Hina Kelana Balada Kaum Kelana Siau-go-kangouw Karya Jin Yong Bagian 33
"Bahwasanya tokoh-tokoh angkatan tua Hoa-san-pay pernah saling bunuh-membunuh lantaran terpecahnya menjadi Khi-cong dan Kiam-cong, hal ini tentunya kau mengetahui, bukan?"
"Benar, cuma suhu tak pernah menerangkan secara jelas," sahut Lenghou Tiong.
"Pertarungan di antara saudara seperguruan sendiri tentunya bukan suatu peristiwa yang baik, sebab itulah mungkin Gak-siansing tidak suka banyak bercerita," ujar Hong-ting. "Tentang pecahnya Hoa-san-pay menjadi dua sekte, kabarnya juga disebabkan oleh Kui-hoa-po-tian. Menurut cerita yang tersiar, katanya Kui-hoa-po-tian itu dikarang bersama oleh sepasang suami istri. Adapun nama kedua orang kosen itu sudah tak bisa diketahui lagi, ada yang bilang nama sang suami itu mungkin ada sebuah huruf "kui" dan sang istri pakai nama "hoa", maka hasil karya mereka bersama itu diberi nama "Kui-hoa-po-tian", tapi semuanya itu cuma dugaan saja. Yang jelas diketahui hanya suami istri itu semula sangat baik dan saling cinta-mencintai, tapi kemudian entah sebab apa keduanya telah berselisih paham. Waktu mereka menciptakan "Kui-hoa-po-tian" itu usia mereka diperkirakan baru empat puluhan, ilmu silat mereka sedang berkembang dengan pesat. Sesudah cekcok, sejak itu keduanya menghindari untuk bertemu satu sama lain, karena itu pula sejilid kitab pusaka yang hebat itu pun terbagi menjadi dua. Selama ini kitab yang dikarang oleh sang suami disebut "Kian-keng" (Kitab Langit) dan ciptaan sang istri disebut "Kun-keng" (Kitab Bumi)."
"Kiranya Kui-hoa-po-tian itu terbagi lagi menjadi kitab Kian dan Kun, baru sekarang Wanpwe mendengar untuk pertama kalinya," ujar Lenghou Tiong.
"Tentang nama kitab itu sebenarnya cuma pemberian orang-orang bu-lim saja," kata Hong-ting. "Selama dua ratusan tahun ini, agaknya sangat kebetulan juga, selama itu belum pernah ada seorang dapat membaca isi kedua kitab itu sehingga meleburnya menjadi satu. Bahwa menyimpan kedua kitab itu sekaligus sudah pernah terjadi. Ratusan tahun yang lalu ketua Siau-lim-si di Poh-thian Hokkian, Ang-yap Siansu namanya, pernah sekaligus memegang kedua kitab tersebut. Ang-yap Siansu pada zamannya terhitung seorang tokoh yang mahapintar dan cerdik, menurut tingkat ilmu silat dan kecerdasannya, seharusnya tidak susah baginya untuk melebur ilmu silat dari kedua kitab Kian dan Kun itu. Tapi menurut cerita murid beliau, katanya Ang-yap Siansu belum pernah memahami seluruh isi kitab-kitab itu."
"Agaknya isi kitab itu sangat dalam sehingga tokoh mahacerdas seperti Ang-yap Siansu juga tidak mampu memahaminya," kata Lenghou Tiong.
"Ya," Hong-ting mengangguk. "Lolap dan Tiong-hi Toheng tidak punya rezeki sehingga tak pernah melihat kitab pusaka itu. Alangkah baiknya bila dapat melihat sekadar membaca isinya saja walaupun kami tidak mampu memahami ajarannya."
"Wah, rupanya Taysu menjadi kemaruk kepada urusan duniawi lagi," kata Tiong-hi dengan tersenyum. "Orang yang belajar silat seperti kita orang bila melihat kitab pusaka demikian tentu akan lupa makan dan lupa tidur, tapi kepingin sekali untuk menyelaminya. Akibatnya bukan saja mengganggu, bahkan mendatangkan kesukaran-kesukaran hidup kita. Maka adalah lebih baik kalau kita tidak sempat membaca kitab pusaka itu."
Hong-ting terbahak, katanya, "Ucapan Toheng memang benar. Tentang ilmu silat yang tertera di dalam kedua kitab Kian dan Kun itu mempunyai pengantar dasar yang berbeda, bahkan terbalik menurut cerita. Konon ada dua saudara seperguruan Hoa-san-pay pernah sempat mengunjungi Siau-lim-si di Hokkian, entah cara bagaimana mereka telah dapat membaca kitab Kui-hoa-po-tian itu."
Dalam hati Lenghou Tiong membatin mana mungkin kitab pusaka demikian itu diperlihatkan kepada tetamu oleh pihak Siau-lim-si, tentunya kedua tokoh Hoa-san-pay itu mencuri baca. Hanya Hong-ting Taysu sengaja bicara dengan istilah halus sehingga tidak memakai kata-kata "mencuri lihat".
Dalam pada itu Hong-ting menyambung pula, "Mungkin waktunya terburu-buru, maka kedua orang Hoa-san-pay itu tidak sempat membaca seluruh isi kitab sekaligus, tapi mereka berdua membagi tugas, masing-masing membaca setengah bagian. Kemudian sesudah pulang ke Hoa-san, lalu mereka saling menguraikan oleh-oleh masing-masing dan tukar pikiran. Tak terduga apa yang mereka kemukakan, satu sama lain ternyata tiada yang cocok, makin dipaparkan makin jauh bedanya. Sebaliknya kedua orang sama-sama yakin akan kebenaran apa yang telah dibacanya sendiri dan anggap pihak lain yang salah baca atau sengaja tidak mau dikemukakan terus terang. Akhirnya kedua orang lantas berlatih secara sendiri-sendiri, dengan demikian Hoa-san-pay menjadi terpecah menjadi dua sekte, yaitu Khi-cong dan Kiam-cong. Kedua suheng dan sute yang tadinya sangat akrab itu akhirnya berubah menjadi musuh malah."
"Kedua Locianpwe kami itu tentunya adalah Lin Siau dan Cu Hong beberapa angkatan yang lalu itu," kata Lenghou Tiong.
Kiranya Lin Siau adalah cikal bakal sekte Khi-cong dari Hoa-san-pay dan Cu Hong adalah cikal bakal Kiam-cong, yaitu kedua tokoh Hoa-san-pay yang mencuri baca Kui-hoa-po-tian di Siau-lim-si Hokkian sebagaimana diceritakan Hong-ting. Pecahnya Hoa-san-pay itu terjadi pada puluhan tahun yang lalu.
"Begitulah, maka kemudian Ang-yap Siansu mengetahui juga akan bocornya Kui-hoa-po-tian itu," tutur Hong-ting lebih lanjut. "Beliau tahu isi kitab pusaka itu terlalu luas dan dalamnya sukar dijajaki, ia sendiri tidak berhasil meyakinkan ilmunya meski sudah berpuluh tahun menyelaminya. Tapi sekarang Lin Siau dan Cu Hong hanya membacanya secara kilat, yang dipahami hanya samar-samar saja, akibatnya tentu malah celaka. Karena itu ia lantas mengutus murid kesayangannya yang bernama To-goan Siansu ke Hoa-san untuk menasihatkan Lin Siau dan Cu Hong agar jangan meyakinkan ilmu silat dari kitab yang mereka baca itu."
"Tentunya kedua Locianpwe dari Hoa-san itu tidak mau menurut," kata Lenghou Tiong.
"Hal ini juga tak bisa menyalahkan mereka berdua," ujar Hong-ting. "Coba pikir, orang persilatan seperti kaum kita, sekali mengetahui rahasia sesuatu ilmu silat yang hebat tentu saja ingin sekali meyakinkannya. Tak terduga, kepergian To-goan Siansu ke Hoa-san itu telah menimbulkan peristiwa-peristiwa yang panjang."
"Apakah Lin dan Cu berdua cianpwe itu telah berlaku tidak baik kepada beliau?" tanya Lenghou Tiong.
"Bukan begitu, malahan Lin dan Cu berdua sangat menghormat kedatangan To-goan Siansu," kata Hong-ting. "Mereka mengaku terus terang telah mencuri baca Kui-hoa-po-tian dan minta maaf, tapi di samping itu mereka pun minta petunjuk kepada To-goan tentang ilmu silat yang terbaca dari kitab pusaka itu. Mereka tidak tahu bahwa To-goan sendiri sama sekali tidak tahu ilmu silat yang tertulis dalam kitab itu meski To-goan adalah murid kesayangan Ang-yap Siansu. Namun To-goan juga tidak mengatakan hal itu, dia mendengarkan uraian mereka dari isi kitab yang dibacanya di Siau-lim-si itu, sebisanya ia memberi penjelasan, tapi diam-diam ia mengingat di luar kepala dari apa yang diuraikan Lin dan Cu itu."
"Dengan demikian To-goan Siansu malahan memperoleh isi kitab pusaka itu dari Lin dan Cu berdua cianpwe?" kata Lenghou Tiong.
"Benar," jawab Hong-ting sambil mengangguk. "Cuma apa yang diingat oleh Lin dan Cu dari apa yang mereka baca itu memangnya tidak banyak, sekarang harus menguraikan pula, tentu saja mengalami potongan lagi. Konon To-goan Siansu tinggal delapan hari di Hoa-san barulah mohon diri. Tapi sejak itu ia pun tidak pulang ke Siau-lim-si lagi di Hokkian."
Lenghou Tiong menjadi heran, "Dia tidak pulang ke Siau-lim-si, lalu pergi ke mana!"
"Inilah tiada orang yang tahu," jawab Hong-ting. "Cuma tidak lama kemudian Ang-yap Siansu lantas menerima sepucuk surat dari To-goan Siansu yang memberitahukan bahwa dia takkan pulang ke Siau-lim-si lagi karena timbul hasratnya untuk hidup kembali di masyarakat ramai."
Sungguh tak terkatakan heran Lenghou Tiong, ia anggap kejadian demikian sungguh di luar dugaan siapa pun juga.
"Berhubung dengan peristiwa itu, terjadilah selisih paham di antara Ang-yap Siansu dengan pihak Hoa-san-pay, tentang perbuatan murid Hoa-san-pay mencuri baca Kui-hoa-po-tian juga lantas tersiar di dunia Kangouw," tutur pula Hong-ting. "Selang berapa puluh tahun kemudian terjadi juga sepuluh tianglo dari Mo-kau menyerbu ke Hoa-san."
"Sepuluh tianglo Mo-kau menyerbu Hoa-san" Hal ini belum pernah kudengar," kata Lenghou Tiong.
"Kalau dihitung, waktu kejadian itu gurumu sendiri belum lagi lahir," ujar Hong-ting. "Sepuluh gembong Mo-kau menyerbu Hoa-san, tujuannya adalah Kui-hoa-po-tian itu. Tatkala itu kekuatan Hoa-san-pay lemah dan tidak mampu melawan gembong-gembong Mo-kau itu. Terpaksa Hoa-san berserikat dengan Thay-san, Heng-san, Ko-san, dan Hing-san-pay sehingga lahir nama Ngo-gak-kiam-pay. Pertama kali terjadilah pertempuran sengit di kaki gunung Hoa-san, hasilnya gembong-gembong Mo-kau itu mengalami kekalahan besar. Tapi lima tahun kemudian, kesepuluh gembong Mo-kau itu berhasil meyakinkan inti ilmu pedang Ngo-gak-kiam-pay dan meluruk kembali ke Hoa-san...."
Mendengar sampai di sini, teringatlah Lenghou Tiong kepada tengkorak-tengkorak yang dilihatnya di dalam gua di puncak tertinggi Hoa-san tempo hari, begitu pula ilmu pedang yang terukir di dinding gua itu. Tanpa terasa ia bersuara kejut.
Hong-ting melanjutkan pula, "Sekali ini kedatangan kesepuluh gembong Mo-kau itu memang sudah disiapkan, mereka sudah punya cara-cara untuk mematahkan setiap ilmu pedang dari Ngo-gak-kiam-pay. Maka pertempuran kedua ini sangat merugikan Ngo-gak-kiam-pay sehingga sejilid salinan Kui-hoa-po-tian jatuh ke tangan orang Mo-kau. Hanya saja kesepuluh gembong Mo-kau itu pun tidak dapat meninggalkan Hoa-san dengan hidup, dapat dibayangkan pertarungan yang terjadi itu tentu sangat dahsyat."
Cerita Hong-ting ini mengingatkan kembali pada Lenghou Tiong akan tengkorak-tengkorak yang dilihatnya di dalam gua Hoa-san itu. Pikirnya, "Apakah tengkorak-tengkorak itu adalah gembong-gembong Mo-kau" Kalau tidak, mengapa mereka mengukir tulisan di dinding gua dan mencaci-maki Ngo-gak-kiam-pay?"
Melihat Lenghou Tiong termangu-mangu, Hong-ting bertanya, "Apakah kau mendengar cerita ini dari gurumu?"
"Tidak pernah," jawab Lenghou Tiong. "Cuma Wanpwe pernah menemukan sebuah gua di puncak Hoa-san, di sana terdapat beberapa rangka tulang belulang serta beberapa tulisan yang terukir di dinding."
"Hah, ada hal demikian" Apa arti tulisan itu?" tanya Hong-ting.
"Arti tulisan itu mencaci-maki Ngo-gak-kiam-pay, terutama Hoa-san-pay," jawab Lenghou Tiong.
"Masakah Hoa-san-pay dapat membiarkan tulisan-tulisan demikian tanpa menghapusnya?" ujar Hong-ting.
"Gua itu kutemukan secara tidak sengaja, orang lain tiada yang tahu," tutur Lenghou Tiong. Lalu ia pun menceritakan pengalamannya dahulu serta apa yang dilihatnya di dalam gua, yaitu seorang telah menggunakan kapak untuk menggali gua sampai sedalam beberapa ratus kaki, akhirnya mati kehabisan tenaga meski tinggal beberapa kaki lagi gua itu sudah bisa ditembus keluar.
"Orang memakai kapak" Apa barangkali Hoan Siong, itu gembong Mo-kau yang berjuluk "Tay-lik-sin-mo" (Iblis Sakti Bertenaga Raksasa)," kata Hong-ting.
"Benar, benar!" kata Lenghou Tiong. "Memang di antara tulisan-tulisan yang terukir di dinding itu disebut-sebut juga nama Hoan Siong dan Tio Ho, katanya mereka yang mematahkan Hing-san-kiam-hoat di situ."
"Tio Ho" Dia adalah "Hui-thian-sin-mo" (Iblis Sakti Juru Terbang) di antara kesepuluh gembong Mo-kau itu!" seru Hong-ting. "Bukankah dia memakai senjata lui-cin-tang (semacam palu)?"
"Hal ini kurang jelas," sahut Lenghou Tiong. "Cuma di lantai gua sana memang ada sebuah lui-cin-tang. Aku masih ingat tulisan yang terukir di dinding gua itu, katanya yang mematahkan Hoa-san-kiam-hoat adalah dua orang she Thio yang bernama Thio Seng-hong dan Thio Seng-in."
"Memang benar," kata Hong-ting. "Thio Seng-hong dan Thio Seng-in adalah dua bersaudara, masing-masing berjuluk "Kim-kau-sin-mo" (Iblis Sakti Si Kera Emas) dan Pek-goan-sin-mo (Iblis Sakti Orang Hutan Putih). Konon senjata mereka adalah toya."
"Benar," kata Lenghou Tiong. "Menurut ukiran di dinding, memang di situ dilukiskan Hoa-san-kiam-hoat dikalahkan oleh toya mereka."
Bab 104. Asal Usul Pi-sia-kiam-hoat
"Kalau dipikir menurut ceritamu, agaknya kesepuluh gembong Mo-kau itu masuk perangkap Ngo-gak-kiam-pay, mereka terpancing ke dalam gua sehingga tidak mampu lolos," kata Hong-ting.
"Ya, Wanpwe juga berpikir demikian," jawab Lenghou Tiong. "Dari sebab itu gembong-gembong Mo-kau itu merasa penasaran, lalu mereka mengukir tulisan untuk mencaci maki Ngo-gak-kiam-pay serta melukiskan jurus-jurus ilmu silat mereka yang telah mengalahkan ilmu pedang Ngo-gak-kiam-hoat agar diketahui angkatan yang akan datang, supaya angkatan berikutnya mengetahui kematian mereka itu bukan kalah tanding, tapi terjebak oleh tipu muslihat musuh. Hanya saja di samping beberapa tulang itu terdapat pula beberapa batang pedang yang jelas adalah senjata dari pihak Ngo-gak-kiam-pay."
Hong-ting merenung sejenak, katanya kemudian, "Itulah sukar diketahui seluk-beluknya, bisa jadi gembong-gembong Mo-kau itu merampasnya dari orang-orang Ngo-gak-kiam-pay. Tentu apa yang kau temukan di gua itu sampai kini belum pernah kau ceritakan kepada orang lain?"
"Tidak pernah," jawab Lenghou Tiong. "Bahkan kepada suhu dan sunio juga belum sempat kuberi tahu berhubung macam-macam kejadian selanjutnya."
"Ilmu pedangmu yang hebat itu apakah juga hasil pelajaranmu dari lukisan-lukisan di dinding gua itu?" tanya Hong-ting.
"Bukan. Tentang ilmu pedang Wanpwe, selain ajaran suhu kupelajari pula dari Hong-thaysiokco."
Hong-ting manggut-manggut. Sekian lamanya mereka bicara, sementara itu sang surya sudah hampir terbenam di ufuk barat yang merah membara.
"Kesepuluh gembong Mo-kau itu akhirnya tewas semua di Hoa-san, tapi Kui-hoa-po-tian yang ditulis oleh Lin Siau dan Cu Hong juga kena digondol oleh orang Mo-kau," kata Hong-ting pula. "Maka kitab yang diberikan Yim-kaucu kepada Tonghong Put-pay itu tentulah catatan tokoh-tokoh Hoa-san itu. Memangnya catatan mereka itu tidak lengkap, mungkin yang mereka catat itu masih kalah luas daripada apa yang diselami oleh Lim Wan-tho."
"Lim Wan-tho?" Lenghou Tiong menegas.
"Ya, dia adalah moyang Lim-sute-mu, pendiri Hok-wi-piaukiok yang terkenal dengan ke-72 jurus Pi-sia-kiam-hoat itu," kata Hong-ting.
"Apakah Lim-cianpwe ini pun pernah membaca Kui-hoa-po-tian itu?" tanya Lenghou Tiong.
"Dia... dia adalah To-goan Siansu, itu murid kesayangan Ang-yap Siansu," Hong-ting menerangkan.
Hati Lenghou Tiong tergetar, katanya, "O, kiranya demikian. Ini benar-benar... rada...."
"Aslinya To-goan Siansu memang she Lim sesudah kembali preman, dia lantas memakai she asalnya," kata Hong-ting.
"Kiranya moyang Lim-sute yang terkenal dan disegani karena ke-72 jurus Pi-sia-kiam-hoat itu adalah To-goan Siansu, hal ini sungguh tak... tak terduga sama sekali," ujar Lenghou Tiong. Seketika adegan-adegan ketika Lim Cin-lam hampir meninggal dunia di kelenteng bobrok di luar Kota Heng-san dahulu itu terbayang-bayang pula di dalam benaknya.
"To-goan dan Wan-tho, kedua nama ini hanya terputar balik saja dengan ucapan yang hampir sama, jadi sesudah To-goan Siansu kembali preman, dia lantas menggunakan she aslinya dengan nama yang dibalik dari nama agamanya, kemudian ia pun menikah dan punya anak serta mendirikan piaukiok, namanya juga telah menggegerkan dunia Kangouw. Pendirian Lim-cianpwe itu sangat lurus, meski dia mengusahakan piaukiok, tapi dia suka membela keadilan dan suka menolong sesamanya tiada ubahnya ketika dia masih menjadi hwesio. Sudah tentu tidak lama kemudian Ang-yap Siansu mengetahui juga bahwa Lim-piauthau itu adalah bekas muridnya, tapi kabarnya di antara guru dan murid itu selanjutnya toh tiada saling berhubungan."
"Lim-cianpwe itu memperoleh intisari Kui-hoa-po-tian dari uraian Lin dan Cu berdua cianpwe Hoa-san-pay, lalu dari mana pula asal usulnya Pi-sia-kiam-hoat yang terkenal itu?" tanya Lenghou Tiong. "Padahal Pi-sia-kiam-hoat yang dia turunkan kepada anak-cucunya toh tiada sesuatu yang bisa dipuji."
"Toheng," tiba-tiba Hong-ting berkata kepada Tiong-hi, "tentang ilmu pedang kau adalah ahlinya dan jauh lebih paham daripadaku. Tentang seluk-beluk ini hendaklah kau yang bercerita saja."
"Ucapanmu ini bisa membikin marah padaku bila kita bukan sobat lama," ujar Tiong-hi dengan tertawa. "Masakah kau mengolok-olok aku dalam hal ilmu pedang, padahal soal ilmu pedang pada zaman ini siapakah yang bisa melebihi Lenghou-siauhiap?"
"Meski ilmu pedang Lenghou-siauhiap sangat hebat, tapi pengetahuan tentang ilmu ini toh jauh untuk memadai dirimu," ujar Hong-ting. "Kita adalah orang sendiri dan bicara secara blakblakan, buat apa pakai sungkan-sungkan segala."
"Ah, padahal pengetahuanku tentang ilmu pedang masih jauh untuk disebut mahir," kata Tiong-hi. "Tentang Pi-sia-kiam-hoat keluarga Lim sekarang yang rendah dibanding dengan Pi-sia-kiam-hoat Lim Wan-tho yang pernah menggetarkan Kangouw, memang mencolok sekali bedanya. Dahulu ketua Jing-sia-pay yang disegani di daerah Siamsay pernah dikalahkan oleh Lim Wan-tho, tapi sekarang ilmu pedang Jing-sia-pay malah jauh lebih kuat daripada ilmu pedang keluarga Lim, di balik hal ini tentu ada sebab-sebab tertentu. Soal ini sudah lama kurenungkan, malahan pasti juga telah menjadi bahan pemikiran setiap peminat ilmu pedang di dunia persilatan."
"Sebabnya keluarga Lim-sute hancur dan berantakan, ayah-bundanya tewas secara mengenaskan semua itu juga disebabkan belum terpecahkannya tanda tanya ini," kata Lenghou Tiong.
"Benar," jawab Tiong-hi. "Nama Pi-sia-kiam-hoat terlalu hebat, namun kepandaian Lim Cin-lam toh sangat rendah, perbedaan mencolok ini mau tak mau menimbulkan pemikiran orang bahwa dalam hal ini pastilah Lim Cin-lam yang terlalu dungu dan tidak mampu mempelajari ilmu silat leluhurnya yang lihai itu. Lebih jauh orang tentu berpikir bila Pi-sia-kiam-boh itu jatuh di tanganku tentu akan dapat menyelami ilmu pedang Lim Wan-tho yang gilang-gemilang di masa lampau itu. Lenghou-laute, selama ratusan tahun ini tokoh yang terkenal dengan ilmu pedang memangnya tidak melulu Lim Wan-tho seorang saja, tapi Siau-lim-pay, Bu-tong-pay, Go-bi-pay, Kun-lun-pay, dan lain-lain semuanya mempunyai ahli waris sendiri-sendiri, orang luar tentu tidak sudi mengincar ilmu pedang keluarga Lim, soalnya kepandaian Lim Cin-lam terlalu rendah seumpama anak kecil yang membawa emas dan berkeliaran di tengah pasar, tentu saja menarik perhatian setiap orang untuk mengincar emasnya itu."
"Lim-cianpwe itu toh murid kesayangan Ang-yap Siansu, maka dia tentu sudah memiliki pula ilmu silat Siau-lim-pay yang hebat, tentang Pi-sia-kiam-hoat apa segala, bukan mustahil cuma namanya saja yang sengaja dia berikan, tapi sesungguhnya adalah ilmu silat Siau-lim-pay yang dia ubah sedikit di sana-sini."
"Memang banyak orang juga berpikir demikian," kata Tiong-hi. "Tapi Pi-sia-kiam-hoat memang sama sekali berbeda daripada ilmu silat Siau-lim-pay, setiap orang yang mengerti ilmu pedang dengan segera akan tahu bila melihatnya. Hah, orang yang mengincar kiam-boh keluarga Lim itu walaupun banyak, tapi akhirnya toh si katai dari Jing-sia-pay adalah orang paling berengsek, dialah yang turun tangan paling dulu. Cuma meski si katai she Ih itu cukup cekatan, namun otaknya rada bebal, mana bisa dibandingkan gurumu Gak-siansing yang pendiam, tapi tinggal menarik keuntungannya."
"Ap... apa yang kau maksudkan, Totiang?" tanya Lenghou Tiong, air mukanya rada berubah.
Tiong-hi tersenyum, jawabnya, "Setelah Lim Peng-ci itu masuk perguruan Hoa-san, dengan sendirinya Pi-sia-kiam-boh itu pun dibawanya serta ke situ. Kabarnya Gak-siansing punya seorang putri tunggal yang juga akan dijodohkan kepada Lim-sute-mu itu, betul tidak" Hah, sungguh suatu muslihat jangka panjang yang sempurna."
Semula Lenghou Tiong kurang senang karena Tiong-hi menyinggung nama baik Gak Put-kun, tapi kemudian mendengar Tiong-hi mengatakan suhunya itu bermuslihat jangka panjang, tiba-tiba ia teringat kepada kejadian dahulu, waktu itu sang guru telah mengutus Lo Tek-nau menyamar menjadi seorang kakek dan bersama siausumoaynya membuka sebuah kedai arak di luar Kota Hokciu, tatkala itu ia tidak tahu apa maksud tujuannya, tapi sekarang demi dipikir jelas tujuannya adalah untuk mengawasi Hok-wi-piaukiok. Padahal kepandaian Lim Cin-lam sudah diketahui sangat rendah, lalu buat apa usaha gurunya itu kalau bukan mengincar Pi-sia-kiam-boh. Hanya saja cara gurunya itu adalah pakai akal, tidak pakai kekerasan seperti Ih Jong-hay dan Bok Ko-hong.
Lalu Lenghou Tiong berpikir pula, "Siausumoay adalah anak gadis muda belia, mengapa suhu membiarkan dia menonjolkan diri di muka umum dan tinggal di kedai arak itu dalam waktu cukup lama?"
Berpikir sampai di sini merindinglah perasaannya, mendadak ia mengerti duduknya perkara, "Kiranya jauh sebelum Lim-sute kenal siausumoay memang suhu telah sengaja mengatur dan menghendaki siausumoay dijodohkan kepada Lim-sute."
Melihat air muka Lenghou Tiong berubah-ubah masam, Hong-ting dan Tiong-hi tahu pemuda itu biasanya sangat menghormati sang guru, tentu kata-katanya tadi rada menyinggung perasaannya. Maka Hong-ting berkata pula, "Apa yang kukatakan tadi hanya obrolanku dengan Tiong-hi Toheng saja dan cuma dugaan pula. Padahal gurumu itu di dunia persilatan terkenal sebagai kesatria yang alim, mungkin kami yang telah salah raba dan tidak tepat menilainya."
Tiong-hi Tojin hanya tersenyum saja. Sebaliknya pikiran Lenghou Tiong menjadi kusut, ia berharap apa yang dikatakan Hong-ting tadi tidaklah betul, tapi dalam lubuk hatinya yang dalam toh merasa setiap kata padri sakti itu memang benar. Selang sejenak barulah ia bertanya, "Tempo hari ketika di Siau-lim-si, Co-bengcu telah menempur Yim-kaucu dan menggunakan jari sebagai pedang, menurut Hiang-toako, katanya yang dia mainkan adalah Pi-sia-kiam-hoat. Tentang hal ini mohon Totiang sudi memberi penjelasan pula."
"Hal ini aku sendiri pun tidak habis paham," sahut Tiong-hi. "Bisa jadi Co Leng-tan telah memengaruhi gurumu dan telah merampas kiam-boh pusakanya, atau mungkin pula gurumu yang mengajak menyelami bersama ilmu pedang sakti itu dengan Co Leng-tan, sebab kepandaian Co Leng-tan dan kecerdasannya lebih tinggi daripada gurumu, bila dipelajari dua orang bersama tentu akan bermanfaat pula bagi gurumu. Lagi pula cara Co Leng-tan memainkan jarinya sebagai pedang itu apakah benar Pi-sia-kiam-hoat adanya juga sukar dipastikan."
"Pi-sia-kiam-hoat dari keluarga Lim-sute boleh dikata sudah kami kenal," ujar Lenghou Tiong. "Apa yang dimainkan Co-bengcu tempo hari itu memang ada beberapa jurus rada-rada mirip, tapi beberapa jurus di antaranya sama sekali berlainan."
Lalu teringat pula apa yang dikatakan Lim Cin-lam di kelenteng bobrok di luar Kota Heng-san ketika mendekati ajalnya dahulu, maka berkata pula Lenghou Tiong, "Paman Lim ayah Lim-sute itu rupanya juga berpikiran sempit. Dia minta aku menyampaikan pesan terakhirnya, tapi khawatir pula kalau-kalau aku mencuri baca kiam-boh pusaka keluarganya.
"Paman Lim telah disiksa oleh orang Jing-sia-pay, kemudian dianiaya pula oleh Bok Ko-hong, dipaksa mengaku tentang kitab pusakanya itu, ketika Tecu menemukan dia, Paman Lim sudah dalam keadaan payah. Dia minta Tecu menyampaikan pesan kepada Lim-sute, katanya ada benda-benda yang tertanam di rumah kediaman lama di Hokciu adalah benda pusaka leluhurnya, Lim-sute disuruh menjaganya dengan baik. Benda yang dimaksudkan itu adalah jubah yang terdapat Pi-sia-kiam-boh... Ah, benar, aku menjadi ingat bahwa Lim-cianpwe itu asalnya adalah hwesio, makanya, di rumah kediamannya yang lama itu ada sebuah ruangan Buddha dan kiam-boh yang dia tinggalkan tertulis pula pada jubahnya."
"Ya, kalau dipikir, tentunya apa-apa yang dia dengar dari uraian Lin Siau dan Cu Hong dari Hoa-san-pay itu kemudian dia catat di atas jubahnya, memang waktu itu dia masih menjadi hwesio," kata Tiong-hi.
"Sungguh menertawakan pula, ketika memberi pesan, Paman Lim itu menambahkan lagi peringatan, katanya leluhurnya itu meninggalkan petunjuk bahwa orang yang bukan anak-cucunya tidak boleh membuka dan melihat isi pusakanya, kalau melanggar pesan ini tentu akan mendatangkan malapetaka. Dengan peringatan ini nyata Paman Lim itu khawatir aku mengangkangi benda pusaka mereka itu, maka lebih dulu aku telah ditakut-takuti."
"Pesannya itu apakah kemudian kau teruskan kepada Lim-sute-mu?" tanya Tiong-hi.
"Aku sudah berjanji, sudah tentu kulaksanakan," jawab Lenghou Tiong.
"Sampai sekarang rahasia ilmu silat yang tercantum di dalam Kui-hoa-po-tian itu sudah terbagi-bagi, di tangan Mo-kau ada sebagian, di tangan Gak-siansing ada sebagian pula, dan agaknya Co-bengcu dari Ko-san-pay juga memiliki sebagian," kata Hong-ting. "Yang dikhawatirkan adalah ambisi Co Leng-tan yang tidak kenal batas, kalau dia mengetahui bahwa apa yang dia miliki tidaklah lengkap, tentu dia berniat membasmi Mo-kau dan mencaplok Hoa-san-pay pula agar Kui-hoa-po-tian dapat dimilikinya secara lengkap. Dan dunia persilatan selanjutnya tentu takkan aman lagi."
"Kedua Locianpwe tentu mempunyai pandangan luas, kalau menurut kejadian di Siau-lim-si tempo hari, apakah jelas di antara ilmu silat yang diperlihatkan Co Leng-tan itu terdapat unsur-unsur ilmu silat dari Kui-hoa-po-tian?" tanya Lenghou Tiong.
Hong-ting berpikir sejenak, kemudian berkata kepada Tiong-hi, "Bagaimana pendapat Toheng?"
"Kita berdua sama-sama belum pernah melihat Kui-hoa-po-tian itu," jawab Tiong-hi. "Tapi menurut jalan pikiran yang sehat, rasanya Ko-san-kiam-hoat tak mungkin melahirkan jurus ilmu pedang demikian, bahkan Co Leng-tan sendiri betapa pun tidak dapat menciptakannya."
"Benar," ujar Hong-ting. "Cuma Co Leng-tan sekalipun sudah melihat Kui-hoa-po-tian atau Pi-sia-kiam-boh, yang dapat dia pahami tentu juga terbatas, sebab itulah ia pun bukan tandingan Yim-kaucu. Tanggal 15 bulan depan dia telah mengundang semua anggota Ngo-gak-kiam-pay untuk berkumpul di Ko-san untuk memilih pemimpin Ngo-gak-pay, entah bagaimana pendapat Lenghou-siauhiap atas soal ini."
"Apanya yang perlu dipilih" Jabatan ketua tentunya bukan orang lain kecuali Co Leng-tan sendiri," ujar Lenghou Tiong dengan tersenyum.
"Apakah Lenghou-siauhiap juga setuju?" tanya Hong-ting.
"Mereka Ko-san-pay, Heng-san-pay, Thay-san-pay, dan Hoa-san-pay sudah ada persepakatan lebih dulu, andaikan Hing-san-pay tidak setuju tiada gunanya," jawab Lenghou Tiong.
"Menurut pendapatku, begitu datang hendaklah Lenghou-siauhiap terus menentang penggabungan Ngo-gak-kiam-pay itu, kukira tidak semua orang menyetujui pendirian Ko-san-pay mereka," kata Hong-ting. "Seumpama penggabungan itu sudah tidak dapat ditarik kembali, maka soal ciangbunjin harus ditentukan dengan bertanding ilmu silat. Bila Lenghou-siauhiap mau berusaha sepenuh tenaga, dalam hal ilmu pedang tentu kau dapat mengalahkan Co Leng-tan dan biar sekalian kau duduki jabatan ciangbunjin itu."
"Tapi aku... aku...." Lenghou Tiong melengak bingung.
"Aku pun sependapat dengan Hongtiang Taysu," sela Tiong-hi Tojin. "Namun kami pun sudah pernah tukar pikiran tentang dirimu yang terkenal tidak menaruh minat dalam hal kedudukan segala. Bila kau menjabat ketua Ngo-gak-pay, bicara terus terang, tentu tata tertib Ngo-gak-pay akan menjadi kendur, para anggota tentu lebih bebas bertindak dan hal ini pun bukan sesuatu yang baik bagi dunia persilatan...."
"Hahaha, ucapan Totiang memang tepat," seru Lenghou Tiong dengan tertawa. "Aku Lenghou Tiong memang benar seorang petualang yang kurang tertib hidupnya dan suka pada kebebasan."
"Hidup kurang tertib tidak terlalu membahayakan orang lain, tapi ambisi yang besar justru banyak mencelakakan orang," ujar Tiong-hi. "Bila Lenghou-laute menjadi ketua Ngo-gak-pay, pertama, tentu takkan menggunakan kekerasan untuk menumpas Mo-kau, kedua, juga takkan mencaplok Siau-lim dan Bu-tong-pay kami. Ketiga, besar kemungkinan kau pun tak berminat untuk melebur golongan-golongan lain seperti Go-bi-pay, Kun-lun-pay, dan lain-lain. Bicara terus terang, kunjungan kami ke Hing-san ini di samping memberi selamat kepadamu sesungguhnya juga demi kebaikan beribu-ribu kawan persilatan baik dari sia-pay maupun dari cing-pay."
"Omitohud! Semoga bencana besar dapat dihindarkan demi keselamatan sesama kita," kata Hong-ting.
Lenghou Tiong merenung sejenak, lalu berkata, "Jika demikian pesan kedua Cianpwe, sudah tentu Lenghou Tiong tidak berani menolak, tapi hendaklah kedua Cianpwe maklum pula bahwa Wanpwe masih terlalu hijau dalam segala hal, menjabat ketua Hing-san-pay saja sudah terlalu, apalagi menjadi ketua Ngo-gak-pay, mungkin akan lebih ditertawai oleh kesatria di seluruh jagat. Sebab itulah Wanpwe sekali-kali tidak menginginkan menjadi ketua Ngo-gak-pay, cuma pada tanggal 15 bulan tiga nanti Wanpwe pasti akan hadir ke Ko-san untuk mengubrak-abriknya, betapa pun niat Co Leng-tan untuk menjadi ketua Ngo-gak-pay harus digagalkan. Biasanya Lenghou Tiong tidak mahir berbuat sesuatu yang baik, tapi disuruh membikin onar tanggung beres."
"Melulu membikin onar saja juga kurang baik, dalam keadaan terpaksa, kukira kau pun jangan menolak untuk diangkat menjadi ciangbunjinnya," kata Tiong-hi.
Namun Lenghou Tiong terus geleng-geleng kepala.
"Jika kau tidak berebut kedudukan ketua dengan Co Leng-tan, akhirnya tentu dia yang diangkat sehingga jadilah Ngo-gak-kiam-pay terlebur menjadi satu dan orang pertama yang pasti akan dibereskan oleh Co Leng-tan tentulah kau sendiri," ujar Tiong-hi.
Lenghou Tiong terdiam. Katanya kemudian sambil menghela napas, "Bila demikian jadinya, ya, apa mau dikata lagi."
"Seumpama kau dapat menghindarkan diri, tapi apakah anak buahmu akan kau tinggalkan begitu saja" Bagaimana kalau Co Leng-tan menyembelihi anak murid tinggalan Ting-sian Suthay yang kau pimpin sekarang ini, apakah kau juga akan tinggal diam?" tanya Tiong-hi.
"Tidak bisa!" seru Lenghou Tiong sambil gebrak langkan di sampingnya.
"Selain itu, rasanya gurumu dan saudara-saudara seperguruanmu dari Hoa-san-pay itu tentu juga takkan terhindar dari akal licik Co Leng-tan dalam waktu tidak lama, satu per satu mereka tentu juga akan menjadi korban keganasan Co Leng-tan, apakah hal ini kau juga akan tinggal diam?"
Hati Lenghou Tiong tergetar, jawabnya dengan hormat kepada kedua tokoh itu, "Terima kasih atas petunjuk kedua Cianpwe, Wanpwe pasti akan berbuat sebisanya."
"Tanggal 15 bulan tiga nanti Lolap dan Tiong-hi Toheng tentu juga akan berkunjung ke Ko-san sekadar ikut membantu Lenghou-siauhiap," kata Hong-ting.
"Bila kedua Cianpwe juga hadir, betapa pun Co Leng-tan tak berani berbuat sewenang-wenang," kata Lenghou Tiong.
Selesai berunding legalah hati mereka. Dengan tertawa akhirnya Tiong-hi berkata, "Marilah kita kembali saja, ciangbunjin baru menghilang sekian lamanya, tentu mereka sedang bingung menantikan kau."
Dari tengah jembatan gantung itu mereka lantas putar balik, tapi baru beberapa langkah, sekonyong-konyong mereka sama berhenti lagi. Lenghou Tiong lantas membentak, "Siapa itu?"
Rupanya tiba-tiba ia mendengar di ujung jembatan sana terdengar pernapasan orang banyak, terang di dalam Leng-kui-kok (Loteng Kura-kura Sakti) pada Sian-kong-si di sebelah kiri itu tersembunyi orang.
Baru saja Lenghou Tiong membentak, serentak terdengar suara gedubrakan, beberapa daun jendela Leng-kui-kok tampak didobrak orang, berbareng menongol keluar jendela belasan batang ujung panah yang diarahkan kepada mereka bertiga. Pada saat yang hampir sama di Sin-coa-kok (Loteng Ular Sakti) di belakang mereka juga terjadi hal yang serupa, daun jendela juga didobrak dan belasan ujung panah sama mengincar ke arah mereka.
Hong-ting, Tiong-hi, dan Lenghou Tiong adalah tiga tokoh terkemuka dunia persilatan pada zaman ini, biarpun berpuluh panah itu diarahkan kepada mereka, pemanahnya juga tentu bukan sembarangan orang, namun keadaan demikian toh tak bisa mengapa-apakan mereka. Soalnya sekarang mereka berada di tengah jembatan gantung, di bawahnya adalah jurang yang tak terkirakan dalamnya, luas jembatan itu juga cuma beberapa kaki saja, ditambah lagi mereka tidak membawa senjata sama sekali, menghadapi keadaan yang luar biasa secara mendadak ini, mau tak mau terkejut juga mereka.
Sebagai tuan rumah, dengan cepat Lenghou Tiong lantas mengadang ke depan, bentaknya pula, "Kaum celurut dari mana, mengapa tidak tampakkan diri?"
Terdengarlah suara bentakan seorang, "Panah!"
Cepat Lenghou Tiong bertiga mengayunkan lengan baju masing-masing dengan kencang. Tapi yang terbidik dari jendela itu ternyata bukan anak panah, tapi adalah belasan jalur panah air, air itu menyembur keluar dari ujung panah tadi dan diarahkan ke atas udara. Warna air kehitam-hitaman. Menyusul terendus bau busuk yang aneh, seperti bau bangkai yang sudah membusuk dan menyerupai pula bau udang atau ikan busuk, bau yang memuakkan itu hampir-hampir saja membikin Lenghou Tiong tumpah-tumpah walaupun lwekang mereka sangat tinggi.
Sesudah air hitam tadi disemburkan ke udara, kemudian titik-titik air itu bertaburan ke bawah seperti hujan. Ada beberapa tetes jatuh di atas langkan (pagar kayu) jembatan, dalam sekejap saja langkan itu tampak membusuk dan membekas lubang-lubang kecil, nyata lihai luar biasa air busuk itu.
Meski Hong-ting dan Tiong-hi sudah berpengalaman, tapi air berbisa sehebat itu belum pernah mereka lihat. Kalau anak panah atau senjata rahasia biasa rasanya sukar mengenai diri mereka biarpun mereka tak bersenjata, tapi menghadapi air racun yang bisa menghancurkan benda-benda yang tertetes ini boleh dikata mereka mati kutu, sebab asal tubuh mereka kecipratan setitik saja mungkin kulit daging mereka akan terus membusuk sampai ke tulang.
Kedua tokoh itu saling pandang sekejap, kelihatan air muka masing-masing berubah hebat, dari sorot mata mereka tampak timbul rasa jeri mereka. Padahal biasanya hendak membuat jeri kedua tokoh besar ini boleh dikata mahasulit.
Setelah air racun tadi disemburkan, lalu di balik jendela sana seorang berseru lantang, "Air berbisa ini hanya disemburkan ke udara, kalau sekiranya disemprotkan ke tubuh kalian, lalu bagaimana akibatnya?"
Lalu belasan ujung panah tadi kelihatan mulai menggeser ke bawah dan kembali diarahkan kepada Lenghou Tiong bertiga.
Jembatan gantung itu panjangnya belasan meter yang menghubungkan Leng-kui-kok dan Sin-coa-kok di kanan-kiri, sekarang di dalam kedua loteng itu sama terpasang pesawat semprot air berbisa, bila pesawat-pesawat itu dikerjakan serentak, biarpun punya kepandaian setinggi langit juga mereka bertiga sukar menyelamatkan diri.
Mendengar suara orang tadi, sedikit memikir saja Lenghou Tiong lantas ingat siapa dia, cepat ia berseru, "Hah, katanya Tonghong-kaucu mengirim utusan untuk mengantar kado padaku, kado yang dia kirim ini sungguh luar biasa!"
Kiranya orang yang bicara di Leng-kui-kok tadi memang betul adalah Kah Po, itu utusan Tonghong Put-pay. Karena suaranya telah dikenali Lenghou Tiong, dengan bergelak tertawa ia pun berkata, "Pintar sekali Lenghou-kongcu, dalam sekejap saja dapat mengenali suara Cayhe. Orang pintar tentu tidak mau telan pil pahit, jelas sekarang Cayhe sudah berada di atas angin dengan sedikit tipu muslihat licik kami, maka sementara ini maukah Lenghou-kongcu menyerah kalah saja?"
Wi-bin-cun-cia Kah Po, Si Muka Kuning dari Mo-kau ini sengaja bicara di muka dan mengakui dirinya memakai tipu muslihat licik, dengan demikian ia tidak perlu takut didamprat oleh Lenghou Tiong akan akal busuknya itu.
Dengan tarikan lwekang yang hebat, Lenghou Tiong bergelak tertawa, suaranya menggetar angkasa pegunungan dan berkumandang, katanya, "Aku dan kedua cianpwe dari Siau-lim dan Bu-tong-pay mengobrol iseng di sini, kukira yang ada di sini adalah teman baik semua sehingga tiada mengadakan penjagaan apa-apa sehingga kena diselomoti oleh Kah-heng, sekarang apa mau dikata, tidak mengaku kalah juga tak bisa lagi."
"Baik sekali jika begitu," kata Kah Po. "Selamanya Tonghong-kaucu sangat menghormati tokoh angkatan tua dunia persilatan, beliau juga sangat menghargai tunas angkatan muda. Apalagi Yim-siocia sejak kecil tinggal bersama Tonghong-kaucu, melulu mengingat pada Yim-siocia saja masakah kami berani berlaku kasar kepada Lenghou-kongcu."
Lenghou Tiong mendengus dan tidak menanggapi. Sebaliknya Hong-ting dan Tiong-hi telah memeriksa keadaan sekitarnya ketika Lenghou Tiong bertanya-jawab dengan Kah Po. Mereka melihat belasan bedil air sama diacungkan ke arah mereka, bila mereka turun tangan berbareng umpamanya, andaikan sebagian musuh dapat dirobohkan, tapi sukar rasanya untuk membersihkan musuh yang tak diketahui berapa banyaknya. Asal salah satu bedil air racun itu sempat menyemburkan airnya, jiwa ketiga orang tentu melayang seketika. Karena itu mereka hanya saling pandang belaka, dari sorot mata mereka mempunyai suatu pendapat yang sama: tidak boleh bertindak secara gegabah.
Dalam pada itu terdengar Kah Po bicara pula, "Jika Lenghou-kongcu sudah mau mengaku kalah, maka segala persoalan menjadi beres. Ketika berangkat aku dan Siangkoan-hiante telah dipesan oleh Tonghong-kaucu agar mengundang Lenghou-kongcu beserta Hongtiang Taysu dari Siau-lim dan Ciangbun Totiang dari Bu-tong sudi mampir ke Hek-bok-keh untuk tinggal barang beberapa hari. Sekarang kalian bertiga kebetulan berada di sini semua, maka kalau sekarang juga kita berangkat bersama, bagaimana pendapat kalian?"
Kembali Lenghou Tiong mendengus, ia pikir di dunia ini masakah ada urusan seenak ini, asalkan pihaknya bertiga diberi kesempatan meninggalkan jembatan gantung itu, untuk mengatasi Kah Po dan begundalnya boleh dikata pekerjaan yang tidak sulit.
Benar juga, segera terdengar Kah Po menyambung, "Namun ilmu silat kalian bertiga teramat tinggi, bila di tengah jalan kalian ganti pikiran dan tidak mau menuju ke Hek-bok-keh, maka sukarlah bagi kami untuk menunaikan tugas, tanggung jawab yang berat ini terpaksa menyuruh aku meminjam tiga belah tangan kanan kepada kalian."
"Pinjam tiga belah tangan kanan?" Lenghou Tiong menegas.
"Benar," jawab Kah Po. "Silakan kalian bertiga menebas tangan kanan sendiri-sendiri, dengan demikian legalah hati kami."
"Hahahahaha! Kiranya demikian keinginanmu," seru Lenghou Tiong dengan tertawa. "Tonghong Put-pay rupanya takut kepada ilmu silat kami bertiga, maka sengaja memasang perangkap ini untuk memaksa kami menebas tangan kanan sendiri, jika kehilangan tangan kanan dengan sendirinya kami tidak mampu main pedang lagi dan dia boleh tidur dengan nyenyak tanpa khawatir lagi."
"Tidur nyenyak tanpa khawatir sih mungkin juga tidak," kata Kah Po. "Yang jelas Yim Ngo-heng akan kehilangan bala bantuan yang kuat sebagai Lenghou-kongcu, maka kekuatannya tentu akan menjadi jauh lebih lemah."
"Hm, kata-katamu benar-benar blakblakan tanpa tedeng aling-aling," ujar Lenghou Tiong.
"Cayhe seorang pengecut tulen," jawab Kah Po. Lalu ia lantangkan suaranya, "Hong-ting Taysu dan Tiong-hi Totiang, kalian lebih suka mengorbankan sebelah tangan atau lebih ingin jiwa melayang di sini?"
"Baiklah," jawab Tiong-hi. "Tonghong Put-pay ingin pinjam tangan, biarlah kita pinjamkan padanya. Cuma kami tidak membawa sesuatu senjata, untuk menebas lengan menjadi sukar."
Baru habis ucapannya, tiba-tiba sinar putih gemerdep, sebuah gelang baja terlempar dari jendela sana. Bulat tengah gelang baja itu mendekati satu kaki (antara 30 senti) dengan pinggiran yang tajam. Di tengah gelang ada satu palangan yang digunakan pegangan tangan, bentuk gelang demikian adalah sejenis senjata yang tidak terdaftar dalam senjata umum, biasanya dipakai sepasang gelang baja semacam ini dan disebut "kian-kun-goan".
Karena Lenghou Tiong berdiri paling depan, maka cepat ia tangkap gelang baja itu.
Ia meringis melihat senjata itu dan mengakui kelicikan Kah Po. Pinggiran gelang baja itu sangat tajam, sekali bergerak saja sebelah lengan pasti akan tertebas kutung. Tapi kalau diputar, lantaran bentuknya bundar kecil, betapa pun sukar menahan air yang disemprotkan.
"Jika kalian sudah setuju, nah, lekas kerjakan!" bentak Kah Po dengan suara bengis, "Jangan kalian mengulur-ulur waktu untuk menunggu datangnya bala bantuan. Aku akan menghitung dari satu sampai tiga! Jika kalian tidak lekas mengutungi lengan sendiri, serentak air racun akan disemburkan! Satu...."
Di bawah ancaman Kah Po itu, terpaksa Lenghou Tiong mencari jalan keluar, katanya dengan suara lirih kepada kedua kawannya, "Aku akan menerjang ke depan, harap kedua Cianpwe ikut di belakangku!"
"Jangan!" kata Tiong-hi.
Dalam pada itu Kah Po telah berseru pula, "Dua!"
Lenghou Tiong angkat gelang baja tadi, ia pikir Hong-ting dan Tiong-hi adalah tamu, betapa pun tak boleh membikin susah kedua orang itu. Kalau musuh mengucapkan "tiga" nanti segera kusambitkan gelang baja ini, lalu kuterjang sambil putar lengan baju, asalkan air berbisa itu semua tersemprot ke tubuhku, maka kedua locianpwe itu tentu ada kesempatan untuk lolos.
Sementara itu Kah Po telah berseru pula, "Semuanya siap, hitungan terakhir "tiga"!"
Pada saat yang sama itulah, tiba-tiba terdengar suara bentakan seorang perempuan di dalam Leng-kui-kok itu, "Nanti dulu!" menyusul sesosok bayangan hijau melayang tiba dan mengadang di depan Lenghou Tiong. Ternyata Ing-ing adanya.
Sebelah tangan Ing-ing tampak goyang-goyang di belakang tubuhnya, lalu serunya menghadap ke sana, "Kah-sioksiok, betapa cemerlangnya nama Wi-bin-cun-cia di dunia Kangouw, mengapa sekarang melakukan perbuatan rendah seperti ini?"
"Urusan ini... Toasiocia, harap engkau menyingkir dulu, janganlah ikut campur!" jawab Kah Po.
"Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Ing-ing pula. "Tonghong-sioksiok suruh kau bersama Siangkoan-sioksiok mengantar kado untukku, mengapa kau kena disogok oleh Co Leng-tan dan berbalik memusuhi ketua Hing-san-pay?"
"Siapa bilang aku terima sogok dari Co Leng-tan?" Kah Po menyangkal. "Aku mendapat perintah rahasia Tonghong-kaucu agar menangkap Lenghou Tiong."
Bab 105. Lolos dari Lubang Jarum
"Jangan kau mengaco-belo tak keruan," bentak Ing-ing. "Ini, Tiat-bok-leng (kayu besi tanda pengenal) Kaucu berada padaku. Menurut perintah Kaucu, Kah Po telah mengadakan persekutuan jahat, hendaklah setiap anggota segera menangkap dan membunuhnya bila melihatnya, untuk mana hadiah disediakan."
Habis berkata ia terus acungkan tangannya tinggi-tinggi, benar juga sepotong kayu hitam yang dikenal sebagai Tiat-bok-leng memang betul dia pegang.
Kah Po menjadi gusar dan segera memberi aba-aba, "Lepas panah!"
"Kau berani?" Ing-ing balas membentak. "Apakah Tonghong-kaucu suruh kau membunuh aku?"
"Kau membangkang perintah Kaucu...."
Tapi Ing-ing lantas menyela, "Siangkoan-sioksiok, tangkap dulu pengkhianat Kah Po itu dan kau segera naik pangkat menjadi Kong-beng-cosu."
Kedudukan Kah Po memang lebih tinggi setingkat daripada Siangkoan In, padahal kepandaian Siangkoan In lebih tinggi, hal ini memangnya sudah membuatnya sirik, sekarang ada seruan Ing-ing, mau tak mau ia menjadi tergerak hatinya dan ragu-ragu pula. Sudah tentu ia pun mengetahui Ing-ing adalah putri Yim-kaucu yang dahulu, biasanya Tonghong-kaucu sangat menghargainya, walaupun akhir-akhir ini tersiar kabar Yim-kaucu tampil lagi di dunia Kangouw dan bermaksud merebut kembali kedudukan kaucu, ia menduga di antara Tonghong-kaucu dan Yim-siocia tentu juga akan terjadi perselisihan. Tapi kalau sekarang disuruh memerintahkan anak buahnya menyemprotkan air berbisa kepada Ing-ing, hal ini pun tak bisa dilakukan olehnya.
Dalam pada itu Kah Po memberi aba-aba pula, "Panah!"
Namun anak buahnya itu selama ini memandang Ing-ing sebagai malaikat dewata yang dipuja, apalagi terlihat padanya memegang Tiat-bok-leng, tentu saja mereka tidak berani sembarangan bertindak padanya.
Di tengah suara yang tegang itu, sekonyong-konyong di bawah loteng Leng-kui-kok itu ada orang berseru, "Api! Api! Kebakaran!"
Menyusul terlihatlah sinar api menganga disertai mengepulnya asap dari bawah.
"Keji benar kau, Kah Po!" seru Ing-ing. "Mengapa kau menyalakan api untuk membakar anak buahmu sendiri?"
"Ngaco-be...." namun belum habis Kah Po membantah, cepat Ing-ing menyela pula, "Lekas padamkan api dahulu!"
Berbareng ia terus mendahului menerjang ke sana, kesempatan baik ini segera diikuti oleh Lenghou Tiong, Hong-ting, dan Tiong-hi bertiga untuk berlari ke depan. Serentak mereka membobol jendela dan menerjang ke dalam.
Begitu mereka menyerbu ke dalam loteng, maka lumpuhlah seluruh alat pesawat panah air berbisa tadi. Lenghou Tiong menerjang ke arah altar terus menyambar sebuah tatakan lilin yang berujung tajam, sekali ia entakkan tatakan lilin, sepotong lilin yang masih menancap di situ terus mencelat dan merobohkan seorang anak buah Kah Po. Menyusul tatakan lilin lantas bekerja pula, hanya sekejap saja enam-tujuh orang telah dibinasakan pula. Di sebelah sana Hong-ting dan Tiong-hi juga sedang melabrak musuh, dengan cepat mereka pun telah membereskan tujuh-delapan orang.
Kedatangan Kah Po dan Siangkoan In kali ini seluruhnya membawa 40 buah peti, setiap petinya digotong dua orang sehingga semuanya ada 80 pengikut. Kedelapan puluh orang itu semuanya adalah jago pilihan Tiau-yang-sin-kau, walaupun bukan jago kelas satu, namun cukup tangguh ilmu silat masing-masing. Empat puluh orang di antaranya tersebar di sekeliling Sian-kong-si, 40 orang lagi bertugas memasang panah air yang terbagi di dua loteng Leng-kui-kok dan Sin-coa-kok.
Begitulah dalam sekejap saja Lenghou Tiong bertiga sudah membereskan ke-20 anak buah Kah Po, pesawat panah air berbisa itu berantakan tersebar memenuhi lantai. Dengan bersenjatakan sepasang boan-koan-pit tampak Kah Po sedang menempur Ing-ing dengan sengitnya. Senjata yang dipakai Ing-ing adalah sepasang pedang, pedang yang satu panjang dan yang lain pendek.
Selama Lenghou Tiong berkenalan dengan Ing-ing baru sekarang ia menyaksikan dengan jelas kepandaian si nona, cara menyerangnya sangat cepat, tempat yang diarah selalu yang berbahaya. Sebaliknya boan-koan-pit yang digunakan Kah Po tampak tidak kurang lihainya, agaknya bobotnya tidak ringan, terbukti dari sambaran angin yang terjangkit ketika senjatanya bergerak.
Ing-ing selalu menghindari senjatanya beradu dengan senjata lawan dan menyerang pada saat yang tepat dan tempat yang mematikan.
"Binatang, tidak lekas menyerah saja!" bentak Hong-ting kepada Kah Po.
Tapi Kah Po sudah kalap, mendadak kedua boan-koan-pit-nya menikam ke leher Ing-ing, Keruan Lenghou Tiong kaget, khawatir Ing-ing tidak sanggup menghindarkan serangan maut itu, tanpa pikir tatakan lilin yang berujung tajam itu pun ditusukkan ke depan. "Cret", dengan cepat luar biasa pergelangan tangan Kah Po tertusuk sekaligus.
Karena itu boan-koan-pit Kah Po terlepas dari cekalan, namun dia memang sangat tangkas, segera ia menubruk ke arah Lenghou Tiong sambil menghantam dengan kedua telapak tangan. Tapi Hong-ting keburu menyela dari samping, sekali pegang kedua tangan Kah Po itu kena dicengkeram olehnya.
Sekuatnya Kah Po meronta, tapi aneh, betapa pun sukar melepaskan diri dari pegangan Hong-ting itu, segera ia angkat sebelah kakinya, terus menendang ke selangkangan Hong-ting.
Serangan ini benar-benar sangat keji, Hong-ting menghela napas dan terpaksa mendorongkan kedua tangannya ke depan. Kah Po tidak mampu berdiri tegak lagi, ia terlempar ke luar dan menerobos pintu terus terjerumus ke bawah. Terdengarlah suara jeritan ngeri yang terus berkumandang, makin lama makin jauh sampai akhirnya lenyap di dalam jurang yang tak terkirakan dalamnya itu.
"Untung kau datang menolong tepat pada waktunya!" kata Lenghou Tiong kepada Ing-ing.
"Ya, memang untung kedatanganku tidak terlambat," jawab Ing-ing dengan tersenyum. Lalu ia berseru pula, "Padamkan api!"
Terdengar ada orang mengiakan di bawah loteng. Kiranya api yang berkobar di bawah itu sengaja dinyalakan untuk mengacaukan perhatian Kah Po, api itu cuma pembakaran rumput kering ditabur dengan bahan bakar lain saja, jadi bukan kebakaran sungguh-sungguh.
Ing-ing mendekati jendela dan berseru ke Sin-coa-kok di depan sana, "Siangkoan-sioksiok, Kah Po membangkang perintah sehingga mendapatkan ganjarannya yang setimpal, kau sendiri bolehlah kemari bersama anak buahmu, aku takkan membikin susah padamu."
"Toasiocia, ucapanmu harus dapat dipercaya," jawab Siangkoan In.
"Aku bersumpah asalkan Siangkoan-sioksiok mau tunduk kepada perintahku, aku berjanji takkan membikin susah padanya, kalau melanggar sumpah ini biarlah aku mati membusuk dimakan ulat," dengan sumpah Ing-ing yang paling berat menurut kebiasaan di dalam Tiau-yang-sin-kau maka legalah hati Siangkoan In, segera ia pimpin 20 anak buahnya keluar dari tempat sembunyinya.
Ketika Lenghou Tiong berempat turun ke bawah Leng-kui-kok, tertampak Lo Thau-cu, Coh Jian-jiu, dan lain-lain sudah menanti di situ.
"Dari mana kau mendapat tahu Kah Po akan menyergap kami?" tanya Lenghou Tiong kepada Ing-ing.
"Kupikir masakah Tonghong Put-pay begitu baik hati mau mengirim kado untukmu?" tutur Ing-ing. "Semula kusangka di dalam peti-peti antarannya mungkin tersembunyi sesuatu akal keji, kemudian kulihat tingkah laku Kah Po rada mencurigakan, malahan membawa pengikutnya menuju ke sini. Aku tambah curiga dan coba menjenguk ke sini bersama Lo-siansing dan lain-lain. Ternyata beberapa penjaga di bawah sana melarang kami naik ke sini, keruan rahasia mereka lantas ketahuan."
Coh Jian-jiu, Lo Thau-cu, dan lain-lain sama bergelak tertawa. Sebaliknya Siangkoan In menunduk malu.
"Siangkoan-sioksiok, selanjutnya kau ikut padaku atau tetap ikut Tonghong Put-pay?" tanya Ing-ing.
Air muka Siangkoan In berubah hebat, sesaat itu ia merasa sulit kalau dia disuruh mengkhianati Tonghong Put-pay.
Dengan lantang Ing-ing berkata pula, "Di antara kesepuluh tianglo dari Tiau-yang-sin-kau kita sudah ada enam tianglo yang makan pil Sam-si-nau-sin-tan dari ayahku. Sebiji pil ini akan kau makan atau tidak?"
Habis berkata ia terus menjulurkan tangannya, satu biji pil merah tampak berputar-putar di tengah telapak tangannya.
"Apakah betul enam di antara ke... kesepuluh tianglo kita sudah... sudah...."
"Betul," sela Ing-ing. "Selamanya kau belum pernah bekerja bagi ayahku, akhir-akhir ini kau ikut Tonghong Put-pay, tapi tidak berarti mengkhianati ayahku. Asalkan kau mau meninggalkan yang gelap dan kembali ke jalan yang terang, sudah tentu aku akan menghargai kau, ayah juga pasti akan memberi penilaian lain padamu."
Siangkoan In pikir kalau tidak menyerah tentu jiwanya akan melayang, keadaan memaksa, mau tak mau ia ambil pil merah di tangan Ing-ing itu terus ditelan. Katanya, "Selanjutnya Siangkoan In terima di bawah perintah Toasiocia."
Berbareng ia pun memberi hormat.
"Selanjutnya kita adalah orang sendiri, tidak perlu kau banyak adat," kata Ing-ing. "Para anak buahmu ini dengan sendirinya mengikuti jejakmu, bukan?"
Siangkoan In memandang kepada ke-20 pengikutnya. Melihat pemimpinnya sudah menyerah, tanpa diperintah lagi serentak orang-orang itu lantas menyembah kepada Ing-ing dan berseru, "Kami tunduk semua di bawah perintah Seng-koh!"
Sementara itu para kesatria sudah memadamkan api, mereka pun ikut bersyukur dan gembira bahwa Ing-ing telah berhasil menundukkan Siangkoan In. Maklumlah ilmu silat Siangkoan In cukup tinggi, kedudukannya juga penting di dalam Tiau-yang-sin-kau, kalau dia juga takluk kepada Ing-ing, maka bagi usaha Yim Ngo-heng untuk merebut kembali kedudukan kaucu tentu akan besar bantuannya.
Melihat urusan sudah beres, Hong-ting dan Tiong-hi lantas mohon diri. Lenghou Tiong mengantar keberangkatan kedua tokoh itu hingga jauh barulah ambil perpisahan.
Ketika menuju kembali ke Kian-seng-hong, Ing-ing berkata kepada Lenghou Tiong, "Toako, kau sendiri sudah menyaksikan betapa keji dan licinnya Tonghong Put-pay dengan segala akal busuknya. Saat ini ayah dan Hiang-sioksiok sedang menjumpai dan membujuk kenalan-kenalan lama yang punya kedudukan penting di dalam agama agar mereka mau mendukung pimpinan lama. Bila mereka mau menerima dengan baik ajakan ayah itu tentunya tidak menjadi soal, tapi kalau ada yang menentang, satu per satu lantas dibereskan sekalian untuk mengurangi kekuatan Tonghong Put-pay. Sementara ini Tonghong Put-pay juga telah mengadakan serangan balasan, seperti kejadian ini, dia mengirim Kah Po dan Siangkoan In untuk menjebak kau, ini benar-benar suatu langkah yang sangat lihai. Soalnya ayah dan Hiang-sioksiok sukar dicari jejaknya sehingga Tonghong Put-pay tidak mampu menemukan mereka, sebaliknya kalau kau sampai kena dicelakai, sungguh aku... aku...." sampai di sini air mukanya menjadi merah, cepat ia berpaling.
Angin malam meniup sepoi-sepoi, rambut Ing-ing yang halus itu tersiah ke atas sehingga tampak lehernya yang jenjang dan putih bersih, hati Lenghou Tiong terguncang, pikirnya, "Bahwasanya dia mencintai aku, hal ini telah diketahui umum, sampai-sampai Tonghong Put-pay juga ingin menangkap aku sebagai sandera untuk memaksakan kehendaknya padanya dan selanjutnya untuk memaksa ayahnya. Ketika di jembatan gantung di Sian-kong-si tadi, sudah jelas mengetahui betapa lihainya air berbisa, tapi dia rela mengadang di depanku. Punya istri sesetia ini, apa lagi yang kuharapkan lagi?"
Tanpa terasa lengannya menjulur dan bermaksud memeluk pinggang si nona.
Ing-ing mengikik tawa, sedikit mengegos, tempat kosonglah yang dipeluk oleh Lenghou Tiong. Kata Ing-ing dengan tertawa, "Masakah begini kelakuan seorang ciangbunjin yang terhormat?"
"Memangnya di seluruh dunia ini hanya ciangbunjin dari Hing-san-pay yang paling istimewa," jawab Lenghou Tiong dengan menyengir.
"Mengapa kau berkata demikian, Toako?" ujar Ing-ing dengan sungguh-sungguh. "Bahkan ketua-ketua Siau-lim dan Bu-tong juga menghargai dirimu, siapa lagi yang berani memandang rendah padamu" Biarpun gurumu mengusir kau dari Hoa-san-pay, tapi jangan kau senantiasa memikirkan soal ini sehingga selalu merasa rendah diri."
Kata-kata Ing-ing ini benar-benar kena di lubuk hati Lenghou Tiong, memang soal dipecatnya dari perguruan selama ini tetap mengganjal di dalam hatinya. Maka ia tidak menjawab, ia hanya menghela napas dan menunduk.
"Toako," kata Ing-ing pula sambil pegang tangan Lenghou Tiong, "sebagai ketua Hing-san-pay, kau telah menonjol di depan para kesatria sejagat. Hing-san dan Hoa-san selalu pada tingkatan yang sama, memangnya sebagai ketua Hing-san-pay kau rasakan tidak lebih terhormat daripada seorang anak murid Hoa-san-pay?"
"Banyak terima kasih atas bujukanmu," jawab Lenghou Tiong. "Aku hanya merasa kedudukanku sebagai pemimpin kawanan nikoh rada-rada lucu dan serbarunyam."
"Tapi hari ini sudah ada ribuan kesatria yang minta menjadi anggota Hing-san-pay, bicara tentang pengaruh dan kekuatan boleh dikata hanya Ko-san-pay saja yang masih mampu menandingi kau, selain itu masakah Hoa-san-pay dan lain-lain dapat memadai kau?"
"Dalam urusan ini aku masih harus berterima kasih padamu," kata Lenghou Tiong.
"Terima kasih apa?" katanya Ing-ing tertawa.
"Kau khawatir aku merasa kurang gemilang menjadi pemimpin kaum nikoh, maka sengaja mengirim anak buahmu sebanyak ini untuk memasuki Hing-san-pay. Kalau bukan perintah Seng-koh masakah kawanan berandalan sebanyak itu mau datang padaku untuk menerima perintah begitu saja?"
"Juga belum tentu benar seluruhnya," ujar Ing-ing. "Tatkala kau menyerbu Siau-lim-si bukankah mereka pun tunduk semua di bawah perintahmu?"
Sambil bicara, tanpa terasa sudah dekat dengan biara induk, sayup-sayup sudah terdengar suara berisik orang banyak. Ing-ing lantas berhenti dan berkata, "Toako, sementara ini kita berpisah dulu, bila urusan penting ayah sudah beres tentu aku akan datang menjenguk kau."
Terdorong oleh perasaan hangat hatinya, Lenghou Tiong berkata, "Apakah kau akan berangkat ke Hek-bok-keh?"
Ing-ing mengiakan. "Aku ikut!" kata Lenghou Tiong.
Seketika biji mata Ing-ing memancarkan sinar yang penuh gembira, tapi perlahan-lahan ia menggeleng malah.
"Kau tidak ingin aku ikut ke sana?" Lenghou Tiong menegas.
"Baru saja kau menjadi ketua Hing-san-pay, rasanya kurang pantas bila sekarang kau ikut campur urusan Tiau-yang-sin-kau kami," kata Ing-ing.
"Tapi menghadapi Tonghong Put-pay adalah pekerjaan yang amat berbahaya, masakah aku harus tinggal diam membiarkan kau menghadapi bahaya?" ujar Lenghou Tiong.
"Tapi di sini tinggal kawanan berandalan sebanyak itu, siapa berani mengatasi mereka jika ada yang mengganggu nona-nona jelita Hing-san-pay kalian?" kata Ing-ing.
"Asalkan kau memberikan perintah tegas, betapa pun kukira mereka tak berani main gila."
"Baiklah, atas kesediaanmu ikut ke Hek-bok-keh, atas nama ayah kusampaikan terima kasih."
"Buat apa kita saling terima kasih kian-kemari seperti orang luar saja."
"Baik, kalau lain kali aku tidak tahu terima kasih janganlah kau salahkan aku," sahut Ing-ing dengan tertawa.
Setelah kedua orang kembali di Kian-seng-hong, mereka lalu memberi pesan kepada anak buah masing-masing. Lenghou Tiong menyuruh para murid Hing-san-pay giat belajar. Ing-ing memberi perintah kepada para kesatria agar hidup prihatin, selanjutnya mereka dilarang naik ke Kian-seng-hong tanpa dipanggil, siapa yang melanggar akan dihukum potong kaki.
Besok paginya berangkatlah Lenghou Tiong, Ing-ing, Siangkoan In, dan ke-20 anak buahnya yang tersisa.
Hek-bok-keh itu terletak di wilayah Hopak, dari Hing-san mereka menuju ke timur. Suatu hari sampailah mereka di Pengting. Sepanjang jalan Lenghou Tiong dan Ing-ing menumpang di dalam kereta dengan tirai tertutup untuk menghindari mata-mata Tonghong Put-pay. Malam itu mereka cari penginapan di Pengting.
Kota itu sudah tidak jauh lagi dengan markas besar Tiau-yang-sin-kau, di dalam kota banyak berseliweran anggota-anggota Mo-kau itu. Siangkoan In menugaskan empat anak buahnya menjaga di sekitar hotel, orang yang tak berkepentingan dilarang keras mendekat.
Waktu makan malam, Ing-ing mengiringi Lenghou Tiong minum arak. Cahaya api lilin yang berkedip-kedip makin menambah kemolekan Ing-ing.
Setelah menenggak tiga mangkuk arak, berkatalah Lenghou Tiong, "Ing-ing, ketika di Siau-lim-si tempo hari ayahmu mengatakan beliau hanya mengagumi tiga setengah tokoh besar pada zaman ini, di antaranya Tonghong Put-pay adalah orang utama yang dikaguminya. Kalau orang ini mampu merampas kedudukan kaucu dari tangan ayahmu, sudah tentu ia adalah seorang mahapintar menurut cerita orang Kangouw, katanya ilmu silatnya Tonghong Put-pay nomor satu di dunia ini, entah betul tidak berita demikian ini?"
"Bahwa Tonghong Put-pay ini seorang yang mahacerdik dan banyak tipu akalnya memang tidak perlu disangsikan lagi," jawab Ing-ing. "Tentang sampai di mana tinggi ilmu silatnya, tidaklah begitu jelas bagiku, soalnya beberapa tahun terakhir ini aku sangat jarang menjumpai dia."
"Ya, tentunya kau lebih sering tinggal di Kota Lokyang sehingga jarang menjumpai dia," ujar Lenghou Tiong.
"Bukan begitu. Meski aku tinggal di Lokyang, tapi setiap tahun aku tentu pulang ke Hek-bok-keh satu atau dua kali, tapi meski pulang ke sana toh jarang pula bertemu dengan Tonghong Put-pay. Menurut cerita para tianglo di sana akhir-akhir ini makin sukar untuk bertemu dengan sang kaucu."
"Mungkin orang yang berkedudukan tinggi sering kali sengaja tahan harga agar lebih diagungkan orang," kata Lenghou Tiong.
"Itu memang salah satu alasan tepat. Tapi kuduga tentunya dia sedang giat meyakinkan ilmu dalam Kui-hoa-po-tian sehingga tak ingin pemusatan pikirannya terganggu."
"Ayahmu pernah bercerita padaku, katanya dahulu dia terlalu asyik meyakinkan cara-cara memunahkan bergolaknya hawa murni yang disedot oleh Gip-sing-tay-hoat sehingga urusan pekerjaan sehari-hari tak dihiraukan, kesempatan ini telah digunakan Tonghong Put-pay untuk merebut kekuasaan, apakah mungkin sekarang Tonghong Put-pay mengulangi lagi jejak ayahmu itu?"
"Sejak Tonghong Put-pay tidak banyak memegang pekerjaan agama, akhir-akhir ini semua kekuasaan boleh dikata hampir jatuh ke tangan bocah she Nyo itu. Bocah itu takkan merampas kedudukan Tonghong Put-pay, maka tentang terulangnya peristiwa dahulu boleh tidak perlu dikhawatirkan."
"Bocah she Nyo katamu" Siapakah dia" Mengapa selama ini belum pernah kudengar?"
Tiba-tiba wajah Ing-ing tampak perasaan rikuh, katanya dengan tersenyum, "Kalau bicara tentang dia hanya bikin kotor mulut saja. Orang di dalam agama yang tahu seluk-beluknya tidak ada yang sudi membicarakannya, orang luar agama tiada yang tahu, dengan sendirinya kau pun tidak pernah dengar tentang dia."
Tambah tertarik rasa ingin tahu Lenghou Tiong, pintanya, "Adik yang manis, coba ceritakanlah padaku."
"Bocah she Nyo itu lengkapnya bernama Nyo Lian-ting usianya belum ada 30, ilmu silatnya rendah, tidak mampu bekerja pula. Tapi akhir-akhir ini Tonghong Put-pay justru sangat sayang dan percaya padanya, sungguh sukar dimengerti."
Sampai di sini wajah Ing-ing kembali bersemu merah, mulutnya mencibir dengan sikap yang menghina.
"Ah, barangkali kau maksudkan bocah she Nyo itu adalah "gendak" Tonghong Put-pay" Sungguh tidak nyana, seorang kesatria seperti dia ternyata juga suka... suka main begituan."
"Sudahlah, tak perlu dibicarakan lagi, aku pun tidak tahu apa yang dikehendaki Tonghong Put-pay. Yang jelas segala urusan hampir dia serahkan kepada Nyo Lian-ting sehingga banyak kawan-kawan dalam agama yang menjadi korban keculasan orang she Nyo itu, sungguh dia pantas dibinasakan."
Sampai di sini, sekonyong-konyong di luar jendela ada orang tertawa dan berseru, "Ucapanmu salah, sebaliknya kita harus berterima kasih kepada bocah she Nyo itu."
"Ayah!" seru Ing-ing dengan girang, cepat ia membukakan pintu.
Tertampaklah Yim Ngo-heng dan Hiang Bun-thian melangkah masuk, keduanya sama-sama berdandan sebagai orang kampung dengan baju kasar, memakai kopiah buntut. Kalau tidak mendengar suaranya tentu sukar mengenalnya. Segera Lenghou Tiong memberi hormat dan suruh pelayan menambah makanan.
"Akhir-akhir ini aku dan Hiang-hiante mengadakan hubungan kenalan-kenalan lama di dalam agama, hasilnya ternyata sangat memuaskan," tutur Yim Ngo-heng. "Sebagian besar di antara mereka menyambut kembaliku dengan girang, katanya akhir-akhir ini Tonghong Put-pay sudah mendekati kebangkrutan karena dijauhi oleh pengikut-pengikutnya. Terutama bocah she Nyo itu, asalnya cuma seorang keroco, lantaran bisa memelet Tonghong Put-pay sehingga memegang kekuasaan, lalu banyak lagak, tidak sedikit tokoh-tokoh ternama dan berjasa di dalam agama yang telah menjadi korbannya. Cara perbuatan bocah she Nyo itu bukankah berbalik membantu usaha kita, bukankah kita harus berterima kasih padanya malah?"
Hina Kelana Balada Kaum Kelana Siau-go-kangouw Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ing-ing mengiakan, lalu ia tanya, "Dari mana kalian mengetahui kedatangan kami, Ayah?"
"Hiang-hiante sudah berkelahi dulu dengan Siangkoan In, kemudian baru diketahui dia telah tunduk padamu," kata Yim Ngo-heng dengan tertawa.
"Hiang-sioksiok tidak melukai dia, bukan?" tanya Ing-ing.
"Tidaklah gampang untuk melukai Siangkoan In," ujar Hiang Bun-thian dengan tersenyum.
Bicara sampai di sini, terdengar di luar riuh ramai dengan suara suitan yang tajam melengking mendirikan bulu roma di malam sunyi.
"Apakah Tonghong Put-pay mengetahui kedatangan kita?" kata Ing-ing. Lalu ia berpaling dan menjelaskan kepada Lenghou Tiong, "Suara suitan ramai itu adalah tanda penggerebekan musuh atau menangkap kaum pengkhianat. Bila mendengar tanda-tanda itu serentak para anggota dalam agama harus siap siaga."
Selang tidak lama, terdengar empat ekor kuda dilarikan dengan cepat sekali lewat di depan hotel, ada penunggang kuda itu berseru, "Atas titah Kaucu, tianglo penguasa Hong-lui-tong, Tong Pek-him, bersekongkol dengan musuh dan bermaksud memberontak, diperintahkan segenap anggota bantu menangkapnya segera, bila melawan boleh dibunuh tanpa perkara."
"Tong-pepek yang dimaksudkan" Mana bisa?" ujar Ing-ing tidak percaya.
"Tajam juga sumber berita Tonghong Put-pay, kemarin dulu kami baru saja bicara dengan Kakek Tong dan kini hal ini sudah diketahui olehnya," kata Yim Ngo-heng.
Ing-ing merasa lega, tanyanya, "Jadi Tong-pepek juga menyanggupi membantu kita?"
"Mana dia mau mengkhianati Tonghong Put-pay," jawab Yim Ngo-heng. "Lama sekali aku dan Hiang-hiante bicara dengan dia, namun tetap sukar mengubah pendiriannya, akhirnya dia berkata, "Hubunganku dengan Tonghong-kaucu boleh dikata sehidup-semati, hal ini cukup diketahui kalian, tapi sekarang kalian sengaja membujuk aku, jelas kalian memandang hina padaku dan anggap aku sebagai pengecut yang suka menjual kawan. Memang akhir-akhir ini Tonghong-kaucu tidak sedikit berbuat kesalahan-kesalahan lantaran dipengaruhi oleh orang busuk, tapi biarpun nanti Tonghong-kaucu akan hancur lebur juga aku orang she Tong takkan berbuat sesuatu apa pun yang tidak baik padanya. Aku mengaku bukan tandingan kalian berdua, jika mau bunuh bolehlah kalian bunuh saja diriku."
"Kakek Tong itu memang tua-tua keladi, makin tua makin berapi."
"Sungguh seorang kesatria sejati, seorang kawan baik," ujar Lenghou Tiong.
"Jika dia sudah menolak bujukan ayah, mengapa sekarang Tonghong Put-pay hendak menangkap dia malah?" tanya Ing-ing.
"Ini namanya dunianya sudah berbalik," ujar Hiang Bun-thian. "Umur Tonghong Put-pay belum terlalu tua, tapi tindak tanduknya sudah tidak keruan. Kawan karib yang setia seperti Tong Pek-him itu hendak dia cari lagi di mana?"
"Tapi dengan bentrokan Tonghong Put-pay dengan Tong Pek-him, itu berarti menguntungkan malah usaha kita," kata Yim Ngo-heng tertawa. "Marilah kita sama-sama mengeringkan satu cawan."
Mereka berempat lantas mengangkat cawan sebagai tanda selamat dan bersyukur.
Lalu Ing-ing menjelaskan kepada Lenghou Tiong, katanya, "Tong-pepek itu adalah seorang tokoh angkatan tua agama kami, dahulu dia telah banyak berbuat jasa sehingga dia sangat dihormati. Biasanya dia tidak begitu cocok dengan ayah, tapi sangat karib dengan Tonghong Put-pay. Sepantasnya betapa pun dia berbuat kesalahan seharusnya Tonghong Put-pay akan dapat mengampuni dia."
"Tonghong Put-pay hendak menangkap Tong Pek-him, sudah tentu Hek-bok-keh sekarang sedang kacau, ini adalah kesempatan yang paling bagus bagi kita untuk naik ke sana," kata Yim Ngo-heng.
"Bagaimana kalau kita undang Siangkoan In untuk diajak berunding?" tanya Bun-thian.
"Bagus," jawab Yim Ngo-heng.
Setelah Hiang Bun-thian keluar, tidak lama dia masuk lagi bersama Siangkoan In. Begitu melihat Yim Ngo-heng, segera Siangkoan In memberi sembah hormat, "Hamba Siangkoan In menyampaikan hormat kepada Kaucu, semoga Kaucu panjang umur dan merajai Kangouw."
Dengan tertawa Yim Ngo-heng menjawab, "Siangkoan-hengte, kudengar kau adalah seorang laki-laki yang keras, mengapa pertemuan pertama ini kau sudah mengucapkan kata-kata demikian?"
Siangkoan In melengak bingung, jawabnya kemudian, "Hamba tidak paham, mohon Kaucu memberi penjelasan."
Ing-ing lantas menyela, "Ayah, apa barangkali engkau merasa heran terhadap istilah-istilah yang diucapkan Siangkoan-sioksiok?"
"Ya, aku merasa seperti menjadi raja dengan istilah-istilah sanjung puji yang luar biasa itu," kata Yim Ngo-heng.
"Istilah-istilah itu sengaja ditetapkan oleh Tonghong Put-pay agar anak buahnya selalu mengucapkan sanjung puji demikian bila berhadapan padanya," tutur Ing-ing. "Rupanya Siangkoan-sioksiok sudah biasa pakai istilah-istilah itu sehingga kepada ayah juga digunakan kata-kata yang sama."
"O, kiranya demikian," kata Yim Ngo-heng. "Siangkoan-hengte, kabarnya Tonghong Put-pay ada perintah menangkap Tong Pek-him, kukira saat demikian suasana di Hek-bok-keh tentu kacau-balau, bagaimana kalau malam ini juga kita lantas naik ke atas sana?"
Siangkoan In mengiakan dengan macam-macam istilah sanjung puji pula yang lebih "seram". Keruan Yim Ngo-heng mengerut kening. Padahal Siangkoan In terkenal ilmu silatnya tinggi, wataknya juga terkenal keras dan tulus, mengapa sekarang juga pandai menjilat dengan macam-macam perkataan yang menjijikkan.
"Ayah," Ing-ing lantas menyela, "untuk menyusup ke Hek-bok-keh sebaiknya kita menyamar saja supaya tidak dikenal musuh. Yang lebih penting lagi adalah kita harus hafal kode-kode yang sedang populer di Hek-bok-keh, yaitu istilah-istilah sanjung puji sebagaimana diucapkan Siangkoan-sioksiok tadi. Istilah-istilah demikian sebenarnya adalah bikinan Nyo Lian-ting yang sengaja digunakan untuk menjilat Tonghong Put-pay. Rupanya Tonghong Put-pay juga sangat senang menerima pujian-pujian semacam itu, kalau bawahannya tidak mengucapkan kata-kata pujian seperti itu lantas dianggap berdosa dan dijatuhi hukuman, bahkan dibinasakan."
"Kalau ketemu Tonghong Put-pay, kau sendiri juga gunakan istilah-istilah begitu?" tanya Yim Ngo-heng.
"Tinggalnya di Hek-bok-keh, apa mau dikata terpaksa harus mengikuti peraturan mereka," jawab Ing-ing. "Sebabnya Anak lebih sering tinggal di Lokyang justru untuk menghindari rasa muak terhadap tingkah laku mereka."
"Siangkoan-hengte, selanjutnya kita tidak perlu pakai cara-cara demikian," kata Yim Ngo-heng kemudian.
"Baik," jawab Siangkoan In, akan tetapi toh masih ditambahkannya pula, "kebijaksanaan Kaucu yang mahaadil tentu akan hamba patuhi, semoga Kaucu panjang umur hidup abadi."
Bab 106. Lenghou Tiong Ikut Menyerang ke Markas Mo-kau
Ing-ing menjadi geli sendiri dan menutup mulutnya supaya tidak mengeluarkan suara tertawa.
"Bagaimana pendapatmu agar kita dapat naik ke Hek-bok-keh dengan lancar?" tanya Yim Ngo-heng.
"Tentu Kaucu sudah punya rencana dan perhitungan yang bagus, di hadapan Kaucu mana hamba berani ikut bicara?" jawab Siangkoan In.
"Apakah di waktu Tonghong Put-pay mengadakan perundingan urusan penting juga tiada seorang pun yang berani angkat bicara?" tanya Yim Ngo-heng.
"Ayah," Ing-ing menyela pula, "Tonghong Put-pay memang seorang mahacerdik, orang lain sukar menandingi kepandaiannya. Maka biasanya memang tiada seorang pun yang berani sembarangan mengemukakan pendapat untuk menghindari bencana yang tak terduga."
"O, kiranya demikian," kata Yim Ngo-heng. "Siangkoan-hengte, ketika Tonghong Put-pay menyuruh kau pergi menangkap Lenghou Tiong, petunjuk apa yang dia berikan padamu."
"Dia mengatakan disediakan hadiah besar bila Lenghou-tayhiap dapat ditangkap, bila tidak dapat menangkapnya hidup-hidup, bawa kembali kepalanya juga boleh," tutur Siangkoan In.
"Baik, sekarang juga boleh kau ringkus Lenghou Tiong untuk menerima hadiahnya nanti," kata Yim Ngo-heng dengan tertawa.
Siangkoan In tergetar mundur, katanya, "Lenghou-tayhiap adalah menantu kesayangan Kaucu, beliau berjasa besar pula bagi agama kita, mana hamba berani sembrono kepada beliau."
"Bukankah tempat kediaman Tonghong Put-pay sangat sukar didatangi, dengan meringkus Lenghou Tiong, tentunya dia akan menerima kedatanganmu," ujar Yim Ngo-heng.
"Akal ini sangat bagus," seru Ing-ing tertawa girang. "Nanti kita menyamar sebagai anak buah Siangkoan-sioksiok untuk menemui Tonghong Put-pay. Asalkan berhadapan dengan dia serentak kita mengerubutnya, peduli apakah dia sudah berhasil meyakinkan Kui-hoa-po-tian atau belum, yang pasti dia tentu sulit menandingi keroyokan empat orang."
"Paling baik kalau Lenghou-hiante pura-pura terluka parah dengan tangan kaki dibalut, dinodai pula dengan darah, lalu kita menggotongnya dengan usungan, dengan demikian Tonghong Put-pay pasti tidak berjaga-jaga, di dalam usungan dapat pula kita sembunyikan senjata," kata Hiang Bun-thian.
"Bagus, bagus!" seru Yim Ngo-heng setuju.
Dalam pada itu dari ujung jalan raya sana terdengar suara ramai orang berseru, "Hong-lui-tongcu sudah tertangkap! Hong-lui-tongcu sudah tertangkap!"
Ing-ing mengajak Lenghou Tiong keluar hotel, terlihatlah beberapa puluh penunggang kuda dengan obor menggiring seorang tua sedang lewat dengan cepat. Orang tua itu sudah ubanan seluruhnya rambut dan jenggotnya, mukanya berlepotan darah, agaknya sebelum tertangkap telah terjadi pertarungan sengit lebih dulu.
Kedua tangan si kakek tampak terikat di belakang badan tapi sorot matanya berapi, agaknya tidak kepalang rasa murkanya.
Dengan suara perlahan Ing-ing membisiki Lenghou Tiong, "Beberapa tahun yang lalu bila ketemu si kakek, biasanya Tonghong Put-pay suka memanggilnya dengan sangat mesra, siapa duga sekarang dia sudah melupakan hubungan baik di masa lalu."
Tidak lama Siangkoan In telah menyediakan kerangka usungan dan sebagainya. Ing-ing membalut lengan Lenghou Tiong dengan kain putih dan digantungkan di depan dadanya, disembelihkan pula seekor kambing, darah kambing dipakai melumuri badan Lenghou Tiong.
Yim Ngo-heng dan Hiang Bun-thian lantas ganti pakaian sebagai anggota biasa, Ing-ing juga menyamar sebagai lelaki, mukanya dicoreng hitam-hitam, setelah makan kenyang, lalu bersama anak buah Siangkoan In berangkat ke Hek-bok-keh.
Kira-kira 40 li di barat laut Kota Pengting terdapat sebuah teluk yang panjang dan dangkal, batu tebing kedua tepi teluk berwarna merah darah, air mengalir sangat deras, itulah teluk yang terkenal dengan nama Sing-sing-tan. Lebih ke utara lagi dari teluk panjang itu hampir kedua tepinya adalah tebing-tebing yang licin melulu, di situ hanya ada sebuah jalanan batu selebar satu meteran. Sepanjang jalan dijaga dengan keras oleh anggota Tiau-yang-sin-kau. Tapi setiap kali melihat Siangkoan In para penjaga itu sangat segan padanya dan sama memberi hormat.
Setelah menyusuri tiga tempat jalan pegunungan, akhirnya mereka sampai pula di tepi teluk. Siangkoan In melepaskan panah bersuara, lalu dari seberang muncul tiga buah sampan untuk menyambut mereka ke seberang sana.
Diam-diam Lenghou Tiong mengagumi betapa hebat fondasi yang telah dipupuk oleh Tiau-yang-sin-kau selama beberapa ratus tahun ini. Coba kalau bukan Siangkoan In telah bergabung kepada mereka, jangan harap orang luar mampu masuk ke wilayah kekuasaan Sin-kau yang penting itu.
Sampai di seberang, jalanan di situ tambah curam lagi. Ing-ing selalu berjaga di samping usungan, senjata siap di tangan.
Ketika rombongan mereka sampai di tempat pusat pimpinan Tiau-yang-sin-kau hari masih sangat dini, belum lagi terang tanah. Siangkoan In mengirim orang melaporkan secara kilat bahwa perintah sang kaucu telah dilaksanakan dengan baik. Tidak lama kemudian terdengarlah suara kelenengan yang nyaring di udara, serentak Siangkoan In berdiri tegak penuh hormat.
Ing-ing menjawil ayahnya dan membisikinya, "Lekas berdiri tegak, ada perintah sang kaucu."
Yim Ngo-heng merasa heran, tapi ia pun menurut dan berdiri. Dilihatnya segenap anggota juga mendadak berdiri tegak. Suara kelenengan tadi terus bergema dari atas menuju ke bawah dengan sangat cepat. Ketika suara kelenengan berhenti sejenak barulah semua orang berani bergerak. Seorang anggota yang berbaju kuning tampak masuk ke ruangan tunggu itu dan membentangkan sepotong kain kuning, lalu membaca, "Tonghong-kaucu Tiau-yang-sin-kau yang mahabijaksana dan mahaagung memberikan titah sebagai berikut: Kah Po dan Siangkoan In telah melaksanakan perintah dan pulang dengan hasil yang baik, jasa mereka harus dipuji, diperintahkan sekarang juga boleh menghadap ke atas tebing dengan membawa serta tawanan."
Siangkoan In membungkuk dengan penuh hormat, lalu mengiakan disertai dengan istilah-istilah sanjung puja yang tetap itu.
Diam-diam Lenghou Tiong merasa geli karena kelakuan mereka itu seperti permainan sandiwara di atas panggung.
Sementara itu Siangkoan In lantas membentak, "Kesudian Kaucu menerima hamba, budi kebaikan mahabesar ini takkan hamba lupakan selama hidup."
Serentak anak buahnya juga berseru menirukan ucapan Siangkoan In itu. Sudah tentu Yim Ngo-heng dan Hiang Bun-thian tidak sudi menirukan kata-kata itu, mereka hanya komat-kamit saja bibirnya, tapi menggerutu di dalam batin.
Begitulah rombongan mereka lantas naik ke atas tebing melalui undak-undakan batu, setelah melintasi tiga buah pintu terali besi yang setiap kali mereka selalu ditegur oleh penjaga dengan kode-kode rahasia, akhirnya mereka sampai di depan sebuah pintu batu yang besar, kedua samping pintu tampak terpahat tulisan-tulisan besar yang artinya mengagungkan penghuninya di situ.
Sesudah melewati pintu batu itu, terlihat di atas tanah ada sebuah keranjang bambu yang besar, begitu besar keranjang bambu itu sehingga cukup untuk memuat belasan orang sekaligus.
"Angkat tawanan ke dalam situ," bentak Siangkoan In.
Lenghou Tiong segera digotong oleh Yim Ngo-heng, Hiang Bun-thian, dan Ing-ing bertiga ke dalam keranjang raksasa itu. Ketika terdengar bunyi kelenengan, keranjang itu mulai mengapung ke atas. Rupanya di atas ada kerekan bertali sehingga keranjang itu dapat dikerek ke atas.
Keranjang besar itu mumbul terus ke atas, waktu Lenghou Tiong memandang ke atas, terlihat di atas sana ada beberapa titik-titik sinar, nyata Hek-bok-keh (karang kayu hitam) luar biasa tingginya.
Ing-ing genggam tangan Lenghou Tiong. Dalam kegelapan tertampak juga gumpalan-gumpalan mega yang melayang lewat di atas kepala mereka. Selang sejenak pula seluruhnya mereka sudah ditelan oleh lautan mega, dasar keranjang hitam gelap, sedikit pun tidak kelihatan lagi titik-titik sinar tadi.
Agak lama pula barulah keranjang raksasa itu berhenti. Lenghou Tiong diusung ke luar dan dipindahkan lagi ke sebuah keranjang lain yang terletak belasan meter di sebelah sana.
Rupanya puncak karang Hek-bok-keh itu terlalu tinggi sehingga kerekan-kerekan yang dipasang itu terbagi dalam tiga tingkat, empat kali mereka harus dikerek barulah mencapai puncak karang itu.
"Begini tinggi tempat tinggal Tonghong Put-pay, pantas sukar sekali bawahannya hendak menemui dia," pikir Lenghou Tiong.
Akhirnya sampai juga di puncak karang, sementara itu sang surya sudah menongol di ujung timur dan memancarkan sinarnya yang gemilang. Sebuah gapura batu marmer yang megah gemilapan tertingkah oleh cahaya matahari.
Terdengar Siangkoan In berteriak, "Hamba Kong-beng-yusu Siangkoan In mohon bertemu sesuai perintah Kaucu."
Dari sebuah rumah batu kecil di sebelah kiri sana muncul empat orang, semuanya berjubah ungu, seorang di antaranya berkata, "Selamat atas jasa besar yang telah dicapai Siangkoan-yusu. Mengapa Kah-cosu tidak ikut datang?"
"Kah-cosu telah gugur ketika melabrak musuh sebagai pengabdiannya atas budi kebaikan Kaucu," jawab Siangkoan In.
"O, kiranya demikian," kata orang itu. "Jika begitu segera Siangkoan-yusu tentu akan naik tingkat."
"Bila mendapat anugerah Kaucu tentu takkan kulupakan kebaikan Saudara," ujar Siangkoan In.
Mendengar ucapan Siangkoan In yang menjanjikan akan memberi sogokan padanya, orang itu tampak sangat senang, katanya pula, "Terima kasih sebelumnya."
Lalu ia melirik sekejap kepada Lenghou Tiong yang telentang di atas usungan, katanya dengan tertawa, "Apakah bocah ini yang dipenujui Yim-siocia" Kukira pemuda yang ditaksir Yim-siocia tentunya secakap Phoa An dan sebagus Song Giok (kedua nama ini adalah jejaka-jejaka cakap menurut dongeng), tak tahunya juga cuma begini saja. Siangkoan-cosu, silakan ikut padaku."
"Kaucu belum lagi mengangkat derajatku, janganlah Saudara buru-buru memanggil cosu padaku, kalau didengar oleh Kaucu mungkin bisa celaka," ujar Siangkoan In.
Orang itu melelet-lelet lidahnya dan tidak bicara lagi. Segera ia mendahului jalan di depan sebagai pengantar.
Dari gapura itu menuju ke pintu gerbang harus melalui sebuah jalan balok batu yang lurus. Setelah memasuki pintu gerbang, dua orang berjubah ungu yang lain mengantar mereka ke ruangan belakang. Katanya kepada Siangkoan In, "Nyo-koankeh hendak menemui kau, silakan tunggu di sini."
Siangkoan In mengiakan dan berdiri tegak dengan tangan lurus ke bawah.
Cukup lama mereka menunggu, tapi apa yang dikatakan "Nyo-koankeh" (kepala rumah tangga she Nyo) masih belum tampak muncul. Selama itu Siangkoan In tetap berdiri tegak dan tidak berani mengambil tempat duduk.
Dalam hati Lenghou Tiong membatin, "Kedudukan Siangkoan-yusu ini di dalam Mo-kau boleh dikata hanya satu-dua tingkat di bawah sang kaucu, tapi di atas Hek-bok-keh ini ternyata hampir setiap orang tidak menghargainya, seakan-akan seorang pelayan juga lebih kereng dari dia. Lalu siapa lagi Nyo-koankeh yang dikatakan itu" Besar kemungkinan adalah Nyo Lian-ting. Kiranya, dia hanya seorang "koankeh" saja, akan tetapi Kong-beng-yusu yang termasyhur ternyata harus berdiri menunggunya dengan penuh hormat, peraturan demikian sungguh keterlaluan?"
Lewat agak lama pula barulah terdengar suara langkah orang mendatangi, dari suara kakinya yang cepat tapi enteng ini jelas orangnya tidak memiliki lwekang yang kuat. Terdengar suara orang berdehem satu kali, lalu dari pintu angin muncul seorang.
Ketika Lenghou Tiong melirik ke sana, dilihatnya umur orang itu antara 30-an, berjubah satin merah gelap, perawakannya kekar, mukanya penuh berewok, sikapnya sangat gagah.
Kembali Lenghou Tiong membatin, "Menurut cerita Ing-ing, katanya orang ini sangat disayang oleh Tonghong Put-pay, katanya di antara kedua orang mempunyai hubungan yang istimewa. Maka tadinya kukira dia pasti seorang laki-laki secantik nona jelita, siapa tahu dia adalah seorang laki-laki kekar. Sungguh sama sekali di luar dugaan."
Maka terdengar orang itu sedang berkata, "Siangkoan-yusu, engkau telah berjasa besar dengan berhasil menangkap Lenghou Tiong, untuk ini Kaucu merasa sangat senang."
Suara seorang laki-laki gagah ternyata sangat merdu dan enak didengar.
Siangkoan In membungkuk tubuh dan menjawab, "Semua itu adalah berkat Kaucu yang mahaagung dan berkat bimbingan Nyo-koankeh yang bijaksana, hamba hanya sebagai pelaksana saja menurut perintah Kaucu."
Nyo Lian-ting itu mendekati usungan dan memandangi Lenghou Tiong. Dengan sengaja Lenghou Tiong membikin mulutnya setengah melongo dan sorot mata yang guram sehingga mirip benar orang yang terluka parah.
"Orang ini tampaknya sudah setengah sekarat, apakah benar dia ini Lenghou Tiong" Kau tidak keliru?" tanya Nyo Lian-ting.
"Tidak mungkin keliru, hamba menyaksikan sendiri dia diangkat sebagai ketua Hing-san-pay," jawab Siangkoan In. "Cuma dia telah kena ditutuk tiga kali oleh Kah-cosu, kena dua kali pukulanku pula, lukanya memang parah, dalam waktu setahun kiranya belum bisa pulih."
"Bagus, bagus!" puji Nyo Lian-ting. "Jasamu ini tentu akan kulaporkan kepada Kaucu dan kau akan mendapatkan ganjaran semestinya. Hong-lui-tongcu telah mengkhianati Kaucu apakah kau sudah mengetahui urusan ini?"
"Hamba tidak jelas duduk persoalannya mohon diberi penjelasan," jawab Siangkoan In.
Nyo Lian-ting terus duduk sendiri di atas kursi sambil menghela napas, lalu berkata, "Si tua Tong Pek-him ini makin tua makin tidak genah, dia suka jual lagak sebagai orang kepercayaan Kaucu dan memandang sebelah mata kepada orang lain. Akhir-akhir ini dia bahkan bersekongkol dan berkomplotan dengan maksud memberontak. Memang sudah lama kulihat tingkahnya yang mencurigakan itu, siapa tahu dia malahan tambah berani lagi, akhir-akhir bahkan bersekongkol dengan pengkhianat besar Yim Ngo-heng."
"Dia... dia berkomplot dengan... dengan orang she Yim itu?" Siangkoan In menegas dengan suara rada gemetar.
"Siangkoan-yusu, kenapa kau menjadi ketakutan begini?" tanya Nyo Lian-ting. "Yim Ngo-heng itu toh bukan manusia yang bertangan enam dan berkepala tiga, dahulu Kaucu sudah pernah membikin dia mati kutu, kalau sekarang dia berani datang lagi ke Hek-bok-keh sini, hm, masakah dia takkan disembelih sebagaimana Kaucu menyembelih ayam."
"Ya, ya. Entah cara bagaimana Tong Pek-him itu bersekongkol dengan dia?" tanya Siangkoan In dengan tergagap-gagap.
"Tong Pek-him telah mengadakan pertemuan rahasia dengan Yim Ngo-heng, selain mereka dihadiri pula seorang pengkhianat lain, yaitu Hiang Bun-thian. Ketika dia kembali ke sini dan kutanyakan perbuatannya itu, ternyata Tong Pek-him terus mengaku dengan terus terang."
"Dia mengaku terus terang, jelas tuduhan padanya bukanlah fitnah," ujar Siangkoan In.
"Kutegur dia mengapa tidak memberi laporan kepada Kaucu tentang pertemuannya dengan Yim Ngo-heng dan Hiang Bun-thian, dia menjawab katanya mereka hanya mengadakan pertemuan persahabatan saja. Kukatakan munculnya Yim Ngo-heng jelas hendak memusuhi Kaucu, hal ini tentu cukup diketahuinya, mengapa kau anggap musuh sebagai sahabat. Dia menjawab, "Mungkin Kaucu yang salah dan bukan orang lain yang salah terhadap Kaucu!"."
"Kurang ajar!" gerutu Siangkoan In. "Budi luhur Kaucu setinggi langit, beliau paling baik terhadap sesama kawan, mana bisa berbuat salah kepada orang lain?"
Bagi pendengaran Nyo Lian-ting, ucapan Siangkoan In ini sudah tentu ditujukan kepada Tonghong Put-pay, tapi bagi Lenghou Tiong dan lain-lain, mereka tahu Siangkoan In sengaja hendak mengambil hati Yim Ngo-heng.
Terdengar Siangkoan In melanjutkan pula, "Hamba sudah bertekad akan mengabdi sepenuh jiwa raga kepada Kaucu, bila ada orang yang berani kurang ajar kepada Kaucu baik dalam kata maupun dalam tindakan, maka aku Siangkoan In yang pertama-tama akan menghadapinya."
Kata-kata Siangkoan In itu jelas ditujukan kepada Nyo Lian-ting, sudah tentu dia tidak tahu sama sekali, sebaliknya dia malah menanggapi dengan tertawa, "Bagus, bila semua saudara dalam agama bisa mengikuti tekad Siangkoan-yusu ini tentu tiada hal yang tak bisa diatasi. Tentunya Siangkoan-yusu sudah lelah, silakan pergi istirahat saja."
"Tapi, tapi hamba ingin menghadap Kaucu," kata Siangkoan In dengan bingung.
"Kaucu sangat sibuk, mungkin tiada tempo buat menerima kau," ujar Nyo Lian-ting.
Dari sakunya Siangkoan In lantas merogoh keluar belasan butir mutiara, Nyo Lian-ting didekati dan dibisiki, "Nyo-congkoan, belasan biji mutiara ini adalah hasil sambilanku dalam dinas luar kali ini, keseluruhannya sekarang kupersembahkan kepada Nyo-congkoan dengan harapan sudilah Nyo-congkoan menghadapkan hamba kepada Kaucu. Bila Kaucu senang hati, bisa jadi beliau akan menaikkan pangkat hamba, bila demikian tentu takkan kulupakan pula bantuan Nyo-congkoan."
"Ah, orang sendiri, mengapa sungkan-sungkan begini," ujar Nyo Lian-ting dengan menyengir. "Baiklah kuterima. Terima kasih ya."
Tiba-tiba ia pun membisiki Siangkoan In, "Di hadapan Kaucu nanti tentu akan kubujuk agar kau diangkat menjadi Kong-beng-cosu."
Berulang-ulang Siangkoan In lantas memberi hormat, katanya, "Bila jadi, selama hidupku takkan lupa atas budi kebaikan Kaucu dan Nyo-congkoan."
"Silakan kau tunggu sebentar di sini, bila Kaucu sudah longgar temponya segera kau akan dipanggil," kata Nyo Lian-ting kemudian sambil memasukkan mutiara-mutiara tadi ke sakunya.
Siangkoan In mengiakan beberapa kali, lalu munduk-munduk beberapa langkah ke belakang. Nyo Lian-ting sendiri lantas berbangkit dan masuk ke dalam dengan lagak tuan besar.
Selang agak lama pula, seorang dayang baju ungu tampak keluar, lalu berseru lantang, "Kaucu mahaagung, mahabijaksana, memerintahkan Siangkoan In menghadap dengan membawa tawanannya."
Siangkoan In mengucapkan terima kasih dengan istilah-istilah sanjung puji pula. Lalu mengikuti dayang itu ke ruangan dalam dengan disusul oleh Yim Ngo-heng bertiga yang mengusung Lenghou Tiong.
Sepanjang jalan di serambi samping penuh berbaris busu-busu berseragam dan bersenjata tombak, seluruhnya mereka melintasi tiga buah pintu besi, kemudian menyusuri lagi sebuah serambi panjang yang dijaga oleh beberapa ratus busu-busu yang berbaris di kanan-kiri dengan senjata golok mengilat dan disilangkan ke atas. Rombongan Siangkoan In menerobos lewat di bawah barisan golok itu dengan perasaan kebat-kebit.
Tokoh-tokoh yang sudah kenyang asam garam Kangouw seperti Yim Ngo-heng, Hiang Bun-thian, dan lain-lain itu sudah tentu memandang sebelah mata terhadap barisan busu begitu. Hanya saja mereka sangat mendongkol karena merendahkan diri hanya untuk bisa berhadapan dengan Tonghong Put-pay.
Habis menerobos barisan golok itu, sampailah di depan sebuah pintu yang bertirai tebal. Siangkoan In menyingkap tirai tebal itu terus melangkah ke dalam. Sekonyong-konyong sinar putih gemerdep, delapan buah tombak dari kanan-kiri menusuk ke arahnya.
Lenghou Tiong terkejut, segera ia meraba pedang yang tersembunyi di bawahnya. Tapi dilihatnya Siangkoan In berdiri diam saja tanpa melawan. Sebaliknya lantas berseru lantang, "Hamba Kong-beng-yusu Siangkoan In mohon bertemu Kaucu yang mahaagung dan mahabijaksana!"
Terdengar di dalam istana itu ada orang berseru, "Masuk!"
Serentak kedelapan busu bertombak itu lantas menyingkir.
Baru sekarang Lenghou Tiong paham, rupanya tusukan tombak-tombak tadi hanya untuk menakut-nakuti saja, bila yang datang memang orang bermaksud jahat tentunya akan terus menangkis tusukan-tusukan itu dan terbukalah kedoknya.
Setelah masuk balairung itu, Lenghou Tiong terkesiap oleh panjangnya balairung yang luar biasa itu. Lebar balairung itu paling-paling cuma sepuluh meter, tapi panjangnya adalah ratusan meter. Di ujung balairung sana terbangun sebuah podium dan di atasnya berduduk seorang tua berjenggot. Tentunya dia Tonghong Put-pay adanya.
Balairung itu tidak berjendela, hanya pada pojok depan dipasang lilin besar, tapi di samping mimbar yang diduduki Tonghong Put-pay itu ternyata dua onggok api unggun yang sebentar terang sebentar gelap, karena jaraknya cukup jauh, cahaya yang gelap-gelap terang itu membikin orang sukar melihat jelas wajah sang kaucu.
Tidak jauh di bawah podium itu Siangkoan In lantas berlutut dan menyembah dengan kata-kata sanjung puji yang seram-seram.
Mendadak dayang di samping Tonghong Put-pay membentak, "Di hadapan Kaucu mengapa anak buahmu yang keroco itu tidak berlutut?"
Yim Ngo-heng adalah seorang yang tahan uji, ia pikir belum tiba saat yang menguntungkan, kalau untuk sementara ini aku berlutut padamu apa halangannya" Sebentar lagi aku yang akan membeset kulitmu dan membetot tulangmu. Karena itu segera ia berlutut dan menunduk. Melihat kepalanya sudah berlutut, dengan sendirinya Hiang Bun-thian dan Ing-ing lantas ikut saja.
"Mungkin anak buah hamba ini menjadi lupa daratan karena diberi kesempatan melihat wajah emas Kaucu sehingga tidak segera berlutut, harap Kaucu memberi ampun," kata Siangkoan In.
Saat itu Nyo Lian-ting berdiri di samping Tonghong Put-pay, terdengar ia berkata, "Cara bagaimana Kah-cosu bertempur dengan musuh dan akhirnya gugur, coba ceritakan."
"Kah-cosu dan hamba merasa utang budi kepada Kaucu, kini kami diberi tugas penting, betapa pun kami telah bertekad akan melaksanakannya dengan baik...."
Mendengar ocehan Siangkoan In yang memuakkan itu, diam-diam Lenghou Tiong menggerutu.
Pada saat itulah tiba-tiba di belakangnya ada orang berteriak keras, "Tonghong-hengte, apakah benar kau memerintahkan orang-orang ini untuk merangkap diriku?"
Suara orang ini serak-serak tua, tapi penuh kekuatan lwekang sehingga suaranya berkumandang dan memekak telinga. Lenghou Tiong menduga orang ini tentulah Hong-lui-tongcu Tong Pek-him adanya.
Benar juga, segera terdengar Nyo Lian-ting menanggapi, "Tong Pek-him, di balairung Seng-tek-tong ini mana boleh kau gembar-gembor sesukamu" Di hadapan Kaucu mengapa pula kau berdiri tanpa berlutut" Berani pula kau tidak menyebutkan keagungan Kaucu?"
Tong Pek-him mendongak dan bergelak tertawa, katanya, "Waktu aku bersahabat dengan Tonghong-hengte mana ada seorang macam kau" Ketika aku dan Tonghong-hengte sama-sama merasakan pahit getir dalam perjuangan mungkin orang macam kau belum lagi dilahirkan, masakan kau ada hak untuk bicara dengan aku?"
Lenghou Tiong coba melirik ke sana, dilihatnya orang tua itu mendelik dengan beringas, sikapnya menakutkan. Kaki dan tangannya diborgol semua dengan rantai yang sangat panjang. Rupanya saking gusarnya dia bicara sehingga kedua tangannya ikut bergerak, maka menerbitkan suara gemerencing dari rantai yang diseretnya itu.
Tadinya Yim Ngo-heng hanya berlutut di tempatnya tanpa bergerak, kini demi mendengar suara gemerencingnya rantai, seketika terbayang kembali pengalaman sendiri ketika disiksa di kamar tahanan di bawah danau di Hangciu dahulu. Darahnya bergolak hebat, badannya sampai gemetar, segera ia bermaksud mengambil tindakan.
Namun lantas terdengar Nyo Lian-ting lagi bicara pula, "Di hadapan Kaucu juga berani berkata demikian, kau benar-benar terlalu kurang ajar. Secara diam-diam kau bersekongkol dengan pengkhianat besar Yim Ngo-heng, apakah kau masih tidak menyadari dosamu ini?"
"Yim-kaucu adalah ketua agama kita yang lampau, beliau mendapat penyakit berat sehingga terpaksa harus mengundurkan diri dan segala tugas pimpinannya telah diserahkan kepada Tonghong-hengte, mana boleh kau mengatakan Yim-kaucu adalah pengkhianat besar?" bantah Tong Pek-him. "Tonghong-hengte, coba kau katakan sendiri yang tegas, benarkah Yim-kaucu mengkhianati agama kita" Apa dasarnya?"
"Setelah penyakit Yim Ngo-heng sembuh, seharusnya dia cepat kembali ke dalam agama, tapi dia malah mendatangi tokoh-tokoh Siau-lim, Bu-tong, Ko-san, dan lain-lain untuk berkomplotan dengan mereka, apalagi perbuatannya ini kalau bukan pengkhianatan?" jawab Nyo Lian-ting. "Lebih jauh kenapa dia tidak lantas menghadap Kaucu serta menerima petunjuk-petunjuknya?"
"Hahahaha!" Tong Pek-him terbahak-bahak. "Yim-kaucu adalah bekas atasan Tonghong-hengte, baik ilmu silatnya maupun pengetahuannya belum tentu di bawah Tonghong-hengte, betul tidak Tonghong-hengte?"
Tapi Nyo Lian-ting lantas membentak, "Jangan kau berlagak lebih tua di sini, jika kau mau mengakui dosamu, besok di hadapan sidang terbuka pimpinan mungkin Kaucu masih mau mengampuni dosamu. Kalau tidak, hm, bagaimana akibatnya tentu kau tahu sendiri."
"Haha, orang she Tong sudah mendekati 80 tahun, memangnya aku sudah bosan hidup, mengapa aku mesti takut akibat apa segala?" jawab Tong Pek-him dengan tertawa.
"Bawa maju orang-orangnya!" mendadak Nyo Lian-ting berteriak.
Dayang baju ungu mengiakan, lalu terdengarlah suara gemerencing yang ramai, belasan orang digiring ke dalam balairung, ada laki-laki ada perempuan, ada orang tua, ada anak-anak pula.
Begitu melihat orang-orang itu, seketika air muka Tong Pek-him berubah hebat, bentaknya dengan murka, "Nyo Lian-ting, kenapa kau menangkap anak-cucuku?"
Suaranya yang keras menggelegar anak telinga semua orang sehingga mendengung-dengung.
"Coba sebut Tong Pek-him, bagaimana bunyi pasal ketiga petuah Kaucu?" kata Nyo Lian-ting.
"Fui!" Tong Pek-him meludah, tapi tidak menjawab.
"Coba siapa di antara anggota keluarga Tong yang mengetahui pasal ketiga petuah Kaucu, coba uraikan!" seru Nyo Lian-ting.
Seorang anak laki-laki lantas berkata, "Pasal ketiga petuah Kaucu mahaagung berbunyi: Terhadap musuh harus kejam, babat rumput harus bersama akar-akarnya, laki-perempuan tua-muda, tidak seorang pun ditinggalkan hidup."
"Bagus, bagus! Anak manis, apakah kesepuluh pasal petuah Kaucu dapat kau hafalkan di luar kepala?" tanya Nyo Lian-ting.
"Dapat!" jawab anak kecil itu. "Satu hari tidak menghafalkan petuah Kaucu rasanya tidak dapat tidur dan tidak dapat makan. Setelah baca petuah Kaucu seketika bersemangat dan giat belajar."
"Bagus. Siapa yang mengajarkan hal-hal demikian padamu?"
"Ayah!" jawab si anak.
"Siapa dia?" tanya Lian-ting pula sambil menunjuk Tong Pek-him.
"Kakek!" "Kakekmu tidak mau membaca petuah Kaucu, tidak mau menurut perintah Kaucu, malahan membangkang pada Kaucu, bagaimana menurut kau?"
"Kakek bersalah," jawab bocah itu. "Setiap orang harus memahami ajaran Kaucu dan menurut segala perintah Kaucu."
"Nah, kau dengar sendiri," kata Nyo Lian-ting terhadap Tong Pek-him, "cucumu sekecil itu saja bilang begitu, sebaliknya kau sudah tua bangka, mengapa kau malah berbuat tidak senonoh?"
"Aku hanya bicara sebentar dengan orang she Yim dan she Hiang, mereka minta aku melawan Kaucu, tapi aku menolak ajakan mereka," kata Tong Pek-him. "Selamanya Tong Pek-him bicara apa adanya dan tidak pernah berbuat sesuatu yang merugikan orang lain."
Rupanya dia menyaksikan belasan anggota keluarganya akan ikut menjadi korban, maka nada bicaranya menjadi agak lunak.
"Jika sejak tadi-tadi kau bicara demikian tentu urusan menjadi lebih mudah diselesaikan," ujar Nyo Lian-ting. "Dan sekarang kau sudah mengakui kesalahanmu?"
"Aku tidak bersalah, aku tidak antiagama kita, lebih-lebih tidak anti-Kaucu," jawab Tong Pek-him.
"Kalau kau tetap tidak mau mengaku salah, terpaksa aku tak bisa menolong kau," ujar Nyo Lian-ting dengan menghela napas. "Penjaga, bawalah anggota keluarganya ke tempat tahanan, mulai sekarang dilarang memberikan makanan dan minuman sedikit pun juga."
"Nanti dulu!" teriak Tong Pek-him keras-keras. Lalu katanya kepada Nyo Lian-ting, "Baik, aku mengaku salah. Untuk itu aku mohon Kaucu memberi ampun."
"Hm, tadi kau bilang apa" Kau bilang pernah sehidup-semati dengan Kaucu, saat mana aku saja belum dilahirkan. Betul tidak?" tanya Nyo Lian-ting.
Dengan menahan perasaannya Tong Pek-him menjawab, "Ya, aku salah omong."
"Kau salah omong" Hanya begini saja persoalannya?" kata Nyo Lian-ting dengan menjengek. "Di hadapan Kaucu mengapa kau tidak berlutut?"
"Kaucu dan aku adalah saudara angkat, selama puluhan tahun kami berdiri dan berduduk sama tingginya," jawab Tong Pek-him. Mendadak ia berseru pula, "Tonghong-hengte, kau menyaksikan sendiri Laukoko (saudara tua) disiksa orang habis-habisan, mengapa kau tidak buka mulut, tidak bicara sepatah kata pun" Jika kau ingin Laukoko berlutut padamu, soalnya sangat gampang asalkan bicara sepatah kata saja, biarpun mati bagimu sedikit pun Laukoko takkan mengernyitkan kening."
Tapi Tonghong Put-pay masih terus duduk tak bergerak, seketika suasana di balairung menjadi sunyi senyap, pandangan semua orang dialihkan kepada Tonghong Put-pay untuk mendengarkan apa yang akan dikatakannya. Akan tetapi sampai sekian lamanya dia tetap diam saja.
"Tonghong-hengte," Tong Pek-him berteriak pula, "selama beberapa tahun ini betapa sukarnya aku ingin menemui kau. Kau telah mengasingkan diri untuk meyakinkan "Kui-hoa-po-tian", tapi apakah kau tahu para kawan lama di dalam agama telah banyak meninggalkan kita, bencana besar sedang mengancam agama kita?"
Tetap Tonghong Put-pay diam saja. Maka Tong Pek-him berseru lagi, "Asal kau sendiri yang omong, segera aku akan berlutut padamu. Tidak menjadi soal kau menyiksa aku, bahkan membunuh aku sekalipun, tapi Tiau-yang-sin-kau yang namanya mengguncangkan Kangouw selama beratus-ratus tahun segera akan hancur, untuk ini kau harus bertanggung jawab dan akan berdosa besar. Mengapa kau diam saja" Apakah kau kena penyakit dalam meyakinkan ilmu sehingga tak bisa bicara?"
Bab 107. Rahasia Pribadi Tonghong Put-pay
"Ngaco-belo!" bentak Nyo Lian-ting. "Berlututlah kau!"
Dua dayang segera menendang belakang dengkul Tong Pek-him untuk memaksanya tekuk lutut. Tapi mendadak terdengar suara jeritan dua kali, kedua dayang itu terpental sendiri ke belakang dengan tulang kaki patah dan muntah darah. Sungguh hebat lwekang Tong Pek-him itu.
"Tonghong-hengte, aku ingin mendengar satu patah katamu saja, habis itu mati pun aku rela," seru Tong Pek-him pula. "Sudah lebih tiga tahunan kau tidak pernah bersua, para saudara dalam agama sudah sama curiga."
Nyo Lian-ting menjadi gusar, dampratnya, "Curiga apa?"
"Mencurigai kemungkinan Kaucu telah dikerjai orang, dibikin bisu," jawab Tong Pek-him dengan suara keras. "Sebab apa dia tidak bicara" Ya, sebab apa dia tidak bicara?"
"Mulut emas Kaucu masakah sembarangan digunakan bagi kaum pengkhianat macam kau?" jengek Nyo Lian-ting. "Bawa pergi dia, penjaga!"
Delapan dayang baju ungu serentak mengiakan dan berlari maju.
Mendadak Tong Pek-him berteriak-teriak, "Tonghong-hengte, ingin kulihat siapakah yang membikin kau tak bisa bicara?"
Berbareng ia terus memburu ke arah Tonghong Put-pay sambil menyeret rantai borgol di kaki dan tangannya.
Melihat sikap Tong Pek-him yang gagah berwibawa itu, para penjaga menjadi takut untuk mendekati dia.
"Bekuk dia! Bekuk dia!" teriak Nyo Lian-ting.
Tapi para busu hanya berteriak-teriak saja di ambang pintu dan tidak berani masuk ke balairung. Maklum, menurut peraturan tiada seorang pun anggota Tiau-yang-sin-kau diperbolehkan masuk ke balairung itu dengan membawa senjata, yang melanggar dihukum mati.
Melihat gelagat kurang baik itu, tertampak Tonghong Put-pay berdiri dan bermaksud masuk ke ruang belakang.
"Jangan pergi dulu, Tonghong-hengte, jangan pergi!" seru Tong Pek-him sambil memburu maju lebih cepat. Namun kedua kakinya terborgol, gerak-geriknya tidak leluasa, saking nafsunya dia memburu maju, mendadak ia kesandung dan jatuh terguling. Tapi sekaligus ia berjumpalitan terus menubruk pula ke depan sehingga jaraknya dengan Tonghong Put-pay sekarang tinggal belasan meter saja.
Nyo Lian-ting menjadi khawatir, teriaknya, "Pengkhianat! Kurang ajar! Berani kau mencelakai Kaucu?"
Melihat gerak-gerik Tonghong Put-pay yang rada aneh dan serbamencurigakan itu, Yim Ngo-heng tidak tinggal diam, ketika melihat Tong Pek-him tidak mampu memburu ke depan lagi, segera ia merogoh keluar tiga buah mata uang terus disambitkan ke arah Tonghong Put-pay.
Segera Lenghou Tiong lantas melompat bangun, dari dalam kain pembalutnya pedang lantas dilolos keluar. Hiang Bun-thian juga lantas mengeluarkan senjata yang disembunyikan di atas usungan dan dibagikan kepada Ing-ing serta Yim Ngo-heng. Menyusul ia menarik sekuatnya, rupanya tali yang dipakai mengikat rangka usungan adalah sebuah cambuk. Dengan ginkang yang tinggi mereka berempat lantas menyerbu maju.
Kesatria Berandalan 1 Kemelut Di Ujung Ruyung Emas Karya Khu Lung Seruling Perak Sepasang Walet 13
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama