Pertemuan Di Kotaraja Seri 4 Opas Karya Wen Rui An Bagian 11
bocah berbaju ungu yang penuh minta ampun, dia merasa tak
tega untuk menghabisi nyawa si bocah kerdil, lembut seperti
anak-anak itu. Mendadak Khong Bu-ki menarik kembali tombaknya dan
"Krak!", ditancapkan ke atas tanah, kemudian sambil
menuding bocah berbaju ungu itu dia menghardik, "Enyah kau
dari sini!"
Bocah berbaju ungu itu tidak menyangka Khong Bu-ki akan
melepaskan dirinya begitu saja, mula-mula ia sangsi,
kemudian dengan penuh rasa terima kasih ia menjatuhkan diri
575 berlutut sambil berseru, "Terima kasih Toaya karena tidak
membunuhku."
Khong Bu-ki merasa sangat gembira, akhirnya ia berhasil
menangkan pertarungan ini tanpa harus membunuh lawan,
baru saja dia akan maju untuk membangunkan bocah itu,
mendadak terlihat bayangan tombak menyambar lewat, tahutahu
senjata itu sudah ditusukkan ke arah hulu hatinya.
Padahal posisi Khong Bu-ki waktu itu dalam keadaan
terbuka, ia tak sempat menarik kembali tombaknya, juga tak
sempat menangkis, terpaksa dia harus berkelit ke samping.
Siapa tahu, begitu dia berkelit, tubuhnya sudah tiba di sisi
tebing yang curam, cepat Khong Bu-ki menghentikan langkah.
Bocah berbaju ungu itu memang berhati keji dan telengas,
sekali lagi dia melepaskan sebuah tusukan ke depan.
Terpaksa Khong Bu-ki berkelit lagi ke samping, kali ini
tubuhnya segera tercebur ke dalam jurang yang dalam.
Tampaknya Khong Bu-ki segera akan tewas dengan badan
hancur, di saat kritis, satu ingatan melintas dalam benaknya,
tombak yang masih ada dalam genggamannya segera
ditusukkan ke atas dinding tebing, lalu badannya pun
bergelantungan di atas tombak itu.
Sungguh jahat dan keji bocah berbaju ungu itu, dia enggan
melepaskan musuhnya begitu saja, sambil melompat
mendekati tebing, sekali lagi tombaknya ditusukkan ke bawah.
Saat itu tubuh Khong Bu-ki masih bergelantungan pada
tombaknya, jelas sulit baginya untuk menghindarkan diri,
dalam gelisahnya, dia segera menangkap tombak lawan dan
dicekalnya kuat-kuat.
Khong Bu-ki gusar bercampur jengkel, dia jengkel pada diri
sendiri, kenapa gara-gara tak tega akhirnya harus menelan
lagi kekalahan yang kesekian ratus kali ... bahkan
kekalahannya kali ini mungkin akan menjadi kekalahannya
yang terakhir. Pada saat itulah tampak empat titik bayangan hijau
berkelebat lewat.
576 Tak sempat menarik kembali tombaknya, sedang di
hadapannya terbentang tebing yang curam hingga mustahil
maju ke muka, terpaksa bocah berbaju ungu itu membalik ke
belakang. Tampak empat macam jurus serangan pedang yang
berbeda datang menyergapnya, untuk sesaat dia bingung dan
tak tahu harus menangkis serangan mana terlebih dulu.
Empat bilah pedang pada saat bersamaan menusuk bahu
kiri, bahu kanan, kaki kiri dan kaki kanannya, bocah berbaju
ungu menjerit kesakitan, tenaganya seketika hilang.
Menggunakan peluang itu, buru-buru Khong Bu-ki
mengerahkan tenaganya sambil melompat naik ke bibir
tebing. Ketika keempat bocah berbaju hijau itu mencabut kembali
pedangnya secara bersama-sama, semburan darah segar
memancar, menyusul kemudian terlihat tubuh bocah berbaju
ungu itu melompat melewati atas kepala Khong Bu-ki dan
langsung menceburkan diri ke dasar jurang.
Dengan perasaan hati kebat-kebit lantaran ngeri bercampur
seram, Khong Bu-ki merangkak ke tepi jalan setapak ...
bagaimanapun akhirnya dia berhasil lolos dari kematian, masih
punya kesempatan baginya untuk menderita kekalahan yang
keseratus dua puluh delapan.
Pada saat bersamaan, Lui Siau-jut ikut terbabat golok
hingga menemui ajalnya.
Setelah melalui selat Kiam-bun-kwan, dengan mengikuti
jalan raya berbelok ke kanan, rombongan mulai meninggalkan
daerah perbukitan terjal dan menuju ke gunung Ci-pak-san.
Asal mereka bertiga belas sudah melalui puncak Ci-kwanleng,
maka Pak-shia, Benteng utara pun akan muncul di depan
mata. Selama dua hari perjalanan, si Tanpa Perasaan hanya
duduk dalam tandu yang digotong keempat bocah pedang
emas dan perak, meski begitu pergaulannya dengan Ui Thianseng,
Khong Bu-ki, Ci Yau-hoa maupun Chin Ang-kiok
berlangsung sangat akrab.
577 Ui Thian-seng dan kawan-kawan menaruh sikap hormat
bercampur kagum terhadap si Tanpa Perasaan, selain
mengagumi kehebatan ilmu silat serta kecerdasannya dalam
mengatur siasat pertarungan, mereka pun menaruh simpati
atas lumpuhnya sepasang kaki pemuda itu serta wajah
murung yang selalu mencekam hatinya.
Di antara sekian banyak orang, yang menaruh perhatian
khusus terhadap si Tanpa Perasaan serta keempat bocah
berbaju hijau itu adalah si Dewi terbang Ci Yau-hoa, menyusul
kemudian Chin Ang-kiok serta ketiga orang dayangnya.
Tentu saja sikap Ui Thian-seng, Khong Bu-ki maupun Yau
It-kang terhadap si Tanpa Perasaan juga sangat baik, namun
bagaimanapun juga sikap seorang lelaki terhadap lelaki lain
memang selalu ada batasnya, apalagi mereka bukan sahabat
lama, bagaimana pun tetap ada jurang pemisah di antara
mereka. Ci Yau-hoa sendiri sebenarnya terhitung seorang wanita
yang ramah, lembut dan sangat menawan hati, terhadap si
Tanpa Perasaan dia menaruh perhatian serta simpati yang luar
biasa, sementara Chin Ang-kiok termasuk wanita yang tinggi
hati, tapi dia sangat terharu melihat si Tanpa Perasaan yang
lumpuh kakinya, dia berpendapat seandainya si Tanpa
Perasaan tidak lumpuh, kehebatannya tentu jauh lebih
mengerikan. Padahal seandainya Tanpa Perasaan tidak lumpuh kakinya,
belum tentu dia akan melatih ilmu meringankan tubuhnya
secara tekun, ilmu melepaskan senjata rahasianya juga belum
tentu mencapai tingkatan sehebat itu, mungkin ini yang
disebut 'Orang yang kehilangan kuda, belum tentu merupakan
musibah'. Chin Ang-kiok lebih suka keempat bocah berbaju hijau itu,
terutama ketiga orang dayangnya yang menanjak usia remaja,
si Pedang bunga bwe, si Pedang anggrek dan si Pedang
bambu, seringkali mereka bermain, bergurau dan bercanda
bersama. 578 Sekalipun canda ria berlangsung terus, namun ada satu hal
yang mereka ketahui dengan jelas, semakin mendekati
benteng utara berarti mara bahaya semakin menghampiri
mereka, setiap saat nyawa mereka bisa hilang begitu saja.
Malaikat iblis Cun Yu-siang memiliki kekuatan luar biasa
hingga menggetarkan empat penjuru, namun kalah jauh bila
dibandingkan kecerdikan serta kelicikan yang dimiliki Dewa
iblis Lui Siau-jut, padahal menurut berita yang tersiar dalam
dunia persilatan, kemampuan Mo-tauw (pentolan iblis) Si Kupei
jauh lebih menakutkan ketimbang si Dewa iblis, apalagi di
atas si Pentolan iblis masih ada iblis lain yang lebih
mengerikan, Mo-kouw si Bibi iblis"
Hingga kini tak seorang jago persilatan pun yang
mengetahui siapa nama si Bibi iblis, apa yang diketahui hingga
sekarang hanyalah keempat utusan peronda yang salah satu
anggotanya berhasil dibantai si Tanpa Perasaan.
Padahal kalau bicara soal kehebatan ilmu silatnya,
kepandaian yang dimiliki utusan peronda ini masih jauh di atas
kemampuan Cun Yu-siang.
Selain itu semua orang juga tahu bahwa si Pentolan iblis Si
Ku-pei dengan ilmu toya iblis gilanya sudah merajai sungai
telaga, belum lagi keempat anak buahnya yang dijuluki orang
sebagai Siu-lo-su-yau (empat siluman sakti), konon selain
mahir dalam menggunakan ilmu senjata rahasia, mereka pun
pandai ilmu berganti rupa, ilmu racun maupun ilmu silat, nama
dan kehebatannya jauh di atas kehebatan keempat bocah
berbaju ungu anak buah si Dewa iblis.
Itulah sebabnya, sepanjang perjalanan, rombongan si
Tanpa Perasaan harus selalu berhati-hati dan waspada
terhadap segala kemungkinan.
ooOOOoo 18. Menggempur Pentolan iblis.
Bagaimanapun hati-hati dan waspadanya seorang, kadangkala
ada juga saatnya teledor dan lupa menjaga diri.
579 Awan gelap sudah mulai menyelimuti seluruh angkasa,
rembulan yang redup mulai muncul dari langit timur, malam
ini adalah malam yang sangat dingin.
Di atas bukit Ci-pak-san, rombongan jago itu mulai
membuat api unggun untuk bermalam, bagaimanapun
terburunya orang-orang itu, mereka enggan melakukan
perjalanan malam, karena perjalanan semacam itu biasanya
membawa resiko yang lebih besar.
Ketika api unggun telah siap, Yau lt-kang dengan senjata
rahasianya berhasil membunuh dua ekor kelinci, sementara
Khong Bu-ki berhasil membunuh seekor babi hutan, maka bau
harum daging yang dipanggang pun mulai menyelimuti
seluruh tanah perbukitan.
Tanpa Perasaan memilih sebuah tempat kering dan bersih,
duduk di atas sebuah batu besar sambil makan rangsum
kering yang dibekal.
Sementara Chin Ang-kiok meniup seruling membawakan
sebuah lagu yang merdu merayu, membuat suasana malam
ini semakin romantis.
"Chin-lihiap," Khong Bu-ki segera bertepuk tangan memuji,
"tiupan serulingmu sungguh indah, sungguh menawan hati!"
Dengan termangu Ui Thian-seng memandang ke tempat
jauh, sesaat kemudian ia pun berbicara dengan suara dalam,
"Dulu sewaktu berkunjung ke Pak-shia, aku pernah menginap
semalam di sini, waktu itu aku masih sempat melihat deretan
lampu di bawah bukit sebelah sana, deretan lampu itu nampak
sangat indah ketika dilihat dari kejauhan, tapi sekarang tak
sebuah pun yang kelihatan. Ai ... entah bagaimana keadaan
keponakan Ciu saat ini?"
Yau It-kang berdiri di sampingnya, dia seakan seorang
bawahan setia yang selalu mendampingi panglima perangnya,
dalam keadaan begini, tentu saja dia harus mengucapkan satu
dua patah kata menghibur.
"Lo-pocu," ujarnya, "kau tak usah kuatir, aku yakin
kedatangan kita tepat pada saatnya, bukankah benteng PakTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
580 shia sedang diserbu musuh sekarang" mana mungkin mereka
memasang lentera untuk menerangi jalanan?"
Kemudian ia mencoba mengalihkan pokok pembicaraan ke
soal lain, tanyanya lagi sambil tertawa, "Dulu Lo-pocu datang
kemari dengan siapa saja?"
"Ooh suara Ui Thian-seng terdengar amat sendu, "dahulu
... dahulu aku sering berkunjung kemari bersama Lan Kengthian,
Tincu dari Say-tin dan Ngo Kong-tiong, Lo-cecu dari
benteng Lam-ce, kami beramai-ramai datang kemari
mengunjungi Ciu Hong-cun, Lo-siacu dari benteng utara,
hahaha ... bila malam menjelang tiba, kami bersama-sama
menunggang kuda naik kemari dan berbincang-bincang
hingga fajar menyingsing, suasana waktu itu sangat ramai,
amat menggembirakan hati ... tapi kini, ai! Lan Keng-thian
sudah berangkat duluan, disusul beberapa bulan kemudian
Ngo Kong-tiong juga .... Ya, kini tinggal aku seorang, kalau
kedatanganku kali ini untuk menolong keponakan Ciu juga
terlambat, entah bagaimana aku harus bertemu lagi dengan
Hong-cun Lote di alam baka"
Yau It-kang tidak menyangka pertanyaannya malah
mengungkit kembali kenangan masa lampau Ui Thian-seng
yang penuh dengan kesedihan, untuk sesaat dia jadi
gelagapan dan tak tahu apa yang mesti dilakukan.
Sementara itu Ci Yau-hoa sudah berjalan menghampiri
Tanpa Perasaan, dengan suara lembut dia menegur, "Apakah
kau ingin makan lebih banyak lagi?"
Seakan baru tersadar dari lamunan si Tanpa Perasaan
berpaling, ketika melihat Ci Yau-hoa yang cantik bak bidadari
dari kahyangan, mirip juga seorang ibu muda yang penuh
kasih sayang, tiba-tiba ia merasa hatinya bergetar keras,
sahutnya agak tergagap, "Aku ... aku sedang memikirkan
sesuatu..."
"Bukan soal itu yang kutanyakan," ujar Ci Yau-hoa sambil
menggeleng kepala dan tertawa, "aku tanya, apakah kau ingin
makan lebih banyak" Ehm, mau?"
581 Merah jengah wajah Tanpa Perasaan yang semula pucat,
sahutnya makin tergagap, "Maaf ... maaf cici Ci ... aku tidak
mendengar jelas"
Ci Yau-hoa seakan tidak mendengar apa yang sedang dia
katakan, seperti orang dewasa memberi hadiah kepada
seorang bocah cilik saja, dari belakang pinggangnya ia
keluarkan sepotong paha kelinci bakar lalu sambil disodorkan,
katanya, "Nih, mumpung masih hangat, cepat dimakan."
Rembulan masih bersinar redup di balik kegelapan tapi
angin berhembus sepoi, walaupun Siong-pak-san bukan
tempat yang indah, walau tempat itu bukan tempat wisata
terkenal, namun ketenangan dan suasana damai yang
menyelimuti tempat itu justru jauh mengalahkan tempat lain.
Dengan termangu Tanpa Perasaan berpaling, mengawasi
wajah perempuan itu tanpa berkedip, ia merasa wajah
maupun sikap Ci Yau-hoa tak ubahnya seperti sikap seorang
ibu yang sedang menyayangi putranya, tapi dia pun merasa
perempuan ini mirip seorang gadis yang polos dan manja,
anehnya justru dua ciri khas dari dua jenis wanita terangkum
semua di balik senyuman manis perempuan itu.
Tanpa Perasaan terkesima, termangu sampai lama sekali.
Pertemuan Di Kotaraja Seri 4 Opas Karya Wen Rui An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tidak banyak lelaki yang tidak menyukai perempuan
dengan sifat dan penampilan seperti ini, sebab untuk
memperoleh salah satunya saja sudah susah, apalagi keduaduanya
terdapat pada perempuan ini.
Bagaimanapun juga Tanpa Perasaan tetap manusia,
bahkan seorang lelaki yang masih muda, mana mungkin ia
bisa seratus persen Tanpa Perasaan"
Ci Yau-hoa duduk bersanding dengan Tanpa Perasaan di
atas sebuah batu besar, mereka berbincang penuh keasyikan,
usianya memang sepuluh tahun lebih tua ketimbang usia
pemuda itu, tentu saja perasaan lelaki macam dia sangat
dipahami olehnya.
Biasanya lelaki muda semacam ini paling senang
memamerkan semua kegagahan serta kehebatan yang
dimilikinya, terutama ketika berada di hadapan seorang
582 wanita, jarang ada lelaki yang mau membicarakan isi hatinya,
apalagi berkeluh-kesah di hadapan seorang gadis dalam
suasana begini romantis.
Ci Yau-hoa sudah bersiap untuk mendengarkan, tapi
sayang Tanpa Perasaan jauh berbeda dengan lelaki
kebanyakan. Dia tidak berkeluh-kesah, tidak menceritakan segala
kehebatan dan keperkasaannya, dia justru siap mendengarkan
sang wanita bicara.
Maka mereka berdua pun sama-sama tidak bicara, mereka
hanya siap mendengarkan pembicaraan lawan, mendengarkan
suara yang muncul di sekeliling tempat itu.
Hembusan angin sepoi-sepoi terdengar bagai dengusan
napas yang lirih, mereka seakan sedang menikmati suara
angin, menikmati kabut yang mengambang di atas permukaan
tanah, melihat rembulan yang mulai bergeser, bahkan
mendengar detak jantung yang berdebar.
Sebenarnya Ci Yau-hoa telah menganggap Tanpa Perasaan
sebagai anaknya, atau adiknya, atau bahkan kekasih hatinya"
Bagaimana pula dengan Tanpa Perasaan" Dia menganggap
Ci Yau-hoa sebagai ibunya" Sebagai cicinya" Atau sebagai
pujaan hatinya"
Bagaimanapun mereka berdua merupakan orang persilatan
yang sepanjang tahun hidup berkelana.
Akhirnya Ci Yau-hoa membuka suara lebih dulu, nada
suaranya selembut hembusan angin yang menggoyang
dedaunan, ujarnya perlahan, "Kenapa kau tidak bertanya
apakah aku pernah menikah?"
Tanpa Perasaan tersenyum, senyumannya sangat polos,
senyuman tanpa dosa, sahutnya, "Bukankah hal semacam itu
tidak penting?"
Ci Yau-hoa ikut tersenyum, senyumannya bukan saja dapat
menggoyangkan bunga, bahkan pepohonan atau perbukitan
pun akan bergoyang juga, apalagi hanya hati seseorang"
"Tapi aku ingin menanyakan hal itu kepadamu," katanya
kemudian. 583 "Bertanya kepadaku?" Tanpa Perasaan keheranan, "tanya
aku sudah pernah menikah atau belum?"
"Tanya kau" Cis, tentu saja tidak!"
Tanpa Perasaan merasakan pipinya jadi panas, lekas
sahutnya sambil tertawa, "Kalau kau ... aku, aku tidak tahu."
"Lantas kakimu itu...."
Mendadak paras muka Tanpa Perasaan berubah hebat.
Ci Yau-hoa tidak melanjutkan lagi kata-katanya, ia melihat
si Tanpa Perasaan pelan-pelan mengalihkan pandangannya ke
arah lain, mengawasi tebing bukit di kejauhan sana,
mengawasi kegelapan malam yang mencekam, seakan sebuah
patung arca yang dipenuhi berbagai pikiran dan masalah.
Dengan kepala tertunduk akhirnya Ci Yau-hoa berkata lagi,
"Seandainya perkataanku tadi melukai hatimu, aku mohon
maaf, bila kau merasa keberatan, pertanyaanku tadi tak perlu
kau jawab."
Lewat lama kemudian si Tanpa Perasaan baru menjawab,
suaranya seolah datang dari balik kegelapan sana, "Tidak,
akan kuceritakan hal ini kepadamu."
Lalu ditatapnya wajah Ci Yau-hoa dalam-dalam, mengawasi
biji matanya yang bening dan lembut, ia melanjutkan, "Karena
selama ini aku tak pernah bercerita kepada siapa pun, aku jadi
bingung cerita ini harus kumulai darimana."
"Ooh...." hanya perkataan itu yang muncul dari mulut Ci
Yau-hoa, kemudian ia menunggu dengan tenang jawaban
sang pemuda. Dengan nada suara aneh, nada suara yang seakan datang
dari tempat yang amat jauh, si Tanpa Perasaan berkata,
"Kisah ceritaku panjang sekali, karena mencakup kisah darah
dan air mata selama enam belas tahun, mungkin bagimu
cerita ini pendek, sebuah cerita yang sama sekali tak
menarik." "Katakanlah, akan kudengar semua kisahmu itu, mau
panjang atau pendek, aku tetap akan mendengarkan hingga
selesai." 584 "Enam belas tahun berselang, aku adalah seorang bocah
berusia enam tahun yang hidup dalam sebuah keluarga kaya
raya, anggota keluarga kami berjumlah tiga puluh dua orang,
ayahku seorang terpelajar, selain menguasai bun (sastra) juga
pandai bu (silat), ia termashur karena kehebatannya
merangkai syair. Ibuku juga sangat pandai menyulam, dia
mampu menyulam sekuntum bunga yang tumbuh di
pekarangan istana dalam selembar kain, bahkan jarum
sulamnya bisa menusuk tujuh puluh dua buah jalan darah,
selain pandai membunuh juga pandai mengobati penyakit....
"Waktu itu kehidupanku amat gembira, amat senang, tak
ada kemasgulan, tak ada kesulitan ... lalu, pada suatu malam
tiga belas orang manusia berkerudung menyerbu ke dalam
rumah kami..."
Paras muka si Tanpa Perasaan berubah jadi pucat, lebih
pucat dari wajah sesosok mayat, setelah lama termenung dia
melanjutkan, "Jeritan ngeri, teriakan kesakitan, ceceran darah,
pembantaian, pembunuhan berlangsung dari waktu ke waktu
... ayahku roboh bermandikan darah, sebuah senjata rahasia
menancap di punggungnya ... ibuku sedang mengawasi
ayahku, waktu itu dia tertangkap lalu disiksa dengan cara
paling keji hingga tewas ... anggota keluargaku ... tiga puluh
dua orang, tak seorang pun yang dibiarkan hidup, bahkan
anjing dan ayam pun mereka bantai hingga ludas...."
"Kemudian datang seorang berewok, memaksa aku untuk
menunjukkan dimana pusaka keluarga dan ilmu jarum sakti
disembunyikan, bahkan mengompas aku, menyiksa diriku
habis-habisan, dan ... akibatnya sepasang kakiku jadi begini ...
aku tidak menangis, aku memang tak pandai menangis ...
kemudian datang seorang ceking sambil tertawa keras, ia
menghampiriku lalu sekali tendang membuat badanku
mencelat hingga roboh terjungkal di kebun belakang ....
"Sebelum pergi meninggalkan tempat itu, mereka
membakar seluruh gedung bangunan kami, bukan saja
mereka membakar semua yang ada, bahkan para tetangga
yang berdatangan untuk menolong kebakaran pun dibantai
585 satu per satu, kemudian tubuhnya dilempar ke dalam kobaran
api ... waktu itu aku bersembunyi di balik semak belukar,
dengan sepasang tanganku ini aku merangkak selangkah demi
selangkah, akhirnya, aku pingsan dalam kegelapan ....
"Waktu itu aku sanggup merangkak keluar dari lautan api,
karenanya akan aku ingat terus perbuatan keji mereka, akan
kuingat terus dendam kesumat sedalam lautan ini, akan
kuingat sampai mati peristiwa berdarah yang terjadi malam itu
..." Tubuh si Tanpa Perasaan nampak gemetar keras ketika
terhembus angin dingin, mendadak ia memandang sepasang
tangan sendiri, suaranya terputus, napasnya tersengal-sengal,
dia seakan sedang berusaha mengendalikan gejolak emosinya
yang luar biasa.
Selang beberapa saat kemudian ia baru dapat
mengendalikan diri, lanjutnya, "Ketika sadar dari pingsan, aku
lihat cahaya bintang masih bertaburan di angkasa ... seorang
kakek kurus sedang membopong aku dengan penuh kasih
sayang ... aku masih ingat adegan malam itu dengan sangat
jelas. Aku tahu dia adalah orang baik, seakan Thian yang
mengirim dia untuk merawat dan menjagaku, maka aku pun
menangis sejadi-jadinya, aku bertanya kepadanya kenapa
para opas tidak membalaskan dendam bagi kematian ayah
ibuku ...?"
Bicara sampai di sini, ia tertawa dingin berulang kali, lalu
terusnya, "Kakek itu memberitahu kepadaku, katanya
'Percuma, kawanan opas biasa hanya mampu menindas rakyat
kecil atau melarang orang biasa berbuat begini begitu, setelah
bertemu kaum pedagang kaya atau hartawan lalim, bertemu
jagoan Hekto atau para kerabat kerajaan, mereka akan
kehabisan daya dan tak mampu berbuat apa-apa'. Kemudian
dia berkata pula, 'Percuma kuberitahukan semuanya ini
kepadamu, kau tak bakal mengerti'. Tapi segera kujawab,
'Tidak, aku mengerti, aku sangat mengerti' ....
"Tampaknya orang tua itu tercengang oleh jawabanku,
kemudian dia memberitahu aku, mungkin kehendak dari Thian
586 lah hingga dia berjumpa dengan aku, ternyata dia pun orang
yang bekerja di pengadilan. Cuma belum pernah ada seorang
manusia pun yang tak berani dia tangkap dan belum pernah
ada seorang manusia pun yang tak berani dia bunuh. Semua
yang pantas dibunuh akan dibunuhnya ... lalu dia pun
bertanya kepadaku dengan nada iba, 'Inginkah kau membalas
dendam"' "Tiba-tiba aku tidak menangis lagi, kepadanya aku berkata,
'Tidak ingin'. Dia makin tercengang. Aku bilang, 'Tolong
ajarkan kepandaian kepadaku, aku ingin membalas dendam
sendiri'. Pada mulanya dia bersikeras menolak permintaanku,
maka aku pun mulai menangis lagi bahkan menangis makin
keras ... akhirnya dia melihat sepasang kakiku yang hancur,
aku pun berkata lagi, kalau kau menolak permintaanku, lebih
baik jangan tolong aku, bukan saja aku harus membalas
dendam sendiri, aku pun harus belajar kepandaian seperti
kau, membalaskan dendam bagi ketidak adilan di kolong
langit. Maka dia pun berkata sambil tertawa, 'Tidak kusangka
dengan usiamu sekecil ini, ternyata kau sanggup
mengucapkan kata-kata seperti ini'....
"Akhirnya dia pun mengabulkan permintaanku, bahkan
memberitahu kepadaku, sejak hari itu dia akan mendidik dan
memelihara aku secara seksama, pada saat yang sama dia
pun mendidik pula beberapa orang adik seperguruan ... kalau
membayangkan kembali peristiwa masa lampau, aku sendiri
pun merasa heran, kenapa sekecil itu aku bisa mengucapkan
perkataan macam begitu ... hingga aku tumbuh jadi dewasa
baru kuketahui ternyata orang tua itu adalah Cukat-sianseng
yang amat termashur itu, dan akhirnya kami bersaudara pun
dikenal orang sebagai Empat opas."
Dari balik kegelapan malam, Tanpa Perasaan mulai
tertawa. Angin telah berhenti berhembus, tak terdengar suara lagi di
sekeliling tempat itu, suasana terasa sangat hening.
587 Dunia seakan sudah berhenti bergerak, seluruh kehidupan
seakan telah berhenti bersuara, entah karena mereka sedang
bersedih atau sedang berduka"
Lewat beberapa saat kemudian Ci Yau-hoa baru menghela
napas sedih, ujarnya, "Akhirnya apakah kau berhasil
menemukan kawanan perampok yang telah membantai
seluruh isi keluargamu?"
Tanpa Perasaan menggoyang tangan dengan perasaan
kaku, sahutnya hambar, "Hingga kini aku masih belum tahu
siapakah mereka, tapi suatu saat nanti ... itulah sebabnya tiap
hari aku sedang membalas dendam, bukan hanya balas
dendam untuk diri sendiri, juga membalaskan dendam bagi
semua orang di dunia ini yang sempat dibikin sengsara ...
akhirnya mereka menyebutku Tanpa Perasaan, sebab setiap
kali turun tangan, aku memang selalu Tanpa Perasaan"
Angin tidak berhembus lagi, suasana amat hening, manusia
pun tidak bicara lagi, semuanya jadi sepi.
Ci Yau-hoa menyandarkan bahunya di sisi tubuh Tanpa
Perasaan, bau harum yang aneh lamat-lamat berhembus
keluar dari tubuhnya, mendatangkan perasaan hangat di hati
Tanpa Perasaan.
Tak ada lagi pembicaraan, karena dalam keadaan seperti
ini memang tidak dibutuhkan pembicaraan lagi.
Mendadak dari balik ketenangan yang mencekam malam
yang sepi itu, terdengar suara ringkikan kuda berkumandang
datang dari punggung bukit, suara itu bergema makin
mendekati puncak perbukitan itu, cepat lagi terburu-buru.
"Ada dua ekor kuda!" Tanpa Perasaan hanya mengucapkan
kata yang singkat.
Khong Bu-ki dan Yau It-kang segera melompat bangun dan
menyongsong kedatangan ringkikan kuda itu, sekejap
kemudian bayangan tubuhnya sudah lenyap di balik
kegelapan. Tampak dua ekor kuda berlari kencang menembus
kegelapan, sekejap kemudian mereka telah tiba di puncak
perbukitan itu.
588 Di tengah malam buta yang begini sepi, kedua ekor kuda
itu masih menempuh perjalanan begitu cepat dan terburuburu,
seakan kedatangannya khusus mencari mereka.
Tak lama kemudian kedua ekor kuda itu sudah muncul di
depan mata, kudanya nampak tinggi kekar sementara
penunggangnya nampak cekatan dan gesit, ketika melihat di
puncak bukit hadir rombongan lain, kedua orang itu nampak
sedikit sangsi.
Pada saat itulah dari kedua sisi jalan muncul dua sosok
bayangan manusia yang segera menghadang jalan pergi
kedua ekor kuda itu, mereka adalah Khong Bu-ki dan Yau Itkang.
"Siapa kalian?" Khong Bu-ki segera menegur.
"Apa urusan denganmu!" sahut lelaki berbaju hitam itu
gusar. "Ada urusan apa kalian berdua menempuh perjalanan
Pertemuan Di Kotaraja Seri 4 Opas Karya Wen Rui An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
malam?" tegur Yau It-kang pula sambil tertawa.
Lelaki yang lain juga mengenakan pakaian berwarna hitam,
pada baju bagian dada seakan terlihat sebuah sulaman bunga
berwarna kuning, sambil mengayun pecut dia menghardik,
"Jangan menghalangi Toaya bekerja!"
Khong Bu-ki menangkis cambukan itu dengan tombaknya,
kemudian pertarungan sengitpun segera berkobar.
Dalam pada itu Ui Thian-seng sudah mendekati arena
pertarungan, ia merasa raut muka lelaki bercambuk itu amat
dikenal olehnya.
Sementara itu pertarungan telah berlangsung makin sengit,
terdengar lelaki bersenjata kapak berseru dengan suara
gelisah, "Maknya ... kalian sudah kelewatan menghina kami
orang-orang Pak-shia, baiklah, biar malam ini Locu mengadu
jiwa denganmu!"
Biar sudah tua Ui Thian-seng masih memiliki mata yang jeli,
begitu melihat sulaman bunga kuning di atas baju lelaki
berbaju hitam itu, ia segera berseru tertahan, "Tahan! Orang
sendiri!" 589 Bentakan itu nyaring bagai guntur membelah bumi,
bayangan manusia segera berpencar, lelaki bersenjata
sepasang kapak segera berpaling, wajah yang semula penuh
diliputi kegusaran berubah jadi kejut bercampur gembira,
teriaknya, "Ui-lopocu, ternyata kau sudah datang! Ternyata
kau benar-benar sudah datang!"
Ui Thian-seng mendongakkan kepala sambil tertawa
nyaring, "Hahaha ... ternyata memang benar kau, Nyo Su-hay,
kenapa ilmu Kay-san-hu (kapak pembelah bukit) milikmu tidak
sehebat dulu?"
Nyo Su-hay tertawa lebar hingga nyaris tak sanggup
merapatkan mulut, seakan baru bertemu dengan sanak yang
sudah lama tak bersua, ia segera menarik lengan lelaki kasar
yang lain maju mendekat dan menjura seraya berseru, "Uilopocu,
tadi Su-hay memang punya mata tak berbiji hingga
begitu berani bertarung melawan kau orang tua, perbuatanku
patut dihukum mati ... dia adalah saudara kita dari Benteng
Pak-shia, bernama Tiau Sin, ingin menjumpai Ui-lopocu"
"Tidak usah banyak adat!" sela Ui Thian-seng sambil
tertawa. Siapa tahu Tiau sin segera menjatuhkan diri berlutut, lekas
Ui Thian-seng membangunkannya, tapi dengan pedih Tiau Sin
berkata, "Dengan susah payah kami berjuang untuk lolos dari
kepungan, tujuannya tak lain adalah untuk mencari Ui-pocu,
Lam-cecu dan Say-tincu ... Pak-shia sudah berbulan-bulan
dikepung empat iblis langit, kini persediaan ransum sudah
menipis. Orang-orang dalam benteng sudah banyak yang
setengah mati karena kelaparan, dalam kondisi begini dilanda
pula penyakit menular, sungguh kasihan kaum wanita, orang
tua dan anak-anak, selama beberapa bulan terakhir banyak
yang mati karena pertarungan, mati karena sakit dan
kelaparan, sudah mendekati separuh penduduk kota yang
menemui ajalnya, seandainya tidak dicegah nona Pek, sejak
awal dia sudah ingin menyerbu keluar dari benteng untuk
mengadu jiwa dengan kawanan begundal itu."
590 "Cepat bangun" seru Ui Thian-seng dengan wajah berubah,
"bagaimana keadaan benteng Pak-shia saat ini?"
Bukannya bangkit berdiri, malah bersama Nyo Su-hay
mereka berlutut sambil memohon, "Pak-shia sudah hampir
jatuh, empat iblis Su-toa-thian-mo dengan memimpin keenam
belas orang jagoannya sedang menyerang kota untuk ketiga
kalinya, kami sudah hampir tak mampu mempertahankan diri.
Dari sepuluh pelindung kota, sudah tiga orang yang tewas dan
tiga orang lainnya dijadikan 'manusia obat' untuk berbalik
menyerang kota, ada dua orang lagi terluka sangat parah,
aaai..." "Cepat bangun, bangun dulu baru bicara," seru Ui Thianseng
dengan suara berat.
Dengan berat hati Tiau sin merangkak bangun, katanya
lagi; "Kekuatan kami tinggal beberapa puluh orang saja yang
masih mampu bertarung, dengan berbekal nekad, kami
berusaha menjebol kepungan untuk mencari bala bantuan,
tapi kenyataan sekarang ... dari puluhan orang, tinggal kami
berdua yang berhasil lolos, sedang lainnya..."
Ui Thian-seng menghela napas panjang. "Pasukan yang
dikirim Lam-ce maupun Say-tin mengalami musibah dan
penghadangan hingga mustahil bisa membantu kalian,
sementara kekuatan benteng kami pun terpaksa harus dibagi
jadi tiga bagian, satu bagian pergi menolong Lam-ce dan Saytin,
satu bagian tetap mempertahankan benteng Tang-po
sedang sisanya ikut aku menuju Pak-shia, siapa tahu
sepanjang jalan kami berulang kali menjumpai penghadangan,
yang tersisa kini pun tinggal tak seberapa..."
"Asal Lo-pocu sudah datang, Pak-shia pasti akan tertolong
gumam Nyo Su-hay lirih, "aneh, keberhasilan kami lolos dari
kepungan pun sebagian dikarenakan kekuatan pihak lawan
secara tiba-tiba melemah, seolah secara tiba-tiba kekuatan
mereka melemah setengahnya"
"Padahal tak ada yang perlu diherankan," tukas Ui Thianseng
cepat, "hal ini dikarenakan malaikat iblis Cun Yu-siang
beserta keempat malaikat bengisnya, Dewa iblis Lui Siau-jut
591 dengan keempat bocah pencabut nyawanya telah tewas di
tangan kami."
Semacam sorot mata aneh tiba-tiba melintas dari balik
mata Tiau Sin dan Nyo Su-hay, mendadak teriak mereka
kegirangan, "Kalau begitu bagus sekali... bagus sekali... Lopocu,
bagaimana kalau sekarang juga kita berangkat ke Pakshia,
kita tak boleh membuang waktu lagi."
"Baik," sahut Ui Thian-seng memutuskan, "tadinya kami
enggan menempuh perjalanan malam lantaran tidak hapal
seluk-beluk jalanan sekitar sini, kami kuatir terjebak dan, kena
bokongan musuh, selain itu juga kuatir terjadi kesalah
pahaman, tapi sekarang berbeda, dengan kau bertindak
sebagai petunjuk jalan, memang lebih baik jika kita berangkat
sekarang."
Ui Thian-seng berpaling ingin bertanya kepada Tanpa
Perasaan, terlihat olehnya keempat orang bocah berbaju hijau
itu sudah menggotong tandunya siap melakukan perjalanan,
maka dia pun tidak banyak bicara lagi.
Sebaliknya Tiau Sin dan Nyo Su-hay mengawasi tandu itu
sekejap dengan pandangan ragu, seakan ada yang mereka
pikirkan. Namun tak ada yang buka suara, juga tak terdengar
sedikitpun suara.
Maka kuda pun ditinggalkan di bawah bukit, di bawah sinar
rembulan, rombongan kecil itu mulai bergerak menembus
hutan, langkah mereka sangat cepat namun tidak
menimbulkan suara.
Tak selang dua kentongan, mereka sudah menuruni bukit
Ci-pak-san, menelusuri jalanan setapak, sebuah benteng kuno
sudah mulai nampak di kejauhan sana.
Suasana kota Pak-shia saat ini sudah tidak semegah dahulu
lagi, seluruh kota dicekam kegelapan, tak secercah cahaya
pun yang nampak.
Ketika rombongan itu semakin mendekati pintu kota, maka
terbacalah tiga huruf besar yang terpampang dipintu gerbang
kota," Wu-yangshia!'.
592 Di sisi huruf besar itu, terukir pula beberapa huruf kecil
yang bertuliskan, "Ditulis oleh Ciu Keng".
Ciu Keng adalah cikal-bakal pendiri benteng, dia adalah
Shia-cu pertama benteng itu, kini sudah menurun sampai
generasi keempat yang dipimpin oleh Ciu Pek-ih.
Hanya saja selama ini kota Pak-shia terkenal karena ramai
dan megah, sepanjang sejarah belum pernah kota itu dicekam
keheningan dan kegelapan seperti malam ini, mendatangkan
kesan mengenaskan bagi yang melihat.
Ui Thian-seng merasa terenyuh, dia menghela napas
panjang. Tapi Tiau Sin buru-buru mencegahnya bicara lebih jauh,
bisiknya, "Sst ... musuh berada di sisi kiri dan setiap saat
mungkin akan muncul sambil melancarkan serangan, harap Uilopocu
jangan berisik, biar kukirim tanda rahasia dulu untuk
mengadakan kontak dengan Ciu-siaushiacu."
Ui Thian-seng manggut-manggut, maka Nyo Su-hay
mengayunkan tangannya melepaskan tiga titik cahaya bintang
ke langit, ketiga cahaya itu melesat ke udara lalu lenyap
ditelan kegelapan.
Tak lama kemudian dari atas benteng kota melesat pula
tiga titik cahaya bintang.
Diam-diam Ui Thian-seng terperanjat, dia tak menyangka
kota yang nampak hening dan sepi itu ternyata memiliki
penjagaan yang begitu ketat, bahkan setiap saat selalu dalam
kewaspadaan tinggi.
Menyusul kemudian pintu kota dibuka orang, setitik cahaya
lentera memancar keluar dari balik pintu.
Tiau Sin kembali berbisik, "Pintu kota sudah dibuka, ayo
cepat kita masuk ke dalam, jangan sampai ditunggangi
musuh." Hingga kini musuh masih mengepung di sekeliling kota,
sudah pasti penghuni kota tak akan berani membuka pintu
gerbang menyambut kedatangan orang, untuk mengatasi
persoalan ini, mereka hanya berani menggunakan cahaya
lentera sebagai tanda rahasia, bagi mereka yang memahami
593 tanda rahasia itu tentu saja segera akan bergerak masuk, tapi
bagi yang tidak memahami, dapat dipastikan mereka akan
ragu untuk bertindak.
"Cepat!" bisik Nyo Su-hay kemudian, dengan langkah lebar
dia menerjang masuk terlebih dahulu, maka kawanan jago
yang lain pun menguntit di belakangnya dan langsung
memasuki pintu gerbang kota.
Ketika tiba di samping pintu gerbang, sekuat tenaga Nyo
Su-hay mendorongnya ke belakang, diiringi suara gemuruh
keras pintu baja yang besar itu terbuka setengah depa.
"Cepat menerobos masuk!" kembali Nyo Su-hay berbisik
kegirangan. Ternyata hingga detik ini musuh masih belum mengetahui
jejak mereka, boleh dibilang hal ini merupakan satu
keberuntungan, masalahnya sekarang mereka berada di
tempat terang sementara musuh berada di tempat gelap, tak
seorang pun di antara mereka mau berdiam lebih lama di luar
kota, maka serentak semua orang menerobos masuk ke dalam
kota. Di dalam kota berdiri seorang kakek berwajah penuh
keriput, jenggotnya sudah memutih semua, dia tua lagi
bungkuk, tangannya memegang sebuah tongkat besar, kasar
lagi berwarna hitam, tampaknya kakek ini tak akan mampu
berdiri tegak tanpa memegang tongkat itu.
"Cepat masuk, cepat masuk, Pocu sedang menunggu di
dalam." Dengan langkah lebar Ui Thian-seng melangkah masuk ke
dalam disusul Khong Bu-ki, keempat bocah, berbaju hijau
dengan menggotong tandu ikut menerobos masuk ke dalam
kota. Sementara Chin Ang-kiok, Ci Yau-hoa, Pedang bunga
bwe, Pedang anggrek, Pedang bambu dan Yau It-kang baru
saja akan menyusul masuk, mendadak terlihat salah seorang
di antara bocah berbaju hijau itu membisikkan sesuatu ke sisi
telinga Ui Thian-seng.
Begitu selesai mendengar bisikan itu, Ui Thian-seng yang
sedang melangkah masuk itu segera menghentikan
594 langkahnya sembari bertanya, "Mana Ong tua" Bukankah
orang yang menjaga pintu adalah Ong tua?"
"Sudah mati," sahut kakek itu sambil memicingkan mata
dan menghela napas panjang, "dia telah dibunuh oleh
kawanan laknat berhati keji itu."
"Siapa kau?" mendadak Ui Thian-seng membentak nyaring.
Tiba-tiba kakek itu melompat mundur dengan gerakan
cepat kemudian memperdengarkan suara suitan nyaring,
melengking dan memekakkan telinga, tongkat di tangannya
diputar kencang kemudian melontarkah sesuatu ke arah
tandu. "Blam!", benda yang menghantam tandu kembali terbang
berpusing lalu meluncur balik ke tangan kakek itu.
Semua kejadian itu berlangsung dalam waktu singkat,
tampaknya si Tanpa Perasaan telah dibokong orang!
Ui Thian-seng merasa sedih bercampur gusar, sambil
menghardik nyaring dia melolos goloknya.
Di kala ia sedang melolos senjatanya, pertahanan tubuh
pun terbuka hingga muncul titik kelemahan, tiba-tiba Nyo Suhay
memanfaatkan kesempatan itu melancarkan sebuah
bacokan maut dengan kapaknya.
Serangan kapak itu cepat bagaikan sambaran kilat.
Mimpi pun Ui Thian-seng tidak menyangka kalau orang
yang melancarkan serangan bokongan justru datang dari
orang yang berada di sisinya.
Tampaknya keempat orang bocah berbaju hijau itu sudah
menduga akan terjadinya peristiwa itu, dua bilah pedang
perak segera disilangkan ke depan dan "Criing!", bacokan
kapak itu segera ditangkis, sementara dua bilah pedang emas
langsung menusuk jalan darah penting di belakang tubuh Nyo
Su-hay. Oleh karena keempat orang bocah berbaju hijau itu turun
tangan bersama, tandu yang mereka pikul pun segera terjatuh
ke tanah, tepat di depan pintu gerbang kota.
Meski menghadapi ancaman bahaya maut Nyo Su-hay
sama sekali tak panik, mendadak dia mencabut keluar
595 kapaknya yang lain kemudian menangkis datangnya tusukan
dari sepasang pedang emas itu.
Kemudian sambil mengayunkan sepasang kapaknya, dia
mulai bertarung sengit melawan keempat orang bocah itu,
bukan saja serangannya jauh lebih cepat ketimbang gerak
serangannya sewaktu bertarung melawan Khong Bu-ki dan
Yau It-kang dua kentongan sebelumnya, bahkan jauh lebih
ganas dan hebat.
Pada saat itulah tiba-tiba Tiau Sin menyerbu maju ke muka,
Pertemuan Di Kotaraja Seri 4 Opas Karya Wen Rui An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
beruntun dia melancarkan belasan serangan dengan cambuk
kudanya untuk memukul mundur keempat orang bocah
berbaju hijau itu.
"Mundur!" tiba-tiba kakek itu membentak nyaring.
Bagaikan segulung asap tipis Nyo Su-hay dan Tiau Sin
segera melesat ke sudut kota di ujung sana, sementara para
jago masih tak habis mengerti oleh ulah lawan, kakek itu
sudah mendongakkan kepala sambil memberi perintah lagi,
"Tuang!"
Begitu rombongan Ui Thian-seng mendongakkan kepala ke
atas, tak terlukiskan rasa terkejut mereka, ternyata di atas
benteng kota berdiri dua orang lelaki berbaju hitam yang siap
menuang segentong minyak mendidih ke arah bawah.
"Cepat mundur!" cepat Ui Thian-seng berteriak.
Tapi rombongan depan sudah telanjur memasuki kota,
sementara orang yang berada di rombongan belakang masih
belum jelas apa yang terjadi, padahal pintu gerbang kota
lebarnya hanya setengah depa, mana mungkiri mereka bisa
maju mundur secara gampang" Mau maju ke depan, di balik
gerbang adalah tanah lapang yang luas, mana mungkin
mereka bisa menyambut datangnya guyuran minyak mendidih
dengan tangan"
Tampaknya rombongan Ui Thian-seng segera akan celaka
terguyur minyak mendidih.
Pada saat itulah dari atas tembok benteng persis
berhadapan dengan pintu gerbang menyambar lewat sekilas
cahaya putih, sambaran itu cepat lagi gencar dan "Wes!",
596 langsung menancap di atas batok kepala salah seorang dari
dua lelaki yang siap mengguyur minyak mendidih ke bawah
benteng. Seketika itu juga lelaki itu roboh terjungkal ke bawah
tembok. Lelaki yang lain jadi terkesiap bercampur ngeri, dia tak
berani lagi meneruskan guyuran minyak mendidih itu, sambil
melejit ke udara dia mencabut goloknya siap melancarkan
serangan, namun dari atas dinding di seberang sana lagi-lagi
terlihat sekilas cahaya putih berkelebat dengan kecepatan
tinggi. "Turun!" kakek bersenjata tongkat segera membentak
nyaring. Buru-buru lelaki bersenjata golok itu menundukkan
kepalanya sambil melompat turun, cahaya putih berkelebat
persis di atas kepalanya, menanti ia berhasil melayang turun
di bawah, beberapa lembar rambutnya yang terpapas kutung
oleh sambaran cahaya putih itu ikut pula melayang turun dari
udara. Tak terlukiskan rasa takut dan ngeri yang mencekam hati
lelaki itu, wajahnya berubah hijau kepucatan.
Dua buah gentong besar berisi minyak mendidih masih
tertinggal di atas tembok benteng.
Di atas dinding benteng yang gelap duduk sesosok
bayangan manusia, dia tak lain adalah seorang pemuda
berbaju hijau yang cacad kedua kakinya.
Entah sedari kapan, si Tanpa Perasaan telah meninggalkan
tandunya, tak seorang pun yang tahu, sedari kapan pula dia
sudah berada di atas tembok kota.
Tampaknya sejak awal dia sudah tahu kalau gelagat tidak
beres, maka sebelum terjadi sesuatu peristiwa, dia sudah
berada di atas dinding kota duluan, ini yang dinamakan
"belalang menubruk tonggeret, burung nuri mengincar dari
belakang!".
Lelaki yang roboh binasa tadi, keningnya terhajar telak oleh
sebilah pisau terbang sepanjang empat inci, Hui-to itu
597 menghujam di atas keningnya hingga tertinggal gagangnya
saja. Dalam pada itu Nyo Su-hay, Tiau Sin beserta lelaki bergolok
itu telah berdiri berjajar di belakang tubuh kakek itu,
sementara si kakek tetap memandang semua orang dengan
sepasang matanya yang sipit, meski setengah terpicing,
namun sorot mata yang memancar keluar sungguh
menggidikkan hati.
Di pihak lain, Chin Ang-kiok, Ci Yau-hoa, Pedang bunga
bwe, Pedang bambu, Pedang anggrek serta Yau It-kang sudah
menerobos masuk ke dalam benteng, kini pintu gerbang kota
sudah didorong hingga terpentang lebar, semua orang pun
saling berhadapan dalam dua rombongan.
Tiba-tiba kakek itu mendongakkan kepala dan tertawa
seram, suaranya keras memekakkan telinga, bukan saja
membikin gendang telinga semua orang terasa sakit, bumi
pun seolah ikut bergetar keras.
Selesai tertawa, dengan sepasang matanya yang licik bagai
rase, kakek itu berseru, "Bagus! Tanpa Perasaan, kau
memang hebat!"
Tak terlukiskan rasa gusar Ui Thian-seng menghadapi
kenyataan itu, mendadak satu ingatan melintas, dia seperti
teringat akan seseorang, segera tegurnya, "Kau adalah Si Kupei?"
Kembali kakek itu mendongakkan kepala dan tertawa
terairi, "Cun Yu-siang adik keempat dan Lui-samte telah tewas
di tangan kalian, kau anggap aku akan berpeluk tangan saja?"
Dengan mata melotot Ui Thian-seng segera berpaling ke
arah dua orang di sampingnya, kemudian tegurnya, "Berarti
kalian juga bukan Nyo Su-hay dan Tiau Sin?"
Dari wajah 'Nyo Su-hay' dilepas selembar topeng kulit
manusia, dia segera tampil sebagai seorang yang lain,
sahutnya, "Tepat sekali, aku adalah anak buah si Pentolan
iblis." 598 "Aku adalah siluman besar Toa-yau dari empat siluman
sakti," ujar 'Tiau Sin' sambil melepas juga selembar topeng
kulit manusia. Saking gusarnya, paras muka Ui Thian-seng berubah jadi
kuning kehijauan, teriaknya penuh amarah, "Kemana perginya
Nyo Su-hay dan Tiau Sin?"
'Tiau Sin' tertawa, "Topeng kulit manusia buatanku terbuat
dari kulit manusia asli, menurut kau, kulit wajah siapa yang
paling cocok digunakan sebagai bahan dasar topeng ini?"
"Lantas kemana perginya seluruh penghuni kota Pak-shia?"
seru Ui Thian-seng lagi dengan wajah semakin gusar.
Suasana di dalam kota Pak-shia amat sepi, sedemikian
sepinya seakan-akan berada dalam lingkungan tanah kuburan,
bahkan tak sesosok bayangan manusia pun yang kelihatan,
mungkinkah seluruh penghuni kota Pak-shia sudah dibantai
orang" Kini paras muka Ui Thian-seng telah berubah jadi merah
padam, merah karena amarahnya telah memuncak, teriaknya
keras, "Bagus, bagus sekali perbuatanmu Si Ku-pei! Hari ini
aku bersumpah akan membalaskan dendam bagi kematian
orang-orang Pak-shia!"
Perawakan tubuh Si Ku-pei gemuk, pendek mendekati
cebol, sekilas pandang lebih mirip orang yang seluruh
badannya sedang membengkak, lucu sekali, tapi begitu kau
pandang sorot matanya, maka akan terasa bahwa orang ini
selain jahat, keji, juga liciknya bukan kepalang.
"Biarpun kalian berhasil menjebol rintangan kami yang
pertama, bukan berarti kemenangan telah kalian raih," ujarnya
dingin, "aku pun tak punya pikiran untuk melepaskan kalian
begitu saja, cepat atau lambat, pertarungan pasti akan terjadi.
Cuma, sebelum itu aku ingin tahu, darimana kalian tahu kami
berniat memecah belah kekuatan kalian, mengurung kalian
dalam benteng lalu mengguyurnya dengan minyak mendidih?"
Hawa amarah Ui Thian-seng sudah memuncak hingga ke
ujung rambut, apalagi melihat sikap Si Ku-pei yang begitu
599 jumawa, seakan sama sekali tidak menganggap mereka
sebagai musuh yang sepadan.
Namun sebagai orang yang jujur dan berbudi, dia enggan
berebut jasa dengan orang lain, maka sahutnya tegas, "Bukan
aku yang mengetahui ketidak beresan ini, si engkoh cilik itu
yang minta aku bertanya kemana perginya Ong tua si penjaga
pintu, padahal sudah puluhan kali aku berkunjung kemari,
setiap kali datang, penjaga pintunya selalu berbeda, mana ada
yang bernama Ong tua sebagai penjaga pintu gerbang" Hm,
justru jawaban kalian yang menimbulkan kecurigaan kami."
'Si engkoh cilik' yang dimaksud tak lain adalah bocah
berbaju hijau yang menggunakan ilmu pedang pemutus usus
tadi, terdengar ia menyambung dengan suaranya yang polos,
"Padahal pertanyaan itu bukan berdasarkan pikiranku, Kongcu
kami yang menyuruh aku menyampaikan kepada Ui-lopocu,
bahkan dia pun berpesan agar kami selalu waspada atas
bokongan dari orang she 'Nyo' dan orang she 'Tiau' yang bisa
dilakukan setiap saat."
Tanpa terasa semua orang mendongakkan kepala, tampak
si Tanpa Perasaan dengan baju putihnya yang berkibar
terhembus angin masih berada di atas dinding benteng.
Selang beberapa saat kemudian ia baru berkata, "Sebetulnya
aku sendiri pun tidak tahu, bukan saja tak pernah berjumpa
dengan Nyo Su-hay maupun Tiau Sin, aku pun belum pernah
memasuki kota Pak-khia, mereka semua juga tidak
memperlihatkan setitik kelemahan pun yang mencurigakan,
justru yang menimbulkan kecurigaanku adalah pertarungan
antara mereka berdua melawan saudara Khong dan Yau tadi,
pertarungan itu kurang seru seakan dibuat-buat. Selain itu
ketika menuruni bukit, kalian berdua pun menunjukkan
kemahiran dalam ilmu meringankan tubuh, justru yang
membuat aku curiga adalah kenapa kalian berdua sengaja
menyembunyikan kungfu asli yang hebat" Kalau sudah
beberapa hari tidak makan minum maupun beristirahat,
kenapa gerak-gerik kalian tetap segar bugar" Biarpun semua
itu hanya urusan sepele, tapi sangat menyolok bagiku."
600 Selesai mendengar penjelasan itu, tanpa sadar Si Ku-pei
melotot sekejap ke arah 'Tiau sin' serta 'Nyo Su-hay', kedua
orang yang dipelototi pun hanya bisa saling bertukar pandang.
Terdengar si Tanpa Perasaan melanjutkan kembali katakatanya,
"Padahal kau tak perlu menyalahkan mereka, jika
kota Pak-shia benar-benar sudah terkepung, mustahil
segampang itu kami bisa memasuki kota ini. Kalian bilang
harus melalui pertarungan berdarah sebelum berhasil lolos
dari kepungan, tapi di seputar tempat ini tiada jejak
pertarungan terbaru, kalaupun ada, jejak pertarungan itu
sudah terjadi tujuh-delapan hari berselang. Yang lebih penting
lagi adalah kalian menggunakan petasan sebagai kode
penghubung, aneh, sungguh aneh, apa kalian tidak kuatir
petasan itu justru menarik perhatian para musuh yang sedang
mengepung" Memangnya justru ingin menunjukkan
keberadaan kalian" Kemudian sebelum masuk ke dalam kota,
aku sempat mengendus bau minyak mendidih, maka setelah
meninggalkan beberapa pesan kepada keempat bocahku,
diam-diam aku melayang naik ke atas benteng dan berputar
kemari, begitu kulihat dua orang dengan dua gentong minyak
mendidih, segala sesuatunya pun jadi jelas."
Si Ku-pei mendongakkan kepala dan tertawa seram, diaj
hujamkan tongkatnya ke tanah, lalu berseru, "Bagus! Bagus
sekali! Kau memang tak malu menjadi salah satu di antara
empat opas kenamaan! Tak aneh kalau aku pun tidak melihat
sedari kapan kau naik ke atas tembok kota, rupanya sebelum
masuki kemari, kau sudah naik duluan, kalau begitu mataku
memang belum rabun!"
"Hm, kalau aku tidak naik duluan sebelum memasuki kota,
mungkin badanku sudah remuk karena gebukan tongkatmu!"
jengek Tanpa Perasaan dingin.
"Sayangnya, mau naik duluan atau naik belakangan,
nasibmu tetap sama, badanmu tetap bakal hancur," ejek Si
Ku-pei tertawa.
Begitu selesai berkata, dia segera melambung ke udara,
badannya berpusing seperti sebuah kitiran langsung meluncur
601 ke atas dinding kota, bayangan tongkat sebagai kitiran dan
tubuhnya sebagai sumbu.
ooOOoo 19. Bertempur melawan sepasang iblis.
Tongkat milik Si Ku-pei berat lagi kasar, paling tidak
bobotnya mencapai tujuh puluhan kati, ketika diputar
bagaikan gangsing, sulit bagi siapa pun untuk menangkis
maupun menghadapinya. Apalagi serangan itu datangnya
sedemikian cepat, baru saja badannya melambung, tahu-tahu
serangan itu sudah langsung menumbuk ke badan si Tanpa
Perasaan. Di tengah kegelapan malam, tampak sesosok bayangan
putih melayang ke bawah, dengan posisi tegak lurus si Tanpa
Perasaan langsung melayang turun dari atas dinding.
"Blam!", batu dan pasir beterbangan di udara, dinding
bekas tempat duduk si Tanpa Perasaan sudah terhajar telak
oleh pukulan tongkat, sebuah lubang amat besar segera
muncul di situ.
Sementara Tanpa Perasaan sendiri sudah melayang turun
melewati atap tandu, kemudian menerobos masuk ke balik
tandunya. Tubuh Si Ku-pei ibarat sebuah piringan yang sedang
berpusing kencang, baru selesai tongkatnya menyentuh tanah,
kembali badannya meluncur balik dengan kecepatan tinggi,
waktu itu tubuh si Tanpa Perasaan belum menyusup ke dalam
tandu, tiba-tiba dia ayunkan telapak tangan, lima titik cahaya
bintang segera melesat ke depan dengan kecepatan tinggi.
Dua titik cahaya bintang langsung menghajar dada dan
perut Si Ku-pei.
Tampaknya si Tanpa Perasaan telah memanfaatkan
peluang yang terbaik untuk melancarkan serangannya.
Tubuh Si Ku-pei yang sedang meluncur balik segera
melakukan perubahan di udara, secara beruntun dia bersalto
hampir tujuh-delapan kali, biarpun sedang berada di udara
602 yang tak bertenaga, namun dia dapat berjumpalitan secara
mudah dan lincah, bahkan tubuhnya melambung semakin
tinggi, tak ubahnya seperti seekor kutu loncat!
Sehebat-hebatnya senjata rahasia, sulit juga untuk
menghajar seekor kutu loncat.
Kelima titik cahaya bintang itu melesat lewat di samping
Pertemuan Di Kotaraja Seri 4 Opas Karya Wen Rui An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tubuh Si Ku-pei, begitu kelima titik cahaya itu berlalu, si
Pentolan iblis kembali memutar tongkatnya seperti
gangsingan, desingan angin berpusing sekali lagi
menggerakkan badannya melayang ke samping arena, sekejap
kemudian bayangan tubuhnya sudah lenyap di balik
kegelapan. Begitu bayangan tubuh Si Ku-pei lenyap, tiba-tiba saja
keheningan yang luar biasa mencekam seluruh jagad.
Apakah pertempuran sengit yang baru saja berlangsung
akan diakhiri begitu saja" Apakah Si Ku-pei ketakutan dan
melarikan diri"
Jelas mustahil, tidak mungkin!
Keheningan yang mencekam arena pertarungan justru
membuat seluruh jago yang hadir merasa semakin tegang,
peluh dingin mulai bercucuran membasahi jidat mereka.
Yang terlihat saat ini hanya bintang yang bertaburan di
angkasa, tak ada suara, tak ada kehidupan di sekeliling
dinding kota, begitu juga dengan tandu itu, tak ada suara, tak
ada gerakan, entah apa yang sedang dipikirkan penghuni
tandu itu"
Semua orang tahu, Si Ku-pei pasti sedang mempersiapkan
serangan berikutnya, dan serangan itu dapat dipastikan jauh
lebih dahsyat dan hebat ketimbang serangan sebelumnya.
Biarpun Ui Thian-seng sudah lama berkelana dalam dunia
persilatan dan mempunyai banyak pengalaman, saat ini tak
urung bermandikan keringat dingin juga.
Pada saat itulah desingan angin tongkat kembali bergema
membelah keheningan.
Desingan angin tajam itu berasal dari luar pintu gerbang
kota, ketika semua orang mulai mendengar suara itu,
603 desingan angin tajam telah menerobos masuk ke balik pintu
kota dan mendekati punggung Pedang bunga bwe, Pedang
anggrek serta Pedang bambu.
Kebetulan ketiga orang dayang itu berdiri persis di
belakang tandu.
Tandu itu menghadap ke dalam kota, ketika si Tanpa
Perasaan melayang masuk ke dalam tandu, dia pun
menghadap ke arah kota, berada pada posisi membelakangi
pintu kota. Padahal serangan dahsyat itu datangnya dari luar pintu
kota, yaitu datang dari punggungnya.
Baru desingan angin tajam berkumandang, serangan sudah
tiba di depan mata. Tanpa Perasaan tidak memiliki kungfu
hebat, tentu saja dia tak sanggup menangkis datangnya
ancaman, kecuali dia segera melepaskan senjata rahasianya.
Kalau tidak, jika Si Ku-pei sampai menempel di hadapan
tandunya, dia akan kehilangan kesempatan untuk hidup.
Tapi kini Si Ku-pei menerjang tiba dengan mendekati
punggung si Pedang bunga bwe, Pedang anggrek serta
Pedang bambu, sekalipun Tanpa Perasaan masih sempat
membalikkan badan, mustahil baginya untuk menyerang
dengan senjata rahasia ... tentu saja kecuali dia membunuh
dulu ketiga orang dayang itu.
Tentu saja Tanpa Perasaan tak boleh bertindak begitu.
Peluang yang sangat baik berlalu dalam waktu singkat, kini
Si Ku-pei sudah muncul di depan mata.
Bersamaan dengan gerak tubuhnya menghampiri punggung
ketiga orang dayang itu, tongkat Si Ku-pei langsung menyodok
pula ke tengah tirai yang menutupi tandu itu.
Dalam keadaan seperti ini tak mungkin lagi bagi si Tanpa
Perasaan melepaskan senjata rahasianya, seandainya sempat
menyerang pun, dapat dipastikan senjata rahasia yang
dilontarkan akan menghajar punggung beberapa orang korban
tak bersalah. 604 Tubuh Si Ku-pei sudah menerjang hingga menempel kayu
pengusung di belakang tandu, pada saat itulah mendadak dari
balik tandu muncul dua bilah pisau yang sangat tajam.
Kedua bilah pisau tajam itu ditembakkan keluar, sepintarpintarnya
Si Ku-pei, dia tak menyangka kalau kedua belah
kayu pengusung tandu itu ibarat dua belah tangan manusia
yang bisa menembakkan pisau tajam, dalam keadaan seperti
ini bila dia tetap menerjang maju ke depan, sebelum
tongkatnya sempat menghabisi nyawa penghuni tandu itu,
bisa jadi dadanya sudah ditembusi kedua bilah pisau tajam itu.
Ujung pisau telah menembus pakaian yang dikenakan Si
Ku-pei, dalam keadaan yang amat kritis itulah mendadak
tubuh si Pentolan iblis yang sedang menerjang maju itu
berubah melambung ke atas, sedemikian cepatnya perubahan
itu terjadi seakan sejak awal dia memang berniat melakukan
hal itu. Bagaikan seekor rajawali raksasa Si Ku-pei melambung ke
udara, kemudian meminjam tenaga tembakan dari pisau itu,
tubuhnya melambung lebih tinggi lagi ... meski begitu, semua
orang sempat melihat dengan jelas, pada ujung pisau yang
ditembakkan keluar dari kayu penggotong tandu itu lambatlamat
telah dibasahi oleh bercak darah.
Tubuh Si Ku-pei melambung dengan cepat, waktu merosot
turun ke bawah pun sangat cepat... sedemikian cepatnya
seolah sejak dari atas dia telah mengeluarkan jurus Thay-sanyateng (bukit Thay-san menindih kepala) untuk mempercepat
daya luncurnya.
Begitu ayunan tongkat dibabatkan ke bawah, bukan saja
jalan menuju ke atas si Tanpa Perasaan tertutup, mau maju,
mundur, ke samping kiri ataupun ke kanan, hampir dapat
dipastikan semuanya berada dalam jangkauan ancaman
lawan, apalagi yang lebih hebat dari serangan itu adalah
bukan saja dipenuhi jurus serangan bahkan disertai pula
pertahanan yang kokoh, seandainya ada serangan senjata
rahasia yang diarahkan ke tubuhnya, boleh dibilang Si Ku-pei
sudah melindungi seluruh badannya, dari atas hingga ke
605 bawah sedemikian rapatnya hingga air pun sulit untuk
menembus. Serangan itu dilancarkan Si Ku-pei dalam suasana hati yang
amat gusar, tampaknya ayunan tongkat itu segera akan
menghancurkan tandu itu.
Secara tiba-tiba dia merasa pemuda pucat tanpa kaki ini
merupakan musuh bebuyutannya dalam penitisan yang lalu,
bila dia tak berhasil menghabisi nyawanya, besar
kemungkinan dialah yang akan mati di tangannya.
Pada saat itulah si Tanpa Perasaan menampakkan diri.
Ia tidak melambung ke udara, juga tidak menerjang keluar
dari tandunya, ternyata pemuda itu menggelinding keluar dari
dasar tandu ... sekali menggelinding, sejauh tujuh-delapan
depa lebih hingga berada pada posisi serong dari sudut Si Kupei
berada, dan pada saat yang bersamaan dia mengayunkan
tangannya, tiga titik cahaya putih langsung melesat ke depan
menghajar tubuh bagian bawah si Pentolan iblis.
Tubuh bagian atas Si Ku-pei tentu saja dalam perlindungan
yang kokoh dan rapat, berbeda dengan tubuh bagian
bawahnya. Saat itu tubuh Si Ku-pei sedang berada di udara dengan
posisi kepala di bawah dan kaki di atas, serangan itupun dia
lancarkan dengan sepenuh tenaga, rasanya mustahil bagi
gembong iblis ini untuk menghindarkan diri dari sergapan
ketiga senjata rahasia itu.
Si Ku-pei memang jagoan tangguh, dalam keadaan begini
mendadak tongkatnya diputar bagaikan kitiran dan dilontarkan
ke bawah. Ujung tongkat dengan tepat menghajar ketiga batang pisau
terbang itu, terbentur oleh kekuatan yang besar, Hui-to itu
kehilangan arah dan mencelat ke empat penjuru.
Ketika tongkat itu melejit balik ke tangan Si Ku-pei,
gembong iblis ini kembali berjumpalitan dan melayang turun di
atas dinding kota, sementara si Tanpa Perasaan entah sedari
kapan telah balik kembali ke dalam tandunya.
606 Berada di atas dinding kota yang tinggi, Si Ku-pei berdiri
dengan posisi Kim-ke-tok-lip (ayam emas berdiri di satu kaki),
setelah memperhatikan sekejap sekeliling tempat itu,
mendadak bagaikan sebuah layang-layang dia melesat menuju
ke bagian kota yang lebih tinggi.
Ketika sang rase bertemu kelinci, biasanya korban tak akan
dilepaskan begitu saja, tapi begitu berjumpa dengan serigala,
siapa pun tentu akan kabur lebih cepat daripada yang lain.
Namun biasanya serigala dapat melakukan pengejaran jauh
lebih cepat lagi.
Baru saja Si Ku-pei menggerakkan tubuhnya, tandu itu ikut
bergerak, ternyata pada tandu itu terdapat dua buah roda
besar terbuat dari kayu yang bisa berputar cepat dan lincah,
ketika tubuh Si Ku-pei melayang turun lagi ke bawah dinding
kota, tandu itu telah menerjang keluar dari pintu gerbang.
Semua kejadian berlangsung dalam waktu singkat,
membuat semua orang merasakan pandangan matanya kabur,
ternyata belasan jago yang hadir di arena tak seorang pun
yang sempat ikut ambil bagian, hingga suara roda tandu
semakin menjauh, baru semua orang tersadar dari
lamunannya. Jelas Si Ku-pei telah melarikan diri dengan membawa
kekalahan besar, sebelum meninggalkan tempat itu dia
sempat membawa ketiga siluman yang tersisa dari Siu-Io-suyau
dalam keadaan terluka, ketiga orang siluman itu saling
bertukar pandang sekejap, lalu secara tiba-tiba kabur dari situ
dengan berpencar ke tiga penjuru.
Yang satu kabur ke arah kiri, yang satu ke kanan dan orang
ketiga kabur menuju ke dalam kota ... tentu saja mereka tak
berani menerjang ke arah luar, karena Ui Thian-seng dan
kawan-kawan berada tepat di depan pintu gerbang kota.
Begitu mereka bergerak, Ui Thian-seng dan lainnya ikut
bergerak. Ketika melihat 'Nyo Su-hay" kabur menuju ke dalam kota, Ui
Thian-seng segera mengejar ke dalam kota.
607 Sementara Kim-gin-su-kiam-tong (empat bocah pedang
emas dan perak) menghadang jalan pergi 'Tiau Sin', mereka
pernah merasakan cambuk kuda 'Tiau sin', maka sebagai
bocah yang rasa ingin menangnya besar, mereka tak ingin
membiarkan orang itu kabur.
Khong Bu-ki, Ci Yau-hoa, Chin Ang-kiok, Yau It-kang
beserta si Pedang bambu, Pedang bunga bwe dan Pedang
anggrek serentak melompat naik ke atas dinding kota dan
mengejar lelaki bergolok itu ... hampir saja mereka jadi korban
terguyur minyak mendidih, tentu saja amat mendendam
terhadap lelaki itu, kalau bukan dia yang jadi sasaran, lalu
siapa pula yang akan dikejar"
Ternyata lelaki itu memiliki ilmu meringankan tubuh yang
hebat, tapi sayang di empat penjuru ada musuh yang
mengejarnya, bicara soal kepandaian silat, kemampuannya
sama sekali tidak di bawah Khong Bu-ki, Ci Yau-hoa maupun
Chin Ang-kiok, tapi bila harus tiga melawan satu, lelaki
bergolok itu sadar, sulit baginya untuk lolos dengan selamat,
apalagi di sana masih ada Yau It-kang serta tiga orang budak
pedang. Dalam keadaan begini, terpaksa lelaki bergolok itu harus
berusaha keras meloloskan diri, dia berlarian di atas dinding
kota dan sedapat mungkin menghindari pertarungan secara
langsung dengan musuh.
Sayang sejauh-jauhnya dia melarikan diri, akhirnya sampai
juga di ujung jalan.
Tempat yang paling jauh nampaknya memang jauh sekali,
tapi suatu ketika kemungkinan akan terdampar di sana,
menjelajahi setiap jengkal tanahnya. Sebaliknya tempat yang
paling dekat, belum tentu pernah kau jelajahi untuk
selamanya. Biasanya orang memang tak pernah menghargai benda
yang ada di sekelilingnya, orang selalu berharap bisa
mendapatkan sesuatu yang mustahil diperoleh, mengharapkan
sesuatu yang ada di tempat jauh, ketika tersadar kembali dan
608 mengharapkan barang yang ada disekitarnya, seringkali benda
itu justru telah berubah jadi amat jauh sekali.
Oleh sebab itu, yang jauh seringkali justru dekat,
sebaliknya yang dekat justru seringkali malah jauh sekali.
Si Ku-pei menuju ke tempat yang jauh sekali, maka tibalah
dia di atas sebuah tebing curam yang dikelilingi jurang.
Si pentolan iblis menengok sekejap ke bawah, seakan yakin
tiada jalan lain untuk melarikan diri, pelan-pelan dia
membalikkan tubuh.
Dalam pada itu suara roda kayu yang menggelinding makin
lama semakin dekat, makin lama semakin menghampiri
tempatnya berdiri.
Bila Si Ku-pei tidak memilih arah itu untuk melarikan diri,
mustahil tandu beroda itu dapat menyusulnya.
Tapi sayang, kota Pak-shia memang dikelilingi tiga tebing
curam di sekitarnya, Si Ku-pei hanya memiliki sedikit
kesempatan untuk lolos dari kejaran lawan.
Semenjak terjun ke dalam dunia persilatan tiga puluh tahun
berselang, belum pernah gembong iblis ini mengalami nasib
setragis ini, dikejar orang hingga terdesak ke tebing buntu.
Suara roda tandu sudah semakin dekat, akhirnya tandu itu
berhenti. Di bawah cahaya rembulan, tandu itu mirip dengan
sebuah patung pemujaan, hanya saja tak ada yang melihat
jelas patung pemujaan itu merupakan Sin-beng yang mana.
Dengan menggenggam kencang tongkatnya, Si Ku-pei
berdiri tegak di tempat, serunya kemudian dengan suara
menyeramkan, "Tanpa Perasaan, kalau kau memang bernyali
ayo cepat menggelinding keluar, mari bertempur habishabisan!"
Jelas dia mulai menaruh perasaan ngeri dan seram
terhadap tandu kayu yang penuh misteri itu.
Terdengar orang yang berada di balik tandu berkata
dengan suara yang lebih dingin dari salju, "Aku ingin
mengajukan satu pertanyaan kepadamu."
"Tanyakan saja!" sahut Si Ku-pei setelah tertegun sejenak.
609 "Enam belas tahun berselang, di desa Pek-pok-cun, kota
Wei-yang propinsi Kang-siok terdapat seorang yang bernama
Seng Teng-thian, dia disebut juga Seng Pang-gan, orang
persilatan menyebutnya Bun-bu-pang-gan (sastra dan silat
Pertemuan Di Kotaraja Seri 4 Opas Karya Wen Rui An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menyolok mata), kau kenal dengan orang ini?"
"Seng Pang-gan ... Seng Pang-gan ... bukankah dia
mempunyai seorang bini yang dijuluki Giok-li-juan-soh (gadis
suci menembus jarum) Cheng Siu-gi?"
"Benar!"
Si Ku-pei segera mendongakkan kepala dan tertawa
panjang, "Hahaha ... benar, waktu itu aku sudah belasan
tahun terjun ke dalam dunia persilatan, selama itu tak pernah
ada orang yang berani merecoki mereka ... seorang saudaraku
yang melakukan suatu perbuatan di luar desa Pek-pok-cun
telah diketahui olehnya, maka dia gunakan jarum sulam untuk
membutakan sebelah matanya, tapi kemudian aku bersama
dua belas orang jago lainnya berhasil membantai seluruh
keluarganya dan memperkosa semua wanita yang ada di sana
... satu pun tak ada yang kami lepas"
Berbicara sampai di sini ia berhenti Sejenak, kemudian
tegurnya, "Apa hubunganmu dengan Seng Teng-thian dan
Cheng Siu-gi?"
"Aku adalah putranya," jawab Tanpa Perasaan sepatah
demi sepatah. Si Ku-pei agak tertegun, ujarnya setelah termenung
sejenak, "Bukankah keluarga Seng hanya berputra satu?"
"Benar!"
"Tapi aku masih ingat dengan jelas, bocah itu sudah
dibantai bahkan terbakar hangus dalam kebakaran besar."
"Aku pun masih ingat peristiwa itu dengan jelas, hanya ...
aku berhasil merangkak keluar dari kobaran api."
"Dan kakimu...." Si Ku-pei seakan menyadari sesuatu.
"Inilah hadiah yang kau berikan untukku," tukas Tanpa
Perasaan dingin.
"Hahaha Si Ku-pei tertawa seram, "kukira siapa kau,
rupanya kita adalah sobat lama."
610 ......... (hal 211 tidak ada)
***** ..........apapun, malah pisau yang ternoda darah pun sama
sekali tak kelihatan.
Kayu pengusung tandu memang tiada gerakan, namun sisi
tandu justru ada.
Mendadak dari kedua sisi tandu itu terbuka dua buah
lubang, dari balik lubang muncul dua bilah penggaet yang
langsung mencengkeram tongkatnya dan mencekalnya kuatkuat.
Si Ku-pei amat terperanjat, lekas dia berusaha menarik
senjatanya ke belakang, namun penggaet itu telah
mencengkeram senjatanya.
Dalam panik dan kagetnya, cepat Si Ku-pei menarik sekuat
tenaga, demikian kuat tenaga tarikannya sehingga membuat
tandu itu ikut terseret maju, namun penggaet itu masih tetap
mencengkeram tongkatnya.
Si Ku-pei bukannya tidak tahu, jalan terbaik dan tercerdas
baginya saat ini adalah melepaskan tongkatnya sambil
mundur, namun dia pun sadar, begitu dia melepaskan
tongkatnya, maka jangan harap ilmu tongkat iblis gilanya bisa
digunakan lagi.
Sementara dia masih ragu, terlihat tiga titik cahaya merah
meluncur keluar dari balik kayu pengusung tandu.
Si Ku-pei enggan melepaskan tongkatnya, cepat ujung
bajunya digulung ke atas untuk melindungi wajahnya, tiga titik
cahaya merah itu seketika menghajar di atas baju itu.
Menggunakan kesempatan di saat lawan menutup
wajahnya dengan ujung baju, si Tanpa Perasaan segera
memanfaatkan dengan melancarkan serangan sekali lagi.
Tujuh buah cahaya kebiru-biruan melesat keluar dari
tangannya, langsung mengancam tujuh buah jalan darah
penting di tubuh Si Ku-pei.
611 Menanti si Pentolan iblis menyadari datangnya bahaya,
ujung baju yang dipakai menutupi wajahnya itu mendadak
mulai terbakar hebat.
Ternyata ketiga titik cahaya merah yang dilontarkan
pertama kali tadi adalah peluru api.
Dalam posisi terbakar, biarpun Si Ku-pei tak ingin
melepaskan tongkatnya pun tak mungkin lagi, tapi biarpun dia
melepaskan cekalannya, ketujuh titik cahaya biru itu telah
menyambar tiba, untuk menghindarkan diri rasanya juga
sudah terlambat.
Sambil mengerutkan badan, sekuat tenaga Si Ku-pei
beringsut mundur ke belakang.
Dia mundur dengan cepat, namun cahaya biru itu mengejar
jauh lebih cepat lagi. Akhirnya si Pentolan iblis tetap tak
sempat menghindarkan diri maupun menyambut datangnya
serangan itu. Tiba-tiba tubuh Si Ku-pei terjun ke bawah diikuti jeritan
ngeri yang memilukan hati.
Ketujuh titik cahaya biru memang melintas persis di atas
batok kepalanya, tapi tubuh Si Ku-pei sudah terpelanting
hingga tercebur ke dalam jurang.
Rupanya dia mundur terus dan lupa kalau di belakang
tubuhnya merupakan jurang yang amat dalam
Sehebat-hebatnya kungfu yang dimiliki Si Ku-pei, dia tetap
seorang manusia, jika seorang manusia terpeleset jatuh ke
dalam jurang maka tubuhnya pasti akan hancur lebur.
Tampak segulung bola api yang makin membara meluncur
ke dasar jurang dengan kecepatan luar biasa, bayangan itu
makin lama makin mengecil sebelum lenyap dari pandangan.
Kini yang terdengar hanya jeritan ngeri yang menyayat
hati, jeritan yang makin sayup sebelum akhirnya hilang sama
sekali. Sebuah tangan yang putih memucat pelan-pelan
menyingkap tirai yang menutupi tandu.
Sinar rembulan yang redup memancar di atas wajah si
Tanpa Perasaan yang pucat, tidak nampak rasa sedih atau
612 duka di atas wajahnya yang kaku, juga tak nampak rasa
gembira, yang tersisa hanya lamunan yang lama ....
Ketika Tanpa Perasaan kembali ke Pak-shia, suasana dalam
kota Wu-yang-shia masih sepi bagai kota mati, seluruh kota
dicekam kegelapan, tiada cahaya lentera yang menerangi
tempat itu, pintu gerbang kota setengah terbuka, di situ pun
tak nampak sesosok bayangan manusia pun.
Kemana perginya Ui Thian-seng sekalian"
Diam-diam si Tanpa Perasaan mulai berpikir, dengan
kekuatan yang dimiliki rombongan Ui Thian-seng untuk
menghadapi ketiga siluman Siu-lo-sam-yau, mustahil mereka
dipecundangi lawannya.
Tapi kemana perginya kawanan jago lihai itu" Tanpa sebab
mustahil mereka lenyap begitu saja.
Sekalipun ada urusan penting mereka terpaksa harus pergi,
paling tidak harus meninggalkan orang untuk menyampaikan
berita ini kepadanya, atau paling tidak harus meninggalkan
kode rahasia sebagai petunjuk.
Tapi sekarang, tak ada manusia, juga tak ada kode rahasia.
Tanpa Perasaan segera merasa seakan ada sebuah jaring
raksasa dari laut yang sedang menghimpit dirinya, padahal dia
belum tahu siapa yang telah menyebar jaring raksasa itu.
Mendadak Tanpa Perasaan teringat Ci Yau-hoa, setiap kali
terbayang senyuman wanita itu, ia merasa pikiran dan
perasaan hatinya jadi kacau.
Perlahan-lahan si Tanpa Perasaan menjalankan kereta
tandunya memasuki pintu kota, pada saat itulah tiba-tiba dari
atas dinding kota meluncur sebuah benda yang langsung
mengincar tandunya, bersamaan dengan terjatuhnya benda
itu, terlihat selapis cahaya golok menggulung ke empat
penjuru. Yang meluncur ke bawah tentu saja sesosok manusia, di
tangannya tergenggam sebilah golok, golok itu terarah dari
atas menuju ke bawah langsung menusuk tubuh si Tanpa
Perasaan. 613 Bokongan ini munculnya sangat tiba-tiba, tatkala Tanpa
Perasaan menyadari akan hal itu, sang pembokong sudah
berada di atas atap tandu.
Tampaknya orang itu cukup menyadari akan kelihaian ilmu
silat yang dimiliki orang dalam tandu, dia lebih suka
menerobos masuk ke dalam tandu terlebih dulu, kemudian
baru mengajak Tanpa Perasaan berduel mati hidup.
Tanpa Perasaan tidak memiliki ilmu silat, tentu saja dia tak
ingin berbuat demikian.
Tangannya segera menekan ke atas sebuah tombol
rahasia, sementara tubuhnya langsung roboh ke belakang.
Ketika orang itu tiba di dalam tandu, Tanpa Perasaan sudah
menyusupkan badannya ke dasar tandu.
Orang itu segera mencabut goloknya siap menusuk ...
menusuk dasar lantai tandu, langsung mengancam tubuh
musuh. Tapi baru saja orang itu menerobos masuk ke dalam tandu,
jeritan ngeri yang memilukan hati segera berkumandang
memecah keheningan.
Tahu-tahu si Tanpa Perasaan sudah menggelinding keluar
dari dasar tandu, kemudian tanpa merasa jeri atau was-was
dia menyingkap tirai yang menutupi tandu itu ke samping.
Orang yang menyerbu ke dalam tandu masih berada pada
posisi semula, namun di atas dinding tandu telah bertambah
dengan tiga bilah pisau, semua pisau itu bersama-sama
menghujam punggung, dada kiri dan dada kanannya.
Dengan tusukan yang mematikan semacam ini, tentu saja
orang itu sudah tidak bernyawa lagi.
Melihat tampang orang itu, perasaan hati si Tanpa
Perasaan seketika serasa tenggelam ke bawah.
Ternyata orang itu tak lain adalah lelaki kekar bersenjata
golok, salah satu dari tiga siluman sakti yang tadi akan
menyiram minyak mendidih dan berhasil menghindar dari
sergapan pisau terbangnya,
614 Ternyata Siu-lo-sam-yau masih ada yang hidup, kalau
begitu apakah rombongan Ui Thian-seng telah mendapat
celaka" Tanpa Perasaan tak sempat berpikir panjang lagi, dia
segera memencet lagi tombol rahasianya untuk menarik
kembali ketiga bilah pisau itu, lelaki itu segera roboh terkapar
ke tanah, dia menarik keluar mayat itu kemudian balik lagi ke
dalam tandu. Tempat paling aman yang dia miliki sekarang adalah tandu
itu, hampir semua tombol rahasia yang ada di dalam maupun
di luar tandu merupakan hasil karyanya, dia sendiri yang
merancang dan memasangnya, oleh sebab itu dia paling
percaya dengan kemampuan tandunya.
Kehebatan yang dimiliki tandu itu bukan saja terkadang
bisa menutup kelemahannya karena tak berkaki, bahkan
kadangkala menjadi sahabat karibnya dalam menghadapi
pertempuran sengit.
Sayang tandu itu bukan manusia, namun karena bukan
manusia, orang lain tak pernah mewaspadainya, dengan
sendirinya makin banyak korban yang tewas olehnya.
Selain itu, lantaran tandu bukan manusia maka tak akan
terjadi jurang pemisah dalam hubungan antara mereka, juga
tak mungkin akan dikhianati. Justru karena 'dia' bukan
manusia, dia jauh lebih bisa dipercaya dan diandalkan.
Terhadap tandu ini, si Tanpa Perasaan menaruh perasaan
sayang dan akrab.
Dia masih ingat, suatu ketika sewaktu dia dibokong lima
puluh tiga orang jago kalangan hitam di puncak gunung Kunlun,
tak seorang pun di antara kelima puluh tiga orang itu
berhasil menembus garis pertahanan tandu itu, sampai orang
terakhir roboh, tandu itu masih tetap tegap seperti sedia kala.
Tandu ini bukan hanya sahabat seperjuangannya, dia pun
tuan penolongnya sekaligus rumahnya.
Sejak kecil dia telah kehilangan sanak keluarga, kecuali
sewaktu berkumpul bersama Cukat-sianseng serta ketiga
615 orang saudara seperguruannya, hanya tandu itu merupakan
tempat yang paling nyaman baginya.
Teringat sanak keluarga, tanpa sadar Tanpa Perasaan
teringat juga akan Ci Yau-hoa.
Pada saat itulah dia pun telah melihat Ci Yau-hoa!
Perempuan itu tergeletak di atas tanah, sama sekali tak
bergerak, tapi ujung bajunya nampak bergerak, bergerak
karena hembusan angin malam yang dingin, ujung baju Ci
Yau-hoa bergerak karena digerakkan oleh angin.
Tiba-tiba saja Tanpa Perasaan merasa seolah dadanya kena
sebuah tonjokan yang sangat keras, seluruh tubuhnya jadi
kaku, tangannya terasa sangat dingin, begitu dingin hingga
merasuk ke tulang sumsum.
Kegelapan yang mencekam jagad semakin tebal, rembulan
lagi-lagi bersembunyi di balik awan tebal, saat itu dia tak
berani memastikan apakah Ci Yau-hoa masih hidup atau tidak.
Sambil menggigit bibir Tanpa Perasaan pelan-pelan
menggeser tandu berodanya mendekati tempat itu, sudah
kelewat banyak kekecewaan yang dialaminya sepanjang
hidup, sedemikian banyaknya hingga membuat dia memiliki
keberanian untuk menghadapi kekecewaan yang lebih banyak,
bahkan lebih berat sekalipun.
Tandu itu sudah tiba di hadapan Ci Yau-hoa, namun
perempuan itu masih juga belum bergerak, Tanpa Perasaan
masih belum bisa memastikan mati hidupnya, maka dia pun
melayang keluar dari balik tandunya.
Di bawah sinar beribu bintang, manusia mengenaskan
tanpa kaki ini tak lain adalah Tanpa Perasaan, opas kenamaan
yang tadi sempat menggetarkan hati kawanan 'iblis'.
Tanpa Perasaan sudah merangkak keluar dari tandunya,
dengan tangan sebelah ia memeriksa hembusan napas Ci Yauhoa,
tangannya menyentuh kulit pipi yang kenyal dan halus,
bahkan hembusan napasnya masih terasa begitu hangat.
Saking girangnya hampir saja si Tanpa Perasaan menjerit
tertahan, dengan cepat dia menggerakkan tangannya untuk
memeriksa denyut nadi wanita itu.
616 Mendadak tangan Ci Yau-hoa melakukan gerakan
menggunting, dia berbalik mencengkeram urat nadi
tangannya, membuat tubuh pemuda itu tiba-tiba jadi kaku dan
Pertemuan Di Kotaraja Seri 4 Opas Karya Wen Rui An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kesemutan. Sambil berjumpalitan Ci Yau-hoa melompat bangun dari
atas tanah, dengan gerakan yang cepat, lincah tapi indah dia
melancarkan sebuah tendangan, membuat tandu yang berada
di hadapannya terpental sejauh beberapa kaki dari posisi
semula. Semua perubahan ini terjadi sangat mendadak dan mimpi
pun si Tanpa Perasaan tidak pernah menyangka akan terjadi
peristiwa semacam ini, tapi sekarang, biar sudah tahu pun
keadaan sudah terlambat.
Ia sangat gusar bercampur malu, malu dan gusar lantaran
ditipu mentah-mentah.
Dalam waktu singkat suasana pulih kembali dalam
keheningan, Ci Yau-hoa masih menggenggam tangan si Tanpa
Perasaan, sikapnya persis seperti sepasang kakak beradik
yang saling menyayang.
Perlahan-lahan Ci Yau-hoa berpaling dan memandang
wajah Tanpa Perasaan, senyumannya indah dan manis bagai
sekuntum bunga.
"Kau tahu, siapakah aku?" tegurnya.
"Mo-kouw, si Bibi iblis!" sorot mata Tanpa Perasaan begitu
dingin, begitu beracun, seolah sedang memandang seseorang
yang sangat asing.
Gelak tawa Ci Yau-hoa semakin melengking tapi merdu,
merdu bagai suara keleningan yang terbuat dari perak.
"Betul!" jawabnya, "akulah si Bibi iblis Ci Yau-hoa!"
Tanpa Perasaan menutup mulutnya rapat-rapat, bagaikan
sebongkah batu karang, ia tidak bersuara lagi.
Ci Yau-hoa memandang sekejap ke arahnya, seakan
merasa geli dan terhibur, bagaikan seorang kakak sedang
menggoda adiknya, ia bertanya, "Kau ingin tahu tidak Ui
Thian-seng sekalian berada dimana?"
617 Tanpa Perasaan menggeleng ketus, jika Ci Yau-hoa terbukti
adalah 'Bibi iblis', apa lagi yang bisa dibicarakan tentang Ui
Thian-seng sekalian"
"Aku tahu apa yang sedang kau pikirkan," ujar Ci Yau-hoa
kemudian sambil menggeleng kepala berulang kali, "kau tak
usah kuatir, aku tidak membunuh mereka, sekarang hanya
jalan darahnya saja yang kutotok, tapi bila jalan darah itu
dibiarkan tertotok lebih dua jam, peredaran darah dalam
tubuh mereka lambat-laun akan semakin melamban, nah, saat
itulah mereka akan berwujud 'manusia obat' ciptaanku."
Rupanya setelah Tanpa Perasaan berlalu untuk mengejar Si
Ku-pei si Pentolan iblis, Khong Bu-ki, Chin Ang-kiok, Yau Itkang
beserta tiga dayang pedang yang melakukan pengejaran
terhadap lelaki bergolok itu tiba-tiba merasa pinggangnya jadi
kaku, kemudian badannya roboh terjungkal ke atas tanah
dalam kondisi lemas.
Setelah lelaki bergolok itu melarikan diri, diam-diam dia
menyusup balik ke dalam kota Pak-shia, sebenarnya ia
bertujuan menanti kedatangan Si Ku-pei, ternyata yang
muncul adalah si Tanpa Perasaan, maka memanfaatkan
kesempatan itu dia pun melancarkan serangan bokongan,
daripada dia yang mati di tangan pemuda itu, lebih baik ia
turun tangan terlebih dulu.
Menyusul kemudian empat bocah pedang emas dan perak
pun muncul di sana.
Waktu itu ke empat bocah pedang sedang bertarung sengit
melawan 'Tiau Sin', mendadak salah seorang di antara mereka
roboh lemas, bocah yang lain jadi tertegun melihat
kemunculan Ci Yau-hoa, tidak sempat melakukan sesuatu
tindakan, dia menyusul rekannya roboh lemas ke tanah.
Memanfaatkan kesempatan ini, 'Tiau Sin' melarikan diri dari
tempat itu. Dua orang bocah yang tersisa, tentu saja bukan tandingan
Ci Yau-hoa, tidak selang berapa saat kemudian mereka berdua
berhasil ditaklukkan.
618 Di pihak lain, Ui Thian-seng sedang mengejar ketat 'Nyo
Su-hay', ketika tiba-tiba ia merasa di samping tubuhnya telah
bertambah dengan seorang, ketika berpaling dan melihat
orang Hu adalah Ci Yau-hoa, tanpa terasa pikirnya, "Sungguh
apes kalau mesti mengejar musuh bersama kaum wanita"
Baru saja pikiran itu melintas, tahu-tahu jalan darah Giok
seng-hiat sudah kaku dan tubuhnya seketika roboh lemas ....
Sambil tertawa genit Ci Yau-hoa pun berkata, "Sekarang
mereka sudah terjatuh ke dalam genggamanku, tak sampai
sebulan lagi, mereka akan menjadi 'manusia obat', anak buah
andalanku, inginkah kau mengetahui kemana saja perginya
penghuni kota Pak-shia?"
Tanpa Perasaan mendengus dingin, sikapnya kaku dan
keras, sekeras batu karang.
"Kau memang keras kepala," kembali Ci Yau-hoa berkata
sambi) tertawa, "tapi aku tetap akan memberitahu kepadamu,
seperempat bagian penghuni kota Pak-shia telah mati di
tangan kami, yang mati kelaparan atau mati lantaran sakit ada
seperempat, yang berhasil kami tangkap dan dijadikan
'manusia obat' ada seperempat bagian, sisanya yang
seperempat sudah kabur ke bukit Cay-kwan-leng lantaran kota
Pak-shia sudah tak dapat dipertahankan lagi, namun sayang
mereka pun terkepung rapat, jangan harap bisa kabur dari situ
dalam keadaan selamat."
Setelah memandang Tanpa Perasaan sekejap, Ci Yau-hoa
berkata lebih jauh, "Kau tentu merasa heran bukan" Padahal
aku berada bersama kalian, sedang si Pentolan iblis, Dewa
iblis serta Malaikat iblis sudah mampus, siapa lagi yang
sanggup mengepung mereka" Terus terang saja kukatakan,
kecuali Ciu Pek-ih dan Pek Huan-ji, mereka sudah tak punya
kemampuan untuk bertarung lebih jauh, maka aku pun
memerintahkan Peronda selatan, Peronda barat serta Peronda
utara untuk mengawasi gerak-gerik mereka ... aku dengar kau
berhasil membantai si Peronda timur, mungkin saja orangorangku
tak sanggup menahan dirimu, tapi untuk menahan
619 kawanan prajurit yang sudah cidera parah itu rasanya tidak
susah." Melihat si Tanpa Perasaan tertawa dingin, Ci Yau-hoa
segera menegur, "Apa yang kau tertawakan?"
"Hm, jika ketiga perondamu punya kemampuan untuk
menahan mereka, kenapa tidak langsung saja menyerbu ke
dalam kuil dan meringkus mereka!" jengek Tanpa Perasaan
ketus. Dengan wajah sungguh-sungguh Ci Yau-hoa mengangguk.
"Ternyata rahasiaku berhasil kau bongkar! Betul, kami
memang tidak kuatir dengan kemampuan orang-orang itu,
tapi mereka telah sesumbar, katanya jika kami bersikeras
menyerbu masuk, bukan saja mereka tak bakal menyerah
bahkan mereka mengancam akan bunuh diri masal, agar niat
kami menciptakan 'manusia obat' gagal. Tentu saja aku tak
boleh bertindak gegabah, yang kuinginkan adalah manusia
hidup, sebab hanya manusia hidup yang bisa dipakai untuk
menciptakan 'manusia obat'!"
Tiba-tiba si Tanpa Perasaan menatapnya tanpa berkedip.
Ci Yau-hoa tertawa cekikikan, serunya manja, "Ada apa"
Kau sudah tidak mengenali aku?"
"Bukan," tukas Tanpa Perasaan dingin, "aku hanya merasa
tak habis mengerti, buat apa kau menciptakan begitu banyak
manusia obat?"
Mendadak Ci Yau-hoa tertawa terbahak-bahak, seakan baru
saja ia mendengarkan lelucon yang paling menggelikan di
dunia ini, tertawa sampai terbungkuk-bungkuk dan badannya
gemetar keras, namun cekalannya pada urat nadi di
pergelangan pemuda itu sama sekali tidak mengendor.
"Buat apa menciptakan begitu banyak manusia obat" Tentu
saja untuk merajai kolong langit! Di bawah pimpinanku
sekarang, ada begitu banyak jagoan tangguh yang rela dan
ikhlas mengorbankan nyawa demi diriku, seperti Jian-li-it-tiamheng
(ribuan li hanya setitik noda) Chin Sam-kang, Leng-siauhuito-jiu (tangan golok terbang) Wu Si-hiong, Tiang-siu Tojin
dari Bu-tong-pay, Thiat-cing Taysu dari Siau-lim-pay ... bila
620 aku berhasil mengobrak-abrik Tang-po, Lam-ce dan Say-tin,
maka akulah jago nomor wahid di kolong langit. Hahaha..."
Tanpa Perasaan mengawasi wajahnya, seakan-akan sedang
mengawasi seekor hewan buas yang mengenakan topeng kulit
manusia, sampai lama sekali dia termenung, kemudian
dengan nada setajam sembilu ia bertanya, "Lantas kemana
perginya kawanan manusia obat itu?"
"Sebuah pertanyaan yang sangat bagus," mendadak Ci
Yau-hoa bersikap jauh lebih tenang, "selama beberapa waktu
terakhir, aku memang belum pernah menggunakan kekuatan
mereka, tapi mulai sekarang, setiap saat aku bakal
mengundang mereka dan memanfaatkan kekuatan mereka."
Tanpa Perasaan mendengus dingin, kembali ia berkata,
"Dulu kau keberatan menggunakan kawanan 'manusia obat'
lantaran si Pentolan iblis, Dewa iblis maupun Malaikat iblis
mengerti juga cara pemakaian kawanan manusia itu, bahkan
merekalah yang telah membantumu menawan kawanan
manusia itu, sedang kau hanya berpikir bagaimana bisa
menguasai kolong langit ini, kau tak rela berbagi kekuasaan
dengan orang lain, kau ingin mengangkangi semua itu
seorang diri, bukankah begitu?"
Berubah hebat paras muka Ci Yau-hoa, tapi sejenak
kemudian sahutnya sambil tertawa, "Ternyata kau sangat
teliti! Betul, aku memang punya pemikiran begitu! Akulah
yang sengaja mengatur siasat agar keempat iblis Su-toa-thianmo
menghadapi kalian satu per satu sehingga akhirnya satu
demi satu pula berhasil kalian musnahkan. Memancing
amarahmu dan amarah Cukat-sianseng di Pakkhia pun
merupakan usul dan gagasanku. Aku memang berniat
meminjam kekuatanmu untuk memusnahkan Cun Yu-siang,
Lui Siau-jut serta Si Ku-pei, coba kalau aku tidak sengaja
mengatur rencana ini, memangnya kekuatan kalian mampu
menghancurkan kerja sama mereka?"
Kemudian dengan wajah amat kereng dan serius dia tatap
wajah si Tanpa Perasaan lekat-lekat, kemudian dengan
sepatah demi sepatah dia melanjutkan, "Padahal biarpun aku
621 hanya seorang diri, aku tetap sanggup merobohkan kalian.
Sebab sejak awal hingga akhir, kalian tak lebih hanya alat atau
kekuatan yang kumanfaatkan demi mencapai tujuan."
Tanpa Perasaan merasakan timbulnya hawa dingin yang
merasuk ke tulang sumsumnya, namun penampilan ia tetap
bersikap tenang seolah sama sekali tak terpengaruh oleh
perkataan itu, katanya setelah menghela napas panjang, "Ai,
sungguh tak nyana manusia macam Cun Yu-siang, Lui Siau-jut
dan Si Ku-pei pun telah kau peralat untuk mencapai tujuan
dan ambisimu, kasihan mereka, sampai ajalnya pun mereka
masih belum tahu apa gerangan yang telah terjadi."
Tiba-tiba Ci Yau-hoa tertawa lagi, suara tawanya amat
merdu bagai keleningan perak, cantik bagaikan sekuntum
bunga di musim semi.
"Kami berempat mengetahui cara dan mengendalikan
'manusia obat', tapi kini, hanya aku seorang yang mengetahui
dan menguasai ilmu rahasia itu. Terus terang, semua kawanan
'manusia obat' yang kami ciptakan kini tersimpan rapi dalam
sarang kami di gua Hian-thian-tong, bukit Kiu-liong-san.
Akulah yang mengusulkan agar sementara waktu jangan
menggunakan 'manusia obat' lebih dahulu, sebab semakin
lama tersimpan, daya kerja obat dalam tubuh kawanan
'manusia obat' semakin berkhasiat dan aman dipakai ...
padahal alasan seperti ini sesungguhnya bohong, hanya
bertujuan membohongi mereka. Aku paling benci
menggunakan barang yang sama dengan orang lain, bagiku,
daripada digunakan bersama, lebih baik aku musnahkan saja"
"Sekarang kau sudah cukup puas memperalat diriku,
biarkan aku segera mati," ujar Tanpa Perasaan kemudian
dengan tenang. Kembali Ci Yau-hoa tertawa, sambil menatap pemuda itu
katanya, "Bagaimana mungkin aku tega melihat kau mati?"
"Memangnya kau akan menciptakan 'manusia obat' dengan
tubuhku?" jengek Tanpa Perasaan sambil tertawa dingin.
"Sayang kawanan 'manusia obat' memiliki sebuah
penyakit."
622 Perempuan itu mengira Tanpa Perasaan pasti akan
bertanya penyakit macam apa yang dimaksud, siapa tahu
pemuda itu sama sekali tak bertanya, bukan saja mulutnya
terkatup rapat bahkan seakan masalah itu sama sekali tak ada
sangkut-paut dengan dirinya.
Sekali lagi Ci Yau-hoa menghela napas panjang. "Walaupun
kawanan 'manusia obat' itu sangat taat dan setia, namun otak
mereka jadi bebal dan tak sanggup memikirkan persoalan
apapun .... Kejadian pertama yang akan mereka alami karena
pengaruh obat adalah kehilangan daya ingatan, membuat
bebal kepintaran dan kecerdasan berpikir, setelah orang
kehilangan akal budi, dengan sendirinya ilmu silatnya juga jadi
bebal dan kaku, kemampuan bertarungnya pasti berkurang
banyak" Setelah bertukar napas, kembali terusnya, "Bila kau
kujadikan 'manusia obat', sudah pasti kau tak bisa lagi menaiki
tandumu itu, bahkan akan kehilangan seluruh kepintaran serta
daya pikirmu, kemampuanmu melepaskan senjata rahasia
juga bakal terpengaruh, apalagi kau memang tak pandai
bersilat ... terus terang, setelah berkelana selama puluhan
tahun dalam dunia persilatan, aku mulai merasa kesepian ...
mulai merindukan seorang pendamping..."
Berbicara sampai di sini, dia menghela napas sedih,
katanya setelah menarik napas panjang, "Sejak perbincangan
kita di atas bukit malam tadi, aku mulai menyukai dirimu. Bila
nanti aku telah menjadi manusia nomor satu di kolong langit,
kau adalah suami dari si manusia nomor wahid itu,
kesempatan semacam ini tak nanti bisa diperoleh orang lain
kecuali kau. Aku memang sangat membutuhkan manusia
secerdas dirimu, untuk membantu aku mewujudkan ambisiku
menguasai seluruh jagat!."
Mimik muka si Tanpa Perasaan saat ini ibarat seorang yang
menelan sebutir telur ayam ... sebutir telur ayam berikut
cangkang luarnya ... begitu terkesima, tertegun bercampur
Pertemuan Di Kotaraja Seri 4 Opas Karya Wen Rui An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
keheranan. 623 "Kau butuh kecerdasanku untuk menyelesaikan ambisimu
menguasai jagad" Masa kau tidak melihat kalau sepasang
kakiku lumpuh, tanpa senjata rahasia di tangan, aku tak
punya kemampuan apapun, sesuaikah manusia macam diriku
sebagai calon pendampingmu?"
"Ketika berada di puncak bukit tadi, aku telah menyelidiki
latar belakang kehidupanmu secara jelas," ujar Ci Yau-hoa
dengan nada mesra, "aku tahu, kau sudah tak punya sanak
keluarga, manusia seperti inilah yang paling cocok dengan
pilihanku. Apalagi dengan posisi dan kedudukanmu sekarang,
aku akan memperoleh banyak kemudahan ketika menaklukkan
ketiga opas lainnya bahkan termasuk Cukat-sianseng
sekalipun. Ketika orang Pak-shia melihat kemunculanmu,
mereka pun pasti akan menyambut kedatanganmu dengan
riang gembira, asal kau berhasil menguasai Ciu Pek-ih dan Pek
Huan-ji dalam sekali gebrakan, mungkin kesempatan bagi
mereka untuk bunuh diri pun akan hilang..."
Sekali lagi Ci Yau-hoa tertawa terkekeh-kekeh, dibelainya
rambut si Tanpa Perasaan dengan tangannya yang lain,
kemudian bisiknya lagi, "Biarpun usiamu sedikit lebih muda
dan lagi tidak memiliki sepasang kaki ... namun aku tak bakal
menyia-nyiakan dirimu."
Mendadak Tanpa Perasaan tertawa, selanya, "Sebetulnya
biarpun kau sedikit rada jelek, aku pun tidak keberatan, tapi
sayangnya kau sudah kelewat tua, sedemikian tuanya hingga
lebih cocok jadi ibuku."
Tangan Ci Yau-hoa yang sedang membelai rambut Tanpa
Perasaan tiba-tiba berubah jadi kaku dan tegang bagaikan
baja, secepat kilat dia tampar wajah pemuda itu sambil
menghardik, "Kau sudah bosan hidup?"
Bekas lima jari membekas di wajah Tanpa Perasaan yang
pucat, bercak darah membasahi ujung bibirnya, namun ia
berbicara lagi sambil tertawa, "Memang paling baik kalau kau
membiarkan aku mati duluan, kalau tidak, beberapa tahun lagi
aku mesti hidup menduda ... kalau kau keburu mati duluan
624 lantaran tua, bukankah posisi manusia nomor wahid di kolong
langit akan jadi bagianku?"
Ci Yau-hoa mementang kesepuluh jari tangannya siap
menghajar batok kepala Tanpa Perasaan, mendadak paras
mukanya yang telah hijau membesi itu mulai mengendor
kembali, sambil tertawa katanya, "Aku tahu, kau memang
sengaja memanasi hatiku agar kau bisa mati duluan, hm, aku
justru sengaja tidak membiarkan keinginanmu terpenuhi ...
sekarang aku akan membiarkan kau menyaksikan raut
mukaku yang sesungguhnya, aku ingin tahu apakah kau tidak
menyesal lantaran telah menolak pinanganku tadi!"
Sambil berkata Ci Yau-hoa membalikkan tubuh sambil
mengusap wajah beberapa kali, mendadak bentaknya, "Lebih
baik kau jangan sembarangan bergerak, mungkin aku tak
akan membiarkan kau mati, tapi membuat lumpuh sepasang
tanganmu bukan pekerjaan yang sulit bagiku!"
Tak selang lama, Ci Yau-hoa kembali membalikkan badan.
Kini dia tampil dengan wajah aslinya, sebuah wajah yang jauh
lebih matang ketimbang tadi, bahkan paras mukanya jauh
lebih cantik dan menawan hati, apalagi sewaktu tersenyum,
kecantikan wajahnya tak terlukiskan dengan kata-kata.
Sekalipun Ci Yau-hoa telah melepaskan topeng kulit
manusia yang dikenakan, namun raut mukanya tidak jauh
berbeda dengan wajahnya sekarang, karena sehebathebatnya
ilmu menyaru muka yang dimiliki seseorang,
mustahil baginya untuk merubah orang tinggi jadi pendek dan
gemuk jadi kurus, orang yang teramat jelek jadi orang yang
teramat cantik, mustahil ada kepandaian ilmu menyaru muka
semacam ini di kolong langit, sebab bila ada yang mampu, di
dunia ini tak mungkin lagi ada orang bertampang jelek.
"Bagaimana?" seru Ci Yau-hoa lagi dengan penuh rasa
bangga. "Aku hanya ingin kau secepatnya mampus," jawab Tanpa
Perasaan hambar.
"Masa tak ada pilihan lain?" seru Ci Yau-hoa sambil tertawa
manis. 625 "Tidak ada!"
Ci Yau-hoa termenung sambil berpikir sejenak, akhirnya
setelah menghela napas dia mengangkat telapak tangannya
seraya berkata, "Tampaknya terpaksa aku harus
membunuhmu!"
Tanpa Perasaan tidak berkata apa-apa, pelan-pelan dia
memejamkan sepasang matanya
Mendadak Ci Yau-hoa menurunkan kembali tangannya, lalu
berseru keras, "Peronda Ma, bukankah kau ingin membalas
dendam atas kematian Peronda Cong" Kuserahkan orang ini
kepadamu."
Dari atas tembok kota terdengar seorang menyahut.
Ci Yau-hoa segera berpaling dan bisiknya kepada si Tanpa
Perasaan dengan suara lirih, "Kau tahu, kenapa aku serahkan
kau kepada si Peronda barat Ma Kok-kong" Sebab dia punya
julukan Lak-jiu-jui-hun-ciam (Tangan ganas jarum penghancur
sukma), caranya membunuh orang paling keji, paling telengas
dan tak kenal ampun, hubungan batinnya dengan Peronda
Cong paling dekat, sedang si Peronda timur telah tewas di
tanganmu, maka dia pasti akan menusuk seluruh badanmu
hingga mirip seekor landak, membuat sepasang tanganmu
lumpuh kemudian baru mati secara perlahan-lahan"
Ketika berbicara sampai di sini Ci Yau-hoa sengaja berhenti
sejenak, kemudian baru tertawa cekikikan. Mendadak serunya
lagi, "Peronda Ma, kuserahkan orang ini kepadamu."
Tampak seorang berbaju biru perlahan-lahan berjalan
mendekat, langkah kakinya yang berat dan kaku sudah lebih
dari cukup membuat perasaan hati orang bergidik.
Bagaikan sesosok sukma gentayangan yang muncul dari
balik kegelapan, orang itu berjalan mendekat, Tanpa Perasaan
merasa hatinya seakan tenggelam ke bawah.
Pada saat itulah tiba-tiba Tanpa Perasaan mengendus
sejenis bau hangus yang sangat aneh dan menusuk
penciuman. Baru saja Ma Kok-kong berjalan mendekat, sambil tertawa
Ci Yau-hoa sudah bertanya, "Menurut pendapatmu, lebih baik
626 kita cabuti dulu otot-otot tangannya, atau lebih baik kita tusuk
matanya agar menjadi buta duluan?"
"Orang buta!" sahut Ma Kok-kong dengan suara berat,
begitu selesai bicara sebatang jarum emasnya sudah menusuk
ke depan dengan kecepatan bagaikan sambaran kilat.
Pada saat bersamaan, dengan wajah berubah hebat Ci Yauhoa
sudah menghardik keras, "Kau bukan...."
Jarum emas itu menyambar tiba dengan kecepatan luar
biasa, bukan Tanpa Perasaan yang dijadikan sasaran,
melainkan alis mata Ci Yau-hoa yang diarah.
Bersamaan waktu Tanpa Perasaan yang semula bertangan
kosong, secepat kilat telah mencabut pula sebilah pisau belati
dan langsung dibabatkan ke arah iga kanan perempuan iblis
itu. Baru saja dua serangan itu berkelebat, dari sisi utara kota
Pak-shia muncul lagi dua sosok bayangan, dua bilah kapak
tajam langsung membabat punggung Ci Yau-hoa, sementara
sebuah cambuk langsung menggulung tenggorokannya.
Dalam waktu singkat Ci Yau-hoa telah menjadi sasaran
orang banyak, berbagai macam senjata tajam yang berbeda
bersama-sama menyambar mengancam sekujur tubuhnya,
sedemikian hebatnya serangan itu membuat perempuan iblis
ini tak berani turun tangan secara gegabah.
Ci Yau-hoa kembali membentak nyaring, sementara tangan
kirinya melancarkan cengkeraman, kepalanya sedikit
dimiringkan ke samping, begitu tangan kanan mengendor,
sebuah tendangan kaki kanan telah dilontarkan, lalu tangan
kanannya kembali dibalik, kali ini mencengkeram dua bilah
kapak tajam yang menyambar tiba.
Tangan kirinya yang melancarkan cengkeraman segera
berhasil menangkap cambuk kuda yang menyambar tiba,
tendangan kaki kanan membuat tubuh Tanpa Perasaan
terpental sejauh beberapa kaki, dengan demikian sabetan
belati yang dilancarkan anak muda itupun mengenai tempat
kosong. 627 Dalam situasi yang serba ruwet dan kalut, Ci Yau-hoa
miringkan kepalanya menghindari ancaman yang mengarah
alis mata, jalan darah kematiannya, mendadak mata sebelah
kirinya terasa sakit sekali, kemudian secara tiba-tiba segala
sesuatunya berubah menjadi hitam.
Ci Yau-hoa menjerit ngeri, suaranya tinggi melengking
menyayat hati, ibarat lolongan serigala atau jeritan kuntilanak,
membuat siapa pun yang mendengar merasa badannya
menggigil dan hatinya bergidik.
Rupanya gagal mengancam nyawa Ci Yau-hoa, secara tibatiba
'Ma Kok-kong' telah melepaskan jarum emasnya.
Jeritan ngeri Ci Yau-hoa segera berubah jadi pekikan
nyaring yang sangat dahsyat, ketika sepasang tangannya
direntangkan ke depan, orang yang bersenjatakan cambuk
kuda dan sepasang kapak segera terpental jatuh ke belakang,
dengan satu sambaran Ci Yau-hoa mencabut keluar jarum
emas yang menancap di mata kirinya lalu dengan tangan yang
lain dia tekan kelopak matanya yang berdarah itu.
Kini rambutnya sudah awut-awutan terurai ke bawah,
dengan mata kanannya yang melotot besar dia mengawasi
jarum emas yang masih berlepotan darah, darah yang
bercucuran dari mata kirinya.
Dua orang jago yang mencelat karena dorongan tangan
lawannya tadi, kini sudah merangkak bangun dan melakukan
pengepungan, tapi rasa takut bercampur ngeri telah
mencekam perasaan mereka, karenanya tak seorang pun
berani turun tangan secara gegabah.
Dalam pada itu, entah sejak kapan 'Ma Kok-kong' telah
menggenggam sebuah tongkat dan mengawasi si Bibi iblis Ci
Yau-hoa dengan pandangan dingin.
"Hah, kamu!" terdengar Ci Yau-hoa menjerit kaget, "kau ...
kau belum mati?"
'Ma Kok-kong' tertawa seram, "Hehehe ... tentu saja belum
mati, kalau aku mati, kau pasti akan merasa sangat gembira"
Sementara itu si Tanpa Perasaan yang tertendang hingga
mencelat sejauh beberapa kaki, hingga kini belum sanggup
628 merangkak bangun, tenaga dalamnya memang sangat cetek,
tendangan itu membuatnya amat kesakitan hingga untuk
beberapa saat dia kehilangan tenaga untuk melakukan
sesuatu. Walaupun begitu, ketika ia mengendus bau sangit karena
barang yang hangus tadi, dia segera tahu kalau orang yang
muncul pasti bukan si Peronda barat Tangan ganas jarum
penghancur sukma Ma Kok-kong.
Sebab dari bau hangus itu, dia dapat memperkirakan bau
itu berasal dari sesuatu benda yang terbakar karena serangan
peluru phospor ciptaannya.
Memang tak salah, orang itu memang tak lain adalah si
Pentolan iblis Si Ku-pei yang terlempar hingga terjatuh ke
dasar jurang tadi.
Bagaimanapun juga, rase memang sangat licik dan banyak
akal, bukan saja gembong iblis itu pandai melakukan
kejahatan, dia pun sangat pintar meloloskan diri bahkan
berpura-pura mati.
Dan seandainya orang itu memang Si Ku-pei, berarti semua
pembicaraan Ci Yau-hoa pun sudah terdengar olehnya,
bagaimana mungkin dia rela melepaskan perempuan iblis itu"
Maka Tanpa Perasaan segera mengambil keputusan, inilah
satu peluang emas baginya, bila dia tidak memanfaatkan
peluang ini untuk meloloskan diri, dapat dipastikan dia bakal
mati di tangan Ci Yau-hoa, bahkan seandainya perempuan
iblis itu bersedia mengampuni nyawanya pun, belum tentu Si
Ku-pei bersedia melepaskan dirinya.
Dia pun tahu, kedatangan Si Ku-pei kali ini bertujuan
membunuh Ci Yau-hoa, tentu saja dia bukan muncul untuk
menyelamatkan nyawanya.
Sementara itu Si Ku-pei telah tertawa seram, suara
tertawanya selicik lolongan rase, ujarnya, "Ci Yau-hoa, biarpun
kau pintar, sayang aku pun tidak bodoh, boleh saja Lui-losam
dan Cun-yu Losu tergila-gila oleh kecantikan wajahmu, namun
aku selalu berada dalam keadaan sadar dan jernih pikiran."
629 "Selama ini aku selalu heran, kenapa kau sengaja memisah
kekuatan menjadi beberapa rombongan, mula-mula kau
beralasan buat apa membunuh ayam menggunakan pisau
penjagal sapi, tapi Cun-yu Losu telah mati, bahkan Lui-losam
pun ikut tewas, sedang kau tetap bersikeras ingin
menggunakan cara begini. Akhirnya mau tak mau timbul juga
kecurigaan dalam hatiku ...."
"Sewaktu aku bertarung melawan Tanpa Perasaan di atas
tembok kota, aku sempat melihat ada seorang yang selalu
bersembunyi di belakang orang lain, karena kuanggap Ui
Thian-seng dan rombongannya tak mungkin berbuat
demikian, tanpa sadar aku sempat memperhatikan lagi
beberapa kejap, meski wajahmu telah berubah, namun aku
masih mengenali potongan tubuhmu ... aku segera tahu kalau
orang itu adalah kau....
"Aku semakin curiga ketika melihat kau belum juga turun
tangan membantuku, maka aku pun menggunakan alasan
kabur karena desakan lawan, aku berusaha melarikan diri dari
situ agar bisa lolos dari kejaran Tanpa Perasaan, kemudian
aku pun sengaja terjun ke dalam jurang, padahal aku tahu di
sisi jurang terdapat sebuah pohon besar dengan akar yang
kuat, aku pun tahu dengan gerak-gerik Tanpa Perasaan yang
tidak leluasa, mustahil dia akan menengok ke tepi jurang ...
tapi hebat juga serangan bocah monyet itu, dia sempat
membakar badanku hingga hangus sebagian!"
Sambil berkata, Si Ku-Pei pelototi Ci Yau-hoa dengan mata
mendelik, kembali bentaknya, "Setelah balik kemari, aku
segera mengumpulkan kedua orang sisa anak buahku untuk
menyusup dan bersembunyi di sini, menggunakan kesempatan
Pertemuan Di Kotaraja Seri 4 Opas Karya Wen Rui An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
di kala kau berbincang-bincang dengan Tanpa Perasaan,
kurobohkan dulu Ma Kok-kong, ketika kau memanggil keluar
aku tadi, kukira rahasiaku sudah ketahuan ... aku pun tahu,
sekali aku unjuk diri maka cepat atau lambat penyamaranku
pasti akan ketahuan, apalagi dengan ketajaman matamu itu,
daripada mati konyol lebih baik turun tangan duluan. Hm,
Yau-hoa, selama ini aku Si ku-pei selalu bersikap ramah dan
630 baik kepadamu, aku selalu menganggap kau bagaikan putri
kandungku sendiri, bukan saja menyayangimu, bahkan
mengajarkan ilmu silat kepadamu, agar kau ternama dan
hebat. Tapi sekarang, setelah kungfumu jauh lebih hebat dari
aku, setelah nama dan pamormu jauh mengungguli aku,
bukan saja kau telah membantai yang lain, termasuk aku pun
tidak kau lepas, kau ... sungguh kejam hatimu!"
Ci Yau-hoa masih mengawasi jarum emas dalam
genggamannya dengan matanya yang sebelah, noda darah
telah membasahi seluruh wajahnya, ia nampak sangat
menakutkan dan menggidikkan hati. Sehebat-hebatnya ilmu
menyaru muka yang dia miliki, mustahil bisa menyembuhkan
kembali matanya yang sudah buta.
Sambil tertawa dingin kembali Si Ku-pei berkata, "Hm, coba
kalau bukan lantaran tidak terbiasa dengan senjata tadi,
mungkin saat ini kau bukan hanya buta, mungkin nyawamu
sudah melayang sejak tadi."
Mendadak Ci Yau-hoa berteriak keras, "Coba kalau senjata
yang kau gunakan adalah senjata lain, bukan saja tak akan
mampu mendekati aku, yang mampus sudah pasti kau!"
Si Ku-pei tertawa tergelak, "Hahaha ... Ci Yau-hoa, orang
lain mungkin takut kepadamu, tapi aku tidak takut, apalagi
matamu sudah buta sebelah, sekarang kau lebih mirip seorang
nenek sihir."
Ci Yau-hoa mendongakkan kepalanya, dalam waktu singkat
wajahnya seolah menjadi tua tiga puluh tahun, raut mukanya
penuh keriput dan amat mengerikan, mendadak sambil
menjerit ia menerjang ke muka.
Jeritan lengking itu amat aneh, dari kejauhan sana segera
berkumandang dua kali jeritan lengking yang mirip dengan
jeritan itu. Sementara itu Ci Yau-hoa sudah bertempur sengit melawan
Si Ku-pei, seluruh angkasa seakan diliputi bayangan tongkat
yang berlapis-lapis serta bayangan kuning yang menyambar
kian kemari, sedemikian cepatnya jurus serangan yang
digunakan hingga nyaris sulit diikuti.
631 .......... (halaman 233 tidak ada)
*** ............ru, "Ui-lopocu, saudara Khong, Chin-lihiap, apakah
kalian berada di sana?"
Tak ada jawaban, suasana tetap hening.
Tanpa Perasaan mencoba memasang telinga dan
memperhatikan dengan seksama akhirnya ia mendengar suara
dengusan napas yang sangat lirih, bahkan suara napas itu
rasanya berasal dari dengusan napas tiga empat orang.
Kembali Tanpa Perasaan berkata dengan suara berat, "Jika
Ui-lopocu yang ada di dalam dan jalan darah tertotok, harap
gunakan ilmu pernapasan ikan paus untuk membuktikan
identitasmu."
Benar saja, dari dalam gua segera terdengar suara
dengusan napas yang sangat berat dan dalam.
Ketika jalan darah seorang tertotok, bukan saja dia tidak
leluasa untuk bergerak, bahkan napas pun ikut tersendat dan
kurang lancar, maka bila seorang memiliki tenaga dalam
sempurna dan bertemu dengan penotok jalan darah yang
agak lemah tenaga dalamnya, seringkah jalan darah yang
tertotok dapat dijebol sendiri dengan kekuatan hawa
murninya. Tanpa Perasaan segera menerjang masuk ke dalam,
mengeluarkan geretan dan menyulutnya, betul juga, ia
saksikan Ui Thian-seng, Chin Ang-kiok, Khong Bu-ki, Yau Itkang,
Pedang anggrek, Pedang bunga bwe, Pedang bambu
Sejengkal Tanah Sepercik Darah 15 Lencana Pembunuh Naga Karya Khu Lung Kisah Para Pendekar Pulau Es 6
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama