Ceritasilat Novel Online

Pertemuan Di Kotaraja 2

Pertemuan Di Kotaraja Seri 4 Opas Karya Wen Rui An Bagian 2


lembar bulu kebutan itu serentak berubah bagaikan jarum
panjang yang tajam, menyebar ke seluruh angkasa.
Ceng Ci-tong sangat terperanjat. Cepat dia putar senjata
gurdinya untuk melindungi diri, lalu menyapu rontok bulu-bulu
yang mengancam dirinya itu.
Ko San-cing tidak kalah sibuknya. Dia putar toya kemala
putihnya sedemikian rupa, membuat air hujan pun susah
tembus, apalagi bulu-bulu tajam itu.
Sayang dia lupa melindungi tubuh bagian bawah. Tahutahu
kaki kirinya yang bergerak kurang lincah telah tersambar
sebatang bulu tajam itu. Sambil menjerit kesakitan segera ia
cabut keluar bulu tadi. Namun darah telah bercucuran keluar
dengan derasnya.
"Sute, kenapa kau?" tegur Ceng Ci-tong cemas.
"Tidak apa-apa," jawab Ko San-cing sambil menahan sakit.
"Untung saja tidak kena jalan darah penting. Sungguh tak
nyana bulu-bulu milik Tosu anak jadah ini begitu lihai dan
mematikan!"
Ketika mereka berpaling kembali, tampak tubuh Sim Ciokkut
yang semula masih bersandar pada batang pohon waru
kini sudah roboh terkapar di tanah. Mati dengan mata
mendelik. "Hmmm, akhirnya mampus juga!" jengek Ceng Ci-tong
sambil tertawa dingin.
"Entah bagaimana dengan Toa-suko, sudah berhasil
belum?" sambung Ko San-cing sembari membalut lukanya.
Ceng Ci-tong tertawa dingin.
61 "Cara kerja Toa-suheng selalu teliti dan cermat. Dia jarang
sekali gagal," katanya.
"Kalau begitu mari kita seret mayat si Tosu busuk ini
kembali ke ruang belakang, agar tua bangka itu dapat melihat
bagaimana keadaan Sute kesayangannya!"
"Bagaimana kalau si Darah dingin tiba-tiba balik?"
mendadak Ceng Ci-tong bertanya dengan kuatir. Ko San-cing
tertawa. "Ji-suheng, kau terlalu penakut dan lagi banyak curiga.
Bukankah telur busuk itu sudah bilang, dia baru balik tengah
malam nanti?"
"Betul," Ceng Ci-tong manggut-manggut sambil tertawa
girang, "pengalamanku masih cetek, sudah ingin jadi opas
kenamaan. Orang bilang "bila raja akhirat sudah menentukan
kema-tian di kentongan ketiga, siapa yang bisa bertahan
sampai ken-tongan kelima?". Dia sudah dipastikan akan
mampus pada kentongan ketiga. Tentu mustahil bisa muncul
lebih awal!"
"Biarpun dia muncul saat ini dan mengetahui perbuatan kita
berdua, kenapa mesti takut" Dengan kemampuan kita berdua
sekarang ini, dia masih bukan tandingan kita semua."
Mendadak paras muka Ceng Ci-tong berubah jadi amat
serius. Setelah pasang telinga beberapa saat, dengan wajah
berubah hebat ia berseru, "Aduh celaka! Dia benar-benar telah
balik!" "Tapi... mana mungkin?"
"Kungfu yang dimiliki bocah muda itu cukup tangguh. Lebih
baik kita hadapi dengan menggunakan akal saja."
"Baik!" sahut Ko San-cing. Dengan satu kecepatan yang
luar biasa ia seret jenazah Sim Ciok-kut keluar dari ruangan.
Kemudian, setelah menutupi jenazah itu dengan rumput
ilalang, dia menghapus juga noda darah di lantai dengan
kakinya. "Cepatan sedikit," kembali Ceng Ci-tong berseru cemas,
"dia akan segera tiba di sini!"
62 Baru saja Ko San-cing membenahi pakaian yang dikenakan,
pintu telah dibuka orang. Di bawah sinar rembulan, tampak si
Darah dingin dengan pakaian ketat berwarna putih berjalan
masuk dengan langkah santai.
Ceng Ci-tong pura-pura menggerakkan badannya seakan
hendak melancarkan serangan, tapi sambil mengurungkan
niatnya ia berkata sambil tertawa, "Kukira siapa yang datang,
ternyata Saudara Leng! Hampir saja aku salah menyerang.
Untung tak sampai mengalami kepahitan di tangan saudara
Leng." Sambil tersenyum Ko San-cing ikut menyapa, "Saudara
Leng, bukankah kau bilang baru akan balik pada kentongan
ketiga" Sekarang baru kentongan kesatu, apakah urusanmu
telah selesai?"
Si Darah dingin memperhatikan kedua orang itu sekejap,
kemudian sahutnya hambar, "Ya, semua urusan telah beres.
Lantaran kuatir maka aku pikir lebih baik kembali sedikit
awal." Selapis awan gelap berhembus menutupi cahaya rembulan.
Bukan saja bulan tak bercahaya, bintang pun seolah lenyap
entah kemana. Kini yang tersisa hanya dua baris cahaya lilin
yang redup. "Barusan ada yang datang menyerang," tiba-tiba Ceng Citong
melapor. "Oh ya" Siapa?"
"Entahlah. Semuanya memakai kerudung muka!"
"Bagaimana dengan Leng-tayhiap dan Sim-sihiap?"
"Mereka semua tidak terluka, tapi sudah mundur ke ruang
dalam, karena dari situ lebih mudah bagi kita untuk
menghadapi serangan lawan."
"Kalau begitu mari kita susul ke ruang dalam."
Ceng Ci-tong seolah punya kesulitan yang tak bisa
diucapkan, serunya tergagap, "Tapi... tapi
"Tapi kenapa?" tanya si Darah dingin keheranan.
"Kami hanya bermaksud baik ingin mengingatkan
kepadamu. Cuma kau tak usah marah."
63 "Baik, katakan saja terus terang. Aku tak bakal marah."
"Leng-tayhiap berdua menaruh curiga, jangan-jangan
kaulah pembunuhnya."
"Bagaimana dengan kalian," tanya si Darah dingin setelah
termangu sejenak, "kalian berdua juga percaya?"
"Kalau kami percaya, masa mau memberitahukan
kepadamu" Hanya saja...."
"Hanya saja kenapa?"
"Mereka sudah menemukan bukti, jadi ... mau tak mau
kami pun jadi percaya."
"Barang bukti" Apa buktinya?" Darah dingin tertawa dingin.
"Kau ingin tahu?" tanya Ceng Ci-tong sambil merogoh ke
dalam pinggangnya seperti mengambil sesuatu. "Baiklah, akan
ku perlihatkan kepadamu
Darah dingin mengalihkan seluruh perhatiannya mengawasi
tangan Ceng Ci-tong. Dia ingin tahu barang apa yang hendak
diperlihatkan orang ini.
Ceng Ci-tong tidak mengeluarkan barang apa-apa. Dia
justru memencet sebuah tombol di pinggangnya untuk
membuka kunci pengait yang mengikat senjatanya, kemudian
... "Sreet!" tahu-tahu senjata gurdi berantainya sudah dilolos.
Baru saja si Darah dingin tertegun, dari belakang tubuhnya
kembali bergema suara desiran angin tajam yang membelah
bumi. Ternyata tongkat runcing kemala putih milik Ko Sancing
telah melancarkan serangan bokongan.
Waktu itu konsentrasi si Darah dingin sudah terpecahkan.
Semestinya memang sulit baginya untuk menghindarkan diri
dari ancaman itu....
0ooo0 Liu Ce-in menarik sebuah bangku dan duduk di balik
kegelapan sambil mengisap huncwenya. Cahaya api yang
berkedip dari huncwenya membiaskan secercah cahaya yang
menyinari wajahnya, membuat raut muka itu separuh bersinar
dan separuh tampak gelap.
64 Dengan mata melotot Leng Giok-siu sedang mengawasi Liu
Ce-in. Hanya saja dia tidak duduk. Ingin duduk pun sulit
baginya. Setelah mengisap huncwenya beberapa sedotan, Liu Ce-in
mulai mengawasi wajah Leng Giok-siu dengan perasaan
bangga. Tiba-tiba ujarnya sambil tertawa, "Aku tahu apa yang
ingin kau tanyakan."
Leng Giok-siu tidak menjawab, dia hanya mengawasi Liu
Ce-in dengan sinar mata penuh amarah.
Liu Ce-in berlagak seakan-akan tak melihat kemarahan
orang. Dengan santainya kembali ia berkata, "Kau sudah
terkena dupa pelemas tulang. Dupa itu sering dipergunakan
para kaisar untuk mengerjai para dayang, selir dan gadis yang
tidak penurut. Siapa pun yang terkena dupa ini, biar betapa
hebat tenaga dalam yang dimiliki, dalam jangka satu jam,
jangan harap bisa bangkit berdiri. Selain tak punya tenaga
untuk berteriak, mau bicara pun susah."
Leng Giok-siu tetap membungkam. Pancaran hawa
amarahnya makin meledak-ledak. Diawasinya wajah Liu Ce-in
tanpa berkedip.
Kembali Liu Ce-in tertawa terbahak-bahak, katanya, "Kau
tak usah berharap Sim Ciok-kut datang menolongmu. Saat ini
mungkin dia telah berkumpul dengan Buyung Sui-in, Kim
Seng-hui serta Kui Keng-ciu!"
Bicara sampai di situ, pelan-pelan ia duduk kembali sambil
mengisi ulang huncwenya dengan tembakau. Setelah itu ia
mengisapnya dalam-dalam....
0oo0 Ketika si Darah dingin sedang mengawasi tangan Ceng Citong
yang merogoh ke dalam pinggang untuk mengambil
sesuatu, Ko San-cing segera menggetarkan senjata tongkat
kemalanya dan menusuk punggung pemuda itu dengan
sebuah tusukan maut.
Ketika jurus pedang darah terbang dari Iblis pedang darah
terbang dipindahkan ke atas senjata toyanya, daya serang
yang dihasilkan benar-benar luar biasa.
65 Ujung tongkat membelah angkasa dengan membawa
desingan angin tajam. Gelombang udara yang bergetar benarbenar
mengerikan. Pada saat itulah tiba-tiba si Darah dingin menerjang tiba
dari arah belakang. Dalam keadaan begini dia bukannya
mundur, justru menyerbu ke muka. Hal ini sama artinya
dengan menumbukkan diri ke ujung tongkat yang tajam.
Ko San-cing tertegun. Tanpa mengubah gerak jurusnya ia
melanjutkan tusukan keras ke tubuh lawan.
Agaknya Darah dingin sudah menduga kalau Ko San-cing
akan melanjutkan tusukan mautnya. Ia mundur selangkah.
Biarpun terhindar dari tusukan yang telak, namun tak urung
ujung tongkat menusuk juga di tubuhnya.
Darah dingin mendengus dingin, tiba-tiba "Criiing!" dia
telah melolos pedang andalannya.
Menanti Ko San-cing sadar kalau ia tertipu, keadaan sudah
terlambat. Ternyata tusukan tongkatnya yang dikira telah
berhasil menusuk di tubuh si Darah dingin hanya menerobos
lewat dari bawah ketiak lawan, sementara si Darah dingin
sudah menubruk mendekat dengan kecepatan tinggi.
Sebuah tusukan pedang telah dilancarkan, mengarah iga
sebelah kanannya.
Dengan perasaan kaget Ko San-cing berusaha melompat
mundur. Tapi ia segera sadar kalau senjata tongkatnya telah
terjepit kencang di bawah ketiak lawan.
Dalam posisi begini, seandainya Ko San-cing rela
melepaskan senjatanya sambil melompat mundur, mungkin
masih sempat baginya untuk menyelamatkan diri. Namun
sebagai seorang jago yang tak pernah mau melepas senjata
andalannya, ia hanya berdiri terkesima.
Sementara ia tertegun, tubuh si Darah dingin telah
menempel tubuhnya, lalu ... "Sreet!" pedang tipis milik Darah
dingin telah menusuk ke lambung Ko San-cing hingga tembus
ke tulang punggungnya.
Ko San-cing meraung kesakitan! Sambil menjerit keras
menggetar angkasa, dia membuang senjata tongkatnya lalu
66 merentangkan kedua belah tangannya dan mencekik
musuhnya kuat-kuat.
Pada saat yang bersamaan senjata gurdi berantai milik
Ceng Ci-tong telah siap dilancarkan. Tapi ia langsung tertegun
setelah melihat si Darah dingin bukannya maju, sebaliknya
malah mundur. Saat itulah dia saksikan tongkat Ko San-cing menusuk lewat
dari bawah ketiak kiri si Darah dingin, serangan dari rekannya
itu ternyata meleset.
Bila serangan ini meleset, berarti keselamatan jiwa Ko Sancing
terancam. Ceng Ci-tong membentak keras, senjata
gurdinya segera dilontarkan ke depan.
Sungguh dahsyat serangan senjata gurdi itu. Diiringi deru
angin tajam, langsung mengancam dada si Darah dingin.
Dalam waktu relatif amat singkat itulah si Darah dingin
telah berhasil menyarangkan pedangnya di lambung lawan.
Begitu berhasil dengan serangannya, ia segera berguling ke
samping, gerakannya begitu terburu-buru sampai untuk
mencabut senjata pun tak sempat.
Dengan bergulingnya si Darah dingin ke samping, serangan
senjata gurdi Ceng Ci-tong lagi-lagi mengenai tempat kosong.
Bukan hanya begitu, saking kuatnya serangan tadi, senjata
gurdi itu justru langsung menghantam ke dada Ko San-cing.
Di saat kesakitan karena terluka parah, mana mungkin Ko
San-cing bisa menghindarkan diri" "Duuuk ...!" senjata gurdi
itu menghantam dadanya kuat-kuat.
Ko San-cing menjerit ngeri, sementara Ceng Ci-tong
dengan hati terkesiap buru-buru menarik kembali senjatanya.
Seandainya dia tidak berusaha menarik kembali senjatanya,
mungkin keadaan akan menjadi rada mendingan. Tapi dengan
ditariknya senjata gurdi itu, berarti daging berikut kulit Ko
San-cing ikut terbetot lepas dari tubuhnya.
Percikan darah segar bercampur hancuran kulit dan daging
menyebar ke angkasa. Ko San-cing melolong kesakitan ... tapi
baru separuh jalan, tubuhnya sudah roboh terjengkang ke
tanah dan tak bersuara lagi.
67 Sekali lagi Ceng Ci-tong berdiri tertegun. Semua peristiwa
ini tampaknya jauh di luar dugaannya!


Pertemuan Di Kotaraja Seri 4 Opas Karya Wen Rui An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Menggunakan kesempatan ini, si Darah dingin berguling
balik sembari mencabut keluar pedangnya yang masih
menancap di perut Ko San-cing.
Ceng Ci-tong segera tersadar kembali dari lamunannya.
Sebagai jago yang berpengalaman, dia tahu betapa gawatnya
situasi saat itu. Maka begitu melihat si Darah dingin telah
mendapatkan kembali pedangnya, dia segera mengayun
senjata gurdi berantainya, menyapu sekeliling ruangan.
Dalam waktu singkat seluruh lentera yang berada di
seputar ruangan itu jadi padam. Suasana pun segera tercekam
dalam kegelapan.
Kesempatan itu digunakan Ceng Ci-tong untuk berganti
posisi beberapa kali, kemudian ia bersembunyi di belakang
pintu sambil bermandikan peluh dingin.
Mimpi pun dia tak mengira jika si Darah dingin sudah sejak
awal membuat persiapan untuk menghadapi mereka. Bahkan
saat ini, ia tak dapat menentukan berada dimana musuh
tangguhnya itu.
Suasana gelap gulita, apapun tak terlihat. Bahkan cahaya
rembulan pun sudah tertutup awan gelap. Sedemikian
gelapnya, hingga kelima jari tangan sendiri pun tak kelihatan.
Dalam keadaan begini, dia hanya yakin akan satu hal. Di
antara kawanan opas kenamaan, ketajaman pendengarannya
terhitung nomor wahid. Dengan memadamkan seluruh cahaya
lentera yang ada dalam ruangan, sesungguhnya amat
menguntungkan posisi dirinya.
Asal musuh melakukan sedikit gerakan saja, dia akan
menggunakan serangan yang paling cepat untuk
menghancurkan tulang dada musuh dengan senjata gurdi
besinya. Tapi masalahnya sekarang, sang musuh bersembunyi
dimana" Dia tahu, senjata andalannya jauh lebih panjang dan jauh
jangkauannya ketimbang senjata lawan. Berada dalam
kegelapan begini, senjata miliknya jauh lebih menguntungkan.
68 Tapi ... tahukah si Darah dingin bahwa dia memiliki
ketajaman pendengaran yang jauh melebihi siapa pun" Dia
pun tak tahu bahwa si Darah dingin meski tidak memiliki
ketajaman pendengaran yang melebihi orang lain, tapi
memiliki ketajaman mata yang luar biasa.
Siapa pun orangnya, termasuk orang dengan daya
penciuman yang biasa pun pasti tahu, dalam kegelapan yang
pekat, biasanya hawa amis darah jauh lebih tebal, jauh lebih
menusuk hidung. Hawa membunuh pun biasanya jauh lebih
menakutkan dan menggidikkan hati.
0oo0 Liu Ce-in masih duduk di kegelapan sambil mengisap huncwenya.
Persis di hadapannya duduk seorang. Dialah Leng
Giok-siu. Walaupun Leng Giok-siu masih mengawasinya dengan
mata melotot, Liu Ce-in justru tidak memandang ke arahnya
walau sekejap pun. Dia masih meneruskan isapan huncwenya
sembari bergumam, "Sepuluh tahun berselang, sejak Suhu
kami Pa Siok-jir. tewas terbantai oleh kalian di puncak gunung
Hoa-san, kami harus hidup pontang-panting untuk
menghindari pengejaran lawan. Aaai... sungguh menyesal,
kami tak pernah mau belajar tekun waktu itu, hingga
kehidupan kami harus terlunta-lunta ... Walau ingin
bersembunyi, tapi sembunyi dimana" Dunia memang luas, tapi
musuh amat banyak! Aaai, pada hakikatnya tak sebuah
tempat pun yang bisa dipakai untuk menyembunyikan diri
Setelah berhenti sejenak, sambungnya, "Kemudian kami
sadar, kenapa tidak bergabung saja dengan pihak pengadilan"
Bukankah di situ kami bisa bersembunyi dengan aman" Maka
kami pun mendaftarkan diri menjadi anggota opas di berbagai
pengadilan yang berbeda, di samping secara diam-diam
melatih lebih tekun ilmu pedang darah terbang ajaran guru
kami. Agar tidak menyolok hingga menimbulkan kecurigaan
orang, terpaksa kami ubah ilmu pedang tersebut, dilebur
dalam ilmu toya, ilmu senjata gurdi serta ... ilmu huncweku
ini...." 69 Bicara sampai di situ Liu Ce-in termenung sambil mengisap
huncwenya berulang-kali.
"Akhirnya kami jadi petugas opas dan tersohor. Tak ada
orang yang mencurigai kami lagi. Ketika ilmu silat kami
semakin matang, maka saat balas dendam pun tiba. Aku tahu
bila dendam ini tidak dibalas, maka kalian bisa keburu mati
duluan. Bila sampai begitu, kami bertiga tentu akan
menyesal...."
Makin bicara Liu Ce-in semakin bersemangat, lanjutnya
pula, "Waktu itu, ketika aku berhasil membunuh Samte kalian,
dengan tubuh terluka parah dia berusaha mengambil senjata
ruyungnya. Aku tahu dia tak bakal hidup lama, maka aku
sengaja tetap tinggal di ruang perjamuan karena aku yakin
kalian pasti akan mengundangku untuk membantu
mengungkap teka-teki pembunuhan berdarah ini. Bila sampai
begitu, maka aku punya alasan untuk mendatangkan Jisute
dan Samsute. Dan dengan kekuatan kami bertiga, tidak sulit
untuk membantai kalian satu demi satu
Tiba-tiba wajahnya berubah serius, katanya lagi, "Aku sama
sekali tidak menyangka, ternyata si Darah dingin juga hadir di
sana ... Tapi tak apalah, orang itu juga tak bakal bisa hidup
melebihi kentongan ketiga. Dia juga akan menemani kalian
semua" 0oo0 "Tok, tok, toook ..." suara kentongan bergema dari luar
pintu. Si penjaga malam dengan membawa lentera berjalan
lewat. Cahaya yang redup membuat orang sulit untuk melihat
dengan jelas betapa gelapnya suasana di malam itu.
Kentongan pertama sudah lewat.
Tampaknya si penjaga malam tidak merasakan hawa
pembunuhan yang memancar keluar dari dalam gedung. Dia
pun seperti tidak mengendus bau anyirnya darah. Ia sudah
pergi menjauh. Suasana hening dan sepi kembali mencekam seluruh
gedung itu. 70 Si Darah dingin masih bersembunyi di belakang pintu. Pintu
ruangan itu terdiri dari dua daun pintu yang terbuka. Ceng Citong
bersembunyi di balik pintu satunya.
Karena Darah dingin tidak bergerak, Ceng Ci-tong tidak
tahu si Darah dingin berada dimana.
Sebaliknya Ceng Ci-tong juga tidak bergerak, maka si
Darah dingin pun tidak melihat musuhnya berada dimana.
Padahal selisih jarak mereka berdua hanya berapa depa
saja. Siapa yang mengetahui lebih dulu posisi lawannya dan
melancarkan sergapan mautnya, maka dialah yang akan
memenangkan pertarungan ini.
Tapi siapa pun tidak dapat menemukan siapa. Siapa pun
tak tahu ada dimanakah musuhnya.
Sekarang mereka seakan sedang bertanding, bertanding
siapa yang lebih kuat menahan diri.
Akhirnya si Darah dingin yang tak sanggup menahan diri.
Ketajaman pendengaran Ceng Ci-tong tiba-tiba menangkap
gerakan tubuh si Darah dingin yang menerjang keluar dari
belakang pintu menuju ke ruang utama. Gerakan tubuhnya
sangat cepat dan tak terlukiskan dengan kata.
Secepatnya si Darah dingin bergerak, tidak lebih cepat dari
sambaran senjata gurdi berantai Ceng Ci-tong.
"Kena!" tiba-tiba Ceng Ci-tong menghardik keras dari balik
kegelapan. Menyusul kemudian ... "Duuuk!" ujung senjata
gurdinya seakan menumbuk sebuah benda. "Praaang...!"
Tiba-tiba Ceng Ci-tong merasa ada benda yang berhasil
dihancurkan oleh serangannya, cuma benda itu bukan tubuh
seseorang, melainkan hanya sebuah vas bunga.
Ceng Ci-tong segera sadar kalau dirinya tertipu. Kini
gelagat tidak menguntungkan dirinya, jejaknya telah ketahuan
lawan. Belum sempat dia melakukan suatu reaksi, belum lagi dia
meneriakkan kata "Kena!" tiba-tiba dari antara celah giginya
yang berlubang menyelinap masuk sebuah benda yang keras
lagi tajam. Sebilah pedang tipis, lembut tapi tajamnya bukan
kepalang! 71 Belum hilang rasa kagetnya, mendadak tenggorokannya
terasa sakit sekali. Diiringi rasa manis yang aneh, kemudian
apapun sudah tidak diketahui lagi olehnya.
3. Diakhiri Dengan Kematian.
Tiba-tiba Liu Ce-in melihat cahaya rembulan memancar
masuk ke dalam ruangan. Sambil berkerut kening ia
mengawasi Leng Giok-siu, kemudian ujarnya sambil tertawa,
"Saudara Leng, tahukah kau mengapa sampai sekarang aku
belum membunuhmu" Kenapa aku membantai kalian satu per
satu dan tidak sekaligus saja menghabisi nyawa kalian?"
Leng Giok-siu hanya mendelik, ia menggeleng dengan
susah payah. "Padahal sederhana sekali alasannya," ujar Liu Ce-in sambil
tertawa. "Aku sengaja membantai kalian satu per satu karena
aku ingin kalian pun merasakan bagaimana pedihnya hati
ketika melihat orang terdekat pergi satu per satu! Aku ingin
kau merasakan juga bagaimana tersiksanya bila hidup dalam
teror, hidup dalam ketakutan, hidup dalam kengerian karena
kematian bisa tiba setiap saat! Sekarang aku tinggal menanti
kedatangan Jisute dan Samsuteku, yang akan membawa
batok kepala Sim Ciok-kut. Setelah itu baru tiba giliranmu"
Mendadak ia bangkit berdiri, diisapnya huncwe beberapa
sedotan dengan perasaan tak tenang, lalu katanya lebih jauh,
"Tapi aku tak dapat menunggu terlalu lama. Pengaruh obat
pemabuk dalam tubuhmu segera akan berakhir. Lebih baik
kubunuh dirimu terlebih dulu!"
Seraya berkata, selangkah demi selangkah dia mendekati
Leng Giok-siu, gumamnya lagi, "Aneh, sungguh aneh.
Seharusnya Jisute dan Samsute sudah berhasil sejak tadi.
Kenapa belum datang juga?"
"Ya, mereka memang telah berhasil!" tiba-tiba seseorang
menimpali dari luar ruangan dengan suara dingin.
Mendengar ucapan ini, Liu Ce-in terkesiap. Belum sempat
bereaksi apa-apa, mendadak dari balik daun jendela yang
72 hancur melesat masuk dua sosok bayangan manusia dan
langsung menubruk ke arah tubuhnya.
Tergopoh-gopoh Liu Ce-in mundur ke belakang.
Ketika bayangan manusia yang menubruk tubuh Liu Ce-in
kehilangan sasaran, tahu-tahu ia sudah roboh terkapar di
lantai. Kembali tampak sesosok bayangan manusia meluncur
masuk ke dalam ruangan dan langsung menerjang bangku
yang diduduki Leng Giok-siu.
"Blaaam!" Leng Giok-siu berikut bangku yang didudukinya
mencelat sejauh berapa kaki dan roboh terguling, sementara
orang yang menumbuk bangku itu ikut terkapar di tanah
tanpa berkutik.
Cara bertarung semacam ini memang aneh sekali.
Walaupun Liu Ce-in sangat berpengalaman dalam dunia
persilatan, belum pernah ia jumpai kejadian seperti hari ini.
Karena jendela sudah rusak dan berlubang, cahaya
rembulan yang terang benderang pun menyorot masuk ke
dalam ruangan. Menggunakan penerangan sinar rembulan, Liu Ce-in segera
dapat mengenali bahwa dua orang yang terkapar tanpa
bergerak di tanah itu tak lain adalah dua orang adik
seperguruannya, Ko San-cing serta Ceng Ci-tong!
Kini jarak antara Leng Giok-siu dan Liu Ce-in hanya
beberapa kaki jauhnya. Di tengah selisih jarak mereka berdua,
di bawah cahaya rembulan, sesosok bayangan manusia
melayang turun bagaikan sekor kucing, tanpa suara sedikit
pun. Dia tak lain adalah si Darah dingin!
Dengan sebuah gerakan yang sangat cepat, Liu Ce-in
membalik gagang huncwenya, lalu mengarahkan ujung
gagang yang tajam itu ke arah si Darah dingin.
Sebaliknya Darah dingin juga telah melolos pedangnya,
dengan mengarahkan ujung senjata ke Liu Ce-in.
Mereka berdua sama-sama tidak bergerak, saling
berpandangan dengan penuh kewaspadaan.
73 Dengan sorot mata yang tajam Liu Ce-in mengawasi si
Darah dingin. Tiba-tiba ujarnya sambil tertawa, "Oh, rupanya
kau!" "Ya, memang aku."
"Urusan dinasmu telah selesai?"
"Ya, kepulanganku memang tepat pada waktunya," si
Darah dingin tertawa dingin.
"Benar, memang tepat pada waktunya. Leng-tayhiap telah
diloloh orang dengan obat bius. Kini badannya lemas tak
bertenaga, jadi terpaksa aku harus melindungi dirinya"
"Betul-betul patut disayangkan
"Apanya yang disayangkan?"
"Omong-kosong selalu enak didengar."
"Omong kosong?"
"Sayang aku sudah berdiri di luar jendela sejak tadi. Semua
pengakuanmu telah kudengar dengan jelas sekali:"
Liu Ce-in segera tertawa tergelak.
"Hahaha ... Saudara Leng, bukannya kau pergi melacak
siapa pembunuh sebenarnya, tak nyana kau malah mencuri
dengar rahasia orang lain."
"Aku tak perlu melacak lagi, karena pembunuhnya sudah
ketahuan."
"Siapa?"
"Kau! Kaulah pembunuhnya!"
Liu Ce-in segera mendongakkan kepala dan tertawa
terbahak. Dia seakan baru saja mendengar sebuah cerita
lelucon yang sangat menggelikan.
Biarpun dia sedang tertawa, sinar matanya sama sekali tak
berniat untuk tertawa. Sorot mata yang tajam mengawasi
terus mata pedang si Darah dingin tanpa berkedip.
Darah dingin pun mengawasi gagang huncwe di tangan
lawan tanpa berkedip. Biarpun kedua belah pihak sedang
berbicara, namun siapa pun tak berani ceroboh. Siapa pun tak
berani memecahkan perhatian hingga memberi kesempatan


Pertemuan Di Kotaraja Seri 4 Opas Karya Wen Rui An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kepada lawan untuk melancarkan sergapan dengan sepenuh
tenaga. 74 Liu Ce-in tertawa beberapa saat lamanya. Ketika tidak
melihat lawannya melancarkan serangan, dia segera
menghentikan gelak tawanya dan berseru, "Hebat, sungguh
hebat!" "Kau juga hebat. Tapi sayang gagal mengelabui aku."
"Aku ingin tahu, mengapa secara tiba-tiba kau mencurigai
aku?" tanya Liu Ce-in kemudian.
"Kalau mau menyalahkan, mestinya kau salahkan dirimu
sendiri. Kau sangka sergapan yang kau siapkan di depan
rumah Liu Kiu-ji sanggup menghabisi nyawaku" Hmmm, justru
karena itulah kau telah meninggalkan titik kebocoran."
"Titik kebocoran?"
"Benar. Kau berkata kalau Liu Kiu-ji pernah terlibat usaha
pembunuhan di kota Liu-ciu hingga tertangkap. Tapi sewaktu
kuperiksa jenazahnya, aku tak menemukan bekas cap
pengenal dari kota Liu-ciu yang menandakan ia pernah jadi
narapidana. Ketika gagal menemukan pertanda itu, maka aku
pun berpikir, mana mungkin Dewa opas macam kau bisa salah
ingat" Atau sengaja salah memberi informasi" Maka aku pun
memeriksa juga jenazah kawanan manusia berkerudung itu.
Ternyata pada lengan mereka semua tertera jelas cap tanda
pengenal sebagai prajurit dari Jing-ping. Padahal siapa di
tempat ini yang bisa menggerakkan pasukan itu?"
Ditatapnya wajah Liu Ce-in lekat-lekat, kemudian lanjutnya,
"Tanpa sadar aku pun teringat Ko San-cing, pelatih pasukan
Jing-ping. Padahal Ko San-cing secara sengaja telah kau
undang kemari untuk terlibat dalam penyelidikian ini. Maka
aku pun mulai curiga. Kau pasti bermaksud mencelakai Liu
Kiu-ji. Kalau tidak berbuat begini, mana mungkin kau bisa
memecah perhatianku dan mengalihkan sasaran" Ketika kau
minta aku membuntuti Liu Kiu-ji, kau gunakan kesempatan itu
dengan minta bantuan Ko San-cing untuk membunuh aku.
Padahal kau telah salah melakukan satu hal. Bila tidak ada
yang membocorkan rencana penguntitan itu, mana mungkin
ada begitu banyak jago yang muncul secara tiba-tiba hanya
ingin membunuh Liu Kiu-ji seorang" Kau sengaja
75 mendatangkan banyak jago karena tujuanmu yang
sebenarnya adalah ingin membunuhku. Liu Kiu-ji bukan
sasaranmu yang sesungguhnya. Ketika usahamu untuk
membunuh diriku gagal, kau baru terpaksa membunuh Liu
Kiu-ji agar aku tidak curiga. Sayang ... lagi-lagi kalian telah
melupakan sesuatu
"Kagum, sungguh mengagumkan," sela Liu Ce-in sambil
tertawa dingin.
Darah dingin menjengek sinis.
"Menjelang ajalnya, Liu Kiu-ji sempat mengucapkan
separah kata kepadaku. Dia menyebut kata "kong," tapi 'kong'
apa" Mula-mula aku kebingungan. Tapi ketika selesai
memeriksa tanda yang ada di lengan kawanan pembunuh
berkerudung itu, aku segera teringat satu hal. Yang dimaksud
dengan kata "kong" pastilah "kong-cha" si petugas opas.
Dalam pertempuran sengit itu, Liu Kiu-ji pasti melihat
munculnya kawanan opas, sehingga dia tidak waspada. Itulah
sebabnya serangan kalian dapat mencapai keberhasilan secara
mudah." "Padahal rencanaku sudah akurat dan hebat. Kalau dibilang
ada satu dua kekeliruan yang menyebabkan kejadian seperti
ini, ya, apa lagi yang bisa kukatakan?"
Darah dingin tertawa dingin.
"Itulah yang orang katakan, 'Jaring langit itu tiada tara!
Siapa yang melakukan kejahatan tak akan lolos dari
hukuman!'. Tak ada rencana yang sempurna di dunia ini,
apalagi keteledoran yang kau lakukan bukan hanya satu."
"Bukan hanya satu?"
"Semenjak kau, Ceng Ci-tong atau Ko San-cing memancing
Kui Keng-ciu agar meninggalkan barisan, sudah timbul
perasaan heran di hati kecilku. Kalau dibilang Kui-ngohiap
yang berangasan dan tak sabaran mengejar musuh tanpa
memikirkan hal yang lain, itu masih masuk akal. Tetapi kenapa
si Dewa opas yang banyak pengalaman bukannya berusaha
mengamankan keselamatan jiwa saksi, sebaliknya malah ikut
mengejar musuh hingga akibatnya A-hok terbunuh" Apa
76 kejadian ini tidak aneh" Tidak mencurigakan" Ya ... tentu saja
A-hok bersembunyi di dalam gudang kayu bakar dan tak
berani bertemu dengan Kim-hujin, semua lantaran dia telah
melihat kaulah yang telah membunuh Kim-samhiap. Sedang
kau selama itu selalu berada di samping Kim-hujin, tak heran
kalau A-hok tak berani melaporkan kejadian ini kepada Lengtayhiap.
Ketika Kui-ngohiap berpisah dengan rombongan, kau
segera menggunakan kesempatan ini untuk membunuhnya,
kemudian berlagak terluka dan balik ke gudang kayu bakar.
Kau kira dengan berbuat begitu maka semua orang bisa kau
kelabui ...?"
Liu Ce-in tertawa dingin, selanya "Hmmm, tapi kenyataan,
bukankah Lerrg Giok-siu, Buyung Sui-in dan Sim Ciok-kut
berhasil kukelabui habis-habisan?"
"Berapa lama kau sanggup mengelabui mereka?" jengek si
Darah dingin sambil tertawa dingin. "Aku pernah memeriksa
senjata gurdi milik Ceng Ci-tong, lalu membayangkan luka di
tubuh Liu Kiu-ji. Hatiku seketika curiga. Aku tahu tanpa bukti
memang sulit membikin orang percaya. Maka aku pun
mengusulkan untuk pergi bersama Buyung-jihiap. Tapi sayang
kalian telah menutupi pandangan mataku dengan memakai
kereta kuda, kemudian menitahkan Ceng Ci-tong dan Ko Sancing
untuk membunuhnya. Bila tak ada yang membocorkan
rahasia ini keluar, mana mungkin kalian bisa menyiapkan
pasukan untuk melakukan penyergapan?"
"Tapi Ko San-cing toh tidak ikut serta bersama kalian?"
jengek Liu Ce-in sambil tertawa dingin.
"Setelah memeriksa luka Buyung-jihiap yang berada di
dada dan punggungnya, aku semakin menaruh curiga. Waktu
itu Ko San-cing memang tidak ikut. Lalu siapakah pembunuh
satunya lagi" Kemudian aku baru tahu, rupanya ketika kau
mengusulkan agar Ko San-cing pergi membeli bahan obat
untuk menyaru muka, sesungguhnya kau bermaksud
mengirimnya agar turut membantu dalam pembunuhan
berencana itu. Buyung-jihiap memang orang pintar, tapi siapa
sih yang menduga kalau rekan seperjalanannya malah justru
77 melancarkan serangan bokongan kepadanya" Apalagi waktu
itu dia sedang bertempur melawan belasan orang jago. Mana
mungkin ia bisa menjaga diri dari bokongan licik itu" Waktu itu
... sebenarnya dia ingin memberitahu kepadaku siapa yang
telah membunuhnya. Tapi Ceng Ci-tong yang merasa gelagat
tidak menguntungkan segera mengirim beberapa orang
pasukan untuk mengancam aku, hingga akhirnya Buyungjihiap
tewas sebelum sempat memberitahukan rahasia itu."
"Tetapi sayang kalian sudah melakukan kesalahan. Mana
mungkin si gurdi besi Ceng Ci-tong yang begitu tangguh ilmu
silatnya, ternyata tak mampu membereskan kepungan
beberapa orang cecunguk" Ceng Ci-tong mengaku telah
berhasil membunuh beberapa orang penjahat berkerudung.
Tapi setelah aku menanyakan hal ini kepada Leng-tayhiap,
kemudian sempat juga memeriksa beberapa mayat dengan
seksama, dapat kusimpulkan bahwa orang-orang itu tewas
lantaran kena sabetan pedang Jit-sian-chan, dan tak satu pun
yang tewas kena senjata gurdi. Kenapa Ceng Ci-tong harus
membohongi aku" Bukankah hal ini sudah amat jelas"
Sebelum tewas, Buyung-jihiap sempat mengatakan kalau
musuhnya kena sebuah tebasan goloknya. Yang terkena
sabetan golok itu bukan Ceng Ci-tong, tapi Ko San-cing. Itulah
sebabnya dia terpaksa harus menyamar sebagai seorang
pengemis yang timpang kakinya, karena luka bekas tebasan
golok itu justru berada di kakinya!"
Untuk sesaat Liu Ce-in tak sanggup mengucapkan separah
kata pun. Dia hanya bisa tertawa dingin tiada hentinya.
Kembali si Darah dingin berkata, "Tentu saja semua
analisaku hanya hasil tebakanku pribadi. Itulah sebabnya aku
butuh pembuktian. Aku pura-pura bilang mau berkunjung ke
gedung Bupati Lu, padahal aku pergi mencari berita,
menyelidiki sepak terjang kalian belakangan ini. Dan aku tahu
bahwa kau bersama Ceng Ci-tong dan Ko San-cing sering
berkumpul. Jurus serangan yang digunakan juga persis sama,
walaupun beda dalam pemakaian senjata. Belum pernah ada
orang yang sanggup menghadapi serangan kalian. Sementara
78 kawanan jago berkerudung itu adalah pasukan Jing-ping
pimpinan Ko San-cing, sudah lama mereka patuh pada
pelatihnya. Selain itu, ketika Liu Kiu-ji melakukan percobaan
pembunuhan, Ko San-cing maupun Ceng Ci-tong tak berada di
kantor pengadilan. Bahkan di tempat tinggalnya pun tak ada.
Semua itu merupakan bukti nyata. Maka aku segera balik
kemari. Semula aku ingin membicarakan hal ini dengan Lengtayhiap
dan Sim-sihiap. Tak disangka ternyata mereka sudah
jatuh ke tangan kalian."
"Bagus, bagus sekali!" seru Liu Ce-in penuh kebencian.
"Masih ada satu hal lagi yang aku tak mengerti."
"Soal apa?"
"Biarpun kau cerdas dan lihai, darimana kau tahu kapan
dan dengan cara apa Ceng Ci-tong dan Ko San-cing akan
menghadapimu" Semisal kau belum tahu, kenapa bisa lolos
dari kerja-sama mereka yang begitu rapi dan hebat?"
"Karena mengira aku tak pernah mencurigai mereka.
Padahal sudah sejak awal aku mencurigai mereka berdua.
Memang ketelitian merupakan kunci utama. Begitu tiba di
gedung keluarga Kim, aku segera menjumpai adanya ceceran
darah di batang pohon waru. Alas sepatu milik Ko San-cing
juga penuh noda darah. Sejak itulah aku sudah tahu, kalau
bukan Leng-tayhiap yang mati duluan, sudah pasti Simtayhiap
yang dibantai duluan. Atau mungkin juga mereka
berdua sudah terjebak berbareng. Aku pun lantas berpikir, bila
aku muncul waktu itu, kalian pasti kuatir aku mengetahui
rahasia ini. Berarti pasti kalian akan berusaha untuk
membunuhku. Maka aku pun mulai membuat perhitungan.
Aku percaya Ko San-cing dan Ceng Ci-tong tentu akan
menyerang secara bersama-sama. Apalagi berdasarkan letak
luka di tubuh Buyung-jihiap yang menyebabkan kematiannya,
aku pun menduga arah sasaran mana yang mungkin akan
diserang mereka berdua. Maka aku berusaha untuk
membunuh Ko San-cing duluan. Tinggal Ceng Ci-tong seorang
yang akhirnya pasti tak bisa menahan diri, dan jalan
kematianlah yang akan dia peroleh."
79 "Saudara Leng!" Liu Ce-in memanggil setelah terbatukbatuk.
"Ya, ada apa?" jawab si Darah dingin dengan kaku tanpa
perubahan mimik muka.
"Sudah bertahun-tahun kita bersahabat. Kita pun samasama
hidup sebagai seorang opas. Bagaimana bila saudara
Leng memberi kesempatan kepadaku dengan membiarkan aku
membawa pergi Leng-tayhiap" Tentang kematian Jisute dan
Samsute, aku tak ingin memperpanjang masalah. Kita sudahi
sampai di sini saja, asal Leng-heng mau mengabulkan
permintaanku ini."
"Dengan Leng-tayhiap kau telah bersahabat berapa lama?"
"Tiga tahun lebih," sahut Liu Ce-in setelah termenung
sejenak. "Hmmm, sudah bersahabat selama tiga tahun pun masih
tega melakukan pembunuhan. Bila aku lepaskan dirimu hari
ini, siapa tahu lain waktu justru kau yang akan
membunuhku?"
"Lalu apa yang hendak saudara Leng lakukan terhadap
diriku?" "Hanya ada satu jalan."
"Jalan apa?"
"Berjalanlah dari sini langsung ke pintu pengadilan. Aku
akan mengawalmu agar kau tidak tersesat!"
"Maaf, aku tak bisa berbuat begitu."
"Hanya sebuah jalan itu yang kusediakan. Kalau tidak, aku
akan berusaha untuk membekukmu."
"Kau sanggup membekukku?" jengek Liu Ce-in sambil
tertawa dingin. "Kenapa belum turun tangan juga?"
"Aku telah turun tangan. Masa kau tidak tahu kalau aku
sudah turun tangan?"
"Oh ya?" sekujur badan Liu Ce-in gemetar keras.
"Aku telah mengetahui identitasmu. Sudah kubongkar
rahasiamu. Aku pun telah menunding kau sebagai
pembunuhnya. Malah kedua orang pembantumu telah
kubantai. Sejak awal aku sudah di atas angin. Hawa
80 membunuhku jauh melebihi dirimu. Kini wibawamu sudah
kuhancurkan. Apalagi yang bisa kau andalkan untuk bertarung
melawanku" Semangat mana yang kau miliki lagi" Seharusnya
sejak awal kau tak usah mendengarkan perkataanku ini."
"Benar," Liu Ce-in menghela napas panjang.
"Kalau sudah tahu tak bakalan lolos, kenapa tidak
menyerah saja?"
"Kalau toh aku tak bakal lolos, kenapa kau tidak segera
membekukku?" tiba-tiba Liu Ce-in balas bertanya.
"Membekuk kau?" Darah dingin tertawa dingin.
"Benar!" jengek Liu Ce-in sambil tertawa dingin pula.
"Caramu ini hanya bisa menggertak para pencoleng dan
bandit kecil saja. Jangan lupa, aku pun seorang opas. Bahkan
aku pun sudah turun tangan. Masa kau tidak tahu?"
"Kau sudah turun tangan" Yang mana?"
"Selama ini kau mengandalkan kecepatan gerak untuk
merobohkan lawan. Tapi sayang kini punggung dan bahumu
sudah terluka. Jelas luka ini akan mempengaruhi kecepatan
gerak serangan pedangmu. Kau pun sudah sibuk seharian
penuh, sudah bertarung dua babak. Sebaliknya aku masih
segar bugar. Aku belum bertarung, tidak sibuk, juga tidak
terluka. Ketika kau berhasil membunuh dua orang tadi, hawa
membunuhmu sudah surut. Sebaliknya hawa membunuhku
belum lagi dimulai. Bicara soal hawa membunuh, kau tak akan
mampu menandingi aku. Sekarang di sisimu bertambah pula
dengan sebuah beban, Leng Giok-siu yang tidak mampu


Pertemuan Di Kotaraja Seri 4 Opas Karya Wen Rui An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bergerak. Serangan yang kulancarkan bisa saja kutujukan
kepadamu, tapi bisa juga kutujukan ke arah Leng Giok-siu.
Sebaliknya aku tak punya beban apa-apa. Aku tak perlu
menjaga keselamatan orang lain. Jadi bicara soal kondisi,
kondisiku jauh melebihi dirimu. Kenapa aku mesti kabur"
Dengan kondisi seperti ini akulah yang justru punya peluang
untuk membunuhmu! Kenapa aku yang mesti menyerahkan
diri?" 81 Peluh mulai bercucuran membasahi jidat si Darah dingin. Ia
menjengek sinis sambil tertawa dingin, "Kau tak bakal mampu
membunuhku!"
"Mungkin aku memang tak sanggup membunuhmu. Tapi
sayang, tidak seharusnya kau menanyakan persoalan tadi.
Sekarang kau mulai panik, mulai gugup, mulai tak percaya
diri" "Kenapa tidak segera kau buktikan sendiri?"
Tiba-tiba suasana jadi hening. Kedua orang itu sama-sama
bungkam, sama-sama berusaha menenangkan diri.
Suasana di dalam ruangan pun jadi beku, jadi dingin dan
menggidikkan. Pertempuran sengit segera akan berlangsung. Dalam
keadaan seperti ini, banyak bicara memang tak ada gunanya.
Dalam hati kecilnya, si Darah dingin sadar, dengan
kemampuan silat yang dimiliki Liu Ce-in, bukan pekerjaan
gampang baginya untuk memenangkan pertarungan ini.
Sebaliknya pihak lawan pun tidak mudah merobohkan dirinya.
Hanya saja jurus serangan yang mereka andalkan merupakan
serangan mematikan. Bila terjadi bentrok terbuka, bisa
dipastikan salah satu di antara mereka bakal tewas.
Jalan pikiran Liu Ce-in pun persis sama seperti apa yang
dibayangkan si Darah dingin. Itulah sebabnya dia berusaha
untuk merontokkan mental lawan. Asal musuh dapat dibuat
takut, ragu atau keder, dia baru punya kesempatan untuk
meraih kemenangan.
Dengan sorot mata tajam si Darah dingin mengawasi
gagang huncwe di tangan Liu Ce-in. Sebaliknya, dengan
pandangan tak berkedip Liu Ce-in juga mengawasi ujung
pedang si Darah dingin...
Suasana amat hening ... sepi... tapi sangat menegangkan!
Mendadak terdengar dua kali bentakan gusar bergema
memecahkan keheningan. Dua bentakan keras yang berasal
dari Liu Ce-in serta si Darah dingin, disusul kemudian mereka
berdua saling menerkam dengan kecepatan luar biasa.
82 Apakah ujung pedang si Darah dingin yang bakal menusuk
tubuh Liu Ce-in" Ataukah gagang huncwe Liu Ce-in yang akan
menyodok badan si Darah dingin"
Ketika gagang huncwe akan saling membentur dengan
pedang lawan, tiba-tiba dari balik huncwe meluncur keluar
belasan titik cahaya bintang berapi yang amat menyilaukan
mata. Ternyata di balik huncwe itu tersembunyi senjata
rahasia yang sangat mematikan.
Tembakau yang dia isap di huncwenya, begitu dibakar akan
berubah jadi letupan api kecil. Benda-benda itulah yang
dijadikan senjata rahasia andalannya, karena setiap saat dapat
dilancarkan. Percikan bunga api langsung menyebar ke angkasa dan
mengurung seluruh tubuh si Darah dingin.
Dalam posisi seperti ini, sulit bagi si Darah dingin buat
menghindarkan diri. Maka secara beruntun dia melancarkan
serangan pedang yang dahsyat, cepat dan tepat. Ujung
pedangnya langsung menyongsong datangnya percikan bunga
api itu. Berhasil merebut posisi di atas angin, Liu Ce-in tidak
berdiam diri. Kembali huncwenya digetarkan, lalu secepat
sambaran petir mengancam dada musuh.
Pada saat itulah kembali terdengar seseorang meraung
keras. Berbareng dengan bangku yang didudukinya, Leng
Giok-siu yang berada di belakang si Darah dingin tahu-tahu
sudah melompat di atas kepalanya, menumbuk ke tubuh Liu
Ce-in. Serangan itu ibarat bukit Thay-san yang menindih di atas
kepala, kekuatannya sangat luar biasa.
Bukan cuma begitu, berbarengan dengan tumbukan itu,
Leng Giok-siu melolos pula pedang mestikanya dari dalam
gagang sapu yang dibawanya.
"Cringgg ...!" cahaya pelangi berwarna emas menggelegar
di udara. Bagaikan bianglala yang panjang, senjata itu
langsung mengancam tubuh Liu Ce-in.
83 "Ilmu pedang Tiang-khong-sip-ci-kiam (ilmu pedang salib
penembus langit)!"
Obat pemabuk hanya mampu membuat lemas Leng Gioksiu
selama satu jam. Kini pengaruh dupa pemabuk sudah
hilang. Di saat Liu Ce-in sedang berbincang dengan si Darah
dingin tadi, secara diam-diam Leng Giok-siu telah menyalurkan
hawa murninya untuk memulihkan kembali kekuatannya.
Liu Ce-in membentak gusar, gagang huncwenya
digetarkan, kemudian balas menyodok ke atas.
Gerakan bianglala emas itu cepat, tapi gagang huncwe jauh
lebih cepat lagi. Tahu-tahu senjata itu sudah menerobos
masuk ke balik cahaya pelangi dan membuat pengaruh
serangan pedang itu hilang, lenyap seketika.
"Buuuk ...!" gagang huncwe Liu Ce-in menghajar telak dada
Leng Giok-siu. Pada saat itulah si Darah dingin telah berhasil mementalkan
serangan cahaya api yang mengancam tubuhnya. Sambil
memutar pinggang ia lancarkan sebuah tusukan kilat.
"Buuuk ...!" sekilas cahaya putih menyambar lewat melalui
sisi tubuh Leng Giok-siu dan langsung menerjang ke badan Liu
Ce-in. Tatkala gagang huncwe Liu Ce-in berhasil menyodok dada
Leng Giok-siu, serangan pedang Naga nomor wahid dunia
persilatan ini segera tertahan sehingga tak sanggup
dilanjutkan lagi. Namun Leng Giok-siu tak mau menyerah
begitu saja. Badan bersama kursinya segera menindih di atas
tubuh lawan kuat-kuat.
Liu Ce-in menangkis dengan tangannya, lalu dia hajar kursi
itu hingga Leng Giok-siu bersama bangkunya mencelat ke
udara. Namun tindakannya ini membuat bangku itu menghalangi
pandangan Liu Ce-in atas sekeliling tempat itu.
Pada saat itulah cahaya putih menyambar datang dari
bawah menuju ke atas dan langsung menusuk tenggorokan si
Dewa opas. 84 "Cresss ...!" ujung pedang menembus tenggorokan Liu Cein.
Huncwenya yang belepotan darah itu segera terjatuh ke
tanah. "Duuuk...!"
Dalam waktu bersamaan, Leng Giok-siu beserta bangkunya
terjatuh pula berapa depa dari posisinya.
Darah dingin tidak bergerak, ujung pedangnya masih
menancap di tenggorokan Liu Ce-in. Pedang yang putih dan
berkilauan itu satu inci demi satu inci sedang dicabut keluar.
Sama sekali tiada noda darah.
Liu Ce-in juga tidak bergerak, terlebih Leng Giok-siu. Dia
sama sekali tak mampu bergerak.
Liu Ce-in sedang mengawasi si Darah dingin tanpa
berkedip, seakan tak percaya pedang itu dapat menembus
tenggorokannya.
Mendadak si Darah dingin mencabut pedangnya dengan
satu gerakan cepat. Bersamaan dengan tercabutnya senjata
itu, darah segera menyembur keluar dari tenggorokan Liu Cein.
Dengan penuh kesakitan Liu Ce-in memegangi tenggorokan
sendiri yang terluka parah. Suara gemerutuk aneh memancar
keluar dari balik mulutnya, tapi dia masih berusaha meronta,
melototi si Darah dingin sambil berseru, "Bagus ... bagus ...
empat opas yang menggetarkan kolong langit. Darah dingin ...
aku berangkat duluan
Tubuh Liu Ce-in roboh terkapar di atas genangan darah,
selamanya dia tak sempat lagi untuk menyelesaikan
ucapannya. Si Darah dingin berdiri tertegun. Sampai lama baru ia ber-'
jalan menghampiri Leng Giok-siu.
Waktu itu si Naga nomor satu dunia persilatan tergeletak di
tanah dengan wajah pucat-pias, genangan darah segar
membasahi pakaian di dadanya.
Ketika mengetahui si Darah dingin sedang memayangnya
untuk duduk, Leng Giok-siu mencoba untuk tersenyum.
Bisiknya, "Te ... teri ... terima ... ka ... kasih
85 Segera Darah dingin menyalurkan hawa murninya ke dalam
tubuh Leng Giok-siu. Hiburnya kemudian, "Saudara Leng,
cobalah untuk bertahan, kau pasti selamat, akan kupanggilkan
tabib untuk mengobati lukamu ...."
"Tidak u ... usah Leng Giok-siu tertawa pedih, "kau ... kau
cukup be ... beritahu padaku, apa ... apakah Sim-site juga ...
juga telah dicelakai me ... mereka?"
Dengan sedih si Darah dingin tertunduk, dia membungkam
diri. Dengan mata berkaca-kaca Leng Giok-siu berbisik, "A ...
aku ... aku suu ... sudah tahu ... terima ... terima kasih ... kau
telah ... telah membalaskan den ... dendam sakit hati ka ...
kami lima bersaudara .. Kini mere ... mereka suu ... sudah
mati semua ... biar aku ... aku hidup juga tak ... tak ada
artinya ... saudara Leng ... aku mohon sa ... satu hal kepa ...
damu "Apa" Cepat katakan!"
"Ce ... cepat am ... ambilkan ka ... kain i ... itu pinta Leng
Giok-siu dengan napas tersengal.
Dengan sebuah gerakan cepat si Darah dingin merobek
kain kuning yang ada dalam ruangan itu. Leng Giok-siu segera
meronta bangun, lalu dengan tangan yang penuh belepotan
darah, ia mulai menulis di kain itu. Sambil menulis ia berkata
dengan gemetar, " ... Aku ... mungkin aku tak ... tak mampu
menghadap ke ... ke pengadilan lagi ... akan ... akan kutulis
suu ... surat berdarah ini ... akan kubeberkan ... se ... semua
do ... dosa yang te ... telah dilakukan Liu Ce-in ber ... bertii...
tiga Dengan mengerahkan segenap sisa kekuatan yang
dimilikinya, Leng Giok-siu menyelesaikan tulisan darahnya.
Ketika selesai menulis, akhirnya dia roboh terkapar dengan
lemas. Ketika si Darah dingin menerima surat berdarah itu, dengan
sorot mata sayu Leng Giok-siu memandang sekejap ke
arahnya, kemudian dengan senyum di kulum ia berkata, " ...
86 Liu ... Ce-in bilang ... kau ... kau adalah pem ... pembunuhnya
... tapi aku ... aku tak percaya ... aku tak ... tak bakal percaya
"Aku tahu, aku tahu dengan mata berkaca si Darah dingin
mengangguk berulang kali.
Ketika ia mengucapkan "aku tahu," Leng Giok-siu pun
tersenyum sambil memejamkan mata, memejamkan mata
untuk selama-lamanya ....
Begitulah nasib Lima naga sakti dunia persilatan, mereka
terbunuh semua di tangan ketiga ahli waris si Iblis pedang
darah terbang. Tapi ahli waris si Iblis pedang yaitu Liu Ce-in, Ceng Ci-tong
serta Ko San-cing harus mengorbankan pula nyawa mereka
untuk menyelesaikan tugas itu.
Orang bilang: 'Tak seorang pun yang bisa lolos dari Hukum
Langit.... Tapi masalahnya, sampai kapan orang itu tahu tidak bisa
lolos" Dalam hati kecilnya, Darah dingin berusaha mengulang
kembali kata-kata terakhir Leng Giok-siu menjelang ajal.
" ... Dia bilang kau ... kau adalah pem ... pembunuhnya ...
tapi aku ... aku tak percaya ... aku tak ... tak bakal percaya ..."
Akhirnya butiran air mata jatuh bercucuran membasahi
pipinya. Tapi bagaimana pula dengan air mata di dalam hati
kecilnya" 0o3o0 Bab II. Tangan Berdarah
4. Memasuki alam baka.
Cahaya rembulan sangat redup, remang-remang dan terasa
agak gelap. 87 Dari balik cahaya yang redup bagai berada dalam alarri
baka itu tiba-tiba terdengar tangisan seorang wanita.
Suaranya lirih, sedih dan memilukan hati.
"... cahaya rembulan mulai redup, malam semakin kelam ...
Dalam alam baka yang gelap, tiada cahaya sang surya, tiada
sinar rembulan ... Hanya roh-roh halus yang gentayangan
Suara itu muncul dari balik sebuah bangunan, mengalun di
atas sungai kecil, menyelinap ke balik hutan lebat dan
menggema tiada hentinya.
Di tengah hutan itu terdapat sebuah api unggun dengan api
yang berkobar besar. Di sekeliling api unggun duduk tiga
orang, tiga orang lelaki bercambang berwajah menyeramkan.
Tiga ekor kuda dibiarkan lepas di tepi pepohonan sambil
mengebaskan ekornya seakan sedang mengebas lalat-lalat
yang terbang mengelilingi tubuhnya.
Dari ketiga orang lelaki kekar itu, seorang sedang
memanggang daging di atas api unggun itu. Bila dilihat busur
serta anak panah yang tergantung di punggungnya, jelas
daging yang sedang mereka panggang adalah hasil
buruannya. Orang kedua sedang menikmati' sekerat daging
yang telah matang dengan penuh kenikmatan, sementara
orang ketiga hanya menggendong tangan sambil berbaring
menengadah ke langit seakan ada yang sedang dipikirkan.
Langit dan bumi serasa bungkam. Selain kobaran api
unggun, hanya suara alunan sedih yang membelah angkasa.
Lelaki kekar yang sedang menikmati daging panggang itu
mulai berkerut kening, dan akhirnya sambil meludah ia
mengumpat penuh kegusaran, "Maknya, sialan! Tengah
malam buta begini masih saja meringkik macam tangisan
setan. Kalau sampai tertangkap, hmmm, pasti akan ku tiduri
sepuasnya

Pertemuan Di Kotaraja Seri 4 Opas Karya Wen Rui An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lelaki yang sedang memanggang daging segera menimpali,
"Yang aneh justru terletak pada tangisan serta orangnya.
Tangisan terdengar jelas, kenapa orangnya tak nampak" Tadi
aku sempat mengelilingi hutan ini sampai tujuh delapan kali.
Jangan kan orangnya, bayangan setan pun tidak nampak,
88 padahal suara tangisannya masih jelas terdengar. Aneh ...
benar-benar aneh!"
Mendadak ... "plaaak!" dia menampar wajah sendiri.
"Losam!" teriak lelaki yang sedang makan daging itu kaget.
"Kenapa kau menampar dirimu sendiri" Sudah lama tak
pernah dibelai, apa sekarang badanmu mulai gatal-gatal?"
"Maknya!" umpat lelaki yang memanggang daging sambil
tertawa. "Aku sedang menggampar lalat. Sialan benar ... masa
dalam wilayah tujuh delapan puluh li di sekitar sini terdapat
begitu banyak lalat?"
Lelaki yang sedang makan daging panggang itu termenung
beberapa saat dengan mulut membungkam. Mendadak
ujarnya lagi, "Hei Loji, kenapa kau bungkam melulu malam
ini" Kentut sedikit atau gimana
"Aku sedang memikirkan sesuatu kata lelaki yang berbaring
itu. "Ide sialan apa lagi yang sedang kau pikirkan" Coba lihat
tampangmu, senang tidak, murung juga tidak
"Toako, malam ini kita perlu melakukan jual beli atau
tidak?" tanya lelaki yang berbaring itu sambil melompat
bangun. "Jual beli apa lagi?" sahut lelaki yang makan daging itu
agak tertegun. "Dalam radius tujuh delapan puluh li, jangan
kan orang punya duit, mau mencari sekor kerbau saja
susahnya bukan main. Jual beli apa yang bisa kita lakukan?"
Ternyata ketiga orang lelaki kekar itu adalah Soat-say-samok
(tiga manusia bengis dari Soat-say). Mereka tersohor
sebagai perampok ulung di wilayah itu. Lotoa adalah Kay-sanhu
(si kapak pembuka bukit) Pao Liong, Loji ialah Cui-kong-ki
(siasat bandit) Pao Coa dan Losam Juan-in-ciam (panah
penembus awan) Pao Hau.
Ilmu silat ketiga orang itu sangat tangguh. Sudah banyak
jago silat dunia persilatan, para piausu maupun pengawal
kera-jaan yang tewas oleh siasat busuk Pao Coa, panah gelap
Pao Hau serta kapak besi Pao Liong.
89 Terdengar Pao Coa berkata, "Toako, pernahkah kau
mendengar orang bercerita tentang Perkampungan Hantu
yang ada di sekitar sini?"
"Ya, pernah kudengar tentang Perkampungan Hantu itu,"
sela Pao Hau cepat. "Konon pemilik perkampungan itu kaya
raya, dia paling suka mengumpulkan intan permata dan mutu
manikam. Konon Toako Kiu-cu-leng-lian-huan pernah
menderita kerugian besar di tangannya. Orang menyebutnya
Siang-kiang-te-it-jin (manusia nomor wahid di Siang-kiang).
Memangnya, dengan kekuatan kita bertiga, kita berani
mengincar kekayaan perkampungan Yu-leng-san-ceng?"
"Toako, Perkampungan Hantu sekarang sudah berganti
nama jadi Perkampungan Alam Baka," sela Pao Coa tiba-tiba
sambil tertawa.
"Kenapa bisa jadi begitu?" tanya Pao Liong keheranan.
"Konon Perkampungan Hantu sudah tertimpa musibah yang
sangat mengerikan. Semua penghuninya tewas terbantai, tak
seorang pun berhasil lolos dalam keadaan hidup. Siapa yang
telah melakukan pembantaian berdarah itu" Tak seorang pun
yang tahu. Konon semua mayat yang ditemukan dalam
perkampungan itu tewas dengan cara yang menyeramkan.
Semuanya mati dengan mata mendelik dan gigi meringis.
Bukan saja darah mereka seakan sudah diisap orang, kondisi
mayat pun hancur tak keruan. Itulah sebabnya orang
mengatakan bahwa Perkampungan Hantu sudah jadi tempat
tinggal roh-roh gentayangan. Maka kini orang menyebutnya
Perkampungan Alam Baka!"
Tiba-tiba suara tangisan perempuan itu berhenti secara
mendadak. Kini yang terdengar hanya deru angin malam yang
menggoncangkan api unggun. Suasana amat hening dan
menggidikkan hati.
Dengan badan merinding karena seram, Pao Hau berbisik,
"Jiko, kau jangan menakut-nakuti orang!"
"Siapa yang menakut-nakuti kau?" jawab Pao Coa sambil
tertawa. "Dari mereka yang menggotong keluar mayat-mayat
dari dalam Perkampungan Hantu, aku dengar barang mestika
90 yang ada di situ berantakan tak keruan. Barang berharga
berceceran dimana-mana tapi tak seorang pun berani
menjamah "Wah, kebetulan!" seru Pao Liong kegirangan. "Mumpung
perkampungan itu kosong tanpa penghuni, kenapa kita tidak
merampok saja harta kekayaan yang tercecer dalam
Perkampungan Hantu itu?"
"Toako jangan terburu napsu," segera Pao Coa
menggoyang tangan berulang kali. "Perkampungan Hantu
memang sedikit rada aneh. Dalam setahun belakangan ini
sudah banyak sekali saudara sealiran yang mencoba
mengorek rejeki di situ. Bahkan paling tidak ada dua puluhan
orang. Tapi anehnya, begitu memasuki perkampungan itu,
mereka seperti lenyap begitu saja. Sama sekali tak terdengar
kabar beritanya lagi. Konon beberapa buah batok kepala
mereka ada yang ditemukan di belakang bukit, ada juga yang
dadanya dibelah dan jantungnya dicomot keluar. Ada pula
yang di tenggorokannya terdapat bekas gigitan, tampaknya
mati kehabisan darah karena diisap seseorang
Ketika bicara sampai di situ, kebetulan ada angin dingin
berhembus lewat. Tak kuasa lagi dia bersin beberapa kali. Pao
Liong segera tertawa dingin.
"Jite, sejak kapan kau percaya takhayul" Mau setan mau
manusia, yang penting setan pemilik perkampungan telah
mampus. Hmmm! Semisal benar-benar ada setannya, biar
kawanan setan itu mencicipi ketajaman kapakku!" Pao Coa
tertawa. "Toako hebat dan bernyali besar, tentu saja tidak takut
menghadapi segala setan iblis. Apalagi orang-orang yang
selama ini memasuki Perkampungan Hantu memang terdiri
dari kawanan pencoleng kere, atau kaum bandit yang
menahan tiga bacokan kapak Toako pun tak sanggup. Bila kita
tiga bersaudara turun tangan sendiri, tentu beda sekali
keadaannya. Cuma ... biarpun begitu kita tetap mesti
waspada, karena keanehan dalam perkampungan itu memang
menakutkan. Mungkin saja kawanan bandit yang lenyap dalam
91 perkampungan itu dimakan serigala atau diterkam harimau.
Tapi ada yang lebih aneh lagi. Konon kawanan manusia yang
pernah menggotong keluar tumpukan jenazah dari dalam
Perkampungan Hantu itu, dalam waktu sebulan telah tewas
semua dalam keadaan yang sangat aneh. justru karena
banyaknya orang yang tewas secara misterius, Perkampungan
Hantu berubah menjadi Perkampungan Setan Gentayangan.
Bahkan penduduk yang tinggal di sekitar situ pun berbondongbondong
pindah rumah ... jadi..."
"Kalau memang begitu, lebih baik kita tak usah merecoki
Perkampungan Hantu," usul Pao Hau dengan nada gemetar.
"Losam" teriak Pao Liong gusar. "Masa kau akan menyianyiakan
intan permata yang berserakan di depan mata"
Jangan bikin malu kita semua!"
"Toako tak usah gusar," lekas Pao Coa menghibur. "Semisal
aku tak berani menyatroni tempat itu, tak nanti akan kubeberkan
semua hal yang kuketahui tentang perkampungan
itu di hadapanmu. Cuma, alangkah baiknya jika kita
melangkah lebih hati-hati!"
"Hahaha ... Nah, begitu baru Jiteku yang hebat!" Pao Liong
tertawa tergelak. "Biarpun pemilik Perkampungan Hantu, Sik
Yu-beng, belum mampus, akan kusuruh dia mencicipi
beberapa bacokan kapakku. Cari kemenangan mungkin sulit,
tapi untuk kabur rasanya tidak susah. Losam, kau ikut tidak?"
"Bila kalian berdua tetap mau berangkat, mana aku berani
membangkang?" sahut Pao Hau dengan wajah kecut.
"Hmmm, aku tahu kau tak bakalan menolak! Aaah, betul,
Loji. Dimana letak perkampungan itu?"
"Dekat sekali. Itu! Dekat hutan sebelah sana," kata Pao Coa
sambil menunding ke arah di hadapannya.
"Bagus sekali!" seru Pao Liong sambil mengobat-abitkan
kapaknya. "Malam ini aku akan membacok setan! Wes, wes,
wes, satu bacokan satu setan! Hahaha ... ayo kita segera
berangkat!"
92 Tiga orang dengan tiga ekor kuda segera bergerak cepat
bagai terbang. Tak selang berapa saat kemudian, mereka
sudah tiba di luar hutan.
Dari balik rimbunnya pepohonan, tampak sebuah bangunan
yang besar berdiri di balik kegelapan. Soat-say-sam-ok segera
saling bertukar pandang. Kemudian sambil mencemplak kuda
tunggangannya, mereka meneruskan perjalanan ke dalam
hutan belantara.
Tak selang berapa saat kemudian, tibalah mereka di depan
sebuah gedung yang amat besar dan luas. Sayang gedung ini
sudah lama terbengkalai sehingga mendatangkan suasana
yang menyeramkan.
Mendadak suara nyanyian diiringi isak tangis itu terdengar
kembali, bergema membelah keheningan malam.
"... cahaya rembulan mulai redup, malam semakin kelam ...
Di alam baka yang gelap, tiada cahaya sang surya, tiada sinar
rembulan ... hanya roh-roh halus yang gentayangan
Pao Liong segera melompat turun dari kudanya sambil
menghardik, "Bising amat suara tangisan itu! Ayo, kita segera
masuk ke dalam!"
Waktu itu bulu kuduk Pao Hau sudah berdiri. Nyanyian
diiringi isak tangis perempuan itu benar-benar membuat
hatinya bergidik. Bisiknya agak gemetar, "Toako ... kau ... kau
benar-benar mau masuk ke situ?"
"Begini saja," tiba-tiba Pao Coa menyela. "Toako, biar
Samte tetap tinggal di sini menjaga kuda kita. Tidak lucu kalau
kuda kita dicuri orang sementara kita masuk ke dalam
perkampungan. Apalagi kita memang butuh kuda tunggangan
untuk mengangkut intan permata dan emas berlian yang
berpeti-peti banyaknya itu. Samte, jika aku dan Toako tak
pernah muncul lagi dari sini, kau segera kabur sejauh-jauhnya
dan selama hidup tak usah datang kemari lagi. Sebab bila aku
dan Toako pun tak sanggup menghadapi orang tersebut, biar
kau ikut pergi juga paling hanya mengantar nyawa!"
93 Pao Hau memang berharap tak usah ikut masuk ke dalam
gedung yang tampak sepi tapi amat menyeramkan itu. Segera
sahutnya, "Baik, aku akan menanti Toako dan Jiko di sini!"
"Lebih baik tingkatkan kewaspadaanmu!" pesan Pao Liong
sambil tertawa dingin, lalu setelah menengok sekejap ke arah
Pao Coa, dia mulai merambat naik ke atas tembok
pekarangan. Dinding pekarangan di sekeliling Perkampungan Hantu
memang cukup tinggi, bahkan mencapai beberapa kaki. Selain
tinggi juga sangat kokoh. Meskipun Soat-say-sam-ok memiliki
ilmu meringankan tubuh yang hebat, sulit bagi mereka untuk
melewatinya hanya dalam sekali lompatan.
Setibanya di atas tembok pekarangan, Pao Liong dan Pao
Coa mengawasi sekejap sekeliling tempat itu. Kemudian
setelah memberi kode dan melompat turun, tak terdengar lagi
suara apapun. Pao Hau terpaksa menunggu dengan perasaan kebat-kebit.
Setiap kali angin dingin berhembus lewat yang membuat
dedaunan bergesek menimbulkan suara aneh, dia selalu
merasa bulu kuduknya berdiri. Beberapa kali dia seperti
merasa ada orang sedang meniupkan udara dingin di belakang
tengkuknya ....
Satu kentongan sudah lewat tanpa terasa, namun Pao
Liong dan Pao Coa belum kelihatan juga batang hidungnya.
Suasana di dalam halaman Perkampungan Hantu tetap
hening, sepi dan tak terdengar sedikit suara pun.
Berhubung dinding pekarangan sangat tinggi, Pao Hau tak
mampu melihat kejadian yang sebenarnya di dalam halaman
perkampungan itu.
Sambil memaksakan diri, kembali Pao Hau menunggu satu
kentongan lebih. Namun belum juga terdengar sedikit suara
pun. Seharusnya Pao Liong dan Pao coa sedang mengobrakabrik
seluruh isi perkampungan itu, selama dua kentongan,
sudah lebih dari cukup untuk merampok seluruh harta
kekayaan yang berada di situ. Seandainya Pao Liong dan Pao
94 Coa telah berjumpa dengan musuh tangguh, semestinya ada
suara kegaduhan ....
Pikir punya pikir, Pao Hau merasa gelagat semakin tak
beres. Bisikan Pao Coa yang menyuruh dia kabur duluan
kembali mendengung di telinganya. Tapi bagaimana pun dia
termasuk seorang lelaki yang setia kawan. Terbayang
bagaimana selama ini mereka bertiga selalu malang-melintang
bersama dalam dunia persilatan. Jika kedua saudaranya
benar-benar kena musibah, apa artinya dia melanjutkan hidup
seorang diri"
Setelah berpikir lagi, akhirnya sambil mengertak gigi dia
mencabut busur dan "Wesss!" anak panah dibidikkan ke ujung
tembok pekarangan. Pada ekor anak panah itu terikat seutas
tali yang panjang. Dengan berpegangan pada tali itu, Pao Hau
segera merangkak naik ke atas tembok pekarangan, kemudian
melompat turun di balik tembok halaman perkampungan itu.
Siapa tahu baru saja kakinya menginjak permukaan
halaman perkampungan, jeritan ngeri yang menyayat hati
segera berkumandang dari mulutnya. Jeritan sakit bercampur
perasaan takut yang luar biasa! Ketika jeritan itu sirap,
suasana pun kembali hening. Tak terdengar suara lagi.
Perkampungan Hantu seakan dicekam dalam suasana
hening yang luar biasa. Tak nampak ada manusia yang masuk
ke situ, tak ada pula yang keluar dari sana ....
Tak selang lama kemudian, dari belakang bukit sana
terdengar suara lolongan serigala yang panjang dan ramai....
Perkampungan Hantu atau Perkampungan Alam Baka,
tetap berdiri angker di balik kegelapan malam. Kecuali


Pertemuan Di Kotaraja Seri 4 Opas Karya Wen Rui An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bayangan yang terbias di permukaan tanah, tak terdengar
suara apapun. Sejak hari itu tak pernah ada orang yang berjumpa lagi
dengan Soat-say-sam-ok, tiga manusia buas dari Soat-say.
Tali yang tertinggal di dinding pekarangan serta anak
panah yang menancap di ujung tembok masih tertinggal untuk
selamanya di situ. Ketika diterpa hujan dan sinar matahari,
95 lambat laun lumut hijau mulai tumbuh dan menyilimuti seluruh
permukaan tali. Ujung anak panah pun berkarat.
Cahaya matahari di pagi hari yang cerah memancar masuk
melalui sela-sela daun dan ranting pohon yang rindang. Ketika
menyorot di atas tubuh, seketika mendatangkan perasaan
hangat yang amat segar dan nyaman.
Suasana dalam hutan sangat lembab, embun pagi
membasahi seluruh permukaan tanah, membasahi rerumputan
nan hijau, membasahi pula ranting dan dedaunan ....
Tiba-tiba terdengar suara derap kaki kuda berkumandang
datang. Suara lari kuda yang sangat cepat dan ramai, dalam
waktu singkat kuda-kuda itu sudah melewati hutan, keluar
dari balik pepohonan dan mendadak berhenti di sana.
Rombongan itu terdiri dari empat orang dengan empat ekor
kuda. Biarpun secara tiba-tiba mereka menghentikan lari sang
kuda, keempat ekor kuda itu tidak menjadi panik dan kaget.
Hal ini menunjukkan bahwa keempat penunggangnya memiliki
kemampuan yang hebat dan tenaga yang besar.
Begitu kuda berhenti, empat orang padri muda yang kekar
segera melompat turun dari atas pelana. Jubah mereka yang
lebar menderu-deru ketika tertimpa angin. Meski mereka
memiliki perawakan tubuh yang kekar dan besar, namun
sewaktu melompat turun dari kudanya, sama sekali tidak
menimbulkan sedikit suara pun.
Keempat orang padri itu berhenti persis di depan pintu
gerbang Perkampungan Hantu. Baru saja mereka memeriksa
sekeliling tempat itu, tiba-tiba dari balik hutan terdengar
seorang tertawa nyaring, disusul kemudian orang itu berseru
lantang, "Ternyata Liong, Hau, Pau dan Pa empat orang padri
sakti dari ruang Tat-mo-wan Siau-lim-si memang bukan nama
kosong belaka!"
Menyusul seruan lantang itu, tampak seorang kakek
berambut putih yang membawa sebuah tongkat berjalan
mendekat. Meski usia orang itu sudah tua, namun sepasang
matanya memancarkan sinar tajam. Tongkat dalam
genggamannya juga paling tidak berbobot empat lima puluh
96 kati. Namun dalam genggaman kakek itu nampak enteng
sekali. Di samping kakek berambut putih itu berdiri dua orang
lelaki. Yang seorang berusia empat lima puluhan tahun, beralis
panjang berjenggot hitam, wajahnya gagah dan lurus. Sedang
yang lain berusia dua puluhan tahun, berdandan bagai
sastrawan dan amat halus tindak-tanduknya.
Ketika melihat kemunculan kakek berambut putih itu,
serentak keempat orang padri itu merangkap tangannya di
depan dada memberi hormat.
"Omitohud. Siauceng sekalian datang agak terlambat.
Mohon Ang-sicu jangan marah."
Kakek berambut putih itu tertawa, sahutnya, /'Kali ini Lohu
yang mengundang para jago dari Siau-lim-pay dan Bu-tongpay
untuk memberikan bantuannya. Sudah barang tentu harus
datang duluan untuk melakukan penyambutan. Lohu sangat
berterima kasih karena kalian berempat mau menempuh
perjalanan jauh untuk datang membantu. Oh ya, benar
Kakek itu segera menuding ke arah lelaki setengah umur
itu sambil memperkenalkan, "Dia adalah Sip-coat-tui-hun-jiu
(Tangan Sakti Pengejar Sukma) Kok Ci-keng. Sedang yang itu
Siau-hi-tui-hun (Senyuman Pembetot Sukma) Yu-bun Siu, Yubun
Haksu. Lohu rasa kalian sudah saling bertemu bukan?"
Para padri Siau-lim-pay itu jarang terjun ke dalam dunia
persilatan. Tentu saja mereka belum pernah bersua dengan
kedua orang ini. Biarpun begitu, mereka pernah mendengar
jika di wilayah Holam terdapat seorang Siucay yang
menguasai ilmu bun maupun bu. Orang ini gemar sekali
mengumpulkan cerita dongeng rakyat yang kemudian
ditulisnya menjadi buku. Tampaknya orang yang dimaksud tak
lain adalah Haksu di hadapan mereka ini, si Senyuman
Pembetot Sukma Yu-bun Siu.
Sementara yang seorang lagi konon merupakan seorang
lagoan yang berwatak keras, bernama Kok Ci-keng dan
menguasai sepuluh macam ilmu silat. Muridnya ada sepuluh
orang, masing-masing mewarisi satu macam kepandaiannya.
97 Namanya amat tersohor di dunia persilatan dan sangat
dihormati orang.
Tahu kalau dua orang yang berada di hadapannya sangat
ternama, walaupun ke empat padri itu selalu memandang
tinggi diri sendiri, tak urung mereka memberi hormat juga
dalam-dalam. Dengan ketus Kok Ci-keng mengangguk, ujarnya, "Tujuan
kedatanganku berbeda dengan tujuan kalian. Aku datang ke
rumah setan ini karena ingin mencari ketiga orang murid
murtadku untuk dihukum mati. Jadi kita tak perlu saling
berkenalan atau berhubungan. Bila kalian enggan masuk, biar
aku masuk duluan!"
Sebaliknya Yu-bun Siu balas menjura dalam-dalam, setelah
itu baru katanya kepada Kok Ci-keng sambil tertawa,
"Perkataan saudara Kok keliru besar. Kau mesti tahu, dalam
Perkampungan Hantu secara beruntun telah terjadi beberapa
kasus pembunuhan yang sangat aneh. Dua puluh tiga orang
anggota keluarga Sik Yu-beng telah mati secara misterius,
disusul kemudian kematian yang tak jelas dari sekawanan
orang yang berkunjung ke perkampungan ini atau berniat
mencuri barang mestika di sini. Kebetulan Cayhe sedang
menulis buku 'Cong-hay-siu-pit-liok' dan membutuhkan banyak
bahan dan data. Ketika melihat ada begitu banyak orang yang
memasuki Perkampungan Hantu tertimpa bencana kematian
yang tak jelas, Cayhe pun tidak berani masuk ke
perkampungan itu secara sembarangan. Saudara Kok, jika kau
terburu napsu dan bertindak secara gegabah, apakah bukan
sangat berbahaya" Lebih baik kita menunggu sampai
kehadiran Bu-tong-sam-cu, kemudian kita masuk secara
beramai-ramai, sehingga bila bertemu musuh tangguh, kita
bisa menanggulanginya bersama-sama."
Watak Kok Ci-keng memang keras, kasar dan berangasan.
Dia mempunyai sepuluh orang murid, di antaranya murid
ketujuh, kedelapan dan kesembilan adalah tiga bersaudara
yang mempelajari ilmu kapak pembelah bukit, ruyung rantai
98 merah serta panah penembus awan.
Di luar tahu gurunya, secara diam-diam ketiga orang ini
banyak melakukan kejahatan sehingga merusak nama baik
Kok Ci-keng. Sebagai orang berwatak keras dan tegas tindak-tanduknya,
tentu saja Kok Ci-keng tak bisa membiarkan Soat-say-sam-ok
berbuat semena-mena di dunia persilatan. Maka dia pun
memerintah untuk menangkap dan membunuh mereka
bertiga. Siapa tahu berita penangkapan ini bocor. Soat-say-sam-ok
pun tergopoh-gopoh melarikan diri. Di sepanjang jalan mereka
banyak membunuh, merampok dan memperkosa perempuan
baik-baik. Dalam gusarnya, Kok Ci-keng dan ketujuh murid
lainnya memperketat pengejaran mereka. Akhirnya mereka
mendapat kabar ketiga murid murtadnya telah kabur ke
wilayah Siang-kiang.
Satu bulan berselang, ada orang melaporkan telah
menemukan sebatang anak panah dan seutas tali yang
tergantung di atas dinding pekarangan Perkampungan Hantu.
Kok Ci-keng tahu anak panah dan tali ini merupakan
pemberiannya, maka dia pun berangkat ke perkampungan itu
untuk mencari kabar. Seandainya Soat-say-sam-ok sudah
tewas, dia akan menyudahi persoalan sampai di situ. Tapi jika
masih hidup, maka dia akan membantai mereka dengan
tangannya sendiri.
Di perjalanan secara kebetulan ia berjumpa dengan Yu-bun
Siu. Ketika Haksu ini mendapat tahu kalau Perkampungan
Hantu ada setannya, dan ia tahu Kok Ci-keng hendak menuju
ke sana untuk menghukum mati murid-murid murtadnya,
maka Yu-bun Siu pun mengintil di belakang dan ingin
menyaksikan apa yang telah terjadi di situ.
Ketika tiba di pintu gerbang Perkampungan Hantu, mereka
berjumpa lagi dengan Thi-koay (si Tongkat Besi) Ang Su Sianseng.
Kakek berambut putih itu pun khusus datang untuk
menyambangi Perkampungan Hantu.
99 Ang Su Sianseng minta kepada Yu-bun Siu dan Kok Ci-keng
agar menanti kedatangan para jago Siau-lim-pay dan Bu-tongpay
terlebih dulu, sebelum bersama-sama menyatroni
perkampungan itu. Maka Yu-bun Siu pun menuruti permintaan
itu, sedang Kok Ci-keng, meski berangasan dan kasar, namun
takut Ang Su Sianseng kehilangan muka. Terpaksa dia pun
harus menyabarkan diri untuk menunggu.
Perlu diketahui, Thi-koay (si Tongkat Besi) Ang Su Sianseng
bukan saja sangat tangguh ilmu silatnya, dia pun seorang
yang jujur, setia kawan dan dikenal sebagai seorang pendekar
sejati. Sewaktu berada di Hoa-san, secara kebetulan ia pernah
berjumpa dengan para Ciangbunjin tujuh partai besar. Bahkan
dengan Congpiauthau dari perusahaan ekspedisi Hong-im
piau-kiok yang dikenal orang sebagai Bu-lim-te-it-jin (manusia
nomor satu dunia persilatan), Thian-he-te-it-to (golok nomor
wahid di kolong langit), Kiu-toa-kwan-to (sembilan golok
Kwan-to) Liong Pong-siau, ia punya hubungan persahabatan
yang sangat akrab. Karena itu semua jago kalangan Hek-to
maupun Pek-to selalu menaruh empat puluh persen rasa
hormat dan empat puluh persen rasa segan terhadap orang
tua ini. Adapun maksudnya mencegah Kok Ci-keng memasuki
Perkampungan Hantu seorang diri sebenarnya hanya
terdorong oleh niat baiknya saja. Bila pihak musuh benarbenar
mampu membantai pemilik Perkampungan Hantu Sik
Yu-beng sekeluarga, maka. bila Kok Ci-keng masuk ke
perkampungan itu seorang diri, jelas keselamatan jiwanya
akan sangat terancam.
Kali ini Ang Su Sianseng datang ke Perkampungan Hantu
terutama karena ia pernah bersahabat dengan Sik Yu-beng,
pemilik perkampungan itu. Ketika mengetahui nasibnya kini
menjadi tanda tanya besar, maka ia khusus datang untuk
melihat keadaan.
Tapi sebagai seorang jagoan yang selalu bertindak sangat
hati-hati, dia tak ingin berkunjung secara gegabah. Maka diunTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
100 danglah para jago tangguh Siau-lim-pay serta Bu-tong-pay
untuk bersama-sama melakukan penyelidikan.
Sembilan tahun berselang, ketika para Ciangbunjin dari
tujuh partai besar sedang berkumpul di puncak Hoa-san,
mereka telah minum air dari mata air yang beracun. Ketika
ketua dari tujuh partai sedang sibuk menyalurkan tenaga
dalamnya untuk mendesak keluar pengaruh racun dari tubuh
mereka, para penjahat dari partai Hiat-i-pay (partai baju
berdarah) memanfaatkan kesempatan itu untuk melancarkan
serangan bokongan.
Kebetulan waktu itu Ang Su Sianseng sedang melewati
puncak gunung itu. Berkat uluran tangannya, para ketua dari
tujuh partai besar berhasil lolos dari kematian.
Sebagai tonggak dunia persilatan, Siau-lim-pay serta Butongpay disegani dan dihormati umat persilatan. Peristiwa
pembunuhan di Perkampungan Hantu bukan saja telah
menggegerkan para opas pengadilan, namun juga
mengejutkan partai-partai besar. Maka sewaktu Ang Su
mengajukan permohonan minta bala-bantuan, pihak Siau-limpay
segera mengutus para padri sakti ruang Tat-mo-wan
yakni padri Liong, Hau, Pau dan Pa untuk memberikan
bantuan. Sementara itu, pihak Bu-tong-pay mengutus Butongsam-cu untuk datang ke Siang-kiang.
Pada saat itulah mendadak terdengar derap kaki kuda
berkumandang tiba dari kejauhan, disusul kemudian muncul
tiga orang Tosu setengah umur berbaju putih.
Thi-koay Ang Su segera tertawa tergelak sambil menyapa,
"Apakah Bu-tong-sam-cu yang datang?"
Tiga orang Tosu itu serentak melompat.turun dari kudanya,
berjalan mendekat, menjura dan menyahut, "Bu-tong-sam-cu
menjumpai Ang-sianseng!"
"Bagus," seru Ang Su manggut-manggut, "sekarang kita
dapat segera memasuki Perkampungan Hantu. Terlepas setan
iblis bangsa apa yang menghuni perkampungan itu, aku rasa
kita bersepuluh sudah lebih dari cukup untuk
menghadapinya!"
101 Diiringi gelak tawa yang amat nyaring, dia segera
memasuki pintu gerbang perkampungan itu terlebih dulu.
Empat padri sakti dari Siau-lim, tiga Tosu dari Bu-tong
ditambah Kok Ci-keng dan Yu-bun Siu serta Ang Su sendiri
segera beriring memasuki perkampungan itu.
Suasana di dalam Perkampungan Hantu sangat hening,
sepi tak terdengar suara sedikitpun.
Tiba-tiba dari balik gedung perkampungan yang paling
dalam berkumandang suara jeritan manusia. Teriakan kaget,
lolongan seram, rintih kesakitan bergema silih berganti.
Tampaknya kesepuluh orang jago tangguh dari dunia
persilatan itu sudah bertemu musuh tangguh!
Tapi anehnya, biarpun musuh amat hebat, tidak
seharusnya kesepuluh orang jago yang sangat hebat itu
mengeluarkan jeritan panik yang begitu menyayat hati....
Ketika jeritan mengerikan sudah lewat, suasana kembali
pulih dalam keheningan dan kesepian yang luar biasa.
Mendadak terdengar lagi jeritan untuk kedua kalinya. Kali
ini suara itu berkumandang dari halaman tengah
perkampungan. Tampaknya dalam perjalanan mundur dari
tempat itu, kembali kawanan jago itu menjumpai peristiwa
tragis.

Pertemuan Di Kotaraja Seri 4 Opas Karya Wen Rui An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ketika jeritan berkumandang, kembali suasana menjadi
hening ... Tapi lagi-lagi teriakan seram bergema dari tepi
tembok pekarangan perkampungan. Tampaknya sewaktu tiba
di sisi dinding pekarangan, kembali kawanan jago itu
menghadapi teror untuk kesekian kalinya.
"Blam!" pintu gerbang Perkampungan Hantu dihajar orang
hingga terpentang lebar. Seseorang dengan rambut kacau,
pakaian compang-camping penuh berlepotan darah, mata
memancarkan cahaya merah, menerjang keluar bagai orang
kalap. Kesepuluh jari tangannya mulai batas ruas tulang kedua
telah dipatahkan orang. Bukan saja tulangnya telah hancur,
kulit dan dagingnya merekah, darah segar bercucuran. Dia tak
lain adalah Yu-bun Siu.
102 Padahal di hari biasa si Senyuman Pembetot Sukma Yu-bun
Siu adalah seorang jago yang sangat tenang dan pandai
mengendalikan diri. Tapi sekarang keadaannya tak berbeda
dengan orang kalap! Dia berlari sekuatnya, berusaha
meninggalkan Perkampungan Hantu itu secepatnya. Di atas
jidatnya lamat-lamat terlihat dua buah bekas gigitan yang
dalam. Sembari berlari kalap, dia menjerit-jerit bagai orang gila,
"Setan ... setan ... Mati aku ...! Lepaskan aku ... Oooh tenaga
dalamku ... aaaah ... setan ... kitab pusaka Liong-leng-pit-kip
... setan!"
5. Bun-lui dari Kwang-tong.
Tiga tahun kemudian, di suatu tengah malam musim dingin
yang sedang dilanda badai salju yang luar biasa.
Tiga puluh li di luar Perkampungan Hantu terletak sebuah
wilayah yang bernama Dermaga Hong-Iim. Wilayah itu berada
di suatu daerah perairan yang dinamakan Siau-lian-huan-wu.
Seluruh penduduk yang semula tinggal di radius tiga empat
puluh li di sekitar situ, kini sudah berbondong-bondong pindah
rumah. Sejak Perkampungan Hantu diisukan muncul setan
iblis yang ganas dan suka membunuh, nama perkampungan
itu benar-benar telah diubah dan dikenal orang sebagai
Perkampungan Alam Baka.
Bukan saja penduduknya pindah, orang yang kebetulan
lewat di sekitar tempat itupun lebih suka berjalan memutar
ketimbang berjalan melewati sisi Perkampungan Alam Baka.
Tentu saja ada di antara mereka adalah kawanan jago yang
jaga gengsi. Mereka enggan memilih jalan berputar. Walau
begitu, ketika melewati sisi Perkampungan Alam Baka, tak
satu pun di antara mereka yang berani menengok, apalagi
mampir di sana. Seakan mereka kuatir ketimpa bencana.
Untuk keluar dari wilayah Siang-kiang dengan melalui
Perkampungan Hantu, orang harus melewati sebuah daerah
yang bernama Siau-lian-huan-wu. Jalan air yang bernama
103 Siau-lian-huan-wu ini memiliki tiga belas.buah jalur air yang
rumit dan gampang membuat orang tersesat, terutama bagi
mereka yang tidak menguasai jalan air.
Di dalam wilayah Siau-lian-huan-wu ini terdapat sebuah
dermaga yang dinamakan Hong-lim-tok, Dermaga Hutan
Waru. Sejak di dalam Perkampungan Hantu sering terjadi
peristiwa aneh yang mengerikan, tamu yang menyeberang
melalui dermaga ini semakin jarang. Banyak tukang perahu
menghentikan usahanya. Tak heran kalau semakin susah
mencari perahu yang mau menyeberang melalui jalanan itu,
padahal tanpa menyeberangi sungai itu tak mungkin
perjalanan bisa dilanjutkan.
Jika musim dingin tiba, dimana air sungai membeku jadi es,
perjalanan malah semakin gampang, karena tanpa
menggunakan perahu pun orang bisa menyeberangi sungai
itu. Dan kebetulan saat ini adalah permulaan musim salju. Air
sungai mulai membeku, sayang lapisan es masih terlalu tipis
hingga orang tetap sulit untuk menyeberanginya.
Di tepi Hong-lim-tok terdapat sebuah rumah makan kecil.
Sebuah bendera kecil berkibar terhembus angin utara yang
kencang. Di tengah bunga salju yang berguguran, tampak
seorang kakek berambut putih sedang menggapai para
tetamunya. Banyak tamu yang kebetulan lewat Perkampungan Hantu
akan berhenti di rumah makan itu untuk minum arak
membesarkan nyali, atau beristirahat melepas penat sambil
mengumpulkan tenaga agar bisa melewati perkampungan
setan itu secepatnya.
Karena itu rumah makan kecil itu disebut losmen Hutan
Waru. Hari ini angin berhembus sangat kencang, salju turun amat
deras. Memandang badai salju yang sedang menerpa di luar
ruangan, kakek penjual arak itu nampak termenung sambil
bergumam, "Kelihatannya, asal Thian menurunkan salju
selama beberapa hari lagi, lapisan salju di dermaga akan
104 semakin tebal dan orang pun mulai dapat menyeberang
dengan leluasa."
Sementara dia masih melamun, mendadak terdengar Ahok,
pelayannya, berteriak keras, "Lotia, Lotia! Ada tamu
datang, ada tamu datang!"
Lotia tertegun sambil berpikir, seawal ini sudah ada tamu
yang datang" Ketika melongok keluar pintu, tampaklah
sepasang manusia di tengah badai salju yang kencang.
Mereka tidak menunggang kuda, dan hanya memakai baju
yang sangat tipis. Biarpun begitu, gerak tubuh mereka amat
ringan dan cepat, seakan sama sekali tak menggunakan
banyak tenaga. Tak lama kemudian, kedua orang itu sudah
tiba di depan pintu.
Untuk sesaat Lotia berdiri tertegun dengan mulut melongo.
Belum pernah ia jumpai ada sepasang muda-mudi yang belum
genap berusia dua puluhan tahun, dengan memakai baju yang
begitu tipis, berani mendatangi tempat yang begini terpencil
dan berbahaya. Padahal di sekitar wilayah itu banyak
berkeliaran serigala lapar.
Tampak pemuda itu berperawakan tinggi agak kurus,
matanya tajam dan wajah tampan. Sementara si nona
memakai baju warna-warni dengan rambut dibiarkan terurai
ke belakang. Sebuah pita bunga terikat di pinggangnya,
mengikat dua bilah pedang kecil mungil. Wajahnya cantik
jelita bak bidadari yang turun dari kahyangan.
Melihat kakek penjual arak itu tertegun, si nona segera
menyapa sambil tertawa, "Lotia, baik-baikkah engkau?"
Senyuman itu semakin membuat wajah si nona tambah
cantik. Bukan saja si kakek semakin melongo, para pelayan
pun sampai terkesima dibuatnya.
"Lotia, ada hidangan apa di sini" Segera siapkan satu
mangkuk," terdengar pemuda itu berseru sambil tertawa.
Bagai baru mendusin dari mimpi, lekas Lotia mempersilakan
tamunya duduk. Lalu ia bertanya dengan penuh rasa kuatir,
"Apakah Khek-koan berdua akan melewati dermaga Honglim?"
105 "Benar!" sahut pemuda itu sambil tertawa.
"Khek-koan berdua, bukan aku banyak bicara, cuma perlu
Lohu beritahu, sudah banyak orang yang tewas di dalam
Perkampungan Alam Baka
"Kami sudah tahu, tak usah kuatir."
Walaupun Lotia dapat melihat bahwa sepasang muda-mudi
ini seperti berasal dari keluarga kenamaan, bahkan menyoreng
pedang di punggungnya, tak urung dia tetap merasa
kuatir. Kembali ia bertanya, "Kalian berdua tidak takut setan?"
"Aaah, mana mungkin ada setan?" si nona balik bertanya
sambil tertawa merdu.
"Nona, pakaian yang kalian kenakan amat tipis. Masa tidak
takut kedinginan?"
"Kedinginan?" gadis itu tertawa. "Kami tidak merasa
dingin!" Kakek itu sadar, kedua orang tamunya pasti manusia luar
biasa. Maka tanpa banyak bicara ia segera menyuguhkan
sayur dan arak.
Sementara muda-mudi itu. masih bersantap, entah sedari
kapan tahu-tahu di muka pintu rumah makan telah bertambah
lagi dengan dua orang.
Sepasang muda-mudi itu tidak berpaling, mendongakkan
kepala pun tidak. Mereka melanjutkan santapannya sembari
bercakap-cakap.
Si kakek pemilik rumah makan beserta kedua orang
pelayannya amat terperanjat. Kakek itu malah mengira
matanya berkunang-kunang hingga salah melihat. Dia merasa
tidak melihat dengan jelas bagaimana kedua orang itu muncul,
sebab tahu-tahu sudah melangkah masuk ke dalam ruangan.
Segera dia menyambut kedatangan mereka sambil tertawa,
sapanya, "Tuan berdua, silakan duduk- silakan duduk.
Maafkan Lohu yang sudah tua dengan mata jadi rabun, hingga
tidak melihat kehadiran tuan berdua."
Dua orang tamu yang baru datang mempunyai wajah serta
perawakan badan yang persis sama satu dengan lainnya.
106 Perbedaan yang mencolok di antara mereka berdua hanya
terletak pada lengannya. Yang seorang kutung lengan
kanannya, sedang yang seorang lagi kutung lengan kirinya.
Dua orang lelaki itu sama sekali tidak menanggapi sapaan
si kakek. Setelah mencari tempat duduk, mereka pun segera
memesan teh. Tak lama kemudian, lelaki yang di sebelah kanan berkata
dengan suara dingin, "Ketika bunga salju masih beterbangan,
kami sudah masuk kemari."
Kakek itu berpaling. Benar juga, ia melihat bunga salju
sedang beterbangan di luar pintu ruangan. Hanya saja dia tak
paham apa maksud perkataan orang itu.
Mendadak kain tirai kembali disingkap orang, disusul
kemudian tujuh orang lelaki kekar berjalan masuk ke dalam
ruangan rumah makan.
Lekas kakek itu berseru, "A-pun, A-hok, terima tamu!"
Tujuh orang lelaki kekar yang baru datang itu rata-rata
memiliki alis mata yang tebal dengan sepasang mata yang
besar. Mereka masuk dengan langkah lebar, gerak-geriknya
mantap tapi tenang. Perawakan tubuh pun hampir sama.
Yang aneh justru terletak pada persenjataan yang
tergantung di pinggang ketujuh orang itu. Semua senjata
berbeda satu dengan lainnya.
Senjata yang digunakan orang pertama adalah Liu-seng-jui
(palu bintang kejora), orang kedua menggunakan tombak
Lian-cu-jiang, orang ketiga bersenjatakan tombak emas
sepanjang satu kaki dua depa, orang keempat memakai
senjata tali lemas, orang kelima menggunakan senjata peluru
geledek Lui-kong-hong, orang kenam menggunakan sepasang
senjata boan-koan-pit, sedang orang ketujuh menggunakan
sebuah senjata martil besi yang sangat panjang.
Yang lebih aneh lagi, ketujuh orang lelaki kekar itu hampir
semuanya bertelanjang dada. Biarpun di musim salju yang
dingin membeku, ternyata mereka tidak nampak kedinginan.
Di atas dada mereka yang telanjang tergurat dua huruf yang
107 terbuat dari sayatan pisau. Tulisan itu berbunyi: "Menuntut
balas." Mereka bertujuh pun tak banyak bicara. Masing-masing
mengambil tempat duduk dan sama sekali tak bergerak lagi.
Sesaat kemudian, kembali kain tirai dibuka orang. Kali ini
yang muncul adalah empat orang padri tua berbaju abu-abu,
mereka masuk sambil merangkap tangan di depan dada.
Setelah mencari tempat duduk, kawanan padri itupun
membungkam. Baru saja Lotia, A-pun dan A-hok hendak melayani
keperluan orang-orang itu, mendadak terdengar suara derap
kaki kuda yang sangat ramai. Bersamaan dengan berhentinya
kuda-kuda itu, tampak dua orang Tosu tua yang menyoreng
pedang di punggungnya berjalan masuk ke dalam ruangan.
Ketika melihat kehadiran keempat orang padri itu, mereka
segera menjura dalam-dalam.
Menyusul kemudian muncul lagi seorang lelaki berpakaian
sutera yang anggun gerak-geriknya. Dia minta sepoci arak dan
mulai menenggak tanpa bicara.
Menyusul kehadiran orang itu, dari kejauhan kembali
terdengar suara langkah kaki manusia yang sangat berat.
Orang itu mendekat selangkah demi selangkah, tidak terlalu
cepat, tidak juga lambat. Namun suara langkahnya yang berat
sama sekali tidak menjadi lemah. Ketika tiba di depan pintu, ia
segera menyingkap tirai dan masuk ke dalam.
Ia duduk persis berhadapan muka dengan lelaki berjubah
sutera itu. Setelah duduk, dia pun minum arak tanpa bicara.
Bila ditinjau dari suara langkah kakinya yang berat dan
sama sekali tidak berubah sejak dari jauh hingga berada di
depan mata, bisa diketahui bahwa tenaga dalam yang dimiliki
orang ini sangat luar biasa.
Tanpa terasa sepasang muda-mudi itu mendongakkan
kepala sambil melirik sekejap ke arah manusia berjubah hitam
yang baru muncul itu, kemudian melirik pula ke arah lelaki
berbaju sutera itu. Kebetulan kedua orang itu pun sedang
berpaling ke arah mereka. Empat pasang sorot mata segera
108 saling beradu satu sama lainnya. Tetapi hanya sebentar,
kemudian masing-masing melengos sambil menenggak
kembali isi cawan.
Selama hidup belum pernah kakek pemilik rumah makan itu
menjumpai peristiwa seaneh ini. Belum pernah ia mendapat
kunjungan begitu banyak tamu yang aneh-aneh di tengah
malam badai salju yang begini dingin.
Belum sempat dia berbuat sesuatu, lagi-lagi muncul empat
orang Tauwto yang menyelinap masuk dengan kecepatan
tinggi. Hampir saja menumbuk sebuah meja besar, entah
dengan cara apa mereka berkelit, tahu-tahu keempat orang
padri yang memelihara rambut itu sudah duduk tenang di
belakang meja itu.
Setelah itu rumah makan ini secara beruntun kedatangan
lagi empat orang lelaki kekar berbaju emas dan enam orang
jago dunia persilatan.
Dalam waktu singkat seluruh tempat duduk rumah makan
itu sudah terisi penuh! Bisa dibayangkan betapa sibuknya para
pelayan melayani tamu-tamunya.


Pertemuan Di Kotaraja Seri 4 Opas Karya Wen Rui An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Entah lewat lama, tiba-tiba dari luar pintu rumah makan
muncul kembali dua orang lelaki yang menyingkap kain tirai,
disusul kemudian seorang pemuda berdandan perlente
berjalan masuk dengan langkah yang angkuh.
Begitu masuk ke dalam ruangan, pemuda itu segera
menutupi hidung sendiri sambil berseru keras, "Bau benar
rumah makan ini!"
"Kongcu, lebih baik ditahan sejenak," sahut lelaki yang lain
sambil tertawa. "Ada baiknya kita beristirahat sebentar di sini.
Setelah salju menebal nanti, baru kita lanjutkan perjalanan."
"Betul Kongcu," sambung lelaki yang lain sambil tertawa
pula, "sebagai seorang pelajar paling hebat di Pakkhia, tempat
mana lagi yang tak pernah kau kunjungi" Rumah makan kecil
ini sudah terhitung sangat hokki karena bisa mendapat
kunjungan kehormatan dari Kongcu."
109 Kongcu itu menggosok botol kecil yang terbuat dari
porselen ke lubang hidungnya, lalu dengan acuh tak acuh dia
berjalan masuk ke dalam.
Di belakang si pemuda ternyata mengikut delapan belas
orang, ada tua ada muda. Wajah mereka kalau tidak bengis,
tentu buas atau licik. Beda sekali dengan wajah sang Kongcu,
selain halus juga mirip wajah perempuan. Hanya sayang
lagaknya banyak sehingga agak menyebalkan.
Setelah kedua puluh orang itu masuk ke dalam ruangan,
melihat semua bangku dan meja sudah dipenuhi tamu,
seorang lelaki kekar yang bersenjatakan gada berkepala
harimau segera tampil ke depan seraya berseru, "Toa-kongcu
dari benteng Pek-te-shia, Siang Bu-thian, Siang-kongcu telah
datang. Kenapa kalian masih belum juga menyingkir" Ingin
mampus semua?"
Suara lelaki itu nyaring, keras agak serak. Tapi walau sudah
diulang berapa kali, ternyata tak seorang pun dari kawanan
tamu itu yang berpaling.
Dengan berang lelaki kekar itu melotot. Tapi setelah
dilihatnya seluruh tamu yang hadir di situ adalah kawanan
jago yang berwajah angker, dengan ketakutan segera ia tutup
mulut dan tak berani bersuara lagi.
Terdengar si nona berbaju warna-warni itu berkata kepada
rekannya sambil tertawa, "Orang yang berdandan macam
seorang Kongcu itu adalah putra orang paling kaya di Pek-teshia.
Ia bernama Siang Bu-thian. Ayahnya telah mengundang
beberapa orang pengawal untuk mengajar ilmu silat
kepadanya. Cuma sayang, orang semacam ini tak punya bakat
untuk belajar kungfu. Biar sudah berlatih tekun juga
kepandaiannya sangat terbatas. Justru perbuatan bejadnya
yang kian menjadi-jadi
Mendengar keterangan ini, pemuda tampan itu hanya
mengangguk berulang-kali.
Diam-diam pemilik rumah makan beserta pelayannya
bermandikan peluh dingin, sebab gadis itu berbicara cukup
110 keras sehingga Siang Bu-thian dapat mendengar semua
perkataannya dengan jelas.
Betul juga, dengan wajah gusar Kongcu jumawa itu
berpaling. Tapi sorot matanya segera berbinar begitu
mengetahui yang berbicara adalah seorang gadis cantik.
Amarahnya padam seketika, dengan wajah cengar-cengir ia
berseru, "Bagus nona cantik. Kau bilang kungfuku jelek" Mari,
mari, mari, ikut aku pulang untuk latihan kungfu. Nanti kau
bakal tahu kalau 'kungfu'ku ln-nar-benar bikin orang
keranjingan, hehehe ... bagaimana...."
Mendengar ucapan yang begitu kurangajar, pemuda
tampan di samping nona cantik itu segera menengok sekejap
ke arah Siang Bu-thian. Sorot mata yang begitu tajam kontan
membuat Siang Bu-thian terperanjat ketakutan.
Segera kelima orang lelaki kekar yang berdiri di sisi Siang
Bu-thian berbisik lirih, "Siang-kongcu, bagaimana kalau kami
tangkap nona itu untuk dibawa pulang, sekalian bunuh
mampus yang satu lagi?"
"Bagus, bagus! Jika begitu cepat lakukan. Kalau berhasil
pasti akan kuberi hadiah besar," seru Siang Bu-thian sambil
tertawa girang.
Mendengar ada hadiah besar, otomatis kelima orang lelaki
itu kegirangan. Serentak mereka berebut maju ke depan,
kuatir kehilangan kesempatan memperoleh hadiah itu.
Dalam waktu singkat, kelima orang lelaki itu sudah tiba di
belakang sepasang muda-mudi itu. Seorang di antaranya yang
mempunyai tumor besar di jidat segera menghardik, "Nona
cantik, mau tidak bermain cinta dengan Kongcu kami
Nona berbaju warna-warni itu sama sekali tidak
menanggapi ucapan itu. Dia masih memandang wajah
pemuda di hadapannya dengan mesra, seakan dia belum
merasakan kehadiran kelima orang itu di belakang tubuhnya.
Bahkan dengan santai ia masih berkata, "Mereka itu adalah
teman-teman .keluyuran Siang Bu-thian. Kerjanya tiap hari
cuma bersenang-senang sembari berbuat onar. Sayang
semuanya termasuk gentong nasi yang gemar membantu
111 kejahatan. Kalau bukan menculik dan memperkosa, tentu
merampok. Seperti misalnya kelima orang lelaki itu. Mereka
disebut Kiang-cho-ngo-ciau (lima naga dari sisi kiri sungai
besar). Di masa mudanya dulu, kerja mereka pun cuma
merampok nelayan dan membunuh orang semaunya sendiri
Tak terlukiskan amarah lelaki bertumor itu sehabis
mendengar ucapan itu. Dengan hawa amarah yang berkobar
dia cabut goloknya, langsung dibacokkan ke batok kepala
pemuda itu sambil berseru, "Baiklah! Biar kujagal batok
kepalamu terlebih dulu untuk kupersembahkan kepada
Kongcu!" Pemuda tampan itu masih memandang wajah si nona
berbaju warna-warni tanpa berkedip, seakan biar langit
ambruk pun dia enggan mengalihkan sinar matanya dari
wajah nona itu. Terhadap datangnya bacokan golok pun
seolah dia tidak merasakannya.
Pada saat itulah mendadak manusia berjubah hitam yang
duduk di sudut sebelah timur melompat bangun. Tidak tampak
gerakan apa yang dia lakukan, tahu-tahu badannya sudah
berada di hadapan lelaki bertumor itu.
Lelaki bertumor hanya merasakan pandangan matanya
kabur, tahu-tahu sepasang tangan dan kakinya seakan terisap
oleh suatu kekuatan maha dahsyat, membuat ia sama sekali
tak mampu bergerak. Bacokan goloknya otomatis tak dapat
dilanjutkan. Begitu berdiri saling berhadapan dengan lelaki bertumor
itu, manusia berjubah hitam langsung mencengkeram
badannya kemudian diseret keluar dari rumah makan itu.
Padahal ruangan rumah makan saat itu sudah penuh sekali.
Anehnya, manusia berjubah hitam dapat menyelinap keluar
bagaikan segulung asap. Bukan saja tidak menyinggung tubuh
orang lain, ujung baju pun tidak kena tersampuk.
Kain tirai rumah makan hanya kelihatan bergoyang pelan,
kemudian dari tanah bersalju di luar rumah makan
berkumandang suara jeritan ngeri yang memilukan hati.
Belum sempat orang tahu apa yang terjadi, manusia berbaju
112 hitam itu sudah menyelinap balik ke dalam rumah makan dan
duduk kembali di posisinya semula, berhadapan dengan
manusia berbaju sutera itu.
Santai sekali dia mengangkat cawan araknya dengan
sepasang tangan yang belepotan darah, lalu menenggak habis
isinya. Lagak serta sikapnya begitu santai seakan tak pernah
terjadi sesuatu peristiwa apapun.
Sewaktu datang untuk pertama kalinya tadi, suara langkah
kaki orang berjubah hitam ini berat dan mantap, membuktikan
kalau tenaga dalamnya amat sempurna. Gerakan tubuhnya
yang ringan dan cepat saat ini justru membuktikan kalau ilmu
meringankan tubuhnya luar biasa hebatnya.
Tampak gadis berbaju warna-warni itu kembali berkata
kepada sang pemuda sambil tertawa, "... tuan berjubah hitam
itu datang dari Ouw-tong, tenaga dalamnya sudah mencapai
puncak kesempurnaan. Konon sewaktu berusia dua belas
tahun, dengan getaran tenaga dalamnya ia pernah menghajar
mampus Kim-jiau-say-mo, si Iblis singa bercakar emas, Cin Wi
dari Ho-pak. Sementara jurus yang baru digunakannya adalah
gerakan Cun-poh-put-i-to, setengah inci tak mampu bergeser,
dari ilmu isap Sip-boan-toa-hoat. Tentu saja si naga tua itu tak
akan mampu menghadapinya! ... tuan ini punya juluk-an Hekbaukhek, si Tamu Berjubah Hitam. Dia dari marga Pa
bernama Thian-sik
Baru bicara sampai di situ, manusia berjubah hitam itu
sudah berpaling dan melirik gadis itu sekejap dengan sinar
mata heran bercampur kaget. Dia tak mengira dari tindakan
yang barusan dilakukannya itu segera dapat diketahui asalusulnya
oleh gadis itu.
Melihat manusia berjubah hitam itu memandang ke
arahnya, gadis itu balas memandang sambil menghadiahkan
sebuah senyum manis.
Saat itulah keempat naga dari Kiang-cho-ngo-ciau seakan
baru mendusin dari mimpi. Ketika tahu saudara tua mereka
telah terbunuh, serentak mereka membentak gusar, melolos
113 senjata dan serentak membacok tubuh si Tamu Berjubah
Hitam Pa Thian-sik.
Manusia berjubah hitam itu hanya mendengus dingin. Ia
tidak berkelit, juga tidak berusaha menghindarkan diri.
Tiba-tiba pemuda itu berkata kepada si nona sambil
tersenyum, "Barusan Pa-sianseng turun tangan menolong aku.
Semuanya gara-gara urusan kita. Sekarang ada empat orang
yang mengusik tubuhnya. Aku rasa sudah saatnya bagi kita
untuk turun tangan
Baru saja kata 'tangan' meluncur keluar, tiba-tiba ia bangkit
berdiri namun tetap berada di posisinya semula. Hanya dalam
genggamannya sudah bertambah dengan sebilah pedang tipis
yang panjang. "Sreet!" cahaya pedang berkelebat lewat, tahu-tahu senjata
itu sudah disarungkan kembali.
Keempat orang lelaki kekar itu hanya merasakan cahaya
pedang berkilauan lewat kemudian sirap kembali. Belum tahu
apa yang mesti dilakukan, tahu-tahu telapak tangan mereka
terasa sakit. Ternyata sudah ditusuk oleh ujung pedang lawan
yang membuat golok mereka terlepas dari genggaman.
Ternyata bersamaan dengan desiran suara tajam tadi,
empat buah tusukan tajam telah dilancarkan ujung senjata
lawan. Selama hidup belum pernah keempat naga dari utara
sungai besar ini melihat ilmu pedang secepat itu. Sampai
telapak tangan mereka berdarah dan senjata terlepas dari
genggaman, baru merasa kesakitan. Tak kuasa lagi, jeritan
keras bergema di seluruh ruangan.
Dengan sikap hambar pemuda itu duduk kembali.
Di pihak lain, Tamu Berjubah Hitam Pa Thian-sik melirik ke
arah pemuda itu sekejap dengan sorot mata terperanjat
bercampur heran. Kepada lelaki berbaju sutera di hadapannya
ia segera berseru memuji, "Ilmu pedang yang hebat!"
Saat itulah sebuah perubahan aneh kembali terjadi.
Keempat naga dari sisi kiri sungai besar yang sedang
bergulingan di .itas tanah sambil menjerit kesakitan itu tahutahu
seperti terisap oleh sebuah tenaga yang maha dahsyat.
114 Tubuh mereka terdo-iiing mundur hingga akhirnya membentur
pintu gerbang rumah m.ikan.
Siapa yang telah melancarkan tenaga isapan yang maha
dahsyat itu sehingga membuat keempat orang itu terbetot
mundur" Dengn perasaan terkesima semua orang
mendongakkan kepalanya sembari berpaling.
Entah sedari kapan, di dalam rumah makan itu telah berdiri
seorang kakek berambut perak berusia enam puluhan tahun.
Mukanya merah membara, perawakan tubuhnya setinggi tujuh
depa dan sangat kekar berotot. Jubah yang dikenakannya
berwarna merah membara bagaikan jilatan api. Sebilah kapak
terselip di pinggangnya. Permukaan kapak berwarna hitam
dan memancarkan sinar tajam, paling tidak bobotnya lima
enam puluh kati.
Kakek berjubah merah itu menarik napas sambil memutar
sepasang tangannya. Dua gulung aliran hawa murni yang
sangat kuat segera memancar keluar dari balik telapak
tangannya, membuat tubuh keempat naga itu langsung
terisap ke arahnya.
Tatkala tubuh si naga ketiga dan keempat nyaris
menumbuk kedua belah telapak tangannya, mendadak kakek
berjubah merah itu merentangkan kedua tangannya kedua sisi
yang berbeda, kemudian dari dua meja yang berbeda dia
mengambil dua batang sumpit.
Pada saat itulah tubuh si naga ketiga dan keempat
menumbuk tiba. "Sret, sreet," dua kali desingan tajam
bergema, sumpit-sumpit itu langsung menghajar punggung
kedua orang itu hingga tembus.
Ketika naga kedua dan kelima menubruk tiba, kakek
berjubah merah segera menyentil ibu jari dan jari telunjuk
tangan kiri kanannya. Lagi-lagi "Sret, sreet," dua kali desingan
tajam membelah udara. Sumpit-sumpit yang semula
menembus punggung naga ketiga dan keempat tahu-tahu
menembus keluar melalui dada bagian depan, lalu diiringi
semburan darah segar kembali menancap di dada belakang si
naga kedua dan kelima!
115 Empat kali jeritan ngeri yang memilukan hati
berkumandang di udara, tahu-tahu keempat orang lelaki kekar
itu sudah roboh terkapar di tanah dalam keadaan tak
bernyawa. Demonstrasi yang dilakukan kakek berjubah merah itu
segera membikin semua orang heboh. Dengan terkejut sorot
matasemua orang dialihkan ke wajahnya.
Kemampuan orang itu mengisap tubuh empat orang
sekaligus dengan kedua belah tangannya sudah cukup
menggetarkan hati. Apalagi setelah menyaksikan
kemampuannya membunuh lawan dengan sepasang sumpit.
Bukan cuma setiap ruas, setiap bagian dilakukan sangat cepat
dan tepat. Cara kerjanya juga benar-benar telengas. Biarpun
sudah membantai empat orang dalam sekejap mata, mimik


Pertemuan Di Kotaraja Seri 4 Opas Karya Wen Rui An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mukanya sama sekali tak berubah.
Yang lebih aneh lagi, gerak-gerik kakek berjubah merah itu
kelihatan begitu bebal dan berat. Namun tak ada yang tahu
sedari kapan dia tiba di dalam rumah makan itu. Bahkan Siang
Bu-thian sekalian yang kebetulan duduk paling dekat pun tidak
merasakan. Terdengar kakek berjubah merah itu berseru lantang
sambil menyapu pandang sekejap ke seluruh ruangan, "Lohu
adalah Ji Bun-lui dari Kwang-tong!"
Begitu nama itu diucapkan, dari seluruh yang hadir ada
sembilan puluh persen yang berubah hebat paras mukanya,
termasuk juga si Tamu Berjubah Hitam dan lelaki berbaju
sutera itu. Malah kedua orang Tojin itu agak bergetar
tubuhnya, keempat padri tua dari Siau-lim juga mementang
matanya lebar-lebar.
Yang sama sekali tidak berubah wajahnya hanya pemuda
tampan itu beserta si kakek pemilik rumah makan dan
pelayannya. Nona berbaju warna-warni itu mengamati wajah Ji Bun-lui
beberapa saat, lalu baru bisiknya kepada pemuda tampan itu,
"Orang ini bernama Ji Bun-lui, disebut juga It-hu-ceng-kwangtong
(kapak menggetarkan Kwang-tong). Tindak-tanduknya di
116 antara lurus dan sesat, wataknya keras, berangasan dan
eksentrik. Namun ia belum pernah melakukan perbuatan yang
melanggar norma susila. Tapi kalau dibilang soal merampok,
membakar dan membunuh, sudah terlalu banyak yang dia
lakukan. Konon ilmu silatnya sangat tinggi, tenaga dalamnya
sempurna dan permainan kapaknya sudah mencapai tingkat
yang luar biasa. Kongcu, apabila pedangmu bertemu
kapaknya, kau mesti berhati-hati. Orang ini suka bekerja
sendirian, dia paling benci berjalan bersama orang lain
Biarpun si nona berbisik dengan lirih, nampaknya Ji Bun-lui
dapat mendengar semua perkataannya dengan jelas.
Mendadak ia berpaling/ sifat buasnya berkurang setengah.
Sambil tertawa ujarnya kepada nona itu, "Nona cilik, tak
kusangka kau pun mengetahui nama besar Toayamu."
Ternyata It-hu-ceng-kwang-tong Ji Bun-lui tahun ini berusia
enam puluh tahun. Tapi semangatnya masih berkobar-kobar,
sepak terjangnya selalu malang-melintang seorang diri.
Selama hidup entah berapa banyak sudah menyakiti orang
persilatan. Tapi berhubung ilmu silat sangat tinggi, belum ada
orang yang bisa mengalahkan dirinya.
Terdengar Ji Bun-lui berkata lagi dengan suara nyaring
bagai geledek, "Orang budiman tidak melakukan perbuatan
gelap. Bila kedatangan anda sekalian disebabkan urusan
Perkampungan Alam Baka, maka aku perlu memberitahu
kedatanganku hanya khusus untuk mendapatkan kitab pusaka
Liong-leng-pit-kip (Pekikan naga). Bila ada di antara kalian
yang punya tujuan yang sama denganku, dipersilakan. untuk
mempertimbangkan dulu kemampuan yang dimiliki. Bila
merasa bukan tandinganku, lebih baik cepat menggelinding
pergi daripada aku mesti repot-repot turun tangan!"
Saking keras dan nyaringnya perkataan itu, seluruh
ruangan bergetar keras, atap bergoncang, debu berguguran.
Dalam pada itu, di antara para begundal yang membuntut
di belakang Siang Bu-thian, sudah ada empat lima orang yang
pernah merasakan kehebatan Ji Bun-lui, diam-diam
mengeluyur pergi. Mereka tak berani mencari gara-gara lagi.
117 Siang Bu-thian sendiri sebetulnya sudah keder dan pecah
nyali setelah melihat kehebatan orang yang berhasil
membantai lima naga secara begitu mudah. Tapi kemudian
pikirnya, "Aku punya uang punya kekuasaan. Tidak susah
mengundang jagoan agar mau berpihak kepadaku. Kenapa
aku mesti takut
Maka sambil tertawa licik serunya, "Kepandaian silatmu
memang hebat, hebat sekali. Tapi Siauyamu
Mendadak Ji Bun-lui mendelik. Dengan ketakutan Siang Buthian
mundur tiga langkah. Belum lagi berdiri tegak, kakek
berjubah merah sudah mengumpat lagi, "Kau si anjing busuk!
Toaya tidak mengajak bicara anjing busuk macam kau!"
Dan ... "Duuuk!" sebuah pukulan dilontarkan ke depan.
Padahal pukulan itu sangat biasa, lurus dan pelan. Tapi
entah kenapa biarpun Siang Bu-thian sudah berusaha berkelit,
nyatanya gagal untuk menghindarkan diri. "Duk!" jotosan itu
langsung bersarang telak di bacotnya hingga dua baris giginya
patah dan mencelat keluar. Malah ada tiga empat biji berikut
darah tertelan ke dalam perut.
Kontan saja ia berkoar-koar gusar sambil berteriak, "Hajar!
Hajar! Hajar! Pokoknya hajar sampai mampus!"
Waktu itu jagoan yang berada di sisi Siang Bu-thian tinggal
empat orang pengawal pribadinya. Walaupun jeri terhadap
Memanah Burung Rajawali 30 Darah Dan Cinta Di Kota Medang Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M Amanat Marga 8

Cari Blog Ini