Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung Bagian 29
sekian lama, tak mau lantas berhenti !
It Hiong heran berbareng mendongkol. Tapi ia dapat
mengendalikan diri. Hanya ia lantas berpikir : "Siapa mau
membekuk penjahat, dia harus membekuk dahulu
pemimpinnya ! Demikian kali ini. Baiklah aku tak pedulikan dia
Tok Mo yang tulen atau yang palsu. Akan aku singkirkan lebih
dahulu ! Tidak nanti aku keliru membinasakan orang baik-baik
! Dengan begini pula aku jadi lantas dapat bukti kenyataan !"
Lantas secara diam-diam anak muda kita mengumpul
tenaga dalamnya, membuat Sian Thian Hian bun Khie-kang
menjalar ke seluruh tubuhnya. Setelah itu ia membungkuk
seraya kedua kakinya dimendakkan sedikit, guna
mempersiapkan loncatan "Rase loncat dari lubangnya". Habis
mana mendadak saja tubuh bersama pedangnya mencelat
kepada si pelajar keriputan !
Di luar dugaan, tubuhnya si pelajar lenyap secara
mendadak ! Dengan serangannya tanpa mengenai sasarannya,
tubuhnya anak muda kita jadi meluncur terus. Karena
serangannya dilakukan dengan ilmu Gie Kiam Sut, maka itu
supaya ia tak usah membentur dinding dengan lantas ia
menolakkan tangan kirinya. Selekasnya ia berdiri diam, segera
ia memutar tubuh melihat ke belakang terus ke kiri dan kanan.
Benar-benar si pelajar keriputan telah lenyap dari dalam
kamar itu. Bahkan bersamanya hilang juga Kim Tay Lian,
chungcu dari Kim kee-chung itu !
Sementara itu barusan karena bertolak tangan kirinya anak
muda kita, dinding bersuara nyaring dan sinar hijaunya buyar.
Syukur dinding itu kokoh kuat hingga tak usah terhajar
tergempur. Sinar hijau itu membayang-bayang, mirip kunangkunang.
Menyusul itu, ruang pun menjadi sebentar gelap dan
sebentar terang. Entah apa yang menyebabkannya.
Selagi It Hiong memasang mata dan telinga, dari satu
ujung kamar ia mendengar ini suara parau : "Bocah she Tio,
kau untung bagus sebab kau masih mempunyai daya untuk
menyelamatkan dirimu sendiri dari serangannya sinar beracun
! Pernahkah kau merasai racun itu " Maukah kau merasainya
?" It Hiong mendongkol. Tanpa mengatakan sesuatu, ia
menyerang ke pojok itu ! Kembali serangan itu gagal, kembali cuma sinar hijau yang
runtuh. Terus runtuhannya melayang berhamburan.
Kali ini terdengar pula suara parau tadi, didahului dengan
tawa dinginnya. "Oh, manusia tak tahu mampus atau hidup !" demikian
ejekan itu. "Apakah kau berniat menempur aku " Baiklah, lohu
tak akan membuatmu kecewa ! Nah, kau lihatlah !"
Mendadak saja, tembok terdengar berbunyi bagaikan pintu
menjublak hingga terlihatlah sebuah renggangan besar dari
mana muncul kepalanya satu orang, ialah kepalanya si pelajar
keriputan ! It Hiong sangat cerdik. Segera ia menerka kepada kepala
dari sebuah boneka. Ia tidak jeri sama sekali. Menuruti
amarahnya, lantas ia serang kepala itu !
Bagaikan sebuah kepala hidup, kepala itu dapat membuat
main alis dan matanya. Dia tampak seperti merasa nyeri habis
dihajar, bahkan terdengar juga suara kesakitannya ! Kepala itu
dapat merasai nyeri tetapi tidak rusak !
Serangannya It Hiong ada serangan pukulan Han Long Hok
Houw--Menaklukan Naga, Menundukkan Harimau. Suatu ilmu
silat ajarannya Pat Pie Sin Kay In Gwa Siau sedangkan
tenaganya berpokok pada tenaga dalam Hian-bun Sian Thian
Khie-kang. Maka aneh sekali kepala itu dapat bertahan, tak
terluka atau remuk ! Biar bagaimana It Hiong menjadi penasaran. Terang ia
tengah dipermainkan. Karena ini, ia memikir menggunakan
pedangnya. Bertepatan dengan itu, dari belakangnya pemuda kita
lantas mendengar suara yang merdu bagaikan nyanyinya
seekor burung kenari. Kata suara itu : "Ayo ! Buat apa kau
bergusar tidak karuan ! Bukankah itu tak menarik hati, tak ada
artinya " Bagaimana jika kau main-main saja denganku ?"
It Hiong terkejut berbareng redalah hawa amarahnya.
Inilah sebab ia heran mengetahui orang mempunyai
kepandaian ringan tubuh yang istimewa hingga ia tak
menyadari akan kehadiran orang di dalam kamar itu. Celaka
andiakata oang membokongnya. Ia melindungi diri dengan
satu gerakan pedang "Hoat Kong Hok Te". Pedang berputar
kilat di seputar tubuhnya yang terkurung pedangnya itu.
Berbareng dengan mana ia memutar diri untuk dapat melihat
wanita yang menyapanya itu.
Dekat pada dinding, di sana tampak seorang nona usia
enam atau tujuh belas tahun dengan seluruh pakaiannya
berwarna hijau. Tangan bajunya singsat, ujung sepatunya
lancip dan pinggangnya terlilitkan sabuk sulam. Nona itu
menguraikan rambutnya ke punggung dan kedua belah
bahunya. Alisnya lentik, matanya tajam. Dia memiliki muka
yang bulat, yang memakai pupur dan yancie hingga tersiar
keras baunya yang harum, yang menggiurkan hati....
Melihat si anak muda menggunakan pedang menjaga diri,
nona itu tertawa geli. "Itulah berlebihan !" katanya manis. "Jika nonamu mau
membokongmu, mana sempat kau membela dirimu ?"
"Sungguh mulut besar !" si anak muda menanggapi.
Nona berbaju hijau itu bersenyum. Dia menatap tajam.
"Nonamu tidak berminat mengadu mulut denganmu !"
katanya. "Nonamu cuma memikir aka menyaksikan ilmu
silatmu yang sejati !"
Alisnya It Hiong terbangun. Ia mengawasi tajam.
"Bagaimana kalau kau dipadu dengan Im Ciu It Mo atau Ie
Tok sinshe ?" tanyanya.
Nona itu tertawa pula, alisnya memain.
"Itulah tak dapat dibanding dan disamakan !" sahutnya.
It Hiong heran juga. "Kau jelaskanlah !" pintanya.
Kembali matanya si nona memain manis sekali. Kembali dia
tertawa. "Apakah kau masih belum mengerti ?" dia balik bertanya.
"Kalau orang-orang rimba persilatan mengadu kepandaiannya,
tak peduli dia dari tingkat tua atau tingkat muda, bukankah
mereka semuanya mengandalkan senjatanya masing-masing "
Atau kalau menggunakan tangan kosong, mereka sekalian
mengadu tenaga dalamnya ! Benar, bukan ?"
"Habis kau mempunya cara lainnya apa lagi ?" tanya It
Hiong. Nona itu memiringkan kepalanya, ia melirik. Ia pun
menyingkap rambutnya. "Kamilah orang perempuan." katanya kemudian. "Laginya
aku adalah seorang wanita yang masih muda sekali. Untuk
kami mencoba kepandai kau bangsa pria, jalan atau
macamnya banyak sekali ! Kalau kau mau, kau cobalah !"
Lantas nona itu mengangkat langkahnya menghampiri si
anak muda. Ia berjalan dengan perlahan, tubuhnya bergerakgerak
halus sekali. Ia sangat menggairahkan.
Hatinya It Hiong goncang. Sungguh lagak orang sangat
menggiurkan. Bagaikan tertiup angin, bau harum semerbak mendesak
makin keras ke hidungnya si anak muda. Itulah karena si nona
telah mendatangi semakin dekat.
Hatinya It Hiong berdebaran. Ia tidak menolak orang, ia
pun tidak mundur. Ia berdiri seperti menjublak saja. Tak ada
suaranya sama sekali. Segera juga si nona datang dekat sekali sampai sebelah
tangannya di ulur ke jalan darah hongku di bahu si anak
muda, lalu dengan suaranya yang merdu ia kata : "Kakak
yang baik, kau sempurnakanlah keinginannya adikmu ini.......
Kakak, aku ingin sekali mencoba-coba kepandaianmu yang
sejati......" Baru saja tangan nona itu menyentuh bajunya, It Hiong
sudah lantas mengelit bahunya itu. Tubuhnya pun mundur
sekalian. Ia menatap tajam si nona.
"Kau mau apa ?" tanyanya.
Si nona menunda langkahnya. Ia menatap si anak muda.
"Hatinya seorang anak perempuan," katanya. "Kau
mengerti atau tidak...."
"Aku mengerti maksudmu !" kata It Hiong. "Kau menjual
lagak, lalu secara diam-diam kau hendak membokong !"
Nona itu melengak. Hanya sedetik, dia tertawa.
"Kaulah orang Kang Ouw, jago Bu Lim !" katanya. "Sudah
sewajarnyaitu kalau kau berhati-hati menjaga dirimu dari
perbuatan curang ! Dalam hal itu, nonamu tidak mau
menyesalkanmu. Aku pun tidak akan menjadi kurang senang.
Akan tetapi, hendak aku memberitahukan kau dalam hal
meramalkan orang, penglihatanmu keliru !" Ia berdiam
sesaaat, lalu ia menambahkan : "Apa juga yang kau kehendaki
dari nonamu, akan nonamu iringi ! Aku cuma ingin kau...."
Mendadak alisnya si anak muda terbangun, matanya pun
mendelik. "Tutup multu !" bentaknya.
Karena kata-katanya dirintangi bentakan itu, si nona
tampak kurang puas. Nyata wajahnya menunduk. Dia
menyesal dan penasaran. Tapi dia tidak bergusar. Terus ia
menatap muka si anak muda.
"Kau tunggulah aku sampai aku bicara habis, baru kau
bicara." katanya agak penasaran.
Berkata begitu, mendadak matanya si nona berlinang air.
Dua butiran matanya lantas menetes jatuh..
It Hiong melihat wajah orang serta air matanya itu, ia pun
mendengar suara yang halus dan bernada sedih itu. Ia
menyesal, tanpa merasa muncullah kesannya yang baik. Ia
tunduk lalu menghela napas dan berkata : "Apa yang kau
hendak utarakan itu, telah aku ketahui !"
Si nona sudah berpaling ke arah lain. Lantas ia menoleh
pula. Ia mengawasi si pemuda. Air matanya masih meleleh
tetapi ia toh tertawa. "Jika kau sudah mengerti, nah, kau hiburlah hatiku !"
katanya. "Aku ingin hatiku dilegakan ! Kau menerima baik,
bukan ?" Sembari berkata begitu, si nona maju mendekati.
Tetapi It Hiong mengulapkan tangan.
"Kau pergilah !" katanya.
Nona itu cerdik. Ia menerka bahwa hatinya si pemuda
sudah menjadi lunak. "Jika aku pergi, apakah kau tidak bakal menyesal ?"
tanyanya, tetap dengan gerak geriknya yang menggiurkan.
"Kau telah keliru melihat orang, nona !" kata It Hiong
sungguh-sungguh. "Tidak, aku Tio It Hiong. Aku tidak bakal
menyesal !" Ia berhenti sejenak. "Aku tidak berniat
membinasakanmu ! Kau pergilah !"
Si nona berbaju hijau mencibir, dia tertawa.
"Kau mirip seorang beribadat !" katanya. "Kau tidak kenal
asmara, benarkah " Aku rasa mulutmu lain dari pada hatimu !"
Ia maju setindak mendekati, ia mengeluarkan sapu
tangannya. Agaknya ia hendak menyusut air matanya tetapi
tahu-tahu sapu tangan itu dikebutkan ke mukanya si pemuda !
Hanya sekejap, tersiarlah bau harum yang sangat keras.
It Hiong terkejut. Inilah ia tidak sangka. Karena mencium
bau itu yang tersedot masuk ke dalam hidungnya terus ke
otaknya, mendadak ia merasai sesuatu yang luar biasa. Tanpa
tahunya, napsu birahinya telah terbangun, karena mana
hatinya pun goncang. Si nona berbaju hijau sudah lantas berada di sisinya si anak
muda kita. Agaknya dia hendak melemparkan tubuhnya ke
dalam rangkulan orang. Sedang matanya bersinar kecentilan
dan wajahnya tersungging satu senyuman manis sekali.
Semua tampang dan gerak geriknya sangat menggiurkan hati.
Di matanya It Hiong, nona itu sangat menarik hati, sangat
menggairahkan. Ia mengawasi dengan hatinya terus
memukul. Ia menatap terus-terusan. Hingga sinar mata
mereka beradu satu dengan lain.
Dadanya kedua muda mudi itu segera juga mau bertemu
satu dengan lain. Tidak cuma dada si pemuda, juga dada si
pemudi bergolak. Ruang besar itu sunyi sekali. Cahaya hijau membuat
suasana sangat sejuk hingga sarang bajingan itu bagaikan
suatu rumah pelesiran. Kedua tubuh pun hampir saja
bersentuhan..... Segera tibalah saat yang paling genting. Kedua tangannya
si nona sudah lantas merangkul tubuh orang dan kedua
tangannya si pemuda membalasnya. Ketika itu digunakan si
nona akan menekan jalan darah bwe-in dari It Hiong untuk
dengan jalan itu menyalurkan tenaga dalamnya ke dalam
tubuh si anak muda ! Di luar sangkanya si nona, totokannya itu mendapat
perlawanan yang kuat. Ia memang tidak tahu yang It Hiong
mempunyai tenaga dalam yang istimewa tangguh. Pertamatama
si anak muda berbakat, lalu dia telah makan darahnya
belut emas yang berkhasiat luar biasa. Kemudian dia sudah
melatih diri dengan ilmu Hian-bun Sian Thian Khie-kang yang
istimewa yang mana diperkuat dengan latihan Gie Kiam Sut,
ilmu pedang mirip terbang melayang. Si nona sebaliknya.
Usianya masih terlalu muda dan dia cuma mengandalkan
paras eloknya serta obat biusnya itu. Ketika ia mencoba
mengerahkan tenaga dalamnya, akan menekan lebih keras,
dia lantas merasai sesuatu yang membuatnya kaget.
Tenaga kokoh kuat dari It Hiong telah menolak tekanan itu
! Si nona tidak melainkan merasa tangannya tertolak keras.
Bahkan dia pun merasai hawa panas terasalurkan ke jalan
darahnya ! Dia kaget, tak dapat dia mempertahankan diri.
Celakanya, ketika dia hendak menarik pulang tangannya itu,
tiba-tiba saja tenaganya habis. Tangannya menjadi kaku dan
tak dapat digerakkan........
"Celaka !" serunya di dalam hati dan ia menjadi sangat
kaget dan takut. It Hiong di lain pihak sudah lantas berhasil menekan
hatinya hingga di lain saat ia memperoleh kembali ketenangan
dirinya. Tak lagi ia terganggu napsu birahinya. Dengan telah
makan obat kay-tok-wan dari pendeta dari Bie Lek Sie, ia
memang sukar terserang pelbagai macam racun.
Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Di saat si anak muda sadar, tubuhnya masih dipeluji si
nona berbaju hijau. Sedangkan kedua tangannya pun belum
dilepaskan hingga mereka berdua saling rangkul....
"Kau bikin apa, eh ?" It Hiong menegur.
Dengan perlahan si nona mengangkat kepalanya, akan
menatap si anak muda. "Kau lihatlah !" katanya perlahan. "Sebenarnya akulah yang
membuat kau tak sdar atau kaulah yang membikin aku tak
ingat akan diriku...."
It Hiong membuka kedua tangan orang dan menolak
tubuhnya dia itu. "Kau lihat !" tegurnya. "Apakah kau tidak malu " Lepaskan
tanganmu !" Nona itu menggeleng kepala, wajahnya menjadi suaram.
"Aku sudah kalah, aku menyerah......" katanya lemah. "Aku
suka mati ditanganmu....... Inilah lebih baik daripada aku
terbinasa tersiksa hebat ditangan guruku......"
"Apakah kau masih mau main gila ?" It Hiong membentak.
"Masihkah kau hendak merayu aku " Tak nanti aku terkena
akal muslihatmu ! Baiklah kau tahu diri !"
Air matanya si nona turun meleleh. Dia menangis.
"Aku....." katanya. "Aku.........."
Dengan perlahan It Hiong menolak bahu orang.
"Mengingat usiamu yang masih terlalu muda, suka aku
memaafkan kau." kata It Hiong. "Aku percaya segala
perbuatanmu masih belum berbau darah. Aku tahu
perbuatanmu sekarang ini disebabkan orang telah
menyesatkanmu. Karena kau terpaksa. Karena itu, suka aku
membukakan satu jalan hidup ! Sekarang pergilah kau, untuk
kau kembali ke jalan yang lurus !"
Nona itu mengangguk. Agaknya dia sangat tertarik hati.
"Tuan Tio," katanya. "Kau telah tidak membunuhku,
budimu ini akan aku ingat baik-baik. Nasihat emasmu juga aku
nanti ukir di dalam hati sanubariku. Cumalah aku....
aku........." "Sudah !" kata It Hiong yang ingat sesuatu. "Tak usah kau
bicara lagi. Kau pergilah !" Lantas ia menotok jalan darah Pekjie
nona itu hingga lengan kanannya jadi dapat digeraki pula
dengan bebas. Tadi, tanpa merasa ia kena totok jalan darah
itu. Dengan sinar mata bersyukur --bukan lagi sinar mata
centil-- nona itu mengawasi si anak muda. Sedangkan lengan
kanannya itu digerak-geraki guna membikin pulih jalan
darahnya. Kemudian dengan suara berbisik ia kata : "Tempat
ini tempat berbahaya. Maka itu tuan, baiklah kau lekas-lekas
mundur teratur. Nah, kau berhati-hatilah tuan ! Sampai jumpa
pula !" Nona itu memberi hormat terus ia memutar tubuh
bertindak ke arah pojok kamar dari mana tadi ia muncul.
Tiba-tiba saja terdengarlah satu siulan sangat nyaring dan
tajam yang memekakkan telinga. Suara itu pun sangat seram.
Mendengar suara itu, si nona berhenti melangkah dan
tubuhnya lantas menggigil. Mukanya terus menjadi pucat.
It Hiong turut terkejut, apa pula kapan ia melihat si nona.
Tetapi cuma sedetik, lantas ia mengerti. Perubahan nona itu
tentulah disebabkan dia telah makan Thay-siang Hoan Hun
Tan, obat pengganggu syaraf yang lihai itu.
Menyusul itu dari pojokan terdengar suara yang sayupsayup,
suara musik yang merdu. Sebentar rendah, sebentar
tinggi. Suara itu bagaikan dibawa datang oleh sang angin.
Mendengar suara itu, si nona mendadak meloloskan ikat
pinggangnya yang terasalut benar emas. Selekasnya dia
mengibaskan tangannya, ikat pinggang itu menjadi panjang
dua atau tiga tombak hingga tampak warnanya.
Mengikuti irama musik itu, si nona berbaju hijau lantas
menggerak-geraki kedua tangannya membuat main ikat
pinggangnya itu yang terus berkelebatan. Kedua kakinya pun
turut bergeraka akan mengimbangi gerakan tangannya dan
tubuhnya. Dia nampak seperti orang yang lagi menari. Gerak
geriknya itu cepat dan perlahan menuruti irama. Bahkan terus
ia mengitari si anak muda. Hingga karenanya, It Hiong mesti
turut berputaran untuk memasang mata.
Sebenarnya anak muda kita sudah memikir mencari jalan
keluar guna pergi turun gunung. Siapa tahu ia telah
menyaksikan gerak gerik si nona yang terang sudah
menarikan tarian "Thian Mo Biauw Bu -- tari Bajingan Langit".
Untuk meloloskan diri, ia tidak menghiraukan tarian itu. Terus
ia pergi kepojok guna mencari pintu rahasia. Hanya dalam
usahanya itu, ia terintang si nona yang terus saja menari-narik
memutarinya. Kalau dia sadar akan dirinya, sekarang terang
nona itu telah terjatuh di bawah pengaruh orang. Ya, dibawah
pengaruh obat yang mengacaukan urat syarafnya itu ! Dia
bergerak-gerak secara indah dan menarik hati.
It Hiong mencari terus di sekitar dinding. Ia tidak
memperoleh hasil. Maka juga kemudian ia berdiri diam.
Matanya diarahkan ke empat penjuru kamar. Selagi
mengawasi, otaknya tak henti-hentinya bekerja.
Si nona dengan tarian ikat pinggang itu masih terus
mengganggu seperti juga mengganggunya lagu yang merdu
itu yang entah dari mana datangnya. Halus sekali gerak gerik
pinggang langsing dari nona itu.
Hatinya It Hiong goncang ketika ia mengawasi si nona.
"Oh, kakak yang baik," kemudian nona itu kata, matanya
mengawasi tajam. Sinar matanya memain. "Kakak, kalau kau
ketarik dengan tarianku ini, Bajingan Langit, maka kau
tentulah tertarik juga mendengari nyanyianku, yaitu lagu
Daging Sakti...... Benar bukan ?" Dan si nona tertawa manis.
Tanpa menanti jawaban si naak muda, nona itu lantas
mulai dengan nyanyiannya :
Kekasihku -- diujung langit....
Kekasihku -- di dalam istana rembulan........
Kekasihku -- di dalam hatiku....
Bukan, bukan ! Hanya di depanku !
Lagi menantikan kasihnya daging sakti.......
Nyanyian itu sangat halus dan merdu. Sangat sedap untuk
telinga, sedangkan tubuh si nona bergerak-gerak halus
merayu sang mata. Sinar matanya pun sangat menawan
hati...... Masih berputaran dengan ikat pinggangnya itu, si nona
mendesak si anak muda. Dengan sinar matanya memain, ia
bernyanyi pula : Kekasihku -- dialah jago di selalu tempat !
Kekasihku -- adalah ahli asmara !
Kekasihku -- dialah bangsawan halus Pekertinya !
Bukan, bukan ! Dialah orang gagah.
Dialah laki-laki sejati !
Dan kau, kaulah adanya. Lekaslah !
Kenapa kau tak mau merangkul aku "....
Kenapa kau tak mau menerima cintaku ".......
Ya, cintaku........ Tetap lagu itu sangat merdu, sangat sedap untuk telinga.
Yang bernyanyi sudah menutup multnya tetapi suara nyanyian
masih seperti terdengar di telinga.
Baru setelah dia berhenti menyanyi, maka berhenti juga si
nona menari. Hanya sekarang dengan tindakan halus, dia
menghampiri si anak muda. Ia menatap dan tertawa manis.
"Oh, kakak. Kakak yang baik. Kau kenapakah ?" demikian
sapanya lemah lembut. "Seharusnya orang yang berhati besi
atau batu pun hatinya akan tergerak ! Maka itu, mari aku
tanya, hatimu tergerak atau tidak ?"
"Hm !" It Hiong memperdengarkan jawabannya. "Toh
kepandaianmu cuma sebegini saja. Apakah masih ada yang
lainnya " Coba kau keluarkan ! Tak ada halangannya, akan
aku mengujinya. Matanya si nona memain galak.
"Baik, baik !" sahutnya. "Kaulah arhat besi, kakak. Kaulah
arhat tembaga, pendekar sejati. Tetapi hendak aku coba !
Lihatlah !" Si nona bertindak ke tengah ruang. Sembari berjalan ia
melirik. Tubuhnya melangkah lemas dan menarik hati. Kata
dia : "Kau lihat, kakak. Adikmu akan memberikan pula
pertunjukannya yang jelek......"
Segera nona itu bersilat dengan ikat pinggangnya itu. Ia
bagaikan tengah menari. Hebat ikat pinggang itu dapat ia
geraki dalam pelbagai gerakan. Ikat pinggang berputar-putar,
bergulung-gulung. It Hiong heran dan kagum. Nona itu diluar sangkaannya.
Dia masih muda tetapi ilmu silatnya sudah sedemikian lihai.
Karena ini, timbullah rasa kasihannya akan nasib orang yang
terjatuh di bawah pegnaruh manusia jahat.
Sesudah menonton sekian lama, diam-diam hatinya It
Hiong gatal. Maka ia pun hendak menunjuki kepandaiannya.
Demikianlah mendadak ia melonjorkan tangan kirinya,
diarahkan ke ikat pinggang si nona seraya ia menggapai.
Hanya sedetik itu, ikat pinggang telah tertarik ke dalam
genggamannya ! Mendapatkan ikat pinggangnya ditarik itu, si nona
bukannya gusar bahkan sebaliknya. Dia tertawa. Dia girang
luar biasa. Sembari tertawa dia kata : "Kakak, apakah kau
jemu melihatnya ?" "Menurut aku, kepandaianmu ini sama saja dengan
pertunjukannya tukang jual silat yang mencari arak dan nasi !"
sahut It Hiong. "Tidak ada yang bagus dan menarik hati untuk
ditonton !" Kedua biji matanya si nona berputar, dia nampak berpikir.
Kemudian dia tertawa dan kata : "Oh, kiranya bukanlah
permainan semacam ini yang kakak ingin lihat ! Kiranya itu !
Benar, bukan?" "Apakah itu ?" si pemuda tanya. "Apakah artnya itu " Ada
macam apakah lagi ?"
"Itulah bagian bawah dari tarian Bajingan Langit serta
Daging Sakti !" sahut si nona. "Aku jamin, melihat itu, kau
bakal menjadi sangat tertarik hati !"
Begitu dia mengucap, begitu si nona menepuk tangannya
atas mana musik tadi berbunyi pula. Menyusul itu, ia pun
mengangkat kakinya serta menggerak-geraki kedua belah
tangannya untuk mulai menari, sedangkan mulutnya lantas
memperdengarkan nyanyiannya yang merdu :
Aku ada maksudku, tuan ada hatinya.
Bagaimana kalau Daging Sakti dirapatkan "
Diatas semangat terbetot.
Dari air, dari tanah, itu dapat dicampur aduk.
Kalau baju dilolosi, kakak.
Hatimu pasti goncang ! Tak puas It Hiong mendengar kata-kata menyeleweng itu.
Justru ia lagi berpikir, si nona telah membuka baju hijaunya itu
hingga terlihat dadanya yang tertutup dengan semacam
kutang merah dadu. Sembari berbuat begitu, matanya
memain tak hentinya. Setelah itu, dia melanjuti nyanyiannya.
Kali ni nyanyiannya itu makin mendekati kecabulannya.
It Hiong menjadi tidak puas, apa pula ketika ia mendapat
kenyataan sembari bernyanyi itu tangan si nona pun bekerja
meloloskan pakaiannya hingga dia hampir telanjang hingga
berpetalah tubuhnya yang montok.
"Pergilah !" bentak anak muda kita yang menguatkan
hatinya untuk mencegah dirinya disesatkan si nona yang
benar-benar telah terjatuh ke dalam pengaruh sesat hingga
dia lupa malu. Si nona tapinya tidak menghiraukan. Dia menari terus, dia
melanjuti nyanyiannya. Selalu dia melirik secara menggiurkan.
Memperlihatkan tubuh asli hadiah ayah dan ibu.
Dari sana timbullah rasa sesar dan sadar !
Ah ! Cinta " Penasaran " Semangat " Daging "
Bagaimana " Semenjak dahulu hingga sekarang.
Orang menipu orang ! Habis menyanyi, si nona lari pada It Hiong, untuk
memeluknya. Sebelaum si anak muda tahu apa-apa, lehernya
telah dirangkul dan bibir dia itu telah nempel di pipinya hingga
disitu tertinggal bekas yancie dadu !
Bukan main terkejutnya si anak muda. Karena ia
berkasihan, tidak dapat dia menolak dengan kekerasan. Si
nona sebaliknya merangkul erat-erat. Lekas ia menjatuhkan
diri untuk duduk bersila ditanah guna mengheningkan cipta. Ia
bersemadhi ! Tidak lama maka merasalah si anak muda bahwa hatinya
tenang. Dengan demikian juga pulihlah ketenangan hatinya.
Ia sadar seluruhnya. Maka ia lantas dapat menggunakan
otaknya. "Aku berkasihan, hampir aku celaka." pikirnya. "Hebat
pengaruh obatnya si jahat ! Sekarang bagaimana aku harus
bertindak terhadap nona ini yang menjadi lupa daratan karena
dia terpengaruh ?" Perlahan-lahan It Hiong membuka matanya akan
mengawasi si nona yang masih saja merangkul lehernya.
Begitu ia melihat muka orang ia menjadi terkejut. Nona itu
menjadi pucat. Sinar matanya sayup-sayup. Yang hebat ialah
mulutnya mengeluarkan darah segar !
"Sungguh jahat !" seru It Hiong di dalam hati. "Sungguh
telengas !" Tak tega ia membiarkan orang mati keracunan.
"Aku mesti tolong padanya !" pikirnya. Maka ia
mengeluarkan peles obatnya yang hijau, enam butir pil ia
jejalkan ke dalam mulut nona itu. Kemudian ia berbangkit
bangun sambil mengangkat juga tubuh si nona.
Nona itu lemas sekali. Tenaganya seperti telah habis.
Karena itu, ia dipondong dibawa ke pembaringan untuk
direbahkan di sana. Lekas sekali bekerjanya obat. Belum lama jalan napasnya si
nona menjadi tak lemah seperti barusan, kemudian terdengar
dia merintih. Menampak demikian, lega juga hatinya It Hiong. Jiwanya si
nona ada harapan akan tertolong. Dengan berdiri di depan
pembaringan, ia menguruti tubuh orang guna meluruskan
jalan darahnya. Tetapi melihat tubuh orang yang separuh
telanjang, ia jengah. Mana dapat ia meraba-raba tubuh nona
itu, malah nona yang tidak dikenal " Sekian lama, ia
mengawasi saja muka orang.....
Si nona merintih semakin keras lalu dia bergulak gulik.
Terang dia tengah menderita. Racun dan obat pemunahnya
Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
rupanya sedang bertarung. Itulah saat mati atau hidup..
It Hiong mendengar, ia berdiam saja. Hati nuraninya
sedang digempur. Ia membantu atau tidak. Kasihan nona itu.
Tak dapat ia dibiarkan tersiksa lama-lama. Giris hatinya
mendengari suara lemah orang !
Tanpa bantuan pengurutan, sulit nona itu tertolong. Obat
harus dibantu tenaga dari luar, baru bisa dapat dibasmi
seluruhnya. Bagaimana sekarang " Dapatkah ia membiarkan
orang menghembuskan napasnya dihadapannya tanpa ia
berdaya " Kalau si nona mati, bukankah seperti dialah yang
membiarkannya putus jiwa "
It Hiong pula berada di dalam sarang penjahat, sarang
musuh. Bagaimana kalau ada musuh yang muncul " Ia
terancam bahaya, ia pula dapat dituduh, difitnah secara tidaktidak
! "Ha, kenapa hatiku menjadi begini lemah ?" pikirnya
kemudian. "Kemana semangat kegagahanku " Aku mesti
mengambil keputusan !"
Sampai di situ anak muda kita lantas bertindak. Paling
dahulu ia masuki pedangnya ke dalam sarungnya. Ia pun
menjemput baju hijau si nona yang tadi dilemparkannya ke
lantai. Setelah itu ia kembali ke pembaringan.
Si nona masih merintih, darah dimulutnya berubah menjadi
hitam. Pembaringan kotor dengan darah itu.
