Bende Mataram Karya Herman Pratikto Bagian 36
"Guru! Guru!" Manik Angkeran terus menerobos masuk ke dalam kamar. Hatinya mence-los tatkala, melihat gurunya terbaring di atas lantai tak berkutik lagi. Cepat ia melompat menghampiri dan segera memeriksa pemapasannya. Napas gurunya berjalan sangat lembut dan nadinya
berdenyut lemah. Sekilas harapan melintas pada lubuk hati pemuda itu.
Segera ia membuat ramuan obat tertentu dan terus dimasukkan ke dalam mulut gurunya.
Pikirnya: "Benar-benar aneh! Guru teracun pula seperti kak Rostika. Aih, sungguh aku anak
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
goblok. Pertapaan sudah kerasukan pengacau, semenjak tadi namun aku belum sadar."
Dengan menggoyang-goyangkan tubuh gurunya, benaknya penuh dengan teka-teki yang susah
memperoleh jawabannya. Tadinya ia menyangka, gurunyalah yang merusak pekerjaannya dengan merunyamkan keadaan orang-orang dan Rostika demi menghindari kemurkaan nenek dari
Karumbi. Tapi setelah topeng orang itu kena dilucuti dan melihat gurunyapun rebah teracun, ia malah jadi pepat tak keru-keruan.
Tak lama kemudian Maulana Ibrahim memperoleh kesadarannya kembali. Begitu melihat Manik
Angkeran, segera bertanya.
"Hai, apakah semuanya sudah terjadi" Alhamdulilah, akhirnya bencana dapat kita lampaui dengan bagus. Tepat pada rencana kita."
Manik Angkeran heran bercampur bingung. Tak mengerti ia maksud.ucapan gurunya. Mau ia
mengira, gurunya mengigau. Sekonyong-konyong gurunya berontak dari pelukannya. Dengan
mata menyala ia berkata tinggi.
"Hai! Hai! Kenapa justru kau yang menolong aku?" Mendengar ucapan gurunya ini, Manik Angkeran bertambah bingung.
"Di manakah paman gurumu" Lekas bilang!" bentak gurunya.
"Paman guru yang mana?" Manik Angkeran tak mengerti.
"Dia ... Tatang Manggala yang mengenakan topeng raut mukaku."
"Ah ..." Manik Angkeran kaget, sepintas lalu ia seperti sudah dapat menebak beberapa bagian.
Tapi... tapi... ia tergagap gagap.
"Tapi bagaimana?"
"Dia tadi memukul aku... lalu akan mencekoki mulut Kak Rostika dengan racun. Karena itu dia kuserang dari belakang punggung. Dia jatuh. Topengnya terbuka... lalu... lalu lari turun gunung
..." "Anak tolol!" bentak Maulana Ibrahim. Berbareng dengan ucapannya, orang tua itu melompat berdiri dan menggampar pipi Manik Angkeran pulang balik sampai menjadi be-ngap.
Tamparan itu benar-benar tidak terduga. Manik Angkeran tak bisa mengelak. Tak
mengherankan, bahwa matanya menjadi berkunang-kunang dan serasa ia hampir jatuh pingsan.
Tiba-tiba terdengar suara bentakan seorang wanita.
"Kau pengapakan adikku?"
Dialah Rostika yang muncul di belakang Manik Angkeran dengan membawa pedang terhunus.
Melihat kedatangan Rostika, bentaknya dan ancamannya, Maulana Ibrahim seperti tak
menggubris. Mukanya nampak menyesal luar biasa. Sekali bergerak ia menerkam perge-langan tangan Manik Angkeran, kemudian dibawanya keluar ke serambi depan. Di sana ia
menghempaskan diri di atas bangku panjang yang terbuat dari lonjoran bambu.
"Memang sudah nasib... memang sudah nasib..." ia bergumam berulang kali.
Sambil meraba kedua pipinya yang panas pedas, Manik Angkeran mengawaskan gurunya. Hati
dan benaknya jadi sibuk tak keruan.
"Guru!" Akhirnya dia memberanikan diri untuk berbicara. "Benar-benar aku tak mengerti apa yang sudah terjadi."
"Kau memang anak tolol dan sembrono. Justru kesemberonoanmu inilah yang merusak rencana kita berdua dengan sekaligus," Maulana Ibrahim menggerutu. Ia menghela napas dalam. Akhirnya setelah berdiam sejenak, ia kemudian berkata agak sabar: "Baiklah ... apa boleh jadi. Nasi sudah menjadi bubur. Menyesalpun tiada guna lagi," setelah berkata demikian mendadak pandangnya berubah menjadi lembut. Ia mengamat-amati kedua pipi Manik Angkeran dan berkata penuh
perasaan, "Sakitkah kedua pipimu?"
Sebenarnya, Manik Angkeran rnasih merasakan panas dan pedas, namun melihat perubahan
gurunya dari bergusar menjadi sabar diam-diam ia bersyukur dalam hati. Maka sahutnya ringan:
"Tak apalah guru menampar kedua pipiku. Muridmu yang tolol yang sudah merusak rencana kerja guru, patut menerima hukuman lebih berat lagi."
"Tidak! Tidak! Akupun akan berbuat seperti engkau juga, sekiranya menghadapi soal ini," ujar Maulana Ibrahim di luar dugaan. "Duduklah! Mana tadi yang kau sebut kakak?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Manik Angkeran tahu, dialah Rostika. Dengan mata ia memberi isyarat agar Rostika datang
menghampiri. "Kau anak murid Edoh, bukan?" Maulana Ibrahim menegas.
Rostika tak segera menjawab. Hatinya masih penuh teka-teki. Namun demikian, ia
menyarungkan pedangnya sambil mengangguk.
"Hm." Maulana Ibrahim menghela napas dalam lagi. Setelah memerintahkan Rostika mengambil tempat duduk, ia berkata mulai:
"Kau dilukai pula oleh seorang nenek dari pegunungan Karumbi, bukan" Dialah adik
seperguruanku. Semasa mudanya, dia bernama Diah Kartika. Seorang wanita cantik jelita tak ubah bintang kejora."
Meskipun dari angkatan muda, sedikit banyak Rostika sudah mendengar hal itu dari keterangan gurunya. Itulah sebabnya ia tidak menunjukkan suatu perubahan. Sebaliknya tidaklah demikian halnya dengan Maulana Ibrahim. Begitu menyebut nama Diah Kartika, mulutnya menyungging
senyum manis dibarengi dengan nyala mata berseri. Tapi hanya sekejap. Setelah itu meredup kembali.
"Kami bertiga mewarisi kepandaian guru yang dapat diandalkan. Aku mewarisi ilmu ketabiban.
Tatang mewarisi ilmu tata pemerintahan. Dan Diah Kartika ilmu sakti tata berkelahi. Kami bertiga berjanji akan saling membahagiakan serta tidak mencampuri urusan kami masing-masing.
Sekarang murid Ratu Fatimah merusak keluarga Diah Kartika. Itulah Edoh Permanasari. Sudah barang tentu tidaklah salah bila Diah Kartika menuntut dendam kepada kami berdua. Sebab kami berdua adalah penasihat-penasihat serta pembantu almarhum Ratu Fatimah."
Mendengar kata-kata Maulana Ibrahim, tak terasa Rostika mengeluh dalam hati. Sepak terjang gurunya memang agak keterlaluan. Itulah gara-gara cerita asmara saja.
"Nasib Diah Kartika memang kurang baik," Maulana Ibrahim melanjutkan. "Suaminya gugur dalam suatu pertempuran. Lalu kami berdua Tatang dan aku mengambil keputusan
mengmundurkan diri dari semua kegiatan pemerintahan. Demikianlah, maka Tatang kembali ke Malingping dan aku berada di sini me^ lanjutkan amal hidupku. Untuk berpuluh tahun lamanya, kami berdua aman tenteram. Meskipun dalam hati, kami ikut berduka-cita atas nasib Diah Kartika yang buruk. Aih ... tak tahunya, karena gara-gara Edoh Permanasari, kini kami berdua terdorong ke pojok," ia berhenti sebentar. Melanjutkan, "Sebelum orang- orang itu tiba di sini, Tatang Manggala sudah berada di dalam kamar, la memberitahukan tentang maksud Diah Kartika.
Dengan dalih memasuki olah semadi, dapatlah aku berunding dengan Tatang. Kau tak pernah
melihat paman gurumu, bukan?"
Manik Angkeran menggelengkan kepala.
"Bagus!" ujar Maulana Ibrahim cepat. "Sebenarnya bagus rencana itu. Buktinya kau tak pernah melihat pamanmu."
"Rencana apa, guru?" Manik Angkeran minta keterangan.
"Kami berdua sudah mengambil keputusan takkan mengobati apalagi menyembuhkan mereka yang menderita luka, demi kebaikan perhubungan kami bertiga. Sebab antara kami berdua dan Diah Kartika terjadi suatu jurang dalam di luar kemampuan kami sendiri. Itulah perkara
perjuangan hidup. Kami berdua berada di seberang Ratu Fatimah. Diah Kartika berada di pihak Ratu Bagus Boang. Di luar dugaan kau sudah mengobati anak-murid Edoh Permanasari yang
justru menjadi pokok persoalan. Sudah barang tentu, aku kena gugat Tatang Manggala. Sebab ada beberapa anak muridnya yang menderita luka. Bukankah anak-murid Tatang Manggala
berbicara denganmu di depan kamarku?"
"Benar. Merekalah Hamid dan Suria," sahut Manik Angkeran menyesal.
"Maka terpaksalah aku berlaku adil. Kukisiki engkau bagaimana caramu menolong mereka.
Setelah itu semalam aku merusaknya lagi. Rupanya Tatang Manggala minta keadilanku. Dengan menyamar sebagai diriku, diapun lantas meracun anak murid Edoh Permanasari. Tapi ... tapi ...
engkau telah menolongnya kembali. Dengan demikian, timbullah amarah Tatang Manggala. Aku disuruh memilih: engkau kubunuh atau dia membunuh anak murid Edoh. Aku tak dapat memberi keputu-san dengan segera. Sebab kulihat antaramu dan anak-murid Edoh agaknya pernah terjadi suatu perhubungan mirip satu keluarga. Akhirnya setelah berjam-jam merenungkan hal itu, aku menemukan suatu jalan. Aku memberinya semacam racun yang dapat membius seseorang sampai
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
lima jam lamanya. Waktu lima jam cukuplah sudah untuk mengelabui Diah Kartika. Sebab dia akan tiba tepat menjelang cerahnya matahari. Apabila dia melihat aku telah mati membunuh diri, pastilah hatinya sudah menjadi puas. Terlebih-Iebih apabila dia melihat pula mayat Tatang Manggala, murid-muridnya, orang-orang yang dilukai, anak-murid Edoh Permanasari dan engkau sendiri. Adikku seperguruan Diah Kartika memang aneh wataknya. Dia tidaklah bisa dipersamakan dengan manusia umum. Manusia berbuat begini, dia berbuat begitu. Manusia berpikir begini, dia berpikir begitu. Sekali dia memberi ancaman, takkan mau sudah, sebelum yang diancamnya mati ketakutan sendiri."
"Apakah maksud guru, bibi tak pernah membunuh orang?" Manik Angkeran menegas.
"Selamanya belum pernah ia membunuh orang. Tapi sering mengadakan pembunuhan," sahut Maulana Ibrahim cepat.
"Dengan jalan melukai?"
"Tidak hanya itu. Yang terpenting, ia memaksa korbannya mati karena ketakutan sendiri."
"Ah," Manik Angkeran dan Rostika kaget berbareng.
"Dan mati demikian lebih tersiksa daripada dibunuhnya. Kami berdua tidak takut mati. Tapi hati kami benar-benar terharu, apabila maut kami datang dari tangan adikku seperguruan yang kami sayangi semenjak masa mudanya."
Diam-diam Manik Angkeran dan Rostika merasakan keharuan itu. Memang terasa sangat
menyedihkan, apabila orang tua itu terpaksa harus mati oleh tangan adik seperguruannya sendiri.
"Apakah hal ini tidak dapat diterangkan?" Rostika mencoba. "Sebab terjadinya peristiwa ini bukankah akibat perbuatan guruku yang memang agak keterlaluan?"
"Hm," dengus Maulana Ibrahim. "Kalau saja Diah Kartika adalah manusia lumrah yang bisa diajak berbicara, masakan kami berdua tidak mempunyai pikiran demikian?"
"Sekarang belum lagi terang tanah," kata Manik Angkeran. la seperti menemukan suatu jalan sehingga suaranya jadi bersemangat. "Biarlah guru mengulangi minum obat racun pembius itu.
Aku yang nanti akan menyembuhkan kembali."
"Macam ramuan racun tersebut belum pernah kuajarkan kepadamu. Tetapi aku mempunyai
catatannya. Kelak engkau dapat membuat sendiri. Sekarang tak sempat lagi. Sedangkan racun itu terbawa kabur paman gurumu. Bukankah engkau yang membuat paman gurumu kabur turun
gunung?" Mendengar ujar gurunya, Manik Angkeran tergugu. Terpukulnya Tatang Manggala memang
datang daripadanya. Tapi kalau dikatakan dialah yang memukulnya sampai bisa jatuh jungkirbalik, tidaklah benar seluruhnya. Soalnya kini, sulit untuk diterangkan,
Sangaji yang berada di atas atap tahu akan kesulitan itu. Ia menyesali diri apa sebab bertindak hanya menuruti luapan hati saja. Tapi siapa mengira, bahwa di dunia ini banyak terjadi suatu peristiwa yang sangat berbelit dan berada di luar kewajaran. Sangaji adalah seorang ksatria tulen.
Semua gerak-geriknya, sepak-terjang serta pengucapan hatinya selamanya berterus-terang.
Gamblang terang tiada berbelit-belit. Karena itu ia mengukur semuanya dengan bajunya sendiri.
"Aku ini memang anak tolol," pikirnya dalam hati. "Baiklah mulai detik ini aku bersikap akan menonton sampai semuanya selesai."
Memikir demikian, ia berjanji sepenuhnya. Janji bagi Sangaji tak ubah seperti suatu sumpah.
Dan ia akan menepati janji itu, biar
nenek bongkok itu kemudian menaburkan renceng baja berbintang tiga. Masing-masing
mendapat bagiannya bagaimana akibatnya. Sekilas pandang tidaklah tercela sama sekali. Tetapi kenyataannya nanti dia akan menyesal sepanjang hidupnya. Sebab di luar dugaan lagi, ia akan menghadapi suatu soal yang terjadi dengan mendadak dan sama sekali tidak masuk akal.
Manik Angkeran menjadi perasa kini. la seolah-olah merasa diri menjadi pangkal akan
terjadinya bencana. Selagi berenung-renung terdengarlah suara batuk di kejauhan, la melihat Rostika kaget sampai wajahnya menjadi pucat. Tatkala melemparkan pandang kepada gurunya, orang tua itu terus berkata:
"Apa yang terjadi dengan diriku, kau tak usah memikir berkepanjangan, Manik Angkeran! Kau adalah muridku satu-satunya. Aku hanya bisa mewarisi segebung buku catatan ilmu ketabiban dan racun. Ambillah nanti. Kusimpan di bawah tiang kanan tempat tidurku. Gali! Kelak amalkan."
"Guru akan ke mana?" Manik Angkeran memotong.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Dengarkan! Sekarang tak ada tempo lagi. Lihat! Di tanganku ada sebuah pil. Inilah pil perguruan kami yang berisi racun tiada duanya di dalam dunia. Selama hidupku aku mencoba menyelidiki cara mengatasinya, tapi tak berhasil juga guru dahulu bersabda, siapa di antara kami bertiga merupakan sebab musabab terjadinya suatu kesalahan, harus menelan pil ini..."
"Bagus! Nah telanlah!" Terdengar suara menungkas. Dialah Nenek Karumbi. Diah Kartika.
Batuknya tadi masih terdengar jauh. Tapi dengan tiba-tiba saja sudah berada di belakang
punggung Manik Angkeran. Bisa dibayangkan betapa cepat gerakannya.
Dengan tersenyum pahit, Maulana Ibrahim menelan pil itu tanpa berbicara meski sepatah
katapun. "Hai! Kau telan benar-benar?" Diah Kartika berkata dengan berbatuk-batuk.
"Diah! Kau masih seperti dahulu juga. Masih mau menang sendiri," sahut Maulana Ibrahim.
"Bukankah aku dan Tatang sudah merasa takluk semenjak dahulu?"
Batuk nenek dari pegunungan Karumbi bertambah-tambah sesak. Rostika bergidik. Teringat dia sewaktu batuk nenek itu bertambah menghebat. Sekonyong-konyong ia mengambil tindakan di
luar dugaan. "Di antara kita bertiga, engkaulah yang mewarisi ilmu sakti guru. Sebab engkaulah satu-satunya murid perempuan," kata Maulana Ibrahim lagi. 'Tapi pernahkah engkau mendengar pesan guru?"
Lagi-lagi Diah Kartika meningkatkan batuknya, ia meraih tangan cucunya.
"Guru rupanya kenal benar akan watakmu. Ramalannya ternyata tepat. Kita berdua dilarang keras untuk melawan meskipun hanya melawan berbicara. Guru berkata kepada kita berdua
begini: Dalam hal ilmu sakti tata berkelahi kamu berdua takkan nempil melawan Diah. Juga dalam hal menggunakan racun serta menolak racun. Sekiranya di kemudian hari ia berbuat kelewat batas terhadap kamu berdua wakililah tangan gurumu. Telan pil ini. Meskipun kamu berdua bakal mati, namun nama perguruan kita akan tetap bersemarak. Kau tak percaya kehebatan dari ramuan
racun pil yang kutelan ini" Hayo cobalah atasi! Kalau kau mampu Diah, aku akan menyembahmu seperti guru sendiri."
Inilah suatu kejadian di luar dugaan Diah Kartika. Sebagai murid, ia kenal akan pil itu. Namun tak pernah mengira, bahwa pil itu sesungguhnya disediakan gurunya untuk menghadapinya.
Dengan terbatuk-batuk, ia mengamat-amati wajah Maulana Ibrahim. Tahulah dia, Maulana
Ibrahim benar-benar telah keracunan hebat. Sepanjang pengetahuannya, tak dapat ia mengatasi.
Maka di dalam hatinya ia merasa sudah kalah. Ia boleh hebat dalam bidangnya, ia boleh sakti.
Namun belum boleh dikatakan sebagai ahli waris ilmu gurunya penuh-penuh. Mau tak mau ia
harus mengakui, pentingnya kerjasama antara saudara sesama perguruan. Samar-samar ia seperti dapat menangkap maksud gurunya sesungguhnya. Dia, Maulana Ibrahim dan Tatang Manggala
akan terpecah dan berpi-sahan berhubung dengan keahlian masing-masing yang berbeda. Namun tidak berarti dapat berdiri sendiri mewakili pamor perguruannya.
Memperoleh pikiran demikian, dengan terbatuk-batuk Diah Kartika berkata kepada cucunya.
"Mahmud! Kau bersembahlah! Dialah eyang gurumu!"
Sebagai seorang ahli racun tahulah dia, bahwa Maulana Ibrahim sudah keracunan hebat dan
tak mungkin dapat tertolong. Maka dalam hati kecilnya ia mengakui, bahwa ilmu kepandaian gurunya berada di atas kepandaiannya sendiri meskipun semenjak keluar dari rumah perguruan sudah mencoba mengembangkan dengan caranya sendiri sesuai dengan bakatnya.
Demikianlah setelah menunggu Mahmud melakukan perintahnya ia berputar memandang alam.
Dibimbinglah tangan cucunya. Kemudian dengan berbatuk-batuk ia berjalan. Nampaknya baru
beberapa langkah. Tahu-tahu suara batuknya sudah berada sejauh se-Ieret cahaya di cakrawala.
Betapa tinggi kepandaiannya dan betapa cepat gerakannya, benar-benar susah terukur.
Tatkala itu kedua kaki Maulana Ibrahim mulai bergerak-gerak. Sebentar saja dia jatuh pingsan.
Melihat keadaan gurunya, Manik Angkeran menangis menjerit-jerit.
"Manik Angkeran!" Rostika berkata. "Tadi kudengar, kau tak boleh memikirkan keadaan gurumu dengan berkepanjangan. Kau diharuskan mengamalkan ilmu sakti gurumu. Cobalah tengok,
macam buku apa yang diwariskan gurumu kepadamu."
Mendengar kata-kata Rostika, Manik Angkeran tersadar. Segera ia masuk ke dalam kamar
persemadian gurunya. Terus saja ia membongkar tempat tidur. Di bawah tiang tempat tidur
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sebelah kanan, ia melihat sebelah kanan, ia melihat sebuah lobang. Setelah dibongkar, terdapatlah segebung buku yang tersusun rapi dalam sebuah kotak terbuat dari besi.
Dengan setengah berlari, ia membuka-buka lembarannya. Sepintas saja tahulah dia bahwa
isinya mengenai rahasia ilmu ketabiban dan pemunahan racun-racun berbahaya.
"Apakah tiada keterangan cara mengatasi racun yang ditelan gurumu tadi?" Rostika menegas.
Dengan gopoh Manik Angkeran mencoba membalik-balik. Tetapi mencari suatu resep di antara ribuan keterangan ilmu ketabiban dan racun, tidaklah mudah. Sementara itu, dia sudah tiba di serambi untuk menengok keadaan gurunya. Ternyata orang tua itu sudah tak bergerak.
Manik Angkeran segera memeriksa urat nadi, jantung dan pernapasan. Semuanya berjalan
sangat lemah. Hidup gurunya tinggal menunggu beberapa detik saja. Melihat kenyataan itu hati Manik Angkeran sedih bukan main. Kembali ia menangis menjerit-jerit sambil memeluk tubuh gurunya. Sekonyong-konyong, terdengar Rostika berkata tinggi.
"Lihat punggung gurumu! Apakah ini... apakah ini bukan ..."
Mendengar ujar Rostika, cepat Manik Angkeran membalik punggung gurunya. Samar-samar
nampak suatu deretan kalimat yang tidak segera dimengertinya: Lihat halaman 427 Jalu garis bawah halaman 14. Tanda-tanda penyeru halaman 47-19-245-24. Lantas pergi jauh, amalkan
kebajikan. Membaca kalimat yang penghabisan itu, se-Ieret cahaya menggelinding dalam lubuk hati Manik Angkeran. Bukankah itu kalimat anjuran" Dasar ia seorang pemuda cerdik, lantas saja dapat menangkap artinya. Segera ia membalik-balik halaman 427. Kemudian halaman: 47 - 19 - 245 dan 24. la merenung sebentar. Menimbang-nimbang. Setelah kalimat-kalimat yang mempunyai tanda-tanda garis bawah dan penyeru digabungkan, mempunyai suatu deretan kalimat ramuan resep
pemunah racun. Hatinya girang dan bersyukur. Terus ia membuka halaman 14. Di sana ternyata: tujuh jam terbangun kembali. Tak membutuhkan pengamatan istimewa.
"Kak Rostika! Benar!" seru Manik Angkeran girang. "Guru rupanya sudah berhasil menemukan pemunah racun perguruannya sendiri. Ini berarti, bahwa sesungguhnya dialah yang berhak
mewakili pamor perguruannya. Dia lebih menang daripada Bibi Diah Kartika atau Paman Guru Tatang Manggala."
"Bagus!" Rostika bersorak girang pula. "Sudah kukira tadi sewaktu beliau menelan pil racun dengan mengulum senyum. Sekarang, lekaslah kaukerjakan! Aku sendiri akan segera berangkat."
Teringat bahwa nenek dari pegunungan
Karumbi itu bisa pergi datang seperti iblis, hati Manik Angkeran bergidik juga. Segera ia menyetujui keberangkatannya Rostika. Kemudian ia memapah gurunya ke dalam kamar.
Benar saja. Baru saja ia rampung menelan-kan ramuan obat pemunah ke dalam mulut gurunya, Diah Kartika sudah terbatuk-batuk di belakang punggungnya.
"Kau hebat bocah!" katanya kering. "Semua anak murid Tatang Manggala tiada berguna.
Mereka pantas mati muda. Tapi kau agaknya kau bisa menolong gurumu. Itulah suatu nasib bagus bagi gurumu. Tapi semenjak ini, kau harus ikut aku mendaki pegunungan Karumbi."
Pada saat itu, berbagai pikiran berkelebat dalam benak Manik Angkeran. Teringatlah dia kata-kata pesan gurunya: Tujuh jam terbangun kembali. Tak membutuhkan pengamatan istimewa.
Lantas pergi jauh, amalkan kebajikan,
Resep pemunah racun perguruannya ternyata diselip-selipkan di antara halaman-halaman
tertentu. Ini berarti, bahwa gurunya tidak menghendaki saudaranya seperguruan mengetahui hal itu. Buktinya dia diperintahkan agar pergi jauh. Terang sekali maksudnya. Gurunya tidak
menyetujui dia sampai kena bekuk bibi gurunya.
"Bibi!" ia memberanikan diri. "Tak dapat aku mengikuti engkau."
Diah Kartika terbatuk-batuk.
"Apa sebab" Lihat cucuku ini tidak mempunyai teman. Diapun tiada gurunya, seumpama
berteman dengan salah seorang murid pamanmu Tatang Manggala yang ternyata tak berguna
sama sekali." "Hm," dengus Manik Angkeran. Ia segera dapat menebak maksud bibi gurunya. Teringat bahwa anak itu adalah anak pendekar Kamarudin, timbullah pikirannya: Dia pasti bermaksud hendak mewariskan, seluruh ilmu saktinya, Melihat suatu kenyataan bahwa ilmu ketabiban guru tidak boleh diremehkan, maka timbullah niatnya hendak menawan aku. Dia bisa memaksa aku agar
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mewariskan ilmu guruku kepada bocah ini. Sebaliknya belum tentu, dia mengizinkan aku
mempelajari ilmu saktinya. Memperoleh pikiran demikian dia membentak, "Bibi bukan orang baikbaik. Tak sudi aku ikut."
"Di atas pegunungan segala yang kau sukai akan kusediakan dengan lengkap. Makan, minum, perlengkapan-perlengkapan ilmu ketabiban dan semuanya," tungkas Diah Kartika. "Marilah, kau ikut bibimu. Kutanggung engkau takkan terlantar hidupmu."
Sekonyong-konyong Manik Angkeran memutar tubuhnya dan terus lari keluar ke halaman. Tapi baru saja menginjak halaman, nenek bongkok itu sudah menghadang di depannya. Manik
Angkeran tercengang. Sekali lagi ia mencoba menerobos melesat melalui samping. Tapi seperti tadi, si nenek tua sudah menghadang di depannya.
"Bocah! Namamu siapa" Hayolah ikut aku! Dengan pertolonganmu, ilmu perguruan kita akan manunggal seperti kakak guruku dahulu. Dan tidak terbagi-bagi menjadi tiga bagian," kata Diah Kartika membujuk. "Pamanmu Tatang Manggala, biarlah berada di luar. Tak perlu Mahmud belajar tata pemerintahan segala. Toh akhirnya cuma menjadi begundal boneka kompeni Belanda."
Dihadang demikian, timbullah rasa gemas dalam hati Manik Angkeran. Terus saja ia
mengayunkan tinju. Nenek dari pegunungan Karumbi tidak menangkis atau mencoba mengelak. Ia hanya meniup. Tapi akibatnya hebat luar biasa. Pergelangan tangan Manik Angkeran seperti kena tersambar besi. la kaget setengah mati. Tak dikehendaki sendiri, ia memekik kesakitan sambil meloncat mundur.
"Tak berguna kau berusaha akan menjauhi aku," kata Diah Kartika. "Gurumu sendiri, tidak mampu. Kalau aku mau memaksa, gurumu bisa kubawa ke pegunungan. Tapi melihat engkau
mewarisi seluruh ilmu ketabiban gurumu, bukankah sudah cukup membawa dirimu saja. Lagipula kau lebih sesuai dengan umur cucuku. Dan gurumu ... biarlah menikmati sisa hidupnya. Aku berjanji takkan mengusik-usiknya lagi. Juga paman gurumu. Nah, bukankah beradamu di atas pegunungan Karumbi berarti membuat jasa besar terhadap guru dan paman gurumu?"
"Bibi benar-benar bukan orang baik. Tak sudi aku ikut!" Jerit Manik Angkeran. Sekali lagi ia menghantamkan tinjunya. Tapi lagi-lagi ia kena tiup sampai terpaksa menjerit-jerit kesakitan.
Sekonyong-konyong muncullah Rostika, dengan menggandeng Atika. Berkata nyaring, "Kau pengapakan dia?"
Dengan memutar tubuh, Diah Kartika memelototi Rostika dengan kelopak matanya yang
keriputan. "Aha, kiranya kau masih belum mati" Kau anak murid bangsat Edoh Permanasari sudah
kubiarkan hidup, bukankah suatu karunia" Mengapa kini malah ikut mencampuri uru-sanku"
Mari... mari ingin kumengerti apa sebab sampai hari ini kau masih bisa hidup bernapas."
Betapapun juga, Rostika adalah anak-murid Edoh Permanasari. Meskipun merasa diri tak bakal menang, namun ilmu sakti warisan Ratu Fatimah bukan pula ilmu sakti ilmu picisan. Dengan pelahan-Iahan ia meletakkan Atika di atas tanah. Kemudian berkata kepada Manik Angkeran,
"Adikku Manik Angkeran! Kalau aku sampai mati, bawalah Atika ke mana saja kau pergi. Kau berjanji?"
Tepat pada saat Manik Angkeran mengangguk, terdengar suara Diah Kartika mengguntur.
"Kurangajar! Kau anggap apa aku ini" Masakan aku akan membiarkan buyungmu tinggal hidup untuk kaubiarkan mengganggu ketenteraman kita" Mana bisa?"
Dengan terbatuk-batuk sesak, Diah Kartika sudah akan bergerak. Sekonyong-konyong ia
mendengar suara seorang wanita lain.
"Rostika! Kenapa takut" Kau pengecut?"
Terkejut dan girang rasa hati Rostika. Sebab ia segera mengenal suara itu. Terus saja dia berseru."Guru!"
Dia memutar kepalanya. Namun tiada sesosok bayanganpun nampak di depan penglihatannya.
Baru setelah melayangkan mata beberapa saat lagi, muncullah seorang wanita cantik setengah umur. Dialah Edoh Permanasari, pewaris ilmu sakti Ratu Fatimah. Di belakangnya berjalan empat orang muridnya. Semuanya terdiri dari wanita.
Tadi sewaktu berbicara jaraknya masih jauh. Tapi begitu lenyap kumandang suaranya,
orangnya sudah berada di halaman pertapaan. Betapa cepat gerakannya Edoh Permanasari, diamdiam Diah Kartika menaruh perhatian juga.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dua puluh tahun yang lalu, nama Edoh Permanasari tidaklah setenar sekarang. Hal itu
disebabkan karena dia belum muncul dalam gelanggang percaturan. Tetapi setelah membuat
suatu kegemparan dengan membunuh tiap orang yang tidak berkenan di hatinya, barulah
namanya disebut orang. Dia lantas terkenal sebagai seorang iblis wanita dari Banten.
Rostika segera berlutut di depan gurunya. Berkata takzim, "Guru masih nampak segar bugar."
"Ya, tentu. Paling tidak, gurumu takkan mati oleh perbuatanmu yang tak senonoh."
Rostika tak berani menegakkan kepalanya. Ia tahu ke mana tujuan kata-kata gurunya itu.
"Rostika!" kata Edoh Permanasari. "Nenek bongkok tadi bertanya padamu, apa sebab kau masih bisa hidup bernapas. Nah hampiri-Iah dia! Bilang, dia mau apa?"
Tanpa beragu sedikitpun, Rostika terus memutar menghadap Diah Kartika. Tadi memang ia
sudah mengambil keputusan hendak melawan nenek itu sedapat-dapatnya. Kini di belakang berdiri gurunya. Keruan saja, hatinya bertambah tabah. Maka dengan langkah tenang ia menghampiri Diah Kartika.
Nenek dari pegunungan Karumbi itu ber-batuk-batuk beberapa kali. Suatu tanda bahwa hatinya bergusar. Sekali mengerling ia berkata nyaring kepada Edoh Permanasari.
"Hm... jadi kaulah pewaris Ratu Fatimah" Jadi kaulah pembunuh keluarga anakku. Bagus. Aku sudah menghajar muridmu. Lantas kau sekarang mau apa?"
"Bagus sekali hajaranmu, sampai pundak dan lengannya belum pulih seperti sediakala," sahut Edoh Permanasari tajam. "Kau hajarlah sekali lagi sampai mampus. Itupun bukan urusanku."
"Guru!" Rostika mengeluh dalam hati. Dia sangat sedih dan pepat. Benar-benar gurunya hendak menghukum dirinya, karena perkawinannya dengan Suhanda seorang anggota Himpunan
Sangkuriang. Tak terasa air matanya bercucuran.
"Aku tak bermusuhan langsung dengan dia. Sebaliknya kalau kau menyatakan takluk pula kepadaku, perkara ini kuhabisi sampai di sini saja," kata Diah Kartika. "Mahmud! Lihatlah yang betul! Dialah musuh keluargamu."
Salah seorang murid yang berdiri di belakang Edoh Permanasari melesat maju sambil menarik pedangnya, la tak tahan mendengar gurunya direndahkan oleh seorang nenek keriputan.
"Kau nenek bosan hidup. Hayo lawanlah dahulu lda Kusuma!"
Dengan berbatuk-batuk, Diah Kartika mengibaskan tangannya. Tiba-tiba saja pedang lda
Kusuma sudah terpatah menjadi tiga bagian.
"Ya, nampaknya sebatang besi karatan, Nek," sahut Mahmud.
Bukan main terkejutnya lda Kusuma. Di dalam perguruannya, dialah murid tertua. Ilmu saktinya hanya dua tingkat di bawah gurunya. Tapi menghadapi seorang nenek reyot, ternyata sama sekali tak berdaya. Entah ilmunya tiada harganya atau entah ilmu sakti nenek itulah yang terlalu hebat.
Dengan langkah perlahan, Edoh Permanasari mendekati lda Kusuma. Kemudian dengan sekali
sambar ia merenggut sarung pedang muridnya yang terbuat dari besi baja. Kena sambarannya, sarung pedang itu pecah berantakan berkeping-keping.
Diam-diam Diah Kartika terkesiap menyaksikan tenaga sakti Edoh Permanasari. Pikirnya, benarbenar tak boleh diremehkan ilmu kepandaiannya. Pantaslah, banyak pendekar-pendekar utama mati di tangannya.
"Anakku sudah kau bunuh mati. Cucuku sudah kauhabisi sampai ludes. Tinggal seorang ini,"
Diah Kartika tertawa terkekeh. "Anakku Kamarudin mungkin sekali enggan berlawanan denganmu.
Hari ini terpaksa aku mengambil tindakan. Sayang kau bukan menantuku ..."
Suatu hal yang paling dibenci oleh Edoh Permanasari ialah, apabila seseorang meng-ungkat-ungkat kembali peristiwa asmaranya dengan Kamarudin. Kini bahkan ibu Kamarudin sendiri yang berkata demikian. Keruan saja, ia terus membentak:
"Keluarkan senjatamu!"
Selama Rostika berguru, belum pernah menyaksikan gurunya bergebrak dengan orang. Dia
hanya mendengar kabarnya saja-. Lawan gurunya kali ini adalah nenek dari pegunungan Karumbi yang sudah mempunyai nama besar semenjak mudanya. Tidaklah mengherankan, bahwa hatinya
jadi berdebar-debar. "Edoh! Kau murid Ratu Fatimah yang termasyhur memiliki pedang pusaka Banten" Sangga Buwana"hayo keluarkan! Ingin kulihat, tinggal berapa bagian ilmu sakti Ratu Cabul itu!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ratu Fatimah pada masa remajanya, adalah isteri seorang letnan VOC.16) Kemudian dengan
caranya sendiri berhasil memikat hati. Sultan Banten, sehingga bisa diangkat menjadi permaisuri.
Dalam akhir hidupnya, diapun berhasil menggeser isteri calon raja (putera mahkota). Bahkan lantas menjadi permaisuri raja baru bekas anaknya. Karena itu, tidak mengherankan bahwa
namanya sangat buruk di mata rakyat. Kalau ia kini dijuluki ratu cabul oleh Diah Kartika, sesungguhnya tidaklah terlalu salah. Namun sudah barang tentu, murid Ratu Fatimah tidak bisa menerima penghinaan itu. Apalagi Edoh Permanasari adalah seorang wanita yang benci kepada macam cerita asmara. Seketika itu juga, ia menggerung ber-gusar.
"Sekalipun aku belum mewarisi seluruh ilmu kepandaian guru, namun cukup buat menyumpal mulutmu yang kotor. Kau percaya, tidak?"
"Hm. Boleh coba!" sahut Diah Kartika dengan berbatuk-batuk.
Sekali bergerak, tangan Edoh Permanasari sudah menggenggam sebatang pedang. Dan melihat
pedang itu, Diah Kartika kecewa.
"Pedang macam begitu bisa mengapakan aku" Mana pedang Ratu Fatimah?"
Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Untuk membunuh binatang tua, masakan perlu mengotori pedang Kerajaan Banten?" Edoh Permanasari menyahut tajam.
Dengan mata tak berkedip, Diah Kartika mengawasi ujung pedang, Sekonyong-konyong
tongkat bajanya menyodok ujung pedang. Berbareng dengan itu, ia melesat ke samping.
Edoh Permanasari bukannya lda Kusuma atau pendekar-pendekar anak murid Tatang Manggala
yang mudah diingusi. Ia seorang wanita jantan pewaris ilmu kepandaian Ratu Fatimah yang
termasyhur di seluruh Jawa Barat. Dengan memekik ia memutar pedangnya. Tiba-tiba berkelebat dan pedangnya sudah menusuk pundak Diah Kartika.
Dengan berbatuk-batuk Diah Kartika menggeser tubuhnya. Tongkat bajanya diangkatnya
seakan-akan hendak menangkis, tapi benar-benar Edoh Permanasari bukan makanan empuk
baginya. Dia tak dapat dike-cohnya. Pewaris Ratu Fatimah itu sekonyong-konyong menggeser tubuhnya pula. Tahu-tahu sudah berada di belakang punggung dan terus menusuk. Tapi tanpa menoleh Diah Kartika menyabetkan tongkat bajanya ke belakang membentur punggung pedang.
Trang! Keduanya sama-sama tokoh pendekar wanita tingkatan atas pada zaman itu. Setelah lewat
empat lima jurus, masing-masing mengagumi lawannya.
Sekonyong-konyong terdengar suara nyaring. Itulah benturan hebat antara tongkat baja Diah Kartika dan pedang Edoh Permanasari. Dalam benturan itu, pedang Edoh Permanasari patah kena tenaga Diah Kartika.
Kecuali si bocah Mahmud, semua yang menonton di luar gelanggang terkejut menyaksikan
kejadian itu. Tongkat Diah Kartika adalah tongkat mustika. Nampaknya hanya terbuat dari baja putih. Tapi sebenarnya mempunyai bahan campuran lebih dari itu. Betapa tajam senjata lawan, begitu kena benturan pasti patah dengan sekaligus.
Diah Kartika sadar akan tingkatan dirinya. Dia tak mau menggunakan kesempatan itu untuk
mendesak Edoh Permanasari agar mengaku kalah. Ia tahu meskipun Edoh
Permanasari tingkatannya berada di bawahnya (sebab dia murid Ratu Fatimah) patahnya
pedang bukan berarti kalah. Itu hanyalah suatu kecelakaan belaka. Maka dengan menekan
tongkatnya ke tanah, ia berbatuk-batuk menunggu perlawanan selanjutnya.
"Sudah kukatakan tadi, bahwa engkau harus mengeluarkan pedang pusaka Sangga Buwana.
Pedang karatan semacam tadi bisa berdaya apa terhadapku?" katanya tenang-tenang.
"Benar. Tak kukira bahwa hantaman tenagamu sangat kuat. Pantaslah engkau disegani orang semenjak dahulu. Bukankah engkau yang terkenal dengan sebutan nenek bongkok dari
pegunungan Karumbi murid sang perwira Sadewata?"
Diah Kartika terus terbatuk-batuk seolah-olah tidak menggubris ucapan Edoh Permanasari. Ia bersikap menunggu.
Edoh Permanasari kemudian membuka baju luarnya ia menarik sebatang pedang yang terselip
di pinggangnya. Pedang itu sama sekali tidak menarik. Nampaknya kuno dan tiada mempunyai perbawa apa pun juga.
Selama hidupnya, Edoh Permanasari tak pernah mau mengalah terhadap siapapun juga. Tapi
kali ini, dia bersikap lain meskipun berhadapan dengan beberapa muridnya. Hal ini ada sebabnya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tadi sewaktu menangkis ayunan tongkat nenek dari Karumbi ia sudah mengerahkan seluruh
tenaganya. Namun masih saja dia bergoyang-goyang. Itu suatu tanda, bahwa tenaganya masih kalah. Memikir demikian, hatinya bergidik.
"Rostika, ke mari!" kata Edoh Permanasari kemudian.
Rostika hendak bergerak, tiba-tiba mendengar Atika memanggil-manggil. "Ibu ...! Ibu ...!"
Rostika menoleh. Melihat anaknya datang tertatih-tatih, segera ia berkata membujuk.
"Atika! Kau dolan dengan paman Manik Angkeran! Tuuu dia!"
Tanpa menunggu reaksi Atika, Manik Angkeran sudah datang menggendongnya. Untung, Atika
seorang anak penurut. Dahulu ia menurut saja tatkala digendong Sonny de Hoop, meskipun gadis itu seorang Indo Belanda yang berkulit menyolok.
Rostika dibawa gurunya berteduh di bawah sebatang pohon yang berdiri di seberang
pertapaan. Setelah berdiri tegak beberapa saat, terdengar Edoh Permanasari berkata agak segan,
"Rostika! Kau kawin dengan seorang anggota musuh kita turun-temurun. Cobalah berbicara terus-terang, apakah sebab musababnya."
"Guru," sahut Rostika terputus-putus. "Aku seorang murid yang ... aku seorang murid ..."
"Ida!" Edoh Permanasari memotong perkataannya.
Mendengar panggilan gurunya, Ida Kusuma datang dengan langkah tenang. Dia seorang murid
tertua. Perawakan tubuhnya bagus tiada cela. Matanya tajam beralis lentik. Parasnya lembut seperti Rostika. Hanya warna kulitnya lebih putih seakan-akan dia mempunyai darah Tionghoa17).
"Murid menghadap Guru," katanya lembut.
"Adikmu ini mempunyai kesukaran untuk berbicara dengan terus terang. Cobalah bujuk agar dia bisa berbicara baik," kata Edoh Permanasari.
Dengan menarik napas selintasart ia menoleh kepada Rostika. Kemudian berkata kepada
gurunya. "Rostika sudah beranak. Hanya sayang, suami pilihannya justru seorang lawan. Lagi pula kawin, bagi murid guru merupakan suatu pantangan. Kita patut menyesali."
"Aku menyuruh engkau membujuk adikmu agar berbicara baik mengapa justru engkaulah yang berbicara begini banyak?" tungkas Edoh Permanasari tak senang.
Ditegur gurunya, Ida Kusuma terdiam. Kembali ia menoleh kepada adik seperguruannya.
Tatkala itu, Rostika sedang menundukkan kepala.
"Cobalah kau berkata sebenarnya, apa sebab sampai kawin dengan seorang musuh," desak Ida Kusuma.
Rostika berdiam menimbang-nimbang. Kemudian berkata menentang paras gurunya.
"Guru! Rostika memang seorang murid yang tak tahan kena godaan sampai akhirnya berumah tangga dengan seseorang yang kebetulan menjadi anggota lawan. Namun selama ini, belum
pernah Rostika mengkhianati perguruan. Juga suamiku tak pernah menyinggung-nyinggung hal itu. Bahkan dari fihak suamiku, seringkah kami memperoleh gangguan."
"Hm" dengus Edoh Permanasari. "Kaupun kini merasa pula kami ganggu, bukan?"
"Tidak! Aku justru mengharapkan bahwa pada suatu kali Guru akan mengampuni aku."
Edoh Permanasari mengamat-amati wajah muridnya. Setelah beberapa saat berdiam diri, lantas berkata: "Rostika! Kaulah sebenarnya murid yang kuharapkan. Kaulah sebenarnya murid yang kelak akan kupercayai merawat pedang mustika kakek gurumu. Kau ingin kami terima kembali sebagai cucu murid Ratu Fatimah atau tidak?"
Mendengar ujar gurunya yang tak terduga itu, pandang mata Rostika berseri-seri. Pada saat itu pikirannya melayang kepada suaminya. Pikirnya dalam hati, kak Suhanda mencintai aku tak
pernah dia mengganggu gugat asal diriku. Bahkan selalu siap melawan gangguan dari
golongannya sendiri. Kalau aku diterima kembali sebagai murid, aku akan dipersenjatai pedang mustika Sangga Buwana yang tak ada taranya. Dengan begitu, bukankah aku bisa menjaga diri tanpa bantuan siapapun juga" Memikir demikian terus saja ia menyahut, "Guru! Tak ada suatu kebahagiaan lain daripada bisa diterima sebagai murid guru kembali."
"Bagus! Apakah sumpahmu?"
"Biarpun diperintah Guru untuk menyeberangi lautan api Rostika takkan mundur."
"Sebaliknya bila membangkang atau menolak, apakah yang akan kaulakukan?"
"Guru boleh mencincang badanku sampai mati. Atau membunuh aku dengan siksaan macam
apa saja," Rostika meyakinkan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Baik. Mari, kau ikut aku!" perintah Edoh Permanasari.
Dengan membimbing tangan Rostika, Edoh Permanasari membawanya mendaki ke sebuah
gundukan yang berada di tengah lapangan terbuka. Di atas gundukan itu, ia berdiri tegak
merenungi matahari yang lagi tersembul di udara.
Sangaji yang selama itu berada tak jauh dari mereka berdua, menghadapi suatu kesukaran. Tak dapat lagi ia mendekati mereka berdua. Kecuali mereka berada di atas sebuah ketinggian di tengah lapangan terbuka, juga matahari sudah memancarkan sinarnya penuh-penuh. Lagi pula sekitar lapangan itu, berdiri beberapa murid-murid Edoh Permanasari yang dengan sendirinya menebarkan matanya.
Edoh Permanasari ini seorang iblis perempuan. Dia bisa membunuh tanpa mengedipkan mata,
pikir Sangaji dalam hati. Teringatlah dia betapa iblis itu dengan serta merta membakar kampung berikut penghuninya tanpa memandang bulu. Tapi Rostika adalah muridnya. Pastilah dia bisa berpikir lain. Tadi dia menggandeng mesra. Betapa besar kesalahan Rostika menurut
penglihatannya, masakan seekor macan betina akan sampai hati mengganyang anaknya sendiri.
Pada saat itu, terbayanglah ketiga gurunya dalam benaknya Wirapati, Jaga Saradenta dan
Gagak Seta. Mereka bertiga memperlakukan dirinya dengan penuh kasih sayang. Dahulu
pernah ia hampir melakukan suatu kesalahan besar terhadap Jaga Saradenta dan Wirapati. Itulah perkara Pringgasakti. Meskipun hanya suatu salah-sangka belaka, namun betapa besar cinta kasih gurunya dapat dilihat sewaktu hendak menjatuhkan hukuman mati kepadanya. Memperoleh
pertimbangan demikian, hatinya jadi tenteram.
Ia melihat, Edoh Permanasari mendekati Rostika dan membisikkan sesuatu. Sangaji lantas saja menajamkan pendengarannya melalui ilmu saktinya yang paling tinggi. Betapa hebat ilmu sakti Sangaji dapat dibuktikan, bahwa pendengarannya masih saja bisa menangkap kata-kata Edoh
Permanasari meskipun hanya diucapkan dengan berbisik dari jarak jauh.
"Kau bunuhlah suamimu! Dan kau boleh pulang kembali ke perguruan seperti sediakala," kata Edoh Permanasari dengan suara angker.
Mendengar perintah gurunya, sejenak Rostika terdiam. Kemudian dengan menundukkan
penglihatan ke tanah ia menggeleng kepala.
"Baik," Edoh Permanasari mempertimbangkan selintasan. "Kalau kau tak mau membunuh suamimu, bunuhlah anak keturunannya."
Sekali lagi Rostika menggelengkan kepala. Pada saat itu Edoh Permanasari mengangkat
tangannya. Terang maksudnya, ia hendak menggablok kepala Rostika. Dan kalau sampai
tangannya menggablok kepala Rostika, hilanglah nyawa murid itu. Tetapi tangan itu tidak
bergerak juga. Tangan itu seperti menunggu. Rupanya masih memberi kesempatan kepada
Rostika untuk mengambil keputusan.
"Kau berkata tidak akan membangkang atau menolak perintahku. Manakah sekarang
buktinya?" bentak Edoh Permanasari.
"Guru," sahut Rostika setengah menangis. "Mereka berdua sudah menjadi darah dagingku.
Darah daging muridmu ..."
Edoh Permanasari menimbang-nimbang sejenak dengan tangannya masih terangkat.
"Baik. Sekarang begini saja. Malam nanti kau berada di samping suamimu di Gunung Cibugis, bukan?"
Rostika mengangguk. "Bagus! Kubatalkan perintahku membunuh suami dan anakmu. Kau senang tidak?" kata Edoh Permanasari.
Rostika tidak menyahut. Hatinya beragu.
"Baik, kau tak menjawab," Edoh Permanasari memutuskan. "Tapi kau masih mau melakukan perintahku, bukan?"
"Tentu, apabila tidak melanggar dasar-dasar kemanusiaan."
"Eh, darimana kau memperoleh kotbah perkara kemanusiaan segala?" bentak Edoh
Permanasari. Ia paling benci terhadap istilah itu seperti yang pernah dinyatakan kepada Inu Kertapati dan Sidi Mantera. Berkata meneruskan, "Baiklah ... itu urusanmu. Sekarang berangkatlah ke Gunung Cibugis. Bawalah tiga buah alat peledak. Pasang di antara mereka dan ledakkan."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Mendengar perintah itu, paras Rostika berubah hebat. Memang perintah itu lebih ringan
daripada melakukan perintah membunuh suami dan anak kandungnya sendiri. Tetapi apabila hal itu dilaksanakan samalah artinya dengan membunuh hari kemudian suaminya. Maka terasalah kini dalam lubuk hatinya, bahwa dia kini bukan lagi Rostika pada zaman gadisnya. Ternyata tak disadarinya ia sudah menjadi sebagian hidup suaminya yang dicintainya.
"Bagaimana?" Edoh Permanasari menegas.
Rostika menggelengkan kepalanya. Tepat pada saat itu, tangan Edoh Permanasari turun
dengan deras. Dan tubuh Rostika terkulai di atas tanah.
Kaget bukan kepalang adalah Sangaji. Mau ia mengira, itulah suatu sandiwara belaka. Suatu sandiwara di hadapan murid-muridnya agar mengesankan sikap keadilan seorang guru. Ia
bersangsi tatkala mendengar suara seram Edoh Permanasari, "Ida! Berangkat!"
Paras muka Ida Kusuma berubah hebat. Dengan pandang bertanya-tanya ia segera
meneruskan perintah gurunya kepada adik-adik seperguruannya. Kemudian berkata mencoba,
"Guru! Terhadap seorang murid yang melanggar angger-angger perguruan memang sudah
sepantasnya guru mengambil tindakan tegas."
"Hm," dengus Edoh Permanasari. "Aku tidak memberi perintah padamu untuk membasmi keturunannya sekali, bukankah sudah pantas?"
"Tentu, Guru. Tentu. Bahkan suatu karunia besar bagi Rostika. Di alam baka, Rostika pasti tahu berterima "kasih," sahut Ida Kusuma dengan suara menggeletar.
Edoh Permanasari memutar tubuhnya. Lantas melesat diikuti murid-muridnya. Sebentar saja
mereka semua tiada nampak lagi bayangannya.
Nenek dari pegunungan Karumbi hanya meniup akibatnya hebat luar biasa. Perge-langan
tangan Manik Angkeran seperti kena tersambar besi membara.
Manik Angkeran mengawaskan kepergian mereka dengan memeluk Atika erat-erat. la seperti
kehilangan dirinya sendiri. Atika masih terlalu kecil untuk mengerti semuanya itu. Dengan mata membelalak, gadis cilik itu mengikuti semua peristiwa yang terjadi di depan hidungnya tanpa berkutik. Barangkali pula ia merasakan suatu ketegangan. Maka ia bergerak merosot ke bawah sambil berseru menuding-nuding.
"Ibu! Ibu!" Oleh seruan itu, Manik Angkeran baru tersadar. Terus saja ia berlari cepat menghampiri tubuh Rostika yang sudah tak berkutik lagi. Melihat keadaan Rostika, ia memeluk Atika bertambah erat.
Sesudah terpaku beberapa saat lamanya, Atika meronta turun dari gendongannya. Lalu menubruk ibunya sambil berteriak memanggil-manggil.
Manik Angkeran segera memeriksa keadaan Rostika. Napas Rostika berjalan sangat lambat dan lemah sekali. Kepalanya remuk kena gablokan Edoh Permanasari. Tahulah dia, bahwa harapan untuk hidup kembali seperti sediakala tidaklah mungkin lagi. Maka dengan menggunakan seluruh kepandaiannya, ia menyadarkan Rostika. Tidakiah sia-sia ia menjadi murid satu-satunya tabib sakti Maulana
Ibrahim. Perlahan-lahan, Rostika menyenak-kan matanya. Melihat Manik Angkeran, bibirnya
bergerak-gerak. Ingin mengucapkan sesuatu, namun yang terbersit dari perasaannya hanya
butiran air mata yang tersembul berbintik-bintik.
Cepat Manik Angkeran memijat urat nadi penghubung ruas kepala untuk menghilangkan rasa
sakit. Benar juga, Rostika terdengar berkata lemah, "Adikku... bawalah Atika kepada ayahnya... Ini ambil..."
Tangan kanannya bergerak ke dadanya. Nampak kelima jarinya meraba-raba. Lalu berhenti.
Dan kepalanya terkulai. Ia mati sebelum jari-jarinya mencapai maksudnya.
Sebagai murid Maulana Ibrahim belum pernah ia menyaksikan maut berpisah di depan
hidungnya. Sebab semua yang minta pertolongan tabib sakti itu, pasti tertolong. Sudah barang tentu hal itu disebabkan karena Maulana Ibrahim sudi mengulurkan tangan manakala mereka yang bersangkutan dapat tertolong nyawanya. Kini dengan mata kepalanya sendiri, ia menyaksikan suatu malapetaka itu. Maut merenggut nyawa Rostika di dalam pelukannya. Hatinya kaget, pepat dan ngeri.
"Ibu...! Ibu....!" Atika terus memanggil-manggil. Sekarang bahkan mulai menangis, karena merasa diacuhkan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tersadarlah Manik Angkeran. Kak Rostika mengharap aku membawa Atika kepada ayahnya.
Tangannya tadi seperti bergerak mencari sesuatu di atas dadanya, katanya dalam hati. Ia melihat sebuah kalung emas berleontin sebutir intan. Terus saja ia melepas kalung itu dari leher Rostika.
Kemudian entah apa sebabnya tanpa berbicara lagi, ia menggendong Atika. Ia turun dari
gundukan tanah terkutuk itu. Mula-mula berjalan seperti seorang linglung. Mendadak linglung benar. Ternyata ia berlari-lari kencang menubras-nubras semak belukar tanpa tujuan tertentu.
Kini berganti Sangaji yang terlongong-longong dengan kepala bingung, heran, terkejut, pedih, kecewa dan geram. Melihat Rostika benar-benar mati dengan kepala remuk, ia jadi menyesali diri sendiri. Kalau saja tadi ia bersiaga menghadapi kemungkinan yang bakal terjadi, pastilah ilmunya yang sangat tinggi itu dapat menolong nyawa Rostika. Tapi siapa mengira, Edoh Permanasari akan membunuh muridnya sendiri"
"Perempuan itu benar-benar iblis terkutuk!" ia memaki dalam hati.
Ia segera menggali liang kubur. Jenasah Rostika dikebumikan dengan berbagai pikiran yang saling datang dan pergi. Pada saat rasa geram menikam dadanya, kakinya menjejak tanah. Terus ia menjejak arah perginya Edoh Permanasari dengan berlari-lari kencang.
Hampir setengah hari penuh, ia berlari-lari mengikuti jejak Edoh Permanasari. Namun bayangan Edoh Permanasari belum juga nampak tanda-tandanya. Tiba-tiba timbullah pikirannya. Edoh
Permanasari seorang perempuan tidak sembarangan. Sebagai iblis ia melatih kewaspadaan jauh lebih cermat daripadaku sendiri. Sudah pasti pula lebih mengenal wilayah ini. Sebaliknya aku seorang asing mengembara di wilayah yang belum kukenal dengan baik. Aku hendak menguntit gerak-geriknya, jangan-jangan malah akulah yang kini dikuntit dan diamat-amati semenjak tadi.
Memikir demikian, ia segera berhenti berte-duh di bawah sebuah pohon. Teringat, bahwa
dalam sehari ini ia menemukan rentetan-ren-tetan peristiwa di luar dugaannya, ia jadi
menyangsikan dirinya sendiri.
Edoh Permanasari sangat licin. Juga semua yang terjadi di pertapaan sukar kutebak dengan sepintas lalu. Baiklah, aku menyesuaikan diri, katanya dalam hati.
Tetapi dia bukan termasuk golongan manusia seperti Gagak Seta atau Ki Hajar Karang-pandan yang sewaktu-waktu bisa bersepak-terjang ugal-ugalan18). Dalam tubuhnya mengalir jiwa ksatria penuh-penuh. Pengucapan hatinya sangat jujur dan mulia. Ia mau menghadapi dunia dengan
kewajarannya. Terang-terangan dan tak sudi dengan jalan berbelit-belit. Karena itu di dalam hal mengadu kecerdikan dan kelicinan, dia bukan tandingan manusia semacam Titisari, Sanjaya atau Edoh Permanasari.
Tatkala itu pendengarannya yang tajam luar biasa mendengar suatu derap kuda di kejauhan.
Tanpa berpikir panjang lagi, ia melesat mendekati. Sekonyong-konyong ia melihat beberapa bayangan berkelebat dan bersembunyi di belakang onggok batu. Cepat ia berhenti melayangkan pandangnya. Ternyata di tanah lapang seluas beberapa hektar sudah penuh dengan orang yang pada mendekam di atas tanah.
39. PENDEKAR-PENDEKAR HIMPUNAN SANGKURIANG
DERAPAN kuda itu makin terdengar nyata. Namun jaraknya masih jauh. Penunggangnya
berpakaian seragam dengan mengenakan tanda pedang silang dan semberani. Jumlahnya lima
orang. Mereka bergerak sangat tangkas dan gesit. Tatkala melihat bekas tapak-tapak orang, hampir berbareng mereka menahan kendali kudanya. Pandang matanya mengembara penuh
selidik. Dan pada saat itu muncullah seorang wanita berperawakan langsing diikuti oleh beberapa orang dengan bersenjata pedang. Dialah lda Kusuma.
Murid tertua Edoh Permanasari itu, segera mengurung mereka sangat rapatnya. Dari tempat ke tempat tersembullah kurang lebih seratus orang yang terdiri dari wanita dan laki-laki.
"Tangkap! Hidup atau mati! Jangan biarkan seorang pun lolos," terdengar perintah lda Kusuma.
Sangaji mencongakkan diri dari batu persembunyiannya. Ingin ia melihat apa yang mereka
lakukan, dan bagaimana sikap lima orang berlencana tanda pedang silang dengan kuda semberani itu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Meskipun anak murid Edoh Permanasari berjumlah hampir seratus orang, ternyata mereka tak mau main kerubut. Suwega, Dudung, Nia Kumia, Hayati dua pria dan dua wanita anak murid Edoh Permanasari melompat maju menghampiri.
"Hai, bangsat Sangkuriang! Kau menyerah, tidak?" bentak Suwega dan Dudung hampir berbareng.
Kelima anggota Himpunan Sangkuriang itu menarik senjatanya masing-masing. Dengan tertawa melalui hidung, mereka merabu penyerang-penyerangnya. Tangkas dan gesit gerak-geriknya.
Senjata mereka meraung ganas. Namun mereka kena kerubut. Empat orang di antara mereka,
jatuh terkulai dari kudanya. Tak usah diceritakan lagi, bahwa sebentar saja tubuh mereka terobek-robek seperti daun pisang teran-tasi.
Yang seorang segera memacu kudanya. Terang sekali maksudnya, ia hendak kabur. Tetapi
baru beberapa puluh meter, ia kena kurung Nia Kurnia dan Hayati yang mengubar dengan dibantu pasukannya.
"Turun!" bentak Nia Kurnia.
Melihat datangnya bahaya, orang itu tidak gugup. Sekonyong-konyong ia melepaskan panah
berasap hitam ke udara. Meskipun pada siang hari, tapi kelihatan dengan nyata sekali. Asap hitam bergelembung bagai awan hitam bergulungan.
"Kau main gila apa?" maki Nia Kurnia. Terus saja murid Edoh Permanasari melompat menikam dengan pedangnya. Cepat orang itu memutar goloknya. Tapi bajunya masih saja kena babatan pedang. Bret! Dengan menjejak perut kudanya, orang itu meloncat ke tanah dengan jumpalitan.
Sekarang ia berada di tengah-tengah kepungan. Sebentar ia berjuang dengan gigihnya. Dua
orang lawan dapat dilukai. Kemudian dengan tertawa terbahak-bahak, ia berkata nyaring.
"Kalian begundal-begundal Ratu Fatimah mau menangkap seorang anggota Himpunan
Sangkuriang hidup-hidup" Jangan harap! Hayo majulah siapa yang bosan hidup!"
Disumbari demikian, panaslah hati anak murid Edoh Permanasari. Tanpa segan-segan lagi,
mereka merabu berbareng. Tapi baru saja.
maju beberapa langkah, mendadak orang itu membalik ujung goloknya dan menikam dadanya
sendiri sampai tembus, la mati terjengkang. Bukan oleh lawan, tapi oleh tangannya sendiri.
Tatkala itu Ida Kusuma sudah berada di tempat itu. Nia Kurnia yang memimpin penyerangan
segera lapor: "Adikmu ini tiada guna sampai menangkap atau membunuh lawan saja tidak becus. Dia mati karena tangannya sendiri."
Ida Kusuma tak mengindahkan bunyi laporan itu. Ia menengadah ke udara merenungi asap
hitam yang bergulungan buyar berserakan.
"Lihat! Itulah asap tanda bahaya."
"Sayang, aku tak dapat mencegahnya," sahut Kurnia.
"Mengapa mesti disayangkan" Kalau mereka segera berkumpul menurut Guru justru kebetulan.
Dengan demikian akan memudahkan pekerjaan kita. Tidak perlu lagi memburu ke sana ke mari seperti yang sudah-sudah."
Mendengar perkataan Ida Kusuma, Sangaji kaget. Meskipun belum mengerti bagaimana
sesungguhnya Himpunan Sangkuriang, namun ia merasa seperti dekat pada dirinya.
Melihat datangnya bahaya, orang itu tidak gugup. Sekonyong-konyong ia melepaskan panah
berasap hitam ke udara. Pikirnya, Kakek Guru, paman-paman guru dan ketiga guruku adalah pejuang-pejuang bangsa
tak beda dengan pendekar-pendekar Jawa Barat ini. Mereka kini dimusuhi, masakan aku akan tinggal diam"
Namun selama itu, ia belum melihat munculnya Edoh Permanasari. Mengingat kelicinannya, ia meninggikan kewaspadaan agar tidak bertindak ceroboh.
Menjelang petang hari, mereka sudah berada di sekitar lembah Gunung Cibugis. Selama itu
mereka membungkam. Juga tatkala mereka beristirahat. Jumlah anak murid Edoh Permanasari
kurang lebih seratus orang, bertebaran di balik-balik lindungan batu pegunungan atau gerombol semak. Pandang mata mereka mengarah ke puncak gunung.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tiba-tiba di tengah kesunyian itu, terdengarlah suara seruling. Mula-mula terdengar di
kejauhan. Tak lama kemudian mendekat. Suaranya berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain.
Murid-murid Edoh Permanasari yang lagi hendak menikmati waktu istirahat terbangun
wasangkanya. Mereka bercelingukan menebarkan penglihatannya. Namun tak melihat sesuatu,
padahal hari masih terang benderang. Seperti berjanji, mereka berdiri serentak. Aneh!
Suara seruling itu, mendadak menjauh dan lenyap.
"Pendekar dari manakah yang datang hendak berkenalan dengan kami?" seru lda Kusuma nyaring.
Ida Kusuma adalah murid tertua Edoh Permanasari. Dengan sendirinya, ilmunya tinggi.
Ternyata suaranya sangat nyaring dan terdengar jelas tiap-tiap patah katanya sampai
berkumandang jauh. Waktu rembang petang tiba, suara seruling itu terdengar lagi. Kembali lagi, lda Kusuma berseru nyaring. Dan begitu kumandang seruannya hilang, suara seruling itu menghilang pula.
Demikianlah berulang kali sampai alam menjadi gelap benar-benar.
Sangaji tersenyum. Dia yang memiliki ilmu sangat tinggi, dengan sendirinya tahu orang yang meniup seruling itu. Entah apa sebabnya, tiba-tiba hatinya menjadi bangga.
Pada saat itu, berkelebatlah sesosok bayangan. Dialah Edoh Permanasari. Segera Ida Kusuma mewartakan suara seruling yang mencurigakan itu.
"Perintahkan agar semua berwaspada!" kata Edoh Permanasari tak senang.
lda Kusuma dengan cepat meneruskan perintah itu. Selagi orang-orang sibuk mengatur
perondaan, mendadak ia melihat seorang tidur bersengguran. Orang itu mengenakan jubah usang yang dibuatnya selimut.
Sudah barang tentu Ida Kusuma terkejut berbareng heran. Terang sekali, dia bukan salah
seorang anak murid perguruannya. Gurunya Edoh Permanasari adalah ahli waris ilmu sakti Ratu Fatimah yang hebat tiada taranya. Jangan lagi suara orang, sedangkan daun rontokpun dapat tertangkap pendengarannya. Tapi apa sebab orang ini, sama sekali tak diketahui kapan
datangnya. Memikir demikian, ia memanggil Nia Kurnia dan Suwega. Kedua adik seperguruannya itu terus saja menghunus pedangnya sambil membentak, "Siapa kau?"
Tetapi orang itu enak-enak mendengkur. Bahkan pantatnya seperti sengaja diketing-gikan
seperti seekor anjing menelungkup tidur. Keruan saja, Nia Kurnia dan Suwega mendongkol melihat penglihatan demikian, Suwega mengeluarkan pedangnya dan menyingkap jubah orang itu. Begitu jubah tersingkap, nampaklah seorang berperawakan tipis tidur menungging. Dan suara
dengkurnya bertambah menghebat.
Nia Kurnia yang berada di samping Suwega lebih berhati-hati daripada rekannya. Dia
berpendapat, pastilah bukan orang sem-barangan. Berpendapat demikian, ia segera rfienegur hati-hati, "Siapakah Tuan" Apakah Tuan mempunyai kepentingan sampai datang mengunjungi tempat kami?"
Sebagai jawaban, orang itu menggeros kian keras. Keruan saja Nia Kurnia mendongkol
diperlakukan begitu. Maka timbullah kegusarannya. Segera ia mengayunkan pedangnya dan
membabat orang itu. Sekonyong-konyong terlihatlah sebuah benda melesat menangkis pedang. Pada saat itu
terdengarlah suara Edoh Permanasari memperingatkan: "Kurnia! Awas!"
Baru saja habis perkataannya, orang berjubah usang itu sudah berada dua puluh langkah
jauhnya. Bahkan Nia Kurnia sudah berada pula dalam pelukannya.
Tanpa diperintah lagi, Ida Kusuma, Suwega, Hajati dan Dudung segera mengejar. Namun
orang itu benar-benar tak ubah bayangan. Seperti iblis dia lenyap di balik tirai malam.
Edoh Permanasaripun tak tinggal diam. Dengan bersuit panjang, ia melesat mengejar.
Sekarang nampaklah perbedaan ilmu mereka. Dengan dua tiga langkah saja, Edoh Permanasari sudah meninggalkan ke empat muridnya sejarak sepuluh langkah lebih.
Lantas dua puluh, empat puluh, lima puluh langkah. Setelah itu lenyap dari penglihatan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tetapi orang yang diubernya ternyata lebih gesit dan lebih cepat larinya daripada Edoh
Permanasari meskipun dengan memeluk Nia Kurnia. Setiap kali akan terkejar, ia melesat dengan suatu letikan ajaib. Bahkan kini, dia sengaja hendak memamerkan ilmu larinya. Ia lari berputar-putar mengitari tubuh puluhan anak murid Edoh Permanasari cepatnya. Sudah barang tentu, Edoh Permanasari dengan sangat mendongkol bukan main. Terus saja, ia menghunus pedang saktinya Sangga Buwana.
Beberapa kali ia menusukkan pedangnya. Namun masih saja tubuh orang itu tak kena
dirabanya. Dalam pada itu, Ida Kusuma dan ketiga adik seperguruannya menghentikan
langkahnya. Mereka merasa diri tak ungkulan mengejar orang itu. Jangan lagi berlagak hendak menangkapnya, menyentuh bayangannya saja takkan mampu. Karena itu, mereka hanya berdiri
tegak menyaksikan adu kepandaian antara orang itu dan gurunya sambil berjaga-jaga.
Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Melihat tubuh Nia Kurnia tak berkutik di dalam pelukan orang itu, mereka semua kaget. Nia Kurnia bukan seorang murid rendahan.
Tingkatannya hanya setingkat di bawah lda Kusuma. Ilmunya tinggi dan sudah dapat disejajarkan dengan tingkat pendekar kelas satu. Namun dengan satu jurus saja, ternyata ia kena diringkus orang itu. Maka betapa hebat ilmu sakti orang itu, susah diduga-duga.
Ada niat mereka hendak ikut mencegat larinya lawan. Tapi gurunya sudah mengejar. Kalau
membantu tanpa izin pastilah kehormatan gurunya akan tersinggung. Lagipula, mereka mengakui bahwa dirinya takkan becus. Maka mereka hanya menyaksikan adegan ubar-ubaran itu dengan
hati berkebat-kebit. Dengan sebentar saja, Edoh Permanasari dan orang itu sudah main kejar-kejaran tiga lintasan.
Edoh Permanasari nampak hanya kalah satu langkah. Tapi anehnya setiap kali pedang menyambar atau menusuk punggung orang itu tiba-tiba sudah meletik tujuh langkah lebih jauh. Dengan kenyataan itu, maka teranglah bahwa ilmu sakti orang itu lebih tinggi daripada Edoh Permanasari.
Pada lintasan ulangan yang keempat kalinya, tiba-tiba orang itu berputar menghadap Edoh
Permanasari. Nia Kurnia yang berada di dalam pelukannya dilemparkan ke arah dada Edoh
Permanasari. Kaget, Edoh Permanasari menghentikan langkahnya. Tepat ia menyambar tubuh Nia Kurnia
dengan tangan kirinya. Hebat sambaran tenaga orang itu. Ternyata dia nyaris tak tahan, hingga tubuhnya bergoyangan.
Orang itu lantas tertawa senang.
"Kamu semua meskipun dibantu enam aliran lagi masakan mampu membasmi Himpunan
Sangkuriang kami" Huh-huh, rasanya tidak mudah."
Setelah berkata demikian, orang itu melesat lagi mengarah ke barat. Tadi sewaktu mengadu lari dengan Edoh Permanasari, langkahnya sama sekali tak terdengar. Tapi kini ia sengaja memperdengarkan. Bahkan dibarengi dengan tiupan seruling pula. Sebentar saja lenyap.
Tubuhnya bergulungan dan nampak tak ubah segulung asap belaka.
"Bagus!" puji Sangaji dalam hati. Dia tak usah kalah melawan Adipati Surengpati atau guru1).
Tak kukira, bahwa di Jawa Barat pun tersimpan pula tokoh-tokoh sakti semacam di Jawa Tengah.
Dalam pada itu, beramai-ramai anak murid Edoh Permanasari memeriksa tubuh Nia Kumia yang tak berkutik dalam pelukan gurunya. Jiwanya sudah melayang, akibat remuknya tulang tengkuk.
Ida Kusuma dan ketiga adik seperguruannya menangis sedih. Sebaliknya Edoh Permanasari
nampak masam wajahnya. Dengan menghardik dia berkata memerintah, "Apa perlu ditangisi lagi.
Pendam!" Dibentak oleh gurunya, lda Kusuma dan ketiga adik seperguruannya mengerem tangisnya.
Lantas mereka menyerahkan mayat Nia Kurnia kepada murid-murid sebawahannya.
"Guru! Siapakah gerangan iblis tadi" Kami akan membalaskan dendam Nia Kurnia," kata Ida Kusuma.
"Orang itu mungkin sekali salah seorang pucuk pimpinan Himpunan Sangkuriang," sahut Edoh Permanasari.
"Apakah bukan... Ratu Bagus Boang atau... atau yang disebut dengan Gusti Amat?"
"Tidak!" kata Edoh Permanasari yakin. "Melihat gaya larinya, bukan dia."
"Apakah Guru pernah melihat Ratu Bagus Boang atau dia yang disebut Gusti Amat?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Belum. Tapi menurut kakek gurumu, orang yang dapat berlari kencang tadi, bukan orang yang kausebutkan. Hm... ternyata nama pendekar-pendekar Himpunan Sangkuriang bukan sekumpulan manusia tiada berarti. Kalau hendak menuntut balas terhadapnya" Lebih baik kau menjauhi..."
Sangaji sebenarnya sudah mempunyai bibit rasa benci terhadap Edoh Permanasari. Tapi
menyaksikan betapa tenang dia menghadapi peristiwa itu dan bahkan dengan terang-terangan memuji kelebihan lawan, diam-diam ia kagum padanya. Memang semenjak dahulu, Sangaji diajar untuk menghargai sifat ksatria oleh gurunya Wirapati dan Jaga Saradenta. Karena itu, terhadap iblis Pringgasakti dan sang Dewaresipun, ia tak mempunyai rasa benci berlebih-lebihan.
"Meskipun demikian, orang itu tak berani mengadu tangan dengan Guru," kata Hayati hendak mengambil hati. "Orang semacam dia meskipun gagah tak ada harganya."
Di luar dugaan, mendadak saja Edoh Permanasari menampar muridnya itu. Dengan suara
nyaring ia membentak: "Kau tahu apa" Kakakmu Kurnia sudah mati di tangannya. Gurumu terbukti tak dapat
menolong. Bukankah sudah terang siapa yang menang dan kalah?"
Pernyataan Edoh Permanasari ini, di luar dugaan Hayati. Maka cepat-cepat murid yang lancang mulut itu segera memperbaiki kesalahannya.
"Maaf Guru. Perkataan Guru akan selalu tertanam dalam lubuk hati muridmu yang goblok ini."
Edoh Permanasari tak menggubris ucapan muridnya. Dengan menggerakkan tangan ia memberi
isyarat berangkat. Dan ia berjalan mendahului mengarah ke barat. Sangaji dengan sendirinya ikut berangkat pula.
Sepanjang jalan ia berpikir, Edoh Permanasari selamanya terlalu bangga kepada kekuatannya sendiri. Ontuk menghancurkan Himpunan Sangkuriang, ia mengerahkan murid pilihannya. Tapi belum lagi kakinya menginjak kaki Gunung Cibugis, ternyata ia kena dikalahkan dalam satu gebrakan saja. Pastilah hal ini merupakan satu pukulan dahsyat baginya.
Mengira, bahwa hati Edoh Permanasari pasti kesal mengalami peristiwa itu, ia berharap moga-moga iblis itu menjadi seorang pendekar wanita sejati di kemudian hari.
Kira-kira menjelang tengah malam, rombongan Edoh Permanasari berhenti lagi. Hawa
pegunungan waktu itu luar biasa dinginnya. Segera diperintahkan membuat perdiangan menunggu pagi hari.
"Ida! Kau tadi dengar betapa orang itu menyebutkan enam aliran?" Tiba-tiba Edoh Permanasari berkata kepada Ida Kusuma.
"Ya," sahut Ida Kusuma segera. "Bukankah yang dimaksudkan aliran-aliran pegunungan dari Gunung Kencana, Muara Binuangeun, Gunung Gembol, Gunung Gilu, Gunung Aseupan dan
Mandalagiri?" "Itulah sahabat-sahabat kakek gurumu, Ratu Fatimah. Betapa luas dan berpengaruh kakek-gurumu dapat dibayangkan dengan kenyataan itu," Edoh Permanasari berbangga hati. "Perguruan yang satu berada di barat daya. Yang lain, di selatan. Lainnya lagi di tenggara jauh. Hm...
memang sudah datang waktunya, kita akan dapat membasmi himpunan orang-orang tak karuan
juntrungnya." Mendengar nama aliran perguruan sekutu Ratu Fatimah itu, hati Sangaji tertarik. Segera ia menghampiri dengan mengedap-endap. Doanya, moga-moga iblis ini membicarakan pula Ratu
Bagus Boang dan yang disebut Gusti Amat.
"Kau sudah tahu, bahwa lencana kaum Himpunan Sangkuriang bergambar pedang silang.
Itulah lambang kekuasaan," Edoh Permanasari mulai. "Dahulu semasa Ratu Bagus Boang masih hidup, lambang gambar hanya pedang silang. Tapi semenjak pemimpin besarnya hilang tiada
kabarnya, lencana gambar pedang silang bertambah beberapa macam. Kuda Semberani, Obor,
Garuda, bintang dan entah apa lagi. Pada pokoknya mereka semua dari satu kesatuan tapi berdiri sendiri-sendiri. Menurut tutur kata kakek gurumu, Ratu Bagus Boang mungkin mati keracunan atau musna bersama gurunya yang bernama Ki Tapa. Ada lagi yang mewartakan, bahwa dia
masih hidup. Entahlah, berita itu bersimpang siur tak keruan. Tapi yang penting, dengan hilangnya Ratu Bagus Boang sendi persatuan Himpunan Sangkuriang menjadi goyah. Mereka lantas pecah menjadi beberapa kelompok. Saling memperebutkan tahta kedudukan pemimpin besar sebagai
pengganti Ratu Bagus Boang. Selagi kita mengharapkan moga-moga mereka hancur saling
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
bertempur, tiba-tiba muncullah seorang tokoh yang sampai sekarang merupakan teka-teki besar.
Itulah yang tadi kau sebut dengan Gusti Amat."
Nama Gusti Amat sangat termasyhur di antara mereka. Tak mengherankan, bahwa dua tiga
puluh anak murid yang berada tak jauh dari gurunya beringsut-ingsut mendekati seraya
memasang kuping. Sangajipun demikian.
"Sepak terjang orang yang disebut Gusti Amat, amat rahasia. Jarang sekali dia muncul.
Tapi bila sekali terdengar namanya pastilah membuat suatu kegemparan. Seumpama jagat ini tergoyahlah oleh kehadirannya, baik kita maupun kelompok-kelompok Himpunan Sangkuriang
yang terpecah belah jadi kelabakan. Orang itu benar-benar hebat, sehingga pernah kita
menyangka bahwa dia adalah pendekar Otong Darmawijaya atau Ki Tunjungbiru."
Sangaji terkesiap mendengar nama Ki Tunjungbiru disebutkan.
"Guru! Mengapa kita pernah nyangka bahwa Ki Tunjungbiru adalah sesungguhnya Gusti Amat?"
tanya salah seorang murid.
"Karena sepak terjangnya hampir mirip. Dia lenyap di sini untuk muncul di sana. Dia berada pada suatu tempat dan tiba-tiba hilang tiada kabarnya," sahut Edoh Permanasari. "Kemudian tersiarlah berita, bahwa Ki Tunjungbiru tertawan oleh sahabat kita kompeni. Dan apabila dia Gusti Amat, apa sebab nama Gusti Amat justru lebih santer pada hari-hari belakangan ini" Itulah sebabnya, kita dan enam aliran besar pada malam hari ini berada di sekitar Gunung Cibugis untuk menyergap mereka. Kau tahu, bahwa kesatuan-kesatuan Himpunan Sangkuriang yang berdiri
sendiri-sendiri itu hadir semua pada malam hari ini. Betapa mungkin mereka tiba-tiba mau berkumpul di markas besarnya itu, kalau tidak atas perintah seseorang yang dipatuhinya" Pastilah itu Gusti Amat. Hanya siapa sesungguhnya, aku sendiri belum terang. Tapi percayalah, sebentar lagi kedoknya akan terbuka. Kalian akan melihat tampangnya pada esok hari berbareng dengan munculnya matahari di timur."
Sudah tentu ucapan Edoh Permanasari itu agak berlebihan, namun hati sekalian muridmuridnya tergetar. Bahkan hati Sangaji pun tergetar pula. Hanya saja alasannya lain. Ia kagum kepada nama tersebut. Kalau benar-benar dia sampai kena tertawan atau tertangkap atau mati di ujung pedang lawan, sangatlah disayangkan. Maka timbullah darah ksatrianya hendak melindungi orang yang bernama Gusti Amat itu dengan seluruh kepandaiannya.
"Murid-muridku sekalian!" tiba-tiba Edoh Permanasari berseru nyaring. "Kalian tadi sudah menyaksikan betapa tinggi ilmu kepandaian salah seorang anggota pimpinan pusat Himpunan
Sangkuriang yang menyamar sebagai seorang miskin. Tapi sesungguhnya tinggi rendahnya suatu ilmu, tergantung kepada jodoh dan bakat seseorang. Semua ilmu bernilai sama tinggi. Sekarang tinggal tergantung orangnya yang mempelajarinya. Nia Kurnia kena diruntuhkan hanya dalam satu gebrakan saja. Bukan karena ilmu warisan Ratu Fatimah kalah tinggi daripada ilmu orang itu, tetapi semata-mata terletak pada kemampuan dan kesanggupan seseorang mewarisi ilmu
leluhurnya. Malam hari ini, kalian berada di lembah Gunung Cibugis. Esok hari kalian kuajak membasmi mereka. Pastilah ada di antara kalian yang gugur. Hidup dan matimu tergantung
kepada takdir. Bukan karena kalian tak becus menghadapi mereka. Percayalah, gurumu takkan menyesali kamu sekalian... Inilah pernyataanku."
Mendengar pernyataan Edoh Permanasari, semua anak muridnya terbangun semangatnya.
Serentak mereka bangkit berdiri seraya membungkuk hormat.
"Manusia di dunia ini, siapakah yang takkan mati?" ujar Edoh Permanasari lagi. "Tapi mati dan mati adalah lain. Kalian kudidik agar mati sebagai manusia yang bercita-cita. Bukan mati di dalam rumah seperti kelinci mati di dalam kandang. Esok hari, gurumu ini boleh gugur bersama lawan.
Tapi kalian masih hidup seumpama tunas baru yang kelak akan mengembangkan ilmu warisan
Ratu Fatimah sepanjang abad. Sebaliknya, apabila kalian semua gugur dan tinggal aku sendiri yang selamat, inilah bakal merupakan suatu persoalan sulit. Sebab gurumu sudah tua dan bakal jadi reyot. Siapakah kelak yang bisa meneruskan cita-cita Ratu Fatimah. Karena itu, manakala lawan terlalu kuat salah seorang harus dapat menyelamatkan diri."
Kembali anak murid Edoh Permanasari membungkuk dengan khidmat. Pikir Sangaji, Edoh
Permanasari sebenarnya seorang wanita berhati jantan. Sayang dia mempunyai persoalan pribadi sehingga sepak terjangnya menjadi sesat. Tapi justru ia berpikir demikian, teringatlah dia kepada
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
persoalannya sendiri. Itulah soal Sonny de Hoop dan Titisari. Tak dikehendaki sendiri, ia menarik napas panjang.
Tiba-tiba pada saat itu, nampaklah sinar berapi melambung ke udara.
"Hai, celaka! Itulah tanda bahaya aliran Mandalagiri," seru Edoh Permanasari.
Dengan diikuti beberapa anak muridnya, ia berlari-lari kencang seolah-olah sedang memburu.
Lainnya hanya bersiaga di tempat peristirahatannya masing-masing.
Sebelah barat daya terdengarlah suara beradunya senjata sayup-sayup. Tanpa diperintah,
mereka mempercepat larinya.
. Tidak lama kemudian, nampaklah beberapa bayangan sedang bertempur seru. Empat belas
melawan tujuh orang. Mereka bergerak sangat cepatnya. Siapa mereka tidaklah nampak dengan jelas. Tapi mata Sangaji yang tajam luar biasa, melihat berkelebatnya lencana bergambar pedang silang dan bintang pada lengan baju seorang yang mengenakan jubah. Karena mereka yang
mengenakan jubah seragam berjumlah tujuh orang, maka tahulah dia bahwa mereka yang
mengkerubut pastilah anggota aliran Mandalagiri yang disebutkan Edoh Permanasari tadi.
Melihat mereka, anak murid Edoh Permanasari segera akan terjun pula. Tadi Edoh Permanasari mencegahnya.
"Tunggu dahulu!" katanya. "Tadi ada suatu tanda bahaya. Melihat anak murid Mandalagiri belum kalah, pastilah ada maksud tertentu."
Pendekar-pendekar Himpunan Sangkuriang ternyata gagah perkasa. Meskipun kena kerubut
dan sudah ada beberapa orang yang terluka, mereka tetap melawan dengan ganas. Goloknya
diputar kencang, merabu dan menyerang.
Sekonyong-konyong terjadilah suatu . pertarungan seorang melawan seorang. Yang
mengenakan jubah seragam seorang laki-laki berberewok tebal. Dengan tangkas memutar
goloknya.kencang-kencang melawan seorang laki-laki pula berperawakan ramping. Mereka berdua bertarung amat sengitnya. Tak lama kemudian terjadilah suatu perubahan. Laki-laki berperawakan ramping di luar dugaan menggeser tubuhnya dan pada saat itu juga mengirimkan suatu tusukan.
Cepat sekali tusukannya, sehingga sebelum sadar akan artinya, dada laki-laki berberewok
tertembus tanpa dapat membalas.
Berbareng dengan sorak sorai anak murid Edoh Permanasari, hati Sangaji tercekat. Ia teringat gerakan itu. Itulah salah satu jurus gerak Watu Gunung, waktu menghindari pukulannya
berbareng menyerang. Apakah mereka anak murid pendekar sakti Watu Gunung yang disebut Inu Kertapati"
Sekarang di pihak Himpunan Sangkuriang tinggal enam orang. Melihat di pihak lawan makin
lama makin banyak jumlahnya, betapa pun berani mereka tak urung tercekat juga hatinya. Namun demikian, mereka tak kendor. Serangan dan tangkisannya tetap gencar.
Pada saat pendekar-pendekar Himpurtan Sangkuriang itu akan menemui ajalnya, tiba-tiba
terlihatlah asap kuning menyibak kekelaman malam.
"Lihat! kawan-kawan Gunung Kencana membutuhkan pertolongan!" seru seorang.
Mendengar seruan itu, Edoh Permanasari segera lari mendahului. Sudah barang tentu anak
muridnya ikut serta pula. Mereka membiarkan anak-anak murid Mandalagiri menanggulangi sisa lawannya sendiri. Melihat gelagatnya pasti dapat membereskannya tanpa bantuan.
Sesudah berlari-lari beberapa saat lamanya, keadaan lembah sunyi senyap. Suatu bayanganpun tiada nampak. Edoh Permanasari terus berseru nyaring, "Apakah kawan-kawan dari Gunung Kencana berada di sini?"
Hebat suara Edoh Permanasari sampai berkumandang sangat jauh. Namun tiada jawaban.
Tiba-tiba di sebelah timur, terlihatlah kembali asap kuning bergulungan di udara.
"Guru!" seru Ida Kusuma. "Nampaknya medan pertempuran berpindah di sana."
Mereka lantas mengarah ke timur. Tapi di sana, mereka tak menjumpai seorangpun. Bahkan
bekas-bekas adanya pertempuran sama sekali tiada. Dan untuk ketiga kalinya nampak lagi asap kuning menusuk udara. Kali ini berada di sebelah selatan. Melihat tanda bahaya itu, mereka cepatcepat memburu demi setia kawan. Namun setelah berlari-larian ke sana ke mari tanpa melihat seorangpun jua timbullah kecurigaan dalam hati Ida Kusuma. Terus saja ia menghunus pedang dan mengawal adik-adik seperguruannya yang kurang cepat larinya. Siapa tahu, musuh sedang melakukan aksi jebakan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tatkala itu anak murid Mandalagiri sudah menyusul pula. setelah menyelesaikan
pertarungannya. Mereka sedang berada dalam keadaan menang perang. Tapi begitu menyaksikan betapa asap kuning selalu berpindah-pindah tempat, lambat laun mereka jadi curiga. Lenyaplah rasa menangnya dan kini berganti dengan rasa was-was.
"Nona! Apakah Nona tidak merasakan sesuatu yang kurang wajar?" tanya laki-laki berperawakan ramping kepada Ida Kusuma. Dialah tadi yang membunuh laki-laki berewok dengan jurus yang istimewa.
"Kalau benar, mengapa?" sahut Ida Kusuma angkuh.
Laki-laki itu kemudian membungkuk hormat. Berkata takzim, "Kami anak- anak murid
Mandalagiri. Namaku sendiri Wijaya."
"Lalu bagaimana?"
"Karena kita ini rekan seperjuangan untuk membasmi kaum iblis, bukankah lebih baik bekerja sama?"
"Lalu bagaimana?"
Wijaya menghentikan langkahnya. Hatinya agak mendongkol ditanggapi demikian. Semula
melihat perawakan Ida Kusuma yang sangat menarik ditambah pula dengan keelokan wajahnya ia mencoba-coba mengadu untung. Tak tahunya, hati gadis itu beku bagaikan batu. Kalau tidak berhati demikian, masakan dia murid Edoh Permanasari yang benci kepada segala macam dan
corak kisah asmara. "Kita terjebak tipu muslihat musuh. Di sini hanya terdapat bekas tapak kaki seorang saja. Kalau benar kawan-kawan dari Gunung Kencana terkurung lawan, paling tidak harus kita temukan bekas tapak kaki beberapa orang. Mana sekarang?"
"Ah, benar!" Tiba-tiba terdengar suara Edoh Permanasari yang berada jauh di depan. Terang sekali betapa tinggi ilmunya dapat dibuktikan dengan tajamnya pendengarannya.
"Ida! Kita memang kena tipu muslihat. Sekarang rekan-rekanmu dari Gunung Kencana benarbenar terjebak. Mari, cepat!" Setelah berkata demikian, ia mendahului melesat ke selatan.
"Darimana guru mengetahui rekan-rekan dari Gunung Kencana terjebak musuh?" tanya Ida Kusuma setelah lari menjajari gurunya.
"Asap kuning yang kau lihat tadi, memang tulen. Itulah buah hasil kerajinan tangan orang-orang Taraju. Soalnya kini, siapa yang menyalakan. Kukira, seorang di antara mereka kena tertawan musuh. Lantas musuh menyalakan panah berasap kuning itu."
"Tapi mengapa bisa berpindah-pindah begitu cepat?"
"Apakah engkau tak teringat kepada kemampuan gerakan orang yang membunuh Nia Kurnia hanya dalam suatu gebrakan saja?" sahut Edoh Permanasari dengan mendongkol.
Baik anak-anak muridnya maupun anak-anak murid Mandalagiri terbangun semangat
tempurnya. Namun tenaga jasmaninya banyak yang sudah ludas, karena tadi harus berlari-lari tak keruan juntrungnya. Sadar bahwa lawan memang bermaksud menghabiskan tenaganya, mereka
bergidik dengan sendirinya.
Orang berjubah usang yang membunuh Nia Kurnia hanya dalam satu gebrakan itu memang
hebat. Tiba-tiba saja ia telah muncul kembali. Seperti disengaja, ia melompat di atas ketinggian sambil tertawa panjang.
"Hai! Kenapa kau berada di sini?" seru Ida Kusuma kaget bercampur heran. Bunyi seruan itu kalau dirasakan sebenarnya lucu. Karena kesannya seperti terhadap seorang sahabat atau seorang yang dikenalnya semenjak lama.
Orang itu tertawa terbahak-bahak.
"Terima kasih anak manis. Karena itu, tak sampai hati aku mengganggumu. Kau boleh hidup lebih lama lagi." Setelah berkata begitu ia kini mengarah kepada Edoh Permanasari dan anak-anak murid Mandalagiri. Berkata mengguruh. "Kalau sudah cukup lari pulang balik. Apakah masih berlari-lari dengan tak keruan juntrungnya?"
"Kau iblis!" maki Edoh Permanasari. "Kalau memang seorang ksatria, kenapa tak berani berterang-terangan?"
"Kau bilang sendiri, aku iblis. Mau berkata apalagi?" sahut orang itu dengan cepat. Kemudian menuding ke arah barat. "Lihat! kawan-kawanmu sudah mulai kena ganyang habis-habisan."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Setelah berkata demikian dengan sekali berkelebat bayangannya lenyap ditelan kegelapan
malam. Hati Edoh Permanasari mendongkolnya dan gemas bukan main. la melihat sebagian besar
anak-anak muridnya sudah tersengal-sengal napasnya. Padahal di arah barat benar-benar
terdengar suara benturan senjata. Itulah suatu tanda terjadinya pertarungan hebat.
Dalam pada itu, Wijaya dan teman-temannya sudah mendahului lari ke arah barat. Makin ia
mendekati gelanggang pertarungan, makin terdengarlah suara-suara yang mendebarkan hati. Di antara suara benturan senjata tajam, aba-aba nyaring dan jerit kengerian mengumandang sampai jauh.
Tatkala itu, gelap malam mulai nampak remang-remang. Bulan gede menjanjikan muncul pada
hampir tengah malam. Kini, langit mulai cerah. Sebentar lagi alam bersemarak. Meskipun tidak terang benderang, namun bayangan manusia cukup jelas.
Edoh Permanasari yang sudah datang pula di pinggir gelanggang pertempuran, berkata kepada Ida Kusuma:
"Pihak lawan terdiri dari empat golongan. Lihatlah gambar panji-panjinya. Tanda Obor, Keris, Bintang dan Garuda. Bagus! Anak-anak murid Mandalagiri, Gunung Kencana, Gunung Gembol,
Gunung Gilu dan Muara Binuangeun sudah tiba pula di sini, kita tak usah takut kalah jumlah.
Lihatlah, mereka sedang bertempur."
"Apakah kita tidak ikut menyerbu?" Ida Kusuma minta keterangan. " "Tunggu dahulu! Kita tunggu rekan-rekanmu dari Gunung Aseup. Bila mereka tiba,
kemenangan pasti berada di pihak kita," sahut Edoh Permanasari pasti.
Selama hidupnya, baru untuk pertama kali Sangaji menyaksikan suatu pertempuran besar.
Itulah sewaktu dia lagi belajar satu dua jurus dari gurunya Wirapati dan Jaga Sara-denta.
Pertempuran antara Kapten de Hoop melawan Mayor de Grote, yang masing-masing
menggunakan senjata bidik jarak jauh. Malam ini corak pertempuran yang disaksikan adalah lain.
Mereka bertempur dalam jarak pendek. Pertempuran perorangan antara para pendekar Himpunan Sangkuriang melawan sekutu-sekutu Ratu Fatimah. Meskipun tiada terdengar suara letusan,
namun kedahsyatannya tidak kalah. Malahan lebih dahsyat.
Pedang dan golok beterbangan dan mayat bergelimpangan bermandikan darah. Suasananya
amat mengerikan, karena luka yang diderita masing-masing hampir tak dapat tertolong lagi. Paling tidak, mereka kehilangan lengan atau kaki. Jerit rintihan dan suara orang menggelidik bulu roma.
Dahulu sewaktu menyaksikan pertempuran antara Kapten de Hoop dan Mayor de Grote, ia
mengharapkan suatu kemenangan bagi Kapten de Hoop. Hal itu disebabkan, karena ia mempunyai kepentingan. Kakak angkatnya Kapten Willem Erbefeld berada di pihak Kapten de Hoop. Kinipun meskipun belum merasa berkepentingan tentang mati hidupnya Himpunan Sangkuriang ia
mengharapkan suatu kemenangan baginya. Di dalam lubuk hatinya terasa betapa amat sayang
apabila panji-panji empat angkatan Himpunan Sangkuriang sampai jatuh di tangan kawan-kawan Edoh Permanasari.
"Guru, lihat!" seru Ida Kusuma. "Di pinggir sana masih menunggu dua pasukan besar lagi."
Sangaji ikut mengarahkan pandang. Kira-kira sejauh penglihatan orang, nampaklah dua deret pasukan berkuda sedang berbaris mendekati. Hanya saja, ia merasa heran dua pasukan yang tiba di gelanggang pertempuran itu, datangnya dari arah yang bertentangan. Anehnyan mereka saling berpapasan dan bertubrukan. Masing-masing pihak tidak sudi memberi jalan. Meskipun mereka tidak saling menikam, tapi matanya Sangaji yang tajam melihat betapa mereka saling meninju atau menendang.
Apakah mereka mempunyai tata siasat sendiri yang nampaknya berlaku tidak wajar" pikir
Sangaji. "Guru!" terdengar suara Ida Kusuma. "Kalau mereka datang, betapa kuat rekan-rekan kita, pasti tak akan dapat dihancur leburkan. Lihatlah guru, mereka bersenjata sangat lengkap."
Wijaya yang memimpin anak-anak murid Mandalagiri diam-diam terperanjat menyaksikan
datangnya bala bantuan itu. Hanya anehnya, setelah dua pasukan besar itu tiba di pinggir lapangan, sama sekali tidak bergerak.
"Mengapa begitu?" Tak terasa terloncatlah perkataan Wijaya.
"Apakah belum paham?" sahut Edoh Permanasari.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Wijaya menjelajahkan pandangannya sambil menebak-nebak. Sangajipun ikut menebak pula.
Dia bukan Titisari yang berotak encer.
"Kedua pasukan yang datang itu mengibarkan panji-panji bergambar Kuda Semberani dan Bunga Mekar," ujar Edoh Permanasari menggurui kedua pasukan itu seperti yang lain-lain saling bermusuhan. "Jikalau kalian membunuh habis keempat pasukan panji-panji yang sedang
bertempur itu, mereka takkan sudi membantu. Bahkan dalam hati mereka masing-masing
mengharapkan leburnya yang lain. Dengan demikian ada kemungkinan bagi masing-masing pihak untuk dapat mengangkat diri menjadi penguasa tunggal Himpunan Sangkuriang."
Mendengar uraian Edoh Permanasari mereka semua menjadi sadar.
"Ah, ya," kata Wijaya. "Terima kasih atas petunjuk Tuan."
Dengan satu isyarat, anak-anak murid Mandalagiri dan Edoh Permanasari segera bersiaga.
Tatkala itu pertempuran sudah memasuki babak sangat gawat. Kedua belah pihak sama kuatnya.
"Ida!" kata Edoh Permanasari. "Hayo kau berlombalah dengan anak murid Mandalagiri siapa yang paling banyak dapat membasmi lawan."
Teranglah maksud Edoh Permanasari. Itulah suatu aba-aba berbareng membakar semangat.
Serentak mereka semua menyerbu ke tengah gelanggang. Wijaya sebenarnya pemimpin golongan Mandalagiri. Namun dalam penyerbuan itu, ia selalu di tengah anak-anak murid Edoh Permanasari mendampingi Ida Kusuma. Mereka berdua merupakan sepasang penyerbu yang hampir dapat
merubah keadaan gelanggang. Dengan bantuan adik-adik seperguruannya, mereka
menghancurkan pasukan panji-panji Keris.
Yang terhebat dari semuanya adalah Edoh
Permanasari. Tiada seorang musuhpun yang mampu membendung lebih dari tiga serangannya.
Tubuhnya timbul tenggelam menyelinap di antara pagar manusia. Pedangnya membabat dan
menikam. Sekejap saja puluhan manusia mati terajang oleh pedang yang ganas.
Melihat gelagat buruk, Wiralegawa pemimpin panji-panji pasukan bergambar Keris melompat
maju dengan mengayunkan senjatanya yang istimewa. Dilihat selintas, senjatanya hanyalah
sebuah rantai panjang dari besi. Tapi sebenarnya pada ujungnya berbatu baja bergigi. Dengan sekali ayun, ia dapat membendung serbuan anak-anak murid Edoh Permanasari dan Mandalagiri.
Banyak di antara mereka yang terluka berat atau tewas seketika itu juga.
"Menyibak!" seru Wijaya berbareng melesat maju. la terus menyabetkan pedangnya. Di luar dugaan, Ida Kusuma mendadak maju pula membantu dari samping. Keruan hatinya bersyukur
bukan main. Namun meskipun pedang mereka berdua berkelebat dengan suatu aung-an, kena
sambar senjata Wiralegawa yang istimewa semplak menjadi empat potong.
"Awas!" teriak Edoh Permanasari.
Mereka berdua meloncat mundur. Adik-adik seperguruan merekapun lantas saja tersibak
sempoyongan. Dengan begitu serbuan mereka dapat terbendung.
Edoh Permanasari kemudian maju merabu Wiralegawa. Kalau tadi ia dapat membabat musuh
hanya dalam tiga kali serangan, kali ini tidaklah demikian. Wiralegawa ternyata seorang pemimpin pasukan yang tangguh luar biasa. Sepuluh gebrakan telah lewat dengan cepat. Kekuatan mereka seimbang benar.
Melihat gurunya sudah bertarung seru melawan Wiralegawa, lda Kusuma mengalihkan
perhatiannya ke arah lain. Ia yakin, gurunya pasti dapat mengatasi. Maka dengan memberi isyarat kepada adik-adik seperguruannya, ia menyerbu pasukan panji-panji bergambar Kuda Semberani.
Dan anak-anak murid Mandalagiri menyerang pasukan panji-panji bergambar Garuda.
Di kala itu, mendadak Wiralegawa mengayunkan senjatanya. Hebat serangannya. Senjata
mengaung sampai anak-anak murid Edoh Permanasari memekik terkejut.
Edoh Permanasari tak berani menangkis. Ia terpaksa mengelak sambil mundur. Tapi baru saja menempatkan sebelah kakinya, Wiralegawa menyusulkan serangannya yang kedua. Dengan
tersenyum Edoh Permanasari memukulkan ujung pedangnya. Tubuhnya menggeser ke samping
dan segera mendorong dengan mengarahkan tenaganya. Setelah itu, mendadak pedangnya
membabat pinggang. Tipu serangan ini biasanya tak pernah meleset, di luar dugaan, ternyata Wiralegawa bukanlah lawan murahan. Benar-benar tangguh luar biasa. Apalagi tenaga
pembawaannya merupakan suatu tantangan yang tak boleh diremehkan. Mendadak saja senjata
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
rantainya melibat berbareng melilit pedang. Lalu ditarik ke atas. Pletak! Pedang Edoh Permanasari semplak menjadi dua potong.
Meskipun terkejut, Edoh Permanasari tiada gugup. Dengan tangan nyeri, ia mundur selangkah.
Begitu lawan mendesak maju, tiba-tiba tangannya sudah menggenggam pedang mustika yang
ditakuti lawan. Itulah pedang Sangga Buwana warisan gurunya Ratu Fatimah, permaisuri Sultan Banten yang di-benci dan disegani orang.
Sekali digetarkan, rantai Wiralegawa rantas seperti terajang. Pemiliknya kaget sampai
berjingkrak. Ia hanya merasa kehilangan suatu daya berat. Baru saja ia hendak mundur, Sangga Buwana sudah menabas pula batang leher dan sekaligus kepalanya. Sungguh! Pedang Sangga
Buwana adalah pedang mustika tiada bandingnya di dalam jagat ini.
Melihat pemimpinnya tewas, anak buah pasukan panji-panji bergambar Keris menjadi kalut.
Namun semangat tempurnya tidak berubah. Bahkan seperti mabuk, mereka menyer-bukan diri.
Peristiwa ini benar-benar di luar perhitungan. Biasanya suatu pasukan akan bubar berderai apabila pemimpinnya tewas. Siapa menyangka, mereka malahan seperti kalap. Tanpa memedulikan
keselamatan diri, terus saja merabu dengan berbareng.
Benar-benar terpuji, namun sesungguhnya mereka lantas menjadi makanan empuk bagi Edoh
Permanasari yang terkenal ganas luar biasa. Seperti seonggok rumput, mereka kena babat dengan sekaligus oleh pedang Sangga Buwana yang tajamnya tiada bandingnya di jagat ini.
Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tiba-tiba terdengar suara nyaring, "Teman-teman seperjuangan, majuuuu! Demi tanah air, bangsa, agama dan keadilan Wiralegawa gugur sebagai ratna. Hai, kamu sekalian dari pasukan panji-panji Bintang, Kuda Sembrani, Garuda dan Bunga Mekar! Kalau kalian cuma menjadi
penonton, silakan pulang ke gunung! Hai, pasukan panji-panji Keris Sakti jangan takut! Kami Mendadak saja senjata rantainya melibat berbareng melilit pedang. Lalu ditarik ke atas. Pletak!
Pedang Edoh Permanasari semplak menjadi dua potong.
dari pasukan panji-panji Obor Abadi akan melindungi. Majuuu!"
Dialah Kusna Suryabrata, pemimpin pasukan panji-panji Obor Abadi. Orangnya pendek,
bermata tajam dan gesit gerakgeriknya. Dengan memacu kudanya, ia menyerbu ke gelanggang
pertempuran diikuti sekalian pasukannya.
Pada saat itu berkibar-kibarlah suatu panji berwarna hitam. Di tengahnya bergambar Bunga Menyala. Ganis Apandak pemimpin pasukan panji-panji Bunga Menyala menyahut nyaring pula,
"Hai Suryabrata! Di dunia ini bukan cuma dirimu yang jadi laki-laki. Kami bukan pula sekumpulan anjing. Hai... pasukan Keris Sakti, mundur! Biar kami pasukan panji-panji Bunga Menyala
mengganti kedudukan kalian. Mundur, agar kelak bisa membalaskan sakit hati pemim-pinmu yang gugur...."
Tatkala itu jumlah pasukan Keris Sakti tinggal enam atau tujuh puluh orang. Terdengarlah suara wakil Wiralegawa, "Terima kasih... terima kasih teman-teman seperjuangan."
Dia terus mengibarkan bendera panji-panji Keris Sakti dan mundur ke arah barat.daya.
Meskipun sudah banyak korban, namun cara mundurnya tidak kalut. Dengan dikawal dua puluh orang yang merupakan sayap luar, induk pasukannya mundur rapi.
Anak-anak murid Gunung Kencana dan Gunung Gembol hendak bergerak mengejar. Mendadak
terdengarlah suara Edoh Permanasari, "Jangan kejar!"
"Mengapa guru?" Ida Kusuma menegas seraya menghampiri.
"Mereka sudah mundur. Kalau sampai terpukul lagi pasukan panji-panji lainnya pasti akan menyerbu berbareng. Sebab betapapun juga, mereka merupakan satu himpunan. Lihat, anak-anak murid dari Gunung Aseupan belum tiba. Meskipun jumlah kita enam aliran cukup seimbang,
namun kita akan terpaksa berkorban banyak sebelum sampai menginjak dataran ketinggian
Gunung Cibugis." Peringatan itu menyadarkan mereka. Maka dengan serentak mereka mengalihkan semangat
tempurnya untuk membendung serbuan pasukan panji-panji Obor Abadi yang dipimpin langsung oleh Kusna Suryabrata.
Sangaji tak memedulikan mereka lagi. Ia sadar, pada saat itu berada di tengah-tengah kancah pertempuran. Apabila lalai, dia bisa dicurigai kedua belah pihak. Benar juga. Segera ia kena cegat barisan manusia yang terdiri dari pihak-pihak campuran. Cepat ia menjejak tanah dan terbang melalui kepala mereka. Tujuannya mengarah turun gunung. Dengan demikian ia tak dikejar lagi.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tapi sete-; lah lari berputar-putar, segera ia kembali mendaki pinggang gunung dari arah selatan.
Waktu itu matahari sudah mencongakkan diri di langit timur.
Ia beristirahat memeriksa luka Kosim. Ternyata semenjak tadi, Kosim pingsan dalam
pelukannya. Rupanya ia agak kehilangan darah. Segera ia mengumpulkan semangat dan
menyalurkan darah saktinya. Sebentar saja, Kosim memperoleh kesadarannya kembali.
40. BARISAN JALA SUTRA INDERAJAYA
BEGITU Kosim menjenakkan mata, wajah Sangaji terus saja dikenalnya. Ia heran sampai
beberapa saat membungkam. Teringatlah dia, sebentar tadi berada di tengah kancah
pertempuran. Dua orang musuh mengejarnya. Lantas mengurungnya rapat-rapat. Sekarang
mengapa berada di sini. Ia menegakkan badan seraya melayangkan penglihatannya. Terang, ia berada di pinggang
Gunung Cibugis. Tetapi mengapa begitu hening" Dan apa sebab, tiba-tiba berada di samping Sangaji.
"Kau anakku Sangaji benar-benar, bukan?" Ia mencari keyakinan.
Sangaji tersenyum. Menyahut sederhana. "Ya. Tadi Paman berada di tengah pertempuran seru.
Kebetulan aku berada di dekat medan itu dalam perjalanan ke mari. Khawatir aku sesat jalan, maka Paman kubawa ke mari."
"Ah!" seru Kosim. Dengan sekaligus ia bisa menebak delapan bagian. "Kau tolong aku dari bahaya maut. Dengan begitu aku berhutang budi untuk yang kedua kalinya sebelum dapat
membalas sesuatu kepadamu. Rupanya aku ditakdirkan untuk selalu akan berhutang kepadamu
terus menerus sepanjang masa."
"Paman berkata berlebih-lebihan. Malam tadi, sebenarnya aku harus sudah berada di Gunung Cibugis. Sekarang meskipun sudah berada di pinggang Gunung Cibugis bukankah sudah kasep"
Agaknya tiada guna lagi."
"O, tidak," sahut Kosim cepat. "Justru hari inilah yang setepat-tepatnya. Itulah berhubung dengan datangnya beberapa begundal-begun-dal Ratu Fatimah sahabat kompeni."
Dengan perlahan-lahan mereka melanjutkan perjalanan mendaki Gunung Cibugis. Sepanjang
jalan Kosim membicarakan tentang pertempuran semalam.
"Ratu Fatimah memang hebat. Tetapi lebih hebat adalah kompeni."
"Mengapa begitu?"
"Kalau semua yang bertempur semalam sampai habis ludes, bukankah yang beruntung
kompeni" Karena semenjak itu pastilah di bumi Jawa Barat takkan ada lagi suatu perjuangan senjata melawan kekuasaan kompeni," sahut Kosim.
Kosim bukanlah seorang pendekar golongan cerdik pandai. Kata-katanya sederhana. Tapi justru sederhana, otak Sangaji dapat menangkap dengan terang. Pikirnya, "Benar! Meskipun selama hidupku tak bakal melihat perwujudan Ratu Fatimah, namun rupa-rupanya pintar luar biasa. Demi mempertahankan kekuasaannya, ia membentuk suatu perguruan. Kemudian mengadakan
persekutuan luas dengan para pendekar dan kompeni. Mereka diadu melawan para pendekar
Himpunan Sangkuriang. Menang dan kalah bukan soal. Kalau menang, kekuasaan dan tahtanya
dapat diwariskan turun temurun. Sebaliknya bila kalah, setidak-tidaknya sendi kekuatan himpunan para pendekar tidaklah sekokoh semula."
"Anakku Sangaji, apa sebab engkau tiba-tiba berada di dekat pertempuran semalam?" Kosim minta keterangan.
"Itulah secara kebetulan sekali," sahut Sangaji. la seorang pemuda yang tak pandai bercerita.
Maka ia hanya mengisahkan pengalamannya selintasan. Belum lagi selesai, mendadak saja Kosim memekik kaget.
Waktu itu, ilmu sakti Sangaji susah diukur tingginya. Meskipun lagi berbicara, namun panca inderanya tetap bekerja secara wajar. Ia tak mendengar atau melihat sesuatu. Maka ia heran, apa sebab tiba-tiba Kosim memekik kaget.
"Lihat!" kata Kosim sambil menunjuk suatu tanda pada sebatang pohon.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sangaji melayangkan matanya. Pada sebatang pohon tertancap sebuah gambar obor menyala
dan kilat. Itulah tanda-tanda rahasia golongan tertentu. Siapa yang memasang gambar tersebut, itulah soalnya.
Kosim yang terluka itu, memaksa diri untuk melangkah cepat. Ia hampiri pohon itu dan berdiri tegak. Sangaji segera mendekati dan bertanya, "Apakah Paman kenal tanda itu?"
Tanpa menoleh Kosim menyahut, "Semua anggota Himpunan Sangkuriang pasti mengenal
tanda semacam ini." Ia nampak cemas dan berusaha menguasai diri. Katanya lagi dengan suara bergetar, "Itulah tanda sandi adanya bahaya."
"Bahaya" Bahaya bagaimana?"
Kosim tidak segera menyahut. Ia berbimbang-bimbang sebentar. Setelah menatap Sangaji
dengan pandang menimbang-nimbang, akhirnya berkata: "Tidak mudah orang memberi
keterangan soal ini. Maksudku bahaya apa yang mengancam. Sebab apabila hanya bahaya suatu ancaman pertempuran, tidaklah perlu memasang tanda gambar begini."
"Siapa yang memasang tanda gambar ini?"
"Simuntang. Dia salah seorang anggota pucuk pimpinan."
Suatu ingatan berkelebat dalam otak Sangaji. "Pastilah dia seorang pendekar yang cepat larinya."
"Benar. Dia laksana angin. Gerak geriknya sukar diduga," sahut Kosim.
"Ah. Kalau begitu dialah semalam yang mengocok habis Edoh Permanasari dan anak-anak murid Mandalagiri," kata Sangaji. Kemudian ia mengabarkan tentang orang berjubah usang yang memusingkan Edoh Permanasari dengan membunuh Mia Kurnia hanya dalam satu gebrakan.
"Jadi dia bernama Simuntang?" ia menegas.
"Ya, Simuntang," sahut Kosim. "Semasa pimpinan kami Gusti Ratu Bagus Boang masih memegang pucuk pimpinan, Simuntang adalah satu-satunya anggota pucuk pimpinan yang
ditunjuk sebagai juru bicara. Tetapi... tetapi..." ia berhenti sambil bercelingukan. Setelah yakin tiada orang, ia meneruskan dengan suara berbisik, "Tetapi semenjak Gusti
Ratu Bagus Boang musna tiada kabar, sayap kiri dan sayap kanan pecah dan saling bentrok.
Entah apa alasannya, masing-masing anggota ingin menduduki kursi pimpinan. Mula-mula saling merongrong kewibawaan masing-masing. Kemudian saling tuduh-menuduh dan saling fitnah-memfitnah. Akhirnya mengadu pengaruh dan saling membunuh. Harus kau ketahui, bahwa tiap
anggota pucuk pimpinan adalah pendekar-pendekar yang mempunyai daerah kekuasaan masingmasing. Sudah barang tentu peristiwa itu melemahkan gerak juang kami. Meskipun demikian, Simuntang belum pernah menulis sandi tanda bahaya. Sekarang sandi tanda bahaya nampak
tertancap di sini. Mustahil tiada terjadi suatu bahaya benar-benar... Anakku Sangaji, bahaya perpecahan" Bukankah bahaya kemusnahan?"
Sangaji belum mempunyai rasa senyawa tentang mati hidupnya Himpunan Sang-kuriang.
Walaupun demikian, hatinya tergetar mendengar bunyi pernyataan itu. la melihat Kosim berdiri tegak dengan pandang terlo-ngong-longong. Wajahnya berubah hebat pula dan sekujur badannya menggigil.
Semalam ia menyaksikan sendiri, betapa hebat jurang perpecahan di dalam perserikatan
Himpunan Sangkuriang. Masingmasing bersikap tak tahu menahu, meskipun berseragam panjipanji yang sama. Malahan saling menerjang tatkala lagi berpapasan. Tetapi teringat betapa gagah mereka menghadapi tangan maut Edoh Permanasari, ia merasa sayang terjadinya perpecahan itu.
Coba mereka bersatu-padu, pastilah musuh semacam gerombolan Edoh Permanasari bukan berarti lagi. Sekalipun Edoh Permanasari menggenggam pedang mustika Sangga Buwana yang tiada
duanya di dunia ini. "Paman! Menurut pendapatmu, bahaya apakah yang menyebabkan suatu kemusnahan?" ia mencoba mencari keyakinan. "Memang semalam secara kebetulan aku melihat beberapa
rombongan mengarah ke Gunung Cibugis. Namun aku tak yakin rombongan kurcaci demikian bisa memusnahkan Himpunan Sangkuriang. Batalyon-batalyon kompeni sendiri belum tentu mampu."
"Bagaimana aku tahu?" sahut Kosim dengan suara masih bergetar.
Tiba-tiba panca indera Sangaji yang tajam luar biasa menangkap suara langkah ringan di
kejauhan. Tahulah Sangaji, bahwa itulah langkah orang yang berilmu. Sekali berkelebat ia berdiri di atas batu menjenguk ngarai gunung. Ia melihat dua orang berseragam putih turun dari balik
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
gunduk. Dan begitu melihat Sangaji, mereka tertegun sebentar. Kemudian berbalik kembali
mendaki gunung dengan gerakan gesit.
"Paman! Mereka anggota himpunan pula yang sedang turun gunung. Biarlah kucoba mencari keterangan kepadanya," kata Sangaji.
"Gunung Cibugis dinyatakan dalam bahaya. Karena itu belum tentu mereka mau menemui,"
ujar Kosim sambil berlari, menghampiri.
"Biarlah kucoba" kata Sangaji. Setelah berkata demikian, ia menjejak tanah sambil berseru nyaring, "Saudara berhenti dahulu! Aku ingin minta keterangan beberapa patah kata!" Suaranya nyaring seperti genta dan mengaung tajam dari tebing ke tebing.
Kedua pendekar Himpunan Sangkuriang kaget mendengar suara bergemuruh. Sepatutnya
berhenti untuk memenuhi kehendak Sangaji. Sebaliknya bahkan mempercepat larinya.
Melihat perbuatannya, Sangaji heran sampai ia mempunyai dugaan bahwa mereka mungkin
tuli. Maka ia mempercepat larinya. Dalam hal mengadu kecepatan berlari, betapa mereka bisa melawan Sangaji. Sekalipun andaikata mereka iblis, takkan menang. Dengan sekejap saja Sangaji sudah dapat mengubernya, terus menghadap di depannya. Sambil membungkuk Sangaji berkata
manis, "Selamat bertemu. Perkenankan aku mengganggu sebentar."
Melihat gerakan Sangaji yang begitu gesit dan tiba-tiba membungkuk hormat, mereka
terkesiap. Cepat mereka meloncat ke samping sambil bersiaga.
"Kau mau apa?" bentak yang bercambang tebal.
"Apakah saudara anggota Himpunan Sang-kuriang?" tanya Sangaji dengan sopan. Ia melihat tanda pedang bersilang dengan seekor Kuda Semberani menendang udara.
"Kalau benar, kau mau apa?"
"Aku ini sahabat pendekar lnu Kertapati. Bila diperkenankan antarkan aku menghadap padanya.
Ingin kutahu, apa sebab kutemukan sebuah tanda kabar bahaya. Apakah yang sudah terjadi di atas gunung?"
"Kalau engkau mempunyai keberanian, cobalah mendaki sendiri!" kata yang berperawakan gemuk. Di luar dugaan setelah berkata demikian, ia tiba-tiba menghantam.
Sangaji terpaksa mengelak. Tak tahunya, orang yang bercambang tebal memukul pula dari
samping. Dengan demikian ia kena gencet. Melihat pukulan mereka yang membawa kesiur angin, tahulah Sangaji bahwa pukulan itu dilepaskan dengan sepenuh tenaga, la sadar pula, perbuatan mereka terjadi oleh suatu dugaan buruk. Kali ini Sangaji tidak mengelak. Dengan mengerahkan tenaga dua bagian, ia membiarkan dirinya kena pukulan berbareng. Sebaliknya bukan Sangaji yang mengaduh kesakitan, tetapi dengan berteriak kesakitan pukulan mereka terpental dan
Bukit Pemakan Manusia 3 Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung Perkampungan Misterius 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama