Ceritasilat Novel Online

Geger Dunia Persilatan 1

Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen Bagian 1


"Geger Dunia Persilatan (Hong Lui Tjin Kiu Tjiu)
Judul Asli : Fenglei Zhen Jiuzhou
(Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah)
(Hong Lui Tjin Kiu Tjiu) Karya : Liang Yusheng (Liang I-Shen)
Saduran : Gan KL Denyut kehidupan sembilan wilayah diambang badai
petir, Selaksa kuda bungkam rintihkan getir lewat kebisuan,
Kupohonkan berkat semangat melimpah dari
penguasa langit, Berikut limpahan patriot bijak cendekia tanpa
pembatasan. JILID 1 Guntur menggelegar di puncak Thay-san (pegunungan
Altai), hujan lebat seakan dituangkan dari atas langit,
topan menderu menerbangkan batu pasir, seluruh
puncak gunung seolah-olah tertutup rapat oleh awan
hitam tebal. Setitik cahaya subuh yang baru muncul di
ufuk timur juga lenyap tertelan oleh awan gelap.
Tapi di tengah hujan badai itu terdengarlah suara
senandung seorang laki-laki tegap berewok dan
bermantel. Menggelegarnya guntur yang gemuruh itu
ternyata tidak dapat melenyapkan suara orang laki-laki
yang keras itu. Di bawah gemuruh suara geledek dan kilat yang
berkelebat memecah lapisan awan menyinari bumi itu,
tiba-tiba tertampak ada sesosok bayangan seorang lain
lagi yang sedang menyongsong ke arah si lelaki berewok
tadi sambil berseru memuji, "Syair bagus! Siau-toako,
tampaknya engkau riang benar!"
Berkelebatnya sinar kilat hanya dalam sekejap saja
sudah lenyap, namun wajah pendatang itupun sudah
tertampak jelas, dia seorang pemuda yang tampan,
berdandan sebagai kaum terpelajar.
"Aha, kau pun sudah datang, saudara Yap," sahut si
berewok dengan tertawa. "Maksud kita ingin melihat
matahari terbit di puncak gunung Thay-san ini, tapi
matahari terbit tidak kelihatan, sebaliknya kita sudah
basah kuyup mirip ayam tercemplung kali."
Kiranya laki-laki berewok itu bernama Siau Ci-wan,
seorang murid Jing-sia-pay dari keluarga partikelir yang
bercita-cita tinggi dan suka mengembara untuk mencari
kawan yang sepaham. Sebaliknya si pelajar yang bernama Yap Leng-hong itu
adalah kawannya yang baru dikenalnya. Walaupun
kenalan baru, tapi rupanya mereka mempunyai
kecocokan satu sama lain sehingga persahabatan mereka
sudah hampir mirip saudara sekandung saja. Mereka
mengembara bersama dan berjanji akan melihat
matahari terbit dari puncak Thay-san yang terkenal indah
itu. Tak terduga sebelum fajar tiba mereka sudah
tersiram dulu oleh air hujan yang lebat.
Sambil berteduh di bawah pohon Siong yang rindang,
kedua orang saling menjabat tangan dengan tertawa.
Kata Yap Leng-hong, "Siau-toako, kiranya bukan melulu
ilmu silatmu sangat hebat, bahkan kau pun pandai
bersyair." "Ah, mana aku pandai bersyair?" sahut Ci-wan. "Syair
yang kudendangkan tadi hanya kupetik dari gubahan
penyair Kiong Ting-am yang patriotik itu."
Sementara itu cuaca juga sudah berubah, hujan angin
tadi sudah lenyap, udara mulai terang, sang surya yang
baru muncul laksana bola bara raksasa telah mulai
memancarkan cahaya yang gilang-gemilang dari ufuk
timur. "Inilah matahari terbit yang indah, walaupun sudah
agak kasip," ujar Siau Ci-wan dengan tertawa.
Sebaliknya Yap Leng-hong tampak termenungmenung
saja, bahkan mendadak menghela napas.
"Sebab apakah mendadak Yap-hiante menghela
napas?" tanya Ci-wan dengan heran.
"Ya, suasana yang tenang indah ini tiba-tiba
mengingatkan padaku akan nasib tanah air kita yang
terjajah selama ratusan tahun ini," sahut Leng hong.
"Selama ini entah berapa banyak patriot-patriot yang
telah berkorban dalam perjuangan mereka mengusir
penjajah Boan-jing keluar dari negeri kita ini Akan tetapi
sudah turun temurun dari Kaisar-kaisar Sun-ti, Khong-hi
Yong-cing dan Kian-liong, selama ratusan tahun ini
pondasi pemerintahan sudah sangat kukuh, berbareng
penindasan mereka kepada bangsa Han kita juga
semakin kejam di samping politiknya memecah belah
serta penyuapan sehingga tidak sedikit pahlawan
pahlawan yang telah terperosot ke dalam perangkap
mereka, hal ini telah banyak mematahkan semangat
perjuangan bangsa kita, rakyat jelata hanya bisa
mengeluh belaka dan tak dapat berbuat apa-apa. Semua
ini apakah tidak cukup membuat kita kesal dan menghela
napas?" "Uraian Hiante juga tidak betul seluruhnya," ujar Ciwan.
"Lihatlah hujan topan tadi. Sebelum hujan suasana
tenang-tenang belaka, tapi sesudah hujan topan, segala
kotoran di muka bumi ini tersiram bersih, tetumbuhan
bertambah segar, semangat hidup berkobar-kobar."
"Namun demikian, entah bilakah akan datangnya
hujan topan sebagai tadi untuk menyapu bersih segala
kelaliman di dunia ini?" kata Leng-hong. "Pula kalau kita
bicara tentang manusianya, karena kita adalah orang
persilatan, maka biarlah kita bicara tentang tokoh
persilatan saja. Pada ratusan tahun yang lalu pernah
muncul seorang pendekar besar Leng Bwe-hong yang
tersohor di daerah perbatasan dan mengguncangkan
pemerintah Boan, 50 tahun yang lalu terjadi pula
pendekar wanita Lu Si-nio yang menyelundup ke dalam
istana dan memenggal kepala kaisar Yong-cing. Pada 20
tahun yang lalu juga terdapat pendekar besar Kim Si-ih
yang namanya menggetarkan pihak musuh, sesudah
pertarungan sengit di atas Bin-san, sampai sekarang
kawanan bayangkara kerajaan Boan tidak berani muncul
lagi di dunia Kangouw. Namun sekarang para pahlawan
angkatan tua itu sudah wafat atau sudah tua, semangat
juang mereka sudah lenyap, teringat demikian ini apakah
kita tidak terharu" Untunglah selama berkelana dan
mencari sahabat, dapatlah aku berkenalan dengan Siautoako,
tapi lebih dari itu tiada seorang pun pahlawan
atau ksatria sejati yang pernah kutemukan."
"Meski ksatria angkatan tua sudah sama wafat atau
sudah tua, tapi hal ini tidak berarti tiada lagi tunas muda
yang akan meneruskan perjuangan mereka. Maka
hendaklah Hiante tidak perlu gegetun," kata Ci-wan.
"Tapi sayang pengalamanku masih terlalu jelek,
sekalipun di dunia ini masih banyak ksatria-ksatria sejati,
toh tiada yang kukenal," demikian kata Leng-hong.
"Toako, engkau adalah keturunan keluarga ternama dan
murid dari golongan termuka, pergaulanmu juga sangat
luas, tentu dalam pandanganmu ada banyak tokoh-tokoh
ksatria yang berharga untuk menjadi sahabat atau guru
kita." Ci-wan merenung sejenak, akhirnya berkata, "Aku pun
tidak dapat dikatakan luas bergaul. Tapi sesungguhnya
perjalananku ini ada maksud untuk mengunjungi seorang
Tayhiap (pendekar besar). Meski paling akhir ini Tayhiap
ini telah mengundurkan diri dari khalayak ramai dan tiada
melakukan sesuatu yang menggemparkan, tapi beliau
tetap terhitung seorang ksatria sejati pada masa kini."
"Siapakah beliau?" tanya Leng-hong.
"Beliau adalah ahli-waris pendekar besar Kim Si-ih
yang baru saja kau sebut tadi, yaitu Kang Hay-thian,
suaminya Kok Tiong-lian, Ciangbunjin dari Bin-san-pay."
"O, apakah Toako sudah kenal baik padanya?"
"Aku dan keluarga Kang ada sedikit hubungan
kekeluargaan," tutur Ci-wan. "Kalau diurutkan, Kangtayhiap
masih terhitung saudara sanakku, cuma saja
kami belum pernah bertemu muka. Memang sudah lama
ayahku menyuruh aku pergi berkunjung kepadanya, tapi
karena beliau jarang tingggal di rumah dan kabarnya
akhir-akhir ini baru saja pulang dari daerah perbatasan."
Kiranya kakek Siau Ci-wan ini adalah tokoh kawakan
dari Jing-sia-pay yang bernama Siau Jing-hong. Siau
Jing-hong boleh dikata adalah guru pertama Kang Lam,
ayah Kang Hay-thian. Maka dari itu kalau dihitung, Siau
Ci-wan adalah satu angkatan dengan Kang Hay-thian.
Namun Ci-wan lantas berkata pula, "Kang-tayhiap itu
sekarang sudah berusia empat puluhan, beliau telah
terkenal sejak masih muda belia, maka sekali-kali aku
tidak berani mengaku sesama derajat dengan beliau."
"Dimanakah kediaman Kang-tayhiap?" tanya Leng
hong. "Di Nyo-keh-ceng, terletak di kabupaten Tong-pengkoan
dalam propinsi Soatang, kira-kira tiga ratus li di
sebelah timur Thay-san ini," sahut Ci-wan.
Kiranya nenek-luar Kang Hay-thian adalah putri
tunggal Nyo - Tiong-eng, tokoh persilatan yang paling
terkemuka kelima propinsi di daerah utara, namanya Nyo
Liu-jing dan bersuamikan Tje Sik-kiu, dari perkawinan
mereka itu hanya mendapat keturunan seorang putri
yang kemudian menikah dengan Kang Lam, ayah Kang
Hay-thian. Kang Lam semula adalah seorang kacung yang tidak
diketahui asal-usulnya, maka dia ikut sang istri tinggal di
rumah keluarga Nyo ini, istri Hay-thian, Kok Tiong-lian,
adalah ketua Bin-san-pay. Karena dia sudah menikah,
maka dia jarang tinggal di atas Bin-san, hanya kalau ada
upacara dan hari raya tertentu barulah dia datang ke Binsan
untuk menerima laporan-laporan dari para murid Binsanpay. Adapun urusan sehari-hari mengenai Bin-sanpay
telah diserahkan kepada paman gurunya, yaitu Cia
In-cin, istri almarhum Tiat-koay-sian (cerita tentang Nyo
Tiong-eng, Tje Sik-kiu, Lu Si-nio, Kim Si-ih dan lain-lain
silakan membaca Tiga Dara Pendekar/Kang Ouw Sam Li
Hiap dan Bidadari Sungai Es/Peng Tjhoan Thian Li, sudah
terbit). Begitulah sesudah mendengar uraian ringkas Siau Ciwan
itu, tiba-tiba Leng-hong berkata, "Siau-toako, ada
sesuatu permohonanku, entah Toako suka membantu
atau tidak?" "Hubungan kita bagaikan saudara sekandung, kenapa
main sungkan-sungkan segala, ada urusan apa silakan
bicara saja," sahut Ci-wan.
"Tentang Kang-tayhiap itu memang sudah lama aku
mendengar namanya, cuma sayang aku tiada sempat
mengenal ksatria sejati bagai beliau itu. Sekarang
kebetulan Toako adalah sanak-kadangnya, maka Siaute
(adik) ingin ikut kau berkunjung padanya, entah Toako
suka meluluskan atau tidak?"
Permohonan Yap Leng-hong memang sudah dalam
dugaan Siau Ci-wan, maka dengan ikhlas ia lantas
menyanggupi, katanya, "Baiklah. Walaupun aku belum
pernah bertemu dengan Kang-tayhiap, tapi aku
mengetahui beliau sangat suka kepada kaum muda yang
bercita-cita luhur, maka beliau tentu suka menemui kau.
Marilah kau ikut saja padaku."
Leng-hong sangat girang, katanya, "Pagi yang cerah
ini sangat cocok untuk meneruskan perjalanan, marilah
sekarang juga kita berangkat saja."
Giok-hong-teng (puncak batara Guru) adalah puncak
tertinggi pegunungan Thay-san dimana mereka
menikmati matahari terbit. Baru saja mereka hendak
turun ke bawah, tiba-tiba terdengar suara suitan yang
amat panjang, suara suitan melengking tajam.
Ci-wan terkejut, pikirnya, "Siapakah orang ini"
Sedemikian hebat tenaga dalamnya!"
Belum hilang rasa kejutnya, sekonyong-konyong
terdengar pula suara-suara suitan tajam susul menyusul
dari empat penjuru. Lwekang Siau Ci-wan adalah dari
golongan silat asli Jing-sia-pay, namun anak telingganya
toh sampai mendaiging-denging karena suitan-suitan
yang tajam mengerikan itu.
Didengar dari suara-suara suitan itu, agaknya
kekuatan kelima orang itu sembabat, masing-masing
mempunyai kesaktian sendiri-sendiri dan susah
ditentukan mana yang lebih unggul atau asor.
Lenyapnya keempat suitan panjang tadi segera disusul
dengan suara seruan semang yang lantang, "Kalian
benar-benar orang yang dapat dipercaya dan telah
datang seluruhnya. Orang she Lim telah menantikan
kedatangan kalian di atas Giok-hong-teng ini."
Bayangan orang yang bicara itu tidak nampak, tapi
Siau Ci-wan merasa suara orang itu seakan-akan
mendengung di tepi telinganya. Keruan ia terkejut, cepat
ia membisiki Yap Leng-hong, "Agaknya ada orang yang
bermusuhan hendak mengadakan pertarungan
penyelesaian di sini, persoalan demikian adalah paling
pantang diketahui oleh orang luar yang tak
bersangkutan. Namun untuk menyingkir juga sudah
terlambat, lebih baik kita lekas bersembunyi saja."
Dan baru saja mereka berdua bersembunyi di
belakang sebuah baru cadas yang besar, terlihatlah dua
orang yang tak dikenal telah datang ke tempat dimana
mereka berdiri tadi. Seorang di antaranya memakai
mantel berkerudung kepala sehingga sebagian mukanya
teraling-aling dan wajahnya kurang jelas. Tapi dari
potongan rubuhnya dapat diduga adalah seorang laki-laki
setengah umur. Adapun seorang lainnya adalah satu
bocah yang berumur 11 atau 12 tahun.
"Ayah, izinkanlah aku membantu engkau," demikian
terdengar anak kecil itu berkata. "Aku sudah mahir Kiukongpoh-hoat (langkah cepat menurut Kiu-kong), pula


Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ngo-hou-toan-bun-to (ilmu golok panca harimau) juga
sudah kulatih dengan masak."
Namun si lelaki menghela napas, sahutnya, "Nak,
apakah kau sangka ini permainan menarik" Ketahuilah
bahwa musuh-musuh yang datang ini semuanya sangat
lihai. Sebentar bila mereka sudah tiba semua, begitu aku
bergebrak dengan mereka, maka selekasnya kau harus
pergi. Di Nyo-keh-ceng kabupaten Tong-peng-koan
tinggal seorang ksatria besar bernama Kang Hay-thian,
kita bukan sanak-kadangnya, tapi aku percaya beliau
akan melindungi kau, maka bolehlah kau mengungsi ke
sana." Diam-diam Ci-wan membatin, "Kang-tayhiap benarbenar
seorang ksatria sejati. Orang ini mengaku tidak
pernah kenal Kang-tayhiap, tapi toh sedemikian
mempercayai beliau. Dia suruh anaknya mengungsi ke
tempat Kang-tayhiap, ini menandakan dia sendiri juga
bukan orang jahat." Namun demikian Ci-wan masih tetap sangsi. Jika
orang itu sudah tahu susah melawan musuh sehingga si
anak disuruh melarikan diri, lalu apa sebabnya dia
membawa anaknya untuk memenuhi janji pertarungan
sengit ini" Sebaliknya sebabnya dia minta si anak
melarikan diri bilamana musuh-musuhnya sudah tiba
semua, hal ini mudah dipahami, yakni bila sekarang juga
si anak melarikan diri tentu akan kepergok musuh yang
sudah mengepung dari berbagai penjuru itu, tapi kalau
musuh-musuh itu sudah tiba semua dan mulai
bergebrak, tentu bocah itu akan gampang untuk lolos.
Namun seorang anak sekecil itu apakah dapat melarikan
diri, harapan inipun mungkin sangat tipis.
Demikian selagi Ci-wan menyangsikan kelakuan si
lelaki dan menguatirkan si bocah, tiba-tiba terdengar
anak kecil itu sudah berkata, "Tidak, ayah, sekali-kali aku
takkan lari. Ayah adalah seorang ksatria, maka aku pun
ingin menjadi seorang pahlawan."
Mendadak si lelaki menarik muka.
Melihat itu si anak menyangka ayahnya tidak
mengetahui permintaannya, cepat ia menambahkan lagi,
"Ayah, aku takkan menyalahkan kau, selamanya juga aku
takkan menyalahkan kau. Janganlah kau kira aku tidak
paham apa-apa, aku cukup paham untuk apa engkau
berbuat demikian. Ayah, pendek kata, mati atau hidup
kita akan bersama, pula kita toh belum tentu akan
dikalahkan musuh." Ci-wan tambah heran dan bingung mendengar ucapan
si anak, masakah terhadap sang ayah, ada soal
"menyalahkan" segala" Namun demikian, meski dia tidak
paham apa yang dimaksudkan dalam ucapan si anak, ia
merasa bocah ini terang adalah bocah yang sangat
pintar. Si lelaki agaknya melengak juga karena perkataan si
anak tadi, tiba-tiba ia bergelak tertawa dan berkata,
"Hahahaha! Bagus, bagus ayah ksatria dan anak
pahlawan, kata-kata yang sangat bagus! Baiklah, sarang
yang terbalik tentu tak ada telur yang utuh, biarlah aku
meluluskan permintaanmu. Semoga mendiang ibumu
akan dapat memaafkan daku."
"Sssst, jangan bersuara lagi, musuh sudah datang."
Benar juga, hampir pada saat yang sama dari empat
penjuru telah muncul empat orang musuh. Yang datang
dari sebelah timur adalah seorang Hwesio, dari arah
barat datang seorang Tosu, dari selatan adalah seorang
Busu (jago tempur pemerintah) berbaju hitam,
sedangkan yang datang dari jurusan utara adalah
seorang laki-laki yang bermuka bengis, mukanya penuh
daging-daging lebih. Di antara keempat pendatang ini
hanya laki-laki bengis inilah yang dikenal Siau Ci-wan,
namanya Peng-hong, seorang bandit besar dan terkenal
di dunia Kangouw. Setiba di atas Giok-hong-teng, keempat orang itu
masih tetap berada dalam posisi mengepung. Segera
Hwesio dan Tosu berseru berbareng, "Lim-thocu benarbenar
sangat berani. Tapi karena sekaligus kau telah
berjanji dengan kami berempat, maka hendaklah
maafkan bila kami pun tidak dapat mentaati peraturan
Kangouw lagi. Hari ini kami hanya bertindak atas
perintah dan terpaksa harus membunuh kau. Sesudah
mati tentu kami akan memanjatkan doa bagimu agar
arwahmu tidak gentayangan tak keruan tempat."
"Hahaha!" si lelaki berewok tertawa. "Jika mati, tentu
aku akan naik ke surga, sebaliknya kalian mengaku
beribadat, tapi perbuatan kalian sewenang-wenang,
kalau mati tentu akan masuk ke neraka."
"Hm, tidak perlu banyak bicara lagi," jengek si Busu
baju hitam. "Jadi kau sudah pasti tidak mau menyerah"
Apakah kau tidak merasa kasihan kepada anakmu ini?"
"Bandit anjing!" mendadak si bocah mendamprat
dengan mata melotot. "Ayolah maju sini. Biarpun mati
juga aku tidak sudi minta ampun padamu, siapa ingin
belas kasihanmu." "Hehe, keras juga tulang anak ini," kata si Busu
dengan menyeringai. "Baiklah, biar kami memenuhi citacita
kalian ayah dan anak. Babat rumput harus seakarakarnya!"
Begitu komando "babat rumput harus seakar-akarnya"
diberikan, serentak si Hwesio mengangat tongkatnya dan
si Tosu mencabut pedangnya, dengan cepat mereka
mengambil tempat yang menguntungkan dan mendesak
maju siap menggempur si lelaki berewok.
Sebaliknya si bandit Peng Hong tetap diam berdiri di
tempatnya, mendadak ia berseru, "Nanti dulu!"
Si Hwesio dan Tosu melengak serta menghentikan
langkah, tanya mereka, "Peng-toako tidak mau
melabraknya, sekarang ingin tunggu kapan lagi?"
Namun Peng Hong tidak menjawab, tiba-tiba ia
melangkah maju dua tindak sambil membentak, "Siapa
kau sebenarnya?" Busu tadi ikut terkejut, serunya, "Ha, apakah orang ini
bukan Lim Jing?" Belum lenyap suaranya, si berewok sudah membuka
mantelnya, katanya dengan bergelak tertawa, "Hahaha,
baru sekarang kalian tahu, ya" Lim-thocu sudah terang
tak dapat kalian ketemukan lagi, lebih baik aku orang she
Li ini main-main beberapa jurus saja dengan kalian."
Perubahan secara mendadak ini bukan saja membikin
pihak Peng Hong berempat terkejut, bahkan Siau Ci-wan
yang bersembunyi di balik batu itupun terperanjat.
Kiranya di dunia Kangouw terdapat sebuah
perkumpulan rahasia yang bernama "Thian-li-hwe",
sebuah organisasi yang bekerja di bawah tanah untuk
melawan kerajaan Boan. Lim Jing yang disebut-sebut itu
adalah pemimpin nomor dua organisasi itu.
Walaupun Ci-wan tidak kenal orangnya, tapi sudah
lama nama Lim Jing didengarnya, bahkan adalah tokoh
yang sangat dikaguminya. Ia berpikir, "Melihat
gelagatnya, beberapa orang itu tentu adalah antek-antek
pemerintah Boan. Mereka telah menguber-uber Lim Jing,
apakah barangkali markas besar Thian-li-hwe telah
terbongkar oleh mereka. Lelaki yang mengaku she Li ini
sungguh sangat mengagumkan sikap kejantanannya."
Dalam pada itu terdengar si Hwesio dan si Tosu telah
berseru terkejut berbareng, "Ha, kau adalah Li Bun-sing!"
"Benar, hal ini tentu sangat di luar dugaan kalian,
bukan?" sahut Li Bun-sing dengan tertawa. "Dan aku pun
tidak menyangka kalian berdua ini, Hek-bok Taysu,
paderi agung dari Jian-hu-si dan Pek-tiu Totiang,
pemimpin Ban-biau-koan, ternyata semuanya telah rela
menjadi anjing pemburu kerajaan Boan-jing."
Siau Ci-wan tidak kenal siapakah Li Bun-sing itu, tapi
nama Hek-bok Taysu dan Pek-tiu Totiang adalah dua
tokoh terkenal yang dikenalnya. Jika tokoh-tokoh seperti
Hek-bok dan Pek-tiu sampai terkejut demi mengenali Li
Bun-sing, maka dapat diduga Li Bun-sing tentu juga
bukan orang sembarangan. Peng Hong yang pertama-tama mengenali suara Li
Bun-sing itu masih coba membujuk, "Li-toako, buat apa
engkau bersusah payah menanggung resiko buat orang
lain?" Tapi "sret", mendadak Li Bun-sing membentak sambil
mencabut goloknya terus membacok ke arah Peng Hong,
dampratnya, "Orang she Peng, kau telah merusak setia
kawan kaum Lok-lim dan rela menjadi budak kaum
penjajah, hidup seperti dirimu adalah lebih baik mati
saja, masakah kau masih ada muka bertemu dengan
aku!" Sebagai bandit yang tersohor di daerah utara dengan
sendirinya ilmu silat Peng Hong tidaklah lemah. Justru
pada saat sinar golok Li Bun-sing menyambar tiba,
secepat kilat ia pun sudah mencabut senjata yang
berbentuk sepasang Boan-koan-pit (senjata tajam bentuk
potlot). "Jreng", ia tangkiskan potlot baja sebelah kiri
atas bacokan golok lawan sehingga lelatu meletik,
berbareng potlot sebelah kanan dengan cepat menusuk
dari samping, sekaligus ia incar tujuh tempat Hiat-to
berbahaya di tubuh Li Bun-sing.
Tak terduga permainan golok Li Bun-sing terlebih
cepat daripadanya, ketika'golok Kui-thau-to (golok
berkepala setan) terbentur potlot baja lawan, dengan
daya pental itu segera ia mengayun goloknya ke samping
sehingga tepat potlot baja sebelah kanan Peng Hong
kena disampuk pergi, menyusul secepat kilat goloknya
lantas menabas lagi. Kalau Peng Hong berani mengambil resiko, jika ia
mendesak maju dan menyerang pula dengan potlotnya,
maka Li Bun-sing pasti akan kena terserang olehnya.
Tapi bacokan Li Bun-sing itu sedikitnya juga akan
membikin sebelah lengan Peng Hong terkurung mentahmentah.
Biarpun bandit yang biasanya membunuh orang
dengan tak berkedip, tapi pada saat-saat antara mati dan
hidup itu Peng Hong toh tidak berani mengadu jiwa
dengan Li Bun-sing. Terdengarkan suara mendering yang nyaring. Peng
Hong telah menggunakan potlot bajanya untuk menahan
tabasan Li Bun-sing itu sampai tergetar mundur
beberapa tindak, hampir-hampir saja jatuh terjerembab.
Li Bun-sing juga tidak mendesak lebih jauh, tapi ia
lantas melompat ke samping, dimana sinar goloknya
berkelebat, kembali ia sudah bergebrak dengan Pek-tiu
Tojin yang sedang menyerang dari samping.
Pek-tiu Totiang adalah ahli-waris Ban-biau Cinjin dari
Ban-biau-koan di Sohciu, ilmu pedangnya sangat lihai.
Begitu maju segera menusuk perut Li Bun-sing dengan
tipu 'Ki-hwe-liau-thian' (mengangkat obor menerangi
langit). Namun dengan cepat sekali Li Bun-sing telah
memelompat, kedua kakinya menendang susul menyusul
dengan cepat. Sambil memiringkan tubuhnya segera Pektiu
memutar kembali pedangnya untuk menabas lutut Li
Bun-sing. "Bagus!" seru Li Bun-sing sambil berputar tubuh
menghindari tabasan lawan, menyusul goloknya bekerja
dengan cepat, terdengarlah suara "crang-cring", suara
menderingnya golok dan pedang berbenturan, dalam
sekejap saja Li Bun-sing telah melontarkan 6 x 6 = 36
kali serangan dengan cepat luar biasa.
Di tengah berkelebatnya sinar golok dan pedang itu
mendadak terdengar suara jerit kaget Pek-tiu Tojin,
orangnya terus melompat mundur dua-tiga meter
jauhnya. Kiranya rambut yang terikat di atas kepalanya
telah kena dipapas oleh Li Bu-sing sehingga rambut
bertebaran, untung dia sempat berkelit, kalau tidak,
mungkin separoh kepalanya sudah terpapas.
Serangan kilat 36 kali itu baru saja selesai dilontarkan
oleh Li Bun-sing, pada saat itulah si Hwesio pun sudah
memburu tiba. "Baik, sekarang kubelajar kenal dengan Hong-motianghoat Hek-bok Taysu!" bentak Li Bun-sing.
"Hek-bok Taysu adalah ahli Gwakang, yaitu
mengutamakan tenaga luar. beeitu tongkat paderinya
berputar, biarpun air hujan juga tak dapat menembus.
Segera Li Bun-sing berganti siasat, ia keluarkan Yusinpat-kwa-to-hoat, yaitu permainan golok dengan
berganti tempat kian-kemari, dalam sekejap saja kedua
orang telah saling bergebrak lebih 20 jurus dan sama
kuat. Si bocah cilik yang sejak tadi hanya menonton saja di
samping, mendadak mendekat ke belakang Hek-bok
Taysu, terus melolos golok dan menusuk kaki kanan
paderi itu. "Hehe, setan cilik ini juga berani main gila, mengingat
keberanianmu ini, biarlah jiwamu kuampuni," ujar si Busu
baju hitam dengan tertawa. Dan sebelum dia memburu
maju, lebih dulu senjata cambuknya yang panjang sudah
lantas menyabet ke arah si bocah dengan maksud
menangkap anak itu hidup-hidup.
"Awas, anak He!" seru Li Bun-sing.
Belum lenyap suaranya, sekonyong-konyong sebelah
kaki Hek-bok Taysu telah mendepak ke belakang.
Sebagai seorang jago silat kelas wahid, sudah tentu
panca indranya teramat tajam, mana dia kena disergap
oleh seorang anak kecil"
Depakan Hek-bok Taysu itu dengan tepat mengarah
dada si anak sehingga merupakan serangan yang sangat
ganas dan berbahaya. Bocah itu baru berusia 11-12
tahun, pertumbuhan tulangnya belum sekeras orang
dewasa, kalau kena depakan itu tentu jiwanya bisa
melayang. Pada detik yang mendebarkan itu, Siau Ci-wan yang
bersembunyi di balik batu itu sampai hampir-hampir
berteriak, baru saja ia bermaksud memburu keluar, di


Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

luar dugaan keadaan di tengah kalangan pertempuran
sudah berubah mendadak. Bocah itu ternyata sangat cerdik, pada saat jiwanya
terancam itu, sekonyong-konyong ia mendak ke bawah
terus menerobos lewat melalui selangkangan Hek-bok
Taysu. Betapapun lihainya Hek-bok Taysu juga sekali-kali tak
tersangka olehnya akan perbuatan anak kecil itu, keruan
ia kaget. Lebih celaka lagi si bocah tidak hanya
menerobos lewat saja, bahkan goloknya ikut bekerja
sehingga betis Hek-bok tertusuk.
Walaupun usia bocah itu masih sangat muda dan
tenaganya kecil, namun dimana terkena goloknya juga
kontan lantas terluka dan sebuah urat sampai terputus.
Saking kesakitan sampai Hek-bok berjingkrak-jingkrak
terus roboh ke belakang. Pada saat itu cambuk si Busu tadi sedang menyabet,
maksudnya hendak meringkus si bocah dari jarak jauh,
tak terduga mendadak si bocah menerobos pergi melalui
selakangan Hek-bok Taysu, sebaliknya Hek-bok yang
roboh terjengkang dan kebetulan ujung cambuknya
sudah menyambar tiba sehingga tepat melilit kaki Hekbok
yang terluka itu. Karena kakinya terlibat oleh cambuk sehingga Hek-bok
tertahan dan tidak jadi roboh, ia menjadi malu dan
gusar, ia mendamprat, "Apa kau buta, kawan sendiri
diserang?" Wajah si Busu menjadi merah, ia kendorkan
cambuknya, segera ia menyabet pula ke arah si bocah,
serangan ini sudah tidak kenal ampun lagi, yang diincar
adalah leher anak kecil itu, yaitu jurus yang disebut 'Sokanpian' (cambuk pencekik leher).
Hek-bok Taysu juga tidak kurang murkanya, dengan
menahan kakinya yang sakit, mendadak ia gunakan
tongkatnya untuk menahan di atas tanah, tubuhnya
lantas melayang ke udara, bagaikan elang menyambar
kelinci, dari atas tongkatnya terus mengemplang batok
kepala si bocah. Melihat itu, Li Bun-sing menjadi gusar, bentaknya,
"Bandit terkutuk, terhadap seorang anak kecil juga
sekejam itu, dasar binatang!" Bersamaan tangannya
lantas memukul dari jauh, dengan tenaga pukulannya si
bocah didorongnya ke samping sehingga terhindar dari
serangan cambuk dan tongkat musuh.
Karena menyingkirnya si bocah, Li Bun-sing berbalik
menjadi sasaran kemplangan tongkat Hek-bok Taysu,
serangan itu jatuh dari atas ditambah tenaga Hek-bok
yang memang sangat hebat, maka dahsyatnya tak
terkatakan. Cepat Bun-sing melintangkan goloknya untuk
menangkis. "Trang", karena tenaga benturan senjata itu
Li Bun-sing lantas sekalian memelompat ke samping,
sinar golok berkelebat, kontan ia tabas si Busu.
Dengan gugup si Busu berkelit, cambuknya bekerja,
"sret-sret-sret", dengan gerakan 'Hwe-hong-sau-yap'
(angin lesus menyapu daun), secara berantai ia
menyabet beberapa kali. Namun dengan gesit Li Bunsing
dapat memelompat dan menghindar. Sekali Busu itu
memutar cambuknya, dalam jarak tiga meteran
tertampak bayangan cambuk melulu sehingga Li Bunsing
susah mendekatinya, sebaliknya cambuknya juga
tak dapat menyentuh tubuh Bun-sing.
Kiranya Busu baju hitam ini adalah jago pilihan
kerajaan Boan-jing, tampak kepandaiannya sekali-kali
tidak di bawah Pek-tiu, Hek-bok dan Peng Hong.
Sekonyong-konyong sebelah tangan Li Bun-sing ikut
bermain di samping goloknya, ketika ujung cambuk
menyambar tiba, ujung cambuk dapat ditahan olehnya,
bersamaan goloknya lantas menabas ke depan
menyerempet batang cambuk panjang musuh dalam tipu
'Sun-cui-tui-ciu' (mendorong perahu menurut arus). Tipu
serangan ini sangat berbahaya, karena tak mendugaduga,
seketika permainan cambuk si Busu menjadi
kacau. Namun Busu itu memang bukan jago sembarangan,
dalam keadaan berbahaya ia pun tidak bingung, cepat ia
menyendal cambuknya sehingga berwujud sebuah
lingkaran untuk bertahan sambil menyerang bila perlu, ia
pasang sebuah jiratan, asal golok Bun-sing menabas tiba,
segera ia menarik kencang cambuknya untuk merampas
golok lawan itu. Tapi Li Bun-sing tidak mau terlibat lebih lama dengan
Busu itu, tujuannya hanya untuk mematahkan permainan
cambuk lawan untuk melepaskan diri, segera ia putar
kembali goloknya dan secepat terbang melayang ke
samping, sekali ini yang dijegat adalah Peng Hong yang
sedang menguber si anak kecil tadi.
"Kalau mau menangkap maling harus tangkap dulu
gembongnya, ayolah yang tua ini dibekuk dahulu saja,"
seru Peng Hong. "Baik, biar kubelajar kenal pula dengan ilmu golok Lithocu,"
kata Pek-tiu Tojin. Pek-tiu Tojin sebenarnya adalah orang golongan Cingpay,
golongan orang baik-baik, walaupun ia telah dapat
dibeli kerajaan Boan, tapi sedikit banyak ia masih
mempunyai rasa malu, ia tidak ingin mempersulit
seorang bocah cilik, pula tadi dia telah kalah satu jurus,
ia merasa penasaran, maka ingin bertanding pula dengan
Li Bun-sing, walaupun menang dengan mengeroyok
bukan perbuatan yang terpuji, tapi ia tidak
memikirkannya lagi, pokoknya asal dapat merobohkan
dan meringkus Li Bun-sing.
Sebaliknya Hek-bok Taysu yang kakinya dilukai si anak
tadi, kejadian ini merupakan kekalahan yang memalukan
selama hidupnya, dalam gusarnya ia masih terus
mengudak bocah itu. Tapi karena sebelah kakinya
terluka, jalannya jadi pincang sehingga susah menyusul
bocah yang lincah dan cerdik itu.
"Hek-bok Taysu, buat apa mengurusi seorang anak
kecil?" ujar si Busu baju hitam dengan tertawa. "Lebih
baik kita mengincar peran utamanya saja."
Diam-diam Hek-bok sangat mendongkol, "Hm, yang
suruh babat rumput harus seakar-akarnya adalah kau,
sekarang kau sok ksatria, pura-pura bermurah hati,
semuanya ini apa bukan lantaran tadi aku telah memaki
kau, maka sekarang kau sengaja main kuasa dan
memberi perintah kepadaku?"
Walaupun demikian pikirnya, tapi karena Busu baju
hitam ini memang pemimpin rombongan mereka, pula ia
pun tidak sanggup membekuk anak kecil itu, lagi pula ia
pun perlu menjaga harga dirinya. Maka biarpun dalam
hati sangat mendongkol terpaksa ia tunduk kepada
perintah Busu itu, ia berputar balik untuk membantu
Peng Hong dan Pek-tiu Tojin mengeroyok Li Bun-sing.
Saat itu Bun-sing sudah terlibat dalam kerubutan
sepasang Boan-koan-pit Peng Hong dan pedang Pek-tiu
Tojin sehingga susah melepaskan diri, meski Ginkangnya
sangat tinggi juga susah dikeluarkan. Sekarang ditambah
lagi seorang Hek-bok Taysu, keruan Bun-sing bertambah
payah, namun sedikitpun ia tidak gentar dan pantang
mundur. Pertarungan sengit itu membuat Siau Ci-wan yang
mengintip di tempat persembunyian itu berdebar-debar.
Ia merasa ilmu silat setiap orang yang ikut bertempur itu
jauh lebih tinggi daripada dirinya, ada maksudnya
hendak keluar untuk membantu, tapi kuatir
kepandaiannya yang rendah itu tidak dapat meringankan
Li Bun-sing, sebaliknya akan merepotkan malah. Tibatiba
terpikir olehnya, "Sekarang mereka telah
membiarkan anak kecil itu, lebih baik aku
menyelamatkan bocah itu dengan membawanya lari saja
untuk menjaga keturunan keluarga Li. Tapi bocah itu
tampaknya sangat keras kepala, entah dia mau menurut
kepada perkataanku atau tidak?"
Belum selesai ia berpikir, tiba-tiba tampak si Busu
telah mengayun cambuknya untuk merintangi si bocah.
"Anak He, lekas lari!" seru Li Bun-sing.
Namun sudah terlambat, cambuk panjang si Busu
yang berputar-putar di udara bagai ular hidup itu sudah
membayangi si bocah, kemana pun dia hendak
menerobos senjata lincah toh selalu tak terlepas dari
ancaman cambuk. "Tar, tarr!", cambuk berbunyi beberapa kali disertai
robekan baju si bocah yang bertebaran, tampaknya anak
itu pasti akan babak-belur di bawah hajaran cambuk itu.
Li Bun-sing menjadi gusar dan kuatir. sekonyongkonyong
ia membentak keras, "Bangsat yang tidak tahu
malu, biarlah aku mengadu jiwa dengan kalian!"
Saking murkanya tenaganya mendadak juga
bertambah, dengan gagah perkasa ia menyerang ke
kanan dan menabas ke kiri, membacok ke depan dan
memapas ke belakang, setiap serangan adalah serangan
mematikan. "Crat", dimana sinar golok berkelebat,
kontan si Hwesio yang kurang gesit karena kakinya
terluka telah terkena bacokan Li Bun-sing sehingga
lengan kirinya terbelah menjadi dua dimulai dari batas
pundak. Tapi pada saat yang hampir sama juga, dengan jurus
'Pek-hong-koan-jif (pelangi putih menembus sinar
matahari), pedang Pek-tiu Tojin telah menusuk dari
samping, karena tidak sempat menangkis, kontan bahu
Li Bun-sing juga terluka dan darah bercucuran.
Pertarungan sengit dan mengerikan tanpa kenal
ampun itu bukan saja menegangkan kedua pihak yang
bertempur, bahkan Siau Ci-wan dan Yap Leng-hong yang
mengintip di tempat persembunyian mereka pun ikut
berdebar-debar dan menahan napas.
Karena kedua orang berdempetan di tempat
persembunyian mereka maka Ci-wan dan Yap Leng-hong
agak gemetaran, pikirnya, "Rupanya Yap-hiante belum
berpengalaman di dunia Kangouw, pantas dia menjadi
takut menyaksikan pertarungan sedahsyat ini."
Sesungguhnya diam-diam Siau Ci-wan juga merasa
takut, tapi bila melihat keadaan Li Bun-sing dan anaknya
yang berbahaya itu, tak tertahan juga timbul jiwa
luhurnya sebagai pendekar silat.
Melihat perubahan air muka Siau Ci-wan itu, segera
Yap Leng-hong dapat menjajaki juga pikirannya, ia coba
membisikinya, "Siau-toako, apa ... apakah kau akan
keluar membantunya?"
"Betul," sahut Ci-wan dengan suara tertahan.
"Hendaklah mengingat persaudaraan kita, sukalah kau
memberitahukan kepada Kang-tayhiap tentang kejadian ini, beritahukan kepada
beliau bahwa Pek-tiu dan Hek-bok berdua sekarang
sudah menjadi anjing pemburu pemerintah Boan."
Kiranya Siau Ci-wan insyaf bila sudah menerjang
keluar, maka kematian sudah pasti akan dihadapinya,
maka lebih dulu ia memberi pesan, maksudnya supaya
sahabatnya ini tidak perlu ikut bertempur, tapi lebih baik
melarikan diri. Pada saat itulah terdengarlah suara cambuk si Busu
telah menyambar, sekali libat dan sekali tarik, kontan
tubuh si anak kecil sudah terangkat ke atas, sambil
memutar tawanannya itu si Busu berseru dengan
tertawa, "Haha, Li Bun-sing, kau masih menginginkan
putramu atau tidak?"
Rupanya Busu itu menjadi kuatir melihat Li Bun-sing
bertempur dengan nekat, biarpun mereka main keroyok
dan besar kemungkinan akan menang, tapi kerugiankerugian
berat pasti juga susah dihindarkan, yang terang
Hek-bok Taysu juga sudah terluka parah. Maka dia
sengaja menggunakan rencana semula, yaitu menawan
si anak kecil untuk memaksa Li Bun-sing menyerahkan
diri. Tak terduga olehnya, belum lenyap suara si Busu,
sekonyong-konyong Siau Ci-wan menerjang keluar dari
tempat persembunyiannya sambil membentak.
Walaupun sadar kepandaian musuh-musuh itu jauh
lebih tinggi daripadanya, tapi rupanya Siau Ci-wan sudah
tidak memikirkan mati-hidupnya sendiri dan serentak
menerjang musuh. Sebaliknya Yap Leng-hong merasa
sangsi, pikirnya, "Usiaku baru 20-an tahun, hari depanku
masih penuh harapan, buat apa aku mesti
mengorbankan jiwa bagi seorang yang tak pernah
kukenal?" Tapi lantas terpikir pula olehnya, "Siau-toako juga
tidak kenal orang she Li itu, dia rela mengorbankan
dirinya sendiri guna membela sesamanya, mengapa aku
sendiri takut mati dan membiarkan Siau-toako sendiri
yang berkorban" Ah, sudahlah, seorang laki-laki sejati
harus berani mati demi kebenaran dan keadilan, kenapa
aku mesti takut" Kalau sekarang aku tidak berani maju,
kelak biarpun aku mempunyai kedudukan tinggi dan
nama baik juga akan merasa malu untuk selamanya."
Karena pikiran terakhir itu, dengan nekat serentak ia
pun ikut menerjang keluar dari tempat
persembunyiannya. Ketika mendadak melihat dari balik batu cadas berlari
keluar dua orang, si Busu menyangka mereka adalah
kawan Li Bun-sing yang sudah disembunyikan di situ,
keruan ia terkejut. Dalam pada itu dengan cepat luar biasa Siau Ci-wan
sudah menubruk ke arahnya lebih dulu, tangannya
bergerak, sejalur sinar mengkilat lantas menyambar ke
jurusan si Busu, kiranya adalah sebuah belati yang amat
tajam. "Bagus, boleh coba kau serang!" si Busu tertawa
mengejek. Mendadak bocah yang terlibat pada
cambuknya dan sedang diputar di udara itu telah
digunakan sebagai tameng dan diayun ke depan.


Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tak tersangka kepandaian Siau Ci-wan menyambitkan
senjata rahasia ternyata sangat bagus. Ia sudah
memperhitungkan akan perbuatan Busu itu. Ia menaksir
berat badan bocah itu sedikitnya ada 20-30 kilo sehingga
ujung cambuk pasti melambai ke bawah.
Benar juga, biarpun kepandaiannya Busu itu amat
tinggi juga tidak cukup untuk memainkan cambuknya
yang ujungnya membawa badan seorang bocah.
Terdengarlah suara "sring" yang nyaring, maksud
Busu itu hendak menggunakan badan si bocah untuk
menangkis Am-gi (senjata rahasia), tak terduga Hui-to
(pisau terbang) yang disambitkan Siau Ci-wan itu justru
tepat memotong ujung cambuk bagian yang melilit di
panggang si anak, maka putuslah cambuk itu tanpa
sedikitpun melukai anak kecil itu.
Karena ujung cambuk putus, dengan sendirinya tubuh
bocah itu lantas mencelat pergi dan tampaknya segera
akan terbanting di atas sepotong batu cadas, jika hal ini
sampai terjadi, tentu kepala bocah itu bisa pecah
berantakan. Saking kagetnya sampai Li Bun-sing menjerit kuatir,
cepat ia melompat untuk menyusulnya. Akan tetapi
jaraknya terlalu jauh, terang tidak keburu lagi.
Tampaknya dengan segera bocah itu akan terbanting
mati di atas batu, syukurlah pada detik yang menentukan
itu tiba-tiba dari samping batu telah melompat maju satu
orang, begitu ia pentang kedua tangannya, dengan tepat
bocah itu kena dirangkulnya. Kiranya orang itu adalah
Yap Leng-hong. Tapi Yap Leng-hong sendiri juga lantas terhuyunghuyung,
"bluk", punggung tertumbuk pada sebatang
pohon sehingga tidak sampai terjatuh. Ia merasa kedua
lengannya kaku pegal, ruas tulang seluruh tubuh serasa
retak semua. Nyata tenaga cambuk si Busu tak
terkatakan hebatnya. Sebabnya Yap Leng-hong berlari keluar untuk
menolong anak kecil itu adalah karena dorongan
spontanitas saja, sesudah punggungnya tertumbuk
pohon, semangat keberaniannya menjadi hilang seketika,
pikirnya, "Aku telah menyelamatkan bocah ini, hal ini
boleh dikata aku sudah berusaha sekuat tenagaku."
Segera ia melepaskan anak itu ke bawah, lalu berseru,
"Siau-toako, bolehlah kau membawa anak ini pergi dari
sini saja!" Rupanya dia merasa tidak enak melarikan diri
sendirian, tapi dengan alasan menyelamatkan anak itu ia
suruh Siau Ci-wan membawanya lari, kedengarannya dia
tidak mementingkan diri sendiri, padahal dia hanya cobacoba
memancing saja, sebab adalah tidak mungkin Siau
Ci-wan yang saat itu sedang menerjang ke kalangan
pertempuran itu disuruh melarikan diri, apalagi Siau Ciwan
pun tidak nanti melarikan diri dengan meninggalkan
Yap Leng-hong. Jadi sesungguhnya seruan Leng-hong itu
pada hakikatnya adalah untuk kepentingannya sendiri
dengan harapan kalau-kalau Siau Ci-wan lantas balas
berseru menyuruhnya lari dengan membawa si bocah.
Di luar dugaan bocah itu sangat gagah berarti, begitu
berdiri di atas tanah, sambil memberi hormat kepada
Leng-hong ia lantas berteriak, "Banyak terima kasih atas
pertolongan tuan. Aku takkan melarikan diri, ayah tidak
lari aku pun tidak mau lari!" Habis berkata, sambil
memutar goloknya yang pendek segera ia menerjang
maju pula ke tempat sang ayah.
Saat itu Li Bun-sing sedang memburu ke arah si
bocah, di belakangnya menyusul Pek-tiu Tojin dan Peng
Hong berdua yang terus membayangi. Tubuh Li Bun-sing
sudah terluka dua tempat, walaupun masih gesit dan
cekatan, tapi larinya sudah tidak secepat tadi.
Di lain pihak Siau Ci-wan tengah kepayahan melawan
cambuk panjang si Busu, berulang-ulang ia terancam
bahaya, asal ayal sedikit saja tentu jiwanya bisa
melayang. Cambuk si Busu ada tiga-empat meter panjangnya,
sesudah terpapas sebagian juga masih tertinggal
sepanjang tiga meter, sesudah dia lepaskan libatan si
bocah, permainan cambuknya telah kembali hidup seperti
semula, ia menyabet, melibat, menarik dan macammacam
serangan cambuk lainnya, serentak dikeluarkan
secara membadai. Dalam keadaan demikian, untuk
melayani saja kewalahan, jangan lagi Ci-wan hendak
memapas kutung pula cambuk lawan.
Memangnya kepandaian si Busu juga jauh lebih tinggi
daripada Ci-wan, untunglah di samping ilmu pedang, Ciwan
masih memiliki sejenis kepandaian tunggal yang
lain, yaitu 'Thian-lo-poh-hoat (ilmu langkah ajaib) yang
merupakan kepandaian rahasia kaum Jing-sia-pay, bila
tidak kepepet ilmu langkah ajaib itu tidak sembarangan
dikeluarkan, maka orang Kangouw jarang mengetahui
adanya langkah ajaib itu.
Ci-wan adalah cucu lelaki Siau Jing-hong, tokoh Jingsiapay yang terkenal, dengan sendirinya Thian-lo-pohhoat
telah dilatihnya dengan sangat sempurna. Kalau si
Busu dengan enteng dapat mematahkan ilmu
pedangnya, tapi ilmu langkah ajaib ini sama sekali belum
pernah dilihat si Busu sehingga seketika ia tidak tahu
cara bagaimana menghadapi langkah Ci-wan yang aneh
itu. Begitulah Ci-wan telah mainkan ilmu pedangnya
dengan menggunakan langkah Thian-lo-po-hoat, tibatiba
berada di depan, tahu-tahu menyelinap ke belakang,
mendadak berada di sebelah kanan, pada saat lain sudah
berada di sebelah kiri. Betapapun dahsyat seranganserangan
cambuk si Busu juga tak dapat menyentuh
ujung bajunya. Sebaliknya terkadang Ci-wan malah
sempat balas menyerang beberapa kali dengan
pedangnya. Namun demikian sesungguhnya Siau Ci-wan masih
tetap terancam bahaya, ia harus melangkah dengan hatihati
sekali, sedikitpun tidak berani lengah.
Dalam pada itu Leng-hong merasa malu sendiri atas
sikap gagah perwira anak kecil itu. Segera ia perbaharui
semangatnya dan menyusul ke depan sambil berseru,
"Adik cilik, aku akan membantu kau! Li-enghiong, Siautoako,
ayolah kita terjang bersama ke bawah gunung!"
Waktu itu Li Bun-sing sedang dikerubut Pek-tiu Tojin
dan Peng Hong berdua, sambil bertempur sambil
mundur, masih belasan meter lagi baru bisa bergabung
dengan putranya. Mendadak Hek-bok Taysu menyerobot ke depannya,
sambil mengayun tongkatnya ia membentak, "Anak
jadah, biarlah Taysu mengantar nyawamu pulang
menyusul kakek-moyangmu!" Berbareng tongkatnya
terus ditimpukkan. Cepat anak itu menjauhkan dirinya ke tanah sehingga
tongkat itu menyambar lewat di atas kepalanya. Yang
berada di belakang bocah itu adalah Yap Leng-hong,
maka dia yang menjadi sasaran tongkat paderi yang
antap itu, tampaknya susahlah baginya untuk
menghindarkan diri. Diam-diam Leng-hong mengeluh, sekali ini jiwanya
pasti akan melayang, untunglah mendadak terdengar
suara "trang" yang keras, tertampak Li Bun-sing telah
melayang tiba secepat kilat dan tepat pada waktunya
dapat menyampuk tongkat baja itu dengan goloknya.
Li Bun-sing sendiri sudah terluka dua tempat,
walaupun bukan tempat yang berbahaya, tapi darahnya
bercucuran sejak tadi, dengan sendirinya tenaganya
telah banyak berkurang, sekarang dia telah menerjang
tiba dan menyampuk tongkat itu dengan sekuatnya, hal
ini boleh dikata sudah hampir memakan segenap sisa
tenaganya yang masih ada. Meski tongkat musuh kena
disampuk jatuh, tapi ia sendiri pun tidak dapat berdiri
tegak lagi, ia sempoyongan dan akhirnya roboh.
Di tengah suara bentakan-bentakan, berbarengan
Hek-bok, Pek-tiu dan Peng Hong telah memburu tiba
juga. Hek-bok Taysu yang lengan kirinya terpapas
separoh, dendamnya kepada Li Bun-sing boleh dikata
sampai ke tulang sumsum, maka bagitu melihat Li Bunsing
roboh di atas tanah, segera ia menubruk maju terus
menghantam dengan sekuatnya.
Kemahiran Hek-bok Taysu adalah jenis Gwakang,
tenaganya sangat kuat, walaupun lengannya sudah
kutung, tapi kekuatan tangan kanan masih cukup
dahsyat untuk menghancurkan batu sekalipun. Ketika
punggung Li Bun-sing kena dihantam olehnya, keruan ia
meringis kesakitan, berkat Lwekangnya yang tinggi,
sekuatnya ia bertahan, walaupun mata berkunangkunang,
syukur tidak sampai pingsan.
Dalam keadaan kesakitan, tiba-tiba Bun-sing teringat,
"Memangnya aku tiada berharap akan pulang dengan
hidup, tapi sekali-kali aku tidak boleh merembet kedua
ksatria yang berbudi luhur dan telah membantu padaku
ini." Seketika ia mengertak gigi, entah darimana timbulnya
tenaga, mendadak ia melompat dengan gerakan 'Yau-cuhoansin' (burung merpati membalik tubuh), secepat kilat
dia tarik Hek-bok Taysu terus dibanting ke bawah sambil
membentak, "Orang beragama mengapa sedemikian
kejamnya, Buddha tentu tidak mengampuni dosamu!"
Bersamaan kedua tangannya sekuatnya mencekik,
"krek", seketika tulang leher Hek-bok kena diremas
patah. Cepat Li Bun-sing menjemput pula goloknya terus
melompat bangun, dalam pada itu tertampak Peng Hong
telah memainkan sepasang Boan-koan-pitnya dengan
gencar sehingga Yap Leng-hong terdesak mundur dan
keadaannya sangat berbahaya. Di sebelah lain Pek-tiu
Tojin juga sedang mengudak putranya.
Sambil menyerang dengan gencar Peng Hong
membentak, "Yap Ting-cong, kau bocah inipun berani
ikut campur urusan orang lain" Lekas letakkan pedangmu
dan minta ampun!" Leng-hong terkesiap, "Mengapa dia tahu nama
asliku?" Tapi dalam keadaan jiwa terancam, biarpun
nama aslinya tidak ingin diketahui orang juga tak dapat
dipikirkan lebih jauh lagi, terpaksa ia harus memilih mati
menjadi seorang ksatria atau hidup sebagai seorang
pengecut. Tengah Leng-hong merasa ragu-ragu, tiba-tiba
terdengar suara mengerang gusar Siau Ci-wan. Rupanya
dia melihat Yap Leng-hong lagi terancam bahaya, maka
buru-buru ia menerjang untuk bergabung dengan LengTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
hong, tapi ia lupa bahwa keadaannya sendiri jauh lebih
berbahaya daripada Yap Leng-hong, sebab kepandaian
Busu baju hitam itu sesungguhnya lebih tinggi daripada
Peng Hong, cambuknya menari-nari kian-kemari bagai
naga hidup sehingga sekeliling Siau Ci-wan terkurung
rapat, hanya berkat Thian-lo-poh-hoat saja Ci-wan masih
dapat bertahan. Tapi sekali dia mulai gelisah, langkahnya
sedikit ayal, seketika ia kena cambuk sekali oleh si Busu
sehingga bajunya robek dan punggungnya babak-belur.
Kejadian ini dapat dilihat pula oleh Yap
Leng-hong yang berada belasan meter jauhnya di
sebelah sana. Walaupun sudah terluka, Siau Ci-wan menjadi semakin
nekat, ia bertempur mati-matian, pedangnya berputar
dengan kencang, setiap jurus serangannya selalu
mengajak gugur bersama sehingga membuat si Busu
mau tidak mau merasa jeri juga.
Rupanya kenekatan Siau-Ci-wan itu telah menggugah
semangat Yap Leng-hong, pikirnya, "Siau-toako
bertempur dengan mati-matian dan pantang menyerah,
sebagai sahabatnya mana boleh aku membikin malu
padanya." Karena begitu pikirnya, seketika lenyaplah rasa
takutnya kepada musuh, mendadak ia membentak, "Kau
budak kaum penjajah yang tidak kenal malu ini, masalah
aku orang she Yap sudi minta ampun segala padamu?"
Peng Hong melengak atas kegarangan Yap Leng-hong,
rupanya hal ini agak di luar dugaannya, sebab semula ia
menganggap Yap Leng-hong adalah satu orang yang
telah dikenalnya, maka dia telah menggertaknya agar
suka menyerah. Sekarang ia menjadi sangsi, pikirnya,
"Jangan-jangan aku telah salah mengenalnya, dia
bukanlah tuan muda keluarga Yap-tihu (bupati Yap) itu"
Sebab kalau benar tuan muda keluarga Yap, mustahil dia
tidak takut mati?" Kiranya pada belasan tahun yang lalu Peng Hong
pernah bertemu dengan putra Yap-tihu yang
dimaksudkan, Yap Leng-hong sekarang adalah pemuda
berusia 20-an tahun, sudah tentu usianya jauh lebih tua,
tapi raut mukanya ia merasa banyak persamaannya.
Begitulah, dalam keadaan ragu-ragu di pihak lain Yap
Leng-hong telah menyerang sekuatnya sehingga Peng
Hong tidak sempat banyak berpikir atau menegur lagi,
diam-diam dia sangat mendongkol, pikirnya, "Peduli
apakah dia tuan muda Yap atau bukan, yang terang dia
berada bersama buronan pemerintah, untuk dosanya ini
aku sudah boleh membunuhnya."
Meski kepandaian Peng Hong tidak setinggi si Busu
baju hitam, tapi ilmu silat Yap Leng-hong juga jauh di
bawah Siau Ci-wan, sekalipun dia bertempur dengan
mati-matian juga tak mampu melawan Peng Hong.
Sekarang Peng Hong sudah bertekad akan
membunuhnya, maka sepasang Boan-koan-pitnya lantas
bekerja lebih ganas lagi, sekonyongkonyong
kedua potlot baja itu menusuk ke depan
secara bersilang, tahu-tahu sudah berada di depan dada
Yap Leng-hong, "Bret", baju Leng-hong sudah terobek,


Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seketika perasaan pemuda itu menjadi hampa, sekilas itu
ia menyesalkan kematiannya yang dianggapnya tak
berharga itu selagi usia masih begitu muda.
Tapi pada detik berbahaya itulah tiba-iba terdengar
suara bentakan yang menggelegar. Saat itu Li Bun-sing
telah memburu tiba untuk menolongnya, Li Bun-sing
baru saja membunuh Hek-bok Taysu, begitu menjemput
goloknya dan melompat bangun, segera ia melihat
putranya dan Yap Leng-hong sama-sama terancam
bahaya. Tapi tanpa berpikir lagi segera ia memburu ke
arah Yap Leng-hong. Biarpun sisa tenaga Li Bun-sing sudah hampir ludes,
tapi suara bentakan yang menggeledek itu membuat
Peng Hong tergetar, ujung Boan-koan-pit lantas meleset
mengenai Soan-ki-hoat di dada Yap Leng-hong, tapi
hanya melukai dada pemuda itu sehingga berdarah.
Leng-hong menjerit kesakitan sambil melompat ke
samping sekuatnya. Waktu ia memandang pula, tampak
Li Bun-sing dengan langkah sempoyongan sedang
menerjang maju dengan kalap, "trang", golok Li Bun-sing
telah beradu dengan Boan-koan-pit milik Peng Hong.
Dengan hati berdebar-debar, Leng-hong merasa malu
diri pula, pikirnya, "Ternyata dia tidak memikirkan
keselamatan putranya, tapi lebih dulu aku yang
diselamatkan olehnya." Untuk sejenak ia tertegun, meski
darah bercucuran keluar dari luka di dadanya, tapi aneh,
sedikit pun ia tidak merasa kesakitan lagi. Sebaliknya
dengan penuh semangat ia putar pedangnya dan
menerjang maju pula ke medan pertempuran.
Dalam pada itu "sret-sret-sret", Li Bun-sing telah
membacok tiga kali dengan segenap sisa tenaga yang
dikumpulkannya untuk mengadu jiwa dengan musuh,
pendek kata kalau bukan musuh yang mati biarlah
dirinya yang gugur. Pilihan lain tidak ada.
Peng Hong adalah bandit besar yang biasanya
membunuh orang tak kenal ampun, tapi demi melihat
kekalapan Li Bun-sing dengan suara gertakannya yang
menggeledek, sinar goloknya berkelebat laksana kilat,
mau tak mau ia menjadi jeri dan gugup.
Di tengah suara bentakan Li Bun-sing, mendadak
terdengar suara jeritan Peng Hong yang mengerikan,
batok kepalanya telah terbacok pecah dan roboh
terkapar. Rupanya dengan serangan yang ketiga kalinya,
Li Bun-sing telah berhasil membinasakan lawannya, pada
saat itu Yap Leng-hong belum lagi memburu tiba.
Selama hidup Yap Leng-hong belum pernah
menyaksikan pertarungan yang mengerikan seperti
sekarang ini, saking takutnya sampai ia melongo seperti
patung. Sesudah pikirannya agak tenang kembali barulah
ia berkata, "Li ... Li-enghiong, engkau.."
"Aku tidak apa-apa, lukamu sendiri hendaklah dibalut
dahulu," sahut Bun-sing. Habis berkata mendadak ia
putar balik dan berlari ke arah Pek-tiu Tojin sambil
membentak, "Huh, menganiaya seorang anak kecil, kau
tahu malu atau tidak" Marilah, kalau berani boleh kita
bertempur untuk menentukan mati atau hidup!"
Sesungguhnya di antara keempat orang musuh, hanya
Pek-tiu Tojin seorang saja yang sedikit banyak masih
punya rasa malu. Sebabnya dia menguber putra Li Bunsing
bukanlah karena dia hendak membunuh anak kecil
itu, tapi maksudnya ingin menangkapnya hidup-hidup.
Tak terduga karena Pek-tiu sendiri sudah terluka, bocah
itu sangat lincah dan gesit pula, sebentar melompat ke
sana, lain saat sembunyi ke situ. Dengan kepandaian
Pek-tiu Tojin, kalau hendak membunuh anak kecil itu
adalah sangat mudah, sebaliknya untuk menangkapnya
hidup-hidup dalam keadaan Pek-tiu sendiri terluka,
soalnya menjadi tidak mudah.
Sebagai seorang tokoh terkenal, memangnya Pek-tiu
sudah merasa malu diri karena menguber-uber seorang
anak kecil, sekarang kena digertak dan disindir pula oleh
Li Bun-sing, keruan ia bertambah malu sehingga
mukanya merah padam. Di antara empat orang itu, kini Hek-bok Taysu dan
Peng Hong berturut-turut sudah dibinasakan oleh Li Bunsing,
Pek-tiu Tojin sendiri pun sudah terluka, sekarang
melihat Li Bun-sing sedemikian kalapnya, mau tak mau ia
menjadi jeri. Cepat ia berkata, "Kedatanganku ini hanya
menurut perintah saja, aku sendiri tidak berkuasa dan
bukan ingin bermusuhan dengan Li-thocu. Baiklah,
sekarang kita pun sudah sama-sama tahu kekuatan
masing-masing, kau telah membacok aku sekali, aku pun
telah balas menusuk kau sekali, kita sama-sama tiada
punya hutang, buat apa mesti mengadu jiwa pula"
Anggaplah aku telah mengenal seorang sahabat seperti
kau. Sekarang aku mohon diri saja, sampai jumpa pula"
Habis berkata, ia simpan kembali pedangnya dan
memberi hormat, lalu buru-buru berlari ke bawah
gunung. Bahwasanya Pek-tiu Tojin merasa jeri dan
menghindari pertarungan lebih lanjut, hal ini boleh dikata
sangat beruntung bagi Li Bun-sing, Pek-tiu tidak tahu
bahwa luka Li Bun-sing jauh lebih berat daripadanya.
Sedangkan Siau Ci-wan dan Yap Leng-hong juga sudah
terluka, walaupun tidak parah, tapi tidak juga enteng.
Kalau Pek-tiu tidak kabur dan bergabung dengan si Busu
untuk melawan Li Bun-sing bertiga yang sudah terluka
semua beserta seorang anak kecil, maka pihak Li BunTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
sing pasti bukan tandingan mereka dan tentu akan
tertawan semua. Sekarang di pihak lawan sudah mati dua dan kabur
satu, tertinggal si Busu baju hitam yang masih belum
terluka dan sedang bertarung sengit melawan Siau Ciwan.
Berulang-ulang Ci-wan telah kena dicambuk beberapa
kali, tubuhnya sudah babak-belur dan tampaknya tak
sanggup bertahan lebih lama lagi.
Yap Leng-hong menjadi tabah demi nampak musuh
hanya tinggal seorang saja, ia buru-buru membalut
lukanya, lalu menerjang maiu untuk membantu Ci-wan.
Maksud Li Bun-sing juga ingin membantu, tapi kedua
kakinya sudah tidak mau diperintah lagi karena
kehabisan tenaga. Namun Busu baju hitam itu sudah mulai gugup ketika
melihat Yap Leng-hong menerjang tiba, Li Bun-sing juga
sedang mengawasi dirinya dengan mata mendelik,
walaupun orangnya tidak bergerak, tapi sikap Li Bun-sing
yang gagah perkasa dan berwibawa itu jauh lebih
menakutkan si Busu daripada Yap Leng-hong yang
menerjangnya dengan senjata.
Mendadak cambuk si Busu menyabet, Leng-hong yang
tak menduga-duga itu menjadi kaget, kakinya
terserempet oleh ujung cambuk dan jatuh terguling,
cepat Ci-wan melompat maju untuk membangunkannya.
Kesempatan itu tidak disia-siakan si Busu, cepat ia putar
tubuh dan angkat langkah seribu tanpa memikirkan
untuk melukai lawannya lagi. Ci-wan juga tidak sempat
mengejarnya. Tapi masih ada seorang Li Bun-sing yang sedang
mengawasi di samping, pikirnya, "Aku tidak boleh
meninggalkan bibit bencana bagi Yap-toako." Mandadak
ia gigit lidah sendiri, karena kesakitan, tiba-tiba timbul
tenaganya, secepat kilat ia timpukkan Kui-thau-to.
Golok yang ditimpukkan itu tahu-tahu sudah
menyambar sampai di belakang si Busu, "cret", kontan
bahu jago bayangkara itu tertembus golok, dibarengi
dengan jeritan keras, Busu itu terguling-guling ke bawah
gunung. Pertarungan sengit yang mendebarkan itu telah
diakhiri dengan jerit ngeri si Busu baju hitam. Di antara
empat musuh, dua terbunuh, Pek-tiu Tojin kabur dengan
menderita luka, Busu baju hitam itupun terluka parah
dan terguling ke bawah gunung, tampaknya juga akan
binasa, andaikan hidup juga akan menjadi cacad karena
tulang pundaknya tertembus oleh golok Kui-thau-to.
Saat itu Yap Leng-hong baru saja berdiri kembali, ia
seperti baru sadar dari mimpi buruk atau boleh dikata
baru lolos dari lubang jarum. Ketika angin pegunungan
meniup silir-silir barulah ia merasa luka di dadanya sakit
dan perih, baru sekarang juga ia sadar pertempuran
sudah berakhir dan dia sendiri masih hidup. Bila
terbayang kembali pertarungan sengit tadi, mau tak mau
hatinya berdebar-debar pula, tapi dalam hatinya juga
timbul semacam rasa bangga yang susah dijelaskan, rasa
bangga karena untuk pertama kalinya dirinya telah ikut
pertempuran seru sebagai seorang ksatria, walaupun
musuh bukan dikalahkan olehnya sendiri, tapi ia benarbenar
merasa bangga, merasa dirinya sesuai untuk
disebut sebagai seorang ksatria, seorang pendekar.
Dalam pada itu Li Bun-sing sedang berdiri tegak di
puncak gunung sambil memandang jauh ke depan sana,
perasaannya tenang dan lega, ia tahu pertempuran tadi
adalah pertempuran terakhir selama hayatnya, walaupun
jiwa pahlawannya masih menyala-yala, tapi jiwanya
susah dipertahankan lagi, bayangan maut sudah
menghampiri dirinya. Tapi ia tidak gentar menghadapi
bayangan maut itu, ia sudah melakukan apa yang harus
dilakukannya, sebaliknya ia menyesal tak dapat berjuang
lagi sejajar dengan kawan-kawan seperjuangannya yang
lain. Namun manusia pada akhirnya harus mati, mati
dengan berharga, hal ini adalah jamak dan tidak menjadi
soal. Begitulah Li Bun-sing mengenangkan kembali
suka-duka perjuangannya selama ini, mendadak ia
bergelak tertawa, di tengah suara tertawanya tiba-tiba
darah segar menyembur keluar dari mulutnya.
"He, kenapakah kau, Li-enghiong?" seru Ci-wan
dengan kuatir sambil berlari mendekatinya.
Anak kecil tadi juga mendekati ayahnya, serunya
sambil memegangi sang ayah, "Tiatia (ayah), janganlah
engkau meninggalkan aku!"
Dengan napas terengah-engah Li Bun-sing berkata
sambil tertawa, "Bagus, bagus sekali! Sungguh tak
terduga empat musuh hanya dapat lolos seorang saja
dengan terluka pula. Anak He, kau punya Lim-pepek dan
engkoh Han pasti dapat lolos dengan selamat dari
kejaran musuh!" Habis berkata mendadak ia muntah
darah pula, seketika mukanya pucat-pasi sebagai kertas.
"Aku membawa obat luka," kata Ci-wan.
Tapi sebelum ia mengeluarkan obatnya, Bun-sing
sudah lantas berkata, "Tidak perlu lagi, manusia pada
akhirnya pasti akan mati, asal mati dengan berharga,
kenapa mesti dibuat sedih" Keadaanku sekarang biarpun
ada obat dewa juga susah menyambung nyawaku lagi.
Luka kalian berdua juga tidak ringan, silakan coba aku
punya obat Kiu-coan-hoan-yang-san, mungkin.akan lebih
manjur daripada obat kepunyaan kalian sendiri."
Ci-wan sedikit memahami ilmu pertabiban, ia coba
memegang nadi Li Bun-sing, ia merasa denyut nadinya
sangat lemah dan tak teratur, percaya apa yang
dikatakan Li Bun-sing adalah memang sebenarnya, kalau
dia masih tahan untuk sementara adalah berkat
Lwekangnya yang sangat tinggi. Menghadapi keadaan
demikian, Ci-wan menjadi muram dan tak dapat bicara
lagi. "Ini, terimalah obatku ini, cobalah, tentu manjur," kata
Bun-sing pula. "Kalian harus sayang kepada badan
sendiri untuk melanjutkan perjuangan. Lekas kalian
membubuhkan obat luka ini, aku masih ingin bicara lagi
dengan kalian." Dengan penuh rasa terima kasih, diam-diam Lenghong
terharu pula atas jiwa ksatria Li Bun-sing yang
cuma memikirkan kepentingan orang lain walaupun
jiwanya sendiri sudah hampir tamat. Segera ia
membubuhkan obat pemberian Li Bun-sing itu di atas
lukanya, dalam sekejap saja rasa sakit pada luka itu
lantas lenyap. Ci-wan mengetahui keadaan Li Bun-sing memang
tidak dapat diselamatkan lagi, terpaksa ia pun minum
obat pemberian itu sambil menahan air mata, lalu ia
bertanya, "Apakah Li-enghiong masih ada pesan lain?"
"Atas bantuan kalian berdua, budi kebaikan ini rasanya
aku tak bisa membalas lagi," kata Bun-sing. "Aku
memang masih ada sedikit urusan dan terpaksa harus
membikin susah kalian berdua
"Sayang kepandaian kami terlalu rendah sehingga tak
dapat banyak memberi bantuan apa-apa," cepat Ci-wan
menukas. "Tapi kalau Li-enghiong ada sesuatu pesan,
asal dapat kami laksanakan, tentu sekuat tenaga akan
kami lakukan sekalipun mesti terjun ke lautan api atau
masuk ke dalam air mendidih."
"Kita tak perlu bicara secara sungkan-sungkan lagi,"
ujar Bun-sing. "Mohon tanya, kedua Gisu (tuan budiman)
..." "Namaku Siau Ci-wan dari Jing-sia, kakekku ialah Siau
Jing-hong. Dan ini adalah saudara angkatku, Yap Lenghong."
"O, kiranya adalah Siau-toako, sudah lama kudengar
namamu," puji Bun-sing. Ia percaya Siau Ci-wan adalah
seorang ksatria benar-benar, maka ia lebih-lebih lega dan
tidak kuatir untuk menguraikan apa-apa yang hendak
dipesankan padanya. Segera Bun-sing, menutur, "Cotho (markas besar)
Thian-li-kau kami berada di kota Poting, kali ini markas
besar kami telah dihancurkan oleh kaum pengkhianat
dari anggota sendiri, Kaucu (ketua) kami Thio Ting-ki
terbinasa, Hukaucu (wakil ketua) Lim Jing dapat
meloloskan diri, untuk perjuangan selanjutnya, tugas ini
terletak pada pundak Lim-toako seorang, tapi kerajaan
Boan telah menyebarkan jago-jago istana untuk
mengubernya, keadaanya sungguh sangat berbahaya.


Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku sendiri juga seorang Thaubak (kepala bagian),
tugasku adalah penghubung rahasia antara markas pusat
dengan cabang-cabang di berbagai tempat. Di kota
Poting sehari-hari aku menyaru sebagai tukang kayu.
Kedudukanku di dalam organisasi ini juga dirahasiakan,
dengan sendirinya orang luar lebih-lebih tidak tahu,
terutama pihak kerajaan. Kali ini Lim-hukaucu berhasil
meloloskan diri bersama seorang putranya yang bernama
Lim To-han, usia To-han sebaya dengan putraku ini.
Putraku ini bernama Li Kong-he.
"Lim-hukaucu adalah saudara angkatku, beliau lebih
tua setahun daripadaku, perawakan kami hampir sama.
Aku dan He-ji sengaja , menyaru sebagai Lim-toako dan
anaknya dengan menggunakan kata-kata sandi Thian-likau
agar menimbulkan kecurigaan pihak anjing pemburu
kerajaan Boan, kami telah diikuti sepanjang jalan,
beberapa musuh telah kami bunuh, akhirnya empat jago
istana di bawah pimpinan Busu baju hitam itu yang
masih terus menguntit jejak kami, rupanya mereka yakin
aku adalah Lim-toako yang hendak mereka cari.
"Untuk lebih mengalihkan perhatian mereka, aku
sengaja menggunakan nama Lim-toako dan mengirim
surat tantangan melalui kawan Kay-pang untuk
mengadakan pertarungan menentukan di puncak Thaysan.
Rupanya mereka cukup kenal perangai Lim-toako
yang gagah berani, mereka menyangka Lim-toako sudah
kepepet dan susah menyembunyikan diri, maka terpaksa
menantang pertandingan kepada mereka. Mereka
ternyata tidak menaruh curiga apa-apa, seterima surat
tantangan, benar juga mereka telah kena kupancing ke
puncak Giok-hong-teng. Apa yang terjadi sesudah itu
kalian sendiri sudah menyaksikan, maka tidak perlu
kuceritakan lagi. Di antara empat musuh hanya lolos
seorang Pek-tiu Tojin dengan menderita luka. Hahaha,
bukankah hasil kejadian hari ini jauh lebih bagus
daripada dugaanku semula?"
Li Bun-sing berhenti sejenak, sorot matanya perlahanlahan
beralih ke arah putranya, lalu sambungnya dengan
tersenyum simpul, "Syukurlah anak ini walaupun usianya
masih muda, tapi tahu juga ajaran nabi tentang
'berkorban bagi kebenaran, betapapun dia tidak mau
berpisah dengan aku dan terus ikut padaku dengan
menyaru sebagai Lim-toako beserta putranya sehingga
kawanan anjing kerajaan Boan itu terjebak. Sungguh aku
sangat bersyukur dan girang karena bocah ini tidak
terluka apa-apa, sekalipun aku akan mati juga dapatlah
mangkat dengan hati lega."
Baru sekarang Ci-wan dan Leng-hong mengetahui
sebabnya Li Bun-sing membawa serta anaknya ke
puncak Thay-san untuk memenuhi janji 'pertemuan
maut' ini. Mereka menjadi kagum tak terkatakan
terhadap jiwa ksatria dan budi luhur Li Bun-sing itu.
"Apakah Li-enghiong ingin aku menyampaikan sesuatu
berita kepada Lim-hukaucu?" akhirnya Ci-wan bertanya
dengan nada terharu. "Aku sudah membunuh tiga orang musuh yang kuat,
mati pun aku tidak menyesal lagi, maka aku pun tidak
perlu orang membalaskan sakit hatiku," ujar Bun-sing,
"karena itu aku pun tidak ingin Lim-toako mengetahui
kejadian hari ini, apabila beliau bertanya tentang
kematianku, hendaklah kalian ceritakan sekedarnya dan
tidak perlu menguraikan apa yang terjadi dengan
sesungguhnya, supaya beliau tidak ikut sedih. Aku pun
tiada mempunyai harapan apa-apa sehingga tiada
sesuatu urusan yang minta dibereskan. Tapi ada suatu
hal yang menyangkut rahasia organisasi kami, untuk
inilah mohon Gisu sukalah menyampaikan kepada
mereka yang bersangkutan."
"Banyak terima kasih atas kepercayaan Li-enghiong
kepada kami dan tentu kami takkan mengecewakan
maksud baikmu, silakan Li-enghiong mengatakan saja,"
sahut Ci-wan. "Hujan topan tadi apakah kalian berdua juga
menyaksikannya?" tiba-tiba Bun-sing bertanya.
Ci-wan dan Leng-hong melengak, mereka heran
mengapa Li Bun-sing menanyakan hujan topan apa
segala pada saat ajalnya sudah mendekat"
Maka Leng-hong yang menjawab, "Ya, kami
mengalami hujan topan tadi, ada apakah?"
"Situasi sekarang justru mirip sekali dengan sebelum
hujan topan tadi," kata Bun-sing. "Agaknya bangsa kita
sudah tak bisa bernapas lagi karena penindasan
pemerintah Boan-jing, tampaknya saja dimana-mana
tenteram, semuanya serba aman, tapi di dalam hati
setiap orang sebenarnya penuh dendam dan bergolak
siap meledak setiap saat, sehingga mirip dengan akan
tibanya hujan topan tadi.
"Tugas dalam Thian-li-hwe ialah penghubung antara
pusat dengan cabang-cabang di berbagai tempat, aku
sering berkelana di dunia Kangouw, selain menghubungi
orang-orang sendiri, tidak sedikit pula para pahlawan dan
kaum ksatria di luar Thian-li-hwe yang telah kukenal,
banyak pula perkumpulan Kangouw yang telah berserikat
dengan kami untuk mengadakan pergerakan.
Perkumpulan-perkumpulan yang telah mengadakan
serikat dengan kami ini sebagian besar telah diketahui
oleh Lim-toako, tapi ada juga sebagian yang belum
sempat kulaporkan sehingga pimpinan pusat sendiri
belum mengetahui. Sekarang aku hendak
memberitahukan kepada kalian beberapa pimpinan dari
berbagai tempat yang paling penting, hendaklah kalian
ingat dengan baik di luar kepala dan janganlah dicatat di
atas kertas. Mereka ini adalah: Thia Pek-gak dari Bu-sing
di Soatang, Kwe Su-oh dari Go-sing di Holam, Hau Kokliong
dari Ki-si di Soasay, Chi Thian-tik dari Kong-goan di
Sucwan utara, Leng Thian-lok di Siau-kim-jwan, tiga jago
she Thio dari Bici di Siampak, yaitu Thio Su-liong, Thio
Han-tiau dan Thio Thian-lun
Begitulah ia mengulangi beberapa kali nama orang
dan tempat kediamannya, sesudah Ci-wan dan Lenghong
ingat betul-betul barulah Bun-sing menyambung
pula, "Aku telah berjanji dengan beberapa tokoh yang
kusebut tadi dengan menggunakan kata-kata sandi
sebagai tanda penghubung, asal dapat menyebutkan dua
kata kode, kedua pihak akan segera mengetahui adalah
kawan sendiri. Inilah yang paling penting dan harus
diingat dengan baik serta tak boleh bocor." Sampai di
sini, entah sengaja atau tidak, tiba-tiba ia memandang
sekejap ke arah Yap Leng-hong, tampaknya agak raguragu
sedikit. Sebagai pemuda yang cerdik, melihat sikap Li Bunsing
itu segera Leng-hong dapat menerka pikiran orang,
pikirnya, "Jangan-jangan Li Bun-sing menaruh curiga
padaku" Tidaklah baik mengetahui rahasia orang lain.
Biarlah kata-kata kode ini aku tidak perlu ikut
mendengarkan saja." Segera ia pura-pura mengintai ke sana kemari dan
bermaksud mencari sesuatu alasan untuk menyingkir.
Tapi lantas terpikir pula olehnya, "Kali ini aku telah ikut
membantu dia dengan mati-matian, memangnya aku
tidak mengharapkan balas budi apa-apa, tapi kalau dari
sini dapatlah aku berkenalan dengan ksatria-ksatria di
dunia ini kelak ikut-ikut di medan perjuangan, boleh jadi
aku pun dapat mencurahkan sedikit tenagaku, untuk ini
ada manfaatnya juga bila aku ikut mengetahui kata-kata
kode mereka, paling sedikit akan dapat digunakan
berkenalan dengan para gembong organisasi rahasia itu,
sekalian biar mereka tahu bahwa aku adalah orang
kepercayaan ksatria Li Bun-sing, kawan yang telah diberi
pesan terakhir pada saat ajalnya."
Tengah ragu-ragu, tiba-tiba Bun-sing sudah berkata,
"Aku mengetahui dengan jelas, selain keempat tadi tiada
begundal mereka yang lain, maka saudara Yap tidak
perlu kuatir ada orang luar lagi. Adapun kedua kata kode
itu ialah: 'Menunggu sungai utara kembali kepada raja
Han, bumi raya Kian-khun akan terus berputar-putar'.
Kata-kata Kian-khun di sini dimaksudkan kaisar Kianliong,
artinya bila sampai pada pemerintahan Kian-liong,
maka nasib kerajaan Boan mereka pun akan segera
tamat. Ini adalah kata-kata kiasan untuk mendorong
semangat juang para pahlawan kita."
Demikianlah secara mudah Li Bun-sing telah
menghindarkan rasa sangsi dan salah paham Yap Lenghong
tadi. Semula ia lihat Leng-hong adalah pemuda
yang masih hijau, boleh jadi adalah keturunan keluarga
hartawan atau pembesar, orang demikian kalau sampai
tertawan musuh, bukan mustahil akan terus mengaku
segala rahasia yang telah diketahuinya karena tidak
tahan siksaan. Tapi lantas teringat olehnya bahwa
pemuda she Yap ini telah menyelamatkan jiwa anaknya
tanpa memikirkan keselamatannya sendiri, kalau aku
menyangsikan kejujurannya tentu akan sangat
mengecewakan dia. Karena itu akhirnya ia toh
menceritakan juga kode-kode rahasia tadi.
Yap Leng-hong sendiri menjadi hilang juga rasa
sangsinya, segera ia pun bertanya, "Dan apa artinya
sungai utara kembali kepada raja Han?"
"Itu adalah kata-kata kiasan di dalam organisasi kami,
bila didengar Lim-toako, tentu beliau akan tahu sendiri,"
sahut Bun-sing. "Kalau kedua Gisu tidak dapat
menemukan Lim-toako, di dalam Thian-li-kau masih ada
dua orang Thocu yang bernama Liap Jin-kiat dan Khu
Giok, kalian boleh menyampaikan rahasia ini pada
mereka. Dan ini adalah 'Hay-te' dari Thian-li-kau kami,
sesudah kalian hapalkan tentu kalian dapat bertanya
jawab dengan lancar antar sesama anggota dan kalian
akan dianggap sebagai kawan sendiri."
Apa yang dimaksudkan 'Hay-te' (dasar laut) itu adalah
kumpulan kata-kata sandi setiap organisasi rahasia pada
waktu itu yang biasanya digunakan untuk membuktikan
diri sebagai sesama anggota.
Ci-wan dan Leng-hong bukan anggota Thian-li-hwe,
mestinya Li Bun-sing tidak layak menyerahkan buku kecil
yang berisi kata-kata rahasia itu, tapi urusan sekarang
dalam keadaan luar biasa, terpaksa ia lakukan dengan
penuh kepercayaan kepada kedua kenalan baru itu.
Ci-wan sendiri cukup kenal peraturan-peraturan
JKangouw, dengan penuh hormat ia menerima buku kecil
itu, tapi lantas diserahkan kepada putra Li Bun-sing,
katanya, "Lebih baik Hay-te ini dipegang oleh putramu
saja, di tengah jalan kami dapat minta pelajaran lisan
dari saudara cilik ini."
Dengan berbuat demikian, pertama Ci-wan
menyatakan tulus ikhlas menerima pesan Li Bun-sing
tadi, kedua memperlihatkan bahwa dia sebagai orang di
luar Thian-li-kau tidak berani mengangkangi benda
berharga yang tidak layak dipegang olehnya.
"Baik juga," ujar Bun-sing dengan tertawa. "Anak ini
mestinya baru boleh masuk menjadi anggota bila telah
mencapai usia 16 tahun, sekarang biarlah dia diterima
lebih cepat beberapa tahun. Anak He, sekarang kau telah
terima 'Hay-te' dari ayah, kelak kalau bertemu dengan
Lim-pepek barulah kau minta beliau mengadakan
upacara resmi bagimu."
"Apakah Li-enghiong ada pesan lain lagi?" tanya Ciwan
pula. "Anak He, lekas menjura kepada kedua paman
ini," kata Bun-sing. "Ah, mana kami berani menerima
penghormatan ini," ujar Ci-wan dan Leng-hong.
"Jika kedua Gisu tidak sudi menerima penghormatan
bocah ini, maka kata-kata yang masih akan kusampaikan
tak berani ku teruskan lagi," kata Bun-sing.
Melihat kesungguhan Li Bun-sing itu, terpaksa Ci-wan
dan Leng-hong menerima penghormatan Li Kong-he.
"Mungkin aku tidak sanggup menjaga anak ini lagi,
untuk itu terpaksa mohon kedua Gisu sukalah
menjaganya," kata Bun-sing lebih jauh. "Kalian baru saja
kenal, tapi kalian sudah lantas diminta memikul beban
seberat ini, budi kebaikan ini hanya dapat dibalas
sesudah anak ini dewasa."
Sambil membangunkan Li Kong-he, Ci-wan berkata,
"Kami merasa beruntung dapat menjadi kawan Lienghiong
masakah kami berani menolak mencurahkan
sedikit tenaga kami. Aku malah ada suatu usul, entah Lienghiong
setuju atau tidak?" Melihat Ci-wan adalah orang jujur, Bun-sing menjadi
sangat percaya padanya, ia menjawab, "Usul Siau-toako
tentulah sangat baik. Silakan Siau-toako menerangkan."
Di kala menyebut mereka berdua, Bun-sing memakai
panggilan Gisu ( tuan budiman), tapi sekarang memangil
Siau Ci-wan sendiri dengan sebutan "Toako", terang
nadanya agak lebih mesra. Walaupun ini tidak disengaja,
tapi tidaklah enak bagi pendengaran Yap Leng-hong
sendiri. Dalam pada itu Ci-wan telah berkata pula, "Aku ada
sedikit hubungan kekeluargaan dengan Kang-tayhiap,
Kang Hay-thian, perjalananku ini justru hendak
berkunjung padanya. Maka aku bermaksud membawa
serta putramu ke sana dan biar saudara cilik ini
mengangkat Kang-tayhiap sebagai guru. Pertama, agar
mendapat didikan. Kedua, kita menjadi tidak perlu kuatir
akan gangguan dari anjing-anjing pemburu kerajaan.
Entah bagaimana pendapat Li-enghiong atas usulku ini?"
"Bagus, sudah tentu sangat bagus," sahut Li Bun-sing
dengan girang. "Bicara terus terang, aku belum kenal
Kang-tayhiap, tapi sudah lama aku kagum kepada beliau
dan ada maksud sebagaimana usulmu ini. Sekarang
engkau suka menjadi perantara, sungguh suatu hal yang
sangat menguntungkan bagi anak ini. He-ji, coba
kemari!" "Ada pesan apakah ayah?" sahut Kong-he.


Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"He-ji," kata Bun-sing. "Sejak kecil kau sudah berbeda
dari anak-anak lain, kau jarang merengek dan menangis.
Sesudah ayah meninggal hendaklah kau ingat baik-baik
harapan ayah atas dirimu yang sering ayah katakan
padamu itu. Selain itu, sekali lagi ayah melarang kau
mengucurkan air mata. Lim-pepek sudah terhindar dari
bahaya, kau pun sudah ada tempat berlindung yang baik,
sekarang apa yang kuharapkan lagi" Haha, apa yang
kuharapkan lagi?" Habis berkata, ia tertawa tiga kali, lalu tidak bersuara
lagi. Waktu Ci-wan memegang nadinya, ternyata Li Bunsing
sudah berhenti bernapas alias wafat.
"Ayah, ayah!" teriak Kong-he sambil merangkul tubuh
ayahnya, air mata berlinang-linang di kelopak matanya,
tapi katanya, "Ya, ayah. aku akan taat kepada pesanmu,
aku tetap dendam kepada musuh yang telah menjajah
tanah air kita, aku akan berbuat seperti engkau, akan
menjadi seorang patriot sejati. Aku takkan menangis, aku
akan menuntut balas!" Katanya tidak menangis, tapi
akhirnya air matanya menetes juga.
Dengan mengembeng air mata Ci-wan
membangunkan Kong-he, katanya, "Mati dengan berat
bagai Thay-san, hari ini ayahmu gugur bagi kepentingan
negeri dan berkorban bagi kawan, nama beliau tentu
akan harum sepanjang masa, maka hendaklah saudara
cilik suka menurut pada pesannya tadi agar janganlah
berduka, tapi lekas membereskan layonnya saja."
"Ya, Siautit (keponakan) masih terlalu muda dan tidak
tahu apa-apa, segala sesuatu masih mengharapkan
petunjuk-petunjuk kedua paman," sahut Kong-he.
Ci-wan berkata pula, "Ketua kuil Giok-hong-koan di
atas gunung ini, Ham-hi Tbtiang adalah sahabatku,
walaupun beliau adalah orang beribadat, tapi orangnya
sangat simpatik dan suka membantu kepada kawan. Di
dalam kuilnya ada tersedia peti jenazah sumbangan dari
para dermawan yang berkunjung ke kuilnya, maka kita
dapat minta bantuannya agar mencarikan orang untuk
mengebumikan jenazah ayahmu."
"Baiklah, banyak terima kasih atas perhatian Siausioksiok
Tapi apakah luka Siau-sioksiok sendiri tidak
berhalangan?" tanya Kong-he.
"Sesudah dibubuhi obat luka pemberian ayahmu yang
mujarab, lukaku sekarang sudah tak terasa sakit lagi dan
cukup kuat untuk melanjutkan perjalanan," kata Ci-wan.
"Rupanya kau buru-buru ingin pergi dari sini, biarlah
nanti sesudah kita bertemu dengan Ham-hi Totiang dan
minta bantuannya, lalu kita boleh turun gunung.
Mengenai nisan makam ayahmu, biarlah kelak kalau kau
sudah dewasa dan tamat belaiar barulah kau laksanakan
kewajibanmu sebagai seorang putra berbakti."
"Baiklah, memangnya kedua paman juga perlu
berganti pakaian yang bersih, supaya kita dapat
berangkat dengan baik," ujar Kong-he.
Maklum, sesudah mengalami pertempuran sengit tadi,
baju Ci-wan dan Leng-hong sudah kumal dan bernoda
darah. Diam-diam Ci-wan memuji ketelitian dan
kecerdikan anak yang pandai berpikir ini.
Kedatangan Siau Ci-wan dan Yap Leng-hong untuk
menikmati pemandangan matahari terbit di atas Thaysan
memangnya mondok di kuil Giok-hong-koan. Ham-hi
Totiang itupun seorang tokoh persilatan yang baik hati,
bahkan juga sesama orang pergerakan yang diam-diam
bekerja di bawah tanah untuk melawan kerajaan Boan,
hanya saja dja jarang menonjolkan diri, maka hanya
terbatas beberapa orang kawan karibnya saja yang tahu
akan seluk-beluknya. Sebelum mengetuai kuil Giok-hongkoan,
pernah juga Ham-hi bertapa di Jing-sia-san
sehingga ada hubungan baik dengan keluarga Siau, kalau
diurutkan masih terhitung angkatan tua dari Siau Ci-wan,
sebab itulah Ci-wan menaruh kepercayaan kepadanya
untuk menyelesaikan penguburan jenazah Li Bun-sing
dan kawanan bayangkara kerajaan Boan yang terbunuh
di atas gunung itu. Begitulah mereka bertiga lantas kembali ke Giok-hongkoan.
Sebelum tiba di depan kuil itu, tertampak Ham-hi
Tojin sudah menantikan kedatangan mereka dengan
wajah agak gelisah dan kuatir.
Selagi Ci-wan hendak menegur, tiba-tiba Ham-hi
memberi tanda agar jangan bersuara sambil menggeleng
kepala, lalu membawa mereka memutar ke samping kuil
dan masuk dari pintu belakang dan menuju ke suatu
kamar yang biasanya dipakai bertapa oleh Ham-hi.
Ci-wan dan Leng-hong merasa heran atas kelakuan
imam itu, tapi Ham-hi juga terperanjat melihat pakaian
kedua tamunya itu, ia mendahului bertanya, "Mengapa
demikian keadaan kalian?"
Segera Ci-wan menceritakan apa yang terjadi tadi.
Sambil mengelus-elus kepala Li Kong-he, berkatalah
Ham-hi, "Anak baik, janganlah kuatir. Tentang ayahmu
itu boleh serahkan padaku saja. Tapi saat ini aku belum
dapat keluar kuil, sebab masih harus mengerjakan
sesuatu urusan." "Apakah terjadi sesuatu di dalam kuilmu ini?" tanya Ciwan
cepat. "Hal ini tiada sangkut-pautnya dengan Giok-hongkoan,
sebaliknya menyangkut urusan kalian berdua,"
sahut Ham-hi. Leng-hong terkejut dan mendahului bertanya, "Urusan
apakah?" "Ada dua orang yang tak kukenal telah datang kemari
untuk mencari kalian berdua," tutur Ham-hi.
"Siapa nama mereka?" tanya Ci-wan
"Seorang di antaranya she Leng, dia meninggalkan
'kotak penghormatan' untukmu, boleh jadi di dalamnya
tertulis namanya," tutur Ham-hi. "Dan seorang lagi tak
mau memberitahukan namanya, dia juga lebih aneh
daripada orang she Leng itu."
"Mereka tidak datang bersama?" tanya Ci-wan.
"Tidak, orang she Leng itu datang lebih dulu," kata
Ham-hi. Lalu Ham-hi mengeluarkan sebuah kotak kayu
kecil, katanya lebih jauh, "Lebih dulu biarlah kuceritakan
orang she Leng ini, tampaknya dia adalah seorang
Kangouw yang suka berterus terang begitu datang dia
lantas menyatakan ada urusan penting ingin mencari
Siau Ci-wan, Siau-toaya. Aku menjawab tidak tahu
siapakah Siau Ci-wan. Namun aku pun kuatir kalau-kalau
dia benar-benar adalah kawanmu, maka aku menjawab
bahwa di dalam kuilku memang terdapat beberapa orang
tamu yang sedang keluar pesiar di atas gunung dan
entah di antaranya adakah terdapat seorang she Siau.
Kutanya apakah dia ada sesuatu urusan yang perlu
disampaikan, biarlah nanti kalau para tamu sudah pulang
dan ternyata ada tuan Siau yang dimaksudkan, maka
akan kusampaikan pesannya. Tapi orang she Leng itu
menyatakan belum pernah bertemu muka dengan kau,
tapi ada urusan penting yang harus dibicarakan
berhadapan. Dia meninggalkan kotak ini, katanya bila
engkau sudah melihat kotak ini dan ada maksud
menemuinya dengan sendirinya inilah yang dia harapkan,
sebaiknya kalau kau tidak mau bertemu dengan dia,
maka kotak ini boleh dikembalikan padanya dan dia iuga
takkan memaksa. Sekarang aku menyilakan dia
menunggu di kamar tamu."
"Kiranya adalah kawan yang belum pernah bertemu,
tapi darimanakah dia mengetahui jejakku ini, sungguh
agak aneh," ujar Ci-wan. Segera ia menaruh kotak itu di
atas meja, lalu mundur beberapa langkah, cepat
mengeluarkan sebilah belati terus disambitkan dari jauh.
Ternyata mahir sekali sambitannya itu, tepat kotak itu
kena tertimpuk bagian sela-sela tutupnya sehingga
terbuka dan tiada terlihat sesuatu yang mencurigakan.
Diam-diam Leng-hong memuji ketelitian saudara
angkatnya itu. Kemudian Ci-wan mengeluarkan sehelai kartu dari
dalam kotak. di atas kartu itu terlukis sebuah matahari
dan sabit (rembulan muda), di bawahnya ada empat
huruf yang artinya: "Tertanda tahu sendiri."
"Aneh, disangka tertulis apa-apa, kiranya toh tiada
sesuatu namanya," ujar Leng-hong dengan heran.
Sebaliknya Siau Ci-wan lantas bergelak tertawa,
katanya, "Kiranya Leng-cecu yang telah mengirim orang
untuk mencari diriku, ini benar-benar kawan yang sudah
lama saling mengagumi nama masing-masing."
"Siapakah Leng-cecu itu?" Leng-hong.
"Dia adalah seorang ksatria termuka di Sucwan utara,
yaitu satu di antara tokoh-tokoh yang disebut Li Bun-sing
tadi, namanya Leng Thian-lok, Cecu dari Tay-bong-nia di
Siau-bong-nia di Siau-kim-jwan. Dia menganggap
perlawanan kepada kerajaan Boan dan memulihkan
kerajaan Beng sebagai tugasnya yang suci, simbul
matahari dan sabit adalah huruf 'Beng' (dalam huruf
Tionghoa) huruf 'Beng' terdiri dari gabungan huruf-huruf
Jit (matahari) dan Gwat (rembulan) dan ini adalah panji
pengenalannya. Meski aku tidak pernah bertemu dengan
dia, tapi di rumah beberapa orang kawan aku pernah
melihat tulisan tangannya dan beberapa huruf ini
memang benar adalah tulisannya. Orang yang
menyampaikan kotak ini juga she Leng, tentunya adalah
anak atau keponakannya. Dia datang dari tempat jauh,
tentu adalah urusan penting, maka aku harus
menemuinya." "Nanti dulu!" tiba-tiba Ham-hi Tojin mencegah.
"Adakah sesuatu nasehat Totiang?" tanya Ci-wan.
"Bukankah masih ada seorang tamu lagi," ujar Ham-hi.
"Ya, benar," kata Ci-wan. "Aku justru hendak bertanya
bagaimana dengan tamu yang lain itu" Tadi kau
mengatakan dia jauh lebih aneh daripada orang she Leng
ini?" "Benar, orang she Leng itu begitu datang lantas
menyatakan ingin mencari kau. Tapi tamu yang lain itu
sangat pendiam dan mirip seorang pengunjung biasa,
begitu masuk kuil langsung menyulut dupa dan
bersembahyang, habis itu tampak longok ke sana dan
intip ke sini, aku menjadi curiga dan segera keluar untuk
melayaninya. Tiada lama dia bicara dengan aku, tanpa
diminta dia lantas memberikan derma 30 tahil perak. Dia
sangka aku adalah imam yang mata duitan, dengan
menerima dermanya tentu akan mudah memberi
keterangan yang dia hendak tanya. Benar juga, sesudah
memberi derma, dengan cengar-cengir dia lantas
bertanya padaku tentang wajah dan perawakan kalian, ia
bertanya apakah kalian berdiam di sini atau tidak?"
"Lalu bagaimana jawabmu?" tanya Ci-wan. .
"Karena merasa curiga, maka aku pun menjawab tidak
tahu dan menyatakan suka menyampaikan pesannya jika
di antara tamu-tamu pengunjung kami adalah orangorang
yang dia cari. Dia juga menyatakan ada sesuatu
urusan yang harus dibicarakan berhadapan dengan
kalian. Tapi dia tidak memberi tanda pengenal apa-apa
juga tidak mau mengatakan namanya. Terpaksa aku pun
minta dia menunggu di kamar tamu."
"Apakah dia berada di suatu kamar tamu yang sama
dengan orang she Leng itu?" tanya Ci-wan.
"Kau jangan kuatir. Masakah sedikit pengetahuan
umum kalangan Kanggouw aku tidak paham" Aku justru
telah memisahkan mereka dengan cukup jauh, yang satu
di kamar timur, yang lain di kamar barat, keduanya juga
tidak mengetahui satu sama lain."
Ci-wan tertawa lega, katanya, "Memangnya jahe tua
selalu lebih pedas, cara Totiang melayani mereka
memang sangat baik, pertanyaanku barusan terlalulah
berlebihan." Ia kuatir Leng-hong tidak paham, maka ia lantas
memberikan penjelasan, "Jika kedua tamu itu adalah
sama-sama kawan seperjuangan, tentu tidak menjadi
soal. Kuatirnya kalau satu di antaranya adalah anjing
pemburu kerajaan, hal ini tentu bisa menjadi urusan.
Pula, bila di luar tahu tuan rumah ternyata di antara
mereka pernah bermusuhan, lalu mereka kepergok di
sini, hal inipun dapat menjangkitkan keonaran yang tak
terduga. Sebab itulah adalah sangat bijaksana bahwa
Totiang telah memisahkan mereka di kamar yang
berlainan." "Asal-usul orang she Leng itu sudah jelas, tapi tamu
yang satu lagi itu belum terang" demikian Ham-hi
berkata pula. "Menurut pandanganku, orang itu jauh
lebih pendiam daripada orang she Leng mungkin bukan
orang dari kalangan baik. Malahan dia meyakinkan
sesuatu ilmu berbisa dari golongan jahat."
"Darimana Totiang tahu?" tanya Leng-hong dengan
terkejut. "Waktu dia menuliskan dermanya pada buku
sumbangan, diam-diam aku memperhatikan di telapak
tangannya terdapat tujuh titik bintik merah, ini adalah
ilmu pukulan Chit-poh-cu-seh-ciang. Siapa saja yang
terkena pukulannya, tidak sampai melangkah tujuh
tindak segera akan binasa. Tapi kalau tidak memiliki
Lwekang yang tinggi, dengan sendirinya pukulannya
yang berbisa itu takkan manjur untuk mencabut nyawa
sang korban dalam tujuh tindak. Walaupun demikian,
juga perlu berhati-hati menghadapi orang yang melatih
pukulan berbisa begitu. Siau-hiantit, coba kau pikir dulu,
apakah di antara sahabatmu terdapat seorang yang
meyakinkan Chit-poh-cu-seh-ciang (pukulan pasir merah
pencabut nyawa dalam tujuh langkah)?"
Pergaulan Siau Ci-wan memang sangat luas dan
meliputi berbagai golongan dan lapisan, makanya Ham-hi
bertanya padanya. Ci-wan merenung sejenak, katanya kemudian sambil
mengerut kening, "Aneh, aku merasa tidak pernah


Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mempunyai seorang kenalan yang mahir ilmu pukulan
demikian itu." "Bagaimana wajah orang itu?" tiba-tiba Leng-hong
bertanya. "Setengah tua dan agak gemuk, tiada sesuatu yang
luar biasa," sahut Ham-hi. "Ya, hanya ada satu tempat
yang agak berbeda daripada orang lain, yaitu alisnya tipis
dan jarang-jarang, pula berwarna kemerah-merahan."
"Alisnya tipis dan jarang, warna kemerah-merahan?"
Leng-hong menegas. "Apakah saudara Yap kenal dia?" tanya Ci-wan.
"Aku seperti pernah melihat seorang yang berciri
demikian," sahut Leng-hong. "Tapi aku pun tidak berani
memastikan, harus melihatnya dahulu baru bisa tahu
apakah dia atau bukan?"
"Bagaimana asal-usulnya dan dari kalangan mana?"
tanya Ci-wan. "Siaute sama sekali tidak tahu, aku pun menyangsikan
dia bukanlah orang baik-baik. Orang itu pernah cekcok
sedikit urusan denganku, agak panjang juga untuk
menceritakan, biarlah nanti saja kututurkan. Kukira besar
kemungkinan akulah yang hendak dicari olehnya. Maka
lebih baik begini saja, silakan Siau-toako pergi menemui
orang she Leng itu, orang ini biarlah aku yang
menghadapinya." Dari ucapannya ini terang Leng-hong
bermaksud menemui sendiri tamu yang aneh itu.
Melihat sikap Leng-hong yang agak aneh dan tuturkatanya
yang rada ragu-ragu itu, diam-diam Ci-wan
menyangka saudara angkatnya itu sungkan untuk
menerangkan sesuatu urusannya di hadapan Ham-hi
Totiang, maka bukannya dia mencurigai Leng-hong,
sebaliknya dia agak kuatir baginya. Segera ia berkata,
"Baiklah, kita boleh menemui tamu masing-masing.
Cuma Yap-hiante hendaklah berlaku hati-hati sedikit."
Leng-hong lantas berbangkit. Tiba-tiba Ci-wan berkata
pula, "Totiang, silakan kau membawa aku menemui dulu
orang she Leng itu, habis itu barulah kau membawa Yaphiante
kepada tamu yang lain. Kedua tamu itu toh bukan
satu rombongan, maka kita pun tak perlu menemui
mereka bersama." Rupanya Siau Ci-wan lebih berpengalaman dan juga
lebih dapat menyelami perasaan orang lain. Dia sengaja
minta bantuan Ham-hi Tojin untuk diam-diam membantu
Yap Leng-hong bilamana perlu, cuma ia tidak ingin
menyinggung perasaan Leng-hong tapi sengaja memakai
alasan. Begitulah sesudah Siau Ci-wan keluar dengan diantar
Ham-hi. Leng-hong sendiri menjadi tidak tenteram di
dalam kamar, pikirannya bergolak, pikirnya, "Orang ini
pasti adalah pesakitan she Cu dahulu itu. Sejak kecil aku
telah meninggalkan rumah, masakah dia masih dapat
mengenali diriku" Dahulu ayahku sengaja hendak
membebaskan dia, mungkin kemudian maksud ayah itu
telah dilaksanakan, maka dia sekarang dapat
mengembara di Kangouw lagi. Kabarnya dari pentolan
bandit dia telah berganti bulu menjadi anjing pemburu
kerajaan yang selalu bermusuhan dengan ksatria kaum
Kangouw, entah berita ini benar atau tidak" Jika benar,
ai, ini adalah dosa ayahku."
Lalu terpikir pula olehnya, "Wajahku sudah banyak
berubah, aku pun sudah berganti nama, pula berada
bersama Siau-toako, boleh jadi dia menganggap aku
adalah kawan perjuangan Siau-toako, maka dia sengaja
membikin susah padaku" Ya, atau barangkali ayah
mengetahui kepulanganku ke selatan ini, maka dia
dikirim kemari untuk memapak" Hm, aku sekarang sudah
berubah menjadi orang baru, mana dapat aku pulang ke
rumah" Aku pun tidak ingin orang lain mengetahui asalusulku
yang sebenarnya serta namaku yang asli."
Tengah bergolak pikirannya, sementara itu Ham-hi
Tojin sudah kembali. Ia membuka lemari obat dan
mengeluarkan sebutir pil, katanya, "Obat ini dapat
menolak hawa berbisa, bolehlah kau meminumnya."
Leng-hong juga tidak sungkan-sungkan lagi, sesudah
menghaturkan terima kasih ia lantas menerima
pemberian obat itu. Lalu Ham-hi berkata pula, "Orang yang melatih
pukulan berbisa itu, di atas tubuhnya tentu ada tiga
tempat titik kelemahan, pertama adalah di Leng-yan-hiat
di bagian iga, kedua di Lau-kiong-hiat di telapak tangan
dan ketiga adalah Tan-tian-hiat di bagian pusar. Asal
ketiga tempat itu diincar, biarpun ilmu silatnya jauh lebih
tinggi juga terpaksa ia harus menangkis dan
menghindari." "Biar kulihat dulu apa maksud kedatangannya, toh
belum tentu mesti bergebrak," ujar Leng-hong.
"Kalau tak perlu bergebrak, itulah paling baik," kata
Ham-hi. "Baiklah, sekarang akan kuantar kau ke sana."
Komplek kuil Giok-hong-koan itu sangat luas, dari
kamar pertapaan Ham-hi itu masih harus melalui
beberapa susun ruangan barulah dapat sampai di ruang
tamu. Ruang tamu itupun mempunyai belasan buah
kamar tamu yang jarak satu sama lain cukup jauh dan
terletak di kedua samping pendopo.
Ketika dekat dengan pendopo utama Tay-hiong-potian,
tiba-tiba Leng-hong berhenti dan berkata, "Totiang,
orang itu menunggu di kamar tamu mana, silakan kau
beritahukan padaku saja."
Melihat Leng-hong mempunyai maksud menemui
sendiri tamunya, sebagai orang yang berpengalaman,
dengan sendirinya Ham-hi merasa di antara mereka
tentu ada sesuatu rahasia yang tidak ingin didengar oleh
orang lain. Walaupun agak kurang senang, terpaksa ia
menunjukkan sebuah kamar dan berkata, "Di kamar
tamu itu, kau boleh melongok dulu dari luar, coba lihat
apakah tamu itu sudah kau kenal atau belum."
Leng-hong mengiakan. Setiba di depan kamar, benar
juga ia mengintip dulu dari luar, tampaknya agak raguTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
ragu sejenak dan memandang sekejap ke belakang, tapi
akhirnya ia masuk juga ke dalam kamar.
Ham-hi tidak lantas tinggal pergi, ia bersembunyi di
balik sebuah gunung-gunungan untuk mengawasi, dia
memang orang simpatik karena mendapat pesan Siau Ciwan
tadi, maka diam-diam ia ingin melindungi Yap Lenghong.
Sebenarnya tiada maksud Ham-hi hendak mencuri
dengar percakapan orang. Tapi selang tak lama
mendadak terdengar teriakan orang "Sam-koan, apa
yang kau lakukan" Baik ... baik sekali caramu ini Suara
itu agak kasar dan menyeramkan, sampai di sini
mendadak suara itu terputus.
Terang suara itu bukan suara Yap Leng-hong hal ini
benar-benar di luar dugaan Ham-hi. Sejak tadi ia kuatir
Leng-hong akan mengalami sesuatu cidera dari tamu
aneh itu, siapa duga justru terbalik, tamu aneh itu yang
telah cidera di tangan Yap Leng-hong.
Sesudah suara orang itu terputus mendadak, tapi
lantas terdengar suara gedubrakan jatuhnya macammacam
benda, mungkin orang itu telah kena serangan,
tapi tidak mengenai tempat berbahaya dan telah
bergebrak sengit dengan Yap Leng-hong.
Sebagai tuan rumah, dengan sendirinya Ham-hi tidak
dapat tinggal diam. Cepat ia berlari dan menerjang ke
dalam kamar sambil berseru, "Ada urusan apakah, harap
kalian bicara dengan baik-baik saja!"
Ia lihat tamu aneh itu dengan mata melotot dan
secara kalap sedang menubruk dan menyerang Lenghong
sambil mengeluarkan suara "uh-uh". Tapi tak dapat
bicara. Setiap pukulannya selalu membawa angin yang
berbau busuk. Pada Leng-yan-hiat di bagian iganya
tertampak luka tusukan, cuma tidak tepat mengenai Hiatto
itu, maka lukanya tidak parah. Tapi karena
kekuatannya jauh di atas Leng-hong maka pemuda itu
sudah terdesak sampai di dinding. Untung sebelumnya
Leng-hong sudah minum pil anti hawa berbisa pemberian
Ham-hi sehingga ia masih tahan pukulan lawan.
Sebaliknya atas petunjuk Ham-hi tadi, maka pedangnya
selalu mengincar titik-titik kelemahan musuh sehingga
tamu aneh itupun tidak berani terlalu mendesak maju.
Walaupun demikian, keadaan Leng-hong terang juga
terancam bahaya. Diam-diam Ham-hi heran melihat keadaan itu. Tamu
aneh itu hanya megeluarkan suara "ah-uh-ah-uh" saja,
terang dia punya Ah-hiat (Hiat-to yang membikin bisu)
tertotok. Mengapa begitu berhadapan
Leng-hong lantas menotok Hiat-to bisu lawannya"
Tengah Ham-hi bersangsi, tiba-tiba terdengar suara
"creng" sekali, selentikan jari tamu aneh itu telah
mementalkan pedang Leng-hong ke samping, menyusul
telapak tangan kiri terus membelah ke atas kepala
pemuda itu. Sebagai tuan rumah dan sebelum tahu jelas duduknya
perkara, dengan sendirinya Ham-hi tidak enak membela
salah satu pihak. Tapi demi nampak Leng-hong terancam
oleh pukulan maut tamu itu, terpaksa Ham-hi harus
bertindak, tanpa pikir lagi kebutnya lantas menyabet ke
arah tamu aneh itu. Kepandaian Ham-hi dengan sendirinya sangat tinggi,
tujuannya hendak menolong Yap Leng-hong pula, maka
serangannya yang lihai ini telah memakai hampir seluruh
tenaganya. Dengan cepat sekali tampaknya pukulan tamu aneh itu
sudah hampir mengenai sasarannya, di luar dugaan
mendadak kebut Ham-hi juga sudah menyambar tiba dan
Lau-kiong-hiat yang merupakan salah satu titik
kelemahannya tepat kena tersabet oleh ujung kebut.
Tanpa ampun lagi tamu aneh itu bersuara tertahan,
tenaganya jadi buyar dan terhuyung-huyung mundur.
Dan belum lagi Ham-hi sempat melerai, kesempatan itu
tidak disia-siakan lagi oleh Yap Leng-hong, secepat kilat
ia menubruk maju dan pedangnya lantas menikam.
Baru saja Ham-hi hendak berseru mencegah, namun
pedang Leng-hong sudah menembus perut tamu aneh
itu melalui pusarnya, terang jiwanya tak bisa tertolong
lagi. Melihat itu Ham-hi menjadi bertambah curiga, ia heran
mengapa Yap Leng-hong begitu terburu-buru
membinasakan tamu aneh itu, jangan-jangan ada
sesuatu rahasianya yang dipegang tamu itu sehingga
perlu membunuhnya untuk menutup mulutnya"
Dalam pada itu terdengar juga seruan Siau Ci-wan di
luar, "Yap-hiante jangan kuatir, aku sudah datang!"
Menyusul tertampaklah dia telah menerobos masuk, di
belakangnya mengikut seorang laki-laki setengah umur,
yaitu tamu yang mengaku she Leng itu.
Tapi waktu Ci-wan masuk kamar, sementara itu Lenghong
sudah mencabut kembali pedangnya dan tamu
aneh itupun sudah menggeletak di lantai dengan
berlumuran darah. "Yap-hiante, kiranya bangsat ini sudah kau bunuh, kau
sendiri terluka atau tidak?" tanya Ci-wan dengan girang
dan terkejut Ia menaruh kepercayaan penuh kepada
kawannya, kalau tamu aneh itu sampai dibunuh Lenghong
maka pastilah tamu itu adalah seorang penjahat,
demikian anggapan Ci-wan.
Leng-hong menggosok noda darah pedangnya di atas
bajunya sendiri dan menyimpan kembali senjata itu, lalu
berkata, "Banyak terima kasih atas bantuan Ham-hi
Totiang untung Siaute tidak sampai terluka. Hanya saja
kuil Ham-hi Totiang yang suci ini menjadi ikut ternoda."
Sedikitpun Ci-wan tidak menaruh curiga apa-apa,
sebaliknya Ham-hi tetap merasa sangsi, tiba-tiba ia
bertanya, "Siapakah orang ini?"
Belum lagi Leng-hong menjawab, sekonyong-konyong
tamu she Leng itu telah menyela, "Aku kenal orang ini!
Bagus, bagus sekali!"
Leng-hong memandang bingung kepada tamu she
Leng itu, sedang Ci-wan lantas memperkenalkan mereka,
"Saudara ini adalah keponakan Leng-cecu dari Siau-kimjwan,
namanya Tiat-jiau. Dan ini adalah saudara
angkatku, Yap Leng-hong." Habis itu ia lantas bertanya,
"Siapakah orang ini, mengapa Leng-toako mengatakan
bagus sekali?" "Bangsat ini adalah pengkhianat golongan Hek-to
(kaum bandit) yang dosanya tak terampunkan," sahut
Leng Tiat-jiau. "Dengan membinasakan dia, paling tidak
Yap-enghiong telah ikut membasmi satu penyakit bagi
dunia Kangouw kita."
Baru sekarang Ci-wan dan Ham-hi paham, kiranya
"bagus sekali" yang dimaksudkan Leng Tiat-jiau ialah
memuji Yap Leng-hong karena orang yang dibunuh
olehnya itu adalah tepat.
"Hahaha!" Leng-hong bergelak tertawa. "Aku hanya
tahu dia adalah anjing pemburu pemerintah Boan yang
kejam, tapi tidak jelas nama dan asul-usulnya. Jika
demikian aku memang tidak salah membunuhnya."
Kiranya Leng-hong juga cukup cerdik, walaupun
kurang pengalaman. Ia pun merasa dirinya telah
dicurigai oleh Ham-hi Tojin, maka ucapannya
sesungguhnya ditujukan kepada Ham-hi. Imam itu
ternyata diam saja seperti sedang berpikir.
Namun Leng-hong juga masih kebat-kebit, ia tidak
tahu sampai dimana pengetahuan Leng Tiat-jiau atas
tamu aneh yang telah dibunuhnya itu. Sebab itulah ia
pura-pura tidak kenal nama dan asal-usul korbannya itu
dan membiarkan Leng Tiat-jiau yang bercerita lebih dulu.
Maka Leng Tiat-jiau telah menutur, "Kira-kira belasan
tahun yang lalu di kalangan Hek-to terdapat seorang
bandit besar yang sangat terkenal, namanya Cu Goan
dan berjuluk 'Chit-poh-tui-hun-jiu' (pukulan maut dalam


Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tujuh langkah). Dia bukan lain adalah orang yang sudah
mati ini." "O, kiranya dia adalah iblis yang pernah seorang diri
membinasakan 13 gembong Cecu di daerah Siamsay
dahulu itu," kata Ci-wan.
Apa yang dikatakan itu adalah peristiwa yang
mengguncangkan kalangan Lok-lim yang terjadi pada 20
tahun yang lalu, tatkala itu Ci-wan sendiri belum lagi
dewasa, tapi ia pernah mendengar cerita dari kakeknya,
yaitu Siau Jing-hong. "Ya, betul, memang dia ini," sahut Tiat-jiau, lalu
tuturnya pula, "Sesudah peristiwa itu, seketika Cu Goan
lantas menjadi gembong yang disegani di kalangan Hekto.
Beberapa tahun kemudian, mendadak dia menghilang
dari dunia Kangouw. Ada orang mengatakan dia sengaja
menyembunyikan diri untuk menghindari pencarian
musuh, tapi ada juga yang mengatakan bahwa dia sudah
kaya raya, maka sudah cuci tangan dan kembali ke
masyarakat ramai untuk menikmati hasilnya. Padahal
kedua macam dugaan itu semuanya tidak betul."
"Tidak betul semua" Habis mengapa dia menghilang?"
tanya Ci-wan. "Masakah dia dengan suka rela menghilang" Adalah
karena terpaksa, dia telah ditangkap pihak yang berwajib
dan dijebloskan ke dalam penjara," kata Tiat-jiau.
"Aneh, begitu tinggi kepandaiannya juga kena
ditangkap oleh yang berwajib?" Ci-wan menegas dengan
heran. "Pembesar macam apakah itu sehingga mampu
menangkapnya?" "Kabarnya dia tertangkap di kota Siangyang," tutur
Tiat-jiau lebih jauh. "Waktu itu yang menjabat Tihu
(walikota) Siangyang adalah seorang she Yap juga,
namanya aku sudah lupa. Walaupun seorang pembesar
sipil, tapi terdapat beberapa orang bawahannya yang
pandai, malahan ada orang mengatakan dia sendiri pun
memiliki ilmu silat yang lihai. Cuma saja dia tidak pernah
menonjolkan diri, maka tiada orang yang tahu persis
sampai dimana kepandaiannya yang sebenarnya. Dan
kabarnya adalah dia sendiri bersama beberapa
pembantunya yang telah menangkap Cu Goan."
"Apakah Yap-tihu itu adalah Yap Siau-ki yang sekarang
menjabat sebagai gubernur Siamsay dan Kamsiok itu?"
tiba-tiba Ham-hi Totiang bertanya.
"Itulah aku kurang jelas," sahut Tiat-jiau. "Tatkala itu
aku masih kecil, hanya dari obrolan kakek dengan para
tamu kudengar tentang peristiwa itu. Apakah Totiang
sendiri mengetahuinya juga?"
"Aku hanya menduga-duga saja, sebab pembesarpembesar
she Yap yang berkedudukan lebih tinggi
daripada Tihu sekarang hanya Yap Siau-ki saja," sahut
Ham-hi. Leng-hong merasa lega, pikirnya, "Untung mereka pun
tidak terlalu jelas tentang seluk-beluk Cu Goan."
Lalu Leng Tiat-jiau menyambung pula ceritanya,
"Sesudah itu kabarnya Cu Goan telah menyerah kepada
pembesar she Yap dan berubah menjadi antek
pemerintah Boan yang khusus memusuhi kawan-kawan
Kangouw, akhirnya Cu Goan naik pangkat dan mencari
bayangkara kerajaan, sering pula dia ditugaskan menjadi
mata-mata pemerintah di kalangan Kangouw. Pernah
sekali dia kepergok oleh pamanku, maka terjadilah
pertarungan sengit, dia kena dilukai paman, tapi berhasil
melarikan diri. Tak terduga hari ini dia bisa muncul di sini
dan mati di ujung pedang saudara Yap."
"Tanpa bantuan Ham-hi Totiang, mungkin Siaute
sendiri sudah binasa di bawah pukulan bangsat ini,"
sahut Leng-hong rendah hati.
Baru sekarang rasa sangsi Ham-hi mulai lenyap,
pikirnya, "Kiranya orang ini adalah Cu Goan yang telah
dibuktikan oleh Leng Tiat-jiau sebagai kaki tangan
kerajaan Boan. Jika demikian Yap Leng-hong memang
tidak salah membunuh orang, kalau tidak, tentu akulah
yang berdosa." "Dan sebab apakah Yap-hiante bermusuhan dengan
orang she Cu ini, jika engkau tidak kenal nama dan asalusulnya?"
tiba-tiba Ci-wan bertanya.
Leng-hong memang sudah menduga akan adanya
pertanyaan demikian, maka ia lantas menjawab,
"Permulaan tahun ini, waktu Siaute dalam perjalanan
tiba-tiba merasa telah dikuntit orang. Malam itu aku
menginap di sebuah hotel, pada saat terakhir mendadak
aku telah ganti kamar, kamar yang pertama kemudian
juga telah, disewa orang. Siapa duga malam itu benarbenar
ada orang menyatroni aku, untung aku telah ganti
kamar sehingga yang menjadi korban adalah tamu
penghuni bekas kamarku itu. Ketika semua orang
terkejut oleh jeritan ngeri dan beramai-ramai mendatangi
kamar itu, kulihat tamu itu sudah mati dengan dada
terbuka dan terdapat bekas luka pukulan dengan tujuh
titik bintik merah."
"Ya, betul, itulah ciri bekas kena pukulan Chit-poh-cusehciang" kata Tiat-jiau. "Keadaan saudara Yap pada
waktu itu sungguh berbahaya sekali."
"Benar, aku menjadi sangat menyesal telah
mengakibatkan korban orang lain," sahut Leng-hong
dengan gegetun. "Sungguh aku tidak paham, aku toh
tiada pernah kenal dia, mengapa dia menguntit aku dan
hendak menyergap diriku secara keji?"
"Soalnya cukup jelas," ujar Ci-wan. "Bangsat ini kan
suka memusuhi pahlawan-pahlawan yang anti kerajaan
Boan" Mungkin kau telah dicurigai dia, maka kau hendak
dibunuh olehnya. Tapi dalam kegelapan bangsat ini telah
keliru membunuh orang tanpa sadar."
"Ya, memang sesudah itu aku pun tidak dikuntit orang
lagi," kata Leng-hong. Lalu ia menghela napas dan
menyambung pula, "Walaupun demikian aku merasa
tidak enak karena telah menyebabkan kematian orang
lain yang tak berdosa. Diam-diam aku telah mengingat
baik-baik wajah bangsat ini. Siapa duga ajalnya mungkin
sudah ditakdirkan akan tamat, maka dia telah
mengantarkan sendiri ke sini. Untung juga ada bantuan
Ham-hi Totiang sehingga dapatlah membunuhnya."
Meski Ci-wan dan Tiat-jiau dapat mempercayai cerita
yang dikarang Yap Leng-hong ini, tapi rasa curiga Ham-hi
Tojin masih belum lenyap seluruhnya, pikirnya, "Jika
menurut ceritanya, jadi dia tidak pernal kenal Cu Goan
ini, tapi mengapa tadi Cu Goan terdengar memanggilnya
'Sam-koan' apa" Sebutan demikian lazimnya adalah
panggilan seorang hamba terhadap tuan mudanya.
Pula, begitu menyerang Yap Leng-hong lantas menotok
Ah-hiatnya, terang dia sengaja membikin Cu Goan agar
tidak dapat bicara. Apa sih yang dikuatirkanYap Lenghong
atas diri Cu Goan?" Begitulah sedikit banyak.Ham-hi dapat menerka, di
antaranya Cu Goan dan Yap Leng-hong pasti ada sesuatu
hubungan yang tak ingin diketahui orang lain. Terpikir
pula olehnya, "Tak peduli apa hubungan antara Cu Goan
dan Yap Leng-hong, yang terang Cu Goan adalah kaki
tangan kerajaan, matinya tidak perlu disayangkan lagi.
Kalau melihat tindakan Yap Leng-hong hari ini yang telah
menolong Li Bun-sing dan putranya dengan mati-matian,
betapapun dia juga tergolong seorang pendekar yang
berbudi. Kalau ada rahasia pribadinya yang tidak ingin
diketahui orang lain, buat apa aku mesti menyelidikinya?"
Kemudian Ham-hi lantas menyuruh beberapa anak
muridnya membereskan mayat Cu Goan. Begitu pula
beberapa murid yang lain disuruh mengubur jenazah Li
Bun-sing serta beberapa korban lain di Giok-hong-teng.
Dan baru sekarang Ci-wan dapat bicara baik-baik
dengan Leng Tiat-jiau, tadi karena terburu-buru ingin
membantu Yap Leng-hong, maka mereka belum sempat
bicara. Ci-wan mulai bertanya maksud kedatangan Leng
Tiat-jiau. "Tentang pemupukan kekuatan pamanku yang hendak
mengadakan pergerakan melawan kerajaan, hal ini tentu
sudah kau ketahui," tutur Tiat-jiau. "Sekarang sudah tiba
waktunya, Pek-lian-kau telah mengacau di daerah Oulan
dan Oupak, laskar rakyat di daerah Holam di bawah
pimpinan Liap Jin-kiat juga mulai bergerak dan
menduduki beberapa kota. Pemerintah Boan sekarang
sedang memusatkan pasukannya untuk menghadapi Pekliankau dan laskar rakyat Holam sehingga tidak sempat
lagi mengawasi propinsi-propinsi yang terletak agak jauh
seperti Sucwan, Hunlam, Kuiciu dan lain-lain. Jadi
menurut pamanku, sekarang ini merupakan kesempatan
paling bagus untuk ikut bergerak, terutama dapat
memencarkan kekuatan Boan, secara tidak langsung juga
Harpa Iblis Jari Sakti 30 Pedang Pembunuh Naga Penggali Makam Karya Tan Tjeng Hun Perjodohan Busur Kumala 7

Cari Blog Ini