Ceritasilat Novel Online

Bende Mataram 30

Bende Mataram Karya Herman Pratikto Bagian 30


Pringgasakti. Dengan sendirinya, Ki Hajar Karangpandan, Panembahan Tirtomoyo dan Ki
Tunjungbiru seperti mempunyai kewajiban untuk membantu. Pertempuran jadi kacau balau.
Yang sibuk adalah Sangaji. Apa yang harus dilakukan" Gagak Seta dan Kebo Bangah adalah
seimbang. Juga nasib paman-paman-nya. Meskipun belum tentu bisa bertahan sampai esok pagi, namun waktunya masih cukup lama. Sebaliknya medan pertempuran antara Pringgasakti dan Jaga Saradenta, Ki Hajar Karangpandan, Panembahan Tirtomoyo dan Ki Tunjungbiru bercorak lain.
Melihat pertempuran, hati Sangaji mengkhawatirkan keselamatan gurunya.
Pada saat itu pun Titisari sedang mengasah otaknya. Seluruh perhatiannya tertumpah pada
pertempuran antara ayahnya dan paman-paman Sangaji. la tak menghendaki salah satu pihak
menang atau kalah. Sewaktu hendak minta pertimbangan Sangaji, mendadak pemuda itu berkata,
"Titisari! Apakah yang harus kulakukan?"
Dasar Titisari seorang gadis yang dapat berpikir cepat segera ia menjawab, "Kau ingat Yuyu Rumpung tidak" Nah, apa arti keha-dirannya" Pasti Pangeran Bumi Gede dan pendekar
undangannya berada di sekitar sini. Kalau saja dia tak muncul semata-mata untuk menunggu lelahnya harimau bertarung."
Diingatkan tentang Pangeran Bumi Gede mendidihlah darahnya. Pada waktu itu ibunya
mendadak terbayang di depan matanya, la kini merasa dirinya kuat. Karena itu apalagi yang harus ditunggu-tunggu. Maka ia menoleh sambil menahan napas. Minta ketegasan, "Lantas?"
"Tolong dipisahkan dahulu pertempuran antara ayah dan paman-pamanmu. Kau pasti sanggup mengatasi mereka. Aku sendiri akan menolong gurumu dari bahaya."
Seperti diketahui, semenjak dahulu dia merasa takhluk kepada Titisari. Apabila pada saat itu, hatinya sedang sibuk dan lagi berusaha mencari pertimbangan. Maka tahu-tahu ia sudah berada di tepi gelanggang. Dengan membungkuk hormat dia berkata, "Paman-paman dan Gusti Adipati Surengpati maaf!"
Dengan melintang tangannya, tiba-tiba ilmu sakti yang dimiliki Sangaji meletus bagaikan
dinamit. Seketika itu juga, punahlah semua tenaga yang sedang bertempur. Adipati Surengpati terpental mundur. Begitu pula murid-murid Kyai Kasan Kesambi.
Waktu itu alam telah terselimut kabut malam hari. Karena itu mereka tak mengenal siapa dia.
Masing-masing merasa kena benturan tenaga lawan. Serentak mereka kedua belah pihak bergerak hendak membalas. Namun tenaga bendungan itu sangat hebat. Jangan lagi hendak melontarkan pukulan. Bergerak sedikit pun tak mampu. Sebagai gantinya, tubuh mereka seperti kemasukan suatu arus tenaga bergelombang yang tiada habis-habisnya. Mendadak saja mereka merasa jadi segar-bugar. Terang sekali si penyerang sama sekali tiada mengandung maksud jahat. Karena itu mereka bertambah heran. Seperti berjanji mereka berbareng mengamat-amati seseorang yang
berdiri tegak di tengah kalangan.
"Siapa?" bentak Adipati Surengpati dan murid-murid Kyai Kasan Kesambi hampir berbareng.
Dengan membungkuk, Sangaji menjawab: "Aku si tolol Sangaji."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Mendengar jawaban Sangaji, Adipati yang selamanya menganggap dirinya pendekar pa-ling
jempolan di jagad jadi keheran-heranan. Hatinya sangsi. Tetapi suara itu terang suara Sangaji.
Maka perlahan-lahan ia menghampiri.
Beda adalah Gagak Handaka dan adik-adik seperguruannya. Begitu mendengar suara Sangaji,
serentak mereka merumun. Suryaningrat adalah murid Kyai Kasan Kesambi yang paling perasa, la gampang terharu, apa-bila menghadapi suatu peristiwa yang menggetarkan hatinya. Terus saja ia merang-kul Sangaji dan menciumi kalang kabut.
"Anakku! Benar-benarkah ini anakku Sangaji?"
Sangaji tak pandai berbicara. Lagi pula hatinya amat terharu bertemu dengan pamanpamannya. Maka ia hanya memeluk pinggang pamannya sambil setengah berlutut.
"Kau hebat. Pukulanmu mengejutkan kami. Apakah engkau sudah berhasil melatih ilmu ciptaan kakekmu?" kata Suryaningrat mene-gas.
Belum lagi Sangaji menjawab, Adipati Su-rengpati memperdengarkan tertawa dinginnya.
Mendengus, "Gurumu memang boleh juga. Tetapi bukanlah dewa yang sanggup merubah Sangaji dalam waktu satu dua minggu."
Murid-murid Kyai Kasan Kesambi bisa berpikir cepat dan bertabiat jujur. Meskipun tajam kata-kata Adipati Surengpati, tapi mengandung kebenaran. Memperoleh pertim-bangan demikian,
mereka jadi sibuk. "Apakah benar begitu?" Suryaningrat mene-gas lagi.
Sangaji berbimbang-bimbang. Sejenak ke-mudian menjawab, "Semua ini adalah berkat
ketekunan Guru." "Kenapa?" Sebenarnya maksud Sangaji hendak mem-beber rahasia keris Kyai Tunggulmanik dan Bende
Mataram. Dengan sendirinya teringatlah dia kepada jasa gurunya. Bukankah Wirapati yang
berhasil menemukan kedua pusaka itu" Karena kedua pusaka itu pulalah dia teraniaya dengan penasaran. Tak terasa hati Sangaji jadi terharu. Mendadak saja ia berkata nyaring, "Paman! Berkat restu Paman, aku berhasil mendapat obat - pemunah racunnya dan penyambung tulang."
Hampir tiga bulan penuh, mereka prihatin. Siang malam ingatan mereka tak pernah ter-lepas dari nasib Wirapati. Mereka bersedia memasuki samudra api atau lautan golok, asal saja bisa memperoleh obat pemunah racun. Kini, mendadak Sangaji mengabarkan hal itu. Tentu saja
mereka gembira bukan kepalang. Gagak Handaka yang berwatak tenang dan sabar, tergoncang
pula perasaannya. Terus saja ia menukas, "... di mana sekarang obat pemunah itu?"
Sangaji menoleh ke arah Titisari. Waktu itu Titisari sedang berkutat dengan Pringgasakti.
Ternyata Pringgasakti adalah seorang iblis sakti luar biasa. Dengan gagah ia melayani keroyokan Jaga Saradenta"Ki Hajar Karang-pandan"Panembahan Tirtomoyo dan Ki Tunjungbiru. Tetapi
musuh-musuhnya bukan pula merupakan panganan enteng. Meskipun tak sampai kalah, tetapi
untuk merebut kemenangan dengan mudah seumpama orang bermimpi di tengah hari.
"Abu! Ayahku berada di sini. Apakah engkau tak mempunyai pikiran membicarakan buku sakti Witaradya yang harus kaukembalikan?" teriak Titisari. Pringgasakti terkejut. Diingatkan akan janjinya kepada gurunya, ia menggigil dengan sendirinya. Seperti diketahui, ia harus melakukan tugas gurunya tiga hal. Pertama, mengembalikan buku pusaka Witaradya menjadi utuh. Kedua, membunuh semua yang pernah membaca dan mencukil ke dua belah matanya sendiri. Ketiga,
memunahkan semua ilmunya yang berasal dari Karimun Jawa. Sebaliknya, apabila dia tak sanggup melakukan"maka tepukan ilmu beracun Cakrabirawa yang sudah mengeram satu tahun dalam
dirinya, akan mulai bekerja. Dia tahu arti bekerjanya ilmu itu. Barangsiapa kena tepukan ilmu tersebut, tubuhnya merasa seperti tertu-suki ribuan jarum. Setelah menderita siksaan jarum selama tiga hari, dagingnya terbakar hangus. Kemudian rontok segumpal demi segumpal tinggal tulang belulangnya belaka.
Tak terasa ia menghela napas. Tugas keti-ga-tiganya belum dapat terpenuhi. Sekarang gurunya berada di sampingnya. Meskipun tadi bersikap membela dirinya tatkala kena kero-yokan, tetapi belum tentu mengampuni kesalahannya. Hukuman apa lagi, kalau bukan mati.
"Adikku!" teriaknya prihatin. "Aku pun bakal mati. Karena itu, lebih baik aku mati berbareng dengan musuh-musuhku."
"Aku berada di sini. Masakan Ayah tak mau mendengarkan kata-kataku."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Pringgasakti tertawa melalui dada. Seko-nyong-konyong ia bersiul tinggi dan merangsak lawan-lawannya. Jaga Saradenta, Ki Hajar Karangpandan, Panembahan Tirtomoyo dan Ki Tunjungbiru jadi sibuk berbareng terkejut. Tadi mereka memperlambat gem-puran-gempurannya begitu
melihat munculnya Titisari. Pikiran mereka lantas saja ingin mendengar kabarnya Sangaji. Selagi begitu mendadak Pringgasakti menyerang hebat. Kalau saja bukan merupakan tokoh-tokoh yang berpengalaman, pastilah mereka sudah kena dicelakai.
"Abu! Masakan kau menganggap aku seba-gai debu kabur belaka?" teriak Titisari nyaring.
"Adikku. Bukan begitu. Dalam hal ini aku lebih mengenal ayahmu daripada engkau.".
"Baiklah. Jika begitu, aku pun ingin menja-jal kepandaianmu."
"Mengapa begitu?" Pringgasakti terkejut.
"Biar kau tahu, bahwa di dunia ini tidak hanya ilmu sakti Witaradya saja yang menjagoi kolong langit."
Setelah berkata demikian, ia melesat mema-suk) gelanggang dan terus menggempur dengan
ilmu sakti keris Kyai Tunggulmanik.
Pringgasakti kaget bukan kepalang. Dasarnya ia enggan bertempur melawan Titisari"apalagi terang-terangan di depan hidung Adipati Surengpati maka ia menjejak tanah mundur jempalitan.
Tatkala mendarat, ia tiba di samping kalangan Kebo Bangah dan Gagak Seta.
Titisari tak mau sudah, la kini bukan lagi Titisari yang dahulu. Selain sudah mengan-tongi ilmu sakti Ratna Dumilah ajaran Gagak Seta, ia hafal semua lekuk ukiran sakti Pusaka Bende Mataram.
Tenaganya bertambah pula oleh bantuan tenaga sakti Sangaji. Maka kini ia bagaikan harimau memiliki sayap garuda. Dengan menjejak tanah ia mengejar Pringgasakti dan terus melontarkan pukulan aneh luar biasa.
Pringgasakti kaget. Selama hidupnya, entah sudah berapa kali ia menghadapi musuh yang
memiliki ilmu kepandaian simpanan. Pada dasarnya hampir sama. Tapi kali ini benar-benar aneh.
Gerakannya jauh berbeda. Bahkan nampak bertentangan dengan ilmu kepandaian lumrah.
"Adikku! Kau memiliki ilmu kepandaian ini darimana?" Pringgasakti berteriak minta ke-terangan.
Titisari tertawa melalui hidungnya. Dasar wataknya liar dan berkepala besar, maka tak sudi ia meladeni. Katanya merendahkan, "Kau menganggap aku sebagai debu kabur. Masakan kini engkau ada harganya untuk kulayani?"
Pringgasakti tertegun. Mukanya berubah hebat. Menangis tidak, tertawa pun tidak. Hatinya terguncang penuh kebimbangan. Tak tahu ia, apa yang harus dilakukan. Seko-nyong-konyong ia mendengar suara yang dikenalnya.
"Seorang laki-laki masakan beragu-ragu seperti perempuan. Lawan!"
Itulah suara Adipati Surengpati. la kaget berbareng heran. Suatu cahaya baik terbesit dalam benaknya. Ia tahu gurunya gila kepada semua ilmu kepandaian yang aneh-aneh dan asing
baginya. Mungkin ilmu kepandaian Titisari menarik hatinya. Karena itu, ia disuruh mencobanya.
Sekilas ia berpikir, aku diperintahkan melawan anaknya, tapi pasti bukan untuk melukai. Baikiah aku melihat gelagat...
Setelah memperoleh keputusan demikian, ia segera bersiaga dengan gagah. Titisari
mendongkol hatinya. Setelah menekuni ilmu sakti pusaka Bende Mataram, tak setahunya sendiri pendengarannya jadi tajam luar biasa. Meskipun perintah ayahnya dilepaskan dengan Aji Pameling suatu ilmu penyusup pendengaran manusia tetapi berkat ilmu saktinya, ia bisa menangkap kata-katanya dengan terang. Pikirnya, Ayah memang keranjingan ilmu kepandaian. Biarlah
kuperlihatkan barang tiga empat jurus, kalau aku tak mampu masakan Sangaji tak dapat
menumbangkan dengan satu kali pukul.
Titisari bukan seorang gadis tolol, la tahu apa arti suatu ilmu kepandaian. Sekali terlihat oleh lawan, berarti mengurangi kewibawaannya. Sebab lawan akan dapat mempelajari dan menciptakan ilmu perlawanannya. Karena itu, ia tak segera memperlihatkan ilmu warisan Pangeran Semono. Dengan gesit ia menyerang dengan ilmu sakti Ratna Dumilah ciptaan Gagak Seta. Ia kini sudah memiliki tenaga sejajar dengan tenaga almarhum sang Dewaresi"karena itu gerak-geriknya cekatan dan berpengaruh.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Pringgasakti melayani dengan hati-hati dan sungguh-sungguh. Pertama, ia asing meng-hadapi tipu-tipu pukulan dan pertahanan ilmu sakti Ratna Dumiiah. Kedua, ia tak berani melukai Titisari.
Dengan demikian, kedudukannya menjadi lemah.
"Anakku Titisari!" tiba-tiba terdengar suatu suara nyaring. Itulah Jaga Saradenta. "Kau berada di sini. Di manakah anakku Sangaji" Bawalah ke mari. Iblis ini adalah musuhku. Kau jangan ikut campur. Meskipun aku mati, aku mati wajar."
Meskipun belum pernah bergaul rapat, tetapi Titisari kenal watak Jaga Saradenta dari mulut Sangaji. la pernah menyaksikan pula dalam benteng dengan selintasan. Sebagai seorang gadis yang cerdik, cukuplah sudah untuk dapat membaca keseluruhannya. Maka ia khawatir mendengar teriakan itu. Gugup ia menyahut, "Sangaji berada di sini. Tentang perkelahianku ini, tak usah Paman cemas. Betapa pun juga, tak berani ia melukai daku."
Setelah berkata demikian, ia merubah tata berkelahinya. Tiba-tiba suatu kesiur angin
berdengung di tengah arena, la merabu dengan tipu-tipu ilmu warisan Bende Mataram. Sayang tenaganya tidaklah sekuat Sangaji. Meskipun demikian, hebatnya tak terkatakan. Pringgasakti benar-benar terdesak mundur, la mencoba bertahan mati-matian. Dengan sekonyong-konyong,
pipinya kena gampar pulang-balik tanpa bisa membalas. Cepat ia mundur jumpalitan sambil
berteriak tinggi. "Bagus! Kau bermurah hati kepadaku. Kalau tidak, masakan nyawaku masih melesat dalam dadaku."
Titisari tertawa dingin, la menjejak tanah dan dengan gesit memotong gerak mundurnya. Dua kali lagi, ia berhasil menghantam pundak dan leher Pringgasakti.
"Hm," terdengar Adipati Surengpati mendengus. "Bertahan dengan Witaradya. Dan lepaskan pukulan dengan sungguh-sungguh. Masakan kau banci?"
Mendengar teguran gurunya, hati Pring-gasakti terkesiap. Terus ia bertahan dengan ilmu sakti Witaradya. Kemudian melepaskan gempuran menggeledek. Titisari kaget, tetapi tak menjadi
gugup. Dengan manis sekali ia menjejak tanah dan meloncat tinggi di udara.
Tetapi Pringgasakti tak memberi kesempatan untuk turun ke tanah. Memang kehebatan ilmu
sakti Witaradya terletak pada rangkaian serangannya yang tak pernah putus. Musuh sama sekali tak dapat bernapas. Maka begitu melihat Titisari meloncat ke udara, dengan gesit ia memburu dan melepaskan pukulan lagi. Hebatnya tak terkatakan.
Semua yang melihat menahan napas. Titisari pun agak terkesiap. Sekonyong-ko-nyong di luar kesadarannya sendiri, kakinya menjejak gelombang angin pukulan Pring-gasakti. Dengan
meminjam tenaga pukulan itu, ia melesat tinggi lagi dan turun sepuluh langkah jauhnya. Tatkala Pringgasakti melesat menubruk, ia meloncat tinggi sekali lagi. Dan seperti panah terlepas dari gendewa ia terbang dan turun di tanah dengan manis sekali.
"Saudara Surengpati! Anakmu mempunyai bakat hebat," terdengar suara seperti gem-breng pecah. Siapa lagi kalau bukan Kebo Bangah. Dia yang sedang bertempur dengan Gagak Seta,
tertarik hatinya melihat ilmu kepandaian Titisari. Seperti berjanji, Gagak Seta pun mundur berjumpalitan. Kemudian menonton di luar gelanggang.
"Inilah berkat kepandaian saudara Gagak Seta," sahut Adipati Surengpati.
"Ha, apakah dia mempunyai ilmu begini" Kalau begitu, aku merasa takluk," teriak Kebo Bangah.
Terang sekali ia hendak mengejek Gagak Seta. Tetapi Gagak Seta seorang pendekar yang tajam mulut pula. Dengan nyaring ia menukas.
"Kentutmu! Aku pun akan angkat tangan, kalau kau mampu mempunyai ilmu demikian."
"Apanya sih yang hebat?" Kebo Bangah jadi panas hati.
Waktu itu, pertempuran dimulai lagi. Kedua belah pihak saling menyerang dan bertahan.
Pringgasakti menggunakan jurus-jurus ilmu sakti Witaradya yang belum lengkap. Titisari pun bertahan dan melawan dengan beberapa jurus ilmu sakti yang dimiliki dicampur dengan ilmu sakti Ratna Dumilah. Hasilnya tidak menggembirakan. Meskipun tiada kalah, tapi untuk menang masih harus memakan waktu berlarut-larut.
Dalam pada itu Sangaji dan paman-pamannya menonton pula di pinggiran. Murid-murid Kyai
Kasan Kesambi heran menyaksikan tipu-tipu ilmu sakti Titisari. Mereka mengira, itulah ilmu warisan Adipati Surengpati. Karena itu dengan sebenarnya, mereka memuji kegagahan Adipati Surengpati yang merupakan lawan gurunya. Tetapi apabila mereka melihat Sangaji yang nampak
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
bersungguh-sungguh, timbullah rasa sangsinya. Pikir mereka, Sangaji adalah kawan Titisari.
Mustahil dia belum mengenal ilmu kepandaiannya.
Sekonyong-konyong terdengar Kebo Bangah berkata nyaring. "Saudara Surengpati! Sepuluh tahun lagi, kita semua ini bukan lawan puterimu yang berarti. Bukankah ketekunan kita ini jadi tiada gunanya?"
Adipati Surengpati tak menjawab, la hanya mendengus. Pandang matanya tak beralih dari
gerak-gerik puterinya yang benar-benar mengherankan hatinya. Ilmu sakti Witaradya yang
dibangga-banggakan ternyata jadi tak berdaya menghadapi ilmu sakti Titisari. Timbullah niatnya hendak mengetahui macam ilmu kepandaian apakah yang dimiliki.
"Saudara Kebo Bangah! Anakku ini sedikit banyak pernah menerima warisan kesaktian dari saudara Gagak Seta. Apakah yang diper-lihatkan itu ilmu warisan saudara Gagak Seta?" katanya mencoba.
Kebo Bangah tertawa mendongak. Menyahut, "Masakan si kentut busuk itu mem-punyai ilmu simpanan begitu hebat" Tapi pa-ling baik, kalau kita coba sendiri."
Gagak Seta hendak menukas. Mendadak saja di luar dugaan. Kebo Bangah membuk-tikan
ucapannya, la berjongkok dan terus melepaskan serangan maut mengarah pung-gung Titisari.
Waktu itu Titisari tengah dilibat Pringgasakti. la sibuk bukan main. Seluruh perhatiannya tertumpah kepada cara memu-nahkan tenaga lawan yang hebat luar biasa. Memang ilmu sakti
Witaradya sebenarnya bukan ilmu murahan. Hanya sayang, Pring-gasakti lagi mewarisi separonya.
Walaupun demikian, hebatnya tak terkatakan. Kalau tidak, masakan Adipati Surengpati disegani pendekar-pendekar sakti pada zaman itu seperti Kyai Kasan Kesambi, Kebo Bangah dan Gagak Seta.
Selagi begitu, mendadak punggungnya di-serang Kebo Bangah dengan ilmu Kala Lodra yang
kuat luar biasa. Dahulu tatkala berada di utara makam Imogiri, ia pernah menyaksikan betapa hebat ilmu gempuran itu. Baru alam saja, hancur berkeping-keping. Tetapi untuk menangkis, ia tak sempat. Serangan Pringgasakti yang dilontarkan terus-menerus tak mengenal berhenti tak bisa ditinggalkan. Mengharap bantuan Sangaji, tidaklah mungkin lagi. Jarak serangan itu terlalu dekat.
Sedang Sangaji berada di luar garis, karena itu ia hanya menutup mata, menyerah pada nasib.
Pada saat itu, terdengar suara bergelora. "Jahanam! Kenapa memukul dari belakang?"
Ternyata dia Pringgasakti. la tengah diserang Titisari, tapi tak sampai hati membiarkan Titisari terbinasa kena pukulan Kebo Bangah. Tanpa berpikir panjang lagi, ia harus melesat dan
menghadang pukulan Kebo Bangah dengan menggulingkan diri. Keruan saja, tubuhnya terpental di udara seperti bola keranjang. Dan jatuh terbanting di tanah dengan napas kempas-kempis.
Pringgasakti terkenal sebagai iblis yang sudah membunuh manusia tak terhitung lagi
banyaknya. Tapi pada babak akhir kehidupannya, ternyata dia sanggup berkorban kepada seorang gadis yang biasa menjadi mangsanya. Bagaimana bisa terjadi begitu, hanya Tuhan dan Malaikat sendiri yang tahu.
Peristiwa itu terjadi dengan sangat cepat. Adipati Surengpati menoleh kepada Kebo Bangah dan berkata, "Bagus. Benar-benar engkau seorang pendekar terhebat pada zaman ini."
Terang sekali, Adipati Surengpati mengejek Kebo Bangah. Tapi pendekar itu seperti tak
mempunyai telinga. Berulang kali ia menghela napas sambil menyesali diri sendiri.
"Sayang... sayang...! Sungguh sayang! Kenapa muridmu berlagak pahlawan segala sampai dia harus mengorbankan nyawa, bukankah itu suatu pengorbanan sia-sia belaka?"
la menyesal bukan main karena gagalnya serangan itu. Sebab dengan demikian, ilmu sakti yang diperlihatkan Titisari masih asing baginya. Memang tujuannya menyerang Titisari ialah, untuk memunahkan gadis itu dari percaturan dunia. Sebagai seorang pendekar yang dapat berpikir jauh, tahulah dia bahwa ilmu sakti yang diperlihatkan Titisari merupakan duri berbahaya baginya.
Seumpama seekor naga belum terlanjur jadi besar, ia hendak membunuhnya dahulu. Di luar
dugaan, seorang lain menjadi korbannya.
Dia bisa berpikir cepat. Menghadapi kenya-taan demikian, Adipati Surengpati pasti takkan tinggal diam. Titisari, Sangaji dan lain-lainnya, masakan akan tinggal diam" Sebelum terlanjur, ia harus bertindak cepat. Maka dengan tertawa nyaring melompatlah ia keluar gelanggang dan
sebentar saja lenyap dari penglihatan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Gagak Seta bukanlah seorang pendekar picisan. Kalau mau, ia bisa mengejar dan melibat. Tapi dalam hal ini, bukanlah urusannya. Lagi pula dia seorang pendekar besar yang harus bisa
membedakan urusan pribadi dan urusan mengadu kepandaian. Karena itu, tanpa berbicara
sepatah kata pun ia meninggalkan gelanggang pula dengan diam-diam.
"Guru! Tunggu!" Sangaji dan Titisari berseru hampir berbareng.
"Hm" dengusnya. "Kalian memanggil aku guru, tapi pada hakekatnya kalian kini bukan muridku lagi. Malahan dalam satu dua bulan ini, aku akan menjadi muridmu pula. "Kau bocah tolol!
Kesehatanmu sudah pulih. Aku senang."
Gagak Seta bertabiat aneh. Seumpama seekor naga sekali-kali ia hanya menam-pakkan
ekornya, tapi kepalanya tidak. Begitu pula sebaliknya. Karena itu, kalau dia mau pergi, tiada seorang pun di dunia ini yang bisa menghalang-halangi.
Adipati Surengpati memperdengarkan dengus hidungnya. Perlahan-lahan ia mengham-piri
Pringgasakti. Hati-hati ia memapah murid-nya. Ternyata Pringgasakti sudah bermandi-kan darah segar. Rupanya, dia takkan bisa hidup lagi. Biar bagaimana, Adipati Surengpati berduka. Meskipun murid murtad, tetapi murid itu pernah berkumpul untuk beberapa tahun lamanya di Karimunjawa.
Dan kini di luar dugaan siapa pun juga, * berkorban untuk kepentingannya. Seumpama dia tak mematahkan serangan Kebo Bangah, pastilah Titisari tiada lagi di dunia. Dia jadi terharu. Tak dikehendaki sendiri, mendadak saja ia menangis menggerung-gerung.
Pringgasakti pingsan kena pukulan Kebo Bangah. Tapi karena kena getaran tangis gurunya, ia tersadar. Perlahan-lahan ia mem-buka matanya. Apabila merasa, bahwa dia berada dalam
rangkulan gurunya, rasa baha-gianya tak terperikan besarnya, la jadi melupakan penderitaan dirinya.
Dengan menguatkan diri, ia merorita dan menjatuhkan diri ke tanah. Kemudian dengan senyum manis ia mengamat-amati gurunya. Di luar dugaan, mendadak tangan kanannya menghantam
lengan kirinya sehingga menjadi patah. Setelah itu tangan kanannya menghantam batu. Batu itu terbelah menjadi empat. Tangannya remuk pula. Tulang ruasnya patah berentakan.
Menyaksikan perbuatannya, Adipati Surengpati tercengang-cengang. Sangaji, Titisari dan
murid-murid Kyai Kasan Kesambi tak terkecuali. Bahkan Ki Hajar Karangpandan yang terkenal berwatak edan-edanan, tertegun.
"Eh mengapa kau...," tegur Adipati Sureng-pati kaget.
"Guru," potong Pringgasakti dengan suara puas. "Sewaktu di dekat Desa Gebang, aku pernah menerima tugas guru. Pertama, mengumpulkan kitab sakti Witaradya yang pernah kami curi.
Kedua, membunuh siapa saja yang pernah membaca. Kemudian men-cukil gundu mataku. Ketiga, mengembalikan semua ilmu kepandaian yang pernah kuwarisi dari Pulau Karimun Jawa. Karena yang perta-ma dan yang kedua tak dapat kupenuhi, maka dengan sangat menyesal aku hanya
bisa melakukan yang penghabisan. Kini ilmu Karimun Jawa ajaran guru telah kukemba-likan."
Mendengar kata-kata Pringgasakti, Adipati Surengpati tertawa riuh. Raut mukanya terang
benderang. Pandang mata berseri-seri. Dan setitik air mata mengembang di kelopak matanya.
Suatu tanda hatinya puas luar biasa. Terus saja dia berkata, "Bagus! Bagus! Itulah ucapan muridku yang sejati. Seorang jantan yang tak takut mati. Tentang dua yang lain tak usahlah kaupenuhi. Hari ini pula, engkau kuterima menjadi muridku. Murid Adipati Surengpati Karimun Jawa ..."
31 ILMU SAKTI TIADA TANDINGNYA
Selama hidupnya entah sudah berapa kali Pringgasakti melakukan kejahatan terkutuk. Tetapi pada babak terakhir masa hidupnya, ia sadar akan kesesatannya. Karena itu, betapa girang hatinya mendengar keputusan gurunya, tidaklah dapat digambarkan lagi. Dengan rasa haru
meluap-luap, ia merangkak dan memaksa diri menciumi kaki Adipati Surengpati. Kemudian berdiri tertatih-tatih dan membungkuk bersembah. Pada saat itu tenaganya punah. Ia jatuh terguling di tanah dan napasnya terbang entah ke mana.
Semua yang menyaksikan peristiwa itu tertegun-tegun. Pelbagai perasaan merumun dalam
perbendaharaan hati. Hebat semua yang telah terjadi itu. Mengagetkan dan mengharukan. Jaga
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Saradenta yang senang membawa adatnya sendiri, sekonyong-konyong menghampiri dan
membungkuk hormat kepada jenazah
Pringgasakti. Berkata setengah parau, "Ang-katan kami menyebutmu sebagai iblis. Ratusan bahkan ribuan nyawa telah kaubinasakan. Tunanganku dahulu mati pula kau hisap darahnya.
Karena itu aku berdendam kepadamu. Dalam dunia ini, tak sudi aku hidup bersamamu. Tapi pada detik kepergianmu, engkau tahu berkorban. Hebat sungguh artinya sampai semua lakumu yang jahat jadi samar-samar. Baiklah"dengan ini kuhapuskan semua dendam. Pergilah dengan
tenteram!" Ki Hajar Karangpandan emoh ketinggalan pula. Katanya, "Denganmu aku tak pernah
bermusuhan. Tapi kau menculik muridku. Inilah namanya suatu penghinaan semena-mena.
Karena kau tahu berkorban, semua kesalahanmu dapat kumaafkan. Kalau kau tak sudi menerima, baiklah kita tarung tiap malam dalam mimpi. Bikinlah aku si tua bangka ini mengigau setiap malam."
Ki Hajar Karangpandan memang seorang pendeta edan-edanan dan beradat angin-anginan.
Kalau ia lagi mendongkol, dalam kesungguhannya terselip suatu ucapan menggelikan yang tak disadari sendiri. Seperti diketahui, di depan rekan-rekannya ia membawa sikap seorang pendeta besar mengampuni Sanjaya dengan catatan agar memangkas kepala Pangeran Bumi Gede. Tak
tahunya, pemuda itu malah membawa suatu malapetaka, la mengadu kepada Pringgasakti. Dan
terjadilah pertempuran itu.
"Murid pilihanmu memang bagus!" kata Panembahan Tirtomoyo menyesali. Meskipun demikian, orang tua itu membantu kesukaran adik seperguruannya menghadapi iblis Pring-gasakti.
Ki Tunjungbiru adalah seorang ksatria besar. Ia tak peduli karena tiada mempunyai
permusuhan dengan Pringgasakti, ia berkelahi dengan sungguh-sungguh, sebagai suatu elan
perjuangan melawan semua bentuk kejahatan. Karena itu begitu melihat cara mati Pringgasakti hatinya jadi bimbang. Sama sekali tak pernah diduganya, bahwa seorang iblis sejahat Pringgasakti sudi mengorbankan nyawa untuk seorang gadis belaka. Itulah sebabnya pula, setelah tertegun-tegun sejenak tanpa ragu-ragu terus membungkuk hormat dengan berdiam diri. la menganggap iblis itu sebagai seorang ksatria juga.
Menyaksikan sikap mereka, hati Adipati Surengpati agak terhibur. Meskipun dia se-orang
pendekar yang tak memedulikan tata pergaulan manusia, namun berkepala besar. Kehormatan diri berada di atas segalagalanya. Katanya dalam hati, "Mereka tahu menghormati muridku. Karena itu tak perlu aku mewakili dia menghajar mereka."
Perlahan-lahan ia meninggalkan jenazah Pringgasakti untuk menghampiri puteri kesayangannya. Terus saja ia berbicara tak berkeputusan. Sangaji pun tak terkecuali. Pamanpamannya, Ki Hajar Karangpandan, Panembahan Tirtomoyo dan Ki Tunjungbiru merumuni dan
menghujani berbagai per-tanyaan. Untuk melayani mereka, dia duduk di atas gundukan tanah.
Sayang ia tak pandai berbicara. Sekali pun demikian riwayat perja-lanannya menarik perhatian mereka. Terle-bih-lebih mengenai petualangan Bagas Wila-tikta dan kawan-kawannya, obat
pemunah racun dan rahasia guratan keris pusaka Kyai Tunggulmanik.
Waktu itu, rembulan muncul remang-remang di atas langit. Seluruh persada bumi menceritakan pengalamannya masing-masing. Di sana, tubuh Pringgasakti terbaring tiada teman. Di sudut lain Sangaji berkerumun dengan sekalian paman-paman dan orang- orang tua yang dihormatinya.
Sedangkan Adipati Su-rengpati berjalan perlahan-lahan di samping puterinya bagaikan dua dara bertemu di peta-manan indah jauh dari kesibukan manusia.
Tak terasa malam telah merangkak mema-suki fajar hari. Mereka masih saja sibuk berbicara dan berbicara. Murid-murid Kyai Kasan Kesambi dalam pada itu telah meneri-ma obat pemunah racun dan penyambung tulang. Hati mereka jadi ringan. Karena itu, rasanya mereka sanggup berbicara satu tahun penuh. Sedangkan Ki Tunjungbiru dengan tekun mendengarkan ceramah
Sangaji tentang sebab musababnya persatuannya ilmu sakti Bayu Sejati"Kumayan Jati dan getah Dewadaru. Maklumlah, dia mempunyai kepentingan dalam hal itu. Dalam dirinya mengalir ilmu sakti Bayu Sejati yang dahulu diwariskan kepada pemuda itu.
Selagi mereka tenggelam dalam kepenting-annya masing-masing sekonyong-konyong bulan
hilang dari penglihatan. Awan tebal datang berarak-arak. Agaknya hujan besar bakal tiba.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kemudian terdengarlah suara berisik. Di kejauhan muncul ratusan obor yang menyala dengan tiba-tiba dan dengan serentak pula. Terang sekali, nyala itu terjadi oleh suatu aba-aba.
Melihat pemandangan itu, Adipati Su-rengpati memperdengarkan suara tertawanya yang
menggeridikkan bulu tengkuk. Dingin beku penuh ancaman. Tahulah Titisari, bahwa ayahnya telah mencium suatu kejadian yang kurang beres.- Cepat ia mendaki gundukan tinggi dan segera
menebarkan matanya. Betapa herannya, ia melihat barisan kuda datang berarak-arak mengepung tempatnya berada.
Selagi demikian, sesosok bayangan lari cepat memasuki lapangan sambil berte-riak-teriak.
Dialah Surapati murid Ki Hajar Karangpandan. Dengan nyaring ia berseru, "Guru! Kita kena kepung! Lekas lari!"
"Hm. Mengapa lari?" desis Ki Hajar Karang-pandan.
"Kompeni Belanda dengan laskar Pangeran Bumi Gede!" sahut Surapati gugup. "Pendekar Kebo Bangah datang. Dia membicarakan ten-tang pusaka Kyai Tunggulmanik. Kemudian dengan dalih menggempur laskar kerajaan, Pangeran Bumi Gede membawa pasukan kompeni ke mari."
"Dan mengapa kau begini baik hati sudi menawarkan hal ini kepadaku" Minggat!" ben-tak Ki Hajar Karangpandan.
Seperti diketahui, Surapati ikut menyusul Sanjaya. Sebagai adik seperguruan, ia bisa keluar masuk perkemahan laskar Bumi Gede dengan bebas. Di sana ia bertemu dengan Sanjaya dan
Pringgasakti yang telah meng-adukan nasibnya. Sewaktu Pringgasakti me-ninggalkan perkemahan, ia bersama Sanjaya mengintip dari kejauhan. Setelah menyaksikan tewasnya Pringgasakti cepat kedua pemuda itu pulang ke perkemahan. Di perkemahan mereka melihat Kebo Bangah
menceritakan pengalamannya dan penglihatannya.
"Rejeki paduka memang besar," katanya sambil tertawa. "Kedua muda mudi yang paduka cari mendadak saja muncul dengan mendadak."
Tatkala di beteng, pendekar itu ikut sibuk mencari beradanya Sangaji dan Titisari yang berhasil merampas pusaka Kyai Tunggul-manik dan Bende Mataram dari tangan Bagas Wilatikta. Sebagai seorang pendekar kawakan, tahulah dia arti pusaka tersebut. Ia mengha-rapkan akan memperoleh suatu warisan ilmu kepandaian luar biasa. Ternyata dengan mata kepalanya sendiri, ia
menyaksikan gerak-gerik Titisari yang aneh dan asing baginya. Tiba-tiba ia melihat pinggang Titisari. Matanya yang tajam melebihi penglihatan manusia biasa, segera melihat benda yang lagi diperebutkan sekalian orang gagah di seluruh nusantara. Begitu melihat benda itu, timbullah nafsu jahatnya. Titisari terus diserang. Pikirnya, kalau kena dia akan segera merebut pusaka tersebut untuk dikangkangi sendiri. Di luar dugaan Pringgasakti yang dianggap ada pada pihak-nya, mendadak menolong Titisari dengan mengorbankan nyawanya. Dasar ia cerdik dan licin, maka sebelum para pendekar naik darah, terus kabur mengarah ke perkemahan Pangeran Bumi Gede.
Pangeran yang gila pusaka warisan itu, biarlah kubujuk agar mengerahkan laskarnya. Dalam kesibukan nanti masakan aku tak dapat merampas pusaka itu, pikirnya.
Karena itu dia lantas menganjurkan Pangeran Bumi Gede mengerahkan laskarnya. Dalam pada
itu Sanjaya yang melihat kemati-an Pringgasakti, gelisah bukan kepalang. Hatinya jadi ciut, mengingat pembalasan Ki Hajar Karangpandan yang bisa terjadi sewaktu-waktu. Maka ia ikut membantu menguatkan anjuran Kebo Bangah.
"Ayah!" katanya, "Mereka terlalu kuat. Baiknya ayah minta tenaga pasukan kompeni. Siang tadi, kita habis bertempur melawan laskar kerajaan. Dengan dalih mengadakan pembersihan, bukankah merupakan suatu alasan yang bagus?"
Pangeran Bumi Gede percaya benar kepada kecerdikan anak angkatnya. Lagi pula sudah lima
belas tahun, ia mengiler untuk dapat memiliki kedua pusaka Bende Mataram. Maka dengan
mengandalkan pengaruhnya, ia berhasil membawa serta dua pasukan kompeni mengepung
kedudukan para pendekar. Pendekar-pendekar undangan Pangeran Bumi Gede terus bergerak dengan cepat. Mereka
menduduki gundukan tinggi. Dan budak-budak Kebo Bangah tak mau pula ke-tinggalan. Barisan tabuhan piaraan majikan-nya lantas saja dilepaskan.
Menyaksikan semuanya itu, Surapati gelisah luar biasa. Betapa pun juga, ia adalah murid Ki Hajar Karangpandan. Meskipun dia mempunyai angan-angan besar hendak menjadi salah seorang kepercayaan Pangeran Bumi Gede sebagai pembalas budi, namun ia tak sampai hati membiarkan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
gurunya mati penasaran. Maka selagi pasukan Pangeran Bumi Gede bergerak mengepung
lapangan, dengan diam-diam ia menyusup mendahului. Demikianlah, ia segera mencanangkan
kabar berbahaya kepada gurunya.
"Guru!" katanya membujuk begitu di-damprat gurunya. "Aku pun bukan murid guru yang baik.
Meskipun orang tuaku memperoleh budi besar Pangeran Bumi Gede, tapi aku adalah murid guru."
"Hm... Bagus!" dengus Ki Hajar Karang-pandan. Tatkala itu ia melihat berkelebatnya Sanjaya di antara cahaya obor yang terang benderang. Bocah itu berada di samping Kebo Bangah. Terang sekali maksudnya. Ia mengharapkan perlindungan pendekar besar itu. Menyaksikan pekerti
Sanjaya, Ki Hajar Karangpandan gusar bukan main. Tubuhnya sampai menggigil. Dengan pandang beringas ia melototi Surapati yang menjadi sasaran pelepas kegusaran hatinya. Selagi hendak membuka mulut, mendadak ia mendengar suara Kebo Bangah melengking menusuk telinganya.
Pendekar dari daerah barat itu berdiri di atas gundukan tanah menebarkan pandang kepada
Adipati Surengpati. Katanya, "Saudara Surengpati! Sebentar kalau kita terpaksa bertempur apakah kau memerlukan tenaga si bule Gagak Seta. Kalau benar, itulah hebat!"
Kebo Bangah memang seorang pendekar licik dan licin. Jauh-jauh ia sudah memperhi-tungkan pertempuran yang bakal terjadi. Kalau pertempuran itu nanti terjadi dan dia sudah berhasil merampas dua pusaka warisan, Adipati Surengpati pasti tidak akan membiarkannya berlalu
dengan bebas. Dengan Adipati Surengpati, kekuatannya berimbang.
Yang disegani, kalau-kalau Gagak Seta ikut mengembut. Karena itu begitu tiba di pinggir
lapangan, segera ia mencari beradanya Gagak Seta. Pendekar berkulit bule, ternyata tak
menampakkan batang hidungnya. Ia kenal kecerdikan dan kepandaian pendekar itu. Dan
menduga, mungkin lagi bersembunyi di salah suatu tempat yang terduga. Memikir demikian, dia mau mengikat Adipati Surengpati dengan suatu perjanjian. Ia tahu Adipati Surengpati sangat angkuh dan kukuh menjaga kehor-matan diri. Ternyata pancingannya berhasil. Pada saat itu ia mendengar suara dingin Adipati Surengpati yang dikirimkan lewat Aji Pameling.
"Membekuk ular berkepala dua, masakan perlu bantuan kucing belang segala."


Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bagus!" ia menyambut pernyataan Adipati Surengpati dengan tertawa lebar. "Saudara Surengpati! Bukan maksudku mengganggumu. Cuma saja, ada suatu keinginanku. Puterimu
mengantongi benda keramat. Aku khawatir akan jatuh ke tangan bangsa asing. Karena itu aku mencoba ikut melindungi. Benar tidak, saudara Surengpati. Hanya saja, kita golongan ksatria.
Betapa mungkin menghendaki benda tersebut dengan lewat musyawarah atau perundingan yang
bertele-tele." Adipati Surengpati lantas saja berpikir. Ia mempertimbangkan kekuatan kedua belah pihak.
Sekiranya Gagak Seta tiada muncul, inilah sulit. Dia sendiri tak khawatir akan kena tangkap musuh. Tetapi bagaimana dengan murid-murid Kyai Kasan Kesambi dan pendekar-pendekar
lainnya" Akhirnya dia memutuskan. "Hm... hidup atau mati apa peduliku" Aku lahir dan mati bukankah seorang diri" Kalau aku berhasil menyelamatkan puteriku, hatiku sudah puas..."
Memperoleh keputusan demikian, hatinya lega. Dengan mata berkilat-kilat ia menga-mat-amati gerak-geriknya pasukan lawan yang sedang mengepung kian rapat. Kemudian melirik kepada
Sangaji bakal menantunya. Bocah itu nampak tenang dan gagah luar biasa.
Ki Hajar Karangpandan yang sedang uring-uringan, lain pula sikapnya. Meskipun adatnya
angin-anginan, tetapi otaknya cerdas. Segera ia bisa menebak maksud Kebo Bangah. Tak peduli ia merasa bukan tandingnya, ia terus mendamprat.
"Eh! Pendekar Kebo Bangah! Kau memutar balik kenyataan seakan-akan kita ini kumpulan manusia tak punya otak. Hm... apakah kata-katamu yang terlepas dari mulutmu tadi, ucapan manusia ataukah binatang?"
Kebo Bangah menoleh. Melihat siapa yang berbicara, ia mendongak ke langit sambil tertawa melalui hidungnya. Terhadap pende-kar demikian, baginya belum ada harganya untuk dilayani.
Maka ia memberi isyarat kepa-da Pangeran Bumi Gede sambil berkata, "Kita tunggu apalagi?"
Mendengar anjuran Kebo Bangah, terus saja ia memerintahkan pasukannya bergerak. Sedang
pasukan kompeni menduduki tempat tertentu. Terang sekali, bahwa Pangeran itu sangat percaya kepada kegagahan pendekar Kebo Bangah.
Murid-murid Kyai Kasan Kesambi segera bersiaga. Sebenarnya mereka tiada mempu-nyai
permusuhan dengan Pangeran Bumi Gede. Juga terhadap kompeni. Hanya saja, guru mereka
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
adalah seorang patriot yang dahulu melawan kompeni semasa Perang Giyanti. Karena itu, mereka tak dilarang bermusuhan. Apalagi kalau memang terpaksa. Sebaliknya juga tak dianjurkan. Kyai Kasam Kesambi sadar, bahwa persenjataan pasukan kompeni amat membahayakan. Daripada
mati tiada sejarah, lebih baik menghindarkan diri untuk suatu kebajikan lain yang lebih berarti.
Kini, mereka tak dapat meloloskan diri. Sebagai ksatria sejati, betapa hanya berpeluk tangan belaka. Itulah sebabnya, Gagak Handaka segera memberi isyarat pendek kepada adik-adik
seperguruannya. "Sekiranya banyak di antara kita mati, salah seorang harus bisa meloloskan diri. Dengan begitu, guru kita tak bergelisah menunggu kedatangan kita."
Hebat arti kata-kata ini. Artinya, Gagak Handaka bersedia untuk menyabungkan nyawanya.
Karena itu, betapa bisa adik-adik seperguruannya melihat kakaknya yang tertua hendak mati seorang diri. Terus saja mereka mengambil tempatnya masing-masing bergerak dalam garis ilmu Pancawara.
Dalam pada itu serangan mulai terjadi. Para pendekar undangan Pangeran Bumi Gede de-ngan gegap gempita mempelopori laskar bersenjata. Gerak-gerik mereka gesit dan berbahaya.
Panembahan Tirtomoyo harus menyongsong mereka dengan didampingi Ki Tunjungbiru.
Mereka berdua sadar, bahwa peristiwa yang dihadapi bukan main-main lagi. Tetapi mereka berdua adalah bekas pejuang-pejuang kemerdekaan. Karena itu hatinya sama sekali tiada gentar. Bahkan tak disadarinya sendiri terbersit suatu kegairahan naluriah.
Manyarsewu, Cocak Hijau dan Abdulrasim yang mendahului pasukannya terus terlibat dalam
pertempuran. Mereka bertiga termasuk pendekar undangan Pangeran Bumi Gede yang diandalkan, di samping Yuyu Rumpung. Lagi pula mereka memendam dendam besar, karena kena digunduli
Gagak Seta sewaktu menghampiri benteng. Pukulan-pukulannya menggeledek, gerak-geriknya
gesit. Melihat mereka mengembut Panembahan Tirtomoyo dan Ki Tunjungbiru, Jaga Saradenta tak
mau tinggal diam. Dengan menggerung ia melompat membantu. Si sembrono ini menganggap
semua pendekar di dunia ini seenteng gabus. Tak mengherankan bahwa sebentar saja ia
menumbuk batu. Tiba-tiba Manyarsewu merabu dari samping dan menghantam tengkuknya.
Ontung dia gesit. Dengan mengendapkan diri dia bebas dari serangan itu. Terus saja ia mencabut penggadanya yang termasyhur dan membabat dari bawah. Manyarsewu mundur kaget sambil
memekik pelahan. "Bangsat tua! Kau hebat juga...," kutuknya. Jaga Saradenta tertawa perlahan. Menyahut, "Di Pekalongan dahulu, kita cuma
saling memandang dan memaki. Kini kita bisa bertemu. Ayo kita bertanding. Aku yang mati
atau kau yang bakal mampus."
"Bagus! Mari kita mencari tempat yang sepi!" tantang Manyarsewu.
"Kentutmu! Di manakah ada tempat yang sepi. Di sini saja, apakah halangannya?"
Kedua orang itu lantas saja saling menye-rang dengan dahsyatnya. Mereka tak menghi-raukan lagi pertempuran rekan-rekannya. Tetapi dalam suatu pertempuran besar betapa mereka bisa menuruti kemauannya sendiri. Belum lagi sepuluh jurus mereka terlibat dalam suatu penyerbuan kacau balau. Terpaksa mereka terpisah dan saling merabu acak-acakan.
Titisari menyaksikan pertempuran itu. Di sana ia melihat ayahnya sudah mengadu kepandaian melawan Kebo Bangah. Dan murid-murid Kyai Kasan Kesambi dengan gagah menghalau setiap
serangan dari luar. Sangaji tetap tenang. Pemuda itu seperti kebingungan. Ia sadar benar, bahwa pihaknya kena kepung. Rupanya harapan sangat kecil untuk bisa membebaskan diri. Malahan, seumpama bisa luput dari serbuan pasukan Pangeran Bumi Gede, kompeni sudah meng-hadang di setiap penjuru dengan senapan bidiknya. Inilah berbahaya.
"Baiklah! Aku tangkap dahulu Pangeran Bumi Gede. Bukankah dia merupakan barang
tanggungan yang berharga untuk menghen-tikan serangan besar-besaran ini?"
Memperoleh pikiran demikian, segera ia hendak bergerak. Sekonyong-konyong Titisari
mencegat perjalanannya. Gadis itu berkata, "Kau hendak menangkap Pangeran Bumi Gede"
Betapa mungkin! Dia bukan seorang pangeran goblok. Jauh-jauh dia sudah meng-ambil tempat di antara para pengawalnya yang berjumlah puluhan orang."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Titisari memang cerdas luar biasa. Dia bisa menebak kata hatinya. Karena itu dia mele-ngak.
Minta pertimbangan. "Lantas" Apakah yang harus kulakukan?"
"Kalau kau mampu, bongkarlah semua batu pegunungan ini. Buatlah benteng pertahanan.
Setelah itu, perlahan-lahan kita mencari jalan keluar!"
Kalau saja itu terjadi pada siang hari dan dalam keadaan wajar, rasanya tenaganya sanggup melakukan pekerjaan demikian. Tetapi seluruh lapangan penuh dengan musuh yang mulai
melepaskan senjata panah dan lembing. Dan di balik sana kompeni sudah bersiaga memetik
senapannya. Tetapi dia percaya benar kepada gadis itu. Pastilah Titisari mempunyai alasan yang sudah diperhitungkan. Maka ia mencoba menjelajahkan matanya mencari batu-batu yang
dimaksudkan. Tak usah lama, ia telah menemukan batu-batu alam yang mencongakkan diri dari permukaan
tanah. Hal ini disebabkan oleh banyaknya obor yang memantulkan cahaya cukup cerah. Maka ia berkata kepada Titisari.
"Baiklah! Tolong awasi guruku!"
Setelah berkata demikian, dengan sekali jejak ia melesat bagai bayangan. Dengan
mengerahkan tenaga menurut ilmu sakti Bende Mataram, ia berhasil membongkar batu-batu.
Kemudian ditumpuk rapi, merupa-kan benteng pertahanan yang kokoh kuat.
Sementara itu, pertempuran kian bertambah seru. Murid-murid Kyai Kasan Kesambi
menghadapi saat-saat yang genting. Mereka dikepung rapat. Sudah begitu, mereka dihujani
panah. Gagak Handaka jadi cemas. Pikirnya: "Kalau begini terus-terusan, lambat-laun pasti ada salah seorang yang tewas."
Setelah berpikir demikian, ia mengedipi Ranggajaya. Kemudian dengan tenaga ga-bungan, ia menggempur musuh berbareng berkata nyaring, "Perlahan-lahan kita mun-dur!"
Bagus Kempong dan Suryaningrat lantas saja mundur setelah menangkis hujan panah. Tapi
mendadak di angkasa terdengar suara mengaung-agung. Itulah tabuan beracun balatentara
angkasa piaraan Kebo Bangah. Mereka terbang berputaran, seperti awan berarak-arakan. Untung saja, mereka belum menyerang semenjak tadi karena segan melihat obor.
Celaka! pikir Titisari. Gadis itu cepat meraup senjata biji sawo. Ia menghampiri murid-murid Kyai Kasan Kesambi. Berkata nyaring, "Awas lebah beracun!"
Selama hidupnya baru kali itulah mereka menghadapi tentara lebah. Karena itu mereka ragu-ragu mendengar peringatan Titisari. Meskipun demikian hatinya terkesiap juga.
Titisari tak menunggu lama-lama lagi, sebat luar biasa ia mulai bertindak. Dengan menghamburkan biji sawonya, ia menyerang sambil merampas obor. Terus saja dilepaskan ke angkasa, sehingga merupakan pemandangan yang indah. Dengan berbuat demikian, medan pertempuran
jadi gelap. Dan lebah-lebah piaraan bubar berderai.
"Ah! Suatu akal bagus!" pikir Gagak Handaka. "Jika medan pertempuran menjadi gelap, bukankah kesempatan bagus untuk dapat mengundurkan diri?"
Memikir demikian segera ia berkata kepada adik-adik seperguruannya. "Rampas obor!"
Bagus Kempong sudah mendahului bertin-dak. Ia merangsak lawan dan berlindung di tengah.
Pedangnya berkelebat memainkan jurus Mayangga Seta. Hebatnya tak terka-takan. Juga
Suryaningrat tak mau ketinggalan. Murid bungsu Kyai Kasan Kesambi ini bergerak dengan lincah.
Pedangnya menyambar-nyambar. Sebentar saja, obor-obor kena dirampasnya dan dilontarkan ke udara seperti bunga api.
Pada saat itu terdengarlah suara teriakan menyayatkan hati. Surapati murid Ki Hajar
Karangpandan kena hujan panah. Dan rebah tak berkutik di atas tanah.
"Bangsat!" maki Ki Hajar Karangpandan. Terus saja ia mengamuk. Cocak Hijau kena digempur jungkir balik. Tapi pendekar-pen-dekar undangan Pangeran Bumi Gede yang lain segera
mengepungnya sehingga ia tak dapat bergerak.
Dalam pada itu pertempuran antara Jaga Saradenta dan Manyarsewu mendekati saat akhirnya.
Jaga Saradenta nampak kerepotan, karena kena keroyok. Penggadanya menyam-bar-nyambar
mengemplangi kepala. Sekalipun demikian, tak dapat ia berbuat banyak.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Manyarsewu benar-benar gagah. Selagi demi-kian, panah-panah laskar mengaung-ngaung
tiada hentinya. Untung"berkat ketangkasan Titisari dan murid-murid Kyai Kasan Ke-sambi"
medan pertempuran agak gelap, tapi bukan berarti kurang berbahaya.
Pada saat itu tiba-tiba sebuah penggada menyambar dari samping. Itulah penggada pendekar Wongso CJdel, Jaga Saradenta kaget. Ingin ia menangkis, tapi kena libat Ma-nyarsewu dan
puluhan laskar. Tak terasa ia memekik perlahan.
"Celaka!" Sekonyong-konyong, penggada yang hampir memukul tengkuknya terpental balik. Dan di
sampingnya berdiri Titisari. Dia mendapat tugas Sangaji melindungi gurunya. Tugas itu ternyata dilaksanakan dengan baik. Namun Jaga Saradenta tak luput dari hujan panah. Tahu-tahu
lambungnya tertancap empat panah sekaligus.
"Paman! Mundur!" teriak Titisari cemas. Cepat gadis itu menghamburkan biji sawonya berbareng menarik lengan Jaga Saradenta.
"Mengapa mundur?" teriak Jaga Saradenta.
Titisari kenal watak Jaga Saradenta yang keras kepala dan tak mau mengerti, la mengerahkan tenaga untuk menariknya mundur. Si tua tetap bersitegang. Sedang pen-dekar-pendekar rekan Manyarsewu dan dua belas laskar datang menyerbu. Keruan saja ia jadi repot bukan kepalang.
"Bagus! Jangan biarkan lolos!" terdengar suara seperti gembreng pecah. Itulah pendekar Kebo Bangah. Seperti diketahui ia melihat Adipati Surengpati, agar pendekar itu jangan dapat bergerak dengan leluasa. Setelah bertempur kurang lebih lima puluh jurus, ia segera memanggil sisa pendekar undangan Pangeran Bumi Gede dan tiga puluh laskar. Dasar ia licin dan licik. Mereka semua itu diperintahkan melibat Adipati Surengpati. Dia sendiri terus mundur jumpalitan mencari Titisari.
Keruan saja Titisari terkejut setengah mati. Cepat ia melepaskan tangan Jaga Saradenta dan terus bersiaga.
"Ha! Kau hendak lari ke mana?" bentak Kebo Bangah. "Kau serahkan kedua pusaka itu!
Kutanggung, semua laskar ini akan mundur. Dan kalian boleh pergi dengan bebas."
Titisari seorang gadis cerdas luar biasa. Seketika itu juga, sadarlah dia bahwa ter-jadinya_
penyerbuan itu adalah semata-mata untuk merebut kedua pusaka Bende Mataram yang
disimpannya dalam pinggang.
"Kau jangan mimpi! Rebutlah!" tantangnya. Ia terus mundur. Dalam hatinya hendak mendekati tempat Sangaji berada.
Kebo Bangah tertawa mendongak. Menyahut, "Apa sih sukarnya merebut pusaka itu."
Setelah berkata demikian, Kebo Bangah membuktikan Ucapannya. Titisari boleh lincah dan
gesit berkat jurus-jurus ilmu sakti yang dimiliki. Tetapi menghadapi pendekar Kebo Bangah ia seperti mati kutu. Soalnya belum terlatih dan kekurangan tenaga bila dibandingkan dengan tenaga Kebo Bangah. Karena itu sebentar saja ia mulai kericuhan.
Mau tak mau, hati Adipati Surengpati yang angkuh dan sombong cemas juga melihat puterinya kena libat. Celakanya, ia kena di-rintangi laskar-laskar dan pendekar-pendekar undangan. Benar ia tak memperoleh ke-sukaran berarti, tetapi gerak-geriknya jadi tak leluasa. Namun tak percuma ia disebut seba-gai salah seorang tokoh terbesar pada zaman itu. Dengan bersuit panjang, ia menggempur lawan-lawannya. Kemudian meloncat ke udara dan turun dengan manis di samping
puterinya. Pada saat itu mendadak ia mendengar suara yang dikenalnya.
"Aku di sini." Itulah Sangaji yang telah bersiaga menolong putrinya. Teringat akan jurus-jurus putrinya tadi sewaktu melawan Pringgasakti, ia jadi ingin menyaksikan kemampuan bocah itu. Pikirnya, biarlah dia menolong Titisari. Ingin aku melihat apa yang dapat dilakukan. Seumpama tak ungkulan melawan Kebo Bangah, belum kasep aku turun tangan.
Kebo Bangah lantas saja mengenal siapa yang berada di depannya. Tanpa ragu-ragu, ia
menggunakan pukulan Kala Lodra. Itulah ilmu sakti andalannya. Kehebatannya tak usah kalah dibandingkan dengan ilmu sakti Kumayan Jati dan Witaradya. Tapi kali ini dia bakal ketemu tandingannya. Mendadak saja, ia merasakan suatu dorongan luar biasa kuat. Dadanya terasa menjadi sesak. Cepat-cepat ia menutup semua jalan darahnya dan berkisar mundur. Di waktu itu mendadak ia melihat Adipati Surengpati sudah berada tak jauh darinya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kalau dia turun tangan, celaka! pikir Kebo Bangah dengan terpaksa ia mundur mening-galkan gelanggang. Tetapi Sangaji tak mau sudah.
Tatkala memapak pukulan Kebo Bongah, ia menggunakan tenaga enam bagian. Hatinya masih
ragu-ragu apakah sanggup menerima pukulan dahsyat itu. Di luar dugaan, ia tak merasakan suatu akibat. Bahkan pukulannya sendiri terasa bisa menembus. Merasakan kenyataan itu, hatinya girang bukan main. Sekarang ia yakin benar akan kekuatan diri sendiri. Terus saja ia melompat dan mengi-rimkan pukulan lagi.
Kebo Bangah menoleh cepat. Buru-buru ia berjongkok. Dengan mengerahkan seluruh tenaga ia menyambut. Hasilnya mengejutkan dirinya. Tiba-tiba saja, tubuhnya bergoyang-goyang. Dan ia tertolak ke belakang sampai terkisar dari tempatnya. Ia jadi heran, cemas dan gusar. Pikirnya, masakan aku kalah melawan dia"
Segera ia hendak mengulangi. Tapi pada saat itu, Manyarsewu, Cocak Hijau, Abdul-rasim dan Suranggana datang menyerbu. Dan celakalah pendekar empat ini. Kena benturan pukulan Sangaji, mereka terpental sampai terbang ke udara. Keruan saja Kebo Bangah terkejut bukan main. Cepat ia melontarkan pukulan dahsyat lagi, sewaktu Sangaji belum bersiaga. Kemudian mundur empat langkah. Dan pada saat itu Pangeran Bumi Gede sudah berada di sampingnya. Pangeran ini pun heran menyaksikan ketangguhan Sangaji. Bertanya sambil mencabut senjata tongkatnya.
"Siapakah lawan Tuan?"
Terhadap pangeran itu, tak sudi Kebo Bangah memperlihatkan kelemahannya. Tapi bocah itu
memang hebat luar biasa. Maka sambil meloncat mundur ia menjawab, "Itulah bocah Sangaji.
Benar-benar dialah yang mem-bawa kedua pusaka warisan. Jangan sia-sia-kan kesempatan ini.
Paduka tangkaplah. Aku sendiri hendak mengatur budak-budakku yang tak berguna."
Tetapi Pangeran Bumi Gede bukanlah se-orang pangeran goblok. Melihat Kebo Bangah
keripuhan, ia tahu menaksir kekuatannya sendiri. Cepat ia memutar tubuhnya dan berlindung di belakang laskarnya.
Sangaji tak mau mensia-siakan kesempatan itu. Cepat ia melompat hendak mengejar. Belum
lagi mendarat di tanah, ia telah dihujani ratusan panah, tombak dan lembing. Mau tak mau ia harus memunahkan dahulu. Dan waktu itu laskar Pangeran Bumi Gede telah mulai mengepung
rapat. "Bagus!" serunya mendongkol. Terus saja ia melepaskan pukulan angin berantai. Dan seketika itu juga, padamlah obor-obor pene-rangan. Mereka yang berada dekat dengan Sangaji, terpental mundur dan menumbuki rekan-rekannya.
Adipati Surengpati, murid-murid Kyai Kasan
Kesambi dan Kebo Bangah dalam kesibukan-nya masing-masing, terheran-heran menyak-sikan
kegagahan Sangaji. Pemuda itu ternyata dalam sekejap saja sudah berubah menjadi manusia lain.
Gerak-geriknya gesit, tangkas dan tenaganya luar biasa kuatnya. Belum lagi setengah jam, laskar Pangeran Bumi Gede mundur korat-karit.
Dalam pada itu Sanjaya yang mendampingi Kebo Bangah dan Pangeran Bumi Gede tatkala lagi
berangkat dari perkemahan, kian kecut hatinya. Dengan gemetaran ia menye-linap ke dalam
tumpukan laskar. Dasar hatinya licin dan tak mau kalah dengan Sangaji, ia segera teringat kepada barisan kompeni. Maka cepat-cepat ia menghubungi. Tak lama kemudian mulailah terdengar
tembakan senapan berturut-turut. Itulah hasil pembicaraannya dengan komandan kompeni.
Mendengar tembakan itu, para pendekar yang terkepung terkesiap hatinya. Mereka tahu,
peluru jauh lebih berbahaya daripada senjata tusuk apa pun jua. Tapi mereka bukan manusia lumrah. Keberaniannya sepuluh kali lipat. Sama sekali mereka tak mundur, bahkan terus merabu musuh dengan cepat luar biasa. Keruan saja, laskar Pangeran Bumi Gede kelabakan dalam
kegelapan malam. Sebaliknya tidaklah demikian dengan Titi-sari. Gadis ini yang memiliki ketajaman otak luar biasa. Cepat melesat ke depan sambil berteriak kepada Sangaji.
"Aji! Apakah engkau sudah berhasil mem-buat benteng pertahanan?"
"Bukan benteng. Hanya sebuah kubangan," sahut pemuda yang berhati sederhana itu.
"Bagus!" seru Titisari girang. Lantas saja ia berteriak nyaring kepada para pendekar, "Kita mundur ke kubangan batu!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Mendengar teriakan Titisari, mereka hanya mendengus saja. Sedangkan peluru kompeni makin lama makin gencar.
"Hai! Apakah kalian mau mati konyol?" teriaknya lagi. Tapi tetap mereka berkepala batu.
Menyaksikan sikap mereka, Titisari jadi cemas. Mendadak saja teringatlah dia kepada ayahnya.
Pikirnya, kalau ayahnya bisa dibujuk mundur berlindung, bukankah mereka akan mengikuti?"
Ia terus menghampiri ayahnya, "Ayah! Aku berjanji kepada Sangaji untuk melindungi gurunya.
Tapi ternyata aku tak berguna. Guru Sangaji masih saja kena panah."
Tadi, tatkala Jaga Saradenta terbebas dari serangan penggada pendekar Wongso CIdel,
lambungnya tertancap empat batang panah.
Dalam kemurkaannya, pendekar tua itu tak mau sudah. Dengan menggerung ia tetap
menyerang dengan gagah. Namun lambat-laun, lambungnya terasa nyeri bukan main. Mau tak
mau tenaga jasmaninya jadi kendor.
Adipati Surengpati tahu menebak kehendak puterinya. Menuruti keangkuhan hatinya, mestinya tak sudi ia mendengarkan. Tetapi medan pertempuran memang berbahaya. Apabila dia pun
sampai kena peluru nyasar, bukankah berarti korban sia-sia belaka" Memikir demikian, terus ia menghampiri si tua Jaga Saradenta. Dengan sekali sambar ia memapahnya. Si tua berontak,
karena tak sudi diperlakukan sebagai perempuan. Namun menghadapi tenaga Adipati Surengpati betapa dapat dia banyak bertingkah. Apalagi tenaganya mulai berkurang. Karena itu, akhirnya ia kena papah juga dengan tak dapat berkutik.
"Kita mundur ke kubang batu," kata Titisari lega.
Adipati Surengpati mundur cepat. Pada saat itu suatu berondongan senapan bersuing melintasi kupingnya. "Berbahaya!" keluhnya. Dan terus ia mendahului memasuki kubang batu.
Ternyata benteng pertahanan yang disebut kubang batu itu, sangat mengagumkan.
Luasnya kurang lebih 100 meter persegi. Dindingnya terbuat dari batu alam yang di-susun
hampir setinggi orang. Apabila seorang membungkuk setengah badan saja, meskipun
diberondongi senapan betapa rapat pun takkan mengenainya. Melihat kubang perta-hanan itu, Adipati Surengpati yang selama hidupnya membanggakan kepandaian dan kemampuannya sendiri, berdiri tercengang-cengang. Bertanya, "Dari mana kau tahu di sini ada kubang pertahanan?"
"Bakal menantumu yang sebentar tadi menyusunnya," sahut Titisari berbesar hati.
"Ah!" Adipati Surengpati kian tercengang. Membuat kubang pertahanan seperti itu, tidaklah sukar apabila dikerjakan di tengah matahari dalam aman tenteram. Tapi kubang pertahanan ini dibangun dalam keadaan terjepit dan tergesa-gesa. Lagi pula dalam malam pekat. Kecuali itu, bahannya dari batu alam yang masing-masing mempunyai berat tak kurang dari seribu kati.
Betapa tenaga manusia mampu mengangkat dan menyusun batu-batu dengan seorang diri.
Titisari senang menyaksikan ayahnya berdiri terlongong-longong. Ia terus melesat pergi dan berseru memanggil para pendekar. Katanya nyaring:
"Ayahku telah mendahului berlindung di belakang kubang pertahanan. Apakah kalian perlu merasa malu?"
Mendengar seru Titisari, mereka jadi berbimbang-bimbang. Mau mereka memundurkan diri.
Tapi Sangaji masih berkelahi dengan gagah. Masakan akan membiarkan dia berkelahi seorang diri rfielawan ratusan laskar Pangeran Bumi Gede" Titisari yang berontak encer, dapat menebak kebimbangan mereka. Dengan mengendapkan diri ia menyusup maju mendekati Sangaji, berseru:
"Aji! Mundur! Semua sudah mundur!"
"Kau mundurlah! Malam ini adalah kesem-patan yang bagus membekuk musuh keluar-gaku."
"Tolol! Sekeliling dirimu adalah peluru melu-lu. Kau bisa melawan orang, tapi bukan pelu-ru.
Belum lagi kau bisa membekuk batang lehernya Pangeran Bumi Gede. Peluru-peluru kompeni
mungkin telah mengenai dirimu. Apakah itu bukan mati sia-sia?"
Dasar hati Sangaji takluk kepada gadis itu. Maka begitu mendengar sarannya, terus ia menjejak tanah dan melesat mundur sambil menyambar lengan Titisari.
"Bagus!" seru murid-murid Kyai Kasan Kesambi hampir berbareng. Mereka terus berbareng meloncat mundur pula. Tatkala ia hampir sampai di kubangan batu, Sangaji telah mendarat
dengan manis sekali bagai seekor elang menggondol mangsanya.
Ki Hajar Karangpan, dan Panembahan Tirtomoyo dan Ki Tunjungbiru telah pula tiba di kubang pertahanan dengan berturut-turut. Mereka terus berlindung di belakang tum-pukan batu dengan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
hati bertanya-tanya. Maklumlah, semenjak siang hari mereka ber-ada di sekitar gundukan
pegunungan itu. Dan sama sekali tiada nampak kubang pertahanan demikian. Darimanakah
kubang pertahanan ini tiba" namun tak sempat mereka terus bertanya-tanya. Pada saat itu
seluruh pasukan kompeni dan sisa laskar Pangeran Bumi Gede menembak dan melepaskan panah.
Sangaji tak perlu mengkhawatirkan kesela-matan pamannya dan mereka yang dihormati. Untuk sementara, mereka terlindung dengan baik di belakang tumpukan batu. Melihat gurunya terluka, cepat ia menghampiri. Kemudian dengan hati-hati mencabut sekalian panah yang menancap di lambung.
la kini bukan lagi si murid tolol satu dua tahun yang lalu. Pengetahuannya sudah melebihi gurunya yang sudah berusia tua. Dengan cekatan ia memijat urat nadi yang menghubungi urat lambung. Lantas memben-dung mengalirnya darah.
Waktu itu keadaan Jaga Saradenta agak mulai payah, la mulai kehilangan banyak darah.
Pandang matanya berkunang-kunang dan napasnya tersengal-sengal. Mendadak saja ia merasa
lambungnya nyeri. Kemudian suatu hawa hangat luar biasa menyusupi tubuhnya. Ia heran.
Tubuhnya terguncang dan perlahan-lahan tenaga jasmaninya pulih kembali. Apabila matanya
kembali jernih, ia melihat tangan Sangaji sedang menekan punggung dan lambungnya.
"Eh"bagaimana bocah tolol ini bisa mem-punyai tenaga jasmani begini kuat?" ia menebak-nebak.
Dalam pada itu para pendekar sudah meng-atur dirinya sendiri. Mereka berkelahi dari belakang tumpukan batu. Ki Hajar Karang-pandan yang kehilangan muridnya, tak dapat lagi menguasai diri.
Dasar adatnya aneh dan berwatak angin-anginan. Tiba-tiba saja ia melompat menyambar lawan dan kembali dengan merampas tiga buah gendewa berikut tiga bungkus anak panah.
"Hao! Sekarang bantulah aku menuntut balas muridku Surapati yang mati seperti anjing!"
serunya garang. Ia mendahului melepaskan panah. Tak usah diceritakan lagi, bahwa tenaganya hebat luar
biasa. Panahnya bersuing menusuk lawan dan menembusi tiga empat orang lagi. Panembahan
Tirtomoyo dan Ki Tunjungbiru adalah bekas-bekas pejuang bangsa yang kenyang mengalami
pasang surutnya perjuangan. Begitu memperoleh gendewa dan panah, terus saja mereka bekerja.
Dengan mengambil tempat di sebelah utara dan timur, mereka melepaskan panah. Apabila
kehabisan panah, mereka tak kehilangan akal. Mereka mencari batu-batu dan dilontarkan lewat tali gendewa bagaikan senjata bandil.
Menghadapi keuletan mereka, laskar Pa-ngeran Bumi Gede berteriak-teriak seperti kebakaran jenggot. Betapa tidak" Seorang demi seorang mereka kena ditewaskan. Sebaliknya mereka tak dapat berbuat apa-apa, karena kokohnya kubang pertahanan. Tetapi mereka berjumlah banyak.
Lagi pula terpimpin. Demikianlah setelah korat karit, mereka segera tersusun kembali. Kemudian melepaskan panah berobor beruntun-runtun.
Udara cerah seperti penuh dengan kembang api. Melihat pemandangan demikian, Ki Hajar
Karangpandan kumat penyakitnya. Terus saja ia melempar gendewanya ke tanah. Kemudian
seperti kera, ia jumpalitan menyambar panah-panah berobor itu. Segera ia melem-parkan kepada kakak seperguruannya dan Ki Tunjungbiru. Katanya nyaring, "Balas!"
Tak usah diulangi, Panembahan Tirtomoyo dan Ki Tunjungbiru dengan cepat membalas
memanah. Mereka tak usah khawatir kena bidik, karena benteng pertahanannya rapat kokoh.
"Bentengmu benar-benar hebat," Titisari memuji Sangaji. "Bagaimana kau membuat-nya tadi?"
Sangaji hanya tersenyum. Sebenarnya tak sengaja ia membuat serapi itu. Soalnya tadi, hanya melakukan permintaan Titisari belaka untuk membongkari batu-batu pegunungan. Kemudian
teringat kepada susunan benteng di Jakarta. Dengan acak-acakan ia mencoba meniru. Karena tenaga jasmaninya yang kuat luar biasa bisa diatur dan dikendalikan seke-hendak hatinya, ia dapat menimpukkan batu-batu itu dari kejauhan"berjajar meru-pakan pagar batu. Inilah yang dinamakan serba kebetulan belaka. Karena hasilnya di luar dugaan dirinya sendiri.
"Apakah kita masih bisa bertahan?" ia men-coba mengalihkan pembicaraan.
"Hm," Titisari memiringkan kepalanya.
"Lihat! Ayah tak bergerak. Itu suatu tanda bahwa Ayah telah mempunyai suatu firasat yang kurang baik."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sangaji menoleh ke arah Adipati Surengpati. Pendekar yang termasyhur serta pandai itu,
ternyata berdiri tegak seperti tugu. la tak menghiraukan kesibukan para pendekar. Juga tidak mengindahkan sepak terjang laskar Pangeran Bumi Gede. Yang diamat-amati adalah gerak-gerik Kebo Bangah. Ia kenal kelicinan dan kelicikan pendekar dari barat itu. Sewaktu-waktu bisa meletuskan perbuatan di luar dugaan orang.
Sebaliknya pada saat itu, Pangeran Bumi Gede sedang mengerahkan segenap laskarnya dengan dibantu pasukan kompeni. Terasa sekali, betapa besar niatnya hendak me-numpas para pendekar yang telah memiliki kedua pusaka Bende Mataram itu. Tak kenal lelah, ia terus memberi aba-aba agar laskarnya menyerang dan menyerbu tanpa berhenti. Namun hasilnya sampai fajar hari belum nampak. Ia jadi mendongkol berbareng kagum.
"Benteng itu darimana datangnya?" ber-kali-kali ia menebak-nebak.
Ia memanggil Sanjaya agar mencari pen-dekar Kebo Bangah yang diagul-agulkan. Namun
betapa Sanjaya mencarinya ubek-ubekan tiada juga nampak batang hidungnya. Hal itu membuat Pangeran Bumi Gede sibuk seorang diri. Kecurigaannya lantas timbul. Betapa pun juga dia
bukanlah seorang Pangeran yang tak mempunyai otak. Dalam hal kelicinan, dia tak perlu kalah bersaingan dengan Kebo Bangah. Cara kerjanya bahkan lebih rapi, cermat dan hati-hati.
Kira-kira menjelang jam empat pagi, ia telah memperoleh kesimpulan. Garang ia memanggil
panglimanya. "Pasang barisan kuda berakit. Mereka harus dapat kita kuasai sebelum matahari muncul di timur!"
Pada zaman itu, para panglima perang su-dah mengenal tata perang kuda berakit. Ba-risan
kuda berakit terdiri dari delapan sampai sepuluh ekor. Kuda-kuda itu diperlengkapi de-ngan bahan api. Dalam hal ini tiang-tiang obor. Kemudian sepasukan laskar dengan senjatanya masing-masing lari di belakangnya untuk mengadakan serangan serempak. Cara penyerangan begini ini, kerapkali membawa hasil bagus, karena musuh kena digertak dengan suara derap kuda dan gemuruh
sorak-sorai. Mereka yang berada dalam kubang perta-hanan adalah pejuang-pejuang bangsa yang kenyang
dengan pengalaman perang. Sedang-kan murid-murid Kyai Kasan Kesambi menge-nal tata perang demikian dari tutur kata guru-nya. Hanya saja, mereka tiada diwajibkan untuk memahami. Tujuan Kyai Kasan Kesambi adalah membentuk ksatria-ksatria sejati. Dan bukan bercita-cita agar
muridnya menjadi seorang panglima perang. Karena itu pengetahuan mengenai hal itu boleh
dikatakan sambil lalu belaka. Meskipun begitu murid-muridnya bukanlah sekelompok manusia yang tak diberi ilmu untuk mempertahankan diri apabila menghadapi serangan demikian dengan tiba-tiba. Itulah sebabnya, begitu mereka melihat gerakan laskar Pangeran Bumi Gede segera timbul kecurigaannya. Bagus Kempong yang merupakan otak mereka, dengan cepat meloncat ke atas batu menebarkan pengli-hatan. Dengan bersungguh-sungguh ia berka-ta, "Kangmas
Handaka! Mereka agaknya sedang memperkuat barisan kuda berakit. Inilah bahaya."
Setelah berkata demikian, terus ia mengki-siki saudara-saudaranya agar menebarkan diri.
Masing-masing harus menghadapi sekelom-pok barisan kuda berakit. Menurut taksiran, tak
usahlah mereka kena desak. Hanya saja, kalau terlalu banyak pastilah timbul kesulitan.


Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ki Hajar Karangpandan, Panembahan Tirto-moyo dan Ki Tunjungbiru pun sudah bersiaga. Hati mereka jadi tegang. Sadarlah mereka, bahwa pertempuran akan terjadi sebentar nanti.
Mereka tak usah menunggu lama atau ter-dengarlah kemudian sorak sorai gemuruh. Ternyata
Pangeran Bumi Gede melepaskan barisan kuda berakit delapan kelompok sekali-gus. Mereka
menyerang dari segala penjuru dengan berbareng. Kuda-kuda itu dicambuki dari belakang.
Malahan ada pula yang ditusuki dengan bambu berapi. Keruan saja, binatang-binatang itu lari melompat-lompat. Dan sebentar saja bagai badai menerjang tembok kubang pertahanan.
"Lepaskan obor!" seru Adipati Surengpati.
Sebenarnya seruan itu hanya dimaksudkan sebagai suatu usaha untuk bertahan. Dia cukup
tahu, bahwa di dalam kubang perta-hanan tiada sebatang obor pun. Tetapi dia tak kehilangan akal. Cepat luar biasa ia melesat dan menghantam barisan kuda terdepan de-ngan pukulan sakti Witaradya. Kena pukulan-nya, barisan kuda itu jatuh bergulingan. Tenaganya punah. Bahkan sebentar saja, binatang-binatang itu kehilangan napasnya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kemudian dengan sebat ia menyambar tiang-tiang obor yang berada pada punggung binatang
tersebut. Terus ia melontarkan ke arah barisan kuda berakit yang kedua. Cara perlawanannya itu membangkitkan semangat tempur yang lain. Ki Hajar Karangpandan dan Ki Tunjungbiru yang
memiliki kegesitan melebihi manusia lumrah, terus merabu meniru gerak-gerik Adipati Surengpati.
Mereka berhasil mengacau-balaukan. Tadi barisan kuda yang lain berhasil meruntuhkan tumpukan batu. Meskipun banyak di antara-nya yang patah kakinya, tetapi laskar yang ikut menyerbu di dalamnya berhasil memasuki daerah pertahanan.
Suryaningrat dan Bagus Kempong dengan serentak membabatkan pedangnya. Mereka telah
menguasai ilmu sakti Mayangga Seta ciptaan gurunya. Tak mengherankan, bahwa gerak-gerik
mereka gesit luar biasa dan seben-tar saja berhasil menumpas laskar-laskar yang sama sekali tak memiliki kepandaian berkelahi perseorangan.
Melihat terjadinya pertempuran itu, Sangaji jadi gelisah. Sewaktu hendak bergerak, tiba-tiba lengannya terasa teraba oleh tangan halus, ia menoleh. Dan melihat Titisari berdiri tegang di sampingnya.
"Kau mau apa?" tanyanya.
Titisari tersenyum, menyahut: "Kau mau ikut-ikutan bertempur macam begini?" "Habis?"
"Lebih baik kau susunlah batu-batu ben-tengmu yang jadi berserakan. Kau susunlah lebih lebar lagi. Dengan demikian, daerah per-tahanan kita menjadi luas. Dan mereka yang terlanjur masuk ke dalam benteng bukankah seperti sekumpulan kelinci terjebak ke dalam perangkap?"
Sangaji mengerutkan keningnya, cepat ia menimbang-nimbang. Agaknya akal itu, bagus juga.
Maka cepat ia bekerja. Dengan mengerahkan tenaga saktinya, batu-batu pegunungan yang
mempunyai berat tak kurang dari seribu kati itu diangkatnya dengan mudah. Kemudian
dilemparkan berjajar bagai dinding pagar. Itulah pekerjaan ulangan. Karena itu, ia dapat melakukan dengan cepat.
Kala itu, matahari mulai menebarkan cahayanya. Sepak terjang Sangaji dapat terli-hat dengan jelas. Laskar Pangeran Bumi Gede dan seluruh pasukan kompeni kagum dan ter-heran-heran
menyaksikannya sampai mereka berdiri dengan bengong. Malahan Ki Hajar Karangpandan,
Panembahan Tirtomoyo, Ki Tunjungbiru dan murid-murid Kyai Kasan Kesambi sejenak melupakan keadaan pertem-puran. Dengan tak dikehendaki sendiri, pe-perangan mendadak berhenti seperti terlerai.
Adipati Surengpati berdiri tegak menga-waskan. Diam-diam ia berkata dalam hati: Apakah
benar Pusaka Bende Mataram begini sakti" Kalau benar demikian, Gagak Seta jauh lebih waspada dari padaku. Jauh-jauh dia telah menyingkirkan diri"agaknya aku pun bukan lawannya pada
beberapa bulan yang akan datang ...
Dengan berhentinya peperangan kacau itu, celakalah nasib sebagian laskar yang terku-rung dalam benteng. Tanpa ampun lagi Ki Hajar Karangpandan menghajarnya kalang kabut. Mereka
dilemparkan bagaikan bola keluar dari dinding batu. Kuda-kuda mereka dirampasnya pula.
"Hai, menunggu apa lagi?" teriaknya. "Besok masih ada matahari. Untuk menghajar mereka, sepuluh tahun lagi belum kasep!"
"Kau mau lari ngacir," sahut Ki Tunjungbiru.
"Mengapa tidak" Lihat! Seluruh lapangan ini penuh dengan kompeni."
Hampir berbareng dengan ucapannya, berondongan peluru berdesing menghantam batu-batu
dan udara. Mereka yang berada dalam kubang pertahanan, buru-buru bertiarap dan berlindung di bawah dinding.
"Bagus!" teriak Ki Tunjungbiru penasaran. "Kalau kau mau lari-larilah! Ingin aku menyaksikan seorang pahlawan dalam Babad Giyanti lari ngacir seperti anjing takut gebuk."
"Kau bilang apa?" Ki Hajar Karangpandan melotot.
"Aku bilang kau seperti anjing takut gebuk!" balas Ki Tunjungbiru dengan melotot pula. Mereka berdua pernah bentrok pada zaman Perang Giyanti karena berselisih. Meski pun kini berbaik kembali, tapi rasa perselisihannya dahulu masih saja melekat dalam hati sanubarinya.
"Bagus! Jadi kau tak mau lari?" teriak Ki Hajar Karangpandan.
"Tidak! Memangnya aku bangsa tikus?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kalau begitu, marilah tolong aku menyem-belih kuda-kuda ini. Sebab kita bakal bertem-pur di sini sampai mati. Kalau perutmu kosong melompong, bukankah kau bakal mampus seperti orang keserakat?"
Habis berkata demikian, Ki Hajar Karang-pandan tertawa terbahak-bahak. Dia memang terkenal sebagai pendeta ugal-ugalan. Namun otaknya cerdik dan susah diduga kehen-daknya.
Kedengarannya ia seperti hendak melarikan diri, tetapi sebenarnya tidaklah begitu. Ajakannya bermaksud membakar semangat perjuangan mereka yang berada di situ. Hal itu ada sebabnya.
Pada waktu itu, kompeni mulai bergerak mendekati benteng pertahanan.
Mereka yang berada di situ, hanyalah Jaga Saradenta seorang yang pernah mempunyai
pengalaman kena jirat ocehan Ki Hajar Karangpandan. Itulah sebabnya, begitu men-dengar suara Ki Hajar Karangpandan, terus saja dia bangkit dengan menekan lukanya. Katanya, "Kau memang pendeta gendeng. Apakah kau hendak menantang aku mengadu keuletan tiga belas tahun lagi?"
Ki Hajar Karangpandan menoleh. Melihat Jaga Saradenta, ia tertawa mendongak. Matanya
berseri-seri. Suatu kegembiraan ter-bersit dari paras mukanya.
"Tiga belas tahun yang lalu, kita bertempur perkara pusaka Bende Mataram. Kini pun kita menghadapi gerombolan tikus-tikus yang banyak bertingkah pula," ia berhenti sebentar. Kemudian berpaling kepada Sangaji, berkata meninggi, "Anakku Sangaji! Kau kini benar-benar telah memperoleh manfaatnya memiliki kedua pusaka warisan itu. Hatiku senang. Mati pun aku puas.
Cuma saja me-ngapa anak Wayan Suage sama sekali tak mempunyai rejeki?"
Diingatkan tentang Sanjaya, Sangaji menunduk ke tanah. Tak sengaja ia mengarahkan
pandangnya ke arah medan pertempuran. Sejenak kemudian ia menghela napas panjang sekali.
Wajahnya muram luar biasa.
Perlahan-lahan matahari mulai memperli-hatkan kewibawaannya benar. Cahaya merah bersemu
kuning tertebar memenuhi persada bumi dan udara. Burung di kejauhan berter-bagan berkeliling.
Dan angin meniup pohon dan semak belukar seperti kemarin.
"Anakku Sangaji!" kata Ki Hajar Karang-pandan lagi, "Ilmu warisan Bende Mataram benar-benar sakti di luar dugaanku sendiri. Kaugunakanlah sebaik-baiknya. Kulihat kau hanya main
menggeserkan batu-batu alam untuk menggebuk mereka. Bukankah te-nagamu bakal habis"
Samudera raya sekali-kali pernah surut airnya. Masakan kau tidak?"
Sangaji tak pandai berbicara, karena itu tak tahu menjawab ucapan Ki Hajar Karang-pandan.
Titisari yang berada tak jauh lantas menyahut, "Paman! Dengan berlindung di belakang tumpukan batu, nyawa kita terlin-dung satu malam penuh bukan?"
"Bagus! Tapi aku ingin mati di tengah la-pangan terbuka daripada mampus seperti katak dalam tempurung," jawab Ki Hajar Karangpandan cepat.
Mendengar jawaban Ki Hajar Karang-pandan, Titisari menaikkan alisnya. Mendadak teringatlah dia kepada Kebo Bangah. Pendekar itu bukankah semalam tiada menampakkan batang hidungnya.
Barisan tabuhannya lenyap pula. Mengapa tidak disuruhnya bekerja, selagi mereka berada dalam kesibukan" Tak disadarinya sendiri, ia menoleh kepada ayahnya.
Adipati Surengpati kala itu berdiri tegak di belakang dinding batu. Wajahnya nampak beku kejang, la sama sekali tak bergerak. Melihat dia, hati-hati Titisari menghampiri. Berkata, "Ayah!
Apakah kita bakal mati seper-ti katak dalam tempurung?"
Adipati Surengpati mendengus. Sejenak kemudian menjawab, "Masakan Kebo Bangah bisa
banyak berlagak di depan hidungku?"
"Apakah kompeni dan laskar Pangeran Bumi Gede kurang berbahaya daripada Paman Kebo
Bangah?" "Ayahmu ini semenjak kau belum lahir, telah bertempur beberapa kali melawan kompeni dan pemberontak-pemberontak picisan seperti Pangeran Bumi Gede. Tapi selama ini hanya ada
beberapa orang yang kuhargai, termasuk Kebo Bangah. Kau belum kenal dia, anakku.
Dia berjuluk pendekar berbisa. Karena itu, hendaklah selama hidupmu berjaga-jaga
menghadapi kelicinannya."
Titisari mengerutkan keningnya. Ia kenal, watak ayahnya yang angkuh dan tak meman-dang
mata terhadap segala rintangan lawan. Semalam ia ikut bertempur mati-matian, menghadapi
serangan-serangan berbahaya. Dan siapa saja merasa bahwa lawan terlalu banyak. Tapi mengapa
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
ayahnya tak memi-kirkan untuk meninggalkan kubang perta-hanan dalam malam gelap"
Memperoleh pi-kiran demikian Titisari mencoba, "Apakah itu-lah alasan Ayah mengapa Ayah tak mening-galkan kubang pertahanan ini?"
Adipati Surengpati tak menjawab, la hanya mendengus. Kemudian mendongak sambil tertawa
perlahan. Mendadak berkata meng-alihkan pembicaraan, "Lihatlah, anakku! Mereka mulai bergerak mengepung kita rapat-rapat. Sekiranya berhasil mendekati kubang ini, apakah yang harus kaulakukan?"
Titisari melepaskan penglihatannya, laskar Pangeran Bumi tjede dan kompeni benar-benar
mulai mengepung kubang pertahanan rapat-rapat. Mau tak mau Titisari jadi gelisah. Makiumlah, mereka memiliki senjata bidik dari jauh dan menempati gundukan tinggi. Sedangkan yang berada dalam kubang pertahanan sama sekali tak mempunyai. Dan tiba-tiba saja gadis itu insyaf apa sebab ayahnya tak mau meninggalkan kubang pertahanan. Terus saja ia memeluk ayahnya erat-erat sambil berkata penuh keharuan.
"Ayah! Kau tak mau meninggalkan kubang batu ini karena aku, bukan?"
Perlahan-lahan Adipati Surengpati memeluk puterinya. Kemudian berkata, "Nah, berkata-lah kau ingin meninggalkan kubang ini!"
"Mengapa begitu?" Titisari melepaskan pelukannya.
"Bocah tolol itu agaknya mempunyai ilmu sakti tiada taranya. Tapi apakah bisa melawan laskar begini banyaknya."
"Apakah Ayah bermaksud meninggalkan dia di sini dengan sekalian paman-pamannya?"
"Bumi Gede dan Kebo Bangah masakan mau mengalah sebelum dapat memiliki kedua pusaka yang diperebutkan. Biarlah mereka merampas kedua pusaka itu. Selagi mereka bertempur mati-matian, kita diam-diam me-ninggalkan kubang batu ini. Kita kembali ke Karimun Jawa menekuni ilmu Witaradya. Jika kau bersungguh-sungguh masakan muka kita akan hilang dalam percaturan masyarakat?"
Mendengar ucapan Adipati Surengpati, Titisari terkejut. Tak terasa ia mundur setengah
langkah. Teranglah, bahwa pola pikiran ayahnya senyawa dengan pendekar Kebo Bangah. Ia tak rela, Sangaji akan menjagoi dunia di kemudian hari. Hal itu bisa dimaklumi. Tiga empat puluh tahun lamanya ia bertekun mati-matian menyelami ilmu saktinya. Masakan si bocah ingusan itu dalam sekejap saja sudah memiliki ilmu sakti begitu tinggi. Dalam penilaiannya terhadap ilmu sakti Sangaji, ia agak lain daripada Kebo Bangah. Kebo Bangah yang tak pernah puas terhadap semua ilmu yang dimiliki, terang-terangan ingin memiliki sumber ilmu sakti Sangaji. Sebaliknya dia yang berkepala besar, tak sudi mengakui keunggulan ilmu sakti Sangaji daripada ilmu warisan
leluhurnya. Namun begitu, diam-diam ia terkejut menyaksikan kehebatannya. Teringat akan
ucapan Gagak Seta bahwa pendekar bule itu mungkin akan menjadi murid Sangaji kelak, hatinya jadi keder. Kalau benar-benar demikian, alangkah hebat! Ilmunya sendiri tak melebihi ilmu Kumayan Jati pendekar Gagak Seta. Masakan dia pun di kemudian hari berada di bawah bocah tolol itu" Inilah yang membuat dia mempunyai kepentingan sendiri. Diam-diam ia mengharap, semoga bocah tolol itu mati dalam pertempuran. Apakah Kebo Bangah atau Pangeran Bumi Gede yang membunuhnya, tidaklah penting. Dengan demikian lenyaplah duri yang membahayakan
kedudukannya di kemudian hari. Cuma saja, Kebo Bangah harus dijaga benar agar ilmu sakti Sangaji jangan sampai jatuh di tangannya. Sebaliknya kalau jatuh di tangan pangeran itu, bukanlah soal. Biar pun dia memiliki laskar ribuan jumlahnya, bukanlah suatu hal yang sukar untuk mencabut nyawanya.
"Ayah," kata Titisari berbimbang-bimbang. "Bukankah Sangaji bakal menantumu?"
Adipati Surengpati tertawa perlahan melalui hidungnya. Berkata agak keras, "Diam-diam-lah kau di sampingku. Marilah kita saksikan saja apa yang bakal terjadi. Kau kularang meninggalkan aku!"
Mendengar perintah ayahnya, Titisari jadi berduka. Kalau ayahnya berjaga-jaga ter-hadapnya, biar pun mempunyai seribu kaki dan seribu tangan tidaklah akan bisa berkutik. Teringat akan pengalamannya dahulu, maka ia mengambil sikap lunak.
"Baiklah," katanya ringan. "Apakah laskar Pangeran Bumi Gede bakal menyerang?"
"Lihat sajalah! Semalam mereka gagal. Tapi bukan tak dapat melakukan sesuatu pada siang hari terang benderang," sahut Adipati Surengpati.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dan ramalannya sedikit pun tak salah. Laskar Pangeran Bumi Gede terdiri dari manusiamanusia yang dididik menjadi prajurit. Mereka bukanlah termasuk golongan pendekar. Dalam malam hari pekat, mereka seperti kehilangan akal. Tapi di tengah sinar matahari keadaan mereka jadi berlainan. Mereka kini memusatkan kekuatan. Dan de-ngan dibarengi berondongan peluru kompeni, mereka menyerbu berbareng dengan sorak-sorai.
Diserbu demikian murid-murid Kyai Kasan Kesambi keripuhan juga. Bagus Kempong adalah
murid Kyai Kesambi yang memiliki perhitungan-perhitungan cermat. Dengan ser-ta merta ia
berkata kepada saudara-sau-daranya.
"Kita mundur ke barat. Di depan dan di belakang kita, pengepungan sangat kuat. Anakku Sangaji! Mundur!"
Mendengar teriak Bagus Kempong, Gagak Handaka, segera memberi isyarat kepada adik-adik
seperguruannya agar mundur ke barat. Waktu itu, laskar terdepan sedang meli-hat Ki Hajar Karangpandan, Panembahan
Tirtomoyo dan Ki Tunjungbiru, Jaga Saradenta yang luka lambungnya tak mau menjadi
penonton belaka, la segera memungut peng-gadanya, kemudian melawan serbuan itu sebisabisanya. Menyaksikan semuanya itu, Sangaji meng-kerutkan kening. Mendadak saja ia melompat ke atas tumpukan batu dan berteriak nyaring.
"Pangeran Bumi Gede! Di sini aku Sangaji. Kau ingin memiliki pusaka Bende Mataram"
Berurusanlah dengan aku. Semua yang bera-da di sini tiada sangkut pautnya."
Meskipun Sangaji disebut seorang tolol, pemuda tolol, sebenarnya bukanlah dia tolol benar.
Semenjak lama tahulah dia, bahwa Pangeran Bumi Gede ingin memiliki kedua pusaka tersebut. Hal itu lebih gamblang lagi, tatkala ia mendengarkan percakapan Pa-ngeran Bumi Gede dan Sanjaya di dalam ben-teng. Tadi malam dia pun mendengarkan tutur kata Surapati tatkala mengadu kepada Ki Hajar Karangpandan, tentang maksud ke-datangan Pangeran Bumi Gede dengan mem-bawa
laskar dan kompeni. Kini ia melihat paman-paman, guru dan sekalian orang-orang tua yang
dihormati ikut menderita dan berkor-ban untuk kepentingannya. Mereka semua dalam bahaya dan mungkin nyawanya takkan tertolong. Masakan dia masih bersitegang mempertahankan dua benda keramat terse-but" Dia adalah seorang pemuda yang mulia hati dan jujur. Hanya saja terlalu sederhana, la menganggap semua orang berperasaan dan berpikiran seperti dia. Pikirnya, kalau kedua benda itu diserahkan, bukankah Pangeran Bumi Gede akan menghentikan serbuan"
Waktu berteriak, ia menggunakan hampir seluruh tenaga saktinya. Karena itu suaranya
menggeledek memekakkan telinga sampai bisa mengatasi kecamuknya serangan. Kuda-kuda yang diserbukan kaget sampai berjingkrakan. Tapi mereka dalam waktu menyerbu. Mereka tak dapat berhenti menyerang seperti yang dikehendaki. Maka dalam gugupnya, ia mengangkat pagar batu dan ditimpukkan berhamburan. Hasilnya di luar dugaan sendiri. Pasukan penyerbu itu hancur berderai dan mundur kalang-kabut. Dan berbareng dengan itu ia mendengar Panem-bahan
Tirtomoyo berkata, "Anakku! Mundur! Ini bukan waktunya adu kepandaian. Manusia bisa diajak berbicara tapi senjata buta dan tuli."
Terhadap Panembahan Tirtomoyo ia me-naruh hormat dan kasih. Tak dikehendaki sendiri, ia
menoleh. Mendadak ia melihat gurunya terlibat dalam suatu perkelahian seru.
Seluruh badannya berlumuran darah. Ia terkejut setengah mati. Seperti garuda ia terus melesat dan menghantam laskar-laskar yang mengepung gurunya.
"Bagus!" seru gurunya gembira. "Orang yang membunuh ayahmu bukankah Pangeran Bumi Gede" Mengapa engkau mesti menye-rahkan kedua pusaka itu?" ia berhenti seben-tar. Kemudian berteriak kepada Ki Hajar Ka-rangpandan, "Hai pendeta gendeng! Bukankah ayahnya mati penasaran karena warisan pusaka keramat itu pula?"
Diingatkan kepada nasib ayahnya, darah Sangaji mendidih. Pada detik itu juga, timbul-lah niatnya hendak mengadu nyawa dengan Pangeran Bumi Gede. Maka terus saja ia berputar dan
menghantam laskar penyerbu dengan pukulan jurus ilmu sakti Bende Mataram. Dahsyatnya tak terlukiskan lagi. Mereka yang kena pukulannya, seperti terben-tur suatu batu pegunungan raksasa.
Tak ampun lagi mereka terpental dan mati sebelum jatuh ke tanah.
Laskar Pangeran Bumi Gede bubar berderai. Dan pada saat itu pun juga, mereka berhenti
menyerang. Ternyata mereka terkejut mendengar suara guntur Sangaji yang meledak bagai
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dinamit. Tapi yang berada di belakang, masih saja mendesak maju. Keruan saja mereka seperti saling tusuk dan mempunyai akibat nya sendiri.
Murid-murid Kyai Kasan Kesambi yang se-dianya hendak menjebol kepungan, menya-rungkan
pedangnya. Pandangnya garang, gagah dan berwibawa.
Pada saat itu pula, terjadilah suatu hal yang tak terduga-duga. Dari arah barat nampak
sepasukan kuda membawa panji-panji kompeni. Mereka datang berbondong-bondong. Jumlahnya
lebih dari 250 orang. Kemudian terdengarlah suara terompet melengking. Dan pasukan kompeni yang mengepung kubang batu, berhenti menembak dengan mendadak. Medan perang jadi sunyi
senyap mengerikan. Sangaji meloncat kembali ke atas batu.
"Pangeran Bumi Gede! Apakah kau bersedia berbicara" Di sini Sangaji!"
Pemuda yang berhati sederhana itu mengira, bahwa berhentinya serangan dengan mendadak
adalah karena Pangeran Bumi Gede mendengarkan kata-katanya. Meskipun hatinya pedih seperti tersayat, namun ia harus puas. Maklumlah, semenjak menjadi pemuda tanggung, ibunya selalu menanamkan penuntutan dendam terhadap kematian ayahnya. Dibayangkan bentuk dan
perawakan tubuh si pembunuh. Dan dialah Pangeran Bumi Gede ayah angkat Sanjaya. Dua tahun lamanya ia mencari kesempatan untuk membalas dendam. Inilah yang untuk pertama kalinya,
secara sadar ia bertemu berhadap-hadapan. Dan ia harus menyerah kalah.
"Bocah tolol!" gerutu gurunya yang ber-watak berangasan.
"Kauserahkan juga pusaka warisan itu" Ayahmu mati karena pusaka itu. Gurumu ter-siksa pula karena pusaka itu. Hidup tidak mati pun tidak."
Mendengar gerutu gurunya, Sangaji meng-gigil. Tapi mengingat keselamatan mereka semua, ia harus dapat menguasai diri. Bukankah serangan Pangeran Bumi Gede ternyata berhenti. Inilah yang membuat hatinya harus puas. Ia lantas menghibur diri. "Biarlah kali ini aku kalah. Nanti malam, besok atau lusa bukankah aku masih bisa mencarinya seorang diri" Inilah perkaraku. Dan biarlah kuselesaikan sendiri."
Namun sekian lama ia menunggu. Pangeran Bumi Gede tak menampakkan batang hidungnya.
Ia jadi heran berbareng curiga. Dan pada saat itu, muncullah serombongan serdadu mengiringkan seorang opsir yang me-ngenakan pakaian lapangan. Panji-panji kom-peni berkibar-kibar di
sampingnya, berjajar dengan bendera Belanda. Itulah suatu tanda, bahwa komandan pasukan
berada di situ. Sangaji kala itu bukanlah Sangaji beberapa bulan yang lalu. Meskipun ketajaman matanya
dahulu sudah melebihi manusia lumrah, namun bila dibandingkan dengan keadaannya sekarang jauh berbeda. Ketajaman panca inderanya luar biasa. Perasaannya peka pula. Dan begitu melihat rombongan itu, mukanya berubah hebat. Sebentar berseri-seri sebentar suram pula.
Opsir itu lantas melambaikan tangannya. Dan berteriak dalam bahasa Belanda, "Apakah benarbenar anakku Sangaji?"
Ternyata dia adalah Mayor de Hoop, ayah Sonny tunangannya.
Sudah beberapa minggu lamanya Mayor de Hoop berada di Jawa Tengah dengan perintah
memeriksa kekuatan kompeni untuk mem-bantu perjuangan Patih Danurejo II yang bermaksud
hendak menggulingkan tahta ke-rajaan Sultan Hamengku Buwono II. Dengan sendirinya, ia
bekerja sama pula dengan Pangeran Bumi Gede. Tapi setelah laskar Patih Danureja II dan
Pangeran Bumi Gede berkali-kali kalah menghadapi tentara kera-jaan, terjadilah suatu perubahan politik dalam tata pemerintahan kerajaan Belanda di Indonesia.
Pagi itu ia menerima perintah, agar menarik semua tentaranya. Bertepatan dengan datangnya perintah itu, salah seorang opsirnya melaporkan tentang terjadinya pengepungan terhadap kubu pertahanan tentara kesultanan, bersama-sama dengan laskar Pangeran Bumi Gede. Seperti
diketahui, dengan dalih mengadakan pembersihan Pangeran Bumi Gede berhasil membawa satu
peleton serdadu Belanda yang sebagai biasanya selalu berada bersama dalam satu perkemahan.
Buru-buru Mayor de Hoop menyusul dan segera memerintahkan penghentian tembakmenembak. Dan pada saat itu, mendadak saja ia mendengar suara Sangaji. Mula-mula ia kaget.
Kemudian tercengang-cengang.
"Hai! Benarkah mereka tentara kesultanan?" ia bertanya kepada komandan peleton yang mengepung kubu pertahanan semenjak semalam.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Belum lagi komandan peleton menjawab, Sonny yang ikut serta berteriak nyaring bercampur
girang. "Ayah! Bukankah itu suara Sangaji" Inilah kudanya yang kuketemukan kemarin lusa."
Seperti diketahui, gadis berambut pirang itu muncul dengan mendadak di benteng tua. la
datang dengan satu peleton tentara untuk mencari Sangaji. la tak berhasil menemukan. Tapi si Willem dapat dilihatnya dan dibawa pulang ke tangsi. Semenjak hari itu, Willem selalu dibawanya pergi.
Mayor de Hoop mengawasi Sangaji kemudi-an mengangguk dengan kepala menebak-nebak.
Hatinya jadi sibuk. Hampir dua tahun lamanya, Sangaji meninggalkan Jakarta dengan dalih hendak menuntut dendam ayahnya. Karena melebihi jangka waktu yang dijanjikan, Sonny jadi gelisah.
Kebetulan ia mendapat perintah meninjau kekuatan kompeni di Jawa Tengah. Dan puterinya itu lalu ikut serta. ,
"Apakah bocah itu masuk menjadi tentara kesultanan sehingga tak menepati janjinya?" ia menduga-duga. Kemungkinan itu ada, tapi hatinya bersangsi. Karena itu, dengan dikawal
beberapa bintara dan dua orang opsir untuk menjaga segala kemungkinan, ia memasuki medan pertempuran bersama Sonny ...
32 MARI PULANG KE JAKARTA
Terhadap Mayor de Hoop, Sangaji menaruh hormat. Dalam keadaan biasa, ia akan lari
menyongsong dan membungkuk, itulah per-nyataan kesannya semenjak berada di tangsi kompeni di Jakarta. Tapi kali ini hatinya repot. Di samping Mayor de Hoop nampak Sonny de Hoop berada di atas punggung Willem. Dan tak jauh di belakangnya, berdiri Titisari dengan ayahnya pula. Tak tahu ia, apakah harus menyatakan kegirangan hati atau berduka. Karena itu ia terpaku di atas tumpukan kubunya.
Melihat Sangaji seperti orang kebingungan, Mayor de Hoop tertawa senang, la mengira, bocah itu tertegun karena rasa terharu. Maka ia berkata lagi, "Hai Sangaji! Inilah Sonny! Mengapa tak cepat-cepat menyambut?"
Sonny de Hoop nampak cantik pada pagi hari itu. Matanya biru jernih. Hidungnya mancung.
Kulitnya putih bersih. Perawakan tubuhnya tegap padat. Mukanya berseri-seri karena girang. Terus saja berseru penuh perasaan, "Hai!"
Sangaji seperti tersihir. Tak dikehendaki sendiri ia pun membalas, "Hai!" Hanya saja suaranya terdengar beku.
Perlahan-lahan Sangaji turun dari tumpukan batu, Sonny melompat pula dari punggung Willem dan datang menyambut dengan girang.
"Inilah kudamu. Kuketemukan dia di tengah huma," katanya. Kemudian ia mengisahkan perlawatannya dari Jakarta sampai usahanya peristiwa pertemuannya pada hari itu. la datang di Semarang sebulan yang lalu. Kemudian mengikuti ayahnya beroperasi ke daerah pedalaman.
Tatkala berada di Bumi Gede, ia mendengar kabar tentang Sangaji. Ialah tatkala pangeran itu lagi membicarakan dua pusaka warisan Bende Mataram dengan pendekar Kebo Bangah. Terus saja ia mencoba mencari. Tapi usahanya tak berhasil. Namun begitu, hatinya penuh harapan. Karena willem dapat dibawanya pulang ketangsi.
Sony adalah seorang gadis yang beradat polos. Selagi berbicara, tangannya meng-genggam
pergelangan tangan sangaji. Hatinya girang luar siasa. Karena itu ia berbicara tiada putusnya.
Titisari mengawasi gerak-gerik dan tingkah laku gadis indo itu dengan hati resah. Ia paham bahasa Belanda. Karena itu dapat menangkap semua pembicaraannya
Adipati Surengpati heran melihat kesan wajah Titisari. Bertanya, "Titisari! Siapakah dia"
"Dialah istri Sangaji yang belum dinikahi-nya."
Mendengar jawaban Titisari. Adipati Surengpati berjingkrak sampai-asmpai tak mempercayai pendengarannya sendiri.
"Apa?" ia menegas.
"Kalau Ayah ingin minta keterangan lebih jelas, tanyakanlah hal itu kepada Sangaji!" sahut Titisari perlahan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Jaga Saradenta yang berlumuran darah mendengar percakapan itu. Ia mengerti Sangaji dalam bahaya. Dia yang mengetahui riwayat Sangaji dan gadis Indo itu, segera me-nguatkan diri untuk menjelaskan peristiwa pertunangannya. Ia menjelaskan bahwa Sangaji dijebak pada suatu malam untuk menerima pengumuman pertunangannya.
Semenjak semula, Adipati Surengpati tak begitu cocok dengan Sangaji. Kalau akhirnya
menyetujui, sebenarnya saking terpaksa kare-na tiada alasan lagi. Sekarang ia mendengar
persoalan baru. Hatinya menjadi tak puas. la adalah seorang Adipati berbareng seorang ningrat.
Dan Titisari merupakan putri satu-satunya. Baginya bagaikan sebuah mustika yang tiada taranya didunia ini. Masakan ia akan membiarkan putrinya menjadi istri kedua"
"Titisari!" Lantas saja ia berkata kepada putrinya. Suaranya keras menyeramkan. "Ayahmu hendak melakukan sesuatu, tetapi hendaklah kau jangan menghalang-halangi."
Gadis itu terkejut, la kena lagak-lagu ayah-nya. Menyahut, "Ayah hendak melakukan apa?"
"Bocah busuk itu, biarlah kubunuhnya berbareng dengan perempuan itu."
Titisari kaget sampai melompat menyambar tangan ayahnya. Katanya gugup, "Ayah! Jangan!
Sangaji berkata, bahwa ia benar-benar mencintai daku."
ADIPATI SURENGPATI MENGHELA NAPAS, la membiarkan tangannya kena sambar gadis-nya.
Kemudian membentak dahsyat kepada Sangaji.
"Hai bocah tolol! Kau bunuhlah perempuan itu sebagai bukti bahwa engkau cinta pada Titisari!"
Sangaji berdiri tertegun. Selama hidupnya, belum pernah ia menghadapi persoalan sesulit ini.
Dasar otaknya kurang cerdas dan berwatak polos, ia jadi ayal dalam mengambil keputusan.
"Kau ternyata sudah bertunangan. Mengapa engkau melamar anakku?" tegur Adipati Surengpati bengis. "Apakah arti perbuatanmu ini?"
Jaga Saradenta, Ki Hajar Karangpandan, Ki Tunjungbiru, Panembahan Tirtomoyo dan muridmurid Kyai Kasan Kesambi terkesiap mendengar suara Adipati Surengpati yang seram luar biasa.
Dengan serentak mereka bersiaga. Mereka melihat muka Adipati Su-rengpati merah padam.
Tangannya bergetar. Itulah suatu alamat bahwa sewaktu-waktu ia bisa melakukan sesuatu di luar dugaan.
Sangaji sekarang, bukanlah Sangaji yang dahulu. Wamun begitu, belum tentu dia berani
menangkis apabila diserang Adipati Surengpati. Sebab betapapun juga, orang tua itu adalah ayah Titisari.
"Aku berharap... selama hidupku takkan terpisah dari Titisari," katanya dengan jujur. "Dalam hatiku, hanya ada satu Titisari. Karena itu... aku tak rela Titisari menjadi milik orang lain."
Selama hidupnya, tak pernah Sangaji berdusta. Karena itu tak peduli ia berada di tengahtengah lubang buaya, la menyatakan perasaan hatinya dengan setulus-tulusnya. Untung, ia
berbicara dalam bahasa Jawa. Dengan demikian, Mayor de Hoop dan Sonny tak mengerti
langsung apa yang sedang dibicarakan.
"Baik," sahut Adipati Surengpati. Tekanan suaranya tidaklah sekeras tadi. "Sekarang begini saja. Tak apa kau tak mau membunuh perempuan itu. Tetapi semenjak hari ini, kau kularang bertemu dengan dia."
Sangaji terdiam. Pikirnya bekerja, la teringat ibunya yang berada di Jakarta. Ibunya berada dalam lindungan Mayor de Hoop, Mayor Willem Erbefeld dan seluruh kompeni. Sebentar atau lama ia pasti pulang ke Jakarta.
"Bukankah engkau pasti akan berjumpa dan bertemu dengan puteri itu?" kata Titisari yang dapat menebak jalan pikirannya dengan jitu.
"Sebentar atau lama aku pasti pulang ke Jakarta. Aku takkan membiarkan Ibu me-nunggu-nunggu aku seorang diri. Dan pada saat itu, masakan aku takkan bertemu dengan Sonny" Dialah tunanganku, karena aku telah dipertunangkan," sahut Sangaji. "Tapi... Sonny tak lebih dan tak kurang, kuanggap sebagai temanku bermain. Katakanlah... dia seumpama adikku. Masakan aku tak boleh bertemu dengan seorang adik" Setidak-tidaknya, setiap kali aku pasti masih teringat padanya..."
Mendengar keterangan Sangaji, Titisari tertawa. Katanya. "Kau benar-benar tolol! Tapi justru karena kau tolol itulah aku cinta padamu. Baiklah! Kau boleh melihat siapa saja. Kau boleh bertemu dengan siapa saja. Aku tak peduli, asalkan dalam hatimu hanya ada aku seorang."
"Tentu." Sangaji gap-gap.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Baik, begini saja," Adipati Surengpati menengahi. "Ayah gadis itu berada di sini. Juga gurumu dan sekalian paman-pamanmu. Sekarang berkatalah keras di hadapan mere-ka, bahwa wanita
yang bakal menjadi istrimu hanyalah Titisari seorang!"
Siapa yang tahu kedudukan Adipati Surengpati menginsyafi, bahwa pendekar sakti yang
angkuh luar biasa itu sudah mau mengalah. Sikapnya lunak dan menarik. Terang sekali, pendekar itu berperang hebat melawan kebiasaannya sendiri. Ini semua demi kebahagiaan puterinya
seorang. Sebaliknya, Sangaji jadi berbimbang-bim-bang. Ia menundukkan kepala, memeras otak. Tibatiba ia melihat pusaka Kyai Tunggul-manik dan Bende Mataram terselip di ping-gang Titisari.
Lantas saja ia teringat kepada Sanjaya. Pikirnya, kalau aku pulang pasti Ibu akan menanyakan keluarga Paman Wayan Suage. Dan apabila ibu mendengar keadaan putera Paman Wayan Suage,
pasti Ibu akan bersedih hati. Terlebih-lebih apabila aku membawa keris itu pulang. Sebab bukankah menurut Ki Hajar Karangpandan adalah hak Sanjaya" Benar, akhirnya Ki Hajar
Karangpandang menarik pernyataannya. Tetapi Ibu takkan gampang kubuat mengerti. Bila
akhirnya mendengarkan tutur kataku, pasti aku harus menjelaskan sebab-musababnya. Paman
Wayan Suagelah yang menyerahkan keris itu sebagai warisannya kepadaku. Lantas... bagaimana dengan pesan terakhir Paman Wayan Suage tentang Nuraini" Akupun telah menyanggupi untuk
mengambilnya sebagai isteri, tatkala beliau hendak mangkat. Hm... semuanya ini akan membuat Ibu sedih. Kemudian aku kemukakan pula tentang Titisari. Dengan demikian, bukankah sekaligus aku memutuskan dua perjanjian berturut-turut" Pertama kali Sonny. Kemudian Nuraini. Lantas di manakah hargaku kini" Dengan Sonny, aku telah berjanji. Dan disaksikan Ibu, guru dan orang tua Sonny. Dengan Nuraini, aku menyatakan janji pula di hadapan Paman Wayan Suage, Ki Hajar
Karangpandan dan guru. Kalau aku sekarang menyatakan pilihanku terhadap Titisari... bukankah hanya menuruti keinginanku sendiri" Tatkala aku disyahkan sebagai calon suami Titisari, saksiku hanyalah Paman Gagak Seta. Dia bukan orang tuaku. Juga bukan guruku yang syah....
Setelah memikir pulang balik, dengan me-nguatkan hati ia mengambil keputusan. Terus saja ia mengangkat kepala.
Dalam pada itu, Mayor de Hoop telah minta keterangan dari seorang penterjemahnya ten-tang pembicaraan antara Sangaji dan Adipati Surengpati. Begitu mendengar persoalannya ia menjadi masgul. Hatinya tak puas bercampur gusar. Sama sekali tak diduganya, bahwa Sangaji mencintai seorang gadis lain. Ini adalah suatu penghinaan besar baginya. Pada zaman itu adalah tabu seorang Belanda hendak mengambil menantu seorang bumiputera. Ia kena cela derajat


Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bangsanya. Bahkan pada zaman Untung Surapati, ia bisa dikenakan hukuman mati. Tetapi norma-norma itu, tidaklah dihiraukan. Ternyata keputusannya yang dahulu mengejutkan kaumnya, kini menghantam kehormatan dirinya. Karuan saja ia tak tahan. Gerutunya dalam hati, "Dasar seorang bumiputera. la tak tahu kunaikkan derajatnya. Jangankan menyatakan terima kasih, kini bahkan meludaiku... Keparat!" Kemudian membentak hebat. "Sangaji! Pernahkah aku bersalah terhadapmu" Tatkala aku menawarkan pertunanganmu dengan Sonny, bukankah mulutmu sendiri
yang menyatakan setuju" Engkau adalah seorang laki-laki. Kau boleh malang-melintang ke seluruh penjuru dunia. Tapi kehormatanmu sendiri, di manakah letaknya" Bukankah kehormatan seorang laki-laki ada pada ucapannya" Kau boleh gagah. Boleh perwira. Boleh perkasa. Tapi laki-laki yang tiada dapat dipegang suara mulutnya, tidaklah ada harganya." la berhenti mengesankan.
Napasnya tersengal-sengal, karena hawa amarahnya naik sampai ke leher. Meledak lagi, "Karena keberanianmu dan kejujuranmu, engkau menarik perhatian Gubernur Jendral"tatkala engkau
menolong nyawa Willem Erbefeld. Jasa ini sangat besar, sehingga Gubernur Jendral
menghargaimu. Akupun ikut menghargaimu pula. Bukan hanya di mulut saja. Tapi kubuktikan
dengan menyerahkan puteriku. Kemudian... kau berpamit satu tahun lamanya karena hendak
menunaikan tugas mulia untuk menuntut dendam kematian ayahmu. Kupegang kepercayaanku
kepadamu. Karena kau... kami kena! sebagai seorang pemuda yang tahu memegang janji. Tapi ternyata aku kaukentuti! Kau hina! Kau iudahi! Hm... baiklah. Ibumu berada dalam lingkungan kami. Tapi tak usahlah kau khawatir. Aku akan memerintahkan beberapa orang mengantarkan
ibumu pulang ke kampung halamannya dengan selamat, sebagai balas jasa kami bangsa Belanda terhadap keberanianmu melindungi Willem Erbefeld. Inilah kata-kataku. Kata-kata seorang lakilaki. Dan kata-katanya seorang laki-laki seumpama gunung tegak meraba permukaan udara.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tapi... semenjak itu, putuslah hubungan kita. Antara aku dan engkau tiada lagi perhitungan balas budi. Usahakanlah, agar engkau tak bertemu dengan aku. Kalau pada suatu kali sampai bertemu, jangan sesalkan aku. Karena aku akan menembakmu sebagai seorang laki-laki pengembara yang tiada mempunyai harga untuk dihormati."
Sehabis berkata demikian, ia mengisi pistol-nya. Kemudian ditembakkan ke udara tiga kali berturut-turut sebagai pernyataan sumpah.
Hati Sangaji seperti tersayat-sayat. Bukan ia takut bermusuhan dengan bangsa Belanda. Tapi di sini terjadi persoalan tentang kehor-matan seorang laki-laki. Dan sekaligus me-nyangkut
kehormatan bangsanya. Berkatalah dia di dalam hati: Kata-katanya sedikitpun tak salah. Gcapan seorang laki-laki harganya se-tinggi gunung. Kalau aku semuda ini sudah kehilangan kepercayaan orang, bukankah hidupku tak ubah selembar daun kering yang tiada harganya sama sekali"
Harpa Iblis Jari Sakti 22 Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H Panji Wulung 6

Cari Blog Ini