Bende Mataram Karya Herman Pratikto Bagian 5
"Nah, bilanglah pada De Groote! Kapan saja dia boleh datang," bentaknya.
Kena hajaran Willem Erbefeld, keempat pemuda Belanda itu jatuh terjengkang-jengkang.
Mukanya babak-belur dan segera lari meninggalkan lapangan dengan peringisan.
"Adik yang baik. Kau dimusuhi orang karena aku. Mulai sekarang janganlah kamu berlatih
seorang diri, bila aku tidak ada di rumah." Kata Willem Erbefeld penuh perasaan. Mendadak ia melihat si Sonny yang berdiri tertegun tak jauh daripadanya. Ia heran. "Eh ... bukankah kamu anak Kapten De Hoop?" tanyanya.
Sonny mengangguk. "Mengapa kamu ada di sini pula?"
Sonny jadi kebingungan. Tak tahu dia harus menjawab bagaimana. Matanya mengarah kepada
Sangaji hendak menyelidiki kesan si bocah. Sangaji ternyata cukup lapang dada. Melihat Sonny kebingungan timbul rasa ibanya. Lantas saja dia menyahut, "Dia melihat aku berlatih."
"Oho..." Willem Erbefeld tertawa. "Pantas kamu bersemangat. Apa kalian sudah lama
berkenalan?" Sangaji tergugu mendapat pertanyaan demikian. Sebaliknya Sonny mendapat kesan bagus
karena pembelaannya. Dasar dia seorang peranakan Belanda. Hatinya polos dan gerak-geriknya bebas. Begitu melihat Sangaji tergugu, dengan cepat dapat menebak hatinya. Dengan
mengeluarkan sapu tangan kecil ia menghampiri Sangaji dan mengusap keringat dan pasir yang menempel di pipi. Keruan saja muka Sangaji merah padam. Sebagai seorang berperasaan timur, tak bisa ia mendapat perlakuan begitu. Tetapi Willem Erbefeld malahan berkesan gembira.
Katanya girang, "Ah! Kalian sudah berteman lama. Mengapa baru kali ini aku melihat pergaulan kalian."
Mereka berdua diajak beristirahat di bawah pohon. Willem Erbefeld merenungi keduanya.
"Sangaji! Mulai minggu depan kamu harus belajar naik kuda. Kamu cukup tangkas. Kulihat kau tadi ... oya ... dari mana kamu bisa belajar berkelahi?"
Tak berani Sangaji berbohong terhadap Willem Erbefeld. Sebaliknya tak berani ia melanggar pesan gurunya. Karena itu ia jadi kebingungan. Willem Erbefeld heran berbareng curiga. Katanya lagi, "Apa selama kau kutinggalkan, seringkali berkelahi sehingga mendapat pengalaman membela diri?"
"Tidak! Tidak! Tapi tak berani aku mengatakan."
"Apakah kamu berguru pada ahli-ahli silat dan pencak?"
"Tidak! Tidak! Tapi tak berani aku mengatakan."
Willem Erbefeld tak mendesak lagi. la cukup kenal tabiat adik angkatnya. Dulu ia berani
membandel ketika di desak Mayor De Groote dengan mengucapkan kata-kata itu. Akhirnya dia berkata perlahan, "Aku tak menyalahkanmu. Seandainya benar begitu, alangkah senangku bila aku bisa berkenalan dengan guru-gurumu."
"Aku tak berguru kepada siapa pun juga," bantah Sangaji gemetaran.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Willem Erbefeld bersikap seolah-olah- tak mendengarkan. Ia kemudian mengalihkan
pembicaraan tentang rencana latihan menunggang kuda dan ilmu pedang. Sangaji jadi berlega hati. Segera ia menyambung pembicaraan. Kesannya menggirangkan hati.
"Hai!" kata Willem Erbefeld kepada Sonny. "Kau boleh melihat latihan itu."
"Mengapa hanya melihat?" sahut Sonny. "Sonny pun ingin belajar naik, kuda."
"Bagus! Mintalah izin ayahmu dulu. Kalian berdua boleh belajar naik kuda bersama-sama."
"Tapi Willem sangat galak," sambung Sangaji.
"Willem?" Sonny menebak-nebak.
"Ya, Willem." Sahut Willem Erbefeld tertawa berkakakan. "Willem nama kuda Sangaji. Bukan Willem namaku."
"Ah!" Sonny memekik heran. "Apakah kudanya diberi nama Willem?"
"Ya. Mengapa?" "Aneh." "Apa yang aneh?" Willem Erbefeld tercengang.
"Kapten Willem mengajar Sangaji menunggangi Willem. Ha, lucu kan?" ujar Sonny. Dan
mendengar ujarnya Willem Erbefeld tertawa geli juga. Sangaji tak terkecuali.
Semenjak itu Sonny berteman akrab dengan Sangaji. Dia selalu menyertai Sangaji berlatih
menembak atau menunggang kuda. Tetapi kuda yang ditunggangi bukannya si Willem. Willem
Erbefeld berlaku hati-hati. Ia tak gegabah membiarkan Sangaji berlatih dengan kuda yang masih binal.
Pada saat itu hubungan antara Sangaji dan kedua gurunya mengalami perubahan. Sangaji telah menceritakan pengalamannya berkelahi melawan empat pemuda Belanda. Ia menuturkan pula
riwayat pertemuannya dengan Kapten Willem Erbefeld dan hasrat Willem Erbefeld ingin
berkenalan dengan mereka. Mendengar tutur kata Sangaji, Wirapati dan Jaga Saradenta berdiam menimbang.
"Rasanya apa ruginya kita berkenalan dengan dia," kata Wirapati. "Kitapun boleh berharap mendapatkan perlindungannya, jika sewaktu-waktu mendapat kesulitan."
"Itupun baik," sahut Jaga Saradenta. "Cuma hatiku makin gelisah saja memikirkan iblis
Pringgasakti. Orang itu tak keruan rimbanya. Apakah dia ikut dalam rombongan Pangeran Bumi Gede pulang ke Yogyakarta?"
"Nah, apa kataku dulu. Iblis itu mempunyai caranya sendiri menuntut dendam. Kalau tak cukup tabah, jangan-jangan kau mati karena kegelisahanmu sendiri."
Keesokan harinya mereka bertemu dengan Willem Erbefeld di lapangan latihan menembak
senjata. Lantas saja mereka jadi akrab dan saling mengisahkan riwayat pertemuannya dengan Sangaji. Masing-masing pihak kagum dan akhirnya Willem Erbefeld bersedia memikul tanggung jawab mengurus kehidupan mereka berdua.
Sekarang latihan yang diberikan kepada Sangaji makin lancar dan teratur. Willem Erbefeld mengajar menunggang kuda, menembak pistol dan senapan serta ilmu pedang. Sedang, Wirapati dan Jaga Saradenta mengajarkan ilmu-ilmu sakti dan tenaga. Mengingat isi perjanjian dengan Hajar Karangpandan, mereka terpaksa melarang muridnya berlatih ilmu pedang.
"Kepandaianmu menggunakan senjata tajam harus khas dari kami," kata Wirapati. "Kau tak
boleh menerima ajaran lain."
"Begitu aku melihat kau menggunakan ilmu ajaran lain, lenganmu akan kutebas kutung,"
ancam Jaga Saradenta. Sangaji mengerti maksud kedua gurunya. Kepada Willem Erbefeki ia meneruskan pesan kedua
gurunya. Willem Erbefeld telah mendapat penjelasan tentang peraturan itu. Ia tak perlu merasa tersinggung kehormatannya.
Dan dua tahun lewatlah sudah. Sangaji telah mahir menunggangi si Willem. Ia mahir pula
menembak pistol dan senapan. Tetapi menghadapi latihan-latihan yang diberikan kedua gurunya ia merasa seperti sebintik garam kecemplung dalam lautan.
Tubuhnya kini menjadi tegap dan kekar. Tampangnya ngganteng dan matanya menyala tajam.
Selama itu dia bersahabat rukun dengan Sonny. Sonny seorang gadis yang manja, tetapi bersikap mengalah terhadap Sangaji. Kadang dia berani menggoda dengan kata-kata lembut dan
menggiurkan. Tetapi apabila Sangaji nampak menjadi kikuk, cepat-cepat ia minta maaf dan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
bergurau kekanak-kanakan. Makiumlah, umurnya kini sudah delapan belas tahun. Tak lagi dia tergolong seorang gadis tanggung, tetapi benar-benar gadis penuh.
Raut mukanya tajam. Matanya bersinar-sinar. Cerdik dan cantik. Banyak pemuda-pemuda
gandrung padanya, tetapi ia tak mempedulikan. Jan De Groote, Karel Speelman, Tako Weidema dan Pieter de Jong yang dulu menaruh hati kepada Sonny kian menjadi tergila-gila. Tetapi mereka segan kepada Willem Erbefeld. Terhadap Sangaji mereka masih mengharapkan suatu kesempatan lagi untuk mengadu tinju.
Pada suatu hari dengan mengendap-endap, Sonny mengintip Sangaji sedang berlatih dengan
Jaga Saradenta. Jaga Saradenta nampak uring-uringan. Tak puas ia menyaksikan muridnya tak bisa menangkis serangannya.
"Berkelahilah yang betul!" bentaknya. "Namaku kupertaruhkan di atas pundakmu."
Sehabis berkata begitu ia menggempur Sangaji dengan tangan kiri dan menendang berturutturut. Sangaji terkejut. Buru-buru ia menangkis dan mau membalas menyerang.
"Bagus! Seranglah aku! Jangan biarkan dirimu diserang dan hanya menangkis!" bentak Jaga
Saradenta. Wirapati kemudian menyambung, "Pukullah gurumu. Anggaplah seperti benar-benar lawanmu!"
Kini mengertilah Sangaji maksud gurunya, la lantas berkelahi dengan sungguh-sungguh. Tetapi ia kalah tenaga melawan Jaga Saradenta. Sebentar saja kuda-kudanya kena digempur dan ia kena tendang sampai terpental jauh. Tetapi begitu ia jatuh, cepat ia bangun dengan gerakan melompat.
"Bagus!" tiba-tiba terdengar suara nyaring bercampur tertawa geli.
Sangaji menoleh. Ia melihat Sonny berdiri tak jauh daripadanya. Mukanya-jadi merah. Belum lagi ia menegur, Sonny telah mendahului. "Kau kena hajar?" "He, kenapa kamu ada di sini?"
Sonny tertawa panjang. Menyahut, "Aku senang melihat kamu kena gamparan gurumu."
Sangaji jadi serba salah. Ia segan kepada gurunya yang sedang melatihnya dengan sungguhsungguh. Sebaliknya Sonny nampak polos dan tak pedulian.
"Kau tak senang aku datang menjengukmu?" tanyanya dengan tertawa manis. "Baiklah aku
pergi...!" "Eh jangan pergi dahulu. Tunggulah sebentar. Kau kuantarkan pulang."
Terpaksalah latihan itu tak dilanjutkan. Jaga Sarandenta dapat bersabar hati. la berjalan dengan Wirapati membicarakan latihan tadi.
"Wirapati! Rasanya tak ada harapan kita menang. Gadis itu berpengaruh besar dalam hati
muridmu." Wirapati tersenyum lebar, tetapi alisnya meninggi. Kemudian berkata menggoda, "Lantas" Apa aku yang harus menggantikan tempat muridmu?"
Jaga Saradenta terhenyak.
"Wirapati, maaf bukan itu maksudku," katanya sejurus kemudian. "Kita harus mencari tempat berlatih yang lebih aman. Aku tahu, masa birahi Sangaji belum berkutik dalam hatinya, tetapi ketekunannya bisa terhambat oleh hadirnya si gadis."
"Aku justru berpikir lain," sahut Wirapati. "Gadis itu anak seorang berpangkat dalam kompeni Belanda. Perlahan-lahan aku akan mencari keterangan tentang musuhmu Pringgasakti. Selama aku belum yakin benar di mana dia berada, hatiku tak pernah merasa tenteram."
"Apa hubungannya dengan dia?" Jaga Saradenta heran.
"Kau tahu mengapa dua tahun yang lalu aku menaruh perhatian kepada barisan kompeni yang
sedang sibuk menyongsong tamu. Secara tak langsung aku mendapatkan penjelasan dari dia,
ketika dia lagi ngobrol dengan teman-temannya. Ternyata kemudian aku melihat dia hadir juga dalam pesta di gedung negara."
"Hm," dengus Jaga Saradenta.
"Dia pun salah seorang penyambut tamu agung. Dia dicalonkan oleh teman-temannya menjadi
pengantar dan teman bicara Pangeran Bumi Gede. Mestinya dia tahu juga tentang pembicaraan resmi antara Pangeran Bumi Gede dan Pemerintah Belanda." la berhenti sebentar. Wajahnya
nampak keruh dan seolah-olah merindukan sesuatu. Dengan menghela napas dia meneruskan,
"Tubuhku ada di sini tapi hatiku ada di sana. Di Yogya dan di sekitar Gunung Damar."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Jaga Sarendata merenung. Tahulah dia kalau kawannya yang muda ini telah rindu pada
kampung halamannya. Dia menjadi terharu. Hatinya-pun teringat pula kepada dusunnya dan
kewajibannya menjadi Gelondong Segaluh.
"Apa si bangsat Pringgasakti ada juga di dalam gedung perundingan?" la mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Ya. Aku tahu benar, dia berada di sana. Dan aku melihat dengan mata kepalaku sendiri, Sonny ada juga di dalam gedung negara," sahut Wirapati.
Diingatkan akan sepak terjang musuh besarnya, Jaga Saradenta tergentar hatinya. Lantas saja benaknya mulai menduga-duga lenyapnya iblis Pringgasakti yang tak karuan rimbanya.
"Ah," katanya menyerah. "Dalam segala hal otakmu lebih encer daripadaku. Aku si orang tua ini masih saja terburu nafsu. Baiklah, urusan si Sonny tidak akan kusinggung-singgung lagi."
Sonny saat itu berjalan berendeng dengan Sangaji. Ia berbicara banyak. Suaranya riang
menyenangkan, la mengajak berjalan menyusur pantai dan dari sana membelok ke pasar ikan.
"Sangaji kamu ditunggu Ayah," katanya lincah.
"Mengapa?" "Pada hari Mnggu besok kamu mau diajak pergi berburu ke hutan Tanggerang."
"Mengapa aku diajaknya?"" Hari Mnggu justru aku lagi sibuk."
"Akulah yang mengusulkan."
Sangaji tercengang-cengang. Tak dapat dia menduga maksud Sonny mengajak berburu.
Sebenarnya hal itu adalah suatu penghormatan besar baginya. Pada masa itu tak mudah
seorang Bumiputera diajak berburu oleh bangsa Belanda, jika bukan salah seorang yang termasuk sahabat karib.
Ternyata Kapten De Hoop adalah seorang perwira Belanda yang ramah dan berwibawa.
Tubuhnya tinggi jangkung, tegap dan berpengaruh. Ia diiringi oleh dua orang anaknya laki-laki yang berumur kira-kira 24 tahun dan 22 tahun. Mereka bernama Judy dan Bobby.
Hutan yang tumbuh di sekitar Tanggerang cukup padat. Binatang-binatang buruan tak
terhitung jumlahnya. Mereka semua"kecuali Sonny "pandai menembak.
Sangaji sangat gembira. Ia dapat mempraktekkan ilmu menembak ajaran Willem Erbefeld.
Tembakannya tak pernah meleset. Makin lama bahkan makin tepat mengenai sasaran bidikan
yang dikehendaki. Dua ekor rusa yang lari cepat berjajar mati berbareng kena tembakannya dari samping.
Kapten Hoop kagum menyaksikan ketangkasannya si bocah. Semenjak itu ia berjanji dalam hati akan selalu membawa dia pergi berburu. Kepada Sonny dia berkata memuji, "Sonny! Pintar kamu memilih kawan berburu. Penglihatanmu tajam dan tepat."
Karena pujian itu Sony kegirangan. Pertama-tama, ia kini akan selalu bersama bila pergi
berburu. Kedua, pergaulannya dengan anak Bumiputera telah diketahui ayahnya, la akan lebih dapat bergaul dengan bebas dan terang-terangan. Seperti diketahui Sonnylah yang mengusulkan agar ayahnya mengajak Sangaji pergi berburu.
"Dia pandai menembak, Ayah," katanya merengek. "Seringkali aku melihatnya berlatih
menembak. Kapten Willem Erbefeld yang melatih dan mengajar."
"Hai, mengapa Kapten Willem Erbefeld?" ayahnya heran berbareng menduga-duga.
"Dia adik angkatnya."
"Ah!" kini ayahnya mengerti. Tetapi ia ingin melihat apakah adik angkat Kapten Willem Erbefeld benar-benar pandai menembak. Itulah sebabnya, saat ia menyaksikan ketangkasan Sangaji,
dengan tulus hati ia menyatakan pujiannya.
Malam itu juga mereka kembali ke Jakarta. Sangaji mendapat bagian seekor rusa dan dibawa pulang ke ibunya. Ia akan mengundang kedua gurunya untuk ikut berpesta. Dengan sangat ia meminta agar ibunya memasak masakan yang enak.
"Aku nanti akan membantu, Bu," katanya.
"Kamu bisa bantu apa?" sahut Rukmini. Dia menyayangi putra tunggalnya itu. Maka setelah
Sangaji pergi meninggalkan rumah untuk mengundang gurunya, diam-diam ia memanggil
tetangganya untuk diminta datang membantu. Melihat rusa begitu gemuk tetangganya sudah
barang tentu tak dapat menolak. Lantas saja mereka datang dengan membawa alat-alat dapur.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sangaji sendiri waktu itu sudah berada di jalan besar. Ia berjalan meloncat-loncat karena kegirangan sambil melatih kegesitan tubuhnya. Mendadak ia ditegor oleh seorang pemuda kira-kira berumur 20 tahun dengan bahasa Jawa.
"He, anak muda ! Kalau kau berani, ayo kita berkelahi!"
Heran Sangaji tiba-tiba ditantang seseorang. Rumah pondokan kedua gurunya tinggal beberapa langkah di depannya. Hatinya lantas bimbang. Mengundang kedua gurunya dulu ataukah meladeni tantangan pemuda itu.
"Kamu siapa ?" ia mencoba bertanya.
Pemuda itu tertawa perlahan. Menjawab setengah merendahkan, "Tak peduli siapa diriku, tapi kamu kutantang. Kau laki-laki, kan" Seorang laki-laki ditantang seseorang, kok seperti
perempuan?" Merah muka Sangaji direndahkan demikian. Ia menghampiri dan masih mencoba meyakinkan
pemuda itu. "Kalau aku berkelahi, aku harus berkelahi dengan jelas. Antara kau dan aku belum saling kenal.
Kurasa, tak ada alasan untuk berkelahi"
Kembali lagi pemuda itu tertawa perlahan. Mendadak saja dia menyerang. Sebat gerakannya.
Tahu-tahu kakinya telah mengirimkan tendangan dan tangannya menyambar urat leher.
Sangaji terperanjat diserang demikian. Masih sempat dia berkisar dari tempatnya. Tangan
kanannya menangkis sambaran dan tinju kirinya mengarah dada. Inilah salah satu jurus ajaran Jaga Sarandeta.
Pemuda itu terpaksa mengurungkan serangannya. Cepat-cepat ia menarik diri dan mengulangi gerakan yang lain. Gerak-geriknya enteng dan gesit. Sebentar bergerak ke kiri, sebentar pula ke kanan. Tangannya menyambar-nyambar tiada henti seperti gerak-gerik seekor garuda menyambar mangsa. Karuan saja Sangaji kena terdesak mundur. Mendadak teringatlah ia pada jurus ajaran Wirapati yang belum pernah dilakukannya. Jurus itu diciptakan Wirapati untuk mempertahankan diri dari serangan maut sambil membalas. Sebenarnya khusus disiagakan untuk menghadapi
serangan Pringgasakti manakala muncul dengan tiba-tiba. Hebatnya tak terkirakan. Dan sekarang Sangaji menggunakan jurus maut itu karena merasa diri terdesak telak.
Meskipun demikian ia mencoba memberi peringatan.
"Awas! Lenganmu bisa patah! Rahangmu bisa mencong!"
Jelas, maksudnya tak ingin mencelakakan si pemuda, hanya semata-mata membebaskan diri
dari serangan bertubi-tubi. Pemuda itu terperanjat bukan kepalang. Tak dapat lagi ia meloloskan diri. la lantas nekad. Dengan membabi buta ia menyerang muka Sangaji.
"Hai!" Sangaji terkejut Sama sekali tak diduganya, kalau si pemuda malahan menyerang untuk membebaskan diri. Karena tak bermaksud mencelakai orang, buru-buru serangannya ditarik. Kini ia membenturkan sikunya sambil menendang pinggang.
Melihat perubahan jurus Sangaji, pemuda itu mengira berhasil menggagalkan serangannya.
Keberaniannya bangkit dan hatinya menjadi besar. Tidak memberinya ampun lagi, ia mengelak dan menggempur pundak.
Sangaji terhuyung. Pundaknya terasa sakit, la melompat mundur sambil membentak, "Siapa
kau sebenarnya?" "Aku anak Jawa seperti kamu," jawab si pemuda. "Ayo, kita terus berlatih."
"Berlatih?" diam-diam Sangaji berpikir. "Apa dia clikirim guru mencoba kecakapanku?"
Mendapat pikiran begitu segera ia bersiaga dan kini berkelahi dengan sungguh-sungguh, la tak membiarkan diri diserang lagi. Dicobanya mempengaruhi gerakan lawan seperti yang dilakukan terhadap keempat pemuda Belanda. Dibandingkan dengan dua tahun yang lalu, gerak-geriknya kali ini jauh lebih berbahaya dan bertenaga. Tetapi aneh! Menghadapi pemuda ini, jurus-jurusnya seperti tak berjalan.
Pemuda itu dapat membebaskan diri dengan leluasa dan kadang-kadang bisa membalas
menyerang. Sangaji jadi kelabakan dan terdesak mundur. Tetapi ia dapat berlaku tenang.
Perhatiannya dipusatkan dan perlahan-lahan ia mulai dapat menyelami kecakapan lawan.
Tiga puluh jurus sudah lewat begitu cepat. Ia kini bergerak berputar seperti gelombang.
Kadang-kadang ia berhasil mendesak dan menendang lawan. Tapi sering pula kena dirangsak
bertubi-tubi. Mendadak terdengar suara bentakan Jaga Sarandeta, "Serang bagian bawah, tolol!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Mendengar suara gurunya bangkitlah semangat tempur Sangaji. Dengan cepat ia memusatkan
serangannya di bagian bawah. Penglihatan gurunya ternyata tepat. Segera juga ia mendesak si pemuda. Dan dengan suatu gerakan sebat si pemuda kena dihantam dan ditendang sampai jafuh berjungkir-balik.
Melihat si pemuda jatuh berjungkir-balik, Sangaji lalu mendekati. Kedua lengannya disodorkan hendak mencengkeram pundak. Terdengar suara Wirapati memperingatkan, "Awas! Jangan
sembrono!" Sangaji kurang berpengalaman. Musuhnya kali ini bukan seperti keempat pemuda Belanda yang hanya mengutamakan kekuatan tubuh dan tenaga tinju. Sebaliknya seorang pemuda yang
mengenal dan mengerti ilmu berkelahi. Begitu ia hendak mencengkeram, si pemuda
menggulingkan tubuhnya dengan sebat. Kemudian menendang perut sambil meloncat bangun.
Tak ampun lagi, Sangaji jatuh terbalik. Perutnya terasa nyeri bukan kepalang. Namun ia gesit.
Belum sampai tubuhnya terbanting di atas tanah. Kedua ka-kinya menjejak dan ia berdiri tegak.
Serentak ia mengerat gigi dan bersiaga hendak melompat menerkam. Tetapi kedua gurunya sudah mendahului. Gesit seperti ikan mereka lantas saja mengepung si pemuda.
"Siapa kamu, berani kurang ajar di hadapanku?" bentak Jaga Sarandeta.
Sangaji terkejut berbareng heran. Jelas"mendengar bentakan gurunya"pemuda itu bukan
dikirim gurunya untuk mencoba kecakapannya.
Pemuda itu tak mengenal takut, la berjaga-jaga diri sambil menjawab, "Aku bernama Surapati.
Atas perintah guruku aku datang menghadap Tuan."
"Siapa gurumu?"
Pemuda yang bernama Surapati sekonyong-konyong menundukkan kepala sambil menyembah.
Jaga Sarandeta sangsi. Tak mau ia membalas Surapati. Ia menoleh kepada Wirapati minta
pertimbangan. "Ayo, kita bicara di dalam," ajak Wirapati tegas.
Mereka berempat memasuki rumah. Jaga Sarandeta nampak muram, karena menyaksikan
muridnya bisa dikalahkan. Sedangkan Wirapati sibuk menduga-duga.
"Nah ulangi, ada apa kamu datang kemari?" katanya menegas.
Dengan hormat Surapati menjawab, "Beberapa hari yang lalu kami serombongan dari
Yogyakarta datang ke Jakarta. Selain menunaikan tugas Gusti Patih, aku diperintahkan guruku menghadap Tuan."
"Siapa gurumu?"
"Hajar Karangpandan."
Mendengar jawaban Surapati, Wirapati dan Jaga Sarandeta terperanjat sampai berjingkrak.
Jaga Saradenta seorang laki-laki yang berwatak keburu nafsu, lantas saja menyambar baju si pemuda sambil membentak, "Bilang yang benar! Kami tak mau kaupermainkan. Siapa kau?"
Dengan tenaga Surapati menjawab, "Namaku Surapati. Cukup jelas" Aku murid Hajar Karangpandan. Ayahku salah seorang hamba istana Kepatihan Danurjan."
Jaga Saradenta tertegun. Malu, ia diperlakukan demikian oleh Surapati. Ia menyiratkan
pandang kepada Wirapati. "Bagaimana kamu tahu kami berdua berada di sini?"
"Hal itu tak dapat kumengerti. Aku hanya menjalankan perintah belaka. Guruku berkata, kalau aku harus menyampaikan rasa terima kasih sebesar-besarnya, karena Tuan sekalian sudah
bercapai lelah." Perlahan-lahan Jaga Saradenta melepaskan cengkeramannya, la duduk terhenyak di atas kursi.
Pandangannya muram luar biasa.
Wirapati bersikap lain. Tak mau ia mendesak Surapati. Ia mengalihkan pembicaraan.
"Kudengar kamu datang dengan maksud baik. Kenapa merobohkan Sangaji" Apa kamu
diperintah gurumu untuk mencoba kecakapan Sangaji sebelum hari pertandingan tiba?"
Surapati tak menjawab, la hanya mengulurkan sepucuk surat yang terbungkus rapi. Wirapati menerimanya dengan takzim dan membaca isinya. Diterangkan oleh Hajar Karangpandan, kalau dia mengetahui keberadaannya berkat keterangan Pangeran Bumi Gede yang datang di Jakarta dua tahun yang lalu. Pangeran Bumi Gede secara kebetulan melihat Sangaji sedang berlatih. Dia
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mengenal Wirapati, tapi dia heran atas hadirnya Jaga Saradenta. Untuk capai lelah itu Hajar Karangpandan menghaturkan terima kasih.
Kemudian ia mengingatkan kembali, bahwa masa bertanding tinggal dua tahun lagi. Tentang
hasil jerih payahnya mencari Sanjaya ia menerangkan, si anak sudah diketemukan semenjak
delapan tahun yang lalu. Itu terjadi secara kebetulan, karena Pangeran Bumi Gede sedang
mencari seorang pemimpin perajurit. Mengingat si anak dia terpaksa menerima jabatan itu.
Setelah selesai membaca surat Hajar Karangpandan, Wirapati terperanjat. Dengan masgul dia berkata kepada Jaga Saradenta, "Jaga Sardenta! Dalam perlombaan mencari si anak kita berdua sudah kalah jauh."
"Tidak!" potong Jaga Saradenta penasaran. "Soalnya bukan kita yang kalah, tetapi karena nasib dia lebih bagus."
Tetapi setelah berkata demikian tubuhnya menjadi lemas. Dalam hal mengadu kelicinan benarbenar dia merasa kalah. Mestinya Hajar Karangpandan pun mengalami kesulitan juga tak beda dengan dirinya.
"Wirapati! Siapa mengira, kalau Pangeran Bumi Gede secara sembunyi mengetahui keadaan
kita. Benar-benar licin dia seperti katamu. Dia mengetahui kita, sedang kita tak mengetahui sesuatu pun tentang dirinya."
Sekonyong-konyong ia bangkit dan menyambar dada Surapati. Berkata membentak, "Hai! Apa
yang telah terjadi di Yogyakarta?"
"Aman tenteram," sahut Surapati gugup.
"Kau diutus siapa ke mari?"
"Aku anak hamba Gusti Patih. Sudah barang tentu aku diutus beliau."
"Diutus apa?" "Itu urusan pemimpin rombongan. Aku hanya dititahkan agar ikut berangkat dengan
rombongan. Kemudian aku dititipi surat guru ini lewat Gusti Pangeran Bumi Gede."
"Hm." Jaga Saradenta mendongkol. Berkata membentak, "Kau murid Hajar Karangpandan yang
tertua?" Surapati tertawa perlahan. "Aku anak Taruna-sumarta, hamba istana Kepatihan Yogyakarta.
Karena bernasib baik aku dititahkan Gusti Patih mengabdi pada Gusti Pangeran Bumi Gede untuk berguru kepada Ki Hadjar Karangpandan. Ini terjadi empat tahun yang lalu. Dengan begitu aku adalah adik seperguruan Raden Mas Sanjaya."
"Apa kau bilang" Raden Mas Sanjaya?" Wirapati terkejut.
"Ya. Dia putera Gusti Pangeran Bumi Gede. Bukankah aku harus menyebutnya dengan Raden
Mas?" Wirapati terhenyak. Hatinya lantas saja sibuk menduga-duga. Dulu ia melihat isteri Wayan Suage dilarikan si pemuda. Apakah akhirnya diambil isteri oleh si pemuda pula" Mendadak saja timbullah rasa kebenciannya. Sekali bergerak ia menyambar lengan Surapati sambil membentak.
"Kau berjungkir balik pula!"
Kena disambar Wirapati si pemuda terpental sepuluh langkah dan jatuh bergulingan di tanah.
Lama dia baru bisa merayap bangun. Terdengar suara Wirapati bergelora, "Sampaikan kepada gurumu, kami Wirapati dan Jaga Saradenta tetap menerima tantangan itu. Dua tahun lagi kami datang membawa Sangaji. Dan kau bersyukurlah, karena aku hanya menjungkir-balikkan dirimu.
Bukankah kamu mau mencoba-coba Sangaji atas perintah Pangeran Bumi Gede?"
Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tak dapat Surapati menyangkal tuduhan Wirapati. Selain benar belaka, ia ketakutan. Sambaran Wirapati bukan main kuatnya. Begitu ia kena terkam, tenaganya lantas saja menjadi, lumpuh.
