Ceritasilat Novel Online

Gelang Kemala 6

Gelang Kemala Karya Kho Ping Hoo Bagian 6


itu bersama para pengawalnya. Mereka agaknya menanti pimpinan mereka dan tak lama
kemudian muncullah pimpinan mereka itu. Dia seorang tinggi besar yang mukanya bopengbopeng. Buruk sekali muka itu, akan tetapi menggiriskan dengan matanya yang besar dan
bersinar-sinar, mulutnya yang cemberut dan tubuh yang tinggi besar itu penuh dengan otot
yang melingkar-lingkar. Tangan kanannya memegang sebatang golok gagang panjang yang
lebar dar tajam berkilauan seperti Golok Naga Hijau yang biasa menjadi senjata dari
pahlawan besar Kwan In Tiang di jaman Sam Kok.
Melihat tokoh yang kelihatan tangguh ini, Ciang Hoat segera maju dan nemberi hormat.
"Kami dari Kim-liong-pang hendak pergi ke Souw-ciu dan numpang lewat. Harap saudara
yang budiman suka memberi jalan dan untuk itu kami siap untuk memberi sekedar
sumbangan!" Dia mengeluarkan sekantung uang dan mengangkat kantung itu ke atas.
Memang demikianlah kebiasaan di dunia kang-ouw.
Seorang piauwsu kadang-kadang harus bersikap bersahabat dengan golongan Lok-lim atau
golongan rimba raya sebagai sebutan para perampok. Kalau perlu para piauwsu itu tldak
segan untuk memberi hadiah sebagai sogokan agar barang kawalannya jangan diganggu.
Akan tetapi, orang tinggi besar yang mukanya bopeng itu membelalakkan matanya dan
suaranya terdengar meneeuntur ketika dia berteriak, Kalian menghina Coat-beng-kwi (Setan
Pencabut Nyawa)" Aku menghendaki dua buah kereta itu dan semua isinya untuk ditukar
dengan nyawa kalian semua. Bagaimana" Kalau menolak, tetap saja dua buah kereta dan
isinya akan menjadi milik kami dan kalian semua akan mampus disini".
Jilid 10________ Mendengar ini, semua piauwsu merasa tegang dan Gan Bun Tek mengerutkan alisnya ketika
dia melihat Thian Lee merayap turun dari atas kereta dan pemuda itu segera masuk ke kolong
kereta bersembunyi! Celaka, pikirnya. Kusir baru yang katanya masih sanak pangcu itu
ternyata seorang pemuda pengecut dan penakut, akan tetapi karena semua perhatian ditujukan
kepada kepala perampok yang julukannya menyeramkan itu, maka tidak ada yang
mempedulikan sikap Thian Lee.
Ciang Hoat mencoba untuk menyabarkan kepala perampok itu. "Sobat, sejak dahulu kami dari
Kim-liong-pang tidak pernah ada permusuhan dengan para kerabat dari liok-lim dan kangouw, maka kami harap janganlah mengganggu kanru dan kami akan melaporkan kepada
pang-cu kami atas kebaikanmu itu."
"Hemm, kalau memang bersahabat, tinggalkan kereta-kereta itu. Kalau hen-dak melanjutkan
perjalanan, harus dapat lebih dulu mengalahkan golokku!" Berkata demikian, dia
melintangkan golok gagang panjang itu didepan dadanya dan dengan sikap menantang dia
menghadapi Ciang Hoat. Tentu saja Ciang Hoat menjadi marah. Dia melompat turun dari atas
kudanya sambil mencabut pedangnya dari punggung. Semua anggauta Kim-liong-pang juga
bersiap-siap, berloncatan turun dari atas kuda dan mencabut senjata. Akan tetapi melihat anak
buah perampok itu tidak turun tangan, mereka juga hanya berjaga-jaga sambil mengitari dua
buah kereta. Sementara itu, Gan Bun Tek juga menghampiri suhengnya untuk melihat
bagaimana suhengnya melawan kepala perampok itu dan kalau perlu rnembantu.
Kepala perampok yang berjuluk Setan Pencabut Nyawa itu tertawa bergelak ketika melihat
Ciang Hoat memegang pedang menghadapinya. Tubuhnya yang seperti raksasa itu memang
tidak sebanding dengan tUbuh Ciang Hoat yang tinggi kurus.
"Ha-ha-ha, apakah engkau hendak mengantar nyawa" Lebih baik serahkan dua kereta itu dan
kalian boleh pulang dengan nyawa masih utuh!"
"Hemm, tidak periu banyak bicara lagi. Kami dari Kim-liong-pang tidak pernah takut
menghadapi penjahat!"
"Kalau begitu mampuslah!" Bentak raksasa itu sambil mengayun goloknya yang bergagang
panjang itu, menyerang dengan bacokan dahsyat ke arah kepala Ciang Hoat. Piauwsu ini
mengelak dengan merendahkan tubuhnya dan pedang-nya mencuat untuk balas menyerang.
"Tranggg....!!" Pedang bertemu golok dan pedang itu terpental. Terdengar ke-pala perampok
itu tertawa nyaring. Dalam pertemuan pertama itu saja pedang telah terpental, tanda bahwa
kepala perampok itu memiliki tenaga yang besar.
"Ha-ha-ha, serang! Rampas kedua buah kereta'" kepala perampok memberi aba-aba dan kini
semua anak buahnya dengan golok diacungkan maju menye-rang sambil mengeluarkan
bentakan-bentakan menyeramkan. Para anak buah Kim-liong-pang menyambut dan terjadilah
pertempuran yang hebat. Gan Bun Tek sudah mencabut pedangnya dan membantu suhengnya
karena ternyata bahwa kepala perampok itu lihai bukan main.
Akan tetapi di tengah keributan itu terjadilah hal yang aneh sekali. Tiba-tiba saja ketika
kepala perampok itu memutar goloknya mendesak kedua orang piauwsu, setitik sinar hitam
menyambar dan mengenai pergelangan tangannya. Dia berteriak dan goloknya terlepas dari
pegangannya! Dia masih hendak menyambar golok yang terlepas itu, akan tetapi tiba-teytiba
saja "Tukk!" perutnya terasa nyeri sekali karena ada sebuah kerikit menghantam perutnya,
demikian kerasnya sehingga kerikil itu menembus celananya dan mengenai kulit perutnya,
seperti disengat kelabang saja rasanya! Kembali dia mengaduh, akan tetapi tiba-tiba "Tukkk'."
sebutir kerikil mengenai dahinya dan timbullah sebutir telur di dahi itu. Kini kepala perampok
maklum bahwa ada orang pandai mempermainkannya, maka dia pun menjadi jerih. Dia
melompat jauh ke belakang sambil meneriaki anak buahnya agar mundur. Para perampok
yang mendapat perlawanan hebat dari anak buah Kim-liong-pang, ketika mendengar teriakan
pemimpin mereka segera berloncatan dan sebentar saja semua perampok lenyap di balik
semak belukar. Tak ada seorang pun anggauta rombongan itu yang terluka dan dua orang
piauwsu itu saling pandang dengan terheran-heran. Mereka tidak melihat adanya kerikilkerikil yang tadi menyambar ke arah tubuh kepala perampok itu, hanya melihat kepala
perampok yang kuat dan lihai itu melepaskan goloknya, kemudian berloncatan ke belakang
sambil menerlaki anak buahnya seolah-olah tiba-tiba merasa takut sekali!
Bagaimanapun juga, hati mereka terasa lega sekali dan mengira bahwa tentu akhirnya kepala
perampok agaknya jerih melihat bendera Kim-liong-pang maka mundur sendiri. Ketika
mereka mengumpulkan anak buah, mereka tidak melihat Thian Lee.
"Eh, di mana kusir barU itu?" tanya CAang Hoat dengan heran dan khawatir.
Gan Bun Tek tertawa sambil menuding ke kolong kereta. Semua orang melongok ke bawah
kereta dan benar saja, Thian Lee meringkuk di bawah kereta dengan ketakutan. Semua orang
tertawa dan Thian Lee dengan kemalu-maluan lalu merangkak keluar. Perjalanan dilanjutkan
dengan selamat dan setelah menyerahkan barang-barang kawalan itu di Souw-ciu, mereka lalu
pulang ke Pao-ting. Pada keesokan harinya barulah mereka tiba di Pao-ting dan ramailah
rnereka bercerita tentang perampokan itu dan betapa mereka semua dapat rnengusir para
perampok! Dan tidak lupa mereka menceritakan betapa Thian Lee ketakutan bersembunyi di
kolong kereta. Wajah Souw Can menjadl marah mendengar ini. Dia ikut nrierasa malu karena semua
anggauta Kim-liong-pang tahu beiaka bahwa pemuda itu dianggap se-bagai keluarga Sang
Ketua. "Thian Lee, engkau bagaimana sih?" tegurnya ketika dia memanggil pemuda itu ke dalam.
"Ada perampok rnengganggu, engkau tidak membantu para piauwsu malah bersembunyi di
kolong kereta. Memalukan!"
"Supek perampoknya amat galak dan menyeramkan. Aku menjadi takut. Dan pula, apa yang
dapat saya lakukan?"
"Aihh, ingatlah. Engkau ini putera seorang pendekar besar! Mendiang ayahmu dahulu adalah
seorang pendekar yang perkasa. Masa engkau anaknya menjadi penakut" Mulai sekarang
akan kuajarkan sendiri ilmu tongkat itu kepadamu!"
"Baiklah, Supek." Diam-diam Thian Lee merasa girang karena kalau supeknya yang
mengajarnya sendiri berarti dia akan bebas darl gangguan Hwe Li yang bengal.
Demikianlah, mulai hari itu, Thian Lee dilatih sendiri oleh supeknya dan Sang Supek merasa
girang karena dia mendapat kenyataan bahwa Thian Lee cukup cerdik dan mudah memahami
ilmu tongkat itu. Kini gerakan Thian Lee tidak kaku lagi dan dia pun diajarkan menghimpun
tenaga dalam pukulan tongkatnya.
Sebulan telah lewat semenjak pens-tiwa perampokan itu. Pada suatu hari, pagi-pagi sekali,
Siong Ek sudah berada di Kim-liong-pang dan sudah berlatih pedang dengan sumoinya. Thian
Lee menonton dari samping dan merasa kagum. Setelah mereka selesai berlatih, Thian Lee
bertepuk tangan memuji. "Bagus, bagus! Kiam-hoat yang bagus sekali!" serunya girang.
"Hemm, Lee-twako engkau tahu apa tentang kiam-hoat" Baru memegang pe-dang saja
engkau tidak berani, takut tanganmu terluka. Hayo, daripada bertepuk tangan memuji tidak
karuan, aku ingin mencoba ilmu tongkat yang sudah kaupelajari dari Ayah!" kata Hwe Li.
"Mana aku berani, Siauw-moi."
"Hayo, Twako. Aku ingin memberi pe-tunjuk kepadamu!"
"Tidak, tidak, kalau berlatih denganmu aku hanya akan menerima gebukan dan akan jatuh
bangun," kata Thian Lee. Pada saat itu, sebelum Hwe Li dapat memaksanya, Thian Lee sudah
melangkah pergi menuju ke istala kuda. Akan tetapi mereka semua mendengar suara ributribut di pekarangan depan dan segera mereka semua pergi keluar untuk melihatnya.
Ternyata di halaman depan nampak berdiri dua orang yang sedang bertengkar mulut dengan
para anak buah Kim-liong-pang. "Aku ingin bertemu dengar Ketua Kim-liong-pang. Panggil
dia keludr atau kami akan masuk mencarinya sendiri ke dalam rumah."
"Kalian takkan berani!" Bentak lima orang anak buah Kim-liong-pang itu sambil maju untuk
mendorong mundur dua orang itu, akan tetapi sekali dua orang itu menggerakkan tangan kaki,
lima orang murid Kim-liong-pang ituterlempar dan terbanting jatuh.
"Ha-ha-ha-haa, beglni saja rriurid-mu-rid Kim-liong-pang?" Seorang di antara kedua orang itu
tertawa. Dia adalah seorang tinggi besar bermuka bopeng dan Thian Lee segera mengenal
bahwa dia itu adalah kepala perampok dari Bukit Merak! Dan yang seorang lagi adalah
seorang kakek berusia lima puluh tahun yang tubuhnya tinggi kurus, membawa pedang di
punggung dan nampaknya pendiam dan angkuh.
"Dia... dia adalah kepala perampok dari Bukit Merak itu!" kata Thian Lee dan mendengar ini,
Hwe Li dan Siong Ek segera larl menghampiri. Sementara itu, Souw Can juga sudah nnuncul
dari dalam rumah, mendengar laporan dari anak buahnya.
Souw Can segera memberi hormat kepada dua orang tamunya. "Apakah Ji-wi mencari aku"
Aku adalah Kim-liong-pangcu dan ada keperluan apakah mencariku?"
Si Muka Bopeng memandang dengan mata mencorong, lalu sambil menggerakkan golok
gagang panjang dia berkata, suaranya menggelegar, "Sudah lama aku mendengar akan nama
besar Ketua Kim-liong-pang, akan tetapi ternyata anak buah Kim-liong-pang hanyalah orangorang yang curang dan pengecut. Kalau bertanding suka menyerang orang dengan sembunyi.
Karena itu aku datang bersama suhengku untuk menantang orang-orang Kim-liong-pang
rnengadu ilmu dengan jujur!"
Souw Can tersenyum. Dia pun sudah mendengar dari laporan anak buahnya tadi bahwa yang
datang adalah kepala rampok dari Bukit Merah. "Apakah Slcu ini yang berjuluk Coat-bengkwi?" "Benar, akulah Coat-beng-kwi. Hayo suruh keluar murid Kim-llong-pang yang tempo hari
melawanku, akan kutunjukkan bahwa aku tidak kalah oleh mereka. Atau kalau para murid
tidak berani, gurunya boleh juga maju melawanku!" ; katanya dengan sikap sombong sekali.
Melihat kesombongan orang itu, Lai Slong Ek menjadi marah sekali, Dia me-loncat ke depan
dan berkata kepada suhunya, "Suhu, biarlah teecu menghadapi manusia sombong ini!"
katanya sambil mencabut pedangnya. Souw Can sudah mendengar bahwa Ciang Hoat dan
Gan Bun Tek berhasil mengusir perampok ini. Tingkat kepandaian Siong Ek jauh lebih tinggi
dari pada tingkat kedua orang piauwsu itu, maka dia pun mengangguk sambil berkata,
"Berhati-hatilah engkau!"
Siong Ek menghadapi Coat-beng-kwi sambil menyilangkan pedang di depan dada. "Engkau
berjuluk Coat-beng-kwi" Bukankah engkau ini kepala perampok dari Bukit Merak yang sudah
berlari tunggang-langgang dipukul mundur oleh para piauwsu kami" Jangan bicara sombong,
akulah murid Kim-liong-pang yang akan menghadapimu!"
"Bagus, sekarang kita bisa bertandi.ng satu lawan satu tanpa ada penyerang gelap berbuat
curang!" kata Coat-beng-kwi, lalu dia menggerakkan golok gagang panjangnya sambil
membentak, "Lihat golok!" Golok itu menyerang dengan dahsyatnya. Akan tetapi dengan
lincahnya Siong Ek mengelak dan balas menyerang. Segera keduanya sudah saling serang
dengan seru dan hebatnya.
Dengan jurus Pek-in-ci-tian (Awan Putih Keluarkan Kilat) Siong Ek menyerang. Muia-mula
pedangnya berputar di atas kepala, membentuk gulungan sinar putih, kemudian dari gulungan
sinar itu mencuat sinar pedang yang meluncur dan menusuk ke arah leher lawan. Akan tetapi
raksasa muka bopeng itu memutar goloknya dan menangkis sambil mengerahkan tenaganya.
"Trang....?" Nampak buhga api berpijar menyilaukan mata ketika kedua senjata itu bertemu
dan nampak Siong Ek terkejut karena pedangnya terpental ke-ras. Dari pertemuan kedua
senjata itu saja sudah jelas bahwa dia kalah kuat dalam hal tenaga. Si Setan Pencabut Nyawa
agaknya tahu pula akai hal itu dan dia tertawa bergelak. GoloKnya lalu dlputar dengan cepat
bukan main, menyapu kaki Siong Ek. Pemuda ini meloncat dengan gerakan Lo-wan-teng-ki
(Monyet tua Melompat Cabang) untuk menghindarkan diri dari sabetan golok pada kakinya
dan langsung saja sambil melom-pat dia menyerang dengan jurus Sian-jin-sia-cok (Dewa
Memanah Batu). Pedangnya meluncur cepat sekali ke depan dan menusuk ke arah dada lawan
bagaikan luncuran anak panah. Akan tetapi Si Raksasa itu memang lihai sekall. Blarpun
tubuhnya besar, dia dapat bergerak cepat dan sudah berhasil mengelak ke kiri se-hingga
tusukan itu pun luput. Sementara itu, kini semua anak buah Kim-liong-pang sudah berada di situ me-nonton
pertempuran dan siap-siaga me-nanti perintah Sang Ketua. Sedangkan Souw Can sendiri
menonton dengan alis berkerut. Setelah pertandingan itu ber-langsung lima puluh jurus,
tahulah dia bahwa muridnya itu tidak akan dapat nnenang melawan raksasa muka bopeng itu.
Selagi dia hendak menyuruh muridnya mundur, Siong Ek sudah menerjang lagi dan kini
pemuda itu menggunakan jurus yang hebat sekali. Tubuhnya membuat gerakan berputar dan
pedangnya ikut berputar, kemudian sambil berputar itu dia lalu membacok ke arah ieher dan
inilah jurus Sin-liong-tiauw-si (Naga Sakti Menyabetkan Ekornya). Hampir saja leher Si
Tinggi Besar terbabat pedang akan tetapi dia masih sempat menangkis sam-bil berbareng
kakinya menendang ke depan.
"Bukk!" Paha kanan Siong Ek terkena tendangan dan dia terlempar ke belakang dengan
pedang masih di tangan. Dia tidak terbanting jatuh karena dapat berjungkir balik, akan tetapi
ketika kedua kakinya turun, dia agak terhuyung karena pahanya yang tertendang terasa nyeri.
"Ha-ha-ha-ha, cuma sebegitu saja kepandaian murid pilihan dari Kim-liong-pang?" Si Tinggi
Besar itu tertawa bergelak dengan sikap sombong dan mengejek.
"Jangan menghina Kim-liong-pang!" Tiba-tiba Thian Lee maju sambll menyeret tongkat yang
biasa dia pakai untuk berlatih silat. "Aku adalah murid Kim-Hong-pang dan aku yang akan
menandingimu". Melihat Thian Lee yang ketololan itu maju menantang, Hwe Li terbelalak dan menghampiri
pemuda itu. "Twako, jangan bermain gila. Apa-apaan engkau ini" Mundurlah!" katanya
sambil mendorong dan dldorong begitu saja, Thian Lee terhuyung-huyung hampir jatuh, Akan
tetapi dia nekat, menghampiri lagi Si Raksasa muka bopeng sambil mengejek,
"Hayo, muka bopeng buruk seperti monyet. Kenapa diam saja" Apa engkau takut melawan
tongkatku ini" Hayo cepat berlutut agar aku dapat menggebuk pantatmu tujuh kali sebagai
hajaran!" Semua orang Kim-liong-pang memandang heran dan terkejut, juga khawatir sekali. Mereka
semua tahu siapa Thian Lee, seorang yang tolol dan sebagai kusir pernah bersembunyi
ketakutan ketika dihadang perampok. Kini berani maju menantang Si Raksasa yang telah
mengalahkan Lai Siong Ek" Gila! Akan tetapi Souw Can memandang dengan terharu. Dla
tahu bahwa Thian Lee baru beberapa bulan saja belajar ilmu silat, tidak mungkin dapat
menandingi raksasa itu. Akan tetapi Thlan Lee berani! Itu untuk membela nama baik Kimliong-pang. Sungguh pemuda ini tidak mengecewakan menjadi putera mendiang Siong Tek
Kwi'. Sl Raksasa menjadi marah bukan main. Dia memelototkan matanya sampai nyaris terloncat
keluar dari pelupuknya ketika memandang pemuda yang memegang torigkat itu. Tadi saja
didorong oleh " gadis itu sudah hamplr jatuh, dan cara memegang tongkat begitu kaku,
hendak menantangnya" Sebetulnya dia ingisi mentertawakan, akan tetapi ucapan Thian Lee
itu membuat dia tidak mampu tertawa karena marahnya, apalagi melihat wajah orang-orang di
situ yang terheran-heran juga nampak geli mendengar ucapan pemuda itu.
"Jahanam, apa engkau, sudah bosan hidup!" bentaknya.
"Tidak, aku masih suka hidup Engkau yang agaknya sudah bosan hidup."
"Kaukira akan dapat melawanku?" bentak lagi Si Raksasa yang merasa dipandang rendah.
Masa dia hendak diadu dengan badut ini"
Kini Thian Lee memegang tongkat dengan tangan kanan dan telunjuk kirinya menuding ke
arah hidung raksasa itu tanpa berkata-kata. Karena dituding hidungnya, raksasa itu otomatis
memegang hidungnya. "Apa yang kaupandang itu?"
"Hidungmu penuh coreng-moreng!" Dengan sendirinya raksasa itu menggosok-gosok
hidungnya dan melihat tangannya, akan tetapi tidak ada apa-apanya. "Jangan main gila kau!"
'"Tidak, aku tahu bagaimana harus mengalahkanmu. Aku telah mempelajari ilmu tongkat Takaw-tung (Tongkat Pemukul Anjing) dan sekarang ilmu tongkatku itu akan berubah menjadi
Ta-kwi-tung (Tongkat Pemukul Setan) dan setannya adalah engkau. Bukankah julukanmu
Setan Pencabut Nyawa?"
Dapat dibayangkan bagaimana marahnya raksasa itu. Dan para anak buah Kim-liong-pang
kini tidak dapat menahan tawanya. Mereka tadi merasa tidak se-nang dan penasaran sekali
melihat Siong Ek dikalahkan, kini melihat raksasa itu dipermainkan dengan kata-kata oleh
Thian Lee, mereka merasa gembira sekali sampai lupa bahwa Thian Lee meng-hadapi lawan
yang amat tangguh dan dapat berbahaya sekali baginya.
Coat-beng-kwi hampir tak dapat menahan kemarahannya lagi. Akan tetapi sebagai seorang
jagoan dia merasa malu kalau harus berurusan dengan seorang pemuda tolol ini, maka
bentaknya kepada Souw Can, "Souw-pangcu, majulah sendiri menghadapi aku, jangan
mengajukan kacung tolol ini?"
"Tidak bisa, tidak bisa'." kata Thian Lee ngotot dan nekat. "Sebelum engkau mengalahkan aku
muridnya, tidak mungkin engkau melawan gurunya! Atau barangkali engkau takut
menghadapi Ta-kwi-tung ini?" Dia mengamangkan tongkatnya.
"Setan jahanam, mampus engkau di tanganku!" bentak Coat-beng-kwi sambil menggerakkan
goloknya. "Coat-beng-kwi, ingat, ini hanya adu kepandaian. Kalau sampai engkau membunuhnya aku
tidak akan memberi ampun kepadamu!" Souw Can berkata dengan nada mengancam.
"Ah, Supek. Mana mungkin setan seperti ini membunuhku?" kata Thian Lee dan kini raksasa
itu sudah bergerak maju. "Lihat golok!" Goloknya menyambar dahsyat. Thian Lee melompat mundur untuk mengelak.
Lompatannya kaku dan beberapa gebrakan saja dia sudah terdesak, lari ke sana-sini pontang

Gelang Kemala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

panting, dan berloncatan untuk menghindarkan serangan golok lawan. Melihat inl, raksasa itu
tertawa bergelak-gelak dan tahulah dia bahwa dia benar-benar berhadapan dengan seorang
muda yang miring otaknya karena ternyata tidak pandai silat!
"Sungguh tolol!" omet Hwe Li sambil mengepal tinju dan Siong Ek yang berdiri di
sampingnya juga merasa khawatir sekali. Dla sudah merasakan betapa lihai lawan itu dan kini
Thian Lee berani mati sekali mencoba untuk melawannya.
Akan tetapi, kalau bagi orang laln kelihatan Thlan Lee seperti orang tolol yang lari ke sanasini, bergerak terhuyung dan mengelak sedapat mungkin, bagi Coat-beng-kwi makin lama
suara tawanya semakin berkurang karena dia merasa aneh sekali. Pemuda itu mengelak
dengan kacau, akan tetapi goloknya tidak pernah mampu menyentuhnya dan ketika sekali dua
kali ujung tongkat pe-muda itu menangkis dengan gerakan yang amat kaku, dia merasa betapa
tangannya yang memegang golok tergetar hebat dan terasa amat panas!
Sementara itu, ketika Souw Can melihat betapa Thian Lee dapat mengelak dari sambaran
golok itu, dia pun merasa heran. Jelas sekali gerakan Thian Lee bukan gerakan silat, hanya
berloncatan seperti kanak-kanak bermain tali, akan tetapi sampai belasan jurus dia dapat
menghindarkan diri dari semua bacokan itu. Dla lalu mencoba untuk memberi petunjuk
berdasarkan ilmu tongkat yang selama beberapa bulan ini dilatih oleh Thian Lee. Ketika
meiihat lowongan, dia berteriak, "Pukul kepalanya dari kiri'"
Mendengar bentakan Ketua Kim-liong-pang itu, otomatis Si Raksasa Bopeng menggerakkan
golok menangkis ke arah sebelah kiri kepalanya. Akan tetapi ternyata Thian Lee bukan
menghantam ke kiri kepalanya melainkan menghantam ke bawah, ke arah kaki kanannya!
"Takk!" Tulang kering raksasa itu bertemu dengan tongkat sehingga rnengeluarkan bunyi
nyaring. Dan aneh! Bagi semua orang, tentu tenaga pukulan Thian Lee itu tidak ada artinya
karena pemuda itu tidak memiliki tenaga sin-kang yang kuat, akan tetapi kenyataannya, Si
Raksasa itu mengeluarkan suara mengaduh dan berloncatan dengan sebelah kakinya. karena
kaki kanannya terasa seolah-olah remuk. Nyerinya bukan alang-kepalang!
Terdengar sorakan. Para anak buah Kim-liong-pang kini bersorak. Biarpun mereka bingung
bagaimana pemuda itur mampu menandingi Si Raksasa dengan gerakan ngawur, akan tetapi
melihat kakii raksasa itu terkena pukulan sehingga dial mengaduh-aduh, tentu saja hati
merekaj semua menjadi gembira. Hwe Li membelalakkan matanya, demikian pula Siong Ek.
Bahkan Souw Can memandang tanpa berkedip. Apa yang terjadi" Dia sendiri tidak mengerti
mengapa begitu. Apakah sebetulnya raksasa itu sama sekali tidak becus" Akan tetapi
muridnya Siong Ek, tadi dikalahkannya. Dan ketika dia mem-beri petunjuk kepada Thian Lee,
pemuda itu salah menggerakkan tongkatnya, ngawur tidak karuan. Akan tetapi, kini raksasa
itu memutar goloknya dengan sema-kin dahsyat karena dia sudah marah sekali. Dan Thian
Lee berloncatan seperti tadi. Melihat lowongan lagi, Souw Can memberl aba-aba dengan
cepat. "Tiga kali totokan ke arah kaki!" Memang dalam ilmu tongkat itu ada satu jurus yang
menotok ke arah kedua kaki secara bergantian dan berturut-turut sebanyak tiga kali. Thian
Lee menurut anjuran supeknya, tongkatnya i-neluncur ke bawah. Raksasa bermuka bopeng itu
cepat meloncat ke atas sambil melintangkan gagang goloknya untuk menangkis. Akan tetapi
tiba-tiba tongkat itu membalik, bukan menyodok ke arah kaki melainkan menyodok ke arah
kepala. "Duk-duk-dukk!" Kini dahi raksasa itu menjadi korban sodokan ujung tongkat dan seketika
tumbuh tiga telur berjajar pada dahi itu, Kembali Coat-beng-kwi mengaduh dan tangan
kirinya mengelus dahi yang bejol-benjol besar itu. Tepuk sorak meledak menyambut hasil ini
dan sejenak raksasa bermuka bopeng itu terhuyung ke belakang.
Thian Lee masih bersilat dengan tongkatnya, presis kalau dia berlatih. Souw Can terheranheran. Jelas Thian Lee ngawur, akan tetapi mengapa malah berhasil"
Hwe Li bertanya kepada Siong Ek dengan heran, "Suheng, apa yang terjadi?"
"Aku tidak mengerti, Sumoi. Mungkin hanya kebetulan saja!" kata pemuda itu dan dia
menonton dengan mata tak per-nah berkedip, terheran-heran bagaimana kini raksasa itu
mudah saja terkena pu-kulan Thian Lee sedangkan pedangnya tadi tidak pernah dapat
mengenai lawan. Akan tetapi Coat-beng-kwi sekarang mengerti. Dia tahu akan kesalahannya. Dia terlalu
mendengarkan aba-aba yang dikeluarkan Souw Pangcu sehingga dia menjaga bagian yang
disuruh serang, padahal murid yang ketololan itu menye-rang sebaliknya. Kalau tadi disuruh
me-nyerang kepala, yang diserang kakinya, sebaliknya disuruh menyerang kaki yang diserang
kepalanya. Maka dia sampai kecurian. Kini dengan kepalanya terasa berdenyut-denyut,
kakinya masih ngilu, dia menyerang lagi dengan buasn a. Saking buasnya serangan itu, Thian
Lee sampai berloncatan, berguling dan jatuh bangun, akan tetapi anehnya, golok itu tidak
pernah mengenai tubuhnya. Seolah-olah raksasa itu merasa ragu dan setiap kali goloknya
menyambar, selalu ditahannya di tengah jalan, Souw Can semakin heran. Apakah raksasa itu
merasa malu untuk melukai Thian Lee, atau-kah teringat akan ancamannya tadi sehingga
tidak melanjutkan serangannya" Sama sekali dia tidak tahu bahwa setiap kali golok itu
menyambar dekat, ada semacam hawa yang menolaknya dari tangan Thian Lee ke arah
senjata itu yang membuat gerakan golok itu menjadi tertahan. Kini Thian Lee meloncat
bangun lagi dan berusaha menyerang de-ngan tongkatnya. Kembali Souw Can melihat
lowongan dan berteriak, "Serang kepalanya!"
Kini raksasa itu tidak mempedulikan teriakan Souw-pangcu. Dia membiarkan saja kepalanya
terbuka dan menggunakan golok melindungi kakinya. Thian Lee menggerakkan tongkatnya
dan.... "takk-takk-takkk?" tiga kali berturut-turut tongkatnya menghantam kepala raksasa itu,
mengenai ubun-ubunnya! Raksasa itu terkulai dan roboh pingsan!
Tepuk sorak bergemuruh menyambut kemenangan ini. Bahkan ada anak buah Kim-liongpang yang berloncatan dan menari-nari, ada pula yang melontarkan topinya ke atas, ada yang
saling berpelukan dengan kawan sendiri.
Sementara itu, suheng dari Coat-beng-kwi menjadi marah sekali. Dia menghampiri sutenya
yang pingsan, menepuk pundak dan tengkuknya dan raksa-sa itu siuman. Dia bangun,
menggtyang-goyang kepalanya yang pening, lalu bangkit berdiri dengan nanar. Melihat
suheng dari raksasa itu yang tinggi kurus me-mandang ke arah Thlan Lee yang masih berada
di situ dengan pandang mata pe-nuh kemarahan, Souw Can lalu memang-gil Thian Lee.
"Thian Lee, ke sini engkau!" Thian Lee menghampiri supeknya. "Kebetulan sekali engkau
menang. Engkau telah berjasa dan cepat pergilah ke belakang, jangan memperlihatkan
dirimu!" bisik supek itu yang khawatir kalau-kalau dua orang itu marah dan mengancam
keselamatan Thian Lee. "Baik, Supek." Thian Lee lalu menyeret tongkatnya masuk ke belakang rumah, disambut oleh
anak buah Kim-liong-pang yang memuji-muji keberaniannya. Tak seorang pun mengira
bahwa kemenangan Thian Lee itu memang kare-na kepandaian, melainkan karena Kebetulan
dan keberuntungan. Akan tetapi me-reka harus mengakui keberanian Thian Lee yang luar
biasa. Sementara itu, suheng dari Coat-beng-kwi lalu berkata kepada Souw Can dan suaranya
terdengar besar parau, tidak sesuai dengan tubuhnya yang tinggi kurus. "Souw-pangcu, suteku
telah dikalahkan secara tidak wajar oleh muridmu. Sungguh penasaran sekali!"
Souw Can maju menghampiri Si Ting-gi Kurus dan dia berkata, "Muridku me-mang bodoh,
akan tetapi sudah jelas bahwa sutemu kalah, mengapa tidak wajar?"
"Hemm, jangan mengira kami bodoh, Pangcu. Engkau telah memberi petunjuk kepada
muridmu, dan itulah yang tidak wajar. Kekalahan suteku adalah tidak adil dan sekarang aku
mewakili sute untuk menantang Kim-liong-pang dan yang merasa memiliki kepandaian boleh
maju." "Sobat, sebelum kita bicara tentang pertandingan, boleh kami mengetahui siapakah sobat ini?"
"Aku seorang suheng dari Coat-beng-kwi, dan orang menyebut aku Thian-lo kwi (Setan Tua
dari Langit). Kalau engkau sendlrl yang hendak maju, kebetulan sekali, Pangcu. Aku sudah
lama men-dengar kebesaran nama Kim-liong-pang dan aku enggan untuk bertanding dengan
murid-muridmu yang belum berpengalaman."
"Thian-lo-kwi, sebelum kita lanjutkan, aku hendak bertanya kepadamu, apakah engkau tahu
apa sebabnya sutemu memusuhi kami?"
"Apalagi, untuk membalas kekalahan-nya yang pernah terjadi secara tidak wajar. Sekarang
dia kalah lagi secara tidak wajar pula. Aku menjadi penasaran sekali. Kalau engkau
mengatakan kekalahan itu wajar, suruh murid tololmu tadi maju melawanku!"
"Thian-io-kwi, ketahuilah bahwa kami mempunyai perusahaan pengawal barang. Ketika anak
buah kami sedang mengawal barang, kami dihadang gerombolar perampok yang dikepalai
oleh Coat Beng-kwi ini. Apakah engkau hendak membela para perampok?"
"Souw-pangcu!" bentak raksasa muka bopeng yang sudah agak pulih rasa nyeri di dahi dan
kakinya. "Kedatangan kami sekali ini tidak ada sangkut-pautnya de-ngan perampokan,
melainkan dengan me-ngadu kepandaian secara jujur dan adil. Katakan saja engkau berani
tidak mela-wan suhengku?"
"Ha-ha-ha, aku Kim-liong-pangcu tidak pernah menolak tantangan dari ma-napun juga
datangnya. Tentu saja aku berani menghadapinya!"
'fKalau begitu, bersiaplah, Pangcu!" kata Thian-lo-kwi sambil mencabut pedangnya. Sutenya
lalu didorongnya supaya Bninggir dan kini kedua orang itu sudah saling berhadapan. Souw
Hwe Li menca-but pedangnya dan memberikan pedangnya itu kepada ayahnya yang keluar tidak membawa pedang. Souw Can menerimanya dan kini kedua orang lawan itu saling berhadapan dengan pedang di
tangan. "Thian-lo-kwi, aku sudah siap melayanimu. Mulailah!" Souw-pangcu, lihat pedang!"
Kakek tinggi kurus itu mengelebatkan pedangnya dan terdengar suara berdesing nyaring.
Diam-diam Souw Can terkejut. Hebat ilmu pedang orang ini, pikirnya. Dapat menggerakkan
pedang sehingga mengeluarkan suara berdesing seperti itu saja sudah membutuhkan tenaga
sin-kang yang amat kuat. Dia pun berhati-hati dan ketika pedang lawan datang menyambar,
dia pun mengelak dan membalas dengan sabetan pedangnya yang juga dapat dielakkan lawan.
Kembali pedang Thian-io-kwi menyambar dan sekali ini, untuk mencoba tenaga lawan, Souw
Can menangkis dengan pedangnya.
"Trangggg... trangggg....i" Bunga api berpijar ketika dua pedang bertemu dua kali dan Souw
Can semakin yakin bahwa lawannya memiliki tenaga yang dahsyat sekali. Dia hanya dapat
mengimbanginya. Mereka segera terlibat dalam pertanding-an pedang yang seru. Kalau tadi
pertandingan antara raksasa muka bopeng melawan Thian Lee merupakan pertandingan yang
lucu, sekarang pertandingan antara kedua orang ini sungguh menegangkan sekali. Bahkan
Hwe Li sendiri mengepal tinju karena ia pun mengenal ilmu pedang yang hebat dari Si Tinggi
Kurus itu. Mereka berdua bersilat dengan gerakan cepat sehingga yang nampak hanya
gulungan dua sinar pedang yang saling melibat dan saling mendorong.
Sementara itu, Thian Lee tiba di istal kuda dan di situ telah berdiri Liu Ceng.
"Eh, Ceng-moi, engkau berada di sini?" tanya Thian Lee.
"Aku dilarang keluar oleh Paman,1 akan tetapi aku tadi mengintai dan melihat engkau
menangkan pertandingan, Lee-ko. Engkau... engkau... hebat sekali! Aku bangga kepadamu,
Lee-ko." Wajah Thian Lee berubah merah dan ( jantungnya berdebar. "Aih, aku menangt hanya
kebetulan saja karena Supek membantu memberi petunjuk, Ceng-moi."
"Tidak, Lee-ko. Bukan itu yang mendatangkan kagum dalam hatiku dan bangga kepadamu.
Akan tetapi keberanianmu! Bahkan Suheng Siong Ek saja kalah dalam waktu pendek, namun
engkau berani maju. Itu berarti keberanian yang luar biasa. Sekarang barulah mereka tahu
bahwa engkau lebih hebat dari suheng yang... ceriwis itu!
"Ceriwis...." Apa maksudmu, Ceng-moi?"
"Dia serihgkali menggodaku kalau kami bertemu berdua. Ah, sungguh aku tidak suka akan
sikapnya kepadaku, Lee-ko. Kalau sampai Li-moi melihatnya, tentu la akan marah dan bisa
salah sangka terhadap diriku."
"Ssttt, sudahlah, jangan bicarakan lagi. Jauhkan saja dirimu darinya kalau begitu," kata Thian
Lee yang sibuk memakaikan pelana kuda yang paling besar di antara semua kuda yang
dirawatnya. "Engkau mau ke mana, Lee-ko?"
"Ceng-moi, sekali ini aku minta kepa-damu jangan kau bilang kepada siapapun juga. Aku
akan mengacaukan tamu yang membikin ribut itu dengan kuda ini." Setelah berkata demikian,
Thian Lee lalu meloncat ke atas pelana kuda dan tiba-tiba saja kuda itu mengeluarkan ringkik
keras dan melonjak-lonjak. Thian Lee memegang cambuk kuda, mencoba untuk menahan dan
menenangkan kuda itu, akan tetapi makin lama kuda itu makin mengamuk dan berlarl keluar
dari istal sambil berlompatan aneh. Melihat inl, Liu Ceng menjadi khawatir dan ia pun
melompat ke pinggir dan ketika kuda itu berlari keluar, la pun mengikutinya sam-bil
memandang dengan mata terbelalak.
Kuda yang mengamuk itu kini tiba di pekarangan luar. "Minggir....! Minggir....! Kuda
mengamuk....!" Berulang-ulang Thian Lee berteriak dan kudanya menuju ke arah tempat di
mana Thian-lo-kwi masih bertanding pedang dengan serunya melawan Souw Can.
"Supek, minggir....! Kuda ini mengamuk, tak dapat dikendalikan!" teriak Thian Lee kepada
Souw Can. Mendengar seruan itu dan melihat betapa kuda itu menubruk ke arahnya, Souw
Can melompat jauh dan menghentikan pertandingannya. Akan tetapi tidak demikian dengan
Thian-lo-kwi. Si Tinggi Kurus ini agaknya marah sekali melihat ada seekor kuda mengganggu
jalannya pertandingan di mana dia sudah mulai dapat mendesak lawannya. Dia tidak mau
menyingkir melainkan menggerakkan pedangnya menusuk ke arah leher kuda!
Akan tetapi Thian Lee yang mencoba menenangkan kuda itu menggerakkan cambuknya ke
kanan kiri. "Hiyooo, belang... hiyoooo... tenanglah, tar-tar-tar....!" Cambuknya meledak-ledak
dalam usahanya menenangkan kuda dan tanpa dlsengaja cambuknya itu menyambar ke arah
tangan yang menusukkan pedang! Thian-lo-kwi terkejut sekali merasa pergelangannya nyeri
terpatuk ujung cambuk dan dengan sendirinya tusukannya ke arah leher kuda menjadi gagal!
Akan tetapi dia memang seorang yang pemurung dan pemarah. la mempercepat gerakannya
dan kembali menusuk, sekali inl ke arah perut kuda! Kuda itu berputar-putar dan melonjaklonjak dan Thian Lee menggerakkan cambuknya ke sana kemari dan kembali pedang itu
tertangkis cambuk dan Thian-lo-kwi merasa betapa tangannya yang memegang pedang panas.
Pedangnya terpental membalik ketika bertemu ujung cambuk yang rnenangkisnya.
Para anak buah Kim-liong-pang ikut sibuk melihat Thian Lee di atas kuda yang mengamuk
itu dan mereka mencoba untuk menenangkan kuda. Akan tetapl kuda yang seperti kesetanan
itu malah makin ganas mengamuk.
Thian-lo-kwi yang merasa penasaran sekali kini menggunakan pedangnya untuk membacok
kaki belakang kuda itu. Thian Lee kembali menggerakkan cambuknya, diputar sedemikian
rupa sehingga dapat menangkis pedang yang membacok ke arah kaki belakang kuda dan pada
saat pedang lewat, kaki belakang kuda itu tiba-tiba menyepak ke belakang dan te-pat
mengenai perut Thian-lo-kwi!
Kasihan sekali kakek tinggi kurus itu. Hanya orang yang pernah disepak kuda saja dapat
menceritakan betapa hebatnya tenaga kuda menyepak! Tenaganya ratus-an kati, apalagi kuda
itu sedang marah. Biarpun Thian-lo-kwi sudah mengerahkan sin-kangnya untuk menjaga diri,
tetap saja tubuhnya terpental jauh seperti sebuah bola dan dia terbanting jatuh sampai
bergulingan jauh! Kakek itu tidak terluka parah, akan tetapi perutnya mendadak terasa mulas
dan wajahnya menja-di pucat sekali. Dan semua anak buah Kim-liong-pang tertawa melihat
kejadian yang lucu itu. Jagoan yang tadi bertanding melawan ketua mereka kena disepak kuda
sampai terguling-guling! Merasa bahwa dia sudah tidak kuat melanjutkan perkelahian melawan Souw Pangcu yang
tangguh itu, Thian-lo-kwi lalu mengajak sutenya dengan bersungut-sungut meninggalkan
tempat itu! Thian Lee masih dengan susah payah mencoba menenangkan kudanya. Sepertl seorang
penunggang rodeo, dia pun me-nahan agar tubuhnya jangan sampai di-lempar jauh oleh kuda
yang kesetanan itu. Pada saat itu, Souw Can meloncat ke depan kuda dan menyambar tali di
hidung kuda sambil mengerahkan sin-kangnya sehingga kuda itu tidak mampu bergerak. Pada
saat itu Thian Lee berhasil melompat turun dan sungguh aneh, begitu Thian Lee melompat
turun, kuda itu pun tidak menjadi binal lagi.
"Wah, terima kasih Supek!" kata Thian Lee sambil mengelus leher kuda menenangkan
binatang yang masih terengah-engah dan berpeluh itu.
"Thian Lee, kenapa kuda ini?" tanya supeknya."
"Entahlah, Supek. Tadi ketika saya pasangi pelana dan saya tunggangi untuk dibawa ke anak
sungai, dia mengamuk, kata Thlan Lee.
"Ha-ha-ha, Si Belang telah mampu mengusir musuh'" terdengar banyak anak buah Kim-liongpang tertawa memuji Thian Lee lalu menuntun kuda itu ke istal dan tanpa setahu orang, dia
menyingkirkan sepotong batu runcing yang tadi dia sembunyikan dan selipkan di bawah
pelana kuda. Batu runcing itulah yang membuat kuda mengamuk karena ketika pelana
diduduki, batu itu menusuk punggungnya dan menimbulkan rasa nyeri yang hebat!
Peristiwa Thian Lee mengalahkan Coat-beng-kwi dan Si Belang menyepak Thian-lo-kwi
masih menjadi bahan percakapan para anak buah Kim-liong-pang dan sejak hari itu, semua
orang memandang Thian Lee sebagai seorang pahlawan! Bukail karena kepandaiannya, me-;
lainkan karena keberaniannya.
Akan tetapi Souw Can bukanlah seorang yang bodoh. Dia memanggil Thian Lee ke kamarnya
dan diajaknya pemuda itu bicara berdua saja, "Thian Lee, katakan terus terang sekarang.
Engkau adalah seorang pemuda yang menyembunyikan kepandaian, bukan" Mengakulah saja
terus terang." "Ah, tidak, tidak, Supek."
"Engkau telah menang melawan COat-beng-kwi!"
"Semua itu berkat petunjuk supek dalam ilmu Tongkat Penggebuk Anjing itu!"
"Hemm, mana ada Ilmu Tongkat Penggebuk Anjing?"
"Adik Hwe Li yang mengatakan bahwa ilmu tongkat itu adalah Ta-kaw-tung."
"Hemm, ketika aku memberi petunjuk, engkau sama sekali tidak menurut petunjukku.
Kusuruh memukul kepala malah memukul kaki dan sebaiiknya dan engkau berhasil! Itu
berarti engkau memang telah memillki ilmu tongkat yang hebat."
"Tidak, Supek. Saya hanya menggunakan akal saja. Karena petunjuk Supek dl-lakukan
dengan teriakan nyaring, saya piklr lawan tentu ikut mendengar pula dan tentu akan menjaga
bagian yang Supek suruh pukui. Karena itu saya memukul baglan yang laln, yang tidak
terjaga." Souw Can memandang tajam. "Thian Lee, Engkau bukan murid seorang sakti?"
"Bukan, Supek. Saya hanya mempela-jari ilmu silat dahulu ketika masih kecll dari Ibu."
"Ya sudahlah, akart tetapi mulai sekarang engkau ikut mengawal barang kiriman."
"Sebagai kusir, Supek?"
"Ya, ya... sebagai kusir."
Thian Lee lalu pergi ke istal dan setibanya di pekarangan belakang, Hwe Li dan Siong Ek
telah menyongsongnya. Me-reka berdua nampak penasaran sekali dan terutama sekali Siong
Ek. "Thian Lee, engkau menjadi besar kepala karena dapat mengalahkan Coat-beng-kwi, ya?"
"Ah, tidak, Kongcu." Thian Lee memang selalu menyebut Siong Ek dengan sebutan kongcu


Gelang Kemala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seperti yang dituntut darinya oleh pemuda putera jaksa itu.
"Engkau menang secara kebetulan saja karena Suhu telah memberl petunjuk padamu."
"Memang benar demikian, Kongcu". Thian Lee merendahkan diri.
"Akan tetapi engkau dipuji-puji semua anak buah Kim-liong-pang dan sebaliknya aku diejek,
seolah-olah engkau lebih lihai dariku, buktinya aku kalah dari Coat-beng-kwi dan engkau
menang." "Ah, jangan dengarkan, Kongcu. Itu hanya kebetulan saja."
"Tidak, aku harus membuktikan bahwa engkau memang lebih lihai dalam ilmu tongkat.
Karena itu, engkau harus melayani aku berlatih ilmu tongkat, ingin aku melihat sampai di
mana kehebatanmu bermain tongkat." Dan pemuda itu ternyata telah membawa dua buah
tongkat dan diserahkannya yang sebatang kepada Thlan Lee.
"Ah, tidak, Kongcu. Mana aku berani?"
"Twako, engkau harus menerima ajakannya. Suheng hanya ingin menguji ilmui tongkatmu,
apa salahnya dengan itu?" kata Hwe Li mendesak.
"Akan tetapi...." Thian Lee mencoba untuk membantah.
"Thian Lee, kalau engkau menolak berlatih dengan aku, itu berarti bahwa engkau memandang
rendah kepadaku!" Siong Ek berkata dengan tegas dan mendengar ini,, terpaksa Thian Lee
menerimer sebatang tongkat itu. Diam-diam dia merasa penasaran. Pemuda bangsawan ini
memang sombong dan dia pun teringat akan keluhan Ceng Ceng bahwa pemuda ini sering
menggodanya. Biarlah pemuda sombong ini menerima sedikit hajaran, pikir Thian Lee.
"Baiklah kalau engkau memaksa Kongcu. Akan tetapi kalau ada tongkat nyasar dan mengenai
tubuh Kongcu, harap jangan marah."
"Tentu saja!" kata Siong Ek. "Kalau kepalamu kena pukul olehku, juga engkau jangan marah.
Marilah kita mulai!" Setelah berkata demikian, Siong Ek sudah menerjang dengan
serangannya. Thian Lee malnkan llmu tongkat seperti yang diajarkan oleh Hwe Li. Sebe-tulnya, Siong Ek
tentu saja mengenal ilmu tongkat itu dan dia dapat memain-kannya jauh lebih baik
dibandingkan Thian Lee. Akan tetapi karena gerakan Thlan Lee bukan sewajarnya dan
gerakan itu dldorong tenaga yang luar biasa, maka semua serangannya dapat ditangkis dengan
baik oleh Thian Lee yang meng-gunakan ilinu tongkat itu sepenuhnya, tidak memasukkan
gerakan lain. Siong Ek merasa penasaran sekali. Sudah belasan kali tongkatnya menyambar,
akan tetapi selalu kena dihadang dan ditangkis oleh Thian Lee.
Setelah lewat delapan belas jurus dan semua jurus ilmu tongkat itu sudah dipergunakan, Thlan
Lee merasa cukup. Ketika tongkat Siong Ek menyambar lagi dengan amat dahsyatnya
menghantam kepalanya, diam-diam dia mendongkol sekali. Serangan yang dilakukan Siong
Ek itu bukan berlatih lagi namanya, melainkan serangan sungguh-sungguh yang amat ,
berbahaya. Kalau serangan itu mengenai kepala, dapat membahayakan nyawa. Maka dia pun
lalu menangkis sambil mengerahkan sediklt tenaganya.
"Dukkk... plak!" Tongkat di tangan Siong Ek yang menghantam ke arah kepala itu membalik
dan mengenai kepala Siong Ek sendiri membuat pemuda itu, terhuyung dan roboh dengan
kepala benjut! Hwe Li berseru dan cepat menolong suhengnya bangkit berdiri. Siong Ek
mengelus kepalanya yang benjut dan benjol.
"Maafkan aku, Kongcu," kata Thiar Lee.
Akan tetapi yang marah malah Hwe Li. Gadis ini mencabut pedangnya dan. membentak,
"Twako, engkau berani memukul Suheng" Baik, sekarang aku yang mengajak engkau
berlatih. Aku menggunakan pedang dan engkau menggunakan" tongkatmu!"
"Tidak, Siauw-moi, aku tidak mau".
"Engkau harus mau! Bukankah tadi engkau sudah melayani suhengku" Nah, bersiaplah, aku
ingin mencoba sampai dimana kelihaian tongkatmu!" Berkata demikian, Hwe Li sudah mulai
mernutar pedangnya dan menyerang. Terpaksa Thian Lee menggerakkan tongkatnya untuk
menangkis. Hwe Li menusuk lagi, ditangkis lagi, lalu membacok, ditangkis lagi. Repot sekali nampaknya
Thian Lee menangkisi semua serangan Hwe Li, akan tetapi makin lama Hwe Li menjadi
semakin penasaran. la yang mengajarkan ilmu tongkat itu kepada Thian Lee, akan tetapi
sekarang pedangnya sama sekali tidak mampu menembus pertahanan tongkat pemuda itu! la
semakin penasaran dan bersemangat. Thian Lee menjadi serbia salah. Dia meloncat ke sana
sini dan menangkis. Gadis ini keras hati dar angkuh, pikirnya. Sebelum dapat
mengalahkannya tentu tidak mau sudah. Apalagi dia tadi telah membuat Song Ek terpukul
kepalanya dan agaknya hal ini membuat Hwe Li marah sekali. Dia harus dapat memuaskan
hati gadis ini kalau hendak menyudahl pertandingan itu.
Ketika pedang itu menusuk dada, Isengaja Thian Lee memperlambat elakan-inya dan pedang
itu masuk ke bawah ?ketiaknya dan dijepit dengan lengan kiri-l^a? cnembiarkan kulit lengan
kirinya terluka pedang. "Aduhh....!" Teriaknya dan dia terhuyung ke belakang. Hwe Li terkejut sekali. Demikian
cepat gerakan Thian Lee sehinga la mengira bahwa pedangnya benar-benar menembus dada
pemuda itu. "Twako....! Kau... kau tidak apa-apa....?" Hwe Li meloncat mendekat.
"Tidak mengapa, Li-moi, hanya terluka sedikit pada lenganku," kata Thian Lee,
mennperlihatkan sebelah dalam le-ngan kirinya yang terluka berdarah.
Legalah hati Hwe Li, dan hati Thian Lee juga terhibur. Bagaimanapun juga, Hwe Li bukan
seorang gadis kejam yang suka membunuh. Dan pada saat itu muncullah Souw Can. Melihat
tangan Thian Lee berdarah, dia terkejut, apalagi melihat kepala Siong Ek juga benjol.
"Eh, apa yang telah terjadi di sini" Siong Ek, mengapa kepalamu" Dan Thian Lee, kenapa
pula lenganmu itu?" Siong Ek tidak dapat menjawab dan Hwe Li juga takut kalau ayahnya marah. Thian Lee yang
cepat menjawab, "Ah, tidak apa-apa, Supek. Tadi saya mengajak Lai-kongcu untuk latihan.
Dia menggunakan pedang dan aku menggunakan tongkat. Sungguh, tidak ada apa-apa."
"Benar, Ayah. Mereka tadi berlatih."
"Hemm, dan Siong Ek terpukul kepa; lanya dan Thian Lee terluka lengannya?"
"Be... benar, Ayah," kata Hwe Li sambil melirik ke arah Thian Lee.
"Supek, Lai-kongcu melukai lenganku tanpa sengaja dan karena menyesal, dia mengalah dan
membiarkan kepalanya sedikit terpukul tongkatku. Akan tetapi tentu saja aku kalah jauh.
Kalau dia menghendaki, tentu bukan lenganku yang luka, akan tetapi pedang itu akan
menembus dadaku." "Sudahlah, mulai sekarang kalian tidak boleh bertanding lagi. Mengerti?"
"Mengerti, Suhu. Maafkan teecu," kata Siong Ek yang merasa terpukul hatinya.
Bagaimanapun juga, tadi dia telah dikalahkan oleh Thian Lee! Tentu saja dia merasa
penasaran bukan main. Setelah Souw Can pergi, Siong Ek sempat berkata kepada Thian Lee, "Mungkin dalam hal
ilmu tongkat aku kurang latihan, akan tetapi lain kali aku masih ingin mengujimu dengan ilmu
pedang!" "Sudahlah, Suheng. Kaiau Ayah mendengarnya tentu akan marah sekali kepada kita. Twako,
jangan engkau mengatakan apa yang terjadi tadi kepada Ayah. Awas kau kalau menceritakan.
Mari, Suheng, kuambilkan obat untuk kepala-mu." Dua orang itu lalu pergi meninggal-kan
Thian Lee dan pemuda ini terme-nung. Hatinya merasa tidak enak sekali. Kalau begini sikap
Siong Ek dan Hwe Li, dia tidak mungkin dapat tinggal terus di situ. Akan terjadi hal-hal yang
tidak enak. Dia harus pergi dari situ, mencari suasana baru. Dia harus mencari alasan yang
tepat untuk berpamit dari supeknya. Supeknya terlalu memanjakan Hwe Li dan gadis itu
agaknya saling mencinta dengan suhengnya. Dia tidak ingin menn-buat mereka terus
penasaran kepadanya. Malam itu juga dia menghadap supek-nya dan menyatakan keinginannya untuk pergi
merantau. Souw Can terkejut mendengar ini. "Apa" Engkau hendak pergi ke mana, Thian
Lee?" "Ke mana saja, Supek. Saya hendak mencari pengalaman hidup yang baru, saya ingin pergi
ke... ke kota raja atau ke mana saja."
"Tidak mungkin. Engkau harus menga-takan yang sebenarnya kepadaku. Apa alasanmu
hendak pergi meninggalkan kami" Apakah barangkali Lai Siong Ek sudah bersikap tidak
pantas kepadamu" Ataukah puteriku yang mengganggumu?"
"Tidak, tidak, Supek. Sebetulnya... ah, terus terang saja setelah terjadi peris-tiwa pertempuran
itu, hati saya merasa tidak enak selalu. Coat-beng-kwi dan su-hengnya itu tentu merasa
dendam dan marah kepada saya dan tentu mereka akan datang lagi mencari saya. Saya... saya
merasa takut tinggal di sini. Ijinkanlah saya pergi."
Souw Can mengerutkan alisnya. Takut" Tadinya begitu berani menentang bahaya, melawan
musuh-musuh yang tangguh dan sekarang mengatakan takut"
"Kenapa takut" Di sinl ada aku yang akan melindungimu."
"Saya tidak ingin karena saya maka Supek bermusuhan dengan orang-orang kang-ouw.
Biarkan saya pergi saja, saya ingin mengunjungi makam Ibu. Sejak Ibu meninggal dunia, saya
belum pernah ber-kunjung ke makamnya. Ijinkanlah saya pergi, Supek."
Karena pemuda itu minta dengan sangat Souw Can tidak dapat menahan lagi. Dla menghela
napas panjang. "Sayang engkau hendak pergi, Thian Lee. Sebetulnya aku berniat untuk
menurunkari ilmu-ilmuku kepadamu. Agaknya engkau berbakat baik sekali. Ah, kalau engkau
ingin merantau, mengapa engkau tidak mengunjungi adikku" Dia tentu akan dapat menjadi
guru yang amat baik untukmu."
"Siapa adik Supek?"
"Adikku bernama Souw Tek Bun. Dia bukan murid Kun-lun-pai seperti aku, akan tetapi dia
telah merantau sejak kecil dan mempelajari banyak macam ilmu silat sehingga kini
kepandaiannya jauh di atas tingkatku. Dan dia se-orang yang memiliki kedudukan tinggi.
Thian Lee. Dialah yang terpilih, menjadi bengcu, pimpinan dunia kang-ouw yang dipilih
sendiri oleh Kaisar. Dia banyak berjasa untuk Kaisar dan dihormati semua orang kang-ouw.
Pergilah engkau kepadanya, Thian Lee. Dia tinggai di puncak Hong-san. Kalau engkau
mengatakan bahwa engkau murid keponaKanku dan aku yang menyuruhmu datang padanya,
tentu dia akan menerimamu dengan baik."
"Terima kasth, Supek. Akan saya perhatikan pesan dan nasihat Supek."
Ketika hendak kembali ke kamarnya. Thian Lee teringat akan kuda-kuda yang selama ini
dipeliharanya, maka dia pun lalu keluar menuju ke belakang, ke istal kuda. Tiba-tiba ia
berhadapan dengan Hwe Li yang baru masuk dari taman.
"Li-moi, kebetulan sekali kita bertemu di sinl."
"Hemm, engkau mau apa?" tanya gadis itu sambil memandang tajam.
"Aku hendak berpamit kepadamu Siauw-moi."
Gadis itu membelalakkan matanya. "Berpamit" Engkau hendak pergi ke manakah, Twako?"
"Besok pagi-pagi aku akan meninggal-jkan tempat ini, Li-moi."
"Ehh?" Gadis itu berseru heran. "Eng-kau hendak pergi ke manakah" Apakah Ayah telah
mengetahui hal ini?"
"Aku sudah berpamit kepada Supek dan dia menyetujui, aku akan pergi merantau."
"Akan tetapi mengapa engkau hendak pergi" Twako, kalau ada kesalahanku selama ini
terhadapmu, kaulupakan saja-iah. Apakah karena itu engkau pergi?"
"Bukan, Li-moi."
"Ah, aku mengerti sekarang. Tentu karena peristiwa kedatangan musuh-musuh itu."
"Li-moi, aku telah membuat keributan. Aku tidak ingin Coat-beng-kwi dan suhengnya datang
lagi mencariku. Aku harus pergi dari sini!"
"Eh-eh, engkau takut" Ada aku di sini, Twako, jangan takut. Dan ada pula Ayah."
"Bukan takut, Li-moi. Hanya aku tidak ingin karena untuk mellndungi aku, ayahmu dan
engkau akan bermusuhan dengan orang-orang kang-ouw. Aku akan pergi mengunjungi
makam ibuku, aku akan mencari pengalaman di kota raja atau mana saja."
"Ah, aku menyesal sekali.
"Kenapa menyesal, adik yang baik" Bukankah engkau biasanya tidak suka kepadaku?"
"Ihh, kenapa engkau berkata begitu, Twako" Bukankah aku telah melatihmu ilmu silat dengan
sungguh-sungguh" Aku sama sekali bukan tidak suka kepadannru. Dan... eh, bagaimana
dengan luka dt lenganmu itu" Sudah sembuhkah?" Gadis ,. itu memandahg ke arah lengan
Thlan Lee yang pernah terluka oleh pedangnya tempo hari.
"Ah, hanya luka lecet, Li-moi. Sekarang sudah sennbuh dan kering."
"Sekali lagi, Twako, engkau bukan pergi karena... marah kepadaku, bukan?"
"Sama sekali tidak. Selama ini engkau baik sekali kepadaku, Li-moi. Aku berterima kasih
sekali kepadamu dan ingin mengucapkan selamat tlnggal."
"Kalau begitu, selamat jalan, Twako. Dan kalau engkau sudah bosan merantau, kembalilah ke
sini. Ayah tentu akan menerimamu dengan senang. Aku tahu bahwa Ayah amat sayang
kepadamu." Terharu juga hati Thian Lee diingatkan begitu. Dia pun tahu bahwa supek-nya sayang
kepadanya dan mungkin ka-rena kesayangannya itu, gadis inl merasa iri dan biasanya
bersikap tidak manis kepadanya"
"Terima kasih, Li-moi."
Hwe Li lalu melarijutkan langkahnya memasuki rumah dan Thian Lee pergi ke istal kuda.
Sampai lama dia berada di istal kuda mengelus setiap kuda yang biasa dia rawat dan beri
makan. Kemudian dia kembali ke kamarnya untuk mengambil keputusan bulat. Dia akan
pergi bersembahyang ke makam ibunya, setelah itu, dia akan merantau dan bekerja.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Thian Lee sudah mandi lalu berkemas. Dia telah
diberi beberapa stel pakaian oleh supeknya dan semua pakaian itu dia bungkus dengan sehelai
kain lebar. Dia tidak lupa untuk mengambil pedangnya dari bawah atap lalu menyembunyikan
pedang itu di dalam buntalan pakaiannya. Dengan mengikatkan buntalan itu ke punggungnya,
dia lalu mencari supeknya di ruangan dalam. Dan supeknya yang agaknya sudah tahu bahwa
dia akan berangkat pagi-pagi ternyata juga sudah bangun dan menantinya di situ.
"Ah, engkau sudah hendak berangkat, Thian Lee."
"Benar, Supek. Saya hendak berangkat j pagi-pagi, menuju ke dusun Nam-kiang-jung untuk
menyembahyangi makam ibu saya."
"Thian Lee, aku tidak dapat menahan keinginanmu merantau dan aku tidak dapat memberi
apa-apa kecuali ini. Ba-walah ini untuk bekal perjalananmu dan sebelum bekal ini habis,
engkau bekerjalah, atau kalau tidak mendapatkan pekerjaan, engkau kembalilah ke sinl."
Pangcu itu menyerahkan sekantung uang perak kepada Thian Lee.
Pemuda itu merasa terharu sekali dan dia menjatuhkan dirinya berlutut dl depan Souw Can.
"Supek telah bersikap baik sekali kepada saya. Saya tidak akan melupakan budi kebaikan
Supek ini," katanya sambil memberi hormat.
Souw Can mengangkat bangun. "Aih, sudahlah. Apa yang kulakukan kepadamu belum cukup
untuk membalas budi mendiang ayahmu kepadaku."
Setelah menerima sekantung uang perak dan menylmpannya dalam buntalannya, Thian Lee
memberi hormat lagi lalu berpamit dan meninggalkan supeknya. Hari masih terlalu pagi dan
agaknya anggauta keluarga lainnya belum bangun. Thian Lee lalu keluar dari rumah itu dan di
pekarangan yang masih sepi itu tiba-tiba dia mendengar suara panggilan lirih,
Dia menoleh dan melihat Lui Ceng yang memanggilnya. Sepasang mata gadis itu merah
seperti bekas menangis. "Ah, engkau Ceng-moi" Sepagi ini engkau sudah di sini?"
"Setiap hari aku bangun pagi, Lee-ko. Aku... aku sudah mendengar bahwa engkau hendak
pergi. Engkau... hendak pergi ke manakah, Lee-ko?"
"Aku hendak pergi merantau, Ceng-moi."
"Akan tetapi kenapakah, Lee-ko" B Sudah baik engkau berada di sini, kenapa hendak pergi"
Kenapa, Lee-ko?" Thian Lee merasa heran sekali mendengar suara yang menggetar itu,
seperti suara orang menahan tangis!
"Aku hendak merantau mencari pengalaman hidup Ceng-moi. Aku... aku merasa tidak enak
karena membikin ribut di sini dan menanamkan bibit permusuhan dengan orang-orang kangouw. Aku tidak ingin melibatkan Supek dengan permusuhan itu."
"Ah, akan tetapi itu bukan salahmu! Tidak ada yang berhak menyalahkanmu dalam peristiwa
itu!" kata Ceng Ceng dengan suara mengandung penasaran.
"Bukan hanya itu, Ceng-moi. Memang aku ingin merantau, ingin menengok makam ibuku,
ingin meluaskan pengalaman hidupku. Aku tidak bisa ikut Supek terus, menjadi keenakan dan
tidak akan merasakan bagaimana sukarnya hidup bekerja sendiri."
"Ah, Lee-ko, aku... aku iri kepada-mu," dan gadis itu tidak dapat menahan mengalirnya air
matanya. "Aku pun sepertimu, aku yatim piatu... aku menggan-tungkan hidupku pada
Paman... ah, kalau saja aku bisa seperti engkau, merantau dan hidup sendiri!"
"Mana mungkin, Ceng-moi" Engkau seorang gadis, dan pamanmu begitu baik kepadamu,
juga Li-moi sudah menganggap, engkau seperti saudara sendiri."
"Aku tahu bahwa Adik Hwe Li tidak. bersikap baik kepadamu, bahkan ia sering mengejek
dan menghinamu. Juga Suheng Siong Ek bersikap tidak baik dan som-bong kepadamu.
Apakah hal itu yang membuatmu pergi dari sini, Lee-ko?"
"Ah, tidak sama sekali, Ceng-moi. Juga Li-moi tidaklah sejahat yang ia perlihatkan. Aku
memang ingin merantau terbang bebas ke udara seperti burung bangau...."
"Aku... aku akan merasa kehilangan, , aku akan merasa kesepian, Lee-ko!" Dan kini Ceng
Ceng menangis! Thian Lee terbelalak bengong. "Tapi, kenapa, Ceng-moi?"
"Entahlah, Lee-ko. Selama ini... di dalam hati aku merasa dekat sekali denganmu. Aku
memandang engkau sebagai seorang yang senasib, ikut mondok di rumah Paman. Kalau
melihat engkau, setidaknya hatiku terhibur karena ada kawan senasib. Akan tetapi mendadak
engkau akan pergi Ah, aku rnerasa bersedih sekali, Lee-ko!"
Thian Lee merasa kasihan sekali.
"Sudahlah, ceng-moi, tenangkan hatimu. Engkau seorang anak yang baik sekali, pamanmu
dan saudara misanmu amat mencintamu. Engkau akan hidup bahagia di sini."
"Akan tetapi kalau aku teringat akan sikap Suheng kepadaku, rasanya aku tidak betah lagi
tinggal di sini, Lee-ko. Kalau saja aku dapat ikut bersamamu pergi merantau!"
"Husss, jangan bicara demikian. Tidak boleh sama sekali, Ceng-moi. Sedang aku mengurus
diriku sendiri saja belum mam-pu, bagaimana engkau akan ikut" Juga pamanmu tentu akan
melarang keras dan aku sendiri pun tidak berani. Tentu orang lain akan menyangka yang
bukan-bukan. Sudahlah, tabahkan hatimu, Ceng-moi. Percayalah, nasibmu akan baik kelak
ka-rena engkau seorang anak yang baik. Selamat tinggal, Ceng-moi."
"Lee-ko, engkau... engkau tidak akan lupa kepadaku, bukan?" tanya gadis Jutu memelas.
Thian Lee tersenyum. "Bagaimana mungkin cku dapat melupakan seorang gadis seperti
engkau, Ceng-moi. Engkau cantik ielita, engkau baik hati dan engkau pandai. Sudahlah, aku
pergi, Ceng-moi." "Selamat jalan, Lee-ko. Semoga Thian akan menunjukkan jalan bagimu dan akan selalu
membimbingmu." "Terima kasih. Doamu itu amat ber-"harga bagiku."
Thian Lee lalu berangkat, melangkah diikuti pandang mata yang berlinang air.
Setelah rneninggalkan Pao-ting, Thian Lee langsung saja menuju ke dusun Nam-kiang-jung,
sebuah dusun di sebelah se-latan sungai yang dulu menjadi tempat tinggal ibunya. Perjalanan


Gelang Kemala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jauh itu di-tempuhnya dengan selamat dan lancar karena dia dibekali uang yang o-ikup oleh
pamannya. 3uga penampilannya yang sederhana tidak menarik perhatian orang jahat sehingga
dalan perjalanan tidak ada orang mau mengganggunya. Siapa yang akan mengganggu seorang
pemuda berpa-kaian sederhana mennbawa buntalan dan kain kasar yang agaknya tidak ada
isinya yang berharga itu"
Jantung Thian Lee berdebar tegang ketika dia akhirnya memasuki dusun Nam-kiang-jung dan
terbayanglah semua yane terjadi di dusun itu dalam benak-nya. Ketika untuk pertama kali
ibunya dan dia datang ke dusun itu, membeh tanah dan mendirikan rumah, berolah tani.
Kemudian kemunculan lurah yang biadab itu, yang mengakibatkan tewasnya ibunya. Dia
sengaja berjalan-jalan di dusun itu, melewati bekas rumah ibunya yang kini agaknya
ditinggali orang lam. 3uea dia melewati rumah lurah yang kini telah mengalami perubahan,
rumahnya kini nampak besar dan keadaannya lebih indah. Memang dusun itu pada umumnya
mengalami perubahan, walaupim ada beberapa rumah yang masih seperti sepuluh tahun yang
lalu. Jilid 11________ Ke mana dia harus mencari makan, ibunya" Dia harus bertanya kepada seseorang yang dahulu
mengetahui peristiwa itu. Langkahnya membawanya menuju ke sebuah rumah yang terletak
di belah kanan bekas rumah ibunya, karena rumah itu masih rumah lama dan dikenalnya
benar sebagai rumah keluarga Cia. Bahkan dahulu ketika peristiwa itu terjadi, Paman Cia
yang menyuruhku agar cepat pergi, pikirnya.
Dia memasuki pekarangan rumah kuno yang cukup besar itu. Ada dua orang anak laki-laki
berusia kurang lebih sepuluh tahun bermain-main di halaman depan dari meceka memandang
heran ketika rnelihat Thian Lee masuk.
"Adik yang baik, aku mencari Paman Cla. Apakah dia berada di rumah?" tanyanya kepada
kedua orang anak itu. Dia mengingat-ingat. Dahulu yang tinggal di rumah itu adalah Paman
Cia dan seorang puteranya bersama mantunya. Mungkin anak itu adalah cucunya, piklrnya.
"Kakekmu she Cia?" Dia menambahkan, seperti membantu anak itu.
Anak yang mukanya buiat mengangguk. "Apakah engkau mencari kakekku" Dia berada di
rumah, sedang mencangkul di kebun belakang."
"Benar, maukah engkau memanggilnya untukku. Katakan saja bahwa Kak Song datang
berkunjung." Kedua orang anak itu lalu berlari-lari memasuki rumah dan Thian Lee me-nanti dengan hati
tegang. Kalau benar Paman Cia yang muncul, tentu dia akan dengan mudah mendapatkan
keterangan di mana makam ibunya.
Tak iama kemudian dua orang anak itu muncul lagi bersama seorang kakek berusia enam
puluhan tahun. Biarpun sudah lama iewat, sudah hampir sepuluh tahun, Thian Lee masih
ingat benar ka-kek itu. Seorang kakek yang kurus berkeriput akan tetapi tubuhnya masih sehat
dan kuat berkat kerja keras di alam terbuka. Kakek Cia yang dulu menasihati agar dia
melarikan diri cepat-cepat. Akan tetapi kakek itu tidak mengenai-nya. Dengan baju yang
masih kotor berlumur, dia memberi hormat kepada Thian Lee.
"Orang muda, engkau mencariku tanyanya ragu.
Thian Lee tersenyum. "Paman Cia, lupakah Paman kepadaku" Aku Song Thian Lee, anak dari
tetangga sebelah yang sepuluh tahun lalu terpaksa melarikan diri itu
Sepasang mata itu terbelalak. Waktu sepuluh tahun bagi seorang tua tidak membawa banyak
perubahan pada wajahnya, akan tetapi tidak demikian bagi seorang kanak-kanak. Thian Lee
sepuluh tahun yang lalu tentu saja berbeda dengan yang sekarang. Dulu dia masih kanakkanak, sekarang telah menjadi seorang pemuda dewasa yang tarnpan dan gagah.
"Ah engkau...." Engkau yang ibunya...."
"Benar, Paman. Akulah anak itu."
Orang itu lalu cepat berkata, "Mari masuk ke dalam. Kita bicara di dalam saja, orang muda."
Thian Lee mengikuti kakek itu masuk ke dalam rumah dan tak lama kemudlan mereka telah
berhadapan duduk di kursi, dalam sebuah ruangan tertutup.
"Ah, Thian Lee. Sukurlah, aku khawatir kalau mengingatmu. Sukurlah engkau selamat dan
kini menjadi seorang pemuda dewasa. Kau tahu, ibumu dianggap pemberontak, telah
membunuh lurah, maka engkau kuajak masuk. Kalau pejabat mengetahui bahwa engkau
putera ibumu yang dianggap pemberontak, tentu akan terjadi keributan, oleh karena itu
engkau kuajak bicara di dalam. Sekarang, apa maksudmu kembali ke dusun ini" Sebaiknya
kalau engkau menjauhkan diri dari dusun ini yang sudah mulai melupakan peristiwa rnasa lalu
itu." "Aku hanya ingin bertanya kepadamu, Paman, apa yang sebetulnya telah terjadi dengan ibuku
pada waktu itu, dan di mana jenazah ibuku dimakamkan."
"Apa yang terjadi" Ah, ibumu terlalu keras hati dan Bouw-cungcu (Lurah Bouw) itu memang
seorang yang mata keranjang. Lurah Bouw hendak memaksa ibumu yang janda untuk menjadi
selirnya. Ibumu tidak mau dan bahkan telah memukul lurah itu. Maka Lurah Bouw lalu
melaporkan kepada atasan bahwa ibumu seorang pemberontak yang berani melawan lurah.
Pasukan datang, ibumu ditangkap dan akan diperkosa oleh lurah itu. Ibumu yang sudah diikat
kaki tangarnya itu masih mampu menggigit leher lurah Bouw, sampai urat-urat leher putusputus dan Lurah Bouw tewas dalam keadaan mengerikan sekall. Akan tetapi ibumu juga
dibunuh oleh pasukan yang mengawal lurah itu. Nah, itulah yang terjadi, Thian Lee. Ketika
melihat engkau masih hidup dan menangisi jenazah ibumu, aku segera menasihatkan agar
engkau cepat lari karena kalau tidak, mungkin saja engkau sebagai puteranya ditangkap."
"Terima kasih atas budi Paman itu. Karena peringatan Paman maka aku masih hidup sampai
sekarang. Akan tetapi di mana jenazah ibuku dimakamkan, Paman" Aku ingin
bersembahyang ke sana."
"Kami para tetangga beramai-ramai menguburkan jenazah ibumu, akan tetapi tidak di tanah
kuburan umum, hal ini dilarang oleh para pimpinan dusun dan terpaksa kami
menguburkannya di lereng bukit di luar dusun itu."
"Terima kasih, Paman. Sekarang juga aku akan pergi ke sana bersembahyang. Oya, ada
sedikit lagi, Paman, bagaimana dengan rumah ibu sekarang" Siapa yang menempatinya?"
"Terus terang saja, aku yang mengurus rumah ibu. Aku menyewakannya kepada sebuah
keluarga dan uang sewanya kupergunakan untuk merawat rumah itu. Kalau engkau
membutuhkan rumah itu...."
"Tidak, Paman. Aku tidak akan mungkin tinggal di dusun inl. Mengingat semua kebaikan
Paman, biarlah rumah itu kuberikan saja kepada Paman. Aku tidak membutuhkannya."
"Ah, terima kasih, Thian Lee Kakek itu berseru girang.
Thian Lee lalu meninggalkan dusun itu dan mendaki bukit kecil di luar dusun. Karena
memang hanya satu-satunya makam yang berada di lereng bukit itu? maka mudah saja bagi
Thian Lee menemukan makam ibunya dan dia mejatuhkan dirinya berlutut di depan makam
itu. Ada sebuah rusan kayu di mana dituliskan nama ibunya dan kayu itu sudah mulai lapuk,
namun nama yang dituiiskan di atas papan itu masih dapat terbaca. Nama itu adalah Kwa
Siang, nama ibunya. Setelah memberi hormat dengan berlutut delapan kali, Thian Lee lalu duduk dl atas rumput
depan makam, melamun. Teringatlah dia akan kehidupan di masa kanak-kanak, bersama
ibunya yang amat menyayangnya, betapa dia dilatih ilmu silat oleh ibunya. Masih teringat dia
akan cerita ibunya tentang ayahnya, dan pesan ibunya agar kelak dia menjadi seorang
pendekar dan menentang semua pangeran! Bahkan kalau mungkin dia disuruh membunuh
semua pangeran Mancu. Thian Lee menghela napas panjang. "Tidak mungkin, Ibu. Tidak semua pangeran jahat,
bagaimana aku harus membunuhi mereka" Kalau bertemu orang jahat, biar dia pangeran
ataupun bukan, pasti akan kutentang. Pesan Ibu untuk menegakkan kebenaran dan keadilan
akan tetap kujunjung tinggi, Ibu. Ayah tewas di tangan pasukan, demikian pula Ibu. Tidak
mungkin aku mendendam kepada semua pasukan pemerintah. Musuh pribadi Ibu adalah
Lurah Bouw yang sudah Ibu bunuh sendiri. Musuh pribadi Ayah adalah seorang pangeran
yang keadaannya sudah sakit-sakitan. Ayah dianggap pemberontak karena memukuli seorang
pangeran. Sudahlah, Ibu. Tidak ada dendam pribadi lagi meracuni hatiku dan harap Ibu
tenang di alam baka. Demikian hatinya bicara seorang diri.
Akan tetapi tetap saja dia merasa tidak tenang seolah-olah membayangkan ibunya akan
marah-marah kepadanya karena dia tidak membalaskan kematian ayahnya.
"Baiklah, Ibu...." Akhirnya dia meng-hela napas panjang. "Sekarang juga aku akan pergi ke
kota raja. Akan tetapi aku tidak akan membunuh pangeran itu begitu saja. Akan kuselidiki
dulu apakah dia masih melakukan kejahatan. Kalau tidak, tak mungkin aku membunuh orang
yang sudah sadar dari kejahatannya. Tenang sajalah, Ibu."
Dia berlutut lagi dan memberi hormat sampai lama, baru kemudian dia meninggalkan makam
itu setelah membabat rumput di sekltar makam sampai bersih.
Thlan Lee memasuki kota raja. Dia mencari pekerjaan yang akhirnya mendapatkan pekerjaan
di sebuah rumah makan sebagai pencucl mangkok piring! Dia menerima pekerjaan kasar Ini
sekedar untuk mendapatkan tempat tinggal dan makan. Oi rumah makan terdapat banyak
tamu dan dia dapat melakukan penyelidikannya dengan mendengar-dengar berita tentang
Pangeran Bian Kun. Di dalam hatinya, sebetulnya tidak ada semangat untuk membalas
dendam kepada pangeran itu. Pangeran itu membujuk-bujuk gadis dusun rnenjadi selirnya.
Orang tua si gadis sudah memberikannya, akan tetapi ayahnya mencampuri dan menghajar
pangeran itu. Agaknya ayahnya berdarah panas dan mudah marah. Kemudian, ka-rena
memukuli pangeran, ayahnya dianggap pemberontak lalu dikeroyok pasukan. Bagaimanapun
juga, pangeran itu tidak langsung bertanggung jawab atas kematian ayahnya. Andaikata
ayahnya tidak mencampuri urusan pengambilan gadis, tentu ayahnya tidak dikeroyok tentara.
Akan tetapi dia ingin pula menyelidiki, bagaimana kelakuan pangeran itu sekarang. Kalau
masih seperti dulu, tentu dia akan memberi hajaran kepadanya, bukan karena kematian
ayahnya, melainkan karena kejahatan pangeran itu. Dia condong menaati pesan guru-gurunya
bahwa perbuatan membalas dendam adalah perbuatan yang tidak benar. Kalau dia menentang
seseorang, maka kejahatan orang itulah yang ditentangnya, bukan karena dendam.
Baru saja bekerja sebulan lamanya, Thian Lee sudah diangkat menjadi pelayan. Agaknya dia
amat rajin dan majikannya menyukai pekerjaannya, maka dia diangkat menjadi pelayan. Dan
ini memang amat dikehendaki Thian Lee. Dengan menjadi pelayan dia akan lebih mudah
berhubungan dengan para tamu dan mendengar lebih banyak.
Pada suatu siang yang ramai. Rumah makan itu penuh dengan tamu, terutama sekali dl
ruangan dalam. Para tamu leblh senang mendapatkan ruangan dalam ini karena selain lebih
luas dan nyaman, juga kursi-kursinya lebih bagus dibandingkan dengan yang berada di
ruangan luar. Ketika itu, ruangan dalam yang hanya terdiri dari lima meja itu telan penuh
dengan tamu. Mendadak terdengar ribut-ribut di luar dan tak lama kemudian, pemilik rumah makan itu
bersama dua orang yang berpakaian sebagai perwira memasuki ruangan dalam. Setelah tiba di
ruangan itu, pemilik rumah makan lalu memberi hormat kepada semua tamu dan berkata
dengan suara terpaksa dan mengandung penyesalan, "Harap Cuwi suka memaafkan kami
kalau kami terpaksa mempersilakan Cuwi untuk pindah duduk di ruangan luar karena ruangan
ini akan dipakai oleh rombongan Bian-kongcu, putera dari Pangeran Bian. Harap Cuwi
rnaklum dan suka berpindah ke depan."
Mendengar ini, para tamu bangkit dari tempat duduknya dan berbondong pindah, pindah ke
depan. Mereka semua segan untuk membantah dan berurusan dengan Pangeran Bian! Akan
tetapi setelah semua orang berpindah, di situ masih terdapat seorang yang masih di kursinya
menghadapi meja. Pemillk rumah makan itu menghampiri orang ini, dan memandang penuh perhatian. Dia
seorang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun, nampak gagah walaupun
pakaiannya sederhana, mukanya persegi empat dengan alis yang hitam lebat dan mata
mencorong seperti mata harimau. Lalu pemilik rumah makan i.tu berkata, "Sobat, agaknya
engkau bukan penduduk kota raja. Kami harap agar engkau suka berpindah ke bagian depan
rumah makan itu karena ruangan ini akan dipakai oleh rombongan Bian-kongcu."
"Hemm, bukankah ini rumah makan yang dibuka untuk umum?" tanya orang itu dengan
suaranya yang lantang. "Benar." "Nah, aku juga makan minum dengan membayar di sini. Bagaimana seenaknya saja orang
boleh mengusir aku" Sebelum aku selesai makan minum, aku tidak akan meninggalkan
tempat ini." Melihat kekerasan dan kelihaian orang itu, pemilik rumah makan menjadi bingung dan serba
salah. Dia lalu memberi hormat lagi, "Sobat, harap suka mengalah. Biarlah engkau boleh
makan minum di sini tanpa bayar asal engkau suka pindah ke bagian depan dan
mengosongkan ruangan ini."
Orang itu bangkit dari kursinya dan matanya melotot. "Eh, kaukira aku ini orang yang suka
makan nijinum tanpa bayar" Tidak, aku akan tetdp duduk di sini, tidak peduli siapa pun yang
akan menempati kursi-kursi yang lain."
Selagi pemilik rumah makan itu kebingungan, dua orang perwlra itu lalu menghampiri orang
yang kukuh tadi dan sebrang di antara mereka membentak, "Tempat ini akan dipakal Biankongcu dan para tamunya, bahkan ada pula putera Pangeran Tua yang akan hadir, dan engkau
tetap tidak mau pergi?"
"Tidak, ini tempat umum. Biarpun siapa saja tldak dapat mengusir aku pergi dari sini!" kata
orang tadi dengan sikap menantang.
Thian Lee yang mendengar ribut-ribut Segera menjenguk ke dalam dan dia kagum akan sikap
orang itu walaupun dia tahu bahwa sikap keras itu pasti memancing timbulnya keributan.
Orang itu agaknya keras kepala dan pemarah, dan tidak menghormati para bangsawan.
"Kalau engkau tidak mau pergi, kami akan mpnggunakan kekerasan!" kata perwira ke dua.
"Terserah, aku tldak takut akan kekerasan!" jawab orang itu melotot.
Dua perwira itu lalu memberi isyarat ke belakang mereka dan masuklah berserabutan belasan
orang anak buah mereka. "Tangkap orang ini dan seret dia keluar." perintah perwira-perwira
itu dengan marah. Belasan orang perajurit itu lalu maju dan hendak menangkap si orang bermuka persegi, akan
tetapi segera mereka itu bergelimpangan terkena tamparan dan tendangan orang itu. Thian
Lee melihat bahwa orang itu cukup tangkas, dalam waktu singkat saja telah merobohkan tiga
belas orang perajurit dengan tamparan dan tendangannya. Melihat ini, dua orang perwira itu
menjadi marah bukan main. Mereka mencabut pedang masing-masing, lalu keduanya
menyerbu ke arah orang itu dengan pedang mereka. Thian Lee melihat gerakan dua orang
perwira ini tidak merasa khawatir. Orang itu jauh lebih tangguh, pikirnya. Dan benar saja,
orang itu menyambar sebuah kursi dan menghadapi dua batang pedang itu de-ngan kursi
kayu. Akan tetapi, amukannya demikian hebat sehingga dalam belasan jurus saja dua orang
perwira itu pun terkapar seperti halnya belasan orang anak buahnya. Mereka sepertl anak
buah mereka, lalu melarikan dlri keluar dari t ruangan itu.
Pada saat itu, mendadak kelihatan seorang pemuda yang berpakaian mewah memasuki
ruangan itu. Pemuda ini berusia masih muda sekali, paling banyak sembilan belas tahun,
selain pakaiannya mewah juga wajahnya tampan sekali dengan mata yang sipit sehlngga
kelihatannya seperti terpejam selalu.
"Hemm, orang hutan dari mana berani datang ke kota raja membuat kerusuhan?" bentak
pemuda itu dengan sikapnya yang tenang. "Ruangan ini kami yang akan pakai, mengapa
engkau berkeras tidak mau pindah bahkan telah main pukul terhadap para pengawal kami?"
Orang itu laiu memandang pemuda itu lalu tersenyum mengejek, "Aha, ini agaknya yang
bernarna Bian-kongcu dar yang memaksa orang pindah meninggalkan mejanya" Sombong
benar engkau, Bian-kongcu. Aku tldak akan pindah dari situ sebelum makan minumku selesai
Aku pun membayar di sini, tahu?" SiKapnya sedikit pun tidak menghormat dan pemuda itu
tidak menjadi marah, atau kalau marah pun tldak diperlihatkan karena dia tersenyum. Pemuda
ini bukan lain adalah Bian Hok, putera Pangeran Bian Kun dan murid Hek-tung Kai-pang.
Dla memegang sebatang tongkat, akan tetapi bukan tongkat hitam seperti yang dimiliKi oleh
para anggauta Hek-tung Kai-pang, melainkan sebatang tongkat sepanjang lengannya yang
lebih merupakan perhiasan karena terselaptit emas.
"Hemm, yang sombong adalah engkau! Agaknya engkau bukan orang kota raja sehingga
tidak tahu dengan siapa engkau berhadapan. Aku maslh suka memaafkanmu kalau engkau
cepat pergi dari sini, akan tetapi kalau engkau masih membangkang, jangan salahkan aku
kalau aku menggunakan kekerasan!"
"Aku tidak takut. Aku tidak bersalah maka aku tidak takut!" jawab orang itu.
Bian Hok menyelipkan tongkatnya di pinggang, kemudian melangkah maju. "Kalau begitu
terpaksa aku akan melemparkan engkau keluar darl sini seperti seekor anjing.
"Bagus, coba lakukan kalau engkau mampu!" tantang orang itu sambil bertolak pinggang.
Thian Lee yang menonton merasa khawatir. Pemuda ini memiliki pembawaan yang demikian
tenang dan penuh kepercayaan kepada diri sendiri. Agaknya bukan orang sembarangan dan
dia mengkhawatirkan nasib orang jujur dan kasar pemberani itu.
Pemuda itu lalu maju memukul dengan tangan kirinya dan benar saja seperti dugaan Thian
Lee. Pemuda itu memiliki gerakan yang mantap sekali. Pukulannya bukan saja kuat, akan
tetapi juga amat cepat. Orang yang dipukui segera menangkis dan balas memukul. Segera
terjadi pertandingan tangan kosong yang seru, akan tetapi seperti yang sudah diduga oleh
Thian Lee, pertandingan itu tidak berlangsung lama. Baru belasan jurus saja, dada orang yang
bermuka persegi itu terkena tamparan keras sehingga dia terhuyung, kemudian Bian Hok
menyusulkan sebuah tendangan yang keras sekali dan orang itu terlempar keluar dari ruangan
itu! Orang itu roboh terbanting dan tidak mampu bergerak karena ternyata pukulan Bian Hok
tadi adalah sebuah totokan yang membuat tubuh orang itu menjadi lumpuh.
Kebetulan sekall jatuhnya orang itu di dekat Thian Lee menonton. Thian Lee pura-pura
menolong membangunkan orang itu, akan tetapl dlam-diam dia membebaskan totokannya dan
berbisik, "Cepat pergi menyelamatkan nyawamu!"
Orang itu terkejut sekali melihat betapa lihainya pemuda berpakaian mewah tadi. Dia tahu
bahwa dia tidak akan menang menandingi pemuda itu, dan mendengar bisikan Thian Lee, dia
pun cepat mengangkat kaki dan melangkah lebar setengah berlari meninggalkan rumah
makan, diikuti gelak tawa para perajurit yang tadi dia robohkan.
Bian Hok juga tidak menyuruh orang-orangnya melakukan pengejaran. Dia lalu minta kepada
pemilik rumah makan untuk membereskan ruangan itu dan mempersiapkan hidangan untuk
para tamunya. Thian Lee girang sekali mendapat tugas melayani para tamu agung itu bersama
para pelayan lainnya. Dia segera memasuki ruangan itu dan membereskan meja kursi yang
berantakan. Tak lama kemudian bermunculan ta-mu-tamu yang menjadi tamu Bian-kong-cu. Mereka itu
terdiri dari tujuh orang pemuda bangsawan yang rata-rata ber-pakaian serba mewah dan
indah. Begitu nnemasuki ruangan itu, seorang di antara mereka menegur, "Eh, Bian-te, aku
men-dengar engkau baru saja menghajar orang yang kasar dan tidak mau meninggalkan
ruangan ini. Ah, sayang aku datang terlambat sehingga tidak dapat menyaksikan
kelihaianmu!" Yarig bicara ini seorang laki-laki berusia dua puluh lima tahun, jangkung dan
bermuka kuning. "Benar, Tang-twako. Dia seorang yang mungkin bukan penduduk, sini sehingga berani


Gelang Kemala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menolak pindah dari ruangan ini. Ah, hanya orang kasar biasa, dengan kepandaian yang biasa
saja," kata Bian Hok. Mendengar ini, Thian Lee makin hati-hati. Bian-kongcu ini seorang
yang lihai sekali, plkirnya. Orang yang me-ngamuk tadi sudah lihai, akan tetapi berhadapan
dengan Bian-kongcu dia tidak mampu berbuat apa-apa. Diam-diam dia pun merasa heran
bagaimana seorang pemuda bangsawan seperti ini dapat memiliki kepandaian silat yang
demikian lihai. Juga diam-diam dia berpikir apa hubungannya Biang-kongcu ini dengan
Pangeran Bian Kun. Setelah mendapat kesempatan ketika mengambil masakan dari dapur, dia
bertanya kepada kepala dapur tentang hubungan antara Bian-kongcu dan Pangeran Bian Kun,
dan jawaban kepala dapur itu sungguh mengejutkan hatinya. Bian-kongcu ternyata adalah
putera Pangeran Bian Kun!
Kemudian datang serombongan gadls-gadis muda yang cantik dan mereka ini adalah gadisgadis penghibur yang sengaja dipesan dan didatangkan oieh Bian-kongcu untuk menghibur
dan menemani merekak makan minum. Suasana dalam ruangan itu lalu menjadi meriah dan
gembira sekali. Thian Lee memasang telinga un-tuk mendengarkan mereka, kalau-kalau ada
sesuatu yang penting. Akan tetapi ternyata mereka hanya bersenang-senang saja dan
percakapan mereka tidak pen-ting bahkan condong ke arah ucapan-ucapan jorok untuk
mengganggu para gadis penghibur. Thian Lee merasa jemu dan segera sibuk di belakang,
membiarkan para pelayan lain yang melayani para kongcu tukang pelesir itu.
Akan tetapi diam-diam dia mengenang laki-laki yang tadi membikin ribut. Dia teringat
kepada ayahnya. Barangkali seperti itulah watak ayahnya, tidak mau mengalah dan
menghormati para bangsawan sehlngga mengakibatkan kematian-nya. Ingin dia mengetahui
siapa orang itu, maka setelah selesai pekerjaannya, dia meninggalkan rumah makan untuk
mencari laki-laki tadi. Akan tetapi ke mana dia harus mencarinya" Kota raja cukup besar dan
dia tidak tahu ke mana laki-laki itu pergi. Orang itu .sepertl a seorang kang-ouw dan melihat
pakaiannya bukan seorang yang berduit, maka dia lalu pergi ke kuil tua di mana biasanya
dipergunakan oleh orang-orang kang-ouw dan para pengemis untuk melewatkan malam tanpa
membayar. Akhirnya setelah keluar masuk kuil kosong, dia menemukan orang yang di-carinya. Di sebuah
ruangan kuil kosong, bertilamkan rumput kering, kuil yang berada di luar kota raja, dia
melihat orang itu merebahkan diri dalam keadaan sakit! Di situ terdapat dua batang lilin
menyala sehingga cuaca cukup terang dan Thlan Lee dapat mengenal orang itu. Keadaan di
kuil itu sunyi, hanya ada be-berapa orang pengemis yang berada di ruangan lainnya. Kuil-kuil
kosong di da-lam kota lebih padat dijadikan tempat bermalam orang-orang yang tidak mempunyai tempat tinggal ini.
"Engkau sakit....?" tanya Thian Lee sambil berjongkok dekat orang yang mukanya persegi itu.
Orang itu membuka mata dan memandang. Lalu sambil meringis dia bangkit duduk.
"Engkau... bukankah engkau sebagai pelayan rumah makan itu?" tanyanya agaknya segera
mengenal wajah Thian Lee orang yang rnembisiki agar dia cepat melarikan diri.
"Benar, aku sengaja mencarimu. Coba kuperiksa, aku pernah mempelajarl ilmu pengobatan,"
katanya dan dia pun memerlksa bagian dada yang terpukul atau tertotok tadi. Ternyata luka
itu cukup hebat, luka dalam yang dapat berbahaya kalau tidak segera diobati. Adapun lukanya
di paha akibat tendangan itu tidaklah parah.
"Benar saja, engkau terluka dalam untung aku membawa obat luka dalarm yang manjur. Nah,
telanlah tiga butir pel ini." Thian Lee memang sengaja membawa bekal obat karena dia sudah
menduga bahwa orang itu tentu luka berat. Dia tadi melihat pukulan Biang-kongcu bukan
pukulan atau totokan biasa, melainkan mengandung sin-kang yang kuat.
Orang itu menerima pel dan segera menelannya. Dan benar saja, dia rnerasa ada hawa panas
dari perutnya dan rasa nyeri di dada banyak berkurang.
"Sobat, siapakah engkau yang begitu mempedulikan diriku?"
"Engkau sudah mengenal diriku, Twa-ko. Aku pelayan rumah makan itu namaku Song Thian
Lee. Aku tadi melihat engkau berani menentang Bian-kongcu, maka aku merasa tertarik dan
kagum. Karena aku menduga bahwa engkau tentu terluka dan aku mempunyai obat manjur
untuk luka dalam, maka aku mencarimu sampai di sini."
Orang itu menghela napas. "Ahhhh, aku yang bodoh. Namaku Lauw Tek, dan aku seorang
yang biasa malang-melintang dan merantau di dunia kang-ouw. Aku sudah mendengar bahwa
putera Pangeran Bian Kun itu memillki ilmu silat yang tinggi. Tak kusangka selihai itu
sehingga dengan mudah aku dapat dikalahkan oleh-nya. Aku memang sengaja bersikap
melawan dan menentang agar orang-orang melihat bc.nwa ada orang yang berani menentang
sikap sewenang-wenang para bangsawan itu. Akan tetapi aku mengecewakan."
"Ah, tidak, Twako' Engkau cukup gagah dan semua orang memujimu. Apakah engkau banyak
tahu tentang Pangeran Bian Kun, Twako?"
"Kenapa tidak mengenal Pangeran Bian Kun" Dia seorang pangeran mata keranjang dan di
waktu mudanya dia banyak merampas anak gadis, bahkan isteri orang. Aku heran sekali,
seorang pria selemah dia mampu mernipunyai putera segagah itu,"
"Apakah sampai sekarang Pangeran Bian Kun masih suka merampas anak gadis dan isten
orang?" "Ah, sekarang mana dia mampu" Dia sudah menjadi seorang yang berpenyakit-an, tubuhnya
hampir separuhnya lumpuh."
"Dan bagaimana dengan puteranya itu?"
"Puteranya yang tadi" Sepanjang pendengaranku, dia tidak pernah melakukan kejahatan,
hanya kabarnya berwatak tinggi hati dan karena pandai ilmu silat tentu saja di.a sudah biasa
memukul orang. Sebetulnya, aku datang ke kota raja ini untuk melakukan penyelidikan."
"Penyelidikan tentang apa, Lauw-twa-ko?"
Lauw Tek memandang ke sekellling. "Ini rahasla.... tak boleh terdengar orang". Thian Lee
memasang pendengarannya memperhatikan. Tidak terdengar ada orang dekat dengan mereka,
maka dia berkata, "Tidak akan ada yang mende-ngar, Twako. Apa yang akan kauselidiki itu?"
"Secara kebetulan sekali aku mendengar bahwa ada seorang pangeran tua yang bermaksud
untuk merebut kedudukan Kaisar."
"Ah, pemberontakan"
"Semacam itulah. Hendak merebut kekuasaan dengan membunuh Kaisar dan para pangeran
yang dekat dengan Kaisar."
"Akan tetapi, dia akan berhadapan dengan bala tentara!" kata Thian Lee.
"Tidak kalau pembunuhan inl dilakukan dengan rahasia. Pangeran itu mempergunakan orangorang kang-ouw golongan sesat untuk melaksanakan rencananya Justeru itulah aku
mendengar berita dan hendak melakukan penyelidikan."
"Mengapa engkau hendak menyelidiki, Lauw-twako" Bukankah engkau sendiri tidak suka
kepada para bangsawan Kalau mereka saling membunuh, apa hubungannya denganmu?"
Lauw T'ek menghela napas panjang. "Ahhh, bagaimanapun juga, aku menghormati Kaisar
Kian Liong. Beliau adalah seorang kaisar yang baik, dan yang selalu menghormati orang
kang-ouw. Juga, tidak semua pangeran atau bangsawan jahat belaka. Misalnya Pangeran Tang
Gi Su, dia adalah seorang pangeran dan pejabat yang baik sekali, yang keras dan adil, yang
bersikap keras terhadap para pejabat yang brengsek dan korup. Men-dengar ada orang hendak
membunuh Kaisar dan para pangeran yang dekat dengannya, tentu saja aku menjadi penasaran dan hendak menyelidiki. Kalau sudah ada bukti, akan kulaporkan kepada Pangeran Tang
Gi Su agar komplotan pem-bunuh itu dapat dibasmi. Akan tetapi sayang, belum apa-apa aku
sudah terluka oleh Bian-kongcu, karena watakku yang keras dan tidak mau mengalah."
Thian Lee berpikir sebentar. Tugas itu memang penting sekali. Lauw-twako, mungkln aku
dapat membantumu melakukan penyelidikan itu. Sebagai pelayan rumah makan aku
seringkali melayani para bangsawan dan mengenal banyak orang. Mungkin aku bisa
mendapatkan berita tentang usaha pemberontakan itu. Katakan, siapakah pangeran yang
hendak melakukan pembunuhan itu?"
"Hati-hati, jangan sampai ada orangt lain mengetahui, dapat berbahaya sekali bagi dirimu.
Pangeran itu telah menyewa tenaga orang-orang kang-ouw, bahkan datuk-datuk kang-ouw
yang lihai sekali. Dia adalah Pangeran Tua dan namanya adalah Tang Gi Lok. Pangeran Tang
Gi Lok dan dia masih kakak sendiri dari Pangeran Tang Gi Su, seayah berlainan ibu. Karena
itu kalau tidak ada buktinya, akan percuma saja melapor kepada Pa-ngeran Tang Gl Su karena
Pangeran Tua adalah kakaknya sendiri.
"Tahukah engkau, Lauw-twako, siapa saja orang kang-ouw yang hendak dia pergunakan
tenaganya untuk melakukan pembunuhan-pembunuhan itu?"
"Hal itu yang masih perlu kuselidiki, yang aku tahu hanya seorang saja di antara mereka, yang
berjuluk Liok-te Lo-mo dan kabarnya lihai bukan main."
Berdebar jantung dalam dada Thian Lee mendengar disebutnya nama ini. Liok-te Lo-mo,
gurunya yang pertama! Memang gurunya itu seorang datuk sesat seorang yang suka berbuat
jahat! "Jangan khawatir, Twako. Aku akan membantumu melakukan penyelidikan, dan di mana kita
selajutnya dapat bertemu?"
"Di slni saja, Song-te. Biarlah tempat inl menjadi tempat pertemuan kita. Setiap malam aku
pasti berada di sini."
"Baiklah, dan sekarang aku harus kembali sebelum mereka semua kehilangan aku."
Thian Lee lalu kembali ke dalam kota raja dan kembali ke runnah makan di mana dia bekerja.
Dia bekerja biasa, akan tetapi setiap malam dia meninggalkan kamarnya tanpa ada yang
mengetahui, mengenakan pakaian hitam dan juga menutupi mukanya dengan saputa-ngan
hitam untuk melakukan penyelidikan.
Apa yang diceritakan Lauw Tek me-mang benar. Secara tidak disengaja Lauw Tek
mendengar bahwa banyak tokoh kang-ouw dihubungi Pangeran Tua dan diberi pekerjaan
penting. Dia merasa tertarik dan setelah dia melakukan penyelidikan, tahulah dia akan
rencana pemberontakan itu. Lauw Tek adalah seorang murid Siauw-lim-pai yang berjiwa
pendekar, akan tetapi wataknya jujur dan kaisar. Dia ingin menyelidiki dan kalau mungkin
mencegah pembunuhan itu karena dia merasa suka dan hormat kepada Kalsar Kian Liong.
Pangeran Tua adalah sebutan pangeran itu. Pangeran Tang Gi Lok, rnemang sudah tua dan
terhitung saudara sepupu Kaisar Kian Liong, putera dari Jwak Kalsar Kian Liong. Akan tetapi
kalau Kaisar Kian Liong memberl kedudukan tinggi kepada Pangeran Tang Gi Su yang dia
tahu berwatak baik dan jujur, tidak demikian dengan Pangeran Tang Gi Lok. Karena
wataknya yang buruk, tukang pelesir dan berwatak palsu, Kaisar tidak nnemberi kedudukan
apa pun. Hal ini membuat Pangeran Tua menjadi marah dan membenci Kaisar, bahkan juga
men-dendam dan iri hati. Maka dia lalu merencanakan pemberontakan terselubung. Bukan
memberontak secara terang-te-rangan karena tentu saja dia tidak bera-ni menghadapi
kekuatan balatentara yang setia kepada Kaisar. Dia hendak melakukan pembersihan dengan
membunuh Kai-sar dan para pangeran yang dekat dengan Kaisar. 3uga para pangeran putera
Kaisar akan dibunuhnya semua. Sehlngga kalau semua usaha ini berhasil, besar kemungkinan
tentu kerajaan akan terjatuh ke tangannya sebagai saudara tertua! Kalau Kaisar tewas dan
semua yang terdekat dengannya tewas, maka dialah yang ber-hak mengambil-alih kekuasaan.
Tentu saja dia mengajak mereka yang sama-sama tidak mendapatkan kekuasaan dari Kaisar
untuk bersekutu, yaitu para pangeran yang tidak mendapatkan kedudukan dan merasa iri dan
sakit hati. Memang selalu demikianlah keadaan se-orang kaisar atau seorang kepaia negara.
Betapa baik pun seorang kepala negara, tentu ada yang memusuhinya, yaitu mereka yang
tidak mendapatkan bagian kekuasaan, tidak mendapatkan kedudukan dan mereka yang merasa
berjasa akan tetapi tidak mendapatkan apa-apa. Dan tentu saja seorang pemimpin yang baik
akan memilih pembantu-pembantu yang cakap dan jujur, dan menjauhkan mereka yang
berwatak palsu dan curang. Demikian pula Kaisar Kian Liong. Biarpun saudaranya sendiri,
kalau wataknya palsu dan curang, tidak dia beri kedudukan penting paling banyak hanya
mendapatkan kedudukan biasa dan kecil yang tidak berarti saja. Dan tidak mungkin bagi
Kaisar Kian Liong untuk memberl kedudukan tinggi kepada semya keluarganya atau kawankawannya! Salah seorang yang dipilih oleh pangeran Tua untuk menjadi sekutunya adalah Pangeran Bian
Kun. Seperti juga dla, pangeran ini tidak memperoleh kedudukan. Akan tetapi Pangeran Bian
Kun sudah menjadi seorang tua yang lemah dan cacat, maka puteranya yang maju dan
puteranya, Bian Hok, yang mewakili ayahnya, bersekutu dengan Pangeran Tua. Kebetulan
sekali putera dari Pangeran Tua yang bernama Tang Boan, berusia dua puluh lima tahun,
adalah sahabat sejak kecil dari Bian Hok. Dua orang pemuda ini seringkali bersama-sama
mengadakan pelesir bersenang-senang. Hanya bedanya, kalau Bian Hok suka mempelajarl
ilmu silat, bahkan menjadi murid Hek-tung Kai-ong sehingga dia menjadi seorang ahli silat
yang tangguh, Tang Boan sebaliknya tidak suka mempelajari ilmu silat, akan tetapi
mempelajari ilmu sastra sehingga dia menjadi seorang ahli politik yang pandal bersiasat.
Pada suatu malam, ketika Bian Hok berkunjung kepada paman tuanya, yaitu Pangeran Tang
Gi Lok, pangeran ini antara lain membicarakan tentang adiknya sendiri, adik tirinya yang
bernama Pangeran Tang Gi Su.
"Yang amat mengkhawatirkan hatiku adalah Tang Gi Su. Dia selalu menen-tang pendapatku
tentang Kaisar dan dia kelak dapat menjadi penghalang yang amat berbahaya. Aku rasa orang
yang paling' dulu harus disingkirkan adalah dia inilah!"
"Akan tetapi, ada jalan lain yang lebih baik, Paman," kata Bian Hok.
"Hemm, jalan apakah itu?"
"Dengan menarik dia menjadi keluarga. Bukankah dia mempunyai seorang puteri yang
bernama Cin Lan?" "Ah, bagaimana sih engkau ini" Tidak mungkin puteraku menikah dengan puterinya! Kami
masih satu margal" "Jangan Paman salah mengerti. Maksud saya bukan dinikahkan dengan putera Paman,
melainkan dengan saya. Nah, kalali puterinya sudah menjadi isteri saya, tentu akan mudah
membujuknya kelak." "Bagus! Suatu pikiran yang bagus sekali!"
"Sudah lama saya menginginkan Cin Lan menjadi isteri saya, Paman. Akan tetapi saya
khawatir kalau-kalau lamarai saya akan ditolak, mengingat bahwa Ayah teiah menjadi lemah
dan berpenyakitan. Maka, saya mengharapkan bantuan Paman. Kalau Paman yang menjadi
jalan saya kira tidak ada masalahnya lagi dan tentu Paman Tang Gi Su akan menerima dengan
balk." "Baik, aku akan membantumu dan yang akan melamarkan puterinya untuk menjadi jodohmu,
ha-ha-ha!" Demikianlah, beberapa hari kemudian, Pangeran Tang Gi Lok datang berkun-jung, ke gedung
adik tirinya. Setelah saling menanyakan kesehatan sebagaimana lajimnya, Pangeran Tua
langsung saja membicarakan maksud hatinya, yaitu mewakili Pangeran Bian Kun untuk
meminang Tang Cin Lan wti^JcJApdRhkan dengan Bian Hok.
"Adikku, aku ditangisi oleh keponakan kita itu yang mengatakan telah jatuh cinta kepada
puterimu. Karena itu, kuha? tap kerelaanmu untuk menerima pinangan tini. Bian Hok adalah
seorang pemuda yang baik. Dia tampan dan pintar dan engkau sendiri tahu bahwa dia seorang
di iantara para pemuda bangsawan yang memiliki ilmu silat yang tinggi, cocok benar dengan
puterimu yang kabarnya juga seorang ahli silat tinggi. Tidak ada pasangan yang lebih cocok
lagi darlpada mereka berdua. Ha-ha-ha!"
Pangeran Tang Gi Su menjadi serba salah. Memang dia pun tahu bahwa Bian Hok seorang
pemuda yang cukup baik. Akan tetapi kalau mengingat kehidupan ayahnya, tukang pelesir,
tukang mencari dan mengumpulkan wanita, hatinya merasa ragu. Akan tetapl, yang
meminangkgin adalah kakak tirinya, Pangeran Tua.
"Terima kasih atas perhatian Kakanda," akhirnya dia berkata. "Akan tetapi urusan perjodohan
anak merupakan masalah seluruh keluarga. Oleh karena itu, saya harus terlebih dahulu
membicarakan dengan ibunya dan dengan anaknya pula. Setelah itu, barulah saya akan
mengirim berita kepada Kakanda."
"Ha-ha, tentu saja. Akan tetapi aku percaya penuh bahwa isterimu tentu akan setuju. Mana
ada perjaka yang lebih cocok dan lebih baik untuk menjadi suami Cin Lan" Dan anakmu tentu
setuju pula. Nah, aku hanya menanti berlta baik darimu, Adinda!" Setelah berpamlt, Pangeran
Tua meninggalkan adiknya yang duduk bengong dan melamun sampai lama.
Akhirnya dia menghela napas panjang. Nak ada lain jalan kecuali menerima pinangan itu.
Bagaimanapun juga, kalau menjadi isteri seorang pemuda seperti Bian Hok, puterinya itu
akan tetap men-jadi seorang wanita bangsawan. Bahkan andaikata orang mengetahui bahwa
puterinya itu bukan anak kandungnya, kalau ia sudah menikah dengan Bian Hok, otomatis ia
menjadi seorang wanita bangsawan. Bagaimanapun juga, ayah pemuda itu, Bian Kun, hanya
seorang laki-laki yang selalu mata keranjang, akan tetapi sepanjang yang dia ketahui, tidak
pernah melakukan perbuatan yang jahat. Karena sifatnya yang mata keranjang itulah maka dia
tidak mendapatkan kedudukan dari Kaisar! Dan tentang kakak tirinya, ah, walaupun dia tidak
setuju dengan jalan pikiran kakak tirinya yang seringkali mencela politik pemerintahan
Kaisar, namun kakak tirinya adalah seorang pa-ngeran yang disegani dan juga memiliki
pengaruh yang cukup besar dl kalangan keluarga kerajaan.
Pangeran Tang Gi Su lalu menemui selirnya, Lu Bwe Si dan menyampaikan tentang pinangan
itu kepadanya. Mendengar ini Lu Bwe Si menjadi pucat mukanya dan ia memandang kepada
suaminya dengan blngung. Akan tetapi... ia... ia sejak kecil sudah dijodohkan!" akhirnya ia membantah. la memang
pernah menceritakan tentang perjodohan dengan tanda ikatan jodoh sepasang gelang kemala
itu kepada suaminya. "Apa artinya perjodohan itu" Cin Lan tidak mengetahuinya dan tidak perlu mengetahuinya,"
kata Sang Pangeran. "Akan tetapi, ia sudah tahu!" jawab Lu Bwe Si dan ia lalu menceritakan tentang peristiwa
gangguan para pengemis beberapa tahun yang lalu.
"Ada orang yang mengatakan bahwa Cin Lan hanya anak tirimu. Anak itu lalu bertanya
kepadaku. Terpaksa aku menceritakannya karena aku tidak yakin hal itu akan dapat
dirahasiakan lagi. Cin Lan sudah dewasa dan akhirnya ia akan mendengar juga. Nah, tiga
tahun yang lalu itulah aku menceritakan kepadanya tentang ayah kandungnya, dan juga
tentang geiang kemala. "Ah, sayang sekali? D&n bagairnana tanggapannya?"
"la tidak setuju dan tidak senang bahwa sejak bayi ia sudah dijodohkan. Agaknya ia
menentang perjodohan itu."
"Bagus! Kalau begitu ia harus menerima pinangan keluarga Bian. Kami sama-sama pangeran
dan kalau Cin Lan menjadi isteri pemuda Bian, maka ia akan tetap menjadi seorang nyonya
bangsasawan." Lu Bwe Si tidak dapat membantah kehendak suaminya. la pasrah saja karena bagaimanapun
juga ia tidak akan mampu memaksa puterinya untuk menikah dengan keluarga Song yang
menjadi keputusan mendiang suaminya yang pertama. Juga, ke mana ia harus mencari putera
Song itu" la sudah mendengar bahwa Song Tek Kwl juga dibunuh oleh pasukan dan tidak ada
orang mengetahui ke mana perginya jandanya dan puteranya. Mungkin puteranya sudah tewas
pula. "Di mana Cin Lan" Panggil ke sini. Aku ingin memberi tahu kepadanya sekarang juga," kata
Pangeran Tang Gi Su. Lu Bwe Si masuk ke belakang dan tldak lama kemudian ia sudah
kembali bersama Cin Lan yang memandang ayahnya dengan heran. Tidak seperti biasanya


Gelang Kemala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ayahnya memanggilnya seperti ini, tentu ada urusan penting dan ibunya tadi tidak mau
mengatakan urusan apa yang membuat ayahnya memanggilnya.
"Ayah memanggilku" Ada keperluan apakah, Ayah?" tanyanya.
"Cln Lan, eogkau sekarang bukan seorang kanak-kanak lagi. Engkau sudah menjadi seorang
gadis dewasa yang mau tidak mau harus mengalami pernikahan, Ayahmu telah menerima
pinangan untuk dirimu. Kami ingin menjodohkan engkau dengan Kongcu Bian Hok, putera
Pange-ran Bian Kun yang mengajukan pinangan? Bahkan pinangan itu dilakukan sendiri oleh
uwakmu, yaitu Pangeran Tang Gi Lok"
Wajah Cin Lan berubah pucat, lalu menjadi merah sekali. "Bian Hok" Tidak, Ayah. Aku tidak
mau menjadi jodoh Bian "Cin Lan....!" Ayahnya membentak. "Ayah, sejak dulu aku tldak suka kepada pemuda yang
matanya kurang ajar itu. Aku benci padanya. Aku tidak sudi menjadi isterinya!"
"Cin Lan, berani engkau bersikap seperti ini" Seorang anak perempuan h.irus menurut apa
yang dikatakan ayahnya! Terutama sekali dalam urusan perjodohan, harus menurut apa yang
dlpiUh oleh ayahnya."
"Tidak, aku tidak sudi menjadi isteri Bian Hok!" kata pula Cin Lan sambil menangis.
Ibunya merangkulnya. "Cin Lan, engkau harus menaati kehendak ayahmu...."
"Tidak, Ibu. Aku tidak mau'." kata Cin Lan sambll merangkul ibunya.
"Cin Lan! Mau atau tidak engkau harus menerima pinangan itu! Engkau tidak boleh
membantah apa yang sudah kuputuskan!" Setelah berkata demikian, Pangeran Tang Gi Su
bangkit berdiri. "Apakah engkau hendak menjadi seorang anak yang durhaka dan tidak berbakfi kepada orang
tua?" Setelah itu dia meninggalkan ruangan itu, membiarkan is-terinya untuk membujuk
anaknya. Setelah pangeran itu pergl keluar ruangan, Cin Lan menangis semakin keras. "Tidak, Ibu, aku
tidak sudi...." la menangis.
"Engkau tidak tilsa menolak kehendak ayahmu, Cin Lan," bujuk ibunya.
"Dia bukan ayahku. Aku bukan anak kandungnya.. Dla tidak bisa memaksakan kehendaknya
kepadaku." "Tapi, Cin Lan...."
"Ibu, Ibu pernah mengatakan bahwa ayah kandungku meninggalkan pesan mengenai
perjodohanku. Itu saja aku sudah tidak dapat menerima, apalagi sekarang. Aku tidak mau
dipaksa dalam hal perjodohan oleh siapapun juga. Kalau aku tidak suka, aku pun tidak mau
dan aku tldak mau dipaksa.
Kini Lu Bwe Si yang menangis sambU merangkul puterinya. "Aihh, anakku, bagaimana
mungkin kita akan menolak kehendak Pangeran untuk menjodohkan engkau" Kita telah
berhutang budi kepadanya, hutang budi setinggi gunung. Sejak kecil engkau dipeliharanya
seperti anak sendiri, dicinta dan dimanja. Bagai-mana sekarang engkau dapat menolak-nya"
Bagaimana aku dapat berkata kepadanya bahwa engkau tidak mau dinikahkan dengan pemuda
yang dipilihnya?" Cin Lan melepaskan rangkulan ibunya, "Tidak, Ibu. Kalau aku dipaksa menikah dengan Bian
Hok itu, aku akan lari minggat dari sini!" Setelah berkata demikian, sambil menahan isak ia
lalu lari keluar dari ruangan itu.
"Cin Lan....!" Ibunya memanggil, akan tetapi Cin Lan tidak peduli dan berlari terus. Ibunya
hanya dapat menangis dengan hati khawatir. la sendiri merasa heran mengapa puterinya
begitu membenci Bian Hok, padahal kalau menurut penglihatannya, pemuda putera Pangeran
Bian Kun itu adalah seorang pemuda yang tampan dan gagah. Memang benar dia putera
Pangeran Bian Kun, pangeran yang dahulu dipukuli oleh Bu Cian, bahkan kemudian yang
menyebabkan Bu Cian tewas dikeroyok pasukan. Apakah karena itu puterinya menjadi benci
kepada Bian Hok" la menjadi bingung sekali bagaimana harus menghadapi suaminya dalam
urusan perjodohan ini. Sejak jaman dahulu, urusan perjodohan memang selalu mendatangkan keributan. Banyak
orang muda yang merasa tidak suka dipilihkan jodohnya oleh orang tua dan menganggap
bahwa perjodohan harus dipilihnya sendiri. Menurut para orang muda, perjodohan bukan
Kisah Bangsa Petualang 13 Persekutuan Pedang Sakti Lanjutan Pedang Karat Pena Beraksara Karya Qin Hong Tiga Mutiara Mustika 1

Cari Blog Ini