Cepat sekali It Hiong membeber baju orang diatas tubuh
pemiliknya, menyusul itu ia mengerahkan tenaga Hian-bun
Sian Thian Khie-kang buat akhirnya mulai meraba tubuh orang
buat diuruti. Sebelah tangannya diletaki diatas jalan darah
tan-tian, buat menekannya guna menyalurkan tenaga
dalamnya. Demikianlah pertolongan diberikan.
Lewat kira setengah jam, rintihan si nona lantas berkurang
bahkan terus berhanti. Tetapi sekarang tubuhnya lantas
bermandikan peluh. Malah peluh itu berbau tak sedap.
Rupanya hawa racun telah keluar dengan perantaraan peluh
itu. Lega hatinya pemuda kita. Jiwa si nona sudah dapat
ditolong. Maka ia lantas menghentikan mengurutnya serta
juga mengangkat tangannya. Terus ia bangun berdiri. Atau
mendadak ada angin yang menyambarnya. Ia kaget sekali. Ia
mengerti itulah serangan gelap. Tidak ada waktu buat dia
menghunus pedang, maka terpaksa ia mengegos tubuh ke sisi
terus membalik badan dengan kedua tangannya segera
ditolakkan keras ! Kiranya serangan itu berupa tiga buah senjata rahasia Yan
bwe Hui-hoan Piauw, yaitu piauw yang dapat berputar dan
berbalik mirip bumerang. Dan ketika kena tertolak, piauw itu
tidak jatuh ke tanha hanya kembali ke arah dari mana
datangnya. Juga aneh, penyerangan bukan ditujukan kepada
si anak muda, hanya terhadap si nona !
Lantas It Hiong dapat menerka. Si orang jahat mau
membinasakan orang itu yang gagal dalam tugasnya.
Tentunya dengan maksud menutup mulut orang ! Sungguh
kejam ! Habis menghalau senjata rahasia, It Hiong menoleh kepada
si nona. Dia masih rebah, matanya sudah dibuka tetapi sinar
matanya itu sangat bodoh. Dia tampak seperti orang yang
baru sembuh dari penyakit berat. Kelihatannya dia tidak
bertenaga sama sekali. Walaupun demikian, dia memegangi
bajunya. Rupanya dia telah insaf akan keadaan tubuhnya itu.
Mulanya It Hiong memikir menganjurkan orang pergi kabur.
Akan tetapi melihat keadaannya dia itu, dia batal membuka
mulutnya. Dalam keadaan selemah itu, tidak nanti dia
mengangkat kaki. Waktu It Hiong memandang muka orang, si nona justru
mengawasi padanya. Empat sinar mata lantas beradu !
Kesudahannya si nona lekas-lekas tunduk. Nampak dia sangat
likat. Telinga dan mukanya pun menjadi merah. Itulah
menyatakan dia sudah sadar dan malu sendirinya. Itu pula
menandakan yang dia belum tersesat. Dia hanya korban racun
yang lihai sekali. Dalam malunya, si nona rebah tak berkutik. Tubuhnya
ditutupi bajunya. Dia pun terus membungkam. Kalau dia
membuka mulut, dia khawatir si anak muda nanti menoleh ke
arahnya.... Sementera itu, piauw bumerang itu masih berputaran.
Menyaksikan demikian, It Hiong menjadi panas hati. Itulah
berbahaya buat ia sendiri terutama buat si nona yang jiwanya
di arah. Maka ia lantas menghunus pedangnya terus ia
memutarnya dengan keras. Kesudahannya itu ialah ketiga
buah piauw runtuh, semua jatuh ke lantai.
Baru sekarang anak muda kita mendekati si nona seraya
berkata : "Nona, lekas kau mengenakan pakaianmu ! Lekas
kau menyingkir dari sini, guna membantu dirimu !"
Sembari berkata begitu dengan pedang ditangan, It Hiong
memasang mata ke sekitarnya buat menjaga kalau-kalau
datang pula serangan pengejut.
"Aku mengerti !" berkata si nona. Dia melihat si anak muda
membaliki belakang, hatinya lega. Segera ia membalik tubuh,
akan turun dari pembaringan buat berdandan dengan cepat.
Ia mengenakan pula pakaian hijaunya itu. Selesai merapikan
rambutnya yang panjang, ia maju ke muka si pemuda. Ia tidak
berani mengangkat kepala akan mengawasi anak muda itu,
hanya sambil tunduk ia kata : "Tuan, kau telah membantu
jiwaku. Budi besarmu ini tak nanti kau lupakan selama aku
masih hidup." Ia lantas menangis, akan tetapi ia menjura memberikan
hormatnya. Inilah It Hiong tidak sangka, ia melengak. Biar bagaimana,
ia pun rada likat. Lalu ia kata : "Jangan mengucap terima
kasih, nona. Kita sama-sama orang Kang Ouw. Tak usah kita
memakai banyak ada peradatan."
Si nona menyusuti air matanya dengan ujung bajunya. Dia
menghela napas. "Biar bagaimana, tuan, kau telah menolong jiwaku."
katanya. "Kaulah orang yang telah menghidupkan pula
nyawaku. Sekarang aku insaf, maka aku hendak menyingkir
dari jalan yang sesat ini. Akan aku menyingkir buat seterusnya
mengembalikan wajahku yang asli !'
"Nona, memang aku telah menolong kau. Tetapi sama
benarnya kau telah menyelamatkan dirimu sendiri." kata It
Hiong. "Kau tahu, aku telah memberikan kau obat guna
membasmi obat yang mengeram di dalam tubuhmu.
Selanjutnya tinggal kau beristirahat guna menjaga
kesehatanmu supaya tubuhmu bersih dari godaan napsu
hatimu." Si nona mengawasi. Ia agaknya belum mengerti jelas katakatanya
si anak muda. "Tuan." katanya. "Sekarang ini, apa juga nanti terjadi, aku
mengharapkan bantuanmu supaya aku dapat menyingkir dari
tempat ini. Aku ingin tidak lagi menjadi boneka orang hingga
aku dapat diperintah melakukan segala apa di luar
kesadaranku !" "Tetapi nona," kata It Hiong, "bukan maksudku menyuruh
atau menganjurkan kau berdurhaka terhadap gurumu.
Aku......" "Aku mengerti, tuan !" si nona menyela. "Akan tetapi,
apakah tuan tak sudi menolong aku dipermulaannya lalu terus
sampai di akhirnya " Apakah tuan bermaksud menyuruh aku
tetap berdiam disini supaya aku menderita siksaan hebat " Di
sini aku dapat dihukum picis......"
Lantas si nona menangis tersedu sedan, tubuhnya sampai
menggigil. It Hiong terkejut. Tak dapat menerka kekejamannya guru si
nona. "Baik, nona." katanya akhirnya. "Baik, akan aku melindungi
kau sampai kau lolos dari sini !"
Nona itu menahan tangisnya.
"Dengan kau menjanjikan aku untuk membantu aku keluar
dari sini tuan, itu berarti bahwa bagiku barulah terbuka
kesempatan buat hidup baru pula !" demikian katanya
bersyukur. It Hiong berdiam sebentar, baru dia menanya : "Nona,
siapakah gurumu " Apakah nama atau gelarannya ?"
Di tanya begitu, si nona melengak. Akan kemudian
menggeleng kepala. "Aku berada di sini bukannya karena aku mengangkat
orang menjadi guruku." sahutnya. "Di luar tahuku, orang telah
menculik dan membawaku kemari....."
It Hiong heran, sepasang alisnya bangkit berdiri.
"Nona, baiklah kau bicara secara terus terang saja."
katanya. Nona itu menggeleng pula kepalanya.
"Tak sepatah kata juga aku mendusta !" bilangnya. "Aku
berani bersumpah !" Berkata begitu, si nona nampak berduka pula dan air
matanya meleleh. It Hiong lantas memperlihatkan pula wajah sabar.
"Kalau begitu, nona, selama dirumahmu, kau telah belajar
silat, bukan ?" tanyanya pula
Kembali si nona menggeleng kepala.
"Tidak." sahutnya.
It Hiong tertawa dingin. Dia tak percaya.
"Kalau begitu, sungguh aneh !" katanya keras. "Kau
sebenarnya orang golongan apa ?"
Si nona melengak. Dia menatap si anak muda. Agaknya dia
sadar. "Ya, tuan." katanya sabar. "Aku ini orang macam apakah ?"
Ia mengangkat kepalanya, agaknya dia berpikir keras akan
mengingat-ingat. Nona itu menunjuki bahwa ia sudah keracunan hebat.
Walaupun dia telah mendapatkan obat mujarab, ingatannya
masih kurang sempurna. Ia belum sehat seluruhnya.
It Hiong menatap. Ia dapat melihat keadaan sebenarnya
dari nona itu. Jadi ia siapa telah tidak mendusta. Karena itu, ia
tidak mau mendengar. Lewat sekian lama, si nona berkata pula.
"Aku ingat sekarang." bilangnya. "Pada tiga tahun yang
lalu, pada suatu malam, tengah aku tidur nyenyak ada orang
yang menculikku......"
It Hiong mengawasi, ia masih tidak mau menanyakan
sesuatu. Si nona menambahkan : "Akulah anak dari seorang
gembala yang biasa hidup mengembara. Selama hidup kami,
kami berada di gurun pasir, memelihara kambing dan kuda.
Menyusuri tempat-tempat berumput dimana ada perairan.
Kami selalu berpindahan, dimana kami tiba, disitu kami
berkemah...". Ia berhenti pula sejenak, baru ia menambahkan
lagi : "Di rumahku, aku mempunyai ayah dan ibu serta kakak
laki-laki juga banyak kawan kerabat........"
"Sudah nona, tak usah kau bicaraterlalu banyak." It Hiong
memotong. "Yang aku ingin ketahui ialah ilmu silatmu.
Darimanakah kau pelajari itu ?"
Si nona berpikir pula. "Aku ingat sekarang." sahutnya. "Aku mempelajarinya dari
Paman Kim...." "Siapakah paman Kim mu itu ?" It Hiong tanya. "Dia toh
gurumu ?" Si nona melengak. "Paman Kim tidak ada namanya. Dia juga bukannya
guruku." It Hiong heran. "Bagaimana caranya pamanmu itu mengajari kau ilmu silat
?" "Panjang buat kau menutur, tuan." sahut si nona. "Apakah
tuan tidak sebal kalau aku bercerita panjang lebar ?"
"Bukannya aku sebal mendengarnya, nona." sahut It Hiong.
"Hanya sekarang ini kita berada di dalam sarang bajingan. Ini
bukannya tempat memasang omong. Baiklah nona
menjelaskan yang paling penting saja !"
Nona berbaju hijau itu mengangguk.
"Aku ingat." demikian ia mulai dengan keterangannya.
"setelah aku siuman, aku mendapatkan yang aku bukan
berada di rumahku lagi. Yaitu bukannya kemah dimana
terdapat kambing dan kuda kami. Aku justru berada di dalam
gua yang sunyi senyap ! Di situ pula tidak ada seorang lain
juga kecuali seorang yang berewokan dan kulit mukanya
hitam. Baru belakangan aku mendapat tahu dialah orang yang
dipanggil Paman Kim......"
Lantas si nona memperlihatkan tampang sangat berduka.
"Mulanya aku menangis terus, aku merengek minta
diantarkan pulang." kemudian ia meneruskan ceritanya.
"Lantas paman Kim memberi aku makan sebutir pil. Habis
mana selanjutnya aku tidak ingat apa-apa lagi, kecuali sampai
sekarang ini......."
"Apakah kau pernah dengar namanya Im Ciu It Mo ?"
"Tidak." "Apakah kau pernah melihat seorang pelajar tua yang
mukanya keriputan ?"
Si nona membuka matanya lebar-lebar. Matanya itu
dikesap-kesipkan. "Sudah, sudah !" sahutnya.
"Apakah namanya si pelajar tua itu " Apakah dia yang
mengajari kau ilmu silat ?"
"Namanya dia itu belum pernah aku dengar. Tapi
sehabisnya Paman Kim mengajari ilmu silat, lantas ada orang
yang bicara disebelah tembok yang mengajari aku ilmu secara
lisan." "Aneh !" pikir It Hiong. "Ada biasa saja kalau orang
mengajar silat tetapi dia tidak sudi dianggap sebagai guru.
Yang aneh ialah kalau dia tidak mau memberitahukan she dan
namanya juga wajahnya ! Apakah yang terkandung di dalam
hatinya orang itu ?"
"Dengan begitu, nona." ia lantas berkata pula. "Ilmu silat
kau jadi diajari oleh Paman Kim yang berewokan itu.
Sedangkan orang disebelah tembok itu mengajarkan kau ilmu
tenaga dalam. Benar begitu, bukan ?"
Si nona mengangguk. "Benar." sahutnya. Dia mengangkat kedua tangannya, akan
menyingkap rambutnya. Kemudian dia menengadah langitlangit
Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
rumah untuk melanjuti berkata sabar : "Secara
demikian, tiga tahun sudah aku belajar ilmu silat ini. Selama
hari-hari dan bulan-bulan yang dilewati itu, sudah berapa
banyak gunung dan rimba yang kami telah pergikan, berapa
banyak rumah batu yang kami diamkan, sampai paling
belakang ini kami tiba dan berdiam disini......"
"Sudah berapa lama kalian tinggal disini ?"
Nona berbaju hijau itu berpikir.
"Sudah berapa lama kami tinggal disini, itulah aku tidak
ingat." sahutnya kemudian. "Menurut perasaanku, itulah
rasanya baru kemarin....."
"Apakah si pelajar tua yang bermuka keriputan itu datang
bersama Paman Kim mu itu " Apakah ada orang lainnya lagi ?"
Si nona melengak, matanya menatap si anak muda.
Kemudian dengan polos dia tertawa.
"Eh, eh, kenapakah kau menanya begini banyak ?" dia balik
bertanya. "Selama beberapa tahun ini aku cuma berada
bersama Paman Kim, belum pernah ada orang lain....."
Si anak muda memperlihatkan tampang sungguh-sungguh.
"Nona." katanya pula buat kesekian kalinya. "Bukankah
barusan nona berkatai aku bahwa nona pernah melihat si
pelajar tua yang bermuka keriputan itu " Kenapa sekarang
nona bilang tidak pernah ada lainnya orang ?"
Di tanya begitu, nona itu bungkam. Ia berpikir keras.
"Heran, apa kataku barusan ?" katanya. "Kenapa aku jadi
bicara tidak ketentuan, tidak jelas......."
It Hiong menghela napas. "Mungkinkah barusan nona keliru bicara ?" ia
mengingatkan. Nona itu tidak menjawab hanya dia terus bicara seorang
diri : "Sungguh menyesalkan ! Semakin dipikir otakku semakin
tumpul !" It Hiong tidak menanya lagi, ia hanya mengawasi. Ia tahu
orang keracunan hebat, karena mana kesadarannya yaitu
tenaga ingatannya tidak mudah segera pulih. Kalau dia
ditanya terus menerus, pikirannya Bisa menjadi kacau.
Nona itu beberapa kali hendak menggerakkan bibirnya,
saban-saban dia gagal. Ia agaknya tengah berpikir keras guna
memberikan jawabannya. Lewat sekian lama, baru ia berkata pula.
"Pelajar tua yang keriputan mukanya itu, memang benar
pernah aku melihatnya." demikian katanya. "Hanya kesanku
mengenai dia bagaikan impian saja. Di dalam impian itu,
rasanya dia pernah mengajari aku beberapa jurus ilmu silat,
antaranya ilmu silat yang menggunakan senjata tajam, juga
bertangan kosong dan ilmu ringan tubuh serta latihan
pernapasan... Hanya selekasnya aku mendusin, aku cuma
melihat Paman Kim sendiri....."
Aneh si nona, tetapi melihat lagak polosnya orang mesti
percaya. Maka itu It Hiong menganggap tidak bisa lain dia itu
belum sadar seluruhnya, ingatannya masih lemah. Di lain
pihak, ia tertarik hati. "Selama dalam keadaan seperti bermimpi itu, selama kau
berlatih," ia tanya sambil tertawa. "bagaimana kalian
berbahasa satu pada lain " Dan apakah kalian tidak bicara
juga tentang lain-lain partai persilatan ?"
Si nona juga rupanya merasa aneh, bahwa ia bergembira.
Karenanya ia tertawa. "Tuan, kau sangat cerdik !" katanya. "Bagaimana kau dapat
ingat urusan selama aku seperti bermimpi itu dan
menanyakan justru urusan yang aku ingin menyebutkannya ?"
Ia berdiam sejenak, lalu melanjuti : "Di dalam hatiku melihat
orang tua itu, hatiku jeri berbareng jemu. Akan tetapi aku
tidak berani mengutarakan apa juga terhadapnya. Asal aku
bertemu dengannya, lantas aku belajar silat, ak melatih
pelajaranku ! Aku tidak tahu menahu tentang nama partai !"
It Hiong tertawa. Ia mau menahannya tetapi tidak dapat. Si
nona agak jenaka. "Selagi kau belajar silat atau berlatih itu," ia tanya pula,
"apakah kalian tetap tidak memanggil atau membahasakan
satu pada lain " Tak sepatah kata juga ?"
"Itulah bukannya. Aku memanggil dia paman dan dia
memanggil aku A Hoa -- si Hoa. A Hoa itu aliasku"
Dengan "paman" si nona maksudkan "piehu" paman yang
terlebih tua. "Apakah pamanmu itu tidak menyuruh kau memanggil guru
padanya ?" "Rasanya dia pernah berkatanya. Katanya sesudah aku
belajar sempurna, baru aku memanggil dia guru. Dia pula
membilangi aku, buat aku turut perintahnya. Yaitu aku
diharuskan membunuh dahulu seratus orang ! Bahkan orang
yang aku tidak niat bunuh, juga dia mestikan aku
membinasakannya ! Itulah syaratnya buat mengangkat dia
menjadi guru !" "Habis, apakah kau telah lakukan kemestian itu ?"
Nona itu nampak masgul. "Pasti tidak aku lakukan." sahutnya. "Kenapa aku mesti
membunuh orang " Apa pula membinasakan seratus orang
dengan siapa kau tidak bermusuhan atau bersakit hati " Lagi
pula, kenapa aku mesti mengangkat seorang yang aku paling
jemu menjadi guruku ?"
It Hiong berpikir, lalu berkata : "Jika kau tidak menerima
baik syaratnya itu, itu tandanya kau merenggangkan diri dari
dianya ! Itulah suatu tanda bahwa kau terancam bahaya !"
"Kau benar, tuan." kata si nona. Agaknya dia hendak
mengajukan pengaduan atau mengutarakan kesukarannya itu.
"Orang tua itu telah menyuruh Paman Kim berkatai aku, jika
aku tidak meluluskan kehendaknya buat aku membunuh
seratus orang, dia hendak membinasakan aku. Dia pula
menyuruh aku memilih kematian macam apa ! Katanya itulah
kemurahan darinya maka dia memberi aku kebebasan
memilih............."
"Apakah orang sekejam dia masih mempunyai kemurahan
hati ?" Si nona mengangguk. "Itulah kemurahannya yang dia menyuruh aku memilih.
Dari pada disiksa, lebih baik mati wajar saja......."
It Hiong menghela napas. "Jadi kau memilih yang belakangan itu ?"
Mukanya si nona menjadi merah.
"Biar bagaimana, aku hendak berdaya meloloskan diri dari
tangannya dia itu !" katanya. "Aku tidak sangka bahwa dia
justru memerintahkan aku melakukan apa yang aku telah
berbuat atas dirimu ini!"
"Sudah, jangan kau sebut pula urusan kita barusan !" It
Hiong mencegah. "Sekarang mari bicara tentang dirimu ! Kau
tahu, kau masih tetap terancam maut. Tidak nanti mereka
madah saja membebaskanmu !"
Nona itu memperlihatkan tampang duka tetapi ia
menggertak gigi dan berkata dengan keras. "Mereka boleh
menebas kutung tubuhku menjadi dua potong ! Mereka boleh
berlaku itu sembarang waktu ! Aku tidak takut !"
Kata-kata bersemangat itu membangunkan juga
semangatnya si anak muda. Dia kagum sekali yang seorang
nona bernyali demikian besar. Bukankah nona itu tak usah
kalah dari kebanyakan pria " Maka ia lantas berkata sungguhsungguh
: "Nona, telah aku bilang hendak aku membantu kau
! Akan kau membantu kau lolos dari tangannya si bajingan
jahat ! Sekarang aku ketahui bahwa kaulah orang baik-baik
yang telah terjatuh ke dalam tangan orang jahat. Maka akan
kau lakukan segala apa guna membuktikan janjiku ! Tak nanti
aku hiraukan ancaman golok atau kapak di batang leherku !"
Si nona nampak senang sekali mendengar janji itu. Tetapi
di saat ia hendak memberikan jawabannya, tiba-tiba terdengar
suara parau yang datangnya dari pojok ruang, disusul dengan
tawa dingin serta kata-kata ini : "Di depan seorang wanita,
kau bicara enak saja ! Bocah she Tio, apakah kepandaianmu "
Cara bagaimana kau dapat membantu jiwanya budak hina
dina itu ?" It Hiong mendongkol sekali.
"Aku bukannya orang yang berjumawa dengan
kepandaianku !" sahutnya nyaring. "Akan tetapi menghadapi
bangsa sesat dan jahat, aku bersumpah tak akan hidup
bersama-sama dengannya !"
Suara parau di pojok itu terdengar pula. Kali ini nadanya
dingin : "Murid yang dididik Tek Cio si imam tua sungguh
bersemangat ! Melihat kau, lohu senang sekali ! Maka itu
mengingat akan kepandaianmu, suka aku memberi ampun
padamu ! Supaya kau dapat hidup terus. Kau tahu diri atau
tidak ?" Suara itu terdengar tegas tetapi wujud orangnya tidak
tampak. Saking murka, It Hiong mendelik mengawasi ke pojok. Kata
dia bengis : "Sudah, jangan kau bicara seenaknya saja ! Jika
kau berani, kau keluarlah ! Kenapa kau membawa lagak
bajinganmu, main sembunyi di tempat gelap " Kenapa kau
takut dilihat orang ?"
Orang dengan suara parau itu terdengar pula suaranya.
Nyatanya dia tidak mendongkol atau gusar walau It Hiong
telah mendampratnya. Ketika dia berkata pula, suaranya tetap
perlahan, tetap dingin. "Apa yang lohu bilang menyayangi kau." demikian katanya.
"Itu bukan berarti aku menyayangi kepandaianmu, aku hanya
menyayangi keberanianmu ! Kau bersemangat, itulah
menyenangi aku!" It Hiong sangat mendongkol. Ia meluncurkan tangannya ke
pojok tembok itu. Itulah serangan di udara terbuka. Maka
gempurlah sinar-sinar hijau yang nempel ditembok itu.
"Oh, orang tak tahu mati atau hidup !" terdengar pula
suara parau, datangnya dari pojok yang lainnya. "Kau baik
dengar dahulu aku bicara sampai habis. Baru kau umbar
napsu amarahmu ! Belum terlambat, bukan "
It Hiong segera memutar tubuh tanpa berkata apa-apa. Ia
hendak menyerang pula ke arah pojok dinding itu, atau
mendadak ia membatalkannya karena ia insyaf, ia berada di
tempat terbuka dan terang. Sebaliknya musuh tidak dikenal itu
di tempat gelap. Itulah berbahaya untuknya. Laginya, dengan
mengumbar hawa amarahnya, ia menjadi membikin keruh
otaknya sendiri. Itulah satu pantangan besar kaum rimba
persilatan ! Maka juga dengan hati bercekat, ia lantas
menyabarkan diri. "Kau hendak bicara apa ?" kemudia ia menegur, sabar.
"Bicaralah, akan aku mendengarnya !"
"Oh, bocah she Tio." kata suara itu. "Bagus sekali. Disaat
bergusar kau dapat menentramkan hatimu ! Hanya sayang
kau telah keliru berguru hingga kau tidak dapat mempelajari
ilmu yang luar biasa mujizatnya. Dengan apa kau dapat
membunuh orang tanpa orang dapat melihatmu !"
It Hiong menahan marah hingga tubuhnya menggigil. Ia
memang paling benci mendengar orang menghina gurunya. Ia
mengepal keras kedua tangannya. Ia terus berdiri diam, cuma
matanya dipasang, telinganya siap sedia.
Si suara parau itu tertawa dingin berulang-ulang. Lagi-lagi
dia memperdengarkan suaranya yang tidak sedap : "Kau tahu,
kau beruntung sekali yang kau telah berhasil melintasi
benteng-bentengku, benteng tarian bajingan langit dan
nyanyian daging sakti..."
Mendengar suara itu, mukanya si nona menjadi pucat. Ia
tidak berkata apa-apa. Tetapi dia menarik ujung bajunya si
pemuda, membuat si anak muda datang dekat satu tindak
padanya. It Hiong membiarkan nona itu.
"Kau telah bicara habis atau belum ?" tanyanya pada si
suara parau yang orangnya tak nampak itu.
Si parau tidak menjawab. Dia hanya melanjutkan katakatanya
: "Untung bagus kau ini bocah she Tio. Itu adalah
pemberian orang lain ! Itulah bukan disebabkan kepandaian
tenaga dalammu yang mahir......"
"Manusia pengecut !" It Hiong mendamprat. "Kau takut
bertemu orang, maka juga cuma suaramu saja yang terdengar
! Itu pula kata-kata yang takut menemui orang ! Apakah
artinya tarian Bajingan Langit dan nyanyian Daging Sakti "
Pengaruh apakah keduanya memiliki " Apakah kau sangka
tarian dan nyanyian itu dapat merintangi aku " Hm !"
Mendengar suaranya si anak muda, si nona diam-diam
mengangguk sendirinya. Ia menganggap anak muda ini gagah
dan laki-laki sejati. Bicaranya terus terang. Pemuda itu pun
tidak cabul. Ia menjadi sangat mengaguminya.
"He, bocah !" kata pula si parau itu. "Apakah kau masih
tidak mengenal budi " Bagaimana aku telah memberi hadiah
padamu " Kau rupanya telah melupakan diri dan menjadi
takabur sekali !" "Apakah artinya kata-katamu ini, sahabat ?" It Hiong tanya.
"Siapa bilang aku mendapat hadiah" Aku bebas dari tarian dan
nyanyianmu karena kepandaianku sendiri ! Tidak ada orang
yang membantui dan menolongku ! Kau bicaralah !"
Tiba-tiba si nona berbisik : "Itulah gurumu, tuan !" Habis
itu dia pun tertawa. It Hiong tidak berkatai apa-apa, ia hanya mengangguk.
"He, bocah. Kau rupanya sudah lupa !" terdengar pula si
parau itu. "Kau tahu nama lohu ?" Dia terus menyebut dirinya
lohu, si tua yang harus dihormati. "Namaku itu pada beberapa
puluh tahun dahulu sudah menggetarkan rimba persilatan !
Itulah sebab lihainya obat yang aku buat ! Ketika itu, tidak ada
seorang juga yang dapat menentang aku. Kalau toh ada satu
orang, dialah si keledia gundul bernama Pek Yam dari kuil Bie
Lek Sie ! Dan itu peles hijau kecil ditubuhmu, itu tentulah obat
Wan Ie Jie miliknya keledia botak itu ! Maka juga, untuk
bagusmu hari ini adalah untung bagus hadiah dari si keledia
gundul Pek Yam itu ! Nah, kau mengaku atau tidak ?"
It Hiong telah bertemu dengan pendeta dari biara Bie Lek
Sie itu. Ia pula telah diberikan itu satu peles obat pemunah
racun yang mustajab. Walaupun demikian, ia masih belum
ketahui namanya si pendeta. Karena sang alim tidak mau
menyebutkan namanya, ia juga tidak berani menanyakannya.
Sampai di sini si parau itu menyebutkan nama orang !
Di dalam kalangan Siauw Lim Pay atau biara Siauw Lim Sie,
pendeta tingkat tua dari turunan huruf "Pek" sudah tinggal
beberapa orang lagi saja. Maka itu, Pek Yam ini mestinya
saudara seperguruan dari Pek Cut Taysu. Mungkin dia suheng
Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
atau sute, kakak atau adik seperguruan ketua Siauw Lim Sie
itu. Mengetahui namanya si pendeta yang telah melepas budi
padanya itu, It Hiong girang sekali. Sendirinya ia lantas
menaruh hormat. Setelah itu ia kata pada si parau : "Memang,
aku lolos dari bahaya tarian dan nyanyian karena
pertolongannya obat LoSiansu Pek Yam dari Bie Lek Sie itu.
Akan tetapi gelarannya loSiansu, tidak aku tahu. Karena ia
belum pernah menyebutkannya. Kau ketahui gelerannya
loSiansu, cianpwe " Bagaimana sebabnya itu " Maukah kau
memberi keterangan padaku ?"
Karena orang menyebut namanya Pek Yam, It Hiong jadi
memanggil cianpwe -- orang dari tingkat tua -- pada si parau
ini. Si parau tertawa secara jumawa.
"Eh, bocah. Berapa luaskah pengetahuanmu ?" tanyanya.
"Bagaimana sekarang kau berani menantang lohu ?"
It Hiong tidak puas. Ia menanya kemana, dijawabnya
kemana. Maka itu, dengan sungguh-sungguh, dengan suara
nyaring ia kata : "Cianpwe, si sesat dengan si lurus tidak dapat
berdiri atau hidup bersama ! Aku Tio It Hiong, memang aku
tidak memiliki kepandaian yang berarti. Akan tetapi tetap
hendak aku membasmi kawanan bajingan guna menegakkan
keadilan ! Pendeknya, tidak dapat aku menahan sabar
membiarkan orang-orang yang biasa menggunakan racun
secara sewenang-wenang hidup malang melintang di dalam
dunia Kang Ouw ini !"
Si parau bersuara pula, agaknya dia gusar.
"Sudah, jangan mengoceh tidak karuan." dia membentak.
"Aku tanya kau, bagaimana kepandaianmu dibanding dengan
si rahib tua Tek Cio ?"
Kembali It Hiong menjadi mendongkol. Tek Cio Siangjin,
gurunya itu, disebut secara demikian memandang rendah !
Bukankah gurunya itu menjadi salah satu dari Sam Kie, tiga
orang berilmu dijamannya itu "
"Sudah !" bentaknya. "Sekarang mari kau coba ilmu Hianbun
Patkwa Kiam dari guruku itu !"
Lantas It Hiong menghunus pedangnya untuk diputar.
Si parau menyambut dengan tawa dingin.
"Lohu tidak memikir menurunkan derajatnya dengan
melayani menempur kau si orang muda dari tingkat rendah !"
demikian katanya mengejek. "Aku pula tidak memikir akan
bicara lebih banyak pula denganmu ! Sekarang aku
membiarkan kau dapat hidup lebih lama sedikit. Nah, kau
larilah ke belakang untuk melihat-lihat di sana !"
Habis si parau berkata, maka sunyilah ruang itu. Sebaliknya
lewat sedetik, maka di sebuah pojok tampak terpentangnya
sebuah pintu yang kecil. Melihat pintu itu, It Hiong segera berpaling pada si nona
berbaju hijau. Agaknya ia ingin bicara atau menanya. Akan
tetapi ia ragu-ragu. Nona itu melihat gerak geriknya si anak muda, dia cerdik,
dia lantas mengerti. Maka ia lantas berkata : "Di belakang
ruang itu ada sebuah lorong yang menembus sampai ditanah
datar di kaki puncak. Mungkin itulah jalan untuk turun gunung
!" Alisnya si anak muda bangkit.
"Kita jangan hiraukan itu !" katanya nyaring. "Mari kita
maju !" Dengan tangan kanan bersiap dengan pedangnya dan
tangan kiri mencekal tangan halus lembut si nona, It Hiong
lantas berjalan berendeng menghampiri pintu kecil itu untuk
memasukinya. Ia melihat suatu tempat mirip gua dimana
terdapat sinar terang yang lemah. Segala sesuatu tampak
cukup nyata. Ke empat dinding temboknya tidak rata dan ada
celah-celah atau renggangan dimana molos sinar terang. Di
atas --pada langit-langit-- terlihat stalakmit yang merakar ke
bawah, panjang dan pendeknya tidak rata. Tempat itu demek
dan mendatangkan rasa dingin. Jadi tempat itu beda seperti
langit dan bumi dibanding dengan ruang besar tadi.
"Nona, pernahkah kau datang kemari ?" tanya It Hiong
selekasnya kakinya melangkah masuk.
Si nona bukannya menjawab, dia justru menjerit. Eh,
kenapa dapat berubah begini " Kenapa berubahnya begini
cepat ?" Mendengar itu, insaflah It Hiong yang mereka sudah kena
perangkap. Maka segera ia memutar tubuh atau ia menjadi
kaget ! Pintu yang barusan itu sudah lenyap ! Pintu tertutup
tanpa suara apa-apa ! Si nona sebaliknya kaget hingga dia menjerit. Maka tahulah
si anak muda yang nona ini masih hijau pengalamannya. Maka
ia lantas menghibur dengan suara perlahan : "Jangan takut,
nona ! Di dalam keadaan seperti ini hilang jiwa juga jangan
kita gentar ! Segala apa sudah terlanjur, kita harus besarkan
hati ! Apakah yang harus ditakuti " Walaupun pesawat mereka
lihai, mereka tak akan dapat berbuat apa-apa terhadap
pedangku ini ! Seluruh tubuh kita adalah jadi merah !"
Dengan memasang matanya, It Hiong segera mengawasi
tajam ke empat penjuru. Ia tidak percaya ruang itu tidak
mempunyai jalan keluar. Di lain saat maka ia melihat sesuatu
yang mencurigai. Di dinding tampak menonjol sepotong
rebung batu warna hijau. Besarnya seperti jeriji tangan.
Biasanya batu semacam itu tidak akan menarik perhatian,
tidak demikian bagi pemuda kita.
Juga si nona baju hijau yang turut memasang mata melihat
batu itu. Ia pula melihat perhatiannya si anak muda.
"Tuan, apakah tuan hendak mengambil batu itu ?"
tanyanya. It Hiong menjawab perlahan sekali. "Mungkin batu itu
alatnya pesawat rahasia..... Mungkin juga orang telah
menaruh racun hingga tak dapat orang merabanya...."
Si nona mengawasi tajam. "Nanti aku coba." katanya. "Kita tak dapat terlalu lama
berdiam disini." Berkata begitu, si nona melepaskan tangannya dari cekalan
It Hiong. Terus ia berduduk bersila di tanah untuk
bersemadhi. Kedua matanya dipejamkan.
It Hiong berdiri di sisi si nona. Ia pun memusatkan
perhatiannya. Ia meluruskan otot-ototnya. Ia bernafas dengan
perlahan-lahan. Satu kali ia ingat Kiauw In dan Giok Peng,
tiba-tiba saja pikirannya menjadi terganggu. Ia tak tahu
bagaimana dengan mereka itu. Ingat Giok Peng, terus ia ingat
Hauw Yan, puteranya. Karena pikirannya tidak tenang itu,
lantas ia teringat juga kepada Tan Hong dan Ya Bie...
Syukur Tan Hong dan Ya Bie dapat kembali ke jalan
lurus.... demikian pikirnya.
Lalu ia ingat juga Hong Kun. Hebat kawan itu yang menjadi
saingan dalam asmara hingga mereka berdua menjadi musuh
satu dengan lain. Atau tegasnya, Hong Kun yang
memusuhkannya hingga ia mau dibikin celaka.
"Dia tersesat, dia harus dibinasakan." pikirnya lebih jauh.
"Tapi dialah bekas sahabatku, pantas kalau dia diberi maaf."
Kemudian It Hiong ingat gerakan Bu Lim Cit Cun. Itulah
pergerakan besar dan berbahaya yang dapat merusak dunia
Kang Ouw atau Bu Lim. Saatnya pertemuan sudah mendatangi
semakin dekat. Sebaliknya pedang Keng Hong Kiam masih
juga belum di dapat pulang. Pedang itu sangat perlu guna
menaklukan para pengacau sungai telaga itu....
"Dan sekarang aku lagi menghadapi Tok Mo yang lihai
ini......" pikirnya pula.
Tanpa merasa, anak muda kita menghela napas dalamdalam.
Karenanya pemusatan pikirannya menjadi buyar.
"Ah !" serunya kemudian.
Tengah bermasgul itu, It Hiong lantas merasai hawa rada
hangat. Segera ia sadar pula. Maka ingatlah ia yang tidak
dapat berdiam lebih lama pula di dalam sarang lawan.
Kemudian It Hiong menoleh kepada si nona berbaju hijau.
Nona itu masih terus duduk bersila tanpa bergeming. Matanya
terus dipejamkan. Terang nona itu tengah memusatkan
perhatiannya. Melihat keadaan si nona, ia merasa berpikir....
Ingat akan keadaan dirinya, It Hiong lantas memikir jalan
buat meloloskan diri. Pertama-tama ia melihat dua jalan. Satu
ialah menggempur pintu atau tembok buat keluar dengan
paksa. Satu lagi ialah mencari dan menemukan pintu rahasia.
Pintu rahasia sukar dicari. Pintu batu itu mestinya sangat
tangguh hingga tak mudah didobrak dengan kekuatan
tenaga...... Sesudah berpikir keras sekian lama, It Hiong bertindak
menghampiri batu menjol itu. Ia sudah mengulur tangannya
akan memegang batu itu atau segera ia menarik pulang
tangannya itu. Tiba-tiba ia ingat kalau-kalau batu itu ada
racunnya. Kalau ia terkena racun, bisa-bisa ia roboh atau
mungkin jiwanya akan melayang pergi.....
Sesaat itu, It Hiong lupa yang ia telah menelan Wan Ie Jie,
obat si pendeta dari biara Bie Lek Sie.
Tapi sehabis menarik tangan kirinya, It Hiong sebaliknya
meluncurkan pedangnya di tangan kanan. Ujung pedang
disentuhkan kepada batu itu. Nyata batu itu nancap keras,
pedang tak dapat membuatnya bergeming. Batu itu pula licin
seperti memangnya sudah lama berada disitu. Hanya adakah
itu batu wajar dan bukannya dipasang oleh tangan manusia "
Di awasi sekian lama, batu itu tidak memperlihatkan
sesuatu yang mencurigai. "Mungkinkah ini bukannya alat rahasia ?" pikir anak muda
kita. Ia agak menyesal. Tapi ia penasaran. Ia mengawasi lebih
jauh. Formasi batu luar biasa sekali. Tak mungkin batu itu
wajar saja berada disitu ! Batu lainnya tidak ada yang seaneh
itu ! Lalu dengan ujung pedangnya, It Hiong membentur batu
itu pergi dan pulang, ke kiri dan ke kanan, dari perlahan
sampai keras. Masih batu rebung tetap tak berkutik !
Kemudian It Hiong menekan batu dengan ujung pedang,
dari perlahan sampai keras. Maka itu dengan sendirinya ujung
pedang melesak ujungnya sedikit ke dalam batu. Karena itu,
terdengarlah suara batu tergorok pedang.
Anak muda kita bercuriga, telinganya pun terang sekali.
Kapan ia mendengar suara goresan itu, kecurigaannya
menjadi bertambah. Maka akhirnya ia mau percaya, batu itu
memang pesawat rahasia. Hanyanitu alat ini terpasang
dengan kuat sekali hingga tak mudah tergoyah.
Tidak bersangsi pula, It Hiong mengerahkan tenaga
dalamnya, lengan kanan. Ia tidak mau berlaku sembrono.
Tenaganya ditambah sedikit demi sedikit. Tak lama maka
terdengarlah satu suara keras, suara menjublaknya pintu
rahasia. Maka dihadapan mereka berdua terbentanglah
sebuah pintu ! It Hiong girang bukan main. Mau ia memanggil si nona
berbaju hijau yang sejak tadi duduk bersila terus. Justru ia
berpaling, justru si nona maju padanya hingga mereka hampir
saling bertabrakan, muka mereka hampir menempel satu
dengan lain ! Dua-dua muda mudi itu terkejut, mereka melongo saling
mengawasi. Mulut mereka tertutup rapat. Barusan si nona
mendengar suara menjublak, dia membuka matanya. Melihat
pintu rahasia, dia girang tak terkirakan. Lantas dia berlompat
bangun dan lari pada si anak muda, justru anak muda itu
berpaling hingga hidung mereka hampir beradu !
It Hiong lekas juga menentramkan hati. Ia pun dengan
berani lantas memutar tubuh pula. Buat bertindak masuk ke
dalam pintu rahasia itu. Si nona mengikuti tanpa berkata apa-apa.
Keduanya berlaku waspada.
It Hiong mendapatkan dirinya berada di dalam sebuah
kamar yang empat penjuru dindingnya berbatu granit. Kedua
sisi tembok tidak ada jendelanya. Ruang pun kosong, bahkan
tanpa kursi atau meja. Cuma nempel pada tembok terdapat
sebuah pembaringan yang hitam mengkilat, entah terbuat dari
kayu atau semacam logam. Di atas pembaringan itu duduk
numprah seorang tosu, rahib Agama To, melihat siapa anak
muda kita menjadi heran hingga ia terus menatap.
Tosu itu sudah berusia lanjut. Dia mengenakan jubah putih,
tubuhnya tegak, mukanya merah segar, rambutnya sudah
putih seluruhnya sedangkan alisnya panjang. Ketika itu dia
duduk samil memejamkan mata.
Yang membuat It Hiong heran ialah ia kenali tosu itu
adalah Tek Cio Siangjin, gurunya sendiri !
Maka anehlah yang gurunya berada di tempat itu hingga ia
terus mengawasi dengan dadanya bergelombang sebab
jantungnya memukul keras. Sudah banyak tahun karena
perantauannya, ia tak bertemu gurunya itu hingga ia pun tidak
tahu gurunya berada dimana. Segera timbul rasa hormatnya,
tanpa ragu pula ia menekuk lutut di depan tosu itu untuk
memberi hormat seraya ia memanggil perlahan : "Suhu !" Pula
tanpa merasa, saking gembiranya, air matanya turun meleleh.
Tetapi aneh adalah si guru. Beberapa kali dia dipanggil
muridnya itu, dia berdiam saja. Dia duduk tidak bergeming.
Dia seperti tidak mendengar suara orang atau kehadirannya
orang lain di dalam kamar itu.
Si nona berbaju hijau berdiri di sisinya It Hiong. Ia pun
mengawasi saja si tosu hingga ia melihat dan mendengar
dengan nyat. Karena si tosu berdiam saja, timbullah rasa
anehnya. Sendirinya ia menjadi bercuriga.
"Kakak." katanya pada It Hiong sesudah ia menantikan
sekian lama pula. "Kakak, coba kau perhatikan ! Coba kakak
lihat, tosu itu masih hidup atau sudah mati !"
Tidak cuma berkata, si nona pun memegang lengannya si
anak muda buat diangkat dikasih bangun terus ia berkata pula
: "Kakak, apakah kakak tidak merasa aneh " Bukankah guru
kakak seorang pertama yang lurus " Kenapa ia justru datang
kemari dan berdiam disini ?"
It Hiong menepas air matanya. Ia lantas berpikir. Benar
kata-kata si nona. Gurunya itu bersikap aneh. Tak biasanya
gurunya pendiam sedangkan ia tahu benar, biasanya guru itu
ramah tamah. "Kau benar juga, nona....." katanya perlahan.
Sambil mengawasi tajam, It Hiong menghampiri gurunya
itu lebih dekat. Ia meneliti rambut dan muka orang. Ia merasa
tak salah lagi, tosu itu benar gurunya.....
"Suhu !" ia memanggi pula. Kembali ia menekuk lutut.
"Suhu, maafkan muridmu ! Aku telah mengganggu pertapaan
Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
suhu ! Suhu, tolong suhu membuka matamu, melihat pada
muridmu ini....." Kembali si murid menangis, walau tanpa suara.
Si tosu terus duduk bagaikan patung. Ia tak bergerak, tak
membuka matanya, tak mengatakan sesuatu. Dia bagaikan
tak mempunyai perasaan. Dari berlutut It Hiong mendekam di lantai. Ia bingung. Ia
juga lantas ingat segala sesuatu yang telah berlalu selama ia
berdiam di Pay In Nia melayani gurunya itu pada siapa ia
belajar silat dan surat. Guru itu menyayang dia sebagai juga ia
adalah seorang anak. Guru itu keras mendidiknya tetapi belum
pernah ia ditegur atau dirotani. Maka heran sekarang,
menghadapi murid kesayangannya, guru itu berdiam saja
sebagai patung. "Mungkinkah suhu tengah bersemadhi sampai di bagian
yang paling genting ?" demikian si murid berpikir. "Kalau
benar, kalau kena terganggu, suhu bisa celaka karena
kegagalannya. Inilah berbahaya......"
Diam-diam It Hiong mengeluarkan peluh dingin, hatinya
berdebaran. It Hiong menyesal sekali, maka ia terus mendekam tanpa
berkutik. Tapi pikirannya terus kacau. Ia heran dan bingung,
ia ragu-ragu... Karena semua orang berdiam, kamar menjadi sunyi seperti
semula tadi. Si nona berbaju hijau berdiri mematung, matanya
mengawasi It Hiong. Ia pun heran hingga ia berpikir keras.
Dengan lewatnya sang waktu, It Hiong mulai dapat
berpikir. Ia ingat kata-kata si nona yang meragukan gurunya
itu. Memang, kenapa gurunya bertapa di tempat rahasia itu
yang menjadi sarang si bajingan " Itulah tak mungkin, bukan
" Hek Sek San bukan tempat yang cocok dimana orang dapat
mensucikan diri. Bukankah Kiu Hoa San jauh terlebih baik "
Saking heran, pikirannya si anak muda menjadi kacau.
Hingga ia mau menerka, pa-apa yang tak menjadi, lantaran
kejujurannya, gurunya itu telah kena orang akali hingga dia
kena makan racun dan karenanya menjadi terpengaruhkan
orang jahat. Giris memikir demikian, It Hiong menggigil saking berkuatir.
"Tidak ! Tidak mungkin !" ia berseru tanpa disengaja.
"Tidak mungkin !"
Kembali murid ini mengangkat kepalanya, mengawasi
gurunya itu. Kembali air matanya menetes jatuh !
Si nona berbaju hijau terperanjat.
"Kakak !" serunya. "Kakak, kau kenapakah ?"
Si nona kaget karena menyaksikan lagak orang serta
mendengar seruannya itu. Segera It Hiong berlompat bangun, matanya mengawasi ke
seluruh kamar. Sekarang ia telah berpikir tetap. Matanya pun
bersinar berapi. "Jahanam yang malu bertemu orang !" demikian katanya
keras. "Kenapa kau bersembunyi saja" Kalau kau benar
mempunyai kepandaian, perlihatkan dirimu ! Mari kau
bertempur denganku, Tio It Hiong !"
Nadanya itu mengandung penasaran.
Segera terdengar jawaban parau yang dingin : "Kepandaian
" Kau mau bertempur " Hm ! Oh, bocah tak tahu hidup atau
mati ! Memangnya kau sudah bosan hidup ?" Suara itu
mendengung di dalam kamar itu. Baru suara itu lenyap, lantas
terdengar pula sambungannya : "Bocah ! Kau telah melihat
tegas atau tidak " Kau mau menempur aku " Hm ! Lihat
gurumu itu, Tek Cio si hidung kerbau ! Dia tersohor kosen
tetapi dia toh tak mampu lolos dari tanganku ! Telah aku
tahan dia, telah kukurung disini ! Bagaimana kepandaian
gurumu " Jangan kau membuat lohu gusar, itu cuma berarti
kau meminta mampusmu saja !"
Suara tak sedap itu ditutup dengan suara batuk-batuk
kering ! Bukan kepalang gusarnya It Hiong. Dadanya bergolak,
matanya berapi, alisnya pun berdiri.
"Jika kau benar berani, muncullah !" bentaknya. "Kalau kau
berani bertanding hidup mati denganku, barulah kau benarbenar
mempunyai kepandaian !"
"Hm ! Hm !" demikian suara mengejek tawa, jawaban
lainnta tidak ada. Baru lewat sejenak, si parau itu berkata :
"Kau mau menempur aku " Hm ! Kau tahu, hari ini aku mau
berurusan dengan Tek Cio si hidung kerbau ! Kau mengerti !"
"Iblis !" seru It Hiong. "Iblis !"
"Bocah, kau harus mengerti !" kata si suara parau. "Kau
tahu bocah, aku minta keadilan !"
"Kau mengoceh saja !" bentak It Hiong. "Keadilan apa yang
kau minta ?" Si parau tertawa. Tapi kemudian dia menghela napas.
"Buat aku menjelaskan bocah, itulah suatu cerita panjang."
katanya. "Kalau aku tidak menuturkan kau tentunya tidak
tahu. Itulah satu peristiwa yang menyedihkan. Karena itu,
keadilan pun telah terpendam......"
"Jangan kau mengoceh saja !" It Hiong membentak. "Lekas
kau perlihatkan dirimu. Lekas kau beri keterangan padaku !
Ingat, Tio It Hiong dapat menggempur kamar ini dan
menginjak rata sarangmu !"
Dalam sengitnya, si anak muda menikam kepada dinding
hingga batu granitnya gempur dan rontok.
"Jangan galak, bocah !" kata si suara parau. "Kau dengar
dulu ceritaku ! Di saat aku bercerita habis, itu pula saatnya
jiwamu lenyap !" Mendengar itu, si nona berbaju hijau menarik ujung
bajunya si anak muda terus dia berbisik : "Kakak, tidak ada
halangannya untuk mendengarkan ceritanya......."
"Hm !" It Hiong perdengarkan suara tawar, lantas ia
berdiam. Cuma pedangnya yang disiapkan.
Kembali terdengar suara parau tadi.
"Nah, dengan berlaku begini barulah artinya kau tahu
selatan !" demikian katanya. "Kalau kalian mengerti ceritaku,
itu pun ada baiknya.... It Hiong berdiam saja, juga si nona. Si anak muda
menyabarkan diri. Suara parau itu terdengar pula, nadanya sedikit lain. Suara
itu lebih keras. "Cerita yang hendak aku tuturkan ini adalah peristiwa pada
empat puluh tahun dahulu !" demikian si parau mulai. "Itulah
cerita yang menyedihkan dan hebat. Maka itu lohu demi
pembalasan dendam sudah membunuh juga membinasakan
beberapa orang Kang Ouw. Semua itu guna meminta keadilan
! Kau tahu, perbuatanku itu telah menarik perhatiannya apa
yang dinamakan kaum sadar dan lurus ! Mereka para ketua
dari sembilan partai besar. Mereka itu mencari dan mengejarngejar
lohu, yang mereka hendak binasakan ! Di antara
mereka itu terhitung juga Tek Cio si hidung kerbau, gurumu
itu bocah !" Dia berhenti sebentar, terdengar dia menghela napas.
"Ketika itu," begitu dia melanjuti. "Lohu berada seorang
diri. Tidak dapat lohu melawan mereka. Kau tahu, jumlahnya
mereka belasan dan semuanya orang-orang tersohor !
Seorang diri lohu diperhina mereka itu ! Apa juga mau
dibilang, buatku ialah lohu mesti melindungi diriku. Karenanya
lohu selalu membela diri sambil mundur setapak demi setapak.
Tapi mereka itu telengas sekali, terus-terusan lohu dikejar
mereka. Akhirnya lohu telah di desak sampai di tepi jurang es
di gunung Thian San. Adalah gurumu, si hidung kerbau itu
yang mengandalkan ilmu pedangnya yang lihai telah memaksa
aku mundur ke tepi jurang itu. Disitulah kesembilan ketua
partai tidak lagi menghormati sopan santun kaum Kang Ouw.
Berbareng mereka menyerang lohu dengan pengerahan
tenaga dalam mereka. Tak lagi lohu berdaya. Maka robohlah
lohu ke dalam jurang ! Dasar orang baik dilindungi Tuhan,
lohu tak mati walaupun lohu telah terlempar ke dalam jurang
itu. Lohu roboh terasangkut di sebuah pohon besar dan lebat,
dimana selembar jiwaku ketolongan........."
lagi si parau berhenti sebentar. Lewat sejenak baru ia mulai
pula. "Sejak itu lohu hidup di dalam penderitaan. Lohu
mencari hidupku dan ilmu kepandaian pula. Lewat belasan
tahun, barulah lohu muncul pula dalam dunia Kang Ouw.
Demikianlah kali ini, lohu berhasil membekuk Tek Cio si hidung
kerbau dan mengurungnya disini. Meski begini, lohu tidak
menghendaki jiwanya. Lohu menaruh belas kasihan
terhadapnya. Sebaliknya, lohu mau mencari penggantinya dari
siapa lohu hendak meminta keadilan ! Dan itulah kau !"
Kembali dia berhenti, lalu batuk-batuk. Agaknya dia puas
sudah dapat menutur lakonnya itu. Dia pun mengeluarkan
napas lega. Setelah itu dia kata pula : "Nah, bocah.
Bagaimana pikirmu sesudah kau mendengar peristiwa hebatku
ini " Sekarang ini maksudku yang utaman yang ingin lekaslekas
aku lakukan ialah membalas sakit hati itu. Dan itu
mungkin soal paling menyedihkan untukmu ! Bocah,
bagaimana kau pikir andiakata kita balik keadaan kita ini " Kau
menjadi aku dan aku menjadi kau. Bagaimana kau hendak
bertindak ?" It Hiong mendongkol sekali.
"Hm !" ia memperdengarkan suara dinginnya. "Itulah
urusan kalian dahulu hari ! Semua itu cuma diketahui oleh
para ketua dahulu itu ! Aku sendiri, aku tak menghiraukannya
! Aku cuma mau mengurus kejadian di depan mata kita ! Jika
kau tidak pulihkan kesehatan guruku sebagaiman adanya, aku
cuma mau mengadu jiwa denganmu !"
Si suara parau itu tertawa dingin.
"Bocak cilik, kau benar-benar bernyali besar !" katanya.
"Tetapi bocah, tentang ilmu silatmu, lohu ketahui sampai di
dasarnya ! Buat apa kau berlagak galak begini " Lihat saja
gurumu itu ! Kau lihatlah tulang selangkanya ! Telah aku
belenggu erat-erat ! Begitu juga ingatannya, telah lohu kekang
! Dia sekarang cuma mayat hidup ! Dia sudah bercacat, dia
tidak ada dayanya samasekali !"
It Hiong kaget dan gusar menjadi satu. Ia masuki
pedangnya kedalam sarungnya dan bertindak menghampiri
pembaringan akan melihat ke belakang gurunya itu. Maka ia
lantas mendapat kenyataan benarnya kata-kata si parau itu !
Pada punggungnya si rahib tua tampak sehelai rantai,
ujungnya yang satu masuk ke pungung, ujung yang lain
mendam ke dalam tanah ! Maka bergolaklah darah si anak muda, darahnya itu seperti
naik ke otaknya. Itulah penglihatan dahsyat luar biasa. Lupa
segala apa, ia menghunus pedangnya dan pakai membacok
rantai besi itu hingga terdengar suara sangat keras dari
beradunya barang logam -- pedang kontra rantai besi!
Di waktu begitu, It Hiong lupa yang pedangnya bukan
pedang Keng Hong Kiam, hanya pedang biasa. Pedang Keng
Hong Kian dapat memapas besi hingga kutung, pedang biasa
tidak ! Akan tetapi si anak muda mempunyai tenaga dalam
mahir sekali. Dia pula sedang meluap angkara murkanya.
Walaupun pedangnya pedang biasa, toh terbabat putus !
Sementara itu, kejadian yang terlebih hebat menyusul
penyerangan dahsyat kepada rantai itu ! Karena putusnya
rantai, roboh juga tubuhnya si rahib yang tercancang tulang
selangkanya itu. Bahkan robohnya dengan tubuhnya terkutung
menjadi dua potong, roboh berbareng jatuh ke tanah !
Bukan main kagetnya It Hiong. Lupa ia akan segala apa.
Dia lompat menubruk tubuh gurunya itu, tak dapat ia menjerit
menangis, cuma air matanya yang mengucur deras. Pula
hanya sedetik saja, terus dia roboh tak sadarkan diri !
Si nona berbaju hijau kaget sekali. Hingga ia menjublak
saja. Tanpa merasa, air matanya pun mengucur turun. Dia
sampai lupa segala apa. Matanya cuma mengawasi It Hiong
serta itu dua potong tubuhnya si rahib tua....
Tengah kamar menjadi sunyi itu, sebab si pemuda pingsan
dan si pemudi berdiam sebagai patung. Mendadak daun
jendela yang satunya menjublak roboh dengan menerbitkan
suara keras. Di situ lantas terlihat sebuah liang sebesar liang
anjing. Sebab jendela itu kecil dan sempit, cuma dapat muat
sesosok tubuh manusia saja !
Itulah apa yang dinamakan lobang anjing.....
Menyusul robohnya daun jendela, dari sebelah daLam Sana
sudah tampak munculnya sesosok tubuh hitam yang nyeplos
ke sebelah sini. Dialah seorang usia setengah tua, yang
mukanya hitam. Dia pula Kim Tay Liang !
Setibanya di dalam kamar, Tay Liang mengawasi It Hiong
dan si nona baju hijau. Lantas dia bertindak menghampiri
nona itu. Sebelum orang sadar dari menjublaknya, dia sudah
menyambar tangan orang untuk dicekal keras dan ditarik.
Nona itu kaget, dia juga merasai nyeri pada tangannya
hingga dia tak sadar terus menjerit. Cuma satu kali dia dapat
membuka suaranya, selanjutnya dia bungkam sebab jalan
darahnya telah ditotok Tay Liang.
It Hiong siuman disebabkan kaget mendengar jeritan si
nona. Lantas ia membuka matanya, terus ia berlompat
bangun. Dengan begitu lantas ia mendapat lihat si nona
berada dibawah pengaruhnya Tay Liang. Bahkan pria itu
sudah menarik si nona ke jendela. Rupanya dia berniat
membawanya pergi ! Tay Liang mendapat kesulitan akan menyeploskan si nona
ke dalam lubang anjing itu. Kalau ia masuk lebih dahulu, si
nona mesti dilepaskan. Kalau ia menolak lebih dahulu nona
itu, berarti ia menyusul belakangan. Sulitnya jalan tengah
terpengaruhkan urat syarafnya hingga ia tidak dapat berpikir
jernih seperti orang yang sehat otak. Ketika ia mencekal si
nona, ia pun mencekal tanpa pikir-pikir lagi. Maka juga ia
membuat nona itu habis tenaganya sampai dia tak dapat
berdaya.... It Hiong menyaksikan kesulitan Tay Liang itu, ia menjadi
puas sekali. Tanpa banyak pikir pula, dia lompat pada pria itu
untuk menotok jalan darahnya yang dinamakan hek-tiam. Ia
berhasil dengan mudah sebab orang she Kim itu tidak
menyangka dan dia juga kalah cepat. Lantas saja dia roboh
terkulai, rebah seperti orang lagi tidur pulas !
It Hiong segera memegangi si nona, buat dipondong dan
direbahkan setelah mana ia membantu dengan menotok
menyadarkannya serta menguruti membuat tenaganya pulih.
Tidak ada niatnya It Hiong membinasakan Tay Liang sebab
dia tahu orang she Kim itu sedang terpengaruhkan obat jahat
hingga ia tak sadar akan segala pebuatanya itu. Bahkan kalau
Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ada kesempatan, hendak ia membantu kenalannya itu.
Setelah si nona sadar dan dapat bangun berdiri, It Hiong
mengeluarkan napas lega. Nona itu lantas ingat segala apa, terus ia mengawasi tubuh
mayatnya Tek Cio Siangjin. Tiba-tiba ia menunjuk tubuh itu
sambil berkata nyaring : "Kakak, lihat !"
It Hiong terperanjat. Segera ia berpaling. Maka dia pun
melihat seperti apa yang dilihat nona itu. Untuk sejenak, dia
melengak saking herannya.
Tubuh itu kutung sebatas pinggang. Anehnya kutungan itu
berikut jubahnya juga. Dan jubah itu, warna biru rembulan
sudah terlalu tua dan habis kekuatannya, mudah pecah dan
hancur sendirinya. Di tengah-tengah tubuh itu tampak tulang
punggung yang dirantai. Maka sekarang teranglah ternyata, tubuh itu bukan tubuh
berdarah daging. Hanya tubuh dari anak-anakan yang terbuat
dari lilin ! Pantas hebatnya serangan pedang pada rantainya,
tubuh itu roboh sendirinya !
Hanya apa yang mengagumkan, buatan boneka itu sangat
hidup dan mirip sekali dengan Tek Cio Siangkin. Sampai
muridnya yang telah tinggal bersamanya tujuh tahun lamanya
masih kena dikelabui ! Tapi tak aneh kalau It Hiong membuat kekeliruan itu. Di
saat seperti itu, pikirannya tak jernih seluruhnya. Ia kena
dikacaukan kapan ia ingat halnya gurunya tertawa dan dirantai
! Berdua bersama si nona, It Hiong segera menghampiri
tubuh palsu itu sampai dekat sekali untuk meneliti. Mereka
memegang jugah yang sudah usang itu dan merobeknya
secara mudah sekali. Sekarang lega hatinya, It Hiong menghela napas dalamdalam.
Hilanglah kaget dan kekhawatirananya. Sebaliknya,
terbangunlah semangatnya. Maka ia mendongkol sekali yang
ia telah dipermainkan musuh yang bersuara parau itu, yang
masih belum ketahuan siapa adanya.
Satu kali si anak muda menoleh pada si nona hingga
mereka saling memandang. Berbareng dua-duanya
bersenyum. Leganya hati membuat mereka sesaat itu seperti
lupa yang mereka masih berada di tempat yang berbahaya itu.
"Nona" kata si anak muda kemudian, "Inilah yang dibilang,
melihat satu tambah pula satu pengetahuan ! Inilah dia
pengalaman kita kaum Kang Ouw ! Aku malu yang
pengalaman kurang. Kali ini aku telah kena dipermainkan
musuh yang licik !" Si nona mengawasi. "Sebenarnya kakak, ini bukanlah disebabkan
pengetahuanmu yang kurang." bilangnya. "Tadi kau telah
dibikin kacau saking kau kaget melihat gurumu yang kau
sangat sayang dan hormat. Buatku, aku justru mengagumi
kecintaanmu terhadap guru itu......."
Suara si nona belum berhenti, atau mereka berdua lantas
mendengar suara si parau. Katanya : "Kenyataan tinggal
kenyaan, demikian si manusia palsu dan tulen ! Aku pun
mengagumi kepada murid ajarannya Tek Cio si rahib tua. Kau
hebat anak muda ! Hm !"
"Bagus kata-katamu !" kata It Hiong keras. "Akal busukmu
telah pecah. Apa lagi yang hendak kau bilang " Kenyataan "
Kenyataan apakah ?" Jilid 58 "Tapi aku bicara hal lain, bocah." kata si parau yang tidak
mau kalah bicara, yang hendak mendoja orang. "Aku bicara
dari hal gurumu si hidung kerbau ketika dia dahulu mendesak
aku hingga aku terjungkal ke dalam jurang ! Itulah
pengalamanku ! Aku tidak bicara dusta !"
"Kau keliru, sahabat !" kata It Hiong yang mau berlaku
tenang. "Permusuhan kalian toh sudah berselang puluhan
tahun, bukan " Bukankah kau sekarang sudah berusia lanjut "
Kenapa kau tidak dapat melihat lebih jauh " Kenapa kau tidak
mau membuka hatimu " Kenapa kau tidak mau menyudahi
ganjelan itu ?" Si parau tertawa. Mungkin dia tertawa meringis.
"Bocah, kau harus ketahui sifatku !" katanya keras. "Kalau
aku berkata satu, itu bukannya dua ! Apakah kau sangka sakit
hati dan soal pembalasannya itu dapat dibereskan dengan
satu atau dua patah kata saja " Hm !"
"Jangan salah mengerti, sahabat !" kata It Hiong. "Aku
bukannya memohonkan ampunan bagi guruku ! Kalau aku
berbuat demikian, aku jadi merusak nama baik guruku itu !
Aku hanya Bicara dari hal kenyataan ! Bukankah ada pepatah
yang berkata, dimana dapat orang harus memberi ampun "
Maka itu, kau harus tahu diri. Seharusnya kau mundur teratur
!" "Eh, bocah ! Kau tahu apa " Bukankah Co Beng Tek telah
berkata, biar aku mengecewakan orang tetapi tak dapat orang
mengecewakan aku ! Itulah kata-kata yang tepat sekali, yang
cocok dengan rasa hatiku !"
Co Beng Tek ialah Co Coh, seorang perdana menteri atau
dorna di jaman kerajaan Han.
It Hiong tertawa bergelak.
"Oh, orang yang bersisa jiwa di ujung pedang guruku !"
katanya. "Bagaimana kau masih memikir untuk membalas
dendam " Andiakata kau bertemu dengan guruku, dapatkah
kau melawan ilmu pedang Khie-bun Patkwa Kiam guruku "
Dapatkah kau melayani Hian-bun Sian Thian Khie-kang guruku
" Bukankah kau bakal menderita pula dan bertambah malu
hingga kau seperti menyusun sakit hatimu ?"
"Hm !" si parau memperdengarkan suara dinginnya. "Kau
tahu, telah lama lohu berdiam di jurang es dimana aku
mempelajari ilmu hawa dingin yang beracun. Karena mana
lohu berani muncul pula dalam dunia Kang Ouw terutama
guna mencari gurumu si hidung kerbau itu ! Baik dalam hal
ilmu silat biasa maupun dalam ilmu pedang, hendak aku
menempurnya pula ! Andiakata aku tetap kalah maka masih
ada kepandaianku yang istimewa ialah hawa dingin yang
beracun itu ! Dengan ilmuku ini, akan aku merebut
kemenangan terakhir ! Hm !"
"Hm !" It Hiong memperdengarkan suara dinginnya.
"Dapatkah kau mewujudkan niatmu itu " Guruku hidup di
dalam pengembaraan. Ia tak ketentuan dimana adanya !
Bukankah sia-sia belaka kau mencarinya hingga kau membuat
boneka dari lilin yang kau sengaja rantai dan kurung di dalam
kamar ini " Apakah artinya siksaan semacam itu " Tak lain tak
bukan, itu melainkan guna mempuaskan hati busukmu yang
kecewa, niatmu tak tercapai ! Kau cuma menghibur diri !"
Si parau menjadi gusar sekali. Telak ia terserang katakatanya
si pemuda. "Oh, bocah ! Kau berani menghina lohu ?" tegurnya. "Kau
benar-benar tidak tahu mampus atau hidup !" Ia hening
sejenak lalu menambahkan : "Kau catat ! Di dalam waktu satu
tahun, jika lohu tidak berhasil mencari gurumu itu si rahib
hidung kerbau guna lohu membalas dendamku, maka
perhitungan ini bocah, akan lohu timpakan atas dirimu ! Nah,
kau ingatlah baik-baik !"
Alisnya It Hiong bangkit.
"Jangan kau membuang-buang waktu !" katanya lantang.
"Bagaimana kalau sekarang juga kau perhitungkan sakit
hatimu itu terhadap guruku kepadaku ?"
Berkata begitu, si anak muda menyiapkan pedangnya dan
matanya diarahkan tajam ke arah dari mana suara datang.
Si parau memperdengarkan pula suaranya. Dari nadanya,
terang dia sangat gusar. "Hendak lohu memegang kata-kataku !" demikian suara
mendongkolnya itu. "Kalau lohu kata satu, itu tidak nanati
menjadi dua ! Barusan lohu menjanjikan waktu satu tahun,
janji itu akan lohu hormati ! Eh, bocah apakah kau sudah
bosan hidup ?" It Hiong tertawa dingin. "Oh, manusia yang takut melihat manusia !" ejeknya.
"Kiranya kaulah si mulut besar belaka ! Nyata-nyata kau cuma
mencari alasan buat mundur teratur ! Ha ha ha !"
Si parau menjadi semakin gusar.
"Jangan takabur, bocah !" teriaknya. "Jika lohu hendak
mengambil jiwamu, itu mudah sama seperti lohu membalik
telapak tangan ! Sama mudahnya seperti lohu merogoh saku !
Tetapi lohu mesti memegang kata-kataku, lohu mesti mentaati
janjiku ! Hari ini lohu tidak bersedia menempur kau ! Tapi kau
lihat, bocah ! Sekarang hendak aku pertunjuki kepandaianku
supaya kau tidak tak tahu mati atau hidup mendapat bukti !"
"Kepandaian apakah itu ?" It Hiong tanya tawar. "Coba kau
pertunjukkan ! Aku yang rendah hendak melihatnya !"
"Baik, bocah !" teriak si parau. "Sekarang hendak aku
mengasi bukti ! Kau pentang matamu lebar-lebar ! Kau lihat si
Kim yang rebah di lantai itu. Hendak aku merampasnya pulang
!" Begitu lekas si parau menutup mulutnya, begitu lekas di
dalam ruang itu timbul angin besar seperti topan hingga debu
beterbangan naik, menyerang mata dan hidung sampai orang
mesti memejamkan mata serta menutup hidung, hingga orang
sukar bernapas ! Walaupun sambil meram, It Hiong memutar pedangnya
melindungi dirinya sendiri serta si nona yang ia suruh mendak
di depannya. Syukurlah "topan" itu tidak berjalan lama dan
juga tidak ada senjata rahasia yang membokong. Selekasnya
topan sirap, si anak muda pun berhenti bersilat. Lalu
keduanya membuka mata mereka.
Satu hal aneh segera tampak. Kim Tay Liang yang tadi
rebah di lantai lenyap tidak karuan paran dan daun jendela
yang tadi menjeblak, tertutup rapat pula seperti semula !
"Hm !" si anak muda kita memperdengarkan suaranya,
meskipun dia sebenarnya heran. "Segala ilmu jejadian ! Ada
apakah yang aneh " Apakah kau kira kau dapat mengandalkan
tembokmu ini buat mengurung kami ?"
Si nona baju hijau menggebriki pakaiannya dan merapikan
rambutnya. Kemudian ia pun mengebuti pakaiannya It Hiong.
Ketika ia mendengar kata-kata si anak muda, ia berkata : "Kau
berhati-hati, kakak ! Kita mesti waspada terhadap akal
muslihat liciknya !"
Belum lagi It Hiong menjawab atau ia sudah mendengar
suaranya si parau, suara yang jumawa sekali ! Katanya :
"Taruh kata tembok ini tidak dapat mengurung kalian tetapi
kalian harus waspada. Sekeluarnya dari kamar ini, kalian bakal
menghadapi Barisan racun lohu ! Bocah, kau lihat bagaimana
nanti kau tahu rasa !"
"Jangan kau mengoceh saja !" It Hiong menegur. "Kau
bilang kau pandai membuat hawa beracun tetapi itu tentulah
untuk menggertak belaka ! Kau dapat menggertak mereka
yang tolol tetapi kami tidak ! Menurut dugaanku, hawa
racunmu itu belum tentu menjadi hawa racun yang
teristimewa !" Kembali si parau menunjuki kemurkaannya.
"Hm, manusia tak tahu mampus atau hidup !" teriaknya.
"Apakah kau tidak ketahui tentang kebinasaannya kelima Ngo
Lo dari ruang Ciang Ih Siauw Lim Sie serta si rahib tua ketua
Ngo Bie Pay " Mereka pada pulang ke Tanah Barat tanpa
tubuhnya terluka ! Dengan demikian, bukankah ilmu
kepandaianku itu ada nomor satu di kolong langit ini ?"
Tapi It Hiong menyambutnya sambil tertawa lebar.
"Bajingan tua, bagus !" serunya. "Bagus sekali ! Tanpa
dikomper, kau telah mengakui kejahatanmu melakukan
pembokongan. Kau telah membuka rahasiamu sendiri.
Tadinya orang tidak tahu sebabnya kematiannya semua orang
tertua itu. Sekarang terbuktilah yang hutang darah mesti
dibayar dengan darah juga ! Manusia jahat, lekas juga akan
tiba saatnya keadilan di jalankan ! Sudah, manusia busuk. Baik
sekarang kita jangan bicarakan soal itu ! Mari aku beri tahu
padamu, jangan kau membuka mulut besar sebab kau berhasil
menciptakan hawa beracunmu itu ! Kau harus ketahui, di luar
langit ada langit lainnya, di atas orang ada orang lainnya lagi !
Di dalam dunia ini ada hidup seseorang yang pasti dapat
melumpuhkan hawa dinginmu itu, Tok Mo ! Kau tahu atau
tidak ?" "Hm !" si parau bersuara pula, suaranya selalu dingin. Kali
ini sengaja disuarakan panjang. Dia agaknya berpikir. Setelah
itu baru dia melanjuti : "Eh, bocah, apakah kau maksudkan
Pek Yam si kepala keledia gundul dari kuil Bie Lek Sie ?"
"Benar !" It Hiong menjawab cepat. "Ya, dialah LoSiansu
Pek Yam dari Bie Lek Sie ! Kalau begitu, kau tahu diri juga ya
?" Kembali si parau, yang si anak muda menyebutnya Tok Mo
-- si Bajingan Beracun -- memperdengarkan suara tawanya :
Hm !" Kemudian dia lantas menambahkan : "Aku tahu
kepandaiannya Pek Yam si kepala keledia botak itu ! Kitab
racun Tok Kang miliknya adalah kitab bagian yang kedua,
sedangkan kitab milikku adalah bagian yang kesatu ! Karena
itu, mana dapat ia mempunahkan racunku ?"
"Sudah, Tok Mo ! Tak usah kau mengadu bicara !" It Hiong
menyenggapi. "Kenyataan lebih menang dari pada bicara
melulu ! Lihatlah aku sendiri ! Dengan menggunakan Wan Ie
Jie dapat aku menerjang tempatmu yang berbahaya hingga
aku dapat menolong nona ini yang kau siksa !"
Agaknya si parau seperti kalah bicara.
"Mungkin itu hanya kebetulan saja !" katanya rada lunak.
"Tak mungkin Wan Ie Jie demikian lihai ! Tak mungkin
racunku tidak akan mengalahkannya ! Nah, kau lihat saja
nanti !" "Cukup, Tok Mo !" ejek It Hiong. "Kepandaian racunmu itu
telah aku buktikan beberapa kali, jadi tak perlu kau panjang
lebarkan lagi ! Sekarang begini saja ! Hendak aku mencoba
ilmu silatmu. Dari itu, beranikah kau melayani aku "
Sengaja si anak muda kita berjumawa supaya si parau itu
mau memperlihatkan dirinya. Ia ingin melihat wajah orang
atau sekalian mengetahui asal usulnya.
Tapi si parau gusar. Dia berteriak : "Kau kira lohu orang
dari derajat apa " Mana dapat lohu mudah saja bertempur
denganmu ! Bukankah itu bakal mendatangkan buah
tertawaan " Jika kau bisa lolos dari kamarku ini, kau nanti
lantas masuki Barisan rahasia yang beracun yang aku atur,
yang aku beri nama Nyo Tok Tin ! Kalau kau benar kosen, di
sanalah kau boleh coba-coba kepandaianmu !" Dia berhenti
sebentar, terus ia menambahkan : "Lohu adalah seorang lakilaki
Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sejati ! Lohu biasa berlaku terus terang, tak mau lohu
main selingkuh ! Sekarang lohu kasi tahu padamu, kalau
sebentar kau memasuki Barisan rahasiaku, itulah sebab kau
sendiri yang mencari mampusmu ! Jangan nanti kau katakan
lohu kejam !" It Hiong tidak gusar. Sebaliknya dia tertawa.
"Jangan berpura bermurah hati, bajingan !" ejeknya pula.
"Aku telah berani masuk kemari, tentu saja aku berani
menerjang keluar !" Lantas pemuda kita merapikan pakaiannya, sedang
matanya dikedipi pada si nona berbaju hijau supaya si nona
selalu mengiringinya. Si nona bersenyum, dia mengangguk. Nyata dia bernyali
besar. Selagi orang berbicara dengan gerak gerik mata, si parau
sudah berkata pula. Dia seperti dapat melihat gerak gerik
orang itu. Kata dia : "Lohu cuma mengijinkan kau, bocah she
Tio menerjang Barisanku ! Tentang si budak wanita itu,
jangan harap dia nanti dapat berlalu dari sini dengan masih
hidup ! Oh, orang yang tak tahu hidup atau mati !"
Hebat si parau itu. Selalu dia menyebut-nyebut tentang
"tak tahu hidup atau mati!".
Mendengar suara orang itu, si nona kaget hingga mukanya
menjadi pucat. Baru saja ia bersenyum atau sekarang
mendadak air matanya meleleh turun. Itulah sebab ia telah
ketahui kekejamannya si parau itu !
It Hiong mengawasi nona itu, ia dapat mengerti
kekhawatiran orang. Karena ini hatinya panas, ia menjadi
membenci sangat pada si parau yang belum dikenal itu, yang
ia menyebutnya Tok Mo, si Bajingan Racun sebab orang
sangat licik. Si nona berbaju hijau bekas lawan tetapi sekarang
berdua mereka menjadi kawan, bahkan kawan senasib.
Karenanyaia menjadi berkesan baik sekali terhadapnya, malah
ia merasa kasihan. Seperti tabiatnya, ia selalu berpihak kepada
si lemah. Segera anak muda ini memutar pedangnya sembari terus ia
berkata : "Sahabat yang baik, aku yang rendah hendak
menguji pedangku ini ! Pedang yang terlebih keras atau
mulutmu ! Dan kau, nona, kau keraskan hatimu !"
Tapi si nona menjawab : "Tuan, kalau toh aku mesti mati,
tolong kau mendayakan mengirim mayatku kepada ayah
bundaku. Dapatkah kau menolong ?"
Alisnya si anak muda terbangun.
"Aku berjanji, nona !" sahutnya. "Bahkan aku berjanji tidak
hanya mengantar mayatmu tetapi juga tubuhmu yang masih
bernyawa ! Kalau aku hanya mengantar mayat, itulah hal yang
memalukan ! Nona, jiwamu ialah jiwaku ! Maka itu, mari kita
hidup atau mati bersama !"
Si nona sudah lantas menyusut keras air matanya. Ia
menjadi berbesar hati hingga dadanya menjadi berombak.
Hanya itu ia telah salah paham. Ia menyangka pemuda itu
justru mencintainya. Sejenak itu, lupa dia pada bahaya maut
dan mukanya yang tadi bersedih tampak menjadi gembira.
"Baik, tuan !" katanya perlahan. "Baik, selembar jiwaku kau
serahkan pada kau !"
Dengan sapu tangannya lantas nona itu mengikat
rambutnya yang riap-riapan terus ia bertindak mendekati anak
muda itu. ia menempelkan tubuhnya pada tubuh orang.
Ketika itu terdengar pula suara "Hm !" berulang-ulang dari
si parau. It Hiong tidak mempedulijan lagi suara itu. Ia hanya
menghampiri pintu untuk menusuknya dengan satu serangan
Heng Hong Hek Hoan Kiam. Tak usah disebutkan lagi yang ia
telah mengerahkan seluruh tenaganya. Maka juga tampaklah
lubang besar, sedangkan tembok bagikan tergetar seluruhnya.
Selagi pasir-kupa meluruk, It Hiong berlompat nyeplos di
lobang itu sambil sebelah tangannya menarik lengan si nona.
Tiba di luar kamar, muda mudi itu berdiri terbengong.
Mereka berada disebuah tempat terbuka seluas dua sampai
tiga puluh tombak. Itulah semacam lembah. Di sebelah kiri
ada tanjakan yang berbatu. Di kanan terdapat beberapa buah
puncak, diantaranya ada sebuah jalan kecil yang mendakinya
berliku-liku menuju ke atas atau ke dalam gunung. Entah
kemana arah tujuannya jalan kecil itu.
Berdua mereka berdiri diam sekian lama, ragu-ragu untuk
mengambil jalan. Tidak lainnya yang mereka lihat, tida ada
Ngo Tok Tin, Barisan rahasia Lima Racun seperti katanya si
parau yang belum dikenal wajahnya itu. Kecuali angin, sunyi
segala apa. Bahkan sinar matahari pun lemah, entah
disebabkan ketika itu sudah lewat lohor atau bagaimana.......
Tetapi tak usah lama mereka berdiam berdiri menjublak.
Lantas juga mereka mendengar suara yang menarik perhatian.
Itulah suara bergeraknya satu batu besar di kaki sebuah
puncak sebelah kanan hingga karenanya terlihatlhat mulutnya
sebuah gua. Melihat gua itu, It Hiong tertawa.
"Kiranya di sana terdapat pintu rahasia !" katanya nyaring.
"Benar-benar si bajingan parau ini sangat pintar dan cerdik !"
Hebat si anak muda. Dia bernyali sangat besar. Bukannya
dia kaget atau jeri, ia justru tertawa kegirangan ! Toh dia
belum tahu gua itu menembus kemana dan di dalamnya ada
perangkapnya atau tidak ! Aneh, batu terbuka sendiri
merupakan sebuah lobang.........
Si nona sebalinya melengak.
"Jangan-jangan itulah Ngo Tok Tin......." katanya raguragu.
"Kenapa kakak tertawa ?"
It Hiong berlaku sabar ketika ia menjawab : "Kita bakal
menyingkir dengan turun gunung. Apakah kau kira dapat kita
menyingkir dengan mudah saja " Kalau benar si bajingan
mengatur Barisan rahasianya itu, mana dapat kita tak
melintasinya " Biar bagaimana, kita mesti bertempur ! Maka
itu, bukankah lebih baik kita bertempur siang-siang ?"
Si nona mengerutkan alisnya.
"Aku hanya mengkhawatirkan hawa beracunnya....."
katanya. "Bagaimana kalau dia menyebarkannya di luar tahu
kita ?" It Hiong bagai terasadara.
"Kau benar juga, nona !" katanya. Lantas ia mengeluarkan
peles obatnya, enam butir pil diserahkan pada si nona seraya
berkata : "Kau makanlah obat ini, obat buatan LoSiansu Pek
Yam, lalu kau jangan kuatirakan apa juga !"
Nona itu mengawasi, matanya dibuka lebar, ia menggeleng
kepala. "Obat ini telah menolong jiwaku," katanya. "Bagaimana
sekarang dapat aku menghamburkannya dengan memakannya
pula " Kau baik sekali kakak, kau menerima baik kebaikanmu
ini !" It Hiong tertawa. "Lekas kau makan !" desaknya. "Jiwa kita paling berharga !
Kaulah orang Kang Ouw, kenapa kau membawa lagak seperti
caranya si kutu buku ?"
Bukan main meresapnya kata-kata itu dalam hatinya si
nona. Ia menerka pula kepada rasa cinta si anak muda
terhadapnya. Ia lantas mengawasi obat ditangannya anak
muda itu. Ia ragu-ragu sebab ia tak mementingkan dirinya
sendiri. Kemudian ia balik menatap orang di hadapannya itu.
"Bukankah tadi aku telah makan obat ini cukup banyak ?"
katanya pula. "Aku rasa khasiatnya obat dapat bertahan lama,
dari itu tak usahlah sekarang aku memakannya pula....."
It Hiong balik mengawasi. Ia tidak mencintai nona itu, ia
hanya mengasihani. Ia menduga memang selayaknya
pengaruh obat itu bertahan lama tetapi kalau ia toh menyuruh
orang makan pula, itulah guna menjaga keselamatan nona itu.
Siapa tahu sisa obat tak dapat menentang racunnya si parau
yang licik dan jahat itu " Kalau si nona tidak terganggu racun,
itu artinya ia bebas untuk melayani si parau. Jika sebaliknya,
pasti dia menjadi repot sekali, mau membela diri berbareng
harus membantu atau sedikitnya terus melindungi nona itu !
Dengan menyuruh si nona makan obat, itu pun guna
membikin tenang hatinya nona itu agar dia jangan takut lagi
racun lawan. Mengawasi si nona hingga sinar mata bentrok, diam-diam
It Hiong menggigil di dalam hati. Sinar mata si nona itu lain
dari pada sinar mata orang umumnya, hingga ia memikir,
"Inikah pula bencana asmaraku " Kalau sekarang juga aku
menjelaskannya, bagaimana hatinya " Bagaimana andiakata
dia kecewa dan putus asa " Tidakkah aku bakal
memperbahayakan jiwanya andiakata dia nekat " Bagaimana
aku harus berbuat ?"
Dasar ia telah berpengalaman, segera juga pemuda ini
mendapat satu pikiran. "Biarlah tak usah aku hiraukan dia." demikian
keputusannya. "Terhadap rasa cintanya itu, tak boleh aku
memberikan apa-apa. Sekarang ini aku perlu mencari kakak
Kiauw In dan Ya Bie. Aku mengajak nona ini karena aku ingin
membebaskan dianya. Asal aku telah bertemu dengan Kiauw
In, urusan dia ini mudah diselesaikannya. Harap saja dia nanti
mundur teratur kalau dia ketahui bahwa aku telah mempunyai
isteri......" Lantas menatap pula nona itu, It Hiong tertawa dan kata :
"Nona, aku tahu maksudmu kenapa kau tidak suka makan
obat ini ! Tentunya kau menyayanginya, bukan " Sekarang
begini saja, kau makan separuhnya selaku penjagaan untuk
dirimu ! Kalau kau tidak makan obat ini, hatiku tidak tenang."
Lantas si anak muda menyimpan tiga butir obatnya itu dan
yang tiga lagi ia angsurkan di muka nona itu, ke mulut orang.
"Kau makanlah !" ia menganjurkan.
Nampak nona itu sangat bersyukur, kembali sinar matanya
nampak menyala. Itulah sinar mata dari sang cinta. Kemudian
ia tertawa dan kata : "Kakak, lebih baik kaulah yang
memakannya. Kakak, jiwaku ada ditanganmu..... aku telah
menyerahkannya !" It Hiong menjadi kewalahan. Tapi ia menganggap perlu
nona itu makan obatnya, maka supaya ia tidak usah menyiaKang
Zusi website http://cerita-silat.co.cc/
nyiakan waktu lagi, ia mengambil tindakan yang berani. Tibatiba
saja dengan tangan kanannya ia merangkul tubuh orang,
untuk ditarik dekat padanya sedangkan dengan tangan kirinya
ia menjejalkan tiga butir obat itu ke dalam mulut orang hingga
si nona mirip anak kecil yang tengah dicekoki ! Sembari
berbuat begitu, ia tertawa dan kata : "Kalau kau telah
menyerahkan jiwamu padaku maka haruslah kau menyayangi
jiwamu itu !" Si nona berbaju hijau menelan obat itu, dia bersenyum
tetapi dia memejamkan matanya. Rupanya selain menikmati
obat juga rasa puasnya sebab si anak muda merangkulnya,
memaksa dia memakan obat secara prihatin. Sama sekali dia
tidak meronta yang si anak muda memperlakukannya
demikian rupa, malah dia menerimanya mesra !
It Hiong adalah seorang muda, dia bukannya Liu Hee Hui
dijaman dahulu yang tak goyah dari godaan asmara. Benar dia
telah memikir yang dia tidak mencintai nona itu, akan tetapi
setelah tubuh mereka nempel satu pada lain sedemikian lama,
hatinya toh berdebar-debar. Memangnya dia telah merasa
berkasihan terhadap nona itu. Bukankah rasa kasihan berupa
satu langkah kepada sang asmara " Bukankah mereka berada
berduaan saja " Tepat di saat keteguhan hati si anak muda ini hampir
gempur, tiba-tiba telinganya mendengar suara bentroknya
senjata-senjata tajam yang keluarnya dari dalam gua di depan
mereka itu. Kontan ia bagaikan terguyur air dingin. Duaduanya
lantas bagaikan sadar dengan kaget dari mimpinya.
Lantas keduanya memasang telingan lebih jauh sambil
sekalian memasang mata ke arah gua itu.
Segera juga tampak dua tubuh orang berlompat keluar dari
dalam gua itu, yang satu terlebih dahulu, yang lainnya
belakangan. Kembali senjata mereka itu beradu satu dengan
lain. Karena yang satu menyerang, yang lain menangkis.
Orang yang keluar pertama bersenjatakan kaitan Bwe-hoaToat. Dialah wanita cabul dari Kwan-ga, Hiat-ciu Jie Nio. Dan
yang menyusul, yang bergenggaman pedang, adalah Cio
Kiauw In dari Pay In Nia !
Teranglah Jie Nio kalah dan karenanya dia sedang mencoba
mabur ! Bukan main girangnya It Hiong, tak kepalang lega hatinya
melihat kakak seperguruannya itu.
"Kakak !" serunya lantas tanpa merasa lagi. "Kakak Kiau In
! Kakak !" Si nona berbaju hijau melengak mendengar pemuda itu
memanggil kakak. Ia belum tahu wanita yang mana yang
dipanggil kakak itu, tetapi ia telah berpikir : "Oh, kiranya
mereka kakak beradik mereka datang kemari....."
It Hiong tidak cuma memanggil-manggil, ia sudah lantas
lari menghampiri. Bahkan hampir ia lantas maju membantu
kakak seperguruannya itu atau tiba-tiba ia ingat aturan Kang
Ouw bahwa orang tak dapat main mengerubuti. Kalau ia
maju, ia bakal mendapat nama jelek dan gurunya pun bakal
ditertawai orang banyak. Maka itu lantas ia menunda majunya
lebih jauh. Kiauw In tengah mengejar Hiat-Cin Jie Nio ketika ia
mendengar suara orang memanggilnya, suara yang ia rasa
kenali. Segera ia pun menoleh, bukan main girangnya ia
kapan ia pun mengenali orang itu It Hiong adanya. Saking
bersuka cita itu, tanpa ia merasa gerakan tangannya menjadi
rada lambat. Sementara itu, Jie Nio juga kaget sekali apabila ia
mengenali It Hiong. Ia memang sedang sangat terdesak
Kiauw In. Ia sudah melakukan perlawanan seberapa ia
mampu. Tentu sekali melihat It Hiong, jerinya bukan main.
Kiauw In ditambah pemuda itu berarti jiwanya terancam
bahaya. Memangnya ia telengas, lantas ia menjadi nekat. Tak
sudi ia binasa secara kecewa. Justru ia memikir nekat itu,
justru Kiauw In berayal. Tidak waktu lagi, kesempatan baik ini
ia gunakan dengan segera. Ia memikir untuk mati bersama
Nona Cio ! Begitulah dengan senjatanya yang istimewa ia
menangkis Kiauw In ! Jurus silatnya yang ia gunakan juga
"Kong Hong Kian Te -- Topan melanda bumi". Senjatanya
ditangan kanan membabat Kiauw In di bagian bawah !
Berbareng dengan itu, senjatanya di tangan kiri juga
menyerang -- menyerang ke atas dengan jurus "Keng See Pok
Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bian -- Pasir menyambar muka".
Hiat Ciu Jie Nio tersohor telengas. Gelarannya saja telah
menunjuki itu. Hiat Ciu berarti Tangan Berdarah. Kali ini dalam
nekatnya, dia menunjuki ketelengasannya itu.
Bukan main kagetnya Kiauw In kapan ia menyaksikan
lawannya yang sudah keteter, yang tengah dikejar-kejar
menyerang secara demikian hebat. Syukur ia bermata jeli dan
cepat. Di dalam keadaan sangat terdesak itu masih sempat ia
melindungi dirinya. Cepat luar biasa, ia menutup diri dengan
jurus silat "Heng Pay Lok Kak -- Menjejer Tanduk Menjangan"
hingga ia bisa menghalau serangan maut bagian atas dari
lawannya itu berbareng dengan mana ia menjejak tanah
berlompat tinggi menyingkir dari serangan di sebelah bawah
itu. Hampir berbareng dengan lolosnya Nona Cio dari serangan
nekat dari Jie Nio maka terdengarlah si Tangan Berdarah itu
menjerit keras sebab tubuhnya tiba-tiba saja roboh terguling.
Tetapi dasar lihai, begitu dia roboh begitu dia terus
menggulingkan tubuhnya hingga dia berhasil memisahkan diri
dari Kiauw In sejauh dua tombak lebih. Ia telah menggunakan
jurus silat "CaCing Bergulingan di pasir".
Jie Nio roboh bukan wajar, bukan ia terpeleset atau
terdesak perlawanannya Kiauw In, ia hanya menjadi korban
dari tolakan keras dari pukulan Han Liong Hok Houw Ciang -Menaklukan Naga, Menundukkan Harimau dari It Hiong, siapa
sudah terpaksa membantu kekasihnya sebab dia melihat sang
kekasih terancam bahaya hebat. Kalau dia mau, dia dapat
merobohkan wanita itu hingga tak dapat berbangkit pula.
Akan tetapi ia telah tidak melakukan itu sebab ia ingat
kehormatan dirinya serta gurunya juga.
Bertepatan dengan robohnya Jie Nio itu, orang mendengar
satu suara parau. Mulanya ejekan "Hm ! Hm !" berulang-ulang
lalu disusul dengan kata-kata dinginnya ini : "Beginilah
perilakunya seorang murid dari rumah perguruan lurus yang
ternama ! Yang banyak mengepung yang sedikit ! Sungguh
memalukan ! Lohu......."
Tapi Kiauw In memotong ejekan itu : "Bagus perbuatanmu
! Bagaimana dengan lagakmu sendiri " Sudah kau menyerang
dengan hawa beracun, itu pula dilakukan secara menggelap !
Adakah kelakuanmu itu kelakuan laki-laki sejati " Mudah saja
kau menggoyang lidahmu !"
Justru Kiauw In menegur itu, justru Jie Nio mencelat
bangun untuk terus kabur ke dalam gua. Sebagai seorang
yang cerdik dan licik, si Tangan Berdarah pandai sekali
menggunakan kesempatan yang baik itu !
Kiauw In melihat orang kabur, ia tidak mengejar. Ia hanya
tertawa tawar mengawasi tubuh orang lenyap di dalam gua.
Habis itu ia lantas berpaling kepada It Hiong.
"Adik !" tanyanya. "Adik, kenapa kau berada disini " Kau
tahu, kau telah membuat aku menderita mencarimu !"
Baik sinar matanya maupun wajahnya, Kiauw In menunjuk
keprihatinannya yang luar biasa terhadap kekasihnya itu.
Itulah pertanda dari kasihnya yang sangat.
It Hiong menghampiri untuk mencekal erat-erat tangannya
si kakak seperguruan, ia menghela napas.
"Oh, kakak. Panjang kalau aku mesti bercerita....."
demikian sahutnya perlahan. "Hampir aku bercelaka di dalam
perangkapnya si bajingan jahat, bahkan aku telah terkena
pula bencana asmara.... Kakak aku menyesal, aku malu
terhadapmu........" Terhadap kekasihnya yang demikian cantik dan luwes, yang
sabar luar biasa, yang cerdas dan berpandangan jauh, It
Pendekar Cacad 15 Kait Perpisahan Serial 7 Senjata Karya Gu Long Dendam Iblis Seribu Wajah 20
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama