Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen Bagian 9
terikal di atas kepalanya itu terpapas putus.
Melihat kawannya terancam bahaya, cepat Pek-tiu dan
Wi Hwan menubruk maju lagi dari kanan dan kiri. Sekali
ini mereka dapat bekerja sama dengan lebih rapat.
Terpaksa Ki Seng-in mesti meninggalkan Li Tay-tian
untuk melayani kedua musuh yang lebih tangguh ini.
Menurut tata cara dinasti Boan-jing pada zaman itu,
kaum pria harus memakai kuncir, lebih-lebih pejabat
pemerintahan, kuncir merupakan tanda keangkeran yang
tak boleh kurang, walaupun dapat memakai kuncir palsu,
namun tetap memalukan. Sekarang Ki Seng-in dapat
menabas kutung kuncir Li Tay-tian, bagi Ki Seng-in masih
kurang puas, sebaliknya Li Tay-tian merasa sangat
terhina. Namun Li Tay-tian memang licin dan cukup sabar,
daripada murka ia malah tertawa, katanya, "Jian-jiukoanim, hari ini kau telah masuk jaring sendiri, sekalipun
kau benar-benar punya tangan seribu juga takkan
mampu lolos dari jaring yang telah kami pasang.
Mengingat kau adalah kaum wanita, kami masih ingin
memberi jalan hidup padamu. Apakah kau tidak
memikirkan lagi suamimu" Biarlah kami katakan terus
terang, meski dia tidak menyerah kepada kami, tapi dia
benar-benar telah kami bekuk dan meringkuk di dalam
penjara, cepat atau lambat tentu dia akan menerima
ganjaran. Untuk menyelamatkan jiwanya adalah
tergantung pada dirimu, asal kau mau menurut perintah
kami dan menyuruh dia menyerahkan harta karun yang
pernah dia keduk." Sungguh gusar dan berduka pula Ki Seng-in, ia tahu
watak sang suami yang keras, menyerah memang tidak
mungkin, tentulah telah banyak menderita siksaan
bilamana betul tertawan musuh. Sekarang dirinya mesti
melawan tiga orang, dengan nekat ia terus melompat
maju dan mencecar Li Tay-tian, akan tetapi Pek-tiu Tojin
dan Wi Hwan lantas mencegatnya sehingga Ki Seng-in
menjadi kerepotan pula menghadapi serangan dari kanan
dan kiri. Segera Li Tay-tian tertawa mengejek, "Hahaha!
Mumpung kau belum terluka, lebih baik lekas menyerah
saja. Orang manis dan cantik seperti kau sungguh
sayang kalau sampai terbinasa!" Sembari bicara diamdiam
ia terus menggeser ke belakang Ki Seng-in,
goloknya lantas membabat bagian kaki Ki Seng-in.
Memangnya kesehatan Ki Seng-in belum pulih
seluruhnya, gerak-geriknya menjadi kurang lincah,
kelemahan ini rupanya telah dapat dilihat oleh Li Taytian.
Mendadak Ki Seng-in bersuit panjang, ia ganti siasat
bertempur, dia tidak bergerak ke sana sini lagi, tapi tetap
mempertahankan dirinya di tempat, serangan dibalas
serangan, yang dekat ditusuk pedang, yang jauh disabet
cambuk, ia menjaga diri dengan rapat sekali. Ia tahu
kelemahannya dalam hal tenaga, maka dia berharap
dapat bertahan lebih lama.
Ternyata serangan Li Tay-tian menjadi gagal,
berulang-ulang ia malah hampir-hampir tersabet oleh
cambuk Ki Seng-in sehingga terpaksa ia tidak berani
mendekat secara gegabah. Sedangkan Pek-tiu Tojin dan
Wi Hwan untuk waktu singkat juga tidak berdaya
mendekati Ki Seng-in. Karena suitan Ki Seng-in tadi seperti tanda memanggil
kawan, Pek-tiu Tojin menjadi kuatir, katanya kepada Li
Tay-tian, "Tampaknya perempuan keparat ini sedang
menunggu bala bantuan, kita harus lekas-lekas
membereskan dia, jika orang keluarga Kang ada yang
datang, tentu kita akan kerepotan."
"Hahahaha! Untuk ini Pek-tiu Totiang hendaklah
jangan kuatir," sahut Li Tay-tian dengan tetawa. "Kita
sudah cukup mengetahui seluk-beluk keadaan keluarga
Kang. Bini Kang Hay-thian beberapa hari lagi akan pergi
ke Bin-san; selama itu tentu takkan keluar rumah. Jarak
rumah keluarga Kang dari sini juga ada belasan li,
biarpun tenggorokan perempuan keparat ini berteriak
sampai bejat juga takkan didengar oleh siapa pun juga."
"Apalagi mungkin Totiang juga belum tahu bahwa
diam-diam Li-toako yang cerdik telah mengatur matamata
di dalam keluarga Kang, andaikan bini Kang Haythian
pada saat ini hendak keluar juga tentu akan
dihalangi," demikian Wi Hwan menambahkan.
Memangnya Ki Seng-in sudah menyangka di dalam
keluarga Kang tentu terdapat mata-mata musuh, cuma
sayang dia salah sangka, orang yang dia curigai justru
Ubun Hiong sebaliknya yang benar adalah Yap Lenghong.
Kiranya restoran di Tong-peng-tin itu dibuka oleh Li
Tay-tian, Wi Hwan menyamar sebagai pelayan dan Pektiu
pura-pura sebagai tamu yang menginap di situ.
Restoran itu dibuka sudah ada sebulan lamanya, Wi
Hwan dan Pek-tiu kebetulan dapat merawat luka yang
dideritanya dalam pertempuran di puncak Thay-san
tempo hari. Sekarang luka mereka sudah sembuh
sehingga hari ini mereka dapat bertempur dengan penuh
semangat. Kontak antara Yap Leng-hong dengan mereka justru
dilakukan semalam, maka apa yang dikatakan Wi Hwan
itu memang beralasan, andaikan saat ini Kok Tiong-lian
hendak keluar rumah, tentu juga Yap Leng-hong akan
berusaha mencegahnya. Percakapan mereka itu sengaja
diperdengarkan kepada Ki Seng-in, tujuan pertama agar
supaya dia putus harapan akan datangnya bala bantuan,
kedua, biar Ki Seng-in semakin mencurigai Ubun Hiong.
Ternyata Ki Seng-in tertipu juga, dia sangat gemas
terhadap Ubun Hiong. Tapi ada suatu hal yang keliru
diduga oleh Li Tay-tian bertiga, yaitu suara suitan Ki
Seng-in bukanlah tanda minta tolong kepada keluarga
Kang, tapi ditujukan pada teman yang sedang
dinantikannya itu. Temannya itu adalah kawan dari kalangan Lok-lim
(kaum bandit), tempat dimana mereka bertempur
sekarang memang ada belasan li jaraknya dengan rumah
Kang Hay-thian, tapi cuma satu-dua li saja dari Tongpengin. Maka ia menduga bila temannya itu sekarang
berada di dalam kota, tentu akan dapat mendengar suara
suitannya tadi. Tong-peng-tin hanya suatu kota kecil saja, di waktu
pagi kelihatan juga ada beberapa orang berlalu-lalang,
tapi demi mereka melihat ada orang sedang bertempur di
tanah tanjakan, di antaranya ada perwira, Tosu dan ada
pula wanita, entah petugas pemerintah sedang
menangkap perampok atau pembegal sedang
mengganas, saking ketakutan orang-orang itu lekas lari
kembali ke dalam kota. Sudah tentu Ki Seng-in sangat kecewa, orang-orang
yang lari ketakutan itu dengan sendirinya bukan teman
yang sedang ditunggu itu. Sampai sang surya sudah
cukup tinggi menghiasi cakrawala dengan sinarnya yang
cerlang-cemerlang, tetap teman itu tidak kelihatan.
Diam-diam Seng-in membatin, "Mengapa sekali ini Gaktoako
ingkar janji dan tidak datang kemari" Jika dia
sudah berada di dalam kota seharusnya dia sudah
memburu ke sini bila mendengar suara suitanku."
Karena hari ini sudah siang, Li Tay-tian bertiga
menjadi kuatir juga, segera mereka menyerang lebih
gencar. Ki Seng-in sendiri sudah payah karena telah bertempur
sekian lamanya, sekarang hatinya merasa kecewa, maka
semangatnya menjadi patah, serangannya mulai kacau
dan penjagaannya mulai kendur.
Melihat ada kesempatan, mendadak Wi Hwan
membentak, "Kena!" Kontan ruyungnya menyabet sekali
di punggung Ki Seng-in. Ki Seng-in sampai sempoyongan, mata terasa
berkunang-kunang. Menyusul pedang Pek-tiu Tojin
menambahi satu luka pula di lengannya sambil
membentak, "Tidak lekas menyerah?"
Memangnya kesehatan Ki Seng-in belum pulih,
sekarang terluka pula berulang-ulang, sungguh ia tidak
tahan lagi. Namun ia pantang menyerah, dengan matimatian
ia melawan terus. Saking cemasnya sampai dia
muntah darah walaupun sekaligus ia masih sempat
menghalau pergi tiga macam senjata musuh.
"Hm, perempuan keparat ini ingin mampus, kita tak
perlu main sungkan-sungkan lagi, bunuh saja dia!"
jengek Li Tay-tian. Sekali mengiakan, kontan ruyung Wi Hwan lantas
menyambar ke depan sehingga terbelit menjadi satu
dengan cambuk Ki Seng-in dan sukar dipisahkan. Pedang
Pek-tiu Tojin tidak ketinggalan, dia yang menutup setiap
gerakan pedang Ki Seng-in, sedangkan Li Tay-tian lantas
membentak, "Perempuan keparat, pergilah bertemu
dengan suamimu!" Berbareng goloknya lantas
membacok. Tampaknya Ki Seng-in sudah tidak mampu menangkis
atau berkelit lagi, bacokan itu pasti akan membuat
tubuhnya terbelah menjadi dua. sekonyong-konyong
terdengar suara "tring" sekali, entah darimana
datangnya, tahu-tahu golok Li Tay-tian terbentur
melenceng ke samping oleh sambitan sepotong batu
kecil sehingga bacokannya mengenai tempat kosong.
"Kau sudah datang, Gak-toako!" seru Ki Seng-in
dengan girang. Sebaliknya Li Tay-tian memaki dengan gusar,
"Keparat, kalau berani hayolah keluar sini!"
Tapi aneh, orang itu tidak muncul, juga tidak
bersuara. Namun begitu melihat batu kecil itu, dapatlah
diduga penyambit itu tentu bersembunyi tidak jauh di
sekitar mereka. Diam-diam Ki Seng-in sangat heran,
pikirnya, "Apa barangkali Gak-toako menyembunyikan
kawannya di sini" Kalau menuruti wataknya yang
berangasan, tidak nanti ia membiarkan aku dikerubut
musuh secara demikian, bahkan cuma membantu
dengan menimpukkan senjata rahasia saja, malah
sesudah itu tetap tidak mau muncul. Siapakah penolong
ini?" Melihat Ki Seng-in sudah terluka parah, Li Tay-tian
bertiga anggap dia bagai kura-kura di dalam guci, tinggal
dibekuk saja. "Bangsat itu adalah pengecut, tidak berani keluar,
apakah perlu aku pergi membekuknya dahulu?" kata Wi
Hwan. "Tak perlu, binasakan dulu perempuan ini baru nanti
kita mencari bangsat itu," bentak Li Tay-tian. "Hati-hati
saja terhadap serangan senjata rahasia lagi."
Meski Wi Hwan telah mengucapkan kata-kata
pancingan toh orang itu tetap tidak mau keluar, maka
diam-diam Ki Seng-in menghela napas, ia tahu orang itu
pasti bukanlah kawan yang sedang dinantikan itu.
Dalam pada itu ruyung Wi Hwan telah menyabet pula
sebatas pinggang, terpaksa Ki Seng-in menggunakan
pedangnya untuk menyampuk, tapi ia sudah kepayahan,
tenaga sudah habis, "trang", pedangnya tersabet jatuh
oleh ruyung Wi Hwan. "Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Pek-tiu Tojin,
cepat ia menubruk maju dan menusuk Hun-bun-hiat di
punggung Ki Seng-in. Pada saat jiwa Ki Seng-in terancam itulah, kembali
orang tak kelihatan itu menyambitkan pula dua butir
batu. Lebih dulu ujung pedang Pek-tiu Tojin tertimpuk
melenceng, menyusul "plok", pergelangan tangan Wi
Hwan juga tertimpuk sehingga ruyungnya terlepas dari
cekalan. Sebenarnya Pek-tiu dan Wi Hwan sebelumnya sudah
berjaga-jaga akan serangan senjata rahasia orang tak
kelihatan itu, tapi kesudahannya toh tetap tak dapat
menghindar, maka jelas sekali kepandaian orang itu pasti
jauh di atas mereka. Pek-tiu bertiga adalah orang Kangouw kawakan,
keruan mereka terkejut. Tapi mereka pun dapat
menduga maksud tujuan orang yang tak kelihatan itu,
agaknya cuma melarang mereka membunuh Ki Seng-in
saja dan tiada maksud bermusuhan dengan mereka.
Kalau tidak, tentu batu kecil itu diarahkan kepada Hiat-to
mereka yang berbahaya dan tidak cuma membentur
senjata saja. Segera Li Tay-tian berseru, "Kawan dari garis
manakah itu" Ketahuilah bahwa perempuan keparat ini
adalah buronan pemerintah, jika sobat bukan sehaluan
dengan dia hendaklah jangan ikut campur."
Akan tetapi orang itu tetap tidak bersuara. Pek-tiu
Tojin lantas membisiki Li Tay-tian, "Perempuan jahat ini
sudah terluka parah, tidak mungkin dapat lolos. Marilah
kita mencari orang itu dulu, aku sudah mendengar arah
darimana datangnya batu yang dia sambitkan, tentu dia
bersembunyi di balik gundukan tanah itu. Dengan
kekuatan kita bertiga pasti dapat membereskan dia."
Namun Li Tay-tian merasa sangsi, seketika ia tidak
bisa mengambil keputusan. Pada saat itulah terdengar
suara derapan kuda yang ramai, tertampak dua
penunggang kuda sedang mendatangi dari arah Tongpengtin, dalam sekejap saja sudah sampai di atas tanah
tanjakan ini. Kedua penunggang kuda itu adalah
sepasang pria dan wanita setengah umur, yang lelaki
bermuka hitam laksana pantat kuali yang hangus,
hidungnya pesek, jelek sekali tampangnya.
"Siapa itu yang datang?" bentak Li Tay-tian.
Sebaliknya Ki Seng-in sangat girang. Kiranya laki-laki
itu tak lain tak bukan adalah orang yang sedang dinantinantikan,
namanya Gak-Ting, bahkan istrinya juga telah
ikut datang. Terdengar Gak Ting bersuit dari jauh, sesudah dekat
Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lantas berseru, "Ki-temoay (adik ipar), siapakah mereka
ini?" "Antek-antek kerajaan!" sahut Ki Seng-in sekuatnya.
Melihat keadaan yang tidak menguntungkan itu,
serentak Pek-tiu Tojin dan Li Tay-tian menghamburkan
senjata rahasia berbentuk anak panah dan paku berduri,
semuanya berbisa. Mereka pikir Ki Seng-in harus
dibinasakan sebelum kedua penolongnya tiba.
Namun pada saat yang sama, dari belakang gundukan
tanah tadi mendadak keluar sesosok bayangan hitam,
dengan cara Thian-li-san-hoa (bidadari menebar bunga),
sekaligus ia menghamburkan segenggam mata uang
tembaga, maka terdengarlah suara "trang-tring" yang
ramai, seluruh senjata rahasia yang dilontarkan oleh Pektiu
Tojin dan Li Tay-tian tadi telah terbentur jatuh.
Akan tetapi begitu muncul, orang itupun tidak tinggal
lebih lama lagi di situ, secepat angin ia terus melayang
pergi. Pakaiannya berwarna hitam mulus, memakai topi
berpinggir lebar dan tertutup rendah, maka wajah aslinya
tidak kelihatan. Hanya dari perawakan belakang menurut
perkiraan Ki Seng-in besar kemungkinan orang itu masih
sangat muda. Ginkangnya juga sangat luar biasa, sama
sekali tidak mirip dengan Ginkang dari daerah Tionggoan.
Ki Seng-in sangat heran, ia merasa tiada pernah
mempunyai seorang kenalan demikian itu. Sejak tadi
orang itu tidak muncul, tapi sesudah Gak Ting berdua
datang, orang itu lantas pergi tanpa bertegur sapa
dengan Ki Seng-in. Jelas sekali orang itu tidak kenal
padanya, tapi juga tidak mau terlibat dalam
persengketaan ini. Selagi Ki Seng-in merasa heran, di sebelah sana Wi
Hwan sudah menjemput kembali ruyungnya dan mulai
menyerang pula. Namun semangat Ki Seng-in jadi
terbangkit juga demi nampak kawan yang ditunggunya
sudah datang, sekaligus ia dapat mematahkan beberapa
kali serangan musuh. Dalam pada itu Gak Ting dan istrinya sudah memburu
tiba. Dengan suara mengguntur Gak Ting lantas
membentak, "Bagus! Aku justru hendak menumpas habis
kaum antek penindas rakyat seperti kalian ini!"
Gak Ting adalah saudara angkat Utti Keng pada waktu
mereka masih sama-sama menjadi begal kuda di daerah
utara, wataknya keras sehingga orang memberi julukan
Pi-lik-hwe (api geledek) padanya. Sebaliknya istrinya
yang bernama Kat Sam-nio berperangai halus, ilmu
silatnya tidak di bawah sang suami. Paling akhir ini
mereka telah digrebek oleh pasukan-pasukan pemerintah
sehingga tak dapat bercokol lebih lama lagi di daerah
operasi mereka, maka mereka telah lari ke daerah
Tionggoan untuk mencari Utti Keng. Sesudah mencari
dengan susah payah, akhirnya dapat berhubungan
dengan Ki Seng-in dan berjanji akan berjumpa di Tongpengtin ini. Mereka baru saja sampai di kota kecil itu
dan lantas mendengar suara suitan Ki Seng-in, cepat
mereka memburu ke situ. Demi melihat Ki Seng-in sudah
terluka, Gak Ting menjadi murka, sekali melompat turun
dari kudanya, segera ia cabut goloknya yang tebal dan
berat, dengan gerak tipu Lik-pik-hoa-san (sekuat tenaga
membelah gunung Hoa), kontan ia terus membacok
kepala Li Tay-tian. Lekas Li Tay-tian menangkis dengan goloknya, "Trang,
trang", lelatu api berletikan, mata golok Li Tay-tian
sampai gumpil, genggaman tangannya juga lecet.
Untung golok tidak sampai terlepas.
Melihat gelagat jelek, cepat Pek-tiu Tojin ikut
menyerang, segera Koh-cing-hiat di bahu Gak Ting
ditusuknya. "Boleh juga ilmu pedang hidung kerbau ini!" pikir Gak
Ting. Mendadak ia membentak keras, goloknya yang
tebal menabas dari samping, ia membarengi serangan
dengan lebih dahsyat. Keruan Pek-tiu mengkeret mundur dan memutar ke
belakang, namun berturut-turut Gak Ting membacok dan
membabat sambil membalik tubuh, tapi dapat
dihindarkan Pek-tiu Tojin.
Dalam pada itu ruyung Wi Hwan juga sudah
menyambar tiba. Dalam hal Ginkang memang Gak Ting
kurang tinggi, tapi kekuatan kakinya ternyata luar biasa.
Ia incar dengan tepat dan mendadak kakinya menginjak
ke bawah sehingga ujung ruyung musuh kena ditindih,
sedangkan goloknya masih terus membacok ke arah Li
Tay-tian. Lekas Pek-tiu Tojin menubruk maju, pedangnya cepat
menusuk lutut Gak Ting untuk melepaskan Wi Hwan dari
ancaman musuh. Tak terduga sekonyong-konyong Gak Ting menggertak
keras, "Pergi!"'Tahu-tahu kedua kakinya melayang ke
atas, sekaligus Pek-tiu dan Li Tay-tian hendak didepak
olehnya. Untung Pek-tiu Tojin sempat berkelit, tapi golok Li
Tay-tian kena ditendang sehingga mencelat ke udara.
Sebaliknya Wi Hwan yang sedang membetot
ruyungnya yang terinjak itu sekuatnya, karena mendadak
Gak Ting melambung ke atas, kontan ia pun terhuyunghuyung
ke belakang, hampir-hampir jatuh tersungkur.
"Kau merawat luka Ki-temoay dahulu, istriku, ketiga
jahanam ini boleh serahkan padaku saja, golokku sudah
lama haus darah, hari ini harus kubunuh sepuaspuasnya,"
seru Gak Ting. Ucapan Gak Ting itu menyadarkan Li Tay-tian malah.
Ia mendapat akal, tiba-tiba ia meninggalkan Gak Ting
dan menerjang ke arah Ki Seng-in yang sudah terluka
itu. Sudah tentu Kat Sam-nio tidak tinggal diam. "Huh,
tidak tahu malu, beraninya cuma menyerang wanita yang
terluka!" jengeknya sambil mengadang di depan Ki Sengin.
Ia tunggu lawan sudah dekat baru mendadak
menusuk. Li Tay-tian mengira kaum wanita tentu mudah dijalani,
tak tersangka ilmu pedang Kat Sam-nio juga sangat lihai,
"sret", karena sedikit lena saja lengan Li Tay-tian sudah
tergores luka. Melihat kawannya tercidera, cepat Wi Hwan memutar
ruyungnya untuk mengembut Kat Sam-nio. Sebenarnya
tidaklah sukar bagi Kat Sam-nio untuk melawan kedua
orang itu, cuma dia harus menjaga juga keselamatan Ki
Seng-in, karena itulah perhatiannya jadi terbagi sehingga
tidak berani mendesak maju untuk mencecar musuh.
Di sebelah lain Gak Ting sekarang hanya melawan
Pek-Tiu Tojin saja. Ilmu pedang Pek-tiu mestinya sangat
hebat, tapi kalau satu lawan satu, tenaganya masih kalah
kuat daripada Gak Ting. Untuk bertahan dalam beberapa
puluh jurus dia masih sanggup.
Sekonyong-konyong Gak Ting menggerung gusar,
berulang-ulang ia membacok tiga kali sehingga Pek-tiu
Tojin terdesak mundur. Namun Gak Ting tidak mencecar
lagi, sebaliknya ia terus melompat ke sebelah sana untuk
menggabungkan diri dengan sang istri.
Dengan kekuatan mereka suami-istri tentu saja Li Taytian
bertiga mati kutu. Hanya beberapa jurus saja kopiah
kebesaran Li Tay-tian sudah tertabas jatuh, untung
kepalanya sempat mengkeret ke bawah, kalau tidak,
separoh buah kepalanya tentu sudah berpisah dengan
tubuhnya. Untung Pek-tiu lantas menubruk maju untuk
menolongnya sehingga Gak Ting tidak sempat
menambahi serangan mematikan lagi.
Begitulah meski cuma dua lawan tiga, tapi Li Tay-tian
bertiga sama sekali tak mampu mendekat. Tiba-tiba Li
Tay-tian mengeluarkan terompet tanduk dan ditiupnya
sehingga mengeluarkan suara "tut-tuttut" yang keras dan
nyaring. "Bagus! Boleh kau panggil bala bantuan, tapi kau
harus pergi menghadap raja akhirat dahulu!" ejek Gak
Ting dengan gusar. Habis itu goloknya berputar semakin
kencang sehingga Pek-tiu bertiga kerepotan menghindar
dan menangkis. "Bertahan lagi sementara, sebentar juga akan datang
bantuan kita!" seru Li Tay-tian. Walaupun demikian
diam-diam ia pun merasa kuatir karena tidak mendengar
suara jawaban terompet tanduk kawannya.
Bahkan mendadak terdengar Pek-tiu berseru, "Wah,
celaka! Thay-pek-lau terbakar!"
Di tanah tanjakan ini cukup jelas untuk memandang
ke arah Tong-peng-tin. Saat itu kelihatan di suatu
bangunan di dalam kota itu sedang terbakar, maka Pektiu
lantas kenal bangunan itu adalah restoran yang
mereka buka itu. Li Tay-tian memang licik dan lidn, begitu mendengar
Thay-pek-lau terbakar, mendadak ia pura-pura
menyerang, lalu putar tubuh angkat langkah seribu.
Keruan Wi Hwan terkejut, sama sekali ia tidak menduga
kawannya akan kabur begitu saja tanpa memikirkan
teman sendiri. Segera ruyungnya menyabet, dia
bermaksud lari juga, namun sudah terlambat.
Sambil mengotak Gak Ting telah berhasil memegang
ujung ruyungnya, berbareng goloknya lantas membacok.
Belum lagi Wi Hwan sempat bersuara tahu-tahu
kepalanya sudah terbelah menjadi dua.
Melihat O Tay-tian hendak kabur, dalam keadaan
payah, sekuat tenaga Ki Seng-in masih sempat
menyambitkan sebilah pisau. Cuma sayang karena
tenaganya sudah lemah, walaupun pisau terbang itu
dapat mencapai sasarannya, tapi hanya menancap di
bahu Li Tay-tian. Sambil menahan sakit Li Tay-tian masih
dapat mencemplak ke atas kudanya dan kabur. Dalam
pada itu Pek-tiu Tojin juga lantas ikut melarikan diri.
"Gak-toako, keparat itu mestinya harus ditawan hiduphidup,"
ujar Ki Seng-in kemudian.
"Ah, kawanan bangsat begitu buat apa diberi hidup"
Bunuh saja beres!" sahut Gak Ting.
Ia tidak tahu maksud Ki Seng-in akan mencari
keterangan kepada tawanan tentang persekongkolan
Ubun Hiong dengan mereka. Dengan terbunuhnya Wi
Hwan itu secara tidak langsung berarti Gak Ting telah
membantu Yap Leng-hong. Dalam pada itu tenaga Ki Seng-in sudah habis,
lukanya bercucuran darah, lekas Kat Sam-nio membalut
lukanya. "Banyak terima kasih atas pertolongan Toako," kata Ki
Seng-in dengan suara lemah. "Lukaku sangat parah,
rasanya jiwaku sukar tertolong lagi. Cuma aku ada dua
urusan yang masih harus minta bantuan Gak-toako."
Gak Ting menjadi kuatir juga melihat keadaan Ki
Seng-in yang parah itu, cepat ia berjongkok untuk
mendengarkan. "Pertama, aku harap kau mencari saudaramu," kata
Seng-in dengan suara lemah.
"Tentu saja, kalau tidak, apa gunanya punya saudara
angkat seperti aku?" sahut Gak Ting.
"Kedua, hendaklah kau segera pergi memberitahu
kepada istri Kang Hay-thian, katakan muridnya yang
kedua Ubun Hiong itu adalah mata-mata musuh, dia
bersekongkol dengan antek-antek kerajaan tadi. Ingat,
namanya Ubun Hiong!" setelah mengulangi nama itu, Ki
Seng-in tidak tahan lagi, ia memuntahkan darah dan
jatuh pingsan. Pada saat itu tiba-tiba terdengar suara ringkik kuda,
kiranya Ceng-cong-ma tadi waktu terjadi pertempuran
telah lari ke dalam hutan, sekarang telah keluar lagi.
Berbareng itu terdengar juga suara kaki binatang
berdetak-detak, sebuah kereta sapi tampak sedang
mendaki tanjakan itu. "Napas Ki-temoay masih kuat, mungkin masih dapat
diselamatkan, datangnya kereta itu sangat kebetulan,"
ujar Kat Sam-nio. "Ya, benar, kalian boleh lekas menyingkir pergi dulu,
aku akan menyampaikan pesan Ki-temoay ke rumah
Kang Hay-thian, biar kurampas kereta itu untuk kalian,
segera aku akan menyusul," kata Gak Ting cepat. Habis
itu segera ia memapak datangnya kereta itu, dasar
wataknya memang kasar, segera ia membentak, "He,
berhenti!" Tak terduga si kakek kusir kereta itu sudah lantas
mendahului menegur, "Eh, apakah engkau adalah tamu
keluarga Kang?" Gak Ting melengak malah. "Darimana kau tahu?"
tanyanya. "Kuda itu adalah milikku, semalam murid keluarga
Kang yang kedi telah datang meminjam kudaku itu,
katanya akan dipakai oleh seorang tamunya yang harus
buru-buru berangkat," tutur si kakek. "Tampaknya kau
telah kepergok kaum garong di sini" Eh, kenapakah
binatang itu" Wah, terang keracunan!"
Kiranya kakek ini adalah teman main catur Kang Lam
yang dipanggil Ong-toasiok oleh Kang Hiau-hu itu. Pagipagi
dia mendengar di tanjakan sini ada suara orang
bertempur. Sebagai seorang bekas pengelana Kangouw,
dia menjadi tertarik dan ingin tahu apa yang terjadi.
Kebetulan seorang kenalan kampung dengan keretanya
hendak menuju ke Tong-peng-tin, maka ia lantas ikut
kereta itu. Karena sayang kepada kudanya, cepat kakek Ong itu
melompat turun dari keretanya untuk memeriksa
keadaan Ceng-cong-ma. Ia menggumam sendiri,
"Untung cuma kena racun yang ringan, asal kurawat
beberapa hari tentu akan sembuh."
Mendadak Gak Ting bertanya, "Murid Kang Hay-thian
yang kau maksudkan tadi apakah bernama Ubun Hiong?"
"Betul," sahut si kakek Ong.
"Hah, tahulah aku! Kiranya memang bocah itu yang
Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
main gila!" teriak Gak Ting.
Si kakek kaget oleh suara Gak Ting yang mengguntur
itu, tanyanya dengan bingung, "Kau tahu tentang apa?"
Namun Gak Ting tiada tempo buat bicara lagi dengan
dia, katanya, "Keretamu ini pinjamkan kepadaku."
"Kereta ini bukan punyaku tapi aku dapat bicarakan
untukmu. Thio-toasiok..."
Namun Gak Ting sudah tidak sabar lagi, ia mendekati
kereta itu dan menyeret keluar satu orang, yaitu Thiotoasiok,
pemilik kereta yang bersembunyi ketakutan di
dalam keretanya. Si kakek Ong sampai mendelik melihat kelakuan Gak
Ting itu, serunya marah, "He, kawan, aku anggap kau
sebagai tamu terhormat keluarga Kang, mengapa
perbuatanmu mirip perampok?"
"Ya, aku memang perampok, tapi aku pun tidak ambil
percuma kereta kalian ini, sepotong emas lantakan ini
boleh kau ambil, aku tiada tempo buat bicara lagi," kata
Gak Ting sambil memberikan sepotong emas kepada
Thio-toasiok. Lalu ia melepas kedua ekor sapi itu dan
diganti dengan kedua ekor kuda milik mereka suami-istri
tadi. Kereta sapi itu diubahnya menjadi kereta kuda.
Sambil memondong Ki Seng-in ke atas kereta, Kat
Sam-nio lantas menambahkan, "Aku tahu engkau adalah
orang baik, tapi kami harus buru-buru berangkat untuk
menolong kawan yang terluka parah sehingga berbuat
kasar, harap engkau maklum." Lalu cambuk Ki Seng-in
disabetkan, "tarrr", segera kereta kuda itu membedal ke
depan dengan cepat. Sebaliknya Gak Ting lantas berlari ke arah rumah Kang
Hay-thian. Dalam pada itu rasa dongkol si kakek Ong agak reda
setelah mendengar ucapan Kat Sam-nio tadi, tapi dia
masih mengomel, "Dasar orang sinting! Dahulu aku juga
pernah jadi perampok, tapi aturan Kangouw juga harus
ditaati. Aneh, mengapa dia mencaci-maki Ubun Hiong,
murid Kang Hay-thian itu bukanlah anak nakal, darimana
dia mengenalnya?" Tiba-tiba ia dengar Thio-toasiok berseru padanya, "He,
Ong-toako, kau kira ini emas tulen atau bukan?"
"Sudah tentu emas tulen," sahut kakek Ong.
Seketika Thio-toasiok berjingkrak-jingkrak seperti
orang edan, teriaknya, "Aha, " sekali ini aku benar-benar
kaya mendadak!" Maklumlah, orang desa, lantakan emas
itu tentu sangat berarti baginya.
Si kakek Ong merasa geli juga setelah ingat kereta itu
bukan miliknya, katanya dalam hati, "Ya, mereka yang
satu mau jual dan yang lain mau beli, kenapa aku mesti
ikut pusing?" Begitulah ia lantas mengajak Thio-toasiok pulang ke
rumah. Tadi sayup-sayup Kat Sam-nio mendengar juga
omelan kakek Ong. Ia menjadi heran dan sangsi tentang
Ubun Hiong yang dikatakan mata-mata musuh oleh Ki
Seng-in itu, namun sang suami sudah berlari pergi, Ki
Seng-in juga belum sadar, terpaksa ia melanjutkan
perjalanan. Sudah tentu mimpi pun Ubun Hiong tidak mengira
dirinya telah difitnah orang. Pada waktu Ki Seng-in
berangkat, dia malah sedang berlatih dengan Kang Hiauhu
di kebun bunga. Belum habis dia mainkan Tui-hongkiamhoat, tiba-tiba Yap Leng-hong sudah datang
memanggil untuk menemui ibu gurunya.
Karena urusan semalam, maka ketika bertemu dengan
ibu gurunya sikap Ubun Hiong masih agak canggungcanggung.
Namun Kok Tiong-lian bicara padanya dengan ramah
tamah, "Hiong-ji, apakah kau masih merasa penasaran
dan dendam kepada Utti Keng suami-istri?"
"Subo," sahut Ubun Hiong, "meski Utti Keng sendiri
bukan pembunuh ayahku, tapi kematian ayah disebabkan
barang kawalannya dirampas olehnya. Mengingat
hubungan baiknya sekarang dengan Suhu, apalagi soal
pembegalan adalah kejadian umum di dunia Kangouw,
maka aku takkan menganggap dia sebagai musuh
pembunuh ayah lagi walaupun di dalam hati aku masih
rada dendam padanya."
"Kau dapat berpikir demikian, sungguh aku sangat
senang," ujar Kok Tiong-lian. "Sebenarnya Utti Keng juga
sangat menyesal atas pembegalan tempo dulu itu dan
ingin memperbaiki permusuhan ini dengan kau. Menurut
keterangan istrinya semalam, mereka memang sengaja
merampas barang kawalan ayahmu itu, sebab..."
Belum lanjut ucapan Kok Tiong-lian, sekonyongkonyong
terdengar suara pintu didobrak orang. Tionglian
terkejut dan heran, siapakah yang berani main gila di
rumahnya" Pada saat itulah lantas terdengar suara seorang
berteriak, "Anak liar Ubun Hiong, lekas keluar!"
Kiranya pendatang itu adalah Gak Ting, dia adalah
begal kuda di daerah utara dan tidak terlalu kenal Kang
Hay-thian. Ia hanya pernah mendengar Kang Hay-thian
adalah seorang pendekar besar saja.
Keruan Kang Hiau-hu menjadi gusar melihat kekasaran
tamu tak dikenal itu, segera ia melolos pedang dan
memburu keluar, bentaknya, "Siapa kau" Di rumah ini
kau berani main gila?"
Namun Kok Tiong-lian dan Ubun Hiong sudah
menyusul datang, begitu pula Yap Leng-hong. Bentak
Tiong-lian, "Jangan kurang sopan, anak Hu!"
Sebaliknya Ubun Hiong juga sangat heran karena
merasa orang itu tak dikenalnya, tapi mengapa mencacimaki
dirinya, segera ia melangkah maju dan menegur,
"Ada apa kau mencari Ubun Hiong?"
Dalam pada itu dengan aleman Kang Hiau-hu telah
mundur ke samping ibunya dan berkata, "Lihatlah ibu,
jahanam ini telah berani mendobrak pintu rumah kita,
bahkan memaki Jisuko. Kalau dia tidak dihajar tentu tidak
kenal siapa kita." Namun Kok Tiong-lian telah menjawab, "Diam, anak
Hu, biarlah tuan tamu bicara dahulu. Betapapun
sikapnya, namun sekali datang di rumah kita dia tetap
adalah tamu, kita harus menyambutnya dengan aturan."
Ucapan Kok Tiong-lian yang tajam itu seperti
mengomeli putrinya, tapi sebenarnya Gak Ting juga itu
kena damprat. Gak Ting melengak dan sadar atas
kekasarannya tadi, cepat ia memberi hormat dan
menyapa, "Apakah aku sedang berhadapan dengan
Kang-hujin?" "Betul," sahut Kok Tiong-lian sambil membalas
hormat. "Entah ada kesalahan apakah sehingga tuan
menyinggung nama murid kami?"
Mendadak mata Gak Ting mendelik, serunya, "Kanghujin,
apakah kau tidak tahu bahwa muridmu Ubun
Hiong ini adalah mata-mata pihak kerajaan?"
Kata-kata itu bagaikan halilintar meletus sehingga
sekalian orang terkejut. Ubun Hiong tercengang,
kemudian berseru keras, "Kau bilang apa" Aku seorang
pengkhianat" Keparat! Kau, kau memfitnah orang!" Ia
ayunkan tinju terus menerjang.
"Budak, kau marah karena kedokmu terbuka?" Gak
Ting tertawa mengejek seraya menggunakan jurus
Liong-ting-toh-cu atau merebut mustika di kepala naga.
Kelima jarinya memainkan ilmu Hun-kin-joh-kut-jiu-hoat
terus menyambar Ubun Hiong.
Keduanya sama-sama dirangsang kemarahan, Gak
Ting mempunyai ilmu Thiat-poh-san (kebal). Pukulan
Ubun Hiong takkan mengakibatkan apa-apa, tetapi
sebaliknya kalau Ubun Hiong kena tercengkeram
bahunya, tulang Pi-peh-kutnya pasti remuk dan dia akan
menjadi seorang cacad seumur hidup.
Pada saat keduanya hampir berbenturan, sekonyongkonyong
serangkum angin mendampar mereka berdua.
Kiranya Kok Tiong-lian keburu maju dan mengebutkan
lengan bajunya untuk melerai. Gak Ting tersurut mundur
tiga langkah baru dapat berdiri tegak, sedang Ubun
Hiong hanya terseret ke samping. Dalam hal ini
sebenarnya Kok Tiong-lian tak berpihak pada muridnya,
adalah karena kepandaian kedua orang itu berbeda,
terpaksa Kok Tiong-lian menggunakan dua macam
tenaga. Tetapi sekalipun begitu, ia dapat mengendalikan
tenaga kebutannya itu dengan sesuai dan kedua belah
pihak tak sampai menderita luka.
Gak Ting terkejut, mukanya merah padam. Ia hendak
bicara tapi Kok Tiong-lian sudah mendahuluinya, "Berat
nian tuduhan sebagai pengkhianat itu. Jika betul terbukti,
tentu akan kuhukum menurut disiplin perguruan, tapi
juga harus kutanya dulu yang jelas. Dalam hal itu aku tak
menghendaki turut campurnya orang luar. Silakan tuan
duduk dulu. Muridku memang kasar perangainya, dia
tetap bersalah karena turun tangan lebih dulu, untuk itu
biarlah aku yang minta maaf padamu."
Sebagai seorang Ciangbun (pemimpin) suatu aliran
persilatan, ucapan Kok Tiong-lian itu berwibawa sekali.
Rangkaian kata-katanya tidak menghina juga tidak
sombong. Mau tak mau Gak Ting membatin, "Nyonya
Kang ini sungguh seorang wanita yang jarang terdapat.
Di samping kepandaianya yang tinggi, ucapannya juga
lihai." Bahwa ilmu Toa-lat-eng-jiau-kang tak kuat menahan
tamparan lengan baju nyonya itu, diam-diam ia malu
hati. Ucapan nyonya itu mengandung dampratan
kepadanya juga, namun ia tak berani berbuat apa-apa.
Sekalipun begitu, tetap ia lampiaskan isi dadanya dengan
tertawa keras dan berseru, "Kang-hujin dapat
menyelesaikan dengan bijaksana, itulah yang
kuharapkan. Jika Kang-hujin ingin bertanya apa-apa,
silakan mengajukan!"
Kok Tiong-lian lantas menanyakan siapa Gak Ting dan
apa keperluannya datang ke situ.
Sahut Gak Ting, "Aku she Gak nama Ting. Utti Keng
adalah adik angkatku dan Jian-jiu-koan-im Ki Seng-in
adalah adik iparku. Aku sebenarnya tak kenal muridmu,
juga tak punya dendam permusuhan apa-apa.
Kedatanganku kemari adalah memenuhi permintaan Ki
Seng-in, ia tak rela jika gengsi perguruanmu yang harum
namanya itu sampai dinodai oleh muridmu yang murtad!
Penyakit dalam tubuh seharusnya lekas dibasmi, itulah
sebabnya maka Ki Seng-in meminta aku supaya
membongkar urusan ini agar kau mendapat tahu."
"Eh, bagaimana dengan Utti-hujin" Mengapa ia tak
datang sendiri?" Kok Tiong-lian terkejut.
Dengan penuh amarah dan kesedihan, berkatalah Gak
Ting dalam nada yang dingin, "Iparku itu mungkin dalam
penjelmaannya yang akan datang baru dapat menjumpai
Kang-hujin!" "Apa" Kau ... kau maksudkan dia sudah meninggal?"
Kok Tiong-lian berseru kaget.
Gak Ting mengatupkan giginya dan menyahut, "Ia
menderita belasan luka, mana bisa hidup lagi" Itulah
berkat perbuatan muridmu yang manis! Bagus, bocah
she Ubun, dengan membinasakan Ki Seng-in anggaplah
kau sudah setengah bagian membalaskan sakit hati
ayahmu. Kau tentu sudah puas, bukan" Tetapi cara
menuntut balas seperti itu, sungguh kelewat hina sekali!"
Bahwa Ki Seng-in menderita luka parah, memang
betul, tapi ia belum sampai mati. Adalah karena ingin
melampiaskan kemarahannya, maka sengaja Gak Ting
mengatakan begitu agar mengguncangkan perasaan Kok
Tiong-lian. Bukan saja Kok Tiong-lian, bahkan Ubun Hiong juga
tersentak kaget. Setelah terkesima beberapa saat baru
kemudian dapat mengeluarkan kata-kata, "Kau ... kau
mempunyai bukti apa" Aku ... aku hari ini tak pergi
kemana-mana, bagaimana dapat membunuh Jian-jiukoanim?" Gak Ting tertawa mengejek, "Memang dengan
kepandaianmu itu, sudah tentu kau tak mampu
mencelakai Jian-jiu-koan-im. Tetapi kau pinjam tangan
membunuh orang, ini lebih-lebih keji lagi!"
Wajah Kok Tiong-lian berubah, ia berseru tajam,
"Urusan harus dibikin terang. Siapakah yang membunuh
Utti-hujin?" "Ketika berada di sebuah gunung yang terletak di
muka kota Tong-peng-tin, mendadak muncul sekawanan
antek kerajaan. Kepala rombongannya ternyata adalah
wakil komandan pasukan Gi-lim-kun Li Tay-tian. Dia
bekas orang dari perusahaan Piau-kiok yang didirikan
Ubun Long, ayah Ubun Hiong. Coba jawab, hai, budak
Ubun. Apakah kau tak kenal Li Tay-tian itu?"
"Jangan memfitnah orang semaumu sendiri! Benar,
memang kutahu orang itu. Tetapi hanya sekali dua
kulihatnya semasa aku masih kecil. Sekarang bagaimana
wujud orang itu, aku pun sudah lupa.
Bagaimana aku dapat bersekongkol dengan dia?"
"Habis perlu apa Li Tay-tian datang ke kota sini"
Mengapa ia bisa tahu kalau iparku itu akan lewat jalan itu
sehingga ia dapat menyiapkan gerombolannya?" Gak
Ting tertawa menghina. "Mana aku tahu!" teriak Ubun Hiong dengan kalap,
sehingga suaranya gemetar. Hal itu sebaliknya malah
menimbulkan kesan pada Gak Ting bahwa anak itu
memang bersalah. "Apakah Utti-hujin sudah dikubur" Tolong bawa aku
menjenguk jenazahnya!" kata Kok Tiong-lian.
"Terima kasih atas budi baikmu, tapi tak usah kau
menyibukkan diri. Bagaimanapun juga takkan kubiarkan
jenazahnya sampai jatuh ke tangan antek-antek
kerajaan. Istriku telah membawanya pergi."
"Bolehkah aku menjumpainya untuk yang penghabisan
kali?" tanya Kok Tiong-lian pula.
Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Gak Ting tertawa tawar, "Orangnya sudah mati, apa
gunanya melihat" Toh dia tak dapat bicara lagi padamu.
Apalagi kau adalah istri seorang pendekar besar dan
kami hanya bangsa berandal. Aku tak leluasa berjalan
bersamamu. Asal kau masih mempunyai setitik kecintaan
terhadap iparku itu, cukuplah kiranya kau berusaha
untuk mengimpaskan penasarannya saja. Sebelum
menutup mata, ia minta kepadaku supaya
menyampaikan berita ini kepadamu. Ah, karena tiada lain
hal yang kukatakan lagi, maaf, aku tak mempunyai
tempo senggang dan hendak minta diri!"
"Ibu, jangan kasih dia pergi begitu saja!" teriak Kang
Hiau-hu. Gak Ting mendelik dan tertawa mengejek, "O,
makanya Ubun Hiong berani berbuat ugal-ugalan,
kiranya karena punya pelindung! Hehe, nona Kang,
apakah kau hendak mempersalahkan aku karena
membawa berita ini?"
Malu bercampur marahlah Kang Hiau-hu mendengar
sindiran itu, tetapi ia insyaf bahwa nasib Ubun Hiong
akan ditentukan pada saat itu. Ia tak mau meladeni
orang she Gak itu dan berkata kepada ibunya, "Kita
belum tahu apakah ocehan orang ini betul atau tidak,
tapi sekurang-kurangnya kita harus mengetahui dulu
berita tentang Ki Seng-in yang sebenarnya barulah kita
melepaskan dia pergi."
Kok Tiong-lian menilai bahwa Gak Ting itu bukan
seperti seorang pembohong, tapi ia pun tak percaya
kalau Ubun Hiong berbuat sedemikian hina, pikirnya,
"Berita tentang kematian Ki Seng-in mungkin bukan
bikinannya, tetapi pesannya ketika ia hendak menutup
mata hanya orang ini yang mendengar dan tiada lain
orang yang menjadi saksi. Hal ini agak menyangsikan
juga." Melihat Kok Tiong-lian menghadang jalannya,
berubahlah wajah Gak Ting, "Kang-hujin, apakah kau
benar-benar hendak menahan aku?"
"Ah, mana aku berani. Hanya ingin aku mengajukan
suatu pertanyaan pada Gak-thocu," sahut Kok Tiong-lian.
"Tentang apa?" "Apakah masih ada bukti lainnya?" tanya nyonya itu.
Gak Ting tertawa sinis, "Rupanya kau masih tak
mempercayai omonganku" Tidakkah cukup perbuatan
rombongan alap-alap kerajaan yang mengepung iparku
itu sebagai bukti lainnya" Jika kau tak percaya, ada
seorang wakil komandan Gi-lim-kun yang berada di bukit
itu, silakan pergi melihat sendiri. He, jika itu masih belum
cukup lagi, saat ini ada seorang saksi yang telah berada
di sini, dia dapat memberikan kesaksian padamu. Maaf,
aku tak punya tempo melayani pertanyaanmu. Kanghujin,
kau izinkan aku berlalu atau tidak?"
Kiranya yang datang itu adalah pak tua si Ong. Melihat
Gak Ting juga hadir di situ dan suasana dalam rumah tak
sewajarnya, diam-diam kakek itu terkejut. "Apa yang
terjadi?" ia bertanya.
"Ah, tak apa-apa. Paman Ong, silakan duduk. Aku
hendak mengantar tetamu ini," sahut Kong Tiong-lian.
"Hai, mengapa kau tidak bilang kau tetamu keluarga
Kang?" tegur Ong tua tiba-tiba kepada Gak Ting.
Gak Ting menyahut tertawa, "Aku hanya pengantar
berita saja, mana berani mengangkat diriku terlalu tinggi
sebagai tamu. Kang-hujin, terima kasih karena kau
memperlakukan aku sebagai tetamu. Selamat tinggal, tak
usah berlaku sungkan padaku!" Tertawanya mengandung
kemarahan, kepergiannya membawa perasaan dongkol.
"Paman Ong, kenalkah kau pada Gak-thocu itu?" tanya
Kok Tiong-lian kemudian. "Secara kebetulan saja kukenal padanya ketika pagi
tadi berjumpa di atas bukit. Dia menukar gerobak Thiotoasiok
dengan Goan-po (uang) untuk dibuat
mengangkut seorang wanita terluka berat. Mengira dia
adalah tetamumu, aku hendak berkenalan padanya.
Tetapi dia tak menghiraukan, ia lemparkan lantakan
emas terus merebut gerobak," sahut Ong tua itu. Dia
seorang penduduk yang tinggal lama di Kanglam, jadi
sudah kenal dengan keadaan daerah itu. Nada bicaranya
pun bergaya seperti orang Kanglam.
"Seorang wanita yang terluka parah" Jadi kalau begitu
wanita itu belum meninggal?" buru-buru Kok Tiong-lian
menegas. "Siapakah yang melukai wanita itu" Tahukah
kau?" "Beberapa orang desa mengatakan kalau ada
serombongan tentara pemerintah mengepung seorang
wanita. Ketika aku datang, kulihat di tanah terkapar
sesosok mayat pembesar tentara dan dua orang antek
kerajaan dihalau lari oleh si lelaki hitam itu. Hm, opsir
yang mati itu kukenalnya."
"Siapa?" tanya Kok Tiong-lian.
"Opsir Gi-lim-kun yang bernama Wi Hwan, dia dan
wakil komandan Li Tay-tian itu orang lama. Sepuluhan
tahun yang lalu, karena suatu kesalahan aku pernah
ditangkap mereka. Untung aku dapat meloloskan diri dan
sejak itu aku cuci tangan pulang ke desa."
Apa yang dikatakan Ong tua serupa dengan
keterangan Gak Ting. Jika menilik apa yang telah terjadi,
memang patut diduga kalau Ubun Hiong bersekongkol
dengan Li Tay-tian untuk mencelakai Ki Seng-in. Kang
Hiau-hu terkejut juga dan cepat bertanya, "Apakah
wanita itu benar-benar Jian-jiu-koan-im?"
"Apakah kuda si wanita itu adalah kuda Ceng-cong-ma
milikmu?" tanya Kok Tiong-lian.
"Justru aku hendak memberitahu padamu. Kuda Cengcongma itu sudah kubawa pulang, tapi aneh," kata Ong
tua. "Kenapa?" tanya Kok Tiong-lian.
"Mulut kuda itu mengeluarkan busa putih, dia
terserang sakit, makanya aku datang ke sini akan
bertanya padamu." "Hai, semalam kuda itu masih baik-baik saja, mengapa
mendadak sakit" Paman Ong, kau seorang ahli kuda,
tentu tahu apa penyakitnya itu?"
"Ya, memang agak aneh. Dikuatirkan binatang itu
makan rumput yang terlumur racun," sahut Ong tua.
"Hai, rumputnya aku yang potong dan yang memberi
makan juga aku. Mengapa beracun?" Ubun Hiong kaget.
"Rumput beracun memang jarang terdapat. Mungkin
kau tak dapat membedakan, siapa tahu" Tetapi engkoh
cilik Ubun, aku tak mencurigaimu," Ong tua mempunyai
kesan baik terhadap anak muda itu. Dia coba berusaha
untuk membersihkan diri anak itu, tetapi Kok Tiong-lian
mau tak mau curiga juga. "Untung racunnya tak seberapa hebat. Tiga empat
hari lagi kuda itu tentu akan sembuh. Eh, Kang-hujin,
hampir saja aku lupa, masih ada lagi suatu berita."
"Apa?" tanya Kok Tiong-lian.
"Warung arak yang baru saja dibuka di kota telah
dibakar orang, dua orang pegawainya dilukai. Kebakaran
itu sungguh aneh, tapi yang lebih mengherankan,
bukannya memadamkan api sebaliknya orang-orang dari
warung arak itu malah melarikan diri. Api baru dapat
dipadamkan setelah rumah menjadi tumpukan puing.
Sayang, sekarang tiada lagi warung arak sebaik itu!" kata
kakek Ong. Diam-diam Leng-hong kejut-kejut girang, pikirnya,
"Dengan terbakarnya warung arak itu, kini anak buah
Hong Jong-liong tak punya tempat berkumpul lagi. Dan
aku pun tak perlu cemas akan ancaman mereka.
Sekalipun kelak Hong Jong-liong mencariku, tapi
sekurang-kurangnya sekarang aku dapat tidur pulas. Ha,
tak nyana segala urusan berakhir menyenangkan bagiku!
Dengan meninggalnya Ki Seng-in dan lolosnya Li Tay-tian
serta terbakarnya warung arak itu, tak ada lagi orang
yang mengetahui rahasiaku!"
Hanya sedikit yang masih mengganggu pikirannya
ialah siapakah orang yang membakar warung arak itu"
Tahukah dia akan hubungannya dengan warung arak itu"
Pikir punya pikir, ia hibur hatinya sendiri, "Kemarin
malam diam-diam aku pergi ke warung arak itu, tetapi
telah kuteliti secermatnya kalau di jalan tiada seorang
pun yang kelihatan, tentulah tak ada orang yang tahu
rahasiaku. Mengenai Ya-heng-jin (pengelana malam)
yang dijumpai Ubun Hiong, walau mencurigakan, tetapi
hal itu terjadi setelah aku keluar dari warung arak di
kota." Dengan pertimbangan itu, akhirnya longgarlah
perasaan Leng-hong. Setelah melaporkan tentang keanehan yang terjadi di
warung arak, akhirnya Ong tua minta diri karena hendak
mengurus kudanya yang istimewa itu. Setelah kakek itu
berlalu. Kok Tiong-lian terdengar menghela napas, "Hu-ji,
sayang ayahmu tak di rumah."
Memang walaupun Kok Tiong-lian lebih cerdas dari
Kang Hay-thian, namun menghadapi sesuatu masalah ia
tak secepat suaminya dalam menentukan kesimpulan.
Nyonya itu terlongong seorang diri, tak tahu bagaimana
harus bertindak. Memang jika menilik pembicaraan Gak
Ting dan Ong tua, Ubun Hiong itu yang paling
mencurigakan. Tetapi Kok Tiong-lian tetap meragukan
kalau anak itu mempunyai nyali sedemikian besarnya.
Ubun Hiong juga merasa kalau dirinya paling
menderita disangsikan orang, dengan menahan
kesedihan dan menelan air mata ia berlutut di hadapan
Kok Tiong-lian, sambatnya, "Subo, murid sungguh
merasa penasaran!" Leng-hong membantu memberi 'angin', "Walaupun
masalahnya memang sangat kebetulan, tapi kuyakin Sute
tak nanti berani melanggar peraturan perguruan. Aku
bersedia dengan Sumoay menanggungnya!" Tahu kalau
Kang Hian-hu tentu bakal membela Ubun Hiong, cepat
Leng-hong mendahului, seolah-olah ia mengunjuk setia
kawan kepada Ubun Hiong, tapi pada hakikatnya ia
bermaksud membangkitkan kecurigaan ibu gurunya.
Dan Kang Hiau-hu yang tak dapat meraba hati Lenghong,
segera membuka suara, "Ibu, mengingat budi
Jisuko yang pernah menolong aku, bebaskanlah dia dari
hukuman. Pengaduan orang she Gak itu belum tentu
dapat dipercaya sepenuhnya."
Karena tak punya alasan kuat untuk menolong Ubun
Hiong, Kang Hiau-hu hanya dapat mengemukakan
peristiwa lama itu. Tapi hal itu malah menyinggung
perasaan ibunya. 'Musuh dalam selimut7, ah, betapa
berat tuduhan itu. Masakah dosa sebesar itu dapat
dihapus hanya dengan mengingat hubungan antara
putrinya dengan anak muda itu"
Setelah berpikir beberapa jenak, berkatalah Kok
Tiong-lian. "Ubun Hiong, bangunlah! Persoalan tentu
akan dapat dibikin terang, tak perlu kau gelisah. Apakah
luka dalammu sudah sembuh?" kata Kok Tiong-lian.
Bahwa ibunya tak memanggil Hiong-ji tetapi
menggunakan sebutan Ubun Hiong, Kang Hiau-hu sudah
merasa gelagat kurang baik.
Ubun Hiong terkesiap, ujarnya, "Terima kasih atas
budi Subo. Murid sudah sembuh." Ia tak mengerti
mengapa sudah tahu Subonya masih bertanya pula.
Dengan nada penuh penyesalan, berkatalah Kok
Tiong-lian, "Kau pernah berjasa menolong anak Hu. Kini
kau sudah sembuh aku pun lega. Ketika kau mengangkat
guru. Suhumu hanya menerima kau sebagai calon murid.
Sekarang dengan adanya peristiwa ini, ikatan Suhu dan
murid nanti kita tetapkan lagi setelah persoalan ini
selesai. Apa yang kau telah pelajari kuizinkan kau
membawanya, tetapi sebelum kau diterima kembali di
sini, kau tak boleh menyebut dirimu sebagai murid
keluarga Kang." "Apa" Ibu hendak mengusir Jisuko?" teriak Kang Hiauhu.
"Hu-ji, jangan ribut," Kok Tiong-lian menyahut tegas.
"Ubun-se-heng, bukannya aku tak percaya padamu.
Tetapi dengan timbulnya peristiwa ini, orang luar tentu
tak percaya padamu. Jika aku tak menyelesaikan
persoalan ini secara peraturan orang Bu-lim, orang luar
tentu akan menuduh aku membela murid sendiri. Untuk
sementara ini terpaksa kau harus menderita sedikit, tapi
begitu urusan sudah terang, kau boleh kembali kemari
lagi. Dapatkah kau memahami kesukaranku?"
Memang apa'yang diucapkan Kok Tiong-lian itu
sungguh tepat. Besok ia hendak berangkat ke Bin-san
memimpin upacara sembahyang Tok-pi Sin-ni, serta
mengadakan pertemuan dengan sekalian orang gagah
untuk membicarakan rencana melawan pemerintah Cing.
Jika sekalian orang gagah mengetahui urusan itu, mana
mereka mau mengampuni Ubun Hiong" Di samping itu,
walaupun ia menyatakan kepercayaan terhadap Ubun
Hiong, namun ia harus tetap menjaga kemungkinan
apabila anak muda itu sungguh-sungguh seorang matamata,
itu akan merupakan kesalahan yang tiada ampun.
Itulah sebabnya ia harus mengambil keputusan begitu
dan dengan keputusan yang jauh lebih ringan daripada
apa yang disebut 'pembersihan' (memberi hukuman pada
anak murid yang bersalah), ia anggap sudah berlaku
bijaksana dan murah hati.
Betapa pedih hati Ubun Hiong dapat dibayangkan,
tetapi pemuda itu juga keras wataknya, pikirnya, "Karena
Subo juga menaruh curiga padaku, tak ada artinya jika
aku masih tinggal di sini."
Segera ia memberi hormat tiga kali pada ibu gurunya,
ujarnya, "Sehari menjadi guru, seratus tahun sebagai
ayah, dengan belum terangnya persoalan ini, sukar bagi
murid untuk tetap berada di sini. Biarlah kutaati perintah
Subo agar jangan menodai nama perguruan kita, tetapi
murid belum dapat membalas budi Subo, tak nanti di
luaran murid berani mengaku diri sebagai anak murid
Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kang-tayhiap, walaupun dalam batin murid selalu
menjunjung tinggi Suhu dan Subo. Hanya murid mohon
sudilah Subo mengingat kesungguhan hati murid dan
izinkan murid tetap menyebut engkau sebagai Subo."
Sebenarnya Kok Tiong-lian hendak menghindari
supaya jangan terjadi upacara perpisahan resmi.
Mendengar ucapan yang setulus hati dari anak itu, mau
tak mau ia berlinang-linang juga.
"Jisuko, apakah kau benar-benar hendak berlalu"
Mengapa kau begitu keras hati?" teriak Hiau-hu.
"Kau memang budak yang tak tahu urusan, Hong-tit,
seret dia pergi!" kata Kok Tiong-lian kepada Leng-hong.
"Tindakan Suko sudah kelewat baik terhadapku,
Sumoay, terima kasih atas kebaikanmu, tapi sebaliknya
janganlah kau menghalangi," kata Ubun Hiong.
Leng-hong melangkah setindak menghadang di mulut
pintu, ujarnya, "Sute, harap kau baik-baik menjaga
dirimu di luaran, aku tentu akan berusaha keras
membantu Subo untuk membikin terang urusan ini, agar
kau tercuci bersih dari segala tuduhan. Harap kau jangan
kuatir!" Sebenarnya itu hanya sandiwara yang hendak
dipertunjukkan pada Ubun Hiong dan Kang Hiau-hu, tapi
entah bagaimana waktu mengucapkan kata terakhir,
dapat juga ia meneteskan air mata. Padahal maksud
yang sebenarnya, ia hendak merintangi agar si dara
jangan memburu Ubun Hiong.
Terharu sekali hati Ubun Hiong, jawabnya, "Terima
kasih atas budi kecintaan Suheng. Kuharap pada suatu
hari aku dapat kembali lagi kemari agar dapat menerima
petunjuk yang berharga dari Suheng. Silakan Suheng
kembali, selamat tinggal!" Segera ia membungkuk badan
memberi hormat, lalu melangkah keluar pintu besar.
Si dara tahu bahwa keputusan telah ditetapkan, sukar
ditarik kembali. Sekalipun Leng-hong tak menghadang di
ambang pintu, ia pun tak mau mengejar Jisuhengnya.
Kok Tiong-lian memeluk putrinya seraya mengusap air
matanya, "Budak tolol, bukan perpisahan mati, mengapa
begitu sedih hatimu?"
"Ibu, telah kau janjikan untuk membikin terang
persoalan ini lebih dulu baru nanti kau izinkan Jisuheng
kembali kemari, tapi bagaimana kau hendak menyelidiki
urusan yang segelap itu?" tanya Hiau-hu.
"Di dunia tiada urusan yang sukar dikerjakan, soalnya
hanya tergantung pada kemauan orang. Setelah rapat
besar di Bin-san, tentu segera kulakukan penyelidikan.
Salah atau benar, tentu ada orang yang mengetahui. Jika
ia memang kena fitnah, tentu takkan menderita sampai
berkepanjangan," demikian Tiong-lian menghibur
putrinya. Sebenarnya ia sendiri juga belum mempunyai
rencana tertentu untuk membikin terang urusan itu.
Leng-hong merasa terkena sekali oleh kata-kata "salah
atau benar tentu ada orang yang mengetahui" dari
Subonya itu, diam-diam ia menggigil dalam batin. Tetapi
pada lain kilas ia menimang, "Ah, urusan yang
sedemikian peliknya bagaimana hendak diselidiki"
Jangankan Ki Seng-in sekarang sudah mati, sekalipun
masih hidup, tentu ia juga akan menuduh kalau Ubun
Hiong yang melakukan. Segala kecurigaan tentu jatuh
pada diri Ubun Hiong, bukankah Gak Ting telah
menyampaikan pesan penghabisan dari Ki Seng-in yang
nyata-nyata menunjuk hidung Ubun Hiong?"
Liku-liku urusan yang menguntungkan dirinya
menyebabkan ia girang sekali. Namun ia memulas
wajahnya dengan kerut kesedihan. Pandainya Leng-hong
bermain sandiwara menyebabkan si dara diam-diam
menyesal, "Kukira Toasuheng iri hati pada Jisuheng,
ternyata aku salah duga."
"Sudah tiga hari ayahmu pergi, hari ini tentu pulang.
Begitu ia pulang, besok pagi kita akan berangkat ke Binsan.
Hu-ji, nanti kau harus berlatih giat dengan
Suhengmu. Ilmu pedang Toa-si-mi-kiam dengan gerak
langkah Thian-lo-poh-hoat harus diyakinkan sampai
mahir betul. Jangan sampai membikin malu ayahmu di
hadapan umum. Hilangkan pikiranmu terhadap
Jisuhengmu, lekas sana!" kata Kok Tiong-lian.
"Ya, selama dalam perjalanan aku hanya mendapat
pelajaran lisan dari Suhu. Aku perlu meminta petunjuk
Sumoay untuk mempraktekkan ilmu pedangnya itu," kata
Leng-hong dengan kegirangan sekali.
Setelah kedua anak muda itu pergi, diam-diam Kok
Tiong-lian merenung, "Hong-tit pandai benar mengambil
hati Hu-ji, mungkin ia akan dapat menawan hati Hu-ji.
Tapi menilik suasana tadi, jelas kalau Hu-ji sudah
mendalam sukanya pada Ubun Hiong. Andaikata ia dapat
ditempel Hong-tit, juga dikuatirkan hatinya terluka
dengan bekas-bekas vang tak dapat dilupakan selamalamanya.
Entah apakah keputusanku tadi sesuai atau
tidak?" Sebenarnya tindakan yang dilakukan terhadap Ubun
Hiong tadi, memang alasannya untuk membersihkan
rumah tangga perguruan, menjaga apabila terjadi
kemungkinan bahwa Ubun Hiong benar-benar seorang
pengkhianat. Namun tak urung juga tak bebas dari
kepentingan pribadi. Kepentingan pribadi berupa
bantuannya untuk menghilangkan 'saingan' Leng-hong,
agar selanjutnya Leng-hong punya kesempatan luas
bergaul dengan Hiau-hu sehingga dara itu terpikat
hatinya. Kok Tiong-lian seorang pendekar wanita yang
menjunjung kebenaran dan kejujuran, bahwa
tindakannya kali ini dipengaruhi oleh rencana pribadi,
diam-diam ia merasa menyesal juga. Nyonya itu juga
seorang yang pernah mengalami ujian gelombang
asmara. Teringat bagaimana romannya dahulu dengan
Kang Hay-thian juga mengalami bermacam-macam ujian,
diam-diam nyonya itu bimbang hatinya memikirkan
keputusannya tadi, sekonyong-konyong ia teringat pada
ibu angkatnya. Kok Ci-hoa. Dahulu Kok Ci-hoa juga
didakwa sebagai murid murtad oleh Sucinya sendiri
sehingga diusir dari rumah perguruan.
"Jika Ubun Hiong benar-benar terfitnah dan dengan
sewenang-wenang kupisahkan mereka (Ubun Hiong dan
Kang Hiau-hu), apakah aku tak berdosa kepadanya" Ah,
tetapi persoalan itu belum terang. Tak ada lain pilihan
lagi bagiku kecuali harus bertindak begitu," ia
mengadakan perbantahan sendiri dalam batinnya.
Leng-hong tak tahu bahwa Kok Tiong-lian diam-diam
merasa menyesal dengan tindakannya tadi. Ia anggap
Subonya itu bersungguh-sungguh akan membantunya,
girangnya meluap-luap sukar diutarakan. Kesempatan
berlatih bersama dengan Sumoay itu akan dipergunakan
untuk mengambil hati si dara.
Sekarang mari ikuti perjalanan Ubun Hiong.
Di saat Leng-hong bersuka ria, bagi Ubun Hiong
merupakan saat-saat yang menyiksa. Kemanakah
langkah hendak diayunkan di dunia yang sedemikian
luasnya ini" Kakinya seolah-olah terdorong oleh gejolak
kemarahannya untuk lekas-lekas meninggalkan rumah
keluarga Kang. Ia biarkan dirinya dibawa oleh ayunan
kakinya, tapi ketika teringat bahwa entah kapan ia dapat
berjumpa pula dengan sang Sumoay, mau tak mau
hatinya seperti tersayat-sayat.
Tak terasa ia tiba di bukit yang terletak di hadapan
kota Tong-peng, sekonyong-konyong sesosok bayangan
melesat. Bahunya ditepuk perlahan-lahan oleh
seseorang. "Apakah saudara ini murid kedua dari Kangtayhiap
yang bernama Ubun Hiong" Kulihat saudara
mempunyai kesedihan dalam hati, bolehkah aku
mengetahui?" demikian orang itu berkata.
Munculnya orang itu membuat Ubun Hiong kaget
sekali, tetapi demi dilihatnya yang datang itu seorang
Pemuda baju hitam, ia tertegun, ujarnya, "Siapakah
saudara" Maaf, agaknya kita tak pernah berkenalan.
Mengapa saudara tahu namaku?" Diam-diam Ubun Hiong
membatin Pemuda baju hitam itu kelewat usil, masa mau
mengetahui rahasia hati orang.
Pemuda baju hitam itu tertawa, rupanya ia tahu
kesangsian Ubun Hiong, ujarnya, "Bukankah kau
menyangsikan diriku yang muncul secara mendadak ini"
Bagi kaum persilatan yang berkelana, asal sehaluan saja
tentu dapat menjadi sahabat, bukan?"
"Hm, benar, tetapi aku tak tahu siapa dirimu,"
demikian Ubun Hiong berkata dalam hati.
"Apalagi kita sudah pernah berjumpa muka, hanya
mungkin saudara tak ingat lagi," kata pemuda itu pula.
"Bilamana dan dimana" Maafkan ingatanku yang
terlalu lemah. Aku sungguh tak ingat lagi," kata Ubun
Hiong. Tertawalah si Pemuda baju hitam, "Ya di sini juga, kan
baru kemarin, mengapa sudah lupa?"
Kini tersadarlah Ubun Hiong. "O, jadi kaulah Ya-hengjin
semalam itu?" Pemuda itu mengiakan, tanyanya, "Eh, mengapa kau
tinggalkan rumah keluarga Kang" Menilik kerut wajahmu,
kau tentu mempunyai kesulitan."
"Urusanku tak berharga untuk dikemukakan pada
orang lain. Saudara pun tak nanti dapat menyelesaikan.
Hm, siapakah nama saudara yang mulia?"
Pemuda itu kembali tertawa, "Namaku" Kelak kau
tentu akan mengetahui sendiri. Bukannya aku tak mau
memberitahukan padamu, soalnya hanya belum tiba
saatnya." Ubun Hiong agak tak senang, pikirnya, "Mengapa
pemuda ini aneh benar" Hm, namanya saja tak mau
memberitahukan, sebaliknya mengapa mau minta tahu
rahasiaku!" "Siapa tahu aku mungkin dapat membantu. Mari kita
omong-omong di dalam hutan sana," kata pemuda itu
pula. "Aku tak berani merepotkanmu. Aku masih harus
meneruskan perjalanan, terima kasih atas kebaikanmu,"
sahut Ubun Hiong. Pemuda itu tertawa gelak-gelak, "Ubun Hiong, kau
berdusta. Kemana tujuanmu, mungkin kau sendiri tak
dapat menjawab. Mengapa hendak meneruskan
perjalanan?" "Ini urusanku, tak usah saudara turut campur," sahut
Ubun Hiong dengan aseran.
"Tidak! Mungkin hanya aku yang dapat menyelesaikan
urusanmu itu. Kuatirkah kau aku akan mencelakai
dirimu" Bukan hendak menyombongkan diri, tetapi jika
mau, semalam saja tentu sudah kulukaimu. Baiklah,
rupanya kau tak begitu percaya padaku, kalau begitu aku
hanya hendak mengajukan suatu pertanyaan. Jika kau
anggap dapat menjawab, jawablah. Tetapi kalau tidak,
boleh diam saja. Dengan cara demikian, legakah
hatimu?" Karena tak berdaya menghadapi keusilan si anak
muda, akhirnya terpaksa Ubun Hiong mengikut pemuda
itu ke dalam hutan. "Apakah pemuda yang tadi malam bersamamu itu
adalah Suhengmu?" tanya si pemuda kemudian.
Ubun Hiong mengiakan. "Siapakah nama Toasuhengmu itu?" tanya pemuda itu
pula. Ubun Hiong merasa aneh juga mengapa pemuda
itu hendak mencari keterangan tentang Toasuhengnya,
tetapi karena hal itu dianggapnya bukan suatu rahasia, ia
pun memberitahukan. Tampak pemuda itu tertegun seperti mendengar
lelucon, wajahnya berubah aneh, katanya seorang diri,
"O, Yap Leng-hong, dia bernama Yap Leng-hong?" Tibatiba
ia tertawa terbahak-bahak.
Diam-diam Ubun Hiong kuatir jangan-jangan pemuda
itu tak waras pikirannya, maka bertanyalah ia, "Apanya
yang lucu" Orang toh punya nama, apakah nama
Suhengku itu kau anggap aneh?"
"Benar, benar. Nama hanyalah suatu tanda pengenal
saja, nama Yap Leng-hong itu bagus benar, sama sekali
tak ada keanehannya," sahut si pemuda.
"Tapi mengapa kau tertawa?" tanya Ubun Hiong.
"Tak apa-apa, hanya merasa geli saja. Eh, kan salah
ini. Bukankah tadi kita sudah berjanji, aku yang bertanya
dan kau yang menjawab. Mengapa kau yang berbalik
menanyai aku?" Ubun Hiong membatin, "Orang ini mungkin pikirannya
tak waras, tapi sinar matanya begitu tenang, seorang gila
tentu tak begitu". Ia dongkol dan ingin lekas
menghindarkan diri, katanya dengan ketus, "Baik, kau
hendak bertanya apa, silakan lekas bertanya!"
"Aku masih hendak menanyakan tentang
Toasuhenginu itu. Apakah ia bersikap baik kepadamu?"
tanya Pemuda baju hitam itu.
"Kau ingin tahu urusan pribadi kami?"
"Kau tak ingin menjawab?" pemuda itu
mengembalikan pertanyaan.
"Tidak, hanya aku merasa pertanyaanmu itu agak
aneh. Kita tak kenal satu sama lain, nama Suhengku pun
baru pertama kali kau dengar."
Tiba-tiba pemuda itu tertawa, "Kau melanggar
persetujuan kita. Kalau kau suka menyahut,
menyahutlah. Tapi jangan menanyakan padaku apa
sebabnya aku mengajukan pertanyaan begitu."
Kuatir si pemuda mengolok-olok, Ubun Hiong
menyahut, "Hal itu bukan suatu rahasia yang tak boleh
diberitahukan orang. Baiklah, kuberitahu, Toasuheng
bersikap baik kepadaku."
"Kapan Toasuhengmu diterima masuk menjadi murid
Suhumu?" "Hanya beberapa hari lebih dulu dari aku, kira-kira
Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
setengah tahun yang lampau."
"Apakah kau masih punya saudara seperguruan
lainnya?" "Masih ada seorang Sumoay, ia putri Suhuku," berkata
sampai di sini tampak Ubun Hiong tergetar hatinya,
timbullah kecurigaannya. "Apakah orang ini tahu kalau
Suhu telah menerima seorang calon murid putra Li Bunsing
dan dengan sengaja pura-pura gila ia hendak
mencari keterangan padaku?" pikirnya.
"Baiklah, karena agaknya kau tak sabar lagi, aku pun
takkan menanyakan tentang diri Toasuhengmu itu,
sekarang aku hendak bertanya padamu mengenai hal-hal
yang sungguh," kata Pemuda baju hitam itu.
Karena mempunyai prasangka, diam-diam Ubun Hiong
waspada terhadap orang itu. Setelah tertegun sejenak, ia
menyahut, "Kita berdua belum saling mengenal, urusan
sungguh-sungguh apa yang hendak dibicarakan?"
Pemuda itu tertawa, "Jangan begitu tegang
perasaanmu. Bukankah kita sudah setuju, apa yang kau
rasa tak perlu menjawab, janganlah menjawab."
"Baik, silakan bertanya," kata Ubun Hiong.
"Benarlah ucapanmu itu. Kita berdua belum saling
kenal, maka aku pun tak mau menanyakan sejarah
hidupmu yang lampau, melainkan tentang peristiwa yang
kau alami akhir-akhir ini saja. Kudamu kemarin itu kau
pinjamkan kepada siapa?"
Oleh karena menganggap bahwa Subonya
berhubungan dengan seorang berandal wanita Jian-jiukoanim Ki Seng-in, maka ia tak mau menyahut
pertanyaan itu. Pemuda itu tertawa dan mengadakan tanya-jawab
seorang diri, "Dipinjamkan pada seorang yang bergelar
Jian-jiu-koan-im, seorang berandal wanita yang dapat
memainkan ruyung dan pedang bersama-sama, bukan"
Jian-jiu-koan-im itu telah dilukai oleh kawanan budak
kerajaan, bukan?" "Kau sudah tahu semua, mengapa masih bertanya
padaku?" kata Ubun Hiong.
"Namun masih ada sebuah hal tak jelas yang perlu
kutanyakan pada saudara," kata pemuda itu, "terlukanya
Jian-jiu-koan-im itu disebabkan karena kudanya terkena
racun. Kalau tidak, dengan kuda sebagus itu ia tentu
dapat meloloskan diri. Kemarin malam kulihat kuda itu
masih segar bugar, mengapa mendadak bisa kena
racun?" "Kurangajar! Kau juga mencurigai aku?" teriak Ubun
Hiong.. Ia mengira pemuda itu tentulah orang Gak Ting,
maka tak dapatlah ia menahan kemarahannya lagi, tapi
dengan berbuat begitu, kelemahannya telah diketahui si
Pemuda baju hitam. "Oo, jadi Subo dan Suhengmu mendakwa kau yang
meracuni" Semalam kau yang memberi makan kuda itu
bukan?" "Terserah kau hendak merangkai dugaan apa saja,
namun aku merasa tak berbuat hal-hal yang hina," kata
Ubun Hiong. Pemuda itu tertawa, "Bukannya aku curiga padamu.
Kau menjawab hal yang tak kutanyakan, memang aku
juga menaruh kecurigaan, masakah Sumoaymu
menemani kau memberi makan kuda itu. Bukankah hal
itu baru dikatakan oleh Suhengmu kepada Subomu
setelah peristiwa itu terjadi?"
Pemuda baju hitam itu luas sekali pengalamannya di
dunia persilatan. Sekali tebak, jitu sekali, tetapi hal itu
diterima salah oleh Ubun Hiong. "Kau hendak mengadu
domba hubunganku dengan Suheng!" ia marah-marah.
"Mana aku berani merusak hubungan kalian berdua,
tapi naga-naganya kau memang mempunyai ganjalan
batin dengan Toasuhengmu itu. Oh, tahulah aku!"
Ubun Hiong makin marah, "Karena segala apa sudah
kau ketahui, tak usah kau mengolok-olok aku lagi. Maaf!"
Ia terus hendak berlalu, tapi cepat dicegah oleh
pemuda itu. Dengan wajah bersungguh-sungguh
berkatalah pemuda aneh itu, "Tidak, ada sebuah hal
yang tak kumengerti, kau harus memberitahukan
padaku. Hal itu penting sekali bagiku!"
Melihat kesungguhan orang, terpaksa Ubun Hiong
mau percaya. "Silakan mengatakan. Asal tidak melanggar
kesusilaan Hiap-gi (sifat ksatria), tentu aku suka
memberitahu." "Tahukah kau bagaimana pribadi Jian-jiu-koan-im"
Apakah perjalanan hidupnya di dunia Lok-lim baik atau
buruk?" Ubun Hiong terkesiap, serunya, "Apakah kau bergurau
padaku" Bagaimana tokoh Jian-jiu-koan-im itu mengapa
kau perlu tanyakan lagi padaku?"
Pemuda itu juga tertegun, serunya keheran-heranan,
"Aku bicara dengan sungguh-sungguh, mengapa kau kira
bergurau?" "Jadi kau bukan anggota gerombolannya?" teriak
Ubun Hiong. "Sudah tentu bukan, kalau tidak, masakah aku perlu
bertanya padamu!" Namun Ubun Hiong masih tak percaya, pikirnya, "Aneh
orang ini! Terlukanya Ki Seng-in oleh kawanan alap-alap
itu baru saja terjadi, jika bukan anggota gerombolannya
bagaimana ia dapat mengetahui" Dalam pembicaraannya
tadi, ia sudah mengenal riwayat hidup Ki Seng-in,
mengapa ia bertanya tentang perjalanan hidupnya?"
Memang tak salah kalau Ubun Hiong merangkai
dugaan begitu, namun ia tak tahu bahwa yang
bersembunyi di balik tumpukan batu itu bukan lain
adalah si Pemuda baju hitam ini. Sudah dua kali secara
diam-diam ia turun tangan menyelamatkan jiwa Ki Sengin,
tentang riwayat Ki Seng-in ia hanya mendapat dengar
dari kabar saja. Ia tak kenal dengan Ki Seng-in, tapi sebaliknya kenal
pada Leng-hong. Dari apa yang dilihat dan didengarnya
tadi malam dan saat itu, remang-remang dan ia
menduga kalau Leng-honglah yang mencelakai Jian-jiukoanim. Adalah karena tak kenal bagaimana pribadi Ki
Seng-in, maka si Pemuda baju hitam tak mau terangterangan
ikut campur dalam pertempuran. Hanya pada
saat-saat yang penting saja ia diam-diam membantu.
Paling perlu menolong jiwa Ki Seng-in dulu, baru nanti
perlahan-lahan menyelidiki keadaan yang sesungguhnya.
"Sebenarnya tak nanti tanpa sebab dan tanpa alasan
apa-apa Leng-hong mau mencelakai orang. Tindakan
begitu itu bukanlah peri-laku seorang ksatria. Ah, hal ini
membingungkan sekali, apakah aku salah mengenal
orang" Atau apakah Leng-hong sudah berubah menjadi
seorang lain?" demikian batin pemuda itu. Adalah karena
bingung mencari pemecahannya, ia hendak mencari
keterangan pada Ubun Hiong. Sayang pemuda itu salah
paham tak mempercayai orang, hal itu bahkan
menimbulkan banyak kesalah pahaman lagi.
"Tak nanti jawaban yang kau berikan itu melanggar
garis-garis kaum Hiap-gi!" kata Pemuda baju hitam
kemudian. Sebenarnya bukan Ubun Hiong tak mau memberi
jawaban, tapi memang hal itu sukar dijawabnya.
Penderitaan yang diterima Ubun Hiong saat itu timbul
dari peristiwa Ki Seng-in. Apakah wanita gagah itu binasa
atau tidak, masih belum diketahui jelas. Meski hatinya
tak mendendam kepada Ki Seng-in, tapi sekurangkurangnya
ia tak senang mendengar diungkitnya
peristiwa itu. Apalagi kalau teringat bahwa kematian
mendiang ayahnya disebabkan gara-gara suami Ki Sengin
merampas barang antaran. Pertanyaan yang diajukan
Pemuda baju hitam itu sukar dijawab. Ki Seng-in seorang
baik atau buruk" Suatu pertanyaan yang ia tak tahu cara
bagaimana harus menjawab.
"Tak tahulah aku!" akhirnya ia hanya dapat menyahut
begitu. "Mengapa kau tak tahu" Bukankah tadi malam kau
pinjamkan kudamu kepadanya?" tanya si pemuda
dengan nada putus asa. "Itu perintah Suboku!" sahut Ubun Hiong.
Cepat sekali pemuda itu mengetahui reaksi wajah
Ubun Hiong, tegurnya, "Melihat nadamu, agaknya kau
tak begitu senang terhadap Jian-jiu-koan-im, benarkah?"
"Terserah bagaimana kau hendak menduganya, aku
tak mau karena orang menuduh aku mencelakai Ki Sengin,
lalu aku berusaha untuk menghilangkan tuduhan itu
dengan memuji-muji wanita itu. Maaf, hari sudah petang,
terpaksa aku tak dapat menemanimu lebih lama," kata
Ubun Hiong. Ia masih curiga kalau Pemuda baju hitam
itu anak buah rombongan Ki Seng-in dan Gak Ting.
"Eh, nanti dulu, aku masih akan bicara!" lagi-lagi
pemuda itu mencegah. "Percuma, aku tetap mengatakan tak tahu apa yang
kau tanyakan nanti! Betapa tinggi kepandaianmu, belum
tentu dapat memaksa aku bicara. Mau lepaskan aku atau
tidak?" Pemuda itu tertawa, "Saudara salah faham,
sebelumnya kita sudah membuat persetujuan. Masakah
aku akan memaksamu bicara" Memang pertanyaanku
serba lancang, tak heran kalau kau curiga. Aku hanya
ingin bicara sepatah padamu, harap kau jangan
meneruskan perjalanan."
"Eh, aneh benar kau ini. Ini kan urusanku, mengapa
kau turut campur?" seru Ubun Hiong.
"Bukannya aku mengurusi urusanmu, tetapi kau
adalah murid Kang-tayhiap. Sungguh sayang kalau kau sampai
meninggalkan perguruanmu. Aku hendak
menyumbangkan sedikit tenaga padamu, tetapi kuminta
janganlah kau pergi jauh dulu barang dua hari ini. Ya,
bukankah kau kenal baik dengan Ong tua itu" Pergilah ke
rumahnya dulu, besok pagi aku tentu mencarimu di sana.
Mudah-mudahan aku. dapat membawa berita baik
bagimu." Begitu besar perhatian pemuda itu, suatu hal yang
membikin Ubun Hiong semakin curiga. "Terima kasih,
pergi atau tidak, aku dapat memutuskan sendiri. Harap
kau jangan memikirkan," katanya.
Pemuda itu menghela napas, ujarnya, "Kau tak mau
percaya padaku, itu terserah saja. Sudahlah, kuharap kita
bisa berjumpa lagi di kemudian hari. Sekalipun kau tak
menjawab semua pertanyaanku, tapi kau sudah
memberitahukan padaku beberapa hal. Terima kasih!"
Setelah memberi hormat, Pemuda baju hitam itu lantas
melangkah pergi. "Hm, hampir setengah hari melayani seorang gila,
kalau bukannya gila tentulah ia orang Gak Ting. Dia
hendak membantu supaya aku kembali ke tempat Suhu"
Edan barangkali dia itu!" pikir Ubun Hiong.
0^de*wi^0 Seperginya Ubun Hiong dari rumah keluarga Kang,
rencana Leng-hong berjalan lancar, suatu hal yang
membuat kegirangannya meluap-luap. Soal yang
dihadapinya sekarang hanyalah bagaimana cara
mengambil hati si dara Hiau-hu.
Pada hari itu boleh dikata sehari suntuk ia bersama si
dara berlatih ilmu pedang di taman. Dengan bersungguhsungguh
hati Hiau-hu memberi petunjuk jurus permainan
pedang, tapi sikap si dara hanya didasarkan atas dasar
mengindahkan saja, lain tidak. Mengindahkan karena
Leng-hong adalah Piauko (kakak misan) dan berbareng
juga Ciangbun Suheng (Suheng calon pengganti guru),
tapi samar-samar dara itu merasa bahwa 'selera' Lenghong
itu tak mencocoki hatinya. Rangkaian kata-kata
indah merdu yang diucapkan Leng-hong padanya malah
membuatnya jemu, rasa jemu itulah yang membuat
renggang hatinya. Tahu bahwa si dara belum dapat melupakan Ubun
Hiong, Lenghong bersikap menunggu dengan sabar,
pikirnya, "Toh Ubun Hiong tak mungkin kembali lagi, asal
tiap hari berada bersama masakah lama kelamaan hati
Hiau-hu takkan terpikat" Biar lambat asal dapat Demikian
sikap yang ditentukan untuk memenangkan. usahanya
menawan hati dara ayu itu. Untuk menghadapi sikap
dingin dari si dara, ia pun tak mau ceriwis, melainkan
bicara dengan betul dan berlatih sungguh-sungguh.
Dasar otaknya memang cerdas, apalagi sudah
mendapat pelajaran lisan lebih banyak dari Sumoaynya,
maka waktu berlatih praktek, cepat sekali ia dapat
menguasai pelajaran. Apa yang didapatnya selama
berlatih sehari itu sungguh banyak sekali.
Suco (kakek guru) Leng-hong atau ayah Kang Haythian,
yakni Kang Lam, mengatakan bahwa hari itu akan
pulang. Tapi sampai malam hari, belum juga kelihatan
datang. Habis makan malam, berkatalah Kok Tiong-lian,
"Jika sampai besok siang ayah belum pulang, terpaksa
kita berangkat dulu ke Bin-san. Kalian sudah berlatih
sehari, tidurlah sore-sore, besok kita akan berangkat."
Gedung kediaman keluarga Kang itu sebuah rumah
besar yang tua, peninggalan engkong luar Kang Haythian
yaitu Nyo Tiong-eng, umur gedung itu sudah 100an tahun lebih. Nyo Tiong-eng adalah pemimpin kaum
persilatan dari lima wilayah, walaupun tidak kaya raya,
tapi rumah tinggalnya besar sekali. Kok Tiong-lian dan
putrinya menempati ruangan yang paling dalam dan
Leng-hong tinggal di kamar yang paling luar dekat taman
bunga. Biasanya ia tinggal bersama Ubun Hiong, kini
seorang diri. Hari itu bagi Leng-hong dirasakan sebagai hari yang
paling bahagia. Seorang diri ia berada di kamar,
mulurnya tertawa-tawa, saking girangnya hingga tak
dapat tidur. Cepat sekali tahu-tahu sudah tengah malam,
Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
malam itu tanggal muda, rembulan remang-remang,
bintang-bintang tak muncul. Bunyi serangga malam di
luar kamar menambah kelelapan malam, gedung
keluarga Kang seperti diselubungi suasana yang agak
menyeramkan. Tiba-tiba Leng-hong seperti melihat
bayangan Hong Jong-liong muncul di luar jendela.
"Ah, tak nanti dia datang, Li Tay-lian sudah lari dan
warung arak itu sudah terbakar, mengapa aku takut"
Hm, siapakah yang membakar warung arak itu?" ia
membesarkan semangatnya sendiri, tapi secepat itu
samar-samar ia mendengar kesiur angin dari lengan baju
orang yang melayang turun dari genteng.
Sejak beberapa bulan ini, kepandaian Leng-hong
memang maju pesat sekali, ia segera mengetahui kalau
pendatang itu berilmu tinggi. Orang itu dapat berjalan di
atas atap seperti capung bermain di air. Waktu melayang
turun, gerakannya hampir tak menerbitkan suara sama
sekali. Untung di tengah malam yang begitu sunyi, coba
tidak, Leng-hong pun belum tentu dapat mendengarnya.
Rupanya orang itu berkeliaran dulu di atas wuwungan
untuk kemudian melayang turun di luar kamar Lenghong,
rupanya dia tahu kalau kamar itu ada
penghuninya. Munculnya orang itu membuyarkan seluruh
impian indah Leng-hong. Lamunannya berubah menjadi
kejut yang luar biasa, serentak ia hendak berteriak untuk
membangunkan Subo dan Sumoaynya. Dengan
datangnya kedua bala bantuan itu, pendatang itu tentu
mudah diringkus. Namun Leng-hong tak berani menjerit, terlintas dalam
pikirannya, jangan-jangan yang datang itu Hong Jongliong.
Jika ketahuan Subo dan Sumoaynya, tentu tak
menguntungkan baginya. Bayang-bayang Hong Jongliong
itu mengerikan hati Leng-hong, tapi dalam hati
kecilnya, ia lebih menyukai kalau Hong Jong-liong atau
orang-orangnya yang datang. "Mereka tentu takkan
mencelakai diriku, sebaliknya aku dapat meminta mereka
supaya mengejar jejak Ubun Hiong dan membunuhnya
pula untuk menghilangkan bahaya di kemudian hari,"
pikirnya. Dengan mencabut pedang, lalu Leng-hong mendekam
di bawah jendela, mulutnya menggumam, "Matahari
rembulan tak bersinar, matahari rembulan tak bersinar."
Itulah kata-kata sandi untuk mengadakan kontak dengan
orang-orang Hong Jong-liong, tentulah akan menyambut
kata-kata sandi itu. Rupanya pendatang malam itu berhenti di muka
jendela, tetapi tak memberi penyahutan apa-apa, terang
dia bukan golongan Hong Jong-liong, suatu hal yang
menggetarkan hati Leng-hong. Pikirannya
membayangkan sebuah kemungkinan lain yang
menyeramkan. "Jika yang datang itu kawan Gak Ting,
celakalah aku. Mereka tentu sudah tahu kalau aku yang
membunuh Jian-jiu-koan-im."
"Ah, tak peduli siapa saja yang masuk ke dalam
kamarku tentu kubunuh. Andaikata sahabat Suhuku,
tengah malam masuk ke kamar orang, tak salah kalau
dibunuh. Sembilan puluh persen dia tentu mengandung
maksud buruk terhadap diriku, lebih baik kubunuh
daripada kubiarkan saja, akhirnya ia mengambil putusan.
Mendengar Leng-hong menggumam seorang diri,
pendatang itu heran. Walaupun tanggal muda rembulan
sisir, tapi toh masih ada bulannya, mengapa Leng-hong
mengatakan "matahari bulan tak bersinar?"
"Entah apa maksudnya mengatakan begitu" Apakah
dia sedang mengigau dalam tidurnya" Ah, tak apa, biar
kumasuki kamarnya," demikian orang itu berpikir.
Kepandaian orang itu tinggi sekali. Setelah mendorong
jendela, ia segera melompat masuk seraya berseru,
"Yap-heng, bangun, bangunlah! Coba lihatlah siapa yang
datang?" "Sret", dari tempat gelap tiba-tiba Leng-hong
menusuknya. Tubuh orang itu masih terapung di atas
udara, tusukan Leng-hong datangnya begitu mendadak,
mengarah dada. Kecuali dapat menarik tubuhnya keluar
lagi barulah ia dapat terhindar dari tusukan pedang, tapi
hal itu terang tak mungkin.
"Krek", pedang bukan menusuk daging manusia,
melainkan seperti menusuk kulit keras. Leng-hong
terkesiap kaget, tangannya terasa kesemutan dan tahutahu
pedangnya sudah pindah tangan, ternyata
pendatang itu seorang tokoh persilatan yang
berpengalaman. Dia pun sudah menjaga kemungkinan
Leng-hong bertindak begitu, maka sewaktu melompat
masuk ia membuka sabuk kulit untuk melindungi
rubuhnya. Tusukan pedang Leng-hong tadi hanya dapat
menabas putus sabuk kulit, namun orang itu tak
menyangka kalau Leng-hong hendak membunuhnya.
Begitu merampas pedang, ia tak mau balas menyerang,
malah tertawalah ia, "Yap-heng, akulah! Lupakah kau
akan suaraku?" Memang Leng-hong seperti sudah pernah mendengar
suara orang itu, tapi untuk sesaat tak ingat siapa orang
itu, pikirnya, "Dia memanggil aku Yap-heng rasanya
tentu tak bermaksud buruk. Kepandaiannya jauh lebih
tinggi dari aku, tak boleh kuhadapi dengan kekerasan."
"Maaf atas kelancanganku tadi, untung tak sampai
melukai saudara. Hanya ingatanku lemah sekali, entah
bilakah aku berjumpa dengan engkau?" cepat Leng-hong
menyusuli tindakannya yang gagal tadi.
Orang itu tertawa, ia menyalakan api dan menyulut
lampu, ujarnya, "Lihatlah dengan jelas, masih kenal
padaku?" Leng-hong pentang kedua matanya memandang
tajam-tajam. Tiba-tiba wajahnya berubah pucat seperti
kertas, semangatnya serasa terbang, beberapa saat
kemudian baru berkata, "Kau ... kau adalah..."
Orang itu bukan lain ialah Pemuda baju hitam yang
dijumpai Ubun Hiong siang tadi. Melihat Leng-hong
ketakutan seperti melihat setan, tertawalah pemuda itu,
"Tak heran kalau kau tak ingat lagi padaku, aku sendiri
pun tak menyangka akan dikirim kembali dari akhirat,
hanya saja jika kau tanyakan siapa namaku, wah, sukar
kujawab. Dahulu aku mempunyai nama Yap Leng-hong,
sekarang karena nama itu sudah kau pakai, aku pun
mengalah, terserah kau hendak memanggil apa
kepadaku. Hehehe, nama hanya suatu tanda pengenal,
tak begitu penting. Aku memakai pakaian warna hitam,
panggil saja aku si Baju Hitam."
Wajah Leng-hong berubah-ubah, sebentar pucat
sebentar merah. Orang itulah manusia yang paling
ditakutinya, ia tak nyana sama sekali kalau orang itu
hidup kembali di dunia ....
Hal itu terjadi dua tahun berselang, pada suatu hari
Leng-hong kembali dari wilayah Kamsiok dan lewat di
suatu gundukan batu di bawah gunung. Kala itu dia
belum bernama "Yap Leng-hong", dia adalah putra
gubernur Kamsiok yang bernama Yap Thing-cong.
Setelah 10-an tahun meninggalkan rumah, kini ia pulang,
tapi hatinya masih bimbang, pulang atau tidak.
Tiba-tiba ia dikejutkan dengan suara hiruk-pikuk di
lamping gunung, ada yang membentak, memaki dan
mengerang kesakitan. Ia ingin mengetahui apa yang
terjadi dan naiklah ia ke atas untuk melihatnya. Di atas
lamping gunung dilihatnya bergelimpangan belasan
mayat, mayat-mayat itu mengenakan seragam prajurit
Gi-lim-kun. Di antaranya terdapat seorang perwira yang
tubuhnya mandi darah, tapi belum mati. Dia tengah
merangkak di tanah. Di sebelahnya menggeletak seorang
Pemuda baju hitam yang juga belum mati. Pemuda itu
membelalakkan sepasang matanya yang besar bundar,
memandang dengan penuh kebencian dan marah kepada
perwira Gi-lim-kun yang merangkak dengan membawa
golok hendak menghampiri tempatnya itu. Luka pemuda
itu lebih berat dari si perwira, perwira itu masih dapat
merangkak, tapi pemuda itu sedikitpun tak mampu
berkutik lagi. Dua tahun berselang, pemuda Yap Thing-cong itu
masih hijau, dengan dada penuh cita-cita tinggi dan
keberanian yang menyala-nyala, ia hendak menonjolkan
diri melebihi orang lain untuk melakukan sesuatu yang
gemilang. Apakah yang dikatakan 'menonjol melebihi orang lain'
itu" Bagaimana cara melakukan suatu hal yang
gemilang" Setiap pemuda tentu mempunyai cita-cita
begitu, masing-masing mempunyai tujuan sendiri.
Ayah Yap Thing-cong adalah seorang pembesar tinggi
kerajaan, tetapi Suhunya seorang pejuang yang
menentang kerajaan Cing, sudah tentu pandangan hidup
keduanya berlainan. Yap Thing-cong langsung tak
langsung menerima pengaruh dari dua macam aliran
pendidikan. Dia seorang pemuda yang cerdas, sebelum
mengambil keputusan, ia sudah berpikir masak-masak.
"Ayahku menjabat gubernur Siam-kam (Siamsay Kamsiok). Ikut padanya memang mudah mencari
pangkat, tapi apakah hal itu dapat dianggap menonjol"
"Ayah menjabat pangkat sebagai hamba kerajaan. Di
dalam kantor mungkin dia tak merasa, tetapi aku yang di
luaran tahu jelas. Setiap orang yang masih punya setitik
darah panas patriot, tentu bercita-cita untuk mengusir
penjajah, merebut kembali tanah air. Lambat-laun antekantek
pemerintah Cing tentu dienyahkan keluar daerah.
Soalnya hanya waktu saja, entah kapan.
"Walaupun jalan yang ditempuh Suhu berbahaya,
tetapi dapat mendirikan suatu pahala yang gilang
gemilang, sekalipun kalah tetap akan mendapat gelar
terhormat sebagai ksatria. Meskipun jalan yang ditempuh
ayah itu mudah, tetapi sebenarnya tak aman. Dewasa ini
hati rakyat sudah bergolak, bibit-bibit pemberontakan
sudah mulai tumbuh. Mereka-mereka yang menghamba
pada pemerintah Cing belum tentu dapat
mempertahankan pangkat dan kekayaannya. Jika
kawanan antekantek pemerintah Cing itu sampai diusir
keluar daerah, rumah tangganya pun tentu hancur
berantakan." Begitulah betapapun perhitungan Yap Thing-cong itu
masih tak lepas dari keuntungan pribadi, tetapi ia
memilih juga jalan menentang kerajaan Cing. Maka
begitu keluar rumah, tujuannya hendak mengikat
persahabatan dengan kaum pahlawan yang menentang
kerajaan. Sayang gurunya itu sudah pergi jauh ke
perbatasan sehingga hubungannya dengan kaum
pahlawan di daerah Tionggoan terputus. Thing-cong
sendiri sebagai seorang anak muda yang masih hijau,
betapapun ia berusaha mencari hubungan dengan kaum
pejuang kemerdekaan, namun sukar menemukan,
akhirnya ia terpaksa menunggu kesempatan saja.
Memang hal itu hanya bisa didapat secara tak terduga,
tapi tak bisa diharap dengan cepat.
Akhirnya berjumpa pula ia dengan kesempatan itu,
ialah ketika ia melihat perwira yang bertempur dengan si
Pemuda baju hitam tengah merangkak mengambil golok
untuk membunuh si pemuda. Seketika timbullah
ingatannya, pikirnya dengan girang, "Seorang diri
pemuda itu dapat membunuh belasan perwira kerajaan,
tentulah seorang tokoh penting dalam kalangan kaum
pahlawan. Dia dan perwira itu sama-sama terluka parah,
jika kutolong dia, itulah mudah sekali. Dia nanti tentu
akan berterima kasih kepadaku dan suka
memperkenalkan aku pada kawan-kawannya. Hahaha,
akhirnya tercapai juga tujuanku!"
Setelah mengambil putusan, Thing-cong menghampiri
belakang si perwira yang saat itu justru masih
merangkak. Sekali tusuk, amblaslah jiwa perwira itu.
"Terima kasih atas bantuanmu, saudara yang gagah,
tapi lebih baik kau lekas lari saja. Aku ... aku sudah tak
kuat ..." berkata begitu napas Pemuda baju hitam itu
terengah-engah, suaranya terputus-putus.
Yap Thing-cong kecewa, pikirnya, "Dia payah sekali
keadaannya. Jika tak bisa hidup, sia-sialah pertolonganku
tadi. Tapi baiklah aku berusaha menolongnya, jangan
sampai ia mati begitu saja."
Di atas gunung terdapat sebuah kuil rusak. Yap Thingcong
mengangkat tubuh pemuda itu, ujarnya, "Jangan
kuatir, beristirahatlah dengan tenang. Aku paling memuja
kaum gagah. Walaupun terancam bahaya yang
bagaimanpun juga, tetap hendak kurawat dirimu sampai
sembuh." Ia memperhitungkan, jika seorang diri mampu
membunuh sekian banyak tentara kerajaan, tentulah
pemuda itu seorang gagah perkasa, dia tentu
mempunyai kawan yang hebat.
Memang sukar untuk mengetahui isi hati orang, sikap
Yap Thing-cong itu membuat si Pemuda baju hitam
berterima kasih sekali dan menganggap tentulah Thingcong
itu juga sekaum dengan dia. Waktu dibawa masuk
ke dalam kuil, pemuda itu sudah tak kuat bicara lagi.
"Kepandaianmu begitu tinggi, tentulah kau membawa
obat. Biarlah kuambilkan," kata Thing-cong.
Pemuda itu mengangguk, tapi pada lain saat ia
menggeleng kepala. Thing-cong terkesiap, tapi ia seorang cerdas. Cepat ia
dapat menangkap isyarat kepala pemuda itu. Dia
mengangguk, artinya memang membawa obat, tapi dia
menggeleng berarti kalau obat itu takkan dapat
menolongnya. "Orang baik tentu diberkahi Thian, janganlah saudara
putus asa. Serahkan saja kepada Yang Kuasa, jika
saudara membawa rahasia apa-apa, aku pun takkan
berani mengambilnya. Apakah saudara dapat
mempercayai aku?" Thing-cong merangkai kata-kata
menghibur.
Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Rupanya Pemuda baju hitam itu tergerak hatinya, ia
mengangguk. Thing-cong mengambil keluar barangbarang
pemuda itu, memang benar ia membekal dua
botol kecil berisi pil dan salep. Sepotong emas pecah
sebesar kacang, beberapa keping pecahan perak dan
sepucuk surat. Sampul surat itu tiada tertulis alamat
penerimanya, melainkan tertutup dengan lak merah,
tentulah sepucuk surat yang penting.
"Ah, benarlah kiranya. Surat itu tentu akan
disampaikan kepada orang gagah penentang pemerintah
Cing," pikir Thing-cong. Ia berlagak tak acuh, yang
diambil hanya botol obat. Emas dan perak serta surat
diletakkan di pangkuan pemuda itu. Thing-cong
melumurkan obat dan meminumkan pil ke mulut si
pemuda. Pemuda itu ternyata parah sekali lukanya, obat
dan pil hanya dapat memperpanjang sedikit jiwanya.
Setelah minum pil, pemuda itu diam-diam menyalurkan
napas, dirasakan kaki dan tangannya sakit seperti disayat
pisau. Sebagai seorang persilatan, tahulah ia bahwa uraturat
nadinya telah putus. Di kolong langit ini kiranya
hanya ada seorang tabib yang mampu
menyembuhkannya, tabib itu ialah Hoa Thian-hong di
gunung Hoa-san. Dengan tempatnya sekarang itu, Hoasan
terpisah ribuan li jauhnya, padahal pemuda itu hanya
kuat hidup sejam lamanya, terang dia bakal tak
tertolong. "Sebelum mati, ingin aku berkenalan dengan seorang
sahabat sejati seperti kau, agar aku dapat mati dengan
meram. Siapakah nama saudara dan siapakah guru
saudara?" setelah menghela napas. Pemuda baju hitam
itu memaksakan diri berbicara.
Thing-cong menyadari juga tentang keadaan pemuda
itu, ia coba menghiburnya, tapi pemuda itu berkata,
"Waktu hanya tinggal sedikit, aku masih ada beberapa
hal yang hendak kupasrahkan padamu."
Dengan bercucuran air mata, Yap Thing-cong
memperkenalkan dirinya dan menerangkan bahwa
Suhunya ialah Jui Hun-liang dari Jing-sia-pay.
Pemuda itu mengangguk, rupanya ia pernah
mendengar tentang nama Jui Hun-liang, ujarnya, "Aku
juga orang she Yap, bernama Leng-hong. Bila aku mati,
tolonglah kau sampaikan surat ini kepada seorang."
Dengan bersumpah Thing-cong menyatakan
kesediaannya untuk melaksanakan pesan pemuda itu.
"Dia bukan seorang pemimpin laskar perjuangan,
melainkan seorang pamanku. Surat tadi adalah surat dari
ayahku kepada pamanku itu, bawalah surat ini
kepadanya selaku bukti," kata si pemuda.
Yap Thing-cong agak kecele mengingat bahwa
pemuda itu saja sudah sedemikian lihai, pamannya tentu
bukan tokoh sembarangan, siapa tahu ia nanti bakal
memperoleh keuntungan. Akhirnya ia buru-buru
menanyakan siapa paman pemuda itu.
"Pamanku tinggal di desa Nyo-keh-ceng, kabupaten
Tong-peng di propinsi Soatang, namanya Kang Haythian.
Orang persilatan banyak yang kenal pamanku itu,
tanyalah pada orang, tentu akan diberitahu tempatnya,"
kata pemuda itu pula. Yap Thing-cong tercengang, seperti mendapat mutiara
berharga, berserulah ia dengan girang sekali, "O, jadi
Kang Hay-thian, Kang-tayhiap itu?"
Kang Hay-thian adalah seorang tokoh persilatan yang
termasyhur, dia merupakan jago nomor satu di dunia
persilatan, sudah tentu Thingcong pernah mendengar
nama itu. Ini benar-benar 'pucuk dicinta ulam tiba', ia
hanya mengharap dapat berkenalan dengan orang
gagah, siapa tahu sekarang terbukalah kesempatan
untuknya berkenalan dengan seorang tokoh seperti Kang
Hay-thian, bintang kejora dari dunia persilatan. Girang
Thing-cong sungguh tak terperikan!
"Tolong kau ceritakan peristiwa hari ini padanya,
minta pada paman supaya mencari ayahku agar
menuntut balas untukku," kata pemuda itu pula.
"Membalas" Bukankah sudah kau hancurkan semua
jahanam itu?" tanya Thing-cong.
"Aku ini setengah keturunan orang Han, kini aku
binasa di tangan kawanan alap-alap. Aku hendak minta
ayahku membalas pada kawanan antek kerajaan Cing
demi kepentingan bangsa Han. Cukup kau bilang begitu
tentu Kang-tayhiap sudah mengerti."
Ternyata ayah-bunda pemuda itu tinggal di luar
lautan, pemuda itu mengharapkan mereka pulang
kembali. Heranlah Thing-cong mendengar keterangan bahwa
pemuda itu bukan orang Han melainkan hanya setengah
keturunan Han, ujarnya, "Tentu akan kulakukan pesan
saudara, tetapi ada suatu hal yang ingin kutanyakan."
Pemuda itu minta Thing-cong supaya mengatakan,
maka berkatalah Thing-cong, "Walaupun surat itu dari
ayahmu kepada Kang-tayhiap, tapi karena aku yang
mengantar, mungkin Kang-tayhiap tak percaya.
Bagaimana membuktikan bahwa aku memang menerima
pesanmu dan bukan karena mencuri surat itu setelah
kubunuh kau?" Pemuda itu anggap pernyataan Thing-cong memang
beralasan, katanya, "Sebenarnya dapat kugigit jariku dan
menulis beberapa patah kata dengan darahku, tetapi
sayang paman pun tak kenal pada bentuk tulisanku. Aku
sudah tak dapat berpikir lagi, tolong kau carikan cara
yang sebaik-baiknya."
"Dahulu apakah kau pernah bicara sesuatu pada
pamanmu yang bagi lain orang tak mengetahui?" tanya
Thing-cong. "Aku tak pernah bertemu muka dengan paman," sahut
pemuda itu, tiba-tiba ia berseru, "Ada, ya ada! Biarlah
kuceritakan tentang diriku, hal ini memang tak ada orang
luar yang tahu." Kuatir kalau pemuda itu tak dapat menyelesaikan
ceritanya, buru-buru Thing-cong memberinya minum
seraya membisikannya supaya bicara perlahan-lahan
saja. Dari cerita pemuda itu, tahulah Thing-cong kalau
ayah pemuda itu ternyata putra raja Masar di Se-ek.
Setelah menyerahkan tahta pada adiknya, ayah pemuda
itu lalu melarikan diri keluar negeri. Sejak kecil pemuda
itu berada di luar negeri, tak pernah pulang ke tanah
airnya. Kali itu ayahnya menyuruhnya mencari sang
paman untuk belajar silat padanya, tapi dengan pesan
supaya menunggu dulu sampai putra mahkota kerajaan
dinobatkan jadi raja, barulah pemuda itu boleh pulang ke
negerinya untuk bertemu dengan anak-anak sang
paman. Pemuda itu sebenarnya hendak menuturkan
bagaimana ia sampai bentrok dengan kawanan alap-alap
kerajaan, tapi ternyata tenaganya sudah habis. Ia
menghela napas, "Yap-heng, budimu itu hanya dapat
kubalas pada penjelmaanku yang akan datang. Sudilah
kau kubur mayatku nanti dan memberi pertandaan pada
makamku, agar kelak ayah-bundaku dapat mengambil
tulang-tulangku. Tak usah kau belikan peti mati. Ah,
jangan kelewat lama berada di sini, baiknya kau lekas
pergi." Thing-cong mengucurkan air mata, "Yap-heng, kau tak
boleh pergi (mati). Ah, secara kebetulan kita dapat
berkenalan dan she kita pun bersamaan. Jika kau dapat
hidup, kita boleh angkat saudara."
"Saudara yang baik, sayang aku tak dapat
menemanimu. Jika berjumpa dengan paman, beliau
tentu akan memperlakukan kau seperti diriku," berkata
sampai di sini mata pemuda itu terbalik, jiwanya
melayang. Jelas diketahui Thing-cong, bahwa pemuda itu terang
sudah mati. Saat itu barulah ia mengganti air mata
kesedihan dengan rasa gembira. Saking tak dapat
menahan luapan hati, ia menari-nari dan berseru,
"Hahaha, ini benar-benar suatu rezeki yang luar biasa!
Cukup kuganti nama tanpa tukar she!"
Sebenarnya ia belum mengambil keputusan akan
pulang atau tidak, tapi dengan mendapat rezeki itu,
putusannya telah bulat. Ia hendak menjadi murid Kang
Hay-thian. Dengan mengandal pengaruh Kang Hay-thian,
ia akan berserikat dengan kaum gagah penentang
kerajaan Cing untuk melakukan suatu gerakan besar.
Setelah tujuannya tercapai, karena kuatir tentara
pemerintah datang mengejar, ia segera buru-buru
berangkat ke Soatang mencari tempat tinggal Kang Haythian.
Ia tak mau menghiraukan lagi pesan si pemuda itu
untuk mengurus penguburannya. Adalah justru karena
itu, si pemuda malah mendapat pertolongan yang tak
disangka-sangka datangnya. Secara kebetulan ia ditemui
oleh seorang tabib pandai dan dapat dihidupkan kembali.
Sejak itu Yap Thing-cong ganti nama dengan Yap
Leng-hong dan diangkat menjadi murid pewaris oleh
Kang Hay-thian, diakui pula sebagai keponakan oleh istri
Kang Hay-thian. (Untuk menghindari keruwetan,
selanjutnya tetap digunakan nama Yap Leng-hong untuk
menyebut diri Yap Thing-cong. Sementara si pemuda
yang sebenarnya bernama Yap Leng-hong itu sebut saja
si Pemuda baju hitam " penerbit).
Bahwa sekarang Yap Leng-hong palsu kedatangan Yap
Leng-hong tulen, benar-benar tak diduga sama sekali.
Pemuda baju hitam itu tertawa, "Biarlah namaku Yap
Leng-hong kuberikan padamu, tetapi aku hendak minta
pertanggungan jawabmu selama kau gunakan namaku
itu." Yap Leng-hong palsu gugup. Dua tahun yang lalu, ia
ingin sekali menolong jiwa pemuda itu, tapi kini ia
berbalik ingin sekali untuk membunuhnya. Tapi tadi baru
saja ia menjajal kepandaian pemuda itu, ia insyaf bahwa
kepandaiannya jauh lebih rendah dari pemuda itu.
Akhirnya ia memutuskan untuk menghadapi dengan cara
lunak, ia percaya karena pernah berhutang budi
padanya, maka pemuda itu tentu takkan bersikap keras.
Entah bagaimana caranya, dengan tiba-tiba Yap Lenghong
palsu mengucurkan beberapa butir air mata dan
berlutut di hadapan pemuda itu, katanya, "Aku berani
memakai namamu, memang aku harus dihukum mati,
tetapi aku mempunyai kesukaran sendiri. Toako,
ampunilah aku, nanti kukatakan."
Dengan kedua tangan pemuda itu membimbing Lenghong
bangun, ujarnya, "Ini hanya urusan kecil. Dahulu
kau pernah menolong jiwaku, aku belum dapat
membalas budimu. Sebenarnya aku tak menduga akan
bisa hidup lagi, ingatkah kau" Kala itu kau hendak
mengangkat saudara padaku. Oleh karena jiwaku tipis
harapannya, terpaksa kutolak. Kukatakan padamu juga,
bahwa pamanku tentu akan memperlakukan kau sebagai
diriku. Bahwa ternyata benar sekarang kau menjadi
muridnya, itulah tepat seperti yang kuduga. Tetapi aku
tak menyangka sama sekali bahwa bukan saja paman
menganggapmu sebagai diriku, malah mengira kalau kau
ini memang aku sendiri. Hehe, ini betul-betul melampaui
harapanku, tetapi apa mau dikata lagi!"
Dari nada ucapannya, tahulah Leng-hong palsu kalau
pemuda itu tak menyalahkan dia yang telah berbuat
kelewat batas itu. Diam-diam nyali Leng-hong palsu pun
besar lagi, katanya pula, "Toako, janganlah menyalahkan
aku! Kala itu aku pun mengira kalau kau sudah
meninggal. Mengingat kepandaianku masih rendah, ingin
sekali aku belajar kepandaian yang tinggi agar dapat
melanjutkan cita-citamu dan membalaskan sakit hatimu.
Syukur kalau dapat mengenyahkan kaum penjajah pula,
dengan begitu tak sia-sialah kau beristirahat di alam
baka." "Bagus, bagus sekali ucapanmu. Dengan tujuan itukah
maka kau berani memakai namaku?" tanya si Pemuda
baju hitam. "Benar," Leng-hong palsu mengiakan, "karena kuatir
Kang-tayhiap tak sudi menerima aku sebagai murid,
akhirnya terpaksa kugunakan siasat itu."
"Kalau benar kau hendak membalaskan sakit hatiku,
mengapa semalam kau masuk ke dalam warung arak itu
untuk mengadakan pertemuan dengan mereka?" tegur si
Pemuda baju hitam. Kata-kata itu membuat Leng-hong seperti disengat
kala kejutnya, semangatnya serasa terbang. Kini barulah
diketahuinya bahwa yang membakar warung arak Thaypeklau itu bukan lain adalah si pemuda yang berada di
hadapannya itu. Dan apa yang dilakukan di dalam
warung arak itu telah diketahui semua olehnya.
"Benarkah begitu" Mengapa kau diam saja?" kembali
pemuda itu menegas. Untung penerangan dalam kamar itu remang-remang,
perubahan air muka Leng-hong yang berlangsung hanya
dalam beberapa kejap itu tak sampai diketahui oleh si
pemuda. Dan secepat itu juga Leng-hong palsu sudah
dapat menguasai perubahan mukanya, ia sengaja
menghela napas dalam-dalam, ujarnya, "Kau dan aku
mempunyai ikatan hidup dan mati. Jika Toako menaruh
kecurigaan, aku pun tak dapat bilang apa-apa lagi."
Melihat sikap orang begitu lunak. Pemuda baju hitam
tak sampai hati. "Bukan aku tak percaya padamu,
melainkan hal itu penting sekali. Aku hendak membikin
terang persoalan itu agar kau bebas dari tuduhantuduhan,
harap kau mengerti," katanya.
Leng-hong yang cerdas segera dapat menarik
kesimpulan bahwa sebenarnya Pemuda baju hitam itu
belum mengetahui betul rahasia itu. Ia masih punya
harapan untuk membersihkan diri, ujarnya, "Aku
memang tolol sekali dan tak mengerti kebaikan Toako.
Benar, memang semalam aku masuk ke dalam warung
Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
arak Thay-pek-lau itu, tetapi karena aku hendak
menyelidiki suatu hal."
"Urusan apa?" tanya si pemuda.
Setelah bersangsi sejenak, berkatalah Leng-hong
palsu, "Urusan itu menyangkut diri seorang Suteku.
Sebenarnya aku tak suka mengatakan urusan dirinya di
hadapan orang luar, namun karena Toako hendak
mengusut urusan itu, terpaksa tak dapat menutupinya
lagi. Syukur Toako juga bukan orang luar."
Tanpa sebab alasan suatu apa, mencuri dengar
rahasia orang merupakan salah satu pantangan bagi
orang persilatan. Hal itu dianggap perbuatan yang hina.
Tetapi pemuda baju hitam itu sudah berjumpa dengan
Ubun Hiong, pikirnya, "Ubun Hiong selalu memuji
Toasuhengnya ini. Sekarang biarlah kudengar apa
komentarnya terhadap Sutenya itu. Hal ini menyangkut
kepentingan yang besar, aku terpaksa tak berlaku
sungkan lagi." Melihat si pemuda tak memutus omongannya, Lenghong
palsu pun melanjutkan ceritanya, "Aku mempunyai
seorang Sute bernama Ubun Hiong, berasal dari
kalangan Piau-kiok. Bagaimana riwayat hidupnya yang
lampau. Suhu tak begitu jelas. Beberapa hari yang lalu,
aku melihat dia berada di kota dan bicara dengan
seseorang. Waktu berpisah, orang itu masuk ke dalam
warung arak Thay-pek-lau. Saat itu kuteringat seperti
pernah kenal dengan orang itu di suatu tempat, akhirnya
teringatlah aku. Dia ialah
"Siapa?" tukas si Pemuda baju hitam.
"Wakil komandan Gi-lim-kun yang bernama Li Taytian.
Beberapa waktu berselang, aku diajak Suhu untuk
mengunjungi sahabat, di tengah jalan berpapasan
dengan Li Tay-tian dan begundalnya. Mereka tak berani
mengganggu Suhu dan bergegas pergi. Suhu
memberitahukan padaku siapakah mereka setelah
semuanya lenyap," kata Leng-hong palsu.
"Kemudian apa tindakanmu setelah kau ketahui orang
itu Li Tay-tian?" tanya si pemuda.
"Pada hari itu adalah Sute yang pergi ke kota lebih
dulu, baru kemudian aku pergi juga. Aku mengetahui
kasak-kusuk mereka, sebaliknya dia tak tahu aku. Ketika
aku masuk ke dalam warung arak, ternyata Li Tay-tian
tak berada di situ. Kupikir kalau orang she Li itu tak
tampak minum arak, ia tentu bersembunyi di dalam
warung itu. Tegasnya dia tentu salah seorang konco
pemilik warung, maka timbul kecurigaanku bahwa
warung arak itu tentu sebuah warung arak hitam!"
"Kalau begitu kau masuk ke dalam warung arak itu
karena hendak membuat penyelidikan, bukan" Nah,
bagaimana hasilnya" Apa yang kau lihat dan apa yang
kau dengar?" "Kulihat memang Li Tay-tian benar bersembunyi di
dalam warung arak itu, kudengar ia tengah bicara
dengan kawan-kawannya. Dia mengatakan bahwa ia
bersahabat baik dengan ayah Suteku itu, ia mengatakan
lagi bahwa ia hendak menggunakan tenaga Suteku untuk
melakukan rencananya!" kata Leng-hong palsu.
Pemuda baju hitam terkesiap, "Begitukah" Apakah dia
(Li Tay-tian) mengatakan kalau Sutemu menyanggupi?"
"Dia hanya mengatakan pernah berjumpa dengan
Sute, tapi tak menerangkan apakah Sute meluluskan
atau tidak, tapi dari pembicaraan lebih lanjut, orang she
Li itu hanya mengatakan bahwa hal itu baru merupakan
rencana saja. Kemungkinan besar rencana itu belum
dikatakan kepada Suteku."
Memang cerdik benar Yap Leng-hong palsu itu, semula
ia hendak memfitnah Ubun Hiong sebagai mata-mata.
Tapi demi mendengar si pemuda bertanya tentang
warung arak Thay-pek-lau dengan nada yang agak tak
percaya, buru-buru ia merubah haluan. Ia kuatir janganjangan
pemuda itu sudah berjumpa dengan Ubun Hiong
dan telah mendengar keterangannya.
Dan memang siasat yang dipasang Leng-hong itu
tepat sekali, si Pemuda baju hitam agak bimbang. Jelas
didengarnya bagaimana Ki Seng-in memaki-maki Ubun
Hiong, walaupun ia tidak mengerti bagaimana duduk
persoalan yang sesungguhnya, tapi dari dampratan Ki
Seng-in itu agaknya seperti mendakwa Ubun Hiong
bersekongkol dengan Li Tay-tian.
"Kulihat Ubun Hiong itu seorang anak jujur, aku tak
percaya ia mau menjadi mata-mata! Percakapanku
dengan dia hanya secara tergesa-gesa, jadi tak dapat
dibuat ukuran. Sayang anak itu tidak mau mempercayai
aku. Beberapa hal yang kutanyakan tak mau dia
terangkan," demikian pikir Pemuda baju hitam itu.
Memang tadi malam si Pemuda baju hitam itu melihat
Yap Leng-hong palsu memasuki warung arak Thay-peklau,
tapi waktu itu ia belum tahu kalau warung itu
warung hitam, maka ia tak ikut masuk dan tak tahu apa
yang dikerjakan Leng-hong di situ. Oleh karena itu
walaupun menaruh curiga, ia tetap bimbang mendengar
keterangan Leng-hong, pikirnya, "Walaupun Ubun Hiong
itu bukan seorang mata-mata, tapi sepulangnya dari
bicara dengan Li Tay-tian, dia tak mau memberitahukan
pada Subo dan Suhengnya, itu juga suatu kesalahan.
Untuk membikin terang urusan ini, lebih dulu harus
kuselidiki sampai dimana hubungan Ubun Hiong dengan
Li Tay-tian, setelah itu baru dapat kuambil kesimpulan."
Dengan pikiran itu ia segera bertanya pula, "Setelah
malam itu kau melakukan penyelidikan ke warung arak
Thay-pek-lau, apakah sepulangnya ke rumah kau
beritahukan kepada Subomu?"
Leng-hong palsu menghela napas, "Jika kutahu bakal
terjadi peristiwa seperti hari ini, tentu semalam sudah
kukatakan kepada Subo."
"Oh, jadi kau tak mengatakan kepadanya?" tanya si
Pemuda baju hitam. "Aku memikirkan kepentingan Sute, dia masih muda,
kurang pengalaman. Bahwa sekali bertindak salah itu
mungkin tak dapat dihindari, jika kuadukan pada Subo,
bukankah dia akan menderita seumur hidup" Kuputuskan
saja untuk memberi nasehat sendiri padanya. Asal
selanjutnya ia jangan berhubungan dengan kawanan
alap-alap kerajaan lagi, urusan ini akan kututup
selamanya." Pandai sekali Leng-hong merangkai kata-kata,
alasannya pun jitu dan benar. Si Pemuda baju hitam
mengangguk-angguk kepala, pikirnya, "Kalau begitu,
terang dia melindungi kepentingan Sutenya."
"Sayang usahaku untuk melindungi Sute itu sia-sia
saja, urusan toh menjadi besar juga. Setelah Ki Seng-in
terbunuh, seorang kawannya yang bernama Gak Ting
datang kemari. Ia membuka kedok Sute di hadapan Subo
hingga terpaksa Subo mengusir Sute dari sini," kata
Leng-hong pula. Pemuda baju hitam tahu kalau Ki Seng-in belum mati,
namun hal itu tak mau ia beritahukan pada Leng-hong ia
hanya bertanya, "Eh, tetapi siapakah yang meracuni
kuda Ki Seng-in itu?"
Leng-hong palsu pura-pura terkejut sekali, serunya,
"Apa" Kudanya diracuni orang" Sama sekali aku tak tahu
hal itu! Tadi malam aku tak pergi ke kandang kuda!"
"Siapa yang memberi makan rumput?" tanya si
pemuda pula. "Kuda itu selalu Sute yang memeliharanya!" sahut
Leng-hong. Jawabannya serupa dengan keterangan
Ubun Hiong, diam-diam si Pemuda baju hitam itu
membatin, "Dari ucapan Ubun Hiong tadi terang ia tak
begitu suka kepada Ki Seng-in. Apakah benar-benar dia
yang meracuni kuda itu" Untung Ki Seng-in tak mati, biar
kujumpainya untuk membikin terang hal ini."
"Setelah Toako tertolong, tak seharusnya kupakai
nama Toako lagi, tapi kumohon Toako suka memberi
muka padaku. Aku minta tempo dua hari lagi. Nanti
secara diam-diam akan kutinggalkan rumah ini, tiga hari
kemudian bolehlah Toako datang kemari menjumpai
bibimu dan menjelaskan duduk perkaranya," kata Lenghong
palsu. Pemuda itu tertawa, "Telah kukatakan akan kubalas
budimu. Karena kau sudah menjadi keponakan bibiku,
tak usahlah diubah lagi. Asal kau selalu menjalankan
dharma kebaikan, aku tak keberatan bahkan merasa
bangga memberikan namaku padamu."
Kembali Leng-hong dapat mengucurkan air mata
buaya dan dengan rasa terharu menyahut, "Ini ... ini
sungguh berat sekali bagiku menerima kepercayaan
Toako yang begitu besar."
"Cukup lama rasanya kehadiranku di sini, jika sampai
ketahuan Subomu, tentu tak baik. Kelak apabila ada
kesempatan lagi, tentu aku akan datang kemari. Rasanya
penyelesaian yang telah dilakukan oleh Subomu itu tepat
juga, untuk itu tak.perlu kau bersedih. Nah, sampai
bertemu lagi!" Pemuda itu berputar tubuh dan melompat keluar
jendela. "Kuharap Toako datang kemari lagi!" seru Leng-hong.
Tiba-tiba ia mengantar dengan sebuah hantaman dan
berbareng itu menaburkan tiga batang jarum beracun.
Ketiga jarum beracun itu adalah pemberian Li Tay-tian
tadi malam agar digunakan Leng-hong untuk mencelakai
Ki Seng-in. Ia tak sempat menggunakan kepada Ki Sengin,
kini digunakan terhadap Pemuda baju hitam itu.
Itulah yang kedua kali dalam satu malam Leng-hong
membokong si Pemuda baju hitam. Yang pertama ialah
ketika pemuda itu menerobos masuk ke dalam kamarnya
tadi, untung pemuda itu sudah berjaga-jaga sebelumnya,
ia dapat menghalau serangan gelap itu dengan
pedangnya. Yang kedua, adalah saat si pemuda hendak
pamit pergi, mimpi pun pemuda itu tak menduga Lenghong
yang begitu taat dan mesranya, kini tiba-tiba
membokongnya dari belakang. Pukulan Si-mi-ciang tepat
mengenai tulang punggung, batang jarum beracun itu
menyusup ke dalam jalan darah yang berbahaya!
Ilmu pukulan Si-mi-ciang itu sebenarnya berasal dari
ilmu pukulan Thian-san-pay, digubah dan disempurnakan
lagi oleh Kim-Si-ih. Di dalam golongan ilmu pukulan
termasuk yang paling hebat, meskipun latihan Leng-hong
belum mencapai kesempurnaan, tapi karena dapat
mengenai dengan jitu, akibatnya juga bukan olah-olah
hebatnya. Masih ditambah pula dengan tiga batang
jarum beracun, dapat dibayangkan betapa ngerinya.
Jarum beracun itu dilumuri dengan racun menurut resep
istana. Sedikit saja kulit terlecet, racun akan merangsang
ke seluruh tubuh, apalagi jarum-jarum itu tadi menyusup
ke dalam jalan darah! Pemuda itu terdengar menahan suara jeritan, seperti
bola tubuhnya terlempar keluar. Leng-hong tak puas, ia
melompat menyusul dan menabas dengan pedangnya.
Tetapi kepandaian pemuda itu memang hebat sekali,
Istana Kumala Putih 5 Sepasang Pedang Pusaka Matahari Dan Rembulan Karya Aminus, B_man, Kucink Pendekar Sakti Suling Pualam 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama