Ceritasilat Novel Online

Gelang Kemala 8

Gelang Kemala Karya Kho Ping Hoo Bagian 8


seperti menampar besi panas! Dan sebelum ia dapat bergerak lagi, secepat kilat jari tangan
Thian Lee bergerak menotoknya dan Lee Cin tidak mampu bergerak lagi!
"Maaf, Lee Cin. Akan tetapi engkair, harus mengembalikan gelang itu!" kata Thian Lee, tetap
saja tidak berani mero-goh gelang yang berada di balik baju.
Pada saat itu terdengar bentakan nyaring, "Jahanam! Berani engkau menghina muridku?" Dan
Ang-tok Mo-li sudah muncul di situ, talu secepat kilat tangannya menepuk pundak Lee Cin,
rnembuat gadis itu seketika terbebas dari totokan.
Thian Lee memandang dengan kaget. Wanita tinggi kurus yang berwajah cantik namun pucat
seperti mayat, dengan pakaiannya yang merah menyala itu sudah berdirii di depannya dengan
sikap marah. "Maaf, bukan maksud saya menghina Lee Cin...." kata Thian Lee.
"Keparat, apakah mataku sudah buta" Engkau harus dihajar!" Setelah berkata demikian, Angtok Mo-li segera menyerang Thian Lee dengan cakaran tangannya. Setiap kuku jari tangan
Ang-tok Mo-li mengandung racun maka cakaran itu berbahaya bukan main. Thian Lee
mengelak dengan mudah dan hal ini membuat Ang-tok Mo-li merasa penasaran. Dengan api
kemarahan berkobar ia sudah menerjang dan mengirim serangan secara bertubi-tubi, berupa
cakaran, totokan dan tamparan.
Tak mungkin bagi Thian Lee kalau hanya menghindarkan diri dengan elakan saja dari
serangkaian serangan maut yang hebat itu, terpaksa dia pun menggerakan tangan menangkis
beberapa kali. "Plak-plak-plak-dukkk!" Tangkisan yang terakhir ini terjadi keras sekali karena keduanya
mengerahkan tenaga sin-kang mereka dan akibatnya membuat Ang-tok Mo-li terhuyung ke
belakang sedangkan Thian Lee melangkah mundur dua tindak. Tentu saja iblis betina itu
menjadi terkejut, heran dan semakin marah.
"Hemm, siapa engkau?" tanyanya sambil memandang pemuda itu penuh selidik.
"Subo, doa Thian Lee yang dulu jadi murid Jeng-ciang-kwi itu."
Mendengar bahwa pemuda itu murid Jeng-ciang-kwi musuh utamanya, Ang-tok Mo-li
membentak, "Panggil gurumu biar kami bertanding sampai seribu jurus'" la masih marah
karena dulu ketika bertanding melawan Jeng-ciang-kwi ia sampai terluka parah biarpun
utarnya dapat menggigit datuk itu.
"Locianpwe, saya sudah bukan murid Jeng-ciang-kwi lagi," kata Thian Lee menyabarkan hati
Ang-tok Mo-Li. "Kalau begitu, engkau saja yang meWakilinya. Terimalah ini!" Ang-tok Mo-Li rnencabut
sebatang kebutan dari ikat pinggangnya. Kebutan itu gagangnya pendek saja akan tetapi bulu
kebutan itu ada semeter panjangnya dan warnanya merah darah. Begitu tangannya digerakkan, Ang-tok Mo-li sudah menyerang dengan kebutannya yang bulu-bulunya mendadak
menjadi kaku seperti kawat dan menusuk ke arah muka Thian Lee! Pemuda ini terkejut sekali.
Maklum bahwa dia berhadapan dengan senjata maut, maka dia lalu melempar tubuh ke
belakang membuat poksai (salto) lima kali dan ketika dia turun lagi tangannya sudah
memegang Jit-goat-sin-kiam. Pedang lllu ketika dia berjungkir balik tadi dia lolos dari
buntalan pakaian di punggung-nya. Kini nampak pedang itu berkilauan di tangannya sehingga
Ang-tok Mo-Li kini yang memandang kagum dan kaget.
"Baiklah, Locianpwe, kalau Locianpwe memaksa, terpaksa saya layani!" kata Thian Lee
sambil membentangkan pedangnya di depan dada.
"Subo, hati-hati. Thian Lee telah menjadi seorang yang memiliki kelihaian yang luar biasa!"
Lee Cin memperingatkan gurunya.
"Hemm, bagus! Hendak kulihat sampai di mana kelihaiannya!" Ang-tok Mo-li lalu
menyerang dengan kecepatan kilat. Thian Lee juga menggerakkan pedangnyar dan mereka
sudah bertanding saling serang dengan seru dan dahsyat sekali.
Lee Cin berdiri menonton dengan mata terbelalak. Baru sekarang ia yakin benar akan
kelihaian Thian Lee. Tadi ia harus mengakui keunggulan Thian Lee dan ketika subonya
muncul, timbul keinginan hatinya untuk melihat bagaimana Thian Lee akan menghadapi
subonya yang lihai. Ketika melihat subonya mengeluarkan kebutannya, ia sudah terkejut.
Subonya jarang sekali mempergunakan kebutannya kalau tidak bertemu lawan yaag amat
tangguh. Dengan mengeluarkan kebutannya, berarti subonya menganggap Thian Lee musuh
yang tangguh sekali. Dan ketika pemuda itu mengeluarkan pedangnya, Lee Cin menjadi
semakin kagum. Akan tetapi begitu keduanya ber-gerak, keheranan dan kekaguman Lee Cin
mencapai puncaknya. Ternyata pemuda itu mampu menandingi gurunya dalam hal kecepatan
maupun tenaga! Pertandingan itu memang hebat. Akan tetapi sesungguhnya Thian Lee mengalah. Dia tidak
ingin membikin malu kepada Ang-tok Mo-li, maka dia pun lebih banyak menjaga diri
daripada menyerang. Sampai seratus jurus mereka bertanding, belum juga ada yang kalah atau
menang. Akan tetapi, ketika Thian Lee mulai menggunakan jurus-jurus Jit-goat Kiam sut
bagian menyerang yang ampuh, mulailah Ang-tok Mo-li terdesak! Bukan main heran dan
kagetnya hati Ang-tok Mo-li. la sudah mengenal betul ilmu-ilmu dari musuh lamanya, Jengciang-kwi, akan tetapi belum pernah ia melihat ilmu pedang seperti yang dimainkan pemuda
ini yang membuat gerakan kebutannya menjadi kacau dap membuat ia terdesak.
"Thian Lee, awas Ang-hoa-coa!" Tiba-tiba Lee Cin berseru. Gadis itu meliha" betapa subonya
mengeluarkan ular merah yang amat lihai itu dan ia mengkhawatirkan keselamatan Thian Lee.
Ular merah itu terlalu berbahaya dan biasanya sekali dikeluarkan sebagai senjata, tentu akan
mencelakai lawan. Dulu pun Jeng-ciang-kwi terluka hebat oleh gigitan Ang-hoa-coa.
Akan tetapi seruan Lee Cin itu terlambat. Saat itu, pedang Thian Lee me-nusuk ke arah dada
lawan. Ang-tok Mo-li menangkis dengan kebutannya dan kini bulu-bulu kebutan itu menjadi
lemas dan melilit pedahg. Dan pada saat itulah Ang-tok Mo-li melontarkan ular merahnya dan
binatang aneh itu meluncur cepat sekali menuju ke arah tenggorokan Thian Lee. Pemuda itu
mengelak dengan miringkan tubuhnya, akan tetapi ular merah itu dapat melejit dan masih
tetap mengenai pundak kanannya dan menggigit!
Akan tetapi jari-jari tangan kiri Thian Lee juga cepat dapat menjepit leher ular itu. Dia tidak
membunuh ular itu dengarit jepitan tangannya melainkan melemparkan ular itu kembali
kepada Ang-tok Mo Li sambil berseru, "Mo-li, kukembalikan ularmu ini!" Dan sekali
dilontarkan, ular itu meluncur ke arah muka Ang-tok Mo-li yang menangkapnya dengan
tangan kirinya. la merasa heran juga mengapa pemuda itu tidak membunuh ularnya. Pada saat
itu, Thian Lee mengeluarkan bentakan melengking nyaring sambil mengerahkan Thian-te Sinkang, menarik pedangnya dan tiba-tiba bulu kebutan itu terbabat putus dan rontok
berhamburan. Ang-tok Mo-li terbelalak dan bukan main kagetnya. Pemuda itu sudah digigit Ang-hwa-coa,
akan tetapi masih mampu mengerahkan tenaga sedemikian hebatnya sehingga bulu-bulu
kebutannya terbabat putus dan rontok tinggal gagangnya saja. Rontoknya bulu kebutannya
sudah menandakan bahwa ia kalah!
Boleh jadi Ang-tok Mo-li seorang wanita yang kejam dan suka membunuh orang tanpa
berkedip mata, akan tetapi ia juga seorang gagah yang dapat menghargai kegagahan orang.
Melihat Thian Lee mengalahkannya dengan merontokan kebutannya dan tidak membunuh
Ang-hoa-coa yang sudah berada dalam tangannya tadi, ia pun berkata, "Orang muda,
terimalah obat penawar racun Ang-hwa-coa kalau engkau tidak mau mati."
"Terima kasih, Locianpwe. Saya tidak perlu berobat dan racun Ang-hwa-coa tidak akan
membunuh saya!" Ang-tok Mo-li terbelalak. Akan tetapi ia tidak peduli lagi. la berkelebat dan hanya terdengar
suaranya yang ditujukan kepada Lee Cin, "Lee Cin, cepat menyusul aku!"
Kini tinggal Lee Cin berdua Thian Lee yang berdiri di situ, Lee Cin bediri dengan pandang
mata hampir tidak percaya kepada Thian Lee. Pemuda ini telah mengalahkan subonya!
ia menghampiri Thian Lee dan memegang kedua tangan pemuda itu dengan pandang mata
penuh kemesraan. "Thian Lee, engkau hebat Belum pernah aku bertemu dengan seorang
pemuda sehebatengkau". Thian Lee melihat pandang mata Lee Cin menjadi salah tingkah.
Jantungnya berdebar aneh karena pandang mata gadis itu demikian mesra dan jelas sekali
menunjukkan cinta kasih! "Lee Cin, aku mohon kepadamu. Berikanlah gelang kemala itu kepadaku," pintanya dengan
suara memohon. "Thian Lee, kalau mungkin, aku ingin menjadi pemilik gelang kemala itu. Bukankah pemilik
gelang kemala itu menjadi tunanganmu?" Ucapan im saja Jelas menyatakan isi hati gadis itu
kepadanya. Thian Lee menghela napas panjang. "Lee Cin, sudah kukatakan kepadamu bahwa aku tidak
setuju dengan perjodohan yang dilakukan orang tuaku itu. Aku tidak menganggap pemilik
gelang ini sebagai calon jodohku."
"Benarkah itu, Thiah Lee" Jadi engkau menganggap dirimu belum bertunangan?"
"Benar, aku belum bertunangan dengan siapa pun."
"Kalau begitu, aku mempunyai harapan" Engkau suka kepadaku, bukan" Biarpun hanya
sedikit?" Sepasang mata itu memandang penuh permohonan sehingga hati Thian Lee tergerak.
"Tentu saja aku suka kepadamu, Lee Cin. Engkau seorang gadis yang baik sekali."
"Benarkah itu, Thian Lee" Kauanggap aku baik?"
"Ya, engkau baik Sekali."
"Dan cantik?" "Dan cantik sekali."
"Dan engkau... cinta kepadaku ,seperti aku... eh, cinta padamu?"
"Cinta" Ah, aku tidak tahu, Lee Cin. Aku tidak tahu...."
Lee Cin merangkul leher Thian Lee. "Thian Lee, ingatlah selalu bahwa di sana ada seorang
gadis yang mengharapkanmu, yang merindukanmu, yang mencintamu, yang
mengharapkanmu menjadi jodohnya, dan gadis itu adalah aku!"
Thian Lee menghela napas panjang dsin memejamkan matanya. Rangkulan Lee Cin itu,
terlalu menggoda baginya. Lee Cin lalu mengambil gelang kemala dari balik bajunya dan
menyerahkannya kepada Thian Lee. "Aku akan menanti siang malam sampai pada suatu hari
engkau akan memberikan sepasang gelang kemala itu sebagai hadiah perkawinan untukku."
Setelah Thian Lee menerima gelang !tu, Lee Cin lalu berlari pergi meninggalkannya. Hanya
suaranya saja yang terdengar dari jauh, "Jaga dirimu baik-baik, Thian Lee!"
Thian Lee berdiri termenung, gelang itu di tangannya. Dia memejamkan mata dan berusaha
mengusir bayangan Lee Cin dari benaknya. Gadis itu mencintanya. Dan begitu jujur
menyatakan cinta. Kalau gadis itu bukan murid Ang-tok Mo-11 tidak mungkin akan berani
mengaku cinta demikian terbuka! Dan memang Lee Cin seorang gadis yang baik, amat baik.
Gadis itu hanya mewarisi ilmu-ilmu silat dari Ang-tok Mo-li dan untungnya tidak memiliki
wataknya yang kejam dan jahat, walaupun mendapatkan pula watak yang liar dan bengal dan
aneh. Thian Lee terpaksa meninggalkan rumah makan di mana dia bekerja. Dia tidak mungkin lagi
bekerja di situ setelah dia sering kali harus membolos dan tidak ingin orang menaruh curiga
kepadanya. Dia berpamit dari pemilih rumah makan dan meninggalkan rumah makan itu. Dia
ingin sekali menyelidiki keadaan Cin Lan, puteri pangeran itu. Dia tertarik sekali dan dia
merasa bahwa gadis itu tentu terancam bahaya karena sudah berani membikin kacau di rumah
Pangeran Tua. Malam itu Thiari Lee mengenakan pakaian hitam dan pergi ke rumah Pangeran Tang Gi Su.
Sekali ini dia tidak mengenakan topeng lagi. Tidak, kalau bertemu dengan gadis itu, dia akan
memperkenalkan diri secara berterang. Bukankah mereka sudah pernah berkenal-an ketika
gadis itu pulang dari Pulau Ular Emas membawa buah sian-tho dan dikeroyok orang yang
ingin merampasnya. Mereka sudah berkenalan, maka tidak perlu lagi dia menyembunyikan
diri dari Cin Lan. Malam itu sunyi sekali dan dingin. Thian Lee meloncati pagar tembok dan tiba-tiba dia
mendekam. Dilihatnya bayangan hitam berkelebat melompati pagar tembok pula. Mereka itu
sungguh mencurigakan sekali. Mereka juga berpakaian hitam dan memegang golok telanjang.
Ketika mereka tiba di pekarangan belakang di mana terdapat lampu penerangan, tiba-tiba saja
rnuncul Cin Lan yang membawa senjata tongkatnya.
"Jahanam! Siapa kalian berani mengacau di sini?" bentak Cin Lan. Akan tetapi dua orang di
antara mereka segera menggerakkan golok mereka mengeroyok Cin Lan. Gadis itu melawan
dan segera terjadi perkelahian seru di antara mereka. Thian Lee rnelihat bahwa Cin Lan cukup
kuat untuk menandingi dua orang pengeroyok itu. Dia melihat penjahat yang seorang lagi
menyelinap masuk ke ruangan sebelah dalam. Dia menjadi cu-riga dan cepat dia
membayangi. Agaknya suara ribut-ribut di belakang itu menarik perhatian para penghuni rumah itu. Dia
melihat seorang laki-laki setengah tua yang pakaiannya mewah berlari-lari bersama para
pelayan menuju ke belakang, agaknya tertarik oleh suara perkelahian di pekarangan belakang
itu. Melihat orang setengah tua itu, penjahat yang ke tiga itu lalu menyerangnya de-ngan
goloknya. "Plakk!" Tangan yang mengayun golok itu ditampar orang dan ternyata yang menolongnya
adalah Thian Lee. Si Pemegang Golok terkejut melihat goloknya tertahan karena tangannya
ditangkis orang. Dia menengok dan melihat seorang pemuda berpakaian hitam-hitam pula
orang menangkisnya. Dia merasa marah sekali dan segera mengayun goloknya menyerang.
Akan tetapi, hanya dengan beberapa gebrakan saja Thian Lee dapat membuat orang itu
terpelanting dan goloknya terlempar. Orang itu bangkit berdiri dan melompat ke dalam gelap,
melarikan diri. Laki-laki setengah tua Ilu adatah Pangeran Tang Gi Su sendiri. Tentu saja dia terkejut melihat
dirinya tadi diserang orang dan ada yang menolongnya. Akan tetapi penolong itu sudah
melompat pergi lagi tanpa mengeluarkan sepatah pun kata.
Thian Lee kembali ke tempat di mana Cin Lan melawan dua orang penjahat. Ternyata dua
orang penjahat itu lihai juga sehingga sampai sekarang Cin Lan belum mampu mengalahkan
mereka, walaupun kedua orang itu pun mengalami 'kesulitan untuk mengalahkan tongkat di
tangan Cin Lan. Melihat ini, Thian Lee lalu melompat dan berseru, "Nona Tang, Jangan
khawatir, aku datang membantumu".
Seorang penjahat membacok Thian Lee, akan tetapi dengan mudahnya Thian Lee mengelak
ke samping dan ketika kakinya mencuat dalam tendangan, orang itu terjengkang. Karena
maklum bahwa gadis yang sudah lihai sekali itu mendapat bantuan, kedua orang ini pun
berlompatan roenghilang dalam kegelapan malam.
"Hendak lari ke mana kalian! bentak Gin Lan yang hendak mengejarnya, akan tetapi Thian
Lee mencegahnya. "Nona, musuh yang sudah melarikan diri berbahaya dan tidak baik untuk dikejar."
"Akan tetapi aku harus tahu siapa mereka dan apa maksud mereka mengacau di sini!" kata
Cin Lan yang tetap melakukan pengejaran. Thian Lee juga terpaksa melakukan pengejaran.
Mereka melihat tiga orang itu berlari cepat sekali dan ketika dikejar, mereka menghilang di
balik tembok rumah Pangeran Tua! Cin Lan penasaran dan ingin terus mengejar, akan tetapi
Thian Lee berkata, sambil memegang tangan Cin Lan,
"Cukup, Nona. Kalau dikejar terus ke dalam, berbalik Nona yang akan dituduh pengacau."
Cin Lan berhenti dan memandang Thian Lee, bertanya, "Siapakah engkau" Bagaimana
engkau bisa tahu ada pengacau di rumahku dan menolongku?"
"Aih, . Nona Tang. Apakah engkau sudah lupa kepadaku" Aku Thian Lee, Song Thian Lee.
Aku pernah bertemu dengan Nona ketika Nona keracunan dahulu itu, di pantai...."
"Ah, engkaukah itu?"
"Tadi memang aku hendak berkunjung kepadamu, Nona. Aku sudah mendengar akan sepak
terjangmu yang gagah perkasa, dan aku hendak berkunjung, lalu di luar aku melihat bayangan
tiga orang tnelompati pagar tembok. Karena curiga aku lalu membayangi mereka. Kemudian,
ketika yang dua orang itu mengeroyok-mu, aku melihat yang seorang lagi masuk ke dalam.
Aku membayanginya dan dia menyerang orang di dalam. Aku mencegahnya dan dia
melarikan diri." Cin Lan terkejut. "Ah, dia menyerang orang di dalam" Kalau begitu, mari kita cepat kembali
ke sana!" Gadis itu lalu berlari cepat, diikuti oleh Thian Lee. Mereka melompati pagar tembok
dan di pekarangan belakang mereka melihat sudah banyak orang berkumpul. Agaknya mereka
semua masih membicarakan ke-ributan yang terjadi akibat penyerbuan orang-orang jahat.
"Ah, sukur engkau datang, Cin Lan! kata orang setengah tua tadi yang bukan lain adalah
Pangeran Tang Gi Su. "Cin Lan, engkau tidak apa-apakah?" Seorang wanita setengah tua yang cantik merangkul Cin
Lan. "Aku tidak apa-apa, Ibu. Ayah, tadi aku mengejar tiga orang penjahat yang melarikan diri
dan...." Cin Lan tidak melanjutkan kata-katanya karena di situ terdapat para penjaga dan
pelayan. "Ah, ya, ini adalah seorang sahabatku, Ayah."
"Aku sudah melihatnya. Orang muda, bukankah engkau yang tadi menolongku dari serangan
penjahat?" "Aih, jadi yang diserang penjahat adalah engkau, Ayah" Terima kasih, Lee-twako, engkau
telah menyelamatkan Ayah".
"Ah, tidak perlu berterima kasih, Nona Tang." kata Thian Lee.
"Cin Lan, siapakah pemuda ini bagaimana engkau dapat berkenalan dengan dia?" tanya
Pangeran Tang Gi Su dengan aiis berkerut.
"Dia bernama Song Thian Lee, Ayah, dan dia bekerja... eh, Lee-twako, engkau bekerja apa?"
tanya Cin Lan yang kebingungan sendiri dalam memperkenalkan pemuda itu kepada ayahnya
karena ia sendiri pun belum tahu akan keadaan Thian Lee.
"Ah, aku... eh, saya bekerja sebagai pelayan rumah makan Hok-an."
"Pelayan riimah makan?" Pangeran Tang Gi Su berseru heran dan juga kaget bagaimana
puterinya bersahabat dengan seorang pelayan rumah makan! "Ah, orang muda, engkau sudah
berjasa menolongku tadi. Biar kuberi hadiah! Dia hendak menyuruh isterinya untuk
mengambilkan uang untuk memberi hadiah kepada Thian Lee, akan tetapi Thiian Lee cepat
berkata, "Tidak perlu, Taijin. Tidak perlu memberi hadiah".
"Cin Lan, mari kita bicara di dalam. Orang muda, sekali lagi kami mengucapkan terima kasih
atas bantuanmu tadi." Lalu Pangeran Tang Gi Su menyuruh penjaga untuk mengantarkan
Thian Lee keluar dari tempat itu.
"Taijin, biarlah saya pergi melalui dari mana saya tadi datang. Nona Tang, selamat tinggal!
Thian Lee yang merasa dipandang rendah sekali oleh pangeran itu lalu melompat dan sekali
melompat dia sudah berada di pagar tembok terus dia melompat keluar. "Lee-ko....!" Sesosok
bayangan mengejarnya setelah dia tiba di luar dan ternyata yang mengejarnya adalah Cin Lan.
"Eh, engkau, Nona Tang" Ada apakah mengejarku?"
"Lee-ko, aku ingin rninta maaf kepadamu atas sikap ayahku tadi. Engkau telah
menyelamatkan nyawanya, akan tetapi dia...."
"Ah, tidak mengapa, Nona. Tadinya aku pun hanya ingin bertemu denganmu, ingin memberi
tahu kepadamu agar engkau berhati-hati menghadapi Pangeran Tua. Di sana banyak sekali
orang pandai dan jangan Nona sembrono memasuki tempatnya seperti tempo hari...." Thian
Lee menahan kata-katanya yang terlanjur.


Gelang Kemala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Cin Lan adalah seorang gadis yang cerdik. Mendengar ucapan ini, ia lalu berseru, "Ah, kalau
begitu engkaulah orangnya yang dahulu itu menyelamatkan aku! Benarkah, Twako?"
Thian Lee merasa tidak perlu untuk menghindar lagi. "Memang benar, Nona. Dan maafkan
aku yang terpaksa rnelarikanmu karena engkau terancam bahaya besar."
"Aih, jangan sebut aku nona, Twako. Engkau sudah berulang kali menolongku. Dahulu,
engkau menyelamatkan aku ketika aku keracunan karena gigitan ular emas dan ular putih.
Kemudian engkau menyelamatkan aku ketika aku terancam bahaya di rumah Pangeran Tua,
dan tadi baru saja engkau menyelamatkan Ayah dari serangan penjahat. Setelah berulangulang engkau menolongku, engkau adalah sahabatku yang baik. Jangan sebut aku nona,
namaku Cin Lan." "Baiklah, Adik Cin Lan. Dan terima kasih atas kebaikanmu."
"Baik apanya" Kami bahkan bersikap tidak pantas kepadamu, Twako. Terutama sekali Ayah.
Ah, aku menyesal sekali dan aku mohon maaf kepadamu atas slkap yang merendahkanmu."
"Tidak mengapa, Lan-moi, tidak mengapa. Memang aku hanya seorang pemuda miskin dan
papa, orang macam aku ini mana pantas untuk berkenalan dengan engkau, seorang puteri
pangeran, seorang bangsawan tinggi" Ayahmu sudah semestinya bersikap demikian. Nah,
selamat tinggal, Lan-moi, percayalah, aku tidak menyesal dan tidak perlu meminta maaf."
Setelah berkata demikian, sekali berkelebat Thlan Lee telah pergi dari situ.
"Lee-ko....!" Cin Lan hendak mengejar akan tetapi pemuda itu bergerak cepat sekali dan
malam gelap telah menelan dirinya.
Sejenak Cin Lan berdiri termenung. Hatinya terasa sepi dan menyesal bukan main. Dia telah
bertemu dengan seorang pemuda yang berilmu tinggi, dan yang sudah berulang kali
menolongnya, akan tetapi pemuda itu malah diperlakukan dengan sikap menghina oleh
ayahnya. Memang ayahnya tidak bermaksud menghina, ingin memberi hadiah uang dan tentu
saja ayahnya tidak senang melihat ia bergaul dengan seorang pemuda yang bekerja sebagai
pelayan rumah makan. Pelayan rumah makan. Tak terasa lagi kedua Cin Lan menjadi basa air
mata. Ketika ia pulang, Cin Lan nnenegur ayahnya, "Ayah, tadi sikap Ayah terlalu merendahkan
Thian Lee. Dla tidak menjadi sakit hati, akan tetapi sungguh kasihan sekali dia. Dia menolong
tanpa pamrih, akan tetapi Ayah hendak memberinya uang dan ayah tidak mernpersilakan dia
masuk ke dalam rumah."
"Aih, Cin Lan. Bagaimana engkau dapat menyalahkan ayahmu" Aku ingin memberi dia
hadiah uang karena dia hanya bekerja sebagai pembantu rumah ,makan, tentu keadaannya
miskin. Hadiah apalagi yang lebih baik baginya" Kalau dia menolak, itu urusan lain lagi. Dan
hari sudah malam, bagaimana aku dapat mempersilakan dia masuk" Tidak pantas itu!" bantah
ayahnya. "Sudahlah, Cin Lan. Sepatutnya kita bersyukur bahwa perbuatan para penjahat itu tidak
sampai menjatuhkan korban. Kita semua masih daiam selamat. Sungguh mengherankan
sekali, bagaimana ada penjahat masuk ke sini dan bahkan mennyerang ayahmu?" kata Lu
Bwe Si. "Oya, bagaimana ketika engkau. tadi mengejar para penjahat itu, Cin Lan" " Apakah ada
hasilnya?" tanya Pangeran Tang Gi Su yang hendak mengalihkan percakapan dan melupakan
persoalannya dengan pemuda itu.
"Aku mengejarnya dan mereka bertiga itu menghilang di balik tembok rumah Paman
Pangeran Tang Gi Lok," kata Cin Lan. "Sesungguhnya, ada beberapa peristiwa yang selama
ini belum kuceritakan kepada Ayah. Sudah dua kali aku memasuki rumah Pangeran Tua pada
malam hari". Pangeran Tang Gi Su terbelalak. "Cin Lan! Apa yang kaulakukan itu" Dan mengapa engkau
melakukan itu" Engkau masuk secara menggelap sebagai pencuri?"
"Benar, Ayah. Tentu saja ada sebabnya mengapa aku melakukan hal itu. Pada suatu hari, aku
berkunjung ke kuburan ayah kandungku di dusun Teng-sia-bun...."
"Cin Lan....! Engkau tidak memberi tahu kepadaku!" teriak ibunya dengan mata terbelalak.
"Memang aku tidak memberi tahu siapa pun, Ibu. Maafkan aku. Aku ingin sekali
bersembahyang di kuburan itu. Dan ketika aku bersembahyang, muncul orang-orang hendak
menangkap aku. Aku mengamuk dan dari seorang penyerang itu aku mendapat keterangan
bahwi yang menyuruh tangkap aku adalah Pangeran Tua. Nah, aku menjadi penasaran sekali,
Ayah dan Ibu. Malamnya, tanpa diketahui siapa pun, aku datang ke rumah Paman Pangeran
Tua dan bertanya mengapa dia menyuruh orang-orang menangkap aku. Paman Pangeran Tua
bahkan mengerahkan para jagoannya untuk menangkap aku, mengatakan bahwa aku adalah
anak pemberontak yang harus ditangkap. Dan aku tidak dapat melawan para jagoannya yang
banyak dan lihai. Aku tertawan di sana...."
"Cin Lan....!" Ibunya menjerit, khawatir'
"Lalu pada keesokan hatinya, datang Bian Hok yang minta kepada Pangeran Tua agar aku
dibebaskan. Setelah dibebaskan, aku lalu pergi, tidak sudi aku ditolong oleh pemuda putera
Pangeran Bian Kun itu...."
"Cin Lan! Dia itu tunanganmu!" bentak ayahnya.
"Aku tidak pernah menganggap dia itu tunanganku, Ayah. Aku tidak suka kepadanya. Setelah
aku bebas pada lain hari aku datang lagi malam-malam ke sana untuk menantang jagoan tua
tanpa keroyokan. Aku merasa penasaran sekali karena tempo hari itu aku tertawan karena
dikeroyok. "Hemm, engkau sungguh nekat."
Jilid 14 ..... "Aku tidak takut kepadanya, Ayah.
Akan tetapi lalu muncul jagoan lain yang lebih lihai pula dan selagi aku terdesak, muncul
Thian Lee itu yang menolong dan melarikan aku darl bahaya. Bahkan dahulu, ketika aku
mencarikan obat untuk Suhu dan menderita keracunan karena gigitan ular, Thian Lee pula
yang menyelamatkan nyawaku. Dan tadi dia sudah menolong Ayah."
"Kalau begitu, penyerangan tadi tentu sebagai akibat dari ulahmu yang mengacau rumah
kakanda Pangeran Tua!" kata Pangeran Tang Gi Su dengan penuh penyesalan.
"Belum tentu, Ayah." bantah Cin Lan.
"Kenapa belum tentu?"
"Kalau mereka itu sakit hati kepadaku, kenapa yang diserang Ayah" Tidak, pasti ada hal lain
yang penuh rahasia. Baru hadirnya demikian banyaknya tokoh kang-ouw di rumah Paman
Pangeran Tua itu saja sudah mencurigakan. Apakah Ayah bermusuhan dengannya?"
Pangeran Tang Gi Su menghela napas panjang. "Bermusuhan secara langsung dan pribadi
memang tidak ada sama sekali. Akan tetapi pendirian kami memang berbeda, bahkan
berlawanan. Kalau aku setia kepada Sri Baginda K.aisar, kakanda Pangeran Tang Gi Lok Itu
menentang kebijaksanaan Kaisar, bahkan sering mencela dan kelihatan membenci."
Pada keesokan harinya, mereka semua mendengar tentang pembunuhan atas diri dua orang
menteri yang setia kepada Kaisar, dibunuh dalam kamarnya oleh penribunuh yang amat lihai
dan tidak diketahui siapa karena selir dan para dayang pejabat tinggi ini hanya melihat
berkelebatnya bayangan yang cepat sekali'.
Hal ini amat mengejutkan Pangeran Tang Gi Su dan dia pun bergerak pergi menghadap
Kaisar untuk membicaraka.a peristiwa itu termasuk peristiwa penyerangan atas dirinya.
Kaisar menasihatkan agar Pangeran Tang Gi Su menjaga diri baik-baik dan melakukan
penjagaan yang ketat, sementara itu dia malah menugaskan Pangeran Tang Gi Su untuk
rnenyelidiki perkara pembunuhan dan penyerangan atas dirinya itu sampai tuntas. Dan untuk
keperluan itu. Pangeran Tang Gi Su mendapat kekuasaan untuk menggunakan pasukan
sebanyak mungkin, Setibanya di rumah, Pangeran Tang Gi Su merasa pusing karena tugas itu amat sukar dan
berat. Melihat keadaan ayahnya, Cin Lan lalu bertanya,
"Ada berita apakah, Ayah'" Ayah nampak begitu bingung setelah kembali dari istana."
Pangeran Tang Gi Su menceritakan tentang tugas yang dibebankan kepadanya oleh Kaisar.
"Jangan khawatir, Ayah. Aku akan membantu Ayah dan aku akan melakukan penyelidikan
sampai terbongkar rahasia ini."
"Hati-hati, engkau, Cin i-an., Musuh amat berbahaya, jangan engkau terlalu sembrono seperti
yang sudah-sudah." "Jangan khawatir, Ayah. Aku akan minta bantuan Thian Lee untuk melakukan penyelidikan."
Ketika Cin Lan sedang duduk seorang diri di dalam kamarnya, tiba-tiba pintu kamarnya
terbuka dan muncullah ibunya, seorang diri. la segera bangkit menyambut ibunya. Biasanya
kalau ada keperluan, ibunya yang menyuruh pelayan me-manggilnya dan jarang sekali ibunya
memasuki kamarnya "Ibu, ada keperluan apakah Ibu?" tanyanya melihat wajah ibunya yang serius.
"Aku ingin bicara denganmu, Cin Lan," kata ibunya yang lalu duduk di kursi menghadapi
meja. Cin Lan juga lalu duduk di dekat ibunya.
"Bicara apakah, Ibu?"
"Tentang sahabatmu itu.
"Sahabatku" Yang mana, Ibu?"
"Yang menolong ayahmu itu."
"Ah, maksud Ibu, Song Thian Lee?"
"Benar, aku... aku merasa seolah wajah pemuda itu tidak asing bagiku. Dan engkau ingat,
nama marganya Song!"
"Kalau begitu, kenapa Ibu?"
"Lupakah engkau" Mendiang ayahmu menjodohkan engkau dengan putera keluarga Song!
Gelang kemalamu itu...."
"Ah, gelang kemala" Sudah dirampas penjahat ketika di kuil itu, Ibu."
"Sayang sekali."
"Ah, Ibu terlalu memikirkan perjodohan itu. Padahal, aku sudah berulang kali mengatakan
bahwa aku tidak suka dijodohkan sejak aku kecil. Aku tidak dapat menerima perjodohan itu,
dan Ibu begitu memikirkan sehingga setiap orang she Song Ibu curigai."
"Ah, engkau selalu bicara dermkian anakku. Perjodohan yang diatur bleh ayah tirimu, engkau
tidak mau menerimanya, dan perjodohan yang diatur oleh iayah kandungmu sendiri, engkau
pun tidak suka!" "Memang aku hanya suka berjodoh dengan orang yang berkenan di hatiku, Ibu, bukan
dipaksakan, baik oleh mendiang ayah kandungku maupun oliete ayah tiriku," kata Cin Lan
dengan kukuh. Ibunya hanya menghela napas panjang dan ;A,tidak mau membicarakan hal itu
lagi. * * * Lee Cin berjalan seorang diri. Ia sudah mendapat perkenan dari gurunya untuk melakukan
perjalanan seorang diri, bahkan mendapat tugas yang berat dari gurunya, yaitu membunuh
musuh besar gurunya yang tinggal di Hong-san. Gurunya sendiri, Ang-tok Mo-li, kembali ke
Bukit Ular di Lembah Huang-ho.
"Carilah dia sampai dapat. Kalau sudah bertemu, lawanlah ia. Kalau engkau kalah kembalilah
ke Bukit Ular, aku sendiri yang akan menghadapinya," demikian kata subonya.
Akan tetapi Lee Cin memang berwatak bebas dan liar. la menggunakan kesempatan ini untuk
berpesiar, bersenang-senang idaft tiaak langsung pergi ke Hong-san memenuhi pesan
gurunya. Selagi ia menyusuri tepi Sungai Kuning, di sebuah jalan yang sunyi mendadak ia bertemu
dengan seorang laki-laki berusia hampir enam puluh tahun yang tinggi besar, gagah perkasa
bermuka merah yang memegang sebatang dayung baja sebagai tongkat. Adapun di sisi kakek
gagah perkasa ini melangkah seorang pemuda yang tampan dan juga bertubuh tinggi besar.
Lee Cin tidak mengenal siapa mereka, maka ia pun tidak memperhatikan. Akan tetapi pemuda
itu memperhatikannya. Siapa orangnya yang tidak akan tertarik kepada gadis yang lincah dan
cantik jelita ini" Muka yang bulat telur itu manis sekali. Hidungnya mancung agak berjungat
ke atas, lucu sekali. Mulutnya kecil mungil dengan sepasang bibir yang merah basah tanpa
gincu, dihias lesung pipit di kanan kiri biblrn/a. Sedang usianya baru delapan belas tahun,
bagaikan bunga sedang mekar-mekarnya!
"Nona manis, engkau hendak pergi ke 'manakah?" tiba-tiba pemuda itu menegur dan berdiri
menghadang di depan Lee Cin.
Gadis itu mengerutkan alisnya, kemudian tertawa. Demikian manis ketika ia tertawa sehingga
pemuda itu semakin terpesona, "Hi-hik, ada monyet bercelana mau ganggu nonamu" Pergilah
sebelum kuhajar engkau! Hayo pergi!"
"Nona, engkau sungguh cantik jelita. Heran aku, mendengar makianmu, aku tidak marah
malah semakin tertarik. Marilah, Nona, kita bersahabat!" Pemuda itu menjulurkan tangan
hendak memegang tangan Lee Cin. Gadis ini mulai marah dan tiba-tiba tangannya bergerak
rnenam-par ke arah muka pemuda itu.
"Wuuuuttt... plakkk!" Tamparan itu "tlapat ditangkis pemuda itu dan tahulah Lee Cln bahwa
ia berhadapan dengan seorang yang cukup pandai. Tentu saja pemuda itu pandai karena dia
adalah Siangkoan Tek, sedangkan orang tua gagah perkasa itu adalah Siangkoan Bhok,
majikan Pulau Naga! Melihat ulah pu-teranya, Siangkoan Bhok mengambil sikap tidak peduli,
bahkan lalu duduk di atas batu 'besar dan termenung.
Melihat tamparannya ditangkis, Lee Cin segera menyerang kembali, klni lebih hebat. Dan
ternyata pemuda itu mampu mengelak dan balas menyergap hendak merangkul! Dan
terjadilah perkelahian yang seru di antara mereka. Setelah mendapat kenyataan bahwa
pemuda itu benar-benar tangguh dan mampu menandinginya, Lee Cin menjadi marah dan ia
pun mengerahkan sin-kang panas yang mengandung racun. Perlu diketahui bahwa semenjak
menjadi murid Ang-tok Mo li, tentu saja Lee Cin juga mempelajari. penggunaan racun dalam
pukulannya, yaitu suatu keahlian dari Ang-tok Mo-li yang membuat kuku jari datuk wanita itu
menjadi beracun. Lee Cin tldak sampai demikian hebat pengaruh racun dalam dirinya, akan
tetapi ia dapat mengerahkan tenaga beracun panas.
Siangkoan Tek tidak tahu bahwa pu-kulan itu mengandung hawa beracun. Dia menangkis
dengan tenaga sin-kang pula. "Dukkk....!" Ketika kedua tangan bertemu, pemuda itu
terhuyung dan menye-ringai kesakitan. Lengannya terasa panas t^seperti dibakar.
Melihat lawannya terhuyung, Lee Cin mengejar dan mengirim pukulan lagi. "Dukk!" Sekali
ini dara itulah yang terhuyung karena tangannya yang memukul bertemu dengan dayung yang
menangkisnya. Kakek itu yang menangkisnya dan kakek itu kini melihat tangan kanan Lee Cin yang berubah
kemerahan. "Ang-tok-ciang (Tangan Racun Merah)!" serunya. "Apa hubunganmu dengan
Ang-tok Mo-li?" bentaknya.
Lee Cin adalah seorang yang tidak mengenal takut. "Apa urusanmu bertanya tentang Subo?"
"Hemm, jadi engkau murid Ang-tok Mo-li" Bagus, sebelum kubunuh la, lebih dulu kubunuh
muridnya!" Dan kakek itu lalu menyerang dengan dayungnya
Melihat sambaran dayung yang dah-syat bukan main, Lee Cin meloncat ke belakang dan
mencabut pedangnya. Sinar merah nampak berkilat ketika ia mencabut pedangnya dan
terjadilah pertandingan yang amat seru antara Lee Oin dan Siangkoan Bhok. Akan tetapi
segera ternyata bahwa gadis itu terdesak hebat. Siangkoan Bhok adalah datuk besar dari timur
dan dijuluki Tung-hong-ong (Raja Angin Timur). Ilmu kepandaiannya sudah mencapai
puncak yang tinggi sekali.
Biarpun Lee Cin mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya, namun setelah berhasil
bertahan sampai lima puluh jurus, akhirnya ia pun roboh tertotok gagang dayung dan
tubuhnya menjadi lemas dan tidak dapat dlgerakkan lagi! Siangkoan Bhok mengangkat
dayungnya dan membentak, "Sekarang mampuslah kau!"
"Jangan, Ayah!" Siangkoan Tek berseru dan melompat maju menghalangi ayahnya.
"Hemm, mau apa engkau?" bentak ayahnya.
"Ayah, terus terang saja... ateu tergila-gila kepadanya. Aku menginginkan gadis ini, Ayah!"
"Hemmm, sesukamulah. Akan tetapi setelah itu, bunuhlah!" Dan dia pun duduk kembali
bersila di atas batu besar dan tidak mempedulikan lagi kepada puteranya.
Siangkoan Tek menjadi girang sekali dan dia lalu memondong tubuh yang hangat dan lemas
itu, dibawanya pergi ke balik semak-sernak belukar! Sudah jelas apa yang dikehendakinya.
Dia hendak memperkosa gadis yang cantik jelita itu. Dan mengetahui hal ini, ayahnya sama
sekali tidak mempedulikannya. Dapat diketahui bagaimana watak kedua orang manusia ayah
dan anak ini! Setelah merebahkan tubuh Lee Cin ke atas rumput dl balik semak-semak Siang-koan Tek lalu
menciumi wajah yang manis itu dan selagi dia hendak meraba pakaian Lee Cin, tiba-tiba
terdengar bentakan nyaring,
"Manusia keji!" Dan seorang pemuda tiba-tiba menerjangnya dengan tendangan sehingga
Siangkoan Tek yang sudah dikuasai nafsu berahi itu tidak dapat menghindar dan tubuhnya
kena ditendang sampai terpental dan bergulingan!
Pemuda berpakaian serba biru itu lalu menepuk kedua pundak Lee Cin satu kali dan tiba-tiba
Lee Cin sudah dapat bergerak kembali. Gadis ini cepat meloncat dan menyambar pedangnya
yang terletak di atas tanah, demikian pula pemuda itu sudah mencabut pedangnya. Akan tetapi
tlba-tiba Siangkoan Bhok sudah berdiri dl hadapan mereka dengan senjata dayungnya.
Sementara itu, Siangkoan Tek bangkit dan meraba-raba pahanya yang tertendang tadi.
Melihat ayahnya sudah menghadapi dua orang itu, dia pun diam saja karena yakin bahwa
ayahnya sudah lebih dari cukup untuk menandingi dua orang itu.
Siangkoan Bhok marah melihat puteranya ditendang tadi dan dia sudah menggerakkan
dayungnya menyerang kedua orang muda itu. Pemuda baju biru itu bertubuh jangkung tegap
dan usianya sekitar dua puluh dua tahun. Dia rnenggerakkan pedangnya dengan mantap dan
bersama Lee Cin, tanpa bersepakat lagi, mereka lalu mengeroyok kakek yang amat tangguh
itu. Akan tetapi, biarkan- pemuda itu pun cukup lihai, tetap saja dia dan Lee Cin bukanlah lawan
Siangkoan Bhok yang terlampau lihai bagi mereka. Lewat lima puluh jurus, senjata dayung
itu telah mengenai tubuh mereka berdua dan membuat mereka terpental dan bergu-lingan.
Dengan langkah lebar Siangkoan Bhok mengejar dan tahu-tahu dayungnya sudah menodong
di dada pemuda berbaju biru. Pemuda itu sama sekali tidak nam-pak takut, melainkan
memandang kepada kakek itu dengan mata melotot penuh kemarahan.
"Engkau agaknya yang disebut Raja Angin Timur Siangkoan Bhok, bukan" Nah, bunuhlah
aku kalau hendak membunuh. Aku memang bukan lawanmu!" kata pemuda itu dengan tegas.
Mendengar disebutnya julukan Raja Angin Timur ini, baru Lee Cin tahu dan ia pun terkejut.
Sudah lama ia mendengar nama besar datuk ini dari subonya dan ia pun bangkit dan
memandang de-ngan khawatir sekali. Pinggangnya yang tadi kena pukul dayung terasa nyeri
se-kali, akan tetapi tidak ada tulang yang patah.
Sementara itu, ketika Siangkoah Bhok mendengar ucapan pemuda itu, dia tidak segera
memukulkan dayungnya dan berbalik lalu bertanya, "Engkau jelas murid Siauw-lim-pai.
Siapa gurumu?" "Guruku adalah In Kong Thaisu," Kata pemuda itu dengan suara bangga.
Mendengar disebutnya nama ini, wajah Siangkoan Bhok berubah, alisnya yang tebal itu
berkerut. "Hemmm, melihat muka In Kong Thaisu, biarlah aku sekali ini tidak
membunuhmu!" Setelah berkata demikian, tangan kirinya bergerak dan jari-jari tangannya
menotok ke arah dada kanan pemuda itu.


Gelang Kemala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dukkk'." Pemuda Itu mengeluarkan rintihan dan muntah darah.
"Nah, biarlah In Kong Thaisu meraba, apakah It-yang-ci yang dikuasainya itu mampu
menyembuhkanmu! Dan engkau nona iblis, engkau kubebaskan agar dapat mengantarnya
pulang ke Siauw-lim-si, kalau saja dia masih kuat!" katanya mengejek, lalu dia membalikkan
tubuhnya dan berkata kepada puteranya, "Mari kita pergi"
"Akan tetapi, Ayah Gadls itu".
"Diam! Mari ikut aku pergi. Sekali aku mengeluarkan kata-kata, tidak dapat ditarik kembali!"
kata ayahnya dan pemuda itu bersungut-sungut, akan tetapi tidak berani membantah lagi dan
dia hanya menoleh dan memandang kepada Lee Cin dengan sinar mata penuh penyesalan dan
penuh kebencian! Setelah kedua orang itu pergi, Lee Cin berlutut di dekat pemuda itu.
"Siapakah engkau dan di mana tempat tinggalmu" Mari kuantar engkau pulang."
"Sudah tidak ada gunanya. Lukaku hebat sekali... parah dan tidak dapat sembuh. Nona,
tinggalkan saja aku. Kalau sampai mereka kembali, engkau akan celaka," kata pemuda itu
terengah-engah dan mencoba untuk bangkit berdiri.
Lee Cin membantu dan memapahnya dan gadis ini menjadi marah. "Kaukira aku ini orang
macam apa" Engkau menderita begini karena tadi telah menolongku. Aku pun harus
menolongmu, tidak peduli bahaya apa yang mengancamku. Katakan siapa namamu dan ke
mana aku harus membawamu menemui gurumu.
Melihat gadis itu bicara dengan nada marah, pemuda itu terkejut dan memandang heran dan
kagum, lalu dia pun menjawab, "Namaku Thio Hui San, kebetulan sekali guruku sedang
berkunjung ke kuil yang diketual Susiok, tidak jauh dari sini. Aku tadi sedang berjalan-jalan
ketika...." "Sudah, jangan panjang-panjang. Keadaanmu payah, tidak boleh banyak bicara. Mari kita
pergi, tunjukkan jalannya," kata Lee Cin yang masih merangkul dan memapah pemuda itu.
Pinggangnya sendiri masih terasa nyeri maka mereka lalu tertatih-tatih berangkat.
Untung bahwa kuil itu memang tidak jauh dari situ, berada di tepi sungai dan di lereng sebuah
bukit kecil. Kuil itu cukup besar dan terdapat banyak murid Siauw-lim-pai berada di situ.
Ketika melihat Hui San datang dipapah seorang gadis, tentu saja semua orang merasa heran
sekali. Sebetulnya, kuil di mana terdapat murid-murid Siauw-lim-pai itu merupakan tempat
terlarang bagi wanita. Akan tetapi karena Hui San datang dalam keadaan terluka dan dipapah
seorang wanita, para murid itu hanya memandang saja dan ada yang melaporkan ke dalam.
Setelah tiba di depan ruangan paling muka, keluarlah dua orang hwesio. Seorang hwesio
tinggi kurus dan seorang hwesio yang tingginya sedang akan tetapi perutnya gendut seperti
patung Jai-hud. Hwesio yang gendut itulah yang rnenegur, "Hui San, engkau tahu bahwa tempat ini
merupakan larangan bagi wa-nita. Mengapa engkau datang dengan se-orang gadis, dan
engkau menderita luka parah kenapakah?"
"Suhu, teecu terluka oleh Siangkoan Bhok dan nona ini menolongku sampai ke sini karena
teecu tidak kuat berjalan sendiri," keluh Thio Hui San. "Harap maafkan teecu dan nona ini...."
Ketika itu Lee Cin melepaskan rangkulannya dan Hui San segera jatvh terkulai dengan lemas.
Lee Cin bertolak pinggang mengha-dapi dua orang hwesio itu, sama sekali tidak nampak
takut. "Muridmu terluka parah, mungkin akan mati dah engkaU masih meributkan soal
peraturan segala macam. Biarpun aku seorang wanita, kalau aku masuk ke sini, aku
rnerugikan apakah?" Sekarang hwesio yang tinggi kurus yang mengangkat kedua tangan depan dada sambil
berkata, "Omitohud Sejak dahulu kuil kami ini memang merupakan larangan bagi wanita
untuk memasukinya, dan larangan itu tidak pernah dilanggar oleh siapa pun. Akan tetapi
karena engkau telah menolong murid keponakanku, kami mengucapkan terima kasih
kepadamu dan sekarang, mari kuantar Nona keluar dari sini!" Biarpun ucapan itu ter-dengar
halus, akan tetapi jelas bahwa hwesio kurus itu telah mengusirnya! Lee Cin tersenyum
mengejek. "Kalian agaknya menjauhi wanita seolah wanita itu wabah menular, agaknya kalian semua
sudah lupa bahwa kalian dahulu dilahirkan oleh seorang wanita! Tidak perlu diantar, aku bisa
keluar sendiri!" Setelah berkata demlkian, dara ini memutar tubuhnya dan meninggalkan
tempat itu. Para hwesio dan murid yang mendengar ucapan itu hanya menjadi bengong saja.
In Kong Thaisu sendiri, hwesio yang gendut itu tidak mempedulikan sikap Lee 'Cin tadi dan
kini dia sudah memeriksa denyut nadi dan dada Hui San.
"Hemm, Siangkoan Bhok sungguh keji. Tangannya tetap memancarkan maut dan agaknya dia
membalas kekalahannya dari pinceng dahulu kepada murid pinceng." Dia menghela napas
panjang dan menyuruh seorang hwesio di situ untuk membantu Hui San memasukl kuil.
"Apakah Si Angin Timur itu mendendam kepadamu, Suheng?" tanya hwesio kurus itu yang
bernama In Tiong Hwesio, Sute dari In Kong Thaisu, ketika dia berjaian masuk bersama
slihengnya. "Ah, terjadinya sudah belasan tahun yang lalu. Pernah kami bentrok dan bertanding sampai
ratusan jurus, tidak ada yang kalah atau menang. Akhirnya, dengan It-yang-ci aku dapat
merobohkannya, walaupun aku juga mengalami luka dari tangannya, akan tetapi tidak separah
lukanya. Agaknya dia mengetahul bahwa Hui San muridku, maka dia sengaja melukai Hui
San agar aku mencoba menyembuhkannya dengan It-yang-ci."
Setelah merebahkan Hui San di pem-baringan, In Tiong Hwesio berkata kepada suhengnya,
"Sayang sekali kepandaianku belum mencapai tingkat untuk menggunakan It-yang-ci dalam
penyembuhan. Akan tetapi, engkau akan menghamburkan banyak tenagamu untuk
menyembuhkan itu, Suheng. Dan untuk memulihkan kembali tenagamu tentu rnembutuhkan
waktu yang lama sekali."
Suhengnya mengangguk-angguk. "Omi-tohud, semua sudah takdir. Pinceng tidak
membutuhkan tenaga itu, sekarang yang membutuhkannya adalah Hui San, mengapa tidak
pinceng gunakan" Nah, silakan keluar dulu, Sute dan harap pesan semua murid agar tidak
mengganggu pinceng sewaktu melakukan pengobatan."
"Pinceng mengerti, Suheng," kata In Tiong Hwesio yang segera keluar dari ruangan itu dan
menutupkan pintunya, kemudian dia memesan kepada para muridnya agar tidak mendekati
ruangan itu. Watak Lee Cin memang aneh. Makin dilarang, ia menjadi makin ingin tahu. Kalau saja ia
tidak dilarang memasuki kuil, bahkan andaikata diterima dengan ramah dan dipersilakan
masuk, ia tidak akan mau dan akan pergi begitu saja setelah mengantar Hui San sampai di
tempatnya. Akan tetapi justeru karena dilarang, maka kini setelah tiba di luar kuil ia lalu
menyelinap dan memasuki kuil kembali melalui tembok belakang! la melompati pagar
tembok di belakang, tiba di kebun belakang dan menyelinap masuk lagi secara sembunyi.
Tak lama kemudian ia sudah mendekam di atas ruangan di mana In Kong Thaisu sedang
mengobati Hui San dan mengintai ke dalam! la melihat Hui San duduk berdila di atas
pembaringan dan In Kong Thaisu bersilat secara aneh, kadang menggunakan sebuah jari
telunjuknya untuk menotok jalan darah di punggung Hui San yang tidak berbaju. Diam-diam
Lee Cin memperhatikan semua itu dan mencatat dalam ingatannya semua gerakan yang
dilakukan .In Kong Thaisu. Tanpa disadari, gadis ini telah mempelajari jurus-jurus dari Ityang-ci yang diperagakan In Kong Thaisu, juga ia melihat ke mana jari telunjuk itu menotok
jalan darah. In Kong Thaisu memainkan semua jurus It-yang-ci dengan menotok jalan darah di pundak,
punggung, kemudian dada Hui San setelah memutar tubuh pemuda itu menghadapnya.
Setelah sele-sai, uap putih keluar dari ubun-ubun kepala yang gundul itu dan In Kong Fhaisu
berhenti, lalu berkata, "Bahaya telah lewat, akan tetapi engkau masih harus bersamadhl
mengumpulkan hawa murni selama tiga jam." Setelah berkata demikian, dengan tubuh lemas
hwesio itu sendiri juga lalu duduk bersila. Agaknya dia telah mengeluarkan tenaga terlalu
banyak sehingga kehabisan tenaga.
Sementara itu, demikian asiknya Lee Cin mengintai sampai ia tidak tah bahwa ada seorang
hwesio mendekatinya dari belakang. Tiba-tiba saja hwesio itu membentak, "Apa yang
kaulakukan di sini?"
Lee Cin kaget seterigah mati dan saking kagetnya ia lalu meloncat turun ke dalam ruangan
itu! Hwesio murid Siauw-lim-pai itu mengejarnya.
"Hendak lari ke mana kau?" bentaknya dan dia pun meloncat turun ke dalam ruangan di mana
Hui San dan In Kong Thaisu masih duduk bersila. Ketika hwesio itu sudah tiba di depan Lee
Cin, secara otomatis Lee Cin lalu menggerakkan tangan dan karena pikirannya masih penuh
dengan hafalan tentang jurus-jurus It-yang-ci yang tadi diperagakan In Kong Thaisu, maka
kini ia pun menyerang dengan jurus It-yang-ci! Lee Cin memang sudah memiliki tenaga sinkang yang kuat sekali, maka gerakannya itu cukup hebat dan biarpun hwesio itu sudah
mengelak, tetap saja dadanya tertotok. Hanya karena Lee Cin belum dapat melakukan jurus
itu dengan tepat sekali, maka totokan itu meleset dan hanya membuat hwesio itu terjengkang
saja. Pada saat itu, In Tiong Hwesio yang mendengar suara ribut-ribut memasuki ruangan itu dan
alangkah heran dan kagetnya melihat Lee Cin berada di ruangan itu dan seorang muridnya
terjengkang. "Omitohud! Apa yang terjadi di sini?" katanya. Akan tetapi melihat hwesio tinggi kurus ini,
Lee Cin khawatir kalau ia diserang lebih dulu, maka ia melanjut-kan gerakannya, menyerang
dengan It-yang-ci pula! In Tiong Hwesio adalah seorang murid Siauw-lim-pai yang pandaL
Biarpun ilmunya belum setinggi In Kong Thaisu, akan tetapi dia mengenal lt-yang-ci dan
cepat ia mengibaskan lengan bajunya yang lebar untuk menangkis dan melanjutkan dengan
kibasan lengan baju untuk balas menyerang. Akan tetaoi Lee Cin cukup lihai dan cepat
menghindar. "Tahan....!!" Tiba-tiba In Kong Thaisu berteriak dan kedua orang itu pun ber-henti saling
serang. Teriakan In Kong Thaisu itu berwibawa sekali dan Lee Cin berdiri sambil
memandang, siap untuk menghadapi teguran.
"Nona, dari mana engkau mempelajari It-yang-ci?" tanya In Kong Thaisu sambil bangkit
berdiri menghadapi Lee Cin, suaranya penuh tuntutan dan pandang matanya mencorong.
Sedangkan Thio Hui San juga hanya dapat memandang saja. Dia bingung dan tidak mengerti
mengapa Lee Cin memasuki ruangan itu bahkan merobohkan seorang hwesio dengan jurus Ityang-ci yang amat sukar. "Maaf, Losuhu," kata Lee Cin dengan sejujurnya. "Ketika diusir dari sini, aku menjadi
penasaran sekali dan ingin melihat kuil ini ada apanya maka melarang wanita memasukinya.
Kalau aku tidak dilarang, tentu tidak ingin melihat. Tanpa sengaja aku melihat Losuhu
mengobati muridnya. Karena tertarik melihat gerakan-gerakan totokan itu, maka aku men-jadi
terpikat dan diam-diam aku memperhatikannya dari awal sampai akhir. Kemudian aku
ketahuan dan karena khawatir diserang, aku lalu lebih dulu menyerangnya, dan tanpa kusadari
aku me-mainkan jurus-jurus yang tadi aku lihat ketika mengintai."
"Omitohud.... kiranya pinceng sendiri yang mengajarimu It-yang-ci! Sungguh aneh dan
agaknya memang sudah ditentukan Yang Maha Bijaksana bahwa engkau berjodoh dengan Ityang-ci, Nona muda. Baiklah, engkau sudah melihat dan menghafalkan jurus-jurus It-yang-ci,
ini berbahaya sekali, baik bagimu maupun bagi orang lain. Maka pinceng akan mengajarkan
It-yang-ci kepadamu agar engkau dapat menguasai dengan benar dan baik. Akan tetapi lebih
dulu engkau harus bersumpah bahwa engkau tidak akan nengajarkannya kepada orang lain
dan akan menggunakan It-yang-ci untuk berbuat kebaikan, bukan kejahatan."
Lee Cin menjadi girang bukan main. la tahu bahwa It-yang-ci itu merupakan ilmu simpanan
dari hwesio sakti itu, mana cepat ia menjatuhkan diri berlutut. "Saya bersumpah kalau diberi
pelajaran It-yang-ci tidak akan mengajarkannya kepada orang lain dan tidak akan menggunakan untuk kejahatan'" la lalu memberi hormat seperti layaknya seorang murid, akan
tetapi hwesio itu mencegahnya.
"Omitohud, tidak perlu engkau mengangkat guru kepada pinceng. Pinceng akan mengajarkan
It-yang-ci, bukan berarti engkau menjadi murid pinceng. Eng-kau tetap murid gurumu, siapa
pun adanya dia. Nah, mari kita pergi ke lian-bu-thia (ruangan berlatih silat)!"
Demikianlah, mulai hari itu Lee Cin dilatih It-yang-ci oleh In Kong Thaisu, dan karena dara
ini memang berbakat baik sekali dan mempunyai ingatan yang kuat, maka selama tiga hari
saja ia sudah dapat menguasai ilmu itu. Untuk menyempurnakan, ia tinggal berlatih saja.
Pada hari ke tiga, ketika ia berlatih seorang diri, In Kong Thaisu mengham-pirinya dan
berkata setelah sejenak memperhatikan cara gadis itu berlatih. "Engkau sudah menguasainya
dengan baik, Lee Cin. Sekarang tergantung kepadamu ssendiri untuk dapat menguasai dengan
sempurna, yaitu dengan melatih diri. Juga terserah kepadamu apakah kelak engkau akan
memegang teguh sumpahmu untuk merahasiakan ilmu ini, tidak meng-ajarkan kepada orang
lain dan tidak melakukannya untuk kejahatan. Kalau engkau melanggar, tentu engkau pula
yang akan menanggung akibat buruknya."
Biarpun ia seorang gadis yang berpembawaan liar karena sejak kecil hidup bersama Ang-tok
Mo-li, akan tetapi pada hakekatnya Lee Cin adalah seorang gadis yang mengenal aturan dan
mengenal budi. la cepat memberi hormat dengan berlutut di depan kaki hwesio itu.
"Saya menghaturkan terima kasih atas petunjuk Locianpwe dan saya tentu akan memegang
teguh janji dan sumpah saya."
"Omitohud, pinceng girang sekali, Lee Cin. Nah, sekarang engkau boleh pergi meninggalkan
tempat inl." Lee Cin lalu berpamit dan pergilah ia meninggalkan kuil itu. Setibanya di luar kuil, dia
mendengar panggilan dari belakang, "Nona....!"
Lee Cin berhenti melangkah dan ketika ia menengok, ternyata yang memanggilnya adalah
Hui San. la melihat pemuda itu telah sembuh sama sekali dan ini membuktikan betapa
amouhnya ilmu It-yang-ci untuk pengobatan.
"Engkau telah sembuh. Aku girang sekali... eh, siapa tadi namamu?" Lee Cin mengingat-ingat
akan tetapi lupa lagi. "Namaku Thio Hui San, Nona. Dan kalau boleh aku mengetahui namamu...."
"Tentu saja boleh. Namaku Lee Cin, Bu Lee Cin."
"Nama yang indah dan gagah, seperti orangnya," Hui San memuji.
Lee Cin tersenyum. "Aih, kiranya engkau seorang pemuda yang pandai me-muji dan merayu
pula." Hui San juga tersenyum. "Sama sekali tidak memuji atau merayu, Nona. Aku bicara
sejujurnya. Aku pun gerhbira sekali bahwa engkau telah menerima pelajaran It-yang-ci dari
Suhu, padahal aku sendiri belum diajari It-yang-ci. Akan tetapi setelah Suhu mengajarkannya
ke-padamu, dia berjanji akan mengajarku pula."
"Ini semua berkat pertolonganmu ke-padaku, Hui San. Kalau engkau tidak menolongku dari
tangan ayah dan anak Siangkoan itu, mungkin sekarang aku sudah mati dan tidak bertemu
dengan gurumu yang mengajarkan tt-yang-ci kepadaku. Kelak, kalau bertemu lagi de-ngan
jahanam Siangkoan Tek, tentu akan kubunuh dia dengan It-yang-ci!"
"Tidak perlu bicara tentang pertolongan, Nona. Sebaliknya, kalau tidak ada engkau yang
menolongku membawa aku ke kuil, tentu aku sudah mati dalam perjalanan pula. Orang-orang
seperti kita inl memang harus saling tolong menolong dalam menghadapi orang-orang jahat."
"Hemm, engkau boleh berkata demikian karena engkau adalah murid Locian-pwe In Kong
Thaisu. Engkau memang sepantasnya menjadi seorang pendekar budiman. Akan tetapi aku...
ah, aku hanya, seorang gadis kasar yang bodoh."
"Tidak sama sekali, Nona. Dalam pandanganku, engkau adalah seorang yang amat baik,
gagah perkasa dan berbudi mulia. Aku... aku ingin agar selama hidupku menjadi... sahabat
baiknnu, Nona." "Hui San, engkau ingin menjadi sahabatku, akan tetapi engkau masih bersungkan-sungkan
menyebutku nona segala. "Engkau sudah tahu bahwa namaku Lee Cin."
Hui San tersenyum. "Baiklah, Lee Cin. Aku girang sekali dapat menyebut namamu."
"Sudahlah, aku harus pergi, Hui San. Selamat tlnggal dan mudah-mudahan kita akan dapat
berjumpa kembali." "Nanti dulu, Lee Cin! Bagaimana kalau aku ingin bertemu denganmu" Ke mana aku harus
mencarimu?" Lee Cin tersenyum manis. "Hui San, engkau akan terkejut setengah mati ka-lau mengetahui di
mana tempat tinggalku dan siapa pula guruku. Sudahlah, tidak perlu engkau tahu karena hal
itu hanya akan membuatmu menyesal dan kecewa kepadaku."
"Tidak, aku bersumpah, siapapun juga gurumu dan di mana pun tempat tinggalmu, tidak akan
membuatku kecewa dan aku akan tetap mencarimu di sana."
"Benarkah" Engkau mau tahu" Nah, tempat tinggalku di Bukit Ular di Lembah Huang-ho."
Hui San terbelalak. "Bukit Ular di Lembah Huang-ho" Tidak salahkah itu" Setahuku hanya
ada satu tempat yang disebut Bukit Ular di Lembah Hyang-ho...."
"Memang hanya satu," sambung Lee Cin sambil tersenyum manis. la "idak akan merasa
menyesal atau heran kalau nanti Hui San terkejut dan berbalik tidak suka lagi kepadanya
setelah mendengar siapa gurunya. Nama gurunya sudah amat terkenal sebagai seorang datuk
sesat yang suka membunuh orang tanpa berkedip mata.
"Kaumaksudkan, tempat tinggal Ang-tok Mo-li?" tanya Hui San, masih terheran-heran.
"Tepat sekali. Memang Ang-tok Mo-li itulah guruku. Engkau terkejut dan menyesal?"
"Sungguh mati, aku terkejut bukan main, Lee Cin. Dan tidak kusangka-sangka, akan tetapi
menyesal" Kecewa Rasanya tidak, karena engkau adalah seorang gadis yang, gagah perkasa
dar berbudi mulia. Gurumu tidak ada sangkut-pautnya dengan kepribadianmu."
"Benarkah itu?"
"Aku berani bersumpah. Dan untuk membuktikan bahwa aku tidak menyesal atau kecewa,
sekali waktu aku tentu akan berkunjung ke Bukit Ular untuk mencarimu."
"Hemm, engkau akan dibunuh guruku!"
"Aku tidak khawatir. Bukankah ada engkau di sana" Kecuali kalau engkau membiarkan aku
dlbunuh gurumu, apa boleh buat, akan tetapi hal itu tidak membuat aku mundur."
"Heii, Hui San, kenapa sih engkau ngotot hendak mengunjungi aku" Sampai-sampai engkau
berani mengorbankan atau mempertaruhkan nyawamu?"
Tiba-tiba Hui San mengangkat dada. "Seorang gagah harus berani jujur dan berterus terang,
Lee Cin. Engkau berta-nya" Baiklah, akan kujawab. Aku berani nekat karena aku cinta
padamu! Nah, sudah lega sekarang, isi hatiku sudah kukeluarkan. Terserah kepadamu apakah
engkau dapat menerima cintaku ataukah tidak."
Kini Lee Cin merasa terkejut. Jawaban itu sungguh tidak pernah diduganya. Selama ini,
banyak pria yang tergila-gila kepadanya. Walaupun tidak ada yang berterus terang
menyatakan cinta. Akan tetapi semua itu tidak pernah ditang-gapinya sama sekali, karena ia
mengang-gap para pria itu hanya ingin mempermainkannya. Dan selama ini hatlnya baru
pertama kali pernah tertarik pada pria, yaitu kepada Song Thian Lee. Walaupun Thian Lee
belum menanggapi perasaan hatinya, akan tetapi ia masih tetap mengharapkan agar kelak
Thian Lee menjadi jodohnya. Dan kini, tahu-tahu dan tiba-tiba saja pemuda Siauw-lim-pai
yang tampan dan gagah perkasa ini menyatakan cinta kepadanya!
Wajahnya menjadi kemarahan dan ia merasakan jantungnya berdebar panuh ketegangan.
Belum pernah ia merasa tegang seperti saat ini, dan dengan salah ting-kah ia lalu pergi sambil
berkata, "Aku tidak tahu... sungguh aku tidak tahu...." Dan ia pun melarikan diri dari tempat


Gelang Kemala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu, meninggalkan Hui San yang menjadi bengong karena pemuda ini tidak mengerti akan
sikapnya itu. Gadis yang dicintanya itu mendengar pernyataan cintanya, tidak menerima, juga
tidak me-nolak, melainkan pergi dan menjawab tidak tahu. Dia tidak berani mengejar, lalu
menarik napas panjang penuh kebimbang-an dan kembali memasuki kuil. Hari itu dia harus
kembali bersama suhunya ke Kwicu, tempat tinggal suhunya, di sebuah Kuil Siauw-lim-si
yang besar. Setelah meninggalkan Kuil Siauw-llm, Lee Cin melanjutkan perjalanannya. Yang dituju
adalah Hong-san karena ia hendak memenuhi pesan subonya untuk menemui Souw Tek Bun,
yang oleh subonya dikatakan musuh besar subonya itu. la sendiri tidak pernah bertemu
dengan Souw Tek Bun dan tidak tahu dia orang macam apa, akan tetapi subonya berpesan
agar ia membunuhnya. Selama menjadi murid Ang-tok Mo-li, Lee Cin merasa betapa gurunya
itu amat sayang kepadanya, mendidiknya dengan tekun dan mencukupi semua kebutuhannya.
Dan selama ini subonya tidak pernah menyuruh ia melakukan pekerjaan penting atau berat.
Sekarang, setelah ilmunya dianggap mencukupi, subonya minta agar ia membunuh musuh
besar subonya yang bernama Souw Tek Bun. Maka ia harus melakukan ini, untuk membalas
budi subonya yang ber-limpah-limpah. Menurut subonya, Souw Tek Bun adalah bengcu dunia
kang-ouw. Tentu berilmu tinggi! Akan tet.ipi ia tidak takut, apalagi sekarang ia telah
menguasai It-yang-ci, walaupun baru ber-latih' selama tiga hari saja Ilmu itu memang belum
dapat ia pergunakan dengan baik, kurang latihan, akan tetapi gerakannya sudah lumayan
menambah kelincahannya. Ketika ia sudah tiba di kakl pegunungan Hong-san yang sunyi, tiba-tiba ia dikejutkan oleh
munculnya tiga orang. Tentu saja ia makin terkejut ketika mengenal bahwa orang itu bukan
lain adalah Coat-beng-kwi, Thian-lo-kwi dan Bu-tek Lo-kwi! la merasa heran bukan main.
Sepanjang pengetahuannya, tiga orang datuk perampok inl telah ditangkap oleh pasukan
pemerintah di kota Pao-ting ketika mereka cerai-berai melarikan diri setelah dihajar oleh ia
dan Thian Lee yang membantu Souw-pangcu. Bagai-mana sekarang mereka dapat muncul di
sini" Memang demikianlah. Tiga orang to-koh sesat ini tadinya sudah dikepung dan ditangkap
pasukan. Mereka tidak melaku-kan perlawanan, akan tetapi ketika mereka digiring ke rumah
tahanan, tiga orang ini memberontak dan berhasil me-larikan diri. Mereka menjadi orang
buru-an pemerintah. Dan secara kebetulan saja mereka kini tiba di kaki Pegunungan Hong-san
dalam usaha mereka menyembunyikan diri.
Merasa bahwa ia seorang diri tidak mungkin dapat menandingi tiga orang itu, Lee Cin
bermaksud menghindarkan dirl. Akan tetapi, tiga orang itu sudah melihatnya. Terutama sekali
Thian-lo-kwi yang pernah ia kalahkan.
"Heii, berhenti kau!" Thian-lo-kwi membentak dan tiga orang itu sudah berloncatan mengejar
Lee Cin. Karena sudah ketahuan, Lee Cin juga tidak melanjutkan larinya. la bahkan
membalikkan tubuhnya tanpa mengenal takut. Memang kalau melawan satu demi satu, ia
sama sekali tidak takut dan merasa yakin akan merobohkan mereka semua.
"iHemm, kiranya kalian, pecundang-pecundang yang sudah kalah. Mau apa kalian
mengejarku?" Lee Cin balas membentak.
"Iblis betina, sekarang tibalah saatnya kami membalas kekalahan kami tempo hari!" Thian-lokwi membentak marah. Lee Cin tersenyum. "Bagus!' Kalian belum jera" Boleh maju satu-satu, kalau kalian memang
gagah." Ia sengaja me-nantang demikian dengan harapan tiga orang itu akan merasa malu
untuk me-ngeroyoknya. Akan tetapi, orang yang merasa sakit hati, mana mengenal. rasa malu
lagi" Coat-beng-kwi sudah menca-but goloknya, sedangkan dua orang kakaknya, Thian-lokwi dan Bu-tek Lo-kwi telah mencabut pedang masing-masing. Dan tanpa banyak cakap lagi
tiga orang tokoh sesat ini segera mengepung dan menyerang Lee Cin. Lee Cin sudah melolos
Ang-coa-kiam, pedang tipisnya yang dipakai sebagai sabuk, dan melawan ma-ti-matian. la
maklum bahwa tiga orang tua itu kalau maju bersama merupakan lawan yang amat tangguh,
akan tetapi ia tidak menjadi gentar dan membalas dengan gulungan sinar pedangnya yang
kemerahan. Tiga orang itu.kalau maju satu lawan satu, tidak akan menang melawan Lee Cin. Biarpun Butek Lo-kwi sendiri yang paling lihai di antara mereka, akan mengalami kesulitan kalau
bertanding mela-wan Lee Cin. Akan tetapi sekarang me-reka maju bertiga dan tentu saja
dapat saling bantu dan pengeroyokan itu akhir-nya membuat Lee Cin terdesak hebat. Didesak
oleh tiga orang yang menyerang untuk membunuhnya. Lee Cin menjadi repot juga. Untuk
memanggil ular-ularnya, ia tidak sempat lagi meniup sulingnya, ia didesak hebat sehingga
main mundur, berloncatan ke sana sini dan hanya berkat kelincahan gerakan tubuhnya sajalah
yang membuat Lee Cin masih belum dapat dirobohkan walau penge-royokan itu sudah
berlangsung hampir seratus jurus!
Pada saat yang amat berbahaya bagi keselamatan Lee Cin itu, tiba-tiba mun-cul seorang
kakek tinggi kurus yang ber-pakalan hitam putih. Di bajunya bagian dada ada lukisan Imyang. Kakek ini berusia hampir enam puluh tahun namun masih nampak jauh lebih muda dari
usia sebenarnya. Dia ini bukan lain adalah Thian-te Mo-ong Koan Ek, datuk besar dari selatan
itu, begitu muncul dan melihat seorang gadis cantik jelita dikeroyok tiga orang itu, dan sedang
didesak hebat, dia membentak,
"Tiga ekor anjing srigala mengeroyok seekor harimau betina, sungguh tidak tahu malu!" Dia
menyerbu ke dalam medan pertempuran itu dan empat orang yang sedang bertanding itu
dilanda angin yang kuat sehingga mereka terkejut dan berlompatan mundur sambil
memandang ke arah kakek tinggi kurus itu.
Coat-beng-kwi yang brangasan itu menjadi marah. Dia melangkah maju dan membentak,
"Kau orang gila dari mana datang mencampuri urusan kami!" Setelah berkata demikian, dia
menggerakkan golok besarnya membacok k.e arah kakek tinggi kurus itu.
Thian-te Mo-ohg menyenngai, sama sekali tidak mengelak atau menangkis, akan tetapi ketika
golok itu sudah menyambar dekat di kepalanya, tangan kirinya menyambar dari bawah dan
tahu-tahu golok itu telah ditangkapnya! Coat-beng-kwi terkejut ketika goloknya tertahan.
Akan tetapi melihat orang itu berani menangkap goloknya yang tajam, dia menjadi girang dan
segera mengerah-kan tenaganya untuk membuat tangan yang mencengkeram goloknya itu
menjadi buntung. Akan tetapi goloknya tidak dapat dia gerakkan, bahkan ketika ditarik
hendak dilepaskan dari cengkeraman, golok itu tidak bergerak seolah telah terjepit oleh
jepitan baja yang amat kuat.
Thian-te Mo-ong mengerahkan tenaganya pada tangan kiri yang mencengkeram dan "krekk'"
golok itu telah patah menjadi dua dan bagian ujungnya kini berada di dalam tangannya. "Nah,
ini makan golokmu sendiri!" bentaknya dan sekali tangan kirinya bergerak, ujung golok itu
telah menyambar bagaikan sebatang anak panah melesat dari busurnya. Jarak di antara
mereka dekat sekali, maka Coat-beng-kwi tidak sampai lagi untuk mengelak atau menangkis
karena tahu-tahu ujung goloknya itu telah menancap dl dadanya. Dia mengeluarkan teriakan
keras dan roboh terjengkang, tewas karena ujung golok yang tajam itu telah memasuki
dadanya dan merobek jantungnya!
Melihat ini, Thian-lo-kwi dan Bu-tek Lo-kwi menjadi terkejut bukan main, dan juga marah.
Mereka berdua segera menggerakkan pedang mereka, menyerang Thian-te Mo-ong dengan
dahsyat. Yang diserang mengelak ke belakang dan di lain saat Thian-te Mo-ong sudah
memegang pedang yang berkilauan. Akan tetapi, Thian-lo-kwi dan Bu-tek Lo-kwi yang sudah
marah melihat kematian adik mereka, tidak peduli dan mereka berdua segera menyerang lagi
dengan tusukan dan bacokan maut. Akan tetapi kini nampak dua gulung sinar pedang yang
demikian kuat sehingga mengejutkan dua orang pengeroyok itu. Akan tetapi keka-getan
mereka sudah terlambat. Dua gulungan sinar pedang itu telah menghimpit sinar pedang
mereka dan menekan sede-mikian hebatnya sehingga mereka tidak mampu menghindarkan
diri lagi. Terpaksa mereka menggunakan pedang untuk me-nahan dan melindungi diri mereka
dari sambaran gulungan dua sinar pedang yang demikian kuatnya itu. Namun, ini juga tidak
dapat bertahan lama. Belum sampai dua puluh jurus, Thian-lo-kwi terpelanting roboh dengan
leher tertembus pedang! Bu-tek Lo-kwi terkejut dan juga marah, menggerakkan pedang^
dengan tangan kanan, sedangkan tangan kirinya me-ngirim pukulan jarak jauh sambij
mengerahkan sin-kangnya. Akan tetapi Thian-te, Mo-ong menyambut pukulan tangan kiri ini
dengan sambaran pedangnya.
"Crokk....!" Lengan kiri Bu-tek Lo-kwi buntung sebatas siku! Bu-tek Lo kwi terkejut sekali
dan melompat mundur. Mukanya menjadi pucat dan matanya terbelalak inemandang orang
tinggi kurus itu. "Katakan siapa engkau....bentaknya dengan terengah menahan rasa nyeri.
"Selamanya Thian-te Mo-ong tidak pernah menyembuhyikan nama." kata kakek itu sambil
tertawa mengejek. Bukan main kagetnya Bu-tek Lo-kwi mendengar nama ini. Tenu saja dia su-dah mendengar
akan nama besar datuk selatan itu. Karena baru sekarang berte-mu, tadi dia tidak menduga
bahwa yang dilawannya adalah Datuk Selatan. Dia sudah mendengar akan kekejaman datuk
ini, maka dia pun menjadi putus harapan untuk dapat keluar dengan selamat, dan dia menjadi
nekat. Sambil membentak nyaring, dia melompat ke depan sambil menyerang dengan
pedangnya. Akan tetapi, pedang itu tertangkis oleh pedang kiri Thian-te Mo-ong dan pedang
kanan datuk itu sudah menembus dada Bu-tek Lo-kwi dan robohlah tokoh sesat itu dan tewas
seketika! Lee Cin memandang dengan kaeum. Bukan main lihainya kakek itu dan ia pun tidak merasa
heran. Ia tadi men-dengar pengakuan kakek itu dan sudah Aama pula ia mendengar akan
nama besar Ihian-te Mo-ong sebagai Datuk Besar Selatan. Ia tidak pergi karena tadi ia mgin
sekah melihat perkelahian itu. Baru setelah ketiga orang itu roboh tewas, ia tenngat betapa
bahayanya orang seperti Datuk SeJatan ini. Dan kini sudah terlambat baginya untuk melarikan
diri dan terpaksa ia wenghadapi Thian-te Mo-ong
''Jadi engkaukah yang berjuluk Thian-te Mo-ong" Suboku sering bercerita tentang Datuk
Besar Selatan. Ternyata pujian guruku bukan kosong belaka. Engkau memang lihai sekali,
Thian-te Mo-orig dan aku berterima kasih kepadamu telah menolongku dari tangan mereka."
Thian-te Mo-ong tertawa. "Ha-ha-ha,'' subomu Ang-tok mo-li itu, Cantik jelita, sayang
mukanya pucat selalu. Engkau jauh lebih jelita, Nona. Dan aku Thian-te Mo-ong selamanya
kalau melakukan sesuatu tentu ada pamrihnya. Tadi aku menolongmu dan membunuh tiga
ekor anjing ini pun tentu ada pamrihnya.
"Hemm, apakah pamrihmu, Mo-ong?"
"Aku tertarik kepadamu. Kalau bukan engkau yang dikeroyok, untuk apa aku mencampuri
urusan mereka" Engkau cantik dan berbakat pantas menjadi muridku. Maka, engkau harus
menjadi muridku selama dua tahun!"
"Tidak, Subo tertu marah sekali".
"Ha-ha, soal Ang-tok Mo-li serahkan saja kepadaku. Aku yang akan memberi tahu kepadanya
kelak. Engkau harus mulai sekarang ikut dengan aku!"
Diam-diam Lee Cin merasa terkejut dan khawatir sekali. Jelas ia tidak mampu melawan
kakek ini dan sekali kakek ini sudah mengambil keputusan, bagaimana mungkin ia dapat
mengubahnya" Dan ia tahu bahaya besar mengancam dirinya kalau ia ikut dengan kakek itu untuk menjadi
muridnya. Pandang mata kakek itu saja sudah membuat bulu romanya berdiri! Lee Cin lalu
cepat mengeluarkan sulingnya, melompat ke bela-kang sambil meniup sulingnya. Suara
sulingnya melengklng-lengking dan melihat ini, Thian-te Mo-ong hanya menyeringai saja,
seolah melihat pertunjukan yang menarik hati. Tentu saja dia sudah tahu bahwa selain ilmuilmunya yang lain Ang-tok Mo-li terkenal sebagai seorang ahli racun dan juga pawang ular.
Dan dia tahu apa artinya suara suling yang melengking-lengking itu. Agaknya gadis ini
mewarisi juga ilmu pawang ular. Tadi dia langsung saja dapat menduga bahwa gadis itu
murid Ang-tok Mo-li dengan melihat pedang merah dan gerakan ilmu pedang yang
nnelingkar-Ungkar seperti gerakan ular itu,
Tak lama kemudian, nampak banyak sekali ular berdatangan ke tempat itu, berkumpul di
depan Lee Cin yang meniup suling. Lee Cin menghentikan tiupan sulingnya dan berkata,
"Mo-ong, aku tidak mau ikut denganmu. Cepat pergi tinggalkan aku."
"Ha-ha, kalau aku tidak mau pergi tanpa engkau?"
"Akan kukerahkan ular-ular ini untuk mengeroyokmu!" ancam Lee Cin, siap untuk meniup
sulingnya. "Ha-ha-ha, boleh! Ingin aku melihatnya!" kata kakek itu sambil tertawa,
Lee Cin segera meniup sulingnya dan puluhan ekor ular itu serentak membalik dan merayap
ke arah Thian-te Mo-ong! Kakek itu lalu meruncingkan mulutnya dan terdengarlah sultansuitan yang nyaring sekali. Suara suitan ini bercarnpur aduk dengan suara suling, seolah
menye-ret suara suling sehingga tiupan suling terdengar sumbang. Dan kini ular-ular itu
menjadi kacau, tidak jadi menyerang Thian-te Mo-ong melalnkan berputar-putar seperti
keblngungan oleh perintah suling yang tidak karuan itu.
Tiba-tiba Thian-te Mo-ong meloncat ke arah Lee Cin dan menyerangnya dengan
cengkeraman. Lee Cin cepat meloloskan pedangnya, akan tetapi tahu-tahu suUngnya telah
dirampas kakek itu sehingga ia tidak dapat lagi menguasai ular-ularnya. Binatang-binatang itu
setelah tidak lagi rnendengar suara suling, perlahan-lahan lalu merayap pergi agaknya
ketakutan melihat dua orang saling bertanding. Lee Cin menggerakkan pedangnya untuk
membela diri. Dan kakek itu hanya menggunakan suling rampasan tadi. Setelah lewat tiga
puluh jurus, akhirnya Lee Cin roboh tertotok suling!
Pada saat itu, ada angin menyambar dan suling itu telah dirampas orang dari tangan Thian-te
Mo-ong. Kakek ini terkejut bukan main. Jarang ada orang yang akan mampu merampas suling
itu dari tangannya sedemiklan mudahnya. Tadi, setelah merobohkan Lee Cin dia menjadi
lengah dan ketika ada angin dahsyat menyambar, dia mengelak tidak tahu bahwa sulingnya
yang diarah orang itu. Dan kini, suling itu telah berpindah tangan!
Lee Cin menjadi girang bukan main ketika melihat siapa yang muncul di situ. Thian Lee!
Akan tetapi Thian-te Mo-ong mengerutkan alisnya, semakin penasaran dan marah ketika
melihat bahwa yang merampas sulingnya hanyalah seorang pemuda yang sederhana! Thian
Lee lalu menghampiri Lee Cin dan sekali dia menggerakkan suling itu, tubuh Lee Cin telah
dibebaskannya dari totokan dan suling itu dia serahkan kembali kepada Lee Cin.
"Untung engkau segera muncul Thiah Lee. Akan tetapi hati-hatilah, kakek itu adalah Thian-te
Mo-ong, Datuk Selatan dan dia lihai sekali."
Thian Lee memandang ke arah tiga sosok mayat yang berserakan di situ dan dia bertanya,
"Lee Cin, apakah yang telah terjadi di sini?"
"Aku dikeroyok Coat-beng-kwi dan dua orang kawannya. Agaknya mereka itu dapat
meloloskan diri ketika ditangkap dan kebetulan bertemu denganku di sini. Aku dikeroyok tiga
dan kewalahan. Lalu muncul Thian-te Mo-ong membunuh mereka bertiga."
"Ah, dia menolongmu dan kenapa kemudian bertanding denganmu?"
"Habis, dia hendak memaksa aku ikut dengan dia sebagai murid. Aku tidak dan dia
memaksaku." Sementara itu, Thian-te Mo-ong menjadi semakin jengkel melihat dua orang muda itu
bercakap-cakap berdua tanpa mempedulikan dirinya, seolah dia tidak berada di tempat itu.
"Hei, orang muda, siapakah engkau yang berani menentangku" Mengakulah sebelum engkau
mati tanpa nama!" bentaknya dan Thian-te Mo-ong melangkah maju menghampiri Thian Lee.
Pemuda ini lalu menghadapi kakek itu dan memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan
depan dada. "Maafkan aku locianpwe, Bukan sekali-kali aku hendak menentang Locianpwe,
melainkan nona ini adalah seorang sahabatku dan aku minta Locianpwe tidak
mengganggunya iagi."
"Siapa namamu dan siapa pula gurumu?"
"Namakii Song Thian Lee dan guruku banyak, Locianpwe, di antara mereka adalah Liok-te
Lo-mo dan Jeng-ciang-kwi," Thian Lee tidak mau menyebutkan nama Tan Jeng Kun yang
tidak ingin dikenal orang, dan dia menyebutkan nama dua orang gurunya yang pertama dan ke
dua dengan harapan bahwa nama dua orang tokoh sesat itu akan membuat kakek ini tidak
akan mengganggunya lebih lanjut karena telah mengenal guru-gurunya.
"Ah jadi engkau murid Liok-te Lo-mo dan Jeng-ciang-kwi" Hemm, bahkan kedua orang
gurumu itu saja tidak akan berani menentangku! Akan tetapi engkau muridnya, sudah berani
kurang ajar terhadapku. Aku harus memberi hajaran kepadamu!"
"Locianpwe, aku tidak mencan permusuhan dengan siapapun juga. Harap suka membiarkan
kami berdua pfergi dari sini."
"Hemm, tidak semudah itu Engkau harus mengenal dulu kelihaianku, dan kalau Nona itu
hendak membantumu mengeroyokku, boleh saja!" Kakek itu menantang dengan sombong.
Lee Cin yang merasa penasaran dan marah kepada kakek itu lalu berkata dengan nada
mengejek, "Mo-ong, jangan takabur! Melawan Thian Lee seorang saja engkau tidak akan
menang, kalau aku ikut pula maju mengeroyok, tentu dalam belasan jurus saja engkau sudah
akan bertekuk lutut. Akan tetapi aku tahu bahwa Thian Lee bukanlah seorang yang suka main
keroyokan, maka aku hendak melihat bagaimana engkau akan mampu menandinginya." Lee
Cin bukan, hanya mengejek, melainkan ia sudah dapat menyelami watak Thian Lee yang
gagah perkasa. Tentu pemuda itu tidak mau kalau ia ikut mengeroyok kakek itu. Demikianlah
sifat seorang yang gagan perkasa dan ia tahu bahwa watak Thian Lee adalah watak seorang
pendekar yang gagah perkasa.
Thian-te Mo-ong marah sekali. "Kalau begitu, engkau lihat betapa aku akan menghajar murid
Liok-te Lo-mo dan Jeng-ciang-kwi ini. Thian Lee, bersiaplah engkau!"
Thian Lee tidak berani memandang ringan kakek ini. Dia sudah mendengar akan nama besar
Empat Datuk Besar di dunia persilatan dan kakek di hadapannya ini adalah seorang di antara
mereka. Kalau dia ingin dapat menandingi ilmu kepandaian kakek ini, dia harus mengerahkan seluruh tenaga dan kemampuannya.
"Aku telah siap, Locianpwe," katanya dengan sikap menghormat.
"Sambutlah ini!" bentak Thian-te Mo-ong. Bentakannya nyaring dan mengandung tenaga khikang sepenuhnya, kemudian tangan kirinya meluncur ke depan dengan cengkeram ke arah
muka Thian Lee sedangkan tangan kanan menyusul gerakan pancingan itu menghantam ke
arah perutnya. Hantaman tangan kanan kini dilakukan dengan Iwee-kang (tenaga dalam)
sepenuhnya sehingga tangan yang terbuka jari-jarinya itu mengeluarkan suara angin menderu.
Namun, dengan ringan sekali Thian Lee mengelak, mula-mula menarik kepalanya ke
belakang, lalu memutar tubuh sehingga pukulan lawan ke arah perutnya mengenai tempat
kosong. Akan tetapi Thian-te Mo-ong sudah menyusulkan serangan berikutnya dan kini
bahkan kedua tangannya menghantam ke arah kepala dari atas bawah. Thian Lee tidak
mundur dia memang ingin menguji tenaganya untuk menghadapi tenaga Mo-ong, maka dia
mengangkat kedua tangannya menangkis sambil mendorong dengaft tenaga Thian-te Sinkang. Tidak dapat dihindarkan lagi dua pa- a sang lengan itu bertemu di udara.
"Dukkkk!" Dua tenaga yang dahsyat saling bertemu dan akibatnya, tubuh Thian-te Mo-ong
agak terpental ke belakang sedangkan kedua kaki Thian Lee masuk ke dalam tanah sampai
lima sentimeter! Keduanya maklum bahwa tenaga sin-kang mereka seimbang dan hal ini
sungguh mengejutkan Thian-te Mo-ong. Mo-ong tadi telah mengerahkan seluruh tenaganya
dan pemuda itu mampu menahan pukulannya. Padahal menurut perhitungannya, bahkan Liokte Lo-mo atau bahkan Jeng-ciang-kwi sendiri belum tentu akan mampu menahannya!


Gelang Kemala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bagaimana mungkin murid mereka dapat memiliki tenaga yang demikian hebatnya" Tentu
saja dia tidak tahu bahwa selain mempunyai dua orang guru itu, Thian Lee masih digembleng
oleh orang yang lebih lihai lagi, yaitu Tan Jeng Kun dan bahkan lebih dari itu, Thian Lee telah
mewarisi ilmu-ilmu yang amat dahsyat dari seorang sakti dan telah makan ja-mur ular belang
yang membennya tenaga ,! yang hebat.
Kini Thlan-te Mo-ong menjadi penasaran sekali dan mulailah dia menyerang pemuda itu
dengan ilmu silatnya tangan kosong yang ampuh. Iblis Selatan ini memiliki ilmu silat tangan
kosong yang berdasarkan Im dan Yang sehingga ter-dapat perubahan-perubahan yang saling
bertentangan. Kadang pukulannya menggeledek, keras mengandung tenaga kasar yang amat
kuat, dan tiba-tiba saja pukulannya berubah lembut namun mengandung tenaga lembut yang
berbahaya ka? rena dapat mendatangkan luka dalam tubuh lawan.
Akan tetapi betapa terkejutnya krtika dia melihat pemuda itu dapat menandinginya! Bahkan
dalam tenaga sin-kang, pemuda itu pun telah menguasai tenaga kasar dan lemas secara
bergantian sehingga dapat melayaninya dengan baik. Kalau dia menggui akan tenaga kasar,
pemuda itu pun menyambutnya dengan tenaga kasar dan bagaimanapun juga, dia sudah tua
dan melawan seorang pemuda, dia tidak dapat mengandalkan tenaga kasar. Akan tetapi kalau
dia menggunakan tenaga lemas, pernuda itu pun menyambutnya dengan tenaga dalam yang
halus namun mengandung kekuatan seperti hawa dan air.
Thian Lee juga tidak berani mengalah terhadap kakek yang sakti ini. Dia tahu bahwa balas
menyerang menjadi perta-hanan yang baik, maka dia pun nembalas serangan kakek itu
sehingga terjadilah pertandingan yang amat menarik. Saling pukul, saling totok, saling
cengkeram dan saling menendang. Akan tetapi semua se-rangan, baik dari Mo-ong maupun
dari Thian Lee dapat dielakkan atau ditangkis oleh lawan. Mereka sudah bertanding sampai
seratus jurus dan belum nampak tanda-tanda siapa yang lebih unggul. Sementara itu, soal usia
merupakan ke-nyataan yang tak dapat dielakkan lagi. Thian-te Mo-ong mulai merasa lelah
dan kalau pertandingan tangan kosong itu dilanjutkan, dia akan kalah, bukan kalah karena
ilmu silat, melainkan kalah karena kehabisan napas!
"Singgg....!" Nampak dua sinar berkelebat dan kakek itu telah mencabut sepasang pedangnya!
Akan tetapi agaknya dia masih menjaga nama besarnya sebagai seorang datuk, maka dia tidak
segera menyerang, melainkan berdiri tegak dan berkata dengan sikap yang angkuh.
"Orang muda, keluarkan senjatamu!" tantangnya, keringatnya mengucur.
Thian Lee tidak berani memandang rendah lawannya, akan tetapi diam-diam dia girang
sekali. Kalau dengan tangan kosong, entah berapa lamanya dia harus bertanding karena kakek
itu benar-benar merupakan lawan yang amat tangguh. Kalau bersenjata, lain lagi karena dia
dapat mengandalkan Jit-goat Kiam-sut. Maka dia pun segera menurunkan buntalan
pakaiannya yang sejak tadi menempel di punggungnya, lalu mengambil pedangnya. Ketika
dia menghunus pedang itu nampak sinar berkilat menyilaukan mata dan pedang Jit-goat Sinkiam telah berada di tangan kanannya sedangkan sarung pedang berada di tangan kirinya.
Sarung pedang itu pun terbuat dari baja murni yang tipis namun kuat, sehingga dapat pula
dipergunakan sebagai perisai untuk mengimbangi pedang lawan.
"Locianpwe, aku sudah siap!" kata" Thian Lee.
Lee Cin melihat betapa kakek itu agak terengah dan muka serta lehernya basah oleh keringat,
sedangkan Thian Lee masih nampak biasa. Hal ini membuatnya semakin kagum. Tadi ketika
melihat jalannya perkelahian, dara ini sudah kagum sekali kepada Thlan Lee. Kini melihat
betapa jelas kakek itu kewalahan, ia girang bukan main dan ia tidak lupa mengejek,
"Mo-ong, hati-hati engkau. Sebentar lagi, kalau tidak lehermu yang putus, tentu napasmu!
Aku berani bertaruh!"
Thian-te Mo-ong tidak mempedulikan ejekan gadis itu. Dia cukup kaget melihat pedang di
tangan Thian Lee. Biarpun dia tidak mengenal pedang itu, akan tetapi sebagai seorang ahli dia
mengenal pedang pusaka yang ampuh. Sepasang pedangnya sendiri juga terbuat dari bahan
baja yang murni, amat tajam dan juga kuat. Akan tetapi dia mengertii bahwa pedang yang
berada di tangan pemuda itu lebih ampuh lagi.
Jilid 15 ..... "Thian Lee, lihat seranganku!' bentaknya dan cepat sekali kedua pedangnya meluncur ke
depan. Thian Lee memutar pedangnya menangkis dan sekaligus dia menangkis kedua pedang
itu. "Trang! Tranggg!" Nampak bunga api berpijar dan kakek itu surut ke belakang untuk melihat
keadaan sepasang pedangnya. Biarpun tadi dia merasakan kedua tangannya tergetar hebat,
namun dia merasa lega melihat sepasang pedangnya tidak menjadi rusak. Maka dia pun
memutar siang-kiam (sepasang pedang) itu dengan hebat dan menerjang maju. Dua gulungan
sinar pedang itu bagaikan ombak samudra bergulung-gulung menerpa ke arah Thian Lee.
Namun pemuda ini tidak menjadi gentar. Dengan lincah dia nnengelak dari tamparan pedang
yang membabat ke arah lehernya dan menangkis pedang kedua yang menusuk dadanya,
kemudian kakinya menendang secepat kilat ke arah tangan yang memegang pedang kanan..|g
Kakek itu menarik tangannya yang ter-jjg ancam tendangan dan sekali lagi menusuk-jgj kan
pedang kiri ke arah lambung Thian Lee.
"Trangg..." Pedang itu tertangkis sarung pedang yang dipegang oleh tangan kiri Thian Lee.
Kemudian pemuda itu membalas, memutar pedangnya menyambar-nyambar bagaikan seekor
naga di angkasa. Lawannya cepat memutar sepasang pedang membentuk perisai untuk
melindungi dirinya. Bukan main serunya pertandingan ini. Bahkan Lee Cin sendiri yang sudah memUiki ilmu
kepandaian tinggi, menjadi bengong dan terbelalak kagum. la tahu bahwa kalau ia yang harus
melawan kakek itu, ia tidak akan mampu bertahan sampai tiga puluh jurus! Akan tetapi Thian
Lee bukan saja mampu mengimbangi kakek itu, bahkan kini gulungan sinar pedang yang
berkilat-kilat dari pemuda itu mulai mendesak, gulungan sinar pedang itu mulai melebar dan
meluas sedangkan dua gulungan sinar pedang Mo-ong makin menyempit! Biar-pun Lee Cin
tidak dapat mengikuti pertandingan itu dengan pandang matanya karena terlalu cepat gerakan
kedua orang itu, akan tetapi dari gulungan sinar pedang itu ia dapat mengetahui bahwa Thian
Lee mulai dapat mendesak lawannya.
"Locianpwe, maafkan aku!" Tiba-tiba terdengar seruan Thian Lee dan pemuda itu meloncat
keluar dari medan pertan-dingan. Lee Cin melihat betapa kakek itu telah bermandikan
keringatnya sendiri dan baju di dadanya yang bergambarkan Im-yang itu telah t^robek!
Tahulah ia bahwa Thian Lee tidak mau membunuh atau melukai kakek itu, hanya merobek
baju di bagian dadanya. Akan tetapi tentu saja cukup menjadi bukti bahwa pemuda itu telah
keluar sebagai pemenang setelah melalui pertandingan pedang yang seru selama seratus jurus
lebih dan agaknya Thian-te Mo-ong juga mengetahui hal ini. Dia memandang pemuda itu
dengan sinar mata kagum, akan tetapi keangkuhannya melarang dia untuk mengakui
kekaiahannya. Pedang di kedua tangannya digerakkan dan pedang-pedang itu telah lenyap ke
dalam sarung pedang, kemudian dia membalikkan tubuhnya dan berjalan cepat sekali pergi
dari situ tanpa sepatah pun kata keluar dan mulutnya
"Thiah Lee, engkau sungguh hebat!" Lee Cin menghampiri pemuda itu dan memujinya
dengan jujur. "Aku mernang sudah lama tahu bahwa engkau m se-orang yang lihai sekali,
akan tetapi sungguh tak pernah aku dapat membayangkan engkau akan mampu menandingi
seorng di antara Empat Datuk Besar Wah, tingkat kepandaianmu sudah melebihi dari tingkat
guruku sendiri!' "Ah, tidak perlu terlalu memujiku, Lee Cin. Hanya karena kebetulan saja kakek itu mengalah
dariku. Akan tetapi, bagaimana engkau sampai dapat tiba di tempat ini?"
"Aku memang sengaja pergi ke Hong-san dan tanpa disengaja bertemu dengan tiga orang
jahat itu yang mengeroyokku. Mo-ong menolongku membunuh tiga orang ini, akan tetapi
ternyata pertolongannya berpamrih. Aku hendak dipaksa menjadi muridnya. Siapa sudi
menjadi murid iblis tua itu?"
Thian Lee menghela napas panjang. Agaknya gadis ini sama sekali tidak ingat bahwa gurunya
adalah Ang-tok Mo-U yang dalam hal kekejaman belum tentu fcalah oleh Thian-te Mo-ong!
"Sudahlah, Lee Cin. Percakapan kita lanjutkan nan-ti. Sekarang lebih dulu harus mengubur
jenazah-jenazah itu."
Lee Cin mengerutkan alisnya dan ia malah duduk di atas batu. "Menguburkan jenazah orangorang jahat itu" Untuk apa" Mereka itu hanya orang-orang ja-hat, seperti blnatang-binatang
buas." "Hemm, ketika masih hidup mungkin mereka itu melakukan kejahatan. Akan tetapi mereka
itu tetap manusia dan sekarang mereka adalah jenazah-jenazah manusia yang harus dlhormati
dan dirawat. Aku akan menguburkan mereka
Akan tetapi Lee Cin hanya tersenyurtl dan menonton saja ketika Thian Lee menggali lubang
kemudian mengubur tiga jenazah itu. Setelah selesai barulah Thian jsa Lee membersihkan
kedua tangannya. "Sebetulnya engkau ada keperluan apakah datang ke Hong-san, Lee Cin?" tanya Thian Lee
sambil menatap wajah yang cantik jelita itu.
Sejak tadi Lee Cin mengikuti semua perbuatan Thian Lee dengan pandang matanya dan kini
ia memandang wajah pemuda itu dengan heran. "Thian Lee, apakah selama hidupmu engkau
menjadi orang yang begini baik hati" Apakah lamanya engkau tidak pernah mendendam
kepada orang-orang yang berbuat jahat kepadamu dan mudah saja memaafkan kejahatannya?"
"Aku bukan orang baik, hanya orang yang ingin memenuhi kewajibanku sebagai
manusia, Lee Cin. Dendam kebencian hanya meracuni hati sendiri, sama sekali tidak ada
gunanya dan den-dam kebencian hanya suatu kebodohan manusia yang akan menyeretnya ke
da-larn jurang penderitaan. Kalau ada orang kaukatakan berbuat jahat kepada kita lalu kita
membalas kejahatannya itu, lalu apa artinya perbuatan kita membalas dendam itu" Apakah
lalu tidak sama saja dengan perbuatannya" Kita membalas kekejaman dengan kekejaman,
membalas kejahatan dengan kejahatan, menempatkan diri klta di tempat yang sama de-ngan
mereka yang kita sebut jahat. Tidak, Lee Cin, semoga dijauhkan Tuhan aku dari segala bentuk
dendam kebencian', "Engkau memang orang aneh sekali, Thian Lee. Kalau aku tidak begitu. Siapa yang baik
kepadaku akan kubalas dengan kebaikan pula. Akan tetapi siapa yang jahat kepadaku akan
kubalas sesuai de-ngan kejahatannya!"
"Kalau begitu pendapatmu, engkau keliru, Lee Cin. Engkau akan mengikat dirimu dengan
pertalian karma yang tiada akan habisnya, dendarn mendendam dan balas-membalas. Kalau
engkau berbuat baik kepada orang lain karena untuk membalas budi, itu bukanlah kebaikan
lagi namanya, hanya semacam hutang-pihutang belaka. Dan kalau engkau membalas
kejahatan dengan kejahatar pula, maka tidak ada bedanya engkau dengan orang yang
kauanggap sebagai musuhmu itu."
"Akan tetapi, bukankah engkau sendiri sebagai seorang pendekar menentang kejahatan,
berarti engkau membenci penjahat?"
"Tidak, aku tidak membenci penjahat. Yang kutentang hanyalah perbuatannya, yang kucegah
hanyalah kejahatannya. Sama sekali aku tidak membenci orangnya. Mereka itu juga manusia
seperti se? kita, Lee Cin. Hanya ketika mereka melakukan kejahatan, mereka itu sedang sakit.
Yang sakit itu batinnya. Akan tetapi orang sakit dapat saja sembuh, Lee Cin. Yang ini hari
disebut penjahat, mungkin saja besok dia disebu* orang baik karena dia telah sembuh dari
sakitnya. Sebaliknya, yang sehat dapat saja menjadi sakit. Yang hari ini disebut orang baik,
mungkin saja sewaktu-waktu dia dianggap jahat karena terserang penyakit itu. Manusia itu
selalu berubah karena itu jangan sekali-kali membenci manusianya, melainkan tentanglah
kejahatannya." "Wah, engkau memblngungkan aku, Thian Lee."
"Sudahlah, kelak engkau akan mengerti sendiri. Oya, engkau mencari apakah sampai ke
Hong-san ini?" "Hemmm, kalau kuceritakan kepadamu, tentu engkau akan mencelaku dan tidak menyetujui
pula," kata Lee Cln yang teringat akan kata-kata Thian Lee tentang pembalasan dendam tadi.
"Kalau engkau hendak melakukan suatu perbuatan yang ttdak benar, tentu saja aku tidak
setuju, bahkan akan menghalangimu, Lee Cin. Engkau seorang gadis yang baik sekali, bahkan
memUiki dasar watak yang baik, aku tidak ingin engkau terperosok ke dalam perbuatan yang
tidak-benar." Tiba-tiba Lee Cin penuh perhatian dan menatap wajah tampan gagah itu dengan penuh
perhaian. "Thian Lee, mengapa engkau demikian memperhatikan keadaan diriku" Mengapa"
Mengapa engkau peduli apa yang akan kulakukan, baik atau jahat?"
"Mengapa" Tentu saja aku memperhatikan keadaan dirimu. Bukankah kita telah lama saling
mengenal, bahkan telah menjadi sahabat balk" Aku kagum dan suka kepadamu, Lee Cin,
maka aku tidak ingin melihat engkau berbuat jahat."
"Hanya suka" Tidak cinta?"
"Ah, jangan bicara soal cinta, Lee Cin. Aku tidak mengertl."
"Engkau bodoh atau memang dingin. Enci Ceng itu mati-matian mencintamu, engkau juga
tidak mengerti. Dan aku... ah, aku begini bodoh untuk menclntamu, akan tetapi engkau juga
tidak peduli. Engkau hanya suka, sebagai sahabat! Ahh, aku mulai benci kepadarnu, Thian
Lee'" Thian Lee memandang blngung. Benci" Baru saja mengatakan cinta dan kini berbalik benci!
Apakah benci itu kebalik-an cinta, ataukah hanya permukaan yang lain saja dari cinta" Dia
semakin bingung. Dia memang tidak tahu arti cinta. Ada semacam perasaan di hatinya
terhadap Cin Lan, dia sendiri tidak tahu apakah itu cinta, akan tetapi setiap kali teringat Cin
Lan, ada semacam kelembutan tersendiri terasa di hatinya.
"Kau boleh benci kepadaku, Lee Cin, akan tetapi aku tidak membencimu dan tidak akan
pernah membencimu. Nah, engkau belum mengatakan untuk keperlu-an apa engkau datang ke
Hong-san ini." "Aku mencari seseorang untuk mem-balas dendam!" jawab gadis itu dengan suara
menantang. "Sudah, engkau tidak perlu mengetahui lebih banyak!" Setelah berkata demikian,
Lee Cin lalu meloncat dan meninggalkan Thian Lee, mendaki Bukit Hong-san.
Thian Lee tertegun. Membalas dendam" Dan orang yang tinggal di puncak Hong-san adalah
Souw Tek Bun, bengcu kaum kang-ouw. Bahkan dia sendiri pun hendak menghadap Souwbengcu. Dia pernah diberitahu oleh supeknya, yaitu Souw Can, pangcu dari Kim-liong-pang,
bahwa adik Pangcu itu adalah seorang gagah perkasa yang telah diangkat menjadi bengcu
oleh semua orang gagah, bahkan direstui oleh Kaisar. Kini, melihat banyaknya orang kangouw yang diperalat oleh Pangeran Tua, dia hendak mencari keterangan kepada bengcu itu dan
sekalian minta nasihat apa yang harus dilakukannya. Sebagai seorang bengcu tentu
mempunyai pengaruh terhadap orang-orang kang-ouw dan mungkin Souw-beng-cu akan
mampu mencegah terjadinya pemberontakan yang dilakukan orang-orang kang-ouw yang
diperalat oleh Pangeran Tua. Selama beberapa hari ini dia telah berhubungan dengao Lauw
Tek, pendekar yang setia kepada Kaisar itu, yang mula-mula memberi tahu kepadanya tentang
gerakan yang dilakukan oleh Pangeran Tua. Dan atas desakan Lauw Tek pula dia kinl pergi
ke Hong-san untuk bertemu dengan Souw Tek Bun. Maka, mendengar niat Lee Cin untuk
membalas dendam kepada seseorang di Hong-san, Thian Lee menjadi khawatir sekali. Siapa
lagi kalau bukan Souw Tek Bun yang dicari gadis itu" Dia lalu cepat bergerak membayangi
Lee Cin yang berjalan cepat mendaki bukit Hong-san.
Souw Tek Bun yang oleh dunia kang-ouw dianggap sebagai bengcu baru itu tinggal di sebuah
pondok kecil saja di puncak Hong-san. Dia hidup sebatang kara, tidak berkeluarga dan
melihat keadaannya yang sederhana dan menyendiri, sungguh sukar dipercaya bahwa dia
adalah bengcu, orang yang dihormati oleh seluruh tokoh dunia kang-ouw. Hidupnya sebagai
seorang pertapa, juga petani karena dia bekerja di ladangnya yang berada di belakang pondok.
Dari hasil ladang itulah dia makan setiap kali membutuhkannya.
Biarpun hidup seorang diri, namun dia tidak kesepian. Sebagai bengcu, seringkall ada saja
orang kang-ouw datang berkunjung, untuk melaporkan sesuatu, atau minta pertimbangan,
bahkan ada yang minta keadilan kalau terjadi sengketa antara orang-orang kang-ouw.
Souw Tek Bun, sebelum menjadi beng-cu, adalah seorang pendekar perkasa yang dijuluki
Sin-kiam Hok-mo karena ilmu pedangnya yang hebat. Ilmu pedang inl merupakan ilmu
keluarga Souw yang dirangkai sendiri oleh Souw Tek Bun ke-mudian terkenal sebagai ilmu
pedang keluarga Souw karena tidak ada orang lain yang pernah mempelajarinya. Souw Tek
Bun juga tidak mempunyai murid, maka hanya dia seoranglah yang mahir ilmu pedang itu.
Seperti diketahui, Souw Tek Bun mempunyai seorang kakak, yaitu Souw Can. Akan tetapi
kakaknya itu adalah murid Kun-lun-pai, sedangkan Souw Tek Bun mempelajari banyak macam ilmu silat dari berbagai aliran sarn-pai dia dapat merangkai sendiri ilmu silat dan ilmu
pedang. Sepak terjangnya dalam dunia kang-ouw sudah dikenal semua orang dan dia terkenal
adii, jujur dan budiman. Karena itulah maka para tokoh dan datuk kang-ouw memilihnya
menjadi bengcu. Untuk menjadi seorang bengcu memang dibutuhkan orang yang Jujur, adil
dan dapat dipercaya. Terutama sekali yang mempunyai hubungan dekat dengan pemerintah
dan Souw Tek Bun adalah seorang pendekar yang sudah mendapat penghargaan dari Kaisar
Kian Liong. Dia membantu memadamkan ke-kacauan yang dibuat oleh orang-orang tak
bertanggung jawab dan untuk jasanya itu, Souw Tek Bun menerima sebatang pedang Cengliong-kiam dari Kaisar Kian Liong.
Ketika Lee Cin tiba dipuncak tempat tinggal bengcu itu, Souw Tek Bun sedang berlatih ilmu
pedang. Biarpun setiap hari dia sibuk di ladang atau di pondok, akan tetapi pendekar ini tidak
pernah lupa untuk berlatih ilmu pedangnya. Pedang Ceng-liong-kiam (Pedang Naga Hijau)
pemberian Kaisar itu dimainkan dengan ilmu silat Sin-kiam Hok-mo dan merupakan sinar
kehijauan bergulung-gulung bagaikan seekor naga hijau bermain-main di angkasa.
Akan tetapi biarpun, dia sedang bermain pedang, pendengaran Souw Tek BUR cukup tajam
untuk dapat menangkap gerakan Lee Cin yang datang. Dla segera menghentikan gerakan
pedangnya, menoleh ke kiri dan berkata dengan suara mengandung penuh kewibawaan,
"Siapa yang datang berkunjung"
Lee Cin keluar dari balik batang pohon dan bengcu itu terkejut melihat bahwa yang
mengunjunginya adalah seorang gadis yang masih amat muda dan cantik. Akan tetapi gadis
itu tidak memberi hormat kepadanya seperti layaknya seorang tamu, bahkan segera maju
menghampirinya dan bertanya dengan suara lembut.
"Apakah aku berhadapan dengan orang yang bernama Souw Tek Bun?"
"Benar, Nona. Siapakah Nona dan ada keperluan apakah Nona mencariku".
"Aku bernama Bu Lee Cin, dan aka datang untuk memenuhi perintah suboku untuk
membunuhmu, membalaskan dendam sakit hati Subo!" kata Lee Cir sambil melolos
pedangnya, yaitu Ang-coa kiam dari libatan pinggangnya.
Akan tetapi Souw Tek Bun menyarungkan pedangnya dan bertanya dengan tenang dan penuh
kesabaran. "Siapakah subomu, Nona?"
"Suboku adalah Ang-tok Mo-li."
Souw Tek Bun memandang gadis itu dengan mata terbelalak dan penuh selidik, mengamati
wajah gadis itu seperti sedang menilai dan membandlngkan. Kemudian dia menganggukangguk, dan menggeleng kepala sambil menghela napas panjang. "Bu Siang... Bu Siang...
sampai sekarang hatimu tetap saja amat keras...
Melihat sikap orang itu, Lee Cin menjadi tidak sabar. "Souw Tek Bun, bersiaplah untuk
melawanku. Cabut pedangmu'"
Akan tetapi pendekar itu sama sekali tidak meraba gagang pedangnya, bahkan bertanya,


Gelang Kemala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Namamu Bu Lee Cin" Nona, tahukah engkau siapa nama gurumu itu?"
"Guruku adalah Ang-tok Mo-li, sudah kukatakan itu!" jawab Lee Cin dengan ketus, "Tentu
engkau sudah mengenalnya dengan baik karena Subo adalah musuh besarmu!"
"Tentu, aku mengenalnya dengan baik sekali. Akan tetapi, Nona, agaknya engkau tidak tahu
bahwa nama gurumu itu adalah Bu Siang. Dan engkau diberinya marga Bu juga" Ah, Bu
Siang... setidaknya engkau masih mengakui anakmu...."
Lee Cin mengerutkan alisnya. "Apa artinya semua ini" Souw Tek Bun, lebih baik engkau
cepat mencabut pedangmu daripada bicara ngacau tidak karuan "
"Kalau aku tidak mau mencabut pedang dan tidak mau melawanmu, apakah engkau juga akan
membunuhku begitu saja?"
"Hemmm, aku bukan orang macam itu. Aku tidak suka membunuh orang macam itu. Aku
tidak suka membunuh orang yang tidak melawanku, akan tetapi aku tidak percaya engkau
sedemikian penakut untuk melawan aku!"
"Lee Cin, sampai mati aku tidak akan mungkin melawanmu. Tahukah engkau siapa dirimu
sesungguhnya" Yang kausebut subo itu sebetulnya adalah ibu kandungmu, dan aku yang
hendak kautantang bertanding ini, aku inl adalah ayah kandungmu."
Lee Cin terbelalak dan mundur dua langkah. Akan tetapi sebentar kemudian ia melangkah
maju lagi. "Aku tidak percaya! Engkau berbohong untuk menggagalkan niatku membalas
dendam Subo!" la membentak marah.
"Aihh, Lee Cin, sungguh kasihan engkau, dipermainkan dan diracuni sendiri oleh ibu
kandungmu. Engkau ingin mendengar ceritanya" Nah, dengarlah baik-baik kemudian
pertimbangkan sendiri apakah engkau sudah sepatutnya menan-tangku bertanding ataukah
tidak." Dengan suara tenang, kemudian Souw Tek Bun bercerita, didengarkan oleh Lee Cin
yang berdiri termangu dengan muka agak pucatt.
Tujuh belas tahun yang lalu, Souw Tek Bun yang ketika itu masih merupa-kan seorang
pemuda yang tampan dan gagah, telah menjalin hubungan cinta dengan Bu Siang. Mereka
saling mencinta, melakukan perantauan berdua dan hubungan mereka sudah sedemikian
jauhnya. sehingga mereka telah melakukan hubungan suami isteri walaupun belum menikah.
Akan tetapi, hubungan yang sudah berlangsung bertahun-tahun itu muiai retak ketika Souw
Tek Bun melihat bahwa Bu Siang, murid seorang datuk sesat, ternyata memiliki watak /ang
amat kejam. Bahkan Bu Siang mempelajari ilmu sesat, suka menggunakan racun dan menjadi
pawang ular pula. Biarpun dia sudah mencoba untuk menentangnya, akan tetapi Bu Siang
tidak peduli, bahkan akhirnya di dunia kang-ouw ia mendapat julukan Ang-tok Mo-Li (Iblis
Betina Racun Merah) karena sepak terjangnya yang kejam, membunuh orang tanpa berkedip.
Karena makin lama sepak terjang Ang-tok Mo-li Bu Siang semakin kejam, akhirnya Souw
Tek Bun menjauhkan diri. Hubungan mereka putus, padahal ketika itu Bu Siang telah
mengandung! "Aku sudah berusaha sekuat tenaga untuk menyadarkannya, bahkan ketika ia melahirkan
seorang puteri, aku berjanji unAuk menikahinya kalau saja ia rela mengubah jalan hidupnya.
Akah tetapi, Bu Siang sama sekali tidak mau men-dengarkan permintaanku sehingga akhirnya kami berpisah. Bu Siang pergi membawa anaknya itu, anakku! Aku mendengar saja
betapa di dunia kang-ouw, ia menjagoi dan menjadi seorang datuk wanita yang ditakuti.
Akhirnya aku bertemu seorang wanita dan menikah de-ngannya. Akan tetapi, apa yang
dilakukan oleh Bu Siang, ibumu itu, Nona?" Souw Tek Bun menghela napas panjang dan Lee
Cin mendengarkan dengan muka pucat, hatinya bimbang dan ragu. la demikian tertarik oleh
cerita itu sehing-ga di luar kesadarannya, ia bertanya, "Apa yang dilakukannya?" "la
membunuh isteriku yang baru setengah tahun menjadi isteriku. Ia membunuh wanita yang
sama sekali tidak berdosa itu. la sempat bentrok denganku, akan tetapi pada waktu itu ia
masih belum mampu menandingiku. Aku mendengar hahwa selama ini ia memperdalam
ilmunya. Akan tetapi mengapa ia tidak datang sendiri mengambil nyawaku"
Demikian kejam hatinya sehingga ia menyuruh engkau, anakku sendiri, untuk mewakilinya
membunuh aku, ayah kandungmu. Lee Cin, engkau adaldh anak kandungku. Nah, apakah kini
engkau masih hendak menantang aku bertanding" Nama margamu bukan Bu, itu nama marga
i ibumu, akan tetapi engkau bermarga Souw seperti aku."
Lee Cin berdiri bengong dan bingung, tidak tahu apa yang harus diperbuat atau dikatakan.
Pedangnya terkulai lema's di tangannya.
Istana Pulau Es 4 Istana Yang Suram Karya S H Mintardja Pendekar Pengejar Nyawa 23

Cari Blog Ini