Ceritasilat Novel Online

Iblis Sungai Telaga 14

Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung Bagian 14


menonton, dia bermata tajam, dia bisa melihat keadaan.
Setelah mendapati Cukat Tan sudah letih, tak mau dia
berdiam saja. Ia berkuatir pemuda itu salah tangan dan roboh
ditangan musuh. Itulah berbahaya. Pemuda itu bisa
terbinasakan atau sedikitnya terluka parah. Maka ingin dia
membantunya. "Adik, kau beristirahatlah !" akhirnya dia berseru. "Kau
kasihlah kakakmu yang membereskan si manusia jahat !"
Dengan hanya satu kali berloncat masuk sudah si nona
dalam kalangan pertempuran dan dengan dua tiga kali
serangan saja, dia membuat dirinya menang diatas angin.
Cukat Tan merasai keletihannya, bagus si nona menggantikan.
Dengan lantas ia lompat mundur untuk beristirahat.
Gak Hong Kun menjadi mendongkol sekali. Belum tercapai
maksudnya membinasakan si anak muda itu, sudah datang
nona ini, satu tenaga baru. Ia juga telah merasa letih.
"Kalau aku berkelahi terus, bisa-bisa aku roboh." pikirnya,
maka itu sambil melayani Teng Hiang dia berkata : "Aku ingat
akan persahabatan kita, maka kali ini suka aku mengampuni
jiwamu, Teng Hiang ! Kau sebenarnya bukan satu manusia
yang baik-baik ! Kau berhati-hatilah ! Ingat olehmu, kekasih
yang baru tak sama dengan kekasih yang lama ! Ha ha ha
haaa.... !" Tak kepalang mendongkolnya Teng Hiang sampai ia
berkhayal dan pedangnya kena terasampok. Syukur bukannya
ditebas pedangnya menjadi tidak sampai terkutungkan.
Tengah ia terperanjat, lawannya sudah lompat mundur, untuk
terus memutar tubuh dan lari mendaki tanjakan.
Teng Hiang melengak mengawasi orang kabur. Ia tidak
mau mengejar, sebaliknya ia masuki pedangnya kedalam
sarungnya. Ia dongak melihat langit, sang pagi sudah tiba,
sang matahari mulai muncul......
Ketika itu, Cukat Tan sedang duduk mengatur
pernafasannya. Dengan perlahan si nona bertindak
menghampiri, untuk terus bertanya dengan suaranya yang
menyatakan dia sangat prihatin, "Adik, apakah kau terluka di
dalam ?" Cukat Tan menggelengkan kepala. Dia tidak menjawab,
bahkan dia duduk terus dan matanya tetap dipejamkan. Teng
Hiang tahu selatan, tak mau ia mengganggu. Menanya pula
dan tidak. Dia bertindak ke sisi si anak muda untuk berdiri
diam disitu, matanya melihat kelilingan. Sembari berdiam itu
dia seperti menjagai si anak muda dengan berbareng dia pun
beristirahat. Belum lama beristirahat dari bawah tanjakan terlihat dua
orang berlari-lari mendatanginya. Cepat larinya mereka itu,
cepat sekali mereka sudah datang mendekati. Mereka adalah
Cio Kiauw In dan Pek Giok Peng !
Kiauw In heran menyaksikan Teng Hiang berdiri disisinya
Cukat Tan yang lagi beristirahat itu, hingga dia mengawasi
saja. Tidak demikian dengan Giok Peng walaupun nona Pek
pun heran. "Eh, Teng Hiang, apakah kau bertempur dengan sahabat
Cukat ini " " tanya nona itu, nona bekas majikan.
Teng Hiang jengah. Sekarang mereka ada dari laIn
Golongan. Walaupun demikian masih melekat rasanya suasana
pergaulan majikan dan pegawainya. Maka atas teguran si
nona, dia lebih dahulu memberi hormat, baru ia menjawab :
"Jangan salah mengerti nona. Sekarang ini Teng Hiang
dengan tuan Cukat ini adalah sahabat-sahabat Kang Ouw."
Tiba-tiba si nona merasai mukanya panas hingga katakatanya
terputus...... Kiauw In melihat selatan, lekas-lekas dia mengedipi Giok
Peng, lalu ia berkata tertawa. "Nona Teng Hiang, selagi kau
turun gunung dari Koan JIt Hong, ada atau tidak kau melihat
seseorang yang segalanya mirip dengan Tio It Hiong ?"
"Ah, kakak In !" kata Teng Hiong tertawa. "Kenapa kakak
begini sungkan terhadap aku si Teng Hiang.....?" Dia hening
sedetik lalu meneruskan : "Adik Cukat ini baru saja menempur
orang yang kakak sebutkan itu. Mereka bertempur sama
sekali. Dia itu......"
Hampir Teng Hiang memberitahukan bahwa orang itu
adalah Gak Hong Kun, baiknya dia lantas ingat disitu ada Giok
Peng. Kalau dia menyebutkannya, bekas nonanya itu tentulah
bersusah hati. "Eh, Teng Hiang," tegur Giok Peng yang menjadi tidak
sabaran, "sejak kapan kau belajar bicara main terputus-putus
begini " Apakah di depanku kau masih mau main gila ?"
Teng Hiang cerdik, ia memutar haluan, sahutnya : "Orang
itu baru saja lari mendaki tanjakan ini, kalau nona mau
mencari dia baik lekas susul padanya !"
Ketika itu Cukat Tan sudah pulih kesegarannya, dia dapat
mendengar pembicaraan orang, lantas ia berbangkit bangun,
matanya pun dibuka. "Nona-nona, aku yang rendah telah menemui orang itu
sejak tadi malam." ia berkata tanpa diminta lagi. "Dialah orang
yang menyamar-nyamar menjadi saudara Tio. Menurut aku
dialah Gak...." "Kau biarkan kakakmu yang bicara ! " Teng Hiang
memotong si anak muda, sebab anak muda itu mau
menyebutkan namanya Hong Kun. "Nona, orang itu benar Gak
Hong Kun !" Kali ini sudah terlanjur, Teng Hiang menyebut terang
namanya si orang she Gak. Mukanya Giok Peng menjadi
pucat, dia melengak, matanya dibuka lebar-lebar.
Jilid 30 "Benarkah kata-katamu ini, Teng Hiang ?" tanyanya
kemudian. "Apakah yang mencurigakan kau maka kau
mengenali penyamarannya itu ?"
Teng Hiang mau bicara dengan sebenar-benarnya, maka ia
tuturkan hal pembicaraan diantara Tong It Beng dan Gak
Hong Kun semasa di rumah penginapan di kecamaTan Hong
bwe, bagaimana It beng menganjurkan Hong Kun menyamar
menjadi It Hiong guna memfitnah pemuda she Tio, buat
mengacaukan dunia Sungai Telaga. Ia jelaskan juga yang It
Hiong palsu itu telah memakai cat muka buatan luar negeri
hingga Hong Kun menjadi mirip sekali dengan It Hiong.
Mendengar itu Giok Peng membanting-banting kaki.
"Memang aku telah menerka bangsat itu." katanya sengit.
"Cuma sampai sebegitu jauh, belum ada jalan untuk membuka
rahasianya." "Dan kalian berdua," kata Kiauw In pada Teng Hiang dan
Cukat Tan, "kenapa kalian bertempur dengan Gak Hong Kun
?" Pertanyaan itu membuat canggung dua dua Teng Hiang
dan Cukat Tan, hingga muka mereka menjadi bersemu dadu,
hingga mereka saling melirik tanpa dapat memberikan
jawaban. Memang sulit buat mereka menceritakan halnya tadi
malam mereka sedang berbicara dengan asyik sampai
diganggu Hong Kun. "Sebenarnya Hong Kun benci aku." kata Teng Hiang
kemudian. "Dia membenci aku takut aku membuka
rahasianya, maka itu dia hendak membunuh kami berdua.
Begitulah kami berjanji bertempur disini."
Kiauw In cerdas sekali. Ia lantas mendapat satu pikiran.
Dengan sungguh-sungguh ia memegang tangannya Teng
Hiang dan kata halus : "Adik Teng ! Kau telah ketahui
rahasianya Hong Kun yang busuk itu. Dapatkah kau
membantu adik Hiong membersihkan dirinya " Kalau kau sudi
dapat kau menyebar perbuatan busuknya ini di muka umum
dan dengan demikian lenyap sudah penasaran adik Hiong."
Teng Hiang berpikir, matanya berputaran. "Kakak In,"
katanya kemudian, "dapatkah kau menanti sebentar bersama
adik Cukat ini " Hendak aku bicara dahulu dengan Nona
Pek......" Kiauw In mengangguk. Teng Hiang menghampiri Giok Peng
buat diajak menyingkir sedikit jauh. Keduanya lantas bicara
perlahan sekali satu dengan lain. Habis itu Giok Peng kembali
ke tempatnya. "Kakak mari !" Ia memanggil Kiauw In, tangannya
menggapai. Kiauw In mengangguk dan menghampiri. Cukat Tan heran
hingga ia mengawasi dengan mendelong. Ia cuma bisa
melihat kedua nona saling berbisik.
Kiranya Teng Hiang mengajukan syarat untuk ia dapat
menerima baik permintaannya Nona Cio dan syaratnya itu
ialah supaya Giok Peng menjadi perantara untuk
mencomblangi jodohnya dengan jodohnya Cukat Tan. Dalam
hal ini yang sukar yaitu soal menginsyafkan Len In Tojin,
ketua Ngo Bie Pay, gurunya Cukat Tan, agar guru itu senang
menerima Teng Hiang sebagai istri muridnya itu. Maka juga
perlu Nona Cio berunding dengan Nona Pek.
"Adik Peng, terimalah syarat ini." Kiauw In menganjurkan
Giok Peng sesudah ia mengasi keterangan pada nona itu,
yang nampak rada bersangsi. "Di dalam hal ini yang paling
penting ialah urusan adik Hiong, supaya perkaranya menjadi
terang dan dia bebas dari fitnah."
Giok Peng tidak melihat lain jalan maka ia mengangguk.
Dengan begitu, berdua mereka menghampiri muridnya Thian
Cie Lojin itu, Giok Peng sudah lantas menepuk bahunya budak
pelayan. "Teng Hiang," katanya, "urusanmu menjadi tanggung
jawab kami berdua kakak beradik, suka kami menerima
syaratmu itu ! Sekarang bagaimana dengan permintaan kami.
Sukalah kau menerimanya dan melakukan itu ?"
Teng Hiang menjawab lantas, dengan sungguh-sungguh ia
kata : " Untuk membeberkan rahasianya Gak Hong Kun, Teng
Hiang akan segera melakukannya. Buat itu ia bersedia
menyerbu api. Nah, beginilah janji kita, tak akan ada yang
menyesal dan melanggarnya !"
Habis berkata begitu bukan main bunga hatinya Nona Teng
ini hingga wajahnya terang dengan senyuman hingga
kecantikannya nampak mentereng sekali.
Tinggallah Cukat Tan yang ketika mengetahui urusan
jodohnya itu mukanya menjadi merah. Ia girang tetapi toh ia
likat. Di lain pihak diam-diam ia berkuatir gurunya nanti
menentang dan menguasirnya sebab ia telah memilih seorang
nona dari kaum sesat. Kalau gurunya menampik dan dia
digusur......... "Nah, disini kita berpisah dahulu," kata Kiauw In kemudian
kepada Teng Hiang dan Cukat Tan. "Aku pikir kita berdua
pihak bekerja masing-masing."
Lalu tanpa membuang waktu lagi, nona Cio ajak Giok Peng
berangkat. Segala-segalanya yang terjadi itu baik perbuatan terkutuk
dari Gak Hong Kun maupun jalannya pertempuran di gunung
Tay Sa, Tio It Hiong tidak tahu sama sekali. Ia turun gunung
dengan melihat matahari. Tanpa ia merasa, ia sudah
meninggalkan jauh markas Losat Bun. Ia telah melintasi
beberapa puncak, jalannya berliku-liku dengan jarak berbeda
kali. Ia bukan pergi ke tempat darimana ia datang, justru
sebaliknya. Ia justru menuju ke arah gunung Cu Liang San di
propinsi In lam, di sebelah baratnya propinsi itu.
Selama itu apa yang diingat It Hiong ialah pertemuan besar
di gunung Tay San serta keselamatan pamannya. Ia pun ingin
meminta obat pemunah racun dari Kiu Lam It Tok, guna
membersihkan racun didalam tubuhnya. Soal lain ialah soal
asmara, tentang istri dan anaknya. Ditengah pengunungan itu,
ia lebih banyak menggunakan Te Ciong Sut, ilmu ringan tubuh
Tangga Mega. Kalau tidak, entah berapa sulitnya ia mesti
melakukan perjalanannya itu. Ia lupa atau sebenarnya tak
tahu arah, ia menuju seenaknya saja, sampai ia sadar itu dan
menjadi terkejut karenanya. Sekian lama itu, ia belum
mendapati jalan umum. Ia juga tak bertemu dengan siapapun
di tanah pegunungan itu. Akhirnya ia berhenti berlari-lari.
Sambil berdiri diam, ia memandang sekitarnya, matanya
melihat, otaknya berfikir.
"Ah, aku telah berjalan satu hari penuh !" pikirnya. Ia tetap
berada di tanah pegunungan. Hari pun sudah magrib. Mana
jalanan untuk turun gunung " Tapi tak dapat ia berdiam saja,
terpaksa ia pergi mencari gua untuk berlindung malam itu.
Di depan ada sebuah pohon yang tengah berbuah. Melihat
buat itu, datanglah rasa laparnya. Ia ingat sudah lewat dua
minggu yang ia makan dua helai hosin ouw, baru sekarang ia
ingin makan pula. Maka ia petik buah itu dan memakannya
sebagai pengganti nasi. Sebab tak dapat ia sembarangan
menghamburkan obatnya yang manjur dan banyak khasiatnya
itu. Tak tahu It Hiong buah itu buah apa namanya. Macamnya
seperti buah toh, mirip buah kiekwee atau kesemak, besarnya
sebesar kepalan, kulitnya merah menggiurkan. Diluar kulitnya
yang keras, ada bulunya yang halus. Belum pernah ia melihat
buah semacam itu. Untuk memakannya, ia harus pecahkan
kulitnya yang berbatok. Isi buah putih terang dan bentuknya
bundar. Ketika ia telah memakannya, terasa buah itu harum,
lezat dan adem. Ia makan terus sampai sepuluh biji. Cukup
sudah, lenyap lapar dan dahaganya. Untuk bekal, ia memetik
lagi. Ia mengisikan penuh kantungnya. Buat itu ia sampai
berlompatan naik ke atas pohon.
Di saat anak muda ini mau meninggalkan pohon buah itu,
tiba-tiba ada bayangan hitam dari sesosok tubuh berlompat ke
depannya. Mulanya ia mengira seekor kera, kiranya itulah
seorang bocah perempuan usia lima atau enam tahun,
wajahnya manis dan diatas bibir kirinya ada tai lalatnya hitam.
Dia memelihara rambut panjang, yang teriap ke punggungnya.
Sagai pakaiannya ialah semacam rok, yang dari bahu sampai
ke lututnya, hingga tampak hanya sepasang lengan dan
betisnya. Kedua tangan dan kedua kakinya memakai gelang
emas. Semunculnya, bocah itu terus berdiri diam. Matanya
mengawasi pemuda itu. Matanya itu kebiru-biruan dan
sinarnya indah. Ia mengawasi orang dari atas ke bawah dan
sebaliknya. Dengan adanya bocah itu, It Hiong menerka didekat-dekat
situ tentulah ada rumah orang atau kampung pemburu. Ia
menghampiri bocah itu dua tindak dan sembari tertawa ia
menyapa : "Eh, nona kecil, apakah kau tinggal disini ?"
Nona itu tidak menjawab hanya dia menatap tajam, terus
dia menanya dingin : "Kau telah mencuri makan buah liokjiak

Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ko kami ! Berapa bijikah kau telah habiskan ?"
Ditegur begitu, It Hiong melengak. Belum pernah ia
mencuri barang orang. Ia makan buah ini sebab mengira
itulah buah hutan, tak ada yang memilikinya. Ia menjadi likat.
"Harap kau tidak salah paham, nona kecil." katanya
kemudian. "Aku tersesat di dalam hutan ini, aku lapar. Waktu
aku melihat buah itu, aku lantas petik dan makan. Berapakah
harganya buah ini" Akan aku ganti...." Ia terus merogoh
sakunya, mengeluarkan sepotong perak, terus ia
menganggukan itu. Tanpa sungkan-sungkan anak itu kata tawar : "Kau tentu
menganggap buah ini tak ada pemiliknya yang menjagai,
lantas kau lancang memetik dan memakannya secara mencuri,
lalu setelah kau tertangkap basah, kau hendak menggantinya
dengan uang ! Apakah dengan cara licin ini kau anggap dapat
kau membebaskan diri dari dosamu sebagai pencuri ?"
It Hiong sabar tetapi ia tidak puas. Nona itu ngotot dan
berlaku kasar. Ia melepaskan uangnya hingga jatuh ke tanah,
terus ia kata kasar : "Terserah kepada kau, kau terima uang
ini atau tidak ! Aku tidak mempunyai waktu untuk bicara lamalama
denganmu !" Ia terus memutar tubuhnya buat berlalu
dari rimba itu. Nona itu tertawa geli. "Adat keras !" katanya. "Sebentar
kapan, tiba saatnya kau hendak meminta obat pemunahnya,
baru kau lihat !" It Hiong melongo. Ia terkejut. Mendengar kata-kata si
bocah tentang obat pemunah, ia menjadi berpikir. "Apakah
buah ini buah beracun " Bocah ini masih terlalu kecil, tak
mungkin dia mendusta....."
Tanpa merasa si anak muda bergidik sendirinya.
"Nona kecil," tanyanya, "apakah gunanya buahmu ini "
Apakah beracun ?" Nona itu bersikap jenaka, baik wajahnya maupun
tangannya, yang dia bawa kemukanya, tangan kiri untuk
menutupi muka, tangan kanan buat menowel pipi.
"Eh....eh..., kau masih belum mau pergi ?" tanyanya
mengejek. "Apakah kau tak membawa lagi adatmu " Hm !
Mari, nonamu beritahukan padamu ! Buah yang menor itu
bernama liok jiak ko ! Bukankah barusan aku telah berkatai
kau " Buah itu tidak beracun, hanya mempunyai khasiat yang
luar biasa dalam hal membangunkan nafsu birahi. Setelah
lewat dua jam habis orang memakannya, datanglah nafsunya
itu. Walaupun kau seorang kakek kakek atau nenek nenek
yang sudah loyo, tak akan kau sanggup menahan dorongan
nafsumu itu ! Kecuali kau minta obat pemunahnya dari aku !"
"Liok jiak ko" itu berarti buah dari enam nafsu birahi.
Habis berkata begitu, si nona cilik nampak sangat puas,
mata dan alisnya memain, wajahnya manis dan menggiurkan.
Mendengar keterangan itu, lega hatinya It Hiong. Ia pikir,
kalau cuma gangguan nafsu birahi, itulah mudah. Ia kata
didalam hati : "Kalau saatnya tiba dan aku tidak dapat
obatnya, cukup aku menceburkan diri ke dalam air dan
berdiam di sana sampai aku kedinginan. Jadi tak usah aku
minta dari anak nakal ini !"
Dengan tampang sabar tapinya anak muda kita toh kata
pada nona itu : "Nona, kalau nona berkenan akan
menolongku, bagaimana andiakata kau memberikan aku obat
pemunahnya " Dapatkah ?" Ia terus memberi hormat.
Boleh dibilang tepat selagi ia berkata itu, tiba-tiba It Hiong
melihat tubuhnya si nona cilik berubah menjadi besar dan
tinggi, mirip dengan seorang nona usia delapan atau sembilan
belas tahun, dengan senyuman manis dia mengawasi si anak
muda. It Hiong heran hingga ia mengedip-ngedipkan
matanya, lalu mengucek-uceknya. Ia menyangka matanya
kabur seketika. Ia pula mengerahkan tenaga dalamnya untuk
memperkokoh batinnya. Ketika itu mungkin sudah jam permulaan, rembulan
bersinar suaram. Tidak salah It Hiong melihat seorang nona
elok dan manis sekali yang tubuhnya langsing bukan lagi
bocah kecil tadi. Nona tiu mempunyai wajah sama seperti si
bocah cuma tubuhnya menjadi tinggi dan besar. Bahkan tai
lalat hitam di ujung bibir kirinya tetap tak lenyap. Pakaiannya
juga tak berubah. Saking heran, It Hiong mengawasi. Bingung ia akan
perubahan tubuh orang itu. Kalau bukannya ia mungkin orang
menyangka nona itu seorang siluman atau jejadian. Karena
menyangka nona bukan orang dari golongan baik-baik, diamdiam
It Hiong meluruskan pikirannya dan mengerahkan ilmu
Hian Bun Sian Thian Khie kang buat bersiap sedia dari segala
kemungkinan. "Nona," kata ia kemudian, "sukakah nona memberikan obat
pemunah itu padaku " Nona jawab saja dengan satu
perkataan atau aku akan segera berlalu dari sini !"
Bukannya menjawab, si nona tertawa.
"Siapakah namamu ?" dia balik bertanya.
"Aku yang rendah Tio It Hiong muridnya Tek Cio Siangjin
dari Pay In Nia !" sahut It Hiong terus terang. "Dapatkah aku
menanyakan nama nona ?"
"Oh ! " kata si nona tertahan, lalu dia merapihkan
rambutnya yang panjang. "Aku Touw Hwe Jie."
It Hiong sedikit melengak. Nama itu pernah ia dengar entah
dimana. Nama itu rada aneh sebab artinya "anak aci." Maka ia
berpikir keras. Segera ia ingat pesan ayah angkatnya In Gwa
Sian. Di propinsi In lam ada seorang wanita buruk, namanya
Touw Hwe Jie, orangnya cantik tetapi centil dan kejam. Gemar
sekali mengumbar nafsu birahi gunanya selagi berplesiran dia
menghisap darah orang. Wanita itu katanya dapat lari keras
seperti terbang dan kepandaian silatnya lihai. Siapa menemui
wanita itu, jangan harap dia lolos dari bahaya. Wanita itu,
saking kejamnya digelari "Kip Hiat Hong Mo" atau si bajingan
edan, tukang menghisap darah. Sejak tiga puluh tahun dahulu
namanya wanita itu sudah terkenal dan ditakuti. Entah kenapa
dia menyembunyikan diri selama beberapa puluh tahun hingga
orang melupakannya. Selama itu maka amanlah wilayah
perbatasan propinsi Ilam dan Kwieciu itu. Siapa sangka
sekarang dia muncul di depannya anak muda itu.
"Mungkin dia sudah berumur tujuh atau delapan puluh
tahun." si anak muda berpikir pula . "Kenapa sekarang dia
menjadi seorang nona remaja " Kenapa tadi aku melihatnya
sebagai seorang bocak cilik ?"
"Nona Touw Hwe Jie." kemudian ia tanya saking herannya
itu, "nona bukankah gelaran nona ialah Kip Hiat Hong Mo ?"
Pertanyaan itu membuat si nona melengak. "Kenapa kau
ketahui gelaranku itu ?" dia balik bertanya.
It Hiong tertawa. "Pernah aku yang rendah mendengar
orang menyebut-nyebut tentang Kip Hiat Hong Mo Touw Hwe
Jie." sahutnya. "Katanya dialah seorang tua usia tujuh atau
delapan puluh tahun ! Kenapa nona sebaliknya begini muda "
Bukankah apa yang aku dengar itu bertentangan dengan
kenyataan " Karena itu, aku lancang menanya...."
Wanita itu tertawa nyaring. Rupanya dia gembira sekali
mendengar pertanyaan itu. "Kalian dapat dibilang sebagai
orang yang kurang penglihatan tetapi banyak rasa herannya !"
kata dia. It Hiong melengak. Ia memikir. Lekas juga ia berkata pula,
"Jika nona bukannya mengerti ilmu membuat diri menjadi
muda, kaulah seorang yang telah memalsukan namanya
Cianpwe Toaw Hwe Jie itu !"
Sekarang si wanita menunjukan tampang tidak puas. Tetapi
dia masih dapat tertawa, kata dia, "Kau boleh bilang
sesukamu hal itu, tidak ada halangannya denganku !"
It Hiong menganggap si nona luar biasa. Ia lantas memikir,
buat apa ia usil orang. Touw Hwe Jie atau bukan, yang terang
dia tentulah wanita cantik dan cabul, jadi perlulah lekas-lekas
ia meninggalkannya. "Ah, hari sudah tak siang lagi, aku yang rendah hendak
memohon diri !" katanya.
"Ya, sudah lewat jam dua." kata wanita itu, suaranya
tenang sekali. "Racun dari buah yang kau makan itu, sebentar
jam tiga akan bekerja. Dari itu kau masih dapat jalan jauh
juga...." Tak puas It Hiong mendengar lagu suaranya orang itu.
"Nona membekal obat pemunah, tetapi nona tak sudi
memberikan itu padaku, dan apa yang bisa aku bilang ?"
katanya mendongkol. "Aku mempunyai jalan buat
menyelamatkan diriku."
Begitu ia berkata, begitu si anak muda bertindak pergi.
Nona itu berjalan mengikuti, sembari jalan ia berkata
berduka : "Kau bertabiat tak sabaran, kau tidak mengerti
maksud orang. Nonamu memang ada membekal obat itu,
walaupun demikian hendak aku menanti dahulu sampai racun
sudah bekerja, baru aku akan memberikan obat padamu!"
It Hiong berjalan, tanpa menoleh. Biasanya, telinganya tak
dapat diakali. Kali ini lain, orang mengikuti tanpa suara
tindakan kaki. Itulah hebat, ia mendengar suara orang tetapi
tidak suara tindakan kakinya. Dalam herannya, ia toh
menjawab. "Aku tak membutuhkan obatmu." katanya. "Mau
apa kau mengikuti aku ?"
Nona itu terdengar tertawa. "Aku ingin melihat caranya kau
membebaskan dirimu dari racun buah itu !" kata dia.
"Andiakata kau gagal, kau membutuhkan obatku atau tidak ?"
"Tidak !" sahut It Hiong, singkat dan kaku.
Atas itu terdengar suara jumawa si nona : "Kau tak
membutuhkan " Kau bakal kalap dan berputar ! Kau nanti mati
melingkar ! Coba kau pikirkan, bagaimana sengsaranya akan
terbinasa dengan siksaan hebat semacam itu ?"
Belum sempat menjawab atau berpikir, It Hiong sudah
mulai merasakan dadanya sesak dan darahnya mulai berjalan
cepat, hawa nafsunya terus mendesak dan pikirannya bekerja
tidak karuan, menyusul mana matanya seperti melihat sesuatu
yang berkhayal. Ia terkejut. Tahulah ia yang buah liok jiak ko
telah mulai bekerja. Lekas-lekas ia mengatur pernafasannya
hendak ia menggunakan Hian Bun Sian Thian Khie kang yang
barusan ia tak siap siagakan lagi karena selalu melayani orang
bicara. Tapi ia kalah cepat. Racunnya buah bekerja terlebih
cepat daripada pikirannya itu. Ia merasai dua jalan darahnya,
jim dan tok, tak wajar lagi. Maka tak berjalanlah ilmunya itu.
Sebaliknya ia merasakan yang nafsu birahinya telah muncul.
Aneh racun itu. Kalau racun lain yang bahayanya dapat
ditolak Hian bun Sian Thian Khie kang, kali ini pengerahan
tenaga dalam itu bahkan mempercepat bekerjanya racun liok
jiak ko. Mukanya It Hiong lantas menjadi merah, seluruh tubuhnya
serasa panas. Ia mencoba mengekang nafsunya itu. Masih ada
satu jalan darahnya, dim-keng yang masih terlindung berkat
khasiatnya darah belut emas hingga pikirannya tak segera
menjadi kacau hingga ia ingat dirinya. Tanpa memilih jalan
lagi, ia lari sekeras-kerasnya. Ia beniat mencari telaga atau
rawa, dimana ia bisa menceburkan diri untuk berendam guna
mendinginkan tubuhnya itu.
Aneh Tou Hwe Jie. Dia dapat mengintil terus selama mana
dia berkata-kata sambil tertawa-tawa guna menggoda si anak
muda. Lama-lama It Hiong menjadi habis sabar. Kata-kata
orang membuatnya sebal. Selekasnya ia menahan larinya dan
memutar tubuh sambil menyerang dengan satu jurus dari
Heng Liong Hok Houw Ciang.
Hebat nona itu. Dia terserang secara mendadak tapi ilmu
ringan tubuhnya sangat mahir. Dia tidak menangkis, hanya
mendadak ia menjatuhkan diri setelah mana barulah dia
mencelat bangun untuk menyiapkan diri.
It Hiong tidak menyerang pula. Ia hanya lari lagi sampai ia
mendengar mendebarnya suara air tumpah yang terbawa
angin, maka kesanalah ia menuju dengan mempercepat
langkahnya. Ia menikung di sebuah tempat sesudah itu ia
lantas melihat curuk itu, yang airnya putih bagaikan perak
karena sinar suaram dari si putri malam. Airpun bermuncratan
seperti turunnya hujan. It Hiong lari ke kaki gunung, ke dinding di mana air tumpah
itu turun menjadi satu hingga merupakan sebuah kolam,
airnya jernih dan terang, seumpama kaca. Tidak bersangsi
sejenak juga, ia terjun kedalam kolam itu !
Kiranya kolam dangkal, cuma tiga atau empat kaki
dalamnya. Pula airnya bukan air dingin hanya air hangat.
Maka itu ia merendam di dalam air itu. It Hiong merasai
tubuhnya hangat bahkan lama-lama panas. Maka juga
nafsunya bukan berkurang tetapi justru bertambah !
"Celaka !" pikirnya.
Segera It Hiong lompat ke tepian ke darat. Untung baginya
otaknya tetap sadar. Ia lantas duduk diatas sebuah batu besar
untuk memejamkan matanya, guna memperkokoh hatinya. Ia
ingin mengusir racun dengan jalan bersemadhi. Sementara itu
si nona terus mengikuti. Dia tidak berbuat apa-apa, hanya menempati diri di sisi si
anak muda. Ia mulai memperdengar-kan suara nyanyiannya.
Suara itu merdu dan sedap memasuki telinga.
It Hiong tetap bertahan tetapi belum lama ia membuka
matanya maka tampaklah di depannya beberapa orang yang
ia kenal baik. Kiauw In, Giok Peng dan Tan Hong, juga Teng
Hiang dan Siauw Wan Goat. Lebih lanjut ia pun mendapatkan
beberapa nona yang ia pernah lihat. Hanya sekarang ini,
semua nona-nona itu justru lagi memperlihatkan gaya centil
dan ceriwis, semuanya genit-genit !
Masih It Hiong ingat akan dirinya. Hampir ia menjadi putus
asa. Ia mengangkat tangannya dan pakai itu menepuk
kepalanya, ia ingin supaya dengan begitu ia mendapat hati,
agar ia sadar seluruhnya. Berbuat begitu ia berbangkit untuk
berdiri. Sekarang si anak muda membuka matanya. Ia melihat
Touw Hwe Jie berdiri di depannya terpisah cuma tiga kaki.
Nona itu tengah menari-nari dan menyanyi-nyanyi, suaranya
tetap merdu sangat menggiurkan hati, sedangkan tari-tarian,
gerak geriknya sangat menggiurkan......
Di dalam keadaan tersiksa batin itu, It Hiong berkata
perlahan sekali : "Aku tak berdaya melenyapkan racunnya liok
jiak ko. Maukah nona memberikan aku obat pemunahnya "
Pertolongan nona ini akan aku ukir dalam hati sanubariku."
Mendengar demikian dengan lantas si nona menghentikan
nyanyian dan tarinya. Ia menghampiri sampai dekat pemuda itu. Ia tertawa. "Jadi
tak berhasil sudah daya upayamu guna membebaskan diri dari


Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

racun buah nafsu itu ?" katanya. "Obat itu berada ditubuhku.
Nah, kau ambillah sendiri !"
Dengan matanya yang jeli, Touw Hwe Jie menatap
mukanya si anak muda. Pada wajahnya tampak jelas
kegenitannya. It Hiong merasakan darahnya panas, nafsunya bergejolak.
Ia pun mengawasi si nona cantik yang keelokannya sangat
menggiurkan hati. Tanpa merasa, ia mendekati si nona, untuk
merangkulnya. "Nona..... nona.... mana obatmu ?" tanyanya. Dalam hal
obat pemunah, ingatannya kuat sekali. "Dimanakah kau
taruhnya ?" Nona itu tertawa perlahan. "Pengaruhnya buah itu adalah
membantu mendorong nafsu birahi laki-laki" kata ia. "Itulah
dorongan untuk orang dapat berplesiran dengan kepuasan.
Obat pemunahnya " Itulah tubuh wanita ! Masihkan kau
belum mengerti " Oh, kakak tolol !"
Kata-kata itu diantar dengan satu ciuman hangat.
It Hiong kaget sekali, ia tahu artinya kata-kata orang itu.
Sendirinya dia lantas mengeluarkan keringat dingin. Kagetnya
itu hatinya terbuka hingga ia lantas berpikir. "Aku Tio It Hiong.
Akulah laki-laki sejati. Mana dapat aku main gila dengan
wanita ini " Hilang jiwa tak berarti bagiku, tetapi kalau aku
merusak nama guruku, itulah hebat ! Biarlah aku menguatkan
hatiku ! Tak dapat aku mengiringi kehendaknya wanita ini !"
Dengan cepat It Hiong melepaskan rangkulannya dan
mundur setindak. Touw Hwe Jie maju satu tindak. Tak ingin ia melepaskan
ikan yang sudah terkena pancingnya. Ia maju sambil
menggertak gigi, ia menyenderkan tubuhnya di dadanya si
anak muda dan meletakkan kepalanya di bahu orang. Kata ia
dengan perlahan, "Aku tak menyayangi tubuhku yang putih
bersih, suka aku menyerahkannya padamu. Dengan begitu
juga aku jadi membantu kau dari pengaruhnya buah
keplesiran itu ! Itu kau tahu aku sangat mencintaimu ! Kenapa
kau masih tidak mengerti adikmu ini ?"
Berkata begitu si cantik mengelus-elus pipinya si anak
muda. Ia berkata dulu merdu. "orang tolol, apakah kau masih
belum mengerti kebaikan hati orang ?"
Berdekatan dengan si cantik It Hiong mencium bau yang
harum menyerang hati, tanpa merasa, terbangun pula
nafsunya, ia memegangi bahu orang.
"Kau baik sekali, adik, aku mengerti." katanya. "Tetapi
kitalah sama-sama orang yang terhormat, tak dapat kita
melakukan sesuatu yang menyaitui adat istiadat. Bagaimana
kalau perbuatan kita ini tersiar di muka umum " Nona, apakah
tak ada lain jalan untuk membebaskan aku dari racun buah
liok jiak ko itu ?" "Hmm" Touw Hwe Jie memperdengarkan suaranya, sambil
dia menggigit bibirnya. "Tak kusangka kau seorang Kang Ouw
tetapi lagumu mirip seorang guru sekolah ! Kami wanita begini
polos tetapi kau pula kau memikir terlalu jauh ! Sungguh lucu
!" It Hiong tidak melayani bicara, ia hanya memejamkan
matanya, sedangkan hatinya bekerja keras tetapi sia-sia
belaka ia hendak menenangkan diri itu. Pikirannya justeru
menjadi kacau dan di depan matanya kembali berbayang
tingkah polah genit dan ceriwis dari beberapa nona-nona serta
pria. Masih ia sadar, maka sebisa-bisa ia mencoba melawan
gangguan itu. Pengaruhnya liok jiak ko bekerja terus dan tiba pada
puncaknya, disaat mana terdengar tawa merdu dari Touw
Hwe Jie. "Kenapa kau tertawa, nona ?" tanya It Hiong yang
pikirannya mulai kacau. "Apa yang menyebabkan kau begini
gembira ?" Si nona berhenti tertawa tetapi sebagai gantinya ia
menatap orang. "Aku tertawa bukan disebabkan aku sangat
gembira." katanya. "Aku tertawa sebab lagakmu mirip pelajar
tolol. Bukankah peribahasa berkatai bahwa bunga mekar
harus dipetik dan jangan menanti sampai rontok hingga
tangkainya menjadi sundal " Bukankah sedetik berarti seribu
tail perak dan ketika yang baik sukar ditemukan " Kau begini,
bukankah itulah menandakan ketololanmu !"
Dan si nona tertawa pula.
Dalam kacaunya pikirannya, senang It Hiong mendengar
suara orang yang merdu meresap itu.
"Adik yang baik, kau harus mencari sebuah tempat dimana
kau dapat menolong aku menyingkirkan pengaruh buah liok
jiak ko itu....." katanya perlahan ditelinga orang.
Touw Hwe Jie melirik, terus ia memandang ke depannya
dimana ada dinding puncak.
"Kita pergi kesana." katanya. "Di sana ada gua batu...."
It Hiong mengangguk, jantungnya memukul. Touw Hwe Jie
mencekal tangan orang, lalu sambil berendeng mereka
menuju ke dinding puncak itu. Sudah mendekati jam empat,
selagi rembulan guram, muda mudi itu merasai siuran angin
gunung. Suasana pun sunyi.
Tiba-tiba terdengar suaranya seekor burung jenjang, yang
memecahkan kesunyian. Suara burung itu agaknya sedih.
Tubuhnya It Hiong menggigil, ia bergelendot pada tubuhnya si
nona, yang terus memegang dan memayangnya.
Touw Hwe Jie mengeluarkan liur. Ia bagaikan harimau
yang menghadapi anak kambing. Pikirannya terbuka. Ketika
itu tubuh mereka nempel rapat satu pada lain. Tiba-tiba ia
merasa sesuatu yang keras di pinggangnya si anak muda.
"Apa isinya kantung ini ?" tanya si nona heran.
Ditanya begitu It Hiong terperanjat. Ia ingat kantungnya itu
terisi buah liok jiak ko bekalannya ! Ia menjadi mendongkol.
Tanpa ragu pula, ia tuang semua buah itu ! Hal itu membuat
kemendongkolannya berkurang.
Sementara itu sang waktu tetap berjalan terus. Selama itu,
dengan sendirinya, It Hiong sudah menderita cukup lama.
Dengan lewatnya sang waktu berkurang juga pengaruh
kekuatannya racun liok jiak ko. Perlahan dengan perlahan,
berkurang pula desakan nafsu biarahinya, dengan
berkurangnya desakan tiu, jantungnya tak lagi memukul keras
seperti tadi. Itu pula berarti ketenangan. Dengan berdiam
anak muda kita itu menjadi terbuka pikirannya. Ia menjadi
sadar. Biasanya seorang pria tak dapat mempertahankan diri dari
godaan semacam itu sekalipun ia cuma makan sebiji buah.
Dengan It Hiong keadaan lain, ia kuat batin dan lahir sebab ia
mempunyai banyak keuntungan. Pertama-tama latihannya
telah sempurna, dapat ia memusatkan pikirannya. Asal ia
dapat mengatur pernafasannya dan bersemadhi, ia cepat
memperoleh ketenangan hatinya. Disebelah itu, ia dibantu
khasiatnya darah belut serta hosin ouw dan paling belakang
latihan ilmu pedang Gie Kiam Sut.
Selekasnya ia sadar, It Hiong ingat obat Kay Tok Tan Yoh,
hadiah pendeta tua dari kuil Bie Lek Sie. Tidak ayal lagi, ia
mengeluarkan peles obatnya itu, untuk mengambil beberapa
butir isinya, terus ia masuki kedalam mulutnya dan
menelannya. Habis makan obat itu, pelesnya disimpan pula.
Touw Hwe Jie melihat orang makan obat, cuma ia tidak
tahu obat itu obat apa, ia menatap si anak muda dan berkata
sambil tertawa manis, "Kakak yang baik, mari aku beritahu
kau ! Racunnya buah liok jiak kok cuma dapat dilenyapkan
oleh tubuh wanita, obat lainnya juga tak akan menolongnya !
Maka itu sia-sia saja kau makan obatmu !"
Ketika itu mereka sudah berjalan sampai di dinding
gunung. "Lihat gua itu" berkata Touw Hwe Jie sambil tertawa seraya
tangannya menunjuk. "Bukankah itu sebuah gua yang indah "
Kakak, mari kita memasukinya !" Dan ia mencekal erat-erat
tangan si pemuda buat diajak berjalan memasuki gua itu.
Mereka tetap berjalan berendeng.
It Hiong mengikuti. Ia membutuhkan waktu supaya
obatnya keburu larut di dalam perutnya. Agar obat itu dapat
mengusir racun . Tiba di dalam gua, si nona sudah lantas menyalakan lilin
yang berada di atas meja. Hingga It Hiong bisa melihat tegas
keadaan dalam gua itu, yang luas kira empat tombak persegi.
Ada meja dan kursinya yang semua terbuat dari batu.
Pembaringan terbuat dari batu juga, hanya pembaringan itu
berkelambu. Kasurnya tertutup seperti sulam, demikian juga
bantal dan kepalanya. Semuanya indah. Semua perlengkapan
lainnya seperti perlengkapan kamarnya seorang hartawan.
Yang lebih menarik hati, pembaringan itu menyiarkan bau
harum. Teranglah semua itu disediakan Touw Hwe Jie untuk
setiap waktu ia bersenang-senang dengan pria yang bakal
menjadi korbannya. Touw Hwe Jie heran waktu ia mengawasi It Hiong. Anak
muda ini berdiam saja mengawasi seluruh kamar, dia tak
"kalap" seperti pria yang, sudah yang lantas membawanya ke
pembaringan. Ia memegang tangan orang, untuk ditarik,
diajak duduk diatas pembaringan.
It Hiong sementara itu merasai panas tubuhnya sudah
berkurang banyak dan darahnya tak bergolak seperti taditadinya.
yang paling menyenangkannya ialah ia merasa
otaknya jauh terlebih tenang. Maka itu selagi berpikir hendak
ia mendapati bukti wanita ini benar Touw Hwe Jie atau bukan,
ia membiarkan ia diajak duduk diatas pembaringan. Justru
dengan begitu ia menjadi memperoleh kesempatan untuk
diam-diam mempersiapkan tenaga Hian Bun Sian Khie kang.
Si cantik itu mencium pipi si anak muda terus ia turun dari
pembaringannya, akan membuka bajunya hingga dilain saat ia
telah menjadi separuh telanjang hingga tampak kulitnya yang
putih dan halus. Tubuhnya itupun menyiarkan bau harum.
It Hiong duduk tetap, waktu ia melihat tubuh si nona
hatinya goncang. Masih ada sisanya racun. Tak mau ia
memejamkan mata supaya orang tidak mencurigainya.
Touw Hwe Jie naik pula ke pembaringan, akan duduk di sisi
si pemuda. "Eh," tegurnya tertawa, "aku telah siap memberikan obat
pemunah racun padamu kenapa kau tidak mau lekas
memakainya ?" It Hiong menguasai dirinya menahan gejolak jantungnya
yang memukul keras. Lekas-lekas ia mengeluarkan obatnya
buat menelan pula beberapa butir.
Kali ini si nona dapat melihat peles obat orang.
"Oh !" serunya. "Kiranya kau makan obatnya si kepala
gundul dari Bie Lek Sie !" Ia lantas menyambar peles orang
sembari ia kata : "Mari sini aku lihat !"
It Hiong menolak tangan orang dengan begitu ia
membentur tangan si nona. Ia merasai sebuah tangan yang
halus dan lunak, ia merasakan sesuatu yang membuat hatinya
goncang pula. Tapi ia sudah sadar. Mendadak ia berbangkit
akan turun dari pembaringan itu. Dengan cepat luar biasa, ia
menelan tiga butir obatnya.
"Lekas bilang !" akhirnya ia menegur, "kau pernah apa
dengan Kip Hiat Hong Mo ?"
Nona itu menoleh dan mengangkat kepala, dia tertawa
manis. "Bukankah telah aku bilang tadi." katanya. "Akulah Touw
Hwe Jie. Apa yang kau buat kuatir ?"
It Hiong terus melayani bicara. Ia mau menang waktu
supaya obatnya selesai bekerja agar sisa racun terusir
semuanya. "Bukankah Locianpwe Touw Hwe Jie sudah berusia delapan
puluh tahun lebih ?" katanya. "Kau sendiri nona, kau begini
muda ! Sebelum aku kenal atau mengetahui kau dengan baik,
tak berani aku bergaul erat-erat denganmu....."
Nona itu melengak sejenak, terus ia tertawa pula.
"Jodoh kita jodoh selewat jalan" katanya. "Kita bukannya
suami istri. Lelaki siapakah yang tak menghendaki kesenangan
semacam ini ! Tapi kau, dari siapakah kau mendapat pula
ajaran tolol ini " Heran, kuCing tidak sudi makan ikan......"
Tiba-tiba si nona menarik ujung bajunya si pemuda,
matanya menatap. "Mari kakak." katanya merdu. "Mari,
sungguh aku tak tahan...."
It Hiong melepaskan tangan bajunya itu, ia mundur.
"Seorang nona berbuat seperti kau ini, apakah kau tak
malu ?" tanyanya. Nona itu maju satu tindak ia menekan dahi orang.
"Ah, kau pria tak mempunyai jantung !" katanya sengit.
"Kau menyia-nyiakan kebaikanku !"
It Hiong menatap tajam. Disaat ini ia merasa sehat benarbenar.
Maka ia percaya tubuhnya sudah bersih dari sisa racun
liok jiak ko. Sekarang berubahlah pandangan matanya. Tak
lagi rasa tergiurnya walapun ia melihat terang tubuh yang
jangkung putih. Ia merasa jemu akan kelakuan centil itu.
Maka sekarang ia tak memperdulikan lagi nona itu Touw Hwe
Jie yang tulen atau yang palsu. Kata ia keras : "Karena nona
tidak mau memberitahukan tentang dirimu yang sebenarnya,
maafkan aku. Aku mohon diri !"
Terus anak muda ini lompat turun dari pembaringan untuk
bertindak keluar gua dengan langkah lebar.
Touw Hwe Jiterperanjat. Inilah ia tidak sangka. Dengan
begini ia insyaf yang It Hiong bukan kebanyakan pria
korbannya. Maka sia-sialah ihtiarnya sebegitu jauh akan
merobohkan hati orang. Karena pemuda ini mau pergi
meninggalkannya, tiba-tiba hatinya menjadi panas.
"Aku mesti binasakan dia...." pikirnya. Lekas-lekas ia
mengenakan pula bajunya sedangkan dari bawah kasur ia
menjumput sepotong sesuatu yang hijau, ia lantas libat pada
pinggangnya, kemudian dengan tersipu-sipu ia lari keluar
guna menyusul si anak muda.
Masih ada cahaya sisa rembulan. Kecuali suara angin tanah
pegunungan itu sunyi sekali. Di sebelah depan terlihat tubuh It
Hiong bagaikan bayangan yang lagi bergerak cepat. Si nona
tidak mengejar, hanya dia lari ke lain arah.
It Hiong sudah menyingkir kira tiga puluh tombak lebih dari
gua, baru ia menoleh. Ia tidak melihat Touw Hwe Jie
mengejarnya. "Sunguh berbahaya....." katanya di dalam hati. Sendirinya
ia menggigil kalau ia ingat detik-detik berbahaya tadi. Ia
berdiam sebentar guna menenangi diri, setelah itu ia berjalan
dengan perlahan memutari kaki gunung. Selekasnya ia muncul
dari sebuah tikungan, kira-kira tiga tombak di depannya, ia


Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melihat sebuah batu besar diatas mana seorang tampak
sedang duduk bersila. Ia menunda langkahnya, untuk terus
mundur satu tindak. Ia lalu mengawasi sangat tajamnya
sambil hatinya bekerja, "Jangan-jangan aku bertemu pula
dengan wanita siluman itu."
Orang di depan itu memang seorang wanita, kundianya
melingkar tinggi bagaikan naga, pipinya montok, mukanya
bundar seperti bulan purnama dan sepasang alisnya lentik. Dia
tengah duduk berdiam, matanya dipejamkan. Tubuhnya
tertutup oleh sabuk hijau. Kedua lengannya yang putih
tampak tegas. Menurut dandanan dialah seorang nona remaja
akan tetapi dilihat dari seumumnya, dialah seorang nyonya
muda. "Ah, masa bodoh dia siapa...." pikir si anak muda yang mau
terus melewatinya dengan cepat. Tak ada perlunya buat ia
mencari tahu atau menegurnya.
"Berhenti !" mendadak wanita itu berseru cepat selagi si
anak muda lewat di sisinya.
It Hiong mengangkat kepala. Untuk kagetnya, ia tidak
melihat wanita yang baru saja bercokol di atas batu. Selagi ia
keheran-heranan dari sebelah depannya ia mendengar suara
wanita keras sebagai berikut : "Eh, bocah, apakah kau
memikir meninggalkan Cang Lo Ciang dengan nyawamu masih
berada " Coba kau tanya dirimu, berapa tingginya ilmu
kepandaianmu." It Hiong menoleh. Ia melihat seorang wanita lain. Wanita
ini cantik dan tampangnya gesit dan sinar matanya menunjuki
bahwa dia berkepadiaan silat tinggi. Maka tak mau ia berlaku
sembarangan, ia lantas memberi hormat dan bertanya sabar.
"Cianpwe memegatku ada pengajaran apakah dari cianpwe
untukku yang muda ?"
Wanita itu tertawa. "Melihat dari wajahmu, suatu wajah, bukan sembarang
wajah, maka aku memberi ampun pada jiwamu !" berkata dia.
"Mari kau turut aku supaya kita bisa sama-sama menikmati
kesenangan istimewa ! Kau setuju bukan ?"
Hatinya It Hiong tercekat. Lantas timbul rasa tak puasnya.
Kembali ia menemui wanita muka tebal. Walaupun demikian ia
menekan hawa amarahnya. "Sebenarnya, kau siapakah cianpwe ?" tanyanya sabar.
Wanita itu menjawab cepat, suaranya tawar.
"Siapa lancang lewat di Ceng Lo Ciang ini, masih dia tak
ketahui namanya Touw Hwe Jie ?"
It Hiong heran, kembali Touw Hwe Jie. "Bukankah Touw
Hwe Jie ialah si nona yang mengganggunya satu malam
suntuk " Kenapa nyonya ini menyebut dirinya Touw Hwe Jie
juga " Habis ada berapa orangkah Touw Hwe Jie ?"
"Cianpwe, tolong cianpwe beritahukan gelaran cianpwe ?"
tanyanya. "Kip Hiat Hong Mo !" sahut wanita itu singkat.
It Hiong heran bukan main.
"Ini pula satu Kip Hiat Hong Mo !" katanya, seorang diri
mengulangi nama orang. Wanita itu turun dari atas batu, untuk menghampiri, untuk
secara tiba-tiba menyambar tangan orang.
"Mari turut aku !" katanya.
It Hiong terkejut sebab ia lantas merasai tangannya
kesemutan, tetapi ia tidak takut. Ia hanya mengagumi
kehebatan nyonya itu. Segera ia bertahan dengan sebuah tipu
dari ilmu silat pedang Gie Kiam Sut. Ia mengawasi wanita itu
dengan alisnya terbangun.
"Cianpwe !" tegurnya. "Secara diam-diam cianpwe
menangkap tanganku. Apakah perbuatan itu tidak
menurunkan derajatmu ?"
Wanita itu heran. Ia melihat si anak muda tidak kaget atau
meringis kesakitan sedangkan ia tahu cekalannya itu hebat
sekali. Setelah melengak sejenak, ia menambah tenaganya,
terus ia menyambar tangan orang sambil ia berkata :
"Robohlah kau !"
Tubuhnya It Hiong terpelanting tetapi ia tidak roboh seperti
kehendaknya si nyonya, sebaliknya dengan mengimbangi diri,
tangan kirinya mencekal itu sekalian dikebaskan sembari
mulutnya pun menyerukan : "Robohlah kau !"
Bukan main kagetnya si nyonya. Bukannya si anak mudah
yang roboh, adalah dia sendiri yang kena tertarik, banyak
syukur, dia pun lihai, selekasnya tangan si anak muda
terlepaskan dia dapat bertahan, dia cuma terhuyung dua
tindak. Dia lantas berdiri tegak terus ia memandang sinar
matanya yang bengis suatu tanda dia sangat mendongkol.
Tanpa mengucap sepatah kata dia meloloskan sabuknya yang
berwarna hijau mengkilat. Kiranya itulah seekor ular hijau,
panjang tiga kaki. Bagaikan kilat, dia meluncurkan ular itu ke
mukanya si anak muda sambil dia berseru : "Bocah, kau tidak
minum arak pemberian selamat, kau justru mau menengak
arak dendaan, maka kau rasailah makhlukku ini !"
It Hiong melihat senjata lawan itu ialah seekor ular hidup.
Ia kuatir kalau ular itu beracun, tak mau ia menyentuh dengan
tangannya, dengan berkelit sambil menjejak tanah, ia lompat
tiga tindak ke samping. Hebat ular itu ! Setelah gagal dengan serangannya yang
pertama itu, tubuhnya terus bergerak menggeliat ke samping,
untuk menyambar pula, sambil menyemburkan racunnya,
untuk memagut si anak muda !
Menampak orang bertindak keterlaluan, hatinya si anak
muda menjadi panas. Ia meraba gagang pedangnya untuk
"Sret !" menghunus senjatanya yang tajam luar biasa itu
untuk menyambut dengan satu tebasan ! Maka terdengarlah
satu suara putusnya semacam benda, terus tubuhnya ular itu
terkutungkan dan ujungnya jatuh ke tanah !
Nampaknya si wanita terkejut, tetapi dia tabah dan cepat.
Cepat luar biasa, potongan tubuh ular yang jatuh itu dia
pungut dan tempelkan potongan yang ada di tangannya, terus
ia pakai pula untuk mengulangi serangannya. Anehnya ular itu
dapat bergerak-gerak seperti masih hdiup !
"Cianpwe" tegur It Hiong, "kita tidak kenal satu pada lain.
Kita juga tidak bermusuh, kenapa cianpwe berlaku begini
keterlaluan padaku ?"
Wanita itu tidak menjawab. Dia menggerakkan tubuhnya
hingga terdengar pinggangnya bersuara, terus tangan
kanannya dilancarkan. Aneh tangan itu, yang tampak berubah
lebih besar dari tadinya, terus meluncur dengan lima buah
jerijinya menjambak, nampaknya lima menjambak,
nampaknya kelima jari tangan itu mirip cagak cagak besi.
It Hiong terperanjat saking heran. Wanita itu bagaikan
bajingan jadi-jadian. Ia lantas putar pedangnya, untuk
membabat ke belakang, sambil berbuat begitu, tubuhnya turut
berputar juga. Itulah suatu gerakan dari jurus silat Gie Kiam
Sut, maka dengan bergeraknya itu, tubuhnya terus melesat ke
depannya dimana terdapat sebuah jurang !
Selama itu, sang matahari sudah muncul tanpa terasa.
Itulah sebab sang waktu telah berlalu secara diam-diam.
Karena itu dari tepian, tampak bagian bawahnya jurang. Di
bawah itu ada sebuah jalanan yang berliku-liku berputar.
Maka ingatlah It Hiong akan kata-kata si wanita tadi. Tempat
itu disebutnya Ceng Lo Ciang dan "cenglo" artinya keong.
Jalanan dibawah itu berputar seperti macamnya sang keong,
seperti jalanan kucar. Kalau ia ambil jalan itu, mungkin ia akan
kembali kepada si wanita. Maka ia lantas mengambil jalan lalu.
Dengan satu gerakan pesat, tubuhnya mencelat tinggi tiga
tombak, meluncur ke lain arah, hingga ia berada di bawahnya
lainnya dinding puncak. Itulah lompatan Gie Kiam Sut.
Di bawah dinding puncak itu terdapat sebuah kali kecil
yang airnya mengalir deras hingga terdengar suara
berkericiknya yang berisik, alirannya berliku-liku dan airnya
jernih sekali hingga tampak dasarnya. It Hiong menghampiri
kali kecil itu, untuk meraup airnya untuk diminum hingga
beberapa kali. Air adem sekali, meminum itu rasanya sangat
nyaman hingga pikirannya terbuka.
"Jalanan disini sukar" pikir It Hiong kemudian. "Baiklah aku
turun ke air dan mengikuti alirannya, mungkin aku akan
menemukan jalan keluar...."
Pikiran itu diwujudkan. Anak muda kita turun ke air dan
berjalan mengikuti alirannya. Ia jalan berliku-liku. Ia merasa
jalannya makin lama makin rendah. Selang sekian lama, ia
tiba dimulutnya sebuah lembah dimana terdapat banyak batu
karang dan pepohonan. Dari lembah itu tampak beberapa
puncak. Air kali itu tumplak pada sebuah gua. Dengan begitu
aliran itu buntu. It Hiong berdiri diam, otaknya bekerja, telinganya
mendengari suaranya air. Untuk jalan di air itu, tak mungkin
lagi. Tengah ia berdiam, tiba-tiba ia mendengar suara orang
sebentar terdengar sebentar tidak. Sebab itulah suara yang
terbawa sang angin dan angin bersiur terputus-putus.
Mendengar suara orang, It Hiong menjadi bersemangat. Ia
mendapat harapan walaupun ia belum tahu orang itu jahat
atau orang itu baik......
Tanpa berpikir lagi, segera ia bertindak menuju ke arah
darimana suara datang. Jalanan tidak ada tetapi itu bukanlah
soal. Di tanah pegunungan itu memangnya tidak ada jalanan
manusia. Selagi menghampiri itu, kadang-kadang It Hiong mendapat
dengar suara. Ia menerka orang berbicara sendiri atau dua
orang berbicara saling sahut sembari mereka bersantap. Ia
berjalan terus hingga selanjutnya ia mendengar pula suara
orang itu. Tak mudah akan melihat lantas orangnya, orang
mungkin teraling batu karang yang besar.
"Paha kambing itu gemuk dan empuk." terdengar satu
suara, "dan ayam panggang itu gurih sekali. Mari minum, mari
minum !" It Hiong heran, tak dapat ia mencari orang itu, suaranya
terdengar terang, orangnya tak segera tampak. Ia mesti
berputaran mencarinya. Kadang-kadang suara terdengarnya
disebelah belakang. Di situ terdapat banyak batu karang,
hingga tempat itu seumpama hutan batu.....
"Aneh !" pikirannya. Hampir ia menggempur sebuah batu
besar yang menghadang di depannya saking penasaran. Ia
membatalkan niat menyerang itu karena ia mendapat pikiran
hancuran batu bisa mencelakai orang, baik orang itu orang
lihai atau orang biasa saja.
"Ah, kenapa kau tolol begini ?" akhir-akhirnya ia memaki
dirinya sendiri. Segera juga anak muda itu menjejak tanah untuk
berlompat mengapung diri naik ke atas sebuah batu karang
yang tinggi, hingga dari atas batu itu ia bisa memandang ke
sekelilingnya. "Ah !" serunya pula, kali ini dengan napas lega. Sekarang ia
bisa melihat orang yang suaranya ia dengar sekian lama itu.
Di bawah batu besar itu terlihat sebuah tempat sepuluh
tombak luasnya, tanahnya rendah. Di sekitarnya orang itu
terdapat banyak batu karang yang kecilan. Dia tengah duduk
seorang diri. Dialah tua yang berdandan sebagai seorang rahib
To Kauw Agama Lo Cu, rambutnya terkundiakan dan tubuhnya
tertutup jubah. Dia telah berusia lanjut. Dia duduk diatas
sebuah batu hijau, menghadapi setumpukuan "Cio lo" besar
dan kecil. Tangan kiri dia itu memegang sepasang sumpit
yang belang bentong dan tangan kanannya menjumput Ciolo,
untuk dimakan tak hentinya.
Saban-saban dia bicara seorang diri, bicaranya mirip dua
orang bicara satu dengan lain.
"Heran..." pikir si anak muda. Ia melihat orang makan Ciolo
"telur batu" dengan lahap sekali. Bagaimana Ciolo dapat
dijadikan barang makanan dan dia memakannya begini lahap
" Kalau dia bukannya seorang bajingan, pasti dialah seorang
pandai luar biasa yang sedang hidup menyendiri. Biar
bagaimana, dia mestinya seorang ahli silat.
Tengah dia keheranan itu, It Hiong melihat si orang tua
mengangkat cawannya. Dia tidak mengangkat juga kepalanya,
untuk berdongak mengawasi kepadanya tetapi dia toh berkata
nyaring. "Eh, laote. Kau begini berjodoh, marilah turun kemari
! Maukah kau minum bersama-sama aku ?"
It Hiong heran bukan kepalang. Ia pun dipanggil "lao te",
adik yang tua. Akan tetapi ia tertarik hati dan ia pun tidak
takut. Tanpa ragu pula, ia lompat turun akan menghampiri
orang tua itu, untuk berdiri sejarak tiga kaki terpisahnya.
Ia lantas mengangkat kedua tangannya untuk memberi
hormat sambil berkata : "Maaf, totiang. Aku yang muda ialah
Tio It Hiong. Aku menyesal telah datang kemari hingga aku
mengganggu ketenangan totiang."
Rahib itu memandangi si anak muda, lantas ia menunjuk
sebuah batu disisinya sambil tersenyum ia berkata : "Laote,
silahkan duduk. Aku si oarang tua masih mempunyai sisa dua
potong paha kambing. Itulah tepat buat dipakai mengundang
tetamu bersantap bersama !"
Jilid 31 It Hiong melihat bagaimana orang tua itu makan Ciolo
dengan lahap sekali. Ia tahu kalau seorang luar biasa suka
hidup menyendiri. Itulah disebabkan tabiatnya yang aneh,
banyak yang jumawa, maka tak mau ia banyak aturan lagi.
Orang tua itu tertawa lebar menyaksikan si anak muda
polos. "Sungguh kita berjodoh ! Sungguh kita berjodoh !" serunya
berulang-ulang kali. Itulah suatu tanda bahwa dia girang
sekali. Kemudian ia menyentil ke arah tumpukan Ciolo, maka
sebuah Ciolo sebesar telur angsa mental kepada si anak
muda, mentalnya perlahan. Dia menambahkan kata-katanya :
"Orang gunung tidak punya barang hidangan lezat, maka itu
laote silahkan kau coba daging bakar ini. Bagaimana rasanya
?" Dengan menunjuki wajah heran, It Hiong menyambuti Ciolo
itu. Diluar dugaannya, ia bukan memegang batu yang keras
hanya lembek seperti kue bopaw. Ia tidak lantas makan
"daging kambing" itu, sebab ia masih ingat baik sekali
pelajaran buah liok jiak ko.
"Terima kasih totiang." katanya hormat, "tetapi ilmu silatku
masih jauh dari sempurna, tak ada rejekiku untuk makan
barang hidangan lezat ini. Aku memulangkannya, harap
totiang sudi terima kembali. Maaf, maaf......" Dan
melemparkannya. Si orang tua seperti telah menerka penampikan itu, ia
mengangguk, terus ia membuka mulutnya, maka tepat sekali


Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dia menyambut Ciolo dengan mulutnya itu, untuk terus
dikunyah. Ia makan tanpa berkata apa-apa, maka It Hiong
pun berdiam saja mengawasi tuan rumahnya itu.
Sekaranglah It Hiong berkesempatan melihat tegas wajah
si rahib. Muka orang merah dadu, licin seperti mukanya
seorang anak muda, pipinya montok, janggutnya ialah yang
dinamakan "janggut kambing gunung" sebab kecil dan lancip
ujungnya. Sinar matanya orang itu sangat jernih dan
penampilannya bersih. Seumumnya dia mirip seorang
setengah tua. Tanpa merasa ia menaruh hormat.
Habis menelan Ciolo itu, si orang tua minum secangkir,
kemudian dia kata : "Aku sudah kenyang dan minum banyak,
sudah cukup, sudah cukup !"
It Hiong memberi hormat. "Cianpwe," tanyanya, "dapatkah aku yang muda
mengetahui nama atau julukan cianpwe ?"
Orang tua itu meletakkan cawannya, dia tertawa.
"Namaku si tua bangka sudah lama tak dipakai !" sahutnya,
"karenanya aku sampai melupakannya ! Adalah saudarasaudara
kaum Kang Ouw yang memberikan julukan padaku
yaitu Couw Kong Put Lo, maka itu kau panggillah aku dengan
sebutan itu !" Dia berhenti sebentar, lantas dia menambahkan, "Laote,
ilmu ringan tubuhmu tak dapat dibilang rendah, siapakah
sebenarnya gurumu yang terhormat ?"
Dengan sikap hormat, It Hiong menjawab, "Guru yang baik
budi dari boanpwe ialah Sin Siauw Hong gelar Tek Cio Siangjin
dari Pay In Nia." Couw Kong Put Lo mengangguk.
"Murid ajarannya Tek Cio si hidung kerbau, benar-benar tak
dapat dicela !" katanya. Seperti tingkahnya In Gwa Sian, dia
menyebut hidung kerbau pada rahib yang menjadi guru
tamunya itu. Dia bersikap wajar, tak likat, tidak terjumawa.
It Hiong sebaliknya melengak. Ia heran, pikiranya : "Orang
tua ini berkundia dan berjubah sebagai rahib To Kauw, kenapa
dia menyebut rahib lainnya dengan sebutan hidung kerbau ?"
Karena herannya itu, ia menatap muka orang.
Couw Kong Put Lo dapat menerka keheranan orang muda
itu. Dia tertawa terbahak-bahak dan kata : "Aku si orang tua,
aku gemar berdandan sebagai rahib To Kauw, tetapi
sebenarnya aku bukanlah orang kaum Sam Ceng. Laote,
janganlah kau mentertawakan aku !"
It Hiong tetap merasa aneh, hendak ia menanya pula atau
si orang tua mendahului padanya. Kata dia : "Pay In Nia
terpisah sangat jauh dari Ceng Lo Ciang, habis sekarang laote
berada disini, mau apakah kau ?"
It Hiong tahu baik, orang semacam orang tua ini tak
pernah banyak pernik, maka ia menjawab cepat dan polos.
"Selama berada di Ay Lao San, aku yang muda telah
tercemplung ke dalam jurang," demikian jawabnya, "di sana
aku menemukan sebuah gua hingga untuk tiba diatasnya aku
mesti merayap naik. Sebab aku tidak tahu jalan dan arah, aku
telah tiba disini. Aku justru hendak memohon petunjuk dari
cianpwe supaya aku bisa keluar dari ini tanah pegunungan,
buat aku lekas-lekas pulang ke Tionggoan....."
Orang tua itu mengangguk-angguk.
"Kau telah tersesat jalan sampai disini, laote," katanya.
"Selama itu sudah lewat berapa harikah?"
"Kira-kira tiga hari dua malam." sahut It Hiong.
Orang tua itu menatap muka orang, dia mengangguk.
"Imanmu kuat, imanmu kuat !" katanya berulang kali terus
dia tertawa, kemudian lantas dia tanya pula : "Kau bilang kau
berada di Cianglo Ciang ini sudah tiga hari dua malam, kecuali
kau si orang tua, kau telah bertemu dengan siapa lagi ?"
Parasnya si anak muda menjadi merah. Ia ingat halnya ia
telah makan buah liok jiak ko hingga ia membawa lakonnya
dengan Touw Hwe Jie, tetapi walaupun likat, toh dia
menjawab : "Selama itu aku yang muda telah menemukan
tiga orang, semuanya wanita dan ketiga-tiganya menyebut
dirinya Touw Hwe Jie......."
Pemuda ini menuturkan jelas sampai terakhir ia bertempur
dengan wanita yang menggunakan ular hijau sebagai senjata
mirip joan pian, hingga ia menyingkir sampai akhirnya
bertemu orang tua ini. Cuma satu ia umpatkan, yaitu halnya di
dalam gua ia sudah terpaksa main-main dengan wanita itu.
Couw Kong Put Lo tertawa berkakak. "Namun wanita
siluman itu" katanya nyaring, "kenapa dia sedemikian sabar,
sudah satu malam dia berkumpul denganmu tetapi toh dia
membuatmu dapat lolos ?"
"Tapi, Cianpwe" berkata It Hiong menegaskan, "orang
pertama yang aku ketemukan ialah seorang bocah usia lima
atau enam tahun, lalu seorang nona umur delapan atau
sembilan belas tahun. Sedang paling belakang dengan siapa
aku bertempur, seorang wanita setengah tua. Sama sekali aku
tak bertemu dengan orang perempuan itu...."
Orang tua itu tertawa lebih nyaring dan lama hingga
umpama kata tawa itu mengacaukan rimba dan lembah.
Setelah berhenti tertawa, ia berkata dengan sungguh-sungguh
: "Tahukah laote, Cianglo Ciang ini tempat apa " Inilah tempat
kediamannya seorang wanita yang tersohor kejamnya. Dialah
"Kip Hiat Hong Mo Touw Jie" yang kau ketemukan dengan tiga
orang wanita yang tak sama satu dengan lain. Itulah
kepandaiannya si wanita tua, yaitu ilmu Sin Kut Kang, ilmu
menciut tulang belulang atau tubuh, sedangkan sebenarnya
dia hanya satu orang !"
It Hiong terkejut saking heran.
"Sin Kut Kang ?" katanya. "Itulah ilmu yang aku belum
pernah dengar ! Ilmu apakah sebenarnya itu " Pengingatan
dan pendengaranku masih sangat berkurang, cianpwe.
Jadinya siapa mempelajari ilmu itu, dia dapat berubah-ubah
tubuh dan wajahnya sesukanya ?"
"Begitulah ilmu itu." sahut Couw Kong Put Lo. "Disamping
itu, dia dibantu banyak oleh air mani para korbannya hingga
wajahnya dapat berubah tua dan muda. Lebih-lebih kalau ia
mendapati air mani pria yang lihai ilmu silatnya, ilmunya
menjadi bertambah mahir. Demikian maka dia mendapat
julukannya itu. Kip Hiat Hong Mo, si bajingan edan tukang
menghisap darah ! Dengan darah sekalian dimaksudkan air
mani pria." Berkata sampai disini, orang tua itu menghela nafas.
"Kau tahu, anak muda." ia meneruskan, "aku hidup
menyendiri disini untuk memahami So Lie Kang, ilmu
kewanitaan, supaya dengan pandai ilmu itu dapat aku
menyingkirkan dia. Walaupun kemudian aku ragu-ragu dapat
mengalahkannya..." Orang tua itu berkatai bahwa ia sudah menyekap diri dua
puluh tahun lamanya. Sepasang alisnya It Hiong terbangun.
"Cianpwe !" katanya, "kau telah berilmu tinggi, sampai pun
batu kau dapat makan seperti barang hidangan lezat. Kenapa
cianpwe masih tak sanggup menempur wanita cabul itu "
Apakah masih ada lain kepandaiannya Touw Hwe Jie ?"
Dengan "batu" It Hiong maksudkan Ciolo, "telur batu".
Couw Kong Put Lo bersenyum. "Kau masih muda, laote.
Tidak heran kalau kau kurang pengetahuanmu." katanya. "Dia
sebenarnya mempunyai satu kepandaian yang dinamakan Sek
Bie Tay Hoat, yaitu ilmu paras yang menyesatkan. Dalam hal
ilmu silat tangan kosong atau bersenjata, aku tidak takuti
siapa juga. Dahulu gurumu si hidung kerbau itu sangat
tersohor sebagai ahli ilmu pedang tetapi pada tiga puluh tahun
yang lampau, pernah dengan tangan kosong aku melayani
ilmu pedangnya itu. Kesudahannya kami seri. Hanya dengan
keteguhan iman, aku kuatir aku tidak sanggup melawan Touw
Hwe Jie. Lantas melawan dia toh berarti membuang jiwa siasia
belaka, bukan ?" Tertarik It Hiong mendengar keterangannya si orang tua.
Ia percaya orang melebih-lebihkannya ketika berbicara
tentang Sin Kut Kang, ilmu memperciut tubuhraga itu. Ia
lantas tertawa : "Cianpwe, kanapa Bie Sek Tay Hoat itu
demikian lihai " Apakah locianpwe pernah menempur wanita
tua itu ?" Hampir It Hiong mengatakan apa orang tua itu pernah
dikalahkan si wanita, syukur ia lantas ingat dan dapat lekas
merubah kata-katanya itu, kalau tidak, ia bisa dipandang
sudah mengejek atau menghina orang tua ini.
Couw Kong Put Lo tidak menjawab, hanya dia berkata :
"Aku ingin ketahui jelas ialah tentang perempuan tua itu,
laote, maka itu coba kau terangkan kepadaku segala sesuatu
mengenai pertemuanmu dengan dia. Sekalipun kau telah
bersetubuh dengannya, hal itu jangan kau lewatkan. Kau
tuturkan semuanya. Itulah malah lebih penting sekali !
Tegasnya, hendak aku melayani dia dalam hal ilmunya Kip
Hiat itu, menghisap darah."
It Hiong tersenyum mendengar kata-kata orang itu.
"Menurutku, Touw Hwe Jie tidak mempunyai kepandaian
yang luar biasa sekali." katanya. "Ketika tadi fajar aku
meloloskan diri dari tangannya, kenapa dia tidak
menggunakan Sek Bie Tay Hoat, ilmu kepandaiannya yang
istimewa itu ?" Couw Kong Put Lo tertawa lebar.
"Eh, anak, kau sedang mudanya, kenapa kau tidak ketahui
tentang cinta kasih diantara muda mudi ?" tanyanya. "Ilmu
Sek Bie Tay Hoat itu dipakai bukan dengan jalan keras, hanya
dengan jalan halus dengan pengaruhnya harus elok, supaya
dengan begitu nafsu birahi pria dipancing dibangkitkan,
supaya orang tanpa merasa roboh dalam rangkulannya seperti
seerangga yang menyambar api, hingga orang mencari
matinya sendiri. Setelah orang roboh, dia akan menghisap
darah orang habis sampai pada sumsumnya !"
It Hiong mengangguk-angguk tetapi tak dapat ia setujui
keterangannya orang tua itu. Buktinya ia dapat bertahan dari
bujukan hebat dari Touw Hwe Jie, ia cuma hampir roboh......
Pemuda ini lupa yang ia dapat bertahan sebab ia
memperoleh terutama bantuannya obat pendeta dari Bie Lek
Sie. Si orang tua melihat si anak muda berdiam saja, ia belum
juga dijawab, maka ia mendesak. Katanya : "Laote, kau
turunkan segala apa dengan sebenar-benarnya ! Itulah
untukku. Keteranganmu dapat membuat aku menduga-duga
dia telah menggunakan Sek Bie tay Hoat atau tidak. Menurut
rasaku, dia tak akan menaruh belas kasihan terhadapmu...."
Terpaksa, It Hiong mengulangi penuturannya, kali ini tanpa
ada yang dilupakan. Menurut ia, mungkin ia telah menemui muridnya Kip Hiat
Hong Mo..... Couw Kong Put Lo nampak heran hingga dia menatap anak
muda di depannya ini. "Anak, bujukan atau rayuannya Kip Hiat Hong Mo didalam
guanya itu ialah apa yang dinamakan Sek Bie Tay Hoat."
katanya kemudian. "Apa mungkin kau telah menemukan atau
mendapatkan suatu ilmu lainnya hingga kau jadi dapat
bertahan dari godaannya itu ?"
"Sejak aku keluar dari rumah perguruanku, belum pernah
aku menemui sesuatu yang luar biasa," sahut It Hiong, "hanya
ketika aku terjatuh ke dalam jurang, disitu didalam sebuah
gua aku telah pelajari ilmu pedang Gie Kiam Sut sebab aku
mendapatkan pahatannya pada dinding gua. Tanpa guru aku
mempelajari itu, maka juga sampai sebegitu jauh aku cuma
bicara menyampaikan jarak tinggi tiga tombak lebih dan jarak
jauh sepuluh tombak lebih juga."
Orang tua itu menggeleng kepala. "Gie Kiam Sut adalah
ilmu pedang, bukannya ilmu tenaga batin yang dapat dipakai
menolak rayuan asmara." katanya. "Juga ilmu Hian Bun Sian
Thian Khie kang mu bukanlah ilmu yang dapat menentang
rayuan itu. Kalau benar segala keteranganmu ini, sungguh aku
tidak mengerti....."
"Benar-benar cianpwe, aku tidak mempunyai ilmu lainnya."
berkata It Hiong memberi kepastian. "Ketika aku dibujuk
memang beberapa kali hampir aku roboh tak berdaya, hatiku
menjadi kuat pula, selekasnya aku ingat perbuatan cabul itu
bisa merusak nama baik guruku. Tentang kekuatan iman saja,
cianpwe, aku rasa tak dapat aku melawan cianpwe....."
Couw Kong Put Lo mengangguk perlahan. Ia lantas
berpikir. Lewat kira setengah jam baru ia mengangkat
mukanya. Ia menatap pula si anak muda. Lalu mendadak ia
bertanya, "Laote, kau mempunyai kegembiraan atau tdiak
akan mengantarkan aku pergi ke guanya Kip Hiat Hong Mo
untuk kita membuat penyelidikan ?"
It Hiong tidak menerima atau menolak, hanya tanpa
berpikir lagi, ia berkata : "Aku sangat memikirkan soal
pertemuan besar di gunung Tay San, waktunya yaitu tanggal
lima belas bulan delapan. Aku perlu lekas pulang supaya aku
dapat mencegah bencana rimba persilatan itu. Aku minta
cianpwe tolong tunjuki aku jalan keluar dari daerah
pegunungan ini !" Si orang tua tertawa lebar.
"Kau memikir keluar dari sini, laote, itulah tak sukar."
katanya. "Aku pun dapat mengantarkan kau. Hanya saat
pertemuan besar itu, pertengahan bulan delapan sudah lewat.
Bukankah tadi malam pertengahan bulan itu ?"
It Hiong melengak. "Oh !" serunya tertahan. Saking
menyesal lalu wajahnya menjadi suaram. Ya, peristiwa sendiri
membuatnya lupa waktu. Sang waktu berjalan cepat bagaikan
anak panah. Demikian juga umur manusia, berapakah
panjangnya. "Cepat sekali, dua bulan telah lewat pula !" Dan
ia menghela nafas. Si orang tua mengawasi, ia berkata : "Waktu pertemuan di
Tay San sudah lewat, manusia tak dapat menahannya
karenanya disesalkan pun percuma ! Laote, kau hendak
melenyapkan bencana rimba persilatan, perbuatan itu dapat
kau lakukan dimana-mana dan di segala saat, maka itu kalau
kau dapat singkirkan wanita tua itu, bukankah itu sama
artinya " Dialah si wanita jahat dan cabul yang merusak !
Bahkan dengan menyingkirkan wanita itu, laote, namamu
bakal terlebih tersiar, perbuatanmu jauh terlebih mulia !"
It Hiong menganggap si orang tua benar. Tay San Tay Hwe
sudah lewat, tak dapat ia pergi terus kesana. Karena tak ada
halangannya kalau ia pulang terlambat beberapa hari pula.
Laginya dengan mencari si wanita itu, ia cuma memerlukan
waktu satu malam itu. Ia pula ingin ketahui jelas siapa


Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sebenarnya Touw Hwe Jie. Maka lantas ia mengambil
keputusannya. "Cianpwe, jika cianpwe tidak menyela aku, baiklah bersedia
kau mengikuti dan menurutmu!"
Si orang tua tertawa girang. "Dasar kau gagah, laote !"
katanya nyaring. "Kaulah pemuda berbakat dan penuh
harapan ! Pantas kau berjodoh dengan aku si orang tua !" Ia
berbangkit perlahan-lahan akan mengangkat kepala melihat
langit, kemudian menambahkan : "Kita berbicara saja, sang
waktu telah berlalu. Sekarang masih ada waktu, aku pikir baik
kita berangkat sebentar malam jam pertama . Karena
sekarang masih ada waktu senggang, laote, kau
beristirahatlah disini!"
It Hiong menurut, ia mengangguk. Ketika itu, sesudah
hatinya tenang, ia merasakan perutnya meminta makan. Maka
ia kata pada orang tua itu : "Aku mau pergi mencari barang
makanan, sebentar aku kembali."
"Ah, aku sampai lupa !" katanya. "Aku lupa bahwa kau
belum makan dan minum ! Kau tunggu saja, nanti aku si tua
yang mencarikan kau daging !"
It Hiong menurut, ia duduk menantikan. "Orang tua ini
main-main atau benar-benar ?" beberapa kali ia tanya didalam
hati. Masih ada keragu-raguannya, sebab orang tua itu agak
aneh. Belum terlalu lama maka berhentilah It Hiong berpikir.
Saking letih dan kantuk, tanpa merasa ia tidur kepulasan.
Berapa lama ia telah tidur nyenyak, ia tidak tahu. Kemudian ia
mendusin sebab hidungnya mencium bau harum dari daging
bakar, waktu ia membuka matanya, ia melihat orang tua
tengah memanggang kambing. Seekor kambing gunung yang
kecil terletak tergantung diantara api tabunan, bau harumnya
terbawa angin. It Hiong mendapati, karena nyala api tempat disekitarnya
itu menjadi terang sekali. Ketika itu sudah mendekati jam
pertama. Ia berbangkit dengan merasa segar, lenyap letih dan
kantuknya. Ketika ia mendekati kambing, terbangunlah nafsu
makannya dia bahkan bau harum daging panggang itu.
"Benar rejeki mulutmu, laote." kata si orang tua tertawa.
"Kau mendusin dari tidur yang nyenyak, justru kambing
matang." Lantas orang tua itu mengangkat kambing panggang itu.
"Mari !" ia mengajak si anak muda. Ia mematahkan sepaha
kambing, diangsurkan pada kawannya yang muda itu. "Kau
cobailah panggang dagingku ini !" Ia terus merabai
pinggangnya, guna meloloskan cupu-cupu araknya. Sembari
membuka tutup cupu-cupu itu, ia menambahkan, "Arak bunga
putih ini tak dapat dicela, siapa meneguknya, semangatnya
terbangun hingga itu ada baiknya buat sebentar kita bekerja."
It Hiong menyambuti daging sambil mengucap terima
kasih. Ia lantas makan dengan lahapnya hingga daging itu
habis. Sesaat kemudian, ia mengambil paha yang kedua. Ia
pun minum arak hingga tempat arak itu senantiasa berpindah
tangan. Setelah menghabisi paha yang kedua ini, It Hiong melihat si
orang tua sudah selesai makan, dia sedang menengak habis
araknya. Nyata dia kuat sekali makan daging kambingnya
tanpa sisa. "Cianpwe" tanya si anak muda kemudian. "Bagaimana
caranya sebentar dia menyelidiki Kip Hiat Hong Mo ?"
"Sebentar kau hendak mencoba menantang ilmu Sek Bie
Tay Hoat dari Kip Hiat Hong Mo" sahut orang tua itu. "Selama
itu laote, kau bersiap-siap saja disini. Apa yang aku kuatirkan
ialah hatimu nanti tergiur dan kau tak dapat bertahan ! Selagi
aku melayani dia, mana dapat kau membantumu " Baik kita
pikirkan satu cara yang sempurna."
It Hiong berpikir. Ia menyangsikan kekuatiran orang tua
itu. Bukankah sudah terbukti ia sanggup melayani atau
menantang ilmunya Kip Hiat Hong Mo "
"Bukankah lebih baik kita menempur ilmu silatnya ?"
tanyanya. "Buat apa kita melayani pula ceriwis yang cabul itu."
"Kau benar anak muda, tetapi aku memikir lalu," sahut si
orang tua. "Sudah dua puluh tahu aku memahamkan ilmu So
Lie Kang, sekaranglah waktunya aku mencoba mengujinya.
Dia biasa menghisap manik dan darah orang, aku hendak
mencoba atas dirinya, supaya aku yang menghisap hingga dia
kehabisan tenaganya dan mati karenanya. Dia berbuat jahat
secara demikian terhadap banyak orang lain, hendak aku
membalaskan sakit hati mereka itu dengan caranya sendiri.
Mungkin dia menyesal atau mati puas karenanya."
"Bukankah lebih baik kita membinasakannya dan
membakar mayatnya ?" tanya pula It Hiong. "Kenapa kita
mesti mencoba-coba " Bukankah itu perbuatan tak cerdik ?"
Couw Kong Put Lo memperlihatkan tampang sungguhsungguh.
"Bicara dengan sebenarnya, laote." katanya. "Jika
aku berhasil menghisap darah dia itu, dengan sendirinya aku
memperoleh bantuan tenaga hingga pemahamanku
memperoleh kesempurnaan. Sampai itu waktu maka di dalam
dunia rimba persilatan ini, akulah si jago tunggal ! Ha ha ha !"
It Hiong melengak, lantas ia sadar. Maka berpikirlah ia,
"Kalau begini, kau juga bukanlah orang baik-baik !" Karenanya
ia pun memikir untuk bila saatnya tiba, akan menyingkirkan
orang aneh ini. Keduanya mereka itu, satu wanita dan satu
pria sama kejamnya. Untuk tak membangkitkan kecurigaan
orang, ia lekas-lekas berkata : "Cianpwe, bagaimana kalau aku
mengintai selagi cianpwe menempur perempuan itu " Dengan
begitu mudahlah aku turun tangan bila itu diperlukan."
"Begitu pun baik." sahut si orang tua setelah dia berfikir
sejenak. "Cuma janganlah laote mengintai terlalu jauh dan
jangan kau simpangkan perhatianmu, itulah berbahaya
buatku." "Aku mengerti cianpwe !"
"Baiklah, begini janji kita !" kata si orang tua.
Selanjutnya sambil menanti tibanya jam dua, bahagian
terakhir jam pertama itu, keduanya berbicara dari hal lainnya.
Selekasnya jam tiba, berdua mereka meninggalkan tempat itu.
It Hiong jalan di muka. Keduanya berlari-lari.
Nyatanya Couw Kong Put Lo ketahui Kip Hiat Hong Mo,
waktu mereka tiba, dia yang paling dahulu menghentikan
langkahnya. "Sudah sampai ?" katanya. "Pantas ilmu ringan tubuhmu
lihai sekali, kau dapat menyamai aku si orang tua !"
It Hiong berhenti berlari, ia berpaling kepada si orang tua
atau segera ia berdiri melengak.
Orang tua itu tak lagi berjanggut seperti janggut kambing
gunung dan mukanya juga tidak keriputan seperti semula ia
menengokkannya. Di depannya sekarang berdiri seoraang
muda sebaya dengan ia, tampan sehat.
"Locianpwe !" katanya heran, "kau juga dapat merubah diri
menjadi muda belia " Apakah ilmumu ini ilmu awet muda atau
itulah hasilnya pemahamanmu atas ilmu kewanitaan So Lie
Kang?" Orang tua yang ditanya itu tertawa terbahak-bahak. "Inilah
hasil pelajaran Sang Seng Sie yang aku pahamkan." sahutnya
terus terang. "Itulah ilmu kehidupan. Ilmu ini jauh lebih
menang daripada ilmu awet muda. Dengan ilmu ini, dapat aku
merubah wajahku dengan anak kecil, orang muda, orang
setengah tua ataupun orang tua, segalanya sesuaka hatiku.
Hanya inipun masih ada cacatnya...."
"Apakah cacat itu locianpwe ?" tanya It Hiong. "Dapatkah
locianpwe menjelaskan padaku supaya aku memperoleh
tambahan pengetahuan umum ?"
Nampaknya senang si orang tua atas pertanyaan itu.
Lantas ia mengawasi ke arah lembah. Ia sudah berjalan pula
tetapi ia lantas menghentikannya. Ia menghela nafas.
Sahutnya, "Cacatnya ialah aku dapat merubah wajah tetapi
tidak tubuhku seluruhnya. Karenanya Sin Kut Kang masih
menang setingkat...."
Mendengar suaranya si orang tua, It Hiong mengawasi.
Benarlah kata si orang tua itu. Tadi ia cuma melihat muka, tak
tubuh orang. Memang tubuh orang tua itu tak berubah sama
sekali. Beda dengan Kip Hiat Hong Mo yang dapat berubah
seluruhnya. "Tapi itulah tidak apa !" katanya kemudian. "Kau telah
berubah menjadi muda ! Siapakah lain orang yang ketahui
perubahan wajah locianpwe ini ?"
Orang tua itu tampak puas bahkan jumawa. "Karena
kepandaianku merubah wajah ini, orang Kang Ouw telah
memberi gelaran Couw Kong Out Lo itu padaku !" kata dia,
habis mana dia bertindak pula memasuki lembah.
"Put Lo" itu berarti "tak tua."
Baru jalan sepuluh tombak, mendadak Couw Kong Put Lo
menghentikan langkahnya, dia menoleh pada kawannya dan
katanya : "Laote, pernahkah kau tiba dilembah ini ?"
Ia Hiong melihat keseputarnya.
"Belum pernah" sahutnya.
Si tua lantas memperlambat langkahnya dengan begitu ia
jadi jalan berbareng dengan si anak muda.
"Aku lupa memberitahuka kau, laote." kata dia sembari
jalan. "Lembah ini diberi nama Goh Cit Kok artinya lembah
bencana. Disini ada go gwee cit hiam, lima tempat berbahaya,
tujuh tempat malapetaka dan caranya menyelamatkan diri
ialah menemukan rintangan, mutar ke kiri satu kali, tiga kali
ke kanan, kalau ketemu belokan kita menyeberanginya
melintas dan kalau kita melihat buah jangan kita makan itu.
Dengan begitu kita tak akan tersesat atau menghadapi
bencana. Nah, kau ingatlah baik-baik !"
It Hiong menganguk. "Akan aku ingat, locianpwe." katanya.
"Cuma nama goh cit itu aneh sekali. Apakah arti sebenarnya
?" Si orang tua tertawa. "Goh cit berarti kematian." Ia
memberi keterangan. "Si orang perempuan tua yang
memberikan nama itu. Maksudnya siapa datang kemari, dia
tak bakal kembali dengan masih hidup. Dia pula sengaja
menyebutkan dua baris kata-kata lain yaitu, 'cuma ada setan
yang memasuki lembah, tiada manusia yang keluar dari sini'.
Dengan sini diartikan lembah ini. Selama tiga puluh tahun
sampai sekarang ini, entah berapa banyak korban sudah
roboh disini, roboh ditangannya si wanita tua sebab mereka
itu kemaruk paras elok hingga kesudahannya tinggallah
tengkorak atau tulang belulangnya yang putih meletak....."
It Hiong memandangi lembah, ia merasa bergidik. Tapi ia
memikir, "Jangan-jangan orang tua ini sengaja mengatakan
begini buat menguji keberanianku " " Maka ia sengaja tertawa
dan kata : "Locianpwe, tak mungkinkah kata-katamu ini cerita
belaka yang orang sengaja menyiarkannya ?"
"Jangan terburu nafsu menerka, laote." kata orang tua itu.
"Sebentar kalau kita sudah tiba ditempat yang dinamakan
Selat Rangka baru kau akan mendapatkan bukti dari katakataku
ini bahwa aku tidak mendustai orang buat menakutnakuti
saja." It Hiong berdiam, ia mengikuti orang tua itu maju terus.
Lekas sekali mereka sudah melalui kira-kira tiga lie. Sabansaban
mereka mendengar suaranya burung malam atau
suaranya angin dingin diantara daun-daun pohon. Rembulan
suaram, maka suaram juga tempat yang dilalui itu. Suasana
itu dapat membuat orang merasa seram.....
Lagi sedikit jauh, setelah satu tikungan, dua orang itu
dihadap sebuah batu besar yang warnanya hitam gelap.
Terpaksa keduanya menghentikan langkah mereka.
Couw Kong Put Lo mengawasi batu, lalu tiba-tiba ia kata :
"Ketemu rintangan, belok kiri, satu kiri tiga kanan !" Dan terus
ia bertindak ke arah kiri.
It Hiong mengikuti, nyeplos disisi batu itu. Ia bergerak
cepat seperti si orang tua.
Di depan mereka sekarang terbentang tanah penuh dengan
batu karang berserakan. Diantara sinarnya si puteri malam,
semua batu karang itu nampaknya aneh-aneh. Di sebelah kiri
ialah dinding gunung. Pada dinding itu dipajang rapi sejumlah
rangka manusia lengkap, tulang-tulang putih semuanya.
It Hiong heran dan kagum. Katanya : "Darimana si wanita
tua memperoleh semua rangka ini " Semua ini tak
mendapatkan rasa seram atau takut !"
"Jangan merasa puas dahulu, laote !" berkata si orang tua
kepada kawannya. "Inilah baru permulaan dari go gwee cit
hiam." Berkata begitu, si orang tua berjalan terus melintasi
karang-karang berserakan itu. Selalu ia jalan belok ke kiri
terus ke kanan di tempat berliku-liku itu. Sampai mereka
memasuki sebuah gua kecil yang berdinding batu kiri dan
kanannya. Di sini cahaya rembulan terhalang, mereka menjadi
berada di dalam kegelapan. Selang belasan tombak barulah
mereka melihat suatu sinar terang bundar berwarna kebirubiruan
yang menggantung dan berputaran karena tiupan
angin. Setelah datang dekat pada cahaya terang itu, It Hiong
berdua bukan mendapatkan lentera kertas atau kain, hanya
lentera terbuat dari tengkorak, dan api molos dari pelbagai
lubang, terutama dari sela-sela giginya. Giris akan mengawasi
itu. Menunjuk pada lentera istimewa itu, Couw Kong Put Lo
kata pada kawannya, "Itulah yang dinamakan lentera
tengkorak manusia berapi kunang-kunang dan itu pula buah
karyanya si nyonya tua yang kejam !"
It Hiong mengawasi. Lentera semacam itu bukannya cuma
satu. Masih ada satu berupa yang lainnya disepanjang jalan
itu. Maka ia menduga, jalan itu mestinya panjang atau jauh
beberapa lie. Ia tidak takut. Itulah cuma alat. Ia menggertak
sambil menghunus pedangnya sembari bersiul, terus ia
melangkah maju dengan cepat.
Sekeluarnya dari jalan sempit itu, si anak muda melihat
sebuah lembah luas beberapa puluh tombak. Sekitarnya
dinding gunung belaka. Di tengah lembah terdapat tanah
kosong dan rata yang tumbuh rumput. Jalan lainnya tak
tampak...... Di tanah itu terlihat banyak tubuh bergerak-gerak
mirip bayangan, lurus merupakan satu Barisan yang berdiri
diam tak bergeming. "Ah, ada banyak orang disini !" kata It Hiong tanpa merasa.
Couw Kong Put Lo tertawa. "Semua mereka itu korbankorbannya
wanita tua !" katanya. "Habis air mani dan darah
mereka terhisap, mereka menjadi mayat-mayat kering dan


Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kaku !" It Hiong heran. Dengan lantas ia bertindak menghampiri,
untuk mendekati. Ia bersiaga dengan Hian Bun Sian Thian
Khie kang, guna menjaga diri.
Barisan rangka itu berdiri tegak dengan tangan dikasihh
turun, kulitnya bersemu kuning, matanya cengok dalam,
dahinya nongol tinggi. Pakaian mereka tidak seragam, ada
yang berpakaian biasa, ada yang mengenakan jubah pendeta.
Mereka pula ada yang tua, ada yang muda. Mereka tinggal
kulit pembungkus tulang. Gigi mereka menambah keseraman
mereka. "Jumlah mereka tak kurang dari pada seratus orang," pikir
It Hiong. "Tak mungkin mereka mati berbareng. Herannya
kenapa kulit mereka tak membusuk atau rusak ?"
Couw Kong Put Lo bertindak mendampingin anak muda itu.
Ia dapat tahu keheranan orang.
"Laote, maukah kau mendengari keteranganku mengenai
pasukan rangka manusia ini ?" tanyanya.
It Hiong menoleh. "Cuma hal membuatku heran," katanya,
"mereka tentunya mati tersiksa bukan berbareng dan buat
waktu yang lama, tetapi kenapa mereka tetap masih tulang
belulang tertutup kulit dan tak menjadi rusak seperti
seharusnya ?" Si kawan tua tertawa. "Kau boleh merasa heran, tetapi
itulah bukannya keanehan !" sahutnya. "Sebenarnya sumsum
dari semua korban ini telah habis dihisap si wanita tua, yang
kemudian dengan perlahan-lahan menyedot juga darah dan
dagingnya hingga akhirnya tinggal kulitnya saja. Supaya
semua kulit tak jadi rusak, si wanita tua telah
memanggangnya selama enam jam dengan ilmu memanggang
bajingan langit......"
Mendengar demikian, bukan main gusarnya It Hiong.
"Sungguh jahat dan kejam Touw Hwe Jie !" katanya keras.
"Sudah orang dihisap darah dagingnya, sekarang matanya
dibiarkan tersiksa begini macam ! Bagaimana kalau aku
menggunakan api membakar habis semua ini ?"
Belum lagi berhenti suaranya anak muda kita atau ia sudah
lantas mendengar tawa yang dingin dan orang yang tertawa
itu muncul dengan segera, muncul dari belakang pusaka
rangka itu. Dialah seorang wanita usia lima-enam tahun, yang
tubuhnya tergubat kain hijau, lengan dan kakinya telanjang,
rambutnya panjang riap-riap, mukanya cantik dan segar
mengagumi ! Couw Kong Put Lo menarik It Hiong mundur beberapa
tindak. "Hai, perempuan tua, kiranya kau bersembunyi disini ?"
tegurnya. Nona itu mengawasi tajam.
"Apa katamu ?" tanyanya. Dia terus tertawa.
Put Lo menuding. "Touw Hwe Jie, masihkan kau berpura-pura ?" tegurnya
pula. Nona itu tapi bersikap tenang.
"Apakah kalian berdua datang mencari guruku ?" dia balik
bertanya. Put Lo melengak, dia menatap nona cilik itu. Hatinya pun
berkata : "Kapannya Touw Hwe Jie mengambil murid ?" Tapi
ia lekas menjawab, "Kami datang untuk mengunjungi Tauw
Hwe Jie, gurumu. Nah, kau pimpinlah kami untuk
menemuinya." Tapi si nona berkata dulu : "Aturan di Goh Cit Kok ini ialah :
Kalau ada orang hendak mengharap guruku, cuma satu orang
yang diijinkan masuk menemuinya, yang lainnya harus
menanti di sini, buat mendengar panggilan lebih jauh ! Nah,
diantara kalian, siapa yang mau masuk terlebih dahulu ?"
It Hiong tidak puas. "Pedangku tidak kenal aturanmu ini." katanya sengit. "Jika
kau tidak mau memimpin kami masuk, kau harus
menyerahkan jiwamu !" Dan ia menghunus pula pedangnya.
Ia pula melompat maju untuk menghampiri si nona cantik.
Nona itu nampak tak takut, bahkan dia memperlihatkan
sikap jumawa. Dia mendelik terhadap anak muda di depannya
itu. Dengan membuat main bibirnya dia kata, "Kau
mengandalkan pedangmu itu buat menghina nonamu ini " Hm
! Sebentar ilmu Sin Kut Kang dari guruku akan membuatmu
tahu rasa !" "Hm !" It Hiong pun perdengarkan suara dingin.
"Mengingat kaulah seorang bocah, suka aku memberi ampun
padamu satu kali ini ! Kalau kau tahu selatan, lekas kau antar
kami !' Berkata begitu, anak muda kita masukkan pedangnya ke
dalam sarungnya. Justru itu berubahlah tubuhnya si nona cilik. Lekas sekali
dia menjadi tinggi dan besar hingga dia tampak seperti
seorang nona usia enam atau tujuh belas tahun. Selagi orang
melengak, dia tertawa manis dan kata merdu : "Kau lihat,
usiaku tidak muda lagi ! Kau lihat, bagaimana cantik manisku !
Kamu bangsa pria, melihat aku ini, apakah kau tak merasa
menyayangi dan berkasihan " Bagaimana dapat kau
membinasakan aku ?" Sembari berkata, si nona bertindak menghampiri,
lengannya halus. Dengan matanya yang jeli, dia menatap anak
muda di depannya itu. Wajahnya pun ramai sekali.
It Hiong gusar. Ia ingat lakonnya dengan Touw Hwe Jie.
"Siluman bangkotan !" ia membentak. "Lagak tengikmu ini
telah tuan mudamu menyaksikan ! Masih kau hendak menjual
pula lagak tengikmu yang menjemukan disini."
Kata-kata itu ditutup dengan satu jurus Hang Liong Hok Mo
Ciang. "Hayyah !" menjerit si nona, yang tubuhnya berkelebat,
menyingkir ke dalam pasukan rangka manusia itu. Di dalam
sekejap hilang lenyap sudah dia.
Couw Jong Put Lo berlompat maju mendampingi kawannya.
"Aku lihat perubahannya nona itu bukan menurut ilmu Sin
Kut Kang dari Touw Hwe Jie." kata dia. "Hanya aku belum
pernah mendengar yang dia pernah menerima murid."
Sepasang alisnya It Hiong terbangun, matanya bersinar
tajam. "Biar bagaimana semua orang dari Goh Cit Kok ini bukan
orang baik-baik !" katanya sengit. Terus dia bertindak maju,
matanya celingukan mencari sesuatu.
Put Lo menyangka si anak muda mencari si nona.
"Laote," kata dia, " si nona barusan masuk ke dalam
Barisan rangkanya ini ! Kau mencari apa ?"
Tidak ada jawaban. Tubuhnya si pemuda hilang di dalam
kegelapan. Heran si orang tua, dia berdiri diam. Masih
beberapa kali ia memanggil-manggil, tetap tanpa penyahutan.
Ia menghela nafas. Justru ia mendengar suara apa-apa dialah
belakangnya, segera ia menoleh. Maka ia mendapati It Hiong
mendatangi dengan sepondongan cabang-cabang dan daun
kering. "Locianpwe, apakah tak tampak gerak gerik orang jahat ?"
dia tanya. Put Lo menggeleng kepala. "Tidak !" sahutnya.
It Hiong meletakkan cabang keringnya itu, ia pergi pula,
akan kembali dengan dahan-dahan serupa. Perbuatan itu ia
ulangi beberapa kali maka lekas juga terdapat setumpuk besar
dahan dan daun itu. Setelah itu ia membinasakan dahandahan
itu didekati semua rangka, akan akhirnya menjalankan
api dan pakai itu menyulutnya !
"Ha ha ha !" si orang tua tertawa. "Siapa sangka kau
mempunyai kegembiraanmu ini, laote ! Yang benar ialah kita
mencari jalan guna mencari si siluman tua !"
"Barusan aku melihat dari tempat yang tinggi, " berkata It
Hiong. "Di seputar ini semua dinding gunung melulu, tida ada
jalannya, tidak ada guanya. Aku percaya siluman itu
mempunyai jalan atau gua di dalam tanah, kalau tidak
sebentar dia bakal mati tembus !"
"Pintar ! Pintar !" Put Lo memuji sambil menganggukangguk.
Si anak muda telah mendahului dia memeriksa
tempat itu. Sementara itu sinar matanya memperlihatkan sinar
bengis. It Hiong merasa hatinya ciut ketika ia melihat sinar mata
itu, diam-diam ia bersiap sedia andiakaata orang berbalik
pikiran hendak berbuat jahat atas dirinya.
Sementara itu sang api sudah mulai berkobar, angin
gunung membantu mengipasinya. Api terus melentap,
membakar rangka itu hingga dilain saat terdengar suara apaapa,
rupanya dari terbakarnya tulang belulang. Suara berisik
dari bekerjanya api, sinarnya dan juga hawanya yang panas,
membuat sejumlah ular lari serabutan !
It Hiong dan kawannya tak dapat bertahan dari hawa
panas itu, keduanya berlompat tinggi ke batu gunung yang
menonjol di dinding gunung, disitu keduanya duduk sambil
mengawasi bekerjanya Hwe Tek Seng kun si raja api.
Semua tulang belulang itu habis dimakan api, hanya
herannya dari situ terhembuskan sinar api kebiru-biruan,
terlihat diantara api yang berkobar, untuk akhirnya bersama
padamnya api itu. Selekasnya hawa panas mulai reda, It Hiong berdua lompat
turun pula. Ketika itu lembah sudah kosong.
"Entah apa itu yang menyebabkan cahaya kebiru-biruan
itu....." kata It Hiong heran, matanya mengawasi ke tempat
pembakaran itu. Atau tiba-tiba ia melihat munculnya sebuah
batu besar. Segera ia menyangka kepada mulut gua, maka
lantas ia lompat maju menghampiri buat memeriksanya.
"Laote kembali !" berseru Couw Kong Put Lo.
Anak muda itu mendengar kata, segera ia lompat mundur,
hingga ia berada disisi si orang tua. Justru ia mau
menanyakan sesuatu atau dengan tiba-tiba Couw Kong Put Lo
menolak keras dengan kedua telapakan tangannya terbuka,
menolak ke arah batu besar itu, maka segera terdengar satu
suara keras, terus terlihat batu itu terdampar mundur satu
tombak lebih. Sebaliknya tempat dari mana batu itu muncul,
tampak berubah menjadi mulutnya sebuah gua di dalam tanah
! Menyaksikan itu, si orang tua tertawa bergelak-gelak.
"Pandai kau menerka laote." kata ia memuji kawannya.
"Kau menerka adanya gua didalam tanah, nyatanya kau tidak
keliru ! Kau lebih cerdas setingkat daripada kebanyakan orang
!" It Hiong tertawa. "Locianpwe" katanya, "darimana kau mendapat kopiah
tinggi untuk dipakaikan diatas kepalaku. Budak tadi telah lolos
dari jalan di dalam gua itu, mari kita susul padanya! Aku
percaya kita akan berhasil mencari sarangnya si siluman tua !"
Couw Kong Put Lo mengangguk, lalu bersama-sama
mereka menghampiri mulut lubang, yang lebar empat kaki
persegi, bagian dalamnya gelap, tak tampak apa juga. Sulit
untuk memeriksanya. It Hiong tertawa. Ia menjemput sebuah batu, ia lemparkan
ke dalam lubang itu sembari ia memasang telinga, guna
mendengar suaranya batu itu. Suaranya batu itu akan
menyatakan sesuatu. "Kau benar cerdik, laote !" si orang tua berkata pula.
"Kaupun ingat ini kepandaian melempar batu menunjukan
jalan !" It Hiong tidak menjawab, hanya telinganya lantas
mendengar suara batu membentur sesuatu di dalam lubang
itu. "Bagaimana ?" si orang tua tanya.
"Lubang ini dalam tak sepuluh tombak" sahut si anak
muda. "Biar aku yang turun lebih dahulu untuk memeriksa
bagian dalamnya....."
Lantas ia menghunus pedangnya sambil memutar itu, ia
lompat masuk kedalam lubang buat turun ke dasarnya. Ia
memasang matanya tajam-tajam, demikian pun telinganya.
Couw Kong Put Lo tidak diam saja. Ia sudah tua, tak mau
ia kalah dari anak muda. Tetapi ia berpengalaman dan teliti,
maka ia masuki gua bukan dengan jalan berlompat turun
seperti si anak muda, ia hanya merayap untuk turun dengan
ilmu "Pek Houw Ya Cong Kong", Cecak bermain-main di
Tembok. Selekasnya ia sampai di dasar lubang dimana ia
meletakkan kakinya, lantas ia memasang mata tajam, melihat
ke sekitarnya. Ia mengumpulkan semangatnya pada matanya
supaya Bisa melihat di tempat gelap.
Gua itu lebar dua tombak, dasarnya pasir melulu.
Disekitarnya tak tampak apa juga yang mencurigakan. Di
depannya terdapat sebuah jalan atau terowongan sempit,
dimana terlihat berkilaunya cahaya pedang, maka ia menerka
pada pedangnya si anak muda, kawannya itu. Tidak ayal lagi
ia bertindak cepat menyusul sang kawan. Ia percaya tempat
yang telah dilewati anak muda itu tak ada bahayanya lagi.
Tiba-tiba diujung terowongan itu kiranya sebuah tempat
terbuka diatas gunung. ketika si jago tua mengangkat
kepalanya, ia melihat It Hiong tengah bersembunyi disisi
sebuah batu besar dimulut terowongan itu, agaknya orang
tengah mengawasi atau mengintai semata. Ia lantas bertindak
mendekati anak muda itu, hingga ia pun bisa melihat segala
apa seperti si anak muda sendiri.
Mulut gua itu menghadapi sebuah tempat terbuka luas
beberapa batu dimana terdapat banyak pepohonan dan batu
besar-besar dan beraneka ragam bentuknya. Pada sisi dinding
gunung terdapat sebuah rumah batu yang sedang, tak kecil,
tak besar. Di depan rumah batu itu yang berhalaman datar,
terdapat sejumlah meja dan kursi, semuanya terbuat dari batu
juga. Di bawah sinar rembulan tampak seorang berduduk diatas
salah sebuah kursi batu. Dialah seorang wanita tua yang
rambutnya diriap-riapkan, tubuhnya tertutup pakaian hitam,
kedua lengannya telanjang, kedua tangan itu memeluki seekor
beruang hitam yang besar, sedangkan mukanya diletaki
dipunggung binatang liar itu, nampaknya dia sedang
menghisap-hisap...... Dilihat dari jauh, dari tempat It Hiong berdua bersembunyi,
beruang yang besar itu seperti sudah kehabisan tenaga, sebab
tubuhnya berdiam saja, dia seperti tak dapat bergeming dari
pelukan wanita tua itu, ketika itu cuma terdengar Pekiknya,
Pekik dari kesedihan, suaranya keras berkumandang
disekitarnya.

Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pada kursi batu yang lainnya berduduk seorang nona. Ialah
nona yang tadi menghadapi It Hiong berdua, dia tengah
mengawasi si wanita tua menghisap darahnya si beruang
hitam. Dia mengawasi dengan tubuh tak bergerak.
Suaranya binatang itu terdengar semakin perlahan makin
perlahan, lalu kepalanya teklok berbareng dengan berhentinya
Pekikan itu. Baru setelah itu si wanita tua menggerakkan
kepalanya, memisahkan mulutnya dari tubuh sang binatang.
Dia lantas mengeluarkan hembusan nafas panjang, sedangkan
kedua tangannya melepaskan rangkulannya itu. Maka di lain
saat, rebahlah sang beruang di depannya, rebah terkulai di
atas tanah. Wanita tua itu terus bangun berdiri. Ia merapihkan
rambutnya yang riap-riapan itu. Baru sekarang terdengar
suaranya, suara tertawa yang nyaring, pertanda dari
kepuasannya. Sebaliknya wajahnya memperlihatkan tampang
yang cerah. Dia berdahi jantuk dan hidungnya mancung. Yang
hebat ialah kedua matanya yang bersinar kebiru-biruan. Kedua
lengannya besar dan kasar, sedang tubuhnya gemuk
terokmok hingga dilihat seluruhnya dia mirip seekor harimau
betina..... Setelah itu si wanita tua mengangkat hidungnya tinggitinggi
untuk dipakai mencium sesuatu bau, kemudian ia
berpaling kepada si nona untuk bertanya, "Eh, Ya Bie, ketika
tadi kau merondia Barisan rangka di dalam lembah diatas, kau
bertemu orang atau tidak ?"
Ditanya si wanita tua, nona itu lantas berlutut dan
menjawab : "Barusan selagi meronda, aku bertemu dengan
dua orang asing. Entah apa maksudnya mereka datang ke
tempat kita ini. Aku sudah lantas lari kemari dan selekasnya
aku menutup pintu gua. Maksudku untuk memberi laporan
pada suhu, tetapi suhu tengah menghisap beruang itu,
terpaksa aku menantikan supaya aku tidak menganggu suhu."
Touw Hwe Jie, demikian wanita tua itu, tidak menanya apaapa
lagi. Ia tidak tahu, bagaimana tidak mengambil mumet
yang ia telah didustai muridnya itu, yang tak berani secara
terus terang seluruhnya. Ia lantas mencium-cium lagi dengan
hidungnya, lalu dia tertawa terkekeh dan menegur : "Ah,
sahabat dari mana telah datang kemari " Silahkan keluar
untuk kita membuat pertemuan."
Mendengar pertanyaan itu, tahulah It Hiong berdua yang
kehadiran mereka telah diketahui wanita lihai itu. Si anak
muda segera membisiki kawannya, " Locianpwe, silakan kau
menemuinya. Aku akan memasang mata disini...."
Couw Kong Put Lo mengangguk, terus ia lompat keluar dari
tempat sembunyinya itu. Ia tertawa nyaring dan berkata
keras, "Sahabat Touw Hwe Jie, kau sungkan sekali ! Nah, kau
terimalah hormatku !" Ia benar-benar merangkap kedua
tangannya. Ia pula segera sampai di depan rumah batu itu.
Touw Hwe Jie mengawasi tajam tamunya itu yang muda
dan tampan dan tubuhnya tegap. Itulah pria yang sangat
disukainya. Bagaikan lupa daratan, ia tertawa dan kata :
"Sahabat, kau she apa dan nama siapa " Ada urusan apakah
kau datang ketempat kami ini ?"
Couw Kong Put Lo mengangkat kepalanya guna menatap
muka orang. Di saat itu timbullah kekagumannya. Si nenek
yang tubuhnya besar dan buruk wajahnya sudah tidak
nampak. Di dalam saat sedetik itu, dia telah digantikan oleh
seorang wanita yang cantik manis, usia kira-kira tiga puluh
tahun yang tubuhnya langsing dan putih mulus.
"Aku datang kemari guna belajar kenal dengan ilmu Sin Kut
Kang yang lihai." Ia menjawab dingin.
Nampak si wanita muda melengak. Itulah jawaban diluar
dugaan. Belum pernah ia menemui atau mendengar ada pria
yang menyebut ilmunya yang luar biasa itu. Inilah yang
pertama kali. Maka heranlah ia yang orang mengetahui
ilmunya, cuma beberapa orang kenalannya saja. Lalu ia
tertawa tawar dan kata, "Namamu masih disembunyikan,
mana dapat kau menempur ilmuku itu. Apakah kau tak akan
sia-sia saja menyerahkan jiwamu ?"
Couw Kong Put Lo tahu sudah selayaknya ia
memperkenalkan diri, kalau ia menyebut nama palsu dan
kemudian rahasianya pecah, itu akan merusak nama baiknya.
Terpaksa ia menjawab, "Akulah Couw Kong Put Lo.
Sekarang ini aku datang kemari guna menguji kepandaianmu
yang sifatnya kejam telengas itu guna mengambil nyawamu !"
"Oh !" seru Touw Hwe Jie, yang terus mengejek. "Kiranya
kaulah si orang gagah yang buat dua puluh tahun menyekap
diri di Cenglo Ciang untuk memahami ilmu So Lie Kang ! Ha ha
ha ! Apakah kau tak takut yang pertapaanmu nanti pudar
didalam sekejap waktu dibawahnya pohon bungan bouwtan ?"
Kawannya It Hiong melayani bicara, tetapi lebih dahulu ia
menjatuhkan diri akan berduduk secara jumawa diatas sebuah
kursi batu. Ia menjawab, "Kalau aku menggunakan golok atau
pedang atau kepalan buat membinasakan kau, buat
mengambil jiwamu, tenagaku berlebihan. Hanya cara itu
tawar, tidak menarik hati. Lebih baik kau menggunakan ilmu
Sek Bie Tay Hoat guna melayani So Lie Kang, kau buat
menguji kepandaianku. Dengan jalan ini aku mengambil
jiwamu, barulah aku bergembira sekali !"
Touw Hwe Jitertawa geli sekali.
"Baiklah," sahutnya menerima tantangan itu. "Asal kau
tidak menyesal ! Cuma baiklah kau coba-coba dahulu dengan
Souw Han Cian Li muridku, kalau kau menang baru kau lawan
aku ! Itu waktu pastilah kau akan merasa puas betul-betul !"
Put Lo melirik ke arah nona disisinya wanita cabul itu. Nona
itu cantik. Ia pikir, "tidak apa kalau aku mencoba dahulu nona
itu, diapun manis sekali ! Aku tahu si tua ini mau bertempur
bergantian menunggu sampai aku letih. Biarlah dia bawa
kelicikannya itu 1" "Touw Hwe Jie, aku terima syaratmu ini." katanya berani.
"Hendak aku membikin kau puas."
"Baik, sahabat tetapi kau sabarlah." kata Touw Hwe
Jitertawa. "Aku menjadi nyonya rumah, aku mesti melakukan
keharusanku." "Kau harus disuguhkan dahulu arak kehormatan supaya
aku tidak berlaku kurang hormat terhadapmu, ahli dari
pendekar So Lie Kang !"
Habis berkata, nyonya itu menoleh kepada muridnya untuk
mengedipi mata, maka Ya Bie sudah lantas menyajikan barang
makanan diatas sebuah meja. Itulah sepiring besar buah liok
jiak ko, sepiring abon bersama tiga pasang sumpit serta tiba
buah cawannya. Araknya termuatkan didalam sebuah poci
beling yang tinggi besar dan putih.
Segera juga Touw Hwe Jie duduk di depannya sang tetamu
dan muridnya berdiri di sampingnya. Masih ada sebuah kursi
tetapi ditinggali kosong. Maka Put Lo kata pada si nona,
"Nona, kaupun duduklah ! Habis minum, aku ingin menguji
kepandaianmu !" Jilid 32 Mendengar kata-kata orang itu, Touw Hwe Jie kata dingin,
"Kursi ini disediakan buat sahabat yang datang bersamamu."
Terus ia berbangkit, sembari menoleh ke tempat It Hiong
bersembunyi, ia kata nyaring : "Sahabat yang
menyembunyikan diri di belakang batu, hayo, jangan kau
bersikap sempit pikiran ! Buat apa kau malu sembunyisembunyi.
Marilah keluar, mari kita minum bersama!"
Begitu ia mendengar suara orang itu, begitu It Hiong
muncul dari tempatnya sembunyi. Ia juga merasa malu
mengumpatkan diri. Dengan satu lompatan Tangga Mega, tiba
ia di depan meja, sembari ia kata nyaring : "Tio It Hiong
mempunyai kegembiraan minum arak sambil menghadapi
rembulan yang indah. Dia hanya bersedia menyingkirkan kutu
busuk dunia rimba persilatan ! Kalian boleh berpesta pora, aku
akan menantikan sampai berakhirnya......"
Touw Hwe Jie melirik si anak muda.
"Hm !" ia perdengarkan suaranya. "Kiranya murid pandai
dari Tek Cio Totiang dari Pay In Nia ! Maaf, maaf. Sahabat Tio,
kau telah berlalu dengan menggunakan ilmu pedangnya yang
istimewa, bukannya kau meninggalkan Cenglo Ciang dan pergi
pulang, kau justru kembali kemari mencari permusuhan !
Bukankah diantara kita tidak ada budi, tak ada ganjalan "
Kenapa kau memaksa menyeterukan aku si wanita tua " Tapi
tak apalah, kalau kau tidak mau minum arak. Kau dapat
minum teh, bukan " Nyonya rumah ini memberi isyarat mengundang tetamunya
berduduk, ia sendiri terus menjatuhkan diri di kursinya.
It Hiong tidak mendapat alasan buat turun tangan,
terpaksa ia duduk di kursi yang disediakan itu dan Ya Bie
segera menyuguhkan air teh sembari mempersilakan orang
minum, dia melihat dengan manis.
Put Lo kuatir nanti akan dicurangi si wanita tua, dia tidak
makan dan minum seperti diundang. Maka itu dia diam duduk
saja. It Hiong heran melihat kawan itu berdiam saja, tak dapat ia
menerka sang kawan itu mau menantikan apa. Ia sendiri, ia
mendongkol sekali terhadap wanita tua itu. Habis sabarnya, ia
menanya bengis : "Touw Hwe Jie, di dalam lembah aku
melihat banyak rangka atau tengkorak manusia hitung ratus.
Apakah mereka semua korban-korban hisapan darah olehmu "
Adakah itu hasilnya kekejaman ilmu Sek Bie Tay Hoatmu itu ?"
Kip Hiat Hong Mo tertawa bergelak. "Sudah tiga puluh
tahun aku si orang tua tak pernah setengah tindak pun keluar
dari Cenglo CIang !" katanya. "Semua mereka itu datang
padaku sesudahnya aku hidup menyendiri ditempatku ini dan
mereka semua datang karena hendak menguji Sek Bie Tay
hoat, kepandaianku itu. Mereka semua menyebut diri sebagai
orang-orang gagah tetapi sayang belum sampai melampiaskan
nafsu birahinya, baru saja mereka melihat paras elok, mereka
sudah runtuh sendirinya. Mereka membuang jiwa seperti
kawanan serangga yang menyerbu api ! Mereka mencari
matinya sendiri. Habis apa mau dibilang " Mereka tak dapat
menyesalkan atau menyalahkan siapa juga !"
Habis berkata begitu Touw Hwe Jie mengawasi Couw Kong
Put Lo, dia tertawa tawar. Tingkahnya seperti menunjuki
bahwa dihadapannya ada seorang lagi yang rela
mengantarkan diri atau jiwanya !
It Hiong tetap tak puas, amarahnya tidak menjadi reda.
"Kau telah menghisap habis darahnya banyak orang,"
katanya, "kau telah membinasakan jiwa mereka. Semua itu
cuma untuk menambah ilmu kepandaianmu yang jahat dan
kejam itu. Kau boleh kata mereka itu mengantarkan diri
sendiri, tetapi itu tetap kejahatanmu ! Apakah kau tak takuti
kutukan Thian ?" Nyonya itu melengak. Kemudian ia kata perlahan, seperti
pada dirinya sendiri, "Biasanya kalau aku menghisap darah,
aku lakukan itu terhadap segala binatang dan belum pernah
aku menggunakan paras elokku membujuk atau memancing
orang bangsa pria. Eh, sahabat Tio, janganlah kau memfitnah
aku....." It Hiong gusar sekali. "Lidahmu sangat tajam !" teriaknya. "Alasanmu itu bagus
sekali ! Sekarang mari aku tanya, siapakah yang didalam gua
sudah menggunakan keelokannya buat membujuki aku Tio It
Hiong " Siapakah ?"
Nyonya itu kembali melengak.
"Benarkah ada kejadian serupa itu ?" tanyanya.
"Kau sedang muda dan gagahnya, sahabat Tio !" katanya.
"Kau menghadapi paras elok itu, dapatkah kau bertahan "
Kalau benar katamu itu mana dapat kau bisa datang kemari
dengan masih hidup " Sungguh, sukar akan mempercayai
kata-katamu ini......!"
"Sudah jangan mengoceh saja !" Couw Kong Put Lo
menyela. "Eh, Touw Hwe Jie lekas bilang, kau hendak
menyuruh siapa menguji ilmu So Lie Kang ku " Nah, kau
suruhlah dia keluar !"
Nyonya itu tertawa. Dia tak menjawab. Dia hanya
mengangkat poci araknya dan menuangi cawannya si pria tua.
Ia pun menuangi cawannya sendiri. Habis itu barulah dia
berkata : "Aku seorang tua adalah wanita terhormat, tak mau
aku berlaku secara menggelap. Arak ini yang dinamakan Sit
Kui Tok jiang, arak beracun peranti merendam tulang." Ia
menunjuk buah merah menor diatas piring dan
menambahkan, "Dan buah ini ialah liok jiak ko, buah untuk
membangunkan nafsu birahi ! Siapa habis minum arakku ini
dan makan buah itu tetapi hatinya tetap tenang tak bergerak,
dialah baru dapat melawan ilmu Sak Bie Tay hoat dari
nyonyamu ini ! Nah, sekarang kalian pikirkan masak-masak.
Kalian berani mencoba arak ini dan makan buah itu atau tidak
?" Touw Hwe Jie berbicara dengan bergaya ia seperti
bergurau terhadap Couw Kong Put Lo tetapi juga bagaikan
menggertak. Put Lo merasai mukanya panas. "Aku si tua tidak memikir
mencoba arak atau buahmu ini." sahutnya. "Aku cuma hendak
menguji ilmu kepandaianmu !"
"Baiklah !" menjawab si nyonya cepat. "Akan aku
membuatmu puas supaya kau insyaf akan kelayakanku !"
Terus ia menekuk bibirnya untuk memperdengarkan siutan
beberapa kali kemudian dia menambahkan : "So Han Cian Li,
mari keluar !" Dari dalam rumah batu segera muncul seekor kera
perempuan yang besar sekali, diikuti oleh seekor harimau
yang betina. Si kera berbulu kuning emas dan bulunya
panjang-panjang, matanya bersinar bengis, semua giginya
tajam, tampangnya sangat galak. Si harimau adalah harimau
loreng yang galak yang biasa dinamakan seebiu houw,
harimau tukang gegares manusia.
Kedua ekor binatang itu lantas mengawasi tajam kepada
kedua orang asing itu. Mereka berdiri diam tak bergerak,
mereka seperti tengah menantikan perintah.
Touw Hwe Jie menunjukkan kepada kera dan harimaunya
yang jinak dan mengerti itu, sembari dia kata pada Couw
Kong Put Lo, "Merekalah yang aku namakan So Han Cian Li, si
wanita cantik penyedot roh manusia, sekarang terserah
kepadamu untuk memilih yang mana ! Cuma hal yang aku
minta, yaitu suka apalah kau menaruh belas kasihan terhadap
mereka itu...." Couw Kong Put Lo menjadi gusar. Dia datang guna menguji
ilmu kepandaian si wanita tua, sekarang dia disuruh melawan


Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dua ekor binatang. Itulah penghinaan ! Bukankah dengan
begitu berarti dia dipandang sebagai binatang juga "
"Perempuan siluman, kau sangat kurang ajar !"
dampratnya, sedangkan tangannya dikibaskan hingga habis
tersumpurlah semua barang diatas meja di depannya. Habis
itu dia bertindak meninggalkan meja, bersiap akan menantikan
musuhnya. Touw Hwe Jie tidak bergusar, sebaliknya dia tertawa
terkekeh. "Couw Kong Put Lo !" katanya nyaring. "Usiamu bukan
muda lagi dan pertapaanmu bukan sedikit tahun, kenapa kau
belum insyaf apa yang dinamakan pantangan paras elok "
Sengaja aku memerintahkan mereka ini muncul dalam diri
asalnya, itulah guna membuat hatimu tenang, supaya kau tak
usah membuang jiwamu ! Jika memangnya tidak puas,
baiklah, biar aku menggunakan ilmuku Hoan Kak Bie Cia, buat
Memburu Manusia Harimau 5 Wanita Gagah Perkasa Karya Liang Ie Shen Bukit Pemakan Manusia 21

Cari Blog Ini