Ceritasilat Novel Online

Iblis Sungai Telaga 1

Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung Bagian 1


" Iblis Sungai Telaga Karya : Khu lung Jilid 1 "Benar kalau kau bilang dia berbakat sangat sempurna,
"bilangnya" Walaupun demikian, didalam waktu sepuluh
tahun, ada sangat sulit baginya untuk mencapai kepandaian
itu. Lebih benar dibilang bahwa di dalam segala hal dia
menemui hal yang kebetulan, dia telah menemui jodohnya.
Seumur aku si pengemis tua tidak percaya tentang nasib
atau peruntungan, tetapi melihat gerak geriknya Tek Cio si
imam hidung kerbau selama setahun ini, diam-diam aku harus
mengakui kelihaiannya. Didalam sepuluh tahun Tek Cio dapat
membuat It Hiong menjadi seperti sekarang ini, itulah jasanya
si hidung kerbau, jasa utama.
Cuma satu hal jangan dilupakan hal penemuannya yang
diluar dugaan. Pada sepuluh tahun terdahulu di telaga Po
Yang Ouw di kay hong secara tiba-tiba anak Hiong dapat
minum darahnya seekor belut emas yang usianya mungkin
sudah seribu tahun. Khasiat darah itu membuat dia kuat dan
ulet luar biasa melebihi hasilnya latihan sepuluh tahun.
Lalu, dia berentengan memperoleh guru pandai dalam
dirinya Tek Cio si hidung kerbau itu yang mewariskan padanya
ilmu pedang Khiu Bun Patkwa Kiam yang telah diciptakan dan
diyakininya separuh seumur hidupnya, sedangkan dalam ilmu
ringan tubuh, dia mewariskan Loncatan tenaga Mega yang
luar biasa itu. Selama ini, menurut penglihatanku, Tek Cio memperoleh
kemajuan pesat, hingga dia mungkin menjadi seperti dewa
atau sedikitnya separuh dewa. Belakangan, anak Hiong diajari
juga ilmu tenaga dalam Hau Bun Sian Thian Kiekang, ilmu
mana tinggal dia mematangkannya. Benar-benar sekrang
sekarang ini sampai dimana sudah kemajuan anak Hiong aku
tidak tahu!" Pak Cu menjadi kagum sekali. Dia tertawa. "Kemarin aku si
pendeta tua menyaksikan perlawanan niocu terhadap Beng
Leng Ciu jiu," katanya. "Aku melihat didalam halnya tenaga
dan kecerdasan, niocu tak berada di bawah angin. Maka itu,
melihat dari kepandaian niocu, aku merasa semua tujuh puluh
dua ilmu silat Siauw Lim Sie tak akan dapat dibandingkan
dengan kepandaian Tek Cio Sengjin."
Im Gwa Sian menggeleng kepala. "Itulah belum tentu"
bilangnya. "Mengenai Tek Cio si imam hidung kerbau, dia
memang luar biasa. Selama beberapa puluh tahun dia tak
pernah meninggalkan puncak Pay Im Nia di Kim Hoa San.
Mungkin dia sedang meyakinkan sesuatu yang lainnya lagi.
Pelajaran Hian bun Sian Thian Khiekang itu mirip ilmu
semedhi. Untuk mempelajari itu perna anak Hion menyekap
diri tiga tahunlamanya. Diwaktu begitu dia tak dapat diganggu
sampai aku sendiri si pengemis tua dilarang menemuinya.
Karena itu pernah aku memikir mungkin si imam hidung
kerbaru lagi mempelajari ilmu sesat."
Pek Cui tertarik hati, ia menghela naps kagum. "Tak perduli
dia mempelajari ilu ssat atau bukan" katanya. "tetapi dia telah
dianggap sebagai orang pandai dan gagah luar biasa yang
nomor satu di jaman ini, sebutan itu tak memalukan dan
mengecewakannya. Menyesal sekali lolap tidak pernah
mempunyai ketika akan bertemu muka dengan sengjin, maka
kalau kelak dikemudian hari lolap beruntung menemuinya,
pasti akan lolap menghindari ............(tidak jelas) tujuh puluh
dia ilmu silat partai itu memohon pengajarannya!"
Kata-kata "mohon pengajaran" itu diartikan dalam artian
umum, itu dimaksudkan menantang secara terhormat untuk
bertanding. In Gwa Sian tertawa mendengar suaranya pendeta itu.
"Tek Cio si hidung kerbau itu sangat cerdas dan banyak
pengalamannya" katanya. "Dapat dimengerti bahwa tak
mudah untuk dia memperoleh semua kepandaiannya itu.
Setahuku dia telah menyekap diri di dlam gunung Kui Hoa San
buat beberapa puluh tahun, tak pernah dia turun gunung
umpama kata sekalipun satu tindak. Selama tigapuluh tahun,
dua kali seudah dia menutup diri setiap kalinya buat beberapa
tahun lamanya. Malah dia tak pernah meninggalkan kamar
samadhinya itu, yang sekrang menjadi kamar obatnya"
Pek Cui tersenyum. "Kami dari pihak siau Lim Sie, kamipun
mempunyai kebiasaan menutup diri itu" katanya, "kami cuma
tidak membutuhkan waktu demikian lama seperti yang
diperbuat Tek Cio Totiang"
In Gwa Sian menggeleng kepala, memotong pendeta itu,"
Kita tunda halnya Tek Cio itu, tunggu saja nanti sampai kau
berhasil menemuinya. Sekarang ialah soal terpenting.
Bagaimana kalian hendak mengurus itu?"
"Apakah kau menghendaki kami turut denganmu, untuk
kita bersama-sama melepas undangan umum kepada seluruh
kaum Rimba Persilatan guna mengajak mereka berangkat
keluar lautan?" tanya Pak Cui.
"Tak usah!" sahut si pengemis tertawa. "Soal itu tak prnah
lepas dari hatiku si pengemis tua. Asal kau mupakat, segera
kita mengirim orang menyampaikan surat undangan. Jika kau
tidak setuju, sekarang juga aku si pengemis tua hendak
berpamitan darimu!" "Lolap meminta Tio Sicu datang kemaripun guna
membicarakan urusan itu." berkata Pek Cui. "Kawanan
bajingan dari luar lautan itu datang mengacau wibawa kami
disini tanpa alasan, hingga mereka mendatangkan
malapetaka. Perbuatannya itu tidak dapat dibiarkan saja.
Lolap telah menghimpun para Tianglo dari Tatmo Ih dan Kam
Ih, begitu kami berbicara putusan telah lantas diambil.
"Jika demikian, kita mesti bekerja cepat!" berkata In Gwa
Sian yang dalam hal ini hilang kesabarannya. Dia memotong
kata-kata orang sebelum Pek Cui bicara habis. "Sekarang juga
kita bekerja, kita menulis dan mengirim surat undangan,
bagaimana?" "Perihal surat undangan telah lolap memerintahkan lekas
ditulisnya," berkata pula si pendeta, "Soalnya ialah kita harus
memilih siapa-siapa saja yang di undang."
Itulah benar. In Gwa Sian setuju, maka itu mereka lantas
memikirkan kawan dan kenalan untuk dipilih siapa yang
kiranya pantas diundang. orang itu harus lihai dan sepaham,
tak dapat sembarang orang mengingat lihainya pihak lawan.
Pembicaraan atau pemikiran itu meminta waktu, sebab
nama-nama yang disebut harus dipilih lebih jauh, selesai
memilih orang, nama-nama mereka itu lantas ditulis, tak
diduganya Pek Cui mengajukan duapuluh orang pendeta muda
dan lincah menyiarkan kesegala penjuru. Di dalam surat
undangan disebut tanggal bulannya, yang tinggal dua bulan
lagi. Seperginya para pendeta pesuruh itu, barulah lega hatinya
In Gwa Sian. Tadinya dia tegang sendiriny akarena dia tak
sabaran, sekarang dapat dia tertawa.
"Tadi malam aku menempur It Yap Tojin si imam
campuraduk diatas puncak Siauw SIt Hong," katanya. "Kami
mengadu tangan hingga tiga kali. Kesudahannya aku kalah
satu. Walaupun demikian, si hidung kerbau tak menang
seluruhnya. Kami sampai kehabisan tenaga, maka itu kami
lantas pada duduk bersila untuk beristirahat sekian lama.
Ketika itu aku gunakan meminta ia mengundangnya turut
pergi ke luar lautan guna menemui para bajingan!"
"Habis, dia menerima baik undangan itu atau tidak?" Pek
Cui tanya lekas. "Jjika Heng San Kiam-kek memberikan
persetujuan tak sukar buat membasmikawanan bajingan
itu......" In Gwa Sian tertawa sebelum dia menjawab. Kata dia," Si
imam campur aduk itu masih penasaran atas kekalahannya
dari Tek Cio diwaktu mengadu pedang, dia tidak menjawab
menerima baik undanganku itu, dia cuma tertawa dingin
beberapa kali, terus saja dia mengeloyor pergi turun dari
puncak!" "Ah!" Pek cui menghela nafas," Manusia umumnya
menganggap dalam hidupnya ada empat buah godaan yang
paling sukar diatasi, ialah harta, paras elok, nama, dan
kedudukan tinggi, tetapi diantara itu menurut pandangan
lolap, nama lah yang paling banyak mencelakai orang.
Demikian dengan It Yam Tojin. Dia dipengaruhi dengan
kekalahannya dari Tek Cio Sengjin itu, dia merasa namanya
runtuh, maka dia menjadi penasaran, karenanya ia sampai
melupakan kesulitan dan bahaya yang mengancam
keselamatannya banyak sesama rekan kaum Rimba
Persilatan....." Mendadak pendeta ini berhenti bicara, terus dia tertawa
nyaring. "Amida Buddha!" pujinya. "Ah, aku si pendeta jadi berpikir
sebagai manusia seumumnya!...."
Mendengar kata-kata si pendeta, hatinya It Hiong gentar
sendirinya. Mendadak ia ingat sesuatu, maka juga ia kata
didalam hatinya: "Gak Hong Kun tergila-gila terhadap kakak
Giok Peng, dia bagaikan orang edan dilihat dari tingkahnya itu
dia seperti juga bersedia mengorbankan jiwa demi sang cinta!
Aku bagaikan merampas kekasihnya itu, aku bersalah. Pantas
dia sangat membenci aku!...."
Memikir begini tawarlah hatinya si anak muda. Ia tetap
merasa sulit... Pembicaraan telah selesai sampai disitu. In Gwa Sian
merasa bahwa ia telah beristirahat cukup maka dia berpamit
diri. Dia masih letih perlu beristirahat! It Hiong pun
menggunakan saat itu untuk mengundurkan diri hanya ia
menggunakan kesempatan terlebih jauhnya. Ia berdusta
bahwa keluar wilayah kuil demi untuk pergi ke tempatnya
Kiauw In dan Giok Peng. Tatkala itu kedua nona sedang duduk berdua saja depan
berdepan di depannya di atas meja terletak Keng Hong Kiam
pedang mustika Mengejutkan Pelangi. Nampaknya kakak
beradik itu sedang asyik sekali. Sebab mereka sangat akur
satu dengan yang lain. Walaupun demikian mereka segera
dapat melihat ketika It Hiong muncul diambang pintu kamar
mereka. Pemuda itu melangkah dengan perlahan berindapindap.
Kiauw In melirik dan tertawa. "Mau apa kau datang secara
sembunyi-sembunyi bagaikan bajingan?" tegurnya. It Hiong
tertawa. "Kalian tengah membicarakan urusan apa?" dia balik
bertanya. "Agaknya kalian asyik sekali! Dapatkan aku ini turut
mendengarnya?" Giok Pek melirik, nampak dia rada jengah.
Kiauw In menunjuk kepada pedang mustika diatas meja.
"Apakah artinya ini ?" tanyanya. "Sampai pun senjata tak
dikehendakinya." "Aku menyerahkan itu kepada kakak Giok Peng dengan
permintaan ia tolong menyimpan dan menjaganya," sahutnya.
"Siapakah yang bilang aku tidak menghendakinya ?"
Pemuda ini bersikap wajar.
Kiauw In mengawasi, Giok Peng sebaliknya menghela
napas. "Aku tahu, di dalam hatimu, kau sangat penasaran
terhadapku," katanya. "Dengan kakak In ini, aku justru tengah
membicarakannya !" Si pemuda menggeleng kepala.
"Bukankah urusan itu urusan umum ?" katanya sambil
tertawa. "Apakah yang menarik dalam urusan ini " Mana dia
Gak Hong Kun ?" "Dia sudah pergi !" sahut nona Pek.
"Kenapa kau tak mengajaknya datang kemari untuk
berduduk dan memasang omong " Terhadap kita, terhadapmu
dan terhadapku, dia telah melepas budi besar."
"Hm !" si nona memperdengarkan suara penasaran atau
mendongkol. "Tadinya aku menganggap dia orang baik-baik
maka aku suka bergaul dengannya sampai akhirnya aku
bentrok dengan pemuda seh Gak itu, yang marah mengharap
cintanya, karena ia menganggap itu tak tepat." Maka ia
meneruskan, "Siapa tahu, terhadapmu dia mendendam
kebencian yang sangat."
It Hiong menghela napas panjang.
"Itulah sudah sewajarnya." katanya menyesal. "Mana dapat
dia dipersalahkan atau disesalkan."
Giok Peng melongo. Kata-kata si pemuda itu diluar
dugaannya. "Apakah maksudmu ?" ia tegaskan
It Hiong tertawa. "Kakak, jangan kau banyak pikiran itu !" katanya. "Aku Tio
It Hiong, aku bukannya si orang yang cupat pandangannya.
Mulanya dia baik sekali padamu lantaran ada aku, dia menjadi
terluka hatinya dan berduka karenanya. Selama tahun-tahun
yang lewat, tak pernah dia melupakan kau. Seharusnya dia
membencimu tetapi karena cintanya yang sangat, itu tak
dapat dia lakukan. Karena itu ia berbalik membenciku !"
Parasnya nona Pek menjadi pucat, lalu berubah menjadi
merah. "Apakah kau bilang ?" tegurnya keras. "Apakah kau ngaco
belo ?" It Hiong tidak bergusar. Sebaliknya dia tertawa.
"Kakak, sabar" katanya. "Kau dengar dahulu perkataanku.
Tak perduli bagaimana perasaan atau kesanmu terhadap Hong
Kun, dia sebaliknya sangat menyintaimu hingga dia tersesat
dan tak dapat sadar. Bicara dari asal mulanya, memang aku
yang bersalah. Jika aku tidak bertemu denganmu, tidak nanti
Gak Hong Kun menjadi gagal dalam percintaannya...."
Giok Peng mendongkol, tetapi toh dia berduka.
"Mengapa kau tidak mau berkata bahwa aku telah
memeletmu membikin kau berbuat keliru dan menyesal "..."
katanya, airmatanya terus turun meleleh.
It Hiong bingung. "Kakak !" katanya. "Kakak jangan kau salah mengerti ! Aku
tahu kau mencintai aku dengan sangat."
Mendengar sampai disitu, Kiauw In membuat main bibirnya
yang dimoncongkan. Ia lantas campur bicara.
"Tak dapatkah kau tidak mempupuri mukamu ?" tanyanya.
"Siapa sih yang mencintai kau dengan sangat ?"
Giok Peng mandi airmata, tetapi mendengar kata-katanya
Kiauw In, dia tertawa. It Hiong menghela nafas. Ia tidak melayani nona Cio.


Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hanya dengan sabar ia kata, "Aku tak tahu dosa bagaimana
yang telah aku lakukan sebelum aku terlahir ke dunia, maka
juga sekarang ini kakak berdua telah begini mencintai aku
hingga cinta itu setebal berlapis-lapis gunung..."
Kiauw In tersenyum, ia melirik kepada Giok Peng.
"Adik, kau dengar !" katanya. "Lihat makin lama kulit muka
dia makin tebal ! Dengan kata-kata apapun dia dapat
keluarkan ! Rupanya dia menganggap bahwa kita sangat
menyintai dia...." Giok Peng memupus air mata dipipinya.
"Ya, kulit muka dia sekarang berobah setebal tembok !"
sahutnya. "Makin dia bicara makin tebal jadinya."
It Hiong tersenyum. Ia mengawasi kedua nona itu
bergantian. "Jika bukannya aku yang melakukan perampasan, tidak
nanti Gak Hong Kung membenci aku" katanya. "Biar
bagaimana aku toh merasa malu sendiri. Itulah sebabnya
kenapa terhadap dia, aku tidak membenci sedikit juga. Kakak,
jika Tio It Hiong bukan bicara dengan suara hati nuraninya,
dia pasti bakal terkutuk Thian."
Giok menghela napas. Ia pun merasa bagaimana Hong Kun
senantiasa bersikap baik terhadapnya.
"Apakah maksudmu maka kau bicara begini rupa kepadaku
?" ia tanya. "Aku kurang mengerti...."
Itulah pertanyaan yang tak disangka-sangka It Hiong.
Sejenak ia bungkam, tak dapat ia menjawabnya.
Giok Peng menoleh ke pembaringan dimana Haw Yang
sedang tidur nyenyak Ia tertawa hambar.
"Jangan berpura pintar !" katanya. "Jangan kau sangka
apa-apa yang kau pikir itulah tepat. Memang terhadapku Hong
Kun belum pernah melampauinya, maka juga aku terima
undangannya pergi ke lembah itu, buat berbicara sekian lama.
Perbuatanku itu memang kurang tepat, jangan kata kau yang
melihatnya menjadi gusar. Aku sendiri sadar akan
kekeliruanku. Tak perduli apa yang dia pikir tentang aku,
tetapi aku sendiri...."
Mendadak Nona Pek merasai mukanya panas. Mungkin
menjadi marah. Ia lantas menoleh kepada Kiauw In, untuk
berkata :" Kakak, jangan kau tertawakan aku ! Sejak masih
kecil aku biasa mengikuti ayah merantau, sendirinya tabiatku
menjadi rada berandalan dan terhadap pergaulan pria dengan
wanita, aku tak bersikap keras menurut adat istiadat seperti
kebanyakan wanita lain...."
Nona Cio tertawa. "Asal hati kita putih bersih dan lurus, tidak masalah kita
terlalu menurut kehendak adat istiadat." katanya.
Wajahnya Giok Peng suaram.
"Biar bagaimana, di satu saat itu aku lalai." bilangnya. "Aku
telah berkelakuan terlalu menuruti suara hatiku, tidak heran
apabila dia menjadi curiga atau cemburu..."
"Dengan dia" nona ini maksudkan It Hiong.
Si anak muda segera mengulap-ulapkan tangannya.
"Kakak, kau keliru !" katanya cepat. "Kenapa kau menerka
begini rupa terhadapku ?"
"Kau membuatku penasaran !"
Kiauw In melirik tajam kepada muda mudi di depannya itu,
terus ia mengawasi Giok Peng.
"Gak Hong Kun mengundang kau datang ke lembah itu,
apakah yang dia bicarakan denganmu?" tanyanya.
"Mungkinkah dia berkulit demikian tebal masih dia
membujukimu atau mendesak hendak menikahimu ?"
"Pada mulanya, dia memang masih dapat berlaku sopan
santun." sahut Nona Pek terus terang.
Sepasang alis Nona Cio bergerak.
"Lalu ?" tanyanya pula, menegaskan. "Mungkinkah dia
berani berlaku kurang ajar atau ceriwis terhadapmu ?"
"Sampai disitu, belum berani dia melakukannya." sahut
Giok Peng, "Namun kemudian kata-katanya samar-samar
mulai menjurus ke arah itu... "
Berhenti kata-katanya Nona Pek, mukanya pun menjadi
merah sekali. Dengan perlahan Kiauw In menarik napas lega.
"Dia menjemukan tetapi seorang yang mencinta," katanya
perlahan, "sedang bicara dari hal kepandaian terutama ilmu
silat, dia tak mudah dicari lawannya. Sebenarnya dia si orang
muda yang banyak nona-nona cantik mengharapinya. Dia
tampan dan gagah, cintanya pun cinta abadi. Terhadapmu,
walaupun telah lewat beberapa tahun hatinya tetap tak
berubah...." Giok Peng menggeleng dengan cepat.
"Kakak" katanya, "Kenapa kakak berkata begini " Aku
justru benci kepadanya !"
Kiauw In menengadah langit-langit rumah. Ia tertawa
hambar. "Adik, tak ada maksud menertawai kau." katanya sungguhsunguh.
"Aku bicara sejujurnya. Aku sendiri sejak kecil sekali,
aku menjadi besar diatas gunung, tak biasa aku menerima
pujian atau kekang adat istiadat. Bicara terus terang, adat
istiadat ada terlalu keras, banyak larangannya. Yang umum
atau yang paling sederhana, adalah soal pernikahan. Kaum
pria boleh beristri sampai tiga dan bergundik sampai empat.
tetapi kita kaum wanita " Kita dikekang oleh apa yang
dinamakan tiga menurun dan empat kebijaksanaan dan
lainnya. Bahkan ada yang menganggap bicara dengan
sembarang pria saja sudah tak pantas sekali. Kalau diingatingat,
kita kaum wanita sungguh dirugikan banyak !"
Mendengar kata orang-orang, It Hiong tertawa.
"Kakak berdua tenangkanlah hati kalian !" katanya. "aku
tak akan menggunakan segala aturan peradatan itu untuk
mengekang kalian berdua !"
Kiauw In menoleh kepada pemuda itu, matanya dibuka
lebar dipelototkan. "Aku bicara wajar saja ! Siapa mau bergurau denganmu ?"
katanya. It Hiong mengangkat bahunya. Ia tertawa.
"Aku juga bicara wajar sebagaimana kau" bilangnya. "Jika
kalian tak percaya aku, kakak, terserah !"
"Hm !" Giok Peng memperdengarkan suara dihidungnya.
"Kau lihat, bagaimana tampangnya ! Nampaknya dia
menganggap seperti benar ada sesuatu perbuatan kita yang
tak memuaskan padanya !"
It Hiong melihat suasana buruk baginya, tanpa ragu pula,
dengan cepat dia ngeloyor keluar !
Dengan satu gerakan tubuh yang gesit, Kiauw In lompat
maju menghadang di ambang pintu.
"Eh, kau hendak pergi kemanakah ?" tegurnya.
"Ayah menantikan aku buat satu urusan penting." si anak
muda mendusta. "Aku datang kemari melongok kalian dengan
aku mencuri waktu sedetik saja !"
"Aku tidak percaya !" Nona Cio bilang. "Kata-katamu pasti
kata-kata setan belaka !"
"Jika kau tidak percaya, bagaimana kalau kau turut aku
menemui ayahku ?" si anak muda menantang. Tak sudi ia
kalah gertak. Tapi ia bicara sembari tertawa.
"Tak apa buat aku turut pergi menemui ayahmu !" kata
pula si nona. "Kau tentunya bakal dapat upah comelan !"
It Hiong menatap kekasih yang cantik manis itu, air
mukanya berubah. "Sebenarnya," katanya sungguh-sungguh, "aku mencuri
waktu datang kemari dengan niat mengobrol dengan kalian,
siapa tahu aku justru mendatangkan kecurigaanmu..."
Kiauw In dapat melihat tampang orang bagaikan orang
yang tengah menghadapi sesuatu kesulitan, maka insyaflah ia
bahwa tadi kata-katanya rada keras. Ia memang bertabiat
halus dan luwes. Maka ia lantas tersenyum, dengan tangannya
yang lunak ia mencekal lengan anak muda itu buat ditarik.
"Mari duduk !" ia mengundang.
It Hiong tidak menentang.
"Kau bilang kau datang untuk berbicara denganku." kata si
nona. "Kenapa sebelum bicara kau sudah mau pergi pula "
Apakah kau gusar ?" Si anak muda tertawa. "Nampaknya kakak berdua gusar." sahutnya, "mana aku
berani melayani ?" Kiauw In bergerak halus menuang air teh yang ia terus
letakkan di depan orang. "Nah, kau minumlah, juga membuyarkan amarahmu"
bilangnya tertawa. "Sekarang kami bersiap mendengari apa
katamu !" dan ia duduk disisi si anak muda.
Giok Peng pun menghampiri dengan tindakan perlahanlahan
untuk duduk disebelah kanan.
It Hiong menoleh ke kiri dan kanan, hingga terbukalah
dihatinya. Karena disampingnya kiri dan kanan itu ia melihat
tampang-tampang yang manis, kalau Giok Peng elok agresif,
Kiauw In cantik luwes, lagipula disaat itu, kedua-duanya
tengah bersenyum berseri-seri, hingga kecantikannya menjadi
mentereng sekali. Atau dengan lain perkataan Kiauw In mirip
bunga teratai yang muncul di permukaan air dan Giok Peng
bagaikan bunga hoaw tau (paony) yang semua sedang mekar
semarak. Memandangi kedua nona hampir It Hiong lupa akan dirinya,
ia bagaikan tersadar kaget kapan ia mendengar tawa merdu
dari Kiauw In. "Eh, kau sedang memikirkan apa ?" tegur nona itu. "Tak
hentinya kau menoleh ke timur dan barat, apakah kau tak
kuatir nanti lehermu salah urat ?"
Anak muda itu melengak karena jengah, belum sempat ia
menjawab ia sudah mendengar suara merdu lainnya. Kali ini
Giok Peng yang tertawa dan berkata :" Nah kakak kan lihat,
ah. Sekarang dia jadi nakal dan kulitnya menjadi tebal,
walaupun kakak maki dia, mukanya tak menjadi merah!"
"Ya, memang begitu," tambahkan Nona Cio. "Kulit mukanya
makin lama makin jadi tebal !"
"Maka kalau nanti Houw Yan menjadi besar dan tingkahnya
seperti dia, akan aku hajar dia setiap hari tiga kali." kata Giok
Peng pula, tetapi dia tertawa.
It Hiong melihat ke kiri dan kanannya, ia menggelenggelengkan
kepala. "Sungguh hebat !" katanya. "Aku datang kemari untuk
berbicara dengan baik-baik dengan kalian, lantas sekarang
kalian mengganggu aku... !"
"Ha ha !" Kiauw In tertawa. "Agaknya kau telah dibikin
penasaran bukan " Nah, bilanglah apakah urusanmu itu."
It Hiong tertawa. "Telah terjadi perkembangan baru dan sangat penting"
katanya kemudian. "Pek Cut Sian an dan ayahku sudah
bekerja sama dengan mereka, mereka telah menyebar surat
undangan ke seluruh negara mengundang sesama rekan
rimba persilatan untuk nanti orang berkumpul di Tiong Gak,
buat berapa merundingkan soal menghadapi kawanan
bajingan dari luar lautan. Tanggal yang ditetapkan ialah
tanggal lima belas bulan pertama, maka juga kita masih
mempunyai waktu kira dua bulan. Karena itu kitapun tidak
dapat terus tinggal disini selama dua bulan itu."
Kiauw In berdiam, otaknya bekerja.
"Bagaimana kalau kita pulang dahulu ke Kiu Hoa San ?"
tanyanya. "Setelah tiba saatnya baru kita pergi ke tiong Gak.
Tak akan telat bukan ?"
"Waktu dua bulan sekejap saja aku sudah sampai" Giok
Peng turut bicara. "Daripada pulang ke Kui Hoa San, kita
menjadi menyia-nyiakan waktu saja. Aku pikir baiklah kita
menggunakan waktu kita guna memahamkan ilmu pedang
Thay-Kek Liang Gia Sam Cay Kiam. Nama paman ia dan Pak
Pek Cut Siansu tersohor, pasti bakal datang banyak orangorang
tersohor, dan pasti juga pertempuran bakal menjadi
dahsyat sekali, karena itu jadi ada gunanya kalau kita
sekarang melatih diri memahamkan ilmu pedang itu hingga
sempurna." Dua-dua It Hiong dan Kiauw In mengangguk. Mereka
sangat setuju dengan pikirannya Nona Pek itu.
Giok Peng puas, ia tertawa.
"Kalau begitu," katanya. "Mari kita bicara dengan paman
In, untuk memberitahukan pikiran kita ini guna memohon
paman tolong mintakan kepada Pek Cut Siansu agar kita
diberikan sebuah tempat yang tenang disini, dimana kita
dapat melatih ilmu pedang itu."
It Hiong segera berbangkit. Ia tertawa.
"Kita harus bekerja cebat, maka itu kira sekarang juga kau
mau pergi pada ayahku." katanya. "Aku juga ingin mendengar
dari ayah, ayah sudah mempunyai rencana atau belum."
Habis berkata pemuda ini segera meninggalkan sepasang
kekasihnya itu. Tiba di kamar ayahnya ia mendapati sang ayah
tengah bersemadhi. Tak mau ia mengganggu, maka ia
berdiam dipinggiran, matanya mengawasi ayah angkat itu.
In Gwan Sian duduk tegak, mukanya penuh peluh,
rambutnya sedikit bergerak-gerak. Terang sudah ia bukan
cuma tengah bersemadhi hanya ia lagi mengerahkan tenaga
dalamnya untuk menyembuhkan lukanya. Ya, luka bekas
pertempurannya dengan It Yap Tojin.
Diam-diam murid ini terkejut. Maka ia mengawasi terus.
Lewat beberapa menit maka tampak si pengemis membuka
matanya perlahan-lahan, ia berpaling hingga ia melihat anak
angkat itu. Lantas ia tertawa.
"Tenaga tangannya It Yap Tojin lihai luar biasa" kata ia.
"Kecuali gurumu maka seumur hidupku dialah lawanku satusatunya
yang sangat tangguh."
It Hiong nampak masgul, ia menghela napas perlahan.
"Ayah, apakah ayah terluka parah ?" tanyanya prihatin.
Ayah angkat itu mengangguk.
"Aku terhajar tangannya hingga aku mendapat luka di
dalam." sahutnya terus terang. "Hanya sekarang, setelah
mengerahkan tenaga dalamku, aku sudah sembuh banyak."
It Hiong melirik wajah ayahnya. Ia melihat suatu muka
yang meringis pertanda orang tengah melawan rasa nyerinya.
Kembali ia terkejut. Ia tahu baik tabiat ayahnya itu yang keras
yang tidak mau mengalah yang memandang segala apa
secara enteng saja. Bukankah sekarang ayah itu tengah
menderita dari lukanya "
In Gwa Sian melihat anaknya berdiri diam
In Gwan Sian melihat anaknya berdiri diam itu, ia dapat


Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menerka kekuatiran orang. Maka ia tertawa, walaupun
tawanya hambar. "Bukannya kau melihat bahwa hari ini
kesehatanku beda daripada hari hari biasa" Tanyanya. "Ya,
ayah," sahut anak itu jujur, "Belum pernah anak melihat ayah
menderita seperti hari ini......" In Gwa Sian menarik napas
panjang. "Ya , aku si pengemis tua, benar benar aku sudah
tua....." katanya. "Ayah terluka sedikit," kata si anak angkat, : "aku percaya
It Yap Tojin terluka juga. Ayah sudah berkelahi setengah
malam, pasti ayah letih, sudah begitu ayah menempur dia
sebagai tenaga, tidak heran apabila ayah kalah gesit. Aku
percaya jika sama sama seger, tak nanti ayah kalah dari dia."!
Mendengar kata kata anaknya itu, In Gwan Sia tertawa
bergelak. "Selama beberapa puluh tahun", katanya "kecuali gurumu ,
tidak ada orang lain juga yang membuat kau kagum dan
takluk, maka jika orang sungai telaga menyebut gurumu aku
si pengemis tua, dan It Yap si imam bulu campur aduk,
sebagai Bu Lim San Toa koy. Ialah tiga orang kosen luar biasa
rimba persilatan, tetapi dimataku, kecuali gurumu itu, aku
sendiri tidak mempercayai bahwa aku berhak atau berderajat
untuk mendapat sebutan itu, dan terhadap Hong San
Kiamkek, aku merasa lebih lebih tak puas.
Aku telah melihat dengan mataku sendiri bagaimana dia
dikalahkan oleh gurumu , sedangkan aku sendiri, melawan
gurumu itu selama tiga hari tiga malam tanpa ada yang kalah
atau menang. Baru kemudian aku merasa mungkin gurumu
sengaja mengalah padaku, tetapi mengalahnya itu aku kena
dibuat beranggapan keliru...."
Pengemis jago ini berhenti sejenak, ia menghela napas.
"Setelah kemarin malam aku bertempur melawan It Yap Si
imam bulu campur aduk itu. "ia menambahkan kemudian,
"baru insyaf bahwa aku kalah seurat......." " Tetapi ayah "
sang anak menghibur, "jangan ayah berduka karena
kegagalan ayah itu, siapa tahu jika lukanya It Yap jauh
terlebih parah daripada luka ayah ini !" Bekata begitu anak ini
merogo sakunya untuk mengeluarkan sebuah pil Pek Coa
Hoan Hun Tin. Anak ada membekal ini obat buatan guruku"
Katanya tertawa, "Maukah ayah memakannya?"
In Gwa Sian menyambuti obat itu, terus ia telan setelah
mana ia duduk terus dengan memejamkan mata dan berdiam
saja. It Hiong mengawasi ayah angkat itu, hatinya bercekat ia
mengerti lukanya ayah itu parah sekali. Dengan berhati hati ia
lari keluar kuil, untuk langsung kembali kepada kedua
kekasihnya. Kiauw In dan Giok Peng heran melihat tunangan
dia pergi dan kembali demikian cepat, bahkan mereka
mendapat tampang orang bingung dan berduka.
Mereka maju memapak. Dengan matanya yang jeli, Kiauw
In menatap anak muda itu. "bagaimana?" tanyanya perlahan,
setelah mereka sudah berdiri berhadapan dekat sekali, "kau
nampak masgul sekali, apakah kau mendapat marah dari
paman in" It Hong menggoyangkan kepala. "Bukan ,"
sahutnya " Sebenarnya , ayahku telah mendapat luka
parah......" Kiauw In terkejut, begitu pula Giok Peng,
Mereka sampai mengigil bagaikan orang kedinginan, lalu
keduanya berdiri tercengang. "Bagaimana ia terlukanya?"
Tanya mereka kemudian... Dengan wajah muram. It Hiong
mengawasi kedua nona itu. "Ayah mengadu tenaga dengan It
Yap Tojin, ia mendapat luka didalam..... " Saking terkejut dan
berkuatir, kedua nona lantas saja mengucurkan air mata.
Mereka ingat budinya pengemis tua itu, sebagai muridnya
Tek Cio Siangjin, Kiauw In tapinya dapat lebih cepat
menenangkan diri. "Adik," ia Tanya Giok Peng, "Dimanakah
kau simpan Hosin Ouw?" Giok Peng bagai dikejutkan, tanpa
menjawab pertanyaan itu, ia lari masuk ke kamarnua, hanya
sebentar ia sudah kembali bersama kotak kumalanya yang
indah. Terus tangan nya yang putih dan halus, ia angsurkan .
It Hiong mengulur tangan menyambuti obat mujarab itu, terus
ia memutar tubuh buat berlari pergi.
"Tunggu!" Kiauw In Memanggil, "Jangan kau bingung tidak
karuan!" Si nona pun melesat menghadang anak muda itu. It
Hiong heran, ia menahan diri, belum sempat ia menanya nona
itu mau apa, nona Kiauw In sudah mendahului: "Dapatkah aku
bersama adik Giok pergi menjenguk ayahmu itu ?" It Hiong
segera mengerutkan alisnya, Sejak jaman dahulu, aturan
Siauw Lim Sie keras sekali," sahutnya. "Kaum wanita terlarang
masuk keruang dalam...... tapi, kalau kalian berdua statusnya
lain, sebagai suami-isteri,
Kalian telah menolak musuh dan menolong mereka dari
ancaman musuh besar, maka itu kalau kakak berdua memaksa
mau pergi, aku percaya mereka tidak akan mencegah , hanya
inilah perbuatan memaksa, inilah kurang selayaknya. "kau
bicara banyak banyak, pulang pergi kau melarang aku turut
padamu, kata Giok Peng tak sabaran. "dalam urusan lain kita
dapat berunding tetapi dalam urusan ini, tidak! Kami harus
turut masuk! "Tapi ...." Kata It Hiong tertahan, ia menghela
napas. Kiauw In menarik tangan Giok Peng, "Jangan kau
mempersulit dia.... " katanya.
Mendadak Giok Peng tertawa sedih, lalu air matanya
meleleh keluar. "Paman In sangat baik terhadap aku," katanya
sedih. Budinya besar laksana gunung, sekarang aku tidak
dapat merawati padanya, bagaimana hatiku tenang"... It
Hiong terpaksa membiarkan " Istrinya " itu , ia perlu segera
kembali kepada ayah angkatnya, guna memberikan itu obat
mujarab, maka juga melihat Giok Peng ditarik Kiauw In , ia
lantas berlompat untuk terus lari sehingga dilain saat dia
sudah berada diluar. Lalu ia kabur secepat cepatnya menuju
kekamar In Gwa Sian, hingga ia sampai didalam kamar, ia
segera menekuk kedua tangannya diansurkan keatas.
Pat Pie Sin Kit sedang duduk bersemedhi, tubuhnya tak
bergeming, matanya dirapatkan. Tenaga dalam pengemis ini
telah sampai puncak kesempurnaannya, ia memiliki tenaga
dalam yang diberi nama Kan Goan Khi Kang, selekasnya dia
mengerahkan tenaganya, seluruh tubuhnya keras bagai besi
atau batu, segala macam alat senjata tidak mempan
terhadapnya. Siapa pelajaran silatnya belum sempurna,
jangan kata melukai dia, memukulnya selagi ia bersemadhi
saja dia akan gagal. Maka itu hebat tangannya Heng San
Kiamkok sebab dia berhasil melukai di dalam tubuhnya
seorang yang demikian kadot. Hanya itu walaupun In Gwa
Sian terluka parah di dalam, It Yap Tojin sendiri terluka tak
ringan. Disaat pertempuran itu dan In Gwa Sian kena terhajar,
sebenarnya darah di dalam perutnya sudah mengalir, tetapi ia
malu memperlihatkan dirinya muntah darah, dengan sekuat
tenaga ia menahan menyemburnya darah dari mulutnya itu.
Inilah yang membuatnya terluka lebih parah, karena darah
dan napasnya tertahan, sedangkan seharusnya darah dan
napas itu dapat keluar. Lebih celaka, selagi bertempur itu, In
Gwa Sian juga tidak mendapat kesempatan guna
menenangkan diri buat meluruskan napas dan jalan darahnya
itu sedangkan setelah bertemu dengan Pek Cut Siansu,
bukannya ia menunda pembicaraan mengundang bala
bantuan, ia membuang waktu dengan berbicara panjang
lebar. Hingga itu menambah memberatkan luka di dalamnya itu.
Ia tahu lukanya mengancam, ia masih tidak mau
memberitahukan siapa juga, ia bertahan sampai
pembicaraannya selesai, maka itu setibanya didalam
kamarnya, keadaannya menjadi parah sekali. Barulah setelah
itu ia duduk bersemadhi, ia menggunakan tenaga dalamnya
guna mengusir penyakitnya itu yang sudah hampir kedalam.
Kepandaian Kun Goan Khin-kang dari Pat Pie Sin Kit telah
mencapai batas kesempurnaan, sudah begitu dia dibantu
dengan ilmu silatnya bertangan kosong yang dinamakan CIt
cap jie Sie Hang Liong Hok Hoaw Ciang hoat, yaitu ilmu
menaklukan Naga Menunjuk terdiri dari tujuh puluh dua jurus,
itulah ilmu silat yang menjagoi dalam Rimba Persilatan.
Selama ia merantau, belum pernah ada orang mengalahnya
kecuali waktu ia menguji kepandaian TekCio Siangjie, ini pula
yang membuat ia menjadi beradat tinggi atau berkepala
besar, bertabiat tawar dan aneh, hingga gerak geriknya mirip
orang edan. Adat tinggi itu membuatnya menerka keliru akan
kepandaian It Yap Tojin, sehingga sekarang ia terluka parah.
Ia merasai sangat nyeri di dalam seluruh tubuhnya bagian
dalam ketika bermula kali ia bersemadhi, untuk mengerahkan
tenaga dalamnya. Itulah saatnya yang ia insyaf bahwa lukanya
parah sekali. Baru itu waktu ia menghela napas dan menyesal.
Tentu saja penyesalan tak datang di muka. Maka ia jadi
seperti putus asa. Baru sekarang ia sadar dan di dalam hatinya berkata : "Aku
si pengemis tua, telah banyak aku membunuh orang, tapi aku
merasa pasti belum pernah aku membinasakan orang baikbaik,
maka itu jika Thian Yang Maha Kuasa mengetahuinya,
hambamu mohon supaya si pengemis tua ini diperpanjang
pula usianya ! Biarlah setelah selesai hambamu ini membasmi
kawanan bajingan dari luar lautan itu baru hambamu mati...
Bukankah itu belum terlambat."
Habis memuji itu kembali In Gwa Sian mencoba
mengerahkan tenaga dalamnya. Tiba-tiba ia menjadi sangat
kaget. Darah didalam tubuhnya bagaikan bergolak-golak,
nyerinya bukan main. Sukar untuk memperhatikan diri maka
terpaksa ia menghentikan pengerahan tenaga dalam itu,
membiarkan lukanya menguasai dirinya. Ia tetap bersemedi
saja. Ia terus memejamkan matanya dan duduk tenang
sedapat-dapatnya. Itulah keadaannya si pengemis yang sedang menghebat
itu, waktu It Hiong datang hingga anak angkat ini kaget tak
terkirakan hingga kemudian dia memberikan obatnya. Pek Coa
Hoan Hun Tin itu. Selagi ayah angkat itu berdiam si anak pergi
keluar untuk menemui Kiauw In dan Giok Peng, hingga
akhirnya ia kembali pula dengan membawa hosin ouw.
Dengan hati-hati anak ini membuka tutup kotak hingga lantas
tersiar bau yang harum dari obat mujizat itu memenuhi ruang
kamar. In Gwa Sian membuka matanya ketika ia merasai bau yang
luar biasa itu. Ia melihat kepada anaknya, tetapi segera juga
ia memejamkan pula matanya.
Sejak ia mengenal ayah angkatnya belum pernah It Hiong
melihat ayahnya lesu begini rupa, maka juga hatinya miris,
tanpa terasa air matanya bercucuran. Ia terus berlutut sambil
mengangsurkan kotak obatnya, ia memanggil perlahan :
"Ayah !" In Gwa Siang membuka pula matanya, ia tertawa hambar.
"Kau ingin bicara anak ?" tanyanya lemah. "Kau bangunlah
!..." Tak dapat It Hiong menguasai diri, ia menangis.
"Ayah" katanya, "mari ayah makan dua helai obat ini.
Barusan aku mendapatkan hosin ouw dari kakak Peng..."
Pat Pie Sin Kit menarik nafas perlahan. Ia mengulur
tangannya, akan menjemput dua helai obat yang diangsurkan
itu. Ia memakannya dengan lantas. Ia mengunyah dan
menelannya. "Beristirahatlah, ayah" kata It Hiong yang terus menutup
dan menyimpan pula kotak obatnya. Tapi ia tidak lantas
mengundurkan diri, hanya ia berdiri diam disisi sang ayah.
Matanya terus mengawasi ayah itu guna menyaksikan
perubahan apa bakal terjadi.
In Gwa Sian terus bersemedi, tubuhnya tak bergerak
matanya tak terbuka. Nampak dia tenang sekali. Baru sesudah
lewat banyak menit, mendadak dia membuka mulutnya dan
menumpahkan darah hingga dua kali.
It Hiong kaget sampai ia menjerit.
Justru itu In Gwa Sian mementang matanya dan tertawa.
"Anak Hiong, pergilah kau beristirahat !" katanya. Itulah
kata-katanya yang pertama. "Sekarang aku sudah sembuh...."
Anak angkat itu menangis.
"Jangan ayah mendustai anakmu... " katanya. Biar
bagaimana anak ini ragu-ragu. "Ayah..."
In Gwa Sian tertawa pula.
"Kau lihat aku muntah darah, anak" katanya tersenyum.
"Bukankah menganggap itu sebagai pertanda dari lukaku yang
parah sekali ?" It Hiong mengangguk. Belum sempat ia membuka
mulutnya, ayah angkatnya itu sudah berkata pula : "Aku
dilukai It Yap Tojin si imam campur aduk, inilah darahku yang
tertahan sekian lama yang menyebabkan keadaanku parah,
sekarang darah sudah keluar, aku sudah sembuh sebagian
besar. Asal aku dapat beristirahat dua tiga hari lagi, aku akan
sembuh seluruhnya. Sekarang pergilah kau beristirahat."
It Hiong mengawasi darah yang dimuntahkan itu, darah
mati, baru hatinya lega. Lantas ia membersihkan darah itu,
terus ia pamitan untuk mengundurkan diri.
Tiga hari sudah lewat, selalu It Hiong merawati ayah
angkatnya itu. Tak pernah ia berkisar jauh dari ayah itu.
Selama itu tiga kali Peng Cut dan Kiauw In datang menjenguk
dan Kiauw In bersama Giok Peng melongok hingga dua kali,
hanya nona-nona ini tidak datang di siang hari tetapi sesudah
jauh malam dan juga dengan menyelundup dengan loncat
meloncati tembok ! Selewatnya tiga hari ini benar-benar kesehatannya In Gwa
Sian telah pulih seluruhnya, maka itu It Hiong meminta
kepada Pek Cut supaya ayahnya dapat pindah ke ruang luar.
Pek Cut Siansu tertawa dan berkata : "Dapat, itulah dapat !
Di belakang puncak ada sebuah gubuk yang bersih dan sunyi.
Itulah gubuk bekas dahulu almarhum guruku, setelah usia tua
maka gubuk itu tak terpakai pula, walaupun demikian setiap
bulan lolap memerintahkan orang pergi membersihkan dan
merawatnya. Gubuk hanya gubuk bambu tetapi tempatnya
tenang sekali. Jika sicu menyukai ketenangan silahkan pindah
kesana." It Hiong pun tertawa. "Tempat itu bekas tempatnya bapak guru, almarhum, mana
dapat aku yang rendah menempatinya ?" tanyanya merendah.
"Tidaklah itu suatu kelancangan dari aku ?"
Kembali Pek Cut tertawa. "Hal tidaklah demikian adanya, sicu. Gubuk itu telah disiasiakan
selama banyak tahun, didalam keadaan biasa belum
pernah dipakai lainnya. Kalau sicu setuju mari lolap


Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengantarkan sicu kesana untuk melihat dahulu, nanti baru
sicu putuskan sicu suka berdiam di sana atau tidak..."
Pendeta itu bersikap sangat ramah tamah.
"Bapak guru sangat sungkan" berkata It Hiong. "Baiklah
kau suka pergi ke sana ! Tapi tak usah bapak guru sendiri
yang mengantarkan, cukup asal bapak memerintahkan salah
seorang lainnya." "Gubuk itu tak dikunjungi oleh lain orang kecuali lolap
sendiri." Pek Cut memberikan keterangan. "Untuk
mengawasinya, lolap cuma menugaskan seorang seebie"
Lagi-lagi si anak muda tertawa.
"Kalau demikian tolong bapak guru menyuruh bapak guru
cilik saja yang mengantarkan aku !" katanya. "Tak usah bapak
guru sendiri yang mencapikkan hari !"
Pek Cut berbangkit, Tiba-tiba ia menghela napas.
"Seebie itu sudah kembali kepada Sang Buddha kami."
katanya masgul. "Dia sudah pergi ke Nirwana di Tanah Barat
itu..." It Hiong terkejut, hatinya tercekat.
"Bagaimana, eh ?" tanyanya heran. "Jadi bapak guru cilik
itu sudah pergi ke lain dunia ?"
"Benar..." dan Pek Cut mengangguk dengan perlahan. "Dia
berangkat ke lain dunia karena dia diantar pergi ke ujung
kebutannya Beng Leng Ciujin..."
Sembari berkata itu, pendeta ini sembari berjalan, maka
juga ia sudah lantas berada diluar kamarnya sendiri.
Diam-diam It Hiong memperhatikan wajahnya pendeta tua.
Ia mendapati oarang sangat berduka, maka ia menjadi terharu
sekali. Ia seperti turut merasai kesulitannya si pendeta.
Karena ini ia jadi membayangi pertempuran hebat malam itu.
Pikirnya :" Kalau malam itu aku tiba lebih siang, mungkin
seebie itu tidak sampai mengantarkan jiwanya ditangan Beng
Leng Ciujin..." Maka Ia terus mengintil tanpa membuka suara.
Seperti biasa dimana ia lewat, Pek Cut selalu dihormati para
muridnya. Pek Cut membawa si anak muda melewati beberapa jalan
gunung, untuk itu mereka harus menggunakan ilmu ringan
tubuh, sebab sulitnya jalan yang dilalui. Walaupun demikian,
mereka tak terburu-buru. Lewat waktu sepenanakan nasi, tiba sudah mereka dikaki
puncak Siauw Sit Hong. Dari bawah, puncak tampak setinggi
udara. Puncak itu mengatasi tingginya pelbagai puncak
lainnya. "Itulah Siauw Sit Hong." kata Pek Cut memberikan
keterangan. Ia tertawa. "Gubuk almarhum guruku berada
ditengah-tengah itu, diatas sebuah tanah datar berkarang."
Berkata begitu, pendeta ini menyingkap jubahnya, buat
segera mulai mendaki. It Hiong menggunakan ilmu ringan tubuh mengikuti terus di
belakang sang pendeta. Mereka harus jalan mengitar. Si anak
muda melihat banyak pepohonan, hingga sulit buat melihat
sasarannya. Ada pula rumput-rumput yang kering.
Selang sesaat, habis melintasi rimba pohon cemara, maka
pemandangan alam disitu berubah seluruhnya. Di depan
mereka ada tanah datar yang caglok dan di sana berdirilah
gubuk yang dimaksud itu, terbuat bambu seluruhnya dan
atapnya atap rumput, kedua daun pintunya tertutup. Di
belakang itu terdapat jurang yang dalam seratus tombak lebih.
Lebar tempat mungkin seratus tombak bundar. Sungguh suatu
tempat yang tenang dan menyenangkan.
Pek Cut membuka pintu sambil tertawa. Kata dia : "Sudah
satu bulan gubuk ini belum sempat dirawat. Kalau sicu setuju,
akan lolap memerintahkan orang membersihkannya."
It Hiong melihat ke sekitar gubuk, Pekarang yang berpagar
bambu, cukup lebar, itulah pagar bambu hidup, maka
tumbuhnya tinggi dan rapat. Ada lagi pagar bambu lainnya,
yang memisahkan Pekarangan luar dari Pekarangan dalam. Di
halaman dalam tertanam banyak pohon bunga, hanya
dimusim dingin begitu daun-daunnya pada rontok.
Gubuk terpecah dalam dua ruang, yang satu berkamar tiga,
yang lain berkamar dua. Yang dua ini disebelah kanan dan
yang tiga itu seperti menyandar pada dinding gunung.
Pek Cut membuka pintu tengah, mengundang tetamunya
masuk. It Hiong bertindak masuk untuk segera memandang di
sekitar ruang. Paling dahulu ia melihat tergantungnya di
tembok sehelai Lo Han Touw, yaitu gambarnya pelbagai lohan
atau arhat. Ada yang duduk, ada yang rebah dan lainnya
sikap. Lukisannya tidak indah tetapi bentuknya serasi. Terang
itu bukan karyanya seorang pelukis pandai. Meja dan kursi,
juga pembaringan, penuh berdebu. Jadi benar seperti katanya
si pendeta, gubuk itu sudah lama tak terawat.
Mengawasi pula Lo Han Touw, ada sesuatu yang membuat
si anak muda berpikir. Gambar itu tidak lengkap delapan belas
arhat. Baru rampung enam belas, dan yang ketujuh belas baru
selesai separuh, bahkan buatannya sangat buruk. Pada itupun
tidak ada nama pelukisnya.
Pek Cut melihat orang berdiam mengawasi gambar itu, ia
dapat menebak apa yang orang pikirkan. Maka ia lantas
menunjuk gambar itu dan berkata sambil tertawa: "Itulah
lukisannya almarhum guruku. Beliau tidak pandai
menggambar, tetapi entah kenapa ia toh melukiskan itu.
Sayang, sebelum selesai beliau membuat gambarnya, ia
keburu pulang ke langit Barat......"
Mendengar bahwa lukisan itu karyanya ketua Siauw Lim Sie
terdahulu, It Hiong tidak mau berkata apa-apa lagi, cuma
sembari tertawa ia berkata: "Bapak guru almarhum itu harus
dipuji. Walaupun tidak pandai menggambar, toh lukisan beliau
indah bentuknya." "Guruku ini gemar menulis huruf tetapi tak suka melukis
gambar," kata Pek Cut tertawa, "Maka itu, walaupun gambar
belum selesai, lolap sengaja menggantungnya di sini selaku
tanda peringatan. Inilah gubuk tempat guruku menutup diri
dan memahamkan pelbagai kitab, bahkan guruku itu telah
memesan agar tanpa perintah, siapa pun dilarang lancang
datang dan masuk ke mari.
Di saat guruku mau menutup mata, baru ia pulang ke kuil
dan menghimpunkan para murid, selesai memberikan
pesannya, malamnya ia berpulang dengan tenang. Selesai
menguruskan jenazah guruku itu, baru kami datang ke mari
untuk membenahi segala sesuatu sampai kami menemukan Lo
Han Touw ini. Lima tahun guruku tinggal menyendiri di sini,
cuma dua kali pernah beliau memanggilku untuk diberikan
khotbah. Murid-murid lainnya belum pernah ada yang datang
ke mari, maka juga tak diketahui kapan dimulainya pembuatan
gambar-gambar ini........"
Setelah itu pendeta itu mengajak It Hiong memasuki ruang
yang lainnya. Perlengkapan sama sederhananya: sebuah
pembaringan, sebuah meja serta empat buah kursi. Semua
kamar ada kursi mejanya. Maka itulah kamar yang cocok buat
It Hiong bersama Kiauw In dan Giok Peng.
"Bagaimana, sicu?" tanya Pek Cut tersenyum. "Cocokkah
ini?" "Bagus, bagus sekali!" It Hiong menjawab dengan gembira.
"Terima kasih, bapak guru! Besok kami akan pindah ke mari!"
"Baiklah, sicu. Sebentar lolap akan memerintahkan orang
untuk membersihkannya."
"Tak usah banyak berabe, bapak. Biar kami yang
membersihkannya sendiri besok."
Selesai memeriksa gubuk itu, keduanya pulang. Pek Cut
lantas mengirimkan empat orang kacungnya pergi
membersihkan seluruh gubuk buat menyediakan ini dan itu
yang menjadi kebutuhan sehari-hari.
It Hiong sendiri pergi kepada ayah angkatnya untuk
memberitahukan hal didapatnya gubuk itu buat ia bersama
Kiauw In sekalian menumpang sementara waktu.
"Bagus!" seru sang ayah girang. "Untuk mempelajari ilmu
pedang memang baik kalian mendapati tempat yang terpencil
dan sunyi itu." It Hiong puas. Besoknya, diantar oleh Pek Cut sendiri, It Hiong mengajak
Kiauw In dan Giok Peng pindah ke gubuk itu. Kiauw In dan
Giok Peng memilih kamar sebelah kanan sebab yang kiri itu
bekas gurunya Pek Cut. Karena itu, It Hiong yang
menggunakan ruang yang terlebih besar itu, yang kamar
tidurnya sampai tiga buah.
Pilihannya si nona-nona memuaskan Pek Cut. Ia memang
kurang setuju kalau mereka memilih kamar bekas gurunya,
cuma tadinya ia tidak berani berkata apa-apa.
Seluruh gubuk telah dibersihkan, alat-alat telah tersediakan
lengkap, juga perabotan dapur dan lainnya.
Selesai mengantarkan, Pek Cut mengundurkan diri.
Selekasnya ia tidak ada, Kiauw In dan Giok Peng pergi ke
kamar tidurnya It Hiong, maka mereka segera melihat
gambar-gambar Lo Han Touw yang tidak lengkap itu. Mereka
pun tidak mengerti. Saking herannya, mereka pada
merapatkan alis mereka. Hanya karena saking lucunya, maka
juga mereka tertawa. "Aneh lukisan para arhat ini," katanya. "Siapakah
pelukisnya?" It Hiong tertawa. Ia mengasih keterangan bahwa itulah
karya ketua Siauw Lim Si terdahulu, yaitu gurunya Pek Cut
Siansu. "Maka itu, kakak, di depan lain orang harap kalian jangan
sembarangan membicarakannya," pesan pemuda itu.
Kiauw In tertawa hambar. "Eh, eh, apakah kau hendak menasehati aku?" tanyanya.
"Bagaimana, eh?" It Hiong membaliki. Ia pun tertawa,
"Memangnya aku omong salah?"
Kiauw In tidak menjawab. Kembali ia mengawasi gambar
lukisan itu. "Gambar belum terlukis sempurna, tak sedap untuk
digantung di sini," katanya. "Baiklah, besok akan aku melukis
melengkapinya." Nona Cio memang pandai melukis, bahkan ia pandai juga
memperbarui lukisan-lukisan lama. Hal itu It Hiong ketahui.
"Mana itu dapat dilakukan, kakak," katanya. "Orang
memajang lukisan ini selaku tanda peringatan kepada
almarhum gurunya. Kalau kau melukis melengkapinya,
tidakkah itu jadi bertentangan dengan maksudnya si
pemajang?" Nona Cio tidak memperdulikan si anak muda, tetap ia
menatap lukisan arhat itu, lukisan yang belum rampung.
Nampak dia sangat tertarik hatinya sehingga sekian lama ia
menatap terus dengan membisu.
It Hiong dan Giok Peng mengawasi, keduanya merasa
sangat heran. Kenapa Kiauw In demikian tersengsem"
Selang seperempat jam, baru Nona Cio bagaikan terasadar,
terus ia menggeleng-geleng kepala dan berkata-kata seorang
diri: "Aneh! Aneh! Mustahil lukisan macam begini masih belum
juga dapat diselesaikan sesudah menggunakan waktu
beberapa tahun?" Giok Peng heran mendengar suara kakaknya, hingga ia
mengangkat alisnya. "Kakak," katanya bagaikan menegur. "Apakah artinya katakata
ini" Kenapa kau mengoceh seorang diri saja" Kau
membuat orang heran!"
Kiauw In tengah menatap Lo Han Touw, lalu ia menoleh
kepada adik itu. Ia pun tertawa.
"Aku berkata-kata karena aku mengherankan gambar para
arhat ini!" sahutnya. "Pikirkan saja olehmu, adik! Lukisan
sudah diperbuat bertahun-tahun, kenapa masih ada arhat
yang belum rampung?"
Dua-dua It Hiong dan Giok Peng mengawasi tajam semua
arhat itu satu demi satu. Kali ini mereka mendapat kenyataan,
air baknya lukisan itu memang tidak sama. Ada yang sudah
lama sekali, ada yang belum terlalu lama, ada yang seperti
masih baru. Kenyataan itu terlihat pada warna hitamnya, ada
yang gelap dan kumal, ada yang masih terang. Pula yang
sukar untuk dibedakan lama dan barunya.
Jilid 2 Kiauw In mengawasi dua orang itu, yang perhatiannya
nampak tertarik, ia tertawa.
"Dilihat sekilas, semua gambar ini tidak ada bedanya satu
dari lain, "ia berkata, "yang sebenarnya tidaklah demikian!
Coba perhatikan saja baknya. Menurut penglihatanku air bak
itu ada yang lama ada yang baru ada yang bedanya banyak
tahun dan bulan. Tentu sekali perbedaan itu tak dapat dilihat oleh orang
bukan pelukis atau penulis. Menurut penglihatanku jika
mataku tidak keliru itu arhat yang separuh rebah dengan arhat
yang belum rampung itu perbedaan pembuatannya masih
berjarak sedikitnya lima tahun lamanya.
Air bak yang disebutkan Kiauw In ialah tinta tionghoa.
It Hong menjadi semakin heran "Aneh !" Serunya "sungguh
menarik hati. Kenapa orang membuat gambar arhat dengan
perbedaan banyak tahun?"
Giok Peng heran tetapi ia tertawa.
"Itulah mungkin disebabkan ketika pendeta tua itu melukis
gambarnya, ia menundanya sebab kebetulan ia lagi
memahamkan kitabnya atau kepalanya pusing.... Maka ia
mencoret sejadi jadinya dan menundanya pula, demikian
seterusnya... " "Kau benar, adik Peng" berkata Nona Cio.
"Jelasnya Lukisan delapan belas arhat ini dilakukan bukan
terus menerus terutama itu yang belum rampung, jangka
waktu tertundanya sekali, mungkin sampai satu tahun lebih,
lihat perbedaan waktu air baknya itu."
Sampai disini It Hiong dan Giok Peng tidak mengatakan
apa-apa lagi, Cuma tinggal rasa herannya. Merekapun tidak
memperhatikan lebih jauh. Bahkan si pemuda terus minta
kakak In nya menjelaskan kepadanya perihal ilmu pedang
Thay Kek Liang Sam Cay Kiam itu.
"Ketika aku ditolongi guruku dari dalam jurang maut di
belakang Kim Hoa Kiong di Leang Lam itu" Ia berkata " Aku
langsung dibawa pulang ke Kun Hoa San dimana segera aku
dikeram didalam kamar obat duduk menghadap tembok
selama tiga tahun. Sekeluarnya aku dari kamar obat itu terus aku diganggu
oleh pengacauan musuh-musuh yang tangguh hingga


Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kejadiannya tak ada kesempatan saat aku memeriksa kitab
ilmu pedang dan kakak berdua sebaliknya, kalian tentu telah
membaca habis dan sudah melatihnya juga. Maka itu sekarang
silakan menjelaskan kepadaku gerak geriknya pelbagai lukisan
itu, nanti besok barulah aku mulai diajari cara berlatihnya"
Kiauw In tertawa sebelumnya ia menjawab, "hebat kitab
ilmu pedang guru kita ini! Sangat banyak perubahannya yang
luar biasa hingga meskipun aku dan adik Peng telah diajari
oleh guru kita, aku masih belum paham seluruhnya. Kami
cuma mengerti tiga puluh enam jurus Cay Kek Kiam dan dua
puluh empat jurus Liang Gie Kiam dengan kedua ilmu pedang
itu mungkin kami dapat melayani musuh andiakata kami
dihadang. Sulitnya ialah pelbagai perubahannya seperti yang aku
sebutkan. Mengenai Sam Cay Kiam yang terdiri hanya dari dua
belas jurus, sejuruspun kami tidak mengerti. Anehnya mulanya
kami memahamkan, kami menerka mestinya mudah saja,
walaupun gambarnya sederhana nampaknya. Siapa tahu
setelah kami mencoba melatihnya kami dihadapi kesulitan
makin lama makin sulit hingga sekarang ini sebenarnya kami
tak dapat mengerti satu jurus pun."
---------------------------Halaman 7/8 Hilang ---------------------------Kiauw In dan Giok Peng merasa sangat tertarik hati, Nona
yang duluan tertawa. "Guru kita suka mengajari kau ilmu
tenaga dalam itu pasti ia melihat bahwa kau berbakat dan
telah memenuhi syaratnya semua." katanya, "sebenarnya juga
didalam halnya bakat kau menang dari kami berdua sedang
juga kau sudah pandai ilmu pedang Khie Bun
Patkwa Kiam, sehingga bagi kau pasti itu memudahkan
mempelajari Sam Cay Kiam. Kalau Liang Gie Kiam
membutuhkan juga sepasang pedang, tidak kemudian dengan
Sam Cay Kiam, Sam Cay Kiam bisa dipakai sendiri dan juga
bertiga berbareng, Tegasnya sebuah pedang dibantu dua yang
lainnya. Selagi ada guru kita, kami berdua dapat turut melatih
dengan baik asal tidak ada guru lantas kami lupa lagi, Maka
itu baiklah kita bekerja sama bertiga. Setelah menempur Beng
Leng , aku insyaf perihal banyaknya orang gagah lainnya, aku
percaya dengan pergi keluar lantas kita bakal melakukan
pertempuran hebat, sebab itu pasti bakal jadi pertempuran
paling dahsyat. Kalau kita menang, nama kita naik, sebaliknya
kalau kita kalah kita runtuh! Ah, entah berapa banyak korban
akan roboh dan darah bakal berhamburan ...."
Kiauw In berduka hingga tanpa merasa air matanya
meleleh keluar. It Hiong menghela nafas. "Dasar kakak sangat murah hati" ia memuji. Ia terharu buat
kemurnian dan kewelasan hatinya bakal istri itu." Kakak aku
berjanji akan memahamkan sungguh-sungguh ilmu pedang
guru kita ini, semoga Tuhan yang Maha Kuasa membantu aku
supaya kita berhasil melindungi keutuhannya kaum persilatan
dari Tionggoan, supaya ilmu silat kita tak punah pamornya."
Berkata begitu, anak muda ini terdiam. Diam-diam ia
memuji kepada gurunya dan memohon doa yang Maha Kuasa.
Kemudian ia berkata nyaring, "Biarlah Tio It Hiong tidak
menyia-nyiakan harapan suhu. Semoga ia nanti dapat
mengangkat nama baik Kim Hoa San!"
"Suhu" berarti bapak guru. Itu sebutan untuk seorang guru
kepada muridnya. Dua-dua Kiauw Im dan Giok Peng menatap tunangannya
itu. Mereka mengawasi tajam wajah si anak muda yang ketika
itu selain tampan, tampak sangat bersemangat dan gagah!
Sedetik Tio It Hiong bagaikan telah menjalin rupa, wajahnya
membuat orang kagum dan menghormatinya.
Giok Peng mendekati Kiauw In untuk berbisik: "Kau lihat
kakak! Bagaimana bengis tampangnya adik Hiong! Dia
bagaikan hendak membunuh orang!"
Kiauw In berdiam. Ia cuma mengangguk.
Baru lewat sedetik lantas It Hiong sadar dengan sendirinya
bahwa ia telah memperlihatkan tampang yang beda daripada
biasanya. Lantas ia tersenyum, maka segera lenyap juga tampang
bengisnya itu, hingga tampak tampan dan halus seperti
sediakala. Kiauw In tetap menatap wajah orang, setelah itu ia cekal
tangan Giok Peng buat diajak keluar secara diam-diam.
It Hiong sudah lantas membeber kitab ilmu silat gurunya itu
" Thay kek Liang Gie Sam Cay Kiam. Ia menyaksikan gambar
dan berbagai catatan. Ia meneliti gambar-gambar itu dan
membaca. Berbeda dengan Nona Cio dan Pek, ia mudah
mengerti. Ini berkat kecerdasannya, karena ia telah paham
Hian Bun Sian Thian Khie Kang. Selagi memusatkan
perhatiannya, hilanglah segala pikiran lain dari otaknya.
Dengan sendirinya terbukalah pintu kecerdasannya.
Mulanya It Hiong memeriksa Thay kek Kiam dengan tiga
puluh enam jurusnya. Ia merasakan lihainya ilmu pedang itu,
yang dari tiga puluh enam jurus dapat berubah-ubah menjadi
tiga tikaman atau babatan lainnya. Diwaktu memikirkan
berbagai gerakan, ia memejamkan mata, ia memeta-metakan
dengan tangan dan kakinya, dengan gerakan tubuhnya.
Dibagian-bagian yang sulit, ia menunda, ia memikirkan lebih
jauh. Ya, ia bagai bersemadhi memikirkannya.
Paling akhir anak muda ini menutup rapat kitabnya. Ia pikir,
lebih baik dia beristirahat sebentar untuk membaca dan
memahamkan. Tengah ia duduk berdiam itu mendadak ia merasakan
kepalanya pusing. Tanpa terasa, tubuhnya limbung ke kiri dan
ke kanan. Lekas ia mencoba menguasai diri, iapun menolak
daun jendela untuk memandang keluar rumah.
Malam itu gelap, ia mengira sudah jam permulaan. Maka
tahulah ia, ia baru menyelesaikan lima jurus, waktu yang
digunakan sudah empat atau lima jam. ia sampai tidak
merasakan bahwa lilin diatas mejanya telah ada yang
menyulutnya. Lalu ia berjalan keluar rumah. Masih terasa
kepalanya sedikit pusing. Ia mengira itu, disebabkan barusan
ia menggunakan otaknya secara berlebihan.
It Hiong tidak merasa bahwa selama beberapa jam itu ia
seperti sudah menggunakan otak selama tiga hari dan tiga
malam. Ia mengangkat kepala, mendongak melihat langit.
Bintang-bintang bertaburan dilangit yang hitam. Sang angin
menderu dari pohon-pohon cemara. Ketika ia menoleh ke
kanan ia melihat sinar api keluar dari dalam rumah. Itu
pertanda bahwa bahwa Kiauw In dan Giok Peng masih belum
tidur. Mungkin disebabkan hawa malam tiba-tiba anak muda ini
merasa lapar, sedangkan sebenarnya karena dipusatkan pada
pelajaran pedang tadi ia lupa segala apa, jangan kata makan,
minum air seteguk pun belum. Karena ini, ia lantas kembali ke
dalam. Belum lama tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka. Ia
menoleh dengan cepat. Maka ia melihat munculnya nona-nona
itu yang berjalan dengan perlahan. Ia tersenyum kepada
mereka. Lalu ia berkata, "Tadi aku lupa mengatakan Pek Cut
Taysu untuk disediakan barang makanan, maka sekarang ini
mungkin kita bakal.."
Giok Peng tertawa memutuskan kata-kata orang.
"Bagaimana, eh " "tegurnya. "Perutmu sudah lapar "
Tengah malam begini mana ada barang hidangan " Aku pikir
baiknya malam ini kita ikat perut biar kenyang..."
Kiauw In tersenyum, tetapi ia lantas berkata, "Beras,
tepung dan lain keperluan dapur semua telah disediakan. Pek
Cut Siansu telah mengirimkan orang membawanya kemari.
Nasipun sudah dimasak matang.
Bersama adik Peng tadi aku datang kemari, buat
mengundang kau makan, tetapi kami melihat kau sedang
tekun mempelajari ilmu pedang, kami tidak mau mengganggu.
Adik Peng yang menyalakan api. Habis itu, dengan diam-diam
kami keluar pula. Barang makanan untukmu telah kami
siapkan didalam kamar kami, kalau kau sudah lapar mari kau
pergi kesana ! Cuma kami mesti membuat kau melakukan
perjalanan..." It Hiong tersenyum tanpa mengatakan sesuatu, ia turut
kedua tunangannya itu pergi kekamar kedua nona itu.
Kamar kedua nona itu telah dirawat baik sekali, hingga
beda dari semula tadi. Di atas mejapun mengepul asap yang
keluar dari barang makanan. Diatas pembaringan, Hauw Yan
sedang tidur dengan nyenyak. Sinar api lilin membuat kamar
tenang dan nyaman. Habis memandangi seluruh ruangan, It Hiong tertawa.
"Bagus kakak!" ia memuji. "Kamar yang tadinya nampak
buruk sekarang berubah bagaikan baru dan menarik hati."
Kiauw In tertawa. "Sudah jangan memuji saja!" tegurnya. "Hayo lekas kau
makan!" Kembali si anak muda tersenyum; Ia menghampiri meja,
untuk mengangkat mangkuk kosong, guna diisikan nasi.
"Bagaimana pengamatanmu atas kitab suhu itu ?"
tanyanya. "Mudahkah kau mengerti ?"
It Hiong menjawab secara terus terang, "Mulanya beberapa
jurus, nampaknya tidak sukar hanya makin lama, makin
tambah jurusnya, mulai sulit pecahannya. Pelbagai jurus itu
seperti juga tidak ada hubungan satu dengan lain kakak,
rupanya perlu aku dengar pelbagai petunjuk kalian berdua....."
"Mengenai kesulitannya kau benar, adik" berkata Kiauw In,
"Tiga jurus yang pertama mudah dipelajarinya, mulai yang ke
empat, lantas lambat kemajuannya, benar bukan?"
It Hiong mengangguk "Tidak salah." sahutnya. "didalam
tiga- empat jam, aku cuma mengerti sampai jurus ketiga,
mulai jurus ke empat, aku rasanya jurus ketiga dan ke empat
tak ada hubungannya, bahkan seperti memudahkan lawan
memperoleh lowongan guna menyerang kita...." Nona Cio
menggeleng kepala, tetapi ia tertawa.
"Demikianlah kelihatannya. Kalau kau perhatikan jurusjurus
selanjutnya, hal tatkala demikian, tetapi setelah jurusjurus
selanjutnya, segera akan tampak kefaedahannya.Ketika
bermula aku berlatih bersama adik Peng, kami mengalami
kesulitan serupa seperti kau ialah kelambatannya, tetapi
setelah mengerti, kelambatan itu justru penting sekali!"
It Hiong tengah memegangi mangkuk nasinya ketika ia
mendengar perkataan si nona yang terakhir. Tiba-tiba saja ia
meletakkan mangkuknya itu." Aku mengerti sekarang !"
katanya separuh berseru " Kelambatan itu sengaja, guna
mementingkan lawan mendapat kesempatan menyerang,
setelah itu kita pakai jurus yang kelima, guna merubah,
demikian selanjutnya ya, kakak itulah itulah kelebihannya
Thay Kek Kiam dari Khia-bun Patkwa Kiam..."
Baru ia berkata begitu, mendadak anak muda ini menjerit.
"Ah, celaka" terus tubuhnya mencelat bangun, terus dia kabur
ke kamarnya sendiri ! Kiauw In dan Giok Peng kaget. Mereka sangat heran.
Kenapakah pemuda itu " Tak sempat saling bertanya, mereka
pun lari menyusul. It Hiong kaget dan lari ke kamarnya sebab mendadak ia
ingat yang kitab gurunya telah ia lupakan, ia tinggalkan itu
menggeletak dimejanya. Tatkala kedua nona sampai di kamar
pemuda itu, mereka menjadi lebih heran pula.
It Hiong tampak lagi berdiri menjublak, matanya
mendorong ke satu arah ! Wajahnya menunjukkan dia
berduka atau putus asa. "Kau kenapakah ?" tegur Giok Peng mendekati perlahan.
Nona ini, juga Kiauw In heran bukan main.
It Hiong tidak menjawab, hanya airmatanya meleleh keluar.
"Aku harus mati !" mendadak dia berseru sambil
membanting kaki. Kiauw In yang cerdas dapat menerka duduknya hal, ia juga
kaget sekali, tetapi dapat berhari tenang, dapat ia menguasai
dirinya. Dengan hati memukul, ia mendekati si anak muda, dan
ketika ia berbicara, suaranya lembut.
"Apakah bukan kau kehilangan kitab silat Thaykek Liang
Gia Sam Cay Kiam ?" demikian tanyanya prihatin.
"Ya" sahut si anak muda, suaranya hampir tak terdengar.
"Karena aku sangat lalai, karena aku tinggalkan diatas meja
ini." Tiba-tiba anak muda ini ingat senjata mustikanya. Segera ia
menoleh ke tembok. Di sana Keng Hong Kiam tampak tergantung di tempatnya.
Masih bersangsi, It Hiong lompat mencelat ke tembok,
guna mengulur tangannya menurunkan pedang mustika itu
terus ia menghunusnya. Baru sekarang hatinya menjadi sedikit
lega. Itulah pedang yang tulen. Tadinya ia menyangka pedang
yang dipalsukan. Cahaya pedang itu menyinari seluruh ruang,
hawanya terasa dingin. Sekonyong-konyong saja It Hiong mengibaskan pedangnya
itu menebas ke samping ! "Jika aku ketahui siapa pencurinya
kitab ilmu pedangku, akan aku bunuh dia dengan ujung
pedang ini !" demikian ia berkata nyaring dan sengit.
Belum berhenti kata-kata si anak muda atau mereka
bertiga mendengar tawa nyaring dan lama dari luar rumah
menyusul mana diantara sinar api lilin terlihat satu tubuh
berlompat masuk seperti melayang, atau segera ampak Pat
Pie Sin Kit di dalam rumah.
Hanya segera pengemis ini mendelong mengawasi It
Hiong. "He, kau bikin apakah ?" tanyanya heran.
Tak dapat anak itu mendusta, ia menarik nafas panjang.
"Anakmu harus mati ayah" sahutnya perlahan. "Aku telah
membikin lenyap kitab pusaka pedang Thay Kek Liang Gia
Sam Cay Kiam karya guruku...."
Pat Pie Sin Kit kaget. Tetapi dasar jago tua, dapat ia segera
menetapkan hati. "Bagaimana lenyapnya itu " tanyanya cepat. "Lekas
terangkan padaku !" Sambil menanya itu jago tua ini menoleh kesekitarnya.
It Hiong memasuki pedang ke dalam sarungnya. Kembali ia
menghela nafas. Habis itu baru ia memberikan keterangannya.
In Gwa Sian pun menghela nafas.
"Terang orang mencurinya justru kau sedang pergi
bersantap." katanya. "Menurut terkaanku si pencuri bukannya


Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang yang baru tiba dan lantas ia mencurinya. Aku percaya
dia sudah lama berada di sini lalu dia mengintai kalian
menunggu ketika buat turun tangan. Nyatanya dia berhasil!"
Terkaan itu masuk diakal. Pula anehnya, kenapa cuma kitab
itu yang dicurinya " Kenapa tak sekalian pedangnya "
Kiauw In mengawasi It Hiong, ia terharu. Ia merasa
kasihan. Tapi ingin ia menghibur. Walaupun hatinya sendiri
berat ia paksakan bersenyum.
"Kitab suhu kitab luar biasa" kata ia, "maka itu walaupun si
pencuri lihai, tak nanti dia dapat mempelajari itu didalam
waktu yang singkat. Baik kau jangan terlalu bingung. Paling
benar kita mencarinya. Coba kita periksa kamar ini, ada atau
tidak sesuatu yang mencurigai.."
In Gwa Sian tertawa. "Kau benar, anak !" pujinya. "Nah, mari kita lihat !"
Tanpa ayal lagi, berempat mereka memisah diri
menggeledah seluruh rumah gubuk.
Sembari memeriksa itu Kiauw In berpikir, "Kitab suhu ini
rampung belum lama, tak mungkin ada orang rimba persilatan
yang mengetahuinya bahkan aku percaya kecuali kita
berempat tak ada seorang lain juga yang tahu itu ! Si penjahat
mungkin telah mencuri dengar pembicaraan kita atau
kebetulan saja dia mendengarnya maka dia lantas
mencurinya. Dia sampai tak memikir membawa sekalian
pedang mustika. Orang itu dapat mencuri dengar pembicaraan
kita, dia pasti lihai sekali. Atau dia hanya orang yang kita tak
perhatikan...." Oleh karena berpikir demikian. Nona Cio lantas menerkanerka
siapa pencuri itu. Ia sangat cerdas, lekas juga di depan
matanya seperti berbayang si pencuri kitab itu. Dia
menyangka pada seorang wanita muda yang cantik, yang
tingkahnya agak centil. "Bukankah Giok Peng pernah menceritakan halnya Teng
Hiang mencuri kitab ilmu pedang?", pikirnya lebih jauh. Maka
lantas ia menerka kepada budak pelayan itu. "Bukankah
dianya si budak setan itu?"
Hanya sebentar pikiran nona itu berubah. Bukannya
kawanan bajingan telah kabur semuanya" Mungkinkah Teng
Hiang seorang diri berani berdiam lama di dekat-dekat Tiong
Gak ini. Kalau benar dia berada disini, pasti dia akan kepergok
para pendeta. Karena kesangsiannya ini mengenai Teng Hiang. Kiaw In
berpikir lain! "Tak mungkinkah ini perbuatan salah seorang
pendeta dari Siauw Lim Sie?" Ia mengingat begini, karena
pernah terjadi beberapa orang seebie menyaksikan ia berdua
Giok Peng melatih diri dengan ilmu Thay kek dan Liang Gie
Kiam. Sebenarnya beberapa seebie itu bukan menyaksikan
hanya mencuri menonton. Ia tahu itu, ia membiarkan saja. Ia
anggap seorang seebie bisa apa. hanya sekarang, timbullah
kecurigaannya. Sambil otaknya bekerja itu. Kiaw In terus membuat
penyelidikan. Ia sampai di luar rumah, di dalam halaman yang
ada pohon-pohonnya. Tiba-tiba sinar matanya bentrok dengan
satu benda putih di atas rumput yang ada di bawah sebuah
pohon cemara yang besar. segera ia lompat kepada benda
putih itu, yang ternyata adalah sehelai sapu tangan putih.
Lantas ia menjemputnya. Walaupun malam, sapu tangan itu tampak cukup jelas.
Kiauw In membeber untuk memeriksa. Ia melihat sulaman
benang hijau yang merupakan dua ekor burung kecil. Tentu
sekali ia lantas mengenali itulah barangnya Giok Peng. Ia
menjadi heran tapi ia berpikir terus.
"Sungguh aneh!" demikian pikirnya. "Belum pernah adik
Peng berpisah dari aku kenapa sapu tangannya jatuh di sini?"
Berpikir demikian nona ini mencelat naik ke atas pohon
guna dari atas itu melihat kesekelilingnya. Tiba-tiba saja ia
mengerti!. Pohon itu menghadap kamarnya It Hiong, bahkan
karena bantuannya api, dari situ orang dapat melihat tegas ke
dalamnya, kepada kursi mejanya.
"Tidak salah lagi!" pikirnya, "pasti dia terus bersembunyi di
sini! Dari sini dia dapat mengawasi gerak gerik adik Hiong!
Pasti selekasnya dia melihat adik Hiong pergi, dia datang
menyatroni kemari, dia jalan memutari gubuk dan masuk ke
dalam, terus dia cari kitab pusaka itu. Dia dapat menghilang
dari sini dengan pertolongan pohon-pohon lebat. Dengan
bersembunyi di sini, siapakah dapat memergokinya?"
Hanya si nona masih memikir keras menerka-nerka siapa
pencuri itu. Ia tetap heran bahwa saputangannya Giok Peng
bisa berada di tempat terbuka itu. Tengah Kiauw In berpikir
keras itu, tiba-tiba ia mendengar suaranya In Gwa Sian :
"Kalau si pencuri bersembunyi di atas pohon cemara besar itu,
bukan saja dia dapat melihat jelas kepada gubuk dan bagian
dalamnya, dia sendiri dapat bersembunyi dengan aman, tak
nanti orang dapat melihat padanya."
Kiranya In Gwa Sian sampai di bawah pohon bersama-sama
It Hiong, Kiauw In tidak melihatnya karena ia sedang
mengawasi ke arah gubuk dan pikirannya lagi bekerja keras.
Habis mendengar suaranya sang paman guru, terus ia
melompat turun. "Paman tak menerka keliru" katanya setelah melompat
turun itu guna membikin dua orang itu tidak menjadi kaget.
"Siapa bersembunyi di atas pohon ini, dia dapat melihat jelas
kamarnya adik Hiong, hingga diapun dapat mengawasi gerak
gerik orang.." Hampir nona ini memberitahukan hal didapatnya
saputangan Giok Peng itu, ia membatalkannya ketika ia ingat
baiklah ia bersabar dahulu. Maka saputangan itu ia simpan di
dalam sakunya. In Gwa Sian memandang nona Cio sejenak lantas ia
berkata: "habis pertempuran, kawanan bajingan itu telah pergi
mengangkat kaki sedangkan orang-orang Siauw Lim Sie tidak
nanti ada yang berani melakukan pencurian ini. Siapakah
pencuri itu" Sungguh sulit untuk menerkanya.."
Tetap itu waktu, Giok Peng pun tiba. Maka berkumpullah
mereka berempat menjadi satu. Kiauw In mengawasi Nona
Pek. "Adik, apakah mendapat sesuatu petunjuk?" tanyanya. Ia
tersenyum walaupun mereka tengah berduka.
Nona Pek menggelengkan kepala.
"Aku mencari dari jurusan utara itu, aku tidak memperoleh
sesuatu" sahutnya. Senyumannya Kiauw In lenyap dalam sekejap. Ia ingin
menanya pula madunya itu, tetapi ia batalkan tiba-tiba.
Sebaliknya, ia menghela nafas perlahan. Seterusnya ia
bungkam. In Gwa Sian penasaran, ia lompat naik ke atas pohon. Dari
situ ia memandang keliling. Lekas juga ia loncat turun lagi.
"Tidak salah lagi" katanya, "orang pasti bersembunyi di
atas pohon ini! Mari kita kembali ke rumah, untuk berbicara di
sana". Dan jago tua ini mendahului membuka langkahnya. It
Hiong mengikuti, diturut oleh Kiauw In dan Giok Peng.
Tiba di rumah, mereka berkumpul di kamarnya si anak
muda. Giok Peng lantas menuang air teh buat sang paman,
setelah itu ia duduk di sisinya Kiauw In.
Pat Pie Sin Kit menghirup teh itu.
"Aku si pengemis tua belom pernah melihat kitab Thay Kek
Liang Gie Sam Cay Kiam itu" katanya.
"Tetapi aku merasa pasti itulah kitab ilmu pedang istimewa,
yang buat kaum rimba persilatan merupakan ilmu yang
langka. Ketika malam itu aku melihat kalian berlaga berdua
menempur Beng Leng Cinjin aku kagum sekali. Aku telah
menyaksikan gerak-gerik yang aneh dari pedang kalian. Jadi
itulah kitab pedang yang hilang?"
Kiauw In mengangguk membenarkan, tetapi ia
menambahkan : "Sebenarnya yang aku dan adik Peng
gunakan ada bahagian Liang Gie Kiam satu di antara tiga ilmu
pedang yang tersimpan di dalam kitab pusaka itu"
Im Gwa Sie berdiam agaknya dia berpikir: "Aku lihat ilmu
pedang itu lebih lihai dari pada Khia bun Pat Kwa Kiam ciptaan
terdahulu dari guru kalian si imam hidung kerbau itu"
Katanya. "Maka itu kalau kitab itu tidak dapat dicari pulang,
itu berbahaya sekali..."
Berkata begitu pengemis ini memejamkan matanya, alisnya
dan berkenyit. Nampaknya ia berpikir keras. Kali ini tidak
seperti biasa, ia tidak menyebut pula Tek Cio Siang jin sebagai
si imam hidung kerbau. Itulah kebiasaannya yang ia tidak bisa
buang, sedangkan terhadap imam-imam lain umpamanya It
Yap Tojin, ia biasa menyebut si imam campur aduk, imam
capcay... It Hiong berdiam saja. Tak berani ia mengganggu jalan
pikiran ayah angkatnya itu. Kiauw In dan Giok Pek turut
berdiam pula. Lewat sehirupan teh, baru kelihatan Pat Pie Sin Kit
membuka matanya. "Sekitar lima ratus lie dari Siauw Lim Sie ini ada orangorangnya
yang bertugas meronda" kata ia kemudian,
"Terutama diwaktu malam penjagaan keras sekali, maka itu
hal ini tak dapat tidak, perlu kita beritahukan kepada Pek Cut
Siansu supaya kita dapat minta dia memberitahukan muridmuridnya
menggeledah seluruh wilayahnya itu. Dengan begitu
kita akan peroleh mendusan."
Alisnya Kiauw In bergerak bangun.
"Pencuri kitab itu pastilah bukan sembarang orang"
katanya, "mestinya ia mengenal baik dengan wilayah ini, atau
paling sedikitnya dia tentu sudah membuat penyelidikan
sebelumnya dia melakukan pencuriannya ini, kalau tidak, tidak
nanti dia berhasil dengan cara demikian mudah, demikian juga
diwaktu berlalunya."
"Bagaimanakah ?" tanya In Gwa Sian heran. "Mungkinkah
kau mencurigai orang Siauw Lim Sie sendiri ?"
Nona Cio menggoyang kepala.
"Mulanya benar aku pernah menerka demikian" sahutnya,
"tetapi sekarang tidak..."
Kiauw In hendak menyebut juga halnya saputangan yang ia
ketemukan itu atau lagi-lagi ia membatalkannya. Ia pikir
saatnya belum tiba. Cuma kendati demikian, ia belum dapat
memikir sebabnya kesangsiannya itu.
In Gwa Sian bermata sangat tajam, pengalamannya pun
luas sekali, maka itu ia lantas dapat melihat keragu-raguannya
nona. Ia hanya heran kenapa nona itu beragu-ragu.
"Hm, bocah !" katanya kemudian dingin. "Nyalimu sungguh
besar ya ! Kenapa terhadap aku si pengemis tua kan masih
main teka-teki " Lekas kau bilang, kau sebenarnya ada
menemukan sesuatu apa ?" Sambil berkata demikian lalu Pat
Pie Sin Kit juga menatap tajam.
It Hiong dan Giok Peng heran, sendirinya mereka turut
mengawasi nona Cio. Kiauw In menjublak, inilah ia tidak
sangka. Habis itu ia duduk.
"Sebenarnya aku memikir" katanya kemudian perlahan,
"kalau toh pencurian dilakukan oleh orang dalam, itu bukan
perbuatannya salah seorang Tianglo diantaranya. Kalau orang
mencuri kitab, kenapa ia tidak sekalian mencuri pedangnya
adik Hiong " Kenapa kitab melulu yang dibawa pergi" Laginya
tentang kitab ini, orang mengetahuinya hampir tak ada.
Menurut aku, inilah bukan pencurian secara kebetulan saja.
Orang juga mesti lihai ilmu ringan tubuhnya, kalau tidak, tidak
nanti dia lolos dari pandangan mata kita, apa pula adik Hiong,
tak mungkin dia kena dikelabui. Setelah memiliki Hian-bun
siang Thian Khie-kang, mata dan telinganya adik Hiong luar
biasa jeli dan tajam. Maka si pencuri mestinya bertubuh
sangat ringan dan lincah ! Siapa pandai lari diatas rumput dan
baru dia dapat memasuki gubuk kita. Sebab ini, aku tak dapat
mencurigai orang dalam."
Berbicaranya si nona beralasan. In Gwa Sian yang cerdik
turut mempercayainya. Hanya It Hiong yang mengerutkan
sepasang alisnya. "Kakak" tanyanya, "kau pandai menerka, di dalam hal ini,
bagaimanakah pandanganmu ?"
Habis bersamadhi paling belakang, It Hiong mendapat
kenyataan Kiauw In cerdas luar biasa, si nona cerdik, bernyali
besar, hatinya mantap. Di dalam hal itu, ia dan Giok Peng
harus mengaku kalah. Kiauw In bisa melihat bingungnya tunangan itu. Ia
berkasihan tetapi ia dapat berlaku sabar. Untuk menghibur, ia
berkata : "Kitab pedang suhu itu istimewa, sulit buat
dimengerti, taruh kata orang dapat dibawanya kabur, didalam
waktu beberapa bulan saja, tak nanti orang dapat
memahaminya. Sekarang ini baiklah kita jangan bingun, kita
harus berlaku sabar. Perlahan-lahan saja kita mencarinya..."
Ia pula jawaban tak langsung bagi In Gwa Sian, maka si
pengemis tua lantas mana menghela nafas, ia tak bertanya
terus. Hanya didalam hati ia merasa sangat tidak puas.
Bukankah ia seorang ternama dan sangat disegani " Selama
beberapa puluh tahun belum pernah ia menemui lawan
setimpal, baru sesudahnya bertanding dengan Thian Cie Lojin
dari luar, pikirannya berubah sedikit tak lagi ia berkepala besar
seperti tadi-tadinya. Sedangkan paling belakang pertempurannya dengan Hang
Sam Kiam Kek membuatnya mesti berpikir panjang-panjang.
Sekaranglah ia insyaf, kepandaian silat tak ada batas
habisnya, batas kesempurnaannya. Entah masih ada siapa lagi
orang lihai yang ia belum tahu. Tek Cio SIngjin sendiri
membuatnya kagum bukan main.
Selagi berpikir itu lantas ia ingat akan halnya wantu ia
mengantarkan Hing ke Kiu Hoa San supaya anak itu diterima
sebagai murid oleh Tek Cio, disaat itu si imam telah
memberikan ia nasehat untuk ia mengundurkan diri guna
hidup tenang dan damai. Hanya ketika itu nasihatnya si imam
diberikan secara samar-samar.
Mengandal kepandaiannya yang lihai dan menuruti
tabiatnya yang jujur tetapi keras mengingat kepada tugasnya
sebagai manusia yang harus menolong sesama manusia
mulanya, In Gwa Sian tidak memperdulikan nasehat Tek Cio
itu, tetapi sekarang terutama disebabkan hasil
pertempurannya dengan It Yap, ia mulai insyaf. Berbarengan
ia juga mau percaya mungkinlah Thaykek Liang Gia
Sam Cay Kiam telah diciptakan Tek Cio guna mengamankan
dunia persilatan guna membasmi atau menundukkan kawanan


Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bajingan dari luar lautan itu. Maka itu, bagaimana pentingnya
kitab silat itu dan bagaimana celakanya apabila kitab tak dapat
dicari dirampas kembali....
Hanya itu, sia-sia belaka mereka berpikir, kitab telah
lenyap, bahkan pencurinya masih belum ketahui siapa
adanya... Jago tua itu duduk bersila sambil memejamkan matanya. Ia
berdiam saja. Giok Peng berdua It Hiong duduk berhadapan,
tampang mereka berduka, pikiran mereka kacau. Kiauw In
juga bingun walaupun diluarnya ia tampak tenang, inilah
karena ia mencoba menguasai diri. Ia memikir bagaimana ia
harus bertindak. Maka itu, sunyilah kamar.
In Gwa Sian yang paling dahulu membuka matanya dan
berjingkrak bangun sudah lewat sekian lama.
"Kau benar anak In !" kata dia nyaring. "Memang
kehilangan kitab ini tak dapat diumumkan, sebaliknya kita
harus mencarinya secara diam-diam. Siauw Lim Sie
mempunyai aturan keras. Tetapi muridnya sangat banyak,
siapa tahu kalau diantaranya ada salah satu yang buruk !"
Berkata begitu, jago tua ini bertindak keluar, jalannya
perlahan. It Hiong bangkit, terus ia menyusul ayah angkat itu,
waktu ia sampai di pintu, sang ayah sudah menghilang, tak
ada bayangannya lagi. Rupanya sekeluar dari ambang pintu,
dia lantas menggunakan ilmu ringan tubuhnya.
Kiauw In berpaling kepada si anak muda, ia tersenyum.
Katanya perlahan : "Kitab sudah lenyap, percuma kita bingung
tidak karuan. Sekarang mari kita melegakan hati supaya kita
dapat tidur. Besok baru kita berunding pula. Dengan tubuh
dan pikiran segar, mungkin kita dapat memikir sesuatu..."
Berkata begitu nona itu menarik tangan Giok Peng buat
diajak ke kamar mereka. It Hiong menengadah ke langit, ia menghela nafas. Tak
dapat ia berkata apa-apa. Toh ia menyesal dan mendongkol
sangat. Maka ia mengangkat kepalanya mengawasi langit.
Otaknya bekerja kera. Saking masgul, ia menghela nafas.
Ketika itu wajahnya muram dan suram. Di dalam hati ia kata :
"Berbulan begitu kita disimpan Kiauw In, kitab itu selamat tak
kurang suatu apa tetapi ditanganku belum satu malam, sudah
hilang lenyap dicuri orang !"
Sekembalinya ke kamar mereka, Kiau In menutup pintu. Ia
rupanya sudah memikir tetap sebab lantas ia mengeluarkan
sapu tangan putih yang ia dapat pungut itu sembari
mengibarkan itu di mukanya Giok Peng, ia tanya sambil
tertawa : "Adik Peng, adakah sapu tangan ini kepunyaanmu?"
Giok Peng mengawasi sapu tangan itu. Dengan lantas ia
mengenalinya. Ia mengulur tangannya guna menyambutinya.
Ia tertawa dan kata, "Terima kasih kakak ! Aku gila sekali,
entah dimana aku hilangnya !"
Kiauw In menyerahkan saputangan itu tetapi ia menghela
nafas. "Coba pikir dengan sabar adik, kapankah kiranya lenyapnya
saputanganmu ini ?" kata ia, sabar. "Di dalam satu atau dua
hari ini kau pernah memakainya tidak ?"
Ditanya begitu, hati Nona Pek tercekat. Maka ia lantas
meneliti saputangan itu. Ia merogoh sakunya dan
mengeluarkan sehelai saputangan yang serupa, yang ia awasi
juga. Berbareng dengan itu, otaknya bekerja.
"Kakak, dimanakah kau dapatkan ini ?" kemudian ia tanya,
agaknya ia heran. "Aku tidak ingat dimana pernah aku taruh
atau membuatnya lenyap. Mungkinkah saputanganku ini ada
sangkut pautnya dengan hilangnya kitab silat pedang itu ?"
Sebagai seorang yang cerdas, Nona Pek sudah lantas dapat
menerka. Memang lenyapnya saputangan itu gelap baginya
dan heran juga ia Kiauw In dapat menemukannya.
Kiauw In dapat bergurau. Ia tertawa. "Buat sekarang ini,
sukar untuk memastikannya." sahutnya.
"Hanya tempat dimana saputangan ini diketemukan olehku
sungguh mengherankan hingga itu dapat menimbulkan
kecurigaan. Adik, cobalah kau pikir secara seksama, mungkin
dari saputangan ini kau dapat menerka-nerka."
Lantas Nona Cio memberitahukan dimana ia menemuinya
saputangan itu. Giok Peng memikir lama juga, akhirnya ia
menggeleng kepala. "Sungguh tak aku ingat dimana dan kapan lenyapnya
saputanganku ini." katanya. "Ada kemungkinan jatuhnya
waktu kita pindah, yaitu dihalaman luar kuil."
Paras Kiauw In berubah, agaknya ia kaget.
"Kalau benar saputangan ini jatuhnya di halaman luar kuil,"
kata ia, "maka si pencuri kitab pedang tanpa disangsikan pula
mesti salah seorang pendeta disini ! Kalau dugaan ini benar,
tak sulit buat mencari pencuri itu ! Cukup asal kita minta
Paman In menyampaikannya kepada Pek Cut Siansu untuk
mohon Siansu memeriksa para kacungnya. Maka yang penting
sekarang ialah kepastian pikiranmu apa benar-benar
saputanganmu ini jatuh di halaman luar kuil."
Giok Peng berpikir pula. Keras ia menguras otaknya. Tibatiba
alisnya bangun berdiri dan parasnya pun menjadi merah.
"Apakah bukannya dia ?" dia berseru bertanya, giginya
dirapatkan keras satu dengan lainnya, suaranya sengit sekali.
Kiauw In sebaliknya. Dia tenang-tenang saja. Bahkan ia
dapat bersenyum. "Kau maksudkan Gak Hong Kun, bukankah ?" tanyanya
sabar. Giok Peng heran hingga ia melengak.
"Kakak, kakak..." katanya, "Kakak, cara bagaimana kau
dapat menerka bahwa aku maksudkan Gak Hong Kun?"
"Tak sulit menerkanya, adik," sahut nona yang ditanya.
"Begitu aku menemukan saputangan ini lantas aku menduga
dia. Itulah sebab saputangan ini tersulamkan tanda atau
lambang semasa kau gemar merantau. Siapa tak
mengenalmu, tidak nanti ia menyimpan saputangan ini. Atau
sedikitnya orang yang telah melihat dan mengetahui tentang
dirimu. Bukankah Hong Kun sangat tergila-gila padamu dan
nampaknya dia tidak mau melepaskan kau " Maka juga
mestinya dialah yang menyimpan saputangan ini, sampai dia
membuatnya hilang..."
Nona Cio menghela nafas, hingga kata-katanya itu jadi
terputus tetapi setelah itu ia meneruskan : "Hong Kun
menyebalkan tetapi cintanya terhadapmu tebal sekali, orang
yang cintanya demikian keras pantas juga dihargai...."
"Hmm !" Giok Peng memperdengarkan hinaannya. "Kakak,
manusia tak dapat dilihat dari macamnya saja ! Hong Kun
mirip seoarang sopan santun tetapi hatinya ngurak dan buruk
! Ketika itu hari dia memancing aku ke lembah di belakang
gunung mulanya dia bersikap sabar dan hormat, selewatnya
itu dia perlihatkan kebiadabannya! Dia berani mencoba
memeluk aku ! Rupanya disaat itulah dia telah sambar
saputangan ini. Selagi aku mendongkol dan gusar, wajarlah
kalau aku tidak perhatikan tangan jahatnya itu !"
Kiauw In tertawa pula. "Tetapi bagus ia mencurinya !" katanya. "Kalau dia tidak
mencuri sapu tangan ini, mana dapat dia meninggalkannya "
Pastilah kita tak dapat menerka dia...."
Giok Peng mengangguk. "Dalam hal ini, kakak kau benar juga." bilangnya. "Lagipula
lain orang tentu tak mempunyai keberanian dan kepandaian
untuk menyatroni gubuk kita ini sampai kita tidak
mengetahuinya..." Nona Pek berdiam sejenak, otaknya bekerja.
"Hanya sulitnya..." tambahnya kemudian, "kemana kita
harus cari dia " Dia tidak punya rumah tangga dan rumahnya
ialah empat penjuru lantas..."
Kiauw In tidak tertawa lagi, sekarang ia bicara secara
sungguh-sungguh. "Ya, memang sulit juga, "katanya. "Selain dari itu, kitapun
belum memperoleh kepastian bahwa dialah si pencuri. Aku
pikir dugaan kita ini jangan dahulu diberitahukan kepada
Paman In dan adik Hiong. Paman In beradat keras, bisa-bisa
dia langsung pergi ke Hong San mencari It Yap Tojin bangsa
keras kepala, kalau ia menyangkal, dia bisa bentrok pula
dengan paman. Itulah berbahaya buat paman atau sedikitnya
keduanya bisa celaka bersama. Adik Hiong menang ilmu
silatnya, latihan tenaga dalamnya masih kurang, ia sukar
dipastikan tentang kalah menangnya. Disebelah itu kita pula
bakal menghadapi pertempuran mati hidup dengan pihakpihak
jago luar lautan, kita jadi harus mengumpulkan tenaga.
Maka itu saat ini bukan saat yang tepat untuk kita melakukan
pertempuran mati-matian. Masih ada satu hal lain.
Diumpamakan benar Gak Hong Kun yang mencuri kitab belum
pasti dia berani pulang ke gunungnya, malah mungkin sekali
dia pergi menyembunyikan diri disebuah bukit atau lembah
atau hutan guna dia hidup menyendiri untuk mempelajari
isinya kitab. Maka itu adik, buat sementara sukarlah kita
mencari kitab itu..."
Giok Peng berduka sekali, hingga sepasang alisnya rapat
satu dengan lain, paras mukanya kucal dan muram.
"Hanya kakak," katanya kemudian perlahan, "mustahil kita
lantas tak berdaya mencari kitab itu..."
Kiauw In juga menghela nafas.
"Sabar adik," dia membujuk dang menghiburi. "It Yap
bangsa dingin dan angkuh, inilah tentu dikenal baik oleh Hong
Kun, maka itu aku lebih percaya lagi yang Hong Kun tak akan
pulang ke gunungnya. Asal kitab tidak terjatuh ketangannya
imam itu, kita jangan berkuatir terlalu, kita jangan bingung.
Aku percaya dengan kepandaiannya itu, tak nanti Hong Kun
dapat pecahkan artinya setiap jurus dari kitab itu, apapula
dalam waktu yang pendek. Maka itu adik, bersabarlah. Kita
toh tidak dapat mencari kitab dengan menjelajah seluruh
negara ?" "Habis bagaimana ?" Giok Peng masih mengotot. "Apakah
kita mesti duduk bertopang dagu sampai nanti orang datang
sendiri menggantinya ?"
"Benar adik. Biarlah dia nanti terjeblos di dalam jebakan
atau dia nanti membukakan palang sendiri ! Kalau kita pergi
mencari dia, itulah sulit. Hanya, buat menanti sampai dia suka
menghantarkan sendiri, kita harus mengandalkan kau, adik..."
Giok Peng heran hingga ia melengak.
"Apa ?" tegaskannya ia. "Daya apakah aku punya ?" Atau
mendadak ia melengak pula. Tiba-tiba ia ingat sesuatu. Lantas
ia menambahkan : "Gak Hong Kun sangat licin, aku kuatir dia
tak akan makan umpan pancing..."
"Kita harus mengatur daya supaya dia tidak curiga apaapa"
kaa Nona Cio, yang mengasah otaknya. "Dalam hal ini,
kitapun terpaksa harus mendustai adik Hiong, agar ia tidak
tahu apa-apa, hingga kalau perlu ia bagaikan mendusta diluar
tahunya !" Giok Peng mengawasi tajam.
"Daya apakah itu, kakak ?"
Kiauw In membalas menatap.
"Aku memikir untuk memakai kau sebagai umpan, adik"
katanya kemudian, "supaya Hong Kun menaruh kepercayaan
besar dan suka datang padamu. Hanya saja daya apa itu, aku
harus memikirkannya dahulu. Biar bagaimana, asal kau suka
berkorban sedikit, adik. Kau harus insyaf, inilah demi kitabnya
guru kita, jadi tak apa asal kau dapat bersabar dan menahan
malu..." Nona Pek tertawa hambar. "Jangan kuatir, kakak !" jawabnya tegas. "Untuk
mendapatkan pulang kitab itu aku bersedia melompat ke
dalam api berkobar-kobar sekali !"
Kiauw In tersenyum. "Aku cuma memikir" katanya. "Tak akan aku membuat kau
menderita. Atau kalau kau pun menderita juga, itulah cuma
untuk batas waktu yang pendek. Kitab lenyap ditangannya
adik Hiong, apabila kemudian ini diketahui bahwa kau
menderita untuk mendapatkan pulang kitab itu, mungkin dia
akan merasa kasihan terhadapmu dan cintanya main
mendalam." Giok Peng merasai mukanya panas. Pasti mukanya itu
merah sekali. Tapi ia lantas berkata, "Demiku, adik Hiong telah
menderita banyak, sedangkan kau kakak, kau memerlukan
aku sebagai adik kandungmu sendiri. Dilain pihak, budinya
guru kita besar bagaikan bukit. Maka itu jangan kata baru
menderita sedikit, biarpun tubuh ragaku hancur lebur, aku
rela. Aku bersedia berkorban jiwa ! Nah kakak, apakah
dayamu itu " Kau bilanglah ! Kau perintahlah aku !"
Nona Cio menghela nafas perlahan, itulah pertanda bahwa
hatinya dirasakan berat. "Ah, inilah cuma sebab aku membesarkan nyaliku" katanya.
"Karenanya aku memberanikan diri membuat kau menjadi
umpan pancing. Ini pula disebabkan aku ingat harga besar
dari kitab pedang itu. Bukankah itu karya guru kita yang
membuatnya dengan susah payah " Bukankah juga kitab itu
bakal mengenai nasibnya kaum rimba persilatan seumumnya "
Gak Hong Kun cerdas dan cerdik, kalau dia menyekap diri
dalam gunung atau lembah sunyi, paling lambat sepuluh
tahun pasti dia dapat pahamkan ilmu pedang itu. Syukur kalau
dia berbalik menjadi berbaik hati, jika sebaliknya celakalah
semua orang jujur sebab sekalipun adik Hiong sudah pandai
Hian boa sin Thian Khie-kang belum tentu dia dapat
mengalahkan Hong Kun. Kalau adik Hiong tidak sanggup,
siapa lagi yang dapat menggantikannya ?"
"Hong Kun menjemukan, tetapi aku lihat dia masih
mengenal perikemanusiaan" kata Giok Peng masgul. "Memang
dia sangat membenci aku dan adik Hiong, tetapi untuk dia
menjadi demikian jahat hingga dia mencelakai kaum rimba
persilatan seumumnya, mungkin tak nanti..."
Kiauw In tersenyum. "Gak Hong Kun itu" katanya, "jika tidak ada anggapannya
bahwa adik Hiong merampas kekasihnya hingga ia menjadi
sangat sakit hatinya, ada kemungkinan besar menjadi seorang
gagah yang berhati mulia. Dia berbakat baik dan cerdas,
gurunya pun lihai, mudah buatnya meningkat naik. Sayang dia
tidak cukup kuat hati buat menekan sakit hatinya itu. Ya
soalnya itu memang soal sulit dan kerenanya hatinya keras,
diapun sulit buat dikasih mengerti. Kita telah menjadi kakak
beradik. Aku pikir tidaklah halangannya apabila kita berbicara
secara terus terang. Sejak aku masih kecil sekali, rumah
tanggaku sudah mengalami bencana hebat. Ibuku menutup


Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mata siang-siang dan ayahku berasa ia gunanya kurang.
Sudah pergii mengucilkan diri. Syukur bagiku, aku dikasihhani
guru kita setelah sudi menerima padaku menumpang
padanya. Pay In Nia tinggi dan kecil, sangat jarang orang
mendakinya. Di sana aku hidup menyendiri, dalam kesunyian
dan ketenangan. Tempat itu cocok bagiku. Aku memang
gemar ketentraman. Karena keadaanku itu, aku telah bercitacita
mencari tempat mencil dan sunyi, guna membangun
sebuah gubuk di sana guna hidup menyendiri melewati
tanggal, hari, bulan dan tahun. Aku merasa hidup secara
demikian akan menyenangi hatiku. Siapa tahu aku justru telah
bertemu dengan adik Hiong ! Adalah itu jodoh atau hutang
lama yang harus dilunasi " Selekasnya aku melihat ia, aku
jatuh Cinta padanya, demikian juga dia terhadapku. Dengan
demikian maka dia telah merusak atau menggagalkan citacitaku
itu. Sekalipun didalam mimpi aku senantiasa ingat
padanya. Demikianlah sampai terjadi itu pertempuran dahsyat
di Lek Tiok Po. Coba tidak ada paman In yang membantu dia,
mungkin tubuhku sudah lama terkubur didalam tanah. Dia
pula yang membuatku membabat angan-anganku buat
menjadi seorang suci, hingga sekarang aku hidup terombangambing
di dalam dunia yang ramai dan penuh bahaya ini,
guna membantu dia dari kekacauan besar, buat melindungi
dan memajukan dunia rimba persilatan yang sejati. Demikian
hatiku yang tadinya tawar sekarang menjadi bergelora...."
Giok Peng menghela nafas berduka mendengar kakak itu
membuka rahasia hatinya. "Dasar kakak berbakat, cerdas dan cerdik" ia memuji.
"Bukan seperti aku yang hatinya gelap. Aku lain daripada kau
kakak. Setelah itu hari aku melihat adik Hiong, lantas aku
menjadi bagaikan orang edan, aku selalu membayanginya,
seperti malam itu aku duel dia sampai dikuil tua, sampai aku
tertikam pada lenganku. Terang adik Hiong tidak menyinta
aku, aku sendiri yang terus tak dapat melupakan padanya.
Maka tibalah saatnya yang Teng Hiang si budak licin
menggunakan akalnya membuat adik Hiong lupa dengan
kesadarannya hingga malam itu terjadilah peristiwa yang
sangat menyesalkan di loteng Ciat Yan Lauw. Malam itu kakak,
sebenarnya aku sendiri sadar sesadarnya, tetapi entah kenapa
aku tidak dapat menolak keinginannya selagi dia tak sadar diri
itu...." Giok Peng berhenti bicara dengan tiba-tiba mukanya
menjadi merah. Ingat peristiwa itu, ia malu sendirinya. Ia
menyesal. Itulah peristiwa yang membuatnya melahirkan
Hauw yan, anaknya yang manis itu.
Kiauw In tertawa. Nona ini tak lagi merasa jengah.
"Kita bukan manusia luar biasa, tetapi kita toh tidak tolol"
katanya. "Apa yang kita alami itu rupanya ialah yang
dinamakan takdir. Bicara tentang kita, kita pun harus bicara
perihal Gak Hong Kun. Aku seperti merasai bagaimana dia
menyesal, penasaran dan berduka...."
"Demikian adalah hal, kakak. Cuma apa aku bisa bilang "
Telah aku serahkan diriku pada adik Hiong, bahkan sekarang
aku telah mempunyai anak. Tak dapatkah Hong Kun
menyadari kedudukanku " Kenapakah dia seperti juga belum
mau melepaskan diriku ?"
"Bicara dari hal kepantasan memang Hong Kun tak dapat
menganggu pula kau, adik. Hanya kita harus bicara dari lain
sudut. Hong Kun bukan seorang manusia biasa, maka itu pasti
tabiatnya juga luar biasa. Dia cerdas dan gagah, adatnya
tinggi, tak heran kalau dia selalu mau menang sendiri,
selayaknya itu kalau dia tak sudi mengalah terhadap siapa
juga. Orang semacam dia asal dia menghendaki sesuatu tak
mudah dia mundur sendirinya. Benarnya sebelum hilang
nyawa belum dia mau berhenti. Hong Kun tahu kau telah
mempunyai anak, dia toh tak meau melupaimu. Inilah soal
yang sulit. Maka bicara tentang dia, ada dua kemungkinannya,
sudut baik dan sudut buruk. Sudut baiknya itulah cintanya
terhadapmu cinta suci dan kekal abadi, tak dapat dia
melupaimu. Asal dia melihat kau, cintanya muncul. Sudut
buruknya ialah dia sangat membenci adik Hiong dan
karenanya berniat menuntut balas, guna memuasi sakit
hatinya itu. Buat apa baru dia puas kalau kau dan adik Hiong
sudah pecah belah atau bercelaka. Dalam hal ini dia harus
dibuat takut sebab pasti dia dapat melakukan segala apa asal
maksudnya dapat tercapai. Karena dia cerdik dia dapat
memikir segala apa, sekalipun akal yang paling buruk. Dia
dapat menjadi pendekar, dia juga dapat menjadi cabang atas
jahat. Karena dia manusia luar biasa, dia harus dipandang
tidak seperti manusia biasa. Maka itu sekarang bagi kita
pertama-tama kita harus dapat menjaga diri baik-baik dan
kedua supaya secepat mungkin kita bisa mendapati kembali
kita ilmu pedang kita itu !"
Giok Peng berpikir keras, memikirkan kata-kata sang kakak.
Kiauw In bicara dari hal yang benar yang beralasan kuat.
Agaknya Nona Cio mengenal baik sifatnya Hong Kun. Maka hal
itu tidak dapat diabaikan.
"Kakak benar." katanya kemudian, mengangguk. "Benarlah,
biar bagaimana kitab itu harus dicari dan didapat pulang.
Bagaimana pikiran kakak " Apakah kakak telah dapat
memikirkan sesuatu " Coba tolong beritahu aku...."
"Aku telah memikirkan sesuatu hanya rasanya itu masih
kurang sempurna. Masih ada bagiannya yang harus teliti. Jadi
tak dapat aku pastikan pikiran itu dapat dilaksanakan atau
tidak. Kau setuju memberikan aku waktu satu hari lagi, bukan
?" "Tentu kakak !" sahut Giok Peng tertawa, walaupun
tawanya hambar. Ia tidak menanya menanyakan lebih jauh.
Inilah karena ia telah kenal tabiatnya kakak itu.
Dengan satu kibasan tangan Kiauw In memadamkan
penerangan didalam kamarnya itu, maka juga habis itu
keduanya terus naik keatas pembaringan buat merebahkan
diri. Sebelum pulas, masing-masing mereka itu berpikir sendirisendiri.
Kiauw In memikirkan bagaimana harus mengatur
keruwetan diantara Giok Peng dan It Hiong, serta bagaimana
caranya buat membikin Hong Kun mendengarnya dan nanti
suka datang memakan pancing. Dan Giok Peng memikirkan
apa tipunya Kiauw In itu yang mau membuatnya menjadi
sebagai umpan agar Hong Kun datang membantu, serta
bagaimana andiakata tipu itu, tipu belaka hasil menjadi
kebenaran atau kenyataan " Dan ia sendiri, bagaimana nanti
jadinya " Apakah kelak dikemudian hari tak nanti orang Sungai
Telaga menertawakannya "
Jilid 3 Hebat bekerjanya pikiran kedua nona itu, sampai fajar tiba
tak ada diantaranya yang dapat memejamkan mata dan tidur
pulas. Adalah Houw Yan yang tidur nyenyak telah membuka
matanya. Kapan ia mengawasi ibunya, ia tersenyum. Ialah
bocah yang belum tahu apa-apa...
Kiauw In yang lebih dahulu lompat turun dari pembaringan,
ia bertindak menghampiri Giok Peng hingga bisa melihat Nona
Pek sedang rebah mendelong saja. Lantas ia tertawa
perlahan. Segera ia mendekati telinga orang untuk berkata
perlahan juga "Sang surya sudah naik tinggi !"
"Oh !" seru Giok Peng perlahan, terkejut lantas ia turun dari
pembaringannya. Ia masih pepat pikirannya tetapi bisa ia
tersenyum. Lekas-lekas ia menyisir rambutnya dan mencuci
muka, untuk terus pergi ke dapur.
Kiauw In mengempa Hauw Yan, sembari tertawa ia kata
pada ibu si anak : "Aku duga tadi malam dia pun sukar tidur
nyenyak, maka itu naik kau lekas, panggil dia masuk untuk
sarapan pagi !" Giok Peng tersenyum, dengan sabar dia bertindak ke
kamarnya It Hiong. Pagi itu indah. sisa embun bergemerlapan diantara sinar
matahari. Sang angin bersiur membawakan harumnya bunga,
buah dan rumput. Gubuk pun sangat tenang dan damai.
Selekasnya Giok Peng melihat pintu kamarnya It Hiong, ia
terperanjat. Kedua daun pintu terbuka separoh, maka dia
mengernyitkan kedua belah alisnya yang lentik dan berkata
didalam hati : "Ah, dia lalai sekali. Kenapa dia tidur tanpa
mengunci pintu " " Ia berjalan terus, ia berpikir pula :"Kalau
toh dia sudah bangun, seharusnya dia menengok kakak In,
aku dan Houw Yan...."
Dilain saat, si nona sudah berada di dalam kamar. Kali ini ia
terperanjat saking heran bercampur kaget. Ia melihat
pembaringan kosong, tetapi pembaringan itu rapi. Sisa api
sudah padam. Ketika ia berpaling ke dinding disitu tak tampak
Kong Hong Kiam, pedang yang mengagetkan Bianglala.
Tanpa terasa Nona Pek berlompatan ke pembaringan,
maka disitu ia melihat sehelai kertas yang ada tulisannya yang
tertindih bantal kepala. Segera ia membaca :
"Kakak In dan kakak Peng yang baik ! Kitab pedang karya
guru kita bukan cuma lihai tetapi juga menyangkut soal
kehidupan kaum rimba persilatan seumumnya, tetapi diluar
tahuku telah aku membuatnya Bielang hatiku dengan
sendirinya menjadi tidak tenang. Lebih-lebih karena janji
pertemuan di Tiong Gok telah mendekati, tinggal lebih kurang
waktu dua bulan. Maka itu didalam waktu singkat ini, hendak
aku berbuat semampuku mencari dan mendapatkannya
pulang. Aku hendak mencarinya walaupun aku tahu
harapannya sangat tipis. Hatiku lega sesudah aku berdaya
semampuku. Lain tahun pada tanggal lima belas bulan
pertama pasti aku akan berada di Tiong Gok.
Kakak berdua, seharusnya aku menemui kalian guna
memberitahukan maksud hatiku ini tetapi karena aku kuatir
kalian mencegah terpaksa aku ambil ini jalan, pergi tanpa
pamitan lagi." "It Hiong" Masih sekian lama Giok Peng berdiri menjublak mengawasi
suratnya si adik Hiong itu, selekasnya dia sadar, dia lari
kepada Kiauw In. Nona Cio heran melihat orang datang sambil berlari-lari dan
mukanya pucat. Ia melompat bangun.
"Bukankah adik Hiong sudah pergi ?" tanyanya. Itulah
terkaannya yang paling dahulu.
Giok Peng mengangguk. "Benar," sahutnya sambil ia mengangsurkan suratnya It
Hiong. "Inilah suratnya, silahkan kakak baca !"
Kiauw In menyambuti surat itu dan membacanya dengan
cepat. "Dia tak dapat melenyapkan sifat kekanak-kanakannya,"
kata Nona Cio kemudian. "Dia toh tak punya endusan sama
sekali ! Habis, kemana dia mau pergi mencari ?"
"Bagaimana sekarang ?" tanya Giok Peng, pikiran kacau
disebabkan kekuatirannya bagi It Hiong.
"Perlu atau tidak kita memberitahukan Paman In " Kita
dapat minta paman memohonkan bantuannya kedua Siauw
Lim Sie supaya kedua itu mengirimkan murid-muridnya
mencari keperbagai penjuru...."
Kiauw In menggelengkan kepala. Ia menghela napas.
"Adik Hiong pergi sejak tadi malam, dia tentu telah melalui
perjalanan seratus lie atau lebih" katanya. "Jangan kata kita
dapat menyusulnya, taruh kata dia tersusul belum tentu dia
mau diajak pulang. Kecuali kalau paman In sendiri
menyandaknya...." Giok Peng berdiam matanya menatap sang kakak, siapa
sebaliknya memandang ke arahnya hingga mereka saling
mengawasi. "Habis apakah kita membiarkan saja dia pergi ?" kemudian
Nona Pek bertanya berduka tetap tak tenang.
Kiauw In tertawa walaupun nadanya berduka.
"Apakah dayanya untuk tak membiarkannya pergi ?" ia
balik bertanya. "Hanya dengan kepergiannya, bukan saja ia
sulit baginya untuk mendapatkan pulang kitab itu, ia juga
merusak rencana yang hendak kita atur. Tidak ada jalan lain
daripada kita bersabar menanti sampai lain tahun, sampai
pertempuran di gunung Tiong Gak itu...."
Giok Peng berdiam. Ia menyambuti pulang suratnya It
Hiong. Kemudian ia mengempo anaknya untuk terus duduk
menghadapi Kiauw In. Di depannya sudah sedia satu meja
barang santapan guna santapan pagi, tetapi tidak ada satu
diantaranya yang tertelan mengisi perutnya.
Cuma It Hiong yang mereka pikirkan dan kuatirkan.
Sang waktu berjalan cepat, sang tengah hari tiba dengan
segera. Ketika itu Pat Pie Sin Kit In Gwa Sian kembali ke
rumah gubuk. Kedua nona telah mengambil keputusan tidak
berani mereka menyembunyikan kepergiannya It Hiong itu.
Maka mereka lantas memberitahukannya.
Si pengemis menepuk meja.
"Anak itu sangat sembrono !" katanya keras. "Nanti aku
pergi susul dia !" "Adik Hiong telah pergi sejak tadi malam, paman." Kiauw In
mengasi tahu. "Mana dapat paman menyusulnya " Lagipula
paman tidak tahu akan tujuannya."
In Gwa Sian diam untuk berpikir.
"Benar juga." katanya kemudian. "Aku si pengemis tua
hendak membantui Pek Cut Siansu menyambut para
undangan. Walaupun waktu yang ditetapkan ialah tanggal
limabelas bulan pertama, ada kemungkinan dalam beberapa
hari ini akan sudah datang sejumlah tamu-tamu, ialah mereka
yang formasi tempatnya paling dekat dengan Siauw Lim Sie.
Mereka itu rata-rata kawan atau sahabatnya Pek Cat tetapi
diantaranya pasti juga ada sahabat-sahabat kekalku
sedangkan mereka semua pada mempunyai adat atau tabiat
atau kebiasaan yang luar biasa, yang angkuh dan dingin
hingga sulitlah untuk menyambut dan melayaninya jika terjadi
salah bicara sedikit saja, bisa-bisa mereka nanti angkat kaki
pula. Karenanya, tak dapat aku pergi dari sini."
Dia jagi tua ini menghela napas. Ia mendongkol berbareng
berduka. Hanya sejenak ia menambahkan : "Beberapa orang
sahabatku itu adalah orang-orang yang sudah sekian lama
mencuci tangan yang telah mengundurkan diri, hingga ada
kemungkinan orang -orang muda sekarang ini cuma beberapa
orang saja yang kenal atau ketahui asal usul mereka itu. Sejak
malam itu aku menempur Toian Cie Loid si kepala bajingan
itu, aku memperoleh kenyataan bahwa segerombolan setan
cilik itu sesungguhnya tak dapat dipandang ringan.


Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Demikianlah, tak dapat tidak, perlu aku mengundang kawankawanku
itu !" "Siapakah para tetua itu, paman ?" Kiauw In tanya. "Entah
pernah anakda mendengeranya dari guruku atau tidak..."
Ditanya begitu, In Gwa Sian tertawa terbahak-bahak. Dia
girang sekali. "Orang-orang undanganku itu sangat jarang bergaulan
dengan gurumu si hidung kerbau itu !" sahutnya gembira. Tak
pernah dia lupa menyebut nyalu : "sihidung kerbau." Kalau
lain oarng menyebutnya itulah ejekan untuk kaum imam (tosu
atau Tojin), tetapi buat ia, itulah caranya bergurau. Dia
sendiri-sendiri selalu menyebut dirinya si pengemis tua, atau si
bangkotan pemabukan. "Karena itu tidaklah heran jika dia
belum pernah atau tak pernah di depanmu. Dimata gurumu
itu, sahabat-sahabatku terhitung sebagai orang-orang malang
ditengah, jahat bukan, lurus bukan, sebab mereka tak suak
memikir mendalam siapa salah siapa benar, mereka mudah
bergirang, tapi juga gampang marah. Setahuku selama hidup
mereka belum pernah mereka itu melakukan kejahatan besar,
ada juga sebagai macam kejahatan atau kekejian kecil. Kalau
gurumu si hidung kerbau malu bergaul dengan mereka maka
mereka itupun belum tentu sudi menaruh mata kepada
gurumu yang layaknya kaya dewa alim ! Ringkasnya mereka
keuda pihak mirip api dengan air yang saling tak sudi memberi
ampun...." "Paman" berkata si nona Cio, "ingin keponakanmu berbesar
hati menambah sedikit dari pandangan paman, ialah mengenai
guruku. Memang diluarnya guruku tampak pendiam dan alim
bagaikan dewa serta berwibawa juga, tetapi sebenarnya
guruku sangat luwes dan pemarah !...."
In Gwa Sian menggelengkan kepala dan tertawa.
"Tok Cio si hidung kerbau itu" katanya, "walaupun ia pandai
ilmu silat luar biasa tetapi yang membuat orang
menghormatinya adalah sifatnya yang putih bersih, yang tak
tamak akan nama besar dan kedudukan. Harus diakui, siapa
yang lihai ilmu silatnya dan merasa dirinya dapat menjagoi
kalangan rimba persilatan, kebanyakan mereka itu
memandang ringan pada nama besar dan kedudukan tinggi,
sebaliknya, hati mereka tawar. Dilain pihak lagi, ada orang
yanglihai semacam itu tetapi tokh tak dapat mengalahi niatnya
Badai Awan Angin 22 Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo Hati Budha Tangan Berbisa 10

Cari Blog Ini