Walet Besi Karya Cu Yi Bagian 2
Kie-hong dan Bu Tiat-cui. Sambil menerobos, dia berhasil
merebut kopor kuning yang akan diberikan.
Setelah merebut kopornya, dia tidak berlari seperti seorang
maling pada umumnya. Dia hanya berjalan dengan kecepatan
yang normal keluar stasiun kereta. Dia melakukan semuanya
seolah-olah kopor kuning itu adalah miliknya sendiri.
Bu Tiat-cui sangat terkejut dan hanya bisa menatap Wie
Kie-hong. Wie Kie-hong hanya melihat Bu Tiat-cui sekilas,
cepat-cepat berjalan kedepan untuk mengejarnya.
Tiba-tiba sebuah tangan yang bertenaga memegang bahu
kanannya. "Hei... pelayan... kita sudah sangat lama tidak berjumpa.
Apa kabar?" Tubuh Wie Kie-hong berputar dengan cepat, setelah itu dia
berkata dengan dingin "Kau salah orang!"
"Maaf!" sambil menyapa, orang yang meme-gang bahu
menarik kembali tangannya.
Setelah Wie Kie-hong kembali memalingkan kepala untuk
mengejar, orang yang merebut kopor sudah pergi entah
kemana. Dia sudah tidak terlihat.
Jelas ini adalah sebuah tipu muslihat. Pepatah mengatakan
"biksunya bisa melarikan diri, namun viharanya tetap berada
ditempatnya". Walaupun dia sudah kehilangan orang yang
mencuri kopor, namun dia tahu pelakunya pastilah orang
suruhan Thiat-yan. Sedangkan sekarang dia sudah tau tempat
tinggal Thiat-yan. Tentu saja Wie Kie-hong harus menangkap
orang yang sudah salah mengenalnya tadi. Dia segera
membalikkan tubuh, Namun ternyata orang ini juga sudah
menghilang entah kemana. "Sial!" Wie Kie-hong mendamprat
"Kenapa?" "Kau masih bertanya" Kopor itu sudah direbut orang lain!"
"Aku pikir orang itu adalah suruhanmu."
Sekarang Wie Kie-hong mulai memutar otaknya. Dia
bertanya: "Tuan Bu, setelah kau meninggalkan gang San-poa, kau
pergi kemana saja?" "Aku langsung pergi mengambil kopor itu"
"Apakah kau ditengah jalan diikuti orang lain?"
"Aku tidak tahu"
"Bagaimana mungkin mereka tahu kita berdua sudah
membuat janji bertemu disini?"
"Aku....aku tidak tahu"
Orang yang merebut kopor itu pastilah sudah membuntuti
Bu Tiat-cui sepanjang jalan, sampai dia kemari. Kalau begitu,
dari awalpun mereka sudah memiliki kesempatan untuk
merebut kopor itu, langsung dari tangan Bu Tiat-cui. Mengapa
mereka harus menunggu merebutnya di sini" Mengapa harus
mengambil resiko merebut kopor itu di depan mukanya"
Apakah mungkin ini untuk melepaskan kesalahan dari tangan
Bu Tiat-cui" Apakah tipu muslihat ini ada hubungan dengan Bu Tiat-cui"
"....sekarang kita harus bagaimana?" Bu Tiat-cui tampak
sangat gugup. "Sekarang tuan Bu akan pergi kemana?"
"Aku akan pulang kerumahku"
"Bukankah kau tadi berkata bahwa sementara waktu kau
akan menjauh dari rumah itu?"
"Aku tidak punya tempat melarikan diri"
"Baiklah, nanti aku akan menghubungimu lagi"
Setelah mengatakan ini, Wie Kie-hong segera berjalan
pergi, dia tidak ingin menanyai Bu Tiat-cui lebih lanjut.
Lagipula dia tidak memiliki alasan untuk menanyainya lebih
jauh. Dia juga tidak mungkin mengulur urusan ini lebih lama. Dia
harus segera menemui Tu Liong.
Dia segera pergi ke kediaman Cu Taiya. Ter-nyata Tu Liong
ada dirumah, membuat Wie Kie-hong merasa senang.
Melihatnya Tu Liong segera berkata:
"Aku tahu kau pasti akan datang. Ada sesuatu yang ingin
kutunjukkan padamu" Ternyata barang itu adalah sebuah kopor kuning. Kopor itu
sudah terbuka. Didalamnya kosong.
"Ini....?" Wie Kie-hong tidak menyangka melihat barang itu disini.
"Ini adalah kopor yang akan diberikan oleh Bu Tiat-cui
padamu tadi." "Benarkah?" "Untuk apa aku membohongimu" Orang yang sudah
merampas kopor dan langsung pergi, dan juga orang yang
sudah salah mengenal dirimu, mereka berdua adalah orang
yang sudah aku suruh untuk melakukannya."
"Barang yang ada didalam kopor itu?"
"Kopor itu pada awalnya memang sudah kosong" Tu Liong
berkata dengan nada dingin.
Wie Kie-hong tidak memiliki alasan untuk tidak
mempercayai Tu Toakonya yang sudah dipujanya selama ini.
Namun dia lebih tidak memiliki alasan untuk tidak
mempercayai ayah angkatnya Leng Souw- hiang....
Tu Liong melihat rasa curiganya, maka berkata: "Didalam
hati para generasi tua pastilah tersimpan sebuah rahasia yang
tidak bisa diberitahukan pada orang lain. Kita ambil contoh Cu
Taiya, dia adalah majikan yang sangat kusanjung. Namun dari
awal dia sudah menjelaskan, kalau aku senang bermain tebak
tebakan dan memecahkan misteri, aku boleh terus bermain,
namun aku tidak boleh menanya-kan apapun padanya....Kiehong,
oleh karena itu tadi aku sudah berkata padamu, bahwa
perintah Leng Taiya Souw-hiang yang sudah menyuruhmu
untuk mengambil kopor pun kemungkinan adalah sebuah
jebakan." Wie Kie-hong hanya menggeleng-gelengkan kepala. Dia
benar-benar kebingungan. "Kalau aku tidak merebut kopor ini kedalam tanganku, kau
akan bagaimana" Kau pasti sudah naik kereta ke sebelah
utara Tai-ouw dan mengerjakan perintah ayah angkatmu dan
membuang kopor ini ke laut. Dengan begitu bagian
pemecahan teka-teki dari kopor ini akan hilang selamanya."
"Tu Toako, tapi sebelumnya kau melarangku untuk pergi ke
stasiun kereta...." "Tujuannya juga tidak jauh berbeda. Aku bermaksud
mengambil kopor ini kedalam tanganku. Kau tidak mungkin
akan mengingkari janjimu pada ayah angkatmu. Aku
sedikitpun tidak meragukan hal ini...."
"Tidak, Tu Toako, ini bukanlah hal yang baik untuk
dilakukan...." "Kie-hong... kau benar-benar seorang laki-laki sejati.
Sebagai seorang laki-laki sejati, apakah kau tidak ingin
mengetahui duduk perkara yang sebenarnya?"
"Tapi...." "Sekarang coba kita lihat dari sudut pandang yang lain.
Kalau misalnya Bu Tiat-cui sudah menukarkan kopor ini
dengan yang lain, lalu kau membuang kopor ini begitu saja
kelaut dan merasa bahwa kau sudah menyelesaikan tugas,
Leng Taiya juga menyangka kalau kau sudah menyelesaikan
tugas dan membuatnya merasa tenang sesisa hidupnya.
Namun bagaimana sebenarnya?"
Penjelasan yang dikemukakan oleh Tu Liong terdengar
sangat keras, namun sangat masuk akal. Wie Kie-hong
kehabisan kata-kata. Dalam hatinya dia tetap terus
mengagumi kemampuan Tu Liong dalam membuat
kesimpulan. Namun bagaimanapun juga dalam hatinya dia
merasa khawatir. "Aku sudah membuat janji dengan tuan besar Tan. Nanti
kita berdua akan pergi mengunjunginya. Walaupun kedua
kupingnya sudah dipotong Thiat-yan, namun itu tidak akan
merintanginya untuk bicara."
"Apakah yang kau maksud dengan tuan besar Tan adalah
Tan Po-hai?" "Betul" "Tu Toako ingin menanyakan apa padanya?"
"Masalah yang berkenaan dengan kejadian pada waktu itu
dimana lima orang tua turun tangan dan mencelakai Tiat
Liong-san. Untuk satu hal ini, Cu Taiya sudah mengakuinya
sendiri dihadapanku. Namun tetap saja aku merasa
urusan ini tidak sederhana seperti yang aku bayangkan.
Kalau sederhana, dimana serunya memecahkan sebuah
misteri?" "Kalau kau hanya memikirkan mendapat kesenangan
dengan memecahkan sebuah misteri, aku tidak akan
melayanimu lagi." "Eh?" Tu Liong sangat kaget mendengar kata-kata ini. dia
menatap Wie Kie-hong. Didalam benaknya mengatakan,
selama ini Wie Kie-hong adalah seorang yang sangat penurut.
"Tu Toako, ini bukanlah sebuah permainan. Ini adalah
urusan yang menyangkut hidup dan mati. Sekarang ini urusan
sudah ada didepan mata. Sudah dua orang yang mati dan tiga
orang yang terluka. Kalau menuruti omongan Cu Taiya, dia
belum dibunuh karena Thiat-yan sedang mencari sebuah
barang. Kalau begitu suatu saat nanti pastilah akan ada orang
yang mati atau terluka lagi. Tu Toako, tanggung jawab yang
kita pikul sangat besar."
"Kie-hong...." Tu Liong menepuk bahu Wie Kie-hong
katanya, "aku benar-benar tidak menyangka kau akan berkata
serius seperti itu....tenang saja, aku tidak sedang bermain
sebuah permainan. Setidaknya aku juga memiliki tanggung
jawab untuk melindungi Cu Taiya agar tidak terluka. Jangan
lupa kita berdua sedang berburu. Yang sedang kita buru
bukanlah Thiat-yan atau orang apapun, namun yang kita buru
adalah kejadian yang sebenarnya. Diantara kelima orang
tersebut, hanya ada satu orang yang benar-benar mengetahui
kejadian sesungguhnya."
0-0-0 BAB 4 Kasih Sayang Thiat-yan duduk menopang wajahnya. Jelas terlihat dia
sedang murung karena sebuah masalah.
Kusir kuda separuh baya berpakaian rapi yang sudah
mengantarnya ke kediaman keluarga Leng sedang berdiri
didepannya. Raut mukanya juga sangat tidak enak dilihat,
namun yang berbeda adalah bahwa dia terlihat sedikit
khawatir. Kedua orang ini terdiam sangat lama. Situasi terasa
sangat canggung. "Nona?" pada akhirnya pria separuh baya itu mulai
membuka mulut dan memulai percakapan, "apakah kau
sedang marah padaku" Apakah kau sedang menyalahkanku
karena tadi aku sudah salah bicara?"
"Paman Boh..." Thiat-yan terus menopang wajahnya,
namun nada suaranya terdengar lemah lembut, "kau lebih tua
dariku, mana mungkin aku berani marah padamu" Aku hanya
merasa bahwa kau tidak mengerti isi hatiku."
"Nona, semenjak ayahmu meninggal, kau selalu
memanggilku dengan sebutan paman. Tentu saja aku harus
mengerahkan semua kemampuanku untuk melindungimu dari
bahaya apapun. Sewaktu kau lengah, aku juga akan segera
merespon dan menyadarkanmu. Sekarang kau sedang
murung, aku pun harus berkata sesuatu. Kau tadi sudah
melepaskan Wie Kie-hong, itu adalah sebuah tindakan yang
gegabah. Benar-benar tidak masuk akal."
"Bukankah tadi aku sudah mengatakan padamu" Paman
Bohbenar-benar tidak mengerti isi hatiku"
"Nona, saat ini kita berdua berada dekat dengan ibu kota,
sama dengan berada di dalam kandang macan. Kita tidak
boleh bertindak gegabah."
"Kalau begitu kau sudah salah lebih jauh lagi. Apakah kau
pikir kalau aku punya perasaan istimewa terhadap Wie Kiehong"
Tidak mungkin....sama sekali tidak mungkin. Hatiku
sudah lama menjadi dingin.... kalau dinilai dari sifatku, aku
tidak mungkin akan langsung jatuh cinta dengan seorang lakilaki
pada pandangan pertama. "Kalau begitu aku tidak tahu ada urusan apa lagi yang
membuatmu murung seperti itu"
"Mengenai ayah kandung Wie Kie-hong yang bernama Wie
Ceng, kau sudah mengetahui keadaannya sangat baik.
Sewaktu ayahnya masih hidup di dunia, kau juga pernah
menyebutnya sebagai seorang laki-laki tangguh."
"Tidak salah. Wie Ceng bisa disebut seorang laki-laki
tangguh. Namun dia tidak cukup baik menjadi laki-laki sejati.
Nona, dia adalah laki-laki tangguh yang ceroboh atau laki-laki
tangguh yang bodoh" "Paman Boh berkata seperti ini, apakah menurutmu ini adil
baginya?" "Nona, aku Boh Tan-ping tidak pernah berurusan ataupun
bermusuhan dengan Wie Ceng. Untuk apa aku menjelekjelekkan
dirinya" Orang semacam itu bodoh sekali mau
menjadi pesuruh Leng Souw-hiang. Kalau bukan laki-laki
tangguh yang ceroboh atau laki-laki tangguh yang bodoh,
julukan apa yang lebih pantas untuk diberikan padanya?"
"Aku harus membantah ucapanmu yang terakhir ini. Wie
Ceng berasal dari keluarga perampok. Dia meninggalkan
hidupnya dari merampok dan membunuh orang. Dia lari ke
tempat Leng Taiya dan menjadi seorang pengawal. Menjadi
seorang pengawal yang dipercaya adalah suatu hal yang
sangat sulit didapatkan. Apa yang bisa dilakukannya" Leng
Souw-hiang adalah orang kepercayaan raja Su-cen. Lagi pula
diatas kepalanya tidak terukirkan kata "Penjahat". Rasanya
tidak salah kalau dia melayaninya."
"Aih, nona, aku sudah tidak mampu memberi nasihat
padamu." "Kita tidak sedang berdebat, tapi sedang mencoba
meluruskan perkara ini sampai jelas, kalau kau berkata seperti
itu, aku tidak berani melanjutkan."
"Baiklah!" Boh Tan-ping kembali berusaha berkompromi
dengan Thiat-yan. Dia jelas terlihat sangat menyayangi
dirinya. "Aku mendengarkanmu"
"Menurut kabar, kudengar, Leng Souw-hiang sudah
beberapa kali mencoba mencarikan jodoh untuk dinikahkan
dengan Wie Kie-hong. Namun dia selalu menolaknya.
Alasannya adalah....sebelum penyebab kematian ayahnya
Walet Besi Karya Cu Yi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
diketahuinya, dia tidak akan pernah menikah dan berkeluarga.
Dari sana dapat terlihat dia adalah seorang anak yang tahu
balas budi." "Mmmm, untuk yang satu ini aku setuju dengan pendapat
nona." "Pada saat yang sama juga bisa terlihat bahwa didalam hati
Wie Kie-hong, dia lebih menghargai ayah kandung yang sudah
melahirkannya daripada ayah angkat yang sudah
membesarkan dan mendidiknya sampai sekarang."
Boh Tan-ping tidak berkata apa-apa. Seolah-olah dia sangsi
kata-katanya. "Paman Boh, dari sini kita bisa mengambil kesimpulan, Wie
Kie-hong seharusnya menuruti permintaan ayah angkatnya
dan segera menikah. Tapi dia malah menolak permintaan
Leng Souw-hiang, karena penolakannya, sedikit banyak pasti
akan membuat Leng Souw-hiang tidak senang. Wie Kie-hong
pintar, apakah dia tidak berpikir sampai sejauh ini" rasanya
tidak mungkin" "Mmmm..." Boh Tan-ping hanya mengangguk-anggukkan
kepala. "Terhadap seorang pemuda yang patut di-hargai seperti ini,
apakah kita masih harus melukainya" Bukankah seharusnya
kita menghormati dan membantunya?"
"Kalau memang kau ada pemikiran semacam ini, mengapa
kau tidak langsung memberitahukan penyebab kematian
ayahnya sewaktu ada kesempatan tadi?"
"Sekarang ini dia tidak mungkin akan percaya pada katakataku..."
"Nona, nanti pun dia tidak mungkin berubah dan percaya
padamu" "Paman Boh terlalu cepat membuat kesim-pulan. Kalau kita
bisa membangun kepercayaan didalam hatinya, dia tidak
punya alasan..." "Nona, umurmu masih terlalu muda. Berapa banyak kau
mengerti tentang sifat manusia sebenar-nya" Orang yang dari
kecilnya tumbuh didalam sebuah sangkar macan, dan setelah
besar bisakah seseorang sudah membuatnya sadar bahwa dia
adalah seorang manusia dan bukan seekor macan" Namun
bagaimana pun juga dia tetap akan membenci orang yang
berburu macan. Wie Kie-hong tumbuh besar di sisi Leng
Souw-hiang. Dia tidak mungkin merubah pandangannya dan
tiba-tiba saja menolong dirimu."
"Sebenarnya aku tidak butuh bantuannya. Asalkan dia tidak
menghalangi pekerjaanku, sudah cukup, aku berlaku seperti
ini, bukannya takut padanya, namun aku tidak ingin dia
terluka. dia pasti akan mengerti maksudku."
"Ah...!" Boh Tan-ping menghembuskan nafas panjang.
Setelah itu dia hanya terdiam. Dia jelas tidak ingin
meneruskan perdebatannya.
"Paman Boh, aku sudah menimbang nimbang. apa
akibatnya kalau kita membiarkan dia begitu saja" sekarang ini
dia tidak mengetahui apa-apa, kalaupun misalnya dia benarbenar
mengerti semuanya, apakah dia akan membuka mulut"
Kalau memang itu terjadi, apakah kita masih bisa memberikan
surat peringatan untuk membuatnya tutup mulut" Paman Boh,
sebenar-nya aku berencana untuk melakukan sesuatu, aku
yakin kau pasti akan setuju rencanaku."
Boh Tan-ping terdiam dan tampak semakin murung.
Setelah beberapa lama Thiat-yan berkata lagi:
"Paman Boh, apakah kau marah padaku?"
"Tidak... aku bukan orang yang semacam itu, tiba-tiba aku
sadar, sepertinya urusan ini menjadi semakin rumit saja. Dan
lagi aku merasa kalau kita terlalu cepat bertindak."
"Aku sama sekali tidak berpikir seperti itu. dari sudut
pandangku, tujuan kita hanya satu"
"Siapa?" "Cu Siau-thian!"
"Nona, orang yang sudah mencelakai ayahmu, waktu itu
bukanlah dirinya." "Itu adalah kabar yang sudah kita dengar sebelumnya,
namun bagaimanakah kenyataannya" Siapa yang benar-benar
mengetahui bahwa dia adalah dalang dibalik pembunuhan
ayahku. Paman Boh, aku merasa dia adalah satu satunya
target yang kita sekarang, karena diantara kelima orang
tersebut, hanya dia yang berasal dari kalangan persilatan. Dia
juga memiliki ilmu silat tinggi. Dia sangat sulit dihadapi."
"Dan masih ada lagi, seorang pemuda tangguh yang
melindunginya" "Betul" "Nona, kau sudah membuat kesalahan yang sangatbesar..."
"Oh...?" Thiat-yan membelalakkan sepasang matanya.
Walaupun dia selalu keras kepala, dan tidak gampang
mengalah, namun menghadapi Boh Tan-ping dia bisa
menyabarkan diri dan menaruh kepercayaan besar padanya.
"Nona Yan, kali ini kepergian kita ke kota, apakah untuk
melampiaskan kemarahan saja?"
"Tentu saja tidak"
"Kalau begitu tolong anda beri penjelasan, urusan penting
apa lagi yang masih harus kita kerjakan?"
"Kita harus tahu kejadian yang sebenarnya. Apa alasannya,
waktu itu ayahku dikeroyok oleh kelima orang tersebut
bersama-sama" "Betul. Itu adalah salah satu tujuan kita datang ke kota.
Oleh karena itu target kita selanjutnya adalah mencari orang
yang benar-benar tahu kejadian yang sebenarnya. Tidak
masalah orang ini bisa ilmu silat ataupun tidak."
"Mendengar perkataanmu, tampaknya jarang orang tahu
kejadian ketika ayahku dikeroyok"
"Betul" Boh Tan-ping berkata tanpa ragu-ragu, "aku sudah
meluangkan waktu bertahun tahun untuk mencari tahu,
diantara mereka semua hanya ada satu orang yang benarbenar
tahu kejadian yang sebenarnya"
"Siapakah orang ini?"
"Aku juga tidak tahu... aku hanya tahu, kecuali orang itu,
tidak ada orang lain lagi yang tahu"
Thiat-yan tampak murung dan terdiam. Dia terus-menerus
menatap Boh Tan-ping dengan tatapan curiga dan kaget, dia
merasa aneh, mengapa Boh Tan-ping tidak pernah
memberitahukan tentang hal ini padanya. Tapi akhirnya dia
tetap tidak mendesak Boh Tan-ping.
Setelah sangat lama, Thiat-yan akhirnya berkata:
"Sekarang kita seperti sedang berjalan dalam kabutyang
tebal. Entah kita harus mulai dari mana"
"Tan Po-hai" Boh Tan-ping berkata dengan keras.
0-0-0 Tan Po-hai tampak berumur sekitar empat puluh tahun
lebih, namun tidak sampai lima puluh tahun. Kuliy eajah yang
berada diantara kedua alisnya sangat lebar, siapapun bisa
tahu bahwa dia adalah seorang yang menikmati hidup, kedua
kupingnya masih terluka, namun dia tetap bermain alat
musiknya. Lagu yang dimainkannya adalah lagu yang sangat
terkenal. Dia pun sedang memainkan alat musiknya dengan
tenang. Permainan alat musiknya benar-benar tidak jelek. Petikan
senar biolanya sangat bertenaga. Jari jemari yang menekannekan
senar pun bergerak lincah dan sangat cepat. Lagu yang
dibawakannya benar benar sangat enak didengar, orang yang
mendengarnya pasti akan tertegun karena kagum.
Namun meskipun demikian, Tu Liong dan Wie Kie-hong
sama sekali tidak menikmati lagu yang sedang dibawakan.
Bukan berarti mereka tidak mengerti arti lagu itu, namun
karena mereka berdua sedang memikirkan sebuah masalah
lain didalam hati masing-masing, walaupun demikian, mereka
terus menunggu Tan Po-hai selesai bermain dengan sabar.
"Baiklah!" akhirnya Tan Po-hai selesai memainkan lagu
terakhir, lalu memasukkan alat musik kedalam sarung yang
dibawanya. "Paman Tan" Tu Liong bertepuk tangan perlahan, "benarbenar
sangat bagus. Aku tidak sedang menyanjung dirimu,
namun permainanmu memang sangat bagus, pantas
mendapat predikat nomor satu di kolong langit"
"Aku tidak berani menyandang gelar pemain musik nomor
satu di kolong langit" kata Tan Po-hai dengan nada datar. Dia
menyimpan alat musiknya dengan baik, setelah itu dia
bertanya, "ada urusan apa kalian berdua datang kemari?"
Wie Kie-hong berkata: "Kami datang kemari untuk menengok anda"
"Menurutku, orang yang tidak memiliki telinga tidak enak
dilihat..." "Paman Tan, tampaknya anda tidak merasa dendam." Tu
Liong benar-benar mengerti cara mengambil kesempatan. Dia
tidak membuang-buang waktu.
"Merasa dendam?" Tan Po-hai mengangkat bahu dan
menunjukkan telapak tangannya, dia lalu berkata "apa yang
sudah kita tabur, itu yang harus kita tuai.... Kie-hong,
bagaimana kabar Leng Taiya" Apakah dia masih baik baik
saja?" "Masih baik-baik. Umurnya sudah tua, dan baru
mendapatkan musibah yang sangat besar. Namun dia sangat
tabah, tidak sedikitpun masalah yang tidak bisa diatasinya,
orang tua ini masih bisa bertahan terus"
"Hui Ci-hong sudah meninggal, aku benar benar memuji
kebesaran hati Leng Taiya setelah mendengar berita ini. kau
berkata seperti ini, hatiku menjadi tenang."
"Paman Tan!" Tu Liong berkata dengan nada berat
"sepertinya kau juga sudah tahu, kali ini pelakunya belum
sampai mendatangi Cu Taiya. Namun cepat atau lambat dia
pasti akan datang, menurut paman dia sudah melukai empat
orang, mengapa masih belum turun tangan pada Cu Taiya?"
"Aku pikir.....dia pasti sedang menunggu"
"Menunggu apa?"
"Menunggu kesempatan tentunya. Cu Taiya adalah seorang
pendekar yang mahir ilmu silat, pelakunya tidak berani
bertindak gegabah?" "Maksud paman, pelakunya masih takut pada Cu Taiya?"
"Tentu saja" "Paman..." Melihat Tan Po-hai menjawab semua
pertanyaannya tanpa sedikitpun merasa ragu ragu. Maka Tu
Liong terus mengajukan pertanyaan padanya, "menurut
kesimpulanku, pelakunya ingin membalas dendam. Bagaimana
menurut paman?" "Tidak salah" "Kalau begitu, seharusnya kita mencari tahu hutang apa
yang telah dibuat sebelumnya... Pertama-tama kita bicarakan
diri paman. Apakah paman memiliki dendam dengan Tiat
Liong-san?" "Tidak ada" "Apakah ada hubungan saling merugikan?"
"Tidak ada" "Kalau begitu, apakah pada saat Tiat Liong-san dicelakai,
paman ikut ambil bagian?"
"Ada" "Kalau begitu aku tidak mengerti. Kalau memang Tiat
Liong-san tidak memiliki dendam ataupun merugikan,
mengapa paman mencelakai-nya?"
"Tu Liong" kata Tan Po-hai penuh perasaan, "apa tujuanmu
menanyakan semua ini?"
"Aku ingin melindungi majikanku agar tidak dicelakai.
Karena itu aku harus bertanya dan mengerti keadaan yang
sebenarnya terjadi. Aku berharap semua yang paman ketahui
bisa diceritakan pada kami"
"Tu Liong, kalau diceritakan juga kau pasti tidak akan
percaya, pada waktu itu kami berlima melukai Tiat Liong-san,
aku pun tidak tahu mengapa kami melakukannya."
"Diantara kalian berempat, sebenarnya siapa yang memiliki
permusuhan dengan Tiat Liong-san?"
"Tidak tahu" "Oh" Kalau begitu siapa yang mengajukan usul mencelakai
Tiat Liong-san?" "Cu Taiya" "Apakah kalian tidak bertanya padanya apa alasannya?"
Tan Po-hai kembali mengangkat bahu dan membukakan
telapak tangannya, dari raut wajahnya terlihat jelas kalau dia
sudah pasrah. "Tu Liong, sebaiknya kau juga ikut berpikir. Cu
Taiya adalah seorang pendekar yang ternama di kalangan
persilatan. Hui Taiya memiliki banyak kekayaan dan kekuasaan
yang tidak kalah besarnya. Leng Taiya sangat terkenal
dikalangan pemerintahan. Dia memiliki hubungan yang sangat
luas. Oey Souw memiliki banyak prajurit bawahan, mereka
semua tidak ragu-ragu membunuh jika diperintahkan, aku bisa
bergaul bersama beberapa orang besar ini, karena mereka
menyukai sifatku....Tu Liong, ketika mereka berpikir ingin
mencelakai seseorang, apakah aku masih bisa bertanya pada
mereka apa alasan mereka melakukan itu?"
Tu Liong dan Wie Kie-hong saling bertukar pandang, lalu
melanjutkan pertanyaannya "Pada waktu itu bagaimana
mereka mencelakai Tiat Liong-san?"
"Mereka menuduh....mengatakan bahwa dia berkomplot
membelot pemerintahan"
"Apakah ada bukti?"
"Tentu saja ada. Namun bukti itu dibuat-buat, tidak
sebenarnya terjadi."
"Apakah paman bisa menceritakan pada kami lebih jelas
lagi?" "Surat tuduhannya ditulis oleh Leng Taiya. Aku dan Hui
Taiya adalah saksi. Oey Souw menyuruh tentaranya pergi
menangkap dia. Hui Ci-hong mengaku melihat dengan mata
kepalanya bahwa Tiat Liong-san telah membunuh seorang
prajurit pemerintahan. Aku mengaku pernah mendengar dia
didepan umum berpidato ingin menggulingkan
pemerintahan.... Oey Souw melempar sepatah kata yang
terukur di papan yang bertulisan "bunuh", lalu keputusan
dibuat dengan memenggal kepala Tiat Liong-san. Hukuman
penggal kepala dilakukan pada pagi buta hari berikutnya"
"Oh, kalau begitu aku mengerti." Tiba-tiba Tu Liong seperti
mendapat pencerahan. "Leng Taiya menulis surat yang
menyesatkan, oleh karena itu tangan yang digunakannya
untuk menulis dipotong. Hui Taiya berkata kalau dia melihat
dengan mata kepalanya kalau Tiat Liong-san sudah
membunuh seorang prajurit, oleh karena itu kedua matanya
dicongkel, paman Tan mengaku mendengar Tiat Liong-san
Walet Besi Karya Cu Yi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ingin membelot, oleh karena itu kedua daun telinganya
dipotong.... Oey Souw sudah meninggal, oleh karena itu
anaknya yang menebus dosanya, dia mendapat luka di dekat
mulutnya........cara Thiat-yan membalas dendam benar-benar
bagus. Namun dia belum turun tangan pada Cu Taiya"
"Tu Liong, mungkin Thiat-yan tidak tahu kalau Cu Taiya
adalah orang yang sudah mengusulkan untuk mencelakai Tiat
Liong-san." Dari tadi Wie Kie-hong tidak berkata apa-apa, sekarang
tiba-tiba saja dia ikut berbicara. "Tu Toako, yang dikatakan
oleh paman Tan tidak salah. Mungkin saja nona Yan tidak
mengetahui bahwa Cu Taiya adalah orang yang sudah
mengusulkan untuk melukai ayah kandungnya."
"Tidak!" kata kata Tu Liong terdengar sangat yakin, "dia
pasti sudah tahu" "Bagaimana dia bisa tahu?" Tan Po-hai balik bertanya.
"Tiat Liong-san memiliki kakak dan adik, juga memiliki
banyak teman yang sangat akrab. Apakah semua orang
disekelilingnya tidak akan bertanya-tanya dan mencari tahu
kejadian yang sebenarnya terjadi" Tuan dengan Hui Taiya
memberikan kesaksian di depan pengadilan, semua orang
pasti akan mengetahui nya. Tapi Leng Taiya sudah menulis
surat yang menyesatkan, seharusnya hal ini tidak mungkin
tidak diketahui oleh orang lain. nona Yan juga tentu
mengetahui tentang hal ini. kalau dia mengetahui hal ini,
mana mungkin dia tidak mengetahui hal yang lain"
"Tapi mengapa sampai sekarang dia belum turun tangan
membunuh Cu Taiya?" "Cu Taiya memiliki ilmu silat yang tinggi, dia tidak akan
mudah dihadapi, tidak seperti kalian ini. lagipula Cu Taiya
adalah dalang dari semua urusan ini. nona Thiat-yan pasti
akan menghukumnya dengan cara yang paling kejam"
"Tu Liong, kalau menurut logika, seharusnya nona Thiatyan
membunuh Cu Taiya dulu. Dengan begitu dia akan
mendapatkan hasil yang lebih memuaskan. Namun sekarang
ini dia turun tangan dan melukai kami kaki tangannya,
bukankah ini namanya memukul rumput dan mengagetkan
ular, dengan begini semua orang akan memperkuat penjagaan
terhadap Cu Taiya" Tu Liong tampak sangat bingung. Dia berkata:
"Sebenarnya ini sebuah hal yang aneh. Dibalik semuanya
tentu terdapat sebuah cerita, namun bagaimanapun juga aku
tidak dapat memikirkan apa kira-kira ceritanya"
Wie Kie-hong kembali ikut bicara:
"Kalau menurut pandanganku, sepertinya Thiat- yan
sengaja ingin menakut-nakuti Cu Taiya...."
"Mengapa?" Tu Liong dan Tan Po-hai bertanya bersamaan.
"Tentu saja dia memiliki tujuan. Setidaknya kita sudah
mengetahui tentang satu hal, dia ingin mendapatkan barang
yang disimpan di dalam kopor kulit."
Tan Po-hai menatap mereka kebingungan. Jelas jelas
terlihat kalau dia sama sekali tidak mengetahui tentang kopor
kulit ini. Tapi Tu Liong tidak ingin membahas masalah kopor kulit itu
dengan Tan Po-hai. Oleh karena itu dia cepat cepat
memalingkan muka dan mengalihkan topik pembicaraan:
"Paman Tan, mengenai masalah Hui Taiya, apakah anda
memiliki pandangan sendiri?"
"Tampaknya dia tidak dapat menahan rasa sakitnya. Kedua
mata yang sudah dicokel keluar, rasanya pasti jauh lebih sakit
dibandingkan dengan kedua daun telinga yang dipotong."
"Aku menduga kalau dia bunuh diri karena dia takut Thiatyan
akan terus melanjutkan balas dendamnya" Tu Liong
mengatakan ini dengan perlahan-lahan. Dia terus
memperhatikan reaksi Tan Po-hai terhadap komentarnya.
Lalu dia melanjutkan kata-katanya:
"Mungkin juga ini adalah permulaan balas dendam bagi
Thiat-yan....paman Tan....bagaimana menurutmu?"
"Tidak...." Tan Po-hai berkata dengan penuh keyakinan,
"sekarang dosaku sudah impas. Thiat-yan sudah berkata
padaku sewaktu dia turun tangan melukaiku, bahwa semua ini
sudah berlalu. Asalkan aku tidak mencari dirinya, dia juga
tidak mungkin mencari diriku. Oleh karena itu aku sangat lega
.... aku sudah bermimpi buruk selama bertahun-tahun,
akhirnya aku bisa bangun dan kembali sadar."
Dari kata kata Tan Po-hai dapat diambil kesimpulan, bukan
saja dia tidak menyimpan dendam terhadap Thiat-yan, malah
dia merasa bersyukur karena semua hutang masa lalunya
sudah terbayar lunas. Wie Kie-hong menoleh pada Tu Liong, namun Tu Liong
tidak berkata apa apa lagi. kedua orang ini lalu pamit pulang.
Setelah keluar dari pintu, sambil terus berjalan Wie Kiehong
berkata pada Tu Liong: "Tu Toako, sekarang kau sudah
salah jalan" "Salah?" "Iya, salah, diantara mereka berlima, Tan Po-hai paling
tidak memiliki kekuatan apa-apa. kita tidak mungkin mendapat
banyak informasi darinya"
"Kie-hong, aku punya sebuah firasat lagi .... Ugh, aku selalu
berkata tentang firasat ...., aku rasa diantara mereka semua,
Tan Po-hai lah satu-satunya orang yang paling mungkin
membocorkan rahasia"
"Betul, tampaknya dia tidak bisa menyimpan rahasia.
Sayang sekali dia juga tidak banyak tahu tentang semua
urusan ini..." "Sekarang bagaimana ya...?" Tu Liong seperti bertanya
pada dirinya sendiri. "Tu Toako, bukankah kau sudah berpesan agar aku selalu
mengikuti petunjukmu?"
"Baiklah... kalau begitu kita berdua berbagi tugas. Sekarang
kau pulang dan beritahukan pada Leng Taiya tentang kopor
kulit yang kosong.."
"Dia sudah berpesan padaku berkali-kali agar tidak
penasaran, membuka kopor dan melihat isinya. Bagaimana
mungkin aku memberitahukan hal ini padanya?"
"Kie-hong, kadang-kadang dalam hidup seseorang harus
berkata bohong demi kebaikan. Kau katakan saja bahwa ada
seseorang yang menjambret kopor itu, dan lalu ketika sedang
berebut, tanpa sengaja kopor itu terbuka, dan kau baru
menyadari bahwa didalam kopor tidak terdapat apapun."
Wie Kie-hong tidak berkata apa apa.
"........Kau kerjakanlah sesuai dengan petunjukku. Aku
yakin Leng Taiya pasti akan bereaksi terhadap ceritamu.
Mungkin saja reaksi dia akan memberikan sebuah petunjuk
baru bagi kita...." "Kalau dia menanyakan tentang kopor kulit itu, bagaimana
aku menjawabnya?" "Kau katakan saja bahwa kopor itu sudah dibawa lari oleh
seesorang yang tidak dikenal."
"Tu Toako, aku tidak pernah berbohong, dan aku pun tidak
mungkin berbohong." "Segala sesuatunya pasti harus dipelajari, dan harus
dicoba....baiklah, itulah keputusan yang sudah kubuat....dua
jam dari sekarang kita akan bertemu di taman umum Bei Hai.
Kita tidak pergi sebelum bertemu"
"Kemana kau akan pergi?"
"Aku akan mencari Bu Tiat-cui"
Kebetulan sekali waktu yang bersamaan sebuah kereta
kuda melintas didepan mereka. Tu Liong lalu berjalan menaiki
kereta dan duduk disana. 0-0-0 Setelah beberapa lama, kereta kuda tiba di gang San-poa
tempat kediaman peramal Bu Tiat-cui, Tu Liong tidak
menyangka pemiliknya akan berada ditempat, ternyata Bu
Tiat-cui sedang duduk di ruang samping menunggu tamu.
"Apakah tuan ingin diramal" Apa ingin tahu masa lalu tuan"
Atau tuan ingin tahu tentang karakter tuan dari wajah?" Bu
Tiat-cui menyapa. "Tuan Bu! Tadi pagi aku sudah mengutus seseorang datang
kemari untuk membawakan tanggal kelahiranku. Aku berharap
engkau dapat meramalkan berdasarkan tanggal itu. Namun
sampai sekarang orang itu belum kembali dan melapor
padaku. Tolong bantu mencari tahu, dimana sekarang dia?"
"Oh....Baiklah... berapa umurnya?"
"Empat puluh tahun lebih."
"Mohon maaf! Aku belum pernah melihat tamu itu
sebelumnya...." "Tapi...." "Tamu yang terhormat! Bukannya aku ingin
mempromosikan pekerjaanku, aku akan membantumu
mencarinya dengan bantuan kartu. Bagaimana?"
"Apakah akurat?"
"Akurat atau tidak kita akan tahu setelah meramal." Bu
Tiat-cui tidak pernah berkata diluar perkara ini.
"Baiklah kalau begitu boleh coba"
Bu Tiat-cui mengeluarkan sebuah kotak yang terbuat dari
kayu. Didalamnya terdapat banyak gulungan kertas, ini adalah
kartu yang akan digunakan untuk meramal. Dia lalu menyuruh
Tu Liong untuk mengambil satu.
Tu Liong memilih sebuah gulungan kertas secara acak.
Setelah dibuka ternyata bertuliskan sebuah huruf mandarin
'Ci'yang berarti senja. Melihat gulungan ini, kedua alis Bu Tiat-cui mengerut.
Tu Liong tidak percaya tentang ramal meramal, apalagi
meramal hanya dari sebuah huruf yang tertulis diatas kertas,
dengan begitu dia juga tidak akan percaya ramalan yang akan
dibuat oleh Bu Tiat-cui. Oleh karena itu dengan santai dia
bertanya: "Tuan Bu! Melihat alismu yang mengkerut, apakah ini
sebuah alamat yang buruk?"
"Mmm! Sangat tidak baik....sangat tidak baik...
...."jawabnya. "Oh! Mengapa kau berkata seperti itu?"
"Matahari senja tenggelam disebelah barat. Setelah itu
bumi diselimuti kegelapan." Bu Tiat-cui sambil berbicara
sambil mengambil sebuah kuas dan diatas kertas yang
bertuliskan tersebut mencoret sesuatu.
"Lihatlah. Huruf ditambah sebuah garis " yang berarti
satu, akan berubah menjadi huruf yang berarti jahat.
Orang ini sudah terlepas hubungan dengan dirimu. Ini berarti
urusan sudah berubah. Huruf (Pian) berarti perubahan.
Kau mencari orang, jadi orang tersebut menghilang, jika huruf
[Jin] yang berarti manusia yang ada disana dihilangkan,
itu akan membuat huruf [Cit] yang berarti tujuh... setelah
itu huruf digabungkan dengan huruf akan membuat
sebuah huruf (Si) yang berarti kematian. Tamu yang
terhormat, orang yang kau tanyakan sudah meninggal."
Sebenarnya Tu Liong memang sudah tahu bahwa orang
yang ditanyakan olehnya sudah meninggal. Sebuah jarum baja
sudah menancap diantara kedua alisnya, mana mungkin orang
itu tidak meninggal" Namun ramalan yang dibuat oleh Bu Tiatcui
benar benar sangat akurat.
Entah bagaimana rupa Tu Liong ketika mendengar semua
penjelasan yang didengarnya tadi. Lagipula dia sendiri yang
asal memilih gulungan kertas yang dipakai tadi.
"Tuan! Mohon maaf, aku benar-benar tidak menyangka
ramalan yang ku buat adalah sebuah berita yang sangat
buruk. Aku tidak ingin menerima pembayaran dari mu sebagai
ungkapan bela sungkawa."
Berdasarkan cerita Wie Kie-hong, Bu Tiat-cui sama sekali
tidak mengetahui bahwa ada seseorang yang mati didalam
kamarnya. Apakah dia benar-benar tidak tahu"
"Ramalanmu sungguh tepat!" Tu Liong berkata padanya
dengan nada dingin. "Hei... Hei... Semua ramalan yang kubuat selama ini
biasanya selalu tepat."
"Sebenarnya kau dari awal pun sudah tahu orang itu sudah
mati." "Oh..." Dari awal aku sudah tahu" Tidak mungkin!"
"Karena orang ini sudah mati didalam kamar ini"
"Tuan!" mendadak Bu Tiat-cui berdiri, sikap-nya berubah
menjadi sangat tegas, "tadi ada seseorang yang
memberitahuku bahwa ada seseorang yang dibunuh disini.
Tapi aku tidak melihatnya dengan mata kepalaku sendiri.
Tuan! Kau juga tidak melihatnya dengan mata kepalamu
sendiri. Apa yang kau dengar, belum tentu kenyataan, namun
apa yang sudah kau lihat, itu barulah bisa kau percaya."
"Bu Tiat-cui!" seru Tu Liong dengan kecut "kau tidak usah
macam-macam, melihat keadaan, aku tahu kau bukan orang
sembarangan........bibirmu keras seperti kulit tanduk, kau
katakan! bagaimana orang itu matinya?"
"Ini sebuah hal yang aneh! Bagaimana orang itu dibunuh"
bagaimana aku bisa mengetahui hal ini?"
"Aku kataan sekali lagi. Kau pasti tahu karena orang itu
mati disini!" "Tuan! Bu Tiat-cui sama sekali tidak pernah berbuat salah
padamu! Untuk apa kau tiba-tiba datang menudingku seperti
ini?" "Bukankah kau mengatakan kalau kau bisa meramal,
melihat karakter seseorang dari raut wajah, kau bisa meramal
baik dan buruk, meramal masa lalu" Kalau begitu mengapa
kau tidak mencoba meramal, mengapa aku bisa datang kemari
dan menudingmu seperti ini?"
"Jangan melotot seperti itu! Aku bisa meramal orang lain
dengan tepat, namun aku tidak bisa meramal diriku sendiri.
Kalau aku bisa meramal diri sendiri, untuk apa aku mencari
hidup dengan meramal?"
"Bu Tiat-cui! Sedikit banyak kau pasti sudah mengetahui
kalau aku bukanlah orang yang senang berbasa-basi. Terlebih
lagi seharusnya kau sudah tahu. aku datang kemari, aku tidak
akan pergi dengan mudah hanya karena ditakut-takuti
olehmu....! Aku ingin bertanya sebuah pertanyaan padamu.
Tolong jawab dengan jujur!...
"Pertanyaan apa?"
"Siapa yang sudah menyetir gerak gerikmu dan
bersembunyi dibelakangmu" Aku hanya ingin tahu siapa orang
ini. kau lihatlah aku bukanlah seorang yang senang mendapat
hasil yang kecil. Aku tidak ingin mencari penakut yang
melarikan diri. Aku ingin mencari juragan besar! Juragan
besar yang ada dibelakangmu!"
Walet Besi Karya Cu Yi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tuan yang terhomat ini... !" Bu Tiat-cui tidak menjadi
panik sedikitpun. Semua kata-kata meluncur dari mulutnya
dengan sangat teratur, "apapun kata-katamu itu semuanya
tidak ada gunanya, aku sudah tinggal di dalam kota ini selama
puluhan tahun, orang yang sudah kukenal pun tidak sedikit.
Siapa yang berani berkata kalau aku adalah seorang pengecut
yang senang melarikan diri" Kalau kau tidak percaya, silahkan
bertanya pada orang-orang. Pada waktu itu raja Su-cen juga
sudah pernah datang kemari mencariku untuk menghitung
dirinya dan meramal masa depannya."
Setelah mendengar sepatah kata "raja Su-cen", emosi Tu
Liong kembali mereda. Sekarang nada bicaranya sudah
kembali seperti biasa. Dia kembali ramah tamah, karena
topiknya pasti akan beralih pada Leng Souw-hiang.
"Apa anda mengenal Leng Taiya?"
"Kepala bagian kepercayaan raja Su-cen. Siapa yang tidak
mengenalnya?" "Menurut kabar yang beredar, Leng Taiya sudah menitipkan
sebuah kopor kulit padamu untuk dijaga. Bagaimana hal ini
bisa terjadi?" "Aku tidak akan menutup-nutupi padamu. Hari ini sudah
ada setidaknya tiga sampai lima orang yang datang kemari
bertanya seperti itu. Namun bagaimanapun juga jawabanku
tetap satu....itu tidak pernah terjadi"
"Benarkah tidak pernah terjadi?"
"Tidak pernah" Bu Tiat-cui benar-benar seorang yang bermulut besi (Tiat
Cui) setelah berkata, dia tidak pernah sekalipun merubahnya.
"Ada seseorang yang melihatmu datang ke stasiun kereta
dan menukarkan sebuah kopor kulit berwarna kuning dengan
seseorang yang masih muda."
"Kapan hal ini terjadi?"
"Belum lama" "Bohong! Sedari pagi ini aku pergi keluar berjalan-jalan
seperti biasa. Setelah kembali aku tidak pergi keluar lagi.
Orang yang sudah mengatakan itu padamu, kalau bukan
seorang pembohong, dia pastilah seorang buta!"
Pada awalnya Tu Liong berharap untuk mendapatkan
informasi yang lain dari dirinya, namun tidak disangka semua
kata-kata yang diucapkan oleh Bu Tiat-cui benar-benar sangat
bersih. Tidak terlihat kejanggalan sedikitpun.
Apakah Thiat-yan sudah datang kemari dan mencuri
dengar" Dan apakah Bu Tiat-cui menjawab semua
pertanyaannya dengan cara yang sama seperti dirinya"
Apakah Thiat-yan akan percaya dan segera pergi.
Sepertinya hal ini sangat tidak mungkin
"Tuan! silahkan pulang! Aku berani menga-takan kalau kau
ingin mencari sebuah berita, kau sudah menggonggong pada
pohon yang salah. Kau sudah bertanya pada orang yang
salah" Tu Liong kecewa, otaknya yang cemerlang pun seolah-olah
berhenti berputar. Tiba-tiba saja dari luar terdengar suara orang:
"Apakah ada orang didalam?"
"Siapa?" Bu Tiat-cui cepat-cepat pergi ke pintu dan
menyibakkan tirai. "Kami datang kemari untuk diramal"
Orang yang datang ada dua, semuanya masih sangat
muda. Melihat dari penampilannya, dan dari cara mereka
berjalan, langsung dapat diketahui kalau mereka berdua
menguasai ilmu silat, hal ini tidak dapat lolos pandangan Tu
Liong. Bu Tiat-cui sama sekali tidak mencurigai maksud
kedatangan kedua orang ini. dia langsung pergi mengambil
kotak kayu yang berisi gulungan kertas dan menyerahkannya
pada kedua orang itu. Dengan sangat sopan santun dia
berkata: "Silahkan ambil salah satu gulungan kertas ini sesuka hati
anda" Salah satu diantara mereka mengulurkan tangan dan
mengambil sebuah gulungan.
Bu Tiat-cui membukan gulungan kertas dan melihat tulisan
didalamnya. Sebuah kata P (kau) yang berarti mulut.
Orang yang satunya sepertinya menaruh minat pada
pernak-pernik yang ada ditempat Bu Tiat-cui. Dia melihatlihat,
dan meraba-raba semuanya. Terakhir dia mengambil
sebuah mistar tembaga dari meja tempat Tu Liong duduk.
Bu Tiat-cui sama sekali tidak menaruh kecurigaan apa pun
terhadap mereka. Dia bertanya:
"Tuan inginbertanya tentang apa?"
"Mencari seseorang"
"Oh?" Sekali lagi Bu Tiat-cui mengambil kuas dan mencoret-coret
pada sebuah lembar kertas yang masih kosong. Pertama-tama
dia menggambar sebuah huruf P (kau). Setelah itu dia
menggoreskan dua buah garis. Sekarang huruf Pberubah
menjadi huruf Jl(Ci). Huruf ini berarti "hanya".
Setelah menggambar, dia kembali berkata pada kedua
pemuda itu: "Ramalanku dapat diandalkan, biasanya selalu akurat.,
karena kalian datang berdua, dibawah huruf (kau) aku
menggambar dua buah garis. Huruf P berubah menjadi il(ci)
yang berarti hanya. Itu berarti kalian berdua datang kemari
mencari orang yang sama....tuan yang ini memegang mistar
tembaga di tangannya, karena itu kita akan menambahkan
sebuah huruf K.[cek] yang berarti "mistar (penggaris)", dan
tulisan kita berubah menjadi FH ....Hmmm... orang ini berada
ditempat yang sangat dekat!"
"Apa artinya?" "Orang ini ada di bawah kaki langit, tapi sangat dekat
didepan mata..." Tiba-tiba saja Bu Tiat-cui tersentak kaget dan langsung
terdiam. Sepertinya dia baru menyadari bahwa ramalannya
sekali lagi adalah sebuah ramalan yang tidak baik, karena
didepan matanya masih ada orang ketiga.
Dari awal Tu Liong mengawasi semua dengan tatapan mata
dingin, saat ini Tu Liong pun menyadari ada sesuatu yang
kurang baik. Pemuda yang memegang mistar tembaga tertawa
terkekeh-kekeh dan berkata:
"Bu Tiat-cui! Semua orang berkata bahwa ramalanmu
sangat tepat, ternyata memang yang diomongkan orang orang
tidak salah....kami berdua memang datang kemari mencari
teman yang berada didalam ruangan ini"
Jawaban ini memang sudah diduga oleh Tu Liong
sebelumnya, hanya saja dia tidak menyangka kedua orang ini
harus menemui Bu Tiat-cui untuk diramal. Ini membuat
keadaan berubah menjadi sedikit lebih rumit.
Apakah ramalan Bu Tiat-cui benar-benar sangat akurat"
Ataukah kedua orang ini memang pada dasarnya sudah
bekerja sama dengan Bu Tiat-cui untuk membuat sebuah
ramalan" Apakah mereka sengaja membuat sandiwara"
Walaupun sedang menghadapi dua orang lawan yang kuat,
Tu Liong masih belum bisa melepaskan ketertarikan untuk
memecahkan sebuah misteri.
"Tu Liong!" Orang yang membawa mistar tembaga berkata
dengan nada dingin "kami benar-benar tidak menyangka bisa
bertemu denganmu disini. Bagaimana kalau kita bertiga pergi
berjalan-jalan sebentar?"
"Mengapa aku harus ikut kalian?" tatapan mata Tu Liong
sama sekali tidak berpindah dari muka Bu Tiat-cui. Tampaknya
dia ingin menggunakan kesempatan ini untuk melihat
pendirian lawannya. Bu Tiat-cui tampak sangat kaget. Raut muka seperti ini
tidak mungkin dipalsukan.
"Sahabat!" orang yang membawa mistar tembaga berkata
pada temannya, "sepertinya sahabat mongol ini tidak ingin
bekerja sama. Sebaiknya apa yang harus kita lakukan?"
"Kalau tidak berhasil menggunakan cara yang halus, kita
harus menggunakan kekerasan"
"Saudara berdua!" Tu Liong berkata dengan nada dingin.
Tentu saja dia tidak menganggap enteng kedua orang ini,
"kupikir kalian berdua pun tentu sudah mendengar kabar.
Kalau kalian menggunakan cara kekerasan, kalian berdua
belum tentu bisa men-dapatkan apa yang kalian inginkan
dengan mudah.... kemana kalian ingin membawaku" Untuk
menemui siapa" Kalau kalian bisa menjelaskan semuanya,
mungkin aku bersedia pergi bersama kalian menemui orang
ini...." "Menemui siapa, bertemu dimana... pada waktunya nanti
kau akan tahu sendiri."
"Huh! Apakah kalian berpikir ingin menutup mataku,
menggiringku seperti kambing bodoh ke rumah pejagalan?"
Dengan cepat kedua orang pemuda itu saling bertukar
pandang. Akhirnya mereka membuat sebuah rencana lain.
Sekarang Tu Liong sudah tahu bahwa mereka adalah anak
buah Thiat-yan yang sudah diutus untuk menjemputnya.
"Kalian pulanglah dan beritahu pada Thiat-yan, aku tidak
ingin menjumpai dirinya. Kalau dia ingin menjumpai aku, aku
yang akan menentukan, tempat dan waktu harus kalian ingat
dengan baik. Sore jam empat tepat, di kedai teh Tong-ceng"
Setelah berkata seperti itu, Tu Liong segera berjalan keluar.
Kedua orang pemuda tadi tidak mencegat kepergiannya.
Ternyata di pekarangan rumah masih ada orang lain.
Mereka juga berdua. Tu Liong menghirup nafas dalam-dalam.
Kalau dia harus bertarung melawan empat orang sekaligus,
belum tentu dia bisa memenangkan pertarungan.
Kedua orang yang ada di dalam pun segera menyusul
keluar. Pertama-tama pemuda yang memegang mistar
tembaga yang membuka pembicaraan:
"Tu Liong! Apakah kau pikir kita pasti akan mendengarkan
kata-katamu?" "Kalian datang dari tempat lain. Naga yang kuat akan kalah
oleh ular setempat. Tentu saja kalian pasti akan
mendengarkan semua yang akan kuucap-kan"
"Kecuali perintah majikan, kami semua tidak akan
mendengarkan kata-kata orang lain. Sekarang majikan kami
sudah memberi perintah, kau harus mengikuti kami pergi,
tidak bisa tidak, kalau kau tidak mau pergi, kami pasti akan
menyeretmu." "Apakah kalian akan mengeroyokku?"
"Untuk menghadapi orang jahat sepertimu, kami semua
terpaksa menggunakan cara ini, kau adalah orang yang sangat
ternama, kami tidak lebih dari serdadu kecil yang tidak
memiliki nama!" "Kalau kalian benar-benar ingin mencoba, silahkan! Aku
khawatir yang akan keluar dari tempat ini dengan dipapah
bukanlah diriku, tapi kalian."
Pemuda yang membawa mistar tembaga segera memberi
isyarat dengan matanya. Kedua orang pemuda yang tadi
menunggu di dalam pekarangan segera menyerbu kedepan.
Masing-masing menggunakan tinju kosong. Bersama sama
menyerang ke arah Tu Liong.
Tu Liong segera memperagakan kemahiran ilmu silatnya.
Dia menggunakan sedikit tenaga untuk melawan serangan
bertenaga kuat....meminjam tenaga orang lain untuk
menyerang. Tinju salah seorang pemuda sudah meluncur menuju
dadanya. Tubuh Tu Long dengan cepat bergerak ke samping, jari
tangannya menyambar maju bagai kilat, langsung
pergelangan tangan pemuda itu sudah dicengkram dengan
erat. Tinju pemuda yang kedua menyusul cepat.
Tu Liong kembali bergerak menghindari serangan, dengan
tangannya yang masih bebas, dia kembali menangkap lengan
pemuda ini. Kedua pemuda ini masih terus mendesak.
Dengan segera Tu Liong menarik kedua tangan nya ke
bawah, dan tubuh kedua pemuda itu ikut tertarik ke bawah.
Karena kecepatan larinya, mereka kedua orang itu berputar
dan mereka terhempas keras ke lantai.
Itulah jurus bantingan yang menjadi salah satu keahlian Tu
Liong. Kedua pemuda tadi tergeletak di sebelah kiri dan kanannya.
Mereka tampak sulit menarik nafas.
Dari sini jelas terlihat, hanya mengandalkan tangan kosong,
walaupun ke empat pemuda ini menyerang bersama-sama
pun tidak akan menang melawan Tu Liong..
Mereka segera memikirkan cara lain untuk melawan Tu
Liong, terpaksa mereka harus meng-gunakan senjata, tidak
bisa tidak.... Benar saja, mereka semua masing-masing mencabut
sebuah pedang pendek. Kalau diban-dingkan, tentu saja
empat buah pedang pendek lebih memiliki kemungkinan untuk
melawan daripada empat buah kepalan tangan kosong.
Tampaknya mereka berempat sudah tahu posisinya masing
masing. Mereka melangkah perlahan-lahan mulai mengurung Tu
Long. Tu Liong merasa seolah-olah dirinya seekor kambing yang
sedang terjebak ditengah laut dikelilingi ikan hiu lapar yang
siap menyantapnya. Pandangan mata keempat orang itu sangat tajam.
Tu Liong dapat merasakan keinginan bertarung mereka, dia
bahkan dapat mendengar sayup-sayup empat suara tarikan
dan hembusan nafas yang berat
Kilau empat buah sinar pedang terlihat bergerak-gerak.
Tu Liong hanya bisa memasang kuda-kuda dan bersiap
menerima serangan. Pada akhirnya acara berjalan keliling pembuka pertarungan
selesai dilakukan. Keempat orang ini sudah menempati posisi masing-masing,
Satu orang menempati sebuah penjuru mata angin.
Tu Liong berada ditengah-tengah.
Begitu waktunya sudah tiba.
"SERANG!!!" Pemuda yang tadi memegang mistar besi memberi
perintah.
Walet Besi Karya Cu Yi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tentu saja mistar besinya sekarang sudah berganti dengan
pedang besi. Walaupun dia seperti dia pemimpin penye-rangan kelompok
ini, tapi dia juga ikut turun tangan menyerang.
Sesuai dengan yang diduga oleh Tu Liong, ke empat orang
ini menyerang berbarengan.
Kalau Tu Liong tetap berdiam ditengah menerima empat
serangan, dia sama seperti tikus yang sudah pasrah dikeroyok
oleh empat ekor kucing. Apa lagi saat ini Tu Liong tidak membawa senjata apa-apa,
dengan tangan kosong melawan empat pedang.
Mana mungkin Tu Liong bisa memenangkan pertarungan
ini" Tapi Tu Liong cerdik, dia segera bergerak ke sebelah kiri,
dia bergerak bersamaan dengan keempat pemuda ini.
Tampaknya ke empat orang ini tidak mengantisipasi hal ini.
Orang yang menyerang dari kiri tampak terkejut, raut
mukanya yang bengis mendadak berubah, dia jadi tertegun.
Matanya membelalak lebar melihat Tu Liong yang
melompat ke arahnya. Tu Liong melompat ke arahnya bagaikan singa yang
menerkam mangsanya. Pedang yang sudah dijulurkan tegak lurus dihadapannya
segera ditariknya. Dia bermaksud mengambil ancang-ancang untuk menebas
Tu Liong yang sekarang sedang melayang ditengah udara.
Sayang gerakannya kalah cepat.
Dengan satu tubrukan saja, Tu Liong sudah membuatnya
terpental ke belakang. Inilah tubrukan gaya pegulat sumo yang terkenal.
Tu Liong hanya menggunakan tolakan kaki yang kuat dan
bahu untuk menyundul pemuda tadi menjauh.
Dia sama sekali tidak menggunakan kepalan tangannya.
Pemuda malang itu jatuh berguling-guling.
Tu Liong tahu beberapa lama lawannya bisa berhasil berdiri
diatas kedua kakinya. Karena itu dia segera membalikkan tubuh untuk
menghadapi dua serangan lagi.
Tampaknya walaupun para pemuda ini ber-tubuh besar dan
kekar, mereka belum memiliki pengalaman bertarung terlalu
banyak. Ketika Tu Liong membalikkan tubuh, kedua orang ini sudah
berada sangat dekat dengannya.
Mereka berdua masih berlari ke arahnya dan mereka
berdua melakukan kesalahan yang sama.
Mereka menebaskan pedangnya sebelah menyebelah dari
atas ke bawah ke arah Tu Liong secara bersamaan.
Dengan sangat mudah Tu Liong luput dari serangan
bersamaan ini. Dia merunduk sambil memasang ancang-ancang.
Kembali dia melancarkan tubrukannya.
Kaki kiri yang berada didepan segera menghentak lantai
dengan sangat keras. "HIAAAHHH!!!!" Tu Liong berseru sekuat tenaga.
Telapak tangan yang sudah siap di pinggang segera
meluncur dengan cepat menghantam dada kedua pemuda
tadi. Biasanya seorang pegulat berbadan gendut dengan lemak
yang berlapis-lapis, tapi tubuh Tu Liong kekar dan berotot,
dari hal ini saja sudah terlihat perbedaannya.
Ditambah dengan keadaan mereka berlari, dampak
kekuatan pukulan yang diterima terasa jadi berlipat ganda.
Dorongan telapak yang mendarat keras kedada kedua
pemuda itu membuat mereka berdua terlempar jauh
kebelakang. Masing-masing pemuda itu berteriak kesakitan.
Pemuda terakhir yang tersisa adalah sang pemimpin
rombongan. Walaupun ke dua pemuda itu sudah jatuh dikiri kanannya,
emosinya tampak tidak goyah.
Pemuda yang tersisa terus menerjang ke arah Tu Liong
dengan pedang yang teracung tinggi diatas kepala.
Tu Liong menunggu serangan pemuda yang menjadi
pemimpin, tapi dia tetap waspada dengan keadaan
disekelilingnya. Dia menyadari, pemuda yang jatuh dibela-kangnya sedang
mengendap-endap berusaha menu suknya dari belakang.
Karena itu ketika pedang sang pemimpin mengayun
kearahnya, Tu Liong segera menangkap pergelangan
tangannya dan berkelit ke arah kanan
Dengan cerdik Tu Liong menggunakan pedang sang
pemimpin untuk menangkis serangan pemuda yang berusaha
menyerangnya dari belakang.
Tu Liong menempatkan kaki kanannya dibelakang kaki kiri
sang pemimpin, dia lalu menjatuhkan berat tubuhnya pada
kaki sang pemimpin. Dia melakukan ini agar sang pemimpin jatuh berlutut pada
satu kaki. Tu Liong sudah menggunakan pemimpin ini sebagai
tamengnya. Si pemuda yang menyerang secara diam-diam tidak bisa
berbuat banyak. Dia takut kalau menyerang, dia akan melukai pemimpinnya.
Pada saat ini, dua pemuda lain yang tadi sudah melayang
karena serangan Tu Liong sudah kembali berlari mendekat
dan menebaskan kembali pedangnya.
Tu Liong kembali menghindar dengan indah diantara kedua
serangan itu. Tapi situasinya bertambah terjepit.
Sekarang dia berada dekat dengan ke empat orang
pemuda, mereka bisa membacoknya setiap saat.
Terpaksa dia berusaha menjauh.
Keempat pemuda itu berusaha kembali berdiri diatas kedua
kaki masing-masing. Setelah semua pemuda kembali bersiap, mereka berdiri
bersebelahan membentuk pagar betis.
Tatapan mereka kembali terlihat bengis.
Kilau pedang kembali terlihat. Tu Liong tahu kali ini mereka
lebih siap untuk bertarung.
Pertempuran kali ini tidak akan berlangsung mudah seperti
tadi. Tu Liong kembali memasang kuda-kuda.
Tiba-tiba saja dari kejauhan terdengar suara siulan
seseorang, mungkin juga ini adalah siulan orang yang
sembarang lewat di jalan raya, tapi untuk telinga keempat
orang pemuda ini, suara itu terdengar berbeda.
Setelah suara siulan itu menghilang, mereka semua
mundur teratur. Mereka pun masing-masing memasukan
kembali pedang pendek ke dalam sarungnya.
Tu Liong jadi tahu, masih ada orang lain yang diam-diam
menyaksikan pertarungan ini. Siapakah orang itu" Apakah dia
adalah Thiat-yan sendiri" Ataukah masih ada orang lain lagi
yang mendalangi keempat pemuda tadi"
Dia lalu menegadahkan kepalanya dan melihat kesekeliling.
Dibelakang rumah kediaman sang peramal terdapat sebuah
bangunan bertingkat. Di loteng bertingkat terdapat sebuah
jendela yang sedang ditutup rapat.
Apakah Thiat-yan sedang menyaksikan semua kejadian
yang baru saja terjadi"
Pemuda yang membawa mistar tembaga berkata: "Baiklah!
Sore ini jam empat tepat, di kedai teh Tong-ceng, majikan kita
pasti akan datang tepat waktu!"
Sekarang Tu Liong jadi lebih waspada menghadapi semua
tindakan yang dibuat oleh Thiat-yan. Setelah kejadian ini,
terlihat bahwa dia bahkan bisa mengontrol anak buahnya dari
tempat yang jauh. Terbukti pada hari biasa, para anak
buahnya sudah terlatih baik. Thiat-yan bahkan sudah
mempersiapkan rencana cadangan yang tidak terduga. Hanya
dengan sebuah siulan, mereka semua bisa berubah dan
mengganti strategi dengan cepat. Musuh yang sudah siap
menyerang, mana mungkin bisa dianggap enteng.
0-0-0 Tu Liong pulang kerumahnya, baru saja ingin beristirahat
memulihkan stamina. Tiba tiba Cu Siau-thian datang padanya.
"Tu Liong, kulihat kau sangat sibuk seharian ini."
"Mmm.." "Apakah ada kemajuan?"
"Aku sudah menemukan Thiat-yan"
"Oh! Tindakanmu sangat cepat"
"Walaupun aku sudah menemukan dirinya, apakah yang
bisa aku lakukan" Aku tidak bisa mewakili orang-orang yang
sudah dilukainya membalas dendam. Walaupun aku bisa
membalaskan dendam, juga mungkin tidak bisa langsung
turun tangan mengadilinya. Cu Taiya, walau aku katakan, kau
mungkin tidak akan percaya. Kekuasaan Thiat-yan terhadap
anak buahnya sangat besar, dia datang kemari membawa
persiapan." "Aku tahu." suara Cu Siau-thian terdengar berat," seumur
hidup aku sudah bertemu dengan banyak musuh-musuh. Aku
mengakui nona muda yang dipanggil Thiat-yan ini adalah
musuh yang paling lihai yang pernah aku temui. Aku
mempunyai sebuah firasat buruk."
"Oh...?" "Aku merasa bahwa pedang yang dia bawa sudah
menempel di leherku"
"Tuan tidak perlu khawatir. Aku sudah mengatur pendekar
yang sangat tangguh untuk berjaga dalam kediaman ini.
semuanya sudah kuatur dengan baik"
"Aku tidak takut. Hanya saja..."
"Cu Taiya, sebentar lagi aku akan bertemu dengan Thiatyan."
"Ah..." kenapa begitu cepat kau bisa beradu kemahiran
dengannya?" "Pertemuan kali ini untuk berdiskusi, bukan untuk mengadu
ilmu silat. Jika ada urusan yang tersimpan di hatinya, dia bisa
membicarakannya denganku."
"Aku tahu dia ingin membicarakan apa dengan mu"
"Ah" Tuan sudah tahu?"
"Dia ingin memberitahu, kau jangan ikut campur urusan ini,
hingga dia bisa leluasa bertindak"
"Bagaimanapun aku tidak akan setuju dengan
permintaannya." "Kau harus bisa beralasan. Saat terpaksa kau harus
menyetujuinya...." "Apa tuan menyuruhku untuk pasrah saja?"
"Aku mengerti sifatmu, lagi pula kau selalu terus terang,
namun menghadapi lawan ini, kau tidak bisa menggunakan
siasat ini. Dalam siasat berperang. Prajurit tidak takut
dibohongi. Membohongi musuh pun sebuah siasat perang.
Tu Liong terdiam tidak berkata apa-apa. Walaupun dia
tidak setuju usul yang diajukan Cu Siau-thian, namun dia pun
tidak terang-terangan menentang nya.
Setelah beberapa saat, dia lalu membuka mulutnya
membicarakan tentang suatu hal yang lain:
"Cu Taiya, aku sudah pergi melihat Tan Taiya. Berdasarkan
kata katanya, pada waktu itu kalian melukai Tiat Liong-san,
tuan sama sekali tidak keluar menampakkan diri. Orang luar
tidak mungkin akan mengetahui rahasia ini, oleh karena itu
Thiat-yan tidak turun tangan mencarimu".
"itu hanyalah siasatnya saja. sebenarnya semua sudah
tahu. Surat yang sudah ditinggalkan untukku, surat itu sudah
menjelaskannya?" Tu Liong tidak berkata apa apa lagi. Cu Siau-thian melihat
Tu Long seperti ingin beristirahat, maka tidak lama kemudian
dia pergi meninggalkannya. Dia datang kesana hanya untuk
melihat emosi Tu Liong saja.
Tu Liong berbaring di atas ranjangnya. Dia benar-benar
berusaha memulihkan tenaganya. Seperti-nya dia memiliki
sebuah firasat, bahwa pertemuannya dengan Thiat-yan sore
ini bukanlah sebuah hal yang mudah dihadapi. Dia merasa
Thiat-yan bukan orang yang mudah dihadapi. Setelah berpikir
kesana kemari, pada akhirnya dia tertidur.
Namun tiba-tiba saja dia terbangun dari tidurnya, dia tahu
bahwa dia tersadarkan bukan tanpa alasan, betul saja
disamping bantalnya sudah tergeletak sebuah surat, diatas
surat ini sudah ditaruh sebuah hiasan yang terbuat dari besi
yang berbentuk seekor burung walet... Thiat-yan!
Tu Liong segera meloncat turun dari ranjang, emosinya
mendadak meluap. Di siang bolong seperti ini Thiat-yan bisa menerobos masuk
kedalam kediaman tuan besar yang sudah dijaga ketat, dia
bahkan bisa datang ke sisi tempat tidurnya dan meninggalkan
surat peringatan, ini hal yang benar benar tidak disangka.
Tu Liong sama sekali tidak meluangkan waktu untuk
melihat isi surat tersebut. Dia segera berlari keluar kamar dan
melihat ke empat penjuru, tapi dia sama sekali tidak menemui
kejanggalan apapun. Di teras rumah terlihat para penjaga
berlalu lalang, begitu pula di pekarangan rumah, jadi
bagaimana cara Thiat-yan menembus penjagaan yang
sedemikian ketat sampai masuk ke dalam kamarnya"
Untuk apa dia datang kemari" Lagipula tidak lama lagi
mereka berdua pasti akan bertemu....Ugh! Nona Thiat-yan
benar-benar sedang unjuk gigi, beraksi untuk menakuti orang,
supaya nanti kalau dia ingin membicarakan tentang sesuatu
syarat, posisinya pasti akan lebih unggul...
'Jangan berharap terlalu banyak.' Tu Liong diam-diam
tertawa dalam hati. Dia lalu kembali ke dalam kamarnya dan membuka surat.
Isinya hanya selembar kertas putih bertuliskan enam huruf
yang berarti "hormat pada dewa dan setan, tapi tetap
menjaga jarak" Apa artinya ini" Tu Liong menimbang-nimbang, tiba-tiba
saja dia mendapat pencerahan. Thiat-yan ingin agar dirinya
menjauhi Cu Taiya....pada saat ini Tu Liong kembali mendapat
sebuah firasat. Didalam mata Thiat-yan, dirinya adalah sebuah
rintangan, tentu saja dia harus merasa bangga.
Lalu dia berbaring lagi diatas ranjang, namun dia tidak bisa
kembali tidur. Oleh karena itu dia berpikir., tanggung tidak
bisa tidur lagi, lebih baik datang lebih pagi ke tempat
pertemuan. Sebelum berangkat dia masih memeriksa dan
Walet Besi Karya Cu Yi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memperketat penjagaan. Tim penjaga yang sudah dipilihnya
sendiri, yang menurutnya tidak mungkin akan diterobos
dengan mudah malah sudah dilewati Thiat-yan dengan
sedemikian mudahnya. Baginya hal ini sebuah penghinaan
yang besar. 0-0-0 Kedai teh Tong-ceng sudah sering dikunjunginya. Pemilik
kedai otomatis mengenal dirinya. Dia segera menyambut
kedatangannya, bahkan dia sengaja melayaninya sendiri. Tu
Liong berkata bahwa dia datang menunggu beberapa
temannya, ini untuk menghindari kecurigaan pemilik kedai.
Saatnya masih lama. Tu Liong duduk di bangku dan
menutup matanya. Secangkir teh panas tampak masih
mengepulkan asap. Menunggu sampai waktu yang ditentukan
bukanlah suatu hal yang mudah dikerjakan. Namun yang
ditunggu-tunggu akhirnya datang sesuai janjinya. Ternyata
yang datang bukan beberapa orang, tapi hanya seorang diri.
Dan orang ini pun bukan Thiat-yan, orang itu adalah Boh Tanping.
"Siapa kau?" "Namaku Boh Tan-ping"
"Boh Tan-ping?"
Tu Liong tidak pernah mendengar nama ini sebelumnya.
"Apakah anda datang kemari mewakili seseorang bertemu
denganku?" "Betul" Boh Tan-ping menjawab dengan nada dingin, "siapa
yang aku wakilkan, kau pasti sudah tahu... ....marilah kita
mulai bicara." "Mohon maaf, kalau ingin bicara, aku ingin berbicara
langsung dengan orangnya. Aku tidak akan berbicara
padamu." "Tuan muda Tu!" sikap yang ditunjukkan oleh Boh Tan-ping
sangat dingin, namun tetap ramah, "sebenarnya kami sudah
bermaksud mengundangmu datang ke rumah dan bicara baik
baik, namun kau berkeras tidak mau pergi. Kau malah
mengundang kami datang kemari, dan sekarang kami sudah
datang kesini. Apa lagi yang kau inginkan?"
"Mohon maaf Tuan Boh, aku tidak ingin mengatakan
tentang apapun denganmu"
"Berkata ataupun tidak, tidak menjadi masalah. Nona Thiatyan
majikan kami hanya ingin memberitahu sepatah kata. Kau
sudah tahu apa yang ingin dikatakannya"
"Hormat pada dewa dan setan, tapi tetap menjaga jarak?"
"Tidak salah" "Siapa dewa dan setannya?"
"Kau pikirlah sendiri...." Boh Tan-ping segera berdiri.
"Tunggu!" "Dia hanya menyampaikan sepatah kata itu. Kau
pikirkanlah sendiri"
Bagaimana pun Tu Liong tidak ingin semudah itu
diperdaya. Baru saja Boh Tan-ping membalikkan tubuh
berjalan menjauh, Tu Liong segera menjulurkan tangan dan
mencengkram pergelangan tangan kiri Boh Tan-ping dengan
sangat erat Seharusnya Boh Tan-ping merasa terkejut, namun dia sama
sekali tidak tampak kaget, seharusnya merasa sangat marah,
namun emosi nya tampak masih sangat stabil. Dia terus
mempertahankan sikapnya yang ramah seperti semula.
Dia berkata dengan nada dingin:
"Tuan muda Tu! disini bukan tempat yang cocok bertarung"
"Kalau memang ingin bertarung, untuk apa harus memilih
tempat?" Tiba-tiba Boh Tan-ping menyentakkan pergelangan
tangannya. Dengan sangat mudah dia sudah melepaskan diri
dari genggaman Tu Liong yang kuat. Tu Liong terkejut, hal ini
benar benar tidak diduga oleh nya.
Umurnya masih muda, sifatnya masih sangat bergejolak.
Kalau tiba-tiba emosinya keluar, akibatnya sulit dihindari. Tu
Liong segera mengulurkan lagi tangannya. Dia tahu disini
bukan tempat yang cocok, juga saatnya tidak tepat. Namun
bagaimanapun dia tidak mau peduli.
Kali ini Boh Tan-ping mengelak dengan mudah, tidak hanya
mengelak, dia pun sempat menepis tangan Tu Liong dengan
keras. Lalu dia meneruskan langkahnya menuju pintu keluar.
Tu Liong semakin emosi, dia tahu kalau dia bertarung
disini, pasti akan membuat keributan yang menarik perhatian
orang. Dia lalu melihat ke sekeliling, tatapan matanya jatuh pada
cangkir teh panas yang masih mengepulkan asap
Tanpa berpikir panjang, tangannya segera terjulur
mengangkat cangkir teh, karena gerakan yang cepat, dia tidak
sempat merasakan betapa panasnya cangkir itu.
Dengan satu gerakan tangan, dia melemparkan cangkir teh
panas ke arah Boh Tan-ping.
Sebelum terlepas, dia masih sempat memutar cangkir teh
panas itu. Cangkir itu sekarang berputar-putar cepat seperti gasing,
tapi air teh yang terdapat di cangkir tidak tumpah keluar
barang setetespun. Cangkir teh melayang dengan cepat ke arah kepala Boh
Tan-ping. Walaupun Boh Tan-ping sedang membela-kangi Tu Liong,
dia tetap waspada. Entah bagaimana caranya, dia tahu persis dimana arahnya
cangkir. Dia mencondongkan tubuhnya sedikit ke arah kiri.
Cangkir segera terbang melewati kepalanya.
Sebelum menabrak pintu keluar, Boh Tan-ping menjulurkan
tangannya dengan cepat Dengan dua jarinya, dia sudah berhasil menangkap cangkir
teh panas. Dia segera membalikkan tubuh dan kembali melemparkan
cangkir yang sama balik ke arah Tu Liong.
Tu Liong benar-benar terkejut.
Boh Tan-ping ternyata memiliki kepandaian yang tinggi.
Cangkir teh melayang semakin dekat.
Tu Liong tidak dapat berbuat apa apa.
Kalau dia mengelak, cangkir itu akan hancur menabrak
dinding, orangpasti akanberdatangan juga.
Akhirnya dia menggunakan tangan menepis cangkir dari
arah bawah. Cangkir ini terlempar ke arah langit-langit ruangan. Cangkir
berputar tidak menentu, air tehnya tumpah kemana-mana.
Dengan gesit Tu Liong menghindari siraman air. Tapi
beberapa tetes air masih mengenainya.
Selagi gelas masih melayang di udara, Tu Liong menatap
Boh Tan-ping dengan geram.
Cangkir teh kembali jatuh kebawah.
Setelah melewati wajahnya, Tu Liong sedikit bergeser
kebelakang. Ketika cangkir nyaris menyentuh tanah, Tu Liong
segera menendangnya. Cangkir ini kembali melesat cepat ke arah Boh Tan-ping,
jauh lebih cepat dari pada lemparan yang pertama kali.
Namun tampaknya Boh Tan-ping tidak gentar. Dia hanya
menjulurkan kaki kanannya.
Cangkir yang melayang cepat segera terhenti setelah
menghantam telapak sepatunya.
Dengan lincah, Boh Tan-ping menggerakkan kakinya
sehingga sekarang cangkir itu sudah berdiri dengan tegak
diatas jari kakinya. Boh Tan-ping berdiri dengan kaki kiri. Kaki kanannya
ditekuk untuk menjaga keseimbangan cangkir, kedua
tangannya terentang lebar untuk menjaga keseimbangan
tubuhnya. Kemudian Boh Tan-ping mengayunkan kaki kanannya.
Cangkir teh kembali berayun ke arah Tu Liong dengan
lembut, cangkir melayang membentuk sebuah lengkungan
cantik, dan lalu mendarat tertelungkup diatas meja tanpa
mengeluarkan banyak suara.
Tampaknya Boh Tan-ping tidak ingin balas menyerang Tu
Liong. Dia hanya mengembalikan cangkir ke atas meja.
Setelah itu dia membalikkan tubuh dan meneruskan
perjalanannya ke luar. Tu Liong segera berusaha mengejarnya.
Sebentar saja Boh Tan-ping sudah berjalan sampai ke pintu
keluar. Ketika Tu Liong berhasil mengejarnya, tiba-tiba ada
empat orang pemuda yang bertubuh besar menghalangi
jalannya. Kalau dia berkeras melawan keempat orang ini, dia akan
membuat keributan besar, dia pasti akan membuat nama
baiknya tercemar. Dari pertarungan kecil tadi, terbukti Boh Tan-ping memiliki
ilmu silat yang tangguh. Dari awal ke empat pemuda tidak
turun tangan menyerangnya. Ini menunjukkan bahwa mereka
tidak menganggap Tu Liong sebagai lawan hebat. Ini benarbenar
sebuah penghinaan yang aneh. Namun Tu Liong pun
semen-tara waktu hanya bisa bersabar hati menerimanya.
Setelah beberapa lama, ke empat orang pemuda itu pun pergi
meninggalkannya. Masih dengan perasaan marah, Tu Liong kembali duduk
ditempatnya semula. Pertama tama dia berusaha memulihkan
diri agar hatinya kembali tenang. Setelah itu dia mengoreksi
diri dan menimbang-nimbang. Dia menyadari bahwa posisinya
sangat bergantung keadaan, dia tidak bisa berinisiatif sendiri.
Tapi kalau tidak berusaha untuk merubah keadaan, selamanya
dia tidak akan berhasil. Dia membuat keputusan....memikirkan sebuah cara
menyelidiki kediaman Thiat-yan, dan memberinya sedikit
balasan padanya. Dia lalu berdiri dan berjalan keluar. Tidak disangka di pintu
keluar sudah berdiri seseorang.
Orang ini berdiri tegak dan menghalangi jalannya...
Orang ini adalah seorang pemuda yang penampilannya
sangat aneh. Kedua alisnya berwarna putih, namun bola
matanya berwarna merah. Seolah-olah dia sudah tidak tidur
selama tiga malam. Satu-satunya yang terlihat menarik
padanya adalah postur tubuhnya yang kekar dan ramping.
"Kau mau apa?" Tu Liong mendelik padanya dengan
tatapan marah. "Berunding denganmu" kata pemuda aneh ini sambil
melangkah masuk kedalam. Suaranya terdengar serak
"Berunding apa?"
"Jual beli" "Aku bukan pedagang"
"Aku pedagang" dengan gaya sangat angkuh orang muda
itu duduk tanpa dipersilahkan. Dia langsung mengambil cawan
teh milik Tu Liong dan langsung minum. Dia sama sekali tidak
perduli gelas itu bekas dipakai orang lain. Dia juga tidak
perduli orang lain akan marah padanya.
"Apa yang akan kau jual?"
"Aku menjual nyawa!"
"Kau punya berapa banyak nyawa?"
"Satu nyawa" "Kalau begitu kau bisa jual berapa kali?"
"Nyawaku ini tidak akan pernah habis dijual. Tu Siauya,
saat ini kau sedang membutuhkan orang semacam aku.
Asalkan kau membayar dengan uang yang tepat, aku pasti
akan menjual nyawaku padamu."
"Keahlian apa yang kau punya?"
"Aku spesialis menghadapi orang yang tidak dapat dihadapi
oleh orang lain" "Bicaramu sangatbesar"
"Kau boleh mencobanya" setelah ditantang seperti itu
bicaranya malah semakin besar.
Tu Liong mendadak menyerang dengan sangat cepat dan
sangat brutal. Kalau orang itu tidak waspada, dia pasti akan
segera terluka dan mati. Pemuda beralis putih itu tidak menghindar ataupun
bergerak. Dia hanya mengangkat tangan menahan pukulan.
Semenjak lahir, baru kali itu Tu Liong membuat serangan
mendadak. Sebentar kemudian pembunuh beralis putih balik
menyerang tiga kali, Tu Long mundur tiga langkah menangkis
serangan dengan tangan kosong tanpa bisa berkata apa apa.
Tangannya jadi gemetar dan kaku, hingga dia tidak bisa
mengangkatnya "Lumayan, nyawamu itu tangguh juga"
"Apakah sekarang kita bisa bicara?"
"Siapa namamu?"
"Aku tidak memiliki marga ataupun nama. Orang orang
memanggilku pembunuh beralis putih"
0-0-0 BAB 5 Pembunuh Seorang pembunuh bayaran lihai tidak mungkin
membiarkan dirinya dikenali oleh orang lain.
Pembunuh beralis putih memiliki sepasang alis yang sangat
jelas berbeda dan sepasang bola mata berwarna merah pekat
seperti darah. Tidak masalah betapapun beraninya, betapapun
kejamnya dia membunuh orang lain, siapapun yang sudah
melihat dirinya pasti akan selalu waspada dan memperketat
penjagaan. Dengan demikian dia pasti akan lebih sulit
membunuh targetnya. Dengan demikian kehebatannya
membunuh pun akan tampak lemah.
Oleh karena itu, pembunuh beralis putih tidak dapat
terhitung sebagai seorang pembunuh yang benar-benar
jagoan. Semua alasan tersebut sudah diketahui oleh Tu Liong.
Dia pun tidak ragu ragu untuk mengatakan semua yang
ada didalam pikirannya. "Salah!" dengan sangat angkuh, pembunuh beralis putih
berkata padanya, "justru karena sepasang alis mata yang
putih dan sepasang bola mata berwarna merah, aku bahkan
lebih hebat dari pembunuh paling lihai manapun."
"Mengapa demikian?"
"Aku tidak ingin menjelaskannya padamu. Tapi aku akan
memperlihatkannya langsung padamu"
Setelah selesai mengatakan demikian, dia langsung pergi
ke kamar mandi. Pada awalnya Tu Liong bermaksud ingin menarik tangan
pembunuh beralis putih untuk terus bicara, namun rasa harga
diri membuatnya menahan keinginannya untuk sementara
waktu. Pada saat yang bersamaan didalam hatinya terdapat
Walet Besi Karya Cu Yi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sebuah firasat. Dia merasa dirinya telah mencapai tingkat
kemahiran ilmu silat yang lumayan tinggi dan mendalam,
namun orang yang lebih hebat dari dirinya masih terlalu
banyak. Dia berdiri meninggalkan tempat duduknya, dia bermaksud
akan langsung pergi meninggalkan kedai teh. Namun sebelum
keluar, dia sempat melihat pembunuh beralis putih sedang
berjalan mendekat....bukan! Kali ini sudah tidak bisa disebut
pembunuh beralis putih lagi, sekarang dia memiliki sepasang
alis yang berwarna hitam dan sebuah bola mata putih bening
dan memancarkan sinar mata yang sangat terang. Kalau
bukan pakaian yang dikenakannya masih sama dan masih
diingat, dia tidak akan berani mengatakan kedua orang itu
adalah orang yang sama. "Apakah kau masih mengenali aku, sebagai pembunuh
beralis putih?" Tu Liong memang tidak mengenalinya lagi. Sepasang
alisnya yang berwarna putih sudah dicat sampai berwarna
hitam legam. Sebenarnya dia bisa saja dengan mudah
memalsukan alisnya yang putih dan dicat agar berwarna
hitam, namun sepasang bola matanya yang berwarna merah"
Bagaimana mungkin sekarang bisa menjadi putih" bukankah
ini mengherankan" Pembunuh beralis putih tidak peduli rasa penasaran yang
dimiliki Tu Liong, dia berkata seolah olah pada dirinya sendiri.
"Ada seseorang melihat pembunuh beralis putih di kedai
teh bertemu dengan dirimu. Setelah itu, tiba-tiba jalan hidup
pembunuh beralis putih menjadi lebar. Tidak lama pembunuh
beralis putih tampak sedang mondar mandir di dalam rumah
kediaman seseroang. Hati orang lain pasti akan berpikir bahwa
kau sudah mengeluarkan sejumlah uang dan menyuruh
pembunuh beralis putih membunuhnya. Karena itu dia
sepenuh hatinya memperhatikan semua gerak gerik
pembunuh beralis putih, tetapi sekarang mendadak
penampilanku berubah seperti ini. menurutmu apakah aku
lebih lihai dibandingkan dengan pembunuh manapun yang kau
tahu?" Sebenarnya menilai dari pandangan dan caranya
berbicaranya, dia akan mudah menambah kecurigaan orang
lain. Seorang pembunuh belum tentu memiliki kepandaian
paling tinggi di kolong langit. Mereka hanya pandai
menghindari rasa curiga orang lain. Target yang dimiliki
Seorang pembunuh adalah berhasil membunuh korbannya,
tidak menunjukkan jati yang sesungguhnya pada orang lain.
Tapi orang ini tampaknya meragukan.
"Apa syaratmu?" akhirnya Tu Liong meng-ajukan
pertanyaan padanya. "Aku hanya akan membantumu mengerjakan satu tugas,
ataukah aku akan mengabdi padamu dan membantumu
mengerjakan beberapa tugas untuk waktu yang lama?"
"Untuk waktu yang lama"
"Biayanya untuk bayaran sebulan adalah tiga ratus uang
kertas asing (barat)"
"Murah sekali?"
"Dengarkan dulu sampai habis.... setelah membunuh
seseorang harus menambahkan seribu mata uang kertas
asing. Melukai kaki tangan orang yang pantas menjadi
targetku, membantumu melarikan diri dari suatu masalah,
membantumu mengerjakan sebuah tugas, tidak masalah
apakah susah atau gampang, kau harus membayarku seratus
lagi..." "Baiklah! Kalau begitu kau saat ini tinggal dimana?"
"Kau menyuruhku tinggal dimana, aku akan tinggal
ditempat yang kau tunjuk"
"Kalau begitu apakah kau tahu dimana tempatku tinggal
saat ini?" "Didalam rumah Cu Siau-thian"
"Lalu dimana kediaman tuan Cu?"
"Tentu saja tahu"
"Baiklah kalau begitu. Sekarang aku akan pulang. Kau
boleh ikut aku pulang. Aku akan memberimu sedikit uang.
Tapi aku ada sedikit pekerjaan yang harus kujelaskan padamu
sebelumnya. Kalau kau tidak bisa melalui pintu masuk
kediaman tuan Cu, perjanjian kita batal."
"Apa" Kau mau menguji diriku?"
"Tentu saja, karena sebentar lagi aku akan memberimu
sebuah tugas" "Kau tenang saja, dalam mataku tidak ada tembok dan
tidak ada pintu" "Kalau kau benar-benar memiliki kemampuan seperti itu,
mengapa kau masih kekurangan uang?"
"Aku tidak ingin mencuri, aku bukan maling rendahan.
Setiap sen uang yang kuhasilkan harus berdasarkan kerja
keras sesuai kemampuanku. Apakah kau mengerti?"
Ini hanya sebuah alasan. Di dunia ini banyak sekali orang
yang menggunakan alasan yang serupa.
Namun bagaimanapun juga Tu Liong sudah menaruh
sedikit kekaguman pada pembunuh beralis putih ini, tidak
lama kedua orang ini berjalan keluar dari kedai minum teh. Tu
Liong segera naik kudanya, sementara pembunuh beralis putih
ditinggalkan sendirian didepan kedai teh...
Tu Liong memacu kudanya dengan kecepatan penuh,
pulang ke kediamannya. Setelah sampai, pertama-tama dia
masuk ke dalam kamar Cu Siau-thian untuk memastikan
bahwa semua keadaannya masih aman. Setelah itu dia pergi
berpatroli mengawasi keadaan rumahnya. Dia memeriksa
semua penjagaan dengan sangat teliti, jangan sampai
penjagaan itu memiliki celah yang dapat diselusupi dengan
mudah. Namun dia tetap merasa bahwa pembunuh beralis
putih pasti masih bisa menerobos masuk kedalam rumahnya.
Karena ketika pembunuh beralis putih mengatakan didalam
matanya 'Tidak ada tembok... tidak terdapat pintu'... dia
mengatakan semua itu dengan penuh rasa percaya diri.
Dia lalu kembali ke kamarnya sendiri, dia bermaksud
menunggu pembunuh beralis putih menunjukkan batang
hidungnya. Ternyata yang terjadi bukan dirinya yang harus
menunggu kehadiran pembunuh beralis putih, sebaliknya
pembunuh beralis putih yang sedang menunggu kehadiran
dirinya, pembunuh beralis putih sudah lebih dahulu sampai ke
kediaman Cu, sudah memasuki kamarnya, dan bahkan
sekarang dengan sangat tenangnya dia duduk diatas bangku
yang biasa diduduki olehTu Liong.
Sekarang, dia sekali lagi tampil sebagai pembunuh beralis
putih. Entah bagaimana caranya, alisnya sudah kembali
berwarna putih dan kedua bola matanya juga sudah kembali
berwarna merah. Namun sinar mata yang berkilau tajam
tampaknya masih terlihat jelas di dalam kedua mata aslinya.
Sepatah kata pun tidak diucapkan oleh Tu Liong, dia terus
berjalan mendekati sebuah lemari dan membuka sebuah laci
penyimpanan rahasia. Dari dalam laci tersebut dia mengambil
empat lembar uang kertas orang asing. Cu Siau-thian tidak
terlalu ketat mengawasi keuangan dirinya, membuat dia masih
sanggup menyimpan sedikit uang untuk digunakan.
"Empat ratus uang kertas asing?" tanya pembunuh beralis
putih dingin "Tiga ratus uang kertas asing setiap bulan pasti akan
kubayar, seratus lagi akan dibayar setelah kau membantuku
menyelesaikan sebuah tugas."
"Kau belum mau menyuruhku untuk mem-bunuh
seseorang?" "Saat ini aku belum membutuhkannya"
"Kau ingin aku membereskan urusan apa?"
"Aku ingin kau membantuku mengirim sebuah surat. Surat
ini harus diam-diam kau selipkan di samping bantal tempat
penerima surat yang biasa tidur. Namun ketika menaruh surat
ini sama sekali tidak boleh dilihat orang lain."
"Tenang saja!" Sekali lagi pembunuh beralis putih berkata dengan nada
angkuh dan terkesan membanggakan diri.
"Disini kau memiliki empat penjaga yang jelas terlihat dan
empat orang yang bersembunyi ditempat rahasia, aku sudah
mempersiapkan semua dengan teliti. Mereka semua tidak
mungkin akan mengetahui bagaimana aku bisa masuk
kedalam rumah ini...."
Saat ini entah apa yang dirasakan oleh Tu Liong. Entah
perasaan kagum, atau rasa khawatir dan was was. Kalau
pembunuh beralis putih ini seorang musuh, apakah dia masih
bisa berharap hidup"
Mengapa dirinya tertimpa rejeki seperti ini" bertemu
dengan pembunuh beralis putih, datang ke depan pintu
rumahnya dan menjadi pembantunya" Sedikit banyak pasti
akan menimbulkan kectirigaan orang lain. Hanya saja Tu Liong
tidak ingin mempermasalahkan urusan ini lebih jauh.
Dia lalu duduk didepan meja dan mulai menulis diatas
kertas dengan penuh konsentrasi. Karena dia sangat pintar
dan lagi sangat terpelajar, walaupun belum pernah benarbenar
mempelajari tentang kesusastraan Tionggoan atau
mempelajari buku, namun dia masih mampu menulis tulisan
mandarin yang sangat bagus. Alur kata-kata yang dituliskan
pun sangat baik. Surat yang ditulisnya ini sangat sederhana,
namun memiliki penekanan yang sangat keras. Dia hanya
menuliskan sepuluh huruf sederhana....hutang mata harus
dibalas mata, hutang gigi harus dibalas gigi.
Setelah selesai menulis surat, dia menaruh kuas dan mulai
melipatnya. Setelah itu dia menyerahkannya pada pembunuh
beralis putih, dia juga menjelaskan tempat tinggal Thiat-yan
pada pembunuh beralis putih dengan sangat jelas, pembunuh
beralis putih mengambil surat itu dan langsung pergi.
Tu Liong mengikutinya pergi keluar kamar. Diluar tampak
para penjaga yang masih sibuk berpatroli, mereka tampak
kaget. Mereka semua tidak menyangka bisa ada orang lain
didalam rumah, jelas menunjukkan bahwa mereka sama sekali
tidak mengetahui pembunuh beralis putih sudah berhasil
masuk. Bukankah ini adalah hal yang sangat tidak masuk akal"
"Tu Liong!" tiba-tiba ada orang yang menyapa dirinya dari
belakang. Orang itu adalah Cu Siau-thian. Tampaknya Cu Siau-thian
tidak mengetahui kalau pembunuh beralis putih baru saja
melenggang keluar dari rumahnya.
"Cu Taiya" "Apa yang sedang kau pikirkan saat ini?"
"Emm!!" dia menjawab dengan bergumam, seperti sedang
memikirkan sebuah masalah yang selamanya pun tidak akan
memiliki jawaban. "Aku ingin berunding dengan Thiat-yan."
"Berunding" Aku tidak mengerti...."
"Mungkin nanti bisa terpikir jalan penyele-saian yang
lain...." "Apakah Tuan sudah gentar menghadapi Thiat-yan?"
"Tu Liong, Urusan yang sudah aku kerjakan harus aku
selesaikan sendiri, aku tidak mau melibatkan dirimu"
Walaupun Tu Liong sama sekali tidak mengerti perasaan
orang-orang generasi diatasnya, namun dia sangat mengerti
majikannya Cu Siau-thian. Didalam hatinya, dia pasti
menyimpan rahasia besar yang tidak dapat diberitahukan pada
orang lain. Di dalam hatinya diam-diam Tu Liong membuat
sebuah rencana., dia berencana untuk membujuk Cu Siauthian
membeber-kan semua rahasia yang sudah disimpannya
selama ini. "Budi yang sudah Tuan berikan padaku sangat besar
bagaikan sebuah gunung, dalam sedalam lautan. Mengapa
aku mengatakan kata-kata ini" aku hanya memiliki sebuah
permintaan." Tu Liong tidak langsung mengungkapkan apa yang
diinginkan. Dia membelokkan kata katanya dengan sangat
manis. "Permintaan apa" Katakanlah"
"Pada waktu kalian mencelakai Tiat Liong-san,
bagaimanakah kejadian sebenarnya" Tuan tidak
menceritakannya dengan jelas, membuat apa yang ku tahu
sangat kabur. Apakah Cu Taiya bisa menceritakannya dengan
lebih terperinci?" "Dari permulaan pun aku sudah memberitahu padamu.
Mengenai hal ini kau sama sekali tidak boleh menanyakan
tentang apapun, apakah kau sudah lupa pada perjanjian kita
pada waktu itu?" "Betul....Betul...."
Belum apa-apa Tu Liong sudah terbentur janjinya, terpaksa
dia mengurungkan niatnya.
"Bagaimana rencanamu nanti menghadapi Thiat-yan?"
tanya Cu Taiya. "Mengenai hal ini aku harus memikirkan apa yang tuan
inginkan dulu" "Oh..." kau harus memikirkan keinginanku dulu?" emosi
yang dipancarkan diraut muka Cu Siau-thian tampak sangat
rumit. "Jujur saja, setelah mencelakai Tiat Liong-san, tidak sehari
pun aku tidak menyesali perbuatanku itu. Sedangkan Thiatyan
adalah anak perempuan satu-satunya, bagaimana aku
harus memperlakukan diri-nya?"
"Bila dia bermaksud mencelakai dirimu?"
"Tentu saja siapapun tidak ingin dirinya dicelakai oleh
orang lain. Tapi aku harus tahu dia ingin berbuat bagaimana
dulu padaku. Kalau tidak terlalu serius, aku bersedia
menanggungnya." "Cu Taiya, kadang-kadang rasa sakit datang tiba-tiba. Kita
tidak mungkin membuat persiapan terlebih dahulu, oleh
karena itu aku punya sebuah rencana. Kalau Thiat-yan benar
benar ingin mendapat-kan sebuah barang, aku tidak hanya
tidak akan menghalangi keinginannya, malah sebaliknya akan
diam-diam membantu dirinya. Tapi kalau dia ber-maksud
untuk melukai tuan, aku tidak mungkin berdiam diri."
"Tu Liong!" Cu Siau-thian menggeleng-gelengkan
kepalanya "aku tahu kau adalah seorang anak yang berhati
mulia. Kau sangat pemberani, kuat dan gagah. Kau pun
sangat pintar, hanya saja kau juga memiliki sebuah
kekurangan. Dari kecil kau tumbuh besar di Pakhia, kau belum
pernah pergi berkelana keluar Pakhia, belum mengetahui
kejamnya dunia diluar sana. Kau belum tahu kejahatan apa
Walet Besi Karya Cu Yi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang bisa dilakukan seseorang....
"T u Li Ong, yang selalu aku khawatirkan selama
ini, kau bisa saja kalah dibawah tangan Thiat-yan."
"Apakah tuan tidak percaya padaku?"
"Aku bukan tidak percaya kemampuanmu, aku hanya
khawatir....kalau aku menerima pembalasan dari Thiat-yan, itu
adalah hukuman yang setimpal. Tapi kalau kau yang
menerima penderitaan, itu tidak tepat."
"Tuan tenang saja. Aku tidak mungkin mengecewakanmu!"
setelah berkata demikian, Tu Liong segera berjalan keluar.
Tiba-tiba dia menyadari, Cu Taiya sengaja berkata yang
kesana-kemari, tujuannya hanya satu....untuk mengusik
dirinya bertindak lebih jauh. Dia tidak ingin dirinya kalah di
tangan Thiat-yan. dia adalah seorang pemuda jantan yang
sangat lurus, dia tidak senang pada masalah yang berbelitbelit.
Tapi dia tidak merasa jenuh terhadap tingkah laku Cu
Taiya. Dia tahu, generasi tua senang sekali memperhitungkan
keadaan, siasatnya banyak, sekarang sepertinya hal itu sudah
menjadi sebuah kebiasaan.
Dia terus berjalan keluar, Cu Taiya tidak memanggil lagi. ini
menandakan bahwa semua perkiraan Tu Liong tidaklah salah.
Cu Taiya memang tidak bermaksud mencegah dia maju,
namun juga dia diam-diam memberi semangat padanya untuk
bertindak lebih cepat. Dia ingin Tu Liong segera mengurus
Thiat-yan sampai tuntas. Kalau saja hal ini terjadi pada orang lain, Tu Liong pasti
akan membongkar rahasia tuannya. Namun rasa hutang budi
pada Cu Taiya sudah mencegahnya. Dia terpaksa mengikuti
semua perintah majikan dan melaksanakannya, lagipula dia
tidak merasa bahwa melakukan hal itu adalah sebuah
kesalahan. 0-0-0 Ketika Thiat-yan mengirimkan kereta kuda untuk
menjemput Wie Kie-hong, Tu Liong sudah mengikutinya diamdiam.
karena itu dia tidak membuang banyak tenaga ataupun
waktu untuk mengetahui dimana rumah kediaman Thiat-yan.
Diatas daun pintu masuk terdapat sebuah papan nama
besar terbuat dari kayu, yang terukirkan kata-kata "Kediaman
Boh" dua patah kata sederhana.
Tu Liong berdiri ditempatnya menimbang nimbang
sebentar, akhirnya dia berjalan kedepan pintu dan mulai
menggunakan pegangan pintu mengetuk.
Yang menjawab ketukan pintunya adalah pembantu
perempuannya yang bertanya dengan suara yang mirip suara
anak kecil: "Mencari siapa?"
"Aku datang mencari nona Thiat-yan"
"Apakah kau tidak salah rumah" Disini kediaman keluarga
yang bermarga Boh" "Aku tidak perduli tuan kalian bermarga apa,
bagaimanapun aku tahu nona Thiat-yan tinggal disini. Maaf
merepotkan, tolong kau laporkan kedatanganku padanya"
Pembantu perempuan itu tampak berpikir, setelah itu ada
seseorang lain yang muncul di ambang pintu. Dia adalah Boh
Tan-ping. Tu Liong tampak sangat tenang, tapi dia tahu kalau Boh
Tan-ping adalah seorang lawan yang sangat tangguh.
Boh Tan-ping berkata dengan dingin:
"Rupanya kita bertemu lagi..."
"Sayang sekali orang yang aku cari kali ini bukanlah dirimu"
balas Tu Liong. "Ini rumah kediamanku, kau mengeruk pintu kalau bukan
mencariku, kau ingin mencari siapa?"
"Aku mencari nona Thiat-yan"
"Nona Thiat-yan?" Boh Tan-ping tampak sedikit terkejut.
"Nona Thiat-yan, anak satu-satunya Tiat Liong-san. Saat ini
dia orang yang sangat populer di kota Pakhia. Apakah katakataku
kurang jelas?" "Mohon maaf, kau sudah mengunjungi rumah yang
salah...." Setelah berkata demikian, Boh Tan-ping segera bermaksud
menutup pintu rumahnya. Dengan sebelah tangannya Tu Liong segera menahan
pintu, dan dengan tangan yang satunya dia bermaksud
mendorong dada Boh Tan-ping. Dia sepertinya sudah
bermaksud nekat, menggunakan tenaga kasar untuk
menyerangnya, tidak memberi kesempatan bagi lawan untuk
bergerak. Betul saja, dengan cepat tangan kanan Boh Tan-ping
terangkat keatas, dan segera menangkap pergelangan tangan
Tu Liong yang terjulur ke arahnya.
Tu Liong tidak tinggal diam.
Dia melecutkan tangan yang dipegang dengan cara yang
sama ketika dia menangkap tangan Boh Tan-ping ketika di
kedai teh. Tapi sayang Boh Tan-ping lebih lihai.
Tu Liong tidak dapat membebaskan tangannya dengan
mudah. Terpaksa dia melangkah masuk kedalam agar bisa melawan
Boh Tan-ping dengan lebih leluasa.
Di dalam ada beberapa orang pembantu yang hanya
tertegun menonton pertarungan.
Salah seorang diantaranya ada yang berlari masuk ke
dalam. Tu Liong tidak sempat menghiraukan pem-bantu ini.
Tu Liong kembali mencoba menarik tangannya. Boh Tanping
sengaja melepaskan tangannya secara mendadak. Tapi
selain itu dia juga melontarkan tangan Tu Liong dengan kuat.
"HAH!" Tu Liong terlonjak kebelakang dan mundur beberapa
langkah. Boh Tan-ping segera melangkah kembali ke arahnya.
Tangan kanannya sudah terjulur kembali ke arahnya berusaha
menggenggam baju Tu Liong.
Tu Liong menghindar dan menepis dengan tangan kirinya.
Tangan kiri Boh Tan-ping tidak tinggal diam. Tangan ini
pun segera terjulur berusaha mencengkram bahunya.
Tangan kanan Tu Liong bergerak tidak kalah cepat. Dia
berhasil menggenggam pergelangan tangan Boh Tan-ping.
Ini adalah kesempatan satu satunya untuk menyerang
dengan sungguh-sungguh. Dia menarik tangan kanannya dengan kuat.
Tubuh Boh Tan-ping segera tertarik mendekat Tu Liong.
Ketika sudah dekat, kaki Tu Liong segera terangkat untuk
menendang Boh Tan-ping. Boh Tan-ping tampak sangat tenang. Tangan kirinya yang
bebas segera menepis kakinya. Berbarengan dengan itu, dia
berkelit dan berputar ke arah kiri.
Tu Liong jadi menendang udara kosong.
'Gawat,' pikir Tu Liong. Sekarang posisinya sedikit tidak
menguntungkan. Sekarang Boh Tan-ping balik menyerangnya.
Karena sedang berdiri menyamping, dia tidak dapat
mengelak serangan dengan mudah.
Betul saja, tangan Boh Tan-ping sudah terjulur kembali ke
arahnya. Segera tangan kiri Tu Liong menyambut.
Akhirnya kedua orang ini saling bergenggaman tangan.
Boh Tan-ping segera mendorongnya keluar. Tu Liong
melompat menghindari palang pintu masuk yang ada di lantai.
Kali ini Boh Tan-ping masuk dalam perangkap.
Tampaknya Tu Liong sudah bersiap membalas
perbuatannya ketika di kedai teh waktu itu.
Sekarang posisi mereka berada berseberangan. Tu Liong
diluar pintu masuk, Boh Tan-ping didalam.
Setelah Tu Liong meloncat keluar, dia segera melepaskan
genggaman tangan kanannya.
Tangan ini menjulur ke sebelah kanan, segera dia
menggenggam gelang baja yang digunakan untuk mengetuk.
Pada waktu ini dia segera menarik Boh Tan-ping keluar,
dan berbarengan menarik gelang baja yang menempel di
pintu. Daun pintu yang tebal dan berat itu menabrak bahu kanan
Boh Tan-ping dengan keras. Kini bahunya jadi terjepit.
Asalkan Tu Liong menggunakan siasat apapun, tangan
kanan Boh Tan-ping pasti akan cacat.
"Hentikan!" tiba-tiba dari dalam pintu ter-dengar suara
seseorang menyahut. Tu Liong segera melonggarkan pegangan tangannya pada
gelang besi yang menempel di pintu.
Dihadapannya kini sudah berdiri seorang nona yang tegap
dan perkasa. Tidak usah dikatakan lagi, orang ini adalah orang
yang sedang dicari oleh Tu Liong.
Boh Tan-ping benar-benar merasa marah, sepertinya
mulutnya sudah siap menyemburkan api saja. namun
dihadapan Thiat-yan, dia hanya bisa menelan emosinya dan
mundur. "Datang ke rumah orang lain dan mencari perkara,
bukankah ini sangat keterlaluan?" dengan satu langkah besar
saja, Thiat-yan sudah berada dihadapan Tu Liong.
"Nona juga sudah datang ke rumah orang lain dan
mencelakai mereka, apakah ini tidak keterlaluan?"
"Baiklah, tadi aku sudah membaca pesanmu yang kau
selipkan di pinggir bantalku. Mata sudah dibalas mata.
sekarang untuk apa kau datang kemari?"
Dalam hatinya, diam-diam Tu Liong merasa senang,
sepertinya pembunuh beralis putih sudah melakukan tugasnya
dengan sangat baik. Selain itu dia juga merasa senang dirinya
memiliki seseorang yang demikian mahir yang ada disisinya
membantu dia. Dia juga senang karena saat ini dia berdiri
didepan Thiat-yan dan berhasil mengangkat sedikit harga
dirinya. "Nona, aku ada sedikit urusan yang harus dijelaskan
padamu. Huruf yang dituliskan diatas kertas saja tidak akan
mampu menggambarkan apa yang ingin aku ceritakan. Oleh
karena itu aku harus datang kemari dan menjelaskan langsung
padamu." "Urusan apa itu?"
"Nona, kau punya kepintaran, orang lain juga masingmasing
punya kepintaran. Kalau kau berpikir ingin datang ke
Pakhia dan langsung menjadi jagoan besar disini, kalau begitu
kau sudah salah besar."
"Kau jauh-jauh datang kemari, apa hanya demi
mengatakan hal ini?"
"Tentu saja masih ada satu urusan yang paling penting"
"Katakanlah! Aku pasti akan mendengarkan penjelasanmu
dengan baik..." "Nona sudah melukai empat orang, dendam yang besar
sudah terbalaskan, kau tidak perlu lagi tinggal di dalam kota,
kalau dalam waktu tiga hari ini kau tidak pergi, kau akan
merusak hubungan baik dengan seseorang."
"Merusak hubungan baik dengan siapa?"
"Merusak hubungan baik diantara kau dan aku"
"Aku tidak begitu mengenal dirimu. Aku juga tidak punya
hubungan yang baik, begitu pula hubungan yang buruk
dengan dirimu." "Sebenarnya tidak begitu, budinya Cu Taiya padaku seperti
sebuah gunung. Kau. diam-diam meninggalkan surat didalam
kediamannya dan menakut-nakuti dirinya, aku sama sekali
tidak bisa masa bodoh."
"Oh!" Thiat-yan tertawa dingin dan berkata ... "baik sekali,
asal saja Cu Siau-thian menyerahkan barang yang sedang
kucari selama ini, aku pasti akan segera pergi."
"Barang apakah itu?"
"Ketika ayahku dicelakai, dia membawa sebuah kopor kulit
berwarna kuning. Kopor itu tidak digunakan sebagai barang
bukti, juga tidak diumum-kan pada keluarga yang ditinggalkan
untuk diambil. Jelas barang ini sudah diambil oleh orang lain."
"Apakah barang yang diinginkan oleh nona adalah kopor
kulit berwarna kuning?"
"Betul" "Kopor kulit berwarna kuning, jumlahnya pasti sangat
banyak sekali, apalagi yang ukurannya, warnanya, atau
bentuknya sama pasti jumlahnya sangat banyak. Walaupun
nona mencari kopor ini sampai puluhan tahun, aku khawatir
bukanlah sebuah hal yang mudah. Paling baik nona bisa
mengatakan padaku, apakah barang yang tersimpan dalam
kopor tersebut. Aku yakin sebenarnya barang yang diinginkan
oleh nona adalah barang yang berada didalam kopor tersebut,
apa benar?" Thiat-yan hanya bisa termenung saja.
Tu Liong terus menatap dirinya lekat-lekat. Seolah-olah
jawaban semua rahasia yang dicarinya selama ini tertulis
dengan jelas pada wajah nona Thiat-yan.
Setelah beberapa lama, Thiat-yan mulai membuka mulut
dan berkata: "Aku tidak ingin menutupinya, sebenarnya aku sendiri pun
tidak tahu barang apa yang sudah tersimpan didalam kopor
kuning yang sedang ku cari itu"
"Kalau begitu ini benar-benar aneh. Kalau nona tidak tahu
barang apa yang ada didalam kopor kulit yang berwarna
kuning, untuk apa nona membuang buang waktu, tenaga dan
pikiran untuk mencari kopor tersebut?"
"Kau tidak bisa mengatakan demikian"
"Oh?" "Tu Liong, aku tidak punya waktu untuk berdebat kusir
dengan mu (berargumentasi tanpa hasil yang jelas). Pada
waktu ayahku sudah dicelakai, aku harus mencari tahu sampai
jelas apa alasannya. Kalau urusan balas dendam, ayahku tidak
memiliki masalah apapun dengan mereka, aku sudah mencari
tahu sampai bertahun tahun lamanya, ketika ayahku dihukum
mati, kopor ini tidak terlihat lagi. Aku menebak bahwa alasan
ayahku mati pasti ada kaitannya dengan isi kopor tersebut."
"Katakan saja kopor tersebut dipenuhi dengan uang. Kalau
begitu ayahmu sudah kehilangan nyawa-nya demi membela
harta, betulkah demikian?"
"Orang-orang yang mencelakai ayahku tidak perlu
membunuh orang lain hanya demi sedikit uang. Kalau
memang kopor tersebut dipenuhi dengan uang, sepertinya
uang yang muat kedalam kopor pun tidak begitu banyak."
Walet Besi Karya Cu Yi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kalau begitu....?"
"Kau tidak perlu bertanya lebih jauh tentang kopor
tersebut" "Rasanya tidak tepat nona berkata seperti ini. kau tadi
sudah mengatakan bahwa asalkan kopor kulit kuning tersebut
sudah kau miliki, kau pasti akan segera pergi meninggalkan
kota. Kalau kau pergi, aku tidak akan lagi melewati hari hariku
dengan merasa khawatir, tentu saja aku harus membantumu
mencari kopor tersebut."
"Oh" apakah kau serius dengan kata katamu?"
"Aku tidak ingin menutupi. Sebelum aku datang kemari
untuk menemuimu, aku sudah mencari tahu tentang kopor ini.
beberapa jam sebelumnya, aku sudah menemukan sebuah
kopor kulit berwarna kuning seperti yang tadi di ceritakan,
sayang sekali didalamnya tidak terdapat barang apapun."
"Aku sudah tahu" Thiat-yan menjawab dengan dingin.
"Kau sudah tahu?"
"Tentu saja aku tahu. Kopor kulit itu bukan kopor kulit yang
dahulu dibawa oleh ayahku. Kalau memang betul itu adalah
kopornya, mana mungkin kopor itu bisa jatuh kedalam
tanganmu?" Sekarang Tu Liong tidak lagi memburu dengan pertanyaan.
Dia hanya menceritakan semua kejadian yang sudah
dialaminya, setelah itu dia berkata:
"Kalau begini duduk perkaranya, aku masih punya sebuah
permintaan padamu." "Silahkan bertanya sesuka hatimu, namun aku tidak
berjanji menjawabnya"
"Seseorang terbunuh di dalam kamar kediaman Bu Tiat-cui
pagi ini." "Oh?" "Penyebab kematiannya adalah sebuah jarum besi yang
menembus kepalanya."
"Perbuatannya kejam sekali"
"Perbuatannya dilakukan dengan sangat rapi"
Thiat-yan diam saja. "Nona, mengapa kau harus membunuh orang tersebut?"
Nona Thiat-yan berkedip sejenak, setelah itu dia kembali
berkata dengan dingin: "Menurut kabar yang beredar kau sangat pintar, kau pun
sangat baik mengurusi banyak hal. Sekarang ini kau
menanyakan pertanyaan seperti ini, kau jadi tampak seperti
orang dungu. Apakah kabar yang beredar itu tidak dapat
dipertanggung-jawabkan kebenarannya?"
"Oh" jika demikian, ini berarti orang tersebut tidak dibunuh
olehmu?" "Tentu saja bukan. Sepanjang hidupku, aku belum pernah
menghilangkan nyawa orang lain. Melukai orang lain pun baru
kali ini aku lakukan."
Dalam hatinya Tu Liong diam-diam merasa kaget, kalau
Thiat-yan tidak membunuhnya, siapakah pelaku pembunuhan
orang itu" Jangan jangan masih ada orang lain yang mengejar
kopor kulit berwarna kuning tersebut.
"Suatu saat nanti mungkin juga aku akan membunuh
seseorang, hanya satu orang yang akan aku bunuh. Selain
orang itu, asalkan orang lain tidak berurusan denganku, aku
akan menjamin kalau orang itu tidak akan menjumpai
masalah." "Siapakah orang yang kurang beruntung itu?"
Thiat-yan berkata perlahan-lahan, patah demi patah kata
diucapkan dengan jelas: "Cu Siau-thian!"
Ini adalah jawaban yang sudah diduga jauh sebelumnya.
Oleh karena itu sedikitpun Tu Liong tidak merasa kaget,
didalam hatinya dia sudah memikirkan sebuah pertanyaan
yang lain. Kalau orang yang mati tertusuk jarum besi di
kepalanya bukan dibunuh oleh Thiat-yan, bukankah ini berarti
masih ada orang lain lagi yang diam-diam sedang
melancarkan aksinya"
"Nona!" Tu Liong mulai menggunakan keahliannya, "aku
pernah mendengar sebuah kabar, mungkin kau pernah
mendengarnya juga" "Kabar apa?" "Menurut kabar yang kudengar, Leng Taiya sering pergi
mengunjungi peramal Bu Tiat-cui. Kalau mempertimbangkan
status jabatannya, tidak seharus-nya dia memiliki hubungan
dengan orang orang semacam itu."
"Mengapa kau ingin mengkhianati Leng Taiya?"
"Ini bukan mengkhianatinya, aku hanya sedang meneliti
situasi, dan mengejar jawaban. Aku ingin secepatnya
mendapatkan barang yang ingin kau cari"
"Apakah kau sungguh berharap demikian?"
"Tentu saja. aku tidak ingin kau melakukan pembunuhan,
dan terlebih lagi aku tidak ingin kau membunuh Cu Siau-thian
........baiklah, sekarang marilah kita kembali pada topik
pembicaraan .... menurut kabar yang beredar, Leng Taiya
sudah menyerahkan sebuah kopor kulit berwarna kuning pada
Bu Tiat-cui untuk dijaganya...."
"Bukankah kopor itu sudah berada didalam tanganmu?"
Pada saat ini, Tu Liong tampak seperti ayam yang sudah
kalah berkelahi. Bulu-bulunya sudah rontok bertebaran
dimana-mana. Darahnya pun sudah berlumuran di seluruh
tubuhnya. Sangat pedih, tampak sangat menyedihkan, dan
kecewa. Sepertinya siasat yang digunakannya sudah salah.
Setelah waktu yang lama, Thiat-yan kembali berkata:
"Kopor kulit berwarna kuning itu adalah urusanku. Kau
seharusnya memikirkan masalah yang lain"
"Oh?" "Selain diriku, masih ada orang lain yang menginginkan
kopor tersebut. Dan bukan hanya satu orang, tapi sekelompok
orang-orang...." "Nona, apa yang sedang kau pikirkan?"
"Tidak ada" "Nona, aku merasa sepertinya kau sangat menaruh minat
yang dalam terhadap masalah ini"
"Tentu saja. aku ingin mencari tahu tiga jawaban. Siapakah
orang yang sudah dibunuh dengan jarum menancap
dikepalanya itu" Siapa orang yang sudah membunuhnya"
Mengapa harus membunuh-nya?"
"Nona, dari kecil aku sudah senang mengejar jawaban dari
sebuah misteri. Sedikit banyak mungkin aku bisa
membantumu." "Betulkah itu?" mata Thiat-yan memancarkan sinar penuh
harapan. "Dari awalpun aku tidak pernah berbohong"
"Kalau begitu....aku menunggu"
"Tetapi aku tidak pernah membantu orang lain tanpa
balasan yang setimpal"
"Kalau kau punya persyaratan yang ingin diajukan, silahkan
katakan padaku." "Tolong jangan lukai Cu Taiya!"
"Tu Liong!" suara Thiat-yan terdengar penuh perasaan,
"aku mengerti maksud hatimu, namun aku tidak bisa
menyetujui persyaratan mu ini. alasannya adalah kita berdua
sama-sama tidak bisa merubah apa yang akan terjadi di masa
mendatang. Sekarang ini entah berapa lama kita berdua bisa
mempertahankan posisi setengah teman setengah musuh
seperti ini. benar?"
"Kalau begitu, kita berdua harus berdiri berhadapan
sebagai musuh?" raut muka Tu Liong menjadi gelap.
"Kalau terpaksa, aku dan kau akan bertarung habishabisan"
Thiat-yan mengatakan semua ini dengan nada datar:
"Namun aku tidak ingin kau menghamburkan uang pada
orang yang tidak jelas untuk meng-hadapiku"
"Orang yang tidak jelas?"
"Orang seperti Pembunuh beralis putih"
Tu Liong diam-diam merasa sangat kagum, Thiat-yan
sepertinya selalu mengetahui semua yang dilakukannya.
Sepertinya dia adalah seorang ahli memecahkan misteri.
"Tu Liong" perkataan nona Thiat-yan ter-dengar penuh
makna: "Aku bukan takut pada Pembunuh beralis putih, hanya saja
aku takut orang lain mentertawakan dirimu. Didalam kota
Pakhia ini, kau bisa dibilang adalah seseorang yang memiliki
kedudukan. Sekarang kau berhubungan dengan orang
semacam itu, apakah itu pantas?"
Tu Liong sengaja menyinggungnya:
"Nona, apakah kau takut pada Pembunuh beralis putih
sampai harus berkata seperti itu?"
"Kalau kau ingin aku mati didalam tangan orang yang
seperti itu, aku tidak akan rela. aku sama sekali tidak takut
padanya. Tu Liong, aku juga ingin menggunakan kesempatan
ini untuk menyampaikan apa yang ada didalam pikiranku..."
"Apa kau tidak pernah merasa takut pada orang lain?" Tu
Liong mewakilkan Thiat-yan meng-ucapkan apa yang mungkin
sedang dipikirkannya. "Betul! kadang-kadang aku menaruh rasa hormat terhadap
musuhku, juga menghargai musuh-musuhku. Tapi bukan saja
aku tidak mungkin merasa takut pada musuh, jujur saja aku
katakan, merasa takut pun tidak ada gunanya"
"Bagaimana pandangan dirimu terhadap Pembunuh beralis
putih?" "Tidak buruk, dia adalah pendekar kelas satu, namun tidak
bisa disejajarkan bersama-sama dengan pendekar kelas atas"
"Mengapa demikian?"
"Karena barang itu sudah pernah dimakan rayap"
Walau bagaimanapun, Tu Liong sangat mengagumi
kemampuan Thiat-yan dalam berbicara, apalagi
kemampuannya mengumpamakan sesuatu dan menggunakan
kata-kata untuk mengisyaratkan apa yang ingin diucapkannya,
dia sangat mahir menggunakannya.
Dia juga sangat berwibawa, dia....dia juga lumayan cantik.
Didalam hati Tu Liong, Thiat-yan sepertinya hanya memiliki
sebuah sisi negatif........sayang dia adalah seorang musuh."
Sungguh suatu hal yang sangat disayangkan.
"Nona" tiba-tiba saja Tu Liong berkata dengan penuh
semangat, "kau tenang saja, aku tidak mungkin menyuruh
orang seperti Pembunuh beralis putih untuk menghadapimu."
"Kalau begitu aku merasa berterimakasih. Bicara terus
terang, aku paling takut kotor, apalagi orang yang kotor
hatinya." Tiba-tiba Tu Liong sadar kalau sekarang dia sudah
kehabisan kata-kata. Kehabisan kata-kata didepan Thiat-yan
sungguh memalukan. Karena itu dia tiba-tiba saja mohon diri,
segera memutar tubuh dan berjalan pergi. Dia tidak tahu
harus bagaimana memaksakan diri terus berada disana.
0-0-0 Tu Liong belum menentukan dimana dia akan menemui
pembunuh beralis putih, namun dia mengerti karakter para
pembunuh semacam ini. Orang seperti itu selalu menjaga
kerahasiaan identitasnya.
Oleh karena itu dia pergi ke kedai teh Tong-ceng tempat
pertama dia bertemu dengan Pembunuh beralis putih.
Ternyata memang benar dia sedang berada disana.
"Kau pasti merasa sangat puas" Pembunuh beralis putih
berkata dengan sombong. "Hasil kerja mu memang sangat memuaskan"
"Ini adalah awal hubungan kerja sama yang sangat bagus"
"Dan ini pun akhir yang bagus"
"Apa arti kata-katamu itu?" sepasang bola mata Pembunuh
beralis putih yang berwarna merah sekarang melotot.
"Ada beberapa urusan yang harus aku kerjakan sendiri" arti
tersirat yang ingin dikatakan oleh Tu Liong sangat jelas.
Pembunuh beralis putih tertegun: "... Apakah kau ingin
mengatakan kalau aku dipecat?"
"Tidak. Kau sudah melakukan pekerjaanmu dengan sangat
baik" "Aku tidak mungkin mengembalikan uang yang sudah kau
berikan, karena aku memiliki hutang. Uang itu sudah aku
berikan pada orang lain."
"Kau tidak perlu mengembalikan uang itu"
"Kau sangat dermawan, tapi aku tidak suka menerima
pemberian orang lain begitu saja. Aku sudah mengambil uang
sewa kontrakmu selama sebulan, tentu saja dalam waktu
sebulan ini kapanpun aku harus mendengar semua
perintahmu." "Kau tidak berhutang apapun padaku. Ini bukanlah sebuah
pemberian tanpa hasil yang sesuai, pekerjaan yang sudah kau
lakukan tadi sudah dibalas setimpal dengan empat ratus uang
barat, apakah ini tidak cukup?"
"Tidak bisa" "Mengapa?" "Aku sudah mengatakan. Aku tidak suka menerima uang
tanpa menghasilkan apa-apa."
"Apakah kau berpikir ingin menggunakan cara ini untuk
mengikatku?" "Terserah kau ingin berpikir apa, dalam waktu sebulan ini
aku pasti akan muncul didekat dirimu, aku akan
mendengarkan semua perintah yang kau berikan"
Tiba-tiba saja tangan kanan Tu Liong melesat bagai petir.
Tangannya segera menyambar pergelangan tangan Pembunuh
beralis putih. Sepertinya dia ingin menguji kemampuan
lawannya. Pembunuh beralis putih sama sekali tidak bergerak, dia
membiarkan pergelangan tangannya di pegang erat-erat. Dia
hanya bertanya pada Tu Liong dengan nada dingin:
"Apa maksudmu melakukan hal ini?"
"Aku hanya ingin mengatakan padamu bahwa apapun yang
bisa kau lakukan, akupun bisa melakukannya"
"Sekarang aku tahu"
"Pembunuh beralis putih, kalau kau melakukan pekerjaan
ini demi mendapatkan uang, kau seharusnya sudah merasa
puas. Tapi kalau kau memiliki niatan yang lain, kau adalah
orang yang benar-benar bodoh.
"Sebenarnya pada dasarnya orang-orang yang melakukan
pekerjaan seperti diriku adalah orang-orang yang bodoh."
Tu Liong melepaskan genggaman tangannya dan segera
berjalan keluar. Kedua alis yang berwarna putih dan sepasang bola mata
berwarna merah darah memburu kedepan:
Walet Besi Karya Cu Yi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Apakah hari ini tidak ada perintah untukku?"
"Sudah tidak ada lagi" Tu Liong menyadari bisa melepaskan
diri sepenuhnya dari Pembtmuh beralis putih adalah pekerjaan
yang sangat sulit. Oleh karena itu dia tidak berkata apa-apa
lagi. "Kalau begitu aku akan menemuimu lagi besok"
Tu Liong pergi meninggalkan kedai teh Tong-ceng dengan
kecepatan penuh. Dia memacu kudanya secepat mungkin.
Sekarang dia sadar pada sesuatu hal lagi.... didalam sebuah
rahasia masih terdapat sebuah rahasia. Dia harus
menenangkan diri dulu untuk menjernihkan pikirannya. Dia
harus menentukan arah tujuan penyelidikan ini. dia tidak
boleh menyeruduk secara serampangan.
Baru saja dia mencapai jalan besar, dia segera bertemu
dengan Wie Kie-hong. Tampaknya Wie Kie-hong baru saja
datang mencari dirinya. Tu Liong segera bertanya:
"Kie-hong, apakah ada masalah?"
"Tu toako, aku sudah menceritakan semuanya pada Leng
Taiya, dia lalu memarahiku habis-habisan. Terlebih lagi...
terlebih lagi...." "Apakah ada sesuatu yang tidak bisa kau katakan padaku?"
"Untuk sementara ini Leng Taiya melarangku berhubungan
denganmu" "Oh" Apakah dia tidak memberitahukan padamu apa alasan
larangannya?" "Dia tidak berkata apa apa"
"Semua orang punya pendirian sendiri, bagaimana
keputusanmu?" "Tu toako, selama ini aku hanya mendengar kan perintah
majikanku....terlebih lagi, rasanya aku pun tidak bisa banyak
membantu dirimu...."
Tu Liong tidak tega menatap Wie Kie-hong yang penuh
rasa sesal, segera dia mengganti topik pembicaraan
"Kie-hong, tadi aku menemui Thiat-yan."
"Dimana?" "Tentu saja dirumah kediamannya"
"Bagaimana penilaianmu terhadap dirinya?"
"Tidak jelek" "Oh...?" Wie Kie-hong tertegun sesaat. Tidak tahu
bagaimana melanjutkan kata-katanya.
"Kie-hong! Kita berdua sama-sama terjepit, di satu sisi,
mereka adalah sesepuh kita. Mereka adalah majikan kita.
Disisi sebelah sana demi membalaskan dendam ayah yang
dicelakai, dia ingin mencari barang peninggalan ayahnya.
Apakah ini adalah hal yang salah?"
"Aku ingin mengutarakan apa yang sedang aku pikirkan.
Asalkan Leng Taiya tidak dilukai lagi, tidak mendapat shock,
segalanya pun tidak aku perdulikan"
"Sebenarnya pendirianmu dengan pendirian ku tidak jauh
berbeda. Asalkan Cu Taiya tidak mendapat celaka, apapun aku
tidak perduli. Masalahnya adalah....... jika Thiat-yan
menemukan barang yang sudah ditinggalkan ayahnya, maka
akan ada orang yang ingin mencelakai dirinya, ini adalah hal
yang sulit dihindarkan."
"Tu toako, waktu ayahku pergi menjalankan perintah Leng
Taiya, setelah pergi dia tidak pernah kembali lagi, belakangan
barulah urusan ini diselidiki, apakah kau sudah tahu tentang
hal ini?" "Sepertinya aku pernah mendengar kau mengatakan hal
ini" "Thiat-yan pernah berkata bahwa dia tahu kejadian yang
sesungguhnya terjadi"
"Apakah dia sudah memberitahumu?"
"Belum" "Kalau dia memang sudah mengetahuinya, mengapa dia
tidak memberitahu padamu?"
"Dia mengajukan sebuah syarat...."
"Sebagai teman baik, aku ingin memberimu sebuah
peringatan, terhadap orang yang memiliki karakter kuat
seperti Thiat-yan, kau tidak boleh kompromi....! Aku bisa
menduga keadaan yang sebenarnya, jangan percaya katakatanya."
"Tu Toako, aku hanya mempercayai dirimu"
Pada waktu Wie Kie-hong mengatakan kata kata ini,
ekspresinya dipenuhi rasa lembut. Wie Kie-hong adalah
seorang laki-laki yang lembut. Terhadap Leng Souw-hiang dan
Tu Liong, yang dipikirnya hal yang baik. Kalau dikatakan
secara normal, karakternya tidak cocok untuk berlatih silat.
Seorang pendekar silat, kadang-kadang perlu kecepatan
dalam membuat keputusan dan kepastian dalam melakukan
tindakan. "Kie-hong, kau pulanglah sekarang. Kau harus
menghormati keputusan yang sudah dibuat oleh majikanmu.
Golok Yanci Pedang Pelangi 4 Pendekar Setia Pendekar Kembar Bagian Ii Karya Gan K L Pasangan Naga Dan Burung Hong 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama