merangkak ke luar.
"Aku bukan termasuk golongan mereka. Aku murid Ki Hajar Karangpandan yang mem-punyai tempat sendiri dalam masyarakat," katanya berani.
"Hm," dengus Adipati Surengpati. "Apakah kau bosan hidup" Aku takkan mengha-langimu. Nah, keluar!"
Surapati adalah murid Ki Hajar Karang-pandan. Betapapun juga, ia mewarisi watak gurunya. Ia tak sudi diperlakukan semacam para pendekar. Dengan menentang pandang ia menyahut. "Kau dengar, aku murid Ki Hajar Karangpandan."
"Kalau kau murid Ki Hajar Karangpandan, lantas bagaimana?" potong Adipati Surengpati.
"Apakah kau lantas minta tempat istimewa?"
Adipati Surengpati tahu, bahwa sebagian tenaga Surapati belum pulih. Mendadak saja ia
mengibaskan tangannya. Suatu kesiur angin mendarat tajam pada pinggang Surapati. Dan
sebelum pemuda itu sadar apa artinya, tenaganya telah pulih kembali. Serentak ia bangun berdiri dan memandang tajam kepada Adipati Surengpati. Katanya ketus, "Kau memang hebat. Tapi jangan mimpi kau bisa menggertak murid Ki Hajar Karangpandan!"
"Hm, apa sih hebatnya Ki Hajar Karang-pandan," dengus Adipati Surengpati tak senang, la menjumput sebatang galah sepan-jang satu kaki, lalu dilemparkan acuh tak acuh kepada Surapati.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Cara melemparnya nampaknya enteng dan sederhana. Tapi kesudahannya hebat. Pemuda itu
dengan mengerahkan segenap tenaganya mencoba menangkis. Namun ia kena tolak juga. Belum
lagi memperbaiki diri, tahu-tahu giginya copot dua biji.
Sudah barang tentu, sakitnya bukan alang kepalang. Mulutnya lantas saja menyem-burkan
segumpal darah. "Akulah Adipati Surengpati yang kau harap memperlihatkan tampangnya. Inilah tam-pangku.
Kau mau apa sekarang?" kata Adipati Surengpati.
Surapati terkejut dan tercekat hatinya. Menilik bunyi perkataannya, terang sekali Adipati Surengpati telah mendengar ucapan-nya tadi. Gusti Ayu Retnaningsih"meskipun pernah bentrok dengan pemuda itu"kebat-kebit juga hatinya, mengingat sepak-terjang Adipati Surengpati yang luar biasa. Fatimah pun tak terkecuali. Pikirnya dalam hati, pemuda ini bisa celaka menghadapi dia. Rupanya Adipati Surengpati mendengar belaka semua ucapannya yang takabur. Entah
hukuman apa yang bakal dijatuhkan...
Surapati meraba pipinya. "Tiap orang memang kenal nama besarmu. Tetapi apa sebab tingkah lakumu bergitu kerdil"
Kau hanya berani menggertak seorang tak berarti seperti aku."
Surapati memang mempunyai keberanian di luar dugaan orang. Dahulu"tatkala meng-hadapi
Wirapati dan Jaga Saradenta di Jakarta"ia berani pula mendamprat dan bersikap angkuh.
Meskipun akhirnya ia kena dijungkirbalikkan, namun keberaniannya patut dipuji pula. Kali ini ia menghadapi Adipati Surengpati. Keberaniannya melawan berbicara tak kurang pula. Tetapi Adipati Surengpati lain daripada Wirapati dan Jaga Saradenta yang bisa mengampuni kesalahan
seseorang. Tokoh sakti itu luar biasa bengis dan senang menuruti kemauannya sendiri tanpa mempertimbangkan pendapat orang lain. Ia bisa membunuh seseorang tanpa berkedip. Tetapi kali ini, ia mempunyai kesan luar biasa terhadap Surapati. Mendadak saja ia bisa menghargai dan sayang kepadanya. Teringatlah kepada masa mudanya sendiri yang juga tak kenal takut dan
bandel. Maka ia mencoba, "Bagus! Kau berani mencela aku. Coba kalau kau berani, makilah aku!"
Setelah berkata demikian, ia maju menghampiri.
Surapati nekad. Ia tak mengerti ancaman. Dengan membusungkan diri ia meledak.
"Aku kau suruh memakimu" Baik, dengarkan! Kau iblis! Kau setan! Kau siluman!"
Pada dewasa itu, pangkat adipati bukanlah pangkat sembarangan. Pangkat itu hanya bisa
dikenakan oleh kaum bangsawan. Barang-siapa bertemu dengan seorang adipati, harus cepatcepat bersembah. Bahasanya harus rapi apabila harus menjawab sesuatu pertanyaan. Sedikit terdengar kekasarannya, segera akan dikenakan hukuman. Karena dia akan dipandang memusuhi sang adipati. Tapi kali ini, Surapati tidak hanya berlaku kasar malahan berani memaki pula. Bisa dibayangkan betapa hebat hukuman yang akan diterimanya.
Di luar dugaan Adipati Surengpati bahkan tertawa terbahak-bahak. Memang watak Adipati
Surengpati lain daripada manusia lumrah. Ia adalah seorang bangsawan yang tiada kokoh
memegang tata pergaulan. Pandangan hidupnya senantiasa bertentangan dengan pandangan
hidup yang wajar. Kalau seseorang berkata ya"dia malah berpendapat sebaliknya. Seseorang memuji sesuatu, ia bahkan memakinya. Karena itu, begitu kena maki Surapati, kesan hatinya justru sebaliknya. Ia menjadi senang dan gembira sampai tubuhnya bergoncang-goncang. Katanya riuh, "Bagus! Bagus! Kau bersemangat. Hatimu jantan bagai banteng terluka. Memang aku iblis!
Setan dan siluman! Maka tepatlah makianmu. Tingkatan gurumu masih jauh berada di bawahku, karena itu betapa bisa aku melayani tampangmu. Nah, kau pergilah!"
Sambil berkata demikian, Adipati Surengpati mengulur sebelah tangannya dan dengan
kecepatan luar biasa, ia menerkam dada Surapati. Kemudian dengan sekali hen-tak, ia
melemparkan pemuda itu keluar pintu.
Surapati kena terkam tanpa berdaya. Tahu-tahu, tubuhnya melayang ke udara. Ia kaget
setengah mati. Mau ia percaya, bahwa dia bakal jatuh berjungkir balik di atas tanah.
Kesudahannya di luar dugaan. Ia jatuh dengan tetap berdiri tegak, seperti kena tangkap.
Kemudian diturunkan dengan perlahan-lahan ke tanah. Murid Ki Hajar Karangpandan itu heran sampai terlongong-longong. Akhirnya bergumam, "Sungguh berbahaya manusia itu..."
Sekarang"meskipun ia mempunyai keberanian"tak berani lagi mencaci-maki Adipati
Surengpati. Ternyata kepandaian siluman dari Karimun Jawa itu bagai dewa sakti dari khayangan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Maka dengan mendekap pipinya yang bengkak, pengap ia memutar tubuh dan berjalan dengan
meninggalkan benteng. Gusti Ayu Retnaningsih segera menya-rungkan cundriknya. Kemudian menghadap ambang
pintu hendak pergi pula. Mendadak Adipati Surengpati berkata, "Nona! Mendengar
pembicaraanmu tadi, engkau adalah tunangan Pangeran Ontowiryo. Benarkah itu?"
Gusti Ayu Retnaningsih hendak menjawab, atau ia melihat Adipati Surengpati menying-kirkan topengnya. Sehingga ia batal membuka mulut. Ia tercengang dan agak terkejut demi melihat wajah Adipati Surengpati yang nggan-teng berwibawa.
"Benarkah itu?" Adipati Surengpati mene-gas.
Mendengar pertanyaan ulangan itu, wajah Gusti Ayu Retnaningsih agak terkesiap dan lambat-laun berubah menjadi merah dadu. Gugup ia mengangguk mengiakan.
"Pemuda tadi murid Ki Hajar Karangpandan. Meski pun gurunya tiada pautnya dengan
Pangeran Bumi Gede, tetapi dia sendiri sudi menjadi begundalnya. Dengan demikian, dia termasuk pula lawan tunanganmu. Lain kali hendaklah engkau berwaspada dan jangan gampang-gampang
percaya kepada mulut manis," kata Adipati Surengpati menggurui. "Belum pernah aku bersua dengan tunanganmu. Tetapi aku mengagumi dia. Kudoakan mulai hari ini, mudah-mudahan
dikemudian hari ia menjadi seorang pahlawan bangsa yang berarti. Semuanya itu Nona,
sesungguhnya terletak di atas pundak Nona."
"Mengapa aku?" potong Gusti Ayu Retna-ningsih. "Aku hanya seorang perempuan."
Adipati Surengpati tertawa dingin. Menya-hut, "ssst, dengarkan! Semua laki-laki dan perempuan di dunia ini dilahirkan dari rahim perempuan. Dan bayi yang dikandungnya manunggal hidup dengan ibunya. Ia makan dan senapas dengan ibunya selama sembilan bulan. Kalau ibunya seorang pengecut anak yang bakal dilahirkan pastilah menjadi seorang pengecut besar. Sebaliknya manakala ibunya berwatak jantan, anak yang bakal dilahirkan akan menjadi seorang pendekar gagah tiada tara. Itulah sebabnya, hampir dapat kukatakan, bahwa pembentukan watak manusia ini sesungguhnya tergantung pada sikap dan pandangan hidup seorang wanita. Dan apabila
watakmu engkau bina semenjak melayani suamimu..., hm... aku yakin, bahwa anakmu kelak akan menjadi manusia gagah. Malahan oleh cara mengasuhmu itu, suamimu akan menjadi manusia
gagah pula. Karena sesungguhnya bersuami-isteri ialah saling memberi dan saling membentuk.
Nona mempunyai saham separo lebih."
MENDENGAR KATA-KATA ADIPATI SURENGPATI, GUSTI AYU RETNANINGSIH DAN FATIMAH
terharu hatinya. Sama sekali tak mereka sangka, bahwa dibalik sepak ter-jangnya yang kejam dan beribawa membersit suatu perasaan naluri begitu halus. Titisari sendiri yang berada di atas, tercengang-cengang pula. Hampir delapan belas tahun ia berkumpul bersama ayahnya. Selama itu belum pernah ia mendengar ayahnya berkata begitu hebat dan perasaan. Tak terasa matanya jadi berkaca-kaca. Kalau saja bisa meninggalkan Sangaji, segera ia akan lari menghampiri dan
memeluk ayahnya erat-erat.
"Paman!" kata Gusti Ayu Retnaningsih setengah berbisik. "Kalau saja aku bisa menepati setengah petuahmu, hatiku sudah senang rasanya."
Adipati Surengpati menghela napas. Ia jadi teringat kepada gadisnya. Mendadak saja ia
berputar mengarah kepada Fatimah dan melepaskan pertanyaan tak terduga. "Nona! Kau tadi memanggil-manggil anak Surengpati. Apakah kau kenal anakku" Di mana dia kini berada?"
Memperoleh pertanyaan demikian, Fatimah kaget sampai pucat wajahnya. Ia sudah berjanji
kepada Titisari takkan membuka rahasia dirinya. Meskipun terhadap ayahnya sendiri. Maka ia jadi berbimbang-bimbang.
Untung, Adipati Surengpati tak mende-saknya lagi. Dia seorang pendekar yang angkuh hatinya.
Manakala pertanyaannya tiada memperoleh jawaban, tak sudi lagi ia mengulang. Ia percaya
kepada dirinya sendiri, bahwa tanpa memperoleh keterangan akan bakal menemukan anaknya.
Tetapi ia biasa menghukum. Karena itu lantas berkata, "Aku bertanya padamu, apa sebab engkau tak men-jawab" Bagus! Mulai saat ini, kalian kularang meninggalkan benteng tanpa izinku."
Setelah berkata demikian, ia menyeret sebuah meja panjang dan dilintangkan di ambang pintu.
Kemudian ia melompat ke atasnya dan menggeletak tanpa segan-segan lagi. Sebentar kemudian terdengarlah deng-kurnya perlahan-lahan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Waktu itu matahari hampir tenggelam. Oleh suatu kesibukan dan ketegangan yang terjadi
terus-menerus, mereka yang berada dalam benteng lupa pada waktu. Tahu-tahu suasana alam
telah menjadi remang-remang dan akhirnya benar-benar menjadi gelap pekat.
Fatimah segera menyalakan dian dan dipasang pada dinding. Kemudian duduk ter-pekur di
samping Gusti Ayu Retnaningsih yang berada di atas kursi dengan pandang kosong.
Titisari yang berada di atas loteng lega hatinya menghadap malam yang bakal tiba. Ini berarti bahwa Sangaji hampir melampaui dua hari dua malam dengan selamat. Dengan penuh perasaan
ia meraba dada Sangaji yang terasa hangat dan bernapas perlahan.
"Aji! Kurang lima hari lagi, engkau akan memperoleh kesehatanmu kembali," bisiknya. "Ayahku berada di sini. Ini berarti tiada lagi bahaya yang mengancam."
Tetapi baru saja ia habis berbicara atau sekonyong-konyong terdengar suatu siulan panjang menusuk pendengaran. Itulah siulan sakti Gagak Seta yang pernah didengarnya tatkala sedang mengadu kepandaian. Apa sebab pendekar sakti itu melepaskan siulan demikian" Apakah dia
sedang menghadapi bahaya"
Dengan mengerenyitkan kening, ia mencoba menduga-duga. Tak lama kemudian terdengarlah
suara tertawa terkekeh-kekeh. Ia terkejut. Sebab, itulah suara tertawa Kebo Bangah yang
menyebalkan hati. "Hai, pengemis bangkotan!" Terdengar Kebo Bangah berseru nyaring. "Kau mau mengajak adu lari" Bagus! Mari kita berlomba. Tapi kita berdua mulai lari dari Klaten menuju Yogya dan terus kemari. Kesudahannya sekali tiga uang. Nah, sekarang ke mana arah kita?"
Gagak Seta tertawa terbahak-bahak. "Mari kita adu lari sampai ke ujung dunia! Kali ini mendaki pinggang Merapi. Lantas turun dan berlomba mencapai pantai selatan. Siapa yang menang, dialah orang gagah nomor wahid di dunia."
Titisari terkejut. Jarak dari Klaten ke Yogya dan dari Yogya ke benteng ini hampir seratus kilometer jauhnya. Tetapi mereka berdua ternyata bisa mencapai hanya dalam beberapa jam saja.
Inilah membuktikan betapa kuat dan pesat.lari mereka.
Dalam pada itu terdengar suara Kebo Bangah. "Meskipun kau lari sampai ke ujung langit, aku akan mengejarmu."
Gagak Seta tertawa terbahak-bahak lagi. Terdengar ia menyahut. "Baik. Malam ini biarlah kita tak tidur. Hayo!"
"Jadi kau hendak menantang kejar-kejaran?"
"Mulutmu memang mulut babi! Masakan aku harus selalu mengulang bunyi perlombaan ini?"
"Baik! Mari kita mulai!"
Sebentar saja langkah mereka tak terdengar lagi. Meskipun Titisari berada di atas loteng tahulah dia, bahwa mereka berdua sudah jauh meninggalkan benteng. Diam-diam ia berpikir.
"Paman Gagak Seta agaknya sengaja menjauhkan Kebo Bangah dari benteng dengan mengajak adu lari. Inilah suatu pengorbanan hebat. Ia bakal kehabisan tenaga juga."
Mendadak teringatlah dia kepada ayahnya, la kenal watak ayahnya yang mau menang sendiri.
Dalam hidupnya kini hanya tiga orang yang dihargai. Yakni, Kyai Kasan Kesambi, Kebo Bangah dan Gagak Seta. Sekarang, ia melihat Kebo Bangah dan Gagak Seta sedang mengadu lari.
Masakan dia akan tinggal men-jadi penonton belaka"
Dugaannya ternyata benar. Tiba-tiba ia mendengar suara Gusti Ayu Retnaningsih. "Fatimah! Ke manakah perginya Paman Surengpati?"
"Lihat di sana!" sahut Fatimah. "Bukankah itu Adipati Surengpati yang ikut berlari-larian menjajari dua bayangan" Lihat!"
"Ya, benar." Gusti Ayu Retnaningsih menghela napas. "Kenapa dalam sekejap saja mereka sudah meninggalkan benteng begitu jauh" Kenalkah engkau siapa mereka berdua" Merekapun
agaknya sejajar ilmunya dengan Paman Adipati."
Mendengar ujar Gusti Ayu Retnaningsih, Titisari berkata dalam hati. Hm... sekalipun engkau pernah berkenalan, apakah keuntungannya bagimu. Malahan kalau kau sampai kepergok Kebo
Bangah, engkau merupakan makanan empuk baginya.
"Bukankah kau pernah kena tangkap kemenakannya?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Setelah melongok ke luar, Gusti Ayu Retnaningsih kembali duduk di atas kursinya. Wajahnya nampak menjadi resah. Ia memandang jauh ke luar pintu, agaknya ingin dia meninggalkan
benteng. Hanya saja hatinya beragu, karena malam hari sudah tiba dengan diamf-diam.
Melihat Gusti Ayu Retnaningsih resah hati, Fatimah datang menjajari. Ia mencoba menghibur.
"Sebentar lagi matahari akan ter-bit. Apakah kau takut menginap dalam ben-teng kuno ini?"
Dengan'menghela napas puteri bangsawan itu menyahut. "Paman Adipati telah mening-galkan benteng. Mestinya kita bukan menjadi tawanannya lagi. Apakah kau takut mening-galkan
benteng?" "Takut sih tidak. Hanya saja... aku belum bisa meninggalkan benteng," kata Fatimah. Titisari tahu"Fatimah teringat akan Sangaji dan dia. Dia sudah berjanji hendak menjaga benteng sebaikbaiknya. Karena itu tak bisa sembarangan pergi meninggalkan benteng.
"Apakah engkau tak pulang ke kampung?"
"Malam ini tidak," jawab Fatimah pasti. Ia berhenti sebentar menimbang-nimbang. Lalu berkata, "Tetapi kalau kau takut menginap di sini, marilah kuantarkan dahulu pulang ke rumah!"
Mendengar ujar Fatimah, wajah Gusti Ayu Retnaningsih berubah menjadi terang. Tapi ia
berkata lagi minta keterangan. "Setelah engkau mengantarkan aku menginap di rumahmu, apakah engkau lalu kembali ke mari seorang diri?"
Fatimah mengangguk. Dan melihat Fatimah mengangguk, Gusti Ayu Retnaningsih menjadi
heran. Tanyanya lagi, "Mengapa?"
Fatimah tak menjawab. Ia hanya memutar , tubuh melemparkan pandang di sana.
"Apakah engkau mempunyai suatu kesulit-an?" Gusti Ayu Retnaningsih mendesak lagi.
Fatimah tak segera menjawab. Sejurus kemudian ia berpaling dengan melepaskan kata angker.
"Aku akan mengantarkan engkau menginap di kampung. Tunggulah!"
Setelah berkata demikian, Fatimah terus lari ke serambi belakang. Ia muncul kembali dengan membawa tongkat besi semacam ganjal pintu. Kemudian mendaki tangga dan menghampiri ruang atas. Terdengar dia berkata seolah-olah kepada Gusti Ayu Retnaningsih.
"Tongkat ini biasanya kubuat mengganjal pintu sekalian alat penggebuk anjing. Kalau aku mesti pergi meninggalkan benteng, ia kusimpan dalam kamar itu!"
Mendengar ujar Fatimah, Gusti Ayu Retna-ningsih tersenyum geli. Teringat akan watak Fatimah yang sok angin-anginan, ia berkata menggoda. "Apakah itu tongkat wasiat?"
Fatimah tak menjawab, ia memasukkan tongkat itu ke dalam kamar melalui lobang dinding
dengan sikap acuh tak acuh.
"Hm," terdengar suara mendengus. Itulah suara Titisari menyesali Fatimah. "Kau hendak meninggakan benteng. Apa sebab mendekati kamar" Dinding banyak matanya. Kalau sampai
ketahuan seseorang, nyawamu akan kuambil."
"Kau berkata yang bukan-bukan seperti anak bawel. Apa sebab tidak menghaturkan terima kasih" Aku mengantarkan ini demi kebaikanmu."
Gusti Ayu Retnaningsih yang mengira Fatimah sedang menyesali dirinya, segera menyahut
gugup. "Bukan aku tak tahu terima kasih. Hanya saja, aku memang usilan.1 Baiklah, aku sangat berterima kasih kepada-mu... atas kesedianmu mengantarkan aku menginap ke kampung."
Fatimah mendengar kata-kata Gusti Ayu Retnaningsih. Tetapi hatinya mendongkol mendengar
sesalan Titisari. Dasar ia seorang gadis yang biasa mengumbar kemauannya sendiri, lantas saja ia membalas mendamprat.
"Meskipun ini bukan wasiat, tapi tongkat ini cukup untuk membuat pecah batokmu. Kau tahu?"
Keruan saja, yang kaget ialah Gusti Ayu Retnaningsih. Ia adalah seorang puteri bang-sawan yang tak biasa mendengar kata-kata kasar yang ditujukan kepadanya. Dan celakanya, ia mengira dampratan Fatimah itu dialamatkan kepadanya. Karena itu ia kemudian menyahut gemetaran.
"Adikku Fatimah! Sekiranya engkau tak senang hati memberi keterangan tentang tongkat itu, biarlah aku tak usah mendengar. Untuk kelancanganku ini, maukah engkau memaafkan?"
Klontang! Tongkat itu telah dilemparkan Fatimah ke dalam kamar melalui lobang dinding.
Kemudian berbalik cepat mengung-kurkan pintu sambil berkata nyaring.
"Aku akan pergi. Kau boleh mampus di situ!" Benar-benar Gusti Ayu Retnaningsih menjadi gelisah. Hatinya rasa runyam tak keruan. Pikirnya bingung dalam hati, aku hanya minta
keterangan tentang tongkat itu dan ia agaknya benar-benar tak senang hati. Kalau
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dipertimbangkan, memang akulah yang usilan. Terang sekali benda itu adalah tongkat biasa, tapi aku menyebutnya sebagai tongkat wasiat. Tentu saja ia merasa tertusuk hatinya. Kata-kata sendaku ini mungkin dianggapnya mengejek dirinya. Baiklah aku minta maaf padanya.
Memperoleh pikiran demikian, cepat ia memburu dan menyongsong Fatimah di kaki tangga lalu berkata hati-hati.
"Adikku Fatimah... maafkan aku. Kata-kataku memang kurang tepat."
Fatimah terhenyak sejenak mendengar ucapan Gusti Ayu Retnaningsih. Ia seperti lagi
menyiasati, lalu menyahut dengan suara agak heran bercampur geli,
"Minta maaf padaku" Apa yang harus kumaafkan" Hayo, kita pergi!"
Kini, Gusti Ayu Retnaningsih yang menjadi keheran-heranan sampai ia berdiri
menjublak,(tertegun) ia jadi serba salah dan tak mengerti. Mendadak saja teringatlah dia, bahwa watak saudara-seperguruannya ini sok angin-anginan dan senang membawa adatnya
sendiri.Teringat akan hal itu, ia jadi jengkel bercampur geli. Pikirnya, terang sekali dia memaki-maki aku. Sekarang aku minta maaf padanya. Ia menolak... Tadi ia memujikan aku biar mati di sini. Mendadak mengajak pergi... Apakah... apakah dia sedang kumat"
Tetapi Gusti Ayu Retnaningsih adalah se-orang puteri yang perasa. Ia belum puas sebelum
memperoleh keterangan sejelas-jelasnya, apa sebab ia kena maki dan kutuk. Maka ia berkata minta keterangan:
"Fatimah! Kau tadi memaki dan mengutuk aku. Apakah aku terlalu salah kepadamu?"
Fatimah terhenyak sejenak. "Tidak!"
Gusti Ayu Retnaningsih berlega hati. Namun ia masih minta penjelasan. "Kalau aku tidak terlalu salah kepadamu, apa sebab engkau memaki dan mengutuk aku?"
Kembali Fatimah terhenyak. Tiba-tiba ia ingat sesuatu. Lantas tertawa lebar sambil berkata,
"Pertanyaanmu terlalu melit. Aku memaki, biarlah aku memaki. Aku mengutuk, biarlah aku mengutuk. Tapi tenteramkan hati-mu... aku tak bermaksud sungguh-sungguh kepadamu." Setelah berkata demikian, kemu-dian mengalihkan pembicaraan. "Hayolah kita berangkat! Kau mau menunggu siapa lagi" Rupanya kau kurang senang kutemani di sini."
Gusti Ayu Retnaningsih hendak menjawab, tiba-tiba terdengarlah suara menyahut dari luar
ambang pintu. "Kalau tak senang kautemani, biarlah aku yang menemani. Tanggung senang dan nikmat."
Berbareng dengan habisnya kata-kata itu, muncullah seorang laki-laki berpakaian putih, la berdiri tegak di ambang pintu penuh kewibawaan. Wajahnya tampan dan mengulum senyum
buaya. Dialah sang Dewaresi yang tadi siang mengikuti Kebo Bangah ke luar benteng.
Fatimah heran melihat sang Dewaresi, yang tiba-tiba saja muncul di ambang pintu. Dengan
pemuda itu, belum pernah bertemu. Selagi ia mengamat-amati, mendadak saja ia kaget
mendengar jerit Gusti Ayu Retnaningsih.
"Hai! Kau kenapa?" Ia tercengang.
Berbeda dengan Fatimah, Gusti Ayu Retna-ningsih kenal siapakah dia. Orang itulah yang dahulu menculiknya di Desa Gebang. Dan hampir saja rusaklah kehormatan dirinya, apabila tiada
memperoleh pertolongan Sangaji dan Titisari.
"Dia orang jahat!" teriaknya sulit. "Aku kenal dia."
Mendengar teriak Gusti Ayu Retnaningsih, Fatimah terkejut.
Sang Dewaresi tersenyum lebar. Dengan langkah seorang majikan, ia memasuki ruang tengah.
Pandangnya disapukan ke seluruh ruang. Mendadak saja berhenti pada pintu ruang atas.
"Apakah mereka berada di sana?" tanyanya.
Ia jauh berlainan dengan Gusti Ayu Retna-ningsih. Kecuali sudah berpengalaman menjadi
seorang petualang besar, otaknya cerdas pula. Seperti diketahui, tadi siang ia mengisiki pamannya tentang jejak Sangaji. Setelah mencari ubek-ubekan sehari penuh ia kembali ke benteng dan sempat mendengarkan omongan Fatimah dengan Gusti Ayu Retnaningsih. Ia melihat pula betapa Fatimah mendaki tangga dan berbicara menghadap pintu atas sebagai seorang petualang yang luas pengalamannya, segera ia mencurigai tingkah laku gadis itu. (Jntuk sementara ia
menyabarkan diri dengan berharap akan memperoleh keterangan lebih jelas, la mengintip
pembicaraan Gusti Ayu Retnaningsih dan Fatimah. Ternyata Fatimah kurang wajar menghadapi
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan Gusti Ayu Retnaningsih. Dan bagi sang Dewaresi cukuplah sudah untuk memperkuat alasannya mencurigai Fatimah.
"Apakah mereka berada di sana?" ia meng-ulang pertanyaannya.
"Mereka yang mana?" Fatimah mencoba mengelak.
"Siapa lagi kalau bukannya si bocah Sangaji dan Titisari." "Siapa mereka?"
"Hm"di hadapanku masakan engkau bera-ni berlagak pilon?" desak sang Dewaresi.
"Kalau aku benar-benar pilon, kau mau apa?" Fatimah membawa adatnya yang angin-anginan.
Dewaresi tertawa perlahan. Katanya menekan-nekan, "Terang-terangan, engkau telah
berbicara dengan mereka. Masakan engkau berani mengingkari?"
Setelah berkata demikian dengan tiba-tiba ia melesat mendaki tangga. Sebentar saja ia sudah berada di ruang atas dan berjalan mondar-mandir melintasi pintu yang terkunci dari dalam.
Fatimah terkejut bukan main sampai ia memperdengarkan pekikannya. Gusti Ayu Retnaningsih tergetar pula mendengar pekik Fatimah. Meskipun ia sama sekali tak berani ikut menduga-duga, tetapi ia sudah bisa menebak sembilan bagian. Tanpa disadari sendiri tubuhnya bergetaran.
Melihat kedua gadis itu memperlihatkan rasa cemasnya sang Dewaresi bertambah yakin. Tanpa berbimbang-bimbang lagi, terus saja ia mendupak daun pintu. Pintu itu berusia tua melebihi umurnya sendiri. Kena tendangannya, sekaligus terjeblak dan runtuh beran-takan.
Menuruti kebiasaannya, ingin ia segera memasuki dengan sikapnya yang girang. Tetapi ia ingat, kali ini dia akan menghadapi Sangaji dan Titisari. la pernah merasakan ketangguhan Sangaji dan kecerdikan Titisari yang melebihi manusia lumrah. Anak Adipati Surengpati itu pernah
mengingusinya sampai dua kali berturut-turut tanpa bisa membalas. Yang pertama di serambi kadipaten Peka-longan dan yang kedua di Desa Gebang. Bahkan beberapa hari yang lalu ia hampir mati, kena jarum Titisari di hadapan paman-nya tatkala sedang diuji Adipati Surengpati. Teringat akan hal itu, mau tak mau ia harus berhati-hati dan tiada berani berceroboh. Itulah sebabnya, ia menunggu beberapa saat dengan sikap waspada. Apabila tiada reaksinya, diam-diam ia jadi curiga bercampur heran. Karena ruang kamar gelap gulita, cepat ia turun dan datang kembali dengan membawa obor.
Sekarang ia melihat Titisari yang duduk berjajar dengan Sangaji. Wajah Sangaji nampak pucat dan kuyu. Napasnya berjalan perlahan-lahan dan nampak tiada bertenaga. Diam-diam ia
bersyukur dalam hati, karena sebagai seorang yang sudah berpengalaman tahulah dia, bahwa lawan yang disegani itu sedang menderita luka parah. Sebaliknya terhadap sikap Titisari ia jadi gemas dan cemburu. Gadis itu walaupun nampak kucai tiada mengurangi kejelitaannya. Matanya masih saja bersinar menyala. Ia duduk menempel bagai seorang mempelai baru yang ingin
disanjung rayu. Kulitnya yang kuning bersih kelihatan padat dan montok.
"Adikku! Apakah kau sedang berlatih di sini?" Sang Dewiresi minta keterangan. Sudah barang tentu sang Dewaresi tahu, bahwa gadis itu sedang menolong mengembalikan kesehatan Sangaji.
Tetapi ia emoh melihat kenyataan demikian. Dalam lubuk hatinya, benar-benar ia tak rela Titisari bekerja untuk saingannya.
Baik Sangaji maupun Titisari tiada memperlihatkan reaksinya. Sangaji tak bergerak dan sedang tenggelam dalam semadinya. Dan Titisaripun yang sehat bersikap acuh tak acuh, meskipun
hatinya tergetar bukan main.
Semenjak mendengar suara sang Dewaresi, tahulah dia bahwa tempat persembunyiannya bakal
ketahuan. Dengan cermat ia mengawasi gerak-gerik orang itu. Tatkala sang Dewaresi mendekati pintu, cepat ia berbisik kepada kekasihnya. "Jangan bergerak! Dan bersikap-lah seperti engkau lagi dalam semadi dan tiada bertenaga. Aku akan memancingnya agar mendekat. Lalu hantamlah dia dengan Kumayan Jati untuk menghabisi nyawanya. Ingat! Kau harus melakukan dengan sungguhsungguh. Sebab kalau kau gagal kitalah yang bakal mati di tangannya."


Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tetapi... aku belum dapat menggunakan tenaga tangan," sahut Sangaji dengan berbisik pula.
Titisari hendak memberi petunjuk, tatkala tiba-tiba pintu kena diruntuhkan. Kemudian tak lama lagi, sang Dewaresi muncul dengan membawa obor di tangan. Menghadapi kenya-taan itu, cepat ia mengasah otak. Pikirnya gelisah, aku harus mengusir dia selama lima hari lagi. Tetapi bagaimana caraku" Aku tak bisa meninggalkan Sangaji. Sekali akan melepaskan tempelanku, dia akan jatuh terkapar memuntahkan darah...
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tatkala sang Dewaresi menuruni tangga hendak mengambil obor, teringatlah dia kepa-da
ganjal pintu besi yang dimasukkan Fatimah lewat lubang dinding. Tanpa berpikir panjang lagi ia segera menariknya ke samping.
Dalam pada itu sang Dewaresi masih jeri terhadap Sangaji. Benar ia telah memperoleh
keterangan dari pamannya, bahwa Sangaji terluka parah kena dilibat orang-orang tertentu
(Wilatikta dan kawan-kawannya) tetapi ia tak berani gegabah menghadapi pemuda itu. Dasar cerdik, ia mau mencoba dahulu.
"Adikku! Keluarlah! Apa perlunya menyekap diri dalam kamar selembap itu..."
Dengan sebelah tangannya ia mengulurkan tangan. Maksudnya hendak menguji reaksi Titisari dan Sangaji. Tetapi Titisari dan Sangaji masih saja berdiam diri seolah-olah tak mendengar ujarnya. Melihat demikian, sang Dewaresi maju setapak lagi sambil meletakkan obor. Mendadak saja, Titisari bergerak. Tahu-tahu sebuah tongkat besi berkesiur mengemplang kepalanya.
Sang Dewaresi kaget sampai berjingkrak. Untung ia gesit. Ia bisa mengelak dan cepat mundur.
Meskipun bebas jantungnya berde-gupan tak keruan.
Titisari menyesal bukan kepalang, karena serangannya gagal. Seumpama dia bisa ber-gerak
dengan leluasa, pastilah ia akan melom-pat memburu dan menyusul kemplangan. Tetapi
tangannya tak boleh terlepas dari genggaman Sangaji. Sekali terlepas, akibatnya tak bisa dibayangkan. Itulah sebabnya, terpaksa ia menundukkan kepala dengan hati jengkel dan pepat.
Ia sadar akan arti kegagalan itu. Sebab untuk seterusnya, sang Dewaresi akan bersikap lebih berwaspada dan sewaktu-waktu malah bisa melancarkan serangan balasan.
Dalam pada itu Gusti Ayu Retnaningsih heran bukan main mendengar suara tongkat besi
menghajar lantai, la melihat pula sang
Dewaresi meloncat mundur dengan gugup. ~erang sekali, ia lagi menghindari suatu hajaran.
Siapakah yang menghajarnya" Teringat akan kata-kata sang Dewaresi tentang Sangaji dan
Titisari, ia jadi sibuk sendiri. Apakah mereda benar-benar berada di dalam kamar itu"
Sang Dewaresi tatkala itu sudah berdiri tegak mengancam di pintu, la tahu, Sangaji Jan Titisari tak dapat berbuat banyak. Segera ia mengumpulkan keberanian dan memu-tuskan hendak
membalas menyerang. Meskipun Titisari sudah menduga akan menghadapi serangan balasan demikian, namun hatinya tercekat pula. Maklumlah ia tak bisa bergerak dengan leluasa. Dengan sebisa-bisanya ia mencoba menghalau setiap serangan dengan tongkat besinya. Tetapi ia berlawanan dengan sang Dewaresi yang cerdik. Setiap kali ia menyodokkan tongkat besinya, sang Dewaresi mundur. Kemudian maju menyerang dengan cepat dan lincah, apabila Titisari sedang menarik tongkat besinya.
Diserang maju mundur demikian, lambat laun Titisari merasa kuwalahan juga. Diam-diam,
hatinya mulai mengeluh. Sadarlah dia, bahwa akhirnya ia akan berada dalam kekuasaan jahanam itu. Fatimah dan Gusti Ayu Retnaningsih melihat kesukaran Titisari. Tanpa memedulikan
keselamatan diri, serentak mereka memanjat tangga hendak membantu. Masing-masing
bersenjata golok dan merupakan dua sekawan murid Suryaningrat. Tadi mereka telah
memperlihatkan suatu kerja sama tatkala menghadapi Cocak Hijau dan Surapati. Meskipun belum rapi, namun kesanggupan dan kemampuan mereka tak boleh dipandang ringan.
Sang Dewaresi tertawa lebar melihat maju-nya mereka. Dia adalah seorang petualang tangguh dan pernah pula mencekuk Gusti Ayu Retnaningsih dengan gampang. Karena itu ia tak
memandang sebelah mata kepadanya. Dengan suatu gerakan gesit, ia menyambar tubuh Sangaji dan sama sekali tak mengacuhkan mereka.
Meskipun tenggelam dalam semadi, sesung-guhnya Sangaji melihat belaka perkelahian itu. Ia tahu, dirinya tak bisa berbuat sesuatu. Itulah sebabnya begitu diserang Sang Dewaresi ia hanya dapat memejamkan mata menunggu maut.
Sebaliknya Titisari kaget bukan main. Dengan mati-matian ia melemparkan tongkat besinya dan membabat pinggang lawan. Sang Dewaresi sudah bersiaga. Cepat luar biasa ia menangkap
tongkat besi dan ditariknya keras.
Iga-iga sang Dewaresi belum pulih kembali seperti sediakala kena pukulan Sangaji, namun
dalam mengadu tenaga dengan Titisari tak usah dia kalah, la seorang yang berpengalaman dan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
berkepala besar. Dengan sebe-lah tangan ia menarik dan tangan lainnya di-kerjakan untuk
menyerang musuh. Titisari kaget. Hatinya sangat cemas meng-hadapi perlawanan demikian. Betapa tidak" Ia
hanya dapat mempertahankan diri dengan sebelah tangan. Sedangkan tangannya yang lain harus tetap menempel pada tubuh Sangaji. Sekali terlepas, celakalah Sangaji. Kini ia menghadapi tarikan sang Dewaresi. Apabila tongkat besinya kena direbut, sudah bisa dibayangkan betapa hebat akibatnya. Itulah sebabnya, ia harus membagi tenaganya. Tangan kirinya menekam tangan
Sangaji dan tangan kanannya berkutat mempertahankan tongkat besi. Tubuhnya sampai
melengkung dan hampir tergeser kena tarik.
Menghadapi kenyataan demikian, tiada jalan lain kecuali melepaskan tongkat besinya.
Memperoleh keputusan demikian, ia segera mengikuti tenaga tarikan. Kemudian melepaskan
genggaman dibarengi dengan so-dokan. Setelah itu dengan cepat ia merogoh senjata biji sawo.
Terus saja ia mengham-burkan biji sawo itu menyerang dengan berondangan.
Sang Dewaresi terkejut. Ia pernah merasakan kesaktian senjata biji sawo di Desa Gebang.
Dahulu"seumpama tiada ditolong Gagak Seta"ia bisa jatuh terkapar tiada berdaya. Karena itu, tatkala melihat benda ber-keredep, cepat ia menjatuhkan diri dan bergulingan menjauhi. Itulah cara satu-satunya untuk menghindarkan diri dari serangan senjata rahasia Titisari. Tapi justru pada saat itu, Fatimah dan Gusti Ayu Retnaningsih datang menyerang dengan berbareng.
Kembali sang Dewiresi tercekat hatinya. Ia menggulingkan tubuhnya lagi. Dengan demikian, golok Fatimah yang menetak lehernya menancap di lantai. Tepat pada saat itu, biji sawo Titisari menyambar dan mengenai punggung Fatimah. Tak ampun lagi, punahlah tenaga Fatimah.
Lengannya tak dapat digerakan lagi.
Sang Dewaresi cerdik. Dengan matanya yang jeli, ia melihat keadaan Fatimah. Maka sambil
tertawa ia melompat dan menyambar tengkuknya dengan mudah. Kemudian sebat luar biasa ia
menarik lengan Fatimah dan dibawa mundur ke luar pintu.
"Kau mau apa sekarang?" dampratnya sengit.
Gusti Ayu Retnaningsih terhenyak menyak-sikan Fatimah kena bekuk begitu mudah. Dalam
hatinya ia heran, apa sebab Fatimah tak dapat membela diri.
"Serang! Aku kena senjata!" seru Fatimah nyaring.
Semangat Gusti Ayu Retnaningsih seperti tergugah. Terus saja ia mengibaskan goloknya dan membabat pinggang sang Dewaresi. Ia murid Suryaningrat. Meskipun belum mahir, namun
serangannya cukup berbahaya dan tak gampang-gampang bisa dielakkan.
Tapi ia menghadapi sang Dewaresi yang tangguh. Kecuali itu, sudah mengetahui
kelemahannya. Dengan sebat ia mengelak sambil mendorongkan tubuh Fatimah sebagai perisai.
Kemudian tangannya menyelonong hendak mendekap dada. Sudah barang tentu, Gusti Ayu
Retnaningsih takkan membiarkan dadanya kena dekap laki-laki buaya itu. Dalam gugupnya ia menarik babatannya. Kemudian dengan cepat melindungi dadanya. Meskipun demikian, tak urung tangan sang Dewaresi masih saja bisa merobek bajunya. Dan tak dikehendaki sendiri, terbukalah dada puteri bangsawan itu.
Saking kagetnya, wajah Gusti Ayu Retnaningsih pucat lesi. Sebagai seorang bangsawan
besarlah arti terbukanya dadanya. Tak terasa, goloknya terlepas sendiri dari genggamannya. Lalu dengan tersipu-sipu ia mencoba menutupi dadanya.
Dalam pada itu, sang Dewaresi mencelat mundur sampai ke tangga. Kemudian dengan
menggondol Fatimah ia turun ke bawah dan duduk melepaskan napas di atas meja. Mau tak mau, hatinya tergetar mengingat hebatnya serangan senjata rahasia Titisari. Ia bergidik sendiri, manakala membayangkan betapa aki-batnya seumpama kena bidikan Titisari.
Anak Surengpati itu benar-benar hebat, pikirnya. Baiklah aku akan menyerangnya dari sudut ketenangan hati. Aku akan mempermainkan anak bangsawan dan gadis ini di depan hidungnya.
Apabila ketenangan jahanam itu bisa kukacaukan... dia akan mati lemas sendiri.
Sebagai seorang yang berpengalaman tahu-lah dia, bahwa pantangan seseorang yang lagi
menyembuhkan luka parahnya dengan jalan bersemadi ialah kekacauan hati. Apabila kena
terkacau, jalan darahnya bisa lepas tak ter-kendalikan. Akibatnya melumpuhkan urat nadi dan akhirnya merusak jantung. Siapa saja akan mati dengan sendirinya, manakala berada dalam
keadaan demikian. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Memperoleh pikiran demikian, bukan main girangnya sang Dewaresi. Pikirnya, kalau bocah itu mampus... masakan Titisari tak kumiliki" Hm, apakah daya andalan seorang perempuan"
Lalu berkatalah dia nyaring kepada Gusti Ayu Retnaningsih yang masih berada di loteng. "Eh, Nona! Kau biarkan temanmu ini mati. dalam genggamanku atau tidak?"
Setelah berkata demikian, ia mengangkat tubuh Fatimah ke atas meja.
Gusti Ayu Retnaningsih adalah seorang pu-teri bangsawan yang halus perasaan. Tadi saja
goloknya terlepas tanpa tersentuh tangan sang
ewaresi karena dadanya terbuka. Apalagi kini ia melihat tingkah laku sang Dewaresi di
hadapannya hendak menyakiti Fatimah. Seketika itu juga, ia bingung bukan main. Tak dikehendaki sendiri, ia lari turun dari tangga sambil berkata membujuk.
"Sang Dewaresi! Janganlah engkau menyakiti dia" Letak kehormatan seorang gadis hanyalah sekali itu saja. Karena itu merdekakanlah dia... inilah permintaanku!"
Mendengar ujar Gusti Ayu Retnaningsih, sang Dewaresi tertawa gelak sampai tubuhnya
tergoncang-goncang. Menyahut, "hm, tak kusangka, bahwa seorang bangsawanpun akhirnya akan merasa kembali sebagai manu-sia lumrah. Siapa mengira, bahwa engkau akhirnya akan meminta-minta belas kasih-anku."
Hebat ejekan sang Dewaresi terhadap gadis bangsawan itu Namun Gusti Ayu Retnaningsih tak memedulikan martabatnya lagi demi keselamatan Fatimah. Ia maju selangkah sambil berkata
membujuk lagi. "Dia murid Suryaningrat seperti aku. Kalau sampai kau rusak kehormatannya... akibatnya akan panjang..."
"Biar dia murid dewa, apa peduliku?" sahut sang Dewaresi cepat. "Siapa suruh dia mem-bacok aku" Coba kalau aku tiada cepat-cepat menggulingkan tubuhku, pada saat ini kepalaku telah terpisah dari tubuhku. Hm"hm jangan mencoba engkau menggertak dengan nama Suryaningrat!
Apakah kau kira aku jeri terhadap murid-murid perguruan Gunung Damar" Sekiranya Kyai Kasan Kesambi turun gunung hendak menuntut dendam, dia ada tandingnya. Selain pamanku sendiri, Adipati Surengpati tidak bakal tinggal diam memeluk tangan. Karena beliau adalah mertuaku. Kau tahu?" .
Gusti Ayu Retnaningsih tak tahu, apakah Adipati Surengpati benar-benar mertua sang Dewaresi atau tidak" Hanya saja ia heran, mengingat pergaulan Titisari yang erat dengan Sangaji.
"Baiklah," katanya memutuskan. Ia mau menganggap ujar sang Dewaresi separuh benar.
"Karena engkau adalah menantu Paman Adipati Surengpati, masakan engkau akan sudi
memperkosa seorang gadis kalang-an lumrah" Apakah keuntungannya."
Waktu mengucapkan kata-kata ini, suaranya agak menggeletar karena hatinya mengeluh.
Sebagai seorang bangsawan rusaknya kehormatan merupakan suatu pengucapan yang
mengerikan. Dalam dirinya timbul suatu pergulatan dahulu yang melampui Datas-batas
kemartabatannya. Sebaliknya, Fatimah merasa dirinya dihina. Dengan mata melotot ia mendamprat. "Apa
kauhilang" Siapa berani mengganggu kehor-matanku?"
Mendengar dampratan Fatimah, Gusti Ayu Retnaningsih terharu. Gadis angin-anginan itu
betapa mengerti tentang sepak terjang sang Dewaresi. Maka ia berkata mencoba, "Sang Dewaresi! Engkau seorang gagah perkasa. Sebaliknya dia seorang gadis tak berarti.
Pastilah engkau mau membiarkan dia pergi."
"Hm... mana bisa aku membebaskan dengan gampang," sahut sang Dewaresi. Mendadak saja matanya berkilatan. Kemudian berkata lagi, "Baiklah... dia akan kubebaskan. Tetapi engkau harus bersedia meluluskan per-mintaanku."
Gusti Ayu Retnaningsih menggigil. Teringat-lah dia pada pengalamannya dahulu di Desa
Gebang. Waktu itu, hampir saja ia dipaksa meluluskan permintaannya. Untung, Sangaji dan Titisari keburu menolong dan membe-baskan. Kalau tidak entahlah jadinya.
"Kau minta apa daripadaku?" ia mencoba menegas.
"Marilah kita mengadakan suatu perjanjian tukar menukar," sahut Sang Dewaresi. "Gadis ini akan kubebaskan tetapi engkau harus bersedia menjadi penggantinya. Kau setuju tidak"*'
Meskipun sudah dapat menebak maksud sang Dewaresi namun ia terkejut juga mendengar
kata-kata itu. Untuk mencoba melawan, betapa dia mampu. Sebaliknya mengharapkan suatu
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
pertolongan lain adalah tak mungkin. Karena itu dia jadi berputus asa. Tiba-tiba saja, tenaganya seolah-olah lenyap. Dan tak setahunya sendiri, air matanya mengucur perlahan-lahan.
'Hai! Kita boleh mampus! Tapi janganlah engkau mengucurkan air mata!" teriak Fatimah.
Mendengar suara Fatimah, sang Dewaresi tertawa melalui hidung. Dengan pandang menatap
Gusti Ayu Retnaningsih, ia berkata pasti. "Kalau menolak... hm... gadis ini tidak-lah cukup berharga bagiku. Lihat! Dia akan Kutekak tengkuknya."
Setelah berkata demikian, tangannya menggempur meja. Dan meja itu semplak berantakan.
Gusti Ayu Retnaningsih terperanjat. Pikirnya, Guru sendiri belum tentu memiliki tenaga begi-ii.
Sesungguhnya, sang Dewaresi hampir ewarisi ilmu kepandaian Kebo Bangah. Dibandingkan
dengan Suryaningrat murid bungsu Kyai Kasan Kesambi ia masih menang tangguh. Di Desa
Gebang, Sangaji kena dikalahkan. Sedangkan Sangaji bisa mengalahkan Pringgasakti. Sebaliknya Wirapati dan Bagus Kempong merasa diri tak menang melawan iblis itu.
"Nah"bagaimana?" desak sang Dewaresi galak begitu melihat rasa was-was Gusti Ayu Retnaningsih.
"Aku harus mengganti bagaimana?" sahut gadis bangsawan itu gugup.
"Kau harus tunduk dan tak membangkang segala perintahku dan kehendakku. Kalau tidak...
tengkuk gadis ini akan kupatahkan." Dan ia mengancamkan tangannya ke tengkuk Fatimah. Sudah barang tentu, Gusti Ayu Retnaningsih yang tak pernah menyaksikan suatu peristiwa ngeri bermain di depan matanya, terkejut melihat ancaman itu. Sampai tak dikehendaki sendiri ia menjerit.
"Bagaimana?" Sang Dewaresi mengulang desakan lagi.
Dengan terpaksa Gusti Ayu Retnaningsih mengangguk.
"Bagus!" seru sang Dewaresi menang. "Sekarang"tutuplah pintu depan itu!" Gusti Ayu Retnaningsih enggan bergerak.
"Kau dengar tidak perintahku ini?" Sang Dewaresi membentak.
Kena bentakan itu, mau tak mau Gusti Ayu Retnaningsih melakukan perintahnya. Dengan hati berdebaran, ia menutup pintu.
"Bagus!" kata sang Dewaresi sambil melem-parkan Fatimah di atas meja. Berkata nyaring,
"Sekarang gadis ini kujadikan barang tanggungan. Tulang sambungnya akan kugempur sedikit agar tak dapat bergerak."
la benar-benar melakukan apa yang diucap-kan. Dan berbareng dengan jeritnya Gusti Ayu
etnaningsih, Fatimah tak berkutik. Sang Dewaresi tertawa puas. Kemudian dengan Dandang manis ia mengarah kepada Gusti Ayu Retnaningsih yang berdiri bergemetaran. Berkata nyaring pula,
"dahulu di Desa Gebang, kesenangan kita kena ganggu bocah tolol itu. ^alam ini... kita bertemu kembali bukan?"
"Di sini tak akan ada yang mengganggu kita. Kau sedia mengikuti perintahku bukan?"
"Bangsat! Jangan dengarkan perintahnya. Biarlah dia membunuh aku!" teriak Fatimah tiba-tiba.
Dan mendengar teriakan itu, sang Dewaresi bergusar bukan main. Meledak, "Bagus! Aku tadi berjanji hendak membe-baskan engkau asai sala dia sanggup meng-gantikan. Tapi engkau
berteriak seperti anjing. Huh, kau tunggu saja aku membuktikan ucapanku." Pandang matanya jadi bertambah liar.
Semenjak kanak-kanak, Fatimah hidup bebas dan boleh dikatakan setengah liar. Karena itu tak pernah takut kepada segala. Sehingga sering membawa adatnya sendiri yang angin-anginan. Kini menghadapi sang Dewaresi yang hendak membuktikan ucapan-nya ia jadi takut bukan kepalang.
Dan inilah untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia benar-benar merasa takut. Fatimah jadi menggigil ketakutan. Mau ia meronta, tetapi tenaganya telah dipunahkan sang Dewaresi. Satu-satunya jalan, ia hanya bisa meludah dan mencaci kalang kabut.
"Kau benar-benar anjing bengal!" kutuk sang Dewaresi, kemudian menotoknya sehing-ga gadis itu jadi terbungkam gagu. Setelah itu ia menatap kepada Gusti Ayu Retnaningsih dan berkata,
"Kau sudah berjanji hendak patuh kepada semua perintahku. Engkau seorang bangsawan, harus bisa memegang janji. Kalau tidak, omonganmu tiada harganya. Apakah aku harus memaksamu?"
Baik Fatimah maupun Gusti Ayu Retnaningsih benar-benar merasa dirinya tak berdaya. Fatimah tak dapat bergerak dan berbicara, namun telinganya dapat mendengar dengan terang. Diapun sedang menghadapi saat-saat yang mengerikan. Ingin ia berteriak minta pertolongan Titisari, tetapi celakanya mulutnya tak dapat dibukanya. Karena itu hatinya seolah-olah akan meledak.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sedang Gusti Ayu Retnaningsih takut bukan main menghadapi bencana demikian. Apalagi, kalau sampai sang Dewaresi bertindak dengan kasar. Hal itu, tak sanggup ia membayangkan.
Dalam pada itu Titisari telah memperbaiki diri. Tongkat besi yang tadi kena rebut sang
Dewaresi dapat digapainya kembali. Kemudian ia mempersiapkan cundrik dan sen-ata rahasianya untuk berjaga-jaga menghadapi serangan sang Dewaresi kembali yang mungkin sekali terjadi dengan tiba-tiba. Tatkala mendengar peristiwa yang terjadi di ruang bawah, hatinya mendongkol dan panas. Sebagai seorang wanita, ia bisa ikut merasakan penderitaan batin Gusti Ayu
Retnaningsih dan Fatimah. Tetapi dasar hatinya masih kanak-kanak, maka timbulah suatu
keinginan lain hendak ikut pula menyaksikan apa yang bakal terjadi selanjutnya.
Ia mendengar Gusti Ayu Retnaningsih. Mendadak berkata nyaring dan tegas. "Kau bunuh sajalah aku!"
Sang Dewaresi tercengang sejenak. Sama sekali tak diduganya, Gusti Ayu Retnaningsih hendak memutuskan sikap demikian. Sekonyong-konyong ia melihat benda ber-keredap mengarah
padanya. Itulah cundrik Gusti Ayu Retnaningsih yang ditimpukkan dengan tak terduga. Tetapi sang Dewaresi bukanlah seorang laki-laki lemah. Cepat ia mengibaskan tangan dan menangkis cundrik itu dengan mudah.
Melihat serangannya gagal, Gusti Ayu Retnaningsih tak mau susah. Dengan sekali lompat ia hendak memungut cundriknya. Sebaliknya, sang Dewaresi sadar akan bahaya. Diapun melompat pula dan merampas cundrik. Pada saat itu tiba-tiba terdengar pintu diketuk dari luar:
"Kula nuwun! Kula nuwun. Itulah suaranya seorang wanita yang ingin bertemu dengan pemilik benteng.
Wajah Gusti Ayu Retnaningsih terus saja bersinar terang. Dalam kepepatannya ia mem-peroleh sepercik harapan. Demikianlah dengan hati berdebaran segera ia menghampiri pintu dan
membuka dengan cepat. Dan di ambang pintu, terlihatlah seorang gadis cantik molek yang
terpotong rambutnya dengan mengenakan pakaian Jawa. Di pinggangnya terselip sebatang golok.
Pandang wajahnya agak kuyu, namun tak mengurangi kejelitaan-nya.
Gusti Ayu Retnaningsih belum pernah mengenal atau bertemu dengan gadis itu. Namun karena menaruh harapan besar, ia mau men-ganggapnya sebagai bintang penolongnya. Itulah sebabnya dengan agak gemetaran ia menyambut. "Silakan masuk, Nona!"
Gadis itu berdiri keheranan melihat Gusti Ayu Retnaningsih yang berparas elok dan
mengenakan pakaian serba mahal. Sama sekali tak diduganya, bahwa pemilik benteng atau
setidak-tidaknya penguasa benteng itu adalah seorang gadis begini agung. Itulah sebabnya setelah mengamat-amati sejenak, Daru ia berkata "Aku kebetulan lewat di sini. Dari luar kulihat nyala dian. Apakah Nona penghuni benteng kuno ini?"
Sebenarnya Gusti Ayu Retnaningsih akan memberi keterangan tentang dirinya dan apa sebab
sampai berada di benteng. Tetapi mengingat bahaya yang lagi mengancamnya tanpa banyak cingcong lagi terus ia mengiakan sambil mempersilakan.
"Masuklah!" Gadis itu kembali heran dan nyaris tak per-caya kepada penglihatannya sendiri. Pikirnya, benar-benarkah gadis ini penghuni benteng" Katanya menegas lagi. "Maksudku... apabila Nona mengijinkan, aku hendak menginap di sini."
"Baik-baik, masuklah!" sahut Gusti Ayu Retnaningsih cepat.
Memperoleh sahutan itu, tiada ragu-ragu lagi masuklah gadis itu. Tatkala menebarkan
penglihatannya, mendadak ia melihat sang
Dewaresi. Ia nampak terkejut, lantas mundur selangkah sambil menghunus goloknya.
Sang Dewaresi kala itu telah memperdengarkan tertawanya, lalu datang mendekati
menghadang pintu. "Inilah jodoh!" katanya. "Semua-semuanya Tuhan yang mengatur pertemuan ini. Kini terang sekali, bahwa engkau ditakdirkan datang padaku. Inilah suatu karunia. Kalau karunia begini tiada diterima, benar-benar kita manusia durhaka."
Gadis yang datang itu sesungguhnya Nuraini. Ia pernah kena tawan sang Dewaresi, dan pernah pula dicemarkannya.
Setelah bentrok hebat dengan Sanjaya, habislah sudah harapannya. Hatinya jadi tawar dan
merasa diri seorang yatim piatu. Di depan Titisari, ia memangkas rambutnya. Kemudian melarikan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
diri tanpa tujuan tertentu. Pada malam harinya, ia membanting dirinya dan menyesali nasibnya yang buruk. Setelah kepepatannya agak surut, mulailah ia bisa berpikir dan menimbang-nimbang.
Ia tak bisa mempersalahkan Sanjaya. Sebaliknya" teringat kepada yang membuat gara-gara"
hatinya berdendam, tapi betapa bisa melawan sang Dewaresi yang gagah perkasa dan mempunyai kaki tangan tak terhitung jumlahnya.
Meskipun demikian, setelah menimbang-nim-bang beberapa hari lamanya, ia jadi nekat.
Pertama-tama ia hendak berpamit dari Sanjaya, untuk berpisahan selama-lamanya. Kemudian
mencari sang Dewaresi untuk membuat perhitungan. Demikianlah"setelah menetapkan hati"ia
berangkat ke timur hendak mencari Kabupaten Bumi Gede.
Di luar dugaannya, perang mulai pecah. Dengan sendirinya ia memperoleh kesukarankesukaran di luar keinginan. Sanjaya tak dapat diketemukan. Kabupaten Bumi Gede kosong.
Semua pahlawan-pahlawannya berangkat ke medan perang. Dengan hati bingung, terpaksalah ia berangkat lagi menuju ke barat. Dalam kepepatannya, ia hendak menyusul Sanjaya di medan
pertempuran. Malam itu lewatlah ia di depan benteng. Setelah berjalan berhari-hari lamanya, ia merasa diri letih. Mengira benteng itu adalah suatu tempat yang aman, tanpa berpikir pan-jang lagi terus saja ia memasuki benteng. Mendadak saja ia bertemu dengan sang Dewaresi.
Ia belum pernah bertemu dengan Gusti Ayu Retnaningsih. Mengingat dirinya sendiri, ia mengira Gusti Ayu Retnaningsih salah seorang gula-gula sang Dewaresi. Ia benci kepada sang
Dewaresi. Tanpa berbicara lagi, terus saja ia menyambar Gusti Ayu Retnaningsih sambil
membabatkan goloknya. Sang Dewaresi benar-benar tangguh dan waspada. Dengan sekali menjejak tanah, ia meloncat menghadang dan menangkis golok Nuraini. Dan pada detik itu juga, ia berhasil menangkap tangan Nuraini, kemudian dibekuknya sampai tak dapat berkutik.
Dalam pada itu, Gusti Ayu Retnaningsih lari menghampiri Fatimah setelah terlepas dari bahaya.
Ia hendak membebaskan Fatimah hanya saja tak tahu bagaimana caranya. Selagi ia sibuk
memijat-mijat, sang Dewaresi sudah berhasil, memeluk Nuraini dan dibawa menghampiri. Ia
berkata sambil tertawa menang.
"Eh, kau lagi apa?"
Gusti Ayu Retnaningsih terkejut, sampai melepaskan pijatannya. Selagi ia kehilangan ketetapan hati, terdengarlah suara sang Dewaresi nyaring. "Adikku Titisari" Hayolah turun! Masakan engkau akan melewati malam gembira ini?"
Hampir berbareng dengan ucapannya terlihatlah sesosok bayangan berkelebat mema-suki
pintu. Dialah Sanjaya anak angkat Pangeran Bumi Gede.
Seperti diketahui, Sanjaya keluar benteng jengan Pangeran Bumi Gede bersama-sama lengan
kaburnya Manyarsewu, Cocak Hijau, Yuyu Rumpung dan lain-lainnya. Pada saat itu rertempuran makin lama makin sengit. r3sukan gabungan antara Pangeran Bumi Gede dan Patih Danureja II kena didesak mundur oleh laskar kasultanan dibawah pimpinan Pangeran Ontowiryo. Meskipun demikian, kekalahan ini belum merupakan kekalahan mutlak. Masing-masing pihak masih bisa saling menerobos garis pertahanan. Karena itu, Pangeran Ontowiryo dapat datang sampai di benteng itu. Sebaliknya Pangeran Bumi Gede dan Sanjaya saat itu berada di belakang garis depan laskar kasultanan.
Setelah berputar-putar, Sanjaya berpisah lari ayah angkatnya. Mereka saling berjanji hendak bertemu kembali di benteng itu. Di tengah jalan mendadak ia melihat berkelebatnya Nuraini. Terus saja ia menguntitnya, heranlah dia. waktu melihat Nuraini bersinggah di benteng itu.
Kecurigaannya timbul. Dengan mengendap-endap ia menghampiri benteng dan mengintip dari
balik tembok. Begitu melihat sepak terjang sang Dewaresi terhadap kekasihnya, hatinya
mendongkol. Memang, diam-diam ia bersakit hati terhadap pendekar Banyumas itu yang
memperlakukan Nuraini begitu rupa di lumbung desa dahulu. Kini dengan mata kepalanya sendiri, ia menyaksikan betapa sang Dewaresi memeluk Nuraini dan Gusti Ayu Retnaningsih dengan
bernafsu, sedang Fatimah menggeletak tak berdaya di atas meja.
Ia belum kenal Gusti Ayu Retnaningsih dan Fatimah, tetapi sudah dapat menduga-duga tujuh bagian sebelumnya.
"Ih! nDoromas Sanjaya!" seru sang Dewaresi girang.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kau datang lagi" Inilah namanya, engkau lagi kejatuhan rejeki."
Dengan menahan sakit hati, Sanjaya meng-angguk, la berpura-pura membawa sikap belum
mengenal ketiga gadis itu semua. Meskipun demikian, pandangannya kelihatan geram.
Melihat sikap Sanjaya dengan pandangan-nya agak geram sang Dewaresi mengerenyitkan alis.
"Jangan cemburu, nDoromas. Akupun tak kan serakah. Kau boleh pilih, mana saja yang
kausukai." Kembali Sanjaya mengangguk. Matanya mencuri pandang kepada Nuraini yang kena peluk tak
berkutik. Sang Dewaresi tertawa perlahan. Kemudian oerkata acuh tak acuh. "Ketiga-tiganya ini adalah milikku. Apakah mereka kurang cantik" Kukira, aku sependapat dengan nDoromas bahwa mereka ini mempunyai kecantikan masing-masing."
Untuk ketiga kalinya Sanjaya mengangguk. Sang Dewaresi tidak mengetahui adanya hubungan
istimewa antara Nuraini dan Sanjaya. Tatkala mereka dahulu bertemu di gelanggang mencari jodoh di Pekalongan, ia tidak hadir. Meskipun tadinya Sanjaya tidak menaruh perhatian terhadap gadis itu, tapi 'ambat laun hatinya mulai tergerak. Beberapa kali mereka bertemu, berbicara dan bertengkar. Betapapun meninggalkan kesan juga. Kini ia menyaksikan gadis itu berada dalam pelukan sang Dewaresi. Hatinya bergolak, namun ia bisa mengendalikan diri.
"Duduklah!" sang Dewaresi mempersilakan. Sebentar lagi kita akan dapat menyaksikan pamandangan yang menarik dan meng-asyikkan. Ia tertawa menyeringai. Matanya berkilat-kilat.
"Kau setuju tidak?"
"Bagus!" Tiba-tiba Sanjaya menyahut dengan tertawa riang.
Mendengar ujar Sanjaya, Nuraini terkejut. Hatinya sakit dan panas bukan main. Diam-diam ia mengerling kepada Sanjaya. Melihat sikap dan lagak lagu pemuda itu, mendadak saja hatinya dingin dan bertambah tawar. Ingin ia membunuh diri di depannya, agar terbebas dari suatu penderitaan. Oleh pikiran ini tangannya lantas saja menggerakkan goloknya. Tapi belum sampai ia berbuat sesuatu, sang Dewaresi telah mencengkeram pergelangan-nya. Mau tak mau, ia harus melepaskan goloknya yang segera jatuh bergelontangan di atas lantai.
"Galak benar gadis ini," gerutu sang Dewaresi. "Biarlah ini bagianku. Aku senang kepada gadis yang galak. nDoromas kuberi gadis yang berada di atas meja. Bagaimana pendapatmu?"
"Mana saja... bukankah semua cantik jelita?" sahut Sanjaya riang.
Ketiga gadis itu tak akan berkutik. Namun pendengaran dan penglihatan mereka tak terganggu. Karena itu, mereka mendongkol mendengar dan melihat sepak terjang mereka. Meskipun hatinya mau meledak, tapi mereka tak dapat berbuat apa-apa.
"Ha"itulah jawaban seorang laki-laki sejati," sang Dewaresi memuji.
Tiba-tiba Nuraini menegakkan kepalanya dan menatap wajah Sanjaya. Meledak,
'Sanjaya! Apakah engkau sudah menjadi atang?"
Hebat ucapan itu. Baik Nuraini maupun Sanjaya tergetar hatinya. Seumpama tiada -terasa
dirinya terdorong ke pojok, gadis sehalus Nuraini tak kan mungkin mengucapkan kata-kata
sekasar itu. Sanjaya pun belum pernah kena maki demikian. Selama hidupnya entah sudah berapa kali ia bersenang-senang rengan kaum wanita, tapi belum pernah dihinggapi nafsu untuk hendak mencemarkan. Karena itu ucapan Nuraini benar-benar menusuk hatinya. Tapi dasar licik dan licin, ia Disa menguasai diri. Dengan tersenyum ia nembuang muka dan berkata kepada sang Dewaresi.
"Benar," kata sang Dewaresi. "Dia sangat galak."
Mendengar ujar Sanjaya, sang Dewaresi tertawa tergelak-gelak. Terus saja ia menyahut.
"Itulah pikiran bagus! Hayo kita bertaruh, di antara kedua gadis ini siapakah yang memiliki betis paling bersih dan kuning."
Setelah berkata demikian. Sang Dewaresi menggerayangi tumit Gusti Ayu Retnaningsih.
"Nanti dulu!" cegah Sanjaya. "Golok ini harus kita singkirkan dahulu. Berdekatan dengan seorang perempuan, harus bebas dari rasa ngeri."
"Ah! nDoromas benar-benar teliti. Hayo singkirkan golok itu! Ha"bagaimana pendapat
nDoromas selanjutnya?"
"Aku adalah kelinci yang kejatuhan rejeki. Sebenarnya tak berhak ikut menentukan. Tapi karena sang Dewaresi minta pertimbanganku, baiklah terserah kepada sang Dewaresi menanggalkan
pakaiannya sepotong demi sepotong. Itulah lebih menggetarkan hati..."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Bagus!" sahut sang Dewaresi. Habis berka-ta demikian, terus saja ia hendak mulai beker-ja.
Mula-mula ia memperbaiki pakaiannya dahulu, kemudian membungkuki Gusti Ayu Retnaningsih


Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan Nuraini. Sudah barang tentu Gusti Ayu Retnaningsih dan Nuraini mendongkol bukan main diperlakukan demikian. Kalau saja hatinya kurang tabah, pastilah mereka akan jatuh pingsan dengan
berbareng. Diam-diam mereka sudah mengambil keputusan. Apabila mereka berani mencemarkan namanya, akan menggigit lidahnya sendiri sampai mati.
Pada saat itu, Sanjaya membungkuk memu-ngut golok Nuraini yang tadi jatuh bergelon-tangan di atas lantai. Dengan sudut matanya ia mengerling sang Dewaresi yang lagi menumpahkan
seluruh perhatiannya kepada Gusti Ayu Retnaningsih dan Nuraini. Kedua tangannya mulai bekerja.
Dengan cekatan, ia hampir dapat menyibakkan kain Gusti Ayu Retnaningsih dan Nuraini
berbareng. Mulutnya engulum senyum luar biasa puas. Karena hatinya ikut berbicara, dahinya sampai ber-keringat.
Itulah suatu tanda, bahwa seluruh perasaannya terpusat pada apa yang bakal terlihat nanti.
Sekonyong-konyong terjadilah suatu ke-gemparan, di luar dugaan Sanjaya nampak
mengeraskan genggamannya. Dengan mengertak gigi"ia melompat sambil meng-gerung.
Kemudian menikam perut sang Dewa-resi dua kali berturut-turut. Berbareng dengan itu, ia
menendang meja sehingga terbalik.
Kejadian ini datangnya sangat tiba-tiba dan di luar dugaan. Baik Nuraini, Gusti Ayu
Retnaningsih, Fatimah, Titisari dan Sangaji kaget bercampur heran. Sang Dewaresi sendiri mula-mula tak percaya akan kenyataan itu. Itulah sebabnya pula, ia seperti terpaku tatkala kena tikaman yang pertama kalinya. Tetapi begitu merasa sakit tersadarlah dia. Sebat luar biasa ia menangkis tikaman Sanjaya yang kedua sambil melemparkan tubuh Gusti Ayu Retnaningsih dan Nuraini berjungkir-balik. Kemudian dengan kecepatan mengagumkan, ia menimpuk Sanjaya
dengan cundrik Gusti Ayu Retnaningsih yang tadi kena dirampasnya.
Tetapi Sanjaya sudah bersiaga. Begitu melihat berkeredepnya cundrik, ia melompat
menghindar. Kemudian menjatuhkan diri dengan bergulingan. Hatinya kecut dan ketakut-an. Sama sekali tak diduganya bahwa sang Dewaresi masih mempunyai tenaga untuk melawan dan
membalas. Tanpa berpikir pan-jang lagi ia menjejak tanah hendak melarikan diri. Tetapi karena hatinya terlalu takut, mendadak saja tenaganya seperti hilang. Kedua kakinya terasa menjadi lemas dan tak mau menurut perintah kemauannya.
"Jahanam! Kau mau lari ke mana?" gertak sang Dewaresi. Karena kesannya bercampur aduk luar biasa, mendadak saja ia tertawa terbahak-bahak seperti iblis.
Wajahnya menyeramkan dan berubah bengis luar biasa. Dengan meminjam tenaga tangan, ia
mencengkram pinggiran meja siap hendak meloncat menubruk.
"Hanya satu hal aku tak mengerti," katanya. "Aku sang Dewaresi yang biasa hidup malang-melintang tanpa tandingan mengapa harus mampus di tanganmu" Sanjaya! Apa sebab engkau
membunuh aku?" Ditinjau selintasan nampaknya alasan Sanjaya membunuh sang Dewaresi adalah bergolaknya
rasa cemburu semata-mata. Tetapi sebenarnya ia mempunyai alasannya sendiri yang jauh lebih mendalam.
Ia kena dikalahkan Sangaji. Bahkan kini ilmu kepandaiannya sama sekali tak berarti apabila dibandingkan dengan Sangaji. Kenyataan yang pahit benar-benar mengge-lisahkan hatinya. Dj luar dugaan, mendadak saja ia mulai berkenalan dengan Kebo Bangah"paman sang Dewaresi
yang terkenal sebagai salah seorang tokoh sakti pada zaman itu. Maka timbullah hasratnya untuk menjadi muridnya. Ia percaya manakala Kebo Bangah mau mengambilnya sebagai murid di
kemudi-an hari pasti bisa menandingi Sangaji. Tetapi adat Kebo Bangah bukanlah seperti
kebanyakan pendekar. Dia tak dapat ditimbuni harta benda agar bisa menerimanya sebagai murid.
Dalam hidupnya ia hanya menerima seorang murid belaka. Yakni, sang Dewaresi. Oleh kenyataan itu Umbulah niatnya hendak menyingkirkan sang Dewaresi. Pikirnya, kalau sang Dewaresi tiada pastilah Kebo Bangah membutuhkan seorang ahli waris ilmu kepandaiannya. Tetapi ia merasa diri tak mampu menyingkirkan sang Dewaresi dengan terang-terangan. Dalam segala hal, ia merasa kalah. Satu-satunya jalan hanyalah dengan menikam dari belakang secara tiba-tiba. Tetapi niat itu tak mudah dilaksanakan. Sang Dewaresi adalah tokoh pendekar yang sangat berwaspada dan tak
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
gampang-gampang bisa diingusi. Mendadak saja terjadilah peristiwa itu. Ia melihat betapa sang Dewaresi terlibat dalam nafsu kebinatangannya hendak memperkosa tiga gadis dengan sekaligus yang sebenarnya bertujuan untuk menggugurkan ketenangan hati Sangaji. Begitu bernafsu dia sampai ia jadi lengah. Tahu-tahu sebatang golok menikam perutnya dua kali berturut-turut.
"Hai binatang! Mengapa engkau membunuh aku?" bentaknya lagi.
Sanjaya tak menjawab. Ia berusaha menguasai diri hendak lari secepat mungkin meninggalkan benteng.
Tetapi selagi tubuhnya bersiaga hendak me-loncat, tiba-tiba lehernya telah kena cengke-ram.
Cengkeraman itu keras luar biasa bagai gaetan besi.
Sanjaya kaget bukan main. Gugup ia men-coba membebaskan diri. Segenap tenaganya
dikerahkan. Sekalipun demikian, ia tak berhasil. Malahan ia jatuh tersungkur dengan tak
dikehendaki sendiri. "Kau tak mau berbicara?" bentak sang Dewaresi dengan suara menggerang. Terus saja ia menindih punggung Sanjaya. "Apakah engkau akan membiarkan aku mati dengan penasaran?"
Setelah berkata demikian, ia tertawa iblis. Ternyata ia masih bertenaga kuat.
"Baiklah... aku akan memberi keterangan," sahut Sanjaya dengan suara putus asa. Dengan gemetaran ia menuding kepada Nuraini yang masih saja rebah tak berkutik di atas meja. Katanya kemudian "Tahukah kau siapakah dia?"
Sang Dewaresi menoleh. Ia melihat Nuraini dan merenungi sejenak. Kemudian menegas, "Dia...
dia siapa?" Mendadak saja ia berbatuk-batuk. Tangannya menggigil. Ternyata darah yang meledak dari
perutnya tak ubah banjir menje-bol bendungan.
"Dialah tunanganku," sahut Sanjaya. "Dua kali engkau menghina aku. Yang pertama di lumbung desa. Dan kini... di sini. Masakan aku akan menjadi seorang penonton belaka?"
"Benar" kata sang Dewaresi. Ia tertawa perlahan melalui dada. "Marilah kita pulang ke neraka dengan berbareng..."
Terus saja ia mengangkat tangan hendak menetak tengkuk. Ia adalah seorang yang memiliki
tenaga kuat luar biasa. Tadi ia bisa mengempur meja sampai semplak. Karena itu dapat
dibayangkan betapa akibatnya apabila tengkuk Sanjaya kena kemplang.
Sanjaya menutup matanya. Tahulah dia, bahwa saat kematiannya akan tiba. Dalam benaknya,
berkelebatlah pengalaman-pengalamannya yang lalu. Dalam detik itu terasalah suatu kesedihan mencekam ulu hatinya.
Tetapi sekian lama ia menunggu, tangan sang Dewaresi belum juga turun. Ia jadi heran dan menebak-nebak. Hati-hati ia menjenakkan mata. Pandang mata sang Dewaresi masih tetap kejang dan wajahnya menyeringai iblis. Mulutnya kelihatan mengulum senyum maut. Tangannya
terangkat setinggi kepala, namun sama sekali tak bergerak.
Sanjaya meronta dan merenggutkan diri. Ternyata tenaga sang Dewaresi tiada lagi. Dengan
suara gedebruk, tubuh sang Dewaresi terjengkang ke belakang dan jatuh tersungkur di atas lantai.
Nyawanya melayang pada saat tangannya terangkat hendak menetak tengkuk.
Sanjaya tercengang-cengang sampai mulut-nya melongoh. Inilah suatu kejadian yang jarang
terjadi. Nuraini yang berada di atas meja heran pula. Tadi sewaktu mendengar kekasihnya kena dibekuk sang Dewaresi, ingin ia meloncat memberi pertolongan. Tetapi ia tak dapat berkutik hingga hatinya mengeluh. Sebaliknya begitu menyaksikan betapa Sanjaya terlepas dari maut dengan tak terduga, ia malah jadi terlongong-longong.
Dengan langkah perlahan-lahan, Sanjaya menghampiri Nuraini dan membebaskannya dari
siksaan sang Dewaresi. Begitu Nuraini merasa bebas, dengan cepat ia memberi pertolongan
kepada Gusti Ayu Retnaningsih dan Fatimah pula. Setelah itu ia menghampiri kekasihnya dan mendadak saja mereka saling memeluk. Dalam keadaan demikian, banyak-lah ungkapan kata
yang meraung dalam hatinya. Tetapi mulutnya tak kuasa menceraknya. Tatkala dengan tak
sengaja merenungi mayat sang Dewaresi, hati mereka bergeridik tak setahunya sendiri.
Dalam pada itu, Fatimah dan Gusti Ayu Retnaningsih telah memperbaiki pakaiannya. Hati
mereka masih penuh kesan peristiwa yang baru saja terlampaui. Namun begitu, mereka tak lupa menyatakan terima kasih kepada penolongnya. Mereka tahu, siapakah Sanjaya. Ternyata dia anak Pangeran Bumi Gede lawan Pangeran Ontowiryo. Meskipun demikian, mereka tetap memberi
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
hormat sebagai penolongnya yang membinasakan sang Dewaresi. Demikianlah... setelah
membungkuk hormat"mereka berjalan dengan bergandengan tangan keluar dari benteng.
Sebagai manusia yang tahu apa artinya berhutang budi, tak mau mereka menganggap Sanjaya
sebagai musuhnya lagi. Itulah sebab-nya, golok dan cundrik mereka dibiarkan menggeletak di atas lantai di bawah sinar obor yang berkelebat-kelebat dari dinding ke dinding.
30 BARISAN PANCAWARA TITISARI YANG BERADA DIATAS LOTENG bersyukur dalam hatinya menyaksikan Sanjaya dan
Nuraini dapat bertemu dan berdamai kembali dengan cara luar biasa. Sangaji pun berharap, mudah-mudahan Sanjaya berubah perangai dan pendiriannya tiada lagi sudi menjadi anak angkat Pangeran Bumi Gede. Mereka berdua saling memandang dan saling bersenyum. Kemudian
pandang mereka runtuh di bawah sana.
Tatkala itu, terdengarlah suara Nuraini penuh mesra. "Apakah engkau akan mem-biarkan jenazah sang Dewaresi terbaring di sini?"
Sanjaya seperti tersadar. Cepat ia menjawab sambil menghela napas. "Kita harus
menguburnya. Kalau sampai ketahuan pamannya, tiada lagi tempat bagi kita dalam dunia ini."
Kait Perpisahan 1 Kisah Dewi Kwan Im Karya Siao Shen Sien Pedang 3 Dimensi 12

Cari Blog Ini