Angin sambarannya pun sudah bisa menyakiti seluruh tubuhnya. Mau tak mau ia menahan diri dan cepat-cepat pergi dengan tersipu-sipu.
Wirapati terdiam mengawasi Surapati pergi. Ia menghela napas dalam. Berkata seperti
menyesali diri, "Jaga Saradenta! Terpaksa aku memberi hajaran setan cilik itu... Apa boleh buat..."
"Mengapa menyesal?" sahut Jaga Saradenta. "Tindakanmu benar. Kalau kamu tadi berdiam diri, akulah yang akan mengambil tindakan. Cuma saja memang Sangaji..."
Wirapati mengangguk. Hatinya mendongkol benar. Terang-terangan dia dihina orang. Selagi
menghadapi adik seperguruan Sanjaya, Sangaji bisa dirobohkan. Apalagi kalau dua tahun nanti dia dihadapkan dengan Sanjaya. Sudahlah bisa dibayangkan siapa yang unggul dan kalah.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Hm... Jaga Sadenta, apa pendapatmu?"
"Padang seluas itu telah kita tempuh. Gunung-gunung, bukit-bukit telah kita lampaui dan
sungai-sungai telah kita seberangi ... masa sudah merasa kalah kena gertak?"
Waktu itu Sangaji terganggu seperti tugu mendengarkan percakapan kedua gurunya. Tahulah
ia betapa besar rasa kecewa mereka terhadapnya. Lantas saja dia merasa dirinya terlalu kerdil untuk bisa menerima semua ilmu kedua gurunya.
Tiba-tiba berkatalah Wirapati, "Sangaji, marilah berbicara! Kautahu sekarang, mengapa kami berdua bercapai lelah menurunkan beberapa ilmu tak berarti kepadamu. Semata-mata karena
kami berdua sudah terikat janji kepada seorang perkasa nun jauh di timur bernama Hajar
Karangpandan." "Aku sudah tahu semenjak dua tahun yang lalu, ketika guru berbicara dengan Ibu," potong
Sangaji dengan suara rendah.
"Betul, tapi belum pernah sekali juga kami berbicara terus terang. Sekarang apa boleh buat.
Kamu sudah ketumbuk batu pada malam hari ini. Terpaksa kami menerangkan semuanya. Setelah itu, maukah kamu mempergiat diri dan lebih rajin menekuni pelajaran?"
Sangaji menundukkan kepala. Tak sanggup ia menerima kata-kata gurunya yang berkesan
sedih, cemas dan menyesali dirinya.
"Sangaji!" terdengar Jaga Saradenta. "Kau seorang laki-laki. Biarlah dirimu menerima semua kenyataan. Akupun dulu pernah dikalahkan musuh dengan terang-terangan dan di depan umum.
Tidak hanya sekali dua kali, tapi sering. Tapi tak perlu berkecil hati. Langit masih luas dan dunia masih lebar. Menang atau kalah adalah jamak buat kesatria. Tegakkan dirimu. Teguhkan hatimu.
Dan kamu akan bisa bergerak maju..."
Hebat kata-kata Jaga Saradenta. Hatinya heran berbareng kagum. Tak pernah ia menduga,
kalau gurunya yang galak itu sebenarnya sangat menyayangi dirinya. Terbukti dengan katakatanya yang sangat membesarkan hati dan tak rela menyaksikan dirinya bakal kena dicemoohkan orang. Tanpa disengaja ia menegakkan kepala. Dengan mata berapi-api ia menjawab, "Guru! Aku akan mengerahkan segenap tenagaku. Mudah-mudahan guru dapat menurunkan ajaran-ajaran
gawat kepadaku dan akupun sanggup memuaskan Guru."
"Hai! Janganlah kamu bekeija demi kepentinganku!" seru Jaga Saradenta. "Tetapi ajaklah
dirimu sendiri agar kamu bisa menanjak tinggi. Dengan begitu kau takkan merasa tersiksa."
Kata-kata Jaga Saradenta benar belaka. Ia menundukkan kepala lagi.
*** 9 ORANG BERKEPALA GEDE. MALAM itu jadi Sangaji berpesta. Tak kuasa ia ingin membanggakan pengalamannya pergi
berburu dengan keluarga Kapten de Hoop di hadapan gurunya yang sedang kecewa. Ketika pulang ke rumah, masakanpun belum siap. Baru keesokan harinya daging rusa telah tersulap menjadi beberapa macam masakan yang sedap menusuk hidung.
Namun Sangaji kehilangan nafsu makan. Ia duduk berjuntai di atas kursi. Pandangannya
berkelana di kejauhan. Rukmini heran menyaksikan perangai anaknya. Sebagai seorang ibu
tahulah ia kalau anaknya sedang berduka. Pikirannya menduga-duga, semalam ia kelihatan
gembira kenapa sekarang berubah dengan tiba-tiba?"
Didekati anaknya dan ia berkata sayang, "Mana gurumu" Apakah mereka tak datang hari ini?"
Dengan pendek Sangaji menjawab, "Guru sedang sibuk benar."
Sehabis berkata demikian, Sangaji meninggalkan rumah. Ia menuju ke tepi pantai dan mulai berlatih dengan sungguh-sungguh. Matahari yang merangkak-rangkak tak peduli dari timur ke barat tak diindahkan. Ia seperti kemasukan setan. Tenaganya penuh dan terus berputar-putar tiada mengenal hari sampai terdengar suara menegor, "Sejam lagi napasmu bisa putus."
Sangaji mengenal suara siapa itu. Ia menoleh dan gurunya berdiri berseri-seri tak jauh dari tempatnya. Segera ia menghampiri dan membungkuk memberi hormat.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Eh, Sangaji! Mengapa semalam tak bilang, kalau kamu mau mengundang kami berpesta?" kata Jaga Saradenta dengan wajah berseri-seri. "Ibumu sampai memerlukan datang ke pondok
sendiri." Sangaji heran bercampur girang mendengar kata-kata gurunya. Cepat ia menghaturkan maaf
dan berkata kalau ia tak berani mengundang berpesta karena mereka sedang sibuk.
"Ayo pulang!" ajak Wirapati kemudian. Dan mereka bertiga lalu pulang bersama. Di rumah
Rukmini menjemput mereka dengan gembira. Pesta daging rusa akhirnya dapat juga
diselenggarakan dengan bernapas kegirangan dan keriangan.
"Mulai besok kamu akan benar-benar sibuk," kata Jaga Saradenta. "Kami berdua telah
menyusun rencana pelajaran. Barangkali terlalu berat untukmu."
"Bagaimana beratnya aku akan mencoba," sahut Sangaji girang.
Dan sesungguhnya apa yang dikatakan Jaga Sarandeta benar belaka. Pelajaran gerak badan
dan ilmu-ilmu yang diturunkan semenjak itu bukan main sulitnya. Semuanya jauh berbeda dengan apa yang pernah dipelajari dua tahun yang lalu. Kali ini benar-benar meminta tenaga dan
kesungguhan. Tubuhnya cepat letih dan bergemetaran. Namun ia tak berani mengeluh di depan kedua gurunya yang bersikap garang dan memaksa, la mencoba dan akhirnya hampir kehilangan napas. Mendadak terdengarlah suara riang menusuk telinganya,
"Sangaji! Kau disiksa guru-gurumu lagi?"
Sangaji terkejut dan cemas. Yang datang ialah si Sonny. Gadis itu tak tahu, kalau kedua
gurunya kini bersikap garang. Karena cemas ia sampai menggigit bibirnya. Lalu menyahut
setengah memohon, "Sonny! Biarkan aku di sini dulu. Nanti aku bertandang ke rumahmu."
"Ayah memanggilmu," sahut Sonny tak per-duli.
'Ya"bilanglah, aku lagi sibuk. Sebentar lagi aku datang."
"Mengapa begitu" Tidak senang ya aku datang menjengukmu berlatih?"
"Sonny! Benar-benar aku sedang sibuk."
Sonny mencibirkan bibirnya. Ia kemudian duduk di atas tanah.
"Aku akan menunggu kamu di sini sampai latihanmu selesai."
Benar-benar hati Sangaji risau diperlakukan demikian oleh Sonny. Sonny seorang gadis Indo yang polos dan bebas. Sedang kedua gurunya memegang teguh tata-susila ketimuran. Ketika ia melihat hadirnya si gadis, mereka nampak kurang senang. Segera mereka memanggil Sangaji dan diajaknya pergi menjauhi. Di sana mereka mencoba memberi latihan-latihan baru.
Tetapi bagaimana mereka bisa memasukkan semua ajarannya dalam waktu singkat. Selain
ajaran-ajarannya sangat sulit tenaga Sangaji kian lama kian menipis. Akhirnya mereka mengeluh dan meninggalkan lapangan latihan dengan masgul.
Menyaksikan perangai kedua guru Sangaji, Sonny nampak geli. la tertawa panjang dan
matanya bersinar-sinar. Katanya, "Kamu disesali gurumu" Aku senang melihatmu kena
dampratan." Sangaji sedih bukan kepalang. Dengan napas tersengal-sengal ia menyahut, "Sonny! Mengapa kamu menggangguku sedang berlatih. Waktuku tinggal sedikit."
"Kamu mau ke mana, sih" Apa perlu kamu begitu tekun berlatih berkelahi" Apa mau jadi
seorang jagoan?" Dihujani pertanyaan demikian hati Sangaji jadi kalang-kabut. Ia berputar mengungkurkan
sambil membentak, "Sonny! Mulai hari ini maukah kamu menjauhi diriku?"
Sonny terperanjat dibentak demikian. Belum pernah sekali juga Sangaji berbicara sekeras itu.
"Apakah aku mengganggumu" Aku datang ke mari semata-mata untuk kepentinganmu. Ayah
memanggilmu. Apa aku salah menyampaikan kabar ini?"
Sangaji terhenyak mendengar ujar Sonny yang kekanak-kanakan. Terpaksa ia menyabarkan diri sambil menelan ludah. Tatkala hendak membuka mulut, Sonny mendahului, "Baiklah, kalau kamu tak suka berkawan denganku, mulai hari ini aku takkan menghampiri dirimu lagi."
Sangaji terperanjat, la tahu watak Sonny polos. Apa yang dikatakan membersit dari hati
nuraninya. Karena itu, buru-buru ia menghampiri sambil berkata menyanggah, "Sonny! Janganlah kamu salah paham. Dengarkan, aku berbicara."
Ia kemudian membujuk agar Sonny mengerti masalahnya. Tetapi tentang masa pertandingan
dua tahun yang akan datang tak diterangkan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sonny dengan cepat dapat menerima semua penjelasan Sangaji. Ia kemudian berjanji tidak
akan datang mengganggu lagi. Tetapi hari itu Sangaji harus ikut menghadap ayahnya.
Di rumah Sonny ternyata banyak juga kawan-kawan Sonny yang datang. Hari itu hari ulang
tahun Sonny yang ke-18. Ayahnya memberi hadiah bermacam-macam benda kesayangan. Sonny
mengucapkan terima kasih.
"Ayah, pada hari ulang tahun ini bolehkah aku mengatakan suatu permohonan?"
"Tentu, tentu!" sahut ayahnya cepat.
"Pertama-tama, maukah Ayah membentuk regu pemburu. Kedua, aku minta hadiah sepucuk
senapan berburu. Dan senapan itu akan kuhadiahkan kepada kawanku Sangaji. Ternyata dia
pandai menembak dengan tidak ada celanya."
Permohonan Sonny ini disambut dengan tepuk tangan riuh oleh kawan-kawannya. Ternyata
ayahnya mengabulkan permintaannya dan mengangkat Sangaji menjadi salah seorang anggota
regu pemburu. Sangaji merah padam karena segan dan malu. Tetapi Sonny sebaliknya
bergembira. Ia datang menghampiri dan membawanya berdiri di depan kawan-kawannya.
Kemudian dia mengajak kawan-kawannya bernyanyi sebagai lagu kehormatan pelantikan itu.
Mau tak mau Sangaji harus membagi waktunya. Latihan-latihan gurunya yang makin lama
makin berat tak dapat ditekuni secara penuh, karena pada setiap hari Minggu wajib ia berangkat berburu bersama keluarga Kapten de Hoop.
Waktu itu bulan pertama tahun 1803. Satu tahun lagi hari pertandingan bakal tiba. Meskipun Sangaji lebih maju daripada tahun yang lampau, tetapi kemajuannya terasa lambat. Pada suatu hari ia berada lagi dalam hutan perburuan. Semalam dia baru menerima jurus ke-36 dari Wirapati.
Jurus itu indah, tetapi sulit luar biasa. Untuk dapat menirukan gayanya saja dia harus sanggup berlaku sebat dan gesit. Ia selalu merasa gagal, karena itu, hari-hari perburuan yang biasanya bisa membangkitkan suatu kegembiraan terasa menjadi tawar.
Ia kemudian menyisihkan diri dari mereka. Dengan membawa senapannya ia berdiri di tepi
jurang. Kemudian mulailah dia berlatih jurus ke-36. Ia gagal lagi dan gagal lagi. Sekonyong-konyong terdengarlah suara dingin di belakangnya.
"Seratus tahun lagi masa kamu tidak berhasil."
Sangaji menoleh. Ia melihat seorang laki-laki bertubuh kekar. Kulitnya hitam legam. Rambutnya terurai panjang. Kepalanya gede. Matanya tajam dan mulutnya berbibir tebal.
"Apa katamu?" kata Sangaji heran.
Laki-laki itu tersenyum. Tak lagi ia mengulangi ujarnya. Sekonyong-konyong menubruk dengan suatu kehebatan mengagumkan. Tahu-tahu tubuh Sangaji menjadi kaku dan tak bergerak lagi.
Sangaji pernah melihat kegesitan Wirapati empat tahun yang lalu. Sebenarnya tak perlu ia kagum pada kegesitan laki-laki itu. Tetapi yang diherankan ialah, gerakan laki-laki itu adalah jurusnya ke-36. Jurus itu dapat dilakukan dengan gampang dan sempurna.
"Nah, lihat! Apa susahnya?" katanya sambil tersenyum. Kemudian ia bergerak lagi
membebaskan rasa kaku Sangaji. Setelah itu menyambar batang pohon dan memanjat dengan
cepat seperti seekor kera. Berpindah-pindah dari dahan ke dahan dan melompat-lompat tanpa menerbitkan suatu suara.
Ketika itu Sonny tiba-tiba muncul pula tak jauh daripadanya. Gadis itu ternganga-nganga
menyaksikan kehebatan laki-laki itu. Dengan menahan napas tubuhnya tak bergerak. Mendadak saja laki-laki berkepala gede itu melayang mau menubruk si gadis.
Sangaji terperanjat. Cepat ia melompat menghadang di depan Sonny dan siap melontarkan
serangan maut yang dipersiagakan Wirapati untuk menghadapi serangan Pringgasakti. Tetapi ternyata laki-laki berkepala gede itu tak meneruskan menubruk. Ia melesat dan melompati jurang pulang balik.
Sonny memejamkan mata. Tak tahan ia menyaksikan laki-laki itu melompati jurang. Sebab jika tak berhasil, tubuhnya pasti akan jatuh hancur luluh di bawah sana.
"Bagaimana" Apakah dia ..." tanyanya perlahan.
"Lihat! ia meloncat-loncat begitu gampang," sahut Sangaji.
Mendengar keterangan Sangaji, Sonny membuka matanya. Justru pada waktu itu ia melihat
tubuh laki-laki berkepala gede seolah-olah terpeleset dari tebing jurang dan tubuhnya terpelanting jatuh ke bawah.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sonny memekik. Sekonyong-konyong terasalah kesiur angin. Tahu-tahu laki-laki berkepala gede itu telah berada di hadapannya, la tertawa lebar sambil berkata, "Kamu mestinya harus bisa bergerak begini wajar."
Waktu itu di atasnya bergerak sepasang lutung kira-kira berumur satu tahun. Laki-laki gede itu lantas saja melesat menangkap kedua lutung tersebut. Dengan tertawa ia menyerahkan kedua lutung itu kepada Sonny dan Sangaji.
"Inilah buah tanganku. Masing-masing seekor. Peliharalah dengan baik-baik. Di kemudian hari akan banyak manfaatnya."
Sonny kegirangan. Segera ia mau menerimanya, tapi laki-laki berkepala gede itu berkata lagi,
"Kalian harus berjanji dulu. Kalian kularang mengabarkan kepada siapa pun juga tentang diriku.
Kalian kularang juga menceritakan perwujudanku. Kalian berjanji?"
Sonny berwatak polos. Lantas saja dia memanggut. Sedang Sangaji sibuk menebak-nebak
siapakah laki-laki itu. Sonny kemudian menerima kedua ekor lutung itu dan dibawa lari menjauh, la bermaksud
hendak kembali dulu ke perkemahan. Sangaji mengawaskan dengan mulut ternganga-nganga,
kemudian diam-diam memuji ketangkasan laki-laki berkepala gede.
Laki-laki berkepala gede mengawaskan dirinya, lalu bergerak hendak meninggalkan. Sangaji buru-buru menyanggah.
"Aki...! Janganlah pergi dahulu!"
Laki-laki itu memang pantas dipanggil aki, karena umurnya tak terpaut jauh dari Jaga
Saradenta. Ia bergerak dan menghadap padanya.
"Mengapa?" Sangaji menggaruk-garuk kepala. Sulit ia hendak mulai berbicara. Tapi hanya sejenak.
Sekonyong-konyong ia membungkuk dan menangis terisak.
Laki-laki berkepala gede itu keheran-heranan. Tak dapat ia menebak maksud si bocah. Segera ia membangunkan.
"Kenapa kamu menangis?"
"Aki! Aku seorang anak bebal. Sudah kucoba jurus-jurus ini. Selalu saja aku gagal. Benar dugaan Aki, mungkin seratus tahun lagi aku belum berhasil." Jawab Sangaji sambil berisak sedih.
"Ah! Itu yang kamu risaukan?" Sahut laki-laki berkepala gede. "Akupun akan mengalami nasib sepertimu juga kalau hanya berlatih secara wajar"
"Apakah gerakan-gerakan Aki yang begitu gesit tidak wajar?" Sangaji heran sambil
membersihkan air matanya.
"Justru itulah gerak-gerakan wajar. Menurut perasaanku aku bergerak secara wajar sekali.
Napasku tak usah memburu. Tak perlu pula aku mengeluarkan tenaga." Keterangan laki-laki
berkepala gede itu mengherankan Sangaji sampai mulutmya ternganga. Katanya meninggi,
"Bagaimana mungkin tak mengeluarkan tenaga?"
"Benar tak mengeluarkan tenaga. Aku tidak bohong."
"Bukan aku tak percaya kepada keterangan Aki, tapi... aku sudah lama menyusahkan kedua
guruku. Ingin aku menyenangkan hati beliau berdua. Siang dan malam aku berlatih., tapi selalu saja aku..."
"Apa kamu ingin saranku?" potong laki-laki berkepala gede.
"Benar," sahut Sangaji bersemangat sambil memanggut-manggut.
Laki-laki berkepala gede itu tersenyum lebar. "Kulihat kamu jujur dan benar-benar berlatih, hanya saja belum menemukan suatu kemukjijatan. Begini saja, tiga hari lagi aku ada di tepi pantai. Aku akan membawa sebuah sampan. Datanglah pada tengah malam. Aku akan
membawamu pergi." "Aku mau dibawa ke mana?" Sangaji bertanya tinggi.
"Itupun kalau kamu berhasil melompat dari pantai ke dalam sampanku. Kalau tidak, jangan lagi berharap berjumpa denganku," kata laki-laki berkepala gede mengesankan. Setelah itu ia melesat meloncati jurang dan lenyap di tebing sana.
Sangaji kebingungan diperlakukan demikian. Teringatlah dia akan perlakuan Wirapati empat tahun yang lalu setelah memperlihatkan kepandaiannya. Akhirnya ia merasa diri yang tolol.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Katanya menyesali diri sendiri, Guru tak berada di sebelah bawah laki-laki itu. Diapun mengajarku dengan sungguh-sungguh. Ah, dasar aku yang tolol dan tak berguna...
Kemudian dia berlatih dengan bernafsu. Tapi jurus ke-36 tetap belum dapat dikuasai.
Intisarinya belum tersentuh dan ia merasa gagal untuk kesekian kalinya. Dengan putus asa ia duduk berdiam diri di bawah pohon sampai Sonny datang menjenguknya.
Tiga hari kemudian Sangaji menerima ajaran jurus ke-14 dari Jaga Saradenta. Jurus itu kuat luar biasa dan sebentar saja menghabiskan tenaga. Baru saja berlatih empat lima kali napasnya sudah naik sampai ke leher, la makin sedih. Sekaligus ia merasa tak sanggup melakukan jurus ke-36 dan jurus ke-14 ajaran kedua gurunya.
"Sangaji! Jurus yang ingin kuwariskan kepadamu berjumlah 98," kata Jaga Saradenta sungguhsungguh. "Supaya dapat mengejar waktu kamu harus sudah dapat menguasai dua jurus untuk
setiap minggunya." Mendengar keterangan Jaga Saradenta ia ter-longong-longong. Sembilan puluh delapan jurus!
Banyak sekali! Baru jurus ke-14 napasnya sudah sesak dan merasa tak sanggup maju lagi. Belum lagi ditambah ilmu ajaran Wirapati yang berjumlah 165 jurus.
Karena hatinya tertekan-tekan, akhirnya teringatlah dia kepada pesan laki-laki berkepala gede.
Ia menaruh harapan baru. Pada tengah malam berangkatlah dia seorang diri ke tepi pantai.
Waktu itu bulan gede. Laut sedang bergelombang besar. Di jauh sana nampaklah pelita perahu-perahu nelayan berkedipan. Di tepi pantai sunyi senyap. Hanya terdengar ombak berdebur tiada hentinya.
Sangaji terus mengawaskan tengah laut sambil berjalan menyusur pantai, la tak melihat
sesuatu yang bergerak. Apakah dia tak datang, pikirnya. Di jauh sana dilihatnya segunduk batu karang. Sangaji mengira, laki-laki berkepala gede berada di balik batu karang. Maka bergegas ia menuju ke tempat itu. Tetapi sesampainya di atas gundukan karang suasananya sunyi sepi
menyayat hati. Ia berdiri tegak memutar penglihatan. Angin malam kian lama kian keras dan dingin menusuk tubuh. Mendadak dilihatnya suatu benda hitam mengambang di atas permukaan air. Benda itu laju sangat cepat dan melawan ayunan gelombang begitu angker. Kemudian terdengarlah suara
nyaring luar biasa. "Bocah! Itu kamu?"
Sangaji girang bukan kepalang sampai melompat-lompat kecil.
"Ya," sahutnya. Tapi suaranya hilang ditelan deru ombak dan gelora angin. Sekarang ia baru merasa kagum dan tahluk kepada tenaga laki-laki berkepala gede yang suaranya saja dapat
melawan deru ombak dan gelora angin.
Tapi laki-laki berkepala gede itu tajam pendengarannya. Meskipun suara Sangaji sangat lemah, pendengarannya dapat menangkap dengan jelas.
"Melompatlah!" Teriaknya dengan suara nyaring.
Sampannya ternyata berada dalam jarak dua puluh langkah dari gundukan batu karang.
Sangaji berbimbang-bimbang. Pikirnya, bagaimana aku bisa mencapai sampan"
Tapi ia ingat pada pesan laki-laki berkepala gede itu. Jika tidak bisa mencapai sampannya, tidak ada harapan bisa berjumpa dengannya kembali. Padahal dia menaruh harapan kepadanya. Kalau kali ini gagal, semua ajaran kedua gurunya tidak ada gunanya lagi ditekuni. Walaupun ia
mengerahkan tenaga akan sia-sia belaka.
Memikir demikian timbullah kenekatannya. Pikirnya, lebih baik mati daripada menanggung
kegagalan. Ia seorang anak yang berhati kukuh. Dulu dia berani mengadu nyawa ketika
memutuskan untuk melindungi Willem Erbefeld semata-mata karena telah terdesak. Kini ia
menghadapi persoalan yang bernada sama pula. Maka segera ia mundur beberapa langkah.
Kemudian menjejak tanah dan melompati laut yang sedang bergelombang besar sambil
memejamkan mata. Tetapi bagaimana dia sanggup melompat sejauh dua puluh langkah, apalagi harus melawan
deru angin yang sedang laju menusuk pedalaman" Ternyata dia hanya dapat melompat kurang
lebih sebelas langkah saja. Tubuhnya lantas saja melayang ke bawah. Sekonyong-konyong ia merasa disambar suatu tenaga dahsyat. Kemudian ditolak tinggi dan jatuh jungkir balik tepat di
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
atas sampan. Sampan bergonyang-goyang. Tatkala ia membuka mata, laki-laki berkepala gede nampak berdiri bergoyangan di sampingnya.
"Terima kasih," bisik Sangaji. Ia tahu, kalau laki-laki berkepala gede menolong dirinya.
"Bocah, kamu sungguh-sungguh bersemangat jantan," kata laki-laki berkepala gede itu. "Mulai sekarang panggillah aku Ki Tunjungbiru."
"Itulah nama Aki?"
"Sebenarnya itulah nama julukanku. Tapi biarlah kamu memanggilku begitu juga. Apa rugiku"
Sekarang, ayo kita pergi."
Perahu kemudian dikayuh melawan gelombang pasang. Tenaga Ki Tunjungbiru kuat luar biasa.
Perahu seperti laju di atas permukaan telaga yang tiada gelombang.
"Kamu tahu ke mana kita mau pergi?" tanya Ki Tunjungbiru tiba-tiba.
Bagaimana Sangaji dapat menebak teka-teki itu. Selama hidupnya baru malam itu ia berpesiar di atas laut. Kalau saja tidak mabuk laut sudah untung baginya.
Ki Tunjungbiru tertawa dengan kepala mendongak. "Jauh di sana ada sebuah pulau yang
berada di antara gugusan pulau-pulau. Pulau itu bernama Edam. Ha"kita ke sana. Kau nanti bakal melihat dan merasakan bagaimana mulai malam ini kamu akan menjadi manusia baru."
Sangaji terlongong-longong keheranan. Benaknya mulai menduga-duga siapakah Ki
Tunjungbiru sebenarnya. Ia hanya melihat perawakan tubuhnya yang menyolok dibandingkan
dengan manusia-manusia yang pernah dijumpainya. Gerak-geriknya diliputi penuh rahasia. Apakah dia manusia buruk atau berbudi, tak dapat ia memperoleh pegangan. Hanya selama dia
berkenalan, ia selalu menunjukkan sikap yang baik. Pertama-tama, dia ditunjukkan kelemahannya.
Kedua, diberi hadiah seekor lutung. Ketiga, menolong dirinya di atas permukaan laut.
"Siapakah namamu?" tiba-tiba dia bertanya.
"Sangaji." "Bagus!" orang itu gembira. "Kulihat kamu memiliki dua macam kepandaian yang mempunyai
sumber berbeda. Pastilah gurumu dua orang."
Sangaji mengangguk. "Kedua gurumu bukan orang-orang lemah. Aku tahu dengan pasti. Karena itu, aku tak sudi kau angkat menjadi gurumu. Lagi pula andaikata aku mengambilmu sebagai murid, pastilah akan
menyinggung kehormatan gurumu."
"Tetapi, bukankah Aki akan memberi ajaran kepadaku?"
'Tidak! Sama sekali tidak! Aku hanya memberi petunjuk-petunjuk belaka."
Kembali lagi Sangaji menebak-nebak maksud Ki Tunjungbiru yang penuh teka-teki. Tetapi tetap ia merasa seperti diselubungi kabut tebal. Akhirnya ia menyerah. Pikirnya, baik kulihat apa yang akan dilakukan padaku.
"Pernahkah kamu mendengar penjelasan tentang suatu kemukjizatan?" ujar Ki Tunjungbiru.
"Kemukjizatan apa itu?" sahut Sangaji tak mengerti.
"Bahwa ada kecenderungan untuk menambah tenaga dan kegesitan tubuh dengan pertolongan
khasiat sesuatu dari luar?"
Sangaji mengernyitkan dahi. Sibuk ia menebak teka-teki itu. Tetapi ia tak mengerti.
"Aki! Berkatalah yang jelas. Otakku terlalu bebal untuk dapat menebak-nebak hal-hal yang masih asing bagiku." Jawab Sangaji tak mengerti.
"Otakmu tidak bebal. Hanya hatimu jujur dan bersih. Itulah yang menyebabkan kamu berpikir terlalu sederhana," kata Ki Tunjungbiru. "Dengarkanlah! Di kolong langit ada suatu ajaran-ajaran ilmu yang dianggap sesat oleh mereka yang menekuni ilmu-ilmu sejati. Kamu seorang murid dari aliran sejati. Meskipun tak boleh kamu mempelajari ilmu sesat, setidaknya harus mengenal jenisnya. Umpamanya ada suatu ilmu sesat untuk menambah tenaga jasmani dengan menghisap
darah seorang gadis atau memperkosanya sekali. Ada pula..."
Sangaji terperanjat mendengar ujar Ki Tunjungbiru. Sekelebatan teringatlah dia kepada tutur kata kedua gurunya, kalau mereka mempunyai seorang musuh sakti yang seringkali menghisap darah seorang gadis untuk menambah tenaga jasmaninya. Teringatlah kepada tutur kata kedua gurunya, meremanglah sekujur badannya. Dengan pandang curiga ia mengawaskan tubuh Ki
Tunjungbiru. Apa dia Pringgasakti, pikirnya.
Ki Tunjungbiru rupanya dapat menduga gejolak hati Sangaji.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dia tertawa berkakakkan sambil berkata, "Aha... aku tahu apa yang kaupikirkan. Pastilah kamu mengira aku mau mengajarimu menghisap darah seorang gadis. Dalam hal ini lapangkan dadamu.
Tidak ada niatku untuk mengajarimu ilmu sesat. Maksudku tadi hanya ingin menceritakan
kepadamu tentang salah satu macam ilmu sesat yang pernah didengar orang. Memang kamu mau kuajar menghisap sesuatu agar tubuhmu menjadi kuat perkasa tiada tara."
"Menghisap apa?" Sangaji cemas.
Melihat Sangaji cemas, Ki Tunjungbiru senang bukan main. Ia tertawa riuh sampai tubuhnya terguncang-guncang.
"Kau nanti akan melihat. Dan aku akan memaksamu. Dan kamu takkan bisa melawan."
Sangaji jadi ketakutan. Diam-diam ia menyelidiki alam sekitarnya. Seberang menyeberang
adalah air belaka. Tak dapat ia membebaskan diri dengan menceburkan diri ke laut. Karena itu, mau tak mau ia harus menyabarkan diri.
Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aki! Apa aku harus menghisap... menghisap ..." katanya terbata-bata.
Ki Tunjungbiru memotong kata-katanya dengan tertawa meriuh lagi. Menyahut cepat, "Jangan kaucemas, bocah. Meskipun kamu harus menghisap sesuatu, tetapi perbuatan itu bukan sesat.
Percayalah! Kedua gurumupun takkan tahu darimana kamu tiba-tiba mendapat kemajuan mulai
besok." Beberapa saat kemudian perahu minggir ke pantai. Itulah pantai Pulau Edam yang gelap-guli-ta penuh pohon-pohon liar. Sangaji bergidik bulu kuduknya mengingat kata-kata Ki Tunjungbiru. Di pulau ini ia akan dipaksa menghisap sesuatu, dan ia takkan kuasa melawan.
la dibawa mendaki sebuah bukit batu yang penuh semak-belukar. Suasananya sunyi
menyeramkan. Margasatwa terdengar bergemerisik di antara semak-semak belukar dan batu-batu yang mencongakkan diri dari tanah berpasir. Kadang-kadang terdengar suara berdesis penuh rahasia. Dalam gelap malam Sangaji dapat menduga, itulah binatang-binatang berbisa yang lari menyibak karena terkejut
"Bocah! Lihatlah di depanmu!" sekonyong-konyong Ki Tunjungbiru berkata.
Sangaji menajamkan pandangannya. Di depannya berdiri sebatang pohon raksasa yang
berdaun sangat rimbun. Angin laut yang menusuk dari arah utara menggoyang-goyangkan
mahkota daunnya. Suaranya bergemeresak dan berdesahan seperti dengkur seseorang yang tidur lelap.
"Kau tahu pohon apa itu?" tanya Ki Tunjungbiru.
Sangaji mencoba menebak. Tapi malam terlalu gelap, bagaimana ia dapat mengenal jenisnya.
Meskipun demikian ia mencoba. "Kelihatannya seperti sebuah pohon beringin. Itu akar-akarnya yang panjang."
Ki Tunjungbiru tertawa melalui hidungnya.
"Kamu hampir benar, tetapi sama sekali salah. Di siang hari bolongpun kamu takkan dapat
menebak. Memang batangnya mirip pohon beringin. Akarnya panjang dan bergantungan begitu
penuh. Tetapi daunnya lebar seperti daun kamboja. Dahan dan rantingnya penuh duri dan
berwarna hijau mengilap."
"Ah!" Sangaji heran.
"Namanya pohon Dewadaru. Pohon itu jarang ada di kolong dunia. Belum tentu kamu
menemukan di seluruh Pulau Jawa. Pohon itu sakti. Di malam hari dia tidur dan berdengkur seperti manusia. Tapi pada siang hari dia sangat berbahaya."
"Apa bahayanya?"
Ki Tunjungbiru tidak menjawab. Ia hanya tertawa perlahan seperti lagi mengendapkan
ingatannya yang buruk. "Kamu mengharapkan petunjukku, bukan?"
Sangaji mengangguk tak mengerti.
"Dengarkan, aku bercerita." Ki Tunjungbiru mengesankan. "Dulu aku bertubuh lemah. Jauh
lebih lemah daripadamu. Ayahku seorang nelayan, dan aku membantu mencari penghidupan.
Pada suatu malam perahu kami terdampar di pulau ini. Waktu itu hari sangatlah panas. Kami berdua berada di atas bukit karang ini menunggu siang hari. Perutku sangat lapar dan rasa hausku bukan main. Pada waktu matahari sepenggalan tingginya, kami tertarik kepada pohon yang sangat indah itu. Dia menyebarkan bau harum dan berkesan rindang. Karena kami tak tahan terik
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
matahari, kami hampiri pohon itu. Kami berteduh. Untuk iseng, aku mencongkeli batangnya.
Kuhisap getahnya untuk penawar haus. Kemudian... terjadilah suatu peristiwa yang..." Ki
Tunjungbiru tiba-tiba diam tak meneruskan. Ia menghela napas dalam. Kepalanya menunduk.
Kemudian terpekur sekian lamanya.
Umur Sangaji bani menginjak 17 tahun. Meskipun demikian sudah banyak ia mendapat
pengalaman dari pergaulan. Tahulah dia, kalau Ki Tunjungbiru sedang berduka. Karena itu tak berani dia mendesak, takut menyinggung perasaannya.
Sejenak kemudian Ki Tunjungbiru mulai berkata lagi. Tetapi tak menyinggung tentang suatu peristiwa yang akan disampaikan. Katanya mengalihkan pembicaraan, "Di luar dugaanku tubuhku menjadi kuat. Semua binatang-binatang berbisa tak berani menyinggungku. Mereka tunduk dan tidak berani membantah kemauanku. Itulah sebabnya dulu aku dapat menangkap dua ekor lutung begitu mudah. Dan sekarang hai bocah, kalau kamu ingin memiliki tubuh seperkasa pohon itu, hisaplah getahnya. Aku akan menetak batangnya sebelah bawah dengan pedang dan cepat-cepatlah kau menghisap getahnya. Jangan lalai dan lengah!"
"Malam begini gelap, bagaimana aku bisa melihat getahnya?" tanya Sangaji.
"Rabalah bekas tetakanku," sahut Ki Tunjungbiru cepat. Sekonyong-konyong suaranya
menyeramkan. "Pohon itu akan terbangun. Akar-akarnya akan bergerak. Dia akan mengeluarkan suara bergelora dan berkerinyutan bagaikan kera raksasa. Tapi jangan pedulikan! Terus hisap dan hisap! Dan jaga pulalah dirimu agar terus mendekam serendah tanah."
"Mengapa begitu?"
"Sekarang tidak ada waktu untuk menerangkan sebabnya. Kau ingin mendapatkan petunjukku
atau tidak" Katakan sekarang!"
Sebenarnya Sangaji masih ragu. la belum mendapat suatu penjelasan yang cukup kuat. Kesan cerita Ki Tunjungbiru masih begitu diliputi kabut rahasia. Tetapi ia sudah berada di tengah pulau.
Dan ia sadar pula, kalau satu-satunya harapan agar dapat menyenangkan kedua gurunya,
dipertaruhkan belaka kepadanya. Berpikir demikian ia lantas mengangguk.
"Bagus! Karena kamu menghendaki petunjukku, ingat-ingatlah semua pesanku tadi. Kamu
wajib mendengar semua perintahku. Kamu mengerti?"
"Mengerti," jawab Sangaji dengan kepala kosong.
"Sementara kamu menghisap getahnya, aku akan berjaga di luar bayangan rimbun pohon.
Jangan sekali-kali kamu berhenti menghisap sebelum aku membawamu pergi. Dan jaga jangan
sampai tertidur!" "Tertidur" Masakan sedang menghisap bisa tertidur?"
Ki Tunjungbiru tidak menjawab. Dia hanya tertawa lebar. Kemudian mencoba menerangkan,
"Pohon itu mempunyai kesaktian ajaib. Barangsiapa berada dalam lindungan mahkota daunnya, akan kena terhisap tenaganya, la akan lumpuh dan tertidur dengan tak sadar.
Sehabis berkata demikian ia menyambar lengan Sangaji dan dibawanya lari menghampiri
pohon. Begitu berada di bawah lindungan mahkota daun, hawa terasa amat sejuk dan nyaman
luar biasa. Sekarang tahulah Sangaji, apa maksud Ki Tunjungbiru agar dia pandai menjaga diri.
Seluruh tubuhnya mendadak merasa penat. Rasa kantuk mulai pula meraba matanya.
"Kamu telah merasakan khasiat pohon sakti ini?" tanya Ki Tunjungbiru.
Sangaji mengangguk. "Karena itu kita harus bekerja cepat! Sehabis kutetak, kau lantas saja menubruk. Aku akan berada di luar sana. Seterusnya terserah padamu, apa kamu akan berhasil menghisap getahnya."
Ia mencabut sebatang pedang pendek. Kemudian meloncat garang seperti gerak-gerik seorang sedang bertempur. Batang pohon sebelah bawah ditetaknya dengan sekuat tenaga, lalu ia melesat pergi ke luar lingkaran bayangan mahkota daun.
"Cepat hisap!" teriaknya.
Sangaji menubruk bekas tetakan. Jari-jarinya menyentuh benda cair yang lumer. Ia mau
membuka mulut, sekonyong-konyong terciumlah bau anyir menusuk hidung. Ia merasa muak dan nyaris berontak, karena baunya bagaikan darah manusia. Ketika sedang beitimbang-bimbang
mendadak terdengarlah suara berdesahan. la kaget. Dilihatnya akar-akar pohon mulai bergerak dan bergoyang-goyang. Makin lama makin cepat dan seolah-olah mau mencengkeram dirinya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Melihat keajaiban itu hatinya memukul keras. Apa ini perbuatan setan, pikirnya, la hampir terpengaruh. Tenaganya terasa surut habis. Untung ia mendengar teriakan Ki Tunjungbiru.
"Bocah! Jangan terpengaruh! Jangan pedulikan!"
Mendengar teriakan itu tersentaklah kesadarannya. Cepat ia bertindak. Hidungnya ditekannya, lalu menghisap benda cair lumer itu. Benda cair itu mula-mula dikulumnya di dalam mulutnya. Lalu ia mencoba menelan sedikit. Begitu telah merasuk ke dalam kerongkongannya, ia jadi heran. Di luar dugaan benda cair itu sedap luar biasa seperti madu. Maka tanpa ragu-ragu lagi ia
menelannya sambil hatinya berbicara, malam ini aku mati atau hidup terserah pada takdir!
la terus menghisap, tapi hebat akibatnya.
Tenaganya makin lama makin surut. Kedua kelopak
matanya menebal. Seluruh tubuhnya meremang
seperti kena kesiur angin lembut. Rasanya nyaman
luar biasa. "Terus hisap! Jangan pedulikan apa-apa! Jangan
biarkan dirimu tertidur!" terdengar suara teriakan Ki
Tunjungbiru. Diam-diam Sangaji heran mendengar
nada suaranya. Kesannya seperti suara seorang yang
menaruh dendam. Dalam pada itu kesan pohon itu memang
menyeramkan. Batangnya bergoyang-goyang seolaholah ingin merenggutkan hisapan Sangaji. Akarakarnya bergerak dan mengeluarkan suara bergelora
dan berkerinyutan. Dalam gelap malam hari luar biasa
menyeramkan. Sekiranya Sangaji seorang diri tidak ada kawan,
pastilah dia akan jatuh pingsan. Diam-diam ia merasa
berterima kasih padanya. Aneh benar pohon ini, pikirnya dalam hati. Apakah
di dalamnya ada setannya" Ah, kalau kuceritakan
kepada Guru, apa mereka mau percaya.
Makin lama gerak pohon makin seram. Kini menimbulkan kesiur angin luar biasa. Akar-akar
pohon mulai merumun di atas kepala Sangaji dan menimbulkan suara pula. Cepat-cepat Sangaji mengendapkan tubuhnya serata tanah.
Tenaga hisapannya kian diperkeras. Kini bahkan ia mulai menyedot panjang-panjang. Entah
berapa lama dia berjuang dengan gigih, ketika membuka matanya ternyata ia tertidur di atas bukit karang.
la heran. Dilayangkan matanya sekitar dirinya. Alam yang menyelimuti tenang tenteram tak berisik. Mendadak ia mendengar langkah menghampiri dirinya. Ternyata Ki Tunjungbiru.
"Mengapa aku ada di sini?"
Ki Tunjungbiru membungkuki sambil mengacungkan ibu jarinya. Berkata dengan nada girang,
"Kau hebat, Bocah. Benar-benar hebat! Hampir saja aku mencelakakan dirimu. Kau tahu aku tak berani mendekati. Akar-akar pohon sudah merumuni kepalamu. Gugup aku merangkak maju"
setapak demi setapak. Kutarik kakimu. Alangkah berat! Tubuhmu gemuk seperti babi."
"Mengapa?" Sangaji heran.
"Kau benar-benar taat dan mendengarkan pesanku. Kau terlalu banyak menghisap sampai
perutmu melembung. Kau tahu seluruh tubuhmu menjadi putih. Seputih gamping."
"Ah!" "Aku berusaha menarik kakimu. Ternyata kamu masih menggigit batang itu."
"Kapan" Kapan Aki menarik kakiku?"
"Seandainya aku tak berhasil menarik kakimu, masa kamu sekarang ada di atas bukit karang ini?"
Sangaji heran sampai terlongong-longong. "Tetapi aku tak tertidur, kan?" ujarnya.
"Tak tertidur?"
"Seumpama tertidurpun hanya sebentar, kan?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ki Tunjungbiru tertawa berkakakkan. Dengan tubuh terguncang-guncang.
"Sebentaran katamu?"
"Bukankah hari masih malam?"
"Benari Tetapi kamu telah melampaui satu hari panjang."
"Ah! Tidak mungkin!" Sangaji tak percaya.
Mendengar sanggahannya Ki Tunjungbiru tertawa kian meriuh. Katanya, "Baiklah kuterangkan.
Saat kutarik kakimu, ternyata kamu tak bergeming. Jelas, kalau kamu kena pukau. Nyawamu
tinggal tergantung pada sehelai rambut. Ingin aku menyeretmu cepat-cepat, tetapi tak berani aku berlaku sembrono. Seluruh akar pohon Dewadaru mengikuti tubuhmu."
"Ih!" Sangaji meremang. "Apa pohon itu bernyawa atau kemasukan setan?"
"Bukan! Nah, aku sekarang mau bercerita semuanya. Dengarkan dan tak usah duduk.
Berbaringlah dulu, sampai kau buang air besar."
"Mengapa?" "Dengarkan dulu!" sahut Ki Tunjungbiru cepat. "Bukankah kamu menghendaki petunjukku?"
Sangaji mengangguk dan mau tak mau ia harus menyabarkan diri. Kemudian Ki Tunjungbiru
mulai bercerita. "Kami bangsa nelayan kaya dengan cerita-cerita perantauan. Di tengah laut kami bertemu
dengan nelayan-nelayan seluruh kepulauan Nusantara. Di sana kita saling menukar cerita- cerita pengalaman atau dongeng atau kisah untuk mengisi waktu luang. Cerita dan tutur-kata mereka penuh keajaiban dan aneh-aneh. Sekali kami pernah mendengar kabar tentang pelita Nyai Roro Kidul yang berjalan di atas permukaan laut. Pelita itu adalah tanda suatu malapetaka bagi nelayan.
Barangsiapa melihat pelita Nyai Roro Kidul harus cepat-cepat mencari pantai. Sebab itu suatu tanda kalau laut akan mengamuk. Mereka pandai pula membumbu-bumbui cerita itu, sehingga
seolah-olah telah terjadi di depan kita. Jika yang lain mau bercerita pula, cepat-cepat pokok ceritanya ditambahi dengan pengalaman-pengalaman dan dongeng-dongeng ajaib. Lambat-laun
terasa, kalau tiap tukang cerita harus pandai memilih suatu bentuk cerita yang menarik. Sehingga kemudian merupakan suatu perlombaan tutur-kata. Nah, kami dengar juga tentang sebuah .pulau setan yang mata-penca-harian penduduknya menangkap ikan. Mata uangnya bukan emas bukan
perak. Tetapi buah kunyit. Si pencerita pernah terdampar di pulau itu karena dilanda gelombang.
Dia disambut meriah, karena waktu itu perahunya penuh dengan ikan. Setelah satu malam
bermalam di pulau itu, keesokan harinya dia diantar ke laut dengan dibekali seonggok kunyit. Si pencerita mendongkol, karena ikannya hanya ditukar dengan kunyit. Tapi karena rasa takut dia berdiam diri. Di tengah laut onggok kunyit itu sebagian besar dibuangnya. Mendadak terjadilah suatu keajaiban. Sisa kunyit yang belum terbuang berubah menjadi benda kuning berkilauan.
Ternyata berubah menjadi emas belaka. Sayang"hanya tinggal sedikit. Dia hampir gila, karena menyesal. Maka pada beberapa hari kemudian ia mencoba mencari pulau setan itu. Tapi pulau itu tak pernah dilihatnya lagi. Hilang begitu saja seperti ditenggelamkan gelombang."
"Apakah emas itu laku juga dijualnya?" Sangaji menyela.
"Tak pernah kami minta penjelasan dan mendapat keterangan dari dia. Pokoknya, cerita itu dapat menggirangkan dan meringankan hati, sudahlah cukup," sahut Ki Tunjungbiru. Kemudian meneruskan, "Kami pernah bertemu juga dengan seorang nelayan dari Madagaskar. Nelayan itu-ternyata seorang keturunan suku Jawa pula. Dia pun pandai bercerita. Di sebelah barat pulau Madagaskar tergelarlah sebuah benua bernama Afrika. Di benua itu banyaklah tumbuh pohon-pohon ajaib. Diantaranya terdapat sebuah pohon pemangsa darah. Pohon itu perkasa, berbunga indah dan harum baunya. Barangsiapa berada di dekatnya, akan tertidur pulas. Maklum mahkota daunnya rimbun, sejuk dan membuat rasa nyaman luar biasa. Akar-akarnya panjang dan
menyenangkan bagi kera-kera atau lutung yang tidak berpengalaman. Jika binatang atau manusia yang kena terkam akarnya yang panjang itu, takkan ada suatu kekuatan lain yang sanggup
merenggutkan. Seekor gajahpun tak berdaya jika telah kena ringkus. Perlahan-lahan mangsanya ditarik ke atas dan dimasukkan ke dalam mulutnya untuk dihisap darahnya. Kerangkanya
kemudian dilontarkan jauh-jauh seolah-olah mau menghilangkan jejak. Mendengar cerita itu, kami yang mendengar tak mau cepat percaya. Kami minta bukti-bukti, tetapi sudah barang tentu dia tak dapat membuktikan. Maklumlah, selain Benua Afrika sangat jauh letaknya, pohon itu jarang pula
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
terdapat di kolong langit ini. Tetapi siapa menyangka, kalau aku akhirnya menjumpai pohon itu di sebelah utara Pulau Jawa ini."
"Itu pohon Dewadaru yang Aki sebutkan?" sela Sangaji lagi.
"Begitulah kami menyebutnya," ujar Ki Tunjungbiru. "Seperti kau dengar kemarin malam,
kami... aku dan Ayah... terdampar di Pulau Edam. Keesokan harinya kami berteduh. Hawa mula-mula sangat panas, karena itu rimbun pohon Dewadaru sangat menyenangkan. Aku mencongkel
batangnya dan kuhisap getahnya untuk penawar haus. Rasanya sedap bukan main."
"Seperti madu?"
"Ya, seperti madu. Ayah tertidur di sampingku. Aku biarkan saja, karena aku tahu dia sangat letih. Mendadak udara yang terang benderang jadi gelap-gulita. Awan hitam datang bergulung-gulung, namun hujan tidak turun juga. Itulah sebabnya hawa kian terasa menjadi panas.
Sekonyong-konyong aku mendengar suara bergelora dan berkerunyitan. Ternyata tubuh ayahku telah teringkus dengan akar-akarnya. Aku terperanjat. Ingin aku menolongnya, tetapi tenagaku seolah-olah lumpuh. Dengan hati tersayat- sayat aku melihat tubuh Ayah terangkat ke atas.
Seketika itu juga teringatlah aku pada cerita nelayan dari Madagaskar. Teringat akan cerita itu seluruh tubuhku menggigil. Aku melihat Ayah masih saja tertidur lelap. Aku mencoba memekik-mekik tinggi. Namun dia tak terbangunkan. Mendadak akar-akar yang lain meringkus diriku pula.
Aku tergulung-gulung bagai seekor ikan teringkus jala. Kucoba meronta, tetapi tenagaku benarbenar seperti terhisap hilang."
"Lantas ?" Sangaji tak bersabar lagi.
"Perlahan-lahan aku terangkat naik. Seluruh tubuhku terasa seperti digerumuti binatangbinatang serangga. Aku memekik-mekik tinggi. Tetapi siapa yang akan mendengar suaraku "
Keadaan pulau sunyi lengang tak ada penghuninya. Aku sudah putus asa. Sekonyong-konyong
terjadilah suatu peristiwa tak terduga. Kilat mengecap menusuk cakrawala dibarengi suara guntur berdentum. Dan pohon itu seperti terkejut. Aku dilontarkan dan terbuang di tanah. Untung, aku belum terayun tinggi, sehingga meskipun jatuh jungkir balik tak mencelakakan diriku. Tetapi Ayah..."
Sangaji melongok. "Tetapi Ayah..." Ki Tunjungbiru mengulangi. "Benar ia dicampakkan juga ke tanah, tetapi
napasnya telah hilang. Mulutnya nampak bersenyum dan tubuhnya lemas seperti benda lumer."
"Ah!" "Semenjak itu aku menaruh dendam kepadanya. Ingin aku menebasnya dan menumbangkan.
Tapi aku sadar, kalau maksudku itu takkan tercapai. Batangnya terlalu kuat. Akhirnya aku berpikir, satu-satunya jalan untuk membalas dendam ialah, menghisap habis seluruh getahnya. Karena pikiran ini aku merantau mencari seorang pemuda yang kuat dan bersemangat. Banyak kujumpai pemuda-pemuda demikian, tetapi aku kecewa kepada kemampuan dan semangatnya. Lebih empat
puluh pemuda sudah menjadi korban pohon itu. Kebanyakan mereka ketakutan atau terlalu
sembrono. Mereka melarikan diri tatkala pohon bergerak-gerak dan melihat akar-akarnya
berserabutan. Sudah barang tentu mereka kena sambar dan menjadi mangsanya. Sedangkan aku tak berdaya melepaskannya. Kemudian datanglah kau. Ah, hampir saja aku membuatmu celaka.
Untung nasibmu baik dan semangat tempurmu tinggi. Kulihat kamu berjuang dengan gigih
menggigit batangnya. Kulihat juga kautahan menghadapi renggutan pohon itu. Hatimu tahan
menentang pemandangan yang ngeri. Terus terang, keberanianmu melebihi keberanianku sendiri.
Kamu berhasil, sudah. Tetapi aku hampir lupa akan perhitungan karena besarnya dendamku pada pohon itu. Aku mengharapkan agar kamu bisa menghisap seluruh getahnya. Bukankah ini suatu radang hati yang gila" Ya"bagaimana tubuhmu sekecil ini bisa menghirup seluruh getah pohon raksasa begitu. Pada saat kamu terancam nyawamu, aku mendadak sadar. Hal itu terjadi tatkala kulihat seluruh tubuhmu memutih seperti gamping. Aku hampirimu dengan penuh pengakuan
dosa. Kurenggutkan dan kusentakkan batangnya. Kemudian dengan merayap-rayap aku berhasil membebaskan dirimu dari bahaya maut..."
Mendengar keterangan Ki Tunjungbiru hati Sangaji terpukul. Bulu romanya meremang,
terbayang saat-saat penuh ketegangan dan kengerian. Sebaliknya, ia menjadi terharu
membayangkan perjuangan Ki Tunjungbiru menolong dirinya dari bahaya maut. Tak terasa
matanya berkaca-kaca. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Bocah! Janganlah terharu dan merasa berterima kasih kepadaku," kata Ki Tunjungbiru seakanakan dapat membaca gejolak hatinya. "Tapi sebaliknya, justru aku akan mencelakakan dirimu."
Sangaji menghela napas panjang. Mendadak ia bangkit dan berkata gugup. "Aki! Darimana Aki tahu, kalau pohon itu tidur di waktu malam?"
"Itulah mudahnya," sahut Ki Tunjungbiru. "Seseorang yang hendak membalas dendam,
bukankah menyelidiki dulu keadaan lawannya secermat mungkin?"
"Ya"itu yang kuketahui. Barangkali pula telah menghisap darah binatang-binatang berbisa.
Dengan demikian tubuhmu kini penuh dengan bermacam-macam darah."
Mendengar keterangan itu Sangaji menggigil. Mukanya pucat, mendadak saja ingin dia
melontak dan perutnya sakit luar biasa. Ki Tunjungbiru heran bercampur kaget.
"Hai bocah! Mengapa" Apa salahnya?"
Sangaji menggigit bibir. Menyahut gap-gap, "Aki! Jadi aku... aku telah menghisap darah
manusia?" Ki Tunjungbiru terhenyak sampai terlongong-longong. Menyahut cepat, "Ah! Itu bukan! Bukan!
Bukan!" Sangaji terguling-guling di atas tanah. Ia mencoba melontakkan seluruh isi perutnya.
Tangannya meraba-raba mencari batu.
"Aki tak pernah aku menjahatimu... mengapa Aki membuatku sengsara" Mengapa
menjerumuskanku ke dalam kesesatan ini"... Aki tadi membawa pedang pendek. Tolong, tikamlah aku! Aku manusia! Selama hidupku... selama hidupku... Mengapa aku mesti menghisap darah
sesama manusia pula?"
Ki Tunjungbiru menjadi gugup mendengar ucapan Sangaji. Cepat ia membungkuki sambil
berkata membujuk, "Bocah! Percayalah, tidak ada niatku menjerumuskanmu ke jalan sesat. Aku memang tidak lurus juga. Tetapi percayalah, kalau aku tak berniat menjerumuskan. Dengar!
Dengarkan kata-kataku. Kamu tidak menghisap darah manusia. Sama sekali tidak! Seseorang yang makan daging singa atau harimau, apakah juga sama halnya memakan daging manusia, andaikata singa dan harimau itu habis menerkam manusia" Tidak! Sama sekali tidak! Seseorang makan
daging ikan paus yang sudah sering menelan tubuh nelayan-nelayan malang, apakah juga sama halnya memakan manusia" Tidak! Sama sekali tidak! Seseorang makan daging ayam, apakah
sama halnya makan cacing dan kotoran manusia" Tidak! Ayam itu sudah kodratnya menjadi
binatang pemangsa cacing dan pemakan kotoran manusia. Ikan paus itu sudah kodratnya
menelan apa saja yang dijumpai. Singa dan harimau sudah kodratnya menjadi binatang pemangsa daging. Pohon Dewadaru sudah kodratnya pula menjadi pemangsa daging dan darah. Kalau
berpikir tentang kemurnian, mana ada di dunia ini yang hidup di atas kakinya sendiri. Semuanya saling terjalin, berhubungan dan saling memberi. Walaupun itu tumbuhan, kalau dipikirkan tidak murni bersih. Katakanlah, daun lembayung, ba-yam, rumput, kacang, ketela ya semuanya ...
apakah tidak menghisap sari-sari bumi. Bukankah sari-sari bumi terjadi dari kumpulan benda-benda dari luar dan dalam" Kalau dipikir, bumi-pun menelan tubuh-tubuh manusia, binatang dan sekalian yang kotor-kotor ... yang pernah ada di kolong langit ini. Manakah yang suci mumi dan bersih dari segalanya" Semuanya pengaruh mempengaruhi, anakku. Meskipun kamu hidup di atas langit sana dan hanya melulu hidup dengan menghisap hawa, itupun tak bersih dari segala.
Karena hawapun terjadi dari endapan campur-baur antara yang busuk dan bersih. Bocah,
janganlah kamu berpikir yang bukan-bukan! Tenteramkan hatimu! Kamu sekarang dengan hatimu yang suci bersih memperoleh, karunia alam. Kamu akan tumbuh menjadi seorang manusia yang memiliki kekuatan mukjijat. Aku bersyukur kepada rejekimu yang maha besar."
Hebat pengaruh kata-kata Ki Tunjungbiru kepada Sangaji. Seketika itu juga gejolak hatinya menurun. Tubuhnya tidak menggigil lagi. Selintas pintas ia melihat seleret sinar cerah dalam benaknya. Meskipun demikian, akibat gejolak dan pergerakan tadi, perutnya terasa sakit, la mengerang.
Ki Tunjungbiru memapahnya dan membawanya ke tepi pantai. Lalu ia menelanjangi dan
diceburkan ke dalam laut.
"Buanglah semua kotoranmu. Yang ada dalam dirimu tinggal sari-sarinya yang bersih. Esok pagi aku akan mencarikan sebumbung tabuan ber-madu kepadamu. Dalam hal ini, aku bertanggung
jawab penuh." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Satu malam penuh Sangaji merendamkan diri dalam permukaan laut. Waktu fajar hari
menyingsing tubuhnya menjadi lemas tak berdaya. Ki Tunjungbiru ternyata menekuni dengan
sungguh-sungguh, la membersihkan tubuhnya dan dipapah dengan perasaan kasih sayang.
Kemudian ditidurkan lempang di atas gunduk batu. Setelah itu ia melesat pergi entah ke mana.
Kira-kira hampir tengah hari dia datang kembali dengan wajah berseri-seri. la membawa
sepotong balok keropos. Dan ke mana saja dia bergerak dirinya dirumuni gerombolan tabuan yang berwarna hijau biru kekuning-kuningan.
"Inilah tabuan Tunjungbiru namanya," dia berkata riang. "Selama hidupku aku menghisap
madunya. Itulah sebabnya aku di sebut orang Ki Tunjungbiru. Tabuan ini mempunyai khasiat sakti. Barangsiapa menghisap madunya akan berumur panjang. Darahnya akan mengalir bersih.
Seluruh tubuhnya selalu terasa nyaman dan riang. Banyak orang ingin menghisapnya. Tetapi bagaimana mungkin" Sarangnya ada di pulau ini, jauh menjorok ke dalam gugusan. Tak
gampang-gampang orang dapat mencapai sarangnya. Nah"nih! Hisaplah!"
Dengan berdiam diri Sangaji menghisap madu tabuan Tunjungbiru dengan hati tawar.
Meskipun kata-kata Ki Tunjungbiru semalam berpengaruh besar di dalam dirinya, tetapi kesan menghisap darah manusia tidak juga lenyap dari perbendaharaan benaknya.
Kini mendadak ia memperoleh kesan lain. Setelah menghisap madu, hatinya merasa menjadi
lapang. Darahnya yang tadi dirasakan mengental berubah menjadi encer dan ringan. Tubuhnya menjadi hangat pula. Rasanya nyaman, la lantas berdiri dengan perasaan segar bugar.
Menyaksikan itu, Ki Tunjungbiru tertawa riang, "Nah, percaya tidak" Aku pandai menyulapmu menjadi seorang manusia baru. Benar-benar manusia baru!"
Sangaji belum mampu berbicara. Seperti terbungkam. Sebenarnya cukuplah jelas keterangan Ki Tunjungbiru. Orang tak gampang mendapatkan madu tabuan Tunjungbiru. Seandainya tidak
secara kebetulan, bagaimana dia akan mengenal macam madu demikian. Untuk ini sudah
sepatutnya dia berterimakasih. Tetapi hati Sangaji seolah-olah minta pertanggungjawaban si orang tua. Semua kebajikan-kebajikan yang diberikan kepadanya dipandangnya sebagai semestinya.
Tetapi tiga hari kemudian hatinya berbicara lain. Tubuhnya kini terasa ringan dan dapat bergerak dengan leluasa. Hanya di sudut-sudut tertentu masih ada rasa nyeri seakan-akan terjadi
keruwetan pada urat-uratnya. Ia membutuhkan petunjuk-petunjuk lagi.
Pada malam hari keempat ia duduk berjuntai di atas bukit karang, la mengharap kedatangan Ki Tunjungbiru. Harapannya ternyata terkabul, la melihat perahu melaju melanda gelombang. Seperti dulu perahu itu berhenti kira-kira berjarak dua puluh langkah dari pantai.
"Sangaji! Itu kamu?"
Sangaji menyahut dengan nada girang.
"Bagus! Nah, melompatlah!"
Sangaji mundur selangkah dan melompat. Di luar dugaannya, tubuhnya dapat terbang gesit
dan hinggap di atas perahu hingga bergoyangan.
"Bagus!" seru Ki Tunjungbiru. "Apa kataku, kamu sekarang menjadi manusia lain." Sangaji
girang bukan main. Inginnya ia mencoba lagi, karena hatinya tak mau percaya pada
kesanggupannya. "Ayolah berpesiar lagi," kata Ki Tunjungbiru. "Malam ini sengaja aku mencarimu. Aku ingin kaupertemukan dengan guru-gurumu, agar mereka tak salah terima. Aku tahu dengan pasti, kalau kemajuanmu akan maju pesat di luar dugaan kedua gurumu. Hal itu akan menimbulkan
kecurigaannya. Aku khawatir kedua gurumu akan menyusahkanmu. Karena itu buru-buru aku
datang. Aih, tak kusangka kamu pun mengharap kedatanganku, Ini namanya pucuk dicinta ulam tiba."
"Berpesiar ke mana?"
"Tidak lagi ke Pulau Edam. Ayo, kita berlatih di jauh sana. Kulihat kamu belum bisa wajar menyalurkan keringanan dan kekuatan tubuhmu."
Mereka mendarat di pantai sebelah timur. Sangaji kemudian dibawa masuk pedalaman. Apabila telah diketemukan sebuah bukit batu, Ki Tunjungbiru berkata memerintah. "Seumpama kamu
sekarang telah menyimpan bendungan air, seharusnya kamu mengerti cara menyalurkan. Kalau tidak, dirimu bisa terusak dari dalam. Sekarang dengarkan! Mulai malam ini kamu harus
Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menghapalkan dua belas patah kataku."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Apa itu?" "Sebelum tidur hendaklah kau ingat-ingat dua belas kata mukjizat ini. Tenangkan pikiran"
lupakan perasaan"kosongkan tubuhmu"salurkan hawa"matikan hati"hidupkan semangat! Nah,
hapalkan!" Gampang saja Sangaji menghapalkan dua belas kata-kata itu. Tetapi untuk dapat mengerti
artinya tidaklah mudah. Maka ia dilatih bertidur-an, dan diberi petunjuk cara-cara mengatur napas dan menyalurkan hawa.
"Sekarang mulailah!"
Sangaji menurut, la mencoba dan mencoba. Mula-mula pikirannya masih saja tergoncang dan
mudah dipengaruhi sesuatu yang gemerisik di luar. la mencoba melawan dan mengatasi
gejolaknya. Lambat laun ia dapat menguasai, meskipun belum sepenuhnya. Ia terus berusaha sampai tidur lelap. Tanpa disadarinya fajar hari membangunkan dirinya. Dan Ki Tunjungbiru ternyata tidak lagi di dekatnya.
Semenjak malam itu ia terus berlatih. Sekarang seluruh tubuhnya terasa nyaman dan mantap.
Pelajaran-pelajaran kedua gurunya dapat dilakukan tanpa mengalami kesulitan. Wirapati dan Jaga Saradenta gembira menyaksikan kemajuannya. Mereka mengira, kalau kemajuannya itu
diperolehnya berkat kerajinan dan keuletannya.
Dan tahun 1804 hampir di ambang pintu. Kemajuan Sangaji bukan main hebatnya. Pernah
Wirapati dan Jaga Saradenda melatihnya satu hari penuh dan berganti-ganti, namun ia nampak segar-bugar. Hal itu mengejutkan mereka berdua.
"Ini aneh," kata Jaga Saradenta. "Dari mana ia mendapatkan keuletan dan kekuatan luar biasa itu" Napasnya tak nampak mengasur. Gerak-geriknya tak nampak berubah. Menurutmu
bagaimana?" "Terus terang aku tak bisa menduganya," sahut Wirapati. "Baiklah besok akan kucoba. Jika benar-benar ia mendapatkan pelajaran di samping kita, sudahlah berarti gagal. Kita tak jujur lagi mempertandingkan dia dengan anak asuhan Ki Hajar Karangpandan."
Keesokan harinya pada tengah hari, Wirapati dan Jaga Saradenta mengundang Sangaji datang ke pondokannya. Mereka nampak girang. Meja penuh dengan panganan dan masakan hangat.
"Apa guru sedang berpesta?" tanya Sangaji heran.
"Benar! inilah hari ulang tahunku ke-35," sahut Wirapati membohong. "Hari ini aku ingin menilik kecakapanmu untuk menggirangkan hatiku. Kemarilah!"
"Di dalam rumah?" Sangaji menegas.
"Di mana saja jadilah. Sebab di mana saja orang bisa bertemu musuh yang menyerang dengan tiba-tiba. Bidang ciut atau lebar bukanlah soal lagi," kata Wirapati.
Setelah itu dengan kesehatan mengagumkan Wirapati menyerang sungguh-sungguh.
Sangaji terperanjat. Cepat ia mundur sampai ke dinding. Hatinya terpukul, tatkala melihat tinju gurunya hampir mengenai dada. Buru-buru ia menangkis. Semua gerakan khas dari kedua
gurunya. Karena itu Wirapati mengelak dan meneruskan serangan dengan jurus lain.
Kali ini Sangaji kalah cepat. Dadanya terpukul. Tetapi tenaga Wirapati mendadak hilang seperti terhisap. Karena peristiwa itu baik Sangaji maupun Wirapati tercengang sejenak. Sekonyong-konyong Jaga Saradenta datang menghampiri dan membentak. "Dengan diam-diam kamu berguru
dengan orang lain. Mengapa kamu merendahkan kami berdua?"
Dituduh demikian Sangaji terperanjat. Dengan pucat lesi ia menjawab sambil bertekuk lutut.
"Aku tak pernah menerima ajaran orang lain, kecuali guru dan kakak angkatku Willem Erbefeld.
ltupun hanya ajaran menembak pistol, senapan dan naik kuda. Ajaran pedang yang sebenarnya hendak diajarkan terpaksa dibatalkan karena pesan guru."
Sangaji berkata dengan jujur. Memang ia tak pernah mendapat ajaran ilmu dari Ki Tanjungbiru, kecuali menerima petunjuk-petunjuk cara bersemedi dan berkat mukjizat pohon sakti
Dewadaru. "Hai, masih saja kamu berdusta?" damprat Jaga Saradenta garang.
Sangaji menangis. Air matanya bercucuran keluar.
"Guru memperlakukan aku seperti anak sendiri, bagaimana aku berani berdusta."
"Lalu" Darimana kamu mendapat kepandaian itu?" desak Jaga Saradenta. la benar-benar gusar sampai kumisnya bergetaran. "Kamu pandai menghisap tenaga pukulan!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Menghisap tenaga pukulan?" Sangaji heran bukan kepalang.
"Coba, terimalah pukulan ini!" Habis berkata demikian Jaga Saradenta kemudian memukul
dengan sekuat tenaga. Sangaji tak berani menangkis, takut menyinggung perasaan gurunya. Tapi dagingnya bergerak tanpa disadari, berkat getah pohon Dewadaru yang memiliki kodrat alam menghisap darah. Begitu pukulan Jaga Saradenta tiba, lantas saja berkurang tenaganya. Sangaji merasakan sakit, tetapi ia heran juga melihat otot dan dagingnya bergerak menangkis sendiri.
"Nah! Apa ini bukan ilmu siluman?" bentak Jaga Saradenta garang. "Dari mana kau
memperoleh ilmu ini?"
Sangaji mulai berpikir. Teringat akan sifat pohon asli Dewadaru, hatinya bergidik sendiri.
"Guru! Aku bersumpah, aku tak pernah berguru kepada siapapun juga. Hanya secara kebetulan aku menghisap getah sebatang pohon ajaib bernama Dewadaru."
la lalu menceritakan pengalamannya beberapa bulan yang lampau ketika menghisap getah
pohon Dewadaru di Pulau Edam. Mendengar keterangan Sangaji, Jaga Saradenta dan Wirapati
saling memandang. Diam-diam mereka bergirang hati.
"Siapa yang menunjukkan kamu ke sana?" tanya Wirapati menegas.
"Seseorang yang memberi petunjuk kepadaku pula, cara menyalurkan hawa dan bernapas
dengan teratur, la memberi petunjuk pula cara merebahkan badan. Aku disuruh menghapalkan dua belas patah kata. Tenangkan pikiran"lupakan perasaan"kosongkan tubuhmu"salurkan
hawa"matikan hati"hidupkan semangat."
Wirapati heran. Itulah cara ilmu bersemedi tingkat tinggi, pikirnya. Pastilah Sangaji pernah bertemu dengan seorang yang berilmu tinggi. Di kota Jakarta ini siapakah orangnya yang memiliki ilmu demikian" Mendapat pikiran demikian, Wirapati menegas lagi, "Siapa dia?"
"Dia bermaksud hendak menemui Guru pada suatu kail Tetapi ia melarang kepadaku
menggambarkan siapa dirinya. Bahkan aku dilarang pula menggambarkan perawakan tubuhnya."
Wirapati semakin heran, la menyiratkan pandang kepada Jaga Saradenta yang berdiri tergugu bagaikan patung.
"Di manakah kamu bertemu mula-mula dengan dia?"
"Sewaktu aku sedang berburu dengan keluarga Sonny. Sonnypun mengenal siapa dia."
"Sonny mengenal dia?" Wirapati semakin terperanjat.
"Benar. Diapun dilarang menggambarkan siapa dirinya dan bagaimana perawakan tubuhnya.
Untuk perjanjian itu aku dan Sonny mendapatkan dua ekor lutung."
Wirapati terpekur kini merenungkan keterangan Sangaji. Setelah mengerling kepada Jaga
Saradenta, Wirapati berkata:
"Baiklah. Kau tunggu di luar!"
Sangaji menurut Dengan kepala menebak-nebak ia keluar pintu dan duduk di tepi jalan
memandang lalu-lintas. "Bagaimana menurutmu?" Wirapati minta pertimbangan kepada Jaga Saradenta.
"Aneh," sahut Jaga Saradenta. "Hatiku tergetar mendengar keterangannya. Teringat aku sifat kesaktian Sangaji, hatiku lantas saja menaruh curiga."
"Apa kamu teringat Pringgasakti?"
"Benar," sahut Jaga Saradenta cepat. "Masih teringat kata-katamu dulu, kalau dia pasti
mempunyai cara sendiri untuk membalas dendam. Siapa tahu ia mencoba meracuni jiwa Sangaji agar kelak bisa dibuatnya alat membunuh kita berdua. Inilah celaka, kalau sampai kejadian guru dibunuh muridnya. Daripada terjadi demikian, lebih baik kita putuskan hubungan antara guru dan murid."
Wirapati merenungkan kata-kata Jaga Saradenta. Alisnya meninggi. Suatu tanda, kalau hatinya sedang bergolak keras. Kemudian dia bangun.
"Kemungkinan itu ada. Pringgasakti seorang iblis yang licin. Dia sengaja mempermainkan kita agar selalu berada dalam teka-teki kita. Ini berbahaya. Baiklah, kita paksa Sangaji memberi keterangan yang lebih jelas. Kalau sudah jelas, apa boleh buat!"
Dengan suara nyaring ia memanggil Sangaji agar menghadap padanya. Sangaji seorang yang
jujur dan polos, la tak berprasangka buruk terhadap perubahan sikap gurunya. Dengan sikap tenang ia memasuki rumah. Dilihatnya kedua gurunya bersikap garang dan besungguh-sung-guh.
Sangaji heran. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Apakah aku bersalah" Hukumlah aku!"
Wirapati menyahut, "Sangaji, jawablah pertanyaanku. Kamu tak perlu menambahi keterangan.
Cukup jawab ya atau tidak. Nah,"dengarkan! Apakah orang yang kau jumpai berkepala gede dan berkulit hitam mengkilat"
0oo0 SANGAJI diam menimbang-nimbang. Ki Tunjungbiru memang berkepala gede, tetapi kulitnya
bukan hitam mengkilat. Hanya hitam lekam. Mungkin itulah yang dimaksudkan gurunya. Karena pertimbangan ini, ia mengangguk.
Melihat Sangaji mengangguk, Wirapati terkejut. Hatinya lantas saja jadi bergolak. Gugup ia mencari keyakinan lagi. Katanya tergegap, "Apa dia berambut panjang?"
Sangaji diam mengingat-ingat, la mengangguk lagi untuk yang kedua kalinya.
"Matanya tajam dan berbibir tebal?"
Sangaji mengangguk. "Tubuhnya kekar dan berwibawa?"
Sangaji mengangguk. Dan melihat Sangaji mengangguk untuk ke sekian kalinya, tak kuasa lagi Wirapati mempertahankan gejolak hatinya. Tubuhnya nampak menggigil dan alisnya meninggi dan meninggi. Jelaslah, kalau orang yang memberi pengertian tentang ilmu bersemadi kepada Sangaji adalah Pringgasakti. Menghadapi kenyataan demikian, tak bisa dia tinggal diam. Mau tak mau ia harus mengambil tindakan yang bertentangan dengan wataknya yang welas-asih. Ini semua demi memelihara hubungan antara murid dan guru. Tapi pada detik ia mau melaksanakan kata hatinya, timbullah suatu pertimbangan lain. Selama bergaul empat tahun dengan muridnya, terbersitlah kesan lain dalam hatinya terhadap si bocah. Ia menganggap si bocah seperti bagian dari tubuhnya sendiri, la yakin, kalau hati Sangaji bersih dari semua noda. Kalau toh sampai terjadi peristiwa yang menyedihkan itu, sebenarnya adalah di luar kekuasaannya sendiri. Terasalah dalam hatinya, dialah yang bernasib buruk. Jaga Saradenta juga. Tak terkecuali Sangaji. Berpikir demikian, hatinya serasa hampir meledak. Napasnya yang menyesak dadanya di dorongnya ke pojok
jantungnya. Kemudian ia memusatkan sisa keteguhan hati, untuk mengenyahkan keraguraguannya. Tiba-tiba tatkala ia sedang bergulat dengan dirinya sendiri, terdengarlah kesiur angin lewat disampingnya. la melihat Jaga Saradenta berkelebat dengan cempulingnya hendak menghabisi nyawa Sangaji. Tanpa berpikir lagi, ia ikut melesat dan membenturkan lengannya. Hebat
akibatnya. Kedua-duanya terpental ke samping dan berdiri dengan bergoyang-goyang.
"Tahan!" seru Wirapati dengan napas memburu.
Jaga Saradenta menghela napas. Cempulingnya dibanting ke tanah dan tertancap tegak dengan mengaung-ngaung.
"Wirapati! Hatimu lemah seperti perempuan!" bentak Jaga Saradenta. "Sudah jelas, kalau
muridmu seorang pengkhianat, kamu masih mau melindungi. Jelas sekali, kalau orang yang
mengajar ilmu siluman itu Pringgasakti tapi kamu masih ragu. Alasan apalagi yang kau tunggu?"
Sekarang Sangaji menjadi bingung menyaksikan gurunya bertengkar mengenai dirinya, la ingin menjelaskan, kalau orang yang berkepala "gede, bertubuh kekar, bermata tajam, berbibir tebal, berambut panjang dan berkulit hitam itu bukanlah Pringgasakti. Dia Ki Tunjungbiru, seorang sakti yang penuh diliputi rahasia. Meskipun belum pernah sekali juga melihat Pringgasakti, tetapi ia yakin kalau Ki Tunjungbiru bukanlah Pringgasakti. Sayang, ia tak diperkenankan berbicara selain ya dan tidak atau mengangguk dan menggeleng. Kecuali itu, dia berjanji pula dengan Ki
Tunjungbiru takkan mengabarkan dirinya. Bahkan membayangkan perawakan tubuhnya dengan
kata-kata dilarangnya pula. Bagi dia, melanggar janji adalah tabu. Mengingat hal ini, ia jadi sibuk sendiri.
"Jaga Saradenta, sabarlah barang sebentar!" terdengar Wirapati menyabarkan. "Tuduhan kita baru separoh benar."
"Apalagi yang masih meragukan?" Jaga Saradenta memotong.
"Kita baru menduga-duga."
"Sangaji sudah membenarkan apa yang kaukatakan, bukankah sudah cukup jelas" Untuk
memaksa si bocah agar menceritakan tentang dia tidaklah mungkin. Karena dia sudah terikat suatu perjanjian, untuk merahasiakan si jahanam itu. Apa kita harus mencincang dulu si bocah
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
agar mau buka mulut" Cih! Kalau sekiranya Sangaji akhirnya mau bicara, macam apa bocah itu"
Tak lebih bocah picisan. Aku tak mau punya murid picisan."
Wirapati terdiam. Ia berpikir keras. Memang kata-kata Jaga Saradenta tak dapat dibantah lagi.
Tapi aneh, dalam hatinya ia merasa seolah-olah ada sesuatu yang belum terang. Tapi apakah itu, tak dapat ia menebak dengan segera, la mendongakkan kepala mencoba menemukan kekurangan
itu. Kemudian berkata hati-hati seperti kepada dirinya sendiri.
"Jaga Saradenta, memang sudah cukup jelas alasan kita untuk mengambil nyawanya"
seandainya orang yang mengajar dia bersemadi itu benar-benar Pringgasakti."
"Apa dia bukan Pringgasakti?" potong Jaga Saradenta dengan suara tinggi.
"Sampai sekarang"seperti kataku tadi"kita baru menduga-duga. Sangaji mengatakan kalau
orang itu hanya memberi petunjuk cara orang bersemadi. Apakah benar seseorang yang hanya berlatih bersemadi dapat melawan orang semacam kita, sekiranya Pringgasakti benar-benar ingin meminjam tenaga pembalas dendam?"
"Orang itu tidak hanya memberi petunjuk cara bersemadi, tetapi membawa si bocah pula ke
Pulau Edam agar menghisap getah pohon siluman. Kalau Sangaji berlatih diri selama lima tahun saja sambil menerima ajaran-ajaran ilmu kita, sudahlah cukup tenaga untuk menghabisi nyawa kita berdua. Seandainya itu terjadi, alangkah sejarah dunia ini akan terguncang. Bukan aku sayang kepada nyawaku yang sudah tua ini, tetapi peristiwa pembunuhan itu luar biasa biadab dan lucu.
Bayangkan saja, kalau sampai guru dibunuh muridnya. Sebelum hal itu terlanjur, lebih baik kita hancurkan hubungan antara murid dan guru agar kita semua luput dari noda sejarah
kemanusiaan. Bagi Sangaji sendiri, lebih baik begitu daripada bisa hidup berumur panjang tetapi tangannya penuh berlumuran darah kedua gurunya."
Mendengar kata-kata Jaga Saradenta yang hebat itu, Sangaji terkejut bukan kepalang. Tak
sadar, air matanya bercucuran keluar. Hatinya terlalu sedih, diramalkan akan bisa membunuh kedua gurunya dikemudian hari. Sesuatu hal yang tak pernah terlintas dalam angan-angannya.
Lagi pula bagaimana mungkin! Meskipun demikian, ia tak berani membantah dan mengingkari.
Semua kata-kata kedua gurunya pasti mempunyai dasar alasan yang kuat.
Karena pikiran ini, ia menjatuhkan diri ke tanah sambil menyembah. "Guru boleh
memperlakukan aku sebebas-bebasnya. Tak usah guru ragu, kalau aku akan mati penasaran.
Bunuhlah aku sekarang juga, sekiranya guru mempunyai alasan untuk mengambil nyawaku.
Karena guru berhak menghukum tiap kesalahanku."
Wirapati tergugu mendengar kata-kata Sangaji. Sedetik ia seperti terpaku di atas tanah, tapi pada saat itu juga terhentaklah darah jantannya. Tak sudi ia memperlihatkan kelemahan hatinya di depan muridnya. Itulah sebabnya, tiba-tiba ia menjadi garang berwibawa. Berkata membentak,
"Sangaji! Mengambil nyawamu itu urusan gampang"segampang orang memutar leher ayam. Tapi
aku ingin kamu mati sebagai seorang kesatria. Tak senang aku melihat muridku menyerah kepada nasib. Seekor cacing tanah pun akan berontak pula, kalau kena injak. Mengapa kamu tak
mempertahankan diri?"
"Bagaimana mungkin aku berani mempertahankan diri terhadap hukuman guru" Semua ke:
cakapan yang kumiliki ini adalah semata-mata hasil jerih payah guru berdua. Kini guru
menghendaki agar aku mengembalikan semua, apakah hakku untuk mempertahankan diri?"
"Bukan aku menyuruhmu melawan aku, tapi pertahankan semua tuduhanku ini!" bentak
Wirapati menggigit. "Kau kutuduh menerima ajaran-ajaran dari siluman Pringgasakti. Kau dituduh gurumu Jaga Saradenta akan mengkhianatinya di kemudian hari. Pertahankan dirimu dari semua tuduhan itu! Apa kamu tak pandai mempertahankan diri?"
Sangaji adalah seorang anak yang kukuh dalam tiap kata hatinya. Apa yang telah dilakukan, tak mau lagi ia menarik diri atau merubah-nya oleh pertimbangan-pertimbangan lain. Pada saat itu, ia telah memutuskan bersedia mati di depan kedua gurunya. Itulah sebabnya semua kata-kata
Wirapati tak masuk lagi dalam pertimbangannya.
Waktu itu tiba-tiba terdengarlah suara orang terbatuk-batuk dan berkata, "Sekiranya aku
mempunyai murid berjiwa seteguh itu, aku mau mati lebih muda lagi."
Bukan main kagetnya Wirapati dan Jaga Saradenta. Mereka adalah tokoh-tokoh pendekar yang jarang ada pada masa itu, meskipun demikian pendengarannya masih belum dapat menangkap
kehadiran orang pendatang itu. Suatu tanda kalau pendatang itu bukan orang sembarangan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Siapa dia?" mereka membentak berbareng.
"Itulah dia ...," sahut Sangaji.
"Dia siapa?" Tak berani lagi Sangaji memberi penjelasan, la membungkam, meskipun tahu dengan pasti
orang itu adalah Ki Tunjungbiru. Wirapati adalah seorang yang cerdas. Begitu melihat Sangaji beragu, lantas saja dia dapat menebak. Serentak ia melesat keluar jendela sambil mempersiapkan senjatanya. Jaga Saradenta melesat pula keluar pintu dengan menggenggam cempuling.
Mereka melihat seorang laki-laki berperawakan kekar, berkulit hitam lekam, bermata tajam, berbibir tebal, berambut panjang dan berkepala gede. Ternyata dia bukan Pringgasakti.
"Maaf, aku mengganggu kalian berdua," kata orang itu, "sudah agak lama aku mendengarkan
percakapan kalian. Dan aku inilah orang yang kalian bicarakan. Orang memanggilku Ki
Tunjungbiru. Bukan Pringgasakti seperti kalian tuduhkan."
Ki Tunjungbiru kemudian membungkuk memberi hormat. Wirapati terdiam, lalu mengerling
kepada Jaga Saradenta. Mereka saling memandang dengan mengunci mulut.
"Sudah lama aku mengenal kalian berdua. Dan aku mengagumi keperkasaan kalian. Beberapa
bulan yang lalu sudah kuceritakan ke Sangaji, kalau pada suatu hari aku akan menemui kalian berdua. Nah, sekarang aku bertemu dengan kalian, sungguh aku bersyukur dalam hati," kata Ki Tunjungbiru dengan takzim.
Jaga Saradenta nampak mengerenyitkan dahinya. Ia seperti mengingat-ingat sesuatu. Waktu
itu Sangaji telah berada di antara mereka. Dengan membungkuk, ia mencoba menjelaskan, "Guru, karena dia telah menerangkan tentang dirinya, barangkali aku telah diperkenankan pula memberi penjelasan. Dia dijuluki orang Ki Tunjungbiru. Menurut tutur-katanya sendiri, sebenarnya dia bukan bernama Ki Tunjungbiru. Hanya karena dia selalu membawa-bawa tumbuhan yang
menghisap kembang Tunjungbiru ke mana dia pergi, maka ia diberi julukan demikian."
Mendengar keterangan Sangaji tentang dirinya, Ki Tunjungbiru tertawa riang.
"Waktu kanak-kanak orang menyebut aku si Otong. Otong si kurus tipis seperti cancing."
"Ah!" tiba-tiba Jaga Saradenta memotong. "Apa kamu bukan Otong Damarwijaya?"
"Hai! Bagaimana kamu mengenal namaku?" Ki Tunjungbiru terkejut.
"Wirapati!" kata Jaga Saradenta kepada rekannya seolah-olah tidak mempedulikan pertanyaan Ki Tunjungbiru. "Tak mengherankan, kalau kamu belum mengenalnya. Otong Damarwijaya adalah seorang pahlawan dari Banten. Namanya termasyhur di seluruh Jawa Barat sebagai seorang tua pelindung rakyat kecil. Guruku"Kyai Haji Lukman Hakim"sering memperkenalkan namanya yang harum kepada murid-muridnya. Dialah yang meletuskan pemberontakan rakyat di seluruh Banten pada thun 1750, sehingga Kompeni Belanda terpaksa membagi kekuatannya. Dengan begitu,
secara tak langsung ia membantu Pangeran Mangkubumi I dalam Perang Giyanti."
"Ih, apa perlu perang Banten diungkit-ungkit" Perang itu memalukan sejarah bangsa, karena kami ternyata dikalahkan," potong Ki Tunjungbiru.
"Menang dan kalah adalah kejadian lumrah dalam suatu perjuangan. Mengapa kita mesti malu"
Meskipun perjuangan rakyat Banten bisa dikalahkan, tapi sekarang kulihat dan kusaksikan dengan mata kepala sendiri"kalau kekalahan itu bukan merupakan kekalahan menyeluruh. Otong
Damarwijaya masih hidup. Semangat tempurnya masih tinggi, terbukti masih tetap bersedia
menjadi orang buruan. Bukankah begitu?"
"Hai! Bagaimana kautahu?"
"Sikapmu berhati-hati. Gerak-geriknya penuh rahasia, sampai-sampai terhadap kitapun" kamu belum bersedia memperkenalkan diri dengan terang-terangan. Untung kamu datang tepat pada waktunya, kalau tidak...." Jaga Saradenta menundukkan kepala. Dalam hatinya ia menyesali diri sendiri atas perbuatannya tadi yang sembrono.
"Maaf! Maafkan aku! Bukan maksudku, menyusahkan kalian. Satu tahun yang lalu, secara
kebetulan aku berjumpa Sangaji di tengah hutan perburuan di daerah Tangerang. Aku tertarik pada hatinya yang jujur dan polos, la lagi bersedih hati menekuni ajaran-ajaran kalian yang terlalu sulit baginya. Dengan seluruh kemampuannya ia mencoba berlatih diri. Tapi mana bisa dia mampu memecahkan ajaran-ajaran ilmu kalian yang begitu tinggi. Kukatakan kepadanya, kalau seratus tahun lagi ia takkan mampu menyelami intisari jurus ajaran kalian."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Wirapati terkejut. Sebagai seorang yang encer otaknya, tahulah dia maksud kata-kata Ki Tunjungbiru. Secara tak langsung, orang tua itu menyesali dirinya"karena memberi ajaran-ajaran tertentu tanpa mengingat kemampuan si bocah. Cepat-cepat ia membungkuk hormat.
"Ini semua adalah gara-gara gejolak nafsu kami yang berlebihan. Kami bersedia menerima
teguran Ki Tunjungbiru."
"Eh"mana bisa aku berani menegur kalian!" seru Ki Tunjungbiru berjingkrak. "Apa yang kalian ajarkan sangat kukagumi. Sedikitpun tidak ada celanya. Cuma si bocah belum menemukan titik tolak sebagai dasar latihan. Dalam hal ini tak ada seorangpun di dunia yang dapat dipersalahkan.
Sebab ini soal bakat. Soal karunia alam. Kalau kemudian, dia kubawa ke Pulau Edam dan kuberi petunjuk cara orang menya-lurkan semangat dan tenaga, bukanlah maksudku aku mau
mengambil dia sebagai murid. Bagaimana mungkin aku berani berlaku begitu" Meskipun demikian, dengan setulus hati aku minta maaf kepada kalian atas kelancanganku ini."
Wirapati menoleh kepada Sangaji dan berkata menyesali, "Sangaji, mengapa kamu
merahasiakan hubunganmu dengan Ki Tunjungbiru Otong Damarwijaya" Kalau semenjak dulu
kamu ceritakan hal itu, pasti tidak akan ada salah sangka terhadapmu."
Ucapan Wirapati ini berarti memaklumi dan memaafkan semua yang terjadi. Karena itu, baik Sangaji maupun Ki Tunjungbiru bersyukur dalam hati.
"Aki Tunjungbiru melarangku mengabarkan tentang dirinya," sahut Sangaji.
"Ya"ya"ya, dia benar. Akulah yang melarang," sambung Ki Tunjungbiru. "Soalnya, karena aku seorang buruan. Sudah bertahun-tahun lamanya aku membiasakan diri berkelana seorang diri. Tak mau aku dikenal orang."
Wirapati meraih Sangaji dan merangkulnya sambil mengusap-usap rambutnya dengan penuh
sayang. 'Tentang salah paham ini, perkenankanlah aku mohon maaf sebesar-besarnya," kata Ki
Tunjungbiru lagi sambil membungkuk hormat.
Wirapati dan Jaga Saradenta membalas hormat. Hati mereka berdua tertarik akan sikap orang tua yang sopan-santun. Mereka kemudian mempersilakannya memasuki pondokan. Kebetulan di
atas meja tersedia bermacam-macam panganan dan masakan seolah-olah sedang berpesta.
Mereka lantas saja menggerumuti panganan dan masakan sambil membasahi kerongkongan
sepuas-puasnya. "Eh"perkenankan aku si orang tua minta penjelasan barang sedikit," kata Ki Tunjungbiru.
"Kulihat kalian bedaku luar biasa terhadap si bocah. Nampaknya semua murid kalian, kalian perlakukan demikian hebat! Inilah suatu kemajuan luar biasa. Sekiranya tiap perguruan bedaku begitu luar biasa terhadap murid-muridnya, pastilah dalam sepuluh tahun lagi aku akan bertemu dengan kesatria-kesatria perkasa untuk menggantikan angkatan tua yang sudah bangkotan seperti aku ini."
Dewi Ular 8 Payung Sengkala Karya S D Liong Persekutuan Tusuk Kundai Kumala 7
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama