Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen Bagian 5
sebagai sandera untuk memaksa Lim Jing menyerahkan
diri jika betul berada di rumah Thia Pek-gak. Ia cukup
kenal watak ksatria Kangouw yang sangat
mengutamakan setia kawan, asalkan bocah ini tetap
berada dalam cengkeramannya, mau tak mau Lim Jing
akan mati kutu dan menyerah.
Diam-diam Kong-he mengeluh, sebab hakikatnya Lim
Jing tidak berada di rumah Thia Pek-gak, apalagi ia pun
tidak kenal tuan rumah itu. Sekarang Lok Khik-si
melarangnya berhadapan sendirian dengan Thia Pek-gak
sehingga tiada kesempatan untuk bicara. Akan tetapi
tiada jalan lain, terpaksa ia mengiakan saja.
Kemudian Lok Khik-si melambatkan kudanya dan
berseru, "Loji, lekas! Aku ingin bicara padamu."
Saat itu Yo Tun-hou lagi pusing kepala dan napas
memburu, karena didesak, dalam gugupnya darah lantas
tersembur keluar dari mulutnya, kontan ia terperosot
jatuh ke bawah kuda. Khik-si terkejut dan bergirang pula, tapi ia lantas
mendekati dan pura-pura bertanya, "Kenapakah kau,
Loji?" Karena keadaannya memang payah, terpaksa Yo Tunhou
tak bisa berdusta lagi, jawabnya "Lotoa, aku tidak
sanggup naik kuda lagi, boleh kau membawa diriku dan
menumpang pada rumah petani di sekitar sini saja."
"Wah, agak repot juga kalau begini," kata Khik-si.
"Untuk urusan penting ini kita harus segera menuju ke
Bu-pok. Jika kau merasa payah, bolehlah kau mengaso
saja di sini. Toh sebentar Losam juga akan menyusul tiba
dengan kawan-kawan yang lain. Nanti kau boleh minta
bantuan seorang agar tinggal di sini untuk membantu
kau, sisanya hendaklah kau suruh mereka memapak
kami ke Bu-pok." Habis itu ia lantas menambahi
beberapa kalimat istilah-istilah rahasia yang hanya
dipahami Ki-lian-sam-siu sendiri tentang usahanya
hendak menangkap buronan.
Walaupun mendongkol karena dirinya ditinggal begitu
saja di tengah jalan, kalau ketemu musuh tentu bisa
celaka. Tapi ia pun tahu tiada gunanya minta belas
kasihan Lotoa yang keji itu. Terpaksa ia lantas membakar
dupa isyarat yang hanya dimiliki Ki-lian-sam-siu, yaitu
berasal dari semacam tumbuh-tumbuhan di Ki-lian-san,
bilamana dinyalakan, asap dupa itu akan terus
bergerombol di udara tanpa buyar. Ia harap rombongan
Be Seng-liong akan melihat dupa isyarat itu dan akan
segera memburu datang. Khik-si sendiri lantas membelokkan kudanya. Ia kuatir
Kong-he merasa curiga, maka di tengah jalan ia coba
memberi penjelasan bahwa segala usahanya itu adalah
untuk kebaikan Kong-he belaka. Untuk menyenangkan
orang, Kong-he juga pura-pura mengiakan saja.
Thia Pek-gak cukup terkenal di daerah Bu-pok, ia
tinggal di Sehiang, dusun barat di kota itu. Dari
penduduk setempat dengan mudah Khik-si mendapat
keterangan tentang perkampungan keluarga Thia itu.
Ketika melihat gerbang rumah Thia Pek-gak tertutup
rapat di siang bolong, diam-diam Khik-si bergirang dan
yakin Lim Jing pasti bersembunyi di situ.
Sesudah pintu diketuk, keluarlah seorang penjaga tua
mengamat-amati sejenak Lok Khik-si, lantas berkata,
"Thia-samya sangat sibuk, sementara itu tidak menerima
orang sakit." "Kami bukan minta pengobatan ke sini, tapi kami
adalah sesama anggota," kata Khik-si.
"Anggota" Anggota apa?" penjaga tua itu menegas.
Diam-diam ia merasa sangsi, sebab di antara temanteman
majikan belum pernah terdapat orang seperti
pendatang ini. "Boleh kau katakan kepada Samya bahwa putra
seorang sahabat lama she Li ingin bertemu dengan
beliau," ujar Khik-si.
"Engkau she Li?" penjaga itu mengulangi lagi.
"Bukan, anak ini she Li, aku she Lok, sungguh malang
ayahnya telah meninggal, karena hidup sebatangkara,
maka aku sengaja membawanya untuk minta
menumpang di tempat Samya kalian ini. Laporkan saja
kepada Samya, tentu beliau sudah tahu."
Penjaga tua itu tampak ragu-ragu sejenak, kemudian
berkata, "Baiklah, harap tunggu sebentar." Dan tidak
terlalu lama ia pun keluar kembali, pintu dibuka dan
Khik-si berdua dipersilakan masuk.
Setelah mempersilakan tamunya duduk di ruang tamu
dan menuangkan dua cangkir teh, lalu penjaga itu
mengundurkan diri. "Ingat, anak He, sebelum munculnya Lim-pepek,
jangan kau berpisah dari sampingku," demikian Khik-si
membisiki Kong-he. Tidak lama, terdengarlah suara gemericingnya logam,
seorang laki-laki berusia sekitar 50-an tampak keluar
dengan memainkan dua buah cakram besi, tampaknya
seperti seorang guru silat.
Cepat Khik-si berdiri menyambut sambil menyapa,
"Thia-samya, aku membawa keponakanmu ini untuk
datang menyambangi engkau."
"Keponakanku?" laki-laki itu seperti agak heran. "O,
siapakah ayahmu?" "Ayahku adalah Li Bun-sing," sahut Kong-he. "Thiapepek,
aku ada kesukaran dan ingin minta
pertolonganmu." Dan selagi Lok Khik-si diam-diam menggerutu atas
ucapan Kong-he itu, tiba-tiba terdengar lelaki itu telah
berkata, "Nanti dulu, sebenarnya bagaimana urusannya"
Siapa ayahmu" Li ... Li Bun-sing, nama ini belum
kukenal, rupanya kalian telah salah alamat!"
Jawaban ini membikin Khik-si dan Kong-he melengak
semua. Tapi Kong-he cukup cerdik, segera terpikir
olehnya, "Dia menyangsikan diriku ini. Wah, cara
bagaimana aku harus membuatnya percaya?"
Sebaliknya Khik-si lantas berseru, "Li Bun-sing, Lithocu
dari Thian-li-kau masakah Thia-samya tidak
mengenalnya?" "Thian-li-kau apa segala?" laki-laki itu tampak kurang
senang. "Aku adalah rakyat biasa yang hidup prihatin,
selamanya tiada hubungan dengan segala agama atau
kumpulan apa-apa. Kalian tentu salah alamat, silakan
mencari ke lain tempat saja." Habis berkata ia lantas
berbangkit, inilah tanda menyilakan tamunya pergi saja.
Tiba-tiba Kong-he mendapat akal, cepat ia melangkah
maju sambil berteriak, "Menanti sungai utara kembali
kepada raja Han, bumi raya Kian-khun akan terus
berputar." Bersamaan secangkir teh panas yang
dipegangnya itu terus dilemparkan ke belakang, sedang
tubuhnya lantas mencelat ke depan.
"Apa katamu"!" seru laki-laki itu dengan melengak.
Sebaliknya Lok Khik-si menjadi kelabakan karena di
luar dugaan mukanya tersiram teh panas yang
dilemparkan Kong-he itu, segera ia pun menjambret ke
depan, namun Kong-he sudah menjatuhkan diri dan
menggelinding ke depan laki-laki itu sambil berseru,
"Tolong, Thia-pepek!"
Kedua kalimat yang diucapkan Kong-he itu adalah
ajaran ayahnya, yaitu kode rahasia Thian-li-hwe yang
hanya diketahui oleh para Hiangcu dan para pemimpin
Thocu dari pusat dan cabang. Ternyata lelaki ini tidak
paham kedua kalimat itu, tapi ia menjadi terkejut dan
berpikir, "Jangan-jangan bocah ini memang benar putra
Li Bun-sing?" Di sebelah lain Lok Khik-si menjadi murka, sambil
menggerung ia terus melompat maju hendak
mencengkeram Kong-he, namun dengan gesit Kong-he
sudah menyusup ke belakang laki-laki itu. Pada saat itu
kedua buah cakram besi laki-laki itupun sudah melayang
ke depan. Khik-si menyambut dengan memukulkan kedua
tangannya sehingga kedua buah cakram itu tertolak
jatuh. Legalah hati Khik-si karena kepandaian Thia Pekgak
ternyata hanya sekian saja, segera pukulannya
menyul pula. "Samya, lekas ..." belum selesai laki-laki itu berseru,
kedua tangan masing-masing sudah terbentur, "biang",
laki-laki itu tidak tahan oleh tenaga pukulan Lok Khik-si
yang dahsyat, kontan ia terjungkal dan muntah darah
Keruan kaget Kong-he tidak kepalang. Ia pernah
mendengar cerita dari ayahnya bahwa di antara kawankawannya
antara lain kepandaian Thia-pepek kira-kira
sama kuatnya dengan beliau, makanya dia sekarang
berani memancing Lok-khik-si ke rumah Thia-pepek.
Siapa duga sang paman ternyata begini lemah, hanya
sekali gebrak saja sudah dirobohkan oleh Lok Khik-si.
"O, Thia-pepek, akulah yang telah membikin celaka
engkau!" seru Kong-he sambil menangis.
"Hahaha! Setan cilik, kau berani menipu aku ya?" kata
Lok Khik-si sambil terbahak-bahak dan mendesak maju.
Dengan cemas Kong-he mundur-mundur hingga
mepet dinding, untuk lari terang tidak bisa lagi dan
segera akan ditangkap kembali oleh Lok Khik-si.
Pada saat itulah mendadak terdengar suara gemuruh,
daun jendela telah didobrak dan mencelat, seorang
tampak melayang masuk sambil membentak, "Berhenti!
Siapa yang berani main gila di rumahku"!"
Kiranya orang inilah Thia Pek-gak yang sesungguhnya,
lelaki tadi hanya seorang hambanya saja. Maklumlah
bahwa Thia Pek-gak adalah pemimpin cabang Thian-likau
di Bu-pok, dengan sendirinya dia tidak dapat terlalu
menonjol di depan umum. Ia belum pernah kenal Konghe,
dengan sendirinya ia kuatir masuk perangkap musuh.
Sebab itulah ia sendiri bersembunyi di luar jendela untuk
mengintip. Ketika Khik-si dan Kong-he menganggap
hambanya sebagai Pek-gak sendiri, tentu saja ia lebihlebih
curiga. Tak tersangka bahwa kewaspadaan Thia Pek-gak itu
berbalik membikin urusan menjadi runyam. Mestinya
ilmu silatnya masih di atas Lok Khik-si, tapi sekarang dia
sudah rada terlambat. Ketika dia melayang masuk, saat
itu Khik-si sudah dapat menjambret dada Kong-he.
Tanpa pikir Kong-he lantas menggigit tangan Khik-si
sehingga berdarah, tapi cengkeraman itu tidak menjadi
kendur, sebaliknya semakin kencang sehingga bocah itu
tak bisa berkutik lagi. Ketika Thia Pek-gak menghantam dan terpaksa Khik-si
menangkis, kontan Khik-si tergetar mundur beberapa
tindak, dadanya seperti kena digodam, tak ampun lagi
darah segar lantas menyembur keluar dari mulutnya.
Namun dengan kencang ia tetap mencengkeram Konghe.
Serangan Thia Pek-gak itu bernama 'Siang-liong-cuthay7
(sepasang naga keluar dari laut). Pukulan satu
disusul lagi dengan pukulan yang lain, terpaksa Khik-si
menarik "Kong-he ke depan untuk dipakai sebagai
tameng, bentaknya, "Boleh coba pukul saja, orang she
Thia!" Sudah tentu Thia Pek-gak tidak dapat menyerang
seorang anak kecil, apalagi sekarang sudah jelas bocah
itu adalah putra Li Bun-sing.
"Hehe, setan cilik ini licik benar, tapi kau tetap tak bisa
lolos dari tanganku," kata Khik-si sambil terkekeh-kekeh
dan mengusap darah yang masih meleleh dari mulutnya.
"Nah, Thia Pek-gak, marilah kita berunding saja. Kau
ingin setan cilik ini hidup atau mati?"
"Kau berani mengganggu seujung rambutnya, kau pun
jangan harap mampu pergi dari sini dengan hidup,"
sahut Pek-gak dengan gusar.
"O, jadi kau ingin dia hidup?" ujar Khik-si dengan
tertawa ejek. "Bagus marilah kita mengadakan tukar
menukar." "Jiwa anak itu terletak di tanganmu, tapi jiwamu juga
tergantung padaku. Jika bocah itu kau lepaskan, segera
aku pun melepaskan kau. Pertukaran demikian bukankah
cukup adil?" "Dengan apa aku dapat mempercayai omonganmu?"
"Huh, memangnya kau anggap orang she Thia ini
manusia apa" Masakah aku sudi menipu kau" Aku akan
mengantar kau keluar pintu rumahku dan kau baru
melepaskan anak itu. Nah, bagaimana?"
"Biarpun kau tidak menipu aku, urusan ini juga tidak
dapat diselesaikan semudah itu."
"Habis bagaimana keinginanmu?" tanya Thia Pek-gak
dengan mendongkol. "Silakan kau menyerahkan Lim Jing dari Thian-li-hwe,
biarlah dia berangkat bersama aku. Sesudah Lim Jing
berada di kotaraja barulah bocah ini akan kulepaskan."
"Apakah kau melamun" Siapa yang bilang Lim-kaucu
berada di tempatku sini?"
"Putra Li Bun-sing ini yang bilang, masakah dia
berdusta?" "O, dia yang bilang?" Pek-gak melengak. Tapi ia lantas
paham juga maksud tujuan Kong-he, diam-diam ia
mengaku kecerdikan bocah itu.
"Nah, bagaimana, kau setuju tidak usulku tadi?" Khiksi
mendesak pula. Selagi Pek-gak ragu-ragu dan merenungkan cara
bagaimana harus menghadapi persoalan sulit ini, di
sebelah sana Kong-he yang tak bisa berkutik karena
dicengkeram kencang oleh Lok Khik-si itu sudah lantas
berteriak sekeras-kerasnya, "Kau manusia jahanam ini,
jangan kau harap bisa menangkap Lim-pepek. Huh, biar
kukatakan terus terang padamu bahwa apa yang
kukatakan sebelumnya ini semuanya adalah bohong
belaka! Dia tidak berada di sini, juga tidak di Bici, aku
sengaja menipu kau supaya kau mau membawa aku ke
Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sini." Khik-si menjadi murka karena merasa dirinya telah
diingusi oleh seorang anak kecil. "Kurangajar, kau anak
jadah ini berani menipu aku?" dampratnya.
"Huh, kau sendiri telah menipu seorang anak kecil,
kaulah yang tidak tahu malu?" Kong-he balas memaki.
"Thia-pepek, jangan kau pikirkan diriku, lekas kau bunuh
dia saja." "Apa susahnya jika kau ingin mampus" Tapi
sementara ini aku belum ada minat untuk membunuh
kau," ujar Khik-si sambil menotok Hiat-to Kong-he. "Nah,
Thia Pek-gak, bolehlah kau ikut aku ke kotaraja dan
menyerahkan diri saja. Hm, luput menangkap pemeran
utama, tokoh kelas dua juga bolehlah!"
"Hm, jangan kau mentang-mentang di sini, kau tidak
nanti dapat keluar dari rumah ini!" kata Pek-gak dengan
geram. "O, kau ingin membunuh aku?" Khik-si menegas
dengan tertawa. "Sedikit kau bergerak saja tentu anak ini
akan mampus lebih dulu. Apalagi kau pun belum tentu
mampu menangkan aku, bahkan sebelum kau dapat
berbuat apa-apa mungkin segenap keluargamu ini sudah
kami sapu bersih! Kau ingin lihat bukti bukan?" Habis
berkata mendadak ia bersuit keras-keras dan panjang.
Hanya sebentar saja terdengarlah suara riuh ramai
orang dan kuda. Penjaga tua tadi tampak masuk melapor
bahwa di luar ada serombongan laki-laki bengis sedang
menggedor pintu dan minta bertemu dengan Thiasamya.
Kiranya rombongan itu adalah Be seng-liong dan
jago-jago pengawal istana yang sudah menyusul tiba.
"Bagaimana Thia Pek-gak?" desak Khik-si pula. "Kau
mau menyerahkan diri saja atau minta disapu bersih?"
"Bunuh dia saja, Samya, kita segera melarikan diri!"
usul si penjaga tua dengan gusar. Kiranya di rumah Thia
Pek-gak ada sebuah jalan rahasia di bawah tanah yang
bisa menembus keluar. "Hahaha! Apakah kau ragu-ragu, Thia Pek-gak?" Khiksi
mendesak pula sambil mengeluarkan senjatanya,
tanduk menjangan. "Baik, aku akan ikut kau dan menyerahkan diri!"
mendadak Pek-gak menjawab dengan suara berat.
Khik-si lantas mengeluarkan sebuah borgol baja,
katanya, "Suruhlah budak tua itu membelenggu kedua
tanganmu sendiri!" "Jangan, Samya! Lekas bunuh saja dia!" sela si
penjaga tua dengan geram.
"Tak perlu banyak bicara, Lau Ong, lekas belenggu
tanganku," kata Pek-gak. "Betapapun juga aku akan
menghadapi segala resiko. Bocah ini benar-benar adalah
putra yatim Li Bun-sing."
Tiada jalan lain terpaksa penjaga tua itu menurut dan
memasang borgol di tangan sang majikan.
"Sudahlah, kalian boleh menyelamatkan diri sendirisendiri
saja!" kata Pek-gak dengan pedih. Tanpa pamit
lagi dengan anggota keluarganya segera ia mendahului
berjalan di depan, seperti pesakitan saja ia digiring pergi
oleh Lok Khik-si. Akan tetapi sebelum mereka keluar, terdengarlah
suara gemuruh yang ramai, pasukan pegawai istana
sudah berhasil menjebol dinding pintu gerbang dan
menyerbu masuk. Pasukan pengawal itu dipimpin oleh
wakil komandan Ham-lim-kun yang bernama Ho Lan-bing
yang merupakan atasan langsung Lok Khik-si.
Begitu melihat Lok Khik-si, Ho Lan-bing lantas
bergelak tertawa, katanya, "Lok-lotoa, hebat benar kau!
Apakah bocah ini putra Li Bun-sing?"
"Benar, berkat rezeki Tayjin (paduka tuan) kita telah
dapat menangkapnya," sahut Khik-si.
"Dan siapa lagi orang ini?" tanya pula Ho Lan-bing.
"Dia adalah pemimpin cabang Thian-li-kau di Bu-pok
sini." "Lalu bagaimana dengan Lim Jing?"
"Sementara ini belum jelas, tapi kita akan mendapat
keterangan dari kedua orang tua dan muda ini,"
demikian jawab Khik-si. Padahal dia sudah mendapat
berita tentang beradanya Lim Jing di Bici, namun dia
sengaja jual mahal dan merahasiakannya dahulu. '
"Hahaha, tidak kecil juga jasamu ini!" Lan-bing
tertawa. "Baiklah, coba geledah rumah ini, tawan seluruh
penghuni rumah ini."
Namun anggota keluarga Thia Pek-gak sudah
meloloskan diri melalui jalan rahasia di bawah tanah,
sudah tentu pasukan pengawal itu tidak menemukan
seorang pun "Rasanya kedua pesakitan ini harus lekas-lekas
digiring ke kotaraja saja daripada tertunda lama-lama di
sini, begundalnya tidak sedikit, untuk menangkapnya
biarlah kita berdaya pula secara teratur," demikian usul
Khik-si. Ho Lan-bing setuju, segera ia memberi perintah untuk
segera berangkat dan membakar rumah Thia Pek-gak.
Dalam perjalanan Khik-si menambahkan pula borgol di
kaki Thia Pek-gak dan diserahkan di bawah pengawasan
Be Seng-liong. Hanya sekejap saja api sudah berkobar-kobar.
Penduduk setempat menjadi ketakutan dan tidak berani
memadamkan kebakaran itu ketika melihat serombongan
pasukan kerajaan yang galak membakar rumah dan
menangkap orang. Dengan gembira karena hasil usahanya itu, sepanjang
jalan Lok Khik-si terus membual tentang kecerdikannya
sendiri dan cara bagaimana seorang diri telah
membongkar cabang Thian-li-hwe di Bu-pok. Di samping
itu ia pun tidak lupa menyanjung kecekatan Ho Lan-bing
yang telah datang tepat pada waktunya untuk
membantu. Akan tetapi rasa gembira mereka itu tidak berlangsung
lama karena tidak jauh sesudah mereka meninggalkan
tempat kediaman Thia Pek-gak, tiba-tiba terdengar suara
derapan dan keleningan kuda yang ramai, dari depan
tampak mendatangai secara berbondong-bondong
serombongan penunggang kuda. Hanya dalam sekejap
saja tujuh atau delapan penunggang kuda itu sudah tiba,
seorang di antaranya adalah laki-laki berbaju biru bersatu
kuda dengan seorang nona cilik.
Karena Lok Khik-si sendiri sudah lemas akibat pukulan
Thia Pek-gak tadi, pula ia harus menjaga Li Kong-he,
maka cepat ia membawa Kong-he melompat turun dan
membiarkan Ho Lan-bing dan anak buahnya maju ke
depan untuk menghadapi pendatang-pendatang itu.
Pasukan pengawal Ho Lan-bing'itu berjumlah 13 orang
belum terhitung Be Seng-liong dan Lok Khik-si. Sudah
tentu ia pandang enteng pihak lawan yang cuma
berjumlah 7-8 orang itu. Segera Lan-bing bergelak
tertawa dan membentak, "Hai, kawanan bandit yang
buta, kau berani merintangi perjalanan tuan besarmu,
apakah kau tahu siapakah tuan besarmu ini?"
Jika Lan-bing masih berlagak garang, adalah
sebaliknya Lok Khik-si menjadi kaget dan kuatir ketika
mengenalikan si lelaki baju biru dan si nona cilik itu
bukan lain adalah orang-orang yang diketemukan di
kelenteng semalam, dimana Yo Tun-hou telah menderita
luka dalam akibat pukulan lelaki baju biru itu. Sekarang
mereka datang lagi dengan membawa kawan-kawannya,
terang maksud tujuan mereka adalah menuntut balas
kejadian semalam. Padahal betapa tinggi ilmu silat si
baju biru yang lihai itu sudah disaksikan sendiri oleh
Khik-si. "Peduli apakah kau tuan besar atau tuan kecil?" balas
bentak si lelaki baju biru. "Lekas enyah kau, yang hendak
kucari bukanlah kau! Jika kau masih rewel, tentu kau
akan celaka sendiri!"
Ho Lan-bing menjadi gusar, baru saja dia hendak
bertindak, sekonyong-konyong terdengar seruan si nona
cilik sambil menuding, "Nah, itu dia, lelaki bermuka kuda
itulah yang semalam hendak membunuh aku!"
Baru selesai ucapannya, secepat kilat seorang dari
rombongannya lantas memelompat meninggalkan
kudanya, bagaikan elang menyambar kelinci saja, dari
atas dia terus pentang tangan hendak mencengkeram Be
Seng-liong. Buru-buru Seng-liong mencabut golok dan membacok
tangan lawan. Dalam keadaan terapung di udara,
mestinya orang itu tidak dapat menghindar, sebelah
lengannya seharusnya akan terpapas kutung oleh
serangan Be Seng-liong itu.
Namun gerakan orang itu ternyata gesit luar biasa,
mendadak ia berjumpalitan di udara sehingga bacokan
Seng-liong mengenai tempat kosong, menyusul kakinya
terus menendang sehingga golok Be Seng-liong berbalik
mencelat ke udara. Sesudah berjumpalitan dan menurun
ke bawah, gayanya tetap masih menubruk seperti tadi,
tanpa ampun lagi kuduk Be Seng-liong kena
dicengkeram. Apa yang terjadi ini sungguh cepat luar biasa sehingga
sebelum Ho Lan-bing sempat memberi pertolongan,
tahu-tahu Be Seng-liong sudah terseret turun dari
kudanya. "Nona Hoa, cara bagaimana orang ini harus diberi
hukuman yang setimpal?" tanya laki-laki itu kepada si
nona cilik. "Mengingat dia belum sempat membikin susah
padaku, bolehlah jiwanya diampuni dan cukup patahkan
kedua tangannya saja," kata si nona.
"Baik!" laki-laki itu mengiakan. Maka terdengarlah
suara "krakkrak" dua kali, kontan kedua lengan Be Sengliong
telah dipuntir patah oleh orang itu.
Keruan semangat Lok Khik-si hampir-hampir terbang
ke awang-awang saking takutnya. Cepat ia menyeret
Kong-he dan diam-diam hendak mengeluyur pergi.
Namun Thia Pek-gak mendadak membentak, rantai
borgol kakinya tiba-tiba digunakan untuk menyabet ke
arahnya. Mestinya rantai borgol kaki Thia Pek-gak itu dipegang
oleh seorang jago pengawal, tapi karena terkesima
menyaksikan pertarungan sengit itu, tanpa terasa rantai
borgol itu kena dibetot oleh Thia Pek-gak. Sungguh
mimpi pun Khik-si tidak menduga bahwa mendadak Thia
Pek-gak dapat menyerangnya. Maka tangannya menjadi
pecah kena disabet oleh benda keras itu, terpaksa ia
harus melepaskan Kong-he.
Dan pada saat itu juga terdengar si nona cilik lagi
berseru, "Engkoh cilik itu adalah tuan penolongku, siapa
yang berani mengganggu dia boleh kalian membunuhnya
saja!" Kejut dan gusar pula Ho Lan-bing menghadapi lawanlawan
yang tangguh itu, cepat ia memberi perintah, "Li
Tay-cin, kalian berlima tangkap kembali buronanburonan
itu. Sisanya ikut aku melabrak musuh!"
Li Tay-cin adalah salah seorang kapten pasukan
pengawal, ilmu silatnya cukup tinggi dan merupakan
wakil Ho Lan-bing maka rasanya tidaklah susah untuk
menawan kembali seorang pesakitan yang masih
terborgol dan seorang anak kecil yang tak bisa berkutik
karena tertotok. Namun di pihak lain si lelaki baju biru juga lantas
membentak, "Rupanya pembesar anjing ini ingin cari
mampus juga!" Ketika dia memberi tanda, serentak
kawan-kawannya lantas menerjang maju.
Saat itu dua jago pengawal baru saja hendak
mencengkeram Li Kong-he. Mendadak laki-laki baju biru
itu membentak, "Roboh!" Berbareng itu dari atas
kudanya dua buah Tau-kut-ting (paku penembus tulang)
terus disambitkan secepat kilat, kontan kedua perwira itu
terjungkal sambil menjerit ngeri, terang jiwanya sudah
melayang. Tiga jago pengawal yang lain sedang mengembut Thia
Pek-gak yang masih diborgol, terpaksa Pek-gak hanya
menggunakan tenaga jarinya untuk memutar rantai
borgol kaki laksana ruyung sehingga ketiga perwira itu
tidak berani mendekat. Pada saat lain, si lelaki baju biru dan si nona cilik
sudah memburu tiba. Seru lelaki itu, "Entah siapakah
pesakitan ini, coba kau tanya engkoh cilik itu apakah
kawannya atau bukan?"
Kiranya rombongan orang-orang ini sangat
mengutamakan perbedaan antara budi dan dendam serta
tidak ambil pusing kepada urusan orang lain, mereka
bukanlah kaum pendekar yang suka membela keadilan,
terhadap urusan negara juga tidak mau tahu/ sebaliknya
mereka juga tidak mau membantu kejahatan dan
membunuh secara ngawur, asal mereka tak diganggu,
maka mereka pun tidak mau mengganggu.
Karena Kong-he pernah menolong si nona cilik, maka
lebih dulu si lelaki baju biru membinasakan kedua
perwira yang hendak menangkap bocah itu. Sedangkan
ketiga perwira yang mengembut Thia Pek-gak tidak
diapa-apakan olehnya. Dengan tertawa si nona cilik lantas membangunkan
Kong-he, katanya, "Semalam kau telah menolong aku,
maka sekarang aku pun balas menolong kau. Eh, apakah
lelaki yang diborgol itu adalah kawanmu?"
Karena tertotok, Kong-he tidak bisa bergerak dan
berbicara. Namun ketiga perwira yang mengeroyok Thia
Pek-gak sudah menjadi ketakutan kalau-kalau Kong-he
menerangkan duduknya perkara, apalagi mereka sadar
bukan tandingan si lelaki baju biru, maka tanpa ayal lagi
mereka lantas lari terbirit-birit menyelamatkan diri.
Ho Lan-bing menjadi gusar, segera ia menerjang maju
dengan kudanya. Tapi kontan si lelaki baju biru
Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menyambutnya dengan enam buah Tau-kut-ting. Sudah
tentu kepandaian Lan-bing jauh di atas perwira-perwira
tadi, sekali ruyungnya berputar, terdengarlah suara
mendering nyaring, sekaligus keenam buah paku si lelaki
baju biru telah kena disampuk jatuh semua. Menyusul
ruyungnya terus menyabet pula ke arah Kong-he.
Syukurlah si nona cilik keburu merangkul Kong-he
terus menggelinding ke samping sehingga ruyung Ho
Lan-bing mengenai tempat kosong.
"Lau-taysiok, lekas kau maju untuk menghajar bangsat
busuk ini!" seru si nona cilik.
Sungguh gusar Lan-bing tak terkatakan, sebagai
pembesar tinggi masakah dimaki si nona sebagai
bangsat. Dengan menggertak murka segera ruyungnya
menyabet pula. "Bangsat anjing, berani kau mengganggu seujung
rambut Sioda kami, segera kucincang hancur-luluh
badanmu!" mendadak seorang membentak dan tahutahu
sebuah ruyung lain juga telah menyambar tiba.
Segera terjadilah ruyung lawan ruyung dengan serunya.
"Plak", kedua ruyung emas itu mendadak terlibat menjadi
satu. "Lepas!" bentak si lelaki she Lau.
Tapi Ho Lan-bing juga lantas membetot sekuatnya
sambil melarikan kudanya dengan maksud menyeret
jatuh lelaki she Lau itu. Tak terduga tenaga orang she
Lau ternyata luar biasa hebatnya, kuda Ho Lan-bing
berbalik terseret mundur beberapa langkah. Keruan Lanbing
terkejut, sekuatnya ia mengerahkan tenaga ke
ujung ruyungnya dengan maksud melepaskan libatan
kedua senjata itu. Sekonyong-konyong ruyung Ho Lan-bing putus
menjadi dua, kiranya Lwekangnya tetap kalah setingkat
dengan lelaki she Lau itu, begitu kedua kekuatan
dikerahkan dan dipuntir, ruyung Ho Lan-bing lantas
patah. Tetapi hal ini malah menguntungkan dia, karena
tiada halangan lagi, segera kudanya membedal secepat
terbang ke depan dan selamatlah dia.
Melihat komandannya sudah kabur, dengan sendirinya
anak buahnya ikut kacau-balau dan melarikan diri
sendiri-sendiri, untuk ini rombongan si nona cilik juga
tidak mengejar. Hanya Lok Khik-si saja yang tidak
sempat mencemplak kudanya, dia telah kena dibekuk
oleh si lelaki baju biru.
"Nona Hoa, orang ini adalah salah seorang bangsat
kemarin malam itu, apakah dibunuh saja?" tanya lelaki
itu Si nona cilik sedang sibuk dan tidak mampu membuka
Hiat-to Kong-he yang tertotok, maka dia menjawab acuh
tak acuh, "Semalam dia tidak terlalu jahat, engkoh cilik
inipun memanggil paman padanya, maka bolehlah
dilepaskan saja." "He, jangan, jangan dilepas! Justru jahanam ini adalah
biang keladi dari kejadian ini, dia telah membohongi anak
He dan bersekongkol dengan pihak kerajaan untuk
menangkap Lim-kaucu, maka jangan kalian melepaskan
dia!" demikian seru Pek-gak cepat.
Ia mengira orang-orang ini tentu adalah golongan
pendekar Kangouw dan tentu ada hubungan baik dengan
Li Bun-sing, makanya beramai-ramai mereka datang
menolong putranya. Tak tahunya sama sekali dugaannya
telah meleset, orang-orang itu tidak ambil pusing kepada
seruannya. Orang she Lau itu adalah pemimpin
rombongan, segera ia menjawab dengan dingin, "Aku
tidak peduli urusan Kaucu kalian. Sekali Siocia kami
bilang lepaskan, maka tidak perlu kau ikut campur
bicara." Sebagai seorang ksatria, sudah tentu Pek-gak sangat
mendongkol atas sikap orang yang kasar itu, terpaksa ia
pun tidak bersuara lagi. Sementara itu Lok Khik-si sudah
lantas mencemplak ke atas kudanya dan melarikan diri.
Kemudian orang she Lau itu melolos golok seorang
kawannya dan mendekati Thia Pek-gak, hanya dua kali
bergerak saja ia telah memutus borgol kaki dan tangan
Pek-gak, katanya, "Kita tak perlu saling bertanya, kulihat
kau juga seorang laki-laki sejati, maka bolehlah kau pergi
saja." "Dan bagaimana dengan bocah ini?" tanya Pek-gak.
"Engkoh cilik ini telah menolong Siocia kami, sudah
tentu majikan kami akan memperlakukan dia dengan
baik, kau jangan kuatir," sahut orang she Lau.
"Tidak bisa," kata Pek-gak. "Dia adalah putra yatim
sahabatku, kalian tidak dapat membawanya pergi."
Dalam pada itu tiba-tiba si nona cilik telah berseru,
"Lau-taysiok, lekas kemari! Dia seperti kena ditotok
orang, aku tidak mampu membukanya!"
Rupanya ilmu Tiam-hiat merupakan kepandaian
tunggal Lok Khik-si sehingga orang lain tidak
sembarangan dapat membuka Hiat-to yang ditotoknya.
Meski si nona cilik dan pengiring-pengiringnya juga tidak
mampu membuka totokan di atas tubuh Kong-he itu.
Pek-gak juga tidak berani coba-coba, dengan nada
dingin ia berkata, "Nah, ini adalah perbuatan jahanam
she Lok itu, cuma sayang orangnya sudah kalian
lepaskan!" "Huh, jika mampu mengapa kau tidak menolongnya"
Apa gunanya menyindir saja?" si lelaki she Lau
mendengus. "Hm, ilmu Tiamniat demikian rasanya juga
tidak sukar bagi kita, tentu kita dapat menolongnya
nanti. Marilah kita berangkat!"
Berulang kali Pek-gak diperlakukan secara kasar,
sungguh tak terkatakan mendongkolnya. Ia lihat Kong-he
telah dibopong ke atas kuda oleh orang she Lau itu,
segera ia berteriak pula, "He, mengapa kalian tidak tahu
aturan begini?" "Siapa sebenarnya kau ini" Sudahlah, jangan banyak
rewel lagi!" kata si orang she Lau sambil memberi tanda
untuk berangkat. Dalam pada itu Kong-he sendiri juga sangat gelisah,
celakanya dia tidak mampu bicara, hanya sepasang
matanya saja berulang-ulang mengedipi si nona cilik.
"Engkoh cilik ini rupanya ingin berkata apa-apa," ujar
si nona. "Ya, baiklah, tampaknya orang ini merasa berat
meninggalkan kau, maka biarlah dia ikut ke rumahku
saja." "Eh, rumah kita mana boleh didatangi sembarangan
orang?" Cepat si orang she Lau mencegah. "Kau
membawa pulang seorang asing mustahil ayahmu takkan
mematahkan kedua kakinya. Jika terjadi demikian,
maksud baikmu bukankah berbalik akan membikin celaka
padanya?" Orang she Lau itu adalah pengurus rumah tangga, si
nona terpaksa tak berani membantah, katanya kepada
Pek-gak, "Kuminta dia menjadi temanku, sudah tentu
akan kulayani baik-baik, harap jangan kuatir. Paman Lau
adalah pengurus rumah tangga kami, dia tak mau
menyambutmu, maka jangan kau memaksanya."
"Mari kita pergi, ayahmu menunggumu," kata lelaki
baju biru itu. "Siapa sudi ke rumahmu" Kumaukan anak ini
ditinggal!" sahut Thia Pek-gak murka.
Orang she Lau itu sudah menjunjung Kong-he ke atas
kuda dan terus hendak melarikan kudanya. Tiba-tiba Thia
Pek-gak memelompat maju dan menariknya.
"Kau sungguh tak tahu tingginya langit dan dalamnya
bumi, hm, rupanya mau cari mampus ya?" bentak lelaki
itu sambil menyabetkan cambuknya.
Thia Pek-gak memakai rantai untuk menangkis. Tapi
permainan cambuk lelaki itu lincah laksana naga bermain
di air. Thia Pek-gak terkena dua kali cambukan, dia
menggerung keras, rantai ditarik terus melibat cambuk.
Tenaga mereka berimbang, lawan tak dapat ditarik jatuh,
tapi kudanya tetap berjalan sehingga Thia Pek-gak pun
terseret sampai beberapa langkah.
Si lelaki baju biru putar kepala kudanya, katanya
dengan tertawa, "Bahwa nona kami mau bersahabat
pada anak itu, itulah suatu rezeki besar baginya. Taruh
kata omonganmu benar seluruhnya, seharusnya kau
bergirang untuk keponakanmu, mengapa sebaliknya kau
terus menerus cari perkara saja. Baik, rantaimu tadi aku
yang memutusnya, sekarang biar kutambahi sebuah
papasan lagi!" Sekali golok diayun, rantai itu putus. Hanya tinggal
beberapa dim yang digenggam dalam tangan Thia Pekgak.
Golok lawan tampaknya menyentuh tangan Thia
Pek-gak tapi ternyata tak melukainya.
"Paman An, hebat sekali permainan golokmu!" si nona
kecil bertepuk tangan memuji.
Begitu Thia Pek-gak terputus rantainya, ketujuh orang
dan kedua anak itupun sudah dibawa lari oleh kudanya.
Masih terdengar dari jauh yang dipanggil paman An itu
tertawa, "Rupanya anak ini mempunyai riwayat juga,
pagi tadi Kang Hay-thian juga cari perkara padaku. Tak
lain tak bukan juga hendak menyelidiki anak ini. He,
sedang Kang Hay-thian saia tak kupedulikan, apalagi
segala macam Lim-kaucu atau Bok-kaucu."
Thia Pek-gak terkejut, pikirnya, "Bukankah yang
dimaksudkan itu Kang-tayhiap" Mengapa Kang-tayhiap
juga mencari anak itu" Orang-orang itu berkepandaian
tinggi, percuma saja aku mengejarnya. Biarlah, begitu
kubereskan urusan di rumah, aku segera akan menuju ke
Nyo-keh-ceng di Soatang untuk menemui Kang-tayhiap.
Benar aku tak begitu kenal dengannya, tapi mengingat
dia seorang pendekar yang budiman, tentu suka
membantuku." Kembali ke dalam desa, dilihatnya beberapa rumah
sudah terbakar habis. Api masih menyala, para tetangga
sedang sibuk memadamkan kebakaran itu. Begitu
melihat kedatangannya, mereka segera mengerumuni
dengan berbagai pertanyaan, Thia Pek-gak tak punya
banyak waktu luang. Dia mencari seorang murid Thian-likau,
setelah memintanya supaya menyampaikan berita
pada keluarga di rumah, Thia Pek-gak segera bergegas
meninggalkan tempat itu. Tengah berjalan, tiba-tiba dua ekor penunggang kuda
berlari mendatangi. Diam-diam Thia Pek-gak memuji
kepesatan kuda mereka di samping kuatir jangan-jangan
kawanan orang tadi datang lagi. Tepat pada saat itu,
kedua penunggang kuda sudah berhenti di hadapannya.
Seorang lelaki pertengahan umur yang berwibawa dan
seorang pemuda cakap memelompat turun. Thia Pek-gak
kembali terkejut. Mata lelaki pertengahan umur itu
bersinar tajam sekali, suatu tanda bahwa dia tentu
seorang tokoh silat yang berkepandaian tinggi.
Sebaliknya setelah mengawasi Thia Pek-gak, lelaki
itupun agak heran, lekas ia memberi hormat, ujarnya,
"Maaf, saudara. Aku hendak mohon bertanya padamu."
"Silakan," sahut Pek-gak.
"Ada tiga lelaki dan seorang anak yang naik kuda.
Entah apakah saudara pernah melihatnya," orang itu
memberi uraian tentang wajah dari orang-orang yang
ditanyakan itu. Terang yang dimaksudkan itu ialah Kiliansam-siu dan Li-Kong-he. Thia Pek-gak tergerak hatinya dan buru-buru balas
bertanya, "Bukankah saudara ini Kang-tayhiap?"
"Ah, tak berani kuterima pujian sedemikian tinggi itu.
Tetapi aku memang benar Kang Hay-thian. Saudara
tentu juga kaum Bu-lim, sudikah memberitahukan nama
saudara yang mulia?"
Kiranya melihat pada siang hari di desa itu timbul
kebakaran, Kang Hay-thian mengajak muridnya, Yap
Leng-hong, melarikan kudanya ke situ. Siapa tahu nanti
akan mendapat berita apa-apa dan secara kebetulan
mereka berjumpa dengan Thia Pek-gak
Kang Hay-thian juga tahu kalau orang di hadapannya
itu mempunyai Lwekang tinggi. Pula dari sikap dan
pakaiannya yang penuh debu, nyata orang itu baru saja
habis berkelahi, maka ia lalu turun dari kudanya.
"Kang-tayhiap, aku justru hendak mencarimu!" seru
Thia Pek-gak dengan kegirangan. Ia segera menuturkan
apa yang telah dialaminya tadi. Kang Hay-thian pun
menceritakan juga tentang Li Bun-sing menitipkan anak
yang sudah sebatang kara itu.
"Apakah rombongan orang-orang itu sudah lama
perginya?" tanya Kang Hay-thian pula.
"Kira-kira baru satu jam dengan mengambil jalan ini.
Gerombolan itu tetap hendak membawa He-ji pulang,
katanya untuk teman nona majikan mereka."
Segera Kang Hay-thian menyanggupi akan merebut
kembali anak itu. "Baik, jika ada berita apa-apa harap Kang-tayhiap
suruh orang menyampaikannya pada Thio Su-liong,
kepala Cong-liong-poh di Bici. Kudoakan mudahmudahan
Kang-tayhiap berhasil. Rumahku sudah dibakar
habis oleh kaki tangan kerajaan, aku pun tak dapat
tinggal lama-lama di sini," kata Thia Pek-gak.
Setelah menimbang-terimakan urusan, legalah hati
Thia Pek-gak. Ia anggap sebagai jago nomor satu di
dunia persilatan tentu mudahlah bagi Kang Hay-thian
untuk merebut kembali anak itu, apalagi kalau Kang haythian
suka memunggut anak itu sebagai murid. Mengenai
ia sendiri karena sudah ketahuan siapa dirinya, ia tak
dapat menunggu berita di Bu-pok lagi, maka ia ambil
keputusan menuju saja ke Bici menemui Kaucu mereka,
Lim Jing, untuk melaporkan tentang berita Li Bun-sing
dan putranya. Sekarang marilah kita ikuti Kang Hay-thian. Jago itu
segera mengajak muridnya melakukan pengejaran
menurut arah yang ditunjukkan Thia-Pek-gak. Memang
benar di sepanjang jalan terdapat bekas-bekas tapak kaki
Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kuda. Dari jejaknya, rombongan itu terdiri dari 7-8 ekor
kuda. Ini sesuai dengan keterangan Thia Pek-gak tadi.
Diam-diam Kang Hay-thian merasa lega. Ia yakin
menjelang petang, berkat kudanya yang tergolong kuda
Jian-li-ma (kuda yang sehari dapat menempuh seribu li),
tentu dapat menyusul mereka.
Di luar dugaan, Kang Hay-thian berhadapan dengan
sebuah jalan simpang tiga dan jejak perburuannya itupun
hilang. "Eh, apakah orang-orang itu bisa main sulap"
Mengapa jejaknya hilang?" Leng-hong berseru heran.
Sebagai seorang tokoh persilatan yang
berpengalaman, setelah merenung sejenak, tahulah Kang
Hay-thian musababnya, "Mereka tentu sudah mengira
akan dikejar, maka dibuatnyalah sedikit muslihat. Mereka
tentu telah membungkus kaki kudanya dengan kain tebal
agar tak kelihatan bekas tapaknya."
"Kita tak mengetahui mereka mengambil jalan yang
mana. Siapa tahu simpang tiga ini masih mempunyai
persimpangan lagi. Ini tentu menyulitkan sekali! Suhu,
menurut pendapatku "Kau takut menghadapi kesulitan?" tukas Suhunya.
"Murid bukan takut kesulitan, tetapi hanya berpikir ..."
"Berpikir apa, lekas bilang yang jelas!" kembali Haythian
menegurnya. "Kukira karena hendak membalas budi maka nona itu
menyuruh orangnya mengambil Li-sute dan tentu takkan
mencelakai Li-sute. Si orang baju biru itu juga pernah
mengatakan kepada Suhu, bahwa begitu pulang ia akan
melapor pada majikannya untuk menyampaikan
kehendak Suhu. Di dunia ini siapakah yang tak ingin
berkenalan dengan Suhu" Kelak dia pasti akan membawa
Li-sute berkunjung pada Suhu. Menurut pendapatku,
daripada mengikuti jejak orang yang tiada menentu,
lebih baik kita pulang dan menunggu kunjungan
mereka," sahut Leng-hong.
Ternyata Leng-hong mempunyai pertimbangan sendiri.
Kali ini dia ikut keluar bersama Suhunya dengan harapan
nanti dapat berkenalan dengan tokoh-tokoh yang
ternama. Tetapi ternyata selama mengadakan perjalanan
itu, Suhunya tak pernah berkunjung pada seorang pun
tokoh persilatan. Bahwa kini putra Li Bun-sing dilarikan
orang yang tak diketahui asal-usulnya, tentu akan
memakan waktu yang panjang untuk mencarinya. Ia
tetap memikirkan Ubun Hiong yang sedang merawat diri
di rumah keluarga Kang. Jika Ubun Hiong siang malam
bergaul dengan Kang Hiau-hu, bukankah pemuda itu
nanti yang menang dalam memperebutkan hati Kang
Hiau-hu" Usul Leng-hong itu walaupun berdasarkan
kepentingan pribadi, tampaknya memang beralasan.
Tetapi setelah berpikir sejenak. Kang Hay-thian menolak,
"Tidak, kalau menunggu di rumah mungkin kita akan siasia
belaka. Lebih baik kita teruskan perburuan kita ini."
"Walaupun dengan jalan tak berujung dan tak
berpangkal begini?" Leng-hong mengeluh putus asa.
"Bukan sama sekali tiada ujung-pangkalnya. Bukankah
mereka berjumlah 7-8 orang" Kalau kita bertanya-tanya
di sepanjang jalan, masakah tak dapat memperoleh
beritanya. Li Bun-sing telah minta tolong padaku. Kalau
aku tak mampu lekas membawa pulang anaknya, hatiku
tentu tak enak." Leng-hong tak berani membantah lagi dan terpaksa
ikut Suhunya. Pertama mereka mengambil jalan simpang
yang di sebelah kiri. Sampai 50-an li jauhnya dan sudah
bertanya pada beberapa orang yang dijumpainya bahkan
pada pemilik-pemilik kedai di pinggir jalan, tetap mereka
mengatakan tak pernah melihat rombongan penunggang
kuda itu. Kang Hay-thian balik dan mengambil jalan di
tengah. Di situ pun mereka bertanya pada beberapa
orang, ada yang takut mengatakan karena tak tahu siapa
Kang Hay-thian itu. Akhirnya dari seorang pak tani yang
sedang meluku di sawah, berhasillah mereka mendapat
berita. Rombongan penunggang kuda yang ditanyakan
itu memang tengah hari tadi lewat di situ. Padahal saat
itu sudah menjelang petang.
Malam tak leluasa meneruskan perjalanan karena tak
dapat bertanya orang, terpaksa guru dan murid itu
menginap di sebuah hotel. Keesokan harinya, pagi-pagi
sekali mereka sudah berangkat. Tak lama berjalan, ah,
lagi-lagi bertemu dengan jalan simpang tiga. Mereka
melakukan penyelidikan seperti kemarin, karena banyak
membuang waktu, mereka makin kehilangan jejak.
Dari Tit-lik mereka masuk ke wilayah Soasay. Waktu
bertanya pada orang, ternyata sudah lima hari yang lalu,
rombongan penunggang kuda itu lewat di situ. Ya, biar
lambat asal tepat. Tetapi apa lacur, beberapa hari
kemudian pada waktu tiba di daerah pedalaman gunung
yang sunyi, mereka tak memperoleh keterangan tentang
rombongan berkuda itu. Sampai di sini tak tahan lagi Leng-hong untuk
membisu, lagi-lagi ia memperdengarkan lagu lama
supaya menghentikan pengejaran yang sia-sia itu.
Kang Hay-thian menghela napas, "Ya, kita ganti jalan
yang satunya, nanti beberapa hari lagi akan
kupertimbangkan. Taytong adalah pangkalan Kay-pang
utara. Kita ke sana meminta bantuan pada Tiongpangcu."
Dalam putus-asanya. Kang Hay-thian tetap masih
memiliki setitik harapan. Hari itu ketika sedang berjalan,
tiba-tiba di sebelah depan ada dua ekor kuda sedang
dilarikan dengan cepat. Rupanya kuda-kuda itu juga kuda
istimewa. "Penunggang kuda itu tentu bukan orang
sembarangan. Ayo, kita kejar," kata Hay-thian.
Kuda merah Kang Hay-thian dan kuda putih Lenghong
amat tajam sekali perasaannya. Melihat jenis
kawannya, timbullah nafsu untuk mengalahkan. Tanpa
dicambuk lagi, kuda-kuda itu mencongklang pesat.
Namun lewat sepenyulutan dupa lamanya baru jarak
mereka makin dekat. Saat itu Kang Hay-thianlah yang
terkejut. Ternyata kedua penunggang kuda yang
dikejarnya itu perwira-perwira militer. Kuda mereka
memakai cap bakar kerajaan. Hay-thian pernah melihat
milik istana, sepintas pandang tahulah ia kalau tanda itu
merupakan pertandaan dari pihak istana.
"Terang kedua orang itu utusan dari pihak Taylwe
(istana). Tak enak untuk bertanya pada mereka. Entah
ada urusan apa mereka sampai begitu terburu-buru,"
pikir Hay-thian. Kebetulan saat itu kedua perwira itu sedang bercakapcakap.
Beberapa patah ucapannya terdengar oleh Kang
Hay-thian. "Apakah berita dari Tok-kak-lok itu dapat dipercaya
atau tidak?" tanya salah seorang perwira.
Sahut kawannya, "Baik sungguh atau bohong, toh kita
tetap harus meringkus anak naga itu, kemudian..."
Sampai di situ kuda Kang Hay-thian dan Leng-hong
sudah menyusul tiba. Kedua perwira itu terkesiap dan
berpaling, percakapan mereka pun terhenti. Lain saat
kuda Kang Hay-thian dan Leng-hong sudah melampaui
mereka. "Sungguh binatang luar biasa!" tanpa terasa kedua
perwira itu berseru memuji.
Percakapan tadi telah menimbulkan kecurigaan Kang
Hay-thian, pikirnya, "Yang disebut Tok-kak-lok itu
tentulah gelar dari seseorang. Dalam kawanan Ki-liansamsiu memang Lok Khik-si mempunyai daging
menonjol pada dahinya, apakah bukan dia yang
dimaksudkan itu" Berita tentang diculiknya He-ji oleh
gerombolan itu tentu sudah sampai pada pembesar
negeri. Apa saja yang dilaporkan oleh Lok Khik-si itu" Eh,
siapakah yang dimaksudkan dengan 'anak naga' itu?"
Saat itu Kang Hay-thian dan Leng-hong sudah jauh
meninggalkan kedua pewira itu di belakang. Diam-diam
Hay-thian merasa menyesal, mengapa tak mengikuti saja
mereka dari belakang. Tapi kalau sekarang melambatkan
kudanya menunggu, tentu akan ketahuan oleh mereka.
Lok Khik-si adalah orang yang merancang penculikan
Kong-he, walaupun anak itu kena diculik oleh lain
gerombolan, tapi mungkin yang dilaporkan Lok Khik-si itu
tentulah mengenai diri Kong-he. Sudah tentu Kang Haythian
tak mau menyia-nyiakan usaha pencariannya,
walaupun jejaknya itu masih merupakan setitik
bayangan. Sebenarnya dia tak biasa bersandiwara, tapi dalam
saat seperti itu, apa boleh buat ia terpaksa mencari akal
main aksi. Pada waktu kudanya berlari pesat, tiba-tiba ia
menjerit dan pura-pura jatuh terlempar beberapa tombak
ke tanah. Kuda Cik-tiong-ma sudah terlatih baik, begitu
majikannya jatuh, binatang itupun melambatkan jalannya
dan menghampiri sang tuan.
Leng-hong tak kurang kagetnya, buru-buru ia
menghentikan kuda dan menghampiri Suhunya. Ia
seorang pemuda cerdas, dalam kejutnya ia bercuriga
juga. Ilmu silat dan kepandaian naik kuda Suhunya
jarang ada tandingannya. Mana bisa mendadak sontak
jatuh dari kudanya" "Suhu, kenapa kau?" tanya Lenghong.
"Mendingan, tak sampai terluka berat," sahut Haythian.
Tak berapa lama kedua opsir tadi pun tiba, melihat
keadaan Kang Hay-thian, mereka tergelak-gelak dan
berseru, "Hebat memang kudamu itu, tapi tabiatnya liar
sekali. Ha, ha, kuda bagus tentu memilih tuan,
tampaknya binatang itu tak suka kau naiki."
Cepat sekali kuda perwira itu, baru orangnya berkata,
kuda sudah berlari jauh sekali ke depan.
Kang Hay-thian pura-pura mengerang kesakitan dan
tak menyahut kata-kata mereka. Setelah kedua perwira
tak kelihatan, barulah Kang Hay-than naik kudanya lagi.
Kali ini ia mengambil jarak tertentu, tidak terlalu cepat
pun tidak sampai ketinggalan jauh.
Petang harinya kedua opsir itu bermalam di sebuah
hotel kecil. Kang Hay-thian dan muridnya pun masuk.
Saat itu tepat kedua perwira tadi baru turun dari
kudanya, mereka heran melihat kedatangan guru dan
murid itu. "Eh, kudamu benar-benar hebat sekali larinya. Apa
tadi kau tak terluka?" seru salah satu dari perwira itu.
"Untung, untung, hanya kaget saja," sahut Kang Kaythian.
Pemilik hotel tersipu-sipu menyambut kedua perwira
itu, dengan berlagak sekali perwira-perwira itu memberi
perintah supaya kudanya dirawat yang baik karena besok
pagi mereka akan meneruskan perjalanan lagi.
"Kuda kami itu tak perlu disikat, cukup diberi rumput
saja," Kang Hay-thian berkata kepada pemilik hotel itu.
Rupanya orang itu sedikit-sedikit mengerti tentang
merawat kuda. Ia bersangsi sejenak, katanya, "Istal kuda
kami tak cukup lebar, keempat ekor kuda kalian dijadikan
satu, kalau sampai ada salah satu kuda yang binal dan
menyepak kawannya, aku tak berani tanggung."
Si perwira yang bertubuh tinggi besar tertawa gelakgelak,
"Tak apalah. Jika kudaku sampai tersepak luka,
ganti saja dengan kudanya, kedua kuda mereka itu juga
kuda bagus, harus dirawat yang baik."
Diam-diam Kang Hay-thian merasa geli karena
ternyata orang-orang berminat pada kudanya. Karena
ucapan si perwira, pemilik hotel baru mau menerima
kuda Suhu dan muridnya itu.
Lewat tengah malam, Kang Hay-thian bangun. Ia
berpesan pada muridnya, "Aku hendak keluar sebentar.
Jika terjadi apa-apa lekaslah bersuara!"
Ginkang jago itu sudah mencapai tingkat tertinggi.
Tanpa diketahui, ia sudah mendekam di luar kamar
kedua perwira tadi untuk mencuri dengar pembicaraan
mereka. Sampai lama sekali tak terdengar suara apa-apa.
"Apa mereka sudah tidur pulas" Baik, akan kutotok
jalan darah mereka. Barangkali mereka membawa surat
penting," akhirnya Hay-thian mengambil putusan.
"He, kau juga belum tidur?" tiba-tiba salah seorang
perwira menggeliat dan bertanya pada kawannya.
"Ehm, begitulah. Aku mempunyai urusan yang
terkatung-katung maka tak bisa pulas, marilah kita
bicarakan," sahut kawannya.
"Apakah Li-heng kuatir tentang perjalanan kita ke
Cong-liong-poh ini?" tanya perwira pertama.
"Benar, Liok-heng. Bagaimana, besok kita teruskan
perjalanan atau tidak?" kata si perwira she Li.
Perwira she Liok heran, "Aku sungguh tak mengerti
apa yang kau maksudkan meneruskan perjalanan atau
tidak itu!" "Jika kita genjot kuda, dalam tiga hari tentu sudah tiba
di Bici. Tapi yang lain-lain belum datang, hanya kita
berdua. Ini... ini.."
Perwira she Liok cepat menukasnya, "Oh, mengerti
aku sekarang. Jadi kau kuatir tak dapat menundukkan
naga jahat itu?" Jawab perwira she Li, "Benar, Thio Su-liong itu
namanya menggetarkan daerah Sepak, tapi aku masih
tak jeri padanya. Yang kucemaskan adalah Lim
"Sst, bicara perlahanlah, tembok punya telinga lho!"
cepat sang kawan memutus.
Memang waktu mendengar kata-kata "Lim" tadi. Kang
Hay-thian tergerak hatinya. Dia mempunyai pergaulan
luas, asalkan yang agak ternama saja, tentu dikenalnya,
pikirnya, "Kiranya yang dimaksudkan mereka dengan
'Naga jahat' itu adalah Thio Su-liong di Bici. Dengan
pukulan Pik-lik-ciang dan ilmu tongkat Loan-hi-hongkoayhoat, orang she Thio itu menjagoi daerah Siamsay
dan Kamsiok. Dia termasuk seorang jago kelas satu juga.
Kedua perwira itu tak takut pada Thio Su-liong,
sebaliknya jeri terhadap orang she Lim. Tentulah orang
Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
itu jauh lebih tangguh dari Thio Su-liong. Ah, celaka,
orang she Lim yang begitu tangguh itu siapa lagi kalau
bukan Lim Jing, ketua Thian-li-kau?"
Dalam pada itu terdengar perwira she Li tadi sedang
tertawa, katanya, "Siapa yang berani mencuri dengar di
sini" Dengan kepandaian Thing-hong-pian-ki (mendengar
angin dapat mengenal senjata) kita berdua, masakah kita
tak dapat mendengar suara orang yang berani mengintai
kemari?" "Tapi tak ada jeleknya kita berhati-hati," sahut si
perwira Liok. Rupanya walaupun mulut membantah,
tetapi perwira Li itu menuruti nasehat kawannya juga. Ia
tak jadi menyebut nama orang she Lim itu, kini mereka
bicara dengan perlahan. Betapapun Kang Hay-thian coba
mempertajam pendengarannya, namun tak dapat
mendengar apa-apa lagi. Lewat beberapa saat kemudian, kembali perwira Li itu
tertawa, "Bagus, sungguh rencana yang bagus sekali! Liok-lote,
ternyata kaulah yang lebih terang pikiran. Kita bekerja
menurut rencanamu itu. Jika gagal, kita tunggu sampai
mereka datang baru bergerak."
Agaknya mereka sudah merencanakan sesuatu dan
tak perlu bicara bisik-bisik lagi.
"Sekarang mari kita rundingkan urusan lain lagi," kata
si perwira Liok. "Kau sendiri sudah cerdik, masakah perlu berunding
dengan aku?" sahut perwira Li.
"Urusan berbelit tetapi kalau dirunding berdua rasanya
lebih baik lagi agar dapat menemukan pemecahan yang
bagus," kata perwira Liok. "Yaitu tentang dua orang yang
kita jumpai siang tadi. Makin membayangkan kuda
tunggangan mereka makin besar keinginanku. Terang
kedua ekor kuda mereka itu jauh lebih baik dari kuda
kita." Perwira Li tertawa gelak-gelak, "O, kiranya kau
kepincut pada kuda orang" Apanya yang perlu
dirundingkan lagi" Rebut sajalah. Ya, terus terang aku
sendiri juga mempunyai minat begitu."
"Lelaki setengah tua itu rupanya berisi. Apakah kau
tak melihatnya?" tanya perwira Liok.
"Tapi rasanya tak begitu 'keras'. Bukankah tadi dia
dilempar jatuh oleh kudanya" Seorang yang benar-benar
berkepandaian tinggi masakah dapat disengkelit kuda?"
sahut perwira Li. "Tapi begitu jatuh, begitu cepat mereka sudah
menyusul kita. Tidakkah ini hanya pura-pura saja" Dan
telah kuperhatikan, sepasang matanya bersinar tajam
sekali, terang Lwekangnya tinggi."
Mendengar itu diam-diam Kang Hay-thian memuji
ketajaman mata orang she Liok itu.
Tetapi si perwira Li hanya ganda tertawa saja.
"Eh, Li-heng, mengapa kau tertawa?" tegur Liok.
"Kutertawakan kau yang begitu penakut."
"Karena aku tak mau banyak cari perkara!"
"Kalau begitu, aku ada akal. Kita gunakan cara halus
kemudian baru pakai kekerasan."
Atas pertanyaan perwira Liok, perwira Li menerangkan
lebih lanjut, "Sekarang kita pergi ke kamar mereka,
suruh mereka menyerahkan kudanya. Jika minta uang,
kita kasih saja sepuluh tahil emas. Jika minta pangkat,
kita janjikan mereka tingkat 'Chit-bin-koan-tay. Jelas
orang belajar silat, kalau kita mencita-citakan nama dan
pangkat bukankah mereka akan kepincut" Apalagi kalau
mereka tahu siapa diri kita ini, tentu mereka mendapat
muka terang. Masakah mereka tak mau" Jika mereka
menolak, saat itu barulah kita jalankan siasat. Kau yang
mengajaknya bicara, begitu kudengar mulurnya
mengatakan 'tidak', segera akan kupersen dengan panah
beracun." "Biang", karena tak dapat menahan perasaannya lagi,
Kang Hay-thian serentak menerjang masuk dari jendela
dan tertawa gelak-gelak. Kejut kedua perwira itu bukan kepalang, cepat mereka
melolos pedang dan memutarnya untuk membela diri.
"Ser, ser, ser", perwira Li melontarkan tiga batang
panah. Tapi panah beracun itu tak mengeluarkan suara
apa-apa hingga tak ketahuan apakah mengenai sasaran
atau tidak. Yang terdengar hanya goresan api dan Kang
Hay-thian pun sudah menyalakan lampu.
"Haha, harap kalian berdua jangan kaget. Kutahu Tayjin
berdua menginginkan kudaku. Tak berani aku
membikin repot Tayjin, maka kuperlu datang kemari
untuk berunding dengan kalian," seru Kang Hay-thian.
"Jadi kau mencuri dengar di luar kamar?" seru kedua
perwira itu dengan masih bingung.
"Sewaktu di jalan tadi Tayjin berdua toh sudah memuji
kudaku, masakah aku tak dapat menerka hati kalian"
Untung kalian tak membunuh aku, jika sampai
membunuh, tentu urusan ini tak dapat kita rundingkan
dan kedua pihak tak dapat manfaat apa-apa!" Kang Haythian
tertawa gelak-gelak. Ia mengeluarkan tiga batang
panah beracun dan ditancapkan di atas meja dalam
bentuk segi tiga. Tahu kepandaian Kang Hay-thian menyambuti panah
beracun tadi, kedua perwira itu insyaf kalau bukan
tandingannya. Cepat mereka meramahkan air muka dan
bertanya, "Entah apakah maksud tuan?"
"Aku tak mau emas dan pangkat. Bahkan aku
mempunyai harta kekayaan besar yang hendak
kuhadiahkan padamu," sahut Hay-thian.
Kedua perwira itu saling berpandangan.
"Lalu apa yang kau inginkan?" akhirnya perwira Liok
bertanya. "Aku telah belajar ilmu sastra dan silat dengan tujuan
untuk kupersembahkan pada kerajaan. Sekarang aku
hendak mohon Tayjin berdua supaya aku dapat diterima
menjadi hamba baginda!"
Perwira Liok itu tertawa keras, "Oh, kiranya kau
anggap pangkat Chit-bin-koan itu masih kelewat rendah
dan menginginkan yang lebih tinggi lagi. Baik, baik, akan
kuusulkan kau pada Tay-lwe Congkoan agar dapat
diterima menjadi Si-wi (pengawal istana). Coba
katakanlah, apa yang hendak kau haturkan padaku?"
Kata Kang Hay-thian, "Lim Jing, Kaucu dari Thian-likau
memang bersembunyi di rumah Thio Su-liong di Bici.
Aku sendirian tak berani menangkapnya, aku akan
membawa kalian untuk menangkap pesakitan itu.
Bukankah itu suatu kekayaan yang besar" Setelah hal itu
selesai, kudaku dan kuda muridku akan kuberikan pada
kalian. Aku hanya minta supaya kalian mengusulkan
diriku pada kerajaan. Dalam buku pahala supaya namaku
yang ditulis." Kedua perwira itu terbeliak kaget, malah perwira Li
yang tak sabaran wataknya sudah lantas berteriak
tertahan, "Jadi kau sudah mengerti hal itu juga?"
"Oh, jadi Tayjin berdua juga akan ke Bici untuk
menangkap Lim Jing" Tahu begitu, aku tak perlu kemari
menyampaikan berita. Kalau begitu, rundingan kita ini
"Congsu, siapakah namamu yang mulia?" cepat
perwira Liok menukas kata-kata Kang Hay-thian.
Kang Hay-thian mengaku orang she Kang, tapi
memakai nama palsu. "Kang-congsu, ilmu silatmu hebat sekali. Jika benar
kau ingin menghamba pada baginda, marilah kau ikut
kami," kata perwira Liok.
Tetapi sebenarnya orang she Liok itu hanya manis di
mulut saja karena diam-diam dia sudah mempunyai
rencana jahat. Begitu selesai menggunakan Kang Haythian,
dia akan membunuhnya. Sudah tentu sebelum
dibunuh akan ditanyai dulu mengapa dia (Kang Haythian)
tahu tentang urusan penangkapan Lim Jing.
Sebenarnya Kang Hay-thian yang hanya mendengar
orang menyebut kata-kata Lim tadi masih belum yakin
kalau yang dimaksudkan adalah Lim Jing, maka ia
sengaja memancing orang dan berhasil. Kini setelah tahu
jelas, sudah tentu ia tak mau melepaskan kedua perwira
itu. Masih dengan air muka tak berubah. Kang Hay-thian
menjawab, "Terima kasih atas kebaikan Tayjin berdua,
tetapi aku masih merasa sedikit cemas. Kepandaian Lim
Jing itu bukan olah-olah hebatnya. Kita bertiga mungkin
tak mudah menghadapinya. Entah apakah Tayjin berdua
"Jangan kuatir, aku mempunyai akal yang bagus,"
kata perwira Li. "Ya, sampai pada saatnya cukup asal kau menurut apa
yang kuperintahkan saja. Sekarang tak perlu banyak
bertanya," perwira Liok turut menambahi.
Melihat perwira Liok itu agaknya sudah menaruh
curiga. Kang Hay-thian tertawa tawar, serunya, "Tayjin
berdua, sekarang kalian juga harus menurut apa yang
kuperintahkan!" "Apa, kau ..." kedua perwira itu berteriak kaget, tapi
sebelum menyelesaikan kata-katanya, mereka sudah tak
dapat berkutik lagi. Kang Hay-thian tak memberi
kesempatan lagi, sekali bergerak, ia totok jalan darah
kedua perwira itu. "Harap kalian berdua beristirahat dulu. Dua belas jam
kemudian, kalian tentu akan dapat bergerak lagi," kata
Kang Hay-thian. Sebenarnya tadi ia hendak mengorek
keterangan tentang rencana mereka terhadap Lim Jing.
Tetapi setelah dipikir-pikir, mereka tentu tak mau
mengatakan sejujurnya, percuma saja ditanyai, maka ia
mengambil putusan, lebih baik menotok jalan darah
mereka saja, lalu ia hendak mendahului memberi kabar
pada Lim Jing. Ia gunakan totokan Ciong-chiu-hwat.
Hanya orang yang kepandaiannya sederajat, baru dapat
membuka jalan darah itu. Jika tidak, harus menunggu
dua belas jam lagi baru dapat terbuka sendiri. Dalam dua
belas jam itu, kuda Kang Hay-thian tentu sudah dapat
menempuh 300 li. Kembali ke dalam kamar, Kang Hay-thian segera
mengajak muridnya berangkat ke Bici. Rupanya Lenghong
enggan karena rindu pada si jelita yang di rumah.
"Mengapa begini terburu-buru" Bagaimana dengan
kedua antek itu?" tanyanya.
Kang Hay-thian menyahut kalau mereka sudah dibikin
tak berdaya. Apa boleh buat terpaksa Leng-hong segera
berkemas. Baru mereka melangkah keluar kamar, tiba-tiba
didengarnya suara kuda meringkik.
"Hai, ada orang mencuri kuda!" Hay-thian terkejut.
Dalam malam yang tak berbulan itu, remang-remang dia
melihat dua sosok tubuh tengah mencemplak ke atas
kuda. "Hai, turun!" bentuk Hay-thian seraya melontarkan
dua buah pukulan. Jaraknya ada 10-an langkah, tapi
pukulan Pik-khong-ciang Kang Hay-thian dapat mencapai
12 langkah. Kuatir mereka mati. Kang Hay-thian hanya
menggunakan tujuh bagian tenaganya, tetapi sekalipun
begitu, jarang ada orang yang mampu menerima
pukulannya. Kedua orang itu menggerakkan tangan menangkis.
"Hebat sekali!" teriak mereka, tetapi mereka tak sampai
jatuh. Dalam pada itu, kedua ekor kuda itupun sudah
melesat belasan tombak jauhnya, suatu jarak yang tak
terjamah oleh pukulan Kang Hay-thian.
Tiba-tiba dua ekor kuda yang lain meringkik dan
melesat menyusul kedua penunggang tadi.
"Oh, kiranya kuda kita tak mereka curi. Yang dicuri itu
kuda kedua perwira itu!" Kang Hay-thian berseru girang.
Tetapi sekalipun begitu, tetap ia hendak mengusut siapa
kedua orang pencuri itu. Orang yang kuat menerima
pukulan Pik-khong-ciangnya tentu bukan sembarangan
orang. Ia harus mengetahui mereka itu kawan atau
lawan. Cepat ia memelompat ke atas kudanya dan
mengajak Leng-hong mengejar.
Tapi heran, semula kedua kuda mereka itu berlari
pesat tetapi lama kelamaan menjadi macet.
"Ada yang tidak beres ini!" kata Hay-thian sambil
memelompat turun dan menyuruh Leng-hong mencari
ranting kering. Ia menyulut korek api kemudian
menyuluhi kudanya. Kang Hay-thian sudah banyak makan asam garam
dunia persilatan. Hanya beberapa kejap saja sudah dapat
menemukan ciri penyakitnya. Jik-liong-ma kaki depannya
pincang sehingga tak berani menginjak tanah, sedang
Pek-liong-ma kaki belakangnya yang pincang dan tak
dapat diinjakkan ke tanah.
Kang Hay-thian menghela napas longgar, "Masih
untung, mungkin hanya terkena senjata gelap lembut
semacam Bwe-hoa-ciam, tapi tak beracun."
Ia mengambil besi sembrani untuk menyedot, ternyata
memang benar, dari kaki depan dan kaki belakang kedua
kuda itu dapat dikeluarkan dua batang Bwe-hoa-ciam.
Jik-liong-ma dan Pek-liong-ma berwatak keras. Kedua
pencuri itu terpaksa memilih kuda si perwira yang mudah
ditundukkan, tapi tak lupa memberi persen Bwe-hoaciam
kepada Jik-liong-ma dan Pek-liong-ma.
Kang Hay-thian segera mengobati kedua kudanya.
Leng-hong menanyakan apakah kuda mereka masih
dapat digunakan. "Bisa sih bisa, tapi tak dapat berlari cepat seperti
biasanya. Cuma saja tetap lebih pesat dari kuda biasa,"
sahut sang Suhu. Kesempatan itu tak dilewatkan Leng-hong yang
kembali mengajukan usul, "Kalau begitu apakah kita
tetap pergi ke Bici?"
"Pemerintah kerajaan sudah mengirim beberapa Kochiu
(jago) untuk menangkap Lim Jing, apakah kita
Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hanya melihat saja" Sekalipun agak lambat jalannya, kita
harus tetap ke sana," sahut Hay-thian.
"Lim Jing?" Leng-hong tersentak kaget. "Bukankah
Kaucu Thian-li-kau itu?"
"Ya, dia mempunyai kepentingan besar sekali,
terpaksa kutunda dulu urusan mencari Li-sutemu itu,"
sahut Hay-thian. Leng-hong terpaksa menurut saja. Memang benar apa
yang dikatakan Suhunya, walaupun sudah dicabut jarum
dan diobati lukanya, kuda mereka tetap berkurang
kecepatan larinya. Tengah hari mereka baru mencapai
100-an li, sedang napas kuda-kuda itu sudah terengahengah,
mulutnya berbuih. Leng-hong yang kurang tidur merasa tak enak badan.
Ia menguap dan mengeluh, "Suhu, orangnya sudah lesu
dan kudanya pun lelah. Marilah kita berhenti dulu."
Bukan Kang Hay-thian tak sayang pada murid dan
kudanya, tetapi karena harus lekas menyampaikan kabar
pada Lim Jing, terpaksa ia tak dapat menunda
perjalanan. Tapi kenyatan yang dihadapinya itu tak dapat
diabaikan, kalau diteruskan orang sakit kuda pun bisa
ambruk. "Biar bagaimana tak dapat kubiarkan kawanan budakbudak
kerajaan itu mendahului ke Bici. Kedua lelaki
semalam itu juga tak diketahui lawan atau kawan. Jika
mereka juga hendak menangkap Lim Jing, ah, sungguh
runyam benar. Kedua kuda ini rupanya memerlukan
istirahat beberapa hari. Tapi kalau kubeli kuda lain,
kepada siapa kupasrahkan kuda ini" Biar bagaimana
kuda yang jarang terdapat seperti ini tak boleh kusiasiakan.
Ya, agaknya Leng-hong juga sudah lelah sekali,"
demikian Hay-thian menimang-nimang.
Setelah dipikir-pikir, akhirnya Kang Hay-thian
mendapat suatu cara yang walaupun terpaksa harus
dijalankan, tapi sesuai dengan kebutuhan. Ia turun dari
kudanya dan berseru, "Baik, kita beristirahat di sini."
Leng-hong duduk di tanah menjalankan Lwekang
untuk memulihkan tenaga. Ia tahu Suhunya buru-buru
hendak melanjutkan perjalanan. Meskipun ia tak setuju,
tapi ia harus mencari muka pada gurunya. Ia
menghampiri kuda, serunya, "Tampaknya kedua kuda ini
juga sudah baik. Suhu mari kita berangkat lagi."
"Nanti dulu!" sebaliknya Hay-thian menolak. Suatu hal
yang membuat Leng-hong tercengang dan menanyakan
sebabnya. "Selama lebih dari sebulan kau ikut aku, tiap hari
dalam perjalanan aku selau mengajarkan uraian-uraian
tentang ilmu silat dan ilmu pedang. Apakah kau masih
ingat?" "Semua ingat," sahut Leng-hong.
"Baik, kau memang pandai dan tak mengecewakan
harapanku. Lwekangmu tampaknya juga ada kemajuan,
tapi sampai berapa jauh belum kuketahui. Sekarang
cobalah sambut pukulanku ini," sambil berkata Kang Haythian
sudah melontarkan sebuah pukulan yang cukup
dahsyat- "Mengapa Suhu menurunkan pukulan ganas" Haya,
apakah dia sudah mengetahui kelemahan Leng-hong
terkejut, tapi karena pukulan Suhunya sudah melayang di
atas kepalanya, ia tak sempat banyak pikir lagi. Ia lantas
menangkis dengan jurus pukulan ganas yang baru saja
dipelajarinya. Begitu kedua tangan saling berbentur. Kang Hay-thian
tertawa gelak-gelak, "Bagus, bagus! Pelajaran selama
sebulan, sudah boleh juga!"
Leng-hong merasa kepalanya berat dan tubuhnya
ringan. Dia seperti dilanda oleh suatu tenaga tak
kelihatan yang menerbangkannya sampai beberapa
langkah. Tapi tenaga itu terasa lunak dan tak
menyakitkan. Leng-hong merasa lega, ia insyaf Suhunya
itu hanya hendak mencoba kepandaiannya, sekali-kali
tidak bermaksud lain. "Leng-hong, tak perlu ragu-ragu. Aku memang
sengaja melancarkan pukulan ganas untuk mencoba
kepandaianmu. Rupanya sekarang kau kuat menerima
pukulan dari dua bagian tenagaku. Tenagaku sudah
berlipat ganda dari dulu, hanya masih belum mahir cara
memainkannya, tetapi asal lawanmu itu bukan seorang
Ko-chiu kelas satu, kau tentu mampu menghadapinya.
Ah, dengan kemajuan yang kau peroleh ini, aku tak usah
kuatir lagi untuk meninggalkan kau di sini."
"Apa Suhu" Kau ... kau tak menghendaki aku ikut?"
Leng-hong tersentak kaget.
"Bukan begitu, justru aku memikirkan dirimu dan
kedua ekor kuda ini. Tak jauh dari sini adalah kota Jiokohkoan. Di sana kau nanti boleh mencari sebuah hotel,
setelah aku menemui Lim Jing di Bici, akan kujemput kau
di hotel itu," kata Kang Hay-thian. Ternyata ia sudah
mengambil putusan. Kalau seorang diri, siangnya naik
kuda, malamnya menggunakan ilmu berlari cepat. Ini
jauh lebih cepat jika harus membawa Leng-hong, apalagi
Leng-hong dan kudanya bisa beristirahat secukupnya.
Sebenarnya Leng-hong bergirang dengan keputusan
Suhunya itu, namun ia pura-pura lebih suka ikut sang
Suhu. Kang Hay-thian tetap pada keputusannya, ia suruh
Leng-hong tinggal di hotel dan merawat kedua ekor kuda
itu, tapi jangan lupa harus berlatih tiap harinya.
Demikianlah setelah masuk ke kota Jiok-oh-koan,
Kang Hay-thian menempatkan Leng-hong di sebuah
hotel. Setelah memesan seperlunya, Hay-thian segera
pergi, lebih dulu ia membeli seekor kuda. Sebagai
seorang ahli kuda dapatlah ia memilih seekor yang
larinya lebih cepat dari kuda Jik-liong-ma yang pincang
kakinya itu. Dia pun membekal rangsum secukupnya, maka
sepanjang perjalanan tak perlu beristirahat lagi.
Menjelang petang hari, kuda itu sudah letih sekali sampai
mulutnya berbusa, segera ia melepaskan kuda itu. Dan
begitu malam tiba, ia lalu menggunakan Ginkang dan
berlari. Walaupun Lwekangnya tinggi, tapi karena larinya
secara 'ngebut" mau tak mau pada waktu hampir terang
tanah ia menjadi lelah juga. Ia masuk ke hutan untuk
beristirahat. Hari kedua ia masuk ke kota, membeli kuda baru dan
menambah rangsum. Seterusnya ia menempuh
perjalanan dengan cara begitu. Bici yang jaraknya 2000an li hanya ditempuh dalam waktu tiga hari tiga malam.
Hari keempat menjelang tengah hari dia sudah tiba di
tempat itu. Ketika melintasi sebuah sungai kecil, ia
tertawa sendiri karena wajahnya yang tampak di
permukaan air itu penuh dengan brewok seperti orang
yang baru keluar dari penjara.
"Eh, kalau begini rupa, aku sendiri juga tak mengenali
wajahku. Jika Lian-moay melihat, tentu akan ketakutan.
Entah orang Cong-liong-poh apakah mau menerima
kedatanganku nanti?" pikirnya. Tapi kenyataannya ketika
masuk kota ia tak memikirkan lagi untuk mencari tukang
cukur, karena yang penting ialah harus lekas mengujungi
Cong-liong-poh. Cong-liong-poh terletak di barat daya kota Bici. Ketika
ke sana. Semula di sepanjang jalan masih ada orangorang
berjalan, tapi makin lama makin sedikit. Kang Haythian
tak memperhatikan hal itu, baru ketika dia tiba di
perkampungan Cong-liong-poh dan hendak bertanya
kepada orang, ia terkejut heran. Bukan saja jalanan di
situ tiada barang seorang manusia pun, bahkan
sekelilingnya tiada tampak sesosok bayangan pun. Saat
itu baru ia merasa heran.
Tempat kediaman Thio Su-liong disebut Cong-liongpoh,
ini diketahui oleh Kang Hay-thian. Tapi dimana letak
yang sebenarnya dari gunung itu, dia tak tahu. Adakah
karena Thio Su-liong itu cukup terkenal di daerah Bici,
maka pada waktu ia bertanya pada orang, dengan
mudah orang dapat memberitahu. Dia kira setiba di desa
itu tentulah juga akan mudah mencari keterangan. Siapa
tahu hanya belantara sunyi senyap yang dijumpainya.
"Sekarang bukan waktunya orang bercocok tanam,
tapi sekalipun begitu di sawah tentu terdapat petani yang
membersihkan rumput. Tapi mengapa begini sepi"
Kemana saja orang-orang di desa ini?" pikirnya.
Ketika dia hendak menuju ke desa sekitar situ, tibatiba
dilihatnya dua orang berjalan. Cepat Kang Hay-thian
menghampiri dan memberi hormat, tanyanya, "Tolong
tanya dimanakah rumah Thio Su-liong?"
Melihat roman Kang Hay-thian yang menyeramkan itu,
kedua orang tadi terkejut, "Siapa kau" Perlu apa mencari
Thio-toaya?" Karena tak leluasa memberitahu, terpaksa Kang Haythian
berbohong, "Thio-toayalah yang mengundang aku
datang karena ada sedikit urusan. Aku perlu berjumpa
padanya." Rupanya kedua orang itu sudah biasa melihat orangorang
persilatan mencari Thio Su-liong, maka mereka
pun akhirnya mau juga membawa Kang Hay-thian ke
Cong-liong-poh. Semula Hay-thian tak mau merepotkan
orang, tapi kedua orang itu mengatakan bahwa mereka
toh menganggur. "Eh, mengapa tiada tampak orang bekerja?" tanya
Hay-thian. "Karena kau sahabat Thio-toaya, biarlah
kuberitahu. Menurut kabar angin, katanya ada seorang
buronan penting bersembunyi dalam desa kami sini. Tak
lama lagi pihak yang berwajib akan melakukan
pembersihan, gerakan pembersihan itu selamanya
merupakan bencana. Jika tak dapat menangkap buronan,
rakyatlah yang menjadi korban. Ada yang dirampas
hartanya, ada yang kehilangan jiwanya. Hal itu sungguh
bukan main-main, oleh karena itulah maka penduduk
desa mengungsi, selesai pembersihan baru mereka
berani pulang kembali."
Kang Hay-thian terkejut, pikirnya, "Apakah pihak
pembesar negeri sudah mencium tentang Lim Jing
bersembunyi di sini. Tapi pesakitan yang begitu penting
masakah pihak pemerintah mau mengeluarkan berita
kemana-mana. Lalu siapa yang dimaksudkan ini?"
"Apakah Thio-toaya masih di rumah?" tanyanya.
"Pembesar negeri selamanya tak berani mengusik Thiotoaya.
Berita itu disampaikan pada Thio-toaya oleh
muridnya yang bekerja sebagai pegawai di kantor Koangibun (kantor residen). Thio-toaya segera menyuruh
penduduk desa mengungsi, tapi dia sendiri tetap tinggal
di sini," kata orang itu.
"Keluhuran budi Thio Su-liong sungguh tak bernama
kosong. Kalau begitu, Lim Jing tentu sudah
meninggalkan tempat ini. Tapi karena sudah telanjur tiba
di sini, aku harus menanyakan hal itu kepadanya," pikir
Kang Hay-thian. Kedua orang itu agaknya memperhatikan gerak-gerik
Kang Haythian, sebaliknya Kang Hay-thian pun mulai
memperhatikan mereka. Sebagai ahli persilatan, cepat ia
mengetahui kalau mereka berdua memiliki ilmu silat yang
tidak lemah. "Tapi mengapa saudara berdua tak menyingkir?"
tanyanya pula. "Kami ikut pada Thio-toaya dan sudah sebatang kara
jadi tak usah kuatir memikirkan rumah tangga. Thiotoaya
tidak pergi, kami pun tidak."
Kini Kang Hay-thian baru tahu bahwa kedua orang itu
ikut belajar silat pada Thio Su-liong. Tak berapa lama
tibalah mereka di Cong-liong-poh.
Cong-liong-poh (benteng naga bersembunyi) didirikan
di lamping gunung. Letaknya strategis sekali, maka
gedung itu benar-benar menyerupai sebuah benteng.
Kedua orang itu menarik genta di muka gedung sambil
berseru, "Ada tetamu jauh datang, sahabat yang
diundang Thio-toaya!"
Tak berapa lama pintu besi dibuka, seorang penjaga
keluar dan menatap tajam-tajam pada Kang Hay-thian,
tegurnya, "Kau mengaku sahabat dari Pohcu kami"
Tetapi Pohcu tak memberi pesan apa-apa kalau hari ini
bakal menerima tetamu. Siapakah namamu yang mulia?"
Tahu orang curiga, terpaksa Kang Hay-thian
memberitahukan sejujurnya, "Aku yang rendah ini ialah
Kang Hay-thian dari Soatang. Aku mempunyai urusan
penting hendak berjumpa dengan Pohcu."
Penjaga itu beraksi kaget, "Astaga, kiranya Kangtayhiap.
Harap tunggu sebentar, aku hendak melapor
pada Pohcu dulu." Penjaga dan kedua orang tadi masuk ke dalam. Tak
berapa lama, pintu terbuka kembali, seorang lelaki yang
berjenggot cabang melangkah keluar. Dia mengawasi
Kang Hay-thian dari ujung kaki sampai ke atas kepala,
kemudian mengulurkan tangan, "Sungguh beruntung
dapat menerima kunjungan Kang-tayhiap. Maaf, maaf
terlambat menyambut!"
Berjabatan tangan sudah lazim dalam kalangan orang
persilatan. Kang Hay-thian pun segera mengangsurkan
tangannya. Tiba-tiba dia terkejut karena tangan tuan
rumah melancarkan tenaga Lwekang yang kuat sekali. Ia
memang belum kenal Thio Su-liong.
"Mungkin karena takut berhadapan dengan orang
yang mengaku sebagai diriku, maka dia lantas menguji
kepandaianku," pikirnya seraya mengerahkan tenaga
untuk menghalau Lwekang lawan. Tapi hanya menghalau
saja dan tidak diteruskan balas menyerang.
Waktu Lwekangnya hilang sirna seperti kelelap dalam
lautan, terkejutlah orang itu. Buru-buru ia menarik
pulang tangannya dan berseru, "Kepandaian Kangtayhiap
sungguh hebat sekali, aku orang she Thio
merasa kagum benar. Dunia persilatan penuh dengan
Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
orang-orang jahat, terpaksa tadi aku berbuat begitu.
Harap Kang-tayhiap suka memaafkan."
Kang Hay-thian balas tertawa, "Ilmu Pik-lik-ciang Thiopohcu
benar-benar tak bernama kosong. Marilah kita
bicara dengan hati terbuka."
Setelah saling menguji Lwekang tadi. Kang Hay-thian
yakin bahwa orang yang berhadapan itu tentu Thio Suliong.
Thio Su-liong segera mengajak tetamunya masuk
ke dalam kamar pribadinya. Setelah menyuguhkan teh
wangi, segera ia menanyakan maksud kedatangan sang
tetamu. "Apakah Lim-kaucu masih berada di sini?" Kang Haythian
menyahut dengan pertanyaan.
Tho Su-liong tersentak kaget, serunya, "Kang-tayhiap
mendapatkan berita darimana?"
"Harap Thio-pohcu jangan menaruh curiga.
Kedatanganku ini dengan maksud
Thio Su-liong menukas ucapan sang tamu dengan
tertawa gelak-gelak, "Mana aku berani mencurigai Kangtayhiap,
hanya saja urusan ini penting sekali. Entah
mengapa berita itu sampai bocor keluar, maukah Kangtayhiap
memberitahukan?" Kang Hay-thian segera menuturkan apa yang
didengarnya dari kedua perwira tempo hari, juga tentang
Li Kong-he yang ditipu oleh Liok Khik-si dan kemalangan
yang menimpa diri Thia Pek-gak diceritakan juga.
"Menurut dugaanku, berita itu tentu diperoleh Lok
Khik-si dari putra Li Bun-sing itu dan Lok Khik-si
mengirim laporan pada pihak kerajaan. Dikuatirkan
dalam beberapa hari ini kawanan Ko-chiu istana akan
berdatangan kemari. Dalam rangka itulah aku datang
kemari untuk menyampaikan beritanya," kata Kang Haythian.
Thio Su-liong tampaknya menyesal atas kemalangan
yang menimpa Li Bun-sing dan putranya yang hilang tak
berbekas itu. Rupanya orang itu baru pertama kali
mendengar tentang berita Li Bun-sing.
"Untuk sementara ini anak itu tentu tidak berbahaya
keselamatannya. Kelak kita akan melanjutkan lagi
mencarinya, tetapi yang kita hadapi sekarang adalah
keselamatan diri Lim-kaucu. Kabarnya pihak yang
berwajib akan mengadakan razia, apakah mereka sudah
menciumnya" Apakah Lim-kaucu sudah meninggalkan
tempat ini?" "Ini ... ini ... hm, ada sedikit perkembangan dalam
urusan ini. Kang-tayhiap, silakan minum dulu. Nanti
kuceritakan sejelas-jelasnya." sahut tuan rumah.
Setelah menempuh perjalanan yang sedemikian
jauhnya, tenggorokan Kang Hay-tian serasa kering sekali,
jangankan teh wangi, sekalipun air tawar, tentu akan
diteguknya habis. Maka tanpa dipersilakan untuk kedua
kali, dia terus menenggaknya dan terasalah teh yang
segar itu. "Hebat, teh yang hebat!" ia memuji.
"Itulah Hun-bu-teh yang dibawa seorang sahabat. Jika
Kang-tayhiap suka, minumlah semangkuk lagi," kata tuan
rumah. "Mangkuk pertama untuk menghapus dahaga.
Mangkuk kedua, boleh perlahan-lahan dinikmati. Thiopohcu,
bagaimana sebenarnya keadaan Lim-kaucu?"
"Baik-baik saja. Sebenarnya dia bersembunyi di sini,
tapi di luar dugaan dua hari yang lalu telah terjadi suatu
perubahan. Hehe, benar-benar suatu kejadian yang tak
tersangka-sangka tuan rumah terbatuk-batuk dan
menghela napas. "Hal yang tak tersangka-sangka bagaimana?" Kang
Hay-thian makin gelisah. Diam-diam ia mendongkol
melihat sikap tuan rumah yang begitu seenaknya.
Orang she Thio itu mengatupkan matanya dan berkata
dengan perlahan-lahan, "Kang-tayhiap tak perlu gelisah.
Biarlah kuceritakan yang jelas. Hm, kejadian tak
tersangka-sangka itu ..." "
Kang Hay-thian melihat sorot mata tuan rumah itu
agak tidak wajar, tiba-tiba ia merasakan perutnya sakit.
Ia mengerutkan alis, sengaja pura-pura ia terhuyunghuyung.
Thio Su-liong segera berseru, "Kejadian yang tak
tersangka-sangka itu ... haha, roboh, robohlah!"
"Siapa kau ini, bangsat"! Berani mencelakai diriku!"
serentak sambil memelompat Kang Hay-thian lantas
menghantamnya. "Biang", rupanya lelaki yang mengaku
sebagai Thio Su-liong itu sudah siap sedia. Ia
menghindar dan meja segi delapanlah yang hantur
berkeping-keping. Lelaki brewok itu tertawa gelak-gelak, "Berjalan tak
mengganti nama, duduk tak perlu merubah she. Aku
adalah Co Bong, wakil pemimpin Gi-lim-kun. Kangtayhiap,
kau telah minum teh wangi istimewa istana yang
terbikin dari Ho-ting-hong dan Khong-jiok-tan.
Pantangannya tak boleh marah! Kalau kau mau berkelahi
berarti mempercepat kematianmu. Haha, yang kumaksud
sebagai kejadian tak tersangka-sangka itu ialah ini,
mengertikah kau?" "Bangsat anjing, kau akan kumampuskan dulu!" teriak
Kang Hay-thian seraya mengejar dan melepaskan
beberapa pukulan. Tetapi karena beberapa hari ini dia
terus menerus melakukan perjalanan, maka biarpun
berotot kawat bertulang besi, dia letih juga. Sambil
mundur, Co Bong dua kali menangkis dengan tenaga
penuh, tapi herannya. Kang Hay-thian tetap tak roboh.
"Dia minum racun yang jarang terdapat, toh masih
begitu hebat. Sungguh tak bernama kosong!" pikirnya,
kemudian ia tertawa, "Kang-tayhiap, tenagamu sudah tak
memenuhi kehendakmu! Lebih baik kita bersahabat saja.
Apakah kau tak menghendaki obat pemunahnya?"
Sebenarnya ia hendak mengulur waktu agar racun di
tubuh Hay-thian lebih keras bekerjanya, tetapi Hay-thian
tak kena ditipu. "Aku menghendaki jiwamu!" serunya
sembari mengejar dengan pukulan.
Tiba-tiba terdengar orang tertawa, "Kang-tayhiap,
sudah lama kami menantikan kedatanganmu di sini.
Sungguh beruntung sekali kau sudi kemari, harap kau
suka memberi petunjuk dua-tiga jurus padaku!"
Segera dua arus tenaga menyambar dari sebelah
kanan kiri. Telinga Kang Hay-thian yang tajam dapat
membedakan bahwa penyerangnya dari sebelah kiri
menggunakan Bian-ciang (pukulan kapas), sedang yang
dari kanan menggunakan semacam senjata tajam.
"Biang", Kang Hay-thian membalikkan tangan
menggempur mundur penyerang dari kiri, kemudian
secepat kilat menotokkan jari tengah untuk menjatuhkan
senjata si penyerang dari kanan. Sekali gerak Kang Haythian
dapat menghalau dua penyerang gelap. Dari
gebrakan itu dapatlah ia mengukur tenaga kepandaian
orang. Orang yang menyerang dengan senjata itu
kepandaiannya biasa saja, sebaliknya penyerang dari
sebelah kiri itu hebat sekali kepandaiannya. Paling tidak
tentu tak di bawah wakil pemimpin Gi-lim-kun, Co Bong.
Walaupun dapat menggagalkan serangan kedua
penyerang itu, ia tetap tak menghentikan serangannya
kepada Co Bong. Cepat Co Bong mendorong kedua
tangannya untuk menangkis, setelah itu ia cepat
menyingkir ke samping. "Apakah kalian yang mencuri kuda pada malam itu,"
Kang Hay-thian berpaling ke arah kedua penyerang tadi.
"Kang Hay-thian, sungguh tajam pandanganmu.
Tetapi ucapanmu itu salah, kami hanya meminjam kuda
kawan kami, bagaimana dapat dikatakan mencuri" Hanya
karena kami terpaksa juga melukai kudamu, biarlah kami
minta maaf," sahut orang itu.
Pada malam itu Kang Hay-thian hanya melihat
bayangan mereka, sekarang barulah ia dapat mengetahui
jelas wajah mereka. Yang memakai senjata itu seorang
bertubuh gemuk, berusia 50-an tahun dan dahinya
terdapat daging menonjol (uci-uci).
Senjatanya menyerupai Boan-koan-pit yang ujungnya
bercabang, warnanya hitam.
Segera Kang Hay-thian berseru, "Kaulah Tok-hak-lok
yang menipu anak Li Bun-sing, kau ..."
"Yo Tun-hou dari Ki-lian-san beruntung dapat bertemu
Kang-tayhiap, Sam-te kami telah jatuh di tangan
orangmu. Hehehe, orang yang sempit hati bukan ksatria,
orang yang tidak ganas bukan orang lelaki. Kangtaythiap,
sekarang kau jatuh ke tangan kami, lekas kau
serahkan jiwamu saja!" tukas lelaki tinggi yang lain.
"Kawanan manusia srigala! Hm, ha, boleh coba-coba
mencelakai aku dengan cara keji, mungkin takkan
kesampaian maksudmu!" bentak Kang Hay-than.
Tangannya bergerak-gerak, menotok ke timur dan
menghantam ke barat, menotok ke selatan menghantam
ke utara. Co Bong dan Yo Tun-hou masih dapat
menghadapi, tapi Lok Khik-si hanya memutar senjatanya,
Lok-kak-jat, dan tak berani mendekati.
Di antara ketiga orang itu adalah Lok Khik-si yang
paling culas dan licik. Karena tak dapat merapat, ia
mengerut dahi. Sesaat ia mendapat akal, serunya sambil
tertawa, "Kang-tayhiap bukankah kedatanganmu ini
adalah karena Lim Jing" Kau ingin mengetahui dirinya
tidak" Ai, sayang, sayang."
Kang Hay-thian menggerung keras, dengan gerak
Eng-hik-tian-khong atau elang menyambar dari langit, ia
memelompat menyambarnya. Buru-buru orang she Lok
itu memijat Lok-kak-jat, senjata itu ternyata berisi anak
panah beracun. Secepat kilat anak panah itu mengarah
muka Kang Hay-thian. Karena di atas udara, Hay-thian tak dapat
menghindar. Cepat ia mengangakan mulut dan menggigit
tangkai panah. Tapi pada saat itu Co Bong sudah
menghantam punggungnya, Hay-thian melontarkan
sebuah Pik-khong-ciang yang membuat Lok Khik-si
jungkir balik. Untung karena sedang menggigit anak
panah, gerakan Kang Hay-thian agak tak leluasa. Coba
jika tidak, tentu Lok Khik-si sudah amblas jiwanya.
Saat itu pukulan Co Bong pun sudah tiba. Walaupun
sudah terkena racun, tapi tenaga dalam Kang Hay-thian
masih cukup kuat. Co Bong seperti menghantam papan
besi. Kang Hay-thian hanya bergoyang sekali, sebaliknya
Co Bong terhuyung mundur sampai tiga langkah. Belum
lagi ia berdiri tegak, tiba-tiba Kang Hay-thian berputar
tubuh dan menyemburkan panah yang digigit di
mulutnya tadi. "Tak apa aku bertambah sedikit racun lagi, kau pun
harus turut merasakan racun itu!" Kang Hay-thian
tertawa dingin. Karena masih terhuyung, Co Bong tak dapat
menghindari bahunya termakan anak panah beracun itu.
Meskipun tak sehebat racun di tubuh Kang Hay-thian,
tapi juga racun yang mematikan. Kalau Kang Hay-thian
seolah-olah tak menghiraukan, sebaliknya Co Bong
ketakutan setengah mati. "Lok-lotoa, lekas berikan obat penawar padaku!" ia
gugup sekali. Tapi saat itu Lok Khik-si masih belum berbangkit
akibat hantaman Kang Hay-thian tadi, sedang Kang Haythian
setelah berhasil menghantam mundur Yo Tun-hou,
cepat berputar rubuh terus menyambar tangan Co Bong.
"Berikan obat penawar padaku, baru nanti kulepas!"
bentak Kang Hay-than dengan bengis.
Diam-diam Co Bong mengeluh, kiranya racun itu ia
peroleh dari Thay-kam yang mengurus gudang obatobatan
istana, racun boleh diberikan pada para menteri,
baik untuk keperluan bunuh diri atau membunuh orang,
tetapi obat penawarnya tidak boleh diminta. Sudah tentu
Co Bong tak dapat memenuhi permintaan Kang Haythian.
Setelah berdiri tegak, Lok Khik-si berseru mengejek,
"Kau masih menghendaki jiwa Lim Jing atau tidak?"
"Apa?" bentak Hay-thian.
"Obat penawarnya tidak ada, tetapi dengan
kepandaiannya, belum tentu kau akan mati. Kini aku
hendak melakukan barter denganmu. Lim Jing memang
sudah kami tawan, jika kau menghendaki jiwanya, kita
saling tukar, Lim Jing kuberikan padamu, kau berikan Cocujin
padaku," kata Lok Khik-si.
"Kasih aku lihat Lim Jing dulu!" sahut Kang Hay-thian.
"Sudah tentu. Kita tukar menukar secara adil,
masakah aku akan menipumu lagi. Tunggu, segera akan
kubawa Lim Jing keluar," ujar orang she Lok itu.
Kang Hay-thian memperhatikan lirik mata Lok Khik-si
yang mencurigakan. Tiba-tiba ia mendapat pikiran, "Ah,
tidak. Jika Lim Jing sudah jatuh ke tangan mereka,
masakah mereka tidak lekas mengirim ke kotaraja tetapi
malah mengeramnya di sini?" Maka ia lantas mendengus,
Co Bong dijinjingnya terus digusur keluar.
"Kang-tayhiap, mengapa kau tak bisa pegang
perkataanmu itu" Bukankah kau datang kemari hendak
menyampaikan berita pada Lim Jing" Mengapa sekarang
tidak mau memyelamatkannya?"
"Menyingkirlah! Siapa yang berani bergerak, Cotayjinmu
ini tentu akan kubunuh lebih dulu!" Hay-thian
mengancam sambil menggusur Co Bong keluar.
Yo Tun-hou yang kepandaiannya tinggi segera tahu
kalau hawa dalam Kang Hay-thian itu sudah tak penuh.
Nadanya agak gemetar, ia menimang, "Rupanya racun
dalam tubuhnya sudah mulai bekerja. Jika sekarang tak
turun tangan, di kemudian hari tentu menjadi bahaya
besar. Jiwa Co Bong tak usah dihiraukan."
Sekonyong-konyong Kang Hay-thian merasakan
kepala puyeng, tindakannya terhuyung. Yo Tun-hou
cepat melesat, menggerung keras sembari mengait
dengan kaki, tapi Kang Hay-thian terjerembab ke
belakang. Jatuhnya tepat membentur dada Yo Tun-hou,
orang she Yo itu mencelat terjungkir ke atas. Tetapi
Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
karena jatuhnya itu, tangan Kang Hay-thian pun agak
kendor. Co Bong bukan jago lemah, melihat kesempatan
itu, ia segera meronta sekuat-kuatnya dan berhasillah ia
terlepas dari cengkeraman Kang Hay-thian. Cepat ia
berlari ke tempal Lok Khik-si dan meminta obat.
Kang Hay-thian menggerung keras terus mengejar,
tetapi matanya makin gelap. Dalam pandangannya ia
hanya melihat segumpal bayangan hitam. "Brak", ia
menghantam, tapi yang hancur hanyalah sebuah bangku
panjang. Tenyata bangku itu memang didorong ke muka
oleh Lok Khik-si. Celakanya, Kang Hay-thian mengangap
bangku sebagai orang. Setelah mendapat obat, Co Bong cepat meminumnya.
Teringat hampir saja jiwanya amblas di tangan Kang
Hay-thian, ia menjadi jeri. Buru-buru ia hendak merat
keluar, tapi Yo Tun-hou cepat melompat menghadang,
"Jangan takut, dia lebih parah lukanya. Co-tayjin,
kesempatan baik sukar didapat. Jika melepaskan harimau
pulang ke gunung, kelak tentu menjadi bahaya besar!"
Co Bong berpikir, dengan kepandaiannya yang sakti,
jika Kang Hay-thian sampai lolos, belum tentu akan mati
karena racun Ho-ting-hong dan Khong-jiok-tan. Begitu
sembuh tentu akan melakukan pembalasan, Sekalipun ia
bersembunyi di dalam istana juga tak terjamin jiwanya.
Akhirnya ia mengambil keputusan. Daripada hidup
dalam ketakutan, lebih baik sekarang mengadu jiwa saja.
"Ayo, majulah kawan-kawan!" teriaknya kepada orangorangnya.
Kiranya sehari sebelum Kang Hay-thian datang, Congliongpoh sudah diserang dan diduduki, yang
merencanakan penangkapan Kang Hay-thian itu ialah Lok
Khik-si. Kali ini yang datang hendak menangkap Lim Jing
dibagi menjadi tiga gelombang, semuanya menuju ke
Cong-liong-poh. Dua perwira yang dijumpai Kang Haythian
di hotel tempo hari adalah salah satu regu mereka.
Mereka mendapat tugas untuk lebih dulu datang ke Bici
memberitahukan pada pembesar setempat supaya
mempersiapkan gerakan razia itu.
Yo Tun-hou dan Lok Khik-si sebenarnya termasuk
anggota regu itu, tetapi karena kuda mereka tak sehebat
kuda perwira itu, apalagi karena perwira-perwira itu
temaha hendak merebut jasa, mereka meninggalkan Yo
Tun-hou dan Lok Khik-si di belakang. Yo Tun-hou dan
Lok Khik-si baru malamnya tiba di hotel itu. Sebelum
masuk, lebih dulu mereka melihat adanya dua ekor kuda
bagus. Lok Khik-si mengenali kuda putih Pek-liong-ma
itu, yang pernah dinaiki oleh putri Kang Hay-thian.
Bahwa Kang Hiau-hu menderita luka berat dan sedang
beristirahat di rumah, diketahui pasti oleh Lok Khik-si,
maka ia yakin yang naik kuda putih itu tentulah Kang
Hay-thian sendiri. Maka ia buru-buru mengajak Yo Tunhou
menukar kudanya dengan kuda kedua perwira itu,
terus dibawa kabur lebih dulu. Dan ketika Kang Hay-thian
mengejar keluar serta melontarkan pukulan Pik-khongciang,
Lok Khik-si menduga kedua perwira temannya itu
tentu sudah diganyang oleh Kang Hay-thian.
Rombongan kedua terdiri dari Co Bong dan tujuh
orang Wi-su istana. Rombongan itu adalah regu inti
untuk menangkap Lim Jing, sedang rombongan ketiga
hanyalah disiapkan sebagai bala bantuan, mereka datang
belakangan. Lok Khik-si dan Yo Tun-hou siang-malam melakukan
perjalanan. Begitu tiba di Bici mereka segera
mengerahkan tentara setempat, lalu menyerang Congliongpoh, tetapi mereka tak berhasil menangkap Lim
Jing dan Thio Su-liong. Lok Khik-si tak mau berhenti
sampai di situ, segera ia mengatur rencana untuk
meringkus Kang Hay-thian. Para serdadu disuruh
menyaru sebagai penjaga untuk menunggu kedatangan
Kang Hay-thian atau sahabat-sahabat Thio Su-liong dan
Lim Jing yang datang. Memang pukulan Co Bong dahsyat sekali, apalagi ia
pernah belajar ilmu pukulan Pik-lik-ciang, maka dia yang
menyaru menjadi Thio Su-liong. Dahulu Thia Pek-gak
pernah menyuruh bujang rumahnya untuk menyaru
menjadi dirinya (Thia Pek-gak) untuk menghadapi Lok
Khik-si, sekarang Lok Khik-si hendak meniru siasat itu.
Hanya saja bedanya ia hendak membunuh Kang Haythian,
maka caranya pun lebih keji.
Ketujuh Wi-su itu menjaga di delapan penjuru sudut
gedung. Ketika mendengar teriakan Co Bong, enam Wisu
segera muncul dan mengepung Kang Hay-thian.
Karena matanya pudar. Kang Hay-thian hanya
mengandalkan suara angin untuk menghindari serangan
musuh dan balas menyerangnya. Sekalipun tenaganya
sudah banyak berkurang, namun tetap masih jauh lebih
kuat dari kawanan Wi-su itu. Co Bong dan Yo Tun-hou
karena sudah terluka, mereka tak mau bertempur matimatian,
mereka hanya menyuruh kawanan Wi-su untuk
mengurung Kang Hay-thian.
Dua Wi-su yang coba-coba maju merapat, telah kena
disambar dan dibanting oleh Kang Hay-thian. Yang
empat hanya berani main gertak dan berlagak saja, tapi
tak berani maju mendekat.
"Kini tiba saatnya, Co-tayjin, mari kita maju
berbareng!" akhirnya Yo Tun-hou mengajak kawannya
setelah jelas mengetahui tenaga Kang Hay-thian mulai
lemah. Sekonyong-konyong Kang Hay-thian duduk di tanah
dan berseru tawar, "Benar, memang sudah tiba saatnya,
majulah kalian!" Co Bong dan Yo Tun-hou terkesiap, pikirnya, "Apakah
tenaganya masih belum habis dan hanya pura-pura
hendak menjebak musuh?" Keduanya ragu-ragu tak
berani maju. Kang Hay-thian menggigit jari tengahnya, darah
memancur keluar, warnanya hitam. Habis itu ia
menggerung keras terus memlompat menghantam dua
orang Wi-su sehingga terjungkir balik. Kiranya dengan
kepandaiannya yang sakti. Kang Hay-thian dapat
mengerahkan darahnya yang beracun ke ujung jari dan
dipancurkan keluar. Memang hal itu merupakan
pertolongan darurat, tapi hawa dalam tubuhnya terluka.
Ini berarti ia kehilangan sepuluh tahun pemupukan
tenaga dalam. Dan toh dengan berbuat begitu ia tetap
hanya dapat bertahan untuk sementara dan tak dapat
bertempur lama. Co Bong yang pernah merasakan hajaran orang,
begitu melihat Kang Hay-thian semangatnya menyala
kembali, kejutnya bukan kepalang. Tanpa banyak pikir
lagi, bahkan tanpa mengajak kawannya, ia lari sipatkuping.
Untung Kang Hay-thian lebih membenci Lok
Khik-si daripada Co Bong, ia tak menghiraukan Co Bong,
sebaliknya maju selangkah lantas menghantam Lok Khiksi.
Lok Khik-si buru-buru menusuk dengan senjatanya.
Hay-thian membentaknya dan dengan suatu gerakan
yang luar biasa, direbutnya senjata itu terus ditusukkan.
Lok Khik-si tak berani menangkis, ia menghindar ke
belakang Yo Tun-hou, tapi Tun-hou pun tak berani
menangkis. Karena kepandaiannya lebih tinggi dari Lok
Khik-si, ia masih dapat menolak tangkai Lok-kak-jat itu
ke samping. Yang celaka adalah Lok Khik-si, ia tak
sempat menghindar dan bahunya tertancap senjatanya
sendiri. Untung karena tolakan Yo Tun-hou tadi tenaga
tusukan Kang Hay-thian sudah berkurang. Coba kalau
tidak, tentu tulang pundaknya akan tertembus dan dia
tentu akan menjadi seorang cacad.
Ancaman maut itu membuat Lok Khik-si dan Yo Tunhou
berantakan nyalinya. Juga keenam Wi-su itu, karena
ada beberapa yang terluka, mereka juga lari kabur.
Ketika Kang Hay-thian mengejar keluar, dari kejauhan
terdengar Co Bong berseru, "Lekas bawa pesakitan itu!"
Kang Hay-thian terkesiap, pikirnya, "Apakah
prasangkaku keliru" Apakah Lim Jing benar sudah jatuh
di tangan mereka?" Para Wi-su itu mengikuti jejak Co Bong berlari keluar
pintu besar, hanya ada seorang Wi-su yang berlari
dengan mengambil jalan dari pintu belakang. Buru-buru
Kang Hay-thian mengejar, pada saat hanya tinggal
beberapa langkah saja akan dapat membekuk Wi-su itu,
tiba-tiba Lok Khik-si menimpukkan sebatang panah
beracun ke punggung si Wi-su. Ketika Kang Hay-thian
tiba, Wi-su itu sudah tak bernapas lagi.
Kang Hay-thian marah sekali, ia putar tubuh dan
mengejar mereka lagi. Tapi baru beberapa langkah, ia
merasa tenaganya makin lemah, ia himpun semangatnya
dan berseru sekuat-kuatnya, "Hai, kalian harus segera
meninggalkan Bici, kalau kutemukan masih di sini, satu
pun tak akan kuberi hidup!"
Dia menggunakan ilmu Say-cu-hwe-kang atau ilmu
auman singa, meskipun tenaga dalamnya berkurang tapi
gerungan itu cukup membuat telinga mereka serasa
pecah. Sebenarnya tanpa Kang Haythian berteriak begitu
toh mereka sudah lari sekuat-kuatnya. Serdadu-serdadu
yang menyamar menjadi bujang Cong-liong-poh, karena
melihat Co Bong dan lain-lain sudah lari, mereka juga
lantas lari mencari selamat sendiri-sendiri.
Di, dalam gedung Cong-liong-poh menjadi sunyi
senyap. Diam-diam Kang Hay-thian bersyukur, coba
musuh kembali mengurungnya, ia tentu akan mati.
Segera ia minum sebutir pil yang meskipun bukan obat
penawar, tapi dapat dibuat mengembalikan tenaganya
yang habis. Ia sudah menyalurkan keluar darahnya yang
kena racun. Kalau la mau beristirahat menyalurkan
Lwekang, dalam tiga hari tentu akan bisa sembuh.
"Mereka lari ke Koang-seng, tentu akan mengirim
pasukan kemari pula. Aku tak boleh tinggal lebih lama di
sini. Tetapi siapakah yang disebut pesakitan oleh Co
Bong tadi" Aku harus memeriksanya!" Habis berpikir
begitu, ia segera mengheningkan cipta. Tiba-tiba dari
bawah tanah seperti terdengar suatu suara. Ia
mengerutkan kening, pikirnya, "Tentu ada terowongan
rahasia, tapi entah dimanakah pintunya?"
Ia bimbang memikirkannya. Meninggalkan tempat itu
karena kemungkinan datangnya tentara pemerintah atau
berusaha mencari terowongan di bawah tanah ataupun
meninggalkan tempat itu lebih dulu untuk merawat
sakitnya, begitu sudah baik baru kembali ke situ"
Selagi ia menimang-nimang, tiba-tiba terdengar suara
keresekan dari kamar penyimpanan kayu bakar dan
muncullah seorang. Umurnya di antara 50-an tahun,
rambutnya banyak beruban, punggungnya sedikit
bungkuk. "Kau siapa?" tegur Hay-thian.
"Kudengar mereka menyebut kau sebagai Kangtayhiap.
Benarkah kau adalah Kang Hay-thian Tayhiap
dari Soatang?" orang tua itu balas bertanya.
"Sebutan Tayhiap, aku merasa tak pantas memakai.
Memang benar akulah Kang Hay-thian," sahut Hay-thian.
Orang tua itu mengganguk, "Kau dapat mengusir
kawanan bangsat itu, aku percaya kau tentu Kang Haythian.
Aku adalah bujang tua keluarga Thio!" Habis
berkata orang tua itu lantas menjura memberi hormat
tiga kali. Hay-thian tersipu-sipu mengangkatnya bangun.
"Mohon Kang-tayhiap suka menolong Lim-siauya,"
kata bujang tua itu. "Apa" Lim-siauya?" Kang Hay-thian tersentak kaget.
"Ya, putra Lim-kaucu," sahut bujang tua itu. "Apa" Putra
Lim Jing jatuh ke tangan mereka" Cara bagaimana
menolongnya?" seru Hay-thian.
"Ikutlah padaku," kata bujang itu.
Sambil mengikuti, Kang Hay-thian bertanya apakah
Lim Jing berada di Cong-liong-poh situ.
Bujang tua itu menghela napas, lalu katanya, "Waktu
tentara pemerintah menyerang Cong-liong-poh, dengan
membawa putranya, Lim-kaucu sebenarnya sudah
berhasil menerobos keluar. Tetapi karena Thio-pohcu
kami masih di belakang dan terkepung, Lim-kaucu masuk
kembali untuk menolong Pohcu. Kasihan, karena tak
dapat melindungi keduanya, akhirnya putra Lim-kaucu
jatuh ke tangan mereka. Pohcu kami menderita luka,
namun beliau tetap mengajak Lim-kaucu masuk kembali
untuk menolong Lim-siauya. Tetapi Lim-kaucu lantas
menotok jalan darah Thio-pohcu dan memanggulnya lari.
Untuk kepentingan Pohcu kami, Lim-kaucu rela
mengorbankan putranya sendiri!"
Kang Hay-thian menghela napas, "Itulah baru
sepasang sahabat yang sejati. Pak tua mengapa kau
masih berani tinggal di sini?"
Bujang tua itupun menghela napas, "Aku tak dapat
lolos dan ditangkap. Yang turut ditangkap berjumlah 6-7
orang dan dimasukkan ke dalam tahanan. Aku pura-pura
berlaku sebagai orang gagu tuli. Kawanan perampok itu
membiarkan aku tinggal di sini untuk mencari air dan
membelah kayu." Saat itu mereka tiba di ujung lorong. Bujang tua itu
membuka sebilah papan batu dan terbukalah sebuah
mulut terowongan. Ujarnya, "Di dalam terowongan ini
terdapat penjara di bawah tanah. Eh, apakah kau
mendengar suara gemerincing senjata" Kuduga Limsiauya
tentu dimasukkan dalam penjara bawah tanah
sini." Kang Hay-thian menyulut api, bersama bujang tua itu
bergegas mereka menuju ke sebuah kamar batu. Suara
orang bertempur makin terdengar jelas. Kang Hay-thian
coba mendorong pintu batu, tapi sedikltpun tak
bergeming. Bujang itu terengah-engah, ujarnya, "Celaka, celaka!
Pintu batu ini dipalang dari dalam!"
Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sayang pedang pusaka Cay-in-po-kiam milik Kang
Hay-thian sudah diberikan kepada putrinya. Coba ia
masih membawanya, tentu tak sukar untuk membelah
pintu batu itu. Sesakti-saktinya, ia tetap tak mampu
mendobrak pintu itu, apalagi kini tenaganya masih belum
oulih kembali. "Lim-siauya, apakah kau di dalam" Apakah kau
mendengar suaraku" Jawablah!" bujang tua itu berteriak.
"Ya, akulah paman Thio! Bagaimana dengan ayahku?"
terdengar suara seorang anak kecil menyahut dari dalam.
Kang Hay-thian menyatakan kelegaannya karena anak
itu masih sehat-sehat saja, tapi sekonyong-konyong
terdengar anak itu menjerit kesakitan. Kiranya waktu
menyahut pertanyaan bujang tua tadi, perhatian anak itu
terganggu dan pundaknya kena dimakan ujung golok
lawan. "Lim-siauya, lekas buka pintu. Aku dan Kang-tayhiap
datang menolongmu!" karena kuatir bujang tua itu
berteriak-teriak lagi. Dari sebelah dalam terdengar dering senjata makin
riuh Nyata anak itu didesak makin gencar sehingga tak
sempat lagi membuka pintu. Tiba-tiba terdengar seorang
Wi-su tertawa mengejek, "Aha, kiranya Kang-tayhiap
juga datang. Bagus, lekas suruh setan kecil itu
menyerah, kalau tidak, boleh dibereskan saja!"
Kang Hay-thian hanya menggigit giginya kencangkencang.
Beberapa saat kemudian, kembali Wi-su itu berteriak,
"Pesakitan cilik, lemparkan rantai itu ke tanah. Kuhitung
tiga kali, jika membangkang, akan kukutungi tubuhmu.
Satu, dua "Lim, Lim ..." bujang tua berseru terguguk-guguk.
Kang Hay-thian segera mendekap mulut bujang itu
dan membisikinya, "Jangan takut, tak nanti dia berani
membunuhnya!" "Tiga ..." terdengar mulut si Wi-su berseru.
Kemudian terdengar suara anak itu menggeram,
"Kalau kau membunuh aku, ayahku tentu akan
membalasmu! Aku tak takut!"
Langkah kaki memburu, dering senjata beradu.
Benarlah, anak itu tak dibunuh. Diam-diam Kang Haythian
terkejut girang, pikirnya, "Anak ini serupa dengan
anak Li Bun-sing, nyalinya besar sekali. Harimau tentu
beranak harimau, kiranya memang benari"
Ia menduga Wi-su itu tentu tak berani membunuh
putra Lim Jing dan hanya akan dijadikan sebagai barang
tanggungan. Karena Wi-su itu tak mengetahui keadaan
di luar, dia merasa kuatir kalau-kalau Thio Su-liong
datang ke Cong-liong-poh lagi. Kalau mengerahkan
orang untuk menghancurkan pintu batu itu, tentu dalam
setengah hari saja akan sudah terbuka.
Sudah tentu ia tak mengetahui bahwa sebenarnya
Kang Hay-thian juga gelisah untuk lekas meninggalkan
tempat itu, karena kuatir tentara pemerintah akan
datang. Dua macam perasaan mencengkeram hati Kang
Hay-thian. Pertama, ia girang akan kegagahan putra Lim
Jing itu, tapi dia pun gelisah, juga karena tak dapat
menolongnya. Selagi ia dalam kegelisahan itu, tiba-tiba terdengar
suara berkeretak keras, semacam benda yang terpapas
golok. Tahu-tahu bujang tua itu menjerit dan menangis
gerung-gerung. Kiranya ia mengira tentulah kepala putra
Lim Jing sudah dipenggal.
"Hanya membacok kayu, jangan menangis. Aku punya
akal!" bisik Kang Hay-thian. Rupanya karena percaya
akan ucapan Kang Hay-thian, bujang tua itu berhenti
menangis. Seru Kang Hay-thian, "Miring ke kanan tiga langkah
gunakan Pah-ang-pian-ciok. Benar, lalu jurus Poan-liongyupoh dan cepat-cepat Thiat-so-heng-kang. Ganti jurus,
Hwe-liong-soh-liu, Lian-hoan-sam-si
Kiranya walaupun tenaganya berkurang, tapi
kepandaian mendengar angin membedakan senjata
masih lihai. Jelas didengarnya bahwa putra Lim Jing itu
menggunakan rantai untuk melawan golok si Wi-su. Anak
itu menggunakan permainan Utti-pian-hwat (ilmu pian
dari keluarga Utti), sedang si Wi-su menggunakan ilmu
golok Ngo-toan-bun-to. Sebenarnya permainan anak itu
cukup lihai, hanya sayang kurang pengalaman, tak tahu
bagaimana harus memecahkan permainan golok lawan.
Anak itu bernama Lim To-kan, umurnya baru 12
tahun. Tapi bagaimana ia dapat memperoleh rantai besi
itu" Sebenarnya rantai besi itu digunakan untuk merantai
kakinya. Wi-su yang menjaganya berpangkat Si-wi kelas
dua dari Gi-lim-kun. Karena terlalu menyombongkan
kepandaiannya yang tinggi, ia tak memandang sebelah
mata sama sekali terhadap anak itu. Karena sehari
suntuk menjaga Lim To-kan, ia merasa sebal dan
mengantuk. Lebih dulu ia ikatkan ujung rantai pada
tiang, kemudian tangan Lim To-kan diborgol. Ia anggap
sudah kuat penjagaannya. Tetapi borgolan itu sebenarnya diperuntukkan orang
besar, maka waktu dipasang di tangan To-kan tak begitu
kencang. Semasa kecil To-kan pernah belajar ilmu Sutkutkang (menyurutkan tulang) dari seorang anggota
rombongan sulap, permainan 'menerobos lingkaran'
adalah menggunakan ilmu Sut-kut-kang itu. Waktu Kang
Hay-thian bertempur seru di atas tadi, kebetulan si Wi-su
sedang tidur pulas, sebaliknya To-kan mendengar jelas.
Lim To-kan bernyali besar dan berotak cerdas. Ia
menduga tentu ayah dan paman Thio Su-liong yang
kembali. Tak mau ia sia-siakan kesempatan itu dan
berhasillah ia meloloskan tangan dan kaki dari rantai
borgol. Waktu si Wi-su bangun, To-kan sudah siap
melawannya dengan rantai kaki yang dimainkan seperti
pian. Bagaimanapun tenaga anak itu kalah dengan orang
tua. Untung ia tangkas dan mempunyai senjata hingga
dapat bertahan lama, tapi akhirnya ia pun terdesak,
bahkan terluka. Dalam detik-detik berbahaya dimana dia
terancam, tiba-tiba terdengar Kang Hay-thian dari
sebelah luar memberi petunjuk gerak-gerak jurus yang
harus dimainkan. Semangat To-kan timbul kembali,
tanpa banyak berpikir, ia ikuti petunjuk-petunjuk Kang
Hay-thian itu untuk melawan musuh. Hal itu tak ubahnya
seperti Kang Hay-thian meminjam tangan si bocah untuk
menyerang Wi-su itu. Setiap gerakannya tentu selalu
mendahului gerakan lawan, sekalipun tenaganya lemah
dan pengalaman kurang, tapi dengan menyerang dulu,
To-kan dapat mengatasi lawannya. Hanya sepuluh jurus,
lutut Wi-su kena sabetan rantai hingga terhuyunghuyung.
"Ayo, berlututlah di hadapan leluhur cilik!" teriak Tokan.
Pada lain saat paha si Wi-su menerima tiga kali
sabetan rantai yang cukup keras. "Bluk", robohlah jago
istana itu. To-kan lalu mencari kunci di tubuh si Wi-su, kemudian
membuka pintu mempersilakan Kang Hay-thian dan
bujang tua masuk. Setelah bertempur seru dan
mendapat luka, pakaian To-kan sudah berlumuran darah,
dia seperti habis mandi darah.
Bujang tua memeluknya erat-erat, dia menangis
karena girangnya, "Syukur Tuhan maha adil sehingga
jiwamu tertolong. Lekas haturkan terima kasih pada
Kang-tayhiap. Astaga, lukamu begini berat, darah masih
terus mengalir!" "Jangan terburu-buru menghaturkan terima kasih, sini
kuperiksa lukamu," kata Kang Hay-thian dan dengan
bantuan lentera di kamar situ segera ia memeriksa.
"Untung tak sampai kena tulang. Nanti setelah kulumuri
obat tak sampai tiga hari tentu sembuh."
"Paman Thio. dimana ayah dan paman Thio Su-liong?"
tanya To-kan. "Jangan kuatir, Siauya, mereka tak apa-apa dan sudah
meloloskan diri," sahut bujang tua.
Waktu To-kan menanyakan tempat beradanya sang
ayah, bujang tua itu tertawa getir, ujarnya, "Mana aku
tahu, Siauya, rawatlah lukamu baik-baik, kelak kita cari
beritanya." "Keponakan Kan, kita tak boleh tinggal lama-lama di
sini. Thio-pohcu menderita luka, ayahmu bersamanya
bersembunyi di lain desa, kapan kalian ayah dan anak
akan berjumpa sukar diketahui. Maukah kau ikut padaku"
Akan kuajarkan seluruh kepandaianku kepadamu,
maukah kau menjadi muridku yang keempat?" akhirnya
Kang Hay-thian membuka mulut.
"Tidak, aku tak boleh merembet dan membikin susah
padamu," sahut To-kan tegas.
Melihat anak itu bisa memikirkan kepentingan lain
orang, makin besarlah rasa suka Kang Hay-thian. Dia
tertawa, "Jika aku takut terseret, masakah aku datang
kemari menolongmu?" "Kepandaian Kang-tayhiap ini sungguh hebat sekali.
Kawanan bangsat itu dapat dikocar-kacirkan Kangtayhiap
seorang diri," bujang tua memberi komentar.
"Memang aku sudah tahu, ayah sering mengatakan
tentang Kang-tayhiap. Kau mau menerima aku sebagai
murid, jika ayah mengetahui tentu akan bergirang hati.
Suhu, terimalah hormat muridmu," begitulah To-kan
merubah pikirannya dan berlutut menjura tiga kali.
Diam-diam Kang Hay-thian geli dalam hati,
"Sebenarnya aku tak mau menerima murid. Tapi dalam
setengah tahun ini berturut-turut telah menerima empat
orang murid." "Suhu, aku mempunyai suatu persoalan," setelah
berbangkit Lim To-kan lalu mengajukan usul.
"Eh, kecil-kecil sudah punya soal?" Kang Hay-thian
tertawa. "Aku mempunyai seorang kawan yang baik sekali,
namanya Li Kong-he. Ayahnya dan ayahku mengangkat
saudara, aku dan dia pun ikut-ikutan angkat saudara.
Aku pernah berj'anj'i padanya kelak akan sama-sama
belajar. Maka dari itu, Suhu, maukah kau menerimanya
sebagai murid juga?"
Kang Hay-thian tertawa gelak-gelak, "Haha, kawanmu
yang baik itu bukan lain adalah Sam-suhengmu sendiri!"
Girang sekali To-kan, serunya, "Kalau begitu, tak lama
lagi aku tentu akan berjumpa padanya!"
"Tidak, aku sekarang sedang mencarinya, tetapi aku
sudah berjanji akan menerimanya sebagai murid.
Meskipun belum resmi tapi karena sudah kuterima, maka
dia tetap menjadi Suhengmu. Nanti bila senggang tentu
kuceritakan padamu. Sekarang gantilah pakaian dulu."
"Dengan mendapat janjimu, Kang-tayhiap, Li-siauya
tentu akan diketemukan. Sepasang anak ini tentu bisa
berkumpul," kata si bujang tua.
Dapat menolong putra Lim Jing itu, hati Kang Haythian
susah-susah senang, wajahnya berseri girang tapi
hatinya berat. Tenaganya sekarang ini jauh berkurang
dari beberapa jam yang lalu, terang ia tak dapat
Tujuh Pedang Tiga Ruyung 11 Raja Naga 7 Bintang Karya Khu Lung Pendekar Sadis 16
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama