Ceritasilat Novel Online

Walet Besi 1

Walet Besi Karya Cu Yi Bagian 1


"WALET BESI Karya : Cu Yi JILID KE SATU BAB I Beringas Bulan ke tiga. Pakhia. Angin segar berhembus pada bulan ke tiga hari ke tiga.
Sepanjang tepian sungai Tiang-an tampak perempuan cantik
pergi berlalu lalang. Sepotong syair ini tidaklah menggambarkan keadaan
Pakhia yang sesungguhnya. Di negara di sebelah utara, musim
semi datang terlambat. Pada hari-hari di bulan ketiga, salju
dan air-air yang membeku belum semua meleleh. Bahkan
rerumputan liar pun belum menampakkan pucuk daun
mudanya. Angin utara masih berhembus sangat dingin. Langit
pun sebagian besar masih terlihat muram. Orang-orang yang
berlalu lalang belum bisa melepas jaket kulit dengan topi
kupluk kulit yang biasa mereka kenakan. Apalagi pada pagi
hari. Dari sepuluh orang yang keluar rumah, sembilan
diantaranya pasti akan menyembunyikan kedua tangannya
ke dalam kantong jaketnya. Kehidupan sungguh pahit dan
menyakitkan, kedua tangan itu harus dipertahankan hidup
bagaimana pun caranya. Atau orang itu tidak akan hidup sama
sekali. Keempat blok rumah bertingkat dan sepuluh gang kecil di
sebelah timur adalah tempat tinggal para bangsawan kelas
atas. Rumah-rumah yang ada di kesepuluh gang itu semuanya
adalah rumah yang dilengkapi taman mewah. Temboknya
tinggi dan pintunya berhiaskan mutiara. Apalagi rumah kedua
disebelah kanan di dalam gang yang pertama. Ini adalah
rumah kediaman seorang konglomerat yang bermarga Leng
(dingin). Marga ini benar-benar cocok menggambarkan pemilik
namanya. Nama lengkapnya adalah Leng Souw-hiang. Nama
Souw-hiang dalam bahasa mandarin bunyinya mirip dengan
nama rak buku. Namun sosok Leng Taiya ini, seumur
hidupnya tidak pernah menaruh berminat pada buku. Dia juga
tidak pernah menjadi seorang pejabat yang memegang
kedudukan yang tinggi. Kalau bukan termasuk dalam keluarga
yang terpelajar, dan juga bukan keturunan bangsawan,
bagaimana dia bisa menjadi seorang konglomerat"
Semua ini karena dia memiliki banyak uang, tidak masalah
orang sedang berada di belahan bumi manapun, uang dan
emas selalu memiliki kekuatan yang sangat luar biasa.
Ketika masih muda, Leng Souw-hiang adalah seorang
kepala bagian di dalam keluarga kerajaan. Raja Su-cen bisa
dibilang adalah seorang raja yang paling terbuka di
kalangannya. Dia bukan seorang pejabat korup. Ketika dinasty
Ceng sudah goyah dan nyaris rubuh, demi mempertahankan
dinasty, dia sudah memikirkan banyak sekali siasat. Sosok raja
besar ini sudah menolong menyelesaikan banyak sekali
perkara selama tiga ratus tahun Dinasty Ceng berjaya.
Pendiriannya adalah pembaharuan terus-menerus. Namun dia
juga menyetujui sistem kerajaan. Sayang sekali pejabat
dinasty Ceng sudah terlalu banyak yang korup, sebuah tiang
tidak akan dapat menyangga sebuah bangunan yang besar.
Akhirnya tetap saja dinasty tersebut runtuh.
Karena Raja Ceng senantiasa mengkhawa-tirkan keadaan
negara yang dipimpinnya, dia memberi-kan kesempatan pada
Leng Souw-hiang untuk bertindak bebas. Mengunakan
kesempatan ketika keadaan sedang kacau seperti ini, dia
mendapat kesempatan mencari uang. setelah raja mengungsi
ke Tong-yang, dan tinggal di luar negri. dia mempercaya-kan
harta dan bisnisnya agar diurus oleh Leng Souw-hiang. Dari
sepuluh bagian, dia mendapat tujuh sampai delapan bagian.
Hanya dalam waktu dua-tiga tahun yang singkat, dia sudah
menjadi salah seorang konglomerat terkaya yang hanya
berjumlah beberapa orang di kota Pakhia. Lagi pula pada
waktu itu pemerintahan baru saja berdiri, keadaannya belum
stabil. Desas-desus tentang kembali berdirinya dinasty Ceng,
kadang-kadang sering terdengar. Raja Su-cen tinggal di
sebuah negara yang sangat jauh, namun dia tetap berpikir
untuk pulang dan mendirikan kembali dinasty Ceng. Apalagi
Leng Souw-hiang adalah kepala bagian raja Su-cen,
sementara ini dia masih bisa mempertahankan hubungan.
Sebagian besar orang yang ingin mengambil kesempatan,
pasti akan terus mempertahankan hubungan baiknya. Oleh
sebab itu, Leng Souw-hiang menjadi seorang yang sangat
termasyur di kalangan masyarakat di dalam kota Pakhia.
Setiap hari saat masih sangat pagi, kira-kira suasana masih
sunyi-senyap, pintu utama yang berhiaskan permata masih
terkunci, pintu-pintu kecil di sudut juga tertutup rapat, seolaholah
bangunan mewah dengan taman yang besar ini tidak
pernah memiliki penghuni.
Dari kejauhan terdengar sayup-sayup suara derap langkah
kaki kuda sedang mendekat. Tidak lama kemudian, sebuah
kereta yang ditarik oleh sepasang kuda datang memasuki
gang perumahan mewah itu. Kereta ini lalu berhenti didepan
rumah mewah milik Leng Taiya.
Hari masih sangat pagi, namun keluarga Leng sudah
kedatangan tamu. Ini benar-benar kejadian yang sangat
langka. Sais kereta adalah seorang pria separuh baya yang kira-kira
berumur empat puluh tahun lebih. Namun penampilan dan
caranya berpakaian sedikit pun tidak menyerupai seorang sais
kereta. Perawakan-nya tinggi besar dan terkesan kasar,
namun pakaiannya sangat rapi. Tingkah lakunya juga sangat
sopan, dia menuruni kereta, setelah itu dia merapikan
bajunya. Perlahan-lahan dia menaiki tangga yang terbuat dari
batu granit. Setelah itu dia menarik pegangan pintu yang
berkilau, dan mulai mengetuk perlahan-lahan.
Dia hanya mengetuk sebanyak tiga kali, dan suaranya
benar-benar terdengar sangat lembut. Namun walaupun
demikian, pintu di pojok segera membuka.
Ini menggambarkan bahwa rumah kediaman keluarga Leng
memiliki penjagaan yang sangat ketat. Dilihat sepintas
keadaan terlihat sangat tenang, namun sebenarnya didalam
entah ada berapa banyak orang yang sedang sibuk berjaga.
Tentu saja, seorang konglomerat seperti Leng Souw-hiang
sangat mem-butuhkan orang-orang untuk menjaganya dengan
ketat. Orang yang datang menyambut tamu dan kemudian
membukakan pintu adalah seorang pemuda yang tampak
berumur sekitar tiga puluh tahun, raut mukanya terlihat
sangat lelah, sepertinya dia belum tidur semalam suntuk,
namun tatapan matanya memancarkan kilau yang biasanya
hanya dipancarkan oleh orang kaya. Setelah membukakan
pintu, dia mengamati sais ini dari ujung rambut sampai ke
ujung kaki, barulah dia bertanya dengan perlahan lahan:
"Mau apa?" "Maaf, apakah ini kediaman Leng Taiya?" sepertinya sais ini
sangat mengerti tata krama, juga menunjukkan bahwa dia
pernah memiliki pendidikan bersopan santun.
"Tidak salah. Ada urusan apa?"
"Majikanku memiliki urusan penting yang harus
diselesaikan, dan dia harus langsung menemui majikanmu
Leng Taiya. Tolong sampaikan"
Secara reflek, pemuda itu langsung menengok ke arah tirai
bambu yang menggantung menutupi jendela kereta kuda.
Dalam hatinya dia pasti berpikir, 'tamu ini sangat sombong,
dia bahkan tidak turun dari kereta dan menunjukkan diri!'
"Datang dari mana?"
"Luar kota" Dua kata ini "Luar kota" sepertinya menimbulkan berbagai
macam perasaan dan pikiran. Sinar mata pemuda tadi jadi
bertambah terang. "Apakah anda memiliki kartu nama?"
"Maaf" sais kereta itu menjawab dengan sangat sopan
"majikanku sedang mendapat tugas yang sangat rahasia, tidak
baik untuk memberikan kartu nama. Setelah menemuinya,
Leng Taiya pasti akan langsung mengerti."
Pemuda yang menyambut tamu terlihat sedikit ragu. dia
lalu menjawab dengan sopan dan berkata:
"Karena tidak memiliki kartu nama, aku tidak berani
membuat keputusan. Maaf menyusahkan anda, Silahkan anda
menunggu diluar dan menunggu kedatangan majikanku."
"Silahkan... silahkan..."
Pemuda yang menyambut tamu kembali melangkah masuk
kedalam rumah. Pintu di pojok tadi kembali menutup. Namun
sepertinya dibalik pintu terdapat banyak pasang mata yang
diam-diam memperhatikan. Sang tamu lalu menunggu diluar. Dia menunggu kira-kira
setengah jam lebih. Majikan yang duduk didalam kereta sama
sekali tidak bertanya sepatah katapun pada sang sais. Sais
kereta juga tidak terlihat tidak sabar, kedua orang ini, majikan
dan bawahannya terlihat sangat tenang.
Tidak lama keluar lagi orang lain yang datang menyambut.
Kali ini berganti menjadi seorang tua yang sudah berumur lima
puluh tahun lebih. Tingkah lakunya sangat rendah hati. hanya
beberapa langkah besar saja dia sudah menuruni tangga
granit, dia lalu merangkupkan kedua tangannya didepan dada
dan berkata: "Mohon maaf, mohon maaf! Maaf sudah merepotkan anda
menunggu sangat lama. Leng Taiya tidak terbiasa bangun
sepagi ini. setelah mendengar bahwa dia mendapat tamu yang
datang dari tempat jauh, dia segera bangun dan langsung
membersihkan diri. oleh karena itu dia harus menghabiskan
sedikit waktu. Sekarang ini dia sudah menunggu anda berdua
di ruang tamu bagian depan. Silahkan...."
Sepertinya dari dalam tirai bambu terlihat gerakan. Sais
kereta cepat-cepat mendekat ke kereta dan membukakan
pintu. Orang yang ada didalam kereta segera keluar. Ternyata
dia adalah seorang nona yang masih berusia sangat muda.
Pria berumur lima puluh tahun lebih yang datang
menyambut tamu benar-benar merasa kaget. Secara reflek
mulutnya menganga. Sepertinya dia sama sekali tidak
menyangka bahwa tamu besar yang datang mengunjungi
majikannya dari tempat yang jauh ini adalah seorang tamu
wanita. Perempuan muda ini sepertinya baru berumur sekitar dua
puluh tahun, tubuhnya tegap dan kekar namun sangat
ramping, wajahnya cukup rupawan, sangat menarik perhatian.
Sekali melihat semua orang pasti langsung tahu kalau dia
sudah berpengalaman, perempuan ini tidak dapat dibilang
cantik sekali. Namun dia memiliki kharisma yang sangat
menarik perhatian. Dia berkata dengan perlahan-lahan:
"Mohon tunjukkan jalan"
Kalimat ini bagaikan kicau burung kutilang, apalagi karena
hari masih sangat pagi, kata-katanya terasa sangat enak
didengar. Pria tua yang menyambut tamu tiba-tiba tersentak
dan kembali sadar. Dia segera membalikkan tubuh,
mengulurkan tangannya dan berkata:
"Nona, silahkan..."
Perempuan ini mengenakan celana sutra, diluarnya dia
masih mengenakan mantel panjang berwarna ungu
kemerahan yang memiliki kerah bulu tebal. Gerakannya
sangat ringan bagaikan sedang melayang. Dia terlihat unik.
Leng Souw-hiang sekarang sudah hampir berusia enam
puluh tahun, namun karena dia pandai merawat tubuhnya, dia
masih tetap terlihat sangat sehat dan tegap. Hanya saja di
kedua pelipis dia rambutnya mulai berubah warna menjadi
putih, namun ini tidak membuatnya terlihat tua, malah
membuatnya semakin berwibawa.
Setelah melihat bahwa tamunya adalah seorang nona yang
masih muda, Leng Souw-hiang juga sempat tertegun
beberapa saat. Namun, dia sama sekali tidak memandang
rendah tamunya. Kalau dia memang datang dari luar kota,
sudah delapan puluh persen dapat dipastikan kalau dia adalah
orang yang diutus datang kemari oleh raja Su-cen. Raja tidak
mungkin sembarangan mengutus seseorang yang tidak bisa
apa-apa. perempuan ini pastilah memiliki keistimewaan tersendiri
sehingga mendapat kepercayaannya.
Setelah berpikir sampai sedemikian, secara otomatis dia
segera berdiri. "Leng Taiya!" tamu perempuan itu menyapa dengan sangat
hormat. Leng Souw-hiang kembali tertegun, karena perempuan ini
dalam memberi hormat tidak menunjukkan tata krama yang
ditemui diantara masyarakat umumnya dan juga bukan tata
krama yang ditemui diantara masyarakat suku Han. kedua
tangan-nya tetap dirangkupkan didepan dadanya. Karena dia
menggunakan mantel terusan yang besar, ditambah dengan
gerak-geriknya seperti ini, dia terlihat sangat gagah. Namun
ini adalah cara menyapa para pendekar yang umum ditemui di
dunia persilatan! Leng Souw-hiang bertanya pada dirinya
sendiri, rasanya dia tidak pernah berurusan dengan orang
yang datang dari kalangan persilatan!
Karena tertegun kaget, dia sampai lupa mem-balas
salamnya. Untunglah pria tua yang sudah menunjukkan jalan
masuk padanya segera mewakilkan tuan besar untuk
membalas salamnya dan memper-silahkannya duduk.
"Tidak perlu sungkan, tidak perlu sungkan!" barulah Leng
Souw-hiang kembali sadar, "melihat nona sangat rupawan,
sangat berwibawa, tidak terasa aku sudah tertegun melihat
nona........nona datang dari mana?"
"Li-sun" Setelah mengatakan tempat asal usul kedatangannya, hati
Leng Souw-hiang langsung menjadi tenang. Raja Su-cen
tinggal di daerah itu. melihat tingkah laku dan penampilan
nona muda ini, dia mungkin sekali adalah utusan raja Su-cen.
Kalau tidak, Siapa yang lebih cocok"
"Bagaimana kabar raja" Apakah dia baik-baik saja?" Leng
Souw-hiang sambil sedikit membungkuk-kan tubuh memberi
hormat dengan sangat sopan dan bertanya dengan perlahanlahan.
Sepertinya dia ber-maksud memancing nona ini untuk
mengatakan siapa yang menyuruhnya datang.
"Sangat baik" jawabannya sangat singkat.
"Bagaimana keadaan disana?"


Walet Besi Karya Cu Yi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kali ini dia tidak berkata apa-apa. Dia hanya menganggukanggukkan
kepala. Pada waktu yang bersamaan dia melirik ke
arah pelayan tua yang mengantarnya masuk.
"Pergi!" Leng Souw-hiang segera mengibaskan tangannya.
Pria tua penunjuk jalan segera mundur dan melangkah
keluar meninggalkan ruangan. Dia menutup pintu
dibelakangnya. Sekarang di dalam ruangan hanya tinggal
kedua orang ini. "Leng Taiya, aku ingin bertanya padamu. Anda biasa
menggunakan tangan yang mana untuk memegang pena
ketika sedang menulis surat?"
"Tangan kanan" "Kalau begitu, tolong ulurkan tangan kanan-mu!"
Leng Souw-hiang merasa sedikit heran, namun dia tetap
mengulurkan tangan kanannya. Tidak biasa-nya dia langsung
menuruti apa yang diperintahkan padanya. Namun kali ini
benar-benar aneh. Sepertinya ini disebabkan oleh kharisma
yang sangat besar yang dipancarkan dari dirinya.
"Kalau ada seseorang yang sudah berbuat kesalahan dan
membuat seseorang marah, lalu orang yang sudah dibuat
marah itu bertanya padanya: 'mana yang akan kau pilih"
Apakah kau lebih rela dipotong tenggorokan ataukah dipotong
tangan kanan"' kalau orang itu adalah kau, yang mana yang
akan kau pilih?" Leng Souw-hiang benar benar tersentak kaget, cepat-cepat
dia menarik tangan kanan yang sudah diulurkannya.
Gerak-gerik perempuan ini benar-benar sangat cepat,
hanya dengan satu langkah besar saja dia sudah berada
dihadapan Leng Souw-hiang, di tangannya sekarang sudah
terlihat sebilah pisau yang sangat tajam. Ujung pisau yang
runcing menekan dada Leng Souw-hiang dengan kuat, dia
sebenarnya berpikir untuk melangkah mundur menghindari
serangan, namun kedua kakinya sama sekali tidak mau
menuruti keinginannya. "Leng Taiya, sebenarnya kau akan membuat pilihan yang
mana?" "No... Nona, se... sebenarnya ba... bagaimana bisa seperti
ini" a....apakah kau benar orang suruhan raja Su- cen?"
"Cepat tentukan pilihanmu!"
"No....Nona, apakah aku pernah berbuat salah padamu
sebelumnya?" "Pilih!" Hanya sepatah kata... namun sepatah kata ini memiliki
kekuatan yang luar biasa. Perlahan lahan tangan kanan Leng
Souw-hiang yang gemetar hebat kembali terjulur.
"Leng Taiya, dengar baik-baik! Sepuluh tahun yang lalu
tangan kananmu ini sudah berbuat kejahatan semacam apa,
kau sendiri sudah mengerti. Sekarang sudah tiba waktu
pembalasannya. Leng Taiya, sebelah tanganmu akan terputus,
pasti akan terasa sangat sakit. Namun kau harus menahan
rasa sakitnya, kau tidak boleh berteriak. Kalau kau sampai
berteriak sedikit saja, bukan hanya kau akan kubunuh, bahkan
seisi kediaman ini pun pasti akan berjatuhan korban yang
tidak bersalah. Apakah kau sudah mengerti?"
"No...nona, apakah aku bisa mengeluarkan uang untuk
menebus kesalahanku" Kau ingin berapa....berapa banyakpun,
aku pasti akan memberi....memberi sebanyak itu"
"Kau sekarang pasti sudah mengerti, uang tidak selalu bisa
menyelesaikan semua urusan. Tidak masalah kau memiliki
berapa banyak uang, kau tidak punya cara untuk kembali
menumbuhkan lenganmu yang putus dari pundakmu
itu....tolong angkat tangan kananmu sedikit"
Tubuh Leng Taiya gemetar hebat, namun seluruh tubuhnya
terasa sangat lemas. Tangan kanannya sama sekali tidak
memiliki tenaga untuk diangkat.
Gerakan tangan nona muda ini sangat kejam, dia tidak
segera menebaskan pisaunya kuat-kuat untuk memutuskan
tangan lawannya, namun dia dengan perlahan-lahan
menyayatkan pisaunya. Leng Taiya tidak hanya harus
menahan sakit yang luar biasa, namun juga harus menahan
sakit hati yang sangat dalam.
Nona muda ini menggunakan tangannya untuk menekan
ujung jari Leng Taiya, sehingga tangannya terjulur lurus
kedepan. Melihat dari gerak-geriknya, dia tampak seperti akan
memotong seekor ikan, atau seekor ayam.
"Aku akan berkata sekali lagi. kau sama sekali tidak boleh
berteriak. Sekali berteriak, kau akan segera kehilangan nyawa.
Kau pun akan mempersulit hidup orang lain!"
Leng Taiya bercucuran keringat dingin, sepasang kakinya
gemetar sangat hebat, dia merasa akan segera pingsan.
0-0-0 Pada hari yang sama, di Pakhia terdengar empat kasus
yang kejam. Tangan kanan Leng Taiya terpotong, sepasang bola mata
milik direktur utama sebuah perusahaan bank terkemuka yang
bernama Hui Ci-hong dicokel keluar. Seorang seniman yang
serba bisa di Pakhia, yang mahir bermain alat musik, adu
catur, terpelajar dan pandai menggambar, yang bernama Tan
Po-hai, juga mengalami kejadian yang serupa. Pelakunya
sudah memotong kedua daun telinganya. Seorang tuan besar
yang pernah mengabdi di Ciu-mui pada dinasty Ceng yang
bernama Oey Souw menderita luka paling ringan. Dengan
pisau yang tajam, pelakunya menorehkan tanda X pada
pipinya. Setelah pelaku melukai para korbannya, pada setiap tempat
kejadian perkara, dia selalu meninggal-kan sebuah tanda yang
sama ........ukiran seekor burung walet yang terbuat dari besi
dan juga terdapat tetesan lilin berwarna merah menempel di
bagian mata burung walet tersebut.
Leng Souw-hiang dan Hui Ci-hong yang masing-masing
sudah kehilangan tangan dan matanya. Setelah menahan
penderitaan yang sangat parah, mereka berdua segera
pingsan. Setelah ditolong mereka barulah kembali sadar, luka
yang diderita oleh Tan Po-hai dan Oey Souw tidak termasuk
parah, namun mereka semua melakukan hal yang tidak
dimengerti banyak orang. Terhadap kasus ini, mereka semua
sama sekali tidak mempermasalahkannya, malah sebaliknya
mereka berkeras mereka tidak melihat pelakunya. Jelas bahwa
mereka semua sedang berbohong. Alasan mereka berbohong
sepertinya ada dua: Pertama mereka takut pelakunya akan
lebih beringas dan membalas dendam. Kedua, mereka tidak
ingin kasus ini membuat semua rahasia yang mereka miliki
akan terbongkar. Tentu saja orang lain juga akan mengambil kesimpulan
yang sama, bahwa semua pelakunya adalah orang yang sama.
Alasan keempat orang yang menjadi korban pun pasti sama.
Karena mereka semua pernah melukai si pelaku. Beratnya
kejahatan yang sudah mereka lakukan setimpal dengan luka
yang mereka derita saat ini. hanya anak Oey Souw yang tidak
ikut melakukan kejahatan dengan tangannya sendiri. Dia
hanya menanggung dosa yang diperbuat orang tuanya. Dia
baru berumur dua puluh tahun, tidak mungkin dia bisa
melakukan kejahatan bersama-sama dengan para tuan besar
yang sudah berumur itu. Keempat kejadian yang mengerikan ini terjadi ketika hari
masih sangat pagi. Belakangan berdasarkan atas bukti-bukti
yang ada, tempat kejadian dan waktu terjadinya peristiwa,
Leng Souw-hiang adalah korban yang mendapatkan luka
paling parah. Leng Souw-hiang memiliki empat anak laki laki dan tiga
anak perempuan, dia juga masih memiliki seorang anak
angkat yang bernama Wie Kie-hong. Ayah kandungnya yang
bernama Wie Ceng, sebenar-nya terlahir di dalam keluarga
gerombolan penjahat, namun belakangan dia berubah menjadi
orang yang baik. Dia mengabdi di dalam keluarga kerajaan
raja Su-cen selama beberapa tahun menjadi seorang penjaga.
Dia benar-benar mendapat kepercayaan pejabat Leng. Satu
kali dia pernah mendapat perintah dari pejabat Leng, pergi
keluar kota untuk menyelesaikan suatu tugas rahasia, entah
tugas apa yang diberikan padanya" sepertinya tugas ini hanya
mereka berdua yang tahu. Setelah pergi menunaikan
tugasnya, dia tidak pernah kembali lagi. Setelah diselidiki
ternyata dia sudah mengorbankan nyawanya demi Leng
Souw-hiang. Leng Taiya masih memiliki sedikit hati nurani, dia
kemudian merawat dan mendidik anak yang ditinggal-kannya.
Dia menjadi anak angkat kesayangannya, dan
diperlakukannya seperti anaknya sendiri.
Semenjak kecil, Wie Kie-hong sudah mem-pelajari ilmu silat
yang diajarkan ayahnya, ditambah dengan bakat alamnya,
belajar sebentar saja dia sudah mencapai tingkat yang
lumayan tinggi. Jika saat peristiwa itu berlangsung, dia sedang
berada di sisi Leng Souw-hiang, pelakunya belum tentu dapat
memotong tangan Leng Taiya dengan begitu mudah.
Tiga orang ahli pengobatan spesialis merawat luka yang
terkenal dipanggil ke kediaman Leng Taiya untuk merawat
lukanya. Berkat kepandaian mereka, nyawa Leng Souw-hiang
dapat terselamatkan. Luka fisiknya dapat disembuhkan,
namun luka batinnya sulit untuk diobati. Setelah peristiwa itu
dia selalu mengurung diri dan tidak ingin bertemu dengan
siapapun juga. Leng Souw-hiang menyuruh semua orang
untuk meninggalkannya, dia hanya ingin menemui anak
angkatnya Wie Kie-hong seorang diri.
"Kie-hong!" kata Leng Souw-hiang tampak sangat lemah,
namun dia masih terlihat mantap, "duduklah, ada urusan yang
ingin aku beri tahukan padamu."
Wie Kie-hong memindahkan sebuah bangku panjang dan
duduk disamping ranjang. "Tadi aku dengar kalau Hui Ci-hong, Tan Po-hai, dan Oey
Souw juga terluka sangat parah...." Leng Souw- hiang
mengatakan kalimat ini kata per kata dengan sangat jelas,
"kalau betul seperti ini, aku bisa menebak asal-usul
pelakunya." "Ayah!" setelah ayah kandungnya meninggal, Wie Kie-hong
lalu memanggil Leng Souw-hiang dengan sebutan itu, "Aku
dengar pelakunya adalah seorang perempuan muda yangbaru
berumur dua puluh tahun."
"Memang dia adalah seorang perempuan muda, namun kau
sama sekali tidak boleh memandang rendah perempuan ini. di
seluruh tubuhnya aku merasakan hawa yang dimiliki seorang
pembunuh yang sangat beringas, sangat tidak baik untuk
dihadapi .... Kie-hong, sekarang aku ingin kau mengerjakan
suatu tugas. Tapi ingat! Kau tidak boleh memberitahukan
tugas ini pada siapapun juga!"
"Baiklah ayah" "Di seberang gang San-poa tempat kediaman raja Su-cen,
ada seorang peramal, dia selalu membawa spanduk tanda
ramal. Dia selalu dipanggil Bu Tiat-cui. Kalau kau sudah
menemuinya, berikan barang ini padanya...." Leng Souwhiang
mengeluarkan sebuah hiasan yang terbuat dari giok dari
balik bantalnya. Melihat dari warna dan garis-garis di
permukaannya, mudah ketahuan kalau itu bukanlah sebuah
barang yang berharga, "berikanlah barang ini pada Bu Tiatcui,
nanti dia akan memberikanmu sebuah kotak kecil yang
terbuat dari kulit impor dari luar negeri."
"Ayah! Apakah aku harus membawa kotak itu dan
memberikannya padamu?"
"Tidak!" suara Leng Souw-hiang, "kau harus cepat-cepat
pergi naik kereta ke sebelah utara Tai-ouw, dan buanglah
kotak itu ke laut." Wie Kie-hong tertegun. Leng Souw-hiang mengulang perintahnya:
"Kie-hong, ada dua hal yang harus kau ingat. Walaupun
kau harus kehilangan nyawamu, kau tidak boleh membiarkan
orang lain merebut kotak yang akan kau bawa itu, kau juga
tidak boleh melihat isi kotak itu!"
"Baik" "Kau cepatlah pergi, pergilah seorang diri, jangan sampai
ada seorang pun yang mengikutimu. Jangan sampai ada
seorangpun mengenali siapa dirimu!"
"Baik" Tahun ini Wie Kie-hong barulah berumur dua puluh duatiga
tahun. Sebenarnya sejak awal pun dia sudah mencari
mempelai perempuan dan menikah. Namun dia membuat ikrar
di depan para dewa, bahwa sebelum dia mengetahui dengan
jelas apa yang sudah membuat ayah kandungnya meninggal,
dia iidak akan memiliki seorang istri. Dia selalu menuruti dan
melakukan semua perintah yang diberikan 'oleh Leng Souwhiang,
hanya perintah mencari istri ini saja yang tidak
digubrisnya. Walaupun Wie Kie-hong masih muda, namun dia sangat
berpengalaman. Dia sangat tenang, kharisma nya yang besar
seperti sudah menjadi pembawaan sejak lahir! Setelah
menyanggupi perintah ayahnya, dia segera meninggalkan
kediaman keluarga Leng. Dia tidak menaiki kereta kuda
miliknya sendiri, tapi dia pergi ke depan gang dan menyewa
sebuah kereta. Kereta yang dikendarainya berhenti di depan gang Sanpoa.
Wie Kie-hong turun disana. Pertama-tama dia melihat kiri
dan kanan memperhatikan keadaan disekelilingnya. Setelah itu
dia perlahan-lahan berjalan menuju ke dalam gang dengan
sangat santai, tempat tinggal raja Su-cen yang berukuran dua
puluh hektar masih ada disana, hanya saja pada sekarang
gangnya sangat ramai. Banyak kereta kuda berlalu lalang
bagaikan air yang mengalir. Dia terus berjalan kedalam,
setelah berjalan beberapa lama, dia akhirnya melihat sebuah
tanda yangbertuliskan "Bu Tiat-cui" ini.
Tempat ini adalah sebuah rumah yang memiliki tiga
pekarangan. Pintu masuk ke tamannya setengah terbuka. Wie
Kie-hong masuk kedalam dengan langkah santai. Setelah
melewati pintu taman, pada pintu masuk rumah yang ada
dihadapannya terpasang pelat yang bertuliskan syair: "percaya
tidak percaya, boleh segera dicoba ... tepat tidak tepat, nanti
akan segera diketahui, setelah melewatinya pasti akan
mendapat pengetahuan" dua kalimat ini bahkan anak yang
berumur tiga tahun pun sudah bisa menghafalnya diluar
kepala. Dia berdiri didepan pintu masuk bangunan, dia tidak
melepas topi yang dikenakannya ketika menengok kedalam
ruangan. Dengan suara yang enteng dia menyapa: "Apakah
ada orang didalam?"

Walet Besi Karya Cu Yi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tidak ada jawaban. Wie Kie-hong mendorong pintu masuk dan bertanya sekali
lagi. Namun tetap tidak terdengar jawaban apapun dari dalam,
karena itu dia langsung berjalan masuk.
Ruang tamu bangunan itu tidak jauh berbeda dengan
ruang tamu bangunan biasa, di sebelah kiri dan kanan
terdapat ruang samping. Pada pintu masuk ruang samping
sebelah kanan tergantung tirai bambu, didepan pintu
masuknya terdapat sebuah pelat kayu yang bertuliskan "Tamu
yang terhormat, silahkan masuk"
Wie Kie-hong berjalan kesana dan menyibak kan tirai
bambu. Dia terus berjalan masuk ke dalam. Didalam terlihat
Bu Tiat-cui sedang tertidur bersandar pada sebuah meja.
Namun dia segera sadar kalau dia sudah salah sangka. Bu
Tiat-cui bukan sedang tertidur di meja, tidak ada seorang pun
yang bangun dari ranjang pagi-pagi sekali untuk segera
kembali tertidur dimeja. Apalagi barang-barang di seluruh
ruangan itu sangat berantakan, sepertinya telah terjadi suatu
perkara disini. Wie Kie-hong berjalan mendekat untuk memeriksa keadaan
Bu Tiat-cui dan segera dia merinding, dia belum pernah
melihat kejadian yang seperti ini sebelumnya. Diantara
sepasang alis Bu Tiat-cui sudah tertancap sebatang jarum
besi. Dari keadaan jarum yang terlihat, dapat diduga kalau
jarum itu sangat panjang. Paling sedikit panjangnya bisa
mencapai empat puluh centimeter. Sekarang yang terlihat
diluar keningnya hanya tinggal lima centimeter saja. Jarum itu
sudah menembus otaknya sejauh tiga puluh lima centimeter.
Tidak terlihat setetes darahpun disana. Bu Tiat-cui meninggal
dengan sangat bersih. Sepertinya pelakunya benar-benar
sangat kejam. Wie Kie-hong sama sekali belum melupakan tugas yang
sudah diberikan padanya. Namun sayang dia tidak
menemukan kotak yang harus diberikan padanya. Mungkin
juga kotak itu sudah direbut oleh orang lain.
Apa yang sedang dikerjakan oleh Bu Tiat-cui sebelum dia
meninggal" Wie Kie-hong memeriksa keadaan ruangan dengan sangat
teliti. Dia menemukan bahwa sesaat sebelum meninggal, Bu
Tiat-cui sedang menulis. Kuas bulu tergeletak di lantai, tinta
hitam tampak tercecer dimana-mana. Namun apapun yang
sedang ditulisnya, suratnya sudah diambil oleh orang lain.
Wie Kie-hong secara samar-samar dapat membayangkan
kejadian pembunuhan yang terjadi pada waktu itu. Dua orang
laki-laki yang berperawak-an tinggi besar berdiri di sisi kiri dan
kanannya dan memegangnya dengan kuat. Orang yang
satunya lagi memaksa Bu Tiat-cui untuk menyerahkan
kotak yang dicarinya. Dia menempelkan jarum panjang itu
diantara kedua alisnya untuk mengancam Bu Tiat-cui. Kalau
tebakan Wie Kie-hong tidak salah, sepertinya pelakunya sudah
mendapatkan barang yang dicarinya. Kalau tidak, dia tidak
mungkin membunuh Bu Tiat-cui.
Berdasarkan keadaan ruangan ini, Wie Kie-hong kembali
menebak. Bukan Bu Tiat-cui yang ter-paksa memberitahukan
tempat kotak itu disembunyi-kan, namun si pelaku kejahatan
sudah berhasil menemukan kotak itu sendiri dengan
mengobrak-abrik semua barang-barang yang ada didalam
kamar. Wie Kie-hong merasa tidak perlu berada didalam ruangan
itu lebih lama lagi. dia harus cepat-cepat kembali pada Leng
Souw-hiang dan melaporkan semua kejadian yang sudah
dialaminya, dia akan melihat apakah Leng Souw-hiang
memiliki jalan lain untuk menyelesaikan masalah ini.
Dia segera melangkah keluar. Namun sewaktu dia sudah
keluar dari bangunan, ketika masuk kedalam taman, tiba-tiba
saja dia berhenti. Sewaktu dia masuk ke dalam, dia tidak menutup pintu
masuk taman. Namun sekarang pintu masuk taman sudah
tertutup dengan rapat. Juga pada waktu itu dia sama sekali
tidak merasakan ada angin yang bertiup.
Kalau misalnya memang daun pintu menutup karena tertiup
angin, Wie Kie-hong pasti sudah mendengar suara pintu yang
terbanting menutup. Dia sudah menguasai ilmu silat selama
puluhan tahun, semua pendekar yang menguasai ilmu silat
pasti akan memiliki firasat bahwa ada sesuatu yang salah
disini. Oleh karena itu Wie Kie-hong menduga ada dua
kemungkinan ... kesatu sewaktu dia pertama masuk keruang
pinggir didalam bangunan, seseorang masih berada di ruang
tengah. Dia memanfaatkan kesempatan ketika Wie Kie-hong
berada diruang pinggir, diam-diam melarikan diri keluar,
setelah itu dia menutup pintu. Yang kedua adalah saat ini
masih ada seseorang di dalam. Mungkin dia berniat untuk
berbuat sesuatu, sehingga dia sengaja menutup pintu masuk
agar orang-orang yang lewat diluar tidak akan memperhatikan
apa yang terjadi didalam.
Wie Kie-hong yakin bahwa kemungkinan kedua lebih masuk
akal. Kalau musuh cepat cepat pergi, dia tidak mungkin diamdiam
keluar dengan menutup pintu. Peluangnya sangat kecil.
Menutup pintu dari luar kemungkinan akan menimbulkan
suara, bukankah itu akan membuat orang lain lebih curiga"
Sekarang Wie Kie-hong sudah mempersiapkan diri, dia
segera berjalan keluar. Benar saja, tiba-tiba ada orang yang datang menyelinap
dan berhenti dihadapan Wie Kie-hong. Namun dugaannya
tidak seratus persen tepat. Yang keluar hanya satu orang saja,
dan orang itu tidak terlihat akan menyerang.
Orang itu sepertinya berumur sekitar tiga puluh tahun,
tubuhnya tinggi besar dan terkesan sangat kasar, gerakgeriknya
ringan dan gesit. Di sebelah tangannya memegang
secarik surat. Dia segera mengangkat tangan yang memegang
surat dan menyodorkannya pada Wie Kie-hong. Wie Kie-hong
langsung mengerti apa yang diinginkan oleh orang itu.
Wie Kie-hong mengambil surat. Di amplop surat tidak
tertulis sepatah katapun, setelah surat dikeluarkan dari
amplop, di atas kertas surat hanya tertulis:
"Semua fitnah ada permulaannya, semua hutang pasti ada
pemiliknya. Tidak ingin menyulitkan orang yang tidak terlibat.
Juga tidak mengijinkan orang lain ikut campur tangan. Aku
mengharapkan anda tahu diri! Peringatan dari: Thiat-yan
(Walet Besi)." Setelah selesai membaca surat ini, orang yang
mengantarkan surat tidak segera pergi, tampak dia sedang
menunggu Wie Kie-hong untuk mengatakan sesuatu.
"Siapa yang sudah menyuruhmu untuk mengantarkan surat
ini?" "Thiat-yan" "Apakah Bu Tiat-cui dibunuh Thiat-yan?"
"Tidak tahu" "Baiklah, antarkan aku menemui Thiat-yan"
"Mohon maaf, aku tidak mendapat perintah untuk
melakukan hal ini" Wajah Wie Kie-hong tampak sedikit berubah, sepertinya dia
berpikir hendak melakukan sesuatu, namun dia tidak segera
bertindak. Dia tidak gegabah. Dia bisa melihat, tidak masalah
muslihat apapun yang akan digunakannya, orang ini tidak
mungkin akan mengkhianati tuannya.
"Kau sedang menunggu apa?" suara Wie Kie-hong tetap
terdengar tenang. "Menunggu jawabanmu"
Surat yang ada ditangan Wie Kie-hong mulai disobek-sobek
tapi tidak dibuang. Setelah habis disobek dia berkata dengan
dingin: "Ini adalah jawaban dariku. Kalau suatu hari nanti Thiatyan
jatuh ke dalam tanganku, aku pun pasti akan menyobeknyobeknya
seperti surat ini..."
Setelah mengatakan ini, Wie Kie-hong terus berjalan
keluar. Setelah membuka pintu di taman, dia melihat diluar
masih ada empat orang lagi. Ada yang berdiri, ada yang
berlutut, ada yang berjalan mondar-mandir. Dilihat sekilas
mereka tampak seperti pejalan kaki yang kebetulan sedang
lewat, namun sebenarnya mereka pasti orang yang diutus
oleh Thiat-yan. Kalau saja tadi dia turun tangan menyerang,
tampaknya dia tidak akan mudah memenangkan perkelahian.
Di mulut gang San-poa, Wie Kie-hong kembali menyewa
sebuah kereta kuda. Dia meminta sais kuda agar cepat
mengantar kembali pada keempat blok rumah bertingkat di
sebelah timur. Dia menyadari bahwa Thiat-yan tidak hanya
memiliki tenaga yang sangat besar, namun gerakannya juga
bisa sangat cepat. Jelas terlihat kalau dia sudah menyusun
tipu muslihat dengan baik dan sudah sejak lama
mempersiapkan semuanya. Sepintas saja sudah terlihat
kemam-puannya yang luar biasa, dan lagi dari surat yang
diberikan padanya bisa terlihat kalau pembunuhan yang tadi
terjadi bukanlah yang terakhir tapi sebuah awal.
Dia berencana untuk berunding dengan ayah angkatnya
sampai tuntas. Dia juga ingin mengetahui, mengapa bisa
terjadi hal seperti ini. untuk menghadapi seorang musuh yang
kuat, dia harus mengerti asal-usul kejadiannya.
Sekarang Thiat-yan sudah menjadi musuh nomor satu Wie
Kie-hong. Wie Kie-hong sudah kembali ke gang tempat tinggal ayah
tirinya. Dia melihat bahwa tempat kediaman Leng Souw-hiang
kedatangan seorang tamu, karena di depan pintu masuk ada
seekor kuda berwarna putih yang diikat disana. kuda ini
sangat dikenalnya dengan baik. Pemilik kuda ini adalah Tu
Liong. Dia sebenarnya berasal dari mongolia. Karena nama
aslinya terlalu panjang untuk diingat, oleh karena itu dia
diberikan nama mandarin sesuai tata bahasa Han yang pendek
dan sederhana. Tu Liong berperawakan tinggi besar, dia
sangat senang bertarung, terutama dalam pukulan tangan
kosong, dia benar-benar sangat mahir.
Tu Liong adalah pengawal Cu Siau-thian yang sangat
termashyur di Pakhia, mengenai Cu Siau-thian, Wie Kie-hong
tidak terlalu banyak mengetahui seluk beluknya. Dia hanya
tahu kalau Leng Souw-hiang sangat sombong pada orang lain.
Namun pada Cu Taiya yang satu ini dia benar-benar menaruh
hormat, dia sangat kagum pada Tu Liong. Sekarang ini setelah
melihat kuda putih itu, dia cepat-cepat berlari masuk kedalam.
Walaupun Tu Liong turunan Mongolia, namun dia sudah
berbaur dengan budaya Han sejak lama. Yang tersisa dari
kesan Mongolianya adalah tampang dan perawakannya,
melihat Wie Kie-hong, dia cepat-cepat berdiri menyambutnya.
Dia merangkupkan tangan didepan dada, dan berkata dengan
penuh perasaan: "Kie-hong, kau sudah pulang?"
"Tu Toako, sudah berapa lama disini?"
"Sudah lumayan lama. Cu Taiya mendengar bahwa disini
telah terjadi sebuah perkara, oleh karena itu dia menyuruhku
untuk datang kemari dan mencari tahu. Namun aku tidak
dapat mencari tahu terlalu banyak, karena Leng Taiya tidak
mau menemuiku. Ini.... bagaimana aku bisa pulang kembali
untuk melapor kalau aku tidakbisa menemuinya?"
"Tu Toako, kau harus maklum pada hal ini. ayah angkat
sudah tua, dan lagi dia baru saja terluka parah, dia mengalami
shock yang sangat berat. Semangatnya pastilah masih sangat
labil. Dia harus banyak beristirahat!"
"Apakah kau melihat siapa yang melakukan semua ini?"
"Tidak" "Apakah tidak seorang pun yang melihat pelaku kejahatan
ini masuk ke rumah?"
"Untuk apa Tu Toako menanyakan semua ini?"
"Baiklah, aku tidak bertanya lagi....Kie-hong, kau tadi pergi
kemana?" "Mengerjakan tugas kecil yang diberikan ayah.... betul juga,
Tu Toako, silahkan anda duduk sebentar, aku akan masuk dan
melihat keadaannya."
Leng Souw-hiang sudah menyuruh beberapa orang untuk
berjaga di depan pintu masuk kamarnya. Wie Kie-hong tentu
saja bisa masuk tanpa dihalangi. Setelah Leng Souw-hiang
melihat dirinya, raut wajahnya langsung berubah.
"Apakah urusannya sudah beres?"
"Ayah, Bu Tiat-cui sudah mati"
"Hah?" "Ada orang yang mendahuluiku kesana....pada waktu aku
pergi meninggalkannya, ada orang yang memberiku surat ini.
Coba lihat!" Setelah Leng Souw-hiang selesai membaca suratnya,
kepalanya langsung mengucurkan keringat dingin, hatinya
seperti sudah diselimuti rasa takut yang pekat.
"Ayah! sebenarnya apa yang terjadi?"
"Isi surat ini harus kau ingat. Sapu salju yang ada
dihalaman, jangan perdulikan salju yang berada diatas
genting....apakah Tu Liong masih ada diluar?"
"Masih" "Apakah kau memberitahukan sesuatu padanya?"
"Sepatah katapun tidak"
"Suruhlah Tu Liong pulang, dan beritahu Cu Taiya, luka
kecil ini tidak perlu diingat-ingat, setelah sembuh nanti boleh
tengok kembali." "Baiklah" Wie Kie-hong segera melakukan perintah ayahnya, dia
segera pergi keluar kamar dan memberitahukan Tu Liong apa
yang sudah diperintahkan ayahnya. Tu Liong segera mohon
diri, namun dia meminta Wie Kie-hong untuk menemani dan
mengantarnya keluar. "Kie-hong" sambil berjalan Tu Liong mengajak bicara, "aku
ingin memberitahumu tentang suatu hal. Setelah pelakunya
melukai empat orang, dia masih ingin membunuh satu orang
lagi, barulah tercapai keinginannya, apakah kau tahu siapa
orang yang kelima?" "Siapa?" "Majikanku Cu Taiya"
"Benarkah...?" "Aku tidak mungkin berbohong didepanmu. Aku sekarang
datang kemari, tujuan utamanya adalah untuk berbicara
padamu. Kie-hong, berilah aku sedikit petunjuk."
Wie Kie-hong hanya terdiam, dia tidak tahu harus
bagaimana menjawab. "Sekarang ini kau tidak terbuka dan terus terang seperti


Walet Besi Karya Cu Yi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dahulu" "Hatiku terasa sangat berat... Tu Toako! Kalau Cu Taiya
sudah tahu bahwa dia akan menjadi sasaran penyerangan
selanjutnya, dia pasti tahu siapa pelakunya."
"Aku mengerti apa yang kau maksud. Semua itu hanya
baru berupa dugaan, harus diteliti lebih dalam lagi. Kie-hong,
hanya memberi sedikit bocoran saja sudah cukup"
"Ayah tidak memberitahu apapun padaku. Namun
berdasarkan dugaanku, pelakunya kemungkinan besar adalah
seorang wanita, seorang nona yang masih sangat muda."
Walaupun Tu Liong hanya meminta sedikit bocoran
informasi, namun apa yang dikatakan oleh Wie Kie-hong
tampak sangat memuaskannya. Seperti-nya sepotong kalimat
ini, apa yang dia ingin dengar, dia segera berkata:
"Ini sudah cukup.... Ini sudah cukup, aku sekarang pergi.
Titip salamku untuk Leng Taiya nanti."
Tu Liong menaiki kuda putihnya dan mulai memacunya
pulang, dia memacu kudanya sangat cepat, membuat Wie Kiehong
merasa sedikit aneh. Dia berpikir hendak menyusul
untuk menanyakan keadaannya sampai jelas, namun dia tidak
berbuat demikian. Tu Liong adalah orang yang selalu bergerak
cepat. Biasanya ketika sedang bertemu dengan Wie Kie-hong
pun dia selalu menjaga jarak, sampai-sampai kalau Wie Kiehong
ingin tahu apa-apa darinya, tidak selalu yang dia
tanyakan bisa langsung dijawab olehnya.
Pengurus tuan besar yang tinggal di dalam kediaman Leng
yang bernama Su-cie datang menghampiri, dialah pelayan
yang mengantarkan perem-puan muda itu menemui Leng
Taiya. Perlahan-lahan dia berkata:
"Wie Siauya, ada sedikit hal yang ingin aku bicarakan
denganmu." "Oh?" Wie Kie-hong memperhatikan bahwa sikap Su-cie
sangat serius, dia sedikit merasa khawatir.
"Wie Siauya, apakah Leng Taiya tidak memberi tahumu
siapa yang sudah melakukan kejahatan padanya?"
"Tidak" "Aneh" Kenapa Taiya tidak mau memberi-tahukan
padamu?" "Sebenarnya walaupun tidak diberitahu, tapi kami semua
juga sudah bisa menebaknya, dia pasti tamu wanita muda
yang datang pagi itu."
"Wie Siauya, bukan aku ingin melalaikan tanggung
jawabku, namun berdasarkan pengamatan-ku, belum tentu
perempuan itu pelakunya. Pada waktu dia keluar, aku masih
melihat dia mohon pamit dengan tuan besar"
"Apa kau melihat dengan mata kepalamu sendiri?"
"Tidak, aku menunggu mereka berdua diluar kamar"
"Apakah waktu itu kau melihat Gihu (ayah angkat) ku?"
"Tidak. Aku hanya melihat tamu perempuan itu keluar dari
ruangan. Sambil memberi hormat, dia berkata pada tuan
besar agar tetap tinggal ditempat-nya."
"Pengurus Su, ini hanya tipu muslihat menghindari
kesulitan yang lebih besar, dia tidak ingin membuat keadaan
menjadi kacau." "Wie Siauya, kata-katamu masuk akal juga, tapi... tapi...
apakah tidak sakit kalau kehilangan sebelah tangan" Kenapa
aku tidak mendengar tuan besar menjerit kesakitan?"
Wie Kie-hong mengkerutkan kedua alisnya sampai nyaris
bersatu. Dia tidak bisa memikirkan alasan yang masuk akal
untuk menjawab pertanyaan ini. Kediaman Leng Taiya
dipenuhi oleh orang-orang yang mahir dalam ilmu silat.
Asalkan Leng Souw-hiang memanggil, tidak masalah
betapapun lihainya perempuan itu, dia tidak mungkin bisa
menang. Namun Leng Souw-hiang sama sekali tidak
mengeluarkan suara, dia benar-benar pasrah, ini... ?"
"Pengurus Su, aku dengar didekat tubuh ayah angkat
ditemukan semacam barang. Apakah barang itu ditinggalkan
oleh pelaku kejahatan?"
"Iya. Itu adalah ukiran seekor walet. Walet yang terbuat
dari besi" "Coba bawa kemari, aku ingin melihatnya"
"Taiya sudah menyimpannya. Dia sudah berpesan padaku
agar tidak memberitahukan pada orang lain"
"Thiat-yan... Thiat-yan! Tidak salah, orang yang sudah
melukai ayah angkat adalah Thiat-yan. Pengurus Su, pasti
perempuan itu orangnya. Kau tidak usah merasa bersalah.
Pelakunya pun tidak akan menggores-kan tulisan dikepalanya
Akulah pelakunya,' tapi aku ingin meminta suatu hal padamu,
beberapa hari ini kau jangan keluar rumah, tidak masalah
pergi kemanapun juga, kau harus ditemani oleh beberapa
orang pengawal. Kau pernah melihat Thiat-yan dengan mata
kepalamu sendiri, kemungkinan besar dia akan membunuhmu
untuk menutup mulut."
"Benarkah?" pengurus Su terloncat kaget "Pengurus Su,
ingatlah. Kau harus tetap hidup sebagai saksi pelaku
kejahatan" 0-0-0 BAB 2 Terkejut Usia Cu Siau-thian kurang lebih sama dengan usia Leng
Souw-hiang. Apalagi Cu Siau-thian adalah seorang yang
menguasai ilmu silat, walaupun sudah tua namun dia tetap
tampak gagah perkasa, kalau hanya dilihat sekilas, orangorang
pasti akan menyang-ka dia masih muda.
Tangannya sedang asyik memainkan sebuah alat penghisap
cerutu yang terbuat dari gading, sewaktu mendengarkan
cerita Tu Liong, dia tidak mengatakan apa apa. dia hanya
duduk diam seperti sebongkah batu. Dia terlihat tenang dan
tampangnya pun terlihat sangat tentram. padahal Tu Liong
sedang menceritakan kejadian yang sangat mendebarkan hati.
"Cu Taiya! Aku tidak melihat orang-orang yang biasa
dikenal baik oleh kita. Malah orang-orang yang tinggal di
dalam rumah ini pun semua tutup mulut, seperti tidak ingin
membicarakan hal ini. Menurut tuan bukankah ini adalah suatu
hal yang sangat aneh?"
"Ada sebuah pepatah kuno, bencana timbul dari mulut.
Mereka semua sedang melindungi jiwa mereka masingmasing,
mereka tidak ingin menyebar luaskan berita ini, sebab
kalau disebarluaskan, mereka akan mendapat masalah. Ini
juga merupakan sifat egois yang dimiliki manusia ...." kata Cu
Siau-thian sambil memegang cerutunya dan menempelkannya
dimulut. Terdengar suara cerutu yang dihisap dalam-dalam.
Setelah itu dia melanjutkan kata-katanya:
"Tu Liong, kali ini sepertinya kau sudah pergi dengan siasia"
"Aku tidak sia-sia, bisa dibilang aku pergi dan kembali
mendapatkan informasi yang paling penting. Pelakunya adalah
seorang wanita, dia adalah seorang nona yang masih sangat
muda" "Apakah kau yakin?" sepasang alis yang tebal sedikit
terangkat. "Tidak salah" suara Tu Liong terdengar sangat yakin "Cu
Taiya, aku ingin bertanya sesuatu"
"Tentang apa?" "Menurut Leng Taiya, Tuan adalah target kelima yang akan
didatangi pelakunya...."
"Tu Liong" Cu Siau-thian menegakkan kepalanya, sekarang
wibawanya sudah menghilang lama, "bagaimanapun juga aku
tetap merasa senang, aku tidak memiliki keturunan, Kau pun
seorang yatim piatu. Walaupun kita berdua tidak pernah
benar-benar dekat, namun aku sudah menganggapmu sebagai
anakku sendiri..." "Cu Taiya! Aku sangat tersentuh"
"Dihadapanmu aku tidak punya rahasia, aku juga tidak
ingin menyimpan rahasia apapun....aku, Leng Souw-hiang, Hui
Ci-hong, Tan Po-hai, dan masih ada Oey Souw, kami berlima
pernah bekerja sama mencelakakan seseorang. Sekarang
sudah tiba waktu pembalasannya."
"Cu Taiya! Anda....?"
"Dengarkan kata-kataku. Orang-orang per-silatan
semuanya ganas dan kejam. Ini adalah keadaan yang sulit
dihindari. Namun aku Cu Siau-thian punya sedikit...?", aku
tidak ingin menggunakan kekuasaanku sebagai seorang
pejabat untuk menghadapi orang itu ..." Sekarang ini aku pun
merasa bahwa saat itu aku benar-benar sudah kelewatan.
Huh! Kalau sekarang menyesal, apakah ada gunanya?"
"Cu Taiya, anda pasti terlalu banyak menebak yang bukanbukan.
Mungkin saja...." "Aku Cu Siau-thian sudah berkelana di dunia persilatan
puluhan tahun, dan sekarang sudah menjadi orang. Aku harus
berani mengakui kesalahan yang pernah aku perbuat. Pada
waktu itu Tiat Liong-san..."
"Siapakah Tiat Liong-san?"
"Tiat Liong-san adalah seorang pemuda dari suku Han, ..."
pada waktu itu aku juga seorang pemuda yang ceroboh. Dia
selalu tidak akur denganku, akhir-nya dia menyingkir pergi ke
kota. Lalu aku bekerja sama dengan Leng Souw-hiang untuk
mencelakai dirinya."
"Kenapa pada waktu itu Tuan tidak mencabut
permasalahan sampai ke akarnya?"
"Bukannya aku tidak ingin, aku hanya tidak menyangka Tiat
Liong-san sudah mengatur semua dari awal. Sepertinya dia
tahu bahwa dia tidak., dia lalu mencari aku dan orang-orang
dari masa lalunya ..." semenjak saat itu, aku setiap hari selalu
menunggunya. Menunggu keturunan Tiat Liong-san datang
membalaskan dendam. Hemm.! Sepertinya waktu yang
ditunggu akhirnya tiba"
"Bagaimana Tuan bisa sangat yakin tentang hal ini?"
"Lihatlah! barang apa ini?" Cu Siau-thian mengeluarkan
sebuah benda berwarna hitam dari sakunya, "ini adalah
sebuah Walet yang terbuat dari besi. Thiat-yan, seorang
perempuan yang masih muda. Empat kejadian yang terjadi
hari ini. pelaku semua ini pastilah anak perempuan dari Tiat
Liong-san." "Dari mana Tuan dapatkan barang ini?"
"Aku menemukannya tadi ketika sedang berbaring santai.
Selain itu masih ada sebuah surat."
"Surat?" Cu Siau-thian menyerahkan surat yang ditemukannya pada
Tu Liong dan menyuruhnya membaca. Di atas surat hanya
terlihat tulisan... "Sepuluh tahun menunggu, hari ini akan diperhitungkan...
barulah.. .membunuh..tersangka."
Tu Liong tidak berbicara apa-apa, dia juga tidak merasa
perlu berbicara apa-apa. Yang dikatakan oleh Cu Taiya tidak
salah. Sekarang sudah tiba saat pembalasan.
Cu Siau-thian duduk terdiam disana, dari raut wajahnya
jelas terlihat kalau dia merasa putus asa, dia sudah berkelana
di dunia persilatan selama puluhan tahun. Dia sudah menemui
banyak peristiwa pembunuhan yang kejam, dan tidak sedikit
menjumpai para pelaku kejahatan. Dalam ingatannya, dia
tidak pernah menjumpai siapapun yang bisa menandingi
kekejaman yang dilakukan oleh Thiat-yan.
Pembunuhan yang terjadi biasanya dilakukan karena
luapan emosi yang tidak terbendung. Namun nona muda ini
akan membunuh untuk membalas dendam, keadaannya
sangat sadar dan dengan kepala dingin. Kalau hatinya tidak
sedingin besi, gerak-geriknya tidak mungkin sekejam itu.
Dengan pertim-bangan ini, bukankah hal ini sudah
menjadikan nona Thiat-yan sebagai seorang pembunuh yang
menakut-kan" Untuk menghadapi seorang musuh seperti ini, akal apakah
yang akan dibuat oleh Cu Siau-thian"
"Cu Taiya!" setelah terdiam sangat lama, Tu Liong akhirnya
bertanya padanya, "apakah dia bisa datang dan pergi begitu
mudah" dengan penjagaan yang sangat ketat, apakah kita
tidak mampu menahan-nya?"
"Tu Liong, dia sudah memberikan peringatan. Tidak
sembarang orang dapat menembus penjagaan dan
memberikan peringatan seperti ini dengan mudah..."
"Dia bisa meninggalkan surat peringatan itu di sebelah
bantalmu ketika sedang tidur. Mengapa dia tidak
memanfaatkan kesempatan dan langsung membunuhmu" Apa
lagi yang sedang dia tunggu?"
"Mungkin saja dia ingin agar aku merasakan bagaimana
takutnya menjadi sasaran pembunuhan."
"Aku memiliki pandangan lain"
"Oh ya?" semangat Cu Siau-thian sedikit meningkat.
"Mungkin saja Thiat-yan sudah memanfaatkan orang yang
ada didalam rumah. Tujuan meninggalkan surat ini adalah
untuk menghancurkan semangatmu. Saat Tuan sudah tidak
berdaya melawannya, dengan mudah dia akan turun tangan
membunuhmu" Mula-mula sinar mata Cu Siau-thian berkilau sangat terang.
Dia berharap mendengar kemungkinan yang masuk akal.
Namun mendengar teori ini, sinar matanya meredup kembali.
Terakhir dia menggeleng-gelengkan kepala dengan sepenuh
hati dan berkata: "Tidak mungkin."
"Jangan terlalu percaya diri!"
"Orang-orang yang mengabdi padaku adalah para pendekar
yang sudah berjuang bersama-sama disisiku selama bertahuntahun.
Mereka semua rela mati demi diriku. Mana mungkin
diantaranya ada seorang pengkhianat?"
"Tuan jangan lupa kalau di dunia ini masih ada banyak
barang-barang yang lebih menarik. Ketika barang-barang ini
muncul didepan mata, kesetiaan dan nama baik pun bisa
terlupakan" "Barang apakah itu?"
"Harta dan kecantikan"
"Harta dan kecantikan?"
"Mungkin Tuan dahulu juga pernah ter-pengaruh oleh dua
hal ini" Cu Siau-thian tidak berkata apa-apa.
"Cu Taiya! Aku punya sebuah permintaan!"
"Katakanlah" "Mulai dari sekarang, aku ingin meminta Tuan untuk tidak
pergi diluar pemantauanku. Pertama-tama aku harus segera
mencari pengkhianat ini. Aku akan menyingkirkannya. Lalu
aku akan turun tangan memilih beberapa orang untuk
membentuk penjagaan yang sangat kuat. Setelah aku tidak


Walet Besi Karya Cu Yi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lagi memiliki kekhawatiran, aku akan keluar. Aku akan mencari
Thiat-yan dan akan mengadilinya.
Cu Siau-thian tertawa. Walaupun tawanya terlihat
dipaksakan, namun tertawa adalah hal yang sulit didapatkan.
"Apakah Tuan berpikir bahwa aku tidak mampu
melakukannya?" "Aku tertawa karena aku senang memiliki seorang yang
begitu setia di sampingku dan sedang mencoba membuatku
tenang. Pada waktu yang sama, aku juga mentertawakanmu
yang bodoh, karena dugaan dan teori yang kau kemukakan
salah semua." "Salah?" "Tepat sekali, semuanya salah. Harta dan kecantikan
memang dapat membuat seseorang mabuk kepayang. Namun
hal itu tidak mungkin membuat orang yang ada disekelilingku
lupa daratan. Hiasan Thiat-yan itu, surat itu, semua itu ditaruh
di sisi bantalku oleh Thiat-yan. Dia memang memiliki
kesempatan untuk langsung membunuhku namun kesempatan
itu sengaja tidak dipergunakannya."
"Mengapa?" "Karena dia masih mencari sebuah barang" Sekarang topik
pembicaraan beralih. Tu Liong kemudian mulai mendaftar para
pendekar yang bertugas menjaga rumah. Cu Siau-thian
mendengarkan dengan seksama.
Sebenarnya dia juga tidak sepenuhnya mempercayai
mereka. Bahkan sampai saat ini, ketika bicara dengan Tu
Liong yang dipercayanya, dia tidak mau mengutarakan semua
informasi yang diketahuinya. Mungkin ini tidak sengaja
dilakukannya, karena orang yang sudah berkecimpung di
dunia persilatan terlalu lama, kebanyakan pasti akan membuat
sebuah kebiasa-an untuk tidak percaya pada siapapun.
Tu Liong masih sangat polos, dia sama sekali tidak berpikir
seperti ini. Dia masih penasaran, dia terus mengajukan
pertanyaan pada Cu Siau-thian:
"Sebenarnya Thiat-yan ingin mendapatkan barang apa?"
"Tu Liong, aku tidak mampu menjawab pertanyaanmu. Aku
tidak tahu barang apa yang diinginkannya, atau Siapa yang
memilikinya. Thiat-yan pasti menyangka kalau aku
mengetahui semuanya, itulah alasan yang paling masuk akal
mengapa aku masih hidup sampai sekarang."
"Berarti Tuan tidak punya petunjuk apa pun mengenai
kasus ini. Kalau memang begitu mengapa Tuan bisa tahu
selain untuk membalas dendam, Thiat-yan juga sedang
mencari sebuah barang?"
"Aku tahu suatu saat kau pasti akan menanya-kan hal
ini........dengan kesempatan ini, aku ingin memberitahu
pandanganku. Di dunia persilatan tidak mungkin terdapat
rahasia. Selalu ada kemungkinan, berita sekecil apapun bisa
terdengar oleh orang lain sampai ribuan Li jauhnya.
Bagaimana ini terjadi" Karena para pendekar di dunia
persilatan selalu berkelana ke tempat-tempat yang jauh.
Selain itu hubungan antar manusia pun dijaga dengan baik.
Kalau menuruti hati nurani, sesama teman akan selalu
menjaga rahasia mereka dari musuh. Namun orang itu
mungkin tidak tahu bahwa temannya yang dipercaya itu juga
adalah musuhnya. Kau mengerti?"
"Aku mengerti, Thiat-yan mungkin menga-takan hal ini
pada orang lain, namun akhirnya Tuan mendengar tentang
berita ini dari gosip yang beredar."
"Betul." Pada wajah Cu Siau-thian terbersit rasa senang
yang dalam, "kau benar benar sangat pintar, kau dapat
mengerti banyak masalah dengan cepat. Akutidak akan
menghabiskan banyak tenaga untuk menjelaskan padamu"
"Semenjak aku masih kecil, aku sudah meninggalkan
kampung halamanku. Tentang adat istiadat di tempat yang
baru, aku sama sekali tidak mengerti, dalam pembuluh
darahku mengalir darah bangsa Mongolia, namun aku merasa
bahwa diriku tidak berbeda dengan bangsa Han. Aku juga
sangat menyukai festival yang diadakan tahunan disini. Yang
paling aku sukai adalah perayaan festival Goan-siau. Cu Taiya!
Apakah Tuan tahu mengapa aku menyukainya?"
"Karena kau sangat menyukai teka-teki"
"Betul! Cu Taiya sangat mengerti aku. Aku sangat
menyukai teka-teki semakin rumit teka-teki dan semakin sulit
dipecahkan, aku semakin bersemangat. Jika sedang berusaha
memecahkannya, aku bahkan tidak ingat makan dan tidur.
Sekarang ini didepanku sudah ada satu teka teki."
"Sedangkan solusi teka-tekinya ada dalam diri Thiat-yan"
"Kata kata anda ini kurang tepat, mungkin juga Thiat-yan
sedang memikirkan cara untuk menebak teka teki yang sama.
Kalau dia sudah memiliki jawabannya, situasinya mungkin
tidak akan seperti ini."
"Betul, mungkin juga Thiat-yan tidak dapat memecahkan
teka teki ini ...." Cu Siau-thian lalu mengajukan pertanyaan
dengan hati-hati, "apakah kau berencana untuk memecahkan
misteri ini?" "Jika Tuan mengijinkan, aku ingin mencoba menebaknya."
"Aku tidak mengijinkanmu" jawab Cu Siau-thian singkat
Walaupun merasa berat hati, Tu Liong menatap
majikannya, setelah terdiam beberapa lama, dia lalu bertanya:
"Tuan... tuan tidak mengijinkan?"
"Betul. Aku tidak mengijinkanmu"
"Mengapa?" "Kesatu, teka-teki tingkat tinggi pasti memiliki banyak
jebakan. Ini akan menuntunmu berjalan ke tempat yang salah.
Mungkin kau akan merasa gembira karena merasa sudah
menemukan pintu masuk pemecahan teka teki, dan kau akan
berusaha sekuat tenaga untuk mendalaminya. Akhirnya
semakin kau berusaha, kau akan terlibat semakin jauh.
Terakhir kau akan terjebak di dalamnya. Hanya beda sedikit
saja kau mungkin akan merasa bahwa jawaban teka-teki
sudah ada dalam genggamanmu. Sebenarnya itu adalah
pemecahan yang salah, jawaban dari teka teki yang
sebenarnya mungkin jauh berbeda dari jawabanmu."
"Aku mengerti...."
"Tu Liong, kau mungkin masih belum mengerti. Kalau kau
sedang bermain tebak kata dan membuat kesalahan, kau
dapat mengulang menebak-nya lagi, kalau salah, kau hanya
membuang waktu dan tenaga. Namun misteri yang sekarang
ada didepan matamu bukanlah sebuah tebakan seperti itu,
kau hanya memiliki satu kesempatan menebak saja. Sekali
salah tebak, kau tidak mungkin bisa mengulang lagi. Apakah
kau tahu konsekuensinya kalau salah tebak?"
Setelah Cu Siau-thian berkata sampai disini, tiba-tiba saja
dia menggunakan seluruh emosinya untuk menjawab garang.
"Kau akan MATI!"
Tekanan suara, tatapan matanya, semuanya pasti sudah
lebih dari cukup untuk membuat Tu Liong takut, namun diluar
dugaan, Tu Liong hanya tertawa.
"Kenapa kau tertawa?"
Ternyata yang terkejut malah Cu Siau-thian.
"Apakah kau pikir aku sedang bercanda" Apakah kau pikir
aku sedang menakut-nakutimu untuk mencoba nyalimu?"
"Aku mengerti setiap kata yang sudah Tuan ucapkan, aku
juga mengerti apa maksud Tuan mengatakannya. Aku tertawa
karena hal itu malah membuatku merasa semakin
bersemangat. Siapa yang bisa bermain kucing-kucingan
dengan dewa kematian?"
Dalam sekejap, raut wajah Cu Siau-thian berubah-rubah
tidak menentu. Sangat sulit diduga bagaimana perasaannya,
dia sangat senang memiliki anak buah yang demikian
tangguh. Namun dia juga mengkhawatirkan anak buah
tangguh yang sangat pemberani ini. Tidak bisa disangkal, dia
memiliki perasaan sayang yang dalam terhadap Tu Liong.
"Tu Liong! sewaktu kau kecil, apakah kau pernah bermain
kucing-kucingan?" "Ya, aku pernah"
"Dalam permainan ini, sambil menghindari musuh, kau pun
harus mencoba menangkapnya. Namun permainan sekarang
ini kau bermain dengan dewa kematian, tidak sama seperti
kau waktu kecil, kau hanya bisa menghindari dia....Tu Liong!
Kau masih sangat muda, jalan yang membentang dihadapan
mu masih sangat panjang.... kau harus melahirkan anak,
mengurus cucu..." "Tuan sudah merawatku sampai aku besar, tuan pun sudah
melatihku ilmu silat, bagaimana aku bisa membalas budi besar
ini" Aku sudah mem-bulatkan tekatku. Namun demi
menghormati dirimu, aku tetap mohon mengijinkanku."
"Apakah kau benar-benar sudah membulatkan tekatmu?"
"Tuan tentu tahu, aku bukanlah orang yang mudah
berubah pikiran. Aku tidak akan mengganti keputusanku
begitu saja" "Baiklah!" Cu Siau-thian menggangguk-angguk kan kepala
dengan sangat terpaksa. Setelah itu dia berkata lagi, "tapi kau
harus menepati sebuah janji, kau sangat senang memecahkan
teka teki, Silahkan kau menebak sesuka hatimu. Aku hanya
tidak ingin kau bertanya tentang apapun padaku. Apa kau
dapat meluluskan permintaanku?"
"Baiklah!" Tu Liong menyetujuinya, "aku tidak akan
menanyakan apapun" Tu Liong segera bekerja dan menyusun siasat untuk
bersiap, walaupun Cu Siau-thian merasa bahwa semua anak
buahnya dapat dipercaya, Tu Liong tetap saja memilih para
pendekar yang akan dipakainya. Dia sangat mengutamakan
kesetiaan, ketinggian ilmu silat tidak terlalu penting. Terakhir,
diantara semua pendekar tangguh tersebut, dia memilih
sekitar dua puluh nama. Kedua puluh nama ini dibagi lagi
menjadi tiga kelompok. Satu kelompok untuk berjaga jaga,
kelompok berikutnya beristirahat, yang terakhir sebagai
cadangan untuk menolong jika terjadi peristiwa yang tidak
diinginkan. Kecuali keempat orang pende-kar dalam kelompok
ini semuanya ingin memberontak, sepertinya pengaturan ini
tidak akan menimbulkan masalah.
Setelah selesai menyusun rencana, Tu Liong segera
mengendarai kuda putihnya pergi ke empat blok rumah
bertingkat didalam sepuluh gang kecil. Tujuan pertamanya
menemui Wie Kie-hong. Melihat Tu Liong kembali datang kembali, Wie Kie-hong
segera menyadari, tentu ada urusan penting. Dia cepat-cepat
menyambut Tu Liong dan membawa-nya ke dalam kamar
tidurnya. Mereka mulai bercakap-cakap.
"Kie-hong... apakah kau ingat pada Gu Thian-beng" ketika
suatu malam kau pernah mengajakku berburu babi hutan.
Alangkah baiknya jika kita mendapat kesempatan keluar dari
sini dan pergi ke atas Tiang-pek-san, bersenang-senang
berburu disana. Bagaimana menurutmu?"
"Tu Toako, kita hanya bisa membicarakan saja." Kata Wie
Kie-hong sedikit murung, "kita berdua sama-sama tahu, kita
tidak mungkin mendapatkan kesempatan itu lagi"
"Sebenarnya aku ingin mengajakmu pergi berburu
sekarang" "Sekarang?" Wie Kie-hong terlihat sangat kaget, "apakah
kau sedang bergurau?"
"Aku tidak bergurau, aku serius mengajakmu"
"Mana mungkin kita bisa melakukan hal ini" sekarang...."
"Kie-hong, aku tidak memintamu untuk pergi jauh. Tempat
perburuannya ada di dalam kota Pakhia ini. Sasaran
buruannya tidak lain perempuan muda yang dipanggil Thiatyan.
Kalau berhasil, perburuan kali ini pasti sangat
memuaskan" Wie Kie-hong hanya bisa terbengong-bengong melihat ke
arahnya. Sepatah katapun tidak diucapkannya. Dalam hatinya
dia pasti sedang berpikir, mengapa Tu Toakonya bisa memiliki
pikiran seperti itu sementara dia sama sekali tidak
memikirkannya. "Apakah kau tidak punya nyali menerima tantangan ini"
"Seharusnya kau tahu, aku bukanlah seorang pengecut.
Lagipula aku juga ingin menangkap Thiat-yan dan
memberinya pelajaran. Namun aku tidak mengerti. Mengapa
Tu Toako bisa berpikir mengguna-kan perumpamaan berburu
babi hutan?" "Kau jangan menanyakan dulu maksudku. Sebelum aku
menjelaskan semuanya, kau harus menjawab dulu
pertanyaanku. Apakah kau bersedia ikut perburuan yang
mendebarkan hati ini?"
"Aku pasti ikut!" Wie Kie-hong cepat-cepat menjawab.
Namun setelah itu dia masih menam-bahkan, "tapi
sebelumnya aku harus bertanya dahulu pada ayah angkat, aku
harus meminta persetujuannya dahulu...."
"Kie-hong...! Leng Taiya sedang mendapat trauma yang
parah dan shock yang berat. Apakah kau tega menceritakan
urusan ini padanya" Kau sekarang sudah menjadi seorang pria
dewasa. Laki-laki dewasa harus berani bertanggung jawab
atas keputusan yang dibuatnya..."
"Baiklah!" Akhirnya Wie Kie-hong berkata, "aku tidak akan
minta persetujuannya, aku ikut!"
"Janji?" "Janji!" "Tidak akan menyesal?"
"Mengapa kau bertanya seperti ini?"
"Perburuan babi hutan kali ini bukanlah perburuan babi
hutan biasa. Oleh karena itu sebelumnya aku harus membuat
aturan mainnya, diantara kita berdua, tidak masalah siapa
yang lebih tua, tidak masalah siapa yang lebih hebat ilmu
silatnya, kita berdua harus membuat sebuah keputusan.
Menurutmu siapakah yang akan menjadi pemimpin?"
"Tentu saja kau yang memimpin"
"Kalau begitu kau akan selalu mendengar semua kata-kata
dan perintahku?" "Tentu saja!" Wie Kie-hong mulai merasa sedikit tidak
sabar. "Baiklah, sekarang aku akan menceritakan semuanya
padamu...." Selanjutnya Tu Liong menceritakan kembali apa yang
sudah terucap dari mulut Cu Siau-thian pada Wie Kie-hong.
Terakhir dia berkata: "Sekarang, kita berdua harus mencari tahu barang apakah
yang sedang dicari oleh Thiat-yan" Barang itu berada dimana"
Siapa yang meme-gangnya?"
Wie Kie-hong tidak berani berkata apa apa, karena tiba-tiba


Walet Besi Karya Cu Yi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

saja dia teringat janjinya pada ayah angkat.
"Kie-hong, ketika aku datang tadi, kau sedang tidak berada
dirumah" "Aku sedang pergi keluar"
"Leng Taiya sudah mendapat musibah dan trauma berat,
seluruh pemerintahan pun dibuat kacau. Kalau bukan urusan
yang benar benar sangat penting, kau tidak mungkin pergi
meninggalkan rumah. Betul tidak?"
Wie Kie-hong tahu kalau rahasia ini tidak dapat terus
disembunyikan, Akhirnya dia memutuskan sekaligus
menceritakan semuanya. Tu Liong sebenarnya berpikir kalau dia harus bekerja keras
membujuk Wie Kie-hong untuk bercerita. Tidak disangka dia
sudah berhasil mencapai tujuannya dengan sangat mudah.
Dengan pertimbangan seperti ini, sepertinya Wie Kie-hong
mau bekerja sama dan membantunya memecahkan teka-teki
ini. "Baiklah. Sekarang kita berdua sudah dapat membuat
sebuah kesimpulan awal. Barang yang dicari oleh Thiat-yan
adalah sebuah koper kecil."
"Mungkin juga" Wie Kie-hong tidak berani memastikan.
"Koper kecil ini dititipkan oleh Leng Taiya pada orang yang
bernama Bu Tiat-cui. Sekarang Bu Tiat-cui sudah dibunuh,
koper itu juga sudah hilang, tetapi koper itu belum jatuh
kedalam tangan Thiat-yan."
"Mengapa demikian?"
"Kalau dia sudah berhasil mendapatkan koper itu, dia tidak
perlu memberikan surat peringatan untukmu"
"Surat peringatan itu sudah disiapkan olehnya jauh
sebelum kejadian" "Tidak salah. Surat itu sudah dipersiapkan sebelum
kejadian. Mungkin juga ada beberapa surat
peringatan yang serupa. Semuanya itu digunakan untuk
memperingatkan orang-orang yang tidak ingin dilukainya,
yang tidak mau menyingkir walau sudah merintangi jalannya.
Kalau dia sudah mendapatkan apa yang dia inginkan, surat
peringatan itu sama sekali tidak berguna. Betul tidak?"
"Orang suruhannya seharusnya bertanya padaku. Apa yang
sedang aku lakukan di tempat Bu Tiat-cui" Atau setidaknya
mencuri dengar" "Mereka sama sekali tidak bertanya sepatah katapun. Betul
tidak?" "Betul" "Mereka tidak perlu bertanya, karena Thiat-yan sudah tahu
barang apa yang ingin dicarinya. Terlebih lagi dia pasti sudah
tahu bahwa kau tidak memiliki barang tersebut. Kalau begini
kita berdua bisa membuat sebuah kesimpulan yang lain. Bu
Tiat-cui tidak dibunuh oleh Thiat-yan."
"Ada pembunuh lainnya?"
"Kie-hong, perburuan babi hutan kita semakin lama
menjadi semakin rumit. Sebelumnya kita berdua hanya
mengincar sebuah target, tidak disangka sekarang sudah
muncul target kedua."
Tu Liong menceritakan semua kesimpulannya dengan
sangat berapi api ketika tiba-tiba saja terdengar suara pintu
kamar diketuk-ketuk dari luar. Wie Kie-hong benar-benar
sangat terkejut. Biasanya jika dia sedang menerima tamu dan
bercakap-cakap dalam kamar, orang-orang di dalam rumah
tidak ada yang berani datang mengganggunya.
"Siapa?" "Wie Siauya, ini aku" ternyata yang sedang mengetuk pintu
adalah Su-cie. Wie Kie-hong membuka pintu, dia berkata padanya dengan
sedikit emosi: "Pengurus Su, apakah kau tidak tahu, aku sedang
menerima tamu?" "Aku tahu, tapi...."
Sebenarnya Wie Kie-hong sudah tahu apa yang ingin
dikatakan Su-cie hanya dengan melihat raut mukanya. Dia
cepat-cepat berkata: "Untung saja Tu Toako bukan orang luar, kalau ada urusan,
cepat katakanlah" "Rumah keluarga Hui sudah mengutus seseorang datang
untuk mengabarkan berita duka."
"Rumah keluarga Hui?" Wie Kie-hong lang-sung merasa
terkejut. Tu Liong juga merasa terkejut, namun dia tetap
mempertahankan tata-kramanya sebagai seorang tamu. Dia
tidak ikut campur mulut. "Betul sekali. Hui Taiya sudah meninggal dunia, aku tidak
tahu apa aku harus melaporkan hal ini pada Leng Taiya, oleh
karena itu aku menghadap Wie Siauya untuk membantu
membuat keputusan" "Pengurus Su, Leng Taiya sudah menutup pintu,
beristirahat merawat lukanya. Selain dirinya masih ada anak
Leng Taiya, Toa-kongcu, dan Ji-kongcu mereka berdua bisa
mengurus perkara ini. Aku sama sekali tidak memiliki
wewenang membuat keputusan.
"Tadi sebelum Leng Taiya menutup pintu, beristirahat, dia
sudah menitipkan pesan padaku. Urusan apapun baik besar
ataupun kecil, aku harus melapor pada Wie Siauya untuk
membuat keputusan" "Tu Toako, seseorang yang sudah dicongkel kedua belah
matanya, apakah mungkin luka itu bisa membuatnya
meninggal?" "Seharusnya tidak mungkin, namun karena umur Hui Taiya
yang sudah sangat tua dan sedang stress berat, jadi
sepertinya sulit dipastikan."
"Pengurus Su, apakah orang yang datang membawakan
berita duka itu tidak menceritakan apa yang sudah menjadi
penyebab kematiannya?"
"Tidak. Namun aku telah mendengar kabar burung yang
beredar di kalangan masyarakat sekitar, katanya Hui Taiya
mati karena gantung diri"
Tu Liong dan Wie Kie-hong cepat-cepat saling bertukar
pandang. Didalam pandangan mereka berdua terlukiskan
sebuah tanda tanya besar. Hui Ci-hong mati gantung diri.
apakah dikarenakan dia tidak kuasa menahan derita lukanya"
Ataukah dia tidak sanggup melarikan diri dari rasa takut"
Ataukah karena dia merasa malu menemui teman-temannya"
"Pengurus Su" dengan sangat cepat Wie Kie-hong
membuat sebuah keputusan, "hubungan kerabat antara Hui
Taiya dengan Leng Taiya sangat dekat. Seharusnya berita ini
segera dikabarkan padanya. Namun sekarang situasinya
sangat berbeda. Sebaiknya kita tidak menambah rasa kaget
yang sudah didapat-nya. untuk sementara waktu berita ini
sebaiknya ditutupi, mengenai upacara melayat, kita lakukan
sesuai dengan peraturan"
"Baiklah. Aku akan melaksanakan keputusan yang sudah
diberikan Wie Siauya." Su-cie mundur keluar, sekaligus
menutup pintu kamar. "Tu Toako, kelima Taiya semuanya menyim-pan sebuah
rahasia dalam hati masing-masing, rahasia yang tidak dapat
diceritakan pada siapapun juga."
"Betul. Namun kita juga tidak bisa bertanya"
"Kita harus menebaknya. Kita harus memcoba menduga.
Tu Toako, menebak sebuah misteri adalah keahlianmu.
Menurutmu, apa yang harus kita perbuat?"
"Yang paling sulit dalam memecahkan sebuah misteri
adalah memutuskan harus mulai dari mana. Namun aku sudah
membuat keputusan tentang apa yang harus kita lakukan.
Pertama-tama, kita harus mencari jejak Thiat-yan. Dia adalah
orang yang sangat aktif, lagipula dia memiliki banyak kaki
tangan. Tidak mungkin dia datang dengan tiba-tiba dan pergi
tanpa jejak. Sedikit banyak dia pasti meninggalkan bekas"
"Betul! Kalau begitu aku akan mengurus masalah yang satu
ini." "Tidak. Aku yang akan mengurusnya, aku punya tugas lain
untukmu" "Oh.." Tugas apa?"
Tu Liong mulai merendahkan nada suaranya dan berbicara
pelan-pelan. Wie Kie-hong harus mengerahkan tenaga
dalamnya untuk mendengar kata-katanya.
"Apakah kau mengingatnya?"
"Sudah ingat... hanya saja..."
Kie-hong, kau hanya perlu melakukan apa yang sudah
kuperintahkan padamu. Kau tidak usah banyak bertanya.
Ingat semua harus mendengar kata-kataku."
Wie Kie-hong sangat mengagumi Tu Liong. Tidak saja dia
sangat berani, Tu Liong juga memiliki banyak siasat.
Kebanyakan pendekar yang berilmu silat tinggi memiliki otak
yang sangat sederhana. Namun Tu Liong tidak saja mahir
silat, namun dia juga sangat cerdas. Siapapun yang
mengenalnya pasti akan salut.
Tu Liong mohon pamit dan segera pergi. Wie Kie-hong
kembali masuk kedalam untuk mem-bereskan sedikit urusan,
setelah itu dia pun berlari keluar. Thiat-yan sudah memotong
sebelah tangan Leng Taiya, katanya ini adalah ganjaran
setimpal yang pantas diterimanya atas perbuatannya di masa
lalu. 0-0-0 Wie Kie-hong sangat menyukai perumpamaan yang dipakai
oleh Tu Liong. Pada awalnya mereka berdua berencana
berburu babi hutan. Namun tiba-tiba saja di daerah perburuan
muncul seekor rusa. Ini tentu saja akan membuat pemburu
manapun merasa gembira. Sekarang ini mereka berdua
berbagi tugas melacak jejak buruan, namun Wie Kie-hong
merasa sedikit ragu. Waktu sedang mengejar rusa, mungkin
saja secara tidak sengaja mereka akan membuat kaget babi
hutan. Dibandingkan bekerja sama memburu satu target, pasti
tidak akan lebih baik daripada membagi tugas dan mengejar
buruan masing masing........Wie Kie-hong bermaksud hendak
mengungkapkan apa yang sudah dipikirkannya, namun Tu
Liong memintanya untuk tidak mengata kan apa pun. Oleh
karena itu Wie Kie-hong terpaksa menyimpan semuanya
dalam hati. Wie Kie-hong kembali menyewa kereta kuda untuk pergi ke
gang San-poa. Tiga buah pekarangan milik Bu Tiat-cui sangat sunyi.
Sepertinya setelah dia mati, tempatnya tidak ada orang yang
kembali mengunjunginya. Dia segera berjalan melalui pekarangan dan masuk
melewati pintu utama. Dia masuk ke dalam aula rumah, tepat
pada saat ini, tiba-tiba terdengar suara batuk-batuk dari ruang
pinggir. Wie Kie-hong sangat terkejut. Setelah suara batuknya
berhenti, menyusul terdengar suara seseorang menyapa:
"Tamu yang terhormat, silahkan masuk"
Walaupun Wie Kie-hong adalah seorang pendekar yang
mahir ilmu silat, namun dia tidak menyukai kekerasan. Dia
tidak pernah membiasakan diri pergi keluar rumah dengan
membawa senjata tajam. Namun sekarang ini situasinya
sangat berbeda. Dia mengeluarkan sebilah pedang pendek
dari dalam tas yang dibawanya. Pedang pendek ini
panjangnya tidak lebih dari setengah meter. Walaupun sangat
pendek, namun pedang ini tetap memiliki sebuah kegunaan
dalam menghadapi musuh. "Silahkan masuk, tamu yang ada diruang sebelah kiri...."
orang yang ada didalam kembali menyapanya, jelas dia
sedang berbicara pada dirinya.
Wie Kie-hong membulatkan tekad, dia menyibakkan tirai
penutup pintu penghubung kedua ruangan. Setelah itu dia
masuk ke ruang samping yang ada disebelah kanan.
Sebelumnya sesosok mayat sudah terbujur kaku di atas
meja besar yang ada didalam. Sekarang di tempat yang sama
duduk seorang yang masih hidup dan sehat. Orang ini
berumur sekitar empat puluh tahun, dia memelihara jenggot
mirip kambing. Kedua pasang matanya bersinar penuh
semangat. Dia melambaikan tangannya sambil berkata:
"Apakah anda ingin diramal" Apakah anda ingin menebak
karakter dari raut muka" Apakah anda ingin menanyakan
nasib yang sedang berjalan" Silahkan duduk disebelah sini."
Dalam sekejap saja Wie Kie-hong mencoba
membandingkan dua buah kejadian yang sebelumnya sudah
dilihatnya. Mayat yang dilihatnya kemarin tidak memiliki
janggut, dan lagi tubuhnya pun sangat gemuk. Selain itu
ruangannya sangat berantakan. Sekarang ruangannya sudah
tertata sangat rapi. Sebelumnya dia melihat kuas untuk
menulis sudah tergeletak dilantai, namun sekarang kuas
tersebut sudah ditaruh dengan rapi di atas lemari buku.
Ternyata di lantai pun tidak terlihat bekas tinta yang tercecer.
Wie Kie-hong bingung. Apakah tadi dia sudah salah masuk
ruangan" Ataukah ruang yang berantakan yang dilihatnya
sebelumnya hanya khayalan dirinya saja"
Wie Kie-hong lalu duduk dihadapan pria setengah baya dan
lalu menyapanya. "Tuan adalah...."
"Namaku Bu Tiat-cui, apakah anda tidak melihat spanduk
nama yang sudah kupasang di pintu masuk" Apakah anda
ingin diramal?" Apabila orang ini benar-benar Bu Tiat-cui, kalau begitu
mayat yang sudah dilihatnya sebelumnya pastilah bukan
dirinya. Tentu saja ada kemungkinan orang ini adalah Bu Tiatcui
gadungan. Namun kemungkinan ini sangat kecil, ini adalah
tindakan nekat, orang yang mengenalnya pasti langsung
akan mengetahui kalau Bu Tiat-cui adalah Bu Tiat-cui
gadungan. "Apakah tuan Bu tinggal disini?"
"Betul" "Sebetulnya tadi pagi aku sudah datang kemari, namun
tidak menjumpai tuan Bu"
"Oh, aku selalu bangun pagi pagi, dan pergi keluar untuk
berjalan-jalan. Sekali aku pergi berjalan-jalan, aku selalu
menghabiskan waktu dua sampai tiga jam. Mohon maaf anda
sudah repot datang kemari tanpa menemuiku."
Sekarang Wie Kie-hong baru menyadari bahwa atap
ruangan itu bergambar seekor naga. Sewaktu dia memasuki
ruangan ini sebelumnya, dia tidak memperhatikannya.
Pada waktu Bu Tiat-cui sedang pergi keluar untuk berjalanjalan
........sebelum dia kembali ke dalam
ruangan........pastilah ada orang lain yang datang


Walet Besi Karya Cu Yi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membersihkan ruangan sampai rapi. Bu Tiat-cui pasti tidak
akan tahu apa yang sudah terjadi di dalam ruangan ini
sebelumnya. Apakah ini mungkin" Wie Kie-hong bertanya dalam hatinya,
walaupun kemungkinannya sangat besar, namun mengapa
pelaku kejahatan harus memilih ruang yang dihuni oleh Bu
Tiat-cui untuk membunuh orang lain?"
"Tamu yang terhormat! Apakah anda ingin diramal?"
Wie Kie-hong tidak menjawab pertanyaan yang sudah
diajukan padanya. Dalam benaknya, dia sedang memikirkan
jawaban dari pertanyaan yang lain.... namun sebelumnya dia
harus memastikan apakah orang yang ada didepannya ini
adalah Bu Tiat-cui yang asli. Cara membuktikannya hanya ada
satu. Dia segera mengeluarkan ornamen yang terbuat dari
giok yang sudah diberikan oleh Leng Souw-hiang padanya. Dia
lalu menaruh ornamen tersebut diatas meja. Kalau orang ini
benar-benar Bu Tiat-cui yang asli, dia seharusnya sudah tahu
apa arti ornamen tersebut.
Sekarang sepasang mata peramal tersebut sudah terpaku
pada ornamen giok yang ada didepan-nya. Setelah itu dia
mengambil ornamen giok dengan penuh rasa hormat,
menutup matanya dan menghela nafas. Terakhir dia
menyimpan ornamen giok itu kedalam saku bajunya dengan
sangat hati hati. Wie Kie-hong terus meneliti gerak-gerik orang
yang ada dihadapannya. Sekarang sepertinya dia bisa
mendapat kepastian bahwa peramal yang sedang duduk
didepan-nya adalah Bu Tiat-cui yang asli.
"Apakah kau datang dari tempat yang jauh?" tiba tiba saja
peramal ini bertanya. "Tidak terlalu jauh" jawab Wie Kie-hong. "Anda tinggal di
kediaman keluarga yang mana?"
"Untuk apa bertanya tentang hal ini?"
"Bukankah anda datang kemari untuk mengambil sebuah
barang" Anda tidak perlu menunggu disini. Silahkan tinggalkan
alamat rumah anda. Nanti aku akan mengantarkan barang itu
langsung ke tempat anda"
Setelah melihat ornamen giok, peramal ini sepertinya
langsung percaya dan memberikan barang yang diminta. Dia
tidak mengetahui siapa yang saat ini sedang memegang koper
yang harus dibawanya, juga tidak mengetahui siapa yang
akan membawanya, dia hanya mewakilkan permintaan
temannya saja. Kalau begitu peramal ini pastilah tidak akan
tahu barang apa yang ada didalam koper.
Kesimpulan ini dibuat oleh Wie Kie-hong dengan cepat.
"Mengapa tidak kau berikan sekarang?"
"Karena barang itu tidak disimpan disini. Aku tidak memiliki
sanak keluarga, dan aku punya kebiasaan untuk berjalan pagipagi
sekali. Tidak aman menyimpannya disini"
"Apakah barang bukti yang tadi kuserahkan padamu itu
sudah betul?" "Betul" "Kalau begitu, aku harus memastikan dulu apakah barang
yang akan kudapat itu barang yang tepat, barang apa yang
akan kau berikan padaku?"
"Sebuah koper kecil" peramal itu masih menam bahkan
penjelasan ... "koper ini terbuat dari kulit kerbau berwarna
kuning. Diatasnya masih ditambah-kan kunci unik yang dibuat
oleh orang luar negri. Barang ini adalah barang yang sangat
istimewa. Barang ini keluaran Tian Jin dengan merk Hardman.
Menurut kabar, kopornya saja sudah bernilai seratus uang
kertas orang asing" "Apa kau menyimpan barang ini di temanmu?"
"Betul" "Apakah dia bisa dipercaya?"
"Mmm!" peramal itu berpikir sebentar lalu katanya lagi,
"orang yang masih hidup di bumi, tidak dapat dipungkiri pasti
akan memiliki beberapa orang teman, meski memiliki teman,
sebatang jarum dan seutas benang pun tidak dapat langsung
minta tolong dijagakan oleh mereka. Ada sebagian teman
yang dapat dipercaya mewakilkanku untuk menjaga barang
tersebut, harap tenang saja. Temanku ini benar benar dapat
diandalkan." "Kalau begitu, apakah aku bisa mengambil koper ini dari
temanmu sekarang juga" Aku sudah menyerahkan ornamen
giok sebagai bukti kalau aku adalah orang yang tepat, aku
tidak mungkin pulang kerumah dengan tangan hampa.
"Apakah kau tidak mempercayaiku?"
"Bukan., bukan begitu... bukan itu maksudku." Wie Kiehong
menjelaskan, "pemilik koper dapat menyimpan koper itu
disini, dia tentu saja sangat mempercayai dirimu. Dia sudah
mempercayaimu, mana mungkin aku tidak mempercayaimu?"
"Kalau begitu, silahkan anda pulang ke tempat tinggal anda
dan menunggu disana. kira kira tengah hari besok, aku pasti
akan membawa-kan koper itu ketempat tinggalmu."
"Tuan Bu, aku memanggilmu seperti ini, apakah
panggilanku tepat?" "Margaku memang Bu"
"Sewaktu aku masuk tadi aku sudah mengatakan, kalau
tadi pagi aku sudah datang kemari"
"Anda sudah datang sia-sia, aku benar benar ingin meminta
maaf." "Bukan itu maksudku ........yang ingin kukatakan adalah
sewaktu aku datang tadi, aku menemukan sebuah kejadian
aneh. Berita ini sangat mengejutkan. Aku tidak tahu apakah
tuan Bu juga sudah mendengarnya?"
Selain sinar matanya yang sedikit terlihat berkilau sewaktu
melihat ornamen dari giok, Bu Tiat-cui terus duduk diam.
Emosinya tidak tergugah sedikitpun. Dia tetap tidak terlihat
kaget, dia hanya bertanya dengan nada datar "apakah maksud
perkataanmu, kejadian itu terjadi didalam ruanganku ini?"
Wie Kie-hong menjawab singkat
"Betul" "Apa yang tadi kau lihat?"
"Seseorang duduk ditempat dimana kau sedang duduk
sekarang. Sebatang jarum panjang sudah tertancap diantara
kedua alisnya. Jarum itu panjangnya sekitar tiga atau empat
puluh centimeter. sewaktu aku menemukannya dia sudah
mati" "Oya?" sekarang Bu Tiat-cui mulai tampak terkejut.
"Ruangan ini tadi berantakan, jelas terlihat kalau seseorang
telah mencari sesuatu"
"Apakah kau sangat yakin kau tadi tidak salah masuk
ruangan?" "Yakin! Aku masih mengingatnya dengan sangat jelas. Pada
waktu aku meninggalkan tempat ini, seseorang mencegat ku
di pekarangan luar. Orang itu memberiku sepucuk surat
peringatan, agar aku tidak ikut campur urusan ini."
"Tapi sewaktu aku pulang jalan-jalan, disini tidak ada yang
berubah...." Wie Kie-hong menunjuk ke kuas yang tersimpan di atas rak
buku dan berkata: "Tuan Bu, apakah aku boleh melihat kuas yang anda pakai
untuk menulis?" "Silahkan!" Wie Kie-hong mengambil kuas dari atas lemari. Dia lalu
membuka tutup kuas. Tiba-tiba saja dia memekik girang.
Ternyata ujung kuas masih basah oleh tinta. Bahkan di ujung
kuas masih terlihat debu lantai yang menempel.
"Sebelum kau kembali ke dalam kamar ini, mereka sudah
membereskan tempat ini sampai rapi. Silahkan lihat, kuas
yang biasa kau pakai ini bahkan masih basah oleh tinta."
Bu Tiat-cui dari awal terus curiga semua yang sudah
dikatakan oleh Wie Kie-hong. Namun sekarang sepertinya dia
sudah percaya. "Setiap malam aku selalu mencuci kuas itu sampai bersih.
Hari ini aku belum sempat mengguna-kan kuas untuk menulis,
namun ternyata....yang kau katakan tidak salah. Ternyata
memang benar ada seseorang yang sudah masuk kedalam
kamarku ini. katamu tadi mereka masuk kemari dan
membunuh seseorang?"
"Betul sekali! Sebenarnya aku mengira orang yang sudah
dibunuh itu adalah dirimu, dan dirimu adalah seorang Bu Tiatcui
palsu. Namun setelah aku mengeluarkan ornamen giok aku
baru menyadari kalau kau bukanlah Bu Tiat-cui palsu. Orang
lain seharusnya tidak tahu hal ini."
"Betul sekali. Orang lain tidak mungkin tahu"
"Dari tadi tuan Bu sama sekali belum menanyakan
namaku...." "Dahulu aku pernah membuat janji, tidak perduli, siapapun
yang akan datang menagih koper kecil itu, aku tidak akan
bertanya apapun juga. Ini adalah janji."
"Tuan Bu, marilah kita berdua pergi mengambil koper itu.
mungkin juga sementara waktu kau harus berusaha
menghindar, jika si pembunuh itu mempunyai niat yang tidak
baik, mungkin dia akan turun tangan membunuhmu untuk
menutup mulut." Bu Tiat-cui tidak mengatakan apa-apa lagi, Mendadak dia
melompat berdiri, lalu menengok ke kiri dan kanan melihat
seisi kamarnya dengan gugup seolah-olah mencari sesuatu
yang tidak terlihat. Terakhir dia membuka laci meja, dari
sebuah pojok yang sangat rahasia, dia mengeluarkan dompet.
Di dalam dompet itu terdapat sejumlah uang kertas asing.
"Marilah kita berangkat"
Wie Kie-hong melihat semua ini, sepertinya Bu Tiat-cui
merasa ketakutan sekali, mereka berdua segera pergi
meninggalkan ruang pinggir Ketika keluar dari aula rumah dan
memasuki pekarangan, tiba-tiba mereka melihat pintu besar
terbuka lebar dengan cepat. Wie Kie-hong menarik Bu Tiat-cui
dengan tangan kanannya. Bu Tiat-cui dengan cepat terlempar
ke pinggir untuk menghindari serangan. Namun diluar pintu
tidak terlihat siapapun. "Apa yang terjadi?" tanya Bu Tiat-cui pelan. "Ada seseorang
diluar pintu besar itu"
"Kalau begitu, apakah kita berdua sudah terlambat?"
"Jangan takut, kau sembunyi dulu di belakang pintu.
Apapun yang terjadi nanti, kau jangan sampai keluar. Apa
mengerti?" Kedua kaki Bu Tiat-cui gemetar hebat. Tampak dia
langsung mengerjakan apa yang dikatakannya, segera
bersembunyi di belakang pintu.
Wie Kie-hong terus berdiri dengan gagah didepan pintu
masuk. Sunyi senyap selama beberapa lama. Dari luar pintu
masuk terlihat seseorang. Dia datang seorang diri. Wie Kiehong
mengenali orang ini, orang yang tempo hari sudah
memberinya surat peringatan dari Thiat-yan.
Orang itu terus berjalan kedalam pekarangan. Setelah
melihat Wie Kie-hong, dia berhenti, berkata dengan nada
dingin: "Kau datang lagi?"
"Aku sudah melupakan sebuah barang" Wie Kie-hong
menggenggam pegangan pintu, "oleh karena itu aku kembali
kesini untuk mengambilnya, tapi disini aku menemukan
sebuah kejadian aneh."
"Pesanmu sudah kusampaikan." Orang itu sama sekali tidak
memperhatikan pernyataan Wie Kie-hong. Sepertinya dia tidak
perduli kejadian aneh yang dikatakan Kie-hong.
"Thiat-yan?" "Betul." "Kau sengaja datang kemari memberitahu?"
"Majikanku ingin menemuimu"
"Sekarang?" "Betul" "Dimana?" "Ikutlah denganku"
"Seharusnya kau tahu, aku tidak sembarangan ikut orang
lain" "Kau pasti pergi" orang itu terdengar sangat yakin.
Tangan kanannya segera terjulur ke arah Wie Kie-hong
berusaha memegang bahunya.
Secara reflek tangan kiri Wie Kie-hong menangkis
tangannya. Dan pertarungan pun terjadi.
Dengan pakaian yang rapi, orang itu berkali-kali
menjulurkan tangan terus berusaha memegang Wie Kie-hong.
Tapi setiap uluran tangan yang ditangkis selalu terdengar
bentakan mereka.. "Hait!Hah!Shah...."
Sambil mengelak, Wie Kie-hong terus bergerak mundur.
Ilmu silat orang itu lumayan juga. Dia terus mendesak
maju. "Hait!Hah!Shah...."
Pertarungan ini tampak unik, karena kedua pihak tidak
tampak seperti ingin melukai lawannya. Yang satu berusaha
memegang, yang satu lain berusaha mencegah.
Tangan orang yang berpakaian rapi terus melesat kesana
kemari. Pertama-tama tangan kanannya berusaha memegang
bahu kanan Wie Kie-hong, setelah ditangkis, tangan kirinya
bergerak berusaha memegang tangan kiri... ... demikian
seterusnya bersilang-silang.
"Hait!Hah!Shah...."
Jarak Wie Kie-hong menuju tembok semakin lama semakin
dekat. Dari belakang pintu tiba-tiba Bu Tiat-cui berteriak
memperingatkan... "Had hati! tembok!"
Wie Kie-hong segera sadar... ketika ada kesempatan, dia
mencuri pandang berapa jauh lagi dirinya dari tembok melalui
sudut matanya. Ternyata dia sudah kehabisan jarak.
Tembok hanya tinggal dua langkah lagi.
Karena itu ketika orang yang berpakaian rapi berusaha
meraih agak tinggi, Wie Kie-hong segera merunduk,
melepaskan diri kesamping.
Orang yang berpakaian rapi tampaknya hanya tersenyum
melihatnya. Dengan gesit dia membalikkan tubuh dan terus memburu
ke arah Wie Kie-hong. Wie Kie-hong sekarang sudah lebih siap.
Dia tidak ingin dirinya didesak seperti sebelumnya, karena
itu dia memaksa menerjang ke arahnya juga.
Tangan kanan Wie Kie-hong terjulur dengan cepat, dia


Walet Besi Karya Cu Yi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berhasil menggenggam baju sutra orang yang berpakaian rapi.
Secepat kilat tangan kanan orang yang berbaju rapi
mengkait pergelangan tangan Wie Kie-hong yang terjulur
Genggaman tangannya sangat keras Mendadak tangan kiri
orang yang berbaju rapi melesat hendak menampar pipi Wie
Kie-hong. Terpaksa Wie Kie-hong melepaskan genggam-an
tangannya dari baju orang itu dan segera mencondongkan
kepalanya kebelakang untuk meng-hindari sabetan.
Walaupun tidak mengenai pipinya, namun kerasnya
sabetan tangan, menimbulkan angin yang cukup kuat.
Angin ini terasa dingin pada hidung Wie Kie-hong.
Tangan Wie Kie-hong masih belum terlepas dari
genggaman keras orang yang berpakaian rapi.
Pergelangan tangannya mulai terasa sakit.
Wie Kie-hong sadar ini adalah kesempatan baik baginya
untuk balas menyerang. Posisi tangan orang yang berbaju rapi sangat tidak
menguntungkan, tangan kiri yang tidak berhasil menampar
sudah menyilang didepan dadanya.
Segera Wie Kie-hong memutar tubuhnya, dan menjulurkan
tangan kiri yang masih bebas untuk menekan tangan kiri
orang yang berbaju rapi. Sekarang posisi mereka berdua agak kikuk, tangan kedua
orang ini tampak berbelit.
Wie Kie-hong segera berteriak keras.
"CIAAATTT!!!" sekuat tenaga dia mendorong orang yang
berpakaian rapi, dia berusaha memojokkan orang itu pada
dinding, seperti dirinya tadi.
Kaki Wie Kie-hong berputar cepat diatas tanah.
Orang itu hanya menjejakkan kedua kakinya dengan
mantap di lantai untuk menahan laju dorongan.
Pelan tapi pasti, orang itu terdorong mendekati dinding.
"BAGUS!" pikir Wie Kie-hong.
Sekarang dia sudah berada diatas angin.
Namun diluar dugaan, orang yang berbaju rapi tidak
kehabisan akal saat terdesak ini.
Ketika sudah benar-benar dekat, kaki kiri orang yang
berbaju rapi ditendangkan kebelakang.
"BRAAKK!!!" Kaki itu menjejak dinding dengan kuat.
Orang yang berbaju rapi tidak membuang waktu lagi, serta
merta kaki kanannya dilecutkan kebelakang tinggi melewati
kepalanya. Masih dengan tangan yang saling berkait, orang yang
berbaju rapi sudah bersalto meloncat keatas Wie Kie-hong.
Wie Kie-hong tersentak kaget, dia benar benar tidak
menyangka akan terjadi seperti ini.
"HAAAAHHH !!!!" mereka berdua menjerit bersamaan,
masing-masing melepaskan cengkraman tangan lawannya.
Orang yang berbaju rapi terus melayang menjauh karena
lompatan salto nya yang keras.
Dia mendarat agak jauh dari Wie Kie-hong dengan sangat
anggun... Wie Kie-hong terpana, dia membungkuk mengatur nafas.
"Ilmu silatmu tidak jelek"
"Tentu saja" Wie Kie-hong terengah-engah.
"Sekarang silahkan ikut denganku"
Wie Kie-hong mengatur napas, lalu berkata:
"Kenapa aku harus ikut denganmu?"
"Karena tuanku memiliki sebuah kabar yang ingin
diberitahukan padamu, kabar itu adalah kabar yang sedang
kau cari selama ini"
Wie Kie-hong mulai menyadari bahwa orang yang
dihadapinya bukanlah orang yang gampang di atasi.
Majikannya sudah jelas bukan orang yang lemah. Dia
berusaha mengingatkan dirinya sendiri, jangan sampai
terpengaruh oleh lawannya.
"Bolehkah memberi sedikit bocoran kabar apa yang akan
dikatakannya padaku?"
"Mengenai bagaimana kematian ayahmu" Kalimat ini
menggelegar bagaikan suara petir membelah langit. Kepala
Wie Kie-hong serasa meledak menjadi seribu bagian. Setelah
bertahun-tahun, dia selalu menyelidik mencari jawaban ini
kesana kemari. Sekarang tiba-tiba jawabannya akan terwujud
di diha-dapannya. Hanya saja jawabannya terhalang oleh
selembar 'kertas', asal saja dia menjulurkan tangannya, dia
sudah bisa menyibakkan 'kertas'nya dan melihat jawabannya.
Mungkin juga dengan menyibakkan kertas ini dia akan
menghadapi konsekuensi yang besar, mungkin juga 'kertas' ini
adalah sebuah jebakan, namun dia tidak memperdulikan lagi.
"Apakah kau mau pergi?"
"Baiklah!" Wie Kie-hong menjawab tanpa berpikir lebih
banyak lagi, "harap anda menunggu sebentar diluar pintu
masuk, aku akan segera keluar."
Orang itu mengangguk, dia berjalan keluar pintu, lalu
membalikkan tubuh, menutup pintu taman.
"Tuan Bu" Wie Kie-hong pelan berkata, "sekarang kita
harus berbagi tugas. Kita akan bertemu lagi disuatu tempat
nanti. Bagaimana menurutmu?"
"Kalau begitu kau tentukanlah dahulu kapan dan dimana
kita akan bertemu" "Bagaimana kalau kita bertemu disini lagi"
"Tidak" Bu Tiat-cui menjawab dengan nada takut "untuk
sementara waktu aku tidak ingin kembali ke tempat ini.
bagaimana kalau bertemu ditempatmu saja?"
"Repot. Tengah hari nanti apakah kau bisa mengambil
koper tersebut?" "Waktunya lebih dari cukup"
"Kalau begitu kita berdua akan bertemu di taman Bu Ling di
kota Pek Hai. Bagaimana?"
"Jangan. Kau menyuruhku membawa koper itu pergi ke
tempat yang jauh, itu sangat berbahaya."
Tiba-tiba Wie Kie-hong teringat pesan yang dititipkan oleh
Leng Souw-hiang. Oleh karena itu dia segera berkata:
"Kalau begitu kita berdua bertemu di stasiun kereta saja
tepat pukul dua belas siang. Kita bertemu di pintu masuk,
disana orang-orang yang membawa koper pasti sangat
banyak" "Baiklah! Tepat jam 12 nanti kau harus datang."
"Aku akan berusaha datang secepatnya. Namun jika terjadi
sesuatu diluar dugaan dan aku terlambat datang, kita tidak
boleh berpisah sebelum kita bertemu .......Tuan Bu! Harap
berhati-hati jangan sampai diikuti orang"
"Aku tahu" Wie Kie-hong segera berjalan melalui pekarangan, dia
membuka pintu dan terus berjalan keluar. Di luar sebuah
kereta kuda sudah menunggu-nya. Pria berpakaian rapi yang
tadi melawannya sudah duduk di tempat kusir menunggunya.
Sambil mempersiapkan cambuknya, dia turun kereta dan
berdiri disamping pintu masuk kereta kuda. Dia menyambut
Wie Kie-hong seperti tamu terhormat naik kereta.
0-0-0 BAB 3 Perburuan Kereta kuda terus melaju.
Namun Wie Kie-hong tidak tahu kereta ini sedang melaju
ke arah mana. Sebelum naik kereta, orang itu meminta Wie
Kie-hong dengan hormat mengikat sebuah kain berwarna
hitam menutupi matanya. Kie-hong sama sekali tidak
bertanya. Tampaknya Thiat-yan tidak ingin bertindak gegabah
....lagipula bisa terlihat bahwa ini adalah undangan yang
diberikan padanya dengan cara yang sopan.
Wie Kie-hong menyetujui undangan ini. dia berharap nona
Thiat-yan akan mengatakan dimana ayahnya berada.
Setelah mulai berangkat, Wie Kie-hong terus mencoba
berkonsentrasi mengingat kemana arah kereta kuda ini pergi.
Dia ingin mengetahui dimana kira kira tempat tinggal Thiatyan.
Namun akhirnya dia menyerah, karena sais kereta kuda
rupanya sangat pintar. Setelah berangkat, dia sengaja
mengemudikan kereta kudanya berputar-putar. Sebentar saja
dia sudah membuat Wie Kie-hong kebingungan. Dari hal kecil
ini sudah terlihat kemampuan yang dimiliki oleh Thiat-yan.
bahkan seorang kusir kereta kuda pun berpakaian rapi dan
memiliki ilmu silat tinggi. Dia pasti mendapat pengarahan yang
ketat darinya. Sepanjang perjalanan Wie Kie-hong merasa kereta kuda
selalu berjalan diatas jalanan yang rata. Ini menunjukkan
bahwa kemanapun mereka pergi, mereka belum
meninggalkan kota. Setidaknya Wie Kie-hong yakin tentang
kesimpulannya. Setelah berkendaraan selama kurang lebih setengah jam,
akhirnya kereta berhenti.
Wie Kie-hong mendengar suara pintu mem-buka. Setelah
itu kereta kembali bergerak maju. Bahkan pekarangan didalam
rumah Thiat-yan memiliki jalan untuk dilalui oleh kereta kuda.
Walau belum melihatnya, Wie Kie-hong sudah bisa
membayangkan betapa besarnya rumah yang dikunjunginya
ini. Akhirnya kain pembalut berwarna hitam dilepaskan. Wie
Kie-hong dipersilahkan turun dari kereta.
Yang pertama kali dilihatnya adalah sebuah pekarangan
dengan taman bunga yang berwarna hijau segar. Pekarangan
rumah besar ini tidak hanya luas, namun juga sangat nyaman,
didalam benaknya berpikir, jika dibandingkan dengan
kediaman Leng Taiya, tempat ini jauh lebih menyejukkan hati.
Kesan pertama mengunjungi tempat ini benar-benar sangat
menyenangkan. Sekarang dihadapannya sudah berdiri dua orang gadis
pesuruh yang berusia sekitar lima-enam belas tahun. Mereka
berdua berdiri sebelah menyebelah, merangkupkan tangan
dan menyambut kedatangannya. Tingkah laku mereka sangat
ramah dan sopan santun. Kesan kedua juga sangatbaik.
Keadaan didalam ruangan tertata dengan sangat rapi dan
megah. Syair literatur dan gambar-gambar yang tergantung di
tembok juga sangat istimewa. Peralatan semuanya terbuat
dari kayu merah. Jika dibandingkan dengan perabotan yang
ada di kediaman keluarga Leng, semuanya tampak jauh lebih
bagus. Tidak terasa Wie Kie-hong mendecak kagum. Kira-kira
berapa banyak kekayaan Thiat-yan ini" Tentang Tiat Liongsan,
sebelumnya dia sudah men-dengar sedikit. Biasanya
orang yang sangat kaya atau memiliki kekuasaan, kebanyakan
keluarganya tidak utuh. kesan ketiga membuat Wie Kie-hong
diam-diam merasa aneh, dia merasa curiga.
Peralatan minum teh yang disuguhkan semuanya terbuat
dari porselen mahal dari daerah Kang Sie. Wie Kie-hong
merasa seolah olah dia sedang berada di alam mimpi dan
dijamu oleh para dewi. Wie Kie-hong sudah sering keluar
masuk rumah orang-orang penting dan para pejabat kaya,
namun dia belum pernah menjumpai rumah mewah seperti ini
sebelumnya. Akhirnya tuan rumah keluar menyambutnya, menilai raut
mukanya, sepertinya dia tidak ramah, namun tidak licik, postur
tubuhnya kekar namun tetap langsing. Dinilai dari tubuhnya,
tampak dia berusia kurang lebih baru sekitar dua puluh tahun
saja. Namun berdasarkan raut mukanya, Wie Kie-hong merasa
umurnya seperti tidak hanya dua puluh tahun saja.
Orang inilah orang yang sudah membuat empat perkara
yang sangat kejam. Perempuan ini adalah penjahat yang
sedang diburu oleh Tu Liong dan dirinya. Wie Kie-hong benarbenar
tidak percaya, dia merasa situasinya kurang baik. Ini
karena dia tidak tahu bagaimana menghadapi nona yang
cantik dan menarik sekaligus melampiaskan dendam kesumatnya.
"Wie kongcu?" ini adalah kalimat pertama yang diucapkan
oleh tuan rumah. "Betul. Namaku adalah Wie Kie-hong. Anda adalah....?"
"Thiat-yan" jawabannya singkat, sederhana namun sangat
bertenaga. Lawan bicaranya sudah memperkenalkan diri sebagai orang
yang sudah memotong tangan Leng Souw-hiang. Namun tetap
saja Wie Kie-hong tidak bisa menunjukkan niat bermusuhan.
Dia diam-diam hanya mengatupkan rahangnya kuat kuat.
"Wie Kongcu mungkin akan merasa bahwa undangan yang
kuberikan pada anda sangat mendadak. Sebenarnya
undangan ini sudah kurencana-kan semenjak setengah tahun
yang lalu." "Aku tidak mengerti apa maksudmu" Wie Kie-hong
kebingungan... "Maksudku adalah aku sudah mengetahui tentang
penyebab kematian ayahmu sekitar setengah tahun yang lalu.
Semenjak hari itu aku bertekat mencari kesempatan untuk
memberitahukan sendiri padamu"
Setelah menyinggung tentang penyebab kematian ayahnya,
Wie Kie-hong merasakan emosi yang sulit dikendalikannya.
Namun dia tidak ingin salah tingkah dihadapan Thiat-yan.
Karena itu dia sekuat tenaga menahan diri. dengan tenang dia
berkata: "Maaf aku berkata terus terang. Berdasarkan pendirianmu
dan pendirianku, aku tidak mungkin akan datang kemari
menjadi tamumu. Aku datang kemari karena ingin mencari
tahu tentang sebuah masalah...."
Thiat-yan memotong kalimatnya dan berkata: "Aku pasti
akan memberitahu dirimu, namun aku punya sebuah syarat
sebagai imbalannya."
"Oh..." syarat?"
"Wie Kongcu jangan terkejut. Jadi manusia haruslah adil.
Mengurus sebuah masalah pun tetap harus adil. Satu tael bisa
membeli kue bakar, sepuluh tael barulah bisa membeli kue
bakar ditambah dengan daging. Betul tidak?"
Wie Kie-hong tumbuh besar di rumah kediaman keluarga
Leng Souw-hiang. Dengan begitu secara otomatis dia tidak
kampungan. Setelah men-dengar Thiat-yan mengucapkan
kata 'syarat' hatinya langsung merasa waspada.
"Sebelum kau mengatakan syarat yang harus kupenuhi,
kau sebaiknya menilai baik-baik diriku. Persyaratan apapun
yang akan kau berikan nanti, mungkin saja aku tidak dapat
memenuhinya." "Wie kongcu terlalu sungkan."
"Coba katakanlah dulu syaratmu, supaya kita tidak
membuang-buang waktu"


Walet Besi Karya Cu Yi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Setelah Leng Souw-hiang terluka, kau cepat-cepat pergi ke
gang San-poa dan menemui Bu Tiat-cui. Mengapa kau pergi
kesana" Inilah syarat satu-satunya yang ingin kuketahui, kau
harus menjawab dengan jujur."
"Pergi meramal nasib"
"Meramal nasib?" Thiat-yan tertawa dingin "meramal nasib
siapa?" "Meramal nasib si pelaku kejahatan. Aku ingin melihat
kapan dia akan terjerat jaring takdir yang jarang namun tetap
tidak bisa tertembus, (kapan Thiat-yan akan kalah)"
"Wie Kie-hong!" panggilan ramahnya sudah berubah. Nada
bicaranya juga berubah, "apakah kau tahu apa akibat dari
kata-kata lelucon semacam ini?"
"Aku tidak sedang bercanda"
Rahang Thiat-yan mengatup sangat keras, dia sepertinya
hendak segera berubah pikiran. Namun dia tetap saja tabah
menahan semua emosinya, tetap dengan suara lembut dan
ramah berkata: "Wie Kie-hong! Penyebab kematian ayahmu merupakan hal
yang sangat penting bagimu. Apakah kau mengerti?"
"Tentu saja aku mengerti"
"Kalau begitu, mengapa kau bersikap begini semacam itu
dihadapanku" Aku benar benar beritikad baik menceritakan
padamu." "Aku juga beritikad baik"
"Tapi yang kau katakan tadi adalah sebuah kebohongan.
Aku tahu itu!" "Bagaimana kau tahu aku sedang berbohong?"
"Wie Kie-hong! Karena relasi tertentu, aku harus tetap
menjaga sopan santunku padamu. Aku tidak bisa
menggunakan kekerasan, juga tidak bisa menghadapimu
dengan cara kejam, terhadap orang lain aku tidak akan
berbuat seperti ini. kalau kau tidak bicara, aku bisa bertanya
pada orang lain." "Bertanya pada siapa?"
"Aku bisa bertanya langsung pada Bu Tiat-cui. Tentu saja
tidak akan bertanya baik-baik seperti ini. apakah kau ingin
membuat dia menderita?"
'Untung Bu Tiat-cui sudah pergi menghindar,' pikir Wie Kiehong
dalam hati. "Wie Kie-hong! Aku berharap kau ingat hal itu dengan baik"
"Kau tadi mengatakan bahwa karena relasi tertentu, kau
harus tetap menjaga sopan santun padaku. Apa maksud dari
kata-katamu ini ?""
"Sekarang aku tidak dapat mengatakan pada-mu.
Waktunya belum tepat."
"Nona Yan!" Wie Kie-hong mendadak berdiri lalu berkata,
"aku merasa kabar yang kau miliki mengenai kematian ayahku
adalah jebakan untuk menipuku. Dari awal kau sudah sengaja
membuat urusan sederhana menjadi rumit. Aku tidak suka
berurusan dengan orang yang berbelit-belit. Sekarang aku
ingin pergi, bisakah kau menyuruh memper-siapkan kereta
kuda dan mengantarkanku pulang?"
"Wie Kie-hong! Sebelum kau meninggalkan tempat ini,
sebaiknya kau mempertimbangkan keputusan itu matangmatang...."
"Mengapa?" "Sekarang ini kita berdua masih terhitung sebagai teman.
Sebenarnya aku tahu kau tidak ingin mengakui kalau kita
berdua adalah teman. Setidaknya kau tidak kuanggap seorang
musuh. Setelah kau meninggalkan tempat ini, kita berdua
akan segera menjadi musuh bebuyutan."
"Cepat atau lambat aku pasti akan meninggalkan tempat
ini. betul tidak?" "Jika kau pergi setelah kita mendapat titik temu, bukankah
lebih baik?" "Kata-katamu sungguh membuat orang sulit untuk tertawa
ataupun bersedih. Kau sudah melukai ayah angkatku, setelah
itu kau masih ingin menjalin hubungan yang baik denganku.
Bagaimana bisa?" Kata-kata Wie Kie-hong ini sudah menggambarkan
keputusan yang sudah dibuatnya. Tidak salah, semula dia
ingin mengetahui penyebab kematian ayahnya, namun dia
lebih menghargai jasa Leng Souw-hiang yang sudah
merawatnya sampai dewasa. Thiat-yan sudah melukai Leng
Souw-hiang, tentu saja dia tidak mungkin menjalin hubungan
yang baik dengan Thiat-yan.
"Nyalimu sangat besar!"
"Apa maksudnya?"
"Nyawamu saat ini sedang berada diujung tanduk, namun
kau masih berani mengatakan semua itu. apakah kau tidak
takut aku berubah pikiran dan mencelakaimu?"
"Kalau kau berpikir seperti itu, kau benar-benar masih
kolokan kau sudah mengundangku datang kemari, tentu saja
kau akan mengantarkanku pergi. Kalau kau mencelakaiku
disini, kau benar-benar picik. Apakah kau akan melakukan hal
picik semacam itu padaku?"
Muka Thiat-yan menjadi merah.
"Maaf !!" Wie Kie-hong berdiri, "sekarang aku akan pergi"
"Tunggu sebentar. Aku ingin mengajukan beberapa
pertanyaan" "Katakanlah!" "Apakah kau bermaksud membalaskan dendam ayah
angkatmu?" "Apa maksudnya membalaskan tangannya yang sudah kau
potong?" "Betul" "Ayah angkatku tidak pernah menyuruhku membalas
dendam" "Orang yang bersangkutan pun tidak berkata apa- apa. itu
menggambarkan hatinya tidak ada rasa sesal. Sebaiknya kau
tidak usah ikut campur dalam urusan ini. umurmu masih
sangat muda, kalau kau ikut campur kau pun pasti akan ikut
terbunuh....pelayan! antar tamu!"
Wie Kie-hong berkata dengan nada yang terdengar sangat
dingin: "Nona Yan, aku sungguh ingin mengetahui penyebab
kematian ayahku, namun aku tidak akan menanyakan
padamu. Aku percaya, tidak ada urusan yang bisa selamanya
ditutupi" Sewaktu pergi dari tempat itu, dia kembali diantar oleh
orang yang sudah menjemputnya tadi. Dan seperti
sebelumnya, kepalanya kembali dibungkus dengan kain
berwarna hitam. Dia kemudian diturun-kan didepan sebuah
jalan besar. Setelah turun, kereta kembali pergi menjauh, tadinya Wie
Kie-hong ingin membuntutinya kembali, namun dia tidak
berbuat demikian. Thiat-yan tidak mengakalinya dengan tipu
daya, dia juga tidak boleh berbuat seperti ini.
Tiba-tiba saja seseorang menepuk bahunya, ternyata orang
itu adalah Tu Liong. "Tu Toako....?"
Tu Liong menatap, setelah itu dia menarik tangannya dan
segera pergi. Mereka berdua memasuki sebuah gang kecil yang sepi.
Disana barulah Tu Liong mulai berkata, "Apakah kau sudah
menemui Thiat-yan?" "Aku sudah menemuinya! Tapi dari mana kau tahu aku
menemuinya?" "Sebenarnya dari tadi aku sudah mengikuti-mu. Ada banyak
urusan yang jika sekarang diceritakan padamu, mungkin kau
tidak akan mengerti...."
"Kalau begitu kau pasti sudah tahu dimana tempat tinggal
Thiat-yan" "Tentu saja aku tahu"
"Dimana?" "Kalau aku katakan, kau pasti akan terkejut. Thiat-yan
tinggal tepat disebelah rumah Bu Tiat-cui. Kedua rumah ini
hanya dibatasi sebuah tembok"
"Hah?" "Kereta kuda itu sudah membawamu berputar-putar
beberapa keliling. Setelah itu kereta kembali lagi ke tempat
semula. Hanya kau tidak menyadarinya."
"Thiat-yan benar-benar sangat cerdik, namun dia tetap
sangat sopan. Walaupun tadi percakapan kami berdua tidak
ada kecocokan, dia tidak mempersulit aku."
"Kalian bercakap-cakap tentang apa?"
Wie Kie-hong menceritakan kembali semua percakapan
yang dialaminya dengan Thiat-yan. Setelah ini dia juga
menceritakan perihal Bu Tiat-cui yang masih hidup
Tu Liong mendengarkan semua ini dengan sepenuh hati.
setelah itu dia bertanya:
"Apakah kau sekarang bermaksud pergi ke stasiun kereta
menemui Bu Tiat-cui?"
"Betul" "Percuma" "Mengapa?" "Bu Tiat-cui tidak mungkin pergi" Tu Liong terdengar
sangat yakin. "Tu Toako! Apakah kau ingin mengatakan bahwa Bu Tiatcui
sudah ditangkap oleh Thiat-yan"'
"Kie-hong! Aku hanya seorang diri. Dari tadi aku
memperhatikan dirimu, otomatis aku tidak memperhatikan Bu
Tiat-cui. Apa yang sudah dilakukan nya aku sama sekali tidak
tahu. Namun aku sudah membuat sebuah tebakan. Kie-hong!
aku senang sekali memecahkan misteri! Karena itu tebakan
yang kubuat pada umumnya dapat diandalkan!"
"Aku tetap harus pergi kesana"
"Dengar kata-kataku! Sebaiknya kau jangan pergi kesana"
"Kenapa?" "Kau pikirlah dengan baik. Thiat-yan tinggal disebelah
rumahnya. Semua gerak gerik Bu Tiat-cui sudah pasti
diketahuinya dengan jelas. Aku tahu alasanmu berkeras untuk
menemui Bu Tiat-cui di stasiun kereta. Ini karena dia akan
memberikanmu kopor kecil yang sudah kau ceritakan itu. di
tempat ramai seperti itu, orang yang membawa sebuah kopor
kecil tidak akan menimbulkan kecurigaan orang lain."
Wie Kie-hong benar-benar mengagumi kehebatan Tu Liong
membuat kesimpulan. "Kalau kopor itu adalah barang yang diincar oleh Thiat-yan,
apakah mungkin dia akan membiarkan barang itu jatuh ke
tanganmu" Kie-hong! Sebelum misteri kematian orang yang
kedua alisnya ditembus jarum panjang itu dipecahkan,
sebaiknya kau tidak terlalu dekat dengan Bu Tiat-cui"
Wie Kie-hong tidak berkata apa-apa. namun dalam hatinya
dia berpikir, 'Tu Toako, kau terlambat mengatakan hal itu
padaku. Satu satunya barang bukti sudah diberikan pada Bu
Tiat-cui. Kalau aku tidak mendapatkan kopor itu, bukankah
aku sudah mengecewakan janjiku pada Gihu (ayah angkat)"'
"Aku tahu dalam hatimu kau sedang memikirkan apa."
"Oh...?" "Kau sedang berpikir tentang janjimu pada ayah angkatmu.
Betul tidak?" "Siapa bilang tidak" Sekali tebak saja semua sudah kau
ketahui" "Kalau aku mengatakan sebuah kalimat yang nekat, kau
pasti akan kaget" "OH..?" "Leng Taiya menyuruhmu mengambil kopor itu juga
sebenarnya adalah sebuah jebakan. Terlebih lagi Bu Tiat-cui
sudah membuat janji untuk menemui-mu, aku khawatir ini
juga sebuah jebakan."
"Tu Toako! Kau sudah membuatku sangat bingung!"
"Kau jangan pergi ke stasiun kereta!"
"Ada sesuatu yang belum kukatakan padamu, pada waktu
itu aku pikir Bu Tiat-cui sudah meninggal, dan kopor kecil itu
selamanya tidak akan pernah kudapatkan, aku pikir
mengatakan hal ini ataupun tidak, tidak akan membuat
banyak perubahan........namun sekarang setelah aku
mengetahui lebih banyak, sepertinya keadaan sudah berubah"
"Kalau kau mau memberitahukan padaku sekarang,
sepertinya masih sempat"
"Ayah angkat sudah menitipkan pesan padaku, setelah
mendapatkan kopor tersebut aku harus secepatnya naik
kereta ke sebelah utara Tai-ouw, dan membuang kopor
tersebut ke laut. Selain itu dia juga berpesan agar aku tidak
curiga dan membuka kopor untuk melihat apa isinya"
"Oh...?" Tu Liong memalingkan pendangan nya, dia kembali
memikirkan sesuatu. "Barang yang digunakan sebagai tanda bukti pengambilan
kopor sudah kuserahkan pada Bu Tiat-cui. Kalau aku tidak
pergi menemui dia, itu benar-benar celaka"
"Baiklah! Kau pergilah!" Tu Liong tiba-tiba saja merubah
keputusannya. Wie Kie-hong tidak mengerti.
"Bagaimana dirimu?"
"Aku harus mengurus hal yang lain"
"Apakah kita masih bisa bertemu lagi?"
"Bukankah kau harus pergi ke sebelah utara Tai-ouw dan
membuang kopor itu" kalau menunggu sampai nanti kau
kembali, langit pasti sudah menjadi gelap. Mungkin nanti
sudah tengah malam" "Tu Toako! Bukankah tadi kau berkata bahwa Bu Tiat-cui
tidak mungkin datang?"
"Aku pikir dia mungkin datang"
"Mengapa kau berubah pikiran?"
"Karena aku sudah membuat satu dugaan yang baru....Bu
Tiat-cui mungkin akan datang, malah dia akan membawakan
kopor yang kau inginkan itu."
Setelah berkata demikian, Tu Liong menepuk bahunya, lalu
pergi. Sekejap saja Wie Kie-hong merasa curiga. Apakah otak
Tu Liong benar-benar sangat pintar sampai bisa menebak
semuanya bagaikan seorang dewa" Ataukah ada hal lainnya"
"Tuan! Apakah ingin naik kereta?" ternyata sebuah kereta
kuda sudah berada didepan matanya.
"Ke stasiun kereta" Wie Kie-hong duduk diatas kereta kuda.
Setelah sampai di stasiun kereta, waktu menunjukkan tepat
pukul dua belas siang. Wie Kie-hong cepat-cepat turun dari
kereta kuda dan berjalan ke pintu masuk. Disana dia melihat
Bu Tiat-cui sedang berjalan mendatanginya dari arah yang
berlawanan. Tangannya menggenggam sebuah kopor kuning.


Walet Besi Karya Cu Yi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Walaupun Wie Kie-hong merasa sedikit gugup, namun
melihatnya dia merasa sedikit lega. Tugas yang diembannya
sebentar lagi akan selesai...
Bu Tiat-cui akhirnya berdiri di sisi sebelah kanan Wie Kiehong.
Dia lalu memindahkan kopor kuning itu dari tangan
kanan ke tangan kirinya. Saat ini Wie Kie-hong hanya tinggal
mengulurkan tangannya, mengambil kopor itu dari tangannya.
Ini tidak akan membuat orang lain merasa curiga.
Tepat pada saat itu, tiba-tiba saja ditengah kerumunan
didalam stasiun kereta muncul seseorang. Orang ini berjalan
di belakang mereka berdua. Wie Kie-hong tentu saja tidak bisa
mencegah hal ini. orang ini berjalan menerobos diantara Wie
Sepasang Pedang Iblis 1 Angrek Tengah Malam Seri Pendekar Harum Karya Khu Lung Buddha Pedang Dan Penyamun Terbang 11

Cari Blog Ini