Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen Bagian 11
diri sebagai ksatria-ksatria ini hendak mengandalkan
jumlah banyak" Mana Kang Hay-thian" Aku hendak
bicara padanya!" Oleh karena permintaan mengundurkan diri dari Kok
Tiong-lian tadi belum ada keputusan, sudah tentu ia
masih sebagai Ciangbunjin Bin-san-pay dan ketua rapat,
maka berkatalah ia, "Siapakah saudara ini" Kau hendak
membela Nyo Ceng, tetapi tahukah kau bagaimana
perbuatannya" Dan perlu apa kau hendak menemui Kang
Hay-thian?" "Tentulah kau ini Ciangbunjin Bin-san-pay, nyonya
Kang, bukan" Eh, apakah suamimu belum datang" Ah,
sia-sia saja perjalananku ini," sahut tetamu aneh itu.
Baginya hanya Kang Hay-thian yang diperlukan, lain
tokoh dianggap sepi saja.
"Sekalipun Kang-tayhiap tidak berada di sini, tetapi
asal saudara menerangkan maksud kedatanganmu, kami
di sini tentu takkan mengecewakan keinginanmu," seru
Siong-ciok Tojin dengan marahnya.
Kok Tiong-lian tak mau banyak putar lidah, serunya,
"Bagaimana sebenarnya dengan Nyo Ceng" Putuskan
dulu soal itu, baru nanti kita bicara lain-lainnya."
Tetapi tampaknya tetamu aneh itu hilang gairahnya,
dengan acuh tak acuh ia menjawab, "Apa yang dilakukan
Nyo Ceng, coba kau bilang!"
"Rupanya kau hanya pura-pura tak tahu. Bangsat kecil
itu ikut datang bersamamu, masakah kau tak mengetahui
persoalan Nyo Ceng?" teriak Loh Ing-ho.
Orang itu mengerutkan sepasang alisnya, "Fui, belum
terang hitam putihnya, mengapa kau memaki-maki
orang?" Jarak orang itu dengan Loh Ing-ho kira-kira 10-an
tombak, suatu jarak yang sukar dicapai timpukan senjata
rahasia oleh orang persilatan, tetapi waktu mengakhiri
kata-katanya, tetamu aneh itu menudingkan jarinya ke
arah Loh Ing-ho, seketika Loh Ing-ho merasakan seperti
ada suatu ujung golok yang tak kelihatan sedang
menusuknya. Sekalipun Loh Ing-ho seorang jago tua
yang mempunyai pengalaman berpuluh tahun, namun
tak urung menggigil juga perasaannya.
"Baik, sekarang biarlah segenap ksatria dari empat
penjuru memberi pertimbangan apakah Nyo Ceng itu
pantas dikutuk atau tidak. Nyo Ceng masuk menjadi
budak pemerintah Cing, kemudian ia menyuruh anaknya
datang ke Bin-san menculik orang. Kecuali kau memang
komplotannya, kalau tidak, tak nanti kau membelanya!"
kata Kok Tiong-lian. "Benar, karena ia hendak membela Nyo Ceng, maka
kita harus meminta pertanggung jawabannya!" teriak
para hadirin yang marah melihat kesombongan tetamu
itu, tetapi dikarenakan mengingat kedudukannya sebagai
tokoh-tokoh ternama, tak mau mereka maju
mengeroyok. Apalagi di gunung Bin-san situ mereka
harus menurut perintah Kok Tiong-lian baru berani
bertindak. Di bawah pancaran kemarahan dari hadirin, tetamu itu
dingin saja menjawab, "Siapakah orangmu yang
ditangkap keponakanku ini?"
"Murid terkecil Kang Hay-thian yang hendak kau temui
itu, dia seorang anak kecil, baru 14 tahun umurnya,"
sahut Kok Tiong-lian. Orang berjubah biru itu tertawa mengejek, "Ha, kukira
urusan yang hebat, kiranya hanya murid Kang Hay-thian
saja. Menangkap murid Kang Hay-thian .masakah lantas
dicap sebagai budak kerajaan" Mengapa memfitnah
orang semaumu sendiri, bahkan diriku pun turut dimakimaki"
Hm, sekalipun raja Boan-jiu tak dapat mengusir
aku. Jangan coba main gertak sambal padaku!"
Ucapan itu mengejutkan segenap hadirin, kalau
golongan antek kerajaan tak nanti orang berjubah biru
berani memaki raja. Kok Tiong-lian termenung beberapa
saat, diam-diam ia memperhatikan diri tetamu itu,
kemudian berkata, "Tetapi mengapa kalian perlu
menculik murid Kang Hay-thian itu?"
Pada saat itu terdengar derap kaki serombongan
orang yang tengah mendaki lereng gunung, rupanya
mereka menuju ke makam juga. Hadirin segera
menyongsong. "Hai, siapa kalian?" tegur Kok Tiong-lian dengan
menggunakan ilmu Lwekang untuk melontarkan
suaranya, tampaknya perlahan saja ia bicara tetapi cukup
melengking keras di telinga rombongan orang yang
datang itu. Rombongan pendatang itu rata-rata berilmu tinggi,
tetapi setelah mendengar Lwekang Kok Tiong-lian
sedemikian hebat, mereka pun tertegun berhenti.
Orang jubah biru itu tertawa gelak-gelak, serunya,
"Mereka adalah sahabatku dan setengahnya adalah
bujang-bujangku, mereka hendak ikut hadir dalam rapat
besar 'ksatria gagah' di Bin-san ini, maka mereka
tergolong tetamu juga, mengapa kalian begitu gugup"
Eh, apakah kalian tak senang menerima kedatangan
mereka?" Rapat orang gagah di Bin-san itu sebenarnya adalah
rapat rahasia para pendekar gagah pejuang tanah air,
sekali-kali bukan rapat umum dimana segala orang boleh
hadir. Bagi orang yang tak menerima undangan, tentu
dibawa oleh orang yang sudah diketahui pahamnya oleh
rapat. Bahwa seorang jubah biru datang tanpa diundang,
bahkan membawa bujang-bujang rumahnya, ini
merupakan suatu penghinaan bagi Bin-san-pay dan
secara tak langsung juga meremehkan sekalian orang
gagah. Namun Kok 'Tiong-lian cukup besar toleransinya, tak
mau ia hanya memikirkan soal pelanggaran aturan itu
saja, tetapi yang penting ia -menguatirkan tentang
keselamatan murid-murid Bin-san yang bertugas
menjaga keamanan gunung. Sebagai organisasi yang
dicap menentang pemerintah, Bin-san-pay selalu
memperkuat penjagaan gunung, apalagi pada waktu
rapat besar berlangsung, penjagaan makin diperkuat.
"Tak kupusingkan kalian ini siapa, tetapi jika kalian
sampai melukai seorang murid Bin-san-pay saja, tentu
takkan kulepaskan kalian pulang. Lim-supek, silakan kau
memeriksa mereka." Sekalian orang gagah segera mengepung kawanan
pendatang itu, sewaktu-waktu siap untuk menghajarnya
setelah nanti Lim Seng selesai mengadakan pemeriksaan.
Tetamu jubah biru itu masih tertawa, "Jangan kuatir
Kok-ciangbun, aku tak melukai seorang muridmu pun.
Hanya karena mereka merintangi kedatanganku kemari
terpaksa kutotok jalan darah mereka, tetapi tak apa,
setengah jam kemudian mereka tentu akan dapat
bergerak lagi." Kini baru Kok Tiong-lian mengerti, kiranya tetamu
jubah biru lebih dulu datang untuk 'meratakan jalan',
menotok para petugas keamanan gunung, setelah itu
barulah rombongan bujang-bujangnya naik ke atas. Jika
hal itu benar, nyata bahwa Ginkang dan Tiam-hiat (ilmu
totok) orang berjubah biru itu luar biasa sekali.
"Siapa yang mengundang kalian datang kemari"
Mengapa kau menyalahkan anak murid Bin-san-pay
menghadang jalanmu. Baik, karena kau begitu kurang
tata hormat, aku pun tak mau bertanya lagi siapa kalian.
Coba sebutkan keinginanmu dan sekali-kali jangan
menuduh kami mengandalkan jumlah banyak." Dengan
ucapan itu Kok Tiong-lian telah menempatkan kawanan
bujang rumah si tetamu itu sebagai musuh, tetapi ia
memberi kelonggaran untuk menyelesaikan persoalan itu
menurut tata cara orang persilatan.
Orang berjubah biru itu menengadah ke langit dan
tertawa lebar, "Bagus! Hahaha, lucu benar!"
"Apanya yang lucu?" semprot Kok Tiong-lian.
Orang itu tetap tertawa gelak-gelak, "Kalian menyebut
diri sebagai ksatria, tetapi siapakah yang memberi
gelaran itu" Apakah kalian sendiri yang pasang merk"
Mengapa hanya orang-orang yang kau undang pantas
disebut ksatria" Apakah mereka saja yang boleh hadir
dalam rapat ini" Hahaha, apakah hal ini tak
menggelikan?" "Ksatria haruslah manusia-manusia yang menjunjung
kebenaran, seorang baru boleh menyebut dirinya ksatria
kalau sudah diakui oleh sebagian besar kaum persilatan.
Orang yang asal-usulnya gelap, tentu tak dapat kami
golongkan dalam kaum ksatria," sahut Kok Tiong-lian.
Kembali orang berjubah biru itu tergelak-gelak,
"Ucapan itu tak berlaku, berapakah jumlah kaum
persilatan itu" Dan berapa pula jumlah yang berkumpul
di sini sekarang" Apakah kau yang menentukan siapasiapa
yang dapat dianggap sebagai ksatria" Dan bagi
orang yang belum terkenal di Bu-lim apakah tiada
seorang pun yang mungkin menjadi ksatria?"
Pertanyaan si baju biru yang juga beralasan membuat
Kok Tionglian merasa serba sukar untuk menjawab dan
memberi penjelasan. Adalah Loh Ing-ho yang merasa
tidak sabar, segera ia berteriak, "Huh, kau tak perlu main
pokrol di sini. Pendek kata kau datang bersama bangsat
cilik itu, terang kalian adalah satu komplotan bersama
kaum anjing kerajaan, tapi kau masih menganggap
dirimu sebagai ksatria" Ciangbunjin, tak perlu buang
waktu lagi, silakan memberi perintah seperlunya."
"Enyahkan semua orang itu! Bekuk bangsat cilik she
Nyo itu, suruh mereka menukar dengan To-kan," kata
Tiong-lian dengan suara tegas.
"Bagus!" teriak si baju biru. "Jika demikian bolehlah
kita ukur menurut ilmu silat masing-masing untuk
menentukan siapa terhitung ksatria."
Pada saat kedua pihak sudah hampir mulai bertempur,
tiba-tiba terdengar suara orang berseru, "Nanti dulu!"
Suara orang itu cukup dikenal oleh para tokoh cabang
persilatan yang hadir di Bin-san, mereka tercengang.
Dalam pada itu dengan cepat sekali orang itupun sudah
sampai di atas gunung, kiranya adalah Kay-pang Pangcu
Tiong Tiang-thong. Sebenarnya Tiong Tiang-thong ada urusan dan
berangkat ke utara, maka muridnya Goan It-tiong yang
disuruh ikut hadir dalam rapat Bin-san ini. Kalau menurut
angkatan dan kedudukan, terutama Kay-pang sebagai
organisasi terbesar di dunia persilatan, maka tingkatan
Tiong Tiang-thong masih di atas Kok Tiong-lian dan lainlain,
sejajar dengan tokoh tua Thian-san-pay seperti
Ciong Tian. Sebab itulah para ksatria merasa kejut-kejut
girang atas kedatangan Tiong Tiang-thong, mereka telah
bertambah jago terkuat. Setiba di depan orang baju biru, Tiong Tiang-thong
lantas memberi salam dan menyapa, "Apakah saudara
adalah Tiok Sian-hu dari Giok-ping-san?"
Si baju biru tampak melengak, rupanya dia pun belum
penah kenal Tiong Tiang-thong, tapi dari dandanan serta
sikap para ksatria yang menghormat terhadap Tiong
Tiang-thong, segera ia dapat menduga siapakah yang
berada di hadapannya itu, maka ia pun tidak berani
kurang adat, cepat ia membalas hormat dan menjawab,
"Haha, orang bilang Kay-pang sangat luas jaringan
pemberitaannya, nyatanya memang benar. Orang she
Tiok cuma seorang gunung saja, siapa duga Tiongpangcu
juga tahu akan diriku yang rendah ini."
Di balik kata-katanya itu dia sengaja menyindir para
hadirin yang tiada seorang pun yang mengenalnya tadi,
para ksatria memangnya juga terheran-heran, mereka
tidak tahu siapakah Tiok Siang-hu itu, mengapa tidak
pernah mendengar namanya"
Hanya Kok Tiong-lian seorang saja lantas teringat
sesuatu, "Orang ini she Tiok, boleh jadi orang inilah yang
telah menawan Kong-he dan dijadikan kacung di
rumahnya." Tentang Li Kong-he dibawa pergi oleh seorang gadis
cilik she Tiok, hal ini sudah dicek kebenarannya oleh
Kang Hay-thian kepada Siangkoan Thay, maka
sepulangnya Lim To-kan, hal itu telah dilaporkan juga
kepada Kok Tiong-lian, meski nama lengkap Tiok Sianghu
belum dikenalnya, begitu pula asal-usulnya. Siapa
duga sekarang Tiok Siang-hu sendiri telah datang pula ke
Bin-san. Kok Tiong-lian menjadi ragu-ragu, pikirnya, "Tiongpangcu
sengaja melerai, tentu beliau tahu asal-usul
orang she Tiok ini. Biarlah dengarkan dulu apa yang akan
dikatakan olehnya." Maka ia lantas memberi tanda agar
para ksatria yang sudah siaga tadi mundur dahulu.
Sementara itu dengan lantang Tiong Tiang-thong telah
berkata pula, "Ya, nama saudara cukup kukenal, bahkan
aku pun cukup mengetahui urusanmu, sebaliknya
saudara mungkin belum tahu urusan sendiri."
Tiok Siang-hu tampak kurang senang. "Apa arti
ucapanmu ini?" tanyanya.
"Nyo Ceng adalah adik iparmu, tapi apakah kau
mengetahui bahwa dia sudah menggabungkan diri pada
kerajaan" Kau tampil ke muka membelanya, kau telah
tertipu olehnya tanpa sadar, sungguh aku ikut merasa
penasaran bagimu." Air muka Tiok Siang-hu berubah mendadak,
semprotnya, "Kau sembarangan mengoceh apa" Desasdesus
yang tiada buktinya, masakah seorang Pangcu
seperti juga dapat mempercayainya begitu saja?"
"Nyo Ceng telah rela menjadi anjing pemburu
kerajaan, aku mempunyai bukti yang nyata, jadi bukan
sembarangan menuduh lataran dia telah menculik murid
Kang-tayhiap," sahut Tiang-thong "Hm, agaknya yang
gampang percaya kepada ocehan orang adalah saudara
Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sendiri." "Bukti apa yang kau punyai?" jengek Tiok Siang-hu.
"Apakah kau belum tahu bahwa Nyo Ceng telah
membujuk Siangkoan Thay untuk melawan kau, lantaran
Siangkoan Thay tidak mau menurut, maka Nyo Ceng
telah menyerangnya hingga terluka, sekarang dia
mengatur perangkap pula untuk mengadu-dombakan kau
dengan Kang-tayhiap. Apakah maksud tujuannya" Tak
lain adalah karena dia sudah menjadi antek kerajaan, dia
sengaja hendak mengadu-domba agar kau saling bunuh
dengan para ksatria di seluruh dunia."
"Lalu ada bukti lain atau tidak?" tukas Tiok Siang-hu
dengan menarik muka. "Apakah bukti-bukti itu tidak cukup?" ujar Tiong Tiangthong.
"Jika perlu boleh silakan pergi ke Thian-pit-hong,
mungkin luka Siangkoan Thay sampai sekarang belum
sembuh dan dia tentu akan bicara padamu."
"Siangkoan Thay sudah pernah mengunjungi
tempatku," sahut Tiok Siang-hu dengan tertawa dingin.
"Dia adalah adik iparku, aku cukup tahu sebab apakah
mereka bercekcok. Pendek kata urusan kami sendiri tidak
perlu kau ikut campur dan memecah-belah."
"Kau anggap aku manusia apa?" seru Tiong Tiangthong
dengan gusar. "Bukankah kau ingin memupuk
kekuatan dan berdiri sendiri, tidak mau takluk kepada
kerajaan" Justru karena mengetahui maksud tujuanmu
ini, maka Nyo Ceng telah menghasut Siangkoan Thay
untuk melawan kau bersama."
"Hm, aku tahu Siangkoan Thay telah sengaja
membiarkan kau mencari bahan obat di tempat
kediamannya, jika kau diberitahu sedikit tentang diriku
juga tidak perlu heran," kata Tiok Siang-hu.
Rupanya Tiok Siang-hu sudah dicekoki oleh macammacam
hasutan oleh Nyo Ceng sehingga percaya penuh
padanya, sebaliknya Siangkoan Thay malah dianggap
sebagai pengkhianat. Soalnya Tiok Siang-hu ingin
menjodohkan putrinya kepada putra Nyo Ceng, yaitu Nyo
Hoan, ditambah lagi Nyo Hoan dan Nyo Ceng memang
pandai bicara dan menghasut sehingga Tiok Siang-hu
kena dipengaruhi. Keruan Tiong Tiang-thong berjingkrak gusar, sungguh
ia ingin segera melabraknya, tapi Kok Tiong-lian keburu
menyela, "Tiong-pangcu, tak perlu engkau marah
terhadap seorang yang tidak tahu diri. Baiklah Tioklosiansing,
masa bodohlah jika kau tetap memandang
Nyo Ceng sebagai orang baik. Marilah kita kembali
kepada persoalan pokok, Nyo Ceng telah menculik orang
kami, lalu cara bagaimana kau akan bicara?"
"Tindakan Nyo Ceng itu tidak lain hanya ingin
membalas dendam pukulan di Thian-pit-hong tempo hari,
mana boleh kalian lantas menuduhnya sebagai anjing
pemburu pihak kerajaan?" sahut Tiok Siang-hu. "Adalah
layak jika orang Bu-lim seperti kita ingin
mempertahankan pamor. Asal kau suruh Kang Hay-thian
minta maaf padanya, aku tanggung dia akan segera
mengembalikan muridnya."
Apa yang dikatakan Tiok Siang-hu ini sebenarnya
adalah rencana Nyo Ceng, ia tidak tahu bahwa tipu
muslihat Nyo Ceng itu justru hendak mendorong dia
bertempur mati-matian dengan Kang Hay-thian dan para
ksatria, dengan demikian dia yang akan menarik
keuntungan. Benar juga Kok Tiong-lian lantas berkata, "Hay-thian
tidak berada di sini, biarlah aku yang mewakilkan dia.
Pendek kata aku hanya ingin minta Nyo Ceng
mengembalikan murid Kang Hay-thian. Kalau tidak,
silakan kau kemukakan cara bagaimana
penyelesaiannya?" "Karena Kang Hay-thian tidak ada, maka aku ada dua
syarat," kata Tiok Siang-hu. "Pertama, permintaan maaf
Kang Hay-thian kepada Nyo.Ceng dapat dilakukan di
kemudian hari dengan disaksikan hadirin yang ada
sekarang ini. Cara kedua ialah jika kalian ingin
menyelesaikan urusan pada hari ini juga, maka bolehlah
silakan kalian berurusan dengan aku. Asalkan satu di
antara kalian dapat menangkan aku, aku pun
bertanggung jawab akan mengembalikan murid Kang
Hay-thian." Diam-diam Kok Tiong-lian menjadi ragu-ragu, kalau
menurut ucapan Tiong Tiang-thong tadi, agaknya orang
she Tiok inipun bermusuhan dengan pihak kerajaan, tapi
mengapa dia mati-matian membela Nyo Ceng yang
terang rela menjadi antek kerajaan itu" Namun orang
sudah menantang, terpaksa ia menghadapinya sebagai
musuh, segera ia menjawab, "Baiklah, boleh kita
menyelesaikan urusan ini secara orang persilatan. Cuma
aku ingin tanya lebih dulu, orang-orang yang kau bawa
kemari ini hanya menonton sebagai saksi saja atau akan
membantu dalam pertempuran?"
"Mereka datang dari jauh, kesempatan baik ini sudah
tentu akan mereka gunakan untuk belajar kenal dengan
kalian berdasar kepandaian masing-masing," sahut Tiok
Siang-hu dengan tertawa. Para ksatria menjadi gusar atas sikapnya yang
congkak dan takabur itu. Tiba-tiba Yap Leng-hong
melompat maju sambil berseru, "Biarlah aku menjajalnya
lebih dulu!" Hampir pada saat yang sama Kang Hiau-hu juga
berlari maju, "Biarlah aku maju lebih dulu, Toasuheng!"
"Tidak, aku adalah murid utama Suhu, sudah
seharusnya aku mewakilkan Suhu untuk belajar kenal
dengan Tiok-siansing," kata Leng-hong.
"Hm, ilmu silatmu sih boleh juga di antara sesama
angkatan muda, tapi untuk belajar kenal padaku, palingpaling
jiwamu yang akan melayang percuma," jengek
Tiok Siang-hu. "Murid Kang-tayhiap masakah kau anggap sebagai
manusia pengecut" Hayolah maju, biar mati aku tidak
menyesali kau," teriak Leng-hong.
Sudah tentu ia yakin Tiok Siang-hu tak sudi melayani
dia, maka dia sengaja berteriak.menantang untuk
menarik simpati orang banyak. Benar juga serentak
terdengarlah suara tepuk tangan riuh gemuruh yang
memuji keberaniannya. "Kau tidak takut mati, akulah yang takut ditertawai
orang," ujar Tiok Siang-hu. "Kau tidak sesuai menjadi
lawanku. Mundur saja, jangan mengacau di sini. Pergi!"
Kata-kata terakhir itu diucapkan dengan Lwekang
yang tinggi sehingga suaranya menggelegar, Leng-hong
tergetar kaget dan tanpa terasa mundur dua-tiga tindak.
Tapi Kang Hiau-hu segera menggantikan maju.
"Anak perempuan juga mau mengacau?" jengek Tiok
Siang-hu kurang senang. "Mengacau apa?" semprot Hiau-hu. "Kau mempunyai
urusanmu, aku pun mempunyai urusanku. Aku hanya
ingin membikin perhitungan dengan bangsat cilik itu."
Sampai di sini mendadak ia menuding Nyo
Hoan yang berdiri di samping Tiok Siang-hu dan
membentak, "Maju sini, bangsat kecil! Secara licik kau
telah menculik Suteku, hari ini biarlah kita membikin
perhitungan." Baru sekarang Tiok Siang-hu tahu bahwa yang
ditantang Kang Hiau-hu adalah Nyo Hoan yang telah
menculik Lim To-kan kemarin. Usia Kang Hiau-hu dan
Nyo Hoan sebaya, yang satu adalah putri Kang Haythian,
yang lain putra Nyo Ceng, jika Hiau-hu
menantangnya, ini sesuai dengan peraturan Kangouw.
Karena tiada alasan buat merintangi, apalagi yakin Nyo
Hoan takkan kalah, pula dapat melihat sampai dimana
kebagusan ilmu silat keluarga Kang.
Dalam pada itu tanpa menunggu perintah sang
paman, dengan cepat Nyo Hoan sudah lantas melompat
maju. Karena dengan mudah kemarin Kang Hiau-hu kena
ditotok roboh olehnya, maka ia memandang enteng
kepada nona itu, dengan cengar-cengir ia berkata,
"Apakah kau masih belum kapok, nona" Jika demikian
bolehlah kita coba-coba lagi. Tapi kalau kau kalah,
betapapun kau harus mengaku ilmu silat keluarga Kang
kalian lebih rendah daripada keluarga Nyo kami."
"Dan kalau kau kalah, jiwamu akan kucabut! Lihat
pedang!" bentak Kang Hiau-hu sambil menusuk dengan
pedangnya. Sama sekali Nyo Hoan tidak menduga bahwa serangan
Kang Hiau-hu begitu cepat datangnya, lekas ia
menangkis dengan tongkat bambunya. Tongkat bambu
ini adalah benda yang amat ulet dan keras, tapi pedang
Kang Hiau-hu terlebih lihai, yaitu pedang pusaka Cay-inpokiam,
maka terdengarlah suara "cring" sekali, tahutahu
ujung tongkat bambu telah terpapas sebagian.
Terdengar Tiok Siang-hu mendengus sekali, Nyo Hoan
memang anak cerdik, segera ia tahu sang paman
mencela cara pertempurannya yang keliru, segera ia
berganti cara bertempur. Tongkat bambunya bekerja
dengan cepat sehingga pedang Kang Hiau-hu tak dapat
menabasnya lagi. Dasar watak Nyo Hoan memang bangor, melihat
kecantikan Kang Hiau-hu, diam-diam ia kesemsem dan
merasa paras calon istrinya masih kalah daripada putri
Kang Hay-thian itu. Namun bakal mertua berada di
samping sana, mau tak mau ia harus prihatin dan tak
berani main gila. Karena sedikit lamunannya itu, "cret", tahu-tahu ujung
lengan bajunya tersabet oleh pedang Kang Hiau-hu,
untung tidak melukainya. "Hihihi, tidak kena! Marilah coba-coba lagi!" goda Nyo
Hoan dengan tertawa. Hiau-hu menjadi murka, segera ia mainkan Tui-hongkiamhoat, ilmu pedang pemburu angin. Pedangnya
berputar laksana kitiran dan menusuk secepat kilat.
Namun Nyo Hoan justru sengaja hendak membikin
nona itu naik pitam, berulang-ulang ia mengejek pula.
Keruan Hiau-hu tambah marah, tapi karena inilah dia
telah masuk perangkap Nyo Hoan, mendadak Nyo Hoan
melancarkan serangan balasan. Pada suatu kesempatan
terdengar Nyo Hoan membentak, "Kena!" Tongkatnya
menjojoh ke depan dan dengan tepat mengenai Soan-kihiat
di dada Kang Hiau-hu. Akan tetapi hampir pada saat yang sama terdengar
seruan Tiok Siang-hu, "Awas, anak Hoan!"
Sekonyong-konyong sinar pedang berkelebat, pedang
Kang Hiau-hu telah menyambar balik. Sama sekali Nyo
Hoan tidak menyangka bahwa anak dara yang tertotok
Hiat-to bagian dadanya itu masih sanggup melancarkan
serangan balasan. Untung sang paman berseru
memperingatkan sehingga dia sempat menggeser ke
samping, kalau tidak, tentu jiwanya sudah melayang.
Walaupun demikian, tidak urung lengannya juga tergores
suatu luka beberapa senti panjangnya.
Kejadian itu benar-benar membingungkan orang,
sampai Tiok Siang-hu juga terkejut dan heran. Ia tidak
tahu apakah anak dara itu sudah memiliki ilmu kebal
sehingga tidak mempan ditotok oleh Nyo Hoan yang jelas
telah kena sasarannya itu. Kuatir kalau Hiau-hu
melancarkan serangan susulan pula, dengan segera ia
bermaksud menerjang maju untuk menolong Nyo Hoan.
Tapi sebelum ia bergerak, mendadak tertampak tubuh
Kang Hiau-hu terhuyung-huyung, "bluk", tahu-tahu anak
dara itu jatuh terduduk malah.
Kiranya Kang Hiau-hu memakai baju wasiat tinggalan
Kiau Pak-beng yang diketemukan Kim Si-ih dahulu, baju
wasiat itu oleh Kim Si-ih diberikan kepada Kang Haythian,
maka meskipun totokan Nyo Hoan tadi sangat
keras dan tepat mengenai sasaran, namun tenaga
totokan itu terhalang sejenak oleh baju wasiat sehingga
Kang Hiau-hu sempat melancarkan serangan kilat untuk
melukai Nyo Hoan, tapi kemudian tenaga totokan Nyo
Hoan juga sudah menembus baju wasiatnya dan masuk
ke Hiat-to di dadanya, maka Hiau-hu juga lantas jatuh
terduduk. Cepat Kok Tiong-lian melompat maju untuk
memayang bangun putrinya, begitu pula Tiok Siang-hu
juga lantas maju untuk memapak Nyo Hoan.
Sebagai seorang ahli silat, segera Tiok Siang-hu
paham juga duduknya perkara, katanya dengan
menjengek, "Putrimu sudah kalah satu jurus, apakah kau
tidak mengakui?" "Dan yang terluka siapa, keponakanmu atau bukan?"
sahut Kok Tiong-lian tidak mau kalah.
Menurut peraturan Kangouw, terluka harus dianggap
kalah, maka Tiok Siang-hu tak dapat lagi membantah,
terpaksa ia berkata, "Baiklah, pertandingan anak kecil tak
perlu direcokkan. Sekarang biarlah orang dewasa saja
yang coba-coba." Sudah tentu Kok Tiong-lian tahu kemenangan putrinya
itu adalah berkat bantuan baju pusaka yang dipakainya,
maka ia pun tidak menarik panjang lagi persoalannya. Ia
cuma jengkel terhadap kesombongan Tiok Siang-hu,
maka sesudah membuka Hiat-to putrinya yang tertotok
segera ia bermaksud maju kegelanggang.
Tapi paman gurunya, yaitu Pek Ing-kiat rupanya
mengetahui perasaannya, maka orang tua itu telah
menasehati, "Kau adalah tuan rumah dari pertemuan
besar ini, kau harus menjaga kedudukan sendiri dan
jangan sembarangan turun tangan. Lebih baik lihat dulu
sampai dimana kepandaian lawan, apakah ada harganya
kau tampil ke muka sendiri?"
Selagi Kok Tiong-lian merasa ragu-ragu, tertampak
seorang Tosu tua berjenggot cabang tiga telah maju ke
tengah kalangan dan menantang Tiok Siang-hu. Kiranya
imam itu adalah seorang tokoh Bu-tong-pay, ialah Siongciok
Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tojin, Sute Lui Cin-cu, ketua Bu-tong-pay.
Melihat munculnya Siong-ciok Tojin, semua orang
merasa tepat sekali mengingat kepandaian imam itu
cukup terkenal. Tak terduga Tiok Siang-hu seakan tidak tahu siapakah
Siong-ciok Tojin itu, dengan sikap acuh tak acuh ia
bertanya, "Apakah kau ingin bertanding dengan aku?"
Walaupun sudah tua, namun Siong-ciok Tojin masih
berdarah panas, dengan gusar ia menjawab,
"Memangnya orang Bu-tong-pay tidak ada harganya
untuk melawan kau?" "Banyak terima kasih atas penghargaanmu kepadaku,
tapi aku sendiri belum ada minat untuk turun ke tengah
gelanggang, boleh kau melawan seorang hambaku saja
dahulu," kata Tiong Siang-hu, lalu ia berseru, "A Lau,
boleh kau mengiringi beberapa jurus dengan Totiang ini,
mintalah petunjuk ilmu pedang Bu-tong-pay yang
termasyhur." Seorang laki-laki berbaju hijau lantas tampil ke muka
dengan membawa sebuah Huncwe atau pipa cangklong
yang panjang dan besar. Segera Yap Leng-hong kenal orang ini adalah kawanan
hamba keluarga Tiok yang pernah dilihatnya dahulu
waktu melabrak Yo Tun-hou dan kawan-kawannya.
Keruan Siong-ciok Tojin menjadi murka, masakah
dirinya dipandang cuma cocok untuk bertanding dengan
kaum budak saja, segera ia berteriak, "Orang she Tio,
kau ... kau terlalu ..." Tapi saking gusarnya ia menjadi
tidak tahu apa yang harus diucapkan.
Sebaliknya Tiok Siang-hu hanya tersenyum saja,
katanya, "Kita sudah bicara di muka bahwa pertandingan
ini mengutamakan ilmu silat masing-masing, jadi tidak
perlu memandang kedudukan atau harga diri para
peserta pertandingan ini."
Dalam pada itu laki-laki baju hijau itu lantas memberi
hormat kepada Tiok Siang-hu, katanya, "Hamba siap
melakukan perintah Cukong. Sesungguhnya hamba ingin
sekali belajar kenal dengan tokoh terkemuka di sini." Di
balik kata-katanya itu seakan-akan Siong-ciok Tojin itu
bukan tokoh terkemuka yang diharapkannya.
Maka terdengar Tiok Siang-hu telah menjawab, "A
Lau, Totiang ini adalah tokoh Bu-tong-pay yang
termasyhur, jangan kau takabur. Boleh lekas maju saja."
"Baik, cuma mohon diberi waktu sejenak, hamba ingin
mengisap tembakau sebentar," kata laki-laki baju hijau.
"Hahaha! Rupanya kau belum bertempur sudah
ketagihan tembakau," Tiok Siang-hu tertawa. "Baiklah,
lekas saja, supaya tidak buang tempo."
"Ya, tapi bila perlu hamba juga dapat mengisap
tembakau sambil bertempur," kata laki-laki baju hijau
sambil memasang tembakau pada pipanya yang masih
berapi, lalu disedotnya dalam-dalam dua-tiga kali.
Kemudian dengan acuh tak acuh ia melangkah maju ke
tengah, katanya, "Bila tidak udut tentu aku tak punya
semangat, untuk itu harap Totiang suka memaafkan.
Nah, marilah kita mulai. Kau memakai pedang, aku
memakai cangklong. Boleh kita coba-coba apakah
pedang lebih tajam atau cangklong lebih keras."
Bukan saja laki-laki baju hijau itu akan berkelahi
sambil udut, bahkan senjatanya adalah pipa
cangklongnya itu. Mestinya Siong-ciok Tojin tidak ingin bertanding
dengan seorang budak, tapi kena diolok-olok, ia menjadi
naik pitam. Dengan gusar ia membentak, "Aku tidak sudi
adu mulut dengan orang kecil, mau mulai bolehlah
silakan, biarpun kau akan menyemburkan asap berbisa
juga aku tidak gentar!"
"Eeh, mengapa Totiang menyangsikan asap
tembakauku ini sebagai asap berbisa?" kata laki-laki baju
hijau itu dengan tertawa. "Supaya engkau tidak raguragu,
biarlah engkau coba mengendus dulu asap
tembakauku ini. Tanggung tidak berbisa, bahkan dapat
menambah semangatmu!"
Habis berkata, seenaknya saja ia terus mendekati
Siong-ciok Tojin dan menghembuskan asap tembakaunya
ke muka imam itu. Dari bau tembakaunya yang harum
itu teranglah bukan asap beracun, tapi adalah daun
tembakau pilihan. Namun menghembuskan asap tembakau ke muka
orang adalah perbuatan yang menghina, keruan Siongciok
Tojin tidak tahan lagi, "sret", kontan pedangnya
terus menusuk sambil membentak, "Aku harus
menghajar adat padamu!"
Karena dianggapnya orang terlalu kurangajar, maka
tusukannya ini diarahkan ke matanya. Tak tersangka lakilaki
baju hijau itupun tidak kalah cepat, mendadak ia
mendak ke bawah, sambil masih mengisap pipa
tambakaunya dia sudah menyusup ke samping, lalu
berkata, "Kenapa tidak kau keluarkan kepandaian
andalanmu?" Belum lenyap suaranya, tahu-tahu pedang Siong-ciok
Tojin sudah menyambar tiba pula, secepat kilat imam itu
telah melancarkan tujuh kali serangan lihai dari Lianggoantoat-beng-kiam (ilmu pedang sambar nyawa).
Sampai jurus ketujuh, karena tak sempat berkelit lagi,
terpaksa laki-laki baju hijau itu menangkis dengan pipa
cangklongnya. Pipa cangklong itu entah terbuat dari apa, bukan baja
bukan besi, tapi sedikitpun tidak rusak terkena pedang.
Sekali adu senjata saja Siong-ciok lantas tahu
kekuatan lawan ternyata tidak lebih lemah, keruan ia
terkejut. Jika seorang budak saja sudah begini hebat,
apalagi majikannya" Sampai di sini dia tidak berani memandang enteng
pada musuh lagi, namun dia pun belum mau
mengeluarkan ilmu pedang andalannya, yaitu Kiu-kiongpatkwa-kiam. Sebaliknya laki-laki baju hijau itu telah mengolok-olok,
"Ilmu pedang sambar nyawa Bu-tong-pay memang
hebat, tapi tampaknya jiwaku belum tentu dapat
disambar, lebih baik Totiang keluarkan kepandaian
andalanmu saja." Habis berkata, mendadak cara bertempurnya juga
lantas berubah. Pipa cangklongnya telah bergerak
dengan cepat dan lincah seperti naga hidup, sekaligus ia
mengeluarkan tipu serangan dari tiga macam senjata,
sebentar menotok, lain saat menusuk, satu tempo
digunakan mengetok pula. Namun Siong-ciok Tojin dapat menghadapinya dengan
sama kuatnya, sementara itu tembakau yang dipasang
laki-laki baju hijau itu sudah terisap habis: Anehnya sejak
mula dia hanya menghembuskan asap ke muka SiongTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
ciok, lalu tidak pernah menghembuskan asap lagi. Semua
orang menyangka asap tembakau itu tentu ditelan
seluruhnya ke dalam perut dan tidak perlu dibuat heran.
Tapi bagi Siong-ciok, pertandingan ini rada-rada tidak
enak. Lawannya cuma seorang budak, tapi dirinya
sedikitpun tidak lebih unggul, bahkan pihak lawan masih
sempat menyelingi dengan mengisap tembakau, hal ini
benar-benar sangat memalukan Siong-ciok. Akhirnya ia
menjadi nekat, dikeluarkan juga ilmu pedang
andalannya, Kiu-kiong-pat-kwa-tin. Hanya dalam sekejap
saja sinar pedang lantas bertebaran, mendadak
menyambar ke timur, tahu-tahu mencurah dari sebelah
barat. Bayangan Siong-ciok seakan memenuhi seluruh
kalangan dan menyilaukan pandangan penonton.
Kiranya ilmu pedang itu diciptakan menurut
perhitungan Pat-kwa, setiap tempat dijaga oleh seorang
murid sehingga delapan segi ada delapan orang. Pada
bagian tengah ditambah lagi seorang, maka jadilah Kiukiong
atau sembilan tempat, makanya dinamakan Kiukiongpat-kwa. Kemudian Siong-ciok telah memperdalam
ilmu pedang itu sehingga akhirnya seorang diri dapat
memainkan barisan pedang yang seharusnya dimainkan
sembilan orang itu. Melihat kebagusan ilmu pedang itu, mau tak mau Tiok
Siang-hu harus mengakui juga ilmu silat Tionggoan yang
sukar dijajaki. Cuma sayang imam tua ini sudah terbatas
oleh usianya sehingga ilmu pedang ciptaan baru ini
belum mencapai tingkat yang sempurna. Sebagai
seorang ahli, hanya melihat sebentar saja Tiok Siang-hu
sudah dapat mengetahui dimana letak kelemahan ilmu
pedang yang ruwet itu. Laki-laki baju hijau itu adalah pengurus rumah tangga
keluarga Tiok, kepandaiannya sudah mencapai enamtujuh
bagian seluruh kepandaian sang majikan, maka dia
cukup kuat untuk bertahan. Walaupun tidak seperti
majikannya yang telah mengetahui letak kelemahan ilmu
pedang lawan, namun dia sendiri sudah mempunyai
rencana cara mematahkan serangan Siong-ciok Tojin. la
membiarkan imam itu melancarkan serangan berantai
yang hebat laksana air bah melanda dahsyatnya.
Berulang-ulang laki-laki baju hijau itu memang
kelihatan terancam bahaya, tapi selalu dapat
menghindarkan setiap serangan itu. Pada suatu ketika
tiba-tiba terdengar dia berseru, "Ilmu pedangmu ini
memang luar biasa, tapi semangatmu tampaknya sudah
mulai kendur, agaknya kau perlu udut lagi. Ini, cobacoba
lagi!" Habis berkata, mendadak ia menghembuskan asap
tembakau yang tebal, seketika dalam jarak beberapa
meter luasnya seakan penuh kabut asap yang gelap.
Kiranya dia mempunyai suatu kepandaian yang khas,
yaitu dapat mengisap dan menimbun asapnya di dalam
perut, kemudian dapat dihembus keluar sekaligus.
Maka di tengah berkelebatnya sinar pedang di dalam
kabut asap itu sekonyong-konyong terdengar suara
"trang" yang nyaring, dengan cepat Siong-ciok Tojin
telah menyusup keluar dari balik kabut asap, tapi
tangannya sudah kosong, ternyata pedangnya sudah
disampuk jatuh oleh pipa lawan.
"Maaf, maaf! Banyak terima kasih kepada Totiang
yang sudi mengalah padaku," demikian laki-laki baju
hijau itu berseru sambil tertawa. Habis itu ia lantas
mengisi tembakau pula pada pipanya serta disedotnya
satu kali, lalu dengan berlenggang akan meninggalkan
kalangan pertempuran. "Nanti dulu!" tiba-tiba ada orang membentak.
Ternyata yang tampil ke muka ini adalah ketua Bu-tongpay
sendiri, yaitu Lui Cin-cu.
"Haha, kiranya ketua Bu-tong-pay yang terhormat sudi
memberi petunjuk, sungguh aku merasa sangat
beruntung," kata laki-laki baju hijau sambil tertawa.
"Orang she Tiok," Lui Cin-cu berkata kepada Tiok
Siang-hu. "Apakah kau berani bertanding secara terangterangan
dengan aku?" Nyata ia menganggap
kemenangan hambanya itu diperoleh secara licik dan
tidak menggunakan kepandaian sejati.
Tiok Siang-hu tahu ketua Bu-tong-pay itu sengaja
hendak memancingnya supaya maju ke kalangan, tapi ia
berbalik membikin Lui Cin-cu makin panas lagi,
jawabnya, "Di waktu bertempur, setiap orang
mempunyai cara perkelahian sendiri-sendiri, mana boleh
orang lain dituduh tidak menggunakan kepandaian
sejati" Jika kau ingin bertanding dengan aku, hendaklah
kau mengikuti peraturanku tadi, jadi silakan tundukkan
dulu hambaku ini." Mendengar itu, tanpa diperintah lagi si baju hijau
lantas maju kembali, katanya dengan tertawa, "Atas
perintah majikan, tepaksa minta petunjuk lagi kepada
Lui-tayciangbun. Cuma kita harus bicara di muka, aku sih
tidak tahu cara perkelahian dengan kepandaian sejati
apa-apa." Sungguh gusar Lui Cin-cu tak terkatakan atas
kesombongan orang she Tiok dengan budaknya itu. Ia
pikir kalau budak itu tidak diberi hajaran yang setimpal
tentu pamor Bu-tong-pay akan runtuh habis-habisan.
Segera ia menjengek, "Terhadap kaum rendah seperti
kau ini aku pun tidak perlu bicara tentang cara
perkelahian apa segala. Kalau di dalam sepuluh gebrakan
aku tidak dapat mengalahkan kau, biarlah aku
menyembah padamu!" Ucapan Lui Cin-cu ini membikin orang-orang Bu-tongpay
sendiri tercengang. Mereka maklum meski Lui Cin-cu
adalah Suheng Siong-ciok Tojin, namun mereka pun tahu
selisih kepandaian mereka tidak seberapa. Apalagi
sekarang dia maju ke kalangan pertempuran dengan
bertangan kosong, sungguh harus diragukan apakah di
dalam sepuluh jurus dapat merobohkan lawan"
Diam-diam si baju hijau juga membatin, "Tanpa
menyemburkan asap juga dalam sepuluh jurus kau
belum tentu mampu mengalahkan aku." Dari
pertarungannya dengan Siong-ciok Tojin yang
berlangsung beberapa puluh jurus tadi ia sudah dapat
memperkirakan kepandaian lawan, maka tanpa gentar
sedikitpun ia menjawab, "Baiklah, jika dalam sepuluh
jurus aku betul-betul kalah, biarlah aku pun menyembah
padamu. Nah, silakan lolos pedang, Lui-tayciangbun!"
"Terhadapmu masakah perlu pakai pedang segala?"
jengek Lui Cin-cu. "Hayolah, mulai!"
Kalau ada majikan yang sombong, dengan sendirinya
kaum budaknya juga ketularan sombong, maka si baju
hijau juga meniru lagak cukongnya, biasanya juga tidak
pandang sebelah mata terhadap orang-orang persilatan
di luar keluarga majikannya. Sekarang ia menjadi gusar
juga atas sikap Lui Cin-cu yang menghina itu, ia pun
balas menjengek, "Hm, ingin kulihat cara bagaimana kau
menangkan aku dalam sepuluh jurus!" Habis berkata,
pipa cangklongnya terus bergerak, seperti akan menotok
Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dan siap untuk mengetok pula.
"Bagus!" bentak Lui Cin-cu, berbareng tangannya
bergerak seperti pedang, jarinya merapat sebagai ujung
senjata, dalam sekejap saja ia sudah menggeser kiankemari
dengan cuma menyerang satu kali. Nyata yang
dia mainkan juga ilmu pedang Kiu-kiong-pat-kwa-tin
yang dimainkan Siong-ciok Tojin tadi, bedanya dia
menggunakan telapak tangan sebagai senjata pedang.
Keruan si baju hijau terkejut dan lekas putar pipanya
untuk mempertahankan diri.
Dalam pada itu Lui Cin-cu telah menyerang sambil
menghitung, "Satu ... dua ... tiga ... empat Tertampak
sekeliling penuh bayangannya, berulang-ulang jarinya
menusuk. Lwekangnya memang lebih tinggi dari Siongciok,
maka serangannya membawa sambaran angin yang
keras. Ketika Lui Cin-cu menyerang sampai empat jurus yang
berarti 36 gerakan, mau tak mau Tiok Siang-hu
manggut-manggut juga dan memuji, "Bagus, memang
Kiu-kiong-pat-kwa-kiam yang kau mainkan lebih mahir
daripada Sutemu, tapi toh juga belum sempurna, di
sana-sini masih ada beberapa lubang kelemahan."
Lui Cin-cu terkesiap dan kagum akan pandangan
orang she Tiok yang tajam itu, memang sebegitu jauh
dia meyakinkan ilmu pedang itu, ia sendiri pun merasa
pada tempat-tempat tertentu masih belum sempurna
betul. Namun demikian ia yakin orang she Tiok itu juga
tidak mampu memecahkan ilmu pedangnya itu, segera ia
balas menjengek, "Huh, bila perlu sebentar kau pun
boleh coba-coba maju." Sembari bicara serangannya
tidak pernah berhenti, dia masih terus menghitung pula,
"Lima ... enam ... tujuh..."
Menangkis sampai jurus ketujuh, berulang-ulang lakilaki
baju hijau itu sudah terancam bahaya, karena tiada
jalan lain lagi, terpaksa ia menggunakan cara tadi, yaitu
sambil menghembuskan tirai asap tembakaunya.
Namun Lui Cin-cu bukan Siong-ciok Tojin, asap
tembakau itu sama sekali tidak mempengaruhi ketua Butongpay itu, dia masih terus menyerang sambil kaki
tetap menggeser kian-kemari menurut perhitungan Patkwa.
Malahan tirai asap yang dihembuskan laki-laki baju
hijau itu tidak menyebar lagi, tapi begitu dihembuskan
segera berubah menjadi jalur asap yang membubung ke
atas dan kabur terbawa angin. Kiranya Lui Cin-cu telah
menggunakan tenaga pukulannya yang membawa
sambaran angin yang santar untuk memaksa kabut asap
itu tertiup ke atas. Karena harus sembari menghembus asap tembakau,
mau tak mau laki-laki baju hijau itu menjadi rada lengah,
apalagi serangan asap itu tidak berhasil, ia menjadi
gugup pula sehingga menambah cepat kekalahannya.
Baru saja Lui Cin-cu menghitung sampai angka
"delapan", mendadak bentaknya, "Roboh!" Dan benar
juga si baju hijau kontan lantas jatuh.
Tapi jatuhnya tidak terguling, sebaliknya cuma kedua
kakinya yang bertekuk lutut dan berturut-turut
menyembah tiga kali kepada Lui Cin-cu.
Kejadian ini benar-benar di luar dugaan semua orang,
tak tersangka laki-laki baju hijau itu sedemikian jujur dan
pegang janji betul-betul, begitu kalah lantas
menyembah sungguh-sungguh kepada lawannya.
Padahal menyembahnya si baju hijau bukanlah karena
dia pegang janji, tapi karena terpaksa. Dia punya Goantiauhiat di bagian lutut kena ditotok oleh Lui Cin-cu
sehingga bertekuk lutut dan tampaknya menjadi seperti
menyembah. "Bagus, bagus! Lui-tayciangbun, rupanya kau masih
ada harganya untuk berkenalan, marilah kita coba-coba,
pertandingan cara bagaimana yang kau inginkan dariku?"
seru Tiok Siang-hu. "Tadi kau mengatakan ilmu pedangku ini masih ada
lubang kelemahannya, maka biarlah aku tetap minta
petunjuk padamu dengan ilmu pedang ini," sahut Lui Cincu.
"Mana, ambilkan pedang!" demikian ia minta pedang
kepada muridnya, nyata ia tidak berani memandang
enteng kepada Tiok Siang-hu, maka merasa perlu
menggunakan senjata betul-betul.
Tiok Siang-hu tersenyum, katanya, "Baiklah, aku
memang ingin tukar pikiran dengan kau tentang Kiukiongpat-kwa-tin kalian." Habis berkata ia terus
menjemput sebatang ranting kayu untuk digunakan
sebagai senjata. Keruan semua orang menjadi gempar, bukan saja
orang she Tiok itu hanya menggunakan sebatang kayu
sebagai pedang bahkan akan melawan Lui Cin-cu dengan
ilmu pedang Bu-tong-pay. "Kau berani main gila padaku?" bentak Lui Cin-cu
dengan gusar. Belum lenyap suaranya, "sret", mendadak Siang-hu
telah menusuk lebih dulu sambil berkata, "Aku benarbenar
ingin minta petunjuk padamu, mengapa bilang aku
main gila padamu" Jurus Pat-hong-su-tat (mencapai
sasaran dari delapan penjuru) ini betul atau tidak?"
Walaupun cuma sebatang ranting kayu, tapi ternyata
membawa tenaga yang kuat, bahkan serangan pertama
itu memang betul adalah jurus pembukaan Kiu-kiongpatkwa-kiam. Bahkan dalam sekejap saja ia sudah
melancarkan satu serangan sembilan gerakan sembari
menggeser kian-kemari. Melihat kelihaian musuh, Lui Cin-cu tidak berani ayal.
Terpaksa ia menangkis dengan jurus yang serupa.
Lui Cin-cu terkenal lihai akan Lwekangnya, maka
setiap gerakan pedangnya selalu membawa tenaga yang
dahsyat. Tapi aneh, tampaknya pedangnya sering beradu
dengan ranting kayu lawan, namun sama sekali tak
dapat menabas kutung kayu itu.
"Dan jurus kedua Chit-sing-poan-goat (tujuh bintang
mengelilingi bulan), begini caranya bukan?" demikian
Tiok Siang-hu berkata pula dengan tertawa.
Para penonton ikut terkesima menyaksikan
pertandingan itu, hanya beberapa tokoh terkemuka saja
yang tahu dimana letak rahasianya mengapa pedang
kayu Tiok Siang-hu itu tidak terkurung oleh pedang Lui
Cin-cu. Kiranya Lwekang Tiok Siang-hu sudah mencapai
tingkatan sangat tinggi, bahkan lebih tinggi setingkat
daripada Lui Cin-cu. Setiap serangan Lui Cin-cu, tenaga
Lwekang yang ikut dilontarkan selalu dapat dipatahkan
oleh lawan. Dengan enteng sekali pedang kayu itu dapat
menempel dan bergoyang mengikuti daya tekanan
pedang Lui Cin-cu sehingga tidak tertabas kutung. Bagi
pandangan orang lain, kedua orang hanya seperti
saudara seperguruan yang sedang berlatih.
Akan tetapi kepandaian Tiok Siang-hu ternyata tidak
cuma sekian saja, sampai jurus keempat yang bernama
Uh-sia-kiu-jit (sinar matahari memancar dari angkasa),
tiba-tiba ia berseru sambil tertawa, "Jurus ini ada sedikit
perubahan, hendaklah Lui-tayciangbun memberi
petunjuk apakah betul atau tidak?" Habis itu, dalam
sekejap itu pedangnya seakan berubah menjadi
bayangan barisan pedang yang bertebaran mengarah ke
tubuh Lui Cin-cu. Sungguh bukan main kejut Lui Cin-cu, jurus ini justru
adalah jurus yang telah dilatihnya bersama Siong-ciok
dan belum lagi sempurna selama ini. Menurut gerakan
ilmu pedangnya, jurus ini sekaligus mestinya dapat
melukai sembilan musuh, tapi selama ini dalam latihan
Lui Cin-cu hanya dapat menembus enam sasarannya.
Dan kekurangan itu sekarang ternyata dapat dimainkan
oleh Tiok Siang-hu dengan sempurna.
Namun sebagai seorang ketua suatu cabang
persilatan, meski menghadapi bahaya ia tidak menjadi
bingung. Berturut-turut ia pun menggunakan beberapa
gerakan yang berbeda-beda untuk menghindar. Baru
sekarang ia percaya apa yang dikatakan Tiok Siang-hu
tadi memang bukan bualan, ternyata di dalam ilmu
pedang andalannya itu memang ada lubang
kelemahannya. Dengan kedudukan Lui Cin-cu, sampai di sini
seharusnya ia mengaku asor dan mengundurkan diri, tapi
dia masih merasa tidak rela untuk mengalah. Diam-diam
ia ingin mengetahui apakah jurus Kiam-hoatnya yang lain
masih ada kelemahannya" Maka sesudah pasang kudakuda
lebih kuat, segera ia melancarkan serangan terlebih
gencar. "Bagaimana, apakah jurus ini tadi Lui-tayciangbun
merasa boleh juga?" tanya Tiok Siang-hu sambil tertawa.
"Bagus! Dan masih ada lima jurus lagi, silakan
memberi petunjuk sekalian," sahut Lui Cin-cu, sembari
bicara sekaligus ia pun menyerang pula jurus kelima,
keenam, ketujuh dan kedelapan, empat kali sembilan
gerakan, seluruhnya 36 gerakan lagi.
Namun Tiok Siang-hu juga menggunakan gerakan
yang sama untuk mematahkan serangan Lui Cin-cu,
katanya dengan tertawa, "Serangan keempat jurus ini
sangat rapat tanpa kelemahan sedikitpun, aku pun
sangat kagum!" Sampai sekarang Kiu-kiong-pat-kwa-tin itu hanya
tinggal jurus terakhir saja yang disebut Kiu-kiu-kui-goan
(sembilan kali kembali asal), segenap perubahan
serangan yang duluan sekaligus terlebur di dalam jurus
terakhir ini sehingga gerakannya sangat ruwet tapi maha
dahsyat. Karena kalah atau menang hanya tergantung pada
jurus terakhir ini, maka Lui Cin-cu telah mencurahkan
segenap kemahirannya pada jurus ini.
Di tengah berkelebatnya sinar pedang dan bayangan
orang, sekonyong-konyong terdengar suara "creng" satu
kali, seketika sinar pedang lenyap dan bayangan hilang,
pedang Lui Cin-cu sudah terlepas dari cekalan. Semua
orang tidak jelas cara bagaimana dia dikalahkan.
Untuk sejenak Lui Cin-cu tampak tertegun. Habis itu
dia menggendong tangan sambil menunduk dan berpikir
seperti sedang merenungkan sesuatu teka-teki yang
sukar dipecahkan. Selang tak lama, mendadak Lui Cin-cu
bergelak tertawa dan berseru, "Hahahaha! Benar-benar
di atas langit masih ada langit, orang pandai masih ada
yang lebih pandai. Aku dikalahkan seorang yang lebih
pandai, apa artinya bagiku" Sungguh menyenangkan
sekali persoalan yang kuselami selama ini telah dapat
dipecahkan dengan mudah. Cuma, Tiok-siansing,
agaknya kau pun ada sesuatu kelemahan yang belum
dapat ditutup dengan baik. Misalnya pada gerakan
keenam dalam jurus terakhir ini aku menggeser ke kiri
dan ujung pedang mengancam Goan-tiau-hiat, gagang
pedang mengetok Ih-gi-hiat, lalu cara bagaimana kau
akan mematahkannya?"
"Jika demikian jadinya, maka akulah yang kalah!"
sahut Tiok Siang-hu tertawa.
Kedua orang sama-sama tergolong sarjana ilmu silat,
setelah mengalami pertandingan ini, ilmu pedang
andalan Bu-tong-pay itu telah menjadi betul-betul
sempurna, dengan sendirinya Lui Cin-cu sangat senang,
sehingga soal kalah atau menang tak terpikir pula
olehnya. Bahkan Tiok Siang-hu tampaknya juga menaruh
simpati padanya, maka sesudah bertanding, dari
pembicaraan mereka itu sifatnya menjadi seperti tukar
pikiran di antara sesama kawan saja.
Melihat hasil pertandingan itu, semua orang menjadi
lega, tapi segera para ksatria merasa ragu-ragu pula,
sedangkan tokoh seperti Lui Cin-cu saja menderita kalah,
lalu siapa lagi yang mampu menandingi Tiok Siang-hu"
Tiba-tiba terlihat seorang Hwesio tua memakai kasa
putih telah tampil ke muka sambil mengucapkan
kebesaran Buddha, katanya dengan perlahan, "Ilmu silat
Tiok-sicu benar-benar luar biasa, Lolap tidak bermaksud mencari kemenangan, tapi ingin menghapus
pertentangan ini, maka sengaja minta petunjuk kepada
Tiok-sicu." Kiranya Hwesio tua ini adalah tokoh Go-bi-pay, Hoathoa
Siangjin gelarnya. Dia adalah murid Kim-kong
Siangjin, tokoh angkatan tua Go-bi-pay yang terkenal
dengan Thay-jing-khi-kang, semacam Lwekang yang
dahsyat. Di antara hadirin itu terdapat empat tokoh utama,
yaitu Kok Tiong-lian, Ciong Tian dari Thian-san-pay, Taypi
Sian-su dari Siau-lim-si dan yang keempat adalah
Hoat-hoa Siangjin ini. Di antara empat tokoh ini, Hoat
hoa Siangjin berusia paling tua pula, maka menurut
urutan dia adalah tokoh utama di dalam pertemuan besar
para ksatria ini. Rupanya Tiok Siang-hu juga tahu akan kedudukan
Hoat-hoa Siangjin, ia pun tidak berani congkak seperti
tadi, sambil memberi salam balasan ia menjawab, "Taysu
adalah paderi agung pada zaman ini, baik ilmu silat
maupun keagamaan sudah lama sangat mengagumkan.
Bila Taysu ingin memberi petunjuk, terpaksa Cayhe harus
belajar kenal dengan Lwekang Taysu."
Mendengar itu, kembali para ksatria terkejut, mereka
tahu Thay-jing-khi-kang yang menjadi andalan Hoat-hoa
Siangjin itu sukar dijajaki dalamnya, masakah sekarang
Tiok Siang-hu justru ingin mengadu Lwekang padanya.
Memangnya orang she Tiok ini benar-benar seorang luar
biasa dan serba pandai, kalau tidak, masakah selalu
menantang lawan dengan kepandaian yang menjadi
andalan lawan pula. Dalam pada itu Hoat-hoa Siangjin telah menjawab,
"Sudah tentu Lolap akan mengiringi kehendak Tiok-sicu.
Dan cara bagaimana harus bertanding, silakan memberi
penjelasan."
Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tiba-tiba Tiok Siang-hu menggunakan sebelah kakinya
sebagai sumbu, tubuhnya berputar dan kaki sebelah lain
digunakan menggaris satu lingkaran, lalu katanya, "Kita
boleh bertanding di dalam lingkaran ini. Siapa yang
terdesak keluar dari lingkaran dianggap kalah, tapi yang
menang juga tidak perlu menyerang lebih lanjut."
"Kuterima usul Tiok-sicu ini dengan senang hati,"
sahut Hoat-hoa. Lalu mereka berdua masuk bersama ke
dalam lingkaran, duduk berhadapan dan menjulurkan
telapak tangan dan saling bertahan, demikianlah mereka
akan mengadu Lwekang. Tiok Siang-hu yang lebih dulu melancarkan serangan
untuk menjajaki kekuatan lawan, sebaliknya Hoat-hoa
Siangjin duduk dengan mata terpejam seperti bersemadi,
sedikitpun tidak bergerak. Waktu Tiok Siang-hu
melancarkan tenaga serangannya, sama sekali tak terasa
tenaga perlawanan Hoat-hoa Siangjin. Ketika Tiok Sianghu
menambahkan tenaganya sampai enam-tujuh bagian,
baru mulai merasa tenaga dalam lawan ternyata sangat
halus, seperti air danau yang cuma sedikit bergelombang
bila tertimpuk sepotong batu kecil.
"Thay-jing-khi-kang mengutamakan halus melawan
keras, nyata memang luar biasa, tampaknya mau tak
mau aku harus mengerahkan segenap tenagaku,"
demikian diam-diam Tiok Siang-hu berpikir.
Karena ingin lekas menang, segera Tiok Siang-hu
mengerahkan tenaga dan dikeluarkan serentak laksana
gugur gunung dahsyatnya, tapi I loat-hoa Siangjin masih
tetap duduk tenang, seakan tidak merasa sesuatu. Hanya
kasa (jubah Hwesio) yang dipakainya itu melembung
lebar seperti layar, tapi tubuhnya tetap tidak bergerak.
Semakin keras Tiok Siang-hu mengerahkan tenaga dalamnya, sampai
akhirnya dari ubun-ubunnya mengeluarkan uap putih
yang tipis. Melihat keadaan demikian, para penonton menyangka
Hoat-hoa Siangjin sudah di pihak yang unggul, hanya
Kok Tiong-lian saja yang mengerutkan kening dan
merasakan kegawatan pertandingan itu.
Sementara itu Hoat-hoa Siangjin juga terkejut akan
Lwekang lawannya yang kuat dan aneh itu, sekali
menyerang, damparan tenaga lawan terasa seperti
gelombang ombak samudra yang satu disusul yang lain,
tanpa habis tanpa berhenti sedikitpun tidak memberi
kesempatan mengaso kepada lawan.
Adu tenaga dalam memang paling berbahaya, apalagi
usianya sudah tua, lama-lama Hoat-hoa merasakan
tenaga tak mau mengikuti lagi kemauannya, terpaksa ia
hanya menjaga diri tanpa menyerang, dengan kehalusan
tenaga murni Thay-jing-khi-kang ia menghadapi
serangan-serangan musuh. Dalam pada itu Tay-pi Siansu dari Siau-lim-si dan
tokoh Thian-san-pay, Ciong Tian, juga melihat gelagat
yang tidak enak itu. Mereka tahu bila keadaan demikian
itu diteruskan, tentu kedua pihak akan sama-sama celaka
nantinya, tapi untuk memisahkan mereka rasanya juga
sukar, kecuali dilakukan bersama oleh kedua tokoh
terkuat. Walaupun Tiok Siang-hu sudah di atas angin, tapi
keuletan Hoat-hoa Siangjin juga di luar dugaannya, la
merasa tidak sukar untuk mengalahkan Hwesio tua itu
pada saat terakhir, tapi dia masih harus menempur
sekian banyak jago-jago yang lain, jika tenaga sudah
kelewat banyak terbuang, tentu nanti akan membikin
susah diri sendiri. Saat itu uap yang mengepul dari ubun-ubun Tiok
Siang-hu sudah tambah tebal. Melihat itu, Tay-pi Siansu
dan Ciong Tian tahu dia sedang mengerahkan tenaga
dalam sedahsyatnya, mereka kuatir Hoat-hoa Siangjin
tidak tahan, maka diam-diam mereka sudah siap untuk
segera memberi bantuan bila perlu.
Di tengah hening semua orang itu, sekonyongkonyong
terdengar gelak tertawa Tiok Siang-hu, tahutahu
dia dan Hoat-hoa Siangjin telah berbangkit
bersama, lalu melangkah keluar lingkaran berbareng
sambil tangan bergandeng tangan seakan-akan sudah
berjanji sebelumnya, kalau tidak, masakah langkah
mereka begitu tepat dan sama.
Semula para ksatria terperanjat, beberapa tokoh
terkemuka juga merasa bingung. Tapi sesudah
diperhatikan kemudian, barulah diketahui tempat dimana
Hoat-hoa Siangjin duduk bersila tadi telah meninggalkan
bekas dekuk yang nyata, sebaliknya tempat berduduk
Tiok Siang-hu itu tidak meninggalkan bekas apa-apa.
Dari keadaan ini teranglah dalam hal Lwekang sudah
diketahui Hoat-hoa Siangjin masih kalah setingkat, tapi
kalau menurut peraturan yang telah ditetapkan, karena
kedua orang melangkah keluar lingkaran berbareng,
maka dapatlah dianggap sama kuat alias seri.
Rupanya Tiok Siang-hu tidak ingin membuang tempo
dan tenaga lebih banyak, maka dia telah menggunakan
gaya lengket dari tenaga dalamnya untuk menyedot
telapak tangan lawan, lalu ditarik sehingga dapatlah
keluar lingkaran bersama. Ini adalah kecerdikan Tiok
Siang-hu, daripada mengalahkan Hoat-hoa dan
menimbulkan kebencian orang Bu-lim, ada lebih baik
menarik simpatik dari Hoat-hoa, sebaliknya tenaga
sendiri juga tidak terhambur percuma.
Sesudah keluar lingkaran pertandingan itu, Tiok Sianghu
melepaskan tangan Hoat-hoa Siangjin, katanya sambil
memberi hormat, "Lwekang Losiansu benar-benar maha
hebat, untung aku dapat mempertahankan diri dengan
sama kuat, maka tidak perlu lagi kita melanjutkan
pertandingan ini." Sudah tentu Hoat-hoa tahu pihak lawan sengaja
mengalah padanya, sebagai seorang paderi saleh dia
harus bicara secara jujur, maka ia pun membalas hormat
dan menjawab, "Ilmu sakti Tiok-sicu benar-benar tiada
bandingannya, Lolap kagum sekali dan terima mengaku
asor." Jelas sekali dia telah mengakui kemenangan pihak
lawan, keruan para ksatria saling pandang dan tidak
dapat bicara. Berturut-turut dua tokoh terkemuka mereka
sudah kalah, lalu siapa lagi yang akan maju untuk
melawan Tiok Siang-hu. Kok Tiong-lian merasa sudah tiba saatnya dia sendiri
harus tampil ke muka. Dan baru saja ia hendak
melangkah, tiba-tiba Ciong Tian telah mendahului maju
untuk menantang Tiok Siang-hu, serunya, "Kepandaian
Tiok-siansing ternyata serba tinggi. Sekarang giliran
Thiansan-pay coba main-main dengan engkau."
Thian-san-pay jauh terpencil di wilayah barat sehingga
namanya tidak setenar Siau-lim-pay, Bu-tong-pay, Go-bipay
dan lain-lain. Padahal kalau bicara tentang
kepandaian sejati, maka tokoh-tokoh Thian-san-pay
tidaklah di bawah jago-jago persilatan daerah Tionggoan
itu, malahan ketua Thian-san-pay angkatan yang lalu,
Teng Hiau-lan, adalah jago nomor satu di seluruh negeri
yang diakui secara resmi oleh setiap jago silat. Ciong
Tian adalah murid Teng Hiau-lan, maka ilmu silatnya
dapatlah dibayangkan. "Hahaha! Ciong-tayhiap ternyata seorang yang suka
blak-blakan," sahut Tiok Siang-hu dengan tertawa.
"Sudah lama aku pun kagum kepada tiga macam ilmu
sakti dari Thian-san-pay, hari ini bila aku dapat belajar
kenal seluruhnya, itulah yang paling kuharapkan."
Ilmu pedang Thian-san-pay adalah leburan dari
berbagai ilmu pedang di dunia sehingga terkenal sebagai
ilmu pedang nomor satu. Lwekang Thian-san-pay juga
dapat membanding! Lwekang dari Siau-lim-pay, selain itu
ada pula Thian-san-sin-bong, sejenis biji berduri yang
hanya tumbuh di puncak Thian-san dan merupakan
senjata rahasia yang paling keras di dunia ini. Jadi ilmu
pedang, Lwekang dan senjata rahasia itulah yang
merupakan ketiga macam kepandaian utama Thian-sanpay.
Dahulu Teng'Hiau-lan pernah mengalahkan iblis besar
Beng Sin-thong dengan ketiga macam ilmu sakti itu dan
pernah bertempur sengit melawan murid Kiau Pak-beng,
yaitu Le Seng-lam. Sekarang sekaligus Tiok Siang-hu
dapat menyebutkan tiga macam kepandaian Thian-sanpay,
hal ini menandakan dia sangat memahami sejarah
dunia persilatan bahkan juga sangat tabah, agaknya
kedatangannya ini memang diperhitungkan dengan rapi.
Kepandaian Thian-san-pay memang sangat tersohor,
tapi jarang dilihat orang, maka para ksatria juga sangat
ingin menyaksikan bagaimana ahli waris Teng Hiau-lan
menggunakan ketiga macam kepandaiannya yang sakti.
Berbareng mereka pun ingin tahu dengan ilmu aneh apa
Tiok Siang-hu akan melawan Ciong Tian.
Tiba-tiba tertampak Tiok Siang-hu menepuk pinggang
sendiri, tahu-tahu tangannya sudah memegang sebatang
pedang yang gemerlapan menyilaukan mata. Kiranya
pedangnya itu sangat lemas dan terlibat di pinggang, di
waktu tidak terpakai dapat digunakan sebagai sabuk.
Dalam pertandingannya dengan Lui Cin-cu tadi, Tiok
Siang-hu hanya menggunakan sebatang ranting kayu
sebagai senjata, tapi sekarang dia telah mengeluarkan
pedang sejati, ini menandakan betapa ia memandang
berat kepada lawannya, yaitu Ciong Tian.
Di lain pihak Ciong Tian juga sudah melolos pedang
dan sedang menantikan serangan Tiok Siang-hu, namun
orang she Tiok itu ternyata tidak lantas menyerang,
sebaliknya sorot matanya yang tajam menatap Ciong
Tian tanpa berkedip. Ciong Tian sendiri juga sangat
prihatin dan sungguh-sungguh.
Memang pertandingan di antara jago kelas wahid yang
memiliki kepandaian setingkat tidak mau sembarangan
menyerang lebih dulu, sebaliknya kalau sudah
menyerang, maka sukar dibendung lagi. Benar juga,
mendadak terdengar suara deru angin yang keras
disertai kelebat sinar pedang, entah siapa yang mulai
menyerang lebih dulu. Yang terang pedang kedua orang
sama-sama membawa suara gemuruh yang keras,
terdengarlah suara "trang-tring" berulang-ulang, hanya
sekejap saja pedang kedua orang sudah saling bentur
sampai belasan kali. Mendadak terdengar Ciong Tian
membentak, "Pergi!" Menyusul Tiok Siang-hu juga
berseru, "Kau pun berdirilah yang kuat!"
Dengan cepat sekali kedua orang lantas berpisah, Tiok
Siang-hu tampak mundur dua-tiga tindak, sebaliknya
Ciong Tian berputar-putar seperti gangsing sehingga
sukar dibedakan siapa yang tergetar mundur lebih dulu.
Kiranya tadi Tiok Siang-hu mulai menyerang lebih
dulu, Ciong Tian yang sudah siap menantikan serangan
lawan dengan Lwekang yang tersalur ke ujung pedang,
telah menangkis dan memaksa Tiok Siang-hu mundur
dua-tiga tindak. Sebaliknya Tiok Siang-hu telah
mengerahkan tenaganya gelombang demi gelombang,
untuk mematahkan damparan tenaga dahsyat itu tak
tertahankan lagi Ciong Tian sampai ikut terdorong
berputar-putar. Ketika Tiok Siang-hu dapat berdiri tegak, sementara
itu Ciong Tian juga sudah menenangkan diri. Hasil
gebrakan ini boleh dikata sama kuatnya, maka
gemuruhlah sorak-sorai para penonton.
"Tadi aku telah menyerang lebih dulu, sekarang
adalah giliranku menunggu petunjuk dari Ciong-tayhiap,"
kata Tiok Siang-hu dengan tersenyum.
Ciong Tian sudah mempunyai rencana serangan,
mendadak ia membentak, "Awas!" Sinar pedang
berkelebat, kontan ia menyerang dari depan.
Menurut teori ilmu silat, golok atau tombak, baik
digunakan menyerang dari depan, tapi pedang lebih
tepat digunakan menyerang dari samping, misalnya
dengan menabas atau membabat. Tapi sekarang Ciong
Tian justru menyerang dari depan dengan pedangnya, ini
telah menyimpang daripada permainan ilmu pedang yang
biasa. "Bagus!" seru Tiok Siang-hu sambil menangkis.
Tapi perubahan serangan Ciong Tian secepat kilat, baru
saja ujung pedangnya mengancam tenggorokan
lawan, tahu-tahu pedang menyambar ke samping
untuk menabas bahu terus menurun untuk menikam
lambung musuh. Ini adalah jurus serangan mematikan
dari Tui-hong-kiam-hoat yang lihai.
"Kiam-hoat bagus!" kembali Tiok Siang-hu memuji
sambil mundur setindak. Ciong Tian tidak berhenti lagi, sekali Tui-hong-kiamhoat
sudah dilancarkan, terus-menerus ia menyerang
dengan gencar dan sukar dihentikan. Hanya kelihatan
sinar pedang bertebaran menyilaukan mata, beruntun
Ciong Tian menyerang delapan kali dan Tiok Siang-hu
juga terdesak mundur delapan tindak.
Akan tetapi delapan tindak mundur itu bukanlah
ngawur, sebaliknya selalu menginjak tempat yang kuat
menurut perhitungan Pat-kwa, langkah dan permainan
pedangnya sedikitpun tidak kacau, bahkan setiap mundur
setindak selalu daya serangan Ciong Tian juga kena
dimusnahkan. Serangan Ciong Tian itu benar-benar sangat hebat,
tapi lawannya juga tidak kurang lihainya. Sungguh
kagum tak terhingga para penonton sehingga banyak
yang terkesima dan ada yang menghela napas gegetun.
Pada saat itulah mendadak ilmu pedang Ciong Tian
berubah lagi, sinar pedangnya memanjang naik turun
laksana naga menari di angkasa, seketika kedua orang
terbungkus oleh sinar pedang.
Bagi penonton-penonton yang kepandaiannya masih
cetek hanya kelihatan berkelebatnya sinar pedang saja
dan tidak nampak orangnya. Hanya tokoh-tokoh
terkemuka seperti Sin Un-long dari Jing-sia-pay, Lui Cincu
Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dan Siong-ciok Tojin dari Bu-tong-pay, Kok Tiong-lian
dan lain-lain yang masih dapat membedakan jurus-jurus
serangan di antara kedua seteru itu. Namun begitu, yang
mereka ketahui juga cuma ilmu pedang yang dimainkan
Ciong Tian saja, yaitu Si-mi-kiam-hoat dari Thian-san-pay
yang sangat lihai. Jika Si-mi-kiam-hoat masih dapat dikenali beberapa
tokoh-tokoh itu, adalah ilmu pedang yang dimainkan oleh
Tiok Siang-hu ternyata tidak mereka kenal, apa namanya
juga mereka tidak tahu. Yang jelas hanya kelihatan orang
she Tiok itu mengacung ke timur, tapi tahu-tahu
menyerang ke barat, seperti mengincar ke selatan, tibaTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
tiba menyambar ke utara. Tampaknya seperti tidak
beraturan, tapi ternyata sangat ulet dan rapat.
Mau tak mau Ciong Tian merasa kagum juga terhadap
lawan tangguh itu, ia pikir ilmu silat memang tiada
batasnya, meski dia sudah mengeluarkan Si-mi-kiamhoat
yang paling diandalkan toh belum dapat
menundukkan lawan. Namun demikian lambat-laun ia
pun sudah dapat mengikuti jalannya ilmu pedang Tiok
Siang-hu. "Lepas senjata!" mendadak Ciong Tian menggertak,
sinar pedangnya merapat terus melebar lagi seakan
sebuah jaring besar menelungkup ke bawah. Jurus ini
disebut Kay-cu-si-mi, dimana pedangnya sampai, bila
terbentur senjata lawan tentu pedang lawan akan
terpuntir jatuh, kalau tidak lepas pedang tentu lawan
akan terluka. Namun Tiok Siang-hu menyambutnya dengan bergelak
tertawa, serunya, "Belum tentu bisa!" Berbareng sinar
pedangnya juga membuyar, hanya dalam sekejap saja ia
sudah menggeser kian-kemari sehingga serangan Ciong
Tian itu dapat dielakkan.
Sebenarnya dengan ilmu pedang Tiok Siang-hu sendiri
sangat sukar untuk mematahkan jurus serangan Ciong
Tian itu, tapi yang dia pakai secara mendadak adalah
sejurus yang ditirunya dari Kiu-kiong-pat-kwa-tin milik
Bu-tong-pay yang dilihatnya tadi dan hanya diberi
perubahan sedikit. Walaupun Tiok Siang-hu meminjam jurus ilmu pedang
golongan lain, tapi mau tak mau Ciong Tian harus
memuji akan kepintaran lawannya.
"Sungguh hebat!" seru Ciong Tian, berbareng dia
menyerang pula dengan jurus Kay-cu-si-mi seperti tadi.
Sudah tentu para penonton menjadi heran, sudah
terang Tiok Siang-hu dapat mematahkan serangan jurus
itu, entah mengapa sekarang Ciong Tian mengulanginya
lagi" Kiranya menurut perhitungan Gong Tian, dalam
tangkisan tadi Tiok Siang-hu telah terpaksa
memencarkan tenaga dalamnya untuk menangkis
serangan yang bertebaran dari berbagai arah itu. Jika dia
mengulangi lagi sampai dua-tiga kali tipu serangan yang
sama, maka Tiok Siang-hu pasti sukar lagi menangkis
dan pasti akan kalah. Tak terduga sekali ini Tiok Siang-hu tidak menyambut
dengan jurus tadi, tapi dia menirukan Ciong Tian dengan
jurus Kay-cu-si-mi. Keruan Ciong Tian terperanjat,
sungguh sukar dipercaya bahwa jurus serangan yang
paling sukar dan ruwet dari Thian-san-pay itu hanya
sekali lihat saja sudah dapat ditirukan oleh Tiok Siang-hu,
bahkan terus digunakan. Sungguh seorang maha pandai.
Padahal jurus tiruan Tiok Siang-hu itu hanya
bentuknya saja sama, tapi sesungguhnya belum murni,
belum memadai. Hanya saja dia kerahkan pula tenaga
dalamnya yang dahsyat sehingga benturan kedua
pedang dari jurus serangan yang sama sukar dihindarkan
lagi. "Trang", terdengar dering nyaring mengilukan, dua
jalur sinar perak mendadak mencelat ke udara. Kedua
orang sama-sama melompat mundur.
Sejenak kemudian barulah semua orang dapat melihat
jelas bahwa pedang yang dipegang Ciong Tian dan Tiok
Siang-hu sudah terkurung semua, keadaan Tiok Siang-hu
tampak tiada sesuatu yang aneh, tapi lengan baju Ciong
Tian sudah tertusuk sobek.
Pedang yang dipakai Ciong Tian adalah pedang biasa,
sebaliknya Tiok Siang-hu memakai pedang pilihan,
walaupun sama-sama terkurung, tampaknya tenaga
dalam Ciong Tian lebih kuat. Cuma baju Ciong Tian
terobek, kalau menurut peraturan pertandingan dia
sudah kalah satu jurus. "Aku telah kalah sejurus, selama hidup ini aku takkan
menggunakan pedang lagi, tapi kita masih belum
selesai!" ujar Cong Tian sambil membuang pedangnya
yang kutung. Tiok Siang-hu tahu kemenangannya itu hanya secara
kebetulan saja, kalau bicara ilmu pedang sejati, dirinya
harus mengaku kalah tinggi, maka dengan tersenyum
getir ia menjawab, "Ah, buat apa Ciong-tayhiap berkata
demikian. Sekarang biarlah aku minta petunjuk tentang
Thian-san-sin-bong kalian!"
"Baik, boleh kita mengadu senjata rahasia!" sahut
Ciong Tian dan kontan sejalur sinar emas mengkilap
terus terlepas dari tangannya dan menyambar ke depan
sambil membawa suara mendesing. Itulah Thian-san-sinbong
yang termasyhur. Bentuk Thian-san-sin-bong mirip anak panah kecil,
panjangnya cuma beberapa senti, siapa pun tidak
menyangka bahwa benda yang tampaknya sepele itu
mempunyai daya serangan begitu dahsyat.
Tampaknya Sin-bong itu sudah hampir mengenai
tubuh Tiok Siang-hu, namun dalam sekejap itu dengan
cepat sekali orang she Tiok itupun sudah berkelit. "Cret",
Sin-bong itu menyambar terus ke depan dan menancap
di tebing batu. Tiok Siang-hu sendiri telah melompat ke
atas tebing sehingga Sin-bong itu menyambar lewat di
bawah kakinya. Waktu ia berpaling, ia lihat Thian-san-sin-bong itu
hampir amblas ke dalam dinding batu, mau tak mau ia
harus memuji, "Bagus! Memang luar biasa! Thian-sansinbong harus diakui sebagai senjata rahasia nomor satu
di dunia ini!" Dalam pada itu dengan cepat sekali Sin-bong yang
kedua sudah menyambar tiba pula disertai suara
bentakan Ciong Tian, "Ini, terima lagi yang kedua!"
"Haha! Kau sudah menguji aku, terpaksa aku harus
menerima senjata rahasiamu ini," kata Tiok Siang-hu.
Terhadap Sin-bong pertama dia belum berani
menangkapnya karena belum diketahui sampai dimana
dahsyatnya senjata rahasia ini, tapi sekarang ia menduga
dirinya masih mampu menangkap Sin-bong itu.
Di atas tebing yang curam itu tiada tempat untuk
menghindar, maka tertampak Tiok Siang-hu telah
merangkap kedua tangannya, tahu-tahu sinar emas
lenyap, Thian-san-sin-bong kedua itu telah terjepit di
tengah kedua telapak tangannya. Namun begitu tidak
urung badan Tiok Siang-hu tampak bergeliat dan hampir
terpeleset jatuh ke bawah tebing.
Selama ratusan tahun ini Thian-san-sin-bong malang
melintang tiada bandingannya. Dahulu hanya Beng Sinthong
dan Le Seng-lam saja yang pernah menangkap
timpukan Thian-san-sin-bong itu dan sekarang Tiok
Siang-hu terhitung orang yang ketiga.
Tokoh-tokoh angkatan tua yang dahulu pernah
menyaksikan peristiwa Beng Sin-thong dan Le Seng-lam,
dibandingkan dengan cara Tiok Siang-hu menangkap Sinbong
sekarang, tampaknya orang she Tiok ini malah
lebih mudah. Walaupun kekuatan Ciong Tian tidak dapat
dibandingkan dengan Teng Hiau-lan di masa itu, tapi
kekuatan Tiok Siang-hu sekarang paling sedikit toh tidak
di bawah mendiang Beng Sin-thong dan Le Seng-lam.
Melihat Tiok Siang-hu sanggup menangkap Sin-bong,
mau tak mau Ciong Tian terkesiap juga. Serangan Sinbong
itu biasanya sekaligus tiga biji secara susul
menyusul, sekarang pun begitu, segera Sin-bong yang
ketiga lantas disambitkan.
Ciong Tian tidak tahu bahwa Tiok Siang-hu juga jauh
lebih terkejut daripadanya, walaupun dia sudah dapat
menangkap sebuah Sin-bong, tapi tenaga sambitan yang
dahsyat itu benar-benar di luar dugaannya. Begitu Sinbong
itu tertangkap, seketika napasnya terasa sesak dan
darah bergolak, cuma dia punya Lwekang teramat tinggi
sehingga orang lain sukar mengetahuinya.
Sekarang Tiok Siang-hu menghadapi pula Sin-bong
ketiga, ia merasa tidak sanggup menangkapnya lagi,
cepat ia mengerahkan tenaga dan juga menimpukkan
Sin-bong yang tertangkap olehnya itu, maka terbenturlah
kedua biji Sin-bong itu di tengah udara, lalu terpental
dan jatuh semua ke tanah.
"Kalau menerima tanpa membalas adalah kurang
sopan! Ciong-tayhiap, sekarang giliranmu yang harus
menerima senjata rahasiaku!" seru Tiok Siang-hu.
Melihat Tiok Siang-hu mampu menyambut serangan
tiga biji Thian-san-sin-bong dengan tidak cidera
sedikitpun, memangnya semua orang sudah kagum,
sekarang mendengar dia akan 'membayar" kembali juga
dengan senjata rahasia, keruan hal ini sangat
menimbulkan keheranan semua orang. Setiap orang
sangat ingin tahu iblis yang kepandaiannya sukar diukur
ini entah akan menggunakan senjata rahasia jenis apa
yang dapat mengungguli Thian-san-sin-bong"
Tiba-tiba Tiok Siang-hu menjemput sepotong batu
sebesar kepalan tangan, bentaknya, "Awas!" Ketika
tangannya terangkat, batu itu sudah diremas hancur
olehnya sehingga berubah menjadi batu kerikil yang
kecil-kecil terus dihamburkan. Yang dia gunakan adalah
gaya Thian-li-san-hoa (bidadari menebar bunga).
Bagi para penonton, soal meremas hancur batu dan
menaburkannya sebagai senjata rahasia, kepandaian
demikian tidaklah terlalu mengherankan, maka orangorang
yang tadinya menilai tinggi kepandaiannya menjadi
rada kecewa dan merasa kepandaian menggunakan
senjata rahasia Tiok Siang-hu kiranya juga cuma begini
saja. Tapi segera mereka merasa pandangan mereka itu
keliru, tahu-tahu batu kerikil yang ditaburkan oleh Tiok
Siang-hu itu telah bekerja secara luar biasa. Di tengah
suara mendesing sambaran batu-batu kerikil itu, batubatu
itu ada yang berputar-putar, ada yang bisa
membelok dan ada yang menyambar lurus ke depan.
Dengan sekali timpuk ternyata dapat menggunakan
berbagai cara yang ruwet, baru sekarang semua orang
terkejut. Ciong Tian juga tidak berani memandang enteng
kepada musuh, sambil menggunakan angin pukulannya
untuk menjatuhkan batu-batu itu, berbareng ia pun
menggeser kian-kemari untuk menghindar.
Namun sesudah batu-batu kecil itu berputar-putar,
mendadak saling bentur dan di luar dugaan siapa pun
juga batu-batu itu seperti punya mata saja terus
menguber ke arah Ciong Tian dari jurusan yang tak
tersangka-sangka. Kiranya cara menggunakan senjata rahasia Tiok Sianghu
memang benar sudah mencapai tingkatan yang sukar
diukur, bukan saja sekaligus dapat menggunakan
berbagai cara yang berbeda-beda, bahkan setiap batu
kerikil itu membawa tenaga cadangan dengan
perhitungan tempo yang tepat. Sesudah terbentur oleh
tenaga pukulan lawan, lalu batu-batu itu saling tumbuk
sendiri, berganti arah, lalu menyambar pula ke jurusan
sasarannya. Karena tidak menyangka dan berjaga, walaupun cukup
gesit menghindar, tidak urung tubuh Ciong Tian juga
tertimpuk dua potong batu kecil itu. Meski tidak sampai
melukainya, namun betapapun juga sudah terhitung
kalah. Sambil berdiri di atas tebing yang curam, terdengar
Tiok Siang-hu telah berseru, "Tiga macam ilmu sakti
Thian-san-pay sudah kucoba dua macam, entah untuk
yang terakhir apakah Ciong-tayhiap sudi memberi
petunjuk tenaga Lwekang yang murni?"
Belum lenyap suaranya, terdengarlah Ciong Tian
bersuit panjang, orangnya telah melompat ke atas dan
hinggap di puncak tebing itu.
Puncak tebing dimana Tiok Siang-hu berdiri itu
menonjol di udara seperti payung dan hanya cukup
untuk berdiri dua orang, maka begitu Ciong Tian berada
di atas tebing dan berdiri muka berhadapan muka
dengan Tiok Siang-hu, jelas kelihatan tempat itu menjadi
sangat sempit sehingga untuk berputar tubuh saja sukar.
Tiok Siang-hu berbalik tercengang malah, tanyanya,
"Apakah Ciong-tayhiap bermaksud menjajal Lwekang di
atas tebing ini?" "Betul," sahut Ciong Tian. "Kita boleh menggunakan
caramu bertanding dengan Hoat-hoa Siangjin tadi, siapa
yang jatuh ke bawah tebing ini dianggap kalah. Bahkan
kita persingkat saja syarat bertanding, kita tentukan
kalah menang dengan sekali pukul saja dan tidak perlu
buang-buang waktu." Ucapan Ciong -Tian ini menggemparkan para
penonton, sampai-sampai Tiok Siang-hu juga terkesiap.
Bertanding Lwekang di puncak tebing, sudah tentu jauh
lebih berbahaya daripada bertanding di tempat datar.
Apalagi Ciong Tian telah menyatakan akan menentukan
kalah menang dengan sekali pukul saja, maka sekali
pukul itu pasti menggunakan segenap tenaga masingmasing,
siapa yang tergetar jatuh ke bawah tebing
mungkin jiwanya akan melayang.
Meski Tiok Siang-hu sudah menang dua babak, tapi
Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Thian-san-pay terkenal paling unggul dalam hal
Lwekang. Waktu bertanding pedang tadi dia sudah
menjajaki Lwekang tokoh Thian-san-pay itu memang
sangat tinggi, apakah sekarang dirinya mampu menang
atau tidak sungguh sukar diduga.
Sebenarnya Tiok Siang-hu bermaksud adu Lwekang
dengan Ciong Tian di tanah datar seperti
pertandingannya dengan Hoat-hoa Siangjin tadi, tapi
Ciong Tian sudah mendahului melompat ke atas tebing
dan mengemukakan cara pertandingan, terpaksa Tiok
Siang-hu tak dapat menolak, pikirnya, "Cara bertanding
demikian hakikatnya bukan lagi cuma menentukan
menang dan kalah, tapi menentukan hidup atau mari."
Kiranya watak Ciong Tian memang sangat keras dan
lurus, kejahatan dipandangnya sebagai musuh besar. Ia
melihat Tiok Siang-hu rela menjadi pembela Nyo Ceng
yang jelas-jelas adalah anjing pemburu pihak kerajaan,
maka Tiok Siang-hu sejak tadi juga sudah dianggapnya
sebagai musuh besar. Apalagi sejak muncul tadi lagak-lagu Tiok Siang-hu
teramat garang, seakan-akan selain Kang Hay-thian tiada
seorang pun yang terpandang olehnya. Sebab itulah
amarah Ciong Tian menjadi meluap sesudah mengalami
kekalahan senjata rahasia tadi dan bertekad akan
melabrak lawan yang takabur itu, bila perlu biarlah gugur
bersama untuk mengurangi musuh tangguh bagi
pergerakan para ksatria. Tiok Siang-hu sendiri sebenarnya cuma ingin pamer
kepandaian dan menundukkan para jago silat Tionggoan
saja, bukan maksudnya hendak membunuh orang. Tapi
dasar dia memang sombong, maka dia pun tidak gentar
terhadap cara bertanding yang dikemukakan Ciong Tian
itu, segera dengan muka merah padam ia menjawab,
"Baiklah, jika demikian silakan Ciong-tayhiap mulai saja."
Melihat itu, cepat Kok Tiong-lian mencegah, "Jangan
...?" Akan tetapi sudah terlambat. Tertampak tangan
Ciong Tian sudah terangkat dan menghantam ke depan,
begitu pula sebelah tangan Tiok Siang-hu juga sudah
bergerak. Tampaknya pukulan kedua pihak segera akan beradu
dan di antara kedua tokoh itu pasti akan satu mati dan
satu luka. Namun pada saat yang genting itulah, tiba-tiba
sesosok bayangan orang telah melayang tiba secepat
kilat. Kok Tiong-lian segera mengenali siapa pendatang itu,
dengan kejut dan girang ia lantas berteriak, "Hay-ko, le
... lekas engkau melerai mereka!"
Saking cepat datannya orang itu hingga para ksatria
belum melihat jelas, sesudah mendengar seruan Kok
Tiong-lian itu baru mereka tahu siapa pendatang itu.
Beramai-ramai mereka juga lantas berteriak
"He, Kang-tayhiap! Kang-tayhiap sudah datang!"
Memang yang baru tiba itu tak lain tak bukan adalah
Kang Hay-thian yang baru saja pulang dari Hoa-san
dengan tergesa-gesa. Saat itu suasana di situ menjadi riuh ramai, tapi kedua
jago yang siap bergebrak di atas batu tebing itu seakanakan
tidak melihat dan mendengar apa yang terjadi di
bawah mereka. Maklum, saat itu mereka sedang
menghadapi detik menentukan antara mati dan hidup,
kedua orang sama-sama mencurahkan segenap
perhatian kepada lawan, sedikitpun tidak berani ayal.
Sebab itulah meski serangan mereka sudah mulai
bergerak, tapi tangan mereka masing-masing masih
terangkat di atas, hanya tenaga sudah terkumpul, cuma
belum dilontarkan, jadi mirip panah yang sudah dipasang
pada busurnya dan segera akan dibidikkan.
Datangnya Kang Hay-thian sangat tepat pada
waktunya, secepat kilat ia terus melompat ke atas. Pada
saat itulah kedua telapak tangan tokoh-tokoh itu sudah
mulai bergerak dan hampir beradu. Karena tiada tempat
berpinjak lagi di atas batu tebing yang sempit itu,
terpaksa Kang Hay-thian menggunakan tangan untuk
menahan puncak tebing itu terus melompat lagi ke
udara, waktu menurun menjadi tepat di tengah-tengah
kedua orang tanpa menginjak tanah, selagi tubuh masih
terapung di udara itulah tangannya lantas menolak ke
kanan kiri. Maka terdengarlah suara "plak-plok" dua kali yang
keras, tenaga pukulan Tiok Siang-hu dan Ciong Tian
sama-sama mengenai tubuh Kang Hay-thian.
Di tengah jerit kaget orang banyak, tertampaklah
ketiga orang di atas puncak tebing itu lantas anjlok ke
bawah bagai layangan putus benang. Muka Kang Haythian
tampak pucat-pasi, begitu menginjak tanah, kontan
ia terus memuntahkan sekumur darah.
Berbareng itu Tiok Siang-hu dan Ciong Tian juga
sudah dapat menginjak tanah dengan selamat. Sungguh
terima kasih Tiok Siang-hu tak terhingga di samping
sangat kagum pula, bahkan timbul juga rasa
penyesalannya atas perbuatan dan sikapnya tadi.
Kiranya Kang Hay-thian telah menerima mentahmentah
tenaga pukulan Tiok Siang-hu dan Ciong Tian
tanpa menggunakan tenaga gempuran balasan. Sebagai
seorang ahli silat, sudah tentu Tiok Siang-hu tahu
bilamana Kang Hay-thian mengerahkan tenaga
gempuran balasan, maka yang terluka pasti bukan Kang
Hay-thian, tapi adalah Tiok Siang-hu sendiri. Bahkan
pasti lebih parah daripada Kang Hay-thian sekarang.
Jadi Kang Hay-thian telah menyelamatkan kedua
tokoh itu dengan mengorbankan dirinya, malahan
sesudah menerima tenaga pukulan kedua tokoh kelas
wahid itu, dia masih dapat melompat turun ke bawah
dengan cuma memuntahkan sekumur darah, maka
betapa hebat kekuatannya dapatlah dibayangkan. Tiok
Siang-hu dan Ciong Tian cukup tahu diri, mereka harus
mengakui kekuatan Kang Hay-thian itu masih lebih tinggi
setingkat daripada mereka.
Dengan rasa kikuk Tiok Siang-hu lantas memberi
hormat dan berkata, "Ilmu silat Kang-tayhiap memang
maha sakti, pula berbudi dan suka menolong, sungguh
tidak bernama kosong. Aku orang she Tiok merasa
sangat kagum dan takluk benar-benar."
Kang Hay-thian ternyata tidak menyambut ucapan
yang rendah hati itu, sebaliknya cepat ia menarik Ciong
Tian dan Tiok Siang-hu sambil berseru, "Lekas lari, lekas!
Kalau ayal mungkin terlambat!"
Keruan Tiok Siang-hu dan Ciong Tian tercengang
bingung, sedangkan Kang Hay-thian sambil menarik lari
kedua tokoh itu seraya berteriak pula kepada sang istri,
"Semua orang lekas menyingkir ke atas gunung, makin
jauh dari sini makin baik!"
Mendengar suara sang suami itu penuh tenaga, Kok
Tiong-lian tahu dia hanya terluka ringan saja dan tidak
menjadi halangan, maka dapatlah ia merasa lega. Tapi
sebab apakah suaminya berseru menganjurkan semua
orang lekas menyingkir dari situ dan tampaknya sangat
mendesak, seakan-akan segera akan tertimpa
malapetaka, sungguh Kok Tiong-lian sendiri juga tidak
mengerti. Sambil ikut berlari diseret Kang Hay-thian,
pendengaran Tiok Siang-hu yang tajam itu sayup-sayup
mendengar di bawah tanah seperti ada suara mendesisdesis.
Dengan heran ia bertanya kepada Hay-thian,
"Kang-tayhiap, apakah yang kau dengar" Suara apakah
itu?" "Tiok-locianpwe, marilah kita berlomba Ginkang!"
demikian kata Kang Hay-thian.
Keruan Tiok Siang-hu tambah heran, ditanya tapi
dijawabnya menyimpang dan bahkan mengajak berlomba
Ginkang segala. Namun ia pun bukan orang bodoh, ia
tahu di dalam hal ini tentu ada sesuatu yang tidak beres
dan mungkin Kang Hay-thian tidak sempat menerangkan,
tapi sengaja pakai alasan berlomba Ginkang untuk
mengajaknya lekas meninggalkan tempat itu.
Maka dengan kencang ia terus mengikut di belakang
Kang Hay-thian, ia telah keluarkan segenap kemahiran
Ginkangnya, namun selalu hanya cukup untuk mengintil
saja di belakang Kang Hay-thian, untuk mendahului
selalu gagal. Diam-diam Tiok Siang-hu harus mengakui
keunggulan pendekar besar yang termasyhur itu, coba
kalau dia tidak muntah darah tadi, tentu dirinya sudah
jauh ketinggalan. Dalam sekejap saja mereka sudah sampai di puncak
gunung dan bergabung dengan tokoh-tokoh pimpinan
seperti Kok Tiong-lian dan lain-lain.
"Sebenarnya apa yang sudah terjadi Hay-ko" Apakah
ada malapetaka yang akan menimpa secara tak
terduga?" tanya Tiong-lian kepada sang suami.
Belum lenyap suaranya. Kang Hay-thian sudah lantas
menarik istrinya itu untuk bertiarap, maka terdengarlah
suara letusan yang menggelegar, asap hitam lantas
mengepul tebal ke angkasa di lamping gunung, begitu
keras ledakan itu sehingga bumi bergetar. Tempat
ledakan itu tepat berada di puncak dimana Tiok Siang-hu
dan Ciong Tian bertanding tadi. Batu tebing yang
menonjol dan digunakan berdiri kedua tokoh tadi sudah
hancur lebur ikut meledak. Syukurlah semua orang
sempat mengundurkan diri ke atas gunung, walaupun
ada dua-tiga orang yang ketinggalan di belakang, mereka
hanya terluka ringan terkena pecahan batu, tapi tiada
seorang pun yang tewas. Melihat kejadian itu, betapapun tinggi kepandaian Tiok
Siang-hu juga merasa ngeri. Coba kalau Kang Hay-thian
tidak datang tepat pada waktunya, kemudian
memisahkan dia dan Ciong Tian dari pertarungan sengit
itu, tentu saat ini dia sudah hancur lebur menjadi bubuk.
Baru sekarang dia menyadari bahwa suara mendesis
yang didengarnya tadi kiranya adalah bunyi api sumbu
bahan peledak yang tertanam di bawah tanah.
Tanpa bicara lagi Tiok Siang-hu terus berlutut dan
memberi hormat kepada Kang Hay-thian, katanya,
"Kang-tayhiap, hari ini berturut-turut dua kali kau telah
menyelamatkan jiwaku. Perbuatan siapakah yang
sedemikian keji ini" Tolong katakan, biar aku mengadu
jiwa dengan dia!" "Apakah kau benar-benar mau mengadu jiwa dengan
orang itu?" tanya Kang Hay-thian.
Dengan mengertak gigi, Tiok Siang-hu pun menjawab,
"Ya, sedemikian keji perbuatannya, sekalipun dia adalah
bapakku sendiri juga takkan kuampuni."
"Baiklah, akan kuberitahukan siapakah dia itu," kata
Hay-thian. "Orang yang mengatur ledakan ini tak lain tak
bukan adalah iparmu sendiri si Nyo Ceng."
"Apa" Kau bilang dia?" Tiok Siang-hu melonjak kaget.
"Ya, mereka ingin menjaring kita dengan sekaligus,
jadi bukan cuma di sini saja mereka memasang bahan
peledak," tutur Hay-thian.
"Hah, masih ada tempat lain lagi?" seru Tiong-lian
kaget dan kuatir. Belum habis ucapannya, tiba-tiba terdengar pula suara
ledakan yang gemuruh. "Celaka! Hian-li-koan yang telah diledakkan!" seru Pek
Ing-kiat. Waktu semua orang memandang ke arah kuil itu,
benar juga di tempat itu tampak asap hitam tebal
membubung tinggi ke angkasa.
"Masih mendingan, hendaklah kalian jangan cemas,"
ujar Hay-thian. "Orang-orang di sana sudah lebih dulu
meninggalkan Hian-li-koan."
Di tengah suasana yang panik itu, benar juga
tertampak ada serombongan besar orang sedang berlarilari
mendatangi. Orang yang paling depan adalah Loh
Ing-ho yang ditugaskan menjaga Hian-li-koan tadi.
Sesudah dekat dan melihat Kok Tiong-lian dalam
keadaan baik-baik barulah Loh Ing-ho merasa lega,
serunya, "Ciangbunjin tentu terkejut. Aku tidak dapat
memenuhi kewajiban sehingga kuil kita kena diledakkan
oleh musuh, mohon Ciangbunjin memberi hukuman
setimpal." "Loh-susiok sendiri tentu juga terkejut. Sudahlah,
asalkan tiada orang-orang kita yang terluka dan tewas
sudah untung," kata Tiong-lian. "Syukur Kang-tayhiap
memberi kabar tepat pada waktunya kebaikannya
dengan kasar. Sebab itulah aku tidak mengganggunya."
"Apakah kau tidak memperhatikan apa-apa yang
mencurigakan di atas kudanya?" tanya Tiong-lian pula.
Kang Hay-thian coba mengingat-ingat, lalu menjawab,
"Agaknya tidak ada apa-apa. Hanya ada sebuah karung
besar yang terletak di atas kudanya, tampaknya memang
rada aneh." "Sayang, sungguh sayang! Kau telah kehilangan
kesempatan menolong muridmu!" kata Tiong-lian
gegetun. "Apa katamu" Muridku yang mana?" tanya Kang Haythian
dengan tercengang. "Tahukah kau apa isi karungnya itu" Isinya tak lain tak
bukan adalah anak Kan yang kau bawa pulang dari Congliongpoh dengan susah payah itu," tutur Tiong-lian.
"Hah, kau maksudkan To-kan telah diculik mereka?"
Kang Hay-thian terperanjat.
Segera Kok Tiong-lian menceritakan pengacauan Nyo
Ceng dan anaknya semalam serta menyergap Lim ToTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
kan. Kang Hay-thian sampai melenggong mendengar
peristiwa itu. Tiok Siang-hu merasa menyesal dan malu, segera ia
berkata, "Semuanya gara-garaku, maka aku tanggung
pasti akan mengembalikan muridmu dengan baik."
Kang Hay-thian merenung sejenak, katanya kemudian,
Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Jika demikian, tampaknya komplotan Nyo Ceng yang
bersembunyi di antara kita masih tidak sedikit. Memang
dari berbagai hal-hal yang sudah terjadi aku pun merasa
curiga, apalagi sesudah terjadi diculiknya To-kan."
"Ya, tentang peledakan ini belum lagi Kang-tayhiap
menceritakan cara bagaimana engkau dapat
membongkar rahasianya?" tanya Tiok Siang-hu.
"Aku mendapat tahu dari pengakuan mata-mata
musuh yang kubekuk itu," tutur Hay-thian. "Sebenarnya
aku hendak menyerahkan dia kepada kalian untuk
diperiksa secara terbuka di tengah sidang, tapi matamata
itu tampak sangat ketakutan dan segera mengaku
tentang adanya bahan peledak yang dipendam di sekitar
sini. Cuma tempat mana persisnya dia tidak tahu.
Kemudian ia pun mengaku di Hian-likoan juga telah
ditanam obat peledak dan minta aku jangan
membawanya ke sana. Tentu saja aku sangat kuatir
mendengar berita demikian itu, kuatir kalau terlambat
dan akibatnya akan membikin celaka orang banyak,
terpaksa aku tidak sempat bertanya lebih jelas, di tengah
jalan aku lantas menyerahkan mata-mata itu kepada
Loh-supek, aku sendiri berlari ke sini dan Loh-supek
pulang ke Hian-li-koan. Tak terduga akhirnya mata-mata
itu toh dibinasakan oleh kawan sekomplotannya."
"Keparat Nyo Ceng itu meski dapat mendatangi Binsan,
tapi belum pernah menyelundup ke dalam Hian-likoan,
lagi pula seorang diri tidak mungkin dia dapat
berbuat sebanyak ini," ujar Pek Ing-kiat.
"Benar," Lim Seng, salah seorang tertua Bin-san-pay
ikut bicara. "Pertemuan kita ini dilangsungkan dengan
sangat rapi, penjagaan sangat keras. Paling-paling satudua
orang luar dapat menyelundup ke sini, tapi tidak
mungkin menanam bahan ledak dengan begitu berani
tanpa kepergok, maka aku yakin pasti di antara orang
kita sendiri ada yang menjadi mata-mata musuh, boleh
jadi tidak terbatas dalam jumlah dua-tiga orang."
Menghadapi musuh di dalam selimut, memang suatu
hal yang sukar dihadapi. "Betul, tentu ada di antara kita ini telah rela diperkuda
oleh musuh," tukas Pek Ing-kiat dengan gemas.
"Pengkhianat demikian bila tertangkap sungguh aku ingin
membeset kulitnya dan mencincang tubuhnya."
Saat itu Yap Leng-hong berdiri di samping Kok Tionglian,
meski yang menanam obat peledak bukan dia,
bahkan komplotannya sama sekali tidak memberitahukan
hal itu kepadanya sehingga urusan ini boleh dikata tiada
sangkut-pautnya dengan dia. Akan tetapi sikap Pek Ingkiat
yang gemas penuh dendam sambil memaki matamata
musuh itu, bagi pendengaran Yap Leng-hong
benar-benar seperti jarum yang menusuk-nusuk
tubuhnya. Sementara itu pembicaraan Kang Hay-thian sudah
selesai, ia sempat mengamat-amati para hadirin. Sorot
matanya perlahan-lahan tertuju juga ke arah Yap LengTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
hong, cepat Leng-hong memberi hormat sambil
memanggil, "Suhu!"
"Tentang diri Leng-hong, aku sudah mengerjakan
menurut pesan di dalam suratmu," kata Kok Tiong-lian.
"Baik," sahut Hay-thian mengangguk. "Biarlah nanti
aku akan bicara lagi padamu."
Perasaan Leng-hong rada tenang mendengar
demikian, tapi ia masih kebat-kebit juga karena tidak
tahu apakah yang akan dibicarakan sang guru nanti.
Suasana yang kacau karena ledakan dahsyat segera
dapat diatasi pula oleh Kok Tiong-lian, Loh Ing-ho, Pek
Ing-kiat dan lain-lain, ada yang sibuk menolong yang
terluka, ada yang membersihkan tempat pertemuan,
sebagian murid Bin-san telah diperintahkan kembali ke
Hian-li-koan untuk mengadakan penyelesaian seperlunya.
Untuk sementara Kok Tiong-lian menunda pertemuan
itu sampai malam nanti bertempat di Yok-ong-bio,
sebuah kelenteng di lereng Bin-san, tidak jauh dari Hianlikoan. Sebagai tempat berteduh darurat, Kok Tiong-lian
menugaskan anak murid Bin-san-pay di bawah pimpinan
Loh Ing-ho untuk membangun gubuk-gubuk secukupnya.
Bagian Hian-li-koan yang tidak rusak dipergunakan untuk
tempat tinggal para tamu undangan.
Sekarang Kok Tiong-lian tidak memandang Tiok Sianghu
sebagai musuh lagi, tapi karena belum jelas akan
asal-usulnya, maka ia pun belum dapat menganggapnya
sebagai orang sendiri. Ia merasa bingung juga cara
bagaimana harus mengatur tempat bagi orang-orang
yang ikut datang bersama Tiok Siang-hu itu. Lantaran
itulah sampai sekian lamanya ia tak menyinggung
tentang Tiok Siang-hu dan rombongannya, juga belum
menyampaikan undangan langsung kepadanya untuk ikut
dalam pertemuan malam nanti.
Kuatir Tiok Siang-hu menaruh kecurigaan, berkatalah
Kang Hay-thian, "Kuminta juga Tiok-cianpwe beristirahat
di kuil Yok-ong-bio. Sebenarnya ingin sekali kukunjungi
Locianpwe, sayang belum terlaksana. Bahwa sekarang
Locianpwe telah sudi datang kemari, sungguh suatu
kehormatan yang tak ternilai bagiku. Harap Tioklocianpwe
sudi tinggal di sini barang dua tiga hari, agar
aku mempunyai kesempatan untuk menerima pelajaranpelajaran
Locianpwe." "Tidak, sekarang pun aku hendak pulang. Banyak
terima kasih atas kebaikan Kang-tayhiap," sahut Tiok
Siang-hu. Kok Tiong-lian menyeletuk, "Apakah Tiok-locianpwe
mencela pelayanan kita kurang memuaskan" Sekalipun
tempat kami tak cukup besar, tetapi rasanya takkan
mengecewakan Locianpwe. Suruhlah anak buah
Locianpwe pulang dulu, Locianpwe tinggal di sini
beberapa hari menjadi tetamu kami berdua suami istri."
Pintar sekali Kok Tiong-lian menempatkan katanya, ia
meminta Tiok Siang-hu menjadi tetamunya pribadi,
bukan tetamu rapat besar, ini untuk menjaga muka Tiok
Siang-hu dan sekalian supaya jangan menyulitkan rapat.
Dengan beradanya Kang Hay-thian mendampingi orang
she Tiok itu, ia percaya tentulah takkan timbul hal-hal
yang tak diinginkan. Memang dalam hati kecilnya. Kok
Tiong-lian masih belum lepas kekuatirannya terhadap
Tiok Siang-hu. Tapi Tiok Siang-hu tetap menolak, "Ah, janganlah Koklihiap
berlaku sungkan, lebih baik aku pulang saja.
Pertama, saudara-saudara di sini baru saja mengalami
bencana, aku tak ingin menambah kesulitan lagi. Kedua,
memang benar-benar aku perlu pulang karena ada
urusan penting, tetapi sebelum pulang, aku hendak
bicara sedikit dengan Kang-tayhiap."
Mendengar orang bicara secara terus terang, Kok
Tiong-lian pun tak mau kelewat mendesak, "Baiklah,
kalau demikian kehendak Tiok-locianpwe. Hay-ko,
antarlah Tiok-locianpwe!"
Ketika sudah pergi dan tiba di sebuah tempat yang
sepi, berkatalah Tiok Siang-hu, "Kang-tayhiap, lebih dulu
aku hendak minta maaf padamu. Calon muridmu Li
Kong-he itu berada di tempatku, sebenarnya aku harus
lekas melepaskannya."
"Dengan mendapat rezeki mendampingi Locianpwe,
sungguh tak kecil keberuntungan anak itu. Siangkoan
Thay mengatakan padaku, bahwa Locianpwe sayang
benar dengan anak itu dan menganggapnya sebagai
anggota keluarga sendiri. Sebetulnya akulah yang harus
berterima kasih kepadamu Tiok-locianpwe, hanya karena
telah menerima pesan ayahnya untuk mendidik, tak
berani aku menelantarkannya, kumohon supaya
Locianpwe sudi mengizinkan kuambil kembali anak itu.
Sekiranya Locianpwe tak memandang rendah padaku,
sudilah Locianpwe menerima penghormatan anak itu
sebagai ayah angkat. Dengan begitu, akan terlaksanalah
cita-cita ayahnya dengan sempurna."
Tiok Siang-hu mengiakan, "Baik, begitu memang jalan
yang terbaik. Perjalanan pulangku kali ini, paling lama
seratus hari secepatnya dua bulan tentu akan kubawa
anak itu kemari." Kang Hay-thian minta agar apabila bertemu dengan
Siangkoan Thay menyampaikan salamnya.
Tiok Siang-hu menghela napas, "Siangkoan Thay telah
kutahan. Terus terang, adanya aku buru-buru pulang
adalah karena hendak melepaskannya serta meminta
maaf kepadanya." Kiranya sejak malam Siangkoan Thay diserang tibatiba
oleh Nyo Ceng, setelah lukanya sembuh lalu
mengunjungi kediaman Tiok Siang-hu untuk melaporkan
kejadian itu, tetapi Tiok Siang-hu sudah dihasut oleh Nyo
Ceng. Sudah tentu ia tak percaya omongan Siangkoan
Thay, bahkan sebaliknya malah menahannya, Siangkoan
Thay ditahan di rumah Tiok Siang-hu.
Kang Hay-thian cemas dibuatnya, "Tiok-locianpwe,
siapakah yang berada di rumahmu" Kukuatir Nyo Ceng
akan mendahuluimu untuk mencelakai mereka."
Tiok Siang-hu tertawa, "Bangsat Nyo Ceng itu
meskipun busuk, tapi kukira ia belum mempunyai
keberanian sebesar itu untuk mengacau di rumahku!"
Adalah karena selama ini Tiok Siang-hu selalu ditakuti
oleh ipar-iparnya (Nyo Ceng dan Siangkoan Thay), maka
beranilah ia menyatakan hal itu dengan yakin. Kang Haythian
menganggap orang she Tiok itu kelewat
meremehkan Nyo Ceng, tapi karena baru saja
berkenalan, tak enaklah bagi Kang Hay-thian untuk
mengeluarkan kritik. Habis tertawa, Tiok Siang-hu menghela napas, "Tak
kunyana sama sekali kalau Nyo Ceng berani
mengkhianati aku, sehingga orang baik kuanggap jahat,
orang jahat kuperlakukan baik. Aku tak dapat
membedakan emas dan loyang, aku punya bola mata
tapi tak dapat melihat, Kang Hay-thian harap jangan
kuatir. Muridmu yang ditangkapnya itu tentu akan
kurebut dan kuantarkan padamu. Aku menyesal sekali
telah menerbitkan bencana kali ini. Sukalah di hadapan
para orang gagah kau mintakan maaf untukku."
"Ah, setiap orang tak luput dari kesalahan, asal jalan
yang kita tempuh itu satu tujuan, itulah baru kawan
sejati Tiok-locianpwe, maafkan kelancanganku ini. Aku
hendak mohon Locianpwe memberi petunjuk tentang
sebuah hal," kata Kang Hay-thian.
Setelah Tiok Siang-hu mempersilakan orang
mengatakan, barulah Kang Hay-thian berkata, "Kudengar
desas-desus bahwa Siangkoan Thay dan Cianpwe juga
mempunyai cita-cita hendak melawan kerajaan Cing.
Kunjungan Cianpwe kemari ini hanya karena hendak
mencari aku ataukah hendak bermaksud mengikat
perkenalan dengan sekalian orang gagah untuk bersamasama
merundingkan gerakan melawan pemerintah Cing
itu?" Karena selama ini Tiok Siang-hu belum menyatakan
pendiriannya yang tegas, maka terpaksa pada saat-saat
perpisahan itu Kang Hay-thian meminta penjelasan.
"Kutahu karena asal-usulku tak terang, maka sekalian
orang gagah tentu menaruh kecurigaan pada diriku.
Adanya kuajak Kang-tayhiap keluar bicara empat mata ini
justru hendak mengeluarkan isi hatiku kepadamu," ujar
Tiok Siang-hu. "Atas kepercayaan Tiok-cianpwe, aku menghaturkan
terima kasih, tetapi sekiranya hal itu menyukarkan
Cianpwe, baiklah kutarik saja permintaanku tadi," kata
Kang Hay-thian. Tiok Siang-hu tertawa lepas, "Lebar dan luas kalangan
dunia persilatan itu, namun setelah hidup berpuluh tahun
baru hari ini aku berjumpa dengan seorang ksatria besar
yang membuat aku benar-benar kagum. Ah, apanya
yang tak boleh kukatakan padamu. Kang-tayhiap, jika
kau anggap aku orang she Tiok ini berharga menjadi
sahabatmu, karena aku lebih tua beberapa tahun dari
kau, bagaimana kalau kau panggil aku dengan sebutan
'Toako' saja" Kata-kata-kata 'Cianpwe' sungguh berat
kuterima." "Baik, silakan Toako mengatakan," Kang Hay-thian
pun menyambut kelapangan hati orang dengan
serempak. Tiok Siang-hu tertawa, "Kalau begitu, akan kukatakan
dengan sejujurnya. Jalan yang kutempuh adalah serupa
dengan jalan kalian, tapi boleh dikatakan juga berbeda."
Jawaban itu lepas dari persangkaan Kang Hay-thian
hingga ia tertegun sejenak. "Bagaimana maksud Toako?"
tanyanya heran. "Sebenarnya aku ini putra raja Guki, sebuah negara
kecil di daerah Secong (Tibet). Negeriku telah
dimusnahkan oleh tentara Cing pada 100-an tahun yang
lampau. Kakek Siangkoan Thay dahulu menjabat menteri
besar dari negeriku, setelah negeri diduduki musuh, kami
berdua keluarga sama-sama melarikan diri, tetapi Nyo
Ceng seorang suku Han, jadi jelas bahwa kerajaan Cing
itu adalah musuh bebuyutanku. Sudah tentu aku hendak
melawannya, tetapi tujuanku ialah hendak membangun
negeri lagi. Dengan gerakan kalian bangsa Han, jalannya
sama tapi tujuan berbeda, itulah maka kukatakan sejalan
tapi tak setujuan tadi," kata Tiok Siang-hu.
Memang Kang Hay-thian menaruh kesangsian kalaukalau
Tiok Siang-hu bukan bangsa Han, karena jarang
sekali orang Han yang she Tiok. She itu berasal dari
bangsa Oh, hanya karena sejarah pertumbuhan negeri
Tiongkok, maka telah mengalami proses peleburan
(integrasi) dari suku-suku yang berpindah-pindah, maka
banyaklah suku Oh yang pindah ke dalam negeri Han
dengan tetap menggunakan she mereka. Salah satu di
antaranya ialah she Tiok itu, tetapi tak sampai pada
Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pikiran Kang Hay-thian bahwa Tiok Siang-hu ternyata
seorang putra raja. "Walaupun tujuan berbeda, tetapi kita sudah sehaluan
untuk mengenyahkan penjajah Cing. Kita boleh
menjalankan rencana masing-masing, hanya kuharap
supaya suka saling bantu membantu," kata Kang Haythian.
Tiok Siang-hu mengiakan, "Sudah barang tentu, jika
kelak laskar kalian bergerak, bila perlu bantuanku, asal
Kang-hiante mengirim surat tentu aku segera datang
membantu." Ia lalu memberitahukan tentang tempattempat
dimana Kang Hay-thian dapat menghubunginya.
Tiba-tiba Kang Hay-thian teringat sesuatu, katanya,
"Di kaki gunung Altai terdapat sebuah negeri kecil
bernama Mazar. Dengan negeri Tiok-toako hanya
terpisah oleh padang rumput seluas 1000-an li. Karena
letak Mazar itu di perbatasan yang teraling gunung,
maka beruntung tak diduduki tentara Cing. Entah apakah
Tiok-toako kenal negeri itu?"
Tiok Siang-hu tertawa, "Justru itupun hendak
kukatakan padamu. Bukan melainkan pernah tinggal di
negeri itu saja, di situlah untuk pertama kali kudengar
nama adik yang termasyhur."
"Oh, jadi Tiok-heng pernah berjumpa dengan raja
Mazar?" Kang Hay-thian berseru girang. Dengan Danu
Cu-mu sudah 10-an tahun Kang Hay-thian tak berjumpa,
hendak ia tanyakan kepada Tiok Siang-hu tentang berita
Danu Cu-mu itu. "Nama saudaramu itu termasyhur di seluruh Secong,
dia telah memerintah Mazar dengan baik sekali.
Sekalipun kecil negerinya, tapi merupakan sebuah daerah
yang indah. Adalah karena mendengar Danu Cu-mu itu
bukan saja seorang raja bijaksana, tapi juga memiliki
ilmu kepandaian yang sakti, maka pergilah aku
mengunjunginya." "Oh, jadi Tiok-heng membicarakan diriku dengan dia?"
tanya Kang Hay-thian. "Benar. Waktu menerima kunjunganku, dia ramah
sekali, tidak bersikap seperti seorang raja melainkan
seperti seorang persilatan. Kita membicarakan ilmu silat
dengan gembira sekali, waktu kuminta, ia pun menerima
ajakanku untuk melakukan sebuah pertandingan. Kita
bertanding ilmu Lwekang dan ilmu pedang, dengan
kesudahan berimbang saja. Baru pertama kali itu aku
bertemu dengan seorang lawan yang dapat
mengimbangi kepandaianku. Rasa kagumku
kepadanya makin bertambah besar, sehingga waktu
minum arak aku telah memuji dia sebagai seorang gagah
yang tiada tandingan di kolong dunia. Kukatakan,
dengan kepandaian kita berdua, tiada tokoh
persilatan di Tionggoan yang mampu menandingi. Tetapi
Danu Cu-mu membantah, 'Tidak, tidak! Di dalam dunia
yang seluas ini, banyak sekali orang-orang sakti yang
luar biasa. Siapa-siapa mereka aku tak tahu, tetapi adik
iparku yang juga seorang Han, jauh lebih sakti dari aku!'.
Karena mendengar pujiannya kepadamu itulah maka aku
ingin sekali bertemu dan bertanding dengan kau, Kangheng."
Berita tentang diri Danu Cu-mu itu amat
menggirangkan Kang I lay-thian. Setelah mengucapkan
beberapa patah kata merendah diri, kembali ia bertanya,
"Apa lagi yang dikatakan kakak iparku itu?"
Tiba-tiba Tiok Siang-hu teringat sesuatu, ujarnya,
"Murid ahli warismu tadi, kudengar dia bernama Yap
Leng-hong, bukan?" "Benar, belum lama dia menjadi muridku,
kepandaiannya masih dangkal sekali, maka jika di kelak
kemudian hari berkelana, mohon sukalah Tiok-heng
bantu mengamati-amatinya."
"Sudah tentu, tetapi murid ahli warismu itu ..."tiba-tiba
Tiok Siang-hu berhenti. "Mengapa" Apakah ada yang tak beres padanya,"
Kang Hay-thian bertanya. "Bukan, hanya apabila kuteringat hal itu, agak geli
juga dan aneh," sahut Tiok Siang-hu.
"Leng-hong telah berbuat apa saja?" kembali Kang
Hay-thian mengajukan pertanyaan.
"Tadi dialah yang pertama-tama menantang aku," kata
Tiok Siang-hu. "Memang anak itu tak kenal tingginya langit, tetapi
mungkin tadi ia hendak membela perguruannya,
sehingga di luar kesadaran ia berani berbuat begitu.
Dalam hal itu sukalah Tiok-heng memaafkan."
"Sudah barang tentu aku takkan mempersalahkannya.
Dan bukannya karena hal itu maka aku merasa geli."
Kang Hay-thian tercengang, "Habis apa sebabnya"'
"Jika tadi kau tak menyebut namanya, mungkin aku
lupa. Wajahnya yang sekarang ini jauh berlainan dengan
ketika ia masih kecil, mungkin karena aku seorang tua,
maka perubahan wajahku tak seberapa banyak, tetapi ia
sampai tak mengenali aku dan menantang berkelahi,
benar-benar aku merasa heran dan geli."
"Oh, jadi Tiok-heng dahulu sudah pernah melihat
waktu ia kecil?" "Benar, dia adalah keponakanmu, bukan?" sahut Tiok
Siang-hu. Rasa heran Kang Hay-thian makin bertambah,
walaupun Siang-hu pernah bertemu dengan Danu Cumu,
tapi Danu Cu-mu belum pernah melihat Yap Lenghong,
bahkan tahu pun tidak kalau dia mempunyai
keponakan yang bernama Yap Leng-hong itu. Karena
setelah kakak Danu Cu-mu, yakni Yap Tiong-siau
menyerahkan takhta kerajaan dan pergi meninggalkan
negerinya, barulah melahirkan Leng-hong. Dan sejak itu
Yap Tiong-siau ayah dan putra tak pernah kembali ke
negerinya lagi. Mengapa Tiok Siang-hu mengetahui
hubungannya dengan Yap Leng-hong" Terang hal itu
bukan Danu Cu-mu yang menceritakan kepada orang she
Tiok itu. "Tiok-heng, bagaimana kau dapat mengetahui hal
itu?" tanyanya. "Beginilah," kata Tiok Siang-hu, "sewaktu berkunjung
pada Danu Cu-mu, aku meminta sebuah hal kepadanya
dan sebagai timbal-balik ia pun meminta sebuah hal
padaku. Hal yang kuminta padanya, dia tak meluluskan,
tetapi permintaannya tanpa kusengaja telah kulakukan.
Sayang aku tak mempunyai kesempatan untuk
memberitahukan kepadanya di Mazar."
"Bukankah dia minta supaya kau mencari berita
tentang kakaknya?" tanya Kang Hay-thian. Ia cukup tahu
isi hati Danu Cu-mu, raja Mazar itu berniat hendak
mencari kakaknya untuk diserahi takhta kerajaan lagi.
"Benar," Tiok Siang-hu mengiakan, "sedang
permintaanku kepadanya ialah supaya dia suka
membantu usahaku untuk membangun negeriku lagi, dia
rupanya enggan untuk bentrok dengan tentara Cing yang
menjaga perbatasan. Mengingat negerinya kecil dan tak
mempunyai kekuatan, maka terpaksa ia menolak
permintaanku. Aku pun tak mau memaksanya.
Permintaannya supaya mencari diri kakaknya,
sebenarnya aku tak bersungguh-sungguh mencari, tetapi
di luar dugaan, aku telah menjumpainya."
Dengan kejut-kejut girang Kang Hay-thian minta
supaya orang she Tiok itu menceritakan kejadian itu.
"Sebenarnya hal itu boleh dikata hanya kebetulan saja.
Kalian telah membuang waktu selama 20-an tahun untuk
mencarinya, sebaliknya tanpa sengaja dan tanpa
bersusah payah aku dapat menjumpainya. Itu waktu aku
dalam perjalanan pulang dari Mazar dan tengah melalui
kaki gunung Kun-lun sebelah barat. Di situlah aku
bertemu dengan mereka suami istri dan putranya. Ketika
melihat wajahnya yang walaupun kotor dengan debu
jalanan, tapi mirip Danu Cu-mu, maka segera kuhadang
mereka dan menantangnya berkelahi."
"Eh, mengapa tak mengatakan terus terang saja tetapi
mengajaknya berkelahi?" Kang Hay-thian tertawa.
"Danu Cu-mu mengatakan bahwa ia dan kakaknya itu
seperti pinang dibelah dua. Oleh karena Danu Cu-mu
mengatakan bahwa kakaknya itu selalu menghindari
adiknya dan tak mau mengaku siapa dirinya, maka
kugunakan cara untuk berkelahi," kata Tiok Siang-hu.
"Ai, benar, benar. Ilmu silat Yap Tiok-siau dari aliran
Toa-seng-pan-yak-ciang. Tentulah Danu Cu-mu
menerangkan ciri-ciri itu kepadamu," ujar Kang Haythian.
"Benar," sahut Tiok Siang-hu, "dalam pertempuran itu
sengaja kugunakan jurus yang paling ganas agar dia
mau mengeluarkan ilmu kepandaian dari keluarganya.
Pukulan Toa-seng-pan-yak-ciang itu khusus untuk
melukai urat-urat orang dan memang luar biasa
hebatnya, sayang ia belum mencapai kesempurnaan
sehingga tak dapat melukai aku. Setelah kusambut 8
jurus 8 pukulannya barulah aku tertawa gelak-gelak dan
membuka kedoknya. Karena kukatakan namanya dengan
blak-blakan, akhirnya terpaksa ia mau mengaku siapa
dirinya itu." "Kita saling mengagumi kepandaian masing-masing
sehingga pembicaraan selanjurnya yang kita lakukan saat
itu sangat menggembirakan, tetapi ketika kusampaikan
maksud adiknya untuk memintanya pulang dan
menduduki takhta kerajaan, dia menghela napas. Entah
apa sebabnya, selama tiga hari kutemani mereka pesiar
di daerah gunung Kun-lun dan memetik beberapa macam
daun obat, waktu berpisah, barulah ia mengatakan
padaku bahwa ia akan mengembara keluar negeri.
Mungkin sejak saat itu takkan bertemu padaku lagi,
dengan sendirinya ia takkan pulang ke negerinya pula."
Ketika Leng-hong datang memperkenalkan diri ke
Tujuh Pedang Tiga Ruyung 11 Giring Giring Perak Karya Makmur Hendrik Pendekar Pendekar Negeri Tayli 6
